UNIVERSITAS INDONESIA
PERUBAHAN POLA PERTANIAN RAKYAT DI DESA SEMBUNGAN DATARAN TINGGI DIENG (1985-1995)
SKRIPSI
RAUDHOTUN ARBANGIYAH 0806344061
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH DEPOK JUNI, 2012
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
PERUBAHAN POLA PERTANIAN RAKYAT DI DESA SEMBUNGAN DATARAN TINGGI DIENG (1985-1995)
SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Humaniora
RAUDHOTUN ARBANGIYAH 0806344061
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH DEPOK JUNI, 2012
i
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Saya yang bertanda tangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa skripsi ini saya susun tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan yang berlaku di Universitas Indonesia.
Jika di kemudian hari ternyata saya melakukan tindakan plagiarisme, saya akan bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Universitas Indonesia kepada saya.
Depok, 26 Juni 2012
(Raudhotun Arbangiyah)
Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012
ii
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar
Nama
: Raudhotun Arbangiyah
NPM
: 08063440061
Tanda Tangan : Tanggal
: 26 Juni 2012
Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012
iii
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012
iv
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
KATA PENGANTAR
Puji syukur ‘Alhamdulillah’ penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala limpahan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Skripsi dengan judul “Perubahan Pola Pertanian Rakyat Di Desa Sembungan Dataran Tinggi Dieng (1985-1995)”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana pada Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya, Universitas Indonesia. Dalam kesempatan ini ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada: (1) Dr. Mohammad Iskandar, selaku pembimbing yang telah banyak memberikan saran dan perhatiannya serta dengan kesabaran dan ketelitiannya dalam membimbing hingga selesainya pembuatan skripsi ini, (2) Bapak Abdurahman M.Hum selaku Ketua Program Studi Ilmu Sejarah, serta segenap dosen Program Studi Ilmu Sejarah; Prof. Susanto Zuhdi, Mbak Titi, Mas Bondan, Mbak Tini, Mas Wasith, Mbak Linda, Mbak Ii, Mas Kresno, Mbak Ita, Mas Iman, Bu Lily, Mas Didik, Mas Lutfi, Pak Saleh Djamhari yang telah memberikan ilmu berharganya selama penulis mengikuti kegiatan akademis, (3) Para penguji yang berkenan menguji skripsi ini; Mas Maman sebagai petua Penguji, Mas Is sebagai pembimbing, Mas Bondan sebagai penguji utama, serta Mba Linda sebagai panitera, (4) Pustakawan Perpustakaan FIB UI, Perpustakaan Pusat UI, MBRC FISIP UI, Perpustakaan Nasional RI, Perpustakaan Pusat IPB (LSI), Perpustakaan Litbang Departemen Pertanian Bogor, LIPI, BPS DKI, Jakarta, BPS Wonosobo, dan Perpustakaan Pusat Unsoed yang telah membantu penulis mendapatkan bahan-bahan pustaka, (5) Teman-teman di Program Studi Ilmu Sejarah angkatan 2008; Geng “RATU” yang akhir-akhir ini mewarnai hari-hari penulis terlebih the queen riska “ita”, kikin “kincup”, natasia “tacha”, ken paramita “kenyi”, indah “ling-ling, ifa “ipeh”, yang mengirimkan pesan pendukung penuh semangat saat penulis Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012
v
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
menunggu detik-detik menuju sidang), Nurul Iman dan Ryan PB yang menyempatkan datang dan memberikan semangat pada penulis saat sidang matur suwun sanget konco-konco, Iit Iriyana “Ibuk” thanks for making friendship all the time, you are my best friend that I have as long as I am here, Ridho, Rachman, Lisan, Anto, Hendra Sakti dengan ucapan selamatnya “segera menyusul guys!”, Aniek, Yuli, Ade, Novi, Allan, Diana, Yongki, Benaya, Griffith, Adit, Diemas, Satria, Owy, Oly, Ka Hikmah (Sejarah ’05) atas advicenya yang sangat berharga, Ka Nurul (Sejarah ‘07), Ka Syefri (Sejarah ‘03), Ka Oky (Sejarah ’05), dan semua teman-teman prodi Ilmu Sejarah angkatan 2008 lainnya yang tidak dapat ditulis satu per satu. (6) Teman-teman di FIB UI; Adkesma Family 2009/2010 (Bunda Lu’lu, Midun, Yulia, Ana, Edy, Andry, Erlin, Risa, Andi) meski hanya sebentar bersama kalian sangat berkesan buat penulis, juga KOPMAers (Awalina, Midun, Fitri, Dini, Ka Yayan) senang bisa mengenal kalian semua, (7) Bapak Hery Santoso, Atropolog UGM sebagai pembimbing informal penulis yang tanpa mengenal beliau mungkin skripsi ini tidak akan pernah tertuliskan. God bless you Pakher and your family. (8) Keluarga Bapak Abdurouf, Bapak Musofa-Mba Umayah di Desa Sembungan, Keluarga Bapak Humam-Mba Maisaroh di Desa Patak Banteng, dan Keluarga Bapak Mukhozin di Desa Sembungan. Terimakasih penulis sampaikan sebesar-besarnya atas penerimaan dan bantuan selama penulis melangsungkan penelitian, (9) Mr.William Sunderlin, sebagai sponsor penulis dari Yayasan Goodwill International, Goodwill Family; Ibu Mien, Mbak Rosa, dan Mas Broto. Terimakasih atas kesempatan yang diberikan selama dua tahun sehingga penulis dapat memenuhi kebutuhan finansial, dan juga training –trainining yang sangat bermanfaat bagi penulis,
Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012
vi
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
(10) Bank Indonesia atas bantuan beasiswa sehingga penulis mampu membiayai perkuliahan secara mandiri, serta PPMT UI tempat penulis menimba ilmu kehidupan tentang kesabaran, keikhlasan, serta semangat meraih mimpi dari Ibu Kasiyah, Mbak Rosmet, Mbak Rani, Ka Dadan, Pak Karno, Pak Mutaqin, Mas Adi, Pak Jahus, dan rekan-rekan senior lainnya, (11) Seluruh Goodwillers 2010/2011, Nuni, Nisa, Bang Boyke, Windu, Nelly, Paulus, Hero, Namanda, Asih, Nova, dan khususnya Kinasih Committe (Jeng Wachy, Kang Iwan, Boss Denis, Mami Atik, Neng Dini, Bang Aw, Bung Fandi, Mba Echa, Kaka Cia) thanks for togetherness on Goodwill Family. We must always remember the word “where is will, there is a good way” (12) Last but not least kedua orang tua terkasih, Nur Hayati dan (Alm) Abdul Ghofur, kalian adalah matahari dan bulan bagi penulis, kakak-kakak yang ibarat oase bagi penulis saat mengalami kesedihan dan masa-masa sulit, dan kedua adikku Nur Afni ZL “Aping”, Muhammad Rizal Ghazali “Iyang”, mari mengejar mimpi bersam-sama. Kalian adalah mutiara berharga buat keluarga. Buktikanlah bahwa kalian yang terbaik.
Akhir kata, penulis berharap semoga Allah SWT memberikan balasan yang terbaik kepada mereka. Penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan-kesalahan dalam skripsi ini. Saran dan kritik sangat diharapkan demi penyempurnaannya. Terimakasih. Depok, 26 Juni 2012
Raudhotun Arbangiyah
Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012
vii
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai civitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama NPM Program Studi Departemen Fakultas Jenis Karya
: Raudhotun Arbangiyah : 0806344061 : Ilmu Sejarah : Sejarah : Ilmu Pengetahuan Budaya : Skripsi
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan hak kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:
Perubahan Pola Pertanian Rakyat Di Desa Sembungan Dataran Tinggi Dieng (1985-1995) Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non eksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di : Depok Tanggal : 26 Juni 2012 Yang menyatakan,
(Raudhotun Arbangiyah)
Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012
viii
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
ABSTRAK
Nama
: Raudhotun Arbangiyah
Program Studi
: Ilmu Sejarah
Judul
: Perubahan Pola Pertanian Rakyat Di Desa Sembungan
Dataran Tinggi Dieng (1985-1995)
Dalam penulisan skripsi ini selain menggunakan metode sejarah, yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi, penulis juga menggunakan metode oral hstory (sejarah lisan), yaitu dengan menggunakan sumber wawancara sebagai sumber utama. Hal ini disebabkan sumber-sumber tertulis mengenai desa Sembungan tidak ada. Adapun skripsi ini merupakan tulisan dari serangkaian hasil penelitian yang dilakukan di Desa Sembungan, Dataran Tinggi Dieng. Penelitian yang dilakukan menyangkut masalah perubahan pola pertanian dari yang sebelumnya bersifat tradisional menjadi modern. Desa Sembungan terletak di Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, berjarak 28 km dari pusat kota kabupaten. Dengan iklimnya yang dingin, lingkungan di desa ini sangat cocok untuk pertumbuhan kentang. Apabila sebelumnya petani hidup subsisten maka setelah mengusahakan budidaya kentang berubah diatas garis subsisten. Sejak saat itu petani memutuskan kentang sebagai komoditas utama dalam pertanian. Salah satu hal yang menjadi fokus utama ialah adanya perubahan pola pertanian ini telah membawa dampak terhadap aspek ekonomi, sosial budaya dan lingkungan di Sembungan. Kata Kunci : Pertanian, Budidaya Kentang, Komersial, Sembungan
Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012
ix
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
ABSTRACTS
Name
: Raudhotun Arbangiyah
Major
: History
Title
: The Transition Pattern of Family Farming In Sembungan
Village Dieng Plateu (1985-1995) On writing this thesis, writer not only using history method which consist of heuristic, critic, interpretation, and historiography but also using oral history method by using interview as primary source. It is because the written source about Sembungan Village does not available. This thesis is the result of the research that the writer did at Sembungan Village, Dieng Plateu. The research carried out the problem concerning transition patterns of family farming from traditional to modern. Sembungan Village is located at District Kejajar, Wonosobo Regency, within 28 miles of downtown regency having cold climate, so the environment in this village is very suitable for growing potatoes. If foregoing peasants lived in such a subsistence life, after cultivating potato their life has been brought over the line of subsistence. After that time peasants decide the potato as a major commodities in agricultural. One of the main focus is the transition patterns of family farming which has an impact on the economic, social and cultural environment in Sembungan. Keyword: Farming, Cultivation Potato, Commercial, Sembungan
Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012
x
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL……………………………………………………………………… i SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME……………………………………... ii HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS……………………………………........ iii HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………………………….. iv KATA PENGANTAR ……………………………………….…………………………… v HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMI ……………………………………………….. viii ABSTRAK………………………………………………………………………………… ix ABSTRACTS……………………………………………………………………………… x DAFTAR ISI…………………………………………………………………………….... xi
DAFTAR BAGAN ……………………………………………………………….. xiii DAFTAR TABEL ………………………………………………………………..... xiv LAMPIRAN ……………………………………………………………………………… xv DAFTAR SINGKATAN ………………………………………………………………… xvi DAFTAR ISTILAH …………………………………………………………………….. xvii UKURAN………………………………………………………………………………… xx
BAB1 PENDAHULUAN………………………………………………………… 1 1.1. 1.2. 1.3. 1.4. 1.5. 1.6. 1.7.
Latar Belakang…………………………………………………………….. Rumusan Masalah………………………………………………………… Ruang Lingkup……………………………………………………………. Tinjauan Pustaka………………………………………………………….. Tujuan Penelitian………………………………………………………….. Metode Penelitian…………………………………………………………. Sistematika Penulisan…………………………………………………….
1 7 8 9 10 11 12
BAB 2 MASYARAKAT PETANI DESA SEMBUNGAN……………………... 14 2.1. 2.2. 2.3. 2.4.
Latar Belakang Historis………………………………………………….. Kondisi Alam dan Geografis…………………………………………….. Kegiatan Ritual Pertanian di Sembungan ……………………………….. Kependudukan…………………………………………………………….
Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012
xi
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
14 19 25 28
UNIVERSITAS INDONESIA
BAB 3 UPAYA MENGUBAH NASIB PETANI SEMBUNGAN……………….. 34 3.1. Perkembangan Pertanian di Sembungan…………………………………... 35 3.1.1 Tembakau………………………………………………………………… 35 3.1.2 Tanaman tumpangsari (intercropping)…………………………………… 40 3.1.3 Pitrum……………………………………………………………………... 43 3.1.4 Kubis Ekspres……………………………………………………………... 45 3.2. Revolusi Hijau Dalam Perkembangan Usaha Tani di Sembungan………... 47 BAB 4 KENTANG SEBAGAI KOMODITI PALING KOMERSIAL…………… 50 4.1. Munculnya Usaha Tani Komersial ………………………………………… 4.2. Sistem Pemasaran………………………………………………………….. 4.3. Pola Penggunaan Lahan, Tenaga Kerja, dan Modal………………………….. 4.4. Organisasi Pertanian di Desa Sembungan………………………………….
50 54 58 67
BAB 5 DAMPAK EKONOMI KENTANG TERHADAP KEHIDUPAN PETANI SEMBUNGAN…………………………………………………………….. 70 5.1. Dampak Ekonomi………………………………………………………….. 70 5.2. Dampak Sosial Budaya……………………………………………………. 72 5.3. Dampak Lingkungan………………………………………………………. 74 BAB 6 PENUTUP………………………………………………………………… 78 DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………... 80 LAMPIRAN……………………………………………………………………….. 86
Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012
xii
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
DAFTAR BAGAN
Halaman Bagan 1. Alur pemasaran kentang dari petani Sembungan ke pihak Konsumen……………………………………………………………
57
Bagan 2. Alur Perdagangan Kentang Inti-Plasma…………………………..
69
Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012
xiii
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Kondisi Fisik Geografis Desa Sembungan……………………………. 22 Tabel 2. Penggunaan Tanah di Desa Sembungan (ha)…………………………. 24
Tabel 3. Jumlah Penduduk dan Kepala Keluarga di Desa Sembungan……… 28 Tabel 4. Banyaknya Rumah Penduduk Berdasarkan Bangunannya……….. 29 Tabel 5. Banyaknya Penduduk Berdasarkan Pendidikan…………………….
30
Tabel 6. Banyaknya Penduduk Yang Pergi Keluar Desa……………............. 31 Tabel 7. Banyaknya Penduduk Berdasarkan Jenis Mata Pencarian………… 33 Tabel 8. Pengeluaran bahan-bahan kebutuhan pertanian dan penghasilan yang diterima untuk tembakau di desa Sembungan………………….. 37 Tabel 9. Kepemilikan Lahan Pertanian………………………………………… 55
Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012
xiv
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Pertanyaan Wawancara/Kuisioner……………………………… 86 Lampiran 2. Nama-nama kepala desa yang menjabat di Desa Sembungan… 90 Lampiran 3. Peta Kabupaten Wonosobo…………………………….……….. 91 Lampiran 4. Peta Kecamatan Kejajar…………………………………………. 92 Lampiran 5. Peta Desa Sembungan Di Kecamatan Kejajar…………………. 93 Lampiran 6. Tingkat Kemiskinan Sayogyo (untuk daerah pedesaan)………. 94 Lampiran 7. Foto Kentang Merah,Kubis Jawa, kubis ekspres, rumpun gelagah…………………………………………………………….. 95 Lampiran 8. Denah Desa Sembungan Tahun 2011………………………….. 96 Lampiran 9. Gambar Lanskap Desa Sembungan Masa Lalu dan Kini……… 97 Lampiran 10. Gambar Telaga Cebong…………………………………………. 98 Lampiran 11. Gambar Aktivitas Sehari-hari Petani Sembungan……………. 99 Lampiran 12. Lampiran 10 Gambar bibit kentang ditutup mulsa; tanaman kentang terkena layu daun……………………………………… 100 Lampiran 13. Gambar rumah petani Sembungan; Jalan setapak di Sembungan… ……………………………………………………. 101 Lampiran 14. Gambar Tanah Andosol, Latosol, dan Regosol………………. 102 Lampiran 15. Artikel Koran ………………………………………………….. 103
Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012
xv
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
DAFTAR SINGKATAN
Ha
=Hektar
Pemda
=Pemerintah Daerah
BRI
=Bank Rakyat Indonesia
Bimas
=Bimbingan Massal
Inmas
=Instruksi Massal
G 30 S
= Gerakan 30 September
KUD
= Koperasi Unit Desa
PPL
=Penyuluh Pertanian Langsung
Kupedes
= Kredit usaha pedesaan
Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012
xvi
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
DAFTAR ISTILAH
Pancen
: Kerja wajib kepada penguasa/raja
Bulu bekti
: Kewajiban menyerahkan hasil bumi kepada penguasa/raja
Pisungsung
: Semacam upeti cuma-cuma untuk penguasa/raja
Derik
: Lubang perlindungan yang dibuat di belakang rumah pada masa pendudukan Jepang
Mbulung
: Anyaman daun kelapa yang digunakan sebagai atap rumah
Ketepe
: Anyaman bambu yang digunakan sebagai dinding
Tanah Gege
: Tanah desa yang disewakan kepada penduduk pendatang yang kurang mampu
Tanah Kisik
: Tanah purbakala desa yang terletak di tepi telaga
Bengkok
: Tanah yang diberikan kepada para pejabat desa sebagai pengganti gaji
Glonggong gelagah : batang pohon Sembung yang dikeringkan dan digunakan sebagai obor Pengepul/calo
: tengkulak
Blek
: kaleng minyak/roti
Kubis Ekspres
: kubis jenis hibrida yang masa tanamnya pendek yaitu tiga bulan
Telaten
: rajin, ulet
Remek, sayah
: rasa lelah, capek
Buruh Tani
: orang-orang yang memiliki lahan pertanian sangat sempit, bahkan tidak emmeiliki sama sekali
Petani penggarap
: orang yang memiliki tanah pertanian tapi tidak luas, mereka mempunyai sarana produksi, seperti sapi, kerbau, dan peralatan lain
Petani pemilik
: orang-orang yang memiliki lahan pertanian yang cukup luas, pad aumumnya mereka menggarap lahan pertaniannya
Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012
xvii
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
sendiri, tetapi ada pula yang sebagian lahannya dikerjakan oleh orang lain dengan sistem bagi hasil Bera
: pengosongan lahan selama setahun atau lebih; lahan dibiarkan ditumbuhi semak belukar
Bakul
: Sebutan pedagang dalam Bahasa Jawa, dagangannya kecil jumlahnya, seperti sayur mayor, nuah-buahan, dll
Wong gunung
: orang yang berdomisili di kawasan pegunungan; di dataran tinggi
Sortasi
: proses pemisahan dan penggolongan tingkat kebagusan dan keseragaman hasil
Grading
: kegiatan sortasi berdasarkan ukuran berat, bentuk, sifat permukaan, bobot jenis, warna, dan tingkat kematangan
Sambatan
: minta tolong kepada orang lain dalam aktivitas pertanian
Bawon
: upah yang berwujud satu bagian tertentu dari seluruh hasil yang dipanen atau dierjakan oleh seseorang
Petuk
: surat keterangan pemerintah yang menunjukkan jumlah milik tanah untuk menentukan jumlah pajak.
Formulator
: penjual obat-obatan pertanian buatan pabrik
Pestisida
: obat-obatan kimia yang digunakan untuk memberantas gangguan tanaman
Fungisida
: obat-obatan kimia untuk memberantas jamur dan parasit
Herbisida
: obat-obatan kimia untuk menyuburkan tanaman
Insektisida
: obat-obatan kimia untuk memberantas serangga
Wereng kentang
: serangga yang menyebabkan kerusakan pada daun kentang dengan menyuntikkan zat beracun hytoximia.
Busuk daun
: penyakit ini disebabkan oleh pyitophthora infestans yang menyerang daun sehingga menimbulkan bercak cokelat di tepi atau tengah daun
Guludan
: tanah hasil galian lubang tanam yang membentuk gundukan tanah
Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012
xviii
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
Nglekasi
: ritual yang dilakukan sebelum musim tanam
Wiwit
: ritual yang dilakukan sebelum panen
Ruwat bumi
: upacara yang dilaksanakan setahun sekali setelah musim tanam
Baritan
: upacara selamatan untuk binatang ternak dilaksanakan setiap satu tahun sekali setiap bulan Muharam pada hari Jumat Kliwon
Gedheg
: anyaman dari bambu yang berfungsi sebagai dinding rumah
Wagu
: aneh, tidak cocok
Istighosah
:kegiatan berdzikir secara missal di masjid atau dilapangan
Mujahadahan
: kegiatan berdoa dan mengaji secara bersama-sama dalam waktu semalaman
Simaan
: kegiatan menyimak bacaan surat-surat Alquran yang dilakukan oleh penghafal alquran
Yasinan
: kegiatan membaca surat Yaasin setiap malam Jumat
Tahlilan
: kegiatan membaca doa-doa tahlil
Barjanji
: kegiatan mengumandangkan shalawat-shalawat barjanji
Shalawatan
: kegiatan mengumandangkan lagu-lagu shalawat untuk Nabi Muhammad SAW
Nyantri
:belajar agama di pondok pesantren
Nahdliyyin
: kelompok pengikut organisasi Nahdhlatul Ulama
Orang pintar
: dukun; orang yang memiliki kekuatan magic , pandai melafalkan mantra-mantra
Voor’schot
: kredit untuk tembakau
Intercropping
: memanen terus-menerus
Equivalent
: sama dengan, setara
Over supply
: produksi berlebihan yang menyebabkan penawaran meningkat
Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012
xix
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
UKURAN
1 pikul
= 25 kg
1 kotak
= 50 kg
1 Ton
=1000 kg
1 kg
=1000 gr
1 kuintal
=100 kg
1 ons
= 100 gram
1 tromol (kaleng)
= 1 kg
1 Ha
=2,47114 are
1 m2
=1,196 yard
1 ringgit
= Rp 2.5
Setalen
= 2 ketip 5 sen
Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012
xx
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pertanian atau usaha tani hakekatnya merupakan proses produksi dengan input alamiah berupa lahan dan unsur hara yang terkandung di dalamnya, sinar matahari serta faktor klimatologis (suhu, sinar matahari, kelembaban udara, curah hujan) berinteraksi melalui proses tumbuh kembang tanaman untuk menghasilkan output primer, yaitu bahan pangan dan serat alam. Pertanian dalam makna sempit atau pertanian rakyat adalah usaha tani yang dikelola oleh rumah tangga petani. Umumnya mereka mengelola lahan milik sendiri yang tidak terlalu luas dan menanam berbagai macam tanaman pangan (jagung dan palawija). Usaha tani tersebut dapat diusahakan di tanah sawah dan ladang. Hasil yang mereka panen biasanya digunakan untuk konsumsi keluarga, jika hasil panen mereka lebih banyak dari jumlah yang di konsumsi maka mereka akan menjualnya ke pasar tradisional. Jadi pertanian dalam arti sempit dapat dicirikan oleh sifat subsistensi atau semi komersial.1 Berdasarkan informasi dari penelitian Peter Boomgaard mengenai tanaman jagung di dataran tinggi Indonesia periode 1600-1940 terungkap fakta bahwa di Dieng jagung telah ditanam penduduk sekitar tahun 1830. Di Dieng jagung merupakan satu-satunya jenis tanaman pangan yang dikelola oleh rumah tangga petani untuk memenuhi kebutuhan pangan pokoknya. Hal ini dikarenakan tanaman pangan lain seperti padi gaga tidak mampu tumbuh pada tempat di atas 1100 m dpl sehingga tanaman ini tidak pernah secara luas dibudidayakan kecuali di daerah yang
1
Drs. Hendra Sunaryono, Pengantar Dasar Hortikultura, Bandung:Sinar Baru, 1984, hal.10 Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012 UNIVERSITAS INDONESIA
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
2
paling rendah di kawasan dataran tinggi Dieng. Oleh karena itu, bisa dikatakan pertanian jagung di Dieng pada masa itu lebih bersifat subsisten.2 Pertanian di Dieng mengalami perubahan menjadi komersial sejak tanaman tembakau dibudidayakan oleh petani pada tahun 1900. 3 Jagung yang merupakan tanaman pangan (food crops) digantikan oleh tembakau yang menjadi tanaman perdagangan (cash crops). Sebagai tanaman perdagangan bernilai tinggi, potensi tembakau di dataran tinggi ini dilihat oleh pedagang Cina. Mereka menawarkan kredit kepada para petani untuk memulai perdagangan komersial. Dengan demikian maka terbentuk hubungan antara kredit, petani, dan tanah. Hal seperti ini yang mendorong mereka meninggalkan budidaya jagung. Sejak saat itu, para petani mulai menanam tembakau yang menghasilkan uang tunai relatif lebih tinggi dari jagung. Namun, dalam perkembangannya tidak semua tempat di dataran tinggi Dieng dapat menikmati keuntungan dari pertanian tembakau. Hal ini disebabkan oleh kenyataan pada masa itu tembakau yang ditanam terbatas pada varietas voor oogst (VO) yang hanya dapat tumbuh subur pada ketinggian 4.500 kaki (1.500 m).4 Sementara tempattempat lain memiliki ketinggian lebih dari 4.500 kaki, yaitu sekitar 5.000 – 7.000 kaki (1.625-2.275 m). Akibatnya tidak semua tempat sesuai dengan persyaratan tumbuhnya sehingga budidaya tembakau tidak berkembang dengan baik. Dengan kondisi geografis dikelilingi oleh pegunungan yang memiliki ketinggian 140 s/d 2300 m di atas permukaan laut, dataran tinggi sangat memungkinkan untuk usaha pertanian holtikultura. Janick (1972) menyebutkan hortikultura adalah tanaman yang pembudidayaanya memberikan ganjaran berupa keuntungan uang atau kesenangan pribadi yang cukup bagi alasan pengeluaran biaya untuk upaya intensif.5 Bersamaan dengan ekspansi dan introduksi tembakau oleh pemerintah kolonial 2
Peter Boomgaard, Jagung dan Tembakau Di Dataran Tinggi Indonesia 1600-1940 dalam Tania Muray Li, Proses Trasformasi Daerah Pedalaman Di Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002, hal. 82-83 3 Ibid.,hal.93 4 Abdullah dan Soedarmanto, 1982, dalam Sholeh, Tembakau Dataran Tinggi Dieng, Monograf Balittas No.5. Malang: Balai Penelitisn Tembakau dan Tanaman Serat. 5 Tejoyuwono Notohadinegoro. Faktor Tanah Dalam Pengembangan Hortikultura. Repro Ilmu Tanah Universitas Gajah Mada. 2006 Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012 UNIVERSITAS INDONESIA
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
3
Belanda, pengelolaan komoditas hortikultura juga dilangsungkan di dataran tinggi Dieng. Sejumlah sayur-sayuran seperti kubis, kentang, bawang, dan kacang Dieng, ditanam di kawasan dataran tinggi ini secara terbatas. Hanya kacang Dieng dan kubis yang penanamannya cukup intensif karena khusus untuk dijual dipasar. Adapun Desa Sembungan, sebuah desa yang terletak dilereng teratas dari dataran tinggi Dieng merupakan daerah pegunungan dengan iklim dingin dan berjarak 26 km dari kota Kabupaten Wonosobo.6 Terdapat sebuah pembaharuan di kalangan petani. yaitu selama kurun waktu sepuluh tahun mereka berhasil melakukan usaha budidaya kentang yang berorientasi pasar. Kentang (Solanum tuberosum), adalah tanaman umbi-umbian berasal dari Amerika Selatan. Komoditas ini telah dibudidayakan oleh masyarakat Indian Aztec, Maya dan Inka sejak beberapa ribu tahun sebelum masehi. Bagi masyarakat Indian di Amerika Tengah dan Selatan, kentang merupakan makanan pokok selain jagung, singkong dan ubi jalar. Kentang dibawa masuk ke benua Eropa oleh bangsa Spanyol tahun 1794, dan dalam waktu sangat cepat menyebar ke seluruh Eropa, kemudian ke seluruh dunia. Dalam waktu cepat pula masyarakat Eropa menjadikan kentang sebagai makanan pokok mereka setelah gandum. Bangsa Belanda membawa kentang ke Jawa pada tahun 1794. Pertamakali budidaya kentang dilakukan di Cimahi, Jawa Barat. Lalu tahun 1811 bangsa Belanda mengintroduksi kentang ke Brastagi, Sumatera Utara. Selanjutnya sentra kentang berkembang di Kerinci (Jambi), Pangalengan (Jawa Barat), Dieng (Jawa Tengah), Tengger (Jawa Timur) dan Toraja (Sulawesi Selatan).7 Pada masa ini kentang yang ditanam ialah jenis Eigenheimer, Bevelander, Voran Profit, Marinta, Pimpernel dan Intje. Penduduk kawasan Dieng mengenalnya dengan sebutan kentang merah, kentang hitam, dan kentang putih. Akan tetapi, di masa ini kentang tidak dibudidayakan secara luas, karena hanya dijadikan tanaman sampingan tembakau.
