STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA DESA SEKITAR HUTAN Studi Kasus Desa Peserta PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) di Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat
AGUSTINA MULTI PURNOMO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis Strategi Nafkah Rumahtangga Desa Sekitar Hutan (Studi Kasus Desa Peserta PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) di Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat) adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Februari 2006
Agustina Multi Purnomo A152020091
ABSTRAK AGUSTINA MULTI PURNOMO. 2006. Strategi Nafkah Rumahtangga Desa Sekitar Hutan (Studi Kasus Desa Peserta PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) di Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat). Dibimbing oleh ARYA HADI DHARMAWAN dan IVANOVICH AGUSTA. Strategi nafkah rumah tangga penduduk desa peserta PHBM merupakan tema penelitian ini. PHBM dirancang sebagai sistem nafkah bagi desa-desa peserta PHBM. Analisis strategi nafkah dapat memberi gambaran tentang tindakan-tindakan yang dilakukan rumahtangga dalam kehidupan sehari-hari sebagai hasil cerminan dari pilihan-pilihan yang dilakukan rumahtangga. Tindakan masyarakat sehari-hari merupakan gambaran rasionalitas rumahtangga yang melandasi pilihan strategi nafkah rumahtangga. Studi sebe lum penelitian menunjukkan pola nafkah petani yang berbeda dengan pola nafkah yang dirancang dalam PHBM. Ini merupakan suatu bukti bahwa MDH memiliki rasionalitas tindakan sendiri yang dibangun dari rasionalitas nafkah rumahtangga dan pengaruh kondisi alam, nilai dan kelembagaan sosial serta perubahan yang disebabkan oleh proses dalam masyarakat dan interaksi dengan komunitas di luar desa. Bagaimana dan mengapa rasionalitas masyarakat lokal yang mempengaruhi pembentukan strategi nafkah petani merupakan pertanyaan yang mendasari penelitian ini. Penelitian ini juga hendak menjawab pertanyaan “mengapa, bagaimana, dan sejauh mana strategi nafkah dijala nkan oleh rumahtangga di Desa Padabeunghar?”. Penelitian ini fokus pada pengamatan pada struktur nafkah yang diadopsi oleh beberapa rumahtangga petani yang tinggal di sekitar kawasan hutan. Delapan rumahtangga kasus dipilih untuk dianalisis dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Delapan rumahtangga kasus dipilih berdasarkan tipe strategi nafkah yang dilakukan rumahtangga dan melengkapi pemahaman tentang strategi nafkah rumahtangga desa peserta PHBM. Tiga tipe sumber nafkah didentifikasi, yaitu: modal sosial, modal alami, dan peluang pekerjaan. Kelima modal ini digunakan dalam delapan tipe strategi nafkah rumahtangga penduduk Desa Padabeunghar, yaitu strategi nafkah “ekstensifikasi”, “orientasi”, “investasi”, “integrasi”, “asuransi”, basis remittance, basis modal sosial dan basis pekerjaan dalam desa. Kedelapan strategi nafkah menunjukkan pola pilihan sumber nafka h, pola pilihan modal alami, pola pilihan aktivitas nafkah, tujuan strategi nafkah, dan indikasi pergeseran nilai kerja pertanian dalam rumahtangga. Pola-pola pilihan yang dilakukan rumahtangga dalam strategi nafkah menunjukkan rasionalitas tindakan rumahtangga. Rasionalitas yang berbeda dalam memandang pengertian sumberdaya, pendapatan dan biaya dari rasionalitas yang mendasari rancangan pola nafkah PHBM. Penelitian ini menyimpulkan rasionalitas yang mendasari strategi nafkah rumahtangga penduduk Desa Padabeunghar berbeda dengan rasionalitas yang mendasari rancangan sistem nafkah PHBM. Perbedaan ini menyebabkan perbedaan bentuk strategi nafkah rumahtangga penduduk Desa Padabeunghar dengan strategi nafkah yang dirancang PHBM. Perbedaan strategi nafkah dapat memberikan gambaran tentang karakter lahan yang dikelola, hasil yang diinginkan dan alasan pengelolaan sumberdaya yang dilakukan oleh desa-desa di sekitar wilayah hutan Perhutani yang mengikuti program PHBM.
STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA DESA SEKITAR HUTAN Studi Kasus Desa Peserta PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) di Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat
AGUSTINA MULTI PURNOMO
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Sosiologi Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
HALAMAN PENGESAHAN Judul
Nama NRP
: Strategi Nafkah Rumahtangga Desa Sekitar Hutan (Studi Kasus Desa Peserta PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) di Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat) : Agustina Multi Purnomo : A152020091
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr . Ketua
Ivanovich Agusta, SP., MSi. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan
Dr. Ir. M.T. Felix Sitorus, MS. Tanggal Ujian: 15 November 2005
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, MSc. Tanggal Lulus:
Februari 2006
PRAKATA Penelitian ini dilaksanakan di masyarakat yang tinggal di pinggiran hutan di kawasan hutan Perhutani yang masuk wilayah KPH Kuningan, Jawa Barat. Penelitian dilaksanakan di Desa Padabeunghar, sebuah desa peserta PHBM yang memiliki hutan pangkua n terbesar di Kuningan. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret-Mei 2005. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc. Agr. atas bimbingan, pacuan semangat dan pembelajaran selama mengerjakan tesis. Beliau mengajarkan cara berpikir dan menulis sistematis dan terstruktur. Dua hal yang sangat sulit dilakukan penulis. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir. Ivanovich Agusta, MS. terima kasih atas bimbingan dan diskusi selama mengerjakan tesis dan Dr. Ir. Felix Sitorus, MS. atas perbaikan dan penilaian dalam ujian tesis. Ujian yang membeli pelajaran tidak hanya cara memperbaiki penulisan tesis tetapi juga memperbaiki cara pandang penulis terhadap diri sendiri dan pada suatu masalah. Penulis mendapatkan data dan persaudaraan di Desa Padabeunghar. Pak Suharma dan Pak Bandi telah mengantarkan penulis ke lahan garapan yang ada di Desa Padabeunghar. Pak Dadang, Bi Encas, Bu Kuniah, Bang Lei, Ceu Mamah, Ma Umi, Yana, Bu Eti, Pak Jajang, dan Ceu Iim telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk ikut serta dalam kegiatan nafkah rumahtangga mereka. Tinggal selama penelitian di Desa Padabeunghar memberi arti tentang pembangunan modal sosial bagi penulis. Tema penelitian, lokasi penelitian, pengenalan ekologi hutan, masyarakat sekitar hutan dan PHBM diperoleh penulis dari teman-teman di LSM LATIN, KANOPI dan Telapak. Wibowo Djatmiko, atas bantuan dalam stukturisasi data dan sistematisasi penulisan. Arief Aliadi, atas ide tema penelitian. Nana KANOPI, terimakasih telah membantu penulis menemukan desa penelitian. Yoyon FWI, untuk pembuatan peta. Rekan-rekan SPD 2002 dan SPD 2003 atas masukan dan semangatnya. Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih kepada Rita Sri Mustikasari yang memberi banyak stimuli untuk berpikir lebih banyak. Ayah dan Agi, terima kasih atas waktu-waktu yang digunakan untuk kuliah dan menulis tesis. Terima kasih atas dukungan pada saat penelitian dan saat penulisan. Ibu Ita Karnita, Bapak Kuswahadi Purnomo, Henry Purnomo, Rahma Agung Purnomo, dan Ema keluarga yang memberi dukungan materi dan moral selama penulis menyelesaikan studi di Program Studi Sosiologi Pedesaan.
Bogor, Februari 2006 Agustina Multi Purnomo
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di sebuah desa di Kabupaten Kuningan, Desa Cibeureum, Kecamatan Cibingbin. Penulis lahir tanggal 1 Nopember 1978. Penulis lahir dari seorang bapak bernama Kuswahadi Purnomo dan ibu bernama Ita Karnita. Penulis memiliki seora ng kakak bernama Henry Purnomo dan seorang adik bernama Rahma Agung Purnomo. Penulis menikah dengan Agung Djati Walujo dan dianugerahi seorang anak laki-laki, Fadlan Fauzan (Agi) yang berusia tiga tahun Penulis menyelesaikan sekolah di SDN III Cibeureum. Selanjutnya penulis meneruskan sekolah di SMPN I Cibingbin. SMU diselesaikan penulis di SMUN I Kuningan. Penulis diterima di IPB melalui jalur USMI. Penulis menyelesaikan S1 pada tahun 2002 di Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian. Penulis masuk mejadi mahasiswa S2 di Program Studi Sosiologi Pedesaan tahun 2002.
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI...................................................................................................................
vii
DAFTAR TABEL............................................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR.......................................................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................................... xiv DAFTAR SINGKATAN................................................................................................. I.
II.
III.
xv
PENDAHULUAN................................................................................................. 1 1.1
Latar Belakang Studi..............................................................................
1
1.2
Rumusan Pertanyaan Penelitian..............................................................
7
1.3
Tujuan Penelitian....................................................................................
8
PENDEKATAN TEORITIS................................................................................ 9 2.1
Rumahtangga Petani Di Sekitar Hutan Jawa..........................................
9
2.2
Pengelolaan Hutan di Jawa.....................................................................
11
2.3
Strategi Nafkah Rumahtangga ................................................................
16
2.3.1
Pengertian Strategi Nafkah.....................................................................
16
2.3.2
Sumber-sumber Nafkah..........................................................................
19
2.3.3
Pendapatan Rumahtangga.......................................................................
23
2.4
Teori Pilihan Rasional............................................................................
24
2.5
PHBM: Rancangan Strategi Nafkah MDH.............................................
30
2.6
Kerangka Studi.......................................................................................
37
METODOLOGI STUDI......................................................................................
40
3.1
Batas-batas Analisis................................................................................
40
3.2
Waktu dan Tempat Penelitian.................................................................
41
3.3
Pilihan Pendekatan Penelitian, Strategi Penelitian dan Metode Pengumpulan Data.................................................................................
43
3.3.1
Pendekatan Penelitian............................................................................
43
3.3.2
Strategi Penelitian...................................................................................
43
3.3.2.1
Rumahtangga yang Menggunakan Sumberdaya Alam Sebagai Sumber Nafkah.......................................................................................
44
VI.
3.3.2.2
Ruma htangga yang Menjadikan Sumberdaya Alam Milik Sebagai Orientasi Nafkah.....................................................................................
45
3.3.2.3
Rumahtangga yang Menggunakan Sumberdaya Alam Sebagai Salah Satu Bentuk Investasi.............................................................................
45
3.3.2.4
Rumahtangga yang Menggunakan Sumberdaya Alam Sebagai Suatu Bentuk Asuransi......................................................................................
46
3.3.2.5
Rumahtangga yang Mengutamakan Upaya Bersama dengan Komunitas...............................................................................................
46
3.3.2.6
Rumahtangga yang Menggunakan peluang Kerja dalam Desa Sebagai Sumber Nafkah Utama...........................................................................
47
3.3.2.7
Rumahtangga yang Menggunakan Modal Sosial Sebagai Basis Nafkah.....................................................................................................
47
3.3.2.8
Rumahtangga yang Menggunakan peluang Kerja Di Luar Desa Sebagai Basis Nafkah.............................................................................
48
3.3.3
Metode Pengumpulan Data.....................................................................
48
3.3.3.1
Wawancara Mendalam...........................................................................
49
3.3.3.2
Pengamatan Berperan Serta ....................................................................
50
3.3.3.3
Analisis Dokumen...................................................................................
51
3.4
Subyek Penelitian...................................................................................
52
3.5
Unit Analisis...........................................................................................
53
3.6
Teknik Pengolahan dan Analisa Data.....................................................
54
PROFIL SOSIAL EKONOMI DESA PADABEUNGHAR............................. 56 4.1
Lokasi dan Lingkungan Fisik.................................................................
56
4.2
Keterhubungan Dengan Daerah Lain.....................................................
57
4.3
Kondisi Pemukiman................................................................................
59
4.3.1
Kepadatan Pemukiman...........................................................................
59
4.3.2
Fasilitas dalam Rumah............................................................................
60
4.5
Penduduk Desa Padabeunghar................................................................
62
4.4.1
Struktur Demografi Masyarakat Desa Padabeunghar.............................
62
4.4.2
Struktur Sosial Masyarakat.....................................................................
65
V.
4.4.3
Rumahtangga Petani di Desa Padabeunghar..........................................
67
4.4.4
Struktur pemilikan dan Penggunaan Lahan...........................................
70
4.5
Kelembagaan Ekonomi..........................................................................
75
4.5.1
Simpan-Pinjam Informal........................................................................
75
4.5.2
Arisan......................................................................................................
78
4.6
Kelembagaan Sosial................................................................................
80
4.6.1
Kelompok Kerja “Bakti” ........................................................................
81
4.6.2
Sistem Kerja Nyeblok.............................................................................. 81
4.6.3
Ngobeng..................................................................................................
4.6.4
Ngalongok ............................................................................................... 83
4.6.5
Babantu ...................................................................................................
4.6.6
Kondangan.............................................................................................. 85
4.6.7
Neang......................................................................................................
85
4.6.8
Maron.....................................................................................................
86
4.7
Ikatan Sosial (Social Ties)......................................................................
87
4.7.1
Ikatan Persaudaraan................................................................................
87
4.7.2
Ikatan Pertetanggaan...............................................................................
89
4.7.3
Ikatan dengan Anggota Komunitas (Horizontal Integration)................. 89
4.7.4
Ikatan dengan Luar Anggota Komunitas (Vertical Integration)............
92
4.8
Tenaga Kerja dalam Rumahtangga.........................................................
93
4.9
Ekonomi di Luar Pertanian.....................................................................
96
4.10
Perubahan Ketersediaan Sumberdaya.....................................................
98
4.11
Ikhtisar....................................................................................................
101
82
83
AKTIVITAS NAFKAH RUMAHTANGGA DI DESA PADABEUNGHAR. 103 5.1
Aktivitas nafkah Berdasarkan Penggunaan Modal Alami......................
103
5.1.1
Menggarap Beberapa Lahan Bersamaan...............................................
104
5.1.2
Mengurangi Biaya Produksi Pertanian...................................................
106
5.1.3
Menanam Beragam Tanaman dalam Satu Luasan Lahan.......................
108
5.1.4
Mengurangi Resiko Pertanian.................................................................
108
5.1.5
Menggali Pasir dan Batu, Mengambil Kayu Bakar dan Menggembalakan Kerbau di Hutan........................................................
109
VI.
5.1.6
Memelihara Kambing dan Menggembalakan Kerbau............................
111
5.1.7
Alokasi Tenaga kerja rumahtangga ........................................................
111
5.1.8
Pendapatan dari penggunaan modal alami dan Penggunaannya dalam Rumahtangga........................................................................................
112
5.2
Aktivitas Nafkah Berbasis Penggunaan Modal Sosial...........................
115
5.2.1
Aktivitas Membangun Ikatan Sosial (Social Ties Building)..................
115
5.2.2
Aktivitas Menggunakan Ikatan Sosial (Social Ties Utilizes).................
117
5.2.3
Alokasi Tenaga kerja Rumahtangga .......................................................
121
5.2.4
Pendapatan dari Modal sosial dan Penggunaannya dalam Rumahtangga..........................................................................................
122
5.3
Aktivitas Nafkah Berbasis Penggunaan Peluang Kerja..........................
124
5.3.1
Bekerja Sebagai Pamong Desa, Pedagang dan Tukang..........................
124
5.3.2
Pekerja Pabrik, Pembantu rumahtangga, dan TKI..................................
124
5.3.3
Pekerja Bangunan...................................................................................
125
5.3.4
Alokasi Tenaga Kerja Rumahtangga......................................................
125
5.3.5
Pendapatan dari Bekerja.........................................................................
126
5.4
Aktivitas Konsumsi.................................................................................
128
5.4.1
Menyekolahkan Anak.............................................................................
129
5.4.2
Tinggal Bersama Orang tua Setelah Menikah........................................
129
5.4.3
Alokasi Tenaga Kerja Rumahtangga......................................................
130
5.5
Faktor yang Mempengaruhi Aktifitas Nafkah.......................................
131
5.6
Ikhtisar....................................................................................................
132
STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA DI DESA PADABEUNGHAR.
134
6.1
Strategi Nafkah Basis Modal Alami.......................................................
135
6.1.1
Strategi Nafkah “Ekstensifikasi”: Rumahtangga Pak Suh......................
135
6.1.2
Strategi “Orientasi”: Rumahtangga Wa Am...........................................
142
5.1.3
Strategi “Investasi”: Rumahtangga Bi En...............................................
145
6.1.4
Strategi “Integrasi”: Rumahtangga Bu Et...............................................
151
6.1.5
Strategi “Asuransi”: Rumahtangga Ma Um............................................
155
6.2
Strategi Nafkah Basis Bukan Modal Alami............................................
158
6.2.1
Strategi Nafkah Basis Remittance: Rumahtangga Pak Sud....................
159
VII.
VIII
6.2.2
Strategi nafkah Basis Modal Sosial: Rumahtangga Bu Ut.....................
162
6.2.3
Strategi nafkah Basis Pekerjaan di dalam Desa: Rumahtangga Pak B d.
165
6.3
Pola Umum Strategi Nafkah Rumahtangga Penduduk Desa Padabeunghar.........................................................................................
167
6.3.1
Pola Pilihan Penggunaan Sumber Nafkah..............................................
169
6.3.2
Pola Pilihan Penggunaan Modal Alami..................................................
170
6.3.3
Pola Pilihan Aktivitas Nafkah Anggota Rumahtangga..........................
172
6.3.4
Tujuan Strategi Nafkah...........................................................................
175
6.3.5
Pergeseran Nilai Kerja Pertanian............................................................
177
6.4
Ikhtisar....................................................................................................
177
RASIONALITAS RUMAHTANGGA DALAM MENENTUKAN 181 PILIHAN STRATEGI NAFKAH ...................................................................... 7.1 Dasar Rasionalisasi Nafkah PHBM........................................................ 181 7.1.1
Pengamanan Lahan Hutan......................................................................
183
7.1.2
Kelangsungan Produksi Hutan...............................................................
183
7.1.3
Kesejahteraan MDH...............................................................................
184
7.1.4
Mempertahankan Akses Lahan...............................................................
185
7.2
185
7.3
Kerangka Rasionalitas Strategi Nafkah Penduduk Desa Padabeunghar.......................................................................................... Dasar Rasionalitas Strategi Nafkah Penduduk Desa Padabeunghar.......
7.3.1
Menjaga Keamanan Ekonomi.................................................................
189
7.3.2
Menjaga Keamanan Sosial.................................................................
189
7.4
Perbandingan Antara Rasionalisme Petani dengan Rasionalisme PHBM.....................................................................................................
191
7.5
Ikhtisar....................................................................................................
193
189
KESIMPULAN..................................................................................................... 194 DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................
197
LAMPIRAN..........................................................................................................................199
DAFTAR TABEL
Halaman 1.
Bagi Hasil antara Perhutani dan MDH.......................................................
36
2.
Jenis Barang dan Dasar Penghargaan di Masyarakat.................................
65
3.
Jenis Lahan dan Struktur Pemilikan Lahan di Desa Padabeunghar............
70
4.
Jenis Lahan dan Ekonomi Lahan Bagi Rumahtangga................................
75
5.
Jenis Pinjaman dan Uang yang Diperoleh Rumahtangga...........................
76
6.
Jenis arisan yang diselenggarakan untuk mengadakan kegiatan besar rumahtangga.................................................................................................
79
7.
Jenis Arisan yang diselenggarakan sehari- hari............................................
79
8.
Tenaga Kerja Ruma htangga Berdasarkan Usia, Jenis Kelamin,
95
Pendidikan dan Keterampilan ..................................................................... 9.
Perubahan Akses Modal oleh Rumahtangga...............................................
101
10.
Jenis Komoditas Pertanian dan Perkiraan Jumlah Uang Per Tahun ...........
114
11.
Pendapatan dan Kegunaan Modal Alami bagi Rumahtangga.....................
115
12.
Pendapatan dari Modal sosial dan Kegunaannya dalam Rumahtangga .....
123
13.
Pendapatan dari Peluang Pekerjaan dan Penggunaanya dalam Rumahtangga ..............................................................................................
127
14.
Jenis Pekerjaan dan Jumlah Uang Gaji........................................................
128
15.
Tipologi Strategi Nafkah Rumahtangga Penduduk Desa Padabeunghar...............................................................................................
168
16.
Dasar Pemilihan Strategi dan Strategi yang Digunakan untuk Mencapai Tujuan di Tingkat Aktor .............................................................................
173
17.
Perbedaan Rasionalisme Tindakan antara Petani di Desa Padabeunghar dengan Negara ............................................................................................
192
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1.
Komposisi Lahan di Kuningan.............................................................
20
2.
Kerangka Rasionalitas Nafkah PHBM................................................
38
3.
Peta Mobilitas Petani Desa Padabeunghar...........................................
63
4.
Aliran Sumberdaya dalam rumahtangga yang berisi KK orang tua
69
dan KK anak.......................................................................................... 5
Pembentukan modal sosial di dalam masyarakat Desa Padabeunghar.
117
6
Denah Lahan Garapan Pak Suh............................................................
138
7.
Kerangka rasionalitas strategi nafkah penduduk Desa Padabeunghar..
188
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1.
Karakteristik Rumahtangga Kasus........................................................
200
2.
Peta Desa Padabeunghar.......................................................................
202
DAFTAR SINGKATAN Asper
: Asisten Perhutani, pejabat Perhutani yang membawahi wilayah RPH setingkat kecamatan.
MDH
: Masyarakat Desa Hutan, merupakan masyarakat dari desa-desa yang terletak di sekitar hutan yang dikuasai oleh Perhutani.
HGU
: Hak Guna Usaha
HPH
: Hak Pengelolaan Hutan
Juklak
: Petunjuk Pelaksanaan
Juknis
: Petunjuk teknis , petunjuk teknis pelaksanaan PHBM di Kabupaten Kuningan
KTH
: Kelompok Tani Hutan, kelompok yang dibentuk sebagai asosiasi kegiatan anggota petani penggarap dalam satu petak
LPI Kabupaten Kuningan
: Lembaga Pelayanan Implementasi Kabupaten Kuningan
LSM
: Lembaga Swadaya Masyarakat
NKB
: Nota Kesepakatan Bersama
NPK
: Nota perjanjian Kerjasama
NTFP
: Non Timber Forest Product
Perdes
: P eraturan desa, kelembagaan yang dibentuk setelah Nota Kesepahaman, NKB, dan NPK. Peraturan desa disusun dan disahkan oleh pemerintah desa dan Forum PHBM. Peraturan desa terutama berfungsi untuk memberikan pengesahan hak penggarapan lahan, pewarisan atau pengalihan lahan garapan.
Perum Perhutani
: Perusahaan Umum Perhutani (Perhutanan Indonesia), sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak dalam pengelolaan hutan di wilayah Jawa.
PHBM
: Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat
PMDH
: Pembangunan Masyarakat Desa Hutan
UUPH
: Undang-undang Pengelolaan Hutan
VOC
: Verenigne Ost-Indische Compagnie
I. 1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Studi Studi tentang strategi nafkah menjadi tema penelitian sosiologi pedesaan
penting pada era 2000-an. Penelitian strategi nafkah dimulai di IPB pada tahun1970-an yang memandang strategi nafkah sebagai strategi memperoleh pekerjaan. Penelitian pada tahun 1990-an sampai saat ini melihat strategi nafkah sebagai bagian sistem penghidupan. Dari perspektif utilitarianis me, studi strategi nafkah diberi makna sebagai hubungan aset dan aktivitas nafkah serta pilihan aktivitas nafkah yang dilakukan untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai rumahtangga. Studi strategi nafkah yang telah dilakukan oleh lembaga donor seperti DFID (Department For International Development) lebih memahami strategi nafkah strategi nafkah sebagai hubungan antara sumberdaya, akses, dan aktivitas yang dipengaruhi oleh sistem ekologi dan sistem sosial kemasyarakatan. Penelitian serupa mengenai hubungan antara sumberdaya (aset atau resources) dan aktivitas dilakukan oleh Ashley dan Carney (2000), Meikle et. al. (2001), de Haan (2000) , Ellis (2000), serta Chambers dan Conway (1991). Mereka berpendapat ada sumberdaya yang dimiliki atau dapat diakses oleh rumahtangga yang digunakan untuk bertahan hidup dalam kondisi kemiskinan atau dalam kondisi normal untuk status ekonomi rumahtangga . PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) merupakan sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang mengatur hubungan antara penduduk desa yang berada di sekitar hutan Perhutani1 dengan sumberdaya hutan. PHBM merupakan kelembagaan yang dirancang untuk mengatur penduduk desa yang tinggal di desa yang terletak di sekitar wilayah hutan Perhutani yang diperkirakan menggunakan sumberdaya hutan sebagai basis nafkah rumahtangga mereka. Studi strategi nafkah dalam setting PHBM memberikan gambaran tentang strategi nafkah yang dibangun oleh rumahtangga yang tinggal di desa yang terletak di sekitar wilayah hutan perhutani. 1
Penduduk desa yang tinggal di sekitar kawasan hutan Perhutani disebut dengan istilah Masyarakat Desa Hutan (MDH).
2
Di Kabupaten Kuningan, PHBM telah diterapkan di 63 desa sejak Nota Kesepahaman antara
Perhutani
dan
Pemerintah
Kabupeten
Kuningan
ditandatangani pada tahun 2002. Desa Padabeunghar merupakan salah satu desa yang dianggap berhasil menerapkan PHBM di antara desa-desa yang dianggap berhasil menerapkan pola kemitraan masyarakat desa dan Perhutani di kawasan tersebut. Salah satu indikatornya, Forum PHBM dan pemerintah Desa Padabeunghar dianggap aktif dan kooperatif pada kegiatan pemberdayaan dan pembuatan jejaring Forum PHBM se-kabupaten Kuningan2. Penilaian ini telah mengantarkan Ketua Forum PHBM Desa Padabeunghar terpilih menjadi ketua Forum PHBM desa-desa se-Jawa Barat. Desa Padabeunghar juga dianggap sebagai salah satu desa yang dipilih sebagai desa percontohan PHBM dan sering mendapat kunjungan studi banding dari desa-desa lain di Jawa maupun luar Jawa. Desa Padabeunghar sendiri memiliki wilayah pangkuan hutan atau wewengkon3 paling luas di Kabupaten Kuningan. Wilayah hutan pangkuan Desa Padabeunghar adalah 1200,46 Ha, sangat luas jika dibandingkan dengan luas sawah Desa Padabeunghar yaitu 25,13 Ha dan wilayah pemukiman serta penggunaan lahan lain seperti tanah darat, pekarangan dan kuburan yang meliputi 216,19 Ha. Secara administratif, 48,70 % penduduk Desa Padabeunghar bekerja sebagai petani4. Angka ini lebih kecil dibandingkan dengan realitas di lapangan, di mana penduduk yang tercatat bekerja di luar pertanian juga menggarap lahan garapan atau membuka lahan garapan di kawasan hutan Perhutani atau di lahan kebun karet5. Desa hutan yang memiliki keterbatasan lahan subur dan sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani dianggap sebagai desa yang potensial untuk menyelenggarakan PHBM. Hal ini cukup beralasan karena dengan adanya
2
Pendapat Nana, anggota LSM KANOPI; Usep, anggota LPI (Lembaga Pelayanan Implementasi) Kabupaten Kuningan, 6 April 2005 3 Arti dari wilayah hutan pangkuan atau wewengkon adalah hutan akan dikelola bersama dengan masyarakat jika pada wilayah hutan Perhutani terdapat masyarakat dan masyarakat mau mengelola. 4 Potensi Desa Padabeunghar tahun 2004 5 Lahan kebun karet digunakan untuk menjelaskan lahan Hak Guna Usaha (HGU) yang ada di wilayah Desa Padabeunghar dan digunakan untuk usaha pertanian oleh penduduk Desa Padabeunghar.
3
infrastruktur kelembagaan PHBM, maka akses terhadap lahan hutan untuk mengatasi kekurangan lahan pertanian menjadi lebih besar 6. Namun demikian, pada kenyataannya sumber nafkah rumahtangga di Desa Padabeunghar tidak terpusat semata-mata pada sumberdaya hutan. Sumberdaya hutan hanyalah salah satu sumber nafkah yang dimanfaatkan oleh rumahtangga Desa Padabeunghar. Lahan hutan bagi rumahtangga Desa Padabeunghar dipandang sebagai sumber nafkah alternatif pada saat mereka tidak memiliki lahan milik sendiri. Lahan hutan juga dipandang sekedar lahan garapan jika mereka memiliki waktu luang diantara waktu penggarapan lahan milik atau pekerjaan di luar pertanian. Sumberdaya hutan, bagi kebanyakan penduduk desa setempat dipandang hanya sebagai sumber kayu bakar, sumber pakan ternak, tempat mendapatkan pasir dan batu untuk bahan bangunan serta tempat menggembalakan kerbau milik petani. Rumahtangga peserta PHBM bahkan tidak mematuhi kesepakatan pengelolaa n hutan sebagaimana tertuang dalam Nota Kesepakatan Bersama (NKB) dan Nota Perjanjian Kerjasama (NPK). Penggarapan lahan dilakukan di lahan yang ingin digarap rumahtangga atau yang telah digarap sejak dahulu, bukan di lahan yang ditetapkan oleh NPK untuk digarap. Pengaturan rumahtangga penggarap di suatu lahan dan pengalihan lahan garapan dilakukan dengan kesepakatan antara penggarap dan bukan atas persetujuan Forum PHBM. Dengan demikian dapat dikatakan rumahtangga lebih dipengaruhi oleh kelembagaan lain dari pada kelembagaan yang dibentuk oleh negara seperti PHBM. Sebagai akibatnya gambaran sistem kehidupan yang terbentuk di Desa Padabeunghar sangat jauh dari apa yang dicita-citakan oleh penggagas PHBM. Gambaran pola nafkah rumahtangga yang berbeda dengan pola nafkah yang dirancang oleh negara melalui inovasi kelembagaan PHBM merupakan suatu bukti bahwa rumahtangga sekitar hutan memiliki rasionalitas tindakan sendiri dalam merespon PHBM. Dalam hal ini rasionalitas nafkah rumahtangga
6
Setiamihardja, Arifin, 2003, Implementasi PHBM dalam Rangka Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Sekitar Hutan, Disampaikan pada “Sharing dan Dialog Pengalaman Proses-proses Membangun Kolaborasi dalam Mengelola Hutan di Kuningan” di LSM LATIN, Bogor, Tanggal 7 September, 2003.
4
sangat dipengaruhi oleh kondisi alam, nilai dan kelembagaan sosial serta perubahan yang disebabkan oleh proses-proses sosial dalam dan interaksi dengan komunitas di luar desa. Bagaimana
dan
mengapa
rasionalitas
masyarakat
lokal
yang
mempengaruhi pilihan strategi nafkah rumahtangga itu terbentuk, merupakan pertanyaan yang mendasari penelitian ini. Penelitian ini juga hendak menjawab pertanyaan “mengapa, bagaimana, dan sejauh mana strategi nafkah dijala nkan oleh rumahtangga di Desa Padabe unghar?”. Strategi nafkah merujuk pada suatu aktivitas pemanfaatan sumberdaya di mana sumberdaya termasuk sumberdaya hutan dimaknai dan digunakan untuk tujuan bertahan hidup atau tujuan peningkatan status ekonomi. Strategi nafkah sebagai rangkaian tindakan rasional mencakup aktivitas-aktivitas
ekonomi
dan
sosial
yang
dilakukan
oleh
rumahtangga atau individu dalam rangka mengamankan status kehidupan rumahtangga atau individu yang bersangkutan. Pola nafkah merujuk pada pengertian pemanfaatan dan “manipulasi” sumber-sumber nafkah yang secara alami atau secara sosial dapat digunakan dalam sistem penghidupan rumahtangga. Keseluruhan
tindakan
nafkah
atau
aktivitas
pemanfaatan
sumberdaya
menghasilkan konfigurasi atau pola nafkah. Dalam hal ini setiap keputusan dan tindakan rumahtangga dalam melakukan pilihan strategi nafkah sangat ditentukan oleh rasionalitas atau landasan idealitas yang diyakini oleh rumahtangga yang bersangkutan. Penelitian ini difokuskan pada dasar pilihan strategi nafkah rumahtangga di Desa Padabeunghar sebagai suatu gejala lokal. Penelitian strategi nafkah MDH sebagai studi strategi nafkah di Kabupaten Kuningan telah dilakukan oleh sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak dalam bidang pemberdayaan masyarakat sekitar hutan (LSM LATIN) pada tahun 2004. Hasil penelitian hanya menunjukkan identifikasi modal dan posisi desa dalam pelaksanaan PHBM di Kabupaten Kuningan7. Sejauh ini kajian sosiologis mengenai pengaruh karakter sosial dalam strategi nafkah petani belum dibahas. Penelitian yang dilakukan oleh
7
VSO -SPARK Regional Workshop, 2004, Rural Livelihoods In Indonesia, Philippines and Thailand: A Workshop Proceeding, SPARK-VSO, Indonesia.
5
LSM LATIN tidak dapat menjelaskan dinamika pelaksanaan PHBM di desa sekitar hutan sebagai suatu lokalitas yang memiliki karakter sosial yang unik. Penelitian strategi nafkah banyak dilakukan oleh LSM atau lembaga donor untuk memahami hubungan MDH dengan hutan. Penelitian tentang pengelolaan hutan biasanya dilakukan untuk menekankan property right oleh masyarakat adat atau
penekanan
pada
indigenous
knowledge untuk
pengelolaan
hutan
(Anonimous , 2000; Howitt, Connell dan Hirsch, 1996; Uluk, Sudana dan Wollenberg, 2001, Pilin 2002). Penelitian-penelitian tersebut menyimpulkan bahwa MDH memiliki kelembagaan dan pengetahuan asli yang dapat digunakan dalam pengelolaan hutan dan pembentukan strategi nafkah setempat. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh LSM yang berasumsi bahwa MDH adalah masyarakat yang hidup selaras dengan alam, memelihara hutan lebih baik dari siapa pun yang berada di luar hutan, penelitian ini melihat MDH sebagai masyarakat rasional yang menganggap hutan sebagai sumberdaya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup. MDH dianggap sebagai entitas sosial yang memiliki rasionalisme sendiri yang dapat berarti memelihara atau merusak hutan agar dapat bertahan hidup atau bahkan mengembangkan sikap memperkaya rumahtangga. Penelitian ini juga berbeda dengan penelitianpenelitian serupa yang dilakukan pada masyarakat pedalaman seperti suku Dayak di Kalimantan yang hidup dan tergantung pada hutan saat hutan ditetapkan sebagai hutan produksi maupun taman nasional (Uluk, Sudana dan Wollenberg, 2001). Masyarakat Desa Padabeunghar pada saat penelitian dilakukan adalah masyarakat yang menyadari dan terbiasa dengan posisi hutan sebagai “hutan lindung” yang dikuasai Perhutani. Penelitian sosial tentang desa hutan di Jawa Barat telah dilakukan oleh Marzali (2003) . Marzali menggunakan pendekatan antropologi untuk melihat strategi nafkah petani Cikalong, Jawa Barat dalam menghadapi kemiskinan. Penelitian Marzali menunjukkan peserta perhutanan sosial adalah petani dari kelas ekonomi terendah dalam masyarakat dan mengikuti program perhutanan sosial karena tidak memiliki pekerjaan dan lahan pertanian. Petani menggarap lahan untuk memperoleh padi untuk mendapat jaminan kesinambungan hidup. Pengelolaan
hutan
dilandasi
oleh
falsafah
“mimilikan ”—mungkin
akan
6
mendapatkan hasil yang banyak. Pengelolaan hutan menggunakan pola tanam sesuai dengan kebutuhan dan ketersediaan modal petani, sementara petani tidak memahami tentang program pengelolaan hutan yang ditetapkan dalam perhutanan sosial. Istilah-istilah seperti tanaman tepi, sisipan dan pagar sama sekali tidak dipahami petani. Petani menanam tanaman palawija dan padi, padahal dalam program perhutanan sosial, penanaman tanaman palawija atau padi hanya diijinkan hingga kanopi tanaman pokok tinggi. Setelah itu tanaman harus diganti dengan tanaman berumur panjang seperti petai, kapulaga, kopi, nangka, durian dan pisang. Penelitian Marzali (2003) memberikan deskripsi tentang siapa petani penggarap hutan dan bagaimana petani menggarap hutan di daerah perbukitan Cikalong. Penelitian ini dilakukan di tempat yang berbeda dan dengan pumpunan (fokus) penelitian yang berbeda. Penelitian Marzali (2003) memperjelas potret petani desa yang miskin, tidak terdidik, kurung batok8, takut pada pemerintah tetapi mengerti bahwa oknum aparat pemerintah banyak yang tidak jujur dan tidak ikhlas menolong petani, etika kerja keras tetapi tetap miskin, punya kalkulasi rasional dalam memilih benih karena takut rugi dan tenggelam, dan etika hidup hanya untuk menyambung nafas kemarin. Sementara, penelitian ini mencoba melihat rumahtangga desa sebagai entitas yang mempunyai sejumlah pilihan untuk bertahan di desa atau pergi keluar desa serta melakukan kalkulasi rasional dalam membuat keputusan nafkah. Keputusan itu mencakup pilihan untuk menyambung hidup (survival strategy) atau memperbaiki status kehidupan rumahtangga mereka (consolidating strategy). Penelitian
ini
juga
diarahkan
pada
pertanyaan
sejauh
manakah
rumahtangga di desa peserta PHBM merespon keberadaan infrastruktur kelembagaan PHBM dalam pola nafkah mereka? Apakah ketersediaan dan kelimpahan modal sosial berupa kelembagaan PHBM telah mempengaruhi pilihan-pilihan strategi nafkah yang dilembagakan oleh rumahtangga di desa peserta PHBM? Bagaimanakah bentuk strategi na fkah yang secara faktual
8
“Kurung batok” adalah istilah yang dikemukakan Marzali. Berdasarkan pengetahuan peneliti yang juga berasal dari Jawa Barat, “kurung batok ” adalah istilah untuk orang yang tidak pernah pergi ke luar dari daerah asal.
7
terbentuk di lapangan? Semua pertanyaan penelitian ini akan dijawab oleh penelitian ini.
1.2
Rumusan Pertanyaan Penelitian Pertanyaan bagaimana dan mengapa pilihan strategi nafkah rumahtangga
dilakukan dibagi dalam dua pertanyaan untuk mendapatkan penjelasan yang sistematis, yaitu: 1. Pertanyaan tentang strategi nafkah rumahtangga di Desa Padabeunghar. Pertanyaan tentang strategi nafkah diperlukan untuk melihat pola umum strategi nafkah rumahtangga di Desa Padabeunghar. Secara lebih spesifik dibagi menjadi tiga bentuk pertanyaan: a) Sumber-sumber
nafkah
apa
saja kah
yang tersedia bagi
rumahtangga di Desa Padabeunghar? Bagaimanakah mereka mendapatkan sumber nafkah tersebut? Dan apa sumbangan setiap sumber
nafkah
tertentu
pada
keseluruhan
sistem nafkah
rumahtangga? b) Bagaimana kah penggunaan sumberdaya hutan dalam strategi nafkah rumahtangga di desa peserta PHBM
dan bagaimana
penggunaan sumberdaya hutan diantara sumberdaya lain yang digunakan dalam strategi nafkah rumahtangga di desa peserta PHBM? c) Strategi nafkah apa yang dipilih rumahtangga ? aktivitas nafkah apa yang menonjol dilakukan oleh rumahtangga dalam Desa peserta PHBM? Untuk tujuan apakah strategi nafkah dilakukan? Dalam konteks sosial atau ekonomi apakah strategi nafkah terbentuk? 2. Pertanyaan tentang rasionalitas lokal. Pertanyaan tentang rasionalitas lokal diarahkan untuk melihat bagaimana strategi nafkah yang ada dipilih dan dilakukan. Strategi nafkah yang benar-benar dilakukan oleh rumahtangga dapat memberikan gambaran tentang “cara berpikir komunitas lokal” dalam
menggerakkan
sikap
untuk
melakukan
tindakan
nafkah
rumahtangga di desa peserta PHBM. Secara lebih spesifik dibagi menjadi dua pertanyaan:
8
a) Dalam konteks sosial apa pilihan strategi nafkah dputuskan? kekuatan-kekuatan sosial apa sajakah yang mempengaruhi pilihan strategi nafkah? bagaimana kekuatan-kekuatan sosial itu bekerja? dan bagaimana kah relevansinya dengan strategi nafkah yang dirancang oleh pemerintah melalui PHBM? b) Adakah tujuan ideal yang ditetapkan oleh rumahtangga dalam memutuskan pilihan strategi nafkah? Adakah hirarki hirarkhi tujuan yang dibuat oleh rumahtangga ? Apakah ada pertimbangan keuntungan dan kerugian yang dibuat oleh rumahtangga ? Apakah ada pengorganisasian tenaga kerja rumahtangga dan aturan yang sengaja
disusun
untuk
mengorganisasikan
tugas
anggota
rumahtangga untuk mencapai tujuan nafkah?
1.3
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk: 1) Mengetahui sumberdaya yang dimanfaatkan sebagai sumber nafkah dalam rumahtangga di Desa Padabeunghar 2)
Mengetahui penggunaan sumberdaya hutan dalam strategi nafkah rumahtangga di Desa Padabeunghar
3) Mendapatkan gambaran strategi nafkah rumahtangga yang dipilih dan ditetapkan oleh rumahtangga desa peserta PHBM 4) Mengetahui pilihan strategi nafkah yang dilakukan rum ahtangga di sekitar hutan Perhutani. 5) Mengetahuai dasar rasionalitas yang melatarbelakangi pilihan strategi nafkah rumahtangga . Studi ini diharapkan dapat memberi sumbangan pada penyusunan dan pelaksanaan program pengelolaan hutan yang melibatkan rumahtangga desa di sekitar hutan.
II. 2.1
PENDEKATAN TEORITIS
Rumahtangga Petani Di Sekitar Hutan Jawa Rumahtangga merupakan lembaga dasar yang melakukan pengaturan
konsumsi dan produksi, alokasi tenaga kerja dan sumberdaya sebagai upaya memenuhi
kebutuhan
hidup
anggota
rumahtangga.
Douglas
(1998)
mengemukakan pengertian rumahtangga sebagai: “the houselholds is a basic institution for reproducing society in its material as well as non-material aspect. Its includes pooling and allocating labor and resources which, as has been widely noted, neither goes uncontested nor can be assumed to be egalitarian but is nonetheless an arena of social co-operation. This ‘miny political economy’ of decision making abaut status, power, property and work between men and women, generations and kin is multifaceted and dynamic in its formation and life” (Douglass, 1998, dalam Meikle et. al., 2001).
Pengertian rumahtangga di atas menyebutkan rumahtangga sebagai struktur kecil politik ekonomi yang membuat keputusan tentang dinamika kehidupan dan formasi rumahtangga. Rumahtangga memiliki struktur kekuasaan, kepemilikan, pengambilan keputusan dan pelestarian ikatan-ikatan darah. Ellis (2000) mengartikan rumahtangga sebagai tempat di mana ketergantungan sosial dan ekonomi antara kelompok dan individu terjadi secara teratur. Rumahtangga diartikan sebagai kelompok sosial yang tinggal di satu tempat, berbagi makanan yang sama, membuat keputusan bersama mengenai alokasi sumberdaya dan pendapatan (Meillassoux, 1981; Ellis, 1993, dalam Ellis, 2000). Rumahtangga merupakan unit sosial yang mengikat anggotanya dalam kesatuan sosial dan ekonomi. Rumahtangga menjalankan strategi nafkah sebagai upaya mempertahankan kehidupan anggota rumahtangga. Rumahtangga tidak selalu berisi ikatan darah. Rumahtangga bisa juga berarti sekelompok orang yang berbagi rumah atau tempat tinggal dan berbagi pendapatan atau seseorang yang tinggal sendiri, keluarga inti, keluarga batih, atau sekelompok orang yang tidak berhubungan (Marshal, 1994, dalam Dharmawan 2001). Jadi rumahtangga bisa berarti ikatan darah atau hubungan bukan atas dasar ikatan darah. Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, rumahtangga diartikan sebagai suatu unit sosial ekonomi yang memiliki hubungan dalam menjalankan strategi
10
nafkah. Rumahtangga dibatasi oleh hubungan ketergantungan secara sosial ekonomi yang terjadi secara intens. Rumahtangga dapat terdiri dari orang-orang yang memiliki hubungan darah atau pun tidak. Sebagai suatu unit sosial ekonomi, rumahtangga memiliki fungsi-fungsi sebagai be rikut: (a) alokasi sumberdaya yang memungkinkan untuk memuaskan kebutuhan rumahtangga, (b) jaminan terhadap berbagai tujuan rumahtangga, (c) produksi barang dan jasa, (d) membuat keputusan atas penggunaan pendapatan dan konsumsi, (e) fungsi hubungan sosial dan hubungan dengan masyarakat luar, dan (e) reproduksi sosial dan material dan keamanan sosial terhadap anggota rumahtangga (Manig, 1991, dalam Dharmawan, 2001). Rumahtangga merupakan tempat bagi pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan. Rumahtangga juga berfungsi sebagai perekrutan tenaga kerja baru melalui perkawinan atau pun kelahiran. Rumahtangga merupakan suatu lembaga yang menyelenggarakan alokasi ekonomi dan pilihan tindakan-tindakan yang dianggap rasional untuk memenuhi kebutuhan makan, pakaian, membangun rumah, investasi, dan membangun kesejahteraan anggota rumahtangga (Netting, 1993). Fungsi-fungsi rumahtangga menurut Netting (1993) dan Manig (1991) lebih menekankan pada fungsi ekonomi rumahtangga, alokasi sumberdaya dan tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan kesejahteraan rumahtangga. Dharmawan
(2001)
menekankan
bahwa
merefleksikan
tingkatan
masyarakat yang lebih luas seperti komunitas sosial tempat rumahtangga berada. Setiap tindakan yang dilakukan rumahtangga merupakan reaksi dari berbagai stimuli yang diberikan oleh komunitas (Von Braun, 1992, dalam Dharmawan, 2001). Melalui pendekatan model unitary, tindakan rumahtangga dapat difahami dari tindakan-tindakan individu dalam rumahtangga. Namun berbeda dengan pendekatan model unitary yang menekankan pada rasionalitas ekonomi, Weber (1968) menekankan tindakan-tindakan individu dipengaruhi oleh nilai dan norma di tempat individu tersebut berada. Bagi rumahtangga, hutan berarti sumberdaya yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan. Penelitian Wollenberg dan Nawir (1998) tentang pendapatan rumahtangga dari hutan menunjukkan hutan mendukung pendapatan
11
rumahtangga melalui NTFP (Non Timber Forest Product), kayu hutan, makanan liar dari hutan, penggunaan lahan hutan, karet, dan kakao.
2.2
Pengelolaan Hutan di Jawa Bagi masyarakat Jawa hutan9 sejak dahulu telah dikenal sebagai
sumberdaya penting bagi nafkah rumahtangga. Sebelum kedatangan Belanda pada akhir abad ke -16, hutan jati telah menyumbang ekonomi rumahtangga dari mulai kayu bakar sampai pada bahan baku industri perkapalan. Hutan sebagai penyumbang ekonomi rumahtangga diambil-alih oleh penguasa. Belanda melalui VOC (Verenigne Ost-Indische Compagnie) memperoleh ijin eksploitasi hutan melalui penguasa-penguasa lokal seperti sultan atau raja. Ijin penebangan hutan yang dipegang VOC merupakan legalisasi penguasaan pengusaha asing terhadap hutan yang selama ini dimanfaatkan masyarakat10. Kepentingan ekonomi ini diperkuat secara politik oleh Agrarische-wet pada masa pemerintahan Thomas Stamford Raffless pada tahun 1811 (Wiradi, 2000). Berdasarkan agrarische-wet, seluruh tanah di luar milik pribadi dianggap sebagai milik negara, termasuk lahan hutan. Kebijakan ini diperkuat dengan penetapan domeinverklaring tahun 1870 yang meneta pkan batas kawasan hutan yang dikuasai negara. Domeinverklaring memberi pengesahan eksploitasi hutan oleh negara (Simon, 2004). Pengambilalihan penguasaan dan pengusahaan hutan dari masyarakat lokal oleh negara dilanjutkan oleh Pemerintah Orde Baru. Melalui UUPH (Undang-undang Pengelolaan Hutan) tahun 1967, hak pengelolaan hutan diberikan pada pengusaha-pengusaha pemegang HPH (Hak Pengelolaan Hutan) dan perusahaan milik negara. Tujuan pengelolaan hutan untuk menambah pendapatan negara dari sektor kehutanan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Ini juga berarti pengelolaan hutan oleh masyarakat lokal yang tidak 9
Hutan yang dimaksudkan terutama hutan jati. Simon (2004:1-24) menunjukkan masyarakat Jawa telah memiliki pengetahuan tentang sifat-sifat kayu (aspek teknologi), cara penebangan (aspek eksploitasi), dan cara pemanfaatan (aspek pengolahan hasil). 10 Secara hukum, seluruh kawasan hutan jati di Jawa masih di bawah kekuasaan Sunan Paku Buwana di Surakarta atau Sultan Hamengkubuwana di Jogjakarta. Tatanan penguasaan hutan masyarakat yang menyatu dengan hukum tak tertulis, hukum adat atau yang disebut hak ulayatbergabung dengan system administrasi pemerintahan. Hak ulayat untuk mengendalikan sumberdaya hutan di Jawa masuk ke dalam aturan wilayah administrasi paling kecil, yaitu desa. Hutan termasuk ke dalam wewengkon desa. Ijin penebangan hutan dari sultan atau sunan merupakan legalisasi bagi VOC untuk mengeksploitasi hutan. Potensi pertentangan dari desa diatasi dengan kerjasama antara VOC dan pemerintah desa (Simon, 2004: 21-22).
12
memiliki HPH dianggap ilegal. Di masa ini pula terjadi pengusiran masyarakat lokal dari wilayah hutan yang telah ditetapkan menjadi hutan negara. Masyarakat desa sekitar hutan yang tetap menggarap lahan hutan disebut perambah hutan, peladangan ilegal, penjarah, atau penggembala liar. Kelembagaan yang mengatur hubungan antara masyarakat desa sekitar hutan-sumberdaya hutan lebih banyak dibentuk oleh pemerintah atau pihak perusahaan yang memiliki HPH. Simon (2004) menunjukkan sejak masa timber extraction dilakukan oleh VOC sebuah organisasi perdagangan di bawah pemerintah Belanda, pengaturan hubungan masyarakat desa sekitar hutan dengan sumberdaya hutan lebih banyak dilakukan oleh pihak pemegang HPH. Selanjutnya, bentuk kelembagaan tersebut ditentukan oleh tiga hal (1) kepentingan produksi perusahaan pemegang HPH, (2) tuntutan perkembangan kebijakan kehutanan di tingkat global, dan (3) tuntutan petani yang menuntut akses terhadap sumberdaya hutan (Simon, 2004). Kepentingan produksi perusahaan pemegang HPH melibatkan petani dalam pengelolaan hutan sebagai tenaga kerja. Belanda melibatkan penduduk di sekitar hutan sebagai penebang kayu pada masa VOC. Blandongdienstein , dinas penebangan kayu yang didirikan Belanda, mengikis kekuasaan hak ulayat penduduk asli. Belanda memanfaatkan kekuasaan Sultan dan Raja -raja untuk mendapatkan hak penebangan hutan. Penduduk sekitar hutan sebagian kecil, yang memilihi keterampilan menebang kayu, menjadi blandhong (penebang kayu) yang dibayar dan sebagian besar menjadi pembuat kayu bakar dengan penghasilan kecil. Perhutani merupakan perusahaan pemegang HPH di Jawa. Simon (2004) mengungkapkan bahwa pada awalnya Perhutani berupa jawatan yang masih lebih mementingkan upaya pelestarian hutan dari pada peningkatan pendapatan negara melalui hutan. Perubahan Perhutani menjadi Perusahaan Umum (Perum), kemudian Perseroan Terbatas (PT) merupakan upaya optimalisasi peran Perhutani dalam eksploitasi hutan Jawa. Perubahan bentuk Perhutani dari PT menjadi Perum kembali dianggap sebagai suatu titik tolak perubahan setting konsep dan program pengelolaan
hutan
yang
berbasis
pada
kepentingan
(Http://www.kompas.com diakses pada 3 Februari 2005)
masyarakat
13
Perusahaan Negara Perhutani dibentuk untuk mencapai tujuan pengelolaan hutan seperti (1) memupuk keuntungan sebesar-besarnya untuk keuntungan negara, (2) menciptakan lapangan pekerjaan dan (3) perlindungan lingkungan hidup (Simon, 2004). Lapangan pekerjaan yang disediakan Perhutani tidak lepas dari tujuan pertama dan ketiga, penduduk sekitar hutan dalam penebangan dan penanaman kembali. Keterlibatan mereka sebagai pekerja di kegiatan perhutanan kembali. Kegiatan tersebut terdapat dalam dua bentuk, cemplongan di mana penduduk desa mendapatkan upah harian untuk penanaman pohon atau tumpang sari sebagai bentuk dari taungya di mana penduduk desa dapat menanam tanaman pangan di lahan hutan selama dua tahun penanaman dan berkewajiban untuk menanam dan menjaga tanaman bibit (Seymour dan Rutherford, 1994). Perubahan besar terjadi setelah tahun 1978 kongres kehutanan Dunia VIII dengan tema forest for people memaksa Perhutani melakukan perubahan. Meskipun dalam pelaksanaannya, belum sepenuhnya menempatkan pengelolaan hutan pada masyarakat, namun yang menjadi titik tolak adalah perubahan di aras global menekan perubahan di tingkat manajemen nasional. Kebijakan perhutanan sosial merupakan tanggapan atas hasil Kongres Kehutanan Dunia tersebut. PHBM lahir tahun 2001 sebagai penyempurnaan program kehutanan sosial dan PMDH (Pembangunan Masyarakat Desa Hutan) (Simon, 2004). PHBM dirancang sebagai suatu sistem pengelolaan hutan yang dapat menjaga kelestarian hutan dan keberlanjutan nafkah rumahtangga di desa sekitar hutan. Semangat ini digambarkan dalam slogan PHBM “hutan lestari, masyarakat sejahtera”. PHBM merupakan sistem pengelolaan hutan yang melibatkan masyarakat sejak pemetaan wilayah hutan yang akan menjadi wilayah kelola sampai dengan cara penanaman dan tanaman yang akan ditanam. Pada tahap awal PHBM merupakan kesepakatan antara Perhutani dan Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan. Wujud kesepakatan antara Perhutani-Pemda adalah Nota Kesepahaman ditandatangani. Setelah Nota Kesepahaman ditandatangani proses internalisasi PHBM dilakukan. Proses tersebut meliputi sosialisasi hak dan kewajiban, pembentukan KTH (Kelompok Tani Hutan) dan Forum PHBM, penetapan pemetaan partisipatif, penggalian potensi, perencanaan pengelolaan, NPK (Nota Perjanjian Kerjasama), dan Perdes (Peraturan Desa).
14
Peran LSM ada dalam setiap tahapan internalisasi PHBM11. LSM berperan memberikan kontrol pada kesepakatan yang dibuat oleh Perhutani dan pemerintah daerah. LSM merupakan bagian yang diikutsertakan secara formal dalam pelaksanaan PHBM (Pokok-pokok Pengelolaan PHBM, 2001). LSM tersebut ada yang bergerak di aras hubungan pemerintah dan Perhutani dan ada yang bergerak di aras masyarakat desa. LSM yang bergerak di aras masyarakat desa membuat rencana kerja sebagai penyeimbang langkah internalisasi PHBM oleh pemerintah dan Perhutani dan pendampingan pelaksanaan PHBM di desa hutan12. PHBM
merupakan
kelembagaan
yang
membuka
peluang
akses
sumberdaya hutan pada masyarakat di sekitar hutan. PHBM membuka peluang bagi desa-desa di sekitar hutan di Kuningan untuk mendapatkan akses yang lebih besar terhadap sumberdaya hutan. Bagi hasil dilakukan setiap siklus tanaman utama yaitu 20 tahun untuk pinus dan 35 tahun untuk kayu jati. Kontrak PHBM tersebut membuat PHBM di Kuningan dinilai berhasil oleh LSM yang melakukan pendampingan di Kuningan13. Keberhasilan PHBM dilihat dari kontrak yang menjamin akses masyarakat desa sekitar hutan terhadap sumberdaya hutan, dukungan dana dari pemerintah daerah14. Keberhasilan juga ditunjukan dengan penambahan luasan desa yang ikut serta dalam program PHBM. Namun, Gunawan (2001) menunjukkan bahwa kemiskinan masih mendominasi desa-desa di sekitar kawasan hutan. Akses sumberdaya hutan melalui PHBM belum memberikan keberlanjutan nafkah bagi masyarakat desa di sekitar hutan. Perkembangan
paradigma
pengelolaan
hutan
oleh
pemerintah
mempengaruhi pola hubungan antara masyarakat dengan hutan. Peraturan mentri Kehutanan No. P.01/Menhut-II/2004 tentang Pemberdayaan Masyarakat setempat di dalam dan atau di sekitar hutan dalam rangka sosial forestry memandang masyarakat setempat sebagai masyarakat yang tinggal di dalam dan atau sekitar 11 12
13
14
LSM yang melakukan pendampingan pelaksanaan PHBM di Kuningan adalah LSM LATIN, LSM KANOPI, Visita, Akar, Kompepar, dan Komar Cs. Rencana kerja LSM KANOPI merupakan contoh untuk menunjukkan peranan LSM dalam pelaksanaan PHBM di Kabupaten Kuningan. Hasil Wawancara dengan Arif Aliadi, Anggota LSM LATIN (Lembaga Alam Tropika), LSM yang melakukan pendampingan pelaksanaan PHBM di Kuningan, Rabu, 20 September 2004 Pemerintah Daerah Kuningan memberikan dana sebesar Rp. 200 juta pada tahun 2001 dan kemudian pada tahun 2002 ditambah menjadi Rp 500 juta bagi pelaksanaan program PHBM
15
hutan yang merupakan kesatuan komunitas sosial didasarkan pada mata pencaharian yang bergantung pada hutan, kesejarahan, keterikatan tempat tinggal serta pengaturan tata tertib kehidupan bersama dalam wadah kelembagaan (Pasal 1). Perkembangan paradigma pengelolaan hutan pemerintah penting artinya bagi strategi nafkah rumahtangga di desa sekitar kawasan hutan. Pengelolaan hutan melibatkan masyarakat desa di sekitar hutan yang berhubungan langsung dengan hutan, pemerintah yang secara legal formal menguasai wilayah hutan, dan Perhutani yang memiliki hak kelola hutan. Pemerintah Daerah Kuningan tidak sejalan dengan Perhutani karena Perhutani dianggap tidak memberikan sumbangan pada pendapatan daerah (Wahyu, 2002). Hal ini berbeda dengan beberapa penelitian pada bidang agraria yang menunjukkan hubungan erat antara pihak pengusaha dengan pemerintah15. Pemerintah daerah memberi dukungan pada masyarakat desa di sekitar hutan dalam program PHBM dalam bentuk dana, dukungan yang tidak lepas dari peran LSM yang mendampingi masyarakat desa di sekitar hutan. Secara legal formal, PHBM merupakan suatu kebijakan yang pada intinya mengakui wilayah desa atas wilayah hutan Perhutani. Hutan Perhutani yang masuk ke dalam wilayah suatu desa akan menjadi wilayah bersama atau disebut hutan pangkuan desa atau wewengkon. Arti dari wilayah bersama adalah hutan akan dikelola bersama dengan masyarakat jika di wila yah hutan Perhutani terdapat masyarakat dan masyarakat mau mengelola. PHBM pada prinsipnya mendudukkan Perhutani dan masyarakat lokal sebagai pihak yang sama-sama memiliki hak akses sumberdaya hutan. Peranan LSM LATIN dan LSM KANOPI di Kuningan adalah membentuk kelembagaan yang dapat menjamin posisi tawar masyarakat desa di sekitar hutan terhadap Perhutani. LSM LATIN mendorong agar Juklak (Petunjuk Pelaksanaan) dan Juknis (Petunjuk teknis) PHBM tidak ditentukan sepihak oleh Perhutani dan
15
Program PIR -Bun (PIR Perkebunan) yang dipilih sebagai jalur reforma agraria oleh pemerintah orde baru umumnya lebih menguntungkan pihak perkebunan daripada petani (Sitorus, 2004). Beberapa perlawanan petani seperti perlawanan petani Jenggawah (Hafid, 2001), perlawanan petani Lampung (Kusworo, 2000) atau kasus tanah pertambangan antara masyarakat dengan PT. Freeport di Irian Jaya (Munggoro et. al., 1999) semuanya menunjukkan keberpihakan pemerintah pada pihak pemilik modal
16
memberikan kesempatan bagi LSM di Kuningan bersama masyarakat menentukan bentuk kerjasama dalam PHBM. Interaksi antara pemerintah, Perhutani dan masyarakat yang dimediasi oleh LSM menentukan bentuk akses masyarakat desa di sekitar hutan pada sumberdaya hutan. Akses masyarakat desa di sekitar hutan akan besar jika masyarakat desa di sekitar hutan memiliki kekuatan yang mendorong interaksi antara Perhutani, pemerintah dan masyarakat desa di sekitar hutan pada posisi yang menguntungkan maay desa di sekitar hutan. Kondisi sebaliknya terjadi jika pemerintah atau Perhutani lebih memperhatikan kepentingan produksi atau pendapatan dengan menekan akses masyarakat desa di sekitar hutan terhadap sumberdaya hutan.
2.3
Strategi Nafkah Rumahtangga
2.3.1
Pengertian Strategi Nafkah Konsep nafkah (livelihood ) hidup seringkali digunakan dalam tulisan-
tulisan tentang kemiskinan dan pembangunan pedesaan. Arti di dalam kamus adalah cara hidup (means of living ). Chamber dan Conway (1991) menunjukan definisi pola nafkah sebagai akses yang dimiliki oleh individu atau keluarga. Akses menunjukan aturan dan norma sosial yang menentukan perbedaan kemampuan manusia untuk memiliki, mengendalikan dalam artian menggunakan sumberdaya seperti lahan dan kepemilikan umum untuk kepentingan sendiri. Lebih jelas, strategi nafkah didefinisikan sebagai: Livelihoods compromises the capabilities, asset s (stores, resources, claim dan acces) and activities required for a means of living (Chambers and Conway, 1991).
Unsur-unsur dalam strategi nafkah menurut Chambers dan Conway (1991) adalah kapabilitas, aset dan aktivitas. Aset dapat berupa klaim atau akses. Kapabilitas menunjukan kemampuan individu untuk mewujudkan potensi dirinya sebagai manusia dalam artian menjadi dan menjalankan. Kapabilitas menunjukan set alternatif menjadi dan melakukan yang bisa dilakukan dengan karakteristik ekonomi, sosial dan personal manusia . Aktifitas merujuk pada kegiatan yang menghasilkan pendapatan. Strategi nafkah tergantung dari seberapa besar aset
17
yang dimiliki, kapabilitas individu dan aktivitas yang nyata dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Aset didefinisikan Ellis (2000) sebagai berbagai bentuk modal, seperti modal sosial, modal fisik, modal manusia dan modal finansial yang dimiliki dan digunakan untuk kehidupan individu atau rumahtangga (Ellis, 2000). Akses terhadap modal dapat diperoleh rumahtangga melalui struktur melalui proses yang telah dibakukan dalam kebijakan, tata aturan, kelembagaan atau budaya (Ashley dan Carney, 1999). Ashley dan Carney juga mengemukakan bahwa kelima modal ini selain menjadi aset yang penting bagi strategi nafkah juga dapat menjadi hasil dari proses strategi nafkah sebelumnya. Menggunakan pendekatan teori pilihan rasional (Coleman, 1994) strategi nafkah merupakan serangkaian tindakan rasional yang dilakukan individu untuk mencapai tujuannya. Menggunakan pendekatan Dharmawan (2001) tentang tujuan strategi nafkah, maka strategi nafkah berarti tindakan rasional individu untuk mempertahankan hidup atau memperbaiki keadaan hidupnya. Kemiskinan bukan sesuatu yang tetap dan statis. Kemiskinan bergerak sebagai respon peluang atau tegangan dari kondisi sosial dan lingkungan (Moser, 1996; Chambers, 1995 dalam Meikle et. al., 2001). Strategi nafkah tidak hanya dilakukan orang dalam keadaan miskin. Kemiskina n membuat orang berstrategi dengan menghasilkan berbagai pola nafkah. Strategi nafkah selain untuk mengamankan kehidupan sehari-hari dapat juga berupa upaya untuk memperbaiki kehidupan ekonomi (Dharmawan, 2001). Secara sederhana strategi nafkah diartikan sebagai cara manusia untuk memenuhi kebutuhan dan memperbaiki hidup (Chambers dan Conway, 1991). Ellis menggambarkan bahwa strategi nafkah dapat dilakukan dalam konteks krisis 16. Strategi nafkah yang dilakukan dalam kondisi krisis berbeda dengan strategi nafkah yang dilakukan dalam keadaan biasa (normal). Penjarahan hutan pasca krisis moneter di tahun 1998 menunjukkan krisis politik di pemerintah pusat berpengaruh pada strategi nafkah rumahtangga di desa-desa pinggir hutan di Kuningan (Gunawan, 2001). de Haan (2000) menguatkan dengan 16
Ellis (2000) menggambarkan bahwa kondisi krisis (wabah penyakit, bencana alam, perang dan kondisi krisis lain) mempengaruhi strategi nafkah. strategi nafkah merupakan hasil dari aset yang dapat diakses dalam suatu kondisi tertentu.
