Seminar Nasional : Reformasi Pertanian Terintegrasi Menuju Kedaulatan Pangan
EVALUASI PENANGANAN IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) DI TINGKAT PEDAGANG PESISIR PANTAI MELALUI ANALISIS KEMUNDURAN MUTU FISIK, PEMBIAYAAN, DAN PERBANDINGAN ES PADA KOTAK PENDINGIN Andita Sayekti1), Ag. Suryandono2), M. Prasetya Kurniawan2) Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, UGM
ABSTRAK Ikan cakalang merupakan jenis ikan tuna yang tergolong dalam famili Scombridae, species Katsuwonus pelamis yang paling banyak diperdagangkan di tempat wisata sepanjang pesisir pantai selatan Yogyakarta. Sebagaimana produk perikanan, ikan cakalang mempunyai sifat yang mudah rusak, mudah terkontaminasi, tingkat risiko keamanan pangan yang tinggi. Penanganan dengan pendinginan yang baik perlu dilakukan agar kesegaran dapat bertahan lama. Dampak dari aktifitas ini akan mengurangi kerugian yang seringkali diderita pedagang akibat tata cara penanganan yang kurang baik. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kemunduran mutu fisik ikan cakalang selama penyimpanan dingin. Tempat penyimpanan yang digunakan adalah kotak pendingin (cool box) dan es halus. Parameter yang digunakan adalah kadar air, tekstur, dan perubahan berat. Metode penyimpanan ikan cakalang dilakukan dengan perbandingan ikan:es 1:1 (cool box B), 1:2 (cool box C), dan cool box A (kontrol). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar air pada kedua penyimpanan dari hari ke-0 sampai ke-4 mengalami kenaikan. Kadar air pada cool box B yaitu 74,96 %, 75,91 %, 75,95 %, 77,50 %, dan 77,08 %. Pada cool box C yaitu 74,38 %, 75,58 %, 77,19 %, 78,27 %, 79,09 %. Nilai tekstur pada kedua penyimpanan fluktuatif dan cenderung mengalami penurunan. Tekstur hari ke-0 sampai hari ke-4 pada cool box B yaitu 4,88 N, 5,12 N, 3,07 N, dan 5,18 N. Pada cool box C yaitu 5,48 N, 4,75 N, 5,63 N, dan 4,51 N. Perubahan berat pada kedua penyimpanan fluktuatif dan cenderung berkurang. Perubahan berat hari ke-0 sampai hari ke-4 pada cool box B yaitu -5,58 %, 2,97 %, -4,08 %, dan -1,25 %. Sedangkan pada cool box C yaitu -0,53 %, -7,26 %, 0,30 %, dan 3,04 %. Cool box B memerlukan biaya es Rp 7.590,00 selama 4 hari penyimpanan, untuk 1 kg ikan biayanya Rp 3.264,52. Pada cool box C memerlukan biaya es Rp 15.855,00 selama 4 hari penyimpanan, untuk 1 kg ikan biayanya Rp 6.181,29. Penyimpanan yang direkomendasikan adalah cool box B (1:1) karena mutunya lebih baik dan biayanya lebih rendah. Hasil penelitian selanjutnya akan dipergunakan untuk evaluasi dan edukasi penanganan ikan yang baik (GMP) dan minimasi kerugian (loses) di tingkat pedagang kawasan pesisir pantai selatan Yogyakarta. Kata kunci : Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis), Kadar Air, Kotak Pendingin (Cool Box), Perubahan Berat, Tekstur PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki banyak perairan yang merupakan tempat penghasil ikan. Hasil perikanan di Indonesia mempunyai ciri-ciri produksinya bersifat musiman, skala usaha kecil menengah, daerah produksi terpencil, bersifat mudah rusak, serta kualitas dan kuantitasnya yang selalu berubah. Ikan dikenal sebagai bahan pangan yang sangat mudah mengalami kerusakan atau kebusukan (highly perisable), lebih-lebih pada iklim tropis di Indonesia. Kondisi atau keadaan penanganan ikan sangat berpengaruh kepada harga ikan demikian juga nilai gizinya (Rangkuti, 1994). Kemunduran mutu ikan biasanya ditandai dengan hilangnya bau segar yang berubah menjadi bau busuk, kerusakan fisik seperti pada tekstur, insang, permukaan kulit dan mata, maupun perubahan penurunan kandungan nutrisinya. Ikan yang banyak digemari dan dipesan di daerah Bantul adalah cakalang (Katsuwonus pelamis). Ikan ini dimina karena komoditasnya banyak, mudah ditangkap, dan harganya relatif murah dibandingkan produk seafood lainnya. Harga cakalang mencapai kisaran 15.000/kilogram, selalu berubah tergantung hasil tangkapan. Ikan cakalang segar diperoleh dari daerah Semarang. Menurut Departemen Kelautan dan Perikanan (2007), dari total produksi penangkapan di laut yang mencapai
