STRATEGI POLA NAFKAH MASYARAKAT PESISIR DALAM MENANGGULANGI KEMISKINAN (Desa Bajomulyo, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah)
HENNY KRISTIKASARI
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Strategi Pola Nafkah Masyarakat Pesisir Dalam Menanggulangi Kemiskinan” merupakan hasil karya saya sendiri yang belum pernah diajukan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi oleh lembaga manapun dan tidak mengandung bahan-bahan yang pernah ditulis atau pernah diterbitkan oleh pihak lain kecuali sebagai bahan rujukan yang dinyatakan dalam naskah dan dicantumkan dalam daftar pustaka. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juli 2016
Henny Kristikasari I34120091
i
ABSTRAK HENNY KRISTIKASARI. Strategi Pola Nafkah Masyarakat Pesisir Dalam Menanggulangi Kemiskinan. Dibimbing oleh MARTUA SIHALOHO Strategi pola nafkah adalah langkah yang sering ditempuh seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Strategi nafkah juga dilakukan di kawasan pesisir yang penduduk mayoritasnya adalah nelayan. Strategi pola nafkah yang dilakukan oleh masyarakat nelayan bertujuan untuk mengantisipasi faktor-faktor yang menghambat mata pencaharian utama nelayan. Tujuan penelitian ini adalah: (1) menganalisis pengaruh tingkat akses sumberdaya terhadap tingkat keberagaman strategi pola nafkah masyarakat pesisir; (2) mengidentifikasi tingkat keberagaman strategi pola nafkah masyarakat pesisir; dan (3) menganalisis pengaruh tingkat keberagaman strategi pola nafkah masyarakat pesisir terhadap tingkat kemiskinan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menelusuri sumber-sumber literatur sekunder, kemudian mencari konsep-konsep dan data sekunder yang relevan dengan topik skripsi. Selanjutnya dengan melakukan survei dengan sampel acak bertingkat, wawancara mendalam, dan observasi. Kata kunci: kemiskinan, masyarakat pesisir, pola nafkah
ABSTRACT HENNY KRISTIKASARI. Strategies of coastal area communities livelihood in overcoming poverty. Supervised by MARTUA SIHALOHO Livelihood strategies is the often way of someone to make a living. Its also done by the coastal area communities that mostly work as a fisher. The livelihood strategy undertaken by the fisherman in order to anticipate the factors that hinder their work as a fisher. The purposes of this lecture study are: (1) analyze the influence of access of resources to strategies diversity of livelihood; (2) identify the strategies diversity of livelihood at the coastal area communities; and (3) analyze the influence between strategies of coastal area communities livelihood in overcoming poverty. The methods which is used in this research are search the sources of the secondary literature, then find the concepts and the secondary data which is relevant with the research topic. Then, survey with stratified random sampling, in-depth interview, and observation. Keywords:
poverty,
coastal
area
communities,
livelihood
ii
STRATEGI POLA NAFKAH MASYARAKAT PESISIR DALAM MENANGGULANGI KEMISKINAN (Desa Bajomulyo, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah)
HENNY KRISTIKASARI I34120091
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
iii
Judul Skripsi
:
Strategi Pola Nafkah Masyarakat Pesisir dalam Menanggulangi Kemiskinan (Desa Bajomulyo, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah)
Nama
: Henny Kristikasari
NIM
: I34120091
Disetujui oleh
Martua Sihaloho, SP, M.Si Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc Ketua Departemen
Tanggal Lulus: _______________
iv
v
PRAKATA Puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaian penelitian skripsi yang berjudul “Strategi Pola Nafkah Masyarakat Pesisir Dalam Menanggulangi Kemiskinan” ini dengan baik. Penelitian skripsi ini sebagai syarat kelulusan pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Tujuan penulisan penelitian ini yaitu untuk mengetahui berbagai strategi pola nafkah masyarakat pesisir dalam menanggulangi kemiskinan di Desa Bajomulyo, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati. Penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Martua Sihaloho, SP, M.Si sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan arahan dan motivasi selama proses pembuatan skripsi ini. Ucapan terimakasih tak lupa penulis haturkan kepada kedua orang tua tercinta yaitu Bapak Pranoto dan Ibu Sri Wargini yang tak henti-hentinya memberikan dukungan, kasih sayang dan do’a selama penulis menjalani studi. Ucapan terimakasih juga penulis berikan kepada kakak tercinta Ronny Kristanto dan Dedy Kristiawan yang selalu memberi semangat dan do’a untuk penulis. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada teman-teman SKPM 49 khususnya Fauziah Kurniati sebagai sahabat satu bimbingan dalam pembuatan skripsi, BEM-KM IPB, IPB Political School, Tapak Suci IPB, Panitia Reuni Perak IPB 27, Fema Writting Club, Omda Pati, Ksatria BNN IPB atas dukungan dan motivasi yang diberikan selama proses penulisan skripsi ini.
Bogor, Juli 2016
Henny Kristikasari I34120091
vi
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
viii
DAFTAR GAMBAR
ix
DAFTAR LAMPIRAN
.. x
PENDAHULUAN
.. 1
Latar Belakang ............................................................................................ 1 Masalah Penelitian ......................................................................................... 2 Tujuan Penelitian ........................................................................................... 3 Kegunaan Penelitian....................................................................................... 3 PENDEKATAN TEORITIS
.. 4
Tinjauan Pustaka ............................................................................................ 5 Kemiskinan ............................................................................................................... 5 Kemiskinan masyarakat pesisir ................................................................................ 7 Strategi pola nafkah .................................................................................................. 9 Masyarakat pesisir .................................................................................................. 11 Strategi pola nafkah masyarakat pesisir dalam menanggulangi kemiskinan .......... 12
Kerangka Pemikiran ..................................................................................... 13 Hipotesis Penelitian...................................................................................... 14 PENDEKATAN LAPANG
15
Metode Penelitian......................................................................................... 15 Lokasi dan Waktu Penelitian ....................................................................... 15 Teknik Pengumpulan Data ........................................................................... 18 Teknik Penentuan Informan dan Responden ............................................... 19 Teknik Pengolahan dan Analisis Data ......................................................... 20 Definisi Operasional..................................................................................... 21 GAMBARAN UMUM
28
Gambaran Umum Lokasi Penelitian ............................................................ 29 Dinamika Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Bajomulyo ............................ 30
vii
PENGARUH TINGKAT AKSES SUMBERDAYA TERHADAP TINGKAT KEBERAGAMAN STRATEGI POLA NAFKAH MASYARAKAT
36
TINGKAT KEBERAGAMAN STRATEGI POLA NAFKAH MASYARAKAT NELAYAN
43
PENGARUH TINGKAT KEBERAGAMAN STRATEGI POLA NAFKAH TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN MASYARAKAT
47
PENUTUP
53
Simpulan .......................................................................................................53 Saran .............................................................................................................54 DAFTAR PUSTAKA
55
LAMPIRAN
58
viii
DAFTAR TABEL 1
Persentase Kemiskinan Tahun 2007
6
2
Persentase Kemiskinan Tahun 2012-2014
6
3
Pelaksanaan penelitian tahun 2016
17
4
Metode pengumpulan data
19
5
Definisi operasional strategi pola nafkah
22
6
Definisi operasional akses terhadap sumberdaya
24
7
Definisi operasional tingkat kemiskinan
26
8
Jumlah penduduk berdasarkan kelompok usia dan jenis kelamin Desa
31
Bajomulyo bulan Desember 2015 9
Jumlah penduduk menurut mobilitas dan mutasi
31
10 Frekuensi tingkat akses sumberdaya pada kelas atas
37
11 Frekuensi tingkat akses sumberdaya pada kelas bawah
38
12 Pengaruh tingkat akses sumberdaya terhadap tingkat keberagaman
41
strategi pola nafkah masyarakat pesisir kelas atas 13 Hasil uji regresi linear tingkat akses sumberdaya dengan tingkat
42
keberagaman strategi pola nafkah kelas atas 14 Pengaruh tingkat akses sumberdaya terhadap tingkat keberagaman
42
strategi pola nafkah masyarakat pesisir kelas bawah 15 Frekuensi tingkat keberagaman strategi pola nafkah masyarakat
43
nelayan kelas atas 16 Frekuensi tingkat keberagaman strategi pola nafkah masyarakat
44
nelayan kelas bawah 17 Frekuensi tingkat keberagaman strategi pola nafkah masyarakat kelas
48
atas 18 Frekuensi tingkat keberagaman strategi pola nafkah masyarakat kelas
48
bawah 19 Frekuensi kategori-kategori pada tingkat keberagaman strategi pola
48
nafkah masyaraat nelayan masyarakat kelas atas 20 Frekuensi kategori-kategori pada tingkat keberagaman strategi pola
nafkah masyaraat nelayan masyarakat kelas atas
49
ix
21 Frekuensi tingkat kemiskinan masyarakat kelas atas
51
22 Frekuensi tingkat kemiskinan masyarakat kelas bawah
51
23 Pengaruh tingkat keberagaman strategi pola nafkah terhadap tingkat
52
kepemilikan aset masyarakat pesisir kelas atas 24 Pengaruh tingkat keberagaman strategi pola nafkah terhadap tingkat
52
kemiskinan masyarakat pesisir kelas bawah
DAFTAR GAMBAR 1 Kerangka Pemikiran
14
2 Peta Lokasi
58
x
DAFTAR LAMPIRAN 1 Peta pola ruang Desa Bajomulyo, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah
58
2 Panduan wawancara mendalam
59
3 Kerangka sampling
67
4 Dokumentasi
68
5 Uji validitas dan reliabilitas kuesioner
70
6 Hasil uji regresi antar variabel
71
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Kemiskinan merupakan masalah yang selama ini masih dihadapi oleh negara Indonesia. Upaya pemberantasan kemiskinan harus terus diupayakan walaupun angka kemiskinan menunjukkan penurunan. Guiga et al. (2012) memaparkan bahwa kemiskinan adalah fenomena global yang terus meningkat hari demi hari khususnya di daerah sub-sahara Afrika, Asia dan Amerika Latin. Hasil survei Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa terjadi penurunan angka kemiskinan di Indonesia dari data survei bulan Maret 2015 dengan bulan September 2015 (BPS 2014). Angka kemiskinan pada Maret 2015 yaitu sebesar 28.592,79 dan mengalami penurunan pada survei bulan September 2015 dengan kemiskinan sebesar 28.513,57. Data BPS tahun 2011 menunjukkan bahwa dari 12, 36% penduduk Indonesia yang miskin, 25,14% penduduk miskin tersebut adalah nelayan miskin, Rosyid (2013). Widodo (2011) menjelaskan bahwa kemiskinan adalah indikator yang paling jelas dalam menunjukkan keberhasilan pembangunan nasional. Selanjutnya ia juga menjelaskan bahwa masyarakat yang berada di kawasan pesisir menghadapi berbagai permasalahan yang menyebabkan kemiskinan. Kemiskinan masyarakat pesisir yang dijelaskan oleh Widodo tersebut didukung oleh pendapat dari Satria (2009) bahwa kalangan masyarakat pesisir sering menjumpai masalah antara lain ketidakadilan harga, lemahnya teknologi dan modal, terbatasnya sumber daya manusia (SDM), terbatasnya akses terhadap sumberdaya, dan lemahnya organisasi. Selain itu dijelaskan pula oleh Pakpahan et al. (2006) bahwa nelayan terdiri dari mayarakat berpendidikan rendah dan hidup miskin. Masalah-masalah tersebut yang menyebabkan posisi masyarakat pesisir lemah diantara pelaku usaha lain. Padahal sesuai Peraturan Pemerintah No.166 tahun 2014 pasal 1 ayat 1 berbunyi: “Penanggulangan kemiskinan adalah kebijakan dan program pemerintah dan pemerintah daerah yang dilakukan secara sistematis, terencana, dan bersinergi dengan dunia usaha dan masyarakat untuk mengurangi jumlah penduduk miskin dalam rangka meningkatkan derajat kesejahteraan rakyat.”. Pemaparan peraturan pemerintah tersebut memberi gambaran bahwa penanggulangan masalah kemiskinan bukan hanya tanggung jawab dari pemerintah, namun juga sinergi dari berbagai pihak termasuk masyarakat dalam dunia usaha. Kegiatan usaha seringkali kita temui di kawasan pesisir dan memungkinkan menjadi bagian dari strategi pola nafkah. Kegitan usaha tersebut tak jarang melibatkan ekonomi kreatif yang mengunggulkan aspek kreativitas atau gagasan seperti usaha kuliner, seni pertunjukan, kerajinan, dan sebagainya sesuai yang diulas oleh Rosyid (2013). Selain peraturan pemerintah yang menyinggung tentang kemiskinan, secara lebih jelas terdapat Undang-Undang No. 32 tahun 2014 pasal 15 yang menjelaskan bahwa laut adalah potensi sumber daya yang dapat dikembangkan menjadi basis ekonomi. Lebih jelasnya isi pasal 15 Undang-Undang No. 32 tahun 2014 yang ayat satu, dua, dan tiga:
2
“1) Dalam rangka pemanfaatan dan pengusahaan Sumber Daya Kelautan sebagaimana dimaksud dalam pasal 14, pemerintah menetapkan Kebijakan Ekonomi Kelautan; 2) Kebijakan ekonomi Kelautan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk menjadikan Kelautan sebagai basis pembangunan ekonomi; 3) Basis pembangunan ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui penciptaan usaha yang sehat dan peningkatan kesejahteraan rakyat, terutama masyarakat pesisir dengan mengembangkan kegiatan ekonomi produktif, mandiri, dan mengutamakan kepentingan nasional.” Undang-undang tersebut menjelaskan bahwa Indonesia memiliki sumberdaya laut yang dapat dijadikan sebagai usaha dalam meningkatkan perekonomian negara. Apalagi jika melihat kawasan laut Indonesia yang sangat luas yaitu 75% berupa perairan laut dengan panjang pantai mencapai 81.000 km dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 5.800.000 km2 (Hamdani 2013). Undang-undang tersebut memberikan gambaran optimisme bangsa ini dalam bidang kelautan. Masyarakat pesisir pun masih sering diidentikkan dengan kemiskinan. Padahal anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar. Masyarakat pesisir yang banyak bermatapencaharian sebagai nelayan memiliki strategi pola nafkah tertentu yang membuat mereka dapat mengatasi kemiskinan yang terjadi. Bahkan tidak jarang nelayan-nelayan yang melakukan berbagai strategi dalam mengatasi kemiskinan tersebut mengalami mobilitas sosial vertikal menuju masyarakat kelas atas secara ekonomi atau mempertahankan status ekonomi yang dianggap aman. Berbagai resiko yang selama ini dialami oleh nelayan memerlukan antisipasi. Antisipasi tersebut dapat berupa strategi mata pencaharian (pengembangan pola nafkah ganda, dorongan ke arah laut lepas, dan diversifikasi alat tangkap) , strategi permodalan, dan strategi makro (Satria 2009). Oleh karena itu, apa pengaruh tingkat keberagaman strategi pola nafkah terhadap tingkat kemiskinan masyarakat pesisir menjadi penting untuk diulas. Masalah Penelitian Kemiskinan yang terjadi di Indonesia adalah tanggung jawab bersama tidak hanya bagi kalangan pemerintah, akademisi, maupun masyarakat. Kemiskinan yang terjadi merupakan dampak dari kebijakan yang kurang tepat, akses terhadap sumberdaya yang sulit, maupun pola nafkah yang kurang efektif. Beberapa hal yang berkaitan dengan kemiskinan adalah akses terhadap pendidikan, teknologi, lembaga pemasaran dan lembaga keuangan. Kemiskinan yang terjadi di masyarakat pesisir terutama yang dialami oleh nelayan cukup besar. Hal itu yang menjadikan nelayan diidentikkan dengan kelompok miskin sehingga hal yang perlu diulas yaitu bagaimana pengaruh tingkat akses sumberdaya terhadap tingkat keberagaman strategi pola nafkah masyarakat pesisir? Kemiskinan yang terjadi di kawasan pesisir sering menimbulkan inisiatif dari kelompok-kelompok yang mengalami kemiskinan untuk memiliki alternatif pekerjaan yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Seringkali strategi yang digunakan kurang menyentuh berbagai bidang dan tidak maksimal. Namun tak jarang strategi nafkah yang digunakan dapat menjadi
3
pendorong kelompok miskin untuk melakukan usaha dalam mendorong mobilitas ekonomi menuju kelas menengah maupun kelas atas. Strategi nafkah pun dilakukan untuk mempertahankan kondisi ekonomi tertentu yang dianggap aman dari kemiskinan. Sehingga muncul pertanyaan apa saja strategi pola nafkah yang dilakukan oleh masyarakat pesisir?dan apa pengaruh tingkat keberagaman strategi pola nafkah terhadap tingkat kemiskinan? Tujuan Penelitian Tujuan skripsi yang dilakukan adalah: 1. Menganalisis pengaruh tingkat akses sumberdaya terhadap tingkat keberagaman strategi pola nafkah di kawasan pesisir Desa Bajomulyo, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah. 2. Mengidentifikasi tingkat keberagaman strategi pola nafkah masyarakat pesisir Desa Bajomulyo, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah. 3. Menganalisis pengaruh tingkat keberagaman strategi pola nafkah terhadap tingkat kemiskinan masyarakat Desa Bajomulyo, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat baik pihak yang mau melakukan penelitin lebih lanjut tentang kemiskinan pada masyarakat pesisir. Penelitian ini dapat berguna untuk kalangan akademisi, pembuat kebijakan, dan masyarakat. Secara detail kegunaan hasil penelitian ini yaitu: 1. Akademisi Manfaat penelitian ini untuk para akademisi adalah sebagai tambahan informasi mengenai srategi nafkah masyarakat pesisir dalam menanggulangi kemiskinan. Selain memberi informasi seputar strategi nafkah masyarakat pesisir, penelitian ini juga dapat dijadikan literatur untuk mengembangkan penelitian lebih lanjut pada kawasan pesisir. 2. Pembuat kebijakan Manfaat hasil penelitian ini bagi pembuat kebijakan adalah sebagai bahan pertimbangan untuk membuat kebijakan di kawasan pesisir. Selain itu juga sebagai upaya memperbaiki kondisi kemiskinan melalui upaya pembangunan yang sesuai pada setiap daerah yang memiliki karakteristik masyarakat yang berbeda. 3. Masyarakat Manfaat hasil penelitian ini bagi masyarakat yaitu memberikan pengetahuan mengenai strategi pola nafkah pada masyarakat pesisir yang dapat digunakan dalam menanggulangi kemiskinan.
4
5
PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Kemiskinan Keberhasilan pembangunan ekonomi suatu wilayah tercermin dari tingkat kemiskinan penduduknya (Nagib et al. 2008). Kemiskinan menurut Badan Pusat Statistik (BPS) adalah kondisi seseorang secara ekonomi tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan maupun non pangan yang diukur melalui pengeluaran yang berada dibawah garis kemiskinan. BPS menggunakan indikator yang dianggap sesuai untuk diterapkan di Indonesia. Sedangkan Soemardjan et al. (1984) memandang kemiskinan struktural sebagai kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan karena struktur sosial membuat mereka tidak dapat menggunakan sumber-sumber pendapatan yang tersedia. Kemiskinan merupakan sebuah konsep yang dapat diukur menggunakan alat ukur tertentu. Alat ukur yang digunakan pun beragam dan biasanya disesuaikan dengan situasi dan kecocokan pada lokasi penelitian. Salah satu garis kemiskinan yang digunakan di Indonesia mengacu pada indikator yang dilihat oleh Badan Pusat Statistik seperti yang dijelaskan oleh Annisa (2008). Indikator BPS tersebut yaitu ciri tempat tinggal, kepemilikan aset, aspek pangan, aspek sandang, dan kegiatan sosial. Tempat tinggal digambarkan dengan luas lantai per kapita, jenis lantai, air bersih, dan ketersediaan jamban. Kepemilikan aset dibagi menjadi aset produktif (sawah, kebun, ternak, ojek, angkutan), dan aset non produktif (TV, radio, perhiasan, mebel, sepeda, kendaraan motor bukan untuk usaha). Aspek pangan dilihat dari konsumsi lauk pauk dan variasinya. Aspek sandang dilihat dari kemampuan untuk membeli pakaian per tahun minimal satu stel. Terakhir aspek kegiatan sosial yang dilihat dari kehadiran dalam arisan, rapat RT, rapat sekolah BP3 dan undangan perkawinan dalam tiga bulan terakhir. Sedangkan kemiskinan dipandang Rusdarti et al. (2013) dalam empat dimensi pokok baik secara lokal maupun nasional yaitu kurangnya kesempatan, rendahnya kemampuan, kurangnya jaminan, dan ketidakberdayaan. Pada pandangan yang sama Widodo (2011) mencirikan kemiskinan dengan rendahnya pendapatan dan cenderung tidak menentu setiap saat. Rendahnya pendapatan tersebut memengaruhi aspek lain yaitu kemampuan mengakses pendidikan dan kesehatan. Rendahnya pendidikan dapat menurunkan peluang dalam mendapatkan pekerjaan yang lebih layak secara ekonomi. Pendapatan yang rendah menyulitkan untuk melakukan akumulasi modal menjadi terbatas, sehingga akses terhadap teknologi yang digunakan untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga menjadi terhambat. Selanjutnya Rusdarti et al. (2013) memaparkan bahwa masalah kemiskinan di Indonesia harus dilihat berdasarkan aspek lokalitas yang dimiliki oleh masing-masing daerah baik yang ditentukan oleh komunitas maupun pemerintah. Hal tersebut berarti bahwa setiap daerah memiliki ciri penyebab kemiskinan yang khas.
6
Rusdarti et al. (2013) menjelaskan pula bahwa kemiskinan di Jawa Tengah memiliki jumlah yang tinggi apabila dilihat dari data BPS tahun 2007 yaitu peringkat ke-12 di Indonesia. Rusdarti et al. (2013) menganggap peringkat tersebut masih tergolong tinggi mengingat Jawa Tengah memiliki akses dengan daerah yang mempunyai peringkat rendah yaitu DKI Jakarta dengan peringkat ke1 dan Bali dengan peringkat ke-2. Lebih jelasnya peringkat tingkat kemiskinan provinsi yang dikutip oleh Rusdarti yaitu: Tabel 1 Persentase kemiskinan Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, DI Yogyakarta, Jawa Barat, dan DKI Jakarta Tahun 2007 Peringkat 1 2 3 4 5
Provinsi Jawa Tengah Jawa Timur DI Yogyakarta Jawa Barat DKI Jakarta
Persentase (%) 20,43 19,98 13,55 18,99 4,61
Sumber: BPS, 2007
Kemiskinan jangka panjang dapat dilihat dengan membandingkan data kemiskinan antar provinsi pada tahun 2007 dengan tahun 2012, 2013, dan 2014. Dibandingkan dengan peringkat kemiskinan pada tahun 2012-2014, setelah berbagai program pengentasan kemiskinan dilakukan oleh pemerintah sejak tahun 2007, BPS menyajikan data kemiskinan: Tabel 2 Persentase kemiskinan Provinsi Jawa Tengah, DKI Jakarta, dan Bali Tahun 2012-2014 Provinsi Jawa Tengah DKI Jakarta Bali
2012 14,98 3,70 3,95
Persentase (%) 2013 14,44 3,72 4,49
2014 5,51 4,09 4,76
Sumber: Laporan bulanan data sosial ekonomi, BPS
Pembahasan menarik dari kedua data tersebut adalah penurunan kemiskinan Jawa Tengah yang signifikan, sementara peningkatan kemiskinan di dua kota yang dijadikan pembanding pada penelitian. Kemiskinan yang terjadi disebabkan oleh kemiskinan struktural dan kultural akibat pembangunan yang belum seimbang dengan hasil yang belum merata (Rusdarti et al. 2013). Selanjutnya kemiskinan yang terjadi tersebut (Rusdarti et al. 2013) kaitkan dengan kepemilikan sumber daya yang tidak merata, kemampuan masyarakat yang tidak seimbang, dan ketidaksamaan kesempatan dalam berusaha dan memperoleh pendapatan sehingga menyebabkan keikutsertaan dalam pembangunan tidak merata. Kemudian Rusdarti et al. (2013) berpendapat bahwa kemiskinan di pedesaan lebih besar dibandingkan di daerah perkotaan. Beberapa temuan yang dikemukakan oleh Rusdarti et al. (2013) mengenai faktor yang memengaruhi kemiskinan di Jawa Tengah yakni: 1) produk Domestik Regional Bruto (PDRB) berpengaruh negatif terhadap persentase jumlah penduduk miskin; 2) peningkatan belanja publik; dan 3) belanja operasional pemerintah yang dominan menyebabkan rendahnya prioritas pada pelayanan publik.
