i
DAMPAK PERLUASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO TERHADAP STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI DESA CIPUTRI, CIANJUR
INDRA SETIYADI
KEMENTERIAN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
iii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Dampak Perluasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango terhadap Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Desa Ciputri, Cianjur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juli 2013 Indra Setiyadi I34090069
ABSTRAK INDRA SETIYADI. Dampak Perluasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango terhadap Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Desa Ciputri, Cianjur. Dibimbing oleh SOERYO ADIWIBOWO Tujuan penelitian ini untuk menganalisis perubahan penguasaan lahan rumahtangga petani sebelum dan sesudah perluasan kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP); dan menganalisis dampak dari perluasan kawasan hutan terhadap strategi nafkah rumahtangga petani. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang didukung oleh data kualitatif. Data kuantitatif diperoleh melalui kuesioner berstruktur yang ditujukan kepada 30 responden rumah tangga petani. Pendekatan kualitatif dilakukan melalui observasi, wawancara mendalam, dan pencarian dokumen atau studi kepustakaan. Hasil yang diperoleh, pertama, perluasan TNGGP berdampak signifikan terhadap perubahan penguasaan lahan. Ketika para petani masih menggarap lahan di kawasan hutan produksi PT Perum Perhutani dengan pola Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), seluruh responden menguasai lahan minimum 2000 m2. Namun setelah status kawasan berubah menjadi kawasan konservasi, sebagian besar responden (21 dari 30 responden) menjadi tuna kisma. Kedua, perubahan penguasaan lahan yang dialami petani Desa Ciputri menimbulkan akibat lebih lanjut berupa berubahnya strategi nafkah rumahtangga responden. Ketika masih menggarap lahan di kawasan hutan produksi, seluruh responden bermata pencaharian di pertanian sebagai petani penggarap. Namun ketika status kawasan beralih menjadi kawasan konservasi, sebagian besar responden menempuh strategi nafkah ganda (22 responden, sebagian besar kombinasi usaha jasa dan buruh tani), dan strategi nafkah multi-usaha (6 responden, kombinasi petani lahan sempit, buruh tani dan jasa). Kata kunci: strategi mata pencaharian, petani tuna kisma, tenurial lahan
ABSTRACT INDRA SETIYADI. The Impact of Gunung Gede Pangrango National Park Expansion to the Livelihood Strategy of Farmers Household of Ciputri Village, Cianjur. Supervised by SOERYO ADIWIBOWO The purpose of this research is to analyze land tenure situations at Ciputri Village before and after the expansion of Gunung Gede and Pangrango National Park; and to analyse the impact of national park expansionto the farmer’s livelihood strategy. The research applied a quantitative approach supported by qualitative data. Quantitative data obtained through structured questionnaires to 30 household’s repondents. The qualitative approach applied observation instrument, in-depth interviews, and secondary document collections. The results are, first, the expansion of TNGGP significantly change the tenurial structure of Ciputri’s farmers. Before the expansion, all farmers’ respondents operate land at a
minimum of 2,000 m2 of land. However, after the expansion, most of the farmers or 21 out of 30 respondent fall into landless farmers (or tuna kisma). Second, the land tenure changes,furthermore, affect significantly the livelihood strategy of the farmers’ respondent. Before the expansion of TNGGP, the livelihood of all respondent are only on agriculture as farmer operator. However, after the expansion, the livelihood of the farmers changes dramatically. As much as 22 out of 30 respondent engage in two jobs for their livelihood such as work as daily farm labor and various daily service work. The others, 6 respondent, engage in three to four jobs for their livelihood such as work as daily farm labor, smallholder farmers, and various type of daily service work in the village. Key words: livelihood strategy, landless farmer, land tenure
DAMPAK PERLUASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO TERHADAP STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI DESA CIPUTRI, CIANJUR
INDRA SETIYADI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada KementerianSains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
KEMENTERIANSAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Sla-ips i :Dampak Perluasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango terhadap Strategi Naficah Rumahtangga Petani Desa Ciputri Nama :Indra Setiyadi NIM :134090069
Disetujui oleh
Dr If Soeryo Adiwibowo, MS Pembimbing
. Diketahui oleh
<'-t0U?f.\r "'T\ ' ~j ,So,e ryo '
' 'bowo, MS h.Ad [WI ~===::t~ a Departemen
Tanggal LuJu s:
1 9 J JL '):J13
Judul Skripsi :Dampak Perluasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango terhadap Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Desa Ciputri Nama :Indra Setiyadi NIM :I34090069
Disetujui oleh
Dr Ir Soeryo Adiwibowo, MS Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Soeryo Adiwibowo, MS Ketua Departemen
Tanggal Lulus: _______
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Tidak luput shalawat dan salam terhaturkan ke kadirat Nabi Muhammad SAW utusan dan suri tauladan yang baik. Skripsi dengan judul “Dampak Perluasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango terhadap Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Desa Ciputri, Cianjur” ini dengan baik. sebagai salah satu syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Selain tujuan diatas penulis juga ingin belajar dan juga mengembangkan diri untuk dapat meningkatkan taraf berkehidupan yang lebih baik. Penulis menyadari banyak pihak yang telah membantu penulis dalam proses pembuatan skripsi ini baik secara moril maupun materil. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan masukan dan bimbingan dengan sabar kepada penulis hingga skripsi ini dapat terselesaikan dan kepada kedua orang tua tercinta, ayahanda Yahya dan ibunda Mardiyah yang selalu sabar memberi doa, dukungan, semangat, dukungan, materi dan semua pengorbanannya dengan penuh ikhlas dan tanpa kenal lelah kepada penulis serta kakak-kakak tersayang, Suryadi Fadillah, Aditya Rizkillah , dan adikku Fuziyatul Ulfah yang senantiasa mendukung dan mendoakan. Tidak lupa kepada sahabat-sahabat terbaik KPM dan HIMASIERA, Lulu Hanifah, Irma Handasari, Faris, Arif, Rizka, Fadil, Bahari, Oki, Fadil, Nadia, Tyas, Yosa, Gilang, Ajeng, Yandra, Syifa, Ninis, Ika, Zona, Elbie, Anan, Iqbal, Dea. Penulis juga mengucapkan terimkasih kepada para senior atas saran, masukan, dan pelajaran yang diberikan kepada penulis Teman satu bimbingan, Hamdani Pramono dan Endah Rizqi Puri Astianti, untuk masukan, saran, candaan, dan kebersamaan dalam mengerjakan skripi sehingga kita bisa bersama-sama menyelesaikan skripsi dengan lancar. Seluruh keluarga besar KPM 46 atas dukungan dan kebersamaan selama ini. Semua pihak yang telah membantu dalam proses penulisan hingga penyelesaian skripsi ini. Penulis mengharapkan bahwa penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi khasanah ilmu pengetahuan dan mampu dijadikan sebagai masukan bagi penelitian selanjutnya. Semoga melalui penelitian ini penulis bisa berbagi kebaikan untuk banyak pihak dan mampu memberikan sumbangsih pemikiran bagi dunia pendidikan di Indonesia Bogor, Juli 2013 Indra Setiyadi
DAFTARISI DAFTAR TABEL
ix
DAFTAR GAMBAR
ix
DAFTAR LAMPIRAN
ix
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Masalah Penelitian
2
Tujuan Penelitian
2
Kegunaan Penelitian
3
PENDEKATAN TEORITIS
4
Tinjauan Pustaka
4
Kerangka Pemikiran
9
Hipotesis Penelitian
11
Definisi Konseptual
11
Definisi Operasional
11
METODE PENELITIAN
13
Lokasi dan Waktu Penelitian
13
Teknik Pemilihan Responden dan Informan
13
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
14
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
15
Lokasi dan Lingkungan Fisik
15
Aksesibilitas dan Sarana Prasarana
16
Jumlah Penduduk dan Mata Pencaharian
16
Pendidikan
17
Struktur Sosial
17
TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO
19
Perubahan Luas Kawasan dan Zonasi TNGGP
19
Pemangku Kepentingan TNGGP
20
PERUBAHAN STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI
26
Sumber Lapangan Pekerjaan
26
Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Penggarap
28
Penguasaan Lahan Rumahtangga Responden DesaCiputri
32
Aktivitas Nafkah Rumahtangga di Desa Ciputri
37
SIMPULAN DAN SARAN
43
Simpulan
43
Saran
43
DAFTAR PUSTAKA
45
LAMPIRAN
47
RIWAYAT HIDUP
59
DAFTAR TABEL
1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 11 12
13 14
15 16 17
Larangan perbuatan atau kegiatan di dalam zona kawasan Taman Nasional Pola peruntukan lahan Desa Ciputri tahun 2012 Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin Desa Ciputri Jumlah dan persentase menurut pola mata pencaharian Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan Jumlah dan persentase responden resort sarongge, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat tahun 2013 Jumlah dan persentase responden menurut jumlah tanggungan dalam rumahtangga Desa Ciputri Resort Sarongge Tahun 2012. Jumlah dan persentase responden menurut lama tinggal dalam rumahtangga Desa Ciputri Tahun 2012. Jenis Lapangan Pekerjaan dan Profesi Responden Rumahtangga Desa Ciputri tahun 2012. Jumlah responden rumahtangga resort sarongge menurut aneka nafkah dari pertanian dan non pertanian Tahun 2012 Jumlah rumahtangga responden menurut aneka strategi nafkah tahun 2012 Jumlah rumahtangga responden berdasarkan jenis strategi nafkah hanya dalam kategori pertanian dan hanya dalam kategori non pertanian pada tahun 2008 dan 2012 Jumlah responden dengan status penguasaan tanah menurut golongan luas tanah tahun 2008 dan 2012 Jumlah responden berdasarkan tingkat pendapatan dan luas kepemilikan lahan petani pada tahun 2008 Jumlah responden berdasarkan tingkat pendapatan pertahun dan luas kepemilikan lahan petani pada tahun 2012 Jumlah responden berdasarkan tingkat pendapatan pertahun dan luas kepemilikan lahan petani tahun 2008 dan 2012 Rata-rata Hari Orang Kerja (HOK) rumahtangga petani dalam satu musim kemarau
6 15 16 16 17 24 24 25 26 27 31
31 33 34 36 38 40
DAFTAR GAMBAR 1 2
Komponen dan bagan alir nafkah rumah tangga Kerangka pemikiran.
8 10
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3
Rencana kegiatan penelitian Peta Kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Peta Kawasan dan Persebaran 13 Resort Lingkup BB TNGGP
47 47 48
4 5 6 7
Daftar nama kerangka sampling dan responden penelitian Kronologis Penetapan Kawasan TNGGP Kuesioner Penelitian Dokumentasi penelitian
49 50 52 56
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki 10% dari hutan tropis dunia yang masih tersisa. Alam Indonesia berada pada peringkat ke tujuh dunia dalam keragaman spesies tumbuhan berbunga, memiliki 12% dari jumlah spesies hewan menyusui/mamalia (36% diantaranya spesies endemik), memiliki 16% spesies hewan reptil dan ampibi, 1 519 spesies burung (28% diantaranya spesies endemik), 25% dari spesies ikan dunia 121 spesies kupu-kupu ekor walet di dunia (44% di antaranya endemik), spesies tumbuhan palem paling banyak, sekitar 400 spesies 'dipterocarps', dan sekitar 25 000 spesies flora dan fauna1. Indonesia harus memiliki kebijakan dan program untuk mengelola sumberdaya alam yang ada agar dapat dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia. Pengelolaan sumberdaya alam tersebut merupakan suatu upaya mensejahterakan masyarakat dalam adanya proses pembangunan yang berkelanjutan. Ketersediaan sumberdaya alam itu sangat erat berhubungan dengan kesejahteraan masyarakat itu sendiri, apabila pengelolaannya tidak tertangani dengan baik maka akan muncul masalah masalah yang berkaitan dengan perebutan sumberdaya alam. Dalam mukadimah UUD 1945 yang ditegaskan kembali dalam pasal 33 UUD 1945 ayat3 disebutkan, bahwa: “ Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat secara adil dan merata”. Sumberdaya alam khususnya hutan tropis yang dimiliki Indonesia mampu memakmurkan rakyat Indonesia, apabila dikelola secara adil dan baik. Pengelolaan sumberdaya hutan lestari Indonesia telah diatur dalam UndangUndang No.41/1999, Pemerintah sebagai aktor utama untuk pengelolaan sumberdaya alam khususnya sumberdaya hutan, mengupayakan pengelolaan yang berkelanjutan agar tetap terjaga kelestarian hutan demi kelangsungan hajat hidup masyarakat Indonesia. Sebagaimana pengelolaan ini dilakukan oleh pihak Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Perluasan kawasan memicu konflik agraria mengenai sumberdaya agraria.Konflik agraria timbul sebagai akibat sumberdaya hutan yang semula dapat diakses warga masyarakat menjadi tertutup sudah. Alokasi Akses sumberdaya hutan ini melibatkan stakeholder, terutama dari pihak pemerintah yang merupakan bagian utama dalam pengelolaan sumberdaya hutan itu sendiri. Keberadaan TNGGP yang ditetapkan bertujuan untuk merekonstruksikan ekologi yang sudah rusak, mampu dikembalikan menjadi hutan penyangga. Perluasan kawasan TNGGP ini ditunjukkan pada perubahan wilayah hutan produksi yang ditindaklanjuti oleh Berita Acara Serah Terima (BAST), pengelolaan Kawasan Hutan Produksi Tetap, Hutan Produksi Terbatas menjadi kawasan Konservasi TNGGP. Perubahan rezim kawasan ini berdampak pada kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang sebelumnya dapat memanfaatkan sumberdaya lahan hutan. Petani tidak dapat lagi memanfatkan lahan hutan untuk berladang, bertani, bermukim sesuai pada peraturan perundangan taman nasional. 1
dapat diunduh di www.cifor.org/publications/pdf_files/Books/BMeijaard0601Ina.pdf
2 Resort Sarongge berada di Desa Ciputri dengan total jumlah KK sebanyak 2 822 KK (data BPS 2011) dengan jumlah menjadi petani penggarap 220 KK. Petani penggarap ini bergantung kepada sumberdaya alam yang sekarang berada di dalam kawasan konservasi. Penelitian ini dilakukan dalam rangka mengetahui dampak perubahan rezim kawasan hutan terhadap strategi nafkah petani, untuk diteliti sejauh mana perubahan rezim kawasan tersebut berdampak terhadap strategi nafkah petani. Masalah Penelitian Kawasan di Desa Ciputri Resort Sarongge pada awalnya merupakan kawasan Perum Perhutani. Ketika masih merupakan kawasan hutan produksi Perum Perhutani, warga petani sekitar dapat memanfaatkan lahan hutan untuk budidaya pertanian. Atau dengan kata lain petani sekitar dapat menggarap sumberdaya di kawasan hutan produksi, namun ketika kawasan hutan produksi berubah menjadi kawasan konservasi, maka akses ke kawasan hutan menjadi tertutup. Perubahan status kawasan dari hutan produksi menjadi hutan konservasi dikukuhkan dalam Berita Acara Serah Terima (BAST). Ketergantungan petani terhadap lahan garapan yang sekarang telah menjadi kawasan TNGGP, menimbulkan perubahan-perubahan dalam penguasan lahan dan strategi nafkah petani agar mampu bertahan demi kelangsungan hidup. Merujuk pada pernyataan diatas menarik untuk dikaji lebih lanjut mengenai: 1. Sejauhmana perubahan pengelolaan hutan berpengaruh terhadap perubahan penguasaan dan pemilikan lahan? 2. Sejauh mana perubahan rezim pengelolaan kawasan hutan berdampak terhadap strateginafkah rumahtangga petani? Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini diantaranya adalah untuk mengetahui, mengidentifikasi, dan menganalisis: 1. Menganalisis perubahan penguasaan lahan rumahtangga Petani sebelum dan sesudah perluasan kawasan TNGGP 2. Menganalisis dampak dari perluasan kawasan hutan terhadap penerapan strategi nafkah rumahtangga petani.
3
Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi berbagai pihak, antara lain: 1. Peneliti, hasil penelitian diharapkan dapat menjadi referensi yang ingin mengkaji permasalahan strategi nafkah petani khususnya pada perubahan rezim kawasan hutan 2. Akademisi, hasil penelitian diharapkan dapat menjadi salah satu sumber informasi dan pengetahuan tentang strategi nafkah petani kawasan yang berubah alih fungsi dari eks perum perhutani 3. Pemerintah ,hasil penelitian ini diharapkan menjadi suatu sarana informasi dan data yang dapat dijadikan pertimbangan kebijakan pada rezim kawasn hutan eks perum perhutani menjadi kawasan konservasi TNGGP berdampak pada strategi nafkah rumahtangga petani sesudah perubahan rezim kawasan tersebut.
