1
POLA PENGUASAAN SUMBERDAYA LAHAN DAN DINAMIKA POLA NAFKAH MASYARAKAT SEKITAR HUTAN (Studi Kasus Desa Baru Pangkalan Jambu Kabupaten Merangin, Propinsi Jambi)
DENI KUSUMA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013
2
SURAT PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pola Penguasaan Sumberdaya Lahan Dan Strategi Adaptasi Nafkah Masyarakat Sekitar Hutan (studi kasus Desa Baru Pangkalan Jambu Kabupaten Merangin Propinsi Jambi) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2013
Deni Kusuma NRP. I 353100081
3
ABSTRACT DENI KUSUMA. Pattern of Land Resources Tenure and Livelihoods Adaptation Strategies Around Community Forest. (A Case Study: Baru Pangkalan Jambu Village Merangin District Jambi Province). Under the Supervision of Rilus A. Kinseng and Fredian Tonny. This study aims to analyze the changing pattern of land resources tenure in the Baru Pangkalan Jambu Village. The results showed that, related to land tenure system in the Baru Pangkalan Jambu Village, generally include four types, namely the tenure of ‖adat‖, the tenure of ‖kaum‖, the tenure of individual, and the tenure of state. The change of land tenure in the village is caused by the change of rule system from ―Marga‖ to village that help to restructure the pattern of natural resources tenure with the inclusion of the forest area tenure element by state. Land tenure change in Desa Baru Pangkalan Jambu Village as forest area tenure by state lead to a constriction of the village community acces space. There are several phases of change in land resources tenure that impact on change of Desa Pangkalan Jambu Villagers‘ right about natural resources, that is: Transformation from ―Marga‖ reign to Village reign. There are two different territory after the transformation of reign, namely: (1) Marga (Adat) territorial and Village territorial. The change of reign system from ―Marga‖ reign to ―Village‖ reign result in authority weakened and reduction in ―Adat‖ (―Marga‖) area about natural resources. In the reign of ―Marga‖, natural resources tenure are completely under ―Marga‖ (―Adat‖) control. Almost all of the rights about natural resources (access right, use right, management right, and exclusion right) are owned by ―Marga‖ (―Adat‖), except diversion right, so that the ―Marga‖ ownership status is as proprietor. Then during the Village reign, ―Adat‖ (―Marga‖) right is still there, but for the area that is still in the ―Adat‖ (―Marga‖) claims, while for the outside of area, the ―Adat‖ (―Marga‖) does not have the right anymore. (2) The change since the area be designated as National Park Kerinci Seblat (TNKS-Taman Nasional Kerinci Seblat). There are three different territorial areas which is designated as TNKS area, that are: ―Marga‖ tenure area, Village tenure area, and TNKS tenure area. Since the area be defined as TNKS area, it has an impact on disappearance of community‘s right, either ―Adat‖ right, ―Kaum‖ right, Individual right, or Village right towards the existing resources in the TNKS area. The rights such as management right, exclusion right, and diversion right are disappear, while access right and use right still exist but only for traditional use zone only. Thus, since the area be designated as TNKS, ―Adat‖ (―Marga‖) and Village ownership status was turned into authorized user. In this research also found that changes in the livelihoods of Baru Pangkalan Jambu Village done for the survival from increasing of life necessities, adaptation to livelihood that is by looking for alternatives to a new source of income, There are three factors the occurrence of changing patterns of living in New Village Pangkalan Jambu, ie consideration of price, availability of resources and state regulations. Key words: Tenure of Land Resources, Access, Property Right, Livelihood
4
RINGKASAN
DENI KUSUMA. Pola Penguasaan Sumberdaya Lahan dan Strategi Adaptasi Nafkah Masyarakat Sekitar Hutan (Studi Kasus Desa Baru Pangkalan Jambu Kabupaten Merangin Propinsi Jambi). Dibawah Komisi Pembimbing Rilus A. Kinseng dan Fredian Tonny.
Sebelum kehadiran hukum-hukum formal, masalah penguasaan dan pemanfaatan lahan di wilayah desa diatur sepenuhnya oleh hukum adat. Hukum adat adalah satu-satunya produk hukum yang dipahami oleh warga desa dalam kaitannya dengan pengaturan penguasaan lahan dalam wilayah klaim desa yang sudah mengakar sejak awal desa terbentuk (pada awalnya masih berupa kampung). Ada tiga hal pokok yang diatur oleh hukum adat berkenaan dengan penguasaan lahan, yaitu pengakuan hak, kewajiban pengguna lahan, serta pola pemanfaatan ruang. Hal ini terjadi karena pada dasarnya mandat hak penguasaan wilayah pada waktu itu diberikan pada pimpinan adat (marga dan kampung) dan unsur inilah yang kemudian mengatur pendistribusian dan pola pemanfaatannya melalui hukum-hukum adat yang disepakati. Hal ini berlangsung hingga terjadinya masa peralihan sistem pemerintahan dari marga ke desa yang dilandasi oleh pemberlakuan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Pasca masa peralihan sistem pemerintahan tersebut, wilayah desa kemudian didefinisikan terbatas hanya meliputi ruang pemukiman dan kelola masyarakat sedangkan sumberdaya alam (khususnya kawasan hutan) yang belum terjamah pada proses selanjutnya berada dalam penguasaan negara. Fenomena di atas menunjukan bahwa studi mengenai penguasaan lahan dan pola nafkah masyarakat terutama di Desa Baru Pangkalan Jambu menjadi penting untuk terus dikembangkan mengingat hal tersebut telah menjadi bagian dari masalah pokok di desa. Desa yang masyarakatnya sebagaian besar hidup dari pola agraris. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Data/informasi yang dijadikan bahan analisis merupakan data/informasi kualitatif yang diperoleh melalui observasi, wawancara mendalam (in-dept interview) yang melibatkan sejumlah informan, Focus Group Discussion (FGD) guna untuk verifikasi data/informasi yang diperoleh dari informan serta untuk melengkapi data/informasi yang dibutuhkan, kemudian penelitian ini juga dari studi literatur yang berkaitan dengan penelitian. Data/informasi dianalisis dengan menggunakan model Spradley yang membagi analisis data dalam penelitian kualitatif berdasarkan tahapan dalam penelitian kualitatif, antara lain; analisis domain, analisis taksonomi, analisis komponensial, dan analisis tema struktural. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terkait dengan sistem penguasaan lahan di Desa Baru Pangkalan Jambu secara umum mencakup empat tipe, yaitu penguasaan adat, penguasaan kaum, penguasaan individu, dan penguasaan negara. Perubahaan penguasaan lahan di desa disebabkan oleh perubahan sistem pemerintahan dari marga ke desa yang turut merestrukturisasi pola penguasaan sumberdaya alam dengan masuknya unsur penguasaan kawasan hutan oleh negara. Perubahan penguasaan lahan di Desa Baru Pangkalan Jambu dengan adanya penguasaan kawasan hutan oleh negara menimbulkan situasi
5
menyempitnya ruang akses masyarakat Desa. Terdapat beberapa fase perubahan penguasaan sumberdaya lahan yang berdampak pada perubahan hak masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu terhadap sumberdaya alam, yaitu : Perubahan dari masa pemerintahan marga menjadi pemerintahan Desa. Terdapat dua teritori yang berbeda pasca perubahan sistem pemerintahan yaitu (1) teritori marga (adat) dan teritori desa. Perubahan sistem pemerintahan dari pemerintahan marga menjadi pemerintahan desa berdampak pada melemahnya otoritas dan berkurangnya wilayah adat (marga) terhadap sumberdaya alam. Pada masa pemerintahan marga, penguasaan sumberdaya alam sepenuhnya berada pada penguasaan marga (adat). Hampir seluruh hak (hak akses, hak pemanfaatan, hak pengelolaan, dan hak eksklusi) dimiliki oleh marga (adat) terhadap sumberdaya alam kecuali hak pengalihan, sehingga status kepemilikan marga adalah sebagai proprietor. Kemudian pada masa pemerintahan desa, hak adat (marga) tersebut tetap ada namun untuk wilayah yang masih berada dalam klaim adat (marga), sedangkan untuk diluar wilayah tersebut adat (marga) tidak mempunyai hak lagi. (2) Perubahan sejak ditetapkan sebagai kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Terdapat tiga teritori yang berbeda pasca ditetapkan sebagai kawasan TNKS, yakni : wilayah penguasaan marga, wilayah penguasaan desa, dan wilayah penguasaan TNKS. Sejak ditetapkan sebagai kawasan TNKS berdampak pada hilangnya hak masyarakat, baik hak adat, hak kaum, hak individu, maupun hak desa terhadap sumberdaya yang ada di dalam kawasan TNKS. Hak-hak yang hilang tersebut seperti hak pengelolaan, hak eksklusi, dan hak pengalihan, sedangkan hak akses dan hak pemanfaatan tetap ada namun hanya untuk zona pemanfaatan tradisional saja. Dengan demikian, sejak ditetapkan sebagai TNKS status kepemilikan adat (marga) dan desa pun berubah menjadi authorized user. Dalam penelitian ini juga ditemukan bahwa dinamika pola nafkah yang terjadi pada masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu dilakukan demi bertahannya hidup masyarakat dari kebutuhan hidup yang semakin lama semakin meningkat. Adaptasi sumber nafkah yang dilakukan yaitu dengan cara mencari alternatif alternatif sumber nafkah yang baru. Pada masa Belanda, sumber nafkah masyarakat adalah sebagai menambang emas dan sawah. Sementara itu pada masa Jepang terdapat perubahan, sumber nafkah masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu, yakni menambang emas, sawah, ladang, dan kebun kopi. Pada masa awal Kemerdekaan terjadi juga perubahan, sumber nafkah masyarakat, yakni menambang emas, sawah, ladang, kebun kopi, dan kebun kulit manis. Lalu pada masa Logging (tahun 1970-an), sumber nafkah masyarakat pada saat itu adalah menambang emas, sawah, kebun karet, bebalok (istilah lokal). Dan pada masa reformasi sampai saat ini sumber nafkah yang menjadi pilihan masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu adalah menambang emas, sawah, kebun karet, tukang, Pegawai Negeri Sipil (PNS), membuka warung, dan supir. Terdapat beberapa faktor terjadinya perubahan pola nafkah di Desa Baru Pangkalan Jambu, yaitu : (1) Perubahan yang disebabkan oleh pertimbangan soal harga. Pada masa kemerdekaan sumber nafkah yang menjadi jaminan hidup masyarakat adalah dari sektor perkebunan kulit manis. Saat ini yang menjadi jaminan hidup adalah dari perkebunan karet, karena harga karet saat ini cukup menjadikan sebagai jaminan hidup masyarakat. (2) Perubahan yang disebabkan oleh kebijakan negara. Pada tahun 1970-an sumber nafkah bebalok (istilah lokal) merupakan salah satu sumber nafkah yang utama saat itu. Namun hal itu tidak bisa bertahan untuk selamanya,
6
karena Undang Undang tentang pelarangan illegal logging, selain itu juga ketersediaan kayu yang semakin susah didapat. (3) Perubahan sumber nafkah yang terjadi di Desa Baru Pangkalan Jambu juga disebabkan oleh regulasi negara berupa penetapan kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Penepatan kawasan TNKS berdampak pada tereksklusinya sumber nafkah masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu terhadap manfaat hasil hutan non kayu yang ada di kawasan TNKS. (4) Selain faktor-faktor tersebut, pola nafkah masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu sangat ditentukan oleh karakteristik sumberdaya alamnya, artinya ketersediaan sumberdaya alam menjadi faktor perubahan pola nafkah.
7
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2013 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
8
POLA PENGUASAAN SUMBERDAYA LAHAN DAN DINAMIKA POLA NAFKAH MASYARAKAT SEKITAR HUTAN (Studi Kasus Desa Baru Pangkalan Jambu Kabupaten Merangin, Propinsi Jambi)
DENI KUSUMA
TESIS Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Sosiologi Pedesaan
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013
9
Terima kasih kepada Dr. Satyawan Sunito, Ph.D sebagai Penguji Luar Komisi, atas masukan, kritikan dan inspirasinya.
10
Judul Tesis
: Pola Penguasaan Sumberdaya Lahan dan Dinamika Pola Nafkah Masyarakat Sekitar Hutan (Studi Kasus Desa Baru Pangkalan Jambu Kabupaten Merangin Propinsi Jambi)
Nama
: Deni Kusuma
NRP
: I353100081
Disetujui: Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA Ketua
Ir. Fredian Tonny, MS Anggota
Diketahui:
Koordinator Program Studi Mayor Sosiologi Pedesaan
Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.Agr.
Tanggal Ujian : 21 Maret 2013
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Lulus :
11
PRAKATA
Alhamdulilahirobbil „alamin, segala puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan nikmat, rahmat dan hidayah-Nya. Shalawat serta Salam terhaturkan pada junjungan Nabi Muhammad SAW. Saya bersyukur sedalamdalamnya kepada Allah SWT, karena mendapat kesempatan berlajar di Pasca Sarjana IPB, hingga akhirnya mampu menyelesaikan tanggung jawab akademik ini. Dengan segala tulus, dalam kesempatan yang mulia ini, saya ingin mengucapkan rasa terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya khususnya kepada dosen pembimbing, para dosen di Sosiologi Pedesaan IPB, teman-teman seangkatan SPD 2010, para sahabat dan keluarga yang langsung maupun tidak menjadi spirit penyelesaian tesis ini, mereka adalah; 1. Bapak Dr. Ir. A Rilus Kinseng, MA dan Ir. Fredian Tonny MS, selaku pembimbing tesis. Keduanya memiliki peran besar bagi penulis dan proses penyelesaian tesis ini. 2. Bapak Dr. Arya Hadi Darmawan, MSc, selaku Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan dan Dr. Rilus Kinseng, selaku Wakil Program Studi, yang selalu menyemangati dan mendukung penyelesaian studi para mahasiswa. 3. Bapak Drs. Satyawan Sunito, Ph.D, selaku dosen penguji Luar Komisi. Terima kasih atas inspirasi, kritikan dan motivasinya. 4. Bupati Kabupaten Merangin serta Kepala Balai Taman Nasional Kerinci Seblat yang telah memberikan izin penelitian. 5. Pemerintah Propinsi Jambi yang telah beasiswa pendidikan melalui program Jambi Emas kepada penulis. 6. Kepala Desa Baru Pangkalan dan Sekretaris Desa Baru Pangkalan Jambu atas penerimaan dan dampingannya selama penulis di lapangan. 7. Warga Desa Baru Pangkalan Jambu yang telah membantu dan berpartisipasi selama pengumpulan data/informasi di lapangan. 8. Sahabat seperjuangan Sosiologi Pedesaan angkatan 2010; Moch. Ali Mauludin, Yosfialdi, Sukma Taroniarta, Rinto Andhi Suncoko, A. Tarmiji, Susianah, Sri Agustina, Deni, dan Yanu E. Prasetyo, terima kasih atas kehangatan persahabatannya. 9. Tesis ini kupersembahkan untuk orang tuaku tercinta; Bapak Kusnadi dan Ibu Nurmawati, Bapak Suyono dan Ibu Sriyana Rostati, semoga Allah SWT melimpahkan keberkahan hidup mereka dunia - akherat. Amien. Tak lupa, terima kasih untuk kakak-kakakku; Idris Sardi, Elwa Mendri, Fuad Muchlis atas dukungan dan doa mereka telah memudahkan penyelesaian tesis ini. Secara khusus, penyelesaian penulisan tesis ini adalah berkat doa dan dukungan keluarga, untuk itu tesis ini juga penulis persembahkan buat adindaku tercinta Yossi Ivada atas kesabaran, ketabahan dan senyum itu telah membuatku tetap semangat sampai terselesaikannya tesis ini.
12
Akhirul kata, dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan berbagai masukan dan kritikan guna penyempurnaan tesis ini. Terima kasih.
Bogor, Maret 2013 Deni Kusuma
13
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kota Jambi pada tanggal 16 Juli 1984 dari ayah Kusnadi dan ibu Nurmawati. Penulis merupakan putra pertama dari empat bersaudara. Tahun 2003 penulis lulus dari SMK Taruna Padang dan pada tahun 2004 penulis menempuh jenjang Strata Satu di Jurusan Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Jambi dengan lulus pada tahun 2009. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan, yaitu menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Jambi periode 2006-2007, pada tahun 2006-2008 penulis menjadi pengurus Perhimpunan Organisasi Profesi Mahasiswa Sosial Ekonomi Pertanian Indonesia (POPMASEPI), kemudian pada tahun 2007 penulis masuk organisasi kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Jambi. Pada tahun 2010, penulis berkesempatan melanjutkan studi akademik S2 di Pasca Sarjana Sosiologi Pedesaan Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui Beasiswa Jambi Emas Pemerintah Propinsi Jambi pada tahun 2011.
14
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI .....................................................................................................
xiii
DAFTAR TABEL..............................................................................................
xv
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................
xvi
I.
PENDAHULUAN .................................................................................... 1.1. Latar belakang ................................................................................ 1.2. Rumusan masalah ........................................................................... 1.3. Tujuan penelitian ............................................................................ 1.4. Manfaat penelitian ..........................................................................
1 1 6 7 7
II.
TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 2.1. Teori Hak Kepemilikan...................................................................... 2.2. Teori Eksklusi Sosial ......................................................................... 2.3. Pola dan Strategi Nafkah ................................................................... 2.5. Pengertian Masyarakat Desa Hutan ................................................... 2.6. Konsep Pengelolaan Hutan Oleh Masyarakat (Community Forest Management) ...................................................................................... 2.7. Gambaran Pola Penguasaan Lahan Oleh Masyarakat........................ 2.8. Kerangka Berpikir ..............................................................................
9 9 14 16 19
METODOLOGI PENELITIAN ............................................................. 3.1. Paradigma dan Strategi Penelitian ...................................................... 3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian .............................................................. 3.3. Unit Analisis ....................................................................................... 3.3. Metode Pengumpulan Data ................................................................ 3.4. Teknik Analisis Data ..........................................................................
28 28 29 29 30
PROFIL DAN SEJARAH DESA BARU PANGKALAN JAMBU ..... 4.1. Kebijakan Kehutanan Kabupaten Merangin ....................................... 4.2. Kondisi Umum Wilayah Desa Baru Pangkalan Jambu ...................... 4.3. Kependudukan .................................................................................... 4.3. Sejarah Singkat Berdirinya Desa Baru Pangkalan Jambu .................. 4.3.1. Asal Nama Marga ―Pangkalan Jambu‖ serta terbentuknya Desa Baru Pangkalan Jambu .......................................... 4.4. Struktur Pemerintahan Desa Baru Pangkalan Jambu ............ POLA PENGUASAAN LAHAN ............................................................
36 36 38 40 41
III.
IV.
V.
21 23 25
32
42 44 48
15
VI
VII VIII
5.1. Pola Penguasaan Lahan Di Desa Baru Pangkalan Jambu ................ 5.2. Perubahan Pola Penguasaan Lahan .................................................. 5.3. Hutan Adat Sebagai Bentuk Penguasaan Sumberdaya Lahan Masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu ......................................... 5.3.1. Institusi Pengelolaan Hutan Adat ............................................ 5.3.2. Aturan-Aturan Dalam Pengelolaan Hutan Adat ..................... 5.5. Ikhtisar ..............................................................................................
48 54
DINAMIKA POLA NAFKAH ...............................................................
78
6.1. Awal Mula Sumber Nafkah Masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu ................................................................................................. 6.2. Sumber Nafkah Masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu Saat Ini .. 6.3. Perubahan Pola Nafkah Masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu.... 6.4. Ikhtisar ...............................................................................................
78 79 96 104
67 69 71 74
DINAMIKA PENGUASAAN SUMBERDAYA LAHAN DAN POLA NAFKAH .................................................................................... 107 KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 111 6.1. Kesimpulan ......................................................................................... 111 6.2. Saran ................................................................................................... 113
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
16
DAFTAR TABEL Halaman 1
Kumpulan Hak Kepemilikan dan Status Posisi Aktor..................................
10
Luas Lahan di Desa Baru Pangkalan Jambu Menurut Penggunaannya Tahun 2012 .................................................................................................. 3 Jumlah dan Persentase Penduduk di Desa Baru Pangkalan Jambu Menurut Kelompok Umur Tahun 2012 ........................................................................ 4 Jumlah dan Persentase Penduduk Menurut Tingkat di Desa Baru Pangkalan Jambu Tahun 2012 ....................................................................... 5 Pola Penguasaan Lahan di Desa Baru Pangkalan Jambu dari Masa Pemerintahan Kolonial Belanda hingga sekarang.......................................... 6 Aktor, hak, dan status kepemilikan pada saat pemerintahan marga (adat) (sebelum tahun 1979) .................................................................................... 7 Aktor, hak dan status kepemilikan atas tanah marga yang masih di klaim marga (pada era Pemerintahan Desa) ............................................................ 8 Aktor, hak dan status kepemilikan atas tanah desa yang tidak lagi dikuasai marga (pada era Pemerintahan Desa) ............................................................ 9 Aktor, hak dan status kepemilikan pada era TNKS untuk kawasan marga dan desa yang masuk dalam wilayah TNKS ................................................. 10 Perubahan Pola Sumber Nafkah di Desa Baru Pangkalan Jambu dari Masa Pemerintahan Kolonial Belanda hingga sekarang..........................................
39
2
40 41 55 58 59 60 61 97
17
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1.
Kerangka Pemikiran Penelitian ......................................................................
26
2.
Bagan Alur Analisis Data Kualitatif (Spardley, 1980) .................................. 34
3
Peta Kawasan Hutan Kabupaten Merangin ...................................................
4
Model Struktur Organisasi Pengelola Desa.................................................... 44
5
Struktur Adat di Desa Baru Pangkalan Jambu...............................................
45
6
Perubahan Pola Penguasaan Lahan Sejak Masa Marga Sampai Saat Ini ......
56
7
Peta Kawasan Hutan Adat Desa Baru Pangkalan Jambu ..............................
68
8
Struktur Organisasi Hutan Adat Desa Baru Pangkalan Jambu ...................... 70
9
Masyarakat Sedang Mencari Spot Emas .......................................................
37
91
10 Masyarakat Mendulang Emas ........................................................................ 91 11 Warga Desa Sedang Menangkap Ikan Dengan Jala ......................................
93
1
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumberdaya alam. Ada dua jenis sumberdaya alam yaitu sumberdaya alam yang dapat diperbaharui dan sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui. Salah satu contoh sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui adalah sumberdaya lahan. Secara sederhana sumberdaya (resources) dapat diartikan sebagai segala sumber persediaan yang secara potensial dapat didaya-gunakan. Selain itu juga sumberdaya dapat diartikan sebagai faktor produksi yang dimobilisasikan dalam suatu produksi. Menurut Tim penyusun Neraca Sumber Daya Alam (NSDA, 1990) sumberdaya dapat digolongkan berdasarkan wujud fisiknya, wujud fisik tersebut diantaranya adalah (1) sumberdaya lahan, (2) sumberdaya hutan, (3) sumberdaya mineral, dan (4) sumberdaya air. Sumberdaya alam mempunyai peranan cukup penting bagi kehidupan manusia. Sumberdaya alam bagi berbagai komunitas di Indonesia bukan hanya memiliki nilai ekonomi tetapi juga makna sosial, budaya dan politik. Sumberdaya alam berperan penting dalam pembentukan peradaban pada kehidupan manusia, sehingga setiap budaya dan etnis memiliki konsepsi dan pandangan dunia tersendiri tentang penguasaan dan pengelolaan dari sumberdaya alam. Lahan merupakan bagian yang meliputi lingkungan fisik termasuk iklim, topografi/relief, hidrologi tanah dan keadaan vegetasi alami yang semuanya secara potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan. Bertahun-tahun masyarakat hidup dengan aturan sosial yang membentuknya dan lahan adalah bagian penting di dalamnya. Selain fungsi sosial, lahan pun punya fungsi ekonomi tempat bergantung bagi masyarakat petani miskin. Di Indonesia, budaya dan aturan sosial juga mengatur pengelolaan sumberdaya dan distribusi manfaatnya. Mewariskan lahan kepada keturunan merupakan tradisi budaya turun temurun. Jika berbicara soal agraria atau tanah maka didalamnya terkandung makna kehidupan,
karena
sebagian
besar
masyarakat
sekitar
hutan
sumber
penghidupannya berasal dari tanah (seperti kebun, atau sawah). Kerusakan
2
sumberdaya hutan dan meluasnya lahan yang tidak produktif atau kritis membawa masyarakat sekitar hutan semakin terpinggirkan dikarenakan sumber pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat sekitar hutan semakin menurun, hal ini disebabkan konsensi-konsensi yang ditetapkan pemerintah hanya berpihak pada pengusaha padat modal dalam menjalankan praktek-praktek kehutanan. Konsensi-konsensi tersebut secara langsung membuat sempit ruang gerak serta memutus akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan (Sardjono, 2004). Hutan adalah salah satu sumberdaya alam yang penting baik bagi negara maupun bagi masyarakat. Bagi negara, hutan merupakan salah satu sumber devisa non migas yang telah banyak memberikan kontribusi bagi pelaksanaan pembangunan nasional. Sedangkan bagi masyarakat khususnya yang bermukim di sekitar kawasan hutan, hutan merupakan cadangan lahan bagi perluasan areal pertanian dan penyuplai kebutuhan kayu dan non kayu. Menurut Indriyanto (2006), hutan merupakan sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia karena dapat memberikan sumbangan hasil alam yang cukup besar bagi negara. Selain itu, hutan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat di sekitar hutan sebagai sumber pemenuhan kebutuhan hidupnya baik berupa kayu, binatang liar, pangan, rumput, lateks, resin, maupun obat-obatan. Tindakan mengelola kawasan hutan yang hanya terpusat mengambil nilai kemanfaatannya dan tidak memperhatikan keberlanjutan kawasan itu sendiri untuk memberi kemanfaatan bagi kelangsungan kehidupan telah menyebabkan perubahan yang fundamental terhadap keberadaan kawasan hutan, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Dewasa ini, kondisi kawasan hutan yang masih tersisa telah mengalami banyak kerusakan sehingga fungsi hutan mengalami penurunan. Menurut Ponting (1991:251) negara-negara dunia ketiga menghadapi dua hal pokok. Pertama, akibat penguasaan politik oleh Eropa, luas lahan yang diperuntukan
untuk
tanaman-tanaman
ekspor
terus
meningkat.
Kedua,
ketimpangan distribusi penguasaan lahan. Sebagai konsekuensi dari masalah ini dan pertumbuhan penduduk yang cepat adalah kemiskinan, deforestasi, dan degradasi lingkungan. Di Jawa, ketimpangan distribusi penguasaan lahan pertanian sudah terjadi sebelum merdeka dan kondisi ini cenderung semakin timpang sejak revolusi hijau pada lahan sawah. Sedangkan lahan-lahan kering
3
(upland) semakin intensif diolah. Di luar Jawa konversi hutan untuk perkebunan, pertanian, dan pemukiman terus meningkat. Secara umum tata kelola sumberdaya alam yang dilakukan oleh suatu komunitas
adat
mengenal
adanya
beragam
status
penguasaan
dan
pemanfaatannya. Bentuk dan status penguasaan sumberdaya alam menurut Bromley, dalam Satria (2009) dapat dibedakan atas empat kelompok : (1) milik umum (open accses), (2) milik negara (state), (3) milik pribadi atau perorangan (private) dan (4) milik bersama (communal). Masing-masing bentuk dalam penguasaan sumberdaya alam tersebut memiliki karakteristik tersendiri. Pada sumberdaya alam milik bersama, status kepemilikannya diambangkan, tiap orang bebas dan terbuka untuk memperoleh manfaat. Berbeda dengan sumberdaya alam milik bersama, maka sumberdaya milik pribadi merupakan sumberdaya yang secara tegas dimiliki oleh orangperorangan dan orang lain tidak dapat menguasai dan mengaturnya. Sedangkan sumberdaya milik kelompok /komunitas, adalah sumberdaya yang dikuasai oleh suatu kelompok /komunitas, karenanya orang atau kelompok lain tidak dapat mengambil
manfaat
sumberdaya
tersebut
tanpa
izin
kelompok
yang
menguasainya. Pada sumberdaya milik negara merupakan sumberdaya yang secara tegas dikuasai dan dikontrol oleh negara. Dalam prakteknya keempat bentuk penguasaan sumberdaya tersebut, sering terdapat tumpang tindih dan bervariasi, karena bentuk penguasaannya terkait dengan sistem sosial dan budaya serta pandangan dunia di mana sumberdaya itu berada. Menurut pandangan dunia beberapa etnis di Indonesia, tidak selamanya sumberdaya milik umum tidak ada pemiliknya, sumberdaya jenis ini dikuasai oleh suatu komunitas adat atau kelompok etnik. Hukum adat adalah satu-satunya produk hukum yang difahami oleh warga desa dalam kaitannya dengan pengaturan penguasaan lahan dalam wilayah klaim desa yang sudah mengakar sejak awal desa terbentuk (pada awalnya masih berupa kampung). Ada tiga hal pokok yang diatur oleh hukum adat berkenaan dengan penguasaan lahan, yaitu pengakuan hak, kewajiban pengguna lahan, serta pola pemanfaatan ruang. Terkait dengan pengakuan hak, hukum adat menyebutkan bahwa setiap orang yang membuka hutan atas izin dan persetujuan pimpinan
4
adat (kampung) maka diakui hak kepemilikannya terhadap orang yang membuka tersebut. Aturan ini bermakna bahwa sejak dulu hukum adat telah memberikan ruang kepada warga untuk menguasai lahan garapan secara pribadi dan setiap orang boleh menguasai lahan secara pribadi. Hak kepemilikan lahan ini bisa gugur ketika lahan bukaan tersebut tidak digarap hingga menjadi hutan kembali dan sudah tidak terlihat tanda-tanda bahwa lahan-lahan tersebut pernah dibuka. Untuk mengantisipasi kehilangan hak tersebut, warga sejak dulu menerapkan cara dimana lahan yang dibuka selalu diberi tanda dengan cara menanam pohon. Jenisjenis pohon yang umum ditanam di lahan bukaan baru adalah durian, duku, kelapa, mangga, dan sebagainya. Sebelum kehadiran hukum-hukum formal, masalah penguasaan dan pemanfaatan lahan dan pohon di wilayah desa diatur sepenuhnya oleh hukum adat. Menurut keterangan warga, hukum-hukum pemerintah kolonial dulunya tidak menyentuh aspek pengaturan di tingkat desa, demikian pula halnya pada masa Kesultanan Jambi dimana hukum-hukum adat tetap diakui keberadaannya terutama dalam pengaturan pemanfaatan ruang. Pemerintah kolonial Belanda maupun Kesultanan Jambi menyerahkan pengaturan di tingkat kampung kepada pimpinan adat dengan berlandaskan pada hukum-hukum adat. Hal ini terjadi karena pada dasarnya mandat hak penguasaan wilayah pada waktu itu diberikan pada pimpinan adat (marga dan kampung) dan unsur inilah yang kemudian mengatur pendistribusian dan pola pemanfaatannya melalui hukum-hukum adat yang disepakati. Hal ini berlangsung hingga terjadinya masa peralihan sistem pemerintahan dari marga ke desa yang dilandasi oleh pemberlakuan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Esensi pemberlakuan sistem pemerintahan baru ini meliputi dua aspek, yaitu meredefinisi desa dan merestrukturisasi pola penguasaan sumberdaya alam. Pasca masa peralihan sistem pemerintahan tersebut, wilayah desa kemudian didefinisikan terbatas hanya meliputi ruang pemukiman dan kelola masyarakat sedangkan sumberdaya alam (khususnya kawasan hutan) yang belum terjamah pada proses selanjutnya berada dalam penguasaan negara. Oleh negara, kawasan hutan tersebut ditata sedemikian rupa menurut fungsinya yang mencakup hutan proteksi, hutan produksi, hutan produksi terbatas, dan areal penggunaan lain.
5
Sebagian wilayah desa menurut batas-batas yang dipahami warga pada masa kemargaan dulu yang masih berupa kawasan hutan juga menjadi bagian dari penguasaan negara. Pola produksi desa yang bertumpu pada aktivitas pertanian masih dominan berbasis terhadap ketersediaan sumberdaya alam terutama sumberdaya lahan yang sudah menjadi tradisi turun-temurun diakses dari kawasan hutan. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa membuka hutan tidak hanya memiliki makna sebagai upaya ekspansi lahan melainkan juga bermakna sebagai klaim lahan. Karena dengan cara membuka hutanlah warga mampu meningkatkan produksi pertanian mereka dan menambah luasan lahan yang mereka miliki. Akibatnya, ketika di desa sudah tidak tersedia lahan-lahan yang memungkinkan untuk dibuka maka kawasan hutan negara kemudian menjadi sasaran ekspansi lahan bagi warga desa. Beberapa masyarakat desa menunjukkan sejak dulu mereka memiliki sistem norma yang mengendalikan aspek pemanfaatan sumberdaya hutan yang kenyataannya juga saat ini sudah banyak yang ditinggalkan oleh konstituennya. Di samping itu, di beberapa desa juga dijumpai adanya inisiatif-inisiatif lokal untuk mempertahankan sumberdaya hutan melalui sistem proteksi yang mereka sebut hutan adat ataupun hutan desa. Inipun kemudian diragukan mengenai keberlanjutannya karena masih sulit untuk diyakini kemungkinan kearifankearifan semacam itu bisa bertahan di tengah kondisi keterdesakan secara ekonomi dan tekanan-tekanan yang bersumber dari luar. Kalaupun negara memberikan dukungan terhadap kawasan hutan yang dikelola oleh masyarakat lokal, itupun hanya sebatas pemberian hak kelola dan bukan hak menguasai. Jika sewaktu-waktu negara berkepentingan terhadap wilayah kelola masyarakat tersebut, hak kelola tersebut bisa saja dicabut. Ini berarti, posisi masyarakat dalam mempertahankan klaim sumberdaya alam yang dianggap sebagai bagian dari wilayah desanya masih sangat lemah. Uraian di atas menunjukan bahwa studi mengenai penguasaan dan pemanfaatan lahan terutama di Desa Baru Pangkalan Jambu menjadi penting untuk terus dikembangkan mengingat hal tersebut telah menjadi bagian dari masalah pokok di desa. Desa yang masyarakatnya sebagaian besar hidup dari pola
6
agraris, masalah penguasaan dan pemanfaatan lahan menjadi sangat penting. Hal ini terutama terkait dengan pola produksi di desa yang peningkatannya masih berorientasi terhadap penambahan luas lahan garapan. Di sisi lain, ketatnya kontrol negara terhadap pengelolaan sumberdaya alam dan tekanan kebijakan daerah dalam pengelolaan sumberdaya alam. Selain itu juga Sesuatu yang mengkhawatirkan adalah rendahnya penguasaan sumber daya alam oleh masyarakat. Hal ini menjadikan masyarakat sekitar hutan sebagai tamu di rumahnya sendiri. Studi ini mencoba untuk mengeksplorasi berbagai dimensi yang terkait dengan aspek penguasaan dan pemanfaatan lahan serta dinamika pola nafkah masyarakat di Desa Baru Pangkalan Jambu.