7
Kemiskinan masyarakat pesisir Kondisi masyarakat pesisir digambarkan oleh Satria (2009) sebagai masyarakat yang hidup bersama-sama mendiami wilayah pesisir, memiliki kebudayaan yang khas terkait ketergantungannya pada pemanfaatan sumerdaya pesisir walaupun pekerjaan yang dilakukan selain sebagai nelayan. Kemiskinan dinilai meluas dengan kedalaman kemiskinan yang memprihatinkan Tain (2011). Kemiskinan di wilayah pesisir memicu destructive fishing yang kemudian mengacaukan mata rantai makanan. Hal ini yang menjadi alasan perlunya peningkatan pendapatan rumah tangga nelayan untuk menjamin pembangunan perikanan yang berkelanjutan (Fauzi 2005). Beberapa kasus kemiskinan pada masyarakat nelayan digambarkan oleh Hidayati et al. (2008) bahwa kemiskinan tertinggi di Kabupaten Cilacap terdapat di kampung laut yang sebagian besar penduduk kampung laut bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan yaitu sebesar 63,57 persen. Pada penelitian lain Winoto (2006) menggambarkan bahwa kemiskinan di Kota Tanjungpinang ditunjukkan dengan adanya pemukiman-pemukiman kumuh kumuh serta liar, serta adanya golongan masyarakat yang masuk kategori keluarga miskin yang disebabkan oleh keterbatasan ekonomi, sosial dan politik dari masing-masing keluarga miskin tersebut. Pendidikan yang rendah digambarkan sebagai kendala dalam memperoleh pekerjaan dalam penelitiannya. Selanjutnya Winoto (2006) juga menggambarkan bahwa profesi sebagai nelayan yang menyebabkan 47,3% penduduk di Kelurahan Dompak masuk ke dalam kategori keluarga miskin. Melihat kondisi Indonesia dengan segala kondisi lautnya yang melimpah Hamdani (2013) berpendapat bahwa nelayan seharusnya sadar bahwa laut adalah satu-satunya tumpuan hidup mereka. Selanjutnya ia juga menambahkan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan nelayan miskin adalah tingkat pendidikan yang rendah. Selain itu Hamdani (2013) menjelaskan bahwa kebiasaan yang dilakukan oleh suatu komunitas akan menjadi ciri dari komunitas tersebut, begitupun yang dialami oleh nelayan tradisional. Hamdani (2013) pun merumuskan faktor-faktor yang menyebabkan masyarakat tradisional dalam penelitiannya yaitu: (a) kualitas sumber daya manusia; (b) kebiasaan nelayan; (c) pekerjaan alternatif; (d) kepemilikan modal; (e) teknologi yang digunakan; dan (f) peran lembaga ekonomi. Kemiskinan pada nelayan juga dipengaruhi oleh faktor struktural, dan kultural. Lebih lengkapnya Tain (2011) menambahkan satu faktor lagi, sehingga kemiskinan dalam penelitiannya dikelompokkan menjadi tiga bentuk yaitu kemiskinan struktural, kemiskinan kultural, dan kemiskinan alamiah. Lebih lanjut Tain (2011) juga menjelaskan pengertian dari ketiga bentuk kemiskinan tersebut. Pertama, kemiskinan struktural yang lebih menguntungkan pemilik modal dan menyulitkan akses terhadap sumberdaya. Kedua, kemiskinan kultural yang bersumber dari tata nilai yang dianut oleh masyarakat nelayan yang tidak kondusif untuk kemajuan. Ketiga, kemiskinan alamiah yang berarti kondisi alam atau sumberdaya yang tidak mendukung nelayan dalam melakukan kegiatan ekonomi produktif. Haryono (2005) juga menambahkan bahwa kemiskinan seringkali terjadi karena sistem bagi hasil yang tidak sesuai, sesuai dengan temuannya dalam
8
strategi kelangsungan hidup nelayan yang menggunakan sistem fifty-fifty antara juragan dengan buruh nelayan. Kemudian Tain (2011) mengeksplorasi ketiga sumber kemiskinan tersebut dan menemukan 15 faktor dominan yang menyebabkan kemiskinan rumah tangga nelayan, yaitu: (1) kelembagaan yang merugikan nelayan kecil; (2) program yang tidak memihak nelayan kecil; (3) pandangan hidup yang berorientasi akherat; (4) keterbatasan sumberdaya; (5) ketidaksesuaian alat tangkap; (6) rendahnya investasi; (7) terikat utang; (8) perilaku boros; (9) keterbatasan musim penangkapan; (10) kerusakan ekosistem; (11) penyerobotan wilayah tangkap; (12) lemahnya penegakan hukum; (13) kompetisi untuk mengungguli nelayan lain; (14) penggunaan alat/ bahan terlarang; dan (15) perilaku penangkapan. Pandangan hidup berorientasi akherat sebagaimana dijelaskan oleh Tain (2011) ditujukan untuk nelayan yang berdoa saja namun kurang melakukan usaha. Hamdani (2013) merumuskan tentang tingkat pendidikan bahwa kualitas sumber daya manusia yang dilihat dari tingkat pendidikannya dapat menentukan apakah suatu masyarakat tergolong miskin atau bukan miskin. Kemudian Hamdani (2013) pun memprediksi persoalan yang akan muncul dengan rendahnya tingkat pendidikan nelayan yaitu ketika ingin bekerja di tempat lain yang dianggap menjanjikan. Kebiasaan nelayan yang mendorong kemiskinan sesuai penjelasan Hamdani (2013) berupa peminjaman pada juragan saat paceklik, gaya hidup konsumtif, minum minuman keras dan berjudi, dan pola hidup yang kurang memerhitungan kebutuhan masa depan. Faktor kepemilikan teknologi dan peran lembaga ekonomi saling berkaitan erat. Hamdani (2013) selain memaparkan kesulitan nelayan dalam mendapatkan modal akibat tidak bisa menabung dan akses perkreditan yang sulit membuat nelayan kesulitan untuk mengembangkan usaha. Kemiskinan juga dapat dikaitkan dengan besarnya pengeluaran rumah tangga nelayan. Kemiskinan dengan pengeluaran sebagai indikator dikategorikan oleh Firdaus et al. (2013) dari nilai pengeluaran non pangan yang lebih kecil dari pengeluaran pangan. Sebaliknya Firdaus et al. (2013) mengemukakan bahwa semakin kecil pengeluaran pangan maka keluarga tersebut semakin sejahtera sebab secara alamiah kebutuhan pangan memiliki batas kejenuhan sedangkan kebutuhan non pangan ataupun kualitas pangan tidak terbatasi dengan cara yang sama. Berkaitan dengan aktivitas usaha Firdaus et al. (2013) mengganggap keidentikan nelayan dengan pesisir, memiliki ketergantungan pada sumber daya perikanan yang sama dalam aktivitas usahanya, seperti penggunaan jenis alat tangkap dan ukuran armada yang sama. Sektor usaha yang ditemui yaitu terdiri dari pedagang perikanan dan nelayan untuk sektor perikanan, sedangkan untuk sektor non perikanan terdiri dari pedagang saja. Firdaus et al. (2013) menyarankan agar dalam meningkatkan kesejahteraan rumah tangga nelayan perlu peningkatan pendapatan disamping menekan pengeluaran rumah tangga. Sebagai konsekuensinya Firdaus et al. (2013) menyarankan pemerintah agak membuat kebijakan yang dapat menjamin stabilitas harga di kalangan konsumen, disamping itu nelayan juga meningkatkan penghasilan dengan meningkatkan nilai mutu produk ikan, juga mencari pekerjaan alternatif.
9
Penelitian lain sebagaimana disampaikan oleh Imron (2003) mengemukakan bahwa kecenderungan kemiskinan yang dialami oleh nelayan dan nelayan perorangan menjadi sebuah ironi karena Indonesia memiliki wilayah laut yang luas daripada wilayah darat, sedangkan laut kaya akan sumberdaya yang mampu untuk mensejahterakan nelayan maupun keluarganya. Selain itu Imron (2003) juga menjelaskan bahwa kemiskinan dapat bergantung dari perasaan dari nelayan yang tidak dapat memenuhi kebutuhan ekonominya atau karena membandingkan dengan orang lain yang pendapatannya lebih tinggi darinya. Imron (2003) pun menambahkan tentang kemiskinan yang dilihat dari dimensi ekonomi yaitu sandang, pangan dan papan. Ia menyebutkan bahwa menilai kemiskinan nelayan secara kualitatif sifatnya mudah, yaitu dengan melihat kondisi rumah yang kumuh dengan perabotan yang seadanya, dan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan sandang dan kesehatan yang rendah. Secara lebih lengkap penyebab kemiskinan utama nelayan yang ditemukan oleh Imron (2003) adalah faktor teknologi yang berarti ketidakmampuan mengakses teknologi mengakibatkan ketergantungan pada musim dan wilayah tangkap yang terbatas. Keterbatasan tersebut memengaruhi hasil tangkapan nelayan sedikit, kemudian membuat posisi tawar nelayan lemah dalam pelelangan ikan dan terjebak dalam ikatan dengan tengkulak. Hal tersebut didukung pula oleh Berikutnya Haryono (2005) dengan faktor-faktor yang menyebabkan kemiskinan dan keterbatasan sosial nelayan yang selain disebabakan oleh fluktuasi musim ikan, keterbatasan sumber daya manusia, keterbatasan modal, kurangnya akses, dan jaringan perdagangan ikan yang cenderung eksploitatif terhadap nelayan sebagai produsen, serta dampak negatif modernisasi yang mendorong terkurasnya sumber daya laut secara cepat dan berlebihan, kurangnya kesempatan nelayan untuk melakukan diversifikasi pekerjaan, terutama di luar kegiatan melaut. Strategi pola nafkah Hamdani (2013) dalam penelitiannya menyatakan bahwa kehidupan nelayan tidak akan berubah jika hanya mengandalkan dari pekerjaan melaut yang bergantung dengan kondisi alam. Pekerjaan alternatif sangat diperlukan nelayan untuk meningkatkan pendapatan mereka, walaupun seringkali terkendala dengan tingkat pendidikan nelayan tradisional yang hanya tamat Sekolah Dasar (SD) (Hamdani 2013). Strategi pola nafkah dijelaskan melalui kerangka teoretikal sosiologi penghidupan oleh Dharmawan (2007:184-185): 1. Dalam kondisi dan situasi apapun, setiap individu atau rumahtangga selalu berupaya untuk mempertahankan status kehidupannya dan sebisa mungkin melanjutkan eksistensinya hingga lintas generasi melalui berbagai cara (strategi) bertahan hidup melalui manipulasi sumber-sumber penghidupan yang tersedia di hadapannya. 2. Setiap individu membangun mekanisme-mekanisme survival melalui kelompok maupun komunitas sesuai konteks sosiobudaya-eko-geografi dan lokalitas dimana individu tersebut berada. 3. Ada kekuatan infrastruktur (kelembagaan) dan kekuatan suprastruktur (tata-nilai) serta struktur sosial (pola hubungan sosial)
10
yang menyebabkan bentuk strategi nafkah yang dibangun oleh individu maupun kelompok individu tidak selalu seragam di setiap lokalitas. 4. Hingga batas tertentu, strategi nafkah yang dibangun oleh individu dan rumah tangga akan mempengaruhi dinamika kehidupan sosial pada aras masyarakat. Sebaliknya dinamika kehidupan masyarakat akan menentukan strategi yang dibangun di tingkat individu dan rumahtangga. Dharmawan (2007) juga memaparkan bahwa dalam menyelesaikan masalah kemiskinan dan keterbelakangan di pedesaan salah satu poin yang harus diperhatikan adalah akses terhadap sumberdaya alam/agraria. Berkaitan dengan aset kehidupan dan akses Abdurrahim (2015) mengemukan bahwa strategi pengidupan yang dimaknai dalam penelitiannya adalah bagaimana aset penghidupan seperti modal alam, fisik, manusia/ insani, finansial dan sosial yang dimiliki dan diakses serta dapat dikombinasikan dengan berbagai aktivitas mencari nafkah sehingga dapat menjaga kelangsungan hidup masyarakat. Dalam hal ini strategi penghidupan rumah tangga dalam penelitiannya yaitu dari segi pertanian, non-pertanian dan migrasi. Sedangkan aset yang dimaksud Abdurrahim (2015) ialah modal insani, modal fisik, modal finansial, modal alam, dan modal sosial. Kerentanan ekologi yang terjadi diiringi dengan modal sosial yang tinggi berupa ikatan kekerabatan, cara pandang dan sistem nilai yang dijalankan dengan prinsip resiprositas dan pertukaran yang cukup tinggi (Abdurrahim 2015). Ikatan patron klien yang dikenal khas di daerah pesisir juga dapat ditemui dalam kehidupan petani sawah di Pantai Utara Indramayu, sebab petani membutuhkan juru selamat yang membantu kehidupan ekonominya yang tidak stabil (Abdurrahim 2015). Nagib et al. (2008) menjelaskan bahwa kondisi ekonomi rumah tangga tercermin dari besarnya pendapatan rumah tangga diperoleh dari kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh anggota rumah tangga (ART) termasuk kepala rumah tangga (KRT) yang berusia lebih dari 15 tahun. Kegiatan ekonomi yang dilakukan tersebut dipengaruhi oleh kesempatan kerja yang tersedia. Penelitian lain merumuskan sebuah langkah untuk mengentaskan kemiskinan masyarakat nelayan sesuai penelitian Imron (2003) tentang kemiskinan pada masyarakat nelayan, ia mengutip pendapat dari Goulet (1973) yang mengemukakan bahwa mengembangkan masyarakat nelayan bukan hanya meningkatkan pendapatannya namun juga meningkatkan harga diri nelayan agar orang miskin dianggap lebih manusiawi. Walaupun begitu Imron (2003) mengungkapkan bahwa pilihan yang dimiliki nelayan dalam bertahan hidup ialah: (1) tetap bertahan dengan alat tangkap yang dimiliki walaupun terjebak dalam kemiskinan; (2) meningkatkan produktifitas dengan cara intensifikasi dan ekstensifikasi; (3) meningkatkan produktivitas dengan cara murah walaupun merusak lingkungan; dan (4) menjadi nelayan dan melakukan pekerjaan alternatif. Sudut pandang yang lebih unik dikemukakan oleh Rosyid (2013) dalam skripsinya yang melihat ekonomi kreatif sebagai bentuk strategi nafkah masyarakat nelayan. Rosyid (2013) menilai masyarakat nelayan memiliki dua karakteristik yaitu secara ekonomi dan sosial. Secara ekonomi dinilai dari tingkat pendapatan dan tingkat alokasi, sedangkan secara sosial dengan melihat tingkat interaksi dan tingkat relasi patron-klien. Rosyid (2013) menjabaran ruang lingkup
11
ekonomi kreatif yang dipetakan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI menjadi 15 sektor yaitu: (1) periklanan, (2) arsitektur, (3) desain, (4) pasar barang seni, (5) kerajinan, (5) musik, (6) fesyen, (7) permainan interaktif, (8) video, (9) seni pertunjukan, (8) layanan komputer dan piranti lunak, (9) riset dan pengembangan, (10) penerbitan dan percetakan, (11) televisi dan radio, dan (12) kuliner. Selain strategi pola nafkah yang ditempuh melalui ekonomi kreatif, pada penelitian yang dilakukan oleh Widodo (2012) yang berjudul peran perempuan dalam sistem nafkah rumah tangga nelayan menjelaskan bahwa perempuan memiliki peran penting dalam sistem nafkah rumah tangganya. Bidang yang ditekuni perempuan-perempuan dalam sistem nafkah rumah tangga antara lain dalam bidang ekonomi, sosial, dan aktivitas organisasi. Peran-peran perempuan tersebut yaitu memasarkan ikan, mengasinkan ikan dan mengasap ikan serta bidang kerajinan dan menjahit. Selanjutnya Widodo (2012) juga menjelaskan bahwa program intensif tenaga kerja di desa sangat bermanfaat untuk melibatkan perempuan. Widodo (2012) menyarankan untuk membatasi migrasi yang dilakukan oleh perempuan, sebab peran reproduksi dan manajemen keluarga oleh perempuan menjadi tidak maksimal. Walaupun peran perempuan dalam perekonomian rumah tangga cukup besar, namun pengambilan keputusan tetap saja didominasi oleh laki-laki. Strategi pola nafkah juga dapat terjadi secara berkelanjutan seperti yang dipaparkan oleh Haryono (2005) dalam penelitiannya yang berjudul strategi kelangsungan hidup nelayan, yang menjelaskan terkait diversifikasi pekerjaan yang dilakukan oleh nelayan. Beberapa faktor yang dianggap Haryono (2005) memengaruhi diversifikasi pekerjaan yaitu: (1) keterlibatan keluarga nelayan; (2) lingkungan fisik dan alam; dan (3) peluang kerja di desa nelayan. Masyarakat pesisir Satria (2009) berpendapat bahwa masyarakat pesisir memiliki beragam potensi sumberdaya alam sehingga dapat memberikan manfaat optimal bagi pengembangan ekonomi dan sosial-budaya masyarakat. Lebih lanjut Widodo (2011) menjelaskan bahwa masyarakat yang berada di kawasan pesisir menghadapi berbagai permasalahan yang membuat mereka menjadi miskin. Kemudian Abdurrahim (2015) yang meneliti kerentanan ekologi rumah tangga petani di Pantai Utara Indramayu memaparkan bahwa perubahan iklim yang terjadi di wilayah pesisir mengacaukan aktivitas pertanian padi sawah. Berbagai masalah pertanian seperti banjir, kekeringan dan serangan HPT dialami oleh petani karena perubahan iklim global (Abdurrahim 2015). Abdurrahim (2015) pun mengemukakan bahwa sebagian besar area sawah yang memiliki salinitas tinggi akibat jaraknya yang tidak jauh dari pantai mengakibatkan air tanah tidak dapat dipompa untuk mengairi persawahan. Pendapat lain menjelaskan bahwa wilayah pesisir memiliki peran penting dalam perekonomian karena merupakan ruang yang menjembatani wilayah daratan dan wilayah lautan yang dicerminkan oleh kegiatan sektor pertanian, perikanan, perdagangan, pengangkutan, kelembagaan, dan kegiatan ekonomisosial lainnya (Adisasmita 2006). Selanjutnya Adisasmita (2006) juga menambahkan bahwa kawasan pesisir telah mendukung sebagian besar penduduk
12
dunia karena perannya dalam bidang ekonomi dan budaya, serta diharapkan dapat menampung pertumbuhan penduduk pada masa depan. Strategi pola nafkah masyarakat pesisir dalam menanggulangi kemiskinan Tingkat kemiskinan memengaruhi aktivitas ekonomi di daerah (Rusdarti et al. 2013). Berbagai aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh nelayan terhambat karena keterbatasan nelayan dalam mengakses sarana untuk meningkatkan perekonomian. Walaupun begitu strategi pola nafkah tetap dilakukan oleh nelayan untuk menjaga kelangsungan hidup sesuai dengan pendapat Haryono (2005). Prilaku produksi melaut nelayan yang disampaikan oleh Purwanti (2010) memberikan gambaran bahwa aset perahu yang dimiliki nelayan menyesuaikan dengan wilayah perairan. Kepemilikan aset tersebut memengaruhi hasil tangkapan yang didapatkan oleh nelayan dan pendapatan nelayan pada akhirnya. Selanjutnya Purwanti (2010) menjelaskan pula bahwa jumlah perahu dan ukuran cold box (UPJCB) yang dimiliki nelayan perpengaruh pada produksi nelayan pada musim puncak. Selain itu faktor yang berpengaruh positif terhadap peningkatan produktivitas nelayan yaitu jumlah BBM yang digunakan, curahan kerja melaut, potensi menabung atau surplus rumah tangga nelayan kecil, dan status wilayah sumberdaya. Berkaitan dengan sumber pendapatan non perikanan Purwanti (2010) mengatakan bahwa sumber pendapatan yang berasal dari luar bidang perikanan memiliki peranan besar dalam meningkatkan pendapatan nelayan. Strategi non-penangkapan ikan dilakukan dengan strategi dalam bidang ekonomi dan juga strategi sosial sesuai yang dikemukakan oleh (Widodo 2011). Strategi pola nafkah yang dilakukan oleh nelayan membawa perkembangan terhadap kehidupan nelayan sehingga memengaruhi status sosial dan ekonomi nelayan berupa kesempatan bekerja dan berusaha, kesejahteraan, adaptasi penghidupan, pemenuhan kebutuhan pangan, dan keberlanjutan sumber daya alam (Widodo 2011). Selaras dengan apa yang disampaikan oleh Imron (2003) bahwa keterbatasan akses terhadap teknologi membuat nelayan bergantung dengan musim, sehingga upaya yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan bantuan perbaikan teknologi penangkapan seperti penemuan Purwanti (2010) yang menjelaskan program pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan. Bantuan yang dimaksud tersebut dapat meningkatkan produksi sebanyak 15% dan berpengaruh positif pada semua variabel endogen dalam ekonomi rumah tangga nelayan. Selain itu berkaitan dengan penanganan hasil tangkap pasca panen Purwanti (2010) menjelaskan bahwa pananganan hasil tangkap yang dilakukan oleh nelayan seringkali kurang, sehingga harga jual pun tidak maksimal . Mutu hasil tangkap tersebut akhirnya menyebabkan penjualan hanya bergantung pada harga yang ditetapkan oleh produsen. Strategi nafkah dalam perbaikan pengelolaan hasil tangkap dengan pemberian bimbingan dan penyuluhan kepada nelayan akan membantu meningkatkan pendapatan nelayan, apalagi jika dilengkapi dengan lembaga ekonomi yang mendampingi. Hal ini dijelaskan pula oleh Nagib et al. (2008) bahwa sarana dan prasarana ekonomi, seperti pasar dan lembaga keuangan diperlukan untuk mendukung perekonomian masyarakat. Purwanti (2010) pun menjelaskan pengaruh pendidikan dan kesehatan terhadap ekonomi rumah tangga nelayan dan keterkaitan penambahan curah kerja non-fishing suami dan istri terhadap ekonomi rumah tangga nelayan. Berkaitan
13
dengan kedua variabel tersebut dalam jangka panjang kesehatan dan pendidikan dapat memengaruhi produksi, pendapatan, pengeluaran, dan ketahanan pangan rumah tangga. Sedangkan berkaitan dengan penambahan curahan kerja nonfishing keluarga nelayan memengaruhi peningkatan pendapatan, surplus rumah tangga dan ketahanan pangan rumah tangga nelayan. Menurut pendapat BPS sesuai yang dijelaskan Annisa (2008), pangan menjadi salah satu aspek yang diukur dalam melihat kemiskinan. Kemiskinan perlu memandang berbagai kelas dalam strata sosial yang didefinisikan oleh sosiolog dalam tulisan Damsar (2009) sebagai penggolongan individu secara vertikal berdasarkan status yang dimilikinya dan digolongkan sebagai variabel karena memiliki tiga variasi nilai yaitu tinggi, menengah, dan bawah. Berdasarkan hasil pengukuran tersebut akan diketahui apakah strategi pola nafkah yang dilakukan nelayan dapat membantu menanggulangi kemiskinan dengan perubahan status sosial dan ekonomi nelayan tersebut. Kerangka Pemikiran Kemiskinan yang terdapat pada masyarakat nelayan merupakan hal yang sering kita temui di daerah pesisir. Kemiskinan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dapat bersumber dari struktural, kultural maupun sifat sumber daya perikanan laut sesuai pendapat yang disampaikan oleh Tain (2011). Kondisi kemiskinan tersebut menuntut nelayan untuk lebih terampil dalam mengusahakan kelangsungan hidupnya Haryono (2005). Beberapa strategi yang dapat dilakukan yaitu stretegi dalam penangkapan ikan yang melibatkan keluarga nelayan sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Purwanti (2010). Selanjutnya strategi non-penangkapan ikan dilakukan dengan strategi dalam bidang ekonomi dan juga strategi sosial sesuai yang dikemukakan oleh (Widodo 2011). Strategi pola nafkah yang dilakukan oleh nelayan membawa perkembangan terhadap kehidupan nelayan sehingga memengaruhi status sosial dan ekonomi nelayan berupa kesempatan bekerja dan berusaha, kesejahteraan, adaptasi penghidupan, pemenuhan kebutuhan pangan, dan keberlanjutan sumber daya alam (Widodo 2011). Faktor kepemilikan teknologi dan peran lembaga ekonomi saling berkaitan erat. Hamdani (2013) selain memaparkan kesulitan nelayan dalam mendapatkan modal akibat tidak bisa menabung dan akses perkreditan yang sulit membuat nelayan kesulitan untuk mengembangkan usaha. Sedangkan Hamdani (2013) merumuskan bahwa kualitas sumber daya manusia yang dilihat dari tingkat pendidikannya dapat menentukan apakah suatu masyarakat tergolong miskin atau bukan miskin. Imron (2003) juga memaparkan bahwa keterbatasan akses terhadap teknologi membuat nelayan bergantung dengan musim. Perkembangan nelayan secara sosial dan ekonomi tersebut dapat diukur menggunakan indikator pengukuran kemiskinan yang ditentukan oleh BPS sesuai yang dijelaskan oleh Annisa (2008) yaitu ciri tempat tinggal, kepemilikan aset, aspek pangan, aspek sandang dan kegiatan sosial. Pengukuran kemiskinan perlu memandang berbagai kelas dalam strata sosial yang didefinisikan oleh sosiolog dalam tulisan Damsar (2009) sebagai penggolongan individu secara vertikal berdasarkan status yang dimilikinya dan digolongkan sebagai variabel karena memiliki tiga variasi nilai yaitu tinggi, menengah, dan bawah. Berdasarkan hasil
14
pengukuran tersebut akan diketahui apakah strategi pola nafkah yang dilakukan nelayan dapat membantu menanggulangi kemiskinan dengan perubahan status sosial dan ekonomi nelayan tersebut.
