i
DAMPAK ZONASI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA TERHADAP STRATEGI NAFKAH NELAYAN KOMPRESSOR (Kasus Desa Karimunjawa, Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah)
Oleh Faris Priyanto I34070126
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
iii
ABSTRACT FARIS PRIYANTO. The Impact of National Park Zoning Against Livelihood Strategy of Compressor’s Fisherman. (Case in Village of Karimunjawa, Jepara Regency, Central Java) (Supervised by: SOERYO ADIWIBOWO)
This research was conducted and located in the village of Karimunjawa, Jepara Regency, Central Java for six weeks from the April 2nd to May 15th. The purpose of this study is to analyze the impact of the presence of Karimunjawa Marine National Park to the livelihood strategies of the fisherman. The second purpose of this study is to analyze the effectivity of the biodiversity conservation program carry out by the National Park. This research conducted using quantitative approach and supported by a qualitative data. Quantitative data obtained through an interview to 35 fisherman’s respondents. Through field observation, in-depth interviews and secondary data, the qualitative data are collected. The results found that, first, the marine park did not influence or create adverse impacts to the compressor’s fisherman. The compressor’s fisherman until now could easily acces to the fishing area at the core zone of the park. Limited officers and lack of resources are two factors that hinder the park enforce its management zonation particularly the core zone. Second, lack of resource for enforce the management zonation of the park are imbalance with the sharp increase of fishing efforts in Karimunjawa sea waters. The last few years the fishing efforts increase due to the policy of Central Java Province Government that boost the Karimunjawa as one of the central fishing production in the region.
Keywords: Livelihood System, Compressor’s Fisherman, and National Park Zoning.
iv
RINGKASAN
FARIS PRIYANTO. Dampak Zonasi Taman Nasional Karimunjawa terhadap Strategi Nafkah Nelayan Kompressor. (Kasus Desa Karimunjawa, Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara) (Dibimbing oleh SOERYO ADIWIBOWO)
Penelitian ini dilakukan di Desa Karimunjawa, Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui menganalisis dampak kehadiran Taman Nasional Karimunjawa berikut dengan zonasi perairan laut terhadap nafkah nelayan. serta menganalisis eksistensi keberadaan zona di lingkungan Taman Nasional Karimunjawa. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan kuesioner yang didukung oleh data kualitatif melalui observasi, wawancara
mendalam dan
penelusuran
dokumen
yang
terkait
dengan
pembahasan. Responden dari penelitian ini adalah 35 orang yang diperoleh melalui simple random sampling yang diwakili oleh masing-masing ketua kelompok kapal, dari 90 kerangka sampling. Hasil penelitian menunjukkan Zonasi Taman Nasional Karimunjawa ditetapkan melalui Surat Keputusan Direktur Jenderal PHKA Nomor: 79/IV/Set3/2005 tanggal 30 Juni 2005 yang merupakan evaluasi dari penetapan zonasi sebelumnya pada tahun 1999, tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap nelayan kompressor. Padahal nelayan kompressor beroperasi di sekitar pulau-pulau dengan jarak sekitar 50-200 meter dari bibir pantai, untuk mencari ikan diantara batu-batu karang tempat ikan bereproduksi. Ketidaktahuan masyarakat tentang isi dan maksud dari zonasi Taman Nasional menyebabkan maraknya penangkapan ikan di zona inti dan zona perlindungan. Nelayan kompressor merupakan kelompok nelayan yang memiliki resiko tinggi dalam mencari nafkah, namun memiliki penghasilan yang rata-rata lebih tinggi dari nelayan tradisional, yakni rata-rata sekitar Rp 1.956.000 per bulan. Tingkat penghasilan nelayan kompressor sangat ditentukan oleh kapasitas mesin kapal untuk menjangkau wilayah-wilayah yang memiliki stock ikan melimpah, serta kegigihan dari para awak kapal untuk mendapatkan hasil yang banyak.
v
Nelayan kompressor mayoritas berusia muda (65,7%), dengan tingkat pendidikan yang rendah (94%). Penetapan zonasi Taman Nasional Karimunjawa tidak serta merta menyelesaikan masalah yang ada, karena keberadaannya pun tidak sepenuhnya dipahami dan dipatuhi oleh masyarakat. Sebagian besar nelayan kompressor mencari ikan di semua kawasan Taman Nasional Karimunjawa karena mereka tidak mengetahui tentang zonasi kawasan. Selain itu, minimnya patroli laut yang dilakukan Balai Taman Nasional Karimunjawa (BTNKJ) membuat kasus pelanggaran memasuki zona inti dan perlindungan terus berlanjut. Efektivitas pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa dipengaruhi oleh kualitas sumberdaya manusia, ketersediaan sarana dan prasarana, serta dukungan anggaran yang memadai. Pegawai BTNKJ yang hanya berkekuatan 81 orang tidak sebanding dengan luas wilayah daratan dan perairan Taman Nasional Karimunjawa yang harus diawasi atau dikontrol; yakni seluas 111.625 hektar dan terdiri dari 22 pulau. Kondisi ini diperparah lagi dengan terbatasnya sarana dan prasarana dan dukungan anggaran yang tidak memadai. Di lain pihak, dalam beberapa tahun terakhir terdapat peningkatan jumlah nelayan, alat tangkap, serta produksi hasil tangkapan ikan di Kepulauan Karimunjawa. Peningkatan produksi perikanan laut ini terjadi merupakan implikasi dari kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah yang menetapkan perairan Karimunjawa sebagai salah satu sentra pengembangan produksi perikanan laut di wilayah Jawa Tengah. Taman Nasional Laut Karimunjawa mampu meningkatkan diversifikasi nafkah dengan mendorong pertumbuhan sektor pariwisata, namun tidak mempengaruhi daerah tangkap dan alat tangkap nelayan kompressor. Sehingga dapat dikatakan bahwa manajemen zonasi yang dilakukan oleh BTNKJ belum efektif.
ii
DAMPAK ZONASI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA TERHADAP STRATEGI NAFKAH NELAYAN KOMPRESSOR (Kasus Desa Karimunjawa, Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah)
Oleh Faris Priyanto I34070126
SKRIPSI Sebagai Prasyarat untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
vi
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang disusun oleh:
Nama Mahasiswa
: Faris Priyanto
NIM
: I34070126
Judul Proposal Skripsi
: Dampak Zonasi Taman Nasional Karimunjawa terhadap Strategi Nafkah Nelayan Kompressor (Kasus Desa Karimunjawa, Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara)
Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Menyetujui, Dosen Pembimbing Skripsi
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003
Mengetahui Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003
Tanggal Pengesahan :
vii
LEMBAR PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “DAMPAK ZONASI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA TERHADAP STRATEGI
NAFKAH
KARIMUNJAWA,
NELAYAN
KECAMATAN
KOMPRESSOR KARIMUNJAWA,
(KASUS
DESA
KABUPATEN
JEPARA)” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI IN BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI
BAHAN
RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, September 2011
Faris Priyanto I34070126
viii
RIWAYAT HIDUP
Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Imam Supriyadi dan Ibu Syafa’atun. Penulis lahir di Bogor, pada tanggal 07 Januari 1988. Penulis menamatkan pendidikan di TK Insan Kamil (1993-1994), SD Rimba Putra (1994-2000), SMP Negeri 4 Bogor (2000-2003), dan SMA Negeri 9 Bogor (2003-2006). Setelah menamatkan SMA, penulis berniat melanjutkan ke jenjang Akademi Militer, namun cita-cita tersebut tidak tercapai. Kemudian pada tahun 2007, penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia melalui jalur SPMB. Selama di IPB, penulis mengikuti beberapa kegiatan kemahasiswaan antara lain Koran Kampus, Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-Ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (HIMASIERA), Forum Unit Kegiatan Mahasiswa (FUKM), Ikatan Mahasiswa Peminat Ekologi Manusia(IMPEMA). Selain itu, penulis juga pernah terpilih menjadi Duta FEMA, utusan Duta Lingkungan IPB, dan Jajaka Kota Bogor. Selain kegiatan kemahasiswaan, penulis juga menjadi asisten praktikum MK. Sosiologi Umum dan MK. Dasar-dasar Komunikasi. Penulis menaruh minat yang besar terhadap ilmu-ilmu ekonomi, seni, sejarah, filsafat, sosial, sastra, sains dan psikologi. Selain itu, penulis juga menekuni bidang fotografi, menulis, olah raga dan berpetualang. Bagi penulis, Tuhan tidak menginginkan seseorang untuk menjadi mahasiswa yang baik, dosen yang baik, pejabat yang baik, atau tokoh agama yang baik. Penulis percaya bahwa Tuhan menginginkan setiap orang untuk menjadi manusia yang baik. Oleh karena itu, tidak ada hasrat yang lebih besar dari penulis selain untuk menikmati hidup dan memperbaiki kehidupan diri sendiri, dan jika memungkinkan, kehidupan orang lain.
ix
KATA PENGANTAR
Puji Puji syukur kehadirat Tuhan YME atas kesempatan yang diberikan kepada penulis hingga dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Dampak Zonasi Taman
Nasional
Karimunjawa
terhadap
Strategi
Nafkah
Nelayan
Kompressor” dengan baik. Selesainya penelitian dan penulisan skripsi ini tidak terlepas dari kontribusi berbagai pihak baik secara moral maupun material. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ayah dan Ibu (Bpk. Imam Supriyadi dan Ibu Syafa’atun) yang selalu memberikan dukungan baik secara moral, material, maupun spiritual. 2. Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS, selaku dosen pembimbing yang telah mencurahkan waktu untuk memberikan bimbingan, arahan serta kritik dan saran yang membangun hingga penulis menyelesaikan proposal penelitian ini. 3. Semua staff Balai Taman Nasional Karimunjawa (BTNKJ) yang telah memberikan banyak masukan dan pelajaran berharga untuk penelitian ini. 4. Mas Jambrong, yang sudah menyediakan tempat menyenangkan di Karimunjawa. Juga untuk semua nelayan kompressor yang ramah dan bersahabat: senang bisa melaut dengan kalian. 5. Untuk M Danny Julainsyah, yang menyediakan tempat bermalam di Semarang. Terima kasih untuk semua bantuan dan keikhlasannya. Juga untuk Aditya Nugraha, yang telah sangat membantu tersusunnya skripsi ini. 6. Sahabat-sahabat di Winaya Lokatmala, Garda Paksi, PPI, Mojang-Jajaka, Koran Kampus, IMPEMA, dan tentu saja KPM 44. 7. Untuk Yochan, Asih, dan Monic yang selalu memberikan hal terbaik dari 4 tahun ini. 8. Dan untuk Ardini.
Bogor, 8 September 2011 Faris Priyanto NIM I34070126
x
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI ..........................................................................................
x
DAFTAR TABEL ..................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR..............................................................................
xiv
DAFTAR LAMPIRAN...........................................................................
xv
1. PENDAHULUAN..............................................................................
1
1.1. Latar Belakang ........................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah..................................................................
3
1.3. Tujuan Penelitian .....................................................................
4
1.4. Kegunaan Penelitian ...............................................................
5
2. PENDEKATAN TEORETIS .............................................................
6
2.1. Tinjauan Pustaka ......................................................................
6
2.2. Kerangka Pemikiran ................................................................
19
2.3. Hipotesa Penelitian....................................................................
21
2.4. Definisi Operasional ................................................................
21
3.METODOLOGI PENELITIAN..........................................................
23
3.1. Metode Penelitian ....................................................................
23
3.2. Lokasi dan Waktu ....................................................................
23
3.3. Teknik Pengambilan Data….....................................................
24
3.4. Teknik Analisis Data………………………………………….
25
4. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN…...........................
27
4.1. Sejarah Lokasi….......................................................................
27
4.2. Lokasi Geografis.......................................................................
27
4.3. Kependudukan…………….......................................................
28
4.4. Iklim dan Topografi...................................................................
30
4.5 Sarana Dan Prasarana …..…………………………………….
31
5. ZONASI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA DAN
32
NELAYAN KOMPRESSOR............................................................. 5.1. Zonasi Taman Nasional Laut Karimunjawa.............................
32
xi
5.2. Pengetahuan Masyarakat Tentang Zonasi Kawasan.................
38
5.3. Nelayan Kompressor.................................................................
41
5.4. Karakteristik Nelayan Kompressor...........................................
44
5.5 Ikhtisar.......................................................................................
52
6. DAMPAK ZONASI TAMAN NASIONAL TERHADAP
54
STRATEGI NAFKAH NELAYAN KOMPRESSOR....................... 6.1. Daerah Tangkap…………………….........................................
54
6.2. Alat Tangkap.............................................................................
57
6.3. Diversifikasi Nafkah..................................................................
61
6.4. Ikhtisar.......................................................................................
65
7. EFEKTIFITAS PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA 7.1. Manajemen Konservasi Keanekaragaman Hayati Taman
66 66
Nasional Karimunjawa Melalui Sistem Zonasi ....................... 7.2 Kapasitas Balai Taman Nasional Karimunjawa........................
68
7.3. Kondisi Perikanan Tangkap Kepulauan Karimunjawa............
70
7.4. Ikhtisar.......................................................................................
74
8. PENUTUP..........................................................................................
76
8.1. Kesimpulan………….......………….........................................
76
8.2. Saran .........................................................................................
78
DAFTAR PUSTAKA
80
LAMPIRAN ...........................................................................................
83
xii
DAFTAR TABEL
Nomor Tabel 1
Halaman Data Kependudukan Tiga Desa di Kecamatan
28
Karimunjawa Tahun 2010................................................ Tabel 2
Data Kependudukan Tiga Desa di Kecamatan
29
Karimunjawa Berdasarkan Pendidikan dan Agama Tahun 2002....................................................................... Tabel 3
Data
Mata
Pencaharian
Penduduk
Kecamatan
Karimunjawa Tahun 2009............................................... Tabel 4
Fasilitas Umum yang Terdapat di Kecamatan
31
Karimunjawa Tahun 2002............................................... Tabel 5
Pengetahuan Nelayan Kompressor tentang Zonasi
40
Taman Nasional Karimunjawa Tahun 2011..................... Tabel 6
Jumlah dan Persentase Responden Menurut Kelompok
44
Umur Tahun 2011............................................................. Tabel 7
Jumlah dan Persentase Responden Menurut Tingkat
45
Pendidikan Tahun 2011.................................................... Tabel 8
Jumlah dan Persentase Responden Menurut Pengalaman
46
Melaut Tahun 2011........................................................... Tabel 9
Jumlah dan Persentase Responden Menurut Kapasitas
47
Mesin Kapal Tahun 2011.................................................. Tabel 10
Nilai Hasil Tangkapan Berdasarkan Kelompok Kapal
48
Nelayan Kompressor Tahun 2011.................................... Tabel 11
Jenis Ikan Hasil Tangkapan Nelayan Kompressor...........
50
Tabel 12
Daerah Tangkap Responden Sebelum dan Sesudah
54
Zonasi Kawasan Tahun 2005............................................ Tabel 13
Perubahan Alat Tangkap Sebelum dan Sesudah Zonasi
58
Kawasan Tahun 2005....................................................... Tabel 14
Perubahan Nafkah Ganda Sebelum dan Sesudah Zonasi Kawasan Tahun 2005......................................................
62
xiii
Tabel 15
Keadaan pegawai Balai Taman Nasional Karimunjawa
69
Berdasarkan Golongan dan Jenis Kelamin Tahun 2008... Tabel 16
Keadaan Pegawai Balai Taman Nasional Karimunjawa
69
Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tahun 2008.................. Tabel 17
Data Sarana Balai Taman Nasional Karimunjawa Tahun
70
2008......................................................................... Tabel 18
Data Angaran Program Kegiatan Balai Taman Nasional
71
Karimunjawa Tahun 2008.............................................. Tabel 19
Perkembangan Jumlah Nelayan di Karimunjawa Tahun
72
1996-2005.................................................................. Tabel 20
Perkembangan Jumlah Kapal Penangkapan Ikan Tahun
73
1996-2005......................................................................... Tabel 21
Jenis dan jumlah alat tangkap di Karimunjawa tahun 1996-2005.........................................................................
73
xiv
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
Gambar 1.
Kerangka Pemikiran .......................................................
20
Gambar 2.
Peta Karimunjawa Tahun 2002........................................
27
Gambar 3.
Pengetahuan Masyarakat tentang Zonasi pada Tahun
38
2005.................................................................................. Gambar 4.
Pengetahuan Masyarakat tentang Zonasi pada Tahun
39
2009.................................................................................. Gambar 5.
Produksi Ikan Kepulauan Karimunjawa tahun 19962005..................................................................................
74
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
Lampiran 1
Peta Lokasi Penelitian...................................................
84
Lampiran 2
Panduan Pertanyaan......................................................
85
Lampiran 3
Daftar Kerangka Sampling............................................
87
Lampiran 4
Alat Tangkap Sebelum dan Sesudah Zonasi Kawasan
88
Lampiran 5
Nafkah Ganda Sebelum dan Sesudah Zonasi Kawasan
90
Lampiran 6
Aktifitas Perikanan Panah-Kompressor........................
78
Lampiran 7
Dokumentasi Penelitian................................................
79
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Keanekaragaman hayati yang dipertahankan melalui konsep konservasi
merupakan sebuah langkah penting yang harus diambil pemerintah untuk memastikan agar keseimbangan ekosistem di Indonesia tetap terjaga. Berdasarkan UU No 5 Tahun 1990, konservasi sumber daya alam hayati diartikan sebagai pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana
untuk
menjamin
kesinambungan
persediaannya
dengan
tetap
memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Konservasi tersebut dilakukan untuk menjamin terciptanya perlindungan terhadap sumber daya alam kawasan serta terjaminnya akses masyarakat terhadap sumber alam tersebut untuk dimanfaatkan secara berkelanjutan. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 56 /Menhut-II/2006 pasal 1, Zonasi Taman Nasional dibedakan menjadi tujuh, yaitu zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, zona tradisional, zona rehabilitasi, zona religi dan zona khusus. Pedoman zonasi ini diperuntukkan untuk mewujudkan sistem pengelolaan Taman Nasional yang efektif dan optimal sesuai dengan fungsinya. Meski demikian, pelaksanaan konservasi tak jarang mengurangi akses masyarakat terhadap tempat mereka menggantungkan hidup. Pemanfaatan sumber daya alam dan pembangunan yang berkelanjutan menjadi konsep penting dalam melihat masalah tersebut. Tidak ada masyarakat yang secara tak sengaja menghambat
kemenerusan
lingkungan
mereka,
berlangsungnya masalah lingkungan yang disebabkan
tetapi
dengan
terus
oleh dampak negatif
kegiatan manusia, merupakan tanda bahwa keberlanjutan memang masih diragukan. Keberlanjutan bukan merupakan akhir yang harus dicapai, tetapi target yang secara terus menerus harus dinegosiasikan sementara masyarakat belajar mengenali gejala ketidakberlanjutan (Francis, 1995: 4 dalam Mitchell et al. 2007). Wilayah pesisir merupakan wilayah peralihan antara darat dan lautan yang biasa ditempati olah masyarakat dengan mata pencaharian sebagai nelayan. Desa pesisir merupakan entitas sosial-ekonomi, sosial-budaya, serta sosial-ekologi,
2
yang menjadi batas antara dataran dan lautan (Satria
2009). Pesisir adalah
wilayah yang unik, karena dalam konteks bentang alam, wilayah pesisir merupakan tempat bertemunya daratan dan lautan. Sejalan dengan pertambahan penduduk dan peningkatan kegiatan pembangunan sosial-ekonomi, "nilai" wilayah pesisir terus bertambah. Menyadari nilai strategis yang dimiliki Kepulauan Karimunjawa, kawasan ini ditetapkan sebagai kawasan konservasi (Cagar Alam Laut) pada Tahun 1986. kemudian pada Tahun 1999 melalui Keputusan Menhutbun No.78/Kpts-II/1999 Cagar Alam Karimunjawa dan perairan sekitarnya seluas 111.625 Ha diubah menjadi Taman Nasional dengan nama Taman Nasional Karimunjawa (TNKJ). Pada Tahun 2001 sebagian kawasan Taman Nasional Karimunjawa ditetapkan sebagai Kawasan Pelestarian Alam. Perubahan status kawasan tersebut dilakukan untuk mengakomodir keberadaan masyarakat yang telah tinggal dan menetap di wilayah kepulauan Kepulauan Karimunjawa,
agar
dapat
memanfaatkan
sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan mereka melalui sistem zonasi. Sebagian besar masyarakat Karimunjawa berprofesi sebagai nelayan, dimana hampir 60,25% dari jumlah penduduknya adalah nelayan. Pada Tahun 2005, jumlah nelayan mencapai 2.923 orang, yang terdiri dari juragan sebanyak 299 orang, dan pandega sebanyak 2.624 orang. Dari 14 kecamatan yang ada di Kabupaten Jepara, Kecamatan Karimunjawa memiliki jumlah nelayan terbesar, yaitu pada tahun 2004 sebanyak 2.945 orang dari total nelayan seluruhnya sebanyak 12.382 orang. Nelayan di Kepulauan Karimunjawa dari tahun ke tahun sudah banyak mengalami perkembangan, khususnya dalam penggunaan mesin kapal yaitu dari perahu tak bermesin (perahu layar) ke perahu bermesin tempel atau perahu motor. Sekarang ini di Karimunjawa telah banyak nelayan yang menggunakan perahu kapal motor untuk melakukan aktivitas penangkapan (PPP Karimunjawa 2006) Kawasan konservasi laut (Marine Protected Area/MPA) merupakan kawasan ekosistem laut yang ditujukan untuk perlindungan dan pemeliharaan keanekaragaman hayati, sumberdaya alam dan budaya setempat, yang dikelola berdasarkan undang-undang atau peraturan yang berlaku (IUCN 2003). Oleh karenanya penetapan kawasan lindung dapat dianggap sebagai instrumen yang terkait dengan aspek ekologis dan kelembagaan/hukum secara bersamaan. Meski
3
demikian, penetapan kepulauan Karimunjawa sebagai Kawasan Konservasi Laut/Taman Nasional menyebabkan masyarakat harus melakukan proses adaptasi dalam menjalankan strategi nafkahnya, terutama terkait dengan adanya sistem zonasi kawasan Taman Nasional. Kecamatan Karimunjawa adalah wilayah pesisir yang memiliki luas sekitar 107.225 ha, dengan wilayah pemukiman penduduk seluas 2000 ha. Kawasan ini dihuni oleh 8.773 jiwa yang tersebar di tiga desa yang terdapat pada satu kecamatan dengan 85% masyarakatnya bergantung kepada sumberdaya alam, khususnya sumberdaya perikanan dan kelautan. Penelitian ini dilakukan dalam rangka mengetahui dampak Zonasi Taman Nasional terhadap strategi nafkah nelayan kompressor. Nelayan kompressor merupakan kelompok nelayan yang menggunakan alat tangkap berupa Speargun dan alat bantu berupa mesin kompressor. Kelompok nelayan ini bekerja di sekitar batu-batu karang di perairan dangkal. Dengan adanya perubahan dalam strategi nafkah yang dilakukan nelayan, akan menarik untuk diteliti sejauh mana penetapan Zonasi Taman Nasional tersebut berdampak terhadap nelayan kompressor.
1.2
Perumusan Masalah Wilayah perairan Kepulauan Karimunjawa telah ditetapkan sebagai Taman
Nasional melalui Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan No. 78/Kpts-II/1999. Dari ketujuh zona yang ada, hanya zona pemanfaatan perikanan tradisional yang terbuka untuk usaha penangkapan ikan, karena selebihnya hanya dipergunakan untuk upaya atau kegiatan konservasi dalam usaha pelestarian alam. Hal ini menjadi menarik untuk diketahui apakah sistem zonasi yang diterapkan di TNKJ tidak menyebabkan marjinalisasi masyarakat nelayan, bahkan dapat mendorong terjadinya perikanan tangkap yang berkelanjutan. Kepulauan Karimunjawa merupakan salah satu sentra produksi perikanan laut di Kabupaten Jepara, Propinsi Jawa Tengah. Walaupun merupakan pulaupulau kecil dan terpisah oleh lautan, Karimunjawa memiliki potensi perikanan yang besar, hal ini terlihat dari produksi perikanan pada Tahun 2005 sebesar 92.022 kg, di mana produksi ini masih berada di bawah nilai potensi lestari Karimunjawa yaitu sebesar 167.734,45 kg (PPP Karimunjawa 2006 dalam Irnawati 2008). Dari 14 kecamatan yang ada di Kabupaten Jepara, Kecamatan
4
Karimunjawa memiliki jumlah nelayan terbesar, yaitu pada Tahun 2004 sebanyak 2.945 orang dari total nelayan seluruhnya sebanyak 12.382 orang. Seiring dengan meningkatnya jumlah nelayan, teknologi dan alat tangkap yang digunakan pun semaju maju dan bervariasi (lihat Tabel 11 dan Tabel 12). Balai Taman Nasional Karimunjawa sejak Tahun 1998 telah merintis kegiatan pemberdayaan masyarakat, baik melalui peningkatan perekonomian, penguatan
kelembagaan,
penciptaan
mata
pencaharian
alternatif,
serta
peningkatan kapasitas masyarakat. Kegiatan ini diharapkan dapat memunculkan kesiapan masyarakat untuk berpartisipasi dalam menjaga dan melestarikan Taman Nasional Karimunjawa 1 . Meski demikian, perlu diperhatikan bahwa partisipasi masyarakat dalam konteks ini bisa jadi menempatkan masyarakat sebagai objek, bukan sebagai subjek. Oleh karenanya, dibutuhkan kajian lebih lanjut tentang apakah konservasi keanekaragam hayati yang terwujud dalam Zonasi Taman Nasional Karimunjawa benar-benar memberikan dampak positif bagi masyarakat nelayan kompressor dan bagi keberlanjutan ekologi. Terlebih lagi, nelayan kompressor hanya bekerja di sekitar terumbu karang di perairan dangkal, sehingga sangat rentan terhadap pelanggaran sistem Zonasi Taman Nasional. Terkait dengan hal tersebut, rumusan masalah yang akan diangkat dalam proposal penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Dengan dibatasinya ruang pemanfaatan ikan hanya pada zona pemanfaatan tradisional, sejauh mana Zonasi TNKJ berdampak terhadap strategi nafkah nelayan kompressor? 2. Seberapa jauh efektivitas pengelolaan TNKJ berikut dengan batas zonasinya, dapat mengimbangi aktifitas perikanan laut di Kepulauan Karimunjawa?