6
Badan Pusat Statistik Kabupaten Wonosobo, Kecamatan Kejajar Dalam Angka 1995 Adiyoga, W. A. Pola Pertumbuhan Produksi Beberapa Jenis Sayuran Di Indonesia. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Lembang. 1998 Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012 UNIVERSITAS INDONESIA 7
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
4
Sampai akhir tahun 1970-an zaman penanaman kentang varietas baru di Sembungan belum berlangsung. Pada saat itu lahan-lahan pertanian didominasi tanaman tembakau, sayuran kubis, dan kacang Dieng. Kentang varietas baru, mulai diperkenalkan di wilayah ini pada tahun 1979 oleh Muqodas, seorang petani dari Desa Patak Banteng. Pada saat itu Muqodas menyewa dan membeli lahan di Sembungan untuk mengembangkan budidaya kentang di luar desanya dan ikuti oleh sejumlah petani lainnya. Hal ini dilakukan karena dua alasan, yaitu pertama, lahan pertanian di Desa Patak Banteng terbatas sedangkan jumlah penduduknya meningkat; kedua, kebutuhan kentang nasional dari waktu ke waktu terus meningkat. Orangorang Sembungan yang pada saat itu masih membudidayakan aneka tanaman lokal tidak memperhatikan pertanian baru tersebut secara serius, mungkin karena mereka belum mengenal pasar secara baik sehingga tidak berani berspekulasi untuk ikut mencoba tanaman baru itu. Mereka hanya memilih menjadi pengamat sambil menyewakan lahan-lahan miliknya kepada orang-orang Patak Banteng. Bahkan ada pula yang rela menjual lahannya. Tidak mengherankan kalau pada tahun 1978 sekitar 75 persen tanah pertanian di Sembungan dikuasai oleh petani-petani dari Patak Banteng. Pada tahun tersebut pula petani-petani Patak Banteng berhasil memproduksi hingga mencapai 20-30 ton/ ha. Jika dihitung keuntungannya, dengan harga jual pada saat itu Rp 550/kg kira-kira bisa mencapai Rp 11 juta sampai Rp 12.5 juta rupiah tiap hektarnya. Setelah dipotong biaya modal meliputi biaya pupuk, pengolahan tanah dan bibit sekitar Rp 3 juta/ha, maka keuntungan bersih petani sebesar Rp 8 juta hingga Rp 15.5 juta. Sejumlah uang yang sulit dibayangkan oleh petani Sembungan yang pada waktu itu rata-rata penghasilannya hanya Rp 166.000. 8 Melihat kesuksesan 8
Perhitungan ini dilakukan terhadap tanah seluas 300 keranjang (sekitar 0.4 ha) yang disewakan dengan harga Rp 100.000 per musim. Sementara untuk komponen tenaga kerja dalam satu musim perhitungannya sebagai berikut. Jika satu musim terdiri dari 12 minggu dan dalam satu minggu rata-rata curahan tenaga kerja buruh laki-laki empt hari dan butuh perempuan dua hari, maka jumlah total curahan tenaga kerja buruh laki-laki dan perempuan dalam satu musim masing-masing 48 Hari Orang Kerja (HOK) dan 24 HOK. Apabila dirupiahkan jumlahnya adalah 48 x Rp 1000 = Rp 46.000 untuk buruh laki-laki dan 24 x Rp 750 = Rp 18.000 untuk buruh perempuan. Total upah buruh adalah Rp 166.000. Hal ini sejalan dengan pendapat Benjamin White dalam Pola-Pola Transformasi Pertanian Rakyat Dalam Perspektif Analisa Sosial (1992:2) yang menyebutkan kenyataan bahwa UNIVERSITAS INDONESIA
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
5
petani Patang Banteng tersebut orang-orang Sembungan lantas bersemangat untuk ikut bertanam kentang. Pada tahun 1980 beberapa petani Sembungan mulai mengusahakan budi daya tanaman kentang. Disebabkan oleh kebutuhan modal yang cukup besar, yaitu mencapai 3 juta per hektar mereka mencari modal awal dengan berbagai cara seperti menjual ternak, meminjam uang dari sanak saudara, serta mengajukan kredit pada Bank. Pada saat itu BRI menggulirkan program Kupedes (Kredit usaha pedesaan) sehingga petani bisa mengajukan pinjaman kredit sebesar Rp 200.000-500.000 dengan jaminan sertifikat tanah. Perlahan-lahan mereka pun mulai mengadu nasib dengan tanaman kentang, meninggalkan tembakau, kobis dan kacang Dieng yang sudah mereka usahakan selama berpuluh-puluh tahun. Bahkan demi tanaman kentang, tanah-tanah yang sudah habis masa sewanya (rata-rata tanah itu disewa orang-orang Patak Banteng selama 5 tahun) tidak lagi diperpanjang. Sementara tanah-tanah yang sudah terlanjur dijual sedikit demi sedikit mulai diambil alih. Pada tahun 1995 seluruh tanah di Sembungan berhasil dimiliki penduduk setempat kembali. Antara tahun 1985 sampai tahun 1994, petani Sembungan mengalami masa kejayaan pertanian kentang. Salah satunya ditandai dengan jumlah orang Sembungan yang berangkat haji, dari yang sebelumnya hanya 10-15 orang, pada tahun 1994 mencapai 40 orang. Singkatnya gambaran lama mengenai sosok orang gunung yang miskin dan terbelakang sepertinya sudah tidak berlaku lagi. Kentang membuat petani Sembungan menjadi orang yang berkecukupan baik pangan, sandang, dan papan. Tidak ketinggalan pula barang mewah pun mampu mereka beli. Mobil, motor, televisi, tape recorder, hingga kulkas semua itu dapat ditemukan di setiap rumah orang-orang di Sembungan. Erat kaitannya dengan hal di atas, terlihat dengan jelas bahwa perubahan suatu pola pertanian akan memberikan pengaruh terhadap sikap petani. Keberhasilan ketika petani kecil berhadapan dengan fluktuasi harga di pasar yang tidak menetu, maka mereka akan lebih mengandalkan upah kerja (menjadi buruh upahan) daripada hasil penjualan dari hasil produksi lahannya.
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
6
mereka dalam hal adaptasi dan aplikasi pertanian kentang mendorong orang-orang Sembungan menjadi petani-petani komersial yang berorientasi penuh pada keuntungan dan pemenuhan kebutuhan pasar. Bahkan demi mengejar keuntungan yang lebih besar, petani melakukan penanaman kentang tiga kali sepanjang tahun. Pada era 1980-an hasil yang diperoleh sangat tinggi, yaitu 30-60 ton/ hektar. Apabila dirupiahkan dengan harga yang umum berlaku pada tahun itu, yaitu Rp 550/kg, maka penghasilan petani adalah sekitar Rp 16,5 juta sampai Rp 33 juta. Hal demikian wajar terjadi karena saat itu kondisi tanah-tanah di Sembungan masih bagus, belum tercemar racun kimia. Kenyataan bahwa pada tahun 1995 tanah-tanah menjadi tidak subur akibat akumulasi racun kimia dari sistem intensifikasi pertanian monokultur kentang. Kendatipun demikian, petani-petani Sembungan tidak menyerah begitu saja. Berbagai upaya ditempuh untuk kembali menyuburkan tanahnya. Salah satunya dengan penggunaan berbagai pestisida dan obat-obatan kimia. Demi meningkatkan keampuhannya mereka tidak ragu-ragu menyemprot tanaman kentangnya dengan fungisida dan pestisida sedikitnya dua hari sekali. Demikian juga hal yang sama akan terus mereka lakukan ke masa yang akan datang, semata-mata demi menjaga kestabilan ekonomi keluarga. Sebenarnya bagi orang-orang Sembungan bertanam kentang adalah upaya keras, untuk bisa menjadi orang Jawa yang semestinya. Bagaimanapun juga mereka mengimpikan perubahan dan menjadi bagian yang sah dari apa yang dinamakan sebagai masyarakat modern karena itu kentang bagi mereka adalah berkah yang sulit ditandingi tanaman pertanian yang lain. Apa pun resikonya mereka akan menempuh berbagai jalan untuk terus dapat mengusahakannya. Berangkat dari semua keterangan yang terpaparkan diatas, maka penulis berniat mengangkat fenomena ini menjadi topik penulisan skripsi dengan judul Perubahan Pola Pertanian Rakyat di Desa Sembungan Dataran Tinggi Dieng (1985-1995). Tahun 1985 merupakan masa awal petani mulai melakukan pergantian jenis tanaman tradisional menjadi tanaman komersial yang berorientasi pasar. Tahun 1995 sebagai batasan temporal dengan adanya dampak nyata dari perubahan pola pertanian tersebut terhadap kehidupan petani selama kurun waktu sepuluh tahun. Seperti diketahui juga
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
7
bahwa praktik pertanian di dataran tinggi sangat labil dan rumit, tidak seperti pertanian sawah di dataran rendah yang cenderung stabil. Sebagaimana ditekankan oleh ahli geografi Jan Palte bahwa pengolahan tanah secara intensif merupakan masalah lingkungan yang serius: “Praktik pertanian di pegunungan memiliki variasi yang dramatis, sesuai dengan ketinggian, suhu udara, ketebalan kabut, keadaan tanah, curah hujan, keadaan air tanah, topografi, serta sumberdaya yang dimiliki penduduk. Sekalipun demikian ada juga satu sifat yang hampir umum dalam pertanian pegunungan: kerentanannya terhadap erosi dan turunnya tingkat kesuburan. Tanah tegal di pegunungan tidak memiliki daya tahan ekologis seperti sawah beririgasi. Bila diusahakan dengan intensif, ia kehilangan kesuburan. Diterpa angin dan hujan ia mengalami erosi. Bila diusahakan terus-menerus ia menjadi tempat berbiaknya jamur dan 9 berbagai hama”.
Pendekatan kritis dalam penelitian ini diperlukan untuk membuka dan menerangi situasi krisis yang berlangsung dalam kehidupan petani di Desa Sembungan. Krisis terjadi ketika petani mengalami persoalan baik dari alam, masyarakat dan iptek. Satu hal khas yang dilakukan oleh para petani yang bercocok-tanam ini adalah mulai meninggalkan cara-cara lama yang cenderung menghindari resiko serta berorientasi pada ekonomi moral. Mereka yang dahulu bertani hanya untuk kebutuhan subsisten sekarang berorientasi ke pasar. Barangkali inilah pemandangan sempurna yang mewakili ungkapan Popkin dalam menggambarkan situasi tersebut: “tentang individu-individu itu menilai hasil-hasil yang mungkin diperoleh
yang berkaitan dengan pilihan-pilihan mereka yang sesuai dengan kesukaankesukaan dan nilai-nilai mereka. Dengan cara ini, mereka diskontokan (discount) evaluasi setiap hasil yang diperoleh menurut estimasi subyektif mereka. Akhirnya, mereka lakukan pilihan yang mereka yakini akan dapat memaksimumkan kegunaan (utility) yang diharapkan”10 1.2 Perumusan Masalah Seperti yang disebutkan pada latar belakang selama sepuluh tahun, yaitu dari 1985-1995 ada upaya petani Sembungan mengubah tanaman tradisional menjadi tanaman kentang. Adapun permasalahan pokok yang dibahas dalam penulisan ini adalah mengenai mengapa petani Sembungan berani mengambil resiko mengubah tanaman tradisional yang telah diusahakan selama puluhan tahun menjadi tanaman 9
Jan G.L.Palte, Upland Farming On Java, Indonesia. Amsterdam/Utrech: Koninklijk Nederlands Aardrijkskundig Gencotschap, 1989, hal.33 10 S. L Popkin, Petani Rasional, Jakarta: Yayasan Padamu Negeri,1986,hal.25 UNIVERSITAS INDONESIA
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
8
kentang. Untuk mengembangkan permasalahan tersebut, maka diajukan beberapa pertanyaan mengenai: 1. Bagaimana kondisi dan sistem pertanian di Desa Sembungan sebelum tahun 1980? 2. Faktor apa yang mendorong petani Sembungan memilih tanaman kentang? 3. Dampak apa yang timbul dari ekonomi kentang bagi kehidupan petani Sembungan?
1.3 Ruang Lingkup Penelitian ini membahas mengenai transformasi agraria 11 di Desa Sembungan yang berlangsung selama kurun waktu sepuluh tahun, yaitu dari tahun 1985 sampai dengan 1995. Secara temporal tahun 1985 dipilih karena menjadi awal budidaya kentang diusahakan secara intensif, dimana pada tahun itu hampir semua petani Sembungan meninggalkan tanaman lamanya (tembakau, pitrum, dan kubis) dan beralih menanam kentang. Pada era itu produktivitas kentang Sembungan mencapai 30 ton/ha. Ruang lingkup penelitian dibatasi sampai tahun 1995 karena pada tahun itu lahan-lahan pertanian kentang mengalami titik jenuh setelah sepuluh tahun ditanami kentang tanpa disertai rotasi tanaman lain. Akibatnya produktivitas kentang menurun dratis menjadi 17.4 ton/ha. Disamping itu, kerusakan ekologi yang parah membuat lahan-lahan pertanian menjadi kering dan tingkat kesuburunnya semakin menurun. Secara spasial, desa Sembungan di Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo dipilih sebagai tempat penelitian dengan alasan terjadi fenomena peralihan subsistenceminded menjadi economic-minded. Artinya dalam diri petani Sembungan timbul cara pikir baru sebagai petani komersial.
11
Suatu proses perubahan keseluruhan sistem hubungan sosial-ekonomi masyarakat pedesaan, yang mengacu kepada suatu perubahan dari struktur masyarakat yang bersifat “agraris-tradisioal” (atau ‘feudalistik, atau natural -economy) menjadi suatu struktur masyarakat dimana pertanian tidak lagi bersikap eklusif melainkan terintegrasi ke dalam pilar-pilar ekonomi lainnya secara lebih nasional, lebih produktif, dan kesejahteraan masyarakat meningkat. (cf.J.Harriss.1982) UNIVERSITAS INDONESIA
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
9
1.4 Tinjauan Pustaka Dalam suatu penelitian, tinjauan pustaka diperlukan untuk mendukung permasalahan yang diungkapkan, dan sebagai acuan untuk menghasilkan teori. Sehubungan dengan hal tersebut, penulis menggunakan beberapa buku yang mendukung seperti Pengantar Ekonomi Pertanian oleh Mubyarto, Petani: Suatu Tinjauan Antropologis oleh Eric. R Wolf, dan Dieng Poros Dunia oleh Otto Sukatno CR. Mubyarto dalam bukunya Pengantar Ekonomi Pertanian menjelaskan beberapa faktor yang mempengaruhi kehidupan petani di beberapa wilayah di Indonesia. Buku ini tidak menjabarkan kondisi pertanian masyarakat pedesaan di Indonesia, melainkan ekonomi produksi, permintaan penawaran dan tata niaga, dan pembangunan pertanian dan penelitian. Persoalan-persoalan ekonomi pertanian mencakup jarak waktu yang lebar antara pengeluaran dan penerimaan pendapatan petani, pembiayaan pertanian, tekanan penduduk dan pertanian serta pertanian subsisten.12 Buku ini dapat dijadikan salah satu acuan penulisan tentang konsep ekonomi berbasis pertanian di wilayah pedesaan. Dari buku ini juga dapat dilihat persoalan-persoalan ekonomi pertanian yang mempunyai kesamaan dengan objek penelitian ini seperti masalah pembiayaan yang bukan hanya dialami petani di Pulau Jawa, yang menjadi objek kajian Mubyarto, melainkan juga di desa yang menjadi objek penelitian ini. Adapun kaitan antara buku ini dengan topik penelitian ini adalah, dengan adanya deskripsi tentang prinsip-prinsip ekonomi dalam usahatani, serta persoalan-persoalan ekonomi pertanian diharapkan mampu membantu penulis dalam mengembangkan ide penulisan tentang pertanian di Desa Sembungan. Wolf berpendapat bahwa masyarakat industri dibangun di atas puing-puing masyarakat petani pedesaan, dan ia lebih mementingkan bahasan tentang kaum tani yang merupakan produk hasil evolusi masyarakat manusia. 13 Ia juga mencoba memperlihatkan bahwa dunia petani bukanlah dunia tanpa bentuk (amorphous), melainkan satu dunia yang teratur, yang mempunyai bentuk-bentuk organisasi yang 12
Mubyarto, Pengantar Ekonomi Pertanian, Jakarta: LP3ES, 1981, hal. 30. Eric R. Wolf, Petani: Suatu Tinjauan Antropologis , Jakarta: C.V Rajawali, 1985, hal. 5. UNIVERSITAS INDONESIA 13
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
10
khas. Pendekatan yang dipergunakannya ialah pendekatan antropologis, yang menganalisa berbagai sisi kehidupan petani di berbagai tempat di dunia. Dengan adanya informasi tentang aspek ekonomi dan sosial kaum tani, diharapkan dapat membantu pengembangan tulisan tentang kaum tani di Desa Sembungan. Dieng Poros Dunia merupakan sebuah tulisan karya Otto Sukatno CR yang isinya membahas mengenai sejarah Dieng sejak masa prakolonial sampai masa kini. Otto menitikberatkan penelitiannya pada fenomena dampak peralihan dari pola pertanian tradisional menjadi pertanian modern. Seiring dengan melimpahnya hasil usaha tani hortikultura yang lebih menjanjikan daripada pertanian tradisional, perlahan-lahan telah mengubah cara pandang petani tentang hidup dan masa depan. Hal tersebut sesuai dengan mazhab sejarah Marxis yang menganut interpretasi ekonomi bahwa mode baru produksi akan mengubah institusi-institusi sosial makro, agama, etika, moral, serta budaya. Otto juga mencatat bahwa petani di Desa Sembungan sebagai korban ideologisasi pembangunan.14 Dengan adanya informasi tersebut, kiranya dapat memberi masukan tersendiri di dalam penulisan skripsi ini.
1.5 Tujuan Penelitian Penulisan ini mempunyai empat tujuan, yaitu pertama, untuk mengungkapkan keadaan
pertanian
di
Sembungan
sebelum
para
petani
mengenal
dan
membudidayakan tanaman kentang. Seperti diketahui sebelum tanaman kentang masuk ke Sembungan, para petani terbiasa mengelola pertanian secara subsisten, artinya petani tidak mengusahakan tanaman dalam jumlah besar untuk dijual di pasar, tetapi mereka menanamnya hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kedua, untuk mencari faktor apa saja yang membuat petani Sembungan berani mengambil resiko dengan mengubah tanaman lamanya menjadi kentang. Ketiga, untuk mengungkapkan dampak yang ditimbulkan dari keberhasilan pertanian kentang. Dalam hal ini menitikberatkan kepada dampak-dampak yang menimbulkan
14
Otto Sukatno CR, Dieng Poros Dunia,Yogyakarta:Ircisod,2004,hal.29
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
11
perubahan dalam kehidupan masyarakat petani Sembungan, yaitu dalam aspek ekonomi, sosial-budaya dan juga lingkungan. Selain itu penulisan ini juga diharapkan dapat memperluas informasi mengenai pertanian di dataran tinggi yang akan bermanfaat bagi pengembangan sejarah mikro khususnya dan sejarah agraria di Indonesia pada umumnya. Penulis melihat bahwa masih terbuka luas peluang bagi para penulis lain untuk membahas maupun melakukan penulisan mengenai studi sejarah pertanian di Indonesia, sebab dinamika kehidupan petani tidak hanya terbatas pada padi sawah tetapi juga pada komoditas lain yang diusahakan di berbagai tempat di Indonesia yang sesuai dengan persyaratan tumbuh kembangnya..
1.6 Metode Penelitian Metode penelitian merupakan cara ilmiah guna mengumpulkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. 15 Penelitian ini menggunakan metode sejarah yaitu proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dari peninggalan masa lampau. 16 Adapun tahap-tahap yang dipergunakan ialah heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi. Tahap pertama adalah heuristik, merupakan tahap pencarian sumber-sumber yang berhubungan dengan penelitian ini. Ada dua teknik yang digunakan yakni studi kepustakaan (library research) dan studi lapangan (field research). Studi kepustakaan dilakukan dengan mengumpulkan sumber tertulis yang bersifat primer 17 ataupun sekunder. 18 Sumber-sumber data yang berhasil didapat penulis adalah berupa kumpulan artikel koran di majalah TRUBUS, Perpustakaan FIB UI, Perpustakaan MBRC FISIP UI, Perpustakaan Pusat UI, Perpustakaan Nasional RI, Perpustakaan 15
Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, Yogyakarta: Logos, 1999, hal.25. Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, (terj, Nugroho Notosusanto), Jakarta: UI-Press, 1985, hal. 18. 17 Sumber primer adalah kesaksian seorang saksi dengan mata—kepala sendiri atau saksi dengan pancaindera yang lain, Lihat : Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah (tej. Nugroho Notosusanto), Jakarta: UI-Press, 1968, hal.35. 18 Sumber sekunder adalah kesaksian dari siapapun yang bukan merupakan saksi pandangan mata, yaitu dari seseorang yang tidak hadir pada peristiwa yang dikisahkanya, Ibid,hal.35 UNIVERSITAS INDONESIA 16
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
12
Pusat IPB (LSI), Perpustakaan Litbang Departemen Pertanian Bogor, LIPI, BPS DKI Jakarta, BPS Wonosobo, Perpustakaan Pusat Unsoed, Kantor Arsip Kabupaten Wonosobo, Kantor Kecamatan Kejajar, serta kantor kepala Desa Sembungan. Sumber lisan juga ikut dipergunakan, yaitu dengan teknik wawancara. Wawancara dilakukan dengan orang-orang yang dapat memberi keterangan tentang penelitian ini. Adapun sumber informan yakni masyarakat Desa Sembungan khususnya para petani, perangkat desa Sembungan, petani desa Patak Banteng, serta petugas Dinas Pertanian. Langkah kedua ialah melakukan kritik sumber. Dalam tahap ini peneliti melaksanakan pengecekan keakuratan sumber yang ditemukan dengan cara membandingkan setiap sumber dengan sumber yang lain, misalnya saat ditemukan sebuah artikel atau berita terkait dalam bentuk softcopy di internet, peneliti mencari bentuk hardcopy juga sehingga keakuratan data dapat dipertanggungjawabkan. Dalam tahapan ini pula peneliti dapat memilah dan memilih serta mempertimbangkan apakah sumber tersebut dapat digunakan atau tidak sebagai sumber penelitian. Tahap berikutnya adalah interpretasi. Ini merupakan tahap dimana dilakukan analisis terhadap fakta-fakta yang sudah diseleksi berdasarkan sumber-sumber yang diperoleh. Terakhir adalah tahap historiografi yakni tahap pemaparan atau penulisan sejarah. Dalam tahap ini hasil penelitian beserta rangkaiannya akan diuraikan dalam bahasa tulisan secara kronologis dan sistematis sehingga diperoleh sebuah historiografi masyarakat petani di Desa Sembungan, Dataran Tinggi Dieng.
1.7 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan skripsi ini dibahas dalam enam bab. Bab pertama berupa pendahuluan yang mengulas latar belakang, perumusan masalah, ruang lingkup penelitian, tinjauan pustaka, tujuan penelitian, metode penelitian, serta sistematika penulisan. Pada bab dua dibahas gambaran umum desa Sembungan. Tujuannya untuk mengetahui latar belakang historis Desa Sembungan, kegiatan ritual dan juga komposisi penduduk. Bab tiga membahas upaya petani Sembungan dalam mengubah nasibnya. Isinya tentang perkembangan pertanian di Sembungan, serta pengaruh
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
13
revolusi hijau di Sembungan. Di bab empat membahaa usaha tani komersial yang berlangsung di Sembungan. Selanjutnya di bab lima membahas dampak ekonomi kentang terhadap kehidupan petani Sembungan. Dari dampak ekonomi, sosialbudaya, hingga lingkungan. Bab enam merupakan penutup yang berisi kesimpulan berdasarkan permasalahan yang diajukan. Dengan demikian, diharapkan diperoleh suatu pengetahuan baru mengenai pertanian di dataran tinggi serta bagaimana dinamikanya yang berpengaruh terhadap kehidupan petani di Desa Sembungan.
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
14
BAB II MASYARAKAT PETANI DESA SEMBUNGAN
2.1 Latar Belakang Historis Berbicara mengenai perkembangan sebuah desa tentu saja tidak dapat terlepas dari latar belakang ataupun sejarah masa lalu desa tersebut. Demikian juga Desa Sembungan yang masih mempunyai cerita masa lalunya sendiri. Adapun kisah masa lalu semacam ini diperoleh melalui cerita lisan dari para orang tua. Desa ini pada awalnya merupakan sebuah kawasan hutan yang belum pernah dihuni oleh manusia. Berdasarkan cerita yang berkembang, orang pertama yang mendatangi Sembungan adalah Ki Adamsari. Ki Adamsari tidak memiliki keturunan karena ia seorang pertapa. Berikutnya sekitar awal abad ke-19 orang yang datang adalah Mpu Supo yang selanjutnya dianggap sebagai pembuka babad desa Sembungan. Banyak penduduk Sembungan percaya bahwa Mpu Supo berasal dari wilayah keraton Mataram. Masih pada abad yang sama, datang sepasang suami istri, bernama Ki Husen dan Ni Husen. Mereka membuka lahan baru untuk berladang. Mereka juga membangun gubuk sederhana dengan atap berasal dari daun alang-alang dan dinding sembung (gelagah) sebagai tempat tinggalnya. Saat anak keturunannya bertambah, gubuk-gubuk yang dibangun semakin meluas. Kemudian sedikit demi sedikit mulai terbentuk kelompok kecil pemukiman penduduk yang lama kelamaan membentuk sebuah komunitas dan pada akhirnya terbentuk sebuah desa yang dinamakan Mutisari.1 Sekitar tahun 1830-an muncul pendatang baru, sepasang suami istri bernama Ki Rejan dan Ni Tana. Mereka membuka hutan di sebelah barat desa Mutisari dan membangun gubuk sebagai tempat tinggal. Mereka juga mengikut-sertakan sanak keluarga mereka ke tempat ini. Bersama dengan sanak keluarga dan anak keturunannya, Ki Rejan dan Ni Tana mendirikan desa yang diberi nama Tegalreja. Saat penduduk semakin bertambah, lahan untuk pemukiman diperluas hingga 1
Wawancara dengan Mubari (85 th), 14 Maret 2012, di Desa Sembungan,
Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
15
tersambung dengan desa Mutisari. Berdasarkan kesepakatan dari tetua kedua desa diputuskan untuk bergabung dan memberi nama baru yaitu Sembungan. Artinya dua desa yang bersambung menjadi satu dan dikelilingi pohon sembung.2 Apabila dikaitkan dengan teori migrasi Palte, ada beberapa alasan kedatangan para penduduk dari dataran rendah ke wilayah pegunungan. Pertama, bahwa pada awal abad ke-19, populasi penduduk dataran rendah di Jawa khususnya wilayah Yogyakarta dan Surakarta semakin padat. Disamping itu banyaknya jenis kerja wajib dan tarikan pajak yang tinggi seperti pancen3, bulu bekti4, pisungsung5 menyebabkan banyak penduduk melarikan diri ke pegunungan karena tidak sanggup membayarnya. Kedua, sebagai akibat perang Jawa (1825-1830). Masa itu orang-orang mengalami keadaan yang sulit akibat kolonialisme Belanda sehingga mereka bermigrasi ke pegunungan dengan tujuan untuk memperoleh penghidupan yang lebih baik. Salah satu wilayah yang menjadi pilihan bermigrasi ialah dataran tinggi Dieng, termasuk didalamnya desa Sembungan.6 Selama berabad-abad tinggal di pegunungan, masyarakat Desa Sembungan hidup terisolir dari dunia luar. Tidak ada apapun yang menjadi beban petani kecuali dorongan untuk bertahan hidup; mereka hanya membutuhkan makanan. Hal demikian terjadi karena lingkungan alam tempat tinggal mereka tidak bisa menghasilkan banyak bahan pangan. Dengan ketinggian mencapai 2300 m dpl, suhu ekstrim, serta terbatasnya sinar matahari (hanya 4-5 jam bersinar dalam sehari) hanya sedikit tumbuhan yang dapat hidup, seperti talas, ganyong, dan jagung. Namun, tanaman jagung bisa dipanen setelah berumur 9 bulan. Masa tanam jagung yang lama membuat talas dan ganyong menjadi bahan pangan pokok penduduk.7 Kedatangan Belanda ke dataran tinggi Dieng sekitar tahun 1830 dalam rangka menyebarkan tanaman tembakau turut membawa beberapa perubahan, salah satunya 2
Wawancara dengan Nasihin (38 th), 8 Maret 2012, di Desa Sembungan Kerja wajib kepada penguasa/raja 4 Kewajiban menyerahkan hasil bumi kepada penguasa/raja 5 Semacam upeti cuma-cuma untuk penguasa/raja 6 Jan G.L.Palte, Upland Farming On Java, Indonesia. Amsterdam/Utrech:Koninklijk Nederlands Aardrijkskundig Gencotschap, 1989, hal.4. 7 Wawancara dengan Mubari (85 th), 14 Maret 2012, di Desa Sembungan 3
Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
16
dibukanya fasilitas jalan raya yang menghubungkan wilayah Wonosobo (Ledok) ke wilayah pedesaan di dataran tinggi Dieng. Pada tahun –tahun antara 1830 dan 1836, tembakau menjadi jenis tanaman penting dan wajib ditanam dibawah Sistem Tanam Paksa. Selama tahun-tahun itu sejumlah desa tertentu harus menanam tembakau. 8 Berdasarkan penelusuran penulis tentang penanaman tembakau, ditemukan bahwa pada masa itu penduduk Sembungan juga telah ikut menanam tembakau tetapi dalam jumlah terbatas. Sementara untuk mempermudah pemasarannya, warga desa membuat sebuah jalan setapak kecil yang menghubungkan desa mereka dengan desadesa lain, seperti Sikunang, Tieng, dan Kejajar yang dilalui jalan raya. Pada masa pendudukan Jepang, tidak banyak narasumber yang bisa menceritakan bagaimana kehidupan di Sembungan berlangsung. Tiga orang penduduk desa yang hidup pada masa itu bercerita bahwa penduduk Sembungan diperintah oleh tentara Jepang untuk membangun tempat persembunyian (derik). Pada masa itu jika perangkat desa memukul kentongan maka seluruh warga desa mematikan lampu minyak dan keluar dari rumah untuk bersembunyi di derik. Derik biasanya berupa lubang perlindungan yang dibuat di belakang rumah. Tentara Jepang juga menyuruh warga desa menanam gandum dan beternak sapi. Seperti yang diceritakan oleh bapak Somedi: “kolo rumiyen tentoro Jepang aken kulo nanem gandum. Taneman gandum teng mriki sae sanget. Lemu lan gedhe naming mboten enak didhahar. Sampun dhighodog ngantos kalih dinten tasih alot sanget”.9 (jaman dulu tentara Jepang memerintah saya menanam gandum. Tanaman gandum di sini sangat bagus. Tumbuh sangat subur dan bulirannya besar tetapi rasanya tidak enak dimakan. Meskipun sudah direbus hingga dua hari tidak bisa lunak).
