SISTEM NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI KENTANG DI DATARAN TINGGI DIENG (Kasus Desa Karangtengah, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah)
Oleh: Turasih I34070004
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
ii
ABSTRACT
TURASIH. Livelihood System of Potato Farmers Household in Dieng Plateu (Case in Village of Karangtengah, District Batur, Banjarnegara Regency, Central Java) (Supervised by: SOERYO ADIWIBOWO)
This research was conducted and located in the village of Karangtengah, District Batur, Banjarnegara Regency, Central Java for one month from 25 March to 25 April 2011. The purpose of this study was to determine the household livelihood strategy of potato farmers in the village of Karangtengah, Dieng plateau associated with the history of potato farming in the village. In addition, to find out how far potato farming can build sustainable livelihood systems for farmers households. This study uses a quantitative approach that is supported by qualitative data. Quantitative data obtained through a questionnaire to 31 households of farmers who were respondents in this study. While the qualitative approach is done through observation, depth interviews, and search related documents or literary study. Basically, agriculture has become the main source of income for potato farmers households in the village of Karangtengah. This is due to the farm that has been inherited into the identity of them from generation to the generation. However, limitations of resources, especially land as a place of production led to nine respondents in this study applying multiple livelihoods both of on farm and non farm strategie. During its development, potato farming is increasingly drained on resources. Although still becoming the leading sectors, but the threat to livelihood activities has been gradually happening for example the environmental degradation caused by agricultural activity that promotes the high production so that they use the excessive of chemical inputs. Keywords: Livelihood system, Potato farmers household, Sustainable agriculture, and Dieng Plateau.
iii
RINGKASAN TURASIH. Sistem Nafkah Berkelanjutan pada Rumahtangga Petani Kentang di Dataran Tinggi Dieng (Kasus Desa Karangtengah, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah). (Dibimbing Oleh SOERYO ADIWIBOWO) Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui strategi nafkah rumahtangga petani kentang di Desa Karangtengah, Dataran Tinggi Dieng terkait dengan sejarah pertanian kentang di desa tersebut. Selain itu juga mengetahui sejauh mana pertanian kentang tersebut dapat membangun sistem nafkah yang berkelanjutan (sustainainable livelihood) bagi petani. Untuk menjawab kedua permasalahan tersebut digunakan metode penelitian kuantitatif dengan kuesioner didukung dengan data kualitatif melalui observasi, wawancara mendalam, dan penelusuran dokumen yang terkait dengan pembahasan. Pendekatan kuantitatif ditujukan bagi 31 responden yang diperoleh dengan metode simple random sampling
dari 983 kerangka sampling yang merupakan rumahtangga petani
kentang di Desa Karangtengah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertanian kentang merupakan strategi nafkah utama rumahtangga yang menjadi tumpuan penghasilan. Kegiatan produksi pertanian tersebut dilaksanakan di atas lahan yang status penguasaan dan luasannya berbeda-beda untuk masing-masing responden. Terdapat tiga macam bentuk penguasaan yaitu lahan milik, lahan sewa, dan lahan bagi hasil. Penyewaan cenderung dilakukan oleh petani dengan kepemilikan lahan antara 00,5 ha yang jumlahnya dominan di Desa Karangtengah. Motivasi menyewa lahan sama untuk masing-masing responden yaitu memperoleh penghasilan yang lebih tinggi. Bagi petani kecil, mereka menyesuaikan diri dengan menerapkan strategi nafkah kombinasi yaitu menjadi petani kentang sekaligus melakukan strategi nafkah sebagai buruh tani maupun strategi nafkah di sektor non farm misalnya menjadi pedagang, penjahit, atau membuka warung. Terdapat sembilan responden yang menerapkan strategi nafkah kombinasi antara pertanian kentang on farm dengan sektor lain. Namun bagaimana pun kontribusi pendapatan utama masih berasal dari pertanian kentang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
iv
semakin luas lahan pertanian kentang yang digarap oleh petani, maka pendapatan dari sektor non pertanian kentang juga semakin kecil. Kemampuan petani dalam melakukan kegiatan usahatani sifatnya otodidak yang diperoleh dari orang tuanya. Menjadi petani tidak ditentukan oleh umur maupun pendidikan. Semenjak kecil para petani tersebut terbiasa membantu orang tuanya
mengolah tanah, menanam, panen, dan memasarkan. Secara mandiri,
petani dilatih oleh orang tuanya untuk melanjutkan profesi sebagai petani sekaligus mendapatkan warisan berupa lahan pertanian. Hingga sekarang kebiasaan-kebiasaan tersebut disosialisasikan oleh orang tua kemudian diadopsi oleh anaknya hingga generasi berikutnya. Secara
berangsur-angsur
masuknya
komoditi
kentang
ke
Desa
Karangtengah telah memperbaiki kondisi perekonomian mereka dibanding ketika menanam tembakau dan palawija. Melihat fakta yang terjadi, petani berbondongbondong untuk memilih kentang sebagai komoditi andalan. Sayangnya, dalam perkembangannya aktivitas pertanian kentang bertentangan dengan prinsip pertanian berkelanjutan. Pengelolaan pertanian yang seharusnya mantap secara ekologis, layak secara ekonomi, adil, manusiawi, dan luwes, justru semakin merongrong dasar sumberdaya alam. Secara jangka panjang, kondisi pertanian kentang di Desa Karangtengah terancam keberlanjutannya jika kondisinya masih seperti saat ini yaitu menurunnya kualitas lingkungan, ketimpangan dalam hal kepemilikan lahan, sifat konsumerisme petani yang menyebabkan terjeratnya hutang, serta permasalahan kelembagaan yang masih menyudutkan petani kecil.
v
SISTEM NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI KENTANG DI DATARAN TINGGI DIENG (Kasus Desa Karangtengah, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah)
Oleh: Turasih I34070004
SKRIPSI Sebagai Syarat untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
vi
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh : Nama Mahasiswa
: Turasih
NIM
: I34070004
Judul Proposal Skripsi
:
SISTEM NAFKAH RUMAH TANGGA PETANI KENTANG DI DATARAN TINGGI DIENG (Kasus Desa Karangtengah, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah) Dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003 Mengetahui Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003
vii
Tanggal Pengesahan :
LEMBAR PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “SISTEM
NAFKAH
DATARAN
TINGGI
RUMAHTANGGA DIENG
(KASUS
PETANI DESA
KENTANG
DI
KARANGTENGAH,
KECAMATAN BATUR, KABUPATEN BANJARNEGARA, PROVINSI JAWA TENGAH)”, ADALAH BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN BELUM
PERNAH
DIAJUKAN
SEBAGAI
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI MANAPUN, SEMUA DATA DAN INFORMASI YANG DIGUNAKAN TELAH DINYATAKAN DENGAN JELAS DAN DAPAT DIPERIKSA KEBENARANNYA.
Bogor, Juli 2011
Turasih I34070004
viii
RIWAYAT HIDUP
Turasih merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Ahmad Salimi dan Ibu Surati. Penulis lahir di Banjarnegara, Jawa Tengah pada tanggal 06 Januari 1990. Penulis menamatkan pendidikan Taman Kanak-Kanak di TK Aisiyah Bustanul Athfal Pagentan (1994-1995), SD Negeri 1 Pagentan (19952001), SMP Negeri 1 Pagentan (2001-2004), dan Madrasah Aliyah Negeri 2 Banjarnegara (2004-2007). Kemudian pada tahun 2007, penulis diterima sebagai mahasiswi Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia. Selama di IPB, penulis menjadi asisten praktikum MK. Sosiologi Umum selama tiga semester, asisten MK. Pengantar Ilmu Kependudukan, MK. Perubahan Sosial, dan MK. Kelembagaan, Organisasi, dan kepemimpinan. Selain itu penulis juga tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-Ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (HIMASIERA) sebagai manajer Divisi Research and Development HIMASIERA 2010. Penulis juga bergabung dalam OMDA (Organisasi Mahasiswa Daerah) IKAMAHAMAS (Ikatan Keluarga Mahasiswa Se-Eks Karesidenan Banyumas) dan menjabat sebagai sekretaris umum. Peneliti mendapatkan beasiswa PPA pada semester 1 dan semester 2, kemudian semester 3 sampai semester 8 mendapatkan beasiswa dari Tanoto Foundation. Prestasi yang diperoleh penulis selama studi di IPB antara lain: Penerima Dana DIKTI untuk PKM Teknologi 2011, Juara 1 Lomba Debat Politik Ekologi dalam Indonesian Ecology Expo (INDEX) 2010, Finalis Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) di Universitas Mahasaraswati Denpasar-Bali 2010, Duta Lingkungan Hidup FEMA (Fakultas Ekologi Manusia 2010, Penerima Dana DIKTI untuk PKM Pengabdian Masyarakat 2010, Runner Up DUTA FEMA (Fakultas Ekologi Manusia) 2009, Finalis 20 Besar Penulisan Cerpen BONJOUR 2009, Kategori 10 Terbaik Seminar dan Pelatihan Penulisan Buku Best Seller
ix
2008 Penerbit Penebar Swadaya, Juara 1 Penulisan Cerpen ICON DKM AlHuriyah IPB 2007.
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam, pengatur segala urusan yang telah memberikan kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Tidak lupa shalawat dan salam terhaturkan kehadirat Nabi Muhammad SAW utusan dan suri tauladan yang baik. Skripsi dengan judul “Sistem Nafkah Rumahtangga Petani Kentang di Dataran Tinggi Dieng (Kasus Desa Karangtengah, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah)” ini merupakan karya ilmiah sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Melalui skripsi ini, penulis mendeskripsikan tentang strategi nafkah rumahtangga petani kentang terkait dengan
sejarah pertanian di desa
Karangtengah. Selain itu juga mendeskripsikan sejauh mana prospek pertanian kentang tersebut
untuk membangun sistem nafkah berkelanjutan pada
rumahtangga petani kentang mengingat berbagai fakta yang semakin rawan bagi keberlanjutan pertanian. Penulis mengharapkan bahwa penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi khasanah ilmu pengetahuan, mampu dijadikan sebagai masukan bagi penelitian selanjutnya dengan peminatan yang sama, serta sebagai masukan bagi pembuatan kebijakan di tataran lokal maupun supra desa. Semoga melalui penelitian ini penulis bisa berbagi kebaikan untuk banyak pihak dan mampu memberikan sumbangsih pemikiran bagi dunia pendidikan di Indonesia.
Bogor, Juli 2011
Penulis
xi
UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT pengatur dan pelancar segala urusan. Atas rahmat dan ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga menyadari bahwa tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, skripsi ini tidak akan terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada: 1.
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS, selaku dosen pembimbing yang telah mencurahkan waktu untuk memberikan bimbingan, arahan serta kritik dan saran yang membangun hingga penulis menyelesaikan skripsi ini.
2.
Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan dan Ir. Nuraini W. Prasodjo, MS, selaku dosen penguji utama dan penguji wakil departemen yang telah memberikan kritik dan saran yang membangun guna melengkapi hasil skripsi ini.
3.
Bapak dan Ibu (Bpk. Ahmad Salimi dan Ibu Surati) di Banjarnegara yang selalu memberikan semangat dan dukungan baik secara moral, material, maupun spiritual; adikku Nurhayati yang selalu ceria dan berprestasi di lingkungan akademik maupun non akademik; Bu Lik yang dengan tulus menyemangati serta seluruh keluarga besar yang senantiasa memberikan dukungan;
Keluarga besar Mbah Sutarno dan Sutarjo yang selalu
mendukung langkah penulis. 4.
Kak Lestari Agusalim, SE, yang telah banyak memberikan kritik dan saran kepada penulis hingga skripsi ini diselesaikan.
5.
Tanoto Foundation yang telah memberikan beasiswa selama penulis menjalankan pendidikan hingga bisa menyelesaikan skripsi ini.
6.
Segenap jajaran Dinas Pertanian Kabupaten Banjarnegara dan Kepala Desa Karangtengah yang banyak membantu memberikan informasi dan data untuk penelitian ini; Bapak Sekdes Karangtengah serta pamong desa yang juga berjasa memberikan informasi bagi skripsi ini.
xii
7.
Keluarga besar Bapak Hadi di desa Karang Tengah (Kang Sur, Mba Irma, Kang Jono, Bejo) yang telah membantu penulis dalam proses pengambilan data dan memahami situasi di lapangan.
8.
Faris Priyanto dan Christin Debora Nggauk, teman satu bimbingan yang selalu membantu dan memberikan semangat serta menjadi pendengar yang baik.
9.
Sahabat-sahabat yang selalu memotivasi: Maya, Bio, Tuti, Zuhaida, Rahmawati, Rossy, Ripna, Rajib, Lukman, Arsyad, dan semua teman-teman KPM 44, 45 , dan 46 yang tidak bisa disebutkan satu-persatu.
10.
Keluarga di Ruang Tengah terutama Mamah Linda Nurhayati, Devya Ayu Kasha, Fe Meandallah (Feny Mariantika), atas semangat dan motivasi kebaikan yang tidak terputus.
11.
Seluruh pihak yang telah membantu hingga skripsi ini diterbitkan dan tidak bisa disebutkan satu persatu dalam sebaris kata. Semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi banyak pihak, bagi khasanah
ilmu pengetahuan, serta tanah kelahiran, bangsa, dan negara. Amiin.
Penulis
xiii
DAFTAR ISI DAFTAR ISI...................................................................................................... xii DAFTAR TABEL............................................................................................. xv DAFTAR GAMBAR......................................................................................... xvi DAFTAR LAMPIRAN..................................................................................... xvii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................. 1 1.1 Latar Belakang.............................................................................................. 1 1.2 Masalah Penelitian........................................................................................ 3 1.3 Tujuan Penelitian.......................................................................................... 4 1.4 Kegunaan Penelitian...................................................................................... 4
BAB II PENDEKATAN TEORITIS.............................................................. 6 2.1 Tinjauan Pustaka........................................................................................... 6 2.1.1 Konsep Nafkah(Livelihood)................................................................ 6 2.1.2 Konsep Nafkah Berkelanjutan............................................................ 9 2.1.3 Karakteristik Rumahtangga Petani...................................................... 11 2.1.4 Karakteristik Dataran Tinggi............................................................... 12 2.1.5 Struktur Agraria................................................................................... 15 2.1.6 Pertanian Berkelanjutan...................................................................... 16 2.2 Kerangka Pemikiran...................................................................................... 18 2.3 Hipotesis........................................................................................................ 19 2.4 Definisi Operasional...................................................................................... 19
BAB III METODE PENELITIAN.................................................................. 23 3.1 Lokasi dan Waktu......................................................................................... 23 3.2 Teknik Pengumpulan Data............................................................................ 23 3.3 Teknik Pengolahan dan Analisis Data.......................................................... 25
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN............................ 26
xiv
4.1 Kondisi Geografis......................................................................................... 26 4.2 Kondisi Demografi........................................................................................ 27 4.2.1 Penduduk dan Mata Pencaharian........................................................ 27 4.2.2 Pendidikan........................................................................................... 29 4.3 Sarana dan Prasarana Desa............................................................................ 30 4.4 Kondisi Sosial.................................................................................................\31
BAB V STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI KENTANG.......................................................................................... 33 5.1 Karakteristik Petani dan Strategi Nafkah...................................................... 33 5.1.1 Usia/Umur........................................................................................... 33 5.1.2 Tingkat Pendidikan............................................................................. 34 5.1.3 Jumlah Tanggungan.............................................................................. 35 5.1.4 Pengalaman Bertani............................................................................. 36 5.2 Sejarah Pertanian Kentang di Dataran Tinggi Dieng.................................... 37 5.3 Keterkaitan Sejarah Pertanian Kentang dengan Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Kentang....................................................................... 40 5.4 Bentuk-bentuk Strategi Nafkah pada Rumahtangga Petani Kentang.........
42
5.4.1 Strategi Intensifikasi Lahan Pertanian (On Farm)............................. 42 5.4.2 Strategi Mendiversifikasi Sumber Nafkah (On Farm dan Non Farm)................................................................... 44 5.5 Status Penguasaan Lahan dan Strategi Nafkah............................................. 47 5.6 Strategi Nafkah dan Kontribusi Pendapatan pada Rumahtangga Petani Kentang......................................................................................................... 51 5.7 Ikhtisar........................................................................................................... 56
BAB VI PROSPEK PERTANIAN KENTANG SEBAGAI SISTEM NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI KENTANG..................... 57 6.1 Gambaran Sistem Nafkah pada Rumahtangga Petani Kentang................... 57 6.1.1 Aspek Lingkungan.............................................................................. 59 6.1.2 Aspek Ekonomi................................................................................... 62 6.1.3 Aspek Sosial........................................................................................ 63
xv
6.1.4 Aspek Kelembagaan........................................................................... 64 6.2 Prospek Pertanian Kentang dalam Kerangka Sistem Nafkah Berkelanjutan pada Rumahtangga Petani Kentang............................................................. 66 6.3 Ikhtisar.......................................................................................................... 67
BAB VII PENUTUP.......................................................................................... 69 7.1 Kesimpulan.................................................................................................... 69 7.2 Saran.............................................................................................................. 70
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 72 LAMPIRAN....................................................................................................... 75
xvi
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
Tabel 1.
Luas Lahan Menurut Penggunaannya di Desa Karangtengah....... 27
Tabel 2.
Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur di Desa Karangtengah................................................................................... 28
Tabel 3.
Jumlah dan Persentase Responden Menurut Kelompok Umur.....
Tabel 4.
Jumlah dan Persentase Responden Menurut Tingkat
33
Pendidikan....................................................................................... 35 Tabel 5.
Jumlah dan Persentase Responden Menurut Jumlah Tanggungan dalam Rumahtangga....................................................................... 36
Tabel 6.
Jumlah dan Persentase Responden Menurut Pengalaman Bertani............................................................................................ 37
Tabel 7.
Hubungan Antara Luas Lahan Garapan Rumahtangga Petani Kentang dan Strategi Nafkah.......................................................... 48
Tabel 8.
Jumlah
dan
Presentase
Rumahtangga
Petani
Kentang
Berdasarkan Status Penguasaan Lahan.......................................... 50 Tabel 9.
B/C Ratio Usahatani Kentang Menurut Total Luas Lahan Garapan Rumahtangga Petani, Rp/Rataan Luas Lahan/Musim Hujan.............................................................................................. 52
Tabel 10. Jumlah dan Persentase Pendapatan Rumahtangga Petani Menurut Sumber Pendapatan dan Luas Lahan Garapan per .
Musim Hujan, Kemarau, dan Peralihan......................................... 54
xvii
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
Gambar 1.
Kerangka Pemikiran..................................................................... 19
Gambar 2.
Metode Pengumpulan Data.......................................................... 24
Gambar 3.
Persentase Jenis Mata Pencaharian Penduduk di Desa Karangtengah............................................................................... 28
Gambar 4.
Presentase Tingkat Pendidikan Penduduk di Desa Karangtengah............................................................................... 29
Gambar 5.
Karakteristik Rumahtangga Petani yang Memilik Strategi Nafkah Ganda di Sektor Non Pertanian...................................... 45
Gambar 6.
Persentase Pendapatan Sektor Pertanian dan Non Pertanian pada Musim Hujan, Kemarau, dan Peralihan...............................
55
Gambar 7. Indikator Sistem Nafkah Berkelanjutan di Desa Karangtengah, Dataran Tinggi Dieng Berdasarkan Cambell et al, Shivakoti, 58 Gambar 8.
Shrestha (2003) dalam Mahdi et al (2009)................................... Produktivitas Komoditi Kentang dan Bawang Daun di 59
Gambar 9.
Kecamatan Batur, Tahun 2006-2010........................................... Alur Penjualan Kentang dari Petani di Desa Karangtengah Hingga Sampai di Tangan Konsumen.........................................
65
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
Lampiran 1.
Peta Desa Karangtengah, Kecamatan Batur, Kabupaten
Lampiran 2.
Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah....................................... 76 Panduan Pertanyaan................................................................... 77
Lampiran 3. Lampiran 4.
Daftar Kerangka Sampling dan Responden.............................. 79 Dokumentasi Penelitian............................................................. 89 Photo 1. Bentangan Lahan Pertanian Merupakan Perbukitan yang Gundul................................................................. 89 Photo 2. Kondisi Umbi Kentang yang Terbawa Longsor......... 89 Photo 3. Penggunaan Input Kimia di Lahan Pertanian.............. 90 Photo 4. Petani pada Saat Menyemprot Tanaman Kentang..... 90 Photo 5. Proses Pemanenan Kentang......................................... 91 Photo 6. Lahan Miring yang Kritis untuk Pertanian Kentang... 91 Photo 7. Kentang Diserang Penyakit Busuk Akar..................... 92 Photo 8. Tanaman Kentang yang Terkena Busuk Daun........... 92
Lampiran 5. Lampiran 6.
Wawancara Strategi Nafkah....................................................... 93 Analisis Usaha Tani Kentang per 0,5 ha/Musim Hujan........... 95
BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor ekonomi andalan bagi
perkembangan perekonomian Indonesia. Kekayaan alam Indonesia yang berlimpah dilengkapi dengan iklim tropis sangat mendukung berbagai kegiatan pertanian dalam arti luas (pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, dan peternakan). Salah satu kegiatan pertanian adalah budidaya kentang dimana dari tahun ke tahun produksinya terus meningkat. Peningkatan ini dibuktikan dengan data dari Badan Pusat Statistik yang menjelaskan bahwa pada tahun 1997 komoditas kentang yang dihasilkan di Indonesia masih 813.368 ton dan diketahui bahwa pada tahun 2009 produktvitasnya telah mencapai 1.176.304 ton. Peningkatan tersebut dipengaruhi oleh permintaan pasar yang juga meningkat sehingga petani tertarik untuk terus membudidayakannya. Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang menjadi penghasil komoditas kentang dengan panen terluas yaitu 18.655 ha dan produktivitas 15,47 ton/ha. Budidaya kentang tersebut dilakukan oleh petani di dataran tinggi, mengingat kentang adalah salah satu komoditi hortikultura yang bisa tumbuh di daerah yang beriklim sejuk. Salah satu dataran tinggi dimana mayoritas masyarakatnya bermatapencaharian sebagai petani kentang adalah Dataran Tinggi Dieng. Karakteristik ekologinya yang khas membuat petani mengambil keputusan untuk menjadikan tanaman kentang sebagai salah satu komoditas utama dan menjadi andalan sumber nafkah. Keputusan petani untuk menanam kentang dipengaruhi oleh permintaan pasar kentang yang terus ada serta harganya yang lebih mahal daripada komoditi hortikultura lainnya yang relatif lebih fluktuatif. Selain itu kentang dianggap lebih mampu mendukung pendapatan petani karena jangka waktu panennya yang lebih pendek. Jika petani menanam jagung, petani hanya mampu panen setahun sekali sebab menyesuaikan dengan perubahan musim dan perbandingan untung rugi. Penghasilan yang diperoleh dari bertani jagung juga lebih rendah. Sedangkan jika bertani kentang, dalam satu tahun petani mampu melakukan tiga kali panen.
2
Pertanian tidak hanya sebagai usaha bagi petani, tetapi merupakan cara hidup (way of life) sehingga tidak hanya menyangkut aspek ekonomi saja tetapi juga aspek sosial dan kebudayaan. Meskipun demikian, Mubyarto (1995) menjelaskan bahwa dari segi ekonomi pertanian, berhasil tidaknya produksi petani dan tingkat harga yang diterima oleh petani untuk hasil produksinya merupakan faktor yang sangat mempengaruhi perilaku dan kehidupan petani. Demikian pula dengan pertanian kentang yang dilakukan oleh petani di Dataran Tinggi Dieng, salah satu dataran tinggi di Jawa Tengah. Adanya jarak waktu (gap) antara pengeluaran yang harus dilakukan petani dengan penerimaan hasil penjualan menyebabkan petani menentukan pilihan strategi nafkah selain pertanian kentang. Hal ini menjadi rasional dilakukan sebab pendapatan petani kentang hanya diterima setiap musim panen, sedangkan pengeluaran harus dilakukan setiap hari atau kadang-kadang dalam waktu yang sangat mendesak sebelum panen tiba. Rumahtangga petani kentang menerapkan strategi nafkah yang berbedabeda antara satu dengan lainnya tergantung dari sumberdaya yang dimiliki. Selain itu, penerapan strategi nafkah tersebut juga tergantung dari seberapa besar kendala yang dihadapi oleh petani. Strategi nafkah yang diterapkan oleh suatu rumah tangga petani bersifat spesifik sesuai dengan karakteristiknya, apalagi ditambah sikap petani yang meminimalkan resiko. Selain persoalan pengeluaran yang harus setiap hari dilakukan, pilihan strategi nafkah petani kentang juga dipengaruhi oleh kondisi ekologi, sosio-kultural, dan sistem pertanian yang dilakukan. Tantangan pertanian baik internal maupun eksternal sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan usahatani kentang yang sesungguhnya menjadi sumber nafkah pokok. Daya dukung lingkungan yang semakin bekurang di Dataran Tinggi Dieng memberi konsekuensi bagi petani, dalam hal ini petani kentang dituntut untuk mencari sumber penghasilan lain demi memenuhi kebutuhan hidup. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dalam rangka mengetahui strategi nafkah rumahtangga petani kentang serta melihat sejauh mana pertanian kentang mampu membangun sistem nafkah yang berkelanjutan bagi petani di Dataran Tinggi Dieng. Hal ini menarik untuk diteliti, karena bagaimana pun petani kentang masuk dalam kategori petani komersial yang memiliki pilihan rasional untuk
3
menghasilkan keuntungan. Di Dataran Tinggi Dieng sendiri, pertanian kentang merupakan sumber nafkah utama untuk sebagian besar masyarakat dan dipasarkan hingga ke luar daerah. Jika pertanian kentang tidak mampu berkontribusi penuh untuk pemenuhan kebutuhan petani, maka akan ada penerapan strategi nafkah baru yang diharapkan dapat meningkatkan pendapatan, taraf hidup, dan ketahanan pangan.