Tingkat akses sumberdaya (X): -lembaga pendidikan (X1) -teknologi (X2) -lembaga pemasaran (X3) -lembaga keuangan (X4)
Tingkat keberagaman strategi pola nafkah (Y) Status sosial dan ekonomi nelayan: -atas -bawah
Strategi dalam penangkapan ikan: -keterlibatan keluarga nelayan
Strategi nonpenangkapan ikan: -strategi ekonomi -strategi sosial Keterangan:
Tingkat kemiskinan (menurut BPS) (Z)
: memengaruhi : mencakup : variabel antiseden
Gambar 1 Kerangka pemikiran
Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran di atas maka didapatkan hipotesis berikut ini: 1. Tingkat akses lembaga pendidikan berpengaruh terhadap tingkat keberagaman strategi pola nafkah masyarakat pesisir. 2. Tingkat akses teknologi berpengaruh terhadap tingkat keberagaman strategi pola nafkah masyarakat pesisir. 3. Tingkat akses lembaga pemasaran berpengaruh terhadap tingkat keberagaman strategi pola nafkah masyarakat pesisir. 4. Tingkat akses lembaga keuangan berpengaruh terhadap tingkat keberagaman strategi pola nafkah masyarakat pesisir. 5. Tingkat keberagaman strategi pola nafkah berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan masyarakat pesisir.
15
PENDEKATAN LAPANG Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dan penelitian eksplanatori. Penelitian kualitatif digunakan untuk mencari data-data pendukung yang tidak dapat dijelaskan melalui hasil survei. Penelitian eksplanatori digunakan untuk menguji hipotesis guna memperkuat atau menolak suatu hipotesis. Penelitian deskriptif ini berguna untuk menjelaskan data yang didapatkan dari survei. Penelitian deskriptif juga berguna untuk memberi keterangan yang lebih lengkap dan sistematis terkait fakta-fakta yang terjadi di lapang. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan kuantitatif dan didukung dengan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif dilakukan untuk memberikan penjelasan tambahan yang tidak dapat diketahui melalui survei. Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan memberikan kuesioner kepada responden mengenai strategi pola nafkah yang dilakukan untuk menanggulangi atau bertahan dari kemiskinan. Selanjutnya pendekatan kualitatif dilakukan dengan melakukan wawancara kepada informan terkait perubahan kondisi yang terjadi pada masyarakat Bajomulyo dalam melakukan strategi pola nafkah serta untuk mengetahui kondisi kemiskinan yang ada di Bajomulyo. Jenis wawancara yang dilakukan yaitu wawancara mendalam dengan pertanyaan terstruktur (lampiran 2) yaitu teknik wawancara dengan menyiapkan pertanyaan terlebih dahulu untuk mencari informasi secara mendalam kepada informan. Observasi dan studi dokumentasi dilakukan untuk mengetahui kondisi lapang secara langsung. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi yang dipilih dalam penelitian ini adalah Desa Bajomulyo, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah. Peta lokasi penelitian terlampir pada (lampiran 1). Penetapan lokasi ini dilakukan secara purposive (sengaja). Lokasi tersebut dipilih dengan beberapa pertimbangan, antara lain: 1. Lokasi terletak di dekat Sungai Silugonggo yang merupakan sungai terbesar di Kabupaten Pati sebagai tempat para nelayan mendaratkan kapal setelah melaut dan sebagai tempat aktivitas perekonomian warga setempat. 2. Tempat Pelelangan Ikan terletak di lokasi tersebut sebagai sarana memasarkan ikan hasil tangkapan nelayan. 3. Lokasi berjarak kurang lebih 2-3 km dari pantura sehingga memudahkan distribusi ikan dan akses terhadap sumber daya pendukung penangkapan ikan. 4. Lokasi memiliki berbagai unit usaha di luar usaha penangkapan ikan di laut seperti pembuatan ikan asin, pabrik es batu, tambak, dsb. 5. Walaupun merupakan kawasan pesisir, secara visual tidak nampak kondisi kemiskinan dari warga Bajomulyo.
16
6. Tempat Pelelangan Ikan Bajomulyo sebagai pemasok ikan terbesar di Kabupaten Pati menurut Pusat Informasi Pelabuhan dan Perikanan Kabupaten Pati. 7. Tangkapan terendah di TPI II Juwana selama 2015 yaitu senilai 8,16 milyar rupiah pada bulan Agustus dan tertinggi senilai 27,5 milyar rupiah berdasarkan Pusat Informasi Pelabuhan Perikanan. Penelitian ini diawali dengan pembuatan proposal yang akan dilaksanakan pada bulan Januari 2016. Selanjutnya kolokium pada bulan Februari. Kegiatan penelitian yang dilakukan oleh peneliti meliputi penyusunan proposal penelitian, kolokium, perbaikan proposal penelitian, pengambilan data lapangan, pengolahan dan analisis data, penulisan draft skripsi, uji petik, sidang skripsi, dan perbaikan skripsi. Secara lebih jelas pelaksanaan penelitian ini ditampilkan dalam bentuk tabel.
17
Tabel 3 Pelaksanaan penelitian tahun 2016 Kegiatan Penyusunan proposal penelitian Kolokium Perbaikan proposal Pengambilan data lapangan Pengolahan data dan analisis data Penulisan draft skripsi Uji petik Sidang skripsi Perbaikan skripsi
Januari 1 2
3
4
Februari 1 2
3
4
Maret 1 2
3
4
April 1 2
3
4
Juni 1
2
3
4
18
Teknik Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui survei kepada responden, wawancara mendalam dengan pertanyaan terstruktur kepada informan, dan observasi. Selanjutnya data sekunder didapatkan dengan mengumpulkan berbagai dokumen terkait pola nafkah dan kemiskinan dari kantor desa, kantor kecamatan, dinas kelautan dan perikanan Kabupaten Pati, dinas ketenagakerjaan Kabupaten Pati, Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Pati dan tempat pelelangan ikan Kecamatan Juwana. Pendekatan yang dilakukan meliputi pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan survei kepada responden yang telah ditentukan dengan kuesioner. Kuesioner tersebut diuji coba terlebih dahulu. Selain melakukan uji validity dan reliability pada kuesioner, pernyataan kualitatif digunakan untuk menyempurnakan kuesioner atau sebaliknya, panduan pertanyaan dalam kuesioner sebagai dasar dalam menyusun panduan wawancara mendalam dengan informan. Wawancara mendalam dilakukan kepada responden sesuai topik pada poin pertanyaan kuesioner. Responden pencilan yang khas diwawancarai secara mendalam mengenai pandangan subjektifnya terkait strategi pola nafkah yang ada di Desa Bajomulyo. Responden tersebut yaitu rumahtangga Bajomulyo yang melakukan strategi nafkah baik dalam penangkapan ikan maupun non penangkapan ikan. Data kualitatif didapatkan melalui wawancara kepada nelayan, pelaku usaha, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, tokoh perempuan, aparatur desa Bajomulyo, dinas kelautan dan perikanan Kabupaten Pati dan tempat pelelangan ikan Kecamatan Juwana. Wawancara dilakukan untuk menambah informasi terkait strategi pola nafkah yang dilakukan masyarakat Bajomulyo beserta kondisi kemiskinan yang ada di lokasi.Wawancara mendalam dengan pertanyaan yang dikembangkan, dilakukan peneliti ketika di lapang untuk memperkaya informasi dalam penelitian ini. Wawancara juga dilakukan dalam Bahasa Jawa agar mempermudah informan menerima dan menyampaikan informasi. Pencarian data kualitatif dihentikan jika sudah mencapai titik jenuh yaitu ketika informasi sudah banyak terkumpul dan dapat merepresentasikan topik yang diteliti.Berbagai studi terdahulu tentang strategi pola nafkah, masyarakat pesisir dan kemiskinan digunakan untuk melengkapi kekurangan dalam pembahasan penelitian. Observasi lapangan dilakukan untuk mengetahui berbagai aktivitas pola nafkah masyarakat Bajomulyo secara langsung. Selain itu juga untuk menjalin kedekatan dengan masyarakat supaya mendapatkan data secara riil ketika melakukan survei. Proses penelitian direkam melalui catatan lapang atau field notes.
19
Tabel 4 Metode pengumpulan data Teknik Pengumpulan Data Kuisioner
Wawancara mendalam
Data yang Dikumpulkan Data primer 1. Tingkat kemiskinan masyarakat 2. Akses sumberdaya oleh masyarakat 3. Status sosial masyarakat 4. Strategi dalam penangkapan ikan 5. Strategi nafkah non penangkapan ikan 1. Ragam pekerjaan yang dilakukan masyarakat. 2. Strategi masyarakat dalam bertahan dari kemiskinan atau melakukan mobilitas sosial dari kelas bawah ke kelas atas.
Data sekunder Profil Desa Bajomulyo tahun 2016 Sejarah dan potensi desa. Kebijakan pemerintah terkait Program penanggulangan kemiskinan pemberantasan kemiskinan Data monografi Desa Bajomulyo Kondisi geografi dan demografi Desa Bajomulyo Data Badan Pusat Statistik mengenai Potensi desa Bajomulyo potensi desa serta sensus penduduk tahun 2010 Observasi lapangan Kegiatan masyarakat dalam melakukan strategi pola nafkah.
Teknik Penentuan Informan dan Responden Populasi dalam penelitian ini yaitu masyarakat Desa Bajomulyo, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah. Populasi sampel yang dipilih untuk menjadi responden yaitu rumah tangga yang melakukan pekerjaan penangkapan ikan maupun non penangkapan ikan. Unit analisis dalam penelitian ini yaitu rumah tangga dengan minimal satu anggota keluarga bekerja pada sektor penangkapan ikan maupun non penangkapan ikan. Wawancara dilakukan kepada kepala rumah rangga. Metode yang digunakan dalam menentukan responden yaitu dengan stratified random sampling sehingga dapat mengetahui strategi pola nafkah pada masing-masing kelas sosial atas dan bawah. Alasan lain yaitu karena masyarakat Desa Bajomulyo bersifat heterogen dari sisi pekerjaan, akses terhadap kelembagaan, tingkat pendidikan, dan teknologi. Teknik sampling tersebut dijabarkan dalam sebuah kerangka (lampiran 3). Responden dipilih secara acak menggunakan software Microsoft Excel 2013 sebanyak 40 responden. Responden dengan jumlah 40 tersebut terdiri atas 20 responden dari kelas atas dan 20 responden dari kelas bawah. Pemilihan responden sebanyak 20 pada masing-masing kelas menggunakan perbandingan tidak berimbang sebagaimana dijelaskan oleh Efendi et al. (2012) bahwa perbandingan tidak berimbang untuk menentukan jumlah responden dapat dilakukan untuk mencegah jumlah responden yang timpang antar kelas. Jumlah 20 dipilih karena dapat mewakili kelas atas yang hanya berjumlah 31 orang. Selain itu juga mempertimbangkan standar minimum pengolahan data SPSS untuk sampel acak berkelas. Kelas atas merupakan warga Desa Bajomulyo
20
yang memiliki kapal , sedangkan kelas bawah merupakan anak buah kapal (ABK) yang dipilih secara aksidental. Penentuan secara aksidental dilakukan karena ketidaktentuan keberadaan ABK, termasuk ABK asal Bajomulyo. ABK memiliki kecenderungan berada di laut dan libur beberapa hari untuk mempersiapkan keberangkatan selanjutnya. Informan dipilih secara purposive atau sengaja. Informan yang dipilih secara sengaja tersebut bertujuan agar wawancara mendalam lebih terstruktur. Informan yang dipilih yaitu yang menguasai informasi terkait usaha penangkapan ikan, non penangkapan ikan, dan kondisi tingkat kemiskinan di lokasi penelitian. Informan yang dipilih antara lain nelayan, pelaku usaha, tokoh desa, tokoh perempuan, aparatur desa Bajomulyo, aparatur kecamatan Juwana, dinas kelautan dan perikanan Kabupaten Pati, dan tempat pelelangan ikan Kecamatan Juwana. Penambahan informan dilakukan untuk melengkapi kekurangan informasi ketika di lapang. Teknik Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh dari penelitian ini adalah data kuantitatif dan didukung dengan data kualitatif. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel 2013 dan SPSS for Windows versi 22.0. Hasil dari pengolahan tersebut dibuat dalam bentuk tabel frekuensi. Pengaruh antar variabel dalam analisis statistik deskriptif dilihat melalui tabel frekuensi. Data sekunder yang diperoleh disajikan dalam bentuk narasi. Selang kepercayaan dalam uji regresi yaitu sebesar (α = 5%) untuk melihat pengaruh antara tingkat keberagaman strategi pola nafkah yang dilakukan nelayan dengan tingkat kemiskinan yang ada di lokasi penelitian. Alfa 5% dipilih agar toleransi kesalahan pada penelitian sosial yang diterima lebih kecil dengan data lebih valid. Sebelum mengolah data pada SPSS for Windows versi 22.0, dibuat buku kode terlebih dahulu pada Microsoft Excel 2013 untuk mempermudah proses pengolahan data. Sedangkan data kualitatif yang diperoleh direduksi terlebih dahulu untuk memilih informasi yang diperlukan untuk mendukung topik penelitian. Data tersebut digolongkan terlebih dahulu untuk memperkuat data kuantitatif yang didapatkan, kemudian disajikan dalam bentuk laporan naratif dengan menggunakan Microsoft Word 2013. Selanjutnya yang dilakukan adalah mengambil kesimpulan dari hasil reduksi data. Hasil kualitatif-subjektif dan kuantitatif-objektif dibandingkan untuk mendapatkan hasil analisis dan interpretasi secara rinci. Setelah kesimpulan didapatkan , hasil penelitian disajikan dalam bentuk laporan skripsi.
21
Definisi Operasional Definisi operasional adalah unsur penelitian yang memberi arahan bagaimana mengukur sebuah variabel (Effendi et al. 2012). Pertanyaan kuesioner yang akan digunakan dibuat berdasarkan definisi operasional: 1. Tingkat keberagaman strategi pola nafkah yang dilakukan Strategi pola nafkah yang mana oleh Satria (2009) disebut sebagai strategi mata pencaharian adalah salah satu upaya untuk memutus rantai kemiskinan. Strategi pola nafkah masyarakat nelayan terdiri dari strategi penangkapan ikan dan strategi non penangkapan ikan (Purwanti 2010). Purwanti (2010) juga mengatakan bahwa sumber pendapatan yang berasal dari luar bidang perikanan memiliki peranan besar dalam meningkatkan pendapatan nelayan. Skor tinggi pada tingkat keberagaman strategi pola nafkah yaitu (x>rata-rata), sedangkan skor rendah adalah (x≤rata-rata). Berikut adalah beberapa definisi dari poin-poin tingkat keberagaman strategi pola nafkah yang akan dinilai melalui kuesioner. - Penangkapan ikan: pekerjaan sebagai nelayan/ kegiatan menangkap ikan, binatang laut, tumbuhan laut di laut sebagai bentuk pekerjaan untuk mendapatkan penghasilan guna memenuhi kebutuhan. - Non penangkapan ikan: kegiatan perikanan di luar penangkapan ikan sebagai bentuk pekerjaan, bisa sebagai pekerjaan alternatif pekerja penangkapan ikan. - Lama sandar kapal: berapa hari waktu kapal bersandar sebelum memulai kembali aktivitas mencari ikan. - Lama menangkap ikan: waktu yang menunjukkan seberapa lama waktu yang dibutuhkan nelayan dalam melakukan penangkapan ikan di laut. - Pendapatan hasil menangkap ikan: seberapa besar uang yang didapatkan nelayan dari hasil menangkap ikan. - Pola nafkah ganda: unit usaha yang dilakukan sebagai pekerjaan alternatif nelayan tangkap - Lama menjalankan usaha: seberapa lama responden menjalankan unit usaha baik sebagai pekerjaan alternatif maupun pekerjaan utama - Pemanfaatan modal sosial: seberapa luas hubungan dan pemanfaatan jaringan sebagai pendukung strategi pola nafkah yang dilakukan.
22
Tabel 5 Definisi operasional tingkat keberagaman strategi pola nafkah No.
Variabel
1.
Penangkapan ikan
2
Nonpenangkapan ikan
Indikator
Skor
Jenis Data Interval
Intensitas Tinggi (>4 Penangkapan kali/bulan) ikan Sedang (3-4 kali/bulan) Rendah (<3kali/bulan) Lama sandar Lama (X≥1/2 kapal SD) Sedang (-1/2 SD≤X≤1/2 SD) Rendah (X≤1/2 SD)
3
Pendapatan hasil menangkap ikan
3
Interval
2 1 2
Ordinal
Pola nafkah Ya ganda
Lama menjalankan usaha
Pemanfaatan modal sosial
2 1 3
Tinggi: x>ratarata Rendah: x≤ratarata
Interval
2
1
Tidak 1 Lama (X≥1/2 3 SD) Sedang (-1/2 2 SD≤X≤1/2 SD) Rendah (X≤1/2 1 SD) Ya 2 Tidak
Indikator
Interval
Ordinal
1
2. Tingkat akses terhadap sumberdaya Hamdani (2013) merumuskan bahwa kualitas sumber daya manusia yang dilihat dari tingkat pendidikannya dapat menentukan apakah suatu masyarakat tergolong miskin atau bukan miskin. Hamdani (2013) selain memaparkan kesulitan nelayan dalam mendapatkan modal akibat tidak bisa menabung dan akses perkreditan yang sulit membuat nelayan kesulitan untuk mengembangkan usaha. Imron (2003) juga memaparkan bahwa keterbatasan akses terhadap teknologi membuat nelayan
23
bergantung dengan musim. Berikut adalah beberapa definisi dari poin-poin tingkat akses terhadap sumberdaya yang dinilai melalui instrumen kuesioner. - Akses terhadap pendidikan: tingkat kemudahan nelayan kelas atas maupun kelas bawah dalam memanfaatkan pendidikan untuk meningkatkan kualitas diri. - Pendidikan terakhir: pendidikan formal terakhir yang pernah diikuti responden. - Keberadaan lembaga pendidikan formal di kecamatan: pengetahuan pelaku usaha perikanan tentang ada tidaknya lembaga pendidikan formal di tingkat kecamatan. - Keikutsertaan lembaga pendidikan informal: keikutsertaan pelaku usaha perikanan pada kegiatan penyuluhan atau pelatihan baik dari pemerintah atau non pemerintah guna meningkatkan pengetahuan pembaca. - Pendidikan sebagai syarat kerja: pendidikan formal menjadi syarat dalam menjalani pekerjaan yang dilakukan saat dilaksanakan penelitian. - Akses terhadap teknologi: tingkat kemudahan pelaku usaha perikanan kelas atas maupun kelas bawah dalam memanfaatkan teknologi berupa mesin/alat produksi modern untuk memudahkan pekerjaan. - Jenis kapal: Kualitas dan kuantitas kapal yang dimiliki nelayan dan diukur dengan indikator lokal. - Keterjangkauan teknologi: kemampuan pelaku usaha perikanan dalam mengakses maupun memiliki alat/mesin untuk menjalankan usaha dan juga kemampuan memenuhi syarat atau perijinan mengoperasionalkan teknologi. - Kebutuhan terhadap teknologi: kebutuhan pelaku usaha perikanan kelas atas maupun kelas bawah terhadap mesin/alat dalam menjalankan pekerjaan. - Intensitas pemakaian teknologi: waktu penggunaan alat /mesin yang diukur untuk mengetahui apakah teknologi menjadi instrumen utama dalam menjalankan usaha perikanan kelas atas maupun kelas bawah. - Akses terhadap lembaga pemasaran: tingkat kemudahan pelaku usaha perikanan kelas atas maupun kelas bawah untuk menjalankan pekerjaan. - Letak tempat pemasaran: keberadaan tempat memasarkan ikan atau hasil olahan ikan. - Syarat melakukan pemasaran: ketentuan/ aturan/ syarat dalam melakukan pemasaran di tempat pemasaran. - Akses terhadap lembaga keuangan: tingkat kemudahan pelaku usaha perikanan dalam melakukan peminjaman uang. - Sasaran peminjaman uang: kepada siapa pelaku usaha perikanan melakukan peminjaman uang atau menyimpan uang. - Intensitas meminjam uang: berapa kali pelaku usaha perikanan melakukan peminjaman ikan dalam periode waktu tertentu. - Penggunaan uang pinjaman: peruntukan uang hasil pinjaman. - Nominal uang pinjaman: berapa jumlah uang yang dipinjam oleh pelaku usaha perikanan kelas atas maupun kelas bawah.
24
Tabel 6 Definisi operasional tingkat akses terhadap sumberdaya No.
Variabel
1.
Akses terhadap pendidikan
Indikator Pendidikan terakhir
Keberadaan lembaga pendidikan formal Kecamatan
Pendidikan sebagai syarat kerja Akses terhadap teknologi
Jenis kapal
Keterjangkauan teknologi
Kebutuhan terhadap teknologi Intensitas pemakaian teknologi
Jenis Data Ordinal
Sarjana
6
Diploma SMA SMP SD Tidak tamat SD Perguruan tinggi
5 4 3 2 1
SMA SMP SD
3 2 1
Tidak
1
Ya Ya
2 2
Ordinal
Tidak ≤30 GT
1 2
Interval
>30 GT Sulit (pendapatan< biaya akses) Mudah (pendapatan> biaya akses) Ya
1 1
Ordinal
4
Ordinal
di
Keikutsertaan lembaga pendidikan informal
2.