1.2. Rumusan Masalah Dan Pertanyaan Penelitian Desa Baru Pangkalan Jambu merupakan salah satu Desa di Propinsi Jambi yang di dalamnya berada Hutan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Sebagian besar masyarakat desa secara turun menurun memanfaatkan sumberdaya lahan sebagai sumber penghidupan mereka, dimana pemanfaatan sumberdaya lahan tersebut digunakan dalam bentuk kebun karet masyarakat. Hutan dalam kehidupan masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu memegang peranan penting dikarenakan pohon yang tumbuh di hutan memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Sebagian besar kawasan Desa Baru Pangkalan Jambu adalah hutan dan di dalamnya terhadap hutan Negara (TNKS). Masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu sudah selayaknya memanfaatkan sumberdaya alam yang di sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, karena masyarakat tersebut sudah puluhan tahun hidup dengan bersandar pada sumberdaya lahan. Sebagaimana telah dikatakan sebelumnya bahwa kebutuhan masyarakat akan lahan sangat lah tinggi. Dampak yang dirasakan oleh masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu sehubungan dengan perubahan peruntukan lahan tersebut adalah terjadinya krisis sumberdaya lahan dimana masyarakat semakin sulit untuk melakukan ekspansi lahan pertanian. Masyarakat sejak dulu hidup berbasis
7
sumberdaya alam khususnya sumberdaya lahan dan sudah terbiasa melakukan aktivitas pertanian dengan cara membuka hutan. Dengan kompleksitasnya permasalahan tersebut, sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, maka fokus penelitian ini adalah mengkaji tentang sistem penguasaan sumberdaya alam dan strategi adaptasi nafkah masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu. Bertitik tolak dari penjelasan di atas maka pertanyaan utama dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana pola penguasaan sumberdaya lahan di Desa Baru Pangkalan Jambu sejak masa kolonial hingga masa reformasi sekarang ini? 2. Bagaimana dinamika pola nafkah masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu di tengah hadirnya penguasaan sumberdaya alam oleh negara?
1.3. Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengindentifikasi dan menjelaskan sistem penguasaan sumberdaya alam dan strategi adaptasi nafkah masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu. Secara lebih khusus tujuan penelitian ini adalah : 1. Menganalisis pola penguasaan sumberdaya lahan di Desa Baru Pangkalan Jambu sejak masa kolonial hingga masa reformasi sekarang ini. 2. Menganalisis dinamika pola nafkah masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu di tengah hadirnya penguasaan sumberdaya alam oleh negara.
1.4. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam hal bagaimana sistem penguasaan sumberdaya alam serta dinamika pola nafkah masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu Kabupaten Merangin. Sehingga dalam hal ini pemerintah kabupaten bahkan propinsi dapat menentukan atau menyusun kebijakan yang berkaitan dengan sistem penguasaan
8
sumberdaya alam serta strategi adaptasi nafkah masyarakat sekitar hutan. Selain itu juga penelitian ini diharapkan dapat memecahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan bagaimana bagaimana distribusi pemanfaatan dari pengelolaan hutan berbasis masyarakat.
9
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Teori Hak Kepemilikan Ostrom dan Schlager (1996) dalam artikelnya yang berjudul ―The Formation Of Property Rights‖ mengemukakan bahwa hak kepemilikan sumberdaya dicirikan menjadi (1) hak akses (access right) adalah hak untuk memasuki sumberdaya, biasanya hak ini dimiliki oleh masyarakat yang bertempat tinggal di dekat sumberdaya berada, sehingga konsekuensinya masyarakat yang berada di sekitar sumberdaya berada akan memiliki hak ini (2) hak pemanfaatan (withdrawal right) adalah hak untuk mengambil sesuatu atau untuk memanen sesuatu hasil alam, seperti untuk memancing ikan, memanen buah, mengambil air, menebang pohon, dan sebagainya. (3) hak pengelolaan (management right) adalah hak untuk membuat keputusan tentang bagaimana sumberdaya itu dapat digunakan, biasanya otoritas ini dimiliki oleh pemerintah dan masyarakat komunal yang didasarkan pada keputusan kolektif. Dalam demikian, terdapat dua model pengaturan sumberdaya yakni pengaturan oleh manajemen pemerintah dan manajemen masyarakat lokal. (4) hak eksklusi (exclusion right) adalah hak untuk memutuskan siapa yang boleh masuk ke sumberdaya tertentu dan siapa yang tidak boleh. Otoritas ini biasanya juga dimiliki oleh masyarakat lokal di sekitar sumberdaya berada, namun lebih baik jika disini diperlukan otoritas pemerintah yang memiliki kekuatan untuk memaksakan aturan terhadap pengguna. (5) Hak pengalihan (alienation right) adalah hak untuk menjual, menyewakan atau mewariskan sumberdaya kepada pihak lain yang memerlukannya. Lebih lanjut Ostrom dan Schlager (1996) menyatakan bahwa hak akses dan hak pemanfaatan digolongkan pada hak tingkat operasional (operasional level), sedangkan hak pengelolaan, hak eksklusi, dan hak pengalihan digolongkan pada tingkat pilihan bersama (collective-choice level). Secara umum hak kepemilikan sumberdaya dan status aktor terhadap sumberdaya juga dikemukakan oleh Ostrom dan Schlager (1996) yang kemudian diringkas oleh Satria (2009), adapun hal tersebut disajikan pada tabel 1 berikut :
10
Tabel 1. Kumpulan Hak Kepemilikan dan Status Posisi Aktor Tipe hak
Owner
Proprietor
Claimant
Access
X
X
X
Authorized User X
withdrawal
X
X
X
X
Management
X
X
X
Exclusion
X
X
Alienation
X
Authorized Entrant X
Sumber : Satria, 2009
Dari tabel di atas menunjukan bahwa pihak yang hanya mendapatkan hak akses, maka status posisi aktor hanyalah sebagai authorized entrant. Sementara itu, jika hanya memiliki hak akses dan hak pemanfaatan, maka status aktor tersebut adalah sebagai authorized user. Apabila pihak yang hanya memiliki hak akses, hak pemanfaatan, dan hak pengelolaan maka status aktor tersebut adalah sebagai claimant. Sedangkan pihak yang memiliki hak akses, hak pemanfaatan, hak pengelolaan dan hak eksklusi maka status aktor tersebut adalah sebagai proprietor, dan jika pihak memiliki semua kategori hak maka status aktor tersebut adalah owner. Menurut Ostrom dan Schlager (1996) dalam Satria (2009), bahwa status posisi aktor tersebut dapat berubah-berubah setiap waktu karena sifat status tersebut adalah dinamis. Bromley dalam Satria (2009) menyebutkan bahwa setidak ada empat rezim dalam kepemilikan sumberdaya, yaitu : (1) Akses terbuka (open access) adalah dalam konteks akses terbuka tidak ada pengaturan tentang apa, dimana, siapa, dan bagaimana sumberdaya alam dimanfaatkan serta bagaimana terjadinya persaingan bebas sumberdaya. Dalam open acces sumber daya alam dipandang tidak dimiliki oleh siapa pun. Oleh karena itu, masyarakat merdeka melakukan pemanfaatan dengan caranya sendiri. Sebagian masyarakat memanfaatkannya secara arif. Namun lebih banyak lagi yang memanfaatkannya secara tidak bijaksana. Dalam terminologi Garret Hardin (ahli biologi dan ekologi manusia), ketidak-arifan dalam pengelolaan sumber daya tersebut menghasilkan suatu ―tragedy of the
11
commons”, yaitu suatu bentuk kehancuran sumber daya akibat adanya pendayagunaan yang berlebihan. Tragedi menurut terminologi Hardin itu ―hanya terjadi‖ jika tidak terdapat aturan main yang jelas tentang pendayagunaan
sumber
daya
alam,
sehingga
setiap
anggota
masyarakat berpacu untuk memaksimumkan pemenuhan kebutuhan individualnya melalui pendayagunaan sumber daya alam tanpa memperhatikan kebutuhan anggota masyarakat lainnya maupun dayadukung sumber daya yang bersangkutan karena sumber daya alam dianggap sebagai milik bersama (common property). (2) Negara (state property) adalah pemanfaatan sumberdaya yang sepenuhnya dimiliki oleh pemerintah, namun pada rezim ini biaya pengelolaan sumberdaya menjadi tinggi terutama pada tahap pelaksanaan,
pemantaua,
dan
pengawasan
karena
sulitnya
melaksanakan aturan dan penegakan hukum. Aturan-aturan yang dibuat seringkali berbenturan dan tidak sesuai dengan kondisi lapang. Setidaknya terdapat dua distorsi berkaitan dengan state property: Pertama, konsep negara sebagai ―penguasa‖ (aspek publik) didistorsi menjadi negara sebagai ―pemilik‖ (aspek private); Kedua, ―Negara‖ direpresentasikan menjadi ―Pemerintah,‖ sehingga pemerintah lantas bertindak sebagai pemilik, pengelola, pengurus dan pengawas terhadap tindakan pengelolaan sumber daya alam. Bahkan kebanyakan hak-hak privat lahir sebagai hak berian dari negara atau pemerintah seperti hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak-hak pengelolaan baik yang diberikan kepada masyarakat atau berkolaborasi antara pemerintah dengan masyarakat. Distorsi tersebut membuat state property bukan menjadi milik umum, melainkan menjadi milik pribadi buatan atau milik kelembagaan yang disebut Pemerintah. (3) Swasta (private property) dimana biasanya dalam rezim kepemilikan swasta ini merupakan hak yang bersifat temporal, dikarenakan izin yang diberikan oleh pemerintah. Namun pada rezim kepemilikan swasta ini sumberdaya menjadi hancur dikarenakan eksploitasi yang sangat besar terhadap sumberdaya tanpa melihat sisi kelestarian
12
sumberdaya tersebut. Sehingga dalam hal ini sering terjadinya konflik dengan masyarakat setempat. Private property sebagai kepemilikan pribadi (individual atau korporasi) adalah jenis hak yang terkuat karena memiliki empat sifat yang tidak dimiliki oleh tiga jenis hak lainnya, yaitu: (a) completeness, dimana hak-hak didefinisikan secara lengkap, (b) exclusivity, dimana semua manfaat dan biaya yang timbul menjadi tanggungan secara ekslusif pemegang hak, (c) transferable, dimana hak dapat dialihkan kepada pihak lain baik secara penuh (jualbeli) maupun secara parsial (sewa, gadai), dan (d) enforcebility, dimana hak-hak tersebut dapat ditegakkan. Oleh karena empat alasan itu maka private property dianggap sebagai hak yang paling efisien dan mendekati sempurna. Dorongan kesempurnaan hak yang memiliki empat sifat tadi berorientasi pada kepastian dan efisiensi dalam industrialisasi. (4) Masyarakat
(communal
property)
dimana
rezim
kepemilikan
masyarakat ini bersifat turun-menurun, lokal, dan spesifik. Regulasi yang dibuat dalam rezim ini pun bersifat pengetahuan lokal sehingga dalam hal ini regulasi yang diterapkan sangatlah efektif.
Peluso dan Ribot (2003) mendefinisikan akses sebagai kemampuan menghasilkan keuntungan dari sesuatu, termasuk diantaranya objek material, perorangan, institusi, dan simbol. Dengan menfokuskan pada kemampuan dibandingkan dengan kepemilikan yang ada dalam teori properti. Formulasi ini memberikan perhatian pada wilayah yang lebih luas pada hubungan sosial yang mendesak dan memungkinkan orang untuk menguntungkan dari sumber daya tanpa menfoukuskan diri pada hubungan properti semata. Peluso dan Ribot melihat bahwa ada semacam susunan jaringan akses. Perhatian mereka memetakan perubahan proses dan hubungan akses dengan sumber daya. Konsep akses disini ditempatkan pada analisa siapa yang sebenarnya beruntung dari sesuatu dan melalui apa proses yang mereka lakukan. Akses secara empirik menfokuskan diri pada siap yang mendapatkan apa, dalam cara apa, dan kapan. Menfokuskan pada sumber daya alam sebagai sesuatu dalam pertanyaan, telah
13
mengeksplor jarak kekuatan yang berefek pada kemampuan orang-orang untuk mendapatkan keuntungan dari sumber daya. Kekuatan ini terdiri atas material, kebudayaan, dan ekonomi-politik dengan ikatan dan jarigan kekuasaan yang menyusun akses sumber daya. Analisa akses juga membantu dalam memahami mengapa beberapa orang atau institusi mendapatkan keuntungan dari sumber daya, apakah atau tidak mereka mempunyai kepemilikan barang pada mereka. Studi properti yang ditelaah adalah relasi properti utamanya yang berkenaan dengan klaim atas hak, maka dalam studi tentang akses ditelaah relasi kekuasaan untuk memperoleh manfaat dan sumberdaya termasuk di dalamnya adalah properti tetapi tidak terbatas pada relasi propertinya saja. kekuasan, dalam pengertian Ribot dan Peluso (2003), diartikan sebagai sesuatu yang terdiri atas elemen-elemen material, budaya dan ekonomi-politik yang terhimpun sedemikian rupa membentuk ‗bundel kekuasaan‖ (bundle of powers) dan ―jaringan kepentingan‖ (―web of powers‖) yang kemudian menjadi penentu akses ke sumberdaya. Implikasi dari definisi ini adalah bahwa kekuasaan yang inheren terkandung di dalam dan dipertukarkan melalui berbagai mekanisme, proses dan relasi sosial akan mempengaruhi kemampuan seseorang atau institusi untuk memperoleh manfaat dari sumberdaya. Macpherson juga menambahkan studi akses juga membantu memahami keanekaragaman jalan orang yang berasal dari keuntungan sumber daya, termasuk diantaranya hubungan properti. Teori akses: menempatkan properti pada tempatnya Peluso dan Ribot membedakan teori akses dan teori properti. Akses lebih kepada kemampuan sedangkan kepemilikan ada pada properti. Kemampuan sama dengan kekuasaan, yang mereka batasi dalam dua hal, pertama kapasitas beberapa aktor yang mempengaruhi praktis dan ide yang lain. Banyak dimensi akses yang akan diakses yang termasuk diantaranya mengitari definisi yang digunakan dalam studi properti. Properti berhubungan dengan literature dan dalam pengunaan sehari-hari terhadap kepemilikan sendiri atau dibatasi oleh hukum, adat atau konvensi. Walaupun dengan konsep hubungan property dan tenure bisa dilihat dalam hubungan kepemilikan sendiri sumber daya dan sanksi penegndalian dalam institusi. Oleh krena itu, analisa akses
14
membutuhkan perhatian pada properti sebagaimana tindakan terlarang, hubungan produksi, hubungan pemberian judul dan sejarah dari semua itu. Peluso melihat akses, seperti halnya properti, selalu berubah, tergantung pada posisi individu dan kelompok serta keuasaan dengan variasi hubungan sosial. Peluso mengutip pendapat para ahli mengenai properti, seperti Ghani yang berpendapat bahwa properti seharusnya direpresentasikan sebagai ikatan kekuasaan. Menempatkan analisa ekonomi-politik dalam melihat akses terhadap sumberdaya akan membantu dalam memahami identifikasi dasar dengan beberapa orang yang bisa mengmabil keuntungan dari sebagian suumber daya sementara yang lain tidak. Pengendalian akses adalah kemampuan untuk memediasi akses lainnya. Pengendalian mengarah pada pemeriksaan dan dan pengawasan tindakan, fungsi atau kekuatan yang mengawasi dan mengatur tindakan bebas. Mempertahankan akses memerlukan kuasaan untuk menjaga sebagian sumber daya akses yang terbuka. Baik pengendalian dan pengontolan merupakan dua hal yang saling melengkapi. Berdasarkan uraian di atas, peneliti mencoba menggunakan konsep teori akses dan hak kepemilikan sebagai pisau analisis dalam melihat strategi adaptasi masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu. Selain itu pentingnya teori akses dan hak pemilikan ini di jadikan pisau analisis, karena ingin melihat sejauh mana akses masyarakat terhadap sumberdaya lahan yang ada di Desa Baru Pangkalan Jambu?
Sedangkan terkait
dengan hak kepemilikan, peneliti
berusaha
mengungkapkan bagaimana status penguasaan dan hak kepemilikan sumberdaya lahan di Desa Baru Pangkalan Jambu?
2.2. Teori Eksklusi Sosial Buku yang ditulis oleh Hall et.al (2011), Powers of exclusion. Land Dillemmas In Southeast Asia, adalah mengeksplorasi kekuasaan eksklusi di ranah Agraria Asia Tenggara. Dalam powers of exclusion yang dilihat adalah siapa yang terekslusi dalam konsteks agraria dan sumber daya alam. Pendekatan ini digunakan sebagai cara baru untuk mengamati dinamika perubahan agraria yang
15
sedang berlangsung. Powers of exclusion itu dapat dijelaskan dengan rumus 4 x 6. Powers of exclusion terjadi karena ada 4 faktor dalam 6 proses. Empat faktor pokok tersebut yang saling berintegrasi didalam beroperasinya konsep ekslusi yakni, regulasi (regulation), pasar (market), paksaan (force) dan legitimasi (legitimation). Berikut penjelasan lebih jauh tentang ke empat kekuatan tersebut: Pertama, peraturan (regulation) menjadi salah satu faktor yang dapat menyebabkan orang tersingkir untuk memiliki atau mendapatkan manfaat atas tanah. Peraturan yang dimaksud baik berupa peraturan formal maupun peraturan informal. Peraturan formal adalah apa saja peraturan yang dibuat oleh lembaga formal dalam hal ini yang merepresentasikan negara. Sedangkan peraturan informal merupakan peraturan yang dibuat atau berkembang oleh otoritas di luar negara, misalkan hukum adat maupun kebiasaan yang diterapkan masyarakat dalam mengatur pembagian dan penggunaan sumber daya alam. Kedua, Legitimasi (legitimacy) berkaitan dengan pola relasi di dalam komunitas dan juga dengan institusi adat maupun institusi lainya yang memberikan kekuasaan di dalam masyarakat. Membicarakan legitimasi berarti juga menyangkut representasi dan pola pengambilan keputusan di dalam koumintas. Ketiga, pasar (market) yang bekerja sebagai pengontrol aktivitas ekonomi yang dilakukan terhadap tanah dan manusia. Intervensi pasar tidak hanya terbatas pada distribusi, melainkan juga mempengaruhi bagaimana dan dimana produksi kebutuhan pasar akan dilakukan. Tekanan inilah yang menentukan siapa yang akan terseingkir dalam pertanian. Keempat, paksaan (force) tentu saja bisa menyingkirkan. Oleh karena itu, paksaan atau kekuatan yang dilakukan terhadap petani akan membuat mereka tersingkir dari tanah yang mereka hidupi. Kekerasaan bisa dilakukan oleh berbagai pihak yang berebut dalam konflik tanah. Ekslusi tersebut berlangsung dalam enam proses antara lain: (1) regularisasi hak atas tanah, melalui program pemerintah tentang pendaftaran tanah, formalisasi dan perdamaian; (2) Ekspansi ruang dan intensifikasi dengan mendorong konservasi hutan dengan menekan aktivitas pertanian: (3) ―New Boom Crop‖ berupa ekspansi tanaman monokultur yang menyebabkan konversi lahan
16
besar-besaran; (4) konversi tanah setelah penggunaan untuk pertanian; (5) prosesproses yang timbul dari formasi agraria di dalam desa secara ―intimate‖; (6) mobilisasi kelompok-kelompok untuk mempertahankan akses mereka terhadap tanah. Proses eksklusi bisa terjadi karena aturan-aturan telah berpusat pada negara dan formalisasi untuk hak mengekslusi orang atas akses tanah. Juga, dinamika eksklusi berlangsung perubahan cara menggunakan tanah sebagai cadangan untuk beberapa aktor dan menyangkal untuk pihak yang lain. Selain itu, perlu diingat bahwa kekuasaan eksklusi senantiasa pisau bermata dua (double edge). Eksklusi senantiasa menciptakan keamanan dan ketidakamanan. Misalkan hutan yang dijadikan konservasi taman nasional tidak diperbolehkan untuk diakses oleh petani. Eksklusi sosial adalah proses yang menghalangi atau menghambat individu dan keluarga, kelompok dan kampung dari sumber daya yang dibutuhkan untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial, ekonomi, dan politik di dalam masyarakat dengan utuh. Proses ini terutama sebagai konsekuensi dari kemiskinan dan penghasilan yang rendah, tetapi bisa juga dampak dari faktor lain seperti diskriminasi, tingkat pendidikan yang rendah, dan merosotnya kualitas lingkungan. Melalui proses inilah individu atau kelompok masyarakat untuk beberapa periode waktu kehidupan terputus dari layanan, jejaring sosial, dan peluang berkembang yang sebenarnya dinikmati sebagian besar masyarakat (Pierson, 2002). Berdasarkan penjelasan di atas, maka teori eksklusi sosial digunakan sebagai pisau analisis untuk menjelaskan bagaimana terjadinya eksklusi masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu dalam mengakses sumberdaya lahan yang disebabkan oleh keberadaan kebijakan negara yaitu Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).
2.3. Strategi dan Pola Nafkah Pengertian nafkah (livelihood) hidup seringkali digunakan dalam menganalisis tentang kemiskinan dan pembangunan. Kemudian Chamber dan
17
Conway (1991) memberikan pengertian mengenai pola nafkah adalah sebagai akses yang dimiliki oleh individu atau keluarga. Dimana akses menunjukan aturan dan norma sosial yang menentukan perbedaan kemampuan manusia dalam hal memiliki, mengendalikan sumberdaya seperti lahan dan kepemilikan umum demi memenuhi kebutuhan sendiri. Selain itu juga definisi dari strategi nafkah dikemukakan juga oleh Ellis (2000), dimana Ellis (2000) mengemukakan bahwa pola nafkah tersusun atas (1) Aset, dimana pengertian aset diartikan sebagai modal alamiah, fisik, manusia, finansial, serta sosialnya. (2) Aktivitas nafkah, dimana pengertian aktivitas nafkah disini diartikan sebagai sejumlah kegiatan individu atau rumah tangga dalam menggunakan sumberdaya modal yang tersedia demi menyokong kehidupannya. (3) Akses, dimana dalam konteks akses disini diartikan sebagai suatu kemampuan individu atau rumah tangga untuk memperoleh fasilitas sosial dan pelayanan yang telah disediakan oleh negara.
Lebih lanjut lagi Ellis menggambarkan strategi nafkah dapat dilakukan dalam konteks krisis, dalam konteks krisis disini diartikan sebagai kondisi yang krisis seperti wabah penyakit, bencana alam, perang dan kondisi krisis lainnya. Sehingga terdapat perbedaan dalam hal strategi adaptasi yang dilakukan dalam kondisi krisis dengan kondisi biasa (normal). Dharmawan (2006) memberikan penjelasan bahwa livelihood memiliki pengertian yang lebih luas dari pada sekedar means of living yang bermakna secara sempit sebagai mata-pencaharian semata-mata. Dalam sosiologi nafkah, pengertian strategi nafkah lebih mengarah pada pengertian livelihood strategy (strategi penghidupan) daripada means of living strategy (strategi cara hidup). Pengertian livelihood strategy yang disamakan pengertiannya menjadi strategi nafkah (dalam bahasa Indonesia), sesungguhnya dimaknai lebih besar daripada sekedar ―aktivitas mencari nafkah belaka‖, sebagai strategi pembangunan sistem penghidupan, maka strategi nafkah bisa didekati melalui berbagai cara atau manipulasi aksi individual maupun kolektif. Strategi nafkah adalah taktik dan aksi
18
yang dibangun oleh individu ataupun kelompok dalam rangka mempertahankan kehidupan mereka dengan tetap memperhatikan eksistensi infrastruktur sosial, struktur sosial, dan sistem nilai budaya yang berlaku. Strategi nafkah dalam pandangan Coleman (1994) adalah merupakan serangkaian tindakan rasional yang dilakukan individu untuk mencapai tujuannya. Namun jika merujuk pada pendekatan Dharmawan (2001) tentang tujuan strategi nafkah adalah tindakan rasional individu untuk mempertahankan hidup atau memperbaiki keadaan hidupnya. Analisis strategi nafkah yang dilakukan oleh LSM LATIN di Kuningan adalah lebih memperhatikan orang-orang yang tinggal di sekitar hutan. Konsep strategi nafkah yang digunakan untuk menjelaskan bagaimana rumah tangga yang tinggal di sekitar kawasan hutan produksi memenuhi kebutuhan ekonominya, yang kemudian hasil penelitian tersebut mengartikan strategi nafkah sebagai nafkah dalam artian pendapatan secara material dan spriritual. Hasil penelitian yang dilakukan Purnomo (2006) menyebutkan bahwa strategi rumah tangga penduduk Desa Padabeunghar terbentuk dari ketersediaan sumberdaya yang digunakan sebagai sumber nafkah, pengaruh perubahan ketersediaan modal alami, nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dan pengaruh hubungan dengan komunitas di luar Desa Padabeunghar. Delapan tipe strategi nafkah yaitu ―ekstensifikasi‖, ―orientasi‖, ―investasi‖, integrasi, asuransi, basis remittance, basis modal sosial, dan basis pekerjaan dalam desa. Sehingga semua tersebut menunjukan pada pilihan rasional rumah tangga dalam menghadapi perubahan nilai-nilai masyarakat dan ketersediaan sumberdaya dalam rumah tangga. Berdasarkan hasil penelitian Widodo (2009) menjelaskan bahwa strategi nafkah yang dilakukan oleh rumah tangga nelayan miskin terdiri dari strategi ekonomi dan strategi sosial. Dimana strategi ekonomi dilakukan dengan cara melakukan pola nafkah ganda, pemanfaatan tenaga kerja rumah tangga dan migrasi. Sedangkan untuk strategi social dilakukan dengan memanfaatkan ikatan kekerabatan yang ada. Kelembagaan kesejahteraan tradisional juga mempunyai peranan penting bagi rumah tangga miskin dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Apabila dilihat dari basis nafkah yang dilakukan, rumah tangga miskin melakukan
19
upaya diversifikasi nafkah pada semua sektor baik on farm, off farm maupun non farm. Menurut Geertz (1981), perubahan pola nafkah yang terjadi di Pedesaan Jawa pada Masa Kolonial Belanda diakibatkan oleh pertambahan penduduk dan sumberdaya alam yang terbatas. Sehingga masyarakat Pedesaan Jawa menerapkan teknik padat tenaga (buruh tani). Berdasarkan uraian di atas, peneliti menggunakan strategi nafkah sebagai pisau analisis dikarenakan peneliti ingin mengungkapkan dinamika pola nafkah yang terjadi pada masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu dalam bertahan hidup?
2.4. Pengertian Masyarakat Desa Hutan Masyarakat desa hutan sebagai satu kesatuan hidup manusia mempunyai karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan komunitas lain. Adapun perbedaan tersebut antara lain : jenis lingkungan tempat tinggal, sistem kemasyarakatan, dan sistem kebudayaan. Masyarakat desa hutan sesuai dengan julukannya tinggal dilingkungan sekitar dan dalam hutan. Masyarakat desa hutan relatif masih bersifat tertutup, terisolasi, dan terpencil dengan kehidupan komunitas luar yang disebabkan sifat hutan tropis yang melingkupi. Sistem kemasyarakat yang ada di masyarakat desa hutan terintegrasi secara kuat diantara sesama warganya (in group) dengan tingkat solidaritas dan toleransi yang sangat tinggi berbeda dengan solidaritas dan toleransi terhadap masyarakat asing di luar komunitasnya sangat rendah. Sistem mata pencaharian masyarakat desa hutan kini telah mengalami pergeseran. Pertama, dari segi diversitasnya mata pencaharian masyarakat tidak hanya bertumpu pada hasil kegiatan bercocok tanam, berburu, meramu dan menangkap ikan. Masyarakat desa hutan kini memiliki mata pencaharian yang heterogen, mulai dari pertanian, peternakan, pedagang, karyawan perusahaan hingga pegawai pemerintah. Kedua, praktek pertanian berladang berpindah yang masih diterapkan masyarakat desa hutan – dimana dulu dianggap merupakan praktek pertanian yang adaptif dan rasional – kini justru disinyalir tidak lagi adaptif dan rasional terhadap kelestarian ekosistem sumberdaya hutan. Ketiga, secara ekonomis pertanian ladang berpindah semakin
20
lama semakin tidak mampu mencukupi kebutuhan pangan masyarakat yang mengusahakannya (Nugroho, 2005). Lebih jauh Nugroho (2005) mengatakan bahwa sistem pengetahuan masyarakat desa hutan saat ini pun mengalami perkembangan. Kini, pengetahuan masyarakat desa hutan tidak hanya sebatas pengetahuan tentang lingkungan sekitar, namun telah bergeser ke dalam lingkungan nasional maupun internasional, dimana hal tersebut diakibatkan adanya ekspansi budaya globalisasi dan modernisasi. Hutan dalam kehidupan masyarakat memegang peran penting bagi masyarakat sekitar hutan karena pohon yang tumbuh serta sumberdaya lainnya yang berada di dalam kawasan hutan memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi. Sebagian besar kawasan Desa Baru Pangkalan Jambu adalah hutan dan juga di dalamnya terdapat hutan negara yaitu Hutan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Menurut
Awang
(1993)
dalam
Sardjono
(2004)
berdasarkan
pengalamannya berpendapat bahwa pada dasarnya seluruh masyarakat lokal di dalam atau di sekitar areal hutan di luar Jawa berbasis pada pertanian dan ladang atau sering disebut pertanian ―gilir-balik‖. Ini berarti bahwa forest dwellers dan forest surrounding villagers dalam perkembangannya pada dasarnya memiliki kegiatan yang kurang lebih sama. Oleh karena itu Awang (1993) lebih memilih mengelompokkan masyarakat menjadi tiga beserta karakteristiknya dengan mendasarkan
pada
perkembangan
sosial-ekonomi
(termasuk
mata
pencahariannya) kelompok masyarakat yang dimaksud adalah sebagai berikut : a. Masyarakat terisolir, yaitu mereka yang tinggal di wilayah terisolir (remote areas) yang biasanya seperti wilayah geografis perbukitan, lembah-lembah atau tepi sungai, merupakan kelompok masyarakat adat yang berada di tempat asalnya hingga bersifat homogen dan hukum adat masih diberlakukan (termasuk tanah adat yang dihormati bersama). b. Masyarakat baru yang transisi, yaitu mereka yang mencoba merubah kehidupan dan penghidupannya ke arah yang lebih baik dengan datang
21
atau tinggal pada wilayah-wilayah yang relatif terbuka seperti tepi jalan atau pusat kegiatan (basecamp) HPH. c. Masyarakat yang menetap, yaitu yang telah tinggal pada suatu kampung (termasuk kampung tua yang dibentuk nenek moyang), pada wilayah-wilayah yang memiliki akses lebih luas terhadap kehidupan diluar dan oleh karenanya lebih berkembang dibandingkan kelompok masyarakat terisolir dan transisi.
2.5. Konsep Pengelolaan Hutan Oleh Masyarakat (Community Forest Management) Konsep pengelolaan hutan oleh masyarakat telah diterima dan diakui sejak dua dekade yang lalu, sebagai salah satu pendekatan potensial dalam mencapai kelestarian hutan. Pendekatan tersebut difokuskan terhadap upaya-upaya penyediaan mata pencaharian dan peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal dalam rangka mempertahankan konservasi sumberdaya hutan. Pemikiran tersebut didasarkan pada sejumlah fakta bahwa masyarakat lokal terbukti mampu mengatur pembagian peran diantara mereka, memberi jaminan keadilan pemanfataan dan pengelolaan sumberdaya hutan, serta tanggung jawab dalam mempertahankan kelestarian sumberdaya hutan. Keberhasilan masyarakat dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya hutan tergantung pada tingkat keeratan hubungan antara masyarakat dan sumberdaya hutan. Keeratan hubungan dapat dibangun melalui kejelasan hak milik (proverty right) dan aturan-aturan lokal yang sesuai dengan harapan dan tuntutan masyarakat terhadap sumberdaya hutan (Bromley, 1989). Kajian-kajian mengenai masyarakat lokal menjadi penting untuk dibahas tidak hanya dalam memahami bagaimana komunitas lokal memperlakukan sumberdaya alam di sekitarnya, namun tidak hanya memperlakukan tapi juga memanfaatkan berbagai hal yang positif demi kepentingan generasi mendatang. Disamping itu, pola-pola interaksi antara komunitas masyarakat lokal dengan hutan akan teridentifikasi sejumlah kebutuhan, yang dapat dijadikan sebagai salah satu acuan dalam memformulasikan rencana pengelolaan sumberdaya hutan,
22
dengan menempatkan peran aktif dan akses masyarakat melalui kombinasi manajemen dan teknik-teknik modern (Sardjono, 2004). Aspek penting lainnya terkait dengan eksistensi masyarakat lokal dalam berinteraksi dengan sumberdaya hutan adalah fenomena pengetahuan indegenous (indigenous knowledge). Secara umum pengetahuan indegenous diartikan sebagai pengetahuan yang digunakan oleh masyarakat lokal untuk bertahan hidup dalam suatu lingkungan yang khusus. Istilah ini sering digunakan dalam pembangunan yang berkelanjutan, pengetahuan lingkungan tradisional, pengetahuan pedesaan, dan pengetahuan lokal. Pengetahuan indegenous dalam sudut pandang yang lebih luas dapat dikategorikan sebagai kebudayaan, yang melibatkan aspek sosial, politik, ekonomi, dan spiritual dalam tata cara kehidupan masyarakat lokal. Sistem-sistem pengelolaan dan perlindungan sumberdaya hutan yang dimiliki oleh masyarakat lokal tidak selamanya berasal dari tradisi atau pengetahuan tradisional yang dimiliki, namun dapat pula berasal dari respon-respon adaptif yang dilakukan dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya (Berkes, 2004). Dalam kasus lain dijelaskan bahwa pengetahuan indegenous yang telah beradaptasi dengan baik dan efektif untuk mempertahankan kehidupan mereka, dalam kondisi tertentu menjadi tidak sesuai lagi dibawah kondisi lingkungan yang terdegradasi. Meskipun pada dasarnya pengetahuan indegenous memiliki kemampuan beradaptasi dengan perubahan ekologis, tetapi jika perubahan tersebut drastis dan cepat, maka pengetahuan yang berkaitan dengan perubahan ekologis tersebut tidak sesuai lagi. Bahkan penerapan pengetahuan lama yang tidak sesuai akan memperparah kerusakan lingkungan (Roslinda, 2008). Masyarakat indigenous mampu dan telah mengakumulasikan pengetahuan empirik yang berharga dari pengalaman mereka berinteraksi dengan lingkungan dan sumberdaya alam. Kearifan ini berdasarkan pemahaman yang dalam, bahwa manusia dan alam membentuk kesatuan yang tak terpisahkan sehingga harus hidup selaras dengan alam. Pandangan ekologi-sentris ini secara umum direfleksikan dalam sikap mereka terhadap tumbuhan, binatang, dan lingkungan alamnya (Adimihardja 1999; Legawa 1999; Purwanto 2004). Dalam kasus yang lain, Turnbull (2002) menjelaskan bahwa adanya pengaruh modernisasi terhadap pengetahuan indigenous menyebabkan perubahan
23
yang bersifat radikal. Perubahan tersebut sering dipicu oleh adanya pengaruh yang datang dari kelompok luar, baik untuk tujuan berdagang, pengembangan usaha, maupun kolonialisasi.