Pada masa ini pula sebagian besar penduduk Sembungan mengungsi ke pedalaman hutan yang jauh dari desa. Mereka memilih bersembunyi di hutan untuk menghindar dari paksaan menjadi romusha.10 Selama di pengungsian, mereka hanya 8
Tania Muray Li, Proses Trasformasi Daerah Pedalaman Di Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002, hal 91-92. 9 Wawancara dengan Somedi (80 th), 26 Maret 2012, di Desa Sembungan 10
Dalam Aiko Kurasawa, Mobilisasi dan Kontrol: Studi tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa, 1942-1945, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia dan Yayasan Karti Sarana, 1993
Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
17
mengkonsumsi apa yang disediakan oleh alam, seperti ubi, talas, dan jenis umbi-umbi lainnya. Sekitar 5 atau 6 bulan mengungsi dan situasi telah aman, penduduk memutuskan untuk kembali ke desa. Mengingat kondisi desa yang sudah kacau dan berantakan akibat lama ditinggakan maka dilaksanakan sebuah musyawarah. Mereka berdiskusi tentang tata ruang desa yang akan mereka bangun kembali. Melalui musyawarah tersebut diperoleh kesimpulan, bahwa setiap kepala keluarga berhak mendapatkan sebidang tanah, untuk dibangun rumah di atasnya. Luas dan lebar tanah yang diberikan sama untuk masing-masing kepala keluarga sehingga tidak terjadi perselisihan. Masing-masing rumah lalu dibangun kembali, tidak lagi dengan beratap alang-alang, berdinding gelagah tetapi beratap mbulung (anyaman daun kelapa) serta berdinding ketepe (anyaman bambu).11 Status kepemilikan ladang yang ditinggalkan sebelumnya tidak menjadi masalah karena setiap pemilik ladang masih tetap mendapatkan hak atas tanah mereka. Setelah penduduk dapat kembali membangun desa, maka aktivitas harian mereka juga kembali kepada keadaan semula, yaitu bertani. Akan tetapi, mengingat situasi zaman yang belum stabil, penduduk Sembungan mengalami masa-masa sulit. Disamping terletak paling jauh dari kota pusat pemerintahan, sarana transportasi yang tidak memadai menyebabkan Sembungan menjadi desa yang miskin dan tertinggal. Kiranya hal demikian yang membuat kehidupan masyarakat desa Sembungan sejak awal terbentuknya hingga tahun 1970-an tidak ada perubahan yang berarti. Sembungan mulai terbuka dengan dunia luar setelah adanya proyek-proyek pemerintahan Soeharto di kawasan dataran tinggi Dieng sekitar tahun 1970-an. Pada tahun 1974 Pertamina dan PLN bekerjasama dalam proyek eksplorasi gas dan panas bumi. Sumber Panas Bumi Dieng ini ditetapkan oleh Menteri Pertambangan dan Energi RI sebagai wilayah kerja IV Panas Bumi bagi Perusahaan Pertamina, meliputi areal seluas 107.351.995 hektar. Panas bumi tersebut diperkirakan menghasilkan listrik sebesar 2000 Mega watt. 12 Selanjutnya pada tahun 1978 Presiden Soeharto disebutkan bahwa pada masa pendudukan Jepang, tentara Jepang memobilisir penduduk desa-desa di Indonesia untuk direkrut menjadi romusha, termasuk di desa-desa di kawasan dataran tinggi Dieng 11 Wawancara dengan Yashuri (84 th), 15 Maret 2012, di Desa Sembungan 12 Otto Sukatno CR, Dieng Poros Dunia, Jogjakarta: Ircisod, 2004, hal.88
Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
18
meresmikan pabrik jamur ”Dieng Jaya” di Wonosobo. Oleh karena sebagian kawasan pabrik jamur dan proyek ekplorasi gas dan panas bumi berada di wilayah Sikunang maka untuk memudahkan kelancaran proyek tersebut, pihak Pertamina memperlebar jalan setapak Sikunang-Sembungan dan menjadikannya jalan beraspal. Jalan ini nantinya yang membuka akses Sembungan dengan kawasan desa-desa lereng bawah lainnya.13 Sebelumnya interaksi petani Sembungan dengan dunia luar sangat terbatas. Penduduk yang sering keluar desa dan berhubungan dengan penduduk desa lain terbatas pada perangkat desa; kepala desa, dan pedagang pengumpul (tengkulak). Sementara penduduk lainnya cenderung menjalankan aktivitas sehari-harinya hanya di dalam desa. Akibatnya aliran informasi terbatas pada kelompok tertentu. Tidak mengherankan pada masa tembakau, kubis, dan pitrum hanya beberapa penduduk yang dapat menikmati kesejahteraan hidup. Namun, situasi mulai berubah saat petani memutuskan untuk keluar dari desa dan bekerja menjadi buruh tani di desa-desa lain. 14 Sekitar tahun 1979 petani mulai mengenal jenis tanaman komersial, yaitu kentang. Menjelang tahun 1980-an, usaha budidaya kentang di Sembungan menandai awal perubahan pola pertanian tradisional menjadi modern. Sejalan dengan hal tersebut ekonomi petani mengalami peningkatan yang signifikan, dari kondisi miskin dengan penghasilan Rp 644.000 per tahun menjadi sangat berkecukupan dengan penghasilan Rp 48.000.000 per tahun. 15 Penghasilan tinggi ini dinikmati oleh sejumlah petani Sembungan terutama yang memiliki lahan pertanian lebih dari setengah hektar. Saat ini Desa Sembungan dikenal memiliki lanskap pertanian tanaman hortikultura khususnya kentang yang sangat luas. Sejak 5-10 terakhir ini, Sembungan juga dikenal sebagai salah satu tempat tujuan wisata alam, yaitu Sunrise Sikunir dan Telaga Cebong. Telaga Cebong merupakan cekungan tanah yang dikelilingi 13
Wawancara dengan Sudi (55 th), 9 Maret 2012, di Desa Sembungan Wawancara dengan Diono (48), 27 Maret 2012, di Desa Sembungan 15 Perhitungan penghasilan dengan cara mengalikan penghasilan per musim Rp 166.000 x 4 = Rp 644.000. setelah menanam kentang penghasilan petani per musim Rp 16.000.000 x 3 = Rp 48.000.000 14
Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
19
perbukitan Gunung Pakuwojo, Gunung Sidede, dan Gunung Prambanan. Telaga ini luasnya 10 ha dan berbentuk seperti anak katak. Telaga Cebong merupakan penggambaran terhadap masyarakat kecil yang lemah dan rapuh ibarat “kecebong/ anak katak”. Masyarakat kecil ini diharapkan dapat menjadi berdaya sehingga mereka tidak mudah diperdaya atau mengalami ketidakberdayaan (powerless), kemiskinan (poverty), kerapuhan (vulnerability), keterasingan (isolation), dan diombangambingkan oleh kehidupan (budaya) modern yang tidak menentu.16
2.2 Kondisi Alam dan Geografis Desa Sembungan adalah satu desa penghasil komoditi kentang di Kawasan Dataran Tinggi Dieng. Desa ini terletak di kecamatan Kejajar Kabupaten Wonosobo Propinsi Jawa Tengah. Secara administratif kecamatan Kejajar mempunyai batasbatas sebagai berikut.17 (peta Kejajar lihat lampiran hal.) Utara-Kecamatan Bawang (Kabupaten Batang) Barat-Kecamatan Batur (Kabupaten Banjarnegara) Selatan- Kecamatan Garung (Kabupaten Wonosobo) Timur-Kecamatan Muntung (Kabupaten Temanggung) Kecamatan Kejajar merupakan salah satu dari 13 kecamatan yang ada di wilayah Kabupaten Wonosobo. Luas kecamatan Kejajar adalah 5.761.919 ha yang terdiri dari 16 desa. Topografi Kecamatan Kejajar, yaitu bentuk wilayahnya berombak sampai berbukit serta 70% berbukit-bergunung dengan ketinggian antara 1.360 sampai dengan 2.302 meter dpl (di atas permukaan laut). Menurut hasil pemetaan tentang jenis tanah, di wilayah kecamatan Kejajar jenis tanah yang tersedia adalah tanah Andosol.18 Sembungan merupakan satu dari enam belas desa-desa di Kecamatan Kejajar, yang terletak di dataran paling atas di dataran tinggi Dieng.19 Berada pada ketinggian 16
Loc. Cit., hal 126 Badan Pusat Statistik Kabupaten Wonosobo, Kecamatan Kejajar Dalam Angka 1995. 18 Dicirikan Ph netral sampai asam, dengan warna tanah kelabu, coklat tua, dan hitam 19 Dataran tinggi Dieng merupakan dataran tinggi terluas kedua setelah Nepal yang terletak di ketinggian sekitar 2.063 m dpl. Dari sejarah terbentuknya, kawasan ini dulunya merupakan kepundan 17
Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
20
2300 meter di atas permukaan laut, beriklim pegunungan dingin dengan suhu udara sekitar 14-23 °C. Pada bulan Juli sampai Agustus turun menjadi 9-18 °C pada malam hari dan 12-22 °C di siang hari. Curah hujan lebih dari 3.500 mm per tahun. 20 Kondisi ini sangat cocok bagi pertumbuhan tanaman hortikultura. Dari ibukota kabupaten, desa ini berjarak kurang lebih 26 km ke arah utara, dapat ditempuh melalui satu rute dari arah pusat kota Wonosobo yaitu melalui jalan raya Dieng yang dapat ditempuh selama kurang lebih satu setengah jam perjalanan dengan angkutan minibus dan tiga puluh menit menggunakan sepeda motor. Jalan menuju kecamatan Kejajar beraspal, meskipun di beberapa bagian ada yang rusak, topografi jalan bergelombang dengan lebar jalan sekitar tiga meter. Desa Sembungan dibatasi oleh Desa Jojogan dan Desa Parikesit di sebelah utara, Desa Kreo di Selatan, Desa Sikunang dan Desa Campursari di sebelah barat, dan Desa Dieng serta Desa Serang di sebelah timur. Ada dua ruas jalan desa, yaitu ke arah Sikunang dan Sirangkel yang membentang dari timur ke barat dan menghubungkan desa Sembungan dengan desa-desa lereng bawah lain di wilayah kecamatan Kejajar. Kondisi jalan beraspal rusak dan dibeberapa bagian terdapat banyak lubang. Jalan alternatif lainnya berupa jalan setapak yang hanya dapat ditempuh dengan berjalan kaki menghubungkan Sembungan dengan desa Tieng. Sarana transportasi umum menuju Desa Sembungan sangat terbatas. Dari Terminal minibus Wonosobo ke kecamatan Kejajar harus mengendarai angkutan pedesaan jenis minibus. Angkutan ini melayani rute Wonsobo-Dieng-Batur. Berangkat dari terminal bis Wonosobo sampai terminal minibus Desa Dieng Wetan, dilanjutkan pemberhentian terakhir di terminal Batur, Banjarnegara. Jumlah angkutan
gunung berapi yang sangat luas yang kemudian berubah menjadi rawa-rawa dan danau dan pada akhirnya berubah menjadi daratan. Selain itu, pada awal abad ke-19 ditemukan bangunan cndi di sekitar dataran tinggi Dieng dan 13 enskripsi dintara reruntuhan candi yang salah satunya menyebut nama Dihyang, yang diyakini sebagai asal nama Dieng, yang berarti tempat tinggi yang suci. 20 Curah hujan merupakan ketinggian air hujan yang terkumpul dalam tempat yang datar, tidak menguap, tidak meresap, dan tidak mengalir. Curah hujan 3500 mm artinya dalam luasan satu meter persegi pada tempat yang datar, tertampung air setinggi 3500 mm
Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
21
minibus ini sekitar 30 buah dan beroperasi dari jam 05.00 sampai jam 18.00. 21 Jaringan listrik sebagai sarana penerangan masuk ke kawasan Dieng pada tahun 1982 dan menjangkau desa Sembungan pada tahun 1987. Jaringan telpon dan internet masuk ke desa ini sekitar tahun 2000. Namun, sarana ini hanya dapat diakses jika menggunakan provider telekomunikasi tertentu. Desa Sembungan saat ini memiliki luas lahan sebesar 385,45 ha yang terbagi menjadi lahan pekarangan 105.85 ha, lahan tegalan 210,1 ha, hutan negara 50 ha, dan lain-lain 15 ha.22 Pemukiman penduduk terpusat pada cekungan pegunungan dengan susunan mengelompok. Ladang yang terdapat di desa ini sebagian besar berada di luar pemukiman. Gunung Pakuwojo, Gunung Sidede, Gunung Sikunir dan Gunung Prambanan adalah sebaris perbukitan yang mengelilingi desa Sembungan. Sejak tahun 1985 oleh para petani, perbukitan ini diubah tata gunanya menjadi ladang kentang. Dari bagian bawah sampai puncak bukit, seluruhnya diusahakan untuk menanam komoditas kentang. Pada kesehariannya para petani menuju ladang dengan berjalan kaki dan bersepeda motor. (peta desa Sembungan lihat lampiran hal.)
21
Tarif dari Wonosobo-Dieng sebesar Rp 8.000. Untuk menuju Sembungan dari terminal minibus di desa Dieng Wetan dilanjutkan dengan menggunakan jasa ojek. Tarif ojek sebesar Rp 6000 pada siang hari dan Rp 10.000 pada malam hari. Sementara dari Desa Sembungan menuju pusat kota Wonosobo terdapat jasa angkutan minibus yang beroperasi dua kali dalam sehari, yaitu pukul 08.00 pagi dan pupuk 14.00 siang. 22 Badan Pusat Statistik Kabupaten Wonosobo, Kecamatan Kejajar Dalam Angka 1995
Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
22
Tabel 1.Kondisi Fisik Geografis Desa Sembungan Topografi
Datar 0 % Datar hingga berombak 4.45% (20 ha) Berombak hingga berbukit 15,77% (123,15 ha) Berbukit-pegunungan 35,25% (59,946 ha) Pegunungan 44,53% (8 ha) Kemiringan 0–2% 2 – 15 % 15 % - 40 % >40% Jenis tanah Andosol: terbentuk dari endapan abu vulkanik yang telah mengalami pelapukan sehingga menghasilkan tanah yang subur. Jenis tanah ini berwarna cokelat kehitaman Latosol: berwarna merah kecokelatan, memiliki profil tanah yang dalam, mudah menyerap air, memiliki pH 6-7 (netral) hingga asam, memiliki zat fosfat yang mudah bersenyawa dengan unsur besi dan aluminium, kadar humusnya mudah menurun Regosol: merupakan hasil erupsi gunung berapi, bersifat subur, berbutir kasar, berwarna keabuan, kaya unsur hara, pH 67, cenderung gembur, kemampuan menyerap air tinggi, dan mudah tererosi. Pengairan internal Menggunakan sistem irigasi Ph tanah 5,0 – 6,5 Perlakuan fisik Teras tidak permanen Sumber: diolah dari data Kecamatan Kejajar Dalam Angka 1985-1995 dan Dinas Pertanian Kabupaten Wonosobo
Data tentang kondisi fisik geografis di atas apabila dipaparkan diperoleh penjelasan sebagai berikut:
Jenis tanah di Desa Sembungan dibedakan atas: Andosol: 60%; Latosol: 30%; dan Regosol 30%. Dengan kondisi jenis tanah tersebut Sembungan
Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
23
digolongkan ke dalam daerah dengan kesuburan tinggi.23 Oleh karena itu, tanah-tanah tersebut banyak dimanfaatkan untuk lahan pertanian, khususnya budidaya tanaman hortikultura. Pertanian di Sembungan didominasi usaha tani tanaman sayuran. Tanaman kentang merupakan komoditas unggulan yang saat ini giat dikembangkan. Tanaman kentang memerlukan tanah berstruktur remah, dalam, draenase/aerasi baik, mengandung bahan organik yang cukup, yaitu > 2,5 % dan reaksi tanah agak masam sampai normal (5,0 – 6,5). Jenis tanah yang cocok untuk budidaya kentang adalah tanah Andosol, Latosol, dan Regosol. Tanah yang cukup lembab dan tidak tergenang air juga baik untuk bercocok tanam kentang.24
Lahan paling produktif di Sembungan untuk budidaya kentang berada pada kemiringan 2-15 derajat yang meliputi 15,77% wilayah bertopografi berombak hingga berbukit, yaitu di sekitar telaga Cebong. Lahan ini berjenis tanah andosol dan luasnya 123,15 ha. Lahan kedua dengan kemiringan 15-40 derajat (4.45%) meliputi wilayah dengan topografi datar hingga berombak. Jenis tanah pada lahan ini ialah latosol yang sifatnya paling tidak subur dibanding tanah andosol dan regosol. Lahan seluas 20 ha ini banyak ditemui di sebelah barat desa dan banyak digunakan sebagai pekarangan sekaligus pemukiman
penduduk.
Terakhir
lahan
yang
cukup
produktif
bagi
pertumbuhan kentang ialah pada kemiringan >40 derajat (35,25%) dengan topografi berbukit-pegunungan. Regosol merupakan jenis tanah yang mendominasi lahan seluas 59, 964 ha ini. Lahan ini terletak di lereng gunung Seroja yang berjarak ± 5 km dari desa Sembungan. Adapun produktivitas kentang yang disumbangkan oleh ketiga lahan tersebut adalah masing-masing sekitar 12-15 ton, 3,5-5 ton, dan 9-11 ton dalam satu musim tanam
Terdapat dua sumber pengairan yang membantu kelangsungan usaha budidaya kentang di Sembungan. Pertama, apabila musim tanam jatuh pada
23
Anonymous. Dinas Pertanian Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, 1985 Ade Irwan Setiawan, Sayuran Dataran Tinggi: Budidaya Dan Pengaturan, Jakarta: Swadaya, 1995, hal.12
24
Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
24
musim hujan, petani mengairi tanaman kentang dengan air hujan. Kedua, musim tanam pada musim kemarau sumber pengairan utama untuk lahan di sekitar telaga dan gunung Seroja diperoleh dari telaga Cebong. Sementara untuk lahan di sebelah barat desa, sistem irigasi disalurkan dari mata air kali Lempong. Diesel dan paralon merupakan alat produksi yang biasa digunakan petani Sembungan dalam mengambil air.
Tabel 2. Penggunaan Tanah di Desa Sembungan (ha) Tahun
1985
Luas wilayah
1986
1987 1988
1989 1990 1991 1992 1993 1994
1995
401,56 399,2
399
397
395
393
394
392
392
391,30 385,45
Pekarangan
224,56 209,2
191
189
184
176
155
147
129
124,3
113,45
Tegalan
115
128
128
146
149
155
177
183
201
205
210
Hutan negara
50
50
50
50
50
50
50
50
50
50
50
Rawa/telaga
12
12
12
12
12
12
12
12
12
12
12
Sumber: Diolah dari data Badan Pusat Statistik Kabupaten Wonosobo, Kecamatan Kejajar Dalam Angka 1985-1995
Desa Sembungan juga mempunyai tempat-tempat yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan khusus oleh warganya. Bagian-bagian itu mempunyai fungsi masingmasing, seperti uraian berikut:
Telaga Cebong
Menurut kepercayaan masyarakat sekitar seperti yang telah dijelaskan diatas, keberadaan Telaga Cebong sangat bermakna bagi penduduk Desa Sembungan. Selain dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari, juga menjadi sumber mata air untuk mengairi lahan pertanian di sekitarnya.
Makam Desa
Makam Desa adalah kuburan bagi orang-orang yang sudah mati. Makam desa dibuat sejalan dengan masuknya agama Islam di Dataran Tinggi Dieng, sekitar tahun 1920.
Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
25
Sebelumnya mayat orang yang sudah meninggal dibakar dan abunya dihanyutkan ke sungai.25
Tanah Gege
Merupakan tanah desa yang disewakan kepada penduduk pendatang yang tidak memiliki tanah. Uang sewa tanah tersebut akan masuk ke kas desa yang dikelola oleh perangkat desa dan kades. Lamanya penyewaan tanah gege tidak terbatas, artinya jika pendatang sudah memiliki tanah sendiri maka dialihkan ke pendatang yang lain.
Tanah Kisik
Disebut pula sebagai tanah purbakala. Terletak di tepi telaga Cebong. Statusnya sama seperti tanah gege, yaitu disewakan kepada warga desa yang tidak mempunyai tanah atau memiliki tetapi terbatas. Uang sewanya masuk kas desa dan dimanfaatkan untuk kepentingan desa, misalnya untuk membangun jalan desa, saluran irigasi, dan lainlainnya.
Tanah Bengkok
Ialah tanah yang diberikan kepada para pejabat desa sebagai pengganti gaji selama masa jabatannya berlangsung.
2.3 Kegiatan Ritual Pertanian di Sembungan Di masa lalu Sembungan merupakan desa di dataran tinggi Dieng yang mempunyai berbagai ritual kebudayaan yang bertalian langsung dengan pertanian meski belakangan ritual-ritual tersebut lambat laun mulai hilang. Tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa pada masa lalu setiap ritual yang diselenggarakan petani menjadi saluran mencapai berkah keberhasilan dalam setiap panen. Berangkat dari kultur kepercayaan tersebut, masyarakat petani Sembungan memiliki banyak upacara-upacara ritual, seperti nglekasi, wiwit, ruwat bumi dan upacara ritual Baridan. Dalam upacara tersebut meski tata cara yang dijalankan berbeda-beda tetapi tujuannya sama yaitu untuk meminta berkah pada leluhur agar di musim tanam 25
Ritual menghanyutkan abu jenazah ke sungai ini merupakan salah satu bukti peninggalan pengaruh Hindu di Dataran Tinggi Dieng. Seperti yang sudah dijelaskan bahwa Dieng sejak abad ke-8 Masehi merupakan kawasan percandian yang digunakan oleh penguasa dan masyarakat Jawa Kuno sebagai tempat peribadatan agama India Kuno seperti Hindu Budha. Lihat Otto Sukatno. Hal. 358
Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
26
mendatang dapat terlaksana dengan lancar tanpa menemui hambatan yang berarti. Pada acara-acara ini dipimpin oleh seorang yang dituakan di desa. Ritual-ritual demikan menjadi suatu kebiasaan yang senantiasa dijalankan petani Sembungan selama berpuluh-puluh tahun. Namun pada perkembangannya saat kentang masuk ke wilayah pertanian Sembungan, sejumlah nilai mengalami perubahan. Hal ini dinyatakan para petani yang menyebutkan bahwa sejak akses terhadap pengetahuan agama Islam semakin meningkat, mereka memandang esensi ritual budaya lokal berlawanan dengan ajaran Islam. 26 Ketika ditanyakan tentang ritual khusus pada masa pratanam maupun prapanen, sejumlah petani mengatakan bahwa petani kentang di Sembungan tidak mengenal ritual-ritual khusus. Sebagaimana yang diungkapkan oleh bapak Nasihin: “Di sini tidak ada begitu-begituan (ritual), semua dijalani biasa saja, terakhir adanya ya pas jaman tembakau dulu”.27 Munculnya cara berpikir baru tersebut tidak terlepas dari peran golongan santri Sembungan yang sejak tahun 1990-an giat menyiarkan ajaran Islam kepada seluruh lapisan masyarakat. Golongan santri ini ialah kelompok anak muda yang dikirim para orang tuanya nyantri di pondok pesantren. Oleh karena sebagian besar dididik dalam lingkungan pondok pesantren yang berkultur NU, maka mereka menjelma menjadi warga nahdliyyin dengan tingkah laku agama yang konservatif. Sehubungan dengan itu ritual-ritual tradisi lokal yang dianggap tidak terkait dengan ajaran Islam pun banyak diprotes. Golongan santri ini menganggap upacara-upacara adat mengandung unsur syirik karena maksud dan tujuan utamanya justru meminta berkah kepada arwah leluhur, bukan kepada Allah. Namun demikian, sepanjang pengamatan di lapangan, nilai-nilai dalam ritual tersebut tidak benar-benar hilang tetapi hanya diubah ke dalam bentuk yang berbeda. Kenyataan menunjukkan bahwa pada ritual nglekasi, wiwit, ruwat bumi dan Baridan dilantunkan nyanyian kidung-kidung Jawa dan bacaan mantra-mantra maka kini diubah menjadi kegiatan tawassul (berwasilah), yaitu upacara baca doa-doa yang 26 27
Wawancara dengan Nasihin (38 th), 10 Maret 2012, di Desa Sembungan Wawancara dengan Tuhotim (75 th), 16 Maret 2012, di Desa Sembungan
Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
27
diiringi dengan membaca surat Alfatihah untuk arwah leluhur sebagai perantara menyampaikan maksud utamanya meminta berkah bagi keberhasilan pertanian. Selain dalam bentuk kegiatan tawassul tersebut, petani Sembungan juga rutin menjalankan aktivitas keagamaan yaitu tahlilan, yasinan, simaan, mujahadahan, istighosah, dan barjanji yang muncul sebagai bentuk ritual-ritual baru di Sembungan terkait pertanian kentang. Dalam sebuah wawancara, sejumlah petani bertutur bahwa dalam satu minggu setidaknya ada 10 kali acara keagamaan diselenggarakan di desa ini. 28 Mereka menuturkan baik laki-laki ataupun perempuan mulai dari anak-anak hingga orangtua masing-masing memiliki acara keagamaan sendiri. Disebutkannya hari Sabtu untuk kegiatan barjanji, hari Kamis untuk yasinan dan tahlilan, hari Selasa Kliwon mujahadahan di masjid, hari Minggu untuk kumpulan keluarga, dan hari Senin untuk simaan. Dalam acara tersebut, dilaksanakan kegiatan membaca doa-doa, mengaji Alquran dan bershalawat.29 Bercermin pada uraian yang dipaparkan diatas terlihat bahwa kentang membentuk dan mengadaptasi nilai-nilai lama ke dalam aktivitas-aktivitas baru di Sembungan. Seperti diketahui kebudayaan, yang berarti pikiran, akal budi, mentalitas yang sudah mendarah daging secara kolektif dalam suatu masyarakat, dibentuk lewat proses sosial-ekonomi. Satu proses sosial-ekonomi yang penting akan meninggalkan jejak yang nyata dan amat kasat mata dalam wajah kebudayaan sekelompok orang. 30 Sekumpulan rutinitas acara keagamaan yang dijalankan oleh seluruh lapisan masyarakat menunjukkan bagaimana tanaman kentang telah meresap ke dalam sari batin masyarakat petani setempat. Sebagai fundamen ekonomi, baik individu maupun masyarakat, kentang masuk dan mengambil tempat dalam kebudayaan dan cara pandang hidup masyarakat petani Sembungan.
28 29 30
Wawancara dengn Nasihin (38 th), 8 Maret 2012, di Desa Sembungan, Wawancara dengan Umayah (27 th), 8 Maret 2012, di Desa Sembungan Andi Rahman Alamsyah, Hitam-Putih Tembakau, Depok: Fisip Ui Press, 2011,hal 125-126
Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
28
2.4 Kependudukan Berdasarkan data pada tabel 3 di bawah, jumlah penduduk Desa Sembungan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Berikut rincian jumlah penduduk beserta jumlah KKnya dari tahun 1985 sampai tahun 1995.
Tabel 3. Jumlah Penduduk dan Kepala Keluarga di Desa Sembungan Tahun
1985
Jumlah Penduduk (kk)
789 138kk
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
805
826
834
853
874
896
908
932
954
159kk
176kk
175kk 175kk 189kk 198kk 198kk 199 kk 199 kk
1995 970 202 kk
Sumber: Diolah dari data Sensus Penduduk Desa Sembungan, Kecamatan Kejajar Dalam Angka 1985 s.d.1995
Pertambahan penduduk mulai meningkat setelah tahun 1985.
Fenomena ini
terutama dipengaruhi oleh semakin meluasnya lahan pertanian produktif. Apabila dulu tanah-tanah banyak ditanami pohon-pohon keras maka sejak kentang masuk dialihfungsikan menjadi lahan pertanian. Kondisi ini berdampak pada penghasilan penduduk yang turut meningkat sehingga tingkat kesejahteraan penduduk juga semakin membaik. Terpenuhinya gizi serta terbukanya akses terhadap kesehatan juga memicu pertumbuhan jumlah penduduk tersebut. Di desa ini tingkat kesejahteraan penduduk juga bisa diukur melalui bentuk bangunan rumah. Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa sebelumnya, rumahrumah
penduduk
sangat
sederhana.
Namun
seiring
dengan
membaiknya
perekonomian, penduduk mulai membangun rumah yang lebih layak. Berikut adalah rincian rumah penduduk berdasarkan bahan bangunannya:
Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
29
Tabel 4. Banyaknya Rumah Penduduk Berdasarkan Bangunannya Tahun
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992 1993
1994
1995
Tembok
30
52
80
100
125
147
158
162
170
180
187
1/2 Tembok
37
41
41
30
27
24
23
21
18
16
15
Papan
56
56
43
38
20
18
17
15
11
3
-
Bambu
15
10
12
7
3
-
-
-
-
-
-
Sumber: Diolah dari data Badan Pusat Statistik Kabupaten Wonosobo, Kecamatan Kejajar Dalam Angka 1985-1995
Mayoritas penduduk desa ialah orang Jawa, tetapi merujuk pada teori-teori migrasi ke Dieng pada masa lalu terdapat beberapa orang asing, seperti orang India (keling), Champa (mongoloid), Arab, dan orang Mataram.31 Oleh karena itu, tidak mengherankan jika di Sembungan terdapat sejumlah penduduk dengan ciri fisik serupa dengan leluhurnya. Namun meski memiliki ciri fisik yang saling berlainan, mayoritas penduduk Sembungan saat ini menjalankan adat istiadat sebagai orang Jawa yang kental dengan kehidupan beragama Islam. Dilihat dari tingkat pendidikan umum, penduduk Sembungan relatif lebih rendah dibandingkan desa lain di kecamatan Kejajar. Desa ini hanya memiliki sebuah SD Negeri, Madrasah, dan TPQ. Keadaan ini terjadi karena kesadaran penduduk yang kurang yang terlihat dari rendahnya jumlah penduduk yang menyelesaikan pendidikan SLTP ke atas. Para orang tua lebih suka mengirimkan anak mereka ke pesantren daripada ke sekolah-sekolah umum setelah tamat sekolah dasar. Pada umumnya setelah 1-3 tahun di pesantren, anak tersebut disuruh pulang ke desa untuk membantu orang tua mereka bekerja di ladang. Setelah dianggap cukup mampu dalam bertani, mereka akan disuruh menikah.
32
Adat istiadat tersebut telah
31
Dennys Lombard, Nusa Jawa; Silang Budaya 3, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996,
hal.5 32
Biasanya anak laki-laki menikah pada usia 18 tahun, sedangkan anak perempuan pada usia
15 tahun
Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
30
berlangsung selama puluhan tahun.33 Namun, sejalan dengan peningkatan ekonomi dan pengetahuan tentang pentingnya bersekolah, sejumlah orang tua mulai mengirim anak-anaknya untuk melanjutkan sekolah hingga tingkat yang lebih tinggi, misalnya ke SLTA. Seperti yang tercermin pada tabel 5 perubahan mulai berlangsung pada tahun 1990.
Tabel 5. Banyaknya Penduduk Berdasarkan Pendidikan Tahun
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
Akademi
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
SLTA
-
-
-
-
-
2
3
5
5
8
11
SLTP
2
2
2
1
3
5
8
10
11
15
18
SD
201
211
224
245
275
290
297
310
321
337
448
Tidak
279
250
243
221
217
207
154
119
184
120
100
190
175
151
149
143
138
131
127
113
109
104
Tamat SD Tidak Sekolah Sumber: Diolah dari data Sensus Kependudukan Desa Sembungan 1985 s.d.1995
Dari data pendidikan diatas dapat terlihat mulai tahun 1990 jumlah penduduk yang melanjutkan ke SLTP dan SLTA perlahan-lahan mengalami peningkatan. Disamping itu penduduk yang semula tidak sekolah dan tidak tamat SD juga mengalami penurunan. Sementara jenjang pendidikan SD yang paling dominan ditempuh penduduk desa Sembungan. Tingkat mobilisasi penduduk Sembungan tergolong rendah, terutama sejak pertanian kentang mulai ramai pada tahun 1980-an. Banyak penduduk yang lebih suka tinggal di desa menggarap lahan pertaniannya sehingga bisa dikatakan jarang 33
Para orang tua beranggapan bahwa sekolah hanya jalan untuk mencari pekerjaan. Sementara lahan pertanian mereka masih luas dan menjanjikan, maka sekolah tinggi dipandang tidak penting. Bagi mereka, anak-anak sudah bica baca tulis dianggap cukup. Disamping itu jauhnya letak SLTP membuat anak enggan melanjutkan sekolah. Masa ini sekolah lanjutan tingkat pertama hanya tersedia di Desa Kejajar.
Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
31
sekali penduduk yang bekerja diluar desa. Pada umumnya justru orang dari luar desa yang datang ke Sembungan untuk mencari pekerjaan.34
Tabel 6. Banyaknya Penduduk Yang Pergi Keluar Desa Tahun
1985 penduduk 10
Jumlah yang
pergi
1986
1987
1988 1989
1990 1991
1992 1993
1994 1995
9
7
4
-
-
-
1
-
-
3
keluar
desa Sumber: Diolah dari data Badan Pusat Statistik Kabupaten Wonosobo, Kecamatan Kejajar Dalam Angka 1985-1995
Menarik apabila data penduduk Sembungan yang pergi dari desa diatas diperhatikan. Mulai 1985 yang merupakan tahun-tahun awal budidaya kentang dilangsungkan di Sembungan terlihat ikut berpengaruh terhadap jumlah kepergian penduduk yang semakin menurun setiap tahunnya. Dari hasil bincang-bincang dengan sejumlah petani ditemukan fakta bahwa mereka yang pergi dari desa pada tahun 1985-1989 lebih karena mengikuti suami atau istri pasca pernikahan. Sementara untuk kasus petani meninggalkan desa karena tidak memiliki akses terhadap tanah tidak pernah terjadi di Sembungan. Hal ini terutama karena tersedianya tanah gege maupun kisik yang bisa penduduk sewa apabila tidak memiliki tanah. Namun untuk kepergian penduduk pada tahun 1995 merupakan kasus berbeda. Tahun 1995 merupakan tahun bencana, seperti yang dituturkan sejumlah petani yang menceritakan bahwa pada tahun tersebut petani gagal panen selama tiga musim berturut-turut. Hal ini terjadi karena tanaman kentang mengalami serangan hama wereng kentang dan penyakit busuk daun. Akibatnya banyak petani yang mengalami kerugian hingga mencapai ratusan juta. Termasuk tiga petani yang pada tahun 34
Kebanyakan para pekerja ini berasal dari desa-desa lereng gunung Sumbing dan Sindoro. Mereka bekerja sebagai buruh tani di Sembungan saat musim tanam kentang dan saat panen.
Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
32
tersebut akhirnya memutuskan pergi dari desa dan melakukan transmigrasi ke Sumatera karena terlilit hutang yang tidak mampu dibayarkan dengan kondisi tidak lagi memiliki modal untuk kembali bertanam kentang. Mata pencarian penduduk Desa Sembungan dapat dikategorikan ke dalam dua sektor, yaitu pertanian, dan non pertanian. Sektor pertanian merupakan mata pencarian yang dominan, lebih dari 95% penduduk setempat hidup dari sektor pertanian, baik sebagai petani pemilik, petani penggarap, ataupun buruh tani. Luas lahan pertanian di desa ini kurang lebih 200 hektar. Komoditas tanam yang menjadi andalan desa ini adalah kentang, dan sedikit kacang Dieng. Sementara di sektor non pertanian, usaha yang paling menonjol adalah perdagangan komoditi kentang. Umumnya yang menjadi pedagang tersebut adalah petani yang merangkap sebagai bandar penampung (tengkulak/calo/pedagang pengumpul) produksi petani, yang kemudian menjualnya ke pasar. Dalam kurun waktu sembilan tahun terakhir, permintaan terhadap kentang meningkat tajam. Peluang tersebut menjadi faktor pendorong berkembangnya usaha tani kentang komersial yang berorientasi pasar. Perdagangan skala kecil yang berkembang antara lain warung-warung yang menyediakan berbagai kebutuhan sehari-hari dan kios yang menyediakan beberapa input untuk usaha tani. Disamping itu, pola mata pencaharian ganda umum ditemui di desa ini. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa penduduk yang bermatapencarian bukan sebagai petani, misalnya sebagai tukang bangunan, pedagang, pegawai negeri ataupun buruh tani juga memiliki pekerjaan sampingan sebagai petani dengan turut memiliki lahan dan mengusahakan tanaman kentang. Bahkan sebagian besar justru mengandalkan sektor pertanian sebagai sumber penghasilan utama keluarga. Keterangan lebih terperinci mengenai mata pencaharian penduduk Desa Sembungan dapat dilihat pada tabel berikut.
Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
33
Tabel 7. Banyaknya Penduduk Berdasarkan Jenis Mata Pencarian Tahun
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
Petani
331
357
369
376
390
398
405
417
426
430
438
Buruh tani
35
27
15
10
8
6
3
3
2
2
5
Buruh
3
3
3
3
3
3
3
3
3
2
2
Pedagang
6
6
6
6
5
3
3
10
5
5
3
PNS
1
1
1
1
1
1
1
3
3
3
3
bangunan
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Wonosobo, Kecamatan Kejajar Dalam Angka 1985-1995
Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
34
BAB III UPAYA MENGUBAH NASIB PETANI SEMBUNGAN
Pada awalnya pertanian di Sembungan ialah pertanian tradisional yang tujuan utamanya untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga. 1 Begitu pula dengan pola pertanian mereka yang masih sederhana, belum mengandalkan teknologi modern, serta pupuk kimia. 2 Namun karena hasil produksinya dinilai belum mencukupi kebutuhan pokok maka petani Sembungan melakukan pembaruan terhadap komoditas tanamnya ketika satu jenis tanaman tidak memberikan penghasilan yang menguntungkan. Mereka menggantinya dengan jenis tanaman lain yang dianggap lebih menguntungkan. Namun keterbatasan pengetahuan membuat petani Sembungan kurang berhasil dalam mengelola pertaniannya. Setiap komoditas yang diusahakan tidak ada satu pun yang benar-benar mampu mengeluarkan mereka dari kondisi kemiskinan selama hampir empat puluh empat tahun. Namun, sekitar tahun 1980-an perekonomian petani mulai berubah. Tentunya ada faktor-faktor yang mendorong perubahan perekonomian petani tersebut. Salah satunya ialah masuk dan dikenalnya komoditas kentang oleh petani Sembungan. Didukung faktor alam berupa kondisi tanah yang subur dan iklim yang cocok bagi pertumbuhan kentang, petani Sembungan berhasil mengusahakan budidaya kentang. Meskipun pertanian baru ini membutuhkan modal serta tenaga kerja yang tidak sedikit, tetapi ia menjanjikan penghasilan besar yang memberi kemakmuran bagi petani. Paling tidak selama sepuluh tahun mereka mempertahankan kentang sebagai komoditas andalan komersial di pasaran.
1
Prof. Dr.Sediono M.P Tjondronegoro, Ranah Kajian Sosiologi Pedesaan, Bogor: KPM IPB, 2008, hal.11 2 Sollewijn Gelpke, dalam tulisannya pada awal tahun 1880-an, menyebutkan bahwa petani di daerah Dieng biasa menggunakan pupuk kandang di ladangnya. Lebih jauh lagi Fruin menegaskan bahwa pupuk kandang di daerah Dieng tersebut dibuat dari campuran “sampah desa”, kotoran ternak kambing dan kuda.( Tania Muray Li, Proses Trasformasi Daerah Pedalaman Di Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002, hal. 96-97)
Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
35
3.1 Perkembangan Usaha Tani Perkembangan pertanian di Desa Sembungan terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama, yaitu 44 tahun. Perkembangan ini mencangkup pergantian jenis tanaman dan pengaruhnya bagi perekonomian petani. Berikut akan dipaparkan komoditaskomoditas tanaman yang diusahakan oleh petani Sembungan dari tahun 1936 hingga tahun 1970-an.
3.1.1 Tembakau Tembakau (Nicotina tobacum) merupakan golongan tanaman perkebunan yang dibudidayakan guna mendapatkan daunnya. Tanaman ini dapat tumbuh di wilayah dengan curah hujan rata-rata 2000 mm/tahun. Dengan ketinggian lahan antara 2003000 m dpl dan suhu udara antara 21-230 C. Tinggi tanaman ini hanya sekitar 2.5 m, dan tidak bercabang. Tembakau ditanam dengan jarak 110 x 50 cm. Seorang narasumber menyatakan ia mulai menanam tembakau pada tahun 1940an sebanyak 10.000 batang.
3
Saat itu, petani menanam tembakau sesuai
kemampuannya saja karena meski lahannya luas tenaga kerja yang dimiliki terbatas. Pada umumnya penanaman tembakau dilakukan secara gotong royong oleh anggota keluarga dan para tetangga.4 Masa tanam tembakau hingga panen memerlukan waktu sekitar 7-9 bulan. Memasuki masa panen, setiap hari petani disibukkan dengan aktivitas memetik daun-daun yang berwarna kuning gading. Seperti saat tanam, ketika panen pun dilakukan secara gotong royong. Selesai dipanen daun-daun tembakau diangkut kerumah petani dan disimpan selama empat malam untuk selanjutnya dirajang lalu dikeringkan. Sebelumnya daun tembakau diikat pada sebuah batang kayu yang panjangnya sekitar dua meter dan dikeringkan selama seminggu Masa ini ada sebagian petani yang melakukan panen tembakau sebelum bulan ketujuh tiba, tetapi daun yang dipetik tidak semuanya, hanya daun bagian bawah yang 3
Wawancara dengan Mubari (85 th), 14 Maret 2012, di Desa Sembungan, Terbentuknya sistem kekerabatan extended family dalam masyarakat pedesaan ikut berpengaruh terhadap penggunaan tenaga kerja keluarga dan tetangga. Khususnya saat masa tanam dan panen biasanya petani meminta bantuan para tetangga dan sanak saudara. Di Jawa aktivitas sosial ini dikenal dengan istilah sambat-sinambat disingkat menjadi sambatan (gotong royong). 4
Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
36
disebut daun megersing. Daun megersing ialah daun pertama yang tumbuh di batang paling bawah tanaman tembakau. Daun yang dipetik pertama kali pada daun pangkal atau bagian bawah karena daunnya tua, setelah itu diikuti daun tengah dan atas. Jika tidak terguyur hujan maka petani dapat memulai panen raya pada bulan ke delapan. Namun, bila terguyur hujan panen akan ditunda sampai bulan ke sembilan, menunggu daun yang muda menjadi tua kembali. Daun megersing yang telah dirajang kemudian disimpan. Setelah panen raya, tembakau dari daun kuningan itu selanjutnya dicampurkan sehingga kualitas tembakau rajangan akan sama.5 Sejak tahun 1936 hingga tahun 1973, perdagangan tembakau sebagian besar berada di tangan para pedagang Cina baik dari Pekalongan maupun Batur (Banjarnegara). Biasanya pedagang Cina ini yang datang langsung ke rumah para petani. Disamping sebagai pedagang, orang Cina juga berperan dalam menyalurkan kredit (voor’schot) kepada para petani. 6 Seperti diketahui tembakau ialah tanaman rumit yang memerlukan banyak perawatan dan modal. Untuk awal bertanam, biasanya petani mendapat modal dari hasil penjualan tanaman tumpangsari dan ternak. Namun, seringkali tidak mencukupi sehingga mereka meminjam uang ke pedagang Cina. Seorang narasumber mengatakan bahwa pada tahun 1963 pedagang Cina bernama Sinchun dari Pekalongan terbiasa memberikan pinjaman uang di Sembungan.
7
Meminjam uang kepada pedagang Cina hanya membutuhkan
kepercayaan sebagai jaminannya dan tidak dikenai bunga. Jika petani tidak mampu membayar hutangnya saat jatuh tempo, biasanya panenan tembakaunya harus dijual ke pedagang Cina dan harga belinya direndahkan. Misal harga jual di pasar sebesar Rp 5.000,00/kotak; maka pedagang Cina membelinya dengan harga Rp 2.500,00/kotak. Selain dijual ke pedagang Cina, ada juga petani yang menjual tembakaunya ke pasar Kejajar. Sekitar tahun 1965 tembakau Sembungan tidak dimanfaatkan untuk keperluan industri rokok tetapi hanya dikonsumsi penduduk lokal saja. Harga 5
Wawancara dengan Somedi (80 th), 26 Maret 2012, di Desa Sembungan Tania Muray Li, Proses Trasformasi Daerah Pedalaman Di Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002, hal 95. 7 Wawancara dengan Mubashor (61 th), 16 Maret 2012, di Desa Sembungan 6
Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
37
tembakau sangat bervariasi tergantung pada kualitas tembakau serta kondisi permintaan dan penawaran. Pada masa ini harga satu kilogram tembakau kualitas standar ialah sekitar Rp. 100,00 sedangkan harga satu kilogram tembakau yang berkualitas sangat baik ialah sekitar Rp. 250,00 Namun, selama bertanam tembakau, petani jarang menjumpai harga tinggi, bahkan seringkali tidak laku. Kebanyakan petani mengatakan masa tembakau ialah masa yang sulit karena hasilnya hanya cukup untuk makan. Hal ini disebabkan pendapatan dari panen tembakau hanya diperoleh sekali dalam satu tahun. Seorang narasumber menambahkan “sotho kuwi taneman sing merlukna syarat gedhe namung ra payu dhole” (tembakau ialah tanaman yang memerlukan syarat besar tetapi tidak laku kalau
dijual).8 Untuk lebih jelasnya berikut ini akan disajikan sebuah gambaran kalkulasi sederhana biaya penanaman tembakau dalam hal penggunaan bahan-bahan kebutuhan/ input dan hasil-hasil produksi/ output dengan menggunakan standar harga tahun 1970.
Tabel 8. Pengeluaran bahan-bahan kebutuhan pertanian dan penghasilan yang diterima untuk tembakau di desa Sembungan Jumlah
Biaya/Nilai (Rp)
Pengeluaran bahan-bahan di luar tenaga kerja Bibit
10.000 bibit @Rp 1.5
15.000
Pupuk kandang
1.250 kilogram
0
Pestisida
0 kilogram
0
Total ongkos di luar tenaga
15.000
pengeluaran tenaga kerja Tenaga kerja upahan
2 hari
Tenaga kerja keluarga
270 hari
Total kerja
ongkos
50
tenaga 50
8
Wawancara dengan Mubari (85 th), 14 maret 2012, di Desa Sembungan
Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
38
Total pengeluaran
15.050
Sementara hasil penjualan dari output yang dihasilkan adalah: Hasil panen
: 300 Kg
Harga
: minimal Rp 100/kg : maksimal Rp 250/kg
Hasil penjualan
: minimal 300 x 100 = 30.000 : maksimal 300 x 250 = 75.000
Keuntungan bersih petani dalam satu musim adalah hasil penjualan dikurangi total biaya produksi. Diantara kedua nilai hasil penjualan minimal dan maksimal diatas yang sering terjadi adalah nilai pertengahan yaitu sekitar Rp 150/kg. Artinya frekuensi tertinggi adalah dari hasil penjualan tembakau adalah Rp 150/kg. Dengan demikian, penghasilan petani dalam satu musim dapat dirata-ratakan sebagai berikut: Hasil penjualan panen
: 300 x 150
= 45.000
Total biaya produksi
= 15.050
Penghasilan bersih
= 29.950
Hasil perhari per keluarga pekerja
111
Sumber: diolah dari data BPS Kecamatan Kejajar Dalam Angka tahun 1970 dan hasil wawancara9 Gambaran tabel diatas berdasarkan pengalaman petani Sembungan mengelola tembakau di lahan seluas 0.5 hektar. Dalam hal ini biaya untuk pestisida sama dengan nol, karena umumnya petani tidak menggunakan pestisida. Akan tetapi cukup dengan menggunakan pupuk kandang yang diperoleh dari ternak sendiri. Meskipun biaya untuk bahan kebutuhan pertanian rendah, keuntungan yang diperoleh para petani tembakau juga rendah. Pada tahun 1970 rata-rata pendapatan kotor petani tembakau hanya setara dengan Rp 45.000. Begitu pun dengan penghasilan bersih mereka ratarata hanya Rp 29.950 pertahunnya. Jika keuntungan bersih dibagi dengan jumlah hari yang dikeluarkan para petani untuk menanam tembakau, yaitu 270 hari (9 bulan) 9
Wawancara dengan Yashuri (84 th), Mubari (85 th), Somedi (80 th), Suwendi (82 th), Sukardi (62 th), Mubashor (61 th), Tuhotim (75 th), Nasihin (38 th), Giyanto (43 th), 8,10,14,15,16,24,26 Maret 2012, di Desa Sembungan
Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
39
pendapatan yang diperoleh hanya Rp 111 perhari. Sementara penghasilan perbulan petani sebesar Rp 3.330 untuk masing-masing keluarga pekerja. Pada tahun 1970 indeks harga beras umum Rp 150 per kg. Dengan pendapatan sebesar Rp 3.330 per bulan itu hanya cukup untuk membeli 22.2 kg beras dan 44.4 kg jagung pipilan seharga Rp 75/kg.10 Sehubungan dengan petani Sembungan mengkonsumsi jagung sebagai makanan pokoknya maka penulis menetapkan penghitungan jagung disetarakan dengan beras. Petani mengkonsumsi jagung sejumlah 532.8 kg pertahunnya equivalent 266.4 kg beras. Dengan kata lain jika mengacu pada garis kemiskinan Sayogyo, yaitu konsumsi beras kurang dari 320 kilogram per kapita per tahun, maka petani Sembungan masuk kategori kelompok “miskin”.11 Penghasilan petani semakin sedikit saat harga tembakau kemudian jatuh dari Rp 150 per kilogramnya menjadi hanya Rp 75 per kilogramnya, sejak tahun 1973.12 Ini berarti penghasilan petani hanya Rp 27 per hari, Rp 827 per bulan, dan Rp 7.450 per tahun. Pada tahun tersebut kemampuan petani semakin menurun dalam memenuhi kecukupan pangannya. Dengan pendapatan tersebut petani hanya bisa mengkonsumsi 132 kg jagung equivalent 66 kg beras per tahun. Dibandingkan dengan keadaan sebelumnya, di tahun 1973 petani Sembungan berada dalam kategori “melarat” dengan konsumsi beras kurang dari 180 kilogram per kapita per tahun. Secara keseluruhan tembakau memberikan penghasilan per hari yang sangat kurang. Selain penghasilan tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhan makan secara cukup, juga tidak mampu memenuhi kebutuhan non-pangan yang paling mendasar sekalipun. Dalam keadaan ini petani terjerat dalam kehidupan ekonomi yang rendah sehingga 10
Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Kabupaten Wonosobo 1970 Sayogyo, Garis Kemiskinan Dan Kebutuhan Minimum Pangan (Mimeo), 1977 dalam Amri Marzali Strategi Peisan Cikalong Dalam Menghadapi Kemiskinan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003, hal.316 12 Pada tahun 1973, harga pembelian untuk tembakau turun menjadi Rp 75 per kilogram. Hal demikian terjadi karena tembakau Sembungan tidak dapat bersaing dengan kepopuleran tembakau temanggung, yang mempunyai lahan potensial di kawasan Gunung Sumbing dan Sindoro. Tembakau Temanggung memiliki keunikan tersendiri untuk setiap wilayah tanamnya. Tembakau yang ditanam di Lereng Gunung Sumbing yang menghadap ke timur berbeda kualitasnya dengan yang menghadap ke barat. Varietas srinthil merupakan jenis tembakau yang sangat diminati oleh pabrik karena keunggulan kualitasnya. Pada tahun 1970 tembakau Temanggung dijadikan bahan baku utama industri rokok. 11
Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
40
untuk mengatasi kekurangannya, petani biasanya mencari kayu bakar untuk dijual dengan harga Rp 15,00 per ikat. Di Desa Sembungan, para penjual kayu bakar biasanya menjual kayu bakar mereka ke Desa Tieng 13 , ataupun ke Wonosobo. 14 Usaha lainnya ialah menjual arang dan bekerja sebagai buruh tani di desa lain. Berkaitan dengan fenomena penjualan kayu bakar dan arang oleh orang-orang Sembungan ini ada baiknya diacu argumentasi Mubyarto (1994) yang mengatakan bahwa sebagai pilihan terakhir, masyarakat miskin di pedesaan akan memanfaatkan berbagai sumber ekonomi yang ada disekitar mereka. 15 Hal demikian pula yang dilakukan petani-petani Sembungan. Mereka menjual arang dan kayu bakar karena ia adalah satu-satunya pilihan terakhir yang tersedia. Apalagi dilihat dari segi kondisi alam Sembungan tidak memungkinkan tembakau dan berbagai tanaman tropis lainnya untuk tumbuh dengan subur. Dengan ketinggian diatas 2000 m dpl, sepanjang hari langit terselimuti awan, serta rata-rata suhu turun 0.60 c setiap 100 meter mengakibatkan jumlah matahari yang bersinar terbatas hanya empat hingga lima jam sehari. Padahal tanaman-tanaman tersebut memerlukan sinar matahari yang cukup untuk menunjang pertumbuhannya. Jenis tanaman yang bisa beradaptasi dengan lingkungan Sembungan hanya jenis pohon akasia yang banyak dimanfaatkan petani sebagai kayu bakar dan bahan pembuat arang.
3.1.2 Tanaman tumpangsari (intercropping) Seperti yang telah disebutkan diatas, tanaman tembakau merupakan tanaman yang dipanennya satu tahun sekali. Tentu saja petani tidak dapat menggantungkan hidupnya pada tembakau. Satu keuntungan dari penanaman tembakau adalah kemungkinan untuk menanam berbagai tanaman bersamaan, yaitu tumpangsari 13
Desa Tieng sejak tahun 1950-an dikenal sebagai penghasil tembakau berkualitas bagus. Di desa ini kayu bakar merupakan sumber bahan bakar yang paling utama. Di desa ini pula banyak warga Sembungan baik laki-laki maupun perempuan menjadi buruh pekerja. Buruh laki-laki bekerja menggarang tembakau, sedangkan buruh perempuan menganyam ampyang (rumput kering bahan bakar menggarang tembakau selain kayu bakar). 14 Di Wonosobo arang digunakan untuk memasak makanan di dapur. Meskipun sebagian rumah tangga kaya memiliki kompor minyak tetapi mereka menggunakan kompor minyak tanah berselang-seling dengan kayu bakar. 15 Mubyarto, Keswadayaan Masyarakat Tertinggal, Yogyakarta: Adytia Media, 1994, hal. 55
Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
41
(intercropping). Kombinasi yang paling umum di tanam petani Sembungan adalah kacang Dieng, kuban Jawa (kubis), bawang putih, ketumbar, kentang hitam, kentang merah, dan kentang putih. Menurut pengalaman para petani Sembungan teknik yang biasa dilakukan dalam menanam tanaman tumpangsari ialah menanam satu jenis tanaman pada gundukangundukan dan tanaman lainnya di dalam parit-parit. Gundukan-gundukan ini biasanya setinggi 20 cm dan lebarnya 2 m. Kubis ditanam pada larik kedua disamping tembakau, sedangkan kentang hitam, kentang merah, dan kentang putih ditanam pada larik keempat, begitu seterusnya. Sementara kacang Dieng, bawang putih, dan ketumbar biasanya ditanam di parit diantara gundukan-gundukan yang ditanami tembakau, kubis, kentang hitam, kentang merah, dan kentang putih. Dalam
perkembangannya,
petani
tidak
menggunakan
pupuk,
tanaman
tumpangsari dibiarkan tumbuh secara alami. Perawatan yang dilakukan petani hanya menyiangi rumput-rumput. Sementara pupuk diperoleh dari tembakau yang memang secara khusus diberi pupuk kandang diawal penanamannya. Dalam memilih tanaman tumpangsari, petani menyesuaikan jangka waktu tumbuhnya agar panennya saling bergiliran. Misalnya pada bulan Januari 1955, petani menanam tembakau bercampur kubis dan kentang pada lahan 0.5 hektar. Pada akhir bulan Maret petani mendapatkan hasil panen kubis sebanyak 5 pikul, bawang putih 1 pikul, dan kacang Dieng 4 pikul. Setelah itu satu bulan berikutnya ketumbar mulai dipanen dengan hasil 1 pikul. Pada awal bulan Juni kentang pun mulai dipanen dan umumnya menghasilkan 5 pikul.16 Apabila panen tiba akan ada sekumpulan aktifitas panen yang dimulai dari persiapan hingga penjualan. Petani beserta anggota keluarganya beramai-ramai pergi ke ladang dan memetik hasil tanaman mereka. Anak-anak pun tidak ketinggalan dengan membantu mengangkut hasil panen ke rumah.17 Setelah dimasukan ke dalam 16
Berdasarkan informasi dari para narasumber, kubis, bawang putih, dan kacang Dieng mulai dipanen setelah berumur 90 hari. Sementara itu, kentang (180 hari) dan ketumbar (120 hari). Di Sembungan biasanya satu pikul bermuatan 25 kg. 17 Telah menjadi kebiasaan di Sembungan pada saat panen anak-anak turut pergi ke ladang dan meninggalkan sekolah. Berbicara mengenai pendidikan di Sembungan, sejak dibangun sebuah sekolah dasar pada tahun 1952 tidak banyak perubahan yang terjadi. Para orang tua akan selalu menggunakan waktu berdasarkan tingkat kepentingannya. Misal antara anak pergi ke sekolah atau pergi ke ladang,
Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
42
keranjang, panenan siap dijual. Pada umumnya panenan komoditas tumpangsari dijual oleh petani sendiri ke pasar. Masa ini jika dihitung dalam satu tahun petani ke pasar sebanyak 3-4 kali. Pertama saat menjual komoditas kubis, bawang putih, dan kacang Dieng. Kedua saat menjual kentang. Ketiga saat menjual tembakau. Keempat saat ada keperluan khusus, misalnya berbelanja untuk perayaan pernikahan. Selain itu, sangat jarang ditemukan ada penduduk desa Sembungan pergi ke pasar. Sejak dulu ada tiga rute jalan yang biasa ditempuh petani Sembungan saat membawa dagangannya menuju pasar, yaitu sebagai berikut:18 Rute 1: lewat jalan setapak menuju Desa Setieng sampai akhirnya tiba di pasar Kejajar. Petani biasanya berangkat jam 7 pagi dengan memikul barang dagangan. Sembungan-Kejajar ditempuh selama setengah jam perjalanan. Seringkali petani bolak-balik Sembungan-Kejajar jika dagangannya cukup banyak. Rute 2: lewat jalan setapak Desa Sirangkel- Desa Mlandi- Desa Garung- Desa Kalianget-Wonosobo. Petani biasanya berangkat jam 2 siang, malamnya menginap di Desa jawar dan sampai di Wonosobo esok paginya. Rute 3: lewat jalan setapak Desa Dieng- Desa Siglagah- Desa Pranten- Desa Nglewok- Desa Candigugur- Desa Cepit- Bawang (Pekalongan). Dikarenakan jarak tempuh menuju Bawang jauh dan membutuhkan waktu 7 jam perjalanan, maka petani berangkat dari Sembungan pada pukul 12 malam dan akan tiba di Bawang pukul 5 pagi. Saat itu umumnya petani berangkat secara berombongan. Kelompok laki-laki memikul dagangan sedangkan para wanita menggendong sejumlah kecil dagangan. Dalam satu rombongan bisa mencapai 20 orang. Sebagai penerang di perjalanan digunakan obor dari glonggong gelagah. Petani Sembungan membelanjakan penghasilan dari komoditas tumpangsari tersebut paling pokok untuk membeli jagung. Seperti diketahui pada periode ini jagung merupakan makanan pokok orang-orang Sembungan karena harga beras yang mereka akan menyuruh anak pergi ke ladang. Bagi orang Sembungan, mereka menganut pandangan hidup bahwa setinggi apapun sekolah toh nantinya akan memanggul pacul juga. Akibatnya pen`didikan menjadi urusan sekian yang diperhatikan. (Wawancara dengan Somedi (80 th), Mubashor (61 th), Tuhotim (75 th), 10, 15, 16 Maret 2012, di Desa Sembungan 18 Wawancara dengan Yashuri (84 th),15 Maret 2012, di Desa Sembungan
Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
43
tinggi tidak mampu terbeli oleh mereka. Mereka makan nasi hanya saat ada perayaanperayaan tertentu. Pada tahun 1952 dari penjualan kubis seharga 4 ketip/kg, petani bisa membeli jagung sebanyak 2 tromol (2
1/4
kg). Disebutkan bahwa harga 1 tromol
jagung adalah setalen (2 ketip 5 sen).19 Berdasarkan uraian diatas, sangat jelas terlihat bahwa tanaman tumpangsari menjadi alternatif utama petani Sembungan untuk bertahan dari situasi pertanian tembakau yang tidak pasti. Petani pun dapat memenuhi kebutuhan pangan sehariharinya karena tanaman tersebut menghasilkan panen yang terus menerus.
3.1.3 Pitrum Petani Sembungan mulai menanam komoditas pitrum pada tahun 1955. Pitrum merupakan jenis tanaman bahan pembuat obat nyamuk. Bibit pitrum diperoleh dari petani Setieng yang pada saat itu telah mengembangkan pitrum ditanah-tanah sewaan di Sembungan. Sebelum mengusahakan pitrum, penduduk Sembungan terbiasa menjadi buruh tani di Setieng. Baru kemudian setelah mahir mereka mulai menanam di tanahnya sendiri. Pitrum ditanam dengan jarak ½ m2 dan memerlukan waktu 7 bulan hingga masa panen. Selama mengusahakan pitrum petani membiarkannya tumbuh secara alami sama seperti tanaman tumpangsari. Pitrum dipanen setelah masa panen tembakau usai atas dasar pertimbangan apabila pitrum yang didahulukan, petani akan sibuk merawatnya dengan catatan tanaman pitrem dapat tumbuh hingga dua meter. Bagian yang dipanen dari pitrum ialah bunganya. Pada periode penanaman pitrum, buruh tani mulai muncul tetapi jumlahnya masih terbatas. Biasanya yang mempekerjakan buruh tani ialah penduduk yang memiliki modal besar. Saat itu pada umumnya buruh tani berasal dari
Desa Mlandi dan Desa
Watumalang.20 Dalam segi penjualan bunga pitrum ada dua cara yang biasa dilakukan petani. Pertama dijual ke tengkulak desa. Saat itu di Sembungan ada empat orang petani yang merangkap sebagai tengkulak. Mereka adalah Mubari, Taswandi, Kaswan, dan 19 20
Wawancara dengan Tuhotim (75th) ,16 Maret 2012, di Desa Sembungan Wawancara dengan Suwendi (82 th), 15 Maret 2012, di Desa Sembungan
Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
44
Yashuri. Biasanya setelah barang dagangan terkumpul mereka memikulnya untuk dijual ke Bawang (Pekalongan). Masa itu dagangan yang dibawa sekitar 4 hingga 5 pikul sehingga terkadang dibantu oleh seorang buruh. Buruh pikul diberi upah 1 ringgit (Rp 2.5) per pikul. Setelah sampai di Bawang selanjutnya bunga pitrum dijual ke pedagang Cina. Jika pedagang Cina tidak mampu membayarnya, maka petani memikulnya kembali untuk dijual ke Semarang. Bagi sejumlah petani Sembungan pitrum lebih menguntungkan dibanding tembakau. Selain harganya sangat baik, pitrem mampu bertahan hidup hingga 3 tahun tanpa harus dirawat. Bukti bahwa pitrum merupakan komoditas yang menguntungkan ialah masa itu Mubari menjadi orang Sembungan pertama yang naik haji pada tahun 1966 dan berhasil membeli lahan seluas 9 hektar di gunung Seroja seharga Rp 30.000,00 dari orang Setieng. Pada masa yang sama, disamping hasil penjualan pitrum untuk membeli keperluan pangan, sisanya digunakan untuk memperbaiki rumah. Sejumlah rumah petani yang dulunya beratap mbulung diganti dengan atap blek (bekas kaleng minyak/roti yang dibuka dan diratakan).21 Namun, ketika masa paceklik tiba, seorang narasumber menyebutkan “pas jaman arto ditugel dadi setengah”(ketika nilai uang dipotong jadi setengah)
22
sengnya dijual guna membeli
jagung dan atap rumah penduduk diganti menjadi mbulung kembali.23 Pada tahun 1967 masa kesukesan pitrum berakhir karena harga jualnya turun. Disamping itu, banyak pemilik pabrik obat nyamuk di Semarang tersangkut kasus G 30 S sehingga pabrik pun ditutup. Dampaknya pitrum tidak laku dan petani Sembungan kehilangan pendapatan utamanya.
