Vol. 1, No. 6 Mei 2013
Diterbitkan oleh Pusat Studi Hukum Militer Sekolah Tinggi Hukum Militer Penanggungjawab Ketua Sekolah Tinggi Hukum Militer Kolonel Chk Joko Purnomo, S.H., M.H. Dewan Redaksi Kehormatan Direktur Hukum Angkatan Darat Prof. Dr. H. Priyatna Abdurrasyid, S.H., Ph.D. Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LLM., Ph.D. Prof. Dr. Agusddin Aminoedin, S.H. Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H. Pemimpin Redaksi Kolonel Chk Haning Satyagraha, S.H., M.H. Sekretaris Redaksi Mayor Chk Sutrisno, S.H. Kapten Chk Masyar Sa’adi, S.H., M.H. Anggota Redaksi Letkol Chk (K) Dr. Susiani, S.H., M.H. Letkol Chk Agustinus PH., S.H., M.H. Mayor Chk Untung Pramono, S.H., MT. Fotografer Sertu Lovi Darman Desain Grafis Sertu Hendro Eko Witanto Tim Editing Sertu Ikhwan Nizar Serda Ralf Hansang PNS Kusgiyanto
Alamat Redaksi Pusat Studi Hukum Militer Sekolah Tinggi Hukum Militer Jl. Matraman Raya No. 126, Jakarta Timur Telepon 021-85904737 e-mail :
[email protected] Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
PENGANTAR REDAKSI
P
enguasaan Tanah Negara oleh TNI sebagai tema utama dalam Jurnal Hukum Militer edisi ini, merupakan persoalan urgen yang perlu penanganan secara konfrehensif. Banyaknya persoalan yang menyangkut aset TNI khususnya di bidang pertanahan, hingga saat ini masih menjadi polemik yang tak kunjung selesai. Negara sebagai organisasi kekuasaan yang ada di Indonesia berwenang mengatur kepemilikan, peruntukan, peralihan dan pendaftaran hak atas tanah. Hak negara untuk mengatur inilah disebut sebagai “Hak Menguasai Negara” sebagaiman diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Disamping artikel utama yang merupakan tema sentral, Jurnal Hukum Militer edisi ini juga memuat artikel lepas tentang Terorisme Sebagai Ancaman Terhadap Keutuhan NKRI, Hakim Pemeriksa Pendahuluan Telaah Konsep RUU Hukum Acara Pidana, dan masalah Ketidaktertiban Hukum Nasional Dalam Kebijakan Legislasi Pasca reformasi. Akhir kata, Redaksi mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca, agar penerbitan berikutnya dari Jurnal Hukum Militer ini, dapat lebih baik. Jakarta,
Mei 2013
Redaksi
Jurnal Hukum Militer terbit setiap enam bulan I
DAFTAR ISI zz Sambutan Ketua STHM .............................................................................................iii zz Sekilas STHM ............................................................................................................ iv zz Penguasaan Tanah Negara Oleh Kemhan/TNI Oleh: Brigjen TNI Nurhajizah, S.H., M.H. .................................................................... 1 zz Aspek Hukum Pengelolaan Tanah Aset TNI Oleh: Kolonel Chk Dwi Jaka Susanta, S.H, M.H ......................................................... 8 zz Pengamanan Aset Tanah TNI Dari Penguasaan Liar Oleh: Letkol Chk Maryono, S.H., M.H. ...................................................................... 16 zz Terorisme Sebagai Ancaman Terhadap Keutuhan NKRI Oleh: Jenderal TNI (Purn) DR. Ir. H. AM. Hendropriyono, S.E., S.H., M.H. .............. 21 zz Hakim Pemeriksa Pendahuluan Telaah Konsep RUU Hukum Acara Pidana Oleh: Letkol Chk Agustinus PH., S.H., M.H. ............................................................. 27 zz Ketidaktertiban Hukum Nasional Dalam Kebijakan Legislasi Pasca Reformasi Oleh: Prastopo, S.H., M.H. ........................................................................................ 38 zz Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah .............................................. 50 zz Berita Dalam Gambar .............................................................................................. 93
II
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
DIREKTORAT HUKUM ANGKATAN DARAT SEKOLAH TINGGI HUKUM MILITER
SAMBUTAN KETUA SEKOLAH TINGGI HUKUM MILITER “AHM-PTHM”
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Pada awal Tahun 2013, Sekolah Tinggi Hukum Militer “AHM-PTHM” melalui Jurnal Hukum Militer mengetengahkan bahasan yang diangkat dalam artikel utama dengan tema Penguasaan Tanah Negara oleh TNI. Hingga saat ini berdasarkan inventarisasi terhadap tanah milik TNI dan Kementrian Pertahanan yang secara keseluruhan mencapi kurang lebih 3,6 juta hektar, tercatat baru sekitar 371 ribu meter persegi atau sekitar 10 persen dari keseluruhan luas tanah yang bersertifikat. Disamping itu TNI juga masih dihadapkan dengan berbagai persoalan sengketa dengan masyarakat umum terkait status hak kepemilikan atas tanah. Banyaknya gugatan dari warga masyarakat atau pihak-pihak lain tersebut sering dikenal dengan sengketa/konflik tanah, yakni sengketa/konflik yang membenturkan antara TNI dengan rakyat. Sengketa konflik ini cukup rumit dan kompleks. Oleh karena itu beberapa pemikiran yang konstruktif terkait dengan pokok bahasan, telah digagas dan disampaikan oleh penulis dalam beberapa artikel yang termuat di dalam jurnal ini, diharapkan dapat memberikan gambaran dan pencerahan bagi semua pihak terkait dengan masalah pengelolaan aset TNI khususnya di bidang pertanahan. Saya mengucapkan terima kasih kepada para penulis artikel yang berkenan memberikan kontribusi pemikiran tentang bagaiman sebaiknya pengelolaan aset TNI khususnya di bidang pertanahan agar ke depan lebih baik guna mendukung tugas pokok TNI sebagai alat pertahanan negara. Terima kasih juga saya sampaikan kepada segenap staf redaksi yang telah menyiapkan penerbitan Jurnal Hukum Militer, Vol. 1 No. 6 Tahun 2013 ini. Semoga Jurnal Hukum Militer ini dapat terbit secara berkesinambungan untuk mewadahi pemikiran, gagasan dan diskusi-diskusi ilmiah seputar hukum militer. Sekian dan terima kasih. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Ketua Sekolah Tinggi Hukum Militer
Joko Purnomo, S.H., M.H. Kolonel Chk NRP 32421
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
III
SEKILAS STHM Pendahuluan
Tujuan Pendidikan
Sekolah Tinggi Hukum Militer (“AHM-PTHM”) merupakan unsur pelaksana Direktorat Hukum Angkatan Darat bidang pendidikan hukum tingkat doctoral, yang berkedudukan langsung di bawah Direktorat Hukum Angkatan Darat. Awalnya bernama Sekolah Hukum Militer (SHM). Didirikan pada 5 Juni 1952, SHM berganti nama menjadi Akademi Hukum Militer (AHM) pada 2 Oktober 1953. Karena pada Tahun 1961 keluar peraturan bahwa jenjang Pendidikan Perwira Ahli Hukum harus mencapai tingkat sarjana hukum, Perguruan Tinggi Hukum Militer (PTHM) pun didirikan. Berikutnya, pada 13 Juli 1994, AHM-PTHM disesuaikan menjadi Sekolah Tinggi Hukum Militer (STHM). Program studinya adalah Hukum Pidana/Militer, Hukum Tata Negara, Hukum Internasional dan Hukum Perdata.
Mendidik dan mengembangkan kemampuan Perwira Mahasiswa TNI yang berjiwa Sapta Marga agar memiliki ilmu pengetahuan dan keterampilan di bidang Hukum dan Hukum Militer yang dapat digunakan dalam melaksanakan tugas pada fungsi hukum di lingkungan TNI dan TNI AD.
Sistem Pendidikan
Perwira TNI AD yang memenuhi persyaratan sebagai berikut : a. MDP maksimal 8 tahun b. Usia maksimal 36 tahun c. Lulus seleksi administrasi d. Lulus Diksarcab/setingkat e. Konduite dan prestasi kerja baik f. Berbadan sehat dinyatakan PPBPAD 2 setempat g. Nilai kesegaran jasmani minimal 65 h. Tidak sedang terlibat proses hukum i. Lulus seleksi akademik j. Lulus tes psikologi guna memenuhi persyaratan alih korps (WO) menjadi Korps Hukum (Chk)
Penyelenggaraan pendidikan di STHM “AHM-PTHM” dilakukan berdasarkan sistem satuan kredit semester (SKS), dengan materi pendidikan yang dirancang khusus yang akan memberikan warna khas baik dari segi materi maupun penyelenggaraannya. Materi kurikulum, tenaga pengajar dan sarana pendukung lainnya diarahkan untuk menghasilkan Sarjana Hukum yang dapat mendukung tugas pokok TNI.
IV
Penyelenggaraan Pendidikan Program Sarjana menyelesaikan 144–160 SKS selama 4 tahun (8 semester) dan Program Profesi menyelesaikan 40 SKS selama 1 tahun (2 semester). Biaya pendidikan disesuaikan dengan anggaran yang berlaku di TNI AD.
Persyaratan Peserta
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
PENGUASAAN TANAH NEGARA OLEH KEMHAN/TNI Oleh: Brigjen TNI Nurhajizah, S.H., M.H.
I. Pendahuluan
K
ementerian Pertahanan adalah unsur pelaksana Pemerintah yang dipimpin oleh Menteri Pertahanan yang berkedudukan dibawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kementerian Pertahanan mempunyai tugas menyelenggarakan urusan di bidang pertahanan dalam Pemerintahan dan menyelenggarakan fungsi : a. perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang pertahanan; b. pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggungjawab Kementerian Pertahanan; c. pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Pertahanan dan; d. pelaksanaan kegiatan teknis dari pusat sampai ke daerah. Dalam hal penanganan masalah asset khususnya tanah ada 3 (tiga) satuan kerja yang menangani yaitu : a. Biro Hukum Setjen Kemhan, apabila asset tanah tersebut sudah masuk dalam ranah pengadilan/sengketa di pengadilan;
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
b. Direktorat Fasilitas dan Jasa Ditjen Kekuatan Pertahanan Kemhan (Ditfasjas Ditjen Kuathan Kemhan), dengan tugas antara lain penanganan sengketa barang tidak bergerak; c. Badan Sarana Pertahanan Kemhan Direktur Pusat Barang Milik Negara (Baranahan Kemhan) bertugas menyiapkan dan melaksanakan penggunaan, pemanfaatan, penghapusan, pemindahtanganan, pembinaan, dan pengendalian serta pengamanan dan pemeliharaan BMN di lingkungan Kementerian Pertahanan dan TNI. Konflik tanah banyak yang melibatkan warga dan TNI, penyebabnya adalah tidak adanya bukti kepemilikan atau sertipikat tanah di wilayah konflik tersebut, dari sekitar 3,6 juta hektar tanah TNI, yang bersertipikat baru sepuluh persen. Artinya, hampir tiga juta hektar tanah yang dimiliki TNI belum bersertipikat. Sisanya tanah milik TNI yang belum bersertipikat itu, masih diinventarisir guna percepatan hak miliknya. Terutama lahan yang berpotensi konflik dan sengketa dengan masyarakat.
1
Penguasaan Tanah Negara Oleh Kemhan/TNI Oleh: Brigjen TNI Nurhajizah, S.H., M.H.
Karena banyak aset TNI yang bermasalah dengan bukti kepemilikan akibatnya masyarakat sering menggugat di pengadilan. Upaya sertipikasi ini harus dilakukan untuk melindungi asset milik negara itu dari gugatan masyarakat. Dalam undang-undang tentang peraturan dasar Pokok-pokok Agraria dinyatakan “Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa Bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan Nasional”(pasal 1 ayat 2 UU No.5 Tahun 1960). Negara sebagai Organisasi kekuasaan yang ada di Indonesia berwenang mengatur kepemilikan, peruntukan, peralihan dan pendaftaran atas hak bangsa Indonesia tersebut. Hak negara untuk mengatur inilah disebut sebagai “Hak Menguasai Negara” sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UUPA. Apabila tidak ada pengaturan dari negara, peruntukan dan kepemilikan tanah menjadi kacau. Setiap orang cenderung ingin memiliki tanah yang lebih besar dan lebih luas. Tanpa adanya hak dari negara untuk mengatur peruntukan dan kepemilikan tanah, setiap orang pasti akan berlomba-lomba untuk memiliki lebih banyak tanah yang ada. II. Dasar Hukum a. Landasan Filosofis. UUD 45 Pasal 33 ayat (3) “Bumi dan air dan Kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat”. b. Landasan Operasional 1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) a) Pasal 2 Ayat (1) dan (2) b) Pasal 4 ayat (1) 2) Berdasarkan Stbl.1911 No.110 tentang Penguasaan benda-benda tidak bergerak, gedung-gedung, dll. Jika instansi pemerintah menguasai tanah negara, dipelihara dengan anggaran belanjanya maka tanah tersebut menjadi
2
aset instansi yang bersangkutan. 3) Berdasarkan PP No. 8 Tahun 1953 tentang Penguasaan tanah-tanah negara. Pasal “ 2 ” Kecuali jika penguasaan atas tanah negara dengan UU atau peraturan lain pada waktu berlakunya PP Ini telah diserahkan kepada suatu kementerian, jawatan atau daerah swatantra, maka penguasaan atas tanah negara ada pada Menteri Dalam Negeri. 4) Surat Keputusan Angkatan Perang No. 023/P/KSAP/ tanggal 25 Mei 1950 yang menyatakan: “Lapangan-lapangan terbang serta bangunan-bangunan yang termasuk lapangan, dan alat-alat yang berada di lapangan-lapangan tersebut menjadi milik Angkatan Udara Republik Indonesia” 5) Surat Edaran Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia tanggal 9 Mei 1950 No. H/20/5/7 yang menyatakan antara lain: “Sebidang tanah diambil untuk keperluan mendirikan bangunan negeri (kantor, sekolah dsb). Bangunan tersebut telah didirikan, dan hingga kini masih dipakai untuk kepentingan negeri dalam hal ini pengembalian hak tak mungkin, karena kepentingan negara.” III. Macam-macam Perolehan Tanah Kemhan/ TNI a. Eks Peninggalan Pemerintah Belanda (KNIL BELANDA) Berdasarkan UU No. 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi perusahaan milik Belanda. Konversi hak barat erfpacht, eigendom verponding, nasionalisasi perusahaan milik Belanda. b. Eks Peninggalan Pemerintah Jepang (DAI NIPPON) Penguasaan tanah secara historis Bala Tentara Jepang proses ganti rugi berdasarkan : 1) SE Mendagri No. H.20/5/7 tanggal 9 Mei 1950 tentang Penyelesaian tanah-tanah
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Penguasaan Tanah Negara Oleh Kemhan/TNI Oleh: Brigjen TNI Nurhajizah, S.H., M.H.
yang dahulu diambil oleh pemerintahan pendudukan Jepang (Dai Nippon) 2) SE Mendagri No. Agr.40/25/13 tanggal 13 Mei 1953 tentang Penyelesaian tentang tanah-tanah yang dahulu diambil oleh pemerintahan pendudukan Jepang . 3) SE Mendagri No. 593/111/Agr tanggal 7 Januari 1983 tentang Penyelesaian tanah rakyat yang diambil pemerintahan Jepang. c. Pembelian/pengadaan/pengalihan hak atas tanah perorangan (hm, hgb, hp & garapan), perusahaan (hgu, hgb, hpl), hak ulayat dll. 1) Berdasarkan Bijblad No.11372 Jo. No. 12476 tentang Pembelian tanah oleh pemerintah. 2) Berdasarkan Permendagri No.15 Tahun 1975 tentang Ketentuan-ketentuan mengenai tata cara pembebasan tanah. 3) Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum berdasarkan Keppres No. 55 Tahun 1993 Jo. Peraturan Kepala BPN No. 1 Tahun 1994, Perpres No. 36 Tahun 2005, Perpres No.65 TAHUN 2006, Peraturan KBPN RI No. 3 Th 2007. 4) Berdasarkan pelepasan hak secara cuma-cuma oleh pemiliknya HIBAH. 5) Tukar-Menukar dan Pemanfaatan berdasarkan : a) KMK No. 470/KMK.01/1994 tanggal 20 September 1994 tentang Tata cara penghapusan dan pemanfaatan BM/ KN b) KMK No. 350/KMK.03/1994 tanggal 20 September 1994 tentang Tata cara penghapusan dan pemanfaatan BM/ KN c) Permenkeu No. 96/PMK.06/2007 tanggal 4 September 2007 tentang Tata cara penggunaan, pemanfaatan, penghapusan & pemindah-tanganan BMN. d. Tanah dan Bangunan Eks Asing/Cina. 1) Surat Menkeu No. S-394/ MK.03/1989 tanggal 12 April 1989. 2) Surat Dirjen Matfasjasa Dephankam No.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
B/780-16/ 19/22/DJMFJ tanggal 6 Juli 1990 perihal Gedung dan tanah bekas Sekolah Asing/Cina. 3) Permekeu No. 188/PMK.06/2008 tanggal 20 November 2008. e. Tanah dan/atau bangunan okupasi. 1) UU Nomor 3 PRP. Tahun 1960 tanggal 9 Pebruari 1960 ttg Penguasaan bendabenda tetap milik perseorangan WN Belanda jo. PP Nomor 223 Tahun 1961 tanggal 6 September 1961 tentang Pedoman pelaksanaan Pasal 4 & 5 UU Nomor 3 PRP. Tahun 1960 2) Peraturan Presidium Kabinet Dwikora No. 5/Prk/Tahun 1965 tanggal 22 Desember 1965 tentang Penegasan status rumah/ tanah kepunyaan badan-badan hukum yang ditinggal Direksi/ Pengurusnya jo. Peraturan Dirjen Agraria Nomor 3 Tahun 1968 tanggal 9 April 1968 tentang Pelaksanaan Peraturan Presidium Kabinet Dwikora No. 5/Prk/Tahun 1965 3) Instruksi Pangab No. Inst/02/VI/1982 tangal 8 Juli 1982. 4) ST Kasad No. ST/766/1984 tanggal 23 Juni 1984. 5) Pinjam pakai dan penyewaan. IV. Data-data tanah Kemhan/TNI a. Tanah yang digunakan dan dikuasai Dephan dan TNI sebanyak 12.814 bidang seluas 3.200.898.298,00 m² terdiri atas : 1) Dephan sebanyak 86 bidang seluas 1.043.327,00 m² 2) Mabes TNI sebanyak 156 bidang seluas 6.201.729,00 m² 3) TNI AD sebanyak 9.123 bidang seluas 1.308.401.735,00 m² 4) TNI AL sebanyak 959 bidang seluas 181.095.386 m² 5) TNI AU sebanyak 700 bidang seluas 1.704.156.121 m² b. Tanah Dephan dan TNI yang bersertifikat sebanyak 2.946 bidang seluas 371.075.405,50 m2 terdiri atas : 1) Dephan sebanyak 31 bidang seluas 404.956 m²
3
Penguasaan Tanah Negara Oleh Kemhan/TNI Oleh: Brigjen TNI Nurhajizah, S.H., M.H.
2) Mabes TNI sebanyak 62 bidang seluas 4.781.877 m² 3) TNI AD sebanyak 1.573 bidang seluas 87.323.896 m 4) TNI AL sebanyak 793 bidang seluas 45.273.846,50 m² 5) TNI AU sebanyak 487 bidang seluas 233.290.830 m² c. Tanah Dephan dan TNI yang belum bersertifikat sebanyak 9.954 bidang seluas 2.829.822.892,50 m2 terdiri atas : 1) Dephan sebanyak 55 bidang seluas 638.371 m² 2) Mabes TNI sebanyak 94 bidang seluas 1.419.852 m² 3) TNI AD sebanyak 9.198 bidang seluas 1.221.077.839 m² 4) TNI AL sebanyak 406 bidang seluas 135.821.539,50 m² 5) TNI AU sebanyak 201 bidang seluas 1.470.865.291 m² d. Tanah Dephan dan TNI bermasalah sebanyak 389 bidang seluas 258.379.752 m2 terdiri atas : 1) Dephan sebanyak 1 bidang seluas 11.860 m² 2) Mabes TNI sebanyak 7 bidang seluas 617.887 m² 3) TNI AD sebanyak 311 bidang seluas 123.772.306 m² 4) TNI AL sebanyak 31 bidang seluas 55.276.331 m² 5) TNI AU sebanyak 39 bidang seluas 78.701.368 m² V. Permasalahan a. Mengapa banyak masyarakat atau pihakpihak lain tersebut menggugat penguasaan tanah negara oleh TNI? b. Bagaimana cara mengatasi dalam upaya meredam atau mengurangi gugatan tersebut? VI. Pembahasan a. Banyaknya gugatan dari warga masyarakat atau pihak-pihak lain tersebut sering dikenal
4
dengan sengketa/konflik tanah, yakni sengketa/konflik yang membenturkan antara TNI dengan rakyat. Sengketa konflik ini cukup rumit dan kompleks, saling klaim antara kedua belah pihak dengan bersikeras dalam menunjukkan data dan bukti kepemilikan. Ada beberapa hal yang perlu kita cermati bersama terkait sengketa/konflik tersebut antara lain : 1. R i w a y a t s t a t u s t a n a h y a n g disengketakan, yang sering menunjuk zaman kolonialisme. Riwayat status kepemilikan ini menjadi penting untuk ditelusuri, karena fakta menunjukkan bahwa konflik tanah di Indonesia pada umumnya bernuansa politik dan beragam dimensi dalam kurun waktu berbeda. Hal ini ditandai dengan seringnya kita mendengar argumentasi klasik yang klise yakni TNI menuduh rakyat menjarah dan menduduki tanah yang dikuasai sejak zaman kemerdekaan. Sementara rakyat menuduh balik TNI merampas lahan garapannya. Argumentasi usang ini membawa pada dua kesulitan. Di satu sisi investigasi masa lalu menemui kendala pada persoalan pembuktian, seperti saksi hidup dan bukti-bukti kepemilikan. Apalagi, seiring dengan perjalanan waktu sering dijumpai sertipikat ganda yang mengaburkan status kepemilikan. Berkenaan riwayat status tanah yang disengketakan tersebut, penguasaan dan kepemilikan tanah oleh TNI antara lain berdasarkan pada : a) Surat Keputusan Angkatan Perang No. 023/P/KSAP/ tanggal 25 Mei 1950 yang menyatakan: “Lapangan-lapangan terbang serta bangunan-bangunan yang termasuk lapangan, dan alat-alat yang berada di lapangan-lapangan tersebut menjadi milik Angkatan Udara Republik Indonesia” b) Surat Edaran Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia tanggal 9 Mei 1950 No. H/20/5/7 yang menyatakan antara lain:
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Penguasaan Tanah Negara Oleh Kemhan/TNI Oleh: Brigjen TNI Nurhajizah, S.H., M.H.
“Sebidang tanah diambil untuk keperluan mendirikan bangunan negeri (kantor, sekolah dsb). Bangunan tersebut telah didirikan, dan hingga kini masih dipakai untuk kepentingan negeri dalam hal ini pengembalian hak tak mungkin, karena kepentingan negara.” c) Diperoleh dari penyerahan tentara Belanda (KNIL) tanggal 25 Juli 1950. 2. Banyak kasus terkesan diambangkan dan dibiarkan mereda dengan sendirinya, kasus tersebut sulit diungkap dengan alasan waktu, sumber daya, dan anggaran. Kendati persoalan sengketa tanah antara TNI dan rakyat diakui sebagai potensi konflik rawan dan dapat melecut kekerasan berulang, pemerintah baik di pusat maupun di daerah belum memberikan tanggapan memadai. Padahal, Badan Pertanahan Nasional dan Kementerian Keuangan dianggap kompeten menyelesaikan persoalan rumit ini. Begitu juga anggota Dewan sebagai pengawas, baik di sisi operasionalisasi kebijakan maupun penganggarannya. Koordinasi buruk antara pusat dan daerah dianggap sebagai salah satu kendala. Penetapan status penguasaan berikut peruntukannya bagi instansi pemerintah sangat penting, guna untuk mengetahui peruntukan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi. Banyak kasus di lapangan, penguasaan serta tugas pokok dan fungsi berbeda dengan peruntukannya. Antara lain terdapat beberapa asset TNI yang dipakai untuk outlet-outlet. 3. Hal lain, peristiwa konflik tanah yang melibatkan TNI kerap ditengarai sebagai bagian dari bisnis TNI. Dalam kasus Kebumen ini, misalnya, di tanah yang dikuasai TNI ternyata akan didirikan kawasan pertambangan besi yang dikhawatirkan akan mengeruk, mengeksploitasi, dan merusak lingkungan.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
4. Konflik tanah yang terjadi akhir-akhir ini sejak reformasi bergulir, banyak yang melibatkan antara warga masyarakat dan TNI. Penyebabnya antara lain adalah tidak adanya bukti kepemilikan atau sertipikat tanah di wilayah konflik tanah tersebut. Dari sekitar 3,6 juta Ha tanah TNI, yang bersertipikat baru 10%. Artinya hampir 3 juta Ha tanah yang di kuasai TNI belum bersertipikat. Sisanya tanah yang belum bersertipikat tersebut masih perlu diinventarisir guna percepatan penerbitan sertipikat, terutama lahan yang berpotensi konflik tanah dengan masyarakat. Selanjutnya TNI akan segera melakukan sertipikasi lahan untuk menertibkan lahan-lahan yang dikuasai pihak lain, namun TNI tidak memiliki anggaran untuk melakukan kegiatan sertipikasi tersebut. 5. Sebagian besar permasalahan yang timbul adalah tanah-tanah yang dikuasai dengan cara okupasi. Penguasaan tanah oleh TNI hasil okupasi yang jumlahnya cukup banyak antara lain berasal dari eks Militer Hindia Belanda (KNIL) atau pendudukan tentara Jepang berupa lahan-lahan yang diperuntukkan untuk pertahanan/militer. Penguasaan tanah hasil okupasi juga berasal ketika terjadinya peristiwa G 30 S/PKI dimana pemilik tanah/bangunan yang merupakan anggota PKI melarikan diri, sehingga tanah dan bangunan yang telah ditinggalkan pemiliknya dikuasai TNI sampai dengan sekarang. b. Dalam upaya meredam atau mengurangi gugatan yang dilakukan masyarakat tersebut, ada beberapa hal yang perlu dilakukan antara lain : 1. Inventarisasi Kegiatan inventarisasi bertujuan untuk mengetahui data dan fakta yang terjadi di lapangan dengan maksud agar dapat diketahui kelemahan dan potensi masalah khususnya yang akan memicu gejolak dimasyarakat dan menimbulkan sengketa/ konflik.
5
Penguasaan Tanah Negara Oleh Kemhan/TNI Oleh: Brigjen TNI Nurhajizah, S.H., M.H.
Kemhan selaku pengguna BMN melalui Badan Sarana Pertahanan Kemhan (Baranahan Kemhan) sesuai tugas dan fungsinya perlu mengumpulkan data dan menginventarisasi permasalahan tersebut dengan membangun peta permasalahan di setiap Mabes Angkatan dan Angkatan (untuk skala maksimal disamping sistem informasi yang dibangun sesuai data base yang tersedia). H a s i l k e g i a t a n i n v e n t a r i s a s i tersebut perlu dikoordinasikan dan dikonsultasikan dengan pihak-pihak BPN Pusat/ Daerah, dan Menteri Keuangan dalam pengelolaan BMN bila aset TNI tersebut telah tercatat sebagai BMN guna penanganan/ penyelesaian terhadap aset TNI yang berpotensi menimbulkan konflik tersebut. 2. Forum Komunikasi Forum Komunikasi perlu dilakukan antar instansi terkait yakni antar Mabes Angkatan, Angkatan, Kemhan, BPN Pusat/Daerah dengan Menteri Keuangan dalam suatu termpat yang terpusat, yakni apakah di Biro Hukum Setjen Kemhan, di Baranahan Kemhan atau di Ditfasjas Ditjen Kuathan Kemhan. Banyak agenda kegiatan dalam forum tersebut, antara lain dapat membahas dan membuat program bersama dalam penanganan/ penyelesaian aset TNI yang berpotensi konflik berdasarkan skala prioritas. Dalam forum tersebut diharapkan akan terjadi intraksi untuk melakukan koordinasi, konsultasi, sinkronisasi, fasilitasi dan pendanaan program kegiatan. Dengan demikian apabila forum komunikasi tersebut telah terbentuk, diharapkan dapat memetakan setiap permasalahan aset TNI secara konprehensif, sehingga penanganan/ penyelesaian diharapkan dapat meredam atau mengurangi gugatan masyarakat atau pihak lain. Selain itu dapat memudahkan bagi satuan dalam memberikan jawaban apabila pimpinan menanyakan permasalahan aset TNI
6
yang menimbulkan konflik dimasyarakat. Kementerian Pertahanan telah menandatangani Kesepakatan Bersama dengan Badan Pertanahan Nasional yaitu : a) Kesepakatan Bersama (Memorandum Of Understanding/MoU) antara Departemen Pertahanan RI dengan Badan Pertanahan Nasional RI Nomor: MoU/02/XII/2008 dan Nomor : 9-SKBBPN RI-2008 tanggal 30 Desember 2008 Tentang Pensertipikatan, Penanganan sengketa dan konflik tanah asset Departemen Pertahanan RI / TNI . b) P e rja n j ia n K e rja S a ma ( P K S ) antara Kementerian Pertahanan RI Kepala Badan Sarana Pertahanan dengan Badan Pertanahan Nasional R I D e p u t i B i d a n g H a k Ta n a h dan Pendaftaran Tanah Nomor: PKS/031/I/2011/Baranahan dan Nomor : 1 SKB.300/I/2011 tanggal 6 Januari 2011 tentang Pensertipikatan tanah asset Kementerian Pertahanan RI / TNI. c) Perjanjian Kerja Sama antara Kementerian Pertahanan RI Direktur Jenderal Kekuatan Pertahanan dengan Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan Badan Pertanahan Nasional RI Nomor: PKS/01/I/2011 dan Nomor: 2/SKB-600/I/2011 tanggal 6 Januari 2011 tentang Penanganan dan Penyelesaian Sengketa dan Konflik tanah asset Kementerian Pertahanan RI / TNI. Penyelesaian melalui jalur hukum penyelesaian sengketa tanah, melalui tahapan sebagai berikut : a) Tahap Persiapan, dimulai pada waktu menerima laporan pengaduan, klaim, dan gugatan sengketa tanah, dengan cara : (1) Melakukan penelitian terhadap subyek dan obyek sengketa, diharapkan dari penelitian ini diperoleh data (fisik, yuridis,
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Penguasaan Tanah Negara Oleh Kemhan/TNI Oleh: Brigjen TNI Nurhajizah, S.H., M.H.
administratif yang akurat) (2) Mencegah meluasnya dampak sengketa tanah. (3) Melakukan koordinasi dengan instansi terkait. (4) B erusaha melakukan musyawarah antara para pihak yang bersengketa. (5) Jika tidak terjadi kesepakatan dalam musyawarah dapat menempuh jalur hukum. b) Tahap Penanganan dan penyelesaian sengketa : (1) Identifikasi jenis masalah/sengketa. Proses identifikasi ini sangat penting dan menentukan oleh karena itu hasil identifikasi ini kita akan mengenali masalahnya, sekaligus mengetahui apakah pengaduan/sengketa ini merupakan kompetensi kita atau bukan. (2) Pengumpulan data yuridis, fisik dan administratif. Data yang dihimpun dan dikumpulkan adalah dari data yuridis (bukti-bukti yang menunjukan adanya hubungan hukum antara pelapor dengan obyek tanah), data fisik (yang menyangkut letak dan batas-batas tanah) dan data administratif (dasar apa penguasaan dan kepemilikan itu terjadi). (3) Pengolahan data yuridis, fisik dan administratif. Data-data yang dikumpulkan penting untuk diolah, oleh karena didalam kegiatan ini cukup menentukan lengkap atau kurangnya data yang relevan untuk dikumpulkan. (4) Analisis Masalah. Adalah suatu hal yang paling penting dari seluruh proses kegiatan. Analisa yang benar akan menentukan bobot suatu pengambilan keputusan yang berkwalitas, sebaliknya analisa yang salah hanya akan menimbulkan keputusan yang menyesatkan, bahkan akan menimbulkan sengketa dan masalah baru. (5) Saran Pendapat Hukum Usulan penyelesaian bahwa sengketa
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
tanah tersebut dapat diselesaikan melalui pengadilan atau diluar pengadilan. c) Tahap Berperkara di Pengadilan yaitu : (1) Pembuatan Surat Kuasa (2) Jawaban (3) Replik/Duplik (4) Pembuktian (5) Kesimpulan; dan (6) Putusan. Bahwa penyelesaian melalui jalur hukum adalah upaya terakhir setelah upaya melalui komunikasi dan perdamaian (mediasi) tidak dapat menyelesaikan permasalahan tersebut. Upaya penyelesaian melalui jalur hukum untuk mendapatkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Biro Hukum Setjen Kemhan antara lain mempunyai tugas penanganan pemberian bantuan hukum yang terkait dengan sengketa di pengadilan. Penanganan yang ditangani oleh Biro Hukum Setjen Kemhan yang terkait dengan asset Kementerian Pertahanan/TNI yang saat ini sedang berjalan sampai tahun 2011 + ada 39 (tiga puluh sembilan) perkara. Untuk biaya bantuan hukum, sesuai dengan Standar Biaya Khusus (SBK) dari Kementerian Keuangan berdasarkan perkara yang diajukan oleh Kemhan/ TNI dan Angkatan. VII. Penutup. Demikian makalah singkat yang dapat kami sampaikan semoga bermanfaat dalam upaya penanganan/penyelesaian asset TNI yang berpotensi menimbulkan konflik di masyarakat.
7
ASPEK HUKUM PENGELOLAAN TANAH ASET TNI Oleh : Kolonel Chk Dwi Jaka Susanta, S.H, M.H
1. Umum
T
anah selain memberikan banyak manfaat namun juga melahirkan masalah lintas sektoral yang mempunyai aspek ekonomi, aspek sosial budaya, aspek politik, aspek pertahanan dan keamanan, dan bahkan aspek hukum. Aspek ekonomi dari tanah menunjukkan bahwa tanah sebagai aset ekonomi memiliki nilai yang tinggi, karena luas tanah tetap sedangkan jumlah manusia yang membutuhkannya semakin bertambah. Tidak hanya orang perorangan, bahkan badan hukum, Instansi Pemerintah, termasuk TNI juga memerlukan tanah. Aspek Sosial Budaya dari tanah harus dilihat dari sudut pandang bahwa sumber hukum Agraria Indonesia adalah Hukum Adat. Sengketa perdata adat mengenai tanah seringkali tidak mudah diselesaikan, apalagi jika tidak dipahami benar tradisi pada masyarakat setempat. Penggunaan tanah juga mempunyai aspek politik. Program pembaharuan Agraria Nasional yang dicanangkan Pemerintah dengan rencana membagi sekitar 25 juta hektar tanah
8
kepada rakyat miskin, merupakan strategi politik pertanahan saat ini, sekaligus menunjukkan dimensi politik atas tanah. Tanah juga mempunyai aspek pertahanan dan keamanan. Pembangunan pangkalanpangkalan militer serta daerah-daerah latihannya memerlukan tanah baik didaerah perkotaan maupun di daerah pedesaan. Sengketa pemilikan dan penguasaan antara TNI dan masyarakat secara faktual ternyata tidak sedikit jumlahnya, dengan latar belakang masalah bahwa secara historis masing-masing pihak merasa berhak atas tanah yang dipersengketakan. Aspek hukum pertanahan, terlihat bahwa Hukum Agraria juga memberikan andil atas lahirnya masalah-masalah pertanahan. Dari sudut formal, tumpang tindih beberapa peraturan perundangan telah melahirkan perebutan kewenangan oleh penguasa, sedangkan dari sudut material atau substansial, tumpang tindih peraturan perundangan itu telah melahirkan perbedaan persepsi oleh beberapa kalangan, yang kesemuanya membawa dampak kepada implementasi peraturan perundangan di lapangan.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Aspek Hukum Pengelolaan Tanah Aset TNI Oleh: Kolonel Chk Dwi Jaka Susanta, S.H, M.H
Masalah pertanahan memang tidak mungkin ditiadakan, namun diharapkan dapat dikurangi bahkan dicegah, termasuk dalam hal ini mengenai masalah yang timbul dari penguasaan tanah oleh TNI, baik tanah-tanah yang benar-benar telah menjadi aset ataupun tanah-tanah yang sesungguhnya belum menjadi aset TNI tetapi diklaim sebagai aset tanah TNI. Tersedianya perangkat lunak pengaturan dan kebijakan yang jelas dan tegas, seperti batasan-batasan pengertian aset TNI, dasar hukum penguasaannya, hak-hak yang dapat dipunyainya, tata cara pengelolaannya dan sebagainya, kiranya akan dapat memberikan ketertiban dan kepastian hukum penguasaan Aset TNI, bahkan untuk memberikan perlindungan hukum bagi pihak lainnya yang pada akhirnya dapat meminimalisir atau mencegah timbulnya masalah-masalah pertanahan.
dalam kondisi siap pakai. Berdasar konsepsi Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Stantdar Akuntansi Pemerintahan, Tanah Aset Departemen Pertahanan/TNI adalah tanah-tanah dalam penguasaan TNI, dengan syarat-syarat: a. Diperoleh dengan maksud untuk dipakai dalam kegiatan operasional TNI dan dalam kondisi siap pakai. Dalam hal ini misalnya, setelah tanah dimatangkan sampai tanah tersebut siap dipakai. b. Adanya bukti penguasaan secara hukum, misalnya Sertifikat Hak Pakai atau Hak Pengelolaan atas nama TNI atau adanya bukti pembayaran dan penguasaan Sertifikat Tanah atas nama pemilik sebelumnya. c. Dapat diukur dengan satauan uang.