4
PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Taman Nasional Berdasarkan UU No 5/1990 tentang Keanekaragaman hayati, taman nasional adalah kawasan pelestarian pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk penelitian , ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Dalam Pasal 30 disebutkan bahwa sasaran pengelolaan Taman Nasional adalah tercapainya 3 (tiga) fungsi yaitu Perlindungan terhadap ekosistem penyangga kehidupan, Pengawetan sumber plasma nutfah dan ekosistemnya serta Pelestarian pemanfaatan. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan RI No. 678/KPTS-II/1989, Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang dikelola dengan sistem zonasi yang terdiri dari zona inti dan atau zona-zona yang lain dimanfaatkan untuk tujuan ilmu pengetahuan, pariwisata dan rekreasi (KementerianKehutanan 1996). Tujuan Pembangunan Taman Nasional menurut Ditjen PHPA tahun 1984 adalah untuk: (1) Menciptakan pengelolaan yang berhasil guna dan berdayaguna. Hal ini dapat dicapai dengan perencanaan dan pembinaan meliputi struktur organisasi yang mantap serta prasarana dan sarana yang memadai. (2) Mewujudkan upaya konservasi potensi sumberdaya alam yang berfungsi sebagai pelindung unsur ekologi dan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis plasma nutfah serta pelestarian pemanfaatan penunjang kehidupan dan kesejahteraan masyarakat. Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Perum perhutani berusaha merubah paradigma pembangunan kehutanan dari sikap-sikap polisonal menuju sikap yang kooperatif kepada masyarakat. Berdasarkan Keputusan Dewan Pengawas PT. Perhutani (Persero) Nomor : 136/KPTS/DIR/2001 tentang Pengelolaan sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) menjelaskan bahwa PHBM adalah suatu sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan bersama oleh Perhutani dan masyarakat desa hutan dengan pihak yang berkepentingan (stakeholder) dengan jiwa berbagi, sehingga kepentingan-kepentingan bersama untuk mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan dapat diwujudkan secara optimal dan proporsional. Menurut Anbiya (2004), pengelolaan sumberdaya hutan bersama masyarakat dimaksudkan untuk memberikan arah pengelolaan sumberdaya hutan dengan memadukan aspek ekonomi, ekologi dan sosial secara proporsional guna mencapai visi dan misi perusahaan. PHBM perlu adanya partisipasi antar stakeholder yang terkait dengan asas saling berbagi PHBM sehingga, mampu mewujudkan manfaat yang berkelanjutan antar stakeholder. Hal ini sesuai dengan yang tercantum dalam Keputusan Direksi PT perhutani (PERSERO) No:001/KPTS/202 tentang Pedoman Berbagi Hasil Hutan Kayu, bahwa pengelolaan sumberdaya hutan bersama merupakan sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan bersama oleh PT Perhutani (Persero) dan masyarakat desa hutan dengan pihak yang berkepentingan dengan
5 jiwa berbagi, sehingga kepentingan bersama untuk mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan dapat diwujudkan secara optimal dan proporsional. Jiwa berbagi sebagaimana PHBM ini dimaksudkan untuk menumbuh kembangkan rasa memiliki, meningkatkan peran dan tanggung jawab bersama antara PT Perhutani (Persero) dengan masyarakat desa hutan serta yang berkepentingan terhadap keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan Berdasarkan Keputusan Dewan Pengawas PT. Perhutani (Persero) Nomor: 136/KPTS/DIR/2001 tentang Pengelolaan sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat bertujuan untuk: 1. Meningkatkan tanggung jawab perusahaan masyarakat desa hutan dan pihak yang berkepentingan terhadao keberlanjutan fungsi dan manfaat sumber daya hutan. 2. Meningkatkan peran perusahaan, masyarakat desa hutan dan pihak yang berkepentingan terhadap pengelolaan sumber daya hutan. 3. Menyelaraskan kegiatan pengelolaan sumberdaya hutan dan pihak yang berkepentingan wilayah sesuai kondisi dan dinamika masyarakat desa hutan. 4. Meningkatkan mutu sumberdaya hutan sesuai kondisi wilayah. 5. Meningkatkan pendapatan perusahaa,masyarakat desa hutan serta pihak yang berkepentingan secara simultan. Pengelolaan Kawasan konservasi Sebagaimana telah disinggung didalam bahasan UU nomor 23 Tahun 1997, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati. Undang-undang KSDH merupakan Undang-undang turunan dari UndangundangNomor 4 Tahun 1982 2 . Menurut UU No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkugan Hidup, konservasi sumberdaya alam adalah pengelolaan sumberdaya alam tidak terbaharui untuk menjamin pemanfaatnya secara bijaksana dan sumberdaya alam yang terbaharui untuk menjamin kesinambungan ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya. Menurut UU No. 5 tahun 1990 tentang Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya, konservasi sumberdaya alam hayati adalah pengelolaan sumberdaya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Dalam konteks kawasan konservasi, bentuk kepengurusan sumberdaya mencakup tataran topik yang luas, mulai adanya kebijakan sampai dengan praktek lapang, dari adanya investasi di dalamnya sampai melihat dampaknya, dan dari perilaku sampai dengan pengertian. Hal ini berpengaruh terhadap keefektifitas dan keberhasilan pengelolaan kawasan serta terjadinya keadilan pengelolaan dalam hal pembagian distribusi manfaat sumberdaya hutan. Hal tersebut merupakan kunci di dalam mencegah dan menyelesaikan konflik agrarian maupun sosial yang sering muncul didalam pengelolaan kawasan konservasi. 2
Undang-undang No. 4 Tahun 1982 sejak awal dimaksudkan sebagai undang-undang payung (UmbrellaAct), dan diharapkan sebagai acuan undang-undang lain atau menelurkan berbagai peraturan lainberkenaan dengan pengelolaan lingkungan hidup, termasuk mengenai konservasi.
6
Tabel 1 Larangan perbuatan atau kegiatan di dalam zona kawasan Taman Nasional Zona di dalama Taman Nasional Zona Zona Zona Pemanfaata inti Rimba n Dilarang perbuatan yang merubah keutuhan kawasan Melakukan perusakan terhadap keutuhan dan ekosistemnya Mengurangi menghilangkan fungsi dan luas zona inti Ketentuan Larangan
Memasukan jenis tumbuhan dan satwa bukan asli
-
-
Melakukan perburuan satwa
-
-
Dasar Hukum
Pasal 33, 19 UU No 5/1990 Pasal 33, 19 UU No 5/1990 Pasal 33, 19 UU No 5/1990 Pasal 19 PP No 68/1998 Pasal 19 PP No 68/1998
Memotong, merukak, mengambil, dan Pasal 19 PP No menebang & memusnahkan tumbuhan & 68/1998 satwa Menggali atau membuat lubang di tanah Pasal 19 PP No yang mengganggu kehidupan tumbuhan 68/1998 dan satwa Mengubah bentang alam yang mengusik Pasal 19 PP No atau mengganggu kehidupan tumbuhan 68/1998 dan satwa Dilarang melakukan perbuatan yang merubah fungsi kawasan/zona Pasal 33 UU No Melakukan kegiatan yang tidak sesuai 5/1990 dengan fungsi zona Pasal 44 PP No Merusak kekhasan potensi pembentuk 68/1998 ekosistem Pasal 44 PP No Merusak keindahan alam & gejala alam 68/1998 Pasal 44 PP No Mengurangi, menghilangkan fungsi, & 68/1998 luas kawasan yang telah ditentukan Melakukan kegiatan yang tidak sesuai Pasal 44 PP No dengan fungsi & Rencana Pengelolaan 68/1998 dan atau Rencana Penguasahaan
Sumber: Adiwibowo et al, 2009
Menurut Grazia Borrini-Feyerabend dalam Rudianto (2009), menyatakan bahwa perbedaan mendasar dari bentuk-bentuk kepengurusan dalam pengelolaan kawasan konservasi terbentuk dari “siapa yang memegang secara de facto otoritas pengelolaan berdasarkan peraturan perundangan, hukum adat, ataupun hak kelola yang dilegitimasi oleh aturan lainnya. Maka terdapat empat tipe/bentuk dasar di dalam kepengurusan kawasan konservasi (Grazia Borrini-Feyerabend dalam Rudianto (2009) yaitu: 1. Government Managed Protected Areas, yaitu bentuk pengelolaan kawasan konservasi dimana otoritas pengelolaannya dipegang oleh pemerintah (misalnya melalui Kementerian/Direktorat PHKA/Balai Taman Nasional) 2. Co-Managed Protected Areas, yaitu pengelolaan kawasan dengan melibatkan para pihak baik organisasi formal ataupun non formal, baik pemerintah maupun lembaga swadaya (NGO) dimana bentuk pengelolaannya dikenal dengan istilah “kolaborasi manajemen”. Dalam
7 pelaksanaan pengelolaan, para pihak bersama-sama membentuk badan pengelola untuk memutuskan strategi/kebijakan pengelolaan kawasan. Comanagement merupakan bentuk penguasaan kawasan yang mengedepankan demokrasi dan terjadi karena situasi yang kompleks. Kekuatan dari bentuk ini bergantung pada komitmen bersama para pihak dalam menjalankan kesepakatan/konsensus. 3. Private Protected Areas, yaitu bentuk atau tipe penguasaan kawasan dimana pengelolaannya dilakukan badan hukum, koperasi, lembaga swadaya atau badan usaha bersama. Tipe penguasaan kawasan seperti ini pengelolaannya dapat ditujukan untuk kepentingan konservasi (non-profit) atau untuk memperoleh keuntungan (profit) melalui kegiatan ekowisata, perburuan, dan lain-lain, bergantung pada kebijakan pemilik hak kelola. 4. Community Conserved Areas, yaitu pengelolaan kawasan konservasi oleh masyarakat local dengan berdasarkan kearifan tradisional dan hak ulayat/hukum adat. Dengan demikian, maka pengelolaannya berbeda-beda antar satu daerah dengan daerah lainnya, sesuai dengan adat dan kesepakatan tradisional dari masyarakat lokal bersangkutan. Penguasaan dan Kepemilikan Lahan Menurut Wiradi (1984), Kata “pemilikan” menunjuk kepada penguasaan formal, sedangkan kata “penguasaan” menunjuk pada penguasaan efektif. Lahan yang tergolong kedalam lahan milik mempunyai bukti-bukti kepemilikan secara sah yang mengikat lahan tersebut dengan pemiliknya.Adapun penguasaan lahan berkenaan dengan sejumlah lahan yang digarap dan dimanfaatkan yang menurut Wiradi (1984) meliputi hal-hal yang menyangkut hubungan penggarapan tanah. Dengan demikian pemilikan lahan tidak selalu mencerminkan penguasaan lahan, karena ada berbagai jalan untuk menguasai tanah yaitu melalui sewa, sakap, gadai dan sebagainya. Strategi Nafkah Konsep nafkah (livehood) hidup seringkali digunakan dalam tulisan-tulisan tentang kemiskinan dan pembangunan pedesaan (Purnomo2006). Menurut Chamber dan Conway dalam Purnomo (2006), definisi pola nafkah sebagai akses yang dimiliki oleh individu atau keluarga. Akses menunjukkan aturan dan norma sosial yang menentukan perbedaan kemampuan manusia untuk memiliki, mengendalikan dalam artian menggunakan sumberdaya seperti lahan dan kepemilikan umum untuk kepentingan sendiri.Dharmawan (2007), strategi nafkah adalah taktik dan aksi yang dibangun oleh individu ataupun kelompok untuk mempertahankan kehidupan mereka dengan tetap memperhatikan eksistensi infrastruktur sosial, struktur sosial dan sistem nilai budaya yang berlaku. Unsur-unsur dalam strategi nafkah menurut Chambers dan Conway dalam Purnomo (2006), adalah kapabilitas, aset dan aktivitas. Aset dapat berupa klaim atau akses. Kapabilitas menunjukkan kemampuan individu untuk mewujudkan potensi dirinya sebagai manusia dalam artian menjadi dan menjalankan. Kapabilitas menunjukkan set alternatif menjadi dan melakukan yang bisa dilakukan dengan karakteristik ekonomi, sosial dan personal manusia. Aktifitas merujuk pada kegiatan yang menghasilkan pendapatan. Strategi nafkah tergantung
8 dari seberapa besar aset yang dimiliki, kapabilitas individu dan aktiftas yang nyata dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Menurut Chambers dalam Widiyanto (2009), bahwa strategi nafkah rumahtangga lebih mengacu kepada sarana untuk memperoleh kehidupan, termasuk kemampuan berupa tangible assets dan intangible assets. Inti dari livelihood dapat dinyatakan sebagai kehidupan (a living). Melalui campur tangan manusia, asset-asset nyata (tangible assets) dan asset tidak nyata (intangible assets) berkontribusi terhadap kehidupan (a living) (lihat Gambar 1). people Livelihood capabilities
A living
Store and Resources
Tangible Assets
Claims and access
Intangible Assets
Gambar 1 Komponen dan bagan alir nafkah rumah tangga Sumber : Chambers dalam Widiyanto 2009
Gambar 1 menjelaskan Tangible assets di kendalikan oleh rumah tangga dalam dua bentuk, yaitu: (1) simpanan (store), contoh: stok makanan, simpanan berharga seperti emas dan perhiasan, tabungan dan (2) dalam bentuk sumber daya (resources) seperti: lahan, air, pohon, ternak, peralatan pertanian, alat dan perkakas domestic. Intangible assetsi terdir dari claims yang dapat dibuat untuk material, moral atau pendukung lainnya dan access adalah kesempatan untuk menggunakan sumberdaya simpanan atau jasa, atau untuk memperoleh informasi, material, teknologi, kesempatan kerja, makanan atau pendapatan.
9 Rumahtangga Petani Rumahtangga petani menurut Sensus Pertanian (2000) adalah rumah tangga yang sekurang-kurangnya satu anggota rumahtangganya melakukan kegiatan bertani atau berkebun, menanam tanaman kayu-kayuan, beternak ikan di kolam, karamba maupun tambak, menjadi nelayan, melakukan perburuan atau penangkapan satwa liar, mengusahakan ternak/unggas, atau berusaha dalam jasa pertanian dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya untuk dijual guna memperoleh pendapatan/keuntungan atas resiko sendiri. Adapun menurut White dan Benjamin dalam Maemonah (2012) mengemukakan bahwa rumah tangga pedesaan Jawa merangkap fungsi-fungsi sebagai unit produksi, unit konsumsi, unit reproduksi, dan untuk interaksi sosial ekonomi dan politik, dimana keberlangsungan beragamam fungsi tersebut dilandasi prinsip safety first. Prinsip ini mendahulukan selamat yang berimplikasi kepada kondisi dimana keputusan rumahtangga bertujuan utama lebih kepada untuk menghindari kemungkinan gagal daripada mencari keuntungan sebanyakbanyaknya.Prinsip ini juga berimbas kepada kebiasaan dalam perilaku rumahtangga miskin di pedesaan dala penerimaan mereka terhadap teknik-teknik pertanian, pranata-pranata sosial dan cara merespon terhadap proyek-proyek pembangunan. Kerangka Pemikiran Pengelolaan hutan saat dikelola Perum Perhutani dilakukan sistem sharing (berbagi) dengan masyarakat dalam pengelolaan hutan melalui program pengelolaan hutan melalui program Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Dengan adanya program PHBM ini masyarakat memiliki hak untuk menggarap lahan PHBM tersebut selama jangka waktu yang ditentukan sesuai perjanjian. Perluasan kawasan konservasi Taman Nasional di wilayah eks perum perhutani ini menjadi kawasan dengan peraturang yang lebih ketat, dengan kata lain akses akan sumberdaya hutan akan tertutup. Berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan No. Sk.174/Kpts-II/2003 tangal 10 juni 20003 telah ditetapkan perubahan fungsi kawasan hutan Cagar Alam, Taman Wisata Alam, Hutan Produksi Tetap, Hutan Produksi Terbatas pada Kelompok hutan Gunung Gede Pangrango seluas ±21 975 (dua puluh satu ribu sembilan ratus tujuh puluh lima) hektar terletak di Provinsi Jawa Barat menjadi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Perubahan kawasan dari Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani) berubah ali fungsi menjadi hutan konservasi TNGGP. Ruang kawasan konservasi dalam pengelolaannya terpraktikkan dalam kebijakan pembatasan akses, hak dan ruang hidup dalam perubahan rezim pengelolaan TNGGP tersebut. Hal itu terutama sangat dipengaruhi oleh sudut paradigmatik yang dianut oleh otoritas pengelola kawasan konservasi bertujuan mengkonservasikan sumberdaya yang rusak dan melestarikan keanekaragaman hayatinya. Perubahan status kawasan ini menciptakan perubahan juga pada nafkah mata pencaharian masyarakat yang ada di dalamnya karena lahan garapan yang awalnya boleh di akses sekarang dilarang. Perubahan rezim kawasan disertai regulasi akan zonasi kawasan yang diterapkan. Zonasi kawasan konservasi berdampak pada akses akan sumberdaya
10 hutan yang tertutup. Akses yang tertutup akibat perubahan rezim kawasan hutan ini mengakibatkan petani penggarap harus mencari alternatif mata pencaharian. Strategi nafkah akibat perubahan rezim kawasan hutan agar petani tetap mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari. Perum Perhutani menerapkan sistem sharing (berbagi) dengan masyarakat dalam pengelolaan hutan melalui program pengelolaan hutan melalui program Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Dengan adanya program PHBM ini masyarakat memiliki hak untuk menggarap lahan PHBM tersebut selama jangka waktu yang ditentukan sesuai perjanjian. Perluasan kawasan konservasi Taman Nasional di wilayah eks perum perhutani ini menjadi kawasan dengan peraturan yang lebih ketat, dengan kata lain pemanfaatanakan sumberdaya hutan akan tertutup.
Pengelolaan kawasan hutan Rezim Perum Perhutani
Pengelolaan kawasan hutan Rezim Perum Perhutani Perubahan Rezim Kawasan Hutan
- Dapat dimanfaatkan oleh petani - Kesetaraan untuk mempergunakan SDA hutan
Perubahan penguasaan dan Kepemilikan lahan Pertanian Kepemilikan asset rumah tangga
Strategi Nafkah - Pertanian - Non Pertanian
Gambar 2 Kerangka pemikiran : Mempengaruhi : variabel yang diteliti : perubahan rezim
- Dapat dimanfaatkan oleh petani - Kesetaraan untuk mempergunakan SDA hutan
11 Hipotesis Penelitian Perubahan rezim pengelolaan dari hutan produksi ke Taman Nasional diduga berpengaruh negatif terhadap penguasaan dan pemilikan lahan serta strategi nafkah rumahtangga petani Definisi Konseptual 1.
2.
3.
