STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI TEMBAKAU DI LERENG GUNUNG SUMBING (Studi Kasus di Desa Wonotirto dan Campursari Kecamatan Bulu Kabupaten Temanggung)
WIDIYANTO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Tembakau di Lereng Gunung Sumbing (Studi Kasus di Desa Wonotirto dan Campursari Kecamatan Bulu Kabupaten Temanggung)” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber Informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor,
Agustus 2009
WIDIYANTO NRP. I 353070021
ABSTRACT WIDIYANTO. Livelihood Strategy of the Tobacco Peasant’s Family on the slope of Sumbing Mountain (A Case Study in Wonotirto and Campursari Village, the sub-District of Bulu, Temanggung District). 2009. Supervised by ARYA HADI DHARMAWAN and NURAINI WAHYUNING PRASODJO. The background of this research is the historical fact which says that tobacco has been withdrawing a very significant attention as a potential high value commodity since the East Indies regime. The dependence of the peasant’s family to the market system causes the effect of capitalism penetrates into the village. Thus the livelihood strategy discourse becomes significant as an effort to dismantle the efforts of tobacco peasant’s family in responding into this conditions. The objectives of this research are: first, to identify and analyze which ethics of moral economy that bases peasants on constructing their livelihood system. Second, to analyze how is the forms of peasant livelihood strategy. Third, to analyze which institutional system built by peasants as the implementation of their livelihood system. Fourth, to analyze how far the implementation of their livelihood strategy can built the sustainable livelihood system. In this research, the researcher uses the constructivism paradigm. Meanwhile the strategy that going to be used is a case study. The data collection technique that used are: Inclusive observation, in-depth interview, and document analysis. To analyze the collected data, this research uses a qualitative data analysis method. This research will be conducted in two villages, they are Wonotirto and Campursari Village, Temanggung District. The fieldwork for data collection was carried out during Maret-Juni 2009. The Study found that the standard morality of livelihood strategy that the tobacco peasant families build, occured in two different form of economical ethic. Each of them is placed in totally in opposition to the other. These are ”socialcollectivism” ethic and ”individual-material acquisition” ethic. Each individual economic ethic build specific livelihood strategy that fit into the existing situation as faced by the peasant family. There are five different types of capitals are the tobacco peasant families as disposal, namely: natural capital, phsycal capital, financial capital, human capital, dan social capital. In majority the peasant families of the research areas build common strategies of livelihood, namely: vertical solidarity, horizontal solidarity, debt, patronase, production strategy, srabutan, accumulation, and manipulation of commodity. The institutional system built by peasants as the implementation of their livelihood, namely: sistem nitip, royongan, gabung hasil panen, maro. These strategies are basically using social capital as a main capital to form livelihood strategies. In case of difficulties (in time of crisis), the tobacco peasant families build somewhat different strategies, namely: temporary migration. All These strategies (in normal and in crisis situation) showed that peasant of this area very flexible mechanism to survive. But, the most sustainable way to survive that the peasant family build is the strategy of using collectivity ties as a instrumental way to support their livelihood. Keyword: livelihood strategy, asset, economic ethic, tobacco peasant families
RINGKASAN WIDIYANTO. Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Tembakau di Lereng Gunung Sumbing (Studi Kasus di Desa Wonotirto dan Campursari Kecamatan Bulu Kabupaten Temanggung)”.2009. Dibimbing oleh ARYA HADI DHARMAWAN dan NURAINI WAHYUNING PRASODJO. Penelitian ini dilatarbelakangi adalah fakta historis bahwa komoditi tembakau sudah memperoleh perhatian yang besar sebagai komoditi komersial (high value commodity) sejak pemerintah Hindia Belanda. Keterhubungan rumahtangga petani langsung kepada pasar menyebabkan merembesnya kapitalisme di pedesaan. Hal ini menyebabkan petani tembakau mengalami mixed ethic, pada satu sisi berorientasi kepada etika sosial-kolektif dan pada sisi yang lain harus berorientasi kepada keuntungan yang maksimal.Oleh karena itu, kajian strategi nafkah menjadi penting dilakukan sebagai upaya mengungkap (dismantle) bagaimana upaya rumahtangga petani tembakau dalam merespon berbagai kondisi dan implikasinya terhadap sistem nafkah yang berkelanjutan baik secara ekonomi, ekologi, dan sosial. Tujuan dari penelitian ini adalah; pertama, mengidentifikasi dan menganalisis etika moral ekonomi apa yang melandasi petani dalam membangun sistem nafkahnya. Kedua, menganalisis bagaimana bentuk strategi nafkah rumahtangga petani. Ketiga, menganalisis kelembagaan apa saja yang dibangun sebagai implementasi dari sistem nafkah rumahtangga petani. Keempat, menganalisis sejauh mana strategi nafkah yang diterapkan dapat membangun sistem nafkah yang berkelanjutan (sustainable livelihood). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan paradigm konstruktivisme. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif (qualitative approach), dengan informasi yang bersifat subyektif dan historis. Strategi yang digunakan adalah studi kasus. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah: (1) pengamatan berperan serta, (2) wawancara mendalam, dan (3) analisis dokumen. Untuk menganalisis data yang telah terkumpul, dalam penelitian ini digunakan metode analisis data kualitatif (Sitorus, 1998). Unit analisa dalam penelitian ini adalah individu dan rumahtangga. Penelitian ini dilaksanakan di dua desa yaitu Desa Wonotirto dan Desa Campursari Kecamatan Bulu Kabupaten Temanggung. Pengumpulan data lapang dilakukan pada bulan Maret-Juni 2009. Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi nafkah rumahtangga petani tembakau dibangun diatas dua etika moral ekonomi yang berlawanan. Pada satu sisi berlandaskan pada etika sosial-kolektif dan pada sisi yang lain berpijak kepada etika individual-material. Kedua etika tersebut “dimainkan” oleh petani sebagai upaya untuk bertahan dan memperbaiki sistem penghidupannya. Dalam membangun strategi nafkah, rumahtangga petani tembakau mengkombinasikan aset-aset (modal) yang dimiliki, yaitu: modal alami, modal fisik, modal finansial, modal sumberdaya manusia, dan modal sosial. Secara umum rumahtangga petani di daerah penelitian membangun beberapa strategi nafkah, yaitu: strategi produksi, solidaritas vertikal, solidaritas horizontal, berhutang, patronase, srabutan, akumulasi, dan manipulasi komoditas. Sedangkan
kelembagaan yang dibangun oleh petani sebagai implementasi dari strategi nafkah adalah sistem nitip, royongan, gabung hasil panen, dan maro. Berbagai strategi nafkah tersebut lebih banyak “memainkan” modal sosial sebagai asset penting dalam membangun sistem penghidupan yang berkelanjutan. Sedangkan pada situasi krisis, petani membangun sistem nafkah yang agak berbeda yaitu dengan melakukan migrasi temporer. Strategi ini dilakukan pada saat gagal panen berturut-turut sehingga tidak memiliki modal finansial untuk berusaha tani. Setelah kondisi pertembakaun membaik, maka petani yang melakukan migrasi akan kembali dan bergelut kembali dengan tembakau. Melihat berbagai strategi yang diterapkan baik pada situasi normal maupun krisis menunjukkan bahwa petani memiliki mekanisme yang dinamis dan fleksibel dalam merespon setiap perubahan kondisi. Sistem yang berperan penting dalam membangun keberlanjutan penghidupan petani adalah etika sosial-kolektif yang berasaskan pada resiprositas. Melalui asuransi sosial kolektif, rumahtangga petani mampu bertahan dan memperbaiki standar hidupnya.
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.
STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI TEMBAKAU DI LERENG GUNUNG SUMBING (Studi Kasus di Desa Wonotirto dan Campursari Kecamatan Bulu Kabupaten Temanggung)
WIDIYANTO
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Sosiologi Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Judul Tesis
: Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Tembakau di Lereng Gunung Sindoro Sumbing (Studi Kasus di Desa Wonotirto dan Campursari Kecamatan Bulu Kabupaten Temanggung)
Nama
: Widiyanto
NRP
: I 353070021
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr Ketua
Ir. Nuraini Wahyuning Prasodjo, MS Anggota
Diketahui,
Ketua Program Mayor Sosiologi Pedesaan
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS, DEA
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodipuro, MS
Tanggal Ujian : 20 Agustus 2009
Tanggal Lulus :
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Titik Sumarti, MS
PRAKATA Ucapan syukur yang mendalam ke hadirat Ilahi Robbi atas segala kemurahan dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat waktu. Berawal dari keingingan untuk mengetahui dinamika kehidupan petani tembakau “membawa” penulis pada judul penelitian: “Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Tembakau di Lereng Gunung Sumbing (Studi Kasus di Desa Wonotirto dan Campursari Kec. Bulu Kabupaten Temanggung). Selama kurang lebih tiga bulan penulis bercengkerama dengan komunitas petani tembakau untuk menggali berbagai informasi tentang sistem nafkah yang dibangun dalam upaya bertahan dan memperbaiki standar hidupnya. Sehingga pada akhirnya, dengan segenap keterbatan karya ini dapat disajikan. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada komisi pembimbing, yaitu Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr dan Ir. Nuraini Wahyuning Prasodjo, MS. Mereka tidak hanya sekedar guru tetapi juga sahabat yang selalu mendorong penulis untuk senantiasa bersemangat ketika rasa malas sedang menghantui, memberikan pencerahan ketika penulis mengalami jalan buntu. Terima kasih atas berbagai referensi yang diberikan sehingga mempermudah penulis dalam mendalami topik penelitian. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Ir. Titik Sumarti, MS yang telah membaca dengan teliti, memberikan kritikan dan masukan sebagai penguji luar komisi. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada pimpinan program studi Sosiologi Pedesaan (SPD) IPB dan seluruh staff pengajar yang telah mendidik dan mengajarkan banyak hal tentang dinamika masyarakat pedesaan. Selanjutnya penghargaan dan terima kasih penulis ucapkan kepada Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS), Dekan Fakultas Pertanian, Ketua Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian UNS Solo atas izin yang diberikan. Kepada Dirjen Dikti Depdiknas yang telah memberikan beasiswa (BPPS), terima kasih atas dukungan dananya. Seluruh tineliti, petani tembakau di Lereng Sumbing, terima kasih atas segala keramahan dan keterbukaannya dalam memberikan data kepada peneliti. Akhirnya, terima kasih tiada tara atas perhatian dan dukungan ayahanda, ibunda, beserta seluruh keluarga. Merujuk pada ungkapan Socrates yang dikutip Wiradi (2009): “makin banyak yang aku ketahui, aku tahu bahwa makin banyak yang aku tidak ketahui, akhirnya aku tahu bahwa hanya satu yang aku tahu, yaitu bahwa aku tidak tahu apa-apa!”, maka penulis dengan segenap kerendahan hati menyadari masih banyak kekurangan dalam karya ini. Oleh karena itu, saran dan kritik sangat diharapkan demi kesempurnaan tesis ini. Akhirnya semoga kajian ini mampu memberikan khasanah tersendiri dalam ranah penelitian pedesaan. Amin.
Bogor, Agustus 2009 Penulis,
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Desa Gebangharjo, Kecamatan Pracimantoro, Kabupaten Wonogiri, Propinsi Jawa Tengah pada tanggal 21 Pebruari 1981. Penulis merupakan putra pertama dari dua bersaudara pasangan Kirno Narnorejo dan Pariyem. Pendidikan Sarjana ditempuh pada tahun 1999 hingga tahun 2004 pada Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Kesempatan melanjutkan pendidikan program Magister Sains pada SPs IPB diperoleh pada tahun 2007 pada Mayor Sosiologi Pedesaan melalui Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS), Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional RI. Semenjak tahun 2005, penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Fakultas Pertanian UNS Solo.
DAFTAR ISI
Hal DAFTAR TABEL ………………………………………………………… xiv DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………… xv DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………… xvi I.
II.
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ………………………………………………….. 1.1.1. Tembakau sebagai Komoditas berorientasi Ekspor……… 1.1.2. Usahatani Tembakau sebagai Sumber Penghidupan……... 1.1.3. Implikasi terhadap Strategi Nafkah Pedesaan……………. 1.2. Perumusan Masalah ……………………………………………... 1.3. Tujuan Penelitian ………………………………………………... 1.4. Manfaat Penelitian……………………………………………….. PENDEKATAN TEORITIS 2.1. Tinjauan Pustaka ………………………………………………… 2.1.1. Teori Tindakan Ekonomi………………………………… 2.1.2. Konsep Petani ……………………………………………. 2.1.2.1. Tinjauan Petani: Sebuah Perspektif ……………... 2.1.2.2. Rumahtangga sebagai basis ekonomi petani ……. 2.1.3. Strategi Nafkah Rumahtangga Petani: Sebuah Tinjauan Konseptual ……………………………………………….. 2.1.4. Basis Strategi Nafkah Rumahtangga Petani ……………… 2.1.5. Beberapa Studi tentang Strategi Nafkah dan Posisi Penelitian dalam Konteks Kekinian ……………………… 2.2. Kerangka Pemikiran ……………………………………………..
III. METODE PENELITIAN 3.1. Batasan Analisis ……………………………………….……….. 3.2. Pilihan Paradigma Penelitian …………………………………… 3.3. Pendekatan dan Tahap-tahap Penelitian ………………………… 3.4. Teknik Pengumpulan Data ………………………………….…... 3.5. Teknik Pengolahan dan Analisis Data ………………………….. 3.6. Pemilihan Daerah Penelitian ……………………………….…… 3.7. Unit Analisis …………………………………………………..... 3.8. Definisi Operasional ………………………………………….....
1 1 2 3 5 8 9
9 9 11 11 12 14 18 23 26
29 29 30 31 32 33 34 34
IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Sekilas tentang Temanggung…………………………...……… 4.2. Kondisi Umum Desa Campursari dan Wonotirto……………… 4.3. Perkembangan Pertembakauan di Temanggung ………………. 4.4. Ikhtisar ………………………………………………………… V.
PROFIL AGRO-EKOLOGI DAN SOSIO-BUDAYA KOMUNITAS PETANI TEMBAKAU 5.1. Lahan sebagai Modal Penghidupan Utama…..…………...…… 5.2. Kondisi Agro-ekologi……………………….…………………. 5.2.1. Desa Campursari: pengairan cukup, terbukanya peluang komoditas……………………………………………….. 5.2.2. Desa Wonotirto: pada saat musim kemarau, hanya tembakau yang bisa hidup………………………………. 5.3. Tanaman Sela dan Pemanfaatan Limbah Tanaman……………. 5.4. Kendaraan Bermotor: Sarana Transportasi Penting…………… 5.5. Bangunan Rumah, Peninggalan Masa Lalu……………………. 5.6. Teknologi: dari cacak dan gobang ke mesin…………………... 5.7. Hewan Ternak dan Pupuk Sebagai Tabungan…………............. 5.8. Kemampuan Mengelola Tembakau, Warisan Orang Tua……... 5.9. Pertanian Tembakau dan Daya Serap Tenaga Pedesaan………. 5.10. Perilaku Konsumtif………………………………………….. 5.11. Ikhtisar………………………………………………………. 5.11.1. Pertanian sebagai basis penghidupan utama petani tembakau……………………………………………
37 39 48 51
54 56 56 57 62 63 64 65 67 68 70 71 73
5.11.2. Tembakau sebagai produk budaya……………….…
73 74
VI. STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI TEMBAKAU 6.1. Strategi Nafkah Rumahtangga Petani ………….……………… 6.1.1. Domain “base livelihood”……..………………………. 6.1.1.1. Strategi Produksi………………….…………… 6.1.1.2. Strategi Patronase……………………………… 6.1.1.3. Strategi Solidaritas Vertikal…………………… 6.1.1.4. Strategi Solidaritas Horizontal………………… 6.1.1.5. Strategi Berhutang……………………………... 6.1.2. Domain “livelihood diversification”……………………… 6.1.2.1. Strategi Srabutan……………………………… 6.1.2.2. Strategi Akumulasi……………………………
77 82 82 88 91 97 102 106 106 110
6.1.2.3. Strategi Manipulasi Komoditas……………….. 6.1.3. Domain “Strategi Migrasi Temporer”…………………. 6.2. Dinamika Sosiologis Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Tembakau pada berbagai Lapisan…………………………….. 6.2.1. Petani Lahan Luas………………………………………. 6.2.1.1. Rumahtangga Petani Tembakau berbasis Lahan Sawah…………………………………………. 6.2.1.2. Rumahtangga Petani Tembakau berbasis Lahan Tegal (pegunungan)…………………………… 6.2.2. Petani Lahan Sempit…………………………………… 6.2.2.1. Rumahtangga Petani Tembakau berbasis Lahan Sawah………………………………………….. 6.2.2.2. Rumahtangga Petani Tembakau berbasis Lahan tegal (pegunungan)…………………………….. 6.3. Ikhtisar………………………………………………………… 6.3.1. Etika Moral, Strategi Nafkah, dan Kelembagaan……… 6.3.2. Modal Sosial sebagai faktor penting dalam sistem penghidupan rumahtangga Petani Tembakau………….. VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan…………………………………………………….. 7.2. Saran ………………………………………………………….. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
111 115 116 117 117 118 119 119 120 121 121 126
129 130
DAFTAR TABEL
Hal Tabel 2.1.
Dimensi Konseptual untuk Memahami Petani (Peasant) ………
12
Tabel 3.1.
Data yang akan dikumpulkan dan Teknik yang dipergunakan…
32
Table 4.1.
Luas Penggunaan Lahan Menurut Jenisnya Tahun 2007…..….
39
Table 4.2.
Ketinggian desa dari permukaan laut dan jaraknya ke pusat pemerintahan dirinci per desa di kecamatan Bulu tahun 2007….
40
Table 4.3.
Luas Lahan Sawah berdasarkan Pengairan Tahun 2007 ……….
41
Table 4.4.
Banyaknya Dusun, RW, RT di Kecamatan Bulu, Desa Wonotirto dan desa Campursari Tahun 2007 …………………
42
Kepadatan geografis dan Agraris, Sex ratio, dan Angka Beban Tanggungan (ABT) di Desa Campursari, Wonotirto, dan Kec. Bulu Tahun 2007.................................................................
43
Table 4.6.
Mata Pencaharian Penduduk 10 tahun ke atas Tahun 2007…….
44
Table 4.7.
Luas dan Panen komoditas pertanian di desa Wonotirto, Campursari, dan Kecamatan Bulu Tahun 2007…………………
44
Ternak besar, kecil, unggas desa Wonotirto, Campursari, dan Kecamatan Bulu Tahun 2007………………………………......
45
Tingkat Pendidikan Penduduk desa Wonotirto, Campursari, dan Kecamatan Bulu Tahun 2007 ………………………………….
46
Sarana Air Bersih desa Wonotirto, Campursari, dan Kecamatan Bulu Tahun 2007………………………………………….........
47
Tabel 4.11.
Kondisi Umum Daerah Penelitian………………………………
53
Tabel 6.1.
Kerangka tipe aktifitas diversifikasi nafkah ……………............
80
Tabel 6.2.
Kerangka tipe aktifitas diversifikasi nafkah rumahtangga petani tembakau………………………………………………………..
81
Tabel 6.3.
Rumah Tangga Menurut Golongan Luas Lahan ……………......
89
Tabel 6.4.
Strategi nafkah, etika moral, dan kelembagaan………………..
Table 4.5.
Table 4.8. Table 4.9. Table 4.10.
124
DAFTAR GAMBAR
Hal Gambar 2.1.
Komponen dan Bagan Alir Nafkah Rumahtangga…………..
21
Gambar 2.2.
Framework Strategi Nafkah ………………………………...
22
Gambar 2.3
Asset, Livelihood, dan Kemiskinan …………………………
23
Gambar 2.4.
Pola Distribusi Penghasilan Rumahtangga Petani di Jawa …
25
Gambar 2.5.
Kerangka Pemikiran Penelitian …………………………….
28
Gambar 4.1.
Peta Kabupaten Temanggung……………………………….
38
Gambar 4.2.
Luas Tanam Tembakau di Kabupaten Temanggung ……….
49
Gambar 4.3.
Produksi Tembakau di Kabupaten Temanggung……………
50
Gambar 4.4.
Perkembangan Luas Tanam (ha) dan produksi (ton) Tembakau Tahun 2003-2007………………………………..
51
Gambar 6.1.
Rumah Tangga Menurut Golongan Luas Lahan ……………
89
Gambar 6.2.
Strategi Solidaritas Vertikal yang berbasis pada KinshipGenealogis…………………………………………………..
92
Gambar 6.3.
Kelembagaan royongan sebagai Strategi Solidaritas Horizontal…………………………………………………..
98
Gambar 6.4.
Kelembagaan “menggabungkan hasil panen” sebagai Strategi Solidaritas Horizontal……………………………….
Gambar 6.5.
Strategi Berhutang Petani kepada Pedagang/Tengkulak……..
101 103
Gambar 6.6.
Keterkaitan antara Migrasi dan Peningkatan Penghidupan…
116
Gambar 6.7.
Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Tembakau lahan Luas yang berbasis Tanah Sawah pada berbagai Situasi……………
117
Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Tembakau lahan Luas yang berbasis Tanah Tegal (Pegunungan) pada berbagai Situasi ……………………………………………………….
118
Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Tembakau lahan Sempit yang berbasis Tanah Sawah pada berbagai Situasi …………...
119
Gambar 6.10. Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Tembakau lahan Sempit yang berbasis Tanah Tegal (Pegunungan) pada berbagai Situasi ……………………………………………………….
121
Gambar 6.11. Peran Modal Sosial dalam Mereproduksi Aset dan Membangun Kapabilitas…………………………………….
127
Gambar 6.8.
Gambar 6.9.
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Penelitian terdahulu mengenai strategi nafkah pada berbagai setting lokasi yang berbeda Lampiran 2. Pedoman Wawancara Lampiran 3. Peta Lokasi penelitian
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang 1.1.1. Tembakau sebagai komoditas berorientasi pasar Secara Internasional, Indonesia adalah salah satu dari sepuluh negara terbesar produsen daun tembakau. Dari sepuluh negara tersebut, empat negara memproduksi hampir 2/3 (lebih dari 4 juta ton) suplai daun tembakau dunia yang berjumlah sekitar 6,3 juta ton. Keempat Negara tersebut adalah: Cina (38 %), Brasilia (10,3 %), India (9,1 %) dan Amerika (6,3 %). Kontribusi Indonesia sekitar 15.000 ton daun tembakau atau 2,3 % suplai dunia (FAO, 2002). Sementara pengusahaan tembakau di Indonesia sebanyak 98 % adalah termasuk perkebunan rakyat, dan 2 % adalah perkebunan besar nasional (Ditjen Perkebunan, 2000). Menurut jenisnya, sebanyak 75 % (173,695 ha) merupakan tembakau rakyat (rajangan)1. Sebanyak 43,6 % (101,095 ha) ditanam di Jawa Timur dan 26,7 % (61.925 ha) di Jawa Tengah, dan sisanya adalah di NTB, DIY, dan Bali. Sebanyak 30 % tembakau rakyat (rajangan) digunakan sebagai bahan baku rokok kretek. Dari berbagai jenis tembakau rakyat, yang paling banyak digunakan adalah tembakau Madura dan Temanggung (Deptan, 2002). Secara historis tembakau sudah memperoleh perhatian yang besar sebagai komoditi komersial (high value commodity) sejak pemerintah Hindia Belanda. Temanggung yang juga dikenal dengan nama Kedu2 merupakan salah satu wilayah di Jawa yang telah dikenal sebagai penghasil tembakau sejak tahun 1746, disamping wilayah lain seperti: Jawa Timur dan Cirebon. Tembakau merupakan 1
Tembakau dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu: Voor-Oogst dan Na-Oogst. Voor-Oogst adalah kelompok tembakau yang biasa pada musim hujan dan dipanen pada musim kemarau dan kelompok NaOogst adalah jenis tembakau yang ditanam pada musim kemarau dan dipanen pada musim hujan. Jenis tembakau Voor-Oogst diantaranya tembakau Virginia, tembakau rakyat (rajangan) dan tembakau Lumajang. Sedangkan tembakau Deli (Sumatera Utara), Vorstenlanden (Jawa Tengah) dan Besuki-NO (Jawa Timur) termasuk jenis tembakau Na-Oogst. 2 Temanggung dalam cacatan sejarah merupakan bagian dari Karesidenan Kedu yang meliputi Kabupaten Magelang dan Kabupaten Temanggung. Nama ”Kedu” berasal dari kata kedung. Kabupaten Magelang dan Temanggung, memang menyerupai sebuah palung besar menanjang dari arah barat laut ke tenggara sampai batas Daerah Istimewa Yogyakarta (Suroyo, 2000). Sekarang Kedu merupakan sebuah kecamatan di Kabupaten Temanggung, Propinsi Jawa Tengah.
1
komoditas penting -dan wajib ditanam- di bawah sistem tanam paksa, selain tanaman “tiga besar” lainnya: tebu, kopi, dan indigo. Pada tahun 1900 dan tahun 1940, penanaman tembakau oleh petani kecil terpusat di beberapa tempat, yaitu: Dataran Tinggi Dieng dan daerah sekelilingnya (Kabupaten Banjarnegara, Wonosobo, Batang, Kendal, Salatiga, dan Karesidenan Kedu), Karesidenan Rembang, dan Karesidenan Probolinggo dan Besuki (Kabupaten Lumajang, Jember, Bondowoso). Tembakau dari Kedu di ekspor ke Semenanjung Malaya, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Maluku, dan Ambon (Boomgard, 2002: 87-101; Jonge, 1989, Suroyo, 2000:188-189). Sebagai komoditas ekspor, tembakau menjadi tanaman yang komersial dan berbasis pasar. Tembakau merupakan tanaman bebas yang diusahakan dan diperdagangkan tanpa campur tangan aparat desa, sehingga petani berhubungan langsung dengan pasar. Bahkan karena usaha penanaman tembakau pada tahun 1841 dianggap gagal akibat risiko tinggi terkait kerentanannya terhadap cuaca dan musim menyebabkan pemerintah melepaskan tanam paksa tembakau. Untuk selanjutnya pemerintah membiarkan petani mengusahakan sendiri tanaman tembakau seperti sedia kala, atau mengadakan kontrak penanaman atau penjualan dengan pihak swasta tanpa campur tangan pemerintah secara langsung (Suroyo, 2000: 188-191). 1.1.2. Usahatani tembakau sebagai sumber penghidupan Hingga sekarang, tembakau masih dibudidayakan oleh petani di Kabupaten Temanggung sebagai sumber penghidupan. Dengan kata lain, pertanian tembakau masih menjadi tumpuan kehidupan bagi sebagian besar petani. Sebanyak 16 (enam belas) Kecamatan di Kabupaten Temanggung membudidayakannya, dengan tiga area tanam terluas adalah Kecamatan Kledung (1.905,5 ha); Ngadirejo (1.683 ha); dan Bulu (1.627 ha). Hanya empat Kecamatan yang sama sekali tidak mengusahakan tembakau yaitu: Kranggan, Pringsurat, Gemawang, dan Bejen. Pada mulanya petani membudidayakan tanaman tembakau sesuai dengan pengalaman turun temurun yaitu dengan system garang. Sistem garang ini
2
biasanya dikirim ke Weleri dan Cirebon. Tembakau garangan biasanya dipergunakan untuk rokok jenis lintingan3. Pada tahun 1950-an, berkembang tembakau tipungan dengan rajangan yang lebih lembut dibandingkan garangan. Tembakau jenis ini dipak berbentuk kotak, biasanya dipasarkan di sekitar pasar Parakan. Pada tahun 1975, anjuran ITR (intensifikasi tembakau rakyat) merubah menanam dari system garang dan tipungan menjadi tembakau “tumbon”4 atau kenthungan. Keuntungan dari tembakau “tumbon” adalah: (1) luas lahan yang ditanami lebih luas sehingga hasilnya meningkat; dan (2) harga tembakau tumbon lebih baik bagi para petani dibandingkan tembakau garang. Pada saat panen, petani tembakau menjual hasil panennya kepada tengkulak yang akan datang ke rumah petani untuk membeli tembakau dengan harga yang berbeda antara satu petani dengan petani lainnya, meskipun jenis tembakaunya sama. Tengkulak kemudian menjualnya kepada juragan, baru setelah itu para juragan menjual ke perusahaan rokok melalui grader. Hasil penjualan tersebut digunakan petani untuk membeli barang apapun dan setelah masa paceklik dijual lagi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dari hasil penjualan tembakau umumnya mereka gunakan untuk membeli pupuk, membayar hutang, dan kebutuhan rumah tangga sehari-hari. Sementara pada golongan
masyarakat dengan luas lahan 0,25-0,5 ha dan >0,5 ha sebagian
hasilnya ditabung dalam bentuk tabanas dan membeli emas (Jacub, 1985). 1.1.3. Implikasi terhadap strategi nafkah Pedesaan Keterkaitan langsung dengan pasar membuat pedesaan telah mencapai tingkat komersialisasi sedemikian rupa, sehingga langsung lebih terlibat dalam percaturan ekonomi yang lebih luas di luar wilayahnya atau disebut cenderung ke 3
Rokok dibuat sendiri dengan cara melinting (menggulung) selembar kertas kecil yang didalamnya terdapat ramuan tembakau, cengkeh, dan lainnya kemudian digulung secara manual. Aktifitas ini biasanya dilakukan setiap kali akan merokok. 4 Istilah tumbon diambil dari kata tumbu (keranjang) yang biasanya dipergunakan untuk mengepak rajangan tembakau. Keranjang dibuat dari bambu yang didalamnya dilapisi debog kering (batang pohon pisang). Salah satu sentra pengrajin keranjang ini adalah di Kecamatan Kedu. Biasanya petani membeli minimal 1 kepok (berisi dua buah kerangjang) dengan harga yang bervariasi tergantung pada: (1) waktu pembelian, pada musim panen (bulan September) biasanya lebih mahas, ±@keranjang Rp. 100.000,00; bagi petani dengan modal yang lebih mereka membeli sebelum masa panen dengan harga yang relative murah ±@keranjang Rp. 75.000,00; (2) besar kecilnya ukuran keranjang, semakin besar keranjang semakin mahal, ukurang keranjang antara 30-45 kg tembakau rajangan kering. Berat keranjang berkisar antara 10-12 kg.
3
kapitalisme Husken (1998). Secara empiris, Penny (1990) membandingkan dua desa yaitu di Sriharjo di Imogiri Yogyakarta dan Sukamulia di Sumatera Utara yang warganya juga “orang-orang Jawa”, ternyata bisa mengalami dampak berbeda dari sistem pasar yang semakin komersial. Sistem pasar telah membuat Desa Sriharjo menderita dan menjadi lebih miskin, sedangkan bagi Sukamulia tidak demikian. Sebab utamanya adalah justru karena desa Sriharjo sudah amat komersial, artinya ia sudah menjadi begitu “terbuka”, sehingga mudah “dieksploitasi” oleh kekuatan-kekuatan sistem pasar bebas. Sebaliknya bagi Desa Sukamulia, karena masih jauh lebih subsisten (tertutup), maka kekuatan-kekuatan sistem pasar yang “merusak” belum sempat merugikannya. Long (1987) mencirikan bahwa sistem perekonomian desa di Negaranegara dunia ketiga bercorak kombinasi antara non-kapitalis yang ‘tradisional” dengan kapitalis yang emergen.. Boeke (1953) dalam Sajogyo (1982) menyebutnya sebagai teori ekonomi ganda (dualistic economics) dimana dalam waktu yang sama terdapat dua atau lebih sistem sosial, dan masing-masing sistem sosial ini jelas berbeda satu sama lain dan masing-masing menguasai bagian tertentu dari masyarakat bersangkutan. Sehingga petani di pedesaan mengalami mixed ethic, pada satu sisi berorientasi kepada etika sosial-kolektif dan pada sisi yang lain harus berorientasi kepada keuntungan yang maksimal. Kedua etika tersebut “dimainkan” oleh petani sebagai upaya membangun sistem penghidupan yang berkelanjutan Fadjar (2009) membuktikan bahwa pada petani kakao menerapkan strategi amphibian, dimana walaupun pengaruh kapitalisme telah merembes (masuk sedikit demi sedikit) namun nilai-nilai tradisional tidak sepenuhnya ditinggalkan. Nilai-nilai subsistensi melekat pada aktifitas produksi (on farm) baik pada komoditas padi maupun kakao. Pada sisi yang lain, semangat kapitalisme sangat menonjol pada proses penjualan hasil produksi kebun kakao. Kakao merupakan komoditas yang berorientasi pada pasar yang diperlukan sebagai komoditas baku bagi industry yang berada di luar komunitas petani. Oleh karena itu, kajian strategi nafkah menjadi penting dilakukan sebagai upaya mengungkap (dismantle) bagaimana upaya rumahtangga petani tembakau
4
dalam merespon berbagai kondisi. Beberapa kondisi tersebut antara lain; yaitu: pertama, risiko yang melekat pada karakteristik komoditas itu sendiri, rentan terhadap perubahan cuaca dan iklim. Kedua, pada sisi lain mereka juga dihadapkan kepada sistem ekonomi yang dikendalikan oleh pasar. Kemampuan melakukan adaptasi tersebut sebagai upaya untuk menciptakan sustainable livelihood, yang harus mampu: (1) beradaptasi dengan shock dan tekanan; (2) memelihara kapabilitas dan asset-aset yang dimiliki; dan (3) menjamin penghidupan untuk generasi berikutnya (Chambers dan Conway, 1992). Makna berkelanjutan tidak sekedar secara ekonomi, tetapi juga ekologi dan sosial. 1.2. Perumusan Masalah Pengentasan kemiskinan merupakan prioritas penting dalam pembangunan bahkan telah menjadi agenda global. Namun demikian, agenda tersebut kurang memberikan hasil yang memuaskan, bahkan ada kecederungan dibeberapa wilayah mengalami kegagalan. Hal ini disebabkan adanya pemikiran yang reduksionis dan terlalu menyederhanakan permasalahan orang miskin. Para pakar ekonomi, mengekspresikan kemiskinan dalam dominasi income-poverty. Padahal, orang miskin bersifat lokal, komplek, beragam, dan dinamis. Banyak dimensi penting yang perlu mendapatkan perhatian, yaitu: inferioritas, pengasingan, kerentanan, perampasan, ketidakberdayaan, dan penghinaan (Chambers, 1995). Salah satu pendekatan dalam memahami kemiskinan adalah sustainable livelihood. Pendekatan ini tidak hanya berbicara mengenai pendapatan (income poverty) dan pekerjaan (jobs) tetapi lebih holistik dengan memahami bagaimana kehidupan orang miskin, apa prioritas hidup mereka, dan apa yang dapat membantu mereka. Dengan kata lain, memahami orang miskin harus bersifat komprehensif, dengan berbagai elemen penting yang harus dipahami secara tepat dan benar, seperti: (a) siapa orang miskin itu?; (b) di mana mereka tinggal?; (c) mengapa mereka miskin?; (d) mengapa mereka tetap miskin?; (e) bagaimana persepsi mereka mengenai apa yang dimaksud dengan “miskin“ ?; dan (f) bagaimana usaha mereka sendiri untuk mengatasinya?.
5
Banyak kajian yang dilakukan terkait dengan bagaimana cara masyarakat dalam upaya bertahan dan memperbaiki kehidupannya. Geertz (1976) membuktikan bagaimana pola adaptasi yang dilakukan oleh petani Jawa dengan melakukan budidaya padi sawah. Teknologi yang masuk kepada masyarakat (pupuk, intensifikasi pertanian) ternyata tidak mampu mengubah “nilai tertinggi dari masyarakat” sehingga kemudian yang terjadi adalah masyarakat melakukan perubahan tetapi tidak bersifat fundamental. Akibatnya, dikataan Geertz sebagai involusi (perubahan ke dalam). Hayami dan Kikuchi (1982) juga membuktikan kelembagaan (pranata) telah mencegah polarisasi akibat pengaruh arus modernisasi. Modernisasi ternyata tidak menyebabkan pengkutuban kelas melainkan diferensiasi. Social mechanism petani melalui hubungan patron-klien ternyata menjadi media untuk share of poverty. Melalui media tersebut, petani kelas bawah juga ikut menikmati keuntungan dari kekayaan petani kelas atas guna mencukupi kebutuhan subsistensinya. Penelitian White (1973) yang dikutip Sajogyo (1990) menyatakan bahwa dalam kondisi lahan yang semakin sempit, rumah tangga petani bertahan hidup dengan melakukan kegiatan nafkah di luar pertanian. Beberapa tesis White adalah: (1) terjadi (sebagian) proses “orang terdorong ke luar (pertanian), imbalan di luar pertanian lebih rendah, orang menjalaninya karena terpaksa; dan (2) (sebagian lain) proses “orang tertarik ke dalam (nafkah bukan pertanian)”, dimana imbalan di luar pertanian yang lebih baik. Ada kecenderungan rumahtangga di lapisan bawah (miskin) yang terkena proses “terdorong keluar” sebagai suatu strategi bertahan hidup. Sajogyo (1998) menyebut sebagai pola nafkah ganda. Keberagaman dan kompleksitas strategi nafkah yang dibangun oleh petani juga dipengaruhi oleh setting ekologi yang berbeda. Dharmawan (2001) membuktikan bahwa pada pedesaan pegunungan di Jawa Barat dengan kondisi jumlah penduduk yang padat menunjukkan adanya strategi nafkah yang berbasis pada diversifikasi sumber nafkah di luar pertanian melalui alokasi pembagian tenaga kerja keluarga. Sedangkan pedesaan pegunungan di Kalimantan Barat memperlihatkan strategi nafkah yang memusatkan diri pada aktifitas pertanian yang berbasis pada kolektifitas komunitas.
6
Beberapa hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa petani sangat dinamis, beragam, dan memiliki respon yang berbeda dalam menghadapi berbagai perubahan baik kebijakan pembangunan maupun kondisi sosio-ekologi. Respon tersebut akan menggerakkan dan “memainkan” sumberdaya yang dimiliki baik berupa modal alam, modal fisik, modal SDM, modal financial, dan modal social (Conway dan Chambers, 1992) yang dapat berupa berupa tangible dan intangible assets. Karena pada hakikatnya sebagian besar rumahtangga pedesaan pada umumnya tidak dapat menghindar dari resiko, apakah yang disebabkan oleh manusia atau karena faktor lingkungan (Ellis, 2000). Pada petani tembakau berhadapan dengan beberapa risiko, yaitu: pertama, karena tembakau merupakan tanaman bebas yang diusahakan dan diperdagangkan tanpa campur tangan aparat desa, sehingga petani berhubungan langsung dengan pasar, akibatnya sangat rentan terhadap fluktuasi harga yang juga dipengaruhi oleh beberapa aktor mulai dari tengkulak/juragan, grader5 hingga pabrik. Kedua, pertanian tembakau juga sangat rentan terhadap perubahan cuaca dan musim. Pada sisi yang lain, luas lahan pertanian sebagai basis kehidupan utama semakin terfragmentasi karena diwariskan kepada generasi berikutnya. Untuk menghadapi berbagai risiko tersebut, rumahtangga petani akan mengelola struktur nafkah sehingga mampu meminimalkan resiko, tergantung kepada sumberdaya yang dimiliki. Dalam upaya memperjuangkan kehidupan ekonomi akibat berbagai risiko tersebut, rumahtangga petani biasanya akan melakukan berbagai aktivitas dan kemampuan dorongan sosial mereka dalam upaya berjuang untuk bertahan hidup dan untuk meningkatkan standar hidup. Secara luas bahwa adanya diversifikasi nafkah tidak sekedar untuk bertahan hidup, yang dikonotasikan sebagai resistensi, artinya seolah-olah tidak berkembang. Oleh karena itu, bahwa strategi nafkah selain untuk bertahan hidup tetapi juga berusaha memperbaiki standar hidup (Ellis, 1998; Redclift, 1986). 5
Pedagang besar yang dipercaya oleh pabrik rokok untuk mengumpulkan hasil tembakau baik dari petani maupun pedagang.Tugas grader adalah menentukan kualitas tembakau (A,B,C,D,E,F,G,H, dst) sehingga tembakau yang akan disetorkan ke pabrik benar-benar dapat terjamin kualitasnya. Misalnya: pada PT. Dj. terdapat 8 grader yaitu: kode TKG dengan grader Bah C; OKT (Bah Cn); LYG (Bah Wwk); JJS (Bbg); USB (Bah Sbn); KHD (Bah Jg); OKH (Bah KH); dan KIT (Bah Ecg)
7
Sistem nafkah yang dibangun sangat dipengaruhi oleh etika moral petani baik pada level individu, rumahtangga, hingga komunitas. Etika moral akan mendorong petani untuk berpijak pada basis sosial-kolektif ataukah individualmaterialism dalam membentuk strategi nafkahnya. Etika Sosial-kolektif akan membentuk sistem nafkah yang berorientasi kepada terbentuknya jaminan sosial komunitas. Sementara etika individual-materialism akan bermuara pada tindakan ekonomi
yang
berbasis
rasional
instrumental
(orientasi
pada
tujuan
memaksimalkan keuntungan). Mendasarkan diri pada etika moral inilah dapat dilihat sumberdaya apa yang paling dominan sebagai katup penyelamat terhadap berbagai risiko yang dihadapi oleh rumahtangga petani tembakau. Pertanyaan yang kemudian muncul dalam penelitian ini adalah: 1. Etika moral ekonomi apa yang melandasi petani dalam membangun sistem nafkahnya?; 2. Bagaimana bentuk strategi nafkah rumahtangga petani?; 3. Kelembagaan apa saja yang dibangun sebagai implementasi dari sistem nafkah rumahtangga petani?; 4. Sejauh mana strategi nafkah yang diterapkan dapat membangun sistem nafkah yang berkelanjutan (sustainable livelihood)?. 1.3. Tujuan Penelitian Mendasarkan diri pada latar belakang dan permasalahan, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengidentifikasi dan menganalisis etika moral ekonomi apa yang melandasi petani dalam membangun sistem nafkahnya; 2. Menganalisis bagaimana bentuk strategi nafkah rumahtangga petani; 3. Menganalisis kelembagaan apa saja yang dibangun sebagai implementasi dari sistem nafkah rumahtangga petani; 4. Menganalisis sejauh mana strategi nafkah yang diterapkan dapat membangun sistem nafkah yang berkelanjutan (sustainable livelihood).