1.2.
Masalah Penelitian Wilayah Dataran Tinggi Dieng dengan topografi yang khas dan
mendukung untuk kegiatan pertanian merupakan faktor pendukung bagi masyarakat untuk memilih strategi bertahan hidup sebagai petani. Petani yang dalam penelitian ini spesifik pada petani kentang merupakan aktor yang anti resiko, meskipun sesungguhnya pertanian kentang bukanlah tanpa resiko. Kondisi ekologi Dataran Tinggi Dieng yang semakin menurun kualitasnya, cuaca yang semakin tidak menentu, serta fluktuasi harga di pasar memberikan konsekuensi bagi petani untuk berjaga-jaga. Selain itu, lahan yang kian terbagi-bagi dengan banyaknya jumlah penduduk di Dataran Tinggi Dieng menyebabkan usahatani hanya bisa dilakukan dalam skala kecil oleh rumahtangga. Meskipun ada yang mampu melakukannya dalam skala besar, namun hal tersebut hanya berlaku bagi pemilik atau pun penggarap lahan yang luas. Rumahtangga petani kentang di Desa Karangtengah menjadikan kentang sebagai komoditi andalan yang menggantikan pertanian tembakau dan palawija. Dalam kurun waktu sekitar 26 tahun, kentang mampu bertahan dan petani juga merasakan hasilnya selama turun temurun. Sebagai sebuah strategi nafkah, pertanian menjadi tonggak kehidupan rumahtangga yang harus terus beradaptasi dalam berbagai situasi. Sebagaimana dijelaskan di atas, terdapat beberapa kondisi yang mampu membuat aktivitas di sektor pertanian ini terancam. Jika hal tersebut terus berlanjut maka sistem nafkah pada rumahtangga petani juga tidak lagi bertumpu pada satu aktivitas nafkah yaitu pertanian kentang. Akan tetapi rumahtangga petani berusaha untuk mampu memenuhi kebutuhan dalam situasi dimana pertanian kentang dianggap tidak menguntungkan atau dengan kata lain ketika produksi panen sudah semakin menurun. Dalam kondisi yang dianggap
4
tidak menguntungkan mereka akan memilih untuk mencari alternatif bertahan hidup demi tetap terpenuhinya kebutuhan. Melihat keberadaan ekologi yang semakin menurun kualitasnya, pertanian kentang bukanlah sistem nafkah abadi yang mampu bertahan di semua kondisi. Untuk menghadapi berbagai resiko pertanian akan mengelola struktur nafkah sehingga meminimalkan resiko, upaya ini dilakukan sesuai dengan sumber nafkah yang dimiliki oleh rumahtangga petani. Dalam upaya untuk memperjuangkan hidup, rumahtangga petani akan melakukan berbagai aktivitas nafkah sesuai dengan kemampuannya. Oleh sebab itu, penelitian ini membahas dua rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana bentuk strategi nafkah rumahtangga petani kentang di desa Karangtengah, Dataran Tinggi Dieng terkait dengan sejarah pertanian kentang di desa tersebut? 2. Sejauh mana pertanian kentang yang dilakukan dapat membangun sistem nafkah yang berkelanjutan (sustainable livelihood) bagi petani?
1.3.
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah penelitian, penelitian ini memiliki tujuan
sebagai berikut: 1. Mengetahui bagaimana bentuk strategi nafkah rumahtangga petani kentang di Desa Karangtengah, Dataran Tinggi Dieng terkait dengan sejarah pertanian kentang di desa tersebut serta berbagai resiko yang mengancam keberadaan aktivitas nafkah pertanian kentang. 2. Mengetahui sejauh mana pertanian kentang dapat membangun sistem nafkah yang berkelanjutan (sustainable livelihood) bagi petani.
1.4.
Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan memiliki kegunaan sebagai berikut: 1. Bagi penulis dan akademisi, penelitian ini diharapkan menjadi proses pembelajaran dalam memahami fenomena sosial di lapangan. Selain itu diharapkan penelitian ini bisa menambah literatur di bidang pendidikan terutama yang terkait dengan topik livelihood, pertanian, dan pedesaan.
5
2. Bagi Masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi wacana dan menambah pengetahuan bagi masyarakat umum terkait dengan kondisi pertanian di Dataran Tinggi Dieng. 3. Bagi Pemerintah, hasil penelitian ini diharapkan menjadi suatu saran informasi dan data untuk pembuatan kebijakan yang terkait dengan petani dan pertanian khususnya di kabupaten Banjarnegara.
BAB II PENDEKATAN TEORETIS 2.1
Tinjauan Pustaka
2.1.1 Konsep Nafkah (Livelihood) Nafkah, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai cara hidup, definisi ini biasanya disejajarkan dengan konsep livelihood (mata pencaharian). Sebenarnya konsep livelihood mencakup pemahaman yang lebih luas bukan hanya sekedar bagaimana memperoleh pemasukan. Secara sederhana livelihood didefinisikan sebagai cara dimana orang memenuhi kebutuhan mereka atau peningkatan hidup (Chamber et al dalam Dharmawan, 2001). Dalam pandangan yang sangat sederhana livelihood terlihat sebagai “aliran pendapatan” berupa uang atau sumberdaya yang dapat digunakan oleh seseorang untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Definisi lain dinyatakan oleh Ellis (2000) bahwa livelihood mencakup pendapatan “cash” (berupa uang) dan “in kind” (pembayaran dengan barang atau hasil bumi) maupun dalam bentuk lainnya seperti institusi (saudara, kerabat, tetangga, desa), relasi jender, dan hak milik yang dibutuhkan untuk mendukung dan untuk keberlangsungan standar hidup yang sudah ada. Lebih lanjut livelihood juga mencakup akses terhadap, dan keuntungan yang berasal dari pelayanan publik dan sosial yang disediakan oleh negara. Dalam Sosiologi Nafkah, Dharmawan (2006) memberikan penjelasan bahwa livelihood memiliki pegertian yang lebih luas daripada sekedar means of living yang bermakna sempit mata pencaharian. Dalam sosiologi nafkah, pengertian strategi nafkah lebih mengarah pada pengertian livelihood strategy (strategi penghidupan) daripada means of living strategy (strategi cara hidup). Pengertian livelihood strategy yang disamakan pengertiannya menjadi strategi nafkah (dalam bahasa Indonesia), sesungguhnya dimaknai lebih besar daripada sekedar “aktivitas mencari nafkah” belaka. Sebagai strategi membangun sistem penghidupan, maka strategi nafkah bisa didekati melalui berbagai cara atau manipulasi aksi individual maupun kolektif. Strategi nafkah bisa berarti cara bertahan hidup atau memperbaiki status kehidupan. Strategi nafkah adalah taktik dan aksi yang dibangun oleh individu maupun kelompok dalam rangka
7
mempertahankan kehidupan mereka dengan tetap memperhatikan eksistensi infrastruktur sosial, struktur sosial, dan sistem nilai budaya yang berlaku. Pilihan strategi nafkah sangat ditentukan oleh kesediaan akan sumberdaya dan kemampuan mengakses sumber-sumber nafkah tersebut. Dharmawan (2001) menjelaskan, sumber nafkah rumah tangga sangat beragam (multiple source of livelihood), karena rumah tangga tidak tergantung hanya pada satu pekerjaan dan satu sumber nafkah tidak dapat memenuhi semua kebutuhan rumah tangga. Secara konseptual menurut Chambers dan Conway dalam Ellis (2000), terdapat lima tipe modal yang dapat dimiliki/dikuasai rumah tangga untuk pencapaian nafkahnya yaitu: 1. Modal manusia yang meliputi jumlah (populasi manusia), tingkat pendidikan dan keahlian yang dimiliki dan kesehatannya. 2. Modal alam yang meliputi segala sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan manusia untuk keberlangsungan hidupnya. Wujudnya adalah air, tanah, hewan, udara, pepohonan dan sumber lainnya. 3. Modal sosial yaitu modal yang berupa jaringan sosial dan lembaga dimana seorang berpartisipasi dan memperoleh dukungan untuk kelangsungan hidupnya. 4. Modal finansial yang berupa kredit dan persediaan uang tunai yang bisa diakses untuk keperluan produksi dan konsumsi. 5. Modal fisik yaitu berbagai benda yang dibutuhkan saat proses produksi, meliputi mesin, alat-alat, instrumen dan berbagai benda fisik lainnya. Livelihood berasal dari berbagai sumberdaya dan aktivitas yang bervariasi sepanjang waktu. Fleksibilitas livelihood menentukan tipe-tipe strategi rumah tangga yang diadopsi rumah tangga pedesaan maupun perkotaan dan bagaimana merespon perubahan. Terkait dengan livelihood, Herbon dalam Dharmawan (2001) mendeskripsikan tiga tingkatan untuk mengatasi ketidaktentuan ekonomi yaitu: 1. Tahap mengantisipasi krisis, merupakan semua usaha yang dibuat dengan memanfaatkan berbagai tindakan yang aman dan usaha perlindungan terhadap berbagai macam resiko dengan membangun
8
hubungan (jaringan sosial), memproduksi apa saja yang mungkin dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan hidup, mengumpulkan kelebihan (menabung), membangun jaringan sosial dan ekonomi yang kompleks dan menyeluruh yang mempertukarkan hubungan dengan penyediaan jaminan materil dan immateril, penguasaan sumberdaya dari masyarakat dan negara. 2. Tahap mengatasi kondisi krisis, meliputi semua tindakan seperti memanfaatkan tabungan, eksploitasi berlebih terhadap sumberdaya yang dimiliki (sumberdaya alam atau sumberdaya sosial), mengurangi konsumsi individu, reaksi massa (contohnya pemberontakan bersama). 3. Tahap pemulihan dari krisis, terdiri dari semua tindakan untuk memperbaiki kehancuran dan mendapat kembali akses untuk memperoleh sumberdaya. Menurut Crow dalam Dharmawan (2001), terdapat aspek-aspek penting yang harus diperhatikan dalam penerapan strategi nafkah, yaitu: 1. Harus ada pilihan yang dapat dipilih oleh seseorang sebagai tindakan alternatif. 2. Kemampuan melatih “kekuatan”. Mengikuti suatu pilihan berarti memberikan perhatian pada pilihan tersebut. Dengan demikian, memberikan perhatian pada suatu pilihan akan mengurangi perhatian pada pilihan yang lain. Dalam konteks komunitas, seseorang yang memiliki lebih banyak kontrol (aset) akan lebih mempunyai kekuatan untuk dapat memaksakan kehendaknya. Oleh karena itu strategi nafkah dapat dipandang sebagai suatu kompetisi untuk mendapatkan aset-aset yang ingin dikuasai. 3. Dengan merencanakan strategi yang mantap, ketidakpastian (posisi) yang dihadapi seseorang dapat diminimalisir. 4. Strategi dibangun sebagai respon terhadap tekanan yang hebat yang menerpa seseorang. 5. Harus ada sumberdaya dan pengetahuan sehingga seseorang bisa membentuk dan mengikuti berbagai strategi yang berbeda.
9
6. Strategi biasanya merupakan keluaran dan konflik yang terjadi dalam rumah tangga. Selanjutnya, Dharmawan (2001) menyebutkan bahwa secara umum strategi nafkah dapat diklasifikasikan menjadi dua bentuk, yaitu strategi nafkah normatif dan strategi nafkah yang ilegal. Strategi nafkah normatif berbasiskan pada kegiatan sosial ekonomi yang tergolong ke dalam kegiatan positif seperti kegiatan produksi, sistem pertukaran, migrasi, maupun strategi sosial dengan membangun jaringan sosial. Strategi ini disebut „peaceful ways‟ atau sah dalam melaksanakan strategi nafkah. Sedangkan strategi nafkah ilegal di dalamnya termasuk tindakan sosial ekonomi yang melanggar hukum dan ilegal. Seperti penipuan, perampokan, pelacuran, dan sebagainya. Kategori ini disebut sebagai „non peaceful‟, karena cara yang ditempuh biasanya menggunakan cara kekerasan atau kriminal. Merujuk pada Scoones (1998), dalam penerapan strategi nafkah, rumah tangga petani memanfaatkan berbagai sumberdaya yang dimiliki dalam upaya untuk dapat bertahan hidup. Scoones membagi tiga klasifikasi strategi nafkah (livelihood strategy) yang mungkin dilakukan oleh rumah tangga petani, yaitu: (1) Rekayasa sumber nafkah pertanian, yang dilakukan dengan memanfaatkan sektor pertanian secara efektif dan efisien baik melalui penambahan input eksternal seperti teknologi dan tenaga kerja (intensifikasi), maupun dengan memperluas lahan garapan (ekstensifikasi); (2) Pola nafkah ganda (diversifikasi), yang dilakukan dengan menerapkan keanekaragaman pola nafkah dengan cara mencari pekerjaan lain selain pertanian untuk menambah pendapatan. Atau dengan mengerahkan tenaga kerja keluarga (ayah, ibu dan anak) untuk ikut bekerja – selain pertanian- dan mamperoleh pendapatan; (3) Rekayasa spasial (migrasi), merupakan usaha yang dilakukan dengan melakukan mobilitas ke daerah lain di luar desanya, baik secara permanen maupun sirkuler untuk memperoleh pendapatan.
2.1.2 Konsep Nafkah Berkelanjutan Meikle, Ramasut dan Walker (2001) menggambarkan bahwa inti untuk memahami konsep nafkah berkelanjutan adalah apresiasi bahwa kemiskinan
10
bukanlah kondisi stabil, permanen dan statis. Terkait dengan gambaran tersebut, maka gambaran dari nafkah berkelanjutan oleh ketiga ahli tersebut adalah sebagai berikut: 1. Memberikan kemampuan, aset (materi dan sosial) dan aktivitas yang dapat diakses oleh laki-laki dan perempuan miskin yang hidup bersama. Banyaknya kesempatan yang ada berbeda menurut orang yang hidup dan atau memiliki akses kepada sumberdaya di kampung, sub-urban, dan kota. Nafkah dapat termasuk pekerjaan yang dibayar, tetapi hanya satu elemen dan bukan yang paling penting dari hubungan jaringan fungsional yang bersama untuk hidup. Elemen lain termasuk jaringan sosial dan bermacam institusi yang menyediakan hubungan rumahtangga dan akses terhadap sumberdaya. 2. Dinamis
dan
kemampuan
mudah untuk
diadaptasi.
merespons
Nafkah
perubahan
berkelanjutan
memiliki
dan
berlanjut
secara
diperbaharukan melalui pengembangan dari strategi adaptif kemudian, dapat bangkit dari tekanan dan kejutan, stabil dan berlanjut dalam jangka panjang. 3. Berhubungan ke prioritas, interpretasi dan kemampuan masyarakat miskin. Masyarakat di pusat kerangka nafkah dianggap sebagai aktor yang mampu, bukan korban yang tidak berdaya. Nafkah menggambarkan kemakmuran, pengetahuan, strategi adaptif dan orang miskin. Ketika nafkah berkelanjutan mencerminkan prioritas dari masyarakat miskin, perlu dicatat bahwa terdapat perbedaan diantara jangka pendek, prioritas pragmatis yang mengarah kepada bertahan hidup, yang bertujuan untuk pembangunan dari nafkah berkelanjutan. Contohnya, prioritas jangka pendek untuk mengurangi pengeluaran rumahtangga dapat membuat anak putus sekolah atau mengurangi biaya kesehatan, namun ini bukan berarti sikap rumahtangga tidak menghargai investasi pada kesehatan dan pendidikan pada jangka panjang. 4. Rumahtangga dan komunitas terpusat pada alokasi sensitif. Anggota rumahtangga berkontribusi pada berbagai cara tergantung peran, tanggungjawab dan kemampuan. Rumahtangga memiliki modal sosial dan
11
hutang. Mereka terintegrasi kepada bahan sosial yang lebih luas, dan menggambarkan kepada hubungan dengan bermacam individu dan kelompok dalam komunitas seperti kesempatan pada bisnis lokal dan pemerintahan. Hal ini juga dapat dicatat bahwa sebagian strategi nafkah mungkin berdasarkan kepada individu daripada aktivitas rumahtangga dan lainnya dapat melihat dari hubungan diantara anggota rumahtangga yang tidak hidup bersama. 5. Meraih komponen yang disebutkan di atas tanpa merongrong dasar sumber daya alam.
2.1.3 Karakteristik Rumahtangga Petani Wolf (1985) dalam Lestari (2005) mendefinisikan petani sebagai pencocok tanam pedesaan yang surplus produksinya dipindahkan ke kelompok penguasa melalui mekanisme sistematis seperti upeti, pajak, atau pasar bebas. Menurut Shanin seperti dikutip oleh Subali (2005), terdapat empat karakteristik utama petani. Pertama, petani adalah pelaku ekonomi yang berpusat pada usaha milik keluarga. Kedua, selaku petani mereka menggantungkan hidup mereka pada lahan. Bagi petani lahan pertanian adalah segalanya yakni sebagai sumber yang diandalkan untuk menghasilkan bahan pangan keluarga, harta benda yang bernilai tinggi, dan ukuran terpenting bagi status sosial. Ketiga, petani memiliki budaya yang spesifik yang menekankan pemeliharaan tradisi dan konformitas serta solidaritas sosial mereka kental. Keempat, cenderung sebagai pihak selalu kalah (tertindas) namun tidak mudah ditaklukkan oleh kekuatan ekonomi, budaya dan politik eksternal yang mendominasi mereka. Rumah tangga petani menurut Sensus Pertanian 1993 adalah rumahtangga yang sekurang-kurangnya satu anggota rumahtangganya melakukan kegiatan bertani atau berkebun, menanam tanaman kayu-kayuan, beternak ikan di kolam, karamba maupun tambak, menjadi nelayan, melakukan perburuan atau penangkapan satwa liar, mengusahakan ternak/unggas, atau berusaha dalam jasa pertanian dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya untuk dijual guna memperoleh pendapatan/keuntungan atas resiko sendiri.
12
Menurut BPS (2000) secara umum rumahtangga diartikan sebagai seseorang atau sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik atau sensus dan umumnya tinggal bersama serta makan dari satu dapur. Yang dimaksud dengan satu dapur adalah bahwa pembiayaan keperluan juga pengurusan kebutuhan sehari-hari dikelola bersama-sama. Adapun White (1978) mengemukakan bahwa rumahtangga pedesaan Jawa merangkap fungsi-fungsi sebagai unit produksi, unit konsumsi, unit reproduksi, dan unit interaksi sosial ekonomi dan politik, dimana keberlangsungan beragam fungsi tersebut dilandasi prinsip safety first. Prinsip ini mendahulukan selamat yang berimplikasi kepada kondisi dimana keputusan rumahtangga bertujuan utama lebih kepada untuk menghindari kemungkinan gagal daripada mencari keuntungan sebanyakbanyaknya. Prinsip ini juga berimbas kepada kebiasaan dalam perilaku rumahtangga miskin di pedesaan dalam penerimaan mereka terhadap teknikteknik pertanian, pranata-pranata sosial dan cara merespon terhadap proyekproyek pembangunan. Sebagai unit ekonomi yang merangkap banyak fungsi, menurut White (1978), rumahtangga pedesaan Jawa harus mengalokasikan curahan waktu mereka diantara berbagai jenis kegiatan, yang mencakup: (a) pekerjaan yang tidak semuanya menghasilkan pendapatan secara langsung, khususnya pekerjaanpekerjaan pemeliharaan rumahtangga, seperti mengurus rumahtangga, mengasuh anak, memasak, mencuci, mengambil air, mencari kayu bakar, dan memperbaiki rumah, (b) pekerjaan yang merupakan kewajiban sebagai anggota masyarakat seperti kerja bakti, gotong royong, dan sambutan, serta, (c) pekerjaan yang langsung menghasilkan pendapatan.
2.1.4 Karakteristik Dataran Tinggi 2.1.4.1 Ekologi Dataran Tinggi Hamparan lahan yang tidak pernah digenangi atau tergenang air pada sebagian besar waktu dalam setahun biasanya disebut sebagai lahan kering. Sedangkan yang dimaksud lahan kering dataran tinggi adalah hamparan lahan kering yang terletak pada ketinggian lebih dari 700 mdpl (700-2500 mdpl). Departemen pertanian (2006) dalam Sabiham et al (2008) bahkan mendefinisikan
13
wilayah dengan elevasi minimal 350 mdpl dan/atau memiliki tingkat kemiringan lereng minimal 15 persen sudah termasuk lahan pegunungan. Kegiatan pertanian yang dilakukan pada lahan kering dataran tinggi memiliki ciri khas tidak didukung oleh irigasi teknis yang memadai, sehingga kebutuhan air bergantung pada curah hujan atau mata air yang ada di sekitar areal pertanian. Lebih lanjut dijelaskan dalam Sabiham et al (2008), lahan dataran tinggi di Indonesia berdasarkan tipe agroklimatnya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu lahan kering beriklim basah dan lahan kering beriklim kering. Di daerah beriklim basah alternatif jenis usaha yang dapat dilakukan oleh petani lebih beragam dibandingkan daerah yang beriklim kering. Lahan kering memiliki karakteristik kemampuan tertentu yang ditentukan oleh jenis, letak, kemiringan, dan berbagai faktor lainnya. Secara implisit hal itu mengindikasikan bahwa untuk setiap jenis penggunaan atau peruntukan lahan diperlukan perlakuan dan teknologi tertentu agar lahan tersebut memberikan manfaat yang optimal dan lestari. Pola pemanfaatan lahan kering yang dimanfaatkan penduduk selama ini bervariasi dari satu daerah ke daerah lainnya yang banyak tergantung pada tingkat kemampuan, keterampilan, dan peluang serta prospek yang terdapat pada setiap daerah. Sebagian besar jenis tanah lahan kering adalah tanah podsolik merah kuning yang sangat peka terhadap erosi. Pori aerasi tanah rendah, terutama di lapisan bawah sehingga tanahnya memadat, akibatnya infiltrasi air lambat dan erosi permukaan bertambah besar. Akibat lebih jauh adalah usaha tani pada lahan ini sering kekeringan meskipun intensitas hujan cukup tinggi (Rasahan et al, 1999). Dataran tinggi memiliki fungsi utama sebagai daerah tangkapan air (catchment area). Fungsi tersebut diyakini hanya dapat berlangsung jika vegetasi yang tumbuh di atas permukaannya adalah tanaman tahunan. Perakaran tanaman tahunan yang dalam memiliki kemampuan untuk meresapkan air ke dalam tanah dan menahan tanah dari erosi permukaan. Namun, kenyataannya luasan kawasan lindung di dataran tinggi terus berkurang, berubah menjadi kawasan budidaya untuk
pemanfaatan
pertanian
dan
pemukiman.
Masyarakat
cenderung
mengabaikan resiko kerusakan lingkungan yang ditimbulkan akibat perlakuan tersebut (Sabiham et al, 2008). Lahan dataran tinggi pada batasan-batasan
14
tertentu, dan jika dikelola berdasarkan prinsip-prinsip berkelanjutan, memiliki potensi yang sangat besar sebagai penghasil pangan nasional. Harus diakui bahwa dimasa mendatang ketergantungan produksi pangan dari kawasan tersebut akan terus meningkat seiring dengan konversi lahan pertanian produktif di dataran rendah yang sulit dicegah lagi. Namun demikian, sedikitnya terdapat empat hal sama yang mencerminkan kondisi pertanian lahan dataran tinggi pada saat ini yaitu: pertama, usahatani semakin tidak menguntungkan bagi petani sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan ekonomi keluarganya. Kedua, menurunnya daya dukung lingkungan yang ditunjukkan oleh meningkatnya kerusakan lingkungan dan rendahnya produktivitas lahan. Ketiga, meningkatnya volume hujan akibat anomali iklim yang memicu terjadinya ledakan serangan hama penyakit tanaman sehingga mengakibatkan gagal panen dan kerugian materi yang tidak sedikit (Anyamba et al, 2006 dalam Sabiham et al, 2008). Keempat, hilangnya kemampuan masyarakat untuk membangun modal sosial (social capital) sehingga mereka tidak mampu mengendalikan terjadinya kerusakan lingkungan dan sangat tergantung kepada modal usaha yang berasal dari luar.
