TB
BERITA KOMUNITAS PEDULI
Edisi XV, Desember 2015
Media Komunikasi Community TB Care ‘Aisyiyah
“MENGUPAYAKAN KEMANDIRIAN MASYARAKAT DALAM MENANGGULANGI TB”
Program TB Kabupaten Muna:
Dari Rumah Singgah Hingga Pengobatan Gratis TB Care ‘Aisyiyah
Bermitra dengan Dinkes Kota Tangsel
Berantas TB-HIV
Mari Dukung
Kolaborasi Berantas
TB-HIV!
02
DARI REDAKSI
Edisi XV, Desember 2015
AUTHORIZED PRINCIPAL RECIPIENT TB ‘AISYIYAH
DRA NOOR ROCHMAH PRATIKNYA
SUSUNAN REDAKSI Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
PENASIHAT Dra. St Noordjanah Djohanini, MM, MSi Prof. DR. Chamamah Soeratno, Msc Dr. Aikah M. Zaki, MARS
DEWAN REDAKSI Dra. Noor Rochmah Praiknya Dr. Samhari Baswedan, MPA
PENANGGUNG JAWAB ACSM PR TB ‘Aisyiyah
PELAKSANA Tim Teknis ACSM PR TB ‘Aisyiyah
KONTRIBUTOR TULISAN DAN FOTO SR Community TB Care ‘Aisyiyah
Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena hanya atas rahmat dan hidayah-Nya, akivitas kita bisa berjalan dengan lancar dan penuh keberkahan. Bertepatan dengan tanggal 1 Desember 2015, masyarakat global kembali memperingai Hari AIDS sedunia. Bagi Aisyiyah, momentum ini cukup pening. Sebagai organisasi perempuan persyarikatan Muhammadiyah yang telah lama berkiprah di dunia kemasyarakatan, sosial, dan kesehatan, peringatan ini semesinya bukan sekadar mengulang ruinitas, tapi perlu dimaknai lebih kongkrit. Pertama, karena telah terjadi ko-infeksi TB-HIV, yang menjadikan penyakit menular TB semakin sulit ditangani. Ini menjadi tantangan yang harus diselesaikan secara bersama-sama, antar instansi, lembaga, pemerintah dan swasta. Tepat kiranya bila dalam edisi ini mengangkat kolaborasi TB-HIV, sebagai iik tolak untuk bersama bahumembahu mengatasi penyebaran dan mengobai mereka yang telah terinfeksi TB-HIV.
Kedua, persoalan penanganan HIV/AIDS saat ini perlu bertolak dari pemahaman yang lebih segar dan utuh atas tafsir Surat Al-Ma’un yang menjadi dasar praksis dari sudut pandangan hukum ikih. Sebagaimana yang ditulis Bapak Dr. Hamim Ilyas Majelis Tarjih Muhammadiyah, para penyandang penyakit AIDS/HIV bisa dikategorikan sebagai orang yang yaim. Karena subtansi keyaiman itu adalah “kesendirian”, mereka yang dikucilkan masyarakat dengan alasan tertentu, sehingga berhak mendapatkan pengkhidmatan karena alasan sosial dan kesehatan. Ini bukan berari membenarkan perilaku atau pekerjaan yang mereka lakukan, tapi untuk memberdayaan dan membantu mereka bisa terentas dari keadaan yang mereka alami. Selain itu, di awal tahun 2016, ‘Aisyiyah akan kembali menjadi PR Global Fund untuk round new funding mechanism dimana periode ini ‘Aisyiyah akan menjadi koordinator bagi seluruh organisasi maysrakat yang bergerak di bidang TB. Selain itu, ‘Aisyiyah juga akan bekerja sama dengan organisasi masyarakat yang bergerak di bidang HIV-AIDS untuk penguatan sistem komunitas dan menghilangkan hambatan hukum bagi pasien TB-HIV. Di sinilah peningnya ‘Aisyiyah berikut kader-kader yang berada di lapangan untuk terus menyamakan persepsi terkait HIV dan info-info terkait TB-HIV agar upaya penanggulangannya bisa berjalan sesuai harapan. Akhirnya saya ucapkan SELAMAT MEMPERINGATI HARI AIDS SEDUNIA. Wassalamualikum Warahmatullahi Wabarakatuh Dra Noor Rochmah Praiknya Authorized Principal Recipient TB ‘Aisyiyah
ILUSTRASI / KARIKATUR Suherman
DARI REDAKSI
TATA LETAK Niken Praiwi
PENGADAAN PSM PR TB ‘Aisyiyah
ALAMAT REDAKSI Jalan Dukuh Patra No.25 Menteng Dalam, Tebet Jakarta Selatan. Kode Pos 12870 Tlp/Fax (021) 8296478 Website: www.pr-tbaisyiyah.or.id; htp://www.tbcareaisyiyah.org @InfoTB_Aisyiyah infotb Aisyiyah
Sesuai dengan semangat peringatan Hari AIDS sedunia, edisi kali ini mengangkat tema bagaimana ‘Aisyiyah turut akif dan mendorong kolaborasi antar instansi, pemerintah, LSM, dan swasta agar bisa duduk bersama, bekerja sama untuk bisa menanggulangi penyebaran koinfeksi TB-HIV di Indonesia. Bagaimana model kolaborasinya dan penanganan yang diharapkan dituangkan dalam Laput (halaman 4-5). Di halaman 6, diulas lebih dalam terkait data-data terkini koinfeksi TB-HIV. Kenapa dalam skala global penanggulangan HIV lebih progresif dibanding TB, kuncinya ada pada pendanaan HIV yang masif. Karena itu, perlu mendorong semua pihak yang terkait, agar bisa menggelontarkan dana yang lebih memadai agar terjadi percepatan penanggulangan TB dalam skala global.