4,73 juta ton pada tahun 2007, ikan layang dan cakalang merupakan jenis terbesar yang dihasilkan yaitu sebesar 7,22 dan 7,12 persen dari total produksi tangkap. Produksi tuna, cakalang dan tongkol nasional pada tahun 2007 jumlahnya mencapai 888 ribu ton dengan nilai Rp. 7,6 milyar dan mengalami peningkatan pertahun sebesar 7,7 persen dalam volume atau 18,11 persen dalam nilai sejak tahun 2002. Penelitian tentang ikan cakalang masih belum banyak dilakukan. Oleh karena cukup banyaknya minat pembeli untuk mengonsumsi ikan cakalang dan ketersediaan ikan cakalang yang lebih mudah diperoleh, maka ikan cakalang digunakan sebagai obyek pada penelitian ini. Proses penanganan ikan dengan pendinginan merupakan metode yang paling efektif serta banyak dilakukan. Penggunaan es untuk mendinginkan ikan telah dianggap sebagai metode paling efektif untuk mempertahankan kesegaran ikan, selain itu juga tidak menimbulkan perubahan fisik pada ikan (Ilyas, 1983). Pemberian es juga harus sesuai dengan kondisi ikan. Selama ini perlakuan yang dilakukan di warung makan dan tempat penjualan ikan belum menggunakan patokan atau standar, yang penting pemakaian es banyak dan menutupi seluruh bagian ikan. Padahal kecukupan pemberian es merupakan hal yang penting untuk mempertahankan kesegaran ikan. Pemberian es yang kurang maupun berlebihan akan merusak tekstur dan menyebabkan kebusukan pada ikan. Penelitian dilakukan untuk mengetahui kemunduran mutu ikan cakalang berdasarkan parameter fisik yaitu kadar air, tekstur, dan perubahan beratnya serta mengevaluasi perbandingan jumlah es yang optimal agar umur simpan, kualitas, dan kesegaran ikan tetap terjaga. METODE PENELITIAN Alat : a. Termometer Fluke, Food Pro Plus Termometer untuk mengukur suhu ikan. b. RH-meter, Lutron HT - 3006 A untuk mengukur RH dalam cool box. c. Cool box Styrofoam, es batu halus (slush ice), termometer alkohol, dan malam (wax) sebagai seperangkat tempat penyimpanan ikan. d. Universal Testing Machine merk Zwick tipe DO-FB0.5TS untuk pengujian tekstur ikan. e. Drying Oven merk Sanyo Model MoV – 112 effective capacity 97, botol timbang, eksikator, dan neraca Ohauss untuk analisis kadar air. f. Gelas ukur untuk mengukur es yang mencair. g. Timbangan es : Mitseda, capacity 3 kg x 20 g. h. Timbangan ikan : Lion Star, capacity 3 kg x 10 g. i. Pisau dan telenan. Bahan : Ikan cakalang segar. Teknik Pengerjaan Sampel Sampel (100 - 200 g) ditimbang kemudian diberi label. Penyimpanan dilakukan menggunakan cool box stryrofoam selama 4 hari dengan perlakuan A (sebagai kontrol), B (ikan : es = 1 : 1), dan C (ikan : es = 1 : 2). Percobaan dilakukan dengan 3 kali ulangan. Kandungan kadar air, tekstur, dan perubahan berat dianalisis setiap hari sekali selama 4 hari. Variabel Penelitian Variabel yang diteliti adalah kemunduran mutu ikan cakalang berdasarkan parameter fisik yaitu kadar air (%), tekstur (N), dan perubahan berat (%). Kadar Air Pengukuran kadar air dilakukan dengan metode pengeringan menggunakan oven (termogravimetri). Persentase kadar air dihitung menggunakan rumus : ' B S B S % KA B S B
dengan :
x 100 %
Seminar Nasional : Reformasi Pertanian Terintegrasi Menuju Kedaulatan Pangan