2.1.4.2 Masyarakat Dataran Tinggi Tekanan penduduk dan pemenuhan pangan mengharuskan sebagian besar dataran tinggi di Indonesia, terutama di Pulau Jawa dimanfaatkan juga untuk lahan pertanian. Petani di daerah dengan curah hujan tinggi biasanya mengembangkan sayuran, sedangkan petani daerah kering yang memiliki curah hujan sedikit akan memilih menanami lahannya dengan tanaman yang lebih tahan kekeringan seperti ubi kayu, jagung, atau pepaya (Sabiham et al, 2008). Penyebab yang sama disampaikan oleh Rasahan et al (1999) bahwa akibat tekanan penduduk dan lapar lahan, lahan kering yang diusahakan sering melebihi batas kemiringan lereng yang relatif aman untuk usaha tani tanaman pangan. Sebagai akibatnya produktivitas lahan cepat menurun jika dalam pengusahaannya tidak diterapkan kaidah konservasi tanah dan air secara cepat. Penduduk dataran tinggi sering dipandang sebagai kelompok masyarakat yang bodoh, yang mempertahankan cara hidup tradisional yang sangat berbeda;
15
sebagai kaum tani, yang mungkin agak kurang efisien; sebagai perusak dan penghuni liar; dan akhir-akhir ini, sebagai ahli lingkungan, yang tetap memegang rahasia sistem pengelolaan sumber daya berlandaskan komunitas yang berkelanjutan dan adil (Li, 2002). Selain itu, Hefner (1999) juga menyebutkan bahwa selama ini, menjadi masyarakat dataran tinggi diidentikkan dengan istilah “wong tani”. Bahkan Hanani dan Purnomo (2010) mendefinisikan corak masyarakat dataran tinggi yang relatif “sukar” diorganisir sebagaimana masyarakat dataran rendah pada umumnya dan tidak memiliki stratifikasi yang ketat.
2.1.5 Struktur Agraria Wiradi (2009), memberikan definisi bahwa struktur agraria merupakan tata hubungan antar manusia menyangkut pemilikan, penguasaan, dan peruntukan tanah. Dalam masyarakat agraris, masalah pemilikan dan penguasaan tanah ini merupakan faktor penentu bangunan masyarakat secara keseluruhan. Masalah ini tidak hanya menyangkut hubungan teknis antara manusia dengan tanah, namun menyangkut juga hubungan sosial manusia dengan manusia. Ini berarti akan mencakup hubungan orang-orang yang langsung atau tidak langsung terlibat dalam proses produksi, seperti hubungan sewa antara pemilik tanah dengan penggarap, hubungan pengupahan antara petani majikan dengan buruh tani, hubungan kredit dan/atau dagang antara pemilik modal dengan petani, hubungan petani dengan penguasa melalui mekanisme pajak, dan sebagainya. Lebih lanjut Wiradi (2009) mengungkapkan bahwa hakikat struktur agraria adalah menyangkut masalah susunan pembagian tanah, penyebaran atau distribusinya, yang pada gilirannya menyangkut hubungan kerja dalam proses produksi. Terdapat dua istilah penting dalam hal ini yaitu land tenure dan land tenancy. Land tenure berarti hak atas tanah atau penguasaan tanah. Istilah ini biasanya dipakai dalam uraian-uraian yang membahas masalah yang pokok-pokok umumnya adalah mengenai status hukum dari penguasaan tanah, seperti hak milik, pacht, gadai, bagi hasil, sewa-menyewa, dan juga kedudukan buruh tani. Uraian itu menunjuk pada pendekatan yuridis. Artinya penelaahannya biasanya bertolak dari sistem yang berlaku yang mengatur kemungkinan penggunaan,
16
mengatur syarat-syarat untuk dapat menggarap tanah bagi penggarapnya, dan berapa lama penggarapan itu dapat berlangsung. Sedangkan land tenancy menunjuk kepada pendekatan ekonomi. Artinya penelaahannya meliputi hal-hal yang menyangkut hubungan penggarapan tanah. Obyek penelaahan itu biasanya berkisar di sekitar pembagian hasil antara pemilik dan penggarap tanah, faktor-faktor tenaga kerja, investasi-investasi, besarnya nilai sewa, dan sebagainya. Dalam pengertian struktur agraria ini perlu dibedakan antara istilah pemilikan, penguasaan, dan pengusahaan tanah. Kata “pemilikan” menunjuk kepada penguasaan formal, sedangkan kata “penguasaan” menunjuk kepada penguasaan efektif. Misalnya, jika sebidang tanah disewakan kepada orang lain maka orang lain itulah yang secara efektif menguasainya. Jika seseorang menggarap tanah miliknya sendiri, misalnya 2 ha, lalu menggarap juga 3 ha tanah yang disewa dari orang lain, maka ia menguasai 5 ha. Untuk kata “pengusahaan” menunjuk kepada bagaimana cara sebidang tanah diusahakan secara produktif.
2.1.6 Pertanian Berkelanjutan Suzuki (1997) dalam Sunito (2007) memberikan gagasan tentang prinsipprinsip berkelanjutan yang kemudian terkenal dengan istilah Natural Steps yaitu: pertama, alam tidak dapat menanggung beban dari penimbunan secara sistematis dari hasil-hasil penambangan dari kulit bumi (seperti mineral, minyak, dsb). Kedua, alam tidak dapat menanggung beban dari penimbunan secara sistematis dari bahan-bahan rekayasa permanen buatan manusia. Dan ketiga, alam tidak dapat menanggung beban dari perusakan secara sistematis dari kemampuannya untuk memperbarui dirinya (misalnya memanen ikan lebih cepat dari kemampuannya untuk memulihkan populasi atau mengkonversi tanah subur menjadi gurun pasir. Dengan demikian, bila kehidupan ingin lestari, maka kita harus: (a) efisien memanfaatkan sumberdaya; dan (b) menegakkan keadilan, karena kemiskinan akan membawa pada usaha dengan perspektif jangka pendek yang merusak lingkungan (misalnya hutan) yang diperlukan oleh semua untuk kehidupan jangka panjang. Kritik terhadap konsep pertanian yang kini dominan dan lebih dikenal sebagai High External Input Agriculture (selanjutnya disebut
17
HEIA) serta pendekatan pertanian alternatif dengan pendekatan ekologis, merupakan bentuk keresahan terhadap perilaku manusia terhadap alam. Sistem HEIA mengejar produktifitas yang tinggi namun menuntut pengorbanan dalam bentuk menurunnya keberlanjutan. Lebih jauh Gips (1986) dalam Reijntjes et al (1992) menerangkan bahwa terdapat persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh sistem pertanian berkelanjutan yaitu: 1. Mantap secara ekologis: kualitas sumberdaya alam dipertahankan; kemampuan agroekosistem (manusia, tanaman, hewan, mikroorganisme) ditingkatkan melalui pengelolaan secara biologis (regulasi sendiri) dengan penggunaan sumberdaya yang bisa diperbaharui. 2. Layak secara ekonomis: produk usahatani harus mencukupi kebutuhan serta menutupi biaya produksi. Kelayakan ekonomi dari sistem pertanian berkelanjutan harus dapat diukur juga dari kemampuannya melestarikan sumberdaya dan meminimalkan resiko. 3. Adil: sumberdaya dan kekuasaan didistribusikan sedemikian rupa sehingga kebutuhan pokok dan hak-hak anggota masyarakat untuk memperoleh akses pada tanah, modal, dukungan teknologi dan informasi terpenuhi. 4. Manusiawi: semua bentuk kehidupan (manusia, tanaman, hewan) dihargai. Integritas budaya dan spiritualitas masyarakat dipelihara. Untuk nilai-nilai kemanusiaan yang mendasar–kepercayaan, kejujuran, harga diri, kerjasama, dan rasa sayang – harus diperjuangkan. 5. Luwes: petani harus mampu menyesuaikan usaha pertaniannya denga perubahan–jumlah penduduk, kebijakan, permintaan pasar – yang berlangsung terus. Penyesuaian ini menyangkut dimensi teknologi maupun sosial dan budaya. Altieri seperti dikutip Hecht (1987) dalam Sunito (2007) menyampaikan terdapat empat elemen yang lebih spesifik dibanding pendapat di atas tentang persyaratan pertanian berkelanjutan yaitu: (1) Mengurangi penggunaan energi dan sumberdaya; (2) Menerapkan metoda produksi yang mengembalikan mekanisme homeostatic maksimalisasi pemanfaatan beragam fungsi dari lingkungan dan
18
memastikan aliran energi yang efisien; (3) Menggalakkan budidaya pangan yang sesuai dengan kondisi alam dan sosial ekonomi setempat; dan (4) Mengurangi biaya dan meningkatkan efisiensi dan kelayakan ekonomis dari usaha pertanian rumahtangga, dengan demikian memajukan suatu sistem pertanian yang memiliki keragaman dan ketahanan tinggi.
2.2
Kerangka Pemikiran Kegiatan ekonomi masyarakat dataran tinggi Dieng yang berbasis
pertanian telah berlangsung secara turun-temurun. Secara geografis sangat memungkinkan bahwa sektor ekonomi menjadi sektor utama atau andalan masyarakat setempat. Apalagi ditambah sarana pendukung yang memungkinkan seperti mudahnya akses memperoleh saprotan (sarana produksi pertanian) serta semakin mudahnya akses pemasaran hasil pertanian. Berdasarkan Fadjar et al (2008), sumberdaya agraria (tanah) tetap menjadi kekuatan produksi yang penting karena di atas sumberdaya agraria itulah kegiatan produksi dimulai dan kemudian sumberdaya agraria tersebut akan menjadi sumber penghasilan petani. Sebelumnya Purwanti (2007) dalam hasil penelitiannya menemukan bahwa luas lahan garapan petani merupakan modal petani dalam berusahatani. Kedua hasil penelitian tersebut mengindikasikan bahwa lahan menjadi faktor penting dalam kegiatan usahatani. Dalam konteks rumahtangga pertanian, pilihan strategi nafkah on farm yang diterapkan tentu saja dipengaruhi oleh luas lahan garapan. Besar kecilnya pendapatan petani dari usahataninya ditentukan oleh luas lahan yang dikuasainya karena luas lahan tersebut dapat mempengaruhi produksi per satuan luas. Apabila usia petani, tingkat pendidikan, lama bertani, jumlah tanggungan keluarga ikut menjadi penentu bagaimana arah pilihan strategi nafkah maka hal ini bisa menyebabkan komposisi mata pencaharian akan bergeser ke sektor non pertanian (non farm). Pilihan-pilihan rasional atas strategi nafkah tersebut berpengaruh pada jumlah pendapatan rumahtangga petani kentang yang pada akhirnya menentukan keberlanjutan nafkah rumahtangga petani serta strategi nafkah dominan yang dipilih petani untuk memenuhi kebutuhan hidup. Chambers dan Conway (1991) mengungkapkan bahwa sistem nafkah yang berkelanjutan harus mampu: a)
19
beradaptasi dengan shock dan tekanan; b) memelihara kapabilitas dan asset-asset yang dimiliki; c) menjamin penghidupan untuk generasi berikutnya. Faktor yang Mempengaruhi Arah Strategi Nafkah 1. Status Penguasaan Lahan 2. Karakteristik Petani -Usia/Umur -Tingkat pendidikan -Jumlah tanggungan -Pengalaman bertani
Strategi nafkah rumahtangga petani (Scoones, 1998) Sektor Pertanian (on farm) -Pertanian kentang -Pertanian non-kentang -Buruh tani (off farm)
Sektor non Pertanian (non farm) -Diversifikasi nafkah -Migrasi
Kontribusi pendapatan sektor pertanian terhadap rumahtangga petani kentang Kontribusi pendapatan sektor non pertanian terhadap rumahtangga petani kentang
Keberlanjutan nafkah
Keterangan:
Mempengaruhi Gambar 1. Kerangka Pemikiran
2.3
Hipotesis Status penguasaan lahan dan karakteristik petani menentukan bentuk
strategi nafkah rumahtangga petani kentang.
2.4
Definisi Operasional Definisi operasional untuk masing-masing variabel adalah sebagai berikut:
1. Usia/umur adalah lama hidup responden yang dihitung berdasarkan tahun. Kategorisasi variabel ini berdasarkan rata-rata usia responden, yaitu: a. Kategori petani umur antara 20 – 34 tahun. b. Kategori petani umur antara 35 – 49 tahun.
20
c. Kategori petani umur > 49 tahun. 2. Tingkat pendidikan adalah pendidikan terakhir yang dialami oleh responden dalam penelitian. Kategorisasi tingkat pendidikan tersebut berdasarkan kondisi faktual di lokasi penelitian yaitu: a. Kategori tidak bersekolah b. Kategori SD tapi tidak lulus c. Kategori lulus SD d. Kategori SMP e. Kategori SMP f. Kategori S1 3. Jumlah tanggungan adalah jumlah jiwa yang ditanggung oleh satu kepala keluarga dalam rumahtangga pertanian. Jumlah tanggungan dikategorisasikan berdasarkan rata-rata tanggungan masing-masing responden: a. Tanggungan dalam rumahtangga berjumlah ≤ 3 orang b. Tanggungan dalam rumahtangga = 4 orang c. Tanggungan dalam rumahtangga > 4 orang 4. Pengalaman bertani dioperasionalkan oleh peneliti dengan mengikuti pengertian dari Oxford Dictionary (2007) bahwa pengalaman digunakan untuk merujuk pada pengetahuan dan keterampilan tentang sesuatu yang diperoleh melalui tindakan atau dengan memperhatikan. Pengalaman bertani yang dimaksud adalah pengetahuan dan keterampilan tentang pertanian yang dimiliki oleh petani selama periode tertentu yang dihitung dalam ukuran tahun. Pengalaman bertani dikategorisasi berdasarkan rata-rata pengalaman responden dalam melakukan usahatani, yaitu: a. Pengalaman bertani 1 – 7 tahun b. Pengalaman bertani 1 – 14 tahun c. Pengalaman bertani ≥ 15 tahun 5.
Status penguasaan lahan adalah bentuk hak kuasa seseorang atas lahan dimana pada lokasi penelitian bentuknya berupa lahan milik, lahan sewa, dan lahan bagi hasil.
6.
Luas lahan adalah ukuran lahan garapan yang dikuasai oleh responden untuk kegiatan usahataninya dan dihitung dalam satuan hektar. Luas lahan yang
21
digarap diukur dari lahan yang paling sempit hingga paling luas dan diklasifikasikan menjadi: a. Lahan dengan luas 0,1 ha – < 0,3 ha b. Lahan dengan luas 0,3 ha ≤ x < 0,5 ha c. Lahan dengan luas 0,5 ha ≤ x < 1,0 ha d. Lahan dengan luas 1,0 ha ≤ x ≤ 2,0 ha 7.
Strategi nafkah dalam penelitian ini mengikuti pengertian dari Dharmawan (2006) yaitu taktik dan aksi yang dibangun oleh individu maupun kelompok dalam
rangka
mempertahankan
kehidupan
mereka
dengan
tetap
memperhatikan eksistensi infrastruktur sosial, struktur sosial, dan sistem nilai budaya yang berlaku. 8.
Aktivitas nafkah adalah wujud nyata dari strategi yang diterapkan oleh rumahtangga petani meliputi kegiatan pertanian (on farm dan off farm) dan kegiatan non pertanian (non farm) (Ellis, 2000): a. On farm; didasarkan dari sumber hasil pertanian dalam arti luas (pertanian perkebunan, peternakan, perikanan, dll). Dalam penelitian ini pertanian utama yang menjadi fokus adalah usahatani kentang, sedangkan untuk pertanian lainnya dianggap sebagai pertanian sampingan. b. Off farm; yaitu dapat berupa upah tenaga kerja pertanian, sistem bagi hasil (harvest share system), kontrak upah tenaga kerja non upah dan lain-lain. c. Non farm; yaitu sumber pendapatan yang berasal dari luar kegiatan pertanian yang dibagi menjadi 5 yaitu: (1) upah tenaga kerja pedesaan bukan pertanian; (2) usaha sendiri di luar kegiatan pertanian; (3) pendapatan dari hak milik (misalnya: sewa), (4) kiriman dari buruh migran yang pergi ke kota; dan (5) kiriman dari buruh migran yang pergi ke luar negeri.
9.
Diversifikasi nafkah yang dimaksud dalam penilitian ini sesuai dengan pengertian yang diajukan oleh Scoones (1998) yaitu penerapan pola nafkah yang beragam dengan cara mencari pekerjaan lain selain pertanian untuk menambah pendapatan. Atau dengan mengerahkan tenaga kerja keluarga (ayah, ibu dan anak) untuk ikut bekerja –selain pertanian- dan memperoleh pendapatan.
22
10. Migrasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah salah satu bentuk strategi nafkah yang merujuk pada pengertian Scoones (1998) yaitu merupakan usaha yang dilakukan dengan melakukan mobilitas ke daerah lain di luar desanya, baik secara permanen maupun sirkuler untuk memperoleh pendapatan. 11. Kontribusi pendapatan mengikuti pengertian pendapatan dari (Oxford Dictionary (2007) sebagai jumlah uang yang diterima seseorang sebagai upah kerja pada periode waktu tertentu sehingga kontribusi pendapatan dalam penelitian ini diartikan sebagai jumlah uang yang diperoleh rumahtangga petani kentang baik dari sektor pertanian maupun sektor non pertanian terhadap pemenuhan kebutuhan rumahtangga petani kentang. 12. Rumahtangga yang dimaksud dalam penelitian ini merujuk pada pengertian dari Badan Pusat Statitistik (1994) dalam Sensus Pertanian 1993 yaitu rumahtangga yang sekurang-kurangnya satu anggota rumahtangganya melakukan kegiatan bertani atau berkebun. Rumahtangga petani kentang adalah rumahtangga yang sekurang-kurangnya satu anggota kelarganya bertani kentang.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Dataran Tinggi Dieng dengan mengambil lokasi di Desa Karangtengah, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive). Alasan dipilihnya lokasi tersebut adalah berdasarkan data monografi Desa Karangtengah 2009, luas lahan pertanian kentang di lokasi tersebut paling luas (522 ha) dibandingkan dengan lahan pertanian komoditas lain (kubis: 138 ha, bawang daun: 54 ha, kacang: 44 ha). Dari kondisi tersebut dapat dilihat bahwa mayoritas penduduk Desa Karangtengah bermatapencaharian sebagai petani kentang dan menggantungkan hidup dari usahatani tersebut. Penelitian ini dilaksanakan selama 1 bulan yaitu mulai 25 Maret- 25 April 2011. 3.2 Teknik Pengumpulan Data Metode penelitian yang digunakan untuk menggali fakta, data, dan informasi di Desa Karangtengah sebagai desa lokasi penelitian adalah pendekatan kuantitatif yang didukung dengan data kualitatif. Pendekatan kuantitatif yang digunakan adalah penelitian survei yaitu penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang utama (Singarimbun dan Efendi, 2008). Pengumpulan data kuantitatif dilakukan melalui metode survei kepada petani dengan menggunakan kuesioner. Pengumpulan data kualitatif dilakukan dengan menggunakan metode wawancara mendalam terhadap informan maupun responden. Informan dalam penelitian ini berasal dari berbagai kalangan mulai dari pamong desa, tokoh masyarakat, petani kentang, serta dari Dinas Pertanian Kabupaten Banjarnegara. Adapun panduan wawancara bisa dilihat pada Lampiran 2. Selain itu data kualitatif juga diperoleh melalui observasi lapang di lokasi penelitian guna melihat fenomena faktual yang terjadi dan juga mengkaji dokumen yang ada seperti data monografi desa dan data pertanian di Kabupaten Banjarnegara. Lebih lanjut tentang pengumpulan data dijelaskan dalam Gambar 2.
24
Teknik Pengumpulan Data Kuantitatif (Kuesioner) Wawancara Mendalam
Observasi
Analisis dokumen
Data yang akan dikumpulkan Data karakteristik petani: usia, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan, pengalaman bertani. Luas lahan pertanian yang digarap oleh masingmasing resonden dari rumahtangga petani kentang. Strategi nafkah sektor pertanian yang dilakukan oleh rumahtangga petani kentang. Pengeluaran usahatani masing-masing responden. Strategi nafkah non pertanian yang dilakukan oleh rumahtangga petani kentang. Penggunaan tenaga kerja dalam kegiatan usahatani kentang. Total pendapatan dari sektor pertanian dan non pertanian. Sejarah masuknya komoditas kentang ke lokasi penelitian. Sejarah penemuan varietas lokal oleh petani. Pembagian kerja dalam pengelolaan usahatani pada rumahtangga petani kentang. Kegiatan usahatani kentang (cara memperoleh input produksi, modal, teknologi, jenis kentang yang ditanam, harga, dan lainnya). Alur kegiatan produksi dan distribusi kentang serta kelembagaan yang dibangun. Peran aktivitas non pertanian dalam menopang kehidupan ekonomi dan mengapa bekerja pada sektor non pertanian. Aktivitas yang dilakukan oleh petani dalam melakukan usahatani kentang (pembibitan, pengolahan lahan, penanaman, hingga pemanenan dan pemasaran). Gambaran umum desa melalui data monografi Data terkait dengan pertanian kentang di kabupaten Banjarnegara, khususnya kecamatan Batur seperti luas lahan, jumlah produksi, dan perbandingannya dengan komoditas hortikultur yang lainnya.
Gambar 2. Metode Pengumpulan Data Populasi sasaran dalam penelitian ini adalah seluruh rumahtangga petani kentang yang ada di desa lokasi penelitian. Daftar populasi yang karakteristiknya sesuai dengan masalah penelitian yaitu rumahtangga petani yang melakukan usaha pertanian monokultur untuk komoditi kentang, dijadikan sebagai sampling frame. Unit analisis dalam penelitian ini adalah rumahtangga dimana salah satu anggotanya merupakan petani kentang.
25
Berdasarkan Wahyuni dan Muldjono (2009), responden merupakan orangorang yang memberikan informasi mengenai dirinya sendiri. Responden penelitian dipilih dengan teknik pengambilan sampel random sederhana (simple random sampling). Teknik ini digunakan sebab pupolasi sasaran bersifat homogen yakni rumahtangga petani kentang yang rata-rata mengelola lahan pertanian (lahan milik dan lahan sewa dikelola sendiri) untuk kegiatan usahatani kentang. Kemudian 31 responden diambil secara acak dari sejumlah 983 rumahtangga yang telah diidentifikasi sebagai rumahtangga petani kentang. Alasan mengambil 31 responden adalah jumlah tersebut sudah mampu merepresentasikan data yang diambil dalam penelitian ini.
3.3 Teknik Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh dalam penelitian ini baik secara kuantitatif maupun kualitatif diolah dengan cara mereduksi bagian-bagian terpenting sehingga menjawab masalah penelitian yang diajukan. Data yang diperoleh dari hasil rekapitulasi kuesioner responden diolah dan ditabulasi kemudian dianalisa secara deskriptif. Data kualitatif dari wawancara mendalam dan observasi disajikan secara deskriptif untuk mendukung dan memperkuat analisis kuantitatif. Gabungan dari data kuantitatif dan
kualitatif diolah dan dianalisis dengan
disajikan dalam bentuk teks naratif, matriks, bagan, dan gambar. Kemudian ditarik kesimpulan dari semua data yang telah diolah dan dipaparkan melalui penjelasan ilmiah.
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Kondisi Geografis Dataran Tinggi Dieng kurang lebih berada di ketinggian 2093 meter dari permukaan laut dan dikelilingi oleh perbukitan. Wilayah Dieng masuk ke dalam dua kabupaten yaitu Kabupaten Wonosobo dan Banjarnegara. Pada siang hari, suhunya bisa berkisar antara 100 hingga 200 Celsius. Salah satu desa yang terdapat di dataran tinggi Dieng adalah Desa Karangtengah, Kecamatan Batur, dan desa ini masuk ke dalam wilayah Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi desa jauh dari pusat-pusat pemerintahan, jarak dari desa ke kota kecamatan sekitar 11 km, ke kota kabupaten sekitar 60 km, ke pusat provinsi sekitar 130 km, dan ke ibu kota Jakarta sekitar 600 km. Desa dengan luas 488.811 ha ini berada pada ketinggian 2002 mdpl dan berbatasan dengan wilayah-wilayah sebagai berikut: Sebelah utara
: Desa Pranten (Kabupaten Batang)
Sebelah Timur
: Desa Dieng Kulon
Sebelah Selatan
: Desa Bakal
Sebelah Barat
: Desa Kepakisan
Adapun topografi desa Karangtengah sekitar 15 persen berupa tanah yang datar hingga berombak, 50 persen berombak hingga berbukit, dan 70 persen berbukit hingga bergunung. Peruntukan tanah di desa tersebut tersaji pada Tabel 2. Kondisi topografi desa yang berbukit dengan udara yang sejuk merupakan kekayaan yang dapat dimanfaatkan oleh rumahtangga petani sebagai sumberdaya untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup minimal untuk memenuhi kebutuhan subsistensi pangan. Wilayah desa yang sebagian besar merupakan lahan pertanian dimanfaatkan oleh rumahtangga petani untuk menanam berbagai jenis komoditas hortikultur terutama kentang, serta beberapa tanaman lainnya seperti kubis, koncang (bawang daun), dan kacang dieng. Hasil dari kegiatan pertanian ini merupakan sumber pendapatan utama dari rumahtangga petani yang tinggal di Desa Karangtengah.