Pengembangan program ‘Aisyiyah, khususnya penanggulangan TB di Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara dibeberkan di halaman 7. Bagaimana mereka merancang beragam program dari pendirian rumah singgah hingga berbagai layanan kesehatan seperi pengobatan massal grais. Kisah kader berprestasi kali ini diwakili oleh kader Supi Ayumi, Kader dari Jombang (halaman 8). Sedang kisah pasien TB dicuplik dari Lampung, bagaimana seorang remaja yang batuk selama lima tahun, sembuh setelah menjalani pengobatan TB enam bulan (halaman 9). Di halaman 10, pembaca bisa menyimak bagaimana sepak terjang TB Care ‘Aisyiyah bermitra dengan Dinkes Tangsel memberantas TB-HIV, sedang di halaman 11 pembaca bisa menelisik bagaimana program jimpitan dikembangkan KMP TB Kemayoran. Akhirnya, selamat membaca. Terus berkarya dan sukses.
SIDOBINANGUN
ARTIKEL
03
Edisi XV, Desember 2015
htp://pacitannews.net
Fikih Al-Ma’un Penderita TB-HIV Ibarat Anak Yatim S
ebagai agama Rahmatan lil ‘Alamin, Islam mengajarkan kepedulian terhadap nasib manusia, termasuk mereka yang rentan dan para penderita TB-HIV. Kepedulian itu terungkap dalam banyak ayat al-Qur’an dan hadis Nabi, terutama dalam surat al-Ma’un. Surat al-Ma’un secara praksis telah menjadi inspirasi untuk mengembangkan kepedulian melalui gerakan pelayanan dan empai khususnya buat mereka yang terpinggirkan baik secara sosial, pendidikan dan kesehatan.
PERLUASAN MAKNA YATIM Meskipun surat al-Ma’un lebih sering dikaitkan dengan penanganan anak yaim dan fakir-miskin, bukan berari aplikasi ikihnya hanya berheni sampai di sini. Bila dilakukan kajian lebih dalam, maka anak yaim yang disebut dalam surat tersebut bisa diperluas maknanya. Dalam ayat kedua surat al-Ma’un disebutkan kata yadu‘u, yang biasa diterjemahkan menghardik. Dalam bahasa Arab, kata ini berari menolak dengan keras. Dalam penolakan keras itu ada sikap kasar dan kejam, sehingga dalam beberapa kitab tafsir kata itu disejajarkan dengan perlakuan dengan kejam tanpa belas kasihan. Kemudian pengerian yaim yang umum diketahui adalah anak yang sebelum mencapai usia baligh atau dewasa, ayahnya telah meninggal dunia. Namun pengerian yang sebenarnya idak hanya itu. Dalam bahasa Arab, yaim berari orang yang sendirian (munfarid). Kemudian dalam penggunaannya sebagai isilah teknis (dalam ikih) ia diberi pengerian sebagai anak yang sebelum baligh hidup sendirian, terputus hubungan dari atau kehilangan ayahnya yang memberinya nakah. Ungkapan yadu’ul yaim (menghardik yaim) idak sekedar menunjuk sikap kasar kepada anak yaim, tapi menunjuk makna yang jauh lebih dalam, yakni menghina dan meremehkan orang lemah yang idak memiliki pelindung. Anak yaim merupakan representasi nyata dari manusia yang lemah dan memiliki kebutuhan yang idak dapat dipenuhinya sendiri. Pada zaman Nabi SAW, di samping ada penyakit, kejahatan dan laki-laki yang idak bertanggung jawab, juga banyak perang antar suku dan negara dan banyak pengembaraan. Mengingat ini maka bisa dipasikan bahwa pada masa itu banyak anak yang menjadi yaim idak hanya karena orang tuanya meninggal lantaran sakit, menjadi korban kejahatan atau gugur di medan perang, tetapi juga lantaran ayah mereka merupakan pria yang idak bertanggung jawab atau pergi mengembara dan idak kembali lagi ke rumah. YATIM SOSIAL Oleh karena itu pengerian yaim di zaman Nabi SAW tentunya idak terbatas pada pengerian pertama yang umum diketahui itu. Selain itu dalam khazanah kearifan Arab terdapat perkembangan pengerian yaim yang idak dihubungkan dengan pemenuhan kebutuhan ekonomi, tapi dihubungkan dengan ilmu dan moralitas. Kearifan itu menyatakan: “Orang yaim itu bukanlah orang yang ayahnya telah meninggal, tetapi orang yang idak memiliki ilmu dan budi pekeri.” Berdasarkan pemahaman makna dalam pembahasan sebelumnya, maka yaim yang seharusnya mendapatkan pelayanan bukan hanya anak yang terlantar secara ekonomi, tapi juga anak yang terlantar pendidikan, pemeliharaan kesehatan dan pembinaan akhlaknya. Mereka itu dapat melipui anak-anak yang orang tua atau keluarga mereka, karena kemiskinan dan sebab-sebab yang lain, idak dapat melaksanakan tanggung jawabnya sebagai pengasuh, seperi anakanak TKI/TKW, anak-anak jalanan dan anak-anak yang menjadi korban traicking (perdagangan manusia), narkoba, salah pergaulan dan korban teknologi komunikasi. Dengan memperhaikan substansi keyaiman itu adalah “kesendirian”,