Skor
Ordinal
2
2
Tidak 1 Setiap 2 melakukan kerja Tidak setiap 1
Ordinal
Ordinal
Indikator Akses pendidikan: Tinggi: x>rata-rata Rendah: x≤rata-rata Akses teknologi: Tinggi: x>rata-rata Rendah: x≤rata-rata Akses lembaga pemasaran: Tinggi: x>rata-rata Rendah: x≤rata-rata Akses lembaga keuangan: Tinggi: x>rata-rata Rendah: x≤rata-rata
25
3.
Akses terhadap lembaga pemasaran
melakukan kerja Letak tempat Satu desa pemasaran
Syarat melakukan pemasaran 4.
Akses terhadap lembaga keuangan
Sasaran peminjaman uang
Intensitas meminjam uang
Penggunaan uang pinjaman
Nominal pinjaman
uang
4
Ordinal
Satu kecamatan Satu kabupaten Luar kabupaten ada
3
1
Ordinal
tidak Keluarga
2 1
Ordinal
Saudara Tetangga Koperasi Bank Tinggi (X≥ratarata) Rendah (X
2 3 4 5 2
Interval
1
Ordinal
modal usaha Tinggi (X≥rata-rata) Rendah (X
2 2
Interval
2 1
1
1
3. Tingkat kemiskinan Kemiskinan menurut Badan Pusat Statistik (BPS) adalah kondisi seseorang secara ekonomi tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan maupun non pangan yang diukur melalui pengeluaran yang berada dibawah garis kemiskinan. Skor tinggi pada tingkat kemiskinan adalah (x>rata-rata), sedangkan skor rendah adalah (x≤rata-rata). Berikut adalah beberapa definisi dari poin-poin tingkat kemiskinan yang dinilai melalui instrumen kuesioner. Ciri tempat tinggal: seberapa lengkap dan seberapa baik kualitas rumah yang dimiliki oleh masyarakat nelayan Bajomulyo. - Aspek pangan: besarnya pengeluaran pelaku usaha perikanan kelas atas maupun kelas bawah untuk memenuhi kebutuhan pangan. - Aspek sandang: intensitas pelaku usaha perikanan kelas atas maupun kelas bawah dalam membeli pakaian. - Kepemilikan aset: kepemilikan barang- barang elektronik ataupun kendaraan.
26
-
Kegiatan sosial: keikutsertaan pelaku usaha perikanan kelas atas maupun kelas bawah pada berbagai kegiatan sosial.
Tabel 7 Definisi operasional tingkat kemiskinan No.
Variabel
Indikator
Skor
1.
Ciri tempat Kepemilikan tinggal rumah
Sendiri
3
Saudara Kontrak Bilik/kayu
2 1 3
Setengah tembok Tembok Rumbai/ daun kelapa kering Seng Genteng Tanah Kayu Plester semen Keramik
2
Dinding rumah
Atap rumah
Lantai rumah
Jumlah ruangan rumah
2.
Aspek pangan
di
Tinggi (X≥rata-rata)
Rendah (X
Jenis Data Ordinal
1 3 2 1 4 3 2 1 1
Interval
2 3
Ordinal
2 1 3
2 1 3
2 1 3 2 1 1
2
Interval
Indikator Rendah: x>rata-rata Tinggi: x≤rata-rata
27 3.
4.
Aspek sandang
Kepemilikan aset
Intensitas membeli pakaian dalam setahun
Kepemilikan elektronik
1 Tinggi (X≥rata-rata) Rendah (X
Sepeda Motor Mobil Ya
2 1 2
Tidak
1
DVD Player
Rice Cooker
Mesin cuci
AC
HP
Notebook/ laptop I-pad
Tablet
Komputer
5.
Kegiatan sosial
Keikutsertaan organisasi
2 Ya (1) Tidak (2) Ya (1) Tidak (2) Ya (1) Tidak (2) Ya (1) Tidak (2) Ya (1) Tidak (2) Ya (1) Tidak (2) Ya (1) Tidak (2) Ya (1) Tidak (2) Ya (1) Tidak (2) Ya (1) Tidak (2) Ya (1) Tidak (2) 3
Kulkas
Kepemilikan kendaraan
Interval
Ordinal
Ordinal
Interval
28
29
GAMBARAN UMUM Gambaran Umum Lokasi Penelitian Desa Bajomulyo terletak di Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah. Luas Desa Bajomulyo yaitu 74.800 meter persegi. Desa ini berjarak sekitar dua kilometer dari jalan pantai utara jawa (pantura). Jarak Desa Bajomulyo menuju Kantor Kecamatan juga sekitar dua kilometer. Sedangkan jarak dari kantor pemerintahan kabupaten yaitu 13 kilometer, 89 kilometer dari ibukota provinsi dan 574 kilometer dari ibukota negara. Berdasarkan informasi dari Pemkab Pati (2015), Juwana memiliki luas lahan 5.593 meter persegi yang terdiri dari 1.165 meter persegi lahan sawah dan 4.428 lahan bukan sawah. Desa Bajomulyo termasuk daerah dataran rendah dengan ketinggian dua meter di atas permukaan air laut (mdpl). Batas-batas wilayah Desa Bajomulyo adalah: (1) batas sebelah utara : Laut Jawa; (2) batas sebelah timur: Sungai Silugonggo dan Desa Bendar; (3) batas sebelah selatan: Desa Kudukeras; dan (4) batas sebelah Barat: Desa Kebonsawahan dan Desa Growong Lor. Desa Bajomulyo dikenal baik karena posisinya yang dekat dengan Sungai Silugonggo. Sungai Silugonggo bermuara pada Laut Jawa. Sisi timur dari Sungai Silugonggo yaitu Desa Bendar. Setiap hari banyak kapal yang keluar masuk dari muara menuju pinggir sungai untuk mendaratkan ikan. Kapal yang mendarat di pinggir Sungai Silugonggo ini antara lain kapal cumi, kapal pure seine, kapal cantrang, kapal holler, dan kapal penarik. Kapal yang datang memilih malam hari sebagai waktu yang tepat untuk masuk dari muara menuju ke tempat sandar. Kondisi ini dipengaruhi oleh ketinggian air laut sedang pasang dan memudahkan jalur masuk kapal. Sore hari ketika air laut sudah pasang dan permukaan air laut di sekitar sungai naik. Banyak kapal yang keluar masuk bergiliran. Permukaan air laut yang tinggi belum tentu memudahkan setiap kapal yang bersandar. Kondisi lumpur dan sampah yang masih menggenang di sungai membuat kapal berukuran besar perlu jasa penarik dari muara menuju tempat sandar maupun sebaliknya. Harga jasa penarikan kapal besar dari muara menuju ke tempat sandar yaitu pada kisaran Rp. 500.000,00-Rp. 1.000.000,00. Warna air di Sungai Silugonggo keruh, namun masih ada ikan yang hidup disana. Wilayah Juwana termasuk dalam daerah dataran rendah. Desa Bajomulyo memiliki beberapa tempat yang mendukung usaha perikanan baik tangkap maupun non tangkap. Tambak tempat budidaya ikan tawar seperti bandeng dan udang. Tempat pemindangan ikan yang tidak hanya dimiliki oleh warga setempat namun juga warga luar Bajomulyo. Tempat pembuatan kapal kapal tempat pemilik modal memesan kapal kepada pengurus. Bengkel kapal yang terletak di pinggir sungai juga mendukung sarana nelayan jika terdapat kerusakan pada kapal, atau mempersiapkan kondisi kapal agar tetap stabil sebelum digunakan untuk melaut. Cold storage atau yang biasa disebut kastorit dapat ditemui di beberapa tempat di Bajomulyo. Kastorit ini sangat penting karena menjadi sejarah kemajuan usaha perikanan di Bajomulyo. Transportasi yang terdapat di Desa Bajomulyo terdiri dari sepeda, becak, becak motor, motor, kaisar, mobil, truk, dan dokar. Tidak ada kendaraan umun seperti angkutan kota maupun bus yang melewati desa ini. Kendaraan yang sering melewati Jalan Hang Tuah yaitu truk berpendingin maupun kaisar. Truk berpendingin dan kaisar tersebut sering melintas karena keperluan mendistribusikan ikan dari TPI ke tempat lain.
30
Berdasarkan data monografi Desa Bajomulyo tahun 2015, diketahui banyaknya sertifikat hak milik tanah adalah 812 buah. Terdapat 2,5 Ha tanah yang digunakan untuk area pemakaman. Sebanyak 0,2 Ha untuk area perkantoran, dan 0,1 Ha tanah wakaf. Beberapa kegunaan lahan untuk pertanian antara lain 58,4 Ha pekarangan, 12,4 Ha perladangan, dan 0,2 Ha untuk perkebunan negara. Sarana ibadah yang terdapat di Desa Bajomulyo antara lain sebuah masjid, satu gereja, dan 11 mushola. Masjid dengan ukuran besar didirikan di tepi sungai dekat tempat sandar. Keberadaan masjid ini sering dimanfaatkan untuk acara pengajian dengan mengundang tokoh agama. Sarana kesehatan yang terdapat di Desa Bajomulyo antara lain rumah sakit, poliklinik, tempat prakter dokter umum, dukun khitan, dukun bayi dan apotek. Sarana pendidikan yang tedapat di Desa Bajomulyo antara lain Sekolah Dasar (SD), Taman Kanak-kanak (TK) Madrasah Ibtidaiyah (MI), tempat kursus bengkel motor, dan tempat kursus menjahit. Jalan yang tersedia yaitu sepanjang 5,5 kilometer. Gedung SD yang tersedia hanya satu dan memiliki guru sebanyak 11. Sedangkan gedung TK swasta sebanyak tiga dan guru sebanyak 9 orang. Jembatan yang tersedia di Desa Bajomulyo yaitu sebanyak tujuh buah yang menghubungkan antar sungai kecil. Desa ini sudah memiliki hotel yang sering digunakan tempat bersinggah bagi pengusaha yang akan bekerjasama dalam hal perikanan di Desa Bajomulyo. Fasilitas listrik sudah tersedia di Desa Bajomulyo dan dimanfaatkan untuk berbagai keperluan rumah tangga dan usaha. Kantor dinas yang terdapat di Desa Bajomulyo yaitu Balai Desa, Tempat Pelelangan Ikan Unit (TPI) I, Tempat Pelelangan Ikan Unit II, dan Dinas Perhubungan. TPI Unit II dikelola oleh pemerintah daerah, sedangkan TPI Unit I dikelola oleh Koperasi unit Desa. Penunjang kesehatan, perekonomian dan dinas, sarana olahraga juga terdapat di desa ini seperti lapangan voli berjumlah dua dan lapangan tenis meja sebanyak dua. Pada akhir pekan jalan di sekitar tambak ikan dan tepi sungai dijadikan tempat olahraga. Dinamika Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Bajomulyo Dinamika sosial ekonomi ini dijelaskan untuk menambah kelengkapan data tentang sosial dan ekonomi yang terjadi di Desa Bajomulyo dari waktu ke waktu. Selain itu dengan memberikan gambaran umum mengenai dinamika sosial dan ekonomi dapat memberi keterangan tambahan mengenai strategi pola nafkah, akses sarana dan prasarana pendukung usaha perikanan, dan juga sebagai penjelas tingkat penguasaan aset yang dapat digunakan untuk melihat tingkat kemiskinan yang terdapat di Desa Bajomulyo. Desa Bajomulyo memiliki warga yang merupakan penduduk asli. Beberapa pendatang memasuki kawasan Bajomulyo karena kepentingan usaha atau bisnis. Desa Bajomulyo memiliki 1.535 kartu keluarga (KK). Jumlah penduduk Bajomulyo yaitu 5.769 orang. Berdasarkan jumlah penduduk tersebut, jumlah laki-laki sebanyak 2.809 orang, sedangkan jumlah penduduk perempuan berjumlah 2.960 orang. Secara lebih lengkap jumlah penduduk berdasarkan usia dan jenis kelamin dipaparkan dalam tabel.
31
Tabel 8 Jumlah penduduk berdasarkan kelompok usia dan jenis kelamin Desa Bajomulyo bulan Desember 2015 Kelompok Umur 0-4 5-9 10-14 15-24 25-34 35-44 45-54 55-64 65+ Jumlah
Laki-laki 260 251 228 331 423 426 430 425 136 2809
Perempuan 268 268 249 243 448 444 442 449 148 2960
Jumlah 528 519 477 474 871 870 872 874 284 5769
Sumber: data sekunder 2015 Selain pengklasifikasian penduduk berdasarkan kelompok usia dan jenis kelamin, juga terdapat pengklasifikasian penduduk berdasarkan mata pencaharian. Beberapa mata pencaharian dengan jumlah penduduk yang ikut serta yaitu: (a) petani sejumlah 12 orang; (b) nelayan sejumlah 395 orang; (c) pedagang sejumlah 90 orang; (d) buruh sejumlah 604 orang; (e) sopir angkutan sejumlah 1 orang; (f) PNS sejumlah 78 orang; (g) TNI sejumlah 14 orang; (h) Polri sejumlah 14 orang; (i) swasta sejumlah 1.345 orang; (j) wiraswasta sejumlah 92 orang; dan (k) pensiunan sejumlah 37 orang. Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan akan menggambarkan bagaimana tingkat pengetahuan warga Bajomulyo terkait bidang pendidikan. Mayoritas penduduk Bajomulyo berpendidikan tamat SD atau sederajat dengan jumlah paling banyak yaitu 2.345 orang. Secara lebih lengkap jumlah penduduk menurut pendidikan yaitu: (a) belum sekolah sebanyak 255 orang; (b) tidak tamat SD sebanyak 248 orang; (c) tamat SD/ sederajat sebanyak 2.345 orang; (d) tamat SLTP/ sederajat sebanyak 675 orang; (e) tamat SLTA/ sederajat sebanyak 468 orang; (f) diploma sebanyak 5 orang; (g) (S1-S3) sebanyak 19 orang; dan (h) buta huruf sebanyak 32 orang. Jumlah penduduk menurut mobilitas dan mutasi penduduk menggambarkan perubahan jumlah penduduk Desa Bajomulyo karena peristiwa-peristiwa seperti kematian, kelahiran, kedatangan penduduk dan kepindahan penduduk. Berikut adalah data rekapan kelahiran, kematian, kedatangan, dan kematian di Desa Bajomulyo. Tabel 9 Jumlah penduduk menurut mobilitas dan mutasi Peristiwa demografi Laki-laki Perempuan Jumlah Lahir 24 19 43 Mati 11 10 21 Datang 25 24 49 Pindah 19 18 37 Sumber: data sekunder 2015 Kondisi sosial dan ekonomi yang terdapat di Desa Bajomulyo didominasi oleh sektor perikanan. Setiap hari dapat ditemui warga dari luar desa yang berlalu lalang menuju ke tempat pelelangan ikan. Aktivitas perikanan tidak hanya berdampak bagi warga setempat namun juga warga luar desa. Aktivitas ekonomi yang dapat ditemui di tempat pelelangan ikan yaitu penurunan ikan dari kapal, pelelangan ikan, distribusi ikan
32
oleh tengkulak, pemindangan ikan, pengasinan ikan, dan budidaya ikan. Sektor ekonomi non perikanan yang terdapat di Desa Bajomulyo antara lain warung makan, toko meubel, toko sembako untuk perbekalan kapal, Stasiun Pengisisan Bahan Bakar Nelayan (SPBN), hotel, bengkel, dan beberapa sektor usaha lain. Keberadaan TPI di Desa Bajomulyo menarik pendatang untuk ikut mencari penghasilan. Hal yang didapati ketika mengunjungi TPI dan bercakap-cakap dengan beberapa orang yang sedang beraktivitas yaitu warga asli Bajomulyo banyak bekerja sebagai penarik basket. Pekerjaan menarik basket yang berisi ikan dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok-kelompok tersebut yaitu penarik basket dari kapal menuju tempat lelang dan penarik basket dari tempat lelang menuju ke tempat parkir truk pendingin yang akan mengangkut. Truk ini dimiliki oleh tengkulak yang akan mengirimkan ikanikan tersebut hingga ke luar kota seperti Surabaya dan Jakarta. Kelompok penarik basket pun dibedakan antara keduanya. Penghasilan yang didapatkan setiap orang saat menarik basket tergantung dengan banyaknya ikan yang harus ditarik di dalam basket untuk dipindahkan. Rata- rata pendapatan yang dihasilkan seorang penarik basket per hari yaitu Rp. 60.000,00/ hari. Jam kerja mereka sangat fleksibel, namun rutin dilakukan mulai jam tujuh pagi hingga sore hari sesuai jadwal operasional TPI. Hari libur yang didapatkan penarik basket dalam bekerja sangat minim dalam satu tahun. Waktu libur tersebut yaitu pada saat libur lebaran. Selain hari itu libur kerja penarik basket didapatkan ketika kelompok mereka tidak mendapatkan giliran menarik basket ikan. Apabila jumlah kelompok penarik terlalu banyak maka terdapat sistem sehari kerja dan sehari libur. Sebab pada saat libur lebaran banyak kapal yang menyandarkan kapal, selesai membongkar ikan dan akan mulai berangkat mencari ikan di laut lagi setelah lebaran Hari Raya Idul Fitri. Masa setelah Hari Raya Idul Fitri inilah pendapatan pengusaha kapal berkurang karena harus menyiapkan perbekalan untuk semua kapal dalam waktu bersamaan. Setelah lebaran pula semua kapal berangkat melaut secara bersamaan. Penghasilan berikutnya didapatkan ketika kapal mereka mendarat, membawa hasil tangkapan, dan berhasil terjual. Keuntungan yang didapatkan pengusaha kapal pada saat masa panen (masa-masa ketika ikan di laut banyak) sangat banyak dibandingkan dengan pendapatan saat musim paceklik (masa-masa ikan di laut sedikit). Penghasilan pengusaha kapal pada musim panen lebih besar daripada pengurus, maupun ABK dan juru mudi (nahkoda). Pengusaha kapal menerapkan pembagian hasil dengan persentase tertentu. Persentase tersebut berbeda-beda pada setiap pemilik kapal. Pembagian persentase keuntungan dilakukan setelah pendapatan total penjualan ikan dikurangi untuk biaya perbekalan pemberangkatan kapal selanjutnya. Walaupun mendapatkan keuntungan lebih tinggi ketika masa panen, namun pemilik kapal paling memiliki resiko kerugian ketika masa paceklik karena tetap memberikan uang pesangon kepada ABK dan nahkoda kapal. Kerugian juga dialami ketika kapal terkena badai dan tenggelam di laut. Kapal yang menjadi sarana untuk mencari nafkah baik bagi pemilik kapal maupun ABK tidak dapat digunakan kembali. Kerugian pemilik kapal adalah sejumlah harga kapal dengan harga mencapai tujuh milyar rupiah. Kualitas hasil tangkapan menentukan harga beli ikan tangkapan nelayan. Ikan dengan kondisi rusak dengan penyimpanan tidak optimum memiliki harga lebih rendah daripada ikan yang dijaga kualitasnya. Ikan yang sudah diturunkan dari kapal dibeli oleh tengkulak dengan jumlah beragam. Terdapat ikan yang dijual kepada tengkulak untuk dijual di pasar, terdapat ikan yang dijual pada tengkulak yang mendistribusikan kepada pabrik pengalengan ikan. Ikan lonco dan ikan salem adalah jenis ikan yang sering dibeli oleh tengkulak distributor untuk disetorkan ke pabrik pengalengan ikan.
33
Berbeda dengan tengkulak ikan distributor, tengkulak yang membeli ikan untuk dijual di pasar membeli ikan lebih sedikit dari satu ton. Sedangkan tengkulak distributor membeli ikan mencapai jumlah 30 ton. Ikan-ikan tersebut dimuat dalam truk pendingin. Truk berpendingin mampu memuat 9 ton ikan, bergantung ukuran truk. Keuntungan yang didapatkan tengkulak distributor ikan ini sekitar Rp. 1.000,00/kg, tergantung kondisi ikan pada saat diterima oleh pabrik. Hal tersebut dijelaskan oleh salah satu tengkulak distributor ikan dengan inisial SUM. Perekonomian dari nelayan non tangkap antara lain pemindangan ikan, budidaya ikan tambak, pengasinan ikan, pembuatan produk olahan bistik ikan dan beberapa sektor lain. Pemindangan ikan banyak dimiliki oleh masyarakat luar Bajomulyo. Bahkan hanya satu tempat pemindangan di Desa Bajomulyo yang dimiliki oleh warga Bajomulyo. Pada saat hari libur, baik libur hari raya maupun libur sekolah dan akhir pekan terdapat suatu tempat lapang di Bajomulyo yang dijadikan sebagai tempat rekreasi oleh warga Kecamatan Juwana. Tempat tersebut berjarak sekitar 10 meter dari Sungai Silugonggo, dekat tempat pemindangan dan juga tambak ikan. Pemanfaatan lahan kosong untuk rekreasi tersebut menjadi pemasukan tersendiri bagi penjual jajanan yang biasanya menjual makanan saat jam sekolah menjadi menjual makanan saat hari libur. Waktu penelitian bertepatan dengan pro kontra penerapan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tahun 2015 tentang larangan penggunaan alat penangkapan ikan pukat hela (trawls) dan pukat tarik (seine nets) di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia. Peraturan menteri tersebut bertujuan untuk mengurangi penurunan sumberdaya ikan dan ancaman kelestarian lingkungan sumberdaya ikan. Pasal 4 peraturan menteri tersebut mencantumkan jenis pukat tarik berkapal yang dilarang antara lain: (a) dogol; (b) scottish seines; (c) pair seines; (d) payang; (e) cantrang; dan (f) lampara dasar. Salah satu pukat tarik yang dikenal di Desa Bajomulyo yaitu pukat tarik dengan kapal cantrang. Kapal dengan menggunakan alat tangkap jaring pukat tarik kemudian disebut sebagai kapal cantrang. Kapal cantrang di Desa Bajomulyo memiliki durasi melaut selama 30 hari. Kapal cantrang tersebut tidak dilengkapi dengan alat pendingin, itulah sebabnya kapal tersebut digunakan untuk melaut dalam waktu 30 hari saja, berbeda dengan kapal pure seine dan kapal penangkap cumi-cumi yang dapat beroperasi 60 hari bahkan sampai 120 hari. Kapal cantrang mampu menangkap ikan dari ukuran besar hingga ukuran kecil. Jam mendaratkan hasil tangkap kapal tersebut dilakukan pada malam hari di TPI Unit I Juwana. Pelarangan operasional kapal cantrang menjadi berita buruk bagi pengelola dan pemilik kapal cantrang, namun menjadi kabar positif bagi pengelola kapal non cantrang karena dapat meningkatkan hasil ikan yang tersedia di laut. Ikan yang tersedia lebih banyak daripada ketika kapal cantrang masih beroperasi menjadikan hasil tangkap nelayan non-cantrang lebih tinggi. ABK nelayan cantrang tidak memiliki pilihan lain disebabkan adanya kebijakan tersebut. Terdapat ABK yang menjadi buronan selama mencari ikan di laut karena bekerja pada pemilik kapal cantrang dan mengaku tidak memiliki pilihan lain. Berikut adalah pernyataan dari istri ABK yang bekerja di kapal cantrang dengan inisial SRL dalam bahasa asli. “...jarang nek ngeniki wong menyang nek omah...kerja dadi nelayan cantrang rak tenang...bojoku kabare lah lagi diburu karo polisi nek laut.. tapi piye maneh lha wong kerjane pancen ngono...”. “...jarang kalau pada saat ini ABK berada di rumah, kerja jadi nelayan cantrang tidak tenang, suamiku kabarnya lagi diburu oleh polisi di laut, tapi mau bagaimana lagi, memang pekerjaannya seperti itu...”.