2. Istilah Tanah Aset TNI
Sedangkan mengenai status tanahnya dapat berasal dari: a. Tanah Negara: 1) Jika Instansi Pemerintah berdasarkan Staatblad Tahun 1911 Nomor 110 tentang “Penguasaan Benda-Benda Tidak Bergerak, Gedung dan lain-lain Bangunan Milik Negara” kemudian diatur kembali dengan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 tentang “Penguasaan Tanah-Tanah Negara”, menguasai tanah dimaksud sejak zaman Pemerintahan Hindia Belanda sampai saat mulai berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953, maka tanah tersebut berstatus “dalam penguasaan” (In beheer) Instansi Pemerintah yang bersangkutan. 2) Apabila setelah berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 Tanah Negara dikuasai oleh Instansi Pemerintah berdasarkan Surat Keputusan Pemberian Hak yang diterbitkan oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri (Sekarang Kepala Badan Pertanahan Nasional), dalam hal ini Peraturan Menteri Dalam Negeri/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang
Istilah Tanah Aset TNI harus dibedakan dengan Tanah Negara, karena masih ada persepsi yang merancukan keduanya. Istilah Aset dijumpai dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. Pada Lampiran II dari Peraturan Pemerintah tersebut menyatakan bahwa: “Aset adalah sumber daya ekonomi yang dikuasai dan atau dimiliki oleh pemerintah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi dan/atau sosial di masa depan diharapkan dapat diperoleh, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, serta dapat diukur dalam satuan uang”. Selanjutnya menurut Lampiran II dari Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan tersebut, “Tanah merupakan Aset Tetap”, disamping peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi, dan jaringan, aset tetap lainnya dan konstruksi dalam pengerjaan. Tanah yang dikelompokkan sebagai aset tetap ialah tanah yang diperoleh dengan maksud untuk dipakai dalam kegiatan operasional pemerintah (termasuk didalamnya TNI) dan
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
3. Asal-Usul Perolehan Tanah TNI
9
Aspek Hukum Pengelolaan Tanah Aset TNI Oleh: Kolonel Chk Dwi Jaka Susanta, S.H, M.H
Pemberian Hak atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan Serta Pembatalan Hak Atas Tanah. Berdasarkan rumusan Staatblad 1911 Nomor 10 angka III di atas, ternyata terdapat syarat bahwa Instansi Pemerintah (dalam hal ini dapat dimasukkan Departemen Pertahanan/ TNI) baru dapat diakui menguasai benda tetap, termasuk tanah, apabila dalam anggaran pendapatan dan belanja Departemen disediakan anggaran untuk perawatan untuk benda-benda tetap tersebut, dan termasuk tanah didalamnya. Artinya Departemen (TNI) tersebut nyatanyata melakukan perawatan atas tanahtanah dimaksud, yang untuk perawatan itu tersedia dana dalam anggaran suatu Departemen. Jika tidak ada anggaran pendapatan dan belanja Departemen maka penguasaan tersebut tidak dapat diakui keberadaannya. b. Tanah-tanah Penguasaan Tentara Belanda (KNIL), Perusahaan Milik Belanda yang berdasarkan Undang-undang Nomor 86 tahun 1958 tentang Nasionalisasi, tanahtanah tersebut penguasaannya diserahkan kepada salah satu diantara Instansi Pemerintah. Dalam hal ini tanah bekas KNIL dengan memperhatikan penggunaan tanahnya, penguasaannya diserahkan kepada Departemen Pertahanan/ TNI c. Penguasaan Historis Bala Tentara Jepang. Dalam kenyataan banyak tanah-tanah TNI yang secara historis diterima dari penguasaan Bala Tentara Jepang, seperti lapangan-lapangan terbang, asrama-asrama dan lain-lain. Mengenai hal ini sudah ada kebijakan yang tertuang dalam Surat Edaran Departeman Dalam Negeri No. H.20/5/7 tanggal 9 Mei 1950 dan No 40/25/13 tanggal 13 Mei 1953 dan kemudian ditegaskan kembali dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Agraria No 593/111/Agr tanggal 7 Januari 1983 yaitu kepada masyarakat telah diberikan batas waktu 5 tahun untuk menyelesaikan tuntutan atau klaim. Sesudah jangka waktu tersebut, tuntutan atau klaim
10
tidak dapat diterima lagi. Hal ini sejalan dengan ketentuan I.C.W, hapusnya tuntutan keuangan negara setelah jangka waktu 5 tahun. d. Tanah-tanah yang diperoleh dengan cara: (1) Pembelian Tanah untuk Pemerintah melalui Bijblad 11372 jo. 12746; (2) Pembebasan tanah menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975; (3) Pengadaan Tanah menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1985; (4) Pengadaan tanah menurut Keputusan Presiden No.55 Tahun 1993 jo. Peraturan Menteri Dalam Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 1 Tahun 1994; (5) Pencabutan hak berdasarkan UndangUndang Nomor 20 Tahun 1961; (6) Pelepasan hak secara Cuma-Cuma oeh pemiliknya kepada Pemerintah . Tidak termasuk dalam pengertian Tanah Aset TNI yaitu tanah kepunyaan pihak lain yang dikuasai atau digunakan atau dimanfaatkan oleh TNI atau sering disebut dengan “Tanah Dalam Penguasaan” atau Tanah Okupasi. S e t e l a h b e r l a k u n y a U U PA , u n t u k menyelenggarakan penertiban di dalam rangka melaksanakan konversi menurut ketentuan UUPA , maka tanah-tanah Negara yang dikuasai dengan hak penguasaan sebagai dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 telah ditegaskan statusnya sebagaimana diatur berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 tentang Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan Atas Tanah Negara Dan KetentuanKetentuan Tentang Pelaksanaan Selanjutnya. Dalam Peraturan Menteri Agraria tersebut antara lain dinyatakan bahwa Penguasaan Atas Tanah Negara sebagai dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 yang telah diberikan kepada DepartemenDepartemen, Direktorat-direktorat dan Daerah Swatantra, sepanjang tanah-tanah Negara tersebut dipergunakan untuk kepentingan instansi-instansi itu sendiri dikonversi menjadi
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Aspek Hukum Pengelolaan Tanah Aset TNI Oleh: Kolonel Chk Dwi Jaka Susanta, S.H, M.H
Hak Pakai. Namun apabila penguasaan tanah tersebut selain dipergunakan untuk kepentingan instansi-instansi itu sendiri, dimaksudkan juga untuk dapat diberikan dengan sesuatu hak kepada pihak ketiga, maka penguasaan atas Tanah Negara tersebut di atas dikonversi menjadi Hak Pengelolaan. Seiring dengan lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan itu, istilah Aset TNI pun lahir yang seakan identik dengan istilah Milik TNI, hal ini terlihat dari adanya perbuatan hukum TNI atas tanah berupa jual-beli, sewa menyewa dan lainnya yang telah menjadi subyek hukum privat atas tanah. 4. Permasalahan Pertanahan Dari sudut pandang tipologi permasalahan pertanahan, Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa Konflik Pertanahan BPN mencatat minimal 8 tipologi masalah pertanahan, yaitu: a. Sengketa Penguasaan dan Pemilikan, sebanyak 1.902 kasus (67,8 %) b. Sengketa prosedur Penetapan Hak dan Pendaftaran tanah, sebanyak 343 kasus (12,19 %) c. Sengketa batas/letak bidang tanah, sebanyak 90 kasus (3,23 %) d. Sengketa ganti rugi tanah ex partikelir, sebanyak 85 kasus (3,04%) e. Sengketa tanah ulayat sebanyak 92 kasus (3,33%) f. Sengketa obyek Landreform sebanyak 78 kasus (2,85%) g. Sengketa pengadaan tanah sebanyak 77 kasus (2,76 %) h. Sengketa pelaksanaan putusan pengadilan sebanyak 134 kasus (4, 76%). Terhadap tanah aset TNI, konflik tanah yang terjadi akhir-akhir ini, terutama dalam 12 tahun terakhir sejak reformasi bergulir, banyak yang melibatkan warga dan TNI. Menurut Wakil Menhan Letjen Sjafrie Sjamsuddin bahwa penyebabnya adalah tidak adanya
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
bukti kepemilikan atau sertifikat tanah di wilayah konflik tersebut. Wakil Menhan Letjen Sjafrie Sjamsuddin usai rapat kerja dengan Komisi I DPR, Senin tanggal 22 Februari 2010 mengatakan, dari sekitar 3,6 juta hektar tanah TNI, yang bersertifikat baru sepuluh persen. Artinya, hampir tiga juta hektar tanah yang dimiliki TNI belum bersertifikat. Sisanya tanah milik TNI yang belum bersertifikat itu, masih diinventarisir guna percepatan hak miliknya. Terutama lahan yang berpotensi konflik dan sengketa dengan masyarakat. Panglima TNI Djoko Santoso mengatakan,TNI akan segera melakukan sertifikasi lahan untuk menertibkan aset-aset yang banyak dikuasai pihak lain. Namun TNI tidak memiliki anggaran untuk melakukan kegiatan sertifikasi itu. Karena banyak aset TNI yang bermasalah dengan bukti kepemilikan, akibatnya masyarakat sering menggugat di pengadilan. Upaya sertifikasi ini harus dilakukan untuk melindungi aset milik negara itu dari gugatan. Kementerian Pertahanan melalui Badan Sarana Pertahanan mensosialisasikan Kesepakatan Bersama dan Perjanjian Kerjasama antara Kemhan dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) tentang Pensertifikatan Tanah, Penanganan serta Penyelesaian Sengketa dan Konflik Tanah Aset Kemhan/TNI. Kesepakatan bersama antara Kementerian Pertahanan dengan Badan Pertanahan Nasional tersebut tertuang dalam MoU Nomor: MoU/02/ XII/2008 dan Nomor: 9-SKB-BPN RI-2008 yang ditandatangani Menhan dan Kepala BPN pada tanggal 30 Desember 2008. Sedangkan Perjanjian Kerjasama antara Kementerian Pertahanan dan Badan Pertanahan Nasional tertuang dalam Perjanjian Kerjasama Nomor: PKS/031/I/2011/BARANAHAN dan Nomor: 1/SKB.300/I/2011 yang ditandatangani oleh Kepala Badan Ranahan Kemhan dengan Deputi Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah BPN tanggal 6 Januari 2011. Perjanjian Kerjasama antara Kementerian Pertahanan dan Badan Pertanahan Nasional juga tertuang dalam Perjanjian Kerjasama Nomor: PKS/01/I/2011 dan Nomor: 2/SKB600/I/2011 yang ditandatangani oleh Dirjen
11
Aspek Hukum Pengelolaan Tanah Aset TNI Oleh: Kolonel Chk Dwi Jaka Susanta, S.H, M.H
Kekuatan Pertahanan Kemhan dengan Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan BPN tanggal 6 Januari 2011. 5. Hak Milik Menurut UUPA. Menurut Pasal 21 ayat (1) UUPA, hanya warga-negara Indonesia dapat mempunyai hak milik. Ayat (2) menegaskan bahwa oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syaratsyaratnya. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 mengatur tentang badan-badan hukum yang boleh mempunyai hak milik atas tanah, yaitu: bank-bank Negara, badan-badan keagamaan, dan badan-badan sosial. Di sini jelaslah bahwa TNI sebagai lembaga atau institusi tidak boleh mempunyai hak milik atas tanah. Namun sebagai Warga Negara Indonesia, anggta TNI boleh mempunyai hak milik atas tanah. Sebagai lembaga atau institusi, TNI hanya boleh mempunyai hak pakai atas tanah sebagai mana diatur dalam Pasal 41 - 43 UUPA, jo Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996, khususnya Pasal 39 - 58. Mengenai yang dapat mempunyai hak pakai diatur dalam Pasal 43 UUPA jo Pasal 39 PP Nomor 40 Tahun 1966, yaitu: a. Warga Negara Indonesia; b. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia; c. Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan Pemerintah Daerah; d. Badan-badan keagamaan dan sosial; e. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia; f. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia; g. Perwakilan negara asing dan perwakilan badan Internasional. 6. Hanya Hak Pakai Untuk TNI Sebagai Lembaga atau Institusi Apabila diperhatikan ketentuan di atas, maka TNI sebagai lembaga atau institusi masuk
12
dalam kelompok atau huruf c, yaitu sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen. Jangka waktu hak pakai atas Departemen atau lembaga Pemerintah Non Departemen atau Pemerintah Daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (1) adalah untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama dipergunakan untuk keperluan tertentu. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin dipenuhinya keperluan tanah untuk keperluan tertentu secara berkelanjutan, misalnya untuk keperluan kantor lembaga pemerintah, untuk kantor perwakilan negara asing dan lain-lain. Hak Pakai yang diberikan untuk waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu tidak dapat dialihkan kepada pihak lain, akan tetapi dapat dilepaskan oleh pemegang haknya sehingga menjadi tanah Negara untuk kemudian dimohon dengan hak baru oleh pihak lain tersebut. Dengan memperhatikan ketentuan di atas, maka TNI sebagai lembaga atau institusi, hanya dapat diberikan hak pakai apabila tanah itu digunakan untuk kepentingan TNI dan jangka waktunya adalah tidak terbatas, artinya selama tanah masih dipergunakan untuk keperluan yang telah ditentukan. Misalnya untuk kantor, asrama, sekolah, rumah dinas komandan, lapangan udara, lapangan tembak, dan sebagainya. Jadi TNI sebagai lembaga atau institusi tidak boleh mempunyai tanah dengan hak milik, dan ini bertentangan dengan undangundang. Namun dalam prakteknya, ada tanah yang diklaim sebagai milik TNI, misalnya di Kota Padang, di Jalan Ahmad Yani, dibuatkan plang dengan kata-kata, “Tanah ini milik TNI”. Demikian pula tanah di daerah Tunggul Hitam Padang, dimana menurut keterangan warga yang menyewa, tanah-tanah yang dikuasai oleh TNI tersebut disewakan kepada masyarakat oleh Koperasi TNI Angkatan Udara. 7. Pengelolaan Tanah Aset TNI Seiring dengan lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Aspek Hukum Pengelolaan Tanah Aset TNI Oleh: Kolonel Chk Dwi Jaka Susanta, S.H, M.H
38 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 serta Peraturan-peraturan yang berkaitan dengan itu, terhadap Barang Milik Negara (Tanah Aset Departemen Pertahanan/ TNI) dimungkinkan adanya perbuatan hukum TNI atas tanah berupa Pengelolaan yang meliputi: (a) perencanaan kebutuhan dan penganggaran; (b) pengadaan; (c) penerimaan, penyimpanan dan penyaluran; (d) penggunaan; (e) penatausahaan; (f) pemanfaatan; (g) pengamanan dan pemeliharaan; (h) penilaian; (i) penghapusan; (j) pemindahtanganan; (k) pembinaan, pengawasan dan pengendalian; (l) pembiayaan dan (m) tuntutan ganti rugi. Dalam artikel ini hal-hal yang bersifat teknis tidak diulas, namun hanya diulas kegiatan pengelolaan Aset Kementerian Pertahanan/ Aset TNI yang relevansi dengan aspek hukum, yaitu pemanfaatan. Mengenai pemanfaatan Tanah Aset TNI diatur dalam BAB VI pasal 19 sampai dengan 31 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006. Pemanfaatan adalah pendayagunaan tanah Aset TNI yang tidak digunakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi Satuan Kerja Perangkat Daerah (Kotama) dalam bentuk sewa, pinjam pakai, kerjasama pemanfaatan, bangun guna serah dan bangun serah guna dengan tidak mengubah status kepemilikan. Pemanfaatan tanah milik TNI dilaksanakan oleh Pengguna (dalam hal ini Panglima TNI/ Kasad) setelah mendapat persetujuan pengelola (dalam hal ini Menteri Pertahanan). Pemanfaatan aset tanah TNI disamping digunakan sendiri juga untuk diserahkan pemanfaatannya kepada fihak lain, dapat berupa: a. Sewa. Sewa adalah pemanfaatan tanah aset TNI oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dengan menerima imbalan uang tunai. Penyewaan tanah aset TNI di Kotama dilaksanakan oleh Pangkotama (Kuasa
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Pengguna) setelah mendapat persetujuan dari Kasad (Pengguna). Penyewaan Tanah Aset TNI paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang (Pasal 22 ayat 2 PP No 6 Th 2006). Persewaan dilaksanakan berdasarkan surat perjanjian sewa-menyewa yang sekurang-kurangnya memuat: (1) pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian; (2) jenis, luas tanah, besaran sewa dan jangka waktu; (3) t a n g g u n g j a w a b p e n y e w a a t a s biaya operasional dan pemeliharaan selama jangka waktu penyewaan dan persyaratan lain yang dianggap perlu. Hasil penerimaan sewa disetor ke Kas Negara. b. Pinjam pakai Pinjam pakai adalah penyerahan penggunaan Tanah Aset TNI antara Instansi TNI dengan Instansi Pemerintah atau antara Instansi TNI dengan Instansi TNI dalam jangka waktu tertentu tanpa menerima imbalan dan setelah jangka waktu tersebut berakhir diserahkan kembali kepada pengelola. Tanah Aset TNI yang dipinjampakaikan tidak mengubah status kepemilikan Tanah Aset TNI. Jangka waktu pinjam pakai Tanah Aset TNI paling lama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang. Pelaksanaan pinjam pakai dilakukan berdasarkan surat perjanjian sekurang-kurang memuat: (1) pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian; (2) jenis, luas dan jumlah barang yang dipinjamkanpakaikan; (3) jangka waktu peminjaman; (4) tanggung jawab peminjam atas biaya operasional dan pemeliharaan selama jangka waktu peminjaman dan (5) persyaratan lain yang dianggap perlu. c. Kerjasama Pemanfaatan Kerjasama pemanfaatan Tanah Aset TNI adalah pendayagunaan Tanah Aset TNI oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dalam rangka peningkatan penerimaan negara bukan pajak dan sumber pembiayaan lainnya. Kerjasama pemanfaatan atas Tanah Aset TNI dilaksanakan dengan ketentuan:
13
Aspek Hukum Pengelolaan Tanah Aset TNI Oleh: Kolonel Chk Dwi Jaka Susanta, S.H, M.H
(1) tidak tersedia dan atau tidak cukup tersedia dana dalam APBN untuk memenuhi biaya operasional/ pemeliharaan/ perbaikan yang diperlukan terhadap Tanah Aset TNI dimaksud; (2) m i t r a k e r j a s a m a p e m a n f a a t a n ditetapkan melalui tender/lelang dengan mengikutsertakan sekurang-kurangnya 5 (lima) peserta/peminat, kecuali untuk kegiatan khusus dapat dilakukan penunjukan langsung; (3) besaran pembayaran kontribusi tetap dan pembagian keuntungan hasil kerjasama pemanfaatan ditetapkan dari hasil perhitungan Tim yang ditetapkan oleh Menteri Pertahanan. Jangka waktu kerjasama pemanfaatan paling lama 30 (tiga puluh) tahun sejak perjanjian ditandatangani dan dapat diperpanjang. d. Bangun Guna Serah dan Bangun serah Guna Bangun Guna Serah (BGS) adalah pemanfaatan Tanah Aset TNI oleh pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/ atau sarana berikut fasilitasnya, kemudian didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati, untuk selanjutnya diserahkan kembali tanah beserta bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya setelah berakhir jangka waktu. Bangun Serah Guna (BSG) adalah pemanfaatan Tanah Aset TNI oleh pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/ atau sarana berikut fasilitasnya dan setelah selesai pembangunannya diserahkan untuk didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang disepakati. Dasar pertimbangan BGS dan BSG atas Tanah Aset TNI yaitu: (1) tanah Aset TNI belum dimanfaatkan; (2) mengopstimalkan Tanah Aset TNI; (3) dalam rangka efisiensi dan efektifitas; (4) menambah/meningkatkan pendapatan negara; (5) menunjang program pembangunan dan kemasyarakatan Kementerian
14
Pertahanan. Persyaratan pelaksanaan BGS dan BSG: (1) Gedung yang dibangun berikut fasilitasnya peruntukannya harus sesuai dengan kebutuhan TNI sesuai dengan tugas dan fungsinya, untuk kepentingan umum dan atau kepentingan perekonomian/ perdagangan. (2) Dana untuk pembangunan berikut penyelesaian fasilitasnya tidak membebani APBN; (3) BGS dan BSG harus dapat dimanfaatkan secara langsung oleh pihak ketiga, (4) Mitra BGS dan BSG harus mempunyai kemampuan keuangan dan keahlian, (5) Obyek BGS dan BSG berupa sertifikat tanah Hak Pengelolaan atas nama Kemhan/TNI, (6) Pihak ketiga akan memperolah Hak Guna Bangunan diatas tanah Hak Pengelolaan tersebut (7) IMB atas nama Kemhan (8) Mitra kerja BGS dan BSG membayar kontribusi ke Kas Negara setiap tahun selama jangka waktu pengoperasian. (9) Jangka waktu pengguna-usahaan selama 30 (tiga puluh) tahun sejak mulai masa pengoperasian dan dapat diperpanjang.
8. Kesimpulan a. Pengaturan tentang pengelolaan Tanah Aset TNI termasuk di dalam istilah Barang Negara, yang sesungguhnya terdiri dari dua jenis barang, yaitu barang bergerak dan barang tidak bergerak. Terhadap barang bergerak, TNI dapat menggunakan istilah “Milik TNI”, namun untuk benda Tidak Bergerak yang berwujud Tanah, tidak tepat digunakan istilah “Milik TNI” yang mengesankan sama dengan “Hak Milik” atas tanah. Lebih tepat apabila digunakan istilah “Penguasaan “ TNI (dalam hal ini Kementerian Pertahanan, dan wujud penguasaannya berupa Hak Pakai dan Hak Pengelolaan. b. Aspek hukum penguasaan dan pengelolaan Tanah Aset TNI berasaskan publickrechtelik yang meliputi kewenangan untuk
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Aspek Hukum Pengelolaan Tanah Aset TNI Oleh: Kolonel Chk Dwi Jaka Susanta, S.H, M.H
mengadakan kebijakan (beleidsdaad), tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelensdaad), pengelolaan (beheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudensdaad), sebagai konsekuensi dari asas publickrechtelike dari Hak Menguasai oleh Negara atas tanah di Indonesia. c. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (4) UUPA, pelaksanaan Hak Menguasai dari Negara atas tanah dapat dikuasakan kepada Instansi Pemerintahan (termasuk didalamnya Kementerian Pertahanan atau TNI) d. Tanah Aset TNI adalah tanah-tanah dalam penguasaan TNI, dengan syarat-syarat: (1) Diperoleh dengan maksud untuk dipakai dalam kegiatan operasional TNI dan dalam kondisi siap pakai; (2) Adanya bukti penguasaan secara hukum, misalnya Sertifikat Hak Pakai atau Hak Pengelolaan atas nama TNI (Kementerian Pertahanan) (3) Dapat diukur dengan satuan uang. e. Terhadap Tanah Aset TNI dapat dilakukan Pengelolaan dengan mendasarkan peraturan perundangan yang berlaku.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
15
PENGAMANAN ASET TANAH TNI DARI PENGUASAAN LIAR Oleh: Letkol Chk Maryono, S.H., M.H.
A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang
P
erang saudara Bharatayudha berkecamuk di medan Kurusetra, kedua pihak yang berhadapan Pandawa dan Kurawa, tak lain adalah saudara misan. Ribuan prajurit dari kedua pihak berguguran, demikian pula para ksatria. Ironisnya, darah tertumpah hanya untuk satu alasan : memperebutkan tanah Astina. Dalam kisah lain “Rebutan Kikis Tunggorono” (Rebutan batas wilayah kerajaan) terjadi peperangan sengit antara Gatot Kaca melawan Sutedjo dalam menyelesaikan batas wilayah kerajaan. Dalam realita sosial, sengketa tanah juga sering diselesaikan dengan cara-cara kekerasan, contoh Sengketa tanah antara Marinir dengan Warga Alas Trogo Pasuruan Jatim yang menewaskan 4 warga masyarakat dan 8 orang luka tembak, Sengketa tanah antara TNI AD (Kodiklat) dengan masyarakat di Desa Setrojenar Kec. Bulus Pesantren Kab. Kebumen dengan korban 10 orang warga sipil luka tembak
16
(peluru karet), Sengketa tanah Perkebunan di Mesuji Lampung antara masyarakat dengan Perusahaan Kelapa Wasit tahun 2012 dan masih banyak sengketa-sengketa lain yang terlalu banyak untuk disebutkan. Permasalahan pertanahan di Indonesia secara mendasar telah diatur dalam Undangundang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, dan telah ditindak lanjuti dengan berbagai peraturan pelaksana lainnya, namun demikian permasalahan (sengketa) tanah kian hari bertambah komplek permasalahannya, sehingga perlu adanya kebijakan pemerintahan dibidang pertanahan secara komprehensif. 2. Permasalahan Dari latar belakang tersebut diatas, kami merumuskan permasalahan dalam tulisan menjadi 2, yaitu : a. Bagaimana makna dan nilai tanah bagi masyarakat. b. Bagaimana cara mengamankan tanah milik TNI dari penguasaan liar.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Pengamanan Aset Tanah TNI Dari Penguasaan Liar Oleh: Letkol Chk Maryono, S.H., M.H.
B. PEMBAHASAN 1. Makna dan Nilai Tanah bagi Masyarakat Tanah merupakan kebutuhan manusia yang sangat vital, permasalahan yang sangat mendasar adalah di satu sisi jumlah tanah pada dasarnya tetap dan tidak mengalami perubahan, namun disisi lain jumlah penduduk yang memerlukan tanah makin meningkat jumlahnya. Permasalahan tersebut sering menjadi faktor yang mendasar timbulnya sengketa (konflik pertanahan). Sengketa tanah dalam persfektif socio cultural dapat dipahami karena bagi masyarakat banyak, tanah tidak hanya mempunyai nilai ekonomis semata tetapi lebih dari itu mempunyai nilai non ekonomis seperti soal eksistensi, harga diri dan strata sosial yang sulit dikalkulasikan dengan sejumlah uang. Dorongan manusia mempertahankan tanah pada dasarnya dapat dilihat dari 2 aspek besar yaitu, Pertama, makna tanah bagi manusia; Kedua, relasi atau hubungan manusia dengan tanah 1 . Kedua aspek ini saling berhubungan, bahkan kadang-kadang menyatu. Akibat hubungan keduanya, akan muncul perspektif makna dan nilai tersendiri terhadap tanah. Makin bermakna dan bernilai relasi yang ada, maka semakin kuat orang akan mempertahankan tanah tersebut. Dalam masyarakat Indonesia (khususnya Jawa), tanah mempunyai makna dan nilai sangat tinggi bahkan sakral, hal ini dapat kita ketahui dari filosofi Jawa dalam mempertahankan hak atas tanah, yaitu “sedumuk bathok senyari bumi sun belani nganti pecahing dodo lutahing ludiro” (dalam hal mempertahankan wanita/harga diri dan tanah kalau perlu sampai titik darah penghabisan). Di samping sengketa (konflik) tanah di luar pengadilan, sengketa tanah yang diselesaikan melalui gugatan di Pengadilan merupakan
1. Wartaya Winangun. Tanah Sumber Nilai Hidup. Kanisius. Yogyakarta. 2004. Hal 72.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
perkara yang menonjol dari segi kuantitas. Dalam keterangan Ketua Mahkamah Agung RI pada akhir tahun 2010 yang lalu jumlah perkara Kasasi yang diperiksa di Mahkamah Agung, tujuh puluh lima persennya adalah perkara gugatan tentang tanah 2. Hal tersebut dapat dipahami bahwa semenjak reformasi bergulir terjadi pemahaman yang keliru terhadap makna demokrasi, demokrasi dipahami secara salah yaitu kebebasan berbicara, berpendapat dan berbuat bebas apa saja untuk kepentingan rakyat. Dalam masyarakat sendiri terjadi proses konsolidasi yang semakin menguat dengan adanya ruang politik yang lebih terbuka, sementara kekuasaan dan kekuatan negara dan aparatur-aparaturnya melemah semenjak jatuhnya pemerintahan orde baru sehingga terjadi pendudukan, penggarapan atau pengambilan manfaat dan penjarahan tanah oleh rakyat secara masif terlepas ada tidaknya alas hak yang mereka miliki, dan hal ini juga terjadi pada tanah-tanah milik TNI. 2. Cara Pengamanan Tanah Milik TNI dari Penguasaan Liar a. Gambaran Singkat Tanah Milik TNI 1) Data tanah milik Kemhan/TNI a) Tanah yang digunakan dan dikuasai Kemhan dan TNI sebanyak 12.814 bidang dengan luas seluruhnya 3.200.898.298 m2. b) Dari Tanah tersebut yang telah bersertifikat baru sebanyak 2.946 bidang (22,99%) dengan luas 371.075.405,50 m2. c) Tanah yang belum bersertifikat sebanyak 9.954 bidang dengan luas 2.289.822.892,50 m2. d) Tanah Kemhan/TNI yang bermasalah sebanyak 389 bidang (3,03%) seluas 258.379.752 m2. (data dari Biro Hukum Kemhan, 27 Juli 2012).
2. Metro TV. Oktober 2010
17
Pengamanan Aset Tanah TNI Dari Penguasaan Liar Oleh: Letkol Chk Maryono, S.H., M.H.
2) Asal-usul tanah Kemhan/TNI Tanah dan bangunan yang dipakai oleh Kemhan/TNI tersebut diperoleh dari: a) Pembelian atau pengadaan atas beban APBN. b) Pembelian atau pengadaan satuan. c) Bekas peninggalan pemerintahan Hindia Belanda (KNIL atau Departemen Lain). d) Bekas peninggalan pemerintahan Kolonial Jepang (DAI NIPPON). e) Okupasi Ex Milik Asing dan Organisasi terlarang (Sekolah China). f) Hibah dari masyarakat. g) Tanah dan bangunan bekas yayasan milik TNI. Bahwa tanah-tanah tersebut diatas yang dikuasai TNI yang merupakan barang milik negara (KEMHAN) adalah tanah-tanah yang sudah terdaftar pada Daftar Inventaris Kekayaan Negara Kementrian Keuangan, namun sebagian belum terdaftar pada daftar IKMN sehingga tidak mendapatkan alokasi dana perawatan dari APBN3. b. Langkah-langkah Pengamanan Tanah atau bangunan yang kita miliki (kuasai) agar tidak diserobot, dikuasai dan diperjualbelikan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab perlu dilakukan tindakantindakan pengamanan, yaitu antara lain : 1) Inventarisasi. Inventarisasi adalah kegiatan untuk melakukan pendataan, pencatatan, dan pelaporan hasil pendataan barang milik negara, termasuk di dalamnya adalah tanah dan bangunan yang dipakai atau dikuasai oleh TNI. Inventarisasi tersebut wajib dilakukan dan dilaporkan oleh kuasa pengguna, pengguna barang milik negara dan dilaporkan secara hierarkhi kepada Menteri Keuangan RI selaku pengelola barang milik negara.
3. Biro Hukum Kemhan. 28 Juli 2011.
18
Tujuan daripada inventarisasi adalah untuk penyusunan rencana pemerintah, perencanaan kebutuhan pengadaan dan pemeliharaan barang milik negara setiap tahun untuk digunakan sebagai bahan penyusunan rencana anggaran, pengamanan administratif terhadap barang milik negara dan selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan data yuridis jika tanah dan bangunan tersebut akan disertifikatkan (terhadap tanah dan bangunan yang belum bersertifikat). 2) Penguasaan fisik. Penguasaan fisik terhadap suatu tanah atau bangunan termasuk cara yang tepat dan aman untuk melindungi hak milik tanah dari penguasaan ilegal pihak lain. Penguasaan fisik untuk tanah milik TNI dapat dilakukan dengan membuat bangunan, memagar, membuat pos penjagaan, menempatkan personel (pasukan) secara terus menerus, memasang papan nama dan memasang papan pengumuman larangan masuk. Dari segi yuridis penguasaan fisik secara terus menerus terhadap bidang tanah lebih dari 20 tahun dapat dijadikan alat bukti untuk pendaftaran hak atas tanah ke BPN, jika alat-alat bukti lain (surat-surat dan keterangan saksi) tidak lengkap/tidak ada, sepanjang penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya (PP No. 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah). 3) Pengumpulan data-data Yuridis. Yang dimaksud data Yuridis adalah surat-surat tanah atau surat-surat yang berkaitan dengan tanah yang kita miliki atau kuasai sebagai alas hak yang sah. Surat-surat tersebut dapat berupa : a) Sertifikat hak b) Akta Jual Beli dari PPAT c) Surat Keputusan pemberian hak dari pejabat yang berwenang. d) Akta pemindahan hak yang dibuat
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Pengamanan Aset Tanah TNI Dari Penguasaan Liar Oleh: Letkol Chk Maryono, S.H., M.H.