8
1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan mampu mengeksplorasi dinamika sistem nafkah rumahtangga petani tembakau yang bersifat dinamis, khas, dan kompleks; sehingga dapat berkontribusi kepada: 1. Pengambil kebijakan, diharapkan dapat memberikan informasi mengenai dinamika rumahtangga petani tembakau dalam upaya berjuang untuk bertahan dan meningkatkan standar hidupnya. Implikasinya, berbagai kebijakan dalam proses pembangunan senantian berpijak kepada kondisi khas masing-masing wilayah dan berorientasi pada basic-need petani. 2. Dunia akademik, diharapkan dapat menyumbangkan referensi baru dalam khasanah penelitian tentang strategi nafkah (livelihood strategy) spesifik pada komunitas petani tembakau.
9
II. PENDEKATAN TEORITIS
2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Teori Tindakan Ekonomi Dilihat dari segi tindakan ekonomi, dalam ekonomi (mikro), pelaku diasumsikan mempunyai kondisi yang tetap (stabil) dan ditentukan oleh satuan pilihannya dan alternatif tindakan untuk memaksimalkan utility atau profit. Ini dikatakan sebagai tindakan/pilihan rasional (rational choice). Berbeda dengan sosiologi, karena pelaku memiliki berbagai kemungkinan dalam melakukan tindakan, seperti yang diillustrasikan Weber, bahwa tindakan ekonomi dapat berarti rasional, tradisional, atau spekulatif (irrational). Hal ini penting, karena ilmu ekonomi tidak memberi tempat pada tindakan tradisional (Smelser dan Swedberg, 1994). Selanjutnya tindakan ekonomi dilakukan dengan efisien yang berkaitan dengan sumberdaya yang langka. Sedangkan sosiologi memiliki pandangan yang lebih luas, sebagaimana yang dikemukakan Weber, bahwa secara konvensional memaksimalkan ‘utility’ dikatakan sebagai terminologinya kuantitatif atau dianggap sebagai
“rasional formal”. Dalam sosiologi, juga dikenal “rasional
substantif”, yang mengacu pada pengalokasian dengan sejumlah prinsip seperti loyalitas komunal atau nilai-nilai yang luhur. Sehingga disini rasionalitas dipandang oleh ahli ekonomi sebagai sebuah asumsi, sedangkan dalam sosiologi, rasionalitas dipandang sebagai sebuah variabel (Smelser dan Swedberg, 1994). Weber menjelaskan bagaimana kategori sosiologi tentang tindakan ekonomi. Bagi Weber, tindakan akan dikatakan menjadi “berorientasi secara ekonomi” (economically oriented), sepanjang itu sesuai dengan makna subjektifnya, yang difokuskan pada pemenuhan terhadap suatu kebutuhan atau utility. Juga dikatakan bahwa tindakan ekonomi adalah tindakan yang oleh aktor dianggap aman bagi kontrol aktor atas sumberdaya, terutama yang berorientasi ekonomi.
10
Menurut Weber yang dikutip oleh Damsar (2002) bahwa: (1) tindakan ekonomi adalah tindakan social; (2) tindakan ekonomi selalu melibatkan makna; dan (3) tindakan ekonomi selalu memperhatikan kekuasaan. Tindakan ekonomi diinspirasikan oleh custom (habit), convention (norma), dan interest, artinya tindakan ekonomi dapat berupa rasional, tradisional, dan spekulatif-rasional. Hal inilah yang membedakan dengan ilmu ekonomi yang tidak memberikan tempat bagi tindakan tradisional. Tindakan ekonomi merupakan hubungan dua aktor atau lebih yang berorientasi satu sama lain, membentuk hubungan ekonomi. Hubungan tersebut dapat mengambil beragam ekspresi, mencakup konflik, kompetisi, dan upaya untuk menguasai seseorang (kekuasaan). Melalui analisa tindakan ekonominya Weber tersebut dapat jelaskan bagaimana sebenarnya rumahtangga petani melakukan aktivitas ekonominya dalam rangka bertahan dan meningkatkan taraf hidupnya yang didasarkan custom (habit), convention (norma), dan interest, artinya tindakan ekonomi tersebut didasari oleh rasionalitas, tradisional, dan spekulatif-rasional.
2.1.2. Konsep Petani 2.1.2.1. Tinjauan Petani: Sebuah Perspektif Untuk memahami perilaku ekonomi rumahtangga petani, maka hal penting yang harus dipahami adalah bagaimana konsep petani itu sendiri. Kurtz (2000: 93124) mencoba memahami konsep petani berdasarkan dimensi-dimensi penting yang berkaitan dengan dunia petani. Keempat dimensi penting tersebut merupakan dasar para ahli untuk mendefinisikan petani. Keempat dimensi tersebut adalah: (1) petani sebagai “pengolah tanah di pedesaan (rural cultivator); (2) komunitas petani yang bercirikan perilaku budaya yang jelas, membedakan dari pola budaya urban; (3) petani adalah komunitas desa yang tersubordinasi oleh pihak luar; dan (4) penguasaan/pemilikan lahan yang diolah petani. Berdasarkan dimensi-dimensi tersebut Kurtz kemudian membedakan para ahli kedalam lima kelompok, yaitu: minimalis, anthropologi, moral ekonomi, Marxian, dan Weberian. Kelima kelompok tersebut memiliki sudut pandang yang berbeda terhadap petani. (lihat table 2.1.).
11
Tabel 2.1. Dimensi Konseptual untuk memahami Petani (peasant) Dimensi
Minimalist
1 Pengolah tanah pedesaan 2 Komunitas petani dengan budaya yang khas 3 Komunitas tersub-ordinasi 4 Penguasa/pemilik lahan Banyaknya kajian
√
Anthropologi √ √
Ekonomi Moral √ √ √
Sangat banyak
Banyak
Sedang
Marxian
Weberian
√
√ √
√ √ Sedang
Scott (1976) Wolf Redfield Popkin (1979) (1967)* Magagna Lichbach (1994) (1955) Paige (1991) Kroeber Bates (1984, (1975) Kerkvliet (1948) 1988) (1977) Banfield Teori pilihan (1958) rasional lainnya *untuk sementara konseptualisasinya Wolf dimasukkan dalam kelompok Marxian, walaupun terkadang argument theoriticalnya masuk dalam kelompok ekonomi moral Contoh
√ √ Sangat sedikit Moore (1966) Shanin (1982)
Sumber: dikutip dari Kurtz (2000:96) Kelompok Minimalis memandang petani sebagai pengolah tanah di pedesaan (rural cultivator), dimana mereka berpegang kuat pada teori pilihan rasional. Petani dianggap tidak berbeda dari perilaku ekonomi lainnya. Anthropologi menambahkan satu dimensi penting lainnya yaitu komunitas petani yang bercirikan perilaku budaya yang khas sehingga berbeda dari pola budaya urban. Kelompok ekonomi moral menambahkan satu dimensi lagi yaitu petani merupakan komunitas yang tersubordinasi kuat oleh kekuasaan dari luar. Selain sebagai
rural
cultivator,
komunitas
tersubordinasi,
kelompok
Marxian
menambahkan satu aspek penting yaitu dimensi penguasaan/pemilikan lahan yang diolah petani. Sedangkan kelompok Weberian mengacu keempat dimensi tersebut
2.1.2.2. Rumahtangga sebagai Basis Ekonomi Petani Banyak para ilmuwan yang berusaha memahami konsep petani berdasarkan pengalaman empirisnya. Salah satu ciri penting dari petani adalah basis ekonominya adalah rumahtangga. Sahlin yang dikutip Wolf (1983:3-4) menyatakan bahwa di dalam perekonomian-perekonomian primitive, bagian terbesar dari hasil produksi dimaksudkan untuk digunakan oleh penghasilpenghasilnya sendiri atau untuk menunaikan kwajiban-kwajiban kekerabatan, dan bukan untuk dipertukarkan dengan tujuan memperoleh keuntungan. Akibatnya 12
adalah bahwa penguasaan de facto atas sarana-sarana produksi di dalam masyarakat primitive terdesentralisasi, bersifat local dan kekeluargaan. Redfield (1985) mendefinisikan petani sebagai produsen pertanian dengan skala kecil, peralatannya sederhana, dan tenaga kerja berasal dari keluarga, produk utama yang dihasilkan sebagian besar untuk konsumsi sendiri, dan untuk memenuhi kwajiban-kwajiban kepada kekuatan ekonomi dan politik. Petani merupakan masyarakat dengan nilai setengah desa setengah kota. Ada proses reinterpretasi dan reintegrasi dengan elemen-elemen yang dipandang lebih tinggi dari mereka (kota)-“tradisi agung”. Ellis (1993) petani adalah rumahtangga yang sumber nafkahnya utamanya berasal dari pertanian, tenaga kerja utama produksi pertaniannya dari keluarga, dan berhubungan dengan pasar secara tidak sempurna. Mendasarkan diri pada penelitiannya di masyarakat nelayan Malaysia, Firth (1966) mendefinisikan petani sebagai sebuah sistem produksi skala kecil dengan teknologi sederhana untuk pemenuhan kebutuhan pangan sendiri dengan basis ekonomi pada rumahtangga. Chayanov (1986) mengambarkan ekonomi rumah tangga petani dengan houseshold utility maximization dimana adanya upaya memaksimalkan potensi ekonomi rumah tangga melalui tenaga kerja rumah tangga tanpa bayar, dan memaksimalkan fungsi lahan pertanian yang sempit. Ekonomi usaha tani petani adalah berbasis pada perekonomian keluarga (family economy) sehingga semua keluarga tani lebih mudah berhubungan dengan tanah untuk dikerjakan. Seluruh organisasinya ditentukan oleh ukuran dan komposisi keluarga petani itu dan oleh tuntutan-tuntutan konsumsinya dengan jumlah tangan yang bekerja. Usahatani keluarga tidak bersifat profit maximation, melainkan membangun dan menjaga keseimbangan “consumer-labour ratio” (C/L). Apabila kebutuhan konsumsi rumahtangga tidak tercukupi dengan luasan lahan yang ada, maka mereka akan mengolah tanah lebih intensif (menambah jumlah jam kerja). Hasil pertanian hanya digunakan untuk konsumsi keluarga dan kalau dijual harga ditentukan oleh pasar. Wolf (1983:19-20) melihat kaum tani dengan cara yang berbeda. Wolf melihat bahwa kaum tani adalah suatu kelompok masyarakat yang secara terpaksa
13
mempertahankan suatu keseimbangan antara tuntutan-tuntutan orang-orang luar dan akan mengalami ketegangan-ketegangan yang ditimbulkan oleh perjuangan untuk mempertahankan keseimbangan itu. Orang luar pertama-tama memandang petani pedesaan sebagai suatu sumber tenaga kerja dan barang yang dapat menambah dana kekuasaannya (fund of power). Akan tetapi petani adalah juga pelaku ekonomi (economic agent) dan kepala rumahtangga. Tanahnya adalah satu unit ekonomi dan rumahtangga. Secara lebih rinci, Shanin (1966) mencirikan petani dengan beberapa karakteristik, yaitu: (1) Ciri-ciri ekonomi petani ditentukan oleh keterkaitan petani dengan lahan dan karakteristik produksi pertanian yang khas; (2) usahatani keluarga adalah unit dasar dari kepemilikan petani, produksi, konsumsi, dan kehidupan social; (3) dalam kegiatan ekonomi usahatani, tidak terlalu memperhatikan spesialisasi kerja; (4) budaya tradisional petani sangat berkaitan dengan kehidupan masyarakat desa; dan (5) didominasi oleh pihak luar melalui: land-tenure, penyalahgunaan dalam kekuatan pasar. Berdasarkan berbagai pemikiran beberapa ahli (Wolf, 1983; Redfield, 1985; Chayanov, 1986; Ellis, 1993; dan Shanin,1966) memiliki pandangan yang sama bahwa basis ekonomi petani adalah pada level rumahtangga. Ortiz dalam Carrier (2005) menyatakan bahwa pada masyarakat non-Barat basis sumberdaya dikelola pada unit rumahtangga dan komunitas yang berbasis kekerabatan. Keputusan dalam kegiatan produksi dan investasi lebih cenderung dilakukan oleh rumahtangga dibandingkan pada level individu. 2.1.3. Strategi Nafkah Rumahtangga: Sebuah Tinjauan Konseptual Konsep strategi bertahan hidup di kalangan ilmuwan barat pertama kali digunakan oleh Duque dan Pastrana (1973) dalam studi mereka mengenai keluarga miskin di Santiago, Chili. Semenjak itu, konsep tersebut menjadi sangat popular
dan digunakan di dalam referensi untuk rasionalitas strategi dalam
meminimalkan resiko di dalam ekonomi yang tidak menentu (Crow, 1989). Strategi nafkah rumahtangga di kalangan ilmuwan Barat berkembang dalam kegiatan semua study Amerika Latin dan Afrika dimana ekonomi informal paling
14
tidak sama pentingnya dengan ekonomi formal dalam pemahaman perilaku ekonomi sehari-hari diantara masyarakat miskin di dalam upaya bertahan hidup akibat lingkungan yang semakin berisiko (Portes, 1994; Crow, 1989; Owusu; 2007). Namun demikian, sector informal di Afrika masih menjadi perdebatan paling tidak pihak-pihak yang menganut pandangan reformist, institutionalist, dan neo-marxist. Kaum reformist memandang bahwa sector informal adalah solusi bagi pengangguran di Afrika dan mendorong pemerintah untuk mendukungnya. Secara umum kaum institutionalist tidak setuju dengan pandangan kaum reformis. Mereka menyalahkan intervensi pemerintah untuk pengembangan sector informal dan melihat spontanitas orang dan tanggapan kreatif terlalu berlebihan dan tidak perlu diatur dalam regulasi oleh Negara (de soto, 1989; World Bank 1989 yang dikutip oleh Owusu, 2007). Kaum neo-marxis tidak setuju akan pendapat pandangan kaum reformis dan institutionalis perihal pentingnya pemerintah dalam memberikan manfaat kepada kaum miskin. Mereka lebih memandang bahwa kemiskinan pada sector informal merupakan hasil dari hubungan yang eksploitatif dengan produksi dan distribusi kapitalis. Menurut Redclift (1986) orang-orang dalam posisi yang termarginalkan seperti petani, kelompok usaha kecil dan keluarga petani dikatakan memiliki strategi di dalam bertahan hidup yang sering disebut sebagai “strategi survival” atau “strategi coping”. Menurut Meert, Mistiaen, dan Kesteloot (1997) yang dikutip oleh Owusu (2007) Secara umum, strategi bertahan hidup (survival strategy) didefinisikan sebagai tindakan ekonomi yang disengaja oleh rumahtangga dengan motivasi yang tinggi untuk memuaskan sebagian besar kebutuhan dasar manusia, paling tidak pada level yang minimum, sesuai dengan norma social dan budaya masyarakat. Dalam khasanah penelitian mengenai strategi nafkah, Dharmawan (2007) membandingkan dua kelompok studi yang concern terhadap kajian sistem penghidupan, yaitu Mazhab Bogor dan Mazhab Sussex. Mazhab Bogor dikembangkan oleh Sajogyo, White, Dharmawan, dan ilmuwan sosial dari IPB. Sedangkan mazhab Sussex dipelopori oleh Chambers dan Conway, de Haan,
15
Bebbington dan Batterbury, Scoones, Ellis, dan lainnya. Secara kesejarahan mazhab Bogor muncul sebagai respon-aktif atas keprihatinannya pada persoalan kemiskinan dan kemunduran ekonomi pedesaan yang disebabkan oleh ketidakmampuan petani kecil dalam menyelaraskan diri pada proses-proses modernisasi pertanian berteknologi padat modal via pembangunan di Indonesia dan Jawa. Sementara pada mazhab Sussex, studi livelihood dilatarbelakangi adanya keprihatinan terhadap kehancuran yang menghempaskan komunitas lokal pada derajad ketidakpastian nafkah yang sangat dalam. Mazhab Bogor menggunakan tradisi pemikiran strukturalisme-Marxian dimana faktor-faktor sosial-ekonomi (seperti lahan, kapital, jumlah tenaga kerja, struktur rumahtangga) menjadi determinan penting atas munculnya beragam tipe strategi nafkah di pedesaan. Sementara mazhab Sussex kebih banyak menggunakan
pendekatan
sosio-ekologis
dalam
menjelaskan
fenomena
kemiskinan dan sistem penghidupan. Secara metotodologi, kedua mazhab menganut aliran pendekatan yang mirip, yaitu: kualitatif-konstruktuf-reflektif, dimana obyektifitas dibangun melalui apresiasi pemahaman subyektif dari orang miskin yang diamati di lapangan (Dharmawan, 2007) Kajian White yang dikutip Sajogyo (1990) telah melihat bahwa kondisi lahan yang semakin sempit, rumah tangga petani berusaha untuk melakukan kegiatan nafkah di luar pertanian. Beberapa tesis White adalah: (1) terjadi (sebagian) proses “orang terdorong ke luar (pertanian), imbalan di luar pertanian lebih rendah, orang menjalaninya karena terpaksa; dan (2) (sebagian lain) proses “orang tertarik ke dalam (nafkah bukan pertanian)”, dimana imbalan di luar pertanian yang lebih baik. Ada kecenderungan rumahtangga di lapisan bawah (miskin) yang terkena proses “terdorong keluar” sebagai suatu strategi bertahan hidup. Ide pemikiran Sajogyo tentang studi nafkah non pertanian yang seringkali diberi merupakan spesifik untuk kondisi petani di Indonesia terutama di Jawa. Berbagai penelitian ini dilatarbelakangi adanya keprihatinan atas gejala perubahan social terutama perubahan struktur agraria yang mendorong adanya upaya diversifikasi pekerjaan yang disebut sebagai nafkah ganda. Melihat fenomena
16
tersebut, akhirnya muncul ide dan pemikiran industrialisasi pedesaan. Ide tersebut dipublikasikan
melalui
“symposium
industrialisasi
pedesaan”
yang
diselenggarakan atas kerjasama Pusat Studi Pembangunan Lembaga Penelitian IPB dengan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia Cabang Jakarta pada tanggal 18 Desember 1989. Industrialisasi pedesaan tersebut muncul paling tidak dengan beberapa alasan, yaitu: (1) masih banyaknya jumlah penduduk yang menggantungkan diri pada sector pertanian, (2) sebagian besar berpenghasilan dari skala usaha yang kecil, dan (3) menurunnya dasa absorbsi sector pertanian terhadap tenaga kerja. Melalui industrialisasi pedesaan tersebut paling tidak berfungsi untuk: (1) mendorong pertumbuhan pedesaan dengan mendiversifikasi sumber pendapatan; (2) meningkatkan dampak pertumbuhan permintaan di dalam atau di luar suatu daerah; (3) meningkatkan kesempatan kerja baru; (4) mendekatkan hubungan fungsional antara pertanian dengan sector urban/industry; (5) meningkatkan produktivitas tenaga kerja dan penerimaan industry; dan (6) mengurangi kemiskinan pedesaan, ekonomi uang, dan pasar (Usman dalam Sajogyo, 1990). Dalam ranah penelitian, strategi rumahtangga dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu: (1) sebagai konsep; (2) sebagai metode analisis; dan (3) sebagai unit analisis (Wallace, 2002). Pertama: Sebagai konsep, strategi rumahtangga dapat didefinisikan dalam dua pengertian: (1) bahwa rumahtangga benar-benar duduk dan merencanakan aktivitas mereka dalam menghadapi ketidakpastian-“strong definition”; (2) rumahtangga mengorganisasikan berbagai sumber nafkah baik formal, non formal, dan tenaga kerja rumahtangga untuk bertahan hidup baik direncanakan maupun tidak “weak definition” (Warde, 1990 yang dikutip Wallace, 2002). Kedua: Sebagai metode analisis, terutama dipergunakan untuk memahami kombinasi formal, non-formal, dan pekerjaan rumahtangga dan pembagian kerja diantara mereka. Kombinasi ini biasanya hanya terbatas pada aktivitas yang tidak diatur oleh Negara dan kadang-kadang berbentuk resiprositas atau pertukaran yang tidak dibayar diantara rumahtangga. Ketiga: sebagai unit analisis, digunakan untuk memahami perilaku ekonomi pada level rumahtangga. Menurut White (1980) alasan rumahtangga menjadi dasar unit
17
analisis adalah bahwa rumahtangga adalah dasar unit produksi, reproduksi, konsumsi, seremonial, dan interaksi politik. Hal ini senada dengan pernyataan Chayanov (1966) bahwa pangkal tolak untuk memahami perilaku ekonomi petani adalah melihat rumahtangga petani sebagai unit produksi sekaligus sebagai unit konsumsi.
2.1.4. Basis Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Dalam upaya memperjuangkan kehidupan ekonominya rumahtangga petani di pedesaan biasanya akan melakukan diversifikasi sumber nafkah yaitu proses yang dilakukan oleh keluarga pedesaan untuk melakukan berbagai aktivitas dan kemampuan dorongan social mereka dalam upaya berjuang untuk bertahan hidup dan untuk meningkatkan standar hidup. Secara luas bahwa adanya diversifikasi nafkah tidak sekedar untuk bertahan hidup, yang dikonotasikan sebagai resistensi, artinya seolah-olah tidak berkembang. Oleh karena itu, bahwa strategi nafkah selain bertahan hidup tetapi juga berusaha memperbaiki standar hidup (Ellis, 1998; Redclift, 1986). Menurut Ellis (1998) pembentuk strategi nafkah dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu pertama: berasal dari on-farm; merupakan strategi nafkah yang didasarkan dari sumber hasil pertanian dalam arti luas (pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, perikanan, dll). Kedua: berasal dari off-farm, yaitu dapat berupa upah tenaga kerja pertanian, sistem bagi hasil (harvest share system), kontrak upah tenaga kerja non upah dan lain-lain. Ketiga: berasal dari non farm, yaitu sumber pendapatan yang berasal dari luar kegiatan pertanian yang dibagi menjadi 5 yaitu: (1) upah tenaga kerja pedesaan bukan dari pertanian; (2) usaha sendiri di luar kegiatan pertanian, (3) pendapatan dari hak milik (misalnya: sewa), (4) kiriman dari buruh migran yang pergi ke kota; dan (5) kiriman dari buruh migran yang pergi ke luar negeri. Namun, pada kenyataanya klasifikasi tersebut hanya dibagi menjadi dua yaitu dari sector pertanian (on farm dan off farm) dan sector non pertanian (non farm). Beberapa hal penting yang mendorong terjadinya diversifikasi sumber nafkah pada masyarakat pedesaan adalah: pertama, karena sistem produksi
18
bersifat musiman maka untuk mengisi waktu tunggu panen atau musim panen berikutnya, maka hal ini mendorong petani untuk mencari pekerjaan di luar sektor petanian. Kedua; perbedaan pasar tenaga kerja, hal ini mendorong pemanfaatan berbagai peluang kerja tersebut untuk memenuhi kebutuhan subsistensinya atau memperbaiki standar hidupnya. Ketiga; strategi mengurangi risiko, melalui berbagi upaya yang dilakukan diharapkan petani mampu menghindari risiko kelaparan, kebutuhan subsistensiya tidak terpenuhi, dan risiko lainnya. Keempat; sebagai perilaku penyesesuain, maksud penyesesuain disini adalah untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan dan upaya yang dilakukan sehingga tidak akan terjadi kekurangan. Kelima; strategi menabung dan investasi sementara, berbagai strategi nafkah yang dilakukan dalam upaya memberikan kenyamanan dan keamanan dalam bentuk tabungan atau investasi walaupun bersifat sementara, misalnya: beternak sapi, dianggap sebagai tabungan yang apabila sewaktu-waktu dibutuhkan dapat dijual (Ellis, 1998). Dalam kerangka untuk bertahan hidup dan meningkatkan standar hidup tersebut, masyarakat melakukan berbagai strategi diantaranya adalah: (1) meningkatkan produktivitas lahan seperti intensifikasi dan ekstensifikasi pada lahan pertanian, sementara pada masyarakat nelayan berusaha meningkatkan teknologi sehingga lebih mudah menangkap ikan; (2) adanya pembagian tugas untuk mencari nafkah antara suami, istri, dan anak; (3) menjalin kerjasama dengan anggota komunitas dalam upaya mempertahankan jaminan sosial masyarakat; (4) untuk tetap survive juga menjalin hubungan patron-klien; (5) melakukan migrasi untuk bekerja baik ke kota maupun menjadi TKI ke luar negeri (Ellis, 1998). Menurut Chambers (1995), beberapa cara yang dipergunakan oleh rumahtangga dalam kerangka bertahan hidup antara lain: (1) mutual help dengan tetangga atau saudara, (2) kontrak lepas, (3) pekerjaan sambilan, (4) pekerjaan khusus (tukang cukur, tukang kayu, penjahit), (5) memanfaatkan tenaga kerja anak, (6) pekerjaan kerajinan, (7) menggadaikan dan menjual asset, (8) pemisahan anggota keluarga (menitipkan anak pada kerabat), (9) migrasi musiman, (10) remitten, (11) penghematan makanan dan konsumsi, dan lainnya.
19
Sementara menurut pemikiran Barat, strategi nafkah meliputi asset (modal alam, modal fisik, modal SDM, modal financial, dan modal social), aktifitas, dan akses terhadap asset-aset tersebut yang dikombinasikan untuk menentukan kehidupan bagi individu maupun rumah tangga (Conway dan Chambers, 1992). Modal alam (natural capital) terdiri dari tanah, air, dan sumberdaya biologi yang di gunakan oleh manusia sebagai sarana bertahan hidup. Modal alam lebih banyak mengacu pada sumber daya lingkungan (environtmental resources) baik yang dapat diperbaharui atau tidak. Modal Fisik (Physical Capital) menyangkut modal yang diciptakan oleh proses ekonomi produksi seperti: bangunan, irigasi, jalan, mesin, dan lainnya. Modal sumber daya manusia (Human Capital) mengacu kepada sumber daya tenaga kerja yang ada pada rumah tangga seperti: pendidikan, keterampilan, dan kesehatan. Modal financial (Financial Capital and substitutes) mengacu kepada persediaan uang yang telah diakses oleh rumah tangga misalnya: tabungan, akses untuk mendapatkan kredit dalam bentuk bantuan. Modal Sosial (Social Capital) mencakup adanya kepercayaan (trust), clientization, hubungan kekerabatan, suku, daerah asal, almamater, dan lain sebagainya (Ellis, 2000). Selain lima asset yang disebut sebagai pentagon asset, Odero (2007) menambahkan satu asset penting lainnya yaitu asset informasi (information capital). Menurut Chambers (1995), bahwa strategi nafkah rumahtangga lebih mengacu kepada sarana untuk memperoleh kehidupan, termasuk kemampuan berupa tangible assets dan intangible assets. Inti dari livelihood dapat dinyatakan sebagai kehidupan (a living). Melalui campur tangan manusia, asset-asset nyata (tangible assets) dan asset tidak nyata (intangible assets) berkontribusi terhadap kehidupan (a living) (lihat gambar 2.1).
20
People Livelihood capabilities
A Living
Stores and Resources Tangible Assets
Claims and access Intangible Assets
Gambar 2.1. Komponen dan bagan alir nafkah rumah tangga Tangible assets di kendalikan oleh rumah tangga dalam dua bentuk, yaitu: (1) simpanan (store), contoh: stok makanan, simpanan berharga seperti emas dan perhiasan, tabungan dan (2) dalam bentuk sumber daya (resources) seperti: lahan, air, pohon, ternak, peralatan pertanian, alat dan perkakas domestic. Intangible assets terdiri dari claims yang dapat dibuat untuk material, moral atau pendukung lainnya dan access adalah kesempatan untuk menggunakan sumberdaya, simpanan atau jasa, atau untuk memperoleh informasi, material, teknologi, kesempatan kerja, makanan atau pendapatan Untuk mempermudah pemahaman mengenai livelihood, scoone (1998) membuat sebuah kerangka pemikiran. Kerangka pemikiran tersebut mencoba mengkaitkan antara kondisi, konteks, dan berbagai kecenderungan (trends) mempengaruhi sumber nafkah (natural capital, financial capital, human capital, social capital, dan lainnya). Perubahan pada sumber nafkah juga mempengaruhi struktur organisasi dan proses institusional untuk kemudian berkorelasi dengan strategi nafkah dan muaranya berpengaruh terhadap keberlanjutan sumber nafkah (lihat gambar 2.2).
21
Contexts, conditions and trends
Livelihood resources
Institutional processes & organisational structure
Livelihood strategies
Policy History Politics
Natural capital
Macroeconomic condition
Economic/ Financial capital
Term of Trade Climate Agro-ecology
Agricultural intensificationExstensification Institutions and Organizations Livelihood diversification
Human capital Social capital
Migration
Demography Social differentiation
And others…
Contextual analysis of conditions and trends and assessment of policy setting
Analysis of livelihood resources; trade off, combinations, sequences, trends
Analysis of institutional/organizati onal influences on access to livelihood resources and composition of livelihood strategy portfolio
Analysis of livelihood strategy portfolios and pathways
Sustainable livelihood outcome Livelihood 1.Increased number of working days created 2.Poverty reduced 3.Well-being and capabilities improved Sustainability 4.Livelihood adaptation, vulnerability and resilience enhanced 5.Natural resource base sustainability ensured Analysis of out comes and tradeoffs
Sumber : Scoones, 1998
Gambar 2.2. Framework Strategi Nafkah
Dalam kaitan dengan asset-atau yang sering disebut sebagai capital-tidak secara sederhana sumber daya (resources) yang ada langsung digunakan di dalam membangun nafkah (livelihood). Berbagai asset yang ada akan menentukan bagaimana strategi nafkah dibentuk dalam rangka meningkatkan kesejahteraan karena asset (capital) tersebut memberikan orang kemampuan (capability). Melalui berbagai kemampuan tersebut akan membuat kehidupan menjadi lebih berarti dan berkelanjutan (Bebbington, 1999) (lihat gambar 2.3).
22
Household and its member
Material weel-being
Access
Meaning
Capability
Natural Capital Human Capital
Produced Capital
Social Capital
Cultural Capital
• Use • Transformation • Reproduction
Gambar 2.3. Asset, livelihood, dan kemiskinan
2.1.5. Beberapa studi tentang strategi nafkah dan posisi penelitian dalam konteks kekinian Kajian mengenai strategi nafkah telah dilakukan beberapa puluh tahun yang lalu oleh Sajogyo walaupun hanya secara implisit. Berbagai kajian sistem penghidupan tersebut biasanya dikaitkan dengan kemiskinan di pedesaan. Penelitian Geertz memberikan gambaran bahwa kondisi pertanian di Jawa mengalami kemandegan terutama karena lahan yang terbatas harus menanggung beban penduduk yang semakin padat. Persoalan kepemilikan dan penguasaan lahan menjadi isu penting dalam kaitannya dengan ekonomi rumah tangga petani. Penelitian White (1973) yang dikutip Sajogyo (1990) menyatakan bahwa dalam kondisi lahan yang semakin sempit, rumah tangga petani berusaha untuk melakukan kegiatan nafkah di luar pertanian. Beberapa tesis White adalah: (1) terjadi (sebagian) proses “orang 23
terdorong ke luar (pertanian), imbalan di luar pertanian lebih rendah, orang menjalaninya karena terpaksa; dan (2) (sebagian lain) proses “orang tertarik ke dalam (nafkah bukan pertanian)”, dimana imbalan di luar pertanian yang lebih baik. Ada kecenderungan rumahtangga di lapisan bawah (miskin) yang terkena proses “terdorong keluar” sebagai suatu strategi bertahan hidup. Sajogyo (1998) menyebut sebagai pola nafkah ganda. White (1990) membedakan rumahtangga petani ke dalam tiga kelompok dengan strategi nafkah yang berbeda. Pertama, rumahtangga yang atau mengusahakan tanah pertanian luas, yang menguasai surplus produk pertanian diatas kebutuhan hidup mereka. Surplus ini seringkali dimanfaatkan untuk membiayai pekerjaan di luar sector non-pertanian, dengan imbalan penghasilan yang relative tinggi pula. Pada golongan pertama, strategi nafkah yang mereka terapkan adalah strategi akumulasi dimana hasil pertaniannya mampu diinvestasikan kembali baik pada sector pertanian maupun non pertanian. Kedua, rumahtangga usaha tani sedang (usahatani hanya mampu memenuhi kebutuhan subsisten). Mereka biasanya bekerja pada sector non pertanian dalam upaya melindungi diri dari gagal panen atau memberikan sumber pendapatan yang berkelanjutan mengingat usaha pertanian bersifat musiman. Strategi mereka ini dapat disebut sebagai strategi konsolidasi. Ketiga, rumahtangga usaha tani gurem atau tidak bertanah. Biasanya mereka bekerja dari usaha tani ataupun buruh tani, dimana penghasilannya tidak dapat mencukupi kebutuhan dasar. Rumahtangga ini akanmengalokasikan sebagian dari tenaga kerja mereka-tanpa modal, dengan imbalan yang rendah-ke dalam kegiatan luar pertanian. Pada rumahtangga pada golongan ketiga ini menerapkan strategi bertahan hidup (survival strategy). White mencatat bahwa terkesan seolah rumahtangga yang memiliki tanah relative luas dan menguasai terbesar dari pertanian, cenderung juga menguasai penghasilan non-pertanian yang paling besar dibandingkan rumahtangga petani sedang dan kecil. Namun demikian, perlu dicatat bahwa ada banyak variasi antar desa, polanya berbeda-beda. Bagaimana pola distribusi penghasilan rumah tangga petani dari pertanian dan non pertanian menurut dapat dilihat pada gambar 2.4.
24
NON PERTANIAN
PERTANIAN
Luas
Penghasilan
sawah
Rumah
milik (ha)
Tangga
≥ 1.00
2.14
0.5 – 0.99
0.92
1.22
0.25 – 0.49 < 0.25
0.24
1.0
0.33
0.36 0.18
0.1
1.5
0.60
0.41
0.30
0.5
0.71
0
0.5
1.0
(jutaan rupiah)
Sumber: White, 1990 Gambar 2.4. Pola Distribusi Penghasilan Rumahtangga Petani di Jawa Pada posisi bertahan hidup, tanpa surplus pertanian, dengan modal kecil, rumahtangga petani memasuki nafkah di luar pertanian, dengan imbalan (Rp/jam) yang lebih rendah dari kerja pertanian. Dalam hal usaha sendiri yang mereka bisa bina di luar pertanian, mereka tak menghitung jumlah masukan jam kerja sendiri/rumahtangga, menjurus ke eksploitasi diri. Lebih jauh Sajogyo (1990) membandingkan pola strategi nafkah rumahtangga desa antara lapisan atas dan lapisan bawah. Pada keluarga lapisan atas yang bermodal kuat dengan luas lahan >0,5 ha, punya surplus pertanian yang membesar akibat revolusi hijau dan dari surplus itu mampu memodali usaha luar pertanian. Sementara pada rumahtangga lapisan bawah (miskin tak bermodal) yang menunjukkan strategi “bertahan”: bagi mereka penghasilan total pada suatu waktu lebih penting, biarpun sebagian dari pekerjaan yang berimbalan lebih rendah. Beberapa penelitian lain yang bertitik tolak dari pemikiran Sajogyo adalah Joan Hardjono (1990) yang mengkaitkan antara tanah, pekerjaan, dan nafkah di pedesaan Jawa Barat. Ide dasar strategi nafkah petani di pedesaan adalah kritik atas kebijakan intensifikasi pertanian yang dianggap berlebihan. Sehingga untuk
25
meningkatkan pendapatan rumahtangga petani diperlukan upaya ekstensifikasi dan diversifikasi pertanian disamping adanya nafkah di luar sector pertanian. Dalam kajian anthropologi, Marzali (2003) juga melakukan penelitian tentang strategi peisan di Cikalong dalam menghadapi kemiskinan. Marzali berusaha mengkaitkan antara tekanan penduduk, kemiskinan dan strategi petani. Beberapa pemikir yang diulas berkaitan dengan strategi petani antara lain: (1) Boeke: “statistic expansion”, dan nilai cultural “limited needs”; (2) Geertz: “agricultural involution” dan “shared poverty”; (3) Hayami dan Kikuchi: “peisan rasional dalam masyarakat traditional”; (4) Palte: model geografi social. Namun demikian, Marzali tidak menggunakan keempat pendekatan itu. Dia lebih memilih menggunakan pendekatan “adaptive strategi”-nya Barlett, perilaku peisan dalam mengalokasikan sumberdaya yang mereka miliki dalam menghadapi masalah tekanan penduduk dan kemiskinan dilihat sebagai pilihan-pilihan tindakan yang tepat guna sesuai dengan lingkungan social, cultural, political, ekonomik, dan ekologikal tempat hidupnya. Beberapa tesis dan disertasi lain mencoba mencoba menelusuri beragam strategi nafkah masyarakat pedesaan dengan setting ekologi yang berbeda. Setting ekologi: (1) pegunungan: Dharmawan (1994 dan 2001), Efendi (2004); (2) Nelayan: Iqbal (2004), Lestari (2005); (3) masyarakat sekitar hutan: Purnomo (2005); (4) rumahtangga miskin perkotaan: Musyarofah (2006); (5) perkebunan rakyat (teh dan tebu): Masithoh (2005). Beberapa penelitian tersebut juga melihat basis nafkah dipilahkan berdasarkan pada pentagon asset (modal alam, modal fisik, modal SDM, modal financial, dan modal social). (Lihat pada lampiran 1). 2.2. Kerangka Pemikiran Menurut Ellis (2000) sebagian besar rumahtangga pedesaan pada umumnya tidak dapat menghindar dari resiko, apakah yang disebabkan oleh manusia atau karena faktor lingkungan. Pada petani tembakau berhadapan dengan beberapa risiko, yaitu: pertama, karena tembakau merupakan tanaman bebas yang diusahakan dan diperdagangkan tanpa campur tangan aparat desa, sehingga petani berhubungan langsung dengan pasar, akibatnya sangat rentan terhadap fluktuasi
26
harga yang juga dipengaruhi oleh beberapa actor mulai dari tengkulak/juragan, grader hingga pabrik. Kedua, pertanian tembakau juga sangat rentan terhadap perubahan cuaca dan musim. Pada sisi yang lain, luas lahan pertanian sebagai basis kehidupan utama semakin terfragmentasi karena diwariskan kepada generasi berikutnya. Berbagai kondisi tersebut akan mempengaruhi kepemilikan sumberdaya yang dimiliki petani baik asset alami, fisik, SDM, social, dan financial. Berbagai sumberdaya tersebut akan dikombinasikan sehingga akan membentuk strategi nafkah tertentu. Strategi tersebut di landasi oleh berbagai etika moral ekonomi nafkah, misalnya: apabila etika sosial-kolektif merupakan landasan moralnya maka lebih banyak rumahtangga petani akan memanfaatkan modal sosial sebagai factor penting dalam membangun sistem nafkahnya. Strategi nafkah tersebut diimplementasikan dalam bentuk aktifitas dan kelembagaan nafkah. Aktifitas nafkah tersebut dapat berupa pekerjaan pertanian dan non pertanian. Dalam melakukan aktifitas pertanian dan non pertanian tersebut tentu ada sebuah norma baik tertulis maupun tidak tertulis. Norma yang tidak tertulis sering disebut sebagai kelembagaan. Melalui kelembagaan nafkah inilah berbagai sumberdaya mampu diakses petani yang pada gilirannya akan digunakan sebagai sumber penghidupan. Berbagai sistem nafkah yang dibangun diharapkan mampu memberikan keberlanjutan penghidupan petani (sustainable livelihood). Chambers dan Conway (1991) mengemukakan bahwa sustainable livelihood harus mampu: (1) mampu beradaptasi dengan shock dan tekanan; (2) memelihara kapabilitas dan asset-aset yang dimiliki; dan (3) menjamin penghidupan untuk generasi berikutnya. Agar lebih mudah memahami bagaimana kerangka pemikiran dalam penelitian ini, akan disajikan pada gambar 2.5.