3.1.4 Kubis Ekspres 21
Drs.Salamun, Budaya Masyarakat Suku Bangsa Jawa Di Kabupaten Wonosobo Propinsi Jawa Tengah, Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah Dan Nilai Tradisional Yogyakarta, 2002, hal.98 22 Kehidupan ekonomi Indonesia hingga tahun 1959 memang belum berhasil dengan baik dan tantangan yang menghadangnya cukup berat. Salah satu upaya yang dilakukan pemeritah untuk memperbaiki kondisi ekonomi ialah kebijakan Gunting Syafruddin. Kebijakan ini adalah pemotongan nilai uang (sanering). Caranya memotong semua uang yang bernilai Rp 2,50 ke atas hingga nilainya tinggal setengahnya. Kebijakan ini dilakukan oleh Mentri Keuangan Syafruddin Prawiranegara pada masa RIS. 23 Wawancara dengan Yashuri (84 th), 15 Maret 2012 , di Desa Sembungan
Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
45
Pada tahun 1974 petani Sembungan beralih menanam kubis jenis hibrida yang lebih dikenal orang lokal dengan nama kubis ekspres. Kubis ini pertama kali ditanam oleh petani Patak Banteng pada tahun 1973. Menurut petani Patak Banteng kubis ini dikenalkan oleh pedagang kubis asal Muntilan (Magelang).24 Sekedar untuk diketahui sejak lama banyak petani Patak Banteng yang berprofesi sebagai pedagang sayur. Mereka terbiasa berdagang hingga ke luar daerah dan mengenal banyak orang. Akibatnya mereka lebih terbuka dalam menerima informasi baru termasuk kubis varietas baru tersebut. petani-petani Patak Banteng ini kemudian mencoba menanamnya dan ternyata hasilnya sangat bagus. Kubis ekspres ini hanya memerlukan waktu pendek yaitu tiga bulan sampai bisa dipanen. Kabar mengenai kubis jenis baru ini pun menyebar hingga ke desa-desa lain di kawasan Dieng, seperti Sikunang, Siterus, dan juga ke Sembungan. Di Sembungan informasi tentang kubis ekspres dibawa oleh seorang penduduk yang bekerja sebagai buruh tani di Patak Banteng.25 Namun karena ia tidak memiliki modal, maka ia menawarkan cara bagi hasil ke Ahmad Syukur, seorang petani yang cukup kaya pada saat itu. Ahmad Syukur kemudian mencoba menanam kubis ekspres di lahan seluas setengah hektar. Cara tanam dan perawatan kubis ekspres berbeda dengan kubis Jawa. Jika dalam menanam kubis Jawa petani cukup mengandalkan pupuk kandang, maka dalam penanaman kubis ekspres petani mengenal penggunaan pupuk kimia, dan pestisida. Petani juga melakukan penyemprotan sebanyak tiga kali dalam satu minggu, dan menyiangi rumput-rumput liar disekitar tanaman kubis sebanyak satu kali. Melalui cara penanaman baru tersebut petani mendapat hasil yang sangat baik. Seorang narasumber mengatakan bahwa saat itu ia memperoleh hasil sebanyak satu ton dari satu ons bibit yang ditanam pada lahan setengah hektar. Berkebalikan dengan hasil kubis Jawa yang terbatas karena ditanam secara tumpangsari. Dengan hasil yang melimpah serta waktu tanam yang relatif pendek maka petani Sembungan mulai menanam kubis ekspres secara luas. 24
Wawancara dengan Humam (37 th), Maryono (60 th), Maisaroh (35 th), 11, 15 Maret 2012, di Desa Patak Banteng 25 Wawancara dengan Somedi (80 th), 26 Maret 2012, di Desa Sembungan
Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
46
Pada periode kubis jenis hibrida ini pertanian di Sembungan mulai diperhatikan pemerintah. Bentuk perhatian pemerintah tersebut ialah dalam bentuk pemberian kredit lunak bagi petani. Pemberian kredit lunak ini ditujukan untuk menyediakan modal yang terjangkau para petani. Kredit ini disalurkan dalam bentuk paket input pertanian, meliputi bibit, pupuk, dan modal. Paket pertanian ini lebih dikenal dengan nama Program Bimas/Inmas (Bimas berarti bimbingan massal; Inmas adalah akronim untuk intensifikasi massal). Tujuan utama program-program ini adalah intensifikasi dan peningkatan produksi melalui pengenalan varietas unggul dalam skala luas. Petani Sembungan mendapat kredit Bimas sekitar tahun 1975. Saat itu petani mendapat pinjaman bibit kubis, pupuk dan uang yang diambil di KUD Kejajar. Setiap petani rata-rata mendapat pinjaman 5 ons bibit, uang Rp 50.000,00, dan pupuk sebanyak 3 kuintal (urea 2 kuintal, TSP 1 kuintal). Masa ini harga pupuk rendah karena disubsidi pemerintah (Rp 250,00 per kilogram). Petani diberi jangka waktu pengembalian setelah masa panen kubis ekspres, yaitu 3 bulan. Namun, jika terlambat satu hari dari waktu pengembalian, maka petani akan dikenai denda.26 Dalam pemasarannya, kubis ekspres umumnya dijual petani langsung ke pasar Kejajar. Ada pula yang menjualnya ke tengkulak dari Wonosobo yang datang langsung ke rumah mereka. Akan tetapi, hasil dari bertanam kubis kurang menguntungkan. Hal itu tidak sebanding dengan modal dan tenaga yang telah dikeluarkan petani. Masalah utama yang dihadapi petani ialah harganya yang fluktuatif serta sifat kubis yang tidak tahan lama. Disamping itu, kubis petani Sembungan tidak laku karena kalah bersaing dengan kubis yang ditanam petani dari Batur (Banjarnegara). Kubis dari Batur ini memang kualitasnya lebih bagus dibandingkan dengan kubis dari Sembungan. Hal ini disebabkan iklim di Batur tidak terlalu dingin sehingga cocok untuk pertumbuhan kubis.27 Periode penanaman kubis di Sembungan hanya bertahan 3 tahun. Petani mulai enggan menanamnya karena sering merugi. Pada tahun 1977 petani kembali menanam tembakau sebagai tanaman
26 27
Wawancara dengan Tuhotim (75 th), 16 Maret 2012, di Desa Sembungan Wawancara dengan Sukardi (62 th), 16 Maret 2012, di Desa Sembungan
Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
47
pokok sampai akhirnya ditinggalkan ketika kentang masuk ke Sembungan pada tahun 1979. Berangkat dari semua uraian diatas, jika latar belakang perkembangan pertanian di Sembungan diperhatikan, maka tampak sebuah aspek bertahan hidup yang diperjuangkan oleh orang-orang Sembungan. Orang-orang Sembungan bukanlah petani yang mudah menyerah atau tidak telaten selama mengusahakan komoditas tanamnya, tetapi mereka hanya berusaha mencari strategi nafkah yang yang berkelanjutan. Hal demikian wajar apabila melihat latar belakang mereka yang mengalami kesulitan hidup selama puluhan tahun. Petani-petani ini dahulu dibesarkan dalam keterbatasan pangan jagung, talas, dan ganyong. Pada tahun 1930-an mereka mengusahakan tembakau disertai tanaman tumpangsari. Pada tahun 1970 mereka mulai menanam kobis ekspres hasil dari perkembangan teknologi penanaman varietas unggul. Perpindahan dari satu tahap ke tahap lainnya membutuhkan banyak waktu dan tenaga, sedangkan hasil yang diharapkan tidak kunjung diperoleh. Istilah lokal “remek, sayah” pun kerap diucapkan oleh orang-orang tua Sembungan yang mengalami hidup di masa-masa sulit tersebut. Satu hal bisa dikatakan bahwa hanya etos tinggi serta kegigihan yang dimiliki orang-orang ini, sehingga mereka bisa mempertahankan hidupnya selama bertahun-tahun dalam kondisi terbatasnya perhatian “negara” terhadap mereka yang tinggal di kawasan dataran tinggi.
3.2 Revolusi Hijau Dalam Perkembangan Usaha Tani di Sembungan Ketika populasi penduduk masih kecil, pertanian ditujukan hanya untuk keperluan pangan sehari-hari. Para petani membatasi tanah olahan mereka pada daerah dasar lembah, meninggalkan lereng bukit dan puncak bukit yang lebat. Mereka mempraktekan sistem bera secara luas, menanaminya dengan tanaman jagung, ganyong, dan talas selama satu atau dua tahun pada satu petak tanah, kemudian berpindah ke petak yang lain. Sementara petak yang pertama dibiarkan kosong selama enam atau tujuh tahun. Hanya sedikit tanah pertanian yang diolah dengan menggunakan pola pergantian tanaman secara penuh.
Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
48
Pada masa itu, tenaga dan pengalaman petani untuk mengolah lahan sangat terbatas sedangkan lahan yang dimiliki sangat luas. Faktor tersebut membuat petani membiarkan lahan-lahan mereka kosong. Perubahan dalam pertanian pegunungan mulai tampak seiring digulirkannya program Revolusi Hijau28 pada tahun 1960-an. Sejak awal tujuan program ini ialah meningkatkan produksi tanaman pangan seperti jagung, gandum, dan padi pada pertanian di dataran rendah. Namun secara tidak langsung program ini membawa pengaruh pada pertanian di kawasan pegunungan serta dataran tinggi. Dibangunnya jalanjalan baru turut memecahkan masalah transportasi di wilayah tersebut. Dengan adanya gelombang kenaikan harga minyak pada tahun 1970-an, salah satu prioritas pemerintahan Orde Baru ialah membuat perluasan jalan-jalan baru. Di Jawa, porsi dari pembangunan jalan-jalan baru, terjadi pada deerah-daerah atas yang terpencil. Di kawasan Dataran Tinggi Dieng misalnya, area jalan yang diaspal meningkat dari 27 kilometer menjadi 62 kilometer, dan jumlah desa yang dapat mengakses jalan-jalan kendaraan (baik yang diaspal maupun yang ditata dengan batu) meningkat dari kira-kira 10 persen menjadi 30 persen. 29 Perbaikan jalan dengan segera membawa manfaat bagi petani di Sembungan. Hal ini memungkinkan petani memasarkan hasil pertaniannya secara lebih cepat dan mudah. Survai pertanian yang dilakukan selama tahun 1980-an menampakkan perbedaan, antara daerah-daerah pertanian dengan pasar desa batas harga-harganya tidak jauh. Sebagian besar 28
Revolusi Hijau ialah suatu strategi yang ditujukan untuk meningkatkan produksi pangan. Seringkali ia dikatakan sebagai satu-satunya cara yang ada untuk meningkatkan bekalan pangan. Maka varietas unggul diciptakan yang berdaya tanggap besar tehadap masukan. Ditandai oleh penciptaan dua varietas unggul tanaman pangan pokok pada tahun 1960-an. Yang satu ialah varietas unggul padi IR-8 hasil persilangan varietas padi Taiwan dan Indonesia, dibuat oleh Dr.Te-Tzu Chang dkk di IRRI Filipina. Yang lainnya ialah varietas unggul gandum yang dibuat oleh Dr. Norman Borlaug dkk di CIMMYT, Mexico. Revolusi hijau padi dapat meningkatkan produksi gabah secara dramatis di daerah-daerah yang sumber airnya dapat dikendalikan atau diirigasi. Melalui program revolusi hijau padi ini Indonesia berhasil membebaskan diri dari devisit pangan kronis, sedangkan Thailand berhasil menjadi pengekspor beras. (Tejoyuwono Notohadiprawiro, Revolusi Hijau Dan Konservasi Tanah, Reprositori Ilmu tanah Universitas Gajah Mada, 2006, hlm.2) 29 Sebagaimana terjadi di sebagian besar Jawa, jalan-jalan utama di daerah tersebut dibangun dengan subsidi dari program Inpres (lihat Booth and McCawley 1981b,8). Jalan-jalan bantu yang menghubungkan komunitas-komunitas individu dengan jalan utama menjadi tanggung jawab dari individu-individu di desa tersebut. seringkali pembuatan jalan memerlukan beberapa tahun untuk menjadi lengkap, dengan cara kerja bakti mingguan.
Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
49
disebabkan perbaikan jalan telah menurunkan biaya transportasi dan meningkatkan kompetisi di antara barang-barang petani Di Sembungan, biaya transportasi yang jelas turun sekitar 50 persen pada tahun pertama setelah pembukaan jalan pada tahun 1978. Dalam keadaan demikian, revolusi hijau menimbulkan rasionalisasi di bidang pertanian khususnya setelah dikenalkannya teknologi baru dan modernisasi pertanian. Hasilnya petani mampu mengembangkan usaha tani yang lebih komersial.
Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
50
BAB IV KENTANG SEBAGAI KOMODITI PALING KOMERSIAL
4.1 Munculnya Usaha Tani Komersial Kegagalan pertanian tembakau, pitrum, dan kubis ekspres menyebabkan petani Sembungan berupaya mencari komoditas tanam lain. Kentang kemudian menjadi pilihan tepat untuk dibudidayakan karena cocok dengan kondisi alam Sembungan. Disamping itu nilai ekonomi kentang sangat tinggi akibat permintaan dari pasar yang terus meningkat. Kentang (Solanum tuberosum) merupakan tanaman dikotil yang bersifat semusim, berbentuk semak/herba, dan termasuk kedalam golongan tanaman hortikultura. 1 Batangnya berbentuk segi empat, panjangnya bisa mencapai 50‐120 cm, dan tidak berkayu. Batang dan daun berwarna hijau kemerah‐merahan atau keungu‐unguan. Bunganya berwarna kuning keputihan atau ungu, tumbuh diketiak daun teratas, dan berjenis kelamin dua. Tanaman ini tumbuh subur di wilayah dengan curah hujan ratarata 1000-2000 mm/tahun, ketinggian lahan antara 500-3.000 m dpl dan suhu udara rata‐rata 20°C. Tanah yang baik untuk kentang adalah tanah yang dalam, drainase baik, dan pH antara 5-6.5. Menurut Horton yang meneliti tentang komoditas kentang selama 20 tahun mengemukakan bahwa kentang merupakan salah satu tanaman yang paling efisien dalam mengkonversikan sumber daya alam, tenaga kerja dan modal menjadi bahan pangan berkualitas tinggi. Tanaman ini bahkan dapat menghasilkan bahan pangan yang lebih bergizi, secara lebih cepat pada lahan yang lebih sempit serta kondisi iklim lebih keras, dibandingkan dengan tanaman pangan utama lainnya.2 Era penanaman kentang mulai berlangsung di Sembungan menjelang tahun 1980an. Menurut seorang petani, kentang masuk ke Sembungan dibawa oleh petani-petani dari Desa Patak Banteng pada tahun 1979. Patak Banteng merupakan sebuah desa di 1
Menurut Janick (1972) adalah tanaman yang pembudidayaanya memberikan ganjaran berupa keuntungan uang atau kesenangan pribadi yang cukup bagi alasan pengeluaran biaya untuk upaya intensif. Garutkab.go.id 2 Horton, D. Potatoes: Production, Marketing, And Programs For Developing Countries. USA :Westview Press, Boulder,1987 Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012 UNIVERSITAS INDONESIA
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
51
kawasan Dieng terletak 6 km dari Sembungan yang pertama kali mengusahaka budidaya tanaman kentang secara massif. Kentang mulai ditanam di Patak Banteng pada tahun 1974 oleh H.Ahmad Fadhol, kepala desa Patak Banteng. Ia mengenal kentang dari seorang pedagang kobis dari Semarang bernama Masdin. Saat itu Masdin memberikan saran kepada Achmad Fadhol agar ia menanam kentang. Selanjutnya Masdin menugaskan Tatang, salah seorang karyawannya dari Pengalengan (Jawa Barat), yang tahu seluk beluk tanaman kentang untuk mengajari Achmad Fadhol cara bertanam kentang. Di lahan seluas 0.7 hektar Achmad Fadhol menanam kentang varietas Katela yang berasal dari Pengalengan. Usaha tani kentang Achmad Fadhol ini ternyata berhasil, hasil panennya saat itu mencapai 15 ton/ha dan memperoleh keuntungan sebesar Rp 2-3 juta. Keberhasilannya dalam menanam kentang lalu diikuti peduduk Desa Patak Banteng lainnya. Melihat petani Patak Banteng meningkat taraf hidupnya berkat kentang maka petani di desa-desa lainnya ikut serta bertanam kentang. Bahkan akhirnya meluas hingga wilayah Pejawaran dan Batur di Kabupaten Banjarnegara. Permintaan kebutuhan kentang yang semakin tinggi sedangkan lahan pertanian di Patak Banteng semakin menyusut menyebabkan pada tahun 1978 petani-petani Patak Banteng menyewa lahan-lahan di berbagai desa termasuk di Sembungan. 3 H. Muqodas adalah petani Patak Banteng pertama yang menanam kentang varietas Kosima dan Katela di Sembungan. Di saat petani-petani Patak Banteng gencar menanam kentang di Sembungan, petani Sembungan masih gigih membudidayakan komoditas tanaman tradisional mereka (tembakau, pitrum, kobis). Masa itu dengan menanam varietas Kosima dan Katela dilahan seperempat hektar, selama 3 bulan masa tanam, petani-petani Patak Banteng memperoleh hasil panen sebanyak 6 ton. Jika dirupiahkan dengan harga yang berlaku pada tahun itu Rp 150/kg, maka penghasilan total yang diperoleh petani-petani Patak Banteng Rp 900.000 selama satu kali musim tanam.
3
Wawancara dengan Maryono (60th), 9 Maret 2012, di Desa Patak Banteng Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
52
Keberhasilan panen kentang petani-petani Patak Banteng tersebut menjadi faktor penarik bagi petani Sembungan untuk ikut menanam kentang. Pada tahun 1980 beberapa petani Sembungan pun mulai menanam kentang secara otodidak. Mereka menanam kentang berbekal pada pengalaman bekerja di Patak Banteng karena saat itu tidak ada penyuluhan dari Dinas Pertanian. Melalui pengalaman tersebut, mereka mulai mencoba menanamnya secara terbatas di ladang masing-masing.4 Pada masa awal bertanam, petani masih menggunakan pupuk kandang sedangkan pupuk kimia digunakan secara terbatas. Berikut merupakan petikan wawancara dengan bapak Mubashor, pioner bertanam kentang di Sembungan: “kulo dhipun tanem kentang riyen kinten-kinten pas tahun pitungpuluh songo. Jaman rumiyen naming sekedhik tiyang sembungan ughi nanem kenthang. Kulo mawon ngartos taneman kenthang amargi dadhos buruh tani teng dusun Patak Banteng. Jaman sementen, sampun kathah sanget tiyang Mbanteng ugi tanem kentang ngantos nyewa lemah teng Sembungan mriki. Kolo rumiyen, kulo tanem kenthang teng lahan setengah hektar. Ngentasaken limang puluh pikul lemi, kalih dhoso kilo Urea, ngasilipun tigang ton lan disade payu sekawan eketewu”.5 (saya menanam kentang sekitar tahun 1979. Saat itu hanya sedikit orang Sembungan yang menanam kentang. Saya mengetahui tanaman kentang karena menjadi buruh tani di Desa Patak Banteng. Masa itu sudah banyak orang-orang Patak Banteng yang menanam kentang bahkan sampai menyewa lahan di Sembungan. Masa itu saya menanam kentang di lahan setengah hektar. Menghabiskan 50 pikul pupuk kandang, 20 kilogram Urea hasil panennya 3 ton, dan dijual laku Rp 450.000). Dalam perkembangannya di tahun 1985 kentang ditanam serentak oleh seluruh petani Sembungan. Pak Giyanto merupakan salah satu petani yang ikut mengelola tanaman kentang seperti petani-petani dari Patak Banteng. Berikut pemaparannya: “Pertama kali menanam kentang pada tahun 1985 dengan modal Rp 250.000,00
yang dipinjami oleh orangtua. Waktu itu saya menggunakan modal tersebut untuk keperluan bertanam kentang, yaitu membeli obat penyubur tanaman merk Antrocol seharga Rp 3.000,00/kg, pupuk urea Rp 8.000,00/kg, TSP 36 Rp 11.000,00/kg, dan mengupah buruh Rp 300,00/orang. Waktu itu penggunaan obat-obatan kimia belum banyak. Saya melakukan penyemprotan hanya 6-7 kali selama 3 bulan masa tanam kentang. Sementara pupuk diberikan satu kali 4
Wawancara dengan Yashuri (84 th), Diono (48 th),15 dan 27 Maret 2012, di Desa Sembungan Wawancara dengan Mubashor (61 th) ,16 Maret 2012, di Desa Sembungan Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012 UNIVERSITAS INDONESIA 5
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
53
pada awal penanaman. Saat itu saya menanam benih kentang sebanyak 10 keranjang atau sekitar 300 kg (3 kuintal). Untuk benih diperoleh dari saudara saya yang kebetulan saat itu hasilnya sangat bagus. Saya memilih waktu tanam September-November karena merupakan waktu yang cocok untuk tanam kentang. Hasilnya panen pertama yang saya dapat sebanyak 3 ton atau 10 kali lipat dari bahan 10 keranjang. Untuk pemasarannya, saat itu bakulnya datang langsung ke rumah jadinya saya tidak repot mengeluarkan biaya transportasi. Waktu itu yang menentukan harga si bakul tapi saya mendapat untung sebesar 4 kali lipat (Rp 1.000.000,00). Jadi untuk pengeluaran rumah tangga Rp 150.000,00/3 bulan, serta Rp 250.000,00 buat modal, saya mendapat sisa Rp 600.000,00. Sisa inilah yang menjadi laba saya. Itu berlangsung terus sampai masa tanam kedua, ketiga…sehingga saya bisa mendapat laba sekitar Rp 1.800.000,00./tahun. Sejumlah uang yang sebelumnya tidak pernah dimiliki petani. Apalagi wong tani gunung”.6 Berangkat dari ingatan terhadap kejadian-kejadian masa lalu terkait pertanian kentang di Sembungan, narasumber mampu memberikan sejumlah gambaran ekonomi yang berlangsung masa itu. Secara sederhana, ia melihat pertanian kentang mampu memberikan kehidupan yang layak untuk menjamin keamanan ekonomi rumah tangganya. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk terus membudidayakan kentang sebagai komoditas utama dalam mengelola pertaniannya. Gambaran pertanian kentang di Sembungan selama era 1980-1990an adalah pertanian yang menjanjikan berkat tingginya harga serta permintaan terhadap kentang. Keadaan ini dipengaruhi dengan meningkatnya kemampuan ekonomi dan gaya konsumsi khususnya pada golongan masyarakat di perkotaan.7 Dalam periode 1980-1990 konsumsi kalori dan protein penduduk perharinya meningkat dengan laju masing-masing 0.58% dan 0.63% rata-rata setahun. 8 Nilai tukar tanaman kentang sendiri meningkat lebih dari enam kali antara tahun 1979 dan 1985. Berdasarkan data SUSENAS (Survey Sosial Ekonomi Nasional), konsumsi kentang total di Indonesia dilaporkan berturut-turut sebesar 250.557 ton, 299.344 ton, 374.488 ton, 538.058 ton 6
Wawancara dengan Giyanto (43 th), 9 Maret 2012, di Desa Sembungan Berdasarkan catatan statistik, kebutuhan kentang nasional memang terus meningkat seiring dengan terjadinya perubahan gaya hidup masyarakat perkotaan, khususnya dalam hal konsumsi makanan. Menurut FAO, apabila tahun 1968 konsumsi kentang masyarakat Indonesia baru sebesar 0,5 kg/kapita, tahun 1985 meningkat menjadi 1.9 kg/kapita, dan pada tahun 1995 sudah mencapai 4.3 kg/kapita. 8 Dumairy, Gambaran Umum Perekonomian Indonesia, Jakarta: Erlangga,1997, hal.211 Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012 UNIVERSITAS INDONESIA 7
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
54
masing-masing pada tahun 1987, 1990, 1991, dan 1993. Pada tahun 1994, total produksi kentang nasional mendekati 600.000 ton. Produksi kentang tersebut naik kurang lebih 1.5% per tahun.9 Oleh sebab itu, peluang tersebut sangat berarti bagi petani di Sembungan. Belakangan pada 1990-an terdapat usaha-usaha untuk meningkatkan hasil panenan kentang di Sembungan. Sejak awal tahun 1990-an petani menggunakan pupuk Cm sebagai pengganti pupuk kandang yang jumlahnya semakin menyusut dari tahun ke tahun.10 Pupuk Cm merupakan limbah buangan dari peternakan ayam yang terdiri dari merang padi dan kotoran ayam. Petani memilih pupuk Cm karena harganya murah serta pasokannya melimpah. Disamping itu, menurut penuturan para narasumber penggunaan pupuk ini mampu meningkatkan produktivitas kentang hingga 2 kali lipat dibandingkan dengan penggunaan pupuk kandang.11 Sekiranya demikian melalui dukungan dari alam berupa kondisi lahan-lahan pertanian yang baik, belum tercemar polusi atau limbah kimia, membuat produktivitas kentang bisa sangat tinggi. Selain itu, tersedianya kredit, tenaga buruh, serta iklim pasar yang stabil mendukung pertumbuhan usaha tani kentang yang komersial. Melalui usaha tani tersebut, terbuka babak baru pada pertanian di Sembungan, yaitu pemasaran produksi pertanian berada di bawah hukum permintaan dan penawaran pasar.12
4.2 Sistem pemasaran
9
Setiadi, T. Peluang pasar kentang di Indonesia. Makalah disampaikan pada Seminar Agribisnis Kentang, Agribusiness Club, 18-19 Januari 1995, Jakarta 10 Di masa lalu kebanyakan petani Sembungan lebih suka mengumpulkan aset ternak dibandingkan dengan aset lahan. Ternak tersebut akan dijual petani saat akan merayakan aktivitas-aktivitas besar seperti pernikahan. Namun, sejak peluang menanam kentang mulai meluas, daya tarik pemeliharaan ternak menurun dengan cepat. Pada tahun 1991, hanya seorang dari sepuluh orang terkaya di Sembungan memiliki ternak. 11 Wawancara dengan Musofa (35 th), Iskamarudin (38 th),Gunawan (35 th), Nasihin (38 th), Nur Ali Aziz (51 th), 10, 16, 21,22, Maret 2012, di Desa Sembungan, 12 Greg. Sutomo, Kekalahan Manusia Petani Dimensi Manusia Dalam Pembangunan Pertanian, Yogyakarta: Kanisius, 1997, hal. 55. Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012 UNIVERSITAS INDONESIA
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
55
Pemasaran kentang pada dasarnya merupakan institusionalisasi pelayanan untuk menjembatani berpindahnya kentang segar dari sisi produksi ke sisi konsumsi. Hampir seluruh sektor pemasaran kentang ditangani oleh pihak swasta dan intervensi pemerintah dalam hal ini relatif minimal, khusus terbatas pada penyediaan infrastruktur. Oleh karena itu, pasar kentang seringkali dianggap beroperasi berdasarkan kekuatan penawaran dan permintaan. Berdasarkan volume kentang yang diproduksi, produsen besar biasanya dapat mengatur waktu penjualan untuk meminimalkan risiko harga. Hal ini dimungkinkan karena pada umumnya petani besar memiliki gudang atau memiliki kapasitas finansial untuk menyewa gudang. Melalui penerapan strategi pemasaran seperti ini, petani bersangkutan dapat mengurangi dampak risiko harga penjualan hasil panen. Dikaitkan dengan partisipasi di pasar kentang, setidaknya ada tiga kategori petani pemasok kentang, yaitu petani besar, petani menengah, dan petani kecil. Disebutkan petani besar, menengah maupun kecil berdasarkan pada ukuran luas lahan yang dimiliki, yaitu petani besar yang berlahan luas, petani menengah yang memiliki lahan sedang, dan petani kecil yang berlahan sempit. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa dari 202 KK yang bermata pencaharian bertani sekitar 86 KK (42,57%) termasuk petani besar, 106 KK (52,47%) petani menengah, dan 10 KK (4,95%) petani kecil. Golongan petani kecil dengan volume penjualan yang relatif rendah dibandingkan dengan petani besar dan menengah hanya mampu berpartisipasi di pasar kentang dalam periode waktu yang jauh lebih singkat. Sebagai konsekuensi dari kondisi ini, petani kecil biasanya lebih rentan terhadap pergerakan harga kentang jangka pendek. Tabel 9 berikut menunjukkan sebaran pemilikan tanah di Sembungan.
Tabel 9. Kepemilikan Lahan Pertanian Populasi Luas Lahan
Kategori Lokal
>1 ha 0,2-1 ha
Luas Lahan yang dimiliki
Jumlah(Orang)
%
Jumlah(ha)
%
Petani Bwsar
86
42,57
60
28,6
Petani Menengah
106
52,47
110
52,4
Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
56 0,2 ha
Petani Kecil Total
10 202
4,95 100
40
19
210
100
Sumber: data dioleh dari Badan Pusat Statistik, Kecamatan Kejajar dalam Angka 1995
Sementara pada proses sebelum menjual hasil panennya, petani biasa melakukan sortasi (memisahkan/memilih kentang yang akan dijual dan di buat benih) dan grading (pada umumnya berdasarkan ukuran kentang). Sortasi pada umumnya dilakukan dilakukan oleh buruh tani harian dengan biaya Rp. 10- Rp. 15 per kilogram. Ada empat mutu kentang yang umum ditemui di Sembungan, yaitu tipe AB (baik), C (sedang), D, TO (campuran), dan rindil. Tipe AB, C, TO dan rindil khusus untuk dijual. Rindil ialah kentang berukuran kecil. Sementara tipe D digunakan sebagai bibit. Setelah proses sortasi dan grading kentang selesai kegiatan berikutnya ialah pengangkutan. Buruh tani angkutan sangat penting perannya dalam hal ini karena lokasi ladang yang berbukit-bukit tidak memungkinkan kendaraan masuk. Pada tahun 1980-an biaya angkut berkisar antara Rp. 15 - Rp. 25 per kg. Tahap terakhir sebelum kentang dipasarkan ialah pengepakan. Pada umumnya petani Sembungan melakukan pengepakan di rumah saat kentang akan dibeli pedagang. Di Sembungan, perniagaan kentang berjalan satu arah. Pemasaran produksi kentang didominasi oleh sistem tengkulak. Istilah setempat ialah pengepul/calo. Tengkulak ini memiliki kewenangan menentukan harga. Menariknya, ada suatu nilai positif yang berkembang di kalangan tengkulak. Hampir semua tengkulak merupakan penduduk asli Desa Sembungan sehingga mereka dikenal lebih jujur dan dapat dipercaya oleh petani. Berikut pendapat YuRouf mengenai tengkulak: “Wonge bakul kentang niku tasih sederek sedusun nggih ngantos sakniki mboten nathe paring regi elek saupami regi teng pasaran pancen sae. Nggih sakabehane dipasken kalih regi pasar”Saupami regi pasaran sakilo niku Rp 800,00 yo awak kulo diparingi Rp 700,00. Paribasan bakul niku mboten mendet untung gedhe-gedhe. 13 (Soalnya tengkulak kentang itu masih saudara satu desa, sampai sekarang belum pernah memberi harga jelek kalau harga dipasaran memang bagus. Semuanya disesuaikan dengan harga pasar. Misal, harga dipasaran perkilo Rp 13
Wawancara dengan YuRouf (32 th),11 Maret 2012, di Desa Sembungan Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
57
800,00 ya kita diberi Rp 700,00. Istilahnya, tengkulak ambil untungnya tidak besar-besar amat). Berdasarkan jumlah produksi yang dapat ditampung dan modal yang dimiliki, setidaknya ada dua kategori tengkulak di Desa Sembungan. Pertama, tengkulak kecil yang bermodal kecil dan biasa memasarkan dagangannya ke pasar-pasar lokal dan dalam jumlah yang tidak banyak (paling banyak 1 colt bak penuh). Kedua, tengkulak besar, tentu saja modalnya besar dan biasanya menjual dagangannya ke para pedagang besar dalam jumlah besar (biasanya lebih dari 1 truk). Perlu dijelaskan di sini bahwa sejauh data yang didapat penulis, tidak ada perbedaan tingkat harga yang mencolok di antara tengkulak kecil dan besar. Satu-satunya perbedaan ialah adanya hubungan langsung antara tengkulak besar dengan para pedagang besar. Umumnya para pedagang besar dari berbagai kota seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, dan kota-kota besar lainnya membeli langsung ke para tengkulak besar ini sehingga hampir tidak ada petani yang menjual kentangnya langsung kepada para pedagang ini.