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah diatas, dirumuskan tujuan dari penelitian
sebagai berikut: 1. Menganalisis dampak kehadiran Taman Nasional Karimunjawa berikut dengan zonasi perairan laut terhadap nafkah nelayan kompressor. 1
http://karimunjawanationalpark.org/pemberdayaan-masyarakat/blog
5
2. Menganalisis efektivitas konservasi keanekaragaman hayati yang dilakukan di Taman Nasional Karimunjawa, terkait dengan Kepulauan Karimunjawa yang merupakan sentra produksi perikanan laut terbesar di Jawa Tengah.
1.4
Kegunaan Penelitian Penelitian ini memiliki beberapa manfaat untuk mahasiswa selaku
pengamat dan akademisi, masyarakat dan pemerintah. Adapun manfaat yang dapat diperoleh yaitu: 1. Bagi Mahasiswa Penelitian ini memberikan tambahan hazanah pengetahuan kepada mahasiswa mengenai proses dan dampak yang ditimbulkan dari zonasi kawasan Taman Nasional Karimunjawa dan membuka realitas pikiran bagi mahasiswa dalam menanggapi permasalahan ini. 2. Bagi Masyarakat Penelitian ini membantu kepada masyarakat, khususnya masyarakat nelayan di kawasan Taman Nasional Karimunjawa untuk memahami lebih dalam tentang latar belakang, proses dan dampak dari adanya zonasi kawasan, terutama hubungannya dengan strategi nafkah yang dilakukan nelayan. 3. Bagi Pemerintah Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam di kawasan Taman Nasional.
6
BAB II PENDEKATAN TEORITIS
2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1
Konservasi dan Pemanfaatan Berkelanjutan Konservasi adalah segenap proses pengelolaan suatu tempat agar makna
kultural yang dikandungnya terpelihara dengan baik (Piagam Burra 1981 dalam Sofa 2008). Konservasi juga memiliki makna sebagai bentuk pemeliharaan dan perlindungan terhadap sesuatu yang dilakukan secara teratur untuk mencegah kerusakan dan kemusnahan dengan cara pengawetan (Peter Salim dan Yenny Salim 1991 dalam Sofa 2008)
2
. Namun demikian,
Purwanti et al.2008
mengatakan bahwa berbagai ketentuan peraturan di bidang otonomi daerah maupun di bidang konservasi sumber daya alam dan ekosistem belum memberi ketegasan dan kejelasan arah pelaksanaan kebijakan dan peran yang harus dilakukan oleh berbagai pihak, baik tingkat pusat maupun daerah. Selain itu, pemerintah pusat juga belum berhasil membentuk mekanisme pengelolaan Taman Nasional yang efektif, karena adanya disharmoni sistem hukum dalam hal kewenangan pengelolaan 3 . Oleh karena itu, dibutuhkan tindakan-tindakan strategis dari pengelola kawasan konservasi dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sesuai dengan konteks sosial, ekonomi dan politik masyarakat di sekitar kawasan konservasi. Tindakan tersebut diperlukan dalam koridor menjaga fungsi wilayah konservasi sekaligus memelihara hubungan yang baik dengan masyarakat dalam membangun pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan di sekitar kawasan. Dalam memahami konservasi, pemanfaatan berkelanjutan menjadi konsep yang penting karena dapat menyelaraskan kebutuhan untuk memanfaatkan sumberdaya alam dengan pemeliharaan dan perlindungan kawasan konservasi.
2
http://massofa.wordpress.com/2008/02/03/konservasi-sumber-daya-alam-dan-buatan/, diakses tanggal 26 Februari 2011 pukul 16.12 WIB 3 Purwanti, Frida, Hadi S. Alikodra, Sambas Basuni, Dedi Soedharma. 2008. Pengembangan Comanagement Taman Nasional Karimunjawa. Jurnal Ilmu Kelautan Vol. 13 (3) : 159 – 166
7
Istilah keberlanjutan pertama kali dikenalkan pada tahun 1987 oleh World Commission On Environment and Development melalui bukunya Our Common Future. Buku ini memperkenalkan gagasan "pembangunan berkelanjutan" beserta konsep-konsepnya yang sangat menarik, termasuk debat mengenai hubungan seperti apakah yang seharusnya ada antara "lingkungan" dan "pembangunan". Tidak ada sistem perputaran sumberdaya dapat berkelanjutan seperti pada awalnya. Perubahan pasti terjadi. Paradigma pembangunan berkelanjutan harus dipahami sebagai etika politik pembangunan, yaitu sebuah komitmen moral tentang bagaimana seharusnya pembangunan itu diorganisir dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan. Dalam kaitan dengan itu, paradigma pembangunan berkelanjutan bukan sebuah konsep tentang pentingnya lingkungan hidup, bukan juga tentang pembangunan ekonomi. Ini sebuah etika politik mengenai pembangunan dan bagaiman pembangunan itu seharusnya dijalankan (Keraf 2002). Lebih
lanjut
lagi,
Biasane
(2004)
mengatakan
bahwa
konsep
pembangunan perikanan berkelanjutan harus mengandung beberapa aspek yang dapat menyeimbangkan antara kebutuhan konservasi dan kebutuhan sosial ekonomi, antara lain: 1. Ecological sustainability (keberlanjutan ekologi). Dalam pandangan ini memelihara keberlanjutan stok/biomass sehingga tidak melewati daya dukungnya, serta meningkatkan kapasitas dan kualitas dari ekosistem menjadi konsern utama. 2. Socioeconomic sustainability (keberlanjutan sosio-ekonomi). Pembangunan
perikanan
harus
memperhatikan
keberlanjutan
dari
kesejahteraan pelaku perikanan pada tingkat individu. 3. Community sustainability (keberlanjutan komunitas). Mengandung makna bahwa keberlanjutan kesejahteraan dari sisi komunitas atau masyarakat haruslah menjadi perhatian membangun perikanan yang berkelanjutan. 4. Institutional sustainability (keberlanjutan kelembagaan). Dalam kerangka ini keberlanjutan yang kelembagaan menyangkut memelihara aspek finansial dan administrasi yang sehat merupakan prasyarat dari ketiga pembangunan keberlanjutan di atas.
8
Perubahan lingkungan fisik dan lingkungan sosial merupakan tantangan yang harus dihadapi dalam menjaga pembangunan perikanan yang berkelanjutan. Menurut Homer-Dixon (1993) dalam Mitchell et al (2007), kegiatan manusia dapat menyebabkan kerusakan lingkungan atau kelangkaan sumber daya dalam tiga cara. Pertama, kegiatan manusia dapat menyebabkan penurunan jumlah dan kualitas sumber daya, terutama jika jumlah sumber daya dieksploitasi dengan tingkat kecepatan yang melebihi daya pulihnya. Kedua, penurunan atau kelangkaan sumber daya disebabkan oleh pertumbuhan penduduk. Ketiga, akses terhadap lingkungan dan sumber daya alam yang tidak seimbang juga akan menyebabkan banyak persoalan. Akses yang tidak seimbang biasanya disebabkan oleh hak kepemilikan yang terkonsentrasi pada sekelompok kecil masyarakat sehingga menyebabkan kelangkaan hak kepemilikan bagi kelompok lain (Mitchel et al. 2007).
2.1.2
Konsep Zonasi Kawasan Taman Nasional Definisi Taman Nasional menurut UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi
SDA Hayati dan Ekosistemnya, adalah merupakan kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli dan dikelola dengan sistem zonasi serta dapat dimanfaatkan
untuk
tujuan
pendidikan,
penelitian,
pengembangan
budidaya,rekreasi, dan pariwisata. Dalam pasal 30 disebutkan bahwa pengelolaan taman nasional adalah tercapainya tiga fungsi, yaitu: (1) perlindungan terhadap ekosistem kehidupan, (2) pengawetan sumber plasma nutfah dan ekosistemnya, dan (3) pelestarian pemanfaatan. Selain beberapa fungsi tersebut, taman nasional dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung melalui pemanfaatan yang lestari. Sebagian wilayah taman nasional selama ini menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat melalui berbagai kegiatan, antara lain kegiatan perikanan, pertanian, dan pemanfaatan sumber daya alam (SDA) yang lain. Keterpaduan pengelolaan antara kegiatan pemanfaatan sumber
daya
perikanan dengan kegiatan konservasi berarti bahwa kegiatan pemanfaatan sumber daya yang ada harus menyesuaikan dengan kegiatan dan pengelolaan konservasi, karena aspek sumber daya bertumpu pada keberhasilan dari usaha konservasi
(Maksum
2006).
Pengelolaan
konservasi
juga
harus
9
mengakomodasikan
dan
mengedepankan
kepentingan
pengelolaan
dan
pemanfaatan sumber daya perikanan dan pemberdayaan masyarakat nelayan untuk mencapai keberlanjutan sumber daya perikanan. Taman Nasional Laut atau disebut juga Marine Protected Area (MPA) adalah sebuah kawasan laut yang secara khusus ditujukan sebagai perlindungan dan pemeliharaan keanekaragaman hayati secara alami, pembudidayaan, dan dikelola melalui aturan-aturan (IUCN 2003). MPA diharapkan dapat membantu dalam melindungi habitat-habitat penting contoh-contoh perwakilan kehidupan laut, dan juga dapat membantu dalam memulihkan produktifitas laut dan menghindari kerusakan yang lebih jauh. Prinsip manfaat Kawasan Konservasi Laut adalah dampak limpahan, dimana pada kawasan yang dilindungi, stok ikan akan tumbuh dengan baik, dan limpahan dari pertumbuhan ini akan mengalir ke wilayah di luar kawasan, yang kemudian dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan tanpa mengurangi sumber pertumbuhan di daerah yang dilindungi. Kawasan Konservasi Laut dapat berfungsi sebagai nursery ground (tempat pembesaran), feeding ground (tempat mencari makan) ataupun spawning ground (tempat memijah) bagi ikan-ikan yang hidup di area sekitar kawasan tersebut 4 . Terkait dengan hal tersebut, Permenhut No: P. 56 /Menhut-II/2006 mengatur tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional. Dalam peraturan tersebut dikatakan bahwa Zonasi Taman Nasional adalah suatu proses pengaturan ruang dalam Taman Nasional menjadi zona-zona, yang mencakup kegiatan tahap persiapan, pengumpulan dan analisi data, penyusunan draft rancangan rancangan zonasi, konsultasi publik, perancangan, tata batas, dan penetapan, dengan mempertimbangkan kajian-kajian dari aspek-aspek ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Untuk dapat menciptakan tata kelola yang efektif dan optimal seperti yang terkandung dalam Pasal 2 Permenhut Nomor P. 56 /Menhut-II/2006, maka dibutuhkan pembagian zona kawasan menurut fungsinya. Adapaun zonasi seperti yang tercantum dalam Permenhut tersebut adalah sebagai berikut: 1.
Zona inti adalah bagian Taman Nasional yang mempunyai kondisi alam baik biota ataupun fisiknya masih asli dan tidak atau belum diganggu oleh
4
Maksum, Mochamad Asep. 2006. Analisis Manfaat Ekonomi Sumberdaya Perikanan Kawasan Konservasi Laut Taman Nasional Karimunjawa. Tesis: Istitut Pertanian Bogor.
10
manusia
yang
mutlak
dilindungi,
berfungsi
untuk
perlindungan
keterwakilan keanekaragaman hayati yang asli dan khas. 2.
Zona rimba, untuk wilayah perairan laut disebut zona perlindungan bahari adalah bagian Taman Nasional yang karena letak, kondisi dan potensinya mampu mendukung kepentingan pelestarian pada zona inti dan zona pemanfaatan.
3.
Zona pemanfaatan adalah bagian Taman Nasional yang letak, kondisi dan potensi alamnya, yang terutama dinamfaatkan untuk kepentingan pariwisata alam dan kondisi/jasa lingkungan lainnya.
4.
Zona tradisional adalah bagian dari Taman Nasional yang ditetapkan untuk kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena kesejarahan mempunyai ketergantungan dengan sumber daya alam.
5.
Zona rehabilitasi adalah bagian dari Taman Nasional yang karena mengalami kerusakan, sehingga perlu dilakukan kegiatan pemulihan komunitas hayati dan ekosistemnya yang mengalami kerusakan.
6.
Zona religi, budaya dan sejarah adalah bagian dari taman nasionai yang didalamnya terdapat situs religi, peninggalan warisan budaya dan atau sejarah yang dimanfaatkan untuk kegiatan keagamaan, perlindungan nilainilai budaya atau sejarah.
7.
Zona khusus adalah bagian dari Taman Nasional karena kondisi yang tidak dapat dihindarkan telah terdapat kelompok masyarakat dan sarana penunjang kehidupannya yang tinggal sebelum wilayah tersebut ditetapkan sebagai Taman Nasional antara lain sarana telekomunikasi, fasilitas transportasi dan listrik. Penetapan zonasi kawasan melibatkan Staf Balai Taman Nasional, Unsur
Pemerintah Daerah, Lembaga Swadaya Masyarakat, Kelompok Masyarakat dan Mitra kerja. Adapaun peran serta masyarakat seperti yang diatur dalam Pasal 19 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 56 /Menhut-II/2006 adalah memberi saran, informasi dan pertimbangan, memberikan dukungan dalam pelaksanaan kegiatan zonasi, melakukan pengawasan kegiatan zonasi, dan ikut menjaga dan memelihara zonasi. Zonasi yang ditetapkan harus mempertimbangkan beberapa faktor, antara lain:
11
a.
Keanekaragaman hayati, nilai arkeologi, nilai obyek daya tarik wisata, nilai potensi jasa lingkungan
b.
Data spatial: tanah, geologi, iklim, topografi, geomorfologi, penggunaan lahan;
c.
Kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat
d.
Oseanografi untuk wilayah perairan. Taman Nasional harus dirancang sedemikian rupa agar tidak menimbulkan
konflik kepentingan dalam penggunaan ruang di dalamnya. Wakil ekosistemekosistem yang alami dan khas dapat dilindungi dan dilestarikan jika gangguangangguan terhadapnya ditekan sekecil mungkin. Ekosistem yang rapuh harus dibebaskan dari konflik penggunaan lahan. Untuk kepentingan pemanfaatan wisata alam dan rekreasi dapat dilakukan pada daerah-daerah yang memiliki daya tahan yang cukup (Basuni 1987). Sistem zonasi yang diterapkan di TNKJ diharapkan dapat menyelaraskan kondisi Karimunjawa sebagai taman nasional dengan kepentingan penduduk yang mayoritas berprofesi sebagai nelayan. Lebih lanjut, Maksum (2006) mengatakan bahwa penetapan hak pemanfaatan dan penangkapan ikan eksklusif juga perlu diberlakukan di perairan TNKJ pada zona pemanfaatan perikanan tradisional sehingga kegiatan perikanan tangkap oleh masyarakat nelayan setempat dapat terus dilakukan dengan tetap menjaga kelestarian perikanan dan keberadaan Karimunjawa sebagai sebuah taman nasional. Dalam konsep pengelolaan Taman Nasional, zona inti merupakan unit dalam Taman Nasional yang memberikan ciri khas kawasan konservasi dan berfungsi sebagai pengatur yang menentukan totalitas ciri Taman Nasional. Pemasukan sumber daya alam ke dalam unit zona inti harus berupa ekosistem atau unsur ekosistem yang unik atau rapuh, tumbuhan atau satwa yang terancam punah atau gejala alam yang memerlukan upaya perlindungan. Sumber daya alam demikian dapat dipandang sebagai obyek konservasi utama. Untuk daerah-daerah yang memiliki tingkat kerentanan kawasan sedang sampai rendah, maka bisa diperuntukan sebagai Zona Pemanfaatan. Bila daerah-daerah dalam zona pemanfaatan merupakan daerah perlindungan satwa, daerah tangkapan air atau daerah bahaya erosi, maka sebaiknya diperuntukan sebagai Zona Pemanfaatan Semi Intensif. Sedangkan bila daerah-daerah dalam zona pemanfaatan bukan
12
merupakan daerah perlindungan satwa, daerah tangkapan air dan daerah bahaya erosi, maka bisa diperuntukan sebagai Zona Pemanfaatan Intensif. Untuk daerahdaerah dimana terdapat aktifitas pemanfaatan lahan yang berada pada tingkat kerentanan tinggi sampai sangat tinggi, sebaiknya diperuntukan sebagai Zona Lain (Pemulihan). Untuk daerah-daerah dimana terdapat aktifitas pemanfaatan lahan yang berada pada tingkat kerentanan rendah dan berbatasan dengan batas Taman Nasional, sebaiknya diperuntukan sebagai Zona Penyangga (Hutan atau Ekonomi). Untuk daerah-daerah dimana terdapat aktifitas pemanfaatan lahan yang berada pada tingkat kerentanan rendah dan tidak berbatasan dengan batas Taman Nasional, sebaiknya diperuntukan sebagai Zona Lain (Peruntukan Khusus). Untuk daerah-daerah dimana terdapat aktifitas pemanfaatan lahan yang berada pada tingkat kerentanan sedang, sebaiknya diperuntukan sebagai Zona Lain (Peruntukan Khusus) (Basuni 1987). Menurut Alikodra (1987), ketergantungan masyarakat dapat dikategorikan menjadi tidak legal dan legal. Ketergantungan tidak legal adalah pengambilan kayu, buah, daun, rumput dan menggembalakan ternak secara liar, dimana menurut peraturan mengenai Taman Nasional, semua kegiatan tersebut dilarang. Jika tidak dilakukan pengaturan, maka akan merusak potensi Taman Nasional. Sedangkan ketergantungan yang legal antara lain menjadi pemandu wisata alam, sopir angkutan dan usaha pelayanan pengunjung. Ketergantungan ini dapat ditingkatkan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat.
2.1.3
Strategi Adaptasi Nafkah Nelayan Adaptasi merupakan tingkah laku penyesuai yang menunjuk pada tindakan
(Bennet dalam Subri 2007). Dalam hal ini, adaptasi dikatakan sebagai tingkah laku yang bersifat strategis dalam upaya memaksimalkan kesempatan hidup. Dalam Sosiologi Nafkah, Dharmawan (2006) memberikan penjelasan bahwa livelihood memiliki pegertian yang lebih luas daripada sekedar means of living yang bermakna sempit mata pencaharian. Dalam sosiologi nafkah, pengertian strategi nafkah lebih mengarah pada pengertian livelihood strategy
(strategi
penghidupan) daripada means of living strategy (strategi cara hidup). Pengertian livelihood
strategy
yang disamakan pengertiannya menjadi strategi nafkah
(dalam bahasa Indonesia), sesungguhnya dimaknai lebih besar daripada sekedar
13
“aktivitas mencari nafkah” belaka. Sebagai strategi membangun sistem penghidupan, maka strategi nafkah bisa didekati melalui berbagai cara atau manipulasi aksi individual maupun kolektif. Strategi nafkah bisa berarti cara bertahan hidup atau memperbaiki status kehidupan. Strategi nafkah adalah taktik dan aksi yang dibangun oleh individu maupun kelompok dalam rangka mempertahankan kehidupan mereka dengan tetap memperhatikan eksistensi infrastruktur sosial, struktur sosial, dan sistem nilai budaya yang berlaku. Merujuk pada Scoones (1998), dalam penerapan strategi nafkah, rumah tangga petani memanfaatkan berbagai sumberdaya yang dimiliki dalam upaya untuk dapat bertahan hidup. Scoones membagi tiga klasifikasi strategi nafkah (livelihood strategy) yang mungkin dilakukan oleh rumah tangga petani, yaitu: (1) Rekayasa sumber nafkah pertanian, yang dilakukan dengan memanfaatkan sektor pertanian secara efektif dan efisien baik melalui penambahan input eksternal seperti teknologi dan tenaga kerja (intensifikasi), maupun dengan memperluas lahan garapan (ekstensifikasi); (2) Pola nafkah ganda (diversifikasi), yang dilakukan dengan menerapkan keanekaragaman pola nafkah dengan cara mencari pekerjaan lain selain pertanian untuk menambah pendapatan. Atau dengan mengerahkan tenaga kerja keluarga (ayah, ibu dan anak) untuk ikut bekerja – selain pertanian- dan mamperoleh pendapatan; (3) Rekayasa spasial (migrasi), merupakan usaha yang dilakukan dengan melakukan mobilitas ke daerah lain di luar desanya, baik secara permanen maupun sirkuler untuk memperoleh pendapatan. Long (1987) dalam Widiyanto et al. (2010) mencirikan bahwa sistem perekonomian desa di Negara-negara dunia ketiga bercorak kombinasi antara nonkapitalis yang “tradisional” dengan kapitalis yang emergen. Boeke (1953) dalam Sajogyo (1982) dalam Widiyanto et al. (2010)
menyebutnya sebagai teori
ekonomi ganda (dualisctic economics) dimana dalam waktu yang sama terdapat dua atau lebih sistem sosial, dan masing-masing sistem sosial ini jelas berbeda satu sama lain dan masing-masing menguasai bagian tertentu dari masyarakat bersangkutan. Dalam konteks pertanian, petani di pedesaan mengalami mixed ethic, pada satu sisi berorientasi kepada etika sosial-kolektif dan pada sisi yang lain harus berorientasi kepada keuntungan yang maksimal. Kedua etika tersebut
14
“dimainkan” oleh petani sebagai upaya membangun sistem penghidupan yang berkelanjutan. Fadjar (2009) dalam Widiyanto et al. (2010) membuktikan bahwa pada petani kakao menerapkan strategi amphibian, dimana walaupun pengeruh kapitalisme telah merembes (masuk sedikit demi sedikit) namun nilai-nilai tradisional tidak sepenuhnya ditinggalkan. Nilai-nilai subsistensi melekat pada aktifitas produksi (on farm) baik pada komoditas padi maupun kakao. Pada sisi yang lain, semangat kapitalisme sangat menonjol pada proses penjualan hasil produksi kebun kakao. Kakao merupakan komoditas yang berorientasi pada pasar yang diperlukan sebagai komoditas baku bagi industri yang berada di luar komunitas petani. Secara etimologis, makna kata ’livelihood’ itu meliputi aset atau modal (alam, manusia, finansial, sosial dan fisik), aktifitas di mana akses atas aset dimaksud dimediasi oleh kelembagaan dan relasi sosial) yang secara bersama mendikte hasil yang diperoleh oleh individu maupun keluarga. Kata ”akses” didefinisikan di sini sebagai ”aturan dan norma sosial yang mengatur atau mempengaruhi kemampuan yang berbeda antara orang dalam memiliki, mengontrol, mengklaim atau menggunakan sumber daya seperti penggunaan lahan di desa atau komunitas kampung” 5 . Keberlanjutan mempunyai banyak dimensi yang semuanya penting bagi pendekatan sustainable livelihoods. Penghidupan dikatakan berkelanjutan jika ia: 1.
Elastis dalam menghadapi kejadian-kejadian yang mengejutkan dan tekanan-tekanan dari luar;
2.
Tidak
tergantung
pada
bantuan
dan
dukungan
luar
(atau
jika
tergantung,bantuan itu sendiri secara ekonomis dan kelembagaan harus sustainable); 3.
Mempertahankan produktivitas jangka panjang sumberdaya alam;
4.
Tidak merugikan penghidupan dari, atau mengorbankan pilihan-pilihan penghidupan yang terbuka bagi orang lain. Strategi nafkah di sektor perikanan dibedakan menjadi budi daya ikan dan
penangkapan ikan. Budi daya ikan dalam pola kerjanya lebih menyerupai 5
Saragih, Sebastian, Jonatan Lassa, Afan Ramli. 2007. Kerangka Penghidupan Berkelanjutan. Aceh: -.
