PENGELOLAAN RESOLUSI KONFLIK AGRARIA KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO: SIKAP DAN STRATEGI BERTAHAN PETANI
IRMA HANDASARI
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengelolaan Resolusi Konflik Agraria Kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango: Sikap dan Strategi Bertahan Petani adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2013
Irma Handasari NIM I34090136
ABSTRAK IRMA HANDASARI. Pengelolaan Resolusi Konflik Agraria Kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango: Sikap dan Strategi Bertahan Petani. Dibimbing oleh ENDRIATMO SOETARTO. Pengelolaan resolusi konflik yang dilakukan pada kasus perluasan TNGGP di Desa Ciputri Blok Sarongge Girang menyebabkan gabungan kelompok tani hutan Sawargi terpecah menjadi dua yakni kelompok yang telah menyatakan keluar dari garapan dan kelompok yang masih menggarap di kawasan. Penelitian ini bermaksud untuk melihat sikap kelompok tani dan hubungan antara sikap kelompok tani dengan strategi bertahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap yang dihasilkan oleh kedua kategori kelompok tani tersebut sama-sama positif. Hal ini menunjukkan bahwa sikap terbentuk berdasarkan fakta sosial yang berlaku di dalam Gapoktan Sawargi. Terdapat hubungan hanya pada sikap dengan tingkat resistensi petani yang telah menyatakan keluar dari garapan. Pada tingkat ketergantungan petani penggarap dan tingkat resistensi petani yang masih menggarap tidak terdapat hubungan. Hal ini dikarenakan keputusan strategi bertahan muncul akibat adanya pergolakan dari collective action akan kebutuhan lahan tiap individu dan disisi lain sikap muncul akibat adanya tekanan dari fakta sosial yang berlaku di dalam Gapoktan Sawargi. Kata kunci: pengelolaan resolusi konflik agraria, petani penggarap hutan, sikap petani penggarap, strategi bertahan
ABSTRACT IRMA HANDASARI. Management Agrarian Conflict Resolution Gede Pangrango Mt. National Park: Attitudes and Survival Strategies of Peasants. Supervised by ENDRIATMO SOETARTO. Management of conflict resolution has done in the case of expansion in the Village TNGGP Ciputri Block Sarongge Girang cause Sawargi forest farmer group divided into two groups that have been declared out of the claim and the group is still working in the area. This study intends to look at the attitude of the farmer groups and the relationship between the attitude of the farmer groups with survival strategies. The results showed that the attitude of these two categories of farmer groups are equally positive. This shows that social attitudes are formed based on the social facts that apply in Gapoktan Sawargi. Relationship exists only at farmers' attitudes to the level of resistance that has been declared out of the claim. At the level of dependence of the resistance level of tenant farmers and growers who still work there is no relation. This is because the survival strategy decisions arising from upheaval of collective action will land needs of each individual and on the other hand attitude arising from the pressure of prevailing social facts in Gapoktan Sawargi. Keywords: management agrarian conflict resolution, forest peasants, peasants attitudes, survival strategies
PENGELOLAAN RESOLUSI KONFLIK AGRARIA KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO: SIKAP DAN STRATEGI BERTAHAN PETANI
IRMA HANDASARI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Skripsi
Nama NIM
: Pengelolaan Resolusi Konflik Agraria Kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango: Sikap dan Strategi Bertahan Petani : Irma Handasari : I34090136
Disetujui oleh
Prof Dr Endriatmo Soetarto, MA NIP. 19521225 1986 1 002 Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Soeryo Adiwibowo, MS NIP 19550630 1981031 003 Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul Pengelolaan Resolusi Konflik Agraria Kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango: Sikap dan Strategi Bertahan Petani. Penelitian yang dilakukan sejak bulan Februari dengan pemilihan lokasi di salah satu desa penyangga di Resort Sarongge yakni desa Ciputri. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA sebagai pembimbing yang telah memberikan saran dan masukan selama proses penulisan hingga penyelesaian penulisan karya ilmiah ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada staff Balai TNGGP, Green Radio maupun staff Resort Sarongge dan staff pemerintahan desa Ciputri serta seluruh responden yang telah membantu selama pengumpulan data. Penulis juga menyampaikan hormat dan terima kasih kepada orang tua tersayang, Bapak Syamsul Bachri (alm) dan Ibu Siti Nurma. Tak lupa kepada kakak tercinta, Irvan Subandri yang senantiasa memberi dukungan, doa, serta limpahan kasih sayang kepada penulis. Beribu terima kasih penulis ucapkan pada rekan seperjuangan satu lokasi penelitian Indra Setiyadi. Tidak lupa kepada Anugrah Ramadhan Syah, Rendy Fernandi dan Fajar Hidayat yang telah membantu dalam pengambilan data di lapangan. Terima kasih juga kepada Annisa, Selvia Oktaviyani, Mega Pratiwi, Natasha Cristdavina, Suhermanto, Seno Bayu, Ike Asih, Angga Tribintari, Fitri Nisa, Fitria Aprilianti yang selalu memotivasi dan menghibur penulis. Ungkapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada Jajang Somantri, Bonita A. Wenas, Suci Anggrayani dan Rafi Nugraha serta kepada teman-teman yang namanya tidak bisa disebutkan satu per satu sebagai teman berdiskusi, saling bertukar pikiran, membantu dan selalu memotivasi penulis dalam proses penulisan karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Juni 2013 Irma Handasari
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
vii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
3
Tujuan Penelitian
3
Manfaat Penelitian
3
PENDEKATAN TEORITIS
5
Tinjauan Pustaka
5
Kerangka Pemikiran
10
Hipotesis Penelitian
11
Definisi Konseptual
11
Definisi Operasional
12
PENDEKATAN LAPANG
13
Lokasi dan Waktu Penelitian
13
Penentuan Responden Penelitian
13
Teknik Pengumpulan Data
14
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
14
PROFIL DESA CIPUTRI
15
Kondisi Geografis
15
Kondisi Sosial Budaya
16
Kondisi Ekonomi
17
Sarana dan Prasarana
17
MANAJEMEN PENGELOLAAN RESOLUSI KONFLIK AGRARIA TNGGP
19
Sejarah Penetapan Kawasan TNGGP
19
Agraria Dulu Dan Sekarang: Perubahan Akses Petani
22
Pengelolaan Resolusi Konflik Agraria
23
Pemetaan Aktor-aktor
27
Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
27
Perkumpulan GEDE PAHALA
28
Green Radio
29
Gabungan Kelompok Tani Hutan Sawargi
30
SIKAP KELOMPOK TANI
33
Tekanan Fakta Sosial Membentuk Sikap Petani
33
Realita dan Sikap Tak Sejalan
34
HUBUNGAN SIKAP PETANI DENGAN STRATEGI BERTAHAN
37
Gejolak Perlawanan Dibalik Sikap Petani
37
Lahanku Hidupku Versus Solidaritas Kelompok
39
SIMPULAN DAN SARAN
43
Simpulan
43
Saran
43
DAFTAR PUSTAKA
45
LAMPIRAN
47
RIWAYAT HIDUP
59
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8
Populasi dan sampel penelitian Mata pencaharian penduduk Desa Ciputri Kronologis penetapan kawasan TNGGP Karakteristik pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan resolusi konflik Jumlah dan persentasi petani penggarap terhadap pengelolaan resolusi konflik Jumlah dan persentase sikap petani berdasarkan hubungan dengan tingkat resistensi Jumlah dan persentase sikap petani berdasarkan hubungan dengan tingkat ketergantungan Mata pencaharian responden petani yang telah menyatakan keluar dari garapan
13 17 20 32 33 37 39 40
DAFTAR GAMBAR 1 Berbagai pendekatan dalam mengelola konflik 2 Tingkatan berdasarkan jumlah anggota kelompok 3 Kerangka pemikiran 4 Peta lokasi penelitian 5 Lokasi perkebunan masyarakat 6 Alat musik karinding 7 Studio siaran Radio Edelweis 8 Peta adopsi pohon 9 Sertifikat penghargaan petani keluar dari garapan 10 Salah satu surat perjanjian TNGGP dan Gapoktam Sawargi
7 10 11 15 16 17 18 24 25 31
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4
Kerangka sampling Jadwal pelaksanaan penelitian tahun 2013 Dokumentasi Cerpen Lahanku Hidupku
47 49 50 54
PENDAHULUAN Bagian ini akan menjelaskan mengenai latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian. Berikut ini adalah penjelasan dari masing-masing bagian tersebut. Latar Belakang Maraknya sengketa tanah yang terjadi pada tahun 2011, beberapa diantaranya berujung anarkisme. Mulai dari kasus Aceh, Mesuji, hingga Bima. Penyebaran potensi konflik dari sengketa tanah hingga di kawasan hutan. Menurut data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menyebutkan dari 192 juta ha wilayah daratan Indonesia, seluas 136 juta ha diantaranya adalah hutan. Sekitar 18% mengenai urusan tapal batas antara lahan pemerintah, masyarakat dan perusahaan di kawasan hutan yang selesai. Kepala Departemen Advokasi Walhi, Mukri Friatna mengatakan masih ada 82% atau setara dengan 115.5 juta ha area hutan di Indonesia yang berpotensi menjadi daerah konflik. (wan et al. 2012) Sumber-sumber agraria di Indonesia yang sejatinya bertujuan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat menjadi ajang kontestasi para kapitalis, masyarakat menjadi bagian yang termarjinalkan. Soal agraria (soal tanah) adalah soal hidup dan penghidupan manusia, karena tanah adalah asal dan sumber makanan bagi manusia. Perebutan tanah berarti perebutan makanan, perebutan tiang hidup manusia. Oleh karena itu, orang rela menumpahkan darah, mengorbankan segala yang ada demi mempertahankan hidup selanjutnya (Tauchid 2009). Menurut Tadjudin (1999), rakyat akan melawan ketika terusik maka terjadilah konflik. Penyebabnya karena adanya perbedaan persepsi, pengetahuan, tata nilai, kepentingan atau akuan hak kepemilikan. Konflik agraria yang marak terjadi di Indonesia tidak lepas dari kedudukan tanah dan sumber daya alam mempunyai peran yang sangat penting bagi kehidupan manusia erat hubungannya dengan kesejahteraan dan keberlangsungan hidup suatu kelompok masyarakat. Banyaknya penelitian mengenai konflik agraria menjelaskan tentang ciri khas tiap konflik yang terjadi di setiap sektor dengan penyelesaian yang sesuai dengan karakteristik dan eskalasi konfliknya. Pada kenyataannya tidak semua resolusi konflik disepakati oleh pihak yang berkepentingan. Di lain pihak, banyak rakyat kecil yang dirugikan karena tuntutan dari penyelesaian konflik tidak terpenuhi. Pemerintah yang cenderung mengedepankan hukum formal tertulis yaitu hukum positif nasional tentang agraria. Masyarakat sendiri memiliki hukum dan mekanisme untuk menyelesaikan konflik bahkan mencegah jika ada potensi terjadinya konflik. Mereka punya kelaziman-kelaziman dan tradisi turun temurun, punya hukum tradisional yang digunakan mengatur antara lain pembagian tanah dan konflik, bahkan punya lembaga-lembaga yang bertugas menyelesaikan berbagai persoalan (Safitri 2012). Sudut pandang yang berbeda inilah yang menyebabkan penyelesaian konflik yang “alot”. Masyarakat sendiri memiliki kesamaan rasa, pemikiran dan perilaku yang muncul akibat adanya norma dan nilai yang terbentuk. Hal ini sebagai bentuk
2 perwujudan dari hati nurani kolektif yang oleh Durkheim (Sunarto 1993) disebut fakta sosial. Fakta sosial dalam kasus konflik agraria bisa muncul dari solidaritas yang terbentuk di masyarakat. Solidaritas itu timbul akibat “sama nasib” dalam mempertahankan lahannya. dengan kepentingan yang sama. Hal tersebut akan memicu terjadinya aksi kolektif. Aksi kolektif merupakan perwujudan dari aksi atas nama kelompok dimana anggota kelompok bertindak atas kepentingan kelompok. Aksi kolektif dapat pula memicu free rider dimana anggota tidak bertindak tetapi “menumpang” pada kelompok (Olson 1980). Olson (1980) juga menambahkan bahwa tidak semua aksi kolektif berdasarkan kepentingan kelompok tetapi atas dasar kepentingan individu. Undang–undang No. 41/1999 tentang Kehutanan menyebutkan bahwa salah satu penyelenggaraan kehutanan bertujuan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya dan ekonomi yang seimbang dan lestari. Hal ini menjadi dasar pemikiran terhadap kasus–kasus konflik taman nasional dan masyarakat sekitarnya. Menurut undang-undang tersebut dapat dirumuskan pengelolaan hutan secara lestari antara masyarakat dengan lembaga milik Negara. Sama halnya yang dilakukan oleh Pihak Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (yang selanjutnya disebut TNGGP). Keberadaan TNGGP sendiri yang berstatus sebagai hutan penyangga bagi masyarakat sekitar Jabodetabek saat ini mengalami kondisi yang sangat kritis. Hal ini ditinjau dari kerusakan pada lahan sebelum penetapan kawasan sebagai taman nasional. Perubahan alih fungsi lahan ini dilakukan karena perlunya rehabilitasi akibat dari penggunaan lahan yang merusak ekologi dan membahayakan. Tidak hanya untuk sumberdaya hutan yang ada tetapi juga bagi masyarakat. Perluasan kawasan TNGGP dengan penunjukkan perubahan pada wilayah hutan produksi yang ditindaklanjuti oleh Berita Acara Serah Terima (BAST) Pengelolaan Kawasan Hutan Produksi Tetap, Hutan Produksi Terbatas menjadi kawasan konservasi TNGGP dari Perum Perhutani yang mencakup kawasan PHBM antara petani hutan dan Perum Perhutani. Perubahan status kawasan ini menjadikan akses petani penggarap hutan terhadap kawasan menjadi tertutup. Perlunya mempertahankan fungsi kawasan taman nasional sebagai penyangga sistem kehidupan, perlindungan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya serta menunjang pemanfaatannya secara lestari. Petani hutan menganggap kawasan TNGGP sebagai ruang hidup sedangkan TNGGP berkepentingan untuk mengkonservasikan SDA yang terdapat di dalam kawasan. Hal ini dapat memicu terjadinya konflik karena adanya perbedaan kepentingan. Faktanya, pihak TNGGP dinilai berhasil menciptakan suatu pengelolaan resolusi konflik sehingga konflik tidak mencuat ke permukaan dengan mengakomodasikan kepentingan petani hutan. Pihak Balai TNGGP menetapkan pengelolaan resolusi konflik guna pelestarian hutan di kawasan yang dilakukan secara bersama dengan petani penggarap hutan. Situasi harmonis diciptakan sehingga perbedaan kepentingan yang dapat memicu konflik tidak mencuat dengan try to find the common enemy yakni kerusakan ekologi. Hubungan asosiatif diciptakan melalui proses dialektif untuk mengakomodasi kepentingan dari situasi yang ada. Pengelolaan resolusi konflik bertujuan memenuhi kebutuhan masyarakat akan altenatif mata pencaharian lain
3 agar menghentikan aktifitas bertani di kawasan. Selain itu, dalam pengelolaan resolusi konflik ini juga sebagai peningkatan kesadaran petani penggarap akan pentingnya arti kawasan taman nasional. Pengelolaan ini telah berjalan selama ± 5 tahun. Hasilnya terdapat petani penggarap yang telah menyatakan keluar dari kegiatan bertani di kawasan namun sebagian besar petani masih bertahan. Pada dasarnya seluruh petani penggarap diikutsertakan dalam pengelolaan resolusi konflik yang dilakukan. Permasalahannya jumlah petani yang masih tetap menggarap di kawasan lebih besar dibandingkan petani yang telah menyatakan keluar dari garapannya. Oleh karena itu, peneliti ingin melihat pengelolaan resolusi konflik yang dilakukan antara pihak TNGGP dengan kelompok petani hutan di Resort Sarongge Blok Sarongge Girang kawasan TNGGP. Perumusan Masalah Masalah penelitian yang diangkat adalah: 1. Bagaimana manajemen pengelolaan resolusi konflik yang dilakukan antar pihak di Resort Sarongge Blok Sarongge Girang Kawasan TNGGP? 2. Bagaimana fakta sosial memberi tekanan terhadap sikap kelompok tani hutan terhadap pengelolaan resolusi konflik? 3. Bagaimana hubungan bentuk perlawanan dan keterikatan petani terhadap lahan dibalik sikap petani terhadap pengelolaan resolusi konflik? Tujuan Penelitian Atas dasar rumusan pertanyaan yang sudah dikemukakan sebelumnya maka tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah: 1. Menganalisis dan mendapat gambaran manajemen pengelolaan resolusi konflik yang dilakukan antar pihak Resort Sarongge Blok Sarongge Girang Kawasan TNGGP. 2. Menganalisis tekanan fakta sosial yang diberikan dalam membentuk sikap kelompok tani terhadap pengelolaan resolusi konflik. 3. Menganalisis hubungan bentuk perlawanan dan keterikatan petani terhadap lahan dibalik sikap petani terhadap pengelolaan resolusi konflik. Manfaat Penelitian Penelitian ini memiliki manfaat sebagai berikut: 1. Bagi akademisi, sebagai bahan rujukan untuk penelitian lebih lanjut mengenai pengelolaan resolusi konflik agraria; 2. Bagi pemerintah, sebagai bahan pertimbangan dalam penanganan konflik agraria yang terjadi di kawasan taman nasional yang lebih melibatkan masyarakat; dan 3. Bagi swasta, sebagai rujukan kerjasama dalam melestarikan ekosistem dan sumberdaya alam melalui program pemberdayaan masyarakat berbasis lingkungan.