maka orang-orang yang dikucilkan masyarakat dengan alasan tertentu, seperi penyakit dan orientasi seksual, juga dapat dikelompokkan sebagai yaim. Mereka itu adalah ODHA (orang dengan HIV/AIDS), penderita lepra dan lain-lain. Termasuk disini, penderita TB-HIV bisa dimasukkan sebagai yaim, yaitu yaim yang berhak mendapatkan pengkhidmatan karena alasan sosial. BANTUAN KESEHATAN Dalam ayat selanjutnya disebutkan kata yahudhu yang berari mendorong dan menganjurkan. Di sini idak sekedar mukmin yang membenarkan agama, menghimbau orang lain untuk menyantuni orang miskin setelah ia sendiri melakukan penyantunan kepadanya, melainkan juga keika ia idak dapat memberi bantuan materi karena keadaannya, ia akif meminta orang lain untuk memberikan santunan. Bantuan yang diberikan bisa berupa tha’am yang berari makanan yang menjadi kebutuhan primer yang harus dipenuhi supaya orang dapat hidup layak. Kebutuhan primer ini di zaman agraris dulu melipui pangan, sandang dan papan. Keadaan zaman mempengaruhi ikih yang pada umumnya merumuskan kewajiban nakah kepada keluarga melipui iga hal itu, yang dalam bahasa Arab disebut iṭ’âm, kiswah dan iskân. Pada zaman industri sekarang ini, untuk dapat hidup layak orang harus memiliki pengetahuan, keterampilan dan kemampuan bersaing. Untuk itu dibutuhkan pendidikan dan kesehatan, sehingga berkhidmat kepada yang yaim dan miskin pada zaman sekarang ini idak cukup hanya dengan memberikan pangan, sandang dan papan (feeding) saja, tapi juga kebutuhan lain yang dapat membuatnya bertahan hidup, sehingga pelayanan itu juga melipui pendidikan (schooling) dan kesehatan (healing). PSK Dalam surat al-Ma’un mereka yang lemah secara ekonomi disebut dengan ungkapan fakir dan miskin. Fakir adalah orang yang patah tulang punggungnya, dalam ari bahwa beban yang dipikulnya sedemikian berat sehingga “mematahkan” tulang punggungnya. Sementara miskin orang yang keadaannya lebih buruk daripada fakir. Batasan bahwa orang miskin itu keadaannya lebih parah daripada orang fakir berhubungan dengan pekerjaan. Orang fakir itu adalah orang yang memiliki pekerjaan, namun meskipun telah bekerja keras sampai tulang belakangnya melengkung (Jawa: deyek-deyek), dia tetap mengalami kekurangan sehingga masih membutuhkan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Apabila demikian maka miskin itu adalah orang yang idak memiliki pekerjaan sehing ga idak hanya mengalami kekurangan, tapi idak memiliki apapun untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Orang idak memiliki pekerjaan karena banyak faktor, di antaranya adalah iadanya lapangan kerja, cacat badan dan diskriminasi. Berhubungan dengan ini ada pekerjaan yang secara agama idak halal, seperi pelacuran dan agen perjudian, tetapi kalau idak melakukannya, orang menjadi idak memiliki pekerjaan. Berdasarkan ini maka orang yang seharusnya mendapatkan pelayanan karena kemiskinannya sudah barang tentu adalah orang miskin yang sudah biasa diketahui (fakir). Selain mereka adalah kaum pengangguran dan penyandang cacat, juga agen perjudian dan pekerja seks komersial (PSK) dan waria. Berkaitan dengan iga yang terakhir ini perlu ditegaskan bahwa berkhidmat kepada mereka idak berari membenarkan pekerjaan dan perilaku yang mereka kerjaan, tapi untuk memberdayaan mereka bisa terentas dari keadaan yang mereka alami. Hal ini sesuai dengan kenyataan Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah yang memiliki peran sosial dan kultural dalam penegakan hukum, bukan negara yang memiliki peran struktural memaksakan berlakunya hukum. (Disarikan dari tulisan Dr. Hamim Ilyas: Fikih Al-Ma’un: Pandangan Tarjih Terhadap Penanganan HIV/AIDS).
04
LAPORAN UTAMA
htp://www.rodamemn.wordpress.com
Edisi XV, Desember 2015
MARI DUKUNG KOLABORASI BERANTAS TB-HIV! barat bayi, mereka yang terjangkit penyakit HIV, sangat rentan terhadap ancaman penyakit. Tidak terkecuali tertular penyakit TB. Menurut WHO (2015), orang yang posiif HIV memiliki peluang tertular TB jauh di atas rata-rata orang normal. Diperkirakan kemungkinannya 26-31 kali lebih besar. Sungguh sangat memprihainkan dan merisaukan. Apalagi terungkap bahwa TB ternyata menjadi sebab kemaian utama penderita HIV. Data terbaru yang diliris WHO Global Report 2015 mengungkapkan, selama tahun 2014, mereka yang meninggal karena TB mencapai 1,1 juta jiwa, sedang yang meninggal disebabkan HIV/AIDS mencapai 800 ribu jiwa. Sementara yang meninggal karena koinfeksi TB-HIV mencapai 400 jiwa. Pengobatan terus diingkatkan untuk mereka yang terkena koinfeksi TB-HIV. Dari laporan data yang sama disebutkan, 77 persen pasien koinfeksi TB-HIV mendapat obat aniretroviral pada tahun 2014. Jumlah mereka yang hidup dengan kondisi HIV dan diberikan pencegahan TB diperkirakan mencapai 1 juta jiwa pada tahun 2014, peningkatan hingga 60 persen disbanding tahun sebelumnya. Dilaporkan hampir 60 persen penderita koinfeksi ini berasal dari Afrika Selatan.