B = berat botol kosong (B+S) = berat botol timbang + sampel (B+S)’ = berat botol timbang + sampel setelah dikeringkan Tekstur Pengujian tekstur (uji tusuk atau puncture test) menggunakan alat Universal Testing Machine (UTM). Perubahan Berat Persentase susut berat dihitung menggunakan rumus :
% perubahan berat
A- B x100 % A
Keterangan : A = berat sebelum penyimpanan (g) B = berat sesudah penyimpanan (g) (Rahmawati, 2009). Analisis Data Data hasil percobaan dianalisis menggunakan uji t-berpasangan yang menunjukkan perbedaan nyata dengan taraf kepercayaan 5 %.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Kadar Air
Gambar 1. Grafik Rata-Rata Perubahan Kadar Air Ikan Cakalang Gambar 1 menunjukkan bahwa kadar air pada perlakuan cool box A (kontrol) mengalami kenaikan pada hari ke-0 sebesar 74,56 % naik menjadi 75,65 % pada hari ke-1. Begitu pula kadar air baik dari penyimpanan cool box B dan cool box C dari hari ke-0 sampai hari ke-4 menunjukkan adanya kenaikan. Kadar air awal (hari ke-0) pada cool box B sebesar 74,96 %, hari ke-1 sebesar 75,91 %, hari ke-2 sebesar 75,95 %, hari ke-3 sebesar 77,50 %, dan hari ke-4 sebesar 77,08 %. Sedangkan pada cool box C kadar air pada hari ke-0 sebesar 74,38 %, 75,58 % pada hari ke-1, 77,19 % pada hari ke-2, 78,27 % pada hari ke-3, dan 79,09 % pada hari ke-4. Kadar air ikan cakalang mengalami kenaikan, hal ini berhubungan dengan tekstur ikan cakalang yang mengalami pelunakan sehingga kandungan partikel cair meningkat. Selain itu tingginya kadar air dipengaruhi oleh kelembaban lingkungan. Kelembaban rendah akan mempercepat penurunan kadar air akibat penguapan uap air (dehidrasi). Sementara kelembaban tinggi memperlambat penguapan, tetapi bila diikuti suhu tinggi akan mendorong tumbuhnya bakteri dan jamur. Oleh karena itu, kelembaban yang tinggi dan suhu yang rendah adalah kondisi ideal untuk penyimpanan ikan cakalang (Efrianto, 2011).
Selama pendinginan, kadar air daging ikan akan berkurang. Penurunan kadar air tersebut disebabkan karena adanya peristiwa desikasi, yaitu penguapan air pada suhu rendah, dan adanya peristiwa penetesan (drip) cairan sel selama pelelehan. Pada ikan yang dilapisi es pengurangan kandungan airnya sedikit disebabkan karena peristiwa desikasi dari jaringan ikan tidak dapat berlangsung sebelum lapisan es yang ada pada permukaan tubuh ikan menguap atau mencair semua. Tingginya penguapan air selama pendinginan tergantung pada beberapa hal, antara lain besar kecilnya ikan, tipe pengepakan, macam bahan pengepak, kelembaban ruang penyimpan, dan suhu bahan pendingin (Hadiwiyoto, 1993). Kadar air merupakan salah satu sifat fisik ikan cakalang yang dapat dijadikan parameter kualitas. Kadar air diukur dengan metode termogravimetri. Setelah data kadar air diperoleh, selanjutnya dilakukan pengujian statistik dengan uji t-berpasangan. Uji ini dilakukan terhadap dua sampel yang berpasangan (paired sample). Sampel yang berpasangan diartikan sebagai sebuah sampel dengan subjek yang sama, namun mengalami dua perlakuan atau pengukuran yang berbeda, seperti untuk mengetahui beda nyata antara kadar air dari masing-masing perlakuan. Apabila nilai thitung lebih besar dari nilai ttabel maka variabel terikat berbeda nyata untuk masing-masing variabel bebasnya. Nilai ttabel diperoleh dengan melihat pada tabel t0,05. Dan apabila nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05, maka variabel terikat berbeda nyata untuk masing-masing variabel bebasnya. Pengujian dilakukan dengan tingkat kepercayaan 95 %. Variabel bebas dalam pengujian ini adalah ikan cakalang perlakuan cool