2.6. Gambaran Pola Penguasaan Lahan Oleh Masyarakat Pengelolaan sumberdaya
alam
yang didasarkan
pada
peradigma
mekanistis-reduksionis bermuara pada terjadinya tragedi of common. Secara filofis terjadinya tragedy of common disebabkan oleh pola dan cara berfikir mekanistis, sehingga manusia tercerabut dari alam dan dari sesama manusianya. Dengan menggunakan logika dominasi, manusia lebih diutamakan dan dianggap bernilai pada dirinya sendiri, sementara alam hanya dilihat sebagai obyek dan alat bagi kepentingan manusia untuk dieksploitasi. Pendek kata ―manusia menjadi tuan dan penguasa alam‖. Berbeda dengan paradigma mekanistik reduksionis, maka paradigma ekologis memandang manusia tidak terpisah dari dan berada di atas alam, tetapi sebagai bagian integral dan menyatu dengan alam. Dalam hubungannya dengan sumberdaya alam, pendekatan ekologi lebih multidimensi, tidak hanya memperhitungkan aspek dan manfaat ekonomi, tetapi juga berbagai aspek dan dimensi selain manfaat ekonomi. Pendekatan ekologi telah merupakan bagian tak terpisahkan dari pengelolaan sumberdaya alam yang dilakukan oleh berbagai komunitas-etnis di Indonesia termasuk yang dilakukan oleh etnis Pakpak dalam kegiatan perladangan. Pengelolaan sumberdaya alam yang dilakukan dan menjadi praktek kehidupan pada komunitas adat-lokal Pakpak di Dairi Sumatera Utara didasarkan atas kearifan tradisional, dengan karakteristik: pengetahuannnya merupakan milik bersama komunitas, dikelola secara holistik, moralis, praksis dan ekologis. Pengelolaan sumberdaya berdasarkan kearifan tradisonal mampu menjamin keberlanjutan ekologi dan pembangunan berkelanjutan. Susilowati dan Suryani (1996) serta Suhartini dan Mintoro (1996) juga mengutarakan hal mengenai pemahaman pola pemilikan dan pengusahaan lahan. Pola pemilikan lahan pertanian menggambarkan keadaan pemilikan faktor produksi utama dalam produksi pertanian. Keadaan pemilikan lahan sering dijadikan suatu indikator bagi tingkat kesejahteraan masyarakat perdesaan
24
walaupun belum mencerminkan keadaan yang sebenarnya bagi tingkat kesejahteraan itu sendiri. Namun demikian, pola pemilikan lahan dapat dijadikan gambaran tentang pemerataan penguasaan faktor produksi utama di sektor pertanian yang dapat dijadikan sumber pendapatan bagi pemiliknya. Pada pola pengusahaan lebih ditekankan pada pemanfaatan secara langsung sumberdaya lahan untuk usahatani yang dilakukan oleh rumah tangga petani (RTP). Hasil pengamatan di lapang menunjukkan bahwa kelembagaanpenguasaan lahan makkalice dan mabbali pada Desa Timpuseng sudah tidak diberlakukan lagi oleh masyarakat melalui peraturan desa disebabkan seringnya terjadi pencurian kemiri dan juga disebabkan luas pemilikan lahan lahan masyarakat sudah sangat terbatas (rata-rata 0,5 ha). Sedangkan pada petani di Desa Mariopulana, masyarakat masih memberlakukan sistem mabbali dan makkalice dikarenakan lahan penduduk masih luas, yaitu rata-rata lahan wanatani kemiri monokulturnya di atas 1, 5 ha. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Yaya Sumarya tahun 2002 bahwa luas lahan usahatani yang dikuasai, baik di Kecamatan Ciampea maupun di Kecamatan Nanggung, mempunyai nilai yang sangat strategis mengingat pengaruhnya terhadap tingkat pendapatan keluarga, sekalipun pengaruh ini bersifat searah karena penguasaan lahan bukan satu-satunya penentu tingkat pendapatan (dalam hal ini adalah tingkat kemiskinan). Sehingga semakin besar hasil usahatani yang diperoleh mengakibatkan semakin tinggi pendapatan, demikian sebaliknya. Oleh kerana itu, kemiskinan di pedesaan erat kaitannya dengan distribusi penguasaan lahan usahatani. Selain itu juga status penguasaan lahan seperti di maksud adalah mencakup lahan milik sendiri, lahan sewa maupun lahan sakap. Lahan sewa menunjukan kecenderungan lebih produktir dibandingan dengan lahan milik sendiri maupun sakap. Dilihat dari sisi penggarap, penguasaan lahan secara sakap yang dilakukan oleh petani golongan kecil justru tidak memberikan kontribusi yang positif terhadap tingkat pendapatannya. Hal ini bisa terjadi karena lemahnya posisi tawar (bargaining power) petani kecil sebagai client dan pemilik lahan sebagai majikan (patron). Dalam kesimpulannya, White dan Martin (2002a, hal 22) menyatakan bahwa ‗pengakuan hak tradisional dan penguasaan lahan masyarakat – serta
25
rasionalisasi penguasaan lahan hutan publik dalam skala yang lebih luas– memberi kesempatan kepada berbagai negara untuk secara dramatis memperbaiki kehidupan berjuta manusia yang tinggal dekat hutan‘. Sebuah laporan lainnya menyajikan daftar unsur-unsur kepastian penguasaan lahan. Yang paling penting adalah kelembagaan masyarakat yang efektif (temasuk aturan-aturan yang jelas dan dilaksanakan, serta batas-batas sumberdaya hutan). Upaya-upaya hukum memperkuat klaim masyarakat, yang disertai pemetaan sumberdaya, pendidikan masyarakat dan lobi merupakan strategi-strategi yang penting.
2.7. Kerangka Pemikiran Sejak pemberlakuan UU
No.5/1979, penguasaan sumberdaya alam
didominasi oleh negara yang kemudian berdampak terhadap hilangnya ruang bagi pemberlakuan hukum adat dalam pengaturan sistem tenurial karena pada prinsipnya hukum tegak di atas teritorial tertentu yang diakui secara legal keberadaannya. Desa pecahan marga belum memiliki batas-batas yang diakui secara legal oleh negara sehingga desa berada pada posisi yang lemah untuk mempertahankan wilayah klaimnya. Hukum-hukum adat yang mengatur penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya alam juga menjadi lemah ketika berhadapan dengan hukum formal. Warga desa tidak dapat mencegah kehadiran perusahaan yang memperoleh izin resmi dari negara yang melakukan eksploitasi terhadap ruang yang menjadi klaim desa. Kebijakan daerah yang mendorong pengelolaan hutan desa yang sebagian merupakan kawasan hutan adat yang dikelola secara turun-temurun oleh warga desa merupakan sisi lain yang dipandang sebagai bentuk penghapusan hak-hak penguasaan adat. Mentransformasi hutan adat ke dalam bentuk hutan desa sama artinya mentransformasikan hak penguasaan adat ke dalam penguasaan negara karena dalam pengelolaan hutan desa hanya ada hak kelola yang diberikan untuk jangka waktu tertentu. Berdasarkan penjelasan sebelumnya, nampak jelas bahwa pengabaian hak dan akses ruang hidup masyarakat di sekitar kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) lambat laun telah mendorong penurunan kemampuan warga
26
sekitar hutan untuk mendapatkan manfaat dari sumberdaya agraria yang ada di dalam dan sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Proses ini terus berlanjut dan telah terjadi dalam jangka waktu yang cukup lama sehingga ikut mendorong proses penciptakan kemiskinan yang berlarut, baik dalam makna struktural maupun kultural. Maka pada konteks ini lah peneliti mencoba membangun sebuah kerangka pemikiran sebagai berikut :
PENGUASAAN SUMBERDAYA LAHAN
Masyarakat
Negara
Hak Penguasaan Adat
Aturan informal (adat)
Hak Penguasaan Negara
Aturan Formal
Perubahan Sumber Nafkah Hutan Adat Sebagai Bentuk penguasaan Sumberdaya lahan
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian
27
Berangkat dari pemahamam di atas, peneliti mencoba mengkaji pola penguasaan sumberdaya lahan yang ada di Desa Baru Pangkalan Jambu, serta perubahan-perubahan pola penguasaan sumberdaya lahan yang terjadi, yang kemudian di benturkan dengan pendekatan Bromley dalam Satria (2009), yang mengatakan setidaknya terdapat empat rezim penguasaan sumberdaya alam. Selain itu juga peneliti memasukan bentuk penguasaan adat yang ada di Desa Baru Pangkalan Jambu. Lebih lanjut peneliti mencoba melihat perubahanperubahan sumber nafkah masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu demi pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat.
28
III.
METODOLOGI
3.1. Paradigma dan Strategi Penelitian Paradigma penelitian terbagi atas empat alternatif, yaitu paradigma positivisme, post-positivisme, teori kritis dan kontruktivisme (Guba dan Lincoln, dalam Salim, 2001). Mengacu atas rumusan masalah dan tujuan penelitian, maka paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigm teori kritis. Paradigma teori kritis ini dapat digunakan untuk membahas masalah intervensi kebijakan negara dalam sistem penguasaan sumberdaya alam dan strategi adaptasi nafkah masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif (qualitative Approach), menggunakan metodologi studi kasus. Secara umum, studi kasus memberikan akses dan peluang yang kepada peneliti untuk menelaah secara mendalam, detail, intensif dan menyeluruh terhadap unit sosial yang diteliti. Studi kasus juga dapat memberikan informasi penting mengenai hubungan antar variabel serta prosesproses yang memerlukan penjelasan dan pemahaman yang lebih luas. Selain itu juga studi kasus dapat menyajikan data-data dan temuan-temuan yang sangat berguna sebagai dasar untuk membangun latar belakang permasalahan bagi perencanaan penelitian yang lebih besar dan mendalam. (Yin 1997). Data kualitatif diperoleh dari informasi informan. Metode kualitatif diambil dengan cara mempelajari sebuah fenomena yang spesifik secara mendalam dan rinci (Marshall dan Rossman, 1989). Untuk mendapatkan sumber informasi atau informan kunci yang tepat dilakukan tiga tahap, yaitu a) pemilihan informan awal yang terkait dengan penelitian, b) pemilihan informan lanjutan guna memperluas deskripsi informasi dan melacak variasi informasi yang mungkin ada, dan c) menghentikan pemilihan informan lanjutan apabila dianggap sudah tidak ditemukan lagi variasi informasi. Dalam menempuh tiga tahapan tersebut digunakan metode secara snowball sampling. Dalam penelitian ini subyek penelitian tidak tergantung kepada jumlah subyek penelitian, melainkan potensi kasus yang menggambarkan kedalaman subyek penelitian yang mengalami gejala sosial.
29
Informan dalam penelitian ini dibagi ke dalam dua kategori, yaitu informan untuk wawancara mendalam dan informan untuk peserta focus group discussion (FGD) Informan untuk wawancara mendalam terdiri dari orang-orang yang dinilai mampu memberikan informasi sesuai dengan kebutuhan penelitian Karakteristik Informan. Informan untuk peserta focus group discussion (FGD) terdiri dari orangorang yang dinilai representatif untuk mewakili masyarakat atau kelompok yang dianggap menguasai data/informasi yang dibutuhkan.
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposif yakni pada masyarakat desa Baru Pangkalan Jambu Propinsi Jambi. Penentuan lokasi tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa Desa Baru Pangkalan Jambu memiliki keragaman sistem penguasaan lahan dan keragaman sumber penghidupan masyarakat. Adapun waktu penelitian dilaksanakan selama 3 (tiga) bulan, yang dimulai dari bulan Maret sampai dengan Mei 2012.
3.3. Unit Analisis Pemilihan unit analisis didasarkan pada persoalan yang hendak diteliti, unit analisis suatu penelitian dapat berupa benda, individu, kelompok, wilayah dan waktu tertentu sesuai dengan fokus penelitiannya. Dalam penelitian ini digunakan unit analisis yaitu komunitas dan individu. Untuk mengkaji perubahan pola penguasaan sumberdaya lahan dan strategi adaptasi nafkah masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu, maka subyek penelitian yang dipilih adalah individu sebagai bagian dari masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu, serta para individu sebagai pihak-pihak yang dianggap mengerti dan paham mengenai kondisi desa sehingga mendapatkan gambaran menyeluruh tentang topik penelitian. Pihakpihak tersebut meliputi lembaga pemerintah, lembaga adat, dan lembaga swadaya masyarakat. Terdapat sejumlah pertimbangan mengapa individu dijadikan sebagai unit analisis dalam penelitian ini.
30
Pertama, sebagai konsekuensi atas pilihan paradigma yang telah diletakkan dalam penelitian ini, yang melihat realitas sosial atau gejala sosial itu ada pada individu atau internalized dalam individu, sehingga satuan analisisnya adalah tingkah laku individu dan kolektivitas hanya sebagai hasil teratur dari perbuatan-perbuatan individu (Veerger, 1993). Dalam terminologi sosiologi dikenal dengan group behaviour (behavioral pattern). Kedua, realitas sosial yang dikonstruksikan oleh individu yang saling berinteraksi satu dengan yang lainnya dan saling berbagi makna, dan keberadaan realitas sosial tersebut tidak dapat dipisahkan dari individu. Individu-individu merupakan realitas konkrit dan obyektif dan masyarakat hanya merupakan nama yang merujuk pada asosiasi diantara mereka. Jadi tindakan individu merupakan sumber informasi utama dalam rangka memahami fenomena sosial (Nugroho, 2001). Ketiga, para aktor—seperti lembaga adat, pemerintahan desa, pengelola hutan adat, dan individu adalah merupakan individu-individu yang berada dalam suatu jaringan sosial personal tertentu, regulasi tertentu, ―kode etik‖ tertentu dan dalam bentuk pertukaran tertentu. Artinya dalam penelitian ini, individu dilihat sebagai anggota kelompok (group) sehingga penelitian ini dapat mengungkap dan mengkonstruksi ”group behaviour” (behavioral pattern).
3.4. Metode Pengumpulan Data Untuk memenuhi kebutuhan analisis, ada dua macam data/informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini yaitu data/informasi primer dan data/informasi sekunder. Data/informasi primer adalah data/informasi yang diperoleh secara langsung dari informan melalui wawancara mendalam (in-depth interview), focus group discussion (FGD), dan observasi. In-depth interview dilakukan untuk memperoleh data/informasi dari informan mengenai sejarah penguasaan lahan yang bersubstansi pada adaptasi masyarakat desa Pangkalan Jambu, untuk mendapatkan sumber informasi atau informan kunci yang tepat dilakukan tiga tahap, yakni (a) pemilihan informan awal yang terkait dengan fokus penelitian, (b) pemilihan informan lanjutan guna
31
memperluas deskripsi informasi dan melacak variasi informasi yang mungkin ada, dan (c) menghentikan pemilihan informan lanjutan bilamana dianggap sudah tidak ditemukan lagi variasi informasi. Dalam menempuh tiga tahapan tersebut digunakan metode snowball sampling. Focus Group Discussion (FGD) digunakan untuk mengungkapkan pemaknaan dari hasil temuan menurut pemahaman sebuah kelompok, berdasarkan hasil diskusi yang terpusat pada permasalahan tertentu. dan wawancara terstruktur dilakukan untuk memperoleh data/informasi dari informan yang dipandu oleh panduan wawancara atau kuesioner. Penerapan FGD mengacu pada Bugin (2003) di antaranya: (a) penetapan tujuan, di mana tujuan tersebut harus diketahui oleh peserta FGD melalui pemberitahuan sebelum dilaksanakan FGD, meliputi topiktopik penting yang akan diangkat, tujuan-tujuan umum FGD, serta peserta yang akan dilibatkan; (b) FGD tidak bisa dilepas dari interview pribadi (individual interviewing), artinya pada proses pelaksanaan FGD, proses interview pribadi menjadi teknik-teknik penting yang digunakan untuk mengungkapkan persoalan sebenarnya; (c) hasil FGD akan lebih bermakna, apabila penggunaannya dikombinasikan dengan metode observasi partisipasi. Mengkombinasikan kedua metode ini bermanfaat untuk mengulas fokus masalah secara lebih efisien. Penentuan siapa yang terlibat dalam FGD didasarkan pada kriteria (a) pengetahuannya terhadap kasus yang akan didiskusikan; (b) pengalaman praktis dan kepeduliwasannya terhadap fokus masalah; (c) tokoh otoritas terhadap kasus yang didiskusikan; (d) masyarakat awam yang tidak tahu-menahu dengan masalah tersebut, tetapi ikut merasakan persoalan sebenarnya. Dalam proses ini peneliti berperan sebagai fasilitator, yang menjaga agar proses dinamika diskusi tetap berjalan. Bahan diskusi dicatat dalam transkrip yang lengkap dan semua percakapan dicatat (rekam) sebagaimana adanya, termasuk komentar peserta kepada peserta lain, dan kejadian-kejadian khusus saat diskusi. Transkrip FGD dibuat berdasarkan kronologis pembicaraan agar memudahkan analisis. Teknik ini digunakan untuk menggali informasi sebanyak-banyaknya serta tanggapan (klarifikasi) peserta terkait dengan sistem penguasaan lahan dan adaptasi nafkah masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu.
32
Dalam menjawab pertanyaan penelitian bersifat deskripsi (terdapat dalam catatan harian) maka pendekatan yang utama yang digunakan adalah pendekatan studi kasus, dengan pertimbangan bahwa penelitian ini menyangkut peristiwa atau gejala kontemporer dalam kehidupan yang riil (Yin, 1996). Sedangkan pendekatan studi kasus dianggap mampu menjelaskan dari sistem penguasaan sumberdaya lahan dan adaptasi nafkah masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer yaitu data yang berupa informasi mengenai berbagai peristiwa atau hal yang menyangkut perubahan pola penguasaan sumberdaya lahan dan pilihan strategi adaptasi nafkah masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu. Data primer diperoleh melalui diskusi atau wawancara baik secara kelompok maupun individu.
3.5.Teknik Analisis Data Analisis data menurut Singarimbun (1991) yang menyatakan bahwa analisis data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterprestasikan. Sesuai dengan kaedah penelitian kualitatif, analisis data dilakukan sepanjang penelitian dilaksanakan, bahkan bersamaan dengan proses penulisan laporan. Untuk mendapatkan pemahaman dan pendalaman pengertian atas sebab gejala. Pengertian lain mengenai analisis data yaitu menurut Muhajir (1996) bahwa analisis data adalah proses upaya mencari dan menata secara sistematis catatan hasil observasi dan wawancara untuk meningkatkan pemahaman tentang kasus yang diteliti dan menyajikannya sebagai temuan. Lebih lanjut Nasution (1996) mengatakan bahwa langkah-langkah yang dilakukan analisis data adalah sebagai berikut : a. Reduksi data, pada tahap ini laporan data yang diperoleh dari lapangan perlu direduksi, dirangkum, dipilih hal-hal yang pokok, difokuskan pada hal-hal penting, dicari tema atau polanya. Jadi laporan lapangan sebagai bahan mentah.
33
b. Display data, penyajian atau display data dilakukan agar dapat melihat gambaran keseluruhannya atau bagian-bagian tertentu dari penelitian melalui pembuatan berbagai macam matriks, grafik, network dan charts. c. Mengambil kesimpulan dan verifikasi. Sejak awal penelitian kualitatif peneliti berusaha untuk mencari makna data yang dikumpulkan. Dari data yang diperoleh kemudian diambil kesimpulan. Kesimpulan tersebut mula-mula masih tentative, kabur, dan diragukan akan tetapi dengan bertambahnya data maka kesimpulan itu lebih grounded. Jadi kesimpulan senantiasa harus direvisi selama penelitian berlangsung.
Pada penelitian ini data primer dan data sekunder yang dikumpulkan oleh peneliti kemudian dianalisa dengan menggunakan metode analisa data kualitatif, sehingga data dan informasi yang terkumpul kemudian diolah dan dianalisa secara deskriptif dan empiric, serta menginterprestasikan dari hasil wawancara, pengamatan dan FGD (Focus Group Discussion). Analisa data dimaksudkan untuk membantu dan menambah pengertian, serta memudahkan dalam menarik pemahaman mengenai pola penguasaan sumberdaya lahan di Desa Baru Pangkalan Jambu. Sesuai dengan pendekatannya, maka kegiatan analisa data telah dimulai sejak awal pelaksanaan penelitian di lapangan, yakni memberikan maknamakna tentang pemahaman subyek penelitian terhadap fenomena social yang terjadi. Dengan demikian tahapan kegiatan penelitian pentingnya adalah memberikan arti dan makna yang berguna dalam memecahkan masalah penelitian ini. Analisa data tersebut merupakan aktifitas membangun konsep-konsep yang bersifat menjelaskan (explanatory concept) terutama mengenai pola penguasaan sumberdaya lahan di Desa Baru Pangkalan Jambu. Tahapan selanjutnya adalah menggolongkan data kualitatif tersebut menurut
substansi
permasalahan,
kemudian
langkah
berikutnya
adalah
menginterprestasikan dan dianalisis secara deskriptif. Hasil tersebut disajikan dala bebtuk teks naratif dan dilengkapi tabel-tabel yang disesuaikan dengan alur pembahasan.
34
Menurut Spradley (1980) dalam Sugiyanto (2007) menyatakan bahwa proses penelitian berangkat dari yang luas, kemudian memfokus dan meluas lagi. Terdapat tahapan analisis data yang dilakukan dalam penelitian kualitatif, yaitu analisis domain, taksonomi, dan komponensial, analisis tema kultural. Tahapan analisis data tersebut digambarkan seperti gambar berikut : Analisis Domain, memperoleh gambaran yang umum dan menyeluruh dari obyek penelitian atau situasi sosial. Ditemukan berbagai domain atau kategori. Diperoleh dengan pertanyaan grand dan minitour. Peneliti menetapkan domain tertentu sebagai pijakan untuk penelitian selanjutnya. Makin banyak domain yang dipilih maka akan semakin banyak waktu yang diperlukan untuk penelitian.
Analisis taksonomi, domain yang dipilih tersebut selanjutnya dijabarkan menjadi lebih rinci untuk mengetahui struktur internalnya. Dilakukan dengan observasi terfokus. Analisis data kualitatif Analisis komponensial, mencari spesifik pada setiap struktur internal dengan cara mengkontraskan antar elemen. Dilakukan melalui observasi dan wawancara terseleksi dengan pertanyaan yang mengkontraskan (contras question).
Analisis tema kultural, mencari hubungan diantara domain dan bagaimana hubungan dengan keseluruhan dan selanjutnya dinyatakan ke dalam tema/judul penelitian
Gambar 2. Bagan Alur Analisis Data Kualitatif (Spardley, 1980)
35
Analisis domain merupakan langkah pertama dalam penelitian kualitatif. Langkah selanjutnya adalah analisis taksonomi yang aktifitasnya adalah mencari bagaimana domain yang dipilih itu dijabarkan menjadi lebih rinci. Selanjutnya analisis komponensial aktifitasnya adalah mencari perbedaan yang spesifik setiap rinci yang dihasilkan dari analisis taksonomi, kemudian yang terakhir adalah analisis tema yang aktifitasnya adalah mencari hubungan diantara domai, dan bagaimana hubungan dengan keseluruhannya.
36
IV. PROFIL DAN SEJARAH DESA BARU PANGKALAN JAMBU
4.1. Kebijakan Kehutanan Kabupaten Merangin Kabupaten Merangin merupakan kabupaten yang baru terbentuk pecahan dari kabupaten Sarolangun Bangko yang terbentuk berdasarkan Undang Undang Republik Indonesia No. 54 Tahun 1999 tanggal 4 Oktober 1999 Tentang Pembentukan Kabupaten Merangin, Kabupaten Tebo, Kabupaten Muaro Jambi, dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Kabupaten Merangin secara geografis terletak antara 101º32´11˝ - 102º50´00˝ Bujur Timur dan 1º28´23˝ - 1º52´00˝ Lintang Selatan. Batas-batas Kabupaten Merangin adalah sebagai berikut :
a. Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Bungo b. Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Sarolangun c. Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Rejang Lebong (Propinsi Bengkulu) d. Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Kerinci. Kabupaten Merangin memiliki luas wilayah 7.679 Km2 atau 767.890 ha yang terbagi ke dalam 24 wilayah kecamatan. Kabupaten Merangin memiliki wilayah yang sebagian besar terdiri dari kawasan hutan yaitu seluas 351.023 hektar atau 44,80% dari luas wilayah Kabupaten Merangin. Kawasan hutan dibagi dalam beberapa peruntukan, diantaranya; bagian dari wilayah Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) seluas 160.676 hektar (15,76%), Hutan Lindung seluas 38.807 hektar (4,78%), Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas 34.431 hektar (6,51%), dan Hutan Produksi seluas 113.109 hektar (17,75%). Hutan lindung yang terdapat di Kabupaten Merangin terdiri dari Hutan Lindung Gunung Tungkat, Hutan Lindung Hulu Landak Bukit Pale, dan Hutan Lindung Muncung Gunung Gamut. Hutan produksi di Kabupaten Merangin tersebar di beberapa lokasi, di antaranya hutan produksi Sungai Aur, Sungai Manau, Batang Ale, Batang Nilo-Nilo Dingin, dan Batang Asai. Sedangkan hutan produksi terbatas
37
hanya terdapat di dua lokasi yaitu hutan produksi terbatas Gunung Sedingin dan Lubuk Pekak. Kawasan hutan tersebut sebagian besar terletak di Kecamatan Tabir Barat, Tabir Ulu, Sungai Manau, Pangkalan Jambu, Muara Siau, Lembah Masurai, Jangkat dan Kecamatan Sungai Tenang. Secara geografis kawasan hutan di Kabupaten Merangin terletak pada daerah pegunungan dengan tanah yamg cukup subur untuk dijadikan lahan pertanian. Kawasan hutan di Kabupaten Merangin juga merupakan sub daerah aliran sungai (Sub DAS) Batanghari dan merupakan hulu sungai-sungai besar seperti Batang Tembesi, Batang Merangin, Batang Mesumai, Batang Tabir, Batang Tantan dan beberapa sungai lainnya yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat Kabupaten Merangin khususnya dan Propinsi Jambi pada umumnya.
Sumber : Sumber Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Merangin Berdasarkan Tata Batas Kawasan Hutan
Gambar 3. Peta Kawasan Hutan Kabupaten Merangin
Dalam revisi Tata Ruang Wilayah Kabupaten Merangin tahun 2009 telah diusulkan perubahan status kawasan hutan seluas 24.540 hektar untuk areal penggunaan lain. Secara status, kawasan hutan ini sebelumnya berstatus sebagai
38
hutan produksi, hutan produksi terbatas, dan bagian dari kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Kawasan yang diusulkan tersebut merupakan kawasan perkampungan penduduk yang memang sudah ada sejak lama sebelum adanya penetapan kawasan hutan. Pada awal adanya penataan kawasan hutan, kampung/desa ini sudah dikeluarkan (menjadi daerah enclave) namun pada pemasangan batas kawasan hutan, desa ini menjadi bagian dari kawasan hutan yang dikuasai oleh negara.
4.2. Kondisi Umum Wilayah Desa Baru Pangkalan Jambu Desa Baru Pangkalan Jambu merupakan salah satu desa yang berada dalam kawasan Kecamatan Pangkalan Jambu, dimana Kecamatan Pangkalan Jambu sendiri memiliki delapan desa, seperti : Desa Birun, Desa Tanjung Mudo, Desa Bukit Perentak, Desa Baru Pangkalan Jambu, Desa Tiga Alur, Desa Bungo Tanjung, Desa Sungai Jering, dan Desa Kampung Limo. Sebelum adanya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 sistem pemerintahan yang diterapkan adalah sistem adat yaitu Kemargaan yang dikepalai oleh seorang Pasirah. Pada saat itu sistem pemerintahan Kemargaan sendiri memiliki sembilan desa, yaitu : Dusun Bungo Tanjung, Dusun Pasar Perentak, Dusun Kampung Tengah, Dusun Nangko, Dusun Bukit Perentak, Dusun Birun, Dusun Pondok Panggang, Dusun Kampung Tengah, dan Dusun Baru. Secara administratif berdasarkan peta wilayah yang meliputi batas-batas defenitif yang telah disepakati oleh desa-desa perbatasan dan diakui secara legal formal oleh pihak Pemerintah Kabupaten Merangin, wilayah Desa Baru Pangkalan Jambu sebagaimana dimaksud memiliki luas 13.052 ha yang terdiri dari tiga wilayah dusun yaitu Dusun Dalam, Dusun Tengah, dan Dusun Padang Lalang dengan batas-batas defenitif wilayah sebagai berikut : a. Sebelah utara berbatasan dengan Desa Sungai Pinang. b. Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Bukit Perentak. c. Sebelah timur berbatasan dengan Desa Bukit Perentak. d. Sebelah barat berbatasan dengan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).
39
Secara administratif, Desa Baru Pangkalan Jambu berada dalam Kecamatan Pangkalan Jambu, Kabupaten Merangin. Jarak dari desa Baru Pangkalan Jambu ke Kabupaten Merangin dapat ditempuh dengan waktu dua jam perjalanan dengan menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat. Sedangkan jarak dari Desa Baru Pangkalan Jambu ke Kota Jambi dapat ditempuh dengan waktu kurang lebih empat jam dengan menggunakan roda dua maupun roda empat. Keadaan permukaan atau topografi Desa Baru Pangkalan Jambu meliputi datar, datar sampai berbukit, dan berbukit sampai bergunung. Dari luas wilayah keseluruhan, persentase wilayah yang datar hanya berkisar 10 % dan selebihnya datar sampai berbukit dan berbukit sampai bergunung dengan tingkat kelerengan berkisar 30o – 70o dan ketinggian 200 m sampai 1700 m dari permukaan laut. Data kondisi agroklimat Desa Baru Pangkalan Jambu tidak tersedia di desa namun dapat dipakai data umum kondisi agroklimat yang terdapat di Kecamatan Sungai Manau dimana secara umum, Kecamatan Sungai Manau tergolong beriklim sedang. Suhu minimum berkisar 26 oC, suhu maksimum berkisar 31 oC, dan suhu rata-rata di Kecamatan Sungai Manaui berkisar 28,5 oC. Jumlah hari hujan berkisar 222 hari/tahun dengan jumlah curah hujan 1.401 mm/tahun. Penggunaan tanah yang mencakup wilayah desa dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 2. Luas Lahan di Desa Baru Pangkalan Jambu Menurut Penggunaannya Tahun 2012
1 2 3 4 5 6 7
Penggunaan Lahan Kebun Sawah Belukar Tanah Kas Desa Hutan Adat Hutan Negara1 Pemukiman dan Perkarangan
Luas (ha) 746,00 117,25 8,00 1,30 1442,50 7735,50 15,25
Sumber : Buku Propil desa Baru Pangkalan Jambu tahun 2012 1
Di wilayah Desa Baru Pangkalan Jambu masih terdapat kawasan hutan eks tebangan Perusahaan HPH PT. Selestra yang beroperasi sekitar tahun 80-an sampai 90-an dan kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat. Kawasan hutan yang demikian selalu diistilahkan sebagai suatu kawasan hutan milik negara, namun menurut masyarakat setempat bahwa hutan tersebut adalah milik mereka karena masuk ke dalam wilayah desa sejak zaman kemargaan dulu dan secara adat mereka diperbolehkan untuk membuka kawasan tersebut untuk dijadikan ladang atau kebun.
40
Dari total luas lahan di Desa Baru Pangkalan Jambu, hanya sekitar 881 ha dari luasan itu yang diusahakan secara permanen. Selebihnya merupakan lahan hutan negara dalam bentuk Hutan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).