27
• Keterbatasan lahan • Komoditas rentan terhadap cuaca, musim, fluktuasi harga
Asset Nafkah
Modal Alami
Modal Fisik
Modal SDM
Modal Sosial
Modal Finansial
Strategi Nafkah yang dilandasi oleh etika moral
Aktivitas dan kelembagaan nafkah
Ragam Pola Nafkah
Gambar 2.5. Kerangka Pemikiran Penelitian
28
III. METODE PENELITIAN
3.1. Batasan Analisis Batasan analisis dalam penelitian ini adalah: Pertama, Pokok persoalan yang diangkat adalah persoalan keterbatasan lahan, tingkat kerentanan produk tembakau terhadap cuaca, musim, dan fluktuasi harga (keterkaitan dengan pasar) dan strategi nafkah yang dipergunakan. Kedua, masalah dan fokus penelitian ini adalah: (1) etika moral ekonomi apa yang melandasi petani dalam membangun sistem nafkahnya?; (2) bagaimana bentuk strategi nafkah rumahtangga petani?; (3) kelembagaan apa saja yang dibangun sebagai implementasi dari sistem nafkah rumahtangga petani?; dan (4) sejauh mana strategi nafkah yang diterapkan dapat membangun sistem nafkah yang berkelanjutan (sustainable livelihood)?. Ketiga, dalam penelitian ini mencoba melihat strategi nafkah pada rumahtangga petani tembakau yang bermukim pada lereng gunung yang berbasis pada lahan tegal (pegunungan) dan pada kaki gunung yang berbasis pada sawah. Sustainable livelihood yang dimaksud merujuk pada pengertian Chambers dan Conway (1992), sistem nafkah yang berlajut harus mampu: (1) beradaptasi dengan shock dan tekanan; (2) memelihara kapabilitas dan asset-aset yang dimiliki; dan (3) menjamin penghidupan untuk generasi berikutnya. Hal ini dapat dilihat seberapa besar peran aset-aset yang dimiliki dalam upaya mendukung penghidupan rumahtangga petani. Sedangkan asumsi dasar yang dibangun dalam penelitian ini adalah adanya penetrasi kapitalisme yang berlanjut pada komunitas petani tembakau sehingga melemahkan nilai-nilai etika/moral ekonomi lokal.
3.2. Pilihan Paradigma Penelitian Guba dan Lincoln dalam Salim (2006), mengemukakan empat paradigma utama yang bersaing dalam ilmu pengetahuan dengan berbagai asumsi-asumsi yang mendasarinya, yaitu positivisme, post-positivisme, teori kritis (critical theory), dan paradigma konstruktivisme (constructivism). Dalam penelitian ini,
29
peneliti menggunakan paradigm konstruktivisme. Hal ini dikaitkan dengan pertimbangan: secara ontologis, aliran ini menyatakan bahwa realitas itu ada dalam bentuk bermacam-macam konstruksi mental, berdasarkan pengalaman sosial, bersifat lokal dan spesifik dan tergantung pada orang yang melakukannya. Karena itu, suatu realitas yang diamati oleh seseorang tidak bisa digeneralisasikan kepada semua orang seperti yang biasa dilakukan di kalangan positivis atau postpositivis. Karena dasar filosofi ini, maka hubungan epistemologi antara pengamatan dan objek, menurut aliran ini bersifat satu kesatuan, subjektif dan merupakan hasil perpaduan interaksi diantara keduanya (Salim, 2006). 3.3. Pendekatan dan tahap-tahap Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif (qualitative approach), dengan informasi yang bersifat subyektif dan historis. Strategi yang digunakan adalah studi kasus, dengan pertimbangan bahwa: (1) pertanyaan penelitian berkenaan dengan ”bagaimana” dan ”mengapa”, (2) penelitian ini memberikan peluang yang sangat kecil bagi peneliti untuk mengontrol gejala atau peristiwa sosial yang diteliti, dan (3) menyangkut peristiwa atau gejala kontemporer dalam kehidupan yang rill (Yin, 1996). Kegiatan penelitian ini dilakukan melalui dua tahap, tahap-tahap tersebut adalah sebagai berikut: 1. Memahami profile desa tempat penelitian. Kegiatan ini dilakukan untuk memahami gambaran secara umum tentang desa yang akan diteliti. Profile desa diperoleh melalui analisis data sekunder dan data primer. Data sekunder di peroleh dari data potensi desa maupun kecamatan dalam angka. Sementara data primer dilakukan dengan melakukan wawancara dengan aparat dan sesepuh desa. Beberapa informasi penting yang akan digali antara lain terutama kondisi demografi, kondisi fisik, dan kondisi sosial lainnya 2. Memahami strategi nafkah rumahtangga petani. Kegiatan ini dilakukan dengan melakukan wawancara mendalam kepada tineliti untuk mendapatkan informasi: (1) etika moral ekonomi apa yang melandasi petani dalam membangun sistem nafkahnya?; (2) bagaimana bentuk strategi nafkah 30
rumahtangga petani?; (3) kelembagaan apa saja yang dibangun sebagai implementasi dari sistem nafkah rumahtangga petani?; dan (4) sejauh mana strategi nafkah yang diterapkan dapat membangun sistem nafkah yang berkelanjutan (sustainable livelihood)?
3.4. Teknik Pengumpulan Data Studi kasus adalah studi aras mikro (menyorot satu atau beberapa kasus) dan menggunakan multi-metode. Dalam pengumpulan data menggunakan teknik: (1) pengamatan berperan serta, (2) wawancara mendalam, (3) analisis dokumen, (4) dan studi pendahuluan melalui survey dasar untuk memahami gambaran tentang strategi nafkah dari level rumahtangga petani strata atas, menengah, dan bawah.
Pengamatan
berperan
serta
adalah
proses
penelitian
yang
mempersyaratkan interaksi antara peneliti dengan tineliti dalam lingkungan sosial tineliti sendiri, guna keperluan pengumpulan data dengan cara yang sistematis (Taylor dan Bogdan, 1984 yang dikutip Sitorus, 1998). Paling tidak ada dua alasan penting menggunakan metode pengamatan berperan serta: (1) pengamatan berperan serta memungkinkan peneliti melihat, merasakan, dan memaknai dunia beserta ragam peristiwa dan gejala sosial di dalamnya sebagaimana tineliti melihat, merasakan dan memaknainya; dan (2) pengamatan berperan serta memungkinkan pembentukan pengetahuan secara bersama oleh peneliti dan tineliti (intersubyektivitas) (Moelong, 1989 yang dikutip Sitorus, 1998). Dalam konteks penelitian ini Kegunaan masing-masing metode tersebut diuraikan pada tabel 3.1. Wawancara mendalam merupakan temu-muka berulang antara peneliti dan tineliti dalam rangka memahami pandangan tineliti mengenai hidupnya, pengalamannya, ataupun situasi sosial sebagaimana ia ungkapkan dalam bahasanya sendiri (Taylor dan Bogdan, 1984 yang dikutip Sitorus, 1998). Teknik wawancara dilakukan secara tidak berstruktur dimana wawancara bersifat lepas dengan subyek penelitian, namun terlebih dahulu dibuat pokok-pokok pertanyaan.
31
Sebagai pendukung penyimpanan data dari ketiga teknik yang dipakai, maka peneliti membuat catatan harian. Catatan harian yang dimaksud berisi data kualitatif hasil pengamatan berperan serta dan wawancara mendalam
dalam
bentuk uraian rinci maupun kutipan langsung (Sitorus, 1998) (contoh bentuk catatan harian dapat dilihat pada lampiran 5). Tabel 3.1. Data yang akan dikumpulkan dan teknik yang dipergunakan Teknik pengumpulan data Pengamatan berperan serta
Wawancara mendalam
Analisis dokumen
Data yang akan dikumpulkan • Aktivitas RT dalam kegiatan produksi, konsumsi, dan distribusi tembakau • Pola interaksi petani-petani, petani-pedagang, pemilik lahan-buruh • Kondisi agro-ekologi (lahan pertanian) • Aktifitas strategi nafkah dari berbagai lapisan • Aktifitas pembagian kerja anggota keluarga • Aktifitas diversifikasi dalam strategi nafkah • Sejarah pemilikan atau penguasaan lahan • Kalender musim • Pembagian kerja dalam satuan rumahtangga petani • Kegiatan usahatani tembakau (cara memperoleh input produksi, modal, teknologi, jenis tembakau, harga, dan lainnya) • Alur kegiatan distribusi produk tembakau • Kelembagaan yang dibangun baik dalam kegiatan produksi maupun distribusi • Peran aktivitas non-pertanian dalam menopang kehidupan ekonomi dan mengapa bekerja pada sektor non-pertanian • Bagaimana alur perjalanan modal petani mulai dari kegiatan pertanian, pasar, hingga konsumsi atau akumulasi, dan kembali untuk modal pertanian atau bidang lainnya • Mengkaji sejarah desa • Mengkaji kondisi sosio-ekonomi rumahtangga petani • Mengkaji sejarah pertembakauan di Kabupaten Temanggung • Mengkaji data terkait dengan pertanian tembakau, seperti: luas lahan, produksi pertahun, jumlah rumahtangga petani, dan lainnya
3.5. Teknik Pengolahan dan Analisa Data Untuk menganalisis data yang telah terkumpul, dalam penelitian ini digunakan metode analisis data kualitatif. Hal penting yang dilakukan dalam analisa data ini adalah reduksi data yaitu proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data ”kasar” yang muncul
32
dari catatan-catatan di lapangan. Proses ini berlangsung terus-menerus selama penelitian berlangsung, bahkan sebelum data benar-benar terkumpul, sebagaimana tampak dari kerangka konseptual wilayah penelitian, permasalahan penelitian dan pendekatan pengumpulan data yang dipilih peneliti. Reduksi dalam proses pengumpulan data meliputi kegiatan-kegiatan: (1) meringkas data; (2) mengkode; (3) menelusur tema; (4) membuat gugus-gugus; (5) membuat partisi; (6) membuat memo. Kegiatan ini berlangsung sejak pengumpulan data sampai dengan penyusunan laporan. Reduksi data merupakan bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa sehingga dapat memberikan kesimpulan akhir (Sitorus, 1998). Sebelum penarikan kesimpulan akhir, maka perlu diverifikasi selama penelitian berlangsung dengan cara: (1) memikir ulang selama penulisan; (2) tinjauan ulang pada catatan-catatan lapangan; (3) peninjauan kembali dan tukar pikiran antar teman sejawat untuk mengembangkan ”kesepakatan intersubyektif”; dan (4) upaya-upaya yang luas untuk menempatkan salinan suatu temuan dalam seperangkat data yang lain (Sitorus, 1998). 3.6. Pemilihan Daerah Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di dua desa yaitu Desa Wonotirto dan Desa Campursari. Kedua desa tersebut masuk wilayah Kecamatan Bulu Kabupaten Temanggung. Pemilihan daerah tersebut didasarkan pada beberapa alasan : 1. Kabupaten Temanggung adalah penghasil tembakau sejak zaman kolonial dan hingga sekarang adalah salah satu penyumbang tembakau rakyat (rajangan) selain Madura 2. Kecamatan Bulu adalah wilayah yang paling luas melakukan budidaya tembakau di Kabupaten Temanggung 3. Pemilihan desa Wonotirto dan desa Campursari didasarkan pada setting ekologi yang berbeda dimana desa Wonotirto terletak di lereng Gunung Sindoro yang berbasis pada lahan pegunungan, sementara desa Campursari terletak di wilayah kaki gunung Sumbing dimana berbasis lahan sawah.
33
3.7. Unit Analisis Unit
analisa
dalam
penelitian
ini
adalah
rumahtangga
yang
direpresentasikan oleh kepala rumahtangga. Rumahtangga menjadi sangat penting dalam analisis dalam penelitian ini karena didasarkan pada beberapa alasan yaitu: (1) menurut White (1980), rumahtangga adalah dasar unit produksi, reproduksi, konsumsi, seremonial, dan interaksi politik; dan (2) menurut Chayanov (1966) bahwa pangkal tolak untuk memahami perilaku ekonomi petani adalah melihat rumahtangga petani sebagai unit produksi sekaligus sebagai unit konsumsi. Namun demikian, dalam mengatur strategi nafkahnya, rumahtangga tidak berdiri sendiri melainkan senantiasa berhubungan dengan anggota komunitas dan membangun kelembagaan nafkah sehingga sistem nafkah rumahtangga dapat berkelanjutan. 3.8. Definisi Operasional Agar lebih mudah dalam memahami beberapa variabel penting dalam penelitian ini, maka perlu dijelaskan dalam bentuk definisi operasional sebagai berikut: 1. Rumahtangga petani tembakau. Rumahtangga petani usaha tanaman perkebunan adalah kegiatan yang menghasilkan produk tanaman perkebunan dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya dijual/ditukar atau memperoleh pendapatan/keuntungan atas resiko usaha. Suatu rumah tangga dikategorikan sebagai rumah tangga pertanian perkebunan apabila banyak pohon/rumpun/luas yang diusahakan rumah tangga tersebut lebih besar atau sama dengan batas minimal usaha (BMU) masing-masing jenis tanaman tersebut. BMU untuk tanaman tembakau adalah 1600 m2 (BPS, 2005) 2. Strategi bertahan hidup (survival strategy) adalah tindakan ekonomi yang disengaja oleh rumahtangga dengan motivasi yang tinggi untuk memuaskan sebagian besar kebutuhan dasar manusia, paling tidak pada level yang minimum, sesuai dengan norma social dan budaya masyarakat (Meert, Mistiaen, dan Kesteloot, 1997 yang dikutip oleh Owusu, 2007)
34
3. Strategi nafkah meliputi asset (modal alam, modal fisik, modal SDM, modal financial, dan modal social), aktifitas, dan akses terhadap asset-aset tersebut yang dikombinasikan untuk menentukan kehidupan bagi individu maupun rumah tangga (Conway dan Chambers, 1992). 4. Aset-aset rumah tangga petani tembakau (Ellis, 2000) a. Modal alam (natural capital) terdiri dari tanah, air, dan sumberdaya biologi yang di gunakan oleh manusia sebagai sarana bertahan hidup. Modal alam lebih banyak mengacu pada sumber daya lingkungan (environtmental resources) baik yang dapat diperbaharui atau tidak. b. Modal Fisik (Physical Capital) menyangkut modal yang diciptakan oleh proses ekonomi produksi seperti: bangunan, irigasi, jalan, mesin, dan lainnya. c. Modal sumber daya manusia (Human Capital) mengacu kepada sumber daya tenaga kerja yang ada pada rumah tangga seperti: pendidikan, keterampilan, dan kesehatan. d. Modal financial (Financial Capital and substitutes) mengacu kepada persediaan uang yang telah diakses oleh rumah tangga misalnya: tabungan, akses untuk mendapatkan kredit dalam bentuk bantuan. e. Modal Sosial (Social Capital) mencakup adanya kepercayaan (trust), clientization, hubungan kekerabatan, suku, daerah asal, almamater, dan lain sebagainya. 5. Aktifitas nafkah adalah wujud nyata dari strategi yang diterapkan oleh rumahtangga petani meliputi kegiatan pertanian (on farm dan off farm) dan non pertanian (non farm) (Ellis, 1998) a. on-farm; didasarkan dari sumber hasil pertanian dalam arti luas (pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, perikanan, dll) b. off-farm, yaitu dapat berupa upah tenaga kerja pertanian, sistem bagi hasil (harvest share system), kontrak upah tenaga kerja non upah dan lain-lain. c. non farm, yaitu sumber pendapatan yang berasal dari luar kegiatan pertanian yang dibagi menjadi 5 yaitu: (1) upah tenaga kerja pedesaan bukan dari pertanian; (2) usaha sendiri di luar kegiatan pertanian, (3)
35
pendapatan dari hak milik (misalnya: sewa), (4) kiriman dari buruh migran yang pergi ke kota; dan (5) kiriman dari buruh migran yang pergi ke luar negeri. 6. Kelembagaan adalah norma yang dijadikan acuan oleh komunitas untuk berperilaku, biasanya tidak tertulis. Tujuan kelembagaan adalah untuk melestarikan eksistensi komunitas dan mempertahankan norma yang mendasari keberlanjutan (Tjondronegoro, 1984).
36
IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1. Sekilas Tentang Temanggung Secara administratif, Temanggung adalah salah satu Kabupaten di Propinsi Jawa Tengah (Lihat gambar 4.1.). Kabupaten Temanggung terletak antara 110o23’-110o46’30’’ Bujur Timur; 7o14’-7o32’35’’ Lintang Selatan. Jarak terjauh dari Barat ke Timur adalah 43,437 Km dan jarak terjauh dari Utara ke Selatan adalah 34,375 Km. Temanggung di batasi oleh beberapa Kabupaten, antara lain: Sebelah Utara Sebelah Selatan Sebelah Barat Sebelah Timur
: berbatasan dengan Kabupaten Kendal dan Kabupaten Semarang : berbatasan dengan Kabupaten Magelang : berbatasan dengan Kabupaten Wonosobo : berbatasan dengan Kabupaten Semarang dan Kabupaten Magelang.
Wilayah Kabupaten Temanggung terbagi menjadi 20 kecamatan, 289 desa, 1.511 dusun, 5.542 RT, dan 1.632 RW. 20 nama kecamatan tersebut adalah: Parakan, Kledung, Bansari, Bulu, Temanggung, Tlogomulyo, Tembarak, Selopampang, Kranggan, Pringsurat, Kaloran, Kandangan, Kedu, Ngadirejo, Jumo, Gemawang, Candiroto, Bejen, Tretep, dan Wonoboyo. Bentuk Kabupaten Temanggung secara makro merupakan cekungan atau depresi, artinya rendah di bagian tengah, sedangkan sekelilingnya berbentuk pegunungan, bukit atau gunung. Morfologi Kabupaten Temanggung pada dasarnya dibedakan dataran rendah dan dataran tinggi. Dataran rendah dibentuk oleh sedimen atau alluvial, sedang dataran tinggi dibentuk oleh pegunungan perbukitan yang keadaanya bergelombang. Wilayah Kabupaten Temanggung sebagian besar merupakan dataran dengan ketinggian antara 500-1450 mdpl. Dengan keadaan tanah sekitar 50 % dataran tinggi dan 50 % dataran rendah. Jenis tanahnya adalah latosol coklat (32,13 %); latosol coklat kemerahan (9,53 %), latosol merah kekuningan (35,33 %), Regosol (20,14 %), andosol (2,60 %).
37
Gambar 4.1. Peta Kabupaten Temanggung
Kemiringan tanah di kabupaten temanggung bervariasi,
antara datar,
hampir datar, agak terjal, hamper terjal, terjal dan sangat terjal, sebagaimana terlihat pada kelas lereng : Lereng 0-2 % seluas 298 ha (1,17 %) Lereng 2-15 % seluas 32492 Ha (39,31 %) Lereng 15-40 % seluas 31232 (37,88%) Lereng >40 % seluas 17983 ha (21,64 %) Kabupaten Temanggung memiliki dua musim yaitu: musim kemarau antara bulan April s.d. September dan musim penghujan antara bulan Oktober s.d. maret dengan curah hujan tahunan pada umumnya tinggi. Data tahun 2001 menunjukkan bahwa curah hujan di Kabupaten Temanggung berkisar 1000-3100 mm setahun. Curah hujan pada dataran rendah lebih kecil dibandingkan pada dataran tinggi.
38
Daerah kabupaten Temanggung pada umumnya berhawa dingin dimana udara pegunungan berkisar antara 20OC – 30OC. Daerah berhawa sejuk terutama di daerah kecamatan tretep, Kecamatan Bulu (Lereng Sumbing), Kecamatan Tembarak, Kecamatan Ngadirejo serta Kecamatan Candiroto. Gunung-gunung yang tertinggi adalah gunung Sumbing (+ 3260 m) dan gunung Sindoro (+3151m). Adapun sungai-sungai yang tergolong besar antara lain: Waringin, Lutut, Elo, Progo, Kuas, Galeh, dan Tingal. 4.2.Kondisi Umum Desa Campursari dan Wonotirto Desa Campursari dan Wonotirto merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Bulu. Dari Kota Temanggung, Ibu kota kecamatan Bulu terletak ± 6 Km ke arah Barat (arah ke Wonosobo). Dengan kendaraan bermotor dapat ditempuh ± selama 15 menit melalui jalan yang sudah diaspal. Luas wilayah Kecamatan Bulu adalah 4.303,96 Ha dengan rincian sebagai berikut: 1.370,84 Ha (31,85%) merupakan lahan sawah dan 2.933,12 Ha (68,15 %) termasuk lahan bukan sawah. Lahan bukan sawah diperuntukkan untuk bangunan seluas 365.83 (12,47%); tegal/ladang 2.102,47 ha (71,68 %); kolam 1,86 ha (0,06 %); hutan Negara 411 ha (14,01 %); dan lainnya 51,95 ha (1,77 %). Desa Campursari lebih dekat dengan ibu kota Kecamatan Bulu dibandingkan Wonotirto. Dengan menggunakan kendaraan bermotor dapat ditempuh selama ± 10 menit. Desa ini relative dekat dengan pusat kota, dan dengan kondisi jalan yang sudah beraspal halus dengan basis pertanian lahan sawah (86,8 %). Sedangkan di Wonotirto semua lahannya (100 %) bukan merupakan lahan sawah (tegal) (lihat table 4.1.). Tabel 4.1. Luas Penggunaan Lahan Menurut Jenisnya Tahun 2007 Luas lahan (Ha) Bukan % Jumlah Sawah Wonotirto 0,00 544,33 100,00 544,33 Campursari 130,20 86,80 19,8 13,20 150 Bulu 1370,84 31,85 2933,12 68,15 4303,96 Sumber: Kecamatan Bulu dalam Angka Tahun 2008 Desa
Lahan Sawah
%
% terhadap luas Kec. Bulu 12,65 3,49 100
39
Keberadaan lahan sawah dan tegal di kedua desa tersebut sangat dipengaruhi oleh ketinggiannya dari permukaan laut. Rata-rata ketinggian wilayah di Kecamatan Bulu adalah 772 mdpl. Desa campursari terletak pada 550 mdpl, sedangkan Wonotirto berada pada 1.200 mdpl (lihat pada table 4.2.). Kecamatan Bulu terletak di lereng Gunung Sumbing, sementara ketinggian Gunung Sumbing adalah ± 3.260 mdpl) atau 1,5 kali dari ketinggian desa Wonotirto. Ketinggian wilayah ini juga mempengaruhi sarana transportasi yang tersedia. Desa campursari yang terletak di pusat kota kecamatan relative lebih banyak pilihan sarana transportasi baik umum maupun pribadi. Desa ini dilalui jalan raya Temanggung-Wonosobo, disamping merupakan jalan utama menuju Parakan
yang
merupakan
pusat
perdagangan
tembakau
di
Kabupaten
Temanggung. Sementara di Desa Wonotirto, sarana transportasi pribadi6 lebih dominan terutama untuk mobilitas yang bukan untuk perdagangan tembakau. Sarana
transportasi
umum
biasanya
menggunakan
pick-up
yang
juga
dipergunakan untuk mengangkut barang pada saat musim tembakau. Pada musim tembakau frekuensi mobil pick-up lebih sering dibandingkan non-tembakau. Saat musim panen tembakau, satu hari bisa 5-7 kali dari Wonotirto ke Parakan atau Temanggung dengan jumlah pick-up yang relative banyak (4-8 buah). Sedangkan di luar musim tembakau biasanya hanya 2-3 kali per hari dengan jumlah pick-up yang lebih sedikit. Tabel 4.2. Ketinggian desa dari permukaan laut dan jaraknya ke pusat pemerintahan dirinci per desa di kecamatan Bulu tahun 2007 Jarak dari kantor desa ke ibu kota Desa Ketinggian dari Permukaan Laut Kecamatan Kabupaten Propinsi (m) Wonotirto 1200 14 8,6 65 Campursari 650 1 4,07 85 Rata-rata Kec. Bulu 772 4,47 6 84,47 Sumber: Kecamatan Bulu dalam Angka Tahun 2008
6
Pada kelompok kelas menengah ke bawah mayoritas memiliki sepeda motor yang dibeli pada saat panen tembakau. Sedangkan pada kelompok petani lahan luas pada umumnya memiliki mobil pribadi baik untuk kepentingan perdagangan maupun lainnya.
40
Lahan sawah di desa campursari 45,23 % berpengairan teknis; 34,18 % berpengairan ½ teknis; dan lainya adalah berpengairan sederhana PU (lihat table 4.3.). Potensi ini dimanfaatkan oleh masyarakat dengan melakukan kegiatan tanam sebanyak tiga kali. Pilihan komoditasnya pun relative lebih banyak, misalnya: padi-padi-padi; padi-padi-tembakau; padi-padi-jagung. Hal tersebut berbeda dengan desa Wonotirto dengan lahan tegalan. Pilihan komoditas tanaman hanya bisa dilakukan pada musim tanam Nopember-April yaitu: cabe, jagung, diselingi dengan tanaman tumpangsari. Sedangkan pada musim tanam AprilSeptember pilihan komoditas menggantungkan diri pada tanaman tembakau, mengingat untuk saat ini tanaman yang paling tahan terhadap musim kemarau adalah tembakau. Secara umum, ketergantungan petani dari sudut pandang agroekologi terhadap tembakau pada lahan tegal di lereng Gunung Sindoro-Sumbing jauh lebih tinggi dibandingkan pada lahan sawah. Pada lahan sawah, petani memiliki pilihan komoditas yang lebih banyak. Namun demikian, keterikatan terhadap tembakau tidak serta merta merenggang. Berbagai harapan akan harga tinggi mendorong petani tetap mengusahakan tembakau walaupun pilihan untuk menanam padi juga relative terbuka. Tabel 4.3. Luas Lahan Sawah berdasarkan Pengairan Tahun 2007 Irigasi Desa Teknis ½ teknis Sederhana Sederhana PU non-PU Wonotirto Campursari 58,89 44,50 26,81 (45,23%) (34,18 %) (20,59 %) Bulu 161,02 628,58 98,54 466,65 (11,75 %) (45,85 %) (7,19 %) (34,04 %) Sumber: Kecamatan Bulu dalam Angka Tahun 2008
Tadah hujan 16,06 (1,17 %)
Pada lahan sawah, petani melakukan strategi perubahan komoditas. Pada tahun-tahun yang kurang menguntungkan untuk tanaman tembakau7, untuk mengurangi resiko gagal panen, petani lahan sawah tidak menanam tembakau dan menggantinya dengan tanaman padi yang relative lebih aman (risiko rendah). 7
Didasarkan pada ramalan sesepuh atau grader atau berdasarkan pengalaman petani dengan angka tahun pada digit terakhir 8 dianggap kurang baik untuk menanam tembakau terutama yang didahului angka ganjil, misalnya: tahun 1978, 1998, dan lainnya.
41
Pilihan menaman padi selama tiga musim tanam sebenarnya mengandung risiko terhadap serangan tikus. Namun demikian dibandingkan gagal panen tembakau, risiko menanam padi lebih kecil. Kecamatan Bulu terdiri dari 19 Desa8, 91 dusun, 84 RW, dan 297 RT. Desa Wonotirto terdiri dari 4 dusun, 4 RW (Rukun Warga), 20 RT (Rukun Tetangga) dan 901 KK (Kepala Keluarga). Sedangkan desa Campursari terdiri dari 6 dusun, 6 RW, 18 RT, dan 567 KK (lihat table 4.4.). Keenam dusun di Desa Campursari adalah Sojayan, Watukarung, Gregesan, Sewatu, Dalangan, Tegalsari. Antar dusun terletak berdekatan satu sama lain dan hanya dipisahkan oleh jalan raya. Sementara di dusun-dusun di Wonotirto: Kwadungan, Grubug, Tritis, Wunut, jarak antar dusun dipisahkan oleh bukit, lahan tegalan, dan ada yang terhubung dengan jalan yang relative sulit untuk dilalui. Tabel 4.4. Banyaknya Dusun, RW, RT di Kecamatan Bulu, Desa Wonotirto dan desa Campursari Tahun 2007 Desa
Dusun
RW
RT
KK L
Wonotirto 4 4 20 901 Campursari 6 6 18 567 Bulu 91 84 297 10.786 Sumber: Kecamatan Bulu dalam Angka Tahun 2008
Jml Penduduk P Jml 1.846 1.746 3.594 973 1.035 2.008 21.312 21.448 42760
Dilihat dari jumlah penduduk, desa Campursari lebih padat dibandingkan Wonotirto maupun Kecamatan Bulu baik dari sisi geografis maupun agraris (lihat table 4.5.). Semakin kecil angka kepadatan penduduknya (geografis dan agraris) maka akan berimplikasi kepada luas kepemilikan lahan baik lahan pertanian maupun non pertanian. Hal ini dapat dilihat dari data sensus pertanian tahun 2003 yang menunjukkan luas kepemilikan di atas 1 hektar di desa Wonotirto adalah 31,23 %; Campursari sebesar 0,56 %; dan Kecamatan Bulu adalah 8,26 %. Berdasarkan komposisi jenis kelamin, terlihat di Wonotirto terdapat 110 laki-laki per 100 perempuan; Campursari 95 laki-laki per 100 perempuan; dan di Kecamatan Bulu 99 laki-laki per 100 perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa 8
Desa-desa tersebut adalah: Wonotirto, Pagergunung, Wonosari, Bansari, Pandemulyo, Malangsari, Mondoretno, Pakurejo, Pengilon, Pasuruhan, Gondosuli, Tegalrejo, Gandurejo, Campursari, Tegallurung, Bulu, Putat, Ngimbrang, dan Danupayan
42
komposisi laki-laki terhadap perempuan relative sama atau tidak menunjukkan perbedaan yang berarti. Sementara dari angka beban tanggungan (ABT) di desa Wonotirto terlihat lebih tinggi dibandingkan Campursari yaitu terdapat 65 pendudukan usia non produktif per 100 usia produktif. Hal ini bermakna bahwa setiap 100 penduduk usia produktif menanggung 65 orang usia non produktif. Tabel 4.5. Kepadatan geografis dan Agraris, Sex ratio, dan Angka Beban Tanggungan (ABT) di Desa Campursari, Wonotirto, dan Kec. Bulu Tahun 2007 Kepadatan Kepadatan Sex Ratio11 Angka Beban Geografis9 Agraris10 Tanggungan (ABT)12 Wonotirto 666 9 110 65,00 Campursari 1.357 15 95 50,52 Bulu 994 11 99 48,63 Sumber: diolah dari Kecamatan Bulu dalam Angka Tahun 2008 Desa
Kondisi geografi suatu wilayah akan mempengaruhi jenis mata pencaharian penduduknya. Mayoritas pekerjaan penduduk Wonotirto adalah sebagai petani perkebunan, terutama adalah petani tembakau. BPS (2005) mendefinisikan rumahtangga petani usaha tanaman perkebunan adalah kegiatan yang menghasilkan produk tanaman perkebunan dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya dijual/ditukar atau memperoleh pendapatan/keuntungan atas resiko usaha. Suatu rumah tangga dikategorikan sebagai rumah tangga pertanian perkebunan apabila banyak pohon/rumpun/luas yang diusahakan rumah tangga tersebut lebih besar atau sama dengan batas minimal usaha (BMU) masingmasing jenis tanaman tersebut. BMU untuk tanaman tembakau adalah 1600 m2. Sedangkan desa Campursari yang lahannya berbasis pada sawah petani yang mengusahakan tembakau tidak sebanyak di desa Wonotirto. Sebagian besar adalah petani tanaman pangan terutama padi (lihat table 4.6.)
9
Kepadatan geografis adalah perbandingan antara jumlah penduduk dengan luas wilayah (km3) Kepadatan agraris adalah perbandingan antara jumlah penduduk dengan luas lahan pertanian (ha) 11 Sex Rasio adalah rasio antara penduduk laki-laki dengan perempuan 12 Angka Beban Tanggungan (ABT) adalah rasio antara penduduk non produktif (0-14 tahun dan 65+) dengan penduduk produktif (15-64 tahun) 10
43
Tabel 4.6. Mata Pencaharian Penduduk 10 tahun ke atas Tahun 2007 Mata Pencaharian Ds. Wonotirto Ds. Campursari Petani tanaman pangan 179 798 Peternak 100 3 Petani perkebunan 1.160 30 Pertambangan/penggalian 4 2 Industri Pengolahan 0 3 Bangunan 3 7 Perdagangan, hotel, RM 22 77 Pengangkutan dan 22 32 komunikasi Jasa 0 352 Lainnya 36 30 Jumlah 1.526 1.333 Sumber: Kecamatan Bulu dalam Angka Tahun 2008
Kec. Bulu 12.369 756 3.045 14 347 765 2.614 556 2.481 462 23.801
Komoditas pertanian yang diusahakan di Wonotirto lebih bervariasi dibandingkan di Campursari. Komoditas utama desa Campursari adalah padi dan paling tidak sekali musim tanam dalam setahun mengusahakan tembakau. Sedangkan di Wonotirto komoditas utamanya adalah tembakau dan jagung. Kacang tanah, kedelai, sayuran, kacang merah adalah sebagai tanaman tumpangsari yang tidak selalu dijual melainkan untuk konsumsi pribadi. Secara perlahan, jagung juga sudah mulai ditinggalkan dan diganti dengan tanaman cabe karena alasan lebih menguntungkan. Untuk melihat lebih jelas mengenai luasan lahan dan panen komoditas pertanian dapat dilihat pada table 4.7. Tabel 4.7. Luas dan Panen komoditas pertanian di desa Wonotirto, Campursari, dan Kecamatan Bulu Tahun 2007 Wonotirto Campursari Kec. Bulu Komoditas Panen Luas Panen Luas Panen Luas (ha) (kw) (ha) (ha) (ha) (kw) Padi 0 0 3.999,14 13,91 4.053 26.032 Jagung 112,18 129,64 0 0 1.777 5.082 Kacang Tanah 15,6 12,27 0 0 39 81 Kedelai 0,8 0,3 0 0 2 2 Cabe 59,64 133,31 1,19 6,96 630 17.216 Kacang Merah 3,69 9,02 0,07 0,47 39 1165 Kobis 67,62 15.723,03 0 0 128 27.403 Tembakau 367,58 51,42 72,31 0 1.627 976,20 Sumber: Kecamatan Bulu dalam Angka Tahun 2008
44
Beternak adalah salah satu aktivitas penting bagi rumahtangga petani. Binatang ternak dapat dijadikan sebagai tabungan sekaligus investasi. Sebagai tabungan ketika mengalami kebutuhan yang mendadak, sewaktu-waktu bisa dijual. Sedangkan sebagai investasi, karena diupayakan agar bernak-pinang atau paling tidak bisa menghasilkan keuntungan selama dipelihara. Pakan ternak biasanya sebagian diambil dari jerami untuk rumahtangga petani berbasis padi sawah selain mencari rumput di sekitar desa yang kepemilikannya bersifat umum. Sementara pada masyarakat pegunungan seperti Wonotirto, para petani mencari rumput hingga di luar desa. Pada umumnya. sambil mengelola lahan mereka mencari rumput di pinggir jalan bahkan terkadang berombongan dengan para tetangga mencari ke luar desa. Rumput yang sudah diambil dimasukkan dalam karung. Apabila yang mencari rumput perempuan, karung tersebut digendong dengan menggunakan kain panjang seperti selendang. Sedangkan kalau laki-laki, karung tersebut di panggul atau di letakkan di atas kepala (jawa: disunggi). Apabila persediaan rumput di dalam desa sudah menipis atau habis mereka berjalan hingga 1-2 km untuk mencari rumput yang masih tersedia. Jenis hewan piaraan di Wonotirto paling banyak adalah kambing dan sapi, sedangkan di Campursari lebih banyak jenis kerbau (lihat table 4.8.). Bangunan kandang ternak ada yang dibuat secara sederhana dengan memakai kayu yang dirangkai berbentuk limas dengan lantai tanah dan ada yang dengan lantai yang sudah dikeraskan. Letak kandang biasanya berdekatan dengan dapur rumah, dan sebagian besar di Desa Wonotirto kandang kambing menyatu dengan dapur. Tabel 4.8. Ternak besar, kecil, unggas Desa Campursari, Wonotirto, dan Kecamatan Bulu Tahun 2007. Desa Sapi Kerbau Kuda Wonotirto 18 Campursari 5 59 9 Bulu 647 151 23 Sumber: Kecamatan Bulu dalam Angka Tahun 2008
Kambing 910 2 6808
Meskipun jauh dari kota kecamatan (± 14 km), namun dari sisi pendidikan dan kesehatan, desa Wonotirto tidak terlalu ketinggalan. Paling tidak sudah ada 4 45
bangunan sekolah TK, 3 SD, dan 1 SMP. Sementra Campursari yang dekat dengan kota kecamatan hanya ada 1 bangunan TK dan 2 SD. Namun demikian karena aksesnya yang mudah, maka tidak ada kesulitan untuk mengenyam pendidikan hingga tingkat SMP. Dari sisi tingkat pendidikan yang ditamatkan, desa Campursari lebih tinggi dibandingkan Wonotirto. Hal ini dapat dilihat dari jumlah yang tamat Perguruan Tinggi dan Akademi, SLTA, dan SLTP. Sedangkan yang menamatkan SD, Wonotirto jauh lebih banyak jika dibandingkan Campursari (lihat table 4.8.). Tingkat migrasi yang rendah dari para generasi muda ke luar desa atau kecamatan menyebabkan mereka hanya mengenyam pendidikan SD atau SMP. Sementara untuk melanjutkan tingkat SLTA atau Perguruan Tinggi, mereka harus ke luar desa bahkan kecamatan atau kabupaten. Sebagian dari mereka lulus SD atau SMP segera mengikuti jejak orang tuanya menjadi petani tembakau. Untuk menuju ke sekolah, sebagian besar berjalan kaki bersama-sama dengan kondisi jalan bebatuan dan naik turun karena tidak ada sarana angkutan. Kalau melihat table 4.9. mayoritas penduduk di Wonotirto adalah tamat SD. Tabel 4.9. Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Wonotirto, Campursari, dan Kecamatan Bulu Tahun 2007 Desa
PT
Akademi
SLTA
SLTP
SD
Belum Tamat SD
Belum/ Tidak Sekolah
Jumlah
Wonotirto 5 5 76 127 2.132 1.062 Campursari 169 143 496 453 372 265 Bulu 663 291 2.915 4.298 17.797 12.863 Sumber: Kecamatan Bulu dalam Angka Tahun 2008
5 3 115
3.413 1.900 38.942
Untuk menunjang kesehatan, penduduk Wonotirto dan Campursari biasanya pergi ke Posyandu atau Polindes. Sedangkan untuk membantu persalinan, di Wonotirto memiliki 4 dukun bayi dan 1 bidan desa. Secara tradisional, ada 7 dukun pijat yang membantu masyarakat untuk memulihkan kesegaran tubuh. Apabila mengalami derita sakit yang tidak bisa ditangani, mereka harus turun ke kota kecamatan untuk memeriksakan diri ke dokter umum. Sedangkan di Campursari ada 1 (satu) dokter umum yang membuka praktek.
46
Untuk kebutuhan penerangan, kedua desa telah menggunakan listrik dari PLN. Listrik masuk desa Wonotirto sekitar tahun 1980-an dengan swadaya dari masyarakat. Sedangkan untuk kebutuhan air, karena letaknya di pegunungan maka hampir 100 % menggunakan mata air. Ada beberapa tipe mata air yang dimanfaatkan oleh penduduk, yaitu: (1) dari sumber mata air Kledung; (2) dari masing-masing dusun; dan (3) dari lahan masing-masing. Tabel 4.10. Sarana Air Bersih Desa Wonotirto, Campursari, dan Kecamatan Bulu Tahun 2007 Desa Ledeng/PAM Sumur Mata Air Wonotirto 7 833 Campursari 195 225 177 Bulu 545 2.052 7.857 Sumber: Kecamatan Bulu dalam Angka Tahun 2008
Air Sungai 232
Jumlah 840 597 10.786
Sumber mata air dari Kledung adalah hasil dari swadaya masyarakat.. Warga masyarakat yang ingin memanfaatkan sampai di rumah ditarik iuran sebesar ± 3,5 juta. Uang tersebut dipergunakan untuk membeli paralon sehingga bisa masuk ke penampungan rumah masing-masing. Untuk biaya perawatan dipungut biaya bulanan dengan nominal yang relative kecil. Mereka bisa mengakses air tanpa dibatasi. Sedangkan bagi warga masyarakat yang tidak memiliki uang untuk membayar iuran awal, biasanya mereka hanya membeli paralon sendiri untuk kemudian mengambil dari tetangga dekat. Sedangkan sumber mata air yang lain adalah yang diprakarsai oleh desa. Desa memfasilitisai air hingga level Rukun Tetangga. Pada masing-masing RT dibangun bak penampungan yang bisa diakses oleh warga desa tanpa dipungut biaya. Sedangkan sebagian lainnya biasanya mengambil air dari mata air yang dibuat di lahan masing-masing. Setiap setahun sekali mereka melakukan ritual dengan melakukan kenduri di bak-bak penampungan utama dan juga di sumber air masing-masing. Untuk keperluan buang air besar, mereka melakukannya di WC pribadi dan sebagian kecil di sungai. Sementara di Campursari, air bersih diambil dari ledeng/PAM, sumur, dan mata air. Sedangkan untuk keperluan MCK dilakukan di WC umum yang
47
dibangun pada masing-masing dusun. Kelompok petani kelas atas, menggunakan air PAM dan WC permanen yang dibangun di rumah masing-masing.