15
peternakan karena lebih terkontrol. Di lain pihak, penangkapan ikan lebih bergantung pada ketersediaan sumberdaya bersama (open acces) para nelayan yang mempunyai hak yang sama terhadap sumberdaya (Mulyadi 2005). Secara mendasar, pekerjaan sebagai nelayan banyak mengandung resiko dan ketidakpastian. Adanya risiko dan ketidakpastian ini disarankan untuk disiasati dengan mengembangkan pola-pola adaptasi berupa perilaku ekonomi yang spesifik yang selanjutnya berpengaruh terjadap pranata ekonominya. Polapola adaptasi yang menonjol adalah pembagian resiko dalam bentuk pola bagi hasil pendapatan dan kepemilikan kolektif serta mengutamakan hubungan patronage dalam aktifitas kerja (Mulyadi 2005). Untuk mengatasi kesulitan modal, masyarakat nelayan disarankan untuk mengembangkan suatu mekanisme tersendiri, yaitu sistem modal bersama, untuk memungkinkan terjadinya “pemerataan resiko” karena kerugian besar yang dapat terjadi setiap saat, seperti perahu hilang atau rusaknya alat tangkap, akan ditanggung bersama. Lebih lanjut, karaktersitik masyarakat pesisir sebagai representasi komunitas desa-pantai dan desa terisolasi, dilihat dari berbagai aspek ialah sebagai berikut (Satria 2002): a.
Sistem Pengetahuan, pengetahuan tentang teknik penangkapan ikan umumnya diperoleh secara turun temurun berdasarkan pengalaman empirik. Kuatnya pengetahuan lokal ini menjadi salah satu faktor penyebab terjaminnya kelangsungan hidup sebagai nelayan. Pengetahuan lokal (indigenous knowledge) tersebut merupakan kekayaan intelektual yang hingga kini terus dipertahankan
b.
Sistem kepercayaan, secara teologi nelayan masih memiliki kepercayaan yang kuat bahwa laut memiliki kekuatan khusus dalam melakukan aktivitas penangkapan ikan agar keselamatan dan hasil tangkapan semakin terjamin. Namun, seiring berjalannya waktu berbagai tradisi dilangsungkan hanya sebagai salah satu instrument stabilitas sosial dan komunitas nelayan.
c.
Peran wanita, umumnya selain banyak bergelut dalam urusan domestik rumah tangga, istri nelayan tetap menjalankan aktivitas ekonomi dalam kegiatan penangkapan di perairan dangkal, pengolahan ikan, maupun kegiatan jasa dan perdagangan. Istri nelayan juga dominan dalam mengatur pengeluaran rumah tangga sehari-hari sehingga sudah sepatutnya
16
peranan istri-istri nelayan tersebut menjadi salah satu pertimbangan dalam setiap program pemberdayaan. d.
Struktur sosial. Struktur yang terbentuk dalam hubungan produksi (termasuk pasar) pada usaha perikanan, perikanan tangkap maupun perikanan budidaya umumnya dicirikan dengan kuatnya ikatan patronklien. Kuatnya ikatan ini merupakan konsekuensi dari sifat kegiatan penangkapan ikan yang penuh dengan resiko dan ketidakpastian. Pada perikanan budidaya, patron meminjamkan modal kepada para nelayan lokal untuk pembudidayaan ikan. Konsekuensinya ialah hasilnya harus dijual kepada patron dengan harga yang lebih murah. Ciri kedua adalah stratifikasi sosial, bentuk stratifikasi masyarakat pesisir Indonesia sangat beragam. Seiring modernisasi akan terjadi diferensiasi sosial yang dilihat dari semakin bertambahnya jumlah posisi sosial atau jenis pekerjaan sekaligus terjadi pula perubahan stratifikasi karena sejumlah posisi sosial tersebut tidaklah bersifat horisontal, melainkan vertikal dan berjenjang berdasarkan ukuran ekonomi, prestise, dan kekuasaan.
e.
Posisi sosial nelayan. Di kebanyakan masyarakat, nelayan memiliki status yang relatif rendah. Rendahnya posisi sosial nelayan ini merupakan akibat dari keterasingan nelayan sehingga masyarakat bukan nelayan tidak mengetahui lebih jauh cara hidup nelayan. Hal ini terjadi akibat sedikitnya waktu dan kesempatan nelayan untuk berinteraksi dengan masyarakat lain karena alokasi waktu yang besar untuk kegiatan penangkapan ikan dibanding untuk bersosialisasi dengan masyarakat bukan nelayan yang memang secara geografis relative jauh dari pantai. Secara politis posisi nelayan kecil terus dalam posisi dependen dan karjinal akibat terbatasnya faktor kapital yang dimilikinya.
2.1.4
Kemiskinan Nelayan Kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan di mana seseorang tidak
sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental, maupun fisiknya dalam
17
kelompok tersebut 6 . Paradigma lama memandang bahwa orang miskin disebabkan oleh tidak adanya modal. Dengan tidak ada modal maka produktivitas rendah, dan lalu menyebabkan tabungan rendah. Namun Sachs (2005) dalam Satria (2006) mencoba memodifikasi teori kemiskinan menjadi tidak sesederhana itu. Bagi Sachs, untuk mengakhiri kemiskinan, caranya dengan membuat orang termiskin dapat menapaki tangga pembangunan. Dan untuk mendorong orang miskin tersebut untuk menapaki anak tangga pertama, maka diperlukan sejumlah modal 7 , yaitu : 1. Modal manusia (human capital) seperti kesehatan, gizi, dan keterampilan yang diperlukan oleh setiap orang untuk produktif secara ekonomi 2. Modal usaha (business capital) seperti mesin, fasilitas, alat transportasi bermotor 3. Modal infrastruktur (infrastructure capital) seperti jalan, tenaga lsitrik, air, dan sanitasi, bandara, pelabuhan, dan sistem telekomunikasi yang menjadi prasyarat penting bagi produktivitas usaha 4. Modal alam (natural capital) seperti suburnya lahan, keanekaragaman hayati, dan ekosistem yang berfungsi baik 5. Modal kelembagaan publik (public institustional capital) seperti hukum eknomi, sistem peradilan, layanan pemerintah dan kebihjakan yang mendukung terciptanya kemakmuran, 6. Modal pengetahuan seperti pengetahuan dan teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas usaha dan pemanfaatan sumberdaya alam. Widiyanto et al. (2010) mengatakan bahwa salah satu pendekatan dalam memahami kemiskinan adalah sustainable livelihood. Pendekatan ini tidak hanya berbicara mengenai pendapatan (income poverty) dan pekerjaan (jobs) tetapi lebih holistik dengan memahami kehidupan orang miskin, apa prioritas hidup mereka, dan apa yang dapat membentu mereka. Dengan kata lain, memahami orang miskin harus bersifat komprehensif, dengan berbagai elemen penting yang harus dipahami secara tepat dan benar, seperti siapa orang miskin itu, dimana mereka 6
Soerjono Soekanto. “Sosiologi Suatu Pengantar”. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006). hal. 320. 7 http://agrimedia.mb.ipb.ac.id/uploads/doc/2010-07-06_Arief_satriaKEMISKINAN_NELAYAN, diakses pada tanggal 26 Mei 2011 pukul 09.25 WIB
18
tinggal, mengapa mereka miskin, mengapa mereka tetap miskin, bagaimana persepsi mereka mengenai apa yang dimaksud dengan “miskin”, dan bagaimana usaha mereka untuk mengatasinya. Chambers (1995) dalam Widiyanto et al. (2010) mengatakan bahwa banyak dimensi penting yang perlu mendapatkan perhatian, yaitu: inferioritas, pengasingan, kerentanan, perampasan, ketidakberdayaan, dan penghinaan. Muladi (2005) mengemukakan faktor-faktor yang menjadi penyebab kemiskinan nelayan: 1.
Masalah yang berkaitan dengan kepemilikan alat tangkap
2.
Akses terhadap modal khususnya menyangkut persyaratan kredit
3.
Persyaratan pertukaran hasil tangkapan yang tidak berpihak pada buruh nelayan
4.
Sarana penyimpanan ikan
5.
Hak pengusahaan kawasan tangkap
6.
Perusakan sistem organisasi masyarakat pesisir. Tingkat perekonomian masyarakat nelayan juga dipengaruhi oleh cara
kerja dan hubungan sosial yang terbentuk dalam komunitas nelayan tersebut. Mulyadi (2005) menguraikan beberapa hal yang menjadi karakteristik sosial masyarakat nelayan, antara lain: 1.
Keterasingan
relatif:
dalam
banyak
hal,
nelayan
membentuk
masyarakatnya sendiri dan sering terasing karena mereka harus hidup di sepanjang tepi danau, sungai dan laut. Di samping itu, karena banyak nelayan bekerja pada malam hari atau pagi buta, pada saat orang lain masih tidur, nelayan sering dipandang sebagai orang yang terpencil dari masyarakat (Pollnac dalam Mulyadi 2007). 2.
Organisasi kerja: koordinasi antara awak kapal penangkap ikan perlu dikombinasikan. Adanya risiko fisik berkaitan dengan lingkungan laut, menambah pentingnya kesalingtergantungan setiap pekerja. Bersamaan dengan cepatnya peralatan menyusut dan kemungkinan hilangnya peralatan, kerja sama ini mengurangi jarak sosial dan ekonomi antara pemilik dan buruhnya.
3.
Pembagian tenaga kerja: mayoritas tenaga kerja yang terlibat dalam nafkah nelayan adalah laki-laki, namun demikian bukan berarti perempuan tidak
19
memiliki andil dalam kegiatan nelayan. Wanita biasanya melakukan kegiatan-kegiatan di tepi pantai, dimana pekerjaan tidak akan bertentangan dengan pemeliharaan anak. Pada banyak masyarakat penangkap ikan, wanita mengambil alih fungsi membeli dan menjual ikan. Peranan wanita sebagai pedagang ikan menstabilkan ekonomi pada beberapa masyarakat penangkap ikan karena pria mungkin hanya kadang-kadang menangkap ikan, tetapi wanita bekerja sepanjang tahun. 4.
Hak-hak atas sumberdaya laut: di beberapa wilayah, gelombang arus menggeser batas-batas tepi laut, muara, dan pantai sehingga secara praktis tidak mungkin untuk mempertahankan batas-batas secara jelas. Karena sasaran tangkapan relatif berpindah-pindah, hak atas suatu tempat khusus, bidang kecil penangkapan ikan tidak akan bermanfaat karena ikannya berpindah-pindah. Hak-hak komunal agak sering ditemukan, tetapi sering berjalan tidak sesuai dengan undang-undang nasional yang menentukan laut sebagai suatu sumberdaya yang terbuka untuk umum.
2.2
Kerangka Pemikiran Penetapan Kepulauan Karimunjawa sebagai Kawasan Taman Nasional
Karimunjawa diharapkan dapat mempertahankan kondisi lingkungan dan sumberdaya kelautan di wilayah ini sehingga manfaatnya dapat diambil secara berkelanjutan. Namun di sisi lain, kehadiran Kawasan Taman Nasional berikut sistem
zonasinya
mengakibatkan
nelayan
tradisional
harus
melakukan
penyesuaian terhadap lokasi-lokasi penangkapan ikan yang selama ini menjadi ladang penghidupan mereka. Menurut Balai Taman Nasional Karimunjawa (2002) dalam Maksum (2005), masalah utama pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Taman Nasional Karimunjawa adalah perlindungan ekosistem perairan laut. Hal ini disebabkan oleh permasalahan yang timbul akibat pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak berkelanjutan, seperti yang tercermin dari maraknya kerusakan ekosistem terumbu karang akibat eksploitasi sumberdaya perikanan dengan alat tangkap yang merusak lingkungan, perambahan dan perubahan fungsi ekosistem mangrove menjadi areal pertambakan, pengambilan batu karang untuk bahan bangunan,
20
tingginya animo membangun resort di pulau-pulau, serta pengambilan biota laut yang dilindungi undang-undang secara ilegal 8 . Permasalahan-permasalahan tersebut menjadi menarik untuk ditelaah bahwa: 1. Sejauh mana kehadiran Taman Nasional Karimunjawa berikut sistem zonasinya
memberi
pengaruh
terhadap
strategi
nafkah
nelayan
kompressor. Pengaruh ini terutama diukur dari segi Daerah Tangkap, Alat Tangkap dan Diversifikasi Nafkah. 2. Mengingat bahwa Kepulauan Karimunjawa merupakan salah satu dari tiga pusat perikanan yang diandalkan di Jawa Tengah, dan fakta bahwa sebagian besar penduduknya yang berjumlah lebih dari 8.800 jiwa adalah nelayan, maka penting untuk dikaji pengaruh aktifitas perikanan tangkap di
Kepulauan
Karimunjawa
terhadap
efektivitas
konservasi
keanekaragaman hayati di TNKJ yang dilakukan dengan sistem zonasi.
Sistem Zonasi Kawasan Taman Nasional Karimunjawa
Pemanfaatan Perikanan Laut di Taman Nasional Karimunjawa
Strategi Nafkah Nelayan Kompressor 1. Daerah Tangkap 2. Alat Tangkap 3. Diversifikasi Nafkah
Efektivitas Sistem Manajemen Zonasi
Gambar 1 Kerangka Pemikiran 8
Laporan Evaluasi Balai Taman Nasional Karimunjawa Tahun 2009
Upaya Perlindungan Taman Nasional Karimunjawa
21
Keterangan : : hubungan pengaruh : dianalisis secara deskriptif
2.3
Hipotesis Penelitian Penyusunan hipotesis bertujuan untuk memudahkan peneliti menjawab
permasalahan dan dalam rangka untuk mencapai tujuan dari penelitian yang telah dirumuskan. Dari kerangka pemikiran diatas dapat disusun hipotesis berupa: 1. Pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa yang dikelola dengan sistem zonasi berpengaruh terhadap daerah tangkap ikan, alat tangkap, dan diversifikasi nafkah dari nelayan kompressor di Kepulauan Karimunjawa 2. Kegiatan pengelolaan konservasi keanekaragaman hayati di Taman Nasional Karimunjawa yang dijalankan melalui sistem zonasi tidak mampu mengimbangi aktifitas perikanan tangkap yang berkembang di kepulauan Karimunjawa (diukur dari segi produksi perikanan laut, jumlah nelayan, dan alat tangkap). Sebagai akibatnya, efektivitas pengelolaan sistem zonasi tergolong rendah.
2.4
Definisi Operasional Definisi operasional untuk masing-masing variabel adalah sebagai berikut: 1. Strategi
adaptasi
nafkah
adalah
tingkah
laku
strategis
dalam
memaksimalkan kesempatan hidup (Hansen, 1979, dalam Saharudin 2007). Strategi nafkah yang dimaksud berada dalam konteks masyarakat nelayan, yaitu taktik dan aksi yang dibangun oleh individu maupun kelompok dalam rangka mempertahankan kehidupan mereka dengan tetap memperhatikan eksistensi infrastruktur sosial, struktur sosial, dan sistem nilai budaya yang berlaku (Dharmawan, 2006). Strategi adaptasi nafkah yang dimaksud dibedakan ke dalam tiga kelompok, yakni: a. Daerah tangkap adalah cakupan kawasan yang menjadi tempat nelayan mencari ikan. Cakupan kawasan ini berupa zona-zona yang boleh dimasuki dan digunakan, serta jarak tertentu (dalam
22
satuan km) dari batas pantai yang mampu dicapai oleh kapal nelayan. b. Alat tangkap adalah jenis peralatan yang digunakan dalam mengambil sumberdaya perikanan c. Diversifikasi nafkah yang dimaksud dalam penilitian ini yaitu penerapan pola nafkah yang beragam dengan cara mencari pekerjaan lain selain pertanian untuk menambah pendapatan (Soones 1998).
23
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang didukung oleh
data kualitatif. Pendekatan kuantitatif yang digunakan adalah penelitian survei yaitu penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang utama (Singarimbun dan Efendi 2008). Pengumpulan data kuantitatif dilakukan melalui metode survei kepada nelayan kompressor dengan menggunakan kuesioner. Pendekatan kualitatif digunakan peneliti untuk memahami secara mendalam dan rinci mengenai suatu peristiwa, serta dapat menggali bebagai realitas, proses sosial, dan makna yang berkembang dari orang-orang yang menjadi subjek penelitian. Strategi penelitian kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini ialah studi kasus. Peneliti memilih suatu kejadian atau gejala untuk diteliti (Sitorus 1998). Hasil pendekatan kualitatif ini diperkaya dengan data yang diperoleh dari metode survey. yang menggunakan instrument kuesioner untuk mengumpulkan informasi dari responden. Penelitian ini bersifat explanatory research yang menjelaskan hubungan-hubungan kausal antara variabel melalui pengujian hipotesa (Singarimbun 1995).
3.2
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Karimunjawa, Kecamatan Karimunjawa,
Kabupaten Jepara, Propinsi Jawa Tengah. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive). Pemilihan lokasi penelitian ini berdasarkan: 1. Desa Karimunjawa merupakan kawasan Taman Nasional yang sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai nelayan; 2. Tersedianya data pendukung yag dapat membantu peneliti dalam melakukan penelitian; dan 3. Bahasa yang digunakan oleh masyarakat di Desa Karimunjawa dapat dipahami oleh peneliti sehingga memudahkan peneliti dalam melakukan wawancara dan pengumpulan data
24
Oleh karena itu dengan mengambil wilayah Desa Karimunjawa sebagai tempat penelitian, diharapkan dapat memberikan manfaat dan solusi dari permasalahan yang diteliti oleh penulis terhadap masyarakat Desa Karimunjawa. Pengumpulan data sekunder, dan data primer akan dilakukan selama satu bulan, dimulai pada bulan April – bulan Mei 2011. Dalam kurun waktu satu bulan tersebut peneliti mengumpulkan semua data dan informasi yang akan digunakan dalam penyusunan skripsi.
3.3
Teknik Pengambilan Data
3.3.1
Kerangka Sampling Kerangka
sampling
dalam
penelitian
ini
adalah
nelayan
Desa
Karimunjawa yang mengambil ikan di wilayah Taman Nasional Karimunjawa dengan menggunakan alat tangkap berupa speargun dan kompressor. Golongan nelayan ini bekerja dalam tim yang relatif tetap, berjumlah lima sampai tujuh orang di setiap kapal dimana terdapat 17 kapal yang menggunakan alat tangkap speargun dan kompressor di desa Karimunjawa. Komunitas nelayan ini berjumlah 90 orang, mayoritas berada di wilayah perkampungan Lego di sebelah timur Desa Karimunjawa.
3.3.2
Pemilihan Responden Responden adalah individu yang dapat memberikan keterangan atau
informasi mengenai dirinya sendiri. Dalam penelitian ini populasi adalah masyarakat Desa Karimunjawa yang berprofesi sebagai nelayan, dimana populasi sampling pada penelitian ini adalah masyarakat Desa Karimunjawa yang memiliki umur produktif antara 15-65 tahun dengan unit analisis individu. Responden dari penelitian ini adalah nelayan Karimunjawa yang beroperasi di sekitar TNKJ dan menggunakan alat tangkap berupa panah dan kompressor. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik Simple Random Sampling, dengan jumlah responden 35 orang. Populasi nelayan kompressor adalah 90 orang. Karena bekerja secara berkelompok, seluruh anggota nelayan kompressor terbagi ke dalam 17 kelompok (1 kelompok terdiri dari lima sampai tujuh orang). Dari 17 kelompok tersebut, kemudian dipilih secara acak
25
sebanyak enam kelompok melalui perwakilan dari setiap ketua kelompok. Alasan dipilihnya responden berdasarkan tim adalah agar waktu, tenaga dan biaya yang dikeluarkan dalam penelitian menjadi lebih efektif dan efisien, mengingat karakteristik nelayan kompressor relatif homogen. Dari masing-masing tim yang terpilih, kemudian dilakukan wawancara terhadap anggota-anggota timnya hingga mencapai jumlah 35 orang.
3.3.3
Wawancara Mendalam Terdapat dua subjek dalam penelitian ini yaitu informan dan responden.
Informan adalah seseorang yang dapat menjelaskan dan memberikan keterangan atau gambaran mengenai dirinya sendiri, keluarga, pihak lain dan lingkunganya. Adapun informan yang dituju adalah tokoh masyarakat, yakni ketua kelompok nelayan, ketua RT dan ketua RW, Guru, Kepala Desa, Kaur Kependudukan tingkat Kecamatan, Juragan, nelayan tradisional, dan tokoh masyarakat lainnya. Jumlah Informan dalam penelitian ini adalah sebanyak 21 orang. Selain tokoh masyarakat, wawancara juga dilakukan terhadap petugas Balai Taman Nasional sebanyak enam orang, dan Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak di bidang perlindungan dan pelestarian alam sebanyak dua orang. Data primer berasal dari wawancara melalui kuesioner yang ditanyakan pada responden dan data pendukung berupa wawancara mendalam terhadap responden. Sedangkan data sekunder diperoleh dari hasil dokumentasi dan studi literatur melalui hasil penelitian sebelumnya, dapat berupa jurnal, skripsi, tesis, disertasi, makalah, laporan dari Balai Taman Nasional Karimunjawa, informasi dari internet dan karya ilmiah lainnya.
3.4
Teknik Analisis Data Data hasil kuisioner dari responden diolah menggunakan program
microsoft excel. Data tersebut diolah melalui teknik regresi linear untuk melihat pengaruh sistem Zonasi Taman Nasional Karimunjawa terhadap strategi nafkah nelayan. Data kualitatif dari wawancara mendalam dan observasi disajikan secara deskriptif untuk mendukung dan memperkuat analisis kuantitatif. Gabungan data tersebut diolah dan dianalisis dengan disajikan dalam bentuk teks naratif, matriks,
26
atau bagan. Kemudian ditarik kesimpulan dari semua data yang telah diolah. Kemudian hasil dari kuesioner tersebut dicatat seperti apa adanya dan diolah dengan melakukan analisis serta interpretasi, baru selanjutnya dilakukan pembuatan kesimpulan tentang hasil kuesioner.
27
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1
Sejarah Lokasi Menurut sejarah yang berkembang di masyarakat, Karimunjawa berasal
dari nama pulau utama dan terbesar yaitu Karimunjawa. Menurut cerita masyarakat Jawa pada zaman Kesunanan Muria “Kremun-kremun saka Jawa” berarti samar-samat dari Jawa. Nama Karimunjawa juga digunakan untuk nama kecamatan/kepulauan, pulau, dan desa.
4.2
Lokasi Geografis Secara geografis Karimunjawa merupakan kepulauan yang terletak antara
5°40’39 - 5°55’00 LS dan 110°05’57 - 110°31’15’ BT dengan luas wilayah sekitar 107.225 ha, tepatnya di sebelah utara dari Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Secara administratif, daerah ini termasuk wilayah Kecamatan karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Kecamatan ini terbagi menjadi beberapa kawasan seperti kawasan pemerintahan, kawasan pemukiman, kawasan konservasi, dan kawasan pariwisata (Taman Nasional Karimunjawa 2010).
Gambar 2 Peta Karimunjawa
28
Kecamatan Karimunjawa merupakan kumpulan dari 27 pulau yang dikelilingi oleh Laut Jawa dan terdiri atas tiga desa yaitu Desa Karimunjawa, Desa Kemujan, dan Desa Parang. Sarana transportasi umum yang dapat digunakan untuk mengakses daerah ini adalah dengan kapal ferry dari Jepara atau Semarang. Transportasi yang dapat digunakan untuk menuju pulau lainnya menggunakan kapal bermotor.
4.3
Kependudukan Kecamatan Karimunjawa mempunyai sumberdaya manusia yang terdiri
dari 8.733 jiwa. Jumlah penduduk ini terdiri atas beragam suku yaitu Jawa, Bugis, Bajo, Madura, dan Baton. Berikut ini adalah data perbandingan jumlah penduduk di Kecamatan Karimunjawa sejak tahun 1990 hingga 2010. Tabel 1 Data Kependudukan Tiga Desa di Kecamatan Karimunjawa Tahun 2010 Desa Karimunjawa Kemujan Parang Total Kecamatan Karimunjawa
Luas Daratan (Ha)
Sensus 1990
4,619 1,626 870
3795 2344 1300
4062 2628 1400
4422 2736 1581
7,115
7439
8090
8733
Sensus Sensus 2000 2010
Laju Kepadatan Pertumbuhan Penduduk Penduduk 2010 (%/thn) 1.04 0.852782 0.68 0.403551 0.55 1.223275 0.81
0.767734
Sumber: Badan Pusat Statistik 2010
Kepadatan penduduk paling besar terdapat di Desa Karimunjawa, karena Desa ini tergolong yang paling maju diantara tiga desa yang lainnya. Meski demikian, laju pertumbuhan penduduk tertinggi justru terjadi Desa Parang. Secara keseluruhan, kepadatan penduduk di Kecamatan Karimunjawa adalah sebesar 0.81 per hektar, dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 0,76 %/tahun. Tingkat pendidikan di Kepulauan Karimunjawa masih tergolong rendah karena penduduk usia sekolah banyak bekerja membantu orang tua. Hal ini terjadi karena rendahnya kesadaran penduduk tentang pentingnya pendidikan dan keterbatasan biaya. Mayoritas penduduk Karimunjawa beragama Islam, tetapi ada
29
juga yang memeluk agama Kristen dan Katholik. Data kependudukan selengkapnya beserta tingkat pendidikan dan agama tersaji dalam Tabel 2. Tabel 2 Data Kependudukan Tiga Desa di Kecamatan Karimunjawa Berdasarkan Pendidikan dan Agama Tahun 2002 Desa Karimunjawa Kemujan Parang Total
Jumlah Penduduk 4.137 2.698 2.007 8.842
SD* 3865 2128 1974 7967
Pendidikan SLTP SLTA 156 92 115 57 25 7 296 156
PT 24 11 1 36
Agama ISLAM KRISTEN 4107 30 2687 11 2007 0 8801 41
* Sudah tamat, tidak tamat, dan belum sekolah Sumber Data : Monografi Desa Kecamatan Karimunjawa, 2002
Adapun mata pencaharian masyarakat Karimunjawa sangat beragam. Nelayan dan pembudidaya ikan sebagai mata pencaharian utama diikuti juga dengan pekerjaan lainnya sebagai petani. Berikut adalah Tabel yang menyajikan mata pencaharian masyarakat Karimunjawa.