34
Nelayan cantrang tidak semua menolak kebijakan pelarangan operasional kapal cantrang karena kesadaran pada kerusakan yang diakibatkan. Hal yang dikeluhkan oleh pengelola kapal yaitu proses perizinan yang memerlukan waktu lama. Terdapat responden yang menganggap bahwa perizinan ketat akan mempersulit kapal untuk berangkat, akibatnya banyak kapal yang menganggur. Waktu menganggur kapal sama halnya dengan tidak ada pemasukan bagi pemilik kapal maupun ABK, sebab tidak bisa segera mencari hasil laut. Sebagai penjelas berikut adalah potongan pernyataan RMD (48 tahun) perihal persetujuan pelarangan operasional kapal cantrang dan aspirasi untuk membuat proses perizinan kapal lebih dipermudah untuk memperlancar proses pemberangkatan kapal. “...yang ada masalahnya itu 30 GT ke atas. Izinnya sulit karena harus ke pusat. Kan cantrang dilarang, tapi alat yang lain kok izinnya dipersulit. Kapal nggak jalan karena izinnya nggak keluar-keluar. Kebijakane berubah-berubah. Katane kapale harus ke laut Natuna, ke laut Papua. Kami sudah mau, tapi kok izinnya nggak keluar-keluar. Rusak mbak kalo pakai cantrang, wong ikan-ikan kecil pada dibuang-buang. Ada yang penelitian kalo kapal cantrang beroperasi sehari se-Kabupaten Pati bisa habis. Anak cucu saya mungkin nanti nggak bisa merasakan lagi nanti...”. “...yang bermasalah itu kapal dengan ukuran 30 GT ke atas. Izinnya sulit karena harus ke pusat. Kan cantrang dilarang, tapi alat lain kok izinnya dipersulit. Kapal tidak jalan karena izinnya tidak keluar-keluar. Kebijakannya berubah-ubah. Katanya kapal harus berangkat ke perairan Natuna, ke laut Papua. Kami sudah mau, kami sudah mau, tapi kok izinnya nggak keluar-keluar. Rusak mbak kalau pakai kapal cantrang, sebab ikanikan kecil pada dibuang-buang. Ada yang penelitian, jikalau kapal cantrang beroperasi sehari saja se-Kabupaten Pati bisa rusak habis. Anak cucu saya mungkin tidak bisa merasakan lagi nanti...”. Berbeda pandangan dengan RMD (48 tahun), pemilik kapal cantrang menentang pelarangan operasional kapal cantrang oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. SWD (48 tahun) memberikan pernyataan tidak setuju terhadap pelarangan operasional kapal cantrang: “...Cantrang kan paguyubane nek Bendar kabeh, kene gak ana cantrang. wis ana potongane 300 ewu tiap trip. Duite dinggo kantoran, nek ana apaapa, nek ana demo, winganane wis ntek pirang-pirang M kanggo demo.. Lha arep dihapus awake dewe terus nduwe apa wong cilik-cilik ngeniki. Nyambut gawe kok ora entuk iki carane piye ngono. Bank sing ngelola negara, tapi sing nglarang nyambut gawe yo negara kok. Ndak bukan kesalahane kita wa....seandainya nanti nggak bole beneran, susah ini mbak. Katane batese sampai 2016 iki... Tidak mungkin orang nggak dapet pangan itu. Mesti dapat pangan. Yang ngadili ben Gusti Allah dewe. Ngono kok mikir iwak ntek. Nyatane yen wayahe mucuk yo iwake akih.... nek laut kok dicekeli, di denda semono akihe, kok kayak wong maling wae. Ra reti perkara apa kok dicekel.Wedine iwake nek ntek. Iwak nek segara kok isa ntek, ndak rak mungkin wa. Nyatane kapal angger teka yo iwake kebek. Nek iso yo aja dilarang. Wong kerjaane yo nek laut blaka, kerja liyane yo raiso...”. “...Kalau cantrang paguyubannya di Bendar semua, disini tidak ada cantrang, di paguyuban sudah ada potongan Rp. 300.000,00 setiap melaut. Uangnya dipakai untuk keperluan kepengurusan, kalau ada apa-apa, kalau
35
ada demo, seperti waktu kemarin habis milyaran untuk demo. Kalau cantrang dihapus terus punya apa orang kecil seperti ini. Bekerja kok tidak boleh seperti ini terus bagaimana. Bank yang mengelola negara, tapi yang melarang bekerja ya negara. Berarti ya bukan kesalahan kita, seandainya nanti cantrang benar-benar tidak boleh beroperasi, bisa susah. Katanya batasnya sampai 2016 ini... Tidak mungkin orang tidak dapat sumber pangan. Pasti dapat pangan. Yang mengadili biar Allah saja. Seperti itu kok memikirkan ikan habis, nyatanya saat musim panen ikan ikan banyak. Di laut kok ditangkap, didenda sebegitu banyak, seperti pencuri saja. Tidak tahu karena apa kok ditangkap. Takutnya ikannya habis, ikan di laut kok bisa habis, kan tidak mungkin. Nyatanya setiap kapal datang ikannya penuh. Kalau bisa ya jangan dilarang, kerja ya bisanya hanya di laut saja, kerja lainnya juga tidak bisa...”. Pernyataan SWD (48 tahun) tersebut memberi penjelasan sudut pandang pengelola kapal cantrang yang berpendapat bahwa sudah banyak dana yang dikeluarkan untuk berdemo menentang pelarangan kapal cantrang, karena akibat penghapusan operasional kapal cantrang membuat nelayan cantrang yang mengaku sebagai wong cilik tidak punya apa-apa lagi. Pendapat tersebut menyatakan bahwa tidak mungkin ikan di laut habis karena sudah kehendak Tuhan yang mengadili. Ikan dianggap terus ada karena setiap kapal datang selalu penuh dengan ikan. SWD belum mengerti alasan pelarangan operasional kapal cantrang tersebut.
36
37
PENGARUH TINGKAT AKSES SUMBERDAYA TERHADAP TINGKAT KEBERAGAMAN STRATEGI POLA NAFKAH MASYARAKAT Tingkat Akses Sumberdaya Hamdani (2013) merumuskan faktor-faktor yang menyebabkan masyarakat tradisional dalam penelitiannya yaitu: (a) kualitas sumber daya manusia; (b) kebiasaan nelayan; (c) pekerjaan alternatif; (d) kepemilikan modal; (e) teknologi yang digunakan; dan (f) peran lembaga ekonomi. Beberapa hal yang dapat dilihat dalam faktor- faktor yang menyebabkan nelayan menjadi tradisional adalah kualitas sumberdaya manusia yang dinilai melalui pendidikan dalam penelitian ini. Beberapa akses yang telah disebutkan oleh Hamdani (2013) menjadi indikator akses yang diteliti dalam penelitian ini antara lain kualitas SDM melalui pendidikan, pekerjaan alternatif dalam tingkat keberagaman strategi pola nafkah, kepemilikan modal dalam akses lembaga keuangan dan kepemilikan aset pada tingkat kemiskinan, teknologi dalam akses terhadap teknologi, dan peran lembaga ekonomi dalam akses terhadap lembaga ekonomi. Akses terhadap modal pada penelitian ini dilihat dari akses responden terhadap lembaga keuangan. Akses terhadap lembaga keuangan penting bagi pengusaha kapal yang menggantungkan sekitar 40% modal dari meminjam uang di Bank. Akses terhadap teknologi juga dijelaskan oleh Hamdani (2013) dan menjadi faktor yang dianggap penting oleh masyarakat Bajomulyo yang menjalankan usaha perkapalan. Akses terhadap lembaga pemasaran dilihat dari seberapa jauh akses pengusaha perkapalan maupun perikanan dalam menjangkau lembaga pemasaran dan seberapa jauh pemilik kapal memasarkan hasil tangkapan laut. Lembaga pemasaran terdekat bagi pelaku usaha penangkapan ikan yaitu TPI. Proses jual beli, lelang, maupun pemindahan ikan untuk distribusi banyak dilakukan di TPI tersebut. Masing-masing akses yang terdiri dari akses terhadap pendidikan, akses terhadap lembaga keuangan, akses terhadap lembaga pemasaran, dan akses terhadap teknologi memiliki tingkat berbeda-beda. Keempat tingkat akses tersebut dijabarkan dalam tabel 10 supaya dapat dibandingkan. Perbandingan akses pada kedua strata akan terlihat melalui persentase dan dijelaskan secara kualitatif dari observasi dan keterangan informan serta responden. Berikut adalah masing-masing akses kelas atas dan kelas bawah. Tabel 10 Frekuensi tingkat akses sumberdaya pada kelas atas Jenis tingkat akses Pendidikan Teknologi Lembaga Keuangan Pemasaran
Tingkat akses Tinggi Rendah Tinggi Rendah Tinggi Rendah Tinggi Rendah
Persentase (%) 55 45 20 80 40 60 60 40
Total (%) 100 100 100 100
Sumber: data primer 2016 Diketahui pada kelas atas pendidikan memiliki tingkat akses tinggi dengan persentase lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat akses rendah. Tingkat akses terhadap teknologi memiliki persentase tingkat rendah 80% dan tingkat tinggi yaitu
38
sebesar 20%. Angka tingkat akses rendah pada kelas atas tersebut lebih tinggi disebabkan karena pemilik modal besar memiliki kapal dengan jumlah di atas rata-rata kepemilikan kapal pada kelas atas. Tingkat akses lembaga pemasaran tinggi dominan dengan persentase 60% dan tingkat akses rendah sebesar 40%. Tingkat akses lembaga pemasaran tinggi digambarkan melalui jangkauan pemasaran hingga keluar provinsi menuju pabrik dan juga persyaratan pelelangan yang tidak dipenuhi. Sedangkan tingkat akses keuangan tinggi memiliki persentase 40%, sementara tingkat akses lembaga keuangan rendah memiliki persentase sebanyak 60%. Tingkat akses keuangan rendah lebih tinggi karena nominal uang pinjaman rendah dengan jangka waktu pembayaran lama. Sebagai pembanding persentase frekuensi kelas bawah juga dipaparkan agar dapat memberikan gambaran perbedaan antara kedua kelas, yaitu kelas atas dan kelas bawah. Berikut adalah tingkat akses sumberdaya pada kelas bawah. Tabel 11 Frekuensi tingkat akses sumberdaya pada kelas bawah Jenis tingkat akses Pendidikan Teknologi Lembaga Keuangan Pemasaran
Tingkat akses Tinggi Rendah Tinggi Rendah Tinggi Rendah Tinggi Rendah
Persentase (%) 50 50 30 70 65 35 50 50
Total (%) 100 100 100 100
Sumber: data primer 2016 Berbeda dengan tingkat akses sumberdaya pada kelas atas, akses lembaga pemasaran dan pendidikan pada kelas sosial ekonomi bawah memiliki tingkat akses tinggi 50% dan tingkat akses rendah sebanyak 50%. Akses teknologi tinggi memiliki persentase sebesar 30% dan akses teknologi rendah sebesar 70%. Akses teknologi rendah pada kelas bawah memiliki nilai lebih rendah dibandingkan tingkat akses teknologi pada kelas atas. Kelas bawah yang memiliki tingkat akses keuangan rendah sebesar 35% dan tingkat akses keuangan tinggi sebesar 65%. Tingkat akses terhadap pendidikan perlu mendapat perhatian mengingat pendidikan menjadi indikator dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Apalagi Desa Bajomulyo masih memiliki angka buta huruf sebanyak 32 orang. Padahal BPS sudah mengganti indikator IPM dengan tidak menggunakan lagi angka melek huruf. Angka melek huruf sudah dianggap tidak relevan untuk menggambarkan pendidikan secara utuh sebab tidak dapat menggambarkan kualitas pendidikan. BPS menganggap bahwa angka melek huruf di sebagian besar daerah sudah tinggi dan tidak dapat menggantikan tingkat pendidikan antar daerah. Angka melek huruf ini diganti dengan angka harapan lama sekolah. Pada indikator baru BPS ini Desa Bajomulyo masih memiliki tanggungjawab untuk meningkatkan harapan lama belajar sebab masih memiliki penduduk tidak tamat SD sebanyak 248 orang. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), IPM dibentuk oleh tiga hal yaitu umur panjang, pengetahuan, dan standar hidup layak. Tujuan pembentukan IPM tersebut untuk mengukur keberhasilan pemerintah dalam membangun kualitas hidup manusia. Hasil ukur pembangunan kualitas pembangunan tersebut diharapkan dapat memberikan perubahan dalam berlangsungnya masa pemerintahan. Berkaitan dengan tingkat pendidikan, terdapat pernyataan dari MGY (57) yang menyatakan bahwa orang dahulu di Desa Bajomulyo banyak yang tidak mendapatkan pendidikan.
39
“...saya tidak sekolah, TK saja tidak, Zaman dahulu orang pada tidak sekolah, belum pada mengerti, saya hanya tahu tempat pendidikan di lingkup kecamatan saja...”. Teknologi menjadi syarat bagi pengusaha kapal dalam menjalankan usaha. Imron (2003) juga memaparkan bahwa keterbatasan akses terhadap teknologi membuat nelayan bergantung dengan musim. Walaupun nelayan sangat berkaitan dengan pemenuhan teknologi untuk melaut dan menyimpan ikan, namun tingkat akses terhadap teknologi tidak menunjukkan angka yang berarti, tingkat akses yang dirasakan oleh responden kelas bawah 30% menunjukkan tinggi dan 70% masih rendah. BPS (2014) dalam tabel nilai produksi per trip usaha penangkapan ikan di laut menggunakan kapal motor memaparkan beberapa poin biaya penangkapan yang dikeluarkan untuk mendukung penggunaan teknologi. Beberapa pengeluaran untuk teknologi tersebut antara lain: (a) bahan bakar senilai Rp.900.000,00 atau sebesar 21,21% dari total biaya yang harus dikeluarkan; (b) pelumas/oil senilai Rp.100.000,00 atau sebesar 1,73% dari total biaya yang harus dikeluarkan; dan (c) pemeliharaan sarana/alat senilai Rp.100.000,00 dan sebesar 3,4% dari biaya yang harus dikeluarkan. Penggunaan teknologi maju di sektor modern negara berkembang kadang tidak dapat dihindarkan jika nilai efisiensi teknologi tersebut lebih tinggi daripada teknologi lain (Wie 1981). Wie (1981) menjelaskan pula bahwa ketergantungan masyarakat negara berkembang dengan teknologi maju adalah ketergantungan, sebab yang dijual oleh negara maju adalah produk, bukan pengetahuan tentang teknologi. Ia menjelaskan pula bahwa teknologi maju dicirikan dengan perbandingan modal dengan tenaga kerja yang tinggi yang menjadikan persediaan tabungan terpusat pada pemilik teknologi maju tersebut. Selain mendukung perjalanan menangkap ikan di laut, teknologi perikanan juga dapat membantu nelayan dalam menjaga kondisi ikan supaya tetap segar dan terhindar dari kerusakan akibat lamanya waktu penyimpanan. Lama masa melaut ikan juga bergantung dengan jenis kapal yang dimiliki. Kapal cantrang melakukan penangkapan ikan selama satu bulan, sedangkan kapal pure seine, kapal cumi, dan beberapa kapal lain yang memilliki teknologi pendingin memiliki masa melaut lebih lama antara 60-90 hari. Sebelum mengenal teknologi pendingin ikan tidak bisa bertahan lama di dalam badan kapal. Sebagai keterangan kualitatif, WRS menjelaskan perkembangan teknologi kapal. “...dahulu ikan dijemput oleh kapal dari darat yang akan berangkat karena ikan tidak dapat bertahan lama. Saat itu tahun 2003 pengusaha kapal bangkrut dan kapal dijual murah-murah. Pada tahun 2005 ada sistem baru kapalnya dijemput. Ikan yang disimpan pakai es batu dan garam kondisinya rusak saat sampai di darat. Akhirnya harga ikannya murah. Dapat ikan banyak tapi nggak dapet uang. Hingga muncul teknologi freezer sampai sekarang. ...teknologi memerlukan biaya banyak tapi hasilnya juga banyak, bahkan harga kapal sampai tujuh milyar sekarang...”. Lembaga keuangan menjadi salah satu instrumen yang diperlukan bagi pengusaha kapal yang termasuk dalam strata atas dalam pengklasifikasian responden penelitian. Hal tersebut dapat dilihat dari persentase tingkat akses keuangan tinggi pada kelas atas. Semua responden yang menjadi pengusaha kapal melakukan peminjaman uang untuk modal usaha. Apalagi 95% responden yang menjadi pengusaha kapal melakukan peminjaman uang di Bank. Meraka mengakui bahwa dalam menjalankan usaha perkapalan harus berani menanggung resiko dengan meminjam uang di Bank. Mereka tidak mengandalkan seluruh modal dari Bank, namun menambahkan modal uang yang sudah dimiliki dengan uang pinjaman.
40
Setiap pengusaha kapal memiliki proporsi tersendiri berapa modal uang pinjaman yang perlu ditambahkan pada modal keseluruhan untuk keperluan membeli kapal, perawatan kapal, maupun untuk menutup kerugian sementara akibat masa paceklik melaut. Berikut adalah kutipan yang dapat memberikan gambaran kualitatif tentang pentingnya akses terhadap lembaga keuangan bagi pengusaha kapal yang merupakan kelas atas dalam penelitian ini. MGY (57 tahun) menyatakan: “Jenenge usaha nek kapal yo ngene. Nek mung ngandelke kendel ora nduwe pitung yo akeh sing nggledak nek laut.... aku yo nyileh Bank nek lagi butuh, nek ra butuh yo ra nyilah, yo kanggo kebutuhan kapal, kanggo freezer, ndek eko do ra di freezer lha kancane do di freezer ndak yo melu a...” . “...Namanya usaha di kapal ya seperti ini. Kalau hanya mengandalkan berani namun tidak punya perhitungan ya banyak yang jatuh di laut, saya pinjam uang di Bank ya kalau sedang butuh, kalau tidak butuh ya tidak pinjam, ya untuk kebutuhan kapal, untuk freezer, dulu nelayan-nelayan tidak memakai freezer, karena teman-teman pakai freezer ya jadi ikut...” . Pernyataan MGY (57 tahun) tersebut menjelaskan bahwa menjalankan usaha perkapalan jangan hanya modal berani, namun harus memiliki perhitungan yang matang. Peminjaman uang dilakukan kalau sedang butuh, kalau tidak butuh tidak dilakukan peminjaman. Peminjaman dilakukan karena alat freezer mulai berkembang dan responden ingin mengikuti perkembangan perkapalan tersebut. Berikut adalah ungkapan salah satu responden UTM (41 tahun) yang termasuk dalam pengusaha kapal besar, memiliki pinjaman uang Bank mencapai lima milyar dengan kapal milik sendiri sebanyak sembilan. “Rata-rata pengusaha kapal pinjam ke Bank, tidak ada yang tidak pinjam...Semuanya pinjam dari Bank. Dari kita usaha ya sudah pinjam uang mbak...50% pinjam Bank”. Pernyataan UTM (41 tahun) tersebut memberikan informasi bahwa rata-rata pengusaha kapal di Bajomulyo melakukan peminjaman untuk modal. Modal yang dipinjam dari Bank yaitu sebanyak 50% dari modal keseluruhan. Hal tersebut memperjelas secara kualitatif frekuensi pemilik kapal sebagai peminjam uang untuk modal sebesar 100% dan peminjaman uang di Bank sebanyak 95%. Tingkat akses lembaga pemasaran memiliki salah satu peran penting bagi pengusaha kapal dan juga ABK karena bagi hasil antara kedua kelas tersebut bergantung kepada hasil ikan yang diperoleh ketika melaut. Seperti yang dijelaskan oleh Jolly et al. (1993) bahwa pengujian pasar penting dilakukan untuk budidaya perikanan baik produk ikan segar maupun produk olahan ikan. Hal ini menunjukkan pentingnya lembaga pemasaran untuk memudahkan distribusi penjualan ikan. Peran TPI menjadi dominan dalam memfasilitasi pemilik kapal untuk memasarkan ikan. 95% pengusaha kapal memasarkan ikan di TPI, begitupun dengan kapal tempat ABK bekerja yang 90% memasarkan hasil tangkapan di TPI. Proses transaksi tetap dilakukan walaupun TPI memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi sesuai dengan pernyataan Kepala Teknik Lelang dengan inisial ICE bahwa sebelum melakukan lelang pengurus kapal harus mengambil karcis lelang terlebih dahulu. Setelah mendapatkan urutan lelang, proses pembayaran dilakukan melalui kasir yang terdiri dari kasir bayar dan kasir terima. Apalagi Kekurangan Pembayaran Lelang Ikan (KPLI) sudah tidak diperbolehkan di TPI Unit II Juwana, disebabkan karena tingkat kepercayaan pelelang di TPI menurun akibat KPLI. TPI Unit II pernah mengalami kebangkrutan akibat KPLI tersebut. Kapal yang memuat ikan ekspordan jenis ikan
41
tertentu yang sudah di-freezer boleh tidak melakukan lelang supaya tidak mengurangi kualitas ikan yang dapat menurunkan harga jual. Ikan seperti itu langsung dimasukkan ke dalam truk berpendingin yang sudah disiapkan setelah dibongkar dari kapal. Uji pengaruh tingkat akses terhadap sumberdaya bertujuan untuk mengetahui pengaruh tingkat akses sumberdaya baik akses keuangan, pendidikan, pemasaran dan teknologi terhadap tingkat keberagaman strategi pola nafkah yang dilakukan oleh masyarakat nelayan baik kelas atas maupun kelas bawah. Kelas atas adalah pengelola kapal, sedangkan kelas bawah adalah anak buah kapal (ABK). Berikut adalah hasil uji pengaruh dengan metode regresi linear berganda. Metode pengujian dipilih karena uji dilakukan pada lebih dari satu variabel dengan skala minimal interval atau rasio. Berikut adalah analisis pengaruh menggunakan SPSS versi 22.0. Tabel 12 Pengaruh tingkat akses sumberdaya terhadap tingkat keberagaman strategi pola nafkah masyarakat pesisir kelas atas Model
(Constant) 1 Akses Pendidikan Akses Teknologi Akses Pemasaran Akses Keuangan
Unstandardized Coefficients B -9,994 1,280 1,244 -,293 0,056
Standardized Coefficients Std. Error 12,033 0,313 1,149 0,249 0,508
t
Sig.
-,831 4,086 1,083 -1,177 ,111
0,419 0,001 0,296 0,257 0,913
Beta 0,698 0,195 -,210 0,019
Sumber: data primer 2016 Data tersebut memberikan informasi bahwa masing-masing tingkat akses tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap tingkat keberagaman strategi pola nafkah. Hal tersebut diketahui dari angka signifikansi hasil analisis lebih besar dari α (0,05) sehingga Ho diterima. Signifikasi dari masing-masing tingkat akses pendidikan, teknologi, pemasaran dan keuangan secara berurutan adalah 0,001; 0,296; 0,257; dan 0,913. Penerimaan Ho tersebut berarti menolak hipotesis uji, sehingga masing-masing tingkat akses teknologi, pemasaran, dan keuangan tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap tingkat keberagaman strategi pola nafkah masyarakat lapisan atas. Sedangkan tingkat akses terhadap pendidikan memiliki pengaruh signifikan terhadap tingkat keberagaman strategi pola nafkah yaitu sebesar 0,001. Keempat akses terhadap sumberdaya tersebut memiliki hasil uji berbeda apabila dilihat secara keseluruhan. Akses sumberdaya memiliki pengaruh signifikan sebesar 0,006 dalam uji regresi linear pada kelas atas. Angka signifikansi tersebut lebih kecil dari α (0,05), artinya Ho ditolak. Hipotesis uji mengalami penerimaan, berarti terdapat pengaruh signifikan antara tingkat akses terhadap sumberdaya dengan tingkat keberagaman strategi pola nafkah kelas atas. Hal tersebut dapat dilihat pada hasil uji regresi linear.
42
Tabel 13 Hasil uji regresi linear tingkat akses sumberdaya dengan tingkat keberagaman strategi pola nafkah kelas atas Model
Sum of squares
df
Mean Square
F
Sig.