4.3.Perkembangan Tembakau Temanggung Secara historis, Temanggung yang juga dikenal dengan nama Kedu merupakan salah satu wilayah di Jawa yang telah dikenal sebagai penghasil tembakau sejak tahun 1746, disamping wilayah lain seperti: Jawa Timur dan Cirebon. Tembakau merupakan komoditas penting -dan wajib ditanam- di bawah system tanam paksa, selain tanaman “tiga besar” lainnya: tebu, kopi, dan indigo. Pada tahun 1900 dan tahun 1940, penanaman tembakau oleh petani kecil terpusat di beberapa tempat, yaitu: Dataran Tinggi Dieng dan daerah sekelilingnya (Kabupaten Banjarnegara, Wonosobo, Batang, Kendal, Salatiga, dan Karesidenan Kedu), Karesidenan Rembang, dan Karesidenan Probolinggo dan Besuki (Kabupaten Lumajang, Jember, Bondowoso). Tembakau dari Kedu di ekspor ke Semenanjung Malaya, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Maluku, dan Ambon (Boomgard, 2002: 87-101; Jonge, 1989, Suroyo, 2000:188-189). Pada mulanya petani membudidayakan tanaman tembakau sesuai dengan pengalaman turun temurun yaitu dengan system garang. Sistem garang ini biasanya dikirim ke Weleri dan Cirebon. Tembakau garangan biasanya dipergunakan untuk rokok jenis lintingan. Pada tahun 1950-an, berkembang tembakau tipungan dengan rajangan yang lebih lembut dibandingkan garangan. Tembakau jenis ini dipak berbentuk kotak, biasanya dipasarkan di sekitar pasar Parakan. Pada tahun 1975, anjuran ITR (intensifikasi tembakau rakyat) merubah menanam dari system garang dan tipungan menjadi tembakau “tumbon” atau kenthungan. Keuntungan dari tembakau “tumbon” adalah: (1) luas lahan yang ditanami lebih luas sehingga hasilnya meningkat; dan (2) harga tembakau tumbon lebih baik bagi para petani dibandingkan tembakau garang. Tembakau merupakan salah satu komoditas yang sangat rentan terhadap perubahan cuaca. Bahkan karena usaha penanaman tembakau pada tahun 1841 dianggap gagal akibat risiko tinggi terkait kerentanannya terhadap cuaca dan musim menyebabkan pemerintah melepaskan tanam paksa tembakau. Untuk 48
selanjutnya pemerintah membiarkan petani mengusahakan sendiri tanaman tembakau seperti sedia kala, atau mengadakan kontrak penanaman atau penjualan dengan pihak swasta tanpa campur tangan pemerintah secara langsung. Tembakau merupakan tanaman bebas yang diusahakan dan diperdagangkan tanpa campur tangan aparat desa, sehingga petani berhubungan langsung dengan pasar (Suroyo, 2000: 188-191). Hingga saat ini, tanaman tembakau dikembangkan oleh hampir semua petani di Lereng Gunung Sindoro Sumbing. Sebanyak 16 (enam belas) Kecamatan di Kabupaten Temanggung membudidayakannya, dengan tiga area tanam terluas adalah Kecamatan Kledung (1.905,5 ha); Ngadirejo (1.683 ha); dan Bulu (1.627 ha). Hanya empat Kecamatan yang sama sekali tidak mengusahakan tembakau yaitu: Kranggan, Pringsurat, Gemawang, dan Bejen. Bagaimana luas lahan yang ditanam tembakau dan produksi yang dihasilkan dapat dilihat pada gambar 4.2. dan 4.3.
Tlogomulyo, 284. 4
Jumo, 222.5
Kedu, 325
Kandangan, 27.5 Kaloran, 5
Kledung, 1,905.50
Selopampang, 433 Candiroto, 450 Wonoboyo, 496 Tembarak, 568
Ngadirejo, 1,683. 00
Parakan, 874 Temanggung, 1,2 42.00 Bansari, 1,329.00
Bulu, 1,627.00
Tretep, 1,568.00
Gambar 4.2. Luas Tanam Tembakau di Kabupaten Temanggung Tahun 2007
49
Tlogomulyo, 159. 26
Jumo, 140.18
Kandangan, 12.65
Kaloran, 3
Kedu, 152.75 Selopampang, 259 .8
Kledung, 1246.4
Candiroto, 287.55 Wonoboyo, 297.6 Tembarak, 340.8
Ngadirejo, 1058
Parakan, 524.4 Temanggung, 745 .2 Bansari, 817.34
Bulu, 976.2 Tretep, 998.31
Gambar 4.3. Produksi Tembakau di Kabupaten Temanggung Tahun 2007 Tembakau adalah salah satu komoditas perkebunan yang sangat tergantung pada kondisi cuaca. Petani memiliki perhitungan sendiri seberapa luas tanaman yang akan ditanami tembakau. Sebagian besar petani masih meyakini bahwa pada tahun dengan digit belakang angka 8 dianggap tidak baik untuk menanam tembakau terutama apabila satu digit didepannya berangka ganjil, seperti: 1978, 1998. Hal ini didasarkan pada pengalaman yang pernah dialami dimana pada tahun-tahun dengan digit terakhir angka delapan biasanya mereka mengalami gagal panen yang disebabkan karena cuaca buruk (hujan) maupun kualitas yang tidak baik sehingga harganya kurang baik. Petani juga seringkali memiliki seseorang yang dijadikan panutan dalam meramal baik buruknya musim tembakau. Biasanya mereka menanyakan kepada grader dan sesepuh desa yang dianggap mengetahui kondisi cuaca pada tahun mereka akan menanam tembakau. Biasanya grader juga memiliki paranormal sendiri untuk meramalkan apakah tahun depan cocok untuk menanam tembakau atau tidak. Hasil dari ramalan tersebut biasanya diinformasikan kepada petani yang akan menentukan luas area yang akan ditanami tembakau. Berdasarkan data BPS (2008) terlihat bahwa luas tanam dan jumlah produksi mengalami pasang surut (lihat gambar 5.3.). Selain adanya keyakinan 50
akan tahun baik, beberapa petani yang rasional menyatakan bahwa salah satu penyebab petani tidak menaman tembakau disebabkan karena pada lahan tegalan hanya cocok untuk tanaman tembakau. Gagal panen pada tahun yang berturutturut mengakibatkan modal usaha tani adalah menipis akibatnya mereka mengurangi areal lahan yang ditanami tembakau.
25,000.00 19,312.50
20,000.00 15,024.85
Luas (Ha) 14,548.00
Produksi (Ton)
15,000.00 10,000.00
7,109.44
3,916.05 4,260.00
5,000.00
13,039.90
9,326.00
9,495.84
8,019.44
2003
2004
2005
2006
2007
Gambar 4.4. Perkembangan Luas Tanam (ha) dan produksi (ton) Tembakau Tahun 2003-2007 4.4.Ikhtisar Secara Geografis, wilayah Kecamatan Bulu adalah termasuk wilayah pegunungan dengan ketinggian rata-rata 772 mdpl. Kondisi lahan, mayoritas (68,15 %) berupa lahan tegal. Potensi ini dimanfaatkan oleh petani untuk bercocok tanam sesuai komoditas yang disesuaikan dengan kondisi lahan, salah satunya adalah dengan mengusahakan tanaman tembakau. Secara historis, Temanggung merupakan salah satu wilayah di Jawa yang telah dikenal sebagai penghasil tembakau sejak tahun 1746, disamping wilayah lain seperti: Jawa Timur dan Cirebon. Tembakau merupakan komoditas penting dan wajib ditanam- di bawah system tanam paksa, selain tanaman “tiga besar” lainnya: tebu, kopi, dan indigo. Komunitas petani pada lahan tegalan mayoritas mengusahakan tanaman tembakau.
51
Selain tembakau, petani juga menanam padi untuk lahan sawah. Sementara pada lahan tegalan, mereka menanam cabe, jagung, tanaman hortikultura lainnya. Sebanyak 59,86 % adalah petani tanaman pangan, sementara di Desa Wonotirto 76,16 % adalah petani perkebunan (tembakau). Pada Petani lahan sawah, selain menanam padi mereka juga terkadang menanam tembakau. Sedangkan pada petani lahan tegal, pada bulan April-September mereka menanam tembakau selain merupakan kebiasaan turun temurun tetapi juga karena pada musim tersebut tanaman yang bisa tumbuh adalah tembakau. Kepemilikan ternak dimanfaatkan petani sebagai tabungan untuk kebutuhan mendadak. Pada Petani lahan sawah, hewan ternak yang biasanya dipelihara adalah kerbau dan sapi. Sedangkan pada petani lahan tegal, mayoritas hewan piaraanya adalah kambing. Kebutuhan pakan hewan tersebut diambil dari rumput-rumputan yang ditanam dilahan pertanian atau rumput yang tumbuh di pinggir jalan. Berbagai fasilitas baik pendidikan, kesehatan, air bersih, listrik telah masuk di Desa Campursari dan Wonotirto. Jarak Desa Campursari yang lebih dekat dengan kota kecamatan dan kota kabupaten memberikan kemudahan dalam akses transportasi. Sementara Desa Wonotirto yang berjarak ± 14 km dari kota kecamatan lebih sulit dalam hal transportasi umum disamping kondisi jalan yang belum diaspal, berkelok-kelok, dan curam. Kebanyakan sarana transportasi yang dipergunakan adalah sepeda motor. Untuk angkutan umum, hanya tersedia mobil pick-up yang biasanya juga dipergunakan untuk mengangkut barang dagangan. Untuk mengetahui bagaimana kondisi umum daerah penelitian dapat dilihat pada table 4.11.
52
Tabel 4.11. Kondisi Umum Daerah Penelitian No 1.
2. 3.
Kondisi Kondisi Geografis a. Luas wilayah b. Kondisi lahan c. Tinggi wilayah d. Jarak dari kota kecamatan Pembagian wiayah administrasi Kependudukan a. Jumlah Penduduk b. Kepadatan geografis c. Kepadatan agraris d. Sex Ratio e. Angka Beban Tanggungan (ABT) f. Tingkat pendidikan
4.
Mata Pencaharian
5.
Komoditas pertanian yang utama Kepemilikan ternak
6. 7.
Fasilitas a. Fasilitas pendidikan b. Fasilitas Kesehatan c. Sarana air bersih
Desa Campursari 150 ha 86,8 % lahan sawah
Desa Wonotirto
Kecamatan Bulu 4.303,96 ha 31,85 % lahan sawah dan 68,15 lahan tegal
550 mdpl ± 1 km
544,33 ha 100 % lahan bukan sawah (tegalan) 1.200 mdpl ± 14 km
6 dusun, 6 RW, 18 RT, 567 KK
4 dusun, 4 RW, 20 RT, 901 KK
91 dusun, 84 RW, 297 RT, dan 10.786 KK
2.008 jiwa terdiri dari 973 laki-laki dan 1.035 perempuan 1.357
3.594 jiwa terdiri dari 1.846 lakilaki dan 1.746 perempuan 666
42.760 jiwa terdiri dari 21.312 laki-laki dan 21,448 perempuan 994
15
9
11
95 50,52
110 65
99 48,63
• 26,11 % tamat SLTA; 23,84 % tamat SLTP; • 19,58 % tamat SD; • 16,41 % tamat akademi• PT’13,95 % belum tamat SD; 59,86 % petani tanaman pangan Tembakau dan jagung
• 62,47 % tamat SD • 31,12 % belum tamat SD
Rata-rata 772 mdpl 0 km
• 45,7 % tamat SD • 33,03 % belum tamat SD, • 11,04 % tamat SLTP • 7,23 % tamat SLTA
76,16 % petani perkebunan Padi dan tembakau
51,97 % petani tanaman pangan Padi, jagung, cabe, dan tembakau
Kambing dan sapi
Kerbau, sapi, kuda, kambing
kambing, sapi, kerbau, kuda
Ada bangunan TK dan SD
Ada bangunan TK, SD, dan SMP Posyandu dan Polindes 99,2 % mata air
Ada bangunan TK, SD, SMP, dan SMA
Posyandu dan Polindes PAM, sumur, dan mata air
Rumah sakit 72,84 % mata air, 19,02 % air sumur, dan lainnya (5,05 % PAM)
Sumber: Data Primer dan Data Sekunder
53
V. PROFIL AGRO-EKOLOGI DAN SOSIO-BUDAYA KOMUNITAS PETANI TEMBAKAU
5.1.Lahan sebagai modal penghidupan utama Sarana utama petani dalam beraktifitas usaha tani adalah lahan pertanian. Berdasarkan lahan inilah yang kemudian dijadikan dasar penggolongan petani. Penggolongan tersebut dibedakan menurut dua kriteria yaitu pemilikan dan penguasaan tanah. Pemilikan tanah maknanya sudah jelas yaitu pembedaan petani didasarkan kepada luas dan sempitnya pemilikan lahan, sedangkan penguasaan tanah menggolongkan petani berdasarkan kekuasaan dalam penggarapan lahan pertanian. Petani boleh jadi tidak memiliki lahan pertanian tetapi bisa menguasai dengan kelembagaan tertentu, misalnya: bagi hasil. Desa Campursari, luas kepemilikan lahan semakin menyempit. Sebanyak 86,80 % lahan pertanian di desa ini berupa lahan sawah. Jumlah rumahtangga petani yang menggantungkan diri pada pekerjaan pertanian adalah sekitar 63 % (Kecamatan Bulu dalam Angka, 2008). Sementara menurut data hasil sensus pertanian (2003) sebanyak 0,56 % rumahtangga petani yang memiliki lahan lebih dari 1 hektar sementara sekitar 90 % rumah tangga petani memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar. Bahkan 70 % diantaranya hanya memiliki lahan kurang dari 0,1 hektar. Banyak hasil penelitian terdahulu yang menemukan hal yang sama walaupun pada lokasi yang berbeda bahwa kecenderungan luas kepemilikan lahan pada lahan padi-sawah semakin menurun (White, 1973; Sajogyo, 1990; Hardjono, 1990; Marzali, 2003). Salah satu penyebabnya adalah semakin banyaknya jumlah penduduk, sedangkan pada sisi yang lain luas lahan pertanian tidak mengalami peningkatan bahkan cenderung menurun. Hampir 70 % rumahtangga petani di desa Campursari hanya memiliki lahan kurang dari 0,1 hektar. Bahkan dalam penelitian dilapangan banyak diantara mereka adalah tunakisma atau tidak memiliki lahan pertanian.
54
Pada satu sisi ada kelompok petani yang memiliki lahan luas, sementara disisi lainnya banyak rumahtangga petani tidak memiliki lahan untuk melangsungkan kehidupannya. Beberapa kelompok pemilik lahan luas di desa ini biasanya adalah pejabat desa atau mantan pejabat desa. Hal ini menjadi hal umum bahwa secara cultural orang yang diangkat menjadi pamong desa adalah yang dianggap terpandang. Indikator orang terpandang salah satunya adalah seberapa luas dia memiliki akses terhadap lahan. Wsn (36 tahun), memiliki lahan pertanian seluas 5 hektar. Lahan tersebut merupakan warisan orang tuanya yang merupakan tuan tanah di desa Wonosari. Pada saat ini menjabat sebagai kepala desa dengan bengkok seluas 2 hektar. H. Rytn (56 tahun) adalah mantan carik (sekretaris desa) pada tahun 19751980) dan kepala desa tahun 1980-1998 dengan kepemilikan lahan seluas 1,25 Ha.
Lahan pertanian sebagai sumber alami penting petani tentu akan berpengaruh terhadap keberlangsungan hidup mereka. Perbedaan kepemilikan dan penguasaan lahan akan menimbulkan perbedaan terhadap strategi dalam mengelola sumber nafkah. Pada gilirannya akan menimbulkan perbedaan terhadap kualitas hidup. Desa Wonotirto, 95 % rumahtangga menggantungkan kehidupan kepada lahan pertanian. Menurut data sensus pertanian (2003), sekitar 95 % rumahtangga di desa Wonotirto sangat tergantung kepada lahan pertanian. Mayoritas rumahtangga tersebut adalah petani tembakau. Menurut BPS (2005), rumahtangga petani usaha tanaman perkebunan adalah kegiatan yang menghasilkan produk tanaman perkebunan dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya dijual/ditukar atau memperoleh pendapatan/keuntungan atas resiko usaha. Suatu rumah tangga dikategorikan sebagai rumah tangga pertanian perkebunan apabila banyak pohon/rumpun/luas yang diusahakan rumah tangga tersebut lebih besar atau sama
55
dengan batas minimal usaha (BMU) masing-masing jenis tanaman tersebut. BMU untuk tanaman tembakau adalah 1600 m2. Sebanyak 31,23 % rumahtangga petani di desa Wonotirto memiliki lahan lebih dari 1 hektar. Sedangkan rumahtangga petani dengan luas kepemilikan lahan kurang dari 0,5 hektar sekitar 28 %. Sedangkan 40 % lainnya memiliki lahan antara 0,5 ha s.d. 1 ha (Sensus pertanian, 2003). Jika mendasarkan diri pada luas kepemilikan lahan, masih banyak ditemukan rumahtangga petani lahan luas. Namun demikian, pada umumnya lahan mereka tidak mengumpul dalam satu blok tetapi terpisah-pisah dan pada lereng-lereng yang curam. Sehingga hal ini menyebabkan tingginya biaya input pertanian, terutama untuk biaya pengangkutan pupuk kandang. Namun demikian, luas kepemilikan lahan tersebut cenderung menurun dari tahun ke tahun. Tk (58 tahun) Mulai bertanam tembakau pada tahun 1970’an dan mulai bertani sendiri tahun 1980’an. Luas lahan yang dimiliki pada waktu itu seluas 2 Ha, merupakan warisan orang tua. Sekarang sudah dibagi kepada 4 orang anaknya masing-masing 0,5 ha. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, dia menyewa lahan seluas 1 ha.
Mendasarkan diri pada pengalaman tersebut, maka kecenderungan kepemilikan lahan pertanian setiap rumahtangga akan semakin kecil. Hal ini juga ditambah dengan tingkat migrasi yang rendah. 5.2.Kondisi Agro-ekologi 5.2.1. Desa Campursari: pengairan cukup, terbukanya pilihan komoditas Kondisi lahan pertanian sawah memberikan banyak pilihan kepada petani baik komoditas maupun banyaknya musim panen. Pancaran sinar matahari yang cukup memberikan peluang kepada petani untuk memetik hasil pertanian sebanyak tiga kali setiap tahunnya. Pergiliran tanaman yang biasanya diterapkan oleh petani adalah padi-padi-padi atau padi-tembakau-padi. Keputusan menanam padi atau tembakau tergantung kepada pengalaman selama ini. Pergiliran tanam padi-padi-padi memicu munculnya hama tikus, sehingga mereka sering kali mengalami gagal panen. Alternatifnya adalah diganti
56
dengan tanaman jagung atau tembakau. Tanaman tembakau dipilih karena komoditas ini bersifat turun temurun, sehingga dari aspek cultural ada anggapan bahwa “ojo ngaku wong temanggung menowo ora nandur mbako” (jangan mengaku orang temanggung kalau tidak menanam tembakau). Kualitas tembakau yang dihasilkan di areal persawahan termasuk mutu sedang sehingga harganyapun tidak setinggi di daerah pegunungan. Namun demikian, berbagai harapan akan tingginya harga tembakau membuat mereka tetap membudidayakannya. Selain tanaman pokok, biasanya petani juga menanam berbagai jenis tanaman yang di tanam dipinggiran sawah pada saat menanam padi dan sebagai tumpangsari pada saat menanam tembakau. Beberapa tanaman selingan yang biasa ditanam antara lain: kapri, kedelai, kacang merah, kacang panjang, brokoli, kacang tanah, sawi, tomat, cabai, kacang panjang, dan sayuran lainnya. Sementara ada beberapa petani yang tidak menanam tanaman selingan terutama pada saat musim tanam tembakau karena diyakini akan menurunkan kualitas tembakau. Hasil tanaman tumpangsari tersebut pada umumnya tidak dijual tetapi dipergunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Selain bertani, sebagian petani memiliki ternak. Jenis ternak yang dipelihara adalah kerbau. Petani memanfaatkan batang padi (jawa: dami) sebagai makanan ternak tersebut. Sedangkan apabila persediaan dami/damen berkurang, petani mencari rumput disekitar desa.
5.2.2. Desa Wonotirto: pada saat musim kemarau, hanya tembakau yang bisa hidup Lahan tegal di Kabupaten Temanggung tersebar di seluruh lereng gunung Sindoro-Sumbing. Sebanyak 50 % lahan di Kecamatan Bulu berupa tegal. Wonotirto adalah salah satu desa paling ujung di lereng Gunung Sindoro. Pada Musim Tanam (MT) April-September hampir 100 % mengusahakan tanaman tembakau. Dalam satu tahun, petani mengusahakan dua musim tanam. Hal ini sebabkan karena kondisi pengairan yang bersifat tadah hujan dan intensitas sinar matahari yang relative lebih sedikit sehingga masa tanam hingga panen lebih lama dibandingkan lahan sawah yang mendapat intensitas sinar matahari yang lebih 57
panjang. Pola tanam pada lahan tegal adalah jagung-jagung-tembakau dengan pengolahan tanah secara intensif 3 kali setahun. Tanaman jagung dipergunakan untuk makanan pokok. Namun lama kelamaan, jagung dijual kemudian ditukar dengan beras. Pada sela-sela tanaman jagung mereka juga mengusahakan tanaman seperti: kacang merah, bawang merah, terkadang kedelai, dan tanaman sayuran. Hasil dari tanaman tumpangsari tersebut dipergunakan untuk kebutuhan makan sehari-hari. Seringkali mereka saling bertukar bahan makanan dengan tetangga sekitar. Sebagian besar rumahtangga petani dalam memasak menggunakan bahan bakar kayu yang diambil dari pohon jagung dan tembakau. Sehingga untuk kebutuhan pangan, rumahtangga petani lebih banyak menggunakan sumberdaya alami yang diambil dari ladang, kecuali beras yang dibeli dari hasil penjualan tanaman jagung. Dalam perkembangannya, petani mulai meninggalkan tanaman jagung untuk kemudian beralih kepada tanaman cabai. Pengaruh desa di sekitarnya melalui interaksi mengenai menanam cabai lebih memberikan keuntungan dibandingkan tanaman jagung merubah pola tanam petani. Tahun 2004-2005 secara perlahan petani mulai menggeser tanaman jagungnya dengan cabai dengan tetap menggunakan tanaman sela seperti: kacang merah, kubis, dan lainnya. Petani mengusahakan tanaman di lereng-lereng gunung dengan sistem terasiring. Lahan yang curam dan jauh dengan akses jalan raya membuat semakin tingginya biaya angkut pupuk kandang disamping harga pupuknya juga sudah tinggi. Beberapa petani memasang tali yang menghubungkan antara bukit yang satu dengan yang lainnya, untuk kemudian pupuk dalam karung dipasang pada tali tersebut dan didorong sehingga bisa meluncur lebih mendekat dengan lahan masing-masing. Pada setiap lahan terlihat bangunan sederhana yang mereka sebut sebagai gubug. Bangunan tersebut berukuran kira-kira 2x3 m dengan dinding terbuat dari anyaman bambu dan dilapisi dengan mulsa yang tidak terpakai. Gubug berfungsi sebagai tempat untuk berlindung ketika hujan turun, untuk menikmati makanan
58
kiriman13, dan adakalanya untuk melakukan kegiatan jaga malam ketiga musim cabai tiba mengingat ada beberapa orang yang melakukan tindakan pencurian terhadap hasil panen. Tanaman tembakau diusahakan pada bulan April-September. Sebelumnya mereka menyemai benih tembakau pada lahan masing-masing. Bagi rumahtangga petani dengan lahan sempit biasanya mereka mengakses lahan milik tetangga yang tidak terpakai untuk tempat pembibitan. Beberapa petani secara kolektif menggunakan lahan tersebut tanpa dipungut biaya. Apabila harga tembakau bagus, mereka memberi pemilik lahan tanpa adanya jumlah nominal baku. Benih tembakau diperoleh dari tanaman tembakau milik sendiri yang telah dipersiapkan sebelumnya. Setelah bunga dirasakan cukup tua, petani segera memetiknya (Jawa: munggel) untuk kemudian dijemur. Setelah kering, disimpan untuk kemudian dibibitkan pada lahan yang telah disiapkan. Tempat pembibitan dibuat dari alas anyaman bamboo dengan posisi diatas tanah, disangga dengan empat tiang yang juga berasal dari bambu. Di atas alas bambu tersebut diletakkan tanah dan pupuk kemudian ditutup dengan rumput atau daun untuk mengurangi penguapan. Setelah tumbuh, dedaunan tersebut diambil. Para petani terkadang gagal dalam melakukan pembibitan. Untuk mengantisipasi hal tersebut, petani membeli kepada petani lain apabila kebutuhannya banyak tetapi apabila hanya sedikit seringkali petani meminta tetangga yang berlebihan. Berdasarkan letak penanaman14, mutu tembakau di Desa Wonotirto masuk pada kelompok lamsi. Tembakau dengan mutu atau kualitas lamsi ini tersebar di lereng utara dan timur laut Gunung Sumbing (Bulu dan Parakan) pada lahan 13
Ketika petani melakukan aktifitas pertanian lebih dari jam 12.00 petani mendapatkan makanan yang dikirim oleh anggota keluarga (biasanya perempuan) dan dimakan bersama-sama di dalam gubug. 14 Ada 7 (tujuh) golongan daerah penanaman tembakau yang membedakan mutu hasil tembakau, yaitu: (1) LAMUK, tersebar di lereng timur gunung Sumbing (Tegalmulyo pada lahan > 1.100 m dpl, menghasilkan mutu Srintil Istimewa; (2) LAMSI tersebar di lereng utara dan timur laut Gunung Sumbing (Bulu dan Parakan) pada lahan Regosol>1.100 m dpl, kelerengan 15-40 %, mutu Srintil Istimewa; (3) PAKSI tersebar di lereng timur gunung Sundoro (Ngadirejo dan Bansari) pada lahan Regosol > 1.100 m dpl, mutu Srintil cukup istimewa; (4) TOALO tersebar di lereng selatan gunung Sundoro dan barat Gunung Sumbing (Kledung) pada lahan Regosol > 1,100 m, mutu sedang; (5) TIONGGANG tersebar pada lahan persawahan 500-700 m dpl, mutu sedang; (6) SWANBING tersebar di sekitar gunung Prahu (Tretep dan Wonoboyo), lahan Ondosol 900-1.400 m dpl, mutu sedang; dan (7) KIDUL tersebar di tenggara Gunung Sumbing pada daerah baru, mutu sedang
59
Regosol>1.100 m dpl, kelerengan 15-40 %, mutu Srintil Istimewa. Mutu ini satu tingkat di bawah Lamuk. Pada petani di lereng gunung yang berbasis tegal termasuk di desa Wonotirto, ada semacam kondisi yang memaksa mereka untuk tetap setia menanam tembakau karena pada musim kemarau tanaman semusim yang cocok hanyalah tembakau. Tidak ada tanaman musiman lainnya yang bisa hidup ditanam pada musim kemarau.
“ojo meneh tanduran sing ora kuat panas, suket wae mati” “Jangankan tanaman yang tidak kuat pada musim kemarau, rumput saja (biasanya rumput lebih tahan terhadap kondisi apapun) kalau ditanam di sini mati”
Berkaitan dengan kondisi rumah yang tidak selalu memiliki lahan pekarangan yang luas, maka seringkali tempat pembibitan meminjam kepada tetangga. Bahkan ada satu tempat yang agak luas dimana pekarangan tersebut dipergunakan oleh beberapa petani secara bersama untuk melakukan pembibitan. Lahan tersebut dipergunakan tanpa adanya biaya sewa. Apabila harga tembakau bagus, mereka memberi pemilik lahan tanpa adanya jumlah nominal baku. Tembakau membutuhkan air pada saat proses tanam, dan terik matahari pada saat masa penjemuran. Perubahan cuaca yang tidak menentu seringkali membuat petani mengalami gagal panen, dimana pada saat proses tanam kebutuhan air kurang, sementara pada saat proses penjemuran curah hujan tinggi. Penjemuran yang tidak sempurna membuat kualitas tembakau menurun akibatnya harga tembakau turun drastis. Biasanya petani melakukan perajangan dan nganjang15 tembakau pada malam hari dengan harapan pada saat pagi hari hasil rajangan bisa langsung terkena sinar matahari. Tembakau semakin berkualitas apabila menerima sinar matahari secara sempurna yaitu terkena sinar matahari secara utuh (penuh) selama 2-3 hari.
15
Nganjang adalah proses meletakkan tembakau yang telah di rajang di atas rigen dan biasanya dilakukan oleh beberapa perempuan pada malam hari. Rajangan tembakau ditata secara rapi dengan ukuran ketebalan yang hampir sama dengan harapan bisa kering secara merata dan sempurna.
60
Intensitas sinar matahari di Kabupaten Temanggung relative lebih banyak jika dibandingkan daerah lain di sekitarnya, misalnya di Kabupaten Wonosobo. Untuk menyiasati hal tersebut, mereka menjemur tembakau ke daerah lain yang memiliki intensitas matahari yang relative lebih panjang. Pada saat musim jemur, mulai jam 04.00 pagi terlihat mobil pick-up dengan beberapa orang (laki-laki dan perempuan) duduk di sekitar tumpukan rigen16 berlalu lalang di sepanjang jalan di sekitar Parakan. Setelah itu, di pinggir-pinggir jalan yang masih ada lahan yang tidak terpakai terhampar “lautan kuning”. Lahan yang dipakai untuk menjemur rajangan tembakau tersebut ada yang dengan sistem sewa (terutama yang merupakan hak milik pribadi) dan ada yang tidak menyewa (terutama lahan milik umum). Proses penjemuran tersebut berlangsung dari pagi hingga pukul 14.00 apabila cuaca cerah, dan apabila cuaca tidak cerah, sangat tergantung datangnya air hujan. Selama menunggu proses penjemuran, beberapa orang yang memang ditugaskan untuk menjemur rajangan tembakau melakukan proses pembalikan sehingga bisa kering secara merata. Setelah kurang lebih pukul 14.00 WIB mereka mengangkut kembali tembakau ke atas mobil pick-up untuk kemudian dibawa pulang kembali. Aktifitas “mengejar matahari17” ini berlangsung secara terusmenerus hingga tembakau benar-benar kering dan siap dijual. Sedangkan bagi petani tembakau di Temanggung sendiri, mereka menjemur tembakau di sekitar rumah, dipinggir jalan, atau di tanah lapang. Mereka biasanya mendirikan tiang-tiang dari bamboo setinggi kurang lebih 1 meter untuk meletakkan rigen. Saat musim jemur terlihat sepanjang jalan dan disekitar rumah banyak berjajar tiang-tiang bambu dengan deretan tembakau rajang yang tertata rapi. Bagi petani dengan lahan pekarangan sempit, alternative 16
Rigen merupakan tempat untuk menjemur tembakau yang sudah dirajang. Pada saat bukan musim tembakau terkadang juga difungsikan untuk menjemur hasil panen seperti: kedelai, bawang, kacang tanah, kacang merah (kacang tunggak), dan lainnya. Rigen dibuat dari bamboo yang dianyam berbentuk persegi panjang dengan harga sekitar Rp. 12.000/buah. Salah satu daerah yang memproduksi rigen adalah di Kecamatan Kedu, dan juga bisa di beli di pasar Parakan. 17 Istilah mengejar matahari merupakan ungkapan yang menggambarkan bagaimana petani terutama di luar Kabupaten Temanggung yang berusaha mencari sinar matahari untuk menjemur tembakau. Hal ini disebabkan karena intensitas sinar matahari di daerah mereka sangat pendek (sedikit) sehingga sangat riskan terhadap degradasi kualitas tembakau karena tidak kering secara sempurna.
61
tempat penjemuran selain di jalan adalah ikut pekarangan tetangga. Hal ini menjadi kebiasaan petani sebagai bagian dari kehidupan social masyarakat.
5.3. Tanaman Sela dan pemanfaatan limbah tanaman Tanaman sela Kebiasaan petani menanam tanaman lain di sela-sela tanaman pokok telah dilakukan semenjak dahulu. Secara kuantitas, seringkali tidak diperhitungkan sebagai pendapatan karena secara nyata tidak selalu diuangkan (dijual). Kontribusi terbesar adalah untuk kebutuhan konsumsi sehari-hari dan terkadang sebagai sarana membangun modal social dengan tetangga sekitar dengan cara saling bertukar hasil panen. Namun demikian, apabila diperhitungkan sebagai bentuk pengeluaran untuk konsumsi maka akan memberikan sumbangan yang besar dalam mempertahankan
kelangsungan
hidupnya.
Twyman
dan
Slater
(2005)
menyebutnya sebagai hidden livelihood. Banyak cara yang diterapkan oleh rumahtangga petani, tetapi tidak dianggap penting bagi sumber nafkah. Tanaman sela adalah salah satu contoh penting, yang kelihatannya perannya tidak penting namun kalau ditelisik lebih mendalam mampu menopang kebutuhan komsumsi rumahtangga petani. Kebiasaan menanam tanaman sela pada komoditas tembakau, oleh perusahaan rokok dianggap tidak baik bagi perkembangan dan kualitas tembakau. Untuk mencapai tembakau yang baik, tembakau harus ditanam secara monokultur. Bagi sebagian petani dengan lahan luas, berbagai anjuran ini mungkin bisa dilakukan. Sedangkan bagi rumahtangga petani gurem, kebiasaan menanam tanaman sela masih dilakukan. Hal ini disebabkan karena gagal panen pada tembakau akan berdampak terancamnya kelangsungan hidup, apalagi tidak ada tanaman sela yang menunjang konsumsi mereka.
62
Batang tembakau dan jagung sebagai bahan bakar Salah satu hidden livelihood lainnya yang dimanfaatkan oleh rumahtangga petani adalah batang tembakau dan jagung. Batang tembakau atau jagung yang sudah dipetik hasilnya akan menjadi sampah yang harus dibuang dari lahan. Rumahtangga
petani
biasanya
membawa
batang-batang
tersebut
untuk
dikeringkan dan disimpan disamping rumah atau di dalam dapur. Batang tembakau dan jagung tersebut dimanfaatkan oleh petani yang sebagian besar menggunakan tungku untuk memasak. Sehingga petani tidak mengeluarkan ongkos untuk bahan bakar. Penggunaan tanaman sela untuk konsumsi dan batang tembakau-jagung untuk memasak merupan salah satu bukti kemandirian petani. Mereka mampu menghasilkan sendiri kebutuhan pangan tanpa tergantung pada pihak lain. Berbagai sumberdaya yang tidak penting ternyata mampu dimanfaatkan oleh rumahtangga petani tembakau untuk menopang kebutuhan konsumsinya. 5.4.Kendaraan bermotor: sarana transportasi penting Kendaraan bermotor adalah salah satu prioritas dalam menyusun alokasi pendapatan dari tembakau terutama pada masyarakat pegunungan. Ketika pada masa sukses panen tembakau, hamper semua rumahtangga petani membeli kendaraan bermotor. Kendaraan ini digunakan sebagai cara adaptasi masyarakat dalam menyikapi persoalan kondisi jalan relative agak susah dan sarana transportasi umum yang terbatas. Namun demikian, menurut sebagian petani merupakan symbol kejayaan bagi petani tembakau. Pada saat masa tanam, terutama apabila musim tanam sebelumnya mengalami gagal panen, kendaraan bermotor tersebut dijual untuk menutup hutang atau sebagai tambahan modal menanam. Siklus tersebut berjalan tiada henti, dimana ketika sukses hasil panennya dibelikan sepeda motor. Pada kelompok petani yang lebih beruntung (berlahan luas), selain kendaraan bermotor, mereka juga membeli mobil baik untuk kepentingan perdagangan ataupun sebagai sarana transportasi keluarga.
63
Kendaraan bermotor menjadi penting bagi petani, karena sebagai sarana transportasi ketika pergi ke lahan pertaniannya. Jarak yang relative agak jauh antara tempat tinggal dengan lahan membuat mereka harus menggunakan sepeda motor. Sepeda motor terkadang juga sebagai sarana pengangkutan baik input pertanian (misalnya: pupuk) maupun hasil pertanian. Hal ini sangat membantu petani, karena tanpa sarana ini mereka akan memerlukan waktu berjam-jam untuk mencapai lahan pertaniannya. 5.5.Bangunan rumah, peninggalan masa lalu Bangunan rumah di komunitas padi sawah biasanya berbentuk khas Jawa (limasan) dan sebagian lagi bercorak modern. Pada kelompok petani yang berlahan luas biasanya berdidinding tembok dan berlantai keramik. Sedangkan kelompok petani yang miskin, bercirikan dinding kayu atau anyaman bamboo (jawa: gedhek) dan berlantai tanah atau sudah dikeraskan (jawa: peluran atau plasteran). Sebagian petani, rumah yang dimilikinya adalah warisan orang tuanya. Sedangkan jika menengok pada masyarakat pegunungan, akan terlihat bangunan-bangunan yang kokoh tetapi kelihatan telah dibangun 10 atau 15 tahun yang lalu. Hal ini adalah salah satu symbol kejayaan masa lalu-sekitar tahun 1970-an-. Sebagai ilustrasi yang menggambarkan bagaimana masa lalu masih menjadi momentum yang sangat penting bagi petani tembakau adalah sebagai berikut: Pada tahun 1982, harga tembakau untuk totol D sekitar Rp. 10.000,- dan totol E/F Rp. 35.000,-; sementara harga emas adalah Rp. 15.000/gram. Apabila satu keranjang memuat 30 kg tembakau kering dengan harga per kg sekitar Rp. 20.000,- ; maka petani akan mendapatkan Rp. 600.000, per keranjang. Apabila hasil tersebut dibelikan emas, maka petani akan mendapatkan 40 gram atau 4 ons. Tembakau dengan harga Rp. 35.000,per; petani mampu membeli pupuk kandang dua rit. Pada saat ini, harga pupuk kandang ± 1 juta per rit, sedangkan harga tembakau hanya sekitar Rp. 50.000,- s.d. Rp. 70.000,-.per kg.