Tabel 3 Data mata pencaharian penduduk Kecamatan Karimunjawa Tahun 2009 No 1 2 3 4 5 6 7 8 Jumlah
Mata Pencaharian Petani/buruh tani Nelayan Pengusaha Buruh Pedagang Peternak PNS dan TNI Pensiunan
Jumlah Penduduk (Jiwa) Karimunjawa Kemujan Parang 378 407 348
Total 1133
Persentasi (%) 18.99
1238 8
696 12
421 -
2355 20
39.47 0.36
285 12 124 96 27 2168
202 30 947 53 33 2380
55 37 544 13 1418
542 79 1615 162 60 5966
9.08 1.32 27.07 2.73 1.01 100.00
Sumber: Balai Taman Nasional Karimunjawa 2009
Dari Tabel diatas dapat dilihat sebagian besar merupakan nelayan yakni 39,47 persen. Selanjutnya peternak dan petani/buruh tani menempati posisi pekerjaan paling besar di Karimunjawa, yakni sebesar 27,07 persen dan 18,99 persen. Meski demikian, masyarakat Karimunjawa pada umumnya memiliki mata pencaharian ganda untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sejak meningkatnya sektor pariwisata di Karimunjawa, sebagian masyarakat memanfaatkan potensi
30
ekowisata di daerah tersebut dengan menjadi tour guide, penyewaan alat selam, penginapan, warung makan dll.
4.4
Iklim dan Topografi Wilayah Kepulauan Karimunjawa mempunyai iklim tropis yang o
o
dipengaruhi oleh angin laut dengan suhu rata-rata 26-30 C. Suhu maksimum 34 C o
dengan suhu minimum 22 C. Kelembaban nisbi antara 70-85%, dan tekanan udara berkisar antara 1,012 mbar. Dalam satu tahun terdapat dua pergantian musim, yaitu musim kemarau dan musim penghujan dengan musim pancaroba diantaranya. Musim kemarau (musim timur) terjadi pada bulan Juni-Agustus. Pada musim ini cuaca sepanjang hari cerah dengan curah hujan rata-rata <200 mm/bulan, rata-rata penyinaran matahari antara 70-80% setiap hari. Bulan kering terjadi pada Maret-Agustus dengan curah hujan sekitar 60 mm/bulan. Arah angin datang dari timur sampai tenggara dengan kecepatan 7-10 knot, kadang-kadang mencapai 16 knot lebih. Musim pancaroba pertama terjadi pada SeptemberOktober, pada periode ini angin didominasi dari barat dan barat laut, juga dari timur dan utara dengan kecepatan yang sangat bervariasi (BTNKJ 2001 dalam Irnawati 2008). Topografi Kepulauan Karimunjawa dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu perbukitan, perbukitan bergelombang, dan dataran rendah. Perbukitan terbentang luas di Pulau Karimunjawa dengan ketinggian 200-500 m. Bertekstur kasar, berlereng terjal, dan disusun oleh batuan sedimen pra-tersier. Perbukitan bergelombang terbentang di Pulau Karimunjawa, Pulau Kemujan, Pulau Parang, dan Pulau Genting, dengan ketinggian 25-200 m, bertekstur halus hingga agak kasar, berlereng landai, dan disusun oleh batuan sedimen dan batuan gunung api. Gunung Walang dan beberapa gumuk (bukit kecil) merupakan tonjolan topografi pada daerah ini. Dataran rendah terbentang di Pulau Karimunjawa, Pulau Kemujan, Pulau Parang, Pulau Genting, Pulau Menjangan, Pulau Cemara, Pulau Bengkoang, Pulau Geleang, dan Pulau Sintok dengan ketinggian antara 0-25 m. Penyusun substrat dataran rendah ini antara lain aluvium dan sedikit batuan gunung api atau batuan sedimen (BTNKJ 2001 dalam Irnawati 2008).
31
4.6
Sarana dan Prasarana Prasarana fisik yang ada terdiri dari jalan desa, bangunan desa, serta
bangunan fasilitas umum. Listrik di Kecamatan Karimunjawa diperoleh dari PLTD dan tenaga surya. PLTD di Desa Karimunjawa hanya dapat beroperasi 12 jam, terhitung dari pukul 18.00-06.00 WIB. Jalan-jalan desa berupa jalan beraspal. Bangunan-bangunan seperti sekolah, tempat ibadah dan sarana kesehatan jumlahnya cukup banyak dan terawat. Selain itu juga terdapat bangunan untuk sarana olah raga dan berkumpulnya masyarakat berupa alun-alun dan aula pertemuan. Berikut merupakan Fasilitas yang ada di Kecamatan Karimunjawa tersaji dalam Tabel 4. Tabel 4 Fasilitas Umum yang terdapat di Kecamatan Karimunjawa Tahun 2002 No 1 2 3 4 5 6
Jumlah 3 buah 16 buah 1 buah 4 buah 2 buah
Keterangan Swasta & dinas pariwisata Milik masyarakat Telkom Pdam swakarsa Pltd kalisda dan telkom
7 8
Jenis fasilitas Hotel dan resort Homestay Komunikasi Air bersih Listrik Transportasi Transportasi air Transportasi darat Transportasi udara Pelabuhan Bandar udara Kesehatan Keamanan
2 buah 11 buah 1 buah 6 buah 1 buah 1 kantor 5 kantor
9 10 11 12
Tempat ibadah Sekolah Pasar Olah raga
38 buah 18 buah 1 buah 16 buah
Kmp. Muria dan kmp kartini Mobil dan motor Kura-kura resort Pemerintah, swasta Pemerintah Puskesmas Koramil, Polsek, Pol Air, TN. Karimunjawa dan AL. Mesjid, mushola dan gereja. SD, SLTP, SMU, SMK Di desa Karimunjawa Lapangan sepak bola dan bola voli
Sumber : Balai Taman Nasional Karimunjawa 2004
32
BAB V ZONASI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA DAN NELAYAN KOMPRESSOR 5.1
Zonasi Taman Nasional Laut Karimunjawa Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan no. 185/Kpts-II/1997 tanggal
31 Maret 1997 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Taman Nasional dan Unit Taman Nasional, maka sejak tanggal 23 Januari 1998 Karimunjawa secara definitif dikelola oleh organisasi pengelola yang mandiri dengan status sebagai UPT Dirjen PHKA dengan nama Balai Taman Nasional Karimunjawa (BTNKJ). Purwanti et al. (2008) mengatakan bahwa BTNKJ
sebagai pemegang otoritas
pengelolaan mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan ekosistem kawasan TNKJ secara optimal, yaitu menyusun rencana, program dan evaluasi pengelolaan taman nasional; mengelola taman nasional; melakukan pengawetan dan pemanfaatan secara lestari taman nasional; perlindungan, pengamanan dan penanggulangan kebakaran taman nasional; promosi dan informasi, bina wisata dan cinta alam, penyuluhan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya; kerjasama pengelolaan tama nasional; dan melaksanakan urusan tata usaha dan rumah tangga. Taman Nasional Karimunjawa sejak tahun 1999 telah memiliki 4 zona yaitu zona inti, zona perlindungan, zona pemanfaatan dan zona penyangga. Namun demikian, pada tahun 2004 zonasi yang ada dinilai sudah tidak sesuai dengan kondisi riil di lapangan, disebabkan adanya beberapa permasalahan9 , antara lain: 1.
Zonasi tersebut belum mengakomodir berbagai kepentingan pengelolaan terutama dari aspek ekologi, sosial ekonomi serta budaya termasuk kearifan lokal
2.
Banyak terjadi tumpang tindih kebijakan berbagai pihak, baik di tingkat propinsi maupun kabupaten. Sebagai akibatnya, banyak terjadi pelanggaran memasuki zona dan
pelanggaran hukum lainnya, yaitu penangkapan ikan dengan bahan dan/ atau alat 9
Laporan evaluasi Balai Taman Nasional Karimunjawa Tahun 2009
33
tangkap yang merusak lingkungan (26,32%), pengambilan biota yang dilindungi (36,84%), pencurian kayu mangrove (31,58%) (Purwanti et a., 2008). Lebih lanjut lagi, Purwanti et al (2008) juga mengatakan bahwa banyaknya pelanggaran tersebut terjadi karena sosialisasi tentang pelanggaran-pelanggaran hukum di bidang pengelolaan sumberdaya alam dan wilayah pesisir yang diancam sanksi hukum belum ada. Selain itu pendidikan sebagian besar penduduk (87,99%) hanya sampai tingkat dasar sehingga pemahaman terhadap hukum kurang dan juga didorong oleh kebutuhan hidup karena hasil penangkapan semakin kecil sedangkan biaya operasi penangkapan makin besar. Adanya permasalahan-permasalahan tersebut menyebabkan dilakukannya perubahan zonasi pada Tahun 2005 melalui Surat Keputusan Direktur Jenderal PHKA Nomor: 79/IV/Set-3/2005 tanggal 30 Juni 2005. Zonasi tersebut diharapkan dapat mengakomodir kepentingan masyarakat untuk memanfaatkan sumberdaya alam serta kepentingan pelestarian oleh Balai Taman Nasional Karimunjawa.
Proses
perbaikan
Zonasi
Taman
Nasional
Karimunjawa
dilaksanakan melalui berbagai tahapan. Tahap pertama adalah dengan mengumpulkan informasi serta mencari masukan dari berbagai pihak yang mempunyai kepentingan terhadap pengelolaan kawasan Taman Nasional Karimunjawa. Tahap berikutnya adalah dengan mengadakan lokakarya sebagai berikut: 1. Lokakarya Kabupaten Jepara I a. Lokakarya ini dilaksanakan pada tanggal 24 Juni 2004. Lokakarya ini menghasilkan 2 rekomendasi yang berkaitan dengan Balai Taman Nasional Karimunjawa (BTNKJ) yaitu: b. BTNKJ segera menyelesaikan penyusunan rencana pengelolaan TN Karimunjawa, serta rencana teknis terkait (antara lain rencana pengembangan zonasi dan pariwisata alam laut) secara terpadu melalui forum koordinasi yang efektif dengan memperhatikan aspek ekologi, ekonomi dan sosial. c. Khusus untuk penyusunan rencana pengembangan zonasi yang merupakan inti dari pengelolaan Taman Nasional, data dan informasi yang berkaitan dengan kondisi potensi dan sosek perlu di cermati dengan menganalisa data tersebut. Data dan informasi tersebut
34
bersumber dari pihak-pihak yang telah melakukan penelitian di Karimunjawa.
Pembahasan
dilakukan
secara
bertahap
(lokal,
kabupaten, propinsi) dan konsisten dengan partisipasi pihak-pihak terkait. 2. Lokakarya Desa Lokakarya dilaksanakan pada tanggal 8 – 10 Januari 2004 yang bertujuan untuk menggali pemikiran masyarakat mengenai Zonasi Taman Nasional Karimunjawa. Lokakarya desa dihadiri oleh perwakilan dari masingmasing desa dan menghasilkan beberapa usulan masyarakat mengenai zonasi. Berdasarkan laporan Penataan Zonasi Taman Nasional (2004), masukan masyarakat tentang lokasi masing-masing zona sebagai berikut: a. Zona Inti : Taka Menyawakan. Kriteria yang harus dimiliki untuk zona inti adalah tidak harus berbentuk pulau, sebagai pensuplai ikan bagi daerah sekitar, tidak ada kepemilikan, merupakan daerah pemijahan ikan, dan memiliki satwa langka. Taka Menyawakan diusulkan menjadi zona inti karena lokasi ini menjadi tempat pemijahan ikan, dan secara geografis mewakili tiga Desa, sehingga diharapkan bisa mensuplai ikan ke perairan tiga Desa. b.
Zona Perlindungan: Hutan Mangrove Kemujan, Hutan Karimun, P. Batu, Taka Laijo, Gosong Cemara, Taka Mrican. Kriteria zona perlindungan antara lain daerah jauh dari pemukiman (minimal 1,5 mil), cukup tersedia makanan bagi ikan, adanya kesepakatan masyarakat, memiliki ekosistem yang masih utuh, tidak ada pencemaran lingkungan, memiliki syarat budidaya, pemanfaatan terbatas/wisata terbatas. Alasan diusulkannya lokasi-lokasi tersebut antara
laen
karena
memiliki
mangrove,
sebagai
tempat
berkembangbiak udang dan daerah wisata, tempat tinggal dan berkembangbiak satwa langka, adanya wisata religi dan wisata alami c.
sebelah timur Kemujan dan Barat Kemujan), Wilayah Barat Tanjung Gelam hingga Nyamplungan Zona Pemanfaatan: Taka Besi, Perairan P. Sintok, P. Bengkoang, Tanjung Seloka, Legon Kemujan.
35
Kriteria zona pemanfaatan adalah Wilayah yang kaya potensi sumberdaya alam, Sering dimanfaatkan oleh masyarakat, Cara dan alat tangkap ramah lingkungan, dan Tidak mengganggu ekosistem. d.
Zona Penyangga: P. Genting, P. Cendikian, P. Seruni, P. Sambangan, P. Nyamuk, P. Kumbang, P. Parang (Selain Daerah Selatan P. Parang), Kemujan (Wilayah Mrican – sepanjang pantai Mrican, Tlogo, Batu Lawang, Pantai
3. Lokakarya Kabupaten Jepara II Lokakarya ini dilaksanakan pada tanggal 20 - 21 Januari 2004 untuk menindaklanjuti hasil dari lokakarya Jepara I dan Lokakarya desa. Kegiatan ini bertujuan untuk menampung aspirasi semua pihak yang terkait dalam rangka penyusunan naskah zonasi. Hasil dari lokakarya ini adalah (1) Rumusan rancangan naskah zonasi, (2) Membentuk tim teknis yang bertugas menyusun naskah Zonasi Taman Nasional Karimunjawa dan melakukan konsultasi publik. Tim teknis ini
bertugas melakukan pembahasan draft
zonasi dan sosialisasi dalam rangka mencari masukan dari semua pihak yang terkait. 4. Lokakarya Kabupaten Jepara III Kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 12 Oktober 2004 yang bertujuan untuk membahas dan menyetujui draft terakhir kajian Zonasi Taman Nasional Karimunjawa. Hasil dari pertemuan ini menetapkan Taman Nasional Karimunjawa seluas 111.625
terbagi menjadi tujuh zonasi, yaitu (lihat
lampiran 1) : 1. Zona Inti seluas 444,629 hektar meliputi sebagian perairan P. Kumbang, perairan Taka Menyawakan, perairan Taka Malang dan Perairan Tanjung Bomang. 2. Zona Perlindungan seluas 2.587,711 hektar meliputi hutan tropis dataran rendah dan hutan mangrove, serta wilayah perairan P. Geleang, P. Burung, Tanjung Gelam, P.Sitok, P. Cemara Kecil, P.Katang, Gosong Selikur, Gosong tengah. 3. Zona Pemanfaatan Pariwisata seluas 1.226,525 hektar meliputi perairan P. Menjangan Besar, P. Menjangan kecil, P. Menyamakan, P. Kembar,
36
sebelah timur P. Kumbang, P.Tengah, P. Bengkoang, Indonor dan Karang Kapal. 4. Zona Pemukiman seluas 2.571,546 hektar melalui P. Karimunjawa, P. Kemujan, P. Parang dan P. Nyamuk. 5. Zona Rehabilitasi seluas 122,514 hektar meliputi perairan sebelah Timur P. Parang, sebelah Timur P. Nyamuk, sebelah Barat P. Kemujan dan sebelah Barat P. Karimunjawa. 6. Zona Budidaya seluas 788,213 hektar meliputi perairan P. Karimunjawa, P.Kemujan, P. Menjangan Besar, P. Parang dan P. Nyamuk. 7. Zona Pemanfaatan Perikanan Tradisional seluas 103.883,862 hektar meliputi seluruh perairan di luar zona yang telah ditetapkan yang berada di dalam kawasan TN Karimunjawa. Selain menyangkut batas zonasi, masyarakat juga mengusulkan beberapa hal lain sebagai berikut, seperti yang tertuang dalam Laporan Penataan Zonasi Taman Nasional Karimunjawa (2004): • Diperlukan alternatif mata pencaharian bagi nelayan pada musim paceklik, dengan memanfaatkan potensi yang terdapat di darat. • Diperlukan peningkatan kapasitas lembaga lokal dalam upaya penyadaran masyarakat. Ditujukan untuk meningkatkan peran aktif masyarakat dalam upaya pengelolaan Kawasan Taman Nasional Karimunjawa. • Masyarakat ingin ikut dilibatkan dalam pengelolaan Taman Nasional, kerjasama dengan pihak-pihak terkait dan penegakan hukum. Dari ketiga butir tersebut, terlihat bahwa masyarakat Karimunjawa memiliki keinginan untuk terlibat aktif dalam aktivitas-aktivitas perlindungan dan penegakan hukum tentang pemanfaatan sumberdaya alam. Hal ini menandakan bahwa masyarakat memiliki kepedulian yang tinggi dalam menjaga dan melestarikan kawasan Taman Nasional Karimunjawa. Meski demikian, sebagian masyarakat belum merasakan manfaat setelah adanya zonasi tersebut, seperti yang diungkap oleh seorang tokoh masyarakat, JN (46):
37
Sampai sekarang masih ada konflik tentang tapal batas. Mestinya kalau ada pembaharuan zonasi, yang salah diperbaiki biar ga terjadi masalah. Tapi sampai sekarang tidak. Kepentingannya gini, dia (BTNKJ) ada proyek, maka harus menambah zona inti. Katakanlah zona inti sebagai lumbung dari pada ikan yang ada, tapi kenapa ko tidak berdampak langsung.. katanya nelayan akan mudah mendapat ikan, tapi kenyataannya apa?lho katanya zona inti mau ditambah lagi..kalau mau ditambah, yang lama saja tidak dirasakan manfaatnya apalagi kalau ditambah? Sebagian masyarakat merasa kepentingannya tidak diwakili dalam proses penentuan zonasi. Hal ini terjadi karena banyaknya stakekolders yang terlibat, sehingga usulan dari masyarakat masih harus dipertemukan dengan usulan dari pihak Pemerintahan Desa dan Kecamatan, LSM, Staff Ahli yang ditunjuk, BTNKJ, dan Pemerintah Kabupaten. Perasaan ketidakterwakilan tersebut juga terjadi karena orang-orang yang mewakili masyarakat disinyalir merupakan orang-orang yang “dekat” dengan BTNKJ, seperti petikan wawancara dengan salah satu pejabat kecamatan, MK (46 tahun), Memang ada perwakilan masyarakat, tapi yang diajak komunikasi ya orang yang itu-itu saja, tanpa melibatkan pihak yang kontra.. Orang-orang yang kritis malah tidak dilibatkan. Kalau kebijakan mau bagus ya harus banyak masukan dan kritik kan mas.. Penerimaan dan peran serta masyarakat terhadap pola pengelolaan sangat menentukan efektivitas dari pengelolaan tersebut. Tidak efektifnya pengelolaan kawasan perlindungan alam di Karimunjawa terutama disebabkan oleh kurangnya apresiasi dan keikutsertaan masyarakat dalam kegiatan pengelolaan. Penyebab kurangnya peran aktif masyarakat adalah (1) Kurangnya sosialisasi programprogram pengelolaan di Taman Nasional Karimunjawa kepada masyarakat, (2) kurangnya upaya membangun kepedulian masyarakat dalam hal perlindungan kelestarian alam, (3) tidak terbangunnya komunikasi dua arah antara Balai Taman Nasional dengan masyarakat sehingga terbentuk pola pikir “konservasi berarti pelarangan” 10 . Penerapan sistem zonasi tersebut akan memberikan konsekuensi baik secara langsung maupun tidak langsung. Dampak langsung yang pasti dirasakan masyarakat adalah adanya perubahan pola pemanfaatan yang biasa mereka 10
Laporan Penataan Zonasi Taman Nasional Karimunjawa, 2004
38
lakukan. Penerapan zona inti dan perlindungan di suatu lokasi akan mengalihkan sebagian nelayan untuk melakukan aktifitas penangkapan di lokasi lain. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan oleh salah satu staff BTNKJ, PP (36 tahun), Tujuan kita menerapkan zonasi selain memang berdasarkan Undang-undang adalah agar nelayan bisa mengambil ikan di tempat yang diperuntukkan untuk mengambil ikan. Saat ini volume penangkapan ikan di TNKJ sudah cukup besar, dan berdasarkan penelitian, dampak aktivitas penangkapan ikan telah menguras jumlah ikan yang ada. Jadi jangan salah persepsi..zonasi tidak ditujukan untuk membatasi pendapatan nelayan los mas, tapi untuk menjaga agar SDA nya berkelanjutan 5.2
Pengetahuan Masyarakat Tentang Zonasi Kawasan Berdasarkan monitoring yang dilakukan oleh Balai Taman Nasional
Karimunjawa yang bekerja sama dengan Wildlife Conservation Society (WCS) yang dilakukan terhadap 150 responden menunjukkan bahwa pengetahuan masyarakat terhadap zonasi pada tahun 2005 dan 2009 mengalami peningkatan di tiga desa (lihat Gambar 3 dan Gambar 4).
Sumber: Balai Taman Nasional Karimunjawa 2009
Gambar 3. Pengetahuan Masyarakat tentang Zonasi pada Tahun 2005 Pada Tahun 2005, pengetahuan masyarakat tentang zonasi di Desa Karimunjawa
hanya
berkisar
43.06
persen.
Sementara
di
Kecamatan
Karimunjawa, masyarakat yang mengetahui zonasi sebanyak 40.76 persen dari
39
150 orang responden. Sementara pada Tahun 2009, tingkat pengetahuan masyarakat mengalami peningkatan sebagai berikut:
Sumber: Balai Taman Nasional Karimunjawa 2009
Gambar 4. Pengetahuan Masyarakat tentang Zonasi pada Tahun 2009 Meskipun dalam monitoring tersebut pengetahuan masyarakat pada Tahun 2009 meningkat tajam dibanding Tahun 2005, namun dari hasil observasi lapang ditemukan bahwa pengetahuan masyarakat tentang zonasi kawasan hanya mencakup eksistensi Zonasi Taman Nasional, tetapi masyarakat belum mengetahui isi dan bentuk zonasi. Hal ini terungkap dari hasil wawancara dengan seorang nelayan, JK (29 tahun). Kita mah ngga ngerti mas zona-zona mana yang boleh diambil. Dulu pernah katanya ada pengumuman, tapi kan saya ga tau.. informasinya ga merata jadinya. Ya..mestinya kan ada papan pengumuman biar kita ngerti. Tapi ya jangan semua pulau jadi zona inti toh mas Ketidaktahuan masyarakat tentang isi dan maksud dari Zonasi Taman Nasional menyebabkan penangkapan ikan di zona inti dan zona perlindungan masih berlangsung dengan marak. Terlebih lagi, minimnya patroli yang dilakukan pihak BTNKJ menyebabkan penangkapan ikan di zona tersebut seakan sudah menjadi hal yang biasa. Pada tahun 2005, pihak BTNKJ telah memasang tanda larangan di wilayah-wilayah zona inti dan perlindungan, namun tak lama setelah
40
terpasang tanda tersebut hilang. Tanda larangan di zona yang dilindungi dapat membantu nelayan dalam memilih lokasi penangkapan ikan, seperti yang diungkap oleh BD (50 tahun), Klo ada tandanya kita juga ya,, istilahnya ada perhitungan lah untuk masuk ke sana.. la klo ngga ada kan kita mana tau. Harusnya orang PPA (BTNKJ) itu masang papan larangan, atau apalah gitu.. biar kita masyarakat juga ngerti. Jangan tiba-tiba ditangkep gitu aja. Lain halnya dengan IM (26 tahun), yang telah mengetahui beberapa zona inti dan perlindungan namun tetap mengambil ikan di sana karena merasa tidak ada bentuk larangan yang kuat, Pulau Taka Menyawakan itu sebenernya ya nda boleh mas.. tapi saya klo nyari ikan ya kadang bebas aja.. soalnya kan kita nyari wilayah yang ikannya banyak toh.. moso jadi nelayan nyari ikannya di tempat yang sepi.. asal kita tau batasan aja. kalau ada patroli atau ada peringatan-peringatan ya kita nyingkir dulu. Pengetahuan nelayan kompressor yang rendah tentang Zonasi Taman Nasional juga tercermin dari banyaknya jumlah responden yang hanya mengetahui jenis zonasi tanpa mengetahui daerah mana saja yang ditetapkan sebagai tipe zonasi tersebut. Hal ini tercermin dari data berikut: Tabel 5 Pengetahuan Nelayan Kompressor tentang Zonasi Taman Nasional Karimunjawa Tahun 2011 No 1 2
Pengetahuan tentang zonasi Jumlah responden Tidak tahu tentang zonasi Tahu tentang jenis zonasi, tapi tidak mengetahui contoh lokasinya 8 • 1-3 zonasi 4 • >4 zonasi 3 Tahu tentang jenis zonasi dan contoh lokasinya 18 • 1-3 zonasi dan lokasi 5 • >4 zonasi dan lokasi Total 35 Sebanyak delapan orang responden mengetahui kurang dari empat jenis zonasi, namun tidak mampu memberikan contoh bagi masing-masing kategori zonasi. Empat lainnya mengetahui sama dengan atau lebih dari empat macam
41
zonasi namun tidak mampu memberikan contoh kawasan untuk tiap zonasi. Sementara itu, sebanyak delapan belas responden mengetahui kurang dari empat jenis zonasi dan mampu memberikan beberapa contoh untuk masing-masing zona tersebut. Zona yang paling banyak diketahui tipe dan contoh lokasinya adalah zona inti, dengan contoh lokasi pulau Taka Menyawakan dan Karam Kapal. Hanya lima responden yang mengetahui lebih dari tiga tipe zona dan mampu menyebabkan contoh kawasan yang termasuk dalam tipe tersebut. Dari hasil tersebut, terlihat bahwa sosialisasi yang dilakukan Balai Taman Nasional Karimunjawa belum berjalan dengan baik.