Kepala Adat/Kepala Desa atau kelurahan. e) Akta Pemindahan Hak dari PPAT. f) Risalah lelang g) Petuk Pajak Bumi/ Landrente/ Girik/ Pipil/ Ketitir dan Verponding Indonesia h) Surat Keterangan riwayat tanah yang pernah dibuat oleh Kantor Pelayanan PBB. i) Kwitansi, Bukti Pembayaran, Berita Acara ganti rugi. j) Akta Hibah k) Lain-lain bentuk alat pembuktian tertulis dengan nama apapun juga sepanjang berkaitan dengan tanah yang kita miliki atau kita kuasai. S u r a t - s u r a t t e r s e b u t d a p a t dipergunakan sebagai alat bukti jika sewaktu-waktu ada pihak-pihak tertentu yang mempermasalahkan atau menggugat tanah yang kita miliki atau kuasai dan juga sebagai persyaratan yang harus dilampirkan jika sewaktuwaktu kita akan mengsertifikatkan tanahtanah tersebut atau melakukan perbuatan hukum lain. Jika tanah yang kita miliki atau kuasai tidak ada suratnya atau suratnya belum lengkap maka perlu diusahakan dengan cara mengurus dan berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait, yaitu Kum, Slog, satuan pengguna, kantor desa/ kelurahan, kantor PBB, BPN, PPAT dan lain-lain. 4) Memperketat SIP Surat Ijin Penempatan (SIP) rumah dinas kepada prajurit, PNS dan Pejabat di lingkungan TNI hendaknya diterbitkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yaitu berdasarkan : a) Surat Keputusan Kasad Nomor Skep.89/III/1973 tanggal 29 Maret 1973. b) Keputusan Menhankam/Pangab Nomor Kep-28/VIII/1975 tanggal 21 Agustus 1975. c) Instruksi Menhankam/Pangab Nomor Ins.23/VIII/1975 tanggal 21 Agustus
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
1975. d) Juklak Kasad Nomor Juklak/8/ VIII/1990 tanggal 21 Agustus 1990. Seperti yang kita ketahui bersama banyak sekali SIP yang sudah mati atau pemegang surat ijinnya sudah tidak berhak lagi karena suatu alasan tertentu (pensiun, pindah satuan, dipecat, meninggal dunia, dll) namun yang bersangkutan atau keluarganya tetap tinggal di rumah dinas tersebut namun pejabat yang berwenang masih memberikan toleransi. Bahkan banyak terjadi SIP dioperkan pada pihak lain/ over VB (Over Vestigeng Besluit = pemindahan surat ijin) tanpa seijin dari pejabat yang berwenang. 5) Mengelola Tanah/ Bangunan Sesuai Ketentuan. Pengelolaan tanah dan bangunan yang meliputi perencanaan kebutuhan dan penganggaran, pengadaan, penggunaan, pemanfaatan, pengamanan dan pemeliharaan, penilaian, penghapusan, pemindahtanganan, penatausahaan, pembinaan, pengawasan dan pengendaliaan harus perpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/ Daerah jo Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.06/2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penggunaan, Pemanfaatan, Penghapusan, dan Pemindahtanganan Barang Milik Negara. Hal-hal yang sering terjadi di lingkungan TNI adalah banyaknya kasus pemanfaatan tanah/ bangunan dalam bentuk sewa, pinjam pakai dan kerjasama pemanfaatan tidak sesuai dengan ketentuan tersebut diatas sehingga berpotensi menjadi permasalahan hukum (sengketa). 6) Pendaftaran tanah (Pensertifikatan Tanah). Sebagaimana kita ketahui, sebagian besar tanah/bangunan TNI belum bersertifikat sehingga perlu secara
19
Pengamanan Aset Tanah TNI Dari Penguasaan Liar Oleh: Letkol Chk Maryono, S.H., M.H.
bertahap menurut skala prioritas untuk didaftarkan ke BPN guna mendapatkan sertifikat hak atas tanah (Sertifikat Hak Pakai). Tujuan pendaftaran tanah adalah: a) Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan. b) Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidangbidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar. c) Untuk terselenggaranya tertib administrasi (Pasal 3 PP 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah). Sedangkan fungsi sertifikat adalah merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan (Pasal 32 PP 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah). Sertifikat merupakan tanda bukti hak yang kuat dalam arti bahwa selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya data fisik dan data yuridis yang tercantum didalamnya harus diterima sebagai data yang benar. Sebagai surat tanda bukti hak, maka fungsi sertifikat terletak pada bidang pembuktian. Karena itu, bila kepada hakim ditunjukkan sertifikat hak atas tanah, maka hakim harus menerima keterangan dalam sertifikat sebagai hal yang benar, bila tidak dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti lain bahwa keterangan dalam sertifikat itu
20
salah (palsu). C. PENUTUP Penguasaan tanah oleh siapapun perlu adanya alas hak atau bukti kepemilikan yang sah, bukti kepemilikan hak atas tanah yang sempurna sesuai ketentuan hukum agraria adalah “Sertifikat Hak Atas Tanah”. Karena Sertifikat hak tanah memuat data fisik dan data yuridis yang berkaitan dengan tanah tersebut. Cara memperoleh sertifikat hak atas tanah adalah dengan cara mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Pertanahan dengan dilengkapi data-data yuridis yang berupa Suratsurat yang kita miliki berkaitan dengan tanah yang kita sertifikatkan. DAFTAR PUSTAKA Winangun, Wartaya Y. 2004. Tanah Sumber Nilai Hidup. Kanisius. Yogyakarta. Metro TV. Oktober. 2010. Jakarta. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok-pokok Agraria. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/ PMK.06/2007 tentang Tatacara pelaksanaan penggunaan, pemanfaatan, penghapusan, dan pemindatanganan barang milik negara.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
TERORISME SEBAGAI ANCAMAN TERHADAP KEUTUHAN NKRI Oleh: Jenderal TNI (Purn) DR. Ir. H. AM. Hendropriyono, S.E., S.H., M.H.
R
adikalisme yang lahir dari fundamentalisme dan berujung pada terorisme merupakan fenomena global, yang dapat ditemui dalam agama-agama besar di dunia. Ketika perspektif itu bagi sebagian orang berbicara tentang fundamentalisme berarti melakukan tuduhan. Hal tersebut disebabkan fundamentalisme tidak menunjukkan keyakinankeyakinan agama, tetapi lebih merupakan ideologi politik, yakni masalah yang menyangkut watak negara, masyarakat, dan politik dunia. Akan tetapi terorisme dewasa ini diartikulasikan melalui simbol-simbol agama. Fundamentalisme Kristen yang dalam administrasi pemerintahan George W. Bush di Amerika Serikat merupakan pendukung utama neoimperalis (Maarif, 2009), tumbuh sejak sekitar abad ke-19 dan semakin berkembang sampai dewasa ini. Dalam tradisi Barat, fundamentalisme ditandai dengan keberhasilan industrialisasi yang membawa hal-hal yang positif dan negatif pada saat yang sama. Lahirnya fundamentalisme Yahudi berkaitan erat dengan konstelasi geopolitik, sehingga lahirnya fundamentalisme tersebut
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
ditandai dengan lahirnya kaum Zionis. Fundamentalisme Yahudi ini merupakan sebuah faham yang meyakini bahwa tanah Palestina adalah tanah keberkatan, yang merupakan satu-satunya yang dihadirkan bagi anak-anak Tuhan. Yahudi menjadi agama untuk klaim pada tanah, atau untuk keturunan dan teritorial. Ide inilah yang merupakan cikal bakal lahirnya negara Israel di Palestina yang mendapat perlawanan dari penduduk setempat dengan cara-cara intifada (gerilya) (Haryono, 2005). Hampir satu generasi sebelum fundamentalisme di Amerika Serikat, Gereja Katholik Roma telah mengeluarkan dan menyebarkan The Syllabus of Error (1864). Paus Pius IX mengecam hampir seluruh aspek modernitas, melakukan kampanye anti medornitas dalam sebuah platform gerejani, ketimbang pembenaran mutlak terhadap kitab suci. Doktrin tentang kesempurnaan Paus didefinisikan oleh Dewan Vatican Pertama pada tahun 1870 (Appleby, 2006). Gerakan-gerakan radikalisme Islam yang muncul di Indonesia pada dua dasa warsa terakhir tidak terlepas dari perkembangan gerakan Islam di dunia. Ini sejalan dengan
21
Terorisme Sebagai Ancaman Terhadap Keutuhan NKRI Oleh: Jenderal TNI (Purn) DR. Ir. H. AM. Hendropriyono, S.E., S.H., M.H.
pendapat sejumlah pengamat. Dalam bukunya Joining the Caravan?: The Middle East, Islamism and Indonesia, Greg Fealy dan Anthony Bubalo menjelaskan bahwa maraknya gerakan radikalisme Islam bukan hanya fenomena di Indonesia. Juga bukan fenomena yang datang tiba-tiba. Gerakan ini lahir dalam situasi politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang oleh pendukung gerakan Islam radikal dianggap sangat memojokkan umat Islam. Di dunia Islam menurut KH Hasyim Muzadi dan sejumlah pakar, fundamentalisme dan radikalisme berakar sejak akhir Khulafaurrasyidin (kepemimpinan empat khalifah Islam: Abu Bakar Asyidik, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib). Akar Hizbul Takfiriyyah ini mulai muncul sejak pecahnya Islam menjadi kelompok Syiah, Khawarij, Mu’tazilah, dan sebagainya. Misalnya pembunuh Sayyidina Ali bin Abi Thalib adalah orang yang amat taat beragama. Tetapi, karena pengertian politik yang diagamakan dan agama yang dipolitikkan, akhirnya terjadilah peperangan. Di samping faktor ketidakadilan global terhadap negara-negara Muslim, seperti yang dilakukan Presiden Amerika Serikat George Walker Bush, Wahabisme kontemporer merupakan paham yang menyuburkan lahirnya paham-paham yang mengusung gerakan terorisme. Beberapa orang berkeberatan dengan pengaitan Wahabi dengan gerakan radikalisme dan terorisme yang saya kemukakan ini. Tetapi merupakan kenyataan bahwa kelompok umat Islam yang memutuskan para pelaku teror global, merupakan entitas yang mengaku berorientasi pada pemurnian tauhid (keesaan Tuhan). Dasar yang dikemukakannya adalah manhaj salafus shalih yang dikenal di kalangan aktivis Islam sebagai “salafi”. Kelompok ini sebenarnya tidak ada bedanya dengan entitas-entitas lain yang eksis di kalangan umat Islam dalam pemahaman terhadap akidah dan fikih. Namun sebagian kaum salafi di Arab Saudi sekarang ini mempunyai sikap keagamaan yang ganjil, yang berlebihan dalam memberi stigma kafir terhadap kelompok mana saja di luar mereka. Sikap ini di kalangan Islam dikenal dengan sikap yang al ghuluw fi tafkir (Ulumiddin, 2008).
22
Tauhid dalam versi mereka (termasuk Osama bin Laden) diyakini dapat mempersatukan kaum Muslimin di seluruh dunia. Dengan hanya satu pemahaman, kata Osama bin Laden, maka kepentingan berdirinya kekhalifahan global akan terwujud. The spirit of religious brotherhood among Moslems has been strengthened which is considered a great step towards uniting the Moslems under the state of monotheism for the purpose of establishing the rightly guided Caliphate, God willing (OBL, 16 Februari 2003). Fundamentalisme dan Terorisme Di dunia Islam secara sporadis sejak beberapa tahun terakhir ini gejala fundamentalisme sangat dirasakan. Yang paling ekstrem di antara mereka mudah terjatuh pada perangkap terorisme (Maarif, 2009). Jihad yang dibungkus secara ontologis untuk melakukan terorisme, merupakan kekuatan yang sangat dahsyat di abad ke-21 ini untuk mencapai tujuan politik. Dari sini banyak pihak mulai menaruh perhatian mereka yang mengaku beraliran Wahabi dan Ikhwanul Muslimin, yang dengan satu dan lain hal berkaitan dengan jihad global dan teologi bom syahidnya (Delong-Bas, 2004). Gerakan mereka ini seringkali juga diberi simbol sebagai Islam politik. Golongan Islam politik menurut Basam-Tibi (2000) adalah kaum fundamentalis universal, yang mengamuk melawan ketidakadilan dan penerapan kekuasaan Amerika Serikat dan pihak Barat dan Timur Tengah. Kekuatan perlawanan tersebut dibangun secara semesta dengan menggunakan dalih patriotism dan spirit keagamaan. Dengan keyakinan terhadap kekuatan yang dibangun itu, maka artikulasi politik yang santun yang mendahulukan dialog dan negosiasi tidak lagi mendapatkan tempat (Arubusman, 2006). Penilaian terhadap jiwa manusia sudah sedemikian rendah, seolah tidak ada bedanya dengan batu. Betapapun baiknya suatu tujuan, jika kekerasan yang dipilih untuk mencapainya, maka secara keseluruhan konsep itu tidak akan mendapat legitimasi sebagai suatu kebenaran. Sikap kekerasan yang menjadi pilihan
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Terorisme Sebagai Ancaman Terhadap Keutuhan NKRI Oleh: Jenderal TNI (Purn) DR. Ir. H. AM. Hendropriyono, S.E., S.H., M.H.
dalam melakukan perlawanan oleh sekelompok umat Islam dengan bendera jihad ini, bukan masalah yang sederhana. Banyak aspek yang terkait menjadi latar belakang, motif maupun faktor yang mendukung terjadinya tindakan-tindakan itu. Di antaranya adalah fundamentalisme agama, kemudian juga dipengaruhi oleh perkembangan pada tataran geopolitik global-nasional dan juga persoalanpersoalan yang ditimbulkan dalam konteks transisi menuju demokrasi di berbagai negarabangsa. Menurut Arubusman (2006) fundamentalisme Islam pertama-tama harus dilihat sebagai suatu reaksi terhadap masalahmasalah yang mengiringi modernitas, yang dianggap keluar terlalu jauh dari ajaran agama Islam. Kecenderungan ini merupakan suatu gejala ideologis sebagai respons terhadap gejala ideologis pula, yang antara lain merupakan buah dari benturan antar-budaya. Oleh karena itu fundamentalisme Islam dapat dikaitkan dengan realitas geopolitik global, serta pemikiran manusia di balik realitas internasional tersebut. Terdapat beberapa penjelasan yang menghampiri mengapa fundamentalisme Islam cenderung menggunakan kekerasan sebagai jalan dalam memperjuangkan aspirasi politiknya. Pada tataran geopolitik global, umat Islam di Timur Tengah berada dalam posisi yang tidak menguntungkan, baik secara politik maupun ekonomi. Refleksi terhadap kejayaan Islam yang pernah diraih beberapa abad yang lalu serta kesimpulan subyektif, yang menganggap umat Islam mundur karena meninggalkan ajaran yang telah digariskan oleh Allah SWT. Oleh karenanya, hal itu harus diperjuangkannya kembali dengan syariat Allah. Banyaknya negara yang mengalami instabilitas politik karena menerapkan sistem demokrasi, juga menjadi pendorong tumbuh suburnya fundamentalisme. Bagi golongan mereka, demokrasi adalah sistem pemerintahan yang tidak stabil, karena landasannya berangkat dari pergulatan empiris pemikiran manusia yang sekuler. Sebaliknya sistem Islam menurut pendapat mereka akan lebih menjamin stabilitas, walaupun hal tersebut tidak didukung oleh fakta yang bersifat empirik.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Kalau dipetakan secara sederhana gerakan-gerakan Islam mutakhir yang berkembang ini (menurut pemetaan HAR Gibb dalam Modern Trend) dan kemudian menginspirasi lahirnya gerakan Islam radikal di Indonesia, antara lain; Jihad Sokoto di Nigeria pada awal abad 19, dipimpin oleh Syekh Utsman di Muhammad bin Fudi, gerakan Mahdi di Sudan yang dipimpin Muhammad bin Abdullah (18341886), Ikhwanul Muslimin di Mesir yang digagas oleh Hasan Al Bana (1906-1949), Ahlul Hadis di India di akhir abad 19 yang dipengaruhi oleh Syekh Waliyullah, Jamaat Islami di Pakistan yang didirikan oleh Sayyid Abdul A’la Al Maududi pada tahun 1941. Di samping itu ada tokoh-tokoh perorangan yang disebut sebagai pengusung fundamentalisme, di antaranya adalah Sayyid Qutub. Pada masa Post Modernisme, gerakangerakan fundamentalisme menyatukan langkah dalam sebuah gerakan politik dan kekuatan bersenjata untuk melawan hegemoni Barat, yang dianggap semakin mencengkeramkan kekuasaannya di berbagai kawasan, terutama negara-negara Muslim yang sedang berkembang. Gerakan-gerakan itu, misalnya Jamaah Islamiyah di Asia Tenggara, Gerakan Thaliban di Afganistan, Gerakan Al Qaeda di Timur Tengah, Partai FIS di Aljazair dan lain-lain. Di Indonesia lahir juga gerakan-gerakan Islam sejenis itu di akhir Orde Baru hingga era Reformasi ini. Namun tidak semua gerakan Islam menjadi gerakan fundamentalisme dan radikalisme. Juga tidak semua gerakan fundamentalisme yang lahir, melakukan aksiaksi terorisme. Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2004 menerbitkan hasil penelitiannya dalam bentuk sebuah buku berjudul “Gerakan Salafi Radikal di Indonesia”. Ada empat kelompok yang mendapat cap “salafi radikal” dalam buku ini, yaitu Front Pembela Islam (FPI), Laskar Jihad, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan Hizbuttahrir (www.hidayatullah.com, 2004). Entah apakah organisasi yang dikelompokkan sebagai radikal tersebut berkurang atau malah bertambah, tidak
23
Terorisme Sebagai Ancaman Terhadap Keutuhan NKRI Oleh: Jenderal TNI (Purn) DR. Ir. H. AM. Hendropriyono, S.E., S.H., M.H.
ada lembaga resmi yang secara otoritatif berhak memberikan label radikal kepada sekelompok warga masyarakat. Peta gerakan fundamentalisme-radikal kini tentu jauh berbeda dengan enam tahun yang lalu. Setelah pengeboman di berbagai tempat di tanah air kita dan sejumlah pelaku terorisme ditangkap, kita dihadapkan fakta baru di Nanggroe Aceh Darusalam, dikabarkan sejumlah pentolan kelompok garis keras bersatu mendirikan Tanzim Al-Qaidah Aceh. Mereka mengatasi perbedaan lama dan menggalang pengikut baru. Beberapa bekas narapidana terorisme terlibat lagi. Pola perekrutan mereka juga tidak lagi konvensional yang selama ini mengandalkan tiga jalur: hubungan kekerabatan, pertemanan, dan hubungan guru-murid, tetapi sudah melebar dengan misalnya, merekrut para korban tsunami (Tempo, 2010). Fakta ini jika kita analisis, akan berbicara banyak hal tentang terorisme di Indonesia. Banyak definisi terorisme dan definisi itu sangat tergantung pada perspektif posisi dan kepentingan pemberi definisi. Dari berbagai definisi itu dapat disimpulkan bahwa terorisme adalah suatu tindakan yang didasari sistem nilai dan cara pandang dunia, sehingga untuk memahaminya memerlukan suatu kerangka dan metodologi pemikiran yang biasa digunakan dalam tradisi filsafat. Sekadar contoh, seringkali mereka yang diberi label teroris; pelaku kejahatan itu justru memandang diri dan aksi terornya sebagai tindakan suci yang berguna bagi kemanusiaan. Logika dan bahasa serta argumen yang mereka bangun itu, perlu dipahami untuk mencari solusi perdamaian (Hendropriyono, 2009). Pada umumnya terorisme diwadahi dalam organisasi yang relatif kecil, tertutup dan bergerak di bawah tanah secara rahasia (klandestin). Pengorganisasian mereka yang ramping dengan infrastruktur yang lemah, diisi oleh anggota-anggota yang selektif yang homogen dalam ide, pemikiran, keyakinan dan nasib yang dalam tata kerjanya tidak membutuhkan birokrasi yang berbelit-belit (Suradji, 2005). Dalam perkembangannya terorisme
24
modern yang terjadi pada pasca Perang Dunia II dilakukan oleh ratusan organisasi dengan berbagai macam motif, tujuan, dan sasaran, baik yang disponsori maupun tanpa sponsor dari negara berdaulat mana pun. Mereka berasal dari Irlandia Utara, Jerman, Italia, Australia, Yunani, Spanyol (RMS), Amerika Latin, Israel, India, Jepang, China, Korea (Utara), Libya, Iran, Suriah, Irak, Yaman Selatan, bangsa Timur Tengah, dan berbagai bangsa Asia-Afrika lainnya. Benang merah yang dapat ditarik dari varasi bentuk, jenis, dan motif terorisme tersebut adalah, bahwa mereka mengorbankan banyak orang sipil (noncombatant) yang tidak bersalah, bahkan tidak tahu apa-apa (Hendropriyono, 2009). Selanjutnya terorisme dalam lingkup universal yang dapat menggoncangkan opini dunia, biasanya dapat dilakukan karena disponsori oleh suatu negara. Namun megaterorisme seperti yang terjadi di abad ini juga terbukti dapat disponsori oleh institusi non negara: Al Qaeda, suatu jaringan organisasi transnasional yang kekuatannya melebihi negara berdaulat setingkat Afghanistan. Banyak pemuda dari negeri-negeri Muslim termasuk dari Indonesia yang terlibat dalam perang Afghanistan. Terorisme mulai merasuki negerinegeri Muslim itu melalui alumni Afghanistan, seperti antara lain yang dilakukan oleh Amrozi dkk beberapa waktu lalu. Doktrin terorisme mulai bersinggungan dengan doktrin perang jihad dari aliran keras asing (transnasional), yang mengaku sebagai pengikut Wahabi, bahkan dengan teologi mati syahid yang dijanjikan surga. Ancaman terhadap NKRI Terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan masyarakatnya yang beragam, dari suku, agama, ras, dan golongan, tak terlepas dari sikap legowo para tokoh Islam seperti Soekarno, Mohammad Hatta, H. Agus Salim, KH Wahid Hasyim, Kahar Muzakir dll, dengan merelakan tujuh kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya” yang ada dalam Piagam Jakarta.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Terorisme Sebagai Ancaman Terhadap Keutuhan NKRI Oleh: Jenderal TNI (Purn) DR. Ir. H. AM. Hendropriyono, S.E., S.H., M.H.
Maka Preambule atau Pembukaan UUD 1945 dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, telah menyepakati Pancasila sebagai asas berbangsa dan bernegara, maka hal itu bias disebut sebagai suatu kemunduran besar. Dengan alasan apapun, dan dengan cara apapun, upaya mengganti Pancasila dengan ideologi lain sama halnya dengan mengkhianati niat luhur para pendiri bangsa. Kita, dengan ideologi dan konstitusinya, sebenarnya selalu “welcome” terhadap gerakan-gerakan apapun, termasuk di dalamnya gerakan-gerakan Islam, yang pada akhir-akhir ini melakukan berbagai aktivitasnya, baik melalui gerakan keagamaan, sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Selama yang dilakukan adalah misi “fastabikul khairat” (berlomba dalam kebaikan), tentu kita sambut dengan baik. Yang menjadi masalah jika gerakan-gerakan itu melakukan aktivitas yang bertentangan dengan semangat memelihara kemajemukan, bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, baik melalui perjuangan politik, apalagi dengan cara-cara kekerasan dalam bentuk-bentuk terorisme. Walaupun ada sebagai (kecil) masyarakat Indonesia mendukung aksi terorisme, tetapi Alhamdulillah bagian terbesar rakyat tetap menganggap terorisme sebagai musuh bersama. Karena dari perspektif apapun tidak ada sisi baik dari dan akibat terorisme. Gerakan-gerakan Islam yang lahir di Indonesia dan kemudian dapat menyesuaikan diri dengan perjalanan bangsa, malah menjadi kekuatan yang konstruktif dalam pembangunan bangsa. Hal itu karena mereka memahami kebhinekaan bangsa, dengan semangat toleransi yang tinggi, seperti yang ditunjukkan oleh tokohtokoh pendiri bangsa. Sebaliknya, mereka yang datang dengan membawa ideologinya tersendiri dan memaksakan kehendak kemudian berbenturan dengan saudara-saudara sebangsanya sendiri. Benturan-benturan ideologis inilah yang terus menjadi masalah dan menjadi “PR” besar bagi bangsa kita. Timbul kegelisahan sejauh mana ancaman terorisme terhadap ketahanan nasional, utamanya terhadap keutuhan NKRI? Kegelisahan itu wajar, mengingat sejumlah gerakan Islam fundamentalis selalu meneriakkan
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
prinsip penegakkan khilafah di negeri ini. Penegakkan Syariah Islam menjadi harga mati. Artinya, mereka tidak lagi menginginkan kebhinekaan atas nama mayoritas. Kelompokkelompok di luar Islam merasa terancam eksistensinya, yang tentu saja akan memancing reaksi dan kegelisahan. Suasana tenteram damai yang dengan susah payah dibangun sejak kemerdekaan akan berantakan. Konflikkonflik horizontal akan meluas di mana-mana. Daerah-daerah yang penduduknya mayoritas non-Muslim merasa tidak kerasan berada di bawah naungan NKRI. Jika demikian halnya, cukup beralasan bagi mereka untuk memiliki keinginan merdeka terlepas dari NKRI. Dalam era demokrasi saat ini, dunia akan memberikan dukungan kepada setiap kelompok yang hak demokrasi dan hak kemanusiaannya terzalimi. Jika dirinci lebih jauh, terorisme sebenarnya merupakan ancaman terhadap ketahanan ideologi, ancaman terhadap ketahanan politik, ancaman terhadap ketahanan keamanan, serta ancaman terhadap kemanusiaan (Hendropriyono, 2009). Karena terorisme itu bersifat global, ancamannya tidak bersifat domestik. Saya mengajukan empat saran pokok menghadapi ancaman terorisme tersebut, yakni: - Pertama, PBB dan negara-negara maju harus bertanggung jawab terhadap praksis demokratisasi global yang etis. - Kedua, Negara-negara Islam di dunia, termasuk Indonesia yang berpenduduk Muslim terbesar, bekerja sama untuk membersihkan pengaruh-pengaruh fundamentalisme/aliran keras ala Khawarij, yang mengaku sebagai gerakan Wahabi kontemporer. Hal ini merupakan syarat pokok untuk menetralisir lingkungan, yang dapat dijadikan habitat bagi terorisme dalam melakukan regenerasi. - Ketiga, Revitalisasi Pancasila perlu dilakukan sebagai program yang bottom up (dimulai dari penyerapan aspirasi masyarakat), yang disesuaikan dengan filsafat bangsa Indonesia itu. - Keempat, Mengingat ancaman kemanusiaan dari aksi terorisme yang melibatkan keyakinan
25
Terorisme Sebagai Ancaman Terhadap Keutuhan NKRI Oleh: Jenderal TNI (Purn) DR. Ir. H. AM. Hendropriyono, S.E., S.H., M.H.
keagamaan, sudah waktunya gerakan semua agama memikirkan ulang misi kemanusiaan dengan menafsir, merekonstruksi kembali ajaran agama bagi aksi kemanusiaan global, tanpa memandang latar belakang pemeluk agama. Demikian pula organisasi dan gerakan Islam di Indonesia harus bekerja sama untuk terus mengembangkan pemikiran ittihad, guna mencari pemecahan problem kemanusiaan dalam kerangka kehidupan bangsa dan dunia global. Salah satu misi suci dari dakwah Islam yang rahmatan lil ‘alamin adalah pembebasan seluruh umat manusia dari penindasan oleh sesamanya dan dari kemiskinan, dengan nilai dasar penyerahan sepenuhnya tentang keberimanan seseorang dan suatu bangsa pada Tuhan Yang Maha Kuasa, Pencipta alam semesta. Alhamdulillahi badiil haad illa bayani mahyair rosyad. Pertanyaan yang sering muncul, aparat telah bekerja keras, berhasil melumpuhkan dan membongkar jaringan terorisme, mengapa gerakan terorisme tidak juga berhenti? Saya selalu menggambarkan fundamentalisme dan terorisme itu bagai pohon dengan tanah, akar, cabang, ranting, daun, dan atmosfer di sekitarnya. Selama akar-akar terorisme masih kuat menancap di lahan yang subur, maka memangkas daun-daun tidak akan mematikan pohon terorisme itu.
26
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
HAKIM PEMERIKSA PENDAHULUAN Telaah Konsep RUU Hukum Acara Pidana Oleh: Letkol Chk Agustinus PH., S.H., M.H.*
A. Pendahuluan.
D
alam kurun waktu beberapa bulan terakhir ini, istilah Hakim Pemeriksa Pendahuluan sering dibahas dan dibicarakan, baik pada tataran akademis oleh para akademisi maupun tataran praktis oleh para penegak hukum. Tidak hanya dari segi istilah, tetapi terlebih pada substansi materi dari Hakim Pemeriksa Pendahuluan, telah mengundang pertanyaan dan sekaligus menimbulkan perdebatan. Perdebatan seputar Hakim Pemeriksa Pendahuluan mulai muncul ketika Rancangan Undang-undang (RUU) Hukum Acara Pidana disusun dan akan menggantikan Hukum Acara Pidana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981. Istilah Hakim Pemeriksa Pendahuluan memang tidak dijumpai di dalam terminologi hukum acara pidana di Indonesia pada Undang-
* Dosen STHM “AHM-PTHM”, Mahasiswa Program Doktor Universitas Padjadjaran.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Hakim Pemeriksa Pendahuluan merupakan istilah dan substansi baru dalam konsep RUU Hukum Acara Pidana. Telah dimaklumi bahwa sejak beberapa waktu lalu pemerintah berkeinginan memperbaharui hukum acara pidana. Dalam rangka itu, pemerintah telah membentuk Kelompok Kerja penyusun RUU Hukum Acara Pidana, dan Konsep RUU Hukum Acara Pidana telah selesai disusun, bahkan telah masuk ke lembaga legeslatif di DPR RI. Ti g a p u l u h t a h u n l e b i h , s e j a k diundangkannya Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, sebagai karya agung bangsa Indonesia, undang-undang ini telah memberikan landasan, pedoman dan kepastian hukum dalam beracara pidana pada sistem peradilan pidana di Indonesia. Dalam kurun waktu itu, setelah diterapkan dan sekaligus diuji dalam berbagai persoalan beracara di dalam sistem peradilan pidana, merupakan waktu yang cukup untuk melihat, memahami dan mendalami kelemahan-kelemahan dan sekaligus kelebihankelebihan substansi hukum acara pidana
27
Hakim Pemeriksa Pendahuluan Telaah Konsep RUU Hukum Acara Pidana Oleh: Letkol Chk Agustinus PH,. S.H., M.H.
tersebut dalam implementasinya. Berdasarkan pengalaman implementasi undang-undang hukum acara pidana tersebut, dirasakan perlu diadakan penyempurnaan atau pembaharuan hukum acara pidana. Naskah Akademik RUU Hukum Acara Pidana tertanggal 28 April 2008, dijelaskan bahwa salah satu alasan penting bahwa KUHAP harus diperbaharui, adalah sebagai konsekuensi diratifikasinya beberapa konvensi internasional. Konvensi internasional ini lahir setelah diundangkannya KUHAP, dan terdapat pengaturan di dalam konvensi yang berkaitan langsung dengan hukum acara pidana. Dalam Covenant mengenai hak-hak sipil dan politik yang merupakan salah satu konvensi yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia, terkandung ketentuan yang berkaitan dengan hukum acara pidana, misalnya tentang hak-hak tersangka dan ketentuan mengenai penahanan yang diperketat. Sehubungan dengan itu, beberapa negara telah membuat Hukum Acara Pidana yang baru sama sekali. Ada pula beberapa negara yang merubah Hukum Acara Pidananya selaras dengan perubahan yang diatur di dalam berbagai konvensi tersebut. Konsep RUU Hukum Acara Pidana telah merumuskan beberapa materi yang bersifat pembaharuan maupun penambahan terhadap materi lama yang telah ada di dalam hukum acara pidana yang lama. Diantara sekian materi penyempurnaan di dalam RUU Hukum Acara Pidana, adalah penegasan asas legalitas dalam undang-undang hukum acara pidana, sistem penahanan oleh Penyidik diperketat, perubahan atau penambahan jenis alat bukti acara pidana, pengaturan penegasan mengenai saksi mahkota, penegasan penyelesaian perkara di luar pengadilan, penegasan peradilan cepat, Mahkamah Agung tidak boleh menjatuhkan pidana lebih berat dari pada Pengadilan Tinggi kecuali jika putusan pengadilan di bawah Mahkamah Agung lebih ringan dari pada minimum khusus, dan masih banyak materi lainnya. Dari beberapa materi baru dalam konsep hukum acara pidana tersebut, yang menarik adalah konsep tentang Hakim Pemeriksa
28
Pendahuluan. Bagaimana substansi, hakikat dan pengaturannya dalam konsep RUU Hukum Acara Pidana perlu dibahas dan ditelaah, agar ada pemahaman mengenai Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam hukum acara pidana. B. Alasan pembaharuan Hukum Acara Pidana. Pembaharuan hukum acara pidana didasarkan pada beberapa alasan, sebagaimana pembaharuan pada undang-undang pada umumnya. Selain alasan secara umum, yaitu alasan yuridis, filosofis dan sosiologis, menurut Andi Hamzah selaku Ketua Pokja RUU Hukum Acara Pidana, ada beberapa alasan khusus mengapa hukum acara pidana perlu diperbaharui. Menurutnya, alasan dimaksud adalah: a. Ada Rancangan KUHP Baru sehingga hukum acara pidana perlu disesuaikan dengan KUHP Baru. b. Selama 32 tahun berlalu banyak perubahan hukum sedunia mengikuti perkembangan teknologi dan hubungan masyarakat. c. Secara teknis yuridis ada beberapa kekeliruan dalam KUHAP 1981. d. Ketentuan yang dibuat terlepas dari ketentuan universal menimbulkan kerancuan dalam penegakan hukum. KUHP dan KUHAP berlaku bagi semua orang yang ada di Indonesia, bahkan dalam delik tertentu berlaku di seluruh dunia berdasarkan asas universalitas. Selain itu, yang juga menjadi pendorong perlunya hukum acara pidana diperbaharui adalah karena Indonesia telah meratifikasi sejumlah konvensi internasional yang substansi materinya berkaitan dengan penegakan hukum. Beberapa konvensi dimaksud adalah: 1. Convention against torture and other cruel, inhuman or degrading treatment or punishment yang disahkan dengan undangundang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention against torture and other cruel, inhuman or degrading treatment or punishment (Konvensi Internasional Menentang Penyiksaan dan Perlakuan
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Hakim Pemeriksa Pendahuluan Telaah Konsep RUU Hukum Acara Pidana Oleh: Letkol Chk Agustinus PH,. S.H., M.H.
atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia). 2. International Covenant on Civil and Political Rights yang disahkan dengan Undangundang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Konvensi Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik). 3. United Nation Convention Against Corruption yang disahkan dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nation Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan BangsaBangsa Anti Korupsi, 2003). C. Beberapa substansi baru dalam RUU Hukum Acara Pidana Sebagaimana suatu Rancangan Undangundang yang bersifat pembaharuan dari undangundang yang sudah ada, maka dalam konsep naskah terdapat rumusan-rumusan substansi materi yang sifatnya baru atau merubah dari substansi lama. Demikian halnya RUU Hukum Acara Pidana dirumuskan beberapa substansi materi baru, antara lain: 1. Merumuskan dan mempertegas asas legalitas. Asas legalitas (legality of principle) telah lama dikenal dalam sistem hukum pidana kita, terutama di dalam hukum pidana materiil (KUHP). Tidak hanya di dalam hukum pidana materiil, dalam hukum acara pidana pun menganut asas legalitas. Namun, dipahami bahwa terdapat perbedaan antara asas legalitas dalam hukum pidana materiil dan hukum acara pidana. Asas legalitas dalam hukum pidana materiil tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP dan Rancangan KUHP. Istilah yang dipakai pada asas legalitas menurut Pasal 1 ayat (1) KUHP adalah “perundang-undangan pidana” (wettelijk strafbepaling). Jadi, dalam hal ini legalitasnya mencakup peraturan perundang-undangan yang lebih luas, meliputi Undang-undang,
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah. Maka dalam hal ini di dalam Peraturan Daerah dapat memuat rumusan tindak pidana dan ancaman pidana. Sedangkan dalam hukum acara pidana, istilah yang dipakai ialah “undang-undang” (wet). Jadi, tidak boleh seseorang ditangkap, ditahan, dituntut berdasarkan Peraturan Pemerintah ataupun Peraturan Daerah, melainkan harus berdasarkan undangundang. Asas legalitas dalam hukum acara pidana Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 dirumuskan dalam Pasal 3: “Peradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.” Rumusan asas legalitas dalam KUHAP ini, menurut Andi Hamzah ada dua kekeliruan mendasar. Pertama, kekeliruan dalam perumusannya, karena dipakai istilah Peradilan, padahal ada Peradilan Perdata, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Agama. Mestinya dipakai istilah Acara Pidana. Ada perbedaan antara peradilan pidana dan acara pidana. Menurut Joan Miller sebagaimana dikutip Andi Hamzah, criminal justice system mulai dari perencanaan undang-undang pidana sampai pemasyarakatan. Sedangkan hukum acara pidana mulai penyidikan sampai eksekusi. Hukum acara pidana tidak meliputi sistem pemasyarakatan, sedangkan peradilan pidana meliputi pula pemasyarakatan. Kekeliruan kedua ada kata-kata “undang-undang ini.” Penggunaan kata ini tidak tepat karena dapat membatasi bahwa hukum acara pidana hanya diatur di dalam undang-undang KUHAP saja, padahal ada ketentuan acara pidana di luar KUHAP, seperti Undang-undang Kepolisian, Undang-undang Kejaksaan, Undang-undang KPK, dan lain-lain. Maka, menurut Andi Hamzah lebih tepat rumusan asas legalitas yang dirumuskan dalam Strafvordering (KUHAP) Nederland, yang merumuskan: “Strafvordering heeft alleen plaats op de wijze bij de wet voorzien”. (Acara pidana dijalankan hanya menurut cara yang diatur
29
Hakim Pemeriksa Pendahuluan Telaah Konsep RUU Hukum Acara Pidana Oleh: Letkol Chk Agustinus PH,. S.H., M.H.