Bagan 1. Alur pemasaran kentang dari petani Sembungan ke pihak konsumen
Tengkulak Besar
Pedagang Besar
Petani Kentang Tengkulak Kecil
Pedagang Pengecer
Pasar Luar Negeri
Konsumen
Pasar Induk Dalam Negeri
Konsumen
Pasar Lokal
Konsumen
Sumber: diolah dari hasil wawancara14
14
Wawancara YuRouf (32 th), Ibu Mukhozin (34 th), Wisgiyah (30 th), Sukardi (62 th), 8,12,23 Maret 2012, di Desa Sembungan Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012 UNIVERSITAS INDONESIA
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
58
Merujuk pada laporan Dinas Perdagangan ditunjukkan bahwa saluran pertama menyerap sekitar 80% dari pasokan total kentang, sedangkan 20% sisanya atau mungkin lebih kecil lagi diserap oleh saluran kedua. 15 Sejumlah 75% kentang dari Sembungan sebagian besar dipasarkan di pasar dalam negeri seperti ke Jakarta (pusat konsumsi utama) dan beberapa kota besar lain, misalnya Bandung, Surabaya, dan Semarang. Penjualan kentang dari Sembungan mencapai puncaknya antara bulan Januari dan Maret, kemudian agak berkurang antara bulan Juli dan Oktober. Sementara itu, diberitakan dalam Suara Merdeka 13 Mei 1991 sekitar 25% kentang Sembungan telah dipasarkan ke luar negeri, khususnya ke Singapura dan Malaysia. Produksi kentang Sembungan mencapai puncaknya pada tahun 1994, yaitu sebesar 103.050 ton. Jumlah ini mendekati 10% dari total produksi domestik.16 Sehubungan dengan itu, Wisgiyah, salah seorang pedagang pengepul di Sembungan, menuturkan bahwa kentang Sembungan kualitasnya lebih unggul dibandingkan kentang daerah lain sehingga pedagang besar sangat menyukai kentang Sembungan. Adapun keunggulan kentang Sembungan, yaitu berukuran besar dan berbentuk bulat, berwarna kuning bersih, tidak mudah lecet, serta mampu disimpan sampai tiga bulan. Dengan keunggulan tersebut produksi kentang yang setiap harinya mencapai ratusan ton tetap mudah pemasarannya karena pihak pedagang besar senantiasa siap menampung.17
4.3 Pola Penggunaan Lahan, Tenaga Kerja, dan Modal Seiring dengan terbukanya peluang petani untuk terlibat dalam pertanian komersial kentang, terjadi pula perubahan-perubahan dalam penggunaan lahan, tenaga kerja, serta modal di Desa Sembungan. Alokasi penggunaan tanah di Desa Sembungan pada tahun 1985 tercatat 225 ha untuk perladangan, 9 ha pekarangan, 50 ha hutan negara dan sisanya rawa-rawa. Hampir semua tanah di Desa Sembungan berstatus hak milik penduduk setempat yang umumnya diperoleh dari warisan dan jual beli. Hanya sedikit lahan yang dikuasai oleh orang dari luar Desa Sembungan 15
Dinas Perdagangan Kabupaten Wonosobo 1992 Badan Pusat Statistik Kabupaten Wonosobo, Kecamatan Kejajar Dalam Angka 1995. 17 Wawancara dengan Wisgiyah (30 th), 15 Juni 2011, di Desa Sembungan Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012 UNIVERSITAS INDONESIA 16
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
59
melalui sewa, lahan perladangan tersebut umumnya terletak di daerah perbatasan desa. Dikaitkan dengan pemilikan lahan, tidak dapat dipungkiri, petani sangat bergantung kepada lahan. Banyak petani miskin di dunia yang terpuruk akibat tidak memiliki lahan untuk dikelola. 18 Secara prinsipil, hal ini tidak terjadi pada petani Sembungan. Di dalam urusan mengenai pemilikan tanah, ada tiga faktor yang umum berlaku di Sembungan, yaitu sistem pewarisan, pembelian, bagi hasil, dan sewa. Pewarisan merupakan tradisi masyarakat petani yang sudah umum dilakukan dalam memberikan lahannya secara turun-temurun sehingga setiap petani memiliki lahan sendiri. Demikian juga yang terjadi di Desa Sembungan, warisan merupakan kesempatan sosial paling penting dalam mendapatkan tanah. Pada tahun 1955 tercatat setiap satu orang memperoleh warisan tanah dua hingga lima hektar. 19 Pada perkembangannya, di tahun 1985 rata-rata setiap petani memiliki lahan antara satu sampai dua hektar. Sementara pada tahun 1995 setiap petani rata-rata memiliki lahan seluas 0.9 hingga 1 hektar.20 Di Sembungan ada satu kekecualian dari prinsip umum pembagian tanah pada para ahli waris, yaitu laki-laki maupun perempuan menerima pembagian tanah yang sama. Disini tidak ada sama sekali bias laki-laki yang bisa dilihat. Bahkan pewarisan tanah ke perempuan bisa lebih tinggi, laki-laki memperoleh 53.3 persen, perempuan 59.3 persen.21 Hal demikian bisa terjadi karena anak perempuan yang paling kecil umumnya akan merawat orang tuanya di usia tua. Jadi misalnya, seorang petani memiliki lahan 4 bagian dan 3 orang anak, maka setiap anak akan memperoleh satu bagian lahan yang sama besar. Lalu anak perempuan bungsu yang mengurus orang tuanya di masa tua, selain menerima 1 bagian warisannya juga menerima lahan pekarangan. Pandangan secara umum apabila satu hektar lahan dibagi kepada dua anak, maka masing-masing akan memperoleh setengah hektar. Jika lahan berukuran setengah hektar tadi diwariskan pula kepada anak-anaknya maka luasnya akan berkurang. Namun, pada tahun 1980-an hal semacam ini jarang terjadi di Desa Sembungan 18
Eric R. Wolf, Petani Suatu Tinjauan Antropologis, Jakarta: C.V Rajawali, 1985, hal. 12-13.
19
Wawancara denga Mubashor (61 th) ,16 Maret 2012, di Desa Sembungan Badan Pusat Statistik Kabupaten Wonosobo, Kecamatan Kejajar Dalam Angka 1995. 21 Ibid, hal. 57 Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012 UNIVERSITAS INDONESIA 20
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
60
karena hampir semua petani Sembungan mempunyai lahan lebih dari satu, yang letaknya tidak berdekatan satu sama lain. Ada petani yang memiliki ladang ditepi desa dan di desa tetangga yang berbatasan dengan Desa Sembungan.22 Pembelian tanah juga memainkan peranan penting dalam akses penduduk terhadap tanah. Di Sembungan pada era 1950-an, pembelian tanah pada umumnya oleh petani yang memiliki jumlah lahan dua sampai lima hektar. Mereka membeli lahan dari petani miskin satu hektar tanah atau lebih. Penjualan tanah yang cenderung dilakukan diantara rumah tangga miskin semata-mata untuk mengatasi keadaan darurat keluarga. Meskipun pada umumnya bagi petani, tanah adalah satu-satunya milik yang berharga, tetapi bagi petani miskin tanpa modal ia tidak mampu mengelola lahan pertaniannya sehingga dalam kondisi terdesak, pilihannya hanya satu yaitu menjual tanahnya. Lalu setelah kehilangan satu-satunya aset produksinya, para petani ini mengandalkan pendapatannya dengan menjadi buruh tani. Selain oleh petani berlahan luas, pembelian tanah juga dilakukan oleh petani golongan menengah dengan luas tanah satu sampai dua hektar. Pembelian tanah dengan luas hampir setengah hektar merupakan jumlah yang cukup memadai untuk menaikkan mereka ke dalam barisan pemilik tanah golongan atas. Dengan kata lain pembelian tanah memungkinkan beberapa petani meningkatkan mobilitas ekonomi. Lebih jauh lagi mobilitas demikian khususnya berlangsung pada tahun 1980-an saat pertanian kentang ramai dikelola petani Sembungan. Pada masa itu kepemilikan tanah bersifat sangat cair. Artinya proses perpindahan kepemilikan tanah berjalan sangat cepat. Di Sembungan kepemilikan tanah seorang petani kaya paling lama bertahan 5-7 tahun. Dalam hal ini kepemilikan tanah di Sembungan berbeda dengan kepemilikan tanah di dataran rendah khususnya pada kepemilikan sawah yang sifatnya statis. Seperti diketahui dalam pertanian sawah, seorang petani dapat mempertahankan tanahnya hingga berpuluh-puluh tahun. Adapun misalnya kemudian terjadi pelepasan tanah biasanya karena proses pewarisan ataupun penjualan dalam keadaan terdesak. 22
Wawancara YuRouf (32 th), 11 Maret 2012, di Desa Sembungan, Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
61
Timbulnya pola kepemilikan tanah yang cair di Sembungan tidak terlepas dari sifat spekulatif pertanian kentang. Dalam hal ini petani tidak bisa menebak keuntungan yang akan diperolehnya. Sebagai contoh, seringkali ketika petani kaya mendapati satu musim tanam bagus dengan penghasilan tinggi, mereka memperluas lahan pertaniannya dengan cara membeli lahan tanpa perhitungan lebih dulu. Apalagi bagi petani Sembungan usaha tani kentang dianggap sebagai usaha untung-untungan bukan usaha profesional. Akibatnya timbul ketika musim tanam kedua, dan ketiga penghasilannya tidak bisa menutup modal yang dikeluarkan, sedangkan ia membutuhkan modal untuk bertanam pada musim berikutnya. Disini petani tidak memiliki pilihan lain kecuali menjual tanah-tanahnya. Lalu biasanya petani golongan menengah mulai mengambil alih posisi petani kaya dengan membeli tanah tersebut. Pola umum seperti ini terus menerus berlangsung selama sepuluh tahun pertanian kentang dikelola petani Sembungan. Artinya pergantian kepemilikan tanah akan selalu terjadi selama petani menerapkan strategi bertani untung-untungan. Meskipun demikian jika dilihat dari sisi positifnya kondisi tersebut memungkinkan setiap petani Sembungan merasakan kemakmuran yang sama. Dalam hal ini petani miskin pun memiliki kesempatan untuk mengubah hidupnya menjadi lebih sejahtera dengan ikut bertaruh dalam pertanian kentang. Disamping melalui warisan atau pembelian, penduduk juga mendapatkan tanah dengan cara-cara bagi hasil dan sewa. Bagi hasil merupakan sistem yang dilakukan antara pemilik tanah dan penggarap dengan imbalan berupa sebagian hasil tanah tersebut. 23 Di Sembungan terdapat empat bentuk bagi hasil yang sudah ada sejak lama, yaitu maro, mertelu, mrapat, dan merlima.24 Pembagian yang umum terjadi dalam bagi hasil adalah sebuah aturan sederhana yang disebut maro atau paron, yang berarti “membagi masing-masing separuh”. Dalam aturan yang terdapat dalam perjanjian tersebut, pemilik tanah menyediakan tanah, bibit, obat, dan pupuk. 23
Joan Hardjono, Tanah, Pekerjaan Dan Nafkah Di Pedesaan Jawa Barat, Yogyakarta:Gajah Mada University Press, 1990,Hal 119 24 Wawancara dengan Yashuri (84 th), Tuhotim (75 th), Mubashor (61 th), 15,16 Maret di Desa Sembungan Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012 UNIVERSITAS INDONESIA
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
62
Penggarap bertanggung jawab dalam penyediaan tenaga. Dalam sistem maro ini hasil panenan dibagi sama besar dalam dua bagian.25 Sementara pada aturan mertelu yang umum dipakai untuk penggarapan, pemilik tanah hanya menyediakan tanah dan pupuk, sedangkan penggarap menyediakan bibit, obat, dan tenaga. Dalam sistem ini penggarap mendapatkan imbalan sepertiga bagian dari hasil panen. Aturan pada sistem mrapat agak berbeda dengan sistem maro dan mertelu. Penggarap hanya menyediakan tenaga kerja, dan mrapat hanya dilakukan pada lahan yang dekat dengan jalan. Pengolahan dengan sistem ini penggarap diberi imbalan seperempat dari hasil panen. Dari ketiga sistem bagi hasil yang telah diuraikan tersebut, merlima yang paling jarang dipilih penduduk. Selain imbalan yang didapat hanya seperlima, lahan yang harus digarap biasanya jauh dari jalan, sehingga menyulitkan petani dalam pengangkutan hasil panen. Dalam sistem ini seluruh biaya produksi ditanggung petani pemilik modal. Sampai akhir tahun 1960-an, sistem yang paling dominan ialah hubungan bagi hasil maro baik antara petani kecil maupun dengan petani berlahan luas (petani pemilik modal). Saat itu petani berlahan luas akan memiliki status lebih tinggi jika memiliki beberapa petani penggarap. Akan tetapi, sejalan dengan perubahan zaman, hubungan bagi hasil antara petani berlahan luas dengan petani kecil senmakin berkurang. Berikutnya sistem sewa kemudian menjadi hubungan kelembagaan yang dominan. Pada sistem sewa ini, pemilik lahan umumnya mensyaratkan pembayaran dimuka untuk sejumlah lahan yang disewa penggarap. Lamanya waktu sewa tergantung perjanjian yang dibuat, biasanya berdasarkan perhitungan satu musim tanam. Hasil yang diperoleh dari lahan yang disewa seluruhnya menjadi hak petani penyewa. Sebelum tahun 1960-an, sistem sewa tidak umum di lakukan penduduk Sembungan. Pengalaman sewa kepada orang luar desa pertama kali terjadi pada tahun 1965. Pada saat itu dikatakan bahwa beberapa pendatang orang Setieng menyewa sebidang 25
A.M.P.A Scheltema, Bagi Hasil Di Hindia Belanda, Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 1983, hal
29l Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
63
kecil tanah dari petani-petani setempat untuk bercocok tanam pitrem.26 Selanjutnya pada tahun 1978, pendatang orang-orang Patak Banteng menyewa tanah seluas dua hektar di Sembungan untuk menanam kentang yang akan mereka jual.27 Namun, yang paling sering terjadi adalah bahwa para pendatang itu lebih suka membeli tanah daripada menyewanya. Pada tahun 1980 hampir sekitar 75 persen tanah-tanah Sembungan dikuasai pendatang penduduk Patak Banteng. Seperti diketahui pada tahun 1977 sekitar 25 % penduduk Patak Banteng yang waktu itu berjumlah 1.300 orang, ramai-ramai menanam kentang.28 Kondisi penguasaan lahan oleh orang luar desa menimbulkan keprihatinan, Yashuri, lurah Sembungan saat itu (1979-1989). Untuk melindungi tanah-tanah penduduk Sembungan ia membuat suatu peraturan berisi larangan bagi orang Sembungan menjual tanah ke orang luar desa. Tujuannya agar orang Sembungan bekerja dilahannya sendiri, tidak menjadi buruh orang-orang desa lain karena masa itu banyak orang Sembungannn yang memilih menjadi buruh tani orang-orang Patak Banteng.29 Dalam perkembangannya, pada tahun 1995 seluruh tanah-tanah Sembungan yang disewa ataupun dijual menjadi hak milik orang-orang Sembungan kembali. Tanah-tanah yang telah habis masa sewanya tidak lagi diperpanjang karena diolah sendiri oleh petani Sembungan. Sementara itu tanah-tanah yang dulunya dijual sedikit demi sedikit dapat dibeli kembali. Seperti halnya kepemilikan tanah, penggunaan tenaga kerja di Desa Sembungan pun sangat erat kaitannya dengan perkembangan sistem pertanian yang berlangsung di desa ini. Ketika masyarakat Sembungan menjalankan sistem pertanian tradisional, yaitu periode penanaman jagung, tembakau, pitrum, dan kobis para petani masih mengandalkan sistem gotong royong atau yang lebih dikenal dengan istilah sambatan. Pada umumnya orang yang membantu diladang ialah sanak saudara dan tetangga dekat. Ketika panen, pemilik ladang akan memberikan upah berupa sebagian dari hasil panenan. Hasil yang menjadi bagian sanak saudara dan tetangga dekat yang 26
Wawancara dengan Somedi (80 th), 26 Maret 2012 , di Desa Sembungan Wawancara dengan Mubashor 61 th),16 Maret 2012 , di Desa Sembungan 28 Suara Merdeka, 13 Mei 1992 29 Wawancara dengan Yashuri (84 th), 15 Maret 2012 , di Desa Sembungan Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012 27
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
64
telah membantunya ini disebut bawon.30 Menjelang tahun 1980 sistem gotong royong semacam ini jarang dilakukan para petani, sekalipun ada hanya terbatas pada keluarga dekat saja. Sejak saat itu sistem ketenagakerjaan dilimpahkan kepada anggota keluarga petani. Anak-anak berumur 12 tahun misalnya sudah merupakan tenaga kerja yang produktif bagi usaha tani. Mereka dapat membantu mengirim makanan, mengangkut bibit, menggembalakan ternak, serta mencari rumput. Tenaga kerja yang berasal dari keluarga petani ini merupakan sumbangan keluarga pada produksi pertanian secara keseluruhan dan tidak pernah dinilai dengan uang.31 Memasuki periode pertanian kentang pada tahun 1980-an kebutuhan terhadap tenaga kerja semakin bertambah. Hal ini disebabkan pertanian kentang memerlukan banyak tenaga kerja sehingga banyak buruh tani yang datang menawarkan jasanya ke Sembungan saat itu. Buruh tani adalah mereka yang tidak memiliki lahan tetapi bekerja sebagai tenaga upahan dilahan orang lain. Para buruh tani ini merupakan kaum pendatang dari luar desa Sembungan. Mereka berasal dari kecamatan Watumalang, Kepil, Sapuran, dan desa-desa lereng gunung Sindoro-Sumbing lainnya. Para pemilik lahan telah menganggap para buruh tani ini sebagai anggota keluarganya sendiri, bahkan tidak jarang kemudian terjadi pernikahan antar buruh tani dengan penduduk desa. Selama bekerja seluruh kebutuhan buruh tani mulai makan, minum, sabun, dan tempat tinggal ditanggung oleh pemilik lahan. Setiap pemilik lahan rata-rata memiliki buruh tani sekitar 3-6 orang. Khusus untuk petani kaya bisa mempekerjakan buruh tani hingga 20 orang. Upah buruh tani bervariasi tergantung pekerjaan yang mereka lakukan. Pada tahun 1990-an buruh tani yang bekerja di Sembungan sebanyak 106 orang (9.9%) sedangkan petani pemilik tanah sejumlah 202 orang (99,9%). Artinya, setiap petani mempekerjakan paling tidak satu buruh tani setiap harinya. Ada tiga jenis buruh tani yang biasa bekerja pada petani di Sembungan, yaitu buruh tani harian, buruh tani borongan, dan buruh tani angkutan. Buruh tani harian bekerja selama satu 30
Prof. Dr.Sediono M.P Tjondronegoro, Ranah Kajian Sosiologi Pedesaan, Bogor: KPM IPB, 2008,
hal.169 31
Mubyarto, Pengantar Ekonomi Pertanian, Jakarta: LP3ES, 1981, hal. 105
Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
65
hari khusus pada saat musim panen. Mereka terbiasa mencabut kentang, dan mengumpulkannya untuk kemudian dipikul buruh tani angkutan ke rumah petani. Pada umumnya mereka mulai bekerja dari jam 07.00 pagi sampai jam 12.00 siang. Selanjutnya istirahat selama satu jam dan mulai bekerja kembali pada jam 13.00 sampai jam 17.00 sore. Pada tahun 1985 buruh tani diberi upah Rp 1.500,00/hari dan mulai tahun 1990 meningkat menjadi Rp 5.000,00/hari. Selanjutnya buruh tani borongan yang bekerja selama musim awal tanam. Mereka mengerjakan seluruh kegiatan mulai dari mencangkul, menanam, dan menyiangi rumput. Pekerjaan ini tidak bergantung pada banyaknya jumlah pekerja yang dibutuhkan setiap harinya, melainkan berapa lama pekerja borongan mampu mengerjakan pengolahan lahan. Pada tahun 1985 upah buruh tani borongan ini sebesar Rp 300.000,00- 350.000,00. Lalu pada tahun 1990-an bertambah besar menjadi Rp 1.000.000,00. Terakhir ialah buruh tani angkutan yang khusus bekerja saat panen. Pekerjaan mereka hanya memikul hasil panen yang telah dikumpulkan pekerja harian menuju rumah pemilik ladang. Pada umumnya mereka diberi upah lewat dua cara, yaitu: dihitung jumlah (kg) kentang yang diangkut dan jumlah pikulan.32 Lebih jauh lagi selain kepemilikan tanah, dan tenaga kerja yang telah diuraikan diatas, modal juga hal yang paling penting sebagai faktor produksi pertanian dalam arti sumbangannya pada nilai produksi. Dalam pengertian ekonomi, modal adalah barang atau uang yang bersamaan dengan faktor produksi lahan dan tenaga kerja menghasilkan barang-barang baru, yaitu hasil pertanian. Modal petani Sembungan yang berupa barang diluar tanah adalah cangkul, diesel, alat penyemprot, pupuk, bibit, hasil panen yang belum dijual, dan tanaman yang masih di ladang.33 Sepanjang perkembangan pertanian di Sembungan sumber modal yang mudah diperoleh adalah petani kaya, sanak saudara, dan pedagang Cina. Disamping itu, modal biasanya juga diperoleh dari hasil menjual komoditas tumpangsari dan ternak. Pada masa lalu orang-orang Sembungan terbiasa memelihara ternak untuk sumber penghasilan tambahan. Pada umumnya jenis ternak yang dipelihara ialah mendo 32
Suara Pembaruan, 21 Juni 1991
33
Mubyarto, ibid., hal. 91.
Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
66
(domba). Selain dipelihara untuk dijual ternak juga dimanfaatkan untuk menghasilkan pupuk kandang. Masa ini sumber-sumber kredit dari pemerintah belum tersedia di desa-desa kawasan pegunungan sehingga para petani terbiasa mencari sumber kredit secara informal. Orang-orang Sembungan mulai mengenal sumber kredit formal sejak masuknya program Bimas/Inmas ke desa pada tahun 1975. Saat itu pelaksanaan program kredit pemerintah diserahkan ke Bank Rakyat Indonesia (BRI); bank pemerintah yang pembangunannya diperluas hingga ke tingkat kecamatan selama periode 1970-an. BRI Unit Desa ini bertanggung jawab menyalurkan secara langsung barang-barang paket kredit (bibit, pupuk, uang) ke KUD. Namun, dalam perkembangannya jarang ada petani yang mau mengambil kredit ini. Petani lebih suka meminjam uang pada tetangga ataupun orang cina dengan alasan prosedurnya tidak berbelit-belit. Di desa-desa kawasan pegunungan akses terhadap kredit formal memang terlihat lebih sulit dibandingkan tempat lain. Hal ini disebabkan oleh faktor-faktor yang komplek, termasuk lokasi dan pandangan negatif terhadap orang gunung dan pertaniannya. Seorang narasumber menyatakan bahwa saat itu untuk menuju BRI yang letaknya di Wonosobo, petani harus menempuh perjalanan dengan berjalan kaki selama sehari semalam. 34 Selain itu, ketika di bank, petani seringkali mendapat perlakuan kurang baik dari para petugas bank. Mereka dipandang rendah sebagai petani kelas kedua karena berasal dari wilayah “minus” (ladang non irigasi dianggap sebagai jaminan yang tidak berharga). Pandangan negatif terhadap pertanian pegunungan inilah yang umum beredar dilingkaran institusi pemerintah, sehingga menghalangi para petani yang mencoba meningkatkan posisi ekonominya dengan bantuan kredit murah dari BRI. Gambaran tersebut semakin jelas terbukti dengan sedikitnya petani di desa Sembungan yang mengambil kredit ini. Saat diwawancara banyak narasumber yang menjawab tidak pernah mengetahui adanya program kredit ataupun mengetahui tetapi
34
Wawancara dengan Sukardi (62 th),16 Maret 2012 , di Desa Sembungan, Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
67
tidak ikut mengambilnya.
35
Berdasarkan penelusuran penulis diperoleh data
mengenai petani yang bersedia mengambil paket kredit. Ternyata pada periode Bimas/Inmas terhitung hanya tujuh orang saja yang pernah mengambil kredit ini, yaitu Taswandi, Mubari, Ahmad Syukur, Kaswan, Yashuri, Suwendi, dan Mubashor. Pada saat mengambil kredit sebagai jaminannya petani menyerahkan petuk. Petuk adalah surat keterangan yang dikeluarkan oleh kepala desa yang menunjukkan jumlah milik tanah untuk menentukan jumlah pajak.36 Dalam kasus peralihan pertanian kentang pada 1980-an. Pada periode inilah praktik peminjaman kredit formal mulai berkembang di Sembungan. Seorang narasumber menyebutkan di tahun 1985 sekitar 50 orang mengajukan permohonan kredit Kupedes (kredit umum pedesaan) di BRI. Saat itu petani mengajukan pinjaman kredit sebesar Rp 200.000-500.000. Menurut petani Sembungan program Kupedes BRI memberikan prosedur kredit yang tidak membebani petani karena hanya dikenakan bunga 2 persen perbulan. Sementara jangka waktu yang diberikan adalah tiga tahun untuk modal berkembang dan lima tahun untuk investasi. Melalui kredit itulah petani mampu bertanam kentang kembali di musim bagus (Juli-Agustus).37 Demikianlah sumber-sumber kredit yang tersedia bagi masyarakat petani Sembungan. Program Bimas pemerintah yang menawarkan kredit sebenarnya kurang memenuhi kebutuhan petani. Disamping terbatasnya petani yang ikut, seringkali uang pinjaman digunakan untuk kebutuhan non pertanian. Secara keseluruhan program ini hanya membawa perkembangan sedikit dalam pertanian di Sembungan. Program kredit yang dianggap paling berhasil adalah program Kupedes yang digulirkan sejak 1983.
Dalam
perkembangannya
petani
tidak
terikat
suatu
paket
untuk
mengintensifkan hasil panennya tetapi uang tunai yang diberikan bisa dimanfaatkan juga untuk pengembangan berbagai usaha, termasuk berdagang. 35
Wawancara dengan Mubashor (61 th), Tuhotim (75 th), Somedi (80 th), Mbah Sukardi (62 th),16, 24,26 Maret 2012, di Desa Sembungan 36 Koentjaraningrat, Masyarakat Desa Di Indonesia Masa Ini, Jakarta: Yayasan Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1979,hal.144 37 Wawancara dengan Diono (48 th), 27 Maret 2012, di Desa Sembungan Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012 UNIVERSITAS INDONESIA
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
68
4.4 Organisasi Pertanian di Desa Sembungan Seiring dengan berjalannya program Bimas diikuti pula oleh suatu perpanjangan program dari Dinas Pertanian, yaitu sistem kunjungan dan pelatihan bagi petani secara langsung. Pada dasarnya program ini digulirkan untuk pertanian padi sawah dan palawija di dataran rendah. Namun, komoditas sayur-sayuran dataran tinggi juga mendapat pengaruhnya meskipun terbatas. Dalam program ini diadakan kegiatan berupa penyampaian informasi pertanian dari para “petani maju” kepada sekelompok kecil “petani biasa”. Biasanya yang diundang ke kegiatan tersebut adalah kepala desa.38 Pada praktik selanjutnya kepala desa yang telah memiliki bekal pengetahuan akan menyalurkannya melalui kelompok tani yang beranggotakan 10-20 orang. Kelompok tani ini yang nantinya menjadi unit dasar bagian kerja seorang pekerja lapangan PPL (Penyuluh Pertanian Langsung). PPL bertanggung jawab mengatur pertemuan intensif dengan berbagai kelompok tani, dan masing-masing kelompok dikumpulkan satu kali dalam dua minggu. Pada prinsipnya seorang PPL bertanggung jawab terhadap 16 orang petani di wilayah kerja seluas 2000 hektar.39 Program PPL baru berlangsung pada tahun 1990-an semasa petani telah bertanam kentang. Pada periode pertanian sebelumnya petani tidak pernah mengenal PPL.40 Di masa awal bertanam kentang pada tahun 1980, petani Sembungan memperoleh berbagai informasi pertanian justru dari toko-toko pertanian, khususnya toko UD Hanna milik Ba Li Chan dan toko pertanian Budi Asih.41 Selain itu, banyak pula informasi pertanian disampaikan oleh para penjual obat-obatan pertanian buatan 38
Pada tahun 1980 lurah Yashuri bersama dengan lurah desa-desa lain mengikuti program kunjungan dan pelatihan yang diselenggarakan di Pengalengan (Bandung). Disana ia diajari cara membudidayakan tanaman kentang. 39 Jan G.L.Palte, Upland Farming On Java, Indonesia. Amsterdam/Utrech: Koninklijk Nederlands Aardrijkskundig Gencotschap, 1989, hal 207 40 Wawancara dengan Suwendi (82 th), Mubashor (61 th), Tuhotim 75 th), 12, 16, 21 Maret 2012, di Desa Sembungan 41 UD Hanna ialah toko pertanian pertama yang berperan penting terhadap perkembangan pertanian kentang di sembungan. Toko ini milik seorang cina bernama Ba Lichan. Segala jenis keperluan pertanian disediakan oleh toko ini. bahkan sering juga petani meminjam uang kepada Ba Lichan saat panennya gagal dan membutuhkan modal untuk masa tanam berikutnya. Dulu toko ini terletak di Kejajar tetapi sekitar tahun 1990-an pindah ke Kauman Wonosobo. (Wawancara dengan Bapak Sudi, 9 Maret 2012, di Desa Sembungan) Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012 UNIVERSITAS INDONESIA
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
69
pabrik. Penduduk Sembungan menyebut mereka dengan istilah formulator. Dari para formulator inilah petani Sembungan berkenalan dengan berbagai produk pertanian termasuk jenis-jenis pestida, fungisida, herbisida dan insektisida. Tepatnya tahun 1993 PPL mulai datang ke Sembungan. Setiap satu kali dalam dua minggu, PPL biasanya memberikan berbagai penyuluhan khususnya mengenai jenis bibit baru, pupuk, obat-obatan, dan cara mengolah tanah dalam pertemuan kelompok-kelompok tani. Namun, petani kurang merespon kinerja PPL ini karena dianggap hanya pandai berteori saja. Berdasarkan hasil wawancara terhadap sekelompok para petani, ditemukan data bahwa petugas PPL seringkali dipandang “remeh” oleh petani.42 Misalnya saat PPL menerangkan pentingnya mengolah tanah dengan sistem guludan melawan kontur untuk mencegah erosi, banyak petani yang tidak mempraktikannya di ladang mereka. Petani beralasan dengan pengalaman mereka selama bertani kentang apabila di musim hujan sistem guludan melawan kontur diterapkan justru menyebabkan air menggenang dan erosi yang terjadi semakin parah. Selain itu bagi petani, mereka lebih suka mendengarkan informasi pertanian dari para formulator, yang mereka pikir lebih berguna daripada informasi dari petugas PPL. Pada tahun 1993 terdapat dua kelompok tani yaitu Subur Jaya dan Sembung Tani. Aktivitas kelompok tani tersebut meliputi pemberian pinjaman lunak, penyediaan pupuk dan benih, serta penjualan terpadu. Pinjaman kredit lunak merupakan sistem peminjaman uang diantara anggota kelompok tani. Modal diperoleh dari iuran anggota sebesar Rp 10.000,00 yang disetorkan setiap panen. Dari dana inilah pinjaman diberikan secara bergilir. Untuk penyediaan pupuk dan bibit, pasokannya diambil dari KUD Kejajar dan Dieng setiap tiga kali dalam satu tahun. Sistem pemasaran terpadu merupakan kebijakan dari Dinas Pertanian untuk menghindarkan petani dari pasar terbuka. Dalam sistem ini mekanisme yang dijalankan ialah hubungan inti-plasma. Pengaturan itu menawarkan sejumlah 42
Wawancara dengan Giyanto (43 th), Nasihin (38), AbduRouf (35 th), Iskamarudin (37 th), 8,12, 16, 22 Maret 2012, di Desa Sembungan
Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
70
keuntungaan potensiaal dibandinggkan dengaan produksii untuk passar terbuka.. Sampai tingkat terrtentu petan ni dapat meeramalkan pendapatann mereka seecara pasti. Namun, masalah yang y dihadappi petani daalam mekannisme inti-pllasma yangg terisolasi dari d pasar terbuka teerletak padda lambannnya proses pencairan uang. Baggi semua petani p di pedesaan, uang tunai merupakann hasil akhirr yang ditunnggu setelahh masa paneen usai. Petani Sembungaan menyalurrkan hasil ppanen melaalui kelomppok tani Su ubur Jaya dan Sembbung Tani kemudian k d disalurkan k kelompokk tani inti ddi Kejajar. Masa itu ke harga juallnya lebih sttabil dibanddingkan denngan di pasaar terbuka. Namun, kenndalanya muncul appabila paneen raya tibaa, yaitu kelebihan prod duksi (overr supply) seedangkan permintaaan tetap akibbatnya keloompok tani inti di Kejajar tidak m mampu men nampung panenan ppetani. Akhiirnya petani memilih keluar k dari mekanisme m kelompok tani intiplasma dan d beralih memasark kan produkknya ke pasar terbukka. Di Sem mbungan kelompokk tani berjalaan selama empat e tahunn, yaitu darri tahun 19993 dan berhenti total pada tahunn 1998.
ma Baagan 2. Alurr Perdaganggan Kentangg Inti-Plasm
Sumber: diolah dari hasil wawaancara43
43
W Wawancara denngan Nur Ali Aziz A (51 th), S Sukardi (62 thh), Gunawan (338 th), Nasihiin (38 th), 8,12 2, 16, 22 Mareet 2012, di Dessa Sembungann Perubahan Pola…, Raudh hotun Arbanggiyah, FIB UI 2 2012
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
71
BAB V DAMPAK “EKONOMI KENTANG” BAGI KEHIDUPAN PETANI SEMBUNGAN
Perubahan pola pertanian di Desa Sembungan telah membawa sejumlah dampak terhadap kehidupan petani. Perubahan yang paling mencolok ialah meningkatnya kesejahteraan para petani yang terlihat dari berhasilnya petani menjalankan usaha budidaya kentang selama hampir sepuluh tahun. Seluruh kebutuhan hidup mulai dari kebutuhan pangan, sandang, dan papan mampu petani penuhi dari penghasilannya sebagai petani kentang. Salah satu indikator petani Sembungan telah hidup sejahtera ialah tidak lagi mengkonsumsi jagung sebagai makanan pokoknya tetapi menggantinya dengan nasi. Namun, dibalik itu masih ada perubahan lain yang berhubungan dengan situasi ekonomi dan sosial-budaya masyarakat desa.