27
Tabel 1. Luas Lahan Menurut Penggunaannya di Desa Karangtengah No
Peruntukan Lahan
Luasan (ha)
1
Tanah bengkok 6 bidang
3 ha
2
Sawah dan lading
340,83 ha
3
Pemukiman/perumahan
50,711 ha
4
Pekuburan
0,8 ha
5
Hutan
89 ha
5
Industri
20 ha
6
Pertokoan
1,5 ha
7
Pasar desa
0,85 ha
8
Tempat rekreasi
2 ha
Sumber: Data Monografi Desa Karangtengah, 2010
4.2 Kondisi Demografi 4.2.1 Penduduk dan Mata Pencaharian Desa Karangtengah terdiri dari tiga dusun yaitu Karangtengah (Krajan), Simpangan, dan Pawuhan. Masing-masing dusun tersebut merupakan Rukun Warga (RW) yang terdiri dari beberapa Rukun Tetangga (RT). Karangtengah, sebagai pusat pemerintahan desa terdiri dari dua RW dengan jumlah RT sebanyak sepuluh. Simpangan dan Pawuhan masing-masing terdiri dari lima RT. Berdasarkan data Monografi desa tahun 2010, penduduk Desa Karangtengah adalah masyarakat asli dimana tercatat sejumlah 4266 jiwa, dengan proporsi lakilaki 2132 jiwa dan perempuan 2134 jiwa. Total jiwa tersebut terbagi dalam 1200 Kepala Keluarga. Berdasarkan umur, jumlah penduduk dibagi dalam beberapa kategori seperti tercantum dalam Tabel 3. Hal yang dapat diamati dari kondisi penduduk di desa Karangtengah dengan membaca tabel tersebut adalah jumlah usia produktif (usia kerja) lebih banyak dari pada usia nonproduktif. Berdasarkan Rusli (1995), usia kerja disebutkan antara usia 10-64 tahun, dan di desa lokasi penelitian bisa dikatakan jumlahnya mendominasi dari jumlah penduduk yang ada. Namun sebagaimana umumnya, tidak semua penduduk yang termasuk dalam usia kerja tergolong dalam angkatan kerja yang aktif secara ekonomi.
28
Tabel 2. Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur di Desa Karangtengah No 2 3 4 5 6 Total
Kelompok Umur (tahun)
Jumlah jiwa
0-1 1-5 5-6 7-15 16-59 60 ke atas
85 254 136 601 2.911 279 4.266
Sumber: Data Monografi Desa Karangtengah, 2010
Dengan kondisi topografi berupa daerah pegunungan dan ketersediaan lahan pertanian yang luas, maka sebagian besar mata pencaharian penduduk Desa Karangtengah adalah sebagai petani dan buruh tani. Sekitar 50 persen bermata pencaharian sebagai petani, 20 persen buruh tani, 10 persen pedagang serta 20 persen lainnya berprofesi sebagai wiraswasta, Pegawai Negeri Sipil, tukang dan pengusaha bengkel.
Sumber: Data Monografi Desa Karangtengah, 2010
Gambar 3. Persentase Jenis Mata Pencaharian Penduduk di Desa Karangtengah Bekerja pada sektor pertanian merupakan pekerjaan utama dari sebagian besar penduduk Karangtengah. Lahan pertanian yang dimiliki diusahakan secara terus menerus sepanjang tahun oleh petani dengan pola monokultur. Biasanya pilihan penduduk menjadi petani disebabkan keturunan dari pendahulunya, jika
29
orang tua bermata pencaharian sebagai petani maka anak cenderung akan mengikutinya.
4.2.2 Pendidikan Komposisi penduduk menurut tingkat pendidikan menggambarkan tingkat kemajuan suatu wilayah dalam pembangunan terutama terkait dengan kualitas sumberdaya manusia. Adapun dari 4.266 jumlah penduduk yang tercatat, sebanyak 79,73 persen penduduk tidak tamat Sekolah Dasar, 10,67 persen berijazah Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah, 7,50 persen
tamat Sekolah
Menengah Pertama, 1,38 persen tamat sekolah Menengah Atas, dan 0,91 persen mengenyam pendidikan di Perguruan Tinggi. Dengan kondisi pendidikan masyarakat yang tergolong rendah tersebut mengakibatkan rendahnya kualitas sumberdaya manusia yang tinggal di Desa Karangtengah. Meskipun pada saat sekarang kondisi sudah semakin berkembang, namun yang bisa menikmati pendidikan hingga jenjang menengah dan tinggi adalah penduduk yang berasal dari strata atas.
Sumber : Data Monografi Desa Karangtengah, 2010
Gambar 4. Presentase Tingkat Pendidikan Penduduk di Desa Karangtengah
Tingkat pendidkan yang masih rendah tersebut mengantarkan penduduk Desa Karangtengah untuk meneruskan profesi petani sebagai mata pencaharian
30
utama dari leluhur mereka. Bagi mereka, tanpa memiliki ijazah siapa pun bisa menjadi petani kentang dengan hasil yang menjanjikan. Filosofi „sing penting bisa nyekeli pacul”1 menjadi landasan mereka untuk berprofesi sebagai petani. Kondisi ini memunculkan pandangan di masyarakat bahwa sekolah (pendidikan) bukanlah hal yang krusial, karena menjadi petani bukan membutuhkan ijazah tapi membutuhkan keterampilan.
4.3 Sarana dan Prasarana Desa Secara umum sarana dan prasaran penunjang kegiatan sehari-hari masyarakat yang terdapat di Desa Karangtengah bisa dikatakan cukup memadai walaupun masih terbatas. Jalan yang menghubungkan antara desa dengan kota kecamatan adalah jalan aspal yang sebagian sudah rusak kondisinya. Sedangkan jalan yang menghubungkan antar dusun berupa jalan aspal kecil yang terhubung dengan jalan raya. Sarana transportasi yang digunakan oleh warga untuk menjangkau kota kecamatan adalah mikro bus yang biasanya beroperasi sejak pagi hingga sore hari. Warga memanfaatkan fasilitas transportasi tersebut untuk bepergian ke kota kecamatan maupun ke kabupaten Wonosobo untuk berbelanja keperluan sehari-hari. Sarana pendidikan formal di Desa Karangtengah adalah dua bangunan Sekolah Dasar yang terletak di dusun Karangtengah (Krajan) dan dukuh Pawuhan. Untuk pendidikan non formal terdiri dari Madrasah Diniyah dan Taman pendidikan Al-Qur‟an. Sedangkan untuk sarana keagamaan terdiri dari masjid yang ada di masing-masing dusun serta mushola yang berada di setiap RW. Sarana kesehatan yang terdapat di Desa Karangtengah terdapat satu puskesmas pembantu, satu bidan desa, dan beberapa posyandu di tiap dusun. Dalam bidang pemerintahan, sarana yang ada adalah sebuah Balai Desa yang tempatnya terhubung langsung dengan fasilitas olahraga (lapangan badminton) serta bersebelahan dengan lapangan sepak bola. Fasilitas olahraga tersebut bisa dimanfaatkan oleh warga secara bebas. Untuk sarana pengairan dan air bersih, rumahtangga di desa Karangtengah memanfaatkan air hujan maupun sumber air yag berasal dari pegunungan yang disalurkan ke rumah-rumah melalui pipa. Saat 1
Yang penting bisa memegang cangkul
31
ini sudah ditambah dengan sarana air bersih dari program PAMSIMAS. Sedangkan untuk sarana penerangan seluruh wilayah desa Karangtengah dialiri dari sumber listrik PLN.
4.4 Kondisi Sosial Penduduk Desa Karangtengah merupakan penduduk dataran tinggi yang mayoritas bekerja di sektor pertanian. Mereka tinggal dalam rumah-rumah yang lokasinya berdekatan dengan tetangga sehingga sering terjadi interaksi. Derajat saling mengenal antara satu penduduk dengan penduduk yang lain relatif tinggi. Kebanyakan dari mereka masih kerabat meskipun terhitung jauh dalam keturunan, namun jika dirunut dari leluhur mereka, maka bisa dikatakan mereka masih mambu sedulur2. Selaras dengan Hefner (1999) yang menyebutkan bahwa
menjadi
3
masyarakat dataran tinggi diidentikkan dengan istilah wong tani maka mayoritas penduduk di Desa Karangtengah pun bermatapencaharian sebagai petani. Pilihan kegiatan nafkah ini turun-temurun dari leluhur dan memang sumberdaya yang ada di Desa Karangtengah memungkinkan untuk melakukan aktivitas tersebut. Selain itu, rendahnya pendidikan yang dialami oleh penduduk desa menyebabkan mereka pasrah menjadi petani. Untuk penduduk golongan umur tua rata-rata tidak bersekolah, kemudian keturunannya sudah mulai mengenyam pendidikan sekolah dasar. Saat ini, kesadaran akan pendidikan sudah muncul dalam kalangan penduduk, meskipun masih sedikit yang melanjutkan hingga jenjang lanjutan atas. Ditinjau dari sistem kepercayaan, penduduk desa Karangtengah menganut agama Islam. Aktivitas keagamaan disana cukup maju terlihat dari dari minat masyarakat untuk menyekolahkan anaknya di pesanteren maupun berbagai kegiatan agama yang dimunculkan di desa. Seperti pengajian yasinan untuk lakilaki, Taman Pendidikan Al-Qur‟an bagi anak-anak, serta terdapatnya fasilitas keagamaan yang memadai. Masing-masing dusun memiliki masjid besar dan beberapa mushola, bahkan masjid-masjid yang ada dibangun semewah mungkin sebagai bentuk penghormatan pada Tuhan (rumah Allah). 2
Mambu sedulur artinya masih bersaudara meskipun dalam garis keturunan terhitung saudara jauh. 3 Petani, bermatapencaharian sebagai petani.
32
Berdasarkan kepemilikan lahan di Desa Karangtengah, penduduk desa terstrata menjadi tiga lapisan yaitu lapisan atas, menengah, dan bawah. Lahan pertanian merupakan asset berharga yang menjadi simbol kekayaan. Semakin luas lahan pertanian yang dimiliki, maka seseorang dikatakan sebagai orang kaya dan makmur. Mereka yang masuk dalam golongan atas adalah para pemilik lahan (tanah pertanian) yang luasnya lebih dari 1 ha atau sering disebut tani gedhe4 atau juragan. Biasanya mereka dianggap golongan elit karena memiliki kehidupan yang mapan secara materi serta telah melakukan ibadah haji. Kehidupan mapan yang dicapai berasal dari hasil pertanian yang diproduksi di atas lahan milik mereka sendiri. Mereka mampu pergi ke Mekah dan mendapatkan prestise yang terhormat di lingkungan Desa. Orang yang telah melakukan ibadah haji dipanggil dengan sebutan Kaji. Tani gedhe ini menjadi majikan bagi petani tidak bertanah yang menjadi buruh di lahan garapan mereka. Masyarakat yang termasuk golongan menengah adalah mereka yang memiliki tanah kurang dari 1 ha. Golongan menengah ini juga sebagian dianggap elit sebab dari mereka ada yang menjabat sebagai pamong desa atau pun tokoh masyarakat yang dihormati. Strata paling bawah di masyarakat adalah mereka yang tidak bertanah, menjadi buruh di tanah milik orang lain dan biasanya masih mendapat jatah program bantuan pemerintah seperti BLT (Bantuan Langsung Tunai) dan RasKin (Beras Miskin).
4
Petani besar
BAB V STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI KENTANG
5.1 Karakteristik Petani dan Strategi Nafkah 5.1.1 Usia/Umur Pada umumnya petani yang berumur muda dan sehat mempunyai fisik yang lebih baik dari pada petani yang lebih tua, petani muda juga lebih cepat menerima hal-hal yang dianjurkan. Hal ini disebabkan petani muda lebih berani menanggung resiko. Petani muda biasanya masih kurang memiliki pengalaman. Untuk mengimbangi kekurangan ini ia lebih dinamis, sehingga cepat mendapatkan pengalaman-pengalaman yang berharga bagi perkembangan hidupnya di masa yang akan datang (Adhawati, 1997 dalam Purwanti, 2007). Data primer di lapangan menunjukkan bahwa umur petani beragam antara 20 hingga 55 tahun. Klasifikasi responden berdasarkan umur tersaji dalam Tabel 3. di bawah ini:
Tabel 3. Jumlah dan Persentase Responden Menurut Kelompok Umur No Kelompok Umur (Th) 1 20-34 Th 2 35-49 Th 3 > 49 Th Total
Jumlah Orang 7 16 8 31
Persentase 22% 52% 26% 100%
Sumber: Analisis data primer, 2011
Umur maksimal responden yang menjadi sampel penelitian ini adalah 55 tahun. Menurut Rusli (1995), penduduk usia kerja didefinisikan sebagai peduduk yang berumur antara 10–64 tahun. Merujuk dari pengertian tersebut maka seluruh responden dalam penelitian ini 100 persen tergolong dalam penduduk angkatan kerja yang aktif secara ekonomi (economically active population). Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Pranadji (2003) yang menunjukkan bahwa animo golongan muda lebih memilih bekerja di perkotaan terutama menjadi pegawai kantoran yang dianggap mencerminkan status sosial yang tinggi. Pertanian dianggap sebagai pekerjaan yang kurang menggambarkan
34
status sosial terhormat. Keinginan orang tua pun mendukung anaknya untuk tidak bekerja di sektor pertanian. Fakta di Desa Karangtengah menunjukkan hal yang sebaliknya yaitu golongan muda justru menjadi penerus profesi orang tuanya sebagai petani kentang. Lahan-lahan yang mereka garap adalah lahan warisan dari orang tuanya. Golongan muda yang sudah berpendidikan tinggi juga ada yang memutuskan untuk kembali ke desa dan menjadi petani. Sebagai contoh Bapak SLM (28 tahun) salah satu petani kentang yang berpendidikan S1. “Setelah lulus saya memutuskan untuk pulang dan melanjutkan pertanian orang tua. Orang tua sudah „sepuh‟5 dan menurut saya usaha ini sudah menjanjikan. Daripada saya jadi sarjana yang pengangguran juga di luar, nambah beban negara. Mending saya jadi petani kentang.” Penuturan Bapak SLM (28 tahun) di atas menunjukkan bahwa apresiasi golongan muda terhadap pertanian masih besar. Hal ini disebabkan dari kecil mereka tumbuh dan secara tidak langsung mempelajari proses bertani kentang dari orang tua mereka yang kemudian menumbuhkan peminatan. Selain itu menjadi petani kentang dianggap menjanjikan, apalagi untuk petani yang memiliki lahan luas sehingga tidak perlu mencari nafkah dari sektor non pertanian.
5.1.2 Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan responden yang dimaksud dalam penelitian ini diukur berdasarkan tingkat pendidikan formal yang pernah diikuti. Kategori tingkat pendidikan responden di Desa Karangtengah terbagi menjadi enam kelompok yaitu: tidak bersekolah, SD tapi tidak lulus, lulus SD, SMP, SMA, dan penduduk yang berpendidikan S1. Data lengkap tentang tingkat pendidikan petani responden disajikan dalam Tabel 4. Mayoritas penduduk yang berprofesi sebagai petani adalah mereka yang hanya mengenyam pendidikan rata-rata hingga sekolah dasar. Jika dihitung maka 88 persen petani responden memiliki pendidikan rendah. Hanya 12 persen yang mengenyam pendidikan menengah ke atas. Namun, profesi sebagai petani tidak
5
tua
35
memandang dari pendidikan yang dimiliki oleh petani, profesi tersebut dilakukan secara turun-temurun.
Tabel 4. Jumlah dan Persentase Responden Menurut Tingkat Pendidikan No 1 2 3 4 5 6 Total
Tingkat Pendidikan Tidak Bersekolah SD Tidak Lulus Lulus SD SMP SMA S1
Jumlah Orang 4 7 16 2 1 1 31
Persentase 13 % 23 % 52 % 6% 3% 3% 100 %
Sumber: Analisis Data Primer, 2011
Kemampuan petani dalam melakukan kegiatan usahatani sifatnya otodidak yang diperoleh dari orang tuanya. Semenjak kecil mereka terbiasa membantu orang tuanya mengolah tanah, menanam, panen, dan memasarkan. Setelah menamatkan pendidikan tingkat Sekolah Dasar atau tidak lulus SD atau tidak sekolah, mereka memanfaatkan waktunya untuk belajar dari orang tuanya. Secara mandiri, petani dilatih oleh orang tuanya untuk melanjutkan profesi sebagai petani sekaligus mendapatkan warisan berupa lahan pertanian. Hingga sekarang kebiasaan-kebiasaan tersebut disosialisasikan oleh orang tua kemudian diadopsi oleh anaknya hingga generasi berikutnya. Rendahnya migrasi pemuda untuk mencari pekerjaan di luar daerah memaksa mereka harus belajar lebih sehingga menjadi petani sukses seperti generasi sebelumnya. Hasil warisan ilmu pengetahuan inilah yang membawa petani generasi sekarang bisa melangsungkan kehidupannya. Pola pewarisan tersebut berlaku secara turun temurun dan berlaku baik bagi petani kaya maupun pada golongan miskin. Mereka diajari mengelola tanah, pembibitan, pemanenan, hingga pemasaran.
5.1.3 Jumlah Tanggungan Pengklasifikasian jumlah tanggungan keluarga responden dikelompokkan atas tiga kategori berdasarkan rata-rata di lapangan yaitu jumlah tanggungan lebih kecil atau sama dengan tiga orang, jumlah tanggungan empat orang, dan jumlah
36
tanggungan lebih dari empat orang. Klasifikasi responden berdasarkan jumlah tanggungan rumahtangganya dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Jumlah dan Persentase Responden Menurut Jumlah Tanggungan dalam Rumahtangga No Jumlah Tanggungan 1 2 - 3 orang 2 4 orang 3 5 – 6 orang Total
Jumlah Orang 13 10 8 31
Persentase 42% 32% 26% 100%
Sumber: Analisis Data Primer (2011)
Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa sebaran jumlah tanggungan responden hampir merata, perbedaan antar kategori tidak terlampau banyak. Untuk responden dengan jumlah tanggungan dua sampai tiga orang ada sebanyak 42 persen responden. Sebanyak
32 persen lainnya memiliki tanggungan
rumahtangga sebanyak empat orang dan 26 persen sisanya memiliki tanggungan lima hingga enam orang. Banyaknya anggota rumahtangga yang ditanggung menuntun petani untuk dapat meningkatkan produksi hasil pertanian supaya biaya hidup seluruh anggota rumahtangga dan dirinya sendiri bisa terpenuhi. Anggota rumahtangga yang ada juga seringkali dijadikan tenaga kerja dalam aktivitas pertanian, jika tidak mencukupi maka dipergunakan juga tenaga kerja dari luar dengan sistem borongan.
5.1.4 Pengalaman Bertani Pengalaman bertani merupakan pengetahuan dan keterampilan bertani kentang yang dimiliki petani dan dihitung dalam satuan tahun. Pengalaman bertani ini juga menunjukkan berapa lama seorang petani dalam suatu rumahtangga telah melakukan usahatani kentang. Adapun secara lengkap tentang penemuan di lapangan tersaji pada Tabel 6. Mayoritas petani kentang di Desa Karangtengah adalah mereka yang telah melakukan kegiatan tersebut lebih dari 15 tahun. Sebanyak 20 reponden atau 65 persen dari total seluruhnya memiliki pegalaman bertani selama 15 tahun lebih. Sedangkan 19 persen adalah mereka yang pengalaman bertaninya masih antara satu hingga tujuh tahun, sisanya 16 persen memiliki pengalaman bertani antara
37
delapan hingga 14 tahun. Kondisi yang menyebabkan banyaknya petani telah begitu lama menjadi petani kentang adalah bahwa profesi sebagai petani diperoleh secara turun temurun.
Tabel 6. Jumlah dan Persentase Responden Menurut Pengalaman Bertani No 1 2 3
Pengalaman Bertani (Th) 1 – 7 tahun 8 – 14 tahun ≥ 15 tahun
Total
Jumlah Orang 6 5 20
Persentase 19% 16% 65%
31
100%
Sumber: Analisis Data Primer, 2011
Dilihat dari berbagai karakteristik yang meliputi umur, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan, dan pengalaman bertani, strategi nafkah yang dipilih oleh rumahtangga petani tidak terkait dengan karakteristik mereka. Petani memilih pertanian kentang sebagai basis dari sumber nafkah bukan terkait dengan berapa umur mereka, apa pendidikannya, berapa jumlah tanggungan rumahtangga atau pun berapa lama mereka menerapkan pertanian. Keputusan mereka untuk menjadikan kentang sebagai basis nafkah adalah karena munculnya komoditi tersebut diyakini telah mampu memperbaiki perekonomian mereka.
5.2 Sejarah Pertanian Kentang di Dataran Tinggi Dieng Kentang (Solanum tuberosum L.) termasuk jenis tanaman sayuran semusim, berumur pendek, dan berbentuk perdu atau semak. Kentang termasuk tanaman semusim karena hanya satu kali berproduksi dan setelah itu mati. Umurnya relatif pendek, hanya 90-180 hari. Spesies Solanum tuberosum L. mempunyai banyak varietas. Umur tanaman kentang bervariasi menurut varietasnya. Kentang varietas genjah berumur 90-120 hari, varietas medium berumur 120-150 hari, dan varietas dalam berumur 150-180 hari. Tanaman kentang dapat tumbuh tegak mencapai ketinggian 0,5-1,2 meter, tergantung varietasnya (Samadi, 2007). Sejak dekade 80-an, tepatnya sekitar tahun 1983, masyarakat di sekitar Dataran Tinggi Dieng mulai mengusahakan tanaman sayur-mayur dan beralih dari tanaman tembakau yang semula menjadi komoditas utama petani daerah tersebut.
38
Sekitar tahun 1985 kentang diperkenalkan oleh petani dari daerah Pangalengan, Bandung, yang membawa bibit untuk ditanam di wilayah Dataran Tinggi Dieng. Masuknya komoditi kentang di Dataran Tinggi Dieng menyebabkan perubahan arah pertanian masyarakat yang sebelumnya menanam palawija dan tembakau. Sebagai tanaman yang memiliki umur lebih pendek, komoditi ini dirasakan lebih menguntungkan
oleh
masyarakat
setempat.
Kentang
masuk
ke
Desa
Karangtengah bersamaan dengan demam kentang yang merambah seluruh kawasan Dataran Tinggi Dieng. Menurut keterangan yang diberikan penduduk, tokoh yang menjadi pionir saat itu adalah Kepala Desa yang memiliki lahan pertanian luas. Transfer pengetahuan mengenai budidaya tanaman kentang ini diperoleh dari para petani Pengalengan. Pada tahun 1987, di Desa Karangtengah mulai masuk bibit baru selain bibit dari Pangalengan, yaitu bibit yang berasal dari Jerman. Memasuki tahun 1990, muncul lagi bibit kultur jaringan yang berasal dari Tlidung sebuah wilayah di Kabupaten Temanggung. Sejak saat itu masyarakat mulai membuat kultur jaringan sendiri. Sama halnya dengan di dataran tinggi Dieng secara umum, masuknya komoditi kentang di lokasi penelitian juga memiliki sejarah yang sama. Dalam perkembangannya, masyarakat di desa Karangtengah mulai kreatif dengan menciptakan varietas kentang sendiri. Misalnya kentang jenis MZ yang diciptakan oleh penduduk setempat. Kentang jenis MZ, diciptakan oleh penduduk asli yang bernama Muhzoto. Awalnya kentang jenis MZ ini hanya ditanam oleh keluarga Bpk. Muhzoto, kemudian kelamaan diadopsi oleh penduduk setempat. Sebenarnya dari pihak Bpk. Muhzoto tidak pernah memberikan nama varietas kentang yang ditemukannya. Namun, saat ada penduduk lain membeli bibit kentang tersebut, mereka melihat tulisan „MZ‟ tertera di keranjang tempat bibit tersebut. Oleh karena itu variaetas hasil kultur jaringan ini kemudian populer dengan varietas MZ. Varietas ini tergolong yang paling banyak diminati untuk ditanam oleh petani dengan beberapa alasan yaitu: 1) umbi yang dihasilkan lebih besar; 2) tanaman lebih tahan terhadap hama; 3) batang tanaman lebih kuat sehingga tidak mudah goyah; dan 4) dihargai lebih mahal sebab umbinya yang besar.