undang-undang). Begitu pula rumusan asas legalitas dalam KUHAP RRC : “public security organ, people proracurate, people judge should strictly observe this law and other relevant law. (“Badan Sekuriti Publik, Jaksa Rakyat, Hakim Rakyat harus secara ketat memperhatikan undang-undang ini dan undang-undang lain yang relevan”). Oleh karena dipakai istilah “undang-undang ini” maka perlu dilanjutkan dengan penambahan “undang-undang lain yang relevan.” Dalam pandangan Andi Hamzah, bahwa rumusan asas legalitas dalam hukum acara pidana Pasal 3: “Peradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam undangundang ini” perlu disempurnakan. Karena, rumusan. “… undang-undang ini” membatasi proses beracara pidana, seolah-olah dibatasi pada Undang-undang Nomor 8 tahun 1981, padahal dalam proses beracara pidana selain menggunakan Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 juga mendasarkan undangundang lainnya, baik pada Penyidikan, Penuntutan, dan Hukum Acara Pidana Khusus yang diatur di dalam undang-undang tertentu. 2. Sistem penahanan diperketat. Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian awal bahwa perubahan konsep hukum acara pidana ini dipengaruhi oleh beberapa konvensi internasional, dan Indonesia sudah meratifikasi Interational Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Maka penahanan yang diperketat dalam ICCPR itu harus diimplementasikan ke dalam hukum acara pidana. Pasal 9 ICCPR mewajibkan apabila seseorang ditangkap harus segera (promptly) dibawa (secara fisik) ke hakim untuk ditahan. Jadi, pada prinsipnya hakimlah yang menahan orang, karena penahanan adalah merampas kemerdekaan seseorang. Dalam Rancangan hukum acara pidana ini, ditentukan bahwa apabila seseorang ditangkap karena diduga keras telah melakukan delik, maka penyidik hanya boleh menahan selama lima hari yang
30
dapat diperpanjang oleh penuntut umum selama lima hari berikutnya. Sesudah itu tersangka harus dibawa secara fisik ke hakim pemeriksa pendahuluan untuk dilakukan penahanan. Sebagai perbandingan, oleh Andi Hamzah diberikan gambaran pembanding dengan penahan di beberapa negara. Penyidik di Amerika Serikat hanya boleh menahan orang selama dua kali dua puluh empat jam. Penyidik di Nederland boleh menahan tersangka selama tiga kali dua puluh empat jam dan diperpanjang oleh penuntut umum selama tiga kali dua puluh empat jam, selanjutnya dibawa secara fisik ke Rechter Commissaris untuk ditahan selama 14 hari, sesudahnya diperpanjang oleh hakim majelis pengadilan negeri selama 30 hari. Penyidik di Malaysia hanya boleh menahan tersangka selama satu kali dua puluh empat jam yang selanjutnya harus hakim yang melakukan penahanan. Penyidik Perancis hanya boleh menahan tersangka selama satu kali dua puluh empat jam diperpanjang oleh Jaksa selama satu kali dua puluh empat jam selanjutnya dibawa secara fisik ke hakim pembebasan dan penahanan (juge de liberte et de la detention). 3. Perubahan Jenis Alat Bukti Alat bukti yang dirumuskan di dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana adalah sbb: a. Keterangan Saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat; d. Petunjuk; e. Keterangan Terdakwa. Alat bukti dalam undang-undang hukum acara pidana ini termasuk salah satu materi yang akan diperbaharui. Konsep RUU Hukum Acara Pidana, merumuskan alat bukti sebagai berikut: a. Barang bukti; b. Surat-surat; c. Bukti elektronik; d. Keterangan seorang ahli; e. Keterangan seorang saksi;
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Hakim Pemeriksa Pendahuluan Telaah Konsep RUU Hukum Acara Pidana Oleh: Letkol Chk Agustinus PH,. S.H., M.H.
f. Keterangan terdakwa; g. Pengamatan hakim. Menurut Ketua Pokja RUU Hukum Acara Pidana, Andi Hamzah, alat bukti Petunjuk dihilangkan, diganti dengan pengamatan hakim, hal ini sama dengan Hukum Acara Pidana negara lain. Pengamatan hakim, di Negeri Belanda disebut dengan istilah: eigen waarneming van de rechter. Atau, dalam bahasa Inggrisnya disebut judicial notice. Selanjutnya menurut Andi Hamzah, tidak ada Hukum Acara Pidana di dunia ini yang menyebut petunjuk atau aanwijzing atau Indication sebagai alat bukti, kecuali di dalam Strafvordering Belanda Tahun 1838, Inlandsch Regelement HIR dan KUHAP Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981, karena meniru HIR. Landsgerechtreglement sudah menyebut eigen waarneming van de rechter sebagai alat bukti, begitu pula Undang-Undang Mahkamah Agung tahun 1950 sudah menyebut “pengetahuan hakim” sebagai alat bukti menggantikan petunjuk. Alat bukti Keterangan Saksi dan Keterangan Ahli, dirubah istilah yang digunakan dalam Konsep RUU. Jika pada Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 menggunakan istilah Keterangan Saksi dan Keterangan Ahli. Maka, dalam Konsep RUU menggunakan istilah Keterangan Seorang Saksi dan Keterangan Seorang Ahli. Jadi dalam Konsep RUU menggunakan kata tunggal, yaitu Seorang Saksi dan Seorang Ahli. Dengan begitu, menurut Andi Hamzah, berarti jika sudah ada dua saksi atau dua ahli, maka sudah cukup memenuhi alat bukti yang dipersyaratkan, karena dipakai kata singular. Sebaliknya pada alat bukti surat, dipakai istilah surat-surat, artinya plural, jadi menurut Andi Hamzah, jika ada sepuluh surat, dihitung hanya satu alat bukti. Dalam praktek peradilan, kurang dipahami hal ini. 4. Penegasan saksi mahkota Sebenarnya saksi mahkota atau crown witness atau kroon getuige sudah dikenal dalam yurisprudensi dan doktrin hukum pidana Indonesia yang mengacu pada
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
hukum pidana Belanda. RUU Hukum Acara Pidana menegaskan kembali, bahwa apabila Penuntut Umum kesulitan dalam pembuktian, maka dapat menentukan salah seorang tersangka yang paling ringan perannya dalam kejahatan yang dilakukan secara medeplegen, yang bersedia membongkar peran teman-temannya, dapat dikeluarkan dari daftar tersangka/terdakwa dan dijadikan saksi yang memberatkan teman-temannya Apabila tidak ada tersangka yang dapat dimaafkan begitu saja, karena cukup berat perannya, maka tetap dipilih yang paling ringan perannya untuk dijanjikan pidana yang lebih ringan jika bersedia membongkar peran semua teman-temannya. Tentu hal ini harus disampaikan kepada hakim dan jika perlu diberi perlindungan. Italia sudah membuat undang-undang khusus mengenai saksi mahkota dan ternyata cukup efektif untuk memberantas kejahatan mafia. D. Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam RUU Hukum Acara Pidana 1. Istilah dan kewenangan Hakim Pemeriksa Pendahuluan Istilah Hakim Pemeriksa Pendahuluan merupakan istilah baru yang dalam konsep RUU sebelumnya disebut sebagai hakim komisaris. Secara historis, istilah hakim komisaris sebenarnya bukan hal baru di Indonesia, sebab pada masa berlakunya Reglement op de Strafvoerdering, hal tersebut sudah diatur dalam title kedua tentang van regtercommissaris yang berperan pada tahap pemeriksaan pendahuluan sebagai pengawas (examinating judge) untuk mengawasi, apakah tindakan upaya paksa (dwang middelen) yang meliputi penangkapan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat-surat, dilakukan dengan sah atau tidak. Selain itu, di dalam Reglement op de Strafvoerdering tersebut Hakim Komisaris atau regtercommissaris dapat melakukan tindakan eksekutif (investigating judge) untuk memanggil orang, baik para Saksi maupun Tersangka,
31
Hakim Pemeriksa Pendahuluan Telaah Konsep RUU Hukum Acara Pidana Oleh: Letkol Chk Agustinus PH,. S.H., M.H.
mendatangi para Saksi maupun Tersangka, dan memeriksa serta mengadakan penahanan sementara terhadap Tersangka. Setelah diberlakukan Herziene Indische Reglement (HIR) berdasarkan Staatsblad Nomor 44 tahun 1941 istilah regtercommissaris tidak digunakan lagi. Menurut rumusan di dalam Rancangan Undang-undang Hukum Acara Pidana, Hakim Pemeriksa pendahuluan adalah: “Pejabat yang diberi wewenang menilai jalannya penyidikan dan penuntutan, dan wewenang lain yang ditentukan dalam Undang-undang ini.” Selanjutnya kewenangan Hakim Pemeriksa Pendahuluan, di dalam Pasal 111 RUU dirumuskan bahwa Hakim Pemeriksa Pendahuluan memiliki wewenang untuk memutuskan: a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan atau penyadapan; b. P e m b a t a l a n a t a u p e n a n g g u h a n penahanan; b. Bahwa keterangan yang dibuat oleh Tersangka atau Terdakwa dengan melanggar hak untuk tidak memberatkan diri sendiri; c. Alat bukti atau pernyataan yang diperoleh secara tidak sah tidak dapat dijadikan alat bukti; d. Ganti kerugian dan/atau rehabilitasi untuk seseorang yang ditangkap atau ditahan secara tidak sah atau ganti kerugian untuk setiap hak milik yang disita secara tidak sah; e. Tersangka atau Terdakwa berhak untuk atau diharuskan untuk didampingi oleh pengacara; f. Bahwa penyidikan atau penghentian penyidikan yang tidak berdasarkan asas oportunitas; g. Layak atau tidaknya suatu perkara untuk dilakukan penuntutan ke pengadilan; dan h. Pelanggaran terhadap hak Tersangka yang terjadi selama tahap penyidikan.
32
2. Ha k i m P e m e r ik s a a n P e n d a hu l u a n menggantikan Hakim Praperadilan Pada prinsipnya Hakim Pemeriksa Pendahuluan ini sama dengan hakim praperadilan yang sekarang berlaku menurut KUHAP. Namun, kewenangannya ditambah dengan perpanjangan penahanan, izin penggeledahan, penyitaan, dll. Hal ini untuk mengurangi beban hakim pengadilan negeri. Iza Fadri memperbandingkan antara hakim praperadilan dengan hakim pemeriksa pendahuluan, dapat digambarkan sbb: a. Hakim Praperadilan. 1) Transparan berupa sidang Semua permohonan yang diajukan kepada Praperadilan, diperiksa dan diputus dalam proses persidangan yang terbuka untuk umum, sehingga menjamin proses peradilan untuk tidak bertindak sewenang-wenang di dalam menentukan kesalahan seseorang. Asas keterbukaan untuk umum atau publicitas ini merupakan dasar untuk mengontrol pengadilan yang adil. Dengan sidang yang dilakukan terbuka, maka kontrol dapat dilakukan secara langsung oleh masyarakat terhadap Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim. Dengan demikian pelaksanaan sidang lebih bersifat transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu dapat dihindari terjadinya kolusi pada saat pengambilan Putusan Hakim. Pemeriksaan Praperadilan tidak hanya menghadirkan pemohon praperadilan, namun juga memanggil pejabat yang menimbulkan terjadinya alasan permintaan pengajuan pemeriksaan praperadilan. Secara formal, kehadiran pejabat yang bersangkutan dalam pemeriksaan sidang praperadilan, bukan sebagai pihak dalam arti pemeriksaan perkara perdata. Secara formal, kedudukan dan kehadiran pejabat hanya untuk memberikan keterangan. Keterangan pejabat didengar Hakim dalam sidang
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Hakim Pemeriksa Pendahuluan Telaah Konsep RUU Hukum Acara Pidana Oleh: Letkol Chk Agustinus PH,. S.H., M.H.
sebagai bahan pertimbangan dalam menjatuhkan putusan. 2) Masyarakat memiliki akses ke dalam sistem Dise b u tka n dala m KUHA P bahwa salah satu pihak yang dapat mengajukan praperadilan adalah “pihak ketiga yang berkepentingan”. Pengertian pihak ketiga yang berkepentingan harus ditafsirkan secara luas, tidak terbatas hanya saksi korban dan pelapor tetapi meliputi masyarakat luas yang dapat diwakili oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Pada dasarnya penyelesaian tindak pidana menyangkut kepentingan umum. Apabila bobot kepentingan umum dalam tindak pidana yang bersangkutan sedemikian rupa, sangat layak dan proporsional untuk memberikan hak kepada masyarakat umum yang diwakili oleh LSM atau organisasi kemasyarakatan untuk mengajukan kepada praperadilan atas tindakan hukum Penyidik atau Penuntut Umum khususnya dalam hal penghentian penyidikan atau penuntutan. 3) Check & Ballances fungsional Pada prinsipnya tujuan utama pelembagaan praperadilan dalam KUHAP adalah untuk melakukan pengawasan horizontal atas tindakan upaya paksa yang dikenakan terhadap Tersangka selama tersangka tersebut berada dalam pemeriksaan penyidikan atau penuntutan, agar benar-benar tindakan itu tidak bertentangan dengan ketentuan hukum dan undang-undang. Semua kegiatan dan tata laksana praperadilan tidak terlepas dari struktur dan administrasi yustisial Pengadilan Negeri. Berdasarkan kenyataan ini, apapun yang hendak diajukan kepada praperadilan, tidak terlepas dari ruang lingkup kebijaksanaan
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
dan tata laksana Ketua Pengadilan Negeri. 4) Putusan diuji Pasal 83 ayat (2) KUHAP mengatur tentang Putusan Praperadilan yang dapat dimintakan Banding ke Pengadilan Tinggi. Di dalam pasal tersebut ditentukan, Putusan Praperadilan yang menetapkan “tidak sahnya” penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan permintaan Banding. Pasal 83 ayat (2) KUHAP telah menentukan Pengadilan Ti n g g i u n t u k m e m e r i k s a d a n memutus tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan dalam bentuk putusan akhir, sehingga terhadap putusan tersebut tidak dapat diajukan Kasasi. Oleh karena itu, lebih tepat apabila upaya hukum dalam proses ini disejajarkan dengan upaya perlawanan (verzet) terhadap putusan praperadilan tentang tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan. b. Hakim Pemeriksa Pendahuluan 1) Bersifat Tertutup Sistem pemeriksaan oleh Hakim Pemeriksa Pendahuluan pada dasarnya bersifat tertutup (internal) dan dilaksanakan secara individual oleh Hakim yang bersangkutan terhadap Penyidik, Penuntut Umum, Saksi-saksi bahkan juga Terdakwa. Sekalipun pemeriksaan itu dilakukan secara objektif dan profesional, namun karena sifatnya yang tertutup, maka tidak ada transparansi dan akuntabilitas publik, sebagaimana halnya proses pemeriksaan sidang terbuka dalam forum Praperadilan. Akibatnya masyarakat (publik) tidak dapat turut mengawasi dan menilai proses pemeriksaan pengujian serta penilaian Hakim terhadap benar tidaknya, atau tepat tidaknya upaya paksa yang dilakukan oleh Penyidik ataupun Jaksa Penuntut Umum.
33
Hakim Pemeriksa Pendahuluan Telaah Konsep RUU Hukum Acara Pidana Oleh: Letkol Chk Agustinus PH,. S.H., M.H.
Dalam kondisi sekarang, syarat transparansi dan akuntabilitas publik ini amat diperlukan, terutama dalam menghadapi korupsi, kolusi dan nepotisme yang sudah melanda bidang peradilan. 2) Masyarakat tidak memiliki akses ke dalam sistem S e c a r a k o n s e p s i , H a k i m Pemeriksa Pendahuluan adalah suatu kelembagaan yang merupakan bagian dari fungsi Hakim yang mengendalikan proses keadilan. Konsep ini dipakai, pertama sebagai lembaga yang melaksanakan fungsi praperadilan atau pengujian terhadap proses penyidikan dan penuntutan yang dilakukan oleh Penyidik dan Penuntut Umum. Secara substansial Hakim Pemeriksa Pendahuluan mengambil peran pengujian dari tersangka dan dilakukan oleh negara. Bandingkan dengan sistem Praperadilan, seseorang yang merasa haknya atau penggunaan upaya paksa tidak sesuai dengan ketentuan dapat menggugat Penyidik atau Penuntut Umum yang merupakan representasi negara , sehingga dalam hal ini Tersangka atau warganegara itu sendiri yang aktif sedangkan dalam Hakim Pemeriksa Pendahuluan hak itu dilakukan oleh negara yang diwakili Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Lebih lanjut perbandingan ini merupakan bagian perbedaan sistem praperadilan dengan Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Dalam konsep hukum common law sistem Praperadilan ini banyak digunakan dan juga hal ini dianut dalam KUHAP. 3) Tidak ada check & ballances Sekalipun pemeriksaan oleh Hakim Pemeriksa Pendahuluan dilakukan secara objektif dan profesional, namun karena sifatnya yang tertutup, maka tidak ada transparansi dan akuntabilitas
34
publik, sebagaimana halnya proses pemeriksaan sidang terbuka dalam forum Praperadilan. Akibatnya masyarakat (publik) tidak dapat turut mengawasi dan menilai proses pemeriksaan pengujian serta penilaian Hakim terhadap benar tidaknya, atau tepat tidaknya upaya paksa yang dilakukan oleh Penyidik ataupun Jaksa Penuntut Umum. Dalam kondisi penegakan hukum saat ini, dimana kepercayaan publik pada institusi peradilan masih sangat rendah karena ulah dari aparat penegak hukum sendiri yang masih sering bertindak tidak profesional, penerapan konsep Hakim Komisaris akan rentan dengan tindak penyimpangan dan penyalahgunaan kewenangan. 4) Putusan Bersifat Final Putusan Hakim Pemeriksa Pendahuluan bersifat final, berarti putusan yang diambil merupakan putusan akhir. Terhadapnya tidak lagi dapat diajukan permintaan upaya hukum baik banding maupun kasasi. Atas kenyataan tersebut, nasib Tersangka akan sangat ditentukan oleh Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Ketika Hakim Pemeriksa Pendahuluan yang melakukan pemeriksaan terhadap upaya paksa yang dilakukan pada tahap penyidikan atau penuntutan memiliki integritas dan moral yang baik, maka dapat diharapkan putusannya akan netral. Akan tetapi ketika HPP sudah terlibat dalam kepentingan salah satu pihak yang berperkara, maka dikhawatirkan putusan yang diambil menjadi tidak netral. Terhadap putusan yang tidak netral tersebut sudah tertutup upaya untuk melakukan koreksi karena putusan Hakim Pemeriksa Pendahuluan bersifat final. Suatu kondisi yang kontradiktif dengan semangat mencari keadilan materiil.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Hakim Pemeriksa Pendahuluan Telaah Konsep RUU Hukum Acara Pidana Oleh: Letkol Chk Agustinus PH,. S.H., M.H.
3. Pandangan yang tidak sependapat adanya Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Sebagai suatu lembaga atau sistem yang baru diperkenalkan dan kemudian dirumuskan dalam suatu naskah Rancangan Undang-u n d a n g , sudah sewa ja rn y a kemudian menimbulkan berbagai pendapat. Sikap dan pandangan pro dan kontra, terlebih pada alam demokrasi bukanlah suatu hal yang ditabukan. Maka, ada baiknya juga jika kita mendengarkan pandangan dan pendapat-pendapat yang berkembang, sehingga jika memungkinkan kita dapat ikut menelaah. M e n u r u t p e n d a p a t y a n g k u r a n g sependapat dengan adanya lembaga Hakim Pemeriksa Pendahuluan, memberikan gambaran bahwa sistem pemeriksaan oleh Hakim Pemeriksa Pendahuluan bersifat tertutup (internal) dan dilaksanakan secara individual oleh Hakim yang bersangkutan terhadap Penyidik, Penuntut Umum, saksisaksi bahkan juga Terdakwa. Sekalipun pemeriksaan itu dilakukan secara objektif dan profesional, namun karena sifatnya yang tertutup, maka tidak ada transparansi dan akuntabilitas publik, sebagaimana halnya proses pemeriksaan sidang terbuka dalam forum pemeriksaan oleh Hakim Praperadilan yang digelar secara terbuka. Akibatnya masyarakat tidak dapat turut mengawasi dan menilai proses pemeriksaan pengujian serta penilaian Hakim terhadap benar tidaknya, atau tepat tidaknya upaya paksa yang dilakukan oleh Penyidik ataupun oleh Jaksa Penuntut Umum. Kondisi seperti ini dapat menggiring Hakim Pemeriksa Pendahuluan untuk menyalahgunakan kewenangan yang diembannya. K e b e r a d a a n H a k i m P e m e r i k s a Pendahuluan sejatinya tidak diperlukan lagi apabila pengawas internal masing-masing lembaga dalam Sistem Peradilan Pidana berjalan maksimal. Melihat kondisi geografis Indonesia keberadaan Hakim Pemeriksa Pendahuluan akan menyulitkan pelaksanaan tekhnis maupun manajemen peradilan. Selain itu angka kejahatan yang tinggi akan
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
cukup sulit untuk diakomodasi oleh Hakim Pemeriksa Pendahuluan dan memerlukan energi yang lebih untuk membentuk Hakim Pemeriksa Pendahuluan sebagai lembaga baru. K e l e m b a g a a n H a k i m P e m e r i k s a Pendahuluan yang dikonsepkan berada pada setiap Pengadilan Negeri dua orang Hakim, maka akan membutuhkan dana yang sangat besar untuk membentuk Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Syarat Hakim Pemeriksa Pendahuluan yang pangkat dan golongannya setingkat dengan Ketua Pengadilan Negeri membutuhkan suatu lompatan Sumber Daya Manusia yang luar biasa untuk memenuhinya di seluruh wilayah Indonesia. Pihak yang tidak setuju dengan konsep Hakim Pemeriksa Pendahuluan menawarkan sebuah konsep, bahwa dalam rangka meningkatkan pengawasan kinerja aparat penegak hukum, upaya perbaikan bukan melalui penggantian Lembaga Praperadilan dengan membentuk Hakim Pemeriksa pendahuluan atau Hakim Komisaris. Melainkan melalui upaya memberdayakan Praperadilan dengan cara: memperluas lingkup Praperadilan. Perluasan kewenangan dalam sistem Praperadilan diperluas kewenangannya, yaitu memeriksa: a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan penyadapan; b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan dan/atau penghentian penuntutan; c. Sah tidaknya perolehan alat bukti; d. Ganti kerugian karena salah dalam penangkapan, penahanan, penyitaan, bagi pemohon; e. Layak atau tidaknya penanganan perkara oleh penyidik yang melebihi waktu 1 (satu) tahun sejak diterbitkannya surat pemberitahuan dimulainya penyidikan kepada penuntut umum; f. Layak atau tidaknya perkara yang telah dilakukan gelar perkara bersama antara penyidik dengan penuntut umum tetapi dinyatakan oleh penuntut umum berkas
35
Hakim Pemeriksa Pendahuluan Telaah Konsep RUU Hukum Acara Pidana Oleh: Letkol Chk Agustinus PH,. S.H., M.H.
perkara tersebut masih belum lengkap; g. Rehabilitasi terhadap perkara yang tidak diajukan ke pengadilan. Maka, pihak yang tidak sependapat dengan adanya Hakim Pemeriksa Pendahuluan, dan cukup dengan memperluas dan menambah kewenangan hakim praperadilan, maka tidak perlu disusun RUU Hukum Aacara Pidana tetapi cukup mengamandemen KUHAP pada rumusan kewenangan praperadilan. Melalui amandemen ini diharapkan tidak akan merubah secara total substansi KUHAP yang dapat berdampak pada perubahan mekanisme dan kelembagaan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. E. Bagaimana dalam sistem peradilan militer mendatang Paling tidak ada dua hal penting yang perlu mendapat perhatian, pemikiran, dan kajian dalam sistem peradilan militer terkait dengan konsep Hakim Pemeriksa Pendahulun dan terkait dengan diperketatnya penahanan dalam konsep RUU Hukum Acara Pidana Umum. Pertama, karena di dalam sistem peradilan militer tidak dikenal adanya sistem praperadilan. Pertanyaan yang dapat diajukan adalah, apakah dengan demikian perlu atau tidak Hakim Pemeriksa Pendahuluan dimasukkan dalam sistem peradilan militer. Memperhatikan kewenangan Hakim Pemeriksa Pendahuluan yang pada prinsipnya adalah menggantikan peran praperadilan (dengan penambahan/perluasan kewenangan) pada tahap pemeriksaan pendahuluan sebagai pengawas (examinating judge) untuk mengawasi apakah tindakan upaya paksa (dwang middelen) yang meliputi penangkapan, penggeledahan, penahanan, dll, dilakukan dengan sah atau tidak. Kewenangan seperti ini tidak ada di dalam sistem peradilan militer, karena memang sistem praperadilan tidak ada dalam undang-undang Peradilan Militer dengan pertimbangan dan alasan tertentu sehingga tidak diatur sistem praperadilan. Maka, perlu dipertimbangkan dan dikaji untuk kemungkinan diatur juga dalam hukum acara pidana militer. Kedua, dengan diperketatnya penahanan
36
dalam RUU Hukum Acara Pidana, dimana kewenangan penahanan oleh Penyidik diberikan waktu yang singkat, yaitu hanya lima hari dan diperpanjang lima hari oleh Penuntut Umum, dan setelah itu Tersangka harus dibawa secara fisik ke Hakim Pemeriksa Pendahuluan untuk dilakukan penahanan oleh Hakim. Sedangkan di dalam sistem peradilan militer penahanan terkait dengan kewenangan Ankum (Atasan yang berhak menghukum) dan Papera (Perwira Penyerah Perkara) khususnya dalam hal perpanjangannya. Bahwa kewenangan Ankum dan Papera memang perlu dilibatkan dalam proses penahanan bagi militer yang akan dilakukan penahanan, namun yang perlu dipikirkan dan dikaji adalah perlunya pembatasan penahanan, dan perlunya diatur bahwa penahanan lanjutan dilakukan oleh hakim. F. Penutup. Rancangan Undang-undang Hukum Acara Pidana telah memasukkan satu substansi dan lembaga Hakim Pemeriksa Pendahuluan sebagai salah satu bagian penting di dalam proses pada Sistem Peradilan Pidana/Criminal Justice System. Keberadaan Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam sistem peradilan pidana ini perlu dicermati secara seksama, tidak saja dari segi peran, fungsi dan tugasnya, khususnya jika dibandingkan dengan hakim praperadilan. Tetapi yang penting dicermati adalah, apakah dengan keberadaan Hakim Pemeriksa Pendahuluan proses beracara dalam sistem peradilan pidana akan lebih memberikan jaminan perlindungan hak-hak tersangka pada satu sisi dan memberikan kepastian penggunaan kewenangan aparat penegak hukum secara proporsional. Selain itu, apakah sistem kelembagaan Hakim Pemeriksa Pendahuluan khususnya terkait dengan kewenangannya sudah sesuai dengan standard universal yang dianut masyarakat bangsa-bangsa dalam proses acara pidana dalam memberikan perlindungan hak-hak Tersangka. Salah satu peran penting dari Hakim Pemeriksa Pendahuluan, yang kemudian
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Hakim Pemeriksa Pendahuluan Telaah Konsep RUU Hukum Acara Pidana Oleh: Letkol Chk Agustinus PH,. S.H., M.H.
menimbulkan perdebatan dan perbedaan pandangan, adalah kewenangannya dalam penahanan yang akan “mengambil alih” kewenangan penahanan yang selama ini menjadi kewenangan Penyidik. Dalam konsep RUU kewenangan penahanan oleh Penyidik diberikan waktu yang singkat, dan setelah itu Tersangka harus dibawa secara fisik ke Hakim Pemeriksa Pendahuluan untuk dilakukan penahanan oleh Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Selama ini, kewenangan penahanan Penyidik berdasarkan Pasal 24 KUHAP selama paling lama 20 hari dan dapat diperpanjang oleh Penuntut Umum untuk paling lama 40 hari. Perubahan sistem penahanan ini didasarkan pada Pasal 9 ICCPR yang mewajibkan apabila seseorang ditangkap harus segera (promptly) dibawa (secara fisik) ke hakim untuk ditahan. Jadi, pada prinsipnya hakimlah yang menahan seseorang karena bersifat merampas kemerdekaan. Maka, dalam Rancangan Undang-undang Hukum Acara ini, ditentukan bahwa apabila seseorang ditangkap karena diduga keras telah melakukan tindak pidana, maka Penyidik hanya boleh menahan selama lima hari yang dapat diperpanjang oleh penuntut umum selama lima hari berikutnya. Sesudah itu tersangka harus dibawa secara fisik ke hakim pemeriksa pendahuluan untuk dilakukan penahanan. Dalam kaitan dengan “model” atau “sistem” baru dalam RUU Hukum Acara Pidana, khususnya terkait dengan keberadaan Hakim Pemeriksaan Pendahuluan dan diperketatnya penahanan, maka perlu kajian mendalam dalam sistem peradilan militer.
Simposium Nasional Hukum Pidana dan Kriminologi” Kerjasama FH Unhas dan Mahupiki, Makassar, 18-19 Maret 2013. Dr. Iza Fadri SIK,S.H.,M.H., ”Tanggapan Polri Terhadap RUU HAP” makalah dalam Simposium Nasional Hukum Pidana dan Kriminologi” Kerjasama FH Unhas dan Mahupiki, Makassar, 18-19 Maret 2013. Naskah Akademik Undang-undang Hukum Acara Pidana, Jakarta, 28 April 2008. Naskah Rancangan Undang-undang Hukum Acara Pidana. Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
DAFTAR PUSTAKA Prof. Dr. Jur. Andi Hamzah, SH. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2008. ______________. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Yasrif Watampone, 2005. ______________. ”Beberapa hal dalam Rancangan KUHAP,” makalah dalam
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
37
KETIDAKTERTIBAN HUKUM NASIONAL DALAM KEBIJAKAN LEGISLASI PASCA REFORMASI Oleh: Prastopo, S.H., M.H.1
Abstrak
K
ebijakan legislasi pasca reformasi telah membawa dampak ketidaktertiban hukum nasional, karena tiga hal. Pertama, pergeseran kekuasaan eksekutif ke legislatif sehingga DPR RI berubah menjadi lembaga super body, bahkan dapat mencampuri kewenangan eksekutif, melalui mekanisme yang dikenal dengan “fit and proper test”. Kedua, sistem pemilihan umum langsung belum menemukan mekanisme ideal sebagai model Pemilu yang baku, sehingga menciptakan peluang bagi bakal calon maupun calon anggota legislatif untuk memenangkan pemilihan dengan bermodalkan popularitas dan kekuatan finansial. Padahal mereka yang menang akan mempunyai tugas dan tanggung-jawab sebagai pembuat kebijakan dalam bentuk Undang-Undang; sehingga anggota legislatif tidak menguasai dengan baik teori dan pengetahuan pembentukan undang-undang yang menjadi tugas utamanya. Sementara pelaksanaan mekanisme masukan
1. Penulis adalah dosen pada STHM “AHM-PTHM”.
38
dari para ahli tidak menjamin terjadinya proses transformasi pengetahuan yang diharapkan. Ketiga, dominasi kepentingan politik melalui partai masing-masing di lembaga legislasi, menyebabkan sistem legislasi terabaikan dan substansi perundng-undangan sebagai produk DPR RI tidak mendalam dan sering menimbulkan kekecewaan masyarakat. Ketiga hal di atas menyebabkan dalam sistem legislasi nasional, dan sekaligus ketidaktertiban dalam sistem legislasi nasional dimaksud. Oleh karena itu, Negara seharusnya memetakan permasalahan hukum dalam sebuah sistem hukum nasional sebagai cetak biru (blue print) yang menjadi dasar kebijakan legislasi nasional secara bertahap dan berkelanjutan serta menjamin terjadinya sinkronisasi antar perundang-undangan yang ada. Hal ini sekaligus akan mendorong secara substansial populis dan memenuhi rasa keadilan bagi rakyat karena materi muatan dari Undang-Undang adalah alat atau sarana kebijakan bagi negara untuk menjamin terwujudnya masyarakat yang adil makmur dan sejahtera. Kata kunci: sistem legislasi nasional, peraturan perundang-undangan.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Ketidaktertiban Hukum Nasional Dalam Kebijakan Legislasi Pasca Reformasi Oleh: Prastopo, S.H., M.H.