I
ANCAMAN HIV Pada tahun 2012, jumlah total penderita TB diperkirakan mencapai 8,6 juta orang. Dari jumlah itu, kira-kira 1,1 juta atau sekitar 13 persen juga terkena HIV. Dari laporan WHO terungkap, Sub Sahara Afrika, menjadi kantong utama merebaknya epidemik dua penyakit memaikan ini. Dari total beban penyakit ini secara global, 78 persennya disumbang dari wilayah Sub Sahara ini. Sekadar sebagai gambaran, perkembangan HIV dan AIDS di seluruh dunia pada tahun 2013 dilaporkan sudah menyerang
hingga 35 juta orang. Dari jumlah itu, 16 juta orang perempuan dan 3,2 juta anak di bawah 15 tahun. Karena penyakit ini, diperkirakan merenggut hingga 1,5 juta jiwa: 1,3 juta orang dewasa dan 190 ribu anak-anak. Di Indonesia, kasus HIV/AIDS pertama kali ditemukan di Bali tahun 1987. Saat ini, telah terjadi penyebaran yang cepat hingga menjangkau 386 kabupaten/kota di seluruh provinsi. Dari data yang dirilis Ditjen PP&PL Kemenkes RI, disebutkan secara komulaif, sejak tahun 1987 hingga September 2014 ditemukan 150 ribu orang lebih terjangkit HIV. Sementara mereka yang mengidap AIDS jumlahnya mencapai hampir 56 ribu orang. IBU RUMAH TANGGA RENTAN HIV/AIDS Yang menarik untuk ditelaah dari laporan itu adalah penderita HIV berdasarkan jenis kelamin. Sejak tahun 1987 sampai 2014, kelompok laki-laki mendominasi (54%) sementara wanita hanya separuhnya (29%). Namun yang membuat miris adalah, penderitanya kebanyakan bukan dari kalangan yang berprofesi sebagai penjaja seks, tapi malah dari kalangan ibu rumah tangga! Tercatat sebanyak 6.359 ibu rumah tangga terkena AIDS, bandingkan pekerja seks komersial hanya 2.052. Ini mengantarkan kepada tanda tanya besar, kalau penderita utamanya didominasi laki-laki, sementara dari profesi ibu rumah tangga di peringkat teratas, mengindikasikan mereka ini boleh jadi tertular dari pasangannya. Pola penularan ini terlihat dari banyaknya infeksi HIV dominan terjadi pada kelompok hetereoseksual (10.825) yang diikui dengan kelompok lain-lain (6.903), pengguna napza sunik (2.461), dan kelompok lelaki berhubungan seks dengan lelaki atau LSL (1.514). Kenapa ibu rumah tangga lebih rentan terkena AIDS
LAPORAN UTAMA
05
Edisi XV, Desember 2015
dari PSK? “Jumlah AIDS teringgi adalah pada ibu rumah tangga. Faktor risiko penularan terbanyak melalui heteroseksual yaitu 61,5 persen, diikui penularan melalui perinatal (kelahiran) 2,7 persen,” ujar Kepala Balitbangkes Kemenkes, Tjandra Yoga Aditama melalui siaran pers yang dikuip dari Tribun News Jabar (30/11/2014). Kenapa para PSK lebih sedikit tertular HIV/AIDS daripada ibu rumah tangga? Diduga para wanita PSK lebih menyadari akan bahaya tertular virus HIV. Mereka pun melakukan pencegahan dengan menggunakan kondom saat berhubungan seks. Sementara ibu rumah tangga merasa idak punya resiko HIV, namun tanpa diduga tertular dari pasangannya. KOLABORASI DI INDIA Melihat prospek pemberantasan TB-HIV yang belum mengalami percepatan pengurangan, para pemangku kebijakan mulai berkonsentrasi untuk meningkatkan konsentrasi pencegahan dan pemberantasan TB. Salah satunya adalah dengan melakukan kolaborasi. Banyak negara yang sudah menerapkan kolaborasi ini. Salah satunya adalah India. Kerjasama memberantas TB-HIV (kolaborasi) di India dimulai sejak 2001. Dipusatkan di tujuh wilayah yang memiliki prevalensi HIV yang inggi. Kolaborasi itu dimulai dengan pelaihan bersama (joint training) program TB dan HIV untuk staf dan pasien lintas rujukan (cross-referral paients). Dengan melakukan intensiikasi penemuan kasus saat test HIV dan konseling, maupun penemuan pasien TB yang terkena HIV. Akivitas ini kemudian diperluas di delapan wilayah 2004, dan kemudian menjadi gerakan nasional pada tahun 2008. Mereka menggunakan dua metode yang saling mengisi. Pertama, alih-alih memusat, mereka menggunakan jalur distribusi yang terdesentralisasi untuk terapi pencegahan bagi semua pasien HIV yang posiif TB. Kedua, menyediakan test permulaan dan konseling bagi semua pasien TB khususnya di wilayah yang inggi prevalensi HIV. TAMBAHAN DANA Lepas dari bentuk kolaborasi ini, efekiitas pemberantasan TB-HIV menurut Dr Eric Goosby, utusan PBB untuk masalah TB, perlu tambahan pendanaan pencegahan TB. “Jika kita menghendaki mengeliminasi TB [pada tahun 2030], kita perlu investasi lebih besar yang bisa memberikan manfaat di ingkat global.” Investasi yang besar ini, idak bisa dilepaskan dari bagaimana dunia mengupayakan pendanaan yang seimbang untuk pemberantasan HIV dan TB. Sebagaimana diketahui, pada tahun 2014 HIV menerima gelontoran dana hingga 11 miliar dolar
atau kira-kira lebih dari delapan kali dana yang dikucurkan untuk pemberantasan TB yang besarnya hanya 1,4 miliar dolar. Tentu diharapkan kedepannya, dana TB juga diingkatkan. Di samping itu, lanjut Eric, perlu peningkatan isu kesehatan dan pencegahannya yang diimbangi dengan pengurangan angka kemiskinan. Mereka yang sangat rentan daerahnya karena TB, semesinya mendapatkan perhaian lebih dunia. MODEL KOLABORASI TB-HIV INDONESIA Kolaborasi TB-HIV mencakup beberapa komponen kegiatan yang perlu dilakukan di semua ingkat manajemen maupun pelayanan kesehatan. Tujuan khususnya, seperi yang telah dirumuskan Ditjen PP & PL, Kemenkes dalam Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia, ada iga hal. Pertama membentuk mekanisme kolaborasi antara program TB dan HIV/ AIDS. Kedua, menurunkan beban TB pada ODHA. Dan Keiga, menurunkan beban HIV pada pasien TB. Adapun pelaksanaannya sesuai dengan kebijakan nasional sebagai berikut:
A. MEKANISME KOLABORASI A.1 Membentuk kelompok kerja (POKJA) TB-HIV di semua lini A.2 Melaksanakan surveilans HIV pada pasien TB A.3 Melaksanakan perencanaan bersama TB-HIV A.4 Melaksanakan monitoring dan evaluasi
B. MENURUNKAN BEBAN TB PADA ODHA B.1 Mengintensikan penemuan kasus TB dan pengobatannya B.2 Menjamin pengendalian infeksi TB pada layanan kesehatan dan tempat khusus (Lapas/Rutan, pani rehabilitasi Narkoika Psikotropika dan Zat Adikif lainnya/NAPZA, tempat kerja)
C. MENURUNKAN BEBAN HIV PADA PASIEN TB C.1 Menyediakan konseling dan tes HIV C.2 Pencegahan HIV dan Infeksi Menular Seksual (IMS) C.3 Pengobatan prevenif dengan kotrimoksasol (PPK) dan infeksi oportunisik (IO) lainnya C.4 Perawatan, dukungan dan pengobatan HIV
06
FAKTA TB-HIV
Edisi XV, Desember 2015
KENAPA PEMBERANTASAN HIV LEBIH SUKSES DARI TB?
erdasarkan rilis dari WHO Global Report 2015, jumlah penderita yang terinfeksi HIV global turun 40 persen antara periode 20002013. Sementara penderita TB selama periode 2000-2014 hanya separuhnya, kira-kira 18 persen atau pertahunnya turun 1,5 persen. Dengan kecepatan pengurangan 1,5 persen per tahun ini, diperkirakan pemberantasan TB baru benar-benar berhasil memerlukan 200 tahun lagi.