Taman Nasional Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam baik daratan maupun perairan yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi.(Permen Kehutanan No: P. 56 /Menhut-II/2006) PHBM adalah suatu sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan bersama oleh Perhutani dan masyarakat desa hutan dengan pihak yang berkepentingan (stakeholder) dengan jiwa berbagi, sehingga kepentingankepentingan bersama untuk mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan dapat diwujudkan secara optimal dan proporsional ( keputusan PT Perum Perhutani Nomor 136/KPTS/DIR/2001). Rumahtangga adalah seseorang atau sekelompok orang yang mendiami sebagaian atau seluruh bangunan fisik yang makan dari satu dapur yang sama. Anggota rumahtangga merupakan setiap individu yang bertempat tinggal di suatu rumahtangga dan berkontribusi dalam aktivitas rumahtangga (produksi,konsumsi dan pengambilan keputusan). Definisi Operasional
1) Karakteristik Petani adalah ciri-ciri yang melekat pada individu petani meliputi usia/umur, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan, lama tinggal , dantingkat pendapatan. a) Umur adalah selisih antara tahun responden dilahirkan hingga tahun pada saat dilaksanakan penelitian. Havighurst dan Acherman dalam Sugiah (2008) membagi usia menjadi tiga kategori: i) Muda (18–30 tahun) ii) Dewasa (31–50 tahun) iii) Tua (> 50 tahun) b) Tingkat pendidikan adalah jenis pendidikan/sekolah tertinggi yang pernah diikuti oleh responden, yang dibedakan ke dalam kategori: i) Rendah (jika tidak sekolah, dan tamat SD/sederajat) ii) Sedang (jika tamat SMP/sederajat) iii) Tinggi (jika tamat SMA/sederajat) c) Jumlah tanggungan adalah banyaknya orang yang kehidupannya masih bergantung pada nelayan tersebut terutama terkait dengan ekonomi, termasuk dirinya sendiri. Jumlah tanggungan dibedakan menjadi: i) Kecil (jika anggota keluarga berjumlah 1–2 orang) ii) Menengah (jika anggota keluarga berjumlah 3-4 orang) iii) Besar (jika anggota keluarga berjumlah lebih dari atau sama dengan 5 orang)
12
2.
3.
4.
5.
d) Lama Tinggal sebagai nelayan adalah lama responden menjadi nelayan yang dihitung dalam satuan waktu (tahun), sejak pertama kali menjadi nelayan sampai dengan penelitian ini dilakukan yang dinyatakan dalam kategori i) Rendah (2–17 tahun) ii) Sedang (18–33 tahun) iii) Tinggi (lebih dari 33 tahun) Tingkat pendapatan responden adalah jumlah penghasilan secara keseluruhan sumber nafkah dari on farm, off farm dan non farm, yang diperoleh dalam 1 tahun, yang dibagi berdasarkan kategori: Kategori untuk pendapatan petani pada tahun 2008: i) Rendah (jika pendapatan responden kurang dari sama dengan Rp16 620 000) ii) Sedang (jika pendapatan responden antara Rp16 620 000-Rp 21 336 000) iii) Tinggi (jika pendapatan responden lebih dari sama dengan Rp21 336 001) Kategori untuk pendapatan petani pada tahun 2012 i) Rendah (jika pendapatan responden kurang dari sama dengan Rp 10 392 00) ii) Sedang (jika pendapatan responden antara Rp 10 392 00–Rp 13 740 000) iii) Tinggi (jika pendapatan responden lebih dari sama dengan >Rp 13 740 001) Status penguasaan tanah adalah bentuk hak kuasa seseorang atas tanah dimana pada lokasi penelitian bentuknya berupa tanah milik, sewa dan bagi hasil. Sumber nafkah dikategorikan melalui aktivitas nafkah, yaitu wujud nyata dari strategi yang diterapkan oleh rumahtangga petani meliputi kegiatan pertanian on farm dan off farm) dan non pertanian (non farm) (Ellis1998). Dikategorikan menjadi dua, yaitu: a. Pertanian on-farm; didasarkan dari sumber hasil pertanian dalam arti luas (pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, perikanan, dll) off-farm, yaitu dapat berupa upah tenaga kerja pertanian, sistem bagi hasil (harvest share system), kontrak upah tenaga kerja non upah dan lain-lain. b. non pertanian non farm, yaitu sumber pendapatan yang berasal dari luar kegiatan pertanian yang dibagi menjadi 5 yaitu: (1) upah tenaga kerja pedesaan bukan dari pertanian; (2) usaha sendiri di luar kegiatan pertanian, (3) pendapatan dari hak milik (misalnya: sewa), (4) kiriman dari buruh migran yang pergi ke kota; dan (5) kiriman dari buruh migran yang pergi ke luar negeri. Strategi Nafkah untuk survival dikategorikan sebagai berikut: a. Nafkah tunggal yaitu, rumah tangga dengan satu macam pekerjaan b. Nafkah ganda yaitu rumah tangga dengan dua macam pekerjaan c. Nafkah multi yaitu, rumah tangga dengan tiga macam pekerjaan atau lebih.
13
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kampung Sarongge Girang, Kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Lokasi tersebut dipilih secara sengaja (purposive) karena Desa Ciputri Resort Sarongge ini merupakan daerah perluasaan kawasan taman nasional pada awalnya merupakan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) antara perhutani dengan masyarakat menjadi kawasan Taman Nasional. Perubahan alih fungsi yang sangat berbeda menjadi sebuah masalah terkhusus bagi aktor yang sudah memanfaatkan sumberdaya hutan sejak dari rezim PHBM. Zonasi yang jelas oleh TNGGP sehingga mau tidak mau harus menutup akses demi kelesatarian atau konservasi yang menjadi tujuan TNGGP. Namun dengan penutupan akses tersebut menjadi sebuah dilema masyarakat untuk mencari alternatif pekerjaan atau strategi nafkah demi keberlangsungan hidupnya (khusus petani penggarap di kawasan konservasi TNGGP). Berdasarkan alasan tersebut, maka resort Sarongge dipilih menjadi lokasi penelitian. Penelitian dilaksanakan dalam waktu kurang lebih satu bulan. Kegiatan penelitian meliputi pengambilan data lapangan baik primer dan sekunder, mengatahui struktur masyarakat desa, menyebar beberapa panduan pertanyaan dan kuisioner dilanjutkan dengan pengelohan dan analisis data, penulisan draft skripsi, sidang skripsi dan perbaikan laporan penelitian. Teknik Pemilihan Responden dan Informan Penelitian dirancang dengan menggunakan metode survai yang bersifat deskriptif korelasional (Singarimbun 1989). Pengumpulan data dilakukan selama satu bulan pada bulan maret 2013 pada minggu 3 dan 4 serta bulan April 2013 pada minggu 1 dan 2. Data yang dikumpulkan mencakup data primer (data kuantitatif maupun data kualitatif) dan data sekunder.Data primer diperoleh dari pertanyaan terstruktur berupa kuesioner yang ditanyakan langsung kepada responden agar mendapatkan jawaban yang akurat dan wawancara mendalam kepada informan. Informasi dari sumber lain sebagai data pendukung atau untuk verifikasi. Data sekunder diperoleh dari sumber, yaitu Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (BBTNGP), Perum perhutani, Kantor Resort Sarongge, kantor pemda Kabupaten Cianjur dan Masyarakat dalam dan sekitar kawasan resort Sarongge dan KementerianKehutanan serta dokumen-dokumen dan pustaka yang berhubungan dalam menunjang penelitian. Populasi penelitian adalah jumlah keseluruhan dari unit analisis yang ciricirinya akan diduga (Palte 1978 dalam Singarimbun dan Effendi 1989). Populasi dalam penelitian ini yaitu masyarakat (petani) di kawasan resort Sarongge. Sampel diambil dari masing-masing populasi melalui metode Simple Random Sampling yakni mengacak secara random populasi petani hutan. Dari populasi diambil sejumlah 30KK petani penggarap dari populasi sebanyak 45 KK. Unit analisis dalam penelitian ini adalah rumahtangga.
14
Teknik Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh dalam penelitian ini secara kuantitatif diolah dengan merekapitulasi kuesioner responden dan ditabulasi silang, yang kemudian dianalisis untuk mendapatakan sebaran berbagai variabel dan hubungannya untuk menjelaskan sumber nafkah, struktur nafkah, strategi nafkah, luas dan status tanah yang dikuasai, dan pendapatan rumahtangga. Teknik analisis data kualitatif dilakukan sejak awal pengumpulan data. Hasil wawancara mendalam dan pengamatan disajikan dalam bentuk catatan harian yang dianalisis sejak pertama kali datang ke lapangan dan berlangsung terus menerus. Analisis data kualitatif dilakukan secara terus menerus yang terdiri atas pengumpulan data, analisis data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Analisis data primer dan sekunder mengacu pada pendapat Miles dan Huberman (1992) dalam Sitorus (1998), data diolah dengan melakukan tiga tahapan kegiatan dan dilakukan secara bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan melalui verifikasi data. Pertama, reduksi data dilakukan dengan tujuan untuk menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang data-data yang tidak diperlukan dan mengorganisir data sedemikian sehingga didapatkan kesimpulan akhir. Kedua, data yang telah disajikan dalam bentuk teks naratif hasil catatan lapang disusun dalam bentuk matriks yang menggambarkan proses apa saja faktor yang mempengaruhi usaha nelayan, kemudian proses bagaimana faktor tersebut mempengaruhi pola perilaku ekonomi nelayan tuna di sana. Hal ini akan memudahkan melihat apa yang sedang terjadi dan menentukan apakah menarik kesimpulan yang benar ataukah terus melakukan analisis. Tahap ketiga, penarikan kesimpulan yaitu melalui verifikasi yang dilakukan peneliti sebelum peneliti menarik kesimpulan akhir. Verifikasi tersebut dilakukan dengan cara: memikirkan ulang selama penulisan, tinjauan ulang pada catatan lapang, serta bertukar pikiran dengan teman sejawat dan dosen pembimbing. Artinya, terdapat satu tahapan dimana proses menyimpulkan penelitian ini dilakukan bersama dengan para informan yang merupakan subjek dalam penelitian ini dan yang telah menyumbangkan data dan informasi terhadap penelitian ini. Analisis data kualitatif dipadukan dengan hasil interpretasi data kuantitatif.
15
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Lokasi dan Lingkungan Fisik Desa Ciputri, kecamatan Pacet, Kabupaten cianjur merupakan bagian wilayah Resort Sarongge Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) yang memiliki luas wilayah 534 Ha termasuk perluasan kawasan berdasarkan SK Menhut No. 174/Kpts-II/2003 tangal 10 Juni 2003. Wilayah Resort Sarongge terdiri dari batas buatan sepanjang kurang lebih 23km, yang memanjang dari mulai patok TN 173 ((Blok Pasir Sarongge) sampai dengan patok TN 200 (Blok Pasir Ipis) dengan jumlah pal batas sebanyak 27 buah (Pal batas lama), dan Pal B 300 sampai dengan B 515 kawasan ini hampir seluruhnyaberbatasan dengan lahan milik masyarakat yang dikelola sebagai kebun sayur mayor dan ladang.Desa Ciputri ini berbatasan dengan: Utara : Desa Ciherang Kecamatan Pacet Selatan : Desa Galudra Kecamatan Cugenang Barat : Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Timur : Desa Cibeureum Kecamatan Cugenang Desa Ciputri yang memiliki luasan ±534 Ha sebagian besar diperuntukan untuk daerah persawahan, pertanian atau ladang dan perikanan atau perkebunan. Dengan keadaan penggunaan lahan seperti itu pada umumnya kegiatan sehariharinya adalah bertanam tanaman musiman. Tabel 2 Pola peruntukan lahan Desa Ciputri tahun 2012 No 1 2 3 4 5 6
Peruntukan Lahan Permukiman/Pekarangan Persawahan Pertanian/ladang (Ha) Perikanan/Perkebunan Pengembalaan/Hutan Negara Infrastruktur/ Prasarana Umum/ Sungai Jumlah
Luasan (Ha) 9.59 200.379 226.435 81.22 0 17.14
Persentase (%) 1.8 37.5 42.3 15.2 0 3.2
534.764
100
Desa Ciputri merupakan daerah yang memiliki topografi lahan yang curam dengan kemiringan rata-rata 75 persen terletak pada ketinggian 1000 - 2900 mdpl dengan titik tertinggi terletak di Puncuk Gunung Gumuruh. Jenis tanah yang terdapat di Desa Ciputri wilayah Resort Sarongge yaitu Andosol dari batuan beku dan Intermedier di daerah gunung.Wilayah Resort Sarongge Desa Ciputri beriklim tipe A dengan suhu minumum O0-100 Celcius dan suhu maksimum antara 250-260 Celcius atau dengan kata lain suhu rata-rata sekitar 17.90Celcius. Selain itu Resort Sarongge Desa Ciputri mempunyai curah hujan yang tinggi dengan rata-rata 3380 mm/tahun.
16 Aksesibilitas dan Sarana Prasarana Jalan menuju lokasi penelitian pada umumnya sudah dilakukan pengaspalan, namun perbatasan di Desa Galudra menuju lokasi penelitian jalan sebagaian besar sudah sedikit hancur dan jalan bergelombang karena jalan berupa aspal berbatu. Jarak lokasi penelitian ke Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (BBTNGGP) ± 24 km dengan waktu tempuh ± 1jam dan jarak ke kantor Ketua desa ±5km dengan waktu tempuh ± 0.4jam. Sarana transportasi umum yang ada untuk menghubungkan masing-masing kampung hanya ada ojek saja, melihat dari jalan yang kurang baik jika menggunakan angkutan pedesaan roda empat. Angkutan pedesaan roda empat hanya sampai kantor desa. Prasarana dan fasilitas yang dimiliki desa diantaranya adalah kantor desa, posyandu dan PKK, bangunannya berada dalam satu lokasi dan cukup memadai, dengan adanya ruangan aula pertemuan dan tempat parkir. Bangunan sekolah dasar/sederajat terdapat satu, Taman Kanak-kanak terdapat satu, terdapat satu Radio Komunitas yang bernama Radio Edelweiss, terdapat empat belas mesjid dan 34 langgar atau musholla, serta satu perpustakaan desa. Jumlah Penduduk dan Mata Pencaharian Berdasarkan data monografi potensi tahun 2012, penduduk Desa Ciputri adalah masyarakat pribumi asli. Jumlah penduduk di Desa Ciputri adalah 10 048 jiwa terdiri dari 5235 jiwa laki-laki dengan persentase 52 persen dan 4813 jiwa perempuan dengan persentase 48 persen. Jumlah dan persentase menurut jenis kelamin tercantum dalam Tabel 3. Tabel 3 Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin Desa Ciputri No 1 2
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Total
Jumlah (jiwa) 5235 3813 10 048
Persentase (%) 52 48 100
Sebagaimana tercantum dalam Tabel 4, berdasarkan data potensi desa tahun 2012 sebagian besar mata pencaharian penduduk di Desa Ciputri yakni Petani dengan jumlah sebanyak 1188 orang, sebagai besar petani pada sentra penghasil sayur-mayurdan menjual hasil panennya ke Cianjur atau ke Bogor bahkan ke pasar induk jakarta dalam skala cukup besar. Jumlah dan persentase berdasarkan pola mata pencaharian penduduk Tabel 4 Jumlah dan persentase menurut pola mata pencaharian No 1 2 3 4 5 6
Pola Mata Pencaharian PNS TNI/POLRI Petani Pedagang Wiraswasta Lain-lain Total
Jumlah (orang) 29 1 1188 48 650 335 2 251
Persentase (%) 1.3 0.1 52.7 2.2 28.8 14.9 100
17 Pendidikan Berdasarkan data potensi desa tahun 2012 tingkat pendidikan di Desa Ciputri dapat dijelaskan bahwa jumlah data penduduk Desa Ciputri tercatat sebanyak 9 058 orang, terdiri dari jumlah persentase yang belum sekolah dan tidak tamat SD sebesar 14.89 persen. Tamat SD atau setaranya sebesar 79.13 persen.Tamat SMP atau setaranya sebesar 3.81 persen. Tamat SMA atau setaranya sebesar 1.75 persen. Tamat Diploma atau setaranya sebesar 0.24 persen dan Sarjana atau setaranya sebesar 0.18 persen. Kondisi tersebut menujukkan rata-rata tingkat pendidikan masyarakat di dominasi pada tamatan SD. Tercantum dalam Tabel 5. Tabel 5 Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan No 1 2 3 4 5 6 7
Tingkat Pendidikan Belum Sekolah/Tidak Tamat SD Tamat SD SMP SMA Diploma Sarjana Lain-lain Total
Jumlah (orang) 1349 7168 345 158 22 16 0 9058
Persentase (%) 14.9 79.1 3.8 1.8 0.2 0.2 0 100
Komposisi penduduk berdasarkan jenjang pendidikan menggambarkan tingkat sumberdaya manusia yang berkualitas sehingga menunjukkan tingkat kemajuan suatu wilayah dalam pembangunan. Kondisi pendidikan masyarakat yang tergolong rendah yang terlihat pada Tabel 5 dengan jumlah 1349 orang belum sekolah atau tidak tamat SD dan 7 168 orang tamatan SD, mengakibatkan rendahnya kualitas sumberdaya manusia yang tinggal di Desa Ciputri. Meskipun sebagaian besar didominasikan pada tingkat pendidikan tamatan SD, penduduk Desa Ciputri sudah menyadari akan pentingnya pendidikan3. Struktur Sosial Pada setiap kali ditanya pelapisan sosial, informan selalu menjawab tidak ada perbedaan yang mencolok diantara warga desa Ciputri. Berdasarkan informasi yang dapat peneliti simpulkan dari informan walau tersirat, ada dua hal yang menjadi dasar penghargaan dalam masyarakat Desa Ciputri, (1) penghargaan yang diberikan berdasarkan pekerjaan (penguasa lokal) contohnya ketua kelompok tani, karyawan resort Sarongge, (2) penghargaan yang diberikan berdasarkan pendidikan formal atau informal yang dimiliki. Warga akan dianggap mampu jika telah mampu mengganti lantai rumah dengan kramik, memiliki pertanian yang luas dan milik sendiri, memiliki kendaraan bermotor terutama mobil, memiliki 3
Hasil wawancara dengan sekdes Desa Ciputri mengatakan bahwa “walau orangtua mereka banyak yang tamat SD bahkan tidak tamat, tetapi niat untuk menyekolahkan anak-anak mereka tinngi terlihat dari sudah banyaknya anak petani yang bersekolah bahkan melanjutkan ke jenjang lebih tinggi lagi.” 21 Maret 2013
18 rumah yang bagus atau peralatan elektronik. Kemampuan menyekolahkan anak sampai perguruan tinggi atau kemampuan ilmu agama menempatkan seseorang pada kelas sosial yang tinggi.