5.3
Nelayan Kompressor Nelayan Kompressor adalah nelayan yang menggunakan alat tangkap
panah sederhana dan alat bantu berupa mesin kompressor yang digunakan untuk memompa udara dari atas kapal ke bawah air. Saat melakukan penyelaman, biasanya terdapat tiga orang yang mencari ikan di bawah air, kemudian sisanya memastikan keselamatan para penyelam dari atas kapal dengan mengontrol tekanan udara dan memastikan bahwa selang udara tidak terlilit mesin kapal. Dengan menggunakan pipa/selang yang panjangnya puluhan meter, udara dialirkan dari kompresor ke penyelam yang berada di bawah permukaan laut. Dengan pasokan udara dari atas, penyelam bebas beraktivitas memungut atau mencari hasil tangkapan tanpa khawatir persedian udara menipis. Setelah 2 jam mencari ikan, para penyelam akan naik ke atas kapal untuk bertukar shift dengan nelayan lain yang sebelumnya di atas kapal. Secara historis penyelaman menggunakan kompresor ban di Karimunjawa sudah ada sejak era 80-an. Cara ini mula-mula diperkenalkan oleh eksportir ikan hidup dari Korea, yang memiliki karamba jaring apung di perairan Legon Boyo. Semula memang sudah ada praktek-praktek penangkapan ikan hidup yang dilakukan oleh nelayan Karimunjawa dengan skin diving. Alat tangkap yang digunakan pun berupa panah/tembak ikan. Namun ikan yang diperoleh tentu saja mati karena luka panah. Hadirnya eksportir dari Korea memicu nelayan tembak/panah beralih menyelam dengan kompresor ban. Bahkan pada saat itu, sebagian penangkapan ikan diduga menggunakan bahan-bahan kimia seperti potasium sianida, atau sejenisnya untuk membius ikan dengan cara menyemprot.
42
Meskipun dugaan itu sulit dibuktikan, tapi secara nyata dampak kerusakan terumbu pada saat itu berpengaruh pada menurunnya ikan hasil tangkapan nelayan pancing. Apalagi kehadiran eksportir Korea tersebut tak lama kemudian diikuti pula oleh hadirnya eksportir Hongkong, yang menambah maraknya penangkapan ikan hidup secara besar-besaran di wilayah kepulauan Karimunjawa. Sisi positifnya pendapatan masyarakat menjadi semakin meningkat. Tetapi bagi nelayan yang tidak memiliki keahlian menyelam, hal ini merupakan tantangan nyata. Sebab lokasi yang biasa dijadikan tempat pemancingan juga didatangi para penyelam kompresor. Inilah awal perang dingin antara nelayan pancing dengan nelayan selam, seperti yang diungkap oleh SK (48 tahun), Pokonya susahnya nelayan mas waktu ada alat menyelam. Banyak yang mengeluh mas. Di sini ada orang yang mancing, tapi di bawahnya ada yang nyelem. Diubek-ubek itu mas di bawah, lah kita mana bisa dapet ikan. Berdasarkan analisis data primer, nelayan kompressor secara rata-rata memiliki penghasilan yang lebih tinggi dari nelayan tradisional, yakni sekitar Rp 1.956.000, per bulan. Meski demikian, resiko yang dihadapi juga lebih tinggi. SM (48 tahun) berpendapat bahwa penghasilan yang lebih tinggi menimbulkan kecemburuan dari nelayan tradisional terhadap nelayan kompressor, Nelayan kompressor ini banyak yang nda suka kenapa, karena penghasilan kita lebih tinggi. Ya memang kalau dihitung-hitung kita sedikit lebih tinggi, tapi ya sama saja sebenernya.. kalau lagi ngga ada ikan ya sama saja, kita ga bisa makan. Nah terus karena disangkanya penghasilan kita lebih tinggi, nelayan yang laen jadi nda suka.. dikiranya kita pake potaslah, ngobok-ngobok orang yang lagi mancing lah, ngerusak bubu lah, apalah, macem-macem lah mas pokonya. Meski terdapat persaingan antara nelayan tradisional dan nelayan kompressor, namun masyarakat Karimunjawa tetap mengedepankan asas-asas kekeluargaan dalam menyelesaikan masalah, sehingga perbedaan pendapat diantara mereka dapat diselesaikan secara baik-baik, seperti yang diungkap oleh YN (35 tahun),
43
Orang Karimun ini ya satu keluarga. Jangan sampai teradu domba. Kalau ada masalah ya pasti, kalau ada perbedaan ya pasti, tapi kita harus sama-sama ngerti. Nelayan tradisional butuh makan, nelayan kompressor juga butuh makan. Yaa sama-sama ngerti lah pokonya.. jadi kalau di sini mas,, kalau ada masalah kita omongin barengbareng. Klo nda ketemu solusinya ya minta tolong sama Petinggi (Kepala Desa), atau Pa Camat, minta tolong ama orang PHPA (BTNKJ). Kompressor ban waktu itu dianggap sebagai teknologi “tepat guna”, selain bisa memasok udara ke ban dalam, juga bisa memasok udara ke paru-paru manusia. Kelebihan kompresor ban untuk penyelaman gampang digunakan, praktis dan murah biaya operasionalnya. Sebenarnya terdapat cara yang lebih aman, yaitu dengan menggunakan tabung penyelam plus kompressornya. Namun demikian, harga dan biaya penggunaannya mencapai jutaan rupiah. Hal ini tak memungkinkan nelayan miskin untuk mengakses alat tersebut. Untuk perlengkapan selam lainnya seperti kaca mata dan kaki katak (fin) barangkali masih terjangkau oleh mereka. Tapi untuk membeli tabung udara dan pakaian selam kedap air, tentu terlalu mahal bagi nelayan Karimunjawa. Nelayan kompressor sebagian besar tinggal di sebelah barat pulau Karimunjawa, yang biasa disebut Kampung Lego. Meski demikian terdapat juga beberapa nelayan tradisional yang hidup berdampingan dengan mereka di wilayah tersebut. Hubungan antara nelayan kompressor dan nelayan tradisional sebenarnya menyimpan potensi konflik. Nelayan tradisional menganggap nelayan kompressor merusak terumbu karang dan mengganggu reproduksi ikan-ikan yang bertelur di terumbu karang. Selain itu, penyelaman dengan menggunakan mesin kompressor juga dianggap tidak layak dan berbahaya bagi para pelaku, sehingga masyarakat tradisional menginginkan agar penggunaan mesin kompressor dilarang. Hal ini seperti yang diungkap oleh ketua kelompok nelayan Desa Karimunjawa, MT (51 tahun), Itu sebenernya bahaya mas pake kompressor itu. Itu kan harusnya buat nyoblos ban, tapi ini kenapa dipake buat manusia. Udah gitu nelayan kompressor itu pasti nginjak-nginjak terumbu karang, ga mungkin ngga mas.. kalo mas ngeliat sendiri nanti, itu semua ikan diambilin ama dia mas. Mau kecil mau gede, ditembak aja semuanya. Harusnya kan ngga boleh itu..
44
Hingga saat ini, terdapat pro dan kontra dari tokoh-tokoh masyarakat untuk menutup penggunaan mesin kompressor, namun masih terdapat kendala karena tidak menemui titik temu dengan nelayan kompressor.
5.4
Karakteristik Nelayan Kompressor
5.4.1
Umur Pekerjaan sebagai nelayan kompressor membutuhkan stamina dan
ketahanan fisik yang memadai, sehingga usia menjadi faktor yang sangat penting bagi para penyelam kompressor. Kebanyakan nelayan kompressor memulai pekerjaannya
semenjak
usia
remaja.
Meski
demikian,
tidak
menutup
kemungkinan adanya nelayan berusia tua yang masih berprofesi sebagai nelayan kompressor. Data penelitian di lapangan menunjukkan bahwa usia nelayan kompressor beragam antara 19-50 tahun. Klasifikasi responden berdasarkan umur tersaji dalam Tabel 6. Tabel 6 Jumlah dan Persentase Responden Menurut Kelompok Umur di Karimunjawa Tahun 2011 Umur Muda (15-29 Tahun) Sedang (30-39 Tahun) Tua (45-65 Tahun) Total
Jumlah (orang) 23 9 3 35
Persentase (%) 65.7 25.7 8.6 100
Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa sebagian besar responden berusia muda (15-29 tahun), yakni sebesar 65.7 persen. Adapun responden yang berusia sedang (30-39 tahun) sebanyak 25.7 persen dan yang berusia tua (45-65 tahun) sebanyak 8.6 persen. Hal ini terjadi karena nelayan kompressor membutuhkan ketahanan fisik yang baik dalam melakukan penyelaman, sehingga jarang sekali nelayan yang berusia lanjut menjadi nelayan kompressor. Tiga responden yang berusia tua dalam penelitian ini adalah nelayan yang menggunakan mesin kompressor sejak awal maraknya penggunaan mesin kompressor, sekitar tahun 1980-an. Setelah merasakan hasil yang lebih signifikan, sebagian besar nelayan akan tetap mempertahankan penggunaan mesin
45
kompressor dalam mencari ikan. Hal ini terjadi juga pada responden dengan usia sedang dan muda, seperti yang terungkap dari hasil wawancara YN (35 tahun), Jadi nelayan kompressor ya mas, itu harus punya keahlian nyelem dan fisiknya kuat. Emang bahaya kalau ngga hati-hati, tapi hasilnya juga sepadan. Lumayanlah dibandingin sama nelayan mancing, atau njaring. Saya udah belasan taun jadi nelayan kompressor. Payah mas kalau kita cuma ngandelin mancing aja. Ngga sekolah anak saya nanti Petikan wawancara tersebut menunjukkan bahwa profesi sebagai nelayan kompressor merupakan pilihan yang diambil karena lebih menjanjikan hasil yang maksimal dibandingkan pekerjaan yang lain. Hal ini membuat mereka bertahan sebagai nelayan kompressor untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, meskipun resiko yang ditanggung juga tinggi. Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan oleh Dharmawan (2001), bahwa pilihan strategi nafkah sangat ditentukan oleh kesediaan sumberdaya dan kemampuan mengakses sumber-sumber nafkah tersebut.
5.4.2
Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan responden yang dimaksud dalam penelitian ini diukur
berdasarkan tingkat pendidikan formal yang pernah diikuti. Kategori tingkat pendidikan responden di Desa Karangtengah terbagi menjadi tiga kelompok yaitu: lulusa SD atau tidak tamat SD, SMP, SMA dan perguruan tinggi. Berikut merupakan data hasil penelitian: Tabel 7 Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Karimunjawa Tahun 2011 Pendidikan Rendah (Tidak Sekolah-SD) Sedang (SMP-SMA) Tinggi (≥ Perguruan Tinggi) Total
Jumlah (orang) 33 2 0 35
Persentase (%) 94 6 0 100
Tingkat pendidikan responden pada umumnya masih dalam taraf rendah, yakni 94 persen lulusan SD atau tidak tamat SD, 6 persen SMP, dan 0 persen SMA dan perguruan tinggi. Selain karena tidak adanya fasilitas pendidikan yang memadai di Pulau Karimunjawa, kesadaran nelayan terhadap pendidikan pun
46
rendah, terutama pada responden yang berusia tua dan sedang. Dua orang responden yang bersekolah sampai tingkat SMP termasuk dalam usia muda. Hal ini terjadi karena fasilitas sekolah SMP baru dibangun pada tahun 1985, dan SMK pada tahun 2004, sehingga dalam kurun waktu sebelum tahun tersebut masyarakat tidak dapat memiliki akses terhadap pendidikan yang memadai. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara dengan seorang tokoh masyarakat, PD (48 tahun), Sebenernya banyak penduduk punya keinginan tuk bersekolah, buktinya ada juga orang asli karimun yang jadi pejabat di luar karimun. Cuma memang saat itu belum ada sekolahan. Memang secara umum kesadaran tentang pendidikan itu munculnya ya tahun 2000an, apalagi setelah ada SMK itu. Minimnya
tingkat
pendidikan
responden
juga
dipengaruhi
oleh
keterlibatan mereka dalam usaha mencari nafkah saat berusia 11-13 tahun. Anak yang sudah lulus SD tidak memiliki dorongan untuk melanjutkan sekolah karena mereka ingin mendapatkan uang tambahan dengan ikut melaut bersama orang tua mereka. Setelah cukup dewasa, mereka akan mulai mencari pekerjaan sebagai nelayan secara mandiri, dengan atau tanpa melibatkan orang tua mereka.
5.4.3 Pengalaman Melaut Pengalaman Melaut merupakan lama waktu dalam satuan tahun yang dihabiskan oleh responden dalam aktivitas penangkapan ikan secara reguler. Kategori pengalaman melaut dibagi ke dalam tiga kelompok, yakni nelayan dengan pengalaman melaut rendah (6-10 tahun), sedang (11-18) tahun, dan tinggi (≥ 19 tahun). Mayoritas responden telah memulai aktifitas penangkapan ikan sejak usia yang sangat muda. Berikut merupakan data hasil penelitian: Tabel 8 Jumlah dan Persentase Responden Menurut Pengalaman Melaut di Karimunjawa Tahun 2011 Pengalaman Melaut Rendah (6-10 Tahun) Sedang (11-18 Tahun) Tinggi (≥ 19Tahun) Total
Jumlah (orang) 7 17 11 35
Persentase (%) 20 49 31 100
Sebanyak 20 persen responden memiliki pengalaman melaut yang rendah, yakni dalam kisaran 6-10 tahun. Dari 20 persen responden tersebut, semuanya
47
berada dalam kelompok usia muda. Sementara itu, 49 persen responden berada pada kelompok pengalaman sedang (11-18 tahun) dan sisanya sebanyak 31 persen memiliki pengalaman melaut yang tinggi (>18 tahun). Semua responden mengaku bahwa mereka mulai melaut sejak berusia antara 11-13 tahun, dengan membantu orang tua mereka memancing, menjaring ikan, dll. Rata-rata pengalaman melaut responden dalam penelitian ini adalah 16 tahun, yang jika dihitung selisihnya dengan rata-rata usia responden (29 tahun), akan diperoleh angka usia 13 tahun. Angka ini menunjukkan usia rata-rata saat responden mulai melaut. Hal ini menjelaskan kenapa tingkat pendidikan responden dalam penelitian ini tergolong rendah. Keterampilan menyelam yang dimiliki oleh Responden diperoleh secara otodidak, melalui proses belajar dari orang tua dan lingkungan mereka. Sejak kecil nelayan Karimunjawa terbiasa bermain di pinggir laut, sambil memancing dengan peralatan sederhana seperti kail dan benang. Setelah menamatkan SD, pada umumnya responden mulai beraktifitas sebagai nelayan secara reguler, baik dengan belajar dari orang tua mereka atau bekerja pada nelayan lain.
5.4.4
Kapasitas Mesin Kapal Kapasitas mesin kapal yang dimiliki responden diukur dalam satuan
“Paardekracht” atau yang biasa dikenal dengan istilah PK (1 HP = 1,014 PK=750 Watt). Data tentang jumlah dan presentese responden menurut kapasitas mesin kapal adalah sebagai berikut: Tabel 9 Jumlah dan Persentase Responden Menurut Kapasitas Mesin Kapal di Karimunjawa Tahun 2011 Kapasitas mesin kapal Rendah (12-16 PK) Sedang (18-20 PK) Tinggi (> 20 PK) Total
Jumlah (orang) 6 6 23 35
Persentase (%) 17 17 66 100
Terdapat 12 persen responden yang memiliki kapasitas mesin kapal yang rendah (12-16 PK), juga 12 persen responden yang memiliki kapasitas mesin kapal yang sedang (18-20 PK). Sementara itu, kapasitas mesin kapal yang besar dimiliki oleh kapal yang memiliki 2 mesin, dengan kapasitas lebih dari 20 PK.
48
Responden yang memiliki kapasitas mesin kapal besar sebanyak 66 persen. Responden yang diteliti terbagi ke dalam enam tim nelayan kompressor, dimana masing-masing kelompok memiliki satu orang kapten sekaligus pemiliki kapal. Pemiliki kapal memiliki satu bagian hasil dalam sekali melaut, yang artinya jika pemilik kapal tersebut ikut melaut maka dia mendapatkan satu bagian sebagai penyelam dan satu bagian sebagai pemilik kapal. Meskipun kapasitas mesin kapal menentukan wilayah cakupan yang dapat dijangkau oleh nelayan, namun ada juga kelompok nelayan yang memiliki kapasitas mesin besar tapi memilih untuk menyelam tidak jauh dari sekitar pulau utama, karena mereka tidak terlalu “ngoyo” (ngotot) dalam mencari ikan.
5.4.5
Nilai Hasil Tangkapan Nilai hasil tangkapan merupakan nominal angka penghasilan yang didapat
oleh nelayan dari setiap satu kali perjalanan melaut, yakni dimulai pada sore hari sampai dengan subuh. Sistem bagi hasil yang dilakukan oleh nelayan di Karimunjawa didasarkan pada kesepakatan atau perjanjian yang dibuat dan telah disepakati bersama antara pemilik dan jurumudi beserta pandeganya yaitu hasil kotor dikurangi seluruh biaya operasional melaut (perbekalan) maka didapatkan hasil bersih atau raman bersih. Dari hasil bersih itu kemudian dibagi sesuai dengan kesepakatan (Irnawati 2007). Nelayan Kompressor bekerja secara berkelompok, dimana pendapatan setiap anggota kelompok dibagi rata. Nominal ini dibagi ke dalam tiga kategori, yakni periode dalam satu bulan ketika nilai hasil tangkapan rendah, sedang dan tinggi. Dari masing-masing kategori tersebut, terdapat pendapatan rata-rata minimum (dilambangkan dengan “-“) dan pendapatan rata-rata maksimum (dilambangkan dengan “+”) dari masing-masing anggota kelompok nelayan kompressor. Berikut merupakan nilai tangkapan individu yang diperoleh dari hasil pembagian per kelompok responden: Kategori hasil tangkapan rendah biasanya terjadi selama 6 hari dalam satu bulan, dimana rata-rata penghasilan terendah mencapai Rp 45.000,- dan rata-rata penghasilan tertinggi mencapai Rp 75.000,-. Periode tangkapan rendah terjadi dalam kurun waktu yang tidak menentu, yang bisa disebabkan oleh iklim, cuaca, dan mobilitas ikan yang tidak menentu. Kategori hasil tangkapan sedang terjadi
49
selama 9 hari dalam satu bulan, dengan rata-rata penghasilan terendah sebesar Rp 84.000,- dan rata-rata penghasilan tertinggi sebesar Rp 119.000,-. Periode tangkapan dengan hasil sedang biasanya terjadi pada iklim dan cuaca normal. Untuk kategori hasil tangkapan tinggi terjadi rata-rata selama 4 hari, dengan ratarata penghasilan terendah sebesar Rp 129.000,- dan tertinggi sebesar Rp 172.000. Secara keseluruhan, kelompok nelayan dengan penghasilan paling rendah adalah kelompok dengan kapten kapal RDN. Rendahnya hasil tangkapan kelompok ini disebabkan karena area penangkapannya terbatas, yakni hanya sekitar pulau Menjangan, Karimunjawa, Kemujan,
dan sekitarnya. Hal ini
dipengaruhi oleh kapasitas mesin kapal yang hanya sebesar 12 PK dan kondisi fisik kapal yang tidak terlalu baik. Sementara itu, kelompok dengan penghasilan paling besar adalah kelompok dengan kapten kapal HKM.
Kelompok ini
memiliki daerah tangkapan yang paling luas di antara yang lain, didukung oleh kapasitas mesin kapal yang paling besar, yakni dengan dua mesin berkekuatan 16 dan 20 PK. Selain karena besarnya kekuatan mesin kapal, kelompok ini juga dikenal memiliki usaha yang gigih dalam mencari ikan. Tabel 10 Nilai Hasil Tangkapan Berdasarkan Kelompok Kapal Nelayan Kompressor di Karimunjawa tahun 2011 Hasil Tangkapan/Bulan Nama Kelompok
HKM RDN SRN AJB YD HD nilai rataan
Rendah
Sedang
Rp Rp Jml (ribu)/hari hari/ (ribu)/hari bulan + + 50 80 5 100 130 30 60 6 60 100 50 80 5 80 120 50 80 6 90 120 50 80 5 90 120 40 70 6 80 120 45
75
5
+
: nilai tangkapan minimum : nilai tangkapan minimum
5.4.6
Ikan Hasil Tangkapan
84
119
Total Rp (ribu)/bln
Tinggi
Jumlah hari/ bulan 11 10 9 9 10 9 10
Rp Jml (ribu)/hari hari/ + bulan 150 200 3 100 130 6 140 180 5 130 180 4 130 180 4 120 160 4
-
+
1800 1380 1670 1630 1670 1440
2430 2140 2380 2280 2320 2140
129
1601
2283
172
4
Nelayan kompressor pada dasarnya menangkap semua jenis ikan. Ikan yang mereka peroleh sangat bervariasi. Berdasarkan Laporan Penataan Zonasi (2004)
50
yang dikeluarkan oleh Balai Taman Nasional Karimunjawa, pada perairan dangkal Karimunjawa ditemukan 43 famili ikan karang, terutama ikan-ikan yang berasosiasi erat dengan terumbu karang. Dalam satu kali penyelaman selama 60 menit, dapat ditemukan 69 sampai 141 spesies ikan karang. Dari 138 spesies Pomacentridae yang ditemukan di Indonesia, di Karimunjawa terdapat 71 spesies. Famili ini merupakan komponen terbanyak ikan karang. Selain itu, komponen ikan karang terbesar lainya adalah Labridae 52 spesies, Chaetodontidae 25 spesies, Scaridae 27 spesies, Serranidae 24 spesies. Secara total jumlah spesies ikan karang yang ditemukan selama survei di seluruh perairan Karimunjawa adalah 353 species, yaitu di sebelah timur P. Sintok. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara, berikut merupakan daftar 10 ikan yang paling sering ditangkap oleh nelayan kompressor: Tabel 11 Jenis Ikan Hasil Tangkapan Nelayan Kompressor di Karimunjawa Tahun 2011 No 1 2 3 4 5 6
Nama lokal ikan Sunuk Ijo Ekor kuning Kerapu Kleke Lengak
7 8 9 10
Kambing-kambing Mogo Pisang ijo Blukutak
Nama Latin Plectropomus Scarus Caesio cuning Epinephelus Cephalopholis Anyperodon leucogrammicus Pomacanthus sexstriatus Chlorurus microrhinos Caesio caerulaurea Plectropomus
Harga/Kg Rp 40.000- Rp 110.000 Rp 6.000 Rp 10.000- Rp 13.000 Rp 27.000- Rp. 90.000 Rp. 10.000-Rp. 20.000 Rp. 7.000 Rp. 5.500 Rp. 6.000 Rp. 6.000 Rp. 15.000- Rp. 19.000
Ikan Sunuk dan ikan Kerapu adalah dua jenis ikan yang memiliki harga yang paling mahal diantara jenis ikan tangkapan lainnya. Hal ini menyebabkan nelayan kompressor mengutamakan kedua ikan tersebut untuk ditangkap dalam setiap kali perjalanan melaut. Dalam kondisi ikan yang telah mati, ikan Sunuk dihargai sebesar Rp 40.000/kg, sementara ikan Kerapu Rp 27.000/kg. dalam kondisi ikan yang masih hidup, ikan Sunuk dihargai Rp 110.000/kg, sementara ikan Kerapu Rp 90.000/kg. Karena gencarnya perburuan ikan Sunuk dan Kerapu oleh nelayan kompressor, akhirnya nelayan tradisional merasa dirugikan karena mereka kesulitan mendapat kedua jenis ikan tersebut. Pada April 2011, akhirnya dibentuk kesepakatan diantara para nelayan bahwa nelayan kompressor tidak
51
boleh menangkap ikan Sunuk dan ikan Kerapu pada bulan Februari-April (saat musim bertelur ikan). Sementara itu, ikan jenis lainnya memiliki harga yang bervariasi tergantung pada ukuran. Ikan Ijo dan Ekor Kuning adalah jenis ikan yang paling sering ditemui di antara batu-batu karang, sehingga mudah bagi nelayan untuk mendapatkan kedua jenis ikan tersebut. Saat musim angin Timur dan Barat, nelayan kompressor lebih memilih mencari Gamet karena banyak terdapat di perairan dangkal yang mudah dijangkau serta relatif mudah menangkapnya. Saat cuaca buruk, terdapat 24 responden yang mengambil teripang di zona budidaya rumput laut karena relatif lebih dekat dan aman, serta dapat menutup kerugian akibat tidak dapat mengambil ikan di lokasi yang jauh. Sementara 11 responden lebih memilih menganggur atau mencari alternatif pekerjaan lain selain melaut, seperti buruh dan tour guide.