18
istilah coping strategy. Menurut de Haan, Jika keberlanjutan nafkah17 terancam, rumahtangga akan melakukan strategi coping (coping strategy). Coping strategy merupakan strategi nafkah yang dilakukan dalam keadaan sulit. Coping strategy dilakukan dengan mengubah strategi nafkah yang biasa dilakukan dengan strategi nafkah yang baru. Strategi nafkah yang baru dilakukan dengan menggunakan sumber-sumber nafkah18 rumahtangga. Strategi nafkah yang baru dapat bersifat sementara atau dilakukan seterusnya. Dalam kehidupan sehari-hari, strategi nafkah dilakukan dalam berbagai tindakan. Bahkan ketika individu memilih untuk tidak melakukan apa-apa, bukan berarti ia tidak melakukan strategi nafkah. Berdasarkan teori pilihan rasional, individu memilih tidak melakukan apa -apa atau memilih menyerahkan pencapaian tujuannya pada orang lain jika tidak ada informasi yang cukup atau jika pasif menjadi pilihan yang paling menguntungkan (Abell, 2000; Scott, 2000). Strategi nafkah dilakukan berdasarkan sumber-sumber nafkah yang dimiliki individu atau rumahtangga dan faktor-faktor di luar rumahtangga yang menentukan kemampuan rumahtangga dalam melakukan strategi nafkah. Berdasarkan kerangka pikir strategi nafkah DFID (Ferrington, et. al., 2004; Meikle et. al., 2001) faktor struktur dan proses mempengaruhi strategi nafkah rumahtangga. Kebijakan pemerintah, budaya masyarakat, kelembagaan dan struktur pemerintah mempengaruhi aset nafkah rumahtangga. Analisis strategi nafkah yang dilakukan oleh LSM LATIN di Kuningan lebih memperhatikan orang-orang yang tinggal di sekitar hutan. Konsep strategi nafkah digunakan untuk menjelaskan bagaimana rumahtangga yang tinggal di sekitar kawasan hutan produksi memenuhi kebutuhan ekonominya. Hasil penelitian tersebut mengartikan strategi nafkah sebagai nafkah dalam artian pendapatan secara material dan spiritual atau pekerjaan (dalam istilah bahasa Sunda pagawean)19. 17
18
19
Nafkah dianggap berkelanjutan jika mampu untuk mencukupi, memuaskan kebutuhan dasar sendiri dan mengamankan orang dari kejutan dan tekanan (de Haan, 2000) de Haan menggunakan pendekatan lima modal, modal sosial, modal alami, modal manusia, modal fisik dan modal finansial untuk menjelaskan sumber nafkah yang digunakan oleh rumahtangga. VSO -SPARK Regional Workshop, 2004, Rural Livelihoods In Indonesia, Philippines and Thailand: A Workshop Proceeding, SPARK-VSO, Indonesia.
19
Berdasarkan penjelasan di atas, strategi nafkah meliputi beragam tindakan rasional yang diambil rumahtangga untuk mencapai tujuan yang ditetapkan rumahtangga. Merujuk pada pendapat Ellis (2000) tindakan yang dilakukan berkaitan dengan sumberdaya yang dimiliki atau tidak dapat dimiliki tetapi dapat diakses manfaatnya. Akses sumberdaya ditentukan oleh kemampuan rumahtangga dalam memperoleh dan memanfaatkan sumberdaya.
2.3.2
Sumber-sumber Nafkah Rumahtangga Berdasarkan pengertian strategi nafkah di atas, sumber nafkah merupakan
aset, sumberdaya atau modal yang dimiliki rumahtangga yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan nafkah rumahtangga. Sumberdaya mengacu pada semua hal yang dapat dimanfaatkan atau tidak oleh rumahtangga. Aset mengacu semua hal yang dapat dimafaatkan oleh rumahtangga, sedangkan modal mengacu pada semua hal yang dimiliki atau dapat diakses oleh rumahtangga. Merujuk pada Dharmawan (2001) sumber nafkah rumahtangga biasanya berupa sumber nafkah yang beragam (multiple source of livelihood ). Ini karena rumahtangga tidak tergantung pada satu kegiatan tertentu dalam jangka waktu yang lama dan tidak ada satu sumber nafkah yang dapat memenuhi tujuan rumahtangga. Rumahtangga dapat menjadi petani pemilik dan menggarap lahan sendiri, penggarap dengan menggarap lahan orang lain, penggembala, pencari kayu bakar, pencari rumput bahkan pedagang. Rumahtangga membutuhkan aset untuk dapat menjalankan strategi nafkah. Aset yang dimiliki dan dapat digunakan oleh rumahtangga disebut modal. Modal bisa dibedakan menjadi lima kategori, seperti: modal alam, modal fisik, modal manusia, modal finansial, dan modal sosial. Modal alam menjelaskan basis sumberdaya alam, air, pohon-pohonan yang menghasilkan pangan dan segala sesuatu yang berasal dari sumberdaya alam yang digunakan manusia untuk mempertahankan kehidupannya. Modal manusia dan modal fisik mengacu pada pengertian ekonomi klasik. Modal manusia mengacu pada tingkat pendidikan, dan status kesehatan individu dan populasi. Modal manusia menunjukkan tenaga kerja yang dimiliki rumahtangga. Modal fisik mengacu pada aset yang dihasilkan dalam
20
proses produksi ekonomi. Modal finansial mengacu pada persediaan uang tunai yang dapat digunakan dalam produksi dan konsumsi termasuk juga akses untuk kredit. Modal sosial mengacu pada jaringan sosial dan asosiasi di mana orang bergabung dan darinya orang mendapat dukungan untuk menjalankan pola nafkahnya (Carney, 1999; Ellis, 2000; de Haan, 2000). Peranan kelima modal dalam nafkah rumahtangga tergantung dari berapa banyak akses, berapa besar kemampuan mengelola dan mengambil kegunaan oleh Rumahtangga. Di Kuningan, sumberdaya hutan memiliki tempat yang penting sebagai modal alam. Selain lahan sawah, komposisi lahan terbesar adalah hutan produksi, lahan yang dilindungi, dan komunitas hutan. Komposisi lahan di Kuningan dapat diamati pada gambar berikut:
Peruma han, kota dll.
sawah
Hutan masy
Hutan produksi Kebun masy
Hutan lindung
Sumber: VSO -SPARK Regional Workshop, 2004: 20. Gambar 1. Komposisi Lahan di Kuningan Komposisi lahan tersebut menunjukkan lahan sebagian besar masih berupa hutan. Lahan hutan yang berupa hutan produksi dan hutan lindung berada di bawah kewenangan Perhutani dan Pemerintah Daerah dan hanya bisa diakses oleh masyarakat jika terdapat kelembagaan yang mengatur hubungan antara sumberdaya hutan dan masyarakat. Modal sosial merupakan suatu aset yang dapat digunakan oleh rumahtangga untuk mempertahankan kelangsungan nafkah (de Haan, 2000; Carney, 1999). Modal sosial memfasilitasi tindakan aktor -aktor di dalam struktur
21
sekaligus menetapkan aktor -aktor tersebut dalam aspek-aspek struktural (Coleman, 1988). Modal sosial dibangun untuk keuntungan rumahtangga . Carney (1999, dalam de Haan, 2000) menggambarkan modal sosial sebagai (1) hubungan kepercayaan, resiprositas dan pertukaran antara individu, (2) keterhubungan, jaringan dan kelompok, termasuk akses pada beragam kelembagaan; (3) aturan yang biasa, norma dan sangsi yang disetujui bersama oleh masyarakat. de Haan mengartikan modal sosial termasuk tolong menolong antar tetangga, organisasi keagamaan, kelompok pengguna sumberdaya alam, partai politik dan lainnya. Menurut Stone dan Hughes (2002) inti dari modal sosial adalah hubungan sosial. Kualitas hubungan sosial mengacu pada kemampuan manusia bersama bekerjasama menyelesaikan masalah bersama -sama. Dalam komunitas, modal sosial mengacu pada kemampuan anggota komunitas untuk berpartisipasi, bekerjasama, berorganisasi dan interaksi (Cavayne, 2001, dalam Stone dan Hughes, 2002). Ruang lingkup modal sosial didefinisikan berdasarkan penjelasan Putnam dan Coleman. Putnam melihat modal sosial sebagai perpaduan dari “asosiasi horizontal” antara manusia. Modal sosia l mengacu pada sebuah jaringan dan gabungan norma yang berpengaruh pada produktivitas masyarakat. Dua hal penting dari penjelasan Putnam adalah pertama, jaringan dan norma yang bergabung secara empiris. Kedua, kedua hal tersebut, jaringan dan norma memilik i konsekuensi ekonomi yang penting. Kunci masa depan modal sosial adalah dukungannya pada koordinasi dan kerjasama pada keuntungan bersama anggota kelompok (Putnam, 1993). Berdasarkan beberapa pengertian di atas, modal sosial diartikan sebagai hubungan antara sesama golongan miskin dalam hubungan sosial yang saling menguntungkan, hubungan antara golongan miskin dan kaya dalam bentuk hubungan seperti patronase atau kelembagaan yang dapat memberi jaminan pada keberlanjutan nafkah. Modal sosial merupakan sumbe r strategi nafkah rumahtangga di saat krisis atau saat perubahan sosial ekonomi (Meikle et. al., 2001). Penjelasan tentang modal sosial dapat memberikan gambaran bagaimana
22
hubungan-hubungan sosial mempengaruhi strategi nafkah rumahtangga di desa sekitar kawasan hutan. Di dalam masyarakat sendiri, ikatan-ikatan solidaritas antara rumahtangga menjadi modal sosial yang penting bagi nafkah rumahtangga. Dharmawan (2000) mempetakan strategi nafkah berdasarkan solidaritas petani, yaitu: 1. Strategi ikatan solidaritas berdasarkan kegiatan pertanian. Strategi ini dilakukan oleh petani-petani yang sama-sama melakukan kegiatan pertanian sebagai basis nafkah rumahtangga petani. Strategi ini meliputi kegiatan (1) peminjaman lahan dari petani lapisan atas pada petani lapisan bawah, (2) bagi hasil dan sistem sewa tanah, (3) pengelolaan tanah adat, (4) perjanjian saling menguntungkan antar petani. 2. Strategi ikatan solidaritas sosial berdasarkan kegiatan non pertanian. Strategi nafkah nafkah rumahtangga tidak hanya berkisar dalam kegiatan pertanian. Strategi ikatan solidaritas non pertanian dibangun diantara migran di kota, diantara penduduk desa untuk kegiatan nafkah di luar pertanian, atau dalam hubungan politik dan ekonomi antara petani dengan pemerintah. 3. Strategi ikatan solidaritas sosial berdasarkan kebutuhan ekonomi. Ikatan ini berbeda dengan ikatan formal yang dilakukan oleh bank atau pengadaian. Strategi ini mengandalkan hubungan kepercayaan yang dibangun antara pihak-pihak yang bekerjasama. Termasuk dalam ikatan solidaritas berdasarkan kebutuhan ekonomi adalah (1) peminjaman berdasarkan
hubungan
patron-klien,
(2)
peminjaman
berdasarkan
hubungan tetangga, (3) peminjaman berdasarkan hubungan keluarga, dan (4) peminjaman berdasarkan hubungan pertemanan. Hubungan-hubungan ekonomi berdasarkan ikatan-ikatan sosial ini di beberapa desa terbukti lebih dipercaya dari pada hubungan formal dengan lembaga -lembaga seperti bank atau pegadaian. Berdasarkan uraian di atas, modal tidak bersifat spasial. Modal sosial dapat menjadi sumber ba gi akses pada modal alam, modal fisik, modal manusia, atau modal finasial. Modal finansial dapat meningkatkan kemampuan petani untuk meng-akses modal manusia, modal alam, modal fisik atau modal sosial.
23
Akses terhadap lima modal ini menentukan bagaimana strategi nafkah yang dilakukan rumahtangga.
2.3.3
Pendapatan Rumahtangga Pendapatan me ngacu pada keuntungan (reward, advantages) yang dapat
diperoleh rumahtangga dari aktivitas nafkah yang dilakukan rumahtangga. Pendukung utitarian seperti Blau, Emerson, (dalam, Turner, 1998), Ellis (2000), menganggap pendapatan dalam bentuk material seperti uang dan barang. Antropologis seperti Malinowski (dalam Turner, 1998) memperkenalkan pendapatan non material atau pendapatan berupa simbolik. Pemaknaan material atau non material sebagai suatu pendapatan dibangun oleh konteks sosial masyarakat. Perhatian terhadap konteks sosial masyarakat ini juga melekat pada pendapatan material. Weber (1968) me mperkenalkan konsep validitas substantif yang menentukan nilai tukar (“means of payment”) suatu barang. Weber juga menekankan bahwa pertukaran dapat berupa pertukaran barang atau jasa. Ellis (2000) mengelompokkan pendapatan menjadi pendapatan uang tunai (in cash) atau bentuk kontribusi lain (in kind) untuk kesejahteraan material individu atau keluarga yang diperoleh dari berbagai kegiatan memenuhi nafkah. Bentuk pendapatan tunai meliputi penjualan tanaman atau ternak, gaji atau upah, sewa dan kiriman uang (remittance). Pendapatan dalam bentuk lain mengacu pada konsumsi pada produk tanaman sendiri, pembayaran dalam bentuk barang, dan transfer atau pertukaran barang konsumsi antara rumahtangga dalam komunitas desa atau antara rumahtangga desa dan kota. Pendapatan dibagi menjadi tiga kategori (Saith, 1992; Leones dan feldman, 1998, dalam Ellis, 2000), pertama , pendapatan pertanian. Pendapatan pertanian mengacu pada pendapatan yang diperoleh dari pertanian yang diperhitungkan sendiri seperti dari lahan milik sendiri, atau lahan yang diperoleh melalui pembelian tunai atau bagi hasil. Ked ua pendapatan off-farm. Pendapatan off-farm mengacu pada upah atau pertukaran tenaga kerja dengan pertanian lain. Ini termasuk upah tenaga kerja dalam bentuk lain seperti upah barang dalam bentuk padi atau perjanjian upah kerja yang lain. Ketiga, pendapata n non pertanian (non-farm income) mengacu pada sumber pendapatan di luar pertanian.
24
Beberapa kategori pendapatan di luar pertanian adalah (1) upah di luar pertanian desa atau gaji pekerja, (2) usaha di luar pertanian milik sendiri sering disebut pendapatan bisnis, (3) pendapatan sewa dari menyewakan lahan atau pemilikan lain. (4) remittances dari urban di dalam negeri. (5) transfer dari urban yang lain seperti pendapatan pensiunan dan (6) remittances yang berasal dari internasional. Pendapatan rumahtangga diartikan sebagai keuntungan yang akan diterima rumahtangga jika rumahtangga melakukan aktivitas nafkah. Keuntungan yang diperoleh rumahtangga dapat berupa keuntungan material atau non material atau dalam bahasa Weber (1968) barang atau jasa. Rumahtangga akan memperhatikan utilitas marginal yang dapat diperoleh dengan pertimbangan keuntungan yang diperoleh dari aktivitas nafkah yang dilakukan dan pendapatan yang akan diperoleh.
2.4
Teori Pilihan Rasional Teori pilihan rasional merupakan bentuk perkembangan dari teori
pertukaran yang berbasis ilmu ekonomi. Teori pilihan rasional lahir karena pengaruh sosiologi dalam teori pertukaran. Teori pilihan rasional memberi perhatian pada konteks sosial yang mempengaruhi pilihan tindakan aktor dalam hubungan pertukaran (Turner, 1998). Pengaruh ekonomi dalam teori pertukaran ditunjukkan dengan fokus perhatian teori pertuka ran yang terpokus pada maksimisasi kepuasan pada pilihan mereka yang lebih baik (preferences). Teori pertukaran menjelaskan keputusan individu sebagai hubungan sederhana antara biaya yang dikeluarkan (cost) dan keuntungan yang akan diperoleh (reward ). Setiap orang diasumsikan akan mempertentangkan biaya dan keuntungan dahulu sebelum membuat keputusan. Teori pertukaran melihat individu akan mempertimbangkan sumberdaya yang penting bagi rumahtangga. Sumberdaya yang efektif digunakan akan dibangun dan dipelihara, sedangkan sumberdaya yang dianggap tidak efektif akan diganti. Pertimbangan efektifitas diukur dengan menggunakan efektivitas produksi, peranan sumberdaya dalam menghasilkan pendapatan atau keuntungan yang penting bagi tujuan ekonomi rumahtangga .
25
Konteks sosial digambarkan seperti pasar dalam kondisi ideal yaitu pasar bebas (free market). Pasar dianggap sebagai mekanisme yang menentukan pilihan individu. Preferensi individu ditentukan oleh proses pertukaran antara biaya dan keuntungan, seperti proses penentuan harga pasar. Penggambaran konteks sosial sebagai pasar berarti bahwa konteks sosial terbebas dari pengaruh tradisi dan struktur sosial. Aras analisis teori pertukaran berada di tingkat individu atau di tingkat mikro. Preferensi di tingkat makro mengikuti pola pengambilan keputusan di tingkat individu. Nilai dianggap sebagai “media of social transaction” yang dibuat berdasarkan perhitungan atas imbalan (reward) yang diharapkan, resiprositas dan pertukaran yang adil. Nilai efektif untuk pertukaran yang sederhana. Individu sebagai anggota struktur sosial diasosiasikan ke dalam satu set nilai- nilai yang biasa yang membimbing individu-individu untuk menerima nilai tersebut sebagai pilihan yang tepat untuk diri sendiri. Blau (dalam Turner, 1998) menekankan individu bukan unit pertukaran yang kompleks. Individu berhubungan dengan individu lain dalam sebuah hubungan langsung yang seimbang dan fungsional. Pertukaran akan terjadi sesuai dengan prinsip-prinsip pertukaran yang berdasarkan pada asumsi bahwa individu selalu mempertimbangkan keuntungan dan kerugian dalam melakukan suatu tindakan atau berhubungan dengan individu yang lain. Jika hubungan antar individu dilakukan dalam hubungan yang kompleks, diperlukan institusionalisasi nilai-nilai. Institusionalisasi diperlukan dalam hubungan yang kompleks di mana hubungan yang dilakukan sudah tidak bersifat langsung. Institusionalisasi dilakukan untuk mendasari proses pertukaran untuk mencocokan apa yang diyakini dan ditentang oleh individu-individu yang melakukan pertukaran. Teori Pertukaran menunjukkan posisi yang jelas berbeda dengan sosiologi. Sosiologi berpendapat pilihan rasional murni tidak terjadi. Persepsi individu tentang biaya dan keuntungan dipengaruhi oleh “posisi struktural”, nilai, kebiasaan, dan tradisi, yang mempengaruhi pilihan terbaik (preferences) individu. Teori pilihan rasional menempatkan pengaruh sosiologi dalam menentukan
26
pilihan tindakan individu. Individu mengkonstruk sistem sosial dan budaya untuk memaksimumkan utilitas mereka (Hecter, dalam Turner, 1998). Teori pilihan rasional masih diwarnai oleh aliran utilitarian (Hecter dalam Turner, 1998). manusia memiliki tujuan dan bertindak untuk mencapai tujuan 1. Manusia memiliki susunan preferensi atau utilitas yang disusun secara hirarkis 2. Diantara lis tingkah laku yang akan dipilih, manusia memiliki perhitungan tentang: A. Utilitas dari alternatif yang lain yang diperoleh dari hirarki pre ferensi yang telah dibuat. B. Biaya yang harus dikeluarkan untuk setiap alternatif dalam bentuk utilitas yang terdahulu C. Cara terbaik untuk memaksimisasi utilitas 4. Fenomena sosial yang muncul, struktur sosial, keputusan bersama, dan tindakan bersama, merupakan hasil mutlak pilihan rasional individu berdasarkan prinsip memaksimumkan utilitas. 5. Fenomena sosial yang muncul yang dihasilkan oleh pilihan rasional menghasilkan satu set ukuran untuk tindakan rasional berikutnya, dalam bentuk A. Distribusi sumberdaya antara individu B. Distribusi peluang untuk berbagai tindakan C. Distribusi dan asal norma dan obligasi dalam sebuah keadaan
Teori pilihan rasional adalah teori yang dibangun atas asumsi bahwa tindakan pada dasarnya rasional dan dihitung berdasarkan biaya dan keuntungan. Teori pilihan rasional mengadopsi beberapa pendekatan yang berbeda seperti studi tentang tindakan sosial, human agency, sistem sosial, dan struktur (Scott, 2000). Dasar bagi semua bentuk pilihan rasional adalah asumsi bahwa fenomena sosial yang kompleks bisa dijelaskan dalam bentuk dasar tindakan individu di mana fenomena sosial tersebut tersusun. Teori pilihan rasional sering disebut menggunakan metodologi individu, di mana fokus pembahasan berada pada tindakan individu. Perubahan di tingkat institus i sosial atau perubahan sosial
27
digambarkan sebagai hasil dari interaksi tindakan individu (Elster 1989: 13 dalam Scott, 2000). Abell (2000) menekankan: "it is only individuals who ultimately take actions and sosial actions … individual actions and sosial actions are optimally chosen and ‘individuals’ actions and sosial actions are entirely concerned with their own welfare" .
Individual merupakan aspek utama yang menjadi dasar metode penelitian teori pilihan rasional. Individu sebagai aktor hanya memperhatikan dirinya sendiri dan kesejahteraannya sendiri. Dari dasar teori pilihan rasional memperlihatkan bagaimana berbagi, kerjasama, dan kemunculan norma-norma tetapi tetap dasar penjelasannya di tataran individu. Aspek teori pilihan rasional utama kedua adalah minimalis. Teori pilihan rasional mulai dari asumsi sederhana mengenai individu dan hubungan antara individu yang dari sana individu membangun model tindakan sosial dan interaksi yang menjelaskan kompleksitas kelompok besar, sistem dan keseluruhan masyarakat. Pendekatan ini sangat berbeda dengan pendekatan sistem dan struktural Durkheim dan Parson. Pendekatan Durkheim dan Parson menjelaskan bahwa norma sosial dan nilai-nilai berada pada tingkat masyarakat. Teori pilihan rasional dalam penelitian ini le bih menggunakan asumsi Weber di mana individu memiliki peranan dalam menentukan tidakan dan mempengaruhi nilai dan norma di masyarakat. Bedanya, teori pilihan rasional tidak menekankan pada skala yang besar, global, dan kekuatan-kekuatan sejarah sosial (Abell, 2000). Sedangkan menurut Weber (1968) tindakan rasional dan tindakan ekonomi berbeda. Menurut Weber tindakan rasional merupakan tindakan yang secara teknis rasional. Tindakan dilakukan untuk mencapai tujuan. Orientasi tindakan adalah pencapaian tujua n. Sedangkan tindakan ekonomi adalah tindakan yang memperhatikan permintaan dan penawaran serta keuntungan yang akan diperoleh. Orientasi ekonomi tindakan (atau disebut tujuan tindakan) mungkin bentuk dari tradisi. Tindakan ekonomi mungkin ditentukan oleh tindakan-tindakan bukan ekonomi termasuk kegiatan sehari-hari. Tindakan ekonomi dapat berbentuk tindakan untuk mempertahankan hidup dalam bentuk tindakan yang berbeda seperti pencurian, perkelahian atau upacara adat yang sepertinya bukan tindakan ekonomi. Weber (1968) lebih menekankan pada pemaknaan yang membentuk orientasi tindakan individu.
28
Pendukung teori pilihan rasional yang memperhatikan setting sosial di luar individu adalah Colleman. Menurut Coleman ahli sosiologi harus memperhatikan setting sosial tempat tindakan sosial terjadi. Menurutnya pertukaran di dalam kehidupan ekonomi tidak selalu tetap, pertukaran berada dalam suatu seting di mana terjadi kompetisi untuk mendapatkan sumberdaya antara aktor-aktor (Coleman, dalam Abell 2000; Scott 2000). Konsep utama Coleman adalah aktor dan sumberdaya. Menurut Coleman aktor dan sumberdaya berinteraksi dan menentukan organisasi sosial berkisar sekitar transaksi antara siapa yang memiliki dan siapa yang mencari sumberdaya (Turner, 1998). Langkah awal yang penting dalam teori pilihan rasional adalah distribusi kontrol sumberdaya antara aktor. Tidak mungkin seorang individu dapat memenuhi semua yang mereka inginkan, mereka harus melakukan pilihan, pilihan berdasarkan perhitungan pencapaian tujuan. Teori pilihan rasional berasumsi bahwa orang akan melakukan pilihan yang terbaik untuk dirinya yang memberi kepuasan terbesar (Colleman, 1973). Pendapat Colleman ini hampir sama dengan Hecter, menurut Hecter, individu memiliki hirarki atas pilihan tindakan Berdasarkan pendapat Coleman (1994), organisasi sosial dan institusi sosial memegang peranan dalam dua cara. Pertama, fixed and given , terdapat dalam struktur dimana pilihan dibuat dan mengartikan tindakan individual dalam keluaran yang sistematis. Kedua , diambil secara problematik dengan pertanyaan bagaimana dan mengapa rasionalisasi individu akan membawa pada keberadaan dan menjaga mereka dari pertanyaan penting sosiologi. Empat elemen dari Sosiologi yang diambil oleh teori pilihan rasional mebedakan teori pilihan rasional dengan teori-teori sosiologi lainnya (Colleman, 1994). Empat elemen sosiologi teori pilihan rasional adalah menambah kepuasan dengan meningkatkan kendali, modal sosial, hak sosial yang asli dan institusi. Keempat elemen pilihan rasional ini menunjukkan perhatian Colleman pada faktor di luar individu dan keuntungan personal sebagai tujuan tindakan. Faktor kritis teori pilihan rasional adalah teori pilihan rasional dianggap terlalu menekankan pada individu dan terlalu minimalis (Abell, 2000; Scott, 2000). Teori pilihan rasional dinilai terlalu individualistik, terlalu minimalis dan terlalu fokus pada pilihan rasional dalam tindakan sosial. Ekstrimnya, semua
29
tindakan manusia harus rasional. Teori pilihan rasional berpendapat pada akhirnya tindakan akan ditentukan oleh perhatian individu sendiri. Hasilnya, teori pilihan rasional seringkali menjelaskan terlalu banyak yang pada akhirnya tidak menjelaskan apapun karena tidak ada standar dalam model ini. Jika semua tindakan dianggap rasional, maka teori pilihan rasional berarti tidak dapat menjelaskan tindakan yang tidak rasional. Teori pilihan rasional harus digabungkan dengan teori lain agar dapat digunakan dalam teori-teori sosiologi (Abell, 2000) Dasar pembentukan pilihan rasional Weber berbeda dengan teori pilihan rasional yang dipengaruhi oleh Pareto, utilitarian economics dan teori-teori Amerika Utara dan Eropa. Weber memperhatikan kesatuan dan keterlekatan antara tindakan individu dengan sistem nilai dan struktur sosial-ekonomi yang berada di sekitar individu. Individu memiliki kebebasan untuk menanggapi pengaruh dari sistem sosial dan menentukan tindakan yang akan dilakukan. Weber percaya hanya dalam sistem yang memperhatikan berbagai kekuatan sosial sekaligus yang dapat mendekati realitas empiris (Freund, 1968, dalam, Elwell, 1999). Weber berbeda dengan Teori pilihan rasional yang dilandasi oleh ekonomi utilitarian atau Pareto yang memandang pilihan tidakan individu sebagai hubungan sederhana antara modal yang dikeluarkan dan keuntungan yang akan diperoleh. Pendekatan pilihan rasional hanya dapat menjelaskan apa yang manusia kerjakan. Teori pilihan rasional dapat menjelaskan mengapa manusia membentuk dan memperkuat norma, tetapi tidak dapat menjelaskan mengapa mereka seharusnya mengubah nilai-nilai mereka. Nilai dianggap sebagai sesuatu yang telah ada begitu saja. Proses manusia mengubah nilai dianggap sebagai proses psikologi (Friedman dan Hecter, 1990, dalam, Scott, 2000) Kritik-kritik terhadap teori pilihan rasional ini melahirkan konsep bounded rationality. Model rasionalitas yang dibangun adalah bounded rationality, yang menampik anggapan bahwa manusia bisa berlaku rasional sepenuhnya, manusia mungkin hanya memiliki sebagian rasionalitas selebihnya masih tetap dipengaruhi oleh faktor emosional atau irrasional sebagai bagian dari tindakannya. Konsep bounded rasionality mencoba mengetengahkan faktor penyebab tindakan yang
30
lain
dalam
proses
pengambilan
keputusan
(http://en.wikipedia.org/wiki/Rational_choice_theory, diakses pada tanggal 2 Januari 2005).
2.5
PHBM: Rancangan Strategi Nafkah MDH Sumberdaya hutan, berupa tanah dan hasil hutan, merupakan sumberdaya
yang menjadi sumber nafkah MDH. Pemberian akses lahan hutan secara legal formal merupakan cara agar sumberdaya hutan dapat digunakan sebagai sumber nafkah oleh rumahtangga di desa-desa sekitar hutan. Sumberdaya hutan merupakan sumberdaya penting bagi Perhutani. Bagi Perhutani, wilayah hutan di bawah pengelolaan Perhutani adalah aset utama yang menandai eksistensi Perhutani sebagai perusahaan negara yang bertanggungjawab terhadap pengelolaan hutan. Sebagai suatu perusahaan umum, Perhutani memiliki target produksi yang harus dipenuhi. Lahan hutan merupakan input produksi dasar bagi kelangsungan Perhutani sebagai suatu perusahaan umum. Bagi pemerintah daerah, faktor terpenting dari pelaksanaan PHBM adalah penyelesaian masalah kemiskinan desa dalam wilayah pemerintahan daerah dan peningkatan pendapatan daerah20. Pemberian akses sumberdaya hutan merupakan upaya untuk meningkatkan pendapatan dan mengatasi masalah kekurangan lahan MDH. PHBM dirancang untuk mengatur aktivitas nafkah MDH dan Perhutani yang berkaitan dengan satu sumber nafkah yaitu sumberdaya hutan. PHBM merupakan suatu bentuk institusionalisasi dari apa yang diinginkan oleh MDH dan Perhutani serta apa yang ditentang oleh MDH dan Perhutani. PHBM merupakan institusionalisasi nilai- nilai yang menga tur penggunaan sumberdaya hutan oleh MDH atau Perhutani. PHBM mengatur luas lahan yang dapat diakses, cara pengelolaan dan cara bagi hasil. Forum PHBM merupakan organisasi yang dibentuk untuk mengatur hubungan antara penggarap lahan hutan, Perhutani, Pemerintah Daerah dan LSM. Forum PHBM mengatur pengambilan keputusan yang mempengaruhi tindakan pengelolaan lahan hutan. 20
Wawancara dengan Wibowo Djatmiko, Pendiri LSM LATIN, 18 Oktober 2005
31
Kelembagaan ini mengatur tentang keuntungan (reward) dan kerugian (cost) yang akan diterima dalam pelaksanaan PHBM. Reward yang diberikan berupa akses pengelolaan lahan dan akses bagi hasil. Bagi perhutani reward berupa keamanan lahan dari penjarahan dan tenaga penggarap. Perhutani mengorbankan 1200,46 Ha lahan untuk dikelola MDH, kekuasaan untuk menentukan kebijakan pengelolaan hutan di lahan hutan pangkuan, kompromi atas jenis tanaman serta bagi hasil dan bibit yang akan ditanam penggarap. Penggarap mengorbankan tenaga kerja, waktu kerja serta bibit yang akan ditanam dan mendapatkan akses lahan dan hasil lahan. Kelembagaan itu ditetapka n dalam sebuah asosiasi yang disebut Nota Kesepahaman, NKB dan NPK. NKB merupakan bentuk dari kesepakatan pengelolaan hutan yang ditandatangani oleh Perhutani dan pemerintah daerah atau MDH. Nota Kesepahaman menunjukkan kesepakatan antara Direktur Utama Perum Perhutani dengan Bupati Kuningan tentang bentuk pengelolaan hutan yang akan dijalankan di wilayah hutan Kuningan21. Setelah Nota Kesepahaman ditandatangani, dirumuskan pola pelaksanaan PHBM melalui loka karya yang diikuti oleh pemerintah daerah, Perhutani, LSM dan perwakilan MDH. Lokakarya menghasilkan garis besar cara pelaksanaan PHBM22. Hasil lokakarya ini diterjemahkan di tingkat desa melalui penandatanganan NKB. NKB berisi luasan lahan yang menjadi wilayah pangkuan desa, dan garis besar teknis dan kelembagaan pengelolaan lahan23. Bentuk teknis dari NKB dijelaskan dalam NPK. NPK sekaligus merupakan pengesahan pengelolaan lahan hutan oleh MDH. Organisasi yang dibentuk untuk mengatur jalannya PHBM disebut Forum PHBM yang dibuat berjenjang dari tingkat desa, kecamatan, sampai kabupaten. Forum PHBM dibentuk atas dasar anggapan bahwa pelaksanaan PHBM dapat berhasil jika dilakukan secara kolaboratif oleh aktor -aktor yang terlibat dalam PHBM. Perhutani dan pemerintah daerah memiliki birokrasi yang membagi wilayah hutan sebagai wilayah kekuasaan tertentu. Forum PHBM dirancang untuk
21
Nota Kesepahaman antara Bupati Kuningan dengan Perum Perhutani, Kuningan, 1 Mei 2001 Program Strategis PHBM Kuningan, Hasil Lokakarya Langkah-langkah dan Rencana Strategis Implementasi PHBM Kuningan 3-5 April 2001 di Hotel Grage Sangkan Spa, Kuningan-Jawa Barat 23 Nota Kesepakatan Bersama antara Perum Perhutani dengan pemerintah Desa Padabeunghar Kecamatan Pasawahan, Kabupaten Kuningan, 7 Januari 2003 22
32
dapat mengalirkan informasi dan menyelesaikan masalah yang terjadi dalam pengelolaan lahan hutan. Berdasarkan tujuannya, Forum PHBM dibentuk untuk: “Membangun kesepakatan dan menjalin komitmen yang telah disepakati, koordinasi, pemecahan/penyelesaian masalah yang timbul, membantu proses negosiasi/menemukan titik kompromi sebelum proses hukum, integralisasi program, monitoring dan evaluasi 24”. Setiap aturan yang mengatur pelaksanaan PHBM ditetapkan dalam Forum PHBM. Forum PHBM di tingkat desa merupakan organisasi tertinggi yang memutuskan kelembagaan PHBM di desa. Forum
PHBM
merupakan
kelembagaan
yang
dibentuk
untuk
melaksanakan PHBM. Forum PHBM bertugas untuk membangun kesepakatan dan menjalani komitmen yang telah disepakati, koordinasi, pemecahan/ penyelesaian masalah yang timbul, membantu proses negosiasi/menemukan titik kompromi sebelum proses hukum, integralisasi program, monitoring dan evaluasi (Pokok-pokok PHBM di Kabupaten Kuningan, 2001). Forum PHBM dibuat di tingkat Kabupaten, Kecamatan dan Desa. Kepala pemerintahan daerah menjadi penanggung jawab dalam struktur Forum PHBM. Di bawah Forum PHBM terdapat KTH (Kelompok Tani Hutan). KTH berfungsi sebagai perencana dan pelaksana di tingkat petak atau istilah masyarakat Desa Padabeunghar, blok. KTH, pemerintah desa dan Forum PHBM diharapkan dapat bersama -sama dengan pihak swasta, pemerintah kabupaten LSM dan koperasi membangun pengelolaan hutan yang lestari dan masyarakat sejahtera. KTH merupakan organisasi yang memiliki tanggungjawab pengelolaan lahan hutan di wilayah kelola yang telah disepakati dalam Forum PHBM. KTH biasanya meliputi satu petak dalam wilayah pangkuan desa. KTH membuat perjanjian mengenai pelaksanaan penggarapan lahan dengan Perhutani yang diwujudkan dalam bentuk NPK. Ketua KTH mendata penggarap yang menjadi anggota KTH, mengatur luas lahan garapan setiap anggota, dan bertanggungjawab pada pelaksanaan penggarapan lahan. 24
Pokok-pokok pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) di Kabupaten Kuningan, Pemerintah Kabupaten Kuningan, 2001
33
Sampai saat ini Forum PHBM di Desa Padabeunghar masih bersifat sebagai penerus kegiatan yang disosialisasikan LSM, Perhutani atau Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Hutbun) kepada masyarakat Desa Padabeunghar. Pertemuan yang secara resmi dilakukan sendiri dengan prakarsa penggarap peserta PHBM sulit dilakukan meskipun telah diprakarsai oleh LSM KANOPI. Pertentangan antar anggota dan antar ketua KTH di dalam Forum PHBM menunjukkan forum PHBM sebagai lembaga resmi yang dibangun untuk koordinasi pengelolaan hutan belum dianggap sebagai kelembagaan yang mampu mengatur perilaku masyarakat desa hutan dalam mengelola hutan. Forum PHBM ada pada tingkat desa, kecamatan dan Kabupaten. Ini menunjukkan aktivitas nafkah rumahtangga di desa terkait dengan struktur luar desa. Ada pihak di luar MDH yang mempengaruhi pilihan strategi nafkah MDH. Pengaruh struktur supra desa, Perhutani, pemerintah daerah dan LSM, merupakan ikatan sosial yang terbentuk karena pelaksanaan PHBM. Ikatan
dengan
Perhutani
merupakan
ikatan
transaksional
antara
perusahaan yang memiliki kekua saan atas lahan dan MDH yang memiliki keinginan untuk menggarap. Batasan ikatan sosial antara MDH dan Perhutani ditetapkan dengan jelas dalam bentuk perjanjian yang mengikat secara hukum. Modal yang diberikan Perhutani, baik berupa lahan, bibit, studi banding, pelatihan, informasi, jaminan keselamatan kerja maupun bantuan dalam penanaman harus dikembalikan dalam bentuk tanggung-jawab pemeliharaan tanaman, keamanan tanaman dan bagi hasil tanaman. Perhutani merupakan lembaga yang dapat dihubungi MDH untuk kepentingan-kepentingan legal formal. Aktivitas nafkah apapun yang dilakukan MDH di lahan hutan hanya bersifat legal jika telah disahkan melalui perjanjian tertulis dengan Perhutani. Ikatan dengan pemerintah daerah merupakan ikatan administratif dan kontrol. Secara administratif MDH merupakan warga Kabupaten Kuningan. Pemerintah daerah memiliki kepentingan pada kesejahteraan ekonomi MDH dan tanggungjawab menjaga kelestarian hutan25. Kepentingan pemerintah daerah itu ditunjukkan dengan pembentukan kelembagaan dan alokasi anggaran daerah untuk pelaksanaan PHBM. 25
Arifin Setiamihadja, Bupati Kuningan, menjabat sebagai bupati tahun 1998-2003, 2003; Sanusi Wijaya, Staf Ahli Bapeda, Ketua LPI PHBM kabupaten Kuningan, 2003
34
Pemerintah Daerah Kuningan menyediakan anggaran khusus untuk pelaksanaan PHBM. Anggaran ini diberikan pada masa pemerintahan Bupati Arifin Setiamihardja sejumlah Rp. 700.000.000,- untuk penguatan kelembagaan dan pemberdayaan masyarakat. Selain dalam bentuk kelembagaan pendukung PHBM, pemerintah daerah memberikan bantuan dalam bentuk bibit tanaman, informasi tentang PHBM dan pelatihan peningkatan keterampilan MDH peserta PHBM. LSM merupakan lembaga yang me mberi advokasi pada saat pembentukan kelembagaan dan pendampingan pada saat pelaksanaan. LSM merupakan satusatunya lembaga yang secara intensif melakukan pendampingan pada desa-desa PHBM. LSM memberikan informasi dan bibit tanaman yang memiliki peluang pasar, menyelenggarakan pelatihan pengolahan hasil hutan untuk menghasilkan produk yang dapat dipasarkan, studi banding ke daerah pelaksana PHBM yang lain, dan melakukan kunjungan rutin setiap minggu pada desa-desa tertentu. Ikatan-ikatan dengan ketiga aktor ini dianggap perlu agar MDH dapat melakukan kegiatan pertanian yang diharapkan dalam PHBM. Jika MDH memiliki ikatan yang kuat dengan Perhutani, Pemerintah daerah dan LSM dan sebaliknya, maka aktivitas nafkah MDH di hutan dapat mewujudkan kesejahteraan MDH dan kelestarian hutan26. MDH merupakan tenaga kerja utama dalam PHBM27. MDH berperan sebagai petani penggarap yang menggarap lahan sesuai aturan untuk mendapatkan bagi hasil. Penggarap anggota KTH melakukan pembibitan, pengolahan tanah dan penanaman pohon. Kriteria MDH tidak ditentukan secara khusus. MDH adalah masyarakat desa yang berada di sekitar hutan28. Jadi, penggarapan hutan dapat dilakukan oleh siapa saja yang menjadi warga desa yang mengikuti program PHBM dan disetujui oleh Forum PHBM. Penggarap lahan hutan dapat seorang petani penggarap atau 26
Program Strategis PHBM Kuningan, Hasil Lokakarya Langkah-langkah dan Rencana Strategis Implementasi PHBM Kuningan 3-5 April 2001 di Hotel Grage Sangkan Spa, Kuningan-Jawa Barat
27
Prinsip dan Nilai PHBM Kuningan, dalam Program Strategis PHBM Kuningan, Hasil Lokakarya Langkah-langkah dan Rencana Strategis Implementasi PHBM Kuningan 3-5 April 2001 di Hotel Grage Sangkan Spa, Kuningan-Jawa Barat Pokok-pokok pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) di Kabupaten Kuningan, Pemerintah Kabupaten Kuningan, 2001
28
35
petani pemilik atau orang yang memiliki pekerjaan di luar pertanian yang ingin menggarap lahan hutan dan mau mengalokasikan waktu dan tenaga untuk menggarap hutan. Alokasi waktu dan tenaga kerja diperlukan untuk menggarap hutan. Akses lahan hutan dicatat atas nama petani penggarap secara perseorangan, bukan dalam rumahtangga atau kelompok. Petani penggarap dapat berasal dari rumahtangga yang berbeda atau berasal dari rumahtangga yang sama. Ini membuka peluang satu rumahtangga mendapatkan beberapa lahan garapan. Pekerjaan menggarap hutan membutuhkan ketarampilan dan tenaga buruh tani. Keterampilan buruh tani tidak memerlukan keterampilan khusus dan telah biasa dilakukan oleh petani penggarap atau pemilik. Keterampilan khusus diperlukan untuk kegiatan pembibitan, penanaman, pemeliharaan tanaman pinus, jarak tanam dan pengolahan hasil tanaman. MDH tidak mendapat dana PHBM dalam bentuk uang tunai. Sebenarnya, MDH memiliki hak untuk mendapatkan dana pembinaan desa hutan dari Perhutani. Dana tersebut diberikan bertahap pada setiap desa hutan dalam jumlah yang ditentukan oleh Perhutani29. Namun tidak ada kepastian dari Perhutani tentang nama desa, jumlah uang dan waktu pemberian uang. MDH berhak memperoleh hak garap lahan garapan PHBM setelah ditetapkan oleh Peraturan Desa (Perdes). Hak garap ini dapat dipindah-tangankan atau diwariskan kepada penggarap lain. Pengalihan hak garap disahkan oleh Forum PHBM dan ditetapkan oleh Perdes. Peraturan ini merupakan jaminan keamanan (security) dan ketentuan (certainty) hak garap dan hak mendapat bagi hasil bagi penggarap. Jaminan ketentuan dan keamanan penting untuk menjamin bahwa penggarapan lahan yang dilakukan penggarap akan mendatangkan hasil yang dapat dipetik penggarap (Weber, 1968). Aktivitas nafkah yang diijinkan dalam lahan yang diperoleh dari PHBM adalah kegiatan menanam, memelihara dan memetik tanaman yang diperuntukkan untuk penggarap30. Aktivitas pengelolaan sumberdaya hutan yang lain diijinkan
29 30
Wawancara dengan Wibowo Djatmiko, pendiri LSM LATIN, 6 Juli 2005 Nota Perjanjian Kerjasama (NPK) antara Perum Perhutani KPH Kuningan dengan Kelomp ok Tani Hutan (KTH) Batukuda, Desa Padabeunghar, Kecamatan Pasawahan, Kabupaten Kuningan, tentang pengelolaan tegakan dan tanaman pinus pada petak 5a di hutan negara yang
36
setelah disepakati dan ditetapkan dalam NPK. Pengelolaan lahan di luar NPK merupakan faktor kritis yang dapat digunakan baik oleh Perhutani maupun MDH untuk mengajukan pembatalan NPK. Menggali pasir dan batu untuk bahan bangunan, menggembalakan kerbau di lahan Perhutani, dan mengambil kayu bakar di lahan Perhutani merupakan kegiatan MDH yang tidak disepakati dalam NPK. Perhutani pun tidak dapat melakukan pemenanaman daerah hutan pangkuan tanpa persetujuan Forum PHBM desa. MDH dan Perhutani tidak dapat menanam tanaman lain di luar tanaman yang telah ditetapkan dalam NPK atau mengubah jarak tanam. Jika MDH memiliki keinginan untuk menanam tanaman lain yang dianggap menguntungkan oleh MDH, maka MDH harus mengajukan keinginannya pada Forum PHBM. Jika tidak, MDH dianggap melanggar NPK. Hal yang sama berlaku bagi Perhutani. Akses lahan hutan merupakan peluang bagi MDH untuk mendapatkan pendapatan dalam bentuk bagi hasil tanaman, pendapatan dari pengolahan hasil hutan, dan dampak dari kelestarian hutan. Bagi hasil tanaman pada petak 5a dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1. Bagi Hasil antara Perhutani dan MDH No.
1 2 3 4 5
Pihak yang Mendapat Sharing Hasil
PIHAK PERTAMA (Perhutani) PIHAK KEDUA (petani KTH) Pemerintah Desa Padabeunghar Forum PHBM Desa Padabeunghar Kegiatan Sosial
Pokok (Pinus) (%) 75 20 2,5 1,5 1
Jenis Tanaman Tanaman Tahunan (%) 20 75 2,5 1,5 1
Tanaman Nenas (%) 20 75 2,5 1,5 1
Sumber: NPK antara petani Desa Padabeunghar dan Perhutani, 200331
Hasil hutan diharapkan bukan hanya dalam bentuk barang menta h. PHBM diharapkan dapat menjadi pemicu pertumbuhan industri pengolahan hasil hutan
31
turut wilayah administratif Desa Padabeunghar, Kecamatan Pasawahan, Kabupaten Kuningan, 11 Januari, 2003. Nota Perjanjian Kerjasama (NPK) antara Perum Perhutani KPH Kuningan dengan Kelompok Tani Hutan (KTH) Batukuda, Desa Padabeunghar, Kecamatan Pasawahan, Kabupaten Kuningan, tentang pengelolaan tegakan dan tanaman pinus pada petak 5a di hutan negara yang turut wilayah administratif Desa Padabeunghar, Kecamatan Pasawahan, Kabupaten Kuningan, 11 Januari, 2003.
37
rumahtangga. Upaya mendapatkan hasil hutan harus disertai dengan upaya menjaga tegakan pohon. Tegakan pohon yang terpelihara mendatangkan pendapatan dalam bentuk kenaikan debit mata air, udara bersih dan potensi wisata hutan. Berdasarkan uraian di atas, lahan hutan yang semula dikuasai oleh Perhutani dapat diakses oleh MDH melalui PHBM. Akses lahan hutan bukan merupakan akses cuma -cuma, setelah diperoleh dapat digunakan sesuai keinginan MDH, tetapi akses mengikat yang dapat digunakan berdasarkan kesepakatan. Aktifitas nafkah di lahan PHBM merupakan aktivitas nafkah pertanian dengan jenis tanaman dan bentuk pengelolaan yang telah ditentukan melalui kesepakatan bersama. PHBM memberi kebebasan bagi MDH untuk mengajukan bentuk pengelolaan lahan yang dapat diakses, namun bentuk pengelolaan lahan ditentukan oleh kesepakatan antara MDH dengan Perhutani.
2.6
Kerangka Studi Penelitian ini dilakukan untuk melihat bagaimana pelaksanaan PHBM di
Desa Padabeunghar, Kabupaten Kuningan, Jawa barat. Studi strategi nafkah dilakukan untuk membandingkan strategi nafkah yang dilakukan penduduk Desa Padabeunghar dengan strategi nafkah yang dirancang oleh PHBM. Rasionalitas rumahtangga dalam melakukan strategi nafkah merupakan pembanding antara strategi nafkah rumahtangga penduduk Desa Padabeunghar hasil penelitian dengan strategi nafkah yang dirancang PHBM. Penelitian bersandar dari konsep strategi nafkah PHBM. PHBM menawarkan lahan hutan sebagai sumber nafkah bagi masyarakat desa di sekitar hutan termasuk Desa Padabeunghar. Akses lahan hutan disertai pemberian bibit tanaman yang bertujuan untuk mengurangi biaya yang dikeluarkan rumahtangga dan meningkatkan pendapatan rumahtangga. Sumberdaya hutan, bibit dan pendampingan serta bagi hasil dianggap dapat mendorong tindakan pengelolaan sumberdaya hutan. Tindakan pengelolaan ini disertai dengan lembaga dan organisasi sosial untuk mengatur nilai-nilai yang berbeda antara MDH, Perhutani, Pemerintah Daerah dan LSM. Perangkat kelembagaan dan organisasi sosial ini
38
disusun agar MDH mengelola lahan sesuai dengan kesepakatan dan terbentuk sistem nafkah MDH. Pengelolaan sumberdaya hutan menjadi imbalan dan sanksi jika MDH melakukan strategi nafkah sesuai dengan rancangan PHBM. Jika MDH melakukan strategi nafkah sesuai dengan kelembagaan PHBM, maka MDH akan mendapatkan akses hutan terus menerus sampai generasi anak atau cucu, mendapatkan bagi hasil tanaman termasuk tanaman pokok, akses pengetahuan serta bibit yang disediakan Dinas Hutbun dan Perhutani. Jika MDH tidak mentaati kelembagaan PHBM, maka MDH tidak akan mendapatkan akses lahan dan diancam kasus pidana atau perdata. PHBM dilaksanakan berdasarkan kerangka rasionalitas berikut: Penambahan sumberdaya Pengurangan biaya
Tindakan pengelolaan sumberdaya
Pembentukan kelembagaan
Strategi nafkah
Penambahan pendapatan
Gambar 2. Kerangka Rasionalitas Nafkah PHBM Berdasarkan kerangka PHBM, penelitian diawali dengan mengidentifikasi sumber-sumber nafkah yang digunakan oleh rumahtangga di Desa Padabeunghar. Identifikasi sumber-sumber nafkah ini dilakukan untuk melihat apa yang dimaksud sumber nafkah oleh rumahtangga dan mengapa sebuah sumberdaya dianggap sebagai sumber nafkah. Identifikasi sumber nafkah dapat digunakan untuk melihat apakah sumberdaya hutan dianggap sumber nafkah oleh rumahtangga di Desa Padabeunghar. Identifikasi sumberdaya hutan sebagai sumber nafkah dilakukan dengan melihat peranan sumber nafkah di bidang pertanian dan posisi lahan hutan dalam proses produksi pertanian. Studi selanjutnya mengenai aktivitas nafkah yang dilakukan rumahtangga berkaitan dengan ke tersediaan sumber nafkah rumahtangga. Studi aktivitas nafkah dilakukan untuk mengidentifikasi tindakan-tindakan yang dilakukan rumahtangga untuk mengelola sumber nafkah yang dimiliki atau dapat diakses rumahtangga.
39
Analisis aktivitas nafkah dilakukan untuk mengidentifikasi pengertian biaya dan pendapatan yang mendasari pilihan aktivitas nafkah. Inventarisasi aktivitas nafkah diperlukan untuk memahami bentuk pengelolaan sumber nafkah dan pendapatan yang akan diperoleh rumahtangga melalui aktivitas nafkah tersebut. Studi tentang sumber nafkah dan aktivitas nafkah digunakan untuk memahami strategi nafkah rumahtangga, bagaimana sumber nafkah digunakan dan pilihan aktivitas nafkah yang dilakukan. Tipologi strategi nafkah rumahtangga penduduk Desa Padabeunghar menunjukkan rasionalitas rumahtangga yang mendasari tindakan-tindakan yang diambil dan membentuk strategi nafkah rumahtangga. Rasionalitas strategi nafkah rumahtangga merupakan penjelasan perbedaan strategi nafkah yang dirancang PHBM dengan strategi nafkah ya ng dilakukan rumahtangga di Desa Padabeunghar.
III.
3.1
METODOLOGI STUDI
Batas -batas Analisis Pilihan strategi nafkah rumahtangga Desa Padabeunghar merupakan gejala
sosiologis yang terjadi dalam suatu konteks sosial tertentu yaitu masyarakat Desa Padabeunghar yang berada di sekitar hutan Perhutani dan program PHBM yang dilaksanakan di Desa Padabeunghar. Konteks sosial dilihat dengan berdasarkan pada asumsi teori pertukaran dan teori pilihan rasional yang memandang hubungan sosial, kelembagaan dan organisasi sebagai hasil dari hubungan antar individu dan dibangun berdasarkan kepentingan individu untuk memaksimumkan utilitas. Analisis strategi nafkah telah berkembang sebagai suatu analisis sosial tersendiri. Mengetahui pilihan strategi nafkah yang dilakukan rumahtangga di Desa Padabeunghar terlebih dahulu harus diketahui tipologi strategi nafkah yang dibangun masyarakat Desa Padabeunghar. Pendekatan aset dan aktivitas dari Ellis (2000) akan digunakan untuk memahami strategi nafkah rumahtangga di Desa Padabeunghar. Berdasarkan pendapat Ellis (2000), strategi nafkah meliputi kemampuan akses aset dan aktivitas penggunaan aset. Aset yang ada digunakan sebagai sumber nafkah. Penggunaan sumber nafkah dalam tindakan tindakan untuk medapatkan pendapatan rumahtangga merupakan aktivitas nafkah. Strategi nafkah merupakan serangkaian pilihan sumber nafkah dan aktivitas nafkah yang dilakukan rumahtangga untuk mencapai tujuan rumahtangga. Tujuan strategi nafkah dibangun berdasarkan utilitas yang diinginkan rumahtangga. Konsep-konsep teori pilihan rasional digunakan untuk melihat bagaimana tindakan sosial dibangun sebagai bentuk rasionalisme individu anggota rumahtangga. Konsep-konsep rasionalitas menggunakan konsep rasionalitas yang dikemukakan Blau dalam teori pertukaran, Hecter dan Colleman (semuanya dalam Turner, 1998; Scott, 2000, Abell, 2000) dalam teori pilihan rasional. Teori pilihan rasional dapat menjelaskan rasionalisme dari sudut pandang individu yang melakukan tindakan, masyarakat Desa Padabeunghar dan pemerintah yang merumuskan kebijakan pengelolaan hutan.
41
Berdasarkan batas -batas analisis individu untuk memahami realitas sosial dan strategi nafkah sebagai analisis sosial tersendiri, penelitian ini menggunakan konsep strategi nafkah Ellis (2000) dan teori piliha n rasional (Blau; Hecter; Colleman; dalam Turner, 1998; Scott, 2000; Abell, 2000; dan Colleman, 1994). Konsep strategi nafkah digunakan untuk melihat pola nafkah masyarakat Desa Padabeunghar. Teori pilihan rasional digunakan untuk melihat landasan pilihan strategi nafkah rumahtangga di Desa Padabeunghar. Teori pilihan rasional dipahami sebagai titik tolak analisis rasionalitas PHBM dan rasionalitas penduduk Desa Padabeunghar. Hasil penelitian yang berbeda atau di luar penjelasan teori pilihan rasional dianggap sebagai kritik terhadap teori.
3.2
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Desa Padabeunghar, Kab. Kuningan, Jawa Barat.
Kabupaten Kuningan dipilih karena peneliti lahir di Kabupaten Kuningan, ini memudahkan peneliti mengenal wilayah penelitian dalam waktu penelitian yang singkat. Kabupaten Kuningan dipilih atas dasar diskusi panjang dengan LSM LATIN, pihak yang membantu peneliti selama penelitian dalam mengenal hutan sebagai konteks ekologi dan sosial nafkah rumahtangga di sekitar hutan. Sebelum menentukan tempat penelitian, peneliti mendatangi LSM KANOPI, sebuah LSM yang melakukan pendampingan pelaksanaan PHBM di Kabupaten Kuningan. Peneliti mengenal LSM KANOPI melalui LSM LATIN, sebuah LSM yang bergerak di bidang pembinaan masyarakat sekitar hutan. LSM KANOPI memberikan informasi tentang desa-desa hutan di wilayah Kabupaten Kuningan dan pelaksanaan program PHBM di Kabupaten Kuningan. Peneliti melakukan kunjungan pada dua desa hutan di wilayah Barat bersama anggota LSM KANOPI32 Kabupaten Kuningan, yaitu Desa Trijaya dan Desa Padabeunghar. Peneliti melakukan kunjungan pada 14 desa di wilayah Timur Kabupaten Kuningan. Kunjungan lebih banyak dilakukan di wilayah Timur Kabupaten Kuningan karena peneliti lahir dan besar di wilayah Timur Kabupaten 32
Wilayah Barat kabupaten Kuningan dibedakan dengan wilayah Timur dari karakter ekologi hutan yang berada di sekitar desa. Wilayah Barat merupakan wilayah yang berada di lereng Gunung Ciremai dan sebagian besar wilayah desa merupakan dataran tinggi. Hutan di wilayah Barat terdiri dari hutan pinus. Wilayah Timur Kabupaten Kuningan merupakan wilayah dataran rendah dengan tanaman hutan utama pohon jati.
42
Kuningan. Peneliti tidak memerlukan bantuan pihak lain untuk mengunjungi desadesa di Wilayah Timur Kabupaten Kuningan. Informasi mengenai pelaksanaan PHBM dan gambaran umum pengelolaan lahan hutan di desa-desa wilayah Timur diperoleh peneliti dari Asisten Perhutani (Asper) KPH Cibingbin, Bapak Qomarruddin. Peneliti mengenal baik Asper KPH Cibingbin setelah dikenalkan oleh saudara peneliti yang menjadi Asper di KPH Cikawurang, Indramayu. Desa Padabeunghar dipilih karena Desa Padabeunghar merupakan desa dengan wilayah hutan pangkuan terbesar di Kuningan, memiliki keterbatasan lahan yang dapat dimiliki rumahtangga sehingga menimbulkan desakan pada penggarapan lahan hutan. Desa Padabeunghar didampingi secara intensif oleh LSM dan dianggap kooperatif oleh LSM dan Pemerintah Kabupaten Kuningan. Keterangan pada kunjungan pertama menunjukkan rumahtangga di Desa Padabeunghar
aktif
menggarap
hutan.
Pemilihan
Desa
Padabeunghar
mempertimbangkan beberapa hal: pertama , desa tersebut terletak di sekitar kawasan hutan P erhutani. Kedua , desa merupakan komunitas terbuka yang dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah. Ketiga, penduduk desa menggunakan sumberdaya hutan dalam kegiatan nafkah sehari-hari. Keempat, wilayah hutan yang dapat diakses merupakan wilayah hutan pangkuan terluas di Kabupaten Kuningan. Kelima, Desa Padabeunghar memiliki keterbatasan wilayah desa yang dapat diakses sebagai lahan milik rumahtangga. Penelitian dilakukan pada bulan Maret sampai bulan Mei 2005. Penetapan waktu penelitian dilakukan dengan alasan keterbatasan penentuan jadwal penelitian yang telah disepakati oleh Program Studi Sosiologi Pedesaan. Penetapan waktu penelitian ini cukup bagi peneliti untuk mendapatkan informasi mengenai gambaran strategi nafkah pada komunitas Lembur dan gambaran mendala m tentang strategi nafkah pada rumahtangga kasus. Penetapan waktu penelitian ini menyebabkan peneliti tidak mendapatkan gambaran aktifitas nafkah pada waktu-waktu tertentu yang khas di Desa Padabeunghar, seperti saat musim panen saat terjadi penjualan dan pengolahan hasil lahan garapan hutan dan kebun karet, serta saat musim kemarau yang menyebabkan kebakaran hutan dan kesulitan air.
43
3.3
Pilihan Pendekatan Penelitian, Strategi Penelitian dan Metode Pengumpulan Data
3.3.1
Pendekatan Penelitian Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif karena sesuai dengan
permasalahan penelitian yang menuntut gambaran realitas sosial yang dibentuk oleh pemahaman subyektif tineliti. Peneliti mencoba menggali pemahaman subyektif tineliti berdasarkan pemahaman subyektif peneliti. Konsep-konsep sumber nafkah dan strategi nafkah ditafsirkan dari apa yang dikatakan, dilakukan, digunakan, dan dibutuhkan tineliti. Kerangka studi yang telah dibangun peneliti menjadi pengarah agar hasil penelitian dapat memenuhi tujuan penelitian. Penyusunan hasil penelitian ke dalam konsep-konsep dalam teori atau hasil penelitian terdahulu bukan untuk melakukan generalisasi, namun untuk mempermudah analisis data. Konsep umum seperti sumber nafkah, modal, strategi nafkah, rasional, tenaga kerja, dan rumahtangga, digunakan untuk menjelaskan konsep yang sama yang dibangun di masyarakat Desa Padabeunghar. Peneliti mencoba memahami konteks penelitian yang dalam hal ini desa hutan yang mengikuti program PHBM. Ini didasarkan pada anggapan bahwa penelitia n kualitatif bersifat gayut nilai, berkaitan erat dengan konteks sosial tempat tineliti. Pemahaman tineliti tentang konteks sosial tineliti tidak hanya diperoleh dari tineliti, peneliti juga mengandalkan pemahaman LSM yang telah melakukan pendampingan selama dua tahun dan mengikuti proses pembentukan PHBM di Kabupaten Kuningan sejak tahun 1999.
3.3.2
Strategi Penelitian Berdasarkan tipe pertanyaan penelitian, tidak adanya kontrol terhadap
peristiwa dan sifat tujuan yang bersifat deskriptif maka penelitian ini menggunakan strategi non-survei dengan studi kasus sebagai instrumen utamanya (Sitorus, 1998) . Strategi penelitian studi kasus dipilih untuk melihat pilihan strategi nafkah rumahtangga di Desa Padabeunghar sebagai suatu gejala sosial yang unik dan kontemporer. Kasus bersifat instrumental, dipilih untuk memahami penggunaan sumberdaya hutan dalam strategi nafkah rumahtangga. Kasus dipilih untuk melihat bagaimana rumahtangga memaknai sumber-sumber nafkah dan
44
sumberdaya hutan sebagai sumber nafkah, bagaimana penggunaan sumber nafkah dalam rumahtangga, siapa sajakah anggota rumahtangga yang melakukan pilihan strategi nafkah, pertimbangan apa yang digunakan rumahtangga dalam melakukan pilihan strategi nafkah dan untuk tujuan apa pilihan strategi nafkah dilakukan, serta kekuatan sosial apa yang mempengaruhi pilihan strategi nafkah yang dilakukan rumahtangga. Kasus dipilih untuk mendapatkan informasi tentang: jenis sumber nafkah yang digunakan, penggunaan SDH, arti pendapatan, alokasi tenaga kerja rumahtangga, orientasi tindakan aktor, dasar stratifikasi dalam komunitas, keterhubungan dengan komunitas lain, kelembagaan lokal yang mempengaruhi strategi nafkah rumahtangga. Delapan rumahtangga penggarap lahan hutan anggota PHBM dijadikan rumahtangga kasus. Pemilihan jumlah delapan kasus ini menunjukkan tipologi strategi nafkah yang khas. Pemilihan delapan kasus ini didasari oleh perbedaan karakter nafkah rumahtangga, akses sumber nafkah, dan aktivitas nafkah anggota rumahtangga. Pemilihan rumahtangga kasus dilakukan berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan setelah berada di Desa Padabeunghar.
3.3.2.1 Rumahtangga yang Menggunakan Sumberdaya Alam Sumber Nafkah
Sebagai
Pak Suh, 50 tahun, adalah orang yang pertama kali menarik perhatian peneliti. Pak Suh merupakan ketua Forum PHBM yang mendapat gelar “profesor leuweung” (“profesor” hutan) dari Kepala Desa Padabeunghar, sesama penggarap hutan, dan anggota LSM yang melakukan pendampingan di Desa Padabeunghar. Rumahtangga Pak Suh merupakan rumahtangga yang menggunakan sumberdaya hutan dan sumberdaya pertanian lain seperti sawah dan lahan kebun karet sebagai basis nafkah rumahtangga. Rumahtangga Pak Suh merupakan rumahtangga yang terdiri dari dua KK. Anak Pak Suh yang telah menikah masih tinggal bersama di rumah Pak Suh. Menurut aturan Desa Padabeunghar, anak P ak S uh yang telah menikah merupakan KK yang berbeda dengan KK Pak Suh. Ibu Pak Suh yang telah menjanda juga masih tinggal bersama dengan Pak Suh. Karakter rumahtangga Pak Suh merupakan satu contoh karakter rumahta ngga dua KK.
45
Rumahtangga
P ak
Suh
memberi
gambaran
rumahtangga
yang
menggunakan sumberdaya alam sebagai sumber nafkah. Rumahtangga Pak Suh mendapatkan pendapatan untuk konsumsi, sekolah anak dan menghadapi keadaan-keadaan sulit dengan menggunakan sumberdaya alam termasuk sumberdaya hutan.
3.3.2.2 Rumahtangga yang Menjadikan Sumberdaya Alam Milik Sebagai Orientasi Nafkah Wa Am merupakan orang yang dikenal sebagai pemimpin kelompok penggarap hutan yang berhasil di Desa Padabeunghar. Wa Am menjadi penggarap lahan hutan sejak masa tumpangsari, tahun 1980-an. Wa Am memutuskan untuk berhe nti menggarap lahan hutan setelah berhasil menyewa sawah. Rumahtangga Wa Am memberi pemahaman tentang orientasi menggarap lahan hutan dan nilai sumberdaya alam bagi rumahtangga Desa Padabeunghar. Wa Am dan kelompoknya tidak menggarap hutan lagi setelah berhasil menyewa sawah. Rumahtangga Wa Am memberi pemahaman bahwa menggarap lahan hutan merupakan jalan untuk menggarap sawah sebagai modal alami yang paling diinginkan untuk digarap oleh rumahtangga.
3.3.2.3 Rumahtangga yang Menggunakan Sumberdaya Alam Sebagai Salah Satu Bentuk Investasi Rumahtangga Bi En, 42 tahun, adalah rumahtangga yang menjadi tempat menumpang selama peneliti berada di Desa Padabeunghar. Peneliti tinggal menumpang dengan rumahtangga Bi En bukan atas pilihan peneliti atau atas keinginan untuk memahami strategi nafkah rumahtangga Bi En tetapi karena ditempatkan oleh kepala Desa Padabeunghar. Pemilihan rumahtangga Bi En sebagai rumahtangga kasus dilakukan peneliti karena rumahtangga Bi En merupakan contoh rumahtangga yang menggunakan strategi nafkah berbasis anggota rumahtangga dengan antisipasi jangka panjang yang konstruktif. Rumahtangga Bi En termasuk rumahtangga dengan dua KK. Anak pertama Bi E n menikah dengan kepala Desa Padabeunghar dan tinggal satu rumah dengan Bi En. Rumahtangga Bi En melakukan berbagai tindakan untuk menjaga
46
keamanan ekonomi dan hubungan sosial rumahtangga di masa kini dan di masa depan. Rumahtangga Bi En memberi gambaran penggunaan sumberdaya sebagai bentuk investasi yang khas di Desa Padabeunghar.