A. PENDAHULUAN Pergeseran kekuasaan dari eksekutif kepada legislatif, sebagai bagian masa transisi, telah menempatkan DPR RI sebagai lembaga negara yang super body. Konsekuensi dari pergeseran ini menyebabkan luasnya daya intervensi DPR RI, bahkan menjangkau halhal yang seharusnya menjadi tugas dan wewenang dari kepala pemerintahan (eksekutif). Pemanfaatan proses mendapatkan “persetujuan dari DPR RI” melalui sistem fit and proper test telah menjadi ajang tawar menawar kekuasaan. Kewenangan utama DPR RI yang semula merupakan fungsi sebagai pembuat peraturan perundang-undangan, (legislator) pengawasan pelaksanaan pemerintahan dan pemegang hak budgeter, sebagaimana diatur dalam hukum tata negara, telah berubah menjadi pemegang sebagian kekuasaan eksekutif dalam perspektif sistem pemerintahan presidensiil. Kekuatan lembaga legislatif smakin diperkuat lagi oleh praktik dan pendekatan pemegang tertinggi kekuasaan eksekutif itu sendiri, yaitu presiden terpilih. Alih-alih fokus pada kewenangan yang diberikan kepadanya berdasarkan konstitusi dan peraturan perundang-undangan, presiden lebih memilih menggunakan basis koalisi untuk “mengamankan” jalannya pemerintahan, sehingga mendorong praktik pemerintahan dengan sistem parlementer. Penataan pelaksanaan tata pemerintahan yang diinginkan berlaku secara demokratis, nampaknya belum dibarengi dengan penataan
2. Ismail Sunny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Jakarta: Penerbit Aksara Baru, 1986, hal.15 “adalah menjadi kebiasaan untuk membagi tugas-tugas pemerintahan ke dalam trichotomy yang terdiri dari eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pembagian ini adalah seringkali kita temui, kendatipun batas pembagian itu tidak selalu sempurna karena kadang-kadang satu sama lainnya pengaruh mempengaruhi. Lebih lanjut Ismail Sunny mengatakan bahwa UUD 1945 menganut pemisahan kekuasaan formil yaitu pemisahan kekuasaan itu tidak dipertahankan secara prinsipiil. Dengan perkataan lain UUD 1945 hanya mengenal pembagian kekuasaan (division of power) bukan pemisahan kekuasaan (separation of power)”.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
pada fungsi pilar demokrasi lainnya, sehingga mengakibatkan terjadinya kelemahan yang sangat serius, strategis dan potensial merugikan negara. Disadari memang pembagian kekuasaan menjadi trichotomi eksekutif, legislatif dan yudikatif, memang tidak selalu sempurna, namun demikian perlu pula dipahami bahwa ketiga pilar tersebut satu sama lain tidak terpisah secara tegas, bahkan saling mempengaruhi.2 Untuk itu perlu dan harus dilakukan upaya konstruktif sistem pembagian kekuasaan yang lebih baik, sehingga terdapat pemerintahan yang demokratis terhindar dari praktik bernegara yang burokrasi dan tirani. Era demokratisasi melalui sistem pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu 3 memberikan hak kepada setiap warga negara untuk secara bebas memilih dan dipilih sebagai perwujudan hak asasi manusia yaitu persamaan hak setiap warga negara dalam hukum dan pemerintahan, yang sekaligus merupakan hak asasi yang dijamin dalam UUD Negara Republik Indonesia 1945. Namun demikian, pada praktiknya interpretasi dan pelaksanaan persamaan hak ini mengandung kelemahan signifikan; ekses negatif yang dirasakan adalah tidak adanya ‘penyaringan’ secara kualifikasi, sehingga setiap orang termasuk yang tidak memiliki visi kenegaraan yang memadai pun dapat terpilih dan memiliki kewenangan strategis tersebut. Bukanlah rahasia lagi jika sebagian besar partai politik masih belum menjalankan mekanisme seleksi yang memadai untuk menyeleksi anggotanya pada saat mencalonkan 3. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 51, Pasal 1 ke-1 menentukan: “Pemilihan Umum, selanjutnya disebut Pemilu, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
39
Ketidaktertiban Hukum Nasional Dalam Kebijakan Legislasi Pasca Reformasi Oleh: Prastopo, S.H., M.H.
diri sebagai bakal calon maupun calon anggota legislatif. Padahal para bakal calon dan calon anggota legislatif inilah yang jika terpilih nantinya dan akan duduk dan menjalankan tugas dan tanggungjawab sebagai pembuat UndangUndang. Oleh karena itu, timbulnya wacana untuk melakukan perubahan pelaksanaan pemilu agar terjadi kesinambungan pemerintah pusat dan daerah, efisiensi dan lain-lain, merupakan respon langsung terhadap kondisi tersebut. Anggota terpilih pada umumnya mempunyai kelemahan mendasar yaitu lemahnya pengetahuan tentang asasasas yang baik dalam pembuatan UndangUndang, teori dan pengetahuan perundangundangan. Pengabaian terhadap kualifikasi ini menyebabkan kelemahan pula dalam produk yang dihasilkannya. Sekalipun terdapat mekanisme adanya draft akademis, masukan dari para ahli dalam proses pembahasan Rancangan Undang-Undang, dapat dipastikan tidak terjadi proses transformasi pengetahuan yang diharapkan; sementara tuntutan agar para anggota DPR memahami tujuan peraturan perundang-undangan agar bisa diterapkan secara efektif nantinya. Hal ini diperparah dengan adanya fakta, dominasi kepentingan politik melalui partai masing-masing yang sangat besar. Hal-hal di atas, memberi dampak pada sistem legislasi secara nasional. Berlanjutnya kondisi di atas menyebabkan proses dan pelaksanaan sistem legislasi terabaikan dan substansi perundang-undangan sebagai produk DPR RI sebagai lembaga negara sering menimbulkan kekecewaan bagi masyarakat bahkan menjauh dari rasa keadilan bagi rakyat yang diwakilinya. Negara seharusnya mampu memetakan permasalahan hukum dalam sebuah sistem hukum nasional sebagai cetak biru (blue print) yang menjadi dasar kebijakan legislasi nasional secara bertahap dan berkelanjutan serta menjamin terjadinya sinkronisasi antar perundang-undangan yang ada. Hal ini sekaligus akan mendorong secara sistematis, terwujudnya perundang-undangan yang secara substansial populis atau memenuhi
40
rasa keadilan bagi masyarakat, karena UndangUndang tersebut memang diharapkan dan mampu menjawab serta memberikan solusi bagi masyarakat. Merujuk pada hal-hal di atas, saat ini telah berkembang pemikiran dan praktik untuk memuat ketentuan pidana dalam peraturan perundangundangan administratif. Tujuan diterapkannya hal demikian adalah untuk menjamin efektivitas peraturan perundang-undangan administratif dimaksud. Namun demikian, sebagian besar peraturan perundang-undangan administratif tersebut mengandung kelemahan baik secara substansial maupun material yang sekaligus merupakan bukti yang sangat mencolok bahwa ketertiban dalam asas pembentukan perundangundangan telah diabaikan. Ketentuan pidana memang dapat diatur dalam sebuah UndangUndang Administratif, namun seharusnya menggunakan asas dan prinsip sistem hukum pidana yang ada dan diatur melalui sistem kodifikasi yaitu dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai sui generis atau induk hukum pidana di Indonesia. KUHP merupakan kodifikasi hukum pidana di Indonesia yang saat ini dirasakan mulai mengalami kekurangan dan/atau ketinggalan dari perkembangan jaman. Rasa keadilan masyarakat berkembang seiring dengan dinamika kehidupan, guna menjamin terpeliharanya rasa keadilan, diperlukan langkah kebijakan kriminalisasi terhadap berbagai tindakan yang dirasakan sebagai tidak patut atau tidak layak dilakukan di tengah-tengah masyarakat. Langkah yang paling strategis dan tepat untuk merespon perkembangan jaman dimaksud adalah dengan melakukan perbaikan, perubahan, penyesuaian yang diperlukan dalam KUHP sebagai sui generis hukum pidana. Sistem kodifikasi yang dianut dalam keluarga hukum (family law) mulai ditinggalkan dan para legislator lebih memilih mengatur berbagai sanksi pidana serta melakukan berbagai kriminalisasi dengan membuat delik baru dalam berbagai perundang-undangan tersebar di luar KUHP. Dalam upaya untuk menelaah dan memberikan solusi terhadap permasalahan di atas, penulis mencoba memaparkan persoalan
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Ketidaktertiban Hukum Nasional Dalam Kebijakan Legislasi Pasca Reformasi Oleh: Prastopo, S.H., M.H.
proses legislasi nasional secara umum dari perspektif administrasi dan pidana. B. PERKEMBANGAN SISTEM POLITIK PASCA REFORMASI Pada masa transisi seperti yang dialami oleh Indonesia sekarang ini, telah terjadi fenomena politik baru sebagai dampak masa transisi dimaksud, yaitu pergeseran kekuasaan dari eksekutif kepada legislatif. Salah satu dampak tersebut adalah fungsi partai politik sebagai salah satu pilar demokrasi belum maksimal; hal ini ditandai dengan proses rekrutmen anggota partai politik yang tidak dilakukan secara selektif, sehingga masalah teknis, administrasi, maupun legal bermunculan karenanya. Beberapa kasus ijazah palsu misalnya, menjadi pertanda kelemahan tersebut, SDM partai politik yang kurang memadai, sampai dengan kepentingan politik yang dominan. Hal ini menunjukkan pergeseran fungsi partai politik dan fungsi legislasi pada akhirnya. 1. Pergeseran Fungsi Partai Politik Berbagai pendapat tentang fungsi partai politik di negara demokratis setidaknya telah mendorong pamahaman bahwa peran partai politik sebagai sebuah institusi sangat strategis. Almarhumah Miriam Budiardjo dalam bukunya “Dasar-dasar Ilmu Politik” mengatakan ada 4 (empat) fungsi partai politik yaitu antara lain berperan sebagai rekrutmen politik. Partai politik sebagai institusi hendaknya menyadari tentang tugas dan tanggungjawabnya sebagai pilar demokrasi yaitu melakukan rekrutmen politik. Sebuah langkah rekrutmen seyogyanya adalah memilih sumber daya manusia yang mempunyai kapabilitas dan integritas sebagai kader politik yang kelak merupakan kader bangsa dan negara dalam melaksanakan amanat penderitaan rakyat. Pada praktiknya, proses rekrutmen pasca reformasi mempunyai kecenderungan yang kurang mengakomodir seleksi kader yang memiliki kualifikasi yang dibutuhkan. Partai politik sepertinya lebih memperhatikan
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
aspek keuntungan partai daripada aspek yang lain seperti menempatkan kapabilitas dan integritas pada nomor urut pertama. Keuntungan dimaksud, adalah mengakomodir dan memenuhi kebutuhan partai dalam perspektif membangun sebuah partai yang kuat dalam arti mempunyai banyak konstituen. Sehingga apabila di kemudian hari terdapat kader partai yang sekalipun kurang kapabel dan kurang integritas, sepanjang mampu memberikan konstribusi kepada partainya akan dipandang sebagai menguntungkan partai. Kelemahan lain yang dapat dicermati dalam perspektif fungsi partai politik adalah kewajiban partai untuk memberikan pendidikan politik baik kepada masyarakat terutama kepada para kadernya. Kader partai yang pada saatnya akan menduduki jabatan dalam lingkungan lembaga negara DPR RI/DPRD, mempunyai tugas utama yaitu sebagai pembuat peraturan perundangundangan. Sebagai pembuat peraturan perundang-undangan wajib memahami masalah-masalah terkait fungsi teknik pembuat peraturan perundang-undangan. Pengetahuan tentang ilmu dan teori perundang-undangan biasanya diperoleh dalam jenjang pendidikan Strata 1 pada prodi hukum, sementara syarat untuk menjadi bakal /calon anggota partai adalah tamat sekolah menengah atas atau yang sederajat, sehingga mutlak diperlukan pendidikan tambahan pra pelaksanaan tugas dan tanggungjawabnya serta pendidikan politik secara umum. Upaya melakukan pembekalan dan atau pendidikan kepada para kader partai sebagai solusi atas lemahnya rekrutmen di atas merupakan sebuah keniscayaan yang masih terabaikan, sehingga secara umum fungsi partai politik khususnya sebagai rekrutmen politik masih belum dilaksanakan. 2. Pergeseran Fungsi Legislasi P e r m a s a l a h a n l a i n y a n g d a p a t mengakibatkan ketidak-tertiban dalam proses legislasi nasional diakibatkan oleh
41
Ketidaktertiban Hukum Nasional Dalam Kebijakan Legislasi Pasca Reformasi Oleh: Prastopo, S.H., M.H.
pergeseran fungsi legislasi. Sebagaimana diketahui, salah satu fungsi dari lembaga legislatif adalah membuat peraturan perundang-undangan atau fungsi legislasi. Sebagai bentuk ideal guna memenuhi kewajiban kenegaraan dalam menjalankan fungsi maka sudah selayaknya para legislator mempunyai standar pengetahuan dasar (basic knowledge standard) tentang pembuatan peraturan perundang-undangan. Legislator diharapkan mampu berpikir secara sistemik, karena pada dasarnya peraturan perundang-undangan merupakan kebijakan negara tertulis yang terikat dan merupakan satu kesatuan, dalam sebuah Sistem Hukum Nasional, sehingga setiap peraturan perundang-undangan haruslah merupakan bagian sebuah sistem yang menyeluruh dan saling terkait serta lengkap dan komprehensif. Peraturan perundangundangan yang satu terkait dengan peraturan perundangan yang lain dan merupakan komponen sebuah sistem tentang hukum yang berlaku di seluruh Indonesia, sehingga harus terjadi sinkronisasi dan harmonisasi antara satu dengan lainnya. Sinkronisasi dan harmonisasi serta konsistensi dalam hukum pada dasarnya menjadi salah satu indicator dalam membangun sebuah sistem hukum nasional. P a r a l e g i s l a t o r h a r u s m a m p u mengimplementasikan dalam menyusun perundang-undangan yang didasarkan pada sebuah ide-ide dasar (basic ideas) Pancasila yang di dalamnya mengandung keseimbangan nilai/ide dan paradigma. Sejalan dengan langkah evaluasi internal terkait pembangunan hukum nasional yang diarahkan dan bersumber kepada Pancasila sebagai hukum dasar yang antara lain kebiasaan atau hukum adat, maka legislator juga wajib melakukan evaluasi dengan memperhatikan kecenderungan yang mendekati kecocokan dengan rumpun keluarga hukum (family law) yang berlaku di dunia internasional. Bahkan sejalan dengan evaluasi internal maka perlu pula dikembangkan dengan menggunakan
42
komparasi serta memperhatikan kecenderungan dunia dalam menyelesaikan masalah hukum. Guna melakukan langkah pengkajian dan pengembangan atau pembangunan hukum, dalam perspektif fungsi legislatif sebagai legislator, maka tidak ada pilihan lain harus dilakukan langkah perbaikan sumber daya manusia para anggota dewan menuju anggota dewan yang berkualitas dan berintegritas, agar mampu menciptakan hukum yang mendekati pada upaya memenuhi rasa keadilan masyarakat. Kiranya adadium “kebodohan sangat dekan dengan ketidakadilan” harus diupayakan agar berbalik menjadi “kepandaian akan melahirkan kebijakan dan kebijakan akan mendekati keadilan”. Pada tahapan proses pembuatan regulasi, pun tidak terlepas memberi kontribusi ketidaktertiban pada legislasi nasional. Proses pembuatan undang-undang sesuai dengan UUD Negara Republik Indonesia 1945 hasil amandemen ke-1 sampai dengan ke-4 menjadi kekuasaan DPR RI bersama-sama Presiden. Pembagian kewenangan mengenai fungsi legislator ini menjadi sangat tegas bahwa yang berwenang adalah DPR RI dan Presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan hanya berhak mengusulkan Rancangan Undang-Undang dan mengesahkannya setelah disetujui dalam rapat paripurna DPR RI. Meskipun demikian secara substansial, proses pembuatan perundang-undangan sangat bersifat politis. UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan peraturan perundangundangan, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan peraturan perundangundangan, mengatur bahwa sebelum pembentukan perundang-undangan diatur dengan mekanisme yang diwajibkan antara lain : terdapat naskah akademis,4 selanjutnya dalam pembahasan rancangan undang-undang juga terdapat mekanisme mendapatkan dari para ahli terkait serta
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Ketidaktertiban Hukum Nasional Dalam Kebijakan Legislasi Pasca Reformasi Oleh: Prastopo, S.H., M.H.
masyarakat, tetapi seluruh masukan dan pendapat tersebut dapat saja diabaikan dan ditinggalkannya manakalah mereka lebih mendapatkan masukan dari partai politiknya masing-masing pada saat mereka membawa dalam bentuk daftar isian permasalahan serta prioritas tertentu yang telah digariskan oleh pimpinan partainya. Substansi yang diyakini oleh pakar sesuai bidang keahliannya dan hasil kajian lembaga akademis dalam bentuk naskah akademis sebagai implementasi ilmu pengetahuan hukum serta masukan dari elemen masyarakat yang merupakan wujud dari rasa keadilan dan nilai-nilai budaya yang berkembang ternyata kalah dengan daftar isian permasalahan serta pesan yang berasal dari hasil institusi partai politik. Sehingga substansi keadilan yang didasarkan dari hasil keahlian dan kajian empiris para akademisi serta rasa keadilan masyarakat terabaikan dan yang disusun dalam ketentuan perundang-undangan merupakan kebijakan yang berasal dari pembahasan politik yang sebagian besar meninggalkan kaidah dan norma yang diatur dalam asas hukum dan keadilan. Berbagai kecaman terhadap lembaga legislatif mulai ramai disampaikan, bahkan Jimly Assiddhiqie dalam bukunya Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi, menyatakan : “…perlu dipertanyakan sejauhmana fungsi legislatif itu dapat dipertahankan sebagai fungsi utama parlemen. Karena kehidupan berkembang sangat cepat, makin rumit dan kompleks, tugas-tugas hukum dan pemerintahan juga terus berkembang makin kompleks”.5
4. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2000 tentang Pembentukan peraturan perundang-undangan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan peraturan perundang-undangan.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Padahal dalam proses legislasilah letak relasi antara asas hukum yang berkembang baik yang sedang berlaku maupun yang dicita-citakan dengan langkah pendekatan politik dalam perspektif pembuatan kebijakan, sehingga hukum sebagai produk politik tidak akan menjadi berkesan negatif. Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa proses pembuatan perundang-undangan di tingkat nasional sangat didominasi kepentingan politik, sehingga asas dan prinsip-prinsip pembuatan perundangundangan yang baik terabaikan. Draft akademis dan pendapat para ahli hanya dijadikan pelengkap syarat formal yang pada akhirnya juga dikalahkan dengan kepentingan politik (kepentingan kelompok melalui parpol, biaya politik, dlsb); ditambah lagi oleh fakta lemahnya sumber daya manusia sebagai akibat fungsi parpol yang belum berjalan. Dengan segala aspek ini tidaklah mengejutkan jika produk hukum yang dihasilkan tidak memuaskan dan mencerminkan rasa keadilan masyarakat. C. DAMPAK PERKEMBANGAN POLITIK PA S C A R E F O R M A S I T E R H A D A P LEGISLASI NASIONAL Berbagai fenomena dan praktik politik pasca reformasi sebagaimana dijelaskan pada bagian B, berdampak pada produk legislasi nasional itu sendiri. Dampak yang dirasakan secara substansial adalah berbagai penyimpangan baik terhadap substansi dan beberapa program legislasi nasional.
5. Jimly Assiddhiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi, serpihan pemikiran hukum dan HAM, Jakarta: Penerbit Konstitusi Press, 2004, halaman 7 ketika membahas fungsi pembuat hukum, lebih lanjut dikatakan, “…apalagi dalam praktik selama abad 20, terlihat adanya gejala yang menunjukkan legislatif parlemen itu sebenarnya tidak lebih penting dibandingkan fungsi pengawasan. Karena itu, perlu pula dipikirkan bahwa di masa depan tugas utama parlemen itu akan dituntut lebih menekankan fungsi pengawasan daripada fungsi legislatif.
43
Ketidaktertiban Hukum Nasional Dalam Kebijakan Legislasi Pasca Reformasi Oleh: Prastopo, S.H., M.H.
1. Penyimpangan Asas Hukum Kajian dalam makalah singkat ini diarahkan secara khusus perhatiannya pada pembangunan hukum (pidana) dan lebih khusus lagi pada hukum pidana administrasi. Lahirnya berbagai UU Administrasi yang di dalam memuat ketentuan pidana telah membawa kita pada sebuah kenyataan betapa banyak permasalahan yang harus dilakukan pengkajian untuk bahan perbaikan. Hukum administrasi mencakup ruang lingkup yang sangat luas, karena mencakup seperangkat hukum yang diciptakan oleh lembaga administrasi dalam bentuk undangundang. Philipus M. Hadjon dalam bukunya Himpunan Perundang-undangan Republik Indonesia sebagaimana dikutip oleh Barda Nawawi Arief, mencatat setidaknya sampai dengan 1987, terdapat 88 (delapan puluh delapan) aturan yang termuat dalam hukum administrasi, sudah barang tentu lebih banyak lagi dalam kondisi saat ini. Ternyata benar bahwa pembangunan hukum nasional tidaklah cukup dijalankan melalui perancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), karena sebenarnya KUHP hanya berupa salah satu hukum substantif sebagai hukum materiil, sebagai peninggalan colonial yang telah usang (ubsolute and unjust) serta ketinggalan jaman dan tidak sesuai dengan kenyataan (outmoded and unreal). Hukum kolonial yang merupakan warisan dan diberlakukan dalam negara bekas jajahan pada dasarnya telah memberlakukan hukum yang sama sekali tidak bersumber pada budaya dan nilai-nilai asli Indonesia. Hukum pidana sebagaimana sifat hukum pada umumnya akan selalu berkembang, demikian pula dalam tataran internasional hukum pidana telah mengalami pergeseran arah pembangunannya, hal ini ditandai dengan rekomendasi untuk melakukan kajian/penggalian hukum yang hidup dan bersumber dari nilai-nilai hukum agama dan hukum tradisional/ adat serta nilai-nilai hukum asli dari masyarakat. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Barda
44
Nawawi Arief, dalam bukunya yang berjudul “Pembaharuan Hukum Pidana, dalam perspektif perbandingan” yang mengatakan: “…bahwa kecenderungan internasional di dalam melakukan upaya pemikiran kembali dan penggalian hukum dalam rangka memantapkan strategi penanggulangan kejahatan yang integral ialah himbauan untuk melakukan pendekatan yang berorientasi nilai (value oriented approach) baik nilai kemanusiaan maupun nilai-nilai identitas budaya dan nilai-nilai moral keagamaan”. Sementara jika diperhatikan para legislator justru membuat berbagai peraturan perundang-undangan administratif sebagai hukum pidana administrasi dengan sanksi yang tidak mempunyai keseragaman. Ada yang menggunakan hanya pidana (single track system); ada yang menggunakan istilah sanksi administrasi, tetapi ada yang menggunakan istilah tindakan administrasi; ada yang menggunakan pidana pokok, tetapi ada yang menggunakan pidana pokok serta pidana tambahan; sanksi administrasi sebagai tindakan tata tertib; dan sebagainya. Bahkan hukum pidana administrasi seolah mengarah meninggalkan trend sanksi pidana yang sedang berlaku secara internasional. Sementara itu trend sanksi pada hukum pidana internasional sedang menuju pada ide penggunaan pidana penjara yang selektif dan limitatif, double track system yaitu antara sanksi pidana/punishment dengan tindakan/ treatment, pemaafan/pengampunan hakim (rechterlijk pardon) dan sebagainya. Munculnya delik baru sebagai bentuk kebijakan kriminal berupa tindakan mengkriminalisasikan berbagai tindakan pada perundang-undangan administratif semakin menambah panjangnya deretan daftar delik tersebar di luar KUHP. Kurang dicermati adanya kemungkinan mendisiplinkan berlakunya sistem kodifikasi yaitu dengan menarik berbagai delik yang tersebar di luar KUHP ke dalam KUHP melalui sistematika kodifikasi hukum pidana yang telah dirumuskan dalam KUHP. Terkait masalah kriminalisasi Soedarto
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Ketidaktertiban Hukum Nasional Dalam Kebijakan Legislasi Pasca Reformasi Oleh: Prastopo, S.H., M.H.
dalam bukunya yang berjudul “Hukum dan Hukum Pidana” sebagaimana disitir oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief, mengatakan bahwa untuk mempermasalahkan perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana harus memenuhi 4 (empat) hal inti . Penyimpangan lain juga didapati dalam lapangan praktik penegakan hukum hukum pidana yang menimbulkan masalah penegakan hukum (pidana) juga didapati dalam masalah sinkronisasi beberapa hukum fomal sebagai ketentuan pelaksanaan penegakan hukum pidana materiil terutama sehubungan dengan merespons perkembangan kejahatan seiring dengan era globalisasi yang memunculkan berbagai delik baru sebagai akibat perkembangan teknologi, terutama yang berkaitan dengan bukti dan cara pembuktian. Sementara itu pada sisi lain para legislator semakin ketinggalan para hakim pada Mahkamah Kostitusi sebagai lembaga yang berfungsi melaksanakan judicial review terhadap berbagai peraturan perundangundangan di bawah UUD. Mahkamah Konstitusi mempunyai kemampuan menafsirkan dan atau memaknai hukum yang diamanatkan konstitusi sebagai kesepakatan nasional atau frame work berbangsa dan bernegara. Sehingga tidak mengherankan jika kemudian terdapat kasus yang akhir-akhir ini aktual yaitu sengketa masa jabatan ketua KPK terpilih. 2. Politik Hukum Indonesia Sebagaimana diketehui berbagai protes dan kritik dari masyarakat, akademisi serta para pemerhati hukum dan perundangundangan yang berujung pada permohonan pengujian perundang-undangan (Judicial review) melalui Mahkamah Konstitusi sebagian besar disertai dengan permohonan uji formil yaitu permohonan yang berkaitan dengan mekanisme atau proses pembuatan perundang-undangan. Pemohon dalam pengujian formil biasanya mendasarkan pada alasan bahwa proses pembuatan UndangUndang tidak responsif, kurang menyertakan
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
peran serta masyarakat sebagai subyek hukum, dan lain-lain. Sedangkan alasan atau dasar permohonan yang berkaitan dengan permohonan materiil lebih diarahkan pada potensi pelanggaran hak-hak sipil, pelanggaran hak asasi manusia, tidak pro rakyat bahkan tuduhan neo liberal. Berdasarkan fakta tersebut, para legislator sebagai wakil rakyat yang terlibat langsung dengan pembuatan kebijakan diharapkan menyambut baik dan merespons dengan melakukan langkah-langkah perbaikan yang signifikan dan strategis yaitu dengan merubah atau memperbaiki mekanisme pengambilan keputusan politis secara lebih responsif dan populis, memperhatikan substansi Undang-Undang agar memenuhi kebutuhan masyarakat, memperhatikan perlindungan terhadap kepentingan bangsa dan negara, serta menciptakan peraturan perundang-undangan yang menghor-mati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Undang-Undang yang pada dasarnya merupakan kebijakan negara tertulis wajib memenuhi standar yang ditentukan dalam menyusunnya yaitu setidaktidaknya memenuhi asas-asas yang baik dalam peraturan perundan-undangan . Sementara itu Solly Lubis dalam bukunya Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan, mengatakan ada 3 (tiga) paradigma dalam penyusunan peraturan perundang-undangan yaitu landasan filosofis/paradigma filosofis, landasan yuridis/paradigma yuridis dan landasan politis/ paradigma politis . 3. Proses Program Legislasi Nasional Pada masa orde baru, eksekutif memegang kekuasaan yang sangat kuat bahkan memenuhi teori yang dikemukakan oleh seorang sejarahwan dari Inggris, Lord Acton, yang mengatakan : “power tend to corrupt, but ubsoludly power corrup ubsoludly”. Dengan mengingat bahwa pemerintahan dijalankan oleh manusia dan manusia selalui dilengkapi dengan kelemahan, demikianlah setiap pemegang kekuasaan akan senantiasa cenderung menggunakan
45
Ketidaktertiban Hukum Nasional Dalam Kebijakan Legislasi Pasca Reformasi Oleh: Prastopo, S.H., M.H.
kekuasaanya secara menyimpang dan barang siapa memegang kekuasaan yang mutlak maka dapat dipastikan akan menggunakan kekuasaannya yang mutlak tersebut secara menyimpang. Pemerintah Orde Baru telah terbukti dilaksanakan secara otoriter dan militeristik, hal ini terjadi karena kekuasaan yang berlebihan diberikan dan atau dimiliki oleh lembaga eksekutif. Meskipun demikian terdapat beberapa hal praktek penyelenggaraan negara yang dapat dijadikan bahan belajar bersama, khususnya terkait proses prolegnas. Prolegnas adalah program legislasi nasional, yang oleh I Gde Panca Astawa dikatakan “...Prolegnas adalah instrumen perencanaan pembentukan Undang-Undang yang disusun oleh DPR RI dan Presiden dan berisikan skala prioritas sesuai dengan perkembangan masyarakatyang memuat program legislatif jangka panjang, menengah dan pendek”. Pasca reformasi proses prolegnas dilaksanakan melalui proses pembuatan dalam kebijakan dengan diberikan payung hukum berupa Undang-Undang, kritik yang dapat disampaikan adalah dalam penyusunan prolegnas masih dimungkinkan bersifat parsial dan belum secara komprehensif. Prolegnas disusun dalam waktu 5 (lima) tahunan dan dilaksanakan setiap tahun, tetapi tidak terdapat jaminan bahwa apa yang telah disepakati oleh rejim yang berkuasa saat ini akan secara pasti menjadi kelanjutan dibahas dan diteruskan untuk rejim yang berkuasa berikutnya. Kelemahan ini sama dengan permasalahan yang dialami ketika para penyelenggara negara terpilih dari hasil pemilu akan secara arif dan bijaksana mengikuti dan melanjutkan RAPBN pendahulunya. Prolegnas seharusnya disusun secara sistemik sebagai bagian sistem prolegnas nasional menuju sistem hukum nasional yaitu berupa sebuah blue print pembangunan hukum (pidana) yang dibangun berdasarkan asas-asas dan prinsip hokum yang berasal dari nilai-nilai Ketuhanan, budaya asli bangsa Indonesia,
46
dengan menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia tetapi tetap selaras dan serasi dengan trend perkembangan hokum (pidana) yang berlaku secara internasional dan universal. Dari perspektif waktu, terdapat sebuah mekanisme penyusunan program legislasi nasional dalam jangka pendek dan jangka menengah (sebagai bagian pembuatan hukum positif yang akan dilaksanakan dalam waktu sekaran dan dalam waktu dekat dilakukan berbagai sinkronisasi, harmonisasi dan mengikuti perkembangan hukum yang berlaku dalam masyarakat baik secara nasional maupun prinsip dan asas hukum internasional) serta terdapat pula langkah penyusunan prolegnas untuk kebutuhan jangka panjang yang merupakan bagian penyempurnaan serta menyusun hukum yang dicita-citakan. D. MENUJU TERTIB HUKUM NASIONAL Berdasarkan seluruh uraian tersebut di atas, kiranya dapat dipahami bahwa kebijakan legislasi pada saat ini belum menuju pada tertib hukum nasional. Kebijakan legislasi masih sangat bergantung pada para penyelenggara negara yang sedang berkuasa, tergantung pada wawasan serta latar belakang pemikiran atau interest para penyelenggaran negara yang telah menang dalam pemilu serta masih diwarnai dengan kepentingan sesaaat dan kepentingan kelompok tertentu. Untuk menghindari hal tersebut, maka hal yang bisa dilakukan paling tidak mengembalikan fungsi hukum sebagai produk politik dengan segala konsekuensinya dan pertanggungjawabannya pada bangsa dan Negara, serta menempatkan kembali Pancasila sebagai asas bernegara, sebagai pedoman dan batasan dalam melaksanakan wewenang yang diberikan secara politik kepada lembaga eksekutif maupun legislatif. Pancasila sebagai dasar Negara yang berasal dari nilai-nilai asli bangsa Indonesia secara fleksibel tetap dapat mengikuti perkembangan pembangunan hokum dunia, karena Pancasila diciptakan dengan
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Ketidaktertiban Hukum Nasional Dalam Kebijakan Legislasi Pasca Reformasi Oleh: Prastopo, S.H., M.H.
memperhatikan nilai Ketuhanan, kebangsaan, persatuan bangsa dan keselamatan bangsa dan Negara, nilai kerakyatan dan keadilan. 1. Hukum Sebagai Produk Politik Kiranya tidak dapat dipungkiri bahwa hukum merupakan produk politik, hal senada juga dibuktikan melalui desertasi Mahfud MD yang dikutip dari dalam bukunya yang berjudul “Politik hukum di Indonesia”, dikatakan bahwa “...hubungan tolak tarik antara politik dan hukum, maka hukumlah yang terpengaruh oleh politik, karena subsistem politik mempunyai konsentrasi energi yang lebih besar daripada hukum”. Sehingga hukum memang sangat dipengaruhi oleh politik, namun hendaknya hukum tidak hanya dipandang sebagai das sollen (keharusan) yaitu hukum harus merupakan pedoman dalam segala tingkat hubungan antar anggota masyarakat termasuk dalam segala kegiatan politik. Dengan membuat hukum yang secara substansial memenuhi kriteria yang menguntungkan bagi kepentingan tertentu maka harus dipatuhi dan dijadikan landasan bertindak. Sudah selayaknya hukum juga dilihat dari perspektif das sein (kenyataan) bahwa dalam kenyataannya memang hukum merupakan produk politik, tetapi dalam keputusan politik sebagai proses harus memperhatikan juga kenyataan realitas hukum dengan politik. Dalam mengambil keputusan politik yang kelak akan melahirkan hukum dibatasi dengan berbagai ketentuan baik syarat hukum yang populis, asas pembuatan hukum yang baik, tujnuan hukum disandingkan dengan tujuan bernegara dan sebagainya. Demikianlah proses pembuatan hukum tertulis berupa perundang-undangan, mulai dari proses perencanaan pembuatan peraturan perundang-undangan didasarkan pada bingkai pemikiran yang dituangkan dalam sebuah prolegnas. Prolegnas yang dilaksanakan adalah prolegnas 5 (lima) tahunan dan dikerjakan dalam setiap tahun anggaran, sebagai bagian program kerja masing-masing yang berkuasa pada
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
saat itu. Ketika memasuki tahap proses pembuatan akan sangat diwarnai dengan dinamika yang berkembang dan interes yang ada serta melatarbelakangi proses itu sendiri, sehingga hukum yang lahir jauh dari rasa keadilan masyarakat. Hukum yang lahir seolah mengabaikan berbagai asas pembuatan hukum yang baik, asas serta prinsip hukum itu sendiri, tujuan pembuatan hukum dibuat sebaik mungkin berupa bungkus yang indah tetapi substansi yang dibuat belum memadai disebut sebagai sebuah sistem kebijakan tertulis yang menampung amanat penderitaan rakyat berdasarkan pada ideologi bangsa. H u k u m y a n g d i b u a t s e h a r u s n y a memenuhi seluruh syarat pembuatan hukum dan secara integral merupakan bagian membangun dan memperbaharui hukum secara nasional sehingga menuju tertib hukum nasional. Dalam perspektif hukum pidana, khususnya perkembangan lahirnya hukum pidana administrasi, seyogyanya terdapat sinkronisasi antara asas hukum pidana administrasi sebagai lex specialis dengan hukum pidana umum sebagai genusnya. Berbagai asas hukum pidana terutama yang berkaitan dengan penerapan sanksi pidana dalam perundang-undangan administrasi sudah selayaknya diambil langkah kebijakan penerapan sanksi pidana dengan memedomani trend sanksi pidana yang sedang berlaku di Indonesia serta trend sanksi pidana internasional. Seluruh kebijakan kriminal yang telah dilakukan dalam proses pembuatan hukum pidana administrasi, seyogyanya juga diselaraskan dengan langkah kodifikasi hukum, sebagai pilihan sistem yang berlaku dalam hukum pidana, yaitu dengan memilah berbagai delik yang telah lahir dalam perundang-undangan administrasi untuk ditarik dan dimasukkan dalam KUHP sebagai delik baru berdasarkan klasifikasi delik yang telah diatur dalam KUHP. Pembahasan pada bagian ini diarahkan pada pandangan saya bahwa untuk mencapai sebuah tertib hukum nasional
47
Ketidaktertiban Hukum Nasional Dalam Kebijakan Legislasi Pasca Reformasi Oleh: Prastopo, S.H., M.H.
diperlukan sebuah blue print pembangunan hukum secara nasional yang dapat diimplementasikan melalui proses legislasi nasional yang sistemik, konsisten dan berkelanjutan. Sistem pembangunan hukum nasional akan memuat berbagai asas-asas, prinsip-prinsip hukum baik nasional (yaitu menggali dari nilai-nilai keagamaan dan budaya serta rasa keadilan rakyat bangsa Indonesia yang terkandung dalam Pancasila sebagai dasar negara) tetapi sekaligus tetap secara selaras dilakukan sinkronisasi dengan berlakunya asas-asas dan prinsip hukum yang berlaku secara internasional dan universal. Pada saat ini yang terjadi adalah pembangunan hukum yang belum bersifat sistemik sehingga hukum dibangun berdasarkan target legislasi yang masih parsial, tidak konsistem serta terdapat kecenderungan menjauh dari asas-asas dan prinsip-prinsip hukum yang berlaku secara nasional dan internasional (sebagai contohnya adalah berbagai perundangundangan pidana administratif). Dengan tanpa mengingkari fakta bahwa hukum merupakan produk politik, tetapi dengan segala keterbatasan yang saya miliki saya ingin mengajukan usulan agar dalam membangun hukum, relasi hukum dan politik diarahkan pada menetapkan dan memprioritaskan terbentuknya sebuah sistem hukum nasional sebagai blue print pembangunan hukum nasional (yang sampai dengan saat ini masih berupa wacana), menciptakan sebuah sistem tata kelola partai politik yang mendukung pelaksanaan fungsi legislatif sebagai lembaga negara sehingga tercipta relasi anatara hukum dan politik yang ideal menuju tertib hukum nasional. 2. Revitalisasi Pancasila Sebagai Asas Bernegara Terkait dengan hukum yang berlaku dan yang akan datang, sudah selayaknya Pancasila sebagai idea bangsa menjadi sumber hukum utama bagi pembangunan hukum. Sebagaimana telah dikemukakan
48
oleh Barda Nawawi Arief terdahulu, patut kita bersyukur bahwa ternyata Pancasila s e b a g a i id e o lo g i b a n g s a I n d on e s i a mampu memberikan landasan dalam menetapkan ideologi bangsa yang up to date, yaitu menempatkan landasan filosofi pembangunan hukum yang sampai dengan saat ini sejalan dengan perkembangan hukum yang berlaku secara internasional. P a n c a s i l a m e n g a m a n a t k a n pembangunan hukum agar senantiasa melandasi nilai-nilai Ketuhanan, kemanusiaan (humanis), kebangsaan dan kerakyatan serta keadilan. Dalam perspektif Ketuhanan, hukum wajib digali dan disesuaikan dengan nilai spiritualitas dari setiap ajaran agama yang pada dasarnya mengajarkan untuk berbuat baik dalam hubungan dengan manusia dan Tuhannya. Hukum juga mempunyai kewajiban untuk melindungi bangsa dan negara, oleh karena itu hukum yang dibangun haruslah memenuhi kriteria perlindungan kepentingan bangsa dan sekaligus merupakan alat pemersatu bangsa. Daniel S Lev dalam bukunya “Hukum dan politik di Indonesia, kesinambungan dan perubahan”, mengatakan bahwa “... satu-satunya solusi yang paling tepat adalah pengetahuan yang relevan, ideologi yang diartikulasikan secara jelas, dan kekuasaan yang dikelola secara efektif ...”. Hukum yang meninggalkan kepentingan kebangsaan pada dasarnya hukum yang bertentangan dengan hukum yang hidup dan berkembang dalam berbangsa dan bernegara. Hukum harus pula memenuhi nilai perlindungan kepada rakyat, perlindungan pada hak asasi manusia, hak pribadi secara seimbang dengan bangsa atau masyarakat pada umumnya. Dan yang paling penting adalah nilai keadilan yang diharapkan oleh seluruh masyarakat bangsa Indonesia wajib diusahakan dalam membentuk hukum. Sejalan dengan hal tersebut maka sudah seharusnya seluruh pembuatan hukum harus dilandaskan pada Pancasila sebagai dasar negara yang merupakan cita-cita bangsa dan negara yang mengandung nilai-nilai luhur.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Ketidaktertiban Hukum Nasional Dalam Kebijakan Legislasi Pasca Reformasi Oleh: Prastopo, S.H., M.H.