box B dan ikan cakalang perlakuan cool box C. Setelah data kadar air diperoleh, selanjutnya dilakukan pengujian statistik dengan uji tberpasangan. Berdasarkan hasil analisis uji t-berpasangan, didapatkan nilat thitung sebesar 159,896. Sedangkan dari tabel t(0,05;9) didapatkan nilai t 1,833. Karena nilai t hitung lebih besar dari nilai t tabel maka kadar air berbeda nyata untuk masing-masing variabel bebasnya. Nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05, juga menandakan kadar air berbeda nyata untuk masing-masing variabel bebasnya. Kenaikan kadar air pada ikan berjalan seiring dengan terjadinya proses deteriorasi. Pada ikan yang disimpan dalam suhu dingin, kemampuan otot dalam menahan air dalam jaringan akan menurun sehingga air mudah terlepas dalam jaringan. Menurut Cepeda et all (1990) dalam Hultmann & Rustad (2002), penurunan kemampuan otot ini diawali dengan terjadinya proses hidrolisis berbagai macam protein dalam jaringan oleh enzim protease yang pada akhirnya menyebabkan tekstur ikan pada akhir penyimpanan menjadi lebih lembek atau tidak elastis. Tekstur
Gambar 2. Grafik Rata-Rata Perubahan Tekstur Ikan Cakalang Gambar 2 menunjukkan bahwa tekstur ikan mengalami perubahan selama penyimpanan. Pada perlakuan kontrol (A), ikan hanya bertahan kurang dari 24 jam dan mengalami penurunan tesktur pada hari ke-0 sebesar 5,32 N menjadi 1,87 N pada hari ke-1. Pengujian pada variabel kontrol tidak dilakukan hingga penyimpanan hari terakhir karena kondisinya sudah tidak layak, terutama bau busuknya menyengat, keluar lendir, dan dikerumuni banyak lalat. Bau tidak sedap disebabkan karena aktivitas mikrobia yang menguraikan komponen protein daging ikan cakalang menjadi senyawasenyawa sederhana seperti amonia, indol, peripidin, dan grup amin lainnya yang berbau tidak enak.
Seminar Nasional : Reformasi Pertanian Terintegrasi Menuju Kedaulatan Pangan
Semakin tinggi nilai N (gaya yang dibutuhkan untuk menusuk ikan cakalang) maka tekstur yang dimiliki ikan semakin keras atau kompak. Nilai tekstur pada perlakuan penyimpanan cool box B hari ke-0 adalah 4,88 N, pada hari ke-1 naik menjadi 5,12 N, pada hari ke-3 mengalami penurunan menjadi 3,07 N, dan pada hari terakhir tekstur mengeras lagi menjadi 5,18 N. Sedangkan nilai tekstur pada perlakuan penyimpanan cool box C pada hari ke-0 sebesar 5,48 N, menurun pada hari ke-1 menjadi 4,75 N, pada hari ke-3 menurun menjadi 5,63 N, dan pada hari terakhir sebesar 4,51 N. Hasil pengujian menunjukkan bahwa dari hari ke-0 sampai hari ke-4 tekstur ikan mengalami pelunakan (penurunan nilai N) dan kehilangan kekompakannya. Kelunakan atau kehilangan kelenturan daging ini disebabkan terjadinya aktomiosin sebagai hasil interaksi protein aktin dan myosin. Perubahan tekstur juga dapat disebabkan oleh kerusakan struktur jaringan daging ikan. Kerusakan jaringan ikan dapat menyebabkan daging kehilangan sifat kelenturannya dan kelihatan menjadi lunak. Kerusakan jaringan ikan disebabkan oleh perubahan biokimia dan aktivitas mikrobia sehingga tidak ada kekuatan untuk menopang struktur daging dengan kompak. Tekstur merupakan parameter kualitas mutu yang umumnya dipengaruhi oleh kadar cairan. Pengukuran tekstur ikan cakalang dilakukan dengan menggunakan Universal Testing Machine (UTM). Pengukuran tekstur dilakukan dengan menusuk produk tersebut (puncture test) sehingga diketahui besar gaya (N) yang diperlukan untuk mendorong pukulan atau probe ke dalam ikan. Setelah data tekstur diperoleh, selanjutnya dilakukan pengujian statistik dengan uji tberpasangan. Berdasarkan hasil analisis uji t-berpasangan, didapatkan nilat thitung sebesar 