4
5
PENDEKATAN TEORETIS Bab ini menjelaskan mengenai pustaka rujukan yang diambil dari beberapa sumber seperti buku, peraturan pemerintah maupun hasil penelitian. Bab ini juga menjelaskan mengenai kerangka pemikiran yang diikuti oleh hipotesis penelitian, definisi konseptual dan definisi operasional. Berikut ini penjelasan masing-masing bagian tersebut. Tinjauan Pustaka Taman Nasional Menurut UU No. 41 tahun 1999 Pasal 1 hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Menurut fungsi pokoknya hutan terbagi menjadi 3 jenis yakni hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi (Pasal 6). Pada penjelasan di pasal 7 hutan konservasi terdiri dari kawasan hutan suaka alam, kawasan hutan pelestarian alam dan taman buru. Kawasan hutan Suaka Alam (KSA) berupa Cagar Alam (CA) dan Suaka Margasatwa (SM); Kawasan hutan Pelestarian Alam (KPA) berupa Taman Nasional (TN), Taman Hutan Raya (Tahura) dan Taman Wisata Alam (TWA); dan Taman Buru (TB). “National parks are large areas of public land set aside for native plants, animals and the places in which they live. National parks protect places of natural beauty.” (Anonim 2012)
Taman Nasional adalah salah satu contoh kawasan hutan pelestarian alam yang merupakan salah satu bentuk dari hutan konservasi. Menurut UU No. 5 Tahun 1990 di dalam Kamus Rimbawan, Taman Nasional merupakan kawasan perlestarian alam (KPA) yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan dengan tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Fungsi zonasi yakni membatasi gangguan terhadap perubahan ekosistem dan mempertahankan ekosistem asli yang berada di taman nasional. Konsep Konflik Agraria Salah satu definisi konflik dalam ilmu sosial adalah suatu situasi proses yaitu proses interaksi antara dua atau lebih individu atau kelompok dalam memperebutkan objek yang sama demi kepentingannya. Mengacu pada Ritzer dan Douglas (2010) mengenai teori konflik Dahrendrof melihat masyarakat setiap saat tunduk pada proses perubahan, pertikaian dan konflik dalam sistem sosial serta melihat berbagai elemen kemasyarakatan menyumbang terhadap disintegrasi dan perubahan. Keteraturan yang terdapat dalam masyarakat berasal dari pemaksaan terhadap anggotanya oleh mereka yang berada diatas dengan menekankan pada peran kekuasaan dalam mempertahankan ketertiban dalam masyarakat. Dalam teorinya Dahendrof beranggapan bahwa masyarakat terbentuk dengan adanya konsensus dan konflik menjadi persyaratan satu sama lain. Analisa mengenai konflik ala Dahendrof mencakup tiga kunci, yaitu otoritas, kepentingan dan kelompok. Dahendrof membedakan menjadi tiga tipe kelompok
6 utama yakni kelompok semu (quasi grup), kelompok kepentingan dan kelompok konflik. Singkatnya segera setelah kelompok konflik muncul, kelompok itu melakukan tindakan yang menyebabkan perubahan dalam struktur sosial. Perubahan secara radikal akan terjadi jika konflik itu hebat. Akan terjadi perubahan struktur secara tiba-tiba jika konflik disertai tindakan kekerasan. Konflik adalah bentuk ekstrim dan keras dari persaingan. Berkaitan dengan konflik agraria, maka objek yang sama yang diperebutkan itu berupa tanah dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah seperti air, tanaman, tambang, dan juga udara yang berada di atas tanah bersangkutan (Wiradi 2009). Konflik dibagi menjadi dua level jenis menurut level permasalahannya, yaitu konflik vertikal dan konflik horizontal. Konflik vertikal terjadi apabila pihak yang dilawan oleh pihak lainnya berada pada level yang berbeda. Sedangkan konflik horizontal terjadi antara masyarakat dengan anggota masyarakat lainnya (Fuad dan Maskanah 2000). Fuad dan Maskanah (2000) berpendapat konflik dapat berwujud konflik tertutup (latent), mencuat (emerging) dan terbuka (manifest). Konflik tertutup (latent) dicirikan dengan adanya tekanan-tekanan yang tidak tampak, tidak sepenuhnya berkembang dan belum terangkat ke puncak kutub-kutub konflik. Sering kali salah satu atau kedua pihak belum menyadari adanya konflik, bahkan yang paling potensial. Konflik mencuat (emerging) adalah perselisihan antara pihak-pihak yang berselisih telah teridentifikasi, diakui adanya perselisihan, kebanyakan permasalahannya jelas, tetapi proses penyelesaiannya sendiri belum berkembang. Konflik terbuka (manifest) merupakan konflik pihak-pihak yang berselisih terlibat secara aktif dalam perselisihan yang terjadi, mungkin sudah memulai untuk bernegosiasi atau mencapai jalan buntu. Pengelolaan Resolusi Konflik Berbagai cara dikembangkan untuk menampung, mengatasi dan menyelesaikan keluhan atau perasaan tidak diperlakukan secara adil maupun konflik-konflik yang terbuka. Faktor yang mempengaruhi pilihan yang diambil dalam mengelola konflik tergantung dari bagaimana pihak yang berkonflik menilai pentingnya menjaga hubungan baik dengan pihak lawannya dan pentingnya meraih satu tujuan. Fuad dan Maskanah (2000) merumuskannya dalam penyelesaian konflik alternatif (PKA). Konsepsi PKA dikelompokkan dalam kelompok besar yakni pengelolaan konflik yang melibatkan pihak ke-3 dan pengelolaan konflik tanpa melibatkan pihak ke-3. Pengertian pihak ke-3 dalam wacana pengelolaan konflik ini adalah satu atau beberapa pihak yang pada hakikatnya tidak terkait secara langsung dengan kepentingan masing-masing pihak yang berkonflik, sehingga bersifat netral dan nonpartisan. Pengelolaan konflik harus ada perencanaan yang baik mengenai strategi, taktik dan teknik dengan pertimbangan setiap resiko yang ada pada setiap pilihan dan harus dapat meminimalisir resiko (Fuad dan Maskanah 2000). Pelibatan para aktor dalam menangani konflik dapat mempengaruhi keberhasilan pengelolaan konflik. Dikutip dari CICR (the Canadian Institute for Conflict Resolution) dalam Fuad dan Maskanah (2000), pengelolaan konflik yang melibatkan pihak ke-3 ini antara lain dalam bentuk fasilitasi, konsultasi, koordinasi, konsiliasi dan mediasi; sedangkan yang tidak melibatkan pihak ke-3 adalah negosiasi. Adapun pengertian dari masing-masing bentuk pengelolaan konflik, yakni:
7 1. Fasilitasi yakni bantuan dari pihak ke-3 untuk memungkinkan terjadinya suatu pertemuan atau perundingan yang produktif dimana pihak ke-3 berperan sebagai fasilitator. 2. Konsultasi merupakan pertemuan antara kedua pihak atau lebih untuk membahas permasalahan yang dianggap penting sehingga dapat dicarikan pemecahan bersama. 3. Koordinasi merupakan upaya yang dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki otoritas atau kewenangan tertentu untuk menyelesaikan timbulnya masalah akibat perbedaan interpretasi agar terhindar dari penanganan yang bersifat tumpang tindih. 4. Konsiliasi adalah usaha yang dilakukan pihak ke-3 yang bersifat netral, untuk berkomunikasi dengan kelompok-kelompok yang berkonflik secara terpisah dengan tujuan untuk mengurangi ketegangan dan mengusahakan ke arah tercapainya persetujuan untuk berlangsungnya suatu proses penyelesaian konflik. 5. Mediasi adalah bantuan dari pihak ke-3 dalam suatu proses negosiasi namun pihak ke-3 (mediator) tidak ikut serta mengambil keputusan. 6. Negosiasi merupakan proses yang berlangsung secara sukarela diantara beberapa pihak, dengan bertatap muka secara langsung untuk memperoleh kesepakatan yang dapat diterima mengenai suatu isu atau masalah tertentu. Tinggi Menampung (Accomodation) Arti penting hubungan baik dengan pihak lain
Kesepakatan (Consensus) Kompromi (Compromise) Atau Tawar menawar (Trade – Offs)
Menghindar (Withdrawal)
Rendah
Pemaksaan (Force)
Arti penting Rendah
tujuan yang hendak diraih
Tinggi
Gambar 1 Berbagai Pendekatan dalam Mengelola Konflik (Anonim dalam Fuad dan Maskanah 2000)
Konsep Sikap Menurut Robbins (2001), sikap sebagai pernyataan evaluatif baik yang menguntungkan atau tidak menguntungkan mengenai suatu objek, orang atau peristiwa. Sikap bukan perilaku, tapi kecenderungan untuk berperilaku dengan cara-cara tertentu terhadap objek sifat. Sikap lebih dapat dibentuk, dikembangkan, dipengaruhi dan diubah karena sikap merupakan suatu yang dipelajari (bukan bawaan). Sarwono (2002) berpendapat bahwa sikap merupakan suatu
8 kecenderungan berperilaku terhadap suatu objek tertentu yang menunjukkan rasa suka atau tidak suka, setuju dan tidak setuju serta mengandung tiga komponen yang mengorganisasikan sikap individu tersebut, yakni: a. Kognitif Komponen ini merupakan komponen pengetahuan atau kesadaran akan suatu objek sikap tertentu yang terdiri dari pemikiran seseorang mengenai objek seperti fakta, pengetahuan dan keyakinan. b. Afektif Komponen ini meliputi bagaimana faktor emosi dan perasaan individu mempengaruhi sikap, baik itu positif maupun negatif yang diasosiasikan dengan objek sikap. c. Konatif Komponen ini berupa kecendrungan berperilaku (melakukan tindakan) tertentu yang berkaitan dengan objek sikap. Sikap yang positif cenderung tindakannya adalah mendekati, menyenangi dan mengharapkan pada objek tertentu, sedangkan pada sikap yang negatif terdapat kecenderungan untuk menjauhi, menghindari, membenci dan tidak menyukai objek tertentu. Tidak semua sikap selaras dengan perilaku jika terdapat tekanan yang besar terhadap individu untuk melakukan tindakan yang tidak sesuai (Sarwono 2002). Durkheim berpendapat meskipun ego dapat memilih perilaku tertentu untuk berhadapan dengan lainnya dalam realitasnya pilihan itu sudah disediakan untuk ego. Adanya aturan-aturan atau standar-standar perilaku secara kolektif sebagai tempat manusia belajar. Durkheim menyebut hal tersebut dengan fakta sosial. Fakta sosial berada eksternal dan mempengaruhi individu-individu (Jones 2010). Durkheim mengemukakan tiga karakteristik fakta sosial yang berbeda. Pertama, gejala sosial bersifat eksternal terhadap individu. Kedua, fakta sosial itu memaksa individu. Ini tidak berarti bahwa individu itu harus mengalami paksaan fakta sosial dengan cara yang negatif atau membatasi seperti memaksa seseorang untuk berperilaku yang bertentangan dengan kemauannya. Ketiga, fakta sosial bersifat umum atau tersebar secara meluas dalam satu masyarakat. Dengan kata lain, fakta sosial itu merupakan milik bersama, bukan sifat individu perorangan. Sifat umumnya ini bukan sekedar hasil dari penjumlahan beberapa fakta individu. Fakta sosial benar-benar bersifat kolektif dan pengaruhnya terhadap individu merupakan hasil dari sifat kolektifnya ini. Durkheim ingin menegakkan pentingnya tingkat sosial daripada menarik kenyataan sosial dari karakteristik individu. Durkheim juga mengatakan dalam meneliti masyarakat ditinjau dari struktur sosial, norma kebudayaan, dan nilai sosial yang dimasukan dan dipaksakan (koersi) kepada pelaku sosial. Konsep Kelompok Kelompok memiliki berbagai makna. Sejak lahir hingga kini ego telah menjadi anggota berbagai kelompok. Merton mendefinisikan kelompok sebagai sejumlah orang yang berinteraksi satu sama lain sesuai dengan pola-pola yang telah mapan (Sunarto 1993). Merton juga menyebutkan tiga kriteria objektif dari suatu kelompok yakni sering terjadinya interaksi, pihak-pihak berinteraksi mendefiisikan diri mereka sebagai anggota dan pihak-pihak berinteraksi didefinisikan orang lain sebagai anggota kelompok.
9 Menurut Merton dalam Sunarto (1993) keanggotaan dalam suatu kelompok tidak berarti bahwa seseorang akan menjadikan kelompoknya menjadi acuan bagi cara bersikap, menilai maupun bertindak. Terkadang perilaku seseorang tidak mengacu pada kelompok yang didalamnya ia menjadi anggota, melainkan pada kelompok lain. Dalam berperilaku dan bersikap seseorang dapat menunjukan konformitas pada kelompok luar. Pengklasifikasian kelompok menurut Durkheim dalam Sunarto (1993) berdasarkan solidaritas mekanis dan solidaritas organis. Solidaritas mekanis mengutamakan perilaku dan sikap dimana anggota kelompok diikat dengan suatu kesadaran bersama yang mencakup keseluruhan kepercayaan dan perasaan kelompok, bersifat ekstern serta memaksa. Solidaritas mekanis mencirikan masyarakat yang masih sederhana. Pembagian kerja belum berkembang dan tidak memerlukan bantuan dan kerjasama dengan kelompok diluarnya. Peranan semua anggota sama sehingga ketidakhadiran seorang anggota kelompok tidak mempengaruhi kelangsungan hidup kelompok. Sanksi terhadap pelanggaran hukum disini bersifat represif. Solidaritas organis telah mengenal pembagian kerja yang rinci dan dipersatukan oleh saling ketergantungan antar bagian. Solidaritas organis ini mencirikan masyarakat yang kompleks. Anggota kelompok solidaritas organis diikat berdasarkan kesepakatan-kesepakatan yang terjalin di antara berbagai profesi. Jika terjadi pelanggaran terhadap kesepakatan bersama maka dikenakan sanksi restitutif. Adanya solidaritas dalam sebuah kelompok akan memicu aksi kolektif. Menurut Olson (1980), sekelompok orang dengan kepentingan bersama diharapkan untuk bertindak atas nama kepentingan bersama mereka sebagai individu tunggal untuk bertindak atas nama kepentingan pribadi. Kepentingan bersama dianggap sebagai kepentingan pribadi. Olson menekankan bahwa kepentingan bersama muncul dari kepentingan individu yang sama dalam sebuah kelompok. Olson (1980) juga berpendapat bahwa jika semua orang dalam kelompok (dari berbagai ukuran) memiliki kepentingan yang sama, maka mereka akan bertindak secara kolektif untuk mencapai tujuan mereka. Pada dasarnya kelompok yang terlalu besar tidak dapat memenuhi tujuan aksi kolektif perindividu sedangkan kelompok kecil akan mendapatkan banyak pemenuhan tujuan aksi kolektif yang berhasil. Oleh karena itu kelompok besar kurang mampu bertindak sesuai dengan kepentingan bersama mereka dari yang kecil. Tidak hanya akan tindakan kolektif oleh kelompok besar sulit dicapai bahkan ketika mereka memiliki kepentingan yang sama namun situasi juga bisa terjadi dimana minoritas dapat mendominasi mayoritas. Hal inilah yang dapat menyebabkan konsekuensi yang tidak diinginkan oleh kelompok besar. Perlunya tindakan yang dapat menjaga sistem dalam kelompok. Menurut Merton (2013) fungsi manifest adalah mereka yang dimaksudkan dan diakui. Ini adalah fungsi yang orang berasumsi dan berharap lembagalembaga untuk memenuhi. Fungsi laten adalah fungsi yang belum diakui dan tidak disengaja. Ini adalah konsekuensi yang tak terduga lembaga. Fungsi laten struktur lembaga atau parsial dapat mendukung fungsi manifest. Fungsi laten mungkin tidak relevan dengan fungsi nyata bahkan dapat merusak fungsi nyata. Perbedaan antara manifest dan fungsi laten dasarnya relatif dan tidak mutlak. Sebuah fungsi
10 mungkin tampak nyata untuk beberapa dalam sistem sosial dan laten bagi orang lain.
Bureaucracy
Association
Organization
Group
Crowded
Gambar 2 Tingkatan berdasarkan jumlah anggota kelompok Kerangka Pemikiran Berawal dari teori mengenai konflik agraria sektor taman nasional yang menjadi ajang kontestasi antara pemerintah dan petani haus lahan akibat adanya perubahan rezim dari Perhutani menjadi taman nasional. Berbagai cara dilakukan untuk mengakomodasi kepentingan petani guna mengkondusifkan situasi pemicu konflik berupa pengelolaan resolusi konflik. Manajemen taman nasional dilakukan dengan proses yang panjang bekerjasama dengan berbagai instansi baik LSM maupun swasta. Pengelolaan resolusi konflik yang dihasilkan berupa adopsi pohon dan pemberian insentif usaha ternak. Pengelolaan resolusi konflik yang dilakukan ini menyebabkan kelompok tani terbagi menjadi dua bagian. Peneliti menggolongkannya menjadi petani yang sudah menyatakan keluar dari garapan hutan dan petani yang masih menggarap di hutan. Perbedaan sikap pada petani terhadap pengelolaan resolusi konflik perlu dibandingkan untuk mengetahui pengaruh fakta sosial yang berlaku pada kelompok tani. Adapun variabel yang digunakan kognitif, afektif dan konatif petani terhadap pengelolaan resolusi konflik. Variabel selanjutnya adalah strategi bertahan petani. Strategi bertahan petani untuk menunjukkan pengaruh kelompok dalam aksi bersama petani terhadap lahan garapan hutan. Adanya hubungan sikap dan strategi bertahan petani dilihat dari tingkat resistensi dan tingkat ketergantungan petani. Tingkat resistensi ini menunjukkan sejauh mana petani akan bertahan terhadap lahan garapan. Tingkat ketergantungan menunjukkan keterikatan petani terhadap lahannya. Lengkapnya disajikan dalam bentuk kerangka pemikiran. Lihat Gambar 3.
11
Manajemen Taman Nasional
Pengelolaan Resolusi Konflik Agraria: 1. Adopsi Pohon 2. Insentif Usaha Ternak
Sikap petani hutan yang masih menggarap di dalam kawasan: 1. Kognitif 2. Afektif 3. Konatif
Sikap petani hutan yang telah keluar dari menggarap di kawasan: 1. Kognitif 2. Afektif 3. Konatif
Strategi Bertahan: a. Tingkat Resistensi b. Tingkat Ketergantungan Keterangan : berhubungan : dianalisa secara deskriptif Gambar 3 Kerangka pemikiran Hipotesis Penelitian Hipotesis penelitian ini disajikan sebagai berikut: 1. Terdapat perbedaan sikap antara kelompok tani terhadap pengelolaan resolusi konflik. 2. Terdapat hubungan antara sikap kelompok tani terhadap strategi bertahan (tingkat resistensi dan tingkat ketergantungan). Definisi Konseptual 1.
2.