Regresi
109,566
4
27,392
5,461
0,006
Residual
75,234
15
5,016
184,800
19
Total
Sumber: data primer 2016 Hasil uji data primer secara kuantitatif menunjukan tidak terdapat pengaruh signifikan antara masing-masing akses teknologi, pemasaran, dan keuangan dengan tingkat keberagaman strategi pola nafkah, namun secara kualitatif dapat ditemui responden yang menganggap keilmuan yang didapatkan melalui pendidikan formal berguna dalam dunia kerja, seperti lulusan teknik listrik dan teknik mesin yag dapat mengontrol sendiri kondisi kapal yang dimilikinya. Hal tersebut juga dapat dirasakan oleh lulusan teknik mesin yang menjadi ABK karena dapat memberikan penghasilan tambahan selama berada di laut. Teknologi pun sudah dianggap sebagai hal penting yang harus diakses jika menggunakan kapal untuk melaut. Kelas bawah memiliki tingkat pengaruh berbeda dibandingkan kelas atas. Sebagai penjelas akan dipaparkan hasil uji pengaruh tingkat akses sumberdaya terhadap tingkat keberagaman strategi pola nafkah pada kelas bawah. Tabel 14 Pengaruh tingkat akses sumberdaya terhadap tingkat keberagaman strategi pola nafkah masyarakat pesisir kelas bawah Model
Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients
t
Sig.
1,457
0,166
B
Std. Error
Beta
(Constant) 1
8,727
5,991
Akses Pendidikan
0,922
0,464
0,603
1,986
0,066
Akses Teknologi
-,548
0,604
0,290
-,908
0,378
Akses Pemasaran
0,471
0,294
0,447
1,602
0,130
Akses Keuangan
0,098
0,124
0,189
0,792
0,440
Sumber: data primer 2016 Masing-masing tingkat akses tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap tingkat keberagaman strategi pola nafkah. Hal tersebut diketahui dari angka signifikansi hasil analisis lebih besar dari α (0,05) sehingga Ho diterima. Penerimaan Ho tersebut berarti menolak hipotesis bahwa masing-masing tingkat akses pendidikan, teknologi, pemasaran, dan keuangan tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap tingkat keberagaman strategi pola nafkah masyarakat lapisan bawah. Angka signifikansi pada masing-masing akses pendidikan, teknologi, pemasaran dan keuangan secara berurutan adalah 0,066; 0,378; 0,130; dan 0,440. Penerimaan Ho tersebut berarti menolak hipotesis uji, sehingga masing-masing tingkat akses pendidikan, teknologi, pemasaran, dan keuangan tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap tingkat keberagaman strategi pola nafkah masyarakat lapisan bawah.
43
TINGKAT KEBERAGAMAN STRATEGI POLA NAFKAH MASYARAKAT NELAYAN Tingkat keberagaman strategi pola nafkah masyarakat nelayan dibahas secara kualitatif dengan data-data frekuensi sebagai pendukung. Strategi pola nafkah yang dilakukan nelayan ini perlu diulas karena mengingat kondisi perikanan yang terus berkembang dari tahun ke tahun. Hal tersebut mempertimbangkan penjelasan dari Djajadiningrat et al. (2011) bahwa sumberdaya lingkungan seperti udara, air, lahan dan biota menyediakan barang dan jasa yang secara langsung maupun tidak langsung meberikan manfaat ekonomi. Strategi pola nafkah masyarakat pesisir baik tingkat bawah maupun tingkat atas yang akan diulas dalam penelitian ini berkaitan dengan strategi ekonomi dan strategi sosial. Kedua aspek tersebut menjadi landasan membahas strategi pola nafkah Desa Bajomulyo karena selain melakukan pekerjaan alternatif, meminjam uang untuk modal usaha, juga terdapat masyarakat yang mengikuti kegiatan sosial dan organisasi. Peminjaman uang di Bank juga perlu strategi supaya terhindar dari kerugian. Proporsi peminjaman harus sesuai dengan kemampuan membayar pengelola kapal. Seperti keterangan kualitatif yang dinyatakan oleh MGY (57 tahun): “...Misale pengen nduwe kapal regane 1M ngambil 50% Bank durung wani. Bank .minimal iku 60% uang sendiri 40% ambil Bank. Nek 90% dari Bank nggledak tenan. Nek wong Bendar ki kendel-kendel. Wong kendel kok kon wong kendel ngamek utang...”. “...Misal ingin punya kapal seharga 1 milyar, mengambil 50% modal dari Bank belum berani. Minimal 60% uang sendiri 40% ambil Bank. Kalau 90% dari Bank bisa benar-benar jatuh. Kalau orang Bendar berani-berani. Namun orang berani kok disuruh berani hutang...”. Arti dari pernyataan tersebut adalah ketika ingin memiliki kapal, jika melakukan pinjaman maka proporsi antara modal yang dimiliki calon pengusaha harus sesuai dengan kemampuan membayar hutang. Minimal proporsinya adalah 60% modal sendiri dan 40% hasil pinjaman dari Bank. Tingkat keberagaman strategi pola nafkah nelayan Desa Bajomulyo dibagi menjadi tingkat keberagaman strategi pola nafkah rendah dan tingkat keberagaman strategi pola nafkah tinggi. Tabel 15 Frekuensi tingkat keberagaman strategi pola nafkah masyarakat nelayan kelas atas Kategori
Tingkat
Frekuensi
Persentase (%)
Persentase Valid
Persentase kumulatif
Tingkat keberagaman strategi pola nafkah
Tinggi Rendah
13
65,0
65,0
65,0
7
35,0
35,0
100,0
20
100,0
100,0
Total
Sumber: data primer 2016 Tingkat keberagaman strategi nafkah tinggi pada masyarakat kelas atas lebih tinggi sebesar 65% karena faktor beragamnya strategi yang dilakukan dengan skor maksimal pada pengujian strategi pola nafkah. Berbeda dengan tingkat keberagaman strategi pola nafkah masyarakat kelas atas yang memiliki selisih tinggi pada tingkat keberagaman strategi nafkah tinggi dan rendah, tingkat keberagaman strategi pola nafkah pada kelas bawah memiliki selisih sedikit antara tingkat keberagaman strategi
44
tinggi dan rendah. Secara lengkap data tingkat keberagaman strategi pola nafkah baik pada kelas atas maupun kelas bawah yaitu: Tabel 16 Frekuensi tingkat keberagaman strategi pola nafkah masyarakat nelayan kelas bawah Kategori
Tingkat
Frekuensi
Persentase (%)
Persentase Valid
Persentase kumulatif
Tingkat keberagaman strategi pola nafkah Total
Tinggi Rendah
9
45,0
45,0
45,0
11
55,0
55,0
100,0
20
100,0
100,0
Sumber: data primer 2016 Tingkat keberagaman strategi nafkah kelas bawah rendah memiliki persentase 55% karena faktor keberagaman strategi yang rendah. ABK cenderung hanya melakukan satu jenis pekerjaan saja. Pengusaha kapal di Desa Bajomulyo pernah mengalami kesulitan dalam mengendalikan harga karena daya simpan ikan yang tidak lama. Hal itu diantisipasi pengusaha kapal dan tengkulak ikan dengan menggunakan mesin pendingin atau pembeku yang dipasang pada badan kapal dan juga truk pengangkut ikan. Strategi ini dilakukan untuk menjaga kondisi ikan supaya harga tidak turun dan ikan yang dijual memiliki kualitas bagus dengan harga bersaing. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Jolly et al. (1993) bahwa Distribusi produk pada suatu lokasi dilakukan untuk memenuhi keinginan pembeli untuk mendapatkan produk sesuai fungsi pasar. Transportasi produk beku dilakukan pada pengiriman menuju jarak yang sangat jauh. Anak buah kapal meminjam uang dengan intensitas lebih sering dibandingkan dengan pengusaha kapal. Sebagaimana dijelaskan pada bagian akses terhadap lembaga keuangan bahwa jumlah uang yang dipinjam oleh pengusaha kapal lebih besar daripada ABK. Resiko peminjaman uang yang besar ini dihadapi pengelola kapal dengan strategi khusus. Desa Bajomulyo terdapat responden yang meminjam uang kepada Bank dengan basis syariah. Responden tersebut mengakui bahwa meminjam uang pada Bank konvensional dengan sistem bunga memberatkan nasabah. Responden tersebut memilih Bank syariah karena tidak memberikan bunga pada peminjaman uang. Bahkan ketika masa pembayaran tiba dan pengelola kapal tersebut belum mampu membayar, akan diberikan waktu tambahan untuk membayar hutang. Hal ini dijelaskan oleh penelitian Muhammad (2008) mengenai ekonomi syari’ah bahwa bunga yang dianggap riba karena tidak sesuai dengan syari’ah memberi peluang pada kelompok tertentu untuk menumpukkan kekayaan di atas penderitaan orang lain. Strategi yang dilakukan tidak hanya peminjaman uang dan strategi penyimpanan ikan, strategi lain yang dilakukan adalah dengan melakukan pekerjaan alternatif. Murtolo et al. (1995) menjelaskan bahwa pembangunan pasar dilakukan untuk kesejahteraan masyarakat dan pasar tersebut memiliki arti fisik dan arti proses. Peningkatan hasil dari pembangunan pasar tersebut diharapkan dapat meningkatkan pendapatan, selain itu dapat meningkatkan aktivitas perdagangan. Sehingga kelancaran aktivitas tersebut memerlukan ruang atau tempat berupa pasar dalam arti fisik. Pasar dalam arti fisik yang terdapat di Desa Bajomulyo yaitu TPI. Warga masyarakat Bajomulyo baik pengelola kapal maupun non pengelola kapal memanfaatkan pasar dalam arti fisik ini untuk melakukan pekerjaan utama maupun alternatif. Sebagai contoh adalah aktivitas menarik basket. Aktivitas ini diminati karena waktu kerja fleksibel dan setiap hari terdapat kapal yang memerlukan jasa penarik basket. Bahkan profesi menjadi penarik basket memiliki perkembangan tersendiri di
45
TPI yang berada di Desa Bajomulyo. Berikut adalah kutipan narasi pengelola kapal sekaligus koordinator pengelola basket di TPI Unit II Juwana dengan inisial FRJ (43 tahun). “Dulu saya mengelola basket sudah hampir 25 tahun. Awal-awalnya pengelolaan dari KUD. Menyediakan basket, sarana yang digunakan untuk mengangkut. Yang dijadikan perputaran uang KUD ya dari basket itu. Dulu per hari pendapatan sampai 5 juta/hari. TPI sekarang asetnya dari Pemda. Awalnya semuanya mau dikuasai Pemda. KUD masih mempertahankan basket. Berjalan 3 tahun lalu dikuasai oleh Puskud, yaitu KUD-nya se-Jawa Tengah. Akhirnya basket disuplai dari sana. Setelah itu sekarang tidak ada penggantian kalau ada basket rusak. Kalau dulu setiap ada rusak dikit langsung diganti...Sebagian modal untuk basket ada yang dari karyawan...Sekarang sistem pendaftaran sudah diditutup. Sekarang sistemnya nunggu nek ana sing didol. Istilahnya jual profesi. Istilahnya, ada yang liar ada. Pengelolaan lain-lain. Dari kapal ke TPI ada sekitar 114 orang. Dari TPI ke bakul ada kelompoknya sendiri-sendiri. Kadang sehari masuk sehari libur saking banyaknya orang. Yang beli orang jauh-jauh. Mahal-mahal, ada 25 juta, 30 juta. Menangnya dia sudah punya kerja, kerjanya santai dan suatu saat iso didol, pasti ada yang beli. Resikonya kalau ada kebijakan yang diubah. Kebanyakan orang dari rantau, kalau kembali kesini kan pengennya kerja di TPI bisa disambi tani, bisa disambi dagang. Kalau dulu basketnya masih diangkut.”. Berdasarkan sudut pandang penarik basket yang tidak melakukan registrasi seperti yang disampaikan FRJ (43 tahun), MJI mengungkapkan hal yang sedikit berbeda. Terdapat 37 orang pada setiap kelompok kecil penarik basket. Penghasilan yang mereka terima disesuaikan dengan jumlah basket berisi ikan yang ditarik. Giliran menarik ikan disesuaikan dengan jadwal yang ditempel pada papan jadwal penarik ikan yang disediakan oleh TPI Uniit II. Kapal yang membutuhkan jasa penarik berganti setiap saat. MJI yang merupakan pekerja angkut ikan sejak 1987 menjelaskan bahwa dahulu belum ada alat tarik basket. Basket-basket berisi ikan yang diturunkan dari kapal diangkut di atas bahu pengangkut. MJI juga menjelaskan bahwa dahulu alat tarik basket disediakan namun karena terdapat aturan ganti rugi jika terjadi kerusakan, penarik basket memilih untuk membawa alat tarik sendiri. MJI menjelaskan hal yang berbeda, yaitu terkait alat penarik basket yang dimiliki secara pribadi oleh buruh tarik basket. Pendapatan penarik basket yang tidak pasti tergantung pengurus kapal, MJI menjelaskan bahwa kelompok besar yang terdapat di TPI beranggotakan 111 orang, sedangkan kelompok kecil beranggotakan 37 orang, jam kerja penarik basket dari pukul 8.00 sampai pukul 17.00, alat penarik yang diberi oleh penyedia banyak yang rusak akhirnya banyak yang membawa sendiri, terdapat penarik yang memiliki alat tarik sendiri dan ada yang tidak memiliki, setiap satu ton ikan yang ditarik akan dibayar Rp. 25.000,00. Pernyataan MJI terkait perkembangan profesi penarik basket tersebut terdapat dalam potongan percakapan dalam bahasa daerah. “...Pendapatane ora iso diprediksi mbak, tergantung penguruse kapal, seket, suwidak, pitung ndoso... kelompok besar ana 111 wong, kelompok kecil ana 37 wong.. perkembangane sekeca sakniki ketimbang mbiyen. Narik saking jam pitu esuk ngantos jam gangsal sonten. Gledekan niku ndamel piyambak, woune disukani tapi wis do rusak kon ndandani, ana sing gadhah gledekan ana sing mboten. Ingkang maringi arta, pengurus kapal utawa nahkoda, setiap setunggal ton entuk duit selangkung...”.
46
“...Pendapatannya tidak bisa diprediksi, tergantung pengurus kapal, 50 ribu, 60 ribu, 70 ribu. Kelompok besar ada 111 orang, kelompok kecil terdiri dari 37 orang. Perkembangan penarik basket lebih bagus sekarang daripada dulu. Waktu menarik yaitu dari jam tujuh pagi sampai jam lima sore. Alat penarik membuat sendiri, awalnya dikasih tapi pada rusak terus disuruh memperbaiki, ada yang punya alat penarik, ada yang tidak. Yang memberikan uang pengurus kapal atau nahkoda...”. Strategi nafkah secara sosial dengan memanfaatkan modal sosial juga dilakukan oleh masyarakat Bajomulyo. Vipriyanti (2011) menjelaskan bahwa perbedaan pencaharian utama suatu wilayah menyebabkan munculnya perbedaan kelembagaan, keadaan sosial dan ekonomi. Selain itu Vipriyanti (2011) menjelaskan karakteristik sosial wilayah menekankan pada kehidupan sosial mencakup keikutsertaan pada organisasi sosial kemasyarakatan, kelompok profesi, kelompok seni dan olahraga yang tumbuh dan berkembang. Sebagaimana yang dilakukan oleh masyarakat Bajomulyo yang mengikuti kelompok profesi seperti paguyuban nelayan, keikutsertaan pada kelompok peminat burung kicau, dan kepengurusan baik di bidang pemerintahan desa maupun non pemerintahan desa.
47
PENGARUH TINGKAT KEBERAGAMAN STRATEGI POLA NAFKAH TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN MASYARAKAT Kemiskinan dinilai meluas dengan kedalaman kemiskinan yang memprihatinkan Tain (2011). Sharp AM et al. (1997) mendefinisikan kemiskinan dengan fokus pada hubungan antara kebutuhan minimum seseorang dengan kemampuan untuk memuaskan kebutuhan tersebut. Sedangkan Taryoto (2014) menjelaskan definisi kemiskinan sebagai kondisi yang menunjukkan adanya kesenjangan antara apa yang seharusnya dimiliki dengan apa yang sebenarnya terjadi dalam waktu tertentu. Wie (1981) menjelaskan unsur-unsur kebutuhan dasar yang terdiri atas kategori: (a) kebutuhan dasar seperti sandang, pangan dan papan; (b) jasa-jasa kebutuhan dasar seperti fasilitas kesehatan, pendidikan, pengangkutan, komunikasi dan saluran air minum yang sehat; (c) lapangan kerja yang produktif yang dapat menjamin yang dapat menjamin pendapatan untuk membiayai kebutuhan dasar; dan (d) partisipasi dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut hidup sendiri. Berdasarkan beberapa kategori kebutuhan dasar yang disampaikan oleh Wie (1981), beberapa poin kategori yang ditemukan di daerah penelitian terdapat beberapa hal. Kebutuhan sandang, pangan, papan, jasa kebutuhan dasar sudah terpenuhi. Dua poin lainnya seperti lapangan kerja produktif dan partisipasi dalam pengambilan keputusan tidak sepenuhnya didapatkan. Masih terdapat penduduk yang putus sekolah dan belum bekerja, masih terdapat pula pelaku usaha maupun buruh yang tidak terlibat dalam pengambilan keputusan di tempat kerja maupun penerapan kebijakan di daerah penelitian. Wie (1981) berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi yang pesat di negara berkembang belum mampu menyediakan lapangan kerja produktif bagi pertumbuhan penduduk yang bertambah secara pesat, maupun mengurangi secara pesat kemiskinan yang ada di daerah tersebut. Wie (1981) pun menambahkan bahwa kasus yang terjadi di Pulau Jawa pada 1967-1976 yang mengalami penurunan persentase penduduk miskin, gagal dalam menurunkan jumlah absolut penduduk miskin karena pertumbuhan penduduk yang pesat. Ia pun menambahkan bahwa perubahan pertumbuhan keberhasilan strategi kebutuhan dasar mutlak dilakukan saat pola pertumbuhan ekonomi. Kemiskinan menurut Taryoto (2014) diukur melalui garis kemiskinan pangan dan bukan pangan, selanjutnya penduduk dengan pendapatan per kapita per bulan lebih kecil dari garis kemiskinan tersebut disebut miskin. Kepemilikan aset, pengeluaran pangan dan non pangan menjadi beberapa indikator yang dilihat dalam menilai tingkat kemiskinan di masyarakat pesisir Desa Bajomulyo. Kemiskinan di wilayah pesisir memicu destructive fishing yang kemudian mengacaukan mata rantai makanan. Hal ini yang menjadi alasan perlunya peningkatan pendapatan rumah tangga nelayan untuk menjamin pembangunan perikanan yang berkelanjutan (Fauzi 2005). Peningkatan pendapatan tersebut tidak terlepas dari strategi yang diterapkan oleh masyarakat nelayan. Strategi pola nafkah yang dilakukan disajikan dalam bentuk tabel frekuensi untuk mengetahui perbedaan tingkat keberagaman strategi pola nafkah tinggi dan tingkat keberagaman strategi pola nafkah rendah.