5.4.7
Musim Tangkap Wilayah
Kepulauan
Karimunjawa
mempunyai
iklim
tropis
yang
o
dipengaruhi oleh angin laut dengan suhu rata-rata 26-30 C. Dalam satu tahun terdapat dua pergantian musim, yaitu musim kemarau dan musim penghujan dengan musim pancaroba diantaranya. Musim kemarau (musim timur) terjadi pada bulan Juni-Agustus. Pada musim ini cuaca sepanjang hari cerah dengan curah hujan rata-rata <200 mm/bulan, rata-rata penyinaran matahari antara 7080% setiap hari. Bulan kering terjadi pada Maret-Agustus dengan curah hujan sekitar 60 mm/bulan. Arah angin datang dari timur sampai tenggara dengan kecepatan 7-10 knot, kadang-kadang mencapai 16 knot lebih. Musim pancaroba pertama terjadi pada September-Oktober, pada periode ini angin didominasi dari barat dan barat laut, juga dari timur dan utara dengan kecepatan yang sangat bervariasi (BTNKJ dalam Irnawati 2008). Musim penghujan (musim barat) berlangsung antara November-Maret dengan curah hujan >200 mm/bulan dan angin dengan gelombang laut yang besar. Rata-rata penyinaran matahari 30-60% setiap harinya. Bulan Januari merupakan bulan terbasah dengan curah hujan 400 mm/bulan. Pada saat ini gelombang laut relatif besar, berkisar antara 0,40-1,25 m bahkan pada cuaca buruk di laut terbuka untuk terjadi gelombang tinggi hingga mencapai 1,7 m. Angin bertiup cukup
52
kencang dengan arah bervariasi dari barat dan barat laut dengan kecepatan ratarata 7-16 knot, dan dapat pula mencapai 21 knot. Setelah musim penghujan kemudian dilanjutkan dengan musim pancaroba kedua yang biasa terjadi antara April-Mei, arah angin lebih bervariasi dari barat dan timur silih berganti dengan kecepatan rata-rata 4-10 knot (BTNKJ dalam Irnawati 2008). Nelayan kompressor mencari ikan dengan jarak sekitar 50-2000 meter dari garis pantai pulau terdekat, pada kedalaman 5-30 meter pada musim biasa, dan 515 meter pada musim terang bulan. Nelayan kompressor tidak memiliki musim paceklik, karena hampir sepanjang tahun mereka dapat beroperasi kecuali pada saat angin besar dan terang bulan. Dalam satu bulan, rata-rata aktivitas melaut mereka sebanyak 19 kali, kecuali bulan Januari yang tidak dapat diprediksi. Nelayan kompressor bekerja dalam tim yang terdiri dari lima sampai delapan orang dalam satu kapal, dan bekerja pada malam hari, sekitar pukul 20.00 – 03.00 WIB.
5.5
Ikhtisar Zonasi Taman Nasional Karimunjawa ditetapkan melalui Surat Keputusan
Direktur Jenderal PHKA Nomor: 79/IV/Set-3/2005 tanggal 30 Juni 2005. Penetapan ini dilakukan karena zonasi sebelumnya dirasakan tidak lagi relevan dengan kondisi yang ada, dan sebagai respon atas masalah-masalah yang dihadapi dalam pengelolaannya. Masalah tersebut adalah: 1. Zonasi tersebut belum mengakomodir berbagai kepentingan pengelolaan terutama dari aspek ekologi, sosial ekonomi serta budaya termasuk kearifan lokal 2. Banyak terjadi tumpang tindih kebijakan berbagai pihak, baik di tingkat propinsi maupun kabupaten. Setelah ditetapkannya Zonasi Taman Nasional pada 2005, BTNKJ melakukan berbagai upaya untuk mensosialisasikan zonasi pada nelayan. Namun pengetahuan masyarakat tentang zonasi kawasan hanya mencakup eksistensi zonasi TN, belum mengetahui isi dan bentuk zonasi. Ketidaktahuan masyarakat tentang isi dan maksud dari Zonasi Taman Nasional menyebabkan maraknya penangkapan ikan di zona inti dan zona perlindungan. Penerimaan dan peran serta masyarakat terhadap pola pengelolaan sangat menentukan efektivitas dari
53
pengelolaan tersebut. Tidak efektifnya pengelolaan kawasan perlindungan alam di Karimunjawa terutama disebabkan oleh kurangnya apresiasi dan keikutsertaan masyarakat dalam kegiatan pengelolaan Nelayan kompressor merupakan kelompok nelayan yang memiliki resiko tinggi dalam mencari nafkah, namun memiliki penghasilan yang rata-rata lebih tinggi dari nelayan tradisional. Mayoritas nelayan kompressor berusia muda, yakni sebanyak 65,7 persen. Tingkat pendidikan nelayan berada pada kelompok rendah, yakni sebanyak 94 persen tidak bersekolah atau hanya lulus sd, sedangkan 6 % mengenyam pendidikan SMP-SMA. Minimnya tingkat pendidikan ini terjadi karena hampir semua responden mulai mencari nafkah di laut sejak berusia 11-13 tahun. Pengalaman melaut responden bervariasi dari 8-35 tahun, dengan rata-rata pengalaman melaut selama 16 tahun. Kapasitas mesin kapal responden sebagian besar tinggi (66%), yakni lebih dari 20 PK. Kapasitas mesin kapal yang tinggi dibutuhkan untuk dapat menjelajahi pulau-pulau yang memiliki stock ikan yang melimpah. Nilai hasil tangkapan responden merupakan bagi rata hasil tangkapan yang didapat setiap kali melaut. Nilai tersebut sangat bervariasi bergantung hasil “peruntungan” nelayan. Penghasilan terendah yang didapat nelayan adalah sebesar Rp. 30.000 sekali melaut, sedangkan yang tertinggi mencapai Rp. 200.000. Penghasilan rata-rata nelayan kompressor sebesar Rp 1.956.000 per bulan. Nilai tangkapan ini sangat dipengaruhi oleh kemampuan mesin kapal dan kegigihan nelayan dalam mencari lokasi-lokasi yang memiliki stock ikan melimpah. Ikan hasil tangkapan nelayan sangat bervariasi, karena alat tangkap speargunkompressor dapat mengambil semua jenis ikan. Ikan yang paling banyak dicari oleh nelayan kompressor adalah ikan Sunuk dan Kerapu karena memiliki harga yang mahal. Nelayan kompressor bekerja tidak bergantung pada musim, karena mereka mencari ikan di sekitar terumbu karang yang menyediakan stock ikan sepanjang tahun. Meski demikian, nelayan kompressor pada umumnya tidak melaut pada saat terang bulan dan pada saat angin barat, terutama bulan JanuariFebruari.
54
BAB VI DAMPAK ZONASI TAMAN NASIONAL TERHADAP STRATEGI NAFKAH NELAYAN KOMPRESSOR 6.1
Daerah Tangkap Daerah tangkap yang dicakup oleh nelayan kompressor meliputi seluruh
kawasan Taman Nasional Karimunjawa. Ikan tangkapan yang diambil oleh nelayan berada di wilayah yang tidak terlalu jauh dari pulau, yang artinya kawasan terumbu karang yang memiliki kedalaman sekitar 5-30 meter pada musim biasa, dan 5-15 meter pada musim terang bulan. Pada umumnya nelayan kompressor tidak memiliki aturan khusus tentang pulau mana yang akan didatangi setiap kali mereka pergi melaut. Hampir semua pulau di kawasan Taman Nasional Karimunjawa pernah menjadi tempat mereka mencari ikan, termasuk zona inti dan perlindungan. Berikut merupakan Tabel yang menunjukkan daerah tangkap nelayan kompressor. Tabel 12 Daerah Tangkap Responden Sebelum dan Sesudah Zonasi Kawasan di Karimunjawa Tahun 2005 Daerah Tangkap Kelompok
< 2005
Nelayan
< 7,5 km
Kompressor ZI
ZL
ZP
> 2005 > 7,5 km
ZI
ZL
ZP
< 7,5 km ZI
ZL
ZP
> 7,5 km ZI
ZL
ZP
HKM RDN SRN AJB YD HD
= intensitas penangkapan rendah (sesekali)
ZI = Zona Inti
= intensitas penangkapan sedang
ZL=Zona Perlindungan
= intensitas penangkapan tinggi
ZP= Zona Pemanfaatan
55
Sebelum adanya Zonasi Taman Nasional (<2005), semua kelompok nelayan kompressor mencari ikan di semua kawasan Taman Nasional baik itu zona inti, zona perlindungan, maupun zona pemanfaatan. Kelompok dengan inisial kapten kapal HKM, mencari ikan di semua kawasan TN, terutama di daerah yang jauh dari pelabuhan utama dengan jarak lebih dari 7,5 km. Pulau yang sering didatangi oleh kelompok ini antara lain Genting, Pulau Seruni, Pulau Burung, Parang, dan Nyamuk. Daerah tangkap ini masih menjadi daerah yang paling sering dikunjungi baik sebelum maupun setelah zonasi TN (>2005). Kelompok dengan inisial kapten kapal RDN, mencari ikan hanya di sekitar kawasan pulau Karimunjawa, dengan jarak tidak lebih dari 7,5 km. Hal ini karena keterbatasan mesin kapal dan kondisi kapal yang tidak memungkinkan untuk dibawa jauh. Di kawasan dengan radius 7,5 km, kelompok ini mencari ikan dengan intensitas yang sedang dan merata di semua kawasan, termasuk zona inti, zona perlindungan dan zona pemanfaatan. Pulau yang sering dikunjungi oleh kelompok ini antara lain Pulau Cemara Kecil, Cemara Besar, Kumbang, Gosong Tengah, Gosong Selikur dan beberapa pulau lainnya. Pola ini diterapkan baik sebelum adanya zonasi kawasan maupun setelah adanya zonasi kawasan tahun 2005. Kelompok dengan inisial kapten kapal SRN, mengambil ikan di semua kawasan dengan intensitas sedang dan merata sebelum tahun 2005. Setelah tahun 2005, kelompok ini mengurangi pencarian ikan di kawasan zona inti, karena takut diketahui oleh pihak yang berwajib. Namun demikian, aktifitas pencarian ikan di kawasan zona inti masih dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Hal ini tercermin dari hasil wawancara dengan salah satu anggota kelompok, IML (23 tahun), Ya di mana aja nyari ikan itu. Nda mesti harus dianu-dianu.. kalau zona larangan paling kita sembunyi-sembunyi mas.. itu pun ngga sering. Takut ketauan. Lagi pula kita kan nyari ikan, ngga merusak lingkungan. Wilayah yang sering dikunjungi oleh kelompok ini adalah Tanjung Gelam, Tanjung Bomang, Gosong Selikur, Sintok, Gosong Tengah, dan beberapa pulau lainnya. Kelompok dengan nama kapten kapal AJB, mencari ikan di semua kawasan terutama yang berada di bawah radius 7,5 km dari pelabuhan. Kelompok
56
ini memilih daerah-daerah yang tidak terlalu jauh karena mereka tidak terlalu “ngoyo” (ngotot) saat mencari ikan. Meski demikian, kelompok ini sesekali juga melakukan perjalanan ke pulau-pulau yang cukup jauh dari pulau utama, terutama zona inti dan zona perlindungan yang berjarak > 7,5 km karena memiliki banyak ikan. Pulau yang sering dikunjungi oleh kelompok ini antara lain Pulau Kumbang, Gosong Selikur, Sintok, Cemara Kecil, dan sekitarnya. Kelompok dengan nama kapten kapal YD, sebelum tahun 2005 mencari ikan di semua kawasan secara merata dengan intensitas sedang. Hal ini didukung oleh kondisi kapal yang memadai dan memiliki 2 mesin, yakni sebesar 12 dan 16 PK. Setelah tahun 2005, kelompok ini mengurangi intensitas penangkapan di wilayah zona inti, baik di lokasi yang jauh dari dermaga maupun yang dekat. Hal ini terjadi karena mereka menyadari adanya sanksi hukum bagi nelayan yang mencari ikan di zona ini. Meski demikian, intensitas pencarian di zona perlindungan masih tetap sama seperti sebelum adanya zonasi kawasan. Kelompok dengan kapten kapal HD, memiliki daerah tangkapan yang sama baik sebelum dan sesudah tahun 2005. Biasanya mereka beroperasi di wilayah Pulau Geleang dan Burung, Gosong Selikur, Gosong Tengah, Taka Nyawaan, Kumbang, dan beberapa pulau lain di zona pemanfaatan. Mereka tidak mengetahui tentang Zonasi Taman Nasional, sehingga tidak memperhitungkan ketentuan zonasi dalam mencari ikan. Meski pada umumnya terdapat satu atau dua orang anggota kelompok yang mengetahui wilayah yang terlarang untuk dimasuki, masing-masing kelompok nelayan kompressor tetap mencari ikan di wilayah zona-inti dan perlindungan. Hal ini terjadi karena nelayan kompressor memiliki semacam etika bahwa mengambil ikan di zona inti dan zona perlindungan tidak menjadi masalah asalkan mereka tidak merusak terumbu karang. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh seorang nelayan, SR (27 tahun), Kita nyari ikan ngga tentu mas, dimana aja yang lagi rame. Kalaupun itu zona inti ya asalkan ga ngerusak terumbu karang aja.. Bebasnya aktifitas mencari ikan di wilayah zona inti dan zona perlindungan juga diperkuat dengan data yang diperoleh oleh Wildlife Conservation Society (WCS) yang bekerja sama dengan BTNKJ, melalui survey
57
yang dilakukan terhadap semua nelayan yang beraktifitas di wilayah perairan Taman Nasional Karimunjawa. Hal ini ditunjukkan oleh peta aktivitas perikanan panah di lampiran 4. Dari gambar tersebut, dapat dilihat bahwa seluruh pulau yang ada di Taman Nasional Karimunjawa mayoritas dimanfaatkan dalam intensitas yang sedang dan merata oleh nelayan kompressor.
6.2
Alat Tangkap Nelayan-nelayan di Karimunjawa biasanya memiliki berbagai jenis alat
tangkap, hal ini dilakukan agar para nelayan dapat tetap melakukan kegiatan penangkapan ikan sepanjang tahun, sehingga meskipun terjadi pergantian musim yang berarti pergantian musim ikan pula, nelayan dapat tetap melakukan penangkapan ikan, dalam hal ini misalnya nelayan pancing tonda yang juga memiliki alat tangkap pancing lain, seperti pancing cumi-cumi dan pancing ulur (Irnawati, 2008). Namun demikian, nelayan kompressor cenderung menggunakan alat tangkap yang sama, karena speargun dan kompressor bisa digunakan sepanjang tahun. Hal ini diperkuat dengan hasil wawancara berikut, NR (25 tahun), Klo yang namanya kompressor mas, kita ga ngenal musim. Karena ikan karang itu kan terus ada, ga abis-abis dia..yaa kecuali, kalau lagi terang bulan atau lagi angin timur. Baru kita pere. Pada saat periode terang bulan, sebagian nelayan kompressor tidak menggunakan speargun, melainkan hanya sarung tangan untuk menangkap gamet (Holoturia sp). Hal ini sebagai bentuk strategi adaptasi mereka terhadap kondisi fisik dan lingkungan yang dihadapi. Komoditas hasil tangkapan nelayan kompressor sangat bervariasi, tidak terpaku pada satu jenis ikan tertentu. Secara keseluruhan, terdapat 17 kapal kompressor yang beroperasi di TNKJ. Karakteristik khas yang membedakan nelayan kompressor dengan nelayan lainnya adalah penggunaan alat tembak (speargun) dan alat bantu berupa ratusan meter selang untuk memompa udara dari atas kapal ke dalam air. Perlu dicatat bahwa seluruh responden telah memakai alat kompressor sebelum tahun 2005, yakni dalam kurun waktu 1980-2003. Setelah menggunakan kompressor, seluruh resonden meninggalkan alat tangkap yang lain. Berikut merupakan Tabel perubahan alat tangkap sebelum zonasi dan setelah zonasi (lihat juga lampiran 4):
58
Tabel 13 Perubahan Alat Tangkap Sebelum dan Sesudah Zonasi Kawasan di Karimunjawa Tahun 2005 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Total
Sebelum tahun 2005 Muroami Potassium Jaring Kompressor Pancing Pancing Potassium Kompressor Muroami Potassium Jaring Kompressor Pancing Potassium Kompressor Muroami Potassium Kompressor Muroami Potassium Jaring Kompressor Pancing Muroami Potassium Jaring Kompressor Pancing Pancing Potassium Kompressor Bubu Potassium Kompressor Jaring Kompressor Pancing Potassium Pancing Potassium Kompressor Bubu Potassium Kompressor Pancing Potassium Kompressor Jaring Potassium Kompressor Muroami Kompressor Pancing Potassium
Setelah tahun 2005 Kompressor Up grade mesin
Jumlah responden 2 orang
Kompressor Up grade mesin
4 orang
Kompressor Up grade mesin
1 orang
Kompressor
6 orang
Kompressor
1 orang
Kompressor
2 orang
Pancing Kompressor
4 orang
Pancing Kompressor
7 orang
Kompressor
1 orang
Kompressor
1 orang
Pancing Kompressor
2 orang
Bubu Kompressor
1 orang
Bubu Kompressor
1 orang
Kompressor
1 orang
Kompressor
1 orang
35 orang
59
Nelayan Karimunjawa pada umumnya pernah menggunakan alat pancing untuk mencari ikan. Seiring dengan berjalannya waktu, alternatif alat tangkap yang dapat digunakan pun bertambah. Setelah responden beralih ke alat tangkap speargun-kompressor, mereka meninggalkan alat tangkap pancing karena merasa kebutuhannya sudah cukup terpenuhi, kecuali delapan orang responden yang menggunakan alat pancingan hanya untuk memenuhi kebutuhan subsisten rumah tangga saat tidak melaut menggunakan kompressor. Dengan demikian, perubahan ini tidak disebabkan oleh adanya Zonasi Taman Nasional. Alat tangkap jaring dipakai untuk menangkap udang, ikan, atau teri. Sebanyak sebelas orang nelayan menggunakan jaring sebelum Zonasi Taman Nasional, namun tidak ada yang menggunakan setelah adanya zonasi. Hal ini disebabkan karena setelah mereka menggunakan alat kompressor, hasil yang didapat melalui kompressor cenderung lebih banyak. Selain itu, penggunaan mesin kompressor pun tidak bergantung pada musim. Karena itu, nelayan lebih senang menggunakan alat kompressor dalam mencari nafkah dan meninggalkan alat-alat yang lain. Perubahan alat tangkap jaring ini tidak dipengaruhi oleh Zonasi Taman Nasional, melainkan dipengaruhi oleh faktor ekonomi. Kompressor digunakan oleh semua responden sebelum adanya Zonasi Taman Nasional. Hanya terdapat satu orang responden yang tidak lagi memakai alat kompressor sejak tahun 2009 karena tidak diperbolehkan oleh keluarganya, dengan alasan membahayakan keselamatan. Semua responden mengaku bahwa hasil yang didapatkan dengan menggunakan alat kompressor lebih memuaskan dibanding dengan memakai alat lainnya. Karena alasan inilah, hampir semua responden tetap menggunakan alat kompressor untuk mencari ikan. Awal penggunaan kompressor pada masing-masing responden bervariasi, namun secara umum telah ada sejak tahun 1980-an, dan mulai marak di tahun 1990-an. Beberapa nelayan sejak awal berprofesi sebagai nelayan sudah menggunakan alat tangkap speargun-kompressor, terutama kelompok responden yang berusia antara18-24 tahun. Potassium digunakan secara meluas oleh nelayan pada kurun waktu 1990an, dan mulai hilang setelah pihak BTNKJ gencar melakukan penyuluhan dan penegakan hukum terkait dengan penggunaan potassium kurun waktu 2000-an.
60
Semua responden menggunakan potassium sebagai alat bantu dalam menangkap ikan sebelum zonasi ditetapkan. Setelah dilakukan penyuluhan oleh BTNKJ, semua responden menyadari bahaya yang ditimbulkan oleh potassium dan mulai berhenti menggunakannya. Setelah Zonasi Taman Nasional tahun 2005, secara perlahan penggunaan potassium mulai ditinggalkan oleh nelayan Karimunjawa. Jaring muroami digunakan oleh 9 orang responden sebelum Zonasi Taman Nasional. Satu jaring muroami dioperasikan dengan tiga buah kapal dengan jumlah ABK lebih dari 22 orang. Jumlah tersebut menyebabkan pembagian hasil tangkapan menjadi sedikit meskipun hasil yang didapat terhitung banyak. Selain itu, responden mengaku lebih nyaman bekerja dengan alat tangkap speargunkompressor dengan jumlah ABK yang relatif sedikit, yakni lima sampai delapan orang. Oleh karena itu responden memilih beralih alat tangkap dari muroami ke kompressor. Karena perubahan alat tangkap ini terjadi dalam kurun waktu tahun 1998-2003, maka perubahan ini pun tidak dipengaruhi oleh adanya Zonasi Taman Nasional pada tahun 2005. Mesin yang digunakan oleh responden pada umumnya dirawat/diperbaiki hanya saat rusak atau mengalami gangguan. Tidak ada responden yang secara khusus menjadwalkan waktu tertentu untuk melakukan perbaikan/pemeriksaan rutin. Hanya 7 orang responden (semuanya berasal dari tim yang sama) yang melakukan upgrade mesin pada bagian mesin kompressor dan menambah kapasitas mesin motor. Upgrade mesin tersebut baru dilakukan pada tahun 2008 karena alasan modal. Dengan demikian perbaikan alat tangkap ini bukan disebabkan oleh Zonasi Taman Nasional. Bubu merupakan alat tangkap tradisional yang terdiri dari dua jenis, yakni bubu yang ditempatkan di daerah dekat pantai, dan bubu yang ditempatkan di laut lepas. Sebelum tahun 2005, terdapat dua orang responden yang memakai bubu untuk mencari ikan. Setelah Zonasi Taman Nasional, satu responden memutuskan tidak lagi memakai bubu karena lebih nyaman bekerja sebagai nelayan kompressor (STM), sementara satu orang lainnya (AJB) mengajak kerabatnya (ALF) untuk menggunakan bubu agar mendapat penghasilan tambahan. Kedua responden tersebut bekerja sama karena masih memiliki hubungan darah. Penggunaan bubu dilakukan saat kedua responden sedang “malas” melaut menggunakan kompressor. Biasanya, bubu digunakan setidaknya satu kali setiap
61
minggu. Motif perubahan alat tangkap ini tidak disebabkan oleh adanya Zonasi Taman Nasional, melainkan oleh motif ekonomi. Selain penggunaan potassium, secara keseluruhan perubahan alat yang dipakai nelayan terjadi karena motif ekonomi, yakni dengan memperhitungkan hasil tangkapan yang diperoleh dari masing-masing alat tangkap. Adapun Zonasi Taman Nasional tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap perubahan alat tangkap nelayan. Selain itu, adanya sanksi hukum dan penyuluhan tentang bahaya potassium juga berhasil menghilangkan penggunaan potassium di kawasan TNKJ.