4.1 Dampak Ekonomi Salah satu faktor yang sangat penting dalam mengusahakan budidaya kentang ialah mengenai penghasilan. Sebagaimana diketahui dalam sejarah pertanian di Sembungan, diantara berbagai komoditas yang pernah dibudidayakan, yang memiiki nilai paling tinggi di pasaran sampai saat ini adalah kentang. Tidak mengherankan selama sepuluh tahun membudidayakan kentang, tingkat perekonomian petani Sembungan meningkat tajam. Tentu saja hal itu membuat masyarakat setempat menjadikan kentang sebagai tumpuan kesejahteraan mereka. Ketika ditanyai perihal penghasilan mereka selama membudidayakan kentang, para petani Sembungan menjawab dengan cepat bahwa penghasilan mereka tidak hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok saja tetapi mereka juga bisa membeli barang-barang yang termasuk mewah, seperti kendaraan roda empat dan sejumlah barang-barang elektronik. Lebih lanjut berdasarkan hasil wawancara penulis terhadap sejumlah petani kentang Sembungan diketahui bahwa penghasilan bersih yang diperoleh selama satu musim tanaman adalah sebesar Rp 10-12 juta, jumlah yang sangat besar dibandingkan penghasilan dari sewa tanah yang sebesar Rp 1 Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
72
juta/ha/tahun.1 Perihal penghasilan ini juga diperkuat oleh pendapat bapak Giyanto sebagaimana yang diungkapkannya yaitu: “kalau saat musim-musim baik (pernikahan, kelahiran, lebaran) keuntungan
saya jauh lebih besar daripada hari-hari biasanya. Saat itu harga kentang bisa mencapai Rp 1.250 untuk setiap kilogram. Bayangkan saja sekali panen kentang bisa mencapai 20-30 ton/ha jadi keuntungan saya sampai Rp 25-35 juta untuk sekali panen. Misal dikurangi biaya pembelian bibit, pupuk, pestisida, ongkos tenaga kerja untuk pengolahan lahan, serta pengangkutan dari ladang ke rumah, menghabiskan Rp 7 juta. “Saya jelas masih untung Rp 18-28 juta dibandingkan modal yang cuma Rp 7 juta”. Petani apa yang pendapatannya sebesar ini”.2 Untuk mendapatkan gambaran utuh mengenai tingkat kesejahteraan petani Sembungan, informasi yang dihimpun dari sejumlah artikel surat kabar menyebutkan, ketika selesai panen dan kentang laku dengan harga tinggi, petani-petani Sembungan segera merenovasi rumah mereka.3 Saat itu rumah yang terbuat dari “gedheg”, papan atau setengah tembok semakin menyusut digantikan dengan bangunan rumah permanen bertembok beton. Modelnya pun tidak lagi wagu seperti umumnya perumahan pedesaan. Namun, sudah mulai tersentuh polesan arsitektur modern meniru model perumahan perkotaan yang bergaya Spanyol. Perabotan yang mengisi rumah mereka pun umumnya termasuk kategori mewah. TV berwarna, tape recorder, parabola, komputer, bak mandi air panas, lemari pendingin, hampir dimiliki setiap rumah petani kentang. Selain itu, pada tahun 1992 petani mulai membeli kendaraan. Salah satunya Haji Thoib yang memiliki minibus sebanyak 5 buah.4 Pada tahun 1994 kendaraan ini seolah bukan lagi merupakan barang mewah karena petani di desa ini ada yang memiliki truk sampai puluhan buah. Tidak hanya hal tersebut, ekonomi kentang juga mempercepat proses pembangunan desa yang sebagian besar dibiayai secara swadaya. Prasarana jalan aspal maupun ibadah, terutama masjid, dengan biaya puluhan juta bahkan ratusan juta, bisa terwujud berkat dana swadaya masyarakat. Setiap panen, petani wajib 1
Wawancara dengan Bapak Nur Ali Aziz, Bapak Giyanto, dan Mbah Mubashor, 8 ,16 Maret 2012, di Desa Sembungan. 2 Wawancara dengan Giyanto (43 th),16 Maret 2012, di Desa Sembungan 3 Jutawan-Jutawan Baru Bermunculan di Dataran Tinggi Dieng” (Suara Merdeka 13/05/1992), 4 Wawancara dengan Bu Mukhoyin (33 th), 8 Maret 2012, di Desa Sembungan Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
73
menyisihkan 2.5% dari keuntungannya untuk dana pembangunan masjid. Seorang narasumber menuturkan bahwa masjid Sembungan selama tiga kali direnovasi telah menelan biaya sekitar 3.5 milyar.5 Lebih jauh lagi ekonomi kentang ikut mempengaruhi sistem nilai yang diikuti penduduk. Bagi kebanyakan penduduk Desa Sembungan, misalnya melakukan ibadah naik haji merupakan simbol keberhasilan yang sekaligus menunjukkan tingginya tingkatan sosial, keagamaan, dan kekayaan.6 Pada tahun 1994, empat puluh orang penduduk melakukan ibadah naik haji, padahal hanya lima atau tujuh orang yang berangkat dari desa-desa linnya. Jauh lebih banyaknya orang yang pergi naik haji dari desa Sembungan ini merupakan kecenderungan baru yang muncul bersamaan dengan keberhasilan budidaya kentang. Hampir semua petani kentang kaya mempunyai gelar “Haji” dan biasa disebut ‘Haji Kentang’. Selain itu, pemikiran bahwa pendidikan formal sama pentingnya dengan pendidikan agama juga muncul sejalan dengan peningkatan ekonomi dan pengetahuan masyarakat. Kini sejumlah orang tua tidak lagi memaksakan anak-anaknya ke pondok pesantren setelah lulus sekolah dasar tetapi mulai mengirim anak-anaknya ke sekolah formal bahkan ke tingkat yang lebih tinggi, misalnya ke Perguruan Tinggi. Dari uraian diatas dapat diketahui bagaimana petani Sembungan memaknai kentang sebagai komoditas yang identik dengan harapan dan kemakmuran. Tujuan dari perubahan pola pertanian yang dilakukan petani kini membuahkan hasil. Kentang menaikkan derajat petani Sembungan yang semula miskin menjadi petani yang sukses dan makmur.
4.2 Dampak Sosial -Budaya Dilihat dari fakta sosial yang ada, perubahan yang timbul dari ekonomi kentang tidak hanya mengacu pada proses material, akan tetapi juga moral. Seiring dengan meningkatnya nilai ekonomi kentang, gejala komersialisasi muncul dalam 5
Wawancara dengan Iskamarudin (38 th), 22 Maret 2012, di Desa Sembungan, Sejak awal tahun 1990-an, banyak surat kabar melaporkan munculnya orang kaya baru akibat produksi kentang. Misalnya, “Jutawan-Jutawan Baru Bermunculan di Dataran Tinggi Dieng” (Suara Merdeka 13/05/1992); “Kisah Dieng: Dari Haji Kentang Sampai Bun Upas” (Media Indonesia 9/12/1992).
6
Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
74
masyarakat desa. Kemakmuran ikut mempengaruhi gaya berpakaian petani. Mereka yang sebelumnya terbiasa mengenakan pakaian sederhana kini lebih suka meniru cara berpakaian masyarakat perkotaan yang modis dan mengikuti zaman. Namun karena tidak bisa membatasi keinginan seringkali petani menghambur-hamburkan uang hanya untuk berbelanja pakaian. Berkaitan dengan kondisi kemakmuran tersebut, ternyata ikut menggeser ciri-ciri lokal dalam kehidupan penduduk. Misalnya, sistem gotong royong tidak lagi diberlakukan menjelang tahun 1980 dan digantikan sistem ketenagakerjaan upahan. Hal ini ditegaskan oleh sejumlah petani yang menekankan bahwa sistem gotong royong itu sesungguhnya tidak ekonomis.7 Saat diwawancara para petani ini dengan cepat menghitung biaya yang dikeluarkan dalam kerja gotong royong. Mereka harus menyediakan makanan untuk para pekerja dan juga mengganti setiap hari kerja dari pekerja itu dengan tenaga kerja mereka sendiri. Apalagi bagi petani- petani yang memiliki lahan luas, mereka merasa dirugikan dengan sistem tukar menukar tenaga kerja ini. Disamping itu, tukar menukar tenaga kerja dalam sistem gotong royong ternyata biayanya lebih besar dua kali lipat dibandingkan dengan menyewa pekerja upahan. Kecenderungan seperti itu umum terjadi di Sembungan khususnya dengan masuknya teknologi baru di bidang pertanian. Pasar yang berkembang mendorong petani Sembungan mengkomersialkan komoditas kentang. Pertanian komoditas kentang memerlukan penanganan secara intensif, sehingga mendorong permintaan atas tenaga kerja upahan yang secara tajam memperluas kesempatan bekerja bagi petani miskin. Menurut penganut Marxis pembentukan ulang dari hubungan-hubungan ketenagakerjaan dibawah pengaruh perubahan-perubahan komersial merupakan unsur penting dalam kapitalisme pertanian. 8 Sebagaimana yang terjadi di Sembungan, perluasan tenaga kerja berjalan seiring dengan intensifikasi dari tindakan eksploitatif para petani. Adanya persepsi memperoleh keuntungan besar, menjadikan penggunaan 7
Wawancara dengan Iskamarudin (38 th), Sudi (55 th), Gunawan (38), Nasihin (38 th), Giyanto (43 th), 8,9,10,21,22 Maret 2012, di Desa Sembungan 8 Wallerstein (1974); Frank (1969) dalam Robert W Hefner, Geger Tengger: Perubahan Sosial Dan Perkelahian Politik ,Yogyakarta: LKIS,1999, hal.237 Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
75
tenaga kerja upahan semakin penting. Dalam situasi semacam ini, pengaruh yang timbul adalah melemahnya keyakinan tentang tata nilai lokal yang dahulu dihormati dan dijunjung tinggi. Penyebaran pertanian komersial secara dramatis telah meningkatkan mobilisir sumber daya menjadi lebih luas, melampaui batas-batas desa, sehingga mengaburkan batas-batas yang menjadi penanda penting bagi identitas lokal. Situasi semacam itu semakin menegaskan bahwa parameter-parameter untuk menentukan tujuan yang hendak dicapai menjadi tidak lagi bisa dikendalikan oleh otoritas-otoritas tata nilai lokal desa. Akan tetapi, disesuaikan dengan kepentingankepentingan petani yang mengacu pada kekuatan-kekuatan yang ada di luar. Pertanian komersial telah melepas ikatan kekerabatan akibat dari perhitungan materialistis biaya dan keuntungan yang dilakukan petani. Melalui pengenalan mekanisme pasar, petani didorong mencari keuntungan untuk diri sendiri, meninggalkan ekonomi saling berbagi resiko yang sudah tertanam secara turun temurun sebelumnya. Senada dengan hal itu, Popkin menegaskan bahwa petani memiliki perilaku yang berbeda. Mengutip teori ekonomi nonklasik, ia menyatakan bahwa petani tidak terlalu terikat pada tradisi, dan lebih responsif terhadap inovasi daripada yang diperkirakan pada umumnya. Petani hanya sekedar “manusia ekonomi” (homoeconomicus) universal yang bentuknya agak khusus dan cara pengambilan keputusannya terbentuk oleh perhitungan cermat terhadap biaya dan keuntungan.9
4.3 Dampak Lingkungan Di dalam sejarah pertanian di dataran tinggi sangat erat hubungannya dengan proses erosi tanah. Mula-mula penggarapan tanah untuk menghasilkan pangan dilakukan secara ekstensif, artinya sedikit petani diatas satu luasan tanah garapan; penggunaan peralatan masih terbatas dan jika dibuat masih sederhana sifatnya. 9
Samuel L. Popkin (1979), dalam Tania Muray Li, Proses Transformasi Daerah Pedalaman Di Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002, hal.194
Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
76
Prosedur menaklukan alam dilakukan dengan kekuatan-kekuatan alam sendiri. Namun, dalam perkembangannya berbagai teknologi digagas dan diterapkan seperti pembuatan sengkedan (teras), pengairan sederhana, dan menanam lebih banyak tanaman (tumpangsari). Semua itu diusahakan untuk bertahan hidup dan memperpanjang jangka waktu pemanfaatan sumber daya di satu tempat tertentu. Apabila sumber daya sudah terkuras, maka petani akan melakukan perpindahan ke tempat lain. Pengosongan lahan tersebut merupakan bagian dalam suatu sistem pengelolaan tanah yang dilakukan untuk memperbaiki lapisan tanah yang menipis akibat penggarapan tanah secara intensif.10 Di Sembungan, usaha konservasi tanah terakhir kali dilakukan melalui pergantian jenis tanaman secara tumpangsari pada periode pertanian kubis. Usaha konservasi ini merupakan usaha penerapan pola pertanian yang memberikan kesesuaian antara terjaganya lapisan permukaan tanah dengan pendapatan yang diperoleh. Selain itu, pergantian jenis tanaman yang digarap secara bergiliran juga mencegah berkembangnya hama dan pertumbuhan jamur. Namun, kondisi berbeda mulai terjadi pada tahun 1980-an, untuk pertama kalinya petani Sembungan tidak merotasi tanamannya. Lahan-lahan pertanian diolah secara intensif dalam kegiatan produksi kentang. Meningkatnya permintaan pasar terhadap komoditas kentang cepat ditanggapi petani dengan menggunakan lahan secara besar-besaran. Lahan-lahan ini, termasuk yang curam dengan kemiringan 25-30 persen seluruhnya ditanami komoditas kentang. Pola pertanian yang baru ini menunjukkan tidak adanya kehatihatian dalam penanganan lapisan tanah. Sebagai dampaknya selama musim hujan sejumlah besar lapisan tanah mengalami longsor. Ladang-ladang yang kehilangan lapisan atas tanah dalam skala besar membuat lapisan tanah bawah (subsoil) atau cadas menonjol keatas permukaan tanah.11
10
Prof. Dr.Sediono M.P Tjondronegoro, Ranah Kajian Sosiologi Pedesaan, Bogor: KPM IPB, 2008,
hal. 240 11
Ibid. hal.241
Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
77
Petani Sembungan sesungguhnya menyadari adanya masalah tersebut, tetapi mereka tidak mengacuhkannya dan terus mengusahakan budidaya kentang.12 Usaha pemerintah untuk memperkenalkan alternatif tanaman baru pun tidak berhasil, ketika tanaman tersebut tidak dapat tumbuh dengan baik di Sembungan. Akibatnya penghasilan yang akan petani peroleh tidak sepadan dibandingkan dengan pendapatan yang mereka peroleh dari tanaman kentang. Para penyuluh pertanian juga gagal untuk meyakinkan para petani supaya menghentikan pembangunan guludan yang menyusuri lereng bukit.
13
Para penyuluh itu menunjukkan bahwa dalam
kenyataannya sistem guludan tersebut akan menghilangkan lapisan tanah dengan cepat. Melalui kedalaman pencangkulan yang mencapai dua pertiga meter dan tidak adanya vegetasi tutupan yang menghambat hujan, para petani telah membuat lapisan tanah yang paling atas menjadi sangat ideal bagi terjadinya pelongsoran tanah. Namun, dilapangan para petani mendapati sistem gulutan tersebut justru menghalangi air menggenang dan mengalirkan air dengan cepat. Lebih jauh lagi hal yang memicu terjadinya erosi di lahan-lahan pertanian ialah sikap kurang bijaksana para petani Sembungan dalam menerapkan teknik pertanian. Demi meraih produksi maksimal, penggunaan bahan-bahan kimia secara berlebihan sering dilakukan petani.14 Apabila pada tahun 1980 penyemprotan dilakukan 7 kali selama musim tanam, pada tahun 1995 ditingkatkan menjadi 20-30 kali penyemprotan.15 Akan tetapi, menurut sekumpulan petani meskipun berbagai obatanobatan yang dianggap ampuh telah digunakan, produksi kentang akhir-akhir ini menurun dratis.16 Apabila pada awal pembudidayaannya, petani dapat memperoleh panen sebanyak 20-30 kali lipat, maka pada tahun 1995 hasil yang diperoleh hanya 13-15 kali lipat.17 12
Media Indonesia, 9 Desember 1992 Wawancara dengan Tono (56 th), 5 Maret 2012, di Desa Kejajar 14 Sinar Tani, 23 Februari 1994 15 Wawancara dengan Musofa (35 th), 16 Maret 2012, di Desa Sembungan 16 Wawancara dengan Giyanto (43 th), Iskamarudin (38 th), AbduRouf (35 th), Gunawan (38 th), 8, 11,21,22 Maret 2012, di Desa Sembungan 17 Wawancara dengan Musofa (35 th), 21 Maret 2012, di Desa Sembungan 13
Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
78
Contoh diatas merupakan dampak ekologi paling serius yang dihadapi petani Sembungan selama sepuluh tahun intensif mengelola pertanian kentang. Kepentingan perlindungan lapisan tanah bertentangan dengan kepentingan peningkatan hasil panen. Petani Sembungan cenderung memberikan perhatian lebih besar demi kepentingan jangka pendek dalam hal-hal produksi (tenaga kerja, modal) dan mengabaikan kepentingan pelestarian tanah. Pengabaian pelestarian tanah pada lahan pertanian dilakukan petani dengan melakukan tiga kali penanaman kentang dalam setahun, mencangkul tanah sebanyak enam kali dalam setahun, serta membangun gulutan searah kontur tanah secara terus menerus tanpa memperhitungkan musim. Vegetasi tutupan pun dihilangkan karena kentang harus mendapat sinar matahari secara langsung. Akibatnya lapisan permukaan tanah dengan cepat hilang saat musim hujan tiba karena akar-akar tanaman kentang tidak mampu menahan derasnya air yang mengalir. Dalam kasus lahan-lahan curam, pelongsoran mempercepat proses erosi. Secara singkat satu hal dapat dikatakan, jika petani tidak merubah pola pengolahan lahan pertaniannya, tampaknya momentum perubahan pertanian kentang akan mengakibatkan adaptasi pasif yang memerosotkan lingkungan daripada inovasi dalam skala luas. Sebagai dampaknya, kesejahteraan penduduk pun terancam.
Perubahan Pola…, Raudhotun Arbangiyah, FIB UI 2012
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
01ÿ
ÿ
ÿ ÿ
ÿ
ÿ
'('ÿ)*ÿ +,-./.+ÿ ÿ 012343ÿ5678789ÿ:1;7<=8ÿ>1<=63?ÿ@36A3ÿ:147@363;ÿ:B<3ÿ:14?3;=3;ÿC=ÿD183ÿ01>@7;E3;ÿ C3:3?ÿ?14F3C=ÿ?=C35ÿ<1:38ÿC34=ÿ:1;E3476ÿ:1?3;=ÿC34=ÿC183GC183ÿ<3=;9ÿ567878;H3ÿ:1?3;=ÿC34=ÿ D183ÿI3?35ÿJ3;?1;EKÿL1?14<=@3?3;ÿ:1?3;=ÿI3?35ÿJ3;?1;EÿC3<3>ÿ>1;E1;3<53;ÿ?3;3>3;ÿ 51;?3;Eÿ?1<36ÿ>1>3=;53;ÿ:143;3;ÿH3;EÿCB>=;3;ÿC3;ÿ:1;?=;Eÿ@3E=ÿ?14<3583;3;H3ÿ78363ÿ @7C=ÿC3H3ÿ51;?3;EÿC=ÿ01>@7;E3;Kÿÿ L1E3E3<3;ÿ:14?3;=3;ÿ81<3>3ÿ1>:3?ÿ:7<76ÿ1>:3?ÿ?367;ÿ?=C35ÿ>1>@73?ÿ:1?3;=ÿ 01>@7;E3;ÿ@147@36ÿ>1;F3C=ÿ:38=MKÿN3>7;ÿ5B;C=8=ÿ?1481@7?ÿF78?47ÿ>1>=27ÿ81>3;E3?ÿ >14153ÿ7;?75ÿ?1478ÿ>1;234=ÿ33?3;ÿ?1463C3:ÿ 51875183;ÿ:1?3;=ÿI3?35ÿJ3;?1;EÿC3<3>ÿ>1;E1