E. PENUTUP Sebagai penutup dari makalah ini dan sebagai kesimpulan yang dapat ditarik dari pembahasan di atas, bahwa pasca reformasi pembangunan hukum masih harus tetap dilakukan kritisi agar menuju jalan dan sasaran yang tepat yaitu pembangunan hukum yang menuju kepada tujuan berbangsa dan bernegara sekaligus menunju terciptanya tertib hukum nasional. Berdasarkan pembahasan di atas, pembangunan hukum pasca reformasi masih dilaksanakan secara parsial, dilakukan oleh para legislator yang belum secara maksimal mempunyai kapabelitas serta integritas sebagai pembuat perundang-undangan, sehingga menuju pada pembuatan perundang-undangan yang justru menjauh dari asas, prinsip dan tujuan dibuatnya hukum. Hal ini juga ditambah dengan permasalahan sistem politik yang masih dalam masa transisi, sehingga masih diwarnai dengan berbagai kelemahan disana-sini, bahkan dapat dikatakan proses pembuatan hukum khususnya hukum pidana administrasi masih sangat dipengaruhi dengan lemahnya penataan pilar demokrasi berupa partai politik yang sangat kuat pengaruhnya dalam pengambilan kebijakan tertulis yang berbentuk perundang-undangan. Pembangunan hukum hendaknya tetap berpegang pada prinsip dan asas pembuatan hukum yang baik, memedomani asas dan prinsip hukum itu sendiri serta tujuan dibuatnya hukum. Hal lain yang harus diperhatikan adalah bahwa pembuatan hukum harus senantiasa berada satu bangunan dalam bangunan sistem hukum nasional sebagai tertib hukum yang dlam perspektif hukum pidana adalah memedomani seluruh ketentuan hukum pidana umum sebagai genus kecuali yang memang dapat diatur secara menyimpang sebagai pengeculaiannya. Demikianlah studi tentang relasi hukum dan politik yang dipilih dengan diberi judul “Kebijakan legislasi pasca reformasi, masih belum menuju tertib hukum nasional” ini disusun dengan segala keterbatasan waktu yang tersedia, sehingga penuh dengan kekurangan. Namun tidak berlebihan kiranya jika disertai
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
harapan agar dapat menjadi bagian menambah wacana berpikir dalam membangun hukum secara nasional. DAFTAR PUSTAKA 1. Buku : Nawawi Arief, Barda, Pembaharuan hukum pidana dalam perspektif kajian perbandingan, Bandung: PT. Citra Aditya Bhakti, 2005, Assidiqqie, Jimmly, Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi, serpihan pemikiran hukum dan HAM, Jakarta: Penerbit Konstitusi Press, 2004, Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, edisi revisi, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2008 Lubis, Solly, Ilmu Pengetahuan Perundangundangan, Bandung : Penerbit Mandar Maju, 2009 Lev, Daniel S., Hukum dan politik di Indonesia, kesinambungan dan perubahan, Jakarta : LP3ES, 1990 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan kebijakan pidana, Bandung: Penerbit Alumni, 1992, MD, Mahfud, Politik hukum di Indonesia, Jakarta : LP3ES, 1998, Panca Astawa, I Gde dan Suprin Na’a, Dinamika hukum dan ilmu perundang-undangan di Indonesia, Bandung: PT Penerbit Alumni, 2008, Sunny, Ismail, Pergeseran kekuasaan eksekutif, Jakarta: Penerbit Aksara Baru, 1986 2. Undang-Undang : Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2000 tentang Pembentukan peraturan perundang-undangan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan perundangundangan.
49
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA/DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 48 ayat (2) dan Pasal 49 ayat (6) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah; Mengingat: 1. Pasal 5 ayat ( 2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355); MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA/DAERAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Barang milik negara adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. 2. Barang milik daerah adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBD atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. 3. Pengelola barang adalah pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab menetapkan kebijakan
50
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
dan pedoman serta melakukan pengelolaan barang milik negara/daerah. 4. Pengguna barang adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan barang milik negara/daerah. 5. Kuasa pengguna barang adalah kepala satuan kerja atau pejabat yang ditunjuk oleh pengguna barang untuk menggunakan barang yang berada dalam penguasaannya dengan sebaik-baiknya. 6. Perencanaan kebutuhan adalah kegiatan merumuskan rincian kebutuhan barang milik negara/daerah untuk menghubungkan pengadaan barang yang telah lalu dengan keadaan yang sedang berjalan sebagai dasar dalam melakukan tindakan yang akan datang. 7. Penggunaan adalah kegiatan yang dilakukan oleh pengguna barang dalam mengelola dan menatausahakan barang milik negara/ daerah yang sesuai dengan tugas pokok dan fungsi instansi yang bersangkutan. 8. Pemanfaatan adalah pendayagunaan barang milik negara/daerah yang tidak dipergunakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi kementerian/lembaga/satuan kerja perangkat daerah, dalam bentuk sewa, pinjam pakai, kerjasama pemanfaatan, dan bangun serah guna/bangun guna serah dengan tidak mengubah status kepemilikan. 9. Sewa adalah pemanfaatan barang milik negara/daerah oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dan menerima imbalan uang tunai. 10. Pinjam pakai adalah penyerahan penggunaan barang antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan antar pemerintah daerah dalam jangka waktu tertentu tanpa menerima imbalan dan setelah jangka waktu tersebut berakhir diserahkan kembali kepada pengelola barang. 11. K e r j a s a m a p e m a n f a a t a n a d a l a h pendayagunaan barang milik negara/daerah oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dalam rangka peningkatan penerimaan negara bukan pajak/pendapatan daerah dan sumber pembiayaan lainnya. 12. Bangun guna serah adalah pemanfaatan
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
barang milik negara/daerah berupa tanah oleh pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya, kemudian didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati, untuk selanjutnya diserahkan kembali tanah beserta bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya setelah berakhirnya jangka waktu. 13. Bangun serah guna adalah pemanfaatan barang milik negara/daerah berupa tanah oleh pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya, dan setelah selesai pembangunannya diserahkan untuk didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang disepakati. 14. Penghapusan adalah tindakan menghapus barang milik negara/daerah dari daftar barang dengan menerbitkan surat keputusan dari pejabat yang berwenang untuk membebaskan pengguna dan/atau kuasa pengguna barang dan/atau pengelola barang dari tanggung jawab administrasi dan fisik atas barang yang berada dalam penguasaannya. 15. Pemindah tanganan adalah pengalihan kepemilikan barang milik negara/daerah sebagai tindak lanjut dari penghapusan dengan cara dijual, dipertukarkan, dihibahkan atau disertakan sebagai modal pemerintah. 16. Penjualan adalah pengalihan kepemilikan barang milik negara/daerah kepada pihak lain dengan menerima penggantian dalam bentuk uang. 17. Tu k a r - m e n u k a r a d a l a h p e n g a l i h a n kepemilikan barang milik negara/daerah yang dilakukan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, antar pemerintah daerah, atau antara pemerintah pusat/ pemerintah daerah dengan pihak lain, dengan menerima penggantian dalam bentuk barang, sekurang-kurangnya dengan nilai seimbang. 18. Hibah adalah pengalihan kepemilikan barang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, dari pemerintah daerah kepada pemerintah pusat, antar pemerintah daerah,
51
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
atau dari pemerintah pusat/ pemerintah daerah kepada pihak lain, tanpa memperoleh penggantian. 19. Penyertaan modal pemerintah pusat/ daerah adalah pengalihan kepemilikan barang milik negara/daerah yang semula merupakan kekayaan yang tidak dipisahkan menjadi kekayaan yang dipisahkan untuk diperhitungkan sebagai modal/saham negara atau daerah pada badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan hukum lainnya yang dimiliki negara. 20. Penatausahaan adalah rangkaian kegiatan yang meliputi pembukuan, inventarisasi, dan pelaporan barang milik negara/daerah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 21. Inventarisasi adalah kegiatan untuk melakukan pendataan, pencatatan, dan pelaporan hasil pendataan barang milik negara/daerah. 22. Penilaian adalah suatu proses kegiatan penelitian yang selektif didasarkan pada data/fakta yang objektif dan relevan dengan menggunakan metode/teknik tertentu untuk memperoleh nilai barang milik negara/ daerah. 23. Daftar barang pengguna, yang selanjutnya disingkat dengan DBP, adalah daftar yang memuat data barang yang digunakan oleh masing-masing pengguna barang. 24. Daftar barang kuasa pengguna, yang selanjutnya disingkat dengan DBKP, adalah daftar yang memuat data barang yang dimiliki oleh masing-masing kuasa pengguna barang. 25. Kementerian negara/lembaga adalah kementerian negara/ lembaga pemerintah non kementerian negara/lembaga negara. 26. Menteri/pimpinan lembaga adalah pejabat yang bertanggungjawab atas penggunaan barang kementerian negara/lembaga yang bersangkutan. 27. Pihak lain adalah pihak-pihak selain kementerian negara/lembaga dan satuan kerja perangkat daerah. Pasal 2 (1) Barang milik negara/daerah meliputi:
52
a. barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN/D; b. barang yang berasal dari perolehan lainnya yang sah; (2) Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi: a. barang yang diperoleh dari hibah/ sumbangan atau yang sejenis; b. b a r a n g y a n g d i p e r o l e h s e b a g a i pelaksanaan dari perjanjian/kontrak; c. barang yang diperoleh berdasarkan ketentuan undang-undang; atau d. barang yang diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pasal 3 (1) Pengelolaan barang milik negara/daerah dilaksanakan berdasarkan asas fungsional, kepastian hukum, transparansi dan keterbukaan, efisiensi, akuntabilitas, dan kepastian nilai. (2) Pengelolaan barang milik negara/daerah meliputi: a. p e r e n c a n a a n k e b u t u h a n d a n penganggaran; b. pengadaan; c. penggunaan; d. pemanfaatan; e. pengamanan dan pemeliharaan; f. penilaian; g. penghapusan; h. pemindahtanganan; i. penatausahaan; j. p e m b i n a a n , p e n g a w a s a n d a n pengendalian. BAB II PEJABAT PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA/DAERAH Bagian Kesatu Pengelola Barang Pasal 4 (1) Menteri Keuangan selaku bendahara umum negara adalah pengelola barang milik negara.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
(2) Pengelola barang milik negara berwenang dan bertanggungjawab: a. merumuskan kebijakan, mengatur, dan menetapkan pedoman pengelolaan barang milik negara; b. meneliti dan menyetujui rencana kebutuhan barang milik negara; c. menetapkan status penguasaan dan penggunaan barang milik negara; d. mengajukan usul pemindahtanganan barang milik negara berupa tanah dan bangunan yang memerlukan persetujuan DPR; e. memberikan keputusan atas usul pemindahtanganan barang milik negara berupa tanah dan bangunan yang tidak memerlukan persetujuan DPR sepanjang dalam batas kewenangan Menteri Keuangan; f. m e m b e r i k a n p e r t i m b a n g a n d a n meneruskan usul pemindahtanganan barang milik negara berupa tanah dan bangunan yang tidak memerlukan persetujuan DPR sepanjang dalam batas kewenangan Presiden; g. memberikan keputusan atas usul pemindahtanganan dan penghapusan barang milik negara selain tanah dan bangunan sesuai batas kewenangannya; h. m e m b e r i k a n p e r t i m b a n g a n d a n meneruskan usul pemindahtanganan barang milik negara selain tanah dan bangunan kepada Presiden atau DPR; i. menetapkan penggunaan, pemanfaatan atau pemindahtanganan tanah dan bangunan; j. memberikan keputusan atas usul pemanfaatan barang milik negara selain tanah dan bangunan; k. melakukan koordinasi dalam pelaksanaan inventarisasi barang milik negara serta menghimpun hasil inventarisasi; l. m e l a k u k a n p e n g a w a s a n d a n pengendalian atas pengelolaan barang milik negara; m. menyusun dan mempersiapkan Laporan Rekapitulasi barang milik negara/daerah kepada Presiden sewaktu diperlukan.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Pasal 5 (1) Gubernur/bupati/walikota adalah pemegang kekuasaan pengelolaan barang milik daerah. (2) Pemegang kekuasaan pengelolaan barang milik daerah mempunyai wewenang: a. menetapkan kebijakan pengelolaan barang milik daerah; b. menetapkan penggunaan, pemanfaatan atau pemindahtanganan tanah dan bangunan; c. menetapkan kebijakan pengamanan barang milik daerah; d. mengajukan usul pemindahtanganan barang milik daerah yang memerlukan persetujuan DPRD; e. menyetujui usul pemindahtanganan dan penghapusan barang milik daerah sesuai batas kewenangannya; f. menyetujui usul pemanfaatan barang milik daerah selain tanah dan/atau bangunan. (3) Sekretaris Daerah adalah pengelola barang milik daerah. (4) Pengelola barang milik daerah berwenang dan bertanggung jawab: a. menetapkan pejabat yang mengurus dan menyimpan barang milik daerah; b. meneliti dan menyetujui rencana kebutuhan barang milik daerah; c. meneliti dan menyetujui rencana kebutuhan pemeliharaan/perawatan barang milik daerah; d. mengatur pelaksanaan pemanfaatan, penghapusan, dan pemindahtanganan barang milik daerah yang telah disetujui oleh gubernur/bupati/walikota atau DPRD; e. melakukan koordinasi dalam pelaksanaan inventarisasi barang milik daerah; f. m e l a k u k a n p e n g a w a s a n d a n pengendalian atas pengelolaan barang milik daerah. Bagian Kedua Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang Pasal 6 (1) Menteri/pimpinan lembaga selaku pimpinan
53
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
kementerian negara/lembaga adalah pengguna barang milik negara. (2) Pengguna barang milik negara berwenang dan bertanggungjawab: a. menetapkan kuasa pengguna barang dan menunjuk pejabat yang mengurus dan menyimpan barang milik negara; b. mengajukan rencana kebutuhan dan penganggaran barang milik negara untuk kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya; c. melaksanakan pengadaan barang milik negara sesuai dengan perundangundangan yang berlaku; d. mengajukan permohonan penetapan status tanah dan bangunan untuk penguasaan dan penggunaan barang milik negara yang diperoleh dari beban APBN dan perolehan lainnya yang sah; e. menggunakan barang milik negara yang berada dalam penguasaannya untuk kepentingan penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi kementerian negara/ lembaga; f. mengamankan dan memelihara barang milik negara yang berada dalam penguasaannya; g. mengajukan usul pemanfaatan dan pemindahtanganan barang milik negara selain tanah dan bangunan; h. mengajukan usul pemindahtanganan dengan tindak lanjut tukar menukar berupa tanah dan bangunan yang masih dipergunakan untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi namun tidak sesuai dengan tata ruang wilayah atau penataan kota; i. mengajukan usul pemindahtanganan dengan tindak lanjut penyertaan modal pemerintah pusat/daerah atau hibah yang dari awal pengadaaannya sesuai peruntukkan yang tercantum dalam dokumen penganggaran; j. menyerahkan tanah dan bangunan yang tidak dimanfaatkan untuk kepentingan penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya kepada pengelola barang;
54
k. m e l a k u k a n p e n g a w a s a n d a n pengendalian atas penggunaan barang milik negara yang ada dalam penguasaannya; l. melakukan pencatatan dan inventarisasi barang milik negara yang berada dalam penguasaannya; m. menyusun dan menyampaikan Laporan Barang Pengguna Semesteran (LBPS) dan Laporan Barang Pengguna Tahunan (LBPT) yang berada dalam penguasaannya kepada pengelola barang. Pasal 7 (1) Kepala kantor dalam lingkungan kementerian negara/lembaga adalah kuasa pengguna barang milik negara dalam lingkungan kantor yang dipimpinnya. (2) Kuasa pengguna barang milik negara berwenang dan bertanggungjawab: a. mengajukan rencana kebutuhan barang milik negara untuk lingkungan kantor yang dipimpinnya kepada pengguna barang; b. mengajukan permohonan penetapan status untuk penguasaan dan penggunaan barang milik negara yang diperoleh dari beban APBN dan perolehan lainnya yang sah kepada pengguna barang; c. melakukan pencatatan dan inventarisasi barang milik negara yang berada dalam penguasaannya; d. menggunakan barang milik negara yang berada dalam penguasaannya untuk kepentingan penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi kantor yang dipimpinnya; e. mengamankan barang milik negara yang berada dalam penguasaannya; f. mengajukan usul pemindahtanganan barang milik negara berupa tanah dan bangunan yang tidak memerlukan persetujuan DPR dan barang milik negara selain tanah dan bangunan kepada pengguna barang; g. menyerahkan tanah dan bangunan yang tidak dimanfaatkan untuk kepentingan
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi kantor yang dipimpinnya kepada pengguna barang; h. m e l a k u k a n p e n g a w a s a n d a n pengendalian atas penggunaan barang milik negara yang ada dalam penguasaannya; i. menyusun dan menyampaikan Laporan Barang Kuasa Pengguna Semesteran (LBKPS) dan Laporan Barang Kuasa Pengguna Tahunan (LBKPT) yang berada dalam penguasaannya kepada pengguna barang. Pasal 8 (1) Kepala satuan kerja perangkat daerah adalah pengguna barang milik daerah. (2) Kepala satuan kerja perangkat daerah berwenang dan bertanggungjawab: a. mengajukan rencana kebutuhan barang milik daerah bagi satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya; b. mengajukan permohonan penetapan status untuk penguasaan dan penggunaan barang milik daerah yang diperoleh dari beban APBD dan perolehan lainnya yang sah; c. melakukan pencatatan dan inventarisasi barang milik daerah yang berada dalam penguasaannya; d. menggunakan barang milik daerah yang berada dalam penguasaannya untuk kepentingan penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya; e. mengamankan dan memelihara barang milik daerah yang berada dalam penguasaannya; f. mengajukan usul pemindahtanganan barang milik daerah berupa tanah dan/ atau bangunan yang tidak memerlukan persetujuan DPRD dan barang milik daerah selain tanah dan bangunan; g. menyerahkan tanah dan bangunan yang tidak dimanfaatkan untuk kepentingan penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya kepada gubernur/bupati/
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
walikota melalui pengelola barang; h. m e l a k u k a n p e n g a w a s a n d a n pengendalian atas penggunaan barang milik daerah yang ada dalam penguasaannya; i. menyusun dan menyampaikan Laporan Barang Pengguna Semesteran (LBPS) dan Laporan Barang Pengguna Tahunan (LBPT) yang berada dalam penguasaannya kepada pengelola barang. BAB III PERENCANAAN KEBUTUHAN DAN PENGANGGARAN Pasal 9 (1) Perencanaan kebutuhan barang milik negara/ daerah disusun dalam rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga/ satuan kerja perangkat daerah setelah memperhatikan ketersediaan barang milik negara/daerah yang ada. (2) Perencanaan kebutuhan barang milik negara/daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berpedoman pada standar barang, standar kebutuhan, dan standar harga. (3) Standar barang dan standar kebutuhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan oleh pengelola barang setelah berkoordinasi dengan instansi atau dinas teknis terkait. Pasal 10 (1) Pengguna barang menghimpun usul rencana kebutuhan barang yang diajukan oleh kuasa pengguna barang yang berada di bawah lingkungannya. (2) Pengguna barang menyampaikan usul rencana kebutuhan barang milik negara/ daerah kepada pengelola barang. (3) Pengelola barang bersama pengguna barang membahas usul tersebut dengan memperhatikan data barang pada pengguna barang dan/atau pengelola barang untuk ditetapkan sebagai Rencana Kebutuhan Barang Milik Negara/Daerah (RKBMN/D).
55
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
BAB IV PENGADAAN Pasal 11 Pengadaan barang milik negara/daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip efisien, efektif, transparan dan terbuka, bersaing, adil/tidak diskriminatif dan akuntabel. Pasal 12 (1) Pengaturan mengenai pengadaan tanah dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman pelaksanaan pengadaan barang milik negara/daerah selain tanah diatur dengan Peraturan Presiden. BAB V PENGGUNAAN Pasal 13 Status penggunaan barang ditetapkan dengan ketentuan sebagai berikut: a. barang milik negara oleh pengelola barang; b. barang milik daerah oleh gubernur/bupati/ walikota. Pasal 14 (1) Penetapan status penggunaan barang milik negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf (a) dilakukan dengan tata cara sebagai berikut: a. Pengguna barang melaporkan barang milik negara yang diterimanya kepada pengelola barang disertai dengan usul penggunaan; b. Pengelola barang meneliti laporan tersebut dan menetapkan status penggunaan barang milik negara dimaksud. (2) Penetapan status penggunaan barang milik daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf (b) dilakukan dengan tata cara sebagai berikut: a. Pengguna barang melaporkan barang milik daerah yang diterimanya kepada pengelola barang disertai dengan usul
56
penggunaan; b. Pengelola barang meneliti laporan tersebut dan mengajukan usul penggunaan dimaksud kepada gubernur/ bupati/walikota untuk ditetapkan status penggunaannya. Pasal 15 Barang milik negara/daerah dapat ditetapkan status penggunaannya untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi kementerian negara/ lembaga/satuan kerja perangkat daerah, untuk dioperasikan oleh pihak lain dalam rangka menjalankan pelayanan umum sesuai tugas pokok dan fungsi kementerian negara/ lembaga/ satuan kerja perangkat daerah yang bersangkutan. Pasal 16 (1) Penetapan status penggunaan tanah dan/atau bangunan dilakukan dengan ketentuan bahwa tanah dan/atau bangunan tersebut diperlukan untuk kepentingan penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pengguna barang dan/atau kuasa pengguna barang yang bersangkutan. (2) Pengguna barang dan/atau kuasa pengguna barang wajib menyerahkan tanah dan/ atau bangunan yang tidak digunakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada: a. pengelola barang untuk barang milik negara; atau b. g u b e rn u r/ b u p a t i/ wa lik o t a m e l a l u i pengelola barang untuk barang milik daerah. Pasal 17 (1) Pengelola barang menetapkan barang milik negara berupa tanah dan/atau bangunan yang harus diserahkan oleh pengguna barang karena sudah tidak digunakan untuk menyelenggarakan tugas pokok dan fungsi instansi bersangkutan. (2) Gubernur/bupati/walikota menetapkan barang milik daerah berupa tanah dan/ atau bangunan yang harus diserahkan oleh pengguna barang karena sudah tidak
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
digunakan untuk menyelenggarakan tugas pokok dan fungsi instansi bersangkutan. (3) D a l a m m e n e t a p k a n p e n y e r a h a n sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengelola barang memperhatikan hal-hal sebagai berikut: a. standar kebutuhan tanah dan/atau bangunan untuk menyelenggarakan dan menunjang tugas pokok dan fungsi instansi bersangkutan; b. hasil audit atas penggunaan tanah dan/ atau bangunan. (4) Tindak lanjut pengelolaan atas penyerahan tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi hal-hal sebagai berikut: a. ditetapkan status penggunaannya untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi instansi pemerintah lainnya; b. dimanfaatkan dalam rangka optimalisasi barang milik negara/daerah; c. dipindahtangankan. Pasal 18 (1) Pengguna barang milik negara yang tidak menyerahkan tanah dan/atau bangunan yang tidak digunakan untuk menyelenggarakan tugas pokok dan fungsi instansi bersangkutan kepada pengelola barang dikenakan sanksi berupa pembekuan dana pemeliharaan tanah dan/atau bangunan dimaksud. (2) Pengguna barang milik daerah yang tidak menyerahkan tanah dan/atau bangunan yang tidak digunakan untuk menyelenggarakan tugas pokok dan fungsi instansi bersangkutan kepada gubernur/ bupati/ walikota dikenakan sanksi berupa pembekuan dana pemeliharaan tanah dan/ atau bangunan dimaksud. (3) Tanah dan/atau bangunan yang tidak digunakan sesuai dengan Pasal 16 ayat (1) dicabut penetapan status penggunaannya.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
BAB VI PEMANFAATAN Bagian Pertama Kriteria Pemanfaatan Pasal 19 (1) Pemanfaatan barang milik negara berupa tanah dan/atau bangunan sebagaimana d ima ksu d d a la m Pa sa l 1 7 a ya t (1 ) dilaksanakan oleh pengelola barang. (2) Pemanfaatan barang milik daerah berupa tanah dan/atau bangunan sebagaimana d ima ksu d d a la m Pa sa l 1 7 a ya t (2 ) dilaksanakan oleh pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/ walikota. (3) P e m a n f a a t a n b a r a n g m i l i k n e g a r a / daerah berupa tanah dan/atau bangunan yang diperlukan untuk menunjang penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pengguna barang/kuasa pengguna barang dilakukan oleh pengguna barang dengan persetujuan pengelola barang. (4) Pemanfaatan barang milik negara/daerah selain tanah dan/atau bangunan dilaksanakan oleh pengguna barang dengan persetujuan pengelola barang; (5) Pemanfaatan barang milik negara/daerah dilaksanakan berdasarkan pertimbangan teknis dengan memperhatikan kepentingan negara/daerah dan kepentingan umum. Bagian Kedua Bentuk Pemanfaatan Pasal 20 Bentuk-bentuk pemanfaatan barang milik negara/daerah berupa: a. sewa; b. pinjam pakai; c. kerjasama pemanfaatan; d. bangun guna serah dan bangun serah guna.
57
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
Bagian Ketiga Sewa Pasal 21 (1) Penyewaan barang milik negara/daerah dilaksanakan dengan bentuk: a. penyewaan barang milik negara atas tanah dan/atau bangunan yang sudah diserahkan oleh pengguna barang kepada pengelola barang; b. penyewaan barang milik daerah atas tanah dan/atau bangunan yang sudah diserahkan oleh pengguna barang kepada gubernur/bupati/walikota; c. penyewaan atas sebagian tanah dan/ atau bangunan yang masih digunakan oleh pengguna barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3); d. penyewaan atas barang milik negara/ daerah selain tanah dan/atau bangunan. (2) Penyewaan atas barang milik negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh pengelola barang. (3) Penyewaan atas barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan oleh pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/ walikota. (4) Penyewaan atas barang milik negara/ daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan d, dilaksanakan oleh pengguna barang setelah mendapat persetujuan dari pengelola barang. Pasal 22 (1) Barang milik negara/daerah dapat disewakan kepada pihak lain sepanjang menguntungkan negara/daerah. (2) Jangka waktu penyewaan barang milik negara/daerah paling lama lima tahun dan dapat diperpanjang. (3) Penetapan formula besaran tarif sewa dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. barang milik negara oleh pengelola barang; b. barang milik daerah oleh gubernur/ bupati/walikota. (4) Penyewaan dilaksanakan berdasarkan surat
58
perjanjian sewa-menyewa, yang sekurangkurangnya memuat: a. pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian; b. jenis, luas atau jumlah barang, besaran sewa, dan jangka waktu; c. tanggung jawab penyewa atas biaya operasional dan pemeliharaan selama jangka waktu penyewaan; d. persyaratan lain yang dianggap perlu. (5) Hasil penyewaan merupakan penerimaan negara/daerah dan seluruhnya wajib disetorkan ke rekening kas umum negara/ daerah. Bagian Keempat Pinjam Pakai Pasal 23 (1) Pinjam pakai barang milik negara/daerah dilaksanakan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah atau antar pemerintah daerah. (2) Jangka waktu pinjam pakai barang milik negara/daerah paling lama dua tahun dan dapat diperpanjang. (3) Pinjam pakai dilaksanakan berdasarkan surat perjanjian yang sekurang-kurangnya memuat: a. pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian; b. jenis, luas atau jumlah barang yang dipinjamkan, dan jangka waktu; c. tanggung jawab peminjam atas biaya operasional dan pemeliharaan selama jangka waktu peminjaman; d. persyaratan lain yang dianggap perlu. Bagian Kelima Kerjasama Pemanfaatan Pasal 24 Kerjasama pemanfaatan barang milik negara/ daerah dengan pihak lain dilaksanakan dalam rangka : a. mengoptimalkan daya guna dan hasil guna barang milik negara/daerah; b. m e n i n g k a t k a n p e n e r i m a a n n e g a r a / pendapatan daerah.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
Pasal 25 (1) Kerjasama pemanfaatan barang milik negara/daerah dilaksanakan dengan bentuk: a. kerjasama pemanfaatan barang milik negara atas tanah dan/atau bangunan yang sudah diserahkan oleh pengguna barang kepada pengelola barang; b. kerjasama pemanfaatan barang milik daerah atas tanah dan/atau bangunan yang sudah diserahkan oleh pengguna barang kepada gubernur/bupati/ walikota; c. kerjasama pemanfaatan atas sebagian tanah dan/atau bangunan yang masih digunakan oleh pengguna barang; d. kerjasama pemanfaatan atas barang milik negara/ daerah selain tanah dan/ atau bangunan. (2) Kerjasama pemanfaatan atas barang milik negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh pengelola barang. (3) Kerjasama pemanfaatan atas barang milik daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b dilaksanakan oleh pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/walikota. (4) Kerjasama pemanfaatan atas barang milik negara/daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dan d, dilaksanakan oleh pengguna barang setelah mendapat persetujuan pengelola barang. Pasal 26 (1) Kerjasama pemanfaatan atas barang milik negara/daerah dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut: a. tidak tersedia atau tidak cukup tersedia dana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah untuk memenuhi biaya opera sio n a l/p e meliha ra a n / perbaikan yang diperlukan terhadap barang milik negara/daerah dimaksud; b. mitra kerjasama pemanfaatan ditetapkan melalui tender dengan mengikutsertakan sekurang-kurangnya lima peserta/ peminat, kecuali untuk barang milik negara/daerah yang bersifat khusus dapat dilakukan penunjukan langsung;
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
c. m i t r a k e r j a s a m a p e m a n f a a t a n harus membayar kontribusi tetap ke rekening kas umum negara/daerah setiap tahun selama jangka waktu pengoperasian yang telah ditetapkan dan pembagian keuntungan hasil kerjasama pemanfaatan; d. besaran pembayaran kontribusi tetap dan pembagian keuntungan hasil kerjasama pemanfaatan ditetapkan dari hasil perhitungan tim yang dibentuk oleh pejabat yang berwenang; e. besaran pembayaran kontribusi tetap dan pembagian keuntungan hasil kerjasama pemanfaatan harus mendapat persetujuan pengelola barang; f. selama jangka waktu pengoperasian, mitra kerjasama pemanfaatan dilarang menjaminkan atau menggadaikan barang milik negara/daerah yang menjadi obyek kerjasama pemanfaatan; g. jangka waktu kerjasama pemanfaatan paling lama tiga puluh tahun sejak perjanjian ditandatangani dan dapat diperpanjang. (2) Semua biaya berkenaan dengan persiapan dan pelaksanaan kerjasama pemanfaatan tidak dapat dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah. Bagian Keenam Bangun Guna Serah dan Bangun Serah Guna Pasal 27 (1) Bangun guna serah dan bangun serah guna barang milik negara/daerah dapat dilaksanakan dengan persyaratan sebagai berikut: a. pengguna barang memerlukan bangunan dan fasilitas bagi penyelenggaraan pemerintahan negara/daerah untuk kepentingan pelayanan umum dalam rangka penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi; dan b. tidak tersedia dana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah untuk penyediaan bangunan dan fasilitas
59
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
dimaksud. (2) Bangun guna serah dan bangun serah guna barang milik negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh pengelola barang. (3) Bangun guna serah dan bangun serah guna barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/walikota. (4) Tanah yang status penggunaannya ada pada pengguna barang dan telah direncanakan untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pengguna barang yang bersangkutan, dapat dilakukan bangun guna serah dan bangun serah guna setelah terlebih dahulu diserahkan kepada: a. pengelola barang untuk barang milik negara; b. gubernur/bupati/walikota untuk barang milik daerah. (5) Bangun guna serah dan bangun serah guna sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan oleh pengelola barang dengan mengikutsertakan pengguna barang dan/ atau kuasa pengguna barang sesuai tugas pokok dan fungsinya. Pasal 28 Penetapan status penggunaan barang milik negara/daerah sebagai hasil dari pelaksanaan bangun guna serah dan bangun serah guna dilaksanakan oleh: a. pengelola barang untuk barang milik negara, dalam rangka penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi kementerian negara/lembaga terkait; b. gubernur/bupati/walikota untuk barang milik daerah, dalam rangka penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi satuan kerja perangkat daerah terkait. Pasal 29 (1) Jangka waktu bangun guna serah dan bangun serah guna paling lama tiga puluh tahun sejak perjanjian ditandatangani. (2) Penetapan mitra bangun guna serah dan mitra bangun serah guna dilaksanakan
60
melalui tender dengan mengikutsertakan sekurang-kurangnya lima peserta/ peminat. (3) Mitra bangun guna serah dan mitra bangun serah guna yang telah ditetapkan, selama jangka waktu pengoperasian harus memenuhi kewajiban sebagai berikut: a. membayar kontribusi ke rekening kas umum negara/daerah setiap tahun, yang besarannya ditetapkan berdasarkan hasil perhitungan tim yang dibentuk oleh pejabat yang berwenang; b. tidak menjaminkan, menggadaikan atau memindahtangankan objek bangun guna serah dan bangun serah guna; c. memelihara objek bangun guna serah dan bangun serah guna. (4) Dalam jangka waktu pengoperasian, sebagian barang milik negara/daerah hasil bangun guna serah dan bangun serah guna harus dapat digunakan langsung untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pemerintah. (5) Bangun guna serah dan bangun serah guna dilaksanakan berdasarkan surat perjanjian yang sekurang-kurangnya memuat: a. pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian; b. objek bangun guna serah dan bangun serah guna; c. jangka waktu bangun guna serah dan bangun serah guna; d. hak dan kewajiban para pihak yang terikat dalam perjanjian; e. persyaratan lain yang dianggap perlu. (6) Izin mendirikan bangunan hasil bangun guna serah dan bangun serah guna harus diatasnamakan Pemerintah Republik Indonesia/Pemerintah Daerah. (7) Semua biaya berkenaan dengan persiapan dan pelaksanaan bangun guna serah dan bangun serah guna tidak dapat dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah. Pasal 30 (1) Mitra bangun guna serah barang milik negara harus menyerahkan objek bangun guna serah kepada pengelola barang pada akhir jangka waktu pengoperasian, setelah
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
dilakukan audit oleh aparat pengawasan fungsional pemerintah. (2) Mitra bangun guna serah barang milik daerah harus menyerahkan objek bangun guna serah kepada gubernur/bupati/walikota pada akhir jangka waktu pengoperasian, setelah dilakukan audit oleh aparat pengawasan fungsional pemerintah. (3) Bangun serah guna barang milik negara dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut: a. m i t r a b a n g u n s e r a h g u n a h a r u s menyerahkan objek bangun serah guna kepada pengelola barang segera setelah selesainya pembangunan; b. m i t r a b a n g u n s e r a h g u n a d a p a t mendayagunakan barang milik negara tersebut sesuai jangka waktu yang ditetapkan dalam surat perjanjian; c. setelah jangka waktu pendayagunaan berakhir, objek bangun serah guna terlebih dahulu diaudit oleh aparat pengawasan fungsional pemerintah sebelum penggunaannya ditetapkan oleh pengelola barang. (4) Bangun serah guna barang milik daerah dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut: a. m i t r a b a n g u n s e r a h g u n a h a r u s menyerahkan objek bangun serah guna kepada gubernur/bupati/walikota segera setelah selesainya pembangunan; b. m i t r a b a n g u n s e r a h g u n a d a p a t mendayagunakan barang milik daerah tersebut sesuai jangka waktu yang ditetapkan dalam surat perjanjian; c. setelah jangka waktu pendayagunaan berakhir, objek bangun serah guna terlebih dahulu diaudit oleh aparat pengawasan fungsional pemerintah sebelum penggunaannya ditetapkan oleh gubernur/bupati/walikota. Pasal 31 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan sewa, pinjam pakai, kerjasama pemanfaatan, bangun guna serah dan bangun serah guna barang milik negara diatur dalam
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Peraturan Menteri Keuangan. BAB VII PENGAMANAN DAN PEMELIHARAAN Bagian Pertama Pengamanan Pasal 32 (1) Pengelola barang, pengguna barang dan/atau kuasa pengguna barang wajib melakukan pengamanan barang milik negara/daerah yang berada dalam penguasaannya. (2) Pengamanan barang milik negara/daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengamanan administrasi, pengamanan fisik, dan pengamanan hukum. Pasal 33 (1) Barang milik negara/daerah berupa tanah harus disertifikatkan atas nama Pemerintah Republik Indonesia/pemerintah daerah yang bersangkutan. (2) Barang milik negara/daerah berupa bangunan harus dilengkapi dengan bukti kepemilikan atas nama Pemerintah Republik Indonesia/ pemerintah daerah yang bersangkutan. (3) Barang milik negara selain tanah dan/atau bangunan harus dilengkapi dengan bukti kepemilikan atas nama pengguna barang. (4) Barang milik daerah selain tanah dan/atau bangunan harus dilengkapi dengan bukti kepemilikan atas nama pemerintah daerah yang bersangkutan. Pasal 34 (1) Bukti kepemilikan barang milik negara/ daerah wajib disimpan dengan tertib dan aman. (2) Penyimpanan bukti kepemilikan barang milik negara berupa tanah dan/atau bangunan dilakukan oleh pengelola barang. (3) Penyimpanan bukti kepemilikan barang milik negara selain tanah dan/atau bangunan dilakukan oleh pengguna barang/kuasa pengguna barang. (4) Penyimpanan bukti kepemilikan barang milik daerah dilakukan oleh pengelola barang.