6.3
Diversifikasi Nafkah Diversifikasi nafkah yang dimaksud dalam penilitian ini yaitu penerapan
pola nafkah yang beragam dengan cara mencari pekerjaan lain selain pertanian untuk menambah pendapatan (Soones 1998). Dalam konteks masyarakat nelayan, strategi nafkah utama yang dilakukan adalah mencari ikan. Diversifikasi nafkah sudah ada sejak sebelum ditetapkannya zonasi taman nasional tahun 2005. Namun setelah meningkatnya sektor pariwisata setelah adanya Zonasi Taman Nasional, jenis-jenis strategi tersebut menjadi lebih bervariasi dengan adanya sumber nafkah baru seperti tour guide, penyewaan alatalat selam, penyewaan kapal, penyewaan motor, penginapan, berdagang, dll. Diversifikasi nafkah melalui sektor pariwisata merupakan respon positif dari keberadaan Taman Nasional yang menawarkan peluang baru bagi nelayan kompressor untuk mendapatkan pemasukan tambahan. Namun tidak semua nelayan dapat terlibat dalam bisnis ekowisata tersebut karena keterbatasan akses dan kemampuan. Meningkatnya sektor pariwisata di kepulauan Karimunjawa dapat meningkatkan taraf kehidupan masyarakat karena masyarakat memiliki lebih banyak pilihan dalam mencari nafkah. Dengan meningkatnya pilihan dalam mencari nafkah, maka nelayan kompressor tidak hanya bergantung pada hasil laut. Berikut merupakan Tabel nafkah ganda sebelum dan sesudah adanya Zonasi Taman Nasional (lihat juga lampiran 5):
62
Tabel 14 Perubahan Diversifikasi Nafkah Sebelum dan Sesudah Zonasi Kawasan di Karimunjawa Tahun 2005 No
Sebelum tahun 2005
Setelah tahun 2005
Jumlah
1 2
Nelayan kompressor Nelayan kompressor
7 orang 2 orang
3
Nelayan kompressor
4
Nelayan kompressor
5
Nelayan kompressor
6
Nelayan kompressor
7
Nelayan kompressor
8
Nelayan kompressor Buruh Nelayan kompressor Buruh Nelayan kompressor Buruh Nelayan kompressor ABK kapal transportasi Nelayan kompressor Buruh ABK kapal transportasi Nelayan kompressor Buruh ABK kapal transportasi Nelayan kompressor Buruh Dagang
Nelayan kompressor Nelayan kompressor Buruh Nelayan kompressor Tour guide Nelayan kompressor Rumput laut Nelayan kompressor Tour guide Buruh Nelayan kompressor Tour guide Rumput laut Nelayan kompressor Tour guide Menyewakan kapal Nelayan kompressor Buruh Nelayan kompressor Rumput laut Nelayan kompressor Tour guide Nelayan kompressor
9 10 11 12 13
14 Total
10 orang 2 orang 2 orang 1 orang 2 orang 3 orang 1 orang 1 orang 1 orang
Nelayan kompressor
1 orang
Nelayan kompressor Tour guide
1 orang
Nelayan kompressor Rumput laut
1 orang
35 orang
Terdapat 26 orang responden yang tidak melakukan diversifikasi nafkah sebelum adanya Zonasi Taman Nasional. Setelah adanya
zonasi, 7 dari 26
responden tersebut tetap tidak melakukan diversifikasi nafkah, sementara 19 orang lainnya menerapkan pola nafkah ganda selain menjadi nelayan. Sebelum adanya Zonasi Taman Nasional, tidak ada responden yang berprofesi sebagai tour guide saat mereka tidak melaut. Sekitar tahun 2004-2005, sektor pariwisata di TNKJ mulai berkembang dan menjadi ladang usaha tambahan
63
yang menggiurkan bagi mereka. Perkembangan sektor pariwisata ini terjadi karena potensi keindahan alam yang terpelihara di TNKJ, serta maraknya promosi yang dilakukan oleh berbagai pihak melalui internet. Setelah tahun 2005, 17 responden memilih menjadi tour guide sebagai mata pencaharian tambahan selain melaut. Lima diantaranya dilakukan hanya saat musim paceklik, sementara 12 lainnya dilakukan saat ada peluang, baik pada musim paceklik maupun musim normal. Hal ini sesuai dengan yang diungkap oleh TL (25 tahun), Kalau ada tamu ya kita layani (tanpa mengenal musim).. lumayan kan mas jadi tour guide itu, sehari dapet Rp 75.000 satu orang. Tapi paling kalau ada kawan yang nawari itu juga. Pekerjaan menjadi tour guide kebanyakan dilakukan oleh responden yang berada dalam kelompok usia 30 tahun ke bawah, dan oleh mereka yang memiliki akses terhadap rumah tinggal, hotel dan agen pariwisata. Sebelum Zonasi Taman Nasional, tidak ada nelayan yang menyewakan kapalnya untuk dipakai sebagai kapal wisata. Setelah adanya zonasi, dua orang responden menyewakan kapal mereka kepada para wisatawan atau agen wisata yang hendak berkeliling kepulauan Karimunjawa. Satu diantaranya memilih untuk menjadi tour guide disamping menyewakan kapal, sementara satu lainnya hanya menjadi tour guide saat-saat tertentu saja. Kedua responden tersebut memilih untuk memanfaatkan potensi pariwisata dengan menerapkan nafkah ganda berupa menjadi tour guide dan menyewakan kapal. Pertanian rumput laut mulai berkembang setelah adanya bantuan dari pemerintah kabupaten Jepara yang bekerja sama dengan BTNKJ untuk menyediakan zona khusus untuk pertanian rumput laut. Sebelum tahun 2005, tidak ada responden yang menjadi petani rumput laut. Setelah 2005, terdapat lima responden yang membudidayakan rumput laut sebagai penghasilan tambahan. Pekerjaan sebagai petani rumput laut dirasakan tidak mengganggu kesibukan mereka sebagai nelayan, karena aktifitas melaut dilakukan saat malam hari dan bertani rumput laut pada pagi atau siang hari. Seperti yang diungkap oleh SRN (27 tahun),
64
Rumput laut hasilnya lumayan. Kan panennya juga cuma 40 hari, paling kalau lagi ada waktu kita kerja, kalau lagi males ya nda.. keliatannya si ngga ngeganggu saya jadi nelayan Secara ekonomi, pertanian rumput laut merupakan usaha yang cukup menjanjikan bagi nelayan kompressor, karena cukup praktis dan dapat dilakukan tanpa mengganggu profesi mereka sebagai nelayan kompressor. Namun karena ketiadaan modal, tidak semua responden dapat menjalankan usaha budi daya rumput laut. Sebanyak delapan orang yang melakukan strategi nafkah ganda dengan menjadi buruh sebelum adanya zonasi. Upah sebagai buruh dalam satu hari sebesar Rp 50.000- Rp 65.000. Pekerjaan ini dilakukan oleh delapan orang. Responden yang berprofesi sebagai buruh mayoritas berusia 30 tahun ke atas. Setelah tahun 2005, empat orang responden tidak lagi menjadi buruh karena beralih profesi menjadi petani rumput laut dan tour guide. Tiga diantaranya tidak mengubah strategi nafkah ganda mereka, dengan menjadi nelayan dan buruh baik sebelum maupun sesudah Zonasi Taman Nasional. Sebanyak tiga orang responden yang menjadi ABK kapal sebelum adanya zonasi kawasan. Pada awal menjadi nelayan kompressor, ketiga responden tersebut masih mencoba menyempatkan diri menjadi ABK kapal dengan alasan sebagai pemasukan tambahan. Namun karena hasil yang didapat melalui nelayan kompressor lebih menjanjikan, ketiga responden tersebut akhirnya memutuskan untuk tidak lagi menjadi ABK kapal. Dua diantaranya merasa hasil yang didapat dengan menjadi nelayan kompressor sudah cukup unutk menghidupi keluarganya, sementara satu lainnya menjadi tour guide. Dari berbagai profesi di atas, dapat diketahui bahwa pekerjaan sebagai tour guide, rumput laut dan penyewaan kapal dipengaruhi oleh keberadaan Zonasi Taman Nasional tahun 2005. Sedangkan perubahan pada strategi nafkah buruh dan ABK (kapal angkut dan transportasi) tidak dipengaruhi oleh Zonasi Taman Nasional, melainkan karena faktor kebutuhan ekonomi. Meski demikian, perubahan pada kedua strategi nafkah ganda tersebut tetap terkait secara tidak langsung dengan Zonasi Taman Nasional.
65
6.4
Ikhtisar Daerah tangkap yang dicakup oleh nelayan kompressor meliputi seluruh
kawasan Taman Nasional Karimunjawa. Ikan tangkapan yang diambil oleh nelayan berada di wilayah terumbu karang. Seluruh pulau di Taman Nasional Karimunjawa mayoritas dimanfaatkan dalam intensitas yang sedang dan merata oleh nelayan kompressor. Nelayan-nelayan di Karimunjawa biasanya memiliki berbagai jenis alat tangkap, hal ini dilakukan agar para nelayan dapat tetap melakukan kegiatan penangkapan ikan sepanjang tahun. Setelah memakai alat tangkap speargun-kompressor, mayoritas responden tidak memakai alat tangkap lain karena kompressor dapat digunakan sepanjang tahun. Hanya terdapat 8 orang yang masih menggunakan alat pancing saat musim paceklik, serta dua orang yang menggunakan bubu untuk mendapat penghasilan tambahan. Perubahan alat tangkap ini tidak dipengaruhi oleh Zonasi Taman Nasional, kecuali potassium yang gencar dilarang sejak tahun 2000-an. Strategi nafkah yang dilakukan responden sebelum tahun 2005 lebih banyak mengandalkan pada pemanfaatan sektor perikanan (nelayan) dan jasa (buruh, ABK kapal angkut/transportasi, dan berdagang). Setelah 2005, dengan meningkatnya sektor pariwisata, jenis-jenis strategi nafkah menjadi lebih bervariasi dengan adanya sumber nafkah baru seperti tour guide, penyewaan alatalat selam, penyewaan kapal, penyewaan motor, penginapan, berdagang, dll. Dengan meningkatnya pilihan dalam mencari nafkah, maka nelayan kompressor tidak hanya bergantung pada hasil laut. Sektor pariwisata juga dapat merangsang kepedulian nelayan untuk menjaga dan melestarikan lingkungannya agar tetap menarik bagi para wisatawan, sehingga sektor pariwisata tersebut dapat mendukung keberlanjutan Taman Nasional Karimunjawa. Dari berbagai profesi tersebut, pekerjaan sebagai tour guide, rumput laut dan penyewaan kapal dipengaruhi oleh adanya Zonasi Taman Nasional tahun 2005.
66
BAB VII EFEKTIVITAS PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA 7.1
Manajemen Konservasi Keanekaragaman Hayati Taman Nasional Karimunjawa Melalui Sistem Zonasi Taman Nasional Karimunjawa sebagai kawasan pelestarian alam memiliki
fungsi yang kompleks yaitu sebagai daerah perlindungan dan pengamanan bagi sistem
penyangga
kehidupan
masyarakat
Karimunjawa,
pengawetan
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan yang adil dan berkelanjutan.
Visi
Taman
Nasional
Karimunjawa
adalah
mewujudkan
pengelolaan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem Taman Nasional Karimunjawa melalui perlindungan hutan dan penegakan hukum, optimalisasi pemanfaatan berdasarkan prinsip kelestarian yang didukung kelembagaan dan kemitraan yang kuat. Misi Taman Nasional Karimunjawa, sebagai berikut : 1) Meningkatkan efektivitas pengelolaan TNKJ sesuai fungsi kawasan 2) Mewujudkan kelembagaan dan kemitraan yang kuat dalam pengelolaan 3) TNKJ. 4) Mengembangkan dan memantapkan upaya pengawetan, pengendalian dan 5) pemanfaatan tumbuhan satwa liar. 6) Memantapkan upaya perlindungan, penegakan hukum dan pengendalian 7) kebakaran hutan di TNKJ. 8) Mengembangkan ODTWA, jasa lingkungan dan pengembangan bina cinta alam. Berdasarkan Program Pembangunan Daerah Kabupaten Jepara Tahun 2001-2005, pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa ke depan ditujukan untuk dapat menanggulangi persoalan dengan mempertimbangkan pelestarian SDA dan ekonomi sehingga terwujud pengelolaan yang lestari dengan tetap dapat memberikan kesejahteraan kepada masyarakat sesuai dengan perubahan dinamika masyarakat. Tantangan yang dihadapi dalam upaya pembangunan di bidang sumber daya alam adalah menciptakan suatu kondisi yang serasi antara ketersediaan sumber daya dengan kebutuhan masyarakat.
67
Kondisi perikanan tangkap Karimunjawa yang memiliki kekayaan potensi sumber daya dan keanekaragaman sosial budaya masih menjanjikan untuk dikelola. Hal ini memungkinkan untuk dilakukannya pola pembangunan yang sesuai dan berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dan tetap memegang teguh aspek kelestarian dan konservasi alam. Pemikiran pembangunan yang relevan untuk mengembangkan pulau kecil adalah membangun pulau kecil dengan berbasiskan pada kekuatan sumber daya lokal yang dimiliki, sehingga dapat mengembangkan perekonomian masyarakat lokal (Maksum, 2006). Menurut Kusumastanto (2003) dalam Maksum (2006), pengembangan pulaupulau kecil dengan karakteristiknya memiliki beberapa kendala pembangunan, yaitu: 1) Ukuran yang kecil dan terisolasi (keterasingan) menyebabkan penyediaan prasarana dan sarana menjadi sangat mahal. SDM yang andal dan mau bekerja di lokasi tersebut sedikit. Luas pulau kecil itu bukan suatu kelemahan jika barang dan jasa yang diproduksi dan dikonsumsi oleh penghuninya tersedia di pulau yang dimaksud. Akan tetapi, begitu jumlah penduduk meningkat secara drastis, diperlukan barang dan jasa dari pasar yang jauh dari pulau itu, berarti biaya mahal. 2) Kesukaran dan ketidakmampuan untuk mencapai skala ekonomi yang optimal dan menguntungkan dalam hal administrasi, usaha produksi, dan transportasi. Hal ini turut menghambat pembangunan hampir semua pulau kecil di dunia. 3) Ketersediaan SDA dan jasa-jasa lingkungan, seperti air tawar, vegetasi, tanah, ekosistem pesisir dan satwa liar, yang pada gilirannya menentukan daya dukung sistem pulau kecil dan menopang kehidupan manusia penghuni serta segenap kegiatan pembangunan. 4) Produktivitas SDA dan jasa-jasa lingkungan (seperti pengendalian erosi) yang terdapat di setiap unit ruang (lokasi) di dalam pulau dan yang terdapat di sekitar pulau (seperti ekosistem terumbu karang dan perairan pesisir) saling terkait satu sama lain secara erat. 5) Budaya lokal kepulauan kadang kala bertentangan dengan kegiatan pembangunan. Contohnya bidang pariwisata yang akhir-akhir ini dianggap sebagai dewa penolong (panacea) bagi pembangunan pulau-pulau kecil. Di
68
beberapa pulau kecil budaya yang dibawa oleh wisatawan (asing) dianggap tidak sesuai dengan adat atau agama setempat. Sementara itu, Maksum (2006) mengatakan bahwa permasalahanpermasalahan dalam pengelolaan TNKJ antara lain: 1) Kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat yang masih rendah sehingga seringkali kurang mendukung dan memahami terhadap kawasan konservasi, 2) Belum sinergisnya kegiatan-kegiatan pemanfaatan yang ada di tnkj dengan kegiatan konservasi, masyarakat belum mengerti pola pengelolaan yang dilakukan, 3) Pengawasan yang dilakukan belum efektif, 4) Belum adanya peraturan khusus dalam bidang perikanan 5) Hal ini sesuai dengan pendapat Sya’rani dan Suryanto (2006) dalam Maksum (2006) yang menyatakan bahwa hambatan dalam pengembangan kepulauan Karimunjawa diantaranya adalah zonasi yang ada belum efektif, karena kesenjangan kepentingan konservasi dan kepentingan pemanfaatan untuk kegiatan ekonomi masyarakat, dan kemampuan pengendalian eksplorasi dan eksploitasi SDA terbatas .
7.2
Kapasitas Balai Taman Nasional Karimunjawa
7.2.1
Sumberdaya Manusia Balai Taman Nasional Karimunjawa merupakan salah satu Unit Pelaksana
Teknis Pengelolaan kawasan Taman Nasional Karimunjawa yang bertanggung jawab langsung kepada Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam berdasarkan Permenhut No. P.03/Menhut-II/2007 tanggal 1 Februari 2007. Saat ini BTNKJ mempunyai 81 pegawai yang terdiri atas 77 PNS dan 4 tenaga upah (lihat Tabel 15).
69
Tabel 15 Keadaan Pegawai Balai Taman Nasional Karimunjawa Berdasarkan Golongan dan Jenis Kelamin Tahun 2008
IV
PNS/CPNS (golongan) III II I
jml
1
16
7
0
1
8
18
0
10
2
34
Unit organisasi Balai TN Karimunjawa seksi Pengelolaan TN I Kemujan Seksi Pengelolaan TN II Karimunjawa Jumlah
Jenis kelamin L P
Pgw honorer
Pgw harian
Jumlah total
24
0
1
15
9
24
0
27
0
2
23
4
27
15
1
26
0
1
25
1
26
40
1
77
0
4
63
14
77
Sumber: Statistik Balai Taman Nasional Karimunjawa 2008
Efektivitas
pengelolaan
juga
ditentukan
oleh
keterampilan
dan
pengetahuan dari pengelola. Berdasarkan statistik BTNKJ (2008) dari 80 orang pegawai BTNKJ, sebagian besar pendidikannya (67,5 persen) bukan sarjana (lihat Tabel 15). Selain itu, walaupun berpendidikan sarjana, latar belakang pendidikan juga kurang sesuai dengan skill yang dibutuhkan (hanya 30 persen dari kehutanan dan perikanan). Untuk itu BTNKJ perlu melakukan upaya peningkatan kapasitas pengelolaan melalui kegiatan pendidikan dan Pelatihan untuk peningkatan pengetahuan kemampuan dan ketrampilan sesuai kompetensinya agar dapat melaksanakan tugas dengan baik. Tabel 16 Keadaan Pegawai Balai Taman Nasional Karimunjawa Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tahun 2008 Unit Organisasi Balai TN Karimunjawa Seksi Pengelolaan TN I Kemujan Seksi Pengelolaan TN II Karimunjawa Jumlah
S2
S1
Diploma H L
SMA H L
SMP
UPAH HARIAN SMA SMP SD
jumlah total
H
L
0
4
4
0
0
2
14
0
1
0
0
25
1
2
5
2
0
6
11
0
2
0
0
29
0
3
4
0
0
6
12
1
1
0
0
27
1
9
13
2
0
14 37
1
4
0
0
81
Sumber: Statistik Balai Taman Nasional Karimunjawa 2008 Ket H : Program Studi Kehutanan L : Lainnya
70
7.2.2
Sarana yang Dimiliki Balai Taman Nasional Karimunjawa Sampai dengan tahun 2008, Balai Taman Nasional Karimunjawa
mempunyai 282 jenis barang inventaris dengan nilai barang dalam rupiah adalah Rp 66.087.540,00. Pada tahun anggaran 2008 BTNKJ melakukan penambahan fasilitas kantor berupa pengadaan fasilitas internet sebanyak 1 paket dengan nilai Rp 9.480.000,00. Selain itu BTNKJ juga menerima penyerahan kapal patroli dari pusat. Terlepas dari penambahan barang, beberapa barang inventaris juga mengalami penghapusan (Statistik Balai Taman Nasional Karimunjawa 2008). Data sebagian sarana yang dimiliki tersaji pada Tabel 16. Tabel 17 Data Sarana Balai Taman Nasional Karimunjawa Tahun 2008 Nama barang Kendaraan Roda 4
Kuantitas 6 buah
Kondisi baik
Kendaraan Roda 2
13 buah
baik
Speed Boat + Mesin Yamaha Alat Selam Live Jacket
2 buah
baik
3 unit 50
baik baik
Keterangan • 5 buah di Kantor Balai (Semarang) • 2 buah di Seksi Wil I & II • 2 buah di Jepara • 11 buah di Seksi Wil I & II • Seksi Wil 2 • • •
Seksi Wil 2 40 Seksi Wil II 10 Seksi Wil I
Sumber: Statistik Balai Taman Nasional Karimunjawa 2008
Sarana tersebut tidak sebanding dengan luas wilayah daratan dan perairan Taman Nasional Karimunjawa yang mencapai 111.625 hektar dan terdiri dari 22 pulau, serta jumlah penduduk yang semakin bertambah (lihat Tabel 1). Dengan terbatasnya sarana yang dimiliki staf Balai Taman Nasional Karimunjawa, perlindungan dan pengelolaan kawasan pun menjadi tidak efektif. Patroli yang dilakukan oleh Polisi Hutan pun lebih banyak dilakukan di darat, karena selain jumlah armada kapal speed boat yang terbatas, patroli di kawasan laut pun membutuhkan anggaran yang cukup besar untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar kapal patroli.
7.2.3
Anggaran Pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa Kapasitas pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa juga dapat diukur
dari penggunaan dana dan penilaian pelaksanaan program kegiatan. Anggaran pengelolaan TNKJ selalu meningkat dari tahun ke tahun, namun jika dilihat
71
penggunaan anggaran, sebagian besar dana (> 60 persen) digunakan untuk administrasi umum, termasuk gaji pegawai; sedangkan dana untuk kegiatan pengelolaan keanekaragaman hayati dan perlindungan dan pengamanan kawasan hanya 8,30 dan 17,40 persen (Purwanti et al, 2008). Sumber pendanaan untuk mendukung pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Balai Taman Nasional Karimunjawa tahun 2008 hanya berasal dari DIPA 29 tahun 2008. Jumlah alokasi anggaran dimaksud sebesar Rp. 5.513.351.000,namun akibat adanya kebijakan pemerintah tentang penghematan anggaran maka alokasi anggaran untuk Balai Taman Nasional Karimunjawa hanya menjadi Rp. 3.958.680.000,- (BTNKJ 2008). Rincan alokasi DIPA 29 tahun 2008 untuk tiap program kegiatan tersaji pada Tabel 17. Tabel 18 Data Angaran Program Kegiatan Balai Taman Nasional Karimunjawa Tahun 2008 No. 1.
Program Kegiatan Penerapan Kepemerintahan Yang Baik Pemantapan Keamanan Dalam Negeri Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Alam Pengembangan Kapasitas Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup
2. 3. 4.
Jumlah
Pagu Awal (Rp) 3.490.835.000
Pagu Revisi (Rp) 3.490.835.000
645.157.000
75.533.000
1.056.759.000
274.757.000
311.600.000
117.555.000
5.513.351.000
3.958.680.000
Sumber: Statistik Balai Taman Nasional Karimunjawa 2008
Dari data diatas, dapat dilihat bahwa anggaran untuk Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Alam hanya sebesar 6,9 persen, anggaran untuk Pengembangan Kapasitas Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup sebesar 2,9 persen, dan angaran untuk Pemantapan Keamanan Dalam Negeri sebesar 1,9 persen. Alokasi tersebut jauh dari jumlah yang dianggarkan untuk Penerapan Kepemerintahan yang Baik sebesar 88,3 persen. Minimnya anggaran yang dialokasikan untuk kegiatan pengelolaan keanekaragaman hayati dan perlindungan dan pengamanan kawasan menyebabkan program-program perlindungan kawasan TNKJ pun tidak maksimal. Hal ini terbukti dari tingkat
72
pelanggaran yang terjadi di Karimunjawa relatif besar, yaitu penangkapan ikan dengan bahan dan/ atau alat tangkap yang merusak lingkungan (26,32 persen), pengambilan biota yang dilindungi (36,84 persen), serta pencurian kayu mangrove (31,58 persen) (Purwanti et al, 2008). 7.3 7.3.1
Kondisi Perikanan Tangkap Kepulauan Karimunjawa Perkembangan Jumlah Nelayan Irnawati (2008) mengklasifikasikan nelayan yang ada di Kepulauan
Karimunjawa berdasarkan dua tipe, yaitu juragan dan pandega. Nelayan juragan adalah nelayan yang memiliki alat tangkap dan kapal penangkapan ikan, sedangkan nelayan pandega atau nelayan penggarap adalah nelayan yang melakukan usaha atau kegiatan penangkapan ikan di laut. Perkembangan jumlah nelayan di Karimunjawa selama periode 1996-2005 menurut kelompok juragan dan pandega disajikan pada Tabel 17. Tabel 19 Perkembangan Jumlah Nelayan di Karimunjawa Tahun 1996-2005 Tahun 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Juragan (orang) 488 488 374 287 244 251 262 264 761 299
Pandega (orang) 1.608 1.608 1.861 1.953 2.131 2.269 2.318 2.436 2.148 2.624
Total (orang) 2.096 2.096 2.225 2.240 2.375 2.520 2.580 2.700 2.945 2.923
Sumber : PPP Karimunjawa 2006 dalam Irnawati 2008
6.3.2
Perkembangan Alat Tangkap Kondisi perikanan tangkap di Karimunjawa dari segi produksi ikan selama
tahun 1996-2005 mengalami fuktuasi, tetapi sejak tahun 2001 terus mengalami peningkatan, hal ini didukung dengan perkembangan jumlah nelayan yang sampai dengan tahun 2005 terus mengalami peningkatan hingga mencapai 2.923 orang dan peningkatan jumlah kapal penangkap ikan, di mana banyak nelayan yang sudah meninggalkan perahu layar dan beralih menggunakan kapal motor dan motor tempel untuk melakukan penangkapan ikan sehingga dapat menjangkau
73
daerah penangkapan yang lebih jauh (Irnawati, 2008). Perkembangan jumlah kapal penangkap ikan tahun 1996-2005 disajikan pada Tabel berikut. Tabel 20 Perkembangan jumlah kapal penangkapan ikan di Karimunjawa tahun 1996-2005 Tahun 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Kapal Motor 0 0 32 241 553 584 639 795 699 855
Motor Tempel 210 210 183 151 113 118 120 128 115 130
Perahu Layar Besar Sedang Kecil 54 69 45 54 69 45 40 55 45 26 32 37 21 26 29 14 24 27 3 13 23 3 8 16 0 5 10 0 0 10
Total (buah) 378 378 355 487 742 767 798 950 829 995
Sumber: PPP Karimunjawa dalam Irnawati 2008
Seiring dengan penambahan jumlah nelayan dan jumlah kapal, dalam kurun waktu 1996-2005 nelayan di kepulauan
karimunjawa juga mengalami
peningkatan jenis dan jumlah alat tangkap, seperti yang disajikan pada Tabel 12, Tabel 21 Jenis dan Jumlah Alat Tangkap di Karimunjawa tahun 1996-2005 Tahun 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Jaring Insang 22 20 25 36 79 98 154 227 334 384
Pancing Tonda 170 170 284 473 550 680 640 650 662 612
Bubu 115 115 360 600 1.200 1.600 2.000 2.000 2.062 2.128
Bagan Apung 77 77 71 71 83 87 92 96 102 114
Muroami
Payang
0 0 0 0 0 2 11 18 26 38
0 0 0 0 0 0 0 2 2 0
Lainlain 9 9 11 11 13 9 7 7 6 3
Total (buah) 393 391 751 1.191 1.925 2.476 2.904 3.000 3.194 3.279
Sumber: PPP Karimunjawa dalam Irnawati (2008)
6.3.3
Perkembangan Produksi Perikanan Berdasarkan data produksi ikan yang dirilis PPP Karimunjawa dalam
Purwanti et al (2008) dari tahun 1996-2005, dapat diketahui bahwa produksi ikan pada tahun 1996 mencapai 127.487 kg, kemudian terus mengalami penurunan
74
hingga mencapai 30.016 kg pada tahun 1998. Pada tahun 1999 produksi ikan meningkat menjadi 57.102 kg kemudian kembali mengalami penurunan sampai dengan tahun 2001 hingga mencapai 48.663 kg. Pada tahun 2002 produksi ikan kembali meningkat menjadi 79.406 kg dan terus mengalami peningkatan hingga pada tahun 2005 produksi ikan mencapai 92.022 kg. Secara keseluruhan dari Gambar 5 dapat dilihat bahwa selama 10 tahun terakhir produksi ikan tertinggi dicapai pada tahun 1996 yaitu sebesar 127.487 kg, dan produksi terendah terjadi pada tahun 1998 yaitu sebesar 37.016 kg.