4.3. Kependudukan Jumlah penduduk Desa Baru Pangkalan Jambu pada tahun 2012 mencapai 589 jiwa atau sekitar 113 kepala keluarga. Dari jumlah tersebut jumlah penduduk yang berjenis kelamin laki-laki terdiri dari 284 jiwa (48,2 % ) dan 305 jiwa (51,8 %). Kemudian dari jumlah penduduk tersebut dapat pula dilihat komposisinya berdasarkan klasifikasi umur, untuk komposisi berdasarkan umur tersebut dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 3. Jumlah dan Persentase Penduduk di Desa Baru Pangkalan Jambu Menurut Kelompok Umur Tahun 2012 Kelompok Umur Jumlah Persentase (%) No (Tahun) (jiwa) 1 2 3 4
0 – 24 25 – 49 50 – 74 75 ≤ Jumlah
361 169 56 3 589
61,3 28,7 9,5 0,5 100
Sumber : Buku Profil Desa Baru Pangkalan Jambu tahun 2012
Berdasarkan data jumlah penduduk Desa Baru Pangkalan Jambu Selama periode 2007-2012, jumlah penduduk di Desa Baru Pangkalan Jambu mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 0,26 persen pertahun. Artinya Keberadaan penduduk pada posisi sentral dalam setiap langkah kebijakan dan strategi pembangunan. Jumlah penduduk yang besar harus disertai dengan kualitas yang tinggi sehingga keberadaannya dapat menjadi modal dasar proses pembangunan, bukan sebaliknya penduduk justru dipandang sebagai beban pembangunan. Pemikiran demikan harus menjadi dasar pijakan dalam perumusan kebijakan dibidang kependudukan dan peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Selain itu juga tingkat pendidikan di Desa Baru Pangkalan Jambu masih tergolong rendah, hal ini terlihat dari besarnya penduduk yang hanya menamatkan
41
sekolah dasar. Untuk lebih jelasnya mengenai kualitas penduduk berdasarkan tingkat pendidikan yang telah ditamatkan akan disajikan pada tabel berikut : Tabel 4. Jumlah dan Persentase Penduduk Menurut Tingkat di Desa Baru Pangkalan Jambu Tahun 2012 No 1 2 3 4 5 6 7
Tingkat Pendidikan Tidak pernah sekolah/belum sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Tamat akademi (D1 – D3) Tamat Sarjana (S1)
Jumlah (Jiwa) 138 71 133 121 97 27 2
Persentase (%)
589
100
Jumlah
23,4 12,1 22,6 20,5 16,5 4,6 0,3
Sumber : Buku Profil Desa Baru Pangkalan Jambu tahun 2012
4.4. Sejarah Singkat Berdirinya Desa Baru Pangkalan Jambu2 Asal usul dari Desa Baru Pangkalan Jambu sangat terkait dengan sejarah Marga Pangkalan Jambu karena keberadaan Desa Baru Pangkalan Jambu adalah sebuah kampung yang merupakan bagian perkembangan dari Marga Pangkalan Jambu. Menurut sejarah lisan, berdirinya Desa Baru Pangkalan Jambu berawal dari perjalanan Cidur Mato yang berasal dari Pagaruyung Sumatera Barat dalam perjalanannya melintasi daerah Limun, Batang Asai, Nibung, dan Pangkalan Jambu3 kembali ke negeri Minang Kabau yang membawa 3 ekor (marang) kuda dan 2 ekor binuang (kerbau). Setelah tiba di Pagarruyung, ketiga ekor kuda dan kedua ekor kerbau tersebut ditambatkan pengikatnya di halaman istana kedua jenis binatang tersebut memperlihatkan kegelisahan. Kuda-kuda tersebut menghentak-hentakkan kakinya ke tanah sedangkan kerbau menggelenggelengkan kepala. Kedua jenis hewan tersebut kemudian diperiksa dan ternyata dijumpai bahwa kaki kuda tersebut penuh dengan emas dan tanduk kerbau itupun dipenuhi dengan emas. Cindur mato lantas ditanya perihal daerah yang 2
Dikutip dari laporan akhir ―Program Pembelajaran Bersama Pengelolaan Sumberdaya Alam Oleh Masyarakat Lokal Yayasan Prakarsa Madani Tahun 2003 3 Sungai Pangkalan Jambu dulunya bernama Sungai Mancur yang airnya mengalir dari Gunung Batuah.
42
dilintasinya sehingga kaki kuda dan tanduk kerbau yang dibawanya sampai penuh dengan emas. Cindur mato menyebutkan satu nama daerah yaitu Sungai Mancur. Maka diutuslah robongan untuk mencari tahu daerah yang banyak mengandung emas tersebut yang dipimpin oleh Datuk Mendaro Kayo, Datuk Penghulu Kayo, Datuk Raja Bantan, dan dua orang datuk yang tidak diingat namanya. Setelah diketahui secara jelas bahwa daerah tersebut memang mengandung banyak emas maka rombongan itupun kembali ke Pagarruyung. Beberapa waktu kemudian berangkat lagi rombongan untuk mencari penghidupan baru di daerah yang diketahui banyak mengandung emas. Setelah sampai di daerah sungai Mancur maka didirikanlah pemukiman sementara yang disebut Pondok Panjang (sekarang merupakan daerah Desa Nangka), rombongan dibagi menjadi dua untuk membuka wilayah hunian. Sebagian dari rombongan menebas/membuka wilayah dari Pondok Panjang menuju arah ke hulu Sungai Mancur dan sebagian lagi membuka wilayah ke arah hilir/muaro Sungai Mancur. Hal ini dilakukan dari pagi hingga sore hari dan kembali lagi ke Pondok Panjang. Setelah mereka berkumpul di Pondok Panjang, maka dtanyalah batas daerah bukaan masing-masing. Rombongan yang membuka ke arah hulu menyebutkan bahwa daerah yang mampu dibuka sampai batas sungai Pe‘nim (sungai Supenin) sedangkan rombongan yang membuka ke arah hilir/muaro menyebutkan daerah yang mampu dibuka sampai batas sungai Sigata (daerah Lubuk Gelam dekat Desa Tanjung Mudo).
4.4.1. Asal Nama Marga “Pangkalan Jambu” serta terbentuknya Desa Baru Pangkalan Jambu Dahulu, Marga Pangkalan Jambu bernama Renah Sungai Kunyit. Kemudian setelah terbentuknya pemerintahan Datuk Berempat Menti Batigo, datanglah Raja Jambi beserta beberapa orang pengiringnya melihat keadaan negeri ini. Di tepian Dusun Nangko ada sebatang pohon Jambu. Sewaktu Raja Jambi sampai ke tempat ini, berhentilah ia dan perahu tersebut ditambatkannya pada batang jambu itu. Sejak itu raja menamakan negeri ini dengan sebutan Pangkal Jambu. Lama-kelamaan nama Pangkal Jambu berubah menjadi
43
Pangkalan Jambu. Setelah itu dikenal orang negeri ini Pangkalan Jambu. Dari tahun 1901 sampai dengan tahun 1926 Pangkalan Jambu bernama ―Distrik Datuk Berempat Pangkalan Jambu‖ dan mulai dari tahun 1926 sampai dengan 1979 bernama Marga Pangkalan Jambu. Luas penguasaan wilayah dari masa Pemerintahan Marga Pangkalan Jambu adalah mulai dari Desa Sungai Jering sampai dengan Desa Sungai Petai (saat ini disebut dengan perbatasan Kabupaten Kerinci). Pada zaman Marga Pangkalan Jambu akses masyarakat terhadap sumberdaya lahan tidak dibatasi oleh peraturan negara. Namun sejak tahun 1979 sejak diberlakukannya undang-undang pemerintahan desa nama marga pangkalan jambu pun diganti dengan pemerintahan desa, terlebih lagi sejak diberlakukannya Undang-Undang tentang Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) secara resmi ditetapkan menjadi Taman Nasional berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 1049/Kpts-II/1992 pada tanggal 12 November 1992. Kemudian surat Keputusan Menteri Kehutanan RI No. 192/Kpts-II/1996, menetapkan luasan TNKS sebesar kurang lebih 1.368.000 Ha membuat akses masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu terhadap sumberdaya lahan pun semakin sulit. Asal mula terbentuknya Desa Baru Pangkalan Jambu adalah Sebelum menjadi kampung, wilayah Desa Baru Pangkalan Jambu dulunya dihuni secara tersebar oleh para pendatang. Ada yang menempati wilayah sekitar Sungai Supenin, Sungai Paniyu, Sungai Garabak, dan Lubuk Enggen. Pada zaman pemerintahan kolonial Belanda, untuk memudahkan pengawasan terhadap aktivitas pribumi, maka orang-orang yang menempati wilayah sekitar Desa Baru Pangkalan Jambu yang tersebar tadi dikumpulkan ke dalam satu kawasan yang sekarang merupakan pusat Desa Baru Pangkalan Jambu. Pada mulanya orangorang tersebut menempati pemukiman yang terpusat di Dusun Dalam dan selanjutnya berkembang ke Dusun Baru dan pada saat pemerintahan Jepang berkembanglah Dusun Padang Lalang. Jadi Desa Baru artinya adalah Desa di wilayah Pangkalan Jambu yang dibentuk kemudian melalui pemusatan pemukiman ke dalam satu kawasan oleh pemerintah kolonial Belanda.
44
4.5. Struktur Pemerintahan Desa Baru Pangkalan Jambu Masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu mempunyai struktur sosial yang mengkombinasikan tiga struktur utama yaitu, pemangku adat, agama, dan struktur pemerintahan desa. Selama ini masyarakat desa mengistilahkan ketiga struktur tersebut adalah tigo tali sepilin, yang mana artinya adalah setiap keputusan mengenai masalah desa harus dimusyawarahkan oleh ketiga struktur utama tersebut. Keberadaan ketiga bentuk organisasi pengelola desa ini berkaitan dengan aspek pengurusan orang banyak yang dibedakan oleh aspek tugas pokok dan fungsinya. Persoalannya selama ini masing-masing bentuk organisasi pengelola desa ini belum berada pada tatanan ideal dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya sehingga sering terjadi tumpang-tindih dalam penyelenggaraan organisasi. Hal ini terjadi karena belum adanya batasan-batasan yang jelas mengenai ruang lingkup tugas pokok dan fungsi masing-masing organisasi pengelola desa dan kurangnya pemahaman terhadap ruang lingkup tugas di dalam tubuh personalia organisasi terutama pada tatanan pemerintahan desa. Pemisahan tugas pokok dan fungsi pada tatanan organisasi pengelola desa merupakan hal penting dalam menemukan solusi terhadap masalah terjadinya tumpang-tindih dalam penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi organisasi pengelola desa. Berdasarkan hasil rekonstruksi yang dilakukan model struktur organisasi pengelola desa yang disepakati oleh masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu adalah sebagai berikut :
Musyawarah Desa
Pemangku Adat
Pemerintahan Desa
Badan Perwakilan Desa
Pegawai Syara‘
Pemerintah Desa
Gambar 4. Model Struktur Organisasi Pengelola Desa
45
Musyawarah Desa merupakan forum dalam membicarakan hal-hal yang berkenaan dengan pengurusan desa secara luas dan melalui forum musyawarah desa dilakukan pembagian peran sesuai dengan kapasitas organisasi pengelola desa menurut tugas pokok dan fungsinya. Pemangku Adat merupakan organisasi pengelola desa yang memiliki fungsi sebagai pengendali sosial berkenaan dengan keberadaan institusi adat. Pemangku Adat memiliki tugas pokok menjaga dan mengembangkan serta menegakkan institusi adat. Struktur adat di Desa baru Pangkalan Jambu dapat digambarkan sebagai berikut :
Majelis Kerapatan Adat Desa Baru Pangkalan Jambu
Depati Cahyo Negoro
Datuk Paduko Kayo
Rio Niti Dirajo
Datuk Gedang Sati
Majelis Datuk Berempat Menti Betigo
Datuk Kampung Sati
Gambar 5. Struktur Adat di Desa Baru Pangkalan Jambu = garis komando = garis koordinasi = garis konsultasi Pemerintahan Desa merupakan organisasi pengelola desa yang memiliki fungsi sebagai media pelayanan sosial berkenaan dengan pemenuhan kebutuhan bersama. Pemerintahan Desa memiliki tugas pokok merencanakan dan melaksanakan pembangunan desa serta melayani kebutuhan administratif di tingkat desa. Pegawai syara‘ merupakan organisasi pengelola desa yang memiliki fungsi menangani persoalan agama yang terdapat di sekitarnya dan juga mengurusi kepentingan umat dan masjid. Pegawai syara‘ memiliki tugas pokok
46
merencanakan dan melaksanakan kegiatan keagamaan di Desa Baru Pangkalan Jambu. Selama ini solidaritas sesama warga desa terpelihara dengan adanya berbagai kegiatan upacara keagamaan berdasarkan tradisi Islam setempat, dimana upacara keagamaan tersebut seperti : tahlilan, kendurian, perkawinan, dan kegiatan menjelang hari raya Idul Fitri. Mengenai kegiatan tahlilal sendiri sering berintikan pada pembacaan tahlil dalam rangka mendo‘akan para arwah leluhur. Sedangkan kendurian sendiri berintikan pada kegiatan pembacaan do‘a keselamatan serta pemberian makan berupa nasi beserta lauk pauknya, selain itu juga kendurian ini sering juga dilakukan ketika panen raya padi, hal ini dilakukan sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas hasil panen yang didapat. Kemudian mengenai perkawinan sendiri berintikan pada kegiatankegiatan anak muda, yang mana sebelum perkawinan berlangsung anak mudamudi disibukkan dengan kegiatan dekorasi ruangan. Dan yang terakhir adalah kegiatan menjelang hari raya Idul Fitri, yang mana kegiatannya adalah membuat gelamai (dodol). Di kalangan warga Desa Baru Pangkalan Jambu, membuat galamai adalah sebuah tradisi yang diwarisi secara turun-temurun. Pembuatan galamai biasanya marak dilakukan menjelang perayaan hari raya Idul Fitri yang merupakan suatu keharusan bagi warga Desa Baru Pangkalan Jambu dan bagi mereka yang tidak membuat galamai pada waktu tersebut akan mendapat cemoohan dari warga lain dalam desa. Oleh sebab itu ketika menjelang lebaran, warga mengutamakan menyisihkan uang untuk pembuatan galamai ketimbang untuk membeli pakaian atau kebutuhan lainnya. Bahan makanan yang disebut oleh warga Desa Baru Pangkalan Jambu dengan sebutan galamai terdiri dari campuran tepung beras ketan putih, kelapa, gula pasir (ada juga yang menggunakan gula aren), susu coklat, dan vanili. Uniknya, galamai tersebut menurut warga tahan disimpan selama satu tahun dan umumnya warga ketika membuat galamai sekaligus juga membuat tempat penyimpanan (kasang menurut instilah lokal) yang terbuat dari anyaman pandan yang menyerupai kantong kecil yang juga memiliki keindahan yang khas. Hampir rata-rata warga Desa Baru Pangkalan Jambu menguasai teknik pembuatan galamai baik perempuan maupun laki-laki karena ketika mereka membuat galamai biasanya dilakukan secara
47
bersama-sama melalui kelompok-kelompok tetangga maupun kerabat terdekat. Ini merupakan sebuah potensi untuk pengembangan industri rumah tangga di Desa Baru Pangkalan Jambu. Alasan bagi warga untuk tidak menjadikannya sebagai sumber tambahan penghasilan adalah aspek pemasaran lokal yang tidak mendukung.
48
V.
POLA PENGUASAAN LAHAN
5.1. Pola Penguasaan Lahan Di Desa Baru Pangkalan Jambu Menurut Bromley dalam Satria (2009) setidaknya terdapat empat bentuk dan status penguasaan sumberdaya alam : (1) milik umum (open access), (2) milik negara (state), (3) milik pribadi atau perorangan (private) dan milik bersama (communal). Masing-masing bentuk penguasaan sering terjadi tumpang tindih dalam bentuk pengaturannya, dikarenakan masing-masing bentuk penguasaan tersebut memiliki karakteristik yang berbeda. Menurut pandangan masyarakat adat, hukum adat merupakan satu-satunya yang dipahami oleh warga desa dalam kaitannya dengan pengaturan penguasaan lahan dalam wilayah klaim desa. Sedangkan pandangan negara, bahwa segala sesuatu mengenai sumber daya alam termasuk di dalamnya air beserta kekayaan alam lainnya milik atau berada dalam wilayah teritori negara berarti dikuasai, diatur, dikelola, dan didistribusikan oleh negara dengan menerapkan aturan-aturan formal (aturan-aturan negara). Penjelasan tersebut memperlihatkan pluralisme hukum yang ada di Indonesia. Pluralisme hukum (legal pluralism) merupakan suatu situasi dimana ada dua atau lebih sistem hukum saling berkaitan. Kawasan Indonesia yang terbentang dari ujung wilayah Sabang di barat hingga wilayah Merauke di timur memungkinkan masyarakatnya terdiri dari etnik yang majemuk. Isu pluralisme hukum berkembang sebagai counter terhadap sentralisasi hukum (legal centralism) yang pada umumnya terjadi di negara-negara kolonial dan pasca kolonial. Counter pluralisme hukum terjadi ketika paham sentralisasi hukum (hukum negara) yang dianut oleh suatu negara berbenturan dengan hukum-hukum adat yang telah tumbuh berurat dan berakar dalam komunitas-komunitas pranegara. Persoalan yang sering terjadi adalah terbitnya kebijakan negara terhadap pemanfaatan suatu kawasan yang menurut perspektif masyarakat adat masuk dalam wilayah ulayatnya. Realita ini menimbulkan sengketa agraria struktural yang melibatkan pengambilan tanah-tanah dan sumber-sumber agraria yang secara hukum adat merupakan hak masyarakat. Sengketa ini berakar pada
49
penggunaan sistem hukum yang berbeda dan tidak dapat berdampingan secara damai. Masyarakat desa sekitar hutan yang bertumpu pada hukum adat yang ada dalam komunitasnya dan dipelajari secara turun-menurun serta berkembang secara dinamis, sementara dipihak penguasa tanah, seperti hutan negara baik itu dalam bentuk Taman Nasional maupun yang dikelola oleh swasta (HPH) berpedoman pada hukum agraria nasional. Masalah
pluralisme
hukum
ternyata
merupakan
suatu
bentuk
ketidakpastian status kawasan hutan dalam kegiatan pengelolaan hutan. Ketidakpastian status kawasan hutan dalam manajemen HPH/HPHTI telah menjadi potensi konflik yang besar. Tanah sebuah kawasan merupakan bagian dari ekosistem kehidupan semua mahluk yang menempati suatu posisi dengan sifatnya sebagai benda yang tidak dapat digantikan, tidak dapat dipindahkan, tidak dapat diperbaruhi serta tidak dapat direproduksi kembali. Perubahan terhadap tanah atau kawasan berarti perubahan pada ekosistem. Aktor perubah utama adalah manusia. Semenjak kapitalisme baru mengglobal melalui kolonialisme, kawasan hutan di Jawa dan Sumatera berubah drastis yang disebabkan oleh tekanan pertumbuhan populasi penduduk dan aktivitas manusia atas tanah. Upaya penyeragaman sistem hukum adat yang berkembang di tengah masyarakat berdampak pada praktek-praktek penguasaan sumberdaya, dimana tujuan pemerintah adalah menciptakan ketertiban hukum dengan membuat generalisasi hukum dalam bingkai negara kesatuan yang akhirnya berakibat pada masyarakat yang menganut hukum adat kehilangan kekuatan, artinya sistem hukum adat yang tadinya digunakan oleh masyarakat desa sekitar hutan sebagai pedoman hidup dan perilaku yang diperoleh melalui proses belajar secara turunmenurun lambat laun ditinggalkan oleh sebagian masyarakat. Hal ini disebabkan oleh (1) tindakan tegas yang dilakukan pemerintah (negara) sebagai penguasa negara bagi pelanggar hukum nasional, hal ini terjadi ketika terdapat tumpang tindih antara aturan hukum negara dengan hukum adat. Terkadang ada aturan hukum negara yang dilarang oleh hukum adat dan sebaliknya aturan hukum adat yang dilarang oleh hukum negara. Realita ini berakibat pada hukum adat yang semakin termarginalisasi, sebab kurangnya dukungan tenaga keamanan dan kelembagaan. Hukum negara mendapatkan keleluasaan untuk memancangkan
50
kebijakan menerapkan aturannya, sehingga hanya hukum negara saja yang diakui, (2) konstruksi standar hukum yang layak adalah hukum negara, (3) peran aktif aparatur negara berupa kelembagaan-kelembagaan pemerintahan desa, dimana aparat pemerintahan desa lebih diperhatikan oleh negara ketimbang dengan aparat pemerintahan adat, hal tersebut tercermin ketika diterbitkannya Undang-undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Akibat dari penyeragaman tersebut berdampak pada menghilangnya sendi-sendi kearifan pemerintahan adat pada masyarakat sekitar hutan yang berbasis pada sistem dan tata nilai lokal. Pada masa pemerintahan marga, wilayah Desa Baru Pangkalan Jambu dikuasai oleh dua unsur pimpinan adat yaitu Rio Niti dan Datuk Bendaharo Kayo (dalam pengertian masyarakat, bahwa Rio Niti dan Datuk Bendaharo Kayo adalah gelar atau jabatan adat). Kedua unsur inilah yang mengatur pendistribusian lahan di Desa Baru Pangkalan Jambu. Setiap orang yang akan membuka lahan di Desa Baru Pangkalan Jambu harus meminta izin dan persetujuan kepada Rio Niti jika membuka wilayah kekuasaan Rio Niti dan meminta izin dan persetujuan kepada Datuk Bendaharo Kayo jika membuka wilayah kekuasaan Datuk Bendaharo Kayo. Secara adat kemudian diatur bahwa setiap orang yang membuka hutan atas persetujuan kedua pimpinan adat tersebut maka akan diakui kepemilikannya. Pada masa pemerintahan marga, aspek penguasaan lahan lebih terpusat pada aturan adat, artinya, adatlah yang menentukan atas penguasaan lahan karena wilayah dikuasai oleh adat, namun saat ini aturan-aturan tersebut berlaku untuk wilayah yang masih dalam penguasaan adat (marga). Hal ini terlihat dari struktur pengelolaan hutan dimana pimpinan pengelola hutan adat harus dijabat oleh Rio Niti dan Datuk Bendaharo Kayo karena kawasan hutan adat 4 berada dalam wilayah kekuasaan kedua pimpinan adat tersebut. Kendatipun demikian, mekanisme pengelolaannya diatur secara bersama dan dikukuhkan melalui peraturan desa. Pola penguasaan lahan di Desa Baru Pangkalan Jambu umumnya merupakan kepemilikan lahan komunal. Lahan pertanian maupun hutan yang
4
Bromley dalam Satria (2009) menyebutkan empat kelompok bentuk dan status penguasaan sumberdaya alam yaitu milik umum (open acces), milik negara (state), milik perorangan/pribadi (private) dan milik bersama (communal)
51
menjadi penjamin nafkah hidup masyarakat merupakan lahan milik adat. Berdasarkan informasi yang didapat hanya sedikit yang merupakan milik individual. Pemilikan individual terutama berupa lahan-lahan yang berasal dari pengalihan hak seperti : pewarisan ataupun dari transaksi jual beli. Selain itu juga hak milik individual ini pada umumnya secara formal dibuktikan dengan sertifikasi terhadap kepemilikan lahan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Pada pemilikan individual dikenal beberapa pola penguasaan lahan yaitu : 1. Meminjam, bagi warga yang tidak memiliki lahan dapat menggarap lahan milik orang tuanya atau kerabat lainnya. Umumnya untuk kasus meminjam biasanya lebih dominan untuk kegiatan bersawah, sedangkan untuk kegiatan berkebun tidak pernah dilakukan. 2. Menyewa, warga yang tidak memiliki lahan ataupun memiliki sawah dengan luasan yang tidak memadai bisa menggarap lahan milik orang lain dengan sistem sewa. Besarnya biaya sewa ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara penggarap dengan pemilik dan belum ada ketentuan yang baku di desa yang menetapkan besarnya jumlah sewa untuk sebidang lahan yang dihitung dari luasannya. Hampir sama dengan pola meminjam, pola menyewa ini biasanya digunakan untuk kegiatan bersawah dan dilakukan pada saat musim tanam saja. 3. Bagi hasil, warga yang tidak memiliki lahan ataupun memiliki lahan dengan luasan yang tidak memadai bisa pula menggarap lahan milik orang lain dengan sistem bagi hasil. Berdasarkan informasi dari informan bahwa biasanya untuk bagi hasil digunakan untuk kegiatan bersawah dan berkebun, untuk bersawah biasanya bagi hasil yang terapkan dengan besarnya adalah 1 : 3, dimana 1/3 bagi pemilik dan 2/3 untuk penggarap dengan ketentuan semua sarana produksi ditanggung oleh penggarap. Sedangkan untuk berkebun hampir sama dengan bersawah, dimana aturan pembagian hasil sadapan sudah baku dengan pembandingannya adalah 1 : 3 yaitu 1/3 untuk pemilik kebun dan 2/3 untuk penyadap namun untuk semua kebutuhan dalam proses penyadapan ditanggung oleh penyadap artinya pemilik kebun tidak mempunyai kewajiban menyediakan kebutuhan untuk proses penyadapan.
52
Saat ini hutan yang bisa dibuka yang menjadi bagian dari wilayah desa untuk dijadikan lahan pertanian sudah tidak ada. Dengan demikian aturan adat yang mengatur tentang penguasaan atas lahan bukaan baru sudah tidak lagi dijalankan. Hutan yang tersisa di sekitar wilayah desa semuanya berstatus hutan milik negara yang terdiri dari kawasan TNKS dan kawasan hutan produksi eks HPH PT. Sarestra II. Hutan adat yang dipertahankan masyarakat tidak hanya diperuntukkan sebagai kawasan pencadangan lahan bagi anak cucu mereka melainkan sejak awal memang dikelola sebagai kawasan proteksi untuk perlindungan sumberdaya air yang menjadi sumber pengairan sawah-sawah yang dikelola warga desa. Di samping itu, hutan adat ini juga dapat menyediakan kebutuhan bahan-bahan obat tradisional bagi warga. Dalam aturan adat Desa Baru Pangkalan Jambu terkait dengan penguasaan lahan, ada dua aspek pokok yang diatur, diantaranya pengaturan hak kepemilikan dan kewajiban membayar pungutan terhadap hasil dari pemanfaatan lahan, sungai, dan kawasan hutan. Mengenai hak kepemilikan, aturan adat menyebutkan bahwa Setiap orang yang membuka hutan atas izin dan persetujuan pimpinan adat yang berkuasa atas wilayah Desa Baru Pangkalan Jambu akan diakui hak kepemilikannya. Mengenai pungutan atas pemanfaatan lahan, sungai, dan kawasan hutan, aturan adat menyebutkan bahwa : Ke darat bebungo, kayu ke ayik bebungo pasir, ke sawah ke ladang beungo emping. Artinya tiap-tiap warga berkewajiban membayar pungutan hasil panen yang diperoleh dari mengambil hasil hutan dan sungai serta tiap-tiap melakukan aktivitas bersawah dan berladang maka diwajibkan membayar pungutan (cukai) ke pasirah (marga) sesuai dengan hasil yang diperoleh. Sedangkan pada waktu pemerintahan marga, kebun karet tidak dikenakan pungutan karena pada waktu itu kebun karet berada dalam pengawasan pemerintah kolonial Belanda yang memberlakukan sistem kupon untuk memotivasi warga dalam meningkatkan hasil produksnya. Setiap kebun warga yang terawat dengan baik akan diberikan kupon oleh pemerintah Belanda yang nantinya dapat ditukarkan dengan uang sebagai
53
bonus di luar hasil penjualan lateks (hasil sadapan). Saat ini sistem kupon tersebut tidak berlaku lagi, saat ini pada umumnya masyarakat langsung menjual hasil produksi karetnya langsung kepada tengkulak yang ada di desa. Aturan di atas menegaskan bahwa pada masa Pemerintahan Marga, sumberdaya lahan pada dasarnya berada dalam penguasaan adat. Namun setelah memasuki masa illegal logging (sekitar tahun 1970-an) yang berawal sejak kehadiran perusahaan pemegang izin konsesi HPH yang beroperasi di wilayah desa, aturan adat tersebut tidak lagi bisa ditegakkan. Hal ini disebabkan warga desa menjadikan perusahaan sebagai referensi dimana perusahaan yang mengakses hasil hutan dalam wilayah kekuasaan adat sama sekali tidak membayar pungutan kepada pemangku adat sehingga warga juga melakukan hal yang sama. Bahkan pada waktu itu, warga juga mulai mengembangkan mekanisme penguasaan pohon di hutan dengan cara mengklaim pohon tersebut melalui penggunaan simbol-simbol tertentu5. Hal ini didasari atas kesepakatan dan kebiasaan yang terbangun dari kalangan warga yang memanfaatkan sumberdaya hutan dan terlepas dari mekanisme aturan adat yang ada sebelumnya. Hal ini menjelaskan bahwa melemahnya aturan adat dalam pengaturan penguasaan lahan dan pohon erat kaitannya dengan penguasaan kawasan hutan dan kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan oleh negara. Di tingkat desa (dalam pengertian wilayah di luar klaim negara), keberadaan pemangku adat masih dipatuhi. Mekanisme pengaturan adat masih berjalan dengan baik karena warga memandang bahwa aturan adat lebih mampu mengendalikan penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya alam di desa karena aturan adat tersosialisasi dengan baik. Warga juga memandang bahwa aturan-aturan formal yang ada bertentangan dengan aturan adat dimana wilayah klaim adat tidak diakui bahkan diserahkan kepada perusahaan untuk pemanfaatannya. Hal ini juga mendorong warga untuk tidak mematuhi aturan formal yang ada pada masa-masa illegal logging dulu dimana warga juga ikut serta mengeksploitasi sumberdaya kayu yang berada dalam kawasan hutan produksi.
5
Simbol-simbol yang dimaksud adalah dengan cara memberikan tanda berupa silang pada batang pohon yang kemudian di klaim bahwa lahan yang berada di sekitar pohon tersebut adalah miliknya ataupun dengan cara menanam pohon durian atau pohon buah-buahan lainnya.
54
5.2. Perubahan Pola Penguasaan Lahan Di Desa Baru Pangkalan Jambu sejak masa pemerintahan kolonial Belanda sudah dikenal tiga pola penguasaan lahan yaitu penguasaan adat, penguasaan kaum, dan penguasaan pribadi. Meskipun secara aturan adat, wilayah desa berada dalam penguasaan dua unsur pimpinan adat Rio Niti dan Datuk Bendaharo Kayo, namun aturan adat juga memberikan ruang untuk penguasaan pribadi. Penguasaan adat (communal property), yaitu sumberdaya yang dikuasai oleh sekelompok masyarakat yang menggunakannya secara de facto dan diakui secara legal (Bromley dalam Satria 2009). Penguasaan adat yang ada di Desa Baru Pangkalan Jambu hingga saat ini masih diakui oleh masyarakat setempat, aturan mengenai pemanfaatan dan penguasaan sumberdaya lahan diatur dalam aturan adat. Ada dua aspek yang pokok yang diatur terkait penguasaan sumberdaya lahan di Desa Baru Pangkalan Jambu yakni aspek pengaturan hak kepemilikan dan kewajiban membayar pungutan terhadap hasil pemanfaatan lahan tersebut. Aspek yang diatur oleh adat tidak hanya berupa pemanfaatan lahan namun juga pada pemanfaatan sungai, sawah, serta kawasan hutan. Penguasaan kaum, yang dimaksud dengan penguasaan kaum disini adalah bentuk penguasaan keluarga, dalam pengertian masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu mengenai penguasaan kaum adalah suatu bentuk penguasaan keluarga secara turun-menurun, artinya sumberdaya lahan tersebut tidak dimiliki oleh perorangan melainkan keluarga. Bentuk penguasaan kaum (keluarga) di Desa Baru Pangkalan Jambu biasanya berbentuk sawah ataupun kebun. Bentuk penguasaan kaum ini menurut warga desa umumnya berasal dari warisan keluarga terdahulu, yang kemudian dalam pengelolaannya dilakukan oleh ahli warisnya secara bergantian. Penguasaan individu, yaitu sumberdaya yang hak peguasaan dan pemilikannya pada perseorangan, yang secara de facto atau secara legal diperkuat oleh negara selain itu juga hak kepemilikan ini bersifat temporal (dalam jangka waktu tertentu) karena izin pemanfaatan yang diberikan oleh negara (Bromley dalam Satria 2009). Seseorang akan diakui kepemilikannya sebagai hak milik individu, apabila dia sudah membuka terlebih dahulu tanah itu dan menggarapnya atau merubahnya dari kondisi hutan menjadi tanah sawah atau ladang. Selama dia
55
masih mengerjakan tanah itu, maka dia dianggap sebagai pemiliknya. Pada umumnya penguasaan individual ini muncul disebabkan oleh: (1) pembukaan tanah yang diikuti oleh pemanfaatannya secara intensif dalam jangka waktu yang panjang, (2) pewarisan dan (3) transaksi yang menyebakan peralihan hak secara permanen atau temporal. Transaksi di sini umumnya meliputi jual-beli, sewamenyewa atau bagi-hasil yang kemudian masing-masingnya diatur menurut norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Perubahan pola penguasaan lahan di Desa Baru Pangkalan Jambu terjadi setelah masa peralihan sistem pemerintahan dari marga ke desa dengan munculnya klaim negara terhadap kawasan hutan yang sebagian merupakan wilayah yang dianggap masyarakat sebagai bagian dari wilayah desa. Pola penguasaan lahan di Desa Baru Pangkalan Jambu dari masa pemerintahan kolonial Belanda hingga saat ini dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Pola Penguasaan Lahan di Desa Baru Pangkalan Jambu dari Masa Pemerintahan Kolonial Belanda hingga sekarang MASA LOGGING (1970 – 1997) SAMPAI MASA REFORMASI (1998 – 2012)
MASA BELANDA (< 1942) SAMPAI MASA KEMERDEKAAN (1945 – 1969) -
Penguasaan adat Penguasaan pribadi Penguasaan kaum
-
Penguasaan adat Penguasaan pribadi Penguasaan kaum Penguasaan negara
Perubahan pola penguasaan lahan seperti diperlihatkan pada Tabel 5 dengan munculnya penguasaan negara terhadap kawasan hutan merupakan bentuk dari pemberlakuan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1979 yang meredefinisi wilayah desa terbatas pada ruang kelola warga desa. Kawasan hutan yang belum diakses oleh warga desa kemudian diklaim sebagai wilayah dalam penguasaan negara. Di sisi lain, seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan terbatasnya lahan yang bisa diakses untuk dijadikan lahan pertanian menyebabkan terjadinya perubahan struktur penguasaan lahan milik pribadi dimana kemudian masyarakat mengembangkan sistem bagi hasil dan pinjam. Warga desa yang tidak memiliki lahan garapan bisa meminjam lahan milik orang lain atau menggarap lahan milik orang lain dengan cara bagi hasil. Kedua mekanisme ini berkembang
56
pasca masa illegal logging yaitu sekitar tahun 2000-an. Berikut akan digambarkan bagaimana perubahan pola penguasaan sumberdaya lahan yang kemudian berdampak pada hak masyarakat terhadap sumberdaya lahan.
