POLICY BRIEF
KETIMPANGAN PENGUASAAN LAHAN OLEH REZIM HGU
POLICY BRIEF
KETIMPANGAN PENGUASAAN LAHAN OLEH REZIM HGU
POLICY BRIEF
KETIMPANGAN PENGUASAAN LAHAN OLEH REZIM HGU PENTINGNYA KETERBUKAAN ATAS INFORMASI HAK GUNA USAHA (HGU) PERKEBUNAN KELAPA SAWIT UNTUK PERBAIKAN TATA KELOLA DAN RETRIBUSI LAHAN BAGI RAKYAT
URGENSI MASALAH
K
elapa sawit menguasai 35 persen dari produksi minyak nabati dunia (Departemen Pertanian Amerika, 2016) dan diperkirakan akan semakin kuat pada pasaran global seiring dengan kebutuhan minyak kelapa sawit dunia mencapai 78 juta ton pada 2020 (Oil World, 2015). Kebutuhan pasar global terhadap minyak kelapa sawit, mendorong Indonesia mempercepat ekspansi perkebunan kelapa sawit skala besar. Data Direktorat Jenderal Perkebunan menunjukkan dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, luas perkebunan kelapa sawit meningkat hampir dua kali lipat dari 6,7 juta hektare pada tahun 2007 menjadi 11,6 juta hektare pada tahun 2016. Adanya perluasan lahan ini tentu banyak mengorbankan hutan alam. Dalam periode 2009-2013, setidaknya 516 ribu hektare lahan terdeforestasi di dalam konsesi perkebunan kelapa sawit atau 22 persen dari total deforestasi di dalam wilayah konsesi (FWI, 2014). Tidak hanya menyebabkan deforestasi, kehadiran perkebunan kelapa sawit juga punya andil besar dalam konflik agraria. Sepanjang tahun 2015, sedikitnya telah terjadi 252 konflik agraria, dan 50 persen diantaranya (127 kasus konflik), terjadi di sektor perkebunan dengan area konflik seluas 302 ribu hektare (KPA, 2015)2. Hal ini menegaskan bahwa perluasan lahan perkebunan terutama untuk kelapa sawit, telah menimbulkan krisis agraria semakin parah.
2
Dikutip di dalam Strategi Nasional Pelaksanaan Reforma Agraria, Kantor Staf Presiden 2016
Pembukaan dan persiapan lahan untuk perkebunan kelapa sawit selama ini masih banyak menggunakan dengan cara membakar. Dalam 10 tahun terakhir dari tahun 2006-2016, jumlah titik api terbanyak berada di dalam area perkebunan kelapa sawit (FWI, 2016). Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), 2,6 juta hektare lahan dan hutan telah terbakar antara bulan Juni hingga Oktober 2015. Luasannya sebanding dengan empat setengah kali Pulau Bali. Bencana kebakaran hutan yang terjadi dalam rentang waktu tersebut telah merugikan Rp 221 triliun (Bank Dunia, 2015). Nilainya setara dengan 1,9 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau dua kali lebih besar dari anggaran dana untuk membangun ulang (rekonstruksi) Aceh pasca-tsunami tahun 2004 yang lalu. Kerugian ini belum menghitung dampak kesehatan bagi 500 ribu masyarakat yang terserang ISPA, serta telah merenggut 19 jiwa meninggal dunia, dengan perkiraan biaya kesehatan mencapai Rp 2,1 triliun. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, dari 1,9 persen tersebut maka didapatkan nilai USD 16,1 miliar, dan jika dibandingkan penerimaan pajak dari sisi ekspor kelapa sawit sebesar USD 17,8 juta dolar sebetulnya hasilnya habis semua.4 Maka keuntungan ekonomi yang didapatkan dari sektor perkebunan kelapa sawit tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk memulihkan lingkungan dan lainnya.