7,208. Sedangkan dari tabel t(0,05;9) didapatkan nilai t 1,833. Karena nilai thitung lebih besar dari nilai ttabel maka tekstur berbeda nyata untuk masing-masing variabel bebasnya. Nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05, juga menandakan tekstur berbeda nyata untuk masing-masing variabel bebasnya. Hasil pengujian menunjukkan bahwa dari hari ke-0 sampai hari ke-4 tekstur ikan mengalami pelunakan dan kehilangan kekompakannya. Kelunakan atau kehilangan kelenturan daging ini disebabkan terjadinya aktomiosin sebagai hasil interaksi protein aktin dan myosin. Perubahan tekstur juga dapat disebabkan oleh kerusakan struktur jaringan daging ikan. Kerusakan jaringan ikan dapat menyebabkan daging kehilangan sifat kelenturannya dan kelihatan menjadi lunak. Kerusakan jaringan ikan disebabkan oleh perubahan biokimia dan aktivitas mikrobia sehingga tidak ada kekuatan untuk menopang struktur daging dengan kompak. Perubahan Berat
Gambar 3. Grafik Rata-Rata Perubahan Berat Ikan Cakalang Gambar 3 menunjukkan bahwa berat ikan mengalami perubahan selama penyimpanan. Pada perlakuan penyimpanan cool box A (kontrol) berat berkurang sebesar 9,38 % pada hari ke-1. Pada perlakuan penyimpanan cool box B hari ke-1 berat berkurang sebesar 5,58 %, selanjutnya hari ke-2 beratnya justru bertambah sebesar 2,97 %, hari ke-3 beratnya berkurang 4,08 %, dan hari terakhir beratnya berkurang sebesar 1,25 %. Sedangkan pada perlakuan penyimpanan cool box C nilai berat pada hari ke-1 berkurang sebesar 0,53 %, pada hari ke-2 berkurang sebesar 7,26 %, pada hari ke-3 bertambah sebesar 0,30 %, dan pada hari terakhir beratnya bertambah sebesar 3,04 %. Berdasarkan hasil pengujian, maka penyimpanan ikan cakalang menggunakan cool box B lebih direkomendasikan karena jumlah persen pengurangan beratnya lebih stabil daripada penyimpanan pada cool box C.
Perubahan berat yang cenderung stabil pada cool box B menandakan bahwa komposisi ikan masih baik. Daging ikan segar semula sangat kompak. Kerusakan protein dan senyawa-senyawa lainnya dapat menyebabkan daging ikan menjadi lebih berair. Salah satu penyebab perubahan berat adalah banyaknya cairan daging yang dikeluarkan dari jaringan daging ikan tersebut. Hal ini disebabkan karena protein dapat menyebabkan terlepasnya ikatan-ikatan airnya, sehingga air bebas menjadi lebih banyak dan dapat keluar dari jaringan daging berupa tetes-tetes air. Keluarnya air ini dapat membawa zat-zat makanan yang terlarut di dalamnya misalnya protein-protein albumin, garam-garam mineral, dan vitamin-vitamin. Daging ikan menjadi basah oleh air dan oleh karena itu berat daging ikan pun mengalami penurunan. Parameter kualitas yang ketiga adalah perubahan berat. Secara umum produk akan mengalami penyusutan pada saat penyimpanan. Menurut Efrianto (2011), faktor yang dapat mempengaruhi penyusutan adalah suhu lingkungan dan kepadatan wadah. Setelah data perubahan berat diperoleh, selanjutnya dilakukan pengujian statistik dengan uji t-berpasangan. Berdasarkan hasil analisis uji t-berpasangan, didapatkan nilat thitung sebesar 93,827. Sedangkan dari tabel t(0,05;9) didapatkan nilai t 1,833. Karena nilai thitung lebih besar dari nilai ttabel maka perubahan berat berbeda nyata untuk masing-masing variabel bebasnya. Nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05, juga menandakan perubahan berat berbeda nyata untuk masing-masing variabel bebasnya. Daging ikan segar semula sangat kompak. Kerusakan protein dan senyawa-senyawa lainnya dapat menyebabkan daging ikan menjadi lebih berair. Banyak cairan daging yang dikeluarkan dari jaringan daging ikan. Hal ini disebabkan karena protein dapat menyebabkan terlepasnya ikatan-ikatan airnya, sehingga air bebas menjadi lebih banyak dan dapat keluar dari jaringan daging berupa tetestetes air. Keluarnya air ini dapat membawa zat-zat makanan yang terlarut di dalamnya misalnya protein-protein albumin, garam-garam mineral, dan vitamin-vitamin. Daging ikan menjadi basah oleh air dan oleh karena itu berat daging ikan pun mengalami penurunan. Biaya