Manajemen taman nasional sebagai sebuah proses perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, dan pengontrolan sumber daya untuk mencapai sasaran secara efektif dan efesien. Efektif berarti bahwa tujuan dapat dicapai sesuai dengan perencanaan, sementara efisien berarti bahwa tugas yang ada dilaksanakan secara benar, terorganisir, dan sesuai dengan jadwal (Griffin 2006). Pengelolaan resolusi konflik agraria adalah hasil dari manajemen yang dilakukan oleh taman nasional berupa adopsi pohon dan insentif usaha ternak
12
3.
untuk mengakomodasi kepentingan petani terhadap lahan garapan. Hal ini guna mengkondusifkan situasi pemicu konflik. Kelompok tani diklasifikasikan menjadi dua berdasarkan yang sudah menyatakan keluar dari kawasan dan yang masih menggarap di kawasan. Definisi Operasional
1.
2.
Sikap adalah kecenderungan petani dalam menanggapi pengelolaan resolusi konflik (adopsi pohon dan insentif usaha ternak). Sikap dikategorikan menjadi 3 yakni positif, netral dan negatif. Skoring untuk penentuannya yakni positif: 7-9 ; netral: 5-6 ; negatif 3-4. Diukur melalui 3 indikator secara komposit melalui pernyataan tertutup dengan skala ordinal yakni: a. Kognitif adalah aspek sikap yang menyangkut pengetahuan petani tentang pengelolaan resolusi konflik yang dilakukan. Data diukur menggunakan skala likert, dengan skor Ya (2) dan Tidak (1). Dibagi menjadi 3 kelas yaitu tinggi (3): skor 19-22 ; sedang (2): skor 15-18 ; rendah (1): 11-14. b. Afektif adalah aspek sikap yang menyangkut perasaan serta penilaian petani terhadap pengelolaan resolusi konflik yang dilakukan. Data diukur menggunakan skala likert, dengan skor Sangat Setuju (4), Setuju (3), Tidak Setuju (2) dan Sangat Tidak Setuju(1). Dibagi menjadi 3 kelas yaitu tinggi (3): skor 24-32 ; sedang (2): skor 16-23 ; rendah (1): 8-15 c. Konatif adalah aspek sikap berupa kecendrungan dalam perilaku petani terhadap pengelolaan resolusi konflik yang dilakukan. Data diukur menggunakan skala likert, dengan skor Ya (2) dan Tidak (1).Dibagi menjadi 3 kelas yaitu tinggi (3): skor 10-12 ; sedang (2): skor 8-9 ; rendah (1): 6-7. Strategi bertahan adalah cara petani untuk mempertahankan lahan garapannya yang diukur melalui: a. Tingkat resistensi adalah tingkatan yang menunjukkan pada posisi sebuah sikap untuk berperilaku bertahan, berusaha melawan, menentang atau upaya oposisi pada umumnya sikap ini tidak berdasarkan atau merujuk pada paham yang jelas. Tingkat resistensi dibedakan dengan menggunakan skala ordinal melalui pertanyaan terbuka yaitu: i. Masih ada teman sekawan yang masih membuka lahan: tinggi, diberi skor 3 ii. Butuh lahan, masih ada waktu perjanjian hingga agustus 2013: sedang, diberi skor 2 iii. Keputusan bersama untuk keluar dari garapan, modal mahal, situasi terdesak: rendah, diberi skor 1 b. Tingkat ketergantungan adalah tingkatan petani memaknai lahan sebagai ruang hidup sebagai sumber mata pencaharian. Tingkat ketergantungan dibedakan dengan menggunakan skala ordinal melalui pertanyaan semi terbuka yaitu: i. Sangat tergantung : tinggi, diberi kode 3 ii. Tergantung : sedang, diberi kode 2 iii. Tidak tergantung : rendah, diberi kode 1
13
PENDEKATAN LAPANG Bab ini menjelaskan mengenai metode pelaksanaan penelitian yang dilakukan. Beberapa hal yang berkaitan dengan waktu, tempat penelitian dilakukan. Selain itu juga dideskripsikan bagaimana pengolahan data hasil dari wawancara dan pengisian kuesioner. Ada pula penjelasan mengenai penentuan sampel dan responden. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Desa Ciputri. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa: 1. Merupakan desa penyangga yang termasuk kawasan eks-PHBM terdapat kelompok tani penggarap hutan yang terkena perluasan kawasan TNGGP sehingga dilakukan manajemen resolusi konflik yang telah berjalan selama hampir lima tahun. 2. Adanya petani yang menyatakan keluar dari menggarap di kawasan serta petani yang masih menggarap sehingga dilakukan perbandingan antara dua golongan kelompok. Penelitian dilaksanakan dalam waktu lima bulan (Lampiran 2). Kegiatan penelitian meliputi penyusunan proposal penelitian, kolokium, perbaikan proposal penelitian, pengambilan data di lapang, pengolahan dan analisis data, penulisan draft skripsi, sidang skripsi, dan perbaikan skripsi. Penentuan Responden Penelitian Unit analisis penelitian ini adalah individu. Responden adalah petani penggarap hutan. Populasi adalah anggota gabungan kelompok tani hutan Sawargi dengan jumlah 154 orang. Semua anggota tinggal di Desa Ciputri yang didominasi di Kampung Sarongge Girang. Data populasi anggota kelompok diperoleh dari daftar petani penggarap yang dimiliki oleh pihak TNGGP dan ketua Gapoktan. Kerangka sampling adalah sama dengan populasi (Lampiran 1). Jumlah responden dalam penelitian ini adalah sebanyak 33 orang petani penggarap dan 13 petani penggarap yang telah menyatakan keluar dari garapan (Tabel 1). Pengambilan responden dengan menggunakan sistem Lingkar Survei Indonesia dimana jumlah responden 30% dari total populasi. Responden diambil secara acak sederhana dari kerangka sampling dengan menggunakan bantuan program Ms. Excel 2007. Tabel 1 Populasi dan sampel penelitian No. 1. 2.
Lokasi ∑populasi ∑ sampel Petani yang masih menggarap di dalam kawasan 110 orang 33 orang TNGGP Petani yang sudah menyatakan untuk tidak 45 orang 13 orang menggarap di kawasan TNGGP Total 46 orang
14 Teknik Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui kuesioner yang diisi oleh peneliti atas dasar jawaban responden. Data sekunder sendiri diperoleh dari kajian pustaka dan analisis literatur-literatur yang terkait dengan manajemen TNGGP dan pengelolaan resolusi konflik yang dilakukan. Untuk menjawab perumusan masalah mengenai sikap petani dan strategi bertahan disajikan wawancara terstruktur melalui kuesioner yang diisi oleh peneliti. Data primer dan data sekunder saling mendukung satu sama lain untuk menyempurnakan hasil penelitian. Teknik Pengolahan dan Analisis Data Data hasil kuesioner ini dicatat apa adanya dan dilakukan analisis serta interpretasi untuk menarik kesimpulan tentang hasil penelitian. Variabel-varibel yang ada dalam pertanyaan kuesioner kemudian diberi kode sesuai dengan ketentuan yang tertera dalam definisi operasional. Data kemudian dimasukkan ke dalam Ms. Excel 2007 dan dituliskan dalam bentuk kode. Kemudian dilakukan entri data ke dalam program SPSS versi 16.0 for Windows. Analisis data dilakukan dengan menggunakan tabel frekuensi, tabulasi silang dan Rank Spearman. Selanjutnya menginterpretasi hasil pengolahan data dengan mengacu pada hipotesis. Kemudian ditarik kesimpulan dari semua data yang telah diolah untuk menjawab perumusan masalah.
15
PROFIL DESA CIPUTRI Profil Desa Ciputri memuat informasi mengenai desa yang dijadikan tempat penelitian. Adapun informasi yang tersaji dalam bab ini adalah mengenai kondisi geografis Desa Ciputri. Digambarkan juga bagaimana kondisi sosial budaya yang tercermin dari keseharian masyarakat. Dijabarkan pula mengenai kondisi ekonomi melalui penjabaran mata pencaharian dan penghasilan rata-rata terutama responden. Kondisi Geografis Desa Ciputri merupakan salah satu desa yang tergabung dalam wilayah Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur. Desa ini berbatasan langsung dengan wilayah TNGGP di sebelah barat, sebelah utara berbatasan dengan Desa Ciherang Kecamatan Pacet, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Galudra Kecamatan Cugenang dan sebelah timur berbatasan dengan Desa Cibeureum Kecamatan Cugenang. Desa Ciputri termasuk topografi wilayah dataran tinggi dengan curam kemiringan rata-rata 75% dengan ketinggian antara 100-2 900 mdpl dan memiliki luas 636 ha.
Sumber: data profil desa Ciputri Gambar 4 Peta lokasi Curah hujan di Desa Ciputri mencapai rata-rata 3 380 mm/tahun. Desa Ciputri terdiri dari 35 Rukun Tetangga (RT) yang tergabung ke dalam 9 Rukun Warga (RW). Desa Ciputri terdiri dari Kampung Tunggilis (RW 01), Kampung Ciherang Pom (RW 02), Kampung Ciherang Rawajaya (RW 03), Kampung Ciherang (RW 04), Kampung Babakan Nagrog (RW 05), Kampung Sarongge Pabrik (RW 06), Kampung Babasaran (RW 07), Kampung Sarongge Kidul (RW
16 08), Kampung Sarongge Girang (RW 09). Kampung Sarongge Girang (RW 09) merupakan domisili dari sebagian besar petani penggarap hutan. Kampung ini terdiri dari empat RT dan merupakan kampung yang berbatasan langsung dengan kawasan TNGGP. Desa Ciputri sebagian besar berupa lahan pertanian. Kebun masyarakat yang ditanami oleh sayuran, kebun buah berry (strawberry, rasberry dan blueberry) dan kebun teh PTPN VIII. Kondisi kemiringan lahan di kampung Sarongge Girang sebenarnya tidak layak untuk dijadikan perkebunan ditambah lagi dalam perkebunan tersebut jarangnya pohon pemecah angin sehingga kemungkinan terjadinya bencana angin kencang semakin besar.
Gambar 5 Lokasi perkebunan masyarakat Kondisi Sosial Budaya Jumlah penduduk yang ada di Desa Ciputri adalah 11 133 orang. Jumlah tersebut terbagi kedalam 5 729 orang laki-laki dan 5 404 orang perempuan. Jumlah kepala keluarga ada 2 044 KK dengan kepadatan penduduk 17 505 jiwa/ha (sumber: profile desa). Pendidikan terakhir yang ditempuh sebagian besar penduduk desa Ciputri hanya sampai Sekolah Dasar. Bahasa yang digunakan sehari-hari yakni bahasa Sunda dan bahasa Indonesia. Terdapat kelompok kesenian Sunda di Kampung Sarongge Girang bernama Paguyuban Seni Sunda Medal Surya. Paguyuban seni sunda ini melatih anak-anak bermain musik, silat dan jaipong. Karinding menjadi icon alat musik khas Sarongge. Pak Maman salah satu pembuat karinding yang terkenal di Desa Ciputri.
Gambar 6 Alat musik karinding
17 Peneliti berbincang-bincang dengan beberapa anak di luar kelompok tersebut mengenai kesenian sunda seperti lagu Manuk Dadali, sungguh disayangkan mereka tidak mengetahui. Orang tua tidak pernah memaksakan pendidikan untuk anak-anaknya. Selama anaknya ingin bersekolah maka akan disekolahkan namun jika anaknya ingin berhenti maka berhenti. Ada pemberian beasiswa untuk anak-anak yang ingin melanjutkan sekolah ke SMK bidang pertanian dan komputer yang diberikan oleh Green Radio (yang selanjutnya disebut GR). Kondisi Ekonomi Bertani merupakan mata pencaharian yang paling dominan di Desa Ciputri. Dominasi sumber penghidupan seluruhnya berada dan diperoleh di lahan milik dan lahan garapan. Hal ini menunjukkan bahwa selain milik, lahan kehutanan memang menjadi tumpuan utama masyarakat Desa Ciputri, terutama Kampung Sarongge Girang. Penyebabnya karena sebagian besar petani di Kampung Sarongge Girang melakukan kegiatan pertanian di lahan kehutanan. Menurut sejarah kampung Sarongge Girang awalnya hanya terdiri dari 7 rumah yang merupakan penduduk pendatang. Mereka berdatangan pada jaman Soeharto untuk mengikuti program Perhutani dengan sistem PHBM pada tahun 1980. Ragam mata pencaharian lain di Desa Ciputri yakni PNS, karyawan, pertukangan, ojeg, pengrajin industri rumah tangga, pedagang keliling, montir dan peternak (sumber: profile desa). Di Desa Ciputri sendiri terdapat kebun teh yang dimiliki oleh PTPN VIII dan beberapa perusahaan swasta yakni perkebunan strawberry, rasberry dan blueberry yang dimiliki oleh Hans (Dutchman) serta BFI milik Ibu Ina (Jakarta). Banyak pekerja perempuan pada perkebunan milik Hans. Upah buruh perkebunan ini berkisar Rp 12 000-20 000/hari. Awalnya pengelolaan perkebunan ini diserahkan pada orang-orang pribumi namun perlahan mulai digantikan oleh orang non pribumi. Meskipun bertani merupakan mata pencaharian dominan jumlah petani tidak bertanah hampir 40% dari total keseluruhan petani dan buruh tani. Upah buruh tani sendiri berkisar Rp 25 000-30 000/hari. Ada juga yang berprofesi sebagai petani dan merangkap buruh tani untuk mencukupi sehari-hari. Tabel 2 Mata pencaharian penduduk Desa Ciputri No.
Pekerjaan
1 PNS 2 TNI/Polri 3 Petani 4 Pedagang 5 Peternakan/Perikanan/Perkebunan 6 Buruh 7 Wiraswasta 8 Lain-lain Jumlah
Sumber: Profil desa penyangga TNGGP
Jumlah (orang) 29 1 1 188 48 0 650 335 0 2 251
18 Sarana dan Prasarana Sarana dan prasarana yang ada di Desa Ciputri meliputi transportasi darat, komunikasi dan informasi, air bersih, peribadatan, pendidikan, serta kebersihan. Jalan utama yang bisa diakses sudah beraspal walaupun jalanan banyak berlubang. Transportasi yang beroperasi yakni ojek. Meskipun ada angkutan umum namun hanya beroperasi sampai kantor desa. Setelah itu hanya bisa menggunakan kendaraan pribadi atau berjalan kaki. Demi menunjang kelancaran program di Blok Sarongge Girang, fasilitas yang disediakan oleh TNGGP-GR adalah radio komunitas, Radio Edelweiss. Radio ini diperuntukkan untuk komunikasi serta pusat aktifitas kegiatan adopsi pohon. Ketersediaan air bersih di desa ini cukup terjamin. Sumber air langsung dari kawasan yang dialirkan ke rumah warga.
Gambar 7 Studio siaran Radio Edelweis Mayoritas masyarakat desa Ciputri beragama Islam. Sarana peribadatan yang ada meliputi 14 buah masjid dan 34 buah langgar atau mushola. Kelembagaan yang ada di Desa Ciputri ini sendiri ada pramuka, PKK, Dasa Wisma, Pamswakarsa, Masyarakat Peduli Api (MPA), Kader Konservasi, Masyarakat Mitra Polhut (MMP), Kelompok Tani, Kelompok Ternak Kelinci, Kelompok Ternak Kambing. Desa ini juga memiliki sarana pendidikan seperti gedung SD sebanyak satu unit, gedung TK sebanyak satu unit, dan perpustakaan desa sebanyak satu unit yang terletak di basecamp Sarongge Organik Farm (SOF).
19
MANAJEMEN PENGELOLAAN RESOLUSI KONFLIK AGRARIA TNGGP Bab ini menjelaskan mengenai manajemen taman nasional dalam pengelolaan resolusi konflik agraria. Ditinjau dari sejarah penetapan kawasan, pengelolaan yang dilakukan dan aktor-aktor yang terlibat. Sejarah Kawasan TNGGP TNGGP pada awalnya merupakan kawasan cagar alam, taman wisata alam dan hutan produksi baik tetap maupun terbatas. Pada tahun 2003 berdasarkan SK Menhut No.174 dengan menimbang kawasan memiliki monografi yang cukup curam dan merupakan habitat hidup dari beberapa hewan yang dilindungi maka diputuskanlah perubah alih fungsi kawasan tersebut sebagai taman nasional. Penetapan ini pun disertai dengan perluasan kawasan taman nasional yang didalamnya tercakup kawasan kelola Perhutani yang digunakan sebagai kawasan PHBM dengan masyarakat sekitar hutan. Perluasan kawasan taman nasional dengan penunjukkan perubahan pada wilayah hutan produksi yang ditindaklanjuti oleh Berita Acara Serah Terima (BAST) Pengelolaan Kawasan Hutan Produksi Tetap, Hutan Produksi Terbatas yang telah diubah Menjadi Kawasan Konservasi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dari Perum Perhutani kepada Departemen Kehutanan Nomor 07/SJ/DIR/2009, Nomor BA.6/IV-SET/2009 tanggal 29 Januari 2009 dan Berita Acara Serah Terima (BAST) Pengelolaan Hutan dari Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten kepada BBTNGGP Nomor 002/BAST-HUKAMAS/III/ 2009-Nomor 1237/II-TU/2/2009 tanggal 6 Agustus 2009 yang termuat didalamnya petak-petak yang diserahkan dengan total luas 7 655.03 ha, sehingga luas total kawasan sesuai BAST adalah 22 851.030 ha. Rentang waktu antara SK Menteri Kehutanan mengenai perluasan pada tahun 2003 hingga BAST pada tahun 2009 terjadi status quo pada areal perluasan tersebut (AA, Kabid P3). Selama masa peralihan tersebut kelompok tani di areal perluasan melegalisasikan kelompok mereka agar memiliki kekuatan hukum dalam perjanjian dan dapat mengajukan proposal bantuan (DD 36). Banyak terdapat kelompok tani karena pada masa pengelolaan Perhutani petani yang tidak memiliki lahan diajak untuk melakukan bukaan 1 Perhutani. Petani tanpa lahan berdatangan ke lokasi bukaan Perhutani untuk mengikuti PHBM. Kegiatan pertanian di lereng gunung sekitar kawasan taman nasional menyebabkan penyerapan air hujan tidak maksimal. Erosi dapat terjadi akibat aliran permukaan (surface run off) karena kemampuan penyerapan air tanaman palawija dan sayuran lebih rendah dibandingkan dengan tanaman kehutanan. Tanah hasil erosi ini akan mengalir ke sungai dan menyebabkan sedimentasi sehingga terjadi pendangkalan sungai serta air sungai yang menjadi keruh. Selain itu, budidaya monokultur menyebabkan tanaman rentan terserang hama sehingga terjadi hama berkepanjangan. Lahan pertanian yang seharusnya dapat 1
Bukaan merupakan istilah yang digunakan petani penggarap untuk menyebut lahan garapannya di kawasan eks PHBM-TNGGP
20 dimanfaatkan untuk ruang hidup satwa dijadikan kebun sayuran sehingga tidak heran jika babi hutan dan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) mencari makan di kebun sayuran untuk mencari makan. Serangan babi hutan dan kera berekor panjang kerap terjadi di lahan pertanian milik masyarakat, disebabkan oleh terdesaknya kebutuhan dua satwa tersebut dalam mencari makanan. Hal ini menandakan terdapat kritisnya relung ekologi bagi kedua satwa tersebut. Tabel 3 Kronologis penetapan kawasan TNGGP No 1
Waktu 17-051889
2
11-061919
3
Sumber Besluit van den Gouverneur General van Nederlandsch Indie (SK. Gubernur Jenderal Hindia Belanda)No.50 Besluit van den Gouverneur General van Nederlandsch Indie (SK. Gubernur Jenderal Hindia Belanda) No. 33 staatsblad No 392-15 Besluit van den Gouverneur General van Nederlandsch Indie (SK. Gubernur Jenderal Hindia Belanda) No. 83 staatsblad No 392-11 Besluit van den Gouverneur General van Nederlandsch Indie (SK. Gubernur Jenderal Hindia Belanda) No. 7 staatsblad 15
4
5-011925
5
27 -071927
Besluit van den Gouverneur General van Nederlandsch Indie (SK. Gubernur Jenderal Hindia Belanda) No. 26
6
1975
SK Menteri Pertanian RI No.461/Kpts/Um/31/1975
7
1977
UNESCO
Keterangan Penetapan kebun raya Cibodas dan areal hutan diatasnya seluas 240 ha sebagai contoh flora pegunungan pulau jawa sekaligus sebagai cagar alam. Perluasan hingga areal hutan di sekitar air terjun Cibeureum.