61
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
Bagian Kedua Pemeliharaan Pasal 35 (1) Pengguna barang dan/atau kuasa pengguna barang bertanggung jawab atas pemeliharaan barang milik negara/daerah yang ada di bawah penguasaannya. (2) Pemeliharaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada Daftar Kebutuhan Pemeliharaan Barang (DKPB). (3) Biaya pemeliharaan barang milik negara/ daerah dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah. Pasal 36 (1) Kuasa pengguna barang wajib membuat daftar hasil pemeliharaan barang yang berada dalam kewenangannya dan melaporkan/ menyampaikan daftar hasil pemeliharaan barang tersebut kepada pengguna barang secara berkala. (2) Pengguna barang atau pejabat yang ditunjuk meneliti laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan menyusun daftar hasil pemeliharaan barang yang dilakukan dalam satu tahun anggaran sebagai bahan untuk melakukan evaluasi mengenai efisiensi pemeliharaan barang milik negara/daerah. BAB VIII PENILAIAN Pasal 37 Penilaian barang milik negara/daerah dilakukan dalam rangka penyusunan neraca pemerintah pusat/daerah, pemanfaatan, dan pemindahtanganan barang milik negara/daerah. Pasal 38 Penetapan nilai barang milik negara/daerah dalam rangka penyusunan neraca pemerintah pusat/daerah dilakukan dengan berpedoman pada Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Pasal 39 (1) Penilaian barang milik negara berupa tanah dan/atau bangunan dalam rangka
62
pemanfaatan atau pemindahtanganan dilakukan oleh tim yang ditetapkan oleh pengelola barang, dan dapat melibatkan penilai independen yang ditetapkan oleh pengelola barang. (2) Penilaian barang milik daerah berupa tanah dan/atau bangunan dalam rangka pemanfaatan atau pemindahtanganan dilakukan oleh tim yang ditetapkan oleh gubernur/bupati/walikota, dan dapat melibatkan penilai independen yang ditetapkan oleh gubernur/bupati/walikota. (3) Penilaian barang milik negara/daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan untuk mendapatkan nilai wajar, dengan estimasi terendah menggunakan NJOP. (4) Hasil penilaian barang milik negara/daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh: a. pengelola barang untuk barang milik negara; b. gubernur/bupati/walikota untuk barang milik daerah. Pasal 40 (1) Penilaian barang milik negara selain tanah dan/atau bangunan dalam rangka pemanfaatan atau pemindahtanganan dilakukan oleh tim yang ditetapkan oleh pengguna barang, dan dapat melibatkan penilai independen yang ditetapkan oleh pengguna barang. (2) Penilaian barang milik daerah selain tanah dan/atau bangunan dalam rangka pemanfaatan atau pemindahtanganan dilakukan oleh tim yang ditetapkan oleh pengelola barang, dan dapat melibatkan penilai independen yang ditetapkan pengelola barang. (3) Penilaian barang milik negara/daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan untuk mendapatkan nilai wajar. (4) Hasil penilaian barang milik negara/daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh: a. pengguna barang untuk barang milik
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
negara; b. pengelola barang untuk barang milik daerah. BAB IX PENGHAPUSAN Pasal 41 Penghapusan barang milik negara/daerah meliputi: a. penghapusan dari daftar barang pengguna dan/atau kuasa pengguna; b. penghapusan dari daftar barang milik negara/ daerah. Pasal 42 (1) Penghapusan barang milik negara/daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 huruf a, dilakukan dalam hal barang milik negara/daerah dimaksud sudah tidak berada dalam penguasaan pengguna barang dan/ atau kuasa pengguna barang; (2) Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan penerbitan surat keputusan penghapusan dari: a. pengguna barang setelah mendapat persetujuan dari pengelola barang untuk barang milik negara; b. pengguna barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/walikota atas usul pengelola barang untuk barang milik daerah. (3) P e l a k s a n a a n a t a s p e n g h a p u s a n sebagaimana dimaksud pada ayat (2) selanjutnya dilaporkan kepada pengelola barang. Pasal 43 (1) Penghapusan barang milik negara/daerah dari daftar barang milik negara/daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 huruf b dilakukan dalam hal barang milik negara/daerah dimaksud sudah beralih kepemilikannya, terjadi pemusnahan atau karena sebab-sebab lain. (2) Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan penerbitan surat keputusan penghapusan dari:
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
a. pengelola barang untuk barang milik negara; b. pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/walikota untuk barang milik daerah. Pasal 44 (1) Penghapusan barang milik negara/daerah dengan tindak lanjut pemusnahan dilakukan apabila barang milik negara/daerah dimaksud: a. tidak dapat digunakan, tidak dapat dimanfaatkan, dan tidak dapat dipindahtangankan; atau b. alasan lain sesuai ketentuan perundangundangan. (2) Pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh: a. pengguna barang setelah mendapat persetujuan pengelola barang untuk barang milik negara; b. pengguna barang dengan surat keputusan dari pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/ walikota untuk barang milik daerah. (3) Pelaksanaan pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam berita acara dan dilaporkan kepada pengelola barang. BAB X PEMINDAHTANGANAN Bagian Pertama Bentuk-Bentuk dan Persetujuan Pasal 45 Bentuk-bentuk pemindahtanganan sebagai tindak lanjut atas penghapusan barang milik negara/daerah meliputi: a. penjualan; b. tukar Menukar; c. hibah; d. penyertaan modal pemerintah pusat/daerah. Pasal 46 (1) Pemindahtanganan barang milik negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45
63
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
untuk: a. tanah dan/atau bangunan; b. selain tanah dan/atau bangunan yang bernilai lebih dari Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah); dilakukan setelah mendapat persetujuan DPR. (2) Pemindahtanganan barang milik daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 untuk: a. tanah dan/atau bangunan; b. selain tanah dan/atau bangunan yang bernilai lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dilakukan setelah mendapat persetujuan DPRD. (3) Pemindahtanganan barang milik negara/ daerah berupa tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a tidak memerlukan persetujuan DPR/DPRD, apabila: a. sudah tidak sesuai dengan tata ruang wilayah atau penataan kota; b. harus dihapuskan karena anggaran untuk bangunan pengganti sudah disediakan dalam dokumen penganggaran; c. diperuntukkan bagi pegawai negeri; d. diperuntukkan bagi kepentingan umum; e. d i k u a s a i n e g a r a b e r d a s a r k a n keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan/atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan, yang jika status kepemilikannya dipertahankan tidak layak secara ekonomis.
(3) dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut: a. untuk tanah dan/atau bangunan yang bernilai di atas Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dilakukan oleh pengelola barang setelah mendapat persetujuan Presiden; b. u n t u k t a n a h d a n / a t a u b a n g u n a n yang bernilai sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dilakukan oleh pengelola barang; (2) Pemindahtanganan barang milik daerah berupa tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (3) dilakukan oleh pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur/ bupati/ walikota.
Pasal 47 (1) Usul untuk memperoleh persetujuan DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) diajukan oleh pengelola barang. (2) Usul untuk memperoleh persetujuan DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2) diajukan oleh gubernur/bupati/walikota.
Pasal 50 Pemindahtanganan barang milik daerah selain tanah dan/atau bangunan yang bernilai sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dilakukan oleh pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/ walikota.
Pasal 49 (1) Pemindahtanganan barang milik negara selain tanah dan/atau bangunan yang bernilai sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dilakukan oleh penguna barang setelah mendapat persetujuan pengelola barang. (2) Pemindahtanganan barang milik negara selain tanah dan/atau bangunan yang bernilai di atas Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) sampai dengan Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) dilakukan oleh pengguna barang setelah mendapat persetujuan Presiden. (3) Usul untuk memperoleh persetujuan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan oleh pengelola barang.
Pasal 48 (1) Pemindahtanganan barang milik negara berupa tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat
64
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
Bagian Kedua Penjualan Pasal 51 (1) Penjualan barang milik negara/daerah dilaksanakan dengan pertimbangan: a. untuk optimalisasi barang milik negara yang berlebih atau idle; b. secara ekonomis lebih menguntungkan bagi negara apabila dijual; c. s e b a g a i p e l a k s a n a a n k e t e n t u a n perundang-undangan yang berlaku. (2) Penjualan barang milik negara/daerah dilakukan secara lelang, kecuali dalam halhal tertentu. (3) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : a. barang milik negara/daerah yang bersifat khusus; b. barang milik negara/daerah lainnya yang ditetapkan lebih lanjut oleh pengelola barang. Pasal 52 (1) Penjualan barang milik negara/daerah berupa tanah dan/atau bangunan dilaksanakan oleh: a. pengelola barang untuk barang milik negara; b. pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/walikota untuk barang milik daerah. (2) Penjualan barang milik negara/daerah selain tanah dan/atau bangunan dilaksanakan oleh: a. pengguna barang setelah mendapat persetujuan pengelola barang untuk barang milik negara; b. pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/walikota untuk barang milik daerah. Pasal 53 (1) Penjualan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf a dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. kuasa pengguna barang mengajukan usul kepada pengguna barang untuk diteliti dan dikaji; b. pengguna barang mengajukan usul
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
penjualan kepada pengelola barang; c. pengelola barang meneliti dan mengkaji usul penjualan yang diajukan oleh pengguna barang sesuai dengan kewenangannya; d. p e n g e l o l a b a r a n g m e n g e l u a r k a n keputusan untuk menyetujui atau tidak menyetujui usulan penjualan yang diajukan oleh pengguna barang dalam batas kewenangannya; e. untuk penjualan yang memerlukan persetujuan Presiden atau DPR, pengelola barang mengajukan usul penjualan disertai dengan pertimbangan atas usulan dimaksud; f. penerbitan persetujuan pelaksanaan oleh pengelola barang untuk penjualan sebagaimana dimaksud pada butir e dilakukan setelah mendapat persetujuan Presiden atau DPR. (2) Penjualan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf b dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. pengguna barang mengajukan usul penjualan kepada pengelola barang; b. pengelola barang meneliti dan mengkaji usul penjualan yang diajukan oleh pengguna barang sesuai dengan kewenangannya; c. p e n g e l o l a b a r a n g m e n g e l u a r k a n keputusan untuk menyetujui atau tidak menyetujui usulan penjualan yang diajukan oleh pengguna barang dalam batas kewenangannya; d. Untuk penjualan yang memerlukan persetujuan gubernur/bupati/walikota atau DPRD, pengelola barang mengajukan usul penjualan disertai dengan pertimbangan atas usulan dimaksud. (3) Penerbitan persetujuan pelaksanaan oleh pengelola barang untuk penjualan sebagaimana dimaksud pada huruf d dilakukan setelah mendapat persetujuan gubernur/ bupati/walikota atau DPRD. (4) Hasil penjualan barang milik negara/daerah wajib disetor seluruhnya ke rekening kas umum negara/daerah sebagai penerimaan negara/daerah.
65
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
Bagian Ketiga Tukar menukar Pasal 54 (1) Tukar menukar barang milik negara/daerah dilaksanakan dengan pertimbangan: a. untuk memenuhi kebutuhan operasional penyelenggaraan pemerintahan; b. untuk optimalisasi barang milik negara/ daerah; dan c. tidak tersedia dana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah. (2) Tukar menukar barang milik negara dapat dilakukan dengan pihak: a. pemerintah daerah; b. badan usaha milik negara/daerah atau badan hukum milik pemerintah lainnya; c. swasta. (3) Tukar menukar barang milik daerah dapat dilakukan dengan pihak: a. pemerintah pusat; b. badan usaha milik negara/daerah atau badan hukum milik pemerintah lainnya; c. swasta. Pasal 55 (1) Tukar menukar barang milik negara/daerah dapat berupa: a. tanah dan/atau bangunan yang telah diserahkan kepada pengelola barang untuk barang milik negara dan gubernur/ bupati/walikota untuk barang milik daerah; b. tanah dan/atau bangunan yang masih dipergunakan untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pengguna barang tetapi tidak sesuai dengan tata ruang wilayah atau penataan kota; c. barang milik negara/daerah selain tanah dan/atau bangunan. (2) Penetapan barang milik negara berupa tanah dan/atau bangunan yang akan dipertukarkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan oleh: a. pengelola barang untuk barang milik negara; b. g u b e r n u r / b u p a t i / w a l i k o t a u n t u k barang milik daerah, sesuai batas kewenangannya.
66
(3) Tukar menukar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh: a. pengelola barang untuk barang milik negara; b. pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/walikota untuk barang milik daerah. (4) Tukar menukar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan oleh: a. pengguna barang setelah mendapat persetujuan pengelola barang untuk barang milik negara; b. pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/walikota untuk barang milik daerah. (5) Tukar menukar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilaksanakan oleh pengguna barang setelah mendapat persetujuan pengelola barang. Pasal 56 (1) Tukar menukar barang milik negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) huruf a dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut: a. pengelola barang mengkaji perlunya tukar menukar tanah dan/atau bangunan dari aspek teknis, ekonomis, dan yuridis; b. pengelola barang menetapkan tanah dan/ atau bangunan yang akan dipertukarkan sesuai batas kewenangannya; c. tukar menukar tanah dan/atau bangunan dilaksanakan melalui proses persetujuan dengan berpedoman pada ketentuan pada Pasal 46 ayat (1) dan Pasal 48 ayat (1); d. pelaksanaan serah terima barang yang dilepas dan barang pengganti harus dituangkan dalam berita acara serah terima barang. (2) Tukar menukar barang milik negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) huruf b dan c dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut: a. pengguna barang mengajukan usulan kepada pengelola barang disertai alasan/ pertimbangan, kelengkapan data, dan hasil pengkajian tim intern instansi
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
pengguna barang; b. pengelola barang meneliti dan mengkaji alasan/ pertimbangan tersebut dari aspek teknis, ekonomis, dan yuridis; c. apabila memenuhi syarat sesuai peraturan yang berlaku, pengelola barang dapat mempertimbangkan untuk menyetujui sesuai batas kewenangannya; d. pengguna barang melaksanakan tukar menukar dengan berpedoman pada persetujuan pengelola barang; e. pelaksanaan serah terima barang yang dilepas dan barang pengganti harus dituangkan dalam berita acara serah terima barang. Pasal 57 (1) Tukar menukar barang milik daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) huruf a dan b dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut: a. pengelola barang mengajukan usul tukar menukar tanah dan/atau bangunan kepada gubernur/bupati/walikota disertai alasan/pertimbangan, dan kelengkapan data; b. gubernur/bupati/walikota meneliti dan mengkaji alasan/pertimbangan perlunya tukar menukar tanah dan/atau bangunan dari aspek teknis, ekonomis, dan yuridis; c. apabila memenuhi syarat sesuai peraturan yang berlaku, gubernur/ bupati/ walikota dapat mempertimbangkan untuk menyetujui dan menetapkan tanah dan/ atau bangunan yang akan dipertukarkan; d. tukar menukar tanah dan/atau bangunan dilaksanakan melalui proses persetujuan dengan berpedoman pada ketentuan pada Pasal 46 ayat (2) dan Pasal 48 ayat (2); e. pengelola barang melaksanakan tukar menukar dengan berpedoman pada persetujuan gubernur/bupati/ walikota; f. pelaksanaan serah terima barang yang dilepas dan barang pengganti harus dituangkan dalam berita acara serah terima barang. (2) Tukar menukar barang milik daerah
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) huruf c dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut: a. pengguna barang mengajukan usulan kepada pengelola barang disertai alasan/ pertimbangan, kelengkapan data, dan hasil pengkajian tim intern instansi pengguna barang; b. pengelola barang meneliti dan mengkaji alasan/pertimbangan tersebut dari aspek teknis, ekonomis, dan yuridis; apabila memenuhi syarat sesuai peraturan yang berlaku, pengelola barang dapat mempertimbangkan untuk menyetujui sesuai batas kewenangannya; c. pengguna barang melaksanakan tukar menukar dengan berpedoman pada persetujuan pengelola barang; d. pelaksanaan serah terima barang yang dilepas dan barang pengganti harus dituangkan dalam berita acara serah terima barang. Bagian Keempat Hibah Pasal 58 (1) Hibah barang milik negara/daerah dilakukan dengan pertimbangan untuk kepentingan sosial, keagamaan, kemanusiaan, dan penyelenggaraan pemerintahan negara/ daerah. (2) Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. bukan merupakan barang rahasia negara; b. b u k a n m e r u p a k a n b a r a n g y a n g menguasai hajat hidup orang banyak; c. t i d a k d i g u n a k a n l a g i d a l a m penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi dan penyelenggaraan pemerintahan negara/daerah. Pasal 59 (1) Hibah barang milik negara/daerah dapat berupa: a. tanah dan/atau bangunan yang telah diserahkan kepada pengelola barang
67
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
untuk barang milik negara dan gubernur/ bupati/walikota untuk barang milik daerah; b. tanah dan/atau bangunan yang dari awal pengadaaannya direncanakan untuk dihibahkan sesuai yang tercantum dalam dokumen penganggaran; c. barang milik negara/daerah selain tanah dan/atau bangunan. (2) Penetapan barang milik negara/daerah berupa tanah dan/atau bangunan yang akan dihibahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan oleh: a. pengelola barang untuk barang milik negara; b. g u b e r n u r / b u p a t i / w a l i k o t a u n t u k barang milik daerah, sesuai batas kewenangannya. (3) Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh: a. pengelola barang untuk barang milik negara; b. pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/walikota untuk barang milik daerah. (4) Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan oleh: a. pengguna barang setelah mendapat persetujuan pengelola barang untuk barang milik negara; b. pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/walikota untuk barang milik daerah. (5) Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilaksanakan oleh pengguna barang setelah mendapat persetujuan pengelola barang. Pasal 60 (1) Hibah barang milik negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) huruf a dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut: a. pengelola barang mengkaji perlunya hibah berdasarkan pertimbangan dan syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58; b. pengelola barang menetapkan tanah dan/ atau bangunan yang akan dihibahkan
68
sesuai batas kewenangannya; c. proses persetujuan hibah dilaksanakan dengan berpedoman pada ketentuan Pasal 46 ayat (1) dan Pasal 48 ayat (1); d. pelaksanaan serah terima barang yang dihibahkan harus dituangkan dalam berita acara serah terima barang. (2) Hibah barang milik negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) huruf b dan c dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut: a. pengguna barang mengajukan usulan kepada pengelola barang disertai dengan alasan/pertimbangan, kelengkapan data, dan hasil pengkajian tim intern instansi pengguna barang; b. pengelola barang meneliti dan mengkaji berdasarkan pertimbangan dan syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58; c. apabila memenuhi syarat sesuai peraturan yang berlaku, pengelola barang dapat mempertimbangkan untuk menyetujui sesuai batas kewenangannya; d. pengguna barang melaksanakan hibah dengan berpedoman pada persetujuan pengelola barang; e. pelaksanaan serah terima barang yang dihibahkan harus dituangkan dalam berita acara serah terima barang. Pasal 61 (1) Hibah barang milik daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) huruf a dan b dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut: a. pengelola barang mengajukan usul hibah tanah dan/atau bangunan kepada gubernur/bupati/walikota disertai dengan alasan/pertimbangan, dan kelengkapan data; b. gubernur/bupati/walikota meneliti dan mengkaji berdasarkan pertimbangan dan syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58; c. apabila memenuhi syarat sesuai peraturan yang berlaku, gubernur/ bupati/ walikota dapat mempertimbangkan untuk menetapkan dan/atau menyetujui
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
tanah dan/atau bangunan yang akan dihibahkan; d. proses persetujuan hibah dilaksanakan dengan berpedoman pada ketentuan Pasal 46 ayat (2) dan Pasal 48 ayat (2); e. pengelola barang melaksanakan hibah dengan berpedoman pada persetujuan gubernur/bupati/walikota; f. pelaksanaan serah terima barang yang dihibahkan harus dituangkan dalam berita acara serah terima barang. (2) Hibah barang milik daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) huruf c dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut: a. pengguna barang mengajukan usulan kepada Pengelola Barang disertai alasan/pertimbangan, kelengkapan data, dan hasil pengkajian tim intern instansi pengguna barang; b. pengelola barang meneliti dan mengkaji berdasarkan pertimbangan dan syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58; c. apabila memenuhi syarat sesuai peraturan yang berlaku, pengelola barang dapat mempertimbangkan untuk menyetujui sesuai batas kewenangannya; d. pengguna barang melaksanakan hibah dengan berpedoman pada persetujuan pengelola barang; e. pelaksanaan serah terima barang yang dihibahkan harus dituangkan dalam berita acara serah terima barang. Bagian Kelima Penyertaan Modal Pemerintah Pusat/Daerah Pasal 62 (1) Penyertaan modal pemerintah pusat/daerah atas barang milik negara/daerah dilakukan dalam rangka pendirian, pengembangan, dan peningkatan kinerja badan usaha milik negara/daerah atau badan hukum lainnya yang dimiliki negara/daerah; (2) Penyertaan modal pemerintah pusat/daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan pertimbangan sebagai
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
berikut: a. barang milik negara/daerah yang dari awal pengadaaannya sesuai dokumen penganggaran diperuntukkan bagi badan usaha milik negara/daerah atau badan hukum lainnya yang dimiliki negara/ daerah dalam rangka penugasan pemerintah; atau b. barang milik negara/daerah lebih optimal apabila dikelola oleh badan usaha milik Negara/daerah atau badan hukum lainnya yang dimiliki negara/daerah baik yang sudah ada maupun yang akan dibentuk. Pasal 63 (1) Penyertaan modal pemerintah pusat/daerah atas barang milik negara/daerah dapat berupa: a. tanah dan/atau bangunan yang telah diserahkan kepada pengelola barang untuk barang milik negara dan gubernur/ bupati/walikota untuk barang milik daerah; b. tanah dan/atau bangunan yang dari awal pengadaaannya direncanakan untuk disertakan sebagai modal pemerintah pusat/daerah sesuai yang tercantum dalam dokumen penganggaran; c. barang milik negara/daerah selain tanah dan/atau bangunan. (2) Penetapan barang milik negara/daerah berupa tanah dan/atau bangunan yang akan disertakan sebagai modal pemerintah pusat/ daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan oleh: a. pengelola barang untuk barang milik negara; b. g u b e r n u r / b u p a t i / w a l i k o t a u n t u k barang milik daerah, sesuai batas kewenangannya. (3) Penyertaan modal pemerintah pusat/ daerah atas barang milik negara/daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh: a. pengelola barang untuk barang milik negara; b. pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur/ bupati/walikota
69
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
untuk barang milik daerah. (4) Penyertaan modal pemerintah pusat/ daerah atas barang milik negara/daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan oleh: a. pengguna barang setelah mendapat persetujuan pengelola barang untuk barang milik negara; b. pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur/ bupati/walikota untuk barang milik daerah. (5) Penyertaan modal pemerintah pusat/ daerah atas barang milik negara/daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilaksanakan oleh pengguna barang setelah mendapat persetujuan pengelola barang. Pasal 64 (1) Penyertaan modal pemerintah pusat atas barang milik negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) huruf a dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut: a. pengelola barang mengkaji perlunya penyertaan modal pemerintah berdasarkan pertimbangan dan syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62; b. pengelola barang menetapkan tanah dan/ atau bangunan yang akan disertakan sebagai modal pemerintah sesuai batas kewenangannya; c. proses persetujuan penyertaan modal pemerintah dilaksanakan dengan berpedoman pada ketentuan Pasal 46 ayat (1) dan Pasal 48 ayat (1); d. p e n g e l o l a b a r a n g m e n y i a p k a n Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Penyertaan Modal Pemerintah Pusat dengan melibatkan instansi terkait; e. pengelola barang menyampaikan Rancangan Peraturan Pemerintah kepada Presiden untuk ditetapkan; f. penggelola barang melakukan serah terima barang kepada badan usaha milik negara/daerah atau badan hukum lainnya milik negara/daerah yang dituangkan dalam berita acara serah terima barang setelah Peraturan Pemerintah ditetapkan. (2) Penyertaan modal pemerintah pusat atas
70
barang milik negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) huruf b dan c dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut: a. pengguna barang mengajukan usulan kepada pengelola barang disertai dengan alasan/pertimbangan, kelengkapan data, dan hasil pengkajian tim intern instansi pengguna barang; b. pengelola barang meneliti dan mengkaji berdasarkan pertimbangan dan syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62; c. apabila memenuhi syarat sesuai peraturan yang berlaku, pengelola barang dapat mempertimbangkan untuk menyetujui sesuai batas kewenangannya; d. p e n g e l o l a b a r a n g m e n y i a p k a n Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Penyertaan Modal Pemerintah Pusat dengan melibatkan instansi terkait; e. pengelola barang menyampaikan Rancangan Peraturan Pemerintah kepada Presiden untuk ditetapkan; f. pengguna barang melakukan serah terima barang kepada badan usaha milik negara/daerah atau badan hukum lainnya milik negara/daerah yang dituangkan dalam berita acara serah terima barang setelah Peraturan Pemerintah ditetapkan. Pasal 65 (1) Penyertaan modal pemerintah daerah atas barang milik daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) huruf a dan b dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut: a. pengelola barang mengajukan usul penyertaan modal pemerintah atas tanah dan/atau bangunan kepada gubernur/ bupati/walikota disertai dengan alasan/ pertimbangan, dan kelengkapan data; b. gubernur/bupati/walikota meneliti dan mengkaji berdasarkan pertimbangan dan syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62; c. apabila memenuhi syarat sesuai peraturan yang berlaku, gubernur/ bupati/ walikota dapat mempertimbangkan untuk
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
menetapkan dan/atau menyetujui tanah dan/atau bangunan yang akan disertakan sebagai modal pemerintah; d. proses persetujuan penyertaan modal pemerintah dilaksanakan dengan berpedoman pada ketentuan Pasal 46 ayat (2) dan Pasal 48 ayat (2); e. pengelo la bara n g me laksan a k a n penyertaan modal pemerintah dengan berpedoman pada persetujuan gubernur/ bupati/walikota; f. p e n g e l o l a b a r a n g m e n y i a p k a n Rancangan Peraturan Daerah tentang Penyertaan Modal Pemerintah Daerah dengan melibatkan instansi terkait; g. pengelola barang menyampaikan Rancangan Peraturan Daerah kepada DPRD untuk ditetapkan; h. pengguna barang melakukan serah terima barang kepada badan usaha milik negara/daerah atau badan hukum lainnya milik negara/daerah yang dituangkan dalam berita acara serah terima barang setelah Peraturan Pemerintah/Peraturan Daerah ditetapkan. (2) Penyertaan modal pemerintah daerah atas barang milik daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) huruf c dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut: a. pengguna barang mengajukan usulan kepada pengelola barang disertai alasan/ pertimbangan, kelengkapan data, dan hasil pengkajian tim intern instansi pengguna barang; b. pengelola barang meneliti dan mengkaji berdasarkan pertimbangan dan syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62; c. apabila memenuhi syarat sesuai peraturan yang berlaku, pengelola barang dapat mempertimbangkan untuk menyetujui sesuai batas kewenangannya; d. p e n g e l o l a b a r a n g m e n y i a p k a n Rancangan Peraturan Daerah tentang Penyertaan Modal Pemerintah Daerah dengan melibatkan instansi terkait; e. pengelola barang menyampaikan Rancangan Peraturan Daerah kepada DPRD untuk ditetapkan;
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
f. pengguna barang melakukan serah terima barang kepada badan usaha milik negara/daerah atau badan hukum lainnya milik negara/daerah yang dituangkan dalam berita acara serah terima barang setelah Peraturan Pemerintah/ Peraturan Daerah ditetapkan. Pasal 66 (1) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan penjualan, tukar menukar, hibah, dan penyertaan modal pemerintah atas barang milik negara diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan penjualan, tukar menukar, hibah, dan penyertaan modal pemerintah atas barang milik daerah diatur dalam Peraturan Daerah dengan berpedoman pada kebijakan umum pengelolaan barang milik negara/daerah. BAB XI PENATAUSAHAAN Bagian Pertama Pembukuan Pasal 67 (1) K u a s a p e n g g u n a b a r a n g / p e n g g u n a barang harus melakukan pendaftaran dan pencatatan barang milik negara/daerah ke dalam Daftar Barang Kuasa Pengguna (DBKP)/Daftar Barang Pengguna (DBP) menurut penggolongan dan kodefikasi barang. (2) Pengelola barang harus melakukan pendaftaran dan pencatatan barang milik negara/daerah berupa tanah dan/atau bangunan dalam Daftar Barang Milik Negara/ Daerah (DBMN/D) menurut penggolongan barang dan kodefikasi barang. (3) Penggolongan dan kodefikasi barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Menteri Keuangan. (4) Penggolongan dan kodefikasi barang daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Menteri Dalam
71
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
Negeri setelah mendapat pertimbangan Menteri Keuangan. Pasal 68 (1) Kuasa pengguna barang/pengguna barang harus menyimpan dokumen kepemilikan barang milik negara/daerah selain tanah dan/atau bangunan yang berada dalam penguasaannya. (2) Pengelola barang harus menyimpan dokumen kepemilikan tanah dan/atau bangunan yang berada dalam pengelolaannya. Bagian Kedua Inventarisasi Pasal 69 (1) Pengguna barang melakukan inventarisasi barang milik negara/daerah sekurangkurangnya sekali dalam lima tahun. (2) Dikecualikan dari ketentuan ayat (1), terhadap barang milik negara/daerah yang berupa persediaan dan konstruksi dalam pengerjaan, pengguna barang melakukan inventarisasi setiap tahun. (3) Pengguna barang menyampaikan laporan hasil inventarisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) kepada pengelola barang selambat-lambatnya tiga bulan setelah selesainya inventarisasi. Pasal 70 Pengelola barang melakukan inventarisasi barang milik negara/daerah berupa tanah dan/atau bangunan yang berada dalam penguasaannya sekurang-kurangnya sekali dalam lima tahun. Bagian Ketiga Pelaporan Pasal 71 (1) Kuasa pengguna barang harus menyusun Laporan Barang Kuasa Pengguna Semesteran (LBKPS) dan Laporan Barang Kuasa Pengguna Tahunan (LBKPT) untuk disampaikan kepada pengguna barang. (2) Pengguna barang harus menyusun Laporan
72
Barang Pengguna Semesteran (LBPS) dan Laporan Barang Pengguna Tahunan (LBPT) untuk disampaikan kepada pengelola barang. (3) Pengelola barang harus menyusun Laporan Barang Milik Negara/Daerah (LBMN/D) berupa tanah dan/atau bangunan semesteran dan tahunan. (4) Pengelola barang harus menghimpun Laporan Barang Pengguna Semesteran (LBPS) dan Laporan Barang Pengguna Tahunan (LBPT) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) serta Laporan Barang Milik Negara/Daerah (LBMN/D) berupa tanah dan/ atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (5) Pengelola barang harus menyusun Laporan Barang Milik Negara/Daerah (LBMN/D) berdasarkan hasil penghimpunan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4). Pasal 72 Laporan Barang Milik Negara/Daerah (LBMN/D) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (5) digunakan sebagai bahan untuk menyusun neraca pemerintah pusat/daerah. Pasal 73 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pembukuan, inventarisasi, dan pelaporan barang milik negara diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan. BAB XII PEMBINAAN, PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN Bagian Pertama Pembinaan Pasal 74 (1) Menteri Keuangan menetapkan kebijakan umum pengelolaan barang milik negara/ daerah. (2) Menteri Keuangan menetapkan kebijakan teknis dan melakukan pembinaan pengelolaan barang milik negara. (3) M e n t e r i D a l a m N e g e r i m e n e t a p k a n
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
kebijakan teknis dan melakukan pembinaan pengelolaan barang milik daerah sesuai dengan kebijakan sebagaimana ayat (1). Bagian Kedua Pengawasan dan Pengendalian Pasal 75 (1) Pengguna barang melakukan pemantauan dan penertiban terhadap penggunaan, pemanfaatan, pemindahtanganan, penatausahaan, pemeliharaan, dan pengamanan barang milik negara/daerah yang berada di bawah penguasaannya. (2) Pelaksanaan pemantauan dan penertiban sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) untuk kantor/satuan kerja dilaksanakan oleh kuasa pengguna barang. (3) Kuasa pengguna barang dan pengguna barang dapat meminta aparat pengawas fungsional untuk melakukan audit tindak lanjut hasil pemantauan dan penertiban sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). (4) Kuasa pengguna barang dan pengguna barang menindaklanjuti hasil audit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai ketentuan perundang-undangan. Pasal 76 (1) Pengelola barang berwenang untuk melakukan pemantauan dan investigasi atas pelaksanaan penggunaan, pemanfaatan, dan pemindahtanganan barang milik negara/daerah, dalam rangka penertiban penggunaan, pemanfaatan, dan pemindahtanganan barang milik negara/ daerah sesuai ketentuan yang berlaku. (2) Sebagai tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengelola barang dapat meminta aparat pengawas fungsional untuk melakukan audit atas pelaksanaan penggunaan, pemanfaatan, dan pemindahtanganan barang milik negara/ daerah. (3) Hasil audit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada pengelola barang untuk ditindaklanjuti sesuai ketentuan
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
perundang-undangan. Pasal 77 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan Pengawasan dan Pengendalian atas barang milik negara diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan. BAB XIII KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 78 (1) Pejabat/pegawai yang melaksanakan pengelolaan barang milik negara/daerah yang menghasilkan penerimaan negara/ daerah dapat diberikan insentif. (2) Pejabat/pegawai selaku pengurus barang dalam melaksanakan tugas rutinnya diberikan tunjangan yang besarannya disesuaikan dengan kemampuan keuangan negara/daerah. (3) Pemberian insentif dan/atau tunjangan kepada pejabat/pegawai yang melaksanakan pengelolaan barang milik negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. (4) Pemberian insentif dan/atau tunjangan kepada pejabat/ pegawai yang melaksanakan pengelolaan barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Daerah dengan berpedoman pada kebijakan umum pengelolaan barang milik negara/daerah. Pasal 79 (1) Barang milik negara/daerah yang digunakan oleh badan layanan umum/badan layanan umum daerah merupakan kekayaan negara/daerah yang tidak dipisahkan untuk menyelenggarakan kegiatan badan layanan umum/badan layanan umum daerah yang bersangkutan. (2) Pengelolaan barang milik negara/daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengikuti ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini, kecuali terhadap barang-barang tertentu yang diatur tersendiri
73
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
dalam Peraturan Pemerintah tentang Badan Layanan Umum. Pasal 80 (1) Pengelola barang dapat membentuk badan layanan umum dan/atau menggunakan jasa pihak lain dalam pelaksanaan pemanfaatan dan pemindahtanganan barang milik negara berupa tanah dan/atau bangunan. (2) Pengelolaan barang milik negara yang berasal dari badan khusus yang dibentuk dalam rangka penyehatan perbankan, diatur tersendiri dengan Peraturan Menteri Keuangan. Pasal 81 Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan barang milik daerah diatur dalam Peraturan Daerah BAB XIV GANTI RUGI DAN SANKSI Pasal 82 (1) Setiap kerugian negara/daerah akibat kelalaian, penyalahgunaan/pelanggaran hukum atas pengelolaan barang milik negara/ daerah diselesaikan melalui tuntutan ganti rugi sesuai dengan peraturan perundangundangan. (2) Setiap pihak yang mengakibatkan kerugian negara/daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenakan sanksi administratif dan/atau sanksi pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan. BAB XV KETENTUAN PERALIHAN Pasal 83 (1) Barang milik negara/daerah berupa tanah dan/atau bangunan yang telah ada sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini wajib dilakukan inventarisasi dan diselesaikan dokumen kepemilikannya. (2) Inventarisasi dan penyelesaian dokumen kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh pengelola
74
barang berkoordinasi dengan kementerian negara/lembaga yang bertanggung jawab di bidang pertanahan nasional dan instansi teknis terkait. (3) Semua biaya yang timbul sebagai akibat pelaksanaan ketentuan pada ayat (2) dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah. BAB XVI KETENTUAN PENUTUP Pasal 84 Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini, semua peraturan yang mengatur mengenai pengelolaan barang milik negara/daerah yang bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tidak berlaku. Pasal 85 Ketentuan pelaksanaan sebagai tindak lanjut Peraturan Pemerintah ini harus diselesaikan selambat-lambatnya satu tahun terhitung sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan. Pasal 86 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 14 Maret 2006 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 14 Maret 2006 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. HAMID AWALUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 20 Salinan sesuai dengan aslinya DEPUTI MENTERI SEKRETARIS NEGARA BIDANG PERUNDANG-UNDANGAN,
ABDUL WAHID
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
75
PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA/DAERAH
I.