4http://economy.okezone.com/amp/2017/02/02/320/1
607550/sri-mulyani-ungkap-industri-kelapa-sawit-bakpisau-bermata-dua, diakses pada 9 Februari 2017
KETIMPANGAN PENGUASAAN LAHAN OLEH REZIM HGU
POLICY BRIEF
KETIMPANGAN PENGUASAAN LAHAN OLEH REZIM HGU
POLICY BRIEF
KETIMPANGAN PENGUASAAN LAHAN OLEH REZIM HGU
POLICY BRIEF
Sejalan dengan itu, perkembangaan indeks Gini6 juga menunjukkan arah yang mengkhawatirkan. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan indeks kesenjangan pengeluaran penduduk Indonesia pada Maret 2016 sebesar 0,39. Angka ini menurun 0,02 persen dibandingkan posisi Maret 2015 sebesar 0,41.7 Namun angkanya masih jauh lebih tinggi bila dibandingkan era sebelumnya yang bekisar di angka 0,32, 0,35, dan 0,378. Dapat diartikan, selama era reformasi-lah tingkat kesenjangan sosial malah terlihat semakin nyata. Banyak faktor yang mempengaruhi, namun dampak dari ketimpangan penguasahan lahan tentunya menjadi salah satu penyebab. Pada lahan perkebunan, Transformasi untuk Keadilan (TuK) mengungkapkan sebanyak 25 kelompok perusahaan sawit yang dimiliki para taipan menguasai 31 persen lahan atau seluas 5,1 juta hektare dari total area penanaman kelapa sawit di Indonesia. Selain Indonesia, sebagian taipan berasal dari Malaysia dan Skotlandia. Mereka juga telah mengantongi izin pengembangan kelapa sawit seluas 2 (dua) juta hektare yang belum ditanami. Adanya ketimpangan kepemilikan lahan menjadi salah satu faktor penting yang mendorong terjadinya kesenjangan tingkat kesejahteraan, terutama bagi rakyat yang
menggantungkan hidupnya dari penguasaan tanah, seperti kelompok petani, peternak, dan nelayan budidaya. Penguasaan tanah oleh pemodal besar akan memiskinkan rakyat kecil karena menghilangkan alat-alat produksi berupa tanah garapan, termasuk sumber air bagi kehidupan mereka. Maka sesungguhnya agenda prioritas Pemerintah di tahun 2017 terkait pemerataan lagi-lagi menjadi harapan besar rakyat. Berharap kebijakan redistribusi aset dan legalisasi tanah dapat dijalankan, sehingga rakyat memiliki akses kepada tanah.10 Sudah seharusnya aspek keterbukaan dipenuhi untuk mengoptimalkan peran publik berpartisipasi pada setiap agenda pembangunan. Keterbukaan dan partisipasi ini kemudian akan mewujudkan kontrol yang efektif dari para pemangku kepentingan untuk menjamin akuntabilitas pelaksanaan pembangunan, khususnya dalam sektor sumber daya alam (SDA). Maka pada titik inilah dimana informasi-informasi yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak penting untuk dibuka oleh badan publik. Karena apabila tidak terbuka, akan menimbulkan konsekuensi negatif yang berujung gagalnya pembangunan di sektor SDA.
PENTINGNYA PELAKSANAAN KETERBUKAAN INFORMASI
6
Indeks atau Koefisien Gini merupakan salah satu ukuran umum untuk distribusi pendapatan atau kekayaan yang menunjukkan seberapa merata pendapatan dan kekayaan didistribusikan di antara populasi. Indikator yang menggambarkan tentang ketimpangan sosial: angka 0 berarti tak ada ketimpangan sama sekali alias pemerataan sempurna, sedangkan angka 1 menunjukkan ketimpangan absolut 7http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2016/08/19/ 103458226/rasio.gini.maret.2016.turun.pembangunan.d an.bantuan.sosial.jadi.kunci, diakses pada 9 Februari 2017 8 http://koransulindo.com/nawacita-tak-jelas-trisaktidan-sosialisme-indonesia-hanya-lips-service/5/ diakses pada 9 Februari 2017
K
elemahan yang mengganggu saat ini adalah kondisi ketertutupan dan tidak terkoordinasinya data dan informasi secara nasional yang dapat digunakan untuk perencanaan pembangunan dan program 10
Siaran Pers: Sidang Kabinet Paripurna, Pemerataan akan Menjadi Agenda Pemerintahan di Tahun 2017. Bogor, 4 Januari 2017. Kepala Biro Pers, Media dan Informasi Sekretariat Presiden.