3.3.2.4 Rumahtangga yang Menggunakan Sumberdaya Alam Sebagai Suatu Bentuk Asuransi Ma Um adalah seorang janda yang berusia 68 tahunan. Ma Um masih aktif menggarap lahan hutan. Ma Um merupakan salah satu dari sekian banyak perempuan pada kelompok usia kakek yang aktif bekerja di bidang pertanian. Ma Um mempersiapkan lahan garapan untuk memenuhi kebutuhan hidup di saat ia tak mampu lagi menggarap lahan. Ma Um melakukan berbagai aktivitas nafkah untuk menjamin kehidupan di masa tua. Ma Um mengangkat dua orang anak, Ceu Acih, 29, dan YN, 28 tahun. Ma Um mengangkat anak untuk menemani, mengurus saat sakit dan mengurus saat Ma Um tidak mampu bekerja. Ma Um mendapat warisan uang gaji veteran dari almarhum suami Ma Um.
3.3.2.5 Rumahtangga Komunitas
yang
Mengutamakan
Upaya
Bersama
dengan
Bu Et, 35 tahun, menunjukkan rumahtangga dengan strategi nafkah berdasarkan keterikatan yang kuat dengan tanah kelahirannya. Bu Et pernah bekerja sebagai pembantu rumahtangga di Jakarta, menikah dan tinggal di Lampung dan kembali ke Desa Padabeunghar dengan mengorbankan kebun kopi, rumah dan warung yang dimiliki di Lampung. Bu Et merasa kehidupannya di Lampung lebih baik dari pada di Desa Padabeunghar, meskipun begitu, Bu Et tetap ingin pulang ke Desa Padabeunghar. Bu Et tidak tahan jauh dari Desa Padabeunghar. Rumahtangga Bu Et dapat memberi gambaran basis integrasi dalam komunit as sebagai dasar pembentukan strategi nafkah rumahtangga. Bu Et merupakan tineliti utama untuk memahami rumahtangga Bu Et. Peneliti mengenal Bu Et melalui Nana, anggota LSM KANOPI. Setelah itu, berhenti di warung Bu Et jika akan ke lahan garapan Kiara, ke Kuningan atau ke Kecamatan Pasawahan merupakan keharusan bagi peneliti. Kebiasaan yang sama
47
dilakukan oleh masyarakat Desa Padabeunghar yang menggarap lahan hutan di Kiara atau menuju desa lain dengan menggunakan motor.
3.3.2.6 Rumahtangga yang Menggunakan peluang Kerja dalam Desa Sebagai Sumber Nafkah Utama Rumahtangga Pak Bd merupakan rumahtangga yang terdiri dari satu KK dan bekerja sebagai mandor Perhutani. Pak Bd bekerja mengawasi penanaman dan pemeliharaan tanaman di lahan Perhutani. P ak Bd merupakan war ga asli Desa Padabeunghar dan baru dua tahun bertugas di Desa Padabeunghar setelah sebelumnya bertugas di wilayah Kuningan Bagian Timur. Rumahtangga Pak Bd memberi gambaran suatu rumahtangga yang menggunakan peluang pekerjaan di dalam desa. Gambaran tentang sumber nafkah lain
selain
sumberdaya
alam
diperlukan
untuk
melihat
keterlepasan
ketergantungan rumahtangga terhadap sumberdaya alam dan pilihan rumahtangga pada sumberdaya alam jika ada pilihan di luar sumberdaya alam.
3.3.2.7 Rumahtangga yang Meng gunakan Modal Sosial Sebagai Basis Nafkah Bu Ut, 43 tahun, merupakan pemilik warung kebutuhan sehari-hari yang berada sejajar dengan balai desa. Warung Bu Ut tidak terlalu besar namun selalu ramai dikunjungi pembeli. Rumahtangga Bu Ut dijadikan rumahtangga kasus karena berdasarkan hasil informasi yang diperoleh, warung merupakan lembaga ekonomi penting dalam nafkah rumahtangga di Desa Padabeunghar. Warung menjadi sarana simpan pinjam informal yang memegang peranan penting untuk memenuhi kebutuhan hidup rumahtangga di Desa Padabeunghar. Bagi warga Desa Padabeunghar yang tidak selalu memiliki uang tunai, memperoleh barang dengan cara meminjam merupakan cara bertahan hidup yang khas. Rumahtangga Bu Ut memberikan pemahaman tentang rumahtangga yang menerapka n strategi nafkah berbasis ikatan-ikatan sosia l dalam masyarakat Desa Padabeunghar. Warung yang dimiliki Bu Ut mengandalkan hubungan yang terbentuk oleh ikatan sosial di Desa Padabeunghar.
48
Rumahtangga B u Ut merupakan rumahtangga yang tidak menggarap lahan hutan. Bu Ut membuka warung untuk mengisi waktu di rumah. Suami Bu Ut bekerja sebagai tukang yang menerima panggilan bekerja di perantauan atau di dalam desa. Kebutuhan hidup sehari-hari diperoleh dari pendapatan warung dan upah yang diterima suami B u Ut. Selain memberikan gambaran tentang kelompok usia orang tua yang tidak tergantung pada hasil pertanian, Rumahtangga Bu Ut memberi pemahaman tentang peranan ikatan sosial dalam mengendalikan hubungan tukar menukar antara penjual dan pembeli.
3.3.2.8 Rumahtangga yang Menggunakan peluang Kerja Di Luar Desa Sebagai Basis Nafkah Pekerjaaan sebagai pekerja bangunan di Jakarta atau di kota -kota besar lainnya menjadi salah satu pilihan pekerjaan bagi masyarakat Desa Padabeunghar. Beberapa orang pekerja bangunan yang berhasil dapat menjadi bos atau supplier tenaga kerja bagi perusahaan, salah satunya adalah Pak Sud. Rumahtangga Pak Sud benar-benar tergantung pada pekerjaan dari merantau. Kedudukan Pak Sud sebagai supplier memungkinkan Pak Sud memperoleh penghasilan yang mencukupi tanpa memiliki sumber nafkah di bidang pertanian. Pak Sud dijadikan rumahtangga kasus untuk menggambarkan strategi nafkah rumahtangga tanpa mengandalkan sumber nafkah pertanian. Peneliti sudah lama memperhatikan bentuk rumah Pak Sud yang lebih besar dari pada rumah-rumah di sekitarnya. Akhirnya peneliti dapat bertemu dengan Pak Sud ketika Pak Sud baru datang dari Bali. Sebenarnya, Bos rantau yang paling terkenal di Desa Padabeunghar adalah Bos Enon, tetapi Bos Enon lebih banyak tinggal di Jakarta dan tidak dapat ditemui oleh peneliti selama peneliti tinggal di Desa Padabeunghar.
3.3.3
Metode Pengumpulan Data Beberapa metode pengumpulan data dilakukan untuk memperoleh
pemahaman tentang strategi nafkah dan pilihan strategi nafkah yang dilakukan oleh rumahtangga di Desa Padabeunghar seperti wawancara mendalam, pengamatan berperan serta dan analisis dokumen.
49
Metode pengumpulan data digunakan untuk mendapatkan data primer dan data sekunder yang berguna untuk menjawab pertanyaan penelitian. Data primer diperoleh melalui tineliti yang memberi keterangan tentang dirinya sendiri atau tentang orang lain. Data-data sekunder mengenai kesepakatan-kesepakatan antara masyarakat Desa Padabeunghar dan Perhutani, data potensi desa, gambaran wilayah hutan dan desa hutan, dan perencanaan pelaksanaan taman nasional dicari dari Pemerintah Desa Padabeunghar, Perhutani, Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan, LPI, LATIN dan KANOPI.
3.3.3.1 Wawancara Mendalam Pada tahap awal, peneliti mewawancarai penggarap lahan hutan yang secara intensif dibimbing oleh KANOPI. Peneliti menanyakan tentang apa saja yang menjadi sumber-sumber nafkah dan aktivitas nafkah yang dilakukan. Peneliti juga mewawancarai tineliti tentang hubungan dan pendapat tineliti tentang LSM, Perhutani dan pemerintah daerah. Ketidakobyektifan data karena adanya pengaruh pendapat LSM pada masyarakat Desa Padabeunghar mungkin terjadi. Kekurangan ini diatasi dengan cek silang dan wawanc ara mendalam antara tineliti dan dengan tineliti yang tidak dibimbing intensif oleh LSM. Wawancara mendalam dilakukan untuk memperkenalkan peneliti, mengenal tineliti, mendapatkan data tentang sumber nafkah dan pekerjaan tineliti dan alasan tindakan tineliti. Wawancara dilakukan dengan: berkunjung secara resmi pada awal wawancara, kunjungan informal ke rumah tineliti, wawancara saat perjalanan ke sawah atau ke hutan, wawancara saat membeli makanan di warung, dan wawancara saat membantu pekerjaan tineliti. Wawancara tidak dilakukan satu kali, peneliti perlu mendatangi tineliti kembali untuk wawancara untuk memastikan bahwa tineliti menceritakan hal yang sebenarnya. Kunjungan yang berulang juga dilakukan untuk menjalin kedekatan antara peneliti dan tineliti. Frekuensi wawancara atau pengamatan tertinggi dilakukan peneliti pada delapan rumahtangga yang akan dibahas sebagai kasus. Peneliti bahkan tinggal di satu rumahtangga yang dijadikan kasus penelitian. Konfirmasi data juga dilakukan dengan wawancara dan pengamatan ulang terhadap tineliti.
50
Fenomena umum ditanya pada setiap tineliti untuk mendapatkan gambaran dari berbagai sudut pandang tineliti. Informasi yang melibatkan pihak lain, seperti informasi dari Perhutani tentang rumahtangga di Desa Padabeunghar atau pemerintah Desa Padabeunghar, ditanyakan ulang kepada anggota rumahtangga atau pemerintah Desa Padabe unghar, dan sebaliknya. Cek silang juga dilakukan peneliti pada tineliti lain atau LSM atau Prhutani yang terkait dengan informasi dari tineliti.
3.3.3.2 Pengamatan Berperan Serta Pengamatan berperan serta dilakukan untuk mendapatkan gambaran strategi nafkah rumahtangga sebagai suatu realitas yang benar-benar dilakukan oleh rumahtangga di Desa Padabeunghar. Pengamatan yang dilakukan adalah pengamatan dengan keterbukaan terbatas. Peneliti memberi tahu tujuan penelitian tetapi setelah peneliti mengenal tineliti dengan baik peneliti melakukan pengamatan dengan ikut serta dalam kegiatan sehari-hari tineliti tanpa memberitahukan kembali tujuan pengamatan. Pengamatan dengan keterbukaan terbatas hanya dilakukan peneliti setelah peneliti dikenal dan diterima baik sebagai “mahasiswa yang sedang penelitian” untuk menjaga etika penelitian. Peneliti mengamati aktivitas nafkah anggota rumahtangga dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya, peneliti berada di rumah Bi En dan mengamati Bi En memasak makanan, mengikuti B i En mengantar makanan ke sawah, mengamati sawah dan kebon Bi En, mengamati Pak Dm menggembalakan kerbau dan memetik sayuran di lahan garapan hutan, mengamati Ceu Mm anak Bi En mencuci baju, mengasuh anak dan membersihkan rumah, mengamati Ikah anak Bi En yang kedua pada saat liburan seolah hari minggu dan aktivitas P ak Kd menantu B i E n. Hal yang sama dilakukan pada Ma Um, dan Pak Suh. Pengamatan peneliti pada rumahtangga Pak Sud, Pak Bd, Wa Am, Bu Ut, dan Bu Et hanya sebatas waktu siang hari saat mereka membuka warung, pergi ke hutan atau mengasuh anak. P engamatan ini memberi informasi tentang aktivitas tineliti yang kadang berbeda dengan hasil wawancara. Peneliti juga melakukan pengamatan pada realitas yang terjadi pada komunitas Desa Padabeunghar terutama yang terjadi di Lembur. Peneliti
51
mengamati saat seorang anggota komunitas Desa Padabeunghar jatuh pingsan di halaman rumah. Seluruh warga Lembur yang melihat langsung datang menolong. Sesaat kemudian setiap orang yang mendengar kabar itu datang ke rumah si sakit. Pengunjung kemudian membagi pekerjaan ada yang mengantar ke dokter, membantu memasak nasi, mengasuh anak si sakit dan menunggu rumah si sakit. Ini memberi gambaran nyata ikatan sosial yang diketahui peneliti dari tineliti saat wawancara. Realitas ini tidak setiap saat terjadi. Peneliti sering duduk di tukang bakso depan balai desa, tempat paling ramai di Lembur, berkunjung ke sawah dan lahan garapan hutan maupun kebun karet, dan duduk bersama ibu-ibu yang menyuapi anak di sore hari agar dapat menangkap bentuk nyata dari ikatan sosial, kelembagaan sosial, dan aktivitas nafkah rumahtangga kasus dan komunitas Kampung di Desa Padabeunghar. Pengamatan dengan keterbukaan terbatas dilakukan untuk menjaga kealamian kejadian atau pendapat tineliti. Keuntungan pengamatan yang dilakukan peneliti adalah peneliti mendapatkan informasi yang alami dan benarbenar dilakukan oleh tineliti. Kelemahan pengamatan yang dilakukan peneliti adalah tidak ada batasan sasaran pengamatan sehingga pengamatan yang dilakukan sering tidak terarah.
3.3.3.3 Analisis Dokumen Peneliti mendapatkan dokumen tentang PHBM dan potensi Desa Padabeunghar dari Perhutani, LSM dan pemerintah Desa Padabeunghar. Dokumen yang dianalisa peneliti adalah dokumen tentang perjanjian atau kesepakatan antara Perhutani dan masyarakat Desa Padabeunghar atau antara Perhutani dengan pemerintah daerah, Rencana Strategis PHBM di Kabupaten Kuningan,
Laporan
Pelaksanaan
PHBM
Tahun
2002-2003,
Rencana
Imple mentasi PHBM Tahun 2004, Pokok-pokok PHBM Kabupaten Kuningan Tahun 2001, makalah yang ditulis Bupati Kuningan, LSM LATIN, LSM KANOPI, Ketua LPI yang disampaikan dalam lokakarya atau pertemuan yang membahas PHBM di Kuningan. Dokumen-dokumen tersebut dipahami dan dijadikan rujukan tentang perumusan PHBM, prinsip dasar, pelaksanaan dan hubungannya dengan MDH.
52
Peneliti tidak hanya membaca isi dokumen untuk memahami PHBM di Kuningan. Pemahaman tentang isi dokumen diperoleh peneliti melalui diskusi dengan Dosen Pembimbing, anggota LPI, Perhutani dan LSM. Wawancara tentang isi dokumen memberikan informasi dan pemahaman tentang konteks pembentukan dokumen, isi dokumen, alasan pembuatan dokumen dan kepentingan aktor pembuat dokumen. Cek silang selalu dilakukan peneliti dalam memahami isi dokumen. Cek silang penting dilakukan terutama untuk memahami konteks yang mendasari pembentukan dan isi sebuah dokumen. PHBM dirumuskan oleh tiga aktor utama, Perhutani, LSM dan MDH dan pemerintah daerah, yang memiliki kepentingan yang berbeda pada PHBM. Isi dokumen tidak selalu menunjukkan realitas sosial yang sebenarnya terjadi.
3.4
Subyek Penelitian Subyek penelitian adalah orang yang diharapkan dapat memberi
pemahaman pada masalah penelitian. Tineliti dipilih secara purposif berdasarkan pada kebutuhan data untuk menjawab masalah penelitian. Tineliti awal adalah orang-orang yang pertama kali dikenal peneliti di Desa Padabeunghar, Kepala Desa Padabeunghar, Pak Suh dan B i E n. Peneliti banyak memanfaatkan hubungan yang telah dibangun LSM KANOPI sebagai pintu masuk pada komunitas Desa Padabeunghar. Tineliti selanjutnya ditentukan berdasarkan informasi dari tineliti pertama atau disebut teknik bola salju. Berdasarkan wawancara dengan responden33 awal maka dipilih empat orang aparat desa, satu orang sopir angkutan, dua orang mandor perhutani, dan seorang ketua kelompok penggarap hutan sebagai informan34. Pemilihan empat orang aparat desa dilakukan karena empat orang aparat desa itu yang dapat hadir pada saat peneliti meminta Kepala desa mengundang aparat desa untuk memberi gambaran profil sosial-ekonomi desa. Sopir angkutan yang juga ketua pemuda Desa Padabeunghar dikenal peneliti di rumah Pak Suh. Bang Le i, nama sopir angkutan itu, aktif mengikuti kegiatan pengelolaan hutan yang dipelopori kepala desa Desa Padabeunghar dan dapat memberikan gambaran aktivitas pemuda di 33 34
Responden adalah tineliti yang memberikan keterangan tentang dirinya sendiri. Informan adalah tineliti yang memberikan keterangan tentang orang lain
53
Desa Padabeunghar. Dua orang mandor Perhutani, Pak Bd dan Pak Uj, dipilih sebagai tineliti karena dapat memberikan informasi tentang pengelolaan hutan yang dilakukan Perhutani setelah ada PHBM. Ketua kelompok penggarap hutan terlambat diwawancari karena hambatan waktu, informan tidak ada di rumah pada siang hari. Informasi dari tineliti ini memberi gambaran tentang profil sosial-ekonomi desa, kelembagaan sosial yang be rperan dalam nafkah, sumber-sumber nafkah, aktivitas nafkah dan perbedaan pilihan nafkah pada usia tineliti yang berbeda. Peneliti selanjutnya memilih seorang yang pernah bekerja di perkebunan karet, seorang bidan desa, seorang dukun bayi, seorang penyalur tenaga kerja, dua orang pekerja bangunan, seorang pemuda yang biasa bermain di depan balai desa, seorang pedagang minuman di Kiara dan seorang pe milik warung di Desa Padabeunghar untuk melengkapi informasi yang telah diperoleh. Pemilihan tineliti dilakukan dengan alasan kebutuhan data. Pekerja di kebun karet dipilih setelah peneliti mendapat gambaran tentang peranan lahan kebun karet sebagai sumber nafkah rumahtangga. Bidan desa dan dukun bayi diwawancarai untuk mendapat informasi tentang pilihan tindakan rumahtangga pada saat sakit dan informasi tentang strategi nafkah membatasi kelahiran pada rumahtangga di Desa Padabeunghar. Penyalur tenaga kerja dan pekerja bangunan dipilih untuk memahami pilihan nafkah di luar desa yang banyak dipilih rumahtangga di Desa Padabeunghar. Pemuda yang sering duduk di depan balai desa dipilih untuk melengkapi informasi dari tineliti awal tentang pergeseran pilihan nafkah pada kelompok usia anak. Pedagang minuman dan pemilik warung dipilih setelah mendapat informasi tentang simpan pinjam informal di warung.
3.5
Unit Analisis Penelitian dilakukan pada unit analisis di tingkat rumahtangga. Ini
berdasarkan pendapat Moser (1998); Beall dan Kanji (1999); Satterthwaite (1999) bahwa analisis strategi nafkah berada di aras rumahtangga. Bersandar pada hasil penelitian terdahulu ini peneliti menggunakan rumahtangga sebagai unit analisis. Pengertian rumahtangga dibangun berdasarkan unit yang dianggap sebagai kesatuan sosial dan ekonomi oleh komunitas Desa Padabeunghar. Rumahtangga
54
diartikan
sebagai
satu
Kepala
Keluarga
(KK)
oleh
pemerintah
Desa
Padabeunghar. KK adalah pencari nafkah utama dalam rumahtangga. Hasil penelitian menunjukkan unit satu KK bukan merupakan satu kesatuan sosialekonomi, unit satu rumah lebih menunjukkan kesatuan sosial ekonomi di Desa Padabeunghar. Unit satu rumahtangga ini tidak menunjukkan pola pilihan nafkah rumahtangga Desa Padabeunghar. Pola pilihan nafkah tidak ditemukan di tingkat rumahtangga. Peneliti kemudian mengubah unit analisis di tingkat individu. Pola pilihan nafkah dapat dipetakan diantara individu tineliti yang berbeda usia dan jenis kelamin. Rumahtangga berperan dalam menentukan tujuan rumahtangga. Individu melakukan pilihan strategi nafkah berdasarkan tujuan rumahtangga.
3.6
Teknik Pengolahan dan Analisa Data Pengolahan dan analisa data ditujukan untuk dapat menjelaskan pilihan
strategi nafkah rumahtangga di sekitar hutan. Unit analisis dinyatakan Individu dalam rumahtangga kasus dinyatakan dalam unit analisis rumahtangga. Rumahtangga tidak terlepas dari sistem masyarakat secara keseluruhan. Strategi nafkah nafkah rumahtangga dalam sistem masyarakat dianalisis dari data hasil wawancara dengan tineliti dalam rumahtangga kasus, tineliti di luar rumahtangga kasus, dan institusi yang berada di luar masyarakat seperti Perhutani, LSM dan Pemerintah Daerah Kuningan. Hasil wawancara mendalam maupun pengamatan berpartisipasi ditulis dalam catatan harian. Catatan harian ini kemudian dipilah berdasarkan kategorisasi data sesuai dengan rumusan masalah penelitian. Data yang telah dipilah tersebut menjadi bahan dalam menyusun tulisan. Data tersebut dikelompokkan dalam bentuk matrik dan kategori-kategori untuk mempermudah penjelasan strategi nafkah rumahtangga di desa hutan. Hasil penelitian disusun dalam lima tahap penulisan. Bagian pertama, penulisan
ajang
penelitian,
menguraikan
profil
sosial-ekonomi
Desa
Padabeunghar. Bagian ini menguraikan hasil penelitian tentang kondisi fisik desa, hubungan dengan desa lain atau lembaga di luar desa, struktur demografi dan struktur sosial ekonomi desa, serta fasilitas kegiatan ekonomi. Bagian profil
55
sosial-ekonomi desa ini menunjukkan konteks fisik, sosial dan ekonomi yang berpengaruh pada strategi nafkah dan pilihan strategi nafkah rumahtangga di Desa Padabeunghar. Bagian kedua mengidentifikasi aktivitas nafkah yang yang ada di dalam desa maupun di luar desa tetapi dapat diakses oleh rumahtangga. Bagian kedua ini berisi deskripsi sumber nafkah rumahtangga di Desa Padabeunghar berdasarkan anggapan tineliti tentang sumber nafkah. Bagian ketiga mengidentifikasi tipe-tipe strategi nafkah berdasarkan penggunaan sumber nafkah oleh rumahtangga. Tipetipe strategi nafkah menggambarkan pekerjaan yang menjadi sumber nafkah bagi anggota rumahtangga kasus. Bagian keempat me rupakan bagian analisis data. Bagian keempat dibagi menjadi dua bagian, bagian pilihan strategi nafkah yang dilakukan rumahtangga Desa Padabeunghar dan bagian perbandingan antara rasionalisme nafkah petani dengan rasionalisme nafkah yang dirancang PHBM. Data tentang rasionalisme PHBM diperoleh dari dokumen dan aktor yang berperan dalam perumusan konsep kelembagaan PHBM dibandingkan dengan data pilihan strategi nafkah rumahtangga di Desa Padabeunghar. Bagian kelima merupakan bagian penyimpulan hasil penelitian. Penelitian ini dilakukan sampai tahap pemetaan rasionalisme nafkah rumahtangga dalam menjelaskan pelaksanaan PHBM di Desa Padabeunghar. Peneliti tidak melakukan analisis lebih lanjut untuk mengajukan konsep pengelolaan hutan yang sesuai dengan strategi nafkah rumahtangga di Desa Padabeunghar. Proses penelitian tidak tertutup pada perubahan. Kerangka pemikiran maupun pendekatan teoritis bersipat terbuka sesuai temuan di lapangan. Hasil analisa catatan harian akan ditanyakan kembali untuk mengurangi pengaruh subyektifitas peneliti.
VI.
4.1
PROFIL SOSIAL EKONOMI DESA PADABEUNGHAR
Lokasi dan Lingkungan Fisik Desa Padabeunghar merupakan salah satu desa yang dikelompokkan
sebagai desa hutan. Desa Padabeunghar terletak di sekitar hutan lindung Gunung Ciremai dan hutan produksi yang semuanya berada dalam penguasaan Perhutani. Hutan lindung Gunung Ciremai dahulu merupakan hutan produksi Perhutani. Pada tahun 2000, status hutan produksi beralih menjadi hutan lindung. Tahun 2002, akses sumberdaya hutan dibuka melalui PHBM. Bulan Mei tahun 2005, Perhutani di Gunung Ciremai ditetapkan menjadi taman nasional. Hutan di sekitar Desa Padabeunghar gundul sejak awal tahun 1980-an. Hutan tersebut hanya tinggal semak-semak diantara tanah berbatu sekarang. Jika kita melalui jalan ke Desa Padabeunghar pada siang hari, kita akan mencium bau sangit yang berasal dari batu yang terbakar matahari. Bau sangit tersebut akan semakin keras pada saat musim kemarau. Musim kemarau yang sangat panjang dan panas dianggap sebagai penyebab kebakaran yang menghabiskan semaksemak diantara batu-batu yang ada di bukit. Tiga tahun terakhir, musim kemarau tidak terlalu panjang sehingga tidak terjadi kebakaran35. Desa Padabeunghar memiliki kontur tanah berbukit yang curam. Kontur tanah berbukit disebabkan oleh letak Desa Padabeunghar yang berada di lereng gunung. Kontur tanah berbukit menyebabkan tidak cukup banyak dataran yang dapat digunakan untuk sawah atau pemukiman penduduk. Sawah dan pemukiman berada di tempat-tempat yang cukup datar dan menyediakan cukup banyak sumber air. Sumber air menjadi masalah untuk pengairan sawah sejak hutan pinus gundul. Mata air di Desa Padabeunghar sekarang hanya tinggal tiga, mata air Cipari, mata air Bujangga dan mata air Talaga Bogo. Mata air Cipari merupakan mata air yang terbesar yang masih ada di hutan Desa Padabeunghar. Mata air Cipari terletak di dekat hutan lindung yang masih memiliki banyak tegakan pohon pinus yang terletak di Kabupaten Majalengka. Mata air Cipari berada sekitar sembilan kilometer dari bala i Desa Padabeunghar. Mata air Cipari digunakan 35
Wawancara dengan Bu E, 30 April 2005
57
sebagai penyedia air bersih untuk kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat Desa Padabeunghar dan untuk irigasi sawah Cipari, sawah Tarikolot, sawah Gibug sampai sawah Ciseeng yang berada di dekat pemukiman penduduk. Mata air Cipari dapat menyediakan air untuk pengairan sawah dan kebutuhan sehari-hari penduduk pada musim hujan. Pada musim kemarau, mata air Cipari tidak cukup mengairi sawah-sawah lain yang terletak lebih jauh dari mata air. Bahkan, pada musim kemarau yang sangat panjang, penduduk Desa Padabeunghar harus mencari air untuk kebutuhan sehari-hari ke sungai di Cikalahang. Kesulitan air dirasakan penduduk setelah hutan pinus dan kebun karet ditebang. Sebelumnya, selokan-selokan di Desa Padabeunghar selalu mengalirkan air bersih dari mata air di hutan. Desa Padabeunghar terletak 300-500 m di atas permukaan laut. Desa Padabeunghar sering digunakan sebagai persinggahan pendaki gunung yang akan mendaki Gunung Ciremai. Pendaki tersebut biasanya akan mengajak seorang warga Desa Padabeunghar yang biasa naik ke Gunung Ciremai sebagai pemandu. Jalur Desa Padabeunghar memang tidak seramai jalur Desa Puncak. Menurut Evi, aktivis LSM KANOPI yang biasa mendaki Gunung Ciremai, jalur Desa Padabeunghar lebih jauh, membutuhkan waktu yang lama, dan lebih melelahkan. Evi merasakan lebih cepat sampai jika naik Gunung Ciremai melalui jalur Desa Puncak dari pada melalui jalur Desa Padabeunghar. Evi hanya memerlukan waktu 2-3 hari untuk mencapai puncak gunung jika mendaki dari Desa Puncak, sedangkan jika menggunakan jalur Desa Padabeunghar, Evi membutuhkan waktu satu minggu36. Keadaan fisik Desa Padabeunghar ini berpengaruh pada ketersediaan lahan untuk usaha pertanian rumahtangga. Desa Padabeunghar memiliki sedikit lahan yang dapat diklaim menjadi milik rumahtangga petani dari pada lahan hutan dan lahan kebun karet milik Perhutani dan pengusaha pemegang HGU yang ada di Desa Padabeunghar.
4.2 36
Keterhubungan Dengan Daerah Lain
Wawancara dengan Evi, 7 Maret 2005.
58
Secara administratif Desa Padabeunghar termasuk wilayah Kabupaten Kuningan, namun secara aktifitas ekonomi, warga Desa Padabeunghar lebih banyak melakukannya di Majalengka atau Cirebon. Pasar Kramat, pasar terdekat tempat penduduk membeli atau menjual barang merupakan bagian wilayah Kabupeten Cirebon. Rajagaluh, tempat penduduk sekolah atau berobat merupakan bagian Kabupaten Majalengka. Sebagian besar penduduk yang sakit akan di rawat di Majalengka atau di Cirebon, sangat jarang penduduk yang memilih dirawat di Kota Kuningan. Ini disebabkan oleh jarak antara Desa Padabeunghar-Kuningan yang lebih jauh dari pada antara Desa Padabeunghar-Cirebon atau Desa Padabeunghar-Majalengka. Desa Padabeunghar berada 42 km dari pusat Pemerintahan Kabupaten Kuningan. Jika ingin mencapai Desa Padabeunghar, kita harus naik angkutan umum sebanyak lima kali dengan ongkos Rp. 9.000,-. A lat transportasi yang dapat digunakan untuk pergi ke desa lain adalah mobil bak terbuka dengan tarif angkutan Rp. 1500,- dan ojek dengan tarif angkutan Rp. 4000,-. Mobil bak terbuka yang menjadi alat transportasi dari Desa Padabeunghar ke desa terdekat hanya ada pada pukul 5.00 pagi hari sampai pukul 12.00 siang hari, setelah itu, penduduk Desa Padabeunghar harus menggunakan ojek. Jalan menuju Desa Padabeunghar adalah jalan aspal kasar yang hanya bisa dilewati satu mobil. Jalan beraspal bagus hanya sampai Kecamatan Pasawahan. Desa Padabeunghar terletak sekitar delapan kilometer dari Kecamatan Pasawahan. Setelah melalui Kecamatan Pasawahan, kita akan menemui kebon 37 penduduk yang rimbun dengan tanah lereng berbatu. Satu kilometer berikutnya, bukit berbatu menjadi pemandangan tetap sampai memasuki wilayah pemukiman Desa Padabeunghar. Pemukiman Desa Padabeunghar merupakan komunitas yang terpisah dari komunitas yang lain. Wilayah pemukiman di Desa Padabeunghar tidak berbatasan langsung dengan wilayah pemukiman di desa lain. Wilayah pemukiman Desa Padabeunghar terpisah oleh bukit berbatu dengan Desa Pasawahan, terpisah oleh 37
Istilah kebon diambil langsung dari cara penduduk Desa padabeunghar menamai kebun. kebon merupakan suatu bidang tanah yang ditanami berbagai macam tanaman, dari tanaman kayu keras, tanaman buah-buahan, sampai tanaman semak seperti lengkuas, sagu, kunyit dan kunci. Istilah kebon diambil untuk membedakan dengan kebun seperti kebun karet yang dulunya ditanami satu jenis tanaman, yaitu tanaman karet.
59
sawah dan kebon dengan pemukiman Desa Cikalahang, terpisah oleh sawah dan hutan lindung dengan Desa Bantar Agung dan terpisah oleh bukit batu dan kebon penduduk dengan Desa Kaduela.
4.3
Kondisi Pemukiman
4.3.1
Kepadatan Pemukiman Desa Padabeunghar terbagi dalam tiga Dusun. Dusun tersebut dikenal
dengan nama dusun Margahayu atau Dusun I, Margamulya atau Dusun II dan Margamukti atau Dusun III. Sehari-hari dusun-dusun tersebut dikenal dengan nama Lembur, Cirendang, dan Muncangpandak. Berdasarkan kepadatan penduduk Dusun Margahayu merupakan dusun terpadat dengan 828 penduduk pada tahun 2005 38. Dusun Margahayu atau Lembur merupakan dusun yang teramai dan di dusun Margahayu terletak pusat pemerintahan desa. Ketiga dusun tersebut merupakan tiga kelompok tempat tinggal masyarakat yang berdekatan. Pemukiman di Desa Padabeunghar mengikuti kont ur tanah. Pemukiman dibangun di tanah landai yang cukup luas. Kondisi tanah Desa Padabeunghar yang berbukit-bukit
memang
tidak
memungkinkan
untuk
menyediakan
lahan
pemukiman yang luas. Keterbatasan tanah yang rata di Desa Padabeunghar menyebabkan rumah-rumah di Desa Padabeunghar berdekatan. Rumah dengan halaman cukup luas telah membagi halaman rumah untuk rumah berikutnya, bahkan terdapat halaman rumah yang telah diisi dengan pondasi untuk rumah berikutnya. Pemukiman di Desa Padabeunghar tidak tersusun menurut pola yang tetap. Rumah tidak selalu menghadap ke jalan utama desa atau ke arah gang-gang dalam wilayah pemukiman. Rumah-rumah dibangun menghadap tetangga. Bagian belakang rumah atau bagian dapur akan diberi pintu untuk menghubungi tetangga yang berada di belakang rumah. Percakapan antar dapur menjadi pemandangan yang biasa di waktu-waktu memasak39. Ibu-ibu akan saling mengunjungi di selasela kegiatan pengasuhan anak dan memasak. 38 39
Data dari data penduduk tahunan Desa Padabeunghar, 2005. Waktu memasak adalah waktu-waktu ibu rumahtangga memasak nasi dan mempersiapkan laukpauk untuk makanan sehari-hari atau untuk diantarkan ke sawah. Memasak dilakukan pada pagi hari dimulai pukul 04.00 atau 05.00 atau paling siang pukul 06.00 dan sore hari dimulai pukul 14.00 atau 15.00.
60
Kebiasaan merantau tidak banyak mempengaruhi penambahan bangunan rumah di Desa Padabeunghar. Meskipun ada beberapa penduduk yang merantau dan memilih untuk tinggal di perantauan, namun lebih banyak yang tetap membangun rumah di Desa Padabeunghar. Beberapa penduduk yang merantau kembali dengan membawa istri atau suami dari tempat merantau. Ini menyebabkan tekanan kebutuhan pemukiman terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. 4.3.2
Fasilitas dalam Rumah Hampir semua lantai rumah di Desa Padabeunghar telah dipelur. Desa
Padabeunghar pernah mendapatkan program bantuan pemeluran lantai dari Pemerintah
Kabupaten
Kuningan.
Bantuan
pemeluran
diberikan
pada
rumahtangga dengan lantai rumah terbuat dari tanah. Setiap rumahtangga dengan lantai rumah tanah didata dan diberi bahan bangunan untuk pemeluran seperti semen dan pasir. Beberapa rumah telah mengganti lantai pelur dengan lantai kramik. Lantai kramik dipasang dalam beragam bentuk, dari mulai kramik dengan ukuran 20x20 cm dengan bentuk dan model sederhana sampai kramik berukuran 30x30 cm dengan bentuk dan model terbaru. Setiap rumah telah dilengkapi dengan kamar mandi keluarga. Desa Padabeunghar juga pernah mendapat bantuan kamar mandi keluarga dari pemerintah Kabupaten Kuningan. Bantuan kamar mandi keluarga diberikan dalam bentuk bahan pembangunan kamar mandi seperti kloset, pasir, semen, dan paralon. Pembangunan kamar mandi dilakukan di rumah masing-masing oleh penerima bantuan. Bentuk kamar mandi kelurga ini beragam, dari mulai yang permanen, ditembok dan diberi keramik sampai dengan kamar mandi sederhana, hanya di beri dinding kayu yang dipotong tipis yang dapat dilihat dari luar. Letak kamar mandi keluarga ada yang berada di dalam rumah dan ada yang dibangun sekedarnya dibelakang rumah. Kamar mandi di rumah didukung oleh sarana air bersih yang dikelola desa. Air dari mata air disalurkan ke Desa Padabeunghar melalui pipa -pipa sumbangan Pemerintah Daerah Kuningan. Pipa berdiameter 10 cm dan terbuat dari besi mengalirkan air sampai tempat penampungan di sisi desa. Air disalurkan dari tempat-tempat penampungan pertama ke penampungan berikutnya menggunakan
61
pipa paralon berdiameter 2 cm dan disalurkan ke rumah-rumah dengan menggunakan slang. Setiap rumah harus membayar Rp. 2000,- tiap bulan untuk bayaran petugas pemeriksa air yang ditunjuk pemerintah Desa. Sebagian besar rumah berdinding tembok. Hanya beberapa rumah yang masih berdinding bambu. Kayu-kayu kusen terbuat dari kayu nangka, Jeungjing atau mahoni. Tidak ada rumah yang menggunakan kayu jati sebagai bahan kusen. Kayu-kayu yang dibuat kusen biasanya adalah kayu-kayu yang dapat tumbuh di kebon penduduk. Penggunaan kayu nangka dan Jeungjing sebagai kusen menyebabkan kusen rumah di Desa Padabeunghar lebih cepat rusak oleh rayap. Sebagian besar penduduk Desa Padabeunghar masih menggunakan tungku sebagai sarana memasak. Kompor minyak hampir selalu dimiliki disamping tungku. Rumah-rumah yang dimiliki oleh orang tua yang sudah tidak mampu mencari kayu bakar akan menggunakan kompor minyak. Penggunaan tungku lebih disukai karena murah dan rasa makanan yang dimasak di atas tungku dianggap lebih enak. Listrik telah ada hampir di semua rumah. Listrik ada yang memasang langsung dan ada yang menyambung dari tetangga atau “nyolok”. Setiap rumah rata-rata memasang listrik 450 watt. Listrik digunakan untuk penerangan, TV, setrika, dan kulkas yang digunakan untuk membuat es untuk dijual atau untuk keperluan rumahtangga. Lampu listrik digunakan untuk penerangan di dalam rumah atau di teras rumah. Lampu listrik untuk penerangan jalan desa hanya terdapat di dua rumah sepanjang jalan lembur. TV telah telah menjadi barang elektronik yang paling diinginkan ada di rumah. Tidak setiap rumah memiliki TV. Penghuni rumah yang tidak memiliki TV akan menonton TV pada tetangga. Tape recorder merupakan barang elektronik berikutnya yang ada di rumah penduduk Desa Padabeunghar. Tape recorder lebih disukai oleh anak muda yang belum menikah. Orang yang telah berusia 50 tahun ke atas akan mendengarkan radio dengan model lama. Beberapa rumah telah mengganti kursi kayu lama dengan kursi jok model baru. “Kursi sudut 40” merupakan model kursi standar yang ada di rumah di Desa
40
Kursi sudut adalah istilah untuk kursi jok dengan model melingkar yang tepat untuk disimpan di sudut ruangan.
62
Padabeunghar. Ranjang “spring bed”41 ada di kamar anak yang telah menikah. Ranjang di kamar orang tua masih berbentuk ranjang besi dengan kasur yang diisi kapuk. Anak yang belum menikah tidur di ranjang kayu yang lebih baru dari pada ranjang orang tua. Fasilitas dalam rumah penduduk Desa Padabeunghar berasal dari usaha pemilik rumah dan sumbangan dari pemerintah Kabupaten Kuningan. Sebagian besar fasilitas diperoleh dari pendapatan rumahtangga. Fasilitas dalam rumah menunjukkan kemampuan rumahtangga untuk memenuhi kebutuhan lebih dari kebutuhan konsumsi. Pembahasan mengenai hubungan antara fasilitas dalam rumah dengan status sosial ekonomi dapat diamati pada bagian 4.4.2.
4.4
Penduduk Desa Padabeunghar
4.4.1
Struktur Demografi Masyarakat Desa Padabeunghar Kelahiran anak di Desa Padabeunghar kecil. Ada kecenderungan untuk
membatasi jumlah anak dan menambah jarak kelahiran. Setiap rumahtangga memiliki anak tidak lebih dari tiga orang dengan jarak kelahiran sampai sembilan tahun. Pengurangan jumlah kelahiran ini merupakan salah satu cara mengurangi tekanan biaya pemeliharaan anak, biaya sekolah anak, dan mengurangi waktu pengasuhan anak usia balita. Selain kelahiran, mobilitas penduduk ke luar desa merupakan faktor yang mempengaruhi
struktur
demografi
Desa
Padabeunghar. Pergi
merantau
merupakan alasan utama warga Desa Padabeunghar pergi dari desa Padabeunghar. Merantau biasanya dilakukan ke Jakarta dan Bandung atau kota di luar Jawa seperti Batam dan Bali. Pergi merantau akan dilakukan dengan menggunakan bis. Bis Luragung Jaya, Sahabat atau Bhineka hampir setiap saat dapat diperoleh di Palimanan. Perantau akan kembali ke Desa Padabeunghar setiap satu, dua atau paling lama tiga bulan sekali. Perantau pulang ke Desa Padabeunghar untuk menengok anak dan istri, mengantarkan uang hasil merantau dan jika tidak ada pekerjaan di perantauan. Tempat-tempat yang dihubungi penduduk Desa Padabeunghar dapat diamati pada gambar berikut:
41
Spring bed adalah istilah untuk satu set ranjang dan kasur yang dilapisi busa dan per kawat di dalamnya.
63
Sumber: Diolah dari Peta Nasional Hasil Pemetaan Satelit. Diolah oleh FWI (Forest Wacth Indonesia), 30 Juli 2005, untuk kepentingan penelitian Gambar 3. Peta Mobilitas Petani Desa Padabeunghar Peta di atas menunjukkan kota -kota yang menjadi tujuan pergerakan penduduk ke luar desa. Kota Jakarta menjadi tujuan merantau sebagai pekerja bangunan, penjual roti atau pekerja pabrik. Bandung merupakan kota tujuan merantau sebagai pekerja pabrik atau pembantu rumahtangga. Penduduk Desa Padabeunghar pergi ke desa lain atau ke kota lain untuk memenuhi kebutuhan hidup. Keterpencilan Desa Padabeunghar menyebabkan banyak uang yang harus dikeluarkan untuk ongkos. Pilihan untuk pergi ke luar desa menunjukkan rumahtangga bersedia membayar sejumlah uang untuk tujuan yang akan dicapainya. Keperluan administratif dan keperluan perbankan tidak dilakukan oleh setiap orang. Keperluan administratif akan dilakukan oleh warga Desa Padabeunghar yang memiliki keterkaitan dengan pemerintah seperti pamong desa atau warga Desa Padabeunghar yang memiliki pekerjaan di luar Desa Padabeunghar seperti guru, tenaga kesehatan atau pengurus organisasi desa seperti PHBM. Kebutuhan Perbankan hanya dilakukan oleh warga yang mendapat veteran. Setiap bulan mereka harus pergi ke Bank Rakyat Indonesia Cabang Mandirancan untuk mengambil uang veteran, membayar utang atau menyimpan uang dari hasil uang veteran yang diterimanya.
64
Mengobati anggota rumahtangga yang sakit dilakukan di Rajagaluh atau Majalengka. Pengobatan di Kuningan jarang dilakukan karena jarak antara Desa Padabeunghar dengan ibukota Kabupaten yang jauh. Jika orang yang sakit tersebut sampai harus dirawat di rumah sakit, warga yang lain akan datang menjenguk. Menjenguk dilakukan dengan rombongan kecil dengan menyewa kolbak42. Pergi ke luar desa dengan rombongan kecil juga dilakukan jika warga Desa Padabeunghar akan mengunjungi orang yang sedang melakukan suatu acara perayaan (kondangan). Sebagian besar kebutuhan konsumsi sehari-hari dipenuhi dengan hasil lahan garapan dan pertukaran langsung di desa. Pembelian kebutuhan sehari-hari atau kebutuhan barang dagangan untuk pedagang dilayani oleh kolbak yang menerima jasa pembelian barang-barang yang dipesan dengan menitipkan sejumlah uang untuk membeli barang tersebut ditambah ongkos yang jumlahnya sama dengan ongkos satu orang penumpang. Penambahan ongkos diperlukan jika barang yang dibeli sangat banyak. Pemasaran produk banyak dilakukan di dalam Desa Padabeunghar. Penjualan hasil kebon dilakukan melalui pedagang perantara yang datang mengunjungi pemilik hasil kebon yang akan dibelinya. Pejualan hasil lahan garapan dilakukan dengan hitungan per luasan lahan tanaman untuk sereh atau per kilogram untuk singkong, ubi atau kacang tanah. Penjualan hasil sampingan lahan garapan seperti cabai atau sayur-sayuran dilakukan dengan menyimpan barang yang akan dijual di depan rumah atau menjualnya berkeliling di sekitar desa. Penjualan berkeliling bisa dilakukan sendiri atau menyuruh anak yang diberi upah atau pembagian hasil penjualan. Penjualan secara langsung ke pasar akan dilakukan jika harga di pasar jauh lebih baik atau barang tidak dapat dijual di dalam desa. Pembuat emping menjual emping buatannya pada tetangga atau pemesan yang datang ke rumahnya. Emping baru akan dijual ke pasar kramat jika hasil emping banyak dan tidak ada yang membeli di Desa Padabeunghar.
42
Kolbak adalah angkutan roda empat berbentuk kendaraan Suzuki atau Daihatsu yang memiliki bak terbuka. Kolbak merupakan angkutan yang ada dan dapat digunakan oleh penduduk Desa Padabeunghar. Selain kolbak, angkutan yang lain yang tersedia adalah ojek.
65
4.4.2
Struktur Sosial Masyarakat Setiap kali ditanya tentang pelapisan sosial, informan selalu akan
menjawab
tidak
ada
perbedaan
yang
mencolok
diantara
warga
Desa
Padabeunghar, semua warga dianggap rata-rata. Berdasarkan informasi yang tersirat, ada tiga hal yang menjadi dasar penghargaan dalam masyarakat Desa Padabeunghar, (1) penghargaan yang diberikan berdasarkan pemilikan barang, (2) penghargaan yang diberikan berdasarkan pekerjaan, dan (3) penghargaan yang diberikan berdasarkan pendidikan formal atau informal yang dimiliki. Warga akan dianggap mampu jika telah mampu mengganti lantai rumah dengan kramik, memiliki kebon dan sawah yang luas, memiliki kendaraan bermotor terutama mobil, memiliki rumah yang bagus atau peralatan elektronik. Kemampuan menyekolahkan anak sampai perguruan tinggi atau kemampuan ilmu agama menempatkan seseorang pada kelas sosial yang tinggi. Tabel 1 menunjukkan aset yang dimiliki rumahtangga dan dasar pembentukan stratifikasi dalam masyarakat.
Tabel 2. Jenis Barang dan Dasar Penghargaan di Masyarakat Aset Rumah Kendaraan Tanah Pendidikan formal Pekerjaan Barang elektronik Hewan ternak Perabotan rumah Lantai kramik Pendidikan agama
Dasar penghargaan Ukuran, model, bahan pembuatan Jenis, penggunaan Luas tanah, kelas tanah Tingkat pendidikan Pangkat, pendapatan Jenis, ukuran, merk Jenis, jumlah Model, harga Model Tingkat kemampuan agama
Sumber: Diolah dari data primer , 2005 Urutan dalam tabel menunjukkan urutan aset yang dapat meningkatkan status sosial dalam masyarakat. Pemilikan berbagai aset meningkatkan status sosial seseorang. Dua orang yang memiliki aset yang sama tidak selalu ditempatkan pada kelas sosial yang sama. Dasar penghargaan atas pemilikan suatu aset mene ntukan kelas sosial seseorang. Haji43 Sukanta dianggap kaya karena 43
Nama Haji Sukanta bukan berarti Pak Sukanta telah dengan sengaja pergi ke Arab Saudi untuk menunaikan ibadah haji. Haji Sukanta disebut haji karena telah bekerja di Arab Saudi sebagai
66
memiliki 22 tempat sawah dan kebon namun Bos Enon dianggap lebih kaya dari haji Sukanta karena mobil yang dimilikinya tidak dipakai untuk angkutan (‘diomprengkeun”)44. Padahal, Haji Sukanta merupakan pemilik sawah dan kebon terbanyak di Desa Padabeunghar. Ini menunjukkan penghargaan atas pemilikan mobil lebih besar dari pada penghargaan atas pemilikan tanah. Pekerjaan yang dimiliki oleh anggota rumahtangga merupakan hal yang dihargai oleh masyarakat Desa Padabeunghar. Seseorang yang memiliki pangkat atau kedudukan akan dihargai lebih dari pada seseorang yang tidak memiliki pangkat dan kedudukan. Pekerjaan di luar pertanian dihargai lebih tinggi dari pada pekerjaan di pertanian (menggarap lahan). Ini menyebabkan rumahtangga petani berusaha keras agar anaknya mendapatkan pekerjaan di luar pertanian dengan pangkat atau kedudukan yang baik. Sampai saat ini, pegawai negeri masih menjadi pilihan utama. Selain pangkat atau kedudukan hal yang dihargai dari pekerjaan seseorang adalah penghasilan yang diperoleh. Pak Sud, seorang supplier tenaga kerja bangunan dihargai oleh tetangganya karena dianggap memiliki penghasilan tinggi. Lantai rumah yang telah dipasang kramik selalu disebut sebagai lambang bahwa orang tersebut telah mampu. Pemeluran lantai rumah tidak dijadikan ukuran bahwa seseorang telah mampu karena pemeluran lantai dilakukan melalui program bantuan pemerintah. Lantai kramik menunjukkan seseorang telah mampu lebih dari memelur lantai rumah. Lantai kramik pun bertahap, lantai kramik yang lebih besar, lebih baru motifnya akan menjadikan pemilik rumah dianggap lebih mampu. Kemampuan menyekolahkan anak dianggap memiliki nilai. Sekolah yang dianggap tinggi adalah perguruan tinggi. Penduduk yang sekolah sampai Strata 2 (S2) hanya suami dari BS , Pak NS seorang guru SMP di SMPN Mandirancan. Pak NS bukan penduduk asli Desa Padabeunghar, ia berada di Desa Padabeunghar karena tinggal di rumah dinas bidan desa.
TKI. Menurut Ceu Mm, gelar haji sering diberikan pada laki-laki yang pernah bekerja di Arab Saudi. Perempuan yang bekerja di Arab Saudi atau perempuan dan laki-laki yang bekerja di luar negeri di luar Arab Saudi tidak mendapat sebutan Hajjah atau Haji (Wawancara dengan Ceu Mm tanggal 3 Maret 2005. 44 Wawancara dengan Pak Kd, 10 Maret 2005 dan dengan Pak Bd, Pak Suh dan Bu Yy, tanggal 18 Maret 2005.
67
Pendidikan agama juga dihargai oleh masyarakat di Desa Padabeunghar. Agama tidak kental mewarnai kehidupan masyarakat Desa Padabeunghar. Masyarakat masih dipengaruhi kepercayaan pada hal-hal gaib 45. Pergeseran kepercayaan dari hal-hal gaib pada agama Islam menempatkan orang-orang yang mengetahui agama pada ststus sosial yang tinggi. Pengetahuan agama yang dihargai adalah kemampuan membaca Al-Quran, kemampuan ceramah agama dan kemampuan menjadi imam mesjid.
4.4.3
Rumahtangga Petani di Desa Padabeunghar
Satuan rumahtangga yang dikenal oleh pemerintah Desa Padabeunghar adalah Kepala Keluarga (KK). KK adalah orang yang dianggap bertanggungjawab dalam keluarga. KK biasanya adalah laki-laki, suami atau ayah pencari nafkah utama. Seorang laki-laki yang telah menikah otomatis akan dianggap sebagai KK. KK perempuan hanya dianggap ada jika keluarga tersebut sudah tidak memiliki ayah atau suami karena proses perceraian atau kematian46. Beberapa KK dapat tinggal dalam satu rumah. Orang tua dapat tinggal bersama di rumah anah yang telah menikah. Anak laki-laki dan perempuan yang belum memiliki tempat tinggal sendiri akan hidup menumpang dengan orang tua laki-laki atau perempuan. Tidak ada aturan khusus mengenai tempat tinggal anak yang telah menikah ini, pilihan untuk tinggal dengan orang tua laki-laki dan perempuan ditentukan ole h kesediaan pasangan, kesediaan orang tua, dan kemampuan ekonomi orang tua yang akan ditempati. Beberapa KK yang tinggal dalam satu rumah masih memiliki keterkaitan dalam konsumsi rumahtangga. Kebutuhan makan, air bersih, penerangan, sabun cuci atau mandi KK anak diperoleh KK orang tua. KK anak hanya membeli sabun mandi sekali-kali dan memenuhi kebutuhan jajan anak. Aliran bantuan seperti ini terjadi pada rumahtangga dengan KK orang tua yang dianggap “baik’, tidak semua pasangan yang baru menikah mendapatkan kesempatan makan di
45 46
Wawancara dengan Pak Jj, Kaur Kemasyrakatan di Desa padabeunghar, 04 Maret 2005 Wawancara dengan Aparat Desa Padabeunghar, 11 Maret 2005
68
tempatnya menumpang, beberapa KK anak yang tinggal bersama KK orang tua harus memasak nasi dan lauk-pauk sendiri 47. KK yang tinggal dalam satu rumah melakukan pembagian kerja bersama. Ibu dalam rumahtangga (perempuan pemilik rumah) memasak nasi dan lauk pauk untuk seluruh anggota rumahtangga (KK orang tua ditambah KK anak). Anak perempuan atau menantu perempuan membantu mencuci pakaian, membersihkan rumah dan mengasuh anak. Pengasuhan anak kadang dilakukan oleh orang tua perempuan, anak yang lain, atau orang tua laki-laki. Anak laki-laki atau menantu laki-laki mengerjakan pekerjaan yang menjadi sumber pendapatan utamanya. Anak laki-laki atau menantu laki-laki akan membantu pekerjaan di sawah atau di lahan garapan orang tua di antara pekerjaan utamanya. Pendapatan diatur dalam KK. Pendapatan yang diperoleh suami akan diberikan kepada istri. Pembagian pendapatan antar KK dilakukan dalam bentuk peminjaman atau pemberian uang dari KK anak pada KK orang tua atau bantuan bahan pembuatan rumah dari KK orang tua pada KK anak. Bantuan pembangunan rumah selalu dilakukan orang tua di Desa Padabeunghar. KK anak merupakan pihak yang secara aktif menabung untuk mengumpulkan keperluan pembangunan rumah, namun, bantuan KK orang tua merupakan faktor penting keberhasilan pembangunan rumah anak di Desa Padabeunghar. KK orang tua juga dapat mengharapkan perawatan dan jaminan konsumsi hari tua saat sudah tidak dapat menjalankan usaha pertanian. Selain warisan dalam bentuk barang, secara alami KK orang tua mewariskan hubungan persaudaraan untuk anak. Hubungan baik dengan tetangga juga merupakan sesuatu yang dibangun KK orang tua atau pun KK anak yang hasilnya dapat dinikmati oleh KK anak atau KK orang tua yang tidak membangun hubungan. Hubungan persaudaraan dan hubungan baik dengan tetangga merupakan bagian yang sangat penting dalam strategi nafkah petani di Desa Padabeunghar48.
47
Wawancara dengan Ceu Im yang masih tinggal di rumah mertua dan Ceu Mm yang masih tinggal bersama orang tua, 10 Maret 2005 48 Pembahasan mengenai ikatan-katan dalam komunitas dapat diamati pada bagian strategi nafkah rumahtangga petani.
69
KK Anak atau KK orang tua juga memberikan status dalam masyarakat. Status sosial ekonomi KK anak atau KK orang tua mempengaruhi status KK anak atau KK orang tua. Pemilikan aset KK anak memberi kebanggaan pada KK orang tua. Pemilikan aset KK orang tua memberi kebanggaan dan kesempatan untuk mendapatkan manfaat bagi KK anak. Aliran pengaruh antara KK anak dan KK orang tua dapat diamati pada gambar berikut:
Konsumsi, tempat tinggal, pengasuhan anak, bantuan pembuatan rumah, warisan, hubungan baik dengan tetangga, hubungan baik dengan saudara, status di masyarakat
KK orang tua
Satu Rumah
KK anak
Kiriman uang, tenaga kerja, jaminan hari tua, hubungan baik dengan tetangga, hubungan baik dengan saudara, status di masyarakat
Sumber: Diolah dari data penelitian, 2005 Gambar 4. Aliran Sumberdaya dalam Rumahtangga yang Berisi KK Orang Tua dan KK Anak Berdasarkan uraian tersebut, KK bukan gambaran sebuah rumahtangga. Beberapa KK yang masih tinggal dalam satu rumah merupakan satu unit ekonomi yang memperoleh pendapatan, mengalokasikan pendapatan dan memenuhi kebutuhan hidup bersama. Orang-orang yang tinggal dalam satu rumah masih memiliki ketergantungan sosial dalam hubungan-hubungan di masyarakat. Antar KK memiliki perbedaan orientasi ekonomi, sumber nafkah dan alokasi pendapatan. Beberapa KK merupakan rumahtangga selama masih tinggal dalam satu rumah. Lingkup tempat tinggal dalam satu rumah menunjukkan kesatuan ekonomi yang memberikan jaminan pemuasan kebutuhan, jaminan sosial, dan keamanan sosial bagi anggota rumahtangga.
70
4.4.4 Struktur pemilikan dan Penggunaan Lahan Lahan memiliki peranan penting dalam rumahtangga petani Desa Padabeunghar. Peran tersebut baru terasa jika ada akses milik atau akses manfaat. Akses milik dan manfaat lahan diatur oleh sistem kepemilikan lahan yang ada dan dibangun oleh masyarakat, negara dan pihak lain yang terkait dengan lahan tersebut. Pemilikan lahan di Desa Padabeunghar dapat dibagi menjadi tiga, lahan milik pribadi, lahan milik pemerintah desa untuk peruntukan desa, dan lahan milik pemerintah desa yang dikelola oleh petani. Struktur pemilikan lahan di Desa Padabeunghar dapat diamati pada tabel berikut: Tabel 3. Jenis Lahan dan Struktur Pemilikan Lahan di Desa Padabeunghar Jenis lahan Sawah
Pemilik
Kebon Lahan hutan Lahan kebun karet Bengkok Iasa/titisara
Penggarap
Petani
Petani
Petani Perhutani
Petani Perhutani/petani
Pengusaha pemegang HGU Pemerintah desa Pemerintah desa
Pengusaha/petani Pemerintah desa/penyewa Pemerintah desa/petani
Pengalihan akses Pemjualan/penyewaan/pewarisan/ pengolahan oleh orang lain Penjualan/pewarisan NKB/NPK/pengalihan antar penggarap/pewarisan Pengalihan antar penggarap/pewarisan Peralihan jabatan/penyewaan Perijinan dari pemerintah desa
Sumber: D iolah dari data primer , 2005
Sawah dan kebon merupakan lahan milik pribadi atau pemerintah desa yang berhubungan dengan sistem pemilikan tanah negara. Kedaulatan negara ditunjukkan oleh Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang harus dibayar oleh pemilik sawah atau kebon setiap tahun. Keterikatan dengan hukum negara menyebabkan lahan milik pribadi pun tidak dapat dialih-fungsikan begitu saja sesuai dengan keinginan pemilik. Lahan sawah tidak dapat dialihfungsikan menjadi kebon , dan sebaliknya. Pengalihfungsian lahan harus melalui perijinan dengan negara pemilik PBB.
71
Berdasarkan tempat, sawah di Desa Padabeunghar dapat dikelompokkan menjadi sawah yang berdekatan dengan mata air dan sawah yang berjauhan dengan mata air. Kedua jenis sawah ini berbeda dalam produktifitas pada musim kemarau dan musim hujan. Sawah yang letaknya berdekatan dengan mata air menghasilkan padi yang lebih baik pada musim kemarau. Sedangkan sawah yang letaknya berjauhan dengan mata air bisa sampai tidak panen di musim kemarau. Sawah dapat dialihkan penggarapannya kepada orang lain melalui penjualan dan penyewaan. Penjualan sawah hanya dilakukan jika ada keperluan uang yang sangat mendesak. Petani yang tidak memiliki sawah dapat menggarap sawah orang lain melalui penyewaan atau penggarapan melalui sistem “maron”. Kebon hanya akan beralih penggarap melalui penjualan dan pewarisan. Pemilikan sawah berkisar antara tidak memiliki sama sekali sampai 22 tempat yang terdiri dari sawah dan kebon. Haji Sukanta, pemilik tanah terbanyak memiliki 22 tempat sawah dan kebon. Responden yang diwawancarai rata -rata memiliki 1,25 bau sawah. Sawah menghasilkan padi yang digunakan sebagai konsumsi utama masyarakat Desa Padabeunghar. Sawah di Desa Padabeunghar hanya akan ditanami padi. Petani tidak menanam tanaman palawija di antara musim tanam padi. Tanaman palawija ditanam di lahan garapan. Produksi gabah kering per 1,25 bau adalah 5-7 kuintal. Sawah dapat dipanen tiga kali dalam satu tahun pada saat hutan Prhutani dan kebun karet masih hijau. Setelah hutan gundul, debit air yang dihasilkan mata air berkurang. Sekarang, sawah hanya dapat dipanen dua kali dalam satu tahun. Tanah milik pemerintah desa dikenal dengan nama tanah titisara , iasa dan tanah bengkok. Tanah bengkok merupakan tanah pemerintah yang diberikan pada pamong desa sebagai gaji. Tanah bengkok dikelola dan diambil hasilnya selama orang tersebut menjabat sebagai pamong desa. Tanah bengkok dapat pula disewakan kepada orang lain selama masa kerja pamong desa masih berlaku. Menurut BE, tanah bengkok di Desa Padabeunghar paling kecil dibandingkan dengan desa-desa lain di Kecamatan Pasawahan. Sebagai perbandingan, PK hanya mendapatkan tiga bau tanah bengkok , sedangkan Kepala Desa Pasawahan mendapatkan lima bau. Kualitas tanah bengkok di Desa Padabeunghar juga tidak
72
bagus, lebih banyak hanya dapat ditanam satu kali dalam setahun karena tidak cukup air untuk menanam padi. Jika tanah bengkok ada dalam bentuk sawah, tanah titisara dan tanah iasa ada dalam bentuk sawah, kebon dan pekarangan. Berbeda dengan tanah bengkok yang khusus dikelola oleh pamong desa, tanah iasa dan titisara dapat dikelola oleh petani dengan ijin pemerintah desa. Tanah titisara dan iasa juga dipergunakan untuk sarana umum seperti balai desa, bangunan sekolah dasar, Puskesmas dan kuburan. Desa Padabeunghar juga memliki akses terhadap lahan kebun karet dan lahan hutan Perhutani. Sejak kebun karet dibuka, lahan kebun karet dimanfaatkan petani untuk ladang. Tidak ada aturan khusus mengenai pemilikan lahan garapan di lahan kebun karet. Petani sadar bahwa lahan kebun karet dimiliki oleh pengusaha pemegang HGU, mereka hanya sementara menggarap. Luasan lahan olahan ditentukan oleh kesepakatan diantara petani dan siapa petani yang mengolah lahan terlebih dahulu. Pengalihan pengolahan lahan cukup dengan pembicaraan antara petani dan diketahui oleh petani lain atau pamong desa. Lahan hutan sebanarnya memiliki aturan hak pengelolaan lahan yang lebih teratur. NKB menetapkan luas lahan garapan dan petani-petani yang berhak menggarap lahan serta bagaimana cara menggarap lahan. Namun kenyataannya, petani menggunakan cara penggarapan yang sama dengan lahan kebun karet. Penggarap yang tertulis di NKB belum tentu merupakan penggarap yang sebenarnya di petak yang telah ditentukan. sebagian besar petani menggarap lahan sesaui dengan NKB, ini karena data petani yang dimasukkan ke dalam NKB adalah data petani yang sejak semula telah memiliki lahan garapan di petak tersebut. Luas lahan garapan yang telah ditentuka n juga tidak selalu ditepati. Petani lebih memilih mengatur penggarapan lahan dengan aturan siapa yang sempat dan siapa yang dapat, siapa yang sempat menggarap dan siapa yang dapat menggarap. Pengalihan hak menggarap lahan hutan sama dengan lahan garapan kebun karet. Pengalihan hak menggarap dilakukan dengan persetujuan kedua belah pihak yang diketahui pamong desa. Cara ini tidak sesuai dengan cara yang ditetapkan oleh Perhutani. Menurut peraturan PHBM, pengolahan lahan hutan harus
73
mengikuti aturan yang te lah ditetapkan dalam NKB dan NPK. Penggarap pada suatu petak telah ditetapkan, tidak dapat diganti. Peralihan lahan garapan harus ditetapkan dalam rapat Forum PHBM dan disahkan oleh Perdes (Perdes). Kenyataannya, petani masih menggunakan pola penggarapan sebelum ada PHBM. Forum PHBM dan Perdes tidak dapat menjalankan fungsinya. Perdes ini sebetulnya melindungi hak garapan lahan petani sampai ketika penggarap tersebut meninggal, sama seperti girik pada lahan milik pribadi. Struktur pemilikan lahan ini menunjukkan pengaruh struktur di luar desa terhadap akses lahan petani. Struktur luar desa terutama berpengaruh pada akses sumberdaya hutan dan lahan kebun karet. Pengaruh struktur luar desa juga tampak pada pembayaran pajak pada tanah hak miliki dan peruntukan tanah yang telah ditetapkan dalam pajak. Meskipun dianggap berat, mengelola sawah tetap diinginkan petani Desa Padabeunghar. Sawah menghasilkan padi, suatu komoditas penting bagi rumahtangga petani Desa Padabeunghar. Masyarakat Desa Padabeunghar menempatkan kebutuhan beras sebagai kebutuhan nomor satu dalam kehidupan sehari-hari dan kegiatan-kegiatan besar dalam kehidupan masyarakat Desa Padabeunghar. Prinsip “asal gaduh beas” (asal punya beras),
melekat pada
penyediaan beras dalam setiap kegiatan masyara kat Desa Padabeunghar. Pembangunan rumah, hajatan , dan makan sehari-hari menempatkan beras sebagai kebutuhan utama. Kebon ditanami tanaman yang dimiliki petani atau diberikan oleh Pemerintah daerah, Perhutani atau LSM. Hasil kebon digunakan untuk menambah pendapatan rumahtangga dan sebagai pemenuhan kebutuhan konsumsi. Kebon berguna sebagai tambahan penghasilan rumahtangga.