48
Berikut adalah tabel frekuensi tingkat keberagaman strategi nafkah baik kelas atas maupun kelas bawah. Tabel 17 Frekuensi tingkat keberagaman strategi pola nafkah masyarakat kelas atas Kategori
Tingkat
Frekuensi
Persentase (%)
Tingkat keberagaman Tinggi strategi pola nafkah Rendah Total
13 7 20
65,0 35,0 100,0
Persentase Persentase Valid (%) kumulatif (%) 65,0 35,0 100,0
65,0 100,0
Sumber: data primer 2016 Masyarakat nelayan kelas atas Desa Bajomulyo memiliki tingkat keberagaman strategi pola nafkah tinggi dengan persentase 65% dan tingkat keberagaman strategi pola nafkah rendah dengan persentase 35%. Tingkat keberagaman strategi pola nafkah tersebut dilihat melalui intensitas penangkapan ikan, pendapatan, pekerjaan alternatif, keikutsertaan dalam melakukan usaha pada sektor penangkapan ikan, pekerjaan alternatif yang dilakukan, kepemilikan modal sosial berupa pengembangan jejaring, dan keikutsertaan dalam kelembagaan di desa. Secara lengkap tingkat keberagaman strategi pola nafkah kelas bawah yaitu: Tabel 18 Frekuensi tingkat keberagaman strategi pola nafkah masyarakat kelas bawah Kategori
Tingkat
Frekuensi
Persentase (%)
Tingkat keberagaman Rendah strategi pola nafkah Tinggi Total
9
45,0
45,0
45,0
11
55,0
55,0
100,0
20
100,0
100,0
Persentase Persentase Valid (%) kumulatif (%)
Sumber: data primer 2016 Tingkat keberagaman strategi pola nafkah kelas bawah di atas dapat diketahui bahwa tingkat keberagaman strategi pola nafkah rendah memiliki persentase sebesar 45%, sedangkan tingkat keberagaman strategi pola nafkah tinggi memiliki persentase sebesar 55%. Tidak ditemukan selisih yang signifikan antara tingkat keberagaman strategi pola nafkah tinggi dan rendah. Berkaitan dengan masing-masing kategori yang diukur dalam tingkat keberagaman strategi pola nafkah, berikut ini adalah beberapa kategori tersebut. Tabel 19 Frekuensi kategori-kategori pada tingkat keberagaman strategi pola nafkah masyaraat nelayan masyarakat kelas atas Kategori
Tingkat
Frekuensi
Persentase (%)
Persentase Valid (%)
Persentase kumulatif (%)
Intensitas menangkap ikan
Rendah Tinggi
7 13
35,0 65,0
35,0 65,0
35,0 100,0
20
100,0
100,0
9 11
45,0 55,0
45,0 55,0
20
100,0
100,0
Total Jeda menangkap ikan Total
Rendah Tinggi
45,0 100,0
49 Keikutsertaan anggota keluarga lain dalam usaha Total
Ada Tidak
Pekerjaan alternatif
Tidak punya Punya
9 11
45,0 55,0
45,0 55,0
20
100,0
100,0
12
60,0
60,0
60,0
8
40,0
40,0
100,0
20
100,0
100,0
18 2
90,0 10,0
90,0 10,0
Total
20
100,0
100,0
Keikutsertaan organisasi di desa Tidak
5 15
25,0 75,0
25,0 75,0
20
100,0
100,0
Total Pendapatan
Rendah Tinggi
Ya Total
45,0 100,0
90,0 100,0 25,0 100,0
Sumber: data primer 2016 Kategori yang terlihat dominan dapat dilihat pada intensitas menangkap ikan tinggi yaitu sebesar 65%, jeda menangkap ikan tinggi yaitu sebesar 55%, tidak memiliki pekerjaan alternatif sebesar 60% dan tingkat pendapatan rendah sebesar 90%. Persentase tersebut menggambarkan keadaan yang terjadi pada masyarakat kelas atas Desa Bajomulyo bahwa kapal yang dimiliki memiliki waktu sandar singkat yaitu 14 hari, waktu tersebut dimanfaatkan oleh pemilik kapal untuk perawatan mesin dan persiapan perbekalan yang akan dibawa untuk melaut selanjutnya. Sebesar 60% pemilik kapal tidak memiliki pekerjaan alternatif, pekerjaan alternatif yang dimiliki nelayan antara lain membuka warung, usaha toko bangunan, dan menjadi buruh penarik basket di TPI. Beberapa pemilik kapal yang lain tidak memiliki pekerjaan alternatif dan hanya menggantungkan penghasilan dari mengelola kapal. Tingkat pendapatan pemilik kapal yang berasal dari Desa Bajomulyo pada kelasnya tergolong rendah yaitu dengan persentase sebesar 90%. Persentase tingkat pendapatan sedang tersebut tergolong tinggi karena terdapat pemilik kapal asal Desa Bajomulyo yang memiliki usaha kapal besar dan banyak. Pemilik kapal yang ikut dalam keanggotaan nelayan Bajomulyo diketahui bukan penduduk asli Bajomulyo. Pengusaha kapal besar asal luar Desa Bajomulyo tersebut tidak diikutsertakan sebagai daftar responden karena status sebagai pengelola kapal Bajomulyo hanya untuk pendataan saja. Sebagai pembanding, akan dipaparkan kategori yang sama pada kelas bawah masyarakat pesisir Bajomulyo kategori tingkat keberagaman strategi pola nafkah. Tabel 20 Frekuensi kategori-kategori pada tingkat keberagaman strategi pola nafkah masyaraat nelayan masyarakat kelas atas Kategori
Tingkat
Frekuensi
Persentase (%)
Persentase Valid (%)
Persentase kumulatif (%)
Intensitas menangkap ikan Total
Rendah Tinggi
15 5
75,0 25,0
75,0 25,0
75,0 100,0
20 9 11 20
100,0 45,0 55,0 100,0
100,0 45,0 55,0 100,0
45,0 100,0
Jeda menangkap ikan Total
Rendah Tinggi
50 Keikutsertaan anggota Ada keluarga lain dalam usaha Tidak Total Pekerjaan alternatif
11 9
55,0 45,0
55,0 45,0
20
100,0
100,0
15
75,0
75,0
75,0
Punya
5 20
25,0 100,0
25,0 100,0
100,0
Rendah Tinggi
11 9
55,0 45,0
55,0 45,0
55,0 100,0
20 11 9
100,0 55,0 45,0
100,0 55,0 45,0
55,0 100,0
20
100,0
100,0
Tidak punya
Total Pendapatan Total Keikutsertaan organisasi di Tidak desa Ya Total
55,0 100,0
Sumber: data primer 2016 Beberapa poin frekuensi kategori dalam tingkat keberagaman strategi pola nafkah masyarakat nelayan yang memiliki nilai dominan. ABK memiliki intensitas menangkap ikan rendah sebesar 75%, jeda menangkap ikan tinggi sebesar 55%, keikutsertaan anggota keluarga dalam menangkap ikan rendah sebesar 55%, tidak memiliki pekerjaan alternatif sebesar 75% dan tingkat pendapatan rendah sebesar 55%. Intensitas menangkap ikan ditentukan ditentukan dari lama kapal melaut. Pada situasi ini intensitas melaut yang dilakukan ABK bergantung pada kapal tempat ABK tersebut bekerja. Kapal tempat ABK bekerja antara lain kapal pure seine, kapal fisher, kapal holler, dan kapal penangkap cumi-cumi. Jeda menangkap ikan yang dimiliki ABK juga bergantung pada keputusan pemilik/ pengurus kapal, kapan akan menjalankan kembali kapal yang dimilikinya. Pemilik kapal memerlukan waktu lama untuk mempersiapkan perbekalan dan perbaikan mesin, sehingga waktu jeda berangkat kapal juga lebih lama. Persentase tidak memiliki pekerjaan alternatif oleh ABK besar yaitu sebesar 75%, angka ini menunjukkan bahwa lebih banyak ABK yang hanya memiliki satu pekerjaan saja. Pekerjaan alternatif yang dilakukan oleh ABK antara lain melakukan pekerjaan tambahan ketika berada di tengah laut selain menangkap ikan, seperti sebagai juru masak. Selain itu pekerjaan yang dapat dilakukan adalah berjualan pada saat waktu jeda pulang melaut. Tingkat pendapatan rendah yang masih terdapat di ABK yaitu sebesar 55%. Tingkat pendapatan rendah yaitu ABK dengan pendapatan per bulan lebih rendah dari Rp. 3.388.422,00, tingkat pendapatan sedang apabila pendapatan rata-rata per bulan dari melaut antar Rp. 3.38.422,00 sampai Rp. 5.161.578,00, dan tingkat pendapatan tinggi apabila pendapatan per bulan lebih dari Rp. 5.161.578,00. Nilai interval untuk menentukan pendapatan ABK tersebut didapatkan dengan menghitung kuartil satu dan tiga berdasarkan standar deviasi yang sudah dihitung menggunakan SPSS versi 22.0. Jolly et al. (1993) menjelaskan dalam bukunya yang berjudul Economics of Aquaculture bahwa populasi di negara kurang berkembang diperkirakan mangalami kemiskinan absolut atau kemiskinan relatif. Lebih dari 80% penduduk miskin tersebut berasal dari pedesaan. Jolly et al. (1993) juga menggambarkan bahwa kemiskinan dapat dilihat dari lemahnya nutrisi, tempat tinggal yang tidak memadai dan standar kesehatan rendah. Ketiga hal tersebut dianggap sebagai faktor yang memengaruhi kualitas hidup dan produktifitas masyarakat pedesaan. Budidaya air dapat menjadi salah satu solusi untuk menyediakan kebutuhan dasar bagi masyarakat miskin desa. Budidaya
51
ikan juga dapat ditemui di sekitar Sungai Silugonggo terletak di dekat tempat pemindangan. Berkaitan dengan penanggulangan kemiskinan, Taryoto (2014) menemukan bahwa upaya pemberantasan kemiskinan pada masyarakat pedesaan lebih lambat dibandingkan dengan masyarakat perkotaan. Begitupun pada masyarakat pertanian, Taryoto (2014) menyebutkan keberhasilan penanggulangan kemiskinan pada sektor pertanian lebih lambat dibandingkan dengan sektor di luar pertanian. Sebagai gambaran tingkat kemiskinan yang ada di Desa Bajomulyo, akan dipaparkan data persentase tingkat kemiskinan pada kelas bawah dan kepemilikan aset kelas atas di sektor penangkapan ikan. Berikut ini adalah frekuensi tingkat kemiskinan kelas atas dan kelas bawah. Tabel 21 Frekuensi tingkat kepemilikan aset masyarakat kelas atas Kategori
Tingkat
Frekuensi
Persentase (%)
Tingkat kemiskinan Rendah Tinggi Total
10
50,0
50,0
50,0
10
50,0
50,0
100,0
20
100,0
100,0
Persentase Persentase Valid (%) kumulatif (%)
Sumber: data primer 2016 Sebagai pembanding akan dipaparkan pula persentase pada tingkat kemiskinan masyarakat pesisir Desa Bajomulyo pada kelas bawah. Tabel 22 Frekuensi tingkat kemiskinan masyarakat kelas bawah Kategori
Tingkat
Frekuensi
Tingkat kemiskinan Rendah
11
55,0
55,0
55,0
9
45,0
45,0
100,0
20
100,0
100,0
Tinggi Total
Persentase Persentase Valid Persentase (%) (%) kumulatif (%)
Sumber: data primer 2016 Kelas sosial pada penelitian ini dibedakan atas pemilik dan pengelola kapal sebagai kelas atas dan ABK sebagai kelas bawah. Perbedaaan antara kedua kelas tersebut salah satunya berdasarkan sumberdaya yang mereka miliki. Perbedaan tingkat tersebut dipengaruhi karena perbedaan kecenderungan dalam mengumpulkan sumberdaya modal. Indonesia mengalami perbedaan pembagian pendapatan yang disebabkan oleh faktor-faktor pembagian harta, strategi pembangunan dan kebijakan fiskal (Wie 1981). Sharp AM et al. (1997) mengatakan bahwa mereka yang termotivasi kuat untuk melupakan konsumsi hari ini bertujuan untuk mendapatkan pendapatan yang lebih hebat pada masa depan. Sebaliknya mereka yang fokus pada standar konsumsi terkini tidak menyimpan dan mengumpulkan sumberdaya modal yang dapat digunakan untuk keperluan masa depan. Berkaitan dengan apa yang dijabarkan oleh Sharp AM et al. (1997), terdapat pernyataan terkait pola mengumpulkan sumberdaya modal yang dilakukan oleh masyarakat. Pernyataan terkait pengumpulan modal dalam pola hidup disampaikan oleh MGY (57 tahun): “...Terkait kebutuhan tergantung pola hidup, pola hidup iku yo kanggo minum, kanggo karaoke. Tinggal karek awake dewe ngroso bersyukur. Nek
52
aku nduwe 100 ewu sedino, tak nggo mangan 40% sisane dinggo kebutuhan liya, dinggo nabung...”. “...Terkait kebutuhan tergantung pola hidup, pola hidup ya untuk minum (minuman keras), karaoke. Tinggal bagaimana cara kita bersyukur, saat aku punya 100 ribu sehari, dipakai makan 40% sisanya dipakai untuk kebutuhan lain, untuk menabung...”. Tingkat keberagaman strategi pola nafkah dan tingkat kemiskinan masyarakat pesisir diuji dengan metode uji regresi linear menggunakan SPSS versi 22.0 untuk mengetahui pengaruh antara kedua variabel tersebut. Berikut ini adalah hasil uji pengaruh antara variabel tingkat keberagaman strategi pola nafkah masyarakat nelayan dan tingkat kemiskinan masyarakat nelayan. Tabel 23 Pengaruh tingkat keberagaman strategi pola nafkah terhadap tingkat kepemilikan aset masyarakat pesisir kelas atas Model
(Constant) 1 Strategi nafkah
Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients
B
Std. Error
34,192
4,283
-,039
0,196
t
Sig.
7,982
0,000
-,198
0,845
Beta
-,047
Variabel terpengaruh: tingkat kemiskinan Sumber: data primer 2016 Tingkat keberagaman strategi pola nafkah masyarakat kelas atas tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap tingkat kepemilikan aset. Hal tersebut diketahui dari angka signifikansi hasil analisis lebih besar dari α (0,05) sehingga Ho diterima. Angka signifikansi pada variabel independen tersebut yaitu sebesar 0,845. Penerimaan Ho tersebut berarti menolak hipotesis uji, artinya tingkat keberagaman strategi pola nafkah tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap tingkat kepemilikan aset masyarakat lapisan atas. Berikut ini adalah hasil uji pengaruh tingkat keberagaman strategi pola nafkah dengan tingkat kemiskinan masyarakat kelas bawah. Tabel 24 Pengaruh tingkat keberagaman strategi pola nafkah terhadap tingkat kemiskinan masyarakat pesisir kelas bawah Model
(Constant) 1 Strategi nafkah
Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients
B
Std. Error
25,011
15,340
0,633
0,723
t
Sig.
1,630
0,120
0,876
0,393
Beta
0,202
Variabel terpengaruh: tingkat kemiskinan Sumber: data primer 2016 Tingkat keberagaman strategi pola nafkah masyarakat kelas bawah tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap tingkat kemiskinan. Hal tersebut diketahui dari angka signifikansi hasil analisis lebih besar dari α (0,05) sehingga Ho diterima. Angka signifikansi pada variabel independen tersebut yaitu sebesar 0,393. Penerimaan Ho tersebut berarti menolak hipotesis uji sehingga tingkat keberagaman strategi pola nafkah tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap tingkat kemiskinan masyarakat lapisan
53
bawah. Pengelola kapal kelas atas turut membantu menanggulangi kemiskinan dengan memberikan lapangan pekerjaan dan memberikan santunan pada waktu tertentu.
PENUTUP Kesimpulan Tingkat akses terhadap sumberdaya pendidikan memiliki pengaruh signifikan pada tingkat keberagaman strategi pola nafkah masyarakat kelas atas sebesar 0,001 dan tidak memiliki hubungan signifikan pada kelas bawah pada uji regresi linier berganda. Tingkat akses lembaga keuangan, lembaga pemasaran dan teknologi pada kelas atas tidak memiliki hubungan signifikan, secara berurutan nilai signifikansi pengaruhnya yaitu 0,913; 0,257; dan 0,296. Tingkat akses lembaga keuangan, lembaga pemasaran dan teknologi pada kelas bawah tidak memiliki hubungan signifikan, secara berurutan nilai signifikansi pengaruhnya yaitu 0,440; 0,130; dan 0,378. Secara keseluruhan tingkat akses sumberdaya pada kelas atas memiliki pengaruh terhadap tingkat keberagaman strategi pola nafkah dengan nilai signifikansi sebesar 0,006. Tingkat akses pendidikan tinggi pada kelas atas memiliki nilai lebih tinggi yaitu 55% daripada tingkat akses rendah dengan persentase 45%. Selain itu tingkat akses lembaga keuangan tinggi sebesar 40%, tingkat akses rendah sebesar 60% dan tingkat akses pemasaran tinggi 60% dan tingkat akses pemasaran rendah 40%. Tingkat akses teknologi pada kelas atas yaitu 20% akses tinggi dan 80% akses rendah. Frekuensi pada kelas bawah menunjukkan tingkat akses teknologi tinggi sebesar 30%, tingkat akses teknologi rendah sebesar 70% dan tingkat akses keuangan tinggi sebesar 65%, tingkat akses keuangan rendah 35%. Tingkat akses lembaga pemasaran dan pendidikan pada kelas bawah memiliki nilai sama antara tingkat akses tinggi dan rendah yaitu 50%. Akses teknologi dirasakan oleh kedua kelas, kelas atas mendapatkan akses sebagai pemilik, kelas bawah mendapatkan akses operasional kapal. Akses keuangan pada kelas atas digunakan untuk modal pengembangan usaha, sedangkan akses keuangan pada kelas bawah bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Lembaga pemasaran menjadi tempat menjual hasil tangkap yang digunakan untuk menentukan penghasilan berdasarkan proporsi antara pemilik, ABK, nahkoda, dan perbekalan. Tingkat akses pendidikan tinggi kelas atas lebih tinggi daripada kelas bawah. Tingkat keberagaman strategi pola nafkah yang dilihat melalui pendekatan kualitatif memberikan beberapa hal yang dijadikan sebagai strategi nafkah masyarakat pesisir Desa Bajomulyo, antara lain: (1) melakukan pekerjaan alternatif dengan berprofesi sebagai sebagai penarik basket bagi kelas atas; (2) perhitungan matang dalam meminjam uang untuk mengembangkan modal usaha pada masyarakat kelas atas; (3) melakukan pekerjaan tambahan di tengah laut bagi ABK; (4) usaha perikanan non tangkap bagi warga Bajomulyo pemindang ikan; (5) mengikuti suatu komunitas untuk mendapatkan manfaat perlindungan dari keikutsertaan tersebut bagi kelas atas dan bawah; (6) meningkatkan teknologi penyimpanan dalam kapal bagi pemilik kapal untuk meningkatkan mutu ikan sampai kepada konsumen. Tingkat keberagaman strategi pola nafkah dan tingkat kemiskinan tidak memiliki pengaruh signifikan saat diuji dengan uji regresi linier. Angka signifikansi pada uji kedua variabel tersebut pada kelas bawah secara berurutan yaitu 0,393. Pengaruh tingkat keberagaman strategi dengan tingkat kepemilikan aset pada kelas atas yaitu sebesar 0,845.Secara kualitatif terdapat beberapa perkembangan aset responden yang terjadi secara bertahap dari penghasilan di sektor penangkapan ikan. Pengelola
54
kapal turut membantu kelas bawah dalam menanggulangi kemiskinan dengan memberikan lapangan pekerjaan dan santunan pada waktu tertentu. Saran Saran untuk pengembangan masyarakat pesisir Desa Bajomulyo merujuk pada kesimpulan yang didapatkan, ditujukan kepada tiga pemangku kepentingan yaitu akademisi, pengambil kebijakan, dan masyarakat. 1. Perlu penelitian lebih lanjut oleh akademisi maupun dinas terkait sistem pembagian hasil antara ABK dan nelayan, peran setor perikanan non tangkap secara kuantitatif, serta kerjasama modal dalam usaha perkapalan di Desa Bajomulyo. 2. Sebelum menerapkan suatu kebijakan pemerintah harus melakukan survei di kawasan yang terkena dampak kebijakan, mendengar apa kesulitan masyarakat akibat kebijakan yang diterapkan, menyiapkan pendamping supaya apa kebijakan yang disampaikan pemerintah selaras dengan apa yang dipahami masyarakat sasaran kebijakan, serta menyediakan beragam lapangan pekerjaan bidang perikanan. 3. Masyarakat pesisir kelas bawah sebaiknya memiliki pekerjaan alternatif, sebab ketidakpastian hasil ikan memengaruhi pendapatan dan menimbulkan kerentanan. Pola hidup yang merugikan kesehatan dan menghabiskan penghasilan dalam waktu dekat seperti meminum minuman keras sebaiknya dihindari. Masyarakat kelas atas sebaiknya memerhatikan lama masa sekolah anak- anaknya sehingga angka putus sekolah Desa Bajomulyo tidak meningkat. Pembagian hasil antara ABK, nahkoda dan pemilik kapal sebaiknya dilakukan secara transparan dengan menunjukkan bukti catatan hasil tangkapan dan perbekalan kapal yang harus dikurangkan pada hasil penjualan sebelum dibagi dengan proporsi tertentu.
55
DAFTAR PUSTAKA Abdurrahim AY. 2015. Kerentanan ekologi dan strategi penghidupan rumah tangga petani di Pantai Utara Indramayu [Thesis]. [internet]. [diunduh 2015 Oktober 6]. Tersedia pada: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/74248?show=full Adisasmita R. 2006. Pembangunan kelautan dan kewilayahan. Yogyakarta (ID): Graha Ilmu. Annisa D. 2008. Gender dalam rogram penanggulangan kemiskinan [Skripsi]. [internet]. [diunduh 2015 Desember 7]. Tersedia pada: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/44639 [BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Jumlah penduduk miskin menurut provinsi tahun 2013-2015. [internet]. [diunduh 2016 Juni 9]. Tersedia pada: http://www.bps.go.id/Subjek/view/id/23#subjekViewTab3|accordion-daftarsubjek1 [BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Jumlah dan persentase penduduk miskin, garis kemiskinan, indeks kedalaman kemiskinan (p1), dan indeks keparahan kemiskinan (p2) menurut provinsi, September 2014. [internet]. [diunduh 2015 Desember 2]. Tersedia pada: www.bps.go.id Damsar. 2009. Pengantar sosiologi ekonomi. Jakarta (ID): Kencana Prenada Media Group. [Dinkanla] Dinas Perikanan dan Kelautan. 2015. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 2 tahun 2015. [internet]. [diunduh 2016 Mei 26]. Tersedia pada: http://diskanla.langkatkab.go.id/berita/berita-nasional/43-permen-kpnomor-2-tahun-2015-tentang-larangan-penggunaan-alat-penangkapan-ikanpukat-hela-trawls-dan-pukat-tarik-seine-nets-di-wilayah-pengelolaan-perikanannegara-republik-indonesia.html Dharmawan AH. 2007. Sistem penghidupan dan nafkah pedesaan: Pandangan sosiologi nafkah (livelihood sociology) mahzab Barat dan mahzab Bogor [Jurnal]. [internet]. [diunduh 2015 Februari 6]. Tersedia pada: https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad =rja&uact=8&ved=0ahUKEwiBq7SJ8uLKAhXBno4KHVvfDssQFggZMAA&u rl=http%3A%2F%2Fjournal.ipb.ac.id%2Findex.php%2Fsodality%2Farticle%2F download%2F5932%2F4609&usg=AFQjCNGkDet_oEhhW7_n9JTH07RikUUe Nw&sig2=XAn-0bpm5bR_N1Aqz8jmUQ&bvm=bv.113370389,d.c2E Djajadiningrat ST, Yeni H, Melia F. 2011. Ekonomi hijau. Bandung (ID): Rekayasa Sains. Effendi S, Tukiran. 2012. Metode penelitian survei. Jakarta (ID): LP3ES. Fauzi A. 2005. Kebijakan perikanan dan kelautan: Isu, sintesis dan gagasan. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama. [internet]. [diakses pada 2016 Maret 3]. Tersedia pada: https://books.google.co.id/books/about/Kebijakan_perikanan_dan_kelautan.html ?id=oct7YB1DNC4C&hl=id
56
Firdaus M, Tenny A, Rizki AW. 2013. Pengeluaran rumah tangga nelayan dan kaitannya dengan kemiskinan. Jurnal Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan; 8 (3): 49-58 [jurnal]. [internet]. [diunduh 2015 Oktober 13]. Tersedia pada: http://bbpse.litbang.kkp.go.id/publikasi/jsosek/jurnal_2013_v8_no1_(5)_full.pdf Guiga H, Jaleleddine BR. 2012. Poverty, Growth, and inequalities in developing countries. International journal of economics and financial issues; 2 (4): 470-47 [jurnal]. [internet]. [diunduh 2016 Februari 25]. Tersedia pada: file:///D:/SP%20ICH%20LIEBE%20DIE/Jurnal%20international%20proposal.p df Hamdani H. 2013. Faktor penyebab kemiskinan nelayan tradisional [jurnal]. [internet]. [diunduh 2015 Oktober 6]. Tersedia pada: http://repository.unej.ac.id/bitstream/handle/123456789/58737/Haris%20Hamda ni.pdf?sequence=1 Haryono TJS. 2005. Strategi kelangsungan hidup nelayan. Jurnal Berkala Ilmiah Kependudukan [jurnal]. [internet]. [diunduh 2015 Oktober 13]. Tersedia pada: http://www.madib.blog.unair.ac.id/files/2010/05/contoh-artkel-ilmiah-08-trijoko.pdf Hidayati D, Sri S P, Ngadi, Makmuri S. 2008. Kondisi sosial ekonomi masyarakat dalam konteks bencana alam di Kabupaten Cilacap. [internet]. [diunduh pada 2015 Desember 7]. Tersedia pada: http://km.ristek.go.id/index.php/klasifikasi/detail/13384 Imron M. 2003. Kemiskinan dalam masyarakat nelayan. Jurnal Masyarakat dan Budaya; 5 (1): 63-79 [jurnal]. [internet]. [diunduh 2015 Oktober 13]. Tersedia pada: http://jurnalmasyarakatdanbudaya.com/index.php/jmb/article/view/259/237 Jolly CM, Howard AC. 1993. Economics of aquaculture. New York (US): The Haworth Press. Muhammad. 2008. Paradigma, metodologi dan aplikasi ekonomi syari’ah. Yogyakarta (ID): Graha Ilmu. Murtolo SA, Salamun, Isni H, Hisbaron M, Sumardi. 1995. Dampak pembangunan ekonomi (pasar) terhadap kehidupan sosial budaya masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta (ID): Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Nagib L, Devi A, Ade L, Mujiyani. 2008. Kondisi sosial masyarakat dalam konteks bencana alam di Kabupaten Padang Pariaman. Jakarta (ID): LIPI Press. Nasution Z, Sastrawidjaja, Tjahjo TH, Mursidin, Fatriyandi NP. Sosial budaya masyarakat nelayan, konsep dan indikator pemberdayaan. Jakarta (ID): Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Pakpahan HT, Richard WEL, Djoko S. 2006. Hubungan motivasi kerja dengan perilaku nelayan pada usaha perikanan tangkap. Jurnal Penyuluhan; 2 (1):1 [jurnal]. [internet]. [diunduh 2015 Februari 15]. Tersedia pada: http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/42833/Helena%20Tatche r%20Pakpahan.pdf?sequence=1&isAllowed=y [Pemerintah Kabupaten Pati]. 2015. Kondisi geografis. Pati (ID): Pemkab Pati. [internet]. [diunduh pada 2016 Mei 12]. Tersedia pada: https://patikab.go.id/v2/id/kondisi-geografis/
57
Purwanti P. 2010. Model ekonomi rumah tangga nelayan skala kecil dalam mencapai ketahanan pangan. Malang (ID): UB Press. Purwanto EA. 2007. Mengkaji potensiu kecil dan menengah (UKM) untuk pembuatan kebijakan anti kemiskinan di Indonesia. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik; 10 (3): 295-324 [jurnal]. [internet]. [diunduh 2015 Oktober 13]. Tersedia pada: http://repository.ugm.ac.id/id/eprint/3609 Rosyid MI. 2013. Ekonomi kreatif dalam strategi nafkah masyarakat nelayan [Skripsi] . [internet]. [diunduh 2015 Oktober 6]. Tersedia pada: http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/66046/I13mir.pdf?seque nce=1&isAllowed=y Rusdarti, Lesta KS. 2013. Faktor-faktor yang memengaruhi tingkat kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah. Economia; 9: 1-9 [jurnal]. [internet]. [diunduh 2015 Oktober 12]. Tersedia pada: journal.uny.ac.id/index.php/economia/article/download/1371/1176 Satria A. 2009. Pesisir dan laut untuk rakyat. Bogor (ID): IPB Press. Sharp AM, Charles AR, Paul WG. 1997. Economics of social issues. California (USA): Irwin Mc-Graw Hill. Soemardjan S, Alfian, Mely GT. 1984. Kemiskinan struktural. Jakarta (ID): Mata Angin Offset. Susilo E. 2010. Dinamika struktur sosial dalam ekosistem pesisir. Malang (ID): UB Press. Tain A. 2011. Penyebab kemiskinan rumah tangga nelayan di wilayah tangkap lebih Jawa Timur. Humanity; 7: 1-10 [jurnal]. [internet]. [diunduh 2015 September 15]. Tersedia pada: http://ejournal.umm.ac.id/index.php/humanity/article/view/1401 Taryoto A. 2014. Pembangunan pedesaan, kemiskinan, dan ruralisasi. Bogor (ID): CV. Rajawali Corporation. Vipriyanti NU. 2011. Modal sosial dan pembangunan wilayah. Malang (ID): Tim UB Press. Widodo S. 2011. Strategi nafkah berkelanjutan bagi rumah tangga miskin di daerah pesisir. Makara Sosial Humaniora; 15: 10-20 [jurnal]. [internet]. [diunduh 2015 September 15]. Tersedia pada: hubsasia.ui.ac.id/index.php/hubsasia/article/download/890/41 Widodo S. 2012. Peran perempuan dalam sistem nafkah rumah tangga nelayan [jurnal]. [internet]. [diunduh 2015 Oktober 13]. Tersedia pada: pertanian.trunojoyo.ac.id/semnas/wp-content/uploads/PERAN-PEREMPUANDALAM-SISTEM-NAFKAH-RUMAH-TANGGA-NELAYAN.pdf Wie TK. 1981. Pemerintahan, kemiskinan, ketimpangan: Beberapa pemikirang tentang pertumbuhan ekonomi. Jakarta (ID): Sinar Harapan. Winoto G. 2006. Pola Kemiskinan Nelayan Kelurahan Dompak Kota Tanjungpinang [Thesis]. [internet]. [diunduh 2015 Desember 7]. Tersedia pada: http://core.ac.uk/download/pdf/11717172.pdf
58
LAMPIRAN Lampiran 1 Peta pola ruang Desa Bajomulyo, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah
Gambar 2 Peta pola ruang Desa Bajomulyo
Keterangan: Batas sebelah utara
: Laut Jawa
Batas sebelah timur
: Sungai Silugonggo dan Desa Bendar
Batas sebelah selatan
: Desa Kudukeras
Batas sebelah Barat
: Desa Kebonsawahan dan Desa Growong Lor
RT
: Rukun Tetangga
TPI
: Tempat Pelelangan Ikan
59
Lampiran 2 Panduan wawancara mendalam
PANDUAN WAWANCARA MENDALAM Strategi Pola Nafkah Masyarakat Pesisir Dalam Menanggulangi Kemiskinan Desa Bajomulyo, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah (Informan: Nelayan Desa Bajomulyo) Hari/Tanggal Wawancara
:
Lokasi Wawancara
:
Nama dan Usaha Informan
:
Jabatan
:
1. 2.