Pada saat ini, harga tembakau per kg naik hampir 4 kali lipat tetapi hargaharga kebutuhan yang lain meningkat jauh lebih tinggi. Belum lagi kalau dibandingkan dengan meningkatnya harga input produksi seperti: pupuk kandang
64
yang mutlak diperlukan dalam membudidayakan tembakau, sehingga petani merasa merugi, apalagi kalau musim tidak mendukung. Sedangkan sebagian petani dengan lahan yang tidak terlalu luas, akan merasakan masa kejayaan tersebut tetapi tidak seperti petani dengan lahan luas. Mereka tetap menempati bangunan rumah seadanya, bahkan tidak berubah dari tahun ke tahun secara total. Hasil panen yang berlebih hanya dapat dipergunakan untuk melakukan renovasi saja tanpa bisa mengganti dengan yang baru. Rumah tidak hanya sebagai tempat tinggal bagi petani, tetapi disinilah berbagai aktifitas nafkah dilakukan. Rumah sebagai tempat menyimpan berbagai hasil panen. Pada saat musim tembakau, disinilah petani melakukan kegiatan merajang tembakau. 5.6.Teknologi :dari cacak dan gobang ke mesin Beberapa teknologi yang dipakai petani tembakau dalam kegiatan usaha taninya antara lain: cangkul, ponjo, cacak dan gobang, rigen, dan keranjang. Untuk mengetahui secara detail masing-masing alat tersebut akan uraikan sebagai berikut: a. Cangkul, adalah alat yang dipergunakan untuk membalik tanah sehingga tanah tidak padat sehingga pori-pori tanah mampu menyerap hara tanaman. Alat ini terbuat dari logam pada ujungnya yang berbentuk persegi panjang dan bersifat tajam pada salah satu ujungnya. Sedangkan gagang atau alat untuk memegang terbuat dari kayu berbentuk bulan panjang dengan panjang kurang lebih 1 meter. b. Ponjo, adalah alat yang dipergunakan petani untuk melobagi tanah pada saat menanam bibit tembakau. Lobang tersebut akan diisi dengan pupuk kandang untuk kemudian sebagai tempat meletakkan bibit tembakau. Ponjo terbuat dari kayu bulat panjang dengan ujungnya yang lancip dan panjangnya kurang lebih 1,5 meter. c. Cacak dan gobang, adalah alat yang digunakan untuk meletakkan tembakau sebelum dirajang. Alat ini terbuat dari kayu berbentuk balok setinggi kurang lebih 1 meter. Pada bagian atas terdapat lobang dengan diameter ± 10 cm
65
berguna untuk meletakkan tembakau yang akan dirajang. Alat perajangnya disebut dengan gobang yang terbut dari logam agak lebar dan tajam pada salah satu sisinya. d. Rigen, merupakan tempat untuk menjemur tembakau yang sudah dirajang. Pada saat bukan musim tembakau terkadang juga difungsikan untuk menjemur hasil panen seperti: kedelai, bawang, kacang tanah, kacang merah (kacang tunggak), dan lainnya. Rigen dibuat dari bamboo yang dianyam berbentuk persegi panjang dengan harga sekitar Rp. 12.000/buah. Salah satu daerah yang memproduksi rigen adalah di Kecamatan Kedu, dan juga bisa di beli di pasar Parakan. e. Keranjang, alat ini dibuat dari bambu yang didalamnya dilapisi debog kering (batang pohon pisang). Salah satu sentra pengrajin keranjang ini adalah di Kecamatan Kedu. Biasanya petani membeli minimal 1 kepok (berisi dua buah kerangjang) dengan harga yang bervariasi tergantung pada: (1) waktu pembelian, pada musim panen (bulan September) biasanya lebih mahas, ±@keranjang Rp. 100.000,00; bagi petani dengan modal yang lebih mereka membeli sebelum masa panen dengan harga yang relative murah ±@keranjang Rp. 75.000,00; (2) besar kecilnya ukuran keranjang, semakin besar keranjang semakin mahal, ukurang keranjang antara 30-45 kg tembakau rajangan kering. Berat keranjang berkisar antara 10-12 kg. Semenjak sekitar 5 tahunan, peran cacak dan gobang mulai digantikan dengan mesin. Mesin perajang ini biasanya dimiliki oleh petani lahan luas atau sedang. Sementara petani gurem sebagian besar masih memakai alat manual. Terkadang mereka menitipkan kepada pemilik mesih untuk dirajangkan dengan membayar ongkos perajangan satu kranjangnya sebesar Rp. 40.000,00. Perubahan alat perajang ke mesin ternyata membawa perubahan pada hubungan social masyarakat. Sebelum terjadinya perubahan ke mesin dan sebelum maraknya fenomena “impor”, pada saat melakukan kegiatan perajangan biasaya mereka saling membantu dengan cara membawa alat perajang masingmasing kepada tetangga yang membutuhkan. Kemudian mereka merajang tembakau dengan alat rajangnya masing-masing. Fenomena “impor” dan
66
perubahan ke mesin ini muncul hampir bersamaan dan diduga munculnya mesin karena untuk mempermudah dan mempercepat proses perajangan tembakau yang secara kuantitatif pada masing-masing rumahtangga lebih banyak karena ditambah yang tembakau impor. Hal inilah yang menyebabkan kesibukan yang luar biasa pada saat proses merajang. Pada akhirnya cacak dan gobang ditinggalkan seiring dengan hubungan social yang semakin merenggang. 5.7.Hewan ternak dan pupuk sebagai tabungan Pada saat panen tembakau berhasil, petani menyisihkan sebagian hasilnya untuk membeli ternak dan sepeda motor sebagai tabungan. Selain itu, mereka juga membeli pupuk lebih awal sebagai bagian dari tabungan karena apabila dibelanjakan menjelang musim tanam biasanya lebih mahal. Kemampuan menyimpan sangat tergantung luasan lahan dan harga tembakau, mengingat harga tembakau pada satu orang dan orang lainnya berbeda-beda. Pada petani berlahan luas, keberhasilan pada musim panen biasanya diinvestasikan untuk membeli lahan kembali. Selain itu, mereka juga membeli kendaraan baik roda dua maupun roda empat. Sebagian lainnya ditabung di bank, dan siap dipergunakan untuk kebutuhan mendadak. Pada saat gagal panen, biasanya memanfaatkan uang di bank atau bahkan menjual sepeda motor dan mobil yang dimiliki. Hasil panen terutama berupa kebutuhan pokok, seperti beras pada masyarakat padi-sawah dan jagung pada masyarakat pegunungan biasanya tidak dijual semuanya. Sebagian lainnya disimpan sebagai persediaan makanan sembari menunggu musim panen berikutnya. Petani padi sawah menyimpan bahan pokok dalam bentuk padi, sedangkan petani di pegunungan dalam bentuk jagung yang belum dikupas kulitnya. Pada awalnya, jagung adalah tanaman yang selalu diusahakan sebagai bahan makanan pokok. Setelah beralih ke komoditas cabe, petani tidak menanam jagung setiap tahun. Pada umumnya mereka akan menanam jagung pada tahun tertentu dan akan menanam lagi setelah persediaan di rumah telah habis. Ada
67
sebagian petani dengan lahan luas mengusahakan cabe dan jagung pada waktu yang bersamaan. 5.8. Kemampuan mengelola tembakau, warisan orang tua Kemampuan petani dalam melakukan kegiatan usaha tani sifatnya otodidak yang diperoleh dari orang tuanya. Mereka terbiasa membantu orang tuanya mengolah tanah, menanam, panen, dan memasarkan semenjak kecil. Setelah menamatkan pendidikan tingkat Sekolah Dasar atau tidak lulus SD atau tidak sekolah menambah waktunya untuk belajar dari orang tuanya. Berbagai kebiasaan yang diwariskan orang tuanya tersebut, petani dilatih secara mandiri dengan sekaligus mendapatkan warisan berupan lahan pertanian. Kebiasaan-kebiasaan tersebut disosialisasikan oleh orang tuanya untuk kemudian diadopsi oleh generasi berikutnya hingga sekarang. Rendahnya migrasi pemuda untuk mencari pekerjaan di luar daerah memaksa mereka harus belajar lebih sehingga menjadi petani sukses seperti generasi sebelumnya. Hasil warisan ilmu pengetahuan inilah yang membawa petani generasi sekarang bisa melangsungkan kehidupannya. Ngt (53 tahun) mulai belajar mengelola tembakau semenjak umur 12 tahun tahun dengan ikut orang tua. Dan mulai tanam atau bertani tembakau sendiri dari tahun 1987 dengan luas lahan 1,5 Ha. Lahan itu berasal dari warisan orang tua seluas 0,5 Ha dan yang 1 Ha menyewa per musim/per tahun tanam. Memiliki 2 orang anak yaitu: (1) JL (26 tahun) sebagai kepala dusun dan ikut mengelola tanah bengkoknya; (2) BN (22 tahun) juga ikut membantu ayahnya mengelola tanah. Jml (66 tahun) adalah salah satu petani kaya di desa Wonotirto. Mendapatkan warisan tanah dari orang tuanya seluas 3 hektar. Memiliki dua orang anak laki-laki yang dididik untuk menjadi petani tembakau. Lahan seluas 3 hektar tersebut dibagi kepada kedua anaknya, masingmasing 1,5 hektar. Sekarang kedua anaknya tersebut mengikuti jejak ayahnya menjadi petani tembakau dengan segenap warisan tanah dan ilmu mengelola tembakau yang telah didapatkan semenjak kecil.
Pola pewarisan tata cara mengelola tembakau secara turun temurun mendarah daging dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Mereka diajarkan
68
mulai dari pembibitan, pemupukan, panen, hingga pemasaran. Hal tersebut terjadi baik pada petani pada golongan miskin maupun kaya. Untuk meningkatkan kualitas tembakau, pada tahun 2005-2006 PT. Jarum melakukan “kemitraan18” dengan menyewa konsultan pendamping untuk memperkenalkan teknologi baru mengenai usaha tani tembakau dengan kualitas dan harga yang tinggi. yang muncul setelah adanya inisiatif dari salah satu pabrik rokok yang membeli tembakau petani untuk mengenalkan sistem usaha tani yang berbeda. Konsultan pendamping tersebut kemudian melatih beberapa petani yang ditunjuk oleh beberapa grader. diantaranya adalah: KHD, USB, dan KIT. Konsultan pendamping tersebut mendampingi petani selama 2 tahun, hingga kemudian dari petani KHD menggantikannya untuk didifusikan kepada petani lainnya. Keanggotaan “kemitraan” bersifat sukarela dan terbuka. Hingga saat ini tercatat sebanyak ± 400 petani yang telah tergabung dalam anggota kemitraan. Kegiatan yang dilakukan adalah siapapun yang berminat ikut kemitraan mengikuti penyuluhan mengenai teknologi yang diterapkan. Selain teknik budidaya, juga diperkenalkan teknologi berupa pupuk KNO3 dan fertila. Harga Fertila setiap kwintal mencapai ± 800 ribu rupiah sedangkan harga KNO3 adalah 1,6 juta rupiah/kw. Setiap hektarnya dibutuhkan ± 4,5 kw fertila dan 1,5 kw KNO3. Sehingga untuk kedua input tersebut diperlukan sekitar 6 juta/hektar. Beberapa kelebihan dari sistem tersebut antara lain: (1) produktifitas: dengan cara biasa 6-7 kwintal/hektar jika menggunakan teknologi ini bisa menjadi 8 kw/ha; (2) harga, bisa mencapai 200 ribu s.d. 250 ribu per kg dibandingkan dengan cara tradisional (local) dengan harga 50 ribu s.d. 100 ribu. Harga tersebut sama dengan kualitas srintil. Para petani anggota kemitraan tersebut kemudian membentuk semacam koperasi untuk penyediaan pupuk tersebut. Setiap anggota koperasi difasilitasi untuk mendapatkan fertile dan KNO3 dengan sistem pembayaran di belakang. Pada saat pembayaran, anggota koperasi membayar harga pupuk dan bunganya (uang jasa membayarkan). 18
Bagi sebagian petani, istilah kemitraan ini tidak tepat karena tidak ada ikatan antara petani dengan grader atau perusahaan. Mereka hanya diberi pelatihan mengenai sistem budidaya tanaman. Sedangkan harga jual tergantung dari kualitas tembakau yang dihasilkan.
69
Teknik yang diperkenalkan tersebut merubah berbagai kebiasaan petani yang diperoleh secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Salah satunya adalah sistem tumpang sari tidak diperbolehkan karena akan mengganggu perkembangan daun tembakau. Sistem ini telah diterapkan sebagai upaya memberikan penghasilan alternative ketika tembakau mengalami kegagalan. 5.9.Pertanian tembakau dan daya serap tenaga kerja pedesaan Mengusahakan tembakau memiliki karakteristik yang unik, diantaranya adalah perlunya masa tanam, panen, dan penjemuran yang tepat waktu. Berbagai aktivitas tersebut tidak bisa ditunda karena akan menyebabkan gagal panen, misalnya masa tanam yang terlambat akan menyebabkan tanaman tidak berkembang dengan baik karena kebutuhan air tidak tercukupi. Masa petik yang tidak tepat akan menyebabkan kualitas tembakau akan menurun atau bahkan tidak bisa dijual. Sementara menjemur pada saat hujan tiba akan menyebabkan kualitas tembakau menurun. Hal ini menyebabkan diperlukannya tenaga kerja yang banyak pada musim tembakau. Bulan Pebruari-maret adalah aktifitas pertama yang dimulai dengan mencangkul lahan. Banyak petani berlahan sempit menuai pendapatan tambahan pada kegiatan ini, karena banyak petani berlahan sedang dan luas memerlukan tenaga mereka. Kurang lebih 1-2 bulan mereka berkecimpung dalam aktifitas mencangkul. Menanam dan menyiangi juga memerlukan tenaga kerja yang relative banyak, tetapi tahap ini hanya berlangsung beberapa hari saja. Tenaga kerja yang banyak akan dibutuhkan kembali pada bulan Agustus-September. Bulan Agustus adalah masa petik pertama, yang kemudian dilanjutkan aktifitas mengeram dan merajang. Siklus ini berlangsung kurang lebih dua bulan. Saat merajang dan menjemur paling tidak dibutuhkan tenaga kerja 7 orang, 3 orang merajang dan 4 orang menjemur. Fenomena “impor” berdampak semakin banyaknya tenaga kerja yang dibutuhkan.
70
Sebagai ilustrasi berapa banyak tenaga kerja yang dibutuhkan oleh Swto (58 tahun) dengan lahan 3 hektar: Aktifitas Mencangkul Menanam Menyiangi Munggel Mrithili Memetik daun Merajang Menjemur Melinting
Jumlah tenaga kerja 10 orang 10 orang 50 orang 1 orang 10 orang 10 orang 5 orang 6 orang 6 orang
Waktu yang dibutuhkan 1,5 bulan 2 hari 2 hari 5 hari 5 hari Sekali petik Sekali rajang Sekali menjemur Sekali melinting
Aktifitas tersebut dilakukan selama enam bulan yaitu April s.d. September. Pada tahap mencangkul hingga mrithili biasanya dikerjakan oleh petani di sekitar desa. Akibat kurangnya tenaga kerja dari wilayah desa sendiri, buruh tani diambil dari beberapa wilayah lain seperti Wonosobo dan Banjarnegara. Untuk kebutuhan Memetik, merajang, menjemur, dan melinting tembakau, Swto (58 tahun) memiliki buruh tani sebanyak 15-20 orang yang menginap dirumahnya selama kurang lebih 2 bulan. Beberapa masyarakat desa juga ikut menikmati keuntungan dibalik hirukpikuknya pertembakauan di Wonotirto dan Campursari walaupun secara tidak langsung. Untuk menjemur, petani memerlukan rigen; sementara pada saat menjual, petani membutuhkan keranjang. Peluang ini dimanfaatkan oleh warga masyarakat untuk mensuplai barang-barang tersebut dan bagi mereka aktifitas ini mampu memberikan pendapatan tersendiri walaupun sifatnya musiman. 5.10. Perilaku Konsumtif Musim tembakau adalah suatu waktu yang ditunggu oleh setiap rumahtangga di lereng Sindoro-Sumbing. Berbagai harapan akan cuaca mendukung dan harga tinggi menjadikan spirit untuk selalu bergelut dengan dunia pertembakauan. Mereka juga selalu berharap agar pulung pada musim tanam tahun ini akan jatuh pada dirinya. Bayangan masa keemasan tembakau masih
71
menjadi keinginan bagi setiap petani untuk terus berharap bisa mengulang kembali. Ketika musim tembakau tiba dan cuaca mendukung, maka pada bulan Agustus-September (saat panen tembakau), banyak dealer yang datang ke desa untuk menawarkan produknya. Mereka mengatakan “tuku sepeda motor koyo tuku krupuk, endog dirego sawo, tongkol dirego gesek” (membeli sepeda motor seperti membeli kerupuk, telor dihargai seperti buah sawo, ikan tongkol dihargai seperti ikan teri). Ungkapan ini menekankan bahwa pada saat panen tembakau, para petani tidak terlalu menghiraukan harga barang-barang yang akan dibeli. Bahkan pada saat membeli hampir tidak ada proses tawar menawar. Harga telor lebih mahal dibandingkan sawo, sehingga saat membeli harus berpikir dahulu berapa banyak akan dibeli dan berapa harga normal dipasar. Pada saat musim panen tembakau, membeli telor disamakan dengan membeli buah sawo, tanpa adanya pertimbangan mengenai jumlah yang akan dibeli dan harga yang ditawarkan. Sehingga membeli telor disamakan seolah-olah membeli buah sawo. Bahkan harga barang-barang dipasar disekitar lereng Sindoro-sumbing secara otomatis akan naik ketika musim tembakau tiba. Harga-harga tersebut jauh lebih mahal dibandingkan harga-harga di kota kabupaten sekalipun. Meskipun harga melonjak, tetapi hal itu tidak menjadikan persoalan bagi komunitas petani tembakau. Perubahan harga yang drastis tersebut dianggap sudah menjadi tradisi sejak nenek moyang mereka. Pada saat mengalami gagal panen, harga-harga tetap melambung tinggi. Petani meresponnya dengan mengurangi berbelanja di pasar dan swalayan. Selain itu pada level rumahtangga, mereka juga mengurangi atau paling tidak sama dalam hal kualitas makanan dibandingkan sebelum musim tembakau. Biasanya, pada musim tanam sebelum tembakau (cabe atau jagung), rumah tangga petani lebih banyak memanfaatkan bahan pangan dari lahan miliknya. Pengeluaran untuk membeli bahan makanan relative kecil, apalagi ditambah seringkali ada pertukaran hasil panen dengan tetangga. Musim tembakau adalah saat yang ditunggu-tunggu untuk meningkatkan kualitas makanan yang dikonsumsi. Panen tembakau yang berhasil akan ditandai
72
dengan meningkatknya mutu bahan pangan, seperti: penggunaan telor, daging ayam, tongkol untuk lauk-pauk dan terkadang ada pertukaran bahan makanan pokok dari jagung ke beras. Perubahan tersebut tidak hanya dinikmati oleh rumahtangga petani tembakau saja, tetapi juga pada buruh tani, dimana mereka akan menikmati telor dadar, ayam goreng, atau ikan tongkol goreng. Ketika musim tembakau tidak memberikan keuntungan lebih karena harga tembakau rendah, maka petani mengkonsumsi makanan seperti layaknya musim tanam cabe dan jagung, atau bahkan menurun. 5.11. Ikhtisar 5.11.1. Pertanian sebagai basis penghidupan utama petani tembakau Menurut data sensus pertanian (2003), sekitar 95 % rumahtangga di desa Wonotirto sangat tergantung kepada lahan pertanian. Mayoritas rumahtangga tersebut adalah petani tembakau19.
Hal ini memberikan pemahaman bahwa
ketergantungan petani terhadap lahan sebagai basis sumber nafkah menjadi sangat penting. Fakta menunjukkan, pada petani lahan sawah sebanyak 90 % rumahtangga petani hanya memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar. Sedangkan pada lahan pegunungan, Sebanyak 31,23 % rumahtangga petani memiliki lahan lebih dari 1 hektar. Sedangkan rumahtangga petani dengan luas kepemilikan lahan kurang dari 0,5 hektar sekitar 28 %. Sedangkan 40 % lainnya memiliki lahan antara 0,5 ha s.d. 1 ha (Sensus pertanian, 2003). Fakta diatas memberikan informasi bahwa pada petani lahan sawah banyak petani gurem yang menggantungkan diri pada lahan pertanian melalui hubungan patronase dengan pemilik lahan luas. Sementara pada petani pegunungan, kepemilikan lahan pertanian masih relative luas walaupun ada kecenderungan menurun karena faktor fragmentasi akibat diwariskan dan migrasi yang rendah sehingga banyak petani yang bertumpu pada lahan pertanian sebagai 19
Menurut BPS (2005), rumahtangga petani usaha tanaman perkebunan adalah kegiatan yang menghasilkan produk tanaman perkebunan dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya dijual/ditukar atau memperoleh pendapatan/keuntungan atas resiko usaha. Suatu rumah tangga dikategorikan sebagai rumah tangga pertanian perkebunan apabila banyak pohon/rumpun/luas yang diusahakan rumah tangga tersebut lebih besar atau sama dengan batas minimal usaha (BMU) masing-masing jenis tanaman tersebut. BMU untuk tanaman tembakau adalah 1600 m2.
73
basis nafkah. Kasus keluarga Tk (58 tahun) memberikan fakta bagaimana fragmentasi lahan akibat pola pewarisan merupakan kondisi serius bagi keberlangsungan petani yang mengandalkan lahan pertanian sebagai basis kehidupannya. Tk (58 tahun) Mulai bertanam tembakau pada tahun 1970’an dan mulai bertani sendiri tahun 1980’an. Luas lahan yang dimiliki pada waktu itu seluas 2 Ha, merupakan warisan orang tua. Sekarang sudah dibagi kepada 4 orang anaknya masing-masing 0,5 ha. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, dia menyewa lahan seluas 1 ha.
Pada petani lahan sawah, selain memanfaatkan hubungan patronase dengan petani berlahan luas, mereka mulai terdorong bekerja pada sektor non pertanian (sistem nafkah ganda) karena lahan pertanian tidak lagi mampu menyangga seluruh kebutuhan hidupnya. Sedangkan pada lahan pegunungan, mereka mengalami stagnasi dengan berpijak sepenuhnya kepada lahan pertanian. Hal ini disebabkan karena lahan pertanian yang tersedia masih memberikan ruang bagi petani untuk mengeksplosari sumberdaya lahannya. Selain itu, proses produksi tembakau juga masih mampu menyerap tenaga kerja pedesaan, bahkan sebagian besar buruh tani pada saat musim tembakau diambil dari daerah lain. Kemampuan lahan pertanian terhadap serapan tenaga kerja pedesaan merupakan hal yang positif. Namun demikian, pertanyaan berikutnya adalah seberapa lama daya serap tersebut mampu memberikan peluang bagi tenaga kerja pedesaan dan sejauh mana memberikan kemampuan (capability) kepada petani tembakau untuk bertahan atau memperbaiki standar hidupnya. 5.11.2. Tembakau sebagai produk budaya Tembakau merupakan komoditas penting bagi petani di lereng Sumbing Sindoro. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, yaitu: pertama, secara agroekologi tanaman yang mampu bertahan hidup di lahan tegalan pada musim kemarau (April-September) hanyalah tembakau. “ojo meneh tanduran sing ora kuat panas, suket wae mati“ (jangankan tanaman yang tidak kuat pada musim kemarau, rumput saja-biasanya rumput lebih tahan terhadap kondisi apapun-kalau
74
ditanam di sini mati)”. Ungkapan tersebut menunjukkan adanya dugaan sementara bahwa tembakau adalah bagian dari komoditas yang pada awalnya adalah produk yang dipaksakan colonial dan sekarang terpaksa karena kondisi agro-ekologi lahan tegal. Namun pertanyaannya kemudian adalah bagaimana dengan petani berlahan sawah? Mereka memiliki peluang untuk tidak menanam tembakau karena kondisi lahannya memungkinkan untuk diusahakan tanaman lainnya. Pada kenyataannya, petani pada lahan sawah tetap menanam tembakau pada musim kemarau. Hal ini memberikan tanda bahwa tembakau memiliki sisi historis yang terlepas dari dugaan faktor agro-ekologi. Alasan kedua, yaitu karena rasionalitas instrumental yang berbasis keuntungan. Alasan ini boleh jadi benar, karena produk ini sejak awalnya merupakan komoditas komersial yang diintroduksi penjajah melalui sistem tanam paksa dan berhubungan langsung dengan pasar internasional. Secara historis, petani juga memiliki pengalaman masa kejayaan yang tidak pernah dilupakan. Misalnya cerita salah satu petani yang mencoba mengingat masa keemasan yang pernah dialami: Pada tahun 1982, harga tembakau untuk totol D sekitar Rp. 10.000,- dan totol E/F Rp. 35.000,-; sementara harga emas adalah Rp. 15.000/gram. Apabila satu keranjang memuat 30 kg tembakau kering dengan harga per kg sekitar Rp. 20.000,- ; maka petani akan mendapatkan Rp. 600.000, per keranjang. Apabila hasil tersebut dibelikan emas, maka petani akan mendapatkan 40 gram atau 4 ons. Tembakau dengan harga Rp. 35.000,per; petani mampu membeli pupuk kandang dua rit. Pada saat ini, harga pupuk kandang ± 1 juta per rit, sedangkan harga tembakau hanya sekitar Rp. 50.000,- s.d. Rp. 70.000,-.per kg.
Dugaan lain adalah karena adanya spirit pulung yang melekat pada setiap lekuk pemikiran petani. Berbagai harapan akan pulung yang akan menghampiri mereka mendorong petani untuk tetap mengusahakan tembakau. Kalau alasan tersebut benar, artinya menambah kuat dugaan bahwa tembakau tetap eksis hingga sekarang karena alasan rasionalitas keuntungan walaupun berdiri diatas ketidakrasionalan (pulung sebagai sesuatu yang bersifat mistik).
75
Namun demikian, dugaan tersebut meninggalkan pertanyaan lainnya dikaitkan dengan fakta bahwa tembakau sangat berisiko terhadap berbagai perubahan kondisi lingkungan dan fluktuasi harga. Bahkan petani seringkali terjerat hutang dan sering merugi, tetapi mereka tetap menanam tembakau. Artinya mengapa mereka tidak meninggalkan tembakau untuk kemudian mencari peluang lain. Bahkan cerita tentang migrasi di komunitas tembakau pada lahan tegalan hanya bersifat temporer yang dilakukan sebagai langkah terakhir karena tidak berdaya menghadapi gagal panen yang berturut-turut. Setelah musim tembakau beranjak bagus, petani serta merta akan meninggalkan daerah perantauan untuk kembali menekuni dan terjun di pertembakauan. Beberapa fakta diatas menggiring peneliti untuk mengambil kesimpulan sementara bahwa tembakau tidak hanya melekat pada petani karena alasan agroekologi dan alasan rasional instrumental tetapi juga karena produk budaya. Dugaan tersebut dikuatkan oleh pernyataan petani: “ojo ngaku wong temanggung menowo ora nandur mbako” (jangan mengaku orang Temanggung kalau tidak menanam tembakau). Pernyataan tersebut seolah memberikan gambaran bahwa apapun kondisinya tembakau tetap menjadi bagian penting bagi kehidupan petani. Tembakau bukan sekedar bermakna ekonomi tetapi juga bermakna social.
76
VI. STRATEGI NAFKAH RUMAH TANGGA PETANI TEMBAKAU
6.1. Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Sebagian besar rumahtangga pedesaan pada umumnya tidak dapat menghindar dari resiko, apakah yang disebabkan oleh manusia atau karena faktor lingkungan, dan mereka biasanya memanajemen struktur nafkah sehingga mampu meminimalkan resiko, tergantung kepada sumberdaya yang dimiliki (Ellis, 2000). Dalam upaya memperjuangkan kehidupan ekonominya rumahtangga petani akibat berbagai risiko tersebut biasanya akan melakukan diversifikasi sumber nafkah yaitu proses yang dilakukan oleh keluarga pedesaan untuk melakukan berbagai aktivitas dan kemampuan dorongan sosial mereka dalam upaya berjuang untuk bertahan hidup dan untuk meningkatkan standar hidup. Secara luas bahwa adanya diversifikasi nafkah tidak sekedar untuk bertahan hidup, yang dikonotasikan sebagai resistensi, artinya seolah-olah tidak berkembang. Oleh karena itu, bahwa strategi nafkah selain bertahan hidup tetapi juga berusaha memperbaiki standar hidup (Ellis, 1998; Redclift, 1986). Alasan individu dan rumahtangga melakukan diversifikasi sebagai strategi nafkah adalah karena keterpaksaan (necessity) dan pilihan (choice). Istilah lain yang sering digunakan adalah antara bertahan hidup (survival) dan pilihan (choice) atau antara bertahan hidup (survival) dan akumulasi (accumulation). Suatu kondisi yang memaksa, misalnya: tidak adanya akses lahan bagi petani tunakisma, lahan yang semakin sempit akibat fragmentasi lahan warisan, gagal panen, bencana alam, atau ketidakmampuan mengerjakan aktifitas pertanian karena kecelakaan atau sakit. Selain karena kondisi yang memaksa, ada peluang lain yang memberikan tambahan pendapatan, misalnya: mencari pekerjaan diluar musim pertanian, mendidik anak untuk meningkatkan kesempatan mendapatkan pekerjaan di luar pertanian, menabung untuk investasi di luar pertanian, memanfaatkan uang dari hasil off-farm untuk membeli pupuk atau peralatan pertanian (Ellis, 2000).
77
Secara empiris, White (1973) yang dikutip Sajogyo (1990) membuktikan bahwa dalam kondisi lahan yang semakin sempit, rumah tangga petani berusaha untuk melakukan kegiatan nafkah di luar pertanian. Beberapa tesis White adalah: (1) terjadi (sebagian) proses “orang terdorong ke luar (pertanian), imbalan di luar pertanian lebih rendah, orang menjalaninya karena terpaksa; dan (2) (sebagian lain) proses “orang tertarik ke dalam (nafkah bukan pertanian), dimana imbalan di luar pertanian yang lebih baik. Ada kecenderungan rumahtangga di lapisan bawah (miskin) yang terkena proses “terdorong keluar” sebagai suatu strategi bertahan hidup. Sajogyo (1998) menyebut sebagai pola nafkah ganda. White (1990) membedakan rumahtangga petani ke dalam tiga kelompok dengan strategi nafkah yang berbeda. Pertama, rumahtangga yang atau mengusahakan tanah pertanian luas, yang menguasai surplus produk pertanian diatas kebutuhan hidup mereka. Surplus ini seringkali dimanfaatkan untuk membiayai pekerjaan di luar sector non-pertanian, dengan imbalan penghasilan yang relatif tinggi pula. Pada golongan pertama, strategi nafkah yang mereka terapkan adalah strategi akumulasi dimana hasil pertaniannya mampu diinvestasikan kembali baik pada sector pertanian maupun non pertanian. Kedua, rumahtangga usaha tani sedang (usahatani hanya mampu memenuhi kebutuhan subsisten). Mereka biasanya bekerja pada sector non pertanian dalam upaya melindungi diri dari gagal panen atau memberikan sumber pendapatan yang berkelanjutan mengingat usaha pertanian bersifat musiman. Strategi mereka ini dapat disebut sebagai strategi konsolidasi. Ketiga, rumahtangga usaha tani gurem atau tidak bertanah. Biasanya mereka bekerja dari usaha tani ataupun buruh tani, dimana penghasilannya tidak dapat mencukupi kebutuhan dasar. Rumahtangga ini akan mengalokasikan sebagian dari tenaga kerja mereka-tanpa modal, dengan imbalan yang rendah-ke dalam kegiatan luar pertanian. Pada rumahtangga pada golongan ketiga ini menerapkan strategi bertahan hidup (survival strategy). Chambers (1992) yang dikutip Wilson (2004) membagi strategi nafkah rumahtangga ke dalam tiga tahap, yaitu: desperation, vulnerability, dan independence. Masing-masing tahap tersebut memiliki prioritas pemenuhan kebutuhan yang berbeda pula. Pada periode desperation, tujuannya adalah
78
bertahan hidup (survival), cara yang ditempuh adalah dengan menjadi buruh lepas, memanfaatkan common property, migrasi musiman, dan meminjam dari patron. Tahap kedua adalah vulnerability, jaminan keamanan adalah tujuan utamanya, diperoleh dengan mengembangkan aset, menggadaikan aset, dan berhutang. Pada kenyataannya, sebagian besar orang mengakumulasi modal terlebih dahulu sebelum melakukan investasi, karena investasi memerlukan biaya yang besar. Tujuan utama dari tahap ketiga-independence adalah kehormatan diri, misalnya: berusaha membebaskan diri dari status klien dalam hubungan patronklien, melunasi hutang, menabung dan membeli atau mengembangkan aset yang mereka miliki. Tahap desperation dan vulnerability seringkali disebut dengan coping strategy, apabila tindakan untuk bertahan hidup mengikuti sistem sosial yang berlaku. Sedangkan adaptasi ditandai oleh berubahnya sitem nafkah atau moral ekonomi. Adaptasi tidak selalu bermakna ada perubahan yang fundamental pada sistem, tetapi rumahtangga memiliki kapasitas untuk memilih keluar atau secara langsung menolah sistem yang berlaku. Chambers dan Conway (1991) “ A livelihood comprises the capabilities, assets (store, resources, claims, and access) and activities required for a means of living; a livelihood is sustainable which can cope with and recover from stress and shocks, maintain or enchance its capabilities and assets, and provide sustainable livelihood opportunities for the next generation; and which contributes net benefits to other livelihoods at local and global levels and in the short and long term”. Livelihood meliputi aset (modal alam, modal fisik, modal SDM, modal finansial, dan modal sosial), aktifitas, dan akses terhadap aset-aset tersebut yang dikombinasikan untuk menentukan kehidupan bagi individu maupun rumah tangga (Ellis, 2000; Scoone, 1998). Berdasarkan pengertian tersebut, ada beberapa poin penting yang menyangkut livelihood, yaitu: kapabilitas, aset, dan aktifitas sebagai sarana menjalani kehidupan yang berkelanjutan. Chambers dan Conway (1991) mengemukakan bahwa sustainable livelihood harus mampu: (1) mampu
79
beradaptasi dengan shock dan tekanan; (2) memelihara kapabilitas20 dan aset-aset yang dimiliki; dan (3) menjamin penghidupan untuk generasi berikutnya. Pentagon aset tersebut akan dikombinasikan sehingga membuat strategi nafkah tertentu yang dimainkan pada beberapa aktifitas. Mengikuti kerangka berfikirnya Brock (1998) yang dikutip Carswell (2000) mengenalkan kerangka (framework) tipe aktivitas diversifikasi nafkah yang mencoba membuat premis sehingga membentuk empat ruang nafkah. Framework tersebut didasarkan pada dua premis, yaitu: (1) diversifikasi bersifat relative, tergantung pada berbagai aktifitas yang dilakukan; (2) semua aktifitas yang dilakukan memiliki dimensi spasial, aktifitas tersebut menggambarkan batasan ruang (spasial). Berdasarkan dua premis tersebut, maka aktifitas diversifikasi nafkah dapat dikelompokkan menjadi empat ruang (lihat table 6.1.) Tabel 6.1. Kerangka tipe aktifitas diversifikasi nafkah Tidak ada perubahan ruang Tidak ada perubahan aktifitas Ada perubahan aktifitas
“base livelihood”: mengolah lahan, beternak
Livelihood diversification: perdagangan, pekerja tangan (tukang batu, tukang kayu, pembuat barangbarang tembikar, tukang tenun), tenaga kerja lepas Sumber: Brock (1998) yang dikutip Carswell (2000)
Ada perubahan ruang Migrasi untuk bekerja sebagai tenaga kerja pertanian Migrasi sirkuler
Mendasarkan diri pada kerangka tersebut, maka strategi nafkah rumahtangga petani tembakau dapat dikelompokkan berdasarkan domain-domain tersebut. Domain base livelihood menunjukkan adanya beberapa strategi yang 20
Kata capability dipopulerkan oleh Sen (1985), “…being able to perform certain basic functioning, to what a person is capable of doing and being”. Dalam konteks livelihood, capability menyangkut kemampuan dalam beradaptasi dengan tekanan dan guncangan, dan mampu menemukan/membuat peluang-peluang strategi nafkah. Mereka mampu merespon setiap perubahan yang kurang menguntungkan, memperoleh akses dan memanfaatkan informasi, mampu meramalkan kondisi yang akan dihadapi, inovatif, bersaing dan bekerjasama dengan orang lain, dan mengeksplorasi kondisi dan sumberdaya yang baru (Chambers dan Conway, 1992).
80
“mainkan”, yaitu: strategi produksi, strategi solidaritas horizontal, strategi solidaritas vertikal, strategi patronase, dan strategi berhutang. Sedangkan pada domain (ruang) livelihood diversification memunculkan beberapa strategi penting, yaitu: strategi akumulasi, strategi srabutan, dan strategi manipulasi komoditas. Sementara domain lainnya adalah adanya strategi migrasi temporer (lihat pada tabel 6.2.). Tabel 6.2. Kerangka tipe aktifitas diversifikasi nafkah rumahtangga petani tembakau Tidak ada perubahan ruang Ada perubahan ruang “base livelihood”: Tidak ada perubahan • Strategi produksi aktifitas • Strategi patronase • Strategi solidaritas vertikal • Strategi solidaritas horizontal • Strategi berhutang Strategi migrasi temporer Livelihood diversification: Ada perubahan • Strategi akumulasi aktifitas • Strategi srabutan • Strategi manipulasi komoditas Sumber: mendasarkan diri pada pemikiran Brock (1998) yang dikutip oleh Carswell (2000) Mendasarkan diri pada tabel 7.2. maka dapat dilihat bahwa kehidupan rumahtangga petani tembakau didasarkan pada lima strategi dasar yang merupakan domain “base livelihood”. Berbagai kondisi atau situasi membuat rumahtangga petani terdorong atau tertarik untuk memasuki domain lainnya, seperti “livelihood diversification” dan migrasi. Strategi srabutan merupakan strategi yang diterapkan sebagai respon dan adaptasi rumahtangga petani karena “base livelihood” dianggap tidak mampu lagi memberikan jaminan kehidupan. Fenomena inilah yang disebut White (1990), “tertarik” ke luar sektor pertanian. Sementara strategi akumulasi lebih banyak karena faktor dorongan akibat adanya peluang yang lebih baik di luar sektor pertanian. Berbagai uraian mengenai masing-masing strategi tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:
81
6.1.1. Domain “base livelihood” 6.1.1.1.Strategi Produksi Strategi ini diterapkan oleh rumahtangga petani tembakau, baik pada situasi normal maupun krisis. Pada situasi normal, strategi ini merupakan sebagai adaptasi terhadap kondisi ekologi maupun dalam upaya meningkatkan pendapatan atau mengurangi biaya. Strategi yang membuka peluang terhadap masuknya inovasi baru merupakan upaya meningkatkan pendapatan petani, misalnya: perubahan dari komoditas jagung menjadi cabe, perubahan dari penggunaan cacak dan gobang dan mesin. Sementara pada situasi krisis, strategi ini dapat dikatakan strategi koping. Menurut Davies (1993), shock dan stress akibat perubahan iklim yang pada gilirannya menyebabkan gagal panen atau harga yang turun atau sumberdaya lahan yang tidak memadai akan mempengaruhi dasar dari sumber nafkah rumahtangga. Kondisi ini akan menyebabkan munculnya respon dan upaya untuk mengadaptasikan diri terhadap krisis. Ada dua proses penting yang menyangkut respon individu atau rumahtangga dalam memberikan respon terhadap setiap krisis, yaitu coping dan adaptasi. Coping mengacu pada strategi nafkah untuk mengatasi krisis yang sedang hadir. Adaptasi merupakan adjustment pada system nafkah di dalam merespon perubahan yang bersifat jangka panjang yang berkaitan dengan sumberdaya dan kesempatan (factor struktur). Beberapa strategi sebagai respon terhadap kondisi krisis antara lain: mengurangi input pertanian dan memberokan lahan pertanian (sebagian lahannya tidak ditanami). Strategi produksi ini lebih memanfaatkan sumberdaya alami (natural capital) dengan sumberdaya manusia. Tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan mereka harus memanfaatkan berbagai pengalaman yang pernah dialami sebagai pelajaran berarti dalam mengatur strategi produksi. Keterbatasan modal finansial pada saat krisis “memaksa” mereka harus mengurangi jumlah pengeluaran dengan cara mengurangi input produksi pertanian.
82
Terbuka dengan inovasi baru Menanam cabe sebagai pengganti jagung Hubungan jejaring dengan petani lain menjadikan adanya proses pertukaran informasi diantara mereka. Jejaring tersebut tidak hanya terbatas pada lingkup kecil, seperti dusun atau desa tetapi antar desa. Modal sosial yang mereka bangun menghasilkan suatu temuan baru terhadap kegiatan usaha taninya. Pada mulanya, petani di desa Wonotirto menjadikan jagung sebagai tanaman pokok pada musim tanaman Oktober-Maret. Jagung mampu menunjang kehidupan petani dalam menyediakan cadangan makanan hidup sehari-hari. Selama ini, makanan pokok petani berasal dari jagung. Hasil panen, sebagian dijual dan sebagian lagi disimpan dalam bentuk tabungan sebagai cadangan makanan. Rumahtangga petani mampu memenuhi kebutuhan pangannya hingga musim panen pada tahun berikutnya. Mereka saling berbagi dengan kerabat dan tetangganya apabila kekurangan bahan makanan. Bagi pihak yang berlebih memberikan kepada tetangganya yang terbatas bahan pangannya. Sebagian petani yang mampu, biasanya kepemilikan lahan yang luas, memiliki moral ekonomi untuk membantu mereka. Pada mulanya, jagung merupakan tanaman pokok sebelum mengusahakan tembakau. Berbagai pengalaman petani pada desa lain membawa perubahan pada kebiasaan-kebiasaan yang selama ini dilakukan. Perubahan tersebut adalah perubahan dari menanam jagung menjadi cabe. Menanam cabe dianggap memberikan kesejahteraan dibandingkan jagung. Walaupun tidak selamanya demikian, karena risiko terhadap gagal panen dan biaya input pada tanaman cabe jauh lebih besar dibandingkan jagung. Lantas bagaimana dengan makanan pokok sehari-hari pada mereka? Strategi yang diterapkan adalah: (1) menanami sebagian dengan tanaman cabe dan sebagian lainnya dengan tanaman jagung; (2) pada tertentu menanam cabe sedangkan tahun berikutnya menanam cabe. Pilihan alternative pertama biasanya dilakukan oleh petani dengan lahan luas. Sedangkan alternative kedua dilakukan baik petani lahan luas maupun lahan sempit.
83
Berbagai
anggapan
mengenai
cabe
lebih
memberikan
tambahan
pendapatan dibandingkan jagung benar ketika harga cabe diatas Rp. 10.000,00/kg. Sedangkan pada saat cabe mendapat serangan hama-penyakit atau curah hujan yang tinggi maka harga cabe bisa Rp. 5.000,00/kg. Sehingga strategi menanam cabe dan jagung pada musim yang sama bisa mengurangi resiko gagal panen. Konsekuensi dari perubahan komoditas ini adalah makanan pokok pada saat ini tidak murni jagung. Mereka melakukan variasi dengan beras, artinya ada cost tambahan yang dikeluarkan oleh rumahtangga petani untuk melangsungkan hidupnya. Selain itu perubahan komoditas tersebut mengurangi tradisi saling berbagi bahan makanan pokok. Pada saat persediaan jagung menipis mendapatkan bagian dari petani dengan cadangan berlebih. Sementara pada komoditas cabe, tidak terjadi hal demikian karena langsung dijual kepada pedagang. Beras sebagai makanan pokok dari hasil membeli biasanya dikonsumsi sendiri. Mengganti cacak-gobang menjadi mesin Warisan teknologi rajang dari nenek moyang semenjak pertama kali tembakau diperkenalkan di lereng sindoro-sumbing adalah cacak-gobang. Teknologi dimiliki oleh seluruh rumahtangga petani tembakau. Merajang (jawa: ngrawis) dengan cacak-gobang dilakukan secara manual, konsekuensinya adalah membutuhkan waktu yang relatif lama. Beberapa strategi yang dilakukan adalah dengan cara royongan (gotong royong). Mereka membawa cacak-gobang yang mereka miliki ke rumah tetangga yang akan ditolongnya, kemudian mereka merajang bersama-sama di sana. Aktifitas ini dilakukan secara bergantian dari satu rumah ke rumah yang lain tanpa memberikan upah melainkan hanya member makan sekedarnya. Semenjak lima tahun terakhir, beberapa petani dengan kemampuan lebih mengadopsi alat perajang yang lebih canggih yaitu menggunakan mesin. Harganya yang relatif mahal-hingga 5 juta rupiah- menyebabkan hanya bisa diakses oleh petani yang memiliki kelebihan penghasilan. Menggunakan mesin mempercepat proses perajangan tembakau, walaupun dianggap hasil kurang bagus dibandingkan dirajang dengan gobang (manual).
84
Fenomena “impor” tembakau dianggap sebagian pihak berkaitan erat dengan munculnya mesin perajang ini. Jika menggunakan alat perajang manual, membutuhkan waktu yang lama untuk merajang tembakau dalam jumlah banyak. Sementara dengan menggunakan mesin perajang, bisa lebih cepat. Hal ini menguntungkan bagi petani yang memiliki mesin perajang, karena dapat mengimpor tembakau sebanyak-banyaknya tergantung modalnya. Sedangkan petani gurem, tetap melakukan tradisi royongan dengan menggunakan alat manual.