B
PENDANAAN PENUH Kenapa pemberantasan HIV lebih sukses? Masih menurut laporan itu, salah satu indikasinya karena penurunan infeksi HIV global didukung pendanaan penuh. Pada tahun 2014 HIV menerima gelontoran dana hingga 11 miliar dolar atau kira-kira lebih dari delapan kali dana yang dikucurkan untuk pemberantasan TB yang besarnya hanya 1,4 miliar dolar. Namun data-data miris berikut mungkin akan mengubah lanskap para pemangku kebijakan dalam memberikan prioritas terhadap pemberantasan TB. • Mereka yang meninggal karena TB mencapai 1,1 juta jiwa, • Sedang yang meninggal disebabkan HIV/AIDS mencapai 800 ribu jiwa.
HIV/AIDS 800.000
Co - Infection 400.000
Tuberculosis 1.1 Milion
• • • • • •
Sementara yang meninggal karena koinfeksi TB-HIV mencapai 400 jiwa. Laporan itu juga menyebutkan, selama tahun 2014 tercatat 9,6 juta jiwa terkena TB. Jumlah ini berari bertambah 600 ribu jiwa yang menyandang TB tahun sebelumnya. Yang menarik patut dicatat adalah fakta-fakta berikut: Dua dari lima orang terkena TB belum mendapatkan pengobatan yang mereka perlukan 3,6 juta kasus TB idak dilaporkan. Diperkirakan ¾ penderita TB MDR juga idak terdiagnosa atau idak dilaporkan
DORONG PENDANAAN TB Pemberantasan TB idak akan maksimal, kalau pendanaan untuk memerangi penyebarannya minim. Menurut laporan WHO program pemberantasan TB masih belum menarik pendanaan yang cukup, antara lain: • Program pemberantasan TB global menghadapi kekurangan dana sekitar 2 miliar dolar per tahun • Riset dan pengembangan untuk sektor ini masih mengalami kekurangan dana sekitar 1,3 miliar dolar per tahun. • Beberapa Negara yang menjadi kantong-kantong penyumbang TB perlu pendanaan eksternal yang lebih besar • Ini adalah waktu yang menentukan bagi negara-negara donor untuk memberikan dukungan dana bila mereka menghendaki TB bisa dienyahkan dalam waktu yang lebih ambisius, 20 tahun dari sekarang. • Bila idak, maka seperi yang disinggung di muka, akan masih perlu waktu 10 kali lebih lama atau sekitar 200 tahun membenamkan TB.
PENGEMBANGAN PROGRAM ‘AISYIYAH
07
Edisi XV, Desember 2015
Program TB Kabupaten Muna:
Dari Rumah Singgah Hingga Pengobatan Gratis atu programnya, banyak kegiatannya. Ungkapan itu mungkin pas untuk menggambarkan program pemberantasan TB di Kabupaten Muna. Meskipun awalnya hanya berstatus menjadi Implemening Unit (IU) atau pelaksana saja, tak mengurangi kader-kader militan ‘Aisyiyah di sini untuk memaksimalkan peran dalam pemberantasan TB. Bukinya, beragam kegiatan di lapangan berhasil dikembangkan. Kegiatan dimaksud antara lain bedah rumah pasien, suplemen atau makanan tambahan untuk pasien, rumah singgah, dan layanan pengobatan grais. Hebatnya, kegiatan-kegiatan ini idak selalu mengandalkan pendanaan dari pusat. Namun, mereka juga berhasil menggali pendanaan dari swadaya masyarakat sendiri, dalam bentuk pengumpulan dana sukarela serta sumbangan dari para simpaisan program TB ‘Aisyiyah. Dana yang terkumpul lalu dipakai untuk membiayai kegiatan-kegiatan pendukung program TB. Kegiatan bedah rumah dilakukan dengan tujuan membantu pasien yang kurang mampu. Bila idak dibantu, maka mereka akan terus menghuni rumah yang idak layak ditempai. Sedang program makanan tambahan digalakkan dengan perimbangan pasien yang kurang mampu juga sulit memenuhi asupan gizi sehari-hari. Kesembuhan mereka bukan semata-mata bergantung kepada obat saja, namun yang juga idak kalah pening dalam proses penyembuhan itu juga harus didukung makanan sehat dan berprotein. Umumnya, telur dan susu dipilih sebagai standar makanan tambahan untuk pasien yang kurang mampu. Sementara mendirikan rumah singgah juga sudah terealisasikan. Keberadaan rumah singgah ini pening karena jarak rumah pasien dengan rumah sakit cukup jauh. Dengan didirikannya rumah singgah ini, yang jaraknya kurang lebih hanya 100 meter dari Rumah Sakit Kabupaten Muna, akan sangat membantu pasien dan keluarganya berteduh sementara. Hebatnya lagi, rumah singgah idak harus mengeluarkan kocek, tapi cukup dengan menyulap dan memanfaatkan rumah salah satu kader ‘Aisyiyah yang kepeduliannya sangat inggi. Tidak hanya sampai di situ, pengobatan grais bagi pasien ekstra paru juga diberikan. Tentunya, dengan memprioritaskan pasien yang kurang mampu, yang mempunyai komitmen penyembuhan dengan