39
Jenis kentang lain yang banyak ditanam oleh masyarakat adalah jenis Vega. Jenis ini baru ditemukan sekitar tahun 2010 oleh warga setempat. Nama Vega diambil dari nama anaknya yang masih berumur 10 tahun. Kentang yang disilangkan adalah kentang yang secara tidak sengaja ditemukan di pembuangan sampah. Namun karena bentuknya yang besar, ada warga yang mencoba untuk menyilangkannya, dan jadilah bibit kentang Vega. Dibanding dengan varietas MZ, jenis ini memiliki umbi yang lebih kecil namun hasilnya lebih banyak. Sebelum penduduk berusahatani kentang, tanaman utama yang menjadi sumber penghasilan adalah tembakau dan jagung. Berdasarkan informasi yang diberikan oleh petani, proses pengolahan lahan, penanaman, hingga pemanenan tembakau memiliki rentang waktu yang terlalu lama. Dalam satu tahun mereka hanya mampu panen satu kali, belum lagi ditambah dengan waktu pengolahan, selain itu tenaga yang dikeluarkan juga lebih berat. Hal ini diungkapkan oleh Bapak BDR (51 tahun): “Ngrumat mbako iki kaya ngrumat bayi, nek ora sabar-sabar ya ora mangan hasile. Janjane kentang ya pada bae, nanging hasile lewih bisa makmuraken, tenagane ya ora remek banget. Biyen pas jamane nandur mbako, mangan iki egun susah, ngenteni jatah gedang mentah sekang pemerintah. Jaman-jamane wong pada dodolan seng umah kanggo mangan.” (Merawat tembakau itu seperti merawat bayi, kalau tidak sabar tidak akan mendapatkan hasilnya. Sebenarnya kentang juga sama, tetapi hasilnya lebih memakmurkan petani, tenaga yang dikeluarkan juga tidak terlalu banyak. Dulu pada era tanam tembakau, makan masih susah, harus nunggu jatah „pisang mentah‟ dulu dari pemerintah. Zaman dimana orang banyak yang menjual seng (atap rumah) untuk makan). Penuturan Bapak BDR (51 tahun) tersebut memberikan gambaran bahwa pada „Era Tembakau‟, kehidupan petani masih sulit. Kondisi ekonomi warga Desa Karangtengah ketika masih bergantung pada tanaman tembakau sangat memprihatinkan. Hal ini disebabkan pertama, tanaman tembakau sebagai komoditas utama yang menjadi tempat bergantungnya perekonomian penduduk hanya dapat dipanen sebanyak satu kali dalam setahun. Kondisi ini lebih diperparah oleh kenyataan bahwa modal pengusahaan tanaman tembakau diperoleh dari dana pinjaman pada tengkulak. Hasil panen mereka serahkan pada tengkulak dengan harga jual yang rendah. Kedua, dari segi pengelolaan, tanaman
40
tembakau membutuhkan waktu dan tenaga yang ekstra sehingga petani tidak dapat menyisihkan waktu mereka untuk mengerjakan aktifitas produktif lainnya. Kentang telah memberikan dampak bagi kondisi perekonomian penduduk Desa Karangtengah. Dengan nilai ekonomis yang jauh lebih menguntungkan, proses pengerjaan yang relatif lebih mudah dan sederhana, serta masa panen yang setahun bisa mencapai tiga kali membuat petani beralih pada kentang sebagai komoditas utama menggantikan tembakau. Petani juga memiliki waktu luang yang banyak untuk tinggal di rumah dibanding saat mengolah tembakau yang hampir seluruh waktunya tercurah di ladang.
5.3 Keterkaitan Sejarah Pertanian Kentang dengan Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Kentang Kentang telah membuat perekonomian masyarakat terangkat. Tidak hanya yang memiliki lahan, warga yang tidak mempunyai lahan pun bisa menikmati hasil umbi-umbian itu sebagai penggarap lahan. Petani tidak perlu repot menjualnya ke kota sebab banyak pedagang pengumpul yang merupakan perpanjangan tangan pedagang dari Surabaya, Jakarta, dan Semarang akan membelinya langsung dari ladang. Dari kentang pula muncul orang-orang kaya yang lazim disebut “haji kentang”, mereka bisa naik haji dan membangun masjid dari kentang. Dalam perjalanannya, kentang sebagai komoditas pertanian yang diusahakan petani ternyata mempunyai nilai ekonomis yang lebih tinggi dibandingkan dengan komiditi yang mereka tanam sebelumnya yakni tembakau. Selain itu, proses produksi yang dilakukan juga lebih sederhana dan tidak terlalu menyita waktu dan tenaga. Pengelolaan kentang, sebagaimana tanaman sayuran lainnya, relatif tidak merepotkan terutama terkait dengan proses pasca panen. Berbeda dengan tembakau yang proses ketika panen masih membutuhkan pengolahan yang cukup rumit dan menyita waktu. Sebagai catatan, jenis tembakau yang dulu ditanam masyarakat petani Dieng merupakan tembakau daun yang dalam pengerjaannya membutuhkan pengolahan secara khusus yakni dikeringkan dengan cara dibakar. Dalam pengerjaannya itu, tidak jarang terjadi kebakaran
41
sebab pengerjaannya dilakukan di areal yang berdekatan dengan rumah tempat tinggal. Pertanian kentang diyakini sebagai penyelamat dari perekonomian masyarakat desa Karangtengah. Dalam kondisi merugi pun, petani masih percaya bahwa kentang adalah komoditi tumpuan yang di musim selanjutnya mampu menyelamatkan kehidupan mereka. Pertanian tidak sekedar sebagai mata pencaharian, namun pembentuk budaya di kalangan masyarakat di Desa Karangetengah. Keberadaan mata pencaharian ini secara turun temurun dilakukan antargenerasi. Pertanian telah mempengaruhi sistem sosial secara umum, termasuk munculnya golongan elit di kalangan petani kentang. Kondisi topografi, iklim yang sejuk, serta pancaran sinar matahari yang cukup memberikan peluang kepada petani untuk memetik hasil tiga kali setiap tahunnya. Ditambah lagi dengan keterampilan bertani yang diperoleh secara turun-temurun memudahkan petani untuk berusaha tani. Keputusan untuk menanam kentang pada akhirnya bergantung pada pengalaman selama ini. Harga kentang yang tinggi juga memunculkan harapan bagi petani dan membuat mereka tetap membudidayakannya. Karena harapan yang tinggi dan sumber penghasilan yang menjanjikan, dalam perkembangannya, petani mengusahakan tanah-tanah di lereng gunung untuk menanam kentang. Meskipun disadari oleh petani bahwa semakin hari kondisi tanah semakin menurun, namun mereka tetap berusaha melakukan intensifikasi dengan menambah input kimia bagi pertanian mereka. Nilai yang tertanam dari leluhur mereka bahwa menjadi petani tidak akan hidup jika tidak mengusahakan tanahnya dengan baik telah tertanam dan menjadi patokan bagi masyarakat. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak HDS (50 tahun): “Dadi wong tani ya kudu wani rekasa, nek arep kasil ya kudu usaha. Sing bisa nguripi awake dewek ya lemah, kudu eman maring lemah.” (Jadi petani harus berani susah, jika mau mendapat hasil harus usaha. Yang bisa menghidupi kita ya tanah, harus sayang dengan tanah.) Penuturan tersebut menunjukkan bahwa identitas sebagai petani telah melekat dari leluhur masyarakat yang tinggal di Desa Karangtengah saat ini. Betapa mereka mencintai tanah yang mereka miliki dan berusaha semaksimal
42
mungkin untuk menggarapnya demi mendapatkan biaya untuk hidup. Semakin menjanjikan komoditi yang ditanam di atasnya, maka usaha petani untuk menggarap tanahnya juga akan semakin maksimal.
5.4 Bentuk-bentuk Strategi Nafkah pada Rumahtangga Petani Kentang 5.4.1 Strategi Intensifikasi Lahan Pertanian (On Farm) Pertanian merupakan sektor
utama
matapencaharian rumahtangga
masyarakat desa Karangtengah. Kegiatan pertanian utama yang dilakukan adalah pertanian kentang yang dikelola secara komersial. Hanya sebagian kecil kentang yang dikonsumsi sendiri oleh rumahtangga, itu pun yang kualitasnya jelek, sedangkan kentang yang kualitasnya bagus akan dijual kepada pedagang pengumpul yang siap mendatangi petani ketika panen tiba. Strategi nafkah pertanian terdiri dari sektor on farm dan off farm. Ellis (2000) menjelaskan bahwa sektor on farm merujuk pada nafkah yang bersumber dari hasil pertanian dalam arti luas (pertanian perkebunan, peternakan, perikanan, dll). Hasil pertanian tersebut berasal dari lahan milik yang digarap secara pribadi, lahan sewaan atau pun bentuk bagi hasil. Di Desa Karangtengah, lahan yang dimiliki oleh penduduk kebanyakan diperuntukkan sebagai lahan pertanian kentang. Adapun pertanian komoditas lain dianggap sebagai pertanian sampingan yang tidak diprioritaskan. Selain kentang, ada juga petani yang menanam komoditas lain seperti kobis, koncang (bawang daun), cabe bandung, dan sebagian ada yang menanam kacang dieng. Namun komoditas tersebut bisa dikatakan „anak tiri‟ yang tidak dirawat sepenuhnya. Biasanya tanaman tersebut disandingkan dengan tanaman kentang (sebagai tumpangsari) dan tidak selalu ditanam tiap musim. “Nandur seliyane kentang ora mesti untung, dadi ditunutaken maring kentang. Nek urip ya sukur bisa nggo mangan, barang ora urip ya ora apa-apa wong obate be nunut.” (RYT, 45 tahun). (Menanam selain kentang tidak menjanjikan keuntungan, jadi diikutkan saja dengan tanaman kentang. Kalau hidup ya syukur bisa buat makan, kalau mati juga tidak apa-apa karena obatnya juga secara tidak langsung mengambil dari semprotan untuk tanaman kentang.)
43
Penuturan salah satu petani (RYT, 45 tahun) tersebut menggambarkan bahwa komoditas lain yang ditanam oleh petani tidak sepenuhnya dirawat, hanya sebagai selingan saja. Jika tanaman tersebut tumbuh dan menghasilkan maka disyukuri oleh petani, jika tidak tumbuh pun petani tidak merasa rugi. Kentang merupakan tanaman primadona yang menjadi tumpuan bertahan hidup petani. Selain merupakan tanaman yang bisa tumbuh di semua musim, umur panennya pendek, komoditas ini juga dihargai cukup mahal. Pada saat penelitian dilakukan, harga kentang berkisar antara Rp 4.000,- hingga Rp 7.500,- tergantung kualitas dan ukuran kentang. Sayangnya, menurut petani harga kentang yang tinggi tersebut tidak diikuti dengan produksi yang tinggi. Seringkali petani menghadapi kerugian saat harga kentang rendah, atau pun ketika harga tinggi namun produksinya sedang rendah. Bagi petani yang kebetulan hasil panennya dihargai tinggi, maka penghasilannya bisa menutupi biaya produksi dan masih bisa mengambil keuntungan juga. Sebaliknya, ada juga petani yang merugi meskipun harga kentangnya cukup tinggi, sebab kentangnya terserang hama sehingga panen tidak maksimal. Seperti Bapak SYA (40 tahun) yang mengaku tidak mendapatkan hasil untuk panen musim ini sebab kentang yang ditanamnya terserang hama kuuk, hama ini biasanya menyerang umbi kentang yang sudah tua sehingga ketika kentang dipanen sudah berlubang dan kondisinya sudah tidak layak jual. “Kulo ngrugi wonten musim niki mbak, kentange dipangani engkuk6. Mbuh pripun, sampun meh setahun engkuke malah tambah kathah. Napa malih kentang sing ditanem teng Pawuhan, paling angsal kesele nggarap thok. Mboten angsal bathi.” (Saya merugi musim ini mbak, kentangnya dimakan hama kuuk. Entah kenapa, hampir satu tahun hama itu bertambah banyak. Apalagi kentang yang ditanam di dusun Pawuhan, hanya memperoleh capeknya menggarap lahan. Tidak mendapatkan untung.) Selain sektor on farm, sebagian petani juga menambah penghasilannya dari sektor off farm. Masih merujuk Pada Ellis (2000), bentuk strategi nafkah off farm ini masih tergolong pada sektor pertanian, hanya saja pendapatan yang 6
Engkuk adalah hama kentang yang berbentuk seperti ulat, hama ini memakan umbi kentang, membuatnya busuk dan tidak layak jual.
44
diperoleh berasal dari upah tenaga kerja pertanian, sistem bagi hasil, kontak upah tenaga kerja non upah, dan lain-lain. Dari 31 responden, terdapat dua orang dari rumahtangga yang berbeda memiliki pekerjaan di sektor off farm yaitu sebagai buruh tani (buruh cangkul dan buruh pikul). Pekerjaan menjadi buruh cangkul tidak dijalani setiap hari melainkan hanya di waktu-waktu tertentu ketika ada petani yang membutuhkan tenaganya, demikian juga untuk buruh pikul yang biasanya dibutuhkan pada saat panen. Masyarakat yang menjadi buruh cangkul rata-rata bekerja dari pukul 08.00 WIB sampai 14.00 WIB dengan upah Rp 15.000,- – Rp 17.000,- per hari. Sedangkan untuk buruh pikul tenaganya dihargai per pikul tergantung jarak lahan dengan lokasi penimbangan, per pikul biasanya dihargai Rp 1.500,- hingga Rp 5.000,-. Menurut responden yang bersangkutan, dalam satu bulan tenaganya dibutuhkan sekitar sembilan hingga sepuluh hari.
5.4.2 Strategi Mendiversifikasi Sumber Nafkah ( On Farm dan Non Farm) Terdapat sembilan rumahtangga dari total 31 rumahtangga reponden yang memiliki strategi nafkah di sektor non farm. Pilihan nafkah di sektor non pertanian ini dilakukan sebagai cara memperoleh penghasilan tambahan di luar usahatani kentang. Adapun karakteristik sembilan responden yang melakukan strategi nafkah non farm ini tersaji pada Gambar 5. Rata-rata lahan garapan dari sembilan responden yang memiliki strategi nafkah ganda adalah 0,261 ha. Status penguasaan lahan merupakan lahan milik untuk delapan responden serta satu responden termasuk milik + sewa. Strategi nafkah yang diandalkan adalah sebagai pedagang pulsa, pedagang makanan, pedagang pakaian, kusir dokar, menjadi makelar kentang dan pedagang sayur borongan, serta membuka warung untuk kebutuhan sehari-hari. Strategi nafkah non farm dilakukan baik oleh anggota rumahtangga lakilaki maupun perempuan yaitu suami atau istri. Pada penelitian ini tidak ditemukan rumahtangga yang anggota keluarganya memilih strategi nafkah non pertanian berupa migrasi. Kondisi ini disebabkan nilai-nilai budaya pertanian diterapkan sejak kecil dan generasi berikutnya mendapat bukti bahwa orang tua mereka bisa berjaya melalui pertanian. Sedangkan migrasi yang dilakukan biasanya hanya
45
karena kepentingan sekolah di luar desa atau pun pindahnya seorang penduduk karena mengikuti pasangannya setelah menikah. No
Karakteristik Rumahtangga Petani
Keterangan
1
Jumlah tanggungan rumahtangga
2
Tingkat Pendidikan
3
Pengalaman bertani
4
Rata-rata lahan garapan
5
Status penguasaan lahan
6
Strategi nafkah non pertanian
Tanggungan 2 orang: 2 responden Tanggungan 3 orang: 5 responden Tanggungan 5 orang: 2 responden SD tapi tidak lulus :3 Lulus SD: 5 responden Lulus SMP: 1 responden Pengalaman 1 tahun: 1 responden Pengalaman 3 tahun: 1 responden Pengalaman 4 tahun: 1 responden Pengalaman 10 tahun: 1 responden Pengalaman 15 tahun: 4 responden Pengalaman 20 tahun: 1 responden 0,261 ha
Status milik: 8 responden Status milik + sewa: 1 responden Pedagang pulsa: 1 responden pedagang makanan: 1 responden Kusir dokar: 1 responden Pedagang sayur borongan: 1 responden Makelar kentang dan pedagang makanan: 1 responden Penjahit + pedagang pakaian: 1 responden Buruh tani + buruh ngebor: 1 responden Buruh tani + warung : 1 responden Membuka warung kebutuhan sehari-hari: 1 responden.
Sumber: Analisis Data Primer, 2011
Gambar 5. Karakteristik Rumahtangga Petani yang Memiliki Strategi Nafkah Ganda di Sektor Non Pertanian Sesuai dengan Gambar 5. di atas, karakteristik petani cenderung bermacam-macam.
Tidak
ada
kekhususan
yang
menyebabkan
mereka
menerapkan strategi nafkah. Justru yang terlihat adalah, rata-rata luas lahan garapan yang relatif sempit yaitu 0,261 ha dengan delapan orang responden berstatus pemilik lahan dan satu responden menjadi pemilik sekaligus penyewa. Macam strategi nafkah yang diterapkan juga berbeda tergantung dengan kesempatan yang dimiliki. Beberapa rumahtangga memilih untuk menjadi
46
pedagang, meliputi pedagang pulsa, pedagang pakaian, pedagang sayur borongan, pedagang makanan, maupun membuka warung yang menjual kebutuhan seharihari. Pilihan strategi nafkah menjadi pedagang merupakan hal yang cukup menguntungkan mengingat lokasi Desa Karangtengah yang cukup jauh dari pasar dan kota kabupaten. Dengan adanya pedagang yang menjual kebutuhan seharihari hingga kebutuhan sandang dan pulsa, masyarakat tidak perlu jauh untuk membeli kebutuhannya. Selain itu, untuk pedagangnya juga bisa mendapat keuntungan yang lebih sebab harga yang diperuntukkan biasanya relatif lebih tinggi. Keuntungan yang tinggi didapatkan oleh pedagang pulsa. Berkembangnya teknologi komunikasi dalam bentuk telepon seluler menyebabkan penduduk Desa Karangtengah menjadikannya sebagai salah satu benda utama yang dibutuhkan. Telepon seluler sangat membantu mereka untuk berkomunikasi jarak jauh atau pun menghubungi makelar kentang yang akan membeli hasil panennya. Oleh karena itu pulsa juga menjadi kebutuhan utama bagi pemilik telepon genggam dan di desa ini belum banyak yang menjadi pedagang pulsa. Jenis pedagang lain adalah makelar kentang dan pedagang sayur borongan yang dalam penelitian ini dilakukan oleh masing-masing satu responden. Pekerjaan ini tidak hanya dilakukan di dalam desa tetapi juga di luar desa. Untuk pedagang sayur borongan pekerjaannya adalah membeli sayur dari petani yang kemudian di jual lagi kepada juragan sayur. Jenis sayur yang sering dibeli dan dijual adalah kobis dan bawang daun. Sedangkan makelar kentang berjual-beli hasil panen petani untuk dijual lagi kepada juragan Kentang. Tidak jarang pula makelar kentang memperoleh modal dari juragan besar yang berdomisili di luar kota. Pekerjaan lain yang dilakukan oleh responden selain bertani kentang adalah menjadi kusir dokar, terdapat satu responden yang melakukan pekerjaan ini. Menjadi kusir dokar dilakukan di lokasi wisata Telaga Warna yang letaknya dekat dengan Desa Karangtengah. Biasanya pekerjaan ini dilakukan pada hari minggu atau hari libur karena lokasi wisata akan lebih ramai dibandingkan hari
47
biasa. Terdapat pula responden yang menjadi penjahit, pekerjaan ini dirangkap dengan menjadi pedagang pakaian. Rumahtangga yang menerapkan berbagai strategi nafkah sebagaimana yang telah dijelaskan, melakukan kegiatannya di luar jam bertani kentang. Hal tersebut dilakukan karena menjadi petani kentang harus merawat tanaman kentang dengan sangat hati-hati. Pendapatan yang diperoleh untuk sektor non pertanian kentang ini mencapai Rp 150.000,- hingga Rp 1.000.000,- per bulan. Berdasarkan keterangan responden, pendapatan tersebut digunakan untuk berbagai keperluan misalnnya untuk membeli bahan masakan atau pun uang saku anak sekolah. Kegiatan mendiversifikasi nafkah ini merupakan bentuk perjuangan rumahtangga petani dalam menghadapi berbagai situasi. Berbagai aktifitas nafkah yang telah dijelaskan di atas umumnya dilakukan petani sebagai aktifitas sampingan selain pertanian yang bisa menghasilkan pendapatan tambahan di luar usahatani kentang. Usahatani masih tetap menjadi andalan nafkah utama yang terus dilakukan oleh petani guna menopang kebutuhan ekonomi. Pada saat krisis dimana usahatani harus terus dilakukan, beberapa rumahtangga petani kentang akan melakukan hutang untuk modal pertanian dari petani kaya, kerabat dekat atau juragan kentang. Aktifitas hutang ini didasarkan pada hubungan kepercayaan dan akan dibayarkan pada saat petani panen dengan jumlah bunga tertentu yang sudah disepakati.
5.5 Status Penguasaan Lahan dan Strategi Nafkah Luas lahan garapan petani merupakan potensi/modal dalam berusahatani. Besar kecilnya pendapatan petani dari usaha taninya ditentukan oleh luas lahan garapannya karena luas lahan garapan tersebut dapat mempengaruhi produksi per satuan luas (Purwanti, 2007). Secara keseluruhan total lahan yang dikuasai berasal dari lahan milik, lahan sewa, maupun bagi hasil telah menentukan jumlah pendapatan yang diperoleh dari usahatani. Lahan merupakan basis bagi berlangsungnya kehidupan rumahtangga petani karena dari hasil pertanian petani memperoleh penghasilan. Petani dengan lahan garapan sempit memiliki kecenderungan untuk menerapkan strategi nafkah di luar sektor pertanian guna
48
mendapatkan penghasilan tambahan.
Untuk melihat hubungan tersebut bisa
ditinjau pada Tabel 7.
Tabel 7. Hubungan antara Luas Lahan Garapan Rumahtangga Petani Kentang dan Strategi Nafkah No
Total Lahan Garapan
Jumlah
1
0,1 ha ≤ x < 0,3 ha
15
Strategi Nafkah non Pertanian Kentang
2
0,3 ha ≤ x < 0,5 ha
2
3 4
0,5 ha ≤ x < 1,0 ha 1,0 ha ≤ x ≤ 2,0 ha
11 3
Total
Buruh pikul dan buruh ngebor: 1 responden Pedagang pulsa: 1 responden Buruh tani, membuka warung: 1 responden Kusir dokar: 1 responden Penjahit dan pedagang pakaian: 1 responden Pedagang sayur borongan: 1 responden Makelar kentang dan pedagang makanan: 1 responden Membuka warung kebutuhan sehari-hari: 1 responden Pedagang makanan: 1 responden Tidak terdapat strategi nafkah non pertanian kentang yang diterapkan
31
Sumber: Analisis Data Primer, 2011
Sesuai dengan tabel di atas, strategi nafkah di luar pertanian kentang mayoritas dilakukan oleh petani dengan lahan garapan kurang dari 0,3 ha. Lapisan petani dengan garapan lahan kurang dari 0,3 ha merupakan jumlah dominan dari rumahtangga petani kentang di Desa Karangtengah atau dengan kata lain hampir 50 persen dari jumlah rumahtangga responden. Sebanyak tujuh reponden dari 15 responden kategori ini menerapkan strategi nafkah selain pertanian kentang. Perlu menjadi catatan bahwa dua responden dalam kategori ini adalah petani yang tidak memiliki tanah dan menggarap lahan yang disewa dari pemilik lahan. Satu dari petani penyewa tersebut menjadi buruh pikul sekaligus buruh bor. Pada kategori berikutnya yaitu penggarap lahan antara 0,3 ha ≤ x < 0,5 ha terdapat satu reponden yang menerapkan strategi nafkah non farm yaitu membuka warung yang menjual kebutuhan sehari-hari. Dibandingkan dengan kategori lain, penggarap lahan kategori ini berjumlah paling sedikit yaitu dua
49
rumahtangga. Satu responden yang menerapkan aktivitas nafkah non farm ini dilakukan oleh istri setelah membantu mengolah lahan pertanian kentang. Kategori yang jumlahnya relatif besar selain penggarap lahan dengan luas 0,1 ha ≤ x < 0,3 ha adalah penggarap lahan dengan luasan 0,5 ha ≤ x < 1,0 ha. Dari keseluruhan responden terdapat 11 diantaranya yang termasuk dalam kategori ini dan terdapat satu responden yang menerapkan strategi nafkah non farm sebagai pedagang makanan. Sama dengan kategori sebelumnya, aktivitas menjadi pedagang makanan juga dilakukan oleh istri setelah selesai membantu mengolah lahan pertanian kentang atau pun pada hari ketika tidak ada kewajiban menyemprot. Pada musim hujan kentang disemprot obat setiap dua hari sekali. Ketika harus membantu di lahan, maka aktivitas berdagang makanan dilakukan setelahnya yaitu sekitar pukul 09.00 wib hingga 13.00 wib, pada hari lain akan dilakukan mulai pukul 06.00 wib dengan menggelar dagangan di jalan. Menjadi pedagang makanan juga cukup menguntungkan sebab rata-rata petani yang akan bekerja di lahan membelinya sebagai bekal maupun bahan medhangan7 para pekerja. Petani penggarap lahan kategori terakhir yaitu dengan luas lahan 1,0 ha ≤ x ≤ 2,0 ha yang jumlahnya tiga rumahtangga sama sekali tidak menerapkan strategi nafkah lain selain bertani kentang. Kondisi ini didorong oleh sebab kentang bisa memberikan keuntungan bagi mereka tanpa harus melakukan aktivitas nafkah di sektor lain. Petani-petani penggarap lahan kentang yang telah dijelaskan, tidak mutlak sebagai petani pemilik semata. Rata-rata dari mereka juga melakukan penyewaan lahan. Guna melihat fenomena tersebut secara lebih jelas bisa dilihat pada Tabel 8. Penyewaan dilakukan oleh seorang petani kepada petani lain yang memiliki lahan lebih luas. Durasi waktu penyewaan biasanya berlaku selama satu tahun dengan harga yang berbeda untuk setiap lahan tergantung dari keterjangkauan jarak dan tingkat kesuburan. Lahan dengan jarak yang lebih jauh dari desa akan dihargai lebih murah apalagi jika tingkat kesuburannya rendah, sedangkan jika lahan mudah dijangkau harganya akan lebih mahal. Petani miskin cenderung
7
Makanan ringan yang diberikan sekitar waktu zuhur, biasanya petani atau pekerja akan menikmati makanan berat (nasi) pada pukul 10.00 wib.