19
TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO Perubahan LuasKawasan dan ZonasiTNGGP Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) merupakan salah satu kawasan konservasi di Jawa Barat dengan tipe ekosistem hutan hujan tropis pegunungan. Sumberdaya alam hayati dan ekosistem di TNGGP memberikan manfaat bagi masyarakat bagi masyarakat disekitarnya. Penggunaannya secara berkelanjutan mutlak mengikuti tiga pilat konservasi yaitu perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan secara lestari-optimal untuk menjaga kelestarian fungsi dan kualitas sistem penyangga kehidupan. Kawasan TNGGP berbatasan secara langsung dengan kawasan Perum Perhutani. Pada tahun 2003 berdasarkan SK Menhut No 174, TNGGP mengalami perluasaan ± 7 655 ha yang berasal dari areal Perum Perhutani. Areal Perluasan eks-Perum Perhutani tersebut merupakan lingkar terluar sepanjang kawasan TNGGP sehingga saat ini menjadi batas baru bagi kawasan TNGGP. Perluasan kawasan hutan TNGGP berdasarkan Surat Menteri Kehutanan tersebut ditindak lanjuti dengan adanya Berita Acara Serah Terima (BAST). BAST tersebut berisikan mengenai perubahan kawasan Hutan Produksi tetap dan Hutan Produksi Terbatas menjadi Kawasan Konservasi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Serah terima dari Perum Perhutani kepada Kementerian Kehutanan Nomor: 07/SJ/DIR/2009, BA.6/IV-SET/2009 tanggal 29 Januari 2009 kemudian ditindak lanjuti kembali dengan BAST pengelolaan hutan dari Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten kepada Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (BBTNGGP) Nomor: 002/BAST-HUKAMAS/III/2009 – Nomor: 1237/II-TU/2/2009 pada tanggal 6 Agustus 2009. Luas kawasan yang diserahkan kepada TNNGP seluas 7 655.03 Ha, sehingga luas total kawasan TNGGP sekarang menjadi seluas 22 851.030 Ha.
Gambar 3. Peta Perubahan Fungsi Kawasan Hutan.
20 TNGGP berada di wilayah 3 kabupaten Bogor, Cianjur dan Sukabumi dengan kota-kota besar yang berada disekitarnya seperti Jakarta, Bogor dan Bandung, merupakan wilayah yang terus berkembang, sehingga menjadi ancaman sekaligus tekanan pada kawasan konservasi ini. Disatu sisi, sebagai kawasan konservasi, potensi sumberdaya alam hayati TNGGP dapat memberikana manfaat bagi masyarakat disekitarnya.Sosial ekonomi masyarakat di sekitar TNGGP pada umumnya tergolong desa miskin. Tercatat terdapat 66 desa yang berbatasan langsung dengan kawasan TNGGP, berpenduduk 454.325 jiwa dengan rata-rata pendidikan SD/SLTP dan tingkat pendapatan sekitar Rp 100 000/jiwa/bulan 4 . Mata pencaharian 70 persen petani, lahan milik sendiri 34 persen (<0.25 ha/kk) dan 55,2% adalah petani penggarap 5 . Desa Ciputri merupakan desa berbatasan langsung dengan hutan TNGGP dan sebagian besar penduduk menjadi petani penggarap di kawasan TNGGP. Tidak lebih dari 92% masyarakat sekitar kawasan berinteraksi langsung dengan kawasan konservasi dengan menggantung hidupnya pada sumber daya alam hayati kawasan TNGGP. Perubahan zonasi kawasan TNGGP diperlakukan pada tanggal 22 februari 2011 dengan adanya Surat Keputusan Direktur Jenderal Pelindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA), Nomor SK.39/IV-KKBJL/2011 mengenai Zonasi Taman Nasional Gunung Gede pangrango. Zonasi di TNGGP terbagi menjadi 7 (tujuh) Zona yakni Zona Inti seluas 9 612.592 Ha (42.06%), Zona Rimba seluas 7 175.396 Ha (31.40%), Zona Pemanfaatan seluas 1 330.424 Ha (5.82%), Zona Rehabilitasi seluas 4 367.192 Ha (19.11%), Zona Tradisional seluas 312.136 Ha (1.36%), Zona Khusus 3.19 Ha (0.01%) dan Zona Konservasi Owa Jawa seluas 50.10 (0.21%). Sebagaimana tercantum dalam lampiran 5, perubahan luasan Kawasan TNGGP tersebut mengubah zonasi di Desa Ciputri yang awalnya kawasan hutan produksi milik Perum Perhutani melalui PHBM mejadi Zona Rehabilitasi miliknya Balai Besar TNGGP. Zona Rehabilitasi merupakan areal perubahan fungsi dari Hutan Produksi Terbatas menjadi kawasan konservasi Taman Nasional Gn Gede Pangrango. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya alamiahnya, oleh karena itu Resort Sarongge Desa Ciputri perlu dilakukan rehabilitasi dan atau restorasi dengan menanam tanaman endemik agar kawasan dapat berfungsi Pemangku Kepentingan TNGGP Perum Perhutani Pada tahun 1972, dengan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1972, ditetapkan pada tanggal 29 Maret 1972, Pemerintah Indonesia mendirikan Perusahaan Umum Kehutanan Negara atau disingkat Perum Perhutani. Perum Perhutani adalah Badan Usaha Milik Negara yang berada dibawah naungan KementerianKehutanan dan Perkebunan.Dasar hukum Perum Perhutani sebagaimana ditetapkan dalam PP No 15 Tahun 1972, kemudian berturut turut mengalami perubahan dengan PP no 36 tahun 1986, PP No 53 Tahun 1999, PP No 4
Data yang tertera didapatkan dari BBTNGGP Data didapatkan dari BBTNGGP
5
21 14 tahun 2001, dan terakhir dengan Peraturan Pemerintah tahun Nomor 30 tahun 2003. Saat ini pengelolaan perusahan Perum Perhutani dilaksanakan berdasarkan Peraturan Pemerintah No 72 tahun 2010. Perhutani sebagai Badan Usaha Miliki Negara (BUMN), diberi tugas dan wewenang untuk menyelenggarakan, perencanaan, penguasahaan dan perlindungan hutan di wilayah kerjanya. Desa ciputri pada awalnya merupakan daerah wilayah Perum Perhutani sehingga lahan tersebut dapat dikelola dan dimanfaatkan oleh masyarakat Desa Ciputri untuk dijadikan lahan pertanian. Setelah adanya Perluasan kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), kemudian diklaim oleh pemerintah bahwa tanah tersebut merupakan tanah kehutanan dan harus dihutankan kembali. Dengan adanya SK Kementerian Kehutanan No. 174/Kpts-II/2003 maka peralihan kawasan yang tadinya berada pada Perum Perhutani harus berpindah ke TNGGP. Perluasan kawasan TNGGP yang ditindak lanjutkan dengan BAST berdasarkan tabel 9, terjadi selang waktu dari SK Menteri Kehutanan tahun 2003 sampai BAST 2009, rentan waktu tersebut terjadinya status quo pada areal perluasan Desa Ciputri (AA, Kabid P3). Banyaknya petani-petani yang berkebun untuk membuka lahan yang dulunya lahan perhutani untuk mengikuti PHBM, karena pada masa perhutani petani tersebut tidak memiliki lahan garapan di kawasan perhutani. Pengelolaan hutan Perum Perhutani di Desa Ciputri bekerjasama dengan masyarakat melalui program kegiatan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). PHBM merupakan realisasi dari konsep kehutanan sosial (social forestry) dimana masyarakat diberikan kesempatan untuk berperan serta dalam mengelola sumberdaya alam berupa hutan. PHBM adalah sistem pengelolaan sumberdaya hutan dengan pola kolaborasi yang sinergi antara Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan atau para pihak yang berkepentingan dalam upaya mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan yang optimal dan peningkatan IPM yang bersifat fleksibel, partisipatif dan akomodatif 6 . Saat ini pihak Perum Perhutani sudah tidak memiliki kepentingan lagi di wilayah Desa Ciputri karena termasuk daerah perluasan kawasan TNGGP. Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) TNGGP merupakan salah satu dari 5 taman nasional yang dideklarasi oleh pemerintah Indonesia tahun 1980, dan sampai tahun 2007 sudah 50 taman nasional dibentuk oleh pemerintah di seluruh Indonesia7. Seperti halnya kawasan konservasi lainnya di Indonesia, pengelolaan kawasan TNGGP merupakan tanggungjawab dari Direktorat Jenderal Pelindungan Hutan dan Konservasi Alam, Kementerian Kehutanan.Pengelolaan TNGGP dikenal sebagai Taman Nasional percontohan karena pengelolaan yang baik. Kawasan TNGGP memiliki dua iklim yaitu musim kemarau dari bulan juni sampai oktober dan musim penghujan dari bulan nopember ke april. Hujan juga turun ketika musim kemarau, menyebabkan kawasan TNGGP memiliki curah hujan rata-rata pertahun 4000 mm. Rata-rata suhu berada di 230 C, dan puncak tertinggi berada pada 3000 m dpl. Secara adminitratif, kawasan TNGGP berada di 3 kabupaten yaitu Bogor seluas 4 514.73 Ha, Cianjur seluas 3 599.29 Ha dan Sukabumi seluas 6 781.98 6 7
Dapat diunduh di www.cifor.go.id Dapat diunduh di www.gedepangrango.org/tentang-tnggp/2/
22 Ha pada awalnya, namun setelah pemerintah mengeluarkan SK Menhut no.174/Kpts-II/2003 tentang penunjukan dan perubahan fungsi Kawasan Cagar Alam, Taman Wisata Alam, Hutan Produksi Tetap dan Hutan Produksi Terbatas kepada kelompok hutan Gunung Gede Pangrango seluas 21.975 Ha. Kantor pengelola yaitu Balai Besar TNGGP berada di Cibodas, dan dalam pengelolaannya dibagi menjadi 3 (tiga) bidang pengelolaan Taman Nasional wilayah (Bidang PTN wil), yaitu Bidang PTN Wil I di Cianjur, Bidang PTN wil II di Selabintana-Sukabumi, dan Bidang PTN wil III di Bogor, dan 6 (enam) Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah (SPTN Wil) dan 22 (dua puluh dua) resort Pengelolaan Taman Nasional Wilayah dengan tugas dan fungsi melindungi dan mengamankan seluruh kawasan TNGGP dalam mewujudkan pelestarian sumberdaya alam menuju pemanfaatan yang berkelanjutan. Desa Ciputri merupakan bagaian dari wilayah Resort PTN Sarongge. Perkumpulan GEDE PAHALA GEDEPAHALA adalah dua Taman Nasional terbesar yang berada di Jawa, Taman Nasional: Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) dan Taman Nasional Halimun Salak (TNGHS).Halpenting berdirinya perkumpulan GEDEPAHALA adalah untuk mewujudkan terbentuknya koridor antara Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) dan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) sebagai satu kesatuan ekosistem (termasuk manusia di dalamnya) melalui implementasi berbagai program priotas. Karakteristik dari TNGGP dan TNGHS hampir sama yakni memiliki ekosistem hutan hujan tropis pegunungan. TNGGP dan TNGHS sebagai satu kesatuan ekosistem dan mengembangkan program perlindungan kawasan konservasi sebagai sistem penyangga kehidupan, pelestarian keanekaragaman hayati dan ekosistemnya serta pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari yang ada di kawasan TNGGP dan TNGHS. Pada saat kawasan TNGGP bertambah luas sebagai akibat beralihanya status kawasan hutan produksi menjadi hutan konservasi (salah satunya wilayah yang terkena adalah Desa Ciputri, Cianjur); Perkumpulan GEDEPAHALA turut mendorong proses rehabilitasi eks kawasan Perum Perhutani dengan melaksanakan program Adopsi Pohon. Perkumpulan GEDEPAHALA didirikan pada tahun 1994 berdasarkan kesepakatan 14 lembaga yaitu 1) Direktur Program, Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Kementerian Kehutanan; 2) Direktur Sumber Dara Manusia Training Center, Kementerian Kehutanan; 3) Sekretaris Hutan Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Kehutanan; 4) Direktur Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Penelitian Indonesia; 5) Kepala Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP); 6) Ketua Kementerian Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB; 7) Ketua Kementerian Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, UGM; 8) Ketua Kementerian Biologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan alam, ITB; 9) Ketua Kementerian Biologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan alam, UNPAD; 10) Ketua Pusat Keanekaragaman Hayati, Fakultas Ilmu Pengetahuan Alam, UI; 11) Wakil Ketua IKIP Yogyakarta; 12) Ketua Biologi Science Club; 13) Komas AWB-Indonesia; 14) Ketua STP Bandung, Perkumpulan GEDEPAHALA diresmikan sebagai yayasan terdaftar pada 6 Februari 1999.
23 Organisasi GEDEPAHALA terkesan bersifat elitis dan lebih berorientasi pada konservasi. Didalam organisasi GEDEPAHALA tidak ada keikutsertaan tokoh-tokoh masyarakat sekitar, para pengusaha dan pedagang yang memanfaatkan peluang usaha di sekitar kawasan TNGGP. Golongan dan kelompok masyarakat ini tampaknya ditenggarai oleh Balai Besar TNGGP sebagai aktor yang mengancam kelestarian kawasan konservasi, padahal mereka dapat menjadi modal sosial yang positif untuk menjaga kelestarian kawasan. Dapat dipahami bila baik Balai Besar TNGGP dan perkumpulan GEDEPAHALA tidak atau relatif kurang menaruh perhatian kepada kelompok masyarakat marjinal yang ada di sekitar kawasan seperti halnya warga Desa Ciputri yang diteliti dalam penelitian ini. Petani Penggarap Desa Ciputri Petani penggarap di Desa Ciputri mengalami imbas dari perluasan kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Diawali petani membuka lahan untuk menggarap lahan kawasan berdasarkan adanya perjanjian PHBM oleh Perum Perhutani pada tahun 1980an. Namun pada tahun 2003 menurut 2003 berdasarkan SK Menhut No 174, lahan garapan tersebut, dialih fungsikan karena mengalami perluasan TNGGP. Perubahan alih fungsidari kawasan hutan produksi Perhutani menjadi kawasa konservasi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Akibat perubahan alih fungsi petani tidak perbolehkan lagi menggarap kawasan hutan. Petani penggarap sebagian besar petani tanpa lahan yang sering disebut tuna kisma, dengan permasalahan tersebut gapoktan-gapoktan yang berada di desa ciputri mengajukan solusi langsung ke Balai Besar TNGGP. Sempat terjadi konflik antara petani penggarap dengan pihak TNGGP, bahkan sampai beradu fisik. Pada tahun 2005 dibuatlah surat pernyataan yang ditandatangani oleh 66 petani penggarap. Dengan perjanjian tersebut petani diperbolehkan menggarap dengan ketentuan yang tertera di perjanjiannya. Kemudian pada tanggal 29 Januari 2009, BAST pengelolaan hutan dari Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten kepada Balai Besar Taman Nasional, sehingga sudah tidak diperbolehkan untuk menggarap kawasan tersebut. Adapun karakteristik responden Desa Ciputri sebagai berikut: Karakteristik Responden Usia Responden Data primer yang diperoleh di lapangan menunjukkan bahwa umur responden beragam antara 25 – 52 tahun. Pengelompokkan usia responden dikategorikan menurut Havighurst dalam Mugniesyah (2006) yang membagi usia ke dalam tiga fase, yaitu masa mula/awal dewa (18-30 tahun, masa usia pertengahan (31-55), dan masa tua (55 tahun ke atas). Pengelompokan menurut usia respoden dapat dilihat pada Tabel 6.
24
Tabel 6 Jumlah dan persentase responden resort sarongge, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat tahun 2013 No 1 2 3
Kelompok umur (tahun) 18 – 30 31-55 >55 Total
Jumlah (orang) 8 22 0 30
Persentase (%) 26.7 73.3 0 100
Tabel 6 menunjukkan bahwa sebagaian besar responden berada pada usia 31- 55 tahun. Hal ini menujukkan bahwa lebih dari separuh (73,3 persen) responden di Resort Desa Ciputri merupakan petani dalam masa usia pertengahan. Masa usia tersebut tergolong masa usia produktif. Dapat dikatakan sebagain besar responden dalam penelitian ini merupakan petani yang produktif. Jumlah Tanggungan Jumlah tanggungan dalam keluarga responden Desa Ciputri Resort Sarongge dikelompokkan menjadi tiga kategori berdasarkan rata-rata di lapangan. Ketiga kategori tersebut yaitu jumlah tanggungan satu sampai dua, jumlah tanggungan tiga sampai empat dan jumlah tanggungan lima. Klasifikasi responden berdasarkan jumlah tanggungan rumah tangganya dipaparkan pada Tabel 7. Tabel 7 Jumlah dan persentase responden menurut jumlah tanggungan dalam rumahtangga Desa Ciputri Resort Sarongge Tahun 2012. No 1 2 3
Jumlah Tanggungan (Orang) 1-2 3-4 5 Total
Jumlah Responden 2 24 4 30
Persentase (%) 6,7 80 13,3 100
Diketahui bahwa sebaran jumlah yang menjadi tanggungan responden terkumpul yang jumlah tanggungan memiliki tiga sampai empat orang dengan persentase 80 persen, sedangkan dengan jumlah tanggungan satu sampai dua orang berjumlah dua orang dengan persentase 6,7 persen dan responden dengan jumlah tanggungan empat orang sebesar 13,3 persen. Banyaknya anggota rumahtangga yang ditanggung menjadi salah satu faktor yang menuntut Ketua rumahtangga untuk dapat meningkatkan pendapatannya. Hal tersebut untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya dalam rumahtangganya. Lama Tinggal Lama tinggal menujukkan berapa lama seseorang masyarakat telah tinggal dan menetap sebagai penduduk Desa Ciputri Resort sarongge yang dihitung dalam satuan tahun. Pengklasifikasian lama tinggal respoden dikelompokkan menjadi
25 empat bagian yaitu: kurang dari satu tahun, antara satu sampai dengan sepuluh tahun, antara sebelas sampai dua puluh tahun dan lebih dari sama dengan 21 tahun. Adapun secara lengkap tentang lama tinggal disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Jumlah dan persentase responden menurut lama tinggal dalam rumahtangga Desa Ciputri Tahun 2012. No 1 2 3 4
Lama Tinggal <1tahun 1-10 tahun 11-20 tahun ≥20tahun Total
Jumlah Responden 0 1 1 28 30
Persentase (%) 0 3,3 3,3 93,4 100
. Tabel 8 menunjukkan bahwa mayoritas responden di Resort Sarongge termasuk dalam kategori lebih dari 21 tahun sebanyak 28 orang atau 93,4 persen. Sedangkan dengan jumlah masing satu orang dan dengan persentase 3,3 persen pada kategori kurun waktu antara satu sampai sepuluh tahun dan antara sebelas sampai dua puluh tahun. Namun pada rentan waktu yang tinggal kurang dari satu tahun tidak ada sama sekali.