S
mengonsumsi obat idak terputus. Layanan kesehatan ini diharapkan akan semakin mendukung pasien dan keluarganya dan menyadarkan masyarakat agar lebih peduli kepada pemberantasan TB dan makin mendukung kegiatan ‘Aisyiyah. Atas usaha yang idak kenal lelah dari kader ‘Aisyiyah Muna dan SSR ‘Aisyiyah TB Kabupaten Muna ini akhirnya Pemerintah setempat memberikan apresiasi, bantuan untuk merehab klinik Binter Raha melalui dana APBD. Bantuan ini sebagai tanda terimakasih atas capaian prestasi mereka yang telah melebihi target dalam pemberantasan TB. Sampai 15 Agustus 2015, suspek yang ditemukan mencapai 18.869, CNR 2.590 orang, 1.656 orang sembuh, dan HIV 44 orang. AWAL MULA Kegiatan TB Care dilaksanakan Pengurus Wilayah ‘Aisyiyah (PWA) Sulawesi Tenggara (Sultra) enam tahun silam, tepatnya pada tanggal 4 Desember 2009. PWA Sultra memayungi 10 Pengurus Daerah ‘Aisyiyah (PDA), 72 Pengurus Cabang ‘Aisyiyah (PCA), dan 24 Raning. Program diluncurkan di dua daerah yang diduga memiliki beban TB yang besar yaitu di Kabupaten Muna dan Kabupaten Konawe masing-masing dengan status Sub Sub Recipient (SSR). Di tahun 2011 terdapat kebijakan yang mengharuskan hanya boleh terdapat satu Sub Recipient (SR) dan satu SSR dalam satu provinsi. Karena itu, salah satu dari penerima status SSR harus diubah. Diputuskan Kabupaten Konawe menjadi SSR, sedang Kabupaten Muna sebagai IU. Kabupaten Muna terletak di Pulau Muna dengan luas kurang lebih 488 ribu hektar dan populasi penduduk 300 ribu jiwa lebih ini. Mereka memiliki 12 PCA serta 2 PRA. Dalam perkembangannya dengan adanya program TB, jumlah PCA bertambah dari sebelumnya 12 PCA menjadi 33 PCA dan 2 PRA menjadi 12 PRA. Status sebagai IU kemudian diubah lagi menjadi SSR. Dengan semua potensi ini diharapkan kedepannya semangat dan prestasi yang dimiliki kader bisa dipertahankan atau lebih baik lagi dalam menghadapi tantangan yang lebih besar.
08
KISAH KADER TB KOMUNITAS
Edisi XV, Desember 2015
“Saya Miris
Sekeluarga Meninggal
Karena TB”
enjadi kader TB Care memang bukan impian Supi Ayumi S.Sos, 41 tahun. Namun begitu ibu empat anak dari Alif (19), Dinul (17), Naila (10), dan Arif (4) ini bersedia menjadi kader TB, ia menjalaninya idak setengahsetengah alias sekadar pekerjaan sampingan. Itu terlihat dari tekad dan semangatnya yang inggi untuk membantu meringankan beban para penderita TB. “Saya benar benar terpanggil untuk menjadi kader TB Care ‘Aisyiyah ini,” tutur Ayumi yang pernah menii jenjang pendidikan di IKAHA Tebuireng, Jombang. Meski baru dua tahun bergabung menjadi kader TB Care ‘Aisyiyah Jombang di wilayah Kecamatan Gudo, istri dari Subiakto (51) ini sudah menemukan banyak penderita TB. “Wah, sudah idak terhitung lagi, apalagi suspeknya, lebih banyak lagi”, tegas perempuan yang akif di PCA Gudo, Jombang ini. Misi perjuangan melalui kader TB Care, ungkap Ayumi yang pernah menyabet juara pertama Lomba Cerdas Cermat antar SSR se Jaim, diawali sejak melihat tetangganya yang meninggal karena sakit TB. “Saya miris setelah melihat sekeluarga yang juga tetangga saya meninggal karena TB, mulai orang tua, anak, sampai cucu,” cerita Ayumi. Dari sini, Ayumi semakin gigih mendampingi penderita TB. “Kedengarannya memang sepele. Tapi kuman TB cepat menyebar ke seluruh tubuh dan memaikan,” tandasnya. Sejak bergabung pada 2013, Ayumi akif memberikan penyuluhan serta memantau kesehatan keluarga penderita TB. Dalam menjalankan tugas, wanita yang terinspirasi dari perjuangan Din Syamsudin dan Yusuf Mansur ini, sangat menghargai perasaan penderita TB. Misalnya, ia mencoba idak pernah memakai masker. Tentu saja ini bisa berbahaya, namun Ayumi merasa yakin tahu trik-trik dan cukup bekal untuk menghindari penularan TB.