50
melakukan penyewaan untuk lahan yang jaraknya jauh dari desa dan murah sebab hanya petani kaya yang mampu membayar sewa lebih mahal dari mereka.
Tabel 8. Jumlah dan Presentase Rumahtangga Petani Kentang Berdasarkan Status Penguasaan Lahan Status Penguasaan Jumlah lahan
Rumahtangga
Milik
24
Persentase
77, 42 %
Keterangan
31, 23 % merupakan pemilik lahan 0,1 ha ≤ x < 0,3 ha
35,48% merupakan pemilik lahan 0,5 ha ≤ x < 1,0 ha
9,68%
merupakan
pemilik
lahan 1,0 ha ≤ x ≤ 2,0 ha Sewa
2
6, 45 %
Rumahtangga
petani
yang
murni melakukan sewa adalah petani yang tidak memiliki tanah
namun
mampu
melakukan penyewaan, biaya sewa biasanya dihitung per tahun Milik + Sewa
4
12, 90%
9, 68% merupakan pemilik lahan 0,1 ha ≤ x < 0,3 ha
3,22% merupakan pemilik lahan 0,3 ha ≤ x < 0,5 ha
Milik + Sewa +
1
3, 23%
Bagi Hasil
Rumahtangga penyewa,
sekaligus
pemilik, pelaku
bagi hasl merupakan pemilik lahan 0,3 ha ≤ x < 0,5 ha dengan luas lahan bagi hasil 0, 0875 ha dengan sistem maro. Jumlah
31
Sumber: Analisis Data Primer, 2011
100 %
51
Tabel 8. menjelaskan bahwa terdapat empat macam penguasaan lahan di Desa Karangtengah yaitu milik, sewa, milik + sewa, milik + sewa + bagi hasil. Tingkat kepemilikan lahan cukup tinggi sekalipun dalam luasan yang sangat sempit. Dari 77,42 persen petani pemilik, 31,23 persen merupakan pemilik dengan luas dibawah 0,3 ha, 35,48 persen petani dengan kepemilikan lahan 0,5 ha ≤ x < 1,0 ha serta 9,68 persen. Petani pemilik tersebut murni melakukan usahatani di atas lahan yang dimilikinya. Selain status milik, terdapat juga petani dengan status lahan sewa. Petani yang melakukan sewa tersebut adalah mereka yang tidak memiliki lahan sama sekali dimana jumlahnya 6,54 persen dari total rumahtangga petani responden. Kategori penguasaan lahan lainnya adalah petani pemilik sekaligus penyewa lahan yang berjumlah 12,90 persen dari seluruh responden. Sejumlah 9,68% merupakan pemilik lahan 0,1 ha ≤ x < 0,3 ha dan 3,22 persen merupakan pemilik lahan 0,3 ha ≤ x < 0,5 ha. Kategori terakhir adalah petani dengan status penguasaaan lahan milik, sewa, sekaligus bagi hasil. Terdapat 3,23 persen rumahtangga petani yang termasuk dalam kategori ini. Sistem bagi hasil yang paling sering dilakukan adalah sistem maro. Secara keseluruhan terdapat tiga jenis bagi hasil yang diterapkan oleh petani di desa Karangtengah yaitu: 1. Merlima adalah bentuk bagi hasil dimana pemilik lahan hanya menyediakan lahan, sedangkan biaya produksi dibebankan kepada petani penggarap. Petani pemilik lahan memperoleh seperlima dari hasil produksi pertanian. 2. Mrapat adalah bentuk bagi hasil dimana petani pemilik lahan menyediakan lahan dan mencangkulkannya, sedangkan produksi dilakukan oleh petani penggarap. Petani pemilik mendapakan seperempat bagian dari hasil prosuksi pertanian. 3. Maro adalah bentuk bagi hasil dimana petani pemilik lahan menyediakan lahan, mencangkulkan, dan menyediakan pupuk. Sedangkan petani penggarap mengurusi produksi lainnya. Hasil yang diperoleh pemilik maupun penggarap masing-masing dalah separuh hasil produksi.
5.6 Strategi Nafkah dan Kontribusi Pendapatan bagi Rumahtangga Petani Kentang
52
Pendapatan yang diperoleh petani dari pertanian kentang tergantung dari luas lahan yang digarapnya, semakin luas maka pendapatan semakin tinggi jika tidak terjadi gagal panen. Demikian juga jika harga kentang stabil atau tidak terlalu rendah. Masing-masing kategori penggarap lahan memiliki pendapatan rata-rata yang berbeda. Pendapatan rata-rata tersebut dihitung berdasarkan masing-masing rata-rata lahan yang digarap per kategori kemudian ditentukan pula B/C ratio yang dihitung dari perbandingan antara biaya usahatani yang dikeluarkan dan pendapatan usahatani yang diperoleh. Data mengenai pendapatan usahatani kentang rumahtangga menurut rataan luas lahan garapan yang dihitung per musim hujan tersaji pada Tabel 9. Semakin besar angka B/C ratio menandakan bahwa pendapatan yang diperoleh lebih besar dari biaya yang dikeluarkan oleh rumahtangga petani untuk mengelola usahataninya.
Tabel 9. B/C Ratio Usahatani Kentang Menurut Total Luas Lahan Garapan Rumahtangga Petani, Rp/Rataan Luas Lahan/Musim Hujan No
Total luas lahan garapan
1 2 3 4
0,1 ha ≤ x < 0,3 ha 0,3 ha ≤ x < 0,5 ha 0,5 ha ≤ x < 1,0 ha 1,0 ha ≤ x ≤2,0 ha
Ratarata luas lahan garapan 0,18 ha 0,344 ha 0,624 ha 1,27 ha
Pengeluaran per luas ratarata/MH Rp 3.929.253,Rp 13.286.334,Rp 15.099.114,Rp 31.461.242,-
Pendapatan per luas ratarata/MH Rp 10.277.000,Rp 27.600.000,Rp 41.195.455,Rp 41.190.000,-
B/C Ratio
2,62 2,07 2,73 1,31
Sumber: Analisis data primer, 2011
Pendapatan rata-rata petani yang menggarap lahan dengan kategori 0,1 ha ≤ x < 0,3 ha memperoleh pendapatan rata-rata Rp 10.277.000,- per musim hujan yang setara dengan empat bulan (120 hari). Sedangkan pendapatan petani penggarap 0,3 ha ≤ x < 0,5 ha hampir tiga kali lipat dari petani penggarap lahan sebelumnya yaitu Rp 27.600.000,-. Untuk petani dengan lahan garapan 0,5 ha ≤ x < 1,0 ha dan 1,0 ha ≤ x ≤ 2,0 ha memperoleh pendapatan rata-rata yang relatif setara yaitu masing-masing Rp 41.195.455,- dan Rp 41.190.000,-. Dilihat dari B/C ratio, petani dengan lahan garapan paling luas juga memiliki B/C ratio paling kecil yaitu 1,31. Kondisi tersebut disebabkan untuk petani dengan garapan lahan paling luas membutuhkan input usahatani yang lebih banyak dan tentu saja
53
menyebabkan pengeluaran usahatani semakin tinggi. B/C ratio tiga kategori lainnya relatif seimbang yaitu 2,62 untuk kategori petani dengan lahan garapan 0,1 ha ≤ x < 0,3 ha, 2,07 untuk kategori petani dengan lahan garapan 0,3 ha ≤ x < 0,5, dan 2,73 untuk petani dengan lahan garapan 0,5 ha ≤ x < 1,0 ha. Dari hasil perhitungan pendapatan tersebut, usahatani kentang memiliki resiko yang harus siap ditanggung oleh petani. Ketika pengeluaran hampir sama dengan atau lebih besar dari pendapatan maka petani mengalami kerugian. Kondisi rugi tersebut biasanya diatasi dengan cara berhutang untuk menutupi biaya produksi di musim selanjutnya, demikian terjadi terus menerus seperti sebuah siklus. Namun sebagai basis sumber nafkah utama, pertanian masih menjadi primadona dalam berbagai musim walaupun dengan pendapatan yang berbeda-beda. Musim yang dikenal oleh petani kentang terdiri dari tiga macam yaitu musim hujan, musim kemarau, dan musim peralihan. Musim hujan bagi petani adalah saat dimana curah hujan yang turun tinggi dan petani sering mengalami kerepotan dengan jamur yang menyerang tanaman kentang. Musim kemarau adalah saat dimana pancaran sinar matahari lebih banyak dan pada musim ini petani dituntut untuk mengeluarkan biaya lebih untuk menyiram tanaman kentang. Terakhir adalah musim peralihan, pada musim ini biasanya hujan turun tidak tertebak dan pada hari-hari tertentu panas matahari berlebih. Musim peralihan ini mengharuskan petani untuk lebih terampil dalam merawat tanaman kentang sebab kondisinya tidak menentu. Pada dasarnya seluruh rumahtangga petani responden menggantungkan pendapatan dari usahatani kentang. Pendapatan yang diperoleh dari sektor non pertanian kentang kontribusinya tidak terlampau dominan dalam berbagai musim. Pada Tabel 10. tersaji jumlah dan presentase pendapatan rumahtangga petani kentang menurut jenis pendapatan dan total luas lahan garapan berdasarkan musim hujan, kemarau, dan peralihan. Hal utama yang bisa dilihat dari hasil perhitungan pada tabel tersebut adalah secara umum strategi nafkah yang bertumpu pada sektor pertanian kentang mampu menjadi basis perjuangan ekonomi petani di Desa Karangtengah. Baik pada musim hujan, kemarau, maupun peralihan, usahatani kentang hampir memiliki kontribusi penuh bagi pendapatan
54
rumahtangga. Hal tersebut memberikan implikasi bagi rumahtangga petani untuk terus melakukan aktivitas nafkah sektor pertanian dan terus meningkatkan produksi untuk memperoleh hasil maksimal.
Tabel 10. Jumlah dan Persentase Pendapatan Rumahtangga Petani Menurut Sumber Pendapatan dan Luas Lahan Garapan per Musim Hujan, Kemarau, dan Peralihan Musim
Hujan
Kemarau
Peralihan
Luas lahan garapan
0,1 ha ≤ x < 0,3 ha 0,3 ha ≤ x < 0,5 ha 0,5 ha ≤ x < 1,0 ha 1,0 ha ≤ x ≤ 2,0 ha 0,1 ha ≤ x < 0,3 ha 0,3 ha ≤ x < 0,5 ha 0,5 ha ≤ x < 1,0 ha 1,0 ha ≤ x ≤ 2,0 ha 0,1 ha ≤ x < 0,3 ha 0,3 ha ≤ x < 0,5 ha 0,5 ha ≤ x < 1,0 ha 1,0 ha ≤ x ≤ 2,0 ha
Pendapatan bersih rata-rata sektor pertanian kentang
Rp 10.277.000
% 84,53
Pendapatan Total rata-rata dari sektor non pertanian kentang % Rp % Rp 1.880.572 15,47 12.157.572 100
27.600.000
97,87
600.000
2,13
28.200.000 100
41.195.455
97,17
1.200.000
2,83
42.395.455 100
41.190.000
100
0
0
41.190.000 100
14. 256.000
88,35
1.880.572
11,65 16.136.572 100
31.000.025
98,10
600.000
1,90
31.600.025 100
50.200.000
97,67
1.200.000
2,33
51.400.000 100
59.400.255
100
0
0
59.400.255 100
10.102.000
84,30
1.880.572
15,70 11.982.572 100
26.000.000
97,74
600.000
2,26
26.600.000 100
33.400.565
96,53
1.200.000
3,47
34.600.565 100
42.000.200
100
0
0
42.000.200 100
Sumber: Analisis Data Primer, 2011
Kentang menjadi komoditi yang menguntungkan bagi petani, hasil perhitungan pada Tabel 10. di atas menunjukkan bahwa sektor pertanian kentang mampu berkontribusi lebih dari 80 persen untuk petani dengan lahan garapan 0,1 ha ≤ x < 0,3 ha. Pada rumahtangga petani dengan luas lahan garapan 0,3 ha ≤ x < 0,5 ha dan 0,5 ha ≤ x < 1,0 ha mendapatkan kontribusi pendapatan lebih dari 95
55
persen dari sektor pertanian kentang. Bahkan untuk petani dengan lahan garapan di atas 1 ha seluruh pendapatannya berasal dari pertanian kentang. Gambar 6. di bawah ini menunjukkan persentase masing-masing sektor nafkah berdasarkan musim.
Sumber: Analisis Data Primer, 2011
Gambar 6. Persentase Pendapatan Sektor Pertanian dan Non Pertanian Pada Musim Hujan, Kemarau, dan Peralihan
Hal penting yang bisa ditarik dari kondisi yang terlihat pada gambar 4. adalah semakin luas lahan pertanian yang digarap oleh petani akan menyebabkan kontribusi pendapatan dari sektor lain semakin sedikit. Sebaliknya, dengan lahan garapan yang semakin sempit maka petani berusaha untuk mendapatkan penghasilan dari sektor lain. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa semakin miskin kehidupan petani, maka strategi nafkah yang dipilih akan semakin rumit.
56
5.6 Ikhtisar Pola penguasaan lahan pertanian kentang di Desa Karangtengah terdiri dari bentuk penguasaan milik, sewa, milik + sewa, dan milik + sewa + bagi hasil. Tingkat kesenjangan kepemilikan lahan di Desa ini tergolong tinggi sebab terdapat petani yang memiliki lahan sangat luas namun di lain sisi terdapat pula petani tanpa tanah. Bagi petani di Desa Karangtengah, lahan pertanian merupakan sumber penghasilan yang mampu mempertahankan eksistensi mereka. Secara turun-temurun petani memperoleh keterampilan untuk mengusahakan lahan pertaniannya hingga akhirnya masuk komoditas kentang yang dipilih sebagai tanaman utama. Masuknya kentang
merupakan „penolong‟
bagi petani di Desa
Karangtengah. Sebelumnya mereka menanam tembakau dan palawija yang diakui oleh petani bahwa masa itu adalah masa yang sulit. Kemudian setelah menanam kentang kehidupan mereka lebih terjamin. Setidaknya meskipun mereka tidak memiliki lahan, mereka bisa menggarap lahan milik orang lain dengan sistem sewa maupun bagi hasil. Hasil dari penelitian ini membuktikan bahwa petani dengan luas lahan garapan yang semakin sempit cenderung untuk menerapkan aktivitas nafkah di luar sektor pertanian. Semakin sempit lahan pertanian yang dikuasai oleh petani menyebabkan aktivitas nafkahnya semakin beragam. Meskipun demikian, pertanian masih menjadi basis sumber nafkah bagi rumahtangga petani.
BAB VI PROSPEK PERTANIAN KENTANG SEBAGAI SISTEM NAFKAH PADA RUMAHTANGGA PETANI KENTANG 6.1
Gambaran Sistem Nafkah pada Rumahtangga Petani Kentang Meskipun sektor pertanian memiliki resiko tinggi dalam pelaksanaannya,
namun tidak dapat dipungkiri bahwa sektor ini memiliki kontribusi penting terhadap pendapatan rumahtangga. Aktivitas pertanian yang dilakukan oleh masyarakat membentuk pola kebudayaan tersendiri yang tidak sekedar menjadi rutinitas namun berpengaruh terhadap banyak aspek bagi kehidupan petani. Terutama di aspek ekonomi, sektor ini memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk bekerja dan memperoleh penghasilan. Bagi petani kentang di Desa Karangtengah, komoditi kentang diharapkan mampu menyokong kehidupan mereka dalam berbagai situasi, baik ketika mereka berada dalam kondisi lapang maupun krisis. Artinya, pertanian kentang yang mereka lakukan diharapkan bisa adaptif seiring berjalannya waktu, terutama aspek ekonominya. Namun demikian, jika hanya dititikberatkan pada segi ekonomi maka akan muncul hal yang dikorbankan seperti keberlanjutan lingkungan. Sebuah sistem sosial tidak hanya dibentuk oleh satu unsur saja namun dari berbagai unsur yang saling berkaitan maka jika lingkungan tidak bersedia lagi mendukung kehidupan otomatis unsur lain juga akan terpengaruh. Aspek-aspek penting dalam masyarakat seperti aspek sosial dan kelembagaan juga akan terpengaruh dan pada akhirnya mempengaruhi kesejahteraan petani secara ekonomi. Harapan petani akan sistem nafkah yang berkelanjutan tidak akan terwujud jika mereka tidak berdamai dengan lingkungan dimana mereka bertumpu. Sistem nafkah berkelanjutan adalah suatu fenomena kompleks yang dipengaruhi oleh beberapa aspek sekaligus. Berdasarkan Cambell et al (2003) dan Shivakoti dan Shrestha dalam Mahdi et al (2009) menjelaskan bahwa terdapat 4 aspek yang bisa dijadikan indikator sistem nafkah yang berkelanjutan yaitu aspek lingkungan, ekonomi, sosial, dan kelembagaan. Gambar 7. meringkas indikator-
58
indikator tersebut terkait dengan pertanian kentang yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Karangtengah.
No
Aspek sistem nafkah berkelanjutan
Indikator menurut Cambell et al, Shivakoti, Shrestha (2003) dalam
Mahdi et al (2009) 1
Lingkungan
Melestarikan atau memberikan nilai tambah daya dukung sumberdaya alam.
2
Ekonomi
mempertahankan tingkat pengeluaran yang diberikan
3
Sosial
Meminimalkan pengucilan sosial dan memaksimalkan keadilan sosial
4
Kelembagaan
kapasitas struktur yang berlaku dan proses untuk melanjutkan
Situasi kekinian di Desa Karangtengah, Dataran Tinggi Dieng
Degradasi lahan yang meningkat Tutupan hutan yang menurun secara signifikan Praktek pertanian yang menggunakan input kimia secara terus menerus mengikis daya dukung sumberdaya alam (menurunnya kesuburan tanah, resistensi hama, matinya predator alami). Sedimentasi yang terus bertambah di Daerah Aliran Sungai Serayu. Sikap konsumerisme petani kentang yang semakin meningkat. Kredit formal merupakan hal yang belum dijangkau oleh petani di Desa Karangtengah. Petani masih bergantung kepada tengkulak untuk masalah modal usahatani dan penjualan kentang. Ketidaksetaraan pendapatan antara di antara berbagai kelompok dalam komunitas. Terlihat adanya perbedaan antara petani yang sudah bisa naik haji dengan yang belum. Struktur kelembagaan produksi yang masih menyudutkan petani kecil. Munculnya kelompok pecinta lingkungan Wijaya Kusuma atas inisiasi Pemerintah Daerah Kabupaten Banjarnegara, PT Indonesia Power, dan Masyarakat untuk mengurangi laju sedimentasi di DAS Serayu.
Sumber: Analisis Data Primer, 2011
Gambar 7. Indikator Sistem Nafkah Berkelanjutan di Desa Karangtengah, Dataran Tinggi Dieng Berdasarkan Cambell et al, Shivakoti, Shrestha (2003) dalam Mahdi et al (2009)
59
Dari gambar di atas diketahui bahwa kondisi pertanian di Desa Karangtengah saat ini menghadapi permasalahan jangka panjang yang pelik pada berbagai aspek. Permasalahan tidak hanya terjadi pada satu indikator saja, namun mencakup empat indikator yang telah diajukan yaitu lingkungan, ekonomi, sosial, dan kelembagaan.
6.1.1 Aspek Lingkungan Keberhasilan usahatani kentang ditunjukkan dengan adanya peningkatan hasil per satuan luas (ton/ha) dan mutunya. Secara umum, usahatani kentang di kecamatan Batur hasilnya paling tinggi dibanding komoditi hortikultur lainnya yang dibudidayakan di dataran tinggi Dieng. Namun, produktivitas komoditi sayuran di kecamatan Batur terutama untuk komoditi kentang dan bawang daun cenderung menurun dalam kurun waktu lima tahun terakhir.
Sumber: Diolah dari Data Dinas Pertanian Kabupaten Banjarnegara, 2010
Gambar 5. Produktivitas Komoditi Sayuran di Kecamatan Batur, Tahun 2006-2010 dalam Satuan Ton Dari gambar di atas dapat diketahui bahwa dari tahun 2006 hingga tahun 2008 produktivitas kentang relatif stabil meskipun terjadi penurunan beberapa ton tiap tahunnya. Pada tahun 2006 produksi kentang mencapai 7.887,10 ton, dan menurun pada angka 7.281,40 ton pada tahun 2007. Sedangkan di tahun 2008, produksinya kembali meningkat menjadi 7.400,10 ton. Penurunan produksi
60
kembali terjadi di tahun 2009 dan 2010 yaitu pada kisaran 7.258,25 ton dan 7.134,22 ton. Demikian juga pada komoditi bawang daun, pada tahun 2006 produksinya masih mencapai 1.778,90 ton. Kemudian pada tahun 2007 turun menjadi 1.118,20 ton yang diikuti dengan penurunan kembali pada tahun 2008 yaitu menjadi 724,10 ton. Pada tahun 2009 produksinya lebih banyak dari tahun sebelumnya yaitu 920,30 ton, namun kembali turun pada tahun 2010 yang hanya mencapai 700,80 ton. Terjadinya penurunan angka produksi tersebut dipengaruhi oleh kondisi ekologi yang semakin buruk. Angka erosi yang semakin tinggi dan penggunaan bahan kimia yang semakin banyak sehingga berdampak negatif bagi tanah. Ketertarikan
masyarakat
Desa
Karangtengah
menanam
kentang
dikarenakan faktor harga kentang yang meskipun fluktuatif namun dirasakan memberikan keuntungan bagi petani. Walau pun tentu saja, ada masa-masa tertentu di mana harga kentang turun dan kadang tidak menutupi biaya produksi. Namun petani terus berusaha untuk memperoleh hasil panen sebanyak-banyaknya di atas lahan yang mereka garap. Demi panen yang berhasil dan banyak petani mengambil langkah antisipasi yaitu dengan menggunakan pupuk, pestisida, maupun insektisida kimia yang semakin banyak. Pada aspek lingkungan, penggunaan pupuk, pestisida, maupun insektisida yang berlebihan menyebabkan kesuburan tanah menurun, resistensi hama, dan matinya predator alami. Meskipun tidak melalui uji laboratorium namun pengalaman empiris petani telah membuktikan kondisi tersebut. Gagalnya panen yang berakibat pada menurunnya jumlah produksi dan pendapatan merupakan bukti bahwa daya dukung lingkungan semakin menurun. Akibat resistensi hama, petani harus melakukan perawatan yang lebih terhadap tanaman kentang, misalnya dengan menambah dosis input kimia. Kadang meskipun telah ditambah dosisnya, hama yang ada tidak semakin berkurang namun justru digantikan munculnya hama baru. Pestisida yang sebelumnya dipakai diganti dengan pestisida lain yang efeknya lebih kuat lagi. Begitu seterusnya dan hingga saat ini, menurut petani belum ada pestisida yang sangat manjur untuk hama tertentu.