26
PERUBAHAN STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI Sumber Lapangan Pekerjaan Sumber nafkah merupakan aset, sumberdaya atau modal yang dimiliki rumahtangga yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan nafkah rumahtangga. Terdapat delapan sumber nafkah rumahtangga responden Resort Sarongge sekarang ini yaitu lapangan pekerjaan sebagai petani, buruh tani, peternakan, jasa konstruksi, wiraswasta, jasa hiburan dan karyawan. Seluruh sumber nafkah tersebut dikategorikan dalam dua struktur nafkah: a) nafkah dari sumber-sumber pertanian (petani, buruh tani dan peternak), atau yang disebut sebagai nafkah yang bersumber dari on farm dan off farm; b) nafkah dari sumber-sumber non pertanian (jasa konstruksi, wiraswasta, jasa hiburan, karyawan dan jasa ojek), atau yang disebut sebagai nafkah yang bersumber dari non farm tercantum dalam Tabel 9. Nafkah dari sumber pertanian (on farm dan off farm) dan non pertanian (non farm) tersebut merupakan ciri struktur nafkah masyarakat Desa Ciputri yang ditunjukkan oleh 30 responden yang sudah di dapatkan (Tabel 3). Struktur nafkah tunggal, dual, dan multi tersebut Tabel 9 Jenis Lapangan Pekerjaan dan Profesi Responden Rumahtangga Desa Ciputri Tahun 2012. No Lapangan Pekerjaan 1 Pertanian (on farm dan off farm) - Petani - Buruh tani - Peternakan 2 Non Pertanian (non pertanian) - Jasa Konstruksi - Wiraswasta - Jasa Hiburan - Karyawan - Jasa Transportasi
Profesi Responden Petani Buruh tani Peternak kambing dan kelinci Buruh Bangunan Warung , pedagang sayur Penyiar Radio Satpam, Karyawan Supir, Ojek
Sebagaimana tercantum dalam Tabel 9 menjelaskan beberapa profesi responden Desa Ciputri. Profesi responden tersebut meliputi lapangan pekerjaan pertanian dan non pertanian. Terdapat sebelas jenis profesi responden Desa Ciputri, yaitu Petani dengan kepemilikan lahan sendiri, buruh tani, Peternak kambing atau kelinci, buruh bangunan, warung, penyiar radio, satpam, karyawan, pedagang sayur , supir roda empat dan ojek. Lapangan pertanian berjumlah tiga jenis profesi, sedangkan pada lapangan pekerjaan non pertanian berjumlah delapan profesi seperti yang sudah disebutkan sebelumnya. Pada penjelasan di atas menunjukkan bahwa responden Desa Ciputri tidak hanya terpatok pada satu jenis lapangan pekerjaan saja. Responden mencari beberapa jenis pekerjaan yang lain untuk mempertahankan keberlanjutan hidup rumahtangga karena hampir semua mengatakan jika hanya mengandalkan satu
27 jenis pekerjaan saja tidak akan mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari rumahtangga. “mun ayeuna mah kudu neangan pakerjaan nu laennya ambeuh sakulawargi ceukap ka kabutuhan sahari-hari jeung dahar, kabutuhan anak-anak mun arek jajan, jeung sakolana, baju, bayar kreditan motor nu can lunas, jadi rek kumaha deui tos kawajiban jadina. Si ibu oge sok milu pigawe ambeuh nambihnambih jeung di dapur”. (UCP, 40tahun, 28 Maret 2013) “ jika sekarang harus mencari pekerjaan yang lainnya agar mencukupi kebutuhan sekeluarga untuk makan, kebutuhan anakanak jajan sekolah, baju, membayar kreditan motor yang belum lunas, jadi mau bagaimana lagi, sudah kawajiban. Si ibu juga kadang suka ikut kerja untuk nambah-nambah di dapur” (UCP, 40 tahun, 28 Maret 2013)
Tabel 10 Jumlah responden rumahtangga resort sarongge menurut aneka nafkah dari pertanian dan non pertanian Tahun 2012 Pertanin Non Pertanian
Petani & buruh tani
Petani & Peterma k
Buruh tani & Peternak
Petani, buruh tani & peternak
Tidak berkerja di pertanian
Total
Petani
Buruh Tani
Peternak kambing/ kelinci
Jasa
0
6
1
1
0
1
0
0
9
Pedagang Karyawan & / wiraswasta Kombinasi 2&3
0
3
0
0
0
0
0
0
3
0
5
0
0
2
0
0
1
8
0
0
0
0
0
0
0
3
3
0
1
0
1
0
0
0
0
2
0
2
0
0
1
1
1
0
5
0
17
1
2
3
2
1
4
30
Kombinasi 11,2 Tidak berkerja di non pertanian Total
28
Pekerjaan responden sebagaian besar tidak hanya berpaku pada satu jenis lapangan pekerjaan. Namun responden berusaha mencari beberapa jenis lapangan pekerjaan lain berguna mempertahankan keberlanjutan hidup rumahtangga responden. Sebanyak 5 responden (16.7 persen) dari 30 responden yang diteliti sepenuhnya mengandalkan nafkah dari pertanian (petani, buruh tani dan peternak kambing/kelinci). Kemudian yang sepenuhnya mengandalkan nafkah dari non (karyawan, pedagang sayur dan sebanyak 4 responden (13.3 persen). Sisanya mengandalkan nafkah hidupnya dari kombinasi dual dan multi nafkah dari pertanian (on farm dan off farm) dan non pertanian (non farm), berdasarkan Tabel 10. Sebagian besar responden rumahtangga dengan sumber nafkah lebih dari satu pekerjaan lebih banyak. Bahkan hanya ada satu satu responden yang bermata pencaharian hanya satu saja, hal ini dikarenakan ada beberapa faktor yaitu banyaknya anak yang sudah berumahtangga sendiri sehingga sudah menjadi tanggungannya, kemudian faktor usia yang menurut mereka sudah tidak muda lagi. Berikut ungkapan dari responden yang bermata pencahariannya hanya satu. “Bapak mah kerjaanna ayeuna ngan jadi buruh tani ajah dek, lantaran abdi tos rada sering geuring faktor tos sepuh oge dek. Bari putra-putra bapak tos ageung, malah tos boga incu deui bapak mah. Jadi ya ti buruh tani ge tos ceukap ngamenuhan kabutuhan mah, ukur nimbang dahar 2 kali sahari mah tos ceukap dek. (WE, 52tahun, 3 April 2013). “bapak sekarang kerjanya hanya menjadi buruh tani saja, karena saya sudah sering sakit dan tua. Lagipula putra-putra bapak sudah dewasa, bahkan bapak sudah memiliku cucu.Jadi ya buruh tani juga sudah cukup memenuhi kebutuhan, hanya makan 2 kali sehari sudah cukup (WE, 52tahun, 3 April 2013). Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Penggarap Sebagian besar rumahtangga pedesaan pada umumnya tidak dapat menghindar dari resiko, apakah yang disebabkan oleh manusia atau karena faktor lingkungan, dan mereka biasanya memanajemen struktur nafkah sehingga mampu meminimalkan resiko, tergantung kepada sumberdaya yang dimiliki (Ellis, 2000). Strategi nafkah rumahtangga merupakan landasan pilihan aktivitas nafkah yang dilakukan rumahtangga untuk memenuhi kebutuhan atau mencapai tujuan rumahtangga. Aktivitas nafkah merupakan tindakan anggota rumahtangga yang dapat dilihat sebagai bentuk dari strategi nafkah rumahtangga. Sumberdaya yang dimiliki oleh rumahtangga petani mempengaruhi aktivitas nafkah demi memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Dharmawan (2007) menyatakan bahwa strategi nafkah adalah taktik dan aksi yang dibangun oleh individu ataupun kelompok untuk mempertahankan kehidupan mereka dengan tetap memperhatikan eksistensi infrastruktur sosial, struktur sosial dan sistem nilai budaya yang berlaku. Dalam upaya memperjuangkan kehidupan ekonominya rumahtangga petani akibat berbagai risiko tersebut biasanya akan melakukan
29 diversifikasi sumber nafkah yaitu proses yang dilakukan oleh kelurga pedesaan untuk melakukan berbagai aktivitas dan kemampuan dorongan sosial mereka dalam upaya berjuang untuk bertahan hidup dan untuk meningkatkan standar hidup. Berbagai alasan individu dan rumahtangga melakukan diversifikasi sebagai strategi nafkah adalah karena keterpaksaan (necessity) dan pilihan (choice). Istilah lain yang sering digunkan adalah antara bertahan hidu (survival) dan pilihan (choice) atau antara bertahan hidup (survival) dan akumulasi (accumulation). Suatu kondisi yang memaksa, misalnya: tidak adanya akses lahan bagi petani tunakisma, lahan yang semakin sempit akibat fragmentasi lahan warisan, gagal panen, bencana alam, atau ketidakmampuan mengerjakan aktifitas pertanian karena kecelakaan atau sakit. Dalam kasus Desa Ciputri ini karena perubahan rezim dari lahan Perum Perhutani yang awalnya diperboleh menggarap lahan di kawasan hutan, namun sejak adanya Berita Serah Terima Acara (BAST) ke Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), para petani terpaksa keluar dari lahan garapannya yang sekarang menjadi lahan kawasan TNGGP. White dalam widiyanto (2009), membedakan rumahtangga petani ke dalama tiga kelompok dengan strategi nafkah yang berbeda. Pertama, rumahtangga yang atau mengusahakan tanah pertanian luas, yang menguasai surplus produk pertanian diatas kebutuhan hidup mereka. Surplus ini seringkali dimanfaatkan untuk membiayai pekerjaan di luar sektor non-pertanian, dengan imbalan penghasilan yang relatif tinggi pula. Pada golongan pertama, strategi nafkah yang mereka terapkan adalah strategi akumulasi dimana hasil pertaniannya mampu diinvestasikan kembali baik pada sektor pertanian maupun non-pertanian. Kedua, rumahtangga usaha tani sendang (usahatani hanya mampu memenuhi kebutuhan subsisten). Mereka biasanya bekerja pada sektor non pertanian dalam upaya melindungi diri dari gagal panen atau memberikan sumber pendapatan yang berkelanjutan mengingat usaha pertanian bersifat musiman. Strategi mereka ini dapat disebut sebagai strategi konsolidasi. Ketiga rumahtangga usaha tani gurem atau tidak bertanah. Biasanya mereka bekerja dari usaha tani ataupun buruh tano, dimana penghasilannya tidak dapat mencukupi kebutuhan dasar. Rumahtangga ini akan mengalokasikan sebagian dari tenaga kerja mereka tanpa modal, dengan imbalan yang rendah ke dalam kegiatan luar pertanian. Pada rumahtangga di golongan ketiga ini umumnya menerpakan strategi bertahan hidup (survival strategy). Tabel 11 menunjukkan bahwa sebanyak 22 responden mengandalkan aneka nafkah ganda di sektor pertanian (on farm dan off farm) dan non pertanian (non farm). Demikian pula enam responden yang bernafkah multi tiga sampai empat mata pencaharian masih mengandalkan di sektor pertanian (on farm dan off farm) dan non pertanian (non farm). Sedangkan dua responden yang bernafkah tunggal mengandalkan di sektor pertanian (off farm). Hal ini menunjukkan yang diterapkan responden strategi nafkah tunggal, nafkah ganda dan nafkah multi tercantum pada Tabel 11.
30 Tabel 11 Jumlah rumahtangga responden menurut aneka strategi nafkah tahun 2012 No
1.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Strategi Nafkah Nafkah Tunggal Buruh Tani Total Responden Nafkah Tunggal Nafkah Ganda ( 2 mata pencaharian): Buruh tani dan ojek Buruh tani dan karyawan Buruh tani dan dagang sayur ke jakarta Buruh tani dan peternak Buruh tani dan Satpam Petani dan peternak Karyawan dan buka warung Buruh Bangunan dan Peternak Karyawan dan pedagang sayur
JumlahRespon den
Persentase (%)
2 2
6.7
6 3 3 1 2 1 2 1 3
Total Responden Nafkah Ganda Nafkah Multi ( 3-4 mata pencaharian ) Petani, buruh tani dan ojek Petani, buruh tani dan peternak Petani, peternak dan penyiar radio Petani, peternak, karyawan Camping Ground dan tukang masak Petani, buruh tani, ojek dan dagang sayur ke jakarta Buruh tani, supir, dagang sayur dan ojek
22
Total Responden Nafkah Multi Total Responden
6 30
73.3
1 1 1 1 1 1 20 100
Berdasarkan tabel 11 dapat dikatakan secara umum terdapat 16 jenis strategi bertahan hidup. Dari 16 macam strategi bertahan hidup yang diandalkan oleh 30 responden tersebut sebanyak satu jenis strategi bertahan hidup responden tergolong ke dalam strategi nafkah tunggal di off farm. Sedangkan sebanyak sembilan jenis strategi bertahan hidup responden tergolong ke dalam strategi nafkah ganda di sektor pertanian ( on farm dan off farm) dan non pertanian (non farm). Terakhir sebanyak enam jenis strategi bertahan hidup responden tergolong ke dalam strategi nafkah multi di sektor pertanian ( on farm dan off farm) dan non pertanian (non farm).
31 Tabel 12 Jumlah rumahtangga responden berdasarkan jenis strategi nafkah hanya dalam kategori pertanian dan hanya dalam kategori non pertanian pada tahun 2008 dan 2012 No Strategi Nafkah 1
2
Pertanian Petani Penggarap Buruh Tani Buruh Tani dan Peternak Petani, Buruh Tani dan Peternak Petani dan Peternak Jumlah Responden Non Pertanian Karyawan dan Wiraswasta Karyawan dan Pedagang Sayur Jumlah Responden Ʃ Responden
Jumlah responden 2008 2012 30 2 1 1 1 30
5 2 3 5 10
Sebagaimana tercantum dalam Tabel 12, terdapat 5 responden (50 %) dari 10 respoden yang hanya mengandalkan nafkah bersumber dari pertanian baik nafkah tunggal (buruh tani), ganda (buruh tani dan peternak, petani dan peternak) dan multi (petani, buruh tani dan peternak). Selanjutnya terdapat 5 respoden (50%) dari 10 responden yang hanya mengandalkan nafkah berbersumber dari non pertanian yaitu nafkah ganda (karyawan dan Wiraswasta, Karyawan dan Pedagang sayur). Sisa lainnya mengandalkan kombinasi aneka jenis mata pencaharian baik dari pertanian dan non pertanian. Hasil penelitian juga menunjukkan (Tabel 12), sebanyak 30 responden atau 100 persen mengandalkan nafkah tunggal di on farm. Jenis mata pencaharian respoden pada tahun 2008 hanya menjadi petani penggarap. Strategi nafkah yang diterapkan responden dengan satu mata pencaharian karena petani beranggapan bahwa hanya dengan bertani di kawasan sudah mampu dicukupi seluruh kebutuhan sehari-hari. Hal ini didukung dengan pernyataan salah satu responden: ”ti ngebon di gunung mah dek tos tiasalah meuli beas, mayar sakola anak, alhamdulilah ceukap lah dek” (HB, 30 tahun, 4 April 2013) “dari berkebun (bertani) di gunung 8 , sudah mampu membeli beras, membayar biasa sekolah, Alhamdulillah sudah cukup”(HB, 30 tahun, 4 April 2013)
8
gunung yang dimaksud adalah kawasan Perum Perhutani yang sekarang menjadi kawasan TNGGP.
32 Penuturan tersebut menunjukkan bahwa petani saat itu sangat bergantung terhadap hasil pendapatan dari lahan garapan di kawasan Perhutani. Seperti yang sudah di bahas pada bab sejarah TNGGP, dikatakan bahwa peralihan kawasan dari Perum Perhutani ke kawasan TNGGP mengalami status quo, sehingga petani membuka kembali lahan garapan milik TNGGP karena petani tersebut hampir semua tidak memiliki lahan sendiri. Perubahan kawasan tersebut sangat mempengaruhi strategi nafkah bertahan hidup petani, dengan memanfaatkan asset yang dimiliki.Dengan demikian, menimbulkan aneka nafkah untuk bertahan hidup rumahtangga petani. Berdasarkan pemaparan paragraf sebelumnya, terjadi perubahan jenis mata pencaharian nafkah rumahtangga terhitung pada tahun 2008, pada tahun ini di ketahui hanya terdapat satu jenis mata pencaharian yang menjadi andalan nafkah rumahtangga petani yaitu buruh tani (Tabel 11) bersumber dari bidang pertanian. Namun pada tahun 2012 terdapat perbedaan yang signifikan berdasarkan aneka nafkah yang dilakukan petani, baik nafkah yang didapatkan dari pertanian dan non pertanian bahkan aneka nafkah yang mengkombinasikan dari pertanian dan non pertanian (Tabel 13). Penguasaan Lahan Rumahtangga Responden DesaCiputri Lahan yang yang dikuasai oleh respoden di Desa Ciputri berasal dari lahan milik, lahan sewa, dan bagi hasil. Luas lahan petani yang dimiliki adalah modal utama dalam usaha tani.Menurut Purwati dalam turasih (2011), besar kecilnya pendapatan petani dari usaha taninya ditentukan oleh luas lahan garapannya karena luas lahan garapan tersebut dapat mempengaruhi produksi persatuan luas. Lahan merupakan basis bagi berlangsungnya kehidupan rumahtangga petani karena dari hasil pertanian petani memperoleh penghasilan (Turasih 2011). Perluasan kawasan yang terjadi di Desa Ciputri mengakibatkan perubahan berkenaan status penguasaan tanah yang dimilki responden. Perubahan penguasaan lahan yang dimiliki responden terlihat pada rentang tahun 2008 dan tahun 2012. Semakin banyak luas kepemilikan lahan yang dimiliki rumahtangga berbanding lurus dengan tingkat pendapatan yang didapatkan rumahtangga. Petani dengan garapan yang lebih luas memiliki kesempatan menanam sayur mayur yang lebih banyak, namun dengan demikian biasanya petani yang memiliki luasan lahan yang lebih luas memperkerjaan orang lain (buruh tani) untuk membantu lahan garapannya tersebut. Walaupun harus mengeluarkan pengeluaran untuk membayar buruh tani namun hal tersebut masih bisa tertutupi ketika masa panen telah tiba. Sebagaimana tercantum pada Tabel 13, sebanyak 22 responden (70 persen) dari 30 responden petani di Desa Ciputri pada tahun 2012 tidak memiliki lahan atau tuna kisma, kemudian terdapat satu respoden (3.3 persen) menguasai lahan dengan status penguasan tanah milik satu orang seluas antara 50 m2 sampai 100 m2 , dan terakhir sebanyak tujuh responden (20 persen) menguasai tanah seluas lebih dari sama dengan 100 m2 dengan status penguasaan tanah milik sebanyak dua respoden, tanah sewa sebanyak empat responden dan tanah bagi hasil satu responden dengan luasan lebih dari 2 000 m2 dan kurang dari 2 800 m2.