Pengetahuan local petani dalam upaya mengurangi biaya pengangkutan pupuk kandang Kondisi topografi berupa pegunungan tentunya membawa konsekuensi pada petani untuk lebih bersusah payah untuk pergi ke lahan pertanian. Selain melakukan perjalanan yang relatif lama juga harus menghadapi kondisi lereng dan lembah yang curam melalui jalan setapak. Biasanya mereka menggunakan sepeda motor untuk pergi ke lahan, dan apabila jalan besar masih jauh dari lokasi tegal maka sepeda motornya dibiarkan di jalan tersebut. Akan tampak pemandangan sepeda motor berjajar-jajar hingga panjangnya puluhan meter. Persoalan lain adalah semakin mahalnya biaya pengangkutan input pertanian terutama pupuk kandang (jawa: lemi/lemen). Harga pupuk biasanya 1 rit21 besar sekitar 1 juta rupiah sedangkan rit kecil dengan harga sekitar Rp. 650.000,00. Sementara biaya angkutnya diperkirakan sama dengan harga pupuknya. Sebagai ilustrasi, untuk pupuk dengan rit besar (± 150 karung) apabila diborongkan akan menghabiskan sekitar 1 juta rupiah. Sedangkan apabila diupahkan, per karung terkena biaya Rp. 8.000,00. Sehingga untuk 150 karung menghabiskan biaya pengangkutan 1,2 juta rupiah. Untuk mengatasi biaya yang mahal tersebut, beberapa petani menciptakan ide dengan menghubungkan bukit yang satu dengan bukit yang lain pada lokasi terdekat dengan lahannya dengan tambang sebesar satu jempol jari tangan. Kemudian mengikat karung-karung berisi pupuk kandang untuk kemudian 21
Rit adalah ukuran satu bak mobil pick-up yang biasanya diangkut sekali jalan
85
diluncurkan ke bawah dan jatuh di sekitar lahan pertaniannya. Snd (50 tahun) membutuhkan 180 meter untuk mengikat tambang tersebut dari bukit satu dengan lokasi lahannya. Teknologi ini kemudian diadopsi petani lain sehingga bisa mengurangi biaya input pertanian, meskipun tidak semua petani bisa menerapkan metode ini karena kondisi lahan yang tidak memungkinkan. Blok berbeda, tanaman berbeda Pada petani dengan lahan yang relatif luas, mereka melakukan usahatani dengan komoditas yang berbeda-beda pada blok yang berbeda. Misalnya pada lahan sawah, pada musim tembakau salah satu blok ditanami dengan padi sementara pada blok yang lain ditanami tembakau. Variasi komoditas ini merupakan strategi untuk mengurangi berbagai risiko kegagalan. Apabila pada suatu musim harga tembakau turun maka rumahtangga petani masih mendapatkan hasil dari tanaman padi dan sebaliknya. Dldr (58 tahun), tinggal bersama istri, orang tua, anak dan menantunya. Kedua anak lainnya telah menikah, yang satu tinggal di tetangga desa menjadi pedagang dan satunya lagi tinggal di dekat rumahnya menjadi butuh tani, srabutan, dan sopir Dia memiliki luas lahan 0,9 hektar; terdiri dari 3 blok. Sebanyak 0,2 hektar (blok I) menyewa dari salah satu kadus di luar desa, blok II dan III seluas 0,43 hektar dan 0,26 hektar menyewa dari Srt, salah satu kadus di desa Campursari. Pada masingmasing blok mendapatkan perlakuan yang berbeda-beda, ada tiga komoditas utama yang menjadi tanaman pokok yaitu: padi, cabe, dan tembakau. misalnya pada tahun 2008 dia menanami lahan blok I dengan pola pergiliran tanaman: padi-tembakau-padi; blok II adalah padi-padipadi; dan blok III setengah luas lahan ditanami padi-padi-padi dan setengahnya lagi padi-cabe-tembakau. Tanaman padi dianggap menjadi komoditas yang wajib ditanam, sedangkan untuk menanam tembakau biasanya berkonsultasi dengan seorang pedagang Cina (Bah Yong) yang dianggap mengetahui kapan musim baik dan buruk untuk mengusahakan tanaman tembakau. Pada tahun 2008, dimana digit belakangnya angka delapan dianggap sebagian besar oleh komunitas petani tembakau merupakan tahun yang tidak baik untuk menanam tembakau. Sedangkan pada tahun 2009 ini, dia akan mengalokasikan satu atau dua blok lahannya untuk ditanami tembakau karena digit belakang angka 9 dianggap tahun turunnya pulung. Pada kasus Dldr, bahwa strategi nafkah yang dibangun lebih banyak “memainkan” modal alami berupa pengaturan blok tanam pada lahan yang dimilikinya.
86
Sementara rumahtangga petani tembakau pada lahan pegunungan, usaha pertanian dalam satu tahun hanya terdiri dua musim tanam. Pada musim tanam April-September semua lahan ditanami dengan tembakau. Hal ini disebabkan karena pada musim tersebut tanaman yang cocok hanyalah tembakau. Selain itu, kedekatan rumahtangga petani dengan tembakau di pegunungan lebih besar dibandingkan pada petani lahan sawah. Sehingga menanam tembakau dianggap sebagai tradisi. Pada musim Oktober-Maret, sebagian petani melakukan strategi menanam tanaman yang berbeda pada blok yang berbeda. Untuk menunjang bahan makanan pokoknya yaitu jagung, maka mereka biasanya menyisihkan sebagian lahannya untuk menanam jagung. Sedangkan bagian lahan lainnya ditanami cabe. Rumahtangga petani yang satu dan lainnya memiliki perbedaan cara mengatur tanaman dalam lahannya. Bagi rumahtangga petani luas memiliki pilihan yang lebih banyak dibandingkan petani lahan gurem. Mengurangi Input Pertanian Mengelola usahatani tembakau paling tidak memerlukan input: bibit, pupuk (kandang dan kimia), dan tenaga kerja. Sementara pada tahap pasca panen mutlak diperlukan alat perajang (cacak-gobang atau mesin), alat penjemur (rigen), dan keranjang. Untuk keperluan bibit, biasanya menyemaikan sendiri dengan benih milik sendiri. Kebutuhan tenaga kerja terutama pada petani gurem dicukupi dari seluruh anggota rumahtangga dan kerabat dekat. Sedangkan untuk kebutuhan pasca panen, berbagai peralatan tersebut mutlak diperlukan, artinya harus dipenuhi baik pada masa normal maupun gagal panen. Ketika terjadi gagal panen, rumahtangga petani berusaha mengurangi kuantitas input pertanian, terutama pupuk kandang dan pupuk kimia. Mereka akan mengurangi dosisnya hingga ¼ atau ½ dari jumlah yang biasanya diberikan pada saat kondisi normal. Dengan mengurangi dosis pupuk, paling tidak mampu menghemat uang yang dikeluarkan sebagai strategi koping akibat gagal panen.
87
Sebagian lahan diberokan (tidak digarap) Strategi ini dilakukan terutama oleh keluarga petani berlahan luas. Pada saat satu musim gagal panen mungkin strategi ini belum dilakukan. Strategi ini ditempuh ketika mengalami gagal panen berturut-turut. Akumulasi hutang yang menumpuk terkadang menyulitkan petani untuk mengakses hutang, atau kalau ada yang member kesempatan berhutang ada ketakutan tidak mampu membayar apalagi tidak menutup kemungkinan musim tanam berikutnya juga akan mengalami kegagalan. Pada kondisi seperti itu, strategi koping yang dilakukan adalah dengan memberokan sebagian blok lahan yang dimilikinya. Lahan mereka pada umumnya tidak menghampar dalam satu blok, tetapi terpisah-pisah dan bahkan terkadang terletak di luar desa. Blok-blok yang jaraknya jauh dan sulit dijangka merupakan salah satu lahan yang dipilih untuk tidak ditanami untuk beberapa musim hingga kondisi keuangan pulih kembali. Blok lahan yang jauh dan sulit dijangkau kendaraan biasanya memerlukan biaya tinggi terutama untuk biasa pengangkutan baik untuk mengangkut pupuk maupun hasil panen. Oleh karena itu dengan memberokan lahan dapat mengurangi biaya yang dikeluarkan sehingga dapat membantu rumahtangga petani untuk mengalokasikan biayanya pada lahan yang lain. Banyaknya blok yang tidak ditanami sangat tergantung pada perhitungan petani terhadap sumberdaya yang dimiliki. Semakin terbatas sumberdaya yang ada terutama modal finansial maka semakin banyak blok yang ditak ditanami. Petani yang berbasis sawah mungkin dapat mengganti komoditas tembakau menjadi tanaman padi, sementara pada masyarakat pegunungan tidak ada pilihan komoditas pengganti karena pada musim AprilSeptember tidak ada tanaman yang cocok di tanam pada lahan mereka. 6.1.1.2.Strategi Patronase Strategi patronase merupakan upaya yang dilakukan oleh petani tunakisma dan petani gurem dengan memanfaatkan asuransi sosial yang diberikan oleh petani lahan luas. Keterbatasan modal alami dan finansial mendorong petani berlindung pada modal sosial yang mereka miliki. Etika sosial-kolektif yang 88
berbasis pada modal sosial adalah salah satu sumber penting bagi petani di pedesaan dalam melangsungkan kehidupannya. etika tersebut dapat berwujud hubungan patron-klien, hubungan kekerabatan yang baik dengan tetangga sehingga akan membantu mereka pada saat mengalami goncangan dalam kehidupannya. Bahkan petani yang tidak memiliki lahanpun mampu menguasai lahan pertanian. Tabel 6.3. Rumah Tangga Menurut Golongan Luas Lahan < 0,1
Luas
Jml
0,1-0,49 %
Jml
%
0,5-0,9 Jml
>1
%
Jml
%
Total
%
Desa Wonotirto
50
5.96
188
22.41
339
40.41
262
31.23
839
100
Desa Campursari
376
70.15
127
23.69
30
5.60
3
0.56
536
100
Kecamatan Bulu
3.162
29,82
4.465
42,11
2.099
19,80
876
8,26
10.602
100
Sumber: Sensus Pertanian 2003 Kabupaten Temanggung 100% 90% 80% 70% 60%
>1
50%
0,5-0,9
40%
0,1-0,49
30%
<0,1
20% 10% 0% Ds. Wonotirto
Ds. Campursari
Kec. Bulu
Gambar 6.1. Rumah Tangga Menurut Golongan Luas Lahan
Hal tersebut dapat dilihat bagaimana hubungan antara pemilik lahan dan petani yang tidak memiliki lahan. Luas kepemilikan lahan pada lahan sawah di desa Campursari mayoritas adalah kurang dari 0,1 Ha termasuk yang tidak memiliki lahan (lihat table 6.3. dan gambar 6.1.). Untuk menyiasati hal tersebut mereka berusaha mencari patron yang dapat memberikan jaminan kehidupan. Salah satu jaminan tersebut adalah dengan menyewakan atau menyakapkan lahan
89
pertaniannya sehingga petani yang tidak memiliki lahan mampu mengaksesnya untuk memenuhi kebutuhan hidup rumahtangganya. “Wsn (38 tahun), menjabat sebagai Kepala Desa. Dia dilahirkan dari seorang tuan tanah di desa itu dan sekaligus pedagang besar untuk komoditas tembakau. Pada saat ini luas lahan yang dimiliki sebanyak 5 Ha ditambah tanah bengkok22 seluas 2 Ha. Lahan tersebut tidak dikerjakan sendiri melainkan disakapkan23 kepada 17 rumahtangga petani yang memiliki lahan kurang dari 0,1 Ha atau tidak memiliki lahan sama sekali. Masing-masing rumahtangga mendapatkan 3000-4000 m2. Hal ini didasarkan pada dua hal, yaitu: (1) untuk memberikan pekerjaan kepada petani yang nir-lahan; dan (2) alasan praktisnya adalah untuk menghasilkan satu keranjang tembakau kering setiap kali petik dibutuhkan kurang lebih 3000-4000 m2. Sistem hubungan produksi yang dibangun adalah pada tahap awal penanaman, semua biaya produksi berasal dari patron. Setelah masa panen hasilnya dijual kepada patron dan hasilnya setelah dikurangi biaya produksi dibagi menjadi dua. Apabila terjadi gagal panen, biasanya ditanggung bersama antara patronklien. Berbagai kebijakan akan lahan yang menyangkut pupuk dan bibit apa yang akan dipakai, jenis komoditas yang akan diusahakan, atau prosedur budidaya biasanya didominasi oleh pihak patron. Petani penyakap mengikuti semua petunjuk yang diberikan oleh patron. Hubungan itu tidak hanya berlangsung pada hubungan produksi pertanian saja melainkan juga pada kebutuhan sehari-hari. Beberapa dari mereka juga ada yang bekerja pada patron sebagai tukang cuci mobil, pembantu rumah tangga. Sementara pada saat petani membutuhkan biaya mendadak biasanya mendapatkan pinjaman dari patron yang akan dibayarkan pada saat mereka panen. Petani yang menyakap kepada patron sebagian besar adalah keturunan dari petani yang dulunya juga ikut orang tuanya Wsn. Sehingga sudah ada ikatan emosional dan trust antara pihak patron-klien semenjak beberapa generasi sebelumnya. Melihat fenomena hubungan patron-klien di atas, terlihat bahwa petani gurem dengan keterbatasan kepemilikan modal alami mendorong mereka untuk memanfaatkan modal lainnya berupa modal sosial dan modal sumberdaya manusia. H. Rytn (56 tahun) adalah mantan carik (sekretaris desa) pada tahun 1975-1980) dan kepala desa tahun 1980-1998 dengan kepemilikan lahan seluas 1,25 Ha. Bersama istrinya dia membuka toko Saprodi, sementara lahannya disakapkan kepada empat rumahtangga petani yaitu: Mhd (4000 m2), Mgy (3500 m2), Srn (2500 m2), dan Ksn (2500 m2). Dia menggunakan sistem maro, pada saat panen padi dibagi dalam bentuk
22
Lahan yang diberikan kepada perangkat desa sebagai ganti gaji selama menjabat. Sakap adalah salah satu sistem hubungan produksi dimana petani pemilik menguasakan lahan miliknya kepada petani penyakap dengan sistem bagi hasil. Ada beberapa istilah dalam bagi hasil, seperti: maro, mrotelu. Maro berarti pembagiannya adalah ½ : ½, 50 % untuk pemilik lahan dan 50 % untuk penggarap dengan biaya produksi ditanggung bersama. Mrotelu artinya pembagiannya adalah 2/3 bagian untuk pemilik lahan, dan 1/3 untuk penggarap, dengan biaya produksi ditanggung oleh pemilik lahan. Pada saat ini, mayoritas menganut sistem maro.
23
90
gabah kering. Gabah kering tersebut dipergunakan oleh H. Rynt untuk kebutuhan pokok makan sehari-hari. H. Rynt tidak mengawasi secara langsung lahan yang disakapkan, dengan berbasis trust semua kegiatan usahataninya diserahkan kepada petani penyakap. Hubungan ini telah berjalan lama dan diantara mereka saling percaya satu sama lain. Bagi petani penyakap tersebut, modal sosial menjadi faktor penting dalam memperoleh kesempatan untuk mengakses sumberdaya alami.
Kelembagaan yang dibangun oleh pemilik lahan dan penyakap adalah bagi hasil atau sering disebut dengan istilah maro, artinya pembagian hasilnya adalah 50 % : 50 %. Pembagian ini dilakukan setelah dikurangi dengan berbagai ongkos produksi. Penyakap pada umumnya minim modal finansial, kebijakan yang diambil adalah dengan meminjam kepada pihak pemilik lahan untuk menyediakan berbagai kebutuhan untuk input pertanian seperti: benih/bibit, pupuk, pestisida, bahkan terkadang hingga tenaga kerja jika dibutuhkan. Penyakap menyediakan tenaga kerja untuk mengelola lahan, tetapi terkadang pengambil keputusan dalam pengelolaan lahan didominasi oleh pemilik lahan, misalnya: keputusan penggunaan pupuk, bibit, hingga tata cara budidaya. Hubungan pemilik dan penyakap tidak hanya sekedar hubungan produksi tetapi juga menyangkut kehidupan sehari-hari. Penyakap menganggap pemilik sebagai panutan. Mereka meyakini apa yang dilakukan oleh pemilik adalah demi kemaslahatan bersama, dan secara intelektual pemilik lahan dianggap lebih tahu dibandingkan penyakap. 6.1.1.3.Strategi Solidaritas Vertikal Istilah solidaritas vertikal merujuk pada adanya hubungan bertingkat berbasis pada rasa solidaritas untuk “menembus” struktur distribusi tembakau. Solidaritas ini dibangun atas dasar etika moral sosial-kolektif yang berbasis pada sosial capital yang terwujud dalam bentuk asuransi sosial. Kemampuan sumberdaya manusia yang terbatas mendorong rumahtangga petani memanfaatkan sumberdaya lain, seperti modal sosial sebagai aset penting dalam membentuk sistem nafkah.
91
Sistem distribusi tembakau Tidak semua petani memiliki akses kepada grader
Petani
Pabrik
Grader Pedagang Perantara
Hubungan petani dengan grader
PG
P1 SISTEM “NITIP”
G1
KINSHIP
GENEALOGIS G2
P2 Petani lain menjalin trust dengan petani yang memiliki hubungan baik dengan grader
Hubungan petani dengan grader generasi baru
KINSHIP
PL
Hubungan petani dengan grader melalui jalinan trust dengan P2
Gambar 6.2. Strategi Solidaritas Vertikal yang berbasis pada Kinship-Genealogis
Swto (P1) adalah salahsatu orang terpandang dan berpengaruh di desa Wonotirto karena memiliki lahan yang luas. Walaupun orang terpandang dan relatif kaya, tingkat pendidikannya dan anggota keluarganya tidak mendapatkan perhatian penting. Semua anaknya mengikuti jejak ayahnya sebagai petani tembakau. Swto memiliki hubungan baik dengan Bah CL 92
(G1) yang didasarkan pada kepercayaan yang sifatnya turun temurun. Semua hasil panen tembakau dijual kepada Bah CL dan kadang tidak dibayar langsung dan dengan harga yang nyaris tidak ada tawar menawar. Harga yang ditetapkan oleh grader seolah menjadi hak prerogatif yang tidak bisa dibantah. Ketika harga tembakau sedang anjlok terkadang pembayaran ditunda satu hingga dua minggu kemudian. Namun demikian, grader menjamin harga pasti lebih tinggi dibandingkan harga lain yang dijual melalui pedagang perantara (tengkulak). Meski tembakau memiliki kualitas yang sama atau lebih jelek dibandingkan dengan tembakau petani lain yang dijual kepada tengkulak karena tidak memiliki akses kepada grader, namun jika yang menjual swto bisa dipastikan harganya akan lebih tinggi. Pada saat gagal panen, grader tidak segan-segan memberikan hutang kepada petani tersebut yang akan dibayarkan setelah masa panen melalui potongan tembakau yang dijual kepada grader. Hubungan antara petani dan grader ini sangat ekslusif dan membutuhkan waktu yang relatif lama bahkan dari satu generasi ke generasi. Hubungan inilah yang disebut sebagai relasi yang berbasis pada kinship-genealogis, artinya selain didasarkan pada sistem kinship tetapi juga bersifat turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Sementara petani lain yang secara turun temurun tidak memiliki hubungan baik dengan grader, akan menjual hasil panennya kepada pedagang perantara dengan harga yang lebih rendah. Agar bisa mengakses kepada Bah CL, maka petani ini harus mendapatkan jaminan dari swto, sebagai petani yang telah bertahuntahun menjalin hubungan baik dengan Bah CL. Swto biasanya akan percaya dengan petani lain (PL) karena adanya hubungan kekerabatan atau tetangga dekat. Proses jalinan trust ini tidak mudah karena harus menjalani “uji kesetiaan” bahwa adanya jaminan kualitas yang baik. Setelah adanya kepercayaan dari Swto, maka petani tersebut akan direkomendasikan kepada grader untuk menjadi “anggota”-nya. Keanggotaan ini ada yang bersifat non-formal artinya karena saling mengenal secara dekat dan ada yang bersifat formal dengan menggunakan legalisasi berupa KTA (Kartu Tanda Anggota). Sedangkan bagi petani gurem (lahan sempit) biasanya agak sulit mengakses Bah CL walaupun memiliki hubungan baik dengan Swto. Ada mekanisme lain yang dibangun sebagai strategi solidaritas vertikal, yaitu dengan sistem nitip. Sistem ini dilakukan dengan cara menitipkan hasil panennya kepada Swto, sehingga tembakau miliknya seolah-olah milik Swto. Harapannya harganya bisa setara dengan tembakau yang dimiliki oleh Swto. Tidak semua petani bisa melakukan sistem nitip ini, hanya kerabat dan tetangga dekat yang bisa mengaksesnya. Petani penitip biasanya akan menyerahkan tembakaunya kepada swto dan percaya sepenuhnya dengan harga yang ditetapkan oleh grader. Imbalan atas jasa ini tidak ditetapkan secara pasti melainkan didasarkan pada asas saling memahami. Apabila harga tinggi, petani akan memberi kira-kira 100 ribu setiap keranjangnya atau terkadang merelakan 2 kg tembakaunya untuk swto. Melihat kelembagaan nafkah yang dibangun seperti sistem nitip dan kinship-genealogis menunjukkan bahwa nafkah yang dibangun sangat dipengaruhi oleh peran modal sosial.
93
Strategi ini diterapkan baik pada petani berlahan luas maupun petani lahan sempit (gurem/tunakisma). Hal ini terkait dengan karakteristik yang khas dari komoditas tembakau. Kualitas tembakau yang bertingkat dan banyak ragamnya “memaksa” petani harus menjalin hubungan baik dengan grader. Setelah musim panen tiba, semua hasil panen berupa tembakau rajangan di jual ke beberapa gudang pabrik rokok yang bertempat di sekitar Temanggung melalui grader. Grader akan menentukan totol24 tembakau yang didasarkan pada warna dan bau tembakau. Kegiatan ini merupakan otoritas tunggal karena kemampuan memilah kualitas tembakau hanya dimililiki oleh grader. Keputusan apapun mengenai kualitas dan harga tembakau akan diterima oleh petani. Sifat pasrah dan fatalis (pasrah dengan keputusan grader) ini juga didorong adanya keyakinan akan adanya “pulung”
25
. Melalui pulung inilah,
petani akan beruntung atau tidak dengan ditandai harga yang tinggi atau rendah pada hasil tembakaunya. Siapapun yang memperoleh harga tinggi, maka diyakini bahwa mereka mendapatkan anugerah berupa pulung. Keyakinan ini menjadikan mereka saling menerima harga tembakau walaupun jauh berbeda nilainya. Mereka tidak akan saling menuntut, walaupun harga tembakaunya jauh lebih rendah dibandingkan yang lainnya. Harga yang rendah menandakan bahwa pada musim tanam ini mereka belum mendapatkan pulung tersebut. Berikut ini adalah pernyataan
petani
mengenai
peran
pulung
dan
pengaruhnya
terhadap
keberuntungan petani:
“kulo nate sumerep pulung wonten tempat imbon. Lan leres, mbako kulo luwih pajeng dibanding kalian mbako tanggi”. “saya pernah melihat pulung yang jatuh disekitar tempat mengeramkan tembakau. Dan terbukti benar, tembakau saya lebih laku dibandingkan tembakau tetangga di sekitar”. 24
25
Totol adalah istilah untuk menyebut kualitas tembakau, biasanya menggunakan symbol huruf. Misalnya: totol A: menunjukkan kualitas paling rendah sehingga harganya paling murah. Totol yang paling bagus adalah F,G,H. Harganya bervariasi tergantung kepada letak tanam tembakau. daerah tanam yang paling bagus adalah Lamuk dan Lamsi. Pulung adalah semacam keberuntungan yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada petani tembakau. Petani yang akan mendapatkan pulung biasanya ditandai dengan adanya sinar yang akan jatuh ke lahan tegal, rumah, atau disekitarnya. Sinar tersebut biasanya dengan bermacam-macam bentuk, ada yang berbentuk rigen warna hijau ada yang berwarna kuning. Pulung yang jatuh di lahan tempat menanam tembakau dipercaya akan memberikan anugerah yang luar biasa.
94
“ten ngandap mriko, mbakonipun ditebas grader namung mboten sedoyo dipendhet. Wonten wolulas wit sing dijebol langsung dibeto wangsul diregani 22 juta. Lajeng turahanipun ditinggal mboten dipendhet lan diparingaken ingkang gadhah sabin. Wonten daerah mbako lamuk, pulung dhawah wonten sumur. Lajeng sumuripun ditutup, kersane pulungipun mboten pindah. Anehipun, sedoyo mbako ingkang dipunkeringaken sekitar sumur hasilipun mesti sae” (di bawah sana-maksudnya tembakau yang ditanam di lahan sawah-, tembakaunya dijual secara ijon. Tetapi tembakaunya tidak diambil semua. Dari tembakau yang ada hanya diambil 18 pohon dengan cara dicabut hingga akarnya dengan harga 22 juta. Sementara yang lainnya ditinggal dan diberikan kepada yang memiliki lahan. Cerita lain, di daerah tembakau lamuk, pulungnya jatuh di dalam sumur, lalu sumurnya ditutup agar pulung-nya tidak berpindah tempat. Anehnya semua tembakau yang dijemur di sekitar sumur tersebut hasilnya pasti bagus).
Hubungan petani dengan grader dimulai sejak tembakau ada di Temanggung. Pada mulanya grader mendatangi petani untuk membeli hasil tembakaunya, sementara petani berkumpul di suatu tempat di desanya. Kemudian petani dan grader melakukan transaksi di tempat. Relasi tersebut dibangun atas dasar pondasi trust diantara satu dengan lainnya. Hubungan tersebut berlangsung dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pada saat ini, untuk transaksi ekonomi dilakukan dengan cara petani mendatangi grader. Apakah semua petani bisa melakukan hubungan dengan grader?. Hanya beberapa petani yang dipercaya oleh grader yang bisa langsung menjual hasil tembakaunya kepada grader. Petani tersebut biasanya telah menjalin hubungan dengan grader pada waktu yang relatif lama bahkan berbeda generasi. Apabila orang tua atau generasi sebelumnya telah menjadi kepercayaan grader, maka secara otomatis keturunannya juga dipercaya oleh grader (lihat gambar 6.2.). Sementara bagi petani yang tidak memiliki hubungan genealogis dengan orang yang pernah menjadi kepercayaan grader, strategi yang dilakukan adalah dengan membangun trust dari petani yang sudah memiliki hubungan baik dengan grader. Beberapa grader memberikan bukti keanggotaan berupa Kartu Tanda Anggota (KTA). Keistimewaan menjadi kepercayaan grader adalah: (1) bisa menjual hasil panennya tanpa melalui pedagang perantara; (2) harga yang ditetapkan biasanya lebih tinggi; dan (3) memiliki akses permodalan.
95
Beberapa petani berlahan sempit, pada umumnya tidak memiliki hubungan khusus dengan grader sehingga mereka membawa hasil panennya kepada pedagang perantara (bakul). Strategi yang digunakan adalah dengan menitipkan hasil panen tembakaunya kepada petani lain yang telah memiliki hubungan baik dengan grader. Harapannya adalah dia akan memperoleh harga yang tinggi karena tembakaunya dijual oleh petani yang telah dipercaya. Sistem nitip dibangun atas dasar saling percaya dan adanya moral ekonomi untuk membantu petani lain. Oleh karena itu, tidak ada perhitungan yang pasti antara hak dan kwajiban yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak. Apabila harganya tinggi, maka petani yang menitipkan tembakau akan memberikan uang pengganti transportasi dan kuli angkut sebesar ±Rp. 100.000,00/keranjang atau merelakan 2 kg tembakaunya untuk diberikan kepada petani yang membantu menjual. Sementara pada saat harga anjlok, biasanya mereka tidak memberikan apapun melainkan adanya hubungan sosial yang baik antara petani yang satu dengan petani lainnya. Woolcock dalam Bebbington et al (2006) membedakan tipe modal sosial menjadi tiga yaitu: pertama; bounding social capital, dicirikan adanya ikatan yang kuat diantara anggota atau diantara anggota keluarga dalam kelompok etnik tertentu. Kedua, Social Bridging, dicirikan oleh adanya hubungan yang inklusif dengan kelompok dari luar komunitas atau etnik. Ketiga; Social linking, modal sosial dibangun pada tataran yang lebih luas, misalnya: hubungan dengan status sosial yang berbeda. Mendasarkan diri pada pemikiran Woolcock tersebut, dapat dilihat bahwa salah satu strategi yang dibangun oleh petani tembakau dalam upaya melakukan keberlanjutan sistem nafkahnya adalah tidak hanya mengandalkan bounding social capital tetapi juga social bridging. Berjalannya solidaritas vertikal menunjukkan bahwa kesempatan mengakses social bridging atau social linking tidak serta merta meninggalkan hubungan pada level yang lebih kecil. Ikatan yang kuat pada level etnik yang lebih sempit memberikan kesempatan kepada petani yang tidak mampu mengakses modal sosial pada level yang lebih luas. Strategi solidaritas vertikal mampu menerobos struktur yang menghambat akses petani kepada grader.
96
6.1.1.4.Strategi Solidaritas Horizontal Strategi solidaritas vertikal menunjukkan bagaimana sistem kinship yang dibangun pada struktur sosial yang berbeda. Sedangkan strategi solidaritas horizontal lebih menekankan bagaimana modal sosial dibangun pada tataran social bounding. Bangunan solidaritas tersebut terjadi diantara petani lahan sempit atau petani gurem. Sempitnya kepemilikan lahan membuat aset alami, aset finansial, aset sumberdaya manusia yang rendah. Untuk menyiasati kondisi tersebut maka petani lahan sempit membangun sosial capital diantara petani sehingga memberikan kapabilitas dalam merespon berbagai shock dan tekanan. Luas lahan 0,3 ha adalah salah satu prasyarat bagi petani untuk mendapatkan rajangan tembakau sebanyak satu keranjang, dengan asumsi kualitas tembakau baik. Kisaran untuk memperoleh rajangan tembakau satu keranjang antara 3000-4000 m2. Hal ini adalah salah satu keunikan dari mengusahakan tanaman tembakau. Apabila tidak memenuhi satu keranjang (30-40 kg rajangan kering) maka petani berusaha membeli kepada petani lain, membeli dipasar, atau impor. “Wsn (38 tahun), memiliki luas lahan 5 Ha milik sendiri ditambah tanah bengkok seluas 2 Ha. Lahan tersebut tidak dikerjakan sendiri melainkan disakapkan kepada 17 rumahtangga petani yang memiliki lahan kurang dari 0,1 Ha atau tidak memiliki lahan sama sekali. Masing-masing rumahtangga mendapatkan 3000-4000 m2. Alasan praktisnya adalah untuk menghasilkan satu keranjang tembakau kering setiap kali petik dibutuhkan kurang lebih 3000-4000 m2. Ke-17 rumahtangga petani yang menyakap kepada Wsn adalah Mly (4000 m2), Kmr (4000 m2), Wrsd (3000 m2), Gn (3000 m2), Asryd (3000 m2), Srs (3000 m2), Pno(3000 m2), Msrt (3500 m2), Hrn (3000 m2), Tg (3000 m2), Atm (3500 m2), Mkt (3500 m2), No (3000 m2), Ktg (3000 m2), Msd (3000 m2), Sbr (3000 m2), dan Yd (3000 m2)”.
Selain angka luas lahan 0,3 ha, luasan minimal untuk menghasilkan satu keranjang rajangan tembakau kering maka hal yang penting lainnya adalah dengan lahan seluas itu maka petani mampu mengerjakan sendiri tanpa membutuhkan tenaga kerja dari luar keluarga kecuali kegiatan mencangkul. Lantas pertanyaannya bagaimana dengan petani lahan luas? Hal inilah yang secara sosiologis menarik untuk dikaji.
97
Pada kelompok petani lahan luas (> 1 hektar) pada umumnya tidak akan mampu mengerjakan lahannya sendiri apalagi membantu tetangga untuk melakukan usaha taninya. Bahkan mereka cenderung memerlukan tenaga kerja yang banyak. Sehingga kegiatan royongan sangat sulit dan tidak berlaku pada kelompok petani kelas atas. Sedangkan pada petani kelompok kelas bawah (gurem- luas lahan <0,5 hektar) masih memungkinkan bagi mereka untuk saling membantu dengan tetangga dekat. Petani A
Petani D
Petani B
Petani C
Royongan : adanya resiprositas sebanding dalam beberapa aktifitas usahatani tembakau seperti: menanam, memetik, merajang, nganjang yang dilaksanakan secara bergantian tanpa adanya upah
Gambar 6.3. Kelembagaan royongan sebagai strategi solidaritas horizontal Pada komunitas petani tembakau padi sawah, dalam melakukan kegiatan produksi pada mulanya secara bergantian saling membantu kepada semua tetangga. Bahkan ketika ada salah satu dari pejabat desa ada yang sedang menggarap sawahnya, maka hampir seluruh warga di desa Campursari berkumpul untuk membantunya. Mereka tidak diupah, melaksanakan tradisi secara sukarela. Warga masyarakat diberi hidangan sekedarnya untuk suguhan makan siang dan dilakukan secara bersama-sama. Sementara untuk antar warga, pada umumnya mereka saling membantu secara bergiliran. Lima atau enam warga yang berdekatan bergantian mengerjakan sawah dibantu kerabat dekat. Setelah yang satu selesai, kemudian berpindah kepada tetangga yang lain. Mereka tidak diberi upah dengan uang, hanya kebutuhan konsumsi yang dipenuhi dengan kondisi sekedarnya. Tradisi inilah yang mereka sebut dengan royongan, yaitu kebiasaan saling tolong-menolong tanpa meminta imbalan. 98
Pada saat ini, budaya saling membantu tersebut masih berjalan. Namun demikian, kecenderungan mengarah upah telah kelihatan secara nyata. Apa dan kapan sistem royongan tersebut mulai pudar tidak ada jawaban pasti. Beberapa pendapat menyatakan karena krisis ekonomi 1998-1999, harga kebutuhan yang semakin melambung tinggi sehingga warga semakin komersial dan setiap perilakunya mengarah pada upaya mendapatkan uang. Ada juga pendapat lain yang menyatakan bahwa pudarnya tradisi royongan ini karena adanya fenomena impor tembakau. Alasan kuatnya adalah dengan melakukan impor akhirnya mereka sibuk dengan urusannya sendiri sehingga tidak memiliki waktu untuk membantu tetangga. Tradisi saling membantu antar tetangga sebenarnya masih ada. Bedanya dengan sistem royongan adalah setiap orang yang membantu diberi uang dan tidak ada ikatan untuk melakukan hal yang sama pada orang yang telah membantunya. Bahkan terkadang karena masing-masing sibuk dengan lahannya masing-masing, petani mencari tenaga kerja di luar RT bahkan di luar desa. Banyak petani dari desa, kecamatan, atau kabupaten teangga yang menjadi tenaga kerja upah di desa Campursari. Secara tidak dilembagakan formal, ada kelompok orang baik laki-laki maupun perempuan yang seringkali menerima borongan dari petani. Ada group borongan yang siap mengerjakan lahan apabila diperlukan. Dalam kelompok tersebut juga tidak ada aturan formal untuk terus bersama dan menerima pekerjaan bersama, tetapi secara tidak tertulis semacam ada kecocokan sehingga tiap-tiap group tersebut sering bekerja bersama. Kelompok laki-laki, biasanya mengerjakan lahan terutama pada saat mencangkul. Sedangkan kelompok perempuan biasanya pada saat menyiangi dan memetik baik untuk komoditas padi maupun tembakau. Pembagian kerja ini tidak kaku, tidak jarang laki-laki melakukan kegiatan menyiangi, dan sebaliknya perempuan menangkul. Bagi masyarakat Campursati tidak ada hal yang aneh dengan peran yang bergantian antara laki-laki dan perempuan. Ada juga kelompok-kelompok tertentu di dalam masyarakat yang biasa memborong pekerjaan di lahan pertanian. Kelompok tersebut bekerja untuk
99
menghidupi kelangsungan kelompoknya. Hasil yang diperoleh tidak untuk masing-masing orang tetapi untuk kemaslahatan kelompok. Misalnya: kelompok yasinan, yang melakukan pekerjaan adalah anggota kelompok yasinan tersebut. Kemudian hasil yang didapatkan digunakan untuk kegiatan rutin kelompok yasinan tersebut dan sisanya disimpan sebagai kas. Ketergantungan petani terhadap tembakau pada masyarakat lahan sawah dan pegunungan tentunya lebih tinggi di pegunungan. Salah satu penyebabnya adalah karena pada masyarakat di bawah (sawah) memiliki pilihan yang lebih banyak terhadap komoditas yang dipilih karena air yang tersedia secara kontinyu. Sementara pada lahan pegunungan, pada saat musim kemarau tidak ada pilihan lain kecuali tanaman tembakau. Sedangkan, dari sisi historis petani di pegunungan lebih merasakan lebih mendalam bagaimana dinamika pertembakauan yang terjadi mengingat bahwa tembakau masih menjadi prioritas petani untuk menunjang kehidupannya. Pada komunitas petani tembakau lahan tegal, terjadi pola yang unik. Secara nyata bahwa fenomena impor memang membuat setiap petani semakin sibuk dengan urusannya sendiri. Namun demikian kalau dilihat pada level petani menengah ke bawah, rasa gotong royong dalam kegiatan hubungan produksi masih tinggi. Sementara kelompok petani menengah ke atas relatif lebih renggang. Lahan yang semakin luas membuat petani sibuk untuk menyelesaikan tembakaunya sendiri, mengingat masa petik, masa rajang, dan masa jemur tembakau tidak bisa ditunda. Namun demikian, masih ada satu dusun di desa Wonotirto yang masih kental dengan gotong royong baik dalam mencangkul, menanam, petik, ngrajang, nganjang, dan menjemur. Mereka bahu membahu satu sama lain untuk saling membantu dengan tetangga yang lain. Luasan lahan yang dimiliki masih memungkinkan untuk saling membantu. Mengingat bahwa tenaga kerja diperlukan pada saat bersamaa, terkadang untuk mencari tenaga kerja dari lingkungan sekitar sangat sulit. Akibatnya beberapa buruh tani diambil dari daerah lain. Terkadang kegiatan usahatani dilakukan secara borongan, baik dilakukan oleh perorangan maupun kelompok. Secara perorangan di lakukan dengan cara menghubungi salah satu dari anggota
100
kelompok borong yang dibentuk secara tidak formal untuk menggarap lahannya. Anggota kelompok ini tidak terikat satu sama lain, namun secara tidak sadar mereka memiliki tindakan terpola untuk secara bersama memborong lahan milik orang lain. Sedangkan secara kelompok, misalnya: dalam mencangkul dikerjakan oleh kelompok pengajian. Uang borongan tersebut diberikan kepada kelompok untuk kegiatan kelompok dan bukan untuk kepentingan individu. Pada Wonotirto ada beberapa kelompok kesenian yang juga sering memborong, dimana uang borongan untuk menjamin keberlangsungan kelompok seni tersebut. Ditengah kondisi melemahnya etika sosial-kolektif yang digantikan dengan sistem uang, Dusun Tritis yang merupakan bagian wilayah di Desa Wonotirto dimana mayoritas masyarakatnya memiliki lahan < 1 hektar masih tampak budaya royongan mulai mencangkul, menanam, memetik, merajang, hingga nganjang. Hal yang unik lainnya adalah ketika pada saat petik tidak memenuhi syarat penjualan (1 keranjang), maka daun tembakau yang belum dirajang dari beberapa petani digabungkan dan dirajang bersama. Untuk kemudian hasilnya dibagi pada saat penjualan sesuai dengan perkiraan banyaknya yang digabung. Pada saat melakukan kegiatan perajangan biasaya mereka saling membantu dengan cara membawa alat perajang masing-masing kepada tetangga yang membutuhkan. Kemudian mereka merajang tembakau dengan alat rajangnya masing-masing. Trust Petani A
Petani B
Menggabung kan hasil panen
Dijual bersama
Terjadi pada petani lahan sempit, dimana hasil panen yang tidak mencapai satu keranjang digabung dan dirajang menjadi satu sehingga memenuhi satu keranjang. Kemudian hasilnya dibagi pada saat penjualan sesuai dengan perkiraan banyaknya yang digabung.
Gambar 6.4. Kelembagaan ”menggabungkan hasil panen” sebagai strategi solidaritas horizontal
101
Rasa percaya (trust) ini sangat sulit ditemukan pada 3 (tiga) dusun lainnya, mengingat bahwa daun tembakau sifatnya unik dimana pada lahan yang sama harga tembakaunya bisa berbeda. Apalagi ketika daun dari beberapa petani digabung, maka boleh jadi harga tembakau tersebut tidak sama antara satu petani dengan petani lainnya apabila dijual secara terpisah. Trust yang tinggal ini adalah modal sosial penting bagi petani. Sedangkan pada daerah yang trust-nya menurun, mereka akan berusaha menggenapi menjadi satu keranjang tembakaunya dengan cara membeli atau impor. 6.1.1.5.Strategi Berhutang Menurut Bomgaard dalam Li (2002), bahwa pada masyarakat pegunungan ada lima kombinasi penting yang menciptakan sistem yang berkelanjutan bagi kehidupan petani, yaitu: (1) jagung; (2) kacang-kacangan; (3) ternak; (4) tembakau; dan (5) kredit. Unsur kredit penting, mengingat tembakau merupakan jenis tanaman yang berisiko, banyak penanam tembakau di dataran tinggi di Jawa tidak dapat hidup terus tanpa adanya sistem perlindungan (patronase) yang melibatkan pedagang dan penyalur Cina. Ada kemungkinan para pedagang ini tidak membiarkan para penanam tembakau mengumpulkan modal, tetapi mereka melindungi
para petani dari pengaruh negative karena partisipasi mereka di
pasaran perdagangan dunia. Strategi berhutang berkaitan akses petani terhadap modal finansial. Kerentanan terhadap perubahan cuaca dan musim menyebabkan rumahtangga petani tembakau memililiki risiko terhadap gagal panen, bahkan terkadang peristiwa ini berlangsung secara berturut-turut. Bagi petani berlahan sempit persoalannya bukan hanya modal finansial semata tetapi juga modal alami yang terbatas. Akibatnya modal finansial sebagai aspek penting dalam kegiatan usaha tani tembakau diperoleh melalui strategi berhutang. Keterbatasan modal finansial ini “memaksa” petani untuk “memainkan” modal sosial untuk mereproduksi modal finansial.