Kebon merupakan suatu
sumber pendapatan yang dapat memberikan uang dalam jumlah besar setiap tahun. Satu batang pohon durian dapat menghasilkan uang ratusan ribu. Durian dari pohon dihargai Rp. 2000,- sampai Rp. 30.000,- per buah tergantung dari ukuran dan jenis durian. Petai biasa dipetik buat makan, sedangkan jengkol lebih sering dijual dengan harga sekitar Rp 60.000 satu kali musim berbuah49. Sedangkan hasil kebon yang tidak banyak akan dijadikan konsumsi rumahtangga. 49
Wawancara dengan Pak Suh, 10 Maret 2005
74
Lahan kebun karet menyediakan modal alami bagi petani Desa Padabeunghar setelah ditinggalkan oleh pemegang HGU. Wilayah Desa Padabeunghar meliputi 171 Ha wilayah tanah kebun karet. Pada awalnya, kebun karet dikelola oleh perusahaan pemegang HGU yaitu PT. Yunawati. Tanaman karet ditebang habis pada akhir tahun 80-an50. Tanah kebun karet merupakan tanah merah yang ba ik untuk ditanami tanaman kacang-kacangan, umbi-umbian dan singkong. Lahan kebun karet terdapat di sekitar pemukiman dan diantara kebon petani. Lahan kebun karet telah ada pada jaman Belanda. Tempat penampungan getah karet sekaligus pabrik yang mengelola karet terletak berdekatan dengan kampung Muncang Pandak. Seka rang pabrik tersebut menjadi tempat peristirahatan pengurus lahan kebun karet dan penampungan sementara tanaman hasil lahan kebun karet. Menggarap lahan kebun karet lebih disukai dari pada menggarap lahan hutan. Tanah perkebunan karet berupa tanah merah ya ng mekipun berbukit-bukit tetapi tidak berbatu. Tanah kebun karet lebih menguntungkan untuk digarap51. Lahan hutan Perhutani merupakan tanah hitam yang dipenuhi batu. Lahan hutan Perhutani menyediakan kayu bakar, batu untuk bahan bangunan, rumput untuk pakan ternak, dan lahan penggembalaan kerbau. Lahan hutan Perhutani digarap untuk mendapatkan tambahan kebutuhan rumahtangga sehari-hari, menggembalakan kerbau dan menabung bahan bangunan. Penggarapan lahan dilakukan oleh tenaga kerja rumahtangga. Lahan sawah dan lahan Perhutani yang digarap oleh penduduk Desa Padabeunghar yang tidak bekerja sebagai petani digarap oleh buruh tani. Tenaga kerja nyeblok hanya berlaku untuk penggarapan sawah. Tabel berikut menunjukkan jenis lahan dan ekonomi lahan bagi rumahtangga.
50 51
Wawancara dengan Pak Suh, 9 Maret 2005 Wawancara dengan Pak Suh dan Bang Lei, 21 Maret 2005
75
Tabel4. Jenis Lahan dan Ekonomi Lahan bagi Rumahtangga Jenis lahan Sawah
Tanaman utama Padi
Skala penanaman Skala kecil
Sumber pengairan Air hujan/mata air
Kebon
Durian, petai, tanamana bahan bangunan Singkong, pisang
Skala kecil
Air hujan/mata air
Skala kecil
Singkong, pisang
Skala kecil
Air hujan/mata air Air hujan/mata air
Lahan hutan Lahan kebun karet
Tenaga kerja Orientasi pengelola produksi Tenaga kerja Pemenuhan rumahtangga/buruh kebutuhan tani/nyeblok harian rumahtangga Tenaga kerja Kebutuhan rumahtangga/buruh harian dan tani bahan bangunan T enaga kerja rumahtangga/buruh tani Tenaga kerja rumahtangga
Kebutuhan harian rumahtangga Kebutuhan harian rumahtangga
Sumber: Diolah dari data primer , 2005 Selain lahan, hewan ternak merupakan sumberdaya yang penting dalam ekonomi rumahtangga di Desa Padabeunghar. Hewan ternak yang dimiliki petani di Desa Padabeunghar adalah kambing, kerbau dan ayam. Ayam dimiliki hampir oleh seluruh petani Desa Padabeunghar. Bagi masyarakat Desa Padabe unghar, ayam merupakan barang yang terpakai di waktu hidup dan mati. Di waktu hidup ayam digunakan untuk dijual, atau disembelih atau diambil telurnya. Di waktu mati, ayam digunakan sebagai sebagai masakan yang harus ada. Setiap ada orang yang meninggal, keluarga yang ditinggalkan akan menyembelih ayam untuk dimasak dan disertakan dalam nasi yang dibawa oleh orang yang tahlilan52.
4.5
Kelembagaan Ekonomi
4.5.1
Simpan -Pinjam Informal Meminjam uang secara formal melalui bank hanya dilakukan oleh orang
yang memiliki penghasilan tetap per bulan seperti anggota veteran. Jumlah uang yang diperoleh dari pinjaman formal ditentukan oleh pengajuan dan persetujuan bank. Uang yang diperoleh dari pinjaman formal digunakan untuk kebutuhan besar bukan untuk kebutuhan sehari-hari. Pinjaman formal tidak banyak dilakukan 52
Wawancara dengan Bi En, Pak Suh, 04 Maret 2005
76
oleh rumahtangga petani di Desa Padabeunghar. Kebutuhan uang banyak dipenuhi dari pinjaman informal. Uang dari simpan pinjam informal menggunakan ikatan-ikatan dalam komunitas. Secara ringkas, uang yang diperoleh dari pinjaman formal dan informal dapat diamati pada tabel 5. Tabel 5. Jenis Pinjaman dan Uang yang Diperoleh Rumahtangga Jenis pinjaman Formal di bank Informal Melalui saudara
Pinjaman pada tetangga Pedagang perantara
Keperluan Peminjaman Membantu kebutuhan anak Biaya hajatan, menyekolahkan, biaya berobat, uang untuk kondangan ongkos anak sekolah Ongkos anak sekolah, biaya kondangan
Jumlah uang (Rp) > 1.000.000 5.0004.000.000
Waktu pengembalian Setiap bulan dipotong gaji Segera setelah memiliki uang
5.00020.000
Segera setelah memiliki uang
Biaya kondangan, biaya sekolah anak
20.000100.000
Pada saat pemetikan hasil tanaman yang telah dijaminkan
Sumber: D iolah dari data primer , 2005
Lembaga yang dibentuk untuk mewadahi simpan pinjam formal tidak berhasil di Desa Padabeunghar. Warga Desa Padabeunghar telah membentuk koperasi namun gagal. Koperasi yang pernah terbentuk di Desa Padabeunghar adalah koperasi simpan pinjam, koperasi veteran, dan koperasi batuluhur. Koperasi Batuluhur dibentuk ole h dan untuk ibu-ibu pada tahun 1999. Koperasi veteran beranggotakan orang-orang yang mendapat veteran sekitar 22 orang. Koperasi veteran di Desa Padabeunghar merupakan kepanjangan dari koperasi veteran di pusat. Koperasi simpan pinjam dibentuk sebagai perwujudan bantuan dana raksa desa untuk peningkatan ekonomi masyarakat. Dana raksa desa digulirkan melalui koperasi simpan pinjam. Ketiga koperasi tersebut tidak berjalan. Koperasi Batuluhur telah berhenti sama sekali, koperasi veteran lebih banyak berjalan di bagian arisan-arisan, dan koperasi simpan pinjam berhenti sampai dana raksa desa bergulir53. 53
Wawancara dengan Pak Kd, 3 Mei 2005
77
Koperasi yang dibentuk untuk mewadahi kegiatan simpan pinjam secara formal terbukti tidak dapat bertahan lama. Kegiatan simpan pinjam penduduk Desa Padabeunghar el bih banyak dilakukan secara informal antara tetangga dan saudara. Pinjam-meminjam antar saudara atau tetangga masih memungkinkan karena pinjaman yang dilakukan merupakan pinjaman kecil yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Meminjam uang pada tetangga disukai karena uang dapat tersedia dengan segera dan mudah dalam pengembalian. Saudara menjadi pilihan pertama peminjaman uang. Jumlah pinjaman berkisar dari Rp 5.000,- sampai Rp. 5.000.000,-. Meminjam pada saudara dilakukan untuk ongkos sekolah anak sampai biaya pesta pernikahan anak. . Peminjaman secara formal ke bank hanya dilakukan oleh orang yang memiliki akses pada bank dan memiliki kemudahan untuk mengembalikan pinjaman. Penduduk yang meminjam uang di bank merupakan penduduk yang memiliki penghasilan tetap setiap bulan, seperti anggota veteran. Contoh kasus, Pak Dul adalah anggota veteran yang mendapatkan gaji Rp. 470.000,- per bulan. Uang gaji veteran itu sekarang dipotong cicilan pinjaman Rp. 200.000,- dan uang tabungan Rp. 10.000,- per bulan54. Peluang untuk meminjam atau menabung di bank tidak menarik perhatian penduduk Desa Padabeunghar. Beberapa informan yang diwawancarai memilih tidak menabung di bank karena jauh dan tidak cukup banyak uang yang akan ditabung. Menabung di bank dilakukan karena ada potongan langsung pada penghasilan untuk ditabung di bank55. Menabung dengan menyisihkan sisa uang belanja atau penjualan hasil kebun merupakan cara menabung yang paling umum dilakukan. Warung merupakan tempat menabung selain untuk meminjam. Warung Bu Ut dapat menjadi sarana menabung untuk kebutuhan belanja sehari-hari atau persiapan kegiatan besar rumahtangga. Seorang guru, langganan Bu Ut, biasa menyimpan uang Rp. 10.000,-, 20.000,- atau 50.000,-. dengan cara tidak
54 55
Wawancara dengan Pak Dul, 29 Maret 2005 Wawancara dengan 29 April 2005. Pak Dul Pak Dul adalah veteran yang mendapatkan gaji Rp. 470.000,- per bulan. Uang gaji veteran itu sekarang dipotong cicilan pinjaman Rp. 200.000,dan uang tabungan Rp. 10.000,- per bulan.
78
mengambil uang ke mbalian belanja di warung Bu Ut. Uang tersebut disimpan untuk keperluan belanja berikutnya. Penyimpanan
uang
bisa
dilakukan
oleh
orang
yang
akan
hajatan /membangun rumah. Mereka akan menyimpan uang pada saat ia punya dan menitipkan uang tersebut untuk pembelian barang-barang yang dibutuhkan saat hajatan/membangun rumah. Uang tersebut ditukarkan dengan barang yang dimaksud dengan harga warung. Pemilik warung mendapat keuntungan dari pembelian dalam jumlah besar 56. Berdasarkan uraian di atas, simpan pinjam informal dilakukan atas dasar hubungan sosial yang terbentuk dalam komunitas petani Desa Padabeunghar. Hubungan kedekatan dan kepercayaan antara saudara atau tetangga lebih diandalkan sebagai pengikat hubungan utang piutang. Ini didukung oleh sifat pinjaman yang bersifat segera dan dalam jumlah terbatas. Simpan pinjam informal disukai karena tidak memiliki aturan pengembalian atau
penyimpanan yang
mengikat.
4.5.2 Arisan Arisan merupakan cara yang paling umum untuk menabung di Desa Padabeunghar. Arisan merupakan suatu cara untuk memaksa peserta arisan menabung. Jenis arisan sangat beragam. Berdasarkan pihak yang menentukan penyelenggaraan arisan, ej nis arisan dibedakan atas dua macam, (1) ditentukan oleh kebutuhan peserta arisan dan (2) ditentukan oleh penye lenggara arisan. Jenis arisan kedua sebenarnya hampir tidak ada, peserta mengikuti jenis arisan yang telah ditentukan penyelenggara karena mengikuti arisan yang telah berjalan. Arisan
dapat
berjalan
jika
ada
peserta
yang
merasa
perlu
untuk
menyelenggarakannya. Jenis arisan dapat berupa uang atau barang. Jenis arisan dibagi menjadi dua kelompok, arisan yang diselenggarakan untuk menghadapi kegiatan besar rumahtangga dan arisan yang dilakukan sehari-hari. Kelompok pertama, arisan yang diselenggarakan untuk menghadapi kegiatan besar rumahtangga. Rincian tentang arisan yang diikuti untuk menyelenggarakan kegiatan besar rumahtangga dapat diamati pada tabel berikut: 56
Wawancara dengan Bu Ut 3 Mei 2005
79
Tabel 6. Jenis Arisan yang Diselenggarakan untuk Mengadakan Kegiatan Besar Rumahtangga Jenis arisan
Jumlah sumbangan
Beras Minyak Gula Gabah Semen Rokok
10 kg 1 kg 1 kg 50 kg 2 zak 3 bungkus
Anggota arisan 50 orang 50 orang 50 orang 20 orang 25 orang 25 orang
Jumlah penarikan per orang 500 kg 50 kg 50 kg 100 kg 50 zak 6 pak
Waktu penarikan
Setiap akan ada keperluan Setiap akan ada keperluan Setiap akan ada keperluan Setiap akan ada keperluan Setiap akan ada keperluan Setiap akan ada keperluan
Sumber: diolah dari data primer , 2005
Arisan sangat mengandalkan kepercayaan antar anggota. Setiap anggota komunitas Desa Padabeunghar boleh mengikuti arisan. Peraturan utama arisan yang diselenggarakan untuk mengadakan kegiatan besar rumahtangga adalah: “setiap orang yang telah ‘ngadatangkeun’ (menang arisan) harus mau bayar arisan pada orang-orang yang ikut arisan pada saat ia menang. Begitu pula orang yang ‘ngabaruan’ atau memberikan sumbangan pada orang yang ‘ngadatangkeun’ berhak untuk ‘ngadatangkeun’.” Peserta akan ikut arisan jika akan mengadakan kegiatan besar dan membutuhkan hasil arisan untuk membantu penyelenggaraan kegiatan. Kelompok kedua adalah arisan yang diselenggarakan sehari-hari. Jenis arisan yang diselenggarakan sehari-hari dapat diamati pada tabel berikut: Tabel 7. Jenis Arisan yang Diselenggarakan Sehari-hari Jenis arisan Uang Pangaosan Opsih
Jumlah sumbangan Rp 2000 Rp 1000 Rp 1000
Posyandu
Rp. 5000
Anggota arisan 55 orang 43 orang 60-70 orang 60 orang
Jumlah penarikan per orang Rp 110.000 Rp. 43. 000 Rp. 60.000-70.000
Perabotan
Rp. 5000
Tidak tentu
Rp. 100.000 untuk 3 orang pemenang Dua lusin piring
Perabotan
Rp. 10.000
Tidak tentu
Empat lusin piring
Waktu penarikan 1 bulan Setiap jumat siang Setiap jumat sore Setiap bulan, hari selasa minggu kedua Jika jumlah uang telah cukup Jika jumlah uang telah cukup
Sumber: diolah dari data primer, 2005
Aturan yang berbeda terdapat pada arisan yang diselenggarakan seharihari. Pada arisan yang diselenggarakan sehari-hari terdapat pertemuan antara
80
peserta arisan yang mengikat peserta arisan. Misalnya, arisan pangaosan dilaksanakan tiap Jumat. Arisan diselenggarakan oleh ibu-ibu yang menang arisan pada minggu sebelumnya. Uang hasil arisan pangaosan biasanya akan habis untuk biaya menjamu tamu pada arisan berikutnya. Pada arisan uang anggota arisan tetap dengan jumlah uang sumbangan dan hasil penarikan yang sama. Aturan dasar masih berlaku, setiap orang yang pernah menang harus tetap ikut arisan sampai putaran arisan berakhir. Setiap arisan ditangani seorang “panitia”. “Panitia” adalah orang yang menyimpan uang atau barang yang diarisankan. “Panitia” ditunjuk oleh peserta berdasarkan kepercayaan. “Panitia” memperoleh imbalan dari peserta arisan. “Panitia” bertugas untuk mengumpulkan, menagih peserta yang terlambat menyerahkan sumbangan, menampung dan menyalurkan barang yang terkumpul. “Panitia” arisan sehari-hari bertugas untuk mengumpulkan, membuka arisan dan memberikan uang hasil arisan. Hal yang berbeda terdapat pada “panitia” arisan perabotan. Arisan perabotan diadakan oleh seorang ibu yang juga biasa menjual perabotan rumahtangga. Jumlah sumbangan ditentukan oleh jenis dan banyak perabotan yang diinginkan. Arisan perabotan hampir seperti kredit barang. peserta boleh menukar barang hasil kredit dengan barang lain yang diinginkan dengan menambah jumlah uang yang ditentukan “panitia” arisan. “Panitia” arisan untuk kegiatan besar mendapatkan imbalan berupa barang yang dimenangkan arisan dari peserta arisan yang menang. Pada arisan untuk kegiatan-kegiatan besar, setiap peserta yang menang akan memberikan minyak satu kilo atau gula satu kilo atau beras sebagai tanda terima kasih.
4.6
Kelembagaan Sosial Kelembagaan sosial di Desa Padabeunghar dapat dibagi menjadi dua, (1)
kelembagaan yang dibentuk dengan sengaja untuk suatu kepentingan dan (2) kelembagaan yang dibentuk oleh nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat Desa Padabeunghar. Kelembagaan yang dibentuk dengan sengaja adalah kelompok kerja “bakti”. Kelembagaan yang dibentuk oleh nilai dan norma masyarakat adalah ngobeng, babantu, kondangan, neang, dan ngalongok .
81
4.6.1
Ke lompok Kerja “Bakti” Kelompok kerja “bakti” merupakan suatu rombongan yang bekerjasama
menggarap lahan hutan. Kelompok biasanya terdiri dari 10 orang yang membagi pekerjaan pada setiap lahan selama dua hari.
Anggota kelompok terdiri dari
orang-orang yang ingin menjadi anggota. Kelompok “bakti” bubar karena waktu kerja di sawah yang sering bersamaan membuat pekerjaan kelompok terbengkalai. Menurut Pak Suh, 50 tahun, kelompok “bakti” tidak seimbang dalam membagi pekerjaan, lahan yang pertama dibersihkan akan pertama bersih sedangkan yang lain terbengkalai57. Sampai saat ini kelompok “bakti” yang masih jalan adalah kelompok Wa Am yang beranggotakan delapan orang. Wa Am adalah petani penggarap yang memiliki sawah milik 0,25 bau dan kebon satu tempat. Wa Am, 60 tahun, membentuk kelompok kontak tani “bakti” sejak masih jaman tumpang sari atau sekitar 13 tahun yang lalu. Kelompok yang terdiri dari delapan orang petani itu secara bergiliran mengolah lahan garapan di hutan. Mereka secara bergiliran membabat rumput, menanam pohon dan menanam pisang. Mereka bekerja bergiliran dua hari di setiap lahan garapan anggotanya.
4.6.2
Sistem Kerja Nyeblok Sistem kerja nyeblok hanya ada di pertanian padi sawah. Pekerjaan
nyeblok sudah lazim di Desa Padabeunghar. Seorang petani bekerja dari awal penyemaian benih, mengolah tanah sampai memanen di lahan petani lain. Petani yang mengikuti proses menanam dan mengurus padi berhak ikut memanen dengan bagi hasil sebanyak 5:1 kg gabah kering. Nyeblok sering dilakukan oleh orang yang memiliki lahan atau orang yang tidak memiliki lahan. Seorang petani dapat nyeblok jika diijinkan oleh petani pemilik lahan. Pemilik di sini dapat berarti pemilik secara resmi atau pemilik karena penyewaan. Petani yang nyeblok dapat keluar atau berhenti nyeblok dengan memberitahu pada pemilik bahwa ia akan berhenti. Pemecatan tidak pernah terjadi. Hubungan petani pemilik dan petani nyeblok dilandasi oleh 57
Wawancara dengan Pak Suh, 10 Maret 2005
82
hubungan saling percaya. Sanksi bagi petani pemilik yang tidak melibatkan petani nyeblok dalam pemanenan atau petani nyeblok yang mangkir kerja adalah rasa tidak enak. Petani yang nyeblok merupakan orang yang tetap nyeblok di tempat yang telah dipilih. Menurut Bi En, 42 tahun, petani perempuan pemilik sawah, jika petani tersebut nyeblok dibeberapa tempat, ia mungkin akan mendapatkan hasil panen yang lebih banyak dari pada petani pemilik lahan. Ini karena petani pemilik lahan harus membayar biaya pupuk (gemuk) dan pestisida yang harganya kadang menghabiskan seluruh hasil panen58. Kepastian tentang jumlah petani ya ng nyeblok pada sawah petani pemilik diketahui petani pemilik jika petani nyeblok datang ke rumah petani pemilik untuk memastikan kehadirannya pada malam atau pagi hari sebelum ia berangkat ke sawah. Ketidakpastian ini menyebabkan petani pemilik sulit menentukan kapan saatnya diperlukan tenaga kerja bayaran dan berapa banyak konsumsi yang diantar ke sawah (“nganteuran ”) Nyeblok merupakan mekanisme kerja untuk menjamin pendapatan buruh petani atau sebagai pendapatan tambahan bagi pemilik lahan. Nyeblok sangat ditentukan oleh kepercayaan antar warga Desa Padabeunghar. Nyeblok yang dilakukan dengan warga desa lain seperti Desa Bantar Agung, desa yang terletak di sebelah timur Desa Padabeunghar, lebih bersifat teknis kerja. Petani Bantar Agung memang dikenal rajin bekerja namun juga ketat dalam perhitungan bagi hasil. Meskipun diakui pekerjaan petani Bantar Agung lebih baik, petani pemilik lebih memilih petani Desa Padabeunghar untuk nyeblok di lahan miliknya.
4.6.3
Ngobeng Membantu orang yang akan hajatan disebut “ngobeng ”. Jika yang punya
hajat menyelenggarakan hiburan atau mendirikan panggung, maka orang yang ngobeng bisa mencapai 200 orang. Orang yang ngobeng mengerjakan semua pekerjaan persiapan pelaksanaan hajatan. Ngobeng dilakukan sebelum, pada saat dan setelah hajatan. Mereka akan membuat kue, menyiapkan lauk pauk, memasak nasi, membersihkan ruangan, menyajikan makanan, menerima tamu, mendirikan 58
Wawancara dengan Bi En, 10 Maret 2005
83
tenda, memasak air, membakar sate, mencuci perabotan dan membersihkan rumah setelah hajatan selesai. Orang yang ngobeng diberi makan di tempat hajatan dan membawa pulang makanan untuk di rumah. Makanan disediakan penyelenggara hajatan. Makanan diantar oleh orang yang juga sedang ngobeng yang ditunjuk sebagai pembagi makanan atau oleh orang kepercayaan penyelenggara hajatan . Ngobeng merupakan kelembagaan yang mengatur pelaksanaan kegiatan penting dalam rumahtangga. Hajatan yang membutuhkan modal besar dihadapi oleh masyarakat Desa Padabeunghar dengan pembagian resiko pada orang lain. Ngobeng mengurangi biaya “panitia” penyelenggara, tenaga untuk memasak dan membersihkan alat-alat makan, keamanan, dan kebersihan. Ngobeng juga memberi kesempatan untuk menyelenggarakan hajatan pada rumahtangga. 4.6.4 Ngalongok Ngalongok adalah mengunjungi orang sakit dengan memberika n bantuan berupa uang atau barang. Ngalongok memiliki arti tersendiri bagi komunitas Desa Padabeunghar. Membantu orang sakit te lah menjadi kebiasaan di Desa Padabeunghar. Setiap anggota komunitas memiliki kewajiban moral unutk menolong atau menengok tetangga atau saudara yang sakit. Menengok ke rumah sakit selalu disertai dengan pemberian uang. Uang diberikan untuk membantu biaya pengobatan. Penengok biasanya akan memberikan uang minimum Rp 5000. Jumlah penengok dan jumlah uang yang diberikan ditentukan ole h hubungan baik dengan orang sakit dan sejauh mana orang yang sakit suka menengok atau baik pada orang lain. Anggota komunitas rajin menengok bisa mengumpulkan sumbangan uang yang cukup untuk membayar biaya perawatan59.
4.6.5 Babantu Babantu menekan bia ya pembangunan rumah. Setiap orang yang akan membangun rumah cukup menyediakan bahan bangunan, makanan, dan uang 59
Wawancara dengan aparat Desa padabeunghar, 10 Maret 2005
84
untuk membayar tukang. Anggota komunitas Desa Padabeunghar biasa melakukan pembongkaran dan pembangunan rumah bersama-sama. Rata -rata setiap orang akan membantu selama dua hari. Warga Desa Padabeunghar membantu secara bergiliran sampai rumah beres. Setiap hari warga yang datang untuk bantu-bantu rata -rata 50-100 orang. Warga yang datang membantu datang dari setiap pelosok kampung. Bekerja membantu pembangunan rumah disebut babantu . Babantu tidak mendapatkan bayaran atau imbalan dalam bentuk uang. Orang yang babantu akan diberi makan pada jam makan dan diberikan hantaran untuk keluarga di rumah. Babantu didasari oleh perasaan tidak enak dan takut dianggap tidak berpartisipasi di masyarakat. Babantu dilakukan agar jika suatu hari ia membangun rumah orang-orang akan datang babantu dalam pembangunan rumahnya. Babantu pun dilakukan untuk membalas jasa pembuat rumah yang pernah babantu pada saat pembangunan rumahnya. Babantu dapat dilakukan dengan menggunakan tenaga untuk membangun rumah, memberikan uang atau rokok atau membantu memasak. Setiap rumahtangga mewakilkan anggota rumahtangga untuk babantu . Laki-laki membantu pembangunan rumah dengan menjadi tenaga pembantu tukang (knek). Perempuan yang memiliki hubungan dekat dengan pembangun rumah akan membantu memasak di dapur dan mengantarkan makanan ke rumah laki-laki yang babantu . Rumahtangga yang tidak memiliki anggota rumahtangga yang dapat babantu baik perempuan maupun laki-laki akan menyumbang dalam bentuk uang atau rokok. Uang diberikan setara dengan bayaran knek sehari yaitu sebesar Rp. 10.000,- sampai Rp. 20.000,-. Rokok diberikan sesuai dengan jenis rokok yang biasa diberikan untuk pekerja , misalnya Djarum Coklat. Jumlah rokok disamakan dengan harga jual rokok atau antara dua sampai tiga bungkus. Sedangkan pemberian makanan tidak ditentukan jumlah dan jenis makanan yang akan diberikan. Pekerjaan rumah dengan bergotong royong ini lebih terlihat pada warga yang tidak mampu. Bagi warga yang mampu atau lama merantau sehingga tidak pernah ikut babantu akan mengerjakan rumah dengan cara borongan. Mereka
85
mawas diri karena jarang ada di Desa Padabeunghar60. Akses terhadap kelembagaan
babantu
dapat
dipe roleh
dengan
mengalokasikan
anggota
rumahtangga untuk tinggal di Desa Padabeunghar, menjadi tenaga kerja babantu , memberikan makanan makanan atau rokok.
4.6.6 Kondangan Kondangan adalah kunjungan kepada orang yang sedang mengadakan hajatan , sebuah perhelatan besar bisa menikahkan anak atau sunatan anak lakilaki, dengan memberikan sejumlah uang dan atau makanan. Seseorang yang mengadakan hajatan tidak perlu memberikan undangan resmi pada orang satu kampung. Undangan dapat berupa rokok atau permen untuk ga dis-gadis disertai ucapan “dihaturanan”---diundang. Kondangan termasuk menabung. Besarnya uang kondangan tidak ditentukan, namun seberapa besar kita memberi, sebesar itu pula kita mengharapkan akan kembali saat kita ada hajatan61. Kondangan biasa dilakukan per KK. Satu KK diwakili oleh satu orang. Kondangan selalu dilakukan dengan uang. Jumlah uang kondangan berkisar antara Rp. 10.000 atau Rp. 20.00062. Kondangan biasa dilakukan oleh suami atau oleh istri jika kondangan dilakukan rombongan bersama ibu-ibu lain. Kondangan berdua suami-istri jarang dilakukan, kecuali jika pelaksana hajatan adalah saudara dekat atau tetangga dekat. Banyaknya orang yang hajatan biasanya disiasati dengan
memilih
orang
yang
akan
di-kondangan-i.
Orang
yang
akan
menyelenggarakan hajatan dua kali biasanya ditunda dengan pertimbangan mungkin nanti ia juga akan hajatan . Pertimbangan yang lain didasakan pada kedekatan, dan atas dasar apakah kemarin orang tersebut datang pada waktu kita menyelenggarakan hajatan63.
4.6.7 Neang Melahirkan anak merupakan suatu peristiwa penting dalam rumahtangga. Melahirkan anak sangat penting terutama bagi KK anak yang baru menikah. 60
Wawancara dengan aparat Desa padabeunghar, 10 Maret 2005 Wawancara dengan aparat D esa padabeunghar, 10 Maret 2005 62 Wawancara dengan Pak Suh, tanggal 10 maret 2005 63 Wawancara dengan Pak Dm, tanggal 21 Maret 2005 61
86
Melahirkan anak pertama berarti kelengkapan dalam KK. Melahirkan anak juga berarti kebutuhan biaya bagi rumahtangga. Biaya untuk membayar bidan, dukun beranak dan membeli perlengkapan bayi. Neang merupakan suatu kelembagaan sosial yang dibangun untuk mengurangi beban rumahtangga saat ada anggota rumahtangga yang melahirkan anak. Neang dilakukan dengan mengunjungi orang yang bar u melahirkan. Kunjungan disertai dengan pemberian bingkisan baik berupa uang, makanan, sabun mandi atau sabun cuci, atau perlengkapan bayi. Neang dilakukan pada kelahiran tetangga, saudara atau pada orang yang pernah neang saat anggota rumahtangga melahirkan. Neang dilandasi oleh perasaan tidak enak jika tidak dilakukan dan takut dianggap tidak baik oleh orang yang pernah neang pada saat kelahiran anggota rumahtangga. Neang akan dilakukan oleh KK anak dan KK orang tua. KK anak melakukan neang untuk membalas kunjungan atau mengunjungi kelahiran anak dari KK anak di rumahtangga lain. KK orang tua melakukan neang untuk menjaga hubungan baik dengan saudara atau tetangga. Ini berarti neang tetap dilakukan meskipun tidak ada lagi proses melahirkan dalam keluarga.
4.6.8 Maron Sebagian besar kerbau atau kambing dimiliki secara turun temurun dengan sistem maron. Maron biasa dilakukan antara anak dan orang tua. Dari enam orang “tukang angon”, hanya satu orang yang maron bukan dari orang tua. Sukari, nama anak muda tersebut maparon dari orang Bantar Agung, desa tetangga Desa Padabeunghar. Maron merupakan suatu cara mendapatkan kambing atau kerbau bagi orang yang tidak memiliki kambing atau kerbau atau ingin menambah jumlah pemilikan kambing atau kerbau dengan cara me melihara kambing atau kerbau milik orang lain dan mendapatkan imbalan berupa pembagian anak kambing atau kerbau atau uang seharga separuh anak kambing atau kerbau. Pembagian berupa kerbau dilakukan jika telah ada dua ekor anak kambing atau kerbau atau jumlah lain yang dapat dibagi. Pembagian berupa uang dilakukan jika jumlah kambing atau kerbau yang ada tidak dapat dibagi. Uang diberikan pada pihak penggembala
87
atau pemilik yang tidak mendapatkan kambing atau kerbau. Uang yang diberikan sebesar harga anak kambing atau kerbau yang telah lepas susu (“disapih ”). Sistem maron
tersebut relatif baru. Awalnya, orang yang ingin
mendapatkan kerbau harus bekerja sebagai “tukang angon ” selama empat tahun tiga bulan 10 hari untuk mendapatkan seekor anak kerbau sapihan. Sebenarnya, angka tiga bulan 10 hari tersebut sebagai cadangan jika ada kerbau peliharaan yang merusak (“ngaranjah”) kebun atau tanaman orang lain. Jika ada kerbau yang merusak tanaman orang lain, maka pemilik kerbau harus mengganti kerugian sesuai dengan besarnya pengganti yang diajukan oleh pemilik tanaman. Tiga bulan 10 hari merupakan waktu yang diberikan oleh penggembala untuk mengganti kerugian yang dikeluarkannya. Namun perkembangannya, ada atau tidak kebun yang di-“ranjah ”, waktu penggembalaan tetap empat tahun tiga bulan 10 hari. Sekarang sistem penggembalaan seperti itu sudah jarang dilakukan.
4.7
Ikatan Sosial (Social Ties) Ikatan sosial yang berfungsi sebagai modal sosial di Desa Padabeunghar
adalah ikatan persaudaraan, ikatan pertetanggaan, ikatan keanggotaan komunitas (horizontal integration ) dan ikatan di luar komunitas (vertical integration). Ikatan sosial ini dibangun berdasarkan kedekatan tempat tinggal dan hubungan darah. Ikatan-ikatan sosial dibangun untuk membangun jaminan kehidupan peta ni dan mengurangi resiko yang tidak dapat dibayar oleh petani sendiri. Kepercayaan menjadi dasar pembentukan hubungan. Kepercayaan dibangun atas dasar anggapan bahwa setiap orang dalam komunitas akan melakukan kebaikan yang sama dengan kebaikan yang dilakukan oleh individu. Rasa tidak enak, jangan saling mengganggu dan menyakiti, sudah biasa terjadi atau sudah biasa dilakukan, sudah seharusnya dilakukan, dan pertimbangan bahwa hal yang sama bisa terjadi pada diri sendiri merupakan norma yang melanggengkan ikatan-ikatan sosial dalam masyarakat Desa Padabeunghar.
4.7.1
Ikatan Persaudaraan Ikatan persaudaraan dibangun antara orang-orang yang memiliki ikatan
darah. Ikatan persaudaraan memberikan jaminan kepada rumahtangga melalui
88
sistem pewarisan, simpan pinjam informal, kedekatan emosional, bantuan tenaga dalam kegiatan-kegiatan besar, pembagian makanan, pemberian pakaian atau uang, peluang pekerjaan, pengasuhan anak, dan jaminan pemeliharaan di hari tua. Pewarisan memberikan kesempatan memperoleh perumahan, sawah, kebon , dan hewan ternak. Kebutuhan rumah di Desa Padabeunghar dipenuhi melalui sistem pewarisan. Setiap orang tua di Desa Padabeunghar memberikan jaminan perumahan sesuai dengan kemampuan ekonominya. Jaminan perumahan dari orang tua dapat berupa rumah, pekarangan, bahan bangunan, dan bantuan makanan serta tenaga pada saat pembangunan rumah. Pewarisan lahan pekarangan untuk membuat rumah terjadi di setiap rumahtangga yang memiliki lahan pekarangan atau kebon. Setiap orang tua akan berusaha memberikan lahan untuk pembangunan rumah anaknya. Pemberian lahan pekarangan ini dilakukan baik oleh orang tua laki-laki maupun orang tua perempuan. Pewarisan lahan pekarangan disesuaikan dengan jumlah anak yang akan mendapat warisan. Bantuan orang tua dalam pembuatan rumah tidak hanya pemberian tanah pekarangan. Orang tua memberikan bantuan bahan bangunan dalam membangun rumah. Rumah yang sekarang ditempati Bu Ut dapat dibangun karena bantuan mertua Bu Ut. Mertua Bu Ut memberikan tanah pekarangan, kayu, genteng dan pasir untuk bahan bangunan rumah64. Selain mewariskan pekarangan dan rumah, sawah, kebon , dan ternak, juga diwariskan orang tua kepada anak. Sawah merupakan sumberdaya yang lebih banyak didapat dari pewarisan. Sawah ada yang didapat dari pembelian, namun biasanya sawah menjadi alternatif terakhir untuk dijual setelah kebon. Kambing dan kerbau merupakan ternak yang ada di Desa Padabeunghar. Ternak hanya diwariskan jika orang tua telah meninggal atau telah sangat tua. Sebelum diwariskan anak memelihara ternak dengan sistem maron . Saudara menjadi orang pertama yang mendapatkan kiriman makanan saat memasak makanan istimewa atau saat panen. Saling mengirim makanan telah menjadi kebiasaan di Desa Padabeunghar. Siapa orang yang dikirimi, tergantung dari orang yang membagi. Orang yang membagi dibedakan menjadi dua 64
Wawancara dengan Bu Ut, 3 Mei 2005
89
kelompok, orang yang baik (bageur) dan orang yang biasa. Orang yang baik biasanya akan mengirim ke tetangga di sekitar atau sekeliling rumah. Biasanya radius dua rumah masih terbagi. Orang yang biasa biasanya hanya mengirim pada saudara-saudaranya saja. Bagi saudara radius kedekatan tempat tinggal tidak menjadi ukuran. Bagi saudara, hasil panen atau makanan akan dikirimkan meskipun letaknya lebih jauh 65. Saudara juga merupakan sumber informasi dan peluang untuk memperbaiki kehidupan rumahtangga. Saudara memberikan bantuan-bantuan yang dapat mengurangi biaya yang dikeluarkan rumahtangga.
4.7.2
Ikatan Pertetanggaan Setelah saudara, tetangga merupakan orang kedua yang diandalkan kom
Desa Padabeunghar. Tetangga merupakan orang-orang yang tinggal di sekitar rumah. Tetangga memberikan bantuan dari mengangkat jemuran jika hujan, mengusir ayam yang memakan tanaman di halaman rumah sampai tenaga kerja saat membangun rumah atau hajatan , makanan, hasil panen, tenaga pengasuhan anak, peluang pekerjaan, dan tenaga kerja nyeblok. Tetangga juga merupakan orang yang paling awal membantu pada keadaan daruran seperti sakit atau melahirkan Peluang pekerjaan dapat diperoleh dari tetangga. Tenaga kerja nyeblok banyak diperoleh dari orang-orang yang dekat dengan pemilik sawah, bisa saudara atau tetangga. Meskipun begitu, tidak semua peluang kerja diperoleh dari tetangga. Peluang pekerjaan merantau tidak selalu diperoleh dari tetangga. Contohnya, rumah YN dan Pak Sud yang bersebelahan tidak menyebabkan YN dan Pak Sud bekerja dalam satu kelompok. Peluang pekerjaan merantau lebih banyak diperoleh dari jaringan kerja merantau (lihat bagian organisasi kerja pekerja bangunan). 4.7.3
Ikatan dengan Anggota Komunitas (Horizontal Integra tion) Desa Padabeunghar merupakan sebuah komunitas yang masyarakatnya
saling memberikan jaminan untuk kehidupan masyarakat lain. Ikatan-ikatan dalam komunitas memberikan jaminan pekerjaan, pengurangan kerugian dan kesempatan
65
Wawancara dan pengamatan dengan Ceu Yy, Istri P ak Bd, 21 Maret 2005
90
memperoleh keuntungan. Landasan ikatan-ikatan tersebut adalah perasaan kedekatan dan keinginan untuk mendapat tempat dalam komunitas. Komunitas menjamin suatu mekanisme bagi individu-individu di dalamnya untuk mengurangi biaya dan mendapatkan keuntungan yang dapat digunakan untuk mempertahankan kehidupan rumahtangga. Setiap orang akan berusaha untuk mendapatkan akses pada pemilikan orang lain dengan membuka akses orang lain terhadap miliknya. Ini nampak pada saat ibu-ibu memberi makan setiap sore. Memberi makan anak bersama-sama biasa dilakukan ibu-ibu yang memiliki anak kecil. Akses yang diberikan tidak hanya pada kebersamaan di luar rumah. Tetangga dapat dengan mudah keluar masuk rumah dan menggunakan fasilitas dalam rumah. Hubungan baik ini juga nampak dalam kemudahan yang diberikan dalam transaksi jual beli. Transaksi jual-beli atau simpan-pinjam di warung penjual kebutuhan sehari-hari dilakukan atas dasar rasa saling percaya. Ikatan dalam komunitas mengurangi resiko dan kerugian yang dikeluarkan jika berhubungan dengan anggota komunitas lain. Pak Dm sebagai penggembala kerbau merasakan perbedaan antara ganti rugi yang diberikan pada sesama warga Desa Padabeunghar dan dengan warga desa lain. Kerbau milik Pak Dm pernah merusak sawah warga . Terdapat perbedaan kebijakan penggantian antara orang Desa Padabeunghar asli dan orang Bantar Agung, desa tetangga Desa Padabeunghar, yang mengolah sawah di Desa Padabeunghar. Warga Desa Padabeunghar tidak meminta penggantian dalam bentuk barang apalagi uang. Ikatan di dalam komunitas juga dibangun dan dipengaruhi oleh Pemerintah Desa Padabeunghar. Pemerintah desa sebagai lembaga yang dibentuk oleh masyarakat mengatur agar kegiatan-kegiatan yang terjadi di dalam komunitas tidak mengganggu kehidupan anggota komunitas. Hajatan, tetenong (kiriman makanan dari yang hajatan pada saudara atau tokoh masyarakat), tahlil (pengajian di rumah orang yang anggota keluarganya ada yang meninggal) diatur oleh desa 66. Hajatan hanya boleh dua kali dalam satu bulan. Tahlilan dan
66
Pengaturan kegiatan-kegiatan itu belum sepenuhnya berhasil. Larangan pengiriman berhenti dimulai dengan larangan pengiriman tetenong ke balai des a. Larangan tahlilan telah berhasil dilakukan, namun pengaturan waktu hajatan tidak berhasil. Masih ada hajatan yang dilakukan berturut-turut bahkan dua kali dalam satu hari.
91
tetenong sekarang sudah tidak ada lagi. Tahlilan dilarang oleh desa karena dianggap memberatkan penduduk. Pemerintah desa juga berperan memberi Jika ada warga yang sakit atau ada kematian, yang mengurus pertama adalah saudaranya, jika tidak ada saudara yang bertanggungjawab, desa yang mengatur 67. Peranan pemerintah desa juga ada dalam mengurangi biaya yang dikeluarkan masyarakat karena letak Desa Padabeunghar yang terpencil. Pembayaran rekening listrik ditangani oleh RT setempat. Pembayaran rekening listrik harus dilakukan di desa Pasawahan. jika menggunakan mobil angkutan ongkos yang dikeluarkan adalah Rp. 3.000,- pulang pergi. Jika menggunakan ojek, ongkos yang dikeluarkan adalah Rp 6.000,- pulang pergi. Penanganan pembayaran rekening listrik oleh RT hanya membutuhkan ongkos Rp. 500,- yang diberikan pada petugas pembayar listrik yang ditunjuk RT. Uang Rp. 500,termasuk ongkos pengambilan slip pembayaran dan ongkos pembayaran listrik. Ongkos tersebut juga menambah pendapatan RT melalui sisa ongkos pembayaran rekening listrik 68. Hubungan antara anggota komunitas melemahkan peran yang seharusnya dilakukan. Norma jangan menyakiti jika tidak ingin disakiti menyebabkan anggota komunitas membiarkan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota komunitas yang lain. Upaya membangun ikatan dalam komunitas akan dilakukan meskipun harus mengeluarkan biaya yang berlipat. Jasa dukun bayi selalu digunakan dalam setiap kelahiran anak meskipun rumahtangga harus membayar lebih besar. Dukun bayi memberikan layanan yang biasa dilakukan oleh anggota komunitas yang lain seperti ngarupus69, muput70, atau penguapan ibu yang baru melahirkan71, serta memijat bayi dan ibu melahirkan. Layanan yang diberikan dukun bayi diperlukan
67
Wawancara dengan aparat Desa padabeunghar, 10 Maret 2005 Wawancara dengan Bu Ut, 3 Mei 2005 69 Ngarupus adalah upacara pemotongan rambut bayi setelah bayi berusia 40 hari. 70 Muput adalah upacara pelepasan tali pusar bayi pada saat bayi berusia sembilan hari untuk bayi perempuan dan 10 hari untuk bayi laki-laki. 71 Penguapan dilakukan dengan menyuruh si ibu jongkok di atas batu-bata yang dibakar bersama ramuan-ramuan tertentu dan menyiramnya dengan air. Asap yang keluar dari batu bata merah tersebut dianggap berkhasiat memulihkan keadaan si ibu. Penguapan dilakukan pada saat bayi muput. 68
92
agar anak dapat mendapatkan upacara yang sama seperti anak-anak lain di Desa Padabeunghar. Hubungan antara anggota komunitas terjalin seperti sebuah “asosiasi horizontal” (Putnam, 1993). Hubungan yang terjalin merupakan cerminan norma sosial yang mengatur hubungan setiap orang dalam komunitas. Jika Putnam (1993 melihat “asosiasi horizontal” ini akan berpengaruh pada produktifitas masyarakat, komunitas petani di Desa Padabeunghar memandang “asosiasi horizontal” ini sebagai upaya mengurangi resiko-resiko yang dihadapi anggota komunitas karena keterbatasan aset yang dimiliki rumahtangga dan membangun hubungan baik dengan anggota komunitas yang lain. Ikatan yang dibangun oleh anggota komunitas merupakan gabungan antara tindakan berorientasi ekonomi dan tindangan membangun resiprositas. Tindakan Pak Bd untuk tidak menegur pembukaan galian C, pemilik sawah yang memilih untuk tidak meminta ganti rugi, memberikan makanan pada anak orang lain untuk menghadapi resiko dan pemilik warung menerima penjualan kertas minyak atau si nenek yang menerima pembayaran berikutnya didasari oleh keinginan untuk membangun hubungan baik dan mencegah konflik. Orientasi ekonomi72 tampak pada tindakan pengelolaan pembayaran uang listrik dan pengaturan waktu hajatan . 4.7.4
Ikatan dengan Luar Anggota Komunitas (Vertical Integration ) Sebagai suatu komunitas yang terbuka, komunitas petani di Desa
Padabeunghar berhubungan secara intensif dengan pemerintah Kecamatan Pasawahan, Kabupaten Kuningan dan melakukan hubungan ekonomi dengan masyarakat di Kabupaten Majalengka dan Cirebon (lihat bagian gambar 4). PHBM melibatkan petani dengan pihak-pihak di luar komunitas petani Desa Padabeunghar seperti LSM lokal, nasional dan internasional (ikatan dengan luar komunitas sebagai akibat dari pelaksanaan PHBM akan dibahas tersendiri). Orang di luar komunitas akan mendapatkan fasilitas yang biasa diberikan kepada orang di dalam komunitas jika telah membuat hubungan baik atau melakukan hal yang menguntungkan komunitas petani Desa Padabeunghar. 72
Orientasi ekonomi ada tiga, kepuasan, utilitas dan keinginan (Weber, 1968)
93
Contoh kasus, Bi En bersama beberapa ibu-ibu pernah bersama-sama menjenguk seorang pengusaha yang memberikan bibit je ungjing kertas di Kuningan73. Pengusaha itu dijenguk karena sakit keras. Bi En dan ibu-ibu yang lain merasa perlu menjenguk pengusaha itu karena pengusaha itu dikabarkan bangkrut dan tidak meneruskan usaha jeungjing kertas di Desa Padabeunghar. Pengusaha itu dijenguk karena pernah dikenal baik dan memberikan peluang usaha pada petani Desa Padabeunghar. Fasilitas tertentu hanya diberikan pada anggota komunitas. Orang di luar komunitas tidak diperbolehkan meminjam di warung, toleransi pembayaran denda atas kesalahan yang dilakukan, dan perlindungan pemerintah desa pada pengeluaran dan kesejahteraan anggota komunitas desa. Orang di luar komunitas desa dapat mendapatkan kunjungan menjenguk, kondangan, atau kiriman makanan. Orang di luar komunitas desa mendapatkan fasilitas yang diberikan pada anggota komunitas jika melakukan tindakan-tindakan yang dianggap baik dan diterima komunitas atau memberikan keuntungan pada anggota komunitas. Ikatan dengan orang di luar anggota komunitas menguatkan apa yang disebut Bebbington (1999, dalam Ellis, 2000) sebagai kelompok dalam (insider) dan kelompok luar (outsider). “Asosiasi horizontal” dalam hubungan antara anggota komunitas tidak terjadi pada hubungan dengan orang di luar komunitas. Outsider dianggap lebih baik jika dapat memberikan keuntungan secara finansial kepada anggota komunitas. Hubungan baik dengan LSM, Perhutani, pengusaha pengelola tanah HGU didasarkan pada seberapa besar orangdari luar komunitas tersebut dapat memberikan keuntungan bagi komunitas. Pendapat ini dikuatkan oleh isu dana yang selalu menjadi ganjalann bagi pembentukan hubungan baik antara orang Desa Padabeunghar dengan orang di luar Desa Padabeunghar.
4.8
Tenaga Kerja dalam Rumahtangga Penjelasan modal manusia dilakukan dengan memandang manusia sebagai
tenaga kerja dalam rumahtangga. Pendekatan ini juga dilakukan Ellis (2000) yang memandang tenaga kerja sebagai tenaga kerja yang dimiliki rumahtangga. Tenaga kerja di Desa Padabeunghar dibedakan berdasarkan jenis kelamin dan usia. 73
Pengamatan dan wawancara bersama Bi En, 4 Mei 2005
94
Pengkategorian ini dilakukan karena berdasarkan wawancara dan pengamatan terdapat perbedaan antara tenaga kerja perempuan dan laki- laki, anak usia sekolah dan anak setelah selesai sekolah serta antara laki-laki atau perempuan pada tingkat usia yang berbeda. Penjelasan yang diberikan Ashley dan Carney (1999) tentang kriteria modal manusia seperti pendidikan dan keterampilan digunakan untuk menjelaskan bagaimana antara laki-laki atau antara perempuan melakukan pilihan pekerjaan. Berdasarkan jenis kelamin, anggota rumahtangga dapat dibedakan menjadi laki-laki dan perempuan. Pembedaan antara laki-laki dan perempuan tidak dilihat dari kemampuan kerja namun dilihat dari peranan yang dibentuk secara normatif di masyarakat. Laki-laki merupakan kepala keluarga dan tenaga kerja utama rumahtangga. Peranan laki-laki tidak berubah sebelum dan setelah menikah. Perempuan berubah peranan sebelum dan sesudah menikah. Sebelum menikah, perempuan bekerja ke luar desa mendapatkan gaji yang digunakan untuk kebutuhan sehari-hari dan membantu orang tua, sedangkan setelah menikah perempuan mengerjakan pekerjaan rumahtangga di rumah. Berdasarkan usia dan jenis kelamin, tenaga kerja rumahtangga di Desa Padabeunghar dapat dikelompokan sebagai berikut:
95
Tabel 8. Tenaga Kerja Rumahtangga Berdasarkan Usia, Jenis Kelamin, Pendidikan dan Keterampilan Usia (tahun) 0-18
Jenis kelamin Perempuan Laki-laki
18-20
Perempuan
Status
Pendidikan
Belum menikah Belum menikah Belum menikah
SLTP/SLTA
-
Sekolah
SLTP/SLTA
-
Sekolah
SLTP/SLTA
Memiliki keterampilan khusus Tidak memiliki keterampilan khusus Memiliki keterampilan khusus Tidak memiliki keterampilan khusus Memiliki keterampilan khusus
Pekerja pabrik/bangunan/guru
SLTP/SLTA Laki-laki
Belum menikah
SLTP/SLTA SLTP/SLTA
20-40
Perempuan
Telah menikah
SLTP/SLTA
SLTP Laki-laki
Telah menikah
SLTP/SLTA SLTP
40<
Perempuan
Telah menikah
SD SD
Laki-laki
Telah menikah
SD SD
60<
Perempuan
Laki-laki
Telah menikah
Telah menikah
Keterampilan
Tidak memiliki keterampilan khusus Memiliki keterampilan khusus Tidak memiliki keterampilan khusus Memiliki keterampilan khusus Tidak memiliki keterampilan khusus Memiliki keterampilan khusus Tidak memiliki keterampilan khusus
SR
Memiliki keterampilan khusus
SR
Tidak memiliki keterampilan khusus
SR
Memiliki keterampilan khusus
SR
Tidak memiliki keterampilan khusus
Sumber: Diolah dari data primer, 2005
Pekerjaan
Pekerja pabrik/bangunan Pekerja pabrik/bangunan Pekerja pabrik/bangunan Pekerjaan rumahtangga/mengasuh anak/membuat emping atau kripik untuk dimakan sendiri atau dijual/PNS Pekerjaan rumahtangga/mengasuh anak Tukang, supplier , pamong desa, PNS Pekerja bangunan, menggarap sawah atau kebon Dukun bayi, pedagang Menggarap sawah milik sendiri/nyeblok /pekerjaan rumahtangga Tukang, Buruh tani, menggarap sawah sendiri, nyeblok, memelihara kerbau/kambing Dukun bayi, menggarap sawah sendiri, nyeblok, memelihara kerbau/kambing Menggarap sawah sendiri, nyeblok, memelihara kerbau/kambing Veteran, menggarap sawah sendiri, nyeblok, memelihara kerbau/kambing Menggarap sawah sendiri, nyeblok, memelihara kerbau/kambing
96
Berdasarkan usia, anggota rumahtangga dapat dibedakan menjadi kelompok usia kakek (selanjutnya disebut kelompok usia kakek74), kelompok usia ayah (selanjutnya disebut kelompok usia orang tua 75), dan kelompok usia anak yang telah menikah (selanjutnya disebut kelompok usia anak76). Kelompok anak sebenarnya terbagi menjadi dua, kelompok anak yang telah menikah dan kelompok anak yang belum menikah, namun analisis strategi nafkah dilakukan pada kelompok usia anak yang telah menikah. Kelompok anak yang belum menikah menjadi bagian dari rumahtangga orang tua. Pengelompokan ini dilakukan atas dasar identifikasi basis strategi nafkah dan aktor utama dalam rumahtangga yang menjalankan strategi nafka h. Keterampilan khusus dan pendidikan yang dimiliki anggota rumahtangga merupakan modal yang menentukan pekerjaan yang diperoleh anggota rumahtangga. Keterampilan khusus dapat membuka peluang pekerjaan bagi perempuan.
4.9
Ekonomi di Luar Pertanian Ekonomi di luar pertanian dibagi menjadi dua, pekerjaan di dalam desa
dan pekerjaan di luar desa di luar pengelolaan lahan pertanian yang tersedia di dalam desa. Pekerjaan di luar pertanian yang dapat diperoleh di dalam Desa Padabeunghar adalah pekerjaan sebagai pamong desa, buruh pertanian, guru SD atau SMP, pedagang, tukang, dukun bayi, dan bidan desa. Pekerjaan-pekerjaan ini ditekuni oleh warga asli dan pendatang. Bidan Desa bukan warga asli Desa Padabeunghar, ia orang Kuningan yang ditugaskan di Desa Padabeunghar. Sebagian besar orang yang menekuni pekerjaan ini masih memiliki pekerjaan di bidang pertanian. Pekerjaan-pekerjaan di luar pertanian yang ada di dalam Desa Padabeunghar hanya ditekuni oleh sedikit orang. Selain buruh tani, pekerjaanpekerjaan ini hanya ditekuni oleh sebagian kecil masyarakat Desa Padabeunghar. Dukun bayi hanya ada dua orang di Desa Padabeunghar, pedagang hanya ada
74
Kelompok usia kakek adalah perempuan atau laki-laki yang berusia 60 tahun ke atas Kelompok usia orang tua adalah perempuan dan laki-laki yang berusia 40 tahun ke atas 76 Kelompok usia anak yang telah menikah adalah perempuan dan laki-laki yang berusia 20-40 dan telah menikah 75
97
sembilan orang, bidan satu orang, tukang 40 orang, guru 13 orang, dan pamong desa delapan orang. Jumlah ini sangat sedikit dib anding dengan jumlah angkatan kerja Desa Padabeunghar. Pekerjaan di dalam Desa Padabeunghar membutuhkan pendidikan dan keterampilan tertentu yang tidak dimiliki oleh setiap orang di Desa Padabeunghar. Buruh pertanian merupakan pekerjaan yang paling mudah karena tidak membutuhkan tingkat pendidikan yang telah ditetapkan dan pembelajaran keterampilan buruh yang dapat diperoleh dari orang tua dalam pekerjaan seharihari di pertanian. Selain keterampilan atau pendidikan, pekerjaan sebagai pedagang membutuhkan modal. Pendidikan, keterampilan dan modal kerja menjadi penghambat utama perkembangan pekerjaan di dalam desa. Selain buruh tani, pekerjaan di luar pertanian menjadi pekerjaan utama. Orang yang sama sekali tidak memiliki dasar pertanian sama sekali tidak akan bekerja di bidang pertanian. Bidan desa dan suaminya, guru SMP, sama sekali tidak memiliki sawah, kebon atau lahan garapan. Tukang, dukun bayi dan Pamong desa masih mengolah sawah, kebon atau lahan garapan dalam waktu luangnya. Jika tidak memiliki sawah, mereka akan menggarap kebon dan lahan garapan di hutan atau di lahan kebun karet. Pekerjaan di luar pertanian di luar Desa Padabeunghar disebut merantau. Merantau dilakukan untuk mencari pekerjaan di kota besar. Kota-kota besar yang dijadikan tujuan merantau adalah Jakarta, Bandung, dan kota-kota di luar Jawa seperti Bali dan Batam. Orang Desa Padabeunghar bekerja di perantauan sebagai pekerja bangunan, tukang roti, pembantu rumahtangga, pekerja di pabrik, dan TKW di Arab Saudi dan Malaysia. Pekerjaan mer antau tidak memerlukan keterampilan dan pendidikan khususPekerjaan merantau dilakukan oleh anak laki-laki atau anak perempuan yang telah menyelesaikan sekolah. Merantau baru akan selesai dilakukan jika sudah tidak ada lagi pekerjaan di kota, usia sudah tua dan sudah mendapatkan banyak uang untuk membangun rumah atau sekolah anak. Setelah selesai merantau, perantau akan kembali pada pekerjaannya di desa sebagai petani atau sebagai ibu rumahtangga. Pekerjaan di luar desa yang dilakukan penduduk Desa
98
Padabeunghar adalah pekerja pabrik, pembantu rumahtangga, Tenaga Kerja Indonesia (TKI), dan pekerja bangunan. Pekerja pabrik dilakukan oleh anak laki-laki atau perempuan yang telah selesai sekolah SMP atau SMA. Mereka memilih pekerjaan di pabrik dengan alasan gaji dan tidak ada pekerjaan di desa. Pekerjaan di pabrik akan berhenti dilakukan jika pekerja menikah atau menemukan pekerjaan lain di Desa Padabeunghar. Contoh kasus, Ceu Mm, berhenti bekerja di pabrik garmen di bandung ketika akan menikah dengan Pak Kd. Begitupula Pak Kd, suami Ceu Mm, berhenti bekerja di pabrik elektronik di Tanggerang ketika mempersiapkan diri menjadi kepala desa77. Pekerjaan sebagai pekerja bangunan atau pembantu rumahtangga merupakan pekerjaan yang banyak ditekuni oleh penduduk Desa Padabeunghar. Pekerjaan sebagai pekerja bangunan atau pembantu rumahtangga tidak memerlukan keterampilan khusus sehingga dapat diakses oleh setiap orang yang mau bekerja. Pekerja bangunan juga memiliki organisasi kerja yang menyebabkan calon pekerja tidak perlu mencari pekerjaan sendiri. Pekerja bangunan atau pembantu rumahtangga juga menyediakan uang dalam jumlah besar dalam waktu yang bersamaan, sesuatu yang tidak ada pada penggarapan lahan. Pekerjaan di luar pertanian merupakan basis ekonomi di luar pertanian pada masyarakat Desa Padabeunghar. Pekerjaan di luar pertanian penting bagi ekonomi rumahtangga karena: (1) memberikan status sosial yang lebih baik dari pada pekerjaan pertanian, (2) memberikan penghasilan dalam jumlah besar dan waktu bersamaan terutama bagi pekerjaan bangunan dan pembantu rumahtangga, (3) pendapatan yang terus menerus terutama pada pekerjaan pedagang, dan (4) penghasilan tambahan terutama untuk pekerjaan buruh tani.
4.10
Perubahan Ketersediaan Sumberdaya Pada periode waktu sebelum tahun 1980-an, lahan Perhutani masih berupa
hutan pinus. Petani mendapat akses untuk menggarap lahan hutan melalui sistem tumpangsari. Pengelolaan hutan dilakukan secara intensif pada masa itu.
77
Wawancara dengan Ceu Mm, 29 April 2005
99
Pengelolaan yang intensif ditunjukkan oleh banyaknya petani yang mengelola lahan hutan. Petani menanam pisang, singkong dan tanaman buah-buahan. Pada saat yang sama lahan kebun karet masih berupa kebun karet yang aktif berproduksi. Petani bekerja sebagai penyadap di kebun karet di sela -sela waktu menggarap lahan. Lahan hutan menjadi satu-satunya alternatif lahan garapan selain lahan milik petani 78. Pada tahun 1980-an awal terjadi penebangan hutan Perhutani. Penebangan yang dilakukan secara bertahap tersebut mencapai puncaknya pada tahun 1987, lahan hutan Perhutani ditebang habis termasuk tanaman yang ditanam petani. Pada saat yang hampir bersamaan pohon karet di lahan kebun karet ditebang habis dan dibiarkan kosong sampai sekarang. Petani mengalihkan pengolahan lahan hutan ke lahan kebun karet. Pilihan tersebut dibuat karena lahan kebun karet lebih dekat, lebih subur dan tidak pernah ada kekecewaan seperti saat tanaman petani ditebang Perhutani. Perubahan ini menyebabkan lahan hutan tidak tergarap. Menurut Wa Am, 60 tahun, sorang penggarap hutan yang dikenal rajin dan berhasil menggarap hutan di Desa Padabeunghar, pengelolaan hutan sekarang tidak seramai dulu. Sekarang Wa Am mengangkut pisang dari hutan sendiri, padahal saat ia masih muda banyak sekali orang yang mengangkut pisang dari hutan. Wa Am juga terbiasa pergi beramai-ramai dengan penggarap lain, hal yang sekarang jarang ditemukannya. Sekarang Wa Am sering pergi hanya sendiri atau berdua dengan penggarap lain yang bertemu di jalan. Ini menunjukkan penambahan lahan garapan tidak disertai dengan peningkatan jumlah penggarap79. Pembukaan akses lahan kebun karet seiring dengan peningkatan trend merantau pada generasi anak. Sejak generasi orang tua telah ada penduduk Desa Padabeunghar yang merantau ke Jakarta atau kota lain untuk menjadi pembantu rumahtangga atau berjualan roti. Sejak Bos Enon berhasil berusaha di kota sebagai tukang cat, semakin banyak anak muda yang telah selesai sekolah pergi ke kota menjadi pekerja bangunan. Keberhasilan Bos Enon sebagai tukang cat
78
Menjadi buruh penyadap getah karet tidak membutuhkan wakt u sehari penuh. Petani dapat menggarap lahan hutan diantara waktu menunggu sadapan karet. 79 Wawancara dengan Wa Am, 04 Mei 2005
100
menyebabkan pekerja bangunan yang bekerja di kota disebut “ngecet” oleh warga Desa Padabeunghar. Penebangan pohon pinus di hutan Perhutani dan pohon karet di kebun karet mempengaruhi debit air yang tersedia untuk mengolah sawah. Sawah hanya dapat berproduksi dua kali dalam satu tahun. Pengurangan alokasi tenaga kerja untuk penggarapan sawah menyebabkan ekstensifikasi pada lahan kebun karet. Ekstensifikasi ini tidak melibatkan seluruh anggota rumahtangga. Generasi anak yang belum menikah atau setelah menikah memilih untuk merantau. Generasi orang tua atau generasi kakek menjadi tenaga kerja yang menggarap sumberdaya alam dalam satu rumahtangga. Rumahtangga tidak memiliki tenaga kerja yang cukup untuk menggarap lahan milik pribadi dan lahan garapan. PHBM membuka peluang pemanfaatan sumberdaya hutan tidak dapat membuat petani menggarap hutan. Tekanan nafkah rumahtangga dihadapi petani dengan
mengalokasikan
tenaga
kerja
rumahtangga
untuk
mendapatkan
pendapatan berupa uang tunai dari peluang pekerjaan. Pertanian menjadi jaminan keamanan hari tua yang dianggap cukup setelah dapat memenuhi kebutuhan konsumsi. Petani menghadapi kekurangan pendapatan dan krisis keberlanjutan nafkah dengan mendapatkan aset sosial. Perubahan ini disertai perubahan struktur rumahtangga. Keberhasilan program KB yang didukung oleh keinginan untuk mengurangi biaya pengasuhan dan
pendidikan
anak
mendorong
pengurangan
jumlah
penduduk
Desa
Padabeunghar. Pengurangan jumlah penduduk disertai dengan peningkatan tingkat pendidikan pada generasi anak. Peningkatan waktu sekolah sampai SLTP atau SLTA ini mengurangi tenaga kerja aktif rumahtangga. Gambaran ringkas perubahan akses modal dapat diamati pada tabel berikut:
101
Tabel 9. Perubahan Akses Modal oleh Rumahtangga Periode waktu
Momentum
Sebelum tahun 1980
Lahan hutan masih ada, kebun karet masih berproduksi KB
Modal yang dapat diakses rumahtangga - Hutan sebagai lahan pertanian - Kebun karet sebagai peluang pekerjaan Penurunan jumlah anak
Peningkatan pendidikan
Peningkatan waktu sekolah
Tahun 1980-an akhir
Penebangan habis hutan pinus, penebangan pohon karet
- Hutan sebagai lahan kosong - Lahan kebun karet sebagai lahan pertanian. - Pengurangan debit air
1980-an akhir
Perantau yang berhasil
Peluang pekerjaan sebagai buruh bangunan
2002
PHBM
Lahan hutan sebagai lahan pertanian
2005
Taman Nasional
Lahan hutan sebagai wilayah konservasi
Dampak perubahan pada pengelolaan modal - Penggarapan hutan - Pekerjaan sebagai penyadap atau pegawai perkebunan Pengurangan tenaga kerja rumahtangga - Pengurangan waktu menjadi tenaga kerja aktif - Peningkatan kualitas tenaga kerja - Peningkatan kesempatan kerja di luar pertanian - Lahan hutan diabaikan - Pengolahan lahan kebun karet sebagai lahan pertanian - Panen padi dua kali dalam satu tahun Tren merantau terutama pada generasi anak yang telah selesai sekolah - Penggarapan lahan hutan di tempat tertentu - Penggarapan lahan kebun karet Masa transisi, penurunan semangat mengelola hutan
Sumber: Diolah dari data primer , 2005 Berdasarkan uraian di atas, perubahan akses modal terutama ditentukan oleh tiga hal: (1) perubahan akses sumberdaya hutan, (2) perubahan fungsi lahan kebun karet dan (3) peningkatan peluang kerja di luar pertanian. Perubahan akses lahan hutan dan lahan kebun karet menyebabkan perubahan pola pertanian di Desa Padabeunghar. P eluang pekerjaan di luar pertanian menyebabkan aliran remittance dari luar desa serta pengurangan jumlah tenaga kerja pertanian. Pengurangan jumlah tenaga kerja yang diperkuat oleh pengurangan jumlah anak dan penambahan waktu sekolah.