61
Petani juga menyadari bahwa kesuburan tanah sudah tidak sama lagi dengan kondisi sekitar tahun 1985-an. Dahulu tidak perlu banyak pupuk yang diberikan untuk tanaman, namun kentang bisa tumbuh subur dan hasilnya banyak. Namun saat ini jika tidak diberi pupuk banyak maka tanaman kentang tidak akan menghasilkan. Sesuai dengan Sunito (2007), karakter pertanian kentang di Desa Karangtengah adalah HEIA (High External Input Agriculture) yaitu pertanian dengan input luaran (kimia) tinggi. Sistem HEIA mengejar produktifitas yang tinggi namun menuntut pengorbanan dalam bentuk menurunnya keberlanjutan. Selain itu, pola pertanian monokultur kentang yang bertumpu pada produktivitas panen juga mempengaruhi masyarakat yang lebih makro. Sebagaimana diketahui bahwa Dieng merupakan bagian hulu dari Daerah Aliran Sungai Serayu maka jika terjadi kerusakan di atasnya imbasnya akan sampai ke wilayah di bawahnya. Kondisi lahan yang kritis akan mempengaruhi tingkat erosi tanah yang dibawa oleh air hujan. Erosi akan terbawa oleh aliran sungai yang salah satu muaranya adalah waduk Panglima Besar Jenderal Soedirman (waduk Mrica). Waduk ini merupakan salah satu pemasok energi listrik untuk wilayah Jawa dan Bali. Berdasarkan hasil intensifikasi Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Propinsi Jawa Tengah, bahwa tingkat erosi di Dieng cukup tinggi sebagai akibat konversi lahan dari kawasan hutan menjadi lahan usaha tani, yaitu erosi DAS mencapai 4,06 mm/tahun dan di sub Merawu mencapai 5 – 14 mm/tahun. Secara akumulatif volume sedimen Waduk Mrica/PB Soedirman tahun 2000 mencapai 52,865 juta m3, tahun 2001 mencapai 56,247 juta m3, tahun 2002 volume sedimen mencapai 59,770 juta m3, sedangkan tahun 2003 mencapai 64,205 juta m3 (PT Indonesia Power, 2003). Dari data tersebut dapat terlihat bahwa sedimentasi waduk Mrica dari tahun ke tahun selalu bertambah sehingga dapat mengurangi umur efektif waduk. Umur efektif yang semula diproyeksikan 60 tahun, dapat menjadi 30 tahun atau kurang jika laju erosi dan sedimentasi tidak dikendalikan. Pertanian kentang memang sangat menjanjikan. Namun jika petani terus menerus mengedepankan kepentingan ekonomi di atas lingkungan yang daya dukungnya makin berkurang, maka kemungkinannya adalah sumberdaya yang
62
masih tersisa akan habis. Kawasan hutan di pegunungan pun habis dikonversi menjadi kebun kentang. Jajaran perbukitan gundul dan berisi tanaman kentang. Tegakan pohon penahan erosi sangat minim bahkan bisa dikatakan nyaris tidak ada.
Kementrian Lingkungan Hidup mencatat, dari luas Dataran Tinggi Dieng
619.846 ha, hutan yang tersisa tinggal 20,1 persen padahal idealnya 30 persen (Kompas, 03 Juni 2011). Kondisi tersebut tidak sejalan dengan tinjauan tentang sistem nafkah yang berkelanjutan dari Meikle, Ramasut dan Walker (2001) bahwa salah satu indikator sustainable livelihood adalah mampu meraih hasil dari sumber nafkah tanpa merongrong dasar-dasar sumberdaya alam. Demikian juga dengan amanat Undang-Undang No. 13 Tahun 2010 tentang hortikultura dimana pada pasal 17 Bagian Ketiga mengenai sumberdaya alam yaitu penggunaan lahan budidaya hortikultura wajib mengutamakan kelestarian fungsi lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
6.1.2 Aspek Ekonomi Berdasarkan Gambar 7., indikator ekonomi yang sebaiknya dipertahankan oleh petani adalah mereka tidak melakukan pengeluaran lebih dari pendapatan yang diperoleh. Sayangnya, kenyataan yang terjadi adalah sikap konsumerisme petani kentang yang semakin meningkat. Sebagai sebuah wilayah dataran tinggi yang bisa dikatakan akses dari ibukota cukup jauh, gaya hidup untuk sebagian petani di Desa Karangtengah terbilang mewah. Meskipun kemewahan tersebut mereka dapatkan dari jerih payah menjadi petani, namun kemewahan secara materi yang ditonjolkan oleh sebagian petani ingin ditiru oleh petani lain. Fakta yang diperoleh dari penelitian ini adalah setiap kali musim panen tiba dan mereka memperoleh hasil dari penjualan kentang maka petani berlomba menghabiskan uang untuk membeli motor, mobil, emas perhiasan, baju dan membangun rumah mewah. Istri dari Bapak JN (26 tahun) yang menjadi pedagang pakaian mengutarakan bahwa dagangannya akan laku semakin banyak jika musim panen kentang tiba. Pembeli yang merupakan petani tidak memperhitungkan berapa uang yang dikeluarkan asalkan pakaian yang dibeli sesuai denga model yang sedang berkembang.
63
“Model-model pakaian yang dijual harus menyesuaikan dengan tren yang ada di TV supaya yang beli tertarik. Biasanya sekali lihat di TV dan dianggap bagus, maka ada aja yang pesen mbak. Sutera yang harganya hingga lima ratus ribu juga laku dalam sekali tawar.” Kondisi yang demikian dimanfaatkan juga oleh pedagang dari luar Desa Karangtengah. Berbagai jenis barang dagangan mulai dari makanan, perlengkapan dapur, mainan anak-anak, hingga sales dari dealer motor/mobil menyambangi petani untuk menawarkan dagangannya. Pedagang-pedagang tersebut seringnya menawarkan dagangan dengan sistem pembayaran kredit kepada petani. Harga yang dianggap murah, namun jika ditotal maka akan lebih mahal. Hanya saja karena merasa memiliki dana untuk membelinya maka mereka tidak berkeberatan meskipun barang yang dibeli belum tentu menjadi kebutuhan mendesak. Kredit formal merupakan hal yang belum dijangkau oleh petani di Desa Karangtengah. Petani masih bergantung kepada tengkulak, petani kaya, maupun distributor pupuk/obat untuk memperoleh modal usahatani yang mereka garap. Kondisi ini menimbulkan polemik diantaranya ketika petani gagal panen maka mereka akan terjerat hutang kepada pemilik modal yang telah disebutkan. Ditambah lagi dengan sifat konsumtif yang dimiliki, maka beban hutang akan semakin berat. Sebagian petani ada yang mengakses kredit via bank, hanya saja kredit tersebut biasanya digunakan untuk membayar barang-barang yang mereka beli seperti motor/mobil.
6.1.3 Aspek Sosial Masyarakat pertanian pedesaan merupakan komunitas yang memiliki watak khas dengan pola pencarian nafkah di sektor pertanian. Pola pertanian yang terdapat di Desa Karangtengah memiliki ciri yang menunjukkan stratifikasi sosial. Sebagai wilayah yang berbasis pertanian hortikultur, pemilihan komoditi yang ditanam serta luasan lahan yang dimiliki akan menunjukkan prestise sosial masyarakat. Seorang petani yang menanam kentang dengan luas di atas lahan miliknya sendiri yang lusannya lebih dari 1 ha atau bahkan lebih dari 5 ha, maka status sosialnya akan lebih dibandingkan dengan petani yang lahannya sempit apalagi yang hanya menyewa lahan. Ukuran tersebut dibuat berdasarkan standar
64
berapa resiko usahatani yang berani ditanggung oleh seorang petani. Semakin luas lahan yang dimiliki maka resiko usahataninya akan semakin besar. Timpangya kepemilikan lahan tersebut menyebabkan ketidaksetaraan pendapatan antar rumahtangga petani dalam komunitas. Hal ini menyebabkan terjadinya pembedaan yang mendasar yaitu petani dengan kekayaan melimpah dari hasil pertanian akan segera naik haji. Petani yang sudah menjadi haji akan memperoleh prestise yang lebih tinggi lagi berupa penghormatan atau menjadikan mereka sebagai tokoh kaji. Pola hubungan masyarakat petani di Desa Karangtengah umumnya menganut sistem patron-klien yang modelnya bisa melibatkan lebih dari satu patron dan lebih dari satu posisi klien. Hal ini berlaku mulai dari berbagai kondisi dan pola hubungan ekonomi-sosial. Seorang petani kecil umumnya memiliki dua atau tiga patron dengan posisi klien yang berbeda-beda. Jika musim panen, maka patron petani adalah tengkulak. Sedangkan jika musim tanam tiba, maka patronnya beralih pada penjual pupuk/obat. Begitu pula jika berurusan dengan persoalan sewa-menyewa tanah, maka petani kecil akan berpatron kepada petani kaya. Hubungan patron-klien yang melemahkan posisi petani terutama petani kecil semakin menunjukkan bahwa pola stratifikasi muncul pada hubungan sosial di Desa Karangtengah, terutama terkait dengan proses produksi.
6.1.4 Aspek Kelembagaan Aspek kelembagaan yang dimaksud menekankan pada keberlanjutan pengelolaan suatu sistem yang dalam hal ini adalah pertanian. Saat ini, yang menjadi fakta di Desa Karangtengah adalah, hubungan-hubungan sosial yang mendasari terlaksananya kegiatan pertanian mencerminkan pola stratifikasi yang menempatkan petani dengan lahan sempit pada strata bawah. Dalam banyak hal, petani memiliki banyak peran sebagai klien dan memiliki banyak patron. Pada saat panen misalnya, petani sangat bergantung dengan tengkulak atau biasa disebut dengan makelar kentang. Pada saat bernegosiasi harga, makelar kentang tersebut berusaha mendapatkan harga yang termurah kepada petani supaya bisa mendapatkan untung yang besar dari juragan. Karena belum ada lembaga yang
65
mewadahi proses distribusi kentang, maka petani harus mengikuti alur yang sudah ada supaya kentang yang dipanennya lekas terjual.
Petani
Juragan kecil (Bakul)
Juragan besar lokal
Pedagang pengecer
Konsumen lokal
Pedagang besar luar kota
Pedagang pengecer
Konsumen luar kota
Keterangan: Jalur penjualan langsung Jalur penjualan melalui makelar Batas penjualan lokal dengan luar kota Gambar 9. Alur Penjualan Kentang dari Petani di Desa Karangtengah Hingga Sampai di Tangan Konsumen Gambar tersebut menjelaskan pola penjualan kentang yang telah melembaga dalam sistem pertanian kentang di Desa Karangtengah. Jika Petani berupaya untuk menyingkirkan makelar dan langsung menjualnya ke juragan, maka hal itu menjadi sia-sia sebab juragan juga akan berperan sebagai makelar. Harga yang ditawarkan juragan tidak akan jauh berbeda dengan harga yang ditawarkan oleh makelar. Hal yang disayangkan adalah meskipun sudah menyadari bahwa alur penjualan kentang memotong harga yang tinggi dari harga seharusnya, namun tidak ada kelembagaan ekonomi alternatif seperti koperasi sebagai penyalur distribusi atau memfungsikan kelompok tani secara maksimal dalam bidang ini.
66
Aspek lain dalam bidang kelembagaan yang bisa ditemukan di Desa Karangtengah adalah kelembagaan di bidang lingkungan. Melihat fakta kondisi lingkungan yang semakin buruk, bisa dikatakan bahwa munculnya kelembagaan ini memberikan dampak positif dan nilai tambah bagi lingkungan. Kelembagaan ini
muncul
berdasarkan
inisiatif
bersama
dari
Pemerintah
Kabupaten
Banjarnegara, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Banjarnegara, serta pihak swasta PT Indonesia Power, yang kemudian memfasilitasi masyarakat untuk melakukan rehabilitasi kawasan. Kegiatan rehabilitasi berupa penanaman pohon Kayu Putih di beberapa lahan milik petani serta di lereng-lereng. Ke depannya, jika kelembagaan lingkungan ini bisa terus berlanjut dan dipertahankan eksistensinya, maka diharapkan proses rehabilitasi akan berhasil dan berdampak pada pertanian yang berkelanjutan.
6.2 Prospek Pertanian Kentang dalam Kerangka Berkelanjutan pada Rumahtangga Petani Kentang
Sistem
Nafkah
Melihat fakta yang terjadi di Desa Karangtengah dan sesuai dengan penjelasan pada sub bab sebelumnya, pertanian kentang di desa ini bertentangan dengan prinsip pertanian berkelanjutan. Sebagaimana pengelolaan pertanian di desa ini jauh dari persyaratan yang dikemukaan oleh Gips (1986) dalam Reijntjes et al (1992) bahwa yang harus dipenuhi oleh suatu pertanian berkelanjutan adalah mantap secara ekologis, layak secara ekonomi, adil, manusiawi, dan luwes. Dari sisi ekologi terjadi degradasi lingkungan terjadi secara terus-menerus dengan kualitas sumberdaya alam yang tidak dapat dipertahankan. Secara ekonomi kentang mampu menopang kehidupan petani, hanya saja keuntungan tersebut tidak sebanding dengan resiko jangka panjang yang bisa menimpa petani yaitu bencana alam seperti longsor dan juga masalah kesehatan yang disebabkan oleh residu input kimia dalam menanam kentang. Dari sisi keadilan pun, bisa dilihat bahwa distribusi sumberdaya terutama lahan yang masih timpang di kalangan petani sehingga menciptakan kelas sosial berjarak antara petani berlahan luas dengan petani yang berlahan sempit/tidak bertanah. Bentuk ketidakadilan yang lain juga terjadi dimana akses informasi mengenai harga kentang biasanya lebih dulu sampai kepada petani kaya dan pedagang pengumpul.
67
Sisi kemanusiaan yang seharusnya dijunjung dalam praktek pertanian berkelanjutan adalah kepercayaan, kejujuran, dan kerjasama. Pada prakteknya, pertanian kentang yang dijalankan masih menunjukkan bahwa nilai-nilai tersebut tidak terpelihara dengan baik. Misalnya makelar kentang yang membeli dengan potongan harga terlalu tinggi bagi petani demi memperoleh keuntungan yang tinggi. Selanjutnya, pada aspek keluwesan, daya adaptasi petani untuk melakukan pertanian berkelanjutan masih mengandalkan struktur lama dimana petani masih menjadi aktor pasif dalam memperoleh informasi tentang harga kentang serta begitu saja dalam menerima berbagai inovasi. Kentang merupakan komoditi yang bernilai jual tinggi, menyerap banyak tenaga kerja dalam pengelolaannya, serta bisa ditanam setiap musim dengan masa panen tiga kali per tahun. Meskipun demikian, melihat fakta yang terjadi saat ini, keberlanjutan pertanian kentang sebagai basis nafkah rumahtangga perlu dipertanyakan. Jika petani tidak waspada mengatasi kondisi lingkungan dan meningkatkan kesadaran untuk memanfaatkan sumberdaya secara lebih efisien, maka bisa dipastikan kualitas kentang yang dihasilkan akan semakin menurun. Kondisi tersebut akan berakibat pendapatan rumahtangga petani berkurang dan harus semakin berusaha untuk membuat pengeluaran rumahtangga tidak melebihi pendapatan yang diperoleh.
6.3 Ikstisar Sistem nafkah pada rumahtangga petani kentang di Desa Karangtengah yang seharusnya selaras dengan empat indikator yaitu lingkungan, ekonomi, sosial, dan kelembagaan justru bertentangan dengan kerangka sistem nafkah yang berkelanjutan. Pada aspek lingkungan terjadi degradasi lahan yang meningkat, tutupan hutan yang menurun secara signifikan, dan praktek pertanian yang menggunakan input kimia secara terus menerus telah mengikis daya dukung sumberdaya alam (menurunnya kesuburan tanah, resistensi hama, matinya predator alami). Pada aspek ekonomi, petani belum menjangkau kredit formal dan masih bergantung kepada tengkulak untuk masalah modal usahatani. Kenyataan tersebut diperparah dengan sikap konsumerisme petani kentang yang semakin meningkat.
68
Secara sosial, pola-pola hubungan antar petani mencerminakan pola stratifikasi yang cenderung menyudutkan petani kecil. Petani dengan lahan garapan yang lebih sempit memiliki lebih banyak peran sebagai klien. Pada saat musim panen, petani berpatron denga tengkulak, dan untuk urusan sewa menyewa petani berpatron dengan pemilik lahan yang luas. Stratifikasi tersebut semakin kelihatan dengan timpanganya kepemilikan lahan dan pendapatan antara petani kaya dengan petani miskin. Demikian juga dengan pencapaian prestise yang tinggi dari “haji kentang” yang memunculkan status tokoh haji di masyarakat yang biasanya dicapai oleh petani kaya. Struktur kelembagaan di Desa Karangtengah juga masih menyudutkan petani kecil. Informasi pasar mengenai harga kentang hanya diketahui oleh para juragan sehingga petani tergantung kepada mereka. Selain persoalan tersebut, kondisi lingkungan yang kritis di Dataran Tinggi Dieng telah membuat berbagai pihak menginisiasi program penyelamatan lingkungan melalui pembentukan kelembagaan Kelompok Penyelamat Lingkungan Wijaya Kusuma di Desa Karangtengah. Berdasarkan fakta yang terjadi di Desa Karangtengah, pertanian kentang di desa ini bertentangan dengan prinsip pertanian berkelanjutan. Berbagai persyaratan yang harus dipenuhi meliputi kemantapan secara ekologis, layak secara ekonomi, adil, manusiawi, dan luwes. Dari sisi ekologi terjadi degradasi lingkungan terjadi secara terus-menerus dengan kualitas sumberdaya alam yang tidak dapat dipertahankan. Padahal seharusnya sistem nafkah (sektor pertanian) yang berkelanjutan bisa memenuhi kebutuhan pelaku nafkah tanpa merongrong dasar-dasar sumberdaya alam atau dengan kata lain memenuhi persyaratan pertanian berkelanjutan.
BAB VII PENUTUP
7.1 Kesimpulan Bentuk penguasaan lahan di Desa Karangtengah terdiri dari lahan milik, lahan sewa, dan lahan milik + sewa, dan lahan milik + sewa + bagi hasil. Status penguasaan lahan oleh petani menentukan bentuk strategi nafkah yang dipilih oleh rumahtangga petani. Semakin luas lahan yang dimiliki petani, kecenderungan untuk menyewa juga semakin kecil. Berdasarkan penguasaan lahan, strategi nafkah yang diterapkan oleh rumahtangga petani kentang adalah strategi intensifikasi lahan pertanian yang bertumpu pada pertanian kentang dan strategi mendiversifikasi nafkah. Strategi mendiversifikasi nafkah atau pola nafkah ganda pada rumahtangga petani kentang berupa aktifitas nafkah menjadi buruh tani, pedagang pulsa, pedagang pakaian, penjahit, kusir dokar, buruh ngebor, pedagang sayur dan makelar kentang. Bentuk strategi nafkah ganda diterapkan oleh petani dengan lahan garapan sempit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin luas lahan yang digarap oleh rumahtangga petani menyebabkan mereka aman dengan aktifitas nafkah pertanian saja. Sebaliknya untuk petani miskin dengan lahan garapan sempit memiliki strategi nafkah yang semakin beragam. Meskipun
pertanian
kentang
memberikan
kontribusi
pendapatan
rumahtangga untuk memenuhi kebutuhan sesuai jumlah tanggungannya, namun terdapat dampak jangka panjang yang harus diwaspadai. Pertanian kentang ini diharapkan mampu memberikan kontribusi secara kontinu dan adaptif dalam berbagai situasi. Sayangnya, aktivitas nafkah ini telah bertentangan dengan empat indikator sebuah sistem nafkah yang berkelanjutan yaitu lingkungan, ekonomi, sosial, dan kelembagaan. Degradasi lahan dan menyempitnya lahan tutupan hutan disebabkan oleh aktivitas pertanian ini. Demikian juga akbiat yang ditimbulkan dari praktek pertanian yang menggunakan input kimia secara terus menerus telah mengikis daya dukung sumberdaya alam (menurunnya kesuburan tanah, resistensi hama, matinya predator alami). Selain itu, masalah belum terjangkaunya kredit formal oleh petani menyebabkan mereka masih tergantung pada tengkulak/juragan kentang. Kondisi
70
tersebut diperparah dengan konsumerisme petani yang bisa menyebabkan hutang mereka semakin menumpuk. Dalam hubungannya dengan interaksi antar petani, polanya mencerminkan pola stratifikasi yang cenderung menyudutkan petani kecil. Petani dengan lahan garapan yang lebih sempit memiliki lebih banyak peran sebagai klien. Stratifikasi tersebut semakin kelihatan dengan timpangnya kepemilikan lahan dan pendapatan antara petani kaya dengan petani miskin. Demikian juga dengan pencapaian prestise yang tinggi dari haji kentang yang memunculkan status tokoh haji di masyarakat yang biasanya dicapai oleh petani kaya. Persoalan ini tidak berhenti pada tataran interaksi semata, namun pada posisi tawar petani di kelembagaan distribusi kentang. Informasi harga dikuasai oleh juragan petani memilih menerima harga rendah yang ditawarkan asalkan kentang mereka terjual. Seharusnya sistem nafkah (sektor pertanian) yang berkelanjutan bisa memenuhi kebutuhan pelaku nafkah tanpa merongrong dasar-dasar sumberdaya alam atau dengan kata lain memenuhi persyaratan pertanian berkelanjutan. Persyaratan tersebut meliputi kemantapan secara ekologis, layak secara ekonomi, adil, manusiawi, dan luwes. Fakta di Desa Karangtengah belum demikian adanya. Kondisi tersebut menjadi perhatian berbagai pihak yang berkepentingan terhadap posisi Dataran Tinggi Dieng sebagai hulu dari Daerah Aliran Sungai Serayu. Saat ini muncul Kelompok Penyelamat Lingkungan Wijaya Kusuma di Desa Karangtengah yang diharapkan mampu berkiprah dalam bidang rehabilitasi kawasan Dataran Tinggi Dieng.
7.2 Saran Menjadi petani adalah identitas yang telah melekat pada masyarakat di Desa Karangtengah. Aktifitas pertanian di sana tidak sekedar sebagai sumber penghidupan namun juga menunaikan nilai-nilai yang diwarisi dari leluhurnya. Sayangnya karena terlalu berorientasi pada produksi, aspek-apek lain yang seharusnya diperhatikan justru terabaikan. Petani pun melakukan segala upaya untuk meningkatkan produksi di atas lahannya yang semakin menurunkan daya dukung sumberdaya. Dalam jangka panjang jika kondisi tersebut terus berlanjut, maka sektor pertanian yang menjadi tumpuan nafkah akan mati. Demikian juga
71
dalam hal posisi tawar petani dengan pihak lain yang justru menyudutkan mereka, sebanyak apapun produksi, harga yang diperoleh adalah harga terendah. Oleh sebab itu, peneliti memberikan saran sebagai berikut: 1. Perlunya pelaksanaan pembangunan pertanian yang berkelanjutan dengan menerapkan sistem agroforestri pada pertanian kentang. Hal ini dilakukan supaya kualitas lahan tetap terjaga dan menceah bencana yang disebabka oleh aktifitas pertanian monokultur kentang. 2. Pemerintah sebaiknya memberikan akses kepada petani kentang untuk memperoleh kredit formal dengan mudah sehingga ketergantungan mereka terhadap tengkulak atau juragan tidak terus berlanjut. Pelatihan mengenai manajemen keuangan efektif juga diperlukan untuk mengatasi hutang dan sikap konsumtif. Jika memungkinkan sebaiknya petani membuat sistem distribusi melalui koperasi tani yang dikembangkan dari kelompok tani yang sudah ada. 3. Memfungsikan Kelompok Penyelamat Lingkungan tidak hanya sebagai pelaksana dari proyek yang di inisiasi oleh pihak luar desa, namun sebagai kader yang mampu mendifusikan program rehabilitasi lahan, tidak hanya di wilayah Karangtengah, namun juga di wilayah lain. Sebab Dataran Tinggi Dieng adalah suatu kawasan yang saling berkesinambungan.
DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik. 1994. Sensus Pertanian (ST) 1983. Jakarta: BPS. Badan Pusat Statistik. 2000. Konsep Dasar Rumah Tangga. [Internet]. [Dikutip 27 Februari 2011]. Jakarta: BPS. Dapat diunduh dari: http://demografi.bps.go.id/versi2/index.php?optio=com_content&view=art icle&id=948&Itemid=112&lang=en Badan Pusat Statistik. 2009. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Kentang, 2009. Jakarta: BPS. Conway, G dan Chambers, R. 1991. Sustainable Rural Livelihood: Practical Concept for 21st Century. IDS Discussion Paper 296. Dharmawan, AH. 2001. Farm Household Livelihood Strategies and Socieconomic Changes in Rural Indonesia. [Disertasi]. Germany: the GeorgAugust University of Gottingen. Dharmawan, AH. 2006. Sistem Penghidupan dan Nafkah Pedesaan Pandangan Sosiologi Nafkah (Livelihood Sociology) Mazhab Barat dan Mazhab Bogor. Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia. Vol. 01, No.02 Agustus 2007. Ellis, Frank. 2000. Rural Livelihoods and Diversity in Developing Countries. New York: Oxford University Press. Fadjar, et al. 2008. Transformasi Sistem Produksi Pertanian dan Struktur Agraria serta Implikasinya Terhadap Diferensiasi Sosial dalam Komunitas Petani (Studi Kasus Empat Komunitas Petani Kakao di Provinsi Sulawesi Tengah dan Nangroe Aceh Darussalam). Jurnal Agro Ekonomi, Vol. 26 No.2. Hanani, N dan Purnomo, M. 2010. Perubahan Struktur Ekonomi Lokal Studi Dinamika Moda Produksi di Pegunungan Jawa. Malang: UB Press. Hefner, Robert. 1999. Geger Tengge : Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik. Yogyakarta: LKIS. Bencana Dieng Dilema Utang Para Juragan Kentang. 2011 03 Juni. Kompas. Regional: 1 &15 (Kol.1-5). Lestari, Dewi. 2005. Strategi Nafkah Rumah Tangga Nelayan Pantai Utara dan Pantai Selatan Jawa (Studi Kasus Komunitas Nelayan Banyuwoto, Jawa Tengah dan Komunitas Nelayan Cipatuguran, Jawa Barat. [Skripsi]. Bogor: Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, IPB. Li, Tania Murray. 2002. Proses transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Mahdi, et al. 2009. Livelihood Change and Livelihood Sustainability in the Uplands of Lembang Subwatershed, West Sumatra, Indonesia, in a Changing Natural Resource Management Context. Environmental Management (2009) 43:84-99.