Wilayah marga
Wilayah Penguasaan Pada Masa Pemerintahan Marga
Teritori TNKS
Wilayah Desa Teritori Desa
Wilayah Penguasaan Pemerintahan Desa
Wilayah Penguasaan pasca ditetapkan sebagai TNKS
Gambar 6. Perubahan Pola Penguasaan Lahan Sejak Masa Marga Sampai Saat Ini
Gambar diatas menunjukan perubahan penguasasan sumberdaya lahan di Desa Baru Pangkalan Jambu yang berbeda pada setiap masa, dimana awalnya wilayah Desa Baru Pangkalan Jambu merupakan wilayah penguasaan adat atau wilayah penguasaan marga, yang kemudian pada tahun 1979 dengan Undang Undang No. 5 Tahun 1979 yang merubah sistem pemerintahan dari pemerintahan marga menjadi sistem Pemerintahan Desa.
57
Pada sistem pemerintahan desa luas wilayah penguasaan tidak berubah dari sistem pemerintahan marga, namun yang berubah adalah sistem pemerintahannya, yang mana pada masa pemerintahan marga aturan yang berlaku adalah aturan adat namun setelah berganti sistem pemerintahan berubah menjadi aturan formal. Hal-hal yang menyangkut wilayah kekuasaan desa, aturan-aturan yang berlaku, termasuk penguasaan tanah adalah aturan-aturan negara Indonesia. Pada masa pemerintahan desa ini, marga hanya menguasai sebagian kecil wilayah yang ada dalam Desa Baru Pangkalan Jambu, sehingga dalam hal ini hak-hak adat terhadap sumberdaya alam semakin melemah. Terlebih lagi ketika ditetapkan sebagai kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Pada saat Desa Baru Pangkalan Jambu ditetapkan menjadi Taman Nasional berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 1049/Kpts-II/1992 sebagai kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), membawa dampak pada hak-hak masyarakat terhadap sumberdaya khususnya sumberdaya hutan. Terdapat dua teritori yang berbeda pasca ditetapkannya wilayah Desa Baru Pangkalan Jambu menjadi kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) yakni wilayah penguasaan desa dan marga. Pasca ditetapkan sebagai kawasan TNKS, hak-hak masyarakat desa terhadap sumberdaya alam semakin tergerus, artinya masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu telah kehilangan hak terhadap sumberdaya alam yang ada di kawasan TNKS. Penetapan kawasan TNKS menyebabkan hampir 50 persen wilayah Desa Baru Pangkalan Jambu berubah menjadi kawasan TNKS. Perubahan status ini membawa konsekuensi yang sangat penting bagi penduduk Desa Baru Pangkalan Jambu, yaitu hilangnya akses masyarakat desa terhadap sumberdaya dalam kawasan TNKS. Dampak dari perubahan penguasaan lahan di Desa Baru Pangkalan Jambu dengan adanya penguasaan kawasan hutan oleh negara menimbulkan sempitnya ruang gerak masyarakat desa. Berdasarkan informasi dari warga bahwa sejak adanya penguasaan hutan oleh negara menyebabkan mereka tidak bisa lagi melakukan ekspansi lahan dan saat ini lahan-lahan yang tersedia di desa sudah tidak sebanding dengan jumlah warga desa yang hampir semuanya hidup bertumpu dari aktivitas di bidang pertanian. Merujuk konsep Ostrom dan
58
Schlanger (1990) dalam Satria (2009) tentang hak-hak kepemilikan, maka dampak perubahan penguasaan sumberdaya lahan dapat dilihat pada tabel 6 berikut :
Tabel 6. Aktor, hak, dan status kepemilikan pada saat pemerintahan marga (adat) (sebelum tahun 1979) Aktor Adat (marga) kaum Individu Desa
Hak akses √ √ √ -
Hak Pemanfaatan √ √ √ -
Hak Pengelolaan √ √ √ -
Hak Eksklusi √ √ √ -
Hak Pengalihan √ -
Status Proprietor Proprietor Owner -
Pada tabel 6 diatas menunjukan bahwa hak adat, kaum dan individu pada masa pemerintahan marga. Sesuai dengan konsepnya Ostrom dan Schlanger (1990) dalam Satria (2009), maka (1) hak akses yaitu hak untuk masuk ke wilayah sumberdaya yang memiliki batas-batas yang jelas dan untuk menikmati manfaat non ekstraktif, artinya pada masa pemerintahan marga hak akses adat, kaum dan individu terbuka terhadap sumberdaya lahan. (2) hak pemanfaatan yaitu hak untuk memanfaatkan sumberdaya atau hak untuk berproduksi, pada masa pemerintahan marga hak pemanfaatan ini dimiliki oleh masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu (adat, kaum, dan individu), artinya adat, kaum dan individu memiliki hak untuk memanfaatkan sumberdaya yang terkandung di dalamnya. (3) hak pengelolaan yaitu hak untuk menentukan aturan operasional pemanfaatan sumberdaya, dalam hal ini adat, kaum dan individu memiliki hak pengelolaan ini, artinya adat, kaum, dan individu mempunyai hak untuk menentukan aturan-aturan mengenai pemanfaatan sumberdaya yang ada. (4) hak eksklusi yaitu hak untuk menentukan siapa yang boleh memiliki hak akses dan bagaimana hak akses tersebut dialihkan ke pihak lain. Pada masa pemerintahan marga, masyarakat desa (adat, kaum, dan individu) memiliki hak eksklusi ini, artinya adat, kaum dan individu berhak menentukan siapa yang memiliki hak akses dan bagaimana hak akses itu dialihkan ke pihak lain. (5) hak pengalihan yaitu hak untuk menjual atau menyewakan sebagian atau seluruh hak-hak kolektif sebelumnya. Pada masa pemerintahan marga, adat dan kaum tidak memiliki hak ini, karena pada dasarnya lahan-lahan yang menjadi penguasaan adat dan kaum tidak dibenarkan untuk diperjual belikan. Berbeda dengan penguasaan individu, pada masa pemerintahan marga,
59
individu memiliki hak pengalihan artinya individu berhak memperjual belikan atau menyewakan hak nya kepada pihak lain. Pada masa pemerintahan marga terlihat jelas kewenangan atau kekuasaan adat terhadap sumberdaya lahan, artinya adat memiliki hak penguasaan terhadap sumberdaya alam yang terkandung didalamnya. Namun setelah tahun 1979, sistem pemerintahan marga berubah menjadi sistem pemerintahan baru yaitu sistem pemerintahan desa, yang mana jika pada masa pemerintahan marga yang berlaku adalah aturan adat atau aturan informal, maka pada pemerintahan desa yang berlaku adalah aturan negara atau aturan formal. Pada masa pemerintahan desa, terdapat dua bentuk teritori yang berbeda yaitu wilayah penguasaan desa dan wilayah penguasaan marga. Sehingga perubahan sistem pemerintahan membawa pada perubahan hak, dalam hal ini terdapat perubahan hak adat dalam kepemilikan sumberdaya alam. Perubahan tersebut dapat dilihat pada tabel 7 berikut : Tabel 7. Aktor, hak dan status kepemilikan atas tanah marga yang masih di klaim marga (pada era Pemerintahan Desa) Aktor Adat (marga) Kaum Individu Desa
Hak akses √ √ √
Hak Pemanfaatan √ √ √
Hak Pengelolaan √ √ √
Hak Eksklusi √ √ √
Hak Pengalihan √
√
√
-
-
-
Status Proprietor Proprietor Owner Authorized user
Pada masa pemerintahan desa tidak terdapat perubahan hak adat dalam penguasaan sumberdaya alam, yang mana pada sebelumnya telah dijelaskan bahwa pada masa pemerintahan marga, adat memiliki hak terhadap sumberdaya alam seperti; hak akses, hak pemanfaatan, hak pengelolaan, dan hak eksklusi, namun pasca peralihan sistem pemerintahan dari marga ke desa ternyata membawa dampak melemahnya otoritas marga dan berkurangnya teritori marga terhadap penguasaan sumberdaya lahan. Pada masa pemerintahan marga aturanaturan dalam pengelolaan sumberdaya lahan berada pada aturan adat (marga) sedangkan pada masa pemerintahan desa juga menerapkan aturan-aturan formal dalam pengelolaan sumberdaya lahan, yang akhirnya jika dibandingkan pada masa pemerintahan desa dengan aturan adat dan aturan formal (aturan desa) terhadap sumberdaya lahan maka aturan adat (aturan informal) menjadi lemah
60
ketika berhadapan dengan aturan formal. Hal tersebut disebabkan oleh aturan yang berlaku dalam pengelolaan sumberdaya alam adalah aturan negara sedangkan aturan adat hanya berlaku pada teritori tertentu. Berdasarkan informasi yang didapat dilapangan, secara de jure pemerintahan desa berhak sepenuhnya terhadap penguasaan sumberdaya lahan yang terdapat di Desa Baru Pangkalan Jambu, namun secara de facto masyarakat masih mengakui adanya penguasaan marga terhadap sumberdaya lahan di Desa Baru Pangkalan Jambu. Pada masa pemerintahan desa, desa hanya memiliki hak akses dan hak pemanfaatan di dalam kawasan yang diyakini masyarakat adalah kawasan adat (marga). Sedangkan pemerintahan desa tidak mempunyai hak pengelolaan, eksklusi, dan hak pengalihan. Untuk kategori hak tersebut hanya miliki oleh adat (marga). Sebelumnya telah dijelaskan bahwa pada masa pemerintahan desa memiliki dua teritori yang berbeda, jika tabel 7 berbicara mengenai aktor, hak dan status kepemilikan atas tanah marga yang masih di klaim marga pada era Pemerintahan Desa, maka pada tabel 8 akan menjelaskan hak atas tanah desa (dalam hal ini tanah yang tidak lagi dikuasai marga). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 8 berikut : Tabel 8. Aktor, hak dan status kepemilikan atas tanah desa yang tidak lagi dikuasai marga (pada era Pemerintahan Desa) Aktor Desa Kaum Individu Marga (Adat)
Hak akses √ √ √
Hak Pemanfaatan √ √ √
Hak Pengelolaan √ √ √
Hak Eksklusi √ √ √
Hak Pengalihan √
√
√
-
-
-
Status Proprietor Proprietor Owner Authorized User
Pada tabel 8 di atas menunjukan hak penguasaan sumberdaya lahan oleh desa, yang mana hak-hak penguasaan desa (tanah yang tidak lagi dikuasai marga) menunjukan terbatas dan tidak semua hak-hak tersebut ada, khususnya hak pengalihan (hak menyewakan dan menjual tanah), artinya pemerintahan desa tidak mempunyai hak untuk menyewakan dan menjual sebagian atau seluruh hakhak kolektif. Sebelumnya telah dijelaskan bahwa sejak berubah sistem pemerintahan dari sistem pemerintahan marga menjadi sistem pemerintahan desa membawa
61
dampak pada berkurang dan melemahnya otoritas adat (marga) terhadap sumberdaya alam. Pada masa pemerintahan desa, marga (adat) hanya memiliki hak akses dan hak pemanfaatan untuk wilayah yang telah di klaim oleh pemerintahan desa (maksud wilayah tersebut adalah wilayah yang tidak lagi dikuasai oleh adat atau marga). Pada saat ditetapkan sebagai kawasan taman nasional terdapat tiga bentuk teritori yang berbeda yaitu wilayah penguasaan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), wilayah penguasaan marga, dan wilayah penguasaan pemerintahan desa serta wilayah penguasaan TNKS. Sejak ditetapkan sebagai kawasan taman nasional membawa pada perubahan luasan kawasan marga, dan desa yang kemudian berdampak pada perubahan hak terhadap sumberdaya lahan di Desa Baru Pangkalan Jambu. Perubahan hak tersebut dapat dilihat pada tabel 9 berikut : Tabel 9. Aktor, hak dan status kepemilikan pada era TNKS untuk kawasan marga dan desa yang masuk dalam wilayah TNKS Hak akses
Hak Pemanfaatan
Hak Pengelolaan
Hak Eksklusi
Hak Pengalihan
Adat (marga)
√*
√*
-
-
-
Kaum
√*
√*
-
-
-
Individu
√*
√*
-
-
-
Desa
√*
√*
-
-
-
Aktor
Status Authorized user Authorized user Authorized user Authorized user
* hak pada zona pemanfaatan tradisional
Sejak ditetapkan sebagai kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) melalui surat keputusan menteri kehutanan 1049/Kpts-II/1992, ternyata telah membawa perubahan pada hilangnya hak masyarakat baik hak adat, hak kaum, hak individu maupun hak desa. Jika dikaitkan pada konsepnya Ostrom dan Schlanger (1990) dalam Satria (2009) tentang hak-hak kepemilikan, (1) hak akses, sejak masuknya rezim penguasaan negara berupa hutan maka membuat hak akses masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu (adat, kaum, dan individu) terhadap hutan menjadi hilang, artinya masyarakat tidak dapat lagi mengakses sumberdaya secara optimal di wilayah desa mereka walaupun negara telah memberikan hak akses terhadap TNKS yaitu berupa zona pemanfaatan tradisional. (2) hak pemanfaatan (withdrawal right), kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat
62
(TNKS) merupakan kawasan konservasi yang didalamnya banyak terdapat sesuatu yang dapat dimanfaatkan, namun saat ini masyarakat tidak mempunyai kapasitas untuk memanfaatkan sumberdaya yang terdapat didalam kawasan taman nasional tersebut baik berupa kayu maupun non kayu ataupun membuka lahan di kawasan tersebut kecuali di zona pemanfaatan tradisional. (3) hak pengelolaan (management right), dalam konteks ini hak pengelolaan hanya dimiliki oleh negara, artinya masyarakat baik adat, kaum, dan individu tidak mempunyai hak menentukan aturan-aturan mengenai pemanfaatan sumberdaya yang ada di kawasan taman nasional, namun negara memberikan ruang pengelolaan yaitu pada zona tradisional. (4) hak eksklusi (exclusion right), mengenai hak eksklusi ini di kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) sebenarnya tidak berbeda dengan hak pengelolaan, dimana hak eksklusi ini hanya dimiliki oleh negara. (5) hak pengalihan (alienation right), pada temuan lapang menyebutkan bahwa sifat kepemilikan sumberdaya Hutan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) seluruhnya mengarah pada kepemilikan negara dan tidak memungkinkan terjadinya hak alienasi. Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa penetapan kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) telah menghilangkan hak masyarakat adat, kaum, dan keluarga terhadap sumberdaya lahan di Desa Baru Pangkalan Jambu. Berbicara tentang Desa Baru Pangkalan Jambu terkait erat dengan sejarah berdirinya Marga Pangkalan Jambu, dimana Desa Baru Pangkalan Jambu sendiri berada dalam kawasan wilayah Marga Pangkalan Jambu. Pada saat sistem pemerintahan kemargaan, masyarakat Marga Pangkalan Jambu mengakui adanya batas wilayah kemargaan tersebut. Salah satu informan yang merupakan salah satu dari pemuka adat di desa menyatakan bahwa : “ pada saat sistem pemerintahan kemargoan yang dipimpin oleh seorang Pasirah (atau camat saat ini), punyo batas wilayah yang jelas dan diakui oleh masyarakat, batas wilayah itu berpangkal dari sungai Segatal kemudian berujung pada di sungai Kemuru…”. (Mkt, wawancara tanggal 11 Maret 2012) ― pada saat sistem pemerintahan kemargaan yang dipimpin oleh seorang Pasirah (atau camat saat ini), punya batas wilayah yang jelas
63
dan diakui oleh masyarakat, batas wilayah itu berpangkal dari sungai Segatal kemudian berujung pada di sungai Kemuru....‖ (Mkt, wawancara tanggal 11 Maret 2012)
Berdasarkan pernyataan tersebut, Marga Pangkalan Jambu sebelumnya telah memiliki penguasaan-penguasaan terhadap sumberdaya alam yang telah ditetapkan berdasarkan batas-batas wilayah yang telah disepakati sebelumnya. Kemudian setelah adanya Undang-Undang No.5 Tahun 1979 yang mengubah sistem pemerintahan Marga menjadi pemerintahan Desa, maka terjadilah pemecahan wilayah marga tersebut. Sebagai contoh adalah Desa Baru Pangkalan Jambu. Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) memiliki status hukum sebagai taman nasional. Sebelumnya, dari tahun 1982 kawasan ini masih berstatus sebagai calon taman nasional setelah dideklarasikan pada Kongres Taman Nasional Sedunia di Bali melalui keputusan Menteri Pertanian No.736/Menteri/X/1982. Penetapan status kawasan konservasi otomatis melumpuhkan peran otoritas lembaga Adat dalam mengatur pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan di wilayah hukum adat Desa Baru Pangkalan Jambu. Implikasi lebih jauh yang ditimbulkan berupa hilangnya kewibawaan lembaga Adat di hadapan masyarakat, karena lembaga adat dinilai tidak mampu lagi melindungi kepentingan masyarakatnya. Masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu menganggap TNKS sebagai ‖ancaman‖, contoh kasus yang dapat menjelaskan bentuk perlawanan yang dilakukan, yaitu: pelanggaran terhadap aturan tentang mengambil rotan atau hasil hutan lainnya seperti madu di dalam kawasan hutan. Sikap penolakan yang ditunjukkan masyarakat sering memunculkan arogansi pihak pemerintah. Bila petugas menemukan anggota masyarakat yang mengambil atau membawa rotan, maka petugas jagawana serta-merta menyita dan memotong-motong rotan tersebut. Fenomena ini menunjukkan hubungan yang disharmonis antar pihak pemerintah dengan masyarakat. Di satu sisi pihak pemerintah mendemonstrasikan kekuatan represif, di sisi lain masyarakat menunjukkan sikap perlawanan dalam bentuk pelanggaran atas larangan-larangan yang diberlakukan oleh pemerintah.
64
Kemudian hal seperti inilah yang dapat memicu konflik tenurial terhadap sistem pemilikan dan penguasaan yang berbasis masyarakat adat dengan yang berbasis pemerintah di kawasan TNKS. Ketidaksetujuan akan kehadiran Taman Nasional Kerinci Seblat tersebut dibuktikan oleh masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu dengan cara tidak memperdulikan tentang kelestarian hutan di kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat, karena TNKS telah menutup akses masyarakat terhadap hutan. Selama ini yang sering melakukan pembalakan liar adalah masyarakat luar desa bukanlah masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu, seperti penuturan salah satu informan mengenai pembalakan liar yang dilakukan oleh masyarakat luar desa :
" selamo ni yang nebang-nebang kayu di wilayah TNKS tu masyarakat luar desa kami, wargo desa kami idak pernah nebang kayu di wilayah TNKS tu, kareno kami takut, soalnyo dulu pernah wargo kami ditangkap gara-gara nebang kayu disano jadi sejak itulah wargo kami dak pernah lagi nebang kayu diwilayah TNKS..." (Ddi, wawancara tanggal 22 Maret 2012)
― selama ini yang menebang-menebang kayu di wilayah TNKS itu adalah masyarakat luar desa kami, warga desa kami tidak pernah menebang kayu di wilayah TNKS itu, karena kami takut, soalnya dulu pernah warga kami di tangkap gara-gara menebang kayu di sana jadi sejak itulah warga kami tidak pernah lagi menebang kayu di wilayah TNKS. (Ddi, wawancara tanggal 22 Maret 2012) Selain itu juga ternyata tanggapan masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu terhadap keberadaan Hutan Taman Nasional Kerinci Seblat pun dapat terbilang negatif, berdasarkan hasil Focuss Group Discussion (FGD) tanggapan masyarakat terhadap TNKS sangatlah tidak setuju. Berdasarkan pernyataan peserta FGD terhadap Taman Nasional Kerinci Seblat adalah sebagai berikut : “ Hampir seratus persen masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu menolak keberadoan Hutan TNKS tu, kareno dinilai selamo ini dak do nian manfaat bagi masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu, jangankan nak ngambek hasil hutan (rotan, madu) masuk be dak boleh. Keinginan masyarakat biaklah tetap ado TNKS tu, tapi hasil
65
Hutannyo biso kami manfaatin, kalo dak tu TNKS tu dikasih be ke masyarakat biak dikelola kayak Hutan Adat Desa Baru Pangkalan Jambu...” (FGD, tanggal 21 Maret 2012)
― hampir seratus persen masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu menolak keberadaan Hutan TNKS itu, karena dinilai selama ini tidak ada manfaat bagi masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu, jangankan mau mengambil hasil hutan (rotan, madu) masuk saja tidak boleh. Keinginan masyarakat biarlah tetap ada TNKS itu, tapi hasil hutannya bisa kami manfaatkan, kalau tidak TNKS itu diberkan saja ke masyarakat biar dikelola seperti hutan adat Desa Baru Pangkalan Jambu...‖ (FGD, tanggal 21 Maret 2012) Dari pernyataan pada saat FGD, dapat dinilai bahwa keinginan masyarakat terhadap keberadaan TNKS sendiri adalah kemanfaatan bagi masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu, namun selama ini manfaat tersebut tidaklah didapat oleh masyarakat, selain itu juga sebenarnya keinginan masyarakat TNKS tersebut diberikan kepada masyarakat dengan pengelolaan yang sama dengan Hutan Adat yang selama ini masyarakat jaga. Keyakinan masyarakat apabila hutan TNKS tersebut dikelola oleh masyarakat maka kelestarian hutan pun dapat terjamin, karena masyarakat sendiri telah membuktikan dengan cara mengelola hutan adat mereka. Merujuk pada Ribot dan Peluso (2003), kekuasaan diartikan sebagai sesuatu yang terdiri atas elemen-elemen material, budaya, ekonomi-politik yang terhimpun kemudian membentuk bundel kekuasaan (bundle of powers) dan jaringan kepentingan (web of powers) yang kemudian menjadi penentu akses terhadap sumberdaya. Sejak masuknya penguasaan oleh negara berupa penetapan kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) akses masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu pun semakin terbatas, artinya selama ini masyarakat memang tidak mempunyai power atau kekuatan dalam mengakses kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), jaringan-jaringan sosial atau relasi sosial untuk membentuk power pun tidak dapat dilakukan.
66
Tindakan masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu dalam menghadapi keberadaan Taman Nasional tersebut adalah dengan lebih memperhatikan tata batas antara wilayah Desa Baru Pangkalan Jambu dengan kawasan Hutan Taman Nasional Kerinci Seblat. Berdasarkan pernyataan salah satu informan mengenai hal tersebut adalah sebagai berikut : “ dengan adonyo TNKS di desa kami, kami idak biso buat apo-apo lagi, sebelum adonyo TNKS kami biso ngambek hasil hutan (kayu) dan jugo madu ataupun nyari ikan di dalam kawasan TNKS, artinyo dengan adonyo TNKS kami dak biso lagi kalo lah dak biso ngambek kayu samo cari madu, kami nak nyari dimano lagi trus pacak-pacak kami dak biso makan. Di wargo kami ado jugo yang gawenyo cuma cari madu ato nyari kayu ato rotan. Nah kalo lah kayak gitu berarti wargo kami dak biso makan garo-garo TNKS dak boleh masuk....” (Hn, wawancara tanggal 19 Maret, 2012) ― dengan adanya TNKS di kami, kami tidak bisa berbuat apa-apa lagi, sebelum adanya TNKS kami bisa mengambil hasil hutan (kayu) dan juga madu ataupun mencari ikan di dalam kawasan TNKS, artinya dengan adanya TNKS kami tidak bisa lagi kalau lah tidak bisa mengambil kayu sama cari madu, kami mau mencari kemana lagi terus bisa-bisa kami tidak bisa makan. Di warga kami ada juga yang bekerjanya hanya mencari madu, atau rotan. Kalau seperti ini berarti warga kami tidak bisa makan gara-gara TNKS tidak memperbolehkan masuk. (Hn, wawancara tanggal 19 Maret, 2012)
Tindakan tersebut dilakukan oleh masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu karena mereka tidak punya pilihan lain selain dengan melindungi batas-batas wilayah Desa Baru Pangkalan Jambu yang sudah ada agar tidak terjadi klaim antara batas wilayah desa dengan batas TNKS. Selain alasan di atas ternyata ada alasan lain mengapa langkah atau tindakan tersebut di tempuh masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu yaitu karena pernah terjadi pada Hutan Adat yang berada di kawasan desa. Pada saat itu penyerahan kawasan hutan adat pada tahun 1993, dimana hutan adat yang memiliki potensi keanekaragaman hayati itu masih setengah hati, sebab tidak semua hutan adat yang diserahkan menjadi kewenangan masyarakat adat untuk mengelola dan mengawasi, yang mana dikemudian hari kawasan hutan adat tersebut ditarik kembali oleh pemerintah. Sesuai dengan tata
67
batas defenitif TNKS yang dikeluarkan Juni 1995, awalnya dari luasan hutan adat adalah 792 hektar, seluas 745 hektar masuk dalam kawasan Taman Nasional dan hanya 47 hektar berada diluar kawasan Taman Nasional. Pemancangan tata batas baru TNKS ini menimbulkan permasalahan bagi masyarakat adat Desa Baru Pangkalan Jambu khususnya mengenai luas kawasan hutan adat yang menjadi berkurang disatu pihak, dipihak lain masyarakat kehilangan akses kawasan hutan yang selama ini digunakan untuk mencari hasil hutan non kayu seperti madu, rotan dan lain-lain, yang mana pada faktanya mencari hasil hutan non kayu tersebut merupakan sumber mata pencaharian mereka dimana hal itu terjadi ketika mata pencaharian utama mereka berkebun karet dan bersawah tidak mencukupi kebutuhan hidup mereka.
5.3. Hutan Adat Sebagai Bentuk Penguasaan Masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu
Sumberdaya
Lahan
Sejak pemberlakuan Undang Undang Nomor. 5 Tahun 1979, penguasaan sumberdaya alam didominasi oleh negara yang kemudian berdampak terhadap hilangnya ruang bagi pemberlakuan hukum adat dalam pengaturan sistem tenurial karena pada prinsipnya hukum tegak di atas teritorial tertentu yang diakui secara legal keberadaannya. Desa pecahan marga belum memiliki batas-batas yang diakui secara legal oleh negara sehingga desa berada pada posisi yang lemah untuk mempertahankan wilayah klaimnya. Hukum-hukum adat yang mengatur penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya alam juga menjadi lemah ketika berhadapan dengan hukum formal. Pembentukan Hutan Adat di Desa Baru Pangkalan Jambu ditetapkan melalui SK Bupati No. 225 Tahun 1993, tanggal 15 Juni 1993. SK Bupati tersebut berawal dari himbauan Bupati Sarko (Bambang Soekowinarno) kepada 24 desa yang berada di wilayah di Kecamatan Sungai Manau agar membuat Hutan Adat, yang mana kriteria wilayah hutan adat tersebut adalah tidak tumpang tindih dengan desa lain, tidak dilalui oleh jalur transportasi atau mobil. Luas yang diminta waktu itu untuk masing-masing desa adalah 250 Ha. Himbauan tersebut direspon oleh aparat pemerintah desa waktu itu, dan diadakanlah rapat (sidang) di
68
desa yang melibatkan tokoh adat, agama, pemuda dan wakil kelompok perempuan. Hasil sidang memutuskan bahwa daerah yang akan dijadikan Hutan Adat adalah kawasan Hutan Adat sekarang, kemudian diusulkan oleh Kepala Desa (Pak Maakat) melalui Surat Kepala Desa Ninik Mamak Desa Baru Pangkalan Jambu Kepada Bupati Kepala Daerah Tingkat II Sarolangun Bangko Tanggal 1 Februari 1993 Nomor 7/Kades/ 2002/1993, tentang Usulan Pembuatan Hutan Adat Desa kepada Bupati. Menurut warga usulan pada waktu itu hanya sekitar 250 Ha dimana batas-batas calon Hutan Adat berbatasan sebelah Utara dengan Sungai Jernih (batas alam), sebelah Barat dan Timur berbatasan dengan Sungai Pangkalan Jambu, dan Sebelah Selatan berbatasan dengan Sungai Supenin. Adapun alasanalasan anjuran Bupati adalah : a. Hutan sudah semakin hancur, karena penebangan kayu secara illegal dan karena aktivitas pembalakan kayu oleh konsesi HPH. b. Kepentingan penetapan zonasi kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat, dimana Hutan Adat merupakan kawasan buffer zones dari TNKS. c. Hutan Adat sebagai konservasi flora dan fauna
Sumber : yayasan Prakarsa Madani 2003
Gambar 7. Peta Kawasan Hutan Adat Desa Baru Pangkalan Jambu
69
Berdasarkan hasil Focuss Group Discussion (FGD) didapat bahwa dalam hal pengelolaan Hutan adat masyarakat belum memperlihatkan tentang pemanfaatan ruang yang jelas atas hutan adat tersebut.
Selama ini yang
dimengerti masyarakat tentang hutan adat tersebut adalah bagaimana pemanfaatan atau pengambilan-pengambilan kayu, artinya adalah masyarakat telah menentukan daerah-daerah pemanfaatan dan pengambilan kayu tersebut seperti, tidak 0
mengambil kayu pada daerah kelerengan lebih dari 45 , tidak mengambil kayu pada daerah pinggir sungai, tidak mengambil kayu pada daerah hulu sungai.
5.3.1. Institusi Pengelolaan Hutan Adat di Desa Baru pangkalan Jambu Institusi
Hutan
Adat
terangkum
dalam
Perdes
Nomor:
1/Perdes/HAD/XII/93 dan ditetapkan bulan Desember 1993 kemudian perdes ini diperbaharui dengan Perdes Nomor: 01/Perdes/HAD/02/1994. Perdes 1993 tersebut ditandatangi oleh Kepala Desa (Bpk. Maakat) waktu itu, diinisiasi oleh kepentingan WWF adalah dalam promosi kegiatan WWF di Propinsi Jambi berkaitan dengan pengelolaan buffer zones. Perdes 1994 yang bersumber dari Perdes 1993 yang ditandatangani oleh Kepala Desa waktu itu yaitu Alm Nasaruddin. Perdes 1994 ini diinisiasi oleh personil Fasilitator Konservasi Desa (FKD) yang terlibat pada proyek Integrated Conservation and Development Project (ICDP). Jika diteliti lebih dalam ternyata ada perubahan mendasar dari Perdes 1993, berkenaan dengan struktur dan penjelasan tentang kordinator otomatis Hutan Adat yang dijabat oleh Rio Niti. Kenyataan bahwa sebahagian besar masyarakat belum memahami dengan baik isi Perdes tersebut, baik struktur, tugas dan kewenangan maupun hak dan kewajiban masyarakat.
70
KEPALA DESA
KETUA HUTAN ADAT (H. Lijaruddin)
BENDAHARA (Bahrul Kaudin)
BIDANG KEAMANAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Zulkarnaen (kord) Muktarudin Boya herman Surial Kilus Bustanudin Yakub Jatriadi Herman yen
PENGAWAS (Lembaga Adat dan BPD)
SEKRETARIS (Kari Defera)
BIDANG PEMANFAATAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Rojali (kord) Daharudin Muhammad Eduar Nurdin Sargawi Idris
BIDANG PELESTARIAN 1. Irhamna (kord) 2. Hanafi 3. Madi 4. Budriansah 5. Karti 6. Kartini 7. Kartina 8. Enidar 9. Efa yustuti 10. Horimah
Gambar 8. Struktur Organisasi Hutan Adat Desa Baru Pangkalan Jambu
Disatu sisi pembentukan hutan adat sebagai kepeduliaan masyarakat akan kelestarian alam dan juga sebagai pasokan cadangan lahan bagi anak cucu mereka ternyata disisi lain pembentukan hutan adat adalah sebagai bentuk penguasaan sumberdaya hutan oleh masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu di tengah keberadaan penguasaan hutan oleh negara berupa Hutan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Ketakutan dari masyarakat selama ini adalah ketika sewaktuwaktu negara mengklaim bahwa kawasan Hutan Adat tersebut adalah kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), ketika negara klaim hutan tersebut
71
adalah kawasan Hutan Taman Nasional maka seiring waktu masyarakat tidak akan dapat memanfaatkan hasil hutan lagi serta pasokan cadangan lahan bagi anak cucu mereka pun sudah tidak ada lagi sehingga dengan sendirinya krisis sumberdaya lahan pun semakin menjadi-jadi. Berdasarkan pernyataan salah satu informan mengenai hutan adat adalah sebagai berikut : “ kalo kami idak buat hutan adat, kagek lamo-lamo hutan tersebut di jadikan hutan taman nasional kerinci seblat (TNKS), yang akhirnyo kami idak biso lagi manfaatin hutan kami. Tau dewek lah TNKS, masuk be dak boleh apo lagi nak ngambek hasil hutan (kayak rotan, damar, madu, dll)...” (Mktr, wawancara tanggal 19 Maret 2012) “ kalau kami tidak membuat hutan adat, nanti ke lama-lamaan hutan tersebut dijadikan hutan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), yang akhirnya kami tidak bisa lagi memanfaatkan hutan kami. Tahu sendiri dengan TNKS, masuk tidak boleh apa lagi mau mengambil hasil hutan (seperti rotan, dama, madu, dll)...” (Mktr, wawancara tanggal 19 Maret 2012)
5.3.2. Aturan-aturan Dalam Pengelolaan Hutan Adat Berbicara tentang aturan-aturan dalam pengelolaan Hutan Adat terkait dengan hak dan kewajiban serta sanksi-sanksi yang harus dipatuhi oleh masyarakat Desa baru Pangkalan Jambu, dimana aturan-aturan tersebut sebagai berikut : a.