UMUM
1. Pendahuluan Dalam rangka menjamin terlaksananya tertib administrasi dan tertib pengelolaan barang milik negara/daerah diperlukan adanya kesamaan persepsi dan langkah secara integral dan menyeluruh dari unsurunsur yang terkait dalam pengelolaan barang milik negara/daerah. Pengelolaan barang milik negara/ daerah sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini dilaksanakan dengan memperhatikan asas-asas sebagai berikut: a. Asas fungsional, yaitu pengambilan keputusan dan pemecahan masalahmasalah di bidang pengelolaan barang milik negara/daerah yang dilaksanakan oleh kuasa pengguna barang, pengguna barang, pengelola barang dan gubernur/ bupati/walikota sesuai fungsi, wewenang, dan tanggung jawab masing-masing; b. Asas kepastian hukum, yaitu pengelolaan barang milik negara/ daerah harus dilaksanakan berdasarkan hukum dan
76
peraturan perundang-undangan; c. Asas transparansi, yaitu penyelenggaraan pengelolaan barang milik negara/ daerah harus transparan terhadap hak masyarakat dalam memperoleh informasi yang benar; d. Asas efisiensi, yaitu pengelolaan barang milik negara/daerah diarahkan agar barang milik negara/daerah digunakan sesuai batasan-batasan standar kebutuhan yang diperlukan dalam rangka menunjang penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pemerintahan secara optimal; e. Asas akuntabilitas, yaitu setiap kegiatan pengelolaan barang milik negara/ daerah harus dapat dipertanggung-jawabkan kepada rakyat; f. Asas kepastian nilai, yaitu pengelolaan barang milik negara/daerah harus didukung oleh adanya ketepatan jumlah dan nilai barang dalam rangka optimalisasi pemanfaatan dan pemindahtanganan barang milik negara/daerah serta penyusunan Neraca Pemerintah.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Penjelasan Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
2. Gambaran Umum a. Ruang Lingkup Barang Milik Negara/ Daerah dan Pengelolaan Ruang lingkup barang milik negara/ daerah dalam Peraturan Pemerintah ini mengacu pada pengertian barang milik negara/daerah berdasarkan rumusan dalam Pasal 1 angka 10 dan angka 11 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Atas dasar pengertian tersebut lingkup barang milik negara/daerah disamping berasal dari pembelian atau perolehan atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah juga berasal dari perolehan lainnya yang sah. Barang milik negara/daerah yang berasal dari perolehan lainnya yang sah selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini diperjelas lingkupnya yang meliputi barang yang diperoleh dari hibah/ sumbangan/sejenisnya, diperoleh sebagai pelaksanaan perjanjian/ kontrak, diperoleh berdasarkan ketentuan undang-undang dan diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pengaturan mengenai lingkup barang milik negara/daerah dalam Peraturan Pemerintah ini dibatasi pada pengertian barang milik negara/daerah yang bersifat berwujud (tangible) sebagaimana dimaksud Bab VII Pasal 42 sampai dengan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Pengelolaan barang milik negara/ daerah dalam Peraturan Pemerintah ini, meliputi perencanaan kebutuhan dan penganggaran, pengadaan, penggunaan, pemanfaatan, pengamanan dan pemeliharaan, penilaian, penghapusan, pemindahtanganan, penatausahaan, pembinaan, pengawasan dan pengendalian. Lingkup pengelolaan barang milik negara/daerah tersebut merupakan siklus logistik yang lebih
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
terinci sebagai penjabaran dari siklus logistik sebagaimana yang diamanatkan dalam penjelasan Pasal 49 ayat (6) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004, yang antara lain didasarkan pada pertimbangan perlunya penyesuaian terhadap siklus perbendaharaan. b. Pejabat Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah P a d a d a s a r n y a b a r a n g m i l i k negara/daerah digunakan untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi kementerian negara/lembaga/ satuan kerja perangkat daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004. Terkait dengan hal tersebut, Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 menetapkan bahwa menteri/pimpinan lembaga/kepala satuan kerja perangkat daerah adalah pengguna barang bagi kementerian negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya. Sebagai konsekuensi dari prinsip tersebut di atas, maka tanah dan/atau bangunan milik negara/daerah yang tidak dimanfaatkan untuk kepentingan penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi instansi yang bersangkutan wajib diserahkan pemanfaatannya kepada Menteri Keuangan/gubernur/ bupati/ walikota untuk kepentingan penyelenggaraan tugas pemerintahan negara/daerah sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 49 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004. Menteri Keuangan/gubernur/bupati/ walikota melakukan pemanfaatan atas tanah dan/atau bangunan tersebut untuk: 1) digunakan oleh instansi lain yang memerlukan tanah/bangunan dalam rangka penyelenggaraan tugas pokok dan fungsinya melalui pengalihan status penggunaan; 2) dimanfaatkan, dalam bentuk sewa, kerja sama pemanfaatan, pinjam pakai, bangun guna serah dan
77
Penjelasan Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
bangun serah guna; atau 3) dipindahtangankan, dalam bentuk penjualan, tukar menukar, hibah, penyertaan modal pemerintah pusat/ daerah. Dalam Peraturan Pemerintah ini diatur pejabat yang melakukan pengelolaan barang milik negara/daerah. Dalam pengelolan barang milik negara, Menteri Keuangan adalah pengelola barang, menteri/pimpinan lembaga adalah pengguna barang, dan kepala kantor satuan kerja adalah kuasa pengguna barang. Sedangkan dalam pengelolaan barang milik daerah, gubernur/bupati/ walikota adalah pemegang kekuasaan pengelolaan barang milik daerah, sekretaris daerah adalah pengelola barang, dan kepala satuan kerja perangkat daerah adalah pengguna barang. D a s a r p e n g a t u r a n m e n g e n a i wewenang dan tanggung jawab pejabat pengelolaan barang milik negara/daerah adalah sebagai berikut: 1) Menteri Keuangan selaku pengelola barang mempunyai fungsi yang mengacu pada ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf q, Pasal 42 ayat (1), Pasal 46 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004. Berdasarkan ketentuan pada pasal-pasal tersebut, fungsi Menteri Keuangan selain menyangkut fungsi pengaturan (regelling) juga melakukan fungsi pengelolaan atas barang milik negara khususnya tanah dan/atau bangunan, termasuk mengambil berbagai keputusan administratif (beschikking). Dalam kedudukannya sebagai pengelola barang, dan dihubungkan dengan amanat Pasal 6 ayat (2) UndangUndang Nomor 17 tahun 2003, Menteri Keuangan juga berwenang mengajukan usul untuk memperoleh persetujuan DPR, baik dalam rangka pemindahtangan barang milik negara berupa tanah dan/atau bangunan
78
maupun pemindahtangan barang milik negara selain tanah dan/atau bangunan yang nilainya di atas Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). 2) Menteri/pimpinan lembaga selaku pengguna barang mempunyai fungsi yang mengacu pada Pasal 9 huruf f Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 serta Pasal 4 huruf g dan huruf h, Pasal 42 ayat (2), dan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004. Fungsi menteri/ pimpinan lembaga selaku pengguna barang pada dasarnya menyangkut penggunaan barang milik negara yang ada dalam penguasaannya dalam rangka penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi kementerian negara/ lembaga. Dalam melaksanakan fungsi dimaksud, menteri/ pimpinan Lembaga berwenang menunjuk kuasa pengguna barang. 3) Gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintah daerah mempunyai fungsinya mengacu pada Pasal 5 huruf c, Pasal 43 ayat (1), Pasal 47 ayat (2), dan Pasal 49 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004. Gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintah daerah merupakan pemegang kekuasaan pengelolaan barang milik daerah yang teknis pengelolaannya dilaksanakan oleh: a) s e k r e t a r i s d a e r a h s e b a g a i pengelola barang atas dasar pertimbangan bahwa kepala satuan kerja pengelola keuangan daerah selaku bendahara umum daerah, fungsinya mengacu pada Pasal 9 ayat (2) huruf q dan Pasal 43 ayat (2) UndangUndang Nomor 1 Tahun 2004, berkedudukan dibawah sekretaris daerah; b) kepala satuan kerja perangkat daerah selaku pengguna barang,
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Penjelasan Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
fungsinya mengacu pada Pasal 10 ayat (3) huruf f Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 serta Pasal 6 ayat (2) huruf f dan Pasal 43 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004. c. Perencanaan Kebutuhan, Penganggaran, dan Pengadaan Barang Milik Negara/ Daerah Perencanaan kebutuhan barang milik negara/daerah harus mampu menghubungkan antara ketersediaan barang sebagai hasil dari pengadaan yang telah lalu dengan keadaan yang sedang berjalan sebagai dasar tindakan yang akan datang dalam rangka pencapaian efisiensi dan efektivitas pengelolaan barang milik negara/daerah. Hasil perencanaan kebutuhan tersebut merupakan salah satu dasar dalam penyusunan perencanaan anggaran pada kementerian/lembaga/satuan kerja perangkat daerah. Perencanaan anggaran yang mencerminkan kebutuhan riil barang milik negara/daerah pada kementerian/lembaga/satuan kerja perangkat daerah selanjutnya menentukan pencapaian tujuan pengadaan barang yang diperlukan dalam rangka penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pemerintah. d. Penggunaan Barang Milik Negara/ Daerah Pada dasarnya barang milik negara/ daerah digunakan untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi kementerian negara/lembaga/ satuan kerja perangkat daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004. Oleh karena itu, sesuai Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 barang milik negara/daerah yang diperlukan bagi penyelenggaraan tugas pemerintahan negara/daerah tidak dapat dipindahtangankan. Dalam rangka menjamin tertib penggunaan, pengguna barang harus melaporkan kepada
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
pengelola barang atas semua barang milik negara/daerah yang diperoleh kementerian/lembaga/satuan kerja perangkat daerah untuk ditetapkan status penggunaannya. e. Penatausahaan Barang Milik Negara/ Daerah P e n a t a u s a h a a n b a r a n g m i l i k negara/daerah meliputi pembukuan, inventarisasi, dan pelaporan. Barang milik negara/daerah yang berada di bawah penguasaan pengguna barang/ kuasa pengguna barang harus dibukukan melalui proses pencatatan dalam Daftar Barang Kuasa Pengguna oleh kuasa pengguna barang. Daftar Barang Pengguna oleh pengguna barang dan Daftar Barang Milik Negara/Daerah oleh pengelola barang. Proses inventarisasi, baik berupa pendataan, pencatatan, dan pelaporan hasil pendataan barang milik negara/daerah merupakan bagian dari penatausahaan. Hasil dari proses pembukuan dan inventarisasi diperlukan dalam melaksanakan proses pelaporan barang milik negara/daerah yang dilakukan oleh kuasa pengguna barang, pengguna barang, dan pengelola barang. Hasil penatausahaan barang milik negara/daerah digunakan dalam rangka: - penyusunan neraca pemerintah pusat/daerah setiap tahun; - perencanaan kebutuhan pengadaan dan pemeliharaan barang milik negara/ daerah setiap tahun untuk digunakan sebagai bahan penyusunan rencana anggaran; - pengamanan administratif terhadap barang milik negara/daerah. f. Pengamanan dan Pemeliharaan Barang Milik Negara/Daerah Pengamanan administrasi yang ditunjang oleh pengamanan fisik dan pengamanan hukum atas barang milik negara/daerah merupakan bagian penting dari pengelolaan barang milik negara/daerah. Kuasa pengguna barang, pengguna barang dan pengelola barang
79
Penjelasan Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
memiliki wewenang dan tangung jawab dalam menjamin keamanan barang milik negara/daerah yang berada di bawah penguasaannya dalam rangka menjamin pelaksanaan tugas pokok dan fungsi pemerintah. g. Penilaian Barang Milik Negara/Daerah Penilaian barang milik negara/daerah diperlukan dalam rangka mendapatkan nilai wajar sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Nilai wajar atas barang milik negara/daerah yang diperoleh dari penilaian ini merupakan unsur penting dalam rangka penyusunan neraca pemerintah, pemanfaatan dan pemindahtanganan barang milik negara/ daerah. h. Pemanfaatan dan Pemindahtanganan Barang milik negara/daerah dapat dimanfaatkan atau dipindahtangankan apabila tidak digunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan negara/ daerah. Dalam konteks pemanfaatan tidak terjadi adanya peralihan kepemilikan dari pemerintah kepada pihak lain. Sedangkan dalam konteks pemindahtanganan akan terjadi peralihan kepemilikan atas barang milik negara/daerah dari pemerintah kepada pihak lain. Tanah dan/atau bangunan yang tidak dipergunakan sesuai tugas pokok dan fungsi instansi pengguna barang harus diserahkan kepada Menteri Keuangan selaku pengelola barang untuk barang milik negara, atau gubernur/bupati/ walikota selaku pemegang kekuasaan pengelolaan barang milik daerah untuk barang milik daerah. Penyerahan kembali barang milik negara/daerah tersebut dilakukan dengan memperhatikan kondisi status tanah dan/atau bangunan, apakah telah bersertifikat (baik dalam kondisi bermasalah maupun tidak bermasalah) atau tidak bersertifikat (baik dalam kondisi bermasalah maupun tidak bermasalah). Barang milik negara/daerah berupa tanah dan/atau bangunan yang telah diserahkan tersebut selanjutnya
80
didayagunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan negara, yang meliputi fungsi-fungsi berikut: 1) Fungsi pelayanan Fungsi ini direalisasikan melalui pengalihan status penggunaan, di mana barang milik negara/daerah dialihkan penggunaannya kepada instansi pemerintah lainnya untuk digunakan dalam rangka memenuhi kebutuhan organisasi sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. 2) Fungsi budgeter Fungsi ini direalisasikan melalui pemanfaatan dan pemindahtanganan. Pemanfaatan dimaksud dilakukan dalam bentuk sewa, kerjasama pemanfaatan, pinjam pakai, bangun guna serah dan bangun serah guna. Sedangkan pemindahtanganan dilakukan dalam bentuk penjualan, tukar menukar, hibah, dan penyertaan modal negara/daerah. K e w e n a n g a n p e l a k s a n a a n pemanfaatan atau pemindahtanganan tanah dan/atau bangunan pada barang milik negara prinsipnya dilakukan oleh pengelola barang, dan untuk barang milik daerah dilakukan oleh gubernur/bupati/ walikota, kecuali hal-hal sebagai berikut: 1) P e m a n f a a t a n t a n a h d a n / a t a u bangunan untuk memperoleh fasilitas yang diperlukan dalam rangka menunjang tugas pokok dan fungsi instansi pengguna dan berada di dalam lingkungan instansi pengguna, contohnya: kantin, bank dan koperasi. 2) Pemindahtanganan dalam bentuk tukar-menukar berupa tanah dan/atau bangunan yang masih digunakan untuk tugas pokok dan fungsi namun tidak sesuai dengan tata ruang wilayah atau penataan kota. 3) Pemindahtanganan dalam bentuk penyertaan modal pemerintah pusat/daerah berupa tanah dan/ atau bangunan yang sejak awal pengadaannya sesuai dokumen
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Penjelasan Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
penganggaran diperuntukkan bagi badan usaha milik negara/daerah atau badan hukum lainnya yang dimiliki negara. Pengecualian tersebut, untuk barang milik negara dilakukan oleh pengguna barang dengan persetujuan pengelola barang, sedangkan untuk barang milik daerah dilakukan oleh pengelola barang dengan persetujuan gubernur/bupati/ walikota. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Termasuk dalam pengertian ini meliputi: kontrak karya, kontrak bagi hasil, kontrak kerja sama pemanfaatan. Huruf c Misalnya: Undang-Undang Kepabeanan, termasuk pengertian ini meliputi barang milik negara yang diperoleh dari aset asing/cina dan sebagainya. Huruf d Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas . Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan mengatur pelaksanaan adalah menindaklanjuti persetujuan gubernur/bupati/ walikota secara administratif. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Penyerahan dimaksud meliputi bukan hanya terhadap tanah dan bangunan yang berlebih tetapi juga termasuk tanah dan bangunan yang karena alasan tertentu tidak dapat lagi digunakan untuk kepentingan penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi instansi yang bersangkutan. Huruf k Cukup jelas.
81
Penjelasan Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
Huruf l Cukup jelas. Huruf m Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Yang dimaksud dengan Kepala Kantor adalah pejabat yang mempunyai anggaran/Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) seperti sekretaris jenderal, inspektur jenderal, direktur jenderal, kepala kantor wilayah, dan kepala kantor satuan kerja. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Yang dimaksud dengan ketersediaan barang milik negara/daerah yang ada adalah barang milik negara/daerah baik yang ada di pengelola barang maupun pengguna barang. Ayat (2) Perencanaan kebutuhan dimaksud meliputi perencanaan kebutuhan pengadaan dan perencanaan kebutuhan pemeliharaan barang milik negara/ daerah. Ayat (3) Yang dimaksud standar kebutuhan adalah standar sarana dan prasarana. Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) - Rencana Kebutuhan Barang Milik Negara/Daerah tersebut digunakan sebagai acuan dalam penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga/ Satuan Kerja Perangkat Daerah. - Termasuk data barang pada pengguna barang dan/atau pengelola barang adalah Laporan Pengguna Barang
82
Semesteran, Laporan Pengguna Barang Tahunan, Laporan Pengelola Barang Semesteran, Laporan Pengelola Tahunan, dan sensus barang serta Laporan Barang Milik Negara/Daerah Semesteran dan Tahunan.
Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Huruf a Usul penggunaan meliputi barang milik negara yang digunakan oleh pengguna barang untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi, termasuk barang milik negara yang ada pada pengguna barang yang direncanakan untuk dihibahkan kepada pihak ketiga atau yang akan dijadikan penyertaan modal negara. Huruf b Penetapan status penggunaan barang milik negara oleh pengelola barang disertai dengan ketentuan: 1) pengguna barang mencatat barang milik negara tersebut dalam Daftar Barang Pengguna apabila barang milik negara itu akan digunakan sendiri oleh pengguna barang untuk menyelenggarakan tugas pokok dan fungsinya; 2) pengguna barang menyampaikan Berita Acara Serah Terima Pengelolaan Sementara Barang Milik Negara kepada pengelola barang apabila barang milik negara itu akan dihibahkan atau dijadikan penyertaan modal negara. Ayat (2) Huruf a Usul penggunaan meliputi barang milik daerah yang digunakan
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Penjelasan Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
oleh pengguna barang untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi, termasuk barang milik daerah yang ada pada pengguna barang yang direncanakan untuk dihibahkan kepada pihak ketiga atau yang akan dijadikan penyertaan modal daerah. Huruf b Penetapan status penggunaan barang milik daerah oleh pengelola barang disertai dengan ketentuan: 1) pengguna barang mencatat barang milik daerah tersebut dalam Daftar Barang Pengguna apabila barang milik daerah itu akan digunakan sendiri oleh pengguna barang untuk menyelenggarakan tupoksinya; 2) pengguna barang menyampaikan Berita Acara Serah Terima Pengelolaan Sementara Barang Milik Daerah kepada pengelola barang apabila barang milik daerah itu akan dihibahkan atau dijadikan penyertaan modal daerah. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud tindak lanjut pengelolaan dalam ayat ini, bahwa diupayakan te r l e b i h d a h u l u m e m p r i o r i ta s k a n penetapan status penggunaannya untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi instansi pemerintah lainnya. Yang selanjutnya apabila ternyata tidak diperlukan/ dibutuhkan instansi pengguna lain dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi, maka pemanfaatan terhadap
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
barang tersebut diupayakan dalam rangka optimalisasi pemanfaatan barang milik negara/daerah. Pemindahtanganan merupakan upaya terakhir apabila barang tersebut memang benar-benar sudah tidak dapat digunakan atau dimanfaatkan. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Ayat (1) Pemanfaatan barang milik negara untuk kepentingan penyelenggaraan tugas pemerintahan negara dilakukan oleh pengelola barang dalam rangka peningkatan penerimaan negara sebagai sumber pendapatan negara yang merupakan bagian dari pelaksanaan fungsi bendahara umum negara. Ayat (2) Pemanfaatan barang milik daerah untuk kepentingan penyelenggaraan tugas pemerintahan daerah dilakukan oleh pengelola barang dalam rangka peningkatan penerimaan daerah sebagai sumber pendapatan daerah yang merupakan bagian dari pelaksanaan fungsi bendahara umum daerah. Ayat (3) Ya n g d i m a k s u d d e n g a n m e n u n j a n g kepentingan penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi adalah untuk kepentingan kegiatan di lingkungan perkantoran, seperti kantin, bank, koperasi, ruang serbaguna/aula. Ayat (4) Barang milik negara/daerah selain tanah dan/atau bangunan yang menjadi lingkup pemanfaatan ini adalah barang milik negara/daerah yang sudah tidak digunakan oleh pengguna barang untuk menyelenggarakan atau menunjang tupoksi instansi bersangkutan. Ayat (5) Pertimbangan teknis sebagaimana dimaksud dalam ayat ini antara lain kondisi/keadaan barang milik negara/ daerah dan rencana penggunaan/
83
Penjelasan Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
peruntukan. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Pemanfaatan barang milik daerah, selain penyewaan dapat dipungut retribusi yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Uang sewa dibayar dimuka sesuai dengan jangka waktu penyewaan. Pasal 23 Ayat (1) Tidak termasuk dalam pengertian pinjam pakai dalam ayat ini adalah pengalihan penggunaan barang antar pengguna barang milik negara atau antar pengguna barang milik daerah yang merupakan bentuk perubahan status penggunaan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang termasuk barang milik negara/ daerah yang bersifat khusus antara lain barang yang mempunyai spesifikasi tertentu sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Huruf c Cukup jelas.
84
Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 27 Ayat (1) Huruf a Spesifikasi bangunan dan fasilitas pada pelaksanaan bangun guna serah dan bangun serah guna disesuaikan dengan kebutuhan penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Keikutsertaan pengguna barang dan/ atau kuasa pengguna barang dalam pelaksanaan bangun guna serah dan bangun serah guna dimulai dari tahap persiapan pembangunan, pelaksanaan pembangunan sampai dengan penyerahan hasil bangun serah guna dan bangun guna serah. Pasal 28 Yang dimaksud dengan hasil adalah bangunan beserta fasilitas yang telah diserahkan oleh mitra setelah berakhirnya jangka waktu yang diperjanjikan untuk bangun guna serah dan setelah selesainya pembangunan untuk bangun serah guna. Pasal 29 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Penjelasan Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud objek bangun guna serah dan bangun serah guna dalam ketentuan ini adalah tanah beserta bangunan dan atau sarana berikut fasilitasnya. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) - P e n g a m a n a n a d m i n i s t r a s i meliputi kegiatan pembukuan, penginventarisasian, dan pelaporan barang milik negara/daerah serta penyimpanan dokumen kepemilikan secara tertib. - Pengamanan fisik antara lain ditujukan untuk mencegah terjadinya penurunan fungsi barang, penurunan jumlah barang dan hilangnya barang. - Pengamanan fisik untuk tanah dan bangunan antara lain dilakukan dengan cara pemagaran dan pemasangan tanda batas tanah, sedangkan untuk selain tanah dan bangunan antara lain dilakukan dengan cara penyimpanan dan pemeliharaan. - Pengamanan hukum antara lain meliputi kegiatan melengkapi bukti status kepemilikan.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Pasal 33 Ayat (1) Yang dimaksud dengan disertifikatkan a ta s n a m a P e m e r i n ta h R e p u b l i k Indonesia/pemerintah daerah yang bersangkutan adalah penerbitan sertifikat hak atas tanah milik pemerintah pusat langsung atas nama Pemerintah Republik Indonesia dan penerbitan sertifikat hak atas tanah milik pemerintah daerah langsung atas nama pemerintah propinsi/ kabupaten/kota. Selanjutnya pengelola barang untuk tanah milik pemerintah pusat, dan gubernur/ bupati/ walikota untuk tanah milik pemerintah daerah, akan menerbitkan surat penetapan status penggunaan tanah kepada masing-masing pengguna barang/ kuasa pengguna barang sebagai dasar penggunaan tanah tersebut. Hak atas tanah yang dapat diterbitkan berupa hak yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Ayat (1) Yang dimaksud dengan pemeliharaan adalah suatu rangkaian kegiatan untuk menjaga kondisi dan memperbaiki semua barang milik negara/daerah agar selalu dalam keadaan baik dan siap untuk digunakan secara berdaya guna dan berhasil guna. Ayat (2) Daftar Kebutuhan Pemeliharaan Barang merupakan bagian dari Daftar Kebutuhan Barang Milik Negara/ Daerah. Ayat (3) Cukup jelas.
85
Penjelasan Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
Pasal 36 Ayat (1) Yang dimaksud secara berkala adalah setiap enam bulan/per semester. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Ayat (1) Yang dimaksud dengan tim adalah panitia penaksir harga yang unsurnya terdiri dari instansi terkait. Yang dimaksud dengan penilai independen adalah penilai yang bersertifikat dibidang penilaian aset yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. Ayat (2) Yang dimaksud dengan penilai independen adalah penilai yang bersertifikat dibidang penilaian aset yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 40 Ayat (1) Yang dimaksud dengan tim adalah panitia penaksir harga yang unsurnya terdiri dari instansi terkait. Yang dimaksud dengan penilai independen adalah penilai yang bersertifikat dibidang penilaian aset yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. Ayat (2) Yang dimaksud dengan penilai independen adalah penilai yang bersertifikat dibidang penilaian aset yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas.
86
Pasal 42 Ayat (1) Barang milik negara/daerah sudah tidak berada dalam penguasaan pengguna barang dan/atau kuasa pengguna barang disebabkan karena: - penyerahan kepada pengelola barang; - pengalihgunaan barang milik negara/ daerah selain tanah dan/atau bangunan kepada pengguna barang lain; - pemindahtanganan atas barang milik negara/daerah selain tanah dan/atau bangunan kepada pihak lain; - pemusnahan; - sebab-sebab lain antara lain karena hilang, kecurian, terbakar, susut, menguap, mencair. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 43 Ayat (1) Yang dimaksud dengan beralihnya kepemilikan adalah karena atas barang milik negara/daerah dimaksud telah terjadi pemindahtanganan atau dalam rangka menjalankan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan sudah tidak ada upaya hukum lainnya. Yang dimaksud karena sebab-sebab lain antara lain adalah karena hilang, kecurian, terbakar, susut, menguap, mencair. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 44 Ayat (1) Yang dimaksud dengan sesuai ketentuan perundang-undangan antara lain seperti Undang-Undang Kepabeanan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Penjelasan Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a - Tidak sesuai dengan tata ruang wilayah artinya pada lokasi tanah dan/atau bangunan milik negara/daerah dimaksud terjadi perubahan peruntukan dan/ atau fungsi kawasan wilayah, misalnya dari peruntukan wilayah perkantoran menjadi wilayah perdagangan. - Tidak sesuai dengan penataan kota artinya atas tanah dan/ atau bangunan milik negara/ daerah dimaksud perlu dilakukan penyesuaian, yang berakibat pada perubahan luas tanah dan/ atau bangunan tersebut. Huruf b Yang dihapuskan adalah bangunan yang berdiri di atas tanah tersebut untuk dirobohkan yang selanjutnya didirikan bangunan baru di atas tanah yang sama (rekonstruksi) sesuai dengan alokasi anggaran yang telah disediakan dalam dokumen penganggaran. Huruf c Yang dimaksud dengan tanah dan/ atau bangunan diperuntukkan bagi pegawai negeri adalah: - tanah dan/atau bangunan, yang merupakan kategori rumah negara golongan III. - t a n a h , y a n g m e r u p a k a n tanah kavling yang menurut perencanaan awal pengadaannya untuk pembangunan perumahan pegawai negeri. Huruf d Ya n g d i m a k s u d k a n d e n g a n
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
kepentingan umum adalah kegiatan yang menyangkut kepentingan bangsa dan negara, masyarakat luas, rakyat banyak/bersama, dan/ atau kepentingan pembangunan. Kategori bidang-bidang kegiatan yang termasuk untuk kepentingan umum antara lain sebagai berikut: - jalan umum, jalan tol, rel kereta api, saluran air minum/air bersih dan/atau saluran pembuangan air; - waduk, bendungan dan bangunan pengairan lainnya termasuk saluran irigasi; - rumah sakit umum dan pusatpusat kesehatan masyarakat; - pelabuhan atau bandar udara atau stasiun kereta api atau terminal; - peribadatan; - pendidikan atau sekolah; - pasar umum; - fasilitas pemakaman umum; - fasilitas keselamatan umum seperti antara lain tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar dan lain-lain bencana; - pos dan telekomunikasi; - sarana olahraga; - stasiun penyiaran radio, televisi beserta sarana pendukungnya untuk lembaga penyiaran publik ; - kantor pemerintah, pemerintah daerah, perwakilan negara asing, Perserikatan Bangsa-Bangsa, lembaga internasional dibawah naungan Perserikatan BangsaBangsa; - f a s i l i t a s Te n t a r a N a s i o n a l Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya ; - rumah susun sederhana; - tempat pembuangan sampah; - cagar alam dan cagar budaya; - pertamanan; - panti sosial; - pembangkit, transmisi, distribusi
87
Penjelasan Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
tenaga listrik. Huruf e Barang milik negara/daerah yang ditetapkan sebagai pelaksanaan perundang-undangan karena adanya keputusan pengadilan atau penyitaan, dapat dipindahtangankan tanpa memerlukan persetujuan DPR. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Lelang adalah penjualan barang milik negara/daerah di hadapan pejabat lelang. Ayat (3) Huruf a. Yang termasuk barang milik negara/ daerah yang bersifat khusus adalah barang-barang yang diatur secara khusus sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku; misalnya, rumah negara golongan III yang dijual kepada penghuni, dan kendaraan dinas perorangan pejabat negara yang dijual kepada pejabat negara. Huruf b. Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Ayat (1) Tukar menukar sebagaimana dimaksud dalam ayat ini ditempuh apabila pemerintah tidak dapat menyediakan tanah dan/atau bangunan pengganti . Ayat (2) Yang dimaksud dengan pihak swasta
88
dalam ayat ini adalah pihak swasta baik yang berbentuk badan hukum maupun perorangan. Ayat (3) Yang dimaksud dengan pihak swasta dalam ayat ini adalah pihak swasta baik yang berbentuk badan hukum maupun perorangan. Pasal 55 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan sesuai batas kewenangan dalam pasal ini adalah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 46 sampai dengan Pasal 48 Peraturan Pemerintah ini. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 56 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan sesuai batas kewenangan dalam pasal ini adalah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 46 sampai dengan Pasal 48 Peraturan Pemerintah ini. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan sesuai batas kewenangan dalam pasal ini adalah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 46 sampai dengan Pasal 49 Peraturan Pemerintah ini.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Penjelasan Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Pasal 57 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan sesuai batas kewenangan dalam pasal ini adalah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 50 Peraturan Pemerintah ini. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan sesuai batas kewenangan dalam pasal ini adalah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 46 sampai dengan Pasal 49 Peraturan Pemerintah ini. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 60 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas Huruf b Yang dimaksud dengan sesuai batas kewenangan dalam pasal ini adalah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 48 Peraturan Pemerintah ini.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan sesuai batas kewenangan dalam pasal ini adalah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 46 sampai dengan Pasal 49 Peraturan Pemerintah ini. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Pasal 61 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Barang milik daerah berupa tanah dan/atau bangunan yang dari awal pengadaannya direncanakan untuk dihibahkan, tidak memerlukan adanya penetapan gubernur/bupati/ walikota. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan sesuai batas kewenangan dalam pasal ini adalah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 50 Peraturan Pemerintah ini.
89
Penjelasan Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Barang milik negara/daerah selain tanah dan/atau bangunan yang dimaksud pada ayat ini meliputi: - barang milik negara/daerah selain tanah dan/atau bangunan yang dari awal pengadaannya untuk disertakan sebagai modal pemerintah; - barang milik negara/daerah selain tanah dan/atau bangunan yang lebih optimal untuk disertakan sebagai modal pemerintah. Ayat (2) Yang dimaksud dengan sesuai batas kewenangan dalam pasal ini adalah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 48 Peraturan Pemerintah ini. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 64 Ayat (1) Huruf a Termasuk dalam kegiatan pengkajian adalah kegiatan koordinasi dengan badan usaha milik negara/daerah, kementerian negara/lembaga yang bertanggungjawab di bidang pembinaan badan usaha milik negara/ daerah.
90
Huruf b Yang dimaksud dengan sesuai batas kewenangan dalam pasal ini adalah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 48 Peraturan Pemerintah ini. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Apabila perolehan barang milik negara berasal dari pengeluaran anggaran, maka usulan penyertaan modal pemerintah disertai hasil audit badan pemeriksa pemerintah. Huruf b Termasuk dalam kegiatan pengkajian adalah kegiatan koordinasi dengan badan usaha milik negara/daerah, kementerian negara/lembaga yang bertanggungjawab di bidang pembinaan badan usaha milik negara/ daerah dan pengguna barang. Huruf c Yang dimaksud dengan sesuai batas kewenangan dalam pasal ini adalah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 46 sampai dengan Pasal 49 Peraturan Pemerintah ini. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Pasal 65 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Termasuk dalam kegiatan pengkajian adalah kegiatan koordinasi dengan
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Penjelasan Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
badan usaha milik negara/daerah dan pengelola barang. Huruf c Barang milik daerah berupa tanah dan/atau bangunan yang dari awal pengadaannya direncanakan untuk dihibahkan, tidak memerlukan adanya penetapan gubernur/ bupati/ walikota. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Apabila perolehan barang milik negara berasal dari pengeluaran anggaran, maka usulan penyertaan modal pemerintah disertai hasil audit badan pemeriksa pemerintah. Huruf b Termasuk dalam kegiatan pengkajian adalah kegiatan koordinasi dengan badan usaha milik daerah dan pengguna barang. Huruf c Yang dimaksud dengan sesuai batas kewenangan dalam pasal ini adalah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 50 Peraturan Pemerintah ini. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Pasal 66 Cukup jelas. Pasal 67 Ayat (1) Dalam Daftar Barang Milik Negara/ Daerah termasuk barang milik negara/ daerah yang dimanfaatkan oleh pihak
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
lain. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 68 Cukup jelas. Pasal 69 Ayat (1) Yang dimaksud dengan inventarisasi dalam waktu sekurang-kurangnya sekali dalam lima tahun adalah sensus barang. Ayat (2) Yang dimaksud dengan inventarisasi terhadap persediaan dan konstruksi dalam pengerjaan antara lain adalah opname fisik. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 70 Cukup jelas. Pasal 71 Cukup jelas. Pasal 72 Cukup jelas. Pasal 73 Cukup jelas. Pasal 74 Ayat (1) Yang dimaksud dengan kebijakan umum dalam hal ini adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh Menteri Keuangan secara tertulis baik dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan maupun yang berbentuk surat Menteri Keuangan yang memuat prinsip-prinsip pengelolaan barang milik negara/daerah. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 75 Cukup jelas. Pasal 76 Ayat (1) Yang dimaksud investigasi adalah
91
Penjelasan Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
penyelidikan dengan mencatat atau merekam fakta-fakta; melakukan peninjauan dengan tujuan memperoleh jawaban atas pertanyaan-pertanyaan (peristiwa-peristiwa) yang berkaitan dengan penggunaan, pemanfaatan, dan pemindahtanganan barang milik negara/ daerah. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 77 Cukup jelas. Pasal 78 Cukup jelas. Pasal 79 Cukup jelas. Pasal 80 Ayat (1) Pembentukan badan layanan umum dan/atau penggunaan jasa pihak lain dimaksudkan agar pelaksanaan pemanfaatan dan pemindahtanganan dapat dilaksanakan secara lebih profesional. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 81 Cukup Jelas. Pasal 82 Cukup jelas. Pasal 83 Cukup jelas. Pasal 84 Cukup jelas. Pasal 85 Cukup jelas. Pasal 86 Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4609
92
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Berita Dalam Gambar
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
93
Berita Dalam Gambar
Pamasis STHM sedang melaksanakan Praktek Kerja Lapangan di Kejaksanaan Negeri Jakarta Pusat
94
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Berita Dalam Gambar
Pamasis STHM mengikuti Lomba Moot Court di UPN “Veteran” Jakarta mendapat Juara I
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
95
Berita Dalam Gambar
STHM sedang melaksanakan praktek sidang “Dewan Kehormatan Perwira”
96
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Berita Dalam Gambar
Pamasis STHM sedang melaksanakan praktek sidang di lingkungan Peradilan Militer
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
97
Berita Dalam Gambar
Jenderal TNI (Purn) Dr. A.M. Hendropriyono, S.H., M.H. dan Jenderal TNI (Purn) Wiranto, S.H. hadir pada Acara Temu Kangen Alumni STHM “AHM-PTHM”
98
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013