353ÿ:1?3;=ÿ 01>@7;E3;ÿ@143;=ÿ>1;2B@3ÿ:147;?7;E3;ÿC1;E3;ÿ>1;E7@36ÿ?3;3>3;ÿ<3>3;H39ÿH3=?7ÿ ?1>@35379ÿ:=?47>9ÿC3;ÿ57@=8ÿ51ÿ51;?3;EKÿP185=:7;ÿ>BC3<ÿ7;?75ÿ@14?3;3>ÿ51;?3;Eÿ?=C35ÿ 81C=5=?ÿ:1?3;=ÿ01>@7;E3;ÿ@143;=ÿ>1;E3>@=<ÿ418=5BÿC1;E3;ÿ>1>=;F3>ÿ>BC3<ÿL7:1C18ÿ QL41C=?ÿ78363ÿ:1C1833;RÿC=ÿJSTKÿU38=<;H3ÿ?14@75?=ÿ:146=?7;E3;ÿ>14153ÿ?=C35ÿ>1<181?ÿ C=C757;EÿB<16ÿ5B;C=8=ÿ3<3>ÿ01>@7;E3;ÿH3;Eÿ81873=ÿC1;E3;ÿ:148H343?3;ÿ?7>@76ÿ ?3;3>3;ÿ51;?3;EÿC=:14B<16ÿ:4BC758=ÿ>358=>3=;?33;ÿH3;Eÿ?=;EE=ÿ:7<3ÿ816=;EE3ÿ>1>@3A3ÿC3>:35ÿ:B8=?=Mÿ@3E=ÿ 5181F36?1433;ÿ>38H34353?ÿ:1?3;=ÿ01>@7;E3;Kÿÿ I1;7<=8ÿC3:3?ÿ>1;H=>:7<53;ÿ@36A3ÿ:14?3;=3;ÿ51;?3;Eÿ81@3E3=ÿ78363ÿ?3;=ÿ5B>148=3<9ÿ ?1<36ÿ>1;=>@7<53;ÿ=>:<=538=ÿ8B8=3<ÿC3;ÿ15B;B>=ÿH3;Eÿ83;E3?ÿ@14@1C3ÿC1;E3;ÿ:14?3;=3;ÿ 81@1<7>;H3Kÿ01<3>3ÿ81:7<76ÿ?367;ÿ?14356=4ÿ>1<3<7=ÿ51@14638=<3;ÿ:14?3;=3;ÿ51;?3;Eÿ 81<7476ÿ>38H34353?ÿ01>@7;E3;ÿC3:3?ÿ>1;E7@36ÿ5B;C=8=ÿ6=C7:ÿ>14153ÿC34=ÿH3;Eÿ81>7<3ÿ 87@8=8?1;ÿ>1;F3C=ÿC=ÿ3?38ÿE34=8ÿ87@8=8?1;KÿP7<3=ÿC34=ÿ:1>1;763;ÿ51@7?763;ÿ:3<=;Eÿ >1;C38349ÿH3=?7ÿ:3;E3;9ÿ83;C3;E9ÿC3;ÿ:3:3;9ÿ51@7?763;ÿ?3>@363;ÿ81:14?=ÿ@343;EG@343;Eÿ >1A36ÿ:7;ÿC3:3?ÿC=35818ÿB<16ÿ:1?3;=ÿ01>@7;E3;KÿW4?=;H3ÿ51>35>743;ÿ?1481@7?ÿ?=C35ÿ 63;H3ÿC=;=5>3?=ÿB<16ÿ81F7><36ÿ51:B5ÿ:1?3;=ÿ?14?1;?7ÿ83F3ÿ?1?3:=ÿ:1?3;=ÿ512=<ÿH3;Eÿ
34567898 ÿ3 8ÿ869 6 ÿ578 89ÿÿÿÿÿ ÿ ÿ
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
!"!ÿ#$ !ÿ
ÿ
01ÿ
ÿ
ÿÿÿÿÿÿÿ!ÿ"ÿ#!ÿÿ$ÿ ÿÿ"ÿ"ÿ%ÿ&ÿÿÿÿ"ÿÿÿ ÿ#!ÿÿ"ÿÿ""ÿ!ÿÿÿÿ$!ÿ ÿ'!ÿ"ÿ#ÿÿÿ!ÿ&"ÿ!ÿÿ!ÿÿ $"ÿ#ÿÿÿ"ÿÿÿÿÿ &ÿÿ!ÿ$(ÿÿ"ÿÿ"ÿÿ ÿ!ÿ)ÿÿ"ÿÿ%ÿ%ÿ#ÿ !ÿ"(ÿ*ÿÿÿÿ!!ÿ!ÿ!ÿ$ÿ"ÿÿÿ"ÿ "ÿ!ÿÿÿ$ÿ!ÿÿ&"ÿÿ #ÿ$ÿ+,-./.,-0,12ÿ3$ÿ+,-./.,-0,1ÿ!ÿ$ÿ$ÿ"ÿ"ÿ !ÿ$(ÿ*ÿ&"ÿ$(ÿ"ÿÿ#!ÿÿ$(ÿ"ÿÿ ÿ$$"ÿÿÿÿÿ$)ÿ!ÿÿ!ÿ ÿ")ÿ!ÿÿ!ÿ(ÿ*ÿ!ÿÿÿ!)ÿÿ "ÿ!$ÿ%ÿ$$ÿ""ÿ!ÿÿ"ÿ"ÿ!ÿ "ÿÿÿ!ÿ"""ÿÿÿ4ÿ#ÿÿÿ ÿÿÿ"ÿ)ÿÿ"ÿÿ5ÿÿ ÿÿ"ÿÿ*ÿ"ÿ)ÿÿ"ÿ!ÿ6ÿ!ÿ !ÿ""ÿ%!"ÿÿ7809,:70ÿÿ""ÿ%ÿ$ÿ$ÿÿ ;ÿ!ÿ"ÿÿÿ!%ÿ"ÿ!ÿ#"ÿ#"ÿ!ÿ ÿÿ"ÿÿ'ÿ!ÿÿ!!ÿ#ÿ ÿÿ&"ÿ"ÿ!ÿÿÿ!ÿ"ÿ !!ÿ'ÿ!ÿÿ$"ÿÿ"ÿÿ"ÿ6ÿÿ #ÿ!!ÿÿ##"ÿ"ÿÿ""ÿ""ÿ$!ÿÿ"ÿ !ÿ"ÿÿ!!ÿ ÿÿ#ÿÿÿ&"ÿ ÿÿÿ(ÿÿ"ÿ!ÿ$ÿ<=ÿ!ÿ&%$ÿ"ÿÿ >5ÿ"ÿ""ÿ$ÿÿÿÿÿÿ$ÿ"ÿ%ÿ$ÿ ÿÿ"ÿ"ÿ""ÿ!"ÿÿ"$ÿ$!ÿ!ÿ ÿ!ÿ"ÿÿ4ÿ"ÿÿÿ&"ÿ"!ÿÿ $6!ÿ!ÿ$$"ÿÿ(ÿ"ÿÿÿ!ÿ"ÿ$ÿÿ ÿÿ"ÿ!ÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿ
ÿ
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
34567895 9ÿ54 4795ÿ
ÿ
01ÿ
ÿ
ÿÿ
ÿ ÿÿ ÿ !ÿ ÿ "#$%#$ÿ&%'(%)$#*+ÿ,-ÿ./0$10$ÿ,223ÿ 4)'#*ÿ&%'(%)$#*+ÿ2ÿ5)$)67)8ÿ,229ÿ :0*8*ÿ4)8');*+ÿ,-ÿ4)#ÿ,229ÿ <<<<<<<<<<<<<<<<<<<+ÿ,2ÿ4)#ÿ,229ÿ :0*8*ÿ=)67*80*%+ÿ9,ÿ>0%#ÿ,22,ÿ :#%*8ÿ?*%#+ÿ9-ÿ@)780*8#ÿ,223ÿ ÿ A B CDÿ EFÿ E ÿ G HI Cÿ !JBÿGÿ ÿ
CKKLÿA B CD
Mÿ NOP*Q#'ÿ Uÿ 5#V(%(ÿ Xÿ Y*$#Z#%ÿ ]ÿ NO:(6)'#ÿ _ÿ :0'#ÿ `ÿ NO\0%*a*%ÿ
RRÿ =)1*%#ÿÿ S,TS,ÿ :)670%/*%ÿ,RTS-T9S,9ÿ RSÿ =)1*%#ÿ S,TS,ÿ :)670%/*%ÿ9WTS-T9S,9ÿ -[ÿ \080+ÿ=)1*%#ÿ S9TS,ÿ :)670%/*%ÿ[+,STS-T9S,9ÿ [Sÿ =)1*%#ÿ S9TS,ÿ :)670%/*%ÿ9^TS-T9S,9ÿ RRÿ =)1*%#ÿ S-TS,ÿ :)670%/*%ÿ2+,,TS-T9S,9ÿ -[ÿ =)1*%#+ÿ S-TS,ÿ :)670%/*%ÿ9,TS-T9S,9ÿ =)'*/*%/ÿb7*1ÿ =)81*%#*%ÿ S-TS,ÿ :)670%/*%ÿ,3TS-T9S,9ÿ cÿ NO407*8#ÿ [Rÿ =)1*%#ÿ dÿ NO40;Z(Q#%ÿ 32ÿ e)f*g*ÿ5)$*ÿ SRTS,ÿ :)670%/*%ÿS[TS-T9S,9ÿ hÿ 40$(i*ÿÿ -Rÿ =)1*%#+ÿj$1*'ÿ SRTS,ÿ :)670%/*%ÿ,^+9,TS-T9S,9ÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿ
ÿ
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
34567895 9ÿ54 4795ÿ
ÿ
01ÿ
ÿ ÿ ÿ +,-.ÿ -//ÿ 0ÿ %1!2ÿ 5ÿ 6&7,ÿ 8ÿ &ÿ
ÿ !ÿ $ÿ !ÿ 3*ÿ !ÿ ($ÿ !ÿ 9ÿ !:ÿ 2'!'ÿ !';.ÿ (*ÿ !ÿ 4)ÿ !ÿ )ÿ !ÿ )$ÿ !ÿ )3ÿ !ÿ (ÿ '1 ÿ F7!ÿ 49ÿ '1 ÿ GH !ÿ )4ÿ !ÿ ("ÿ !ÿ )"ÿ ?,ÿ%Jÿ *ÿ !ÿ )*ÿ !ÿ ))ÿ 2'!'ÿ
"#"$ÿ %&!'!ÿ$(#")#*"$*ÿ "#"*ÿ %&!'!ÿ$(#")#*"$*ÿ "#"*ÿ %&!'!ÿ*4#")#*"$*ÿ "(#"$ÿ %&!'!ÿ$(##")#*"$*ÿ "(#"*ÿ %&!'!ÿ$(#")#*"$*ÿ
"(#"*ÿ %&!'!ÿ"3#")#*"$*ÿ <ÿ %=,2ÿ "#"*ÿ %&!'!ÿ$$#")#*"$*ÿ >ÿ ?@!ÿ "#"*ÿ %&!'!ÿ$$#")#*"$*ÿ Aÿ -&2,,Bÿ "#"*ÿ %&!'!ÿ**#")#*"$*ÿ Cÿ %.!ÿ "#"*ÿ %&!'!ÿ"#")#*"$*ÿ Dÿ E7= ,2!ÿ "*#")ÿ %&!'!ÿ"9#")#*"$*ÿ 0ÿ !ÿ ")#"$ÿ %!'ÿ (:9#")#*"$*ÿ 0ÿ ,&ÿ "$#"$ÿ =ÿ "9#")#*"$*ÿ 00ÿ ÿ I !!'ÿ "$#"$ÿ =ÿ (:9#")#*"$*ÿ 05ÿ 6 ,@!ÿ I !!'ÿ "$#"$ÿ =ÿ $(#")#*"$*ÿ 08ÿ 6 7,ÿ I !!'ÿ K @ ÿ " # " $ ÿ % &!'!ÿ$$#")#*"$*ÿ 0<ÿ "#"*ÿ %&!'!ÿ"3#")#*"$*ÿ 0>ÿ LMBÿ "#"$ÿ %&!'!ÿ"3#")#*"$*ÿ 0Aÿ Iÿ 6=/!ÿ ÿ NOPQRSÿNRTOUVRSÿ WOTOÿ -&2,, !:ÿF2!'ÿ$999ÿXYZ[\Yÿ^Y_Y`aZab_ÿcYdbebfgÿL'@=,hÿJ'7ÿÿ -.7@:ÿ-!2ÿM !*"$$ÿiaZbjk^lZafÿmYjnboblÿF;=hÿp7;ÿKÿ,77ÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿ
ÿ
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
$(#")# "$*ÿ $(#")# "$*ÿ *4#")# "$*ÿ $(##") *"$* $(#")# "$*ÿ "3#")# "$*ÿ $$#")# "$*ÿ $$#")# "$*ÿ **#")# "$*ÿ "#")# "$*ÿ "9#")# "$*ÿ (:9#") *"$* "9#")# "$*ÿ (:9#") *"$* $(#")# "$*ÿ $$#")# "$*ÿ "3#")# "$*ÿ ÿ
34567895 9ÿ54 4795ÿ
01ÿ
ÿ
ÿÿ!ÿ#$%&'(ÿ)&*!ÿ$*ÿ&+,-.ÿ/$00$1&2&!-ÿ&+ÿ/3(234'(ÿ5!4-6!%2&7!ÿ 89:ÿ;<=>?ÿ8@?ABCÿD?AAÿÿÿ EÿFGHIJÿÿKBBHÿ9LBHÿ;MÿNOOÿP'2'ÿQ&4ÿ5!4'1'R'+.ÿS3'ÿP&(!+&30ÿ T$+$-$R$UÿVH>CLB:ÿWFX9ÿ YXAG?ZHHÿÿ[\H>IAÿOÿ!ÿT$4(1ÿ]*ÿ^$$1-ÿ_>I:ÿD?>ÿYHHLAÿ YÿDABÿ9BBABLÿF=B?ÿ`HHAH=HaÿF?b<BÿF?ÿI<ÿ>Lÿ cLB:ÿYD9ÿ dddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddeÿF?b<BÿF?ÿI<ÿ>Lÿ cLB:ÿYD9ÿ dddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddfÿF?b<BÿF?ÿI<ÿ>Lÿ cLB:ÿYD9ÿ ÿ \<Cÿaÿ5!4!g$+$0&'+ÿh+1$+!-&'ÿcLB:ÿ_I>>ÿ i??Bjÿ;IEEHÿaUÿh+7$(3-&ÿ5!42'+&'+.ÿ54$-!-ÿ5!43R''+ÿkg$($,&ÿ1&ÿh+1$+!-&'ÿ cLB:ÿYGBÿFCÿLAÿ iHBBAbGILÿWHAÿÿP!+,!42&ÿ#!l'4'ÿm2!4lUÿn3,4$$ÿn$2$-3-'+2$oUÿcLB:ÿ8Xd D?AAÿ pEAGÿ[HG<<ÿcEÿNOOÿq!1'3('2'+ÿ5'+,'+ÿDABLÿ9ÿp:ÿcLBÿ pÿpHGHIjÿc>?ÿÿ^!$,4'*&ÿ5!1!-''+.ÿP'-'('ÿ5!+,!0R'+,'+ÿ5'+,'+Uÿ cLB:ÿVCAÿK=HÿXH?Aÿ pHHÿcHÿO'+'Uÿ5!g!4l''+ÿS'+ÿn'*g'ÿS&ÿ5!1!-''+ÿr's'ÿt'4'2ÿ VH>CLB:iGÿ[ÿ8@?ABCÿD?AAÿ pC<ÿVHÿÿ[AHÿFLbGÿaÿ\I?<ÿ_LHH<ÿ\?AÿcLB:ÿVCAÿ K=HÿXH?Aÿÿ p?E?ÿMH=?Bÿ`ÿÿ^!,!4ÿ!+,,!4.ÿ5!43R''+ÿ-$-&'(ÿ1'+ÿ5!4g!('&'+ÿ5$(&2&gÿ m!4lUÿQUÿT&-+3ÿT'41'+'uÿh0'0ÿQ 0'1oÿVH>CLB:ÿWFX9ÿ pHBHÿ\aÿ5$2'2$!-:ÿ54$13%2&$+uÿP'4g!2&+,uÿQ+1ÿ54$,4'0-ÿv$4ÿS!7!($6&+,ÿ /$3+24&!-ÿ89ÿ:`?AB@?ZÿD?AAÿYHI?ÿ pAL?ÿwAÿÿP'-x'4'g'2ÿS!-'ÿS'('0ÿ5!43R''+ÿy'0'+.ÿ#!l'4'ÿS&*!4!+-&'-&ÿÿ r's'ÿz{|}~z{}ÿcLBÿ:iAHÿ cI?AÿcbLÿÿaNÿ$42&%3(234'(ÿ#%&!+%!Uÿ89ÿ:`pÿw??<ÿÿ;H<Cÿ cIBHHÿw?CÿcÿNOOaÿ5!42'+&'+ÿh+1$+!-&'ÿ1&ÿR's'ÿ!&0ÿT]ÿcLB:ÿYÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿ
ÿ
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
34567895 9ÿ54 4795ÿ
01ÿ
ÿ
ÿÿÿ!ÿ"#$%ÿ&#ÿ#$ÿ' #(ÿ)ÿ*!+ÿ ,$ ÿ%&!ÿ-$ÿ .ÿ,/&ÿ0ÿ$1&&ÿ2%)ÿ(ÿ $)ÿ3)&456%&ÿ")ÿ (ÿ0ÿÿ89:;ÿ8<ÿ=>?@>9:<;ÿA;:;ÿ=><ÿ*!+ÿB/&ÿ3ÿ2ÿ C!%#&ÿ4!$ÿ-D&&ÿ"&ÿ %&EÿF!ÿÿ'2#&&ÿÿ#ÿ*!+ÿ,$ ÿG&ÿ "&ÿÿB/&ÿÿÿ H$2ÿI /&ÿÿJK:;ÿL;M;NÿOQÿRK?;S;ÿTÿ*!+ÿ,$ ÿ%&!ÿ-$ÿ '#&&&ÿH%&ÿU8K><;ÿV9?9:;;>ÿV9>?ÿ?;>ÿV9XW9YZ;>Q;>>S;[ÿ*!+ÿ ,%%(ÿF(%(ÿÿ '&ÿF(%&ÿÿ, ÿ\ÿUÿ]^@>@Y<^ÿ_X@M`aÿ=>ÿ=>?@>9:<;ÿbcdefbgheÿ 6 )#+ÿC&ÿ%2#\ÿi##ÿÿ 'j#ÿF$ÿkllÿO`X;`9Q<ÿV9<:;>ÿm<W;P@>Qÿ8;P;YÿA9>Qa;?;n<ÿo9Y<:W<>;>ÿ*!+ÿ B/&ÿp2ÿ"&ÿ '%2/ÿUÿV9>Q;>`;Xÿ]W@>@Y<ÿV9X`;><;>;>[ÿ*!+ÿH4ÿ qqqqqqqqqqqqUÿV@P<`<WÿV9X`;><;>ÿ?;>ÿV9YZ;>QK>;>ÿV9?9:;;>ÿ*!+ÿÿi1ÿ qqqqqqqqqqqqÿrÿo9:M;?;S;;>ÿA;:S;X;W;`ÿs9X`<>QQ;PÿB(/!+ÿF/ÿ' ÿ '%/ÿHÿtÿkllkÿVX@:9:ÿsX;>:u@XY;:<ÿ8;9X;aÿV9?;P;Y;>ÿ?<ÿ=>?@>9:<;ÿ*!ÿ +B/&ÿp2ÿ"&ÿ #ÿ*ÿ,HUrÿsa9ÿ89v9P@nY9>`ÿwuÿL;v;x:ÿyKX;PÿznP;>?:ÿ=>ÿy9:n@>:9ÿs@ÿ V@nKP;`<@>ÿ_X@M`a{ÿ|>ÿ=>`X@?K^`<@>ÿ]::;Sÿ=>ÿ}<:`@X<^;PÿV9X:n9^`Q;>ÿ8;>ÿo9Y<:W<>;>[~@QS;W;X`;+ÿ,)ÿ'ÿ-D&/ÿ &&ÿÿ )1ÿUÿV9X`KYZKa;>ÿ8;>ÿV9Y9X;`;;>ÿ8;P;YÿV9YZ;>QK>;>ÿV9X`;><;>ÿ*!+ÿ 2ÿE/ÿÿ 1!ÿÿHÿUÿV9`;><ÿy;:<@>;Pÿ*!+ÿB/&ÿ$%ÿ6 (ÿ !)$EB%kllV9>;X;a;>ÿ}K`;>ÿ<>?K>Qÿ8<9>Q{|>;P<:<:ÿA@`ÿ 8;Yn;W>S;ÿs9Xa;?;nÿJ@Y<ÿ~;>Qÿ}
Q[ÿt&&ÿt!ÿI2!ÿ 3(+ÿ($ÿ&\ÿÿ"&%ÿÿ3(ÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿ
ÿ
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
34567895 9ÿ54 4795ÿ
01ÿ
ÿ
ÿÿÿÿ!"#$%ÿ'()*)ÿ+),-ÿ.$,+),/ÿ0-ÿ1)"!+ÿ234ÿ25564ÿ 7895:99;ÿ<ÿ25564ÿÿ2585;=8ÿ254>ÿ?5@45;5ÿ 254ÿ 34ÿAÿBÿC$D!),/ÿC)()"ÿE),ÿCF(-(-ÿC$+),-GÿC$,/)D)H),ÿC$+),-ÿ)%!"),ÿE-ÿ I)J!K)+$,ÿL),0!,/ÿ<8>ÿM3ÿ7:48ÿ N989ÿL!,/)ÿO)HK)-ÿC$"$.F,FH-),ÿE$()ÿP:4ÿ>ÿM3ÿQ=9ÿR953ÿ ÿR2<ÿÿ 6;ÿSSL!0)%)ÿT)(%)").)+ÿ !.!ÿL),/()ÿU)V)ÿE-ÿI)J!K)+$,ÿWF,F(FJFÿ C"FK-,(-ÿU)V)ÿX$,/)*ÿM98:4>ÿ<6ÿYNÿ5NZÿ?ÿ[6ÿ\396ÿ M98:4ÿ ]Z5645;ÿ7^27_ÿL)/-ÿ`)(-DÿE-ÿ`-,0-)ÿL$D),0)ÿP:4>M3ÿQ=9ÿ R953ÿÿ ]944ÿP;53ÿaÿÿ^96ÿb:99;ÿ254>ÿ25896:ÿÿ=33453ÿÿ73ÿ \588ÿP:4>ÿc2_bÿ ]944ÿP;53ÿa_ÿC$"D)V),),ÿI)!HÿX),-ÿP:4ÿ>M3ÿQ=9ÿR953ÿÿ 54dÿ75ÿRdeÿ)%!"),ÿE)+)"),ÿX-,//-ÿGÿL!0-0)%)ÿ0),ÿC$,/)+!"),ÿC),$,ÿ P:4>ÿdÿ ZNÿQ:4ÿ56ÿSÿC$"!J)*),ÿCFD)ÿC$"+),-),ÿO).%)+ÿE-ÿE$()ÿ!.)+$,0$Dÿ I)J!K)+$,ÿI)"Fÿfghijklmmjnoÿ:@3ÿ\:ÿ?45=4:ÿ^5>ÿp5343ÿ ;4ÿp4ÿ 95:4dÿSSÿq,)D-(-(ÿ'()*)+),-oÿP:4ÿ>ÿpRr2533ÿÿ :49ÿaÿQ449ÿSS_ÿE-$,/ÿCF"F(ÿE!,-)oÿM98:4ÿ>R]39ÿÿ ;984ÿsdÿÿ^NÿY]99ÿÿt.F,FH-ÿC$"+),-),ÿE-ÿ u,0F,$(-)GÿC$".$HJ),/),ÿ0),ÿC$"),),ÿTF0$D-,/ÿP:4>ÿ?5@45;5ÿ 25:ÿÿY5=ÿ234ÿ74ÿp5343rÿ4ÿb:99;ÿp5343ÿ R953ÿ 99ÿv5ÿBÿC$,/),+)"ÿE)()"ÿ`F"+-.!D+!")ÿ<8>ÿ<ÿ 49;9ÿs58ÿwÿI$.)D)*),ÿT),!(-)ÿC$+),-ÿE-H$,(-ÿT),!(-)ÿE)D)HÿC$HJ),/!,),ÿ C$"+),-),xÿM98:4>ÿY33ÿÿ \N995899ÿ599ÿ^2ÿSSÿO),)*ÿI)y-),ÿF(-FDF/-ÿC$0$()),ÿ<989>ÿY2^ÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿ
ÿ
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
34567895 9ÿ54 4795ÿ
01ÿ
ÿ
ÿ ÿÿÿ!"#$%ÿ'()*%+,"-ÿ./0/12/3ÿ4/5/6/ÿ 789:ÿ;1<ÿ=ÿ>?ÿ@*A"B,Cÿ!$"A$ÿD,BE"$"BÿFBA%(G(-(H,+ÿ./0/12/3ÿIJÿ=/K/4/ÿ LMNOPÿ 7884/28:ÿÿRSSÿT/ÿUÿ/V//ÿ/5/W58/./012/3ÿx@(-"ÿ@*%A$)y$z"Bÿ@%(n$p+,ÿ r*y*%"G"ÿ{*B,+ÿ!"#$%"Bÿs,ÿmBn(B*+,"|ÿ}"G(%"Bÿ~"+,-ÿ@*B*-,A,"Bÿÿ u/81/ÿ12//ÿt/ÿ12//:ÿ10v/:ÿ5/ÿTV2//ÿT/v/2ÿ7888v8ÿ kSÿ 2/5:ÿÿ?ÿ@*-$"BHÿG"+"%ÿp*BA"BHÿn,ÿmBn(B*+,"|ÿ/0//Vÿ5//0/ÿ/5/ÿ /1ÿjw1vÿT2/w:ÿjw1vÿIv:ÿ>Wÿ.//1ÿ?:ÿ./0/12/ÿ he\_[e_\ÿ 2/ÿ124ÿ;<88w>ÿ
828V/51/418:ÿK86488ÿRSÿx=Y8ÿXK/ÿ5/ÿT81Y/ÿ//Vÿt5Vÿ ÿ/1ÿRS44489/12/w/<52K?RS1Y859ÿ /1/ÿ150/ÿRSS?ÿxT2/w:ÿ5/1ÿtwÿ1ÿ0ÿ/21/ÿt5VÿSÿjw2ÿ RSÿ444ÿV/1/ÿ/1/ÿ150/V2ÿÿ /1/ÿv/1/ÿt/6ÿRSS?ÿx
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿ
ÿ
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
34567895 9ÿ54 4795ÿ
01ÿ
ÿ
ÿÿÿ!"#$ÿ ÿ !%&'&()*+ÿ*)*&,&-)ÿ ÿ *+%.-/-)ÿ(-ÿ*+,-)&-)ÿ+-!0-,ÿ1&ÿ1*'-ÿ'*2.%)3-)ÿ 1-,-+-)ÿ,&)33&ÿ1&*)3ÿÿ 456785579ÿ :;<;ÿ ÿ >ÿ ?@A;ÿÿ ÿ >ÿ B@C;<;D;:ÿ >ÿ B;EFG;D@:ÿ >ÿ ÿ :HIJ@AGH:?@:ÿ >ÿ ÿ ÿ G@K;K;:C;J;>ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
ÿ ÿ
ÿ L-!%,-'ÿ&2%ÿ*)3*,-/%-)ÿ.%1-0-ÿÿ +(3+-2ÿ',%1&ÿ&2%ÿ'*M-+-/ÿ
%)&N*+'&,-'ÿ&)1()*'&-ÿ OPOÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿ
ÿ
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
34567895 9ÿ54 4795ÿ
00ÿ
ÿ
ÿÿ
ÿ !ÿ#!$%ÿ
&ÿÿ ÿ 'ÿ ()*ÿ+),ÿÿ 'ÿÿ-ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ.ÿ/ÿ -)0)ÿ1010ÿ 'ÿ -)0)ÿ*2ÿ'ÿ 3)ÿ22,ÿ 'ÿ 4ÿÿ ÿ 'ÿ ÿ %$56ÿ5 # 5#!5ÿ!%! 7ÿ8ÿ5%%9ÿ#!$%ÿ ÿ;0<ÿ)==0ÿ>1,ÿ)0<ÿ?0@ABCÿ .ÿ?)ÿ,<ÿ221ÿ0),2ÿD2ÿB)0)Cÿ Eÿ?)ÿ,<ÿ222ÿ0),2Cÿ Fÿ?)ÿ)2),ÿ*),ÿ*)B,Cÿ ÿB),ÿ=ÿ BÿBDÿ*)01,<ÿ0ÿ GÿBDÿ010*ÿ =ÿB2ÿ )ÿ1010ÿ >ÿ01**ÿ 2ÿ,H,ÿ Iÿ*)0ÿ0ÿ?0@ABÿ22,ÿ=ÿ=)*ÿCÿ Jÿ)ÿÿD2ÿ,2ÿÿ=ÿ=)*ÿCÿ %$5ÿ6!K # Lÿ5$975 ÿ ÿ$M7%7 ÿ7 L ÿ Nÿ?2ÿ?0@ABÿ))1,)<ÿ,<Cÿ Oÿ/*ÿPÿ)B),Pÿ)D)QPÿ)B0ÿ*)=ÿ Rÿ;0<ÿ,<ÿ?0@ABÿ=2ÿ*)=ÿÿ=*)Q0Cÿ Sÿ?)ÿ0ÿ<ÿ?0ÿ0)ÿ,=2Cÿ ÿ?)ÿ<2ÿ*)Qÿ,<ÿ=ÿ=)*ÿCÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿ
ÿ
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
234567849 8ÿ43 3684 ÿ
01ÿ
ÿ
ÿÿ ÿ ÿÿÿ!"#$ÿÿ$$%ÿ &ÿÿ$ÿ"'ÿ('ÿ#ÿ#%ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ)ÿ *ÿ+ÿ$ÿ,ÿ-ÿ#ÿ-#ÿ%ÿ .ÿ/ÿÿ$ÿ('ÿ-#ÿ%ÿ 0ÿÿ-(ÿ!"#$ÿ('ÿ"##ÿ#ÿÿ#'%ÿ ÿ1'!,ÿ,ÿ -ÿ23ÿ#'454!ÿ 6ÿ/71ÿ "ÿ89ÿ ÿ8"'ÿ :ÿ;-ÿÿ,$(ÿ$ÿ#ÿ%ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ8'4!ÿ ?ÿÿ,'ÿÿ#'ÿ"$%ÿÿÿÿÿÿ5ÿ @ÿ'ÿ#!"$ÿ$ÿÿ#ÿ"-"'#ÿ"'ÿ,<,ÿ$-ÿ -ÿ#'%ÿ AÿB#,ÿ"ÿÿ!"#$%ÿ ÿB#,ÿ"ÿ-(ÿ!"#$ÿ-,ÿ('ÿ"##%ÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿC#ÿ(Dÿ-ÿ-$ÿ('ÿ"##ÿ"ÿ#ÿÿ!#$ÿ"ÿ$-%ÿ EFGHIJÿLMNFOPQRLÿGMSTPQUQRÿGMSEQRHQRVÿ ÿÿ/ÿÿ$ÿ('ÿ,ÿ"ÿ"ÿ"$ÿDÿ"ÿ#ÿÿ"##%ÿ &ÿÿ7#ÿ#ÿ#'ÿÿ"Dÿ$ÿ('ÿ'#%ÿ ÿÿÿÿÿÿ*ÿW'ÿ$ÿ$#'ÿ$ÿÿ#'%ÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿ
ÿ
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
34567895 9ÿ54 4795ÿ
01ÿ
ÿ
ÿÿ ÿ !"ÿ!#!$%%&ÿ#'$(%)%&ÿÿ ÿÿÿÿÿÿ*+ÿ,-ÿ./-ÿ01ÿ1.ÿ./ÿ2/0-3ÿ ÿÿÿÿÿÿ*4ÿ5.6ÿ1.7ÿ./-ÿ./ÿ8-ÿ//63ÿ ÿÿÿÿÿÿ*9ÿ5.6ÿ1.7ÿ./-ÿ1/:ÿ./ÿ;ÿ/ÿ13ÿ ÿÿÿÿÿÿ*<ÿ5.6ÿ1.7ÿ./-ÿ./ÿ;ÿ/-6ÿ=.8ÿ>ÿ !"ÿ?%@%!ÿ#'%& %&ÿ!#&%&ABÿ ÿÿÿÿÿÿ*Cÿ5ÿ;.ÿ/.88ÿ7-ÿ;1.3ÿ ÿÿÿÿÿÿDEÿ5ÿ;.ÿ181>ÿ7-ÿÿ;1.3ÿ ÿÿÿÿÿÿDÿ5ÿ;.ÿ>-.-ÿ7-ÿ0/>-1-3ÿ ÿ!"ÿ'F#Fÿ'?$!Fÿ D*ÿ,-ÿ/ÿ./-ÿ;>.Gÿ8;>Hÿ/-ÿ./Hÿ>6Hÿ00Hÿÿ .Hÿ1ÿ/3ÿÿ DDÿ,/ÿ.>ÿ/ÿ./-ÿ;>ÿ1/6Hÿ.6ÿ;ÿ81ÿ3ÿÿÿÿÿ I>ÿ;Hÿÿÿ7-ÿ;ÿI>ÿ;.ÿ/-3ÿ ÿÿÿÿÿÿDJÿ,-ÿ/1ÿ;>..Gÿ6-Hÿ/-/>HÿK>8Hÿ1ÿ7-ÿ;3ÿ ÿÿÿÿÿÿD+ÿ,-ÿ-.ÿ./-73ÿ !"ÿ'F#!ÿ#'%& %&ÿ!#&%&Aÿ ÿÿÿÿÿÿD4ÿ5.6ÿ-//1ÿ0/.7ÿ.ÿ/1ÿ/;ÿ/ÿ./-ÿ ÿÿÿÿÿÿD9ÿI>ÿ7Hÿ/>1.ÿ>17ÿ ÿÿÿÿÿÿD<ÿI>ÿ;.Hÿ/>1.ÿ>17ÿ ÿÿÿÿÿÿDCÿLM/11ÿÿ7-ÿ1;6ÿ;>..ÿ.ÿ1ÿ;/ÿ ÿÿÿÿÿÿJEÿN8-ÿÿ7-ÿ;6.ÿ;ÿ//6ÿ ÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿ
ÿ
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
34567895 9ÿ54 4795ÿ
ÿ
01ÿ
ÿÿÿÿÿ!ÿ"#$%ÿÿÿ&$'!ÿ
ÿ )ÿ ÿ *+'ÿ"#$%ÿ ,ÿ -./0ÿ12.3.ÿ ,456ÿ789ÿ,4:6ÿ ?ÿ @.<2Aÿ10.2BAÿ ,4:6ÿ789ÿ,4CCÿ 5ÿ D8E=F.9ÿ@G>H>2ÿ ,4CCÿ789ÿ,4I4ÿ :ÿ D8J.7=>20ÿ ,4I4ÿ789ÿ,4K4ÿ Cÿ LB7ÿM9.20ÿHNO.F.<.3Pÿ ,4K4ÿ789ÿ,44;ÿ 6ÿ D8Q>.R0Sÿ ,44;ÿ789ÿ?;;Iÿ Iÿ D8Q>H=AT03ÿ ?;;Iÿ789ÿ7NH.2.3Uÿ @>FVN2WÿQA3AU2.X0ÿ1N7.ÿ@NFV>3U.3ÿ,44Cÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿ
ÿ
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
%!ÿ ,;ÿ<.=>3ÿ 4ÿ<.=>3ÿ ?:ÿ<.=>3ÿ ,4ÿ<.=>3ÿ ?ÿ<.=>3ÿ ,6ÿ<.=>3ÿ ÿ
34567895 9ÿ54 4795ÿ
01ÿ
ÿ
ÿÿÿÿ !ÿ
"#$%&'(ÿ***+,&-./.0/'/10/$/-2/+%345-640+74$ÿ
ÿ
ÿ ÿ ÿ ÿ
ÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿ
ÿ
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
34567895 9ÿ54 4795ÿ
01ÿ
ÿ
ÿÿÿÿÿ ÿ
ÿÿ!"#$%&"'()*++*,$-.+-/0ÿ ÿ ÿ ÿ ÿÿÿ
ÿ ÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿ
ÿ
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
34567895 9ÿ54 4795ÿ
01ÿ
ÿ
ÿ ÿÿÿÿ !"ÿÿ#$ÿ#%%ÿ
ÿ&'()*+,ÿ-../001)/)2345/3.63(0789:;<=669>30?*@;@;+ÿA3B353)3/B4ÿ ÿ
ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿ
ÿ
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
34567895 9ÿ54 4795ÿ
01ÿ
ÿ
ÿ ÿÿÿÿ!"!"ÿ#$$ÿ%&ÿ%'ÿ ÿ )*+,*-ÿÿ .ÿÿ /ÿ012ÿ,*345678ÿ+9:767ÿ;967+ÿ<96ÿ,7<*:7ÿ<96ÿ:7=>-?ÿ ÿ @7-57:ÿ)*+,*-ÿ.ÿ /ÿ1A2ÿ,*345678ÿ+9:767ÿ;967+ÿ<96ÿ,7<*:7ÿ<96ÿ:7=>-ÿ ÿ )93767:ÿÿ .ÿ /ÿBC2ÿ,*345678ÿ+9:767ÿ;967+ÿ<96ÿ,7<*:7ÿ<96ÿ:7=>-?ÿ ÿ @>8;96DÿEFÿG9--H?ÿIJKLMLNOLNÿQLNÿRJSTUKTNLNÿV7W7=ÿ)7X7ÿY-*Z96+*:HÿG69++[ÿ \45H7,76:7?ÿB]CA?ÿF73?ÿB1Bÿ ÿ ÿÿ ÿ ÿ ÿ
ÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿ
ÿ
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
34567895 9ÿ54 4795ÿ
01ÿ
ÿ
ÿÿÿÿ!ÿ"#$ÿ%&!ÿ"#$ÿ'($$!ÿ)""ÿ*+ÿ ÿ
ÿ
ÿ ÿ ÿ ÿ
ÿ -./0123ÿ456./1789:;ÿ<9:;=ÿ>171=;8;97?4;9/0;=ÿ897@@9=ÿABCDECFDAFÿAD?FBÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
ÿ ÿ ÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿ
ÿ
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
ÿ
34567895 9ÿ54 4795ÿ
01ÿ
ÿ
ÿÿÿÿÿ!ÿ"#$$ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
ÿ
ÿ
&'()*+,ÿ-+./0ÿ1*.2ÿ&*()'3423ÿ5677ÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿ
ÿ
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
34567895 9ÿ54 4795ÿ
01ÿ
ÿ
ÿÿÿÿÿ !ÿ"ÿ#ÿ$ÿ"ÿ%ÿ ÿ ÿ
ÿ '()*+,-.//0-1123*03*456705/385)19:+;6<=>==<54+.ÿ9+))+;:3?06ÿ ÿ ÿ
'()*+,-ÿ95@()+;/A7:ÿBA7:4ÿC+;+4:/:A;39:A)*:4ÿ/A;66A4ÿ=D1EF12E=2ÿ=2-EGÿ 34567895 9ÿ54 4795ÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿ ÿ Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
00ÿ
ÿ
ÿÿÿÿÿ
ÿ
ÿ
"#$%&'(ÿ)*+#$&,-./0ÿ1./02ÿ3&,&20-0.,4)0.$%02ÿ-.,55.2ÿ6789:8;96;ÿ69(9<ÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿ
ÿ
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
234567849 8ÿ43 3684 ÿ
011ÿ
ÿ
ÿÿÿÿ!"#"ÿ$!ÿ!%&ÿÿ
ÿ
ÿ
ÿ ()*+,-.ÿ/01)*,23456ÿ74568ÿ9,2,863642:/64*+68ÿ342;;48ÿ<=>?@>A?
010ÿ
ÿ
ÿÿÿÿÿ!!ÿ!"#$ÿÿÿÿ"%!ÿ !ÿ
&'()*+,ÿ./0'(*12345ÿ63457ÿ8*1*7525319.53()57ÿ231::37ÿ;<=>?=@>;@ÿ;;,ABÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿ
ÿ
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
34567895 9ÿ54 4795ÿ
012ÿ
ÿ
ÿÿÿÿÿ!"#ÿ$%ÿ&'ÿ(ÿ!"ÿ
ÿ
ÿ *+,-./0ÿ123+,.45678ÿ9678:ÿ;.4.:85864<186,-8:ÿ564==6:ÿ>?@AB@?A>?ÿÿC0CBÿ 456789 6 ÿ6558 6 ÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿ ÿ Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
012ÿ
ÿ
ÿÿÿÿ !"!#$ÿ!"!#$ÿÿ%&'!"!#ÿ ÿ ()*)+ÿ-*./0/1ÿÿ
ÿÿÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
()*)+ÿ2)3/0/1ÿ
ÿÿÿÿÿ ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿÿ
()*)+ÿ456/0/1ÿÿ
ÿ
ÿÿ
07895:;ÿ<<<=/:6)*>0)0>?/:6@A5*>0B8)C)8B3)*)+B.>B>*./*50>)ÿ
ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿ
ÿ
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
456789 6 ÿ6558 6 ÿ
012ÿ
ÿ
ÿ ÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿ
ÿ
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
ÿ
456789 6 ÿ6558 6 ÿ
012ÿ
ÿ
ÿ ÿ ÿ ÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿ
ÿ
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
456789 6 ÿ6558 6 ÿ
012ÿ
ÿ
ÿ ÿ
ÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿ
ÿ
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
456789 6 ÿ6558 6 ÿ
012ÿ
ÿ
ÿ
ÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿ
ÿ
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
456789 6 ÿ6558 6 ÿ
012ÿ
ÿ
ÿ
ÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿ
ÿ
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
456789 6 ÿ6558 6 ÿ
012ÿ
ÿ
ÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿ
ÿ
Perubahan pola..., Raudhotun Arbangiyah, FIB UI, 2012
456789 6 ÿ6558 6 ÿ