102
Berhutang merupakan sebuah tindakan yang sudah menjadi kebiasaan rumahtangga petani tembakau bahkan hampir semua petani telah merasakan bagaimana merasakan hutang. Pada kondisi normal, hutang ditujukan untuk melakukan kegiatan reproduksi atau sebagai modal kegiatan usahatani tembakau. Ada beraneka bentuk hutang dan mekanismenya yaitu: pertama; hutang kepada pedagang. Model ini didasarkan atas trust (kepercayaan) karena tidak adanya agunan baik berbentuk sertifikat tanah, BPKB, dan lainnya. Berbagai kesepakatan dibangun tanpa adanya bukti tertulis. Beberapa kesepakatan yang umum dipakai adalah adanya sistem nglimolasi, ketika berhutang 1 juta rupiah maka dalam kurun waktu satu musim tanam akan mengembalikan 1,5 juta rupiah. Apabila terjadi gagal panen yang beruntun/berurutan, maka pembayaran hutang bisa ditunda dengan tidak ada perubahan terhadap jumlah bunga. Pada umumnya pada panen tiba, petani menjual kepada pedagang yang telah memberi hutangan sebagai rasa terima kasih dan sekaligus dapat menutup hutang-hutangnya. Petani menjual hasil panen sebagai balas budi dan menjaga trust sehingga bisa meminjam pada waktu yang lain
Petani
Pedagang/ tengkulak
Petani berhutang kepada pedagang/tengkulan dengan jaminan trust dengan sistem pembayaran nglimolasi
Gambar 6.5. Strategi berhutang petani kepada pedagang/tengkulak
103
Kedua, hutang kepada grader, model ini hanya bisa diakses oleh petani yang telah ikut dalam keanggotaan grader tersebut. Bukti keanggotaan dapat berwujud informal (didasarkan pada kebiasaan selama ini) hingga berbentuk kartu keanggotaan yang mereka sebut dengan KTA (Kartu Tanda Anggota). Salah satu keistimewaan dari keikutsertaan menjadi anggota adalah bisa mengakses modal dari grader tersebut. Karena keanggotaannya mutlak ditentukan oleh grader, maka tidak semua rumahtangga petani mampu mengakses hutang dari grader. Grader tidak memungut bunga dari uang yang telah diberikan kepada petani, jadi apabila petani hutang 1 juta rupiah maka dia mengembalikan 1 juta rupiah. Sebagai ganti dari bunga tersebut, biasanya grader memotong atau mengurangi harga tembakau yang dijual kepadanya. Ketika petani mengalami gagal panen, hutang ditangguhkan hingga musim tanam berikutnya dan seterusnya sehingga terkadang hutang terakumulasi menjadi banyak. Beberapa grader tidak mengambil bunga dari petani, tetapi hasil tembakaunya harus di jual ke grader tersebut. Konsekuensi lainnya adalah harga yang ditetapkan dibawah harga pasaran. Misalnya: seandainya harga tembakau per kg Rp. 35.000,00 maka hanya dihargai Rp. 32.500,00. WW (29 tahun) Awal mula tanam tembakau tahun 1998 sampai sekarang. Tanah yang diolah dari warisan orang tua sebesar 1 ¼ Ha, mengolah sawah bengkok kakaknya ¼ Ha dari tahun 2006. Total sawah yang digarap 1,5 Ha. Bengkok yang disewa per tahun sebesar 1,5 juta/ ¼ Ha. Masa tanam dalam satu tahun cabe, tembakau, jagung, bawang merah. Hasil tembakau dijual ke pengutang (grader) “Swbn” (dari PT. Dj), harga ditetapkan oleh pembeli. Modal awal tanam tembakau meminjam dari Swbn. Masa kejayaan tanam tembakau tahun 2006, 2007, 2008 dengan harga 200 ribu/kg. kegagalan dari menanam tembakau tahun 2003 dan 2005 dikarenakan cuaca basah. Pemasukan rendah hutang tidak terlunasi, untuk melunasi hutang menggunakan hasil panen dari tahun depan. Terkadang hutang bertumpuk-tumpuk sehingga seringkali mengalami kesulitan dalam melunasinya. Pada saat panen tembakau bagus, maka sebagian besar hasilnya digunakan untuk membayar hutang-hutangnya dan sebagian lainnya digunakan untuk kehidupan sehari-hari. Proses pelunasan hutang tersebut tidak dilakukan pada satu musim tanam, bahkan pernah sampai 2 (dua) musim tanam belum lunas. Berhutang adalah satu-satunya cara yang dapat ditempuh sehingga usata tani tembakau dan kehidupan dapat berlangsung. Kepercayaan dari pedagang kepada WW merupakan bukti bahwa modal sosial telah ikut “bermain” dalam sistem nafkah petani.
104
Sbyh (60 tahun) memiliki memiliki dua orang anak perempuan, merantau di Jakarta dan Surabaya. Sekarang dia tinggal bersama dua cucunya yang berumur 17 dan 12 tahun. Untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dia menggantungkan diri pada lahan yang dia miliki. Untuk mengerjakan lahannya, dia dibantu oleh kerabat dekatnya. Terkadang dia mendapat kiriman dari kedua anaknya yang merantau tetapi dengan jumlah nominal yang tidak pasti. Untuk memenuhi kebutuhan konsumsi seharihari (makanan pokok), setelah musim tanam tembakau dia menanam jagung. Selain sebagai bahan pangan penting dalam kehidupan rumahtangganya, untuk membudidayakan tanaman jagung tidak membutuhkan banyak biaya dan risiko kegagalannya relatif rendah. Sebenarnya memiliki keinginan seperti tetangga-tetangganya untuk membudidayakan cabe, namun mengingat biaya yang dikeluarkan relatif besar dan risiko kegagalannya tinggi maka akhirnya dia memilih jagung sebagai komoditas yang diusahakan. Pada mulanya Sbyh tidak memiliki lahan pertanian dan bekerja sebagai buruh tani dengan mendapatkan upah Rp. 20.000,00/hari. Akibat gagal panen yang berturut-turut dia harus “memainkan” modal sosial dengan cara berhutang kepada tengkulak untuk kebutuhan usaha tani dan kerabat dan tetangga dekat untuk kebutuhan sehari-hari. Sehingga pada posisi tersebut dia menanggung double hutang sekaligus, yaitu kepada juragan/tengkulak dan kepada tetangga. Hasil upah buruh tani tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Pada akhirnya karena kondisi yang terpaksa, dia menjual lahan pekarangan yang dimilikinya untuk kemudian sebagian hasil penjualan tersebut dipergunakan untuk membayar hutang, sisanya untuk membeli lahan pertanian seluas 0,25 hektar. Rkyh (70 tahun), memiliki lahan seluas 0,25 hektar dan menanam tembakau semenjak 25 tahun lalu bersama almarhum suaminya yang meninggal 8 tahun lalu. Dia menyatakan tidak pernah mengalami masa jaya tembakau karena hasil panenannya sedikit bahkan seringkali setiap panen tembakau tidak mampu memenuhi satu keranjang. Modal awal menanam dengan membangun trust dengan cara berhutang kepada pedagang Cina. Dia akan menjual hasil panennya kepada pedagang tersebut dan uang yang dibawa pulang adalah setelah dikurangi dengan hutang-hutangnya. Untuk menunjang pemenuhan kebutuhan hidupnya, dia juga melibatkan empat orang anaknya dalam kegiatan pertanian sehingga mengurangi biaya tenaga kerja. Selain mengelola usaha taninya, anggota rumahtangga juga menjadi buruh tani dengan upah Rp. 15.000,00 s.d. Rp. 20.000,00. Untuk mendukung perekonomian keluarganya satu anak perempuannya membuka warung kecil di rumahnya. Sehingga untuk menjamin keberlangsungan hidupnya Rkyh selain memanfaatkan modal sosial dengan membangun hubungan baik dengan pedagang tetapi juga memanfaatkan modal finansial dengan membuka usaha warungan.
Pada saat gagal panen berturut-turut, maka hutang tidak hanya diperuntukkan sebagai penunjang kegiatan reproduksi usaha tani melainkan lebih 105
pada untuk bertahan hidup. Pada peristiwa gagal panen satu atau dua musim tanam mungkin akses hutang kepada pedagang atau grader masih terbuka luas. Namun apabila mengalami gagal panen untuk musim berikutnya, kemungkinan akses tersebut mulai berkurang dan rumahtangga petani harus menyusun strategi yang lainnya. Umumnya petani di Campursari dan Wonotirto telah memiliki akses kredit di perbankan. Sistem angsuran yang dipakai adalah musiman. Mereka berhutang pada saat musim tanam tiba dan membayar penuh beserta bunganya setelah enam bulan kemudian. Kelemahan di perbankan adalah masalah agunan. Kelompok petani dengan luas lahan sempit biasanya sulit untuk mengakses bank karena tidak memiliki agunan dan dirasakan lebih rumit. Snd (50 tahun) meminjam kepada bank sebesar Rp. 10 juta dengan agunan sertifikat tanah. Dalam kurun waktu 6 bulan dia harus mengembalikan Rp. 12.028.500,00. 6.1.2. Domain “livelihood diversification” 6.1.2.1.Strategi Srabutan Pada umumnya rumahtangga pedesaan beragam aktifitas untuk menjaga kelangsungan hidup, jarang yang hanya memiliki aktifitas ekonomi tunggal. Mereka berusaha membentengi diri dari ketidakpastian melalui diversifikasi nafkah (Chambers dan Conway 1991, Ellis 2000, Scoones 1998). Di dalam literature ilmu ekonomi pembangungan, diversifikasi mengacu pada aktifitas offfarm yang diadopsi oleh individu atau rumahtangga sebagai pelengkap aktivitas pertanian. Melalui diversifikasi, rumahtangga akan mendapatkan keamanaan livelihood melalui kombinasi aktifitas dengan resiko kegagalan yang relative kecil (Ellis, 1998). Diversifikasi nafkah yaitu proses yang dilakukan oleh keluarga pedesaan untuk melakukan berbagai aktivitas dan kemampuan dorongan social mereka dalam upaya berjuang untuk bertahan hidup dan untuk meningkatkan standar hidup. Out put yang akan dihasilkan dari upaya diversifikasi nafkah tersebut pada level bertahan hidup, konsolidasi, akumulasi (White, 1990) atau pada tahap desperation, vulnerability, dan independence. (Chambers, 1992).
106
Rumahtangga petani tembakau berbasis sawah Pada rumahtangga petani padi-sawah dengan kondisi kepemilikan lahan yang semakin sempit, memaksa mereka melakukan diversifikasi nafkah. Beberapa upaya yang dilakukan adalah: pertama, mengalokasikan tenaga kerja keluarga untuk bekerja baik pada pertanian maupun non pertanian yang sering disebut dengan pola nafkah ganda (Sajogyo, 1990). Kedua, “mengirim” anak ke luar daerah untuk mencari nafkah lain selain bidang pertanian. Terdesaknya petani dari lahan pertanian untuk kemudian bekerja pada sector non pertanian tidak selalu karena imbalan di luar sector pertanian selalu lebih besar, tetapi karena faktor terpaksa (White, 1973). Pada suatu masa tertentu, seperti mengolah lahan terutama pada masa tembakau biasanya diperlukan tenaga kerja pertanian yang relatif banyak, namun karena sifatnya yang musiman sehingga tidak mampu menjamin kehidupan rumahtangga petani. Pada musim tanam padi, mengolah tanah sudah digantikan dengan traktor. Hal ini menyebabkan tenaga kerja semakin tidak diperlukan. Namun demikian, pertanian tembakau masih memberikan peluang kepada rumahtangga petani untuk menyumbangkan tenaga kerjanya pada kegiatan usaha tani. Trsd (44 tahun), mengerjakan lahan seluas 0,25 dengan sistem bagi hasil dengan TK sejak tahun 1974-1999. Hingga sekarang melakukan bagi hasil dengan Wsn (36 tahun). Selain bertani, ia juga bekerja sebagai penggali pasir di sungai dengan penghasilan Rp. 15.000,00/hari. Salah satu anaknya ada yang menjadi TKI, namun demikian tidak selalu memberikan kiriman uang-ora iso dijagakke- (tidak bisa dijadikan tumpuan penghasilan). Pada pagi hari Trsd pergi ke sawah, dan siangnya pergi ke sungai untuk menjadi buruh penggali pasir. Untuk bertahan hidup Trsd menggunakan berbagai sumberdaya yang ada, diantaranya: modal sumberdaya manusia, modal alami, dan modal sosial. Sbr (47 tahun) mengelola lahan 0,3 Ha milik Trmd yang berdomisili di Kecamatan Parakan. Dia memiliki 4 orang anak, 1 (satu) diantaranya menjadi seorang kadus di Ngregesan dan 3 (tiga) lainnya masih serumah dengannya. Dia tinggal bersama anak dan istrinya diatas tanah yang diwariskan oleh orang tuanya. Selain bertani, Sbr juga bertahan hidup dengan menjadi pedagang pupuk kandang (jawa: lemi) dengan imbalan setiap rit mendapat laba Rp. 50.000,00. Hasil dari menjadi makelar tersebut digunakan untuk kegiatan usahatani dan membeli
107
tembakau (jawa: ngeber) dari tetangga dengan sistem ngeron26 dan ngebak/adekan27. Dia membeli tembakau sesuai dengan kondisi keuangan dan biasanya dalam jumlah kecil, paling tidak mampu menambah pemasukan. Untuk usahatani padi dan tembakau, istrinya berperan sangat besar mengingat suaminya tidak bisa sepenuhnya mengurusi lahannya. Untuk modal menjadi makelar, dia terkadang meminjam kepada seorang Cina dengan sistem nelulasi. Pada saat panen Sbr menjual tembakaunya kepada pak Jsmn karena dia memiliki Kartu Tanda Anggota (KTA). Dalam kasus ini, modal alami dan modal finansial memegang peranan penting dalam membangun sistem nafkah rumahtangga sbr.
Rumahtangga petani tembakau berbasis lahan tegal Diversifikasi nafkah pada rumahtangga petani berbasis lahan sawah lebih variatif dibandingkan petani lahan tegal. Baik petani berlahan luas maupun berlahan sempit (gurem) menggantungkan kelangsungan hidupnya pada aktifitas pertanian. Seluruh anggota rumahtangga melakukan aktifitas usaha tani. Pada petani gurem, selain mengelola usaha taninya mereka juga menjadikan tenaga kerjanya sebagai buruh tani atau buruh bangunan. Pnd (50 tahun) memiliki lahan warisan dari orang tuanya seluas 0,25 hektar. bersama ketiga anaknya mereka mengelola lahannya. Untuk menunjang kebutuhan hidupnya, selain mengelola usahataninya juga bekerja sebagai buruh tani. Sebagai buruh tani, bekerja mulai pukul 08.00 s.d. 16.00 dengan upah Rp. 20.000.00/hari untuk laki-laki dan Rp. 15.000,00/hari untuk perempuan. Untuk modal usaha taninya, dia terkadang berhutang kepada tetangga dan pernah hutang kepada bank dengan jaminan sertifikat tanah dan rumah. Untuk membayar hutang ke bank dilakukan setiap kali panen tembakau. Sementara untuk membayar hutang tetangga, di bayar setelah panen atau diganti dengan tenaga kerja. Pnd bekerja sebagai buruh tani kepada tetangga yang dihutangi tanpa dibayar hingga nilainya sama dengan nominal uang yang dipinjam. Selain menjadi buruh tani, dia memelihara ternak milik tetangga (jawa: nggaduh). Seandainya kambing dijual sebelum beranak maka Pnd diberi bagian separoh dari harga kambing setelah dikurangi dengan harga beli kambing. Apabila beranak maka anaknya tersebut dibagi menjadi dua.
26
Ngeron ad/alah sistem pembelian tembakau dalam bentuk daun basah sesudah di petik dan sebelum dirajang 27 Ngebak/adekan adalah sistem pembelian tembakau sebelum dipanen-dipetik (masih dipohon)
108
Srtmn (40 tahun) memiliki lahan seluas 0,22 m2, merupakan warisan dari orang tuanya. Dia mengelola lahannya dengan istrinya, karena anaknya masih dibangku sekolah Sekolah Dasar. Pada musim di luar tembakau juga sebagai buruh tani dan buruh bangunan. Dari bekerja menjadi buruh, dia menerima Rp. 20.000,00/hari bekerja mulai dari jam 08.00 s.d. 15.00 WIB. Hasil dari buruh tersebut sebagian besar dipergunkan untuk keperluan hidup sehari-hari dan digunakan untuk modal bertanam tembakau. Apabila keperluan modal masih kurang, berhutang kepada pedagang Cina, konsekuensinya dia harus menjual kepada pedagang tersebut tentunya dengan daya tawar yang rendah dalam penentuan harga.
Sementara petani lahan luas di lahan tegal, pada umumnya lebih banyak pada pemaksimalan tenaga kerja keluarga dan buruh tani dalam upaya intensifikasi dan ekstensifikasi lahan. Sementara upaya diversifikasi nafkah tidak sebanyak yang dilakukan pada petani lahan sawah. Jika petani lahan sawah menggunakan pendapatannya untuk dialokasikan kegiatan non pertanian, sementara pada petani pegunungan dimanfaatkan untuk membeli tanah, membangun rumah, naik haji, membeli perhiasan, membeli kendaraan bermotor, dan lainnya. Sebagian kecil dari mereka ada yang selain mengolah tanah tetapi juga bertindak sebagai pedagang. Swto (58 tahun) memiliki lahan seluas ± 3 hektar yang merupakan hak milik warisan orangtuanya. Memiliki dua orang anak, Sti (30 tahun) berjenis kelamin perempuan dan Ssl (23 tahun) berjenis kelamin lakilaki. Dalam melakukan kegiatan usahataninya selain dibantu kedua anaknya, pada musim petik dan rajang tembakau dibantu oleh 15-20 buruh tani yang tinggal di rumahnya kurang lebih 2 bulan (AgustusSeptember). Selain berusaha tani, Swto juga berdagang tembakau dengan membeli tembakau dari petani dan kemudian di jual ke Gradernya PT. GG. Untuk modal berdagang diperoleh dari tabungan hasil panen dan meminjam dari teman dan grader. Biasanya sistem yang dipakai adalah nglimolasi sementara kalau dengan grader tidak ada bunganya tetapi harga jualnya dipotong. Kedua anaknya juga ikut membantu Swto, anak yang perempuan lebih banyak berkecimpung pada kegiatan on-farm, sedangkan anaknya yang laki-laki lebih banyak dilibatkan dalam kegiatan jual-beli tembakau. Strategi srabutan merupakan upaya membangun aset melalui berbagai aktifitas nafkah. Sajogyo (1990) menyebutnya sebagai pola nafkah ganda. Pada petani gurem dengan sumberdaya alami terbatas, tingkat pendidikan yang rendah, modal finansial yang minilam, maka salah satu strategi penting yang dilakukan adalah dengan menerapkan strategi ini.
109
6.1.2.2.Strategi Akumulasi Petani berlahan luas di daerah persawahan, beberapa diantara mereka mencoba menginvestasikan hasil dari pertanian ke non pertanian. White (1990) mencatat bahwa rumahtangga yang atau mengusahakan tanah pertanian luas, yang menguasai surplus produk pertanian diatas kebutuhan hidup mereka. Surplus ini seringkali dimanfaatkan untuk membiayai pekerjaan di luar sector non-pertanian, dengan imbalan penghasilan yang relatif tinggi pula. Strategi nafkah yang mereka terapkan adalah strategi akumulasi dimana hasil pertaniannya mampu diinvestasikan kembali baik pada sector pertanian maupun non pertanian. Strategi akumulasi ini lebih memperlihatkan bagaimana modal finansial mampu memberikan sumbangan yang besar terhadap sistem nafkah rumahtangga petani. “Wsn (36 tahun), memiliki lahan seluas 5 Ha ditambah tanah tanah bengkok seluas 2 Ha. Dia tidak terjun langsung dalam kegiatan pertanian, melainkan hanya pada tataran pengambilan keputusan. Tanahnya disakapkan kepada 17 petani, dan untuk mengelolanya dia melibatkan petani yang menjadi kepercayaannya. Sementara dia sendiri bekerja sebagai Kepala Desa, istri dan ibunya mencari nafkah dengan cara menyewakan perlengkapan pernikahan. Dia dan ayahnya juga berprofesi sebagai pedagang tembakau, banyak memiliki karyawan di gudang yang bekerja pada saat musim panen tembakau tiba. Beberapa buruh di gudang tersebut adalah petani penyakap yang ikut mengerjakan lahan Wsn. H. Rytn (56 tahun) memiliki lahan seluas 1,25 Ha. Dia juga tidak mengerjakan sendiri lahan yang dimilikinya melainkan disakapkan kepada 4 (empat) orang petani disekitarnya. Dia dulunya carik (sekretaris desa) pada tahun 1975-1980) dan kepala desa tahun 1980-1998. Hasil jerih payahnya selama ini dipergunakan bersama istrinya untuk membuka toko saprodi. Srt (35 tahun) memiliki pola yang berbeda dengan keduanya. Dia menggarap 3,5 hektar, 2 hektar milik sendiri dan 1,5 hektar menyewa dari tanah bengkok. Dia menggarap sendiri lahannya dengan dibantu beberapa tenaga kerja. Selain melakukan kegiatan usaha tani, dia juga melakukan aktivitas menebas28 padi dan melakukan kegiatan impor tembakau. Pada saat musim panen, biasanya impor hingga 2,5 ton/hari selama 20 hari. Tembakau impor tersebut diambil dari Weleri dengan harga Rp. 1.750/kg. Untuk memenuhi kebutuhan memetik dan merajang tembakau baik dari lahannya sendiri maupun impor, dia memiliki buruh sebanyak 7 (tujuh) orang (3 laki-laki dan 4 perempuan) yang berasal dari Wonosobo. Pekerja 28
Menebas adalah istilah yang sama artinya dengan sistem ijon yaitu dibeli sebelum menguning.
110
laki-laki bertugas merajang tembakau, sementara perempuan memetik dan nganjang. Mereka bekerja lebih dari 12 jam perhari dengan upah sebesar Rp. 25.000,- untuk perempuan dan Rp. 35.000,- untuk laki-laki. Orang yang bekerja di pak Srt biasanya bekerja selama 1,5 bulan, hanya pada saat musim panen tembakau saja. Sedangkan di luar musim tembakau mereka kembali ke daerah masing-masing untuk melakukan aktivitas di rumah. Selain memiliki pekerja musiman, dia juga memiliki 3 (tiga) pekerja tetap di rumah yang bertugas melakukan berbagai kegiatan pertanian seperti: mrithili29, metik, mengirim makanan ke sawah, dan lainnya. Ketiga orang tersebut menginap di rumahnya, mbok Sg (40 tahun) dan mbok Slmt (40 tahun) berasal dari Wonosobo, sedangkan Mbok Krsn (50 tahun) berasal dari Gedongsari, Temanggung. Upaya melakukan kegiatan akumulasi ini lebih banyak dilakukan pada petani lahan sawah. Sementara pada petani lahan tegal (pegunungan), surplus produksi tidak dipergunakan untuk berusaha disektor non pertanian tetapi lebih banyak dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. Sebagian besar dari mereka berupaya memanfaatkan surplus produksi untuk membeli kendaraan bermotor, membeli mobil, membangun rumah atau membeli tanah.
6.1.2.3.Strategi Manipulasi Komoditas Etika resiprositas memiliki peran yang penting di dalam membangun semangat kolektif yang bermuara pada pemenuhan sustainaibility livelihood. Landasan dasar dari semangat tersebut adalah kebersamaan demi kemaslahatan bersama. Secara historis, tembakau adalah komoditas yang diperkenalkan penjajah yang berorientasi pasar. Gejala perilaku yang berbasis material tersebut sebagai bagian dari semangat dan etika ekonomi disela-sela semangat kolektifitas. Beberapa gejala individualitas tersebut dapat dilihat dari melemahnya budaya royongan yang kemudian digantikan dengan upah. Sementara gejala semangat materialism yang bersifat manipulasi komoditas terwujud dalam aktivitas market-sphere. Petani berusaha mencampur tembakau Temanggung yang relatif lebih bagus kualitasnya dengan tembakau dari daerah lain, yang mereka
29
Mrithili adalah salah satu tahap dalam kegiatan budidaya tembakau yang dilakukan setelah tembakau berumur ± 3 bulan. Kegiatan ini berupa membuang tunas yang tumbuh di batang pada pangkal daun. Mrithili dilakukan agar hara tanaman terfokus kepada daun yang sudah ada, dan harapanya daun tersebut lebih berkualitas. Kegiatan ini biasanya dilakukan oleh perempuan.
111
sebut dengan ‘impor’30. Selain itu, petani mencoba membuat tembakau berkualitas rendah seolah-olah berkualitas tinggi (strinthil). “Impor” dan “manipulasi berat Fenomena “impor” ini secara pasti tidak diketahui kapan mulai muncul di lereng Sindoro-Sumbing. Impor dianggap telah ada semenjak dahulu kala, tujuannya adalah sekedar untuk menggenapi tembakau yang kurang dari satu keranjang. Namun secara perlahan, impor menjadi fenomenal karena dijadikan sumber pendapatan utama lainnya. Bagi petani dengan modal yang banyak maka akan semakin banyak pula impornya. Beberapa keistimewaan tembakau Temanggung adalah dilihat dari : (1) aromanya khas; (2) rasanya gurih; dan (3) memiliki kadar nikotin yang tinggi. Berdasarkan keistimewaan tersebut, maka harga tembakau temanggung lebih mahal jika dibandingkan tembakau di wilayah-wilayah di sekitarnya, misalnya: Wonosobo,
Weleri-Kendal,
Magelang,
Boyolali.
Pencampuran
tembakau
Temanggung dengan tembakau dari daerah lain diharapkan mampu meningkatkan kuantitas
yang
dijual
sementara
harganya
memakai
standar
tembakau
Temanggung. Hal inilah yang mendorong petani berlomba-lomba untuk melakukan kegiatan impor ini. Sebagai bahan ilustrasi, berikut ini perkiraan harga daun tembakau import dari beberapa wilayah di sekitar Kabupaten Temanggung: Tembakau asal Magelang Tembakau asal Wonosobo Tembakau asal Magetan Tembakau asal Boyolali
: Rp. 3.500,00 s.d. 6.000,00/kg + ongkos transportasi Rp. 200.000,00 : Rp. 5.000,00 s.d. 6.000,00/kg + ongkos transportasi Rp. 100.000,00 : Rp. 4.000,00 s.d. 5.000,00/kg (sudah termasuk ongkos transportasi) : Rp. 4.000,00 s.d. 5.000,00/kg + ongkos transport Rp. 200.000,00
Sementara konversi dari daun tembakau ke tembakau rajangan pada masing-masing wilayah berbeda-beda. Untuk daerah Temanggung biasanya 3 kw 30
Impor adalah istilah yang dipakai petani untuk komoditas tembakau yang diambil dari daerah luar Temanggung, seperti: Magelang, Klaten, Boyolali, Weleri-Kendal, Wonosobo, dan Jawa Timur.
112
daun tembakau akan menjadi 40-50 kg rajangan (1 keranjang). Sementara daerah lain adalah: (1) Wonosobo: 1 ton daun menjadi 4 keranjang ; (2) Magelang dan Magetan: 1 ton daun menjadi 3 keranjang. Jika rata-rata harga daun tembakau sebesar Rp. 5.000,00/kg; impor sebanyak 1 ton. Maka uang yang diperlukan adalah 5 juta rupiah. Seandainya setelah dirajang menghasilkan 3 keranjang @ 40 kg, dengan harga rata-rata per kg 50 ribu rupiah, maka didapat 6 juta rupiah. Semakin besar modalnya, maka semakin banyak impor yang dilakukan. Biasanya mereka mengimpor tembakau secara bersama-sama sehingga biaya yang dikeluarkan tidak terlalu besar. Di daerah-daerah asal tembakau impor ada beberapa makelar yang telah mencarikan stok daun tembakau, sarana transportasi. Untuk memastikan kualitas tembakau, salah satu pihak pengimpor datang ke lokasi pembelian. Tembakau impor biasanya dikirim pada waktu malam hari, sehingga tidak diketahui khalayak umum. Tembakau impor yang sudah dirajang kemudian dicampurkan dengan tembakau asli Temanggung. Untuk menambah berat tembakau, petani menggunakan gula pasir 5-10 kg. dengan ramuan tembakau impor, gula pasir, dan tembakau Temanggung diharapkan akan menghasilkan tembakau dengan kualitas baik dan lebih berat. Harga yang didapatkan sifatnya relatif karena penentuan harga sangat tergantung pada grader. Semakin petani dipercaya oleh grader, walaupun kualitas tembakaunya sama tetapi bisa dengan harga yang berbeda. “srintil31 rekayasa” Laku atau tidaknya hasil tembakau sangat tergantung pada totol-nya. Penentuan totol ini didasarkan pada warna dan bau tembakau. Totol A adalah kualitas yang paling rendah, sementara yang paling bagus hingga totol H. Totol H inilah yang sering disebut dengan tembakau srintil. Harga tembakau srintil bervariasi tergantung kualitasnya, bisa sampai Rp. 400.000,00 per kg. 31
Srintil merupakan kotoran kambing dengan bentuk bulat lancip berwarna hitam. Istilah ini dipakai dalam karena tembakau menunjukkan ciri-ciri yang sama dengan bentuk srintil (kotoran kambing. Mutu khusus dari tembakau hitam (srintil) memiliki mutu dan harga tertinggi, sangat langka dan tidak semua tempat dan musim dapat menghasilkan kualitas ini. Biasanya kualitas srintil ini hanya bisa di dapat pada lahan tegal (daerah gunung) dan pada daun yang paling atas. Dalam petik tembakau ada tiga tahap penting yaitu: (1) ngrewos/ngampat, memetik daun bagian bawah (± 4 daun); (2) nenggok, dilakukan 2-3 kali berfungsi untuk menyeragamkan kualitas daun atas; dan (3) ngurut, petikan daun yang paling atas. Daun pada proses ngurut inilah yang akan menjadi srintil.
113
Untuk mendapatkan tembakau srintil ini, petani di beberapa dusun merekayasa tembakau yang tidak kualitas srintil seolah-olah srintil agar mendapatkan keuntungan lebih. Tembakau dengan kualitas srintil ditandai pada saat “ngimbu” (memeram) biasanya dari empat (4) gulung akan mengendap menjadi sama tebalnya dengan 1 (satu) gulung. Apabila pada tembakau yang tidak nyrintil setelah dieramkan akan layu dan berwarna kuning kehitam-hitaman, sementara tembakau srintil akan meluruh dan berlendir. Untuk menyiasati tembakau yang bukan kualitas srintil menjadi srintil biasanya sebelum dieramkan tembakau di jemur sehingga mengalami kelayuan secara cepat yang pada akhirnya akan menghasilkan tembakau mirip kualitas srintil. Tidak semua wilayah di lereng Sindoro-Sumbing bisa menghasilkan tembakau hitam (srintil). Ada 7 (tujuh) golongan daerah penanaman tembakau yang membedakan mutu hasil tembakau, yaitu: 1. LAMUK, tersebar di lereng timur gunung Sumbing (Tegalmulyo pada lahan > 1.100 m dpl, menghasilkan mutu Srintil Istimewa 2. LAMSI tersebar di lereng utara dan timur laut Gunung Sumbing (Bulu dan Parakan) pada lahan Regosol>1.100 m dpl, kelerengan 15-40 %, mutu Srintil Istimewa 3. PAKSI tersebar di lereng timur gunung Sundoro (Ngadirejo dan Bansari) pada lahan Regosol > 1.100 m dpl, mutu Srintil cukup istimewa 4. TOALO tersebar di lereng selatan gunung Sundoro dan barat Gunung Sumbing (Kledung) pada lahan Regosol > 1,100 m, mutu sedang 5. TIONGGANG tersebar pada lahan persawahan 500-700 m dpl, mutu sedang 6. SWANBING tersebar di sekitar gunung Prahu (Tretep dan Wonoboyo), lahan Ondosol 900-1.400 m dpl, mutu sedang 7. KIDUL tersebar di tenggara Gunung Sumbing pada daerah baru, mutu sedang Maraknya tembakau impor, penambahan gula, dan adanya “srintil rekayasa” membuat pedagang dan grader semakin tidak percaya kepada petani. Ketidakpercayaan tersebut diwujudkan dengan memberikan harga yang rendah dan semakin merosot. Akibat banyak tembakau yang tidak terjual atau terjual dengan harga rendah mengakibatkan hutang-hutang petani kepada pedagang tidak dapat dibayarkan. Sedangkan untuk membudidayakan tanaman tembakau memerlukan banyak modal. Pada sisi lain pedagang yang biasanya memberikan bantuan modal sudah memiliki rasa tidak percaya lagi kepada petani.
114
6.1.3. Domain “Strategi Migrasi Temporer” Migrasi merupakan salah satu strategi penting bagi rumahtangga dalam meningkatkan kelangsungan hidup. Ada beberapa manfaat dari adanya migrasi, diantaranya adalah pertama, penghasilan dari remittance dapat digunakan untuk investasi lahan. Kedua, dapat memberikan modal input pertanian sehingga bisa dikerjakan lebih intensif. Ketiga, dapat diinvestasikan untuk biaya pendidikan anak. Keempat, dapat dipergunakan untuk investasi aktifitas non-pertanian (Ellis dan Freeman, 2005). Ellis (2003) menyatakan bahwa remmitance dari migrasi –melalui sumbangan sumberdaya manusia (tenaga kerja)- dapat meningkatkan aset-aset yang dimiliki oleh rumahtangga yang pada gilirannya akan menurunkan kemiskinan (poverty32). Remmitance juga dapat menurunkan risiko dari karakteristik pertanian yang bersifat musiman yang kemudian akan menurunkan kondisi petani yang penuh kerentanan (vulnerability). Penurunan kemiskinan dan tingkat kerentanan secara bersama-sama akan meningkatkan penghidupan petani. Dalam kasus rumahtangga petani tembakau, tidak semata-mata mengurangi risiko karena sifatnya yang musiman tetapi akan menurunkan risiko adanya berbagai kondisi stress akibat kondisi alam yang dapat menyebabkan gagal panen. Dengan melakukan migrasi, maka rumahtangga petani mampu menutupi kerugiankerugian yang diakibatkan karena kerentanan akibat gagal panen atau harga yang merosot (Lihat gambar 6.6.). Kegagalan berturut-turut pada tahun 2003,2004, dan 2005 membuat petani bermigrasi ke daerah-daerah yang disana ada kerabat atau tetangga yang telah lama merantau atau bahkan telah menetap didaerah perantauan, kebanyakan mereka merantau ke Kalimantan. Pada tahun 2007, kondisi pertembakauan dirasakan membaik (iklim mendukung bagi pertumbuhan tembakau), maka secara bersama-sama mereka kembali ke desa dan melanjutkan usaha tani tembakau.
32
Konsep kemiskinan (poverty) dan kerentanan (vulnerability) memiliki perbedaan. Ukuran kemiskinan (povert/y) pada umumnya tetap pada suatu waktu tertentu dan merupakan konsep yang bersifat statis. Vulnerability lebih dinamis dan mampu menangkap proses perubahan yang dilakukan manusia dalam upaya keluar dari kemiskinan (Lipton dan Maxwell, 1992).
115
MIGRASI Sumberdaya Manusia (Tenaga Kerja)
Remmitances Meningkatkan
Menurunkan
Risiko
Aset-aset Menurunkan
Musiman
Kemiskinan (Poverty)
Gagal Panen
Kerentanan (Vulnerability) Livelihoods Improving
Gambar 6.6. Keterkaitan antara Migrasi dan Peningkatan Penghidupan (sumber: Ellis, 2005 yang dimodifikasi) Pada komunitas petani tembakau di lereng Sumbing-Sindoro, migrasi dianggap sebagai penyelamat sumber nafkah yang bersifat incidental. Hal ini bermanfaat bagi kelangsungan hidup rumahtangga petani walaupun bersifat sementara. Paling tidak memberikan kontribusi yang positif terhadap kontinuitas usaha tani. 6.2. Dinamika Sosiologis Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Tembakau pada berbagai lapisan Strategi nafkah rumahtangga petani dibangun sebagai bagian dari adaptasi terhadap berbagai risiko yang dihadapi dengan mengkombinasikan berbagai aset (alami, finansial, fisik, sumberdaya manusia, dan sosial). Strategi yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan kondisi dan kepemilikan sumberdaya. Pada petani berlahan luas dengan kepemilikan modal alami yang lebih besar akan berbeda dengan pola nafkah petani dengan lahan sempit.
116
6.2.1. Petani lahan luas 6.2.1.1. Rumahtangga Petani Tembakau berbasis Sawah Pada rumahtangga petani tembakau berbasis sawah, secara agro-ekologi memiliki peluang untuk mengusahakan tanaman di luar tembakau bahkan pada musim tembakau sekalipun. Namun demikian, secara umum pola gilir tanam selama satu tahun adalah padi-padi-tembakau. Pola gilir ini umum terjadi pada semua rumahtangga petani baik yang berlahan luas maupun lahan sempit. Pada situasi normal (tidak mengalami puso) atau istilah di pertembakauan adalah musim baik, dimana musim penghujan tiba pada saat masa tanam dan kemarau pada saat masa menjemur, strategi yang melekat pada rumahtangga petani berlahan luas adalah solidaritas vertikal dan manipulasi komoditas. Solidaritas vertikal ini sebagai faktor penting karena berkaitan dengan harga dari tembakau, apalagi pada saat krisis. Sedangkan pada saat surplus produksi terjadi, maka petani akan mengakumulasikan modalnya untuk kegiatan non-farm. Beberapa aktifitas ini antara lain: membuka penyewaan dan rias pengantin, toko saprodi, berdagang. Manipulasi komoditas yang dilakukan pada petani lahan sawah adalah impor dan manipulasi berat dengan menambahkan gula. Sedangkan manipulasi kualitas rendah seolah menjadi kualitas srinthil tidak mungkin dilakukan karena kualitas tersebut tidak bisa dihasilkan pada lahan sawah (lihat gambar 6.7.)
Situasi Normal • Strategi Solidaritas vertikal • Strategi manipulasi komoditas
Situasi Surplus
Strategi akumulasi: investasi di luar sektor pertanian Strategi berhutang
Situasi Krisis
Sumber: Analisis Data Primer, 2009
Strategi solidaritas vertikal Strategi produksi
Gambar 6.7. Strategi nafkah rumahtangga petani tembakau lahan luas yang berbasis tanah sawah pada berbagai situasi
117
Pada saat krisis, rumahtangga petani akan menggunakan strategi berhutang kepada grader untuk modal pertanian. Cara lain yang ditempuh adalah dengan strategi produksi, seperti: mengurangi jumlah input pertanian atau mengusahakan tanaman yang memerlukan modal sedikit dengan risiko yang rendah. Mengusahakan tanaman padi membutuhkan modal yang lebih kecil dan risiko gagal panen dan fluktuasi harga yang lebih rendah. Sehingga pada saat terjadi krisis maka pola tanam yang akan dilakukan adalah padi-padi-padi.
6.2.1.2. Rumahtangga Petani Tembakau berbasis tegal (pegunungan) Pada rumahtangga petani di lahan tegal (pegunungan) memiliki strategi yang hampir sama dengan rumahtangga petani di lahan sawah. Persamaan tersebut daintaranya adalah strategi solidaritas vertikal dan manipulasi komoditas. Strategi solidaritas vertikal yang berbasis trust menjadi sangat penting bagi petani mengingat komoditas tembakau adalah tanaman penting yang diharapkan mampu menopang kehidupan rumahtangga petani. Strategi manipulasi komoditas dilakukan tidak hanya dengan melakukan “impor” dan manipulasi berat melainkan juga memanipulasi tembaku kualitas rendah (grade A, B, C) seolaholah menjadi kualitas tinggi (srinthil, grade F,G,H).