Gambar 4. Total Pengeluaran Biaya Penggunaan Es Batu Jumlah uang yang digunakan untuk penggunaan es batu halus pada penyimpanan cool box C lebih mahal daripada penyimpanan cool box B. Penyimpanan Cool box B menghabiskan biaya es batu halus sebesar Rp 7.590,00 selama 4 hari penyimpanan, sehingga untuk 1 kg ikan membutuhkan biaya penggunaan es batu halus sebesar Rp 3.264,52. Sedangkan penyimpanan cool box C lebih boros yaitu menghabiskan biaya sebesar Rp 15.855,00 selama 4 hari penyimpanan, sehingga untuk 1 kg ikan membutuhkan biaya penggunaan es batu halus sebesar Rp 6.181,29. Hal ini dikarenakan perbandingan es yang digunakan pada penyimpanan cool box C lebih banyak. Dari segi biaya, penggunaan es dengan perbandingan cool box B (1:1) lebih rendah diterapkan. KESIMPULAN 1. Kemunduran mutu ikan cakalang secara fisik pada cool box A (kontrol), cool box B (1:1), dan cool box C (1:2) selama penyimpanan 4 hari adalah sebagai berikut : a. Kadar Air
Seminar Nasional : Reformasi Pertanian Terintegrasi Menuju Kedaulatan Pangan
Kadar air pada penyimpanan cool box A, cool box B dan cool box C dari hari ke-0 sampai hari ke-4 menunjukkan kenaikan kadar air. b. Tekstur Tekstur pada penyimpanan cool box A, cool box B dan cool box C dari hari ke-0 sampai hari ke-4 fluktuatif dan cenderung mengalami penurunan tekstur. c. Perubahan Berat Perubahan berat pada penyimpanan cool box A, cool box B dan cool box C dari hari ke-0 sampai hari ke-4 fluktuatif dan cenderung mengalami penurunan berat. 2. Berdasarkan pertimbangan parameter fisik, kestabilan suhu, dan biaya yang dikeluarkan, penyimpanan ikan cakalang yang lebih direkomendasikan adalah menggunakan perlakuan cool box B (ikan:es 1:1) karena nilai kadar air dan perubahan beratnya lebih stabil, dan biaya yang dikeluarkan dalam penggunaan es batu halus lebih rendah yaitu sebesar Rp 7.590,00 selama 4 hari penyimpanan, sehingga untuk 1 kg ikan membutuhkan biaya penggunaan es batu halus sebesar Rp 3.264,52. 3. Hasil ini selanjutnya akan dipergunakan untuk melakukan evaluasi tata cara penanganan ikan segar (GMP dan pengurangan kerugian/loses) dan resiko kerugian yang lebih banyak kepada para pelaku usaha di pesisir pantai selatan D.I.Yogyakarta. DAFTAR PUSTAKA Departemen Kelautan dan Perikanan. 2007. Analisis Data Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Efrianto. 2011. Fisheries World. http://eafrianto.wordpress.com/2010/01/27/susut-bobot/. [Diakses pada 14 Februari 2011] Hadiwiyoto S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan Jilid 1. Liberty. Yogyakarta. Hultmann L. &T Rustad, T. 2002. Textural Changes during Iced Storage of Salmon (Salmo salar) and Cod (Gadus morhua). Journal of Aquatic Food Product Technology. The Haworth Press Inc, 105 pp. Ilyas S. 1983. Teknologi Refrigerasi Hasil Perikanan Jilid 1 - Teknik Pendinginan Ikan. CV Paripurna. Jakarta. Rahmawati R dkk. 2009. Pengaruh Suhu dan Lama Penyimpanan terhadap Kandungan Vitamin C pada Cabai Rawit Putih (Capsicum frustescens). Jurnal Biologi Volume XIII No.2 Desember 2009. Jurusan Biologi Fakultas MIPA, Universitas Udayana. Bali. Rangkuti HE. 1994. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Nelayan. IPB. Bogor.