Penetapan areal hutan lindung di lereng Gunung Pangrango dekat desa Caringin sebagai Cagar Alam Cimungkat seluas 56 ha.
Penetapan daerah puncak Gunung Gede, Gunung Gumuruh, Gunung Pangrango, serta DAS Ciwalen dan Cibodas sebagai Cagar Alam Cibodas-Gunung Gede seluas 1 040 ha. Surat Keputusan ini menarik kembali berlakunya SK. Gubernur Jenderal Hindia Belanda tahun 1889. Penunjukan komplek hutan Gunung Gede dan Gunung Pangrango di Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor, Sukabumi, dan Cianjur sebagai kawasan hutan seluas ±14 000 ha. Penetapan daerah Situ Gunung, lereng selatan Gunung Pangrango dan bagian timur Cimungkat sebagai Taman Wisata seluas ±100 ha. Penetapan kawasan sebagai cagar alam biosfer
21 8
10-021979
9
6-031980
10
14-101982
11
14 -021992
12
22-051992
13
17 -111997
14
10-062003 29 -012009
15
16
6 -082009
SK Menteri Pertanian RI No.108/Kpts/Um/2/1979
Penunjukan kawasan hutan Gunung Gede dan Gunung Pangrango sebagai kawasan hutan Suaka Alam/Cagar Alam seluas ±14 000 ha. Pengumuman Menteri Penetapan kawasan CA Cibodas, Pertanian RI CA Cimungkat, CA Gunung Gede Pangrango, TWA Situgunung dan areal hutan alam di lereng hutan gunung gede pangrango sebagai TNGGP seluas 15 196 ha. SKMenteri Pertanian RI Penetapan Kawasan Hutan No. 736/Men-tan/X/1982 Gunung Gede Pangrango sebagai TNGGP seluas 15 196 ha Dirjen PHPA sesuai SK Penetapan zonasi dengan rincian: No. 12/Kpts/DJ-VI/1992 a. Zona Inti 11 300 ha b. Zona Rimba 3 616 ha c. Zona Pemanfaatan 300 ha SK Menteri Kehutanan RI Penetapan komplek hutan Gunung No. 472/Kpts-II/1992 Gede dan Gunung Pangrango yang terletak di Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor, Sukabumi, dan Cianjur seluas 14 100.75 ha sebagai kawasan hutan tetap dengan fungsi hutan Suaka Alam/Cagar Alam. SK Kepala Taman Nsional Rekonstruksi Batas Kawasan Gunung Gede Pangrango Hutan TNGGP: Initial pal batas No 1437/VI-TNGGP/1997 lama CA diganti dengan TN sesuai dengan intruksi lisan Kepala TNGGP. SKMenteri Kehutanan Perluasan kawasan TNGGP Nomor 174/Kpts-II/2003 menjadi ± 21 975 ha. SK No.07/SJ/DIR/2009, BAST Pengelolaan Kawasan BA.6/IV-SET/2009 Hutan Produksi Tetap, Hutan Produksi Terbatas yang telah dirubah menjadi Kawasan Konservasi TNGGP dari Perum Perhutani kepada Departemen Kehutanan. SK No. 002/BASTBerita Acara Serah Terima HUKAMAS/III/2009(BAST) Pengelolaan Hutan dari Nomor: 1237/II-TU/2/2009 Perum Perhutani Unit III Jawa Tingkat UPT Barat dan Banten kepada Balai Besar TNGGP menyatakan bahwa luas kawasan yang diserahkan kepada TNGGP adalah 7 655.03 ha.
22 17
22-022011
SKDirektur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Nomor SK.39/IVKKBJL/2011
18
9 -092011
Surat Direktur KKBHL Nomor S.434/KKBHL1/2011
Zonasi di TNGGP terbagi menjadi 7 (tujuh) Zona yakni Zona Inti seluas 9 612.592 ha (42.06%), ZonaRimba seluas 7 175. 396 ha (31.40%), Zona Pemanfaatan 1 330.424 ha (5.82%), Zona Rehabilitasi 4 367.192 ha (19.11%), Zona Tradisional 312.136 ha (1.36%), Zona Khusus 3.19 ha (0.01%) dan Zona Konservasi Owa Jawa seluas 50.10 ha (0.21%). Permohonan penetapan kawasan TNGGP kepada Direktur Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasn Hutan Ditjen Planologi kehutanan agar segera menetapkan kawasan TNGGP menjadi 22 851.03 ha.
Sumber: AA, Kabid P3 TNGGP
Agraria Dulu dan Sekarang: Perubahan Akses Petani Tahun 1980 merupakan awal kali petani berdatangan untuk melakukan bukaan pada kawasan Perhutani Blok Sarongge Girang. Hal ini merupakan program yang diberikan oleh Presiden Soeharto pada masa itu. Ketika bukaan pertama petani seolah-olah merasa harus melakukan tanam paksa seperti salah satu contoh tanaman kopi. Sama halnya yang dilakukan di bukaan Perhutani lainnya. Setelah menyadari kalo tanam paksa ini malah merugikan Perhutani dan atas dasar protes, petani pun akhirnya terjadi konversi tanaman Perhutani menjadi Euchalyptus sp. Masa PHBM tersebut diterapkan dengan sisitem buka-tutup lahan yang berlangsung selama 1-1 ½ tahun. Selama periode 1980-2007 telah mengalami tutup lahan bukaan sebanyak dua kali. Petugas Perhutani acap kali meminta setoran tiap kali petani panen dengan alasan jika masih ingin diperbolehkan menggarap maka harus membagi hasil panen kepada petugas. Tidak hanya itu saja, pungutan liar pun dilakukan oleh petugas. “Ya mba kadang kami urunan 10ribu tiap petani buat bayar petugas Perhutani dan tiap panen pasti mereka juga minta jatah.”(DD 36)
Jika dibandingkan saat pengelolaan Perhutani dan TNGGP, Perhutani lebih ketat pengawasannya. Tiap harinya terdapat petugas yang berkeliling untuk mengecek petani. Saat PHBM pun petani sering melakukan perburuan liar dan merambah hutan. Polhut akan langsung manangani kejadian tersebut. Berbeda halnya pada saat pengelolaan TNGGP, petani lebih akomodatif. Hal ini karena pengelolaan resolusi konflik yang dilakukan oleh TNGGP dan berbagai bantuan. Pola pikir yang terbentuk diawal pun mengenai pelegalisasian Gapoktan Sawargi
23 guna mendapat bantuan. Setelah penetapan kawasan menjadi TNGGP akses petani menjadi tertutup apalagi ketika masa kepemimpinan Pak Bambang sebagai Kepala BBTNGGP. Sifat beliau yang keras versus keinginan petani haus lahan yang keras untuk mempertahankan lahan. Surat perjanjian pun dibuat untuk dapat menggarap namun tidak mengeksploitasi dan hingga saat ini petani merasa nyaman-nyaman saja dengan keberadaan TNGGP. Penjagaan yang dilakukan oleh TNGGP terhadap kawasan lebih lunak. Hal ini diakibatkan oleh kurangnya personil petugas itu sendiri. Akses petani pada akhirnya terbatas terhadap lahan meskipun penjagaan yang tidak seketat masa Perhutani. Petani sadar tentang pentingnya kawasan untuk dilestarikan. Petani berhenti melakukan perburuan liar dan perambahan hutan. Petani tetap berpikir menjaga kawasan tapi harus menjaga dapur mereka juga. Terlihat bahwa mereka sebisa mungkin akan mempertahankan lahan garapan mereka sekaligus menjaga kawasan dengan menanami pohon di kebun-kebun mereka. Pengelolaan Resolusi Konflik Agraria Perluasan kawasan TNGGP pada tahun 2003 dilakukan karena adanya tekanan penduduk dan banyak kawasan rusak, sehingga perlunya dilakukan restorasi. Perluasan kawasan taman nasional mencakup kawasan Perhutani (AA, Kabid P3). Perubahan rezim yang terjadi pada kawasan yang pada awalnya dikelola oleh Perhutani yang kemudian diserahkan kepada TNGGP dapat memicu konflik. Pertimbangnnya adalah kawasan tersebut merupakan perluasan dari wilayah PHBM yang berarti terdapat petani penggarap hutan di dalamnya. Sesuai dengan peraturan bahwa kawasan konservasi tidak dapat dieksplotasi dalam bentuk apapun. Disisi lain petani menggantungkan hidup pada lahan garapannya. Tidak mudah mengusir petani penggarap hutan begitu saja dengan menutup akses. Hal tersebut akan menimbulkan reaksi negatif. Pihak TNGGP beserta anggota-anggota Perkumpulan GEDE PAHALA merumuskan cara untuk menanggulangi masalah petani penggarap hutan dalam hal perluasan kawasan. Pada bulan Desember 2007, Perkumpulan GEDE PAHALA memulai Program Adopsi Pohon. Program Adopsi Pohon diharapkan sebagai kontribusi nyata Perkumpulan GEDE PAHALA kedua taman nasional. Dari program diluncurkan pada Desember 2007, ada 223 hektar telah diadopsi oleh adopter. Beberapa dari mereka telah berjalan sesuai jadwal. Adopsi pohon merupakan program yang mengakomodasikan masyarakat lokal maupun asing dapat ikut berpartisipasi menjaga dan mengembalikan kelestarian kawasan TNGGP. Program adopsi pohon mencakup kegiatan penanaman pohon pada lokasi-lokasi kawasan taman nasional yang rusak dan kritis, peningkatan kesadaran konservasi alam, keterlibatan dan peran serta petani dalam mendukung upaya pelestarian alam lingkungan yang merupakan sistem penyangga kehidupan masyarakat di sekitar kawasan taman nasional, serta pencarian alternatif penghasilan (alternative livelihood) yang dapat meningkatkan kesejahteraan petani (sumber: profil adopsi pohon). Penanaman pohon disertai perawatan dan pemeliharaan terhadap pohonpohon yang telah ditanam dilakukan secara teratur. Tujuannya agar pohon dapat
24 terus tumbuh dengan baik untuk jangka panjang setelah program adopsi pohon tiga tahun selesai. Perawatan tanaman mencakup penyulaman tanaman yang mati, pemeliharaan tanaman dengan pemupukan dan pencegahan terhadap ganguan hama, penyakit dan gulma. Tanaman adopsi pohon meliputi tanaman endemik Jawa Barat, yakni Puspa (Schima walicii sp), Rasamala (Althingia exelca sp), Suren (Sureni tonii sp), Saninten (Castanopsis argentea sp) dan Ki Hujan (Engelhardia spicata sp).
Gambar 8 Peta adopsi pohon Resort Sarongge Blok Sarongge Girang Pemberdayaan masyarakat diarahkan untuk peningkatan kesejahteraan. Dikaitkan dengan kepentingan petani dan mendukung upaya pelestarian alam lingkungan yang merupakan sistem penyangga kehidupan masyarakat di sekitar kawasan taman nasional. Bantuan modal usaha seperti usaha tani hutan (agroforestry), pemanfaatan hasil hutan non kayu dan jasa lingkungan hutan, serta memfungsikan masyarakat sebagai penjaga dan pelestari kawasan taman nasional. Sejarah dibentuknya program Adopsi Pohon sendiri dilatarbelakangi oleh program rehababilitasi kawasan yang gagal (Gerhan, RHLP, dll) dan para petani yang merasa tersingkir jika ada penanaman serta takut untuk menutup kebun sayurnya. Program rehabilitasi yang gagal ini disebabkan oleh program yang dilakukan hanya sebatas penanaman saja. Tidak adanya perawatan terhadap pohon-pohon yang ditanam. Hal tersebut menyebabkan program tidak berkelanjutan. Adopsi Pohon dirumuskan oleh Konsorsium GEDE PAHALA (yang sekarang disebut dengan Perkumpulan GEDE PAHALA), terdiri dari aktivis, akademisi serta para ahli hutan yang peduli akan keberlangsungan dan kelestarian hutan. Biaya untuk mengadopsi yakni Rp 108 000/pohon/3 tahun. Rinciannya yakni 35% untuk penanaman, 15% untuk manajemen dan 50% untuk pemberdayaan/pendampingan masyarakat (sumber: profil adopsi pohon). Program adopsi pohon ini diperkenalkan kepada petani penggarap hutan Blok Sarongge Girang oleh TS, beliau merupakan Direktur Utama Green Radio (GR) di Jakarta (DD 36). Pada awalnya pengelolaan adopsi pohon ditangani oleh Perkumpulan GEDE PAHALA, karena pengeluaran biaya secara birokrasi cukup rumit akhirnya pihak GR mengajukan izin agar adopsi pohon sepenuhnya dikelola
25 oleh GR dengan catatan seluruh laporan diberikan ke pihak TNGGP. Pada tahun 2009 GR diberikan kontrak baru MoU yang berlaku selama 5 tahun. Pengelolaan keuangan berdasarkan GR yakni 40% untuk pengelolaan penanaman, 45% untuk pemberdayaan masyarakat dan 15% untuk promosi radio (TS, Dirut GR). Visi utama GR dalam mengelola Blok Sarongge Girang yakni masyarakat tetap memiliki akses dengan hutan namun bukan dengan caranya yang “dulu”. Dana 45% untuk pemberdayaan tersebut digunakan untuk pemberian insentif usaha ternak, pengadaan sarana untuk pengembangan desa sekitar hutan dan pelatihan skill untuk keluarga petani penggarap hutan. Hal ini dimaksudkan untuk pencarian alternatif mata pencarian sehingga petani tidak mengandalkan lahan garapannya di kawasan. Motif lainnya sebagai pengakomodasian kepentingan petani agar pemicu konflik dapat diredam. Sisi lain dapat terlihat bahwa cara ini adalah cara untuk mengeluarkan petani secara paksa namun elegan (DD 36). Pemberian insentif usaha ternak dimaksudkan agar petani sibuk mengurusi ternaknya sehingga tidak sempat mengurusi lahan garapannya di kawasan. Pohon adopsi dapat tumbuh. Faktanya, petani yang telah menerima insentif ternak banyak yang masih menggarap. Lain hal anggapan mengenai pohon akan tumbuh jika petani keluar dari garapan justru sebaliknya yang terjadi. Pohon banyak yang tumbang dan mati tak terurus. Tidak semua pohon adopsi yang mati tersulam. Petani penggarap lebih memilih menanam pohon di lahannya sendiri dibandingkan oleh adopter. Kasusnya ketika adopter menanam pohon di lahan yang sudah ditanami sayuran malah diinjakinjak. Petani penggarap mengalami kerugian. Sejak diterapkannya program ini terdapat petani penggarap yang menyatakan keluar dari garapan. Petani penggarap yang menyatakan keluar tersebut diberikan penghargaan berupa sertifikat. Sertifikat penghargaan ini yang akan menjadi “senjata” bagi taman nasional jika suatu saat petani penggarap kembali menggarap di kawasan maka sertifikat tersebut yang tuntutan hukumnya. Selama pengelolaan resolusi konflik ini berlangsung selama empat tahun, petani yang telah menyatakan keluar dari garapan sebanyak 45 orang dan masih tersisa 110 orang yang menjadi tugas TNGGP berikutnya mencari cara untuk mengeluarkannya dari lahan garapan.