33 Dalam kepemilikan lahan pada tahun 2012 hampir semua penguasaan tanahnya sudah tidak memiliki lahan, karena terjadinya perubahan rezim kawasan yang awalnya lahan PHBM (2008) diperbolehkan menggarap sekarang sudah dilindungi menjadi lahan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Jadi petani harus mencari alternatif pekerjaan lain untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya tanpa adanya kepemilikan lahan, sehingga hubungan atas kedua variabel tersebut belum ditemukan secara jelas. Walaupun masih ada beberapa petani yang masih memiliki lahan namun letaknya sudah bukan di lahan garapan (PHBM) lagi. Hal ini juga didukung oleh pernyataan salah satu responden: “.... ya ayeuna mah mas nyari pagawean nu laen, pan tos teu tiasa ngebon di luhur gunung deui (kawasan TNGGP), yaa jadi buruh tani weeh, ngojek mun siang-siangna maah” (AS,43tahun, 3 April 2013) “ya sekarang sih mencari pekerjaan yang lain, kan sudah tidak bisa ngebon di atas gunung lagi (Kawasan TNGGP), ya jadi buruh tani, ngojek kalo siangnya (AS,43tahun, 3 April 2013) Tabel 13 Jumlah responden dengan status penguasaan tanah menurut golongan luas tanah tahun 2008 dan 2012 Golongan luas lahan yang dikuasai Tuna Kisma 50 – 100 m2 500 m2> X > 100 m2 2000 m2> X ≥ 500 m2 2 800 m2 > X ≥2 000 m2 X ≥ 2 800 m2 Total
Tahun 2008
Tahun 2012 Total
Tanah Garapan Perhutani
Tanah milik
Tanah Sewa
Tanah Bagi Hasil
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1
-
-
-
-
-
-
-
2
-
10
-
10
-
-
4
-
9
-
-
-
-
1
11
-
-
-
1
-
30
-
-
1
6
1
Tanah Garapan Perhutani
Tanah milik
-
9 11
30
Total
21 1 2 4 1 1
30
Sebagaimana tercantum pada Tabel 13, sebanyak 10 responden (33.3 persen) dari 30 responden petani di Desa Ciputri pada tahun 2008 menguasai tanah dengan luasan lahan garapan lebih dari 500 m2 dan kurang dari 2 000 m2, kemudian terdapat 9 responden (30 persen) menguasai tanah seluas lebih dari 2 000 m2 dan kurang dari 2 800 m2 dan sisanya sebanyak 11 responden (36.7 persen) menguasai tanah seluas lebih dari 2 800 m2 dan status penguasaan tanah tersebut adalah tanah garapan Perhutani. Semakin besar luasan tanah yang
34 dikuasai berbanding lurus juga dengan pendapatan yang didapatkan oleh responden.hal ini didukung oleh salah satu pernyataan responden: “.... kulantaran bapak gaduh beberapa patok di hutan garapan baheula (saat PHBM) lumayan gede, bapak tiasa ngamenuhi kabutuhan sahari-hari malah sok aya leuwihna oge jeung kabutuhan sakola, meuli motor ambeuh jadi tabungan oge... mun ade teurang pak HB mah boga 16 patok , ayeuna beunghar tuh, makin loba patok nu diboga, makin beunghar de... abdi mah alhamdulilah sakieu oge, tos ceukap. (OS, 38 th, 27 Maret 2013) “...karena bapak memiliki beberapa patok 9 di hutan 10 dulu (saat PHBM) lumayan luas, bapak bisa memenuhi kebutuhan seharihari bahkan sering ada lebihnya juga untuk kebutuhan sekola, beli motor untuk tabungan juga... jika anda (peneliti) tau pak HB dia memiliki 16 patok, sudah kaya sekarang, semakin banyak patok yang dipunya semakin kaya juga. Saya sih alhamdulilah segini juga sudah cukup. (OS, 38 tahun, 27 Maret 2013)
Perluasan kawasan ini menciptakan strategi nafkah untuk bertahan hidup dengan berbagai aktivitas nafkah atau mata pencaharian yang lain. Mata pencaharian lain dilakukan demi mendapatkan pendapatan rumahtangga walaupun basis nafkah sudah tidak bersumber pada tanah lagi. Sehingga luas kepemilikan lahan garapan sudah tidak menjadi indikator besar kecilnya pendapataan rumahtangga petani yang didapatkannya. Tabel 14 Jumlah responden berdasarkan tingkat pendapatan dan luas kepemilikan lahan petani pada tahun 2008 Pendapatan Rumahtangga petani (2008) Luas Kepemilikan lahan garapan (2008)
< Rp 16 620 000
Rp 16 620 001 – Rp 21 360 000
≥ Rp 21 360 001
Total
Rendah (<1850m2)
9
0
0
9
Sedang (1851m2-2790m2)
0
7
1
8
Tinggi (≥2791 m2)
0
1
12
13
Total
9
8
13
30
9
Patok, istilah yang sering dipakai warga untuk mengemukakan luasan lahan. Satu patok =
2
400 m
10
Hutan yang dimaksud adalah kawasan TNGGP yang dulunya adalah hutan produksi milik Perum Perhutani.
35 Sebagaimana tercantum dalam Tabel 14, sebanyak sembilan responden (30 persen) memiliki pendapatan rumahtangga petani pada 2008 dikategorikan rendah atau kurang dari Rp 16 620 000 dan memiliki tujuh luas lahan dikategorikan rendah atau kurang dari 1850m2. Sedangkan sebanyak responden (23,3 persen) memiliki pendapatan rumahtangga petani dikategorikan sedang atau antara Rp 16 620 001 sampai dengan Rp 21 360 000 dan memiliki luas lahan dikategorikan sedang atau antara 1851m2sampai dengan 2790m2. Namun terdapat satu responden (3,3 persen) yang berkategorikan pendapatan sedang dan memiliki lahan termasuk tinggi. Hal ini diakibatkan karena bentuk lahan yang dimiliki terjal sehingga lahan yang terjal tersebut di tidak bisa ditanami tanaman sayur mayur dan hanya di jadikan jalur air saja, namun lahan tersebut masih kepemilikan lahan responden tersebut pada saat itu (tahun 2008). Berikut ungkapan responden: “.... bapak emangna gaduh lahan di gunung lumayan, ngan lahan nu bapak teh di ujungna kapotong kulantaran lahannya legok jadi bapa ge teu bisa rek nanem sayur mayur bortol, pakcoy, nu laen ge... ah keun, alhamdulilah sih sakieu ge tos bersyukur mas.(EY, 35 tahun, 25 Maret 2013) “..bapak memang memiliki lahan di gunung lumayan, tetapi lahan bapak ujungnya terpotong karena lahannya menjorok jadi bapa tidak bisa menanam sayur mayur..tetapi alhamdulilah tetap bersyukur(EY, 35 tahun, 25 Maret 2013) Berdasarkan Tabel 14 sebanyak 12 responden (40 persen) memiliki pendapatan rumahtangga dikategorikan rendah (kurang dari sama dengan Rp 16 620 000) dan memiliki luasan lahan dikategorikan tinggi (≥2791 m2). Terdapat satu orang responden yang berpendapatan rumahtangga tinggi namun responden tersebut memiliki luasan lahan yang tergolong sedang. Hal ini disebabkan karena pada responden tersebut selain Ketua rumahtangga yang bekerja sebagai petani penggarap namun sejak tahun 2005-an istrinya harus ikut bekerja yakni memulai berjualan warung kecil-kecilan. Latar belakang mengapa istrinya ikut bekerja karena sejak anak pertamanya terkena penyakit, dan mereka menganggap penghasilan dari petani penggarap saja masih kurang untuk biaya pengobatan anaknya tersebut. “...sejak putra nu kahiji abdi kena penyakit, baheula jadi si ibu (istri) kadang sok jualan di rumah, yaa barang aya gorengan, kerupuk-kerupukan, cengek, timbang saeutik yaa lumayan mas kana nambihan apalagi putra keur geuring (UU, 37 tahun, 5 April 2013). “.... muhun mas, yaa abdi ngabantu bapa kulantaran ari ti kebon mah bisi teu ceukap ,abdi bubuka warung kecil , modalna ti mun aya panen atawa nginjem heula ka punbiang (SR,31 tahun, 5 April 2013) “...sejak putra pertama kena sakit, dulu si ibu (istri) terkadang suka jualan drumah, dagang gorengan, kerupuk, cabe, sedikit ya lumayan mas untuk nambah-nambah (UU, 37 tahun, 5 April
36 2013).”...iya mas, abdi ngebantu bapa karena dari kebon takut tidak cukup, saya buka warung kecil, modalnya dari panen atau minjam dari keluarga (SR,31 tahun, 5 April 2013) Tabel 15 Jumlah responden berdasarkan tingkat pendapatan pertahun dan luas kepemilikan lahan petani pada tahun 2012
Luas Kepemilikan lahan garapan (2012
Pendapatan Rumahtangga petani (2012)) >Rp < Rp Rp 10 392 00 – Rp 13 13 740 000 10 392 000 740 000
Total
persentase
Rendah (<0m2)
10
4
7
21
70 %
Sedang (50 m2 – 99 m2)
1
0
0
1
3.4 %
1
2
3
6
20 %
12 40 %
6 20 %
12 40 %
30 100%
100%
Tinggi (≥100 m2) Total Persentase
Sebagaimana tercantum dalam Tabel 15, sebanyak tujuh responden (20 persen) dikategorikan memilki luas kepemilikian lahan garapan tinggi (lebih dari sama dengan 100 m2), berpendapatan rumahtangga petani kurang dari Rp 10 392 000 sebanyak satu responden, sebanyak dua responden berpendapatan sedang antaraRp 16 620 001 sampai dengan Rp 21 360 000 dan sebanyak empat responden berpendapatan tinggi lebih dari Rp 13 740 000. Sebanyak 22 responden (76.7 persen) dikategorikan memiliki luas kepemilikan lahan garapan rendah dengan kata lain tidak memiliki lahan pertanian, namun pendapatan rumahtangga yang beragam terdiri dari sebanyak 10 responden berpendapatan rendah kurang dari Rp16 620 000, sebanyak empat responden berpendapatan sedang antara Rp 16 620 001 sampai dengan Rp 21 360 000 dan terakhir sebanyak delapan responden berpendapatan tinggi lebih dari Rp21 360 000. Sisanya sebanyak satu responden dikategorikan memiliki luas kepemilikan lahan garapan sedang (antara 50m2–99m2) dengan besaran pendapatan rendah kurang dari Rp 10 392 000 Kepemilikan lahan pada tahun 2012 sebagian besar sudah tidak memiliki lahan lagi sehingga petani harus mencari pekerjaan lain yang tidak bergantung kepada lahan pertanian lagi. Mata pencaharian baik pertanian maupun non pertanian dilakukan petani demi mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari rumahtangga, mulai dari nafkah tunggal, ganda bahkan multi (Tabel 11). Besar kecilnya Pendapatan yang didapatkan bergantung pada jenis pekerjaan yang didapatkan dan jumlah jam kerja pekerjaan tersebut.
37 Tabel 16 Jumlah responden berdasarkan tingkat pendapatan pertahun dan luas kepemilikan lahan petani tahun 2008 dan 2012 Luas Kepemilikan Lahan Garapan (satuan m2) 0 – 1100 1101-2200
≥ 2201 Total
Pendapatan Rumahtangga Petani (satuan juta) 6 – 13.99 14 – 20.99 ≥21 2008
2012
2008
2012
2008
2012
0
18
0
9
0
0
2 0 2
0 0 18
14 0 14
0 0 9
4 10 14
2 1 3
Sebagaimana tercantum dalam Tabel 16, terpampang jelas perubahan yang cukup signifkan, pada luas kepemilikan lahan garapan petani seluas 0m2 sampai 1100 m2 pada tahun 2008 tidak ada namun pada tahun 2012 terdapat 18 responden yang berpendapatan Rp 6 000 000 sampai Rp 13 990 000 dan terdapat sembilan responden yang berpendapatan Rp 14 000 000 sampai Rp 20 990 000. Sedangkan pada luas lahan garapan seluas 1101m2-2200m2 terdapat dua responden pada tahun 2008 berpendapatan Rp 6 000 000 sampai Rp 13 990 000, dan terdapat 14 responden pada tahun 2008 yang berpendapatan Rp 14 000 000 sampai Rp 20 990 000 serta terdapat empat responden pada tahun 2008 yang berpendapatan lebih dari Rp 21 000 000. Namun hanya dua responden pada tahun 2012 yang berpendapatan Rp 14 000 000 sampai Rp 20 990 000. Berdasarkan Tabel 16, pada luas kepemilikan lahan seluas lebih dari 2201m2 terdapat 10 responden pada tahun 2008 yang memiliki pendapatan lebih dari Rp 21 000 000 sedangkan pada tahun 2012 terdapat satu responden yang memiliki pendapatan lebih dari Rp 21 000 000. Dengan demikian perubahan luas kepemilikan lahan garapan petani mempengaruhi tingkat pendapatan rumahtangga petani yang diterima per satu tahun.
Aktivitas Nafkah Rumahtangga di Desa Ciputri Aktivitas nafkah rumahtangga petani di Desa Ciputri merupakan serangkaian tindakan atau upaya menggunakan modal yang dimiliki rumahtanggadan membangun modal yang dibutuhkan rumahtangga untuk mendapatkan pendapatan rumahtangga. Aktvitas yang digunakan untuk menunjukkan sumberdaya yang telah dimiliki atau diakses rumahtangga.Tindakan ekonomi yang dilakukan menjelasakan aktivitas-aktivitas nafkah rumahtangga petani guna memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan rumahtangga. Tujuan nafkah rumahtangga pada bab ini akan dibahas secara umum yang melandasi aktivitas nafkah rumahtangga. Dharmawan (2007), basis nafkah adalah segala aktivitas ekonomi pertanian dan ekonomi non-pertanian, dimana setiap individu atau rumah tangga dapat memanfaatkan peluang nafkah dengan “memainkan” “kombinasi” “modal-keras” (tanah, finansial, dan fisik) dan berupa intelektualitas dan keterampilan sumber daya manusia yang tersedia, untuk menghasilkan sejumlah strategi-penghidupan (livelihood strategies).