Sumber : PPP Karimunjawa dalam Purwanti et al (2008)
Gambar 5 Produksi Ikan Kepulauan Karimunjawa tahun 1996-2005 6.4 Ikhtisar Berdasarkan kondisi perikanan Karimunjawa yang telah dikemukakan diatas, maka pengelolaan dan pembangunan TNKJ harus mengikuti prinsipprinsip ekologis dan konservasi secara terpadu. Kegiatan pengembangan pulaupulau kecil harus dilakukan dengan perencanaan yang baik dan terarah agar hasil dari pengembangan dan pembangunannya dapat optimal dan berkelanjutan. Hal ini penting dilakukan untuk dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan yang merupakan mayoritas penduduk di Karimunjawa. Efektivitas pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa tidak terlepas dari kualitas SDM, sarana yang memadai, serta dukungan anggaran yang cukup. Pada aspek kualitas SDM, Balai Taman Nasional Karimunjawa memiliki kualitas SDM
75
yang kurang memadai karena 67,5 persen tidak mengenyam pendidikan sarjana. Selain itu, jumlah karyawan sebanyak 81 orang tidak sebanding dengan luas wilayah daratan dan perairan Taman Nasional Karimunjawa yang mencapai 111.625 hektar dan terdiri dari 22 pulau, serta jumlah penduduk yang semakin bertambah (lihat Tabel 1). Hal ini diperparah dengan sarana yang terbatas dan dukungan anggaran yang tidak mencukupi,sehingga mengakibatkan perlindungan dan pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa menjadi tidak efektif. Selain itu, meningkatnya jumlah nelayan, alat tangkap, serta produksi hasil tangkapan ikan di Kepulauan Karimunjawa memicu eksploitasi yang berlebih terhadap sumberdaya alam di Taman Nasoinal Karimunjawa.
76
BAB VIII PENUTUP
8.1
Kesimpulan Strategi nafkah nelayan kompressor diharapkan mampu memberi
kontribusi terhadap perbaikan standar hidup nelayan. Namun strategi nafkah ini seringkali berbenturan dengan konservasi keanekaragaman hayati di Taman Nasional Laut Karimunjawa yang dijalankan dengan manajemen zonasi. Dari dua hipotesis yang diajukan, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: Hipotesis pertama, menyatakan bahwa pengelolaan Taman Nasional Laut Karimunjawa yang dikelola dengan sistem zonasi berpengaruh terhadap daerah tangkap ikan, alat tangkap, dan diversifikasi nafkah dari nelayan kompressor di Kepulauan Karimunjawa. Hipotesis ini tidak sepenuhnya ditolak karena alasan sebagai berikut, a) Daerah tangkap ikan nelayan kompressor tidak mengalami perubahan walau sebagian daerah tangkapan mereka kini berada di dalam kawasan Taman Nasional laut Karimunjawa. Para nelayan kompressor masih melakukan penangkapan ikan hingga ke zona inti Taman Nasional.
Ketidaktahuan
nelayan
atas
batas-batas
zona
dan
terbatasnya kemampuan Balai Taman Nasional Laut Karimunjawa (BTNKJ) dalam melakukan pengawasan dan manajemen zona, menyebabkan kehadiran TNKJ dipandang tidak membatasi daerah tangkap nelayan kompressor. b) Mayoritas responden nelayan kompressor memakai alat tangkap speargun-kompressor
sejak
sebelum
Taman
Nasional
Laut
Karimunjawa berdiri dan tetap digunakan hingga saat ini. Hal ini disebabkan karena alat tangkap ini memberi pendapatan yang relatif lebih tinggi serta dapat digunakan sepanjang tahun. Meskipun usaha konservasi
yang
dilakukan
BTNKJ
mampu
menghilangkan
penggunaan potassium di kalangan nelayan kompressor, namun kehadiran Taman Nasional Laut Karimumjawa tidak mengubah atau
77
mempengaruhi jenis alat tangkap yang digunakan oleh nelayan kompressor. c) Sebelum tahun 2005, strategi nafkah yang dilakukan responden nelayan kompressor lebih banyak bertumpu pada pemanfaatan sektor perikanan (nelayan) dan jasa (sebagai buruh, anak buah kapal angkut/transportasi, dan berdagang). Konservasi keanekaragaman hayati yang dilakukan oleh BTNKJ, mendorong pertumbuhan sektor pariwisata dengan terbukanya peluang nafkah baru seperti tour guide, penyewaan alat-alat selam, penyewaan kapal, penyewaan motor, penginapan, berdagang, dan lain sebagainya. Taman Nasional Laut Karimunjawa dapat dikatakan telah mendorong diversifikasi nafkah dikalangan nelayan kompressor. Hipotesis kedua, menyatakan bahwa kegiatan pengelolaan konservasi keanekaragaman hayati di Taman Nasional Karimunjawa yang dijalankan melalui sistem zonasi tidak mampu mengimbangi aktifitas perikanan tangkap yang berkembang di kepulauan Karimunjawa (diukur dari segi produksi perikanan laut, jumlah nelayan, dan alat tangkap). Hipotesis ini diterima dengan alasan sebagai berikut, a) Meskipun BTNKJ telah melakukan berbagai upaya sosialisasi zonasi pada nelayan, namun di mata nelayan zonasi tetap dipandang sebagai suatu cara untuk membatasi daerah tangkap mereka. Terlebih lagi peluang usaha yang tumbuh sebagai akibat adanya wisata laut masih terbatas. Selain itu, sektor pariwisata juga belum mampu menggantikan seluruh kesempatan kerja yang tumbuh akibat penangkapan ikan dengan sistem kompressor. b) Efektivitas pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa dipengaruhi oleh kualitas sumberdaya manusia, ketersediaan sarana dan prasarana, serta dukungan anggaran yang memadai. Saat ini BTNKJ dioperasikan oleh 81 pegawai dengan hanya 32,5 persen diantaranya yang berlatar pendidikan S1. Pegawai BTNKJ yang hanya berkekuatan 81 orang ini tidak sebanding dengan luas wilayah daratan dan perairan Taman Nasional Karimunjawa yang harus diawasi atau dikontrol; yakni seluas 111.625 hektar dan
78
terdiri dari 22 pulau. Kondisi ini diperparah lagi dengan terbatasnya sarana dan prasarana dan dukungan anggaran yang tidak memadai. c) Di lain pihak, dalam beberapa tahun terakhir terdapat peningkatan jumlah nelayan, alat tangkap, serta produksi hasil tangkapan ikan di Kepulauan Karimunjawa. Peningkatan produksi perikanan laut ini terjadi merupakan implikasi dari kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah yang menetapkan perairan Karimunjawa sebagai salah satu sentra pengembangan produksi perikanan laut di wilayah Jawa Tengah. Taman Nasional Laut Karimunjawa mampu meningkatkan diversifikasi nafkah dengan mendorong pertumbuhan sektor pariwisata, namun tidak mempengaruhi daerah tangkap dan alat tangkap nelayan kompressor. Sehingga dapat dikatakan bahwa manajemen zonasi yang dilakukan oleh BTNKJ belum efektif. Temuan studi ini penting diperhatikan oleh para pengambil kebijakan terkait, agar pengelolaan Taman Nasional Laut Karimunjawa dapat menjaga kelestarian keanekaragaman hayati perairan laut sekaligus meningkatkan kesejahteraan nelayan Karimunjawa.
7.2
Saran Penetapan Zonasi Taman Nasional Karimunjawa tidak serta merta
menyelesaikan masalah yang ada, karena keberadaannya pun tidak sepenuhnya dipahami dan dipatuhi oleh masyarakat. Sebagian besar nelayan kompressor mencari ikan di semua kawasan Taman Nasional Karimunjawa karena mereka tidak mengetahui tentang zonasi kawasan. Selain itu, minimnya patroli laut yang dilakukan BTNKJ membuat kebiasaan memasuki zona inti dan perlindungan terus berlanjut. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan langkah-langkah strategis yang ditunjang dengan kelembagaan lokal yang kuat agar pelaksanaan dan pengawasannya pun lebih komprehensif. Oleh sebab itu, peneliti memberikan saran sebagai berikut: 1. Perlunya
pelaksanaan
pembangunaan
kawasan
pesisir
yang
berkelanjutan, dengan menerapkan konsep Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berbasis Masyarakat (PSPBM) karena kearifan lokal
79
berperan penting dalam menjaga dan memelihara ekologi pesisir. Untuk itu diperlukan adanya identifikasi kearifan tradisional berdasarkan ciri khas dan struktur sosial yang berlaku, sehingga lokalitas dan keunikannya dapat terakomodasi. 2. Dalam rangka memperjuangkan kepentingan nelayan, diperlukan organisasi yang independen baik berupa organisasi profesi maupun organisasi usaha yang secara sistematis dapat melakukan fungsi koordinasi dan fungsi kontrol terhadap pemerintah (dalam hal ini BTNKJ) serta fungsi pengorganisasian untuk kepentingan ekonomi, kelestarian sumberdaya, maupun sosial. 3. Komunitas nelayan kompressor perlu diberikan pembinaan dan fasilitas yang memungkinkan mereka untuk beralih mata pencaharian ke alternatif usaha lain yang mendukung keberlanjutan Taman Nasional Karimunjawa. 4. Diperlukan dukungan dana dan kualitas SDM yang memadai agar usaha-usaha pelestarian kawasan Taman Nasional Karimunjawa dan pemanfaatan sektor perikanan yang berkelanjutan dapat berjalan secara sinergis.
80
DAFTAR PUSTAKA
Alikodra HS. 1987. Manfaat Taman Nasional bagi masyarakat di sekitarnya. Media Konservasi 1(3):13-19. Basuni S. 1987. Konsep pengaturan sumberdaya taman nasional. Media Konservasi 1(3):1-11. Biasane AN. 2004. Konstruksi kearifan tradisional dalam pengelolaan perikanan berkelanjutan. Makalah Pengantar ke Falsafah Sains. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. 16 hal. [BTNKJ] Balai Taman Nasional Karimunjawa. 2004. Penataan zonasi taman nasional karimunjawa kabupaten jepara Provinsi Jawa Tengah. Semarang: BTNKJ. [BTNKJ] Balai Taman Nasional Karimunjawa. 2009. Laporan evaluasi Balai Taman Nasional Karimunjawa Tahun 2009. Semarang: BTNKJ. [BTNKJ] Balai Taman Nasional Karimunjawa. Pemberdayaan Masyarakat. [Internet]. [Dikutip 26 Februari 2011 ]. Semarang: BTNKJ. Dapat diunduh dari: http://karimunjawanationalpark.org/pemberdayaan-masyarakat/blog [BTNKJ] Balai Taman Nasional Karimunjawa. 2007. Statistik Balai Taman Nasional Karimunjawa tahun 2006. Semarang: BTNKJ. 100 hlm. Carlsson L, Fikret B. 2005. Co-management: concepts and methodological implications. Journal of Environmental Management 75 65–76 Dharmawan AH. 2006, Sistem penghidupan dan nafkah pedesaan pandangan sosiologi nafkah (Livelihood Sociology) Mazhab Barat dan Mazhab Bogor. Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia, Vol. 01, No.02 Agustus 2007. Faiza R. 2004. Kajian beberapa aspek program pemberdayaan masyarakat pesisir nelayan pengolah Muara Angke. [disertasi]. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor Jones Peter JS, Jacquelin Burgess. 2005. Building Partnership capacity for the collaborative management of marine protected areas in the UK: a preliminary analysis. Journal of Environmental Management 77 227– 2430, diakses pada 27 Februari 2011 pukul 11.30 WIB
81
Konservasi Sumberdaya Alam dan Buatan. 2009 Feb. [Internet]. [Diunduh 26 Februari 2011]. Dapat diunduh dari: http://massofa.wordpress.com/2008/02/03/konservasi-sumber-dayaalam-dan-buatan Irnawati R. 2008. Pengembangan perikanan tangkap di Kawasan Taman Nasional Karimunjawa Jawa Tengah. [tesis]. Institut Pertanian Bogor. Keraf S. 2002. Etika lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku KOMPAS. Maksum MA. 2005. Analisis manfaat ekonomi sumberdaya perikanan kawasan konservasi laut taman nasional karimunjawa. [tesis] Pascasarjana IPB. Mitchell B, Setiawan B, Rahmi DH. 2007. Pengelolaan sumber daya dan lingkungan. Yogyakarta: Bulaksumur Moeis S. 2008. Adaptasi ekologi masyarakat pesisir selatan Jawa Barat. Laporan Penelitian Universitas Pendidikan Indonesia. 30 hal. Muchsin I. 2007. Pengentasan kemiskinan di sektor perikanan. Dalam Pemikiran Guru Besar IPB. Bogor: IPB Press. Mulyadi. 2005. Ekonomi kelautan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Musyafar. 2006. Analisis perilaku masyarakat pesisir dan faktor-faktor yang mempengaruhi dalam
melestarikan ekosistem mangrove di pesisir
barat Sulawesi Selatan. Laporan Penelitian Universitas Negeri Makassar. 25 hal. Nurmalasari Yessy. 2010. Analisis pengelolaan wilayah pesisir berbasis masyarakat. [tesis] 8 hal. [PPP Karimunjawa] Pelabuhan Perikanan Pantai Karimunjawa. 2006. Laporan Tahunan
Pelabuhan
Perikanan
Pantai
(PPP)
Karimunjawa.
Karimunjawa: PPP Karimunjawa. 80 hlm. Purwanti F, Alikodra HS, Basuni S, Soedhama D. 2008. Pengembangan comanagement Taman Nasional Karimunjawa. Jurnal Ilmu Kelautan Vol. 13 (3) : 159 – 166 Saharuddin. 2007. Antropologi ekologi. Adiwibowo S (ed.) 2007. Ekologi manusia. Bogor. Fakultas Ekologi Manusia IPB. Satria A. 2009. Pesisir dan laut untuk rakyat. Bogor: IPB Press _________. 2002. Pengantar sosiologi masyarakat pesisir. Jakarta : PT. Pustaka Cidesindo.
82
Scoones I, 1998, Sustainable Rural Livelihoods a Framework for Analysis, IDS Working Paper 72, Brighton: IDS. 22 hal. Singarimbun M. 1989. Metode dan proses penelitian. Jakarta : Pustaka LP3ES Indonesia. Sitorus F. 1998. Penelitian kualitatif “suatu perkenalan”. kelompok dokumentasi ilmu-ilmu sosial untuk laboratorium sosiologi, antropologi dan kependudukan jurusan ilmu sosial dan ekonomi pertanian, fakultas pertanian IPB. Widiyanto, Dharmawan AH, Prasodjo NW. 2010. Strategi nafkah rumahtangga petani tembakau di lereng gunung sumbing : studi kasus Desa Wonotirto dan Desa Campursari, Kecamatan Bulu, Kabupaten Temanggung. Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi dan Ekologi Manusia. 24 hal.
83
LAMPIRAN
84
LAMPIRAN 1. PETA TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA, KECAMATAN KARIMUNJAWA, KABUPATEN JEPARA, PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2005
85
Lampiran 2. Panduan Pertanyaan • Pertanyaan untuk responden 1. Apakah anda mengetahui tentang adanya zonasi kawasan di Taman Nasional Karimunjawa?jika iya, apa saja? 2.
Apakah masyarakat dilibatkan dalam proses penetapan zonasi tersebut?
3.
Setelah adanya Zonasi di Taman Nasional Karimunjawa, apakah ada peraturan-peraturan baru yang dibuat untuk nelayan?jika ada, apa saja?
4.
Apa dampak positif dan negatif dengan adanya sistem zonasi tersebut? jelaskan
5.
Jika terdapat dampak negatif, Apakah pihak BTNKJ memberikan kompensasi terkait adanya zonasi tersebut?(misalnya, alat tangkap, alternatif mata pencaharian, dll)
6.
Apakah masyarakat menaati sistem zonasi dan/atau peraturan lain yang ditetapkan setelah ditetapkannya Karimunjawa sebagai Taman Nasional?
7.
Dengan adanya penetapan zonasi di Taman Nasional Karimunjawa, apakah terdapat konflik baik antar masyarakat maupun antara masyarakat dengan BTNKJ? Kenapa?
• Pertanyaan untuk informan 1.
Apakah anda mengetahui tentang adanya zonasi kawasan di Taman Nasional Karimunjawa?jika iya, apa saja?
2.
Apakah masyarakat dilibatkan dalam proses penetapan zonasi tersebut?
3.
Setelah adanya Zonasi di Taman Nasional Karimunjawa, apakah ada peraturan-peraturan baru yang dibuat untuk nelayan?jika ada, apa saja?
4.
Apa dampak positif dan negatif dengan adanya sistem zonasi tersebut? jelaskan
5.
Jika terdapat dampak negatif, Apakah pihak BTNKJ memberikan kompensasi terkait adanya zonasi tersebut?(misalnya, alat tangkap, alternatif mata pencaharian, dll)
6.
Apakah masyarakat menaati sistem zonasi dan/atau peraturan lain yang ditetapkan setelah ditetapkannya Karimunjawa sebagai Taman Nasional?
7.
Dengan adanya penetapan zonasi di Taman Nasional Karimunjawa, apakah terdapat konflik baik antar masyarakat maupun antara masyarakat dengan BTNKJ? Kenapa?
86
• Pertanyaan untuk petugas BTNKJ 1. Bagaimana proses penetapan zonasi kawasan di Taman Nasional Karimunjawa? 2. Siapa saja yang terlibat dalam pembentukan tersebut? 3. Apa hak dan kewajiban masyarakat (terutama nelayan) yang muncul setelah adanya sistem zonasi tersebut? 4. Bagaimana masyarakat menanggapi hak dan kewajiban tersebut? 5. Bagaimana masyarakat memanfaatkan sumberdaya alam sebelum dan sesudah adanya zonasi kawasan taman nasional? 6. Apa saja upaya yang dilakukan dalam menjaga kelestarian kawasan? 7. Apakah masyarakat menaati ketentuan yang tertuang dalam sistem zonasi ini? Apa saja yang ditaati dan tidak ditaati? 8. Apakah yang dilakukan untuk menghindari adanya konflik dengan masyarakat? 9. Apa kesulitan yang dialami dalam membangun pemahaman dengan masyarakat? 10. Apakah kekurangan dan kelebihan dari zonasi kawasan yang ada saat ini? 11. Apa saja program-program yang dilakukan untuk mendukung efektifitas dan optimalisasi zonasi kawasan Taman Nasional?
87
Lampiran 3. Daftar Kerangka Sampling dan Responden Berdasarkan Nama Ketua Kelompok Kapal No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Nama LKN SLM HKM YTK RDN HUR MAH JUR HD JOK PRN SRN BOL ROH AHM AJB NUR
Kampung LEGO LEGO LEGO LEGO LEGO LEGO LEGO LEGO LEGO LEGO LEGO LEGO LEGO LEGO LEGO LEGO LEGON BOYO
: Kelompok responden terpilih Sumber: Observasi dan Wawancara (2011)
Jumlah Anggota/Kapal 6 6 7 5 6 7 7 5 6 8 6 5 4 4 6 5 5
88
Lampiran 4. Alat Tangkap Sebelum dan Sesudah Zonasi Kawasan Alat tangkap No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Nama nrl Hkm inl slk tkm smt kpr rdn ytn jk tsn bll rdh srn stm pn bd ism ajb alf khl rf tul drn mln prn bd yd slt hd lkn so js rmn ynt
Lama melaut 13 16 11 20 9 13 12 12 25 14 30 8 7 14 30 10 35 8 18 19 19 18 12 12 25 22 17 11 20 19 15 15 10 13 8 TOTAL
< 2005 >2005 bubu mrm jrg pcg pot kom bubu pcg kom upg
2
9
11
25
35
35
2
8
35
7
89
Keterangan:
jrg mrm pcg
: jaring : muroami : pancing
kom pts bubu
: kompressor : potassium : bubu
upg
: up grade mesin
= digunakan saat musim paceklik = digunakan saat musim panen dan musim paceklik
90
Lampiran 5. Nafkah Ganda Sebelum dan Sesudah Zonasi Kawasan Nafkah Ganda No Nama Lama melaut nel 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
nrl hkm inl slk tkm smt kpr rdn ytn jk tsn bll rdh srn stm pn bd ism ajb alf khl rf tul drn mln prn bd yd slt hd lkn so js rmn ynt
13 16 11 20 9 13 12 12 25 14 30 8 7 14 30 10 35 8 18 19 19 18 12 12 25 22 17 11 20 19 15 15 10 13 8 TOTAL
35
< 2005 bur abk
8
3
dgg
nel
tg
1
35
17
>2005 sew bur
2
7
rum
4
91
Keterangan:
nt bur abk rum
: nelayan tradisional sew : buruh tg : abk kapal angkut/transportasi dgg : budi daya rumput laut nk
: menyewakan kapal : tour guide : berdagang : nelayan kompressor
= dilakukan saat musim paceklik = dilakukan saat musim panen dan musim paceklik
92
Lampiran 6. Aktifitas Perikanan Panah-Kompressor
93
Lampiran 7. Dokumentasi Penelitian
Photo 1. Aktivitas Perikanan di Desa Karimunjawa
Photo 2. Kapal angkut yang membawa hasil tangkapan nelayan setiap minggunya
94
Photo 3. Aktifitas Patroli hutan bersama Polisi Hutan
Photo 4. Petani rumput laut di kawasan Legon Boyo
95
Photo 5. Persiapan penyelaman Nelayan Kompressor
Photo 6. Nelayan Kompressor yang baru mulai menyelam
96
Photo 7. Anggota kelompok yang tidak menyelam memastikan keselamatan para penyelam
Photo 8. Hasil tangkapan nelayan kompressor
97
Photo 9. Ikan Kerapu hidup hasil tangkapan nelayan kompressor
Photo 9. Nelayan kompressor sedang menimbang berat kerapu hidup yang ditangkapnya
98
Photo 9. Nelayan kompressor sedang beristirahat menunggu ombak reda
Photo 9. Alat Speargun yang digunakan nelayan kompressor untuk menangkap ikan
99
Photo 9. Gamet/Teripang merupakan komoditi yang diminati nelayan saat musim terang bulan atau angin timur
Photo 9. Tempat aktifitas jual beli Gamet/Teripang
100
Photo 9. Tempat nelayan kompressor melakukan aktifitas jual beli ikan
Photo 9. Ikan ekor kuning yang ditangkap nelayan. Gambar di tengah berumur 3 bulan, gambar di kanan berumur 2-3 minggu