Hak masyarakat 1. Mengambil benih dan bibit tumbuhan untuk kepentingan pengayaan dari dalam kawasan HAD untuk dibudidayakan. 2. Memanfaatkan potensi HAD sebagai tempat rekresasi sekaligus belajar. 3. Memungut hasil hutan berupa bahan baku ramuan obat tradisional tanpa memusnahkan jenis sumber obatan tersebut.
72
b.
Kewajiban Masyarakat 1. Tidak menebang pohon serta memusnahkan jenis tumbuhan sumber makanan satwa secara liar serta jenis tumbuhan induk sebagai sumber benih tanaman budidaya. 2. Tidak membunuh binatang yang hidup dan berkembang biak dalam HAD dan dalam kawasan hutan disekitarnya, kecuali binatang tersebut mengancam dan merugikan hajat hidup orang banyak. 3. Memelihara, menjaga, memperbaiki dan menghormati patok batas fungsi hutan adat desa dan batas tetap hutan Taman Nasional Kerinci Seblat. 4. Tidak membuka dan menggarap perladangan baru serta perluasan lahan budidaya dan membangun pemukiman tetap di dalam Hutan Adat. 5. Tidak melakukan kegiatan pembakaran, baik di dalam maupun di pinggir kawasan Hutan Adat. 6. Tidak membuang sampah yang tidak dapat dihancurkan dan tidak menggunakan cairan beracun dalam melakukan semua kegiatan di dalam kawasan Hutan Adat. 7. Menjaga dan memelihara sumber-sumber mata air dan hulu sungai dalam kawaan hutan adat desa.
c.
Sanksi- sanksi 1. Denda kambing 1 ekor dan 20 gantang beras bagi ; a. Menangkap ikan yang menggunakan zat racun atau peralatan listrik. b. Memasang jerat binatang. c. Menangkap binatang atau satwa langka yang dilindungi. d. Mencemari dan merusak hulu sungai dan anak sungai disekitar hutan adat desa. e. Merubah posisi, merusak dan memusnahkan patok batas hutan adat desa, hutan TNKS.
73
2. Denda 1 ekor kerbau dewasa dan 100 gantang beras bagi yang menangkap binatang dan satwa yang dilindungi, menebang kayu untuk tujuan perdagangan dan membuka hutan untuk keperluan usaha. Pada umumnya masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu mengetahui mengenai aturan-aturan pengelolaan Hutan adat tersebut, namun yang menjadi kendala saat ini adalah masyarakat luar desa Baru Pangkalan Jambu. Kendala yang dimaksud masyarakat desa Baru Pangkalan Jambu adalah ancaman tentang pembalakan liar yang dilakukan oleh masyarakat luar desa Baru Pangkalan Jambu, karena pada dasarnya yang melakukan pembalakan liar tersebut adalah keluarga sendiri yang berada diluar desa Baru Pangkalan Jambu, berdasarkan pernyataan salah satu informan mengenai pembalakan liar di kawasan Hutan Adat yang dilakukan masyarakat luar desa adalah sebagai berikut : “ pengelolaan hutan adat ini susah-susah gampang, kareno yang jadi kendala tu orang-orang luar desa, orang-orang tu nebang kayu di kawasan hutan adat tapi nak dilarang dak biso, kareno orang tu bukan orang lain kadang keluargo dewek lah yang ado di luar desa yang nebang kayu tu...” (Edr, wawancara tanggal 19 Maret 2012) “ pengelolaan hutan adat ini susah-susah gampang, karena yang menjadi kendala adalah orang-orang luar desa, orang-orang itu menebang kayu di kawasan hutan adat tapi mau dilarang tidak bisa, karena orang itu bukan orang lain melainkan keluarga sendiri yang berada di diluar desayang nebang kayu itu....” Edr, wawancara tanggal 19 Maret 2012) Selama terbentuknya Hutan Adat Desa Baru Pangkalan Jambu ternyata memberikan manfaat bagi masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu. Manfaat yang selama ini dirasakan masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu masih hanya berbentuk manfaat ekologi, yang mana manfaat ekologi yang dimaksud adalah ketersediaan air yang bagus sehingga dapat mengairi sawah-sawah masyarakat, selain itu juga mencegah terjadinya banjir karena daya serap yang tinggi dari keberadaan hutan adat tersebut. Manfaat lain yang dirasakan masyarakat saat ini dari keberadaan Hutan adat masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu adalah
74
berdirinya bangunan masjid, dimana berdirinya bangunan masjid tersebut berawal dari ide masyarakat. Ide tersebut menyebutkan bahwa mendirikan masjid dapat dilakukan dengan cara menjual sebagian kecil kayu-kayu dikawasan Hutan adat dengan mempertimbangkan kebutuhan yang diperlukan saja, artinya masyarakat memperkirakan seberapa kebutuhan akan kayu sehingga terbentuknya masjid tersebut. Berdasarkan pernyataan salah satu informan yang merupakan pencetus ide tersebut menyebutkan : “ pada waktu itu di Desa Baru pangkalan Jambu belum ado masjid, jadi sayo berpikir kayak mano supayo ado masjid didesa kami, akhirnyo sayo kasih ide ke masyarakat kayak mano kalo pembangunan masjid ni ngambek dananyo dari kayu-kayu Hutan Adat, tapi kami itung dulu seberapo perlunyo kayu tu kalo dijual biso buat masjid sehinggo kami dak perlu minta sumbangan lagi dari warga, warga cukuplah sumbang tenago bae...” (Mkt, wawancara tanggal 20 Maret 2012) “ pada waktu itu di Desa Baru Pangkalan Jambu belum ada masjid, jadi saya bagaimana suapaya ada masjid di desa kami, akhirnya saya berikan ide ke masyarakat, bagaimana kalau pembangunan masjid ini mengambil dananya dari kayu-kayu hutan adat, tapi kami hitung dulu seberapa perlunya kayu itu kalau dijual bisa buat masjid sehingga kami tidak perlu minta sumbangan lagi dari warga, warga cukup sumbang tenaga saja....” (Mkt, wawancara tanggal 20 Maret 2012)
5.4. Ikhtisar Selama masa Kolonial Belanda sampai dengan masa kemerdekaan Desa Baru Pangkalan Jambu sudah mengenal penguasaan sumberdaya lahan, selama masa tersebut terdapat tiga rejim penguasaan sumberdaya lahan di Desa Baru Pangkalan Jambu, yaitu penguasaan adat, penguasaan pribadi dan penguasaan kaum. Namun setelah pasca masa kemerdekaan terdapat perubahan rejim penguasaan sumberdaya lahan di Desa Baru Pangkalan Jambu dengan masuknya rejim penguasaan sumberdaya lahan oleh Negara.
75
Pada masa pemerintahan marga sebelum masuknya rejim penguasaan negara, wilayah Desa Baru Pangkalan Jambu dikuasai oleh dua unsur pimpinan adat yaitu Rio Niti dan Datuk Bendaharo kayo. Kedua unsur inilah yang mengatur pendistribusian lahan di Desa Baru Pangkalan Jambu, yang kemudian apabila masyarakat ingin membuka lahan di Desa Baru Pangkalan Jambu terlebih dahulu harus mendapatkan izin dan persetujuan dari Rio Niti dan Datuk Bendaharo Kayo, karena hal tersebut tertuang dalam aturan adat yaitu : “setiap orang yang membuka hutan atas izin dan persetujuan pimpinan adat yang berkuasa di atas wilayah Desa Baru Pangkalan Jambu maka akan diakui hak kepemilikannya” Kemudian tidak sampai disitu saja, jika penguasaan negara mempunyai aturan atau pajak mengenai kawasan penguasaannya, maka pada aturan adat juga berlaku mengenai aturan atas pungutan pemanfaatan lahan, sungai, serta kawasan hutan, dimana aturan tersebut berbunyi : “ Ke darat bebungo kayu, ke ayik bebungo pasir, ke sawah ke ladang bebungo emping “ Artinya tiap-tiap warga berkewajiban membayar pungutan hasil panen yang diperoleh dari mengambil hasil hutan dan sungai serta tiap-tiap melakukan aktivitas bersawah dan berladang maka diwajibkan membayar pungutan (cukai) ke pasirah (marga) sesuai dengan hasil yang diperoleh. Pada masa Pemerintahan Marga, aspek penguasaan sumberdaya lahan di Desa Baru Pangkalan Jambu lebih terpusat pada aturan adat, artinya adatlah yang menentukan atas penguasaan sumberdaya lahan. Untuk saat ini aturan-aturan tersebut masih diakui dan ditaati oleh masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu (untuk wilayah yang masih berada dalam penguasaan marga, seperti hutan adat, sawah). Hal ini terlihat pada struktur pengelolaan hutan dimana pengelolaan hutan adat harus dijabat oleh Rio Niti dan Datuk Bendaharo Kayo karena pada dasarnya kawasan hutan adat tersebut berada dalam wilayah kekuasaan kedua pimpinan adat tersebut. Terdapat beberapa fase perubahan penguasaan sumberdaya lahan di Desa Baru Pangkalan Jambu, yaitu : (1) Perubahan dari masa pemerintahan marga menjadi pemerintahan Desa. Terdapat dua teritori yang berbeda pasca perubahan
76
sistem pemerintahan yaitu teritori marga (adat) dan teritori desa. Perubahan sistem pemerintahan dari pemerintahan marga menjadi pemerintahan desa berdampak pada melemahnya otoritas dan berkurangnya wilayah adat (marga) terhadap sumberdaya alam. Pada masa pemerintahan marga, penguasaan sumberdaya alam sepenuhnya berada pada penguasaan marga (adat). Hampir seluruh hak dimiliki oleh marga (adat) terhadap sumberdaya alam kecuali hak pengalihan, sehingga pada masa pemerintahan marga status kepemilikan marga adalah sebagai proprietor. Hak-hak yang dimiliki oleh marga (adat) tersebut, yaitu : hak akses, hak pemanfaatan, hak pengelolaan, dan hak eksklusi. Kemudian pada masa pemerintahan desa, hak adat (marga) tersebut tetap ada namun untuk wilayah yang masih berada dalam klaim adat (marga), sedangkan untuk diluar wilayah tersebut adat (marga) tidak mempunyai hak lagi. (2) Perubahan sejak ditetapkan sebagai kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Terdapat tiga teritori yang berbeda pasca ditetapkan sebagai kawasan TNKS, yakni : wilayah penguasaan marga, wilayah penguasaan desa, dan wilayah penguasaan TNKS. Sejak ditetapkan sebagai kawasan TNKS berdampak pada hilangnya hak masyarakat, baik hak adat, hak kaum, hak individu, maupun hak desa terhadap sumberdaya yang ada di dalam kawasan TNKS. Hak-hak yang hilang tersebut seperti hak pengelolaan, hak eksklusi, dan hak pengalihan, sedangkan hak akses dan hak pemanfaatan tetap ada namun hanya untuk zona pemanfaatan tradisional saja. Pada masa pemerintahan desa dan pemerintahan marga, status kepemilikan adat (marga) dan desa terhadap sumberdaya alam adalah sebagai proprietor. Sedangkan sejak ditetapkan sebagai TNKS status kepemilikan adat (marga) dan desa pun berubah menjadi authorized user. Dampak dari perubahan penguasaan sumberdaya lahan di Desa Baru Pangkalan Jambu dengan adanya penguasaan sumberdaya oleh negara maka dapat mempersempit ruang gerak masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu dalam pemanfaatan sumberdaya lahan itu sendiri, yang mana masyarakat desa masih bertumpu pada pemanfaatan hasil hutan seperti hasil hutan non kayu (rotan, damar, serta madu hutan). Sejak adanya penguasaan sumberdaya oleh negara berupa penetapan kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) akses masyarakat Desa Baru
77
Pangkalan Jambu pun makin terbatas, artinya bahwa penguasaan sumberdaya yang awalnya berada dalam pengawasan adat kemudian hal tersebut sedikit banyak telah mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu. Berbagai macam tanggapan masyarakat terhadap keberadaan TNKS di wilayah desa, dimana tanggapan-tanggapan tersebut umumnya bersifat negatif, salah satunya adalah masyarakat beranggapan bahwa sejak ditetapkan sebagai kawasan konservasi TNKS diwilayah desa Baru Pangkalan Jambu tidak memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat desa, artinya bahwa TNKS tersebut telah menutup akses masyarakat terhadap hasil hutan yang terkandung didalamnya.
78
VI.
DINAMIKA POLA NAFKAH
6.1. Awal Mula Sumber Nafkah Masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu Di awal kedatangan orang-orang dari negeri Minang Kabau ke wilayah Pangkalan Jambu adalah dengan satu tujuan untuk mencari sumber penghidupan baru yaitu mencari emas. Jadi sumber penghidupan mula-mula orang-orang yang menempati wilayah Pangkalan Jambu adalah dari mencari emas namun tradisi bersawah seperti yang ada di negeri asal mereka tetap dikembangkan. Setelah tambang emas berkembang, wilayah Pangkalan Jambu didatangi oleh orang-orang dari Tamiai (Kerinci) karena sesungguhnya wilayah Pangkalan Jambu merupakan ujung Tamiai yang diperkirakan sampai ke wilayah Tanah Merah ujung Desa Muaro Panco. Rio Tunai dari Tamiai kemudian mendatangi orang-orang yang membuka tambang di wilayahnya lalu meminta sebagian hasil tambang secara pribadi. Berdasarkan sejarah lisan yang dikemukan oleh salah satu informan bahwa orang-orang dari negeri Minang Kabau menolak untuk menyerahkan sebagian hasil tambangnya dan mengejar orang-orang Tamiai sampai di sekitar bukit Pemburu (sekarang disebut Bukit Kemuru). Setelah jauh berlari dan tidak lagi mendapat pengejaran, orang dari Tamiai tersebut berhenti beristirahat lalu tersebutlah sumpah yang berbunyi : “Kalaulah betul daerah Pangkalan Jambu ujung Tamiai, padi ditanam lalang tumbuh, kunyit ditanam putih isinyo, emas baleklah ke tanjung putih kalamnyo”. Setelah mengucapkan sumpah, orang-orang tersebut meneruskan perjalan kembali ke Tamiai. Beberapa waktu kemudian sumpah itu terbukti, segala sesuatu yang menjadi usaha orang-orang di Pangkalan Jambu tidak ada yang menghasilkan. Maka diutuslah rombongan ke Tamiai untuk mengundang Rio Tunai ke Pangkalan Jambu. Oleh Rio Tunai, dikirimlah perutusan yang dipimpin oleh puetranya yang masih kecil (anak-anak). Karena masih anak-anak, orangorang terpaksa harus mendukungnya sampai ke Pangkalan Jambu maka anak tersebut kemudian diberi gelar dengan sebutan Rio Dukung. Rio ini dinamakan
79
titian ke rajo yang menandai wilayah Pangkalan Jambu mulai berajo ke Tamiai yang akhirnya rio tersebut digelar dengan sebut Rio Niti Dirajo.
6.2. Sumber Nafkah Masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu Saat Ini Sumber-sumber nafkah masyarakat desa sangat bervariasi. Berdasarkan pengamatan dilapangan pekerjaan yang digeluti oleh masyarakat mengenai sumber-sumber nafkah masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu dikelompokkan ke dalam jenis-jenis pekerjaan yang bertumpu pada beberapa aspek seperti : aspek pemanfaatan sumberdaya alam, aspek pengembangan industri rumah tangga, dan aspek pelayanan sosial atau jasa.
6.2.1. Aspek Pemanfaatan Sumberdaya Alam a.
Sawah Berdasarkan hasil pengukuran dari peta desa diketahui luasan hamparan
persawahan di Desa Baru Pangkalan Jambu berkisar 117,25 ha yang terdiri dari tiga kategori menurut jenis sumber airnya yaitu sawah payo (rawa), sawah kincir, dan sawah irigasi non teknis (sumber air dari aliran anak sungai). Masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu sebagian besar mengolah sawah satu kali setahun yang dikerjakan sendiri maupun dengan sistem upah untuk jenisjenis pekerjaan tertentu. Dalam mengelola sawah ada pembagian kerja antara lakilaki dan perempuan, misalnya laki-laki melakukan jenis pekerjaan mencangkul, membajak, merencak, membuat semaian, perontokan, dan pengangkutan, sedangkan perempuan melakukan jenis pekerjaan penanaman, penyiangan, dan pemanenan. Namun untuk saat ini beberapa jenis pekerjaan yang sering dilakukan oleh laki-laki seperti mencangkul, membajak, merencak, dan perontokan sekarang sudah digantikan dengan mesin. Pengolahan lahan sampai siap tanam dilakukan dengan menggunakan mesin hand tractor dengan cara menyewa. Besarnya biaya sewa traktor beserta operator berkisar Rp. 400.000,- per 0,75 Ha. Menurut perhitungan secara ekonomi, upah sewa hand tractor jauh lebih murah jika dibandingkan dengan biaya upah buruh harian yang bekerja secara manual. Di
80
Desa Baru Pangkalan Jambu, upah buruh harian lepas untuk perempuan berkisar Rp. 15.000,- per hari sedangkan laki-laki berkisar Rp. 20.000,- per hari. Untuk sawah seluas 0,75 waktu yang dibutuhkan untuk jenis pekerjaan pengolahan tanah sampai siap tanam yang dilakukan secara manual (menggunakan cangkul dan alat bajak sederhana) bisa mencapai 50 hari. Dengan demikian bisa dipahami jika warga lebih cenderung mengupahkan pengerjaan pengolahan lahannya melalui sistem upah hand tractor (tenaga mesin) daripada upah buruh harian tenaga manusia. Di Desa Baru Pangkalan Jambu terdapat satu unit hand tractor yang sudah tidak bisa difungsikan karena beberapa komponennya mengalami kerusakan. Jadi hand tractor yang biasa disewa oleh warga adalah milik Desa Bukit Perentak yang bersebelahan dengan Desa Baru Pangkalan Jambu. Di samping menggunakan hand tractor, warga juga sudah terbiasa menggunakan alat perontok padi. Di Desa Baru Pangkalan Jambu terdapat dua unit thrasher yang digunakan secara bergiliran oleh warga dengan cara membayar sewa pemakaian. Di Desa Baru Pangkalan Jambu belum terdapat huller (mesin penggiling padi) sehingga jika warga ingin mengolah padi menjadi beras mereka memanfaatkan huller yang terdapat di Desa Bukit Perentak. Sedangkan struktur penguasaan sawah di Desa Baru Pangkalan Jambu dapat dikelompokkan sebagai berikut : a. Milik sendiri, yaitu sawah yang diperoleh dari pembagian warisan, beli, dan buka sendiri. b. Milik kolektif, yaitu sawah yang dimiliki secara bersama yang terpola dari sistem pewarisan dengan cara pengelolaan secara bergiliran. c. Sawah orang lain, sawah milik orang lain yang dikelola melalui sistem pinjam, sewa, dan bagi hasil.
Pola pewarisan yang dianut oleh masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu, mengikuti pola yang ada di Sumatera Barat yaitu sawah diwariskan ke kemenakan. Bedanya adalah di Desa Baru Pangkalan Jambu terdapat sawah yang diwariskan ke anak melalui sistem bagi sedangkan di Sumatera Barat tidak ada sawah yang dibagi. Sehingga dengan cara seperti ini berakibat adanya sawah yang
81
dimiliki secara pribadi dan ada yang dimiliki secara kolektif yang dikelola secara bergiliran. Berdasarkan hal tersebut warga mengelompokkan hak dalam pengelolaan sawah atas dua jenis yaitu hak pakai untuk sawah waris yang dikelola secara bergiliran dan hak milik untuk sawah yang berasal dari beli dan bukaan sendiri. Dari luasan sawah sebagaimana disebutkan di atas, menurut keterangan warga sekitar 30 % dimiliki oleh orang dari desa tetangga (umumnya Desa Bukit Perentak) dan sekitar 70 % yang dimiliki oleh warga Desa Baru Pangkalan Jambu. Dalam pengelolaan sawah, warga sudah mengenal penggunaan bahanbahan kimia berupa pupuk dan obat-obatan pembasmi hama dan penyakit. Di antara jenis pupuk yang sudah digunakan oleh warga terdiri dari jenis urea (Nitrogen), SP36 (phosphor), dan KCl (Kalium) dengan dosis penggunaan urea 100 kg/kali/ha (dilakukan tiga kali pemupukan ; sebelum tanam, sebelum masa penyiangan pertama, dan sebelum padi berbuah) ; SP36 75 kg/kali/ha (dilakukan sekali sebelum masa penanaman), dan KCl 75 kg/kali/ha (dilakukan sekali pada masa 20 hari sesudah penanaman). Takaran benih padi yang biasa digunakan oleh warga dalam pengerjaan sawah berkisar 18 gantang per hektar (untuk jenis padi yang digunakan warga 1 gantang = 0,6 kg). Rata-rata mereka memperoleh hasil setiap 1 gantang benih yang digunakan akan memperoleh hasil sekitar 100 gantang padi. Jika padi diolah menjadi beras maka setiap 10 gantang padi mereka akan memperoleh sekitar 4 gantang beras. Hasil yang diperoleh dari sawah hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan akan beras selama beberapa bulan dan rata-rata tidak mencukupi untuk sampai pada musim tanam berikutnya dan kebutuhan beras selanjutnya dipenuhi dari membeli. Menurut warga, Desa Baru Pangkalan Jambu dulunya makmur dengan hasil sawah. Hal ini masih dapat dibuktikan dari keberadaan lumbung padi yang besar dan dulunya selalu penuh. Dengan melihat luasan sawah yang terdapat di Desa Baru Pangkalan Jambu yang dominan merupakan lahan sawah kering, maka secara perhitungan matematis seharusnya desa memiliki kemampuan untuk memproduksi padi sebanyak 586,25 ton setiap musim panen dan jika dianggap tingkat penyusutan pada pengolahan gabah menjadi beras sebesar 50 % maka
82
jumlah beras yang mampu dihasilkan pada setiap musim panen adalah sebesar 293,125 ton6 Kondisi ini tidak mampu dicapai karena adanya beberapa kendala yang dihadapi dalam pengelolaan sawah. Beberapa kendala yang dihadapi dalam pengelolaan sawah adalah terutama kendala serangan hama penyakit, gangguan gulma dan kesulitan air. Untuk mengatasi serangan hama warga menggunakan beberapa jenis pestisida dan beberapa jenis herbisida untuk memberantas gulma seperti Round Up dan Gramoxome. Sedangkan upaya untuk mengatasi masalah kesulitan air pengairan sawah terutama sawah-sawah yang pengairannya bersumber dari aliran anak sungai belum dilakukan oleh warga. Ketika musim kemarau tiba menurut warga terdapat sekitar 10 % sawah yang sama sekali tidak bisa diolah karena sumber airnya kering. Di samping kendala-kendala tersebut, ternak juga merupakan salah satu gangguan yang cukup berarti ketika memasuki masa pengelolaan sawah tahap kedua. Meskipun sudah ada aturan adat yang disepakati yang menyebutkan “sawah berkandang siang dan ternak berkandang malam” namun ini hanya dilaksanakan selama musim tanam pertama dan pada masa musim tanam kedua ternak dibiarkan lepas secara bebas sehingga dapat merusak tanaman padi. Menurut sebagian besar warga bahwa kendala-kendala tersebut berpangkal dari pola pengerjaan sawah yang tidak lagi serentak seperti yang pernah dilakukan oleh para pendahulu mereka. Sulitnya menerapkan pola tanam yang serentak ini disebabkan oleh masalah pengaturan sumber air yang berbeda-beda (kincir, irigasi semi-teknis, dan tadah hujan), dan kemampuan dalam mengolah tanah yang berbeda-beda, dan sebagainya sehingga berakibat sulitnya dalam mengatur air, mengendalikan hama, dan hilangnya kerjasama. Khusus masalah pengendalian hama babi, di Desa Baru Pangkalan Jambu sudah ada persatuan buru babi yang didirikan sudah sejak lama. Aktivitas berburu di Desa Baru Pangkalan Jambu cukup aktif yang rutin dilaksanakan setiap seminggu sekali ketika padi di sawah mulai berbuah. Aktivitas berburu ini dilakukan secara sukarela oleh kelompok dengan kompensasi warga yang mengolah sawah akan memberikan sumbangan berupa satu kaleng padi sesudah musim panen. Di samping itu juga sudah terpola 6
Produktivitas sawah lahan kering berkisar 5 – 6 ton pada kondisi normal dengan pengelolaan menurut anjuran.
83
dimana setiap aktivitas berburu akan dilakukan, para ibu rumah tangga secara spontan menyumbangkan satu bungkus nasi beserta lauk-pauknya kepada anggota kelompok berburu.
b.
Ladang Berladang bagi warga di Desa Baru Pangkalan Jambu merupakan aktivitas
yang dominan dilakukan dalam rangka membuka kebun baru. Areal perladangan biasanya merupakan areal bukaan baru yang sebelumnya merupakan kawasan hutan7 maupun belukar8 dari kebun yang tidak jadi ataupun sudah tidak produktif. Berladang merupakan jenis pekerjaan di bidang pertanian yang tertua bagi warga Desa Baru Pangkalan Jambu karena sejarah penghidupan nenek moyang mereka berpangkal dari aktivitas berladang di samping mendulang emas. Namun pola perladangan yang mereka geluti tidak bersifat permanen dan selalu berpindah. Jika ladang yang dibuka sudah ditanami karet atau jenis komoditi perkebunan lainnya seperti kayu manis dan kopi, maka mereka akan membuka ladang baru di tempat lain. Dalam mengelola ladang ada beberapa kegiatan yang dilakukan, diantaranya menebang dan menebas, mengumpulkan ranting dan pohon bekas tebangan, membakar, menugal dan menanam, menyiang, memanen, dan mengangkut hasil. Jenis komoditi yang biasa diusahakan di ladang meliputi padi ladang, jagung, cabe, singkong, durian, duku, pisang dan dicampur dengan berbagai jenis sayuran. Biasanya, ladang hanya ditanami tanaman pangan pada tahun pertama namun ada juga yang langsung menanami karet di tahun pertama tersebut ketika padi sudah mulai terbit (menampakkan buah). Kebanyakan karet atau jenis komoditi perkebunan lainnya ditanam pada tahun kedua seiring dengan musim tanam kedua di ladang. Umumnya tanaman pangan hanya diusahakan 7
Warga membagi kawasan hutan untuk dijadikan areal perladangan atas dua kategori, yaitu kawasan hutan primer (hutan yang belum pernah dibuka atau diambil kayunya) dan hutan sekunder yaitu hutan yang sudah pernah dibuka tetapi menjadi hutan lagi atau hutan yang sudah pernah diambil kayunya sebagian.
8
Belukar juga dibagi atas dua kategori yaitu belukar muda (lebih cenderung disebut semak atau istilah lokalnya sesap mudo yang ditumbuhi oleh tanaman perdu yang masih kecil-kecil) dan belukar tuo (belukar yang ditutupi oleh jenis tanaman yang sudah mulai berkayu tetapi belum bias disebut sebagai hutan sekunder)
84
selama dua kali musim tanam dan maksimal tiga kali musim tanam. Menurut mereka ketika memasuki tahun ketiga karet atau kayu manis dan kopi sudah mulai besar dan kalau juga tetap ditanami padi atau tanaman pangan lain hasilnya tidak akan bagus seperti pada musim tanam pertama atau kedua. Setelah melewati tahun ketiga ladang lantas ditinggalkan dan rata-rata warga tidak melakukan perawatan terhadap komoditi perkebunan yang diusahakan. Hasil ladang, rata-rata hanya cukup untuk dikonsumsi sendiri selama beberapa bulan dan umumnya tidak sampai untuk memenuhi kebutuhan hidup selama satu tahun. Persoalan yang dihadapi dalam aktivitas perladangan di Desa Baru Pangkalan Jambu adalah kesulitan dalam mengatasi serangan hama, seperti babi dan simpai. Kesulitan ini berpangkal dari pola aktivitas perladangan yang dilakukan secara individual sehingga ketika tanaman pangan sudah mulai menghasilkan ladang harus dijaga selama dua puluh empat jam. Kendatipun demikian tradisi berladang di Desa Baru Pangkalan Jambu masih tetap dijalankan oleh masyarakat sebagai satu-satunya pola yang mereka pahami ketika akan membuka kebun baru atau bagi mereka yang tidak memiliki sawah. Dari informasi yang diperoleh bahwa di Desa Baru Pangkalan Jambu tidak terdapat satu areal khusus yang diperuntukkan sebagai areal perladangan.
c.
Kebun Di Desa Baru Pangkalan Jambu tercatat areal perkebunan rakyat yang
cukup luas mencapai 746 ha yang terdiri dari perkebunan karet, kayu manis, dan kopi. Jenis komoditi perkebunan yang dominan diusahakan oleh warga adalah karet. Di Desa Baru Pangkalan Jambu dulunya juga cukup berkembang komoditi kayu manis dan kopi namun belakangan kedua jenis komoditi ini sudah ditinggalkan oleh warga karena mengalami persoalan harga dimana harga kayu manis dan kopi dinilai warga sangat rendah dan tidak menguntungkan jika tetap dipertahankan. Pengelolaan kebun
di Desa Baru Pangkalan Jambu masih tergolong
tradisional yang dilakukan secara turun-temurun. Umumnya warga menanam jenis bibit karet lokal dan sebagian sudah menanam jenis anakan unggul. Karet
85
merupakan satu-satunya komoditi andalan dan sebagai sumber penghidupan utama bagi warga, baik yang mengelola kebun sendiri maupun bagi mereka yang menggarap kebun milik orang lain (buruh sadap karet). Saat ini, dominan kebutuhan hidup sehari-hari dipenuhi dari hasil menyadap karet, di samping ditopang dari jenis mata pencaharian lain seperti bekayu dan menambang emas. Artinya penghasilan dari menyadap karet dialokasikan untuk memenuhi semua jenis
kebutuhan,
baik
kebutuhan
bertahan
hidup9
maupun
kebutuhan
10
pengembangan daya hidup . Sementara bagi warga yang masih memiliki kebun kayu manis berusaha untuk tidak memanen kebunnya karena harga kulit manis saat ini sedang anjlok, kecuali jika ada kebutuhan mendesak yang tidak mampu dipenuhi dari sumber mata pencaharian lain. Tidak semua warga Desa Baru Pangkalan Jambu yang memiliki kebun. Oleh sebab itu cukup banyak juga warga yang menjadi buruh sadap di kebun karet milik warga lain dalam desa. Bagi warga yang tidak memiliki kebun karet dia dapat menyadap kebun orang lain dengan pola bagi hasil. Aturan pembagian hasil sadapan sudah baku dimana perbandingannya adalah 1 : 3 yaitu
1/3 untuk
pemilik kebun dan 2/3 untuk penyadap dimana semua kebutuhan dalam proses penyadapan ditanggung oleh penyadap. Pengolahan karet di tingkat petani pada umumnya masih dilakukan secara tradisional dengan menggunakan alat cetak sederhana yang dibuat sendiri dari bahan papan. Dalam proses pengolahan karet, ada beberapa tahapan, dimulai dari penyadapan, pengangkutan, dan pencetakan. Banyaknya jumlah lateks yang mampu dihasilkan oleh warga dari hasil sadapannya selama seminggu (berkisar 4–5 hari sadap) sangat bervariasi mulai dari 30 kg sampai mencapai 100 kg bergantung pada luasan kebun dan jumlah pohon karet yang disadap. Secara umum, bagi petani karet di Jambi, jenis lateks yang dihasilkan terdiri dari dua macam yaitu lateks tahu dan lateks tatal. Di Desa Baru Pangkalan Jambu, petani lebih memilih mencetak lateks tatal karena menurut mereka lebih
9
Kebutuhan bertahan hidup atau sering disebut dengan istilah kebutuhan survival mencakup kebutuhan yang di dalam istilah ilmu ekonomi termasuk kebutuhan primer, terdiri kebutuhan akan pangan, sandang dan papan (perumahan).
10
Kebutuhan pengembangan daya hidup merupakan kebutuhan yang menunjang peningkatan kesejahteraan hidup seperti pendidikan, informasi, transportasi, dan sebagainya.
