OPTIMASI KEGIATAN NELAYAN MELALUI PENGEMBANGAN MATA PENCAHARIAN ALTERNATIF SEBAGAI INSTRUMEN PENDUKUNG KEBERLANJUTAN TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA
YOGI YANUAR
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2008
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Optimasi Kegiatan Nelayan Melalui Pengembangan Mata Pencaharian Alternatif Sebagai Instrumen Keberlanjutan Taman Nasional Karimunjawa adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2008
Yogi Yanuar C 551040164
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
RINGKASAN YOGI YANUAR. Optimasi Kegiatan Nelayan Melalui Pengembangan Mata Pencaharian Alternatif Sebagai Instrumen Pendukung Keberlanjutan Taman Nasional Karimunjawa. Dibimbing oleh Budy Wiryawan dan Sulaeman Martasuganda. Untuk mendukung keberlanjutan Taman Nasional Karimunjawa (TNK) dalam menjalankan fungsinya sebagai kawasan lindung, diperlukan beberapa aturan pengelolaan melalui optimasi kegiatan nelayan di Zona Pemanfaatan Perikanan Tradisional TNK, meliputi penentuan jenis ikan tangkapan, musim penangkapan dan jumlah armada tangkap. Berdasarkan hasil analisis, 4 (empat) jenis ikan yang merupakan komoditi utama nelayan Karimunjawa adalah teri (Stolephorus spp.) dengan nilai index sebesar 3,16, tongkol (Auxis thazard) dengan nilai index sebesar 1,75, tenggiri (Scomberomerus commersoni) dengan nilai index sebesar 1,60, dan ekor kuning (Caesio cunning) dengan nilai index sebesar 1,05. Musim tangkap ikan teri (Stolephorus sp) terjadi selama 5 (lima) bulan dari bulan Juni hingga Oktober, ikan tongkol (Auxis thazard) selama 5 bulan dari bulan Agustus hingga Desember, tenggiri (Scomberomerus, sp) selama 5 bulan dari bulan Desember hingga April dan ekor kuning (Caesio cunning) terjadi selama 6 bulan yaitu bulan Februari hingga Mei, bulan September dan Oktober. Jumlah alat tangkap optimum yang dapat dioperasikan di perairan Kepulauan Karimunjawa yaitu : (1) 81 unit bagan perahu dengan target tangkapan teri (2) 101 unit pancing tonda dengan target tangkapan tongkol dan tenggiri (3) 71 unit jaring insang dengan target tangkapan ekor kuning dan (4) 0 unit bubu. Dibutuhkan alokasi area perairan seluas 913 ha untuk budidaya rumput laut sebagai kegiatan alternatif nelayan, dengan alokasi masing-masing nelayan adalah 3 unit untuk nelayan bagan perahu, 4 unit untuk nelayan pancing tonda dengan target tangkapan tongkol, 2 unit untuk nelayan pancing tonda dengan target tangkapan tenggiri dan 5 unit untuk nelayan jaring insang, serta 7 unit untuk setiap nelayan reposisi, yaitu nelayan yang mengalihkan kegiatannya sepenuhnya ke budidaya rumput laut. Kata kunci :
taman nasional, zona pemanfaatan, optimasi kegiatan nelayan, budidaya rumput laut
ABSTRACT YOGI YANUAR. Optimization of Fishermen Activities Through Development of Alternative Livelihood as an Instrument for Supporting the Sustainability of Karimunjawa National Park. Supervised by Budy Wiryawan and Sulaeman Martasuganda. In order to support the sustainability of Karimunjawa National Park (KNP) especially for its function as a protected area, some rules are needed through optimization of fishermen activities in KNP Traditional Fisheries Use Zone, i.e the determination of fish type, fishing season and number of fishing gears.The results show there are 4 (four) fish type that become fishermen’s major commodities : anchovies (Stolephorus spp.) with index value 3.16, frigate tuna (Auxis thazard) with index value 1.75, narrow-barred spanish mackerel (Scomberomerus commersoni) with index value 1.60, and yellowtail fussilier (Caesio cunning) with index value 1.05. Fishing season of anchovies occurs for 5 (five) months from June until October, frigate tuna occurs for 5 (five) months from August until December, narrow-barred spanish mackerel occurs for 5 (five) months from December until April and yellowtail fussilier occurs for 6 (six) months during February until May, September and October. The optimum number of fishing gears are (1) 81 units for floating fish cageculture with anchovies as target fish, (2) 101 units for fish troll with frigate tuna and narrowbarred spanish mackerel as target fish, (3) 71 units for gillnet with yellowtail fussilier as target fish and (4) zero traps.Waters area needed to facilitate seaweed culture as alternative livelihood for local fishermen are 913 ha, with number of culture units needed by each fisherman are 3 units for floating fish cageculture based activities, 4 units for fish troll based activities with frigate tuna as target fish, 2 units for fish troll based activities with narrow-barred spanish mackerel as target fish, and 7 units for each repositioned fishermen, that are fishermen who has to completely change their activities to seaweed culturing. Keywords : national park, use zone, optimization of fishermen activities, seaweed culturing.
OPTIMASI KEGIATAN NELAYAN MELALUI PENGEMBANGAN MATA PENCAHARIAN ALTERNATIF SEBAGAI INSTRUMEN PENDUKUNG KEBERLANJUTAN TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA
YOGI YANUAR
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Tesis
:
Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi
: : :
Optimasi Kegiatan Nelayan Melalui Pengembangan Mata Pencaharian Alternatif Sebagai Instrumen Pendukung Keberlanjutan Taman Nasional Karimunjawa Yogi Yanuar C. 551040164 Teknologi Kelautan
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc Ketua
Dr. Sulaeman Martasuganda, M.Sc Anggota
Diketahui, Program Studi Teknologi Kelautan Ketua,
Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc
Tanggal Ujian :
5 Januari 2008
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro MS
Tanggal Lulus : 5 Januari 2008
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandung, Jawa Barat pada tanggal 11 Januari 1970 sebagai anak pertama dari enam bersaudara, pasangan Bapak Ir. H. Setia Hidayat dan Ibu Hj. Tuti Rusmiati. Pendidikan S-1 diselesaikan tahun 1994 di Universitas Trisakti Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Jurusan Teknik Sipil, Program Pengutamaan Studi Struktur. Aktif bekerja di dunia konstruksi hingga tahun 2002, penulis mendapat kesempatan untuk bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Departemen Kelautan dan Perikanan hingga saat ini. Penulis saat ini bekerja sebagai staf di Direktorat Tata Ruang Laut, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Pada tahun 2004 penulis berkesempatan untuk melanjutkan pendidikan pada Program Pascasarjana di Institut Pertanian Bogor. Penulis memilih Program Studi Teknologi Kelautan dan menyelesaikannya pada Januari 2008.
vi
PRAKATA Puji Syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, yang senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis ini merupakan hasil penelitian di Kepulauan Karimunjawa. Judul Tesis ini adalah “Optimasi Kegiatan Nelayan Melalui Pengembangan Mata Pencaharian Alternatif Sebagai Instrumen Pendukung Keberlanjutan Taman Nasional Karimunjawa”, yang disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Sub Program Studi Perencanaan Pembangunan Kelautan dan Perikanan, Program Studi Teknologi Kelautan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada : 1.
Bapak Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc, selaku Ketua Komisi, dan Bapak Dr. Sulaeman Martasuganda, M.Sc selaku Anggota Komisi.
2.
Bapak Dr. Ir. Sugeng Hari Wisudo, M.Sc, yang telah berkenan menjadi dosen penguji luar komisi pada sidang pasca sarjana penulis.
3.
Bapak Prof. Dr. Daniel R. Monintja, Bapak Ir. Ferianto H. Djais, MMA dan saudaraku Miftahul Huda, ST, M.Si yang telah berkenan memberikan rekomendasi sehingga penulis dapat mengikuti program magister ini.
4.
Bapak Ir. Sugiono, MURP yang telah memberikan restu dan ijinnya sehingga penulis dapat mengikuti program magister ini.
5.
Rekan-rekan di Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Jepara, Kantor Cabang Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Tengah, Dinas Perhubungan Karimunjawa dan Kantor Kecamatan Karimunjawa, yang telah memberikan data dan informasi tentang kegiatan nelayan di Karimunjawa.
6.
Rekan-rekan di WCS Marine Program Indonesia yang telah berkenan berbagi data dan informasi mengenai Karimunjawa.
7.
Rekan-rekan di Direktorat Tata Ruang Laut, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah memberikan bantuan, dukungan dan menjadi partner diskusi selama penulisan tesis ini.
vii
8.
Program COREMAP II yang telah memberikan bantuan penelitian melalui program beasiswa 2007.
9.
Teristimewa istriku, yang selalu memberikan doa, semangat dan dorongan, serta anak-anakku yang memberi motivasi dalam penyelesaian studi ini.
10.
Kepada orang tuaku dan adik-adikku yang telah memberikan doa serta dukungan yang tak pernah surut.
11.
Rekan-rekan Mahasiswa TKL Sub Program Studi PPKP angkatan IV, dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Kritik dan saran sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan tesis ini. Akhirnya penulis berharap semoga tesis ini dapat berguna bagi masyarakat
yang membacanya dan menjadi barokah bagi penulis, Amin yaa Rabbal alamin.
Bogor,
Januari 2008
Yogi Yanuar
viii
DAFTAR ISI Halaman PRAKATA ........................................................................................................... vii DAFTAR TABEL ............................................................................................... xii DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiv DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xv 1.
PENDAHULUAN......................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah .............................................................................. 3 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................. 4
2.
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 5 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6 2.7
Taman Nasional .................................................................................... 5 Unsur Paradigma Modern Daerah Perlindungan (IUCN, 2004) ........... 5 Zonasi/Pemintakatan (Zoning) .............................................................. 6 Unsur Biaya Dalam Pengelolaan Kawasan Lindung ............................ 7 Model Bioekonomi ............................................................................... 8 Perikanan Skala Kecil ........................................................................... 8 Sumberdaya Ikan................................................................................... 9 2.7.1 Tongkol (Auxis thazard) ........................................................... 9 2.7.2 Tenggiri (Scomberomerus commersoni) ................................. 10 2.7.3 Teri (Stolephorus spp.) ............................................................ 11 2.7.4 Ekor Kuning (Caesio spp.)...................................................... 12 2.8 Alat Tangkap ....................................................................................... 13 2.8.1 Pancing Tonda......................................................................... 13 2.8.2 Jaring Insang ........................................................................... 15 2.8.3 Bubu ........................................................................................ 16 2.9 Budidaya Rumput Laut ....................................................................... 17 2.9.1 Teknis Produksi....................................................................... 17 2.9.2 Persyaratan Lokasi .................................................................. 18 2.9.3 Sosial, Ekonomi dan Budaya .................................................. 19 2.10 Teknik Optimasi .................................................................................. 19 2.11 Linear Programming ........................................................................... 19 2.12 Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat Pesisir ................................ 20 2.13 Estimasi MSY pada stok yang telah dieksploitasi berdasarkan data empiris (Sparre dan Venema, 1999).................................................... 21 3.
METODOLOGI ......................................................................................... 23 3.1 Metode Penelitian ............................................................................... 23
ix
3.2 3.3 3.4 3.5
Lokasi dan Waktu Penelitian .............................................................. 23 Kerangka Pemikiran ............................................................................ 23 Metode Pengumpulan Data ................................................................. 26 Metode Analisis Data .......................................................................... 27 3.5.1 Analisis Tren ........................................................................... 27 3.5.2 Analisa Jenis Ikan Komoditi Utama ....................................... 27 3.5.3 Analisa Musim Penangkapan Ikan .......................................... 28 3.5.4 Analisis Optimasi Alat Tangkap ............................................. 28 3.5.5 Analisis Usaha Budidaya Rumput Laut .................................. 30 3.5.6 Analisis Optimasi Area Budidaya Rumput Laut..................... 30 3.6 Batasan dan Pengukuran ..................................................................... 31 4.
GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI ............................................. 32 4.1 4.2 4.3 4.4
Letak dan Luas Kepulauan Karimunjawa ........................................... 32 Iklim .................................................................................................... 34 Hidro Oseanografi ............................................................................... 34 Ekosistem ............................................................................................ 35 4.4.1 Ekosistem Terumbu Karang .................................................... 35 4.4.2 Ekosistem Padang Lamun dan Rumput Laut .......................... 37 4.4.3 Ekosistem Mangrove............................................................... 38 4.5 Potensi Sumberdaya Perikanan Karimunjawa .................................... 38 4.5.1 Ikan Pelagis ............................................................................. 38 4.5.2 Ikan Karang ............................................................................. 38 4.6 Zonasi Taman Nasional Karimunjawa ................................................ 39 4.6.1 Aktifitas di Zona Pemanfaatan Perikanan Tradisional............ 40 4.6.2 Aktifitas di Zona Budidaya ..................................................... 40 4.7 Aktivitas Nelayan ................................................................................ 42 4.7.1 Perikanan Tangkap .................................................................. 42 4.7.2 Perikanan Budidaya ................................................................ 44 4.8 Prasarana dan Sarana Perikanan.......................................................... 48 4.9 Tata Niaga Perikanan Tangkap Nelayan Karimunjawa ...................... 49 4.10 Aspek Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Kepulauan Karimunjawa ............................................................................................................. 50 4.10.1 Demografi, Pendidikan dan Agama ........................................ 50 4.10.2 Mata Pencaharian .................................................................... 50 4.10.3 Tingkat Kesejahteraan Masyarakat ......................................... 52 4.10.4 Persepsi Masyarakat Tentang Pengelolaan Taman Nasional .. 53 5.
HASIL ......................................................................................................... 55 5.1 Penentuan Jenis Ikan Tangkapan Utama............................................. 55 5.2 Batasan Hasil Tangkapan .................................................................... 57 5.3 Penentuan Musim Penangkapan ......................................................... 59 5.3.1 Musim Penangkapan Ikan Teri ............................................... 60 5.3.2 Musim Penangkapan Ikan Tongkol ........................................ 61 5.3.3 Musim Penangkapan Ikan Tenggiri ........................................ 62 5.3.4 Musim Penangkapan Ikan Ekor Kuning ................................. 63
x
5.4 Armada Tangkap dan Area Operasi .................................................... 66 5.5 Optimasi Alat Tangkap ....................................................................... 69 5.6 Alokasi Budidaya Rumput Laut .......................................................... 72 5.6.1 Analisis Ekonomi Budidaya Rumput Laut ............................. 72 5.6.2 Optimasi Area Budidaya Rumput Laut ................................... 75 6.
PEMBAHASAN ......................................................................................... 79 6.1 Efektifitas Optimasi ............................................................................ 79 6.2 Efektifitas Pengelolaan Taman Nasional ............................................ 81 6.3 Kebijakan Pengelolaan Di Zona Pemanfaatan Perikanan Tradisional dan Zona Budidaya ............................................................................. 84
7.