Situasi Normal • Strategi Solidaritas vertikal • Strategi manipulasi komoditas
Situasi Surplus
Strategi akumulasi: investasi lahan
Strategi berhutang Situasi Krisis
Sumber: Analisis Data Primer, 2009
Strategi solidaritas vertikal Strategi produksi
Gambar 6.8. Strategi nafkah rumahtangga petani tembakau lahan luas yang berbasis tanah tegal (pegunungan) pada berbagai situasi
118
Sedangkan pada saat rumahtangga petani mengalami surplus produksi (pada saat musim baik) dari tembakau, maka yang dilakukan berbeda dengan rumahtangga petani lahan luas pada lahan sawah. Orientasi rumahtangga petani lahan tegal adalah untuk investasi dengan membeli lahan dan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi baik primer, sekunder, dan tersier seperti: membangun rumah, membeli mobil, membeli sepeda motor. Hanya sebagian kecil yang melakukan kegiatan akumulasi modal dengan melakukan aktifitas di luar pertanian. Sementara pada saat masa krisis, rumahtangga petani berusaha beradaptasi dengan cara, menggunakan uang tabungan, memberokan sebagian lahan yang dimiliki, menjalin hubungan baik dengan grader sehingga memperoleh akses modal melalui berhutang. 6.2.2. Petani Lahan Sempit 6.2.2.1.Rumahtangga Petani Tembakau berbasis lahan Sawah Pada rumahtangga petani berlahan sempit (gurem) atau bahkan tunakisma, strategi utama (domain strategi) adalah patronase. Petani menjalin trust dengan pemilik lahan luas untuk mengakses lahan yang dimilikinya dengan sistem maro. Strategi ini menjadi katup penyelamat bagi rumahtangga petani gurem di pedesaan lahan sawah. Strategi produksi Situasi Normal
Situasi krisis
• Strategi patronase • Strategi srabutan
Strategi berhutang
Sumber: Analisis Data Primer, 2009
Gambar 6.9. Strategi nafkah rumahtangga petani tembakau lahan sempit yang berbasis tanah sawah pada berbagai situasi Strategi nafkah yang melekat lainnya adalah srabutan, dimana selain berusaha tani tetapi juga bekerja pada bidang lain sesuai kemampuan dan peluang yang ada. Beberapa bidang pekerjaan tersebut antara lain: buruh tani, buruh bangunan, kuli angkut, penggali pasir, dan lainnya. Pada situasi tertentu
119
(misalnya: puso), rumahtangga petani akan menambah strategi berhutang sebagai penyambung kehidupannya, baik kepada patron (petani lahan luas) maupun kepada kerabat atau tetangga dekat. Sedangkan dalam aktifitas produksi, lebih banyak pengambilan keputusan dilakukan oleh pemilik lahan luas. Teknologi dalam kegiatan usahatani biasanya diintrodusir oleh patron. 6.2.2.2.Rumahtangga Petani Tembakau berbasis lahan tegal (pegunungan) Pada petani lahan sempit yang bebasis lahan tegal sangat tergantung kepada aktifitas pertanian (on farm). Pada tataran hubungan dengan sesama petani lahan sempit, mereka mengandalkan strategi solidaritas horizontal dengan memanfaatkan sistem royongan sebagai bagian penting dalam kegiatan produksi tembakau. Sedangkan hubungannya dengan petani lahan luas, mereka menggunakan sistem nitip untuk membantu distribusi komoditas tembakau yang dihasilkanya. Selain itu, strategi yang dimainkan secara bersamaan adalah dengan beberapa strategi di atas adalah srabutan. Strategi ini di lakukan sebagai upaya untuk membantu memberikan penghasilan tambahan yang berasal dari off-farm, yaitu sebagai buruh tani. Aktifitas menjadi buruh tani dilakukan secara bergantian dengan aktifitas usahatani pada lahan yang dimiliki. Pada kondisi gagal panen apalagi berturutturut, salah satu strategi yang dianggap menjadi katup penyelamat adalah berhutang baik kepada pedagang Cina (pedagang perantara) atau kepada kerabat dekat. Mereka mengenal sistem nglimolasi, yaitu selama kurun waktu satu musim tanam (4 bulan) mereka membayar 1,5 kali dari uang yang dipinjam. Apabila musim tanam berikutnya berhasil, maka mereka akan mampu membayar hutanghutangnya dengan cara menjual tembakaunya kepada pedagang Cina tersebut. Sisa pembayaran hutang itu adalah pendapatan dari pertanian tembakau. Gagal panen berikutnya akan membuat rumahtangga petani menjual sebagian aset yang dimiliki diantaranya adalah lahan pertanian, sepeda motor, ternak, dan lainnya. Selain berhutang dengan pedagang Cina, mereka juga berhutang kepada pemilik lahan luas. Rumahtangga petani akan membayar hutang-hutangnya dengan tenaga
120
yang dimiliki. Selama mereka masih memiliki tubuh yang sehat, maka mereka akan mampu membayar hutang-hutangnya. Strategi produksi Situasi Normal
Situasi Krisis
• Strategi Solidaritas vertikal • Strategi solidaritas horizontal • Strategi srabutan
Strategi berhutang Strategi migrasi temporer
Sumber: Analisis Data Primer, 2009
Gambar 6.10. Strategi nafkah rumahtangga petani tembakau lahan sempit yang berbasis tanah tegal (pegunungan) pada berbagai situasi Apabila pada musim tanam ini mengalami gagal panen, maka pembayaran hutang ditangguhkan, untuk dibayar pada musim berikutnya. Gagal panen yang berturut-turut 3-4 musim tanam tembakau akan membuat hutang mereka bertumpuk dan akses berhutang kepada pedagang Cina mulai terbatas. Pada kondisi ini, rumahtangga petani akan berhenti berhutang untuk kemudian beberapa orang dari anggota rumahtangga akan bermigrasi ke daerah lain untuk memperoleh penghasilan dalam upaya menutup hutang-hutangnya. Sedangkan anggota rumahtangga lainnya tetap mengelola usahatani dengan modal seadanya, bahkan dengan cara berhutang kepada kerabat bukan hanya untuk kebutuhan produksi pertanian tetapi juga untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Mereka akan bermigrasi untuk beberapa tahun (2-3 tahun). Setelah uang yang dirasakan cukup untuk membayar semua hutangnya, rumahtangga petani yang merantau akan segera kembali dan untuk kemudian menekuni kembali dunia pertembakauan.
6.3. Ikhtisar 6.3.1. Etika Moral, Strategi Nafkah, dan Kelembagaan Tindakan ekonomi dalam menyusun nafkah rumahtangga petani dibentuk atas dasar etika dan moral. Etika-moral ini akan membentuk sebuah karakter yang mencirikan suatu komunitas petani. Kelompok formalis memandang bahwa
121
tindakan manusia bersifat rasional dalam melakukan tindakan ekonomi. Beberapa hukum ekonomi yang menjadi landasannya adalah: (1) dalil mengenai gejala ekonomi sebagai fungsi kelangkaan sumberdaya, (2) tujuan ekonomi bersifat tidak terbatas, (3) ekonomi merupakan suatu pilihan yang ekonomis dari sejumlah sumberdaya yang terbatas, (4) berlakunya hukum permintaan dan penawaran dalam proses alokasi barang dan jasa di pasar, dan (5) berlakunya hukum law of diminishing return dalam proses produksi (Sairin, 2002:86). Sementara kelompok substantive-ekonomi moral33- menyandarkan diri pada prinsip dasar keterlekatan (embeddedness). Aktifitas ekonomi produktif akan mempengaruhi kehidupan dan status manusia, namun demikian semua aktifitas tersebut akan dipengaruhi oleh norma-norma, harapan-harapan, dan nilai-nilai komunitas. Dengan kata lain, aktifitas ekonomi dan surplus yang dihasilkan digunakan sebagai sarana mendukung dan meningkatkan kehidupan sosial. Konsep ekonomi moral telah membuktikan kemanfaatannya dalam mencoba mendeskripsikan dan menjelaskan perilaku petani di dalam kaitannya dengan hubungan sosial. Komunitas petani membagi seperangkat norma-norma tentang hubungan sosial dan perilaku sosial yang melingkupi ekonomi local. Moral ekonomi petani menyandarkan diri pada etika subsistensi, dimana pengaturan sosial di dalam komunitas sebagai respek terhadap pemenuhan kebutuhan subsistensi (Scott,1983). Menurut Macfarlane (1991), beberapa hal yang membedakan moral ekonomi petani dibandingkan ekonomi kapitalis (ekonomi formal), yaitu: (1) ekonomi melekat dalam kehidupan sosial masyarakat; (2) manusia melekat dalam lingkungan alam; dan (3) keterbatasan barang dan jasa disikapi dengan cara membaginya ke anggota komunitas. Pada kasus komunitas petani tembakau, etika sosial-kolektif masih tampak pada beberapa aktifitas ekonomi. Namun demikian, arus komersialisasi telah membentuk etika material-individu. Dua etika ini melandasi dan member spirit dalam aktifitas nafkah petani baik pada level rumahtangga maupun komunitas. 33
Gagasan ekonomi moral dikenalkan dan dikembangkan oleh E.P. Thompson dalam tulisannya “Making of the English Working Class (1961)” dan essai penting, “The Moral Economy of the English Crowd in the Eighteenth Century (1971)”.
122
Secara historis, tembakau adalah komoditas yang diperkenalkan penjajah yang berorientasi pasar. Dengan kata lain, bahwa semangat komersialisme telah ada dan tumbuh semenjak komoditas tembakau dikenal oleh petani. Etika materialisme tercermin dalam beberapa aktifitas market-sphere. Petani berusaha mencampur tembakau Temanggung yang relatif lebih bagus kualitasnya dengan tembakau dari daerah lain, yang mereka sebut dengan ‘impor’. Selain itu, petani mencoba membuat tembakau berkualitas rendah seolah-olah berkualitas tinggi. “Pertarungan” antara etika sosial-kolektif dan individual-materialisme membawa dampak pada melemahnya salah satu etika tersebut atau sama-sama kuat sehingga berjalan beriringan tanpa ada yang dikalahkan. Etika sosial-kolektif yang menjadi cirri petani tidak sepenuhnya tergeser oleh gejala perilaku materialistis. Namun demikian, diakui bahwa beberapa perilaku ekonomi yang berbasis etika resiprositas perlahan melemah, seperti: perubahan sistem “royongan” ke sistem upah. Secara factual, beberapa strategi nafkah petani merupakan cerminan dari etika moral apa yang menjadi spirit dan landasan tindakannya. Beberapa strategi yang dilandaskan oleh etika social kolektif dapat dilihat pada beberapa strategi yang diterapkan, antara lain: (1) strategi solidaritas vertical; (2) strategi solidaritas horizontal; (3) strategi berhutang; dan (4) strategi patronase. Sedangkan beberapa strategi lainnya berasaskan pada etika maksimalisasi keuntungan (materialism) yang tercermin pada: (1) strategi akumulasi; (2) strategi manipulasi komoditas; dan berbasis pada pemenuhan kebutuhan subsistensi34 adalah: (1) strategi srabutan; (2) strategi migrasi temporer; dan (3) strategi produksi (lihat table 6.4.).
34
Petani Subsisten dapat dilihat dari dua pengertian, yaitu: (1) sebagai tingkat hidup dan (2) sebagai suatu bentuk perekonomian. Pengertian sebagai tingkat hidup menggambarkan suatu kondisi ekonomi yang berfungsi sekedar untuk dapat bertahan hidup, sedangkan pengertian kedua merupakan suatu system produksi yang hasilnya untuk kebutuhan sendiri, tidak dipasarkan, sedangkan kalau ada produksi yang dipasarkan tidak dimaksudkan untuk mencapai keuntungan komersiil (Wharton, 1969) yang dikutip Sairin et al (2002)
123
Tabel 6.4. Strategi nafkah, etika moral, dan kelembagaan No 1.
Strategi Nafkah Strategi Solidaritas Vertikal
Etika Moral Etika sosialkolektif
Kelembagaan Sistem kinshipgenealogi s
Sistem Nitip
2
Strategi Solidaritas Horizontal
Etika SosialKolektif
Sistem royongan
Gabung hasil panen
3
Strategi Berhutang
Etika SosialKolektif
-
Keterangan • Adanya hubungan yang berbasis trust antara petani dengan grader yang berlangsung dari satu generasi ke generasi berikutnya (berbasis genealogis) • Selain faktor genealogis, petani dapat menjalin hubungan dengan grader melalui petani lain yang telah memiliki hubungan baik dengan grader • Keistimewaan menjalin hubungan dengan grader adalah: (1) bisa menjual hasil panennya tanpa melalui pedagang perantara; (2) harga yang ditetapkan biasanya lebih tinggi; dan (3) memiliki akses permodalan • Petani membangun trust dengan petani yang memiliki jalinan dengan grader dengan menitipkan hasil panennya untuk di jual kepada grader. Pada umumnya petani merelakan 2 kg dari tembakau yang dijual sebagai biaya pengganti transportasi dan kuli angkut Terjadi pada petani berlahan sempit dimana aktifitas pertanian, seperti: menanam, memetik, merajang, nganjang dilakukan secara bersamasama dan bergantian dengan petani lain. Sementara pada petani berlahan luas kegiatan royongan dengan sistem upah. Terjadi pada petani lahan sempit, dimana hasil panen yang tidak mencapai 1 keranjang digabung dan dirajang menjadi satu sehingga memenuhi 1 keranjang. Kemudian hasilnya dibagi pada saat penjualan sesuai dengan perkiraan banyaknya yang digabung. Strategi ini dibangun antara petani dengan pedagang. Strategi ini didasarkan atas trust (kepercayaan) karena tidak adanya agunan baik berbentuk sertifikat tanah, BPKB, dan lainnya. Berbagai kesepakatan dibangun tanpa adanya bukti tertulis. Sistem yang dipakai adalah nglimolasi, yaitu ketika berhutang 1 juta rupiah maka dalam kurun waktu satu musim tanam akan mengembalikan 1,5 juta rupiah. Apabila terjadi gagal panen yang beruntun/berurutan, maka pembayaran hutang bisa ditunda dengan tidak ada perubahan terhadap jumlah bunga. Pada umumnya pada panen tiba, petani menjual kepada pedagang yang telah memberi hutangan sebagai rasa terima kasih dan sekaligus dapat menutup hutang-hutangnya.
Berlanjut….
124
No 4.
Strategi Nafkah Strategi Patronase
Etika Moral Etika SosialKolektif
Kelembagaan Maro
5.
Strategi Akumulasi
Etika materialkeuntungan
-
6.
Strategi manipulasi komoditas
Etika materialkeuntungan
-
7
Strategi MigrasiTemporer
Pemenuhan kebutuhan subsistensi
-
8.
Strategi Srabutan
-
9.
Strategi Produksi
Pemenuhan kebutuhan subsistensi Pemenuhan kebutuhan subsistensi
-
Keterangan Kelembagaan ini dibangun oleh pemilik lahan dan penyakap dengan sistem bagi hasil atau sering disebut dengan istilah maro, artinya pembagian hasilnya adalah 50 % : 50 %. Pembagian ini dilakukan setelah dikurangi dengan berbagai ongkos produksi dapat berbentuk uang atau hasil panen.Hubungan pemilik dan penyakap tidak hanya sekedar hubungan produksi tetapi juga menyangkut kehidupan sehari-hari. Penyakap menganggap pemilik sebagai panutan. Mereka meyakini apa yang dilakukan oleh pemilik adalah demi kemaslahatan bersama, dan secara intelektual pemilik lahan dianggap lebih tahu dibandingkan penyakap. Strategi akumulasi terjadi pada petani berlahan luas dengan mengakumulasikan hasil pertanian untuk kegiatan usaha pertanian dan non pertanian. Pada umumnya dilakukan petani pada lahan sawah, misalnya: selain bertani juga membuka toko saprodi, berdagang. Sementara pada petani pegunungan surplus produksi digunakan untuk aktifitas konsumsi dan memenuhi kebutuhan sekunder. (1) melakukan kegiatan “impor” tembakau dari luar tembakau yang kualitasnya lebih rendah; (2) memanipulasi berat tembakau dengan mencampurkan gula pasir; (3) merekayasa tembakau kualitas rendah seolah-olah berkualitas tinggi Migrasi dilakukan sebagai strategi bertahan hidup akibat kondisi gagal panen berturut-turut. Hutanghutang yang bertumpuk tidak mampu dibayarkan, sehingga beberapa anggota rumahtangga yang laki-laki (ayah atau anak) bermigrasi/merantau ke luar daerah. Setelah kondisi tembakau membaik mereka kembali untuk terjun ke ke pertanian tembakau Selain bertani juga menjadi buruh tani, buruh bangunan, penggali pasir, pedagang, dan lainnya (1) terbuka dengan inovasi baru, (2) strategi pengaturan tanaman pada blok yang berbeda; (3) mengurangi input pertanian; (4) sebagian lahan diberokan (tidak digarap)
Sumber: Analisis Data Primer, 2009 Beberapa fakta tersebut menunjukkan bahwa perdebatan antara kelompok formalis, perilaku petani yang berorientasi keuntungan material dan kelompok substantivist yang berorientasi
resiprositas pada petani tembakau lebih tepat
dilihat sebagai sesuatu yang komplementer (complementary) dibandingkan berlawanan (opposition). Pada satu sisi masih adanya kesadaran tentang arti
125
pentingnya nilai sosial dan budaya di dalam menentukan tujuan ekonomi seseorang-melekat dalam tindakan ekonomi-. Pada sisi lain, petani berusaha memaksimalkan keuntungan.
6.3.2. Modal Sosial sebagai faktor penting dalam sistem penghidupan rumahtangga Petani Tembakau Chambers dan Conway (1991) mengistilahkan modal sosial sebagai intangible asset yang terdiri dari claim dan acess, merupakan komponen penting dalam mendukung kehidupan. Claim adalah permintaan atau permohonan yang diperuntukkan untuk menciptakan kebutuhan material, dapat berwujud etika moral atau dukungan lainnya atau akses. Dukungan tersebut mungkin berbentuk seperti makanan, peralatan, pinjaman, pemberian, atau kesempatan memperoleh pekerjaan. Claim dapat dibentuk pada level individu, kerabat, tetangga, patronklien, kelompok sosial atau komunitas, dan lainnya. Sementara menurut Start dan Johnson (2004) membedakan intangible aset menjadi tiga yaitu: kapabilitas, moral ekonomi, dan kekuasaan. Scott (1983) berargumen bahkan group sosial, seperti rumahtangga, keluarga luas, komunitas menunjukkan adanya hubungan yang bersifat resiprositas. Menurut Polanyi (1968) yang dikutip oleh Sairin et al (2002) motif resiprositas adalah untuk memenuhi kebutuhan sosial dan ekonomi, tetapi kebutuhan ekonomi yang dimaksudkan tidak untuk mendapatkan keuntungan komersial. Individu memberikan dan menerima pemberian barang atau jasa karena kwajiban sosial. Terdapat kwajiban orang untuk memberi, menerima, dan mengembalikan kembali pemberian dalam bentuk yang sama atau berbeda. Dengan melakukan resiprositas orang tidah hanya mendapatkan barang tetapi dapat memenuhi kebutuhan sosial yaitu penghargaan baik ketika berperanan sebagai pemberi ataupun penerima. Dalam konteks rumahtangga petani tembakau, dapat dilihat bagaimana rumahtangga dengan lahan sempit atau bahkan tunakisma bisa ikut ambil bagian dalam mengelola lahan yang diberikan oleh petani lahan luas. Fenomena ini banyak terjadi pada komunitas padi-sawah. Hubungan mereka tidak hanya sekedar hubungan produksi, di satu pihak pemilik lahan berlaku sebagai patron 126
dan dilain pihak petani gurem sebagai klien. Hubungan yang sudah dirintis semenjak orang tua mereka, menjadikan adanya hubungan emosional yang erat. Trust menjadi tali penghubung, pemilik lahan percaya bahwa petani mampu mengemban tanggungjawab sebagai pengelola lahan yang jujur dan memiliki itikad baik. Sementara petani memiliki kepercayaan adanya jaminan kehidupan yang akan diberikan oleh patron kepada dirinya. Petani gurem diberikan akses untuk menguasai lahan meskipun tidak memiliki lahan. Melihat berbagai strategi yang diterapkan oleh rumahtangga petani menunjukkan
bahwa
modal
sosial
merupakan
katub
penyelamat
bagi
keberlangsungan kehidupan petani. Arti pentingnya modal sosial tidak kemudian mengecilkan arti pentingnya aspek lainnya seperti: modal alami, modal finansial, modal sumberdaya manusia, modal fisik, dan lainnya; akan tetapi persoalan modal-modal tersebut bisa diakses petani melalui seberapa kuat modal sosial yang mereka miliki (lihat gambar 6.11.)
Modal Sosial
• Strategi solidaritas horizontal • Strategi srabutan • Strategi migrasi temporer
Mereproduksi aset • Strategi Patronase mereproduksi modal alami • Strategi solidaritas vertikal, berhutang, mereproduksi modal finansial
Kapabilitas
Sumber: Analisis data primer, 2009 Gambar 6.11. Peran Modal Sosial dalam mereproduksi aset dan membangun kapabilitas
Berdasarkan gambar 6.11. bahwa modal sosial tidak hanya berhenti pada peran mereproduksi aset tetapi pada gilirannya akan berpengaruh terhadap kapabilitas. Modal finansial mampu diperoleh petani dengan cara menerapkan strategi berhutang melalui kelembagaan nglimolasi. Modal alami diperoleh petani tunakisme melalui strategi patronase dengan petani berlahan luas. Sedangkan
127
beberapa strategi nafkah lainnya, seperti: strategi solidaritas horizontal, strategi srabutan, dan strategi migrasi temporer secara langsung akan mempengaruhi kapabilitas rumahtangga petani tembakau. Kapabilitas menyangkut kemampuan dalam
beradaptasi
dengan
tekanan
dan
guncangan,
dan
mampu
menemukan/membuat peluang-peluang strategi nafkah. Mereka mampu merespon setiap perubahan yang kurang menguntungkan, memperoleh akses dan memanfaatkan informasi, mampu meramalkan kondisi yang akan dihadapi, inovatif, bersaing dan bekerjasama dengan orang lain, dan mengeksplorasi kondisi dan sumberdaya yang baru (Chambers dan Conway, 1992). Hal ini menunjukkan bahwa social capital berperan penting dalam memfasilitasi rumah tangga petani untuk dapat mengakses sumberdaya lainnya
128
VII. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1.Kesimpulan Mendasarkan diri pada hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa tembakau sebagai komoditi komersial (high value commodity) telah membawa pengaruh kapitalisme di pedesaan. Implikasinya, petani di pedesaan mengalami mixed ethic, pada satu sisi berorientasi pada etika sosial-kolektif dan pada sisi yang lain harus berorientasi pada keuntungan material. Kedua etika tersebut “dimainkan” oleh rumahtangga petani sebagai upaya membangun sistem nafkah yang berkelanjutan. Merembesnya kapitalisme dipedesaan secara perlahan juga melemahkan etika sosial-kolektif yang berbasis pada resiprositas. Hal ini dapat dilihat beberapa fakta, yaitu: (1) berubahnya sistem royongan menjadi sistem upah; (2) munculnya bentuk-bentuk perilaku manipulatif, misalnya: “impor” tembakau, manipulasi kualitas tembakau. Dalam membangun strategi nafkah, rumahtangga petani tembakau mengkombinasikan aset-aset (modal) yang dimiliki, yaitu: modal alami, modal fisik, modal finansial, modal sumberdaya manusia, dan modal sosial. Secara umum rumahtangga petani di daerah penelitian membangun beberapa strategi nafkah, yaitu: strategi produksi, solidaritas vertikal, solidaritas horizontal, berhutang, patronase, srabutan, akumulasi, dan manipulasi komoditas. Sedangkan kelembagaan yang dibangun oleh petani sebagai implementasi dari strategi nafkah adalah sistem nitip, royongan, gabung hasil panen, dan maro. Berbagai strategi nafkah tersebut lebih banyak “memainkan” modal sosial sebagai asset penting dalam membangun sistem penghidupan yang berkelanjutan. Sedangkan pada situasi krisis, petani membangun sistem nafkah yang agak berbeda yaitu dengan melakukan migrasi temporer. Strategi ini dilakukan pada saat gagal panen berturut-turut sehingga tidak memiliki modal finansial untuk berusaha tani. Setelah kondisi pertembakaun membaik, maka petani yang melakukan migrasi akan kembali dan bergelut kembali dengan tembakau.
129
Melihat berbagai strategi yang diterapkan baik pada situasi normal maupun krisis menunjukkan bahwa petani memiliki mekanisme yang dinamis dan fleksibel dalam merespon setiap perubahan kondisi. Sistem yang berperan penting dalam membangun keberlanjutan penghidupan petani adalah etika sosial-kolektif yang berasaskan pada resiprositas. Melalui asuransi sosial kolektif, rumahtangga petani mampu bertahan dan memperbaiki standar hidupnya.
7.2.Saran Tembakau sebagai komoditas yang berorientasi kepada pasar membawa pengaruh kepada masuknya kapitalisme di pedesaan. Strategi nafkah yang dibangunpun merupakan komplementer dari etika sosial-kolektif dan individualmaterialism, dan bahkan ada kecenderungan etika sosial-kolektif yang semakin melemah. Pada sisi lain, dari berbagai strategi nafkah yang dibangun, peran modal sosial sangat besar sebagai katup penyelamat dalam menciptakan sistem nafkah yang berkelanjutan. Oleh karena itu, berbagai kebijakan pemerintah yang diarahkan untuk kesejahteraan petani tembakau sebaiknya tidak dengan mendorong semakin berkembangnya kapitalisme di komunitas pertanian tembakau yang melemahkan etika sosial kolektif. Hal ini didukung dengan fakta bahwa semangat kapitalisme di pedesaan akan meruntuhkan upaya membangun sistem nafkah yang berkelanjutan (sustainable livelihood).
130
DAFTAR PUSTAKA
Buku: Chayanov, A.V. 1966. The Theory of Peasant Economy. Manchaster University Press. Ellis, Frank. 1993. Peasant Economics: Farm Households and Agrarian Development. Cambridge University Press. New York. __________. 2000. Rural Livelihoods and Diversity in Developing Countries. Oxford University Press. New York. Jonge, Huub de. 1989. Madura: dalam empat zaman: pedagang, perkembangan ekonomi, dan Islam (suatu studi anthropologi ekonomi). PT. Gramedia. Jakarta. Damsar. 2002. Sosiologi Ekonomi. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta. Firth, Raymond. 1966. Malay Fisherman: Their Peasant Economy. Routledge & Kegan Paul LTD. London. Hardjono, Joan. 1990. Tanah, Pekerjaan, dan Nafkah di Pedesaan Jawa Barat. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Husken, Frans. 1998. Masyarakat Desa dalam Perubahan Zaman : Sejarah Differensiasi Sosial di Jawa 1830-1980. Grasindo. Jakarta. Long, Norman. 1976. Sosiologi Pembangunan Pedesaan. PT. Bina Aksara. Jakarta. Marzali, Amri. 2003. Strategi Peisan Cikalong dalam Menghadapi Kemiskinan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Penny, D.H. 1990. Kemiskinan : Peranan Sistem Pasar. UI-Press. Jakarta Redfield, Robert. 1985. Masyarakat Petani dan Kebudayaan. CV. Rajawali. Jakarta. Sairin, Sjafri; Pujo Semedi; dan Bambang Hudayana. 2002. Pengantar Antropologi Ekonomi. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Sajogyo. 1998. Dimensi Kemiskinan: Agenda Pemikiran Sajogyo. Kumpulan Pemikiran Sajogyo dengan editor: Mukhtar Sarman. Pusat P3R-YAE. Salim, Agus. 2006. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Tiara Wacana. Yogyakarta. Scott, James C. 1983. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. LP3ES. Jakarta. Sitorus, MT, Felix. 1998. Penelitian Kualitatif: Suatu Perkenalan. Diterbitkan oleh Kelompok Dokumentasi Ilmu-Ilmu Sosial IPB. Bogor
131
Suroyo, A.M. Djuliati. 2000. Eksploitasi Kolonial Abad XIX: Kerja Wajib di Keresidenan Kedu 1800-1890. Yayasan untuk Indonesia. Yogyakarta. Tjondronegoro, S.M.P. 1984. Social Organization and Planned Development in Rural Java. Oxford University Press. Kuala Lumpur. Wolf, Eric R. 1983. Petani: Suatu Tinjauan Anthropologis. Rajawali Press. Jakarta. Yin, Robert K. 1996. Studi Kasus (Desain dan Metode) (alih Bahasa oleh MD. Mudzakir). Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Bunga Rampai: Boeke, J.H. 1982. Memperkenalkan Teori Ekonomi Ganda. Bunga rampai “Perekonomian Desa dengan penyunting Sajogyo. YOI. Jakarta. Boomgaard, Peter. 2002. Jagung dan Tembakau di Dataran Tinggi Indonesia, 1600-1940. Bunga rampai “Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia” dengan editor Tania Murayli. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Ellis, Frank and H. Ade Freeman. 2005. Conceptual Framework and Overview of Themes. In Ellis, Frank and H. Ade Freeman: Rural Livelihoods and Poverty Reduction Policies. Routledge. New York. Hamam, Abdul Haliem. 2006. Pengalaman Petani dalam Produksi dan Pemasaran Tembakau Besuki Na-Oogst. Prosiding Teknologi Ramah Lingkungan untuk Tembakau Eksport Besuki, editor: AS Murdiyati dkk. Balitbang Deptan. Ortiz, Sutti. 2005. Decision and Choices: the Rationality of Economic Actors. In Carrier: A Handbook of Economic Anthropology. Edward Elgar. Cheltenham UK. Portes, A. 1994. ‘The Informal Economy and its Paradoxes’, N.J. Smelser and R. Swedberg (eds) The Handbook of Economic Sociology. Princeton, NJ: Princeton University Press. Smelser, N.J. and Swedberg (editor). 1994. The Hands Books of Economic Sociology. Princeton University Press. USA. Sajogyo. 1990. Pembangunan Pertanian dan Pedesaan dalam rangka Industrialisasi. Bunga rampai: Industrialisasi Pedesaan, Editor : Sajogyo dan Mangara Tambunan. Sekindo Eka Jaya. Jakarta. Usman, Marzuki. 1990. Pengantar dalam Industrialisasi Pedesaan. Editor Sajogyo dan Mangara Tambunan. PT. Sekindo Eka Jaya. Jakarta.
132
White, Benjamin N.F. 1980. Rural Household Studies in Anthropological Perspective. Bunga rampai: Rural Household Studies in Asia. Singapore University Press. Singapore. ________________. 1990. Agroindustri, Industrialisasi Pedesaan, dan Transformasi Pedesaan. Bunga rampai: Industrialisasi Pedesaan, Editor: Sajogyo dan Mangara Tambunan. PT. Sekindo Eka Jaya. Jakarta. Woolcock, Michael and Deepa Narayan. 2006. Social Capital: Implication for Development Theory, Research, and Policy Revisted. In Bebbington, Anthony; M. Woolcock; Scott E.G.; and Elizabeth A. Olson: The Search for Empowerment: Social Capital as Idea and Practice at the World Bank. Kumarian Press, Inc. USA. Jurnal dan Working Paper: Bebbington, Anthony. 1999. Capital and Capabilities: A Framework for Analyzing Peasant Viability, Rural Livelihoods and Poverty. World Development Vol. 27, No. 12, pp : 2021-2044, 1999. Carswell, Grace. 2000. Livelihood Diversification in Southern Ethiopia. IDS Working Paper 117. Institute for Development Studies. Brighton. Chambers, Robert. 1995. Poverty and Livelihoods: Whose Reality Counts?. Journal : Environtment and Urbanization Vol. 7 No. 1 1995. Conway, G dan R. Chambers. 1991. Sustainable Rural Livelihood: Practical Concepts for 21st Century, IDS Discussion Paper 296 : IDS. Institute for Development Studies. Brighton. Crow, G. 1989. The use of concept of strategy in recent sociological literature. Sociology, vol. 23/l, pp. 1-24 Darwis, Valeriana. 2004. Karakteristik Petani Miskin Berlahan Sempit dan Analisa Usahatani Tembakau pada Lahan Tadah Hujan (Kasus: Kabupaten Bojonegoro). ICASERARD Working Paper No. 24. Balitbang Deptan. Jakarta. Davies, S. 1993. ‘Are Coping Strategies a Crop Out?’. IDS Bulletin 24. Institute for Development Studies. Brighton. Dharmawan, Arya Hadi. 2007. Sistem Penghidupan dan Nafkah Pedesaan: Pandangan Sosiologi Nafkah (Livelihood Sociology) Mazhab Barat dan Mazhab Bogor. Sodality Vol. 01, No. 02, Agustus 2007 hal.169-192. Ellis, Frank. 1998. Household Strategies and Rural Livelihood Diversification. The Journal of Development Studies; Vol 35/1, pp. 1-38. Kurtz, Marcus J. 2000. Understanding Peasant Revolution: From Concept to Theory and Case. Theory and Society 29: 93-124. Lipton, M and Maxwell. 1992. “The new poverty agenda: An overview”. IDS Discussion Paper 306. Institute for Development Studies. Brighton. 133
Macfarlane, Alan. 1991. Reflections On Peasant and Capitalist Morality. Peasant Seminar at Trinity College March, 7 1991.
Odero, Kenneth K. 2007. Extending the Sustainable Livelihoods Framework. Departement of Rural and Urban Planning. University of Zimbabwe. Owusu, Francis. 2007. Conceptualizing Livelihood Strategies in African Cities: Planning and Development Implications of Multiple Livelihood Strategies. Journal of Planning Education and Research 26: 450-465. Sage Publication. Redclift, M. (1986). ‘Survival Strategies in Rural Europe: Continuity and Change’, Sociologia Ruralis XXVI: 15–27. Scoones, Ian. 1998. Sustainable Rural Livelihood: A Framework for Analysis. IDS Discussion Paper 72. Institute for Development Studies. Brighton. Sen, A.K. 1985. Commodities and Capabilities. North-Holland. Amsterdam. Shanin, Teodor. 1966. The Peasantry as a Political Factor. Sociological Review, Vol 14, 1966, no 1. Pp. 5-27. Slater, Rachel and Chasca Twyman. 2003. Hidden Livelihoods? Natural Resource-Dependent Livelihoods and Urban Development Policy. Working Paper 225. Overseas Development Institute London. Start, Daniel and Craig Johnson. 2004. Livelihood Option? The Political Economy of Access, Opportunity and Diversification. Working Paper 233. Overseas Development Institute London. Wallace, Claire. 2002. Household Strategies: Their Conceptual Relevance and Analytical Scope in Social Research. Journal of Sociology Volume 36 (2): 275-292 Sage Publication. London. Wilson, Caroline. 2004. Understanding the Dynamics of Socio-Economic Mobility: Tales from Two Indian Villages. Overseas Development Institute. London. Skripsi, Tesis, dan Disertasi: Dharmawan, Arya Hadi. 1994. Farm Income and Financing in Rural Indonesia: A Case Study from West Kalimantan. Institute of Rural Develompent, Georg August-University of Gottingen. Germany. ___________________.2001. Farm Household Livelihood Strategies and SocioEconomic Change in Rural Indonesia. Socioeconomic Studies on Rural Development Vo. 124. Wissenschaftsverlag Vauk Kiel KG Ependi, Engken Parid. 2004. Analisis Sumberdaya Nafkah dan Strategi Nafkah pada Dua Komunitas : Studi Kasus Komunitas Desa Bantarujeg Majalengka Jawa Barat dan Desa Cisarua Bogor Jawa Barat. Skripsi Dep. Ilmu sosial Ekonomi Pertanian. IPB.
134
Fadjar, Undang. 2009. Transformasi Struktur Agraria dan Diferensiasi Sosial pada Komunitas Petani (Studi Kasus pada Empat Komunitas Petani Kakao di Propinsi Sulawesi Tengah dan NAD). Disertasi SPD. IPB. Bogor Iqbal, Moch. 2004. Strategi Nafkah Rumahtangga Nelayan: Studi Kasus di Dua Desa Nelayan Tangkap Kabupaten Lamongan Jawa Timur. Tesis S-2 SPD; IPB; 2004. Jacub, Untung Margiono. 1985. Pengaruh Kepemimpinan terhadap Peran Serta Masyarakat Petani Tembakau dalam Pembangunan Masyarakat Desa: Suatu Studi Deskriptif di desa Bansari, Kecamatan Parakan Kabupaten Dati II Temanggung. Tesis Jurusan Sosiologi Pedesaan Fakultas Pascasarjana IPB. Lestari, Dewi. 2005. Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Nelayan Pantai Utara dan Pantai Selatan Jawa: Studi Kasus Komunitas Nelayan Banyutowo, Jawa Tengah dan Komunitas Nelayan Cipatugaran, Jawa Barat. Skripsi Dep. Ilmu sosial Ekonomi Pertanian. IPB. Masithoh, Arifah Dewi. 2005. Analisis Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Perkebunan Rakyat : Studi Kajian Perbandingan: Komunitas Petani Perkebunan Teh Ciguha Jawa Barat dan Komunitas Petani Perkebunan Tebu Puri Jawa Timur. Skripsi Dep. Ilmu sosial Ekonomi Pertanian. IPB. Musyarofah, Siti Anis. 2006. Strategi Nafkah Rumahtangga Miskin Perkotaan: Studi Kasus Kampung Sawah, Kelurahan Semper Timur, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara. Skripsi Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, FP IPB. Bogor Purnomo, Agustina Multi. 2006. Strategi Nafkah Rumahtangga Desa Sekitar Hutan : Studi Kasus di Kabupaten Kuningan. Tesis S-2 SPD. IPB. Lainnya: Anonim. 2005. Sensus Pertanian Kabupaten Temanggung tahun 2003. Badan Pusat Statistik. Temanggung. ______ 2008. Kabupaten Temanggung dalam Angka tahun 2008. Badan Pusat Statustik. Temanggung. ______. 2009. Kecamatan Bulu dalam Angka Tahun 2008. Badan Pusat Statistik. Temanggung. Direktorat Produksi Perkebunan Dirjen Bina Produksi Perkebunan Deptan, 2002. http://www.deptan.go.id FAO STAT Agriculture Data Base: http://apps.fao.org/page/collections?subset=agriculture
135
Lampiran 1: Penelitian terdahulu mengenai strategi nafkah pada berbagai setting lokasi yang berbeda Nama Peneliti Dharmawan (1994)
Komunitas Pegunungan
Ependi (2004)
Pegunungan
Masithoh (2005)
Perkebunan rakyat (teh dan tebu
Iqbal (2004)
Nelayan
Lestari (2005)
Nelayan
Basis/dimensi • Pertanian • Non pertanian • Modal alam • Modal sumberdaya manusia • Modal ekonomi • Modal social • Ekologi • Demografi • Kelembagaan • Struktur agraria • Struktur social • Cultural • System pertanian • Modal alam • Modal social • Modal sumberdaya manusia • Modal fisik
Purnomo (2005)
Masyarakat sekitar hutan
• Sosio-kultural • Sosiokemasyarakatan • Institusional • Sosio-ekologi • Structural • Jender • Modal alami • Modal sosial
Musyarofah (2006)
Rumahtangga miskin perkotaan
• Modal social • Modal financial • Modal fisik
Bentuk Strategi Nafkah Strategi nafkah • Akumulasi • Konsolidasi • Bertahan hidup • Rekayasa sumber nafkah pertanian • Pola nafkah ganda • Rekayasa spasial • Kelembagaan : maparo, liliuran, ngepak, system upah, kordinasi, dll • Strategi waktu (pola musiman) • Strategi alokasi sumberdaya Manusia • Strategi intensifikasi pertanian • Strategi spasial • Strategi pola nafkah ganda • Strategi berbasis modal sosial • Strategi nafkah berserak (waktu, spasial, alokasi tenaga kerja, dan usaha) • Pola nafkah ganda • Kelembagaan : patron-klien • Alokasi pembagian tenaga kerja keluarga • migrasi • Saat normal-musim ikan : optimalisasi sumberdaya penangkapan, alokasi modal untuk diversifikasi, strategi konsumsi • Saat krisis-paceklik : strategi reproduksi, spasial, konsumsi, diversifikasi, pemanfaatan modal sosial • • • • • • • • • • • • • •
Strategi ekstensifikasi Strategi orientasi Strategi investasi Strategi integrasi Strategi asuransi Pola nafkah ganda Pemanfaatan kelembagaan ekonomi Pemanfaatan jaringan social Berdagang Bekerja pada sector industry Mengganti jenis makanan Mengontrakkan rumah Berhutang Mencairkan asset rumahtangga
Sumber : Diolah dari berbagai sumber, 2009
136
Lampiran 2.
PEDOMAN WAWANCARA No. 1
Topic Struktur demografi
2
Aspek Fisik
3
Sistem pertanian
4
Strategi nafkah
5
Kelembagaan ekonomi
6
Sistem nilai masyarakat
7
Etika-moral ekonomi
Sub-Topic 1. Jumlah Penduduk dan tingkat kepadatan penduduk 2. Jumlah rumahtangga 3. Jumlah rumahtangga petani 4. Komposisi penduduk berdasarkan umur, mata pencaharian, dan pendidikan 5. Mutasi penduduk 6. Tingkat kelahiran dan kematian 1. Kondisi infrastruktur 2. Sistem transportasi dan komunikasi 3. Akses pasar 4. Sistem irigasi 5. Sekolah…. 6. Jalan…. 7. Jembatan…. 1. Setting ekologi 2. Kondisi cuaca dan iklim 3. Penggunaan lahan, topografi, dan tipe tanah 4. Pola tanam 5. Aplikasi teknologi 6. Jenis dan varietas tanaman 1. Sumber nafkah utama (base livelihood) 2. Diversifikasi sumber nafkah (Livelihood diversification) 3. Dinamika strategi nafkah rumahtangga petani 4. Peran aset nafkah terhadap sistem nafkah 5. Ragam pola nafkah pada berbagai situasi 1. Kelembagaan antara pemilik lahan dan penyakap 2. Hubungan antara rumahtangga petani dengan pedagang/juragan dalam kegiatan pemasaran produk 3. Kelembagaan petani berdasarkan lapisan 1. Nilai-nilai, kebiasaan, dan tradisi yang masih berlaku (gotong royong, kekerabatan, tolongmenolong) 2. nilai resiprositas dan patronase yang masih ada 1. Etika sosial-kolektif 2. Etika individual-materialism
Sumber Data Informan kunci Data sekunder observasi
Informan kunci observasi
Informan kunci Data sekunder observasi
Informan kunci observasi
Informan kunci observasi
Informan kunci observasi Informan kunci
137