86
menguntungkan. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari toke yang berkecimpung dalam perdagangan karet disebutkan bahwa lateks yang dihasilkan oleh umumnya petani karet di Desa Baru Pangkalan Jambu memiliki kadar air pada kisaran 50 – 60 %. Hal ini pulalah menurut toke tersebut yang menyebabkan harga karet rendah karena pedagang di Bangko maupun di Jambi menstandardkan jenis lateks tatal memiliki kualitas rendah. Lateks
merupakan
getah
karet
yang
sudah
dibekukan
dengan
menggunakan asam cuka sebagai bahan baku industri ban dan industri yang memproduk barang-barang dari bahan baku karet. Menurut keterangan yang diperoleh bahwa jenis lateks yang memiliki kualitas tinggi adalah jenis lateks tahu (non tatal) dengan kadar air 0 – 10 %. Dengan melihat kondisi di lapangan, jenis lateks yang mampu dihasilkan oleh warga karet di Desa Baru Pangkalan Jambu sangat jauh untuk mencapai kualitas dimaksud karena dalam proses penyimpanan lateks yang dihasilkan, warga cenderung merendamnya di sungai sehingga lateks tersebut memiliki kadar air yang sangat tinggi. Di Desa Baru Pangkalan Jambu, warga menjual lateks ke toke-toke lokal yang sudah terpola melalui pola ketergantungan. Artinya, setiap petani sudah memiliki toke yang tetap dalam penjualan lateks yang dihasilkan. Pola ketergantungan ini terbentuk karena adanya unsur yang mengikat warga ke toke yaitu berupa keterikatan dalam bentuk hutang. Para toke dengan leluasa memberikan hutang ke warga baik dalam bentuk barang kebutuhan hidup seharihari maupun berupa uang untuk memenuhi kebutuhan mendesak dengan syarat warga harus menjual lateks yang diproduksinya ke toke. Jika warga tersebut sudah tidak mampu membayar hutang-hutangnya, pada beberapa kasus warga menyerahkan kebunnya kepada toke. Dengan melihat kondisi demikian, ada argumen yang kuat untuk menyebutkan bahwa petani karet di Desa Baru Pangkalan Jambu tidak memiliki posisi tawar dalam menetapkan harga jual lateks, berapapun harga yang ditetapkan oleh toke maka warga terpaksa menjualnya ke toke tersebut meskipun ada toke lain yang mampu membelinya dengan harga yang lebih tinggi. Di lain pihak, dalam hubungan perdagangan lateks antara warga dengan toke, warga justru menyebut pola hubungan tersebut sebagai pola hubungan
87
patronase, artinya warga menganggap toke merupakan pelindung bagi mereka dalam krisis subsistensi terutama pada masa-masa paceklik. Dalam hubungan patronase ini, apapun kesulitan yang dihadapi oleh warga selalu mendapat pertolongan dari toke, disadari atau tidak pola ini sudah membangun pola ketergantungan warga kepada toke yang dalam proses selanjutnya wargapun tidak pernah lepas dari hutang. Pada kenyataannya muncul istilah di kalangan warga bahwa hasil menyadap seminggu hanya cukup untuk melunasi hutang seminggu dan seringkali malah kurang. Hutang-hutang tersebut tidak memungkinkan untuk dilunasi warga ketika warga tidak menyadap, misalnya pada saat sakit atau ketika musim hujan tiba yang mengurangi frekuensi aktivitas menyadap bagi warga. Berdasarkan data terakhir, harga lateks di tingkat toke di Desa Baru Pangkalan Jambu berkisar Rp. 12.000,- per kg. Menurut rumus ekonomi yang dipahami petani bahwa keseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran tercapai ketika harga lateks sama dengan harga beras. Pada kenyataannya harga beras yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat berkisar pada harga Rp. 5.000,- / kg. Dengan melihat angka-angka ini maka jelas harga lateks jauh lebih tinggi dari harga beras dan hal ini terus mendorong untuk mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat produsen lateks di Desa Baru Pangkalan Jambu yang sumber penghidupan satusatunya diperoleh dari hasil lateks yang mampu mereka jual. Namun dengan harga tersebut jika dibandingkan dengan desa di luar Desa Baru Pangkalan Jambu maka, harga yang didapat dari penjualan produksi lateks sangatlah rendah, karena untuk masyarakat desa luar Desa Baru Pangkalan Jambu dapat menerima lebih dari 12.000/kg bahkan mereka bisa mendapatkan 19.000/kg dengan catatan bahwa lateks yang diproduksi tanpa tatal atau lateks murni. Dalam memasarkan lateks, warga cenderung menjualnya langsung dalam bentuk lateks bertatal tanpa melalui proses pengolahan terlebih dahulu. Beberapa warga di daerah lain, sebelum lateks dipasarkan terlebih dahulu dilakukan pengolahan terutama untuk mengurangi kadar air dengan menggunakan alat press seperti yang banyak terdapat di perusahaan crumb rubber. Namun untuk warga Desa Baru Pangkalan Jambu, proses pengolahan untuk mengurangi kadar air ini tidak dilakukan. Mereka cenderung menjual lateks yang dihasilkan langsung
88
kepada toke dalam bentuk lateks bertatal yang sudah mengalami proses perendaman selama beberapa hari. Berdasarkan informasi yang diperoleh, ada dua bentuk sistem pemasaran lateks yang dijumpai di Desa Baru Pangkalan Jambu yang ditunjukkan oleh mata rantai tataniaganya, yaitu : 1.
Warga – Toke di Desa (pengumpul 1) – Toke di Sungai Manau (pengumpul2) - Toke di Jambi (pengumpul 3)
2.
Warga – Toke di Desa (pengumpul 1) – Toke di Bangko (pengumpul 2) – Toke di Jambi (pengumpul 3) Dari data dan informasi yang dikumpulkan tidak dijumpai adanya warga
yang langsung memasarkan lateksnya ke toke di Sungai Manau atau di Bangko maupun toke di Jambi. Diketahui harga lateks di tingkat toke di Bangko lebih tinggi dibandingkan dengan harga di tingkat toke desa. Sehingga dalam hal ini menunjukkan tidak efisiennya sistem pemasaran lateks yang terdapat di Desa Baru Pangkalan Jambu yang disebabkan oleh jalur tata niaga yang sangat panjang sehingga margin yang diterimapun sangatlah tinggi.
d.
Budidaya Ikan Kolam Di samping mengelola sawah, ladang, dan kebun sebagai bentuk-bentuk
sumber-sumber penghidupan bagi warga, ada juga beberapa warga yang sudah mengembangkan budidaya ikan pada media kolam. Budidaya ikan kolam di Desa Baru Pangkalan Jambu diawali dari program ICDP TNKS sebagai salah satu bentuk pengembangan ekonomi alternatif bagi warga. Namun hal ini tidak mampu berkembang sebagaimana yang diharapkan karena warga lebih cenderung melakukan penangkapan ikan di sungai untuk kebutuhan lauk-pauk sehari-hari. Beberapa jenis ikan yang dibudidayakan seperti ikan emas, nila, tawas, karayo, lele, patin, dan mujair hanya diperuntukkan untuk konsumsi sendiri oleh warga yang masih memiliki kolam. Namun untuk informasi terkahir yang didapa bahwa aspek pemanfaatan ruang berupa budidaya ikan kolam sudah tidak dilakukan oleh masyarakat lagi dikarenakan mereka beranggapan bahwa yang dapat menjamin
89
kehidupan mereka bukanlah budidaya ikan kolam, selain itu juga berdasarkan penuturan masyarakat yang dulu mempunyai budidaya ikan kolam tersebut menyatakan bahwa dengan melakukan budidaya ikan kolam tersebut maka waktu banyak terbuang sia-sia yang mana seharusnya masyarakat dapat melakukan menyadap karet, jadi waktu yang dilakukan untuk menyadap karetpun berkurang.
e.
Bekayu Bekayu atau seringpula disebut dengan istilah bebalok merupakan jenis
mata pencaharian yang mengeksploitasi kayu di kawasan hutan untuk dijual ke sawmill yang berkembang marak sejak tahun 1990-an. Jenis pekerjaan ini biasa digeluti secara berkelompok yang jumlah anggotanya berkisar 4 – 6 orang menurut pembagian tugas tertentu, yaitu 1 orang operator chainsaw, 1 orang cooperator, dan 2 atau 4 orang tukang tarik (untuk kapasitas kayu 1 truk dibutuhkan tukang tarik sebanyak 2 orang). Jenis pekerjaan bekayu umumnya digeluti oleh warga yang masih muda karena jenis pekerjaan ini membutuhkan tenaga fisik yang kuat dan beresiko tinggi. Banyak kalangan orang di Desa Baru Pangkalan Jambu yang tertarik dengan jenis pekerjaan ini karena menurut mereka akan memperoleh penghasilan yang tergolong cukup besar. Saat ini lokasi warga bekayu sudah sangat jauh dari pusat pemukiman desa. Untuk satu periode masa melakukan aktivitas bekayu di hutan (menurut istilah warga satu trip), lamanya bisa mencapai 2 – 3 minggu di dalam hutan. Bagi mereka yang menggeluti jenis pekerjaan ini sebenarnya ada keinginan untuk beralih karena menurut mereka jenis pekerjaan ini sangat berat dan beresiko tinggi. Di samping selalu menjadi incaran petugas / alat negara juga rentan terhadap resiko kecelakaan seperti tertimpa kayu, serangan binatang buas dan sebagainya. Pada kenyataannya jenis pekerjaan bekayu ini juga tidak memberi perubahan yang berarti terhadap kualitas hidup mereka. Hanya saja menurut mereka, yang memudahkan dalam menggeluti jenis pekerjaan bekayu adalah sebelum bekerja gaji sudah diberikan terlebih dahulu oleh toke sebagai modal. Demikian pula jika anggota keluarga yang ditinggalkan ketika menghadapi
90
kesulitan bisa meminta bantuan kepada toke terutama kesulitan dalam masalah keuangan.
f.
Penambangan Emas Upaya penambangan emas dilakukan oleh sebagian warga Desa Baru
Pangkalan Jambu secara tradisonal yaitu pola mendulang. Mendulang inipun terdiri dari dua macam, mendulang pasir yang umum dilakukan oleh kaum perempuan dan mendulang pecahan napal yang umum dilakukan oleh kaum lakilaki. Mendulang pasir tidak dibutuhkan banyak peralatan, cukup alat dulang, sayak lawak (tempat penampung hasil), dan puro (tempat emas untuk dibawa pulang) sedangkan mendulang pecahan napal dibutuhkan banyak peralatan seperti penjepit (untuk menyimpulkan biji emas), dulang (memisahkan emas dengan pasir/debu), tajak kauik (untuk menggarut/menoreh napal yang mengandung emas), linggis (untuk memecah napal), sayak kauik, puro, dan kaca mata selam (untuk daerah napal yang berada di dalam air). Aktivitas mendulang biasanya dilakukan pada saat musim kemarau. Lokasi mendulang terbagi dua, di sungai ketika air sungai dangkal dan di daerah batu-batu napal. Pada daerah batu napal yang diyakini mengandung emas biasanya sebelum mendulang dilakukan pemotongan ayam. Jika pada saat ayam mati kepalanya menghadap ke atas maka keberadaan napal yang mengandung emas dangkal atau tidaklah dalam dari permukaan air, demikian sebaliknya. Warga biasanya menjual emas hasil mendulang berupa biji atau serbuk emas dengan harga 1 emas (menurut takaran lokal dimana 1 emas = 2,5 gram) Rp. 400.000,- . Namun aktivitas mendulang ini tidak selalu memberikan hasil yang memuaskan. Hal ini sesuai dengan pepatah yang diyakini oleh warga bahwa hidup mendulang ibarat ―mujur sehari malang setahun‖, artinya setelah mendapatkan hasil yang banyak maka sampai bertahun-tahun baru akan mendapatkan hasil lagi.
91
Gambar 9. Masyarakat Sedang Mencari Spot Emas
g.
Gambar 10. Masyarakat Mendulang Emas
Mencari Madu Mencari madu bukanlah merupakan jenis pekerjaan yang dapat dilakukan
oleh semua warga karena jenis pekerjaan ini memerlukan keterampilan dan pengetahuan khusus. Madu lebah banyak terdapat di pohon-pohon sialang10) yang tinggi. Bagi warga yang menggeluti jenis pekerjaan ini biasanya mencari madu dilakukan pada malam hari. Tidak sepanjang tahun lebah menghasilkan madu, kebanyakan pada saat padi mulai berbuah atau ketika musim durian berbunga. Untuk mencari madu diperlukan beberapa jenis peralatan, diantaranya selalo (alat untuk menyalakan api guna mengusir induk lebah), pasak (untuk dijadikan patok tempat berpijak ketika memanjat pohon), tali (untuk menurunkan madu yang diperoleh dari atas pohon), ember (untuk menampung madu), dan pisau (untuk memotong sarang lebah dari pohon). Hasil madu yang diperoleh ketika mencari madu tidak selalu banyak, tergantung musim. Warga yang menggeluti jenis pekerjaan ini biasanya menjual madu yang dihasilkan seharga Rp. 30.000,-/botol (ukuran botol limun). Hingga saat ini belum terpikirkan oleh warga untuk membudidayakan lebah seperti yang sudah ada di Desa Kersik Tuo Kecamatan Kayu Aro Kerinci, meskipun dilihat 10)
Pohon sialang adalah jenis tumbuhan kayu yang banyak terdapat di hutan dan sekitar kebun yang sengaja dipelihara karena lebah sangat menyukai jenis pohon ini untuk membuat sarang dan menghasilkan madu. Biasanya lebah menempatkan sarangnya pada ketinggian 30 – 50 m.
92
dari harga jual madu, jenis usaha ini cukup mampu menopang biaya kebutuhan hidup.
h. Menangkap Ikan Kebutuhan akan ikan masih bisa diakses oleh warga dari sungai. Aktivitas menangkap ikan di sungai dilakukan semata-mata hanya untuk dikonsumsi sendiri terkecuali jika hasil yang diperoleh kebetulan jumlahnya banyak, memungkinkan juga untuk dijual kepada warga lain di desa. Untuk menangkap ikan di sungai maupun di sekitaran rawa, warga biasanya menggunakan beberapa jenis alat tangkap seperti lukah atau bubu, pancing, senapang (alat tembak yang dirancang khusus), sampang (berbentuk trisula), jala, pukat, jala kauik (sejenis jala kecil yang digunakan menangkap ikan pada malam hari), dan tangguk. Ada juga beberapa warga yang menggunakan alat tangkap berbahaya dan bahan beracun untuk mengeksploitasi ikan di sungai seperti strum, lanit, dan putas meskipun jenis alat dan bahan ini dilarang penggunaannya. Untuk mempertahankan kelangsungan keberadaan sumberdaya ikan khususnya yang terdapat di sungai Pangkalan Jambu hingga saat ini belum diupayakan oleh warga kecuali melakukan pelarangan terhadap penggunaan alat tangkap berbahaya dan bahan beracun dalam menangkap ikan karena hal tersebut akan mematikan semua jenis ikan baik dari yang kecil sampai yang besar. Ada keinginan warga untuk mengelola kawasan perlindungan ikan di sungai seperti yang terdapat di daerah lain yang lazim disebut dengan istilah lubuk larangan. Kemudian dengan keinginan yang kuat dari masyarakat untuk didirikan lubuk larangan tersebut maka tahun 2008 berdirilah lubuk larangan tersebut yang dikelola oleh karang taruna. Untuk lubuk larangan sendiri merupakan salah satu pondasi solidaritas masyarakat. Hal ini tercermin pada saat tahun 2010 lubuk larangan tersebut dipanen beramai-ramai oleh masyarakat. Dengan hal tersebut masyarakat menganggap betapa pentingnya lubuk larangan tersebut. Namun lubuk larangan tersebut tidak dapat berdiri lama pada tahun 2012 lubuk larangan tersebut sudah tidak ada, dikarena terjadi kesalahpahaman antara masyarakat dan organisasi karang taruna.
93
Gambar 11. Warga Desa Sedang Menangkap Ikan Dengan Jala
6.2.2. Aspek Pelayanan Sosial dan Jasa-jasa a.
Transportasi Bagi beberapa warga yang memiliki kendaraan sepedar motor, di samping
kendaraan yang dimiliki dimanfaatkan untuk kemudahan mobilisasi ke luar desa sekaligus juga dijadikan ojek untuk menambah penghasilan rumah tangga. Warga di Desa Baru Pangkalan Jambu memang masih dihadapkan oleh kesulitan sarana transportasi terutama mobil angkutan belum ada di desa. Pada hari-hari tertentu seperti hari pasar di Desa Tiga Alur Pangkalan Jambu setiap hari selasa dan hari pasar di Sungai Manau setiap hari Kamis, baru kendaraan angkutan masuk ke desa. Selain hari-hari tersebut warga biasanya memanfaatkan kendaraan ojek untuk berhubungan ke luar desa. Tarif ojek yang berlaku untuk trayek Desa Pangkalan Jambu – Simpang Tiga Alur Pangkalan Jambu adalah Rp. 5.000/orang sedangkan sampai ke Sungai Manau adalah Rp. 15.000,-/orang.
b.
Perdagangan Aspek perdagangan yang berkembang di Desa Baru Pangkalan Jambu
adalah berkisar pada usaha dagang sembilan kebutuhan pokok. Beberapa warga menjadikan usaha ini untuk menambah penghasilan rumah tangga. Membuka
94
warung / toko merupakan usaha yang digeluti secara sampingan oleh beberapa warga di Desa Baru Pangkalan Jambu. Bagi warga yang memiliki modal besar juga menekuni usaha jual-beli karet dan menampung hasil pertanian lainnya seperti kulit manis.
c.
Pengobatan Tradisional Desa Baru Pangkalan Jambu cukup kaya akan potensi tumbuhan obat-
obatan. Oleh karenanya beberapa warga memanfaatkan potensi ini untuk membantu memberikan layanan pengobatan terhadap warga yang tidak mampu berobat ke bidan atau dokter puskesmas. Bagi seorang dukun kampung tidak memberlakukan tarif khusus dalam memberikan layanan kesehatan kepada warga, tergantung berapa kemampuan warga untuk memberikan imbalan jasa atas layanan yang diberikan. Di Desa Baru Pangkalan Jambu terdapat beberapa jenis dukun di antaranya, dukun bersalin, dukun urut, dukun ahli tulang, dan dukun pengobatan. Bahan-bahan yang dijadikan ramuan obat oleh dukun umumnya tersedia di desa sehingga jika ada warga yang membutuhkan pengobatan bahan ramuan obatnya mudah didapat. Penghasilan dari memberikan layanan jasa pengobatan kepada warga tidak tergolong besar karena menurut mereka tujuan pokoknya bukan untuk pencarian tapi berangkat dari niat untuk menolong berdasarkan kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki.
d.
Buruh Harian Istilah buruh harian yang terdapat di Desa Baru Pangkalan Jambu hanya
diperuntukkan untuk jenis pekerjaan mengambil upah pada pengerjaan sawah, ladang, dan kebun. Buruh harian ini digeluti baik oleh laki-laki maupun perempuan namun lebih dominan dilakukan perempuan. Jenis-jenis lapangan pekerjaan untuk buruh harian ini meliputi menebang dan menebas pada pembukaan ladang, penyiangan di kebun, mencangkul sawah, penyiangan di
95
sawah, panen padi di ladang dan sawah, dan pengangkutan hasil 11. Upah buruh harian lepas berkisar Rp. 45.000,-/orang/hari untuk laki-laki dan Rp. 30.000,/orang/hari untuk perempuan.
6.2.3.
Aspek Pengembangan Industri Rumah Tangga Kegiatan industri rumah tangga belum berkembang di Desa Baru
Pangkalan Jambu. Belum ada warga yang menjadikan lapangan pekerjaan ini sebagai salah satu bentuk sumber penghasilan rumah tangga. Kendatipun demikian beberapa jenis potensi industri rumah tangga seperti pembuatan galamai (dodol) dan kerajinan anyaman (khususnya pembuatan tikar) sewaktu-waktu juga memberikan sumbangan terhadap penghasilan rumah tangga yang dilakukan secara sampingan dan ketika ada pesanan. a.
Pembuatan Galamai (Dodol) Di kalangan warga Desa Baru Pangkalan Jambu, membuat galamai adalah
sebuah tradisi yang diwarisi secara turun-temurun. Pembuatan galamai biasanya marak dilakukan menjelang perayaan hari raya Idul Fitri yang merupakan suatu keharusan bagi warga Desa Baru Pangkalan Jambu dan bagi mereka yang tidak membuat galamai pada waktu tersebut akan mendapat cemoohan dari warga lain dalam desa. Oleh sebab itu ketika menjelang lebaran, warga mengutamakan menyisihkan uang untuk pembuatan galamai ketimbang untuk membeli pakaian atau kebutuhan lainnya. Bahan makanan yang disebut oleh warga Desa Baru Pangkalan Jambu dengan sebutan galamai terdiri dari campuran tepung beras ketan putih, kelapa, gula pasir (ada juga yang menggunakan gula aren), susu coklat, dan vanili. Uniknya, galamai tersebut menurut warga tahan disimpan selama satu tahun dan umumnya warga ketika membuat galamai sekaligus juga membuat tempat penyimpanan (kasang menurut instilah lokal) yang terbuat dari anyaman pandan yang menyerupai kantong kecil yang juga memiliki keindahan yang khas. Hampir rata-rata warga Desa Baru Pangkalan Jambu menguasai teknik 11
Seorang yang mengambil upahan pengangkutan hasil sebenarnya tidak dihitung berdasarkan jumlah hari kerja tetapi kebanyakan lebih bersifat upah borongan yang besarnya upah ditetapkan berdasarkan kesepakatan.
96
pembuatan galamai baik perempuan maupun laki-laki karena ketika mereka membuat galamai biasanya dilakukan secara bersama-sama melalui kelompokkelompok tetangga maupun kerabat terdekat. Ini merupakan sebuah potensi untuk pengembangan industri rumah tangga di Desa Baru Pangkalan Jambu. Alasan bagi warga untuk tidak menjadikannya sebagai sumber tambahan penghasilan adalah aspek pemasaran lokal yang tidak mendukung.
b.
Kerajinan Anyaman Kerajinan anyaman yang berkembang di kalangan warga Desa Baru
Pangkalan Jambu meliputi pembuatan tikar, ambung, dan bakul. Mereka terbiasa membuat tikar dengan memanfaatkan bahan daun pandan yang banyak tumbuh secara liar maupun dibudidayakan di desa. Daun pandan tersebut juga digunakan sebagai bahan untuk membuat kasang (tempat mengemas galamai/dodol) dan bakul yang biasa digunakan sebagai alat untuk mengangkut padi menuju lumbung ketika habis panen. Sedangkan ambung dibuat dengan menggunakan bahan rotan dari berbagai jenis yang diperoleh dari kawasan
hutan sekitar desa. Produk
kerajinan anyaman ini ternyata cukup memiliki nilai ekonomis. Sebuah tikar yang berukuran 2 x 3 m2 biasanya dijual dengan harga Rp. 20.000 – 25.000,- per lembar. Produk ambung biasanya dijual dengan harga Rp. 30.000,- per buah. Kendatipun demikian warga Desa Baru Pangkalan Jambu juga belum mengembangkan kerajinan anyaman tersebut sebagai sumber penghasilan tambahan. Aktivitas menganyam hanya dilakukan untuk kebutuhan sendiri dan memenuhi pesanan jika ada warga desa yang membutuhkan.
6.3. Perubahan Pola Nafkah Masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu Berdasarkan pengamatan di lapangan serta wawancara terhadap beberapa informan, didapat bahwa sumber nafkah masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu cukup beragam, namun saat ini yang menjadi jaminan hidup masyarakat adalah perkebunan karet. Sebelumnya telah disebutkan bahwa awal sumber nafkah masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu adalah menambang emas, seperti penuturan salah satu informan menyatakan bahwa :
97
“ kalo hanyo mengandalkan hidup dari nambang emas be idaklah cukup, karena jika menambang emas masyarakat mengistilahkan mujur sehari malang setahun, artinya adalah kegiatan menambang emas tidak lah selalu dapat menghasilkan, namun jika menyadap karet hasil nya langsung dapat dipastikan...”. (bdr, wawancara tanggal 20 Maret 2012) ― kalau hanya mengandalkan hidup dari mencari emassaja tidak lah cukup, karena jika mencari emas masyarakat mengistilahkan mujur sehari malang setahun, artinya adalah kegiatan mencari emas tidaklah selalu dapat menghasilkan, namun jika menyadap karet hasilnya langsung dapat dipastikan....‖ (bdr, wawancara tanggal 20 Maret 2012)
Sejak berdirinya Desa Baru Pangkalan Jambu, ternyata telah mengalami beberapa perubahan sumber nafkah, namun ada juga yang tetap. Perubahan tersebut dapat dilihat pada tabel dibawah ini : Tabel 10. Perubahan Pola Sumber Nafkah Masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu Sejak Masa Belanda sampai masa Reformasi (saat ini) Masa Belanda < 1942 -
Menambang emas Sawah
Masa Jepang 1942 - 1945 -
Menambang emas Sawah Ladang Kebun Kopi
-
Masa awal Kemerdekaan 1945 – 1969 Menambang emas Sawah Ladang Kebun Kopi Kebun Kulit Manis
Masa Logging 1970 – 1997 -
Menambang emas Sawah Kebun karet bekayu
Masa Reformasi 1998 - 2012 -
Menambang emas Sawah Kebun karet Tukang PNS Warung Supir
Tabel di atas menunjukan perubahan-perubahan sumber atau pola nafkah di Desa Baru Pangkalan Jambu. Berdasarkan hasil Focus Group Discussion bahwa awal mula atau pada masa Belanda sumber nafkah masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu adalah menambang emas (mendulang emas) dan sawah. Pada masa Pemerintahan Belanda sumber nafkah mendulang emas dan sawah terkait erat dengan sejarah kedatangan orang-orang dari negeri Minangkabau. Saat ini kegiatan mencari emas dan sawah masih dilakukan oleh masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu namun menurut masyarakat desa kegiatan mencari emas diibaratkan sesuatu yang gaib karena setiap kali
98
melakukan kegiatan menambang emas belum tentu mendapatkan hasil seperti yang mereka harapkan, seperti pepatah masyarakat mengatakan bahwa mujur sehari malang setahun yang artinya hari ini bisa beruntung namun untuk hari-hari berikutnya belum tentu beruntung. Untuk kegiatan bersawah berdasarkan pengamatan dan wawancara terhadap beberapa informan mengatakan bahwa untuk kegiatan bersawah saat ini masih dilakukan satu kali setahun (sawah tadah hujan), menurut informan bahwa hasil panen sawah umumnya untuk dikonsumsi pribadi bukan untuk diperjual belikan, selain itu juga dari hasil panen tersebut ternyata tidak akan dapat mencukupi kebutuhan selama setahun melainkan hanya dapat dimanfaatkan kurang lebih selama lima bulan. Lebih lanjut informan tersebut mengatakan bahwa untuk biaya produksi (pembeliaan pupuk, pestisida, dll) tidak seimbang dengan hasil panen dari kegiatan bersawah, namun walaupun begitu masyarakat tetap saja melakukan kegiatan bersawah. Artinya, jika dilihat dari kacamata Max Weber bahwa masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu yang melakukan kegiatan bersawah telah melakukan tindakan tradisional, karena menganggap bahwa kegiatan bersawah yang selama ini masyarakat lakukan mengandung makna. Kegiatan bersawah merupakan tindakan sosial yang dapat dimengerti hanya menurut arti subyektif dan pola-pola motivasional yang berkaitan dengan itu. Menurut masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu mempunyai makna tersendiri sehingga harus dilakukan, sedangkan sebagian dari pihak akademisi memandang yang dilakukan masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu sangat tidak rasional, namun, rasional bagi yang melakukan. Pada saat masa Jepang sumber nafkah mulai bertambah yaitu munculnya ladang dan perkebunan kopi, perubahan tersebut dikarenakan pada masa tersebut pemerintahan Jepang menganggap daerah Desa Baru Pangkalan Jambu sangat cocok untuk ditanamin perkebunan kopi. Kemudian pada masa awal kemerdekaan terjadi penambahan sumber nafkah masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu yaitu perkebunan kulit manis, selain perkebunan kopi ternyata Desa Baru Pangkalan Jambu memiliki potensi untuk ditanamin perkebunan kulit manis selain itu juga dikarenakan pada saat itu pemerintahan mulai menggalakkan perkebunan kulit manis yang ternyata memiliki harga yang cukup tinggi dibandingkan perkebunan
99
kopi, sehingga pada saat itu perkebunan kopi mulai perlahan-lahan ditinggalkan oleh masyarakat. Perubahan pada masa logging lah yang sangat paling mencolok, dimana pada masa logging tersebut masyarakat lebih mengutamakan sumber nafkah memanfaatkan hasil hutan seperti menebang hutan dan dimanfaatkan kayunya (atau yang disebut masyarakat bebalok atau bekayu) dikarenakan hasil yang didapat dari bekayu lebih besar dari sumber nafkah lainnya pada masa-masa sebelum logging, dimana masyarakat bisa menghasilkan atau berpendapatan hingga 23 juta per Minggu, berdasarkan penuturan salah satu informan yang pernah melakukan ilegal logging pada saat itu adalah : “ pado maso bebalok, warga desa kami kayo nian. Seminggu di hutan biso dapat sen kurang lebih 23 juta, 23 juta tu sudah bersih kami dapat per kelompok. Biasonyo kalo kami pegi bebalok tu berenam sampe bertujuh orang. Tapi dari hasil yang didapat seimbang lah dengan resiko yang didapat, kareno resiko bebalok tu adolah nyawo, kalo dak padek pacak ketimpo balok kayu...” (tjd, wawancara tanggal 15 maret 2012) Pada masa mencari kayu, warga desa kami kaya sekali. Seminggu di hutan bisa dapat uang kurang lebih 23 juta, 23 juta itu sudah bersih kami dapat per kelompok. Biasanya kalau kami pergi mencari kayu itu berenam sampai bertujuh orang. Tapi dari hasil yang didapat seimbang dengan resiko yang didapat, karena resiko mencari kayu itu adalah nyawa, kalau tidak mahir dapat tertimpa balok kayu...‖ (tjd, wawancara tanggal 15 maret 2012) Pada masa logging tersebut, masyarakat sudah mengembangkan budi daya tanaman karet, namun karena pada saat itu harga dari komoditi karet tersebut tidak lah tinggi seperti saat ini dibandingkan dengan hasil bebalok. Kemudian keluar aturan tentang dilarang ilegal logging akhirnya masyarakat tidak melakukan lagi ilegal logging, selain aturan tersebut yang membuat masyarakat berhenti melakukan ilegal logging ternyata pada tahun 2001 terjadi bencana banjir yang diakibatkan berkurangnya daya serap air sehingga pada saat banjir tersebut meluluh lantakan jembatan yang merupakan salah satu penghubung masyarakat dengan masyarakat luar.
100
Ketika era ilegal logging berakhir masyarakat lebih mengandalkan hidupnya dari hasil karet, karena untuk saat ini hasil atau pendapatan dari karet cukup baik. Selain harga yang cukup tinggi ternyata karet juga lebih cepat dijual. Seperti salah satu penuturan informan yang merupakan seorang petani karet : “ kalo untuk sekarang, enaklah motong karet kareno hargo karet semakin lamo semakin tinggi, saat ini be karet hargonyo biso sampe Rp. 13.000,-/kg, apolagi kalo karet bersih biso sampe Rp. 16.000,/kg. Daripada cari emas seharian kerjo belum tentu dapat kalo kato orang sini cari emas tu mujur sehari malang setaun...” (Ajr, wawancara tanggal 15 Maret 2012) Kalau untuk sekarang, lebih baik menyadap karet karena harga karet semakin lama semakin tinggu, saat ini karet saja harganya bisa sampai Rp. 13.000,-/kg, apalagi kalau karet bersih dapat mencapai Rp. 16.000,-/kg. Daripada mencari emas seharian kerja belum tentu dapat kalau kata orang sini cari emas itu mujur sehari malang setahun...‖ (Ajr, wawancara tanggal 15 Maret 2012)
Berdasarkan penuturan informan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa harga dari komoditi karet saat ini semakin membaik dibandingkan dengan harga komoditi yang dulu. Dalam pemahaman masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu, walaupun saat ini perkebunan karet merupakan jaminan hidup masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu saat ini tidak menutup kemungkinan masyarakat dapat beralih fungsi sumber nafkah, karena rasionalitas masyarakatpun muncul ketika harga dari komoditi karet tersebut sudah tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. Namun masyarakat yakin bahwa sumber penghidupan dari karet ini akan berlangsung selamanya sampai ke anak cucu mereka, berdasarkan pernyataan salah satu informan mengenai sumber penghidupan perkebunan karet adalah sebagai berikut :
101
“ kami yakin kalo sumber nafkah dari karet ini bakal selamonyo, kareno kato penyuluh karet ni dibutuhkan untuk segalo hal. Tapi tingok jugo lah dari hargonyo, kalo hargonyo cocok kami bakal motong terus tapi kalo idak cocok dak bakal kami nak motong lagi, kareno agek dapur kami idak berasap...” (Boy, wawancara tanggal 17 Maret 2012) ― kami yakin kalau sumber nafkah dari karet ini bakal selamanya, karena kata penyuluh karet ini dibutuhkan untuk segala hal. Tapi lihat juga dari harganya, kalau harganya cocok kami bakal terus menyadap tapi kalau tidak cocok tidak bakal kami menyadap lagi, karena nanti dapur kami tidak berasap...‖ (Boy, wawancara tanggal 17 Maret 2012)
Berdasarkan pernyataan informan tersebut, yang mendorong mereka untuk terus melakukan menyadap karet dikarenakan rasionalitas warga desa akan harga. Namun dari wawancara beberapa informan ternyata masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu beranggapan bahwa yang menjadi alternatif sumber nafkah ketika harga komoditi karet turun hanyalah mencari emas (mendulang emas) namun alternatif sumber nafkah tersebut bukan lah menjadi jaminan hidup masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu, karena seperti yang dikatakan oleh masyarakat mengenai menambang emas (mendulang emas) adalah ‖mujur sehari malang setaun”, selain itu juga menambang emas (mendulang emas) memiliki resiko yang besar. Berdasarkan penjelasan informan bahwa pada masa reformasi atau saat ini sumber nafkah masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu cukup variatif artinya terdapat sumber-sumber nafkah baru demi mempertahani hidup masyarakat. Sumber-sumber nafkah tersebut seperti membuka warung, menjadi pegawai negeri sipil (PNS), tukang, dan supir. Sumber nafkah membuka warung, tukang, dan supir bagi masyarakat merupakan salah satu alternatif sumber nafkah demi memenuhi kebutuhan hidup, pemilihan sumber nafkah ini dilakukan karena ada sebagian dari masyarakat yang hanya memanfaatkan sumberdaya hutan (mencari
102
rotan) sehingga menurut salah satu rumah tangga di lokasi penelitian adalah merupakan bentuk cara bertahan hidup rumah tangga tersebut. Selain itu juga perubahan sumber nafkah ini menurut informan adalah diakibatkan dari masuknya atau ditetapkannya Desa Baru Pangkalan Jambu sebagai kawasan konservasi, dengan adanya TNKS menurut informan mereka telah tereksklusi oleh sumber nafkah mereka yaitu sumberdaya hutan (hasil hutan non-kayu). Dampak dari masuknya rezim penguasaan hutan oleh Negara (berupa TNKS) yaitu pada masyarakat atau rumah tangga yang sumber nafkahnya bergantung pada hasil hutan seperti mencari hasil hutan non kayu (rotan, mencari ikan, dan juga mencari madu) yang mana sebelumnya masyarakat tersebut dapat memanfaatkan hasil hutan non kayu secara maksimal demi memenuhi kebutuhan hidupnya, namun setelah adanya penetapan kawasan tersebut merupakan kawasan konservasi maka secara langsung negara dengan regulasinya mengeklusi masyarakat dari sumber nafkahnya. Tereksklusinya masyarakat dari sumber nafkahnya membawa masyarakat pada sumber nafkah yang baru demi mempertahankan hidupnya. Perubahan sumber nafkah tersebut seperti yang telah dijelaskan sebelumnya yaitu menjadi supir angkutan, menjadi tukang, dan membuka warung. Salah satu pernyataan informan yang mana awalnya sumber nafkahnya adalah mencari madu kemudian dengan adanya kebijakan Negara berupa penetapan TNKS maka informan tersebut tidak dapat melakukan aktivitas seperti biasanya dikarenakan tertutupnya akses di kawasan TNKS, berikut pernyataan informan tersebut : Dulu, sebelum ado TNKS sayo biso ngambek madu disano tapi setelah ado TNKS sayo dak biso ngambek madu lagi, nak masuk be dak boleh cak mano nak ngambek madu. Pernah sayo cubo masuk tapi dimarahin oleh yang jago TNKS. Sebenarnyo sayo masih biso ngambek di hutan adat, tapi dihutan adat idak begitu banyak kayak di hutan TNKS, dari dulu nian sayo ngambek madu tu di TNKS, tau galo sayo dimano be letaknyo pohon madu tu. Kareno sayo dak ngambek lagi madu akhirnyo sayo cari kerjoan lain yaitu jadi tukang, trus sayo suruh bini sayo buka warung. Kalo dak kayak gitu berarti dak makan anak bini sayo. (hrn, wawancara tanggal 16 Maret 2012) Dulu, sebelum ada TNKS saya masih bisa mengambil madu disana, tapi setelah ada TNKS saya tidak bisa mengambil madu lagi, mau masuk saja tidak boleh bagaimana mau mengambil madu. Pernah
103
saya coba untuk masuk tapi di larang oleh penjaga TNKS, sebenarnya saya masih bisa mengambil madu di kawasan Hutan Adat, tapi hutan adat tidak begitu banyak hasilnya seperti di hutan TNKS, dari dulu sekali saya mengambil madu di TNKS, tahu semua saya dimana saja letaknya pohon madu tersebut. Karena saya tidak dapat mengambil madu lagi akhirnya saya cari kerjaan lain yaitu menjadi tukang, terus saya suruh istri saya untuk buka warung. Kalau tidak seperti itu anak istri saya tidak bisa makan (hrn, wawancara tanggal 16 Maret 2012)
Dari pernyataan diatas dapat diketahui bahwa perubahan sumber nafkah yang dilakukan salah satu informan tersebut sebagai bentuk akibat tereksklusinya informan dari sumber nafkah, hal tersebut mereka lakukan semata-mata demi memenuhi kebutuhan hidup rumah tangga. Kemudian hal tersebut senada dengan konsepnya Hall et.al (2011) Powers of exclusion. Land Dillemmas in Southeast Asia, yang menyatakan bahwa penyebab terjadinya eksklusi adalah regulasi, artinya bahwa regulasi ikut serta pada pengeksklusian masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu pada sumber nafkahnya. Selain itu hal yang serupa juga dirasakan oleh informan lain, yang mana awalnya adalah sebagai pencari ikan dan sebagai pencari air gula (sadap batang enau) namun setelah masuknya TNKS, maka informan tersebut tidak dapat lagi mencari ikan dan mencari air gula (sadap pohon enau) sehingga mengharuskan informan tersebut untuk beralih sumber penghidupan demi memenuhi kebutuhan hidup rumah tangganya, berikut pernyataan informan tersebut Sebelumnyo sayo kerjonyo di desa iko nyari ikan samo cari aek gulo, tapi kini sayo ko idak biso cari ikan lagi, kalo nyari aek gulo biso lah sayo cari pohon enau di dekat-dekat desa be, tapi kalo nyari ikan dak biso di dekat-dekat desa, kareno dak do lagi ikannyo. Kareno sayo dak biso nyari ikan lagi akhirnyo sayo kerjo jadi supir bae. Daripada dak do kerjoan jadi lah nambang mobil orang. (ysn, wawancara tanggal 21 Maret 2012) Sebelumnya saya kerjanya di desa ini mencari ikan dan juga mencari air gula, tapi sekarang saya tidak bisa lagi mencari ikan, tapi kalau untuk mencari air gula bisa lah saya cari pohon enau di dekat-dekat saja. Tapi kalau mencari ikan tidak bisa di dekat-dekat desa, karena saya tidak ada lagi ikannya. Karena saya tidak bisa
104
mencari ikan lagi akhirnya saya kerja menjadi supir saja. Dari pada tidak ada kerjaan jadilah nambang mobil orang. (ysn, wawancara tanggal 21 Maret 2012)
Dari penjelasan informan diatas, dapat simpulkan bahwa penetapan kawasan taman nasional ternyata membawa pada penjauhan sumber nafkah masyarakat oleh negara. Artinya sumber-sumber nafkah yang menjadi penjamin kehidupan
masyarakat
Desa
Baru
Pangkalan
Jambu
berangsur-angsur
ditinggalkan dikarenakan akses masyarakat terhadap sumber nafkah tersebut menjadi tergerus.