38 Menggarap Beberapa Lahan secara Bersamaan Menggarap lahan secara bersama oleh beberapa petani guna mengurangi uang produksi seperti pembelian pupuk, pembelian bibit tanaman yang akan ditanam serta pengupahan buruh tani jika ada. Namun jika sudah menggarap lahan secara bersamaan umumnya sudah tidak menggunakan buruhtani lagi.Dalam aktivitas nafkah ini yang melatar belakangi adalah kepemilikin lahan yang kebanyakan petani Desa Ciputri tidak memiliki lahan. Purnomo (2005), ekstensifikasi pertanian dilakukan karena beberapa hal, (1), keterbatasan lahan milik pribadi, (2), sifat tanaman yang tidak memerlukan waktu pemeliharaan terus menerus, (3), keterbatasan hasil dari satu luasan lahan, (4), tekanan kebutuhan hidup dan, (5), terdapat lahan alternatif untuk dikelola. Ekstensifikasi pertanian dilakukan dengan dua cara, (1), pengelolaan beberapa lahan garapan secara bersama-sama, dan (2), penambahan luas lahan garapan. Kepemilikan sawah yang dimiliki petani di Desa Ciputri sebagaian besar sudah tidak mempunyai lahan garapan.Keterbatasan lahan, sifat tanaman dan keterbatasan hasil pertanian dilengkapi dengan ketersediaan lahan garapan alternatif.Tekanan ekstensifikasi pertanian mengarah pada lahan yang diolah bersama, dengan sistem bagi hasil. Hal ini juga didukung oleh salah satu pernyataan salah satu responden: “....mun kebon nu di pengkeureun imah abdi di garapan sarerea jeung pak SAH, kulantaran pan eta ge papatungan sewa lahan ti nu bogana,.... nu boga orang bandung mas...papatungan di pupukna, bibitna, sarereana weh mas, mun tos panen urang dipotong pupuk, bibit, pestisida kabeuhan, karak di bagi-bagi ti kasepakatan nu awal (HB, 30 tahun, 4 April 2013). “..kalo kebun di belakang rumah saya di garapaan bersama-sama dengan pak SAH, karena itu juga patungan pupuknya, bibitnya, semua aja mas baru di bagi-bagi dari kesepakatan awal (HB 30 tahun, 4 April 2013) Kegiatan ekstensifikasi pertanian yang dilakukan petani tidak dilakukan jika rumahtangga memiliki satu sumber nafkah yang dapat memenuhi seluruh kebutuhan rumahtangga. Namun pada kenyataannya hanya dua responden saja yang memiliki sumber nafkah satu yang dianggap sudah mampu memenuhi seluruh kebutuhan rumahtangganya. Penggarapan lahan yang lain tidak dilakukan jika pertanian atau sawah yang dimiliki menyita seluruh waktu kerja petani atau dianggap cukup memenuhi untuk kebutuhan hidup petani. Hal ini didukung oleh satu pernyataan salah satu responden “...“Bapak mah kerjaanna ayeuna ngan jadi buruh tani ajah dek, Jadi ya ti buruh tani ge tos ceukap ngamenuhan kabutuhan mah, ukur nimbang dahar 2kali sahari mah tos ceukap dek. (WE, 52tahun, 3 April 2013) “...Bapak sih kerjanya sekarang hanya jadi buruh tani saja, buruh tani juga sudah cukup memenuhi kebutuhan mah,
39 hanya makan 2 kali sehari sih sudah cukup dek.” (WE, 52tahun, 3 April 2013) Tumpang Sari Petani di Desa Ciputri biasa menanam berbagai jenis tanaman dalam satu luasan lahan garapan. Sebagian besar tanaman yang ditanami petani adalah dari jenis sayur mayur. Sayur-mayur ini merupakan komoditi utama petani di Desa Ciputri, komoditi sayur yang sering ditanam oleh petani antara lain brokoli, wortel, tomat, bawang, kol, dan kentang sedangkan komoditi lainnya adalah berupa singkong dan pisang. Namun pada saat melakukan tumpang sari ini, petani harus pintar membaca cuaca guna komiditi yang baik ditanam disaat musim hujan dan musim kemarau. Hal ini didukung pernyataan ungkapan dari salah satu responden ; “... upami bade nanem teh kudu ningali heula usum atau musimna, pan aya musim hujan jeung panas, nah, mun keur usum kahiji atau usum hujan mah biasana patani nanem pakcoy, kentang.... mun keur usum katilu atau usum halodo teh biasana patani nanemna bawang, daon bawang((HB, 30 tahun, 4 April 2013). Kegiatan menanam sayur mayur dalam prosesnya harus melihat keadaan musim, ketika musim penghujanan sayur yang baik di tanam adalah jenis kol, pak coy, kentang, brokoli, sedangkan ketika musim kemarau wortel dan bawang, walaupun pada musim kemarau tanaman sayur mayur tersebut memerlukan air yang cukup. Selain itu akses terhadap pekerjaan di luar pertanian juga menyebabkan tekanan nafkah pada ekstensifikasi lahan berkurang. Ternak Kambing dan Kelinci Memelihara kambing dan kelinci merupkan hewan ternak yang penting bagi nafkah penduduk Desa Ciputri.Kambing merupakan hewan ternak yang banyak dipelihara petani Desa Ciputri. Kambing dan kelinci tersebut pada umumnya adalah hasil pemberian dari pihak Balai Besar TNGGP sebagai isentif bagi petani yang sudah keluar dari kawasan untuk tidak menggarap lahan TNGGP. Umumnya satu petani di berikan dua kambing yaitu satu jantan dan satu betina. Hal ini diberikan pihak Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (BBTNGGP) bertujuan sebagai mata pencaharian alternatif petani. “....yaap, bagi petani yang sudah mau keluar dari kawasan berikan sertifikat penghargaan dan isentif berupa hewan ternak kambing atau kelinci. Kami memberikan isentif tersebut setelah melihat kondisi lapangan, para petani penggarap masih bergantungan dengan lahan kawasan TNGGP.Oleh karena itu kami mencoba menciptakan lapangan pekerjaan baru. Apalagi bantuan hewan ternak dan uang yang cukup untuk dipake bikin kandang kambing tetapi secara kolektif bareng-bareng dari bapak SBY untuk para petani penggarap yang keluar dari kawasan agar
40 tidak menggarap lahan TNGGP (AA staf TNGGP, 8 Maret 2013) Pada tanggal 8 januari 2013bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memberikan bantuan hewan ternak dan dalam bentuk uang untuk petani penggarapyang sudah tidak menggarap di kawasan TNGGP. Uang yang diberikan dari bapak Presiden SBY sebesar 1.175 miliar, uang digunakan untuk membangun sarana prasarana demi mendukung program peningkatan taraf hidup petani.Sekaligus menciptakan peluang kerja alternatif dan mengurangi ketergantungan atas Sumber Daya Alam berupa lahan yang berada di kawasan TNGGP. AlokasiTenaga Kerja Rumahtangga Aktivitas nafkah berdasarkan penggunaan asset rumahtangga petani dilakukan oleh tenaga kerja laki-laki dan perempuan serta anak.Aktivitas pertanian tidak memerlukan keterampilan khsusus atau pendidikan tinggi. Penggunaan modal alami merupakan pendapatan utama bagi rumahtangga orang tua.Kelompok orang tua di Desa Ciputri pada umumnya mendapatakan pendapatannya berasal dari penggunaan modal alami misalnya bertani dan buruh tani atau berasal dari pertanian (on farm dan off farm). Penggunaan modal alami tersebut dilakukan oleh orangtua yang tidak memiliki keterampilan atau modal keuangan untuk mendapatkan sumber pendapatan lain. Kelompok orang tua mendapatkan pendapatan bertujuan untuk memenuhi konsumsi, menyekolahkan anak, menabung untuk memperbaiki rumah dan menikahkan anak yang sudah cukup umurnya. Jumlah Jam kerja rata-rata berdasarkan alokasi Hari Orang Kerja (HOK) dalam satu rumahtangga permusim, alokasi HOK rumahtangga petani dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu HOK bapak, HOK ibu dan HOK anak. Sedangkan untuk jenis aktivitas nafkah permusim terdiri dari 5 (lima) jenis aktivitas nafkah yaitu 1) aktivitas pembibitan, 2) aktivitas penanaman, 3) pemeliharaan, 4) aktivitas panen dan terakhir 5) aktivitas penjualan. Tabel 17 Rata-rata Hari Orang Kerja (HOK) rumahtangga petani dalam satu musim kemarau Rata-rata Hari Orang Kerja (HOK) dalam satu musim Jenis Aktivitas Total Persentase (jumlah jam kerja/semusim) Nafkah Bapak Ibu Anak Pembibitan 140 100 0 240 33.3 Penanaman 200 100 20 320 44.4 Pemeliharaan 110 20 0 130 18.1 Panen 10 5 5 20 2.8 Penjualan 10 0 0 10 1.4 Total 470 225 25 720 100 Persentase 65.3 31.2 3.5 100
41 Jumlah total rata-rata Hari Orang Kerja (HOK) dalam satu musim pada rumahtangga respoden, untuk bapak dalam lima aktivitas nafkah menyumbangkan 470 jam kerja/semusim atau menyumbang 65.3 persen, terdiri dari HOK aktivitas pembibitan 140 jam/musim, HOK penanaman 200jam/musim, HOK pemeliharaan 110jam/musim, HOK panen 10 jam/musim, dan penjualan 10 jam/ musim. Sedangkan untuk ibu dalam 5 (lima) aktivitas nafkah menyumbangkan 225jam/semusim atau 31.2 persen, terdiri dari HOK aktivitas pembibitan 100jam/musim, HOK aktivitas penanaman 100jam/musim, HOK aktivitas pemeliharaaan 20 jam/musim, dan HOK aktivitas panen 5jam/musim. Sisanya anak menyumbangkan 25jam/semusim atau 3.5 persen, terdiri dari HOK aktivitas penanaman 20jam/musim dan HOK aktivitas panen 5jam/musim. Berdasarkan penjelasan diatas, terlihat jelas alokasi tenaga kerja rumah tangga permusim bapak menyumbangkan paling besar dengan 65.3 persen, dua kali lipat jauh lebih besar dari pada alokasi rataan jumlah jam kerja hanya 31,2 persen, dan terakhir anak menyumbangkan hanya 3.5 persen. Asumsi rataan dengan tersebut responden memiliki kepemilikan luas lahan pertanian walau dengan berbagai status penguasaan lahan yang berbeda dari tanah milik, tanah sewa dan tanah bagi hasil. Kelompok orang tua di Desa Ciputri dibedakan khususnya pada buruh tani. Pendapatan yang didapatkan berbeda untuk buruh tani laki-laki dan buruh tani perempuan, buruh tani laki-laki dewasa dibayar Rp 25 000 / hari sedangkan buruh tani perempuan dewasa dibayar Rp 17 000 / hari. Perbedaan pembayaran ini karena kerja perempuan dewasa dianggap tidak setara dengan kerja laki-laki dewasa, walaupun waktu kerja laki-laki dewasa dan perempuan dewasa sama saja yakni dari 07:00 wib–13:00 wib. Hal ini didukung dengan pernyatan salah satu istri dari responden. “.... abdi ge millu ngabantu si bapa jadi buruh tani, ya nambih-nambih pandapatan di dapur mas..... bedana mun bapa-bapa dapetna 25 000 rebu mun abdi istri-istri nu milu ngaburuh dapetna 17 000.... ari jamna mah sarua jam 7an lah nepi ka lohor jam stgh 1an dek. (EO, 26 tahun, 12 April 2013) “..saya juga ikut membantu si bapa menjadi buruh tani, ya nambah-nambah pendapatan di dapur mas,. Bedana mun bapak-bapaknya dapat 25ribu kalo perempuan yang ikut buruh dapatnya 17ribu..kalo jam kerjannya sama jam 7an, sampai ke dzuhur setengah 1an dek.” (EO, 26 tahun, 12 April 2013) Perbedaan mengenai gaji buruh laki-laki dewasa dan perempuan dewasa ini karena ada anggapan juga kekuatan dari laki-laki jauh lebih besar daripada kekuatan dari perempuan. Dalam artian dalam hal kerja memburuh tani misalnya memacul dan menggemburkan lahan garapan yang dinilai kerja berat, jadi lakilaki dewasa jauh lebih bisa daripada perempuan dewasa. Berikut pula potongan ungkapan salah satu stakeholder yang mendukung pernyataan tersebut :
42 “...bedana, kulantaran buruh tani pan kerjana rada beurat, jadi teh nu pas ngerjakeunna lebih gesit nu bapabapana, mun istrina mah rada kirang dek, tp teu selamana kitu, eta mah kumaha ka masing-masing orang sih dek.(WRT, 45 tahun, 30 Maret 2013) “... bedanya karena pada buruh tani kan kerjana lumayan berat, jadi ketika pengerjaannya lebih gesit yang laki-laki, kalo perempuan sih agak kurang, tapi itu sih bagaimana masing-masing orang sih dek .(WRT, 45 tahun, 30 Maret 2013) Kelompok usia muda (anak) yang memiliki pekerjaan di luar penggunaan modal alami menjadikan aktivitas nafkah dengan menggunakan modal alami sebagai sumber pendapatan tambahan. Kelompok usia anak yang sudah di angggap dianggap “dewasa” 11 dan sudah tidak menempuh pendidikan pada umumnya bekerja pada buruh tani dan ojek.
11
dewasa ini berdasarkan informasi yang diterima di lapangan, menurut dilapangan ukuran usia dewasa adalah laki-laki yang sudah berumur 17 tahun dan sudah bisa menghasilkan uang sendiri. (hasil obrolan ringan bersama bapak komar)
43
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Perluasan TNGGP telah menyebabkan perubahan status penguasaan lahan pertanian di Desa Ciputri yang pada awalnya merupakan kawasan hutan produksi Perum Perhutani. Setelah adanya perluasan kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), kawasan yang semula dapat diakses/digarap untuk budidaya pertanian oleh warga Desa Ciputri, kini menjadi tidak dapat diakses. Lahan garapan yang dulu digarap petani melalui PHBM berubah zonasi menjadi zonasi rehabilitasi. Perluasan TNGGP ini berdampak pada perubahan mata pencaharian, strategi nafkah rumahtangga petani, penguasaan lahan dan aktivitas rumahtangga petani Desa Ciputri. Perubahan mata pencaharian yang terjadi terlihat signifikan, pada awalnya responden bermata pencaharian hanya pada sektor pertanian, sekarang sebagain besar bermata pencaharian kombinasi dari sektor pertanian dan non-pertanian. Perubahan strategi nafkah untuk bertahan hidup ini dilakukan dengan mengkombinasi berbagai aneka nafkah dari sektor pertanian dan nonpertanian, yang terbagi dari nafkah tunggal, nafkah ganda dan sampai nafkah multi. Sebagai akibat dari perubahan penguasaan kawasan diatas, sebagai sebagian besar petani kini sudah tidak memiliki lahan atau tuna kisma. Kemudian bentuk penguasaan lahan di Desa Ciputri berubah menjadi lahan milik, lahan sewa, dan lahan bagi hasil. Perubahan penguasaan lahan yang dialami petani Desa Ciputri, menimbulkan lebih lanjut berupa upaya menggarap lahan secara bersama, budidaya tumpang sari, serta ternak kambing/kelinci. Dengan demikian hipotesis perubahan rezim pengelolaan dari hutan produksi ke Taman Nasional berpengaruh negatif terhadap penguasaan lahan diterima. Selanjutnya hipotesis perubahan rezim pengelolaan dari hutan produksi ke Taman Nasional berpengaruh terhadap stategi nafkah rumahtangga petani diterima sesuai dengan kenyataan di lapangan. Saran Saran yang dapat diberikan sesuai dengan hasil yang didapatkan dari penelitian ini adalah: 1. Pemerintah perlu adanya peningkatan mengenai akses para petani untuk memperoleh kredit formal dengan mudah sehingga tidak bergantungan terhadap tengkulak. Pengembangan masyarkat yang sustainable, pelatihan mengenai manajemen keuangan yang efektif agar mampu membatasi sikap konsumtif yang berlebihan. 2. Perbaikan jalur transportasi demi kelancaran akses masyarakat di Desa Ciputri demi meningkatkan aktivitas ekonomi petani dan mampu menaikan taraf hidup rumahtangga petani. 3. pemerintah pusat, pemerintah daerah, Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango saling berintegrasi untuk membahas mengenai mata pencaharian alternatif yang dapat menggantikan bertani untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
44 4. pemerintah merencanakan pembangunan pertanian berkelanjutan yang disesusaikan dengan komoditas unggulan di Desa Ciputri.
45
DAFTAR PUSTAKA Adi Wibowo Soeryo, Mohhamad S dan Laksmi Adriani Savitri. 2009. Analisis Isu Pemukiman di Tiga Taman Nasional Indonesia, Sajogyo Institute (SAINS).Bogor Anbiya. 2004. Partisipasi Masyarakat dalam Program Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). [Skripsi]. Bogor [ID]. KementerianManajemen Hutan. Institut Pertanian Bogor. Badan Pusat Statistik. 2009. Sosial dan Kependudukan. [Internet]. [Diunduh 6 februari 2013]. Dapat diunduh dari: http://demografi.bps.go.id Cahyono Eko. 2007. Aksi Petani dalam Kontestasi Politik Penataan dan Penguasaan Ruang Di Kawasan Konservasi Taman Nasional Ujung Kulon – Provinsi Banten. [tesis]. Bogor [ID]: Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. KementerianKehutanan. 1996. Keputusan Menteri Kehutanan RI No. 697/KptsII/1989 tentang Penguasahan Hutan Wisata Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Laut. Jakarta : Yayasan Bina Raharja, KementerianKehutanan. Dharmawan, Arya Hadi, 2001, Farm Houselhold livelihood Strategies and Socio Economic Changes in Rural Indonesia, Wissenchaftsverlag Vauk Kiel KG, Kiel. Dharmawan, Arya Hadi. 2007. Sistem Penghidupan dan Nafkah Pedesaan Pandangan Sosiologi Nafkah (Livelihood Sociology) Mazhab Barat dan Mazhab Bogor.[internet]. [Diunduh 11 Maret 2013].Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. ISSN: 1987-4333,Vol. 01, No.02. dapat diunduh dari : http:///jurnalsodality.ipb.ac.id/jurnalpdf/ Ellis, Frank, 2000, Rural Livelihoods and Diversity in Developing Countries, Oxford University Press, New York. Maemonah, SA. 2012. Sistem nafkah berkelanjutan pada rumah tangga. [Skripsi]. Bogor [ID]. Kementeriansains komunikasi dan pengembangan masyarakat, Institut Pertanian Bogor. Purnomo, AgustinaMulti. 2006. Strategi nafkah rumahtangga desa sekitar hutan. [Tesis]. Bogor [ID]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Nasution . 2008. Konflik Penguasaan Tanah Dan Hasil Hutan Pra dan Pasca Penetapan Taman Nasional Batang Gadis (TNBG. [Internet]. [diunduh 24 desember 2012]. KementerianSosiologi FISIP, Universitas Sumatera Utara. Dapat diunduh dari :http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/9308311324.pdf Purnomo AM, Dharmawan AH, Agusta I. 2007. Transformasi Struktur Nafkah Pedesaan: Pertumbuhan Modal Sosial Bentukan Dalam Skema Pengelolaan Hutan Bersama. Sodality Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia. 01 (02): 193-216. Rudianto, Andi Witria. 2009. Analisis Perkembangan Permukimam dan Kebun Kopi di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. [Tesis]. Bogor [ID]. Mayor Konservasi Biodersitas Tropika Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Sitorus, MT. Felix. 1998. Penelitian Kualitatif: Suatu Perkenalan, Kelompok Dokumentasi Ilmu Sosial. Institut Pertanian Bogor.
46 Singarimbun, Masri (ed). 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta [ID]: Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Turasih. 2011. Sistem Nafkah Rumahtangga Petani Kentang di Dataran Tinggi Dieng. [Skripsi]. Bogor [ID]. KementerianSains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Institut Pertanian Bogor. Widiyanto. 2009. Strategi nafkah rumahtangga petani tembakau di lereng gunung sumbing. Bogor [ID]: Program Pasca Sarjana, Institu Pertanian Bogor. Wiradi, Gunawan. 1984. “Pola penguasaan tanah dan Refoma Agraria”. Dalam Dua Abad Penguasaan Tanah, Penyunting: Sediono M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi. Jakarta: Gramedia. Wiradi, Gunawan. 2009. Metodologi Studi Agraria Karya Terpilih Gunawan Wiradi. Bogor :Sajogyo Institute. Wulan, Yuliana C., Yurdi Yasmi, Cristian Purba, Eva Wollenberg. 2004. Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997-2003. Laporan Hasil PenelitianCIFOR-FWI Research Report, 2004. CIFOR-Indonesia. Bogor.