4.11
Ikhtisar Karakteristik ekonomi dan sosial masyarakat Desa Padabeunghar
menggambarkan sebuah komunitas dengan keterbatasan sumberdaya alam dan
102
penguatan ikatan sosial yang berbasis kelembagaan sosial. Komunitas petani Desa Padabeunghar memiliki hubungan sosial solidaritas sosial yang erat yang menjadi landasan aktifitas ekonomi rumahtangga. Hubungan sosial menjadi dasar pembentukan rumahtangga dan hubungan-hubungan antar anggota komunitas. Keterbatasan sumberdaya alam menjadi penting karena penggarapan sumberdaya alam masih menjadi sumber nafkah utama bagi rumahtangga petani di Desa Padabeunghar. Keterbatasan sumberdaya alam yang dapat dimiliki rumahtangga dapat diatasi melalui akses manfaat lahan hutan Perhutani dan lahan kebun karet. Sebagai komunitas terbuka 80 Desa Padabeunghar mendapatkan fasilitas dan bantuan yang membuka akses sumberdaya bagi rumahtangga. Keterbukaan ini juga mempengaruhi pola mobilitas penduduk terutama peluang kerja di perantauan. Merantau menjadi salah satu pilihan pekerjaan bagi anggota rumahtangga petani di Desa Padabeunghar.
80
Menurut Wolf (dalam Cancian, 1989) Komunitas yang terbuka (open community) memiliki ciriciri: Lebih terbuka, memproduksi tanaman produksi, memiliki hubungan budaya, ekonomi dan politik dengan komunitas yang lebih besar, dan pengaruh langsung dari luar dan merupakan bagian penting dalam kehidupan sehari-hari
V.
AKTIVITAS NAFKAH RUMAHTANGGA DI DESA PADABEUNGHAR Aktivitas nafkah rumahtangga petani di Desa Padabeunghar merupakan
serangkaian upaya menggunakan modal yang dimiliki rumahtangga dan membangun modal yang dibutuhkan rumahtangga untuk mendapatkan pendapatan yang dibutuhkan rumahtangga. Istilah modal digunakan mengacu pada konsep Ellis (2000) dan de Haan (2000) tentang modal alami dan modal sosial. Istilah modal digunakan untuk menunjukkan sumberdaya yang telah dimiliki atau diakses rumahtangga. Pendekatan aktivitas nafkah dilakukan untuk menjelaskan tindakan ekonomi yang dilakukan oleh anggota rumahtangga untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan rumahtangga. Pada bagian ini juga dibahas tujuan nafkah rumahta ngga secara umum yang melandasi aktivitas nafkah rumahtangga. Berdasarkan profil sosial ekonomi Desa Padabeunghar, terdapat tiga sumberdaya
yang
penting
bagi
nafkah
rumahtangga
penduduk
Desa
Padabeunghar, modal alami, modal sosial dan peluang kerja. Modal alami meliputi lahan, hewan ternak, dan kondisi alam Desa Padabeunghar. Modal sosial meliputi kelembagaan sosial dan ikatan sosial. Peluang kerja meliputi aktivitas ekonomi di luar penggunaan modal alami. Secara
keseluruhan
rumahtangga
petani
di
Desa
Padabeunghar
membangun aktivitas nafkah yang berdasarkan kepentingan analitis digolongkan menjadi empat: aktivitas nafkah berdasarkan penggunaan modal alami, aktivitas nafkah berdasarkan penggunaan modal sosial, aktivitas nafkah berdasarkan penggunaan peluang pekerjaan dan aktivitas nafkah berdasarkan pengaturan konsumsi dalam rumahtangga. Keempat kelompok aktivitas nafkah ini diuraikan berdasarkan
peranannya
dalam
nafkah
rumahtangga,
dan
tenaga
kerja
rumahtangga.
5.1
Aktivitas nafkah Berdasarkan Penggunaan Modal Alami Modal alami yang penting bagi nafkah rumahtangga adalah sawah, kebon,
lahan kebun karet dan lahan Perhutani. Dharmawan (2001) menamai sumberdaya ini sebagai sektor ekonomi pertanian, karena sumberdaya ini digunakan untuk
104
kegiatan pertanian dan penting untuk menjalankan ekonomi rumahtangga. Modal alami merupakan sarana penting yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup petani di Desa Padabeunghar. Sawah, kebon, lahan garapan kebun karet dan lahan garapan hutan tidak dapat memberikan kebutuhan hidup secara langsung. Ada proses pengolahan yang harus dilalui petani sampai dapat memetik hasil dan menanfaatkannya untuk mendukung ekonomi rumahtangga. Proses pengolahan sawah, kebon , dan lahan garapan membutuhkan tenaga kerja, uang untuk membeli pupuk dan sarana produksi pertanian yang lain serta waktu tenaga kerja rumahtangga. Pengolahan sawah, kebon, lahan kebun karet dan lahan hutan melibatkan modal alami yang lain seperti mata air dan hewan ternak. Kontur tanah mempengaruhi ketersediaan sawah dan kebon . Kontur tanah juga membentuk pola sikap anggota rumahtangga petani Desa Padabeunghar terhadap pekerjaan pertanian dan mobilitas ke sawah, kebon , lahan kebun karet dan lahan hutan. Kandungan batu dan pasir di lahan perhutani mendorong eks ploitasi sumberdaya alam sebagai salah satu aktivitas yang dilakukan rumahtangga petani Desa Padabeunghar. Eksploitasi hasil hutan seperti kayu masih ada dalam bentuk penebangan pohon pinus yang tersisa untuk kayu bakar dan pengambilan rumput untuk pakan ternak. Bentuk aktivitas penggunaan modal alami adalah aktivitas ekstensifikasi pertanian, aktivitas pengurangan biaya produksi pertanian, aktivitas diversifikasi tanaman dan aktivitas eksploitasi sumberdaya alam.
5.1.1 Menggarap Beberapa Lahan Bersamaan Ekstensifikasi pertanian dilakukan karena beberapa hal, (1), keterbatasan lahan milik pribadi, (2), sifat tanaman yang tidak memerlukan waktu pemeliharaan terus menerus, (3), keterbatasan hasil dari satu luasan lahan, (4), tekanan kebutuhan hidup dan, (5), terdapat lahan alternatif untuk dikelola. Ekstensifikasi pertanian dilakukan dengan dua cara, (1), pengelolaan beberapa lahan garapan secara bersama-sama, dan (2), penambahan luas lahan garapan Seperti yang telah dibahas, pemilikan sawah rata-rata di Desa Padabeunghar adalah 0,25 bau. Kebon dan sawah tidak dimiliki oleh setiap rumahtangga. Pemilikan lahan milik pribadi yang terbatas menyebabkan hasil
105
produksi pertanian tidak memadai. Pengelolaan lahan lain diperlukan untuk melengkapi hasil produksi pertanian di lahan milik pribadi. Kebutuhan penambahan lahan semakin terasa bagi petani yang tidak memiliki lahan milik pribadi. Pengolahan sawah, kebon dan lahan garapan tidak membutuhkan waktu yang terus menerus, terdapat waktu luang diantara tahapan pengolahan sawah. Waktu luang inilah yang menyebabkan petani dapat menggarap sawah, kebon dan lahan garapan kebun karet maupun lahan garapan hutan Perhutani secara bersamaan. Pengerjaan keempat sumberdaya alam ini dilakukan secara bergantian dengan jadwal yang ditetapkan sendiri oleh petani. Jika Ellis (2000) menyimpulkan musim (seasonality) sebagai suatu faktor penting dalam aktivitas nafkah rumahtangga, rumahtangga petani Desa Padabeunghar melakukan pola pengelolaan modal alami tidak berdasarkan musim atau berdasarkan pola tanam padi di sawah. Rumahtangga petani melakukan pengelolaan sawah, kebon, lahan hutan dan lahan kebun karet berdasarkan waktu luang yang dimiliki dan keperluan yang mendesak untuk dilakukan. Keterbatasan lahan, sifat tanaman dan keterbatasan hasil pertanian dilengkapi dengan ketersediaan lahan garapan alternatif. Tekanan ekstensifikasi pertanian mengarah pada lahan di luar milik petani yang dapat diakses rumahtangga seperti lahan kebun karet dan lahan hutan Perhutani. Pemilikan sawah tidak
menutup
kemungkinan
untuk
melakukan
ekstensifikasi. Kelembagaan sosial nyeblok membuka peluang petani pemilik sawah untuk menggarap lahan hutan Perhutani atau lahan kebun karet. Setiap pemilik sawah melibatkan petani yang lain melalui sistem nyeblok. Sistem nyeblok menyebabkan petani pemilik sawah memiliki waktu untuk menggarap kebon atau menjadi buruh tani di sawah milik orang lain 81. Sistem nyeblok juga membuka peluang petani pemilik sawah untuk menggarap lahan garapan di hutan Perhutani atau di lahan kebun karet. Ekstansifikasi pertanian tidak dilakukan lagi jika rumahtangga memiliki satu sumber nafkah yang dapat memenuhi seluruh kebutuhan rumahtangga. Penggarapan lahan yang lain tidak dilakukan jika sawah yang dimiliki telah 81
Pak Suh masih menjadi buruh tani sementara sawah miliknya sendiri digarap oleh petani nyeblok, pengamatan di sawah Gibug, 19 Maret 2005
106
menyita seluruh waktu kerja petani atau dianggap cukup memenuhi untuk kebutuhan hidup petani. Akses terhadap pekerjaan di luar pertanian juga menyebabkan tekanan nafkah pada ekstensifikasi lahan berkurang. Responden lain yang memiliki pekerjaan di luar pertanian memilih untuk menggarap satu jenis lahan garapan. Pak Kd, Pak Sud, Bu Ut dan Bu Et merupakan responden yang memiliki pekerjaan di luar pertanian dan hanya menggarap satu jenis lahan garapan.
5.1.2
Mengurangi Biaya Produksi Pertanian Pengolahan sawah, kebon dan lahan garapan membutuhkan sarana
produksi pertanian. Penurunan biaya produksi pertanian merupakan pilihan yang harus dilakukan rumahtangga karena biaya produksi pertanian tidak seimbang dengan hasil produksi pertanian. Biaya pembelian pupuk dapat menghabiskan seluruh padi hasil panen. Sedangkan padi dibutuhkan untuk konsumsi dan penyelenggaraan kegiatan besar rumahtangga. Rumahtangga dapat menjual hewan ternak atau perhiasan untuk membeli pupuk. Kemungkinan itu dihindari oleh rumahtangga. Aktivitas penurunan biaya pertanian dilakukan dengan tiga cara, (1) pengurangan penggunaan sarana produksi pertanian yang dianggap mahal, (2) menghasilkan
sendiri
sarana
produksi
pertanian
yang
dapat
dihasilkan
rumahtangga, dan (3) penggunaan modal sosial untuk mendapatkan sarana produksi pertanian secara gratis. Pengurangan biaya pembelian pupuk kimia dilakukan dengan mengurangi frekuensi pemupukan dan jumlah pupuk yang diberikan. Menurut Paak Kd, 38 tahun, petani yang memiliki sawah bengkok , ia masih melakukan pemupukan dua kali selama musim tanam. Pak Kd menggunakan enam kuintal pupuk untuk dua kali pemupukan di satu bau sawah. Ini merupakan dosis yang seharusnya diberikan. Petani yang lain hanya melakukan pemupukan satu kali dengan dosis setengah dari dosis yang seharusnya diberikan. Petani yang lain hanya melakukan penyemprotan hama jika kondisi hama sangat mengancam pertumbuhan padi82. 82
Pengamatan dan wawancara di rumah Bi En, 10 Maret 2005. Pak Kd sedang memberi petunjuk pada petani nyeblok yang akan menyemprotkan pestisida di sawah bengkok miliknya. Menurut Bi En produksi padi sawah Pak Kd selalu lebih tinggi dibanding dengan sawah yang lain. Ini karena Pak Kd memberikan banyak pupuk untuk sawah garapannya.
107
Pengurangan pupuk dan penyemprotan hama terus dilakukan meskipun produksi padi menurun. Sawah merupakan satu-satunya lahan yang mendapatkan pemupukan dengan menggunakan pupuk kimia. Kebon dan lahan garapan kebun karet atau hutan Perhutani hampir tidak pernah dipupuk oleh pupuk kimia. Lahan tersebut dipupuk dengan menggunakan pupuk kandang. Pupuk kimia hanya diberikan untuk tanaman padi. Tanaman padi tetap dipupuk dengan pupuk kimia karena tanaman padi tidak dapat tumbuh baik tanpa menggunakan pupuk kimia 83. Petani Desa Padabeunghar paling memperhatikan tanaman padi di sawah dari pada tanaman lain. Tanaman padi memiliki nilai ekonomi dan sosial bagi rum ahtangga petani Desa Padabeunghar. Secara ekonomis padi merupakan kebutuhan konsumsi utama rumahtangga. Secara sosial padi merupakan barang utama yang harus dimiliki rumahtangga petani. Petani menyediakan seluruh sarana produksi pertanian sendiri kecua li pupuk kimia. Bibit padi diperoleh dari padi yang dipanen pada musim sebelumnya, bibit pisang diperoleh dari anakan pisang yang dimiliki petani atau dari tetangga atau saudara, bibit buah-buahan yang akan ditanam di lahan garapan hutan diperoleh dengan membuat pembibitan di halaman rumah. Pupuk diambil dari kotoran hewan yang dipelihara petani. Petani yang memiliki kambing akan membawa kotoran kambing di pagi hari saat pergi ke sawah, dan memupuk tanaman sebelum bekerja di sawah. Petani yang tidak memiliki kambing lebih banyak menggunakan pupuk kimia atau membeli kotoran kambing pada petani lain yang memelihara kambing. Penurunan biaya produksi pertanian dilakukan dengan bantuan yang diperoleh dari ikatan-ikatan sosial. Penurunan biaya produksi dilakukan dengan membagi bibit tanaman diantara petani dan menggunakan bibit yang diberikan LSM, Perhutani atau Dinas Hutbun. Diantara petani biasa saling memberikan anakan pisang, bibit ubi jalar, jagung atau buah-buahan. Khusus untuk lahan garapan hutan, membantu dalam perolehan akses lahan garapan, pembibitan, penyediaan bibit baru yang memiliki peluang pasar, dan pengetahuan yang berkaitan dengan lahan hutan dan pengolahan lahan hutan. 83
Wawancara dengan Bi En, 10 Maret 2005
108
5.1.3 Menanam Beragam Tanaman dalam Satu Luasan Lahan Sawah merupakan satu-satunya modal alami yang ditanami secara monokultur. Petani Desa Padabeunghar biasa menanam berbagai jenis tanaman dalam satu luasan lahan di lahan garapan yang lain. Lahan kebon , kebun karet dan lahan hutan ditanami oleh berbagai tanaman dalam satu luasan lahan. Kebon ditanami oleh beragam tanaman tahunan seperti tanaman buah-buahan dan tanaman yang digunakan sebagai bahan bangunan. Kebon juga ditanami tanaman bumbu seperti kunyit, kunci, lengkuas, dan tanaman sagu-saguan. Sebagian besar tanaman bumbu tumbuh sendiri dan sebagian ditanam dengan sengaja. Lahan hutan Perhutani ditanami tanaman kayu keras dan tanaman jangka pendek seperti singkong, pisang, sereh, cabai, dan jagung. Lahan kebun karet ditanami tanaman jangka pendek seperti singkong, ubi jalar dan jagung dalam luasan yang lebih besar. Lahan kebun karet mirip seperti ladang atau kebun palawija bagi petani Desa Padabeunghar. Tanaman yang lebih tinggi seperti pisang, buah-buahan, atau tanaman bahan bangunan ditanam di pinggir lahan garapan kebun karet.
5.1.4 Mengurangi Resiko Pertanian Petani Desa Padabeunghar memilih untuk menanam tanaman yang biasa ditanam dan biasa menghasilkan dari pada tanaman baru yang masih belum pasti menghasilkan. Petani tetap menanam singkong meskipun harga singkong sangat murah. Jika dijual, harga singkong hanya Rp. 100,- sampai Rp. 400,- per kilogram bahkan tidak ada yang mau membeli sama sekali. Petani juga tetap menanam sereh meskipun harga sereh sangat murah. Petani tidak menanam cabai lebih banyak, menanam pala, ata u menanam durian yang memiliki harga jual tinggi. Singkong dan sereh biasa ditanam dan menghasilkan dari pada tanaman cabai dan pala yang belum pasti jika ditanam dalam jumlah besar. Petani lebih memilih mengolah produksi pertanian untuk konsumsi sendiri jika tidak laku dijualdp menanam tanaman yang beresiko. Singkong lebih banyak diolah menjadi penganan. Produksi singkong yang melimpah dan terkadang tidak terjual menyebabkan penganan di Desa Padabeunghar sebagian besar terbuat dari singkong. Setiap ruma h di Desa Padabeunghar pasti memiliki kiripik dan gendar, makanan kecil seperti kerupuk yang dibuat dari parutan singkong dicampur
109
tepung tapioka. Kiripik biasa dimakan untuk suguhan atau cemilan atau teman nasi. Selain singkong, jagung banyak ditanam di al han kebun karet. Jagung bisa dibuat kilitik (jagung digoreng dan dibaluri gula merah). Pisang akan dijadikan konsumsi rumahtangga jika tidak ada pembeli 84. Penduduk Desa Padabeunghar mau menanam tanaman baru jika tanaman tersebut diberikan oleh LSM, Pemerintah Daerah, Perhutani atau pengusaha dengan jaminan bahwa tanaman tersebut akan laku di pasaran. Keinginan untuk mencoba tanaman baru itu tidak dimiliki oleh seluruh penduduk di Desa Padabeunghar yang menggarap lahan pertanian. Petani yang mau mencoba menanam tanaman baru merupakan petani yang menjadi pengurus PHBM, pamong desa atau tokoh pemuda.
5.1.5
Menggali Pasir dan Batu, Mengambil Menggembalakan Kerbau di Hutan
Kayu
Bakar
dan
Lingkungan fisik yang ada di Desa Padabeunghar menyediakan sumberdaya alam yang dapat diambil langsung dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup rumahtangga petani Desa Padabeunghar. Batu, pasir, kayu bakar, rumput dan air merupakan sumberdaya yang ada dan digunakan oleh rumahtangga di Desa Padabeunghar. Batuluhur merupakan wilayah hutan Perhutani yang dijadikan galian C. Wilayah yang dikenal oleh Perhutani sebagai Petak 3.b. ini dijadikan tempat penggalian batu dan pasir. Penggalian batu dan pasir berhenti setelah Pemerintah Kabupaten Kuningan mengeluarkan SK Bupati tahun 2004 yang melarang galian C di sekitar wilayah gunung Ciremai. Wilayah Batuluhur sekarang sering dijadikan tempat penggalian pasir dan batu untuk keperluan pembangunan rumah penduduk. Galian C tidak hanya ada di Blok Batuluhur. Galian C juga ada di Blok Cirendang. Galian C tersebut pada awalnya dilakukan di lahan Perhutani. Setelah ada pelarangan, galian C tersebut dilakukan di kebon milik pribadi petani. Jika
84
Wawancara dengan PS dan Bang Lei, 21 Maret 2005
110
penggalian pasir dan batu di Blok Cirendang dilakukan untuk dijual, penggalian batu dan pasir di Blok Batuluhur dilakukan untuk keperluan rumahtangga. Lahan hutan perhutani yang berbatu merupakan sumberdaya potensial untuk menyediakan bahan pembangunan rumah. Petani Desa Padabeunghar tidak menjual batu dan pasir kepada orang lain sampai saat penelitian ini dilakukan. Pengumpulan batu dan pasir dilakukan di Blok Batuluhur dan di lahan Perhutani yang berada di sepanjang jalan desa. Pengumpulan batu dan pasir dilakukan untuk mengurangi biaya yang dikeluarkan untuk membeli batu dan pasir pada saat pembangunan rumah. Pengumpulan batu dan pasir dilakukan pada saat tidak ada pekerjaan di kota. Pengumpulan
batu
dan
pasir
diketahui
oleh
pemerintah
Desa
Padabeunghar. Pemerintah Desa Padabeunghar pun memanfaatkan batu dan pasir untuk kepentingan desa. Penggalian batu dan pasir di lahan kebon penduduk tidak ditemukan di Desa Padabeunghar. Kegiatan pengumpulan batu dan pasir dilakukan pada saat luang atau saat tidak ada pekerjaan utama oleh penduduk yang sedang mempersiapkan pembangunan rumah. Penduduk yang telah membangun rumah mengumpulkan batu dan pasir untuk memperbaiki rumah atau saat babantu pada pembangunan rumah orang lain. Pengambilan kayu bakar dilakukan dengan mengumpulkan ranting dari pohon-pohon kecil yang meranggas di hutan Perhutani atau kebun karet, ranting pohon di kebon milik petani, menebang pohon di kebon milik petani atau mengakali pohon pinus yang tersisa di hutan Perhutani. Mengakali pohon pinus dilakukan dengan mengerat kulit pohon pinus di bagian bawah dekat akar. Pengeratan kulit pohon menyebabkan pohon pinus meranggas dan mati. Pohon pinus yang mati diperbolehkan untuk ditebang oleh penduduk 85. Terkadang, pohon pinus yang mati ditebang oleh petani yang tidak mengerat kulit pohon pinus. Pohon pinus menjadi milik petani penebang. Kemarau dapat membawa kesusahan sekaligus berkah bagi penduduk Desa Padabeunghar. Setiap musim kemarau, sekitar bulan Agustus -September, selalu terjadi kebakaran. Kebakaran menghabiskan hampir seluruh bukit karang di 85
Cara pengeratan kulit pohon pinus yang menyebabkan pohon pinus mati merupakan cara ilegal dalam pandangan Perhutani. Cara itu dilakukan karena pohon pinus di lahan Perhutani boleh ditebang jika telah mati.
111
hutan Perhutani. Kebakaran menghabiskan rumput yang selama ini diperlukan untuk makanan ternak. Kebakaran mengancam tanaman pisang dan buah-buahan yang ditanam petani. Namun kebakaran juga menghilangkan ilalang yang menghalangi pandangan petani. Setelah kebakaran, petani dapat mengambil kayu bakar di bukit karang. Sesuatu yang menakutkan untuk dila kukan saat semaksemak tinggi. Semak-semak menutupi jurang, lubang atau ular yang berbahaya.
5.1.6
Memelihara Kambing dan Menggembalakan Kerbau Selain ayam, kambing dan kerbau merupakan hewan ternak yang penting
bagi nafkah penduduk Desa Padabeunghar. Kambing merupakan hewan ternak yang banyak dipelihara petani Desa Padabeunghar. Kambing dapat diperoleh dari sistem maron, warisan orang tua, atau membeli. Kambing biasa dipelihara di dalam kandang yang dibuat di dalam wilayah pemukiman atau di pinggir-pinggir desa. Kambing membutuhkan pakan rumput yang menyebabkan pemilik kambing harus menyabit rumput setiap hari. Selain kambing, kerbau merupakan hewan ternak yang banyak dimiliki oleh petani di Desa Padabeunghar. Kerbau-kerbau tersebut tidak dikandangi tetapi diikat di alam terbuka. Pengikatan kerbau di alam terbuka disebabkan oleh beratnya beban penyediaan rumput pakan kerbau. Penggembala mengikat dan menggembalakan kerbau di lahan Perhutani. Blok Sinagar 86 merupakan tempat pengikatan kerbau pada malam hari. Setiap hari, pukul 7.00 penggembala kerbau akan melepaskan ikatan kerbau dan menggiringnya lebih jauh ke dalam hutan. Jarak antara tempat pengikatan kerbau dan tempat penggembalaan kerbau adalah ± 1,5 km kilometer. Jarak tempat penggembalaan yang jauh dipilih untuk menghindari kemungkinan kerbau merusak tanaman penduduk.
5.1.7
Alokasi Tenaga kerja rumahtangga Berdasarkan pengelompokkan modal manusia yang dilakukan di bagian
4.8, aktivitas nafkah berdasarkan penggunaan modal alami dilakukan oleh tenaga kerja laki-laki dan perempuan kelompok usia kakek, tenaga kerja laki-laki dibantu 86
Blok Sinagar merupakan tempat pengikatan kerbau yang merupakan bagian wilayah hutan Perhutani. Blok Sinagar terletak sekitar enam kilometer dari pemukiman penduduk.
112
oleh tenaga kerja perempuan pada kelompok usia orang tua dan tenaga kerja lakilaki pada kelompok usia anak. Penggunaan modal alami tidak memerlukan keterampilan khusus atau pendidikan tinggi. Penggunaan modal alami merupakan pendapatan utama bagi rumahtangga orang tua. Kelompok usia orang tua memenuhi kebutuhan konsumsi, menabung untuk memperbaiki rumah, menyekolahkan anak dan menika hkan anak yang sudah cukup umur. Penggunaan modal alami sebagai pendapatan utama terutama dilakukan oleh orang tua yang tidak memiliki keterampilan atau modal keuangan untuk mendapatkan sumber pendapatan yang lain. Pembukaan lahan hutan atau lahan kebun ka ret dilakukan oleh kelompok usia orang tua dan kelompok usia kakek. Kelompok usia anak mengolah modal alami yang diperoleh dari warisan, gaji, atau lahan yang telah digarap orang tua. Dari semua responden, hanya Nirman, 27 tahun, anak Pak Suh, kelompok usia anak yang membuka lahan hutan untuk menambah modal alami. Kelompok usia anak yang memiliki pekerjaan di luar penggunaan modal alami menjadikan aktivitas nafkah dengan menggunakan modal alami sebagai sumber pendapatan tambahan. Kelompok usia anak yang be kerja sebagai pamong desa, supir angkutan, kenek atau tukang menggarap lahan pertanian hanya jika tidak ada pekerjaan atau menggunakan tenaga kerja bayaran. Perempuan kelompok usia anak tidak pernah pergi ke sawah atau lahan kebun karet dan lahan hutan. Perempuan kelompok usia kakek masih pergi setiap hari menggarap lahan kebun karet dan lahan hutan atau mencari rumput untuk pakan kambing.
5.1.8
Pendapatan dari penggunaan modal alami dan Penggunaannya dalam Rumahtangga Pendapatan dari sumberdaya alam merupakan pendapatan dalam bentuk
barang (in kind ) atau pendapatan dalam bentuk uang (in cash) (Ellis, 2000). Satu bentuk pendapatan yang ditambahkan adalah pendapatan sosial. Pendapatan sosial ini diadaptasi dari konsep Weber (1968) tentang peranan hubungan sosial untuk mendapatkan utilitas. Menurut Weber (1968) orientasi tindakan individu dapat berupa kesejahteraan yang secara normatif dibentuk dalam masyarakat. Hubungan
113
sosial yang baik merupakan suatu bentuk kesejahteraan yang diinginkan oleh rumahtangga petani di Desa Padabeunghar. Pendapatan dari sumberdaya alam terutama digunakan untuk memenuhi kebutuhan
konsumsi
rumahtangga.
Sawah
menghasilkan
beras,
kebon
menghasilkan kayu bakar, sayuran, dan buah-buahan, lahan garapan (lahan hutan dan
lahan
perhutani)
menghasilkan
buah-buahan,
bumbu
dan
sayuran.
Rumahtangga petani di Desa Padabeunghar biasa menggunakan hasil pertanian untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sehari-hari. Mereka makan nasi dari beras yang dihasilkan sawah, memasak dengan menggunakan kayu bakar dari kebon dan makan dengan lauk sayuran dari lahan garapan. Penggunaan modal alami dapat memberi pendapatan dalam bentuk uang tunai. Uang diperlukan untuk membeli kebutuhan rumahtangga yang tidak dapat dipenuhi oleh hasil sumberdaya alam. Uang diperoleh dengan menukar hasil sumberdaya alam melalui proses jual beli. Jumlah uang hasil penjualan produk pertanian tidak dapat diperkirakan dengan tepat karena jumlah produksi pertanian tidak dapat dipastikan dan harga pasar tidak pasti. Uang yang diperoleh dari hasil kebon tergantung dari banyaknya buah per pohon, harga pasar dan kualitas buah. Contohnya harga buah melinjo per pohon berkisar antara Rp. 5.000,- sampai Rp. 100.000,- tergantung harga pasar, kuantitas dan kualitas buah. Tabel tujuh menggambarkan perkiraan uang yang dihasilkan dari penjualan produk pertanian. Data pada tabel tersebut menunjukkan sifat penghasilan dari penjualan produk pertanian yang bersifat terus menerus dalam jumlah yang kecil.
114
Tabel 10. Jenis Komoditas Pertanian dan Perkiraan Jumlah Uang Per Tahun Jenis komoditas Gabah kering Singkong Melinjo Durian Nangka Sereh Pisang Ubi jalar Jagung Jengkol Petai Cabai rawit Ragam Sayuran lain
Satuan penjualan Kuintal Kilogram Pohon Buah atau pohon Buah atau pohon Luasan lahan Tandan Kilogram Kilogram Pohon Pohon Wadah Ikat
Harga (Rp)
Waktu pemanenan
125.000, 200-400 5.000-100.000 2.000-20.000
6 bulan 8 bulan-1 tahun 1 tahun 1 tahun
5.000
1 tahun
50.000 2.000-15.000
6 bulan 3 bulan
60.000 100.000 1000 200-1000
1 tahun 1 tahun Dapat setiap minggu Dapat setiap minggu
Sumber: diolah dari data primer, 2005 Data di tabel di atas hanya bersifat perkiraan. Harga dan perkiraan jumlah uang dapat berubah karena produk pertanian ditentukan oleh ketersediaan air, hama dan penyakit tanaman, kualitas hasil serta perubahan harga pasar. Hewan peliharaan, jarang digunakan untuk kebutuhan konsumsi seharihari. Hewan peliharaan menjadi kebutuhan konsumsi hanya jika ada acara besar seperti hariraya, kematian, kedatangan tamu istimewa, hajatan atau selamatan pembangunan rumah. Hewan peliharaan memberikan pupuk yang penting untuk memelihara tanaman di sawah, kebon, atau lahan garapan. Petani Desa Padabeunghar hanya menggunakan pupuk kimia untuk memupuk padi, tanaman pisang, buah-buahan atau palawija di lahan garapan dipupuk dengan menggunakan pupuk kandang. Hewan peliharaan akan dijual jika ada kebutuhan uang dalam jumlah besar seperti biaya pemupukan sawah, biaya pernikahan anak, atau pembangunan rumah. Tabel berikut ini memberikan gambaran ringkas mengenai pendapatan yang diperoleh dari modal alami dan penggunaannya dalam rumahtangga.
115
Tabel 11. Pendapatan dan Kegunaan Modal Alami bagi Rumahtangga Tipe manfaat ekonomi (livelihood benevit)
Aktivitas berbasis Modal alami (naturalresource-based)
Pendapatan sosial
Pendapatan barang (in kind)
Sawah
Hubungan baik dengan petani nyeblok
Padi
Kebon
Hubungan baik dengan pedagang perantara
Lahan garapan kebun karet
Hubungan baik dengan pedagang perantara atau tetangga Hubungan baik dengan LSM, pamong desa
Buah- buahan, sayur- sayuran, kayu bakar, bahan bangunan Sayur - sayuran, pisang, singkong, bumbu, kacangkacangan Sayur - sayuran, buah- buahan terutama pisang, kayu bakar, bumbu, singkong Daging, pupuk
Lahan garapan hutan Perhutani
Hewan peliharaan
Hubungan baik dengan sesama penggembala
Batu dan pasir
-
Batu dan pasir untuk bahan bangunan
Pendapatan tunai (in cash)
Uang dari penjualan padi atau buruh tani Uang dari penjualan hasil kebon
Kegunaan untuk nafkah (livelihood use) Kegunaan Kegunaan tambahan (sideline livelihood use) utama (main livelihood use) Pemenuhan Kebutuhan utama dalam kebutuhan pembuatan rumah atau konsumsi hajatan utama Kebutuhan Biaya pendidikan, konsumsi kesehatan, tabungan, bahan bangunan
Uang dari penjualan pendapatan barang Uang dari penjualan pendapatan barang
Kebutuhan konsumsi
Biaya pendidikan, kesehatan dan tabungan, dikirim pada tetangga
Kebutuhan konsumsi
Biaya pendidikan, kesehatan dan tabungan, dikirim pada tetangga
Uang dari penjualan pendapatan barang -
Biaya produksi pertanian
Konsumsi, biay a penyelenggaraan acara besar dalam rumahtangga
Bahan bangunan
Bahan bangunan
Sumber: Diolah dari data primer , 2005 Berdasarkan tabel di atas, pendapatan berupa barang merupakan pendapatan utama ya ng diharapkan dari pengelolaan modal alami. Pendapatan dari penggunaan modal alami terutama digunakan untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi dan biaya kehidupan sehari-hari.
5.2
Aktivitas Nafkah Berbasis Penggunaan Modal Sosial
5.2.1 Aktivitas Membangun Ikatan Sosial (Social Ties Building ) Modal sosial pertama kali dibangun dari tempat tinggal. Telah dibahas pada bagian kepadatan pemukiman, letak tempat tinggal petani di Desa Padabeunghar memperhatikan pelestarian hubungan-hubungan dengan tetangga. Rumah dibangun berdekatan dan pintu rumah selalu mengarah pada tetangga. Kedekatan dengan tetangga penting artinya untuk mendapatkan akses terhadap sumberdaya yang dimiliki tetangga.
116
Tinggal di Desa Padabeunghar tidak cukup membuat seseorang mendapat fasilitas se bagai anggota komunitas. Rumahtangga harus berusaha membangun ikatan-ikatan sosial dengan anggota komunitas lain dengan melakukan perbuatan yang dianggap baik oleh norma-norma sosial. Contohnya kondangan , kondangan termasuk tuntutan peran yang harus dipenuhi begitu seseorang menikah. Jika ingin dianggap baik dan ingin mendapatkan kunjungan balasan sewaktu hajatan, anggota rumahtangga harus kondangan pada anggota komunitas lain yang hajatan . Ikatan dengan luar anggota komunitas dilakukan dengan membangun hubungan baik dengan orang/lembaga luar komunitas yang datang ke Desa Padabeunghar atau orang/lembaga yang ditemui di luar komunitas. Kepala Desa Padabeunghar, pamong desa lain dan Pak Suh sebagai ketua Forum PHBM memiliki lebih banyak peluang untuk membangun hubungan baik dengan pihak luar komunitas. Modal sosial dibangun dengan dua cara (1) dibangun dalam tindakan sehari-hari dan (2) dibangun dalam tindakan yang direncanakan. Ikatan sosial yang dibangun dalam tindakan sehari-hari dilakukan sebagai suatu kebiasaan. Tindakan yang biasa akan dilakukan dan dianggap aneh jika tidak dilakukan. Menyapa tetangga, memberikan makanan dan hasil panen, membantu mengasuh anak tetangga di saat luang, membantu saudara atau tetangga yang hajatan, menengok dan membantu tetangga yang sakit atau membiarkan tetangga menonton TV di rumah dilakukan setiap hari tanpa harus menyiapkan waktu khusus untuk melakukannya. Tindakan yang direncanakan membutuhkan persiapan waktu dan modal. Persiapan waktu diperlukan jika tindakan yang akan dilakukan melibatkan orang lain, membutuhkan uang atau membutuhkan waktu tertentu. Ngalongok atau kondangan rombongan selalu akan direncanakan waktunya dan besar patungan uang ongkos. Kondangan selalu membutuhkan persiapan uang yang melebihi pembayaran kebutuhan sehari-hari. Nyeblok atau rapat-rapat desa akan membuat rumahtangga mengalokasikan waktu khusus yang berbeda dengan kegiatan keseharian petani.
117
Berdasarkan uraian di atas, pembangunan modal sosial melalui tindakan yang direncanakan dan tindakan yang dilakukan sehari-hari di Desa Padabeunghar dapat dipetakan sebagai berikut: Luar komunitas
Lingkungan komunitas
Rumah tempat tinggal Dilakukan dalam kegiatan sehari-hari Mengasuh anak tetangga, mengirimkan makanan, mengijinkan nonton TV, meminjamkan barang, memberikan bumbu dapur
Modal sosial
Dilakukan dengan perencanaan Kondangan , babantu, ngobeng, neang, nyeblok
Keterangan: = tanda hubungan aliran modal sosial = tanda hubungan contoh tindakan Sumber: Diolah dari data primer, 2005 Gambar 5. Pembentukan modal sosial di dalam masyarakat Desa Padabeunghar Modal sosial bukan suatu sumberdaya yang setelah terbentuk dapat terus dinikmati hasilnya. Pendapatan yang diperoleh dari modal sosial akan terus diperoleh rumahtangga jika anggota-anggota rumahtangga dapat memelihara ikatan yang telah terbentuk dan membangun ikatan-ikatan yang baru. Modal sosial dapat hilang jika rumahtangga tidak mampu menjalankan peran-peran yang diharapkan oleh norma yang berlaku di masyarakat. Ketika salah satu ikatan dirusak, akan merusak ikatan-ikatan lain. Satu modal sosial rusak dapat merusak modal sosial lain dan sebaliknya.
5.2.2
Aktivitas Menggunakan Ikatan Sosial (Social Ties Utilizing ) Menggunakan ikatan sosial untuk nafkah rumahtangga sering diartikan
sebagai upaya mendapatkan kepuasan pribadi dengan me-utilisasi ikatan-ikatan
118
sosial. Ini merupakan satu dari empat elemen sosiologi teori pilihan rasional (Colleman,
1994).
Pendekatan
pilihan
rasional
Colleman
(1994)
telah
memperhatikan faktor setting sosial sebagai elemen yang mempengaruhi tindakan individu. Pilihan untuk me-utilisasi ikatan-ikatan sosial dilakukan secara sadar. Bagi rumahtangga petani Desa Padabeunghar pilihan untuk me-utilisasi ikatanikatan sosial dilakukan dengan dua cara, (1) dilakukan dengan sengaja dan (2) dilakukan sebagai suatu kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari (lihat gambar 5). Pendapat Colleman (1994) tentang seting sosial yang juga dikuatkan oleh pendapat Weber (1968) tentang kemelekatan tindakan individu dengan nilai dan norma sosial di tempat individu berada atau yang diyakini individu dalam hidupnya. Interaksi antara norma dengan tindakan individu bersifat aktif. Tindakan individu tidak begitu saja ditentukan oleh norma sosial, individu secara aktif merespon norma sosial dan me nentukan tindakan yang akan mereka ambil. Norma dalam komunitas mengatur suatu kelembagaan yang dinamakan nyeblok , babantu , ngobeng, neang, ngalongok dan kondangan . Berdasarkan norma tersebut, setiap anggota komunitas harus datang babantu jika ada anggota komunitas lain yang mendirikan rumah, harus datang ngobeng dan kondangan jika ada anggota komunitas yang hajatan , dan harus datang ngalongok jika ada anggota komunitas yang sakit dan dirawat di rumah sakit. Kedatangan orang yang babantu , ngobeng , kondangan, atau ngalongok harus dibayar dengan kunjungan serupa, pekerjaan yang sama dan uang atau barang yang minimal sama dengan saat mendapatkan kunjungan atau bantuan. Jika tidak dilakukan (atau dibayar), maka komunitas memiliki norma yang lain yang menyiapkan sanksi yang diberikan pada anggota komunitas yang melanggar norma awal. Sanksi yang diberikan dapat berbentuk penilaian buruk, penyisihan atau pemberhentian akses modal sosial. Individu dalam rumahtangga merespon norma ini dengan melakukan pilihan kapan ia harus kondangan, kapan ia harus nyeblok , neang , babantu atau ngobeng , dan berapa banyak waktu atau uang yang akan diberikan. Individu juga menentukan kapan ia menggunakan ikatan sosial yang telah dibangunnya dan apa alasan untuk melakukannya. Berdasarkan penelitian di Desa Padabeunghar, rumahtangga menggunakan modal sosial pada saat (1) rumahtangga tidak dapat
119
memenuhi
kebutuhan
barang
atau
uang
sendiri,
(2)
rumahtangga
menyelenggarakan acara atau kegiatan yang membutuhkan kehadiran atau bantuan orang lain, (3) rumahtangga membutuhkan bantuan jasa dalam kehidupan sehari-hari, (4) rumahtangga mendapatkan musibah atau kesulitan, (5) rumahtangga ingin mengurangi penggunaan uang karena keterbatasan pemilikan uang, dan (6) rumahtangga membutuhkan peluang pekerjaan, pendidikan atau lahan garapan. Rumahtangga tidak selalu dapat memenuhi kebutuhan barang terlebih lagi uang. Barang-barang yang dapat dihasilkan sawah, kebon , lahan hutan atau lahan kebun karet biasa dipenuhi dari lahan milik atau lahan garapan sendiri. Jika tidak ada, rumahtangga dapat meminta atau meminjam pada tetangga atau saudara. Antar tetangga atau saudara biasa meminta bumbu dapur, sayur, singkong, atau ubi jalar. Saling meminta dapat dilakukan untuk barang yang tidak dihasilkan dari lahan garapan seperti kue, bakso, atau makanan yang dibeli dari warung. Jika barang dapat dengan mudah diperoleh dari meminta, uang akan diperoleh dengan cara meminjam. Bahkan untuk sesama anggota rumahtangga pun kebutuhan uang di luar KK diperoleh dengan peminjaman. Contoh kasus dalam rumahtangga Pak Suh, Bu Kun akan meminjam uang dari Ceu Im, menantunya, jika membutuhkan uang87. Pembayaran berikutnya untuk barang yang dibeli di warung (ngahutang) hanya dapat dilakukan oleh anggota komunitas. Pembayaran berikutnya tidak dapat dilakukan untuk membeli semen di Pasar Kramat atau di Pasawahan pada penjual yang tidak dikenal. Salah satu kegiatan besar yang menyebabkan rumahtangga menggunakan modal sosial adalah pembangunan rumah. Dari keseluruhan kebutuhan pembuatan rumah, dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu, (1) kebutuhan yang dapat dipenuhi oleh ikatan-ikatan dalam komunitas dan (2) kebutuhan dapat dipenuhi melalui pembelian. Kebutuhan yang dapat diperoleh melalui ikatan dalam komunitas adalah tanah pekarangan, tenaga kerja bangunan dari babantu , bahan bangunan yang dapat diambil dari dalam lingkungan komunitas seperti pasir dan batu, potongan harga untuk alat angkutan yang menggunakan bahan bakar seperti mobil, tenaga kerja untuk pengangkutan bahan bangunan dari kebon 87
Wawancara dengan Bu K un,10 Maret 2005
120
ke lokasi pembangunan rumah, tenaga kerja bongkar muat bahan bangunan, tenaga kerja untuk memasak di dapur rokok, makanan teman minum kopi atau lauk pauk yang dikirim tetangga atau saudara. Kebutuhan yang dapat diperoleh dengan cara membeli adalah tenaga kerja terampil (tukang), semen, batu bata merah, genting, kayu yang tidak dihasilkan dari kebon , kaca, rokok, kekurangan rokok, lauk makan yang tidak diperoleh dari hasil pertanian atau dari kiriman tetangga. Hal serupa terjadi dalam penyelenggaraan hajatan di Desa Padabeunghar. Pak Suh mendapatkan banyak kiriman bahan makanan, uang dalam bentuk kondangan, dan tenaga kerja dari ngobeng ketika menikahkan Nirman dengan Ceu Im. Namun, Pak Suh harus menyewa tenda, membayar perlengkapan audio sebagai hiburan, membeli minyak, membeli bahan pembuatan makanan kecil yang tidak dihasilkan dari lahan garapan atau dikirim tetangga, membeli daging, dan membeli kebutuhan bumbu yang tidak dapat dipenuhi dari kebon. Rumahtangga dapat menggunakan modal sosial saat membutuhkan jasa orang lain. Pembayaran rekening listrik, pembelian barang di Pasawahan atau pasar Kramat melalui sopir kolbak atau ojek atau melalui tetangga yang pergi ke tempat yang sama, pengambilan rumput atau kayu bakar yang telah dikumpulkan oleh saudara yang menolong merupakan contoh di mana rumahtangga dapat mendapatkan barang atau jasa yang dibutuhkan melalui ikatan dalam komunitas. Melalui ikatan dalam komunitas rumahtangga dapat menekan bahkan menghilangkan
pembayaran
dengan
menggunakan
alat
tukar
formal.
Rumahtangga mengatasi kesulitan mendapatkan uang tidak dengan mendapatkan uang namun dengan mengganti pembayaran uang dengan alat pembayaran lain selain uang. Penggunaan ikatan-ikatan sosial lebih tampak pada keadaan sulit yang dihadapi oleh rumahtangga. Anggota rumahtangga sakit, kematian, atau perceraian menyebabkan rumahtangga membutuhkan bantuan tetangga terutama saudara. Saudara menyediakan tenaga kerja saat sakit atau keadaan tidak mampu melakukan kegiatan rutin. Contoh kasus pada rumahtangga Pak Suh, saat Pak Suh sakit, pekerjaan menyabit rumput diambil alih oleh Bu Kun, istri Pak Suh, dan
121
Nirman, anak laki-laki tertua Pak Suh88. Jika ada orang yang meninggal, maka keluarga merupakan orang yang bertanggungjawab mengurus. Pemerintah desa hanya akan mengurus penyelenggaraan pemakaman jika orang yang meninggal tidak memiliki saudara 89. Peluang pekerjaan diperoleh dari saudara atau tetangga. Peluang pekerjaan, terutama pekerjaan bangunan sangat dipengaruhi oleh hubungan baik dengan supplier atau bos bangunan. Terkadang saudara memberikan peluang pekerjaan tanpa diminta. Pemberian bantuan kepada tetangga atau saudara sudah menjadi kebiasaan bagi masyarakat Desa Padabeunghar. Kebiasaan saling membantu
yang
telah
melembaga
ini
menyebabkan
penggunaan
atau
pembangunan ikatan sosial jarang dilakukan dengan sengaja oleh rumahtangga.
5.2.3
Alokasi Tenaga kerja Rumahtangga Aktivitas nafkah berdasarkan penggunaan modal sosial dilakukan oleh
seluruh anggota rumahtangga. Setiap anggota rumahtangga harus terlibat dalam upaya pembangunan hubungan baik dengan anggota komunitas lain sesuai dengan norma yang menuntut peranan anggota rumahtangga. Anak cukup dengan bersikap sopan, bersekolah dengan baik dan menghormati orang yang lebih tua. Anak yang telah menika h memiliki tuntutan peran yang sama dengan orang tua. Tempat tinggal yang sama masih membuka peluang pembagian peran, sehingga orang tua dapat melimpahkan tuntutan untuk datang babantu atau ngobeng pada anaknya dan sebaliknya. Modal sosial yang dibangun dalam kehidupan sehari-hari tidak dibangun atau digunakan dengan alokasi tenaga kerja rumahtangga yang sengaja dilakukan. Setiap orang dalam rumahtangga telah mengetahui apa yang harus dilakukan ketika ada tetangga yang datang ke rumah untuk menonton televisi, ada anak tetangga yang datang ke rumah atau ditinggalkan ibunya pada saat main di jalan desa, atau datang ke rumah meminta bumbu dapur. Tindakan itu dilakukan baik suka atau tidak suka karena sadar norma sosial menuntut untuk melakukan tindakan tersebut. 88 89
Wawancara Bu Kun, 30 April 2005 Wawancara dengan pamong Desa Padabeunghar, 11 Maret 2005
122
Alokasi tenaga kerja dilakukan untuk membangun ikatan sosial yang direncanakan. Kondangan, neang, babantu dan ngobeng dilakukan dengan mengalokasikan sebagian atau seluruh anggota rumahtangga tergantung ikatan sosial yang ada antara rumahtangga dengan
orang tersebut. KK dan ibu
merupakan anggota rumahtangga yang memiliki tanggung jawab tentang alokasi anggota rumahtangga pada aktivitas membangun ikatan sosial.
5.2.4
Pendapatan dari Rumahtangga
Modal
sosial
dan
Penggunaannya
dalam
Modal sosial dapat member ikan pendapatan secara langsung, baik berupa makanan ataupun uang yang diperlukan oleh rumahtangga. Makanan diperoleh melalui kiriman masakan atau kue yang dibuat hari itu oleh tetangga atau saudara sampai pada beras atau hasil kebun yang diberikan dalam jumlah besar saat menyelenggarakan hajatan . Uang bukan barang yang diberikan pada setiap waktu. Uang merupakan alat tukar yang tidak setiap saat dimiliki oleh petani Desa Padabeunghar. Uang akan diberikan dalam kunjungan ngalongok atau kondangan. Ikatan sosial bahkan memberikan kesempatan untuk mendapatkan modal alami yang tidak dapat dimiliki dengan upaya sendiri melalui proses pewarisan. Hampir seluruh sawah yang dimiliki rumahtangga kasus diperoleh dari warisan orang tua. Tidak hanya sawah, kebon, lahan garapan bahkan rumah dapat diperoleh dari warisan orang tua. Orang tua yang tidak mampu pun akan memberikan sebagian tanah pekarangan atau bahkan rumahnya sendiri untuk anaknya. Modal sosial memberi jaminan bagi rumahtangga saat menghadapi keadaan sulit. Setelah anggota rumahtangga, saudara atau tetangga dapat menjadi tenaga bantuan saat diperlukan. Modal sosial juga memberikan jaminan pengurangan biaya yang harus dikeluarkan rumahtangga untuk mengatasi masalah yang berkaitan dengan anggota komunitas. Sela in diikat oleh rasa tidak enak dan takut jika hal tersebut terjadi pada diri sendiri, peran pemerintah desa dalam memberikan
pengaturan
dalam
kegiatan-kegiatan
yang
akan
merugikan
masyarakat besar. Beberapa kegiatan seperti tahlilan, hajatan dan kondangan diatur agar tidak memberatkan masyarakat.
123
Berdasarkan uraian di atas, pendapatan rumahtangga dari modal sosial dan pengunaannya dapat diamati pada tabel berikut:
Tabel 12. Pendapatan dari Modal sosial dan Kegunaannya dalam Rumahtangga Aktivitas nafkah berbasis ikatan sosial (social-ties based livelihood sources) Ikatan Persaudaraan
Keuntungan yang diperoleh (type of benefit)
Pendapatan tunai (in cash)
Kegunaan untuk nafkah (livelihood use) Kegunaan Kegunaan utama (main utama (main livelihood use) livelihood use)
Pendapatan social
Pendapatan barang (in kind ) Modal alami dari pewarisan, barang yang diperlukan untuk membuat rumah, kiriman makanan, pemberian pakaian, sepatu
Pemberian uang, pinjaman uang, pemberian uang
Penambahan untuk kebutuhan konsumsi, tenaga kerja
Pendapatan melalui pewarisan, bantuan barang dalam pembangunan rumah, sumber pinjaman saat keadaan sulit
Ikatan pertetanggaan
Hubungan baik dengan saudara bantuan saat sakit, bantuan pengasuhan anak, bantuan tenaga kerja di sawah, saat pembangunan rumah dan saat hajatan Hubungan baik dengan tetangga
Pinjaman uang
Penambahan untuk kebutuhan konsumsi, tenaga kerja
Ikatan Keanggotaan Komunitas
Hubungan baik dengan anggota komunitas
Semua pendapatan barang dari ikatan persaudaraan kecuali pewarisan Kemudahan urusan yang berkaitan dengan anggota komunitas lain, perlindungan dan pemberian fasilitas dari pemerintah desa
Kemudahan dalam mendapatkan pinjaman uang
Untuk mengurangi biaya yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan, biaya konflik dan resiko yang ditimbulkan dari keterpencilan letak desa.
Ikatan dengan orang di luar komunitas
Hubungan baik dengan orang di luar komunitas
Bibit tanaman, fasilitas dalam rumah, fasilitas umum
Pinjaman uang, uang duduk atau ongkos untuk rapat
Akses pada modal yang tidak dimiliki oleh rumahtangga
Bantuan di saat sakit, penitipan anak, bantuan saat pembangunan rumah dan hajatan Untuk memperoleh keuntungan dari perbedaan biaya yang harus dibayar tanpa ada hubungan baik dengan biaya yang harus dibayar dengan hubungan baik Hubungan baik dengan orang/lembaga luar komunitas
Sumber: Diolah dari data primer , 2005 Pendapatan dari modal sosial tidak dapat diperkirakan atau dihitung berdasarkan jumlah nyata pendapatan yang akan diterima. Persamaannya, modal sosial juga harus dipelihara dan dijaga sehingga dapat memberikan hasil, seperti memetik buah di lahan garapan. Hasil dari modal sosial dapat tidak memadai atau bahkan jauh melebihi dari upaya pemeliharaan yang telah dilakukan.
124
5.3
Aktivitas Nafkah Berbasis Penggunaan Peluang Kerja Pada beberapa rumahtangga kasus anggota rumahtangga tidak hanya
bekerja mengolah sumberdaya alam atau bekerja di sektor pertanian. Hampir di setiap rumahtangga terdapat anggota rumahtangga yang bekerja di luar sektor pertanian. 5.3.1 Bekerja Sebagai Pamong Desa, Pedagang dan Tukang Rumahtangga petani yang memiliki anggota rumahtangga yang bekerja sebagai pamong desa, tukang dan pedagang memiliki kehidupan ekonomi yang lebih baik dari pada rumahtangga yang tidak memiliki pekerjaan di luar pertanian. Ini karena rumahtangga yang memiliki anggota rumahtangga yang bekerja sebagai pamong desa , tukang dan pedagang juga melakukan aktivitas nafkah penggunaan modal alami. Bekerja sebagai pamong desa, pedagang atau tukang merupakan pekerjaan utama bagi tineliti yang melakukan pekerjaan ini. Pengelolaan modal alami menjadi pekerjaan yang dilakukan di waktu senggang atau pekerjaan yang diberikan pada buruh tani. Pedagang dan tukang dapat dilakukan sampai tidak ada modal untuk membeli barang atau tidak memiliki tenaga untuk bekerja sebagai tukang sedangkan pamong desa hanya memiliki masa jabatan delapan tahun. Selama pekerjaan itu masih dimiliki, responden akan menganggap sebagai pekerjaan utama.
5.3.2
Pekerja Pabrik, Pembantu rumahtangga, dan TKI Pekerja pabrik, pembantu rumahtangga dan TKI merupakan peluang kerja
yang menjanjikan gaji bulanan tetap. Bekerja di pabrik dapat diperoleh dengan cara mengirim lamaran pekerjaan dengan informasi dari teman atau saudara yang bekerja di pabrik tersebut. Pembantu rumahtangga tidak memerlukan surat lamaran untuk mendapatkan pekerjaan. Pembantu rumahtangga mengandalkan informasi dari teman atau saudara atau orang yang mencari pekerja ke Desa Padabeunghar. Tidak banyak penduduk Desa Padabeunghar ya ng bekerja sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Arab Saudi atau Malaysia. Menurut Ceu Mm, hanya tiga
125
orang perempuan di Desa Padabeunghar yang pernah menjadi Tenaga kerja Wanita (TKW). Bekerja menjadi TKW dilakukan oleh perempuan sebelum atau pun setela h menikah. Pekerjaan menjadi TKW dihentikan ketika telah terkumpul cukup uang untuk membangun rumah.
5.3.3
Pekerja Bangunan Kelompok usia anak laki-laki bekerja merantau sebagai pekerja bangunan
atau dikenal dengan istilah “ngecet”90. Pergi merantau biasanya dilakukan setelah menyelesaikan sekolah. Masa perantauan akan selesai jika pekerja sudah merasa tidak ada lagi pekerjaan di kota atau sudah merasa tua untuk pergi merantau. Pekerjaan sebagai pekerja bangunan dimulai ketika ada seorang warga Desa Padabeunghar yang berhasil bekerja sebagai tukang “ngecet”. Orang tersebut, Bos Enon, sekarang dikenal sebagai seorang bos yang menguasai wilayah Ciledug, Jakarta91. Keberhasilan Bos Enon menjadi legenda bagi masyarakat Desa Padabeunghar. Keberhasilan Bos Enon ini juga yang dianggap sebagai pendorong pemuda Desa Padabeunghar untuk bekerja sebagai pekerja bangunan92.
5.3.4 Alokasi Tenaga Kerja Rumahtangga Tukang dan pamong desa dilakukan oleh KK dalam rumahtangga sedangkan pedagang merupakan pekerjaan utama bagi KK atau pekerjaan sampingan rumahtangga yang dilakukan oleh istri. Ini tidak berlaku umum, tiga dari delapan warung di Desa Padabeunghar dikelola oleh kepala rumahtangga sebagai sumber penghasilan utama rumahtangga. Perempuan sebagai pengelola warung berkaitan dengan peranan warung sebagai tempat simpan pinjam informal. Kegiatan simpan pinjam informal
90
Keberhasilan Bos Enon sebagai tukang cat menyebabkan pekerja bangunan yang bekerja di kota disebut “ ngecet” oleh warga Desa Padabeunghar. 91 Pernyataan ini dikemukakan Pak Bd, 35 tahun, saat wawancara. Tampak jelas kekaguman Pak Bd pada Bos Enon. Kawasan Ciledug, Jakarta dianggap sebagai wilayah kekuasaan Bos Enon. Pak Bd mengatakan “mun tos nyampe ciledug mah tinggal nanya Bos Enon, pasti tarerangeun, Bos Enon pan nu gaduh Ciledug”-----pokoknya kalau sudah sampai Ciledug tinggal tanya Bos Enon, pasti semua orang tahu, Bos Enon itu penguasa Ciledug”. Wawancara dengan pak Bd, 18 Maret 2005. 92 Wawancaradengan Pak Jj, Kepala Urusan kemasyarakatan Desa padabeunghar, 4 Maret 2005
126
dilakukan oleh ibu atau anak perempuan dalam rumahtangga. Hubungan simpan pinjam yang dilandasi hubungan kedekatan personal lebih mudah terjalin antara perempuan dengan perempuan. Ini ditunjukkan dengan hubungan simpan pinjam yang tidak berjalan baik dengan pengelola warung laki-laki93. Membuka warung merupakan pekerjaan yang dianggap cocok bagi perempuan94. Ini berkaitan dengan norma yang mengharuskan perempuan di rumah setelah menikah. Membuka warung mendatangkan penghasilan tambahan bagi rumahtangga tanpa mengharuskan perempuan jauh dari rumah. Aktivitas nafkah dengan menggunakan peluang kerja sebagai pamong desa, pedagang atau tukang dapat dilakukan oleh anggota rumahtangga laki-laki maupun perempuan baik pada kelompok usia orang tua maupun kelompok usia anak. Aktivitas nafkah menggunakan peluang pekerjaan pamong desa, pedagang atau tukang tidak dapat dilakukan oleh setiap anggota rumahtangga karena membutuhkan modal dan keterampilan khusus. Aktivitas nafkah dengan menggunakan peluang kerja sebagai pekerja bangunan atau pembantu rumahtangga hanya dilakukan pada kelompok usia anak dan kelompok usia orang tua yang memiliki keterampilan khusus sepertu tukang. Alokasi tenaga kerja rumahtangga untuk memilih peluang pekerjaan berkaitan erat dengan norma malu merantau pada orang tua dan norma berada di rumah bagi perempuan setelah menikah.
5.3.5 Pendapatan dari Bekerja Pekerjaan di luar pertanian menyumbang pendapatan dalam bentuk uang, barang kebutuhan konsumsi seperti makanan matang, beras atau hasil kebun, serta sarana produksi pertanian seperti sawah. Pendapatan dari pekerjaan di luar pertanian digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, menabung atau untuk
93
Wawancara dengan Ceu Mm, 3 Mei 2005. Menurut Ceu Mm, warung Mang Dadang merupakan satu-satunya waru ng di Desa Padabeunghar yang tidak mengijinkan peminjaman barang. Warung Mang Dadang merupakan warung terbesar dan terlengkap di Desa Padabeunghar. Warga Desa Padabeunghar hanya akan membeli kebutuhan hidup yang tidak ada di warung yang lain atau jika memiliki uang di warung Mang Dadang. 94 Wawancara dengan Ceu Mm, 3 Mei 2005. Ceu Mm memiliki peluang untuk bersekolah di PGSD Rajagaluh namun tidak disetujui Pak Kd, suami Ceu Mm. Pak Kd lebih suka jika Ceu Mm tinggal di rumah dan membuka warung.
127
meningkatkan status dalam masyarakat. Penjelasan lengkap dapat diamati pada tabel berikut: Tabel 13. Pendapatan dari Peluang Pekerjaan dan Penggunaanya dalam Rumahtangga Aktivitas berbasis peluang kerja (employment opportunitybased aktivitases) Pamong desa
Jenis pendapatan (type of income) Pendapatan barang (in kind)
Pendapatan tunai (in cash)
Kegunaan utama (main livelihood use)
penghargaan dari masyarakat
Bengkok,
Memenuhi kebutuhan konsumsi
Meningkatkan status sosial rumahtangga dengan memiliki jabatan sebagai pamong desa
Pedagang
Hubungan baik dengan pembeli
-
Hubungan baik dengan supplier/bos atau tetangga
Hantaran berupa makanan matang
Memenuhi kebutuhan konsumsi Memenuhi kebutuhan konsumsi
Simpanan uang, hubungan baik dengan langganan
Tukang
Uang dari warga yang menggunakan jasa pamong desa Uang dari keuntungan penjualan Upah berupa uang
Knek
Hubungan baik dengan pekerja dan supplier atau bos Hubungan baik dengan pekerja dan supplier atau bos Hubungan baik dengan pekerja dan Bos Hubungan baik dengan majikan Hubungan baik dengan majikan Hubungan baik dengan teman kerja
-
Uang gaji, THR
Pemenuhan kebutuhan konsumsi
Pembuatan rumah, fasilitas dalam rumah seperti TV dan tape recorder
-
Sama dengan atas
Sama dengan atas
Sama dengan atas
-
Sama dengan atas
Sama dengan atas
Sama dengan atas
-
Sama dengan atas Sama dengan atas Sama dengan atas
Sama dengan atas Sama dengan atas Sama dengan atas
Sama dengan atas
Tukang
Supplier
Pembantu rumahtangga TKI Pekerja pabrik
Pendapatan sosial
Kegunaan untuk nafkah (livelihood use)
-
Kegunaan tambahan (sideline livelihood use)
Simpanan uang, hubungan baik dengan mandor dan penduduk Desa Padabeunghar pemakai jasa tukang
Sama dengan atas Sama dengan atas
Sumber: Diolah dari data primer, 2005 Tabel tersebut tidak bersifat baku. Beberapa orang mendapatkan pekerjaan bukan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi namun lebih untuk mendapatkan status sosial dalam masyarakat. Kepala Desa Padabeunghar tidak mengolah sendiri lahan sawah bengkok yang diperolehnya sebagai gaji kepala desa. Lahan sawah bengkok kepala desa disewakan pada orang lain. Pak Jj, seorang pamong Desa Padabeunghar, memiliki pekerjaan lain yang diandalkan sebagai sumber nafkah di luar pekerjaannya sebagai Kepala Urusan Kemasyarakatan Desa Padabeunghar.
128
Pendapatan utama yang diinginkan dari pekerjaan bangunan adalah pendapatan berupa uang. Pekerja dianggap sebagai pekerja lepas yang dibayar harian. Pembayaran dilakukan dengan hitungan kerja per hari. Pekerja harian dapat pindah ke pekerjaan lain dan dapat diganti dengan pekerja lain. Pekerja lebih menyukai pekerjaan borongan dari pada harian. Pekerjaan borongan lebih disukai karena memberikan jaminan ketersediaan pekerjaan dan uang dalam jangka waktu lebih lama. Pembayaran dengan cara bor ongan jarang terjadi karena supplier atau bos lebih banyak memilih pembayaran dengan cara harian. Pembayaran harian dianggap mampu mengurangi resiko kerugian yang ditanggung supplier atau bos jika pekerja pergi atau pembayaran dari owner atau perusahaan kontraktor tersendat. Uang kiriman dari perantauan ditentukan oleh jenis pekerjaan, waktu merantau dan selisih antara penghasilan dengan kebutuhan hidup selama merantau. Jumlah uang yang dapat dibawa pulang dari setiap jenis pekerjaan merantau dapat diamati pada tabel berikut:
Tabel14. Jenis Pekerjaan dan Jumlah Uang Gaji Jenis pekerjaan Pembantu rumahtangga Pekerja pabrik Pekerja Supplier bangunan Tukang Knek
Waktu pembayaran Per bulan Per bulan per pembayaran dari perusahaan Per hari Per hari
Besarnya Uang Gaji (Rp) 100.000-300.000 200.000-600.000 1000.0003.000.000 35.000-45.000 30.000-32.000
Sumber: Diolah dari data primer, 2005. Penghasilan berupa uang merupakan penghasilan terpenting dari pekerjaan merantau seperti tukang, knek , pembantu rumahtangga, supplier atau bos.