Gambar 9 Sertifikat penghargaan petani keluar dari garapan Presiden SBY datang ke Blok Sarongge Girang untuk memberikan bantuan dan mengadopsi 200 000 bibit pohon pada tanggal 8 Januari 2013. Bantuan yang
26 diberikan kepada Desa Ciputri sejumlah Rp 1.175 milyar. Bagian untuk kelompok ternak kelinci sejumlah Rp 100 juta, untuk kelompok ternak kambing Rp 500 juta, TK Tunas Kencana Rp 100 juta, Posyandu Pembantu Desa Ciputri Rp 100 juta, renovasi 2 mesjid Rp 200 juta, pembangunan Saung Sarongge Rp 120 juta, Rp 30 juta renovasi Radio Komunitas Edelweis dan Rp 55 juta untuk infrastruktur desa. Kedatangan SBY sendiri untuk mendukung pengelolaan resolusi konflik yang sedang berlangsung. Insentif usaha ternak yang diberikan oleh Presiden SBY pada Januari 2013 lalu sempat menimbulkan konflik internal antar anggota Gapoktan Sawargi. Bantuan usaha ternak itu diberikan untuk petani penggarap hutan. Pengurus Gapoktan Sawargi, TNGGP dan GR bersepakat bahwa bantuan tersebut hanya diberikan kepada petani yang masih menggarap sebagai “rayuan” agar petani penggarap mau keluar dari garapan. Mereka juga harus menandatangani perjanjian untuk keluar dari garapan dengan jangka waktu enam bulan agar dapat menghabiskan sisa panen di kawasan. Penandatangan perjanjian tersebut diimingi dengan akan diberikannya bantuan sebesar Rp 750 000/bulan dari TNGGP selama satu tahun seperti yang dijanjikan saat kunjungan Menteri Kehutanan (DD 36). Hal tersebut tentu saja dengan syarat petani harus merubah kebiasaan dari tanam sayur menjadi tanam pohon di lereng yang rusak, kawasan rusak, dan melakukan tanam, sulam, rawat serta anyam terhadap pohon-pohon. Sebagian besar anggota petani ingin bantuan tersebut diberikan dalam bentuk uang namun pihak pengurus Gapoktan ingin memberikan berupa kambing 3 ekor per orang serta dibangun kandang central di dekat kantor Resort Sarongge. Alasannya karena akan adanya audit dana yang diberikan dari pemerintah dengan jangka waktu sebulan. Untuk itu perlu bukti nyata bahwa dana tersebut digunakan sebagaimana mestinya. Alasan lain karena dikhawatirkan jika dana tersebut diberikan dalam bentuk uang akan habis begitu saja (DD 36). Jarak antar RT dan kampung yang cukup jauh menjadi alasan petani penggarap untuk meminta dalam bentuk uang agar mereka dapat membangun kandang di dekat tempat tinggal mereka. Setelah cukup lama bermusyawarah akhirnya disepakati bahwa dibuat kelompok usaha ternak kambing. Kelompok berdasarkan lokasi tempat tinggal untuk memudahkan dalam mengurusi ternak. Jika bertempat tinggal diluar Kampung Sarongge Girang maka tetap di kandang pusat. Selama masa-masa pergolakan tersebut petani penggarap yang telah menyatakan keluar dari garapan juga menuntut bagian padahal seharusnya tidak. Musyawarah berlangsung cukup lama sekitar tiga minggu lebih. Ada pula yang membawa golok dan beradu urat. Pada akhirnya kandang central pun selesai dibangun. Tidak mudah memberikan pengertian pada petani penggarap tentang tujuan-tujuan tersebut. Mereka penerima bantuan harus menandatangi perjanjian namun hanya sekitar 40 orang yang menandatangani perjanjian tersebut. Ketidakmerataan dalam keikutsertaan petani penggarap dalam pengelolaan resolusi konflik terjadi. Tidak semua petani penggarap menerima insentif usaha ternak maupun sertifikat penghargaan. Hal ini terjadi pada salah seorang responden. Jika ditinjau dari latar belakang beliau, beliau merupakan penduduk pendatang yang menggarap hanya tiga tahun. Berbeda hal dengan responden yang bukan merupakan penduduk pendatang, walaupun mulai menggarap pada tahun 2010 setelah ada perubahan status kawasan beliau tetap mendapat insentif usaha ternak bahkan sampai sekarang masih berkebun di kawasan. Secara tidak langsung pengelolaan resolusi konflik yang dilakukan
27 menciptakan “lingkaran setan”2. Lingkaran tersebut berpusat pada ketua Gapoktan yang bertindak sebagai penghubung antara petani penggarap dan pihak TNGGPGR. Ketika petani penggarap mendekat pada lingkaran tersebut maka perubahan terjadi pada peningkatan kesejahtaraan mereka. Begitu pun sebaliknya, ketika memilih untuk menjauh maka nasib akan berbeda. “Lingkaran setan” ini terbentuk akibat dari pemberdayaan setengah hati yang dilakukan. TNGGP-GR mempercayakan seluruh pengelolaan resolusi konflik agraria diatur oleh elit di lapangan. Ketidakmerataan terjadi dalam keiikutsertaan pengelolaan resolusi konflik yang dilakukan (dibahas di bab selanjutnya). Disisi lain, tercipta gap antar anggota kelompok sehingga terjadi perbedaan kepentingan. Hal ini terlihat dari kehidupan beberapa responden yang memilih untuk menjauh dan tetap berpegang teguh pada tujuan utama kelompok tani terdahulu yaitu menggarap lahan di kawasan. Salah satu responden peneliti bercerita bahwa hanya garapan tersebut tempatnya menggantungkan hidup untuk menghidupi tujuh anggota keluarganya. Terkadang mereka bisa tidak makan dalam sehari. Meskipun mereka tetap menggarap, mereka tetap melakukan tanam pohon pada lahan garapannya. “Saya ikutan dulu sama yang 12 orang yang pengurus itu sekarang mah saya sendiri. Merasa sudah tidak cocok lagi....Ya dicukup-cukupin aja neng, kadang ga makan sehari.” (Ab 45)
Sama halnya dengan petani penggarap yang telah menyatakan keluar dari garapan dan hidup menjauhi “lingkaran setan”. Ketika masih menggarap beliau memiliki tiga mobil namun setelah keluar dari garapan hanya tersisa satu mobil. Hal ini menandakan pengelolaan resolusi konflik yang dilakukan untuk peningkatan kesejahteraan petani belum efektif karena tidak keseluruhan petani penggarap yang terangkat kesejahteraannya. Pemetaan Aktor-aktor Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Taman Nasional dengan wewenang dipegang oleh Menteri Kehutanan merupakan unit pelaksana teknis di bawah Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan Koservasi Alam. Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 736/Mentan/X/1982 pada tanggal 6 Maret 1980 menetapkan kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) seluas 15 169 ha. Kawasan TNGGP memiliki ketinggian antara 1 000 – 3 019 mdpl dan merupakan salah satu hutan hujan tropis dataran tinggi. Kawasan TNGGP adalah rangkaian gunung berapi, terutama Gunung Gede (2 958 m dpl) dan Gunung Pangrango (3 019 m dpl). Pengelolaannya sendiri dilakukan oleh Balai TNGGP. Pengelolaan TNGGP dijadikan percontohan bagi Taman Nasional lainnya di Indonesia karena dikenal baik. Adanya perluasan kawasan TNGGP dengan penunjukkan dan perubahan fungsi hutan produksi Perum Perhutani maka ketentuan dan tata aturan yang ditetapkan pun berbeda. Berdasarkan 2
Istilah yang peneliti gunakan sebagai bentuk gejala sosial yang menciptakan gap antar anggota kelompok Gapoktan Sawargi
28 administratifnya kawasan TNGGP terletak di tiga wilayah kabupaten yakni Kabupaten Bogor (4 514.73 ha), Kabupaten Cianjur (3 599.29 ha) dan Kabupaten Sukabumi (6 781.98 ha). Perubahan rezim tata kelola dari Perhutani menjadi kawasan TNGGP membatasi akses masyarakat terhadap kawasan. Perubahan yang terjadi secara tidak langsung dapat menimbulkan konflik. TNGGP mengambil langkah untuk mengantisipasi kondisi tersebut dengan menawarkan beberapa bentuk program pemberdayaan masyarakat, salah satunya adopsi pohon. Lokasi yang dijadikan percontohan yakni Blok Sarongge Girang. TNGGP yang bertujuan untuk merehabilitasi kawasan mengajak masyarakat untuk ikut serta dalam kegiatan pelestarian alam. Pengakomodasian kebutuhan dan keinginan masyarakat diberikan agar pelaksanaan berjalan optimal dan mendapat dukungan positif. Permasalahan pada saat terumuskannya adopsi pohon saat itu adalah pendanaan (AA, Kabid P3). Dalam program adopsi pohon diperlukan pendanaan untuk kegiatan. TNGGP bermitra dengan GR untuk pemasaran. GR juga bertugas sebagai fasilitator, secara rutin melakukan pertemuan setiap seminggu sekali untuk menjalin hubungan baik dengan petani penggarap hutan serta menampung aspirasi petani. TNGGP menyerahkan pengelolaan adopsi pohon kepada GR. MoU kerjasama ini diajukan GR untuk kemudahan dalam akses petani menjalankan adopsi pohon. Masa berlaku MoU kerjasama ini selama 5 tahun. “Kalo pendanaan melalui birokrasi kan lama prosesnya, sedangkan kalo petani butuh apaapa buat adopsi pohon besoknya berarti kan dananya harus ada sekarang.” (TS, Dirut GR)
TNGGP bertugas untuk controlling tiap bulannya. Keputusan mengenai program dan hal-hal yang berkaitan dengan pengembangan desa penyangga tetap pada TNGGP. Laporan dari GR yang berisi kegiatan dan laporan administrasi keuangan dan kegiatan yang dilakukan. Perkumpulan GEDE PAHALA GEDE PAHALA merupakan dua hutan terbesar yang dilindungi di Jawa berupa taman nasional: Taman Nasional Gede Pangrango-Halimun Salak. Rumah bagi beberapa spesies yang paling terancam Jawa. Hutan yang kaya tangkapan air utama yang melayani lebih dari 20 juta orang yang tinggal di lima kota-kota sekitarnya, termasuk Jakarta. Tahun 2003, Kementerian Kehutanan Indonesia membuat surat keputusan perluasan kawasan TNGGP-TNGHS yang membuka kemungkinan menciptakan koridor antara 2 taman nasional tersebut. Perluasan kawasan TN terdiri dari mantan perkebunan yang dikelola oleh Perhutani (BUMN Kehutanan) dalam waktu lama dan lahan gundul atau terdegradasi. Masalah utama pada beberapa bagian perluasan kawasan merupakan bagian wilayah ekspansi yang sedang dirambah oleh masyarakat untuk usaha skala kecil kegiatan pertanian. Tanah garapan biasanya di lereng gunung, dengan kemiringan lebih dari 30 derajat, dan sangat rentan terhadap tanah longsor dan erosi tanah. Vegetasi di lahan kosong biasanya terdiri dari semak-semak dan rumput tinggi dan sering dibersihkan oleh masyarakat yang akan digunakan untuk kegiatan pertanian jangka pendek. Dalam rangka meningkatkan kondisi daerah diperluas, memerlukan program inisiatif untuk mengintegrasikan program-program antara dua Taman
29 Nasional. Untuk tujuan ini, beberapa stakeholder telah sepakat untuk mengembangkan kerjasama bernama Perkumpulan GEDEPAHALA (Gunung Gede Pangrango Halimun Salak). Perkumpulan GEDE PAHALA didirikan pada tahun 1994 berdasarkan kesepakatan 14 lembaga: 1) Direktur Program, Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan; 2) Direktur Sumberdaya Manusia Training Center, Departemen Kehutanan; 3)Sekretaris Hutan Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Kehutanan; 4) Direktur Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Penelitian Indonesia; 5) Kepala Balai TNGGP; 6) Kepala Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB; 7) Kepala Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, UGM; 8) Kepala Departemen Biologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Alam, ITB; 9) Kepala Departemen Biologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Alam, UNPAD; 10) Kepala Pusat Keanekaragaman Hayati, Fakultas Ilmu Pengetahuan Alam, UI; 11) Wakil Ketua IKIP Yogyakarta; 12) Kepala Biologi Science Club; 13) Kornas AWBIndonesia; 14) Kepala STP Bandung. Perkumpulan GEDE PAHALA diresmikan sebagai yayasan terdaftar pada 6 Februari 1999. Perkumpulan GEDE PAHALA telah membantu TNGGP dan TNGHS dalam memberikan rekomendasi perbaikan manajemen sejak tahun 1999-2007 dan memulai dengan program adopsi pohon pada Desember 2007. Pada bulan Oktober 2008, Perkumpulan GEDEPAHALA membentuk tim revitalisasi GEDEPAHALA. Tim ini diketuai oleh Dr Jatna Supriatna (Conservation International Indonesia), diketuai oleh Dr Achmad Sjarmidi (Institut Teknologi Bandung). Tim revitalisasi dibentuk untuk mempercepat pelaksanaan program GEDEPAHALA, khususnya Program Adopsi Pohon. Green Radio (GR) GR didirikan pada Februari 2008 yang dulu bernama radio Utan Kayu. Mulanya ketika terjadi banjir besar di Jakarta pada tahun 2007, dan radio Utan Kayu dijadikan sarana untuk membantu korban banjir. Setelah banjir surut, muncul ide untuk merubah segmentasi radio menjadi radio yang mengangkat isuisu lingkungan. Akhirnya disepakati dan diubah nama menjadi GR. GR tidak hanya ingin sekedar menyiarkan mengenai isu-isu lingkungan tapi ingin mengajak pendengar untuk berbuat melestarikan lingkungan. Salah satunya mengenai banjir, dengan mengajak pendengar memperbaiki keadaan dari hulu dengan menanam pohon. Pihak GR kemudian menemui pihak TNGGP dan mengajukan kerja sama. Banyak wilayah TNGGP yang mengalami kerusakan karena peralihan pengelolaan hasil perluasan dari kawasan eks Perhutani. TNGGP mengusulkan untuk memulai program dari Blok Sarongge Girang. GR merupakan salah satu anggota Perkumpulan GEDE PAHALA dan memulai program adopsi pohon di blok Sarongge Girang. GR berperan sebagai media iklan yang bertugas mencari adopter. GR kemudian mengajukan diri untuk mengelola keuangan adopsi pohon secara mandiri. Pada tahun 2009 dikeluarkan MoU kerjasama baru untuk GR dapat mengelola keuangan secara mandiri dengan syarat melaporkan tiap bulannya ke TNGGP. “Nah kan tantangannya itu, kalo ingin hutannya baik masyarakat juga harus sejahtera. Nah sama paradigma yang disampaikan petani dan kita sama” (TS, Dirut GR).
30 GR sedang mengusulkan untuk ijin pengelolaan ecotourism dengan perizinan pengelolaan selama 55 tahun (masih dalam proses). Pengajuan ijin pengelolaan ini sudah diajukan sejak 3 tahun lalu. Selama MoU pengelolaan adopsi pohon ini berlaku, GR berusaha mengasah skill keluarga petani dibidang selain pertanian seperti pelatihan penyulingan sereh untuk istri petani dan kerajinan tangan. Hal ini dilakukan sebagai mata pencaharian alternatif yang ditawarkan. Gabungan Kelompok Tani Hutan Sawargi Bermula pada tahun 1980an petani penggarap membuka lahan untuk bertani dengan perjanjian PHBM sistem tumpang sari dengan Perhutani. Pada saat perubahan status kawasan tahun 2003, berawal dari pemikiran bagaimana caranya agar petani tetap dapat menggarap di kawasan. Maka dibentuklah Gapoktan Sawargi. Perubahan status dari hutan lindung menjadi hutan konservasi. Adanya perubahan tersebut menandakan tertutupnya akses untuk menggarap. Bukan tidak tahu mengenai hal tersebut, tapi ketergantungan hidup terhadap lahan yang tinggi yang mendasari petani penggarap terus berjuang untuk lahan mereka di kawasan. Sempat terjadi konflik antara petani penggarap dan pihak TNGGP, sampai beradu fisik. Saat itu BBTNGGP masih dipimpin oleh Pak Bambang. Beliau merupakan sosok pemimpin yang cukup keras dan tegas dengan peraturan yang ditetapkan oleh pihak BBTNGGP sama halnya keinginan petani penggarap untuk tetap menggarap dikawasan (DD 36). Permasalahan petani penggarap adalah mereka merupakan petani tanpa lahan. Pada tahun 2005 dibuatlah surat pernyataan yang ditandatangani oleh 66 petani penggarap. Surat pernyataan berisikan perjanjian untuk tetap dapat menggarap dengan ketentuan seperti yang tertulis. Sedikit kilas balik tentang terbentuknya gabungan kelompok tani hutan Sawargi. Pada zaman Perhutani terbentuk 3 kelompok tani, yakni kelompok Pasir Tengah (PT) yang diketuai oleh Pak Aju, kelompok Pasir Kidul (PK) yang diketuai oleh Pak Idris dan kelompok Pasir Leutik (PL) yang diketuai oleh Pak Adeng. Penentuan lahan garapan pada saat itu dengan kocokan dimana perorang mendapat jatah lahan sekitar 7 patok (400 m2/patok). Pak Adeng tidak lama berkebun di kawasan, beliau pindah ke desa lain dan menjadi tengkulak. Saat itu kelompok PT dan PL bersatu yang dipimpin oleh Pak Peni dan Pak Aju. Kelompok tani ini terbentuk hanya sekedarnya saja tanpa ada pengesahan secara hukum. Saat itu kelompok yang terbentuk hanyalah sekedar kumpulan petani penggarap saja. Tercetuskan oleh 12 orang yang memiliki pemikiran bahwa para petani butuh satu payung yang menaungi dan menyatukan agar terjalin keguyuban diantara mereka. Musyawarah pun dilakukan untuk pembentukan gabungan kelompok tani yang diberi nama Sawargi. Peresmian Gapoktan Sawargi yang berbadan hukum pada 22 Desember 2008 dan Surat Keterangan No. 47/17/PC tentang pengukuhan Gapoktan Sawargi pada tanggal 12 Februari 2008. Pada pembentukan Gapoktan Sawargi ini beranggotakan sekitar 50 orang dan bertambah menjadi 58 orang (P 41). Pengurus Gapoktan yang memperjuangkan hak petani untuk menggarap selama 3 bulan.
31 “Saya udah bilang ke semua pihak, biar ga ada kata iya mengijinkan untuk menggarap dari pihak balai TNGGP yang penting mah udah sama-sama tahu. Pihak Desa, Camat, Kabupaten sampe pihak Balai juga udah sama-sama tahu” (DD 36)
Sawargi memiliki arti satu keluarga. Petani penggarap dulunya merupakan petani yang berburu dan merambah hutan serta menebang pohon-pohon yang tinggi saat pengelolaan masih dipegang oleh Perhutani. Penjagaan kawasan hutan produksi lebih ketat dibandingkan dengan pengelolaan hutan konservasi. Zaman Perhutani pengecekan kawasan dilakukan hampir setiap hari sehingga mereka sering diproses polisi hutan (Polhut) jika melakukan pelanggaran. Jumlah anggota kelompok tani pada jaman PHBM sebanyak 206 KK. Ketika kawasan berubah status dan pengelolaan anggota kelompok tani menjadi 154 KK.