47
LAMPIRAN Lampiran 1 Rencana kegiatan penelitian Kegiatan
Feb Maret April Mei Juni 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Penyusunan Proposal Skripsi Survei Lokasi Penjajakan Lokasi dan Stakeholder Kolokium Perbaikan Proposal Pengambila n Data Lapang Pengolahan dan Analisis Data Penulisan Draft Skripsi Sidang Skripsi Perbaikan Skripsi Lampiran 2 Peta Kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
48 Lampiran 3 Peta Kawasan dan Persebaran 13 Resort Lingkup BB TNGGP Peta Petunjuk Lokasi Jawa Barat BOGOR
Serang
DEPARTEMEN KEHUTANAN
JAKARTA
DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM
Bekasi
Tangerang Pandeglang
Rangkasbitung
Karawang
Gadog
Ciawi
Bogor
Purwakarta Cianjur
BALAI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO Jl. Raya Cibodas-Cipanas Cianjur
Indramayu Subang
KETERANGAN
Cirebon
Sumedang
Majalengka Sukabumi
BANDUNG
TNGP
Cisarua
Garut
Tasikmalaya
Tapos
Batas Taman Nasional
Kuningan
Zona Inti
Ciamis
Gunung Mas Puncak
Cisarua
Zona Rimba Cimacan
Cimande
Zona Pemanfaatan Jalan Setapak/Trail
Cipanas Cibodas
Batas Kabupaten Gn. Putri
Puncak Gunung
Bodogol
Cicurug
Sarongge G.Pangrago G. Masigit
Jalan Raya/Desa/Prop
G. Gede
Pintu Masuk Gedeh
CIANJUR
Nagrak Cimungkat
PETA ZONASI
Situgunun g Selabintana
TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO Gekbrong
Warung Kondang
Cibadak
N
Karang Tengah
Cisaat Sukaraja
SUKABUMI
Lampiran 4. Peta Zonasi Kawasan TNGGP
0
2500
5000
10.000
49 Lampiran 4 Daftar nama kerangka sampling dan responden penelitian 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45
Ket:
SMS TI UNG PDN SAH HB IGN ENG AMR MKI IDM DD UMK UDN UCP MSB OCM END WMH PPN MMD MDH OE AT YDI SOM AMY ADT PRD IDM MUR OJK WHY JHN TKM JNL EO UPE DDO DEN UPH RHM HCU JHN DDN
individu yang menjadi sampel penelitian
50 Lampiran 5 Kronologis Penetapan Kawasan TNGGP
No 1
Waktu 17 Mei 1889
2
11 Juni 1919
3
-
Sumber Besluit van den Gouverneur General van Nederlandsch Indie (Surat Keputusan/SK. Gubernur Jenderal Hindia Belanda ) No 50 Besluit van den Gouverneur General van Nederlandsch Indie (Surat Keputusan/SK. Gubernur Jenderal Hindia Belanda ) No 33 Staatsblad No 392-15 Besluit van den Gouverneur General van Nederlandsch Indie (Surat Keputusan/SK. Gubernur Jenderal Hindia Belanda ) No 83 Staatsblad No 392-11 Besluit van den Gouverneur General van Nederlandsch Indie (Surat Keputusan/SK. Gubernur Jenderal Hindia Belanda ) No 07 Staatsblad
4
15 Januari 1925
5
27 Juli 1927
Besluit van den Gouverneur General van Nederlandsch Indie (Surat Keputusan/SK. Gubernur Jenderal Hindia Belanda ) Nomor 26
6
1975
Surat Keputusan Menteri RI Nomor 108/Kpts/Um/31/1975
7
1977
UNESCO
8
10 Februari 1979
Surat Keputusan Menteri RI Nomor 108/Kpts/Um/2/1979
9
6 Maret 1980
Menteri Pertanian RI
10
14 Oktober 1982
Surat Keputusan Menteri Pertanian RI No. 736/Men-tan/X/1982
11
22 Mei 1992
Surat Keputusan Menteri Kehutanan RI No. 472/Kpts-II/1992
Keterangan Penetapan Kebun Raya Cibodas dan areal hutan diatasnya seluas 240 Ha sebagai contoh flora pegunungan pulau jawa sekaligus cagar alam Kawasan diperluas hingga areal hutan di sekitar air terjun
penetapan areal hutan lindung di lereng Gunung Pangrango dekat desa Caringin sebagai Cagar Alam Cimungkat seluas 56 ha. penetapan daerah puncak Gunung Gede, Gunung gumuruh, Gunung Pangrango, serta DAS Ciwalen dan Cibodas sebagai Cagar Alam Cibodas-Gunung Gede seluas 1.040 ha. Surat Keputusan ini juga menarik kembali berlakunya SK. Gubernur Jenderal Hindia Belanda tahun 1889. Penunjukan komplek hutan Gunung Gede dan Gunung Pangrango di Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor, Sukabumi, dan Cianjur sebagai kawasan hutan seluas ±14.000 ha. penetapan daerah situgunung, lereng selatan Gunung Pangrango dan bagian timur Cimungkat sebagai Taman Wisata seluas ±100 ha. Penetapan Kawasan tersebut sebagai Cagar Biosfer penunjukan kawasan hutan Gunung Gede dan Gunung Pangrango sebagai kawasan hutan Suaka Alam/Cagar Alam seluas ±14.000 ha. penetapan kawasan CA Cibodas, CA Cimungkat, CA Gunung Gede Pangrango, TWA Situgunung dan areal hutan alam di lereng hutan gunung gede pangrango sebagai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango seluas 15.196 ha. penetapan Kawasan Hutan Gunung Gede Pangrango sebagai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango seluas 15.196 ha. penetapan komplek hutan Gunung Gede dan Gunung Pangrango yang terletak di Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor, Sukabumi, dan Cianjur seluas 14.100,75 ha sebagai kawasan hutan tetap dengan fungsi hutan Suaka Alam/Cagar Alam.
51 12
17 1997
November
Surat No 1437/VI-TNGGP/1997
13
10 Juni 2003
Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 174/Kpts-II/2003
14
29 Januari 2009
Surat Menteri Kehutanan nomor No. 07/SJ/DIR/2009 dan BA.6/IVSET/2009
15
6 Agustus 2009
Nomor002/BASTHUKAMAS/III/2009-Nomor: 1237/IITU/2/2009
16
22 Februari 2011
Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Nomor SK.39/IVKKBJL/2011
17
9 September 2011
Surat Direktur KKBHL S.434/KKBHL-1/2011
Sumber : AA kabid P3 TNGGP
nomor
Rekontruksi batas Kawasan Hutan TNGGP dengan penggantian initial pal batas lama CA diganti TN perluasan kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango menjadi ± 21.975 ha Surat Menteri Kehutanan tersebut ditindak lanjuti dengan BAST Pengelolaan Kawasan Hutan Produksi Tetap, Hutan Produksi Terbatas yang telah dirubah menjadi Kawasan Konservasi Taman Nasional Gn Gede Pangrango dari Perum Perhutani kepada KementerianKehutanan. Pengelolaan Hutan dari Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten kepada Balai Besar Taman Nasional Gn Gede Pangrango dan menyatakan bahwa luas kawasan yang diserahkan kepada TNGGP adalah 7.655,03 ha Zonasi di TNGGP terbagi menjadi 7 (tujuh) Zona yakni Zona Inti seluas 9 612.592 ha (42.06%), Zona Rimba seluas 7175.396 ha (31.40%), Zona pemanfaatan 1330.424 ha (5.82%), Zona Rehabilitasi 4367.192 ha (19.11%), Zona tradisional 312.136 ha (1.36%), Zona Khusus 3.19 ha (0.01%) dan Zona Konservasi Owa Jawa seluas 50.10 ha (0.21%). Permohonan penetapan kawasan TNGGP kepada Direktur Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan Ditjen Planologi kehutanan yang menyatakan bahwa agar segera menetapkan kawasan TNGGP menjadi 22.851,03 ha
52 Lampiran 6 Kuesioner Penelitian
Nomor Responden Tanggal Survei Tanggal entri data KUESIONER Dampak Perubahan Rezim Kawasan Hutan Eks Perum Perhutani di wilayah Perluasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Terhadap Strategi Nafkah Petani (Kasus: Resort Sarongge, Kampung Sarongge Girang, Desa Ciputri, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
Karakteristik Responden 1 2 2 3 4 5
Nama Umur Jenis Kelamin Pekerjaan Lamanya tinggal Kepemilikan Usaha
: : : : :
. . . . . . . . . . . . . . tahun [ ] laki-laki [ ] perempuan ..................................... [ ] pribadi
[ ] orang lain, sebutkan . . . . . . . . . . . . .
Karakteristik Rumah Tangga Jumlah Keluarga
Nama Anggota RT
Jenis Kelamin
Umur
Status Perkawinan
Pekerjaan Utama
Tambahan
Tingkat Pendidika n
Keterangan:
Jenis kelamin: 1 = laki-laki, 2 = perempuan Status Perkawinan: 1 = kawin, 2 = tidak kawin, 3 = cerai mati, 4 = cerai hidup Pendapatan Rumahtangga dari Non-Pertanian sebelum dan sesudah menjadi kawasan konservasi Jenis Pekerjaan
a. Berdagang kayu b. Dagang warung c.Dagang ternak/ikan d. Dagang beras e. Buruh tani f. Tukang/buruh bangunan g. Ojeg h. PNS i. Pegawai swasta j. petani pemilik ........ . ........
jumlah Kerja Hari/Minggu 2008 2012
Volume Kerja Bulan/Tahun 2008 2012
Total HK* pertahun 2008
2012
Pendapatan Bersih Perhari/Perbulan 2008
2012
53 . TOTAL Pendapatan
2008
2012
* HK: hari orang kerja Bila ada Transfer Payment (kiriman uang) dari anggota keluarganya yang menjadi buruh migran di luar kota, TKI atau TKW, berikan besaran jumlahnya Rp . . . . . . . . . . . . . . . . . ./tahun
Kepemilikan Rumah dan Barang Berharga pada tahun 2008 dan 2012 No.
Indikator
Jumlah/m2 2008
2012
Status* 2008
2012
Keadaan 2008
2012
Rumah 1 dan pekarangan . Lantai 2 rumah . Dinding 3 rumah Bertambah 4 luas . Alat 5 rumahtangga (TV dan kulkas) Kendaraan 6 bermotor roda 2 Kendaraan 7 bermotor roda 4 Fasilitas 8 MCK
. . . .
Keterangan: *Status :1. Milik sendiri 2.Sewa 3. Pinjaman Lantai rumah . 1. Keramik 2. Bambu 3. Kayu murah 4. Tanah 5. Lainnya… Dinding Rumah 1. Tembok 2. Bambu 3. Kayu 4. Rumbia 5. Lainnya Berapa kali Anda dan keluarga mengkonsumsi makanan dibawah ini dalam satu minggu? No
Jenis Konsumsi Makanan
1 2 3
Daging Telur dan susu Ayam
4
Ikan
5 6
Sayur-sayuran Buah-buahan
Sebelum TNGGP (Tahun 2008)
Saat TNGGP (Tahun 2012)
Berapa kali Anda dan keluarga makan dalam satu hari?(1=Tidak; 2=Ya) No
Jumlah Makan dalam Satu Hari
1 2 3 4
1 kali dalam satu hari 2 kali dalam satu hari 3 kali dalam satu hari Tidak makan dalam satu hari
SebelumTNGGP (Tahun 2004)
5.. Jika Anda pernah tidak makan dalam satu hari, apa yang menyebabkan hal tersebut terjadi? Jawab:…………………………………………………………………………………
Saat TNGGP (Tahun 2012
54 Perubahan penguasaan dan kepemilikan lahan Tahun 2008 Lahan (Ha) Pola Penguasaan
Sawah
Ladang
Kebun
Ternak Kolam/ Tambak (Ha)
Rumah (Ha)
Total Lahan (Ha)
Ayam/ Ungga s
Kambi ng
Kelinc i
1. Milik Sendiri 2. Sewa 3. Bagi Hasil 4. Lainnya …………… ….. …………… ….. Total Tahun 2012 Lahan (Ha) Pola Penguasaan
Ternak
Kering Sawah
Ladang
Kebun
Kolam/ Tambak (Ha)
Rumah (Ha)
Total Lahan (Ha)
Ayam/ Ungga s
Kambi ng
Kelinc i
1. Milik Sendiri 2. Sewa 3. Bagi Hasil 4. Lainnya …………… ….. …………… ….. Total
Lampiran 7 . Panduan pertanyaan mendalam berupa pertanyaan terbuka Dampak Perluasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Terhadap Strategi Nafkah Petani (Studi Kasus: Resort Sarongge, kab cianjur) A. Petunjuk : Wawancara mendalam, (indept interview) dilakukan oleh peneliti untuk menggali secara langsung gambaran secara komprehensif berkaitan dengan aspek-aspek kajian. Catatan singkat ditulis dalam ruangan yang ksosng dibawah kotak aspek-aspek yang ditanyakan dalam wawancara mendalam, untuk dikembangkan kemudian menjadi laporan B. Wawancara mendalam Nama dan umur responden/Informan : Lokasi wawancara : Hari/tanggal : Waktu : Keterangan : C. Panduan Pertanyaan
Panduan Pertanyaan 1. 2. 3. 4. 5. 6.
ProfilPerum Perhutani Sejarah Perum Perhutani Proses penyelesaian konflik kepentingan pada saat perubahan Stakeholder yang terkait dalam perubahan rezim kawasan Adakah data tentang alokasi lahan dan penguasaan lahan di Resort Sarongge untuk petani penggarap? Bagaimana sanki-sanksi yang diterapkan Perhutani?
Sumber
Perum Perhutani
55 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23.
Bagaimana Aturan (akses yang diperbolehkan dan tidaknya) yang diterapkan perhutani? Bagaimana isentif-isentif yang diterapkan Perhutani? Profil TNGGP Sejarah TNGGP Proses penyelesaian konflik kepentingan pada saat perubahan Stakeholder yang terkait dalam perubahan rezim kawasan Adakah data tentang alokasi lahan dan penguasaan lahan di Resort Sarongge untuk petani penggarap? Bagaimana sanki-sanksi yang diterapkan Perhutani? Bagaimana Aturan (akses yang diperbolehkan dan tidaknya) yang diterapkan perhutani? Bagaimana isentif-isentif yang diterapkan TNGGP? Sejak kapan anda mulai menjadi petani penggarap? Apa yang mendasari anda menjadi petani? Komoditas apa yang anda tanam? Dari mana anda memperoleh bibit komoditas tersebut? Apakah anda sudah tau perubahan rezim kawasan konservasi? Bagaimana proses anda keluar dari kawasan TNGGP dalam hal menggarap? Faktor apa saja yang membuat anda keluar untuk menggarap lahan dari kawasan konservasi ? Apakah dari perubahan rezim kwasan hutan mempengaruhi pendapatan saudara? Apakah dari perubahan rezim kwasan hutan mempengaruhi pekerjaan saudara? Pekerjaan alternatif yang anda lakukan ? Mengapa anda memilih pekerjaan tersebut? Apakah anda melibatkan anggota keluarga dalam pilihan pekerjaan tersebut? Menurut anda, apakah pekerjaan tersebut membantu untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga? Apakah anda pernah mendapatkan sanksi? Jika iya, contohnya apa? Apakah anda mendapatkan pelarangan-pelarangan akan mengakses suatu SDA di hutan? Apakah pernah mendapatkamn isentif-isentif? Darimana? Sebutkan? Sejak kapan anda tinggal di lokasi ini? Apakah anda mengetahui bagaimana sejarah perubahan rezim kawasan hutan ini diterapkan di daerah ini? Bagaimana kondisi pertanian sebelum menjadi kawasan konservasi yang awalnya perum perhutani (PHBM)? Menurut anda, apakah pekerjaan tersebut membantu untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga? Apakah anda pernah mendapatkan sanksi? Jika iya, contohnya apa? Apakah anda mendapatkan pelarangan-pelarangan akan mengakses suatu SDA di hutan? Apakah pernah mendapatkamn isentif-isentif? Darimana? Sebutkan?
TNGGP/ KementerianKehutanan
Masyarakat Desa (Petani Penggarap)
Tokoh Masyarakat
56 Lampiran 7 Dokumentasi penelitian
Photo 1. Aktivitas pemanenan kebun wortel lahan sewa milik pak dudu
Photo 2. Anjing penjaga lahan garapan di hutan
57
Photo 3. Wawancara rumahtangga responden s as da
Photo 4. Wawancara responden hiburan
bermata pencaharian salah satunya di jasa
58
Photo 5. Photo bersama dengan Lahan yang bertumpang sari
Photo 6. Kandang peternakan
59
RIWAYAT HIDUP
Indra Setiyadi dilahirkan di Bogor pada tanggal 5 November 1990, dari pasangan Yahya dan Mardiyah. Pendidikan formal yang pernah dijalani adalah TK Assasul Islam pada tahun 1996-1997, SDN Pondok Rumput 1 pada tahun 1997-2003, SMPN 5 Kota 2003-2006 dan SMAN 5 Kota Bogor pada tahun 20062009. Pada tahun 2009, penulis diterima sebagai mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) dan pada tahun 2010 Penulis diterima sebagai mahasiswa KementerianKomunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Selain aktif dalam perkuliahan penulis juga aktif sebagai Direktur Divisi Advertising and Multimedia (AM) di organisasi mahasiswa yaitu Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (HIMASIERA) yang merupakan himpunan profesi dari KementerianSains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, IPB pada tahun 2011-2012. Penulis juga aktif mengikuti kepanitiaan beberapa event yang diselenggarakan oleh IPB, diantaranya divisi tata tertib Masa Perkenalan KementerianSKPM dan Fakulitas Ekologi Manusia tahun 2011, panitia Indonesian Ekologi Expo 2011, Public Speaking to Research and Broadcast Our Community yang diselenggarakan oleh HIMASIERA pada tahun 2011, dan menjadi ketua pelaksana dalam acara Kaderisasi HIMASIERA pada tahun 2011-2012.