5.4
Aktivitas Konsumsi Aktivitas nafkah dengan menggunakan modal alami, modal sosial, dan
peluang pekerjaan berorientasi pada menghasilkan sesuatu (produksi) untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga. Rumahtangga petani Desa Padabeunghar juga melakukan aktivitas untuk mengatur konsumsi rumahtangga. Beberapa aktivitas
129
konsumsi yang ditemukan adalah menyekolahkan anak, merencanakan kelahiran anak dan tinggal bersama orang tua setelah menikah
5.4.1
Menyekolahkan Anak Menyekolahkan anak dilakukan masyarakat Desa Padabeunghar minimal
sampai SMP. Tingkat pendidikan menjadi salah satu dasar penghargaan masyarakat Desa Padabeunghar. Menyekolahkan anak telah menjadi kelembagaan yang mengatur bagaimana pendidikan anak dilakukan. Setiap anak akan disekolahkan sampai SD, kemudian SLTP. Menyekolahkan anak sampai SLTA, D1, D3 atau S1 tidak dilakukan oleh setiap rumahtangga. Menyekolahkan anak menyebabkan rumahtangga kehilangan tenaga kerja produktif di bidang pertanian atau pekerjaan dan membutuhkan biaya untuk ongkos sekolah serta biaya buku dan SPP. Pendidikan SLTP tidak menjamin anak dapat mendapatkan pekerjaan di pabrik atau pekerjaan di dalam desa. Pekerjaan yang banyak dilakukan oleh anak lulusan SLTP adalah pekerja bangunan atau pembantu rumahtangga, pekerjaan yang dapat diperoleh tanpa pendidikan tinggi. Namun, menyekolahkan anak tetap dilakukan rumahtangga. Menyekolahkan anak tetap menyita sebagian besar anggaran rumahtangga. Menyekolahkan anak menyebabkan rumahtangga memiliki harapan bahwa anak dapat mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan meningkatkan status rumahtangga. Pekerjaan yang lebih baik berarti bukan pekerjaan penggunaan modal alami atau menjadi penggarap lahan pertanian.
5.4.2
Tinggal Bersama Orang T ua Setelah Menikah Tinggal bersama orang tua setelah menikah merupakan pola tempat
tinggal umum yang dilakukan pasangan yang baru menikah. Pasangan yang baru menikah dapat tinggal di orang tua laki-laki atau orang tua perempuan. Tidak ada norma yang mengatur tempat tinggal pasangan yang baru menikah. Tinggal bersama dengan orang tua memberikan empat keuntungan, (1) mengurangi biaya perumahan, (2) mendapatkan bantuan konsumsi sehingga dapat melakukan akumulasi pendapatan, (3) mendapatkan bantuan tenaga pe ngasuhan anak, dan (4) menjaga hubungan baik dengan orang tua. Pembuatan rumah
130
membutuhkan biaya besar yang tidak dimiliki anak pada saat menikah. Tinggal bersama orang tua merupakan pilihan untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal. Ini juga disebabkan karena tidak ada alternatif untuk mengontrak rumah di Desa Padabeunghar. Jika ada rumah yang akan disewa dan pasangan baru itu mampumembayar, maka pilihan untuk mengontrak rumah terbentur pada perasaan tidak enak pada orang tua dan takut dianggap bermusuhan dengan orang tua oleh orang lain95. Peranan orang tua penting dalam memberikan bantuan pemenuhan konsumsi sehingga anak dapat menabung untuk membuat rumah sendiri. Pola nafkah seperti ini tampak pada rumahtangga anak dengan KK bekerja sebagai pekerja bangunan di perantauan. Uang hasil bekerja di perantauan dapat disimpan istri dalam bentuk bahan bangunan atau perabotan rumahtangga karena orang tua memenuhi kebutuhan konsumsi istri dan anak yang ditinggalkan96.
5.4.3
Alokasi Tenaga Kerja Rumahtangga Aktivitas nafkah konsumsi banyak dilakukan oleh anggota rumahtangga
perempuan. Ibu yang mengetahui berapa banyak uang yang dikeluarkan untuk biaya sekolah anak, dari mana uang tersebut diperoleh, apa yang harus dilakukan untuk menutupi kekurangan kebutuhan dan menga pa itu dilakukan. Meskipun laki-laki
sebagai
pencari
nafkah
utama,
namun
perempuan
yang
bertanggungjawab mengelola uang. Perempuan juga merupakan anggota rumahtangga yang dituntut untuk melakukan adaptasi saat tinggal bersama orang tua. Perempuan melakukan pembagian kerja rumahtangga dan berinteraksi setiap hari dengan orang tua yang dijadikan tempat tinggal. Laki- laki lebih sedikit berinteraksi dengan orang tua
95
Wawancara dengan Ceu Mm, 3 Mei 2005. Ceu Mm telah tiga tahun menikah dengan Pak Kd dan tinggal bersama orang tua Ceu Mm. Ceu Mm sebenarnya lebih suka untuk ngontrak rumah. Namun di Desa Padabeunghar tidak ada rumah yang dapat dikontrakan. Kalaupun ada, tidak lazim mengontrak rumah sementara ada rumah orang tua. Kalau tetap memaksa mengontrak rumah akan menjadi omongan tetangga. 96 Wawancara dengan Ceu Im, 10 Maret 2005. Ceu Im tinggal bersama mertuanya, pasangan Pak Suh dan Bu Kun, setelah menikah dengan Nirman tiga tahun yang lalu. Bu Kun dan Pak Suh menanggung kebutuhan Ceu Iim dan Dika anak Ceu Iimselama Nirman pergi merantau. Ceu Im dapat menabung bahan pembuatan rumah dan perabotan rumah dari uang yang diberikan Nirman.
131
atau mertua yang ditempati karena memiliki pekerjaan yang menuntutnya untuk keluar rumah.
5.5
Faktor yang Mempengaruhi Aktifitas Nafkah Berdasarkan penelitian di Desa Padabeunghar, aktivitas nafkah dilakukan
karena alasan-alasan tertentu. Aktivitas nafkah dilakukan tidak untuk satu alasan tunggal, beberapa alasan bersama-sama melandasi pilihan aktivitas nafkah di Desa Padabeunghar.
Alasan-alasan
melakukan
aktivitas
nafkah
yang
dapat
diidentifikasi dari responden adalah (1) aktivitas nafkah biasa dilakukan, (2) perhitungan keuntungan dan kerugian yang dibuat oleh rumahtangga, (3) kebutuhan yang harus dipenuhi, (4) pertimbangan pendapatan yang akan diperoleh dan tujuan nafkah yang dapat dicapai, (5) nilai yang berkembang dalam masyarakat tentang aktivitas nafkah yang boleh atau tidak boleh dilakukan serta tindakan yang harus dilakukan sebagai warga masyarakat, dan (6) kemudahan dan fasilitas yang diberikan oleh anggota komunitas Desa Padabeunghar atau di luar komunitas Desa Padabeunghar yang menyebabkan aktivitas nafkah dapat dilakukan. Seluruh aktivitas nafkah yang dilakukan oleh rumahtangga kasus pa da awalnya dianggap biasa dilakukan atau telah dilakukan secara turun temurun. Menggarap berbagai lahan pertanian secara bersamaan, menanam beragam tanaman di kebon atau di lahan garapan dan hanya menanam padi di sawah, mengambil kayu bakar, menyabit rumput, menggembalakan ternak, babantu, ngobeng, neang, membiarkan tetangga menonton TV, mengirim hasil panen pada tetangga atau saudara dilakukan dengan alasan sudah biasa dilakukan. Penjelasan yang lebih mendalam diperoleh jika anggota rumahtangga menjelaskan apa yang akan diperoleh jika melakukan suatu aktivitas nafkah dan apakah ada sanksi jika aktivitas nafkah tidak dilakukan. Perhitungan keuntungan dan kerugian yang dibuat oleh rumahtangga dilakukan berdasarkan resiko yang mungkin diterima dan hasil yang pasti diterima. Aktivitas nafkah mengurangi biaya produksi pertanian, menanam beragam tanaman dalam satu luasan lahan, menggarap beberapa lahan bersamaan dan mengurangi resiko pertanian menunjukkan alasan ini. Rumahtangga tidak
132
pernah benar-benar menghitung berapa biaya yang dikeluarkan, termasuk tenaga kerja rumahtangga yang digunakan dan berapa hasil atau pendapatan yang diterima dalam setiap aktivitas nafkah. Rumahtangga hanya tahu apa hasil dan resiko yang akan diterima. Meskipun rumahtangga tidak me miliki perhitungan pasti tentang biaya dan pendapatan yang akan diperoleh, namun rumahtangga memiliki pengetahuan yang pasti tentang kebutuhan rumahtangga. Rumahtangga mengetahui bahwa rumahtangga di Desa Padabeunghar memerlukan beras, sayuran, pakan terna k, kayu bakar dan barang-barang lain agar tidak perlu menggunakan uang untuk membeli kebutuhan tersebut. Rumahtangga juga mengetahui bahwa rumahtangga mrmbutuhkan hubungan baik dengan tetangga atau saudara. Pengetahuan tentang kebutuhan rumahtangga ini menyebabkan rumahtangga melakukan aktivitas nafkah untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga. Sebagai sebuah komunitas, masyarakat Desa Padabeunghar memiliki serangkaian nilai-nilai yang mendorong anggota masyarakat untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu disertai dengan imbalan dan sanksi jika dilakukan dan jika dilanggar. Pertimbangan hal-hal di atas menjadi dasar pembentukan strategi nafkah rumahtangga. Bab VII berikut akan membahas strategi nafkah yang dipilih rumahtangga kasus di Desa Padabeunghar.
5.6
Ikhtisar Aktivitas
nafkah
rumahtangga
di
Desa
Padabeunghar
dilakukan
berdasarkan dua basis aktivitas, penggunaan sumberdaya dan upaya untuk membangun hubungan baik antara anggota komunitas. Aktivitas nafkah dilakukan berdasarkan sumber nafkah yang ada dan dapat diakses oleh rumahtangga, upaya untuk menghasilkan sumber nafkah dan mengurangi penggunaan sumber nafkah. Aktivitas nafkah dilakukan rumahtangga berdasarkan Aktivitas nafkah dilakukan berdasarkan dua hal, alokasi tenaga kerja rumahtangga dan substitusi pendapatan. Alokasi tenaga kerja rumahtangga diperlukan agar rumahtangga dapat melakukan berbagai aktivitas nafkah dalam waktu yang bersamaan. Delapan rumahtangga kasus yang diamati melakukan lebih dari satu aktivitas nafkah secara bersamaan. Aktivitas nafkah yang berbeda
133
dilakukan oleh satu orang dalam waktu yang tidak direncanakan secara pasti atau melalui pembagian kerja antara anggota rumahtangga. Substitusi pendapatan dilakukan rumahtangga untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga yang tidak dapat dipenuhi oleh penerapan satu buah aktivitas nafkah. Substitusi pendapatan hanya dapat dilakukan jika rumahtangga memiliki tenaga kerja dan melakukan alokasi tenaga kerja. Selain dipengaruhi oleh ketersediaan sumber nafkah, aktivitas nafkah dipengaruhi oleh faktor dorongan kebutuhan, pertimbangan pendapatan yang akan diperoleh, biaya yang dikeluarkan dan resiko yang mungkin dihadapi serta nilainilai yang berkembang dalam masyarakat. Pertimbangan-pertimbangan inilah yang melandasi pembentukan strategi nafkah rumahtangga.
VI.
STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA DI DESA PADABEUNGHAR
Bab
lima
ini
akan
membahas
strategi
nafkah
penduduk
Desa
Padabeunghar. Strategi nafkah rumahtangga merupakan landasan pilihan aktivitas nafkah yang dilakukan rumahtangga untuk memenuhi kebutuhan atau mencapai tujuan rumahtangga. Aktivitas nafkah merupakan tindakan anggota rumahtangga yang dapat dilihat sebagai bentuk dari strategi nafkah rumahtangga. Strategi nafkah akan dibahas dalam level rumahtangga. Data tentang strategi nafkah rumahtangga diperoleh melalui wawancara mendalam dan pengamatan
berpartisipasi
selama
penelitian
dilakukan.
Strategi
nafkah
rumahtangga digambarkan melalui data kualitatif tentang aktivitas nafkah yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari rumahtangga kasus. Delapan tipe strategi nafkah rumahtangga yang ada di Desa Padabeunghar digambarkan melalui gambaran aktivitas nafkah delapan rumahtangga kasus. Bab ini diakhiri dengan pembahasan tentang pola strategi nafkah penduduk Desa Padabeunghar yang menunjukkan rasionalita s yang membangun strategi nafkah penduduk Desa Padabeunghar. Delapan rumahtangga kasus mewakili delapan tipe strategi nafkah penduduk Desa Padabeunghar. Delapan tipe strategi nafkah tersebut dibagi menjadi
dua
kelompok,
strategi
nafkah
rumahtangga
penduduk
Desa
Padabeunghar yang menggunakan modal alami sebagai sumber nafkah utama dan rumahtangga yang menggunakan sumber nafkah bukan modal alami sebagai sumber nafkah utama. Pengelompokkan strategi nafkah rumahtangga penduduk Desa Padabeunghar menjadi dua kelompok dilakukan untuk melihat pola strategi nafkah penduduk Desa Padabeunghar yang terdiri dari dua kelompok yaitu penduduk yang menggunakan sumber nafkah modal alami dan penduduk yang tidak menggunakan sumber nafkah modal alami. Telah dibahas pada bab V, aktivitas nafkah rumahtangga di Desa Padabeunghar dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok, aktivitas nafkah berbasis penggunaan modal alami, aktivitas nafkah berbasis penggunaan modal sosial dan aktivitas nafkah berbasis peluang pekerjaan. Aktivitas nafkah yang dibahas pada bab lima merupakan bagian dari strategi nafkah. Strategi nafkah
135
merupakan pilihan-pilihan tindakan ekonomi atau aktivitas nafkah yang dilakukan rumahtangga untuk mencapai tujuan rumahtangga. Strategi nafkah bukan suatu yang berdiri sendiri, strategi nafkah juga reaktif terhadap kondisi sosial ekonomi desa. Pembahasan tentang modal sosial merupakan bukti pengaruh kondisi sosial ekonomi desa pada strategi nafkah penduduk Desa Padabeunghar. Berikut ini akan dibahas strategi nafkah rumahtangga penduduk Desa Padabeunghar
6.1
Strategi Nafkah Basis Modal Alami
6.1.1
Strategi Nafkah “Ekstensifikasi”: Rumahtangga Pak Suh Desa
Padabeunghar
merupakan
sebuah
desa
yang
32,7
persen
penduduknya memiliki mata pencaharian sebagai petani atau buruh tani (potensi Desa Padabeunghar, 2005). Data ini tidak menggambarkan kenyataan yang sebenarnya, penduduk yang bermata pencaharian sebagai petani atau buruh tani lebih banyak karena rumahtangga yang bermata pencaharian sebagai pedagang atau tukang atau pe kerjaan lain juga memiliki mata pencaharian sebagai petani atau buruh tani. Seperti yang telah dibahas pada bab dua, rata-rata anggota komunitas Desa Padabeunghar memliki sawah 0,25 bau97 dengan hasil lima kuintal gabah setiap kali panen. Hasil panen diperlukan untuk membeli pupuk kimia, yang terkadang menghabiskan seluruh hasil panen, untuk musim tanam selanjutnya. Tanpa memperhitungkan tenaga kerja rumahtangga yang digunakan, pengelolaan sawah telah merugikan. Strategi nafkah “ekstensifikasi” memberikan gambaran strategi nafkah rumahtangga yang berbasis pada penggunaan modal alami dalam menghadapi keterbatasan luas lahan dan pendapatan dari lahan milik. Keterbatasan tanah milik diatasi dengan penggunaan lahan kebun karet dan lahan hutan Perhutani. Strate gi nafkah “ekstensifikasi” yang digunakan oleh rumahtangga Pak Suh memberikan gambaran peranan lahan di luar lahan milik petani. Rumahtangga yang menggunakan strategi nafkah “ekstensifikasi” juga melakukan aktivitas nafkah di luar penggunaan modal alami. Namun, bagi 97
Satu bau sama dengan 500 bata, satu bata sama dengan 11 m², jadi satu bau sama dengan 5500 m².
136
rumahtangga yang menggunakan strategi nafkah ini, modal alami merupakan sumber nafkah utama. Aktifitas nafkah dengan menggunakan peluang pekerjaan merupakan sumber pendapatan tambahan bagi rumahtangga yang dilakukan oleh anak. Gambaran strategi nafkah “ekstensifikasi” dapat diamati pada strategi nafkah rumahtangga Pak Suh: Pak Suh dikenal sebagai “profesor leuweung” di Desa Padabeunghar. Gelar tersebut diberikan karena Pak Suh dikenal sebagai orang yang rajin bekerja menggarap sawah dan lahan hutan atau lahan kebun karet 98. Rumah tangga Pak Suh merupakan rumah tangga yang terdiri dari dua KK. Pak Suh memiliki anak yang telah menikah dan tinggal bersama dengan Pak Suh. Pak Suh lahir tahun 1951 di Desa Padabeunghar. Ia lahir dan besar di Desa Padabeunghar. Orang tua Pak Suh bekerja sebagai petani. Pak Suh tinggal bersama ibunya (ema) sementara bapak Pak Suh tinggal bersama istri keduanya. Pak Suh menikah dengan Bu Kun dan dikaruniai tiga orang anak laki-laki, Nirman, SY dan EC. Nirman sekarang telah menikah dengan Ceu Im, warga kampung Muncang Pandak dan dikaruniai satu orang anak bernama Dika. Struktur rumahtangga Pak Suh dapat diamati pada gambar berikut : Ema
Ceu Im
Pak Suh
Nirman
Bu K un
SY
EC
Dika
Pak Suh memiliki tanah 0,5 bau yang diperoleh dari warisan orang tua Pak Suh. Sawah Pak Suh terletak di pinggir mata air di Blok Pari. Blok Pari bersebelahan langsung dengan hutan lindung yang masih asli. Hutan lindung tersebut dijaga untuk menjaga kelestarian mata air di Blok Pari. Blok Pari terletak sekitar lima kilometer dari tempat tinggal Pak Suh. Blok Pari bisa dicapai setelah melalui jalan setapak berbatu yang terjal. Setiap kali panen Pak Suh memperoleh 5-7 kuintal gabah kering. Ia hanya panen dua kali dalam setahun, ini karena letak sawah yang berada di pinggir mata air menyebabkan tanaman padi kurang bagus pada saat musim hujan atau curah hujan sangat tinggi atau menurut istilah Pak Suh “dingin” (“tiis”)99. Pak Suh membutuhkan waktu untuk mem-bera-kan tanah sampai kondisi tanah tidak “dingin” yaitu kondisi di mana air hujan mulai berkurang. Pak Suh tidak menggarap sawah sendiri. Pak Suh dibantu oleh petani yang nyeblok di lahan sawah Pak Suh. Pak Suh sendiri nyeblok di sawah orang lain. Di selasela kesibukan Pak Suh mengolah sawah dan nyeblok Pak Suh bekerja sebagai buruh 98
Di Desa Padabeunghar, semua wilayah yang telah melalui jalan menanjak ke arah gunung Ciremai disebut “leuweung ” (“hutan”). Wilayah “hutan” termasuk wilayah hutan Perhutani, wilayah kebun karet, tanah iasa dan kebon penduduk. 99 “Dingin” (“tiis”) adalah istilah yang diberikan Pak Suh untuk menjelaskan kondisi tanah yang berair dan lembab di sekitar mata air. Air mata air tidak baik untuk mengairi sawah. Menurut Pak Suh air mata air “terlalu bersih” atau tidak mengandung unsur hara. Tanaman padi akan tumbuh dengan baik jika pengairan dengan menggunakan air mata air berkurang.
137
tani jika ada yang mengajak untuk bekerja. Buruh mencangkul mendapat upah Rp. 10.000,- per hari. Jika Pak Suh telah mendapat kepastian tentang keberadaan petani nyeblok di sawahnya, Pak suh akan memilih membiarkan sawahnya digarap oleh petani nyeblok untuk mendapatkan kesempatan menjadi buruh cangkul dan kesempatan mendapatkan upah. Pak Suh tidak memiliki kebon. Orang tua Pak Suh tidak mewariskan kebon, sedangkan orang tua Bu Kun, istri Pak Suh, belum memberikan warisan kepada Pak Suh. Warisan merupakan sumber satu-satunya tanah milik bagi rumahtangga Pak Suh. Pak Suh tidak membayangkan dapat membeli kebon apalagi sawah. Harga sawah sangat tinggi dalam ukuran Pak Suh. Kesempatan mendapatkan tambahan lahan hanya dengan membuka lahan garapan di lahan kebun karet atau lahan hutan Perhutani. Pak Suh akan membawa satu pikul besar rumput setiap kali pulang dari sawah. Pak Suh memiliki delapan ekor kambing yang ia pelihara dengan sisitem maron. Kambing itu ia peroleh dari program pengembangan kambing di desa trijaya. Seorang pengusaha mempercayakan empat ekor kambing untuk dipelihara Pak Suh dan sekarang telah menjadi delapan, empat ekor diantaranya milik Pak Suh. Menurut Pak Suh pemeliharaan kambing merugikan karena kambing bagian pemilik harus dikembalikan pada saat sudah besar, seharusnya ada imbalan untuk “ngagedekeun” atau membesarkan kambing tersebut. Seharusnya jika ada anak kambing yang ketiga maka anak kambing yang ketiga itu milik Pak Suh, tapi tetap dibagi dua dengan pemilik. Meskipun mengaku rugi Pak Suh tetap memelihara kambing karena lumayan bisa dijual untuk keperluan mendadak atau membeli pupuk. Jika tidak ada pekerjaan di sawah, Pak Suh akan menggarap lahan garapan di lahan kebun karet atau lahan hutan Perhutani. Pak Suh membuka beberapa tempat lahan garapan di lahan kebun karet dan lahan hutan Perhutani. Jumlah lahan garapan Pak Suh tidak dapat ditentukan dengan pasti. Lahan garapan Pak Suh tersebar di beberapa tempat dalam luasan yang kecil. Misalnya, Pak Suh membuka empat baris tanah berukuran 3x10 meter untuk menanam jahe di lahan kebun karet. Bersebelahan dengan tanaman jahe terdapat tanah garapan tetangga Pak Suh. Bersebelahan dengan lahan garapan tetangga Pak Suh, terdapat sebidang tanah garapan Pak Suh yang ditanami tanaman pisang, singkong dan tanaman yang tumbuh liar. Diseberang tanah garapan tersebut Pak Suh membuka sebidang tanah yang ditanami pisang dan jeungjing. Ukuran tanah tidak dapat ditentukan secara pasti karena Pak Suh dan penggarap lahan kebun karet atau lahan hutan tidak pernah mengukur luas lahan garapan mereka. Gambaran pola penggarapan lahan kebun karet dan lahan hutan Perhutani Pak Suh dapat diamati pada gambar berikut.
138
Semak LG lain
LG Pak Suh
LG lain
Hutan Perhutani
Semak
Lahan bekas tumpang sari, digarap oleh seorang warga Desa Padabeungharmasih ada tegakan pohon pinus
LG Pak Suh LG Pak Suh
LG lain
Semak LG lain
Lahan kebun karet
LG Pak Suh
LG Pak Suh
Semak
LG Pak Suh
Semak
Tanah berbatu menurun yang dipenuhi semak
Keterangan:
LG
= batas hutan Perhutani dan lahan kebun karet = jalan setapak yang menghubungkan wilayah pemukiman dan “leuweung” = sungai = lahan garapan
Sumber: Diolah dari Data P rimer, 2005 Gambar 6. Denah Lahan Garapan Pak Suh Pak Suh menanam singkong, jahe, lengkuas, pisang, jeungjing, sereh, cabe, durian, petai, melinjo, dan tanaman pokok perhutani, pinus. Terdapat pola penanaman yang berbeda antara lahan kebun karet dan lahan hutan Perhutani. Lahan kebun karet ditanami satu jenis tanaman menyerupai ladang atau berbagai tanaman seperti kebon penduduk. Lahan hutan Perhutani ditanami satu jenis tanaman utama seperti pisang dan singkong. Pak Suh menanam pisang, sereh dan singkong di lahan hutan karena lokasi lahan hutan lebih jauh sehingga tanaman yang ditanam adalah tanaman yang tidak memerlukan perawatan setiap saat. Lahan kebun karet ditanami jahe karena lahan kebun karet lebih dekat sehingga lebih mudah melakukan perawatan tanaman. Lahan hutan Perhutani yang ditanam dengan berbagai tanaman adalah lahan hutan di Blok Kiara yang digarap bersama oleh pamong Desa Padabeunghar. Pak Suh menanam durian, tanaman yang dianggap sangat menguntungkan, di lahan garapan Blok Kiara. Selain durian, Pak Suh menanam petai, melinjo, sereh, singkong dan tanaman dari Perhutani seperti suren dan pinus. Bibit tanaman diperoleh Pak Suh dari Perhutani dan dari pembibitan yang dilakukan oleh Pak Suh di halaman rumah. Sejak ada program PHBM dan mengenal LSM yang melakukan pendampingan PHBM, Pak Suh membuat pembibitan di halaman rumah. Pembibitan dilakukan untuk menyediakan bibit tanaman yang akan ditanam di lahan PHBM.
139
Pak Suh pernah menjadi penyadap karet sebelum tanaman karet dibabat habis. Ia menjadi penyadap sekitar tahun ‘68-‘70. Tanaman karet di lahan kebun karet merupakan tanaman karet tua yang digambarkan oleh Pak Suh sebagai “sagede-gede beuteung munding” 100. Pada saat yang sama, Pak Suh menggarap lahan hutan Perhutani melalui program tumpang sari. Pak Suh menanam melinjo, petai, jengkol, nangka, singkong dan pisang. Pada saat itu, lahan hutan Perhutani dipenuhi tegakan tanaman penggarap hutan dan pohon pinus yang telah tua dengan ukuran “satangkeup” 101 Selain menjadi penyadap, Pak Suh juga menjadi buruh pemetik durian. Pak Suh tidak memiliki pohon durian sendiri, Pak Suh menjadi buruh pemetik durian setiap kali musim panen durian. Pak Suh berhenti menjadi pemetik durian karena kecelakaan yang dialami Pak Suh pada tahun 1990. Pak Suh mengalami patah tulang kaki dan membutuhkan perawatan selama satu bulan di Sumedang. Masa pengobatan patah tulang merupakan saat paling sulit dalam rumahtangga Pak Suh. Pak Suh harus menyewakan 0,25 bau tanahnya (sehingga sekarang ia hanya mengelola 0,25 bau) seharga Rp 1.800.000 untuk 18 tahun (36 pagasan/musim panen; satu pagasan Rp 50. 000) untuk biaya pengobatan. Peristiwa ini terjadi saat anak yang paling besar, Nirman, kelas dua SMP dan anak kedua, SY, kelas 6 SD. Kejadian itu membuat sekolah SY tertunda selama satu tahun. SY baru bisa sekolah lagi saat Pak Suh telah sembuh. Padahal, saat ia terjatuh ia sedang merenovasi rumahnya. Renovasi rumah tersendat karena kecelakaan yang dialami Pak Suh. Bu Kun ikut menunggui Pak Suh yang sedang berobat di Sumedang. Namun Bu Kun tidak bisa menemani Pak Suh lebih lama. Tekanan kebutuhan rumahtangga membuatnya berjualan sorabi (sejenis penganan yang terbuat dari tepung beras dan dipanggang dalam tempat khusus) keliling dengan membawa EC, anak ketiganya yang waktu itu baru berusia 10 bulan. Sampai sekarang Bu Kun tidak mau lagi berjualan “sedih, asa inget keur masa susah, melas pisan” (sedih, mengingatkan pada masa-masa susah, susah sekali). Kecuali jika sakit yang membuat Pak Suh tidak dapat pergi jauh dari rumah, Pak Suh setiap pagi pergi bekerja. Jadwal pekerjaan Pak Suh tidak disusun berdasarkan jadwal yang tetap. Setiap kali pergi ke sawah, Pak Suh akan mampir ke lahan garapan kebun karet atau lahan garapan hutan Perhutani di Blok Batukuda (denah lahan garapan Pak Suh di Blok Batukuda dapat diamati pada gambar). Setelah itu, Pak Suh pergi ke sawah untuk mencangkul. Jika pekerjaan di sawah dianggap selesai untuk hari itu, Pak Suh akan mencari rumput atau kayu bakar di hutan Perhutani. Pak Suh hanya akan pergi menggarap lahan garapan di lahan kebun karet atau lahan hutan Perhutani dan tidak pergi ke sawah jika pekerjaan di sawah telah dianggap selesai atau ada petani yang nyeblok. Pak Suh tidak pernah memiliki rencana jangka panjang yang sengaja dibuat untuk pengelolaan lahan. Rencana dibuat untuk jangka pendek atau mendesak, misalnya, ada pisang yang harus ditebang, menanam bibit pisang yang diperoleh dari LSM atau tetangga di lahan hutan Perhutani, memupuk tanaman, atau mencari rebung karena diminta Bu Kun, istri Pak Suh. Menyabit rumput merupakan pekerjaan yang akan digantikan oleh Bu Kun jika Pak Suh sakit. Tekanan kehidupan di Desa Padabeunghar dan peluang untuk mendapatkan tanah yang lebih besar mendorong Pak Suh untuk ikut transmigrasi. Pada tahun 1976 ada program transmigrasi disosialisasikan di Desa Padabeunghar. Pak Suh berniat untuk ikut, namun Bu Kun tidak setuju sehingga tidak jadi dilakukan. Hal yang paling menarik dari transmigrasi adalah tanah yang ditawarkan. Setiap transmigran akan mendapatkan 2 Ha tanah, rumah dan tunjangan makan selama satu tah un. Di Desa 100
“sagede-gede beuteung munding” adalah istilah untuk menggambarkan pohon karet yang ada di perkebunan sudah sangat tua yang ditunjukkan oleh ukuran pohon yang “sebesar perut kerbau”. 101 “satangkeup” adalah istilah untuk menggambarkan pohon pinus yang ada di hutan Perhutani sudah sangat tua yang ditunjukkan oleh ukuran pohon yang “sebesar lingkaran tangan orang tua”
140
Padabeunghar tidak mungkin akan mendapatkan tanah seluas itu. Pak Suh tidak takut dengan kemungkinan tanah yang masih berupa hutan atau banyaknya hutan buas, hutan dan hewan buas tidak aneh untuk mereka. Anak laki-laki Pak Suh, Nirman dan SY, bekerja sebagai pekerja bangunan di Jakarta. Nirman dan SY memilih bekerja sebagai pekerja bangunan, karena pekerja bangunan mendatangkan uang dalam jumlah besar dalam waktu bersamaan. Nirman dan SY memiliki lahan garapan di lahan hutan Perhutani dan digarap jika tidak ada pekerjaan di Jakarta. Nirman tidak memiliki waktu pulang yang tetap. Nirman terkadang pulang sebulan sekali, dua bulan atau terkadang dua minggu. Kepulangan Nirman tergantung pada pekerjaan dan uang hasil bekerja. Mengolah lahan sendiri dirasa sangat berat oleh Pak Suh. Sebelum Nirman dan SY pergi merantau, Pak Suh ada yang membantu di sawah. Nirman dan SY baru akan membantu pekerjaan Pak Suh jika ada di Desa Padabeunghar karena tidak ada pekerjaan di Jakarta. SY masih dapat diandalkan membantu pekerjaan Pak Suh, sementara Nirman akan menggarap lahan garapan, sawah dan kebon milik Nirman karena Nirman telah menikah dan memiliki sawah dan kebon warisan Ceu Im, Istri Nirman. Namun Pak Suh juga tidak menutup bahwa hasil merantau Nirman dan SY banyak membantu ekonomi rumahtangga. Pak Suh dan Bu Kun menerima uang hasil merantau sebesar Rp 100.000,- sampai Rp. 200.000,- dari SY atau Nirman. Pak Suh dan Bu Kun tidak menghabiskan seluruh uang pemberian anaknya, ia sisihkan untuk keperluan anaknya seperti menikahkan atau jika ada keinginan dan kebutuhan mendadak. Bu Kun harus membatasi pengeluaran dalam bentuk uang. Penghasilan dari sawah jarang berbentuk uang tunai. Uang tunai didapat jika ia menjual pisang. Pisang satu tandan bisa terjual antara Rp 5.000- 30.000 tergantung panjang tandan, jenis pisang dan kualitas buah. Pembatasan pengeluaran uang ini dilakukan dengan menggunakan hasil pertanian untuk memenuhi kebutuhan konsumsi. Bu Kun memasak sayur-sayuran yang dipetik dari sawah atau lahan kebun karet. Sayur yang sering di masak adalah rebung dan daun singkong. Bu Kun hanya membeli tahu atau tempe dari warung. Seminggu sekali Bu Kun membeli telur atau terkadang jika mendapatkan uang cukup banyak Bu Kun akan membeli satu dus mie instant. Bu Kun membuat penganan dari hasil sawah atau lahan garapan untuk dijadikan teman minum teh atau lauk nasi . Kiripik yang bentuk dan rasanya seperti kerupuk itu tidak pernah dijual karena menurut Bu Kun hampir semua rumah membuat kiripik jadi tidak ada yang akan membeli kalau kiripik itu dijual. Kebutuhan beras sehari-hari dipenuhi dari hasil panen. Bu Kun tidak pernah membeli beras. Jika hasil panen tidak memenuhi kebutuhan hidup sampai musim panen berikutnya, maka Bu Kun akan meminjam gabah pada abah (orang tua laki-laki Bu Kun) untuk memenuhi kebutuhan hidup. Jika abah tidak memiliki cukup gabah, maka teteh (kakak sepupu perempuan Bu Kun) menjadi pilihan berikutnya. Pinjaman tersebut akan dibayar setelah musim panen berikutnya dalam bentuk gabah sesuai dengan jumlah pinjaman. Bagi Bu Kun, membeli baras adalah alternatif terakhir. Kun bekerja menyiapkan makanan untuk konsumsi sehari -hari. Bu Kun menanggung biaya makan bagi Ceu Im, Nirman dan Ema (ibu Pak Suh). Kebutuhan Ceu Im dan ema yang lain seperti jajan Dika, membeli pakaian dan makanan di luar menu yang disediakan Bu Kun harus dipenuhi sendiri. Jika tidak ada pekerjaan di Jakarta, Nirman memecah batu dan menggali pasir di lahan perhutani, di jalan desa yang menuju ke arah Kiara. Batu dan pasir diperlukan untuk bahan baku pembuatan rumah Nirman. Nirman akan pergi ke Jakarta lagi mengumpulkan uang untuk mengangkut batu dan pasir ke rumah. Pak Suh dan Bu Kun juga punya keinginan untuk merenovasi rumah. Rumah yang sekarang ditempati sudah rapuh di bagian atap. Bu Kun dan Pak Suh telah memiliki
141
kayu yang dibeli dari keuntungan hajatan menikahkan Nirman. Bu Kun mendapatkan uang Rp. 8.000.000, - dari hasil kondangan tamu. Uang tersebut digunakan untuk membayar utang, membeli perhiasan dan dibelikan kayu untuk mem perbaiki atap rumah Bu Kun. Untuk pembuatan rumah Nirman, Bu Kun akan membantu jika ia memiliki uang. Uang hasil hajatan menikahkan Nirman adalah harapan terakhir Bu Kun dan Pak Suh untuk mendapatkan uang cukup banyak.
Strategi nafkah “ekstensifikasi” menunjukkan tekanan nafkah pada penggunaan beragam modal alami. Rumahtangga Pak Suh menggunakan modal alami untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, membangun aset yang berguna untuk masa yang akan datang, dan menghadapi keadaan sulit rumahtangga. Kekurangan lahan dihadapi dengan pembukaan lahan baru. Kekurangan lahan di dalam desa dihadapi dengan mencari peluang tanah di luar desa seperti transmigrasi. Strategi nafkah rumahtangga Pak Suh menunjukkan lahan hutan Perhutani dan lahan kebun karet memiliki peranan penting dalam memenuhi kebutuhan ekonomi rumahtangga. Lahan kebun karet dan lahan hutan Perhutani merupakan alternatif satu-satunya untuk mengatasi kekurangan pendapatan dari lahan milik rumahtangga. Bagi rumahtangga Pak Suh, lahan hutan dan lahan kebun karet menyediakan kebutuhan di luar kebutuhan beras yang diperoleh dari sawah. Penggarapan lahan kebun karet menjadi pilihan pertama sebelum lahan hutan Perhutani. Lahan kebun karet lebih dekat dengan pemukiman dan tidak berbatu seperti lahan hutan Perhutani. Alasan ini diperkuat karena lahan hutan Perhutani yang terletak lebih dekat dengan pemukiman dan tidak berbatu juga menjadi pilihan lahan garapan. Jadi lahan garapan bagi rumahtangga tidak ditentukan oleh asal-usul tanah tetapi oleh kedekatan dengan pemukiman dan kemudahan untuk menggarap (seperti tidak berbatu, tidak terletak di tebing yang curam). Strategi
nafkah
“ekstensifikasi”
merupakan
strategi
nafkah
khas
rumahtangga petani penggarap lahan hutan di Desa Padabeunghar. PHBM mendorong pemerintah Desa Padabeunghar untuk menganjurkan penggarapan hutan pada pamong desa dan tokoh pemuda. Penggarapan lahan oleh pamong desa dan tokoh pemuda memiliki alasan dan cara penggarapan yang berbeda dengan cara penggarapan yang dilakukan untuk mengatasi keterbata san lahan milik pribadi. Rumahtangga Pak Suh merupakan contoh rumahtangga yang
142
melakukan penggarapan lahan hutan sebagai strategi mengatasi kekurangan lahan milik pribadi. PHBM merancang strategi nafkah yang menekankan pada pengelolaan lahan hutan untuk mengatasi keterbatasan lahan dan kekurangan pendapatan rumahtangga. Strategi nafkah “ekstensifikasi” mencerminkan desakan nafkah karena kekurangan lahan dan pendapatan pada lahan di luar lahan milik termasuk lahan hutan Perhutani. Namun, strategi nafkah yang terbentuk tidak persis sama dengan sistem nafkah yang dirancang oleh PHBM dalam hal pemilihan lahan garapan, pola tanam, dan tanaman yang ditanam. Rumahtangga yang menggunakan strategi nafkah “ekstensifikasi” pun mengalami pergeseran pilihan strategi nafkah pada anggota rumahtangga usia anak. Merantau sebagai pekerja bangunan menjadi pilihan pekerjaan anggota rumahtangga dalam kelas usia anak. Aliran remittance merupakan salah satu sumber pendapatan berupa uang. Merantau dilakukan anak untuk membangun rumah dan mempersiapkan kehidupan terpisah dari rumah orang tua. Aliran remittance diiringi dengan pengurangan tenaga kerja rumahtangga untuk menggarap lahan. Rumahtangga Pak Suh menunjukkan strategi nafkah “ekstensifikasi” membangun pengamanan konsumsi bagi anggota rumahtangga yang merantau. Anak yang merantau meninggalkan istri dan anak di rumah orang tua. Kebutuhan konsumsi dipenuhi dari orang tua yang melakukan penggarapan lahan dan penggarapan lahan yang dilakukan anak saat tidak ada pekerjaan di pera ntauan. Ini menunjukkan pergeseran desakan nafkah pada pekerjaan sebagai pekerja bangunan mengurangi tenaga kerja yang secara aktif menggarap lahan namun tidak mengurangi kebutuhan pendapatan dari penggarapan lahan.
6.1.2
Strategi “Orientasi”: Rumahtangga Wa Am Strategi nafkah “orientasi” menunjukkan orientasi pengelolaan sawah
sebagai modal alami yang menjadi lahan yang paling diinginkan untuk digarap atau dimiliki. Bagi rumahtangga yang menggunakan modal alami sebagai sumber nafkah utama, memiliki sawah merupakan cita-cita utama. Rumahtangga yang
143
menggunakan strategi nafkah “orientasi” memilih nelakukan aktivitas nafkah yang membuat rumahtangga dapat menggarap atau memiliki sawah. Strategi nafkah “orientasi” ini mendudukkan pembukaan lahan garapa n di lahan hutan Perhutani sebagai pilihan di saat tidak memiliki akses pada sawah dan dilakukan untuk mendapatkan akses pada sawah. Rumahtangga Wa Am merupakan contoh rumahtangga yang memilih sawah sebagai orientasi utama aktivitas nafkah rumahtangga. Wa Am dikenal sebagai penggarap lahan hutan Perhutani yang berhasil di Desa Padabeunghar. Wa Am menghentikan penggarapan lahan hutan Perhutani setelah berhasil menyewa sawah. Strategi nafkah “orientasi” dapat diamati dari kasus strategi nafkah rumahtangga Wa Am di bawah ini.
Wa Am, 60 tahun, adalah petani penggarap hutan yang sampai sekarang masih memiliki kelompok kerja hutan yang disebut kelompok Bakti. Am sebenarnya nama anak, sedangkan namanya sendiri adalah Warta namun masyarakat biasa memanggilnya Wa Am. Wa Am memiliki lima orang anak, tiga diantaranya meninggal dunia saat masih kecil. Sekarang anak tertua Wa Am, Am dan istri, menempati bagian depan rumah Wa Am. Wa Am sengaja hanya menempati bagian rumah yang dulunya dapur untuk memberi kesempatan bagi anaknya untuk menempati rumah Wa Am. Wa Am berpendapat ia sudah tua sudah cukup baginya satu kamar, dapur dan satu ruangan kecil untuk ruang tamu. Anaknya yang lain, Mistara, menikah dengan Bu Ade. Mereka menempati rumah yang dibangunkan Wa Am di pekarangan kosong di belakang rumah mereka. Struktur rumahtangga Wa Am dapat diamati pada gambar berikut: Wa Am
Bu Amsari
Amsari
Bu Mar
Mistara
Bu Ade
Wa Am membentuk kelompok kontak tani Bakti sejak masih masa tumpang sari atau sekitar 13 tahun yang lalu. Kelompok yang terdiri dari delapan orang petani itu secara bergiliran mengolah lahan garapan di hutan. Mereka secara bergiliran membabat rumput, menanam pohon dan menanam pisang. Mereka bekerja bergiliran dua hari di setiap lahan garapan anggota. Selama bekerja, mereka menyimpan uang Rp 1000,- per minggu per orang. Hasil patungan tersebut kemudian digunakan untuk menyewa sawah 0,25 bau di Blok Pari selama delapan pagasan sebesar Rp. 1.000.000,-. Anggota kelompok Bakti mengolah sawah itu secara bersama-sama. Mereka hanya mengambil hasil panen seperti bagian seseorang petani nyeblok (hanya diambil bagian bawon). Sedangkan keperluan konsumsi selama bekerja dibawa dari rumah masingmasing. Hasil panen dijual dan digunakan untuk menyewa tanah bengkok kepala desa satu bau. Dengan cara yang sama sekarang mereka memiliki tanah sewaan sebanyak
144
3,25 bau. Dari keseluruhan lahan sewaan, satu bau belum digarap karena belum memasuki masa tanam yang dijanjikan. Cara Wa Am dapat dianggap nyeblok yang dilakukan di tanah milik sendiri. Namun tidak semua anggota kelompok Bakti dapat bertahan. Dua orang anggota kelompok keluar dari kelompok. Mereka memilih untuk menyewa tanah sendiri dan mengelola terpisah dari kelompok Bakti. Sekarang mereka menyewa dan mengelola dua bau tanah. Wa Am memiliki tanah 0,25 bau, namun sawahnya ini tidak mendapatkan cukup banyak sinar matahari sehingga hasil padi tidak bagus. Satu musim panen paling banyak menghasilkan lima kuintal gabah, bahkan terkadang hanya 3 kuintal gabah kering. Wa Am juga memiliki satu tempat kebon yang ditanami melinjo dan kapundung. Setiap tahunnya mereka menjual melinjo dan kapundung kepada pedagang pengumpul. Wa Am tidak ikut serta dalam PHBM. Ia sudah cukup repot mengolah sawah. Sekarang Wa Am lebih memusatkan perhatian pada sawah sewaan. Lahan garapan Wa Am di hutan Perhutani digarap oleh Amsari, anak pertama Wa Am yang sudah lama tidak pergi merantau. Amsari pula yang mengolah tanah pribadi Wa Am. Di tanah yang sama, Bu Ade, istri anak kedua Wa Am ikut nyeblok. Wa Am menganggap mena nam pisang di hutan lebih menguntungkan dari pada menggarap sawah. Namun Wa Am lebih memilih untuk menggarap sawah karena sawah membutuhkan pengelolaan yang terus menerus. Lahan sawah sewaan yang terus bertambah membutuhkan perhatian Wa Am. Wa Am tidak memaksa anak-anaknya untuk menggarap lahan hutan atau sawah. Wa Am mengakui hasil mengelola sawah tidak banyak, tidak dapat dibandingkan dengan merantau. Wa Am dan teman-temannya hanya mendapatkan Rp 2.000.000, - dari 2,25 bau tanah garapannya selama satu musim tanam atau dua kali dalam setahun. Sedangkan Amsari, anak Wa Am dapat memperoleh Rp. 2.000.000, - jika bekerja tiga bulan di Jakarta.
Menyewa sawah merupakan salah satu cara yang dapat ditempuh oleh rumahtangga yang tidak memiliki sawah dan menginginkan tambahan sawah. Menyewa sawah membutuhkan uang dalam jumlah banyak. Uang Rp. 1.000.000,diperlukan untuk menyewa 0,23 bau sawah selama delapan pagasan . Uang sejumlah itu hanya dapat diperoleh jika rumahtangga menabung. Rumahtangga Wa Am tidak mengalokasikan dana untuk pembangunan rumah, mengurangi biaya pewarisan dengan membagi rumah tinggal dengan anak, dan mengambil hasil sawah hanya sebatas kebutuhan konsumsi. Pengurangan biaya hidup menyebabkan Wa Am dapat mengalokasikan dana dan membangun tabungan untuk menambah luas sawah sewa. Mengalokasikan pendapatan dari sawah untuk menyewa sawah lain membutuhkan sumber pendapatan pendukung untuk memenuhi kebutuhan seharihari. Wa Am menggunakan lahan garapan hutan Perhutani sebagai sumber pendapatan untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga agar dapat menabung untuk
145
menyewa sawah. Ini menunjukkan lahan hutan merupakan sumber nafkah pendukung yang akan ditinggalkan jika tujuan nafkah telah tercapai. Strategi nafkah yang dilakukan rumahtangga Wa Am tidak dilakukan oleh setiap rumahtangga penggarap lahan hutan atau lahan kebun karet. Rumahtangga Pak Suh memilih mengalokasikan pendapatan untuk menyekolahkan anak dan memperbaiki rumah. Bagi rumahtangga Pak Suh penggarapan lahan hutan Perhutani dan lahan kebun karet merupakan sarana produksi yang terus menerus untuk
memenuhi
kebutuhan
rumahtangga.
Bagi
rumahtangga
Wa
Am
penggarapan lahan hutan dan lahan kebun karet merupakan jalan untuk dapat menggarap sawah.
5.1.3
Strategi “Investasi”: Rumahtangga Bi En Salah satu ciri khas strategi nafkah penduduk Desa Padabeunghar adalah
“investasi”. ”Investasi” mengacu pada pembentukan aset yang dapat digunakan untuk sumber nafkah pada masa yang akan datang. Strategi nafkah “investasi” dilakukan terutama jika rumahtangga telah dapat memenuhi kebutuhan konsumsi dengan baik. “Investasi” dilakukan pada dua jenis modal yang dianggap penting bagi nafkah rumahtangga, modal alami dan modal sosial. “Investasi” modal alami dilakukan dengan memelihara hewan ternak yang memiliki nilai jual tinggi seperti kerbau, memiliki sawah atau kebon , membuka lahan garapan di lahan hutan Perhutani, memperbaiki rumah dan membeli fasilitas dalam rumah. “Investasi” modal sosial dilakukan dengan menyekolahkan anak, membangun hubungan baik dengan tetangga, saudara dan orang dari luar komunitas Desa Padabeunghar. Salah satu rumahtangga yang melakukan strategi “investasi” adalah rumahtangga Bi En. Rumahtangga Bi En merupakan rumahtangga dengan dua KK. Rumahtangga Bi En termasuk rumahtangga yang tergolong “mampu”, karena memiliki rumah tembok, dikramik dengan kramik ukuran 30x30, memiliki kerbau, sawah dan kebon serta dapat menyekolahkan anak sampai D1. Bi En memiliki anak perempuan yang menikah dengan pamong desa yang memiliki tiga
146
bau sawah bengkok . Hasil sawah menantu Bi En diberikan kepada Bi En untuk memenuhi kebutuhan makan rumahtangga. Bi En, 42 tahun, dan Pak Dm, 55 tahun, menikah 30 tahun yang lalu. Pernikahan mereka membuahkan dua orang anak perempuan, Ceu Mm, 26 tahun dan Ikah, 20 tahun. Ceu Mm sekarang telah menikah dengan Pak Kd, 38 tahun. Pak Kd telah dua tahun ini menjabat kepala Desa Padabeunghar. Pak Kd memang memiliki keturunan sebagai pemangku jabatan kepala desa. Kakek Pak Kd dulunya juga seorang kepala desa. Pernikahan Ceu Mm dan Pak Kd dikaruniai satu orang anak, Dita yang baru berusia 22 bulan. Ikah, anak kedua Bi En yang berusia 21 tahun sekarang tengah menyelesaikan sekolah di PGTK (Pendidikan Guru Taman Kanak -kanak). Struktur rumahtangga Bi En dapat diamati pada gambar berikut: Pak Dm
Pak Kd
Ceu Mm
Bi En
Ikah
Dita
Bi En setiap hari akan mulai bekerja pukul 5.00. Setelah sholat subuh Bi En akan menyalakan tungku dan memasak nasi. Bi En menyiapkan makan untuk seluruh anggota rumahtangga, menyiapkan makanan untuk pekerja yang mengerjakan sawah milik Bi En dan sawah bengkok Pak Kd, dan mengantarkan makanan ke sawah. Bi En mengatur makanan yang dimakan hari itu, makanan untuk setiap tamu Pak Kd, mengatur pengeluaran dan pemasukan dari Pak Dm dan dari Pak Kd, dan mengatur uang sekolah Ikah. Bi En memasak hasil hutan seperti rebung (tunas bambu). Rebung mudah ditemukan di hutan lindung. Suami Bi En sering membawa rebung sepulang dari menggembalakan kerbau miliknya. Rebung termasuk sering dijadikan menu masakan. Rebung menjadi pilihan karena enak, mudah didapat dan gratis. Di meja makan Bi En menghidangkan sambel, petai, sayur rebung dan telur yang dimasak cabai merah. Petai dipetik Bi En di kebon. Ia jarang menjual petai, kecuali jika petainya berbuah sangat banyak. Biasanya petai dimakan sendiri ata u diberikan pada tetangga dan saudara. Bi En banyak menggunakan bumbu yang dipetik dari kebun atau lahan garapan. Di keranjang bumbu Bi En terdapat cabai rawit, cabai merah, bawang merah, bawang putih, merica dan tomat. Cabai rawit dipetik Bi En dari Kiara, salah satu lahan garapan Pak Kd di PHBM. Tomat dipetik dari halaman rumah. Beberapa waktu yang lalu, sekitar dua bulan yang lalu, Nana fasilitator PHBM dari LSM Kanopi memberikan bibit tomat dan beberapa polibag untuk menanam. Sekarang tomat-tomat itu sudah berbuah dan bisa dipakai untuk bumbu dapur. Cabai merah diperoleh Bi En di warung. Bi En sudah mencoba untuk menanam cabai merah namun hasilnya tidak bagus, buahnya sering busuk dan tidak besar-besar. Bumbu-bumbu lain seperti kunyit, jahe, kunci, lengkuas sudah dianggap rumput yang tumbuh liar di kebon, setiap orang boleh memetik tanpa harus meminta ijin. Beras diperoleh Bi En dari hasil panen. Bi En jarang menjual padi. Beras hasil panen digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Biasanya beras hasil panen dapat memenuhi kebutuhan sehari -hari sampai musim panen berikutnya jika hasil panen
147
kurang bagus dan beras tidak mencukupi kebutuhan, Bi En akan membeli beras atau pinjam pada saudara. Membeli biasanya menjadi alternatif terakhir. Bi En membantu Ceu Mm menjalankan tugas sebagai istri kepala desa. Sebagai rumah kepala desa Bi En harus menyediakan persediaan khusus untuk menjamu tamu yang sedang datang menemui Pak Kd. Lebih sering tamu tersebut cukup disuguhi air putih di gelas belimbing yang diberi alas gel as dari bahan alumunium. Kadang-kadang disuguhi teh tawar atau teh manis. Jika tamu tersebut dianggap istimewa tamu tersebut akan disuguhi kopi susu ABC atau teh manis dalam cangkir porselen. Suguhan yang diberikan adalah kue-kue yang dibeli kiloan, kue-kue basah yang dibeli diwarung, kue yang dibeli Pak Kd, atau makanan kecil buatan sendiri. Bi En jarang membuat makanan sendiri kecuali jika sedang ada pekerja di sawah. Bi En tidak mendapatkan uang untuk membeli semua kebutuhan menjamu tamu dari Pak Kd. Bi En mendapatkan bantuan untuk menjamu tamu dalam bentuk lauk nasi, gula atau makanan kecil dari Pak Kd. Hanya kadang-kadang Ceu Mm memberikan uang untuk membeli lauk makan, membeli detergen atau sabun. Kebutuhan-kebutuhan tersebut lebih sering dipenuhi oleh Bi En. Jika pun membantu menambah lauk makan dalam bentuk makanan jadi atau bahan mentah dan hanya satu macam dan tidak setiap hari. Bagi Bi En tinggal satu rumah dengan Ceu Mm dan Pak Kd bukan beban. Bi En senang dapat mengenal banyak orang melalui tamu-tamu Pak Kd. Bi En juga mendapat keuntungan material seperti bibit tanaman, dana yang diberikan oleh tamu yang meminta untuk diantar atau menginap, informasi dan akses tentang pembelian lahan oleh stasiun televisi. Meskipun Bi En banyak membantu Ceu Mm, Ceu Mm sebenarnya lebih suka untuk ngontrak rumah. Namun di Desa Padabeunghar tidak ada rumah yang dapat dikontrakan. Kalaupun ada, tidak lazim mengontrak rumah sementara ada rumah orang tua. Kalau tetap memaksa mengontrak rumah akan menjadi omongan tetangga. Pak Dm sekolah sampai SMP. Pak Dm sendiri sebenarnya ingin bersekolah namun ia tidak lulus ujian masuk SMA. Kegagalan ini membuat Pak Dm bertekat untuk menyekolahkan adik-adiknya setinggi mungkin. Masa-masa sulit mengelola sawah dan menggembalakan kerbau orang tua untuk biaya sekolah adik dilalui Pak Dm. Sekarang adiknya ada yang bekerja sebagai penyuluh di Lampung, dan guru di Bandung. Satu orang kakak Pak Dm berada di Desa Padabeunghar dan bekerja sebagai petani. Pekerjaan utama Pak Dm, suami Bi En adalah penggembala kerbau atau di Desa Padabeunghar disebut “tukang angon”. Setiap hari Pak Dm pergi menggembalakan kerbau, bahkan di hari raya idul fitri atau idul adha pun Pak Dm akan pergi menggembalakan kerbau seusai sholat dan bersalam-salaman dengan tetangga dan saudara. Jika ada pekerjaan di sawah, Pak Dm akan menyelesaikan pekerjaan di sawah dan segera ke tempat penggembalaan setelah pekerjaan di sawah selesai. Pak Dm memelihara delapan ekor kerbau, tiga ekor milik orang tuanya dan lima ekor miliknya sendiri. Kerbau-kerbau tersebut tidak dikandangi tetapi diikat di alam terbuka. Pak Dm memilih menggembalakan kerbau di alam terbuka karena tidak sanggup untuk mencari pakan kerbau jika kerbau dikandangi. Dari delapan ekor kerbau yang dimiliki Pak Dm hanya satu ekor kerbau yang dapat dikerjakan untuk membajak sawah. Membajak sawah memang menghasilkan banyak uang, namun sulit untuk mengajarkan seekor kerbau sampai mampu membajak sawah. Seekor kerbau dibayar Rp. 30.000, - untuk membajak sawah dari pukul 6 sampai 12 siang. Namun sekarang jarang sawah yang dibajak dengan kerbau. Kebanyakan sawah hanya akan dicangkul dan diinjak-injak dengan kaki (“diicak”). “Diicak” lebih banyak dilakukan untuk menekan biaya produksi penanaman padi. Selain itu, banyak masyarakat yang membajak sawahnya menggunakan tenaga kerbau orang Ciherang, desa sebelah Desa Padabeunghar. Pak Dm tidak tahu sebabnya apa, padahal harga ongkosnya sama. Ia lebih senang mengatakan bahwa semua sudah memiliki “ciri” atau keberuntungan sendiri.
148
Pak Dm dapat mengandalkan penggembala lain jika tidak dapat menggembalakan kerbau. Penggembala kerbau memiliki kesepakatan untuk saling menitipkan kerbau jika ada keperluan atau sakit sehingga tidak dapat pergi menggembala. Diantara penggembala juga biasa sali ng meminjam uang, tanpa perjanjian resmi yang mengikat pinjaman tersebut cukup dilandasi rasa saling percaya. Ceu Mm lebih suka jika Pak Kd segera menyelesaikan tugasnya sebagai kepala desa. Menurutnya bekerja sebagai Kades banyak resikonya. Bagi Ceu Mm, menjadi istri Kades menjadi beban tersendiri. Masalah tamu, kepercayaan masyarakat, kegiatankegiatan di desa dan di kecamatan semuanya menjadi beban buat Ceu Mm. Beban berat menjalankan tugas sebagai ibu kepala desa dan kepala desa untuk suaminya hanya ak an terangkat jika Pak Kd selesai menjalankan tugas sebagai kepala desa. Ceu Mm ingin bekerja untuk membantu penghasilan Pak Kd. Bu Oyoh, kakak Pak Kd yang bekerja sebagai kepala sekolah SD menawari Ceu Mm untuk sekolah PGSD di Rajagaluh. Ceu Mm hanya perlu sekolah tiap hari Sabtu dan Minggu. Namun Pak Kd tidak mengijinkan karena Pak Kd lebih suka jika Ceu Mm tinggal di rumah dan berjualan (membuka warung di rumah). Pak Kd menggarap tanah bengkok sebagai imbalannya menjadi pamong desa. Dari 3 bau bengkok miliknya, ia hanya mengolah 1 bau. Panen kemarin Pak Kd mendapatkan hasil 2 ton 8 kuintal. Selama masa penanaman Pak Kd menggunakan pupuk 6 kuintal untuk dua kali pemupukan. Ia melakukan dua kali pemupukan agar hasilnya bagus. Padi yang biasa ditanam adalah Pandan wangi, Fatmawati dan Ciherang. Padi yang paling banyak ditanam adalah Pandanwangi karena tahan hujan dan kemarau. Pak Kd mengelola lahan hutan Perhutani melalui PHBM. Lahan olahan Pak Kd berada di Blok Kiara. Pak Kd menanam petai, durian, singkong, pisang dan tanaman buah lain. Tujuan utama Pak Kd mengolah lahan PHBM adalah untuk memberi contoh dan semangat penduduk Desa Padabeunghar untuk turut serta dalam program PHBM. Pak Kd juga mengajak seluruh pamong desa untuk ikut mengolah lahan PHBM. Pak Kd telah menyuruh tenaga kuli untuk membabat ilalang, menanam, dan memupuk tanaman dengan upah Rp. 10.000, - per hari. Lahan PHBM Pak Kd sudah menghasilkan uang dari tanaman jangka pendek. Hasil lahan garapan Pak Kd diberikan pada Bi En. Bi En mendapatkan uang hasil penjualan sereh. Sereh di satu tempat lahan garapan dibeli seharga Rp. 50.000, -. Bi En juga memetik cabai dan tomat yang ditanam di lahan garapan Pak Kd di Blok Kiara. Pak Kd memberikan hasil lahan garapannya karena menurutnya lahan garapan tersebut juga ditanami Bi En. Uang hasil penjualan sereh atau pisang disimpan Bi En untuk biaya sekolah Ikah. Ikah pulang setiap minggu dan Ikah akan diberi uang Rp 20.000, - sampai Rp. 30.000,-. Bi En tetap memberikan uang bekal mingguan dan mempersiapkan uang uang sekolah tahunan sebesar Rp. 500.000, - pada Ikah meskipun sekarang Ikah telah bekerja sebagai GBS (Guru Bantu Sementara). Ikah bekerja sebagai GBS sejak bulan Januari 2005. Sebagai GBS Ikah mendapatkan gaji Rp. 460.000, - per bulan. Melalui uang gaji tersebut sekarang Ikah dapat membayar uang SPP pendidikannya sebesar Rp. 60.000,- per bulan. Ikah mampu membeli sebuah ponsel seharga Rp. 750.000,- dan membeli baju. Bi En membelikan baju untuk Ikah hanya jika lebaran dan acara-acara keluarga (misalkan ada pernikahan keluarga yang memerlukan memakai baju baru). Keperluan sekolah Ikah saat ini merupakan kebutuhan uang yang paling mendesak bagi Pak Dm dan Bi En. Namun tidak terlalu menekan karena biaya sekolah Ikah bisa dicicil. Rencana Pak Dm mengumpulkan uang untuk membeli kebon antara penggembala kerbau tidak terlaksana karena kebutuhan menyekolahkan anak dianggap lebuh mendesak.
149
Ceu Mm mengakui bahwa ia tidak pernah bekerja di sawah. Ceu Mm hanya bertugas untuk belajar dan pergi ke sekolah selama masa sekolah. Pekerjaan yang biasa Ceu Mm lakukan adalah menanak nasi, memasak makanan, menyapu rumah dan halaman, mencuci piring dan mencuci baju. Khusus untuk menanak nasi dan memasak hanya dilakukan oleh Ceu Mm jika Bi En pergi ke sawah atau hutan atau pergi ke luar desa. Memasak lauk makan hanya dilakukan Ceu Mm jika ada pesanan khusus dari Bi En. Setelah menikah dengan Pak Kd Ceu Mm hanya membersihkan rumah, mencuci piring dan mencuci pakaian serta mengasuh anak. Bahkan terkadang Bi En mengerjakan pekerjaan mencuci piring dan mencuci sendiri pakaian milik Bi En dan Pak Dm. Selepas SMA Ceu Mm bekerja di Bandung sebagai karyawan pabrik garment. Ceu Mm pulang ke Desa Padabeunghar sebulan sebelum menikah dengan Pak Kd. Selama di Bandung Ceu Mm tinggal di kamar kontrakan. Selama bekerja di bandung Ceu Mm tidak pernah secara khusus menyiapkan uang untuk dikirimkan pada Bi En. Ceu Mm merasa tidak pernah jajan dan jarang membeli baju namun uang gajinya selalu habis. Ceu Mm akan membawa oleh-oleh untuk Ikah jika uang gajinya masih ada sisa. Ceu Mm pernah membelikan Ikah baju, tas dan sepatu. Kebutuhan uang dalam jumlah besar dan serentak dirasakan Pak Dm dan Bi En ketika menikahkan Ceu Mm. Dana menikahkan anak sekitar Rp. 8.000.000,- itu diperoleh dari dana simpanan, uang dari calon suami Ceu Mm dan meminjam dari adik Pak Dm yang tinggal di Bandung dan saudara Bi En. Meminjam uang pada saudara jauh hanya dilakukan Bi En untuk kebutuhan uang yang cukup besar. Kekurangan uang dalam jumlah yang kecil biasa dipinjam dari saudara bapak atau ibu di Desa Padabeunghar. Pada bulan-bulan di mana banyak orang hajatan, Pak Dm seringkali harus meminjam uang untuk kondangan. Meminjam uang dilakukan jika Pak Dm harus kondangan pada lebih dari satu orang sehari. Jumlah pinjaman tidak besar, cukup untuk kebutuhan kondangan saat itu. Terkadang Pak Dm meminjam uang pada pedagang pengumpul pisang atau beras. Pinjaman tersebut dibayar dengan pisang atau beras.
“Investasi” dilakukan dalam aktivitas nafkah sehari-hari. Rumahtangga melakukan strategi konsumsi yang berbasis hasil pertanian sehingga dapat menekan biaya konsumsi. Penekanan biaya konsumsi dilakukan untuk menyiapkan dana untuk biaya sekolah anak, hubungan sosial dan pemeliharaan aset yang membutuhkan perawatan dan tidak mendatangkan pendapatan setiap saat seperti hewan ternak. “Investasi” dilakukan dengan pola dan tujuan yang berbeda diantara anggota rumahtangga. Bi En mengalokasikan waktu kerja dan sumberdaya untuk membina hubungan baik di dalam rumah antara KK orang tua dan KK anak, membangun hubungan baik dengan saudara dan tetangga dan menjalin hubungan dengan orang-orang dari luar komunitas Desa Padabeunghar. Pak Dm mengalokasikan waktu kerja dan sumberdaya untuk memelihara kerbau sebagai tabungan rumahtangga. Ceu Mm berusaha agar tetap memiliki keluarga untuk
150
menjaga status sebagai istri dan anak. Pak Kd membangun modal yang dapat digunakan untuk membangun rumahtangga sendiri. “Investasi” dalam bentuk pengelolaan modal alami pun dilakukan dalam pola yang berbeda antara Bi En dan Pak Kd. Bi En melakukan strategi investasi dengan membangun modal alami milik pribadi melalui pewarisan yang diperoleh dari ikatan sosial persaudaraan. Pak Kd melakukan strategi investasi dengan membangun modal alami bukan milik sendiri dari lahan hutan Perhutani, lahan kebun karet dan sawah bengkok serta intensifikasi penggarapan lahan dengan menggunakan bibit dan pemupukan. Bagi Bi En investasi modal alami dilakukan untuk menjaga keterpenuhan kebutuhan konsumsi dan cadangan untuk saat sulit, sedangkan untuk Pak Kd investasi dilakukan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan membangun sumber pendapatan yang terus menerus di masa depan. Perbedaan investasi antara Pak Kd dan Bi En menunjukkan perbedaan preferensi antara anggota rumahtangga usia anak da n usia orang tua terhadap modal alami. Bagi anggota rumahtangga usia orang tua, modal alami merupakan sumber pendapatan barang dan uang untuk menjaga keamanan pangan sedangkan bagi usia anak modal alami merupakan sumber pendapatan barang untuk konsumsi dan membangun aset untuk menunjang pembangunan rumahtangga sendiri. Bentuk
“investasi”
yang
penting
dalam
rumahtangga
di
Desa
Padabeunghar adalah anak. “Investasi” dalam bentuk anak dilakukan untuk (1) mendapat rasa aman dan kepastian kehidupan di hari tua dan (2) mendapat rasa bangga akan keberhasilan anak dalam pekerjaan, sekolah dan pernikahan. Rasa aman ditunjukkan dengan harapan Bi En dan Pak Dm bahwa Ceu Mm dan Ikah akan mengurus kehidupan mereka setelah mereka tidak sanggup bekerja di sawah. Rasa bangga yang juga berhubungan dengan status sosial di masyarakat terpenuhi terutama jika anak bekerja sebagai pegawai negeri. “Investasi” melalui pendidikan anak tidak dilakukan untuk mendapatkan pendapatan uang atau barang. Bi En dan Pak Dm tidak mengharapkan kiriman uang atau barang dari Ceu Mm dan Ikah yang ditunjukkan dengan tidak adanya tuntutan untuk memberikan kiriman uang atau bantuan biaya sekolah setelah Ceu Mm dan Ikah bekerja. Bi En dan Pak Dm cukup merasa senang jika Ceu Mm dan Ikah dapat memenuhi kebutuhan hidup
151
mereka sendiri “melihat anak hidup enak pun sudah terasa enak”, begitu ungkapan Bi En. Investasi modal sosial disebut sebagai investasi karena hubungan baik merupakan sumber pendapatan sosial, barang dan uang yang terus -menerus bagi rumahtangga. Bi En membangun hubungan baik dalam kehidupan sehari-hari seperti dalam peranannya sebagai “tuan rumah kepala desa”, tetangga dan saudara. Membangun maupun menggunakan modal sosial merupakan aktivitas nafkah yang dianggap sebagai suatu kebiasaan dan keharusan. Perempuan anggota rumahtangga melakukan peranan sebagai pembangun modal sosial. “Investasi” bagi perempuan lebih banyak untuk keamanan sosial, misalnya Ceu Mm yang lebih suka jika Pak Kd tidak jadi kepala desa atau kepatuhannya untuk tidak mengikuti sekolah PGSD yang sangat diinginkannya karena tidak disukai Pak Kd. Laki-laki anggota rumahtangga berperan sebagai pembangun aset untuk mendapatkan kesejahteraan material, misalnya, Pak Dm memelihara kerbau yang menjadi “investasi” terbesar rumahtangga Bi En dan Pak Kd mendapatkan lahan bengkok, mengupayakan legalisasi lahan hutan Perhutani dan lahan kebun karet. Strategi nafkah “investasi” seperti yang dilakukan rumahtangga Bi En merupakan pola umum investasi yang dilakukan rumahtangga penduduk Desa Padabeunghar. Hubungan baik dan modal alami berupa pembukaan lahan garapan, tanah milik atau hewan ternak merupakan pilihan untuk menjaga keamanan ekonomi rumahtangga di masa yang akan datang yang diartikan sebagai keterjaminan pangan dan perumahan dan pemeliharaan status sosial dalam masyarakat.