Gambar 10 Salah satu surat perjanjian TNGGP dan Gapoktam Sawargi Kawasan telah berubah menjadi taman nasional dengan sistem zonasi. Petani pun masih menggarap. Banyak petugas yang dikeluarkan atau dimutasikan karena merasa iba kepada petani penggarap dengan membiarkan kami menggarap dikawasan (DD 36). Masa perselisihan pendapat itu dibentuklah Pamswakarsa dari blok-blok bukaan yang terkena perluasan yang beranggotakan 115 orang dari 3 bidang wilayah, perwakilan dari Sarongge sendiri ada 5 orang (yang sekarang berubah nama menjadi MMP, Masyarakat Mitra Polhut). Pemberian pelatihan tentang kehutanan seperti pentingnya cagar biosfer dan lain-lain. Beriringan dengan masuknya program adopsi pohon pada tahun 2008, dibuat pula perjanjian antara Gapoktan Sawargi dengan TNGGP. Kesepakatannya berupa petani tidak akan menghentikan kegiatan bertani dikawasan sampai
32 diberikannya alternatif lain untuk petani namun petani tidak boleh menambah luas lahan garapan. Saat itu tujuan petani memang hanya untuk mempertahankan lahan garapan bukan untuk menambah luas garapan.Tidak mudah untuk petani meninggalkan lahan garapan. “Petani itu kan buat perjanjian akan keluar dari garapan dengan jangka waktu selama 3 tahun. Sekarang udah lebih dari 3 tahun masih pada menggarap.” (TS, Dirut GR)
Tabel 4
Karakteristik pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan resolusi konflik
Pihak-Pihak yang Terlibat TNGGP
Perkumpulan GEDE PAHALA
Green Radio
Gapoktan Sawargi
Karakteristik
Peranan
Lembaga pemerintah yang memiliki hak kelola penuh atas wilayah perluasan setelah keluarnya SK Menhut No. 174/Kpts-II/2003. Lembaga yang didirikan pada tahun 1994 atas kesepakatan 14 lembaga dan resmi berdiri sebagai yayasan pada tahun 1999. Radio swasta yang memiliki kemampuan dalam pemasaran program dan pendampingan petani penggarap. Tempat konsultasi dan menampung aspirasi petani penggarap. Berusaha memenuhi kebutuhan hidup dengan cara tetap menggarap wlilayah perluasan yang sebelumnya merupakan lahan garapan mereka dalam program PHBM.
Pelaku utama yang memiliki kewenangan dalam pengambilan kebijakan dan rencana pengelolaan. Memberikan rekomendasi dan perbaikan manajemen pada pengelolaan TNGGP dan TNGHS. Fasilitator antara TNGGP dan petani penggarap hutan, pemasaran adopsi pohon.
Pelaku utama yang melakukan perlawanan dan objek utama dalam pengelolaan resolusi konflik yang dilakukan.
33
SIKAP KELOMPOK TANI Bab ini menjelaskan tentang analisis sikap kelompok tani terhadap pengelolaan resolusi konflik yang dilaksanakan. Sikap anggota kelompok tani dipengaruhi oleh fakta sosial akibat solidaritas mekanis pada kelompok dimana perbedaan tidak dibolehkan. Karakteristik individu pun ditinjau untuk mengenal lebih jauh mengenai responden. Beberapa karakteristik responden seperti umur, tingkat pendidikan, lama tinggal di lokasi, jenis pekerjaan utama dan pekerjaan sampingan, anggota rumah tangga, lokasi dan lama menggarap serta pendapatan. Sejumlah pertanyaan tersebut mencoba mengarahkan pada homogenitas responden. Menurut Durkheim (Jones 2010), fakta sosial terbentuk berdasarkan sifat kolektif bukan dari individu. Fakta sosial mempengaruhi individu dengan aturanaturan yang disepakati bersama. Fakta sosial memberikan tekanan terhadap individu untuk bersikap. Penyajian data yang diperoleh pada tabel 5. Tabel 5 Jumlah dan persentasi petani penggarap terhadap pengelolaan resolusi konflik Sikap Positif Netral Negatif Total
Petani Yang Masih Menggarap Adopsi Pohon Insentif Usaha Ternak f % f % 27 81.8 30 90.9 6 18.2 3 9.1 0 0 0 0 33 100 33 100
Petani Yang Sudah Tidak Menggarap Adopsi Pohon Insentif Usaha Ternak f % F % 12 92.3 10 76.9 1 7.7 3 23.1 0 0 0 0 13 0 13 100
Ket: f = frekuensi Tekanan Fakta Sosial Membentuk Sikap Petani Petani penggarap hutan baik yang telah menyatakan keluar maupun yang masih menggarap memiliki sikap positif baik terhadap adopsi pohon maupun insentif usaha ternak. Hal ini terlihat pada persentasi yang tinggi pada sikap yang positif. Menurut hasil menunjukkan bahwa hipotesis ditolak karena tidak ada perbedaan sikap antara kedua kelompok. Sikap ini berdasarkan mengkompositkan indikator kognitif, afektif dan konatif mereka terhadap bentuk pengelolaan resolusi konflik yang dilakukan. Sikap positif ini terbentuk karena adanya kesadaran bersama bahwa lahan yang mereka garap bukanlah lahan milik pribadi disamping adanya perubahan rezim di kawasan. Perjanjian antara TNGGP dan Gapoktan Sawargi sebagai salah satu bagian dari fakta sosial yang memaksa petani penggarap bersikap positif. Salah satu perjanjian pada tanggal 23 Mei 2005 saat TNGGP masih dikepalai oleh Pak Bambang, pada butir-butir pasal perjanjian petani penggarap dan TNGGP bekerjasama dalam menjaga kawasan. Perjanjian ini ditandatangani petani karena petani memiliki keinginan yang sama yakni diperbolehkan menggarap. Penandatanganan perjanjian insentif usaha ternak dari SBY pun menjadi perwujudan dari sikap positif petani penggarap. Perjanjian tersebut dijadikan untuk menaikkan bargaining position petani penggarap dalam resistensinya
34 (dibahas pada bab selanjutnya). Pada awalnya kelompok tani ini terbentuknya berdasarkan kesamaan kepentingan dengan posisi seluruh anggota sama. Solidaritas mekanis yang terbentuk dalam kelompok ini. Setelah pengesahan di bawah hukum, mulai ada pembagian peran dan tugas sehingga kelompok menjadi semakin kompleks. Kesepakatan profesi yang menyatukan mereka. Hal ini bukan berarti merubah solidaritas kelompok yang terbentuk di dalamnya. Semakin besar kelompok maka semakin banyak kelompok-kelompok kecil yang terbentuk didalamnya. Tetap dengan tekanan collective consciense-hati nurani kolektif terhadap pengelolaan resolusi konflik. Pembedanya hanya pada keputusan untuk tetap menggarap dan keluar dari garapan. Keputusan keluar dari garapan pun dapat berupa cara taktis untuk melawan secara terselubung. Terlihat seperti akomodatif dengan menyatakan keluar dari kawasan namun tetap menuntut terpenuhinya livelihood assets mereka. Populasi yang diduga awalnya homogen ternyata tidak. Munculnya pemimpin-pemimpin elit yang memberontak dalam kelompok informal di dalam kelompok formal (dibahas dibab selanjutnya). Permasalahan lain muncul ketika disadari bahwa pengelolaan resolusi konflik yang dilakukan malah menjadi pemicu konflik internal. Mulai dari iri hati antar sesama anggota Gapoktan Sawargi hingga kasus bantuan SBY. Sikap yang terbentuk pun tidak diiringi dengan kenyataan. Contoh kasus pada petani yang telah menyatakan keluar dari garapan. Ada yang malah menyatakan keluar dari garapan Blok Sarongge Girang tapi pindah ke bukaan Blok Galudra. Ada juga yang melakukannya dengan membentuk opini publik mengenai penyesalannya karena keluar garapan. Hal ini untuk mempengaruhi petani yang masih menggarap untuk tetap bertahan pada garapannya. Realita dan Sikap Tak Sejalan Sikap positif mereka tidak diiringi dengan keikutsertaan pengelolaan resolusi konflik. Salah satu contoh adopsi pohon. Menurut petani penggarap, adopsi pohon tidak mencapai tujuannya untuk pemberdayaan masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan petani penggarap. Berdasarkan wawancara mendalam, banyak responden yang tidak diikutsertakan dalam penanaman adopsi pohon. Jika ada adopter jumlah besar tidak semua petani penggarap yang diikutsertakan untuk membuat galian dan ajir. Kembali lagi pada “lingkaran setan” yang pernah disebutkan sebelumnya. Hanya orang-orang tertentu yang diikutsertakan jika ada adopter dalam jumlah besar. Estimasinya adalah seorang petani dapat membuat 200 lubang galian dalam sehari (DD 36). Itu menjadi alasan tidak diikutsertakannya seluruh petani penggarap. Contoh kasus lain yang terjadi pada salah satu responden yang ikut serta dalam penanaman adopsi pohon, responden menandatangi daftar hadir untuk upah Rp 12 500 namun upah tersebut tidak diberikan padahal yang lain diberikan. Menurut keterangan responden tersebut pulang jam 12 siang, sedangkan yang lain jam 13:00. Peristiwa lain saat adanya bantuan SBY yang diberikan untuk petani penggarap yang masih menggarap. Bantuan ini diberikan untuk “merayu” petani agar mau meninggalkan lahan garapan. Faktanya petani penggarap hanya sekedar
35 menandatangani surat perjanjian. Dibalik itu mereka memiliki kesepakatan bahwa akan keluar jika yang lain juga keluar, tidak hanya menutup blok Sarongge Girang tapi juga blok Galudra dan areal perluasan lainnya. Jika mereka memperlihatkan sikap yang berlawanan dengan yang lainnya maka mereka akan mendapat perlakuan yang berbeda dari kelompok. Sejenis pengucilan dalam pelibatan pengelolaan resolusi konflik. Untuk itu fakta sosial bekerja menekan sikap petani penggarap. Fakta di lapangan tidak semua petani yang telah menyatakan keluar dari garapan mendapat perlakuan yang sama terhadap pengelolaan resolusi konflik agraria yang dilakukan. Pada kasus salah satu responden yang telah menyatakan keluar dari garapan bahwa sejak dia menyatakan keluar dari garapan hingga saat ini tidak pernah menerima atau diikutsertakan dalam pengelolaan resolusi konflik. Ditinjau dari latar belakang responden yang merupakan penduduk pendatang tapi disisi lain responden menggarap sudah sejak bukaan kedua Perhutani. Saat ini responden hanya bekerja sebagai buruh tani. Menurut informan pengelolaan resolusi konflik yang dilakukan sudah mengikutsertakan seluruh petani penggarap hutan. Kembali pada temuan “lingkaran setan” yang terbentuk. Akibat adanya gejala sosial ini terbentuk gap antar anggota Gapoktan Sawargi. Kasus lain yang menunjukkan besar pengaruh aksi kolektif petani memutuskan untuk keluar dari garapan tanpa mementingkan ego pada kasus Hb (30). Saat masih menggarap di kawasan keluarganya memiliki tiga mobil. Ketika Gapoktan memutuskan untuk bersama-sama keluar dari garapan, beliau pun turut serta. Hingga saat ini mobil yang tersisa hanya satu. Pada kelompok petani yang telah menyatakan keluar dari garapan yang terjadi adalah muncul rasa iri hati antara yang mendapat bantuan ternak dan tidak. Tidak diberikannya ganti rugi terhadap petani penggarap pendatang (penggarap < 5 tahun) baik bantuan pada gelombang pertama maupun gelombang kedua seperti pada kasus yang disebutkan di atas. Meskipun nama responden tersebut telah terdaftar sebagai anggota Gapoktan Sawargi. Menurut keterangan sempat ada kesepakatan bersama untuk keluar dari garapan. Petani yang masih bertahan merupakan petani nakal. Perbedaan kesejahteraan pun tetap terlihat antara petani yang telah menyatakan keluar dari garapan. “Ya dulu sepakatnya keluar ya kita keluar. Kan ga enak kalo yang lain keluar kita tetap menggarap.” (Why 32)
Hal tersebut menunjukkan bahwa keputusan bersama pada awal masukknya adopsi pohon mengenai harus keluar dari kawasan bukan merupakan tekanan sosial. Banyaknya petani yang masih menggarap di kawasan merupakan bukti bahwa ikatan yang terbentuk dalam Gapoktan Sawargi tidak kuat akibat dari kepentingan individu. Petani tanpa lahan merasa haus lahan. Tidak sampai disitu saja, sikap positif terhadap insentif usaha ternak pun malah memicu terjadinya konflik. Setelah masuknya bantuan SBY untuk insentif usaha ternak, petani penggarap semakin banyak yang memiliki ternak. Petani yang memiliki ternak memperebutkan rumput untuk pakan ternaknya. Salah satu responden mengaku sempat membeli rumput Rp 10 000/karung untuk makan kambing.
36 Petani sebenarnya dapat menggunakan sayuran yang gagal panen dari kebunnya namun tidak semua ternak bisa makan semua sayuran, salah satunya kelinci. Perlunya proses yang panjang untuk menemukan alternatif mata pencaharian yang tepat bagi petani. Kemampuan tiap individu yang berbeda serta perlunya dipertimbangkan dampak dari tiap bentuk pengelolaan resolusi konflik dipikirkan secara matang.
37
HUBUNGAN SIKAP PETANI DENGAN STRATEGI BERTAHAN Bab ini akan dijabarkan mengenai analisis hubungan sikap responden dengan hubungan strategi bertahan. Strategi bertahan dilihat dari tingkat resistensi dan tingkat ketergantungan. Tingkat resistensi mencerminkan perlawanan petani penggarap yang tetap menggarap di kawasan. Tingkat resistensi ini menunjukkan seberapa besar collective action menjadi dasar petani bertahan di lahan garapan dan hubungannya terhadap sikap petani yang terbentuk berdasarkan fakta sosial. Gejolak Perlawanan Dibalik Sikap Petani Berikut ini dijelaskan analisis mengenai hubungan antara sikap petani baik yang masih menggarap maupun yang telah keluar garapan dengan hubungan tingkat resistensi. Data dirangkum dalam tabel 6. Tabel 6 Jumlah dan persentase sikap petani berdasarkan hubungan dengan tingkat resistensi Petani Yang Masih Menggarap di Kawasan Adopsi Pohon Insentif Usaha Ternak Hubungan Positif Netral Negatif Positif Netral Negatif f % F % f % f % f % f % Tingkat Resistensi Tinggi 19 70 4 67 0 0 20 67 3 100 0 0 Sedang 7 26 2 33 0 0 9 30 0 0 0 0 Rendah 1 4 0 0 0 0 1 3 0 0 0 0 27 100 6 100 0 0 30 100 3 100 0 0 TOTAL Petani Yang Sudah Tidak Menggarap di Kawasan Adopsi Pohon Insentif Usaha Ternak Hubungan Positif Netral Negatif Positif Netral Negatif f % F % f % f % f % f % Tingkat Resistensi Tinggi 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Sedang 0 0 1 100 0 0 0 0 1 33 0 0 Rendah 12 100 0 0 0 0 10 100 2 67 0 0 12 100 1 100 0 0 10 100 3 100 0 0 TOTAL
Ket: f = frekuensi Berdasarkan perhitungan analisis bahwa sikap petani yang sudah menyatakan keluar dari kawasan memiliki hubungan dengan tingkat resistensi mereka. Sikap petani berhubungan searah diikuti dengan keputusan mereka untuk keluar dari kawasan. Tingkat resistensi tergolong rendah. Keputusan mereka untuk keluar dari kawasan berdasarkan kepada kesepakatan bersama pada awal diperkenalkannya adopsi pohon. Berbagai alasan pula yang mendasari hal tersebut, menyadari bahwa lahan garapan mereka bukan lahan milik mereka. Hal ini dilakukan sebagai bentuk tindakan collective action dari kelompok tani hutan pada kesepakatan awal. “Ya saya mah keluar karena kesepakatan awal rame-rame semuanya untuk keluar dari garapan pas awal” (Why 32)
38 Jika ditelaah lebih dalam mengenai keputusan petani penggarap untuk keluar dari garapan dengan tingkat perlawanan yang rendah dijadikan sebagai perlawanan tersirat (seperti yang pernah diulas pada bab sebelumnya). Berbeda halnya dengan petani yang masih menggarap di kawasan. Tidak terdapat hubungan antara sikap petani dengan tingkat resistensi. Hal ini dikarenakan sikap positif mereka yang timbul akibat adanya aturan bersama yang terbentuk memaksa mereka untuk bersikap secara kolektif terhadap pengelolaan resolusi konflik yang dilakukan. Tidak disertai dengan tindakan karena tingkat resistensi mereka yang tinggi. Tingkat resistensi yang tinggi ini muncul karena adanya dukungan dari pihak-pihak yang merasa senasib. Dari 110 petani yang masih menggarap, petani “dipaksa” menandatangani surat perjanjian yang isinya harus keluar dari lahan garapan dengan tenggang waktu 6 bulan (U 50). “Meskipun udah tanda tangan kaya gitu mah saya bakal turun kalo yang lain udah turun juga, neng. Masa Cuma blok ini yang ditutup, kan blok lain masih banyak yang ngegarap” (Ab 45)
Mereka menganggap surat perjanjian tersebut bukanlah tulisan yang mereka buat. Dalam surat tersebut mereka hanya disuruh untuk membubuhi tanda tangan. Mereka tidak merasa terikat dengan perjanjian tersebut namun mereka tetap bersikap positif terhadap pengelolaan resolusi konflik yang dilakukan. Ditinjau pula dari keikutsertaan mereka terhadap insentif usaha ternak. Tingkat resistensi yang tinggi ini muncul akibat collective action dari kumpulan kelompokkelompok kecil dalam kelompok yang tercipta berdasarkan tujuan yang sama. Mereka melakukan pergerakan secara tersembunyi untuk perlawanan demi tuntutan pemenuhan kebutuhan mereka. Muncul pemimpin-pemimpin informal dalam kelompok kecil yang dipicu oleh situasi. Kelompok kecil ini terbentuk karena merasa sumberdaya penghidupan mereka sedang terancam. Pemimpin ini membentuk opini skeptis mengenai pimpinan formal mereka, Ketua Gapoktan. Seperti contoh pada beberapa responden dengan lokasi yang berjauhan. Menurut hasil wawancara mendalam secara “blak-blakan” sangat mengutuk perubahan yang terjadi dalam kelompok besar. Pada awalnya Gapoktan dipersatukan oleh tujuan bersama sekarang menjadi berubah. Petani yang selama ini dianggap homogen ternyata heterogen. Total populasi yang sedikit namun menciptakan perbedaan dengan munculnya kelompok-kelompok informal. Petani yang dianggap solid ternyata malah memunculkan kepentingan individu mereka. Bersatu melalui kelompok informal dan bertindak atas nama kelompok. Situasi perlawanan ini dapat memicu revolusi karena saat ini petani yang masih menggarap sampai pada taraf agresi. Dengan melalui cara mempertahankan lahan garapan mereka untuk menaikkan bargaining position untuk mendapatkan bentuk pengelolaan resolusi konflik melebihi dari yang ditawarkan saat ini. Mereka menyatukan suara untuk tidak keluar dari garapan jika blok lain belum ditutup bukaannya. Pemimpin-pemimpin yang muncul baik dari petani yang keluar garapan maupun masih menggarap seperti mendesain perlawanan secara terselubung.