74
Meilke, S, Ramasut, T dan Walker, J. 2001. Sustainable Rural Livelihoods: Concept and Implications for Policy. DPU. [Internet]. [Dikutip tanggal 27 Februari 2011]. Working Paper No. 112. Dapat diunduh dari: http://www.ucl.ac.uk/dpuprojects/drivers_urb_change/urb_society/pdf_liv eli_vulnera/DPU_Meikle_Sustainable_Urban%20Livelihoods.pdf Mubyarto. 1995. LP3ES.
Pengantar Ekonomi Pertanian (cetakan keempat). Jakarta:
Oxford Dictionary. 2007. “Experience” (cetakan ketujuh). New York: Oxford University Press. Oxford Dictionary. 2007. “Income” (cetakan ketujuh). New York: Oxford University Press. Pranadji, Tri. 2003. Menuju Transformasi Kelembagaan dalam Pembangunan Pertanian dan Pedesaan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian: Jakarta. PT Indonesia Power. 2003. “Data Sedimentasi Waduk Mrica”. Banjarnegara: PT Indonesia Power. Purwanti, Rini. 2007. Pendapatan Petani Dataran Tinggi Sub DAS Malino (Studi Kasus: Kelurahan Gantarang, Kabupaten Gowa) (Farmer Income in Upland Malino Watershed: Case Study in Gantarang Village). Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 4 No. 3 September 2007, Hal. 257 – 269. Rasahan, Chairil A, et al. 1999. Refleksi Pertanian: Tanaman Pangan dan Hortikultura Nusantara. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Reintjes, Coen, Bertus Haverkort dan Ann Waters-Bayer. 1992. Pertanian Masa Depan Pengantar untuk Pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah. Y. Sukoco, SS, (terj.). Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Rusli, Said. 1995. Pengantar Ilmu Kependudukan Edisi Revisi (cetakan ketujuh). Jakarta: LP3ES. Sabiham, et al. 2008. Pengembangan Model Ecofarming di Lahan Pegunungan yang Dimanfaatkan untuk Budidaya Pertanian. Laporan Hasil Penelitian. Institut Pertanian Bogor. Samadi, Budi. 2007. Kentang dan Analisis Usahatani Edisi Revisi. Yogyakarta: Kanisius. Scoones, Ian. 1998. Sustainable Rural Livelihoods a Framework for Analysis. IDS Working Paper 72. Singarimbun, Masri dan Efendi, Sofian (ed.). 2008. Metode Penelitian Survei (cetakan kesembilanbelas). Jakarta: LP3ES. Subali, A. 2005. Pengaruh Konversi Lahan Terhadap Pola Nafkah Rumah Tangga Petani. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, IPB. Sunito, Satyawan. 2007.“Pertanian Berkelanjutan”, dalam Adiwibowo, Soeryo (ed.), 2007. Ekologi Manusia. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia.
75
[UU] Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2010 Tentang Hortikultura. Wahyuni, Ekawati S dan Muljono, Pudji. 2009. Bahan Kuliah Metode Penelitian Sosial (KPM 398). Bogor: Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, FEMA-IPB. White, Benjamin. 1978. „Rumah Tangga Sebagai Unit Analisa‟. Dipresentasikan pada Lokakarya Studi Dinamika Pedesaan Jawa Timur. Survey Agro Ekonomi Universitas Brawijaya. Wiradi, Gunawan. 2009. Metodologi Studi Agraria Karya Terpilih Gunawan Wiradi. Bogor: Sajogyo Institute.
LAMPIRAN
77
Lampiran 1. Peta Desa Karangtengah, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah
Desa Karangtengah
Sumber : www.banjarnegarakab.go.id
78
Lampiran 2. Panduan Pertanyaan Informan Petani
Apek yang Ditanya Sejarah Pertanian kentang
Usahatani kentang
Strategi nafkah
Tokoh Masyarakat
Sejarah pertanian
Pertanyaan 1. Sejak kapan anda mulai menjadi petani? 2. Apa yang mendasari anda menjadi petani? 3. Sebelum menanam kentang, komoditas apa yang anda tanam? 4. Sejak kapan anda menanam kentang? 5. Dari siapa anda tahu tentang komoditas kentang? 6. Dari mana anda memperoleh bibit kentang? 7. Jenis kentang apa yang anda tanam? 8. Sejak kapan jenis kentang tersebut ada? 1. Mengapa anda memutuskan untuk bertanam kentang? 2. Menurut anda apakah berusahatani kentang menguntungkan? Mengapa? 3. Apakah terdapat perubahan kapasitas produksi kentang saat ini dibandingkan 10 tahun yang lalu? 4. Jika ada perubahan, apa faktor penyebabnya? 5. Bagaimana kondisi usahatani kentang jika dibandingkan dengan usahatani lainnya? 6. Apakah anda pernah rugi dalam usahatani kentang anda? Mengapa? 7. Bagaimana cara anda mengatasi kerugian dalam usahatani kentang anda? 8. Bagaimana anda mengalokasikan pendapatan usahatani tani kentang? Untuk kebutuhan apa saja? 1. Dalam rentang waktu menunggu panen kentang, apakah ada pekerjaan lain yang anda lakukan? 2. Mengapa anda memilih pekerjaan tersebut? 3. Apakah anda melibatkan anggota keluarga dalam pilihan pekerjaan tersebut? 4. Menurut anda, apakah pekerjaan tersebut membantu untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga? 5. Bagaimana alokasi pendapatan pekerjaan tersebut?Untuk kebutuhan apa saja? 1. Apakah anda mengetahui bagaimana pertanian diterapkan di daerah ini? 2. Bagaimana kondisi pertanian sebelum kentang menjadi komoditas utama? 3. Bagaimana kondisi pertanian saat ini? Apakah ada perubahan dibanding 10 tahun yang lalu? Mengapa?
79
Dinas Pertanian Pertanian kentang Kabupaten Banjarnegara
4. Menurut anda apakah pertanian di lokasi ini semakin meningkat? Jika iya/tidak, mengapa? 1. Bagaimana kondisi pertanian kentang di kabupaten Banjarnegara dan perkembangannya selama 10 tahun terakhir? 2. Bagaimana fluktuasi harga kentang dibanding komoditas hortikultura lainnya? 3. Berapa jumlah petani kentang di Kabupaten Banjarnegara dibanding dengan komoditas lainnya? 4. Adakah data tentang pertanian kentang di Kabupaten Banjarnegara?
80
Lampiran 3. Daftar Kerangka Sampling dan Responden No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47
Nama SLR AHS SBH Ny DKD SRY FTA SRF BHD MYN MSD SDB MYT MHN MDN HDG SDT SRP NSR SKD MDP RMN SKP GNW BWN SLH MHR MMA SMJ SLN MNR SYD AFA WKY MH BSR LDN MRY HYD GT NGH MTD H. MRF AMZ TMD JMT MWN ZWT
Kampung KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH
No 494 495 496 497 498 499 500 501 502 503 504 505 506 507 508 509 510 511 512 513 514 515 516 517 518 519 520 521 522 523 524 525 526 527 528 529 530 531 532 533 534 535 536 537 538 539 540
Nama GD ADR TRN WHN SMD PDL SRN AHM SKS JML SDK ED MTK TMB MYN TGH AMD Bu WNT LTF TRK Bu SHT MMHM NSR KMR RHM NNW CPT RHN ADR SBD SWT MJ H. WYN NGY STS Bu FTH SG MHT ANW KHD SWT SSN HMT SGS SDQ PJ SPD
Kampung PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN
81
48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99
SYD SAJ STA FHZ YMD AHF NPH DDR ADJ H. SMD KT MDR MGR SGN MST RNT IRS SLS H. JTN WLY JND YNS FZN KRD MNT SYT SRJ MHP RSD SLH CLP TRY PSD AGS HNT MHB MHD AHN SSL SGN ABS TBN MHY PWT SLM MHS HJT SPT MHS KHD SBD HMD
KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH
541 542 543 544 545 546 547 548 549 550 551 552 553 554 555 556 557 558 559 560 561 562 563 564 565 566 567 568 569 570 571 572 573 574 575 576 577 578 579 580 581 582 583 584 585 586 587 588 589 590 591 592
NRH KHD JN YSM RHM TLS MHM TMN NTN SBD NRA MHD RSD RHN TLM ZPT Bu RHD SLG MHS TBH ANT BDN H. PRT MHL JWN Sair MSF SLM MSH SRF NRH KMT RHR IND JMD SRY SKD WT SML SN IRF Bu MRY HRD DLS BSK SBH MND Bu WSR STS Bu SRH RYD MMT
PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN
82
100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151
MEA KSW SL SBN MTM SLN NHS H. BYN SDS TWT NKN SLT Hj. DJD SPY YSN Hj. PDN MJD BDN NRH MHZ ABD HTN HZN RST MDJ MST RMB GON SUA MUJ NAS MES SUN BAWI SAR NIR NYO SUR ROH NGA H. MHK MFKH SMB ABN DLK TYN H. NGD GITO KHS SYA ABS ARF
KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH
593 594 595 596 597 598 599 600 601 602 603 604 605 606 607 608 609 610 611 612 613 614 615 616 617 618 619 620 621 622 623 624 625 626 627 628 629 630 631 632 633 634 635 636 637 638 639 640 641 642 643 644
IRH ARF KHM SPN MSH TRS MNT Bu SNR MHD AHM SGG H. WRS MRF STK SHD Bu WSR NSN MYD FZ NRD HSN MST ZED SWY TGH MNS PRS HYN RDM MLT PYT SRN JMT YNT ZKN TOR SDY TLB ZBK SYN NRY MTK SWT HYD MHD AMH TRD WYT UDS DYT NHL SPD
PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN
83
152 153 154 155 156 157 158 159 160 161 162 163 164 165 166 167 168 169 170 171 172 173 174 175 176 177 178 179 180 181 182 183 184 185 186 187 188 189 190 191 192 193 194 195 196 197 198 199 200 201 202 203
PLN MZM SSN SN TJD H. SYT SYN SGN PWT WST TRM DYN BSR NRY MSF NHB H. TRH SJD NSM KJN MTT MRD ARS PWD FEN SRT H. AYD STR YT SHT BGN SM JMT AGS JNT SPG SPR TRT STN MMG HLD SKT AHM GYT BDN UMY SBD TTS TTO JML NRD SRT
KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH
645 646 647 648 649 650 651 652 653 654 655 656 657 658 659 660 661 662 663 664 665 666 667 668 669 670 671 672 673 674 675 676 677 678 679 680 681 682 683 684 685 686 687 688 689 690 691 692 693 694 695 696
UMS IMN PYN NHD MTY Bu TNH H. ZAI HD MYT KHD MBD Bu SML Bu ST JPR RHN SRT PUR Bu KHT MTH Bu TTN JM SKR IST Bu RHM SLR TNT SRM SPT BWN HTN SDL KZN KHI TKM MSR SBR Bu NRT Bu GRS MHS SNT Bu SMA MTG H. NYT Bu SHL SHR AL UTG RL DMJ TMN PYN RYN
PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN
84
204 205 206 207 208 209 210 211 212 213 214 215 216 217 218 219 220 221 222 223 224 225 226 227 228 229 230 231 232 233 234 235 236 237 238 239 240 241 242 243 244 245 246 247 248 249 250 251 252 253 254 255
MRD KHD SMN SPR SYT MKL SLS SRD MJN PWT MDN MGT IRS BHM HBU HYN NSH MLF NRM NGR KND ABH SLM NGS LSM SST MGO SBR RTT ZNL MHS H. RPT AHA MGK H. SHJ SGN H. MHT SRP NGL PN LMN SJW GND BDM PRF NM TKP TYN MHN SNT SBR HYD
KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH
697 698 699 700 701 702 703 704 705 706 707 708 709 710 711 712 713 714 715 716 717 718 719 720 721 722 723 724 725 726 727 728 729 730 731 732 733 734 735 736 737 738 739 740 741 742 743 744 745 746 747 748
THR HSS MHM Bu BGH Bu LST Bu CML Bu IMB GI SMR ZR PYT SYN SSD SLH GNW SNT WYT ST SRY MGN MHL RTA TSM IZ NRY SPO TSR Bu MND MSW SRB HSN Bu NR KMD THN Bu SMR Bu MST Bu SRS Bu SKN Bu KRP MSN NGN TBS SBR SKA PGK PYT SJT AHM PYD KHD EDS KHA
PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN
85
256 257 258 259 260 261 262 263 264 265 266 267 268 269 270 271 272 273 274 275 276 277 278 279 280 281 282 283 284 285 286 287 288 289 290 291 292 293 294 295 296 297 298 299 300 301 302 303 304 305 306 307
BDS BRD PMN H.MHR H. YNT JKY SGK SBW ABM SLN MHK RDL TRT SRT BRK FCH RLH H. BMB NSD H. ETT JER TRP SYT TTP NRY MMT MSY WWB SAT JMD PYT MAR SPR SHM MNT KRY SKR MuWM TYB RS SDN HYT SMR SNN H. RHM EDM AMD YTD RKH RYT Ny. AHD QMR
KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH
749 750 751 752 753 754 755 756 757 758 759 760 761 762 763 764 765 766 767 768 769 770 771 772 773 774 775 776 777 778 779 780 781 782 783 784 785 786 787 788 789 790 791 792 793 794 795 796 797 798 799 800
SGT MJS RTM DWJ ESD SBD MTF MHL MHD KHK MLH NRF SHN MTD SKT MWD MYN THT SBK Bu RSW SKD MTR USF LM RZK SDJ MYN DWT MTT NA NYN MSR MSL Bu SNT BM NSR SRD MFH MHR KF PRT IFT HRJ MFH SMD WTD Ny BWN SYM Ny SMH HFT HTN ALB
SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN
86
308 309 310 311 312 313 314 315 316 317 318 319 320 321 322 323 324 325 326 327 328 329 330 331 332 333 334 335 336 337 338 339 340 341 342 343 344 345 346 347 348 349 350 351 352 353 354 355 356 357 358 359
PYT IRS SGT HMT H. MYB MHY KHD TRT AYK MDA MHA RSW MKT MHS JWT RMD KHM KRD MTH MHL SML WNT THR SD PRN SYN MHN STY SGJ SRN ZAN SLA RNT SLJ SKR RTN MSW BUG SBL SRY WLD MWT KDL MRD NYN NR MHB SBM SLO NHD MTM BYT
KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH
801 802 803 804 805 806 807 808 809 810 811 812 813 814 815 816 817 818 819 820 821 822 823 824 825 826 827 828 829 830 831 832 833 834 835 836 837 838 839 840 841 842 843 844 845 846 847 848 849 850 851 852
STR KNT PPPT NSH AHD RFK MRD WHY SWD SSW MRD KMD ZA SR Ny TNM SKH ABH NGD MSN SLR GTO ABD DRT MHT PNR MTF MHT MDN WND SPR KHT SDK SIM NGY SMD EKH MSD STH NRT SOM AHM RUS LAT SPL SDI AYM SLA H. BUS H. AHM ISJ AHY ARF
SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN
87
360 361 362 363 364 365 366 367 368 369 370 371 372 373 374 375 376 377 378 379 380 381 382 383 384 385 386 387 388 389 390 391 392 393 394 395 396 397 398 399 400 401 402 403 404 405 406 407 408 409 410 411
SLS REB MBD MYN HRM H.HDT RSD TRN SNO MKS SRO MUS GOR H. CHD MUH AMY TTR SWT AAY SAH BUD WIN TUG H. MFK AMS H. GNA JHR SHT ARF WYD KHD BAH MYT MFY H. MSD SBT AS CIP YGT NRT NHM NGT DRS NHN TMN SRP JWT H. ON NSN JML NHD STK
KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH
853 854 855 856 857 858 859 860 861 862 863 864 865 866 867 868 869 870 871 872 873 874 875 876 877 878 879 880 881 882 883 884 885 886 887 888 889 890 891 892 893 894 895 896 897 898 899 900 901 902 903 904
SMT FZN YD NRF PRT SWD NTG AFA MUK AHY MTH SLS EMB HDE HRT FTK HRL RDT RMT PDT MRT EFU TLP ZUR ARF PRY STK SUP HAR MRD AHS ADI AHM NRJ FHR MTS ERF BDT NRM MTS HYN NRL SKN KAY NWD TU TRO NON ACH MHR ALJ RDH
SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN
88
412 413 414 415 416 417 418 419 420 421 422 423 424 425 426 427 428 429 430 431 432 433 434 435 436 437 438 439 440 441 442 443 444 445 446 447 448 449 450 451 452 453 454 455 456 457 458 459 460 461 462 463
ZDN TYT SMD BRD H. ZD SDN DAR JMT MDT MHW NHD MJT STO HDS MHY TRY MTO MJO MZK MUS SMD PUJ DRM ZAR AHS AMM MRT AMN FTH NIR AHN EDH GTM MHT SBY SBD MDN PWS AHR MOQ MAR PAW SUW NHM MAT KRT AHI KHS ABN AFN AMN SUL
KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH
905 906 907 908 909 910 911 912 913 914 915 916 917 918 919 920 921 922 923 924 925 926 927 928 929 930 931 932 933 934 935 936 937 938 939 940 941 942 943 944 945 946 947 948 949 950 951 952 953 954 955 956
MHD NHK ARN NHK MKH MIS ATM AKH TOF SUD PRA SUN MIF DAY NAS STI FAT HAR MAH TUN MUS RYD MIS NAS AMT MTR HTT WTO MYO MYM FDY ARM NDY SCT MTD MYT PND MWT YTO NWI TUI MAT MAI DUL SAK RWY SDT HDS RIZ WIN WYN KSD
SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN
89
464 465 466 467 468 469 470 471 472 473 474 475 476 477 478 479 480 481 482 483 484 485 486 487 488 489 490 491 492 493
AHS NAS MHP RHM SSL MBD SDQ KHD MJY HMT NGR JWH MJD KKS SPT BYN M. SYR SHD WHD BHN SPN BRD MNS Bu SLM EK Bu WMH KSD MKH SGY MHD
KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH KARANGTENGAH PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN PAWUHAN
: Responden terpilih Sumber: Data Monografi Desa Karangtengah (2010)
957 958 959 960 961 962 963 964 965 966 967 968 969 970 971 972 973 974 975 976 977 978 979 980 981 982 983 984 985 986
IPN WNT HRT SYT AWD SKT TRK RMS THN WYT ISY YNT DYT DMD NYT ISW WYN KLM ARF RS A. BD IHS TWT MLH SYN MHD MHW A. NJD MHT NWD
SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN SIMPANGAN
90
Lampiran 4. Dokumentasi Penelitian
Photo 1. Bentangan lahan pertanian merupakan perbukitan yang gundul
Photo 2. Kondisi umbi kentang yang terbawa longsor
91
Photo 3. Penggunaan input kimia di lahan pertanian
Photo 4. Petani pada saat menyemprot tanaman kentang
92
Photo 5. Proses pemanenan kentang
Photo 6. Lahan miring yang kritis untuk pertanian kentang
93
Photo 7. Kentang diserang penyakit busuk akar
Photo 8. Tanaman kentang yang terkena busuk daun
94
Lampiran 5. Wawancara Strategi Nafkah Rumahtangga Ibu IRS (20 tahun). Jumlah tanggungan rumahtangga Ibu IRS adalah 2 orang. Selain menjadi petani kentang, beliau menjadi pedagang pulsa dengan penghasilan rata-rata per hari adalah Rp 50.000,00. Menjadi pedagang pulsa baginya cukup menguntungkan sebab di Desa Karangtengah belum banyak yang melakukannya. Rumahtangga Bapak HYN (32 tahun). Selain menjadi petani kentang di lahan warisan orang tuanya, istri Bapak ARM membuka warung yang menyediakan kebutuhan sehari-hari di rumahnya. Dalam satu bulan, penghasilan dari warung sekitar Rp 300.000,00. Biasanya uang tersebut diperuntukkan untuk uang saku anaknya yang sedang bersekolah di SMP. Rumahtangga Bapak KMD (50 tahun). Bapak KMD merupakan petani yang tidak memiliki lahan. Beliau mengelola sepetak lahan yang statusnya sewa. Jumlah keluarga Bapak KMD adalah 5 orang. Bapak KMD menjadi buruh ngebor tanah di salah satu Perusahaan yang bergerak di bidang Geothermal. Dalam satu bulan biasanya dia memperoleh pendapatan Rp 200.000,00 dari pekerjaannya. Pada saat dia bekerja untuk mengebor tanah, istri dan anaknya bertugas mengurus pertanian kentang. Rumahtangga Bapak ADR (50 tahun). Selain menggarap lahan yang ditanami kentang, setiap hari minggu atau hari libur Bapak ADR bekerja sebagai kusir dokar di lokasi wisata Telaga Warna, Dieng. Dalam satu hari biasanya dia bisa mendapatkan Rp 25.000,00. Satu bulan rata-rata Bapak ADR menarik dokar sebanyak 5 kali. Rumahtangga Bapak JN (26 tahun). Bapak JN menggarap lahan yang diwarisi oleh orangtuanya. Bapak JN murni menggarap lahan pertaniannya, kemudian istrinya menjadi penjahit dan pedagang pakaian untuk menambah penghasilan. Pendapatan istrinya dalam satu bulan sekitar Rp 150.000,00. Rumahtangga Bapak SYA (40 tahun). Bapak SYA menanggung 5 anggota rumahtangga lainnya dengan penghasilan dari bertani kentang. Untuk menambah penghasilan, istrinya menjadi pedagang makanan. Pendapatan dari berdagang ini rata-rata Rp 150.000,00. Meskipun sedikit tapi lumayan untuk membeli kebutuhan dapur. Rumahtangga Bapak RYT (45 tahun). Istri dari Bapak RYT membuka warung di rumahnya yang menjual berbagai macam kebutuhan pokok dan sehari-hari. Dari berjualan, rumahtangga ini mendapat tambahan sekitar Rp 300.000,00 dalam jangka
95
waktu satu bulan. Pada pagi hari setiap dua hari sekali istri Bapak RYT membantu suaminya merawat tanaman kentang, setelah itu beliau menjaga warungnya sambil mengurus pekerjaan domestik. Rumahtangga Bapak AHR (35 tahun). Selain menjadi petani kentang di atas lahan miliknya, Bapak AHR mencari penghasilan lain melalui berdagang. Beliau menjadi pedagang pengumpul sayuran (koncang, kobis, seledri, wortel) dari petani ke distributor selanjutnya. Rata-rata dalam 1 bulan Bapak AHR bisa memperoleh pendapatan sebesar Rp 500.000,00. Rumahtangga Bapak SYD (45 tahun). Bapak SYD mengelola lahannya sendiri dan ditanami kentang, selain itu beliau berprofesi sebagai pengumpul kentang dari petani. Istrinya juga membuka warung di rumahnya untuk menjajakan gorengan. Penghasilan yang diperoleh Bapak SYD dari menjadi pengumpul kentang sekitar 500.000,00 per bulan, dan istrinya bisa mendapatkan sekitar Rp 150.000,000 per bulan.
96
Lampiran 6. Analisis Usahatani Kentang dengan Luas Lahan 0,5 ha/Musim Hujan No Uraian I Biaya tenaga kerja Pengolahan tanah Penanaman bibit Pemupukan Pengendalian hama dan penyakit Pemanenan Pengangkutan Jumlah I II Sarana Produksi Bibit/benih Pupuk kimia: Urea Pupuk kandang Pebasmi hama: Mantep Dakonil Buldog Korset Pitora Jumlah II III Lain-lain Pajak tanah Biaya tak terduga (10%) Jumlah III Total biaya produksi (C)=I+II+III Pendapatan Kotor (R) Pendapatan Bersih (R-C)
Satuan Fisik
Pengeluaran Satuan
Borongan
Jumlah
Rp 1.200.000,-
105 pikul
Rp 3.500,00
Rp 400.000,Rp 367.500,Rp 1.967.500,-
30 keranjang
Rp 200.000,-
Rp 6.000.000,-
3 kuintal 2 rit
Rp 170.000,Rp 800.000,-
Rp 510.000,Rp 1.600.000,-
15 kg 5 kg 2 botol 15 kg 10 botol
Rp 60.000,Rp 140.000,Rp 40.000,Rp 140.000,Rp 88.000,-
Rp 900.000,Rp 700.000,Rp 80.000,Rp 2.100.000,Rp 880.000,Rp 12.770.000,-
Rp 25.000,-
Rp 25.000,Rp 833.750,Rp 883.750,Rp 15.520.750,Rp 32.826.106,Rp 17.305.256,-