KETIMPANGAN PENGUASAAN LAHAN OLEH REZIM HGU
POLICY BRIEF
strategis pemerintahan Jokowi secara baik. Ketidaksiapan memasuki era otonomi daerah telah mengakibatkan dinas-dinas yang ditempatkan di bawah pemerintah kabupaten semakin tertutup dan semakin melemahkan koordinasi dengan pemerintah provinsi dan pemerintah pusat. Kesimpangsiuran data dan informasipun menjadi lazim terjadi. Dalam rentang waktu 2010-2015, sengketa informasi paling banyak terjadi pada badan publik sektor SDA 29 persen, disusul sektor pendidikan 10 persen, dan sektor pelayanan publik 9 persen (KIP, 2015). Badan publik sektor SDA yang paling banyak bersengketa adalah Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional ( Kemen ATR/BPN) yaitu 30 persen meliputi persoalan yang terjadi di aras kementerian, kantor wilayah, atau kantor pertanahan. Angka ini menunjukkan bahwa badan publik di sektor SDA khususnya Kementerian ATR/BPN paling tertutup dibandingkan sektor lainnya. Menurut Ombudsman, BPN juga termasuk instansi (badan publik) terlapor paling tinggi soal pelayanan publik. Pada periode 20112015, secara berturut-turut BPN masuk sebagai lima besar instansi terlapor yang banyak diadukan masyarakat terkait penyelenggaraan pelayanan publik.11 Ketidakseriusan atas keharusan dan pentingnya transparansi data dan upaya perbaikan sistem pelayanan informasi publik di tubuh Kementerian ATR/BPN mengindikasikan salah satu bentuk minimnya tanggung jawab selaku institusi penyelenggara negara untuk memberikan pelayanan yang semestinya kepada rakyat dan negara.
11
Laporan Tahunan Ombudsman 2011, 2012, 2013, 2014, 2015.
Seperti pada tuntutan dokumen Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit yang tidak kunjung dibuka oleh ATR/BPN. Sejak September 2015, Forest Watch Indonesia melakukan permohonan informasi dokumen HGU perkebunan kelapa sawit kepada Kementerian ATR/BPN sebagai kebutuhan kajian untuk melihat status perizinan (legalitas) terkini dari konsesi perkebunan kelapa sawit, melakukan verifikasi data, dan membuat analisis spasial terkait pemanfaatan lahan dari sektor perkebunan kelapa sawit. Memprihatinkan sekali permohonan tersebut tidak mendapat tanggapan baik dan bahkan berujung pada sengketa informasi di Komisi Informasi Pusat (KIP). Juli 2016, KIP memenangkan gugatan FWI dengan memutuskan HGU Perkebunan sebagai informasi terbuka dan harus tersedia setiap saat. Namun seminggu setelahnya, putusan tersebut digugat balik oleh Kementerian ATR/BPN melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Pada 14 Desember 2016, PTUN memenangkan gugatan FWI yang menguatkan putusan KIP. Namun belum lama mendapatkan kabar gembira, KemenATR/BPN menggugat balik kembali putusan PTUN melalui kasasi ke Mahmakah Agung (MA) pada 19 Desember 2016, dan sampai saat ini permohonan FWI atas dokumen HGU sedang berproses kasasi di MA. Kasus serupa tidak hanya dialami oleh FWI. Kemenangan Walhi Bengkulu melawan Kantor Wilayah (Kanwil) BPN Bengkulu di Mahkamah Agung atas terbukanya dokumen HGU pada salah satu konsesi sawit pada Juni 2016, nyatanya belum dapat dieksekusi hingga hari ini. Begitu pula dengan JATAM Kaltim yang belum juga dapat mengeksekusi dokumen HGU dari Kanwil BPN Kaltim paska dimenangkannya gugatan oleh PTUN Samarinda pada Juni 2016.
KETIMPANGAN PENGUASAAN LAHAN OLEH REZIM HGU
POLICY BRIEF
KETIMPANGAN PENGUASAAN LAHAN OLEH REZIM HGU
POLICY BRIEF
PUTUSAN KOMISI INFORMASI YANG MENYATAKAN DOKUMEN HAK GUNA USAHA (HGU) ADALAH INFORMASI TERBUKA
Putusan Komisi Informasi Pusat dalam Perkara Nomor 218/VII/KIP-PS-MA-A/2012 Tertanggal 30 Oktober 2013 Antara Indra Reswanto dengan PT Perkebunan Nusantara III (Persero) Kebun Sarang Giting Sedang Bergadai Sumatera Utara.
Putusan Komisi Informasi Provinsi Kalimantan Timur Nomor 0008/REG-PSI/V/2014 Antara Jatam Kaltim dengan Dinas Perkebunan Bulungan.
Putusan Komisi Informasi Aceh dalam Perkara Nomor 008/II/KIA-PS-A/2015 Tertanggal 22 Februari 2016 Antara Rumoh Transparansi dengan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Aceh
Putusan Komisi Informasi Bengkulu Nomor 31/III/KIP-BKL.PSI/A/2015 Tertanggal 29 Juli 2015 Antara WALHI Bengkulu dengan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Bengkulu yang diperkuat dengan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Nomor 04/G 2015/PTUN –BKL dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 04/G/2015/PTUN.BKL Tertanggal 8 Juni 2016
Putusan Komisi Informasi Provinsi Kalimantan Timur Nomor 0008/REG-PSIIXII2015 Antara Jatam Kaltim dengan Kanwil BPN Provinsi Kaltim Tertanggal 24 Maret 2016 yang diperkuat dengan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Samarinda Nomor 11/G/KI/2016/PTUN-SMD.
Putusan Komisi Informasi Pusat Nomor 057/XII/KIP-PS-M-A/2015 Antara FWI dengan Kementerian ATR/BPN Tertanggal 22 Juli 2016 yang diperkuat dengan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 2/G/KI/2016/PTUN-JKT Tertanggal 14 Desember 2016
Kasus demi kasus yang melibatkan KemenATR/BPN memperlihatkan pembangkangannya atas perintah UU Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Sementara yang dipertahankan KemenATR/BPN agar selalu tertutup adalah informasi terkait pokok kebijakan strategis yang selama ini sering mengundang kontroversi. Dalam hal ini sebagai konsekuensi akibat pemberian konsesi lahan berskala luas (HGU) kepada korporasi maka ia sering menghilangkan hutan, menimbulkan konflik agraria, memicu kebakaran hutan dan lahan, hingga menajamkan ketimpangan penguasaan lahan. Proses yang panjang dan berulang juga menunjukkan bahwa implementasi transparansi pada badan publik masih jauh dari semangat dan perintah UU KIP. Kondisi ini ironi mengingat di tingkat global, Indonesia adalah satu dari delapan negara
pemrakarsa yang ikut membentuk Open Government Partnership (OGP)12 pada tahun 2011.
URGENSI KETERBUKAAN INFORMASI HAK GUNA USAHA (HGU) PERKEBUNAN
P
angkal dari seluruh sengketa informasi yang melibatkan ATR/BPN adalah ketidaksesuaian substansi Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional (Perkaban) Nomor 6 Tahun 2013 Tentang Pelayanan Informasi Publik dengan semangat dan perintah UU KIP. Perkaban tersebut justru secara terang-terangan menegaskan 12
Open Government Partnership merupakan sebuah inisiatif internasional yang bertujuan mendorong prinsip-prinsip pemerintahan yang berlandaskan transparansi, akuntabilitas, penguatan partisipasi masyarakat, dan pemanfaatan teknologi demi mewujudkan tata kelola pemerintahan yang lebih responsif, bersih, efektif, dan efisien.
KETIMPANGAN PENGUASAAN LAHAN OLEH REZIM HGU
POLICY BRIEF
pengecualian atau larangan membuka bagi beberapa informasi publik seperti dokumen kebijakan (HGU) dan anggaran. Pengecualian informasi yang dilakukan ATR/BPN seharusnya diikuti dengan uji konsekuensi yang ditimbulkan akibat peraturan informasi tertutup tersebut. Konsekuensi apabila dokumen HGU perkebunan kelapa sawit ditutup, senyatanya malah menimbulkan kerugian negara dalam jumlah besar. Sawit Watch mengungkapkan, terdapat indikasi lebih dari 40 persen perkebunan kelapa sawit yang dikelola oleh pengusaha merugikan negara. Sebab mereka membuka perkebunan sawit di kawasan hutan tanpa izin konversi lahan dan Hak Guna Usaha (HGU). Data KLHK pada Agustus 2011 menyebutkan, kerugian negara akibat izin alih fungsi hutan menjadi perkebunan di tujuh provinsi merugikan negara sekitar Rp273 triliun. Kerugian ini timbul akibat pembukaan 727 unit perkebunan 13 bermasalah. Ditambah lagi soal luasnya areal tumpang tindih antar konsesi berbasis lahan (IUPHHKHA, IUPHHK-HT, perkebunan kelapa sawit dan pertambangan) sekitar 14,7 juta hektare (FWI, 2014). Tumpang tindih yang terjadi diakibatkan karut marut sistem perizinanan berbasis lahan. Apabila kondisi ini dibiarkan, tentu akan memperbesar konflik tenurial. Kajian Daemeter dalam beberapa studi kasus menunjukkan bahwa kerugian berwujud yang langsung dialami bisnis kelapa sawit akibat dari konflik tenurial dapat mencapai USD 2,5 juta dolar, mewakili 51-88 persen dari biaya operasional perkebunan kelapa sawit, atau 102-177 persen dari biaya investasi per hektar per tahun. Kajian ini juga memperlihatkan
kerugian biaya “tersembunyi” (tidak langsung) mencapai USD 9 juta dolar akibat risiko konflik yang berulang atau konflik yang tidak kunjung selesai, memburuknya reputasi bisnis dan kekerasan terhadap harta benda dan manusia.14 Sebaliknya, justru dengan pengungkapan informasi HGU akan meningkatkan akuntabilitas negara dalam proses penerbitan HGU. Termasuk mendukung kebijakankebijakan yang telah diterbitkan, diantaranya kebijakan pembaruan agraria (TAP MPR Nomor IX Tahun 2001), kebijakan satu peta (Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2016 Tentang Pelaksanaan Percepatan Kebijakan Satu Peta), inisiatif gerakan nasional penyelamatan sumberdaya alam (GN-PSDA) yang diinisiasi KPK, serta kebijakan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) yang menargetkan restribusi tanah difokuskan dari lahan-lahan HGU yang izinnya telah habis (tidak diperpanjang lagi) dan juga dari lahanlahan terlantar. Adanya keterbukan informasi atas dokumen HGU tentunya akan mempermudah publik dalam membantu pemerintah untuk mengindentifikasi lahan-lahan yang layak didistrbusikan kembali kepada kelompokkelompok masyarakat yang membutuhkan lahan. Hal ini sangat sejalan dengan upaya pemerintah yang ingin menyukseskan program Reforma Agraria dan agenda pemerataan.
13
http://news.okezone.com/read/2015/04/26/337/11402 34/40-persen-perkebunan-sawit-rugikan-negara diakses pada 9 Februari 2017
14
http://imenetwork.org/berita, diakses pada 9 Februari 2017
KETIMPANGAN PENGUASAAN LAHAN OLEH REZIM HGU
POLICY BRIEF
REKOMENDASI Selayaknya KemenATR/BPN segera menjalankan perintah UU KIP yang memastikan transparansi dalam pemanfaatan dan penguasaan lahan (tanah), dengan poin sebagai berikut: 1.
2.
3.
4.
Segera merevisi Perkaban Nomor 6 Tahun 2013 tentang Pelayanan Informasi Publik di Lingkup Badan Pertanahan Nasional yang bertentangan dengan UU KIP dalam penerapan good governance oleh badan publik dengan menjunjung transparansi dan akuntabilitas. Membangun sistem informasi agraria dan tata ruang/pertanahan nasional yang terintegrasi secara nasional (antar sektor) maupun antar pusat-daerah guna menjamin ketersediaan dan pertukaran data/informasi antar instansi. Memenuhi hak publik akan ketersediaan data/informasi terkait pemanfaatan dan penguasaan lahan (tanah) melalui pengumuman, sekurang-kurangnya melalui situs resmi dan papan pengumuman yang mudah diakses oleh publik, serta melalui mekanisme pelayanan informasi publik. Menyetarakan bentuk-bentuk pelayanan informasi pertanahan termasuk informasi HGU yang merupakan informasi publik, diantaranya: perijinan, konsesi dan sertifikat, sehingga publik dapat berpartisipasi dalam mengawasi pembangunan di sektor pertanahan.
KETIMPANGAN PENGUASAAN LAHAN OLEH REZIM HGU
POLICY BRIEF
KETIMPANGAN PENGUASAAN LAHAN OLEH REZIM HGU