M
Berhasil mendampingi pasien TB hingga sembuh menjadi pengalaman yang idak akan pernah ia lupakan. Salah satunya saat mendampingi penderita yang idak mau minum obat. Padahal pasien TB tersebut masih muda, bujangan, ganteng dan berprestasi sebagai pemain sepakbola. Sayang kalau harus kalah dengan penyakit TB yang bisa disembuhkan. Menjadi kader TB Care sangatlah mulia. Karena mereka idak hanya memantau, tapi juga mengajari keluarga penderita TB tentang cara minum obat secara teratur dan perilaku hidup bersih dan sehat. @Soelailah
KISAH PASIEN TB
09
Edisi XV, Desember 2015
BATUK 5 TAHUN SEMBUH DALAM TEMPO 6 BULAN amaku Ari Saputra. Aku inggal di bawah kaki Gunung Betung. Tepatnya di Dusun Sumber Sari, Desa Cipadang, Kecamatan Gedong Tataan, Kabupaten Pesawaran, Lampung. Namanya juga di kaki gunung, rumahku agak jauh dari fasilitas kesehatan. Jika aku mau ke Puskesmas harus melalui jalan berbatu dan kebun karet milik PTPN 7 yang cukup luas. Dengan kondisi ini, maklumlah bila aku jarang mengunjungi Puskesmas, kecuali mendesak. Sejak duduk di bangku SMP kelas dua, aku tersiksa oleh sakit batuk. Aku rasakan bukan batuk biasa. Orangtuaku juga idak inggal diam. Mereka sudah berusaha melakukan pengobatan dari menggunakan jasa bidan hingga dokter di rumah sakit kabupaten. Biasanya, setelah dikasih obat, batuk mereda. Namun setelah obat itu habis, batuk ku kambuh. Semakin hari terasa semakin parah dan menyiksa. Itu aku alami hingga usiaku delapan belas tahun. Total lima tahun sudah aku terbelenggu oleh batuk ini. Orang rumah sudah terbiasa dengan irama batukku. Mereka akhirnya menganggap batuk yang aku derita hanya batuk biasa. Sampai kemudian tanpa disangka ada kader TB Care ‘Aisyiyah dari Kabupaten Pesawaran datang sekitar April 2014. Mereka melakukan penyuluhan terkait TB. Ibuku turut menghadiri penyuluhan itu dan berinisiif menanyakan keadaanku kepada kader. Kader tersebut tertarik untuk melihat kodisiku secara langsung. Keika mengamai saat aku batuk dan ciri-ciri yang kurang lebih sama dengan apa yang disampaikannya dalam penyuluhan, ia spontan menduga aku terkena TB. Karuan kedua orang tuaku pucat, idak percaya. Bagaimana mungkin, dalam keluarga kami idak ada sejarah TB. Masih belum hilang kagetnya, kader tersebut menyarankan agar orangtua membawaku ke Puskesmas, Kecamatan Gedong Tataan. Jaraknya kurang lebih delapan kilometer dari rumah. Dia mengatakan aku perlu periksa dahak untuk mengetahui lebih jelas apa betul
N
terkena TB atau ada penyakit lain. Esok paginya kami berangkat dari rumah menuju Puskesmas. Sampai di sana kami sudah ditunggu oleh Ibu Sulisiawai, Kader TB Care Aisyiyah itu. Sayang, aku idak bisa mengeluarkan dahak walaupun sudah batuk berkali-kali. Aku pun disuruh pulang dengan membawa pot dahak, untuk menampung dahak esok pagi. Ia menyarankan agar aku minum teh sebelum idur. Keika pagi iba akhirnya aku dapat mengeluarkan dahak. Pot sputum oleh ibu langsung dikasihkan kepada Ibu Sulisiawai yang langsung dibawanya ke Puskesmas. Selang beberapa jam, hasil lab keluar. Aku posiif TB! Ibu Sulisiawai kemudian memberikan penjelasan supaya aku minum obat teratur, jangan sampai putus. Pengobatan harus dipantau sampai sembuh. Ia juga menjelaskan efek samping obat dan masa pengobatan selama 6 bulan. Setelah itu, aku diperbolehkan pulang dengan membawa obat untuk satu minggu pertama. Beruntung, ibuku sangat telaten. Tiap kali waktu minum obat, beliau selalu ada di sampingku. Tak pernah jemu-jemu menyemangaiku agar sembuh. Bahkan, itu ia lakukan keika aku pergi ke rumah saudara. Beliau khawair aku telat minum obat dan harus mengulang dari awal. Setelah dua bulan pengobatan badanku sudah mulai terasa enak, dan terlihat berisi. Pengobatan terus aku lakukan hingga enam bulan. Pada bulan Oktober 2014, setelah masa enam bulan lewat, aku melakukan cek dahak ulang. Betapa gembiranya aku, keika hasil tes menyatakan aku sembuh. Aku ucapkan banyak terimakasih kepada Ibu Sulisiawai yang telah membantu aku dari awal pengobatan sampai dengan sembuh. Terimakasih yang tak terhingga kepada ibuku dan ayahku yang idak pernah lelah untuk mengingatkanku minum obat. Alhamdulillah, batukku selama 5 tahun, bisa disembuhkan dalam waktu 6 bulan.
10
ADVOKASI TB ‘AISYIYAH
Edisi XV, Desember 2015
emberantas TB sesekali perlu penyemangat. Kerja sama dengan mitra antar lembaga ibarat darah segar yang kembali menggugah semangat kerja itu. Inilah yang dilakukan oleh SR Community TB Care ‘Aisyiyah Kota Tangerang Selatan (Tangsel) agar idak kalah dengan terus berkembangnya penyakit TB. Beberapa waktu lalu, Community TB Care ‘Aisyiyah Kota Tangsel bermitra dengan Bidang Promosi Kesehatan dan SDK Dinas Kesehatan Kota Tangsel. Agenda kerjasama apalagi kalau bukan sosialisasi dan penyuluhan mengenai PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat) dan Penyakit TB-HIV. Diawali dengan audiensi Pimpinan Daerah ‘Aisyiyah Kota Tangerang Selatan dan Tim SR Community TB Care ‘Aisyiyah Kota Tangerang Selatan ke Pemerintahan Kota Tangerang Selatan pada 11 Februari 2015. Kegiatan ini disambut baik oleh Bapak Nandang Efendi (Staf Ahli Bidang Ekonomi dan Keuangan) dan Ibu drg. Ida Lidia (Staf Ahli Bidang Kemasyarakatan dan Sumberdaya Manusia) Pemkot Tangerang Selatan. Menurut penuturan Ibu Ida, penyakit TB perlu ditangani bersama antara masyarakat, dengan Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. Oleh karena itu, dia merekomendasikan kami melakukan audiensi lebih lanjut dengan Kepala Dinas Kesehatan Kota Tangsel. Pertemuan yang ditunggu itu akhirnya terjadi pada 19 Maret 2015. “Saya menyambut baik kegiatan TB Care ini dalam rangka penanggulangan penyakit TB di Kota Tangerang Selatan,” ungkap Bapak Suharno, M.Kes, Kepala Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. Lebih lanjut lagi beliau juga mengundang PDA Kota Tangerang Selatan untuk ikut serta dalam forum tahunan Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan). Musrenbang adalah forum musyawarah tahunan yang
M
dilaksanakan secara parisipaif oleh para pemangku kepeningan, untuk menyepakai rencana kegiatan tahun anggaran yang berjalan sesuai dengan ingkatannya. Tujuan diadakannya Musrenbang adalah untuk menampung dan menetapkan kegiatan prioritas sesuai kebutuhan masyarakat, yang diperoleh dari musyawarah perencanaan yang sesuai dengan ingkatan di bawahnya. Selain itu juga dimaksudkan untuk menetapkan kegiatan yang dibiayai melalui APBD maupun sumber pendanaan lainnya. Dalam kesempatan Musrenbang, PDA Kota Tangerang Selatan mendapatkan mandat kemitraan dengan Bidang Promosi Kesehatan dan SDK Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. Bentuk kemitraan ini adalah Kegiatan Sosialisasi dan Penyuluhan Mengenai PHBS dan Penyakit TB-HIV dengan fokus lokasi di Kecamatan Setu. Dalam acara Penguatan Kemitraan antara Pemerintah dengan Masyarakat ini, Ibu Iin Soiawai selaku Kepala Bidang Promosi Kesehatan dan SDK Dinas Kesehatan menuturkan bahwa anggaran kegiatan kemitraan dengan PDA Kota Tangsel sudah tercantum di APBD dengan total anggaran sebesar Rp 30.000.000. Walaupun belum tertuang dalam legal dokumen (MoU), kegiatan kemitraan ini sudah berjalan dengan sosialisasi dan penyuluhan sebanyak iga kali. Selain kemitraan melalui sosialiasi dan penyuluhan, Dinas Kesehatan juga mengikutsertakan PDA Kota Tangerang Selatan pada beberapa kegiatan lainnya seperi kegiatan Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Mengenai Kawasan Bebas Rokok di Kota Tangerang Selatan dan Pembinaan Kota Sehat dalam rangka Penilaian Kota Sehat Nasional. Dalam Pembinaan Kota Sehat, indikator TB Paru menjadi point pening yang perlu diperhitungkan. Data TB dari Tim SR sangat signiikan untuk mendukung dalam penilaian Kota Sehat di Kota Tangerang Selatan.