KESIMPULAN........................................................................................... 88
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 90 LAMPIRAN ......................................................................................................... 96
xi
DAFTAR TABEL Halaman 1
Kebutuhan data ............................................................................................ 26
2
Data perikanan tangkap kepulauan Karimunjawa........................................ 42
3
Jumlah armada penangkapan ikan per desa di kepulauan Karimunjawa ..... 44
4
Kondisi fisik dan kimia perairan pulau Karimunjawa dan Kemujan ........... 47
5
Produksi budidaya rumput laut Karimunjawa.............................................. 48
6
Jumlah penduduk per desa di Kecamatan Karimunjawa tahun 2003 .......... 50
7
Mata pencaharian penduduk Kecamatan Karimunjawa ............................... 51
8
Jumlah nelayan Kecamatan Karimunjawa ................................................... 51
9
Hasil tangkapan, harga dan nilai jual ikan nelayan Karimunjawa ............... 55
10
Index rata-rata gabungan hasil tangkapan, harga dan nilai jual ikan nelayan Karimunjawa ................................................................................................ 55
11
Hasil tangkapan rata-rata bulanan ikan teri (dalam kg) ............................... 60
12
Hasil tangkapan rata-rata bulanan ikan tongkol (dalam kg) ........................ 61
13
Hasil tangkapan rata-rata bulanan ikan tenggiri (dalam kg) ........................ 62
14
Hasil tangkapan rata-rata bulanan ikan ekor kuning (dalam kg) ................. 64
15
Musim penangkapan 4 (empat) komoditi utama nelayan Karimunjawa ..... 66
16
Jenis alat tangkap yang dioperasikan nelayan Karimunjawa ....................... 67
17
Jumlah nelayan dan armada tangkap............................................................ 67
18
Hasil optimasi alat tangkap .......................................................................... 71
19
Perbandingan jumlah alat tangkap ............................................................... 71
20
Hasil produksi rumput laut Karimunjawa 2004 – 2005 ............................... 73
xii
21
Analisis kebutuhan biaya produksi rumput laut ........................................... 74
22
Analisa kebutuhan alokasi areal budidaya rumput laut................................ 77
xiii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Ikan tongkol (Auxis thazard) .......................................................................... 9
2
Ikan tenggiri (Scomberomerus commersoni) ............................................... 11
3
Ikan teri (Stolephorus spp.) .......................................................................... 12
4
Ikan ekor kuning (Caesio spp.) .................................................................... 13
5
Bagian-bagian alat pancing tonda ................................................................ 15
6
Jaring insang dasar (bottom gillnet) ............................................................ 16
7
Metode tali tunggal budidaya rumput laut ................................................... 18
8
Kerangka pemikiran ..................................................................................... 24
9
Orientasi wilayah studi................................................................................. 33
10
Pola arus sepanjang tahun di perairan pulau Jawa bagian utara .................. 36
11
Zonasi Taman Nasional Karimunjawa ......................................................... 41
12
Bubu (kiri) dan armada pancing tonda (kanan) di Karimunjawa ................. 44
13
Demplot percontohan KJA kerapu di Karimunjawa .................................... 45
14
Budidaya rumput laut dengan metode rawai (long line method) yang terdapat di Karimunjawa. ............................................................................. 46
15
Survey kondisi fisik dan kimia perairan pulau Karimunjawa dan Kemujan 48
16
Tren hasil tangkapan tahunan empat komoditi utama.................................. 58
17
Index musim penangkapan teri .................................................................... 60
18
Index musim penangkapan tongkol ............................................................. 62
19
Index musim penangkapan tenggiri ............................................................. 63
20
Index musim penangkapan ekor kuning ...................................................... 64
21
Area operasi alat tangkap dan Zona Budidaya............................................. 68
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1
Data produksi perikanan Karimunjawa (melalui dermaga perintis dan dermaga rakyat)............................................................................................ 97
2
Status Report Perhitungan What’s Best 8.0 .............................................. 105
xv
1. PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Taman Nasional merupakan salah satu bentuk kawasan pelestarian alam
yang mempunyai ciri khas tertentu, baik di daratan maupun perairan. Taman nasional memiliki fungsi perlindungan, sistem penyangga kehidupan, pelestarian keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Sebagai kawasan perlindungan alam, taman nasional memiliki ekosistem asli yang dikelola dengan sistem zonasi serta mempunyai fungsi sebagai tempat penelitian, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Selain itu taman nasional juga mempunyai tujuan untuk menjaga keanekaragaman sumberdaya alam hayati maupun keberadaan sumberdaya non-hayati dan menunjang peningkatan kesejahteraan rakyat. Tujuan
lainnya
adalah
sebagai
sarana pelestarian lingkungan hidup untuk saat ini dan masa mendatang. Definisi-definisi tersebut di atas merupakan konsep ideal dari sebuah kawasan perlindungan alam atau taman nasional yang menggambarkan sebuah keseimbangan antara kelestarian dan pemanfaatan sumberdaya alam untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa saat ini dilaksanakan oleh Balai Taman
Nasional
Karimunjawa
(BTNKJ),
dibawah
Direktorat
Jenderal
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan. Berdasarkan PP No. 68 tahun 1998 Kawasan Taman Nasional Karimunjawa dikelola dengan sistem zonasi yang terbagi kedalam zona inti, zona perlindungan, zona pemanfaatan dan zona lainnya yang disesuaikan dengan kebutuhan pelestarian sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya berdasarkan kriteria yang ada. Tujuan utama dari sebuah rencana zonasi seyogyanya meliputi hal-hal berikut : (1) memberikan perlindungan terhadap habitat kritis atau penting, ekosistem serta proses-proses ekologis; (2) memisahkan kegiatan-kegiatan yang berpotensi konflik; (3) melindungi kualitas alami dan/atau budaya dari kawasan lindung dengan tetap mengakomodasi spektrum kegiatan pemanfaatan yang dapat dilakukan; (4) menyediakan lokasi-lokasi yang sesuai untuk kegiatan pemanfaatan
1
seraya meminimalisasi dampak merugikan yang dapat terjadi terhadap kawasan lindung; (5) mempertahankan beberapa area dalam kawasan lindung agar tetap dalam kondisi alaminya, tidak terganggu oleh aktivitas manusia kecuali kegiatan penelitian ilmiah atau pendidikan Namun dalam perjalanannya, pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa menghadapi berbagai kendala (pelanggaran terhadap aktifitas di zona inti, pemakaian alat tangkap muroami yang merusak ekosistem terumbu karang), akibat kurang dilibatkannya masyarakat setempat dalam penetapan zona-zona tersebut serta desakan kebutuhan ekonomi. Oleh karena itu pada tahun 2004 BTNKJ melakukan studi sebagai upaya revisi zonasi yang pada prosesnya melibatkan peran masyarakat setempat dalam penetapan zonasi. Dari hasil studi tersebut, maka kemudian ditetapkan zonasi yang baru melalui
SK
Dirjen
PHKA
No.
SK.79/IV/Set-3/2005
tentang
Revisi
Zonasi/Mintakat Taman Nasional Kepulauan Karimunjawa. Hasil revisi zonasi tersebut memperlihatkan perubahan yang signifikan dimana pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa tidak hanya menitikberatkan pada aspek perlindungan tetapi juga memperhatikan realitas masyarakat yang terkait dengan kawasan tersebut, dengan harapan upaya pelestarian berbasis masyarakat akan mengarah pada keberlanjutan dari upaya perlindungan itu sendiri. Aspek sosial melalui pelibatan masyarakat dalam penetapan zonasi sudah terpenuhi, namun hal ini perlu ditindaklanjuti dengan pengaturan didalam zonasi itu sendiri. Dua zona terkait dengan pemanfaatan langsung oleh nelayan adalah Zona Pemanfaatan Perikanan Tradisional dan Zona Budidaya. Saat ini hal yang telah disepakati adalah adanya larangan penggunaan alat tangkap muroami dan Purse Seine di Zona Pemanfaatan Perikanan Tradisional dan budidaya rumput laut serta kerapu di Zona Budidaya. Melalui penelitian ini penulis mencoba mengkaji beberapa kemungkinan aturan yang dapat diterapkan pada dua zona tersebut dengan mengoptimalkan kegiatan perikanan tangkap sesuai dengan kondisi pemanfaatan saat ini serta mengkaitkannya dengan alokasi budidaya rumput laut sebagai alternatif mata pencaharian nelayan untuk meningkatkan kesejahteraannya. .
2
1.2
Perumusan Masalah Dengan ditetapkannya zonasi yang baru, maka hal ini merupakan langkah
awal yang dilakukan oleh BTNKJ dalam upaya mengelola Taman Nasional secara lebih bijak demi tujuan utama yaitu pelestarian sumberdaya hayati dan ekosistem didalam kawasan dengan tanpa mengesampingkan kepentingan masyarakat setempat. Upaya selanjutnya yang akan dilakukan oleh BTNKJ adalah penyusunan rencana pengelolaan terhadap zona-zona yang telah ditetapkan. Hal ini diperlukan agar fungsi Taman Nasional dapat terus berkelanjutan dan memberikan manfaat terhadap masyarakat yang berada di kawasan tersebut. Agar aspek keberlanjutan ini dapat dicapai, maka salah satu strategi adalah memberikan peluang mata pencaharian alternatif kepada nelayan yang terkena dampak akibat penetapan zona-zona inti, dimana biasanya mereka melakukan aktivitas penangkapan ikan. Hal ini cukup beralasan, karena dengan adanya alternatif, bila terjadi pengurangan hasil tangkapan yang berarti berkurangnya pendapatan mereka, dapat ditanggulangi dari pendapatan di kegiatan lain. Dengan terjaganya kondisi pendapatan mereka, diharapkan secara psikologis dapat menghindari nelayan dari keinginan untuk melakukan aktifitas di zona inti. Oleh karena itu, dengan memperhatikan relevansi antara upaya yang tengah dilakukan saat ini oleh BTNKJ dengan rencana kegiatan penelitian yang akan dilakukan, maka perumusan masalah yang mendasari penulisan tesis ini adalah untuk mengoptimumkan pendapatan nelayan setempat dari kegiatan perikanan tangkap, serta berapa alokasi lahan perairan yang dibutuhkan agar nelayan mendapatkan penghasilan tambahan dari mata pencaharian alternatif yang diperbolehkan di Zona Budidaya. Ruang lingkup pengamatan yang akan dianalisis lebih lanjut untuk menghasilkan suatu skema pengelolaan perikanan meliputi hasil tangkapan, jenis alat tangkap, musim, jenis tangkapan, serta mata pencaharian alternatif dari sektor perikanan budidaya.
3
1.3
Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini adalah menentukan optimasi kegiatan perikanan
melalui : 1. Penentuan jenis ikan yang menjadi komoditi utama nelayan 2. Penentuan musim penangkapan ikan komoditi utama 3. Penentuan jumlah alat tangkap optimal 4. Penentuan alokasi luas optimal area budidaya rumput laut yang dibutuhkan sebagai kegiatan alternatif nelayan Manfaat dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyusunan strategi dan kebijakan pengelolaan Taman Nasional Karimun Jawa khususnya terhadap pengelolaan kegiatan di zona pemanfaatan perikanan tradisional dan Zona Budidaya.
4
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Taman Nasional Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai
ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi (pasal 1 butir 14 UU No. 5 Tahun 1990).
2.2
Unsur Paradigma Modern Daerah Perlindungan (IUCN, 2004)
Tujuan (Objectives) : Mencakup tujuan sosial, ekonomi, konservasi, rekreasi, restorasi dan rehabilitasi; seringkali ditujukan untuk alasan ilmiah, ekonomi dan budaya, dengan pendekatan yang lebih rasional dalam penetapan daerah perlindungan; pengelolaan ditujukan agar masyarakat setempat mendapatkan manfaat, dan tidak terkena dampak negatif akibat pariwisata; memperhatikan bahwa daerah yang sering disebut sebagai ”daerah alami/rimba” seringkali merupakan tempat-tempat yang penting secara budaya.
Pengaturan (Governance) : Dilaksanakan oleh banyak pihak, termasuk berbagai level institusi pemerintah, masyarakat lokal, kelompok pribumi, swasta, LSM dan pihak terkait lainnya
Keterkaitan Terhadap Masyarakat Lokal (Relationship to Local People) : Dilaksanakan bersama dengan, untuk dan oleh masyarakat lokal, tidak lagi sebagai pihak pasif dari kebijakan daerah perlindungan melainkan sebagai mitra aktif, atau bahkan sebagai inisiator dan dapat juga sebagai pelaku utama; dikelola untuk memenuhi kebutuhan masyarakat lokal, yang merupakan kebutuhan esensial dari suatu kebijakan daerah perlindungan baik secara ekonomi maupun budaya.
5
Konteks dan Persepsi (Context and Perceptions) : Dipandang sebagai aset masyarakat, sebagai bagian dari aset nasional; pengelolaan dipandu berdasarkan kewajiban dan tanggungjawab internasional serta kepentingan nasional dan kepentingan lokal, mengarah kepada sistem daerah perlindungan lintas wilayah dan internasional; direncanakan sebagai bagian dari sistem perencanaan nasional, regional dan internasional, dimana daerah perlindungan dikembangkan sebagai bagian dari kelompok daerah perlindungan.
Pengelolaan dan Pembiayaan (Management and Finance) : Pengelolaan dilakukan dalam perspektif jangka panjang, dimana pengelolaan merupakan proses pembelajaran; pemilihan, perencanaan dan pengelolaan dipandang sebagai kegiatan politis penting, yang memerlukan sensitifitas, konsultasi dan keputusan yang adil; dikelola oleh sumberdaya manusia dari berbagai bidang keahlian yang terkait; menghormati dan menerapkan pengetahuan masyarakat lokal; dibiayai melalui berbagai sumber pendanaan sebagai bagian atau menggantikan subsidi pemerintah
2.3
Zonasi/Pemintakatan (Zoning) Kelleher (1999) mengatakan bahwa rencana zonasi merupakan landasan
utama bagi rencana pengelolaan kawasan lindung. Zonasi merupakan alat yang ampuh untuk menetapkan aturan perlindungan melalui penetapan zona-zona yang merupakan bagian dari area yang lebih luas dengan berbagai pemanfaatan. Di kawasan dengan banyak pemanfaatan (multiple use area) perlu ditetapkan beberapa tujuan (objectives) yang mungkin tidak bisa secara seragam diterapkan untuk keseluruhan kawasan lindung. Tujuan utama dari sebuah rencana zonasi seyogyanya meliputi hal-hal berikut : (1) memberikan perlindungan terhadap habitat kritis atau penting, ekosistem serta proses-proses ekologis; (2) memisahkan kegiatan-kegiatan yang berpotensi konflik; (3) melindungi kualitas alami dan/atau budaya dari kawasan lindung dengan tetap mengakomodasi spektrum kegiatan pemanfaatan yang dapat dilakukan; (4) menyediakan lokasi-lokasi yang sesuai untuk kegiatan pemanfaatan
6
seraya meminimalisasi dampak merugikan yang dapat terjadi terhadap kawasan lindung; (5) mempertahankan beberapa area dalam kawasan lindung agar tetap dalam kondisi alaminya, tak terganggu oleh aktivitas manusia kecuali kegiatan penelitian ilmiah atau pendidikan.
2.4
Unsur Biaya Dalam Pengelolaan Kawasan Lindung Kelleher (1999) menyebutkan kesulitan dana merupakan kendala utama
untuk pembentukan dan pengelolaan suatu kawasan lindung. Di negara berkembang, pemerintah seyogyanya menyadari kewajiban untuk menyediakan dana yang memadai agar tujuan pembentukan kawasan lindung dapat tercapai. Namun di beberapa negara, anggaran pemerintah untuk konservasi cenderung mengalami penurunan seiring dengan penurunan ekonomi nasionalnya disertai meningkatnya jumlah penduduk yang membutuhkan sarana dan prasarana sekolah, rumah sakit serta hal-hal mendasar lainnya. Dengan demikian setiap tahun, pihak pengelola harus menciptakan sumber dana untuk memenuhi kebutuhan anggarannya. Selanjutnya Kelleher (1999) menjelaskan ada dua unsur biaya terkait dengan kawasan lindung yang perlu dipahami, yaitu kompensasi terhadap masyarakat lokal atau keuntungan yang didapat dengan ditetapkannya kawasan lindung; dan biaya pengelolaan kawasan lindung. Unsur biaya pertama dapat bernilai sangat besar, dalam hal ini termasuk kompensasi kepada nelayan yang kehilangan pendapatannya akibat ditutupnya area penangkapan (fishing ground) mereka. Namun jika kawasan lindung berhasil dalam menciptakan kegiatan pariwisata dan memulihkan stok ikan sebagai tujuan utama, maka biaya kompensasi tersebut tidak akan menjadi beban yang perlu dipertimbangkan oleh pengelola, kecuali mungkin dalam masa transisi. Peluang terciptanya hal ini akan lebih besar ketika masyarakatlah yang menginginkan dibentuknya kawasan lindung didaerahnya dan bersedia untuk menanggung sebagian biaya jangka pendek mereka. Namun hal ini baru dimungkinkan apabila keputusan penetapan serta penerapan aturannya datang dari masyarakat itu sendiri. Bila hal ini tidak terjadi, maka biaya kompensasi akan diperlukan.
7
2.5
Model Bioekonomi Model bioekonomi penangkapan ikan biasanya didasarkan pada model
biologi Schaefer (1954, 1957) dan model bioekonomi dari Gordon (1954). Clark (1985) kemudian menyebut persamaan tersebut sebagai model Gordon-Schaefer. Menurut Gordon (1954) asumsi dasar yang digunakan dalam model ini adalah permintaan ikan hasil tangkapan dan penawaran upaya penangkapan adalah elastis sempurna. Harga ikan (p) dan biaya marginal upaya penangkapan ikan masingmasing mencerminkan manfaat marginal dari ikan hasil tangkapan bagi masyarakat dan biaya sosial marginal upaya penangkapan. Berdasarkan asumsi tersebut, total penerimaan dari usaha penangkapan (TR) digambarkan dengan persamaan : TR = p. Y Sedangkan total biaya penangkapan (TC) digambarkan dengan persamaan : TC = c. f Penerimaan bersih (keuntungan) dari usaha penangkapan ikan (π) adalah : π = TR – TC = p.Y – c.f
2.6
Perikanan Skala Kecil Panayotou (1982) mengklasifikasikan perikanan di dunia ini menjadi dua
kelas, yaitu skala kecil atau perikanan tradisional dan perikanan skala besar atau perikanan industri. Dikemukakan pula bahwa sebenarnya tidak ada definisi yang standar atas perikanan skala kecil dan skala besar. Pengklasifikasian di beberapa negara sangat beragam, di Indonesia dan Philipina didasarkan atas ukuran kapal, di Thailand didasarkan atas tipe alat tangkap, di Hongkong berdasarkan atas jarak dari pantai dan di Malaysia merupakan kombinasi dari ketiganya. Namun demikian Panayotou (1982) mengemukakan bahwa pembandingan antara perikanan skala besar dan perikanan skala kecil dapat dilakukan dengan melihat teknologi yang digunakan, tingkat modal, tenaga kerja yang digunakan dan kepemilikan. Perikanan skala kecil biasanya rendah teknologi, labor-intensive dengan rendah modal dan biasanya pemilik adalah yang mengoperasikan kapal.
8
Sedangkan menurut definisi dalam undang-undang Perikanan No. 31 tahun 2004, perikanan skala kecil lebih digambarkan pada subyeknya melalui terminologi nelayan kecil yang didefinisikan sebagai ’orang yang melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari’.
2.7
Sumberdaya Ikan
2.7.1
Tongkol (Auxis thazard) Ikan tongkol merupakan famili dari Scombridae, mempunyai bentuk
cerutu dengan kulit licin. Sirip dadanya melengkung, ujungnya tirus dan pangkalnya lebar, sirip ekor cagak dengan kedua ujungnya yang panjang dan pangkalnya bulat kecil. Sebelah belakang sirip anal (pinna annalis) dan sirip punggung (pinna pectoralis) terdapat sirip tambahan yang kecil-kecil (Djuhanda, 1981 dalam Wiyono, 2001). Ciri-ciri yang dimiliki oleh tongkol adalah badan memanjang, kaku bulat seperti cerutu. Warna tubuh bagian atas hitam kebiruan dan bagian bawah putih perak. Terdapat dua sirip di bagian punggung, sirip punggung yang pertama berjari-jari keras 10 sedangkan yang kedua berjari-jari keras 11 dan terdapat 6-9 jari-jari tambahan yang letaknya di belakang sirip punggung yang kedua. Sirip dubur berjari-jari lemah 44, diikuti jari-jari sirip tambahan. Badannya tampak diselimuti sisik, kecuali pada bagian belakangnya. Ikan ini mempunyai daging yang kenyal dan gurih serta merupakan perikanan ekonomis penting (Kriswantoro dan Sunyoto, 1986).
Gambar 1. Ikan tongkol (Auxis thazard)
9
(Sumber : DKP, 2007) Panjang fork maksimum tongkol kira-kira 100 cm dan beratnya bisa mencapai 14,0 kg. Tongkol termasuk dalam golongan ikan epipelagik yang hidup dalam iklim tropis dengan kisaran temperatur lingkungan perairan antara 18-29 C, dan bisa ditemukan hingga kedalaman 200 m. Sebaran ikan tongkol terdapat pada perairan yang cukup hangat termasuk perairan pulau dan kepulauan dan termasuk spesies yang beruaya jauh. Dari sisi biologi, ikan tongkol banyak ditemui pada perairan terbuka namun tidak pernah terlalu jauh dari garis pantai. Ikan tongkol muda biasanya memasuki perairan pelabuhan dan teluk. Tongkol juga cenderung membentuk kumpulan multispesies dengan ukuran seragam bersama dengan spesies lain dari famili scombridae dengan jumlah 100 – 5000 individu. Ikan tongkol termasuk komoditi yang memiliki ketersediaan tinggi, dengan waktu minimum penggandaan populasi kurang dari 15 bulan (Collette, B.B. dan C.R. Aadland, 1996. (Fishbase Ref. 32349)).
2.7.2
Tenggiri (Scomberomerus commersoni) Ikan tenggiri merupakan famili dari Scombridae, mempunyai bentuk
badan bulat panjang seperti cerutu dan agak pipih. Mulut besar dan terletak di ujung moncong. Mulut dilengkapi dengan gigi-gigi yang kuat dan keras tertancap. Sirip punggung dengan 14-17 duri keras dan terdapat 8-10 sirip tambahan dibelakang sirip punggung dan sirip dubur. Terdapat garis-garis bengkok yang melintang tubuh. Garis sisi menurun pada akhir dari sirip punggung yang kedua. Termasuk ikan buas, karnivora, predator, makanannya ikan-ikan kecil (sardin, tembang, teri), cumi-cumi. Hidup soliter, namun ikan ini juga hidup dalam kumpulan kecil di perairan pantai dan lepas pantai. Warna punggung biru abu-abu dan perak kebiru-biruan di bagian sisi. Ban-ban warna gelap, menggelombang melintang badan. Sirip-siripnya berwarna biru keabuan. Ukuran panjang fork maksimum dapat mencapai 240 cm, sedangkan ukuran panjang normal yang biasa ditemui sekitar 60-90 cm.
10
Gambar 2. Ikan tenggiri (Scomberomerus commersoni) (Sumber : DKP, 2007) Ikan tenggiri merupakan ikan pelagis yang beruaya jauh, meski ada juga ditemukan yang tinggal secara permanen. Kondisi hidup ideal di kedalaman perairan antara 10-70 m. Ikan tenggiri tersebar dari tepi paparan benua hingga ke perairan dangkal di sekitar pesisir pada perairan dengan salinitas yang rendah dan turbiditas yang tinggi. Ikan tenggiri termasuk komoditi yang memiliki ketersediaan menengah, dengan waktu penggandaan populasi 1,4 – 4,4 tahun.
2.7.3
Teri (Stolephorus spp.) Ikan teri merupakan famili dari Clupeidae, memiliki bentuk badan
memanjang (fusiform), hampir silindris, atau termampat samping (compressed), perut bulat dengan 3-4 sisik duri seperti jarum yang terdapat diantara sirip dada dan perut. Adanya sisik abdominal yang berujung tajam (abdominal scute) pada lunas tubuhnya, mulutnya lebar dan moncong yang menonjol serta rahang yang dilengkapi dengan dua tulang tambahan (suplemental bones). Di samping tubuhnya terdapat selempang putih keperak-perakan memanjang dari kepala sampai ekor. Sisiknya kecil dan tipis serta sangat mudah lepas. Sirip dorsal umumnya tanpa duri pradorsal, sebagian atau seluruhnya di belakang anus, pendek dengan jari-jari lemah sekitar 16 - 23 buah. Sirip ekor bertipe cagak dan
11
dan tidak bergabung dengan sirip anal serta duri abdominal hanya terdapat antara sirip pectoral dan ventral berjumlah tidak lebih dari 7 buah. Hidup di perairan pantai, membentuk gerombolan besar dan bersifat pemakan plankton. Umumnya tidak berwarna atau agak kemerah-merahan. Ukuran : Umumnya ukuran tubuhnya kecil antara 6 - 9 cm, tetapi ada juga yang dapat mencapai 17,5 cm (Hutomo dkk., 1987) atau 12-15 cm.
Gambar 3. Ikan teri (Stolephorus spp.) (Sumber : DKP, 2007) Ikan ini bisa ditemukan di hampir seluruh perairan Indonesia, merupakan ikan pelagis dan hidup di kedalaman hingga 50 m. Kumpulan ikan teri sering terlihat di sekitar perairan pesisir memasuki daerah perairan payau/sekitar muara sungai. Ikan teri merupakan komoditi yang memiliki ketersediaan tinggi dengan waktu penggandaan populasi kurang dari 15 bulan.
2.7.4
Ekor Kuning (Caesio spp.) Ikan ekor kuning merupakan famili dari Caesionidae. Berbentuk relatif
bulat, badan bagian atas berwarna putih kekuningan atau abu kebiruan, sedangkan bagian sisi dan perut berwarna putih atau agak merah muda. Sirip punggung, anal dan pelvic berwarna putih hingga merah muda. Sirip ekor berukuran cukup besar berwarna kuning.
12
Terdapat dua sirip di bagian punggung, sirip pertama berjari-jari keras 10 dan sirip kedua berjari-jari lunak 14-16. Sirip dubur berjari-jari keras 3 dan berjari-jari lunak 10-12. Panjang total maksimum ekor kuning mencapai 60 cm, merupakan jenis ikan karang, tidak beruaya dan dapat ditemukan hingga kedalaman 60 m dan hidup di iklim tropis.
Gambar 4. Ikan ekor kuning (Caesio spp.) (Sumber : DKP, 2007) Secara biologi, ikan ekor kuning mendiami area pesisir di sekitar bebatuan atau terumbu karang, membentuk kumpulan di tengah kedalaman perairan dan memangsa zooplankton sebagai makanannya. Praktek penangkapan yang biasa dilakukan di Indonesia adalah dengan menggunakan jaring giring (drive-in net), bubu dan jaring insang.
2.8
Alat Tangkap
2.8.1
Pancing Tonda Pancing tonda adalah pancing yang diberi tali panjang dan ditarik oleh
perahu atau kapal. Pancing diberi umpan ikan segar atau umpan palsu yang karena pengaruh tarikan bergerak di dalam air sehingga merangsang ikan buas menyambarnya. Pada prinsipnya pancing yang digunakan terdiri dari tali panjang, mata pancing
tanpa
pemberat.
Pancing
ini
umumnya
menggunakan
umpan
tiruan/umpan palsu. Umpan tiruan tersebut bisa dari bulu ayam, kain-kain
13
berwarna menarik atau bahan dari plastik berbentuk miniatur menyerupai aslinya (misalnya cumi-cumi, ikan dan lain-lain). Konstruksi utama pancing tonda terdiri dari gulungan senar, tali pancing, swivel, pemberat atau tanpa pemberat dan mata pancing, seperti terlihat pada Gambar 5. Kapal yang digunakan berskala kecil atau tradisional yang sering digunakan adalah jenis jukung, dengan ukuran rata-rata panjang 7,3 m, dalam 0,55 m dan lebar 0,35 m, dan rata-rata kapal bertonage 1 – 5 GT. Bahan untuk perahu ini biasanya dari kayu meranti. Jenis mesin yang digunakan adalah motor tempel dengan kekuatan rata-rata 15 PK, dan jumlah tenaga kerja biasanya 1 – 2 orang saja. Kapal tonda berangkat pada pagi hari untuk berburu gerombolan ikan yang mencari makan dipermukaan. Bila gerombolan terlihat, tonda segera diturunkan dan kecepatan kapal dikurangi. Ujung dari pancing tonda diikatkan pada outrigger dan sebuah bantalan karet terikat pada pancing utama tepat berjarak satu meter dari outrigger dimana pancing terikat. Selanjutnya kapal berlalu melewati gerombolan ikan tersebut, hingga dimangsa oleh ikan, dan secara perlahan kapal diperlambat untuk menarik tonda dengan hasil pancingan. Penondaan dilakukan dengan mengulur tali lebih kurang dua pertiga dari seluruh panjang tali pancing yang disediakan.
14
2
3
4
7
1
5
6
9
8
Keterangan: 1. Joran 3. Swivel 5. Papan penyelam - submarine board 7. Tali penarik tali pancing utama 8. Kursi tempat menarik hasil tangkapan
2. Tali elastis 4. Tali pancing utama 6. Mata pancing dan umpan
Gambar 5. Bagian-bagian alat pancing tonda (sumber : Martasuganda, 2005)
2.8.2
Jaring Insang Jaring insang dasar merupakan alat penangkap ikan berbentuk lembaran
jaring empat persegi panjang yang mempunyai ukuran mata jaring merata. Lembaran jaring dilengkapi dengan sejumlah pelampung yang dipasang pada bagian atas dan atau tanpa sejumlah pemberat yang dipasang pada bagian bawah jaring. Pengoperasian jaring insang dilakukan dengan cara hanyut di dasar perairan, tegak lurus di dalam perairan dan menghadang arah gerakan ikan. Ikan sasaran tertangkap pada jaring insang dengan cara terjerat insangnya pada mata jaring atau dengan cara terpuntal badannya pada tubuh jaring.
15
Gambar 6. Jaring insang dasar (bottom gillnet) Sumber : Martasuganda, 2005 Pada umumnya, yang disebut dengan gill net ialah jaring yang berbentuk persegi panjang, mempunyai mata jaring yang sama ukurannya pada seluruh jaring, lebar lebih pendek jika dibandingkan dengan panjangnya. Dengan kata lain, jumlah mesh depth lebih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah mesh size pada arah panjang jaring. Berdasarkan cara operasi ataupun kedudukan jaring dalam perairan , maka dapat dibedakan antara lain ; (1) Surface gill net (2) Bottom gill net (3) Drift gill net dan (4) Encircling gill net atau surrounding gill net.
2.8.3
Bubu Bubu merupakan alat tangkap dengan cara memerangkap ikan dengan atau
tanpa bantuan umpan dan ikan masuk ke dalam perangkap secara sukarela dan tidak dapat meloloskan diri. Alat ini dirancang sedemikian rupa sehingga pintu masuk merupakan “pintu satu arah”, sehingga ikan bisa masuk tapi tidak mungkin keluar. Bubu bisa dibuat dari berbagai material seperti kayu, bambu, kawat besi. Pengoperasian bubu dilakukan secara berkala beberapa hari di lokasi yang sama dan kemudian berpindah tempat selama beberapa hari dan seterusnya. Nelayan secara berkala pula, setiap hari mengangkat bubu untuk mengambil ikan dan mengganti umpan.
16
Bubu bisa dioperasikan hampir disemua jangkauan kedalaman perairan, baik di perairan pedalaman, estuaria atau di perairan pantai, hingga di perairan dengan kedalaman beberapa ratus meter untuk tipe-tipe tertentu.
2.9
Budidaya Rumput Laut Peluang pasar rumput laut sangat besar dan terus membesar seiring dengan
bertambahnya pemanfaatan komoditas ini sebagai bahan baku berbagai industri. Sebagai gambaran, permintaan dunia akan Euchema spp. sudah mencapai 559,8 juta ton, sedangkan kemampuan Indonesia memproduksi dan mengekspor komoditas ini pada tahun 2003 hanya sebanyak 40.162 ton (kering) atau hanya 0,007% saja dari permintaan pasar dunia (DKP, 2004). Untuk mendorong tumbuhnya industri rumput laut di Indonesia, maka perlu diperhatikan beberapa aspek yaitu teknis produksi, persyaratan lokasi serta aspek sosial ekonomi dan budaya.
2.9.1
Teknis Produksi 10 (sepuluh) aspek-aspek produksi yang penting dalam budidaya rumput
laut meliputi : pemilihan lokasi, uji penanaman, penyiapan areal budidaya, pemilihan metode budidaya, penyediaan bibit, penanaman bibit, perawatan selama pemeliharaan, pemanenan, pengeringan hasil panen dan mutu. Pemilihan lokasi perairan laut yang cocok untuk budidaya rumput laut sebaiknya memenuhi persyaratan bioteknis yang mencakup parameter : (1) aksesibilitas dan keterlindungan; (2) iklim (angin dan musim); (3) hidrooseanografi (jenis substrat dasar laut, arus, gelombang pasut, kedalaman); (4) ekosistem (secara alami ditumbuhi rumput laut dan lamun); (5) kualitas air (salinitas, suhu, pencemar, BOD, amoniak, nitrit, fosfat). Pemilihan metode budidaya selain memperhatikan perairan, juga harus memperhitungkan persediaan material yang akan digunakan dalam pembuatan konstruksi seperti jaring, bambu dan tali. Ada 3 macam metode yang dapat digunakan dalam membudidayakan rumput laut di lapangan (field culture) berdasarkan posisi tanaman terhadap dasar perairan, yaitu Metode Dasar, Metode Lepas Dasar dan Metode Apung. Metode tali tunggal apung/tali rawai (Floating-
17
Monoline Method) merupakan metode yang umum digunakan oleh nelayan Karimunjawa. Secara teoritis teknis pemasangan metode tali tunggal apung dapat dilihat pada Gambar 7.
2.9.2
Persyaratan Lokasi Selain aspek bioteknis seperti diatas, pada lokasi tersebut, pemanfaatannya
tidak boleh melampaui daya dukung perairan. Persyaratan lain adalah adanya penetapan secara hukum lokasi budidaya laut suatu daerah yang dinyatakan sebagai kawasan budidaya dalam rencana umum tata ruang, tentunya setelah melalui kajian kesesuaian lokasi dan daya dukung lingkungan. Pada kawasan Taman Nasional Karimunjawa, lokasi budidaya untuk rumput laut dinyatakan sebagai kawasan pemanfaatan budidaya.
Gambar 7. Metode tali tunggal budidaya rumput laut Selain aspek legal formal yaitu dituangkannya kawasan budidaya rumput laut dalam rencana tata ruang atau rencana zonasi, kearifan lokal juga diperlukan sebagai salah satu persyaratan lokasi. Nelayan (pembudidaya rumput laut) umumnya mengindahkan aturan yang berlaku secara lokal (adat istiadat atau hukum adat) ketika akan membuka usaha budidaya rumput laut, misalnya adanya pengakuan kepemilikan kepada pembudidaya yang pertama kali membuka usaha di areal laut tertentu.
18
2.9.3
Sosial, Ekonomi dan Budaya Aspek sosial ditekankan pada faktor keamanan menyangkut kelangsungan
usaha, yang sebaiknya ditempuh melalui pola pengamanan terpadu, dimana masyarakat diikutsertakan dalam segmen-segmen usaha seperti pembibitan, pemeliharaan atau kegiatan lain yang mendukung usaha tersebut, misalnya kemitraan pembudidaya dengan perusahaan/ swasta di wilayah tersebut. Ditinjau dari aspek ekonomi, kawasan budidaya rumput laut harus merupakan kawasan yang terintegrasi antara peruntukan untuk skala ekonomi lemah dengan mengutamakan masyarakat setempat dengan skala ekonomi menengah dan besar. Ditinjau dari aspek budaya, kegiatan budidaya akan merubah kebiasaan nelayan menjadi rajin, tekun serta lebih kreatif. Dengan demikian pembudidaya dapat mengharapkan penghasilan secara rutin dari usaha ini. (Sumber : DKP, 2004)
2.10 Teknik Optimasi Kadarsan (1984) menyatakan bahwa untuk mendapatkan hasil yang memuaskan, suatu usaha perikanan laut harus memiliki faktor produksi yang cukup dan kombinasi yang tepat. Keterbatasan sumberdaya menyebabkan diperlukannya pengaturan atau alokasi sumberdaya agar dapat mencapai keseluruhan atau sebagian tujuan yang diinginkan. Teknik optimasi sering digunakan dalam mengatasi masalah keterbatasan sumberdaya tersebut. Optimasi menurut Beveridge dan Schicter (1970) adalah kemampuan proses untuk mendapatkan gugus kondisi yang diperlukan dalam mencapai hasil terbaik dari situasi yang tertentu. Persoalan optimasi dapat berbentuk maksimalisasi atau minimalisasi. Apabila fungsi kendala ada, dapat berbentuk pertidaksamaan atau persamaan.
2.11
Linear Programming Linear programming merupakan suatu model umum yang dapat digunakan
dalam pemecahan masalah pengalokasian sumber-sumber yang terbatas secara
19
optimal. Pada dasarnya persoalan optimasi adalah suatu persoalan untuk membuat nilai suatu fungsi beberapa variabel menjadi maksimum atau minimum dengan memperhatikan pembatasan-pembatasan yang ada. Biasanya pembatasanpembatasan tersebut meliputi tenaga kerja, uang, material yang merupakan input serta waktu dan ruang. Persoalan programming berkenaan dengan penentuan alokasi yang optimal daripada sumber-sumber yang langka untuk memenuhi suatu tujuan. Persoalan linear programming adalah suatu persoalan untuk besarnya masing-masing nilai variabel sedemikian rupa sehingga nilai fungsi tujuan (objective function) yang linier menjadi optimum (maksimum atau minimum) dengan memperhatikan batasan-batasan yang ada (Supranto, 1988).
2.12
Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat Pesisir Kondisi sosial ekonomi masyarakat pesisir antara satu kelompok nelayan
dengan kelompok nelayan lainnya umumnya sama, tetapi secara prinsipil mungkin ada perbedaan dengan kelompok nelayan pada daerah yang berbeda. Kondisi sosial budaya dan ekonomi masyarakat pesisir di Indonesia berdasarkan hasil penelitian Norimarna (1996), memiliki mobilitas sosial yang tinggi, haus gengsi pribadi dan kelompok, persaingan berdasarkan keahlian dan modal, ketaatan pada peraturan tergantung untung dan rugi pribadi serta suka meniru tapi tidak memberi penghargaan kepada orang yang punya gagasan semula. Selanjutnya Raharjo (1996) mengemukakan bahwa masyarakat pesisir terutama nelayan umumnya memiliki sosial ekonomi terbelakang. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa indikator, misalnya pendapatan yang relatif rendah, kelembagaan sosial budaya dan ekonomi hampir tidak ada yang mau bekerjasama dengan mereka, di wilayah pesisir infrastruktur lemah (baik sosial, fisik, ekonomi), tingkat pendidikan dan kesehatan rendah, dan lain-lain. Sifat dan karakteristik masyarakat pesisir sangat dipengaruhi oleh jenis kegiatan mereka. Menurut Fahrudin (1997) bahwa masyarakat pesisir berbeda dengan masyarakat lainnya. Perbedaan tersebut terletak pada karakteristik aktivitas ekonomi masyarakat pesisir dan latar belakang budaya mereka.
20
Masyarakat pesisir merupakan kumpulan satu kesatuan sistem sosial yang anggota-anggotanya tergantung pada kelimpahan sumberdaya pesisir dan lautan (Adiwibowo, 1995). Masyarakat pesisir mempunyai nilai budaya yang berorientasi hidup selaras dengan alam, sehingga teknologi yang digunakan dalam pemanfaatan sumberdaya adalah adaptif dengan kondisi ekologi wilayah pesisir (Damanhuri dan Adrianto, 1995). Sifat dan karakteristik nelayan berbeda dengan pedagang. Nelayan mempunyai dinamika kehidupan yang dipengaruhi oleh lingkungan, musim dan pasar sehingga kehidupannya pun tidak menentu. Berbeda dengan pedagang misalnya bakul, yang tidak terpengaruh banyak oleh alam dan lingkungan. Mereka dapat berusaha untuk sektor lain jika ikan paceklik karena mereka punya modal untuk usaha lainnya. Digambarkan oleh Prasojo (1993) bahwa pada musim baik, yaitu saat cuaca dan gelombang bersahabat, nelayan sangat sibuk melaut dan menangkap ikan bahkan hasil tangkapannya berlebih. Sebaliknya pada musim paceklik kegiatan melaut berkurang bahkan berhenti sama sekali dan mereka banyak menganggur karena tidak ada pekerjaan alternatif. Untuk itu kehidupan sosial budaya dan ekonomi masyarakat pesisir di perairan Indonesia dibagi atas 3 musim oleh Nontji (1987) yaitu: (a) Musim Timur (Juni – September) (b) Musim Barat (Desember – Maret) dan (c) Musim pancaroba I (April – Mei) dan Musim Pancaroba II (Oktober – November). Pendapatan
masyarakat
pesisir
terutama
nelayan
ditentukan
oleh
produktivitas alat tangkap, ketrampilan yang dimiliki, dan keuletan mereka serta sistem bagi hasil yang disepakati dengan juragan atau bakul (Syafrin, 1993). Hal ini diperkuat oleh Carner (1984) bahwa pendapatan nelayan tergantung pada kepemilikan alat tangkap, perahu dan alat tangkapnya.
2.13
Estimasi MSY pada stok yang telah dieksploitasi berdasarkan data empiris (Sparre dan Venema, 1999) Untuk memperkirakan MSY pada stok yang telah dieksploitasi untuk
beberapa lama, nampaknya data runtun waktu dari hasil tangkapan akan tersedia, dimana data tersebut dapat diuji. Walaupun tidak tersedia secara rinci data upaya penangkapan, indikasi adanya peningkatan yang berkelanjutan pada sutau periode
21
waktu dan hasil tangkapan total telah stabil untuk beberapa waktu, maka ini berarti bahwa MSY telah dicapai paling tidak pada struktur eksploitasi saat ini. Sementara itu bila hasil tangkapan telah menurun dari tingkatan yang tinggi sebelumnya dapat berarti bahwa stok telah mengalami penangkapan yang berlebih dan rata-rata hasil tangkapan tertinggi berdasarkan pengalaman yang lalu dapat menyediakan suatu perkiraan yang bebas terhadap MSY. Dalam menginterpretasikan hasil tangkapan berdasarkan runtun waktu seperti disarankan diatas, dibuat satu asumsi bahwa variasi hasil tangkapan disebabkan perubahan upaya penangkapan dan bukan oleh perubahan lingkungan maupun sosial ekonomi.
22
3. METODOLOGI 3.1
Metode Penelitian Pada penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode deskriptif
dengan studi kasus. Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu obyek, kondisi, sistem pemikiran ataupun suatu peristiwa pada masa sekarang dengan tujuan untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki (Nazir, 1999). Sedangkan studi kasus, menurut Maxfield adalah penelitian tentang status subyek penelitian yang berkenaan dengan suatu spesifik atau khas dari keseluruhan personalitas. 3.2
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Karimunjawa, Kabupaten
Jepara, Jawa Tengah. Pemilihan lokasi penelitian ini dilakukan secara sengaja dengan mempertimbangkan : 1.
Merupakan Taman Nasional yang mencakup wilayah perairan laut dan mulai tahun 2005 diberlakukan sistem zonasi yang baru, yang dalam pengaturan zonanya antara lain memuat zona pemanfaatan perikanan tradisional dan zona budidaya.
2.
Mayoritas penduduknya adalah nelayan dengan tingkat kesejahteraan yang rendah. Waktu penelitian dilaksanakan pada awal bulan Maret 2005 (observasi),
bulan Juni-Juli 2006 (pengumpulan data, survei dan wawancara) serta bulan JuliNovember 2007 untuk menganalisis berbagai data yang diperoleh.
3.3
Kerangka Pemikiran Seperti telah disebutkan pada bab pendahuluan, bahwa saat ini telah
dilakukan revisi zonasi sebagai langkah awal penataan kembali pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa. Revisi zonasi disebut sebagai langkah awal, karena hanya dengan zonasi saja tentunya tidak mencukupi untuk dapat menjamin keberlanjutan dari Taman Nasional. Keberlanjutan Taman Nasional untuk
23
menjalankan fungsinya memerlukan rencana pengelolaan yang lebih menyeluruh, meliputi berbagai strategi pendukung yang dapat menjamin bahwa Taman Nasional dapat terus terjaga fungsinya, namun disisi lain masyarakat di sekitar kawasan dapat turut menikmati hasilnya serta timbul kesadarannya untuk turut melindungi serta melestarikan Taman Nasional. Sebagai gambaran, kerangka pemikiran yang mendasari penelitian ini disajikan dalam Gambar 8. Taman Nasional Karimunjawa (TNKJ)
Lembaga Pengelola
Masyarakat partisipasi
Rencana Pengelolaan
Aktivitas nelayan di kawasan TNKJ
Zonasi TNKJ
Strategi Mendukung Keberlanjutan TNKJ
Fokus Penelitian
Penentuan Jenis Ikan Tangkapan Utama
Pengaturan Musim Tangkap
Optimasi Kegiatan Nelayan
Optimasi Jumlah Alat Tangkap
Optimasi Area Budidaya Rumput Laut
Gambar 8. Kerangka pemikiran
24
Dari kerangka pemikiran di atas, dapat dijelaskan bahwa Taman Nasional Karimunjawa dikelola oleh suatu lembaga pengelola yang dalam hal ini adalah Balai Taman Nasional Karimunjawa (BTNKJ), dan diwajibkan memiliki suatu rencana pengelolaan yang diantaranya adalah Rencana Zonasi. Disisi lain, dalam kawasan Taman Nasional Karimunjawa terdapat masyarakat yang telah menghuni kawasan tersebut serta melakukan berbagai aktivitas, dimana mayoritas adalah berprofesi sebagai nelayan. Meskipun masyarakat telah dilibatkan dalam penyusunan rencana zonasi namun dalam implementasinya menghadapi berbagai permasalahan, antara lain : biaya (terutama untuk pengawasan), tekanan aktifitas manusia yang sulit dikontrol seiring dengan tumbuhnya perekonomian kawasan, serta potensi pelanggaran terhadap zona inti karena kemampuan nelayan lokal yang hanya mampu beroperasi di dalam perairan Taman Nasional dan adanya desakan kebutuhan ekonomi yang harus dipenuhi. Permasalahan kebutuhan ekonomi nelayan lokal merupakan permasalahan inti, karena nelayan yang merupakan mayoritas penduduk Karimunjawa merupakan subyek penentu dalam keberhasilan pengelolaan Taman Nasional. Agar implementasi pengelolaan dapat berjalan dengan efektif, maka diperlukan strategi untuk meminimalisir permasalahan yang terjadi agar keberlanjutan fungsi Taman Nasional dapat terus terjaga. Salah satu strategi yang dapat diambil adalah dengan meningkatkan tingkat kesejahteraan nelayan lokal melalui pengembangan mata pencaharian alternatif bagi nelayan. Kegiatan perikanan tangkap sifatnya tidak menentu dan nelayan terbatas dalam kemampuan serta teknologi. Kemungkinan bagi nelayan untuk menangkap ikan ke luar perairan pulau bukanlah pilihan yang tepat mengingat Kepulauan Karimunjawa terletak di perairan Laut Jawa yang diklaim telah mengalami overfishing khususnya untuk jenis ikan pelagis. Maka untuk menghindari terus menurunnya hasil tangkapan ini diperlukan optimasi terhadap kegiatan perikanan tangkap. Konsekwensi dari hal ini diharapkan dapat meningkatkan jumlah tangkapan per unit, namun disisi lain ada sejumlah nelayan yang terpaksa mengalihkan kegiatannya ke aktifitas yang lain, yaitu budidaya rumput laut atau
25
keramba jaring apung, sebagai alternatif yang dipilih oleh nelayan bagi aturan pengelolaan di zona budidaya. Dengan mempertimbangkan konsekwensi tersebut maka diperlukan optimasi tidak hanya terhadap kegiatan perikanan tangkap tapi juga optimasi terhadap kegiatan budidaya rumput laut, karena apabila tidak diatur alokasi luas area bagi nelayan, maka kegiatan budidaya rumput laut inipun akan menimbulkan tekanan yang sama besarnya terhadap zona-zona yang dilindungi.
3.4
Metode Pengumpulan Data Data terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer didapat
melalui wawancara. Adapun beberapa data yang dibutuhkan untuk penyusunan tesis ini antara lain : Tabel 1. Jenis Data
Kebutuhan data
Kebutuhan Data
Sumber Data
Kegunaan
Kebiasaan penangkapan ikan untuk berbagai jenis alat Data Primer
tangkap
dan
budidaya
Nelayan
Analisa ekonomi, Analisa optimasi
rumput laut Kualitas perairan (suhu, pH,
Verifikasi kesesuaian
salinitas, kejernihan) sekitar
lahan perairan untuk
Kepulauan Karimunjawa
budidaya rumput laut Analisia jenis ikan
Data Produksi Ikan (1999-
Dinas KP
2006)
Kab/Prov
Data
Data Kependudukan,
Kantor
Analisa Ekonomi,
Sekunder
Perekonomian Lokal
Kecamatan
Analisa optimasi
Bappeda
Gambaran umum,
Kab, WCS,
Pemetaan area
BTNKJ
perikanan tangkap
Data Perwilayahan dan pengelolaan kawasan
dan musim tangkap, Analisa optimasi
26
Pengumpulan data primer dilaksanakan dengan pendekatan diskusi dan tanya jawab dengan stake holder terkait kemudian menyelipkan pertanyaanpertanyaan seputar pelaksanaan dan tahapan kegiatan yang dilaksanakan. Apabila ada jawaban yang dirasa janggal dan tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan maka dilakukan cross check silang dengan stake holder lainnya maupun hasil pekerjaan lapangan. Data kualitas perairan dilakukan dengan melakukan pencatatan langsung di beberapa titik sampel di perairan Zona Budidaya sekitar Pulau Karimun dan Pulau Kemujan. Pengumpulan data sekunder dilaksanakan dengan mendatangi instansiinstansi terkait antara lain Departemen Kelautan dan Perikanan, Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Jepara, Bappeda Kabupaten Jepara, Balai Taman Nasional Karimun Jawa, Kantor Kecamatan Karimun Jawa, LSM terkait (WCS) serta kompilasi data dari hasil-hasil kajian/penelitian terdahulu.
3.5 3.5.1
Metode Analisis Data Analisis Tren Analisis tren dilakukan untuk melihat kecenderungan yang terjadi terhadap
hasil produksi perikanan tangkap yang dilakukan oleh nelayan Karimunjawa selama periode 1999 – 2006 sesuai dengan data yang tersedia. Interpretasi terhadap hasil produksi perikanan tangkap dibedakan menjadi tiga keadaan yaitu : (1) menurun, berarti hasil produksi telah melampaui kondisi optimal sebelumnya, dan (2) menaik, menunjukkan adanya kemungkinan untuk dieksploitasi pada tingkat eksploitasi maksimum yang pernah dicapai pada kurun waktu yang diamati.
3.5.2
Analisa Jenis Ikan Komoditi Utama Penentuan jenis ikan yang menjadi komoditi utama nelayan Karimunjawa
didapatkan dari analisis terhadap jumlah tangkapan dan nilai ekonomi dari hasil tangkapan berbagai jenis ikan selama 7 tahun (1999-2006). Jenis ikan tertentu dikelompokkan sebagai komoditi utama dengan memberikan peringkat pada jenis ikan tangkapan dan berurutan adalah komoditas utama apabila jumlah tangkapan dan nilai ekonominya secara agregat lebih dari
27
80% hasil total tangkapan serta memberikan perbedaan yang signifikan terhadap hasil tangkapan jenis ikan lainnya.
3.5.3
Analisa Musim Penangkapan Ikan Untuk menganalisis musim ikan ditentukan berdasarkan produksi rata-rata
per bulan setiap tahun ( X .j) dibandingkan dengan produksi rata-rata bulanan dalam periode tertentu ( X ) sebagaimana yang dikemukakan oleh Uktolseja (1993) sebagai berikut : t
X .j =
∑
Xij
1
dimana : X .j = rata-rata hasil tangkapan bulan ke-j selama periode t tahun Xij = hasil tangkapan bulanan pada bulan ke-j tahun ke-i t = tahun (i = 1, 2,... n) j = bulan (j = 1, 2, ... m = 12) Musim penangkapan ikan dapat diketahui dengan membandingkan nilai X .j dengan rata-rata hasil tangkapan bulanan total ( X ), dimana apabila X .j > X berarti musim ikan dan sebaliknya jika X .j < X berarti tidak musim ikan. Sedangkan nilai X dapat ditentukan sebagai berikut : n
X=
∑
Xij
1
dimana : n = jumlah bulan Data yang digunakan dalam analisis adalah data hasil tangkapan yang terjadi selama 7 tahun (1999-2006) di Kecamatan Karimunjawa.
3.5.4
Analisis Optimasi Alat Tangkap Karena model regresi yang akan digunakan dalam penelitian ini bersifat
linier dan dengan kondisi batasan (kendala) yang tidak boleh dilampaui maka model optimasi yang dipilih adalah model optimasi berkendala. Dalam penelitian ini optimasi dihitung dengan menggunakan bantuan software What’s Best 8.0
28
(under Windows) yang merupakan pengembangan dari Lindo konvensional (under DOS). Ada tiga tahapan yang harus ditentukan agar program ini dapat menghitung optimasi, yaitu :
3.5.4.1
1.
Menentukan tujuan
2.
Menentukan variabel (nilai-nilai yang dapat berubah)
3.
Menentukan batasan
Menentukan tujuan Tujuan yang ingin dicapai dari optimasi ini adalah memaksimumkan nilai
produksi dari total hasil tahunan perikanan tangkap. Nilai produksi = p * q Dimana : p
= harga komoditi per kg
q
= total produksi (kg)
Karena yang akan dihitung adalah produksi dari beberapa komoditi maka nilai ekonomi merupakan total dari nilai seluruh komoditi tersebut, sehingga persamaan diatas dapat dituliskan sebagai berikut : Nilai produksi =
∑
n
i =1
pn qn
Dengan demikian tujuan dari optimasi bisa dituliskan sebagai berikut : Max
∑
n
i =1
pn qn
Sedangkan total produksi (q) untuk masing-masing komoditi adalah :
qi = ri * si * ti dimana :
ri = jumlah alat tangkap komoditi i si = produksi/trip (kg) komoditi i ti
= jumlah trip/thn komoditi i
3.5.4.2 Menentukan nilai-nilai variabel Nilai-nilai variabel atau nilai-nilai peubah dalam persoalan ini adalah jumlah jenis alat tangkap untuk masing-masing komoditi, yaitu bagan perahu
29
(teri), pancing tonda (tongkol dan tenggiri), Jaring insang dan bubu (ekor kuning), yang dalam persamaan diatas dituliskan dalam variabel ri. Dari hasil perhitungan optimasi kita akan bandingkan dengan jumlah alat tangkap yang saat ini beroperasi, apakah berlebih atau perlu penambahan.
3.5.4.3 Menentukan nilai-nilai pembatas Nilai pembatas/kendala yang akan dimasukkan dalam optimasi ini adalah nilai batas jumlah tangkapan yang dalam hal ini adalah estimasi hasil tangkapan untuk jenis ikan komoditi utama seperti yang disarankan Sparre Venema berdasarkan hasil analisis tren, sedangkan fungsi kendala adalah jumlah alat tangkap yang tersedia.
3.5.5
Analisis Usaha Budidaya Rumput Laut Analisis usaha dilakukan terhadap budidaya rumput laut untuk menghitung
berapa manfaat ekonomi yang dihasilkan oleh pembudidaya apabila usaha ini dilakukan sebagai kegiatan alternatif. Analisis usaha budidaya rumput laut ini akan mencakup analisis biaya produksi, analisis pendapatan serta analisis nilai R/C. Berdasarkan analisis usaha tersebut, kemudian akan dihitung alokasi kebutuhan area perairan untuk usaha budidaya rumput laut berdasarkan hasil optimasi alat tangkap dan jumlah pendapatan yang dibutuhkan nelayan. Selanjutnya hasil tersebut dibandingkan dengan area yang telah ditentukan saat ini di Zona Budidaya.
3.5.6
Analisis Optimasi Area Budidaya Rumput Laut Analisis optimasi area budidaya rumput laut dilakukan untuk menghitung
alokasi area budidaya rumput laut yang dibutuhkan oleh nelayan Karimunjawa. Optimasi dihitung dengan menggunakan cara yang sama pada analisa optimasi alat tangkap dengan bantuan program What’s Best 8.0. Tujuan dari optimasi adalah untuk meminimalkan penambahan area budidaya yang sudah ditentukan saat ini di Zona Budidaya sebesar 788,213 ha
30
yang tersebar di Pulau Karimunjawa, Pulau Kemujan, Pulau Parang dan Pulau Nyamuk. Faktor pembatas atau kendala adalah jumlah penghasilan minimal nelayan per bulan. Nilai peubah atau variabel yang akan dioptimasi adalah alokasi jumlah unit budidaya untuk tiap nelayan pada setiap kegiatan perikanan tangkap yang berbeda.
3.6
Batasan dan Pengukuran Beberapa batasan dan pengukuran dalam penelitian ini adalah :
1.
Lingkup wilayah adalah wilayah pengelolaan Taman Nasional sesuai dengan SK Dirjen PHKA No. SK.79/IV/Set-3/2005.
2.
Kelompok masyarakat yang menjadi sasaran penelitian adalah masyarakat nelayan yang bermukim di wilayah lokasi studi, yaitu Pulau Karimunjawa, Pulau Parang dan Pulau Nyamuk.
3.
Biaya (cost) adalah biaya rata-rata per bulan atau per tahun yang dikeluarkan untuk biaya usaha, diukur dalam rupiah.
31
4. GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI
4.1
Letak dan Luas Kepulauan Karimunjawa Kepulauan Karimunjawa secara geografis terletak 45 mil laut atau sekitar 83
kilometer di barat laut kota Jepara, dengan ketinggian tempat 0-605 m dpl. Secara geografis terletak antara 50 40’39" - 50 55' 00" LS dan 1000 05' 57" - 1100 31' 15" BT, yang mempunyai luas wilayah 169.800 ha, terdiri dari luas daratan 7.120 ha dan luas perairan 162.680 ha. Secara administratif wilayah ini termasuk ke dalam wilayah administratif Kecamatan Karimunjawa Kabupaten Dati II Jepara, Jawa Tengah. Kecamatan Karimunjawa terbagi atas 3 desa, yaitu : Desa Karimunjawa, Desa Kemujan, dan Desa Parang. Kepulauan Karimunjawa merupakan gugusan pulau-pulau yang jumlahnya 27 pulau, namun hanya lima pulau yang berpenghuni, yaitu Pulau Karimunjawa, Pulau Kemujan, Pulau Parang, Pulau Nyamuk, dan Pulau Genting dengan jumlah penduduk kurang lebih 7.900 jiwa. Pulau Karimunjawa menjadi pusat kecamatan yang berjarak ± 83 km dari Kota Jepara. Kepulauan Karimunjawa dapat dijangkau dengan sarana transportasi udara dan laut. Transportasi udara ditempuh melalui Bandara Ahmad Yani Semarang menuju Bandara Dewadaru di Pulau Kemujan, tetapi pada saat ini penerbangan ke Karimunjawa sudah tidak beroperasi lagi untuk umum dan hanya digunakan secara terbatas. Transportasi laut ditempuh dengan menggunakan kapal feri yaitu KM. Muria dan KM. Kartini I. KM. Muria berlayar dua kali seminggu dari Pelabuhan Kartini di Jepara dengan waktu tempuh selama enam jam, sedangkan KM. Kartini I berlayar empat kali seminggu dari Pelabuhan Tanjung Mas di Semarang dan Pelabuhan Kartini di Jepara dengan rata-rata waktu tempuh selama tiga jam. Sedangkan
Semarang-Jepara
dapat
ditempuh
dengan
perjalanan
darat
menggunakan mobil atau bis selama 1,5 jam.
32
Gambar 9. Orientasi wilayah studi (Sumber : WCS Marine Program Indonesia (2004), inzet : Google Earth (2006)) 33
Transportasi antar pulau sampai saat ini masih mengandalkan perahuperahu kecil milik nelayan. Selain kapasitasnya kecil dan daya tempuhnya lama, kapal-kapal ini tidak bisa beroperasi jika musim barat (badai) tiba sekitar bulan Desember hingga Maret.
4.2
Iklim Iklim dan cuaca di Indonesia dipengaruhi oleh dua angin musim, yaitu
muson barat dan timur (musim kemarau dan musim hujan) yang mencirikan iklim di Indonesia. Musim kemarau (musim timur) terjadi pada bulan Juni hingga September dan musim hujan (musim barat) terjadi pada bulan Desember hingga Maret. Peralihan pada kedua musim tersebut adalah musim pancaroba (Dinas Kelautan dan Perikanan Jepara, 2006) Iklim di Kepulauan Karimunjawa termasuk tipe C dengan curah hujan rata-rata 3.000 mm per tahun, dengan suhu rata-rata 26-30º C, suhu minimum 22 dan suhu maksimum 34. Kelembaban nisbi antara 70-85% dengan tekanan udara berkisar pada 1.012 mb (Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, DKP. 2004). Cuaca di Karimunjawa secara umum tenang dan konsisten sepanjang tahun. Angin bertiup dari utara atau barat laut. Perairan secara umum tenang, hal ini menunjukkan bahwa kepulauan ini terlindung oleh massa daratan dari berbagai sisi.
4.3
Hidro Oseanografi Kondisi Hidrologi, di Kepulauan Karimunjawa tidak terdapat sungai
besar yang aliran airnya permanen, namun terdapat lima mata air besar, yaitu Kapuran (Pancuran Belakang), Legon Goprak, Legon Lele, Cikemas dan Nyamplungan. Sungai-sungai tersebut kecil dan sempit dengan dinding terjal dan pola aliran memancar dari arah pusat perbukitan yang bermuara di perairan laut sekitar pulau. Pada musim penghujan sumber air tersebut melimpah. Sumber air untuk memenuhi kebutuhan air bersih penduduk Pulau Karimunjawa umumnya masih menggunakan sumber mata air yang ada dan sumur yang dibangun dengan kedalaman 3 – 12 meter. Sampai saat ini belum ada instalasi air bersih yang menangani pengelolaan air di Pulau Karimunjawa.
34
Sedangkan di Pulau Kemujan tidak terdapat sumber air yang besar. Penduduk umumnya mendapatkan air dengan membuat sumur sampai pada kedalaman 20 m dan umumnya terletak di bagian tengah dan selatan pulau. Arus di perairan Kepulauan Karimunjawa pada musim barat/barat laut berasal dari laut Cina Selatan yang menyeret massa air laut menuju ke Laut Jawa sampai kearah timur yaitu Laut Flores, Laut Banda, Laut Arafura dan sebaliknya pada musim tenggara. Berdasarkan peta laut Indonesia (Gambar 10) yang diterbitkan oleh BPPT (2002), pola arus di Laut Jawa menunjukkan musim timur terjadi pada bulan Juni – September dengan puncaknya terjadi pada bulan Agustus, musim barat terjadi pada bulan Desember – Maret dengan puncaknya terjadi pada bulan Januari, peralihan I terjadi pada bulan April – Mei dan peralihan II terjadi pada bulan Oktober – November. Kecepatan arus permukaan rata-rata berkisar antara 8-24 cm/detik. Kondisi ini sangat mempengaruhi kehidupan perairan, terutama ekosistem terumbu karang (Supriharyono, 2000).
4.4 4.4.1
Ekosistem Ekosistem Terumbu Karang Pada umumnya tipe dasar perairan di Kepulauan Karimunjawa mulai dari
tepi pulau adalah pasir, makin ke tengah dikelilingi oleh gugusan terumbu karang mulai dari kedalaman 0.5 meter hingga kedalaman 20 meter. Ekosistem terumbu karang terdiri dari tiga tipe terumbu, yaitu terumbu karang pantai (fringing reef), penghalang (barrier reef) dan beberapa taka (patch reef). Tipe substrat dasar perairan berupa pasir berlumpur dan lumpur berpasir. Pulau-pulau kecil yang ada di Gugus Pulau Karimunjawa umumnya dikelilingi oleh terumbu karang tepian (finging reefs) dengan kedalaman 0.5 – 5 meter yang juga merupakan habitat bagi berbagai jenis biota laut. Jenis-jenis karang yang dapat ditemukan di gugusan kepulauan Karimunjawa termasuk ke dalam jenis karang keras (hard coral) seperti karang batu (massive coral), karang meja (table coral), karang kipas (gorgonian), karang daun (leaf coral),, karang jamur (mushroom coral).
35
(PERALIHAN I)
(PERALIHAN II)
(MUSIM TIMUR)
(MUSIM BARAT)
Gambar 10. Pola arus sepanjang tahun di perairan pulau Jawa bagian utara (Sumber : Peta Laut Indonesia, BPPT Jakarta, 2002) 36
Gugusan terumbu karang di Kepulauan Karimunjawa merupakan gugusan terumbu karang tepi dengan kedalaman 0.5 – 5 meter, terdapat 63 genera dari 15 famili karang keras berkapur (scleractinian) dan tiga genera non-scleractinian yaitu Millepora dari kelas Hydrozoa, Heliopora dan Tubipora dari kelas Anthozoa (WCS, 2004). Penutupan karang keras berkisar antara 6,7% hingga 68,9% dan indeks keragaman berkisar antara 0,43 hingga 0,91. Kondisi terumbu karang di Kepulauan Karimunjawa secara umum mempunyai rata-rata penutupan sekitar 40-50%. Faktor utama rendahnya persen penutupan karang adalah bencana alam. Hal ini dapat dilihat dari gundukan pecahan karang mati yang cukup luas (coral rubble) di beberapa lokasi seperti di P. Burung, P. Krakal Besar, P. Krakal Kecil, Karang Kapal, P. Bengkoang dan P. Menyawakan. Selain itu, pada umumnya rataan karang di bagian barat cenderung tinggi tingkat kerusakannya akibat gelombang musim barat yang keras dan ekploitasi yang tinggi oleh masyarakat, sehingga hanya jenis karang tertentu saja yang dapat bertahan (misalnya jenis Porites yang masif). Berdasarkan hasil pengamatan dan beberapa kajian yang pernah dilakukan di perairan Kepulauan Karimunjawa, kondisi terumbu karang mengalami kerusakan akibat penggunaan potas/bom, jangkar perahu, patah terinjak yang diakibatkan oleh wisatawan ataupun penggunaan alat tangkap seperti bubu atau muroami, namun pada beberapa lokasi telah terjadi pemulihan yang ditandai dengan tumbuhnya cabang-cabang baru pada karang.
4.4.2
Ekosistem Padang Lamun dan Rumput Laut Ekosistem padang lamun di Karimunjawa memiliki pola penyebaran yang
mengelompok berdasarkan kesamaan jenis atau spesies. Sugiarianto (2000) menemukan delapan spesies lamun di tiga lokasi yaitu: Pancuran, Legon Lele dan Ujung Gelam. Berdasarkan hasil survey, padang lamun dapat dijumpai di tujuh lokasi, yaitu di sekitar Pulau Karimunjawa, Pulau Kemojan, Pulau Genting, Menjangan Besar, Pulau Menjangan Kecil, Alang-alang dan Legon Nipah. Kondisi ekosistem padang lamun di sekitar Tanjung Pundak Pulau Karimunjawa
37
mengalami kerusakan yang disebabkan oleh berbagai aktivitas manusia seperti alur pelayaran, pembuangan limbah tambak udang, dan pengerukan dermaga. Berdasarkan hasil survey dilapangan, menunjukkan bahwa ekosistem padang lamun yang terdapat di perairan Gugus Pulau Karimunjawa didominasi oleh Enhalus sp, Thallasia, Syrongodium, Thalosodenrum, dan Chimodecea. Potensi rumput laut di Kepulauan Karimunjawa didominasi 3 filum dan 10 genus, yaitu filum Chlorophyta terdiri dari 2 genus, filum Phaeophyta terdiri dari 3 genus, dan filum Rhodophyta terdiri dari 5 genus (Anonim, 1988). Beberapa jenis rumput laut yang ditemukan pada saat survey antara lain : Caulerpa, Dictyota, Padina Sargassum, Turbinaria, Ulva, Jania, Amphiroa, Halimeda spp. dan sebagainya.
4.4.3
Ekosistem Mangrove Ekosistem mangrove di Karimunjawa menyebar di seluruh kepulauan
dengan luasan yang berbeda-beda. Pulau-pulau yang memiliki ekosistem mangrove adalah P. Karimunjawa, P. Kemujan, P. Cemara Kecil, P. Cemara Besar, P. Krakal kecil, P. Krakal Besar, P. Merican, P. Menyawakan dan P. Sintok. Ekosistem mangrove terluas terdapat di P. Kemujan dan P. Karimunjawa seluas 396,90 ha (BTNKJ, 2002).
4.5 4.5.1
Potensi Sumberdaya Perikanan Karimunjawa Ikan Pelagis Ikan-ikan pelagis penting di Karimunjawa adalah ikan Tongkol (Auxis
spp.), Tenggiri (Scomberomerus spp.) dan Teri (Stolephorus spp.) . Penangkapan ikan-ikan pelagis ini umumnya terjadi di musim timur untuk jenis ikan Teri dan di musim barat untuk kelompok ikan Tongkol dan Tenggiri. (BTNKJ, 1988).
4.5.2
Ikan Karang Ikan karang yang ditemui di perairan Karimunjawa merupakan jenis-
jenis yang biasa hidup pada perairan yang cenderung tenang, dengan arus yang tidak terlalu kencang. Kondisi terumbu karang yang memiliki rataan yang luas
38
dengan dasar perairan yang landai namun dangkal juga menyebabkan jenis-jenis ikan yang ditemui di Karimunjawa cenderung seragam. Pada perairan dangkal Karimunjawa ditemukan 43 famili ikan karang, terutama ikan-ikan yang berasosiasi erat dengan terumbu karang. Dalam satu kali penyelaman selama 60 menit, dapat ditemukan 69 sampai 141 spesies ikan karang. Perairan kepulauan Karimunjawa memiliki keanekaragaman yang cukup tinggi akan jenis ikan hias, jenis yang dominan ditemui antara lain dari famili : Apogonidae,
Achanthuridae,
Bleuniidae,
Centriscidae,
Holocanthidae,
Holocentridae, Fistularidae, Gobiidae, Haemulidae,Muraenidae, Balistidae, Labridae,
Monacanthidae,
Pomacentridae,
Scarjdae,
Nemipteridae, Scorpaenidae,
Lethrinidae, dan
Pomacanthidae,
Zanclidae.
Kepadatannya
tergantung dari presentase penutupan terumbu karang yang ada di perairan. Selain ikan karang hias, terdapat juga beberapa jenis yang dapat dikonsumsi, antara lain : ekor kuning (Caesio cunning.), pisang-pisang (Caesio chrysozona), kerapu (Epinephelus spp.), kakap (Lutjanus spp.), lencam (Lethrinus spp.), kakatua (Callyodon spp.) dan beronang (Siganus spp.). (WCS, 2004).
4.6
Zonasi Taman Nasional Karimunjawa
Taman Nasional Karimunjawa dikelola dengan sistem zonasi dengan mengikuti ketentuan yang telah ditetapkan melalui SK Dirjen PHKA No. SK.79/IV/Set3/2005 tentang Revisi Zonasi/Mintakat Taman Nasional Kepulauan Karimunjawa, sebagai berikut : •
Zona Inti : seluas 444,629 hektar meliputi sebagian perairan P. Kumbang, perairan Taka Menyawakan, perairan Taka Malang dan Perairan Tanjung Bomang
•
Zona Perlindungan : seluas 2.587,711 hektar meliputi
hutan tropis
dataran rendah dan hutan mangrove, serta wilayah perairan P. Geleang, P. Burung, Tanjung Gelam, P.Sitok, P. Cemara Kecil, P.Katang, Gosong Selikur, Gosong tengah. •
Zona Pemanfaatan Pariwisata : seluas 1.226,525 hektar meliputi perairan P. Menjangan Besar, P. Menjangan kecil, P. Menyamakan, P.
39
Kembar, sebelah timur P. Kumbang, P.Tengah, P. Bengkoang, Indonor dan Karang Kapal. •
Zona Pemukiman : seluas 2.571,546 hektar melalui P. Karimunjawa, P. Kemujan, P. Parang dan P. Nyamuk.
•
Zona Rehabilitasi : seluas 122,514 hektar meliputi perairan sebelah Timur P. Parang, sebelah Timur P. Nyamuk, sebelah Barat P. Kemujan dan sebelah Barat P. Karimunjawa.
•
Zona Budidaya seluas 788,213 hektar meliputi perairan P. Karimunjawa, P.Kemujan, P. Menjangan Besar, P. Parang dan P. Nyamuk.
•
Zona Pemanfaatan Perikanan Tradisional : seluas 103.883,862 hektar meliputi seluruh perairan di luar zona yang telah ditetapkan yang berada di dalam kawasan TN Karimunjawa.
4.6.1
Aktifitas di Zona Pemanfaatan Perikanan Tradisional Aktifitas yang boleh dilakukan di zona pemanfaatan perikanan adalah
pemanfaatan perikanan tradisional dan kegiatan budidaya dalam karamba. Aktifitas yang tidak boleh dilakukan di zona pemanfaatan perikanan tangkap adalah semua yang dilarang pada zona inti dan introduksi jenis biota serta penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan (Muroami, Jaring Ambai, Jaring Pocong, Cantrang dan Sianida). Pembangunan sarana dan prasarana harus dilakukan dengan ijin khusus.
4.6.2
Aktifitas di Zona Budidaya Aktifitas yang boleh dilakukan di Zona Budidaya adalah kegiatan yang
berhubungan dengan budidaya rumput laut, keramba jaring apung, budidaya kerapu bibit alami. Sedangkan aktifitas yang tidak boleh dilakukan adalah secara sengaja atau tidak sengaja mengambil, mengganggu atau memindahkan biota baik yang masih hidup atau mati beserta bagian-bagiannya.
40
Gambar 11.Zonasi Taman Nasional Karimunjawa (Sumber : WCS Marine Program Indonesia (2005))
41
4.7
Aktivitas Nelayan
4.7.1
Perikanan Tangkap Kepulauan Karimunjawa memiliki karakteristik masyarakat yang sebagian
besar adalah nelayan tangkap, dengan komposisi nelayan terbesar di Desa Parang sebesar 64,57% dari jumlah penduduknya. Kondisi ini mengakibatkan tingginya ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hayati laut. Hal paling utama yang dirasakan masyarakat saat ini adalah adanya penurunan hasil tangkapan. Penurunan hasil tangkapan diduga akibat pola penangkapan ikan yang tidak lestari, yaitu pengoperasian alat-alat tangkap yang memiliki efektifitas daya tangkap yang tinggi dengan selektifitas yang rendah seperti penggunaan jaring muroami dan sianida. Bagan perahu, pancing tonda, jaring insang dan bubu merupakan jenis alat tangkap utama yang dioperasikan oleh nelayan Kepulauan Karimunjawa. Alat tangkap muroami merupakan alat tangkap yang saat ini sudah dilarang penggunaannya oleh pemerintah daerah. Berdasarkan data tahun 2006 (Tabel 2) masih tercatat kepemilikan alat tangkap Muroami, namun berdasarkan wawancara nelayan, alat tangkap ini sudah tidak dioperasikan lagi. Tabel 2. No.
1 2 3
Jenis Alat Tangkap Muroami Bagan Perahu Pancing tonda
Data perikanan tangkap kepulauan Karimunjawa Jumlah Alat Tangkap (Unit) 18 90 617
Produksi/Trip (kg) 100 100 25
4 Jaring insang 200 10 5 Bubu 2000 0,5 Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Jepara, 2006
Jenis Ikan Tangkapan Dominan Ikan karang Teri Tongkol Tenggiri Ikan karang Ikan karang
dan
Jenis bagan yang banyak beroperasi di perairan Kepulauan Karimunjawa adalah bagan perahu. Daerah penempatan dengan tingkat pemanfaatan paling tinggi berada di perairan sekitar Pulau Bengkoang, Pulau Menyawakan dan Pulau Cemara Besar, sedangkan perairan lainnya dengan tingkat pemanfaatan yang
42
rendah. Pengoperasian Bagan Perahu ditujukan terutama untuk menangkap ikan teri. Nelayan yang paling banyak mengoperasikan Bagan Perahu adalah nelayan Desa Karimunjawa dan Kemujan. Daerah operasi pancing tonda paling tinggi adalah di sebelah utara perairan Kepulauan Karimunjawa. Jenis ikan tangkapan dominan adalah tongkol dan tenggiri. Pada musim ikan tongkol dan tenggiri, hampir seluruh armada tangkap (75%) mengoperasikan pancing tonda untuk menangkap ikan ini. Jaring insang merupakan alat tangkap mayoritas nelayan Desa Parang dan dioperasikan di perairan sekitar Pulau Parang dan Pulau Nyamuk. Jenis ikan tangkapan utamanya adalah ikan-ikan karang dari beragam jenis. Ikan ekor kuning merupakan ikan yang dominan tertangkap, sedangkan ikan lainnya adalah ikan kembung, ikan tongkol dan tenggiri serta ikan karang lainnya. Bubu merupakan alat tangkap yang banyak dioperasikan nelayan Pulau Nyamuk (bagian dari Desa Parang) dengan target tangkapan adalah ikan-ikan karang. Bubu biasanya dioperasikan berbarengan pada saat nelayan hendak mengoperasikan jaring insang. Bubu merupakan alat tangkap yang banyak dimiliki oleh para pandega sebagai tambahan penghasilan mereka dari hasil bekerja untuk juragan. Tidak semua pandega memiliki bubu, tapi rata-rata memiliki sekitar 10-20 bubu. Yayasan Taka pada tahun 2004 telah melakukan kajian dan penelitian yang dilakukan di lima lokasi pemantauan di Taman Nasional Karimunjawa. Dari lima lokasi pengamatan, tiga lokasi diindikasikan sebagai lokasi pemijahan ikan. Lokasi-lokasi tersebut adalah Taka Menyawakan, Pulau Kumbang dan Karang Tengah. Lokasi pemijahan di TNK selama ini merupakan daerah target penangkapan bagi nelayan. Namun berdasarkan kesepakatan bersama masyarakat pada saat penentuan zonasi TNK, Taka Menyawakan dan Pulau Kumbang saat ini masuk ke dalam Zona Inti. Jumlah armada tangkap yang dimiliki oleh nelayan (juragan) Karimunjawa dapat dilihat pada Tabel 3.
43
Tabel 3. Jumlah armada penangkapan ikan per desa di kepulauan Karimunjawa Desa No.
Armada Penangkapan
Karimunjawa
Kemojan
Parang
1.
Tanpa Perahu (Unit)
-
9
-
2.
Perahu Tanpa Motor (Unit)
-
3
-
3.
Motor Tempel (Unit)
72
36
7
4.
Kapal Motor (Unit)
284
295
112
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Jepara, 2006 Dari data tersebut dapat terlihat bahwa hampir seluruh armada tangkap yang dioperasikan oleh nelayan kepulauan Karimunjawa sudah cukup maju dicirikan dengan penggunaan kapal motor sebagai armada tangkap yang dominan, meskipun kapasitasnya masih kecil (dibawah 10 GT).
Gambar 12.Bubu (kiri) dan armada pancing tonda (kanan) di Karimunjawa 4.7.2
Perikanan Budidaya Aktifitas perikanan budidaya di dalam kawasan Taman Nasional
Karimunjawa dengan ditetapkannya zonasi revisi pada tahun 2005 berarti hanya membolehkan kegiatan budidaya pada dua jenis kegiatan yaitu Keramba Jaring Apung dan Rumput Laut. Hal ini merupakan kesepakatan bersama yang tertuang dalam buku zonasi yang menceritakan keseluruhan proses penentuan zonasi terutama bagaimana besarnya peran serta masyarakat dalam penentuan zonasi serta arahan-arahan pengaturan didalamnya.
44
4.7.2.1 Keramba Jaring Apung (KJA) Pembuatan satu demplot percontohan budi daya laut dengan karamba jaring apung (KJA) yang dilakukan dan diprakarsai oleh Dinas Perikanan dan Kelautan (Diskanlut) Jateng di Kepulauan Karimunjawa dan mini hatchery untuk memproduksi benih-benih ikan karang yang lokasinya berdekatan dengan Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Karimunjawa. Benih-benih ikan untuk kegiatan ini diperoleh dari hatchery di Lampung, Bali, Lombok, Riau, dan Sulawesi Selatan, untuk benih udang lobster bisa diperoleh dari Cilacap ataupun Kebumen. Jenis ikan yang dibudidayakan dalam KJA adalah kerapu bebek, kerapu lumpur, kerapu pasir, kerapu kertang (tiger), sunuk bintang timur, sunuk kuning, dan sunuk hitam (glempo).
Gambar 13.Demplot percontohan KJA kerapu di Karimunjawa Karena besarnya modal yang dibutuhkan, resiko yang tinggi serta rumitnya pemeliharaan, meskipun nelayan Karimunjawa tertarik karena harga jualnya yang tinggi, namun tidak ada satupun yang tergerak untuk mengikuti jejak percontohan ini. Ketiadaan modal dan pengetahuan serta jaringan pemasaran yang terjamin membuat nelayan mengubur keinginannya untuk berusaha di bidang ini.
45
4.7.2.2 Rumput Laut Budidaya rumput laut juga telah dilakukan oleh masyarakat di beberapa lokasi, yaitu di Pulau Karimunjawa, Pulau Menjangan Besar, Pulau Menjangan Kecil, Pulau Parang, Pulau Nyamuk, dan Pulau Genting. Tahun 1990-an budidaya rumput laut telah berkembang pesat di Karimunjawa. Saat itu, hasil produksi akan dibeli sebuah perusahaan untuk memenuhi pasar ekspor ke Jepang. Budidaya rumput laut merupakan kegiatan budidaya laut dengan teknik yang cukup sederhana sehingga sesuai untuk diterapkan pada masyarakat nelayan sebagai alternatif mata pencaharian. Para petani/nelayan di perairan Kepulauan Karimunjawa umumnya mengembangkan usaha budidaya rumput laut Eucheuma sp dengan metode tali panjang (longline method) yang dapat diterapkan diperairan yang relatif dalam maupun perairan dangkal yang mempunyai keunggulan-keunggulan tertentu dibandingkan dengan metode lain.
Gambar 14. Budidaya rumput laut dengan metode rawai (long line method) yang terdapat di Karimunjawa. Kesinambungan komoditas rumput laut dapat dilakukan sepanjang tahun. Nelayan/petani rumput laut di Karimun Jawa umumnya menjual produknya kepada pengepul, untuk kemudian dipasarkan ke Jepara dan ada juga yang langsung ke Surabaya dengan harga Rp. 5.300/kg serta sebagian rumput laut setengah kering dari pengepul kepada eksportir di Panarukan (Situbondo) dengan harga Rp.4.500/kg. Dari berbagai kegiatan alternatif selain perikanan tangkap, maka budidaya rumput laut merupakan pilihan yang paling baik. Hal ini antara lain ditunjang oleh
46
terpenuhinya persyaratan fisik lingkungan, permintaan pasar cukup tinggi, sebagian besar masyarakat telah mengenalnya serta merupakan kegiatan yang didorong untuk dikembangkan oleh pemerintah daerah. Untuk menghasilkan produksi yang baik, maka diperlukan beberapa persyaratan lokasi antara lain : •
Perairan harus tenang, terlindung dari pengaruh angin dan ombak yang kuat
•
Tersedianya rumput alami setempat
•
Kedalaman perairan tidak boleh kurang dari 60 cm pada saat surut terendah dan tidak boleh lebih dari 2,1 meter pada saat pasang tertinggi
•
Kualitas air memiliki suhu antara 26 - 33° C, salinitas antara 15 - 38 ‰, dengan kondisi optimum pada salinitas 25 ‰, pH normal cenderung basa.
•
Dasar perairan cocok untuk penempatan konstruksi
•
Jauh dari sumber air tawar, seperti muara sungai atau daerah yang banyak dimasuki air tawar
•
Bebas dari bahan pencemar, misalnya limbah rumah tangga, tumpahan minyak, buangan industri dan lain-lain.
Ditinjau dari aspek persyaratan fisik dan kimia perairan, berdasarkan hasil pengambilan beberapa sampel data di lapangan, umumnya wilayah perairan laut sekitar Pulau Karimunjawa memenuhi persyaratan lokasi budidaya rumput laut seperti dijelaskan di atas dan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. No.
1. 2.
Kondisi fisik dan kimia perairan pulau Karimunjawa dan Kemujan
Lokasi
Karimunjawa Kemujan
Kecerahan Suhu (m) (0C) +30 +30
31 31
Salinitas pH Arus (0/00) (cm/dtk) 31 – 32 30 – 32
7 7
12-24 8-14
Subtrat
Pasir, Karang Pasir, Karang
47
Gambar 15. Survey kondisi fisik dan kimia perairan pulau Karimunjawa dan Kemujan Sedangkan produksi budidaya rumput laut yang pernah dihasilkan oleh nelayan Kepulauan Karimunjawa adalah sebagai berikut : Tabel 5.
NO. 1. 2.
Teknis Usaha
Produksi budidaya rumput laut Karimunjawa
Jumlah Unit
Jumlah Produksi (ton) 2004
Jumlah Produksi (ton) 2005
Rakit 173 302,8 369.2 Rawai 1693 2.404,1 2879,08 JUMLAH 1.866 2.706,9 3248,28 Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Jepara, 2006 Namun demikian, berdasarkan pengamatan di lapangan serta keterangan
dari aparat Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Jepara, mulai tahun 2006 produksi rumput laut ini menurun drastis bahkan nyaris lumpuh. Hal ini diakibatkan oleh terjadinya gagal panen, yang disinyalir dikarenakan kesalahan dalam pemilihan bibit. Melihat besarnya potensi ekonomi yang dapat dan pernah dihasilkan dari budidaya rumput laut serta animo masyarakat nelayan yang masih cukup tinggi, komoditi ini bisa menjadi sumber alternatif penghidupan masyarakat nelayan Kepulauan Karimunjawa selain perikanan tangkap.
4.8
Prasarana dan Sarana Perikanan Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) dikenal juga sebagai pelabuhan
perikanan type C atau kelas II. Pelabuhan ini dirancang untuk melayani kapal
48
perikanan berukuran 5 - 15 GT. Pelabuhan ini dapat menampung 50 kapal atau 500 GT sekaligus. Pelabuhan ini juga melayani kapal ikan yang beroperasi di perairan pantai. Saat ini PPP tampak tidak berfungsi seutuhnya, dan hanya terbatas sebagai tempat pengisian BBM dan kantor koperasi nelayan. Fungsi lain, seperti pelayanan kapal dok, pemasaran ikan, pusat informasi dan pelayanan lainnya tidak berjalan. Hal ini diakui karena adanya kelemahan dalam pendanaan. Pencatatan hasil perikanan saat ini dilakukan oleh dua dinas teknis terkait, yaitu Dinas Perikanan Kabupaten Jepara dan Dinas Perikanan Provinsi Jawa Tengah cabang Karimunjawa.
4.9
Tata Niaga Perikanan Tangkap Nelayan Karimunjawa Seperti umumnya kegiatan perikanan tangkap skala kecil di Indonesia,
nelayan Karimunjawa memiliki struktur nelayan yang sama, yaitu juragan/pemilik kapal dan pandega/nelayan pekerja. Nelayan pekerja beroperasi hampir setiap hari dengan mengoperasikan beragam alat tangkap sesuai dengan musim dan kondisi perikanan. Hasil tangkapan seluruh nelayan kepulauan Karimunjawa didaratkan di Pulau Karimunjawa, untuk kemudian diterima oleh pemilik kapal untuk langsung dijual ke Jepara atau dibeli oleh pengumpul dan kemudian dipasarkan kembali ke Jepara. Hasil penjualan kemudian dibagi dua antara nelayan pekerja dengan pemilik kapal. Sistem perniagaan seperti ini menyebabkan adanya ketimpangan kesejahteraan dimana juragan/pemilik kapal dan pengumpul/pedagang umumnya memiliki tingkat kesejahteraan yang cukup memadai, sedangkan nelayan penangkap hidup dalam taraf kemiskinan. Dengan tidak berjalannya fungsi PPP sebagai tempat pemasaran, maka peluang nelayan kecil untuk meningkatkan skala usahanya menjadi terhambat, karena modal usaha bukan saja dibutuhkan untuk kegiatan tangkap tapi juga dibutuhkan untuk distribusi hasil tangkapan ke Jepara sebagai pasar utama. Hal ini menyebabkan
ketergantungan
nelayan
kecil
terhadap
juragan
dan
pedagang/pengumpul tidak bisa lepas.
49
4.10 4.10.1
Aspek Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Kepulauan Karimunjawa Demografi, Pendidikan dan Agama Berdasarkan data monografi desa Tahun 2003, jumlah penduduk
Kecamatan Karimunjawa mencapai 8.819 jiwa. Tingkat pendidikan di Kepulauan Karimunjawa lebih banyak tamat, tidak tamat dan belum sekolah. Hal ini menunjukkan masih rendahnya tingkat pendidikan karena penduduk usia sekolah banyak bekerja membantu orang tua, rendahnya kesadaran dan keterbatasan biaya. Tempat pendidikan di Karimunjawa sudah menjangkau sampai tingkat SLTA. Selain SD yang berjumlah sekitar 10 SD (5 di P. Karimunjawa, 3 di P. Kemujan dan masing-masing 1 di P. Parang dan P. Genting') di Kecamatan Karimunjawa juga terdapat 1 SMP dan 1 MTs serta 1 SMK Negeri (jurusan Budidaya Rumput Laut & Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan) yang merupakan sekolah gratis, serta 1 Madrasah Aliyah di P. Kemujan. Tabel 6. No.
Jumlah penduduk per desa di Kecamatan Karimunjawa tahun 2003 Desa
Luas Daratan
Jumlah
Kepadatan
(Ha)
Penduduk
Penduduk
1.
Karimunjawa
443.750
4.219
0.01
2.
Kemujan
150.150
2.615
0.02
3.
Parang
690.000
1.985
0.003
Jumlah
1.283.900
8.819
-
Suimber : Monografi Desa Kecamatan Karimunjawa, 2003 Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat Karimunjawa tidak terlepas dari rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat, khususnya nelayan, serta rendahnya tingkat kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pendidikan bagi generasi mudanya.
4.10.2
Mata Pencaharian Presentase mata pencaharian masyarakat karimunjawa didominasi oleh
buruh tani/nelayan yaitu sebesar 61%. Hal ini mengindikasikan tingginya
50
ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya perikanan. Profesi sebagai petani menempati urutan kedua yakni sebesar 19%, profesi buruh industri, PNS dan ABRI sebesar 5%, profesi pedagang dan konstruksi sebesar 3%, dan sisanya menggeluti profesi dibidang angkutan, jasa, penggalian dan pensiunan. Data mata pencaharian penduduk berdasarkan Monografi Kecamatan Karimunjawa tahun 2002 tersaji dalam Tabel 7. Tabel 7. No.
Mata pencaharian penduduk Kecamatan Karimunjawa
Mata Pencaharian
Desa
Total
Karimunjawa Kemujan
Parang
1.
Petani
445
297
168
910
2.
Buruh Tani/Nelayan
1483
873
527
2883
3.
Penggalian
21
13
8
42
4.
Buruh Industri
113
52
87
252
5.
Pedagang
97
35
35
167
6.
Konstruksi
79
38
35
152
7.
Angkutan
31
27
15
73
8.
PNS dan ABRI
168
47
28
243
9.
Pensiunan
14
-
-
14
10.
Lainnya (jasa)
25
15
9
49
2476
1397
912
4785
JUMLAH
Sumber Data : Monografi Kecamatan Karimunjawa, 2002. Sedangkan
komposisi
jumlah
nelayan
per
desa
di
Kecamatan
Karimunjawa dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Desa 1. Karimunjawa
Jumlah nelayan Kecamatan Karimunjawa Juragan
Pandega
Jumlah
333
956
1.289
2. Kemujan 313 898 1.211 3. Parang 115 329 443 Total 761 2183 2944 Sumber Data : Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Jepara, 2006
51
Dalam kurun waktu 4 tahun, jumlah nelayan Karimunjawa tahun 2006 (Tabel 8) hanya sedikit sekali mengalami peningkatan, yaitu 61 orang, dibandingkan jumlah nelayan tahun 2002 (Tabel 7). Sedangkan perbandingan antara juragan dengan pandega (pekerja) adalah sekitar 1 berbanding 3.
4.10.3
Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Tingkat kesejahteraan masyarakat di Kepulauan Karimunjawa masih
relatif rendah, hal itu terlihat dari indikator kesejahteraan penduduk per pulau yang masih berada dibawah angka 2 yaitu : Pulau Karimunjawa 1,8; Pulau Nyamuk 1,89; Pulau Kemujan 1,9; dan Pulau Parang 1,96 (DKP, 2004). Petani, buruh dan nelayan merupakan duplikasi dari mayoritas pekerjaan penduduk yang memberikan hasil rendah. Kondisi ini juga dapat dilihat dari kepemilikan barang dan kondisi rumah. Penghasilan nelayan kecil di Karimunjawa dari kegiatan perikanan tangkap berkisar antara 400 – 800 ribu rupiah, atau masih dalam kisaran UMR Jawa Tengah sebesar 515 – 650 ribu rupiah. Nelayan yang mengandalkan pendapatannya hanya dari kegiatan perikanan tangkap umumnya miskin, seperti terlihat pada kondisi lingkungan dan perumahan nelayan di Pulau Nyamuk. Sedikit berbeda kita jumpai pada nelayan di Pulau Parang, yang umumnya tiap rumah tangga memiliki sebidang kebun yang mereka tanami buah-buahan. Hasil penjualan buah-buahan tersebut menjadi alternatif penghasilan nelayan Pulau Parang. Hal berbeda kita temui pada nelayan Karimunjawa yang lebih banyak memilih menjadi buruh tani dan buruh industri (buruh bangunan) serta pedagang kecil. Dengan tingkat pendapatan demikian, maka banyak kebutuhan dasar nelayan yang tidak dapat dipenuhi seperti kesehatan, sandang yang layak, perumahan yang cukup layak serta pendidikan. Kondisi ini menjadi seperti lingkaran setan, dimana kemiskinan menyebabkan kurangnya pendidikan dan rendahnya pendidikan menyebabkan mereka tidak dapat meningkatkan taraf kehidupannya. Dari hasil wawancara umumnya nelayan hanya mengalokasikan pendapatannya untuk pengeluaran pangan dan sandang serta modal usaha tapi
52
tidak mengalokasikan pendapatannya untuk pengeluaran biaya pendidikan, sedangkan pengeluaran biaya untuk papan (pembangunan atau perbaikan rumah) hanya dilakukan apabila nelayan mendapatkan panen berlimpah yang saat ini sangat jarang terjadi. Estimasi penulis terhadap kebutuhan biaya untuk mencukupi kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan serta pendidikan adalah sebesar 1,80 – 2,5 juta rupiah per bulan, dengan rincian sebagai berikut : Kebutuhan pangan
:
400 – 500 ribu / bulan
Kebutuhan sandang
:
50 – 100 ribu / bulan
Kebutuhan papan
:
15 - 20 juta / tahun
Kebutuhan pendidikan :
100 - 300 ribu / bulan
Kebutuhan lain-lain
100 ribu / bulan
:
Estimasi tersebut menunjukkan angka yang jauh lebih besar dari UMR Jawa Tengah (515 – 650 ribu rupiah), namun fakta yang ada memperlihatkan bahwa harga-harga barang dan kebutuhan pokok di Karimunjawa jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pulau Jawa daratan karena mahalnya biaya transportasi seiring dengan kenaikan harga BBM.
4.10.4
Persepsi Masyarakat Tentang Pengelolaan Taman Nasional Rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil
tidak terlepas dari kondisi sosial ekonomi masyarakat pulau tersebut yang masih memprihatinkan. Kondisi ini memungkinkan terjadinya proses pemanfaatan ekosistem pulau yang kurang sesuai, walaupun tindakan yang dilakukan oleh masyarakat sekitar tidak sepenuhnya disadari. Semua itu berpangkal pada tuntutan kebutuhan hidup masyarakat kepulauan yang yang belum tercukupi, dan bertambah berat dengan terjadinya krisis ekonomi yang mulai dirasakan pada pertengahan tahun 1997, bahkan dampaknya sampai sekarang masih dirasakan oleh masyarakat. Dengan terbatasnya sumber pendapatan yang dapat diandalkan, ada kecenderungan tindakan represif masyarakat Kepulauan Karimunjawa dalam
53
pemanfaatan
ekosistemnya.
Tindakan
masyarakat ini
akan
memberikan
konsekuensi yang sulit dibendung termasuk dalam penebangan mangrove, pengeboman karang dan pemakaian potasium sianida. Kejadian tersebut pada akhir-akhir ini mengalami penurunan, setelah ditetapkannya zonasi revisi dengan disertai peraturan mengenai apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan di zona-zona yang telah ditetapkan. Saat ini, warga dengan kesadaran masing-masing ikut menjaga kawasan, baik buruh, nelayan, petani maupun pedagang untuk mengingatkan setiap orang. Dari fenomena-fenomena tersebut, maka atensi penduduk di kawasan Kepulauan Karimunjawa terhadap pentingnya pengelolaan sumberdaya pulau dan laut saat ini mulai meningkat, karena mereka sadar bahwa mata pencaharian sebagian besar penduduk tergantung pada sumberdaya pulau dan laut. Momentum ini harus dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh pemerintah daerah dan pengelola TNK melalui berbagai kebijakan yang dapat meningkatkan kesadaran masyarakat melalui kegiatan-kegiatan penyuluhan dan bimbingan teknis, khususnya terhadap kegiatan-kegiatan yang dapat mendukung aktifitas ekonomi mereka yang berkelanjutan tanpa menimbulkan dampak merugikan terhadap lingkungan.
54
5. HASIL 5.1
Penentuan Jenis Ikan Tangkapan Utama Berdasarkan data hasil tangkapan perikanan tangkap yang dilakukan oleh
nelayan Karimunjawa selama periode 1999-2006, terlihat bahwa jenis ikan tangkapan terdiri dari banyak jenis ikan (Tabel 9). Tabel 9.
Hasil tangkapan, harga dan nilai jual ikan nelayan Karimunjawa Produksi Ikan Tahun 1999-2006
Uraian
Ekor Kuning
Hasil Tangkap an (ton) Harga/kg (Rp) Nilai Jual (Rp juta)
Tongkol
Tenggi ri
Ba dong
Ma nyung
Sulir
Todak
Cumi
Teri
Lain -lain
238,41
650,20
277,49
48,75
103,66
87,32
33,84
67,65
595,83
85,8 8
8.600
5.300
13.700
5.000
5.000
4.000
3.800
9.000
16.600
5.90 0
2.050, 33
3.446,03
3.801, 54
243,75
518,28
349,28
128,59
608,85
9.890, 70
506, 69
Penentuan jenis ikan tangkapan utama didasarkan kepada perhitungan nilai index masing-masing jenis ikan tangkapan yaitu ekor kuning (Caesio cunning), tongkol (Auxis thazard), tenggiri (Scomberomerus, sp), badong (Gnathanodon sp), manyung (Netuma thalassina), sulir (Caesio caerulaurea), todak/ikan pedang (Xiphias gladius), cumi (Loligo sp), teri (Stolephorus sp) serta ikan lainnya yang tidak termasuk jenis ikan tersebut diatas. Nilai index yang digunakan adalah index rata-rata gabungan dari index hasil tangkapan, index harga dan index nilai jual. Tiap-tiap nilai index dihitung terhadap rata-rata seluruh jenis ikan. Tabel 10. Index rata-rata gabungan hasil tangkapan, harga dan nilai jual ikan nelayan Karimunjawa Index Hasil Tangkapan, Harga Jual dan Nilai Jual Uraian
Ekor Kuning
Tong kol
Teng giri
Ba dong
Ma nyung
Sulir
To dak
Cumi
Teri
Lainlain
Hasil Tangkapan
1,09
2,97
1,27
0,22
0,47
0,40
0,15
0,31
2,72
0,39
Harga Jual
1,12
0,69
1,78
0,65
0,65
0,52
0,49
1,17
2,16
0,77
Nilai Jual Index Rata-rata gabungan
0,95
1,60
1,76
0,11
0,24
0,16
0,06
0,28
4,59
0,24
1,05
1,75
1,60
0,33
0,45
0,36
0,24
0,59
3,16
0,46
55
Seperti terlihat pada Tabel 10, hasil perhitungan nilai index menunjukkan hanya 4 (empat) jenis ikan yang memiliki nilai index rata-rata gabungan lebih besar dari 1,00 yaitu ekor kuning (Caesio cunning), tongkol (Auxis thazard), tenggiri (Scomberomerus, sp) dan teri (Stolephorus sp). Dari empat jenis ikan tersebut, teri memiliki nilai index rata-rata gabungan paling tinggi (3,16), demikian juga halnya pada index harga jual (2,16) dan index nilai jual (4,59). Tongkol berada di urutan selanjutnya dengan nilai index rata-rata gabungan 1,75. Nilai index harga jual ikan tongkol kurang dari 1,00 yaitu sebesar 0,65, namun nilai rata-rata gabungannya menjadi lebih besar dari 1,00 karena terbantu oleh nilai index hasil tangkapannya yang merupakan nilai index terbesar di kelompok index ini. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun harganya tergolong rendah, namun ketersediaan ikan tongkol ini cukup melimpah dibandingkan dengan jenis ikan lainnya. Tenggiri memiliki nilai index rata-rata gabungan sebesar 1,60, dengan nilai index di masing-masing kelompok index seluruhnya lebih besar dari 1,00. Hal ini menunjukkan bahwa hasil tangkapan, harga jual dan nilai jualnya cukup baik dibandingkan dengan jenis ikan lainnya yang tertangkap di Karimunjawa. Ekor kuning memiliki nilai index rata-rata gabungan hanya sedikit lebih besar dari 1,00 yaitu 1,05. Nilai index pada tiap kelompok indexnya lebih besar dari 1,00 kecuali untuk kelompok index nilai jual. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ketersediaan dan harga jualnya tergolong baik namun secara keseluruhan dari nilai jualnya masih lebih rendah dari rata-rata nilai jual ikan di Karimunjawa. Hal sebaliknya ditunjukkan pada ikan cumi (Loligo spp.), yang memiliki nilai index harga jual lebih besar dari 1,00 yaitu 1,17, namun secara keseluruhan nilai indexnya jauh dibawah 1,00 yaitu sebesar 0,59. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun harganya cukup baik namun ketersediaannya tidak cukup menunjang sebagai komoditi ekonomi penting untuk dijual ke luar Karimunjawa. Berdasarkan perkiraan nilai index tersebut maka selanjutnya dapat disimpulkan bahwa hanya ada 4 (empat) jenis ikan yang merupakan komoditi
56
utama nelayan Karimunjawa yaitu : teri (Stolephorus sp), tongkol (Auxis thazard), tenggiri (Scomberomerus, sp) dan ekor kuning (Caesio cunning).
5.2
Batasan Hasil Tangkapan Penentuan batasan hasil tangkapan didasarkan kepada metode yang
disarankan oleh Sparre Venema (1999) dengan melakukan analisis pada tren penangkapan ikan yang terjadi pada suatu kurun waktu tertentu, yang dalam penelitian ini digunakan data periode tahun 1999-2006. Sparre Venema (1999) menyarankan perkiraan nilai MSY (Maximum Sustainable Yield) sebagai berikut : Untuk memperkirakan MSY pada stok yang telah dieksploitasi untuk beberapa lama, nampaknya data runtun waktu dari hasil tangkapan akan tersedia, dimana data tersebut dapat diuji. Walaupun tidak tersedia secara rinci data upaya penangkapan, indikasi adanya peningkatan yang berkelanjutan pada sutau periode waktu dan hasil tangkapan total telah stabil untuk beberapa waktu, maka ini berarti bahwa MSY telah dicapai paling tidak pada struktur eksploitasi saat ini. Sementara itu bila hasil tangkapan telah menurun dari tingkatan yang tinggi sebelumnya dapat berarti bahwa stok telah mengalami penangkapan yang berlebih dan rata-rata hasil tangkapan tertinggi berdasarkan pengalaman yang lalu dapat menyediakan
suatu
perkiraan
yang
bebas
terhadap
MSY.
Dalam
menginterpretasikan hasil tangkapan berdasarkan runtun waktu seperti disarankan diatas, dibuat satu asumsi bahwa variasi hasil tangkapan disebabkan perubahan upaya penangkapan dan bukan oleh perubahan lingkungan maupun sosial ekonomi. Penentuan MSY (Maximum Sustainable Yield) tentunya tidak semudah itu dilakukan dan memiliki metode tersendiri, misalnya Schaefer atau Fox untuk pendekatan holistik, namun metode di atas tetap digunakan sebagai pendekatan praktis dan dalam hal ini tidak disebut sebagai MSY. Batasan hasil tangkapan dilakukan untuk 4 (empat) jenis ikan yang merupakan komoditi utama seperti telah ditentukan sebelumnya yaitu : ekor kuning (Caesio cunning), tongkol (Auxis thazard), tenggiri (Scomberomerus, spp) dan teri (Stolephorus, spp). Tren hasil tangkapan ikan tahunan pada kurun waktu 1999-2006 ditunjukkan pada Gambar 16.
57
TREN HASIL TANGKAPAN TAHUNAN 250.000
Hasil Tangkapan (kg)
200.000
150.000 TONGKOL TENGGIRI 100.000
EKOR KUNING TERI
50.000
0 1999
2000
2001
2002
2004
2005
2006
Tahun
Gambar 16. Tren hasil tangkapan tahunan empat komoditi utama
58
Grafik pada Gambar 16 memperlihatkan bahwa tren hasil tangkapan cenderung meningkat untuk ekor kuning dan tenggiri, sedang untuk tongkol dan teri trennya cenderung menurun. Pengambilan nilai perkiraan untuk penetapan batas volume penangkapan masing-masing komoditi diambil sebagai berikut : Tongkol
: cenderung menurun, diambil nilai rata-rata hasil tangkapan periode 1999 – 2002, yaitu 173.586 kg.
Tenggiri
: cenderung meningkat, diambil dari nilai tertinggi (2006), yaitu 79.091 kg.
Ekor Kuning : cenderung meningkat, diambil dari nilai tertinggi (2005), yaitu 84.800 kg. Teri
: cenderung menurun, diambil dari nilai rata-rata hasil tangkapan periode 1999 – 2004, yaitu 121.821 kg. Dengan demikian nilai perkiraan batas penangkapan untuk masing-masing
komoditi adalah sebagai berikut : Tongkol
: 173.586 kg
Tenggiri
: 79.091 kg
Ekor Kuning : 84.800 kg Teri
: 121.821 kg Perlu diperhatikan juga bahwa dalam penentuan batasan hasil tangkapan
ini dibuat asumsi bahwa nilai-nilai batasan tersebut tidak melampaui nilai MSY, yang dalam hal ini belum dapat diketahui/ditentukan karena tidak tersedia data yang cukup memadai.
5.3
Penentuan Musim Penangkapan Sifat musiman 4 (empat) ikan komoditi utama yaitu ekor kuning (Caesio
cunning), tongkol (auxis thazard), tenggiri (scomberomerus, sp) dan teri (stolephorus sp), ditunjukkan oleh produksi rata-rata bulanan masing-masing jenis ikan yang didaratkan di Pelabuhan Perikanan Karimunjawa yang kemudian akan dianalisis dengan rumusan yang dikemukakan oleh Uktolseja (1993) seperti disajikan pada beberapa tabel dan gambar dibawah ini.
59
5.3.1
Musim Penangkapan Ikan Teri Berdasarkan data hasil tangkapan pada kurun waktu 1999 – 2006
didapatkan data hasil tangkapan bulanan rata-rata ikan teri seperti tersaji pada Tabel 11. Tabel 11. Hasil tangkapan rata-rata bulanan ikan teri (dalam kg) BULAN
1999
JANUARI FEBRUARI MARET APRIL MEI JUNI JULI AGUSTUS SEPTEMBER OKTOBER NