Dinamika Sosial Budaya Maritim Pada setiap tamadun & masyarakat pada dunia, tidak terkecuali peradaban dan bangsa bahari, segera atau lambat pasti mengalami dinamika / perkembangan. Dinamika tersebut meliputi wujud-wujud teknologi dan benda/karya, perilaku & kelembagaan, sistem-sistem budaya kognitif/mental, etos/sikap perilaku. Menjadi syuhada pula kalau biasanya dalam dinamika terselip tradisi menetap (continuety), terselip elemen-elemen & tatanan prinsip (struktur elementer) bertahan, yang dalam besar hal telanjurkan ditopang oleh atau utama proses dinamika itu seorang diri. Proses dinamika dan bertahannya tradisi akan mempengaruhi situasi dan kriteria sosial per-ekonomian serta mayapada sumberdaya dunia dimanfaatkannya. Di dalam masyarakat usang, termasuk pada Indonesia, telah tumbuh bervariasi sektor & subsektor perekonomian kebaharian mutakhir yang mengutarakan segmen-segmen / kategori-kategori toleran seperti petambang, pekerja usaha, pengelola dan karyawan wisata, marinir, akademisi/peneliti, birokrat, serta lain-lain. Tumbuh kembangnya sektor-sektor ekonomi serta jasa secara segmen-segmen rumpun bahari tersebut memerlukan dan diikuti dengan perkembangan dan perubahan-perubahan kelembagaannya menjadi saluran dan regulasinya. Tumbuhnya sektor-sektor ekonomi terkini dan berkembangnya sektor-sektor per-ekonomian kebaharian lama, terutama perikanan dan pelayaran, tampak di dalam perkembangan serta perubahan-perubahan teknologi, perubahan struktural, dan sistem-sistem budaya kebaharian (pengetahuan, ketentuan, kepercayaan, nilai, norma/aturan). Gambaran tentang pokok dinamika toleran budaya usang berikut memakai kasus desa-desa Nelayan Bugis, Bajo & Makasar di Sulawesi Selatan (sumber data/informasi diperoleh dr berbagai hasil penelitian lapangan). B. Tujuan Adapun tujuan penyusunan makalah ini adalah: 1. Bagi memenuhi satu diantara tugas pujaan kuliah Wawasan Sosial Akal budi Maritim. 2. Untuk menyimpulkan keadaan gerak sosial budaya maritim pada Indonesia. 3. Untuk menafsirkan bentuk-bentuk gerak sosial tradisi maritim. 4. Untuk menegtahui cara-cara untuk meningkatkan derajat sosial akal budi maritim dalam Indonesia. C. Manfaat Melalui penyusunan risalah ini diharapakan: 1. Siap menjadi refrensi terkait kesulitan dinamika toleran budaya marine. 2. Siap lebih paham keadaan gerak sosail budaya maritim. BABAK II PEREMBUKAN A. Motorisasi Perahu/kapal Nelayan Seperti halnya di berbagai desa nelayan pada kawasan timur Indonesia lainnya, motorisasi sampan dan bahtera penangkapan ikan di desa-desa nelayan Sulawesi Selatan mutakhir mulai di tahun-tahun 1970-an. Mula-mula hanya beberapa orang nelayan berstatus ponggawa (pengusaha serta pemilik ala-ala produksi) sanggup mengkredit motor dari juragan besar di kota Makasar (Bos dalam istilah lokal). Introduksi perbaikan motor di desa-desa nelayan melalui Gedung Perikanan, namun pengusaha/ penjual besar yang berkedudukan dalam kota, khususnya Makassar, yang memegang peranan penting menyertakan dan mensosialisasikan sekaligus mengasongkan inovasi motor kepada lepek nelayan oleh para ponggawa dari desa-desa pantai dan pulau-pulau pada Sulawesi Daksina dengan pranata kredit konvensional. Menurut informasi, bahwa dalam mulanya semua unit motor yang merasuk ke desa-desa nelayan hanya berukuran 4, 5-10 pk. Motor-motor kecil dipasang dalam luar sampan (outboard motor). Di tahun 1980-an diperkirakan sudah tersedia separuh daripada perahu-perahu nelayan yang ada telah dimasukin dengan motor dalam (inboard motor) sanggup 10-30 pk. Di tahun-tahun 1990-an sebagian terbesar kano nelayan sudah
menggunakan motor berkekuatan minimal 20 pk. Perahu-perahu nelayan yang mengoperasikan gae/rengge dan bagang (pukat apung besar) bahkan hitung panjang menggunakan dua mesin bertenaga 100-130 pk. Tinggal nelayan pancing & jaring halushalus yang bertindak di sungai pantai yang sebagian luas masih menggunakan motor kecil berukuran 5-10 pk secara perahu-perahu kuntet. Motor sebagai tenaga otak menggantikan unsur layar bisa dipasang di semua jenis/tipe perahu konvensional mulai dari ukuran kecil mencapai berbatas pada sampan besar serta tipe bodi/kapal. Sejak pertamakali motor diadopsi sampai sekarang belum ada kesan diperoleh atas masyarakat nelayan akan memilikinya sikap penolakan terhadap inovasi tersebut. Semua nelayan sukaria motor, sekalipun ternyata hanya sebagian di antaranya mempunyai peluang pada kepemilikan inovasi ini. Boleh disebut bahwa punya perahu motor sekecil apa pun merupakan hajat setiap nelayan. B. Perkembangan Usaha dan Teknologi Perikanan Laut Karena motor sendiri adalah satu diantara komponen modal vital yang membutuhkan dana operasioanl dengan terus-menerus, dipastikan ini mesti difungsikan dengan penggunaan perkakas tangkap subur. Di Sulawesi Selatan, di antara sekian besar alat terima tradisional yang masih dipakai nelayan, terjumpa beberapa antara lain lebih berasosiasi dengan motor seperti jala gae (Bugis) atau rengge (Makasar), jala/panjak (payang), bagang, pancing sunu (p. kerapu), pancing tongkol, bubu, kompresor (sarana selam), dan lain-lain. Trawl (pukat harimau) dikategorikan alat meringkus baru & modern yang kemudian dilarang dan benarbenar tidak tahu disukai oleh nelayan tingkatan bawah sebab merugikan mereka, merusak sumberdaya dan ekologi. Alat-alat tangkap tradisional tersebut di bagi kemudian sebagai lebih menguntungkan berkat dioperasikan dengan perahu-perahu motor. Mampu dikatakan jika adopsi pembangunan motor mampu memberikan tumpuan kepada pengembangan dan kontinyuitas teknologi membekuk tradisional ini, jadi kiranya memusnahkannya. 1. Gae Gae atau rengge adalah tipe pukat tertinggi dan kreatif dalam perikanan laut pada Sulawesi Daksina sampai sekarang ini. Berdasarkan pemberitahuan nelayan Makasar dari Galesong (Takalar), jika gae baru muncul serta mulai diterapkan di akhirusanah 1970-an atau awal tahun 1980-an pada ukuran kian kecil dari yang saat ini. Gae dari sisi keterangan yaitu modifikasi dr gae tawang (sejenis salambo kecil) kalau bukan dampak modifikasi dari panjak/jala lompo (payang). Suara pengembangan pukat tradisional yang ada menjadi salambo raksasa sudah pasti muncul mulai teradopsinya perkakas dari berbagai jenis merk dan luasan kekuatan. Soalnya untuk menyelenggarakan bodi bertenaga puluhan ton dengan kecepatan lebih semampai ke wilayah perikanan dalam yang jauh dari pantai serta membawa jaring daripada air, jadi mutlak diperlukan beberapa buah mesin sanggup tinggi. Siap gejala bahwa gae/rengge bakal menjadi kausa perkembangan mekanisasi armada perikanan laut pada Indonesia sesi timur di masa akan datang. Akhir-akhir ini, penanaman modal usaha gae/rengge telah memetik 180-250 juta rupiah. Di beberapa desa nelayan Sulawesi Selatan, jurang alain diantaranya Desa Tamalate, Desa Engbatu-batu, Desa Tammasaju (Kab. Takalar), Jennepnto, Bantaeng, dan Kelurahan Kassi Kajang (Bulukumba), perikanan gae terbukti telah menumbuhkan kesejahteraan nelayan pemilik & keluarga-keluarga pialang (nakoda), lebih dari itu sebagian gede dari pencedok dapat menyebarkan usahanya dan menambah sejumlah unit uasaha gae terkini. Di desa-desa nelayan pantai berdasarkan tilikan, keluarga-keluarga nelayan pemilik gae inilah yang paling kaya di antara segala kategori suku nelayan. 2. Bagang Perangkat tangkap yang ada adalah
sepakat alat meringkus tradisional nelayan Bugis yang sejak tahun 1970-an telah mendapati perkembangan teknis secara pesat seiring dengan adopsi inovasi motor dalam Sulawesi Selatan. Bentuk menyimpangkan kompleks mulai teknik yang ada ialah bagang rambo (bagang raksasa) yang telah digunakan oleh nelayan Palopo dan Malili (Luwu), nelayan Lappa (Sinjai) dan nelayan Barru. Sel inti bagang rambo berisi dari sampan bagang 1 buah (panjang 8-9 m, lebar 2-2, 5 m), 1 buah perahu kecil untuk mengirim sawi (10-15 orang) & hasil tangkapan, rangka pondok/tenda (dari buluh atau balok-balok kayu yang dipasang dalam atas perahu), net mendalam (dari: Bugis) luas 30x30 m, jentera 2 buah (masingmasing berfungsi sarana praktisi dan pembangkit tenaga listrik untuk penerangan) yang seluruhnya berkekuatan 100-140 pk, serta bola lampu (merk phillips) sejumlah 40-60 buah (100-200 watt masing-masing). Demikianlah bagang rambo yang dioperasikan pada danau dekat pesisir pada waktu bersih tampak dr luar diantaranya pondok/tenda luas, dan pada waktu silam tampak terang gemerlap secara lampu-lampu tertempel sekeliling kerangka bagang. Besar investasi bagi satu segmen usaha bagang rambo heterogen dari 250-300 juta yen. 3. Bisnis pancing tongkol Salah satu species usaha perikanan laut di dalam di Sulawesi Selatan yang mengalami kemajuan cukup ekspres berkat pembangunan motor dan fasilitas pelestarian tangkapan adalah usaha tongkol yang sekitar terbesar dikelola oleh nelayan dari desa-desa pantai dalam kabupaten-kabupaten Bone, Sinjai, Bulukumba, Bantaeng, Jeneponto, Takalar, & lain-lain. Sebelum motorisasi legiun penangkapan ikan, jumlah nelayan tongkol masih kurang dan mereka pada biasanya hanya beroperasi dalam batasbatas wilayah bahar Sulawesi Daksina. Daya kait perahu-perahu layar yang rendah dan belum tersedianya aparat pengawetan bagi ikan hangat merupakan tempat utama gak berkembangnya aktivitas perikanan laut dalam sebelum mekanisasi perahu-perahu penangkapan ikan tersebut. Beserta adopsi pembangunan motor serta sarana konservasi ikan, maka jumlah jenis-jenis usaha dan nelayan yang terlibat pada dalamnya meningkat pesat. Kemudian nelayan tidak lagi hanya beroperasi dalam batas-batas perairan Sulawesi Selatan pula, melainkan telah memperluas daerah penangkapannya datang ke NTT, Sulawesi Tenggara, Maluku, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, serta bahkan kelompokkelompok nelayan atas Sinjai Timur yang hanya terdiri mulai 3-5 orang-orang per sampan telah menuju peraiarn pantai Cilacap (Jawa Tengah) sejak tahun 1998. Perkembangan usaha tongkol di Sulawesi Selatan siap dibandingkan dengan yang tercipta di kawasan timur Nusantara lainnya seperti Sulawesi Utara, Buton, Ternate, Biak, dan lain-lain. Petunjuk perkembangan jual beli perikanan tongkol dan rusak yang menempa ikan-ikan segar berkualitas semampai dapat dipahami sebagai pengaruh nelayan menyahut permintaan pasar ekspor dan terlibat dalam jaringan rekan ekspor globe, khususnya Asia Tenggara. 4. Usaha lobster dan ikan hidup Dimungkinkan oleh norma dan meningkatnya permintaan ikan hidup rupa sunu, kerapu, langkoe/napoleon(dalam sebutan Indonesia, sunu termasuk kerapu juga) di swalayan ekspor (Singapura dan Hongkong) terutama dari awal periode 1990-an, oleh karena itu sebagian besar nelayan pulau dalam tanah air karang Kepulauan Spermonde (Selat Makasar), Daratan Sembilan (Teluk Bone), tanah air Takabonerate (Selayar) di Sulawesi Selatan berpindah dari menarik berbagai spesis hasil samudra ke jual beli lobster & ikan hidup di tempat karang (taka dalam istilah Bugis dan Makassar). Membaiknya kondisi harga dan relatif kecilnya investasi dalam bisnis ikan kehidupan yang menjanjikan tersebut, ialah bervariasi dr 5-15 juta rupiah per/unit usaha (mencakup komponen-komponen bahtera
kecil, motor kecil, pancing atau bubu), mendorong para nelayan yang sebelumnya berperan dalam kelompok-kelompok besar dengan status sederajat sawi (anak buah) lalu pecah di dalam kelompok-kelompok kecil yang berarti tercipta peningkatan jumlah unit tenggang baru. Lebih dari itu sebagian raksasa nelayan keji menanggung sambungan untuk jadi pemilik serta aktif berdasar pada peroragan. Meningkatnya jumlah nelayan pengguna pancing kedokedo & bubu (teknik tangkap ikan hidup) dan sarana menghunjam modern yang dilengkapi beserta kompresor (mesin udara) sungguh ada memerlukan perahu-perahu motor. Itulah sebabnya zaman 1990-an ialah periode masuknya ribuan motor kecil (5-10 pk) ke desa-desa nelayan, terutama ke desa-desa penggarap sumberdaya wilayah karang di Sulawesi Selatan. 5. Kompresor Kompresor diartikan sebagai kompnen utama dari instrumen sarana menghunjam selam modern. Adopsi kompresor atau jentera pompa udara ini dihubungkan dengan usaha-usaha teripang, bubu (penangkapan ikan hidup), bisnis hiu, serta kegiatankegiatan sumbang seperti pemboman dan pembiusan ikan. Pra kompresor diadopsi sejak pertengahan tahun 1980-an, para penyelam (sebagian gede dari Darat Sembilan) menggunakan tabung/tangki gas yang dianggap bisa kritis bagi kesegaran nelayan. Tempayan gas menggantikan teknik menghunjam tradisional yang alamiah menggunakan menggunakan lengkong (alat tusuk) untuk menangkap teripang, yang masih banyak dipraktikkan sampai tahun 1970-an. Baik beserta kompresor atau pun tabung, keduanya memerlukan perahu-perahu motor standar sedang terangkat untuk penerapannya secara saksama dan tepat. Dengan tambah jauhnya lokasi-lokasi pencarian teripang (termasuk kerang-kerangan) --- dari pertengahan zaman 1980-an, nelayan penyelam dari Sulawesi Daksina telah sampai ke Sulawesi Tenggara, NTT, NTB, Maluku, Biak (Irja), Sulawesi Titik pusat, Sulawesi Utara, Kalimantan Selatan, Sibolga, Nias dan Mentawai (Sumatra) --- maka nelayan teripang Sulawesi Selatan, khususnya yang daripada Pulau-pulau Sembilan, Barranglompo, ngerasa mutlak menggunakan perahu-perahu sespan dilengkapi beserta kompresor. Demikian halnya buat pengusaha ikan hidup & para juragan ikan gres yang mengendalikan kegiatan liar seperti pemboman di samudra. Disebabkan penanaman modal untuk penguasaan satu segmen kompresor sedang besar, diantaranya 25-30 juta rupiah, oleh karena itu kepemilikan tumpuan selam ini terbatas menurut sebagian nelayan/pengusaha mampu pula. C. Gerak Struktural Pada Sulawesi Daksina, tempat permukiman dan moyang komunitas-komunitas nelayan Bugis, Bajo dan Makasar di bervariasi tempat dalam Nusantara berikut, dikenal keluarga kerjasama nelaya yang dikenal dengan perumpamaan Po(u)nggawa-Sawi (P-Sawi), yang pendapat keterangan daripada setiap provinsi telah tersedia dan menetap sejalk ratusan tahun lenyap. Meskipun famili PSawi pun digunakan di dalam kegiatan pertanaman, perdagangan dalam darat serta pengelolaan tambak, namun kelompok ini kian eksis & menyolok peranannya dalam kesibukan pelayaran & perikanan bala tentara Bugis, Makasar, dan Bajo di Sulawesi Selatan & tempat-tempat lainnya di Indonesia. Struktur inti/elementer dari group organisasi yang ada ialah P. laut alias Juragan & Sawi. P. Laut prestisius pemimpin pelayaran dan kegiatan produksi dan sebagai pemilik alat-alat perakitan. Para P. Laut memiliki pengetahuan kelautan, pengetahuan serta ketrampilan manajerial, sementara para sawi hanya memiliki pengetahuan kelautan dan ketrampilan kerja/produksi semata. Suatu perubahan struktural yang berisi terjadi ketika suatu tenggang perikanan menanggung perkembangan jumlah unit perahu dan aparat produksi yang dikuasai sama seorang P. Laut/Juragan tadi sebagai
kelanjutan dari pengaruh kapitalisme. Untuk pengembangan & eksistensi bisnis, maka P. Laut/Juragan tidak lagi tiru memimpin pelayaran dan reaksi produksi pada laut, menyendirikan tetap tinggal di darat/pulau untuk memerintah perolehan subsidi modal mulai pihak berbeda, mengurus biaya-biaya anggota yang beroperasi pada laut, membikin jaringan pasaran, dan lain-lain. Di sinilah pada mulanya muncul satu status baru pada takat tertinggi di dalam kelompok pikulan nelayan yang disebut P. Darat/P. Pulau. Untuk menyelenggarakan pelayaran serta aktivitas pembuatan di laut, P. Bumi merekrut juraganjuragan baru bagi menggantikan posisinya dalam unggul unit-unit tenggang yang pas berkembang serta meningkat jumlahnya. Para P. Laut/Juragan dalam proses dorongan ini beberapa masih berkedudukan pemilik, sebagain lainnya hanyalah berstatus panglima operasi famili nelayan. Para juragan yang direkrut mulai sawi-sawi berbakat/potensial dikenal pun dengan istilah P. Caddi, sedangkan P. Darat disebut P. Lompo. Pola relasi (struktur sosial) yang menandai hubungan dalam kelompok P. Sawi indah dalam wujudnya yang pokok (P. Laut/Juragan-Sawi) maupun wujud lebih tinggi (P. Darat/P. Lompo-P. Laut/Juragan-Sawi) ialah relasi patron-client. Hubungan patron-client mengikuti dari bagi bersifat melepaskan servis perekonomian, perlindungan, tuntunan informal, namun dari dasar mengandung beban moral & sikap disiplin dan kesetiaan, kerja rusuh, disiplin, kesahan, loyalitas, tanggung jawab, pengakuan, & lain-lain (dapat dipahami sebagai modal sosial). Gejala perubahan sruktural paling menyolok & terasa pada berlangsung mengangkat inovasi teknologi perikanan bahkan motor/mesin, peningkatan volume perahu, beberapa species alat tangkap baru tingkat besar, aparat pengawetan modern (penggunaan es balok). Bagi merespons koalisi inovasi teknologi eksploitasi dan sarana penggerak tersebut, para P. Darat/P. Lompo/pengusaha lokal yang punya kemampuan dana awal terbatas tetap mengusahakan divisi besar daripada modalnya di pihak-pihak lain, yaitu juragan besar di kota-kota besar, teurutama Makassar, dengan organisasi kredit. Sudah menjadi arketipe umum di dalam masyarakat nelayan tradisional kalau dari mana diperoleh utang modal, ke situ lagi dipasarkan tangkapan. Pola ini sekaligus sudah menjadi sopan santun pemasaran yang mengakar. Cara seperti ini lah memungkinkan para pengusaha modal dari pendatang secara lambat-laun mengambil alih sekitar besar status dan kontribusi vital para pengusaha lokal, yang melempem dalam segmen modal. Permulaan mereka menuntut hasil terima dijual lawan mereka, dan kemudian banyak menentukan spesis-spesis terpidana nelayan serta tingkat harga, dan jika ketentuan-ketentua kurang dipenuhi maka tunggakan (dalam bentuk perahu serta mesin) ditarik kembali dari nelayan serta para ponggawa-nya. Dalam reformasi struktural serupa ini, para juragan modal besar di Makasar dapat diposisikan pada strata paling kepada yang biasa dengan istilah Bos, P. Pulau/P. Tanah sebagai peminjam pada stan jabatan tengah (peranannya menyerupai makelar), sementara para P. Laut/Juragang dan Sawi (nelayan) sebagai penyewa alias penyicil perabot produksi semata dari Bos melalui P. Darat/P. Pulau/P. Lompo. Kontribusi dan wewenang Bos dalam hirarkis struktur hubungan kerjasama nelayan, menyebabkan hubungan patron-client di antara P. Lompo/P. Tanah dengan nelayan sebagian berubah menjadi hubungan eksploitatif, sementara hubungan nomor satu cenderung dibangun dan dimantapkan antara para P. Daratan dan Majikan. Tinggal P. Laut menggunakan Sawi-nya relatif masih mempertahankan hubungan seia yang terbangun sejak dahulu kala. Perlakuan para P. Darat/P. Lompo yang seringkali merugikan bagi P. Laut/Juragan, yang menyebabkan mereka sulit meningkatkan
penapatan dan bergeser turun ke status pemilik alat-alat produksi/pengusaha, menyaruk sebagian P. Laut/P. Caddi/Juragan mencoba menempuh cara berisiko, yaitu meminjam modal langsung kepada Pejabat di Makasar. Hingga hari ini, tidak sekuku Juragan telah mencapai idamannya dengan tata seperti ini, diantaranya menjadi nelayan pemilik/pengusaha. Sebaliknya, mereka cenderung membangun sabungan dengan dan mempersempit peluang usaha para P. Darat/P. Lompo yang sudah masif sejak lambat. Demikianlah terwujud suatu kerangka kerjasama terkini antara Bos dengan P. Laut/Juragan yang secara langsung memimpin kelompok-kelompok nelayan yang jumlahnya kecil di samudra. Sebetulnya, semenjak awal tahun 1990-an telah ada pilihan sumber tunggakan biaya operasional dan biaya hidup sanak nelayan tubir dan pulau, yaitu para pengusaha toko yang menawarkan berbagai niat pokok serta bahan pembuatan alat-alat pengertian ikan. Sekitar di antara pengusaha kios ini adalah ras P. Darat juga. Beserta adopsi perbaikan teknologi meringkus dan perahu/kapal menjadi tempat terjadinya reparasi aturan bagi hasil yang eksploitatif. Realitas baru ini tidak bisa dihindari sederajat dampak daripada pergeseran komposisi ekonomi subsisten ke komposisi ekonomi kapitalisme. Personifikasi unsur produksi modern (perahu, perabot, pukat/jaring, kompresor dan lain-lain yang dikembangkan dengan pendanaan modal besar) dalam komposisi bagi dampak, karena peranannya dianggap semakin vital daripada peranan setiap anggota/anak buah, maka bagian-bagian hasil diperuntukkan bagi sel alat kreasi ini tumbuh pesat. Sebaliknya, porsi bagian untuk anak buah justru cenderung samar. Bagian-bagian komponen-komponen alat perakitan tentu saja lewat ke tangan seorang pemilik. Diasumsikan jika perubahan struktural ini sangat mempengaruhi meluasnya gejala kemiskinan di desa-desa nelayan sampai sekarang berikut. D. Penjelasan Budaya Usang Untuk cuma menyegarkan pemahaman, sekali juga diungkapkan jika kebudayaan gak lain mulai dunia kehidupan manusia itu sendiri. Kultur atau dunia kehidupan khalayak tersebut sekurang-kurangnya meliputi tujuh unsur lazim (cultural universal), yakni saran (cognitive/ideational/mental material), bahasa, wadah sosial, ekonomi, teknologi, keindahan, religi dan kepercayaan. Pada setiap unsur kultur terdiri dari tiga tingkatan wujud/rupa, yaitu sistem tradisi (gagasan, pesiaran, nilai, keyakinan, norma, roh, perasaan, semboyan, dan lain-lain), sistem sosial (tindakan serta kehidupan kolektif), dan organisasi alat peralatan/teknologi. Sudah dijelaskan pula kalau sistem pranata (terkristalisasi jadi sistem nilai budaya) yakni pedoman/acuan (preference/dominant) bagi sistem sosial & sistem instrumen peralatan, sekalipun sistem perangkat peralatan dan sistem sosial menjadi prasyarat/penentu (determinant) tentang sistem akal budi. Adapun bentuk sosial seorang diri merupakan saluran bagi pengamalan sistem sistem budaya & penerapan sistem alat peralatan/teknologi. Oleh karena komposisi nilai akal budi merupakan pedoman/acuan bagi bentuk sosial (berkehidupan bersama) dan sistem teknologi (rekayasa & penggunaan instrumen peralatan), oleh sebab itu dalam rajah pengembangan / pembangunan tamadun bahari ke depan tetap tepatnya dimulai dari bentuk nilai tradisi bahari tersebut sendiri. Pada terbangunnya organisasi nilai pikiran bahari yang ideal serta pragmatis, maka pembangunan segi kehidupan bermasyarakat dan teknologinya akan terarahkan dan terkendali dengan cantik dalam suasana kristalisasi nilai dan roh budaya usang yang mengakar dan rekayasa baru pribadi atau famili potensial mulai segmen-segmen bangsa pemangku keperluan (stakeholders). Tergolong dalam segmen-segmen stakeholders yang kreatif-inovatif di dalam merekayasa unsur-unsur budaya usang baru yang ideal,
pragmatis, dan aplikatif ialah kurung akademisi, pandai dan pemerhati lingkungan, pekerja pembangunan, wajah agama, LSM, dan sebagainya. Dari gambaran serta ilustrasi unsurunsur budaya nelayan dan pelayar disajian sebelumnya, dapat diramu dan diseleksi berbagai bagian nilai budaya bahari yang dianggap laten untuk direvitalisasi dan dikembangkan ke hadap sebagai ruang bagi penyusunan budaya antik di Indonesia pada seluruh unsur alias aspeknya. Unsur-unsur nilai dan norma pikiran positif yang mengakar dalam berbagai keluarga nelayan & pelayar dr berbagai umat bangsa (ethnic groups) laksana di bawah ini: • Komunalisme • Arif daerah sekeliling • Religius • Berkehidupan bersama/kolektivitas • Egalitarian • Rukun dan setia kawan dalam kelompoknya • Saling menyetujui • Patuh/taat norma • Bertanggung jawab • Disiplin • Kreatif-inovatif • Teguh timbangan • Kepetualangan • Keji menanggung risiko • Fleksibel dan kompetitif • Berwawasan kelautan & kepulauan • Multikulturalis • Nasionalis • Berpandangan dunia/keterbukaan Tentang nilai-nilai budaya bahari tersebut, tdk diasumsikan dianut dan diaplikasikan oleh keluarga atau peguyuban masyarakat nelayan pada umumnya dan real pada seluruh periode waktu atau tanda. Sebaliknya, eksistensi sebagian raksasa unsur prestise budaya kuno tersebut bertemperamen kontekstual. Sepertinya, keberanian dan kepetualangan, kesesakan organisasi kerjasama, etos perekonomian yang menjulang, wawasan nautikal, multikulturalisme, nasionalisme, dan perbuatan keterbukaan, besar dimiliki nelayan dan pelayar Bugis & Makassar pada kelembagaan P-Sawi; sikap hemat/efisien dalam pemanfaatan uang dimiliki kebanyakan dimiliki komunitas nelayan Dufadupa (Ternate) dengan kelembagaan arisan, menyimpan, ke-Dibodibo-an; sikap tolongmenolong antaranggota kelompok nelayan dari unit-unit usaha yang berbeda dimiliki komunitas nelayan Bonebone (Baubau --Buton) secara kelembagaan rektur Kuli Pemayang; sikap solidaritas dengan serta melestarikan komunitas ekosistem & sumberdaya perikanan laut, & pemanfaatan hasil-hasil secara bersama dan benar dimiliki oleh komunitas nelayan Maluku, Irian, dan Aceh dengan kelembagaan lokal Sasi, Tyatiki, serta Panglima Laut); dan lain-lain. Sistem peringkat budaya, perbuatan kolektivitas, serta perilaku akal budi kebaharian itu tumbuh tumbuh sebagai reproduksi dari kemahiran berinteraksi pada laut, pekerjaan berat dan rumit, risiko bahaya & ketidakmenentuan, lingkungan sosial tradisi masyarakat pengguna sumberdaya & jasa laut yang lain, supremasi, pasar, dan lain-lain. Nilai-nilai budaya yang berakar dalam rumpun bahari itu perlu diimput dengan rekayasa nilainilai integratif, asimilatif, futuralistik, dan supel (input values) yang terkandung dalam wawasan Universitas Hasanuddin (“Unhas sebagai pusat penjelasan budaya bahari”) yang hendak menjelmakan nilai-nilai budaya bahri yang holistik, interkonektif, serta mandiri (output values) bagi menjadi pola sekaligus tujuan pengembangan pranata bahari dalam masa kepil. E. Masalah Sosial - Ekonomi Bangsa Bahari 1. Eksploitasi Sumber Daya Samudra Kelangkaan sumberdaya memang sudah menjadi tatah-tatah global, ketika sumberdaya ikan dunia cuma tinggal 4% yang belum dieksploitasi, 21% dieskploitasi pada tingkat pas, 65% dieskploitasi pada level penuh & berlebihan, 9% rusak, serta tidak kian dari 1% yang sembuh (Garcia & Moreno, 2001). Intensifnya pemanfaatan sumberdaya ikan tidak cuma meninggalkan persoalan akut kesulitan sumberdaya, namun juga terpaksa ekologi, perekonomian, dan sosial terutama pada daerah-daerah rantau. Kini, sifat dasar perikanan sedang mengintil perikanan hipotetik Ricker (1975) dimana pada fase awal populasi ikan tumbuh datang ukuran sempurna dan perubahannya hanya diatur oleh pertambahan dan
petaka alami. Tatkala tekanan ekploitasi semakin teperinci dengan terbatas intervensi dalam konservasi serta rehabilitasi, sumberdaya ikan terus menurun serta hanya lumayan yang siap pulih kembali. Gambaran final inilah yang menjadi petunjuk perikanan pada Asia Tenggara seperti dikemukan Butcher (2004) dalam bukunnya “The closing of the frontier: a history of the nautikal fisheries in South East Asia c. 1850-2000”. Perikanan Indonesia pula sedang mendapati nasib yang serupa. Secara nasional, impak pengkajian stok ikan oleh Pusat Tafahus Perikanan Tiru dan Titik pusat Penelitian Oseanologi tahun 2001 menunjukkan 65% sumberdaya dieksploitasi secara sesak atau berlebihan dan sumberdaya ikan dalam kawasan barat mendapat tolakan yang menyimpangkan berat. Mulai aspek produksi, pertumbuhan yang tinggi berlangsung pada dekade 1970an akibat pesatnya lancar motorisasi perikanan yang merebut lebih daripada 10% tiap-tiap tahun. Sayangnya, motorisasi yang ada menghasilkan dualisme industri perikanan. Keberpihakan penuh pada perikanan skala luas (trawl serta purse-seine) melaksanakan berbagai kontroversi dan sebagai catatan jelek pengelolaan perikanan Indonesia. Waktu ini, perikanan gemar tumbuh tambah terbatas dan berdasarkan laporan FAOSTAT (2005) pertumbuhan kreasi tidak lebih dari 2% per tahun selama tempo 1999-2001. Di dalam periode yang serupa, berdasarkan petunjuk DKP (2003) nelayan tumbuh di atas 2% bagi tahun & melebihi laju pertumbuhan kulit ikan. Jejak ini tdk hanya menampilkan sumberdaya ikan semakin terpatok mendukung perekonomian nelayan, tetapi juga menjadikan perikanan sebagai pelabuhan final masyarakat yang tak memiliki terusan terhadap lapangan kerja yang lain. Tidaklah mengherankan jika Béné dalam Surat kabar World Development (2003) melabeli perikanan yang sedang melintas seirama menggunakan kemiskinan. Pasti, integrasi perikanan kedalam penyusunan desa demi didorong dalam menghindarkan pembangunan yang merayu sektoral. Berkembangnya usaha-usaha berbasis kelompok seperti pengolahan serta perdagangan ikan, budidaya ikan/udang, pertanian lahan pasir, peternakan, dan wisata termasuk jual beli berbasis cewek di sejumlah wilayah ufuk menjadi modal sosial bagi mengintegrasikan perikanan ke dalam pembangunan zona. Berbagai kekuatan ini tentu sangat tergantung ”sense of urgency” dan ”political will” pemerintah yang saat ini penuh memegang kendali pengelolaan perikanan. Bukanlah sesuatu yang gampang ketika supremasi tengah mencantumkan berbagai bidikan pembangunan pada atas tahun-tahun sebelumnya, diantaranya produksi perikanan 7, 7 juta ton, penerimaan simpanan US$ 3, 2 miliar, konsumsi ikan 28 kg/kapita/tahun, penyerapan usaha kerja tujuh, 7 juta orang, & kontribusi terhadap PDB 3, 1%. Preferensi pada pengelolaan tidak hanya bermakna memelihara keberlanjutan perikanan laut yang menyumbang 75% total pembuatan perikanan luar negeri, tetapi pula menyelamatkan semakin dari 2, 5 juta nelayan yang segara saksama tergantung padanya. 2. Kemiskinan Nelayan mempunyai peran yang sangat substantial dalam memodernisasi kehidupan umat. Mereka tergolong agent of development yang paling reaktif terhadap perubahan lingkungan. Karakternya yang kian terbuka dibanding kelompok suku yang hidup di wilayah, menjadi stimulator untuk menerima perkembangan tamadun yang semakin modern. Dalam konteks yang demikian menyembul sebuah stereotif yang afirmatif tentang sebutan nelayan khususnya dan bangsa pesisir pada umumnya. Mereka dinilai semakin berpendidikan, wawasannya tentang nasib jauh lebih luas, lebih tahan terhadap cobaan hidup dan terbuka terhadap perlawanan. Ombak luas dan serangan angin laut yang ganas memberikan akibat terhadap watak mereka. Di masa dulu, ketika teknologi
komunikasi belum mencapai perurutan seperti hari ini, perubahan-perubahan raksasa yang terjadi pada masyarakat pedesaan (daratan) ditentukan sama intensitas komunikasi yang berhasil diwujudkan bangsa pedesaan pada para nelayan. Dalam perkembangan, justru bangsa nelayan belum menunjukkan keberuntungan yang berisi dibandingkan keluarga masyarakat yang lain. Keberadaan mereka sebagai distributor perubahan sosial ternyata tdk ditunjukkan secara positif dengan kehidupan ekonominya. Persoalan sosial paling kuat yang dihadapi di area pesisir kian masalah kesengsaraan nelayan. Walaupun data sahih mengenai nominal penduduk miskin di lokasi pesisir ini belum ada, data dari hasil-hasil penelitian yang ada menunjukan adanya incidence poverty di sejumlah pesisir. Perolehan studi COREMAP tahun 1997/1998 di 10 provinsi dalam Indonesia menyibakkan rata-rata pendapatan rumah tangga nelayan berkisar jurang Rp 82. 500 bagi bulan mencapai berbatas Rp 225. 000 masing-masing bulan. Jika dikonversi di pendapatan per kapita, nilai tersebut rata-rata setara dengan Rp 20. 625 datang Rp 56. 250 masing-masing kapita bagi bulan (Anon, 2002). Nilai tersebut tetap di bawah upah minimum regional yang ditetapkan pemerintah pada tahun yang sama. Hal ini mesti menjadi perhatian mengingat tersedia keterkaitan sanding antara kesengsaraan dan pengelolaan wilayah susur. Tekanan tentang sumber kesanggupan pesisir sering diperberat oleh tingginya poin kemiskinan dalam wilayah itu. Kemiskinan kerap pula sebagai lingkaran karena penduduk yang miskin kadang kala menjadi sebab rusaknya lingkungan pesisir, namun penduduk miskin pula yang akan mengisbatkan dampak dr kerusakan putaran. Dengan kriteria tersebut, tdk mengherankan bahwa praktik perikanan yang merusak masih acap terjadi di wilayah tubir. Pendapatan mereka dari kesabaran pengeboman & penangkapan ikan karang pada cyanide sedang jauh lebih besar mulai pendapatan mereka sebagai nelayan. Sebagai contoh, pertimbangan dari penjualan ikan kerakal berkisar renggangan Rp 500. 000 datang Rp 700. 000 bagi bulan (Erdman dan Pet, 2000). Menggunakan besarnya perlawanan pendapatan tersebut di untuk, sulit untuk mengatasi kesulitan kerusakan ekosistem pesisir tanpa memecahkan masalah kemiskinan yang terjadi dalam wilayah susur itu seorang diri. 3. Unsur Penyebab Perkara kemiskinan balik mencuat sebagai persoalan sungguh-sungguh tekun yang pantas segera ditangani pemerintah pada krisis ekonomi melanda perekonomian nasional mulai dari akhir tahun 1998. Krisis yang hampir membangkrutkan bangsa & negara Indonesia telah memajukan jumlah penduduk miskin balik ke tahun sebelum 1990. Meningkatnya nominal tenaga sikap Indonesia liar yang menelaah pekerjaan dalam negara jiran Malaysia diartikan sebagai bukti sehat akan rendahnya harapan bagi masyarakat pedesaan, terutama yang kurang terang akal untuk menggantungkan kehidupannya menggunakan mengadu nasib sebagai suku urban & suburban dalam Indonesia. Mengacu pada garis besar terdapat dua cara memandang kesusahan. Sebagian manusia berpendapat, kesengsaraan adalah suatu proses, berbeda dengan sebagian juga memandang kesukaran sebagai suatu akibat atau fenomena dalam masyarakat. Sebagai suatu metode, kemiskinan merepresentasikan kegagalan suatu sistem warga dalam pendistribusian sumber kecakapan dan gaji secara setimpal kepada bagian masyarakat (Pakpahan dan Hermanto, 1992). Dari hasil kajian mereka di 14 kecamatan daerah rantau yang tersebar di beberapa provinsi diketahui, nelayan yang miskin umumnya belum penuh tersentuh teknologi modern, derajat sumber kompetensi manusia nista dan unit produktivitas impak tangkapannya pun sangat sedikit. Faktor utama bukan sebab kekuatan modal untuk mengakses teknologi, akan tetapi ternyata
cenderung disebabkan sama kurangnya aktivitas penyuluhan / teknologi dan rendahnya institusi penyedia teknologi. Yang menarik dari perolehan penelitian mereka adalah ditemukannya korelasi eksplisit antara unit kemiskinan pada perkembangan bentuk ijon. Para nelayan miskin umumnya, umur ekonomi mereka sangat terhenti kepada para pemilik modal, yaitu pencedok perahu alias alat meringkus serta saudagar yang kelar menyediakan niat perahu untuk berlayar. Indikator ini memang tidak selamanya sama di setiap lingkungan karena diantaranya di Pekalongan, banyak mualim yang mengeluh dengan kelakuan anak buah bahtera (nelayan) yang cenderung terlalu banyak menyodorkan sehingga keuntungan juragan kapal jadi terbatas. Namun secara sudah biasa terbatasnya kompetensi nelayan dalam mengembangkan kompetensi ekonominya karena nelayan seperti ini telah terjerat oleh sangkutan yang dipinjam dari para juragan. Mereka biasanya menyokong utang tersebut dengan ikan hasil tangkapannya yang harganya ditetapkan pendapat selera para juragan. Bisa dibayangkan segala sesuatu yang bakal diterima para nelayan menggunakan sistem yang demikian, maka itu sangatlah wajar jika kemiskinan menjadi potongan yang erat dalam umur mereka. 4. Kelebihan Ada hal yang berbeda saat kita bercakap tentang ekonomi nelayan & ekonomi petani terutama dalam Jawa Pusat. Di kurung petani, pasaran hasil adalah second generation problem yang sulit sekali dicarikan pemecahannnya. Sedangkan di kalangan nelayan Jawa Tengah, pemasaran bukanlah persoalan mendalam yang menghasilkan mereka mati miskin. Pada Provinsi Jawa Tengah terjumpa tempat pelelangan ikan (TPI) yang menjadi sarana transaksi hasil-hasil ikan laut. Dalam proses transaksi di TPI, nelayan bertandang dengan penuh pembeli sehingga nelayan yang menjual kinerja ikannya di TPI umumnya akan merekam harga yang paling memikat jika dibandingkan dengan mereka yang menjual di laut lepas atau di pendatang TPI. TPI Jawa Tengah yang dikelola oleh Koperasi Unit Desa yang tergabung dalam Puskud Mina Baruna saat ini terkemuka sebagai TPI paling teguh dan unggul di Nusantara. Sayangnya, tidak semua proes transaksi dilakukan secara langsung, terkadang dalam beberapa TPI banyak nelayan yang mesti menunggu pembayaran dua datang tiga hari karena tidak semua pembeli membawa uang yang semua. Hal ini lah yang menyaruk para nelayan, yang mencita-citakan uang kontan segera dan tidak setia, menjual hasilnya di pendatang TPI. Alhasil harga ikan yang mereka jual jauh di bawah harga TPI dan seringkali hanya sanggup untuk mengetuk biaya operasi menangkap ikan di laut lepas. Keadaan ini seringkali merayapi para nelayan-nelayan kecil yang membutuhkan tabungan segar sesegera mungkin dalam menutup ongkos kehidupan per-ekonomian mereka. Supremasi tampaknya butuh mendorong sektor perbankan untuk membuka biro kasnya pada setiap TPI yang dapat mengatasi kerumitan para penyalur untuk menyengkilit tagihannya. Tercakup fungsi perbankan disini ialah menyediakan kiriman yang diperlukan nelayan untuk berlayar. Sayangnya dengan kondisi kehidupan nelayan yang paspasan, tampaknya amat sulit untuk perbankan bagi menjalankan keistimewaan tersebut tanpa adanya jaminan yang tepat dari para nelayan. Di sini bila dimungkinkan pemerintah sanggup menyediakan kiriman khusus sederajat jaminan terhadap perbankan bagi menyalurkan dananya kepada nelayan. Kalaupun perbankan tidak bisa memenuhi peran tersebut, permerintahan sebuah negara bisa menempatkan dananya sejajar penyertaan dana awal kepada KUD-KUD pengelola TPI. Memang, ucapan miring tentang KUD seringkali kita dengar sehingga supremasi pun condong berhati-hati kalau ingin memberdayakan KUD. Tetapi, pendapat yang ada tidak bisa digeneralisasi dengan membabi buta, karena masih
cukup banyak pengatur KUD yang mempunyai hati nurani seperti KUD-KUD pengelola TPI. Tidak ada salahnya, mulai waktu ini pemerintah sedari mencoba membagikan dana pungutan dari transaksi di TPI untuk diarahkan kepada penyediaan modal bagi nelayan. Dengan demikian misalokasi anggaran diharapkan tidak akan besar terjadi, karena dengan memberdayakan KUD berguna pula mengocok bangkitnya kurnia ekonomi nelayan. 5. Kontroversi Antar Nelayan Konflik perikanan akhir-akhir ini kembali menjadi cerita setelah di era 1970-an konflik super mudah dan sering muncul kepermukaan serupa akibat dualisme industri perikanan laut. Sepanjang bulan Januari yang kemudian konflik pada kekerasan terjadi sekurang-kurangnya lima kali antara nelayan Jawa Tengah & Kalimantan (Kompas 25/1). Perang pena nelayan di 20 November 2005 pada Pulau Tambolongan, Selayar, Sulawesi Selatan pula meninggalkan serpih dengan tewasnya seorang nelayan dan ditahannya 38 nelayan lainnya (RRI 6/2). Tempo bulan September 2004 pun terjadi sejumlah kali jurang nelayan Madura dan Sidoharjo yang juga berdampak kehilangan vitalitas. http://www.sosialpower.com/ Pada tahun yang sama juga Kompas (16/1) melaporkan perang pena dengan risiko bom lawan nelayan Jawa Tengah di selat Makasar. Berdasarkan studi di lima provinsi, Satria, et. al. (2002) mengingat paling gak terdapat 4 macam kontroversi nelayan menurut faktor penyebabnya. Pertama, perang pena kelas, diantaranya konflik yang terjadi antarkelas sosial nelayan dalam memperebutkan wilayah penjelasan (fishing ground), yang serupa dengan kedudukan gearwar conflict-nya Charles (2001). Ini terjadi karena nelayan tradisional mendapat ketidakadilan di dalam pemanfaatan sumberdaya ikan hukuman perbedaan unit penguasaan kekayaan. Seperti, pergesekan yang tercipta akibat beroperasinya kapal trawl pada perairan pesisir yang sebenarnya adalah wilayah penangkapan nelayan tradisional. Kedua, pergeseran orientasi, adalah konflik yang terjadi mendampingi nelayan yang memiliki perbedaan orientasi dalam pemanfaatan sumberdaya, yaitu rumpang nelayan yang memiliki perhatian terhadap cara-cara pemanfaatan sumberdaya yang ringan mulut lingkungan (orientasi jangka panjang) dengan nelayan yang berbuat kegiatan pemanfaatan yang bertemperamen merusak putaran, seperti aplikasi bom, potasium, dan beda sebagainya (orientasi jangka pendek). Ketiga, perang pena agraria, adalah konflik yang terjadi dampak perebutan fishing ground, yang bisa berlangsung antar mutu nelayan, maupun inter-kelas nelayan. Ini juga bisa tercipta antara nelayan dengan kelompok lain non-nelayan, seperti renggangan nelayan secara pelaku usaha lain, diantaranya akuakultur, wisata, pertambangan, yang oleh Charles (2001) diistilahkan sebagai external allocation conflict. Keempat, kontroversi primordial, adalah konflik yang terjadi kelanjutan perbedaan personalitas, seperti etnik, asal kawasan, dan seterusnya. Anatomi konflik di atas menggambarkan betapa kompleksnya kontroversi nelayan. Keempat tipe itu terjadi baik sebelum mau pun sesudah otonomi daerah. Perselisihan sumberdaya ikan yang tambah langka sebagai salah satu pokok konflik perikanan saat ini, maka itu menuntut kita untuk bepikir ulang mengenai cara mengelola sumberdaya ini. Banyak kurnia nelayan terkalahkan oleh rencana non nelayan karena nelayan tidak punya organisasi dengan posisi terhenti yang memuaskan. Di waktu otonomi kawasan ini meski adanya lagam Pemda mengoyak kepentingan jangka pendek secara mengedepankan proyek-proyek yang quick yielding yang seringkali bersemuka dengan keperluan nelayan, presensi organisasi nelayan yang teguh menjadi kian mendesak. Ujung, dalam sela panjang pemberdayaan nelayan benar penting di dalam mengantisipasi pergesekan. Pemberdayaan pasti utamanya
diarahkan pada peningkatan ketahanan per ekonomian rumah tangga nelayan. Berbagai susunan praktek pengetahuan ikan dengan destruktif ternyata tidak mampu lepas daripada perspektif per-ekonomian. Ketika nelayan dengan peranti tangkap yang sangat terpatok dan menciptakan tangkapan ikan yang mengacu pada minimal, maka dorongan dalam melakukan praktik penangkapan secara destruktif sebagai besar. Kesudahannya konflik orientasi pun acap terjadi. Tetap aspek per ekonomian ini juga mesti diiringi dengan orientasi sosial tradisi yaitu dengan melakukan pengkayaan pengetahuan serta pola perbuatan para nelayan terhadap sumberdaya laut yang di sejumlah tempat sudah mulai terbenam. F. Pemecahan Alternatif 1. Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Waktu ini banyak program pemberdayaan yang menklaim sejajar program yang berdasar kepada keinginan dan kebutuhan warga (bottom up), tapi ironisnya masyarakat senantiasa saja gak merasa mempunyai akan program-program tersebut dengan demikian tidak jarang banyak agenda yang hanya seumur tanda proyek serta berakhir tanpa dampak menandakan bagi nasib masyarakat. Memberdayakan masyarakat tebing berarti merupakan peluang buat masyarakat tubir untuk mengukuhkanmenjadikan kebutuhannya, merencanakan dan melakukan kegiatannya, yang akhirnya merupakan kemandirian tetap dalam nasib masyarakat itu sendiri. Memberdayakan masyarakat ufuk tidaklah seperti memberdayakan kelompok-kelompok masyarakat yang lain, karena didalam habitat tebing terdapat tidak sedikit kelompok umur masayarakat antaralain: 1. Bangsa nelayan tiru, adalah kelompok masyarakat ufuk yang mata pencaharian utamanya merupakan menangkap ikan dilaut. Kelompok ini dibagi lagi dalam dua group besar, ialah nelayan membekuk modern serta nelayan tangkap tradisional. Dua-duanya kelompok yang ada dapat dibedakan dari rupa kapal/peralatan yang digunakan dan jangkauan lokasi tangkapannya. 2. Masyarakat nelayan pengumpul/bakul, adalah kelompok masyarakt pesisir yang bekerja disekitar tempat pendaratan dan pelelangan ikan. Mereka akan mengumpulkan ikan-ikan perolehan tangkapan bagus melalui pelelangan maupun dr sisa ikan yang tidak terlelang yang kemudian dijual ke masyarakat sekitarnya atau dibawah ke pasar-pasar lokal. Biasanya yang sebagai pengumpul tersebut adalah kelompok masyarakat ufuk perempuan. 3. Masayarakat nelayan buruh, didefinisikan sebagai kelompok rumpun nelayan yang paling banyak ditemukan dalam sukma masyarakat susur. Ciri atas mereka siap terlihat dari kemiskinan yang selalu menyekat kehidupan mereka, mereka gak memiliki dana awal atau peranti yang maksimum untuk tenggang produktif. Biasanya mereka bekerja sebagai buruh/anak buah kapal (ABK) pada kapal-kapal tuan dengan gaji yang minim. 4. Rumpun nelayan waduk, masyarakat nelayan pengolah, & kelompok warga nelayan kuli. Setiap grup masyarakat itu haruslah merekam penanganan & perlakuan pribadi sesuai secara kelompok, usaha, dan aktivitas ekonomi mereka. Pemberdayaan masyarakat tangkap minsalnya, mereka membutukan sarana pengetahuan dan pengakuan wilayah terima. Berbeda beserta kelompok masyarakat tambak, yang mereka butuhkan adalah modal kerja serta modal pemodalan, begitu juga untuk kelompok warga pengolah & buruh. Kebutuhan setiap grup yang bertentangan tersebut, menyibakkan keanekaragaman motif pemberdayaan yang akan diterapkan untuk setiap kelompok ini. Dengan demikian program pemberdayaan untuk warga pesisir haruslah dirancang pada sedemikian bentuk dengan gak menyamaratakan sempang satu kelompk dengan kelompok lainnya apalagi antara satu daerah menggunakan daerah tebing lainnya. Pemberdayaan masyarakat tebing haruslah merayu bottom up dan open
menu, namun yang terpenting adalah pemberdayaan itu sendiri yang mesti langsung memeriksa kelompok rumpun sasaran. Sawala yang agaknya harus dijawab adalah: Gimana memberdayakannya? Banyak program pemberdayaan yang telah dijalankan pemerintah, salah-satunya adalah pemberdayaan ekonomi bangsa pesisir (PEMP). Pada intinya program ini dilakukan melalui tiga permufakatan, yaitu: 1. Kelembagaan. Bahwa untuk memperkukuh posisi terhenti masyarakat, mereka haruslah terpadu dalam suatu kelembagaan yang kokoh, jadi segala hajat dan tuntutan mereka sanggup disalurkan berdasar pada baik. Kelembagaan ini juga dapat jadi penghubung (intermediate) antara supremasi dan swasta. Selain itu kelembagaan berikut juga siap menjadi suatu forum dalam menjamin terjadinya perguliran dana produktif diantara kelompok yg lain. 2. Pendampingan. Keberadaan pengiring memang dirasakan sangat dibutuhkan dalam di setiap program pemberdayaan. Masyarakat belum dapat berjalan sendiri agaknya karena kekurangtauan, tingkat penguasaan ilmu pengetahuan yang rendah, / mungkin tetap kuatnya level ketergantungan mereka karena belum pulihnya mencicip percaya diri mereka akibat paradigma-paradigma pembangunan masa lalu. Terkupas dari itu semua, kedudukan pendamping sangatlah vital paling utama mendapingi masyarakat menjalankan acara usahanya. Tetapi yang terpenting dari pendampingan ini didefinisikan sebagai menempatkan orang-orang yang jelas pada kelompok yang tepat pula. 3. Dana Jual beli Produktif Condong. Pada program PEMP pula disediakan gaji untuk menyebarkan usaha-usaha inventif yang menjadi pilihan dari masyarakat itu sendiri. Sesudah kelompok pemanfaat dana itu berhasil, mereka harus mewariskan keuntungannya dalam digulirkan menurut kelompok rumpun lain yang membutuhkannya. Penyelarasan pergulirannya akan disepakati di dalam forum alias lembaga yang dibentuk oleh masyarakat sendiri dengan fasilitasi pemerintah tempatan dan daya pendamping. PERIHAL III PUNCAK A. Suara Adapun suara dari karangan kami didefinisikan sebagai sebagai berikut: 1. Bermacam-macam desa nelayan di kawasan timur Nusantara lainnya, motorisasi perahu & kapal penangkapan ikan dalam desa-desa nelayan Sulawesi Selatan baru semenjak di tahun-tahun 1970-an. 2. Perkembangan Usaha dan Teknologi Perikanan Samudra yaitu Gae, Bagang, Tenggang pancing tongkol, Usaha lobster dan ikan hidup, dan Kompresor. 3. Pola hubungan (struktur sosial) yang menandai hubungan dalam kelompok P. Sawi cantik dalam sosoknya yang pokok (P. Laut/Juragan-Sawi) maupun wujud lebih renyah (P. Darat/P. Lompo-P. Laut/Juragan-Sawi) ialah relasi patron-client. 4. Kebudayaan atau dunia nasib manusia ini sekurang-kurangnya meliputi tujuh unsur umum (cultural universal), yaitu pengetahuan (cognitive/ideational/mental material), norma, organisasi toleran, ekonomi, teknologi, kesenian, tasdik dan keyakinan. 5. Kesinambungan sumber kesanggupan, khususnya sumber daya laut adalah subjek yang luar biasa substansial, maka dari itu kelestariannya mesti dijaga. B. Saran Sewajarnya pemerintah lekas menindaklanjuti masalah-masalah yang dihadapi oleh rumpun bahari Indonesia. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengurangi tiingkat kemiskinan suku, meredam konflik-konflik sosial yang meresahkan warga bahari, dan menjaga kelestarian lingkungan hidup, khususnya samudra.