TB Care ‘Aisyiyah
Bermitra dengan Dinkes Kota Tangsel Berantas TB-HIV
KABAR KMP
11
Edisi XV, Desember 2015
KMP TB KEMAYORAN
BANTU PASIEN TB DENGAN PROGRAM JIMPITAN
emberantas penyakit TB perlu parisipasi banyak pihak. Masyarakat sebagai pihak yang paling rentan tertular penyakit ini, semesinya menyadari peningnya keterlibatan mereka secara akif dalam seiap kegiatan yang ditujukan untuk menghilangkan penyakit ini dari lingkungan mereka. Kelompok Masyarakat Peduli Tuberculosis (KMP TB) Kecamatan Kemayoran adalah salah satunya. KMP TB Kemayoran ini dibentuk di Kelurahan Utan Panjang di RW 06 pada tanggal 16 September 2014, dengan difasilitasi oleh Community TB Care Universitas YARSI dengan Surat Keputusan Resmi tertanggal 23 September 2014. Ide pendirian KMP setelah marak ditemukannya banyak kasus TB di Kelurahan Utan Panjang yang jumlah penduduknya sangat padat. Setelah berdiri, KMP TB Kecamatan Kemayoran giat dalam mengkampanyekan upaya penanggulangan penyebaran TB terutama di wilayah Utan Panjang dan Cempaka Baru. Kegiatan dilakukan melalui penyuluhan langsung di tengahtengah masyarakat maupun melalui sebaran brosur dan pamlet. Hasilnya, jumlah temuan kasus TB maupun penderita TB posiif, meningkat. KMP TB Kemayoran mempunyai beberapa program kerja. Antara lain, memberikan penyuluhan kepada masyarakat sekitar hingga ingkat sekolah dan madrasah; mendampingi pasien TB posiif untuk menelan obat serta jadwal untuk pengecekan dahaknya; sosialisasi pada arisan RT maupun RW; mengadakan jimpitan kepada seluruh warga khususnya di RW 06 Kelurahan Utan Panjang. Selanjutnya, hasil jimpitan ini diperuntukkan untuk membantu para pasien TB posiif. Jimpitan ini berupa segelas beras, 2 buir telur atau susu kaleng yang diambil sebulan 2 kali. Berkat keseriusan dan kegigihan para pengurus, serta
M
dibantu oleh kader komunitas dan tokoh agama, KMP TB Kemayoran mengadakan acara kegiatan Hari TB pada tahun ini dengan tema “Ayo Lakukan Sesuatu Untuk Indonesia Bebas TB” dengan beragam kegiatan. Di antaranya, Senam Sehat, pengobatan grais, pemberian telur kepada pasien TB posiif, dan ketuk pintu untuk mensosialisasikan TB sambil mencari kasus temuan baru TB. Berkat dukungan penuh warga sekitar Utan Panjang, TB Care Universitas YARSI, mahasiswa FK Universitas YARSI, PKPU sampai Lazismu Rumah Sakit Islam Jakarta Cempaka Puih, peringatan hari TB berlangsung sangat meriah. KEKUATAN INTI Tidak berlebihan untuk menyebut peran serta dan tekad kuat para kader TB Care Universitas YARSI bersama kepedulian dari tokoh masyarakat, agama dan para penderita TB yang telah sembuh menjadi kekuatan ini pengembangan KMP TB Kemayoran. Para pejabat terkait, khususnya, Camat Kemayoran dan Lurah Utan Panjang juga idak bisa diremehkan jasa dan andilnya dalam kegiatan KMP TB Kecamatan Kemayoran. Dukungan juga mengalir dari Suku Dinas Kesehatan Jakarta Pusat, khususnya pada Wasor serta Seksi pengendalian penyakit dengan memperioritaskan kegiatan yang mendukung program TB. Terbentuknya KMP TB juga terbantu dengan peran Puskesmas setempat, khususnya dalam pemeriksaan dan pengobatan TB dengan melakukan kunjungan kontak satu rumah. Meski demikian, bukan berari semuanya mulus tanpa kendala. Anggaran yang terbatas dan minimnya sumberdaya manusia, menjadi hambatan cukup serius. Inilah yang harus dihadapi bahu membahu oleh semua pengurus KMP TB Kemayoran, para kader, tokoh masyarakat dan tokoh agama dalam memerangi TB.
Community Community
TB-HIV Care Care ‘Aisyiyah TB-HIV