39 Hal lain di lapangan yakni pengelolaan resolusi konflik yang dilakukan tidak secara efektif mengeluarkan petani dari lahan garapan. Selama 4 tahun berlangsungnya pengelolaan, terdapat petani yang masih menggarap di kawasan tetapi juga dikatakan sukses dalam ternak. Tujuan pemberian insentif ternak yang pada awalnya dikira dapat membuat petani penggarap sibuk mengurus ternak sehingga melupakan garapan di kawasan malah dijadikan sebagai weapon of the weak. Mereka menyewa buruh tani untuk menggarap lahan mereka di kawasan selagi mereka beternak. Petani penggarap yang telah menandatangani perjanjian bantuan SBY tersebut ada yang merasa tidak masalah untuk keluar garapan karena lahan di garapan bukan merupakan pekerjaan utama. Tingkat resistensi pada responden yang menjadikan petani penggarap sebagai pekerjaan sampingan berada pada kategori sedang. Mereka tetap menggarap di kawasan hanya sampai pada batas waktu yang telah di sepakati. Petani yang telah menyatakan keluar pun tidak semua berpendapat baik mengenai pengelolaan resolusi konflik yang dilakukan. Mereka yang bergerak menjauhi “lingkaran setan” masih mencari alternatif pekerjaan sesuai dengan passionnya. Salah satu responden pun menyatakan tidak senang dengan pengelolaan resolusi konflik yang dilakukan namun mau tidak mau akibat fakta sosial yang disepakati bersama responden pun mengikuti alur mainnya. Lahanku Hidupku Versus Solidaritas Kelompok Berikut ini dijelaskan analisis mengenai hubungan antara sikap petani baik yang masih menggarap maupun yang telah keluar garapan dengan hubungan tingkat ketergantungan. Data dirangkum dalam tabel 7. Tabel 7
Jumlah dan persentase sikap petani berdasarkan hubungan dengan tingkat ketergantungan Hubungan
Tingkat Ketergantungan Tinggi Sedang Rendah TOTAL
Petani Yang Masih Menggarap di Kawasan Adopsi Pohon Insentif Usaha Ternak Positif Netral Negatif Positif Netral Negatif f
%
f
%
f
%
f
%
f
%
f
%
17 63 4 67 0 0 18 60 3 100 0 0 8 30 2 33 0 0 10 33 0 0 0 0 2 7 0 0 0 0 2 7 0 0 0 0 27 100 6 100 0 0 30 100 3 100 0 0 Petani Yang Sudah Tidak Menggarap di Kawasan Adopsi Pohon Insentif Usaha Ternak Hubungan Positif Netral Negatif Positif Netral Negatif Tingkat f % f % f % f % f % f % Ketergantungan Tinggi 2 17 0 0 0 0 1 10 1 33 0 0 Sedang 10 83 1 100 0 0 9 90 2 67 0 0 Rendah 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 12 100 1 100 0 0 10 100 3 100 0 0 TOTAL
Ket: f = frekuensi Berdasarkan perhitungan menunjukkan bahwa tidak ada hubungan sikap petani penggarap dengan tingkat ketergantungan petani baik petani yang masih
40 menggarap maupun petani yang telah menyatakan keluar dari garapannya. Tingkat ketergantungan petani yang berdasarkan pada kebutuhan individu serta makna lahan garapan terhadap diri mereka. Sikap hasil kolektif tidak menunjukkan hubungan terhadap motif individu petani penggarap. Perbedaannya yakni pada petani yang sudah menyatakan keluar dari garapan memiliki ketergantungan yang sedang karena merasa sudah ada alternatif mata pencaharian pengganti walaupun hasilnya tidak seberapa. Berbeda halnya dengan petani yang masih menggarap yang memiliki tingkat ketergantungan tinggi. Pemikiran mengenai alternatif pengganti belum mengakomodasikan kebutuhan mereka sehingga lahan garapan masih menjadi gantungan hidup utama mereka. Tabel 8 Mata pencaharian responden petani yang telah menyatakan keluar dari garapan No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Nomor Kuisioner 7 15 47 46 11 41 14 26 33 31 40 43 42
Kode 1, 4, 7 1, 4 1, 2 2,4 1, 4, 7 2 1, 8 2, 7 1, 2, 3, 6 2, 3 2,3 2, 3 2
Keterangan: 1 : Petani 2 : Buruh Tani 3 : Ojeg 4 : Peternak 5 : Pegawai BFI/Strawberry 6 : Pedagang 7 : Pegawai Camping Ground 8: Lain-lain
Contohnya berdasarkan informan, ada salah satu petani penggarap yang telah menyatakan keluar dari garapan dengan alasan keputusan bersama namun petani tersebut malah pindah garapan di blok Galudra. Hal ini menunjukkan bahwa ketergantungan yang cukup besar terhadap lahan sampai membuat keputusan untuk membuka lahan garapan di blok lain. Padahal dengan peraturan yang ditetapkan sama bahwa kawasan tidak boleh dieksploitasi dalam bentuk apapun. Perbedaannya antara petani penggarap yang masih menggarap tingkat ketergantungannya tinggi, sedangkan petani yang telah menyatakan keluar dari garapan memiliki nilai ketergantungan yang tergolong sedang. Permasalahan yang paling vital yakni tidak mudah merubah seorang petani menjadi peternak. Biar bagaimana pun masalah petani adalah masalah keterikatannya dengan lahan. “Saya mah emang udah jiwanya petani biar bagaimana pun juga usaha saya untuk berubah pasti saya bakal balik lagi jadi petani, neng.” (Drt 40)
Salah satu kasus yang dialami oleh salah satu responden. Responden telah mengikuti pengelolaan resolusi konflik yang telah berjalan selama 4 tahun namun masuk tahun ke-5, responden mulai mencari-cari lahan sewaan dan pada akhirnya kembali bertani. Seberapa keras usaha untuk menjalani alternatif mata
41 pencaharian, pada titik jenuh pasti akan kembali bertani. Mereka beranggapan bahwa mereka dilahirkan sebagai petani dengan jiwa petani yang akan kembali bertani. Sisi lain dari sikap petani yang positif terhadap pengelolaan resolusi konflik malah meciptakan pergolakan dibalik layar. Pengelolaan resolusi konflik yang dilakukan malah menjadi ancaman “bom waktu” yang akan meledak suatu saat. Saat petani penggarap yang melakukan resistensi secara terselubung merasa cukup kekuatan untuk melakukan pergerakan. Ketergantungan yang dialami masingmasing individu akan lahannya namun dituntut akan solidaritas kelompok. Tekanan yang dirasakan dari kelompok yang mengalahkan kepentingan individu. Mau tidak mau kelompok petani memberikan tekanan untuk menentukan sikap dan keputusan petani. Perlu ditekankan bahwa permasalahannya adalah bagaimana jiwa sebagai petani dapat terpenuhi dikala tuntutan alternatif mata pencaharian tidak boleh berhubungan dengan lahan. Masuknya kepentingan suprastruktur yang menyebabkan goyahnya kondisi sosial kelompok kecil. Dihadapkannya antara pemilik kekuasaan dan kelompok tidak berkuasa. Masing-masing kelompok mengumpulkan kekuatan mereka. “Dulu saya nyewa lahan mba tapi pas tahun 2010 itu ada perluasan strawberry yang punya orang belanda itu tanah yang saya sewa ntah itu dijual atau disewain ke strawberry makanya saya pindah ngegarap di kawasan” (Et 36).
Masalah keterbatasan lahan yang tersedia dengan jumlah petani yang banyak bisa saja diatasi jika dengan tegas pemerintah membatasi ekspansi perkebunan berry yang ada. Sangat disayangkan ketika kunjungan SBY tidak memberi banyak tanggapan mengenai hal ini. Bantuan yang diberikan SBY bisa juga dibelikan tanah untuk dikelola per kelompok tani. Hal ini meninjau dari ketidakmudahan merubah seorang petani yang memiliki ikatan terhadap lahannya menjadi peternak atau pekerjaan lain yang tidak berhubungan dengan lahan. Alasan petani lebih memilih bertani karena dengan bertani mereka bisa mendapat pendapatan harian. Beberapa responden berpendapat bisa saja mereka keluar dari garapan asal ada alternatif mata pencarian yang bisa menjanjikan tiap harinya. Menurut mereka beternak kambing hasilnya musiman sedangkan tidak semua orang telaten dalam beternak kelinci.
42
43
SIMPULAN DAN SARAN Bagian ini mengulas mengenai kesimpulan hasil penelitian mengenai sikap kelomok tani serta hubungannya terhadap strategi bertahan petani. Dilakukan di Desa Ciputri Blok Sarongge Girang, Cianjur. Kesimpulan yang diambil adalah jawaban dari permasalahan dan tujuan yang diangkat pada bagian awal karya ilmiah ini. Bagian ini disertai pula dengan saran yang membangun terhadap penelitian serupa agar tercipta kebermanfaatan dan juga keberlanjutan untuk penelitian yang lebih baik lagi. Simpulan Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah manajemen pengelolaan resolusi konflik yang berupa fasilitasi dan koordinasi membentuk sikap petani penggarap. Hasil yang didapat yakni kesamaan sikap petani baik yang masih menggarap maupun tidak, sikap positif. Sikap positif ini terbentuk akibat adanya tekanan fakta sosial dari aturan organisasi yang terbentuk. Hal ini berdasarkan perjanjian-perjanjian yang disepakati oleh Gapoktan Sawargi, GR dan TNGGP. Yang membedakan adalah keikutsertaan mereka dalam pengelolaan resolusi konflik yang dilakukan akibat dampak dari “lingkaran setan”. Bentuk perlawanan hanya muncul pada tingkatan grup sedangkan sikap terbentuk berdasarkan tekanan fakta sosial pada tingkatan organisasi. Hanya terdapat hubungan antara tingkat resistensi dan sikap petani yang sudah menyatakan keluar dari garapan. Hal tersebut bisa merupakan perlawanan secara taktis, seolah-olah akomodatif namun melakukan perlawanan secara tersembunyi. Tidak terdapat hubungan antara tingkat ketergantungan petani penggarap dan tingkat resistensi petani yang masih menggarap dengan sikap yang terbentuk. Bentuk perlawanan pada petani yang masih menggarap juga terjadi secara latent dibalik organisasi Gapoktan Sawargi. Tertutupi oleh sikap yang dibentuk oleh organisasi. Tingkat ketergantungan petani muncul dari masing-masing individu memaknai lahan garapan mereka. Sikap petani muncul berdasarkan solidaritas mekanis dan fakta sosial. Saran Pengelolaan resolusi konflik yang dilakukan tidak hanya sekedar pencarian alternatif pekerjaan lain selain bertani. Mempertimbangkan keterikatan yang terjalin antara petani dan lahannya, tidak mudah merubah jiwa seorang petani menjadi peternak misalnya. Hasil analisis mengenai pengelolaan resolusi konflik yang dilakukan menunjukkan usaha ternak hanya sebagai usaha sampingan bukan pengganti pekerjaan utama yakni bertani. Mengenai usaha ternak yang diberikan, terjadi pula perebutan pakan ternak (rumput) antar para petani yang mendapat insentif ternak. Saran yang bisa disampaikan terkait dengan hal tersebut diantaranya: 1. Perlu pertimbangan lebih lanjut mengenai alternatif mata pencaharian yang dapat menggantikan bertani untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
44 2.
3.
Perlunya dialog kolaboratif secara lebih lanjut mengenai kepentingan petani dan taman nasional karena meninjau situasi yang tercipta saat ini terdapat konflik laten yang bisa mencuat kapan saja. Perlunya kerjasama antara berbagai pihak dalam pelestarian alam.
45
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2012. What is a national park?. [internet]. [diunduh 2013 Februari 5]. Tersedia pada: http://www.environment.nsw.gov.au/edresources/WhatIsANationalPark.htm Anonim. 2011. Teori dan manajemen konflik. [internet]. [diunduh 2013Februari 17]. Tersedia pada: http://www.gudangmateri.com/2011/06/teori-danmanajemen-konflik.html Griffin RW. 2006. Business, 8th Edition. NJ: Prentice Hall. Fuad FH dan Maskanah S. 2000. Inovasi Penyelesaian Sengketa Pengelolaan Sumber Daya Hutan. Bogor: Pustaka LATIN. [LIPI] Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2012. Laporan kajian: Penanganan Konflik Agraria di Wilayah Indonesia. Jakarta: LIPI. Jones PIP. 2010. Pengantar teori-teori sosial: Dari teori fungsional hingga post modernisme. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Merton RK. 2013. Manifest and latent function [internet]. [diunduh tanggal 2013 Mei 23]. Tersedia pada: http://www.pravo.unizg.hr/_download/repository/Merton,_Manifest_and_L atent_Functions.pdf Olson M. 1980. The logic of collective action: Public goods and the theory of groups. USA: Harvard University Press Ritzer G dan Douglas JG. 2010. Teori Sosiologi Modern Ed.6 . Jakarta: Kencana Prenada Media. Safitri MA. 2012. Pluralisme hukum di tengah konflik agraria. [diunduh 2012 September 16]. Tersedia pada: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f28f1fada9a1/pluralismehukum-di-tengah-konflik-agraria Sarwono SW. 2002. Psikologi Sosial: Individu dan Teori – Teori Psikologi Sosial. Jakarta: Balai Pustaka. Sunarto K. 1993. Pengantar sosiologi. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Tadjudin D. 1999. Pengelolaan hutan masa depan dan implikasinya terhadap strategi pelatihan. Makalah disajikan dalam Lokakarya Nasional “Reposisi Pendidikan dan Pelatihan Mendukung Implementasi Desentralisasi Menuju Pengelolaan Hutan Yang Lestari”. DFID-Pusdiklat Dephutbun, Jakarta, 2223 September 1999.
46 Tadjudin D. 2000. Manajemen Kolaborasi. Bogor [ID] Pusaka Latin. Tauchid M. 2009. Masalah Agraria: Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia. Yogyakarta: STPN Press. [UU] Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Wan, Ca, Jpnn. 2012. Ketika tanah menjadi pemicu konflik: Aroma kongkalikong dan minim komunikasi [internet]. [diunduh tanggal 2013 Mei 22]. Tersedia pada: http://ppadangekspres.co.id/?news=berita&id=20331 Winarto B. 2012. Kamus Rimbawan edisi revisi. Bogor: Kementrian Kehutanan. Wiradi G et.al. 2009. Ranah Studi Agraria: Penguasaan Tanah dan Hubungan Agraris. Yogyakarta: STPN Press. Wiradi G. 2009. Seluk Beluk Masalah Agraria: Reforma Agraria dan Penelitian Agraria. Yogyakarta. STPN Press.