6.1.4
Strategi “Integrasi”: Rumahtangga Bu Et Mempertahankan diri untuk dapat tetap hidup bersama dalam komunitas
Desa Padabeunghar merupakan salah satu strategi nafkah yang dilakukan penduduk Desa Padabeunghar. Komunitas memberikan dukungan melalui ikatanikatan sosial dan kelembagaan sosial yang tidak diperoleh jika rumahtangga tidak termasuk anggota komunitas Desa Padabeunghar. Inti dari strategi nafkah
152
integrasi adalah “keeping together” usaha untuk tetap bersama-sama dalam komunitas. Modal sosial merupakan alasan utama rumahtangga melakukan strategi “integrasi”. Keuntungan berupa barang atau uang yang diberikan oleh modal sosial di Desa Padabeunghar tidak selalu lebih banyak dari pada keuntungan yang dapat diperoleh di daerah lain. Ikatan persaudaraan mengikat warga Desa Padabeunghar untuk tetap menjadi anggota komunitas melebihi perhitungan keuntungan ekonomi berdasarkan pendapatan barang atau uang. Rumahtangga Bu Et merupakan salah satu rumahtangga yang menggunakan strategi “integrasi”. Bu Et, 35 tahun, menikah dengan Pak Kp dan memiliki dua orang anak, Lilis, 17 tahun, dan RS, 8 tahun. Struktur rumah tangga Bu Et dapat diamati pada gambar berikut:
PP
LS
BET
RS
Bu Et ditingg alkan ibu sejak masih sekolah SD . Setamat SD Bu Et mengikuti kakak tirinya ke Jakarta. A yah Bu Et menikah dua kali, dari istri pertama mendapatkan dua orang anak dan dari ibu Bu Et mendapatkan tujuh orang anak. Kakak tiri Bu Et menikah dengan orang Desa Padabeunghar yang bekerja sebagai penjual roti keliling di Jakarta. Kakak tiri Bu Et sudah memiliki rumah di Jakarta yang diwariskan oleh istri pertama suaminya. Bu Et bekerja di pabrik kerupuk di Jakarta. Bu Et bertahan beberapa bulan bekerja di pabrik kerupuk. Kemudian, Bu Et bekerja sebagai pembantu di warung nasi. Gaji Bu Et di warung nasi Rp. 20.000, - pada tahun 1986. Bu Et bertemu dengan Pak Kp tahun 1987. Suami Bu Et adalah orang Lampung yang merantau ke Jakarta dan bekerja sebagai tukang servis radio dan televisi. Bu Et diajak ke Lampung setelah menikah. Bu Et merasa sangat tidak betah di Lampung. Hidup Bu Et di Lampung sebenarnya enak. Pak Kp memiliki kebun kopi seluas 1 Ha dan membuka bengkel servis radio dan TV di rumah. Pak Kp membuka warung di rumah untuk Bu Et agar Bu Et betah di Lampung. Warung tersebut menjual makanan ringan, mie rebus dan bakso. Bu Et hanya bertahan di Lampung sampai tahun 1992. Bu Et memaksa untuk pulang ke Desa Padabeunghar. Bahkan, Bu Et tidak peduli dengan rumah dan perabotan yang mereka miliki di Lampung. Keluarga suami Bu Et mengurus penjualan rumah dan perabotan dan mengirimkan uang hasil penjualan pada Bu Et. Hasil penjualan rumah itu digunakan untuk membangun rumah di Desa Padabeunghar di atas tanah warisan dari ayah Bu Et. Bu Et tidak memiliki sawah. Pak Kp bekerja sebagai Kepala Urusan Pemerintahan Desa Padabeunghar, sehingga mendapatkan sawah bengkok. Sawah bengkok pak Kp disewakan kepada orang lain. Sawah tersebut disewakan karena Pak Kp tidak dapat mencurahkan waktunya 100 % untuk bertani sedangkan bertani (“nyawah”) harus dikerjakan dengan sepenuh waktu. Sawah disewakan selama dua tahun atau enam
153
pagasan, satu pagasan Rp. 250.000, - sehingga uang yang diperoleh Bu Et adalah Rp 1.500.000, -. Uang ter sebut telah habis digunakan untuk biaya sekolah Lilis dan belanja kebutuhan warung Bu Et juga tidak memiliki kebon. Suami Bu Et menggarap lahan di Kiara dengan alasan “tamba nganggur” -----dari pada menganggur. Tanaman di Kiara baru menghasilkan empat tandan pisang. Pohon buah-buahan seperti durian, melinjo baru mulai ditanam. Karena tidak memiliki sawah, kebutuhan beras, sayur, dan bumbu-bumbu seharihari dipenuhi dengan membeli. Terkadang ada juga tetangga yang mengirim sayuran dari sawah, namun itu tidak dapat diandalkan karena tidak tetap atau tidak dapat ditentukan jumlah dan jenis makanan yang akan diterima. Bu Et membuka warung untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Warung yang berukuran 3x5 m tersebut menyediakan buah-buahan, minuman ringan, kopi, mak anan ringan dan mie rebus. Barang-barang yang dijual di warungnya dibeli dari warung di Pasawahan. Belanja biasa dilakukan suami Bu Et dengan menggunakan motor. Belanja dengan menggunakan motor dapat menekan biaya ongkos. Bu Et mengaku berjualan untuk mengisi waktu dan menambah penghasilan rumahtangga. Pendapatan dari berjualan tidak besar. Jika hari ramai atau sedang ada yang berkemah, hari sabtu dan minggu atau hari libur, ia bisa mendapatkan uang sampai Rp. 100.000,-, namun jika hari-hari biasa ia hanya mendapat Rp. 20.000, - sehari. Uang dari hasil berjualan merupakan pendapatan yang ada setiap hari di rumah Bu Et. Warungnya Bu Et sudah empat kali kecurian. Warung tersebut baru dibuka tahun 2004 awal. pencurian pertama kali terjadi sehari setelah lebaran haji tahun 2005. Bu Et kebetulan baru belanja kebutuhan warung yang habis sebesar Rp. 700.000,-. Semua isi warung habis diangkut oleh pencuri. Setelah itu setiap pulang ke rumah Bu Et mengambil semua barang dagangannya. Pencurian berikutnya Bu Et kehilangan dua kerat minuman ringan, tipe kecil dan modem serta terakhir beberapa dus makanan ringan. Setiap hari sebelum pergi ke warung Bu Et harus memasak dan membersihkan rumah. Anak pertama, Lilis, 17 tahun, perempuan, kelas 3 SMEA, tidak dapat diandalkan untuk menyelesaikan pekerjaan rumahtangga. Menurut Bu Et pendapat orang bayak bahwa memiliki anak terbesar perempuan itu enak, tidak benar. Lilis tidak dapat diandalkan untuk membantu pekerjaan rumahtangga. Berbeda dengan Bu Et, sewaktu kecil Bu Et terbiasa menyelesaikan pekerjaan rumahtangga. Ibu Bu Et meninggal setelah melahirkan anak ke-7, sedangkan Bu Et sebagai anak ke-5 harus mampu membantu ayahnya membereskan rumah dan mengasuh adik -adik. Pekerjaan rumahtangga tidak hanya dikerjakan di rumah sendiri, Bu Et sering membantu uak (kakak dari bapak Bu Et) sekedar agar tidak malu untuk main atau menumpang makan. Selain tidak dapat diandalkan untuk pekerjaan rumahtangga, Lilis juga membutuhkan banyak uang untuk menyelesaikan sekolah. Melanjutkan sekolah merupakan keinginan Lilis. Keinginan tersebut didukung oleh Bu Et dan suami. Namun, Bu Et merasa beban biaya sekolah anaknya sangat besar. Bu Et harus mengeluarkan uang ongkos Rp 6.000,- setiap hari ditambah uang buku dan SPP sebesar Rp. 33.000,per bulan. Uang buku dirasa sangat menekan keuangan rumah tangga. Minggu kemarin Bu Et baru mengeluarkan uang Rp. 125.000,- untuk membeli buku pelajaran. Bahkan setiap kenaikan kelas tidak kurang dari Rp. 300.000,- dibutuhkan Bu Et untuk memenuhi kebutuhan buku Lilis. Selain kebutuhan buku, Lilis juga sering meminta uang untuk membeli bedak atau handbody lotion. Untuk kebutuhan ini Lilis akan meminta pada bapaknya nbukan pada Bu Et. Bu Et menyisihkan sisa uang belanja setiap hari untuk memenuhi kebutuhan sekolah Lilis. Misalnya, jika Bu Et mendapatkan uang Rp. 20.000, - , belanja kebutuhan warung Rp.10.000,-, kebutuhan sekolah anak dan makan Rp. 8000,- Bu Et akan menyimpan Rp. 2000, - . Simpanan Bu Et akan menjadi lebih besar jika bapak berbelanja
154
kebutuhan warung tanpa mem inta uang belanja dari Bu Et. Tabungan tersebut hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sekolah Lilis dan RS. Bu Et tidak memiliki tabungan untuk sekolah anak kedua. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan sekolah atau kebutuhan hidup Bu Et sering meminjam pada sauda ra. Jumlah pinjaman tidak besar, kadang hanya Rp. 5.000, - dan segera dikembalikan begitu ada uang. Bagi Bu Et mengembalikan pinjaman itu penting, jika tidak ia akan sulit menemukan sumber pijaman lagi. Bu Et tidak mengikuti arisan beras, minyak atau semen karena takut tidak mampu membayar. Rencananya Bu Et akan mengikuti arisan beras dan minyak jika anak pertamanya sudah lulus sekolah, mungkin nanti pengeluaran rumahtangga sudah berkurang dan sekaligus untuk mempersiapkan pernikahan Lilis. Bu Et hanya mengikuti arisan uang sebesar Rp. 10.000, - per orang. Arisan tersebut dilaksanakan di Blok Cidulang, tempat tinggal Bu Et. Arisan dilaksanakan setiap minggu sekali. Penarikan dilakukan di rumah penduduk, hanya kocokan tanpa acara makan-makan. Bu Et selalu menyempatkan untuk ikut menegok tetangga yang sakit, babantu di yang hajatan atau membuat rumah. Babantu atau ngobeng bisa dilakukan oleh Pak Kp, namun jika Pak Kp sedang ada keperluan di balai desa, Bu Et akan memberikan uang Rp 10.000,- atau Rp. 15.000, - atau rokok Djarum Coklat tiga bungkus pada orang yang sedang membangun rumah. Babantu atau ngobeng penting dilakukan karena Bu Et merasa malu jika tidak datang dan Bu Et merasakan manfaat babantu atau ngobeng pada saat Bu Et memperbaiki rumah, Bu Et hanya perlu mempersiapkan batu bata, genteng, semen dan ongkos untuk tukang selebihnya dikerjakan oleh yang babantu.
Strategi “integrasi” menunjukkan peranan komunitas dalam nafkah rumahtangga. Pada satu titik kesejahteraan materi dikorbankan agar dapat bersama -sama dalam komunitas. Ini pula yang menjelaskan banyaknya pengeluaran rumahtangga untuk kepentingan membangun ikatan sosial meskipun mengurangi
alokasi
pendapatan
rumahtangga
untuk
“investasi”
dengan
mengembangkan usaha pertanian, baik “investasi” dalam bentuk tenaga maupun “investasi” dalam bentuk dana (uang). Rumahtangga di Desa Padabeunghar menghabiskan banyak alokasi tenaga kerja dan dana untuk membangun ikatan sosial. “Integrasi” mengorbankan peluang kehidupan yang lebih baik di luar Desa Padabeunghar. Kehidupan di Desa Padabeunghar tidak selalu lebih baik. Misalnya, Bu Et memilih meninggalkan kehidupan di lampung yang telah mapan untuk dapat tinggal di Desa Padabeunghar. Di Lampung, Bu Et memiliki warung yang lebih besar dan lengkap, memiliki bengkel reparasi radio dan TV, kebun kopi milik sendiri dan saudara-saudara Pak Kp yang mengelola kebun kopi. Di Desa Padabeunghar, Bu Et membuka warung kecil yang dalam satu tahun telah empat kali dimasuki pencuri, tidak memiliki sawah atau kebon milik sendiri, tidak dapat membuka bengkel karena tidak banyak pelanggan dan sulit menentukan harga serta saudara yang hanya dapat diandalkan untuk pinjaman-pinjaman kecil.
155
Bu Et juga bukan penduduk Desa Padabeunghar yang secara aktif melestarikan kelembagaan sosial yang ada di Desa Padabeunghar. Bu Et berdagang di warung dari pagi hingga sore setiap hari. Bu Et menghabiskan waktu di rumah sebelum pergi ke warung dengan membersihkan rumah dan memasak. Bu Et tidak mengikuti arisan beras, perabotan, pengajian, hadir dalam babantu atau ngobeng . Bu Et mewakilkan kehadiran babantu pada Pak Kp atau pada uang dan rokok. Bu Et memilih untuk tetap tinggal di Desa Padabeunghar dan peluang memperoleh pendapatan yang lebih banyak di desa lain karena Desa Padabeunghar merupakan tempat kelahiran Bu Et dan tempat saudara -saudara Bu Et tinggal. Keinginan untuk menjadi anggota komunitas dan bersama-sama dengan komunitas lain merupakan tujuan utama strategi nafkah rumahtangga Bu Et.
6.1.5
Strategi “Asuransi”: Rumahtangga Ma Um Strategi “a suransi” dilakukan oleh rumahtangga karena tidak ada jaminan
akan kehidupan dari pemerintah atau negara di saat tidak mampu lagi melakukan aktivitas nafkah. Jaminan keterpenuhan kebutuhan pada usia kakek diperoleh dengan membangun mekanisme-mekanisme yang dianggap akan memberi keamanan pada saat tidak mampu melakukan aktivitas nafkah penggunaan modal alami maupun peluang pekerjaan. “Asuransi” dilakukan dengan membangun dan menggunakan modal yang dipilih dapat menjamin kehidupan di masa tua. “Asuransi” utama dilakukan penduduk Desa Padabeunghar adalah “asuransi” dalam bentuk anak. Anak merupakan satu-satunya orang yang dapat diharapkan pada saat orang tua tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup sendiri. “Asuransi” juga diperoleh dengan memiliki pendapatan tanpa melakukan aktivitas nafkah atau sejenis uang pensiun. Penduduk Desa Padabeunghar yang tidak bekerja sebagai pegawai negeri sipil dapat memperoleh uang pensiun dengan cara menjadi anggota veteran. Strategi nafkah “asuransi” dapat diamati pada strategi nafkah Ma Um.
Ma Um, 68 tahun, adalah seorang janda dari pamong desa, atau dikenal dengan nama Pak Ekbang. Pak Ekbang telah meninggal delapan tahun yang lalu. Ma Um tinggal bersama YN, laki-laki berusia 28 tahun. YN merupakan anak dari adik Ma Um yang diasuh oleh Ma Um sejak kelas 3 SD. YN diasuh oleh Ma Um bersama kakaknya, Ceu
156
Acih. Ceu Acih lebih tua satu tahun dari pada YN, namun mereka sekelas di SD. YN dan Ceu Acih diasuh oleh Ma Um karena orang tua YN kesulitan mengurus sembilan orang anak. Selain itu, Ma Um yang tidak dianugerahi anak mengharapkan YN dan Ceu Acih dapat menemani Ma Um. Ceu Acih telah menikah dan tinggal terpisah dari Ma Um. Ma Um memiliki satu orang anak tiri dari pernikahannya dengan almarhum Pak Ekbang. Hubungan Ma Um dengan anak tiri Ma Um tidak baik. Anak tiri Ma Um lebih menurut pada istrinya dari pada mengurus Ma Um. Ma Um tidak merasa dapat mengandalkan anak tirinya untuk membantu pekerjaan atau mengurus jika Ma Um sudah tidak mampu bekerja. Ma Um mengharapkan YN dan Ceu Acih dapat mengurus Ma Um saat Ma Um sakit atau jompo. Struktur rumahtangga Ma Um dapat diamati pada gambar berikut: Ma Um
YN Ma Um dikenal sebagai perempuan yang “rajin” 102. Di usianya yang sudah senja Ma Um masih menggarap lahan sendiri. Setiap hari Ma Um akan pergi ke lahan garapan di hutan Perhutani atau di kebun karet. Sekarang Ma Um sedang menggarap sebidang lahan di tanah hutan Perhutani. Tanah tersebut telah dicangkuli oleh buruh yang ia bayar Rp. 10.000, - per hari selama tiga hari. Ma Um menanam kacang hijau, kacang merah, dan jagung. Tanah tersebut pada awalnya merupakan tanah garapan orang lain yang telah lama di-bera-kan. Ma Um juga menggarap lahan kebun karet yang terletak bersebelahan dengan lahan garapan hutan Perhutani. Tanah garapan Ma Um di lahan kebun karet lebih luas dari pada lahan garapan Ma Um di lahan hutan Perhutani. Ma Um menanam ubi jalar, pisang dan jagung di lahan kebun karet. Ma Um memiliki 1,25 bau sawah warisan dari suaminya yang dibagi dua dengan anak tirinya. Sawah yang terletak di Blok Pari tersebut tidak digarap sendiri tetapi disewakan pada orang lain karena jarak sawah dengan rumah Ma Um jauh. Ma Um sudah tidak kuat berjalan jauh ke Blok Pari 103. Ma Um juga memiliki satu tempat kebon. Ma Um mengaku tidak mem iliki tanah olahan di lahan perhutani atau mengikuti PHBM. Lahan yang sekarang ia tanami tidak dianggapnya lahan dari PHBM. Pak Ekbang almarhum merupakan anggota veteran yang menerima uang veteran Rp. 480.000,- setiap bulan. Setelah meninggal uang veteran tersebut diwariskan pada Ma Um, sekarang Ma Um menerima Rp. 380.000,- setiap bulan. Untuk mendapatkan uang veteran itu, Ma Um harus membayar uang Rp. 600.000, -. Uang tersebut tidak diberikan sekaligus, bertahap setiap kali orang yang akan mengurus uang veteran akan pergi mengurus. Ma Um mendapatkan uang Rp. 600.000, - tersebut sebagian dari menjual sawah dan sebagian dari uang tabungan. Kebutuhan makanan sehari-hari Ma Um dipenuhi oleh hasil lahan garapan. Di dapur Ma Um selalu tersedia pisang, ubi jalar atau singkong. Ma Um juga rajin membuat makanan dari singkong. Ma Um selalu mempunyai persediaan kiripik, gendar atau kilitik jika musim panen jagung. Pisang, ubi, dan singkong rebus juga dijadikan suguhan untuk menjamu tamu.
102
Perempuan yang rutin pergi dan bekerja di sawah atau lahan garapan dianggap sebagai perempuan rajin, ini menggambarkan tidak banyak perempuan yang mau pergi atau bekerja di sawah 103 Berdasarkan perkiraan Pak Suh, seorang petani yang juga memiliki sawah di Blok Pari, jarak dari Blok Pari ke rumah Ma Umi sekitar 9 km.
157
Ma Um tidak dapat setiap hari pergi ke lahan garapannya. Ma Um tidak pergi ke lahan garapannya jika dirasa punggungnya sakit. Ma Um juga mengidap sakit mata yang sudah menahun. Ma Um pernah berobat ke Rajagaluh, ke seorang dokter yang juga bisa mengobati dengan doa, namun sampai sekarang sakit matanya masih sering terasa. Jika Ma Um sakit dan YN ada di rumah, YN akan pergi ke lahan garapan menggantikan Ma Um.YN pula yang menggantikan Ma Um untuk babantu atau ngobeng. YN sedang ada di rumah Ma Um setelah satu bulan ada di Jakarta. Biasanya YN pergi sekitar 1-3 bulan dan baru pulang setelah terkumpul cukup banyak uang atau setelah ia merasa sangat lelah dan rindu ingin pulang ke rumah. Di Jakarta YN bekerja sebagai buruh bangunan. Sehari ia biasa di bayar Rp. 35.000-40.000 dan dipotong uang makan Rp. 25.000,- oleh mandor. Potongan tersebut akan bertambah jika pekerja memerlukan ongkos untuk mencapai tempat pekerjaan. Ongkos akan dipotong dari gaji jika jarak mess dengan tempat pekerjaan cukup jauh dan memerlukan ongkos besar, jika tidak, maka biasanya ongkos ditanggung oleh mandor. YN memperoleh penghasilan bersih Rp. 1.700.000, - jika bekerja di Jakarta dan Rp. 2. 300.000,- jika ia bekerja di luar Jawa. Dari pendapatan bersihnya ini, YN akan memberikan uang tersebut pada Ma Um, keluarganya di Bogor dan untuknya sendiri. Ia biasa memberikan uang ±Rp 150.000, - pada Ma Um dan Rp. 150.000, - pada orang tua di Bogor. YN juga akan memberikan uang pada keponakan-keponakannya di Bogor. Untuk keponakan yang sudah besar (SMP atau SMA) YN memberikan Rp. 20.000,- dan untuk keponakan yang masih kecil (SD atau belum sekolah), YN akan memberikan Rp. 10.000,-. YN biasa menggunakan hasil kerjanya sendiri untuk membeli pakaian, membeli tape recorder, dan bermain dengan teman-temannya pada saat ia pulang ke Desa Padabeunghar. Ma Um akan tinggal sendiri jika YN bekerja di Jakarta. Ma Um tidak merasa takut atau khawatir tinggal sendirian, tetapi Ma Um lebih senang jika ada YN, rumah terasa ramai karena teman-teman YN sering berkumpul di rumah Ma Um. Jika Ma Um sakit, Ceu Acih akan datang membantu membereskan rumah, memasak atau mengirim makanan.YN dan Ceu Acih merupakan orang yang dapat diandalkan Ma Um saat sakit atau saat membutuhkan pertolongan. Ma Um mempersiapkan rumah dan tanah yang sekarang ia tempati agar dapat diwariskan kepada YN. Tanah dan rumah dapat menjadi milik YN jika YN memiliki Rp. 1.000.000, - untuk menebus tanah dan rumah pada saudara-saudara Ma Um yang lain. Namun, YN tidak memiliki uang sebanyak Rp. 1.000.000,-. YN tidak memiliki tabungan, uang hasil merantau habis digunakan untuk biaya hidup di Jakarta, membeli baju dan bermain dengan teman-teman YN di Desa Padabeunghar.
Pada saat seorang penggarap telah memasuki usia kakek, ia akan mempersiapkan dirinya memasuki kehidupan di mana ia tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri. Penggarap yang tidak memiliki lahan milik ia akan mempersiapkan lahan garapan yang dapat digarap dan dipetik sendiri atau oleh anak, mempersiapkan anak melalui sistem pewarisan dan sumber pendapatan lain yang mungkin didapatkan seperti uang veteran. Penggarapan lahan merupakan salah satu aktivitas nafkah yang dapat dilakukan di hari tua, di saat tidak ada lagi sumber nafkah yang dapat diakses rumahtangga. Pada usia kakek, anggota rumahtangga tidak dapat pergi merantau karena fisik yang tidak memungkinkan dan nilai “malu orang tua merantau”.
158
Pekerjaan di dalam desa seperti pamong desa, tukang, pegawai negeri, sopir angkutan dan dukun bayi memiliki batas usia pekerja dan tidak dapat diakses setiap orang. Ma Um seorang wanita berusia 68 tahun yang tidak memiliki anak mengangkat dua orang anak sebagai anak angkat. Kedua anak tersebut, YN dan Ceu Acih, mengurus Ma Um pada saat sakit, mengerjakan pekerjaan yang tidak dapat dilakukan Ma Um, memberikan kiriman uang dan makanan serta menemani Ma Um di masa tuanya sekarang. YN dan Ceu Acih adalah orang yang paling diharapkan oleh Ma Um dibandingkan dengan saudara Ma Um yang lain. Anak menjadi “asuransi” yang dapat diharapkan untuk mengurus kehidupan Ma Um di saat tua. “Asuransi” dalam bentuk anak dimantapkan dalam sistem pewarisan. Memebantu pembangunan rumah anak dalam bentuk pemberian tanah pekarangan atau bahan bangunan merupakan keharusan bagi orang tua yang mampu. Sistem pewarisan dirancang agar anak dekat dengan tempat tinggal orang tua atau tinggal di rumah orang tua. Ma Um berusaha agar rumah milik Ma Um dapat diwariskan kepada YN. Pemberian rumah kepada YN membuat YN tinggal bersama dengan Ma Um dan mengurus Ma Um meskipun telah menikah.
6.2
Strategi Nafkah Basis Bukan Modal Alami Pembedaan strategi nafkah menjadi strategi nafkah basis modal alami dan
strategi nafkah basis bukan modal alami dilakukan untuk melihat peranan modal alami termasuk sumberdaya hutan dalam strategi nafkah penduduk Desa Padabeunghar. Desakan keterbatasan lahan milik pribadi terjadi dalam dua pola yaitu desakan pada lahan di luar lahan milik seperti lahan hutan Perhutani dan lahan kebun karet, dan desakan pada pekerjaan di luar penggunaan modal alami. Jika dalam strategi nafkah basis modal alami dapat diamati pola -pola penggunaan modal alami dalam rumahtangga, maka dalam strategi nafkah basis bukan penggunaan modal alami dapat diamati sebab-sebab rumahtangga dapat terlepas dari ketergantungan terhadap modal alami termasuk sumberdaya hutan. Strategi nafkah basis penggunaan bukan modal alami dapat diamati pada strategi nafkah tiga rumahtangga kasus, rumahtangga Pak Sud, rumahtangga Pak
159
Bd, dan rumahtangga Bu Ut. Rumahtangga Pak Sud merupakan rumahtangga yang menggunakan strategi nafkah basis remittance, pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan sebagai pekerja bangunan di perantauan. Rumahtangga Pak Bd merupakan rumahtangga yang menggunakan strategi nafkah basis pekerjaan dalam desa, rumahtangga menggunakan peluang kerja di dalam desasebagai sumber nafkah utama. Rumahtangga Bu Ut juga merupakan rumahtangga yang menggunakan pekerjaan dalam desa sebagai sumber nafkah utama, namun jika rumahtangga Pak Bd memilih strategi nafkah basis peluang pekerjaan yang dapat diperoleh, Bu Ut memilih strategi nafkah basis ikatan-ikatan sosial dalam masyarakat. Ketiga rumahtangga kasus memberi sumbangan pada pola-pola nafkah penduduk Desa Padabeunghar yang tidak menggunakan modal alami.
6.2.1
Strategi Nafkah Basis Remittance: Rumahtangga Pak Sud Remittance atau uang kiriman dari perantauan merupakan salah satu
pilihan sumber nafkah bagi rumahtangga penduduk Desa Padabeunghar. Pada rumahtangga Pak Suh dan Ma Um merantau dilakukan oleh anggota rumahtangga usia anak dan didukung oleh anggota rumahtangga usia orang tua untuk penyediaan konsumsi. Rumahtangga Pak Sud, merupakan rumahtangga yang menggunakan remittance sebagai sumber nafkah utama rumahtangga. Pak Sud dan istri merupakan tenaga kerja yang termasuk kelompok usia anak dan telah memiliki rumah tinggal sendiri. Strategi nafkah rumahtangga Pak Suh dapat diamati berikut:
Pak Sud adalah seorang penyalur tenaga kerja (supplier) yang bekerja di PT.PP, di Jakarta. Pak Sud bertugas menyediakan tenaga kerja dan menjadi pelaksana pekerjaan terutama bagian finishing atau pekerjaan interior menurut Pak Sud di lapangan. Pak Sud menikah dengan Bu Ac, 33 thn, dan dikaruniai dua orang anak Mira, 12, dan Alan, 3 tahun. Pak Sud tidak memiliki pekerjaan lain di Desa Padabeunghar. Ia tidak memiliki sawah atau kebon. Struktur rumah tangga Pak Sud dapat diamati pada gambar berikut: Pak Sud
Mira
Bu Ac
Alan
160
Pak Sud sudah bekerja di PT. PP sejak tahun 1995. Sejak tahun 1989 Pak Sud bekerja sebagai knek karena diajak teman kemudian beranjak menjadi tukang. Pak Sud bekerja di tempat yang ia tidak tahu nama PT-nya, pak Sud hanya tahu teman di Desa Padabeunghar yang mengajak pergi ke kota. Pekerjaan sebagai supplier tenaga kerja berawal dari perkenalannya dengan bos PT. PP pernah menjadi staf marketing atau salesmen di tempat Pak Sud menjadi tukang. Bos tersebut keluar dari pekerjaan nya dan membuka perusahaan kontaktor baru, yaitu PT. PP. Pak Sud bekerja untuk pembangunan kantor cabang Bank Permata sekarang. Bank Permata menunjuk PT. PP sebagai kontraktor. PT. PP kemudian menghitung berapa banyak bagian yang harus dikerjakan. Misalnya, menghitung berapa meter partisi yang dibutuhkan, biaya pengecatan, dan pekerjaan-pekerjaan lain. PT. PP mengajukan harga yang harus dibayar oleh Bank Permata atau disebut owner berdasarkan perhitungan tersebut. PT. PP memberikan harga penawaran pada Pak Sud berdasarkan harga penawaran dari owner. Pak Sud menjalankan pekerjaan di owner berdasarkan rincian harga dari PT. PP. Kemudian, Pak Sud mencari pekerja yang ada di mess untuk mengerjakan pekerjaan di owner. Pak Sud mendapatkan pembayaran dari PT. PP sebagai proyek borongan setelah pekerjaan selesai dan membayar pekerja dengan bayaran harian. Jika pekerja di mess tidak mecukupi kebutuhan tenaga kerja di proyek, Pak Sud akan mencari tenaga kerja baru. Perekrutan pekerja mengandalkan pada pekerja yang pulang atau melalui Bu Ac di Desa Padabeunghar dengan cara menitip pesan pada pekerja yang pulang atau pada Bu Ac untuk mencari pekerja baru dan disuruh ke Jakarta. Pak Sud tidak pernah mencari pekerja dari lu ar Desa Padabeunghar dengan sengaja, kecuali jika pekerja tersebut datang mencari pekerjaan pada Pak Sud atau orang luar yang telah menjadi warga Desa Padabeunghar karena ikatan pernikahan. Pak Sud dapat mempekerjakan siapa saja dengan syarat orang tersebut jujur. Kejujuran sangat diperlukan kerena Pak Sud menangani proyek di tempat kerja yang sedang aktif. Jika pekerja yang ia kerjakan tidak jujur dan terjadi kehilangan, Pak Sud akan menghadapi resiko tuntutan dari perusahaan. Pak Sud memiliki kelompok khusus yang biasa bekerja padanya. Kelompok tersebut terdiri dari 12 orang. Semuanya merupakan orang Desa Padabeunghar. Jika Pak Sud memiliki pekerjaan ia akan terlebih dahulu mencari 12 orang tersebut. Pak Sud mengirimkan uang pada Bu Ac setiap pulang ke Desa Padabeunghar. Uang tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, biaya sekolah anak dan biaya penyelesaian pembangunan rumah yang belum terselesaikan. Pekerjaan sebagai supplier tenaga kerja menyita waktu Pak Sud. Pak Sud hanya dapat pulang ke rumah dua atau tiga bulan sekali. Waktu pulang ke rumah akan semakin lama jika Pak Sud mengerjakan proyek di luar Jawa. Saat pulang digunakan Pak Sud untuk istirahat, ngobrol dengan tetangga, kondangan, ngobeng, atau babantu. Jika Pak Sud bekerja di perantauan, tugas untuk babantu, ngobeng, kondangan atau ngalongok dilakukan oleh Bu Ac. Bu Ac babantu dengan memberikan uang, rokok atau membantu dengan tenaga. Ngalongok dan kondangan ke tempat di luar Desa Padabeunghar dilakukan Bu Ac dengan ikut rombongan atau menitipkan uang pada tetangga yang pergi kondangan atau ngalongok. Pada saat pembangunan rumah, banyak orang datang untuk membantu. Pak Sud merasakan keuntungan yang diperoleh karena Bu Ac rajin babantu dengan mengirimkan makanan atau rokok. Meskipun Pak Sud sebagai supplier mendapatkan pendapatan yang melebihi tukang biasa, Pak Sud tetap mendapatkan bantuan kayu dan tanah pekarangan dari mertua pada saat pembangunan rumah. Rumah yang dibangun tahun 1997 itu sampai sekarang belum sepenuhnya selesai. Rumah yang cukup besar (dibandingkan dengan rumah lain di Desa Padabeunghar) dibangun dari hasil bekerja di rantau.
161
Rumahtangga Pak Sud menggantungkan nafkah sepenuhnya pada hasil merantau. Pak Sud tidak memiliki sawah dan kebon . Rumah Pak Sud yang tela h terpisah dari orang tua menyebabkan Pak Sud harus memenuhi kebutuhan konsumsi sendiri. Meskipun tidak mendapatkan pendapatan dari modal alami, rumahtangga Pak Sud memiliki status sosial tinggi yang dapat dilihat dari bentuk rumah. Ini menunjukkan rumahta ngga tidak membutuhkan penggunaan modal alami jika pendapatan berupa remittance sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup rumahtangga. Pak Sud tetap bersandar pada kelembagaan lokal di Desa Padabeunghar. Pak sud mengalokasikan tenaga kerja rumahtangga untuk babantu, ngobeng, kondangan, ngalongok dan berhubungan baik dengan tetangga atau saudara. Anggota rumahtangga dialokasikan untuk tetap ada di Desa Padabeunghar menjalankan peranan sosial sebagai anggota komunitas Desa Padabeunghar. Peranan anggota rumahtangga sebagai pembangun modal sosial dipilih karena rumahtangga Pak Sud tidak terlepas dari ikatan dan kelembagaan komunitas Desa Padabeunghar. rumahtangga Pak Sud membutuhkan modal sosial dalam bentuk bantuan saat membangun rumah dan tenaga kerja bangunan untuk bekerja di proyek Pak Sud. Pemilihan alokasi tenaga kerja rumahtangga untuk tinggal di rumah juga dilandasi oleh alasan praktis seperti biaya hidup di perantauan, pengasuhan anak, dan tempat tinggal di perantauan, namun anggota rumahtangga yang ditinggal kemudian berperan sebagai pencari tenaga kerja bangunan dan pembangun modal sosial yang dibutuhkan rumahtangga Pak Sud. Pak Sud membangun hubungan kerja antara pekerja bangunan di Desa Padabeunghar dan mengambil keuntungan dari hubungan kerja tersebut. Hubungan kerja yang dibangun oleh Pak Suh didasarkan pada perasaan sebagai satu komunitas. Pak Sud hanya mengajak tenaga kerja yang berasal dari Desa Padabeunghar untuk proyek yang diperoleh Pak Sud. Pak Sud cukup menitip pesan pada pekerja yang pulang atau pada Bu Ac jika membutuhkan tenaga kerja baru. Hubungan kerja ini tidak dapat terbangun jika Pak Suh bukan anggota komunitas Desa Padabeunghar dan tidak mengalokasikan tenaga kerja rumahtangga untuk membangun modal sosial di Desa Padabeunghar.
162
Bagi rumahtangga Pak Sud pemenuhan kebutuhan hidup diperoleh dari remittance. Pak Sud tidak mengalokasikan tenaga kerja rumahtangga untuk mendapatkan lahan garapan di lahan hutan Perhutani atau di lahan kebun karet. Kebutuhan konsumsi yang dapat diperoleh dari hasil pertanian seperti beras, bumbu dan sayur -sayuran diperoleh dari membeli. Bu Ac istri Pak Sud tinggal di Desa Padabeunghar tidak melakukan aktivitas nafkah menggunakan modal alami atau peluang pekerjaan. Bu Ac dialokasikan untuk melakukan aktivitas nafkah membangun dan menggunakan modal sosial. Ini menunjukkan rumahtangga tidak terlepas dari kelembagaan dan ikatan sosial selama tinggal di wilayah Desa Padabeunghar. 6.2.2
Strategi nafkah Basis Modal Sosial: Rumahtangga Bu Ut Diantara rumahtangga yang tidak menjadikan modal alami sebagai sumber
nafkah utama, beberapa rumahtangga hidup dengan mengandalkan strategi nafkah berbasis modal sosial. Rumahtangga Bu Ut merupakan salah satu rumahtangga yang mengandalkan modal sosial sebagai sarana memenuhi kebutuhan hidup. Rumah tangga Bu Ut memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dengan membuka warung. Warung merupakan sarana simpan pinjam informal penting di Desa Padabeunghar. Warung merupakan tempat rumahtangga mendapatkan kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi dari hasil sawah dan lahan garapan. Warung membuka peluang rumahtangga untuk mendapatkan barang dan membayar saat memiliki uang, benda yang tidak setiap saat dimiliki rumahtangga petani di Desa Padabeunghar. Warung di Desa Padabeunghar dapat berjalan jika pem ilik warung membuka peluang untuk meminjam dan pemilik warung memiliki hubungan baik dengan pelanggan. Suami Bu Et bekerja sebagai tukang. Kelembagaan sosial babantu membuka peluang orang yang bekerja sebagai tukang tetap mendapatkan upah dari orang yang membangun rumah. Suami Bu Ut juga dapat menggunakan hubungan dengan tenaga kerja bangunan lain untuk bekerja di Jakarta sebagai tukang. Gambaran strategi nafkah berbasis modal sosial dapat diamati pada strategi nafkah rumahtangga Bu Ut.
163
Bu Ut, 43 tahun, adalah pemilik warung yang berada di dekat rumah Bi En. Bu Ut memiliki empat orang anak. Dua orang anak terbesar meninggal saat berusia 2 thn dan 9 bulan. Anak ketiga sekarang telah menikah sedangkan anak terkecilnya baru duduk di kelas tiga SMP. Bu Ut sengaja menunda kelahiran anak keempatnya agar ia dapat menabung untuk membangun rumah. Suami Bu U, 45 tahun, adalah seorang tukang. Jika tidak ada pekerjaan di Desa Padabeunghar, suami Bu Ut akan pergi merantau. Jika tidak ada pekerjaan di perantauan, suami Bu Ut akan bekerja sebagai tukang pada pembangunan rumah di Desa Padabeunghar. Suami Bu Ut mendapatkan upah sebagai tukang sebesar Rp. 35.000,-. Jika bekerja pada saudara atau tetangga suami Bu Ut memberikan potongan upah satu atau dua hari kerja untuk mengganti babantu. Selain mendapat upah, suami Bu Ut mendapatkan kiriman makanan berupa nasi dan lauk -pauk setiap kali bekerja sebagai tukang di Desa Padabeunghar. Bu Ut telah membuka warung selama sembilan tahun. Membuka warung di Desa Padabeunghar harus sabar. Seringkali pembeli tidak membayar apa yang dibeli atau disebut “ngahutang”. Ngahutang sudah sangat biasa dilakukan di Desa Padabeunghar. Dari semua pelanggan Bu Ut hanya tiga orang nenek-nenek yang tidak pernah ngahutang. Ibu-ibu ngahutang jika tidak memiliki uang untuk belanja atau karena uang yang dibawa tidak cukup untuk membayar harga barang yang dijual. Utang-utang tersebut ditulis dalam lembaran kertas yang dibuat Bu Ut dari potongan dus rokok. Jika catatan utang tersebut telah banyak maka catatan tersebut dipindahkan ke dalam buku catatan utang. Pembayaran utang sangat tergantung dari kesadaran orang yang meminjam. Pembayaran bisa dilakukan pada saat belanja berikutnya, setiap bulan, bahkan setiap tahun. Bagi yang memiliki gaji veteran, pemba yaran utang biasanya dilakukan pada saat gajian (setiap bulan). Bagi istri perantau, pembayaran utang dilakukan setiap kali suami datang merantau. Utang yang sampai tahunan belum di bayar dianggap utang bermasalah. Bu Ut memiliki catatan khusus tentang orang-orang yang susah membayar utang. Orang seperti itu akan marah jika ditagih dan tidak membayar jika dibiarkan. Bahkan Bu Ut memiliki satu orang pembeli yang sejak warung dibuka sampai sekarang belum pernah membayar utang. Bu Ut akan menagih langganan yang tidak membayar utang jika orang tersebut datang ke warung. Pelanggan yang tidak mau membayar utang tidak kembali belanja ke warung karena merasa malu. Bu Ut akan menagih utang ke rumah pelanggan yang membandel tersebut. Jika setelah ditagih pengutang tidak mau membayar, maka Bu Ut akan menghentikan pemberian utang. Orang yang sudah ditolak meminjam di warung Bu Ut akan pindah ke warung lain dan kembali meminjam di warung tersebut. Ada delapan warung di Desa Padabeunghar dan hanya satu warung yang tidak memberi kesempatan meminjam. Warung tersebut dimiliki oleh Mang Dadang seorang perantau yang berasal dari Kramat. Warung Mang Dadang paling besar dan lengkap diantara warung-warung lain di Desa Padabeunghar. Pembeli hanya akan membeli ke warung Mang Dadang jika memiliki uang dan barang yang akan dibeli tidak ada di warung Bu Ut atau jika harga yang ditawarkan lebih murah. Kebiasaan meminjam itu dirasa berat oleh Bu Ut, namun, Bu Ut tidak akan berhenti berjualan. Jika warung tutup mungkin uang yang sudah diutang tidak akan kembali. Bu Ut juga merasakan tambahan pendapatan dari warung. Jika ditambah dengan pendapatan tukang suami Bu Ut, pendapatan itu cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, sekolah anak dan menabung untuk memperbaiki rumah. Beberapa orang pelanggan menyimpan uang untuk keperluan belanja berikutnya. Seorang guru langganan Bu Ut, biasa menyimpan uang Rp. 10.000,-, 20.000,- atau 50.000,-. dengan cara tidak mengambil uang kembalian belanja. Uang
164
tersebut disimpan untuk keperluan belanja berikutnya. Orang seperti itu disebut orang baik atau “nu bageur” oleh Bu Ut. Selain itu penyimpanan uang biasanya dilakukan oleh orang yang akan hajatan/membangun rumah. Mereka akan menyimpan uang pada saat ia punya dan menitipkan uang tersebut untuk pembelian barang-barang yang dibutuhkan saat hajatan/membangun rumah. Uang tersebut ditukarkan dengan barang yang dimaksud dengan harga warung Bu Ut. Bu Ut senang jika ada tetangga yang menitipkan uang. Bu Ut akan mendapatkan untung dari pembelian dalam jumlah besar. Warung Bu Ut selalau ramai dijadikan tempat berbincang-bincang ibu-ibu. Ibuibu tersebut tidak selalu berbelanja mereka hanya duduk di teras rumah Bu Ut dan berbincang-bincang. Bu Ut selalu senang menerima kehadiran ibu-ibu tetangga untuk berbincang-bincang, selain mendapatkan teman menunggu warung, ibu-ibu tersebut sering membeli makanan kecil dan jajanan anak sewaktu berbincang-bincang. Memebuka warung membutuhkan kedekatan dengan pembeli, jika terlalu perhitungan dan tidak ramah maka pembeli akan pindah ke warung lain. Bu Ut sebenarnya memiliki empat tempat kebon, namun ia lebih senang berjualan dari pada pergi ke kebon. Suami Bu Ut juga hanya pergi ke kebon untuk mencari kayu bakar atau jika ada buah yang harus dipetik. Kebon diperoleh dari warisan orang tua Bu Ut dan orang tua Suami Bu Ut. Kebon berperan untuk menyediakan kayu bakar dan bahan bangunan yang dibutuhkan untuk membangun atau memperbaiki rumah.
Modal sosial menjadi keuntungan dan juga beban bagi rumahtangga Bu Ut. Kebiasaan meminjam memberi keuntungan dengan menambah pelanggan namun juga merugikan karena mengurangi jumlah uang untuk membeli barangbarang persediaan warung. Jika tidak ada pelanggan, barang-barang yang dijual di warung Bu Ut tidak akan terjual dan warung Bu Ut tidak dapat terus berjualan, namun jika pelanggan yang mengutang bertambah, Bu Ut tidak mendapatkan keuntungan dari barang yang telah dijual. Sifat hubungan sosial dalam kehidupan sehari-hari dibawa ke dalam hubungan transaksi jual beli di warung. Hubungan simpan pinjam menjadi tidak jelas karena didasari oleh rasa tidak enak, takut menyinggung, yang dipengaruhi dan mempengaruhi hubungan sehari-hari sebagai tetangga atau saudara. Keputusan
untuk
menghentikan
pinjaman
yang
terus-menerus
beresiko
menghentikan hubungan pertetanggaan atau persaudaraan. Hubungan kerja antara tukang dan pengguna jasa tukang lebih jelas. Upah tukang telah disepakati dalam aturan “tahu sama tahu”. Jumlah hari babantu yang berarti bekerja tanpa dibayar pun telah terbentuk melalui kesepakatan umum, yaitu dua atau tiga hari. Ikatan sosial yang lebih nyata terjadi pada hubungan pekerjaan antara suami Bu Ut dengan supplier atau dengan pekerja bangunan lain yang tinggal dalam satu mess. Ikatan kerja tersebut harus tetap dijaga jika ingin
165
tetap mendapatkan pekerjaan dari supplier, meskipun tidak ada kontrak yang mengikat dan tidak ada sanksi jika memilih pekerjaan di tempat lain. Bu Ut tetap memilih membuka warung dari pada menggarap kebon milik atau membuka lahan garapan meskipun menghadapi resiko kerugian. Aktivitas nafkah menggunakan modal alami dianggap berat. Bu Ut memilih mendapatkan sedikit keuntungan tetapi dapat tinggal di rumah dan berbincang-bincang dengan ibu-ibu yang datang ke warung. Ini menunjukkan jika ada alternatif untuk memilih sumbe r nafkah, modal alami menjadi pilihan terakhir.
6.2.3
Strategi nafkah Basis Pekerjaan di dalam Desa: Rumahtangga Pak Bd Salah satu sumber nafkah yang dapat menyebabkan rumahtangga tidak
tergantung pada modal alami adalah peluang kerja di dalam desa. Peluang ker ja di dalam desa membuka peluang untuk mendapatkan pendapatan uang dan tetap tinggal di Desa Padabeunghar. Pekerjaan Pak Bd sebagai mandor hutan menyebabkan Pak Bd memperoleh gaji tetap yang diterima setiap bulan. Pendapatan uang tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup seharihari. Gaji menjadi sumber pendapatan utama rumahtangga. Pak Bd memilih tidak membuka lahan garapan di lahan hutan Perhutani atau lahan kebun karet dan menyerahkan penggarapan sawah warisan miliknya pada buruh tani. Pemilihan peluang kerja sebagai sumber nafkah dan mengabaikan modal alami merupakan pola umum pilihan pekerjaan di Desa Padabeunghar.
Pak Bd, 35 tahun, bekerja sebagai mandor Perhutani. Pak Bd menikah dengan Ceu Yy, 32 tahun dan memiliki dua orang anak Angga, 23 bulan dan Gala kelas lima SD. Struktur rumah tangga Pak Bd dapat diamati pada gambar berikut: Pak Bd
Gala
Ceu Yy
Angga
Pak Bd mendaftar menjadi mandor hutan selepas SMA. Setiap warga desa yang berbatasan dengan hutan Perhutani mendapat kesempatan mendaftar menjadi mandor
166
hutan. Di Desa Padabeunghar ada empat orang warga termasuk Pak Bd yang menjadi mandor hutan. Tugas Pak Bd sebagai mandor tanam adalah melakukan pembibitan pohon yang akan ditanam di lahan huta n. Pak Bd juga bertugas melakukan penanaman pohon. Lokasi pembibitan pohon terletak di depan SD Padabeunghar, tidak menguntungkan bagi Pak Bd, karena Pak Bd harus berjalan 3-11 kilometer ke lokasi penanaman. Pak Bd membayar buruh tani untuk melakukan penanaman dengan menggunakan dana dari program banjar harian, suatu program penanaman lahan hutan yang melibatkan penduduk desa sekitar hutan sebagai tenaga kerja penanaman pohon. Jika melakukan pembibitan Pak bd akan mengajak Ceu Yy. Ceu Yy akan mengajak ibu-ibu yang lain untuk ikut mengisi tanah di polybag dengan upah Rp. 10,setiap polybag. Ceu Yayah rata-rata mendapatkan Rp. 28.000, - per hari jika ada pengisian polybag. Ceu Yayah biasanya mendapatkan hasil terkecil karena harus menyiapkan polybag, mengambil polybag ke rumah jika kehabisan dan mengatur penyimpanan polybag. Pak Bd mengetahui tentang galian C di Blok Cirendang dan sekitar jalan menuju Kiara. Namun Pak Bd memilih untuk tidak menegur orang yang membuat galian C atau melaporkan pembuatan galian C tersebut ke Perhutani KPH Caracas. Pak B d tidak melakukan tugasnya karena didasari oleh alasan “karunya, masih salembur, abdi oge diteunggeul batur nyeri, nya ulah neunggeul batur” --------- kasihan masih satu desa, saya juga dipukul orang lain sakit, maka saya tidak akan memukul orang lain. Pak Bd mendapatkan rokok, uang atau makanan dari mahasiswa atau orang dari luar Desa Padabeunghar yang meminta Pak Bd untuk mengantar ke lahan hutan Perhutani. Program PHBM yang dilaksanakan di Desa Padabeunghar membuat Desa Padabeunghar didatangi oleh LSM dalam dan luar negeri atau mahasiswa yang melakukan penelitian tentang PHBM. Gaji yang diterima Pak Bd sebagai mandor tanam adalah Rp 700.000, - per bulan. Gaji sebesar itu terasa cukup jika Pak Bd bertugas di Desa Padabeunghar. Pak Bd tidak perlu menyediakan uang untuk dua rumah, dirinya dan Ceu Yy istri yang ditinggal di Desa Padabeunghar. Pak Bd hanya datang sekali atau dua kali ke Caracas untuk pengarahan atau ke Pasawahan untuk koordinasi dengan mandor yang lain sehingga Pak Bd dapat mengurangi biaya transportasi yang menyita anggaran rumahtangga Pak Bd. Pak Bd pernah bertugas di Ciledug, berjarak sekitar 45 km dari Desa Padabeunghar, sebelum ditempatkan di Desa Padabeunghar. Ceu Yy tetap tinggal di Desa Padabeunghar selama Pak Bd bertugas di Ciledug. Ceu Yy menganggap biaya hidup di Ciledug terlalu besar. Di Ciledug, semua barang harus dibeli sedangkan di Desa Padabeunghar, Ceu Yy dapat memperoleh barang-barang tersebut dengan meminta atau meminjam dari tetangga atau saudara. Ceu Yy lebih sukatinggal di Desa Padabeunghar. Persaudaraan antar warga Desa Padabeunghar sangat erat. Setiap orang dapat merasakan makanan yang tidak ditanam atau dimasak sendiri. Jika ada warga yang telah panen, maka tetangga di sekitarnya akan dikirim. Jika beras, maka akan dibagi dua kobokan (takaran beras yang berupa mangkuk, tiga kobokan setara dengan ±1,5 kg). Sayuran, kacang tanah, ubi jalar, singkong dan olahannya atau masakan akan selalu ditawarkan atau dikirimkan pada tetangga. Untuk hasil kebun, biasanya akan dikirimkan, sedangkan untuk masakan, untuk orang-orang tertentu akan dikirimkan sedangkan untuk tetangga sekitar cukup dengan berteriak “ngararaosan deuh....” (ayo coba). Rumah yang sekarang ditempati Pak Bd adalah rumah warisan orang tua Ceu Yy yang direnovasi Pak Bd. Pembangunan rumah tidak banyak memerlukan biaya. Ceu Yy dan Pak Bd cukup menyediakan makanan, batu bata, pasir, semen dan uang untuk membayar dua atau tiga orang tukang. Setiap hari 100-150 orang akan datang untuk babantu. P erempuan membantu memasak, menyiapkan makanan, mengirim makanan
167
pada pekerja babantu di sore hari, dan menurunkan batu bata dari mobil. Babantu dilakukan tidak lebih dari tiga hari. Pak Bd menggarap sawah warisan orang tua Ceu Yy. Sawah tersebut digarap oleh buruh tani atau petani nyeblok. Pak Bd bertugas mengantarkan makanan ke sawah, sedangkan Ceu Yy membuat makanan yang akan diantarkan Pak Bd. Ceu Yy bekerja mengasuh anak dan melakukan pekerjaan rumah setiap hari. Sebelum menikah Ceu Yy bekerja sebagai pembantu rumahtangga dan berhenti ketika menikah dengan Pak Bd. Ceu Yy tidak pergi ke sawah setiap hari. Ceu Yy akan pergi ke hutan untuk mengambil kayu bakar tetapi itu tidak dilakukan semenjak melahirkan Angga. Ceu Yy tidak bisa meninggalkan Angga.
Bekerja sebagai mandor hutan selain mendapatkan gaji juga mendapatkan status sosial yang tinggi di masyarakat. Gaji yang diterima setiap bulan merupakan pendapatan yang diinginkan. Meskipun jumlah gaji yang diterima tidak mencukupi pemenuhan kebut uhan hidup, menerima gaji memiliki dua dimensi keuntungan, pendapatan uang pasti dan status sosial tinggi dilekatkan pada pekerja yang mendapatkan gaji. Bagi Pak Bd kesulitan karena tugas jauh dari keluarga dan biaya transportasi tidak sebanding dengan sta tus sebagai mandor dan rasa aman karena memiliki penghasilan terus menerus. Status ini pun dilekatkan pada istri dan keluarga Pak Bd yang dapat menikmati status sebagai Bu Mandor dan mendapatkan peluang menambah pendapatan melalui pekerjaan sebagai pengisi polybag. Basis pekerjaan dalam desa dapat mengurangi kebutuhan pada modal alami namun tidak mengurangi kebutuhan pada modal sosial. Pak Bd menggarap sawah dengan menggunakan jasa buruh tani, namun mengalokasikan waktu kerja dan pendapatan untuk membangun hubungan baik dengan tetangga dan saudara. Kehidupan sosial rumahtangga Pak Bd tidak berbeda dengan rumahtangga yang menggunakan modal alami sebagai sumber nafkah utama.
6.3
Pola Umum Strategi Padabeunghar
Nafkah Rumahtangga Penduduk Desa
Kedelapan tipe st rategi nafkah rumahtangga penduduk Desa Padabeunghar merupakan
gambaran
strategi
nafkah
yang
dilakukan
penduduk
Desa
Padabeunghar sebagai desa yang terletak di sekitar hutan Perhutani dan mengikuti prgram PHBM. Kedelapan tipe strategi nafkah rumahtangga tersebut berbeda
168
pada sumber nafkah yang digunakan, aktivitas nafkah yang dilakukan rumahtangga, alokasi tenaga kerja rumahtangga dan tujuan pembentukan strategi nafkah. Gambaran ringkas dari kedelapan strategi nafkah rumahtangga penduduk Desa Padabeunghar dapat diamati pada tabel berikut: Tabel 15. Tipologi Strategi Nafkah Rumahtangga Penduduk Desa Padabeunghar Strategi nafkah “ekstensifikasi”
Sumber nafkah utama Modal alami
Aktivitas nafkah utama
Alokasi tenaga kerja rumahtangga
Hasil yang diinginkan
Penggarapan berbagai lahan secara bersamaan
Orang tua sebagai penjaga keamanan konsumsi, anak sebagai pembangun aset rumahtangga Orang tua sebagai tenaga kerja utama dibantu anak
Keamanan konsumsi dan pembangunan aset rumahtangga Mendapatkan sawah untuk digarap Keamanan sosial dan kesejahteraan material
“orientasi”
Modal alami
“investasi”
Modal alami dan modal sosial
“integrasi”
Modal sosial
Berusaha untuk tetap menjadi anggota komunitas
“asuransi”
Modal alami dan modal sosial Peluang pekerjaan di luar desa Modal sosial
Persiapan aset untuk hari tua
Membuka warung, menjadi tukang
Orang tua: suami dan istri
Peluang pekerjaan di dalam desa
Bekerja sebagai mandor hutan
Orang tua:suami bekerja, istri di rumah
Basis remittance
Basis modal sosial Basis pekerjaan di dalam desa
Menggarap lahan hutan untuk menyewa sawah Membangun hubungan di dalam dan di luar rumahtangga dan menyiapkan modal alami jangka panjang
Bekerja sebagai pekerja bangunan
Orang tua membangun aset dengan membangun modal alami jangka panjang, anak dengan intensifikasi dan penambahan luas lahan garapan Orang tua memilih tinggal dan mengikuti nilai yang berlaku di Desa Padabeunghar Kelompok usia kakek mempersiapkan aset untuk masa tua, anak menjaga orang tua Orang tua: suami bekerja di perantauan, istri di rumah
Tinggal dan diterima sebagai anggota komunitas Desa Padabeunghar Keamanan sosial dan ekonomi di hari tua Pembangunan aset rumahtangga
Kesejahteraan materialdan keamanan sosial Pembangunan aset rumahtangga
Sumber: Diolah dari data primer , 2005 Tabel tersebut disusun untuk melihat sumber nafkah yang digunakan, pilihan atas modal alami yang digunakan, pilihan strategi nafkah aktor, dan tujuan strategi nafkah rumahtangga. Berdasarkan uraian strategi nafkah delapan rumahtangga kasus maka terdapat pola pilihan penggunaan sumber nafkah, pilihan modal alami, pilihan aktivitas anggota rumahtangga, tujuan strategi nafkah
169
rumahtangga, dan adanya indikasi pergeseran nilai kerja dalam rumahtangga penduduk Desa Padabeunghar.
6.3.1
Pola Pilihan Penggunaan Sumber Nafkah Strategi nafkah yang dipilih oleh rumahtangga kasus menunjukkan pola
pilihan penggunaan sumber nafkah oleh rumahtangga. Penggunaan sumber nafkah menunjukkan sumber nafkah dan penggunaannya dalam strategi nafkah rumahtangga. Pola pilihan penggunaan sumber nafkah menunjukkan pola pilihan rumahtangga pada sumber nafkah yang dapat diakses oleh rumahtangga. Penggunaan sumber nafkah dapat dikelompokkan menjadi lima, yaitu (1) sumber pangan, (2) investasi jangka panjang, (3) sumber pendapatan uang, (4) pengamanan atas kekurangan aset rumahtangga dan (5) jaminan hari tua. Ketiga modal yang dimiliki rumahtangga, modal alami, modal sosial dan peluang pekerjaan masing-masing dapat menjadi sumber pangan, investasi, sumber pendapatan uang, pengamanan aset dan jaminan hari tua. Peranan yang sama pada setiap sumber nafkah kemudian mendorong rumahtangga
melakukan
pilihan
atas
sumber-sumber
nafkah
tersebut.
Rumahtangga menentukan sumber nafkah mana yang digunakan untuk mendapatkan pendapatan yang dibutuhkan rumahtangga. Terdapat dua pilihan sumber nafkah, (1) modal alami dan modal sosial, serta (2) peluang kerja dan modal sosial. Rumahtangga melakukan pilihan dalam menggunakan modal alami dan peluang pekerjaan. Pilihan tidak hanya didasarkan pada pendapatan yang dibutuhkan dan akan diperoleh rumahtangga. Berdasarkan pendapatan yang akan diterima, peluang pekerjaan dipilih sebagai sumber nafkah yang paling diinginkan untuk digunakan. Peluang pekerjaan sebagai perantau, pamong desa , membuka warung atau mandor hutan, selalu dianggap enak dan mendatangkan uang. Namun tidak semua rumahtangga memilih peluang pekerjaan sebagai sumber nafkah utama karena peluang pekerjaan tidak dapat diakses oleh setiap orang. Pekerjaan sebagai pamong desa, pemilik warung, atau mandor hutan memerlukan keterampilan atau uang untuk membuka usaha. Pekerjaan sebagai pekerja
170
bangunan dapat diakses oleh laki-laki yang masuk kelompok usia anak karena ada nilai “malu merantau” untuk kelompok usia orang tua. Pengelolaan
modal
alami
merupakan
pilihan
satu-satunya
bagi
rumahtangga yang dilahirkan sebagai petani, tidak memiliki keterampilan lain, tidak memiliki uang untuk modal usaha, tidak memiliki kesempatan menjadi pegawai baik sebagai pamong desa, pegawai swasta, atau pegawai negeri sipil. Pengelolaan modal alami menjadi pengaman persediaan pangan untuk rumahtangga yang memiliki sumber nafkah peluang pekerjaan. Modal sosial selalu ada dan digunakan dalam strategi nafkah rumahtangga penduduk Desa Padabeunghar. Rumahtangga baik yang memilih menggunakan sumber nafkah modal alami maupun yang menggunakan sumber nafkah peluang pekerjaan selalu mengalokasikan tenaga kerja rumahtangga untuk membangun modal sosial. Modal sosial berkaitan erat dengan keanggotaan dalam komunitas Desa Padabeunghar. Jika rumahtangga dapat membangun dan melestarikan modal sosial, maka rumahtangga mendapatkan fasilitas sebagai anggota komunitas dan sebaliknya.
6.3.2
Pola Pilihan Penggunaan Modal Alami Bagi rumahtangga yang menggunakan modal alami, sawah merupakan
lahan yang dipilih pertama kali. Sawah dipilih berdasarkan kepemilikan lahan dan nilai hasil produksi sawah, beras, yang menempati posisi penting dalam strategi nafkah penduduk Desa Padabeunghar. Istilah “asal aya beas”------asal ada beras, menunjukkan nilai beras dalam nafkah rumahtangga. Kebon menempati urutan berikutnya di mana kebon menyediakan pendapatan dalam dalam jumlah besar diperlukan bagi petani untuk keperluan sekolah, memperbaiki kerusakan rumah atau membeli pupuk. Kebon menyediakan pendapatan yang membuka peluang bagi rumahtangga memperbaiki keadaan ekonomi rumahtangga. Kebon dipilih setelah sawah karena kebon juga merupakan lahan milik pribadi rumahtangga. Diantara lahan kebun karet dan lahan hutan Perhutani, lahan kebun karet merupakan lahan garapan yang dipilih untuk digarap terlebih dahulu. Lahan kebun karet juga menyediakan lahan garapan bagi rumahtangga yang tidak
171
memiliki lahan. Lahan kebun karet terletak lebih dekat dengan pemukiman dan tidak berbatu seperti lahan hutan Perhutani. Lahan kebun karet menyediakan pendapatan jangka pendek melalui penjualan sayuran, pisang, singkong, ubi jalar, dan jagung. Lahan hutan perhutani menyediakan hal yang sama seperti kebun karet. Hal yang membedakannya adalah jenis tanah berbatu di tanah Perhutani dan letaknya yang jauh yang menyebabkan petani Desa Padabeunghar lebih suka mengolah lahan kebun karet. PHBM membuka penanaman intensif beberapa blok di lahan hutan Perhutani. Penanaman tanaman kayu keras yang mendatangkan pendapatan jangka panjang selama ini tidak dipilih petani karena tidak ada jaminan bahwa hasil tanaman itu dapat dipetik oleh petani. Lahan Perhutani menyediakan lahan untuk tanaman sumber penghasilan utama petani Desa Padabeunghar, pisang. Pisang menyediakan pendapatan yang terus menerus untuk rumahtangga. Hasil pisang menyediakan ongkos untuk sekolah anak, uang untuk kondangan dan untuk membeli kebutuhan rumahtangga di luar yang bisa dihasilkan oleh kebon atau lahan garapan. Berdasarkan uraian di atas, penduduk Desa Padabeunghar memiliki dua kategori dalam membedakan lahan, lahan milik dan lahan bukan milik petani. Bagi lahan bukan milik penduduk Desa Padabeunghar tidak membedakan dengan jelas antara lahan hutan Perhutani dengan lahan kebun karet. Ini juga ditunjukkan dengan julukan “leuweung” yang meliputi wilayah lahan kebun karet, tanah iasa dan kebon penduduk. Bagi penduduk Desa Padabeunghar lahan ditentukan berdasarkan lima hal, (1) kepemilikan lahan, lahan milik pribadi lebih dipilih untuk digarap; (2) nilai barang yang diproduksi di lahan, nilai produksi ini meliputi nilai ekonomi dan nilai sosial; (3) jarak lahan dengan rumah, semakin dekat semakin dipilih sebagai lahan garapan; (4) kemudahan untuk mengelola, lahan berbatu menyulitkan penggarapan sehingga lahan kebun karet yang tidak berbatu dipilih sebagai lahan garapan; (5) jaminan keamanan akses penggarapan dan pemetikan hasil lahan. Jaminan keamanan akses lahan menentukan pola tanam. Penggarap menanam tanaman jangka pendek, dapat segera dipetik hasilnya, karena memperhitungkan jaminan pemetikan hasil tanaman yang ditanam. Proses perubahan akses lahan,
172
penebangan tanaman penduduk di lahan hutan Perhutani dan pembukaan lahan kebun karet, mendorong penggarapan lahan kebun karet.