6.4. Ikhtisar Sumber penghidupan mula-mula orang-orang yang menempati wilayah Pangkalan Jambu adalah dari mencari emas hal tersebut berawal dari kedatangan orang-orang dari negeri Minang Kabau namun tradisi bersawah seperti yang ada di negeri asal mereka tetap dikembangkan. Kemudian sumber-sumber penghidupan masyarakat desa saat ini sangat bervariasi. Mengenai sumber-sumber penghidupan masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu pada umumnya bertumpu pada beberapa aspek seperti : aspek pemanfaatan ruang, aspek pemanfaatan sumberdaya alam, aspek pengembangan industri rumah tangga dan aspek pelayanan sosial. Aspek pemanfaatan ruang seperti sawah, ladang, kebun, dan budidaya ikan kolam. Aspek pemanfaatan sumberdaya alam seperti : bekayu, penambangan emas, mencari madu, dan menangkap ikan. Aspek pengembangan industri rumah tangga seperti : pembuataan gelamai (dodol) dan kerajinan anyaman. Aspek pelayanan sosial seperti : jasa transportasi, perdagangan, pengobatan tradisional, dan buruh harian. Walaupun sumber penghidupan masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu saat ini beragam namun yang menjadi jaminan hidup masyarakat desa adalah dari
105
aspek perkebunan karet, karena masyarakat menganggap untuk saat ini harga komoditi karet masih stabil. Dinamika pola nafkah yang terjadi di Desa Baru Pangkalan Jambu disebabkan oleh beberapa faktor : Pertama, sejak masa Belanda sampai saat ini terdapat beberapa perubahan sumber nafkah pada masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu, perubahan-perubahan tersebut disebabkan pertimbangan harga, dimana harga yang menjadi penentu dari perubahan sumber nafkah masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu. Sebagai contoh, pada masa awal kemerdekaan dimana pada masa tersebut Desa Baru Pangkalan Jambu dihadapkan pada sumber nafkah kebun kulit manis, yang pada masa tersebut kulit manis merupakan komoditi primadona atau bisa disebut sebagai jaminan hidup masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu pada waktu itu namun pada masa logging perkebunan kulit manis tidak lagi menjadi jaminan hidup. Menurut masyarakat perubahan sumber nafkah tersebut dipengaruhi oleh harga dari hasil perkebunan kulit manis yang tidak sesuai atau hasil dari perkebunan tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup rumah tangga masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu. Kedua, penjelasan sebelumnya yang menyebutkan bahwa perubahan sumber nafkah cenderung disebabkan oleh persoalan harga maka berbeda untuk sumber nafkah bekayu (bebalok), perubahan sumber nafkah ini cenderung disebabkan oleh Undang Undang tentang pelarangan illegal logging, selain itu juga masyarakat meyakini bahwa sumber nafkah bekayu tidak dapat dilakukan lagi dikarenakan kawasan atau wilayah untuk melakukan aktivitas bekayu sudah tidak ada lagi. Ketiga, perubahan-perubahan sumber nafkah yang terjadi di Desa Baru Pangkalan Jambu juga diakibatkan oleh regulasi negara tentang penetapan Kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) yang berdampak pada tereksklusinya masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu terhadap sumber nafkahnya. Saat ini masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu mencoba mencari alternatif-alternatif sumber nafkah yang masyarakat anggap dapat memenuhi kebutuhan hidup masyarakat yaitu mencoba peruntungan menjadi pegawai pemerintahan (PNS), membuka warung ataupun menjadi supir angkutan serta
106
menjadi tenaga kerja di luar desa. Menurut masyarakat bagi rumah tangga yang tidak memiliki ataupun memiliki namun hanya sedikit maka alternatif-alternatif tersebut harus dilakukan demi kebutuhan hidup rumah tangga.
107
DINAMIKA PENGUASAAN SUMBERDAYA LAHAN DAN POLA NAFKAH
Dari pemahaman sebelumnya, maka dapat digolongkan bahwa di wilayah Desa Baru Pangkalan Jambu kini berada pada berbagai rezim penguasaan sumberdaya alam, merujuk pada konsep Bromley dalam Satria (2009) menyebutkan bahwa setidaknya terdapat empat rezim penguasaan sumberdaya alam. Pada awalnya masa pemerintahan Belanda terdapat tiga rezim penguasaan sumberdaya lahan yang ada di Desa Baru Pangkalan Jambu yaitu rezim penguasaan adat (communal property), rezim penguasaan individu (private property), dan rezim penguasaan kaum. Namun pasca masa kemerdekaan terjadi perubahan rezim penguasaan yaitu dengan munculnya rezim negara (state property). Pada rezim penguasaan adat (communal property) aturan yang berlaku adalah aturan adat, dimana adatlah yang menentukan atas penguasaan lahan. Aturan-aturan tersebut hingga saat ini masih dipatuhi masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu (untuk wilayah yang masih dalam penguasaan marga, seperti sawah, hutan). Pada rezim ini akses masyarakat terhadap hasil hutan (sekarang menjadi TNKS) tidak terbatas, artinya masyarakat mempunyai kemampuan untuk menghasilkan dan memanfaatkan hasil hutan seperti mencari damar, rotan, madu, dan ikan. Perubahan pola penguasaan sumberdaya lahan di Desa Baru Pangkalan Jambu ditandai dengan ditetapkannya sebagai kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) maka membuat sempit ruang gerak masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu. Sejak adanya penguasaan hutan oleh negara menyebabkan mereka tidak bisa lagi melakukan ekspansi lahan dan tidak bisa memanfaatkan hasil hutan non kayu, yang mana warga desa yang hampir semuanya hidup bertumpu dari aktivitas di bidang pertanian. Dari penjelasan diatas jika merujuk pada konsep Ostrom dan Schlanger (1990) dalam Satria (2009), bahwa dengan adanya perubahan pola penguasaan lahan maka berdampak pada perubahan hak kepemilikan dan status masyarakat terhadap sumberdaya lahan. Perubahan hak
108
kepemilikan dan status masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu tersebut adalah hak akses, hak pemanfaatan, hak pengelolaan, hak eksklusi dan hak pengalihan. Sejak ditetapkan sebagai kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), masyarakat tidak mempunyai lagi hak-hak terhadap sumberdaya alam, masyarakat hanya memiliki hak akses dan hak pemanfaatan namun hak tersebut hanya untuk zona pemanfaatan tradisional. Sedangkan untuk hak pengelolaan, hak eksklusi dan hak pengalihan masyarakat tidak mempunyai lagi. Munculnya rezim penguasaan sumberdaya oleh negara berupa penetapan TNKS maka terjadi pembatasan akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan, artinya masyarakat dihadapkan pada proses penjauhan dari ruang hidup atau sumber penghidupan masyarakat sehingga akhirnya akses masyarakat terhadap sumberdaya semakin terbatas, yang kemudian disebutkan oleh Hall et.al (2011) bahwa regulasi merupakan salah satu faktor terjadinya eksklusi individu atau kelompok dari sumber nafkah, kehidupan sosial, politik, dan budaya. Sejak pemberlakuan Undang Undang No. 5 Tahun 1979, penguasaan sumberdaya alam didominasi oleh negara yang kemudian berdampak terhadap hilangnya ruang bagi penguasaan adat terhadap sumberdaya alam dalam pengaturan sistem tenurial. Saat ini penguasaan sumberdaya lahan oleh adat berbentuk penguasaan hutan adat dengan luas 1.442,50 Ha, pada dasarnya pembentukan hutan adat tersebut adalah sebagai konservasi air serta pasokan cadangan sumberdaya lahan bagi anak cucu. Aturan-aturan yang berlaku pada hutan adat disinkronisasikan pada aturan adat yang kemudian dimasukan dalam Perdes Nomor. 1/Perdes/HAD/02/94. Selama ini pengelolaan hutan adat yang tergolong pada penguasaan adat (communal property) senantiasa terjaga kelestariannya, seperti dikatakan oleh Bromley dalam Golar (2007) mengatakan bahwa keberhasilan masyarakat dalam mempertahankan kelestarian sumberdaya hutan tergantung pada tingkat keeratan hubungan antara masyarakat dan sumberdaya hutan itu sendiri, keeratan hubungan dapat dibangun melalui kejelasan hak milik dan aturan-aturan lokal yang sesuai dengan harapan dan tuntutan masyarakat terhadap sumberdaya hutan. Berbagi macam manfaat dari adanya hutan adat bagi masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu, diantaranya seperti ketersediaan air yang bagus sehingga dapat mengairi sawah-sawah
109
masyarakat desa dan dengan hutan adat dapat mencegah terjadinya banjir karena hutan adat memiliki daya serap yang tinggi, selain itu juga masyarakat dapat memanfaatkan hasil hutan berupa kayu maupun non kayu. Mengenai hasil hutan berupa kayu masyarakat harus terlebih dahulu meminta izin kepada pimpinan adat, namun untuk pemanfaatan hasil hutan non kayu seperti damar, rotan, dan mencari madu tidak perlu pada pimpinan adat namun hanya meminta izin kepada bidang keamanan pada struktur organisasi hutan adat. Dalam konteks ini, perlu dikembangkan wacana bahwa taman nasional tidak lagi diterjemahkan semata-mata untuk tujuan konservasi ekosistem hutan semata, tetapi taman nasional bisa saja berwujud sebagai kawasan konservasi budaya dan perlindungan masyarakat asli (indigenous peoples) atas berbagai tekanan dari dunia luar. Konservasi budaya bukan berarti sebagai upaya untuk tetap mempertahankan keprimitifan atau keterbelakangan, melainkan suatu upaya memberikan ruang bagi masyarakat asli (indigenous peoples) untuk mereproduksi nilai-nilai dan melakukan transformasi sosio-cultural menuju suatu perubahan sosial yang bersifat dinamik. Walaupun negara mengakui tentang keberadaan hak masyarakat hukum adat yang kemudian tertuang pada Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 pada pasal 4 ayat 1 dan 2 tentang kehutanan, namun kenyataannya peneliti tidak menemukan bentuk pengakuan hukum adat tersebut, artinya dengan hadirnya hukum formal dalam penguasaan sumberdaya ternyata telah melemahkan aturanaturan adat yang sudah mengakar. Untuk itu peneliti memandang penting juga untuk mempertegas keberadaan hak-hak atas ruang dan sumber penghidupan mereka melalaui regulasi formal. Sebelumnya telah dijelaskan bahwa pada mulanya sumber nafkah masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu adalah mencari emas, hal tersebut bermula dari kedatangan orang-orang dari Minangkabau. Namun sejak berdirinya Desa Baru Pangkalan Jambu, ternyata telah mengalami beberapa perubahan sumber nafkah masyarakat demi mempertahankan hidupnya seperti : menjadi pegawai pemerintahan, membuka warung dan menjadi tenaga buruh diluar desa. Jika dikelompokkan sumber nafkah masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu pada umumnya bertumpu pada empat aspek yaitu : aspek pemanfaatan ruang, aspek
110
pemanfaatan sumberdaya alam, aspek pengembangan industri rumah tangga, dan aspek pelayanan sosial. Dharmawan (2006) mengatakan bahwa cara atau taktik yang dibangun oleh individu ataupun kelompok dalam rangka mempertahankan kehidupan mereka dengan tetap memperhatikan eksistensi infrastruktur sosial, struktur sosial, dan sistem nilai budaya yang berlaku adalah suatu bentuk strategi nafkah. Berbagai macam perubahan sumber nafkah masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu pada dasarnya disebabkan persoalan harga, artinya masyarakat memandang sumber nafkah yang baru tersebut sesuai dengan rasionalitas mereka dan sumberdaya yang menjadi faktor penarik dari beralihnya sumber nafkah masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu. Selain itu juga akar permasalahan beralihnya masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu ke sumber nafkah lainnya diakibatkan adanya penetapan kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), yang mana negara dengan regulasinya membuat masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu semakin tereksklusi dari sumber nafkahnya. Hall et.al (2011), mengatakan bahwa regulasi merupakan salah satu komponen pokok yang mendukung terjadinya proses eksklusi di masyarakat. Berangkat dari kasus tersebut di atas, peneliti berpendapat bahwa diperlukan suatu regulasi negara mengenai pengakuan dan pemberian penguasaan khusus bagi masyarakat sekitar hutan khususnya masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu guna melindungi hak-hak dan ruang penghidupan mereka. Tanpa hal itu, keberlangsungan hidup masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu akan mengalami ancaman yang besar di masa yang akan datang dengan semakin tingginya tekanan yang mereka hadapi. Ketidakjelasan status wilayah teritorial penguasaan sumberdaya lahan yang mereka tempati merupakan hal yang rentan bagi kehidupan masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu karena setiap saat mereka bisa saja terusir dari tanah yang mereka tempati, selain itu juga sesuatu yang mengkhawatirkan adalah terbatasnya penguasaan sumber daya alam oleh masyarakat sehingga dalam hal ini menjadikan masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu sebagai tamu di rumahnya sendiri.
111
VII.
SIMPULAN DAN SARAN
7.1. Simpulan Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan di atas, terdapat beberapa hal yang dapat disimpulkan sebagai jawaban pertanyaan yang dirumuskan dalam masalah penelitian adalah sebagai berikut : 1. Terkait sistem penguasaan lahan di Desa Baru Pangkalan Jambu secara umum mencakup empat tipe, yaitu penguasaan adat, penguasaan kaum, penguasaan individu, dan penguasaan negara. Terdapat beberapa fase perubahan penguasaan sumberdaya lahan di Desa Baru Pangkalan Jambu, yaitu : a.
Perubahan dari masa pemerintahan marga menjadi pemerintahan Desa. Terdapat dua teritori yang berbeda pasca perubahan sistem pemerintahan yaitu teritori marga (adat) dan teritori desa. Perubahan sistem pemerintahan dari pemerintahan marga menjadi pemerintahan desa berdampak pada melemahnya otoritas dan berkurangnya wilayah adat (marga) terhadap sumberdaya alam. Pada masa pemerintahan marga, penguasaan sumberdaya alam sepenuhnya berada pada penguasaan marga (adat). Hampir seluruh hak dimiliki oleh marga (adat) terhadap sumberdaya alam kecuali hak pengalihan, sehingga pada masa pemerintahan marga status kepemilikan marga adalah sebagai proprietor. Hak-hak yang dimiliki oleh marga (adat) tersebut, yaitu : hak akses, hak pemanfaatan, hak pengelolaan, dan hak eksklusi. Kemudian pada masa pemerintahan desa, hak adat (marga) tersebut tetap ada namun untuk wilayah yang masih berada dalam klaim adat (marga), sedangkan untuk diluar wilayah tersebut adat (marga) tidak mempunyai hak lagi.
b.
Perubahan sejak ditetapkan sebagai kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Terdapat tiga teritori yang berbeda pasca ditetapkan sebagai kawasan TNKS, yakni : wilayah penguasaan marga, wilayah penguasaan desa, dan wilayah penguasaan TNKS. Sejak ditetapkan
112
sebagai kawasan TNKS berdampak pada hilangnya hak masyarakat, baik hak adat, hak kaum, hak individu, maupun hak desa terhadap sumberdaya yang ada di dalam kawasan TNKS. Hak-hak yang hilang tersebut seperti hak pengelolaan, hak eksklusi, dan hak pengalihan, sedangkan hak akses dan hak pemanfaatan tetap ada namun hanya untuk zona pemanfaatan tradisional saja. Pada masa pemerintahan desa dan pemerintahan marga, status kepemilikan adat (marga) dan desa terhadap sumberdaya alam adalah sebagai proprietor. Sedangkan sejak ditetapkan sebagai TNKS status kepemilikan adat (marga) dan desa pun berubah menjadi authorized user. 2. Dinamika pola nafkah yang terjadi pada masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu dilakukan demi bertahannya hidup masyarakat dari kebutuhan hidup yang semakin lama semakin meningkat. Adaptasi sumber nafkah yang dilakukan yaitu dengan cara mencari alternatif - alternatif sumber nafkah yang baru. Pada masa Belanda, sumber nafkah masyarakat adalah sebagai menambang emas dan sawah. Sementara itu pada masa Jepang terdapat perubahan, sumber nafkah masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu, yakni menambang emas, sawah, ladang, dan kebun kopi. Pada masa awal Kemerdekaan terjadi juga perubahan, sumber nafkah masyarakat, yakni menambang emas, sawah, ladang, kebun kopi, dan kebun kulit manis. Lalu pada masa Logging (tahun 1970-an), sumber nafkah masyarakat pada saat itu adalah menambang emas, sawah, kebun karet, bebalok (istilah lokal). Dan pada masa reformasi sampai saat ini sumber nafkah yang menjadi pilihan masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu adalah menambang emas, sawah, kebun karet, tukang, Pegawai Negeri Sipil (PNS), membuka warung, dan supir. Terdapat beberapa faktor terjadinya perubahan pola nafkah di Desa Baru Pangkalan Jambu, yaitu : a. Perubahan yang disebabkan oleh pertimbangan soal harga. Pada masa kemerdekaan sumber nafkah yang menjadi jaminan hidup masyarakat adalah dari sektor perkebunan kulit manis. Saat ini yang menjadi jaminan hidup adalah dari perkebunan karet, karena harga karet saat ini cukup menjadikan sebagai jaminan hidup masyarakat.
113
b. Perubahan yang disebabkan oleh kebijakan negara. Pada tahun 1970an sumber nafkah bebalok (istilah lokal) merupakan salah satu sumber nafkah yang utama saat itu. Namun hal itu tidak bisa bertahan untuk selamanya, karena Undang Undang tentang pelarangan illegal logging, selain itu juga ketersediaan kayu yang semakin susah didapat. c. Perubahan sumber nafkah yang terjadi di Desa Baru Pangkalan Jambu juga disebabkan oleh regulasi negara berupa penetapan kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Penepatan kawasan TNKS berdampak pada tereksklusinya sumber nafkah masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu terhadap manfaat hasil hutan non kayu yang ada di kawasan TNKS. d. Selain faktor-faktor tersebut, pola nafkah masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu sangat ditentukan oleh karakteristik sumberdaya alamnya, artinya ketersediaan sumberdaya alam menjadi faktor perubahan pola nafkah.
7.2. Saran Dari hasil penelitian yang telah dijelaskan dapat diketahui bahwa keberadaan kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat mengakibatkan akses masyarakat terhadap sumberdaya lahan semakin terjepit selain akses sumberdaya lahan, pemanfaatan hasil hutan non-kayu pun tidak dapat dilakukan seperti pemanfaatan rotan, damar, madu dan lain-lain. Oleh sebab itu disarankan : 1. Dalam kondisi masyarakat desa yang dihadapkan pada dualisme sistem penguasaan sumberdaya lahan (penguasaan adat dan penguasaan negara), diperlukan sebuah regulasi yang bisa membatasi dan memperjelas kedudukan kedua jenis hukum tersebut. Jika hukum adat masih diakui keberadaannya, maka negara penting untuk memberikan ruang bagi pemberlakuan hukum-hukum adat di atas teritorial desa dalam definisi yang lebih jelas. Selain itu juga diperlukan legalitas yang mengatur batasbatas wilayah desa defenitif untuk menguatkan klaim penguasaan sumberdaya alam oleh desa dan memberikan ruang bagi penegakan
114
hukum-hukum adat. Dalam kaitannya dengan wacana mengenai otonomi desa, negara perlu menetapkan batas-batas desa secara formal sehingga memungkinkan bagi desa untuk melakukan pengaturan ruang sesuai dengan pola-pola pengaturan ruang dimiliki desa. 2. Dalam pengelolaan kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat hendaknya juga memperhatikan masyarakat atau pemukiman yang berada di sekitar kawasan Taman Nasional artinya perlu memperhatikan kondisi sosial, ekonomi budaya, dan respon masyarakat sekitar wilayah kawasan Taman Nasional sehingga pihak Taman Nasional Kerinci Seblat mempunyai gambaran secara utuh mengenai kondisi masyarakat sekitar hutan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). 3. Diharapkan dalam pengelolaan kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat dapat menerapkan metode-metode pengelolaan kolaboratif sebagai bentuk akomodasi kebutuhan dan kepentingan bersama antara masyarakat dan pemerintah, selain itu metode pengelolaan kolaboratif ini merupakan sarana untuk mengambil keputusan tentang sumberdaya alam. Sehingga dalam metode pengelolaan kolaboratif ini dapat mempengaruhi arah kebijakan mengenai sumberdaya alam khususnya sumberdaya hutan. 4. Diharapkan hukum adat yang selama ini diterapkan masyarakat dalam hal pengelolaan sumberdaya hutan dibingkai dalam hukum formal negara dengan tujuan terdapatnya pengakuan yang lebih kuat terhadap keberadaan suatu hukum adat.
115
DAFTAR PUSTAKA
Adiwibowo, S. Ekologi Manusia. Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor. 2007. Bogor. Bungin B. 2003. Teknik-Teknik Analisis Kualitatif dalam Penelitian Sosial. Di dalam Bungin B. (ed). 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada. Hlm: 83-105 Berkes F. 2004. Knowledge, Learning and the Resilience of Social-Ecological Sistems. Paper for the Panel "Knowledge for the Development of Adaptive Co-Management", session organizers.IACSP '04, Oaxaca, Mexico, Agustus 2004. Bromley DB. 1989. Making the commons work (Ed). San Francisco, CA: Institute for Contemporary Studies. Conway, G dan R. Chamber. 1991. Sustainable rural livelihood : practical concepts for 21st Century, IDS Discussion paper 296 : IDS. Institute for Development studies: Brighton. Dharmawan, A.H. 2007. Sistem penghidupan dan nafkah pedesaan : pandangan sosiologi nafkah (livelihood sociology) mahzab barat dan mahzab bogor Dalam Sodality : Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi dan Ekologi Manusia. Vol. 01, No. 02. Agustus 2007. Ellis, Frank. 2000. Rural livelihoods and diversity in developing Countries. Ozford university press. New York Hall, Derek. Philip Hirsch. Tania Murray Li. 2011. Powers Of Exclusion : Land Dilemmas In Southeast Asia. NUS Press. Singapore Israel, Arturo. 1990. Pengembangan Kelembagaan. Jakarta. LP3S. Legawa IM. 1999. Subak: Organisasi Sosio-Religius di Bali. Di Dalam: Soedjito. H. 2006. Kearifan Tradisional dan Cagar Biosfer di Indonesia. Prosiding Piagam MAB 2005 Untuk Peneliti Muda dan Praktisi Lingkungan di
116
Indonesia. Komite Nasional MAB-Indonesia-LIPI; Bogor, 24-27 Agustus 2005. Jakarta: Komite MAB Nasional Indonesia-LIPI Press. Mawardi, M. 2003. Pola adaptasi masyarakat petani terhadap perubahan peruntukan lahan di desa Karang rejo sungkai selatan lampung utara. Bogor. Muhajir, Moeng, 1996, Metode Penelitian Kualitatif, Rak Sarasin, Yogyakarta Nasution, 1996. Metode penelitian naturalistik kualitatif. Bandung. Tarsito . Nugroho. A. 2005. Antropologi Kehutanan. Wana Aksara. Banten. Ostrom E. 1990. Governing the Common: The Evolution of Institutions for Collective Action. New York: Cambridge University Press. Ostrom, E and Schlager, E. 1996. The formation of property Rights in hena, S, S, Folke, C, Maler, K.G. 1996. Rights to nature : ecological, Economic, cultural, and political principles of institutions for the eviroment. Island Press. Washington DC. Sumarwoto. Otto. 2004. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Djambatan. Jakarta. Paul Johnson, Doyle. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta: PT gramedia Pustaka Utama, 1994. hlm 220. Pierson, John. 2002. Tackling Social Exclusion. London and New York: Routledge. Peluso, N.L. 2003. A Theory of Access. Rural Sociological Society Volume 68 Page 153-181. Peluso, Nancy Lee. 2006. “Hutan Kaya, Rakyat Melarat; Penguasaan Sumberdaya dan Perlawanan di Jawa”. (terj.) Landung Simatupang. Yogayakarta: Insist Press. Purnomo, Agustina Multi. 2006. Strategi nafkah rumahtangga desa sekitar hutan (studi kasus desa peserta PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) di Kabupaten Kuningan, provinsi Jawa Barat). Tesis. Program pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Purwanto Y. 2004. Etnobotani Masyarakat Tanimbar-kei, Maluku Tenggara: Sistem Pengetahuan dan Pemanfaatan Keanekaragaman Jenis Tumbuhan.
117
Perhimpunan Masyarakat Etnobotani Indonesia- Bogor: Pusata Penelitian Biologi LIPI. Sajogyo. 1991. Struktur Agraria Di Pedesaan Jawa. Yayasan Agro ekonomi. Bogor. Sumarya, Yaya. 2002. Hubungan antara distribusi penguasaan lahan usahatani dengan kemiskinan di pedesaan (studi kasus di Kecamatan Ciampea dan Nanggung Kabupaten Bogor). Tesis. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Ritzer, G. dan Goodman, D.J. 2008. Teori Sosiologi Modern. Kencana Prenada Media Group Jakarta. Roslinda E. 2008. Hutan Kemasyarakatan Buku Ajar Mata Kuliah. Bandung: ALFABETA. Salim. Agus. 2001. Teori dan Paradigma Sosial : dari Denzin Guba dan Penerapannya. Tiara Wacana Yogya. Yogyakarta Sardjono. M. A. 2004. Mosaik Sosiologis Kehutanan : masyarakat Lokal, Politik, dan Kelestarian Sumberdaya. Debut Press. Jogjakarta. Satria. Arif. 2009. Pesisir dan Laut untuk Rakyat. IPB Press. Kampus IPB Dramaga Bogor. Sitorus, M.T.F. 1998. Penelitian Kualitatif - Suatu Perkenalan. Diterbitkan oleh Kelompok Dokumentasi Ilmu-ilmu Sosial untuk Laboratorium Sosiologi, Antropologi dan Kependudukan Jurusan Ilmu-ilmu Sosial dan Ekonnomi Pertanian Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Soekanto, S. 1982. Sosiologi suatu pengantar. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Soerjani. Moh., Ahmad. Rofiq., Munir. Rozy., 1987. Lingkungan : Sumberdaya Alam Dan Kependudukan Dalam Pembangunan. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Singarimbun M, Effendi S. 1989. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES Sugiyanto. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif – Kualitatif Dan R&D. Alfabeta Bandung. Susilowati SH, Suryani E. 1996. Struktur Penguasaan Lahan di Perdesaan Jawa Tengah. Jurnal Struktur dan Dinamika Penguasaan Lahan 3 : 1-18.
118
Somerville, Peter. 1998. Explanations of social exclusion: where does housing fit in?‖ Housing Study, Vol. 13, No. 6: 761-780. Suhendang. Endang. 2002. Pengantar Ilmu Kehutanan. Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan (YPFK). IPB. Bogor. Tauchid, Moch. 2009. Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia. Yogyakarta: STPN. Tjondronegoro. S. M. P. 1999. Sosiologi Agraria; Kumpulan Tulisan Terpilih. Yayasan AKATIGA. Bandung. Tjondronegoro, SMP dan Wiradi, Gunawan (Peny). 2008. “Dua Abad Penguasaan Tanah; Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa”, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Turnbull
CM.
2002.
The
Mbuti
Pygmies:
Change
and
Adaptation.
Wadworth/Thomson Learning 10 Davis Drive Belmont, CA 94002-3098 USA. White, A. dan Martin, A. 2002. Who Owns the World’s Forests? Forest Tenure and Public Forests and Transition. Forest Trends and Center for International Environmental Law, Washington, DC. Widodo, Slamet. 2009. Strategi Nafkah Rumah Tangga Miskin Di Daerah Pesisir Kasus Dua Desa di Kabupaten Tuban dan Kabupaten Bangkalan, Propinsi Jawa Timur. Tesis. Program pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Wiradi, Gunawan. 2005. ”Reforma Agraria Untuk Pemula”, Jakarta: Bina Desa. Wiradi, Gunawan. 2009. Reforma Agraria, Perjalanan Yang Belum Selesai, STPN Press, Yogyakarta Winkel W.S. 1994. Psikologi Pengajaran. PT. Grainedia, Jakarta. Yin, Robert K. 1997. Studi Kasus: Desain dan Metode. PT. Ra Grafindo Persada. Jakarta. (YPM) Yayasan Prakarsa Madani. 2003a. Konstruksi Pengelolaan Hutan Adat Desa Baru Pangkalan Jambu Kecamatan Sungai Manau Kabupaten Merangin Propinsi Jambi. Kerjasama Yayasan Prakarsa Madani Jambi – Yayasan Kemala Jakarta.
119
LAMPIRAN
Lampiran 1. Peta Penguasaan Sumberdaya di Desa Baru Pangkalan Jambu sejak masa Pemerintahan Belanda sampai saat ini
Wilayah Marga
Wilayah Penguasaan Pada Masa Pemerintahan Marga
Wilayah Desa
Teritori TNKS Teritori Desa
Wilayah Penguasaan Pemerintahan Desa
Wilayah Penguasaan saat ditetapkan sebagai TNKS
120
Lampiran 2. Foto Sebagian Gambaran Pemukiman Desa Baru Pangkalan Jambu . (foto, 2011)
Lampiran 3. Sungai Merupakan Batas Alam Antara Hutan Adat dan Hutan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), (Foto, 2011)
121
Lampiran 4. Hutan Adat Sebagai Bentuk Penguasaan Adat Terhadap Sumberdaya Hutan
Lampiran 5. Foto Peserta Proses Focus Group Discussion (FGD) Tahun 2012
122
Lampiran 6. Contoh hari pertama daftar kehadiran peserta Focus Group Discussion (FGD)