Bagaimana perkembangan penangkapan ikan selama lima tahun terakhir? Berapa rata-rata hasil ikan yang didapatkan dalam sekali melakukan penangkapan ikan? 3. Berapa rata-rata rupiah yang didapatkan dalam sekali melakukan penangkapan ikan? 4. Adakah nelayan yang melakukan usaha di luar sektor penangkapan ikan? 5. Jika ada, apa saja jenis usaha yang dilakukan oleh nelayan tersebut? 6. Apakah sektor penangkapan ikan membantu meningkatkan taraf hidup nelayan? 7. Bagaimana akses nelayan terhadap pendidikan? 8. Bagaimana akses nelayan terhadap teknologi? 9. Bagaimana akses nelayan terhadap lembaga pemasaran? 10. Bagaimana akses nelayan terhadap lembaga keuangan? 11. Apakah ada nelayan yang keluar dari kemiskinannya dari hasil usaha penangkapan ikan?
60
PANDUAN WAWANCARA MENDALAM Strategi Pola Nafkah Masyarakat Pesisir Dalam Menanggulangi Kemiskinan Desa Bajomulyo, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah (Informan: Pelaku usaha Desa Bajomulyo) Hari/Tanggal Wawancara
:
Lokasi Wawancara
:
Nama dan Usaha Informan
:
Jabatan
:
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Bagaimana perkembangan unit usaha yang dijalankan selama lima tahun terakhir? Berapa rata-rata produksi yang didapatkan dalam satu bulan? Berapa rata-rata rupiah yang didapatkan dalam satu bulan? Jika ada, apa saja jenis usaha yang dilakukan oleh Bapak/Ibu? Apakah unit usaha yang dilakukan membantu meningkatkan penghasilan dan taraf hidup? Apakah ada warga Bajomulyo yang berhasil menjalankan unit usaha dan keluar dari kemiskinannya?
61
PANDUAN WAWANCARA MENDALAM Strategi Pola Nafkah Masyarakat Pesisir Dalam Menanggulangi Kemiskinan Desa Bajomulyo, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah (Informan: Tokoh Desa Bajomulyo) Hari/Tanggal Wawancara
:
Lokasi Wawancara
:
Nama dan Usaha Informan
:
Jabatan
:
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Bagaimana kondisi usaha Desa Bajomulyo dalam lima tahun terakhir? Apakah sektor peningkatan ikan mengalami peningkatan selama lima tahun terakhir? Apakah sektor non penangkapan ikan mengalami peningkatan dalam lima tahun terakhir? Bagaimana akses warga terhadap pendidikan? Bagaimana akses warga terhadap teknologi (penangkapan ikan/non)? Bagaimana akses warga terhadap lembaga pemasaran? Bagaimana akses warga terhadap lembaga keuangan? Apakah usaha yang dilakukan membuat warga Bajomulyo bertahan dari kemiskinan? Apakah strategi nafkah yang dilakukan oleh warga Bajomulyo meningkatkan stratus warga dari yang awalnya miskin menjadi tidak miskin lagi?
62
PANDUAN WAWANCARA MENDALAM Strategi Pola Nafkah Masyarakat Pesisir Dalam Menanggulangi Kemiskinan Desa Bajomulyo, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah (Informan: Tokoh perempuan Desa Bajomulyo) Hari/Tanggal Wawancara
:
Lokasi Wawancara
:
Nama dan Usaha Informan
:
Jabatan
:
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Bagaimana perkembangan Desa Bajomulyo dalam lima tahun terakhir? Apa saja keterlibatan perempuan dalam usaha penangkapan ikan? Apa saja keterlibatan perempuan dalam usaha non-penangkapan ikan? Bagaimana akses terhadap pendidikan? Bagaimana akses terhadap teknologi dalam usaha? Bagaimana akses terhadap lembaga pemasaran? Bagaimana akses terhadap lembaga keuangan? Apakah sektor penangkapan ikan dan non-penangkapan ikan yang ada di Desa Bajomulyo membantu warga dalam keluar dari kemiskinan? 9. Apakah hasil dari usaha perikanan mampu membantu memenuhi kebutuhan dasar (sandang, pangan, papan)? 10. Apakah hasil dari usaha non-perikanan tangkap membantu memenuhi kebutuhan dasar (sandang, pangan, papan?
63
PANDUAN WAWANCARA MENDALAM Strategi Pola Nafkah Masyarakat Pesisir Dalam Menanggulangi Kemiskinan Desa Bajomulyo, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah (Informan: Tokoh pemuda Desa Bajomulyo) Hari/Tanggal Wawancara
:
Lokasi Wawancara
:
Nama dan Usaha Informan
:
Jabatan
:
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Bagaimana perkembangan Desa Bajomulyo dalam lima tahun terakhir? Apa saja keterlibatan pemuda dalam usaha penangkapan ikan? Apa saja keterlibatan pemuda dalam usaha non-penangkapan ikan? Bagaimana akses terhadap pendidikan? Bagaimana akses terhadap teknologi? Bagaimana akses terhadap lembaga pemasaran? Bagaimana akses terhadap lembaga keuangan? Apakah sektor penangkapan ikan dan non-penangkapan ikan yang ada di Desa Bajomulyo membantu warga dalam keluar dari kemiskinan? 9. Apakah sektor penangkapan ikan menarik bagi pemuda? 10. Apakah sektor non-penangkapan ikan menarik bagi pemuda?
64
PANDUAN WAWANCARA MENDALAM Strategi Pola Nafkah Masyarakat Pesisir Dalam Menanggulangi Kemiskinan Desa Bajomulyo, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah (Informan: Aparat Desa Bajomulyo)
Hari/Tanggal Wawancara
:
Lokasi Wawancara
:
Nama dan Usaha Informan
:
Jabatan
:
1.
Cerita singkat tentang keadaan Desa Bajomulyo Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati? 2. Bagaimana perkembangan perekonomian Desa Bajomulyo dalam lima tahun terakhir? 3. Bagaimana usaha yang dilakukan masyarakat dalam menghadapi perubahan musim? 4. Bagaimana kondisi kemiskinan di Desa Bajomulyo? 5. Kapan kondisi Desa Bajomulyo menunjukkan puncak pertumbuhan ekonomi dalam setahun? 6. Apa saja upaya yang dilakukan masyarakat dalam menanggulangi kemiskinan? 7. Apakah ada teknis khusus yang dilakukan oleh masyarakat dalam mengantisipasi ketidakpastian musim dalam melakukan usaha penangkapan ikan? 8. Apakah ada teknis khusus yang dilakukan oleh pelaku usaha non-perikanan agar terhindar dari kemiskinan? 9. Apa upaya yang dilakukan pemerintah desa untuk meningkatkan peluang usaha bagi masyarakat Bajomulyo? 10. Bagaimana upaya pemerintah desa dalam menanggulangi kemiskinan di Desa Bajomulyo?
65
PANDUAN WAWANCARA MENDALAM Strategi Pola Nafkah Masyarakat Pesisir Dalam Menanggulangi Kemiskinan Desa Bajomulyo, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah (Informan: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pati) Hari/Tanggal Wawancara
:
Lokasi Wawancara
:
Nama dan Usaha Informan
:
Jabatan
:
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Bagaimana perkembangan penangkapan ikan di Bajomulyo selama lima tahun terakhir? Bagaimana kondisi usaha perikanan di Bajomulyo apabila dibandingkan dengan daerah lain? Apakah sektor penangkapan di Desa Bajomulyo membantu masyarakat dalam menanggulangi kemiskinan? Bagaimana sektor perikanan di Desa Bajomulyo membantu menanggulangi kemiskinan di Kabupaten Pati? Apakah sektor usaha non-penangkapan ikan berpengaruh terhadap sektor penangkapan ikan? Bagaimana upaya Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pati dalam meningkatkan sektor perikanan? Apa potensi perikanan yang dimiliki Desa Bajomulyo yang dapat dimanfaatkan untuk menanggulangi kemiskinan?
66
PANDUAN WAWANCARA MENDALAM Strategi Pola Nafkah Masyarakat Pesisir Dalam Menanggulangi Kemiskinan Desa Bajomulyo, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah (Informan: Pengurus Tempat Pelelangan Ikan Desa Bajomulyo) Hari/Tanggal Wawancara
:
Lokasi Wawancara
:
Nama dan Usaha Informan
:
Jabatan
:
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Bagaimana perkembangan penangkapan ikan di Desa Bajomulyo dalam lima tahun terakhir? Apa saja jenis teknologi yang digunakan oleh nelayan yang mendaratkan ikan di TPI ini? Berapa rata-rata yang didapatkan oleh nelayan dalam sekali melakukan penangkapan ikan? Apa saja unit usaha yang berhubungan dengan perikanan setelah penangkapan ikan oleh nelayan? Siapa saja yang menjadi penawar dalam proses pelelangan ikan? Apa kendala yang dialami nelayan dalam melakukan pelelangan dan bagaimana cara nelayan mengatasi? Apakah adanya unit pelelangan ikan dapat memunculkan unit usaha nonpenangkapan ikan di Desa Bajomulyo?
67
Lampiran 3 Kerangka sampling
Kerangka sampel 1 Kelas sosial atas yang melakukan strategi pola nafkah dalam penangkapan ikan sebagai pemilik usaha
No.
Nama
Alamat
1
RML
Desa Santing
2
SRO
Lindanglon
Bajomulyo RT 03 RW 04
3
RZI
Ds Parean Ilir
4
SNT
NgerangS
5
TKO
Batang
6
WDD
Ngerang
7
AGG
Gempol
Bajomulyo RT 03 RW 04
8
ABL
Tamansari
9
DMR
Bendar
10
BNI
Dodol
11
EKO
Bakaran
12
YDS
Bajomulyo
13
SPL
Bajomulyo
14
PRL
Bajomulyo RT 02 RW 04
Dukutalit RT 04 RW 01
15
EDP
Bajomulyo RT 02 RW 04
Bajomuyo RT 04 RW 02
16
AHS
Bajomulyo RT 02 RW 04
Pekuwon RT 08 RW 02
17
AHN
Bajomulyo RT 03 RW 04
Dukuhmulyo RT 05 RW 01
18
TNT
Dukuhmulyo RT 06 RW 01
19
RYT
Parean Ilir, Indramayu
20
SPO
Batangan
No.
Nama
Alamat
1
UTM
Bajomulyo RT 04 RW 04
2
MGY
3
KBN
Bajomulyo RT 04 RW 04
4
SWD
Bajomulyo RT 04 RW 03
5
FRJ
6
KMD
Bajomulyo RT 02 RW 04
7
SPN
Bajomulyo RT 03 RW 04
8 9 10 11 12
STN TRS SMN SPR MYH
Kerangka sampel 2 Kelas sosial bawah yang melakukan strategi pola nafkah dalam penangkapan ikan sebagai pekerja dalam unit usaha
Bajomulyo RT 03 RW 04
13
STP
Bajomulyo RT 01 RW 03
14
RHD
Bajomulyo RT 01 RW 03
15
JMD
Bajomulyo RT 01 RW 03
16
RJI
Bajomulyo RT 02 RW
68
03 17
GNR
Bajomulyo RT 03 RW 03
18
SGN
Bajomulyo RT 02 RW 03
19
WRT
Bajomulyo RT 04 RW 04
20
WGT
Bajomulyo RT 04 RW 02
69
Lampiran 4 Dokumentasi
TPI Unit II Juwana
Tempat pemindangan ikan
Tempat lelang ikan
Tempat sandar ikan
FGD bersama ABK
Mesin kapal pure seine
Pengangkutan ikan
Profesi penarik basket ikan
70
CCTV TPI Unit II
Buruh pembelah hati ikan
Stasiun pengisian bahan bakar nelayan
Tempat pemindangan
Bengkel kapal
Freezer kapal cumi-cumi
Kastorit
Mobil box berpendingin
71
Lampiran 5 Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner Uji Validitas Kuesioner Case Processing Summary
Cases
Valid Excludeda
N
%
20
100,0
0
,0
Total 20 100,0 a. Listwise deletion based on all variables in the procedure. Uji Reliabilitas Kuesioner Reliability Statistics Cronbach's Alpha ,770
N of Items 62
Jumlah responden 20 dengan alfa 0,005 memiliki nilai t.tabel sebesar 0,444 Diketahui 0,770>r.tabel, sehingga pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner penelitian terpercaya untuk digunakan sebagai instrumen dalam penelitian.
72
Lampiran 6 Hasil uji regresi antar variabel Regression Variables Entered/Removeda Model
Variables Removed
Variables Entered
1
Tingkat Akses Keuangan, Tingkat Akses Pendidikan, Tingkat Akses Pemasaran, Tingkat Akses Teknologib
Method
. Enter
a. Dependent Variable: Tingkat Strategi Nafkah b. All requested variables entered. Model Summaryb Model
R
1
,770a
Adjusted R Square Square ,593
R Std. Error of the Estimate ,484
2,240
a. Predictors: (Constant), Tingkat Akses Keuangan, Tingkat Akses Pendidikan, Tingkat Akses Pemasaran, Tingkat Akses Teknologi b. Dependent Variable: Tingkat Strategi Nafkah ANOVAa Sum of Squares
Model 1
Regression Residual Total
Mean Square
df
109,566
4
27,392
75,234
1 5
5,016
184,800
1 9
F 5,461
Sig. ,006b
73
a. Dependent Variable: Tingkat Strategi Nafkah b. Predictors: (Constant), Tingkat Akses Keuangan, Tingkat Akses Pendidikan, Tingkat Akses Pemasaran, Tingkat Akses Teknologi Coefficientsa Unstandardized Coefficients Model 1
B (Constant)
Standardized Coefficients
Std. Error
Beta
t
-9,994
12,033
,831
Tingkat Akses Pendidikan
1,280
,313
,698
4,086
Tingkat Akses Teknologi
1,244
1,149
,195
1,083
Tingkat Akses Pemasaran
-,293
,249
-,210
1,177
Tingkat Akses Keuangan
,056
,508
,019
,111
Coefficientsa
Model 1
Sig.
(Constant)
,419
Tingkat Akses Pendidikan
,001
Tingkat Akses Teknologi
,296
Tingkat Akses Pemasaran
,257
Tingkat Akses Keuangan
,913
a. Dependent Variable: Tingkat Strategi Nafkah
Residuals Statisticsa
74
Minimum Maximum Predicted Value Residual Std. Value
Predicted
Std. Residual
Statistics
N
18,15
25,98
21,60
2,401
20
-3,155
3,378
,000
1,990
20
-1,435
1,826
,000
1,000
20
-1,409
1,508
,000
,889
20
a. Dependent Variable: Tingkat Strategi Nafkah Charts
Mean
Std. Deviation
75
Skor akses pendidikan Skor_AT Valid N Missing
Skor akses pemasaran
Skor akses keuangan
20
20
20
20
0
0
0
0
Variables Removed
Method
Regression Variables Entered/Removeda Model 1
Variables Entered Tingkat Akses Keuangan, Tingkat Akses Pendidikan, Tingkat Akses Pemasaran, Tingkat Akses Teknologib
.
Enter
Model Summaryb Model
R
1
,586a
R Square
Adjusted R Square
,343
Std. Error of the Estimate
,168
1,573
a. Dependent Variable: Tingkat Strategi Nafkah b. All requested variables entered.
a. Predictors: (Constant), Tingkat Akses Keuangan, Tingkat Akses Pendidikan, Tingkat Akses Pemasaran, Tingkat Akses Teknologi b. Dependent Variable: Tingkat Strategi Nafkah
ANOVAa
76
Sum of Squares
Model 1
Mean Square
df
F
Regression
19,418
4
4,854
Residual
37,132
15
2,475
Total
56,550
19
Sig.
1,961
,152b
a. Dependent Variable: Tingkat Strategi Nafkah b. Predictors: (Constant), Tingkat Akses Keuangan, Tingkat Akses Pendidikan, Tingkat Akses Pemasaran, Tingkat Akses Teknologi Coefficientsa Unstandardized Coefficients Model 1
B (Constant) Tingkat Pendidikan
Akses
Tingkat Teknologi
Akses
Tingkat Pemasaran
Akses
Tingkat Keuangan
Akses
Standardized Coefficients
Std. Error
Beta
t
8,727
5,991
,457
,922
,464
,603
,986
,548
,604
-,290
,908
,471
,294
,447
,602
,098
,124
,189
,792
77
Coefficientsa
Model
Sig.
1
(Constant)
,166
Tingkat Akses Pendidikan
,066
Tingkat Akses Teknologi
,378
Tingkat Akses Pemasaran
,130
Tingkat Akses Keuangan
,440
a. Dependent Variable: Tingkat Strategi Nafkah Residuals Statisticsa Minimum Maximum Predicted Value Residual Std. Value
Predicted
Std. Residual
Mean
N
19,13
22,72
21,15
1,011
20
-2,384
2,244
,000
1,398
20
2,000
1,553
,000
1,000
20
-1,515
1,426
,000
,889
20
a. Dependent Variable: Tingkat Strategi Nafkah
Charts
Std. Deviation
78
Regression Variables Entered/Removeda Variables Entered
Model 1
Variables Removed
Tingkat Strategi Nafkahb
Method Enter
a. Dependent Variable: Tingkat Kemiskinan b. All requested variables entered. Model Summaryb Model
R
1
,202a
R Square ,041
Adjusted R Square
Std. Error of the Estimate
-,012
a. Predictors: (Constant), Tingkat Strategi Nafkah b. Dependent Variable: Tingkat Kemiskinan ANOVAa
5,437
79
Sum of Squares
Model 1
df
Mean Square
Regression
22,664
1
22,664
Residual
532,136
18
29,563
Total
554,800
19
F
Sig. 393b
767
a. Dependent Variable: Tingkat Kemiskinan b. Predictors: (Constant), Tingkat Strategi Nafkah Coefficientsa Unstandardized Coefficients Model
B
1
25,011
15,340
,633
,723
,202
Mean
Std. Deviation
(Constant) Tingkat Nafkah
Strategi
Std. Error
Standardized Coefficients Beta
t
Sig.
1,630
,120
,876
,393
a. Dependent Variable: Tingkat Kemiskinan
Residuals Statisticsa Minimum Maximum
N
Predicted Value
36,41
40,20
38,40
1,092
20
Residual
-8,305
9,429
,000
5,292
20
-1,826
1,652
,000
1,000
20
-1,527
1,734
,000
,973
20
Std. Value
Predicted
Std. Residual
a. Dependent Variable: Tingkat Kemiskinan Charts
80
Regression Variables Entered/Removeda Variables Entered
Model 1
Variables Removed
Tingkat Strategi Nafkahb
Method . Enter
a. Dependent Variable: Tingkat Kemiskinan b. All requested variables entered. Model Summaryb Model
R
1
,047a
R Square ,002
Adjusted R Square
Std. Error of the Estimate
-,053
a. Predictors: (Constant), Tingkat Strategi Nafkah b. Dependent Variable: Tingkat Kemiskinan ANOVAa
2,669
81
Model 1
Sum of Squares
Regression
Mean Square
df
F
,281
1
,281
Residual
128,269
18
7,126
Total
128,550
19
Sig. ,845b
,039
a. Dependent Variable: Tingkat Kemiskinan b. Predictors: (Constant), Tingkat Strategi Nafkah
Coefficientsa Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients
Model
B
1
34,192
4,283
-,039
,196
(Constant) Tingkat Nafkah
Strategi
Std. Error
Beta
-,047
t
Sig.
,982
,000
,198
,845
a. Dependent Variable: Tingkat Kemiskinan
Residuals Statisticsa Minimum Maximum Predicted Value Residual Std. Predicted Value Std. Residual
Std. Deviation
N
33,18
33,61
3,35
,122
20
-6,295
5,705
,000
2,598
20
-1,411
2,116
,000
1,000
20
-2,358
2,137
,000
,973
20
a. Dependent Variable: Tingkat Kemiskinan Charts
Mean
82
83
84
RIWAYAT HIDUP Henny Kristikasari lahir di Kabupaten Pati pada tanggal 21 Juni 1994. Penulis merupakan anak ketiga dari etiga bersaudara pasangan Pranoto dan Sri Wargini. Kedua kakak laki-laki penulis bernama Ronny Kristanto dan Dedy Kristiawan. Penulis pernah bersekolah di TK Trisula 01 pada 1999-2000, SD Negeri Kauman 01 Juwana pada 2001-2006, SMP Negeri 1 Juwana pada 20072009, dan SMA Negeri 2 Pati pada 2009-2012. Setelah itu penulis melanjutkan studi melalui jalur SNMPTN Undangan di Institut Pertanian Bogor, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Pada saat masa studi penulis mengikuti berbagai kegiatan di luar perkuliahan. Beberapa kegiatan yang diikuti oleh penulis antara lain IPB Political School sebagai Ketua Divisi Kaderisasi, Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM-KM IPB) sebagai Bendahara Kementerian Kebijakan Nasional pada periode 2014 dan Koordinator IPB Social Politic Center pada periode 2015, anggota Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM-SI), anggota Forum Perempuan IPB, anggota perguruan silat Tapak Suci IPB, Panitia Reuni Perak IPB 27 sebagai tim acara, Fema Writting Club sebagai anggota, Fema Leadership School sebagai anggota, OMDA Pati, Ksatria Badan Narkotika Nasional IPB pada tim kajian dan strategi, dan beberapa kegiatan lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.