47 Lampiran 1 Kerangka sampling Daftar Responden Anggota Kelompok Tani Sawargi Yang Masih Bertani Di Dalam Kawasan No
Nama
39
Uj
78
Ast
1
U
40
Sh
79
Ei
2
Eb
41
Hsn
80
Ab
3
Em
42
Nsr
81
Brn
4
Ra
43
Amm
82
Ak
5
Dy
44
Mt
83
De
6
Wr
45
Hlm
84
Apd
7
Dw
46
Krm
85
Ayc
8
Dnd
47
Jgp
86
Ydn
9
Ib
48
Eks
87
Jhn
10
Nnh
49
Do
88
Slh
11
Dib
50
Jmt
89
Jge
12
Amj
51
Ang
90
As
13
Slhd
52
Kyt
91
Ems
14
Et
53
Ads
92
Jgen
15
Ud
54
Dei
93
O
16
Ddg
55
Ent
94
Apu
17
Enk
56
Di
95
El
18
Mn
57
Aoh
96
Jgpn
19
Ug
58
Jgr
97
Kmr
20
Slp
59
Tjd
98
Udk
21
Odn
60
Hmz
99
Cpt
22
Jgl
61
Idg
100
Eclt
23
Oc
62
Ed
101
Al
24
Snd
63
Obr
102
Ajh
25
Hri
64
Jgh
103
Jgw
26
Jg
65
Eng
104
End
27
Dhs
66
Ado
105
Jgu
28
Mw
67
A
106
Ay
29
Bbn
68
Hre
107
Owr
30
Il
69
Dom
108
Fdl
31
Hrm
70
Apm
109
Dtg
32
R
71
Hyn
110
Idt
33
Drt
72
Cp
34
Edn
73
Day
35
Abn
74
Bsn
: BERMASALAH
36
Dn
75
Cpi
: SAMPEL
37
Mhd
76
Pul
38
Nd
77
Dneh
48 Daftar Responden Anggota Kelompok Tani Sawargi Telah Keluar (Tidak Bertani) Di Kawasan
1
Sms
31
Amr
2
Agd
32
Ok
3
Ung
33
Why
4
Pdn
34
Jhn
5
Dhb
35
Tkm
6
Hb
36
Jn
7
Ign
37
Egc
8
Eng
38
Ust.Ep
9
Ar
39
Da
10
Mk
40
Dhs
11
Dmn
41
Ph
12
Dd
42
Rhm
13
Mks
43
Cu
14
Dn
44
Atg
15
Up
45
Dkr
16
Msbh
17
Om
18
Ndi
19
Mh
20
Pn
21
Md
: BERMASALAH
22
Mdh
: RESPONDEN
23
Hyn
: MENINGGAL
24
Ti
25
Yd
26
Smd
27
Ay
28
Pr
29
Prd
30
Idm
A : KELUAR DESA
49 Lampiran 2 Jadwal Pelaksanaan Penelitian Tahun 2013 Kegiatan Penyusunan Proposal Skripsi Survei Lokasi Penjajakan Lokasi dan Stakeholder Kolokium Perbaikan Proposal Pengambilan Data Lapang Pengolahan dan Analisis Data Penulisan Draft Skripsi Sidang Skripsi Perbaikan Skripsi
Feb Maret April Mei Juni 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3
50 Lampiran 3 Dokumentasi
Survei lokasi pertama
Ternak kelinci
Lahan garapan di lokasi adopsi pohon
Acara syukuran kandang kambing bantuan SBY
Wawancara responden
Ikutan manen di kebun
51
Mengurus SIMAKSI Penelitian
Rangon di Camping Ground
Dibawah pohon Ki Hujan berumur 200 tahun with Bu Melani dan Dessy
Perpustakaan di Basecamp SOF
Rumah pohon di Camping Ground
Dikasih semangat sama bocil Sarongge
52
berdoa sebelum berangkat penelitian
abis ikutan manen joget di kebun teh
belajar bikin kerupuk sama ibu-ibu dan anakanak
pesta duren di SOF bareng emma dan anakanak SOF
nyungsep ditengah hutan bekas kebun petani
di atas rumah pohon
53
kebun rasberry milik hanz
tmpat pembibitan untuk adopsi pohon
ojek mau angkut hasil panen di kawasan
mampir ke tempat pengepul sayuran organik dan non-organik
abis wawancara di kandang kambing central
bakso sarongge
54 Lampiran 4 Cerpen
Lahan ku adalah hidup ku Oleh @irmaboiim
Petani bukan hanya sebagai sebuah profesi. Petani adalah jiwa yang tidak bisa terpisahkan dari diriku. Seberapa besar usahaku untuk beralih profesi, seberapa keras usahaku untuk menjalani pekerjaan lain yang ditawarkan oleh pihak TNGGP dan Green Radio namun hasratku dalam bertani tetap timbul dan membuatku berputar otak untuk memenuhinya. Bukan keinginanku untuk menggarap di kawasan TNGGP. Aku pun tahu larangan untuk tidak menggarap di kawasan. Bermula pada tahun 1980an orang tuaku membuka lahan untuk bertani dengan perjanjian PHBM sistem tumpang sari dengan Perum Perhutani. Kala itu aku hanya membantu orang tuaku berkebun di kawasan. Pada saat perubahan status kawasan tahun 2003, yang aku dan kawankawan seperjuanganku pikirkan adalah bagaimana caranya agar kami tetap dapat menggarap di kawasan. Perubahan status dari hutan lindung menjadi hutan konservasi. Kami tahu peraturan yang berlaku, kami tahu apa hukuman yang akan kami dapatkan. Masalah utama adalah keberlangsungan hidup keluargaku. Masa depan anak-anakku. Akhirnya perjanjian antara petani penggarap dan pihak TNGGP pun dibuat. Kesepakatannya berupa kami tidak akan menghentikan kegiatan bertani di kawasan sampai diberikannya alternatif lain untuk kami namun kami tidak boleh menambah lahan garapan kami. Saat itu tujuan kami memang hanya untuk mempertahankan lahan garapan bukan untuk menambah luas garapan kami. Sempat terjadi terjadi konflik antara kami dan pihak TNGGP, sampai beradu fisik. Saat itu BBTNGGP masih dipimpin oleh Pak Bambang. Beliau merupakan sosok pemimpin yang cukup keras dan tegas dengan peraturan yang ditetapkan oleh pihak BBTNGGP sama halnya keinginan kami untuk tetap menggarap di kawasan. Kami sangat mempertahankan keinginan kami karena permasalahan kami adalah kami petani tanpa lahan. Hanya lahan di kawasan tempat kami menggantungkan hidup selama ini. Sedikit kilas balik tentang terbentuknya gabungan kelompok tani hutan Sawargi. Pada jaman Perhutani terbentuk 3 kelompok tani, yakni kelompok Pasir Tengah (PT) yang diketuai oleh Pak Aju, kelompok Pasir Kidul (PK) yang diketuai oleh Pak Idris dan kelompok Pasir Leutik (PL) yang diketuai oleh Pak Adeng. Penentuan lahan garapan pada saat itu dengan kocokan dimana perorang mendapat jatah lahan sekitar 7 patok (400 m2/patok). Pak Adeng tidak lama berkebun dikawasan, beliau pindah ke desa lain dan menjadi tengkulak. Saat itu kelompok PT dan PL bersatu yang dipimpin oleh Pak Peni dan Pak Aju. Kelompok tani ini terbentuk hanya sekedarnya saja tanpa ada pengesahan secara hukum. Aku dan sekumpulan teman-temanku berinisiatif untuk mempesatukan kami dalam satu payung yang akhirnya tercetuslah gabungan kelompok tani hutan (Gapoktan) yang kami beri nama Sawargi. Sawargi sendiri yang berarti satu keluarga dimaksudkan agar kami memiliki ikatan keluarga. Peresmian Gapoktan Sawargi yang berbadan hukum pada tahun 2008 Pada pembentukan Gapoktan Sawargi ini beranggotakan sekitar 50
55 orang dan bertambah menjadi 58 orang dengan pengurusnya sebanyak 12 orang. Kami para penguruslah yang memperjuangkan hak petani untuk menggarap selama 3 bulan. “Saya udah bilang ke semua pihak, biar ga ada kata iya mengijinkan untuk menggarap dari pihak balai TNGGP yang penting mah udah sama-sama tahu. Pihak Desa, Camat, Kabupaten sampe pihak Balai juga udah sama-sama tahu” (DD 36)
Kami dulu merupakan petani yang berburu dan merambah hutan serta menebang pohon-pohon yang tinggi saat pengelolaan masih dipegang oleh Perhutani. Penjagaan kawasan hutan produksi lebih ketat dibandingkan dengan pengelolaan hutan konservasi. Jaman Perhutani pengecekan kawasan dilakukan hampir setiap hari sehingga kami sering diproses polisi hutan (Polhut) jika melakukan pelanggaran. Jumlah anggota kelompok tani pada jaman PHBM sebanyak 206 KK. Ketika kawasan berubah status dan pengelolaan anggota kelompok tani menjadi 154 KK. Kawasan telah berubah menjadi Taman Nasional dengan sistem zonasi. Kami pun masih tetap menggarap. Banyak petugas yang dikeluarkan atau dimutasikan karena merasa iba kepada kami dengan membiarkan kami menggarap dikawasan. Masa perselisihan pendapat itu dibentuklah Pamswakarsa dari blok-blok bukaan yang terkena perluasan yang beranggotakan 115 orang dari 3 bidang wilayah, perwakilan dari Sarongge sendiri ada 5 orang termasuk DD (yang sekarang berubah nama menjadi MMP, Masyarakat Mitra Polhut). Kami diberikan pelatihan tentang kehutanan seperti pentingnya cagar biosfer dan lain-lain. Tahun 2008, masuknya program Adopsi Pohon yang bertujuan untuk rehabilitasi dan restorasi kawasan, kami menyebutnya penghijauan hutan. Program ini bertujuan untuk pemberdayaan masyarakat namun sebagian besar dari kami tidak merasa diberdayakan dengan adanya program adopsi pohon. Alhasil dari kedatangan program tersebut adalah kebun kami terinjak-injak oleh orang-orang Jakarta yang datang dan mengaku ingin menanam pohon. Sakit hatiku melihat kejadian ini. Tidak terpikirkah oleh mereka bahwa aku dan petani yang lain bersusah payah mengelola kebun kami. Untuk membeli bibit saja kami sampai berhutang. Kalau sudah begini kami harus salahkan siapa? Akhirnya kami memutuskan untuk menanam sendiri pohon di lahan garapan kami dengan membeli bibit sendiri. Aku melihat bahwa pohon di lahan garapan yang telah ditinggalkan oleh rekanrekanku malah mati bahkan tumbang oleh angin kencang. Program adopsi pohon ini diperkenalkan pada kami oleh Pak TS, beliau merupakan Direktur Utama Green Radio (GR) di Jakarta. Radio yang diresmikan pada Februari 2008 ini terbentuknya dilatarbelakangi oleh bencana banjir besar di Jakarta pada tahun 2007, dulu bernama radio Utan Kayu, yang menjadikan radio tersebut sebagai sarana penyalur bantuan pada korban banjir. Setelah banjir surut, tercetuslah ide untuk merubah radio menjadi berbasis lingkungan. GR tidak hanya ingin menyiarkan tentang isu lingkungan terkini namun ingin mengajak pendengar untuk berbuat menjaga lingkungan. Tidak hanya ucapan tapi juga perbuatan. Tujuannya adalah mengajak masyarakat hilir untuk sama-sama memperbaiki keadaan hulu dan
56 terpilihlah Blok Sarongge Girang. Pada awalnya pengelolaan adopsi pohon ditangani oleh GEDE PAHALA karena pengeluaran biaya secara birokrasi cukup rumit akhirnya GR mengajukan ijin agar adopsi pohon sepenuhnya dikelola oleh GR dengan catatan seluruh laporan diberikan ke pihak TNGGP. Pada tahun 2009 GR diberikan kontrak baru MoU yang berlaku selama 5 tahun. Pengelolaan keuangan berdasarkan GR yakni 40% untuk pengelolaan penanaman, 45% untuk alternatif insentif mata pencaharian dan 15% untuk promosi radio. Masyarakat tetap memiliki akses dengan hutan namun bukan dengan caranya yang dulu menjadi visi utama GR dalam mengelola Blok Sarongge Girang. Kedatangan Pak TS cs pada hari Jumat ke lahan garapan kami, saat itu aku dan beberapa petani tidak sholat jumat, sangat menyentak kegiatan kami. Kami kaget, lari dan bersembunyi. Alasannya karena kami takut ditangkap dan kami malu karena kami tidak sholat jumat. “Hey, jangan lari. Saya bukan orang jahat. Saya hanya ingin berbincang-bincang dan mencari Pak Dd. Orang bilang ini lahan garapannya.” (TS)
Aku yang memutuskan untuk tetap bersembunyi dan memantau dari jauh. Ku lihat dari kejauhan DD datang menghampirinya. Samar kudengar percakapan mereka, tapi yang kutahu bahwa DD tidak mengakui namanya sebagai DD. Tidak lama kemudian kami yang bersembunyi dipanggil untuk keluar dari persembunyian oleh Pak DD dan duduk bersama di rangon. Selama perbincangan antara kami setiap perkataan dan keluhan dicatat oleh Pak TS tidak lama beliau meminta kami untuk mendampingi beliau untuk berkeliling melihat sampai sejauh mana lokasi garapan kami. Aku tidak habis pikir karena apa yang dilihat pasti dicatatnya dan diambil gambarnya. Setelah kunjungan ke lahan, beliau ingin mengunjungi rumah DD. Kami bergegas menuju rumah DD melalui jalur lain. Pak TS tercengang karena orang yang pertama kali yang beliau temui di kawasan ternyata DD. Pak TS pun menceritakan rencana beliau ke depan dengan para petani penggarap. Mulailah adopsi pohon dilaksanakan dikala aku dan petani lain masih tidak terlalu paham mengenai apa itu adopsi pohon. Penanaman pohon pertama kali pada April 2008. Kami hanya melakukan apa yang disuruh namun hati kami masih setengah hati karena dipikiran kami pada saat itu adalah “jika pohon ini tumbuh besar sayuran di kebun akan kurang pencahayaan mataharinya. Kalau begini caranya sayuran ga akan mungkin bisa dipanen”. Kami diberikan upah 25ribu/hari untuk penanaman pohon yang diiringi upacara peletakkan tanaman pertama oleh orang yang memberikan dana yang mereka sebut itu dengan adopter. Konflik batin terjadi dalam diriku untuk tetap merawat tanaman itu agar tumbuh besar atau mempertahankan sayuranku untuk hidup keluargaku. Aku dan beberapa kawanku pun berbuat nekat untuk mengubur tanaman yang mengganggu sayuran kami atau memangkas ranting-ranting yang mengganggu pencahayaan ke kebun kami. Akhirnya kami sadar bahwa yang kami lakukan salah. Perlahan kami mulai menghentikan kegiatan perusakan tersebut.
57 Aku pun mulai merasakan perubahan dalam Gapoktan Sawargi. Entah ini hanya perasaanku saja namun aku merasa kami mulai terbagi menjadi dua bagian. Kami yang dulunya bersatu untuk memperjuangkan kepentingan kami bersama, satu persatu mulai menyatakan keluar dari kawasan. Aku tidak habis pikir sekarang kami memiliki kepentingan yang berbeda dari para pihak. Kami yang masih bertahan dikawasan sebisa mungkin akan tetap mempertahankan lahan garapan kami. Bukan karena kami tidak ingin melestarikan kawasan. Sekali lagi aku tekankan ini untuk keberlangsungan hidup keluargaku dan kami adalah petani tanpa lahan. Reward bantuan ternak kelinci atau domba pun mulai diberikan bagi kami yang merawat tanaman hutan itu agar dapat tumbuh. Aku tahu maksud pemberian itu agar kami menemukan alternatif mata pencaharian lain agar kami menghentikan kegiatan menggarap di kawasan. Aku lihat beberapa teman petaniku sukses dalam bertani kelinci, ada juga yang sukses berternak kambing. Sukses yang aku maksud disini adalah mereka yang aku anggap bisa memperbaiki ekonomi keluarganya dan aku anggap cukup mapan dengan kepemilikan assetnya saat ini. Semenjak bantuan tersebut dibentuklah kelompok ternak kelinci dan kelompok ternak kambing. Aku tidak habis pikir, semenjak adanya bantuan ternak yang terjadi pada petani yang masih menggarap adalah pola nafkah ganda. Bukannya mereka keluar dari kawasan tapi sebagian besar tetap beternak dan menggarap di kawasan. Mereka menyewa buruh tani untuk menggarap lahan mereka di kawasan, sesekali mereka menengok untuk mengawasi pekerjaan para buruh sewaan. Sejujurnya bukannya aku tidak mau mencoba untuk beternak, aku pun pernah menerima bantuan ternak tersebut namun yang terjadi adalah kelinciku mati semua. Aku merasa tidak berbakat dalam beternak. Aku berusaha sekuat yang aku bisa untuk mencari alternatif pekerjaan lain karena aku tau suatu saat seluruh petani wajib keluar dari garapan di kawasan. Pernah ada bantuan ternak lebah namun gagal karena penggunaan pestisida yang berlebihan oleh petani. Tidak terasa hubungan petani penggarap, GR dan TNGGP sudah terjalin selama hampir 5 tahun. Pak TS yang ingin sekali menjadikan Sarongge sebagai kampung ecotourism merumuskan camping ground di kawasan adopsi pohon sehingga adopter yang ingin menanam dapat menikmati alam disekitar kawasan. Disuatu hari kampung Sarongge Girang digemparkan dengan berita akan kedatangan Presiden SBY pada tanggal 8 Januari 2013. Kedatangan beliau ke Sarongge selain untuk melakukan adopsi pohon juga memberikan bantuan dana untuk kampung Sarongge sebesar Rp 1,175 milyar. Bukan uang yang sedikit bagi kami. Alokasinya untuk peternak kelinci sebesar 100 juta dan 400 juta untuk ternak domba, 150 juta untuk GR yang tadinya akan digunakan untuk pembangunan sekretariat bersama oleh volunteer (Radio Komunitas Edelwies yang dibangun oleh GR) namun terjadi salah penggunaan disini yang nanti akan aku ceritakan seiring dengan terungkapnya fakta-fakta yang baru kusadari belakangan ini bersama teman-temanku. Bantuan yang diberikan SBY untuk petani penggarap malah menjadikan bencana bagi kami. Terjadi perselisihan antar anggota Gapoktan baik yang sudah keluar kawasan maupun yang masih menggarap. Konflik
58 ini terjadi cukup alot karena dari masing-masing pihak tetap mempertahankan pendapatnya bahkan salah satu teman petaniku datang sambil membawa sebilah golok. Aku sangat terkejut. Saat itu aku tidak tau harus berbuat apa karena situasi cukup kacau sampai beberapa minggu. Aku mulai menelisik dan mengetahui fakta-fakta yang terjadi dibalik semua ini. Berawal dari percakapanku dengan salah satu rekanku mengenai lahan di kawasan. Kebetulan rekanku sudah tidak menggarap di kawasan. Awalnya yang aku pikir bahwa seluruh petani yang keluar pasti mendapat perlakuan yang sama ternyata tidak bagi dia. Dia tidak mendapatkan sertifikat penghargaan maupun bantuan ternak hingga saat ini. Setelah aku tanyakan kepada DD pun dia menyebutkan nama yang berbeda yang mendapatkan perlakuan seperti itu. Lalu mengapa hal itu terjadi pada rekanku? Adanya kejadian ini mulai memicuku untuk mencari tahu lebih dalam tentang yang terjadi. Aku mulai mendatangi satu per satu rekanrekanku mulai dari yang masih menggarap hingga yang keluar dari garapan. Banyak komentar mereka tentang lahan garapan mereka mulai dari kesusahan hidup mereka setelah keluar dari garapan hingga pemaksaan yang terjadi untuk keluar dari garapan bagi petani yang masih menggarap. Salah satu rekanku berkata “Itu mah dipaksa waktu tandatangan surat abis SBY dateng. Kan saya mah didatangi hampir setiap hari sampe mau tandatangan”. Tersentak lah aku dibuatnya oleh pernyataan itu. Aku pun menyadari perlawanan yang dilakukan oleh teman-temanku. Hati ini pun gelisah dibuatnya. Aku bingung harus memihak pada siapa. Aku bahkan tak tahu siapa orang aku harus percaya. Tidak hanya itu saja, aku pun tahu bahwa terjadi penyelewengan dana bantuan SBY dengan jumlah yang cukup banyak. Aku tidak berani bertindak lebih jauh. Aku hanya terdiam menyadari semua kejadian ini. Aku bahkan tak punya kuasa untuk bertindak lebih jauh. Aku bukan seorang pahlawan. Sekali yang aku pikirkan saat ini adalah keberlangsungan hidup keluargaku. Tidak ada tempat lain untukku berpeluh selain dari lahanku. Hanya dilahanku aku bisa merasakan hidupku. Hanya dari bertani aku merasa jiwaku terpuaskan. Lahanku adalah hidupku.
59
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 16 Desember 1991, sebagai anak kedua dari dua bersaudara, buah hati dari pasangan Syamsul Bachri (alm) dan Siti Nurma. Pendidikan yang pernah dijalani adalah Madrasah Ibtidaiyah YPKP Jakarta, SMP Negeri 9 Jakarta dan SMA Negeri 39 Jakarta. Pada tahun 2009, penulis diterima sebagai mahasiswi Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor melalui jalur SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negri). Selain aktif di perkuliahan, penulis juga aktif sebagai manager Human Resource Development dalam komunitas Sanggar Juara periode kepengurusan 2012-2013 dan anggota divisi tari UKM Gentra Kaheman. Penulis berprofesi sebagai pelatih modern dance dan dancer freelance. Penulis juga sebagai asisten pada Mata Kuliah Dasar-dasar Komunikasi selama tahun ajaran 2011-2013 dan asisten pada Mata Kuliah Komunikasi Massa pada semester genap tahun ajaran 2012-2013 Selama menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor penulis juga aktif didalam kepanitian beberapa event di IPB seperti Espent atau Ekologi Sport Event, Sanggar Juara Festival dan Ki Sunda Midang 8 Genta Kaheman. Selain itu penulis pernah mewakili IPB sebagai pengisi acara dalam 8th QS Asia Pacific Professional Leaders in Education Conference di Nusa Dua Bali.
`