6.3.3
Pola Pilihan Aktivitas Nafkah Anggota Rumahtangga Strategi nafkah yang dilakukan rumahtangga kasus menunjukkan
perbedaan pilihan aktivitas nafkah antara anggota rumahtangga usia anak, orang tua dan kakek dan perbedaan antara anggota rumahtangga perempuan dan lakilaki. Perbedaan pilihan aktivitas nafkah dalam satu rumahtangga terutama tampak pada rumahtangga yang terdiri dari dua KK. Penjelasan tentang perbedaan pilihan aktivitas nafkah ini menjelaskan pola pilihan aktivitas nafkah. Pola pilihan aktivitas nafkah dapat diamati pada tabel berikut:
\
173
Tabel 16. Dasar Pemilihan Strategi dan Strategi yang Digunakan untuk Mencapai Tujuan di Tingkat Aktor Dasar kategori sosial
Kategori sosial
Usia
Usia kakek
Usia orang tua
Usia anak
T empat
Dalam desa
Luar desa
Jenis kelamin
Perempu an
Laki-laki
Strategi yang digunakan Penggunaan modal alami Penggunaan modal sosial Penggunaan sumberdaya alam Strategi penggunaan peluang pekerjaan di dalam desa Penggunaan modal sosial
Aktor yang melakukan (principal actors) Suami dan istri Suami dan istri Suami, istri membantu Suami
Suami dan istri
Alasan pilihan strategi
Pekerjaan yang sudah dilakukan sejak dahulu Agar ada yang mengurus saat sakit atau tidak bisa melakukan pekerjaan Tidak ada pekerjaan lain, malu merantau sudah tua Menambah penghasilan dari pekerjaan pertanian
Tujuan yang ingin dicapai (livelihood objectives) Kesejahteraan material Keamanan sosial Kesejahteraan material Kesejahteraan material
Agar mendapat kunjungan saat hajatan atau pembangunan rumah, agar dapat menjalin hubungan baik dengan anggota komunitas lain Status sosial, pendapatan berupa uang atau barang
Kesejahteraan material dan integritas sosial
Suami
Penghasilan berupa uang dalam jumlah besar
Kesejahteraan material
Suami
Persediaan untuk keluarga yang ditinggalkan, konsumsi Mendapat bantuan saat membangun rumah atau hajatan dan menjalin hubungan baik dengan anggota komunitas Pemenuhan kebutuhan konsumsi
Kesejahteraan material Kesejahteraan material dan integritas sosial
Strategi penggunaan peluang pekerjaan di dalam desa Strategi penggunaan peluang pekerjaan di luar desa Penggunaan modal alami Penggunaan modal sosial
Suami atau istri 104
Penggunaan sumberdaya alam Penggunaan modal sosial
Suami dan istri Suami dan istri
Strategi penggunaan peluang pekerjaan di luar desa Strategi penggunaan peluang pekerjaan di luar desa Penggunaan modal sosial
Suami dan perempuan sebelum menikah Perempuan yang belum menikah
Sama dengan usia anak
Laki-laki setelah menikah
Suami dan istri
Perempuan telah Menikah
Mendapat bantuan saat membangun rumah atau hajatan dan menjalin hubungan baik dengan anggota komunitas Penghasilan berupa uang dalam jumlah besar
Kesejahteraan material dan status sosial
Kesejahteraan material Kesejahteraan material integritas sosial dan keamanan sosial Kesejahteraan material dan status sosial
Mendapat penghasilan berupa uang untuk kebutuhan sendiri dan membantu orang tua
Kesejahteraan material
Mendapat bantuan saat membangun rumah atau hajatan dan menjalin hubungan baik dengan anggota komunitas Sama dengan usia anak
Kesejahteraan material dan integritas sosial Sama denga n usia anak
Sumber: Diolah dari data primer , 2005
104
Hanya untuk pekerjaan tertentu seperti bidan, guru dan dukun bayi. Pada rumahtangga petani umumnya istri tidak bekerja
174
Rumahtangga yang memiliki dua KK menunjukkan perbedaan pilihan aktivitas nafkah antara anggota rumahtangga kelompok usia anak dan kelompok usia orang tua. Peluang pekerjaan merupakan sumber nafkah yang dipilih anggota rumahtangga usia anak. Anggora rumahtangga kelompok usia anak memandang pekerjaan penggunaan modal alami sebagai sumber pendapatan tambahan dan persiapan konsumsi rumahtangga. Pendapatan dari modal alami diperlukan agar pendapatan dari peke rjaan dapat digunakan untuk membangun rumah atau menyekolahkan anak, dan dapat ditabung. Usia anak mengolah modal alami yang diperoleh dari warisan, gaji (misal, sawah bengkok), atau lahan yang telah digarap orang tua. Pilihan untuk bekerja menggarap lahan merupakan pilihan terakhir bagi usia anak. Menggarap lahan selalu dianggap rajin dan baik, namun mengandung pengertian tidak ada alternatif pekerjaan lain yang dapat dikerjakan terutama untuk usia anak. Anggota rumahtangga kelompok usia orang tua yang tidak memiliki pekerjaan memilih strategi nafkah pengunaan modal alami sebagai aktivitas nafkah utama. Pembukaan lahan hutan atau lahan kebun karet dilakukan oleh usia orang tua. Pembukaan lahan hutan atau kebun karet terutama dilakukan oleh usia orang tua yang tidak memiliki modal alami milik sendiri yang mencukupi seluruh kebutuhan hidup. Peluang kerja sebagai pekerja bangunan menyebabkan usia anak dapat mengakses peluang kerja tanpa keterampilan atau modal keuangan. Peluang kerja di dalam desa membutuhkan keterampilan khusus atau modal keuangan. Peluang pekerjaan di luar desa terutama pekerja bangunan tidak membutuhkan keterampilan khusus atau modal keuangan sehingga menjadi pilihan usia anak. Peluang pekerjaan menyebabkan penggunaan modal alami tidak menarik bagi usia anak. Penggunaan modal alami usia anak didukung oleh usia orang tua. Usia orang tua melakukan pemeliharaan dan pengambilan hasil saat usia anak bekerja. Perbedaan pilihan aktivitas nafkah juga nampak pada perbedaan gender anggota rumahtangga. Setelah menikah, perempuan akan mengerjakan pekerjaan rumahtangga dan mengurus anak. Berbeda dengan usia anak, perempuan usia orang tua dan usia kakek tetap bekerja menggunakan modal alami sebelum dan
175
sesudah menikah. Perempuan usia orang mengelola modal alami jika tidak memiliki pekerjaan. Perempuan usia anak tinggal di rumah, mengerjakan pekerjaan rumahtangga dan mengasuh anak setelah menikah. Perempuan usia anak tidak menggunakan modal alami baik sebelum atau setelah menikah. Perempuan usia ana k bahkan ada yang tidak pernah pergi ke sawah Pari (sawah yang letaknya 9 km dari pusat pemukiman Desa Padabeunghar). Perempuan usia anak bukan tenaga kerja produktif untuk pengelolaan sumberdaya hutan.
6.3.4
Tujuan Strategi Nafkah Berdasarkan strategi nafkah yang dilakukan rumahtangga penduduk Desa
Padabeunghar, dapat disimpulkan rumahtangga melakukan strategi nafkah untuk memperoleh (1) kesejahteraan material, (2) status sosial yang tinggi, (3) keamanan sosial dan (4) integrasi sosial dalam masyarakat. Keseja hteraan material adalah keterpenuhan kebutuhan-kebutuhan material dalam rumahtangga. Kebutuhan material rumahtangga dalam bentuk pemenuhan kebutuhan konsumsi, biaya produksi pertanian, pembuatan rumah, penyelenggaraan hajatan , biaya pendidikan, kesehatan, pendidikan, tabungan, pembelian fasilitas dalam rumah dan warisan berupa tanah dan bahan bangunan. Status sosial yang tinggi adalah penghargaan yang diberikan masyarakat pada rumahtangga. Keamanan sosial merupakan suatu jaminan pemenuhan kebutuhan rumahtangga sepanjang hidup bahkan sampai anggota rumahtangga tidak mampu melakukan aktivitas nafkah. Integrasi sosial menjelaskan kondisi kedapat-diterimaan seseorang dalam komunitas Desa Padabeunghar. Kesejahteraan material dicapai dengan melakukan aktivitas nafkah untuk mendapatkan pendapatan berupa barang, uang dan pendapatan sosial yang dapat ditukar dengan barang. Pasangan yang baru menikah bekerja sebagai perantau atau pekerjaan dalam desa, menggarap lahan, tinggal bersama orang tua, menunda kelahiran anak kedua agar dapat menabung dan membangun rumah tinggal. Setelah rumah tinggal dimiliki, uang kiriman dari perantauan digunakan untuk membeli fasilitas dalam rumah seperti televisi, tape recorder, kursi dan tempat tidur.
176
Setelah rumah tinggal dan fasilitas dalam rumah dimiliki, kebutuhan menyekolahkan anak menjadi perhatian utama rumah tangga. Menyekolahkan anak merupakan pekerjaan besar yang dapat menghabiskan seluruh tabungan rumah tangga terutama jika tingkat sekolah anak telah lebih dari SLTP. Selain pemenuhan kebutuhan sehari-hari, kesejahteraan material juga termasuk penyelenggaraan hajatan . Penyelenggaraan hajatan untuk menikahkan anak menghabiskan biaya yang besar bagi rumah tangga petani Desa Padabeunghar. Hajatan perlu dilakukan minimal untuk pernikahan anak pertama. Hajatan juga menyebabkan rumah tangga mengalokasikan pendapatan untuk mengikuti arisan persiapan hajatan , mengalokasikan dana untuk kondangan, serta tenaga kerja rumah tangga untuk ngobeng. Jika rumah tangga memiliki surplus dari hajatan atau hasil panen, rumah tangga menyimpan surplus tersebut dalam bentuk bahan bangunan atau perhiasan. Bahan bangunan diperlukan untuk membangun rumah atau memperbaiki rumah. Perhiasan merupakan simbol kemakmuran bagi rumahtangga petani Desa Padabeunghar. Telah di bahas pada bagian 4.4.2, status sosial masyarakat berkaitan erat dengan kepemilikan material. Status sosial juga dipengaruhi oleh penghargaan masyarakat
Desa
Padabeunghar
pada
pendidikan
dan
pekerjaan
yang
mendatangkan pendapatan berupa uang dan barang. Namun, status sosial juga berkaitan dengan pendapatan sosial. Beberapa aktivitas nafkah dilakukan oleh penduduk Desa Padabeunghar karena alasan pendapatan uang atau barang, tetapi karena pendapatan sosial termasuk penghargaan dari masyarakat. Misalnya, pekerjaan sebagai pamong desa, pendapatan berupa sawah bengkok bukan satusatunya penyebab warga Desa Padabeunghar mau menjadi pamong desa, pamong desa memperoleh status sosial yang baik dalam masyarakat Desa Padabeunghar. Keamanan sosial berka itan erat dengan jaminan untuk tetap hidup sejahtera yang dimiliki rumahtangga sampai anggota rumahtangga tidak dapat menjalankan aktivitas nafkah lagi. Upaya untuk mendapatkan keamanan sosial diperlukan karena tidak ada jaminan kesejahteraan dari pihak la in seperti pemerintah daerah atau pemerintah desa. Sementara itu strategi nafkah dengan
177
menggunakan modal alami atau menggunakan peluang pekerjaan membutuhkan tenaga yang tidak selamanya dimiliki petani. Keamanan
sosial
diperoleh
dengan
memelihara
kelembagaan-
kelembagaan dan ikatan-ikatan sosial dalam masyarakat Desa Padabeunghar. Upaya pemeliharaan kelembagaan dan ikatan sosial dilakukan dengan memelihara hubungan baik dan ikatan saling percaya diantara anggota komunitas. Pemeliharaan kelembagaan ini diatur dengan norma sosial yang menentukan bentuk hubungan dan alat tukar sosial yang berlaku. Integrasi sosial berhubungan dengan kelimpahan modal sosial dan keterbatasan kemampuan rumahtangga untuk memenuhi kebutuhan hidup sendiri. Tujuan rumahtangga agar tetap dapat hidup bersama dengan tetangga, saudara dan anggota komunitas Desa Padabeunghar karena hanya dalam komunitas Desa Padabeunghar rumahtangga dapat mendapatkan kenyamanan hubungan sosial dan jaminan ekonomi. Integrasi sosial berkaitan erat dengan keamanan sosial dan status sosial dan terkadang berlawanan dengan kesejahteraan material. Strategi nafkah membangun ikatan-ikatan sosial berkaitan erat dengan upaya menetapkan integrasi sosial. Rumah tangga mengalokasikan tenaga kerja dan
pendapatan
rumah
tangga
untuk
membangun
ikatan-ikatan
yang
memantapkan posisi rumah tangga sebagai anggota komunitas. Semangat saling berbagi dan diterima sebagai warga yang baik menjadi motivasi utama tindakan yang diambil oleh rumah tangga. Ini menyebabkan tidak ada tekanan untuk bekerja giat dan mengalokasikan waktu
lebih banyak untuk bekerja di lahan
hutan yang disediakan sebagai lahan tambahan.
6.3.5
Pergeseran Nilai Kerja Pertanian Pola pilihan aktivitas nafkah menunjukkan adanya pergeseran nilai kerja
pertanian yang terjadi karena pilihan aktivitas nafkah pada anggota rumahtangga usia anak dan aktivitas yang dilakukan orang tua untuk anak. Pergeseran nilai kerja pertanian terjadi dengan cara (1) pengurangan anggota rumahtangga yang bekerja menggarap lahan pertanian, (2) pembagian pekerjaan anak di dalam rumahtangga, (3) pergeseran ekonomi uang dalam memenuhi kebutuhan rumahtangga, dan (4) kesejahteraan material sebagai ukuran status sosial.
178
Pengurangan anggota rumahtangga yang bekerja menggarap lahan pertanian terjadi seiring dengan pembagian pekerjaan anak di dalam rumahtangga. Orang tua menyekolahkan anak dan mengharapkan anak dapat bekerja sebagai pegawai negeri atau swasta. Menyekolahkan anak mengurangi waktu anak untuk bekerja membantu pengelolaan modal alami. Anak sekolah tidak bekerja membantu penggarapan lahan, mencari pakan ternak atau kayu bakar. Anak yang bekerja sebagai pegawai negeri atau swasta setelah selesai sekolah, SMP atau SMA, akan meningkatkan status sosial rumahtangga. Orientasi kesejahteraan material yang diukur dari rumah, fasilitas dalam rumah menuntut penghasilan berupa uang. Kebutuhan uang meningkat dengan pergeseran alat tukar sosial, dari barang hasil pertanian atau tenaga kerja menjadi uang. Kondangan yang pada awalnya menggunakan beras, sekarang harus menggunakan uang. Babantu dan ngobeng dapat digantikan dengan uang atau rokok. Barang-barang kebutuhan hidup yang dapat ditukar dengan barang melalui sistem barter, sekarang telah berkurang. Penjual garam, makanan kecil, atau perabotan rumah yang mau mengganti barang yang dijualnya dengan barang berkurang. Ini disertai dengan ketidakmampuan produk pertanian untuk menghasilkan uang dalam jumlah banyak sekaligus. Ini melahirkan desakan pada peluang kerja terutama peluang kerja di luar desa. Pengurangan tenaga kerja perempuan untuk mengelola modal alami dibentuk oleh anggapan bahwa perempuan harus hidup “enak” setelah menikah. pekerjaan perempuan adalah di rumah mengurus anak dan menyediakan makan untuk suami. Anggapan seperti ini ada pada perempuan da n laki-laki setelah menikah. Penduduk Desa Padabeunghar menganggap aneh dan lucu cerita tentang perempuan yang harus menggarap lahan dan membawa seluruh perlengkapan penggarapan lahan sementara suami hanya membawa parang di sebuah daerah yang pernah dikunjungi PS105. Persepsi tentang peranan perempuan dalam rumahtangga ini dimaknai oleh perempuan usia anak untuk tinggal di rumah, mengerjakan pekerjaan rumahtangga dan mengurus anak Uraian di atas menunjukkan pergeseran nilai kerja pertanian pada penduduk Desa Padabeunghar. Pergeseran nilai kerja pertanian mengurangi 105
Wawancara dengan PB, PS,CY dan BE, 18 Maret 2005
179
jumlah tenaga kerja pertanian terutama tenaga kerja penggarap lahan. Ini mengurangi desakan kebutuhan penambahan lahan. Desakan nafkah terjadi pada pekerjaan di dalam desa dan di luar desa.
6.4 Ikhtisar Strategi nafkah penduduk Desa Padabeunghar merujuk suatu pola di mana terdapat desakan nafkah pada modal alami dan peluang pekerjaan terutama pekerjaan di luar desa. Modal alami merupakan penjaga keamanan konsumsi rumahtangga. Pengelolaan modal alami merujuk pada pola pengamanan konsumsi, orientasi hasil untuk pemenuhan kebutuhan rumahtangga, penghasilan jangka pendek serta pengamanan rumahtangga dari resiko yang mungkin ditanggung karena pengelolaan modal alami. Pola pengamanan konsumsi ini menyebabka n pengelolaan modal alami termasuk sumberdaya hutan dilakukan dengan ekstensifikasi, menanam tanaman jangka pendek yang mudah dikelola dan pasti menghasilkan, mengurangi resiko kerugian, serta menekan biaya dengan mengurangi penggunaan pupuk kimia. Pola penggarapan lahan hutan Perhutani dan lahan kebun karet seperti ini menyebabkan penggarapan lahan hutan berkembang menjadi pembentukan ladang tanaman jangka pendek seperti singkong, pisang, ubi jalar, sereh dan jagung. Lahan garapan terpencar di berbagai tempat sesuai dengan kebutuhan rumahtangga. Lahan dibuka di tempat yang mudah dijangkau, landai, dekat dengan lahan milik atau tempat penggembalaan. Desakan nafkah pada peluang pekerjaan menyebabkan pengurangan jumlah penduduk Desa Padabeunghar yang menggarap lahan termasuk lahan hutan. Desakan nafkah pada peluang pekerjaan menunjukkan orientasi nafkah penduduk Desa Padabeunghar mengarah pada kesejahteraan material dan ekonomi uang. Peluang pekerjaan dipilih karena menyediakan peluang untuk mendapatkan uang dalam jumlah besar dalam waktu bersamaan. Pergeseran tidak menyebabkan pengurangan pengaruh modal sosial. Modal sosial dibutuhkan sebagai pengamanan ekonomi dan sosial. Komunitas memberikan fasilitas yang menjamin setiap orang di dalam komunitas dapat
180
mengatasi kekurangan sumberdaya dengan cara membagi sumberdaya kepada setiap anggota komunitas. Ikatan sosial dalam rumahtangga dan antar rumahtangga memberi jaminan keamanan ekonomi dan sosial tidak hanya pada saat ini namun di masa yang akan datang bahkan di saat memasuki usia kakek. Berkaitan dengan PHBM, strategi nafkah rumahtangga di Desa Padabeunghar menunjukkan pola khas strategi nafkah rumahtangga di Desa Padabeunghar. Rumahtangga di Desa Padabeunghar memiliki rasionalitas sendiri yang berbeda dengan pola nafkah yang dirancang PHBM. Studi tentang rasionalitas penduduk Desa Padabeunghar sebagai rasionalitas lokal yang mendasari strategi nafkah penduduk dapat diamati pada bab VII.
VII. RASIONALITAS RUMAHTANGGA DALAM MENENTUKAN PILIHAN STRATEGI NAFKAH Bab
ini
membahas
rasionalitas
yang
melandasi
strategi
nafkah
rumahtangga penduduk Desa Padabeunghar. Studi rasionalitas dilakukan untuk menjawab pertanyaan penelitian, mengapa strategi nafkah dipilih dan dilakukan oleh rumahtangga penduduk Desa Padabeunghar. Jawaban pertanyaan penelitian ini diperlukan untuk menjelaskan pola strategi nafkah penduduk Desa Padabeunghar yang berbeda dengan pola strategi nafkah yang dirancang oleh PHBM. Rasionalitas tindakan penduduk Desa Padabeunghar dilihat berdasarkan pemaknaa n rasionalitas yang dibangun oleh penduduk Desa Padabeunghar sendiri. Rasionalitas rumahtangga dalam melakukan pilihan strategi nafkah diamati dari pilihan aktivitas nafkah dan alasan melakukan aktivitas nafkah. Studi rasionalitas ini menggunakan kerangka pikir teori pilihan rasional Blau (dalam Turner 1998) dan Colleman (1994) karena sistem nafkah PHBM disusun berdasarkan logika berpikir Blau (1998) di mana MDH akan menggarap lahan hutan karena penggarapan hutan akan memberikan keuntungan kepada MDH. Rasio nalitas strategi nafkah penduduk Desa Padabeunghar sebagai suatu rasionalitas lokal yang memiliki karakteristik yang khas diidentifikasi setelah dibandingkan dengan teori pilihan rasional Blau (dalam Turner 1998) dan Colleman (1994).
7.1
Dasar Rasionalisasi Nafkah PHBM PHBM dirancang dengan anggapan bahwa MDH memerlukan akses lahan
hutan sehingga harus diberikan akses lahan hutan. Bagi Perhutani, tekanan nafkah MDH pada hutan mengancam kelangsungan produksi Perhutani. Akses lahan hutan diberikan untuk menjaga keamanan produksi hutan. Akses lahan hutan diberikan sebagai suatu bentuk kompromi antara kepentingan produksi perhutani dan desakan nafkah MDH pada lahan hutan106.
106
Penafsiran pelaksanaan PHBM, wawancara dengan Yana R.W., staff produksi dan tanaman Perhutani KPH Kuningan; Qomar, Asper Kecamatan Cibingbin; Diskusi LSM tentang
182
Rancangan PHBM ini diwarnai oleh LSM. LSM mempengaruhi proses pembentukan Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis PHBM sehingga PHBM menjadi proses pembagian akses lahan hutan antara MDH dengan Perhutani. Pembagian akses berarti proses tawar menawar antara pemilik lahan (Perhutani) dengan penggarap lahan (MDH). Proses yang berarti MDH tidak dapat menentukan pola pengelolaan lahan hutan sesuai dengan strategi nafkah rumahtangga yang diterapkannya. Bentuk-bentuk pengelolaan dan hubungan antara pemilik lahan dan penggarap diinstitusionalisasikan dalam bentuk pedoman pelaksanaan PHBM di Kabupaten Kuningan, NKB dan NPK107. Lahan hutan diharapkan dapat menjadi lahan tambahan untuk menutup kekurangan lahan di desa-desa sekitar hutan dan meningkatkan kesejahteraan MDH. PHBM menjadi sebuah sistem nafkah di mana pengelolaan sumberdaya hutan menjadi sumber na fkah utama. Seperti yang telah dibahas pada bagian 2.5 dan 2.6, PHBM dilandasi kerangka pikir bahwa penambahan sumberdaya (sumberdaya hutan), peluang mendapatkan pendapatan tambahan yang disertai pengurangan biaya pengelolaan lahan hutan akan mendorong pengelolaan hutan. Sumberdaya hutan dianggap sebagagai
sumberdaya
yang
efektif
untuk
meningkatkan
produktivitas
rumahtangga petani di desa-desa sekitar hutan. Penambahan sumberdaya hutan akan meningkatkan hasil produksi pertanian yang diperlukan sebagai tambahan pendapatan bagi rumahtangga yang ada di sekitar wilayah hutan Perhutani. Pendapatan rumahtangga dapat meningkat jika hasil produksi pertanian diolah dalam proses pasca panen untuk meningkatkan harhga jual. Peningkatan pendapatan dari hasil produksi per tanian dan pengolahan hasil pertanian menjadi sarana untuk meningkatkan kesejahteraan MDH. Kesejahteraan diartikan sebagai peningkatan pendapatan uang dan barang108. Peningkatan pendapatan uang dan barang dapat dicapai jika biaya produksi dan cara produksi diperbaiki. Bantuan dalam bentuk bibit diberikan untuk mengurangi biaya yang dikeluarkan rumahtangga untuk memperoleh bibit pembentukan taman Nasional di Kuningan, Kanopi, 22 Februari 2005; Wawancara dan presentasi dengan LSM LATIN, KANOPI, Telapak, dan PILI. 107 Materi Sosialisasi PHBM Kabupaten Kuningan tahun 2003 dalam Laporan PHBM KPH Kuningan Tahun 2003 108 Pokok -pokok Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) di Kabupaten Kuningan, 2001.
183
tanaman yang akan ditanam. Pelatihan pengolahan lahan, penanaman bibit, pengolahan hasil hutan, dan pendampingan MDH dilakukan agar MDH mengelola lahan hutan dengan baik sehingga lahan hutan dapat meningkatkan pendapatan rumahtangga. Berdasarkan pembahasan pada 2.2, 2.5,.2.6 maka strategi nafkah PHBM dirancang berdasarkan rasionalitas pengamanan lahan hutan, kelangsungan produksi hutan, kesejahteraan MDH, dan mempertahankan akses lahan. Rasionalitas Nafkah PHBM ini bukan murni rancangan PHBM yang tersurat dalam Pokok-pokok Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat di Kabupaten Kuningan, NKB atau NPK, namun hasil interpretasi dari analisis dokumen, wawancara dengan Perhutani, LSM dan penduduk Desa Padabeunghar.
7.1.1 Pengamanan Lahan Hutan Penyerahan pengelolaan lahan hutan kepada petani disertai dengan kewajiban menjaga dan memelihara tanaman yang berada di dalam luasan lahan hutan. Perhutani memberikan hak menggarap disertai dengan kewajiban untuk menjaga agar tanah dikelola dan menghasilkan seperti yang telah direncanakan. Penjarahan hutan Perhutani selalu dianggap dilakukan oleh MDH. Pemberian akses lahan hutan diharapkan dapat menumbuhkan rasa memiliki pada tegakan tanaman Perhutani dan menjaga keamanan tanaman. Bagi hasil diharapkan dapat menjadi penawar keinginan MDH terhadap hasil hutan. Pengamanan hasil hutan melalui PHBM mendapat perhatian utama dari Perhutani. Perhutani menyerahkan sebagian kedaulatannya dalam mengelola lahan hutan kepada MDH dengan seperangkat jaminan bahwa Perhutani tidak akan kehilangan hasil hutan yang menjadi produksi utama perusahaan. Perjanjian legal formal yang mengikat secara hukum merupakan upaya Perhutani untuk menjaga keamanan hasil hutan.
7.1 .2 Kelangsungan Produksi Hutan Kepentingan utama Perhutani terhadap lahan hutan adalah produksi kayu tanaman pokok. PHBM harus dapat menjadi sarana penanaman, pemeliharaan dan pengamanan tegakan pohon pinus di lahan hutan Desa Padabeunghar.
184
Keberhasilan PHBM yang utama bagi Perhutani adalah ketika hutan PHBM dapat memberikan hasil tegakan pohon pinus. Selain tanaman utama, Perhutani mengharapkan bagi hasil dari tanaman tahunan dan tanaman musiman. Proporsi keuntungan Perhutani dari tanaman tahunan dan tanaman musiman tidak sebesar dari tanaman pokok (pinus). Perhutani mendapatkan keuntungan lebih besar dari tanaman kayu keras yang dapat dipanen seperti mahoni dari pada tanaman buah-buahan atau tanaman batas seperti pisang dan nenas. Prinsip ini diwujudkan dengan bantuan bibit tanaman kayu keras seperti pinus, suren dan mahoni. Tanaman pagar dan batas seperti nanas dan secang akan diberikan sebagai bantuan Perhutani pada pelaksanaan PHBM. Namun, sampai saat penelitian dilakukan tidak ada bantuan tanaman nanas dan secang untuk penanaman lahan PHBM. Selain di lahan yang memiliki NPK, Perhutani hanya melakukan pembibitan dan penanaman pinus dan mahoni yang dilakukan oleh Mandor hutan Perhutani.
7.1 .3 Kesejahteraan MDH Kesejahteraan MDH dapat tercapai jika MDH menggarap lahan hutan dengan tanaman yang berorientasi pasar atau dapat diolah dan dijual dengan harga tinggi. Tanaman dengan nilai ekonomi tinggi dalam jumlah banyak akan menyebabkan Kabupaten Kuningan menjadi sentra tanaman hasil hutan. Peningkatan produksi yang ditunjang dengan pengolahan dan pemasaran akan meningkatkan pendapatan daerah yang diperlukan oleh Pemerintah Daerah Kuningan dalam menghadapi otonomi daerah. Prinsip ini diwujudkan dalam upaya memberikan bibit buah-buahan dan tanaman yang memiliki prospek pasar dan pelatihan penanaman serta pengolahan hasil hutan. Pemberian bibit dilakukan agar petani menanam tanaman yang diharapkan ditanam di lahan PHBM. Pelatihan pengolahan hasil hutan dilakukan untuk menumbuhkan industri rumah tangga yang dipercaya dapat meningkatkan pendapatan rumah tangga dan pendapatan daerah.
185
7.1.4 Mempertahankan Akses Lahan Salah satu tujuan keterlibatan LSM dalam perumusan PHBM adalah menjamin akses lahan hutan yang selama ini dikuasai oleh Perhutani kepada MDH. Upaya memperoleh akses lahan hutan Perhutani merupakan perjuangan panjang LSM yang telah dirintis sejak masa perhutanan sosial mulai digulirkan. Lembaga yang terlibat dalam pemberian akses lahan tidak hanya LSM dalam negeri tetapi juga lembaga donor dari luar negeri. Akses lahan dianggap sebagai bentuk pengelolaan hutan yang memperhatikan kesejahteraan MDH. Upaya mempertahankan akses lahan dilakukan dengan memperkuat kelembagaan dan mengupayakan keberhasilan PHBM dalam melestarikan hutan dan meningkatkan kesejahteraan MDH. Kelestarian hutan dan kesejahteraan ekonomi MDH merupakan isyu yang digunakan untuk mempertahan pengelolaan hutan oleh MDH. Akses lahan hutan oleh petani dianggap berhasil jika dapat menghilangkan kerusakan hutan dan kemiskinan MDH.
7.2
Kerangka Rasionalitas Padabeunghar
Strategi
Nafkah
Penduduk
Desa
Istilah sumberdaya (Weber, 1968; Turner 1998) disejajarkan dengan sumber nafkah (Ellis, 2000) yaitu mengacu pada sumber-sumber yang digunakan oleh rumahtangga dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Telah dibahas pada bab VI, pola pilihan sumber nafkah adalah modal alami dengan modal sosial dan peluang pekerjaan dengan modal sosial. Modal alami sendiri dipilih berdasarkan pola sawah, kebon , lahan kebun karet dan lahan hutan. Ini menunjukkan rumahtangga memiliki alasan yang melandasi pilihan sumberdaya. Penduduk Desa Padabeunghar memiliki rasionalitas sendiri mengenai sumberdaya yang efektif bagi rumahtangga. Sumberdaya tidak hanya dilihat dari efektivitas produksi atau dari produk yang dihasilkan oleh sumberdaya. Pilihan sumberdaya tidak hanya berdasarkan keuntungan atau peningkatan pendapatan rumahtangga. Pilihan sumberdaya selain berdasarkan pendapatan atau hasil produksi yang akan diterima juga berdasarkan nilai yang dilekatkan pada sumberdaya. Alasan pemilikan dan nilai produksi barang secara sosial menyebabkan rumahtangga kehilangan banyak peluang untuk memperoleh
186
keuntungan tambahan dengan menggunakan sumberdaya di luar milik sendiri seperti lahan hutan. Nilai yang dilekatkan pada sumberdaya juga menyebabkan pergeseran nilai kerja pertanian dan desakan pada peluang pekerjaan. Selain keterikatan dengan nilai yang berkembang dalam masyarakat Desa Padabeunghar, rumahtangga memiliki perhitungan pendapatan dan biaya yang berbeda dengan strategi nafkah PHBM. Penambahan lahan untuk meningkatkan pendapatan rumahtangga ada pada strategi nafkah “ekstensifikasi”, “investasi”, “orientasi”, dan“asuransi”. Namun hanya pada strategi nafkah “ekstensifikasi” desakan nafkah pada sumberdaya hutan terjadi. Pengelolaan sumberdaya hutan dilakukan dengan aktivitas nafkah ekstensifikasi, pengurangan resiko pertanian, mengurangi biaya produksi pertanian dan menanam beragam tanaman. Rumahtangga menilai sumberdaya tidak hanya dari produktivitas sumberdaya tetapi dari resiko pengelolaan sumberdaya. Lahan hutan tidak digarap lebih baik berdasarkan perhitungan pendapatan rumahtangga dengan menggarap lahan lain atau mengalokasikan tenaga kerja rumahtangga menjadi tenaga kerja perantau. Sumberdaya sebagai sumberdaya Pilihan
untuk
di
lahan
kebun
karet
adalah
pilihan
rasional
dengan
mempertimbangkan, alokasi tenaga kerja rumahtangga, hasil, kondisi tanah dan kepastian akses hasil Rasionalitas penggunaan sumberdaya yang khas dapat dil ihat pada peranan modal sosial sebagai sumber nafkah yang digunakan dan dianggap penting oleh seluruh rumahtangga kasus. Konsep teori pertukaran melihat ikatan sosial sebagai suatu hubungan transaksional antara dua pihak tidak sepenuhnya terjadi. Rumahtangga tetap memilih melakukan aktivitas nafkah membangun hubungan meskipun menghadapi resiko keuntungan yang akan diperoleh kembali (marginal utility) yang tidak jelas. Kepastian memperoleh keuntungan merupakan faktor yang menentukan pemilihan sumberdaya (Weber, 1968). Keuntungan diartikan oleh penduduk Desa Padabeunghar sebagai hubungan baik yang terbangun dan terhindar dari sanksi sosial takut tidak diterima sebagai anggota komunitas. Berdasarkan pembahasan pada bab V, pendapatan dibagi menjadi tiga macam, pendapatan barang, uang dan pendapatan sosial. Pendapatan tidak hanya
187
diukur dari jumlah yang diterima tetapi peranannya dalam strategi nafkah rumahtangga, kebutuhan rumahtangga dan nilai sosial yang dilekatkan pada pendapatan. Bantuan anak pada saat sulit penting bagi rumahtangga Ma Um yang menerapkan strategi nafkah “asuransi”. Penguatan ekonomi uang menggeser kebutuhan rumahtangga pada pendapatan dalam bentuk barang produk pertanian dan rumahtangga mengalokasikan sebagian besar pendapatan uang untuk menyekolahkan anak karena anak meningkatkan status sosial orang tua. Biaya diartikan sebagai segala sesuatu yang dikeluarkan dalam proses produksi. Biaya yang dianggap paling berat adalah uang. Keterbatasan pendapatan uang
dalam
rumahtangga
penduduk
Desa
Padabeunghar
menyebabkan
rumahtangga memperhitungkan pengeluaran uang yang dikeluarkan rumahtangga. Rumahtangga tidak memperhitungkan alokasi waktu tenaga kerja rumahtangga, atau barang produksi pertanian yang diperoleh tidak dari pembelian. Waktu kerja untuk babantu , ngobeng , ngalongok atau neang dialokasikan dengan sengaja tanpa dianggap sebagai biaya. Pemberian bumbu yang ditanam di halaman rumah, daun singkong yang dipetik dari lahan hutan atau lahan kebun karet, atau pupuk kandang yang tidak terpakai tidak dianggap sebagai biaya. Rumahtangga mulai menghitung, jika rumahtangga tidak mendapatkan pendapatan seperti biaya yang dikeluarkan. Alokasi waktu kerja untuk babantu atau ngobeng pada seseorang akan diperhitungkan jika orang tersebut tidak membalas babantu atau ngobeng pada saat pembangunan rumah atau hajatan. Tindakan pengelolaan sumberdaya mengikuti ketersediaan waktu, pola pilihan modal alami rumahtangga, dan pola pilihan aktivitas nafkah rumahtangga. Alokasi waktu rumahtangga ditentukan berdasarkan kebutuhan yang mendesak saat itu dan tidak selalu berdasarkan pertimbangan ekonomi. Sanksi sosial atas suatu tindakan menentukan alokasi waktu kegiatan rumahtangga. Rumahtangga mengatur anggota rumahtangga untuk meninggalkan penggarapan lahan, penggembalaan kerbau, pekerjaan di perantauan atau membolos sekolah jika ada saudara hajatan . Kelembagaan sosial dipandang sebagai institusionalisasi pertukaran (Blau dalam Turner, 1998). Strategi nafkah penduduk Desa Padabeunghar menunjukkan kelembagaan tidak diset unt uk memperlancar pertukaran, namun kelembagaan
188
menset adanya pertukaran.
Kelembagaan kondangan, babantu , ngobeng,
ngalongok atau neang mengatur pertukaran sumberdaya diantara anggota komunitas Desa Padabeunghar. Kelembagaan sosial merancang sanksi dan imbalan
anggota
komunitas
yang
dilestarikan
melalui
aktivitas
nafkah
penggunaan modal alami. Tindakan aktivitas nafkah dan pilihan strategi nafkah dipengaruhi oleh kelembagaan sosial masyarakat. Kelembagaan sosial maupun pembentukan organisasi sosial seperti organisasi kerja pekerja bangunan dibentuk berdasarkan ikatan-ikatan dalam komunitas. Kelembagaan sosial atau organisasi sosial dibangun berdasarkan semangat “integrasi” dan upaya untuk tetap bersama sebagai bentuk jaminan sosial yang diberikan komunitas. Settiap anggota komunitas memiliki keawajiban untuk melestarikan kelembagaan sosial atau organisasi sosial agar tetap mendapatkan fasilitas yang diberikan komunitas. Berdasarkan uraian di atas, strategi nafkah penduduk Desa Padabeunghar dijalankan dalam kerangka berikut:
Pilihan sumberdaya
Institusio nalisasi nilai-nilai
Pilihan strategi nafkah
Tindakan pengelolaan sumberdaya
Pengukuran biaya Pengukuran pendapatan
Sumber: Diolah dari data primer, 2005 Gambar 7. Kerangka Rasionalitas Strategi Nafkah Penduduk Desa Padabeunghar Kerangka pemikiran tersebut menunjukkan keterikatan strategi nafkah penduduk Desa Padabeunghar dengan nilai-nilai yang ada di dalam komunitas Desa Padabeunghar yang diinstitusionalisasikan dalam bentuk kelembagaan sosial dan ikatan sosial. Jika PHBM memandang institusionalisasi nilai- nilai dilakukan oleh MDH dan perhutani untuk memperlancar pelaksana an tindakan pengelolaan
189
sumberdaya
hutan,
makan
penduduk
Desa
Padabeunghar
memandang
institusionalisasi nilai sebagai ukuran yang menentukan pilihan strategi nafkah.
7.3 Dasar Rasionalitas Strategi Nafkah Penduduk Desa Padabeunghar Jika PHBM dirancang berdasarkan rasionalitas pengamanan lahan hutan, kelangsungan produksi hutan, kesejahteraan MDH, dan mempertahankan akses lahan maka strategi nafkah penduduk Desa Padabeunghar dipilih berdasarkan dua prinsip utama, menjaga keamanan ekonomi dan menjaga keamana n sosial. Dasar rasionalitas nafkah rumahtangga penduduk Desa Padabeunghar ini erat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang ada dalam komunitas Desa Padabeunghar. penduduk Desa Padabeunghar memiliki ukuran tentang keamanan ekonomi dan keamanan sosial yang melandasi pilihan strategi nafkah rumahtangga.
7.3.1
Menjaga Keamanan Ekonomi Keamanan
ekonomi
diartikan
sebagai
keterpenuhan
kebutuhan
rumahtangga di saat ini dan masa yang akan datang. Rumahtangga berusaha untuk memenuhi kebutuhan pangan, perumahan, sekolah anak, kondangan, pengobatan saat sakit atau hajatan yang dibutuhkan saat ini dengan mengalokasikan pendapatan rumahtangga. Bersamaan dengan itu, rumahtangga juga membangun aset dengan cara melakukan “investasi” dan “asuransi”
yang dapat berarti
mengurangi alo kasi pendapatan untuk pemenuhan kebutuhan. Upaya menjaga keamanan ekonomi menyebabkan strategi nafkah rumahtangga ditujukan untuk menambah pendapatan rumahtangga tanpa menimbulkan resiko yang mengancam ekonomi rumahtangga. Rumahtangga menghindari resiko yang dapat mengancam pemenuhan kebutuhan rumahtangga. Hal ini mempengaruhi pola aktivitas nafkah, pola pemilihan sumber nafkah dan pola pemilihan modal alami.
7.3.2
Menjaga Keamanan Sosial Keamanan sosial diartikan sebagai kedapatditerimaan sebagai anggota
masyarakat dan peningkatan sosial dalam masyarakat. Keamanan sosial diperoleh
190
dengan upaya membangun modal sosial. Rumah tangga mengalokasikan tenaga kerja dan pendapatan untuk membangun ikatan sosial dan melanggengkan kelembagaan sosial. Ikatan sosial dan kelembagaan sosial itu dipercaya sebagai jaring pengaman atau asuransi yang dapat digunakan oleh rumah tangga pada saat-saat sulit. Kepercayaan terhadap jaring pengaman modal sosial Desa Padabeunghar dibangun berdasarkan nilai-nilai yang ditanamkan sejak dini dan menjadi bagian yang melekat dalam setiap tindakan warga Desa Padabeunghar. Penduduk Desa Padabeunghar mengorbankan keuntungan yang dapat diperoleh rumahtangga untuk tetap menjaga hubungan baik di dalam komunitas. Kesempatan meminjam di warung yang diberikan terus menerus meskipun merugikan pemilik warung, sistem kerja nyeblok yang tidak jelas dan mengandalkan kepercayaan antara petani pemilik dan petani nyeblok , ganti rugi ringan yang diberikan pada sesama penggembala yang merusak sawah dan tidak perlunya undangan resmi untuk babantu, ngalongok, kondangan, neang, dan ngobeng di antara tetangga dan saudara. Jaring pengaman ini membuat setiap individu anggota komunitas dapat mengandalkan tetangga, saudara dan anggota komunitas lain untuk membantu di saat sulit. Jaring pengaman yang dibuat dengan memperkuat ikatan sosial di dalam komunitas menyebabkan petani Desa Padabeunghar menganggap orang atau kelembagaan di luar komunitas sebagai “pihak luar”. Jaring pengaman ini juga menyebabkan rumah tangga harus mengorbankan kesempatan akumulasi atau memperkaya diri. Rumah tangga mengalokasikan tenaga kerja dan pendapatan untuk membangun ikatan sosial dan melanggengkan kelembagaan sosial. Ikatan sosial dan kelembagaan sosial itu dipercaya sebagai jaring pengaman atau asuransi yang dapat digunakan oleh rumah tangga pada saat-saat sulit. Kepercayaan terhadap jaring pengaman modal sosial Desa Padabeunghar dibangun berdasarkan nilainilai yang ditanamkan sejak dini dan menjadi bagian yang melekat dalam setiap tindakan warga Desa Padabeunghar.
191
7.4
Perbandingan Antara Rasionalisme Petani dengan Rasionalisme PHBM Uraian di atas menunjukkan ada perbedaan dasar rasionalisme tindakan
yang menentukan pilihan tindakan antara petani Desa Padabeunghar dengan Perhutani, LSM dan Pemerintah Daerah yang diinstitusionalisasikan dalam bentuk PHBM. Perbedaan rasionalisme tindakan ini menjelaskan bentuk pengelolaan hutan yang dilakukan petani Desa Padabeunghar. Rumah tangga kasus di Desa Padabeunghar memandang produktivitas hasil pertanian sebagai sarana untuk memenuhi keamanan pangan. Pohon pinus dan mahoni menjanjikan peluang mendapatkan bagi hasil pada 30 tahun mendatang tidak menarik bagi rumahtangga yang menginginkan pendapatan untuk hari ini. Pohon pinus, mahoni atau suren juga dapat berarti mengurangi tempat untuk menanam pisang, singkong, sereh atau cabai. Upaya pengamanan lahan hutan dengan mengandalkan hubungan kontraktual antara Perhutani dan petani Desa Padabeunghar tidak dapat mengikat tindakan petani seperti yang disepakati dalam NPK atau NKB. Petani Desa Padabeunghar biasa dengan hubungan yang dilandasi oleh rasa percaya dan atas dasar kebiasaan serta jaminan keamanan yang diberikan oleh masing-masing aktor. Hubungan kontraktual yang rumit dan birokratis memperjelas posisi Perhutani dan lahan hutan sebagai aktor di luar komunitas petani Desa Padabeunghar. Kepercayaan pada modal sosial yang dimiliki oleh komunitas petani Desa Padabeunghar juga mengembangkan ketidakpercayaan terhadap kelembagaan atau bentuk hubungan di luar komunitas petani Desa Padabeunghar. Kelembagaan sosial dan ikatan sosial yang mampu mengatur tindakan petani adalah kelembagaan yang dipercaya dapat menjamin kemanan ekonomi dan keamanan sosial bagi setiap anggota komunitas. Kelembagaan atau ikatan dengan orang di luar komunitas dipandang sebagai hubungan yang akan memberikan keuntungan di luar yang diperoleh dari dalam komunitas. Perbedaan rasionalisme tindakan antara petani dan negara ini dapat diamati pada perbedaan tindakan pengelolaan hutan yang dilakukan petani dengan pengelolaan hutan yang diharapkan negara pada tabel berikut:
192
Tabel 17. Perbedaan Rasionalisme Tindakan antara Petani di Desa Padabeunghar dengan Negara Unsur Strategi Nafkah Sumber daya
Lahan garapan
Hasil pertanian
Jenis tanaman
Hubungan sosial
Tenaga kerja rumahtangga Kelembagaan Sosial
Peranan kelembagaan
Biaya
Sumberdaya dilihat dari sisi produktifitas. Produksi kurang, ditambah sumberdaya Diukur dari nilai jual
Tanaman jangka panjang yang menghijaukan hutan dan menjadi sumber pendapatan besar dalam jangka waktu bagi hasil Alokasi tenaga kerja untuk menggarap lahan hutan Disederhanakan dalam bentuk istitusionalisasi nilai-nilai yang dibentuk untuk memperlancar pertukaran dalam bentuk NPK dan NKB Mengatur teknis penggarapan hutan agar produksi berjalan
Aturan atau nilainilai
Ketat mengikat, kontrak yang bersanksi hukum
Organisasi Sosial
Dibentuk dan digunakan untuk mengatur hubungan penduduk yang mengikuti PHBM dalam bentuk organisasi seperti Forum PHBM dan KTH Mengikuti aturan yang telah disepakati mengenai lahan yang akan digarap, jarak tanam dan tanaman yang akan ditanam Hasil produksi pertanian yang meningkat
Cara penggarapan lahan
Pendapatan
Rasionalitas PHBM
Biaya produksi seperti bibit atau pupuk yang diperlukan dalam penggarapan lahan
Sumber: Diolah dari data primer , 2005.
Rasionalitas Penduduk Desa Padabeunghar Pilihan tergantung pada nilai ekonomi dan nilai sosial. Diukur dari nilai jual, nilai sosial barang dalam komunitas, kepastian dan kemudahan memperoleh pendapatan uang Tanaman jangka pendek yang dapat diambil hasinya dengan cepat dan cepat memperoleh pendapatan. Mengikuti pola pilihan alokasi tenaga kerja rumahtangga Kelembagaan sosial telah ada dan mempengaruhi strategi nafkah.
Kelembagaan sosial mengatur akses sumberdaya setiap anggota komunitas. Kelembagaan sosial merupakan bentuk investasi, aset dan asuransi, tidak disederhanakan dalam istitusionalisasi tunggal. Didasari oleh hubungan baik, ikatan saling memberi keuntungan, ikatan sebagai sesama anggota komunitas Hubungan antar penduduk tidak dibangun dalam bentuk organisasi yang memiliki peraturan yang jelas.
Mengikuti ketersediaan waktu, pola pilihan modal alami rumahtangga, dan pola pilihan aktivitas nafkah rumahtangga Barang uang dan sosial didefinisikan berdasarkan kebutuhan rumahtangga. Uang, barang yang harus mengeluarkan uang
193
7.5
Ikhtisar Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari perbedaan dasar rasionalisme
tindakan antara penduduk Desa Padabeunghar dan PHBM adalah, perbedaan pandangan terhadap lahan hutan, perbedaan pandangan tentang produktivitas hasil, perbedaan pandangan tentang kesejahteraan ekonomi dan keamanan produksi. Akses lahan hutan diperoleh dengan kerja keras Pemerintah Daerah dan LSM. Bagi Perhutani lahan pemberian akses lahan hutan sama dengan memberikan alat produksi utama perusahaan. Namun, bagi masyarakat Desa Padabeunghar lahan hutan merupakan lahan bukit berbatu yang telah 20 tahun terbengkalai. Lahan hutan sama artinya dengan lahan kebun karet yang juga terbengkalai dan terbuka untuk digarap. Kesempatan menggarap lahan hutan sama dengan kesempatan menggarap lahan kebun karet. Pilihan untuk menggarap lahan hutan atau lahan kebun karet ditentukan oleh pertimbangan kemudahan pengelolaan, biaya yang dikeluarkan dan hasil yang dapat dipetik.
VII. KESIMPULAN Strategi nafkah rumahtangga penduduk Desa Padabeunghar terbentuk dari ketersediaan sumberdaya yang digunakan sebagai sumber nafkah, pengaruh perubahan ketersediaan modal alami, nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dan pengaruh hubungan dengan komunitas di luar Desa Padabeunghar. Delapan tipe strategi nafkah yaitu, strategi nafkah “ekstensifikasi”, “orientasi”, “investasi”, “integrasi”, “asuransi”, basis remittance, basis modal sosial dan basis pekerjaan dalam desa, menunjukkan pilihan rasional rumahtangga dalam menghadapi perubahan, pengaruh nilai- nilai masyarakat dan ketersediaan sumberdaya dalam rumahtangga. Tipologi strategi nafkah dikelompokkan menjadi dua kelompok, strategi nafkah basis modal alami dan strategi nafkah
basis bukan modal alami.
Pengelompokkan ini dilakukan untuk melihat peranan modal alami termasuk sumberdaya hutan dalam strategi nafkah penduduk Desa Padabeunghar. Strategi nafkah basis modal alami dapat menunjukkan pola-pola penggunaan modal alami dalam rumahtangga dan strategi nafkah basis bukan penggunaan modal alami dapat menunjukkan sebab-sebab rumahtangga dapat terlepas dari kebutuhan terhadap modal alami termasuk sumberdaya hutan. Delapan tipe strategi nafkah ini membentuk suatu pola pilihan sumber nafkah, pola pilihan modal alami dan pola pilihan aktivitas nafkah, tujuan strategi nafkah, dan indikasi pergeseran nilai kerja pertanian dalam rumahtangga. Pola pilihan sumber nafkah mengarah pada dua tipe desakan nafkah rumahtangga yang disebabkan karena kekurangan sumberdaya milik pribadi yang dapat diakses rumahtangga, yaitu desakan pada penggunaan modal alami bukan milik rumahtangga termasuk sumberdaya hutan, dan desakan pada peluang pekerjaan terutama pekerjaan di lur desa (merantau sebagai pekerja bangunan). Desakan pada modal alami bukan milik rumahtangga menimbulkan penggarapan lahan hutan Perhutani dan lahan kebun karet dilakukan dengan pola ekstensifikasi, rendah biaya dan teknologi, serta penanaman tanaman jangka pendek yang mendatangkan penghasilan uang dan barang dengan cepat.
195
Rumahtangga memiliki pilihan sendiri mengenai modal alami yang akan digarap oleh rumahtangga. Pilihan ditentukan oleh (1) kepemilikan lahan, lahan milik pribadi lebih dipilih untuk digarap; (2) nilai barang yang diproduksi di lahan, nilai produksi ini meliputi nilai ekonomi dan nilai sosial; (3) jarak lahan dengan rumah, semakin dekat semakin dipilih sebagai lahan garapan; (4) kemudahan untuk mengelola, lahan berbatu menyulitkan penggarapan sehingga lahan kebun karet yang tidak berbatu dipilih sebagai lahan garapan; (5) jaminan keamanan akses penggarapan dan pemetikan hasil lahan. Alasan pilihan dan pola tanam lahan bukan milik menyebabkan penggarapan lahan hutan yang diakses melalui PHBM tidak sesuai de ngan penggarapan yang dirancang PHBM. Pola pilihan dalam rumahtangga menunjukkan indikasi adanya pergeseran nilai kerja pertanian dan pergeseran ekonomi mengarah pada ekonomi uang. Pergeseran nilai kerja pertanian salah satunya ditunjukkan oleh desakan pa da peluang kerja di luar desa. Pilihan untuk menjadikan peluang pekerjaan sebagai sumber nafkah dilakukan oleh kelompok usia anak dan kelompok usia orang tua yang memiliki keterampilan, pendidikan dan kesempatan. Pilihan ini diperkuat dengan pergeseran ekonomi uang di mana kebutuhan rumahtangga pada pendapatan uang meningkat. Peluang pekerjaan menyediakan pendapatan uang dalam jumlah besar dan waktu bersamaan. Ini menyebabkan jumlah tenaga kerja rumahtangga yang menggarap lahan menjadi berkurang. Pola pena naman ekstensifikasi dan pengurangan tenaga kerja penggarap tidak diharapkan dalam PHBM. PHBM merancang sistem nafkah yang bersumber pada sumberdaya hutan. Kemiskinan dan kekurangan lahan dianggap sebagai kekurangan sumberdaya dan diselesaikan dengan pemberian akses sumberdaya hutan terutama lahan hutan. Pemberian akses akan meningkatkan pendapatan rumahtangga dari hasil penggarapan lahan. Pemberian akses lahan hutan disertai dengan pemberian bibit, pelatihan dan pendampingan dengan anggapan jika biaya produksi
dikurangi
Padabeunghar
akan
dan
cara
menggarap
penggarapan lahan
diberitahu,
hutan.
penduduk
Penambahan
Desa
sumberdaya,
peningkatan pendapatan, dan pengurangan biaya merupakan unsur rasionalitas PHBM untuk merancang tindakan pengelolaan sumberdaya hutan.
196
Namun, strategi nafkah rumahtangga penduduk Desa Padabeunghar menunjukkan pengertian yang berbeda tentang sumberdaya, pendapatan dan biaya. Sumberdaya diartikan sebagai sumber nafkah, dan dipilih berdasarkan tujuan nafkah rumahtangga. Pendapatan diartikan sebagai pendapatan uang, barang dan pendapatan sosial yang dibutuhkan rumahtangga, sedangkan biaya mengacu pada uang yang harus dikeluarkan rumahtangga. Pengertian tersebut dibangun berdasarkan kebutuhan rumahtangga dan pengaruh nilai yang berkembang dalam masyarakat. Pengaruh nilai yang tercermin dalam peranan modal sosial dalam strategi nafkah rumahtangga tidak dapat digantikan dengan institusionalisasi nilai-nilai yang dibentuk untuk memperlancar aktivitas pengelolaan hutan seperti PHBM. Bagi penduduk Desa Padabeunghar institusionalisasi nilai- nilai masyarakat mempengaruhi dan mengendalikan strategi nafkah rumahtangga. Kelembagaan sosial dan ikatan sosial sebagai bentuk institusionalisasi nilai merupakan mekanisme yang telah ada yang membangun jaminan keamanan ekonomi dan keamanan sosial bagi anggota komunitas. Rasionalitas yang mendasari strategi nafkah rumahtangga penduduk Desa Padabeunghar berbeda dengan rasionalitas yang mendasari rancangan sistem nafkah PHBM. Perbedaan ini menyebabkan perbedaan bentuk strategi nafkah rumahtangga penduduk Desa Padabeunghar dengan strategi nafkah yang dirancang PHBM. Perbedaan ini dapat diartikan sebagai ketidakberhasilan pelaksanaan PHBM di Desa Padabeunghar karena keberhasilan PHBM ditentukan oleh kesesuaian pola nafkah MDH dengan pola nafkah PHBM. Perbedaan strategi nafkah dapat memberikan gambaran tentang karakter lahan yang dikelola, hasil yang diinginkan dan alasan pengelolaan sumberdaya yang dilakukan oleh desa-desa di sekitar wilayah hutan Perhutani yang mengikuti program PHBM. Rancangan sistem nafkah yang dibuat untuk masyarakat dapat behasil jika memperhatikan rasionalitas yang membangun strategi nafkah rumahtangga dalam masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Abell, 2000, Rational Choice Theory, Sociology 319, February 8 and 10, 2000. Aliadi, Arif, 2002, Good Forest Governance: Experience from Kuningan, Paper which presented on Workshop of “ Grassrootts initiatives in the forest: succes strories in sustainable development” at the Bali Prepcomm meeting, 29 May 2002, conducted by CIFOR. Anonimous, 2000, Membongkar Mitos Membangun Peran: Inisiatif Lokal dalam Mengelola Sumberdaya Alam di kalimantan Timur, Pokok-pokok Pikiran semiloka Pemberdayaan Inisiatif Masyarakat dalam Rangka Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Alam di kalimantan Timur, samarinda, 23-24 Februari. Anonimous,
2004,
Bounded
Rationality,
(http://en.wikipedia.org/wiki/Rational_choice_theory), diakses pada tanggal 1 Februari 2005. Anonimous, Status Perhutani, Abaikan Kesejahteraan http://www.compas.com, diakses tanggal 3 Februari 2005.
Rakyat,
Cancian, Frank,1989, Economic Behavior in Peasant Community, dalam Stuart Plattner (Eds.), 1989, Economic Anthropology, Stanford University Press, California. Carney, Diana, 1998, Sustainable Livelihoods Approaches: Progres and Posibility for Change, DFID Working Paper Series. Chambers, Robert dan Conway, Gordon, 1991, Sustainable Rural Livelihoods: Practical Concepts For the 21st Century, IDS Discussion Paper 296, Desember 1991. Coleman, James S., 1994, A Rational Choice Perspective on Economic Sociology, dalam Neil J. Smelser and Richard Swedberg, 1994, The Sociology Perspective on the Economy, dalam, Neil J. Smelser dan Richard Swedberg (Eds.), The Handbook of Economic Sociology, Princeton University Press dan Russel Sage Foundation, New York. Damsar, 2002, Sosiologi Ekonomi, PT. RajaGravindo Persada, Jakarta. de Beer, Jenne H. and Melanie J. McDermott, 1996, The Economic Value of NonTimber Forest Product in Southeast Asia, IUCN, Nedherland. de Haan, Leo J., 2000, Globalization, Localization and Sustainable Livelihood, Sociologia Ruralis, Volume 40, Number 3, July 2000. Dharmawan, Arya Hadi, 2001, Farm Houselhold Livelihood Strategies and Socio Economic Changes in Rural Indonesia, Wissenchaftsverlag Vauk Kiel KG, Kiel.
198
Ellis, Frank, 2000, Rural Livelihoods and Diversity in Developing Countries, Oxford University Press, New York. Elwell, Frank W., 1996, The Sociology of Max http://www.faculty.rsu.edu/~felwell/Theorists/Weber/Whome.htm, tanggal 20 Juni 2005.
Weber, diakses
Farrington, J, et. al., 1999, Sustainable Livelihoods in Practic e: Early Aplications of Concepts in Rural Areas, Natural Resources Perspective, Vol 42, dalam Samantha Jones and Grace Craswell, Environment, Development and Rural Livelihoods, EARTHSCAN, London and Sterling, VA. Gunawan, 2001, Memahami Kemitraan Perhutani-Masyarakat Kasus KPH Kuningan, Jawa Barat, KK. REV. KNG. 02. 2001. Hafid, J.O.S., 2001, Perlawanan petani: Kasus Tanah Jenggawah, Pustaka LSM LATIN, Bogor Howitt, Richard, Connel, John, dan Hirsch, Philip, 1996, Resources, Nations, and Indigenous peoples: Case Studies From Auatralasia, Melanesia and Southeast Asia, Oxford University Press. Kusworo, Ahmad, 2000, Perambah Hutan atau Kambing Hitam: Potret Sengketa Kawasan Hutan di Lampung, Pustaka LSM LATIN, Bogor. McC. Netting, Robert, 1993, Smalholders, Householders, Farm Families and the Ecology of Intensive, Sustainable Agriculture, Stanford University Press, Stanford, California. Mikle, Sheilah, Tamsin Ramasut dan Julian Walker, 2001, Sustainable Urban Livelihoods: Concepts and Implications for Policy, Working Paper No. 112 Munggoro, Dani W. et.al., 1999, Menggugat Ekspansi Industri Pertambangan di Indonesia, Pustaka LSM LATIN, Bogor. Pilin, Matheus, 2002, Mendedah Kehutanan Komunitas, DEOUT Press, Yogyakarta. Scoones, Ian, Sustainable Rural Livelihoods A Framework For Analysis, IDS Working Paper 72. Scott, John, 2000, Rational Choice Theory, From Understanding Contemporary Society: Theories of The Present, edited by G. Browning, A. Halcli, and F. Webster. (Sage Publications, 2000). Seymour, Frances J. and Danilyn Rutherford, 1993, Contractual Agreement in the Java Sosial Forestry Program, dalam, Jefferson Fox (eds.), Legal Frameworks from Forest Management in Asia Case Studies of Community/State Relations, East -West Center program on Environment, Honolu lu. Simon, Hasanu, 2004, Aspek Sosio Teknis Pengelolaan Hutan Jati di Jawa, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Sitorus, M.T. Felix, 2004, Tiga Jalur Reforma Agraria: Konsep dan Prakteknya di Indonesia, 1960-2004, Disampaikan pada Seminar dan Lokakarya Reforma
199
Agraria: Tantangan dan Agenda Kerja bagi Pemerintahan Baru 2004-2009, Bogor, 14-15 September 2004. Sitorus, MT. Felix, 1998, Penelitian Kualitatif: Suatu Perkenalan, Kelompok Dokumentasi Ilmu Sosial, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Smelser, Neil J. and Ric hard Swedberg, 1994, The Sociology Perspective on the Economy, dalam, Neil J. Smelser dan Richard Swedberg (Eds.), The Handbook of Economic Sociology, Princeton University Press dan Russel Sage Foundation, New York. Stone, Wendy dan Hughes, Jody, 2002, Sos ial Capital: Empirical Meaning and Measurement Validity, Reseach Paper No. 27, Juni 2002. Turner, Jonathan H., The Structure of Sociological Theory, Sixth edition, 1998, Wadsworth Publishing Company, Belmont, California. Uluk, Made Sudana dan Wollenberg, Eva, 2001, Ketergantungan Masyarakat dayak Terhadap Hutan di Sekitar Taman Nasional Kayan Mentarang, CIFOR, Bogor. Wahyu, 2002, Mengembangkan Negosiasi Multipihak di Kuningan, Komuniti Forestry Edisi 6, Tahun V, Desember 2002 Weber, Max, 1964, The Theory of Sosial and Economic Organization, Talcot Parsons (Eds.), The Free Press, New York. Weber, Max, 1968, Economy and Society: An Outline of Interpretatif Sociology, Guenther Roth and Claus Wittich (Eds.), University of California Press, London. Wijaya, Sanus i, 2003, PHBM Jilid II Sebagai Pembangunan Masyarakat Desa Hutan Menuju Masyarakat Desa yang Maju dan Mandiri, Kuningan, Nopember 2003.
200
Lampiran 1. Karakteristik Rumahtangga Kasus Karakteristik Rumahtangga Jumlah anggota rumahtangga Usia KK Pemilikan sawah (bau) Pemilikan kebon (tempat) Pemilikan lahan garapan kebun karet Pemilikan lahan garapan hutan Pemilikan hewan ternak
7
6
4
4
4
2
Wa Am 3
54 0,25 2
55 4 1
35 -
-
36 -
68 2
60 3,25 2 -
45 4 -
2
2
1
1
-
1
-
-
8 ekor kambing, ayam 1
5 ekor kerbau, ayam 1
Ayam
Ayam
Ayam
Ikan, ayam
Ayam
Ayam
-
-
-
-
-
-
1
1
-
-
-
-
1
1
54
55
-
-
-
-
60
45
1
1
-
-
-
1
1
-
48
42
-
-
-
68
50
-
2 pekerja bangunan
1 pamong desa
1 mandor hutan
1 orang, pamong desa
1 tukang
29 dan 25
38
35
-
1 pekerja bangun an 28
-
Usia anggota rumahtangga laki-laki yang bekerja di luar menggarap lahan Anggota rumahtangga laki-laki yang bekerja di luar menggarap lahan dan juga menggarap lahan Usia anggota rumahtangga laki-laki yang bekerja di luar menggarap lahan dan juga menggarap lahan Anggota RT perempuan yang bekerja di luar menggarap lahan
1 suplayer tenaga kerja 36
-
45
2
1
1
-
-
1
-
1
29 dan 25
38
35
-
-
28
-
45
-
1, guru TK
-
1 pedagang makanan
-
-
-
Usia anggota perempuan yang bekerja di luar menggarap lahan Anggota rumahtangga perempuan yang bekerja
-
20
-
35
-
-
-
1 pedagang kebutuhan seharihari 43
2
2
1
1
1
1
1
1
Anggota rumahtangga yang khusus memelihara ternak Anggota rumahtangga laki-laki yang bekerja menggarap lahan Usia laki-laki penggarap lahan Anggota rumahtangga perempuan yang bekerja menggarap lahan Usia perempuan penggarap lahan Anggota RT laki-laki yang bekerja di luar menggarap lahan
Pak S uh
Bi En
Pak Bd
Bi Et
Pak Sud
Mak Um
Bu Ut 3
201
di rumah/mengasuh anak Usia anggota rum ahtangga perempuan yang bekerja di rumah/mengasuh anak Anggota rumahtangga perempuan yang bekerja di rumah dan memliki pekerjaan di luar rumah Usia anggota rumahtangga perempuan yang bekerja di rumah dan memliki pekerjaan di luar rumah Anggota RT yang sekolah Usia anak yang sekolah
48 dan 25
42 dan 26
32
35
33
68
50
43
1
1
-
1
-
1
1
1
48
42
-
35
-
68
50
43
1
1
1
2
1
-
-
1
15
20
10
17 dan 10
12
-
-
15
Sumber: Diolah dari data penelitian 2005
202 Lampiran 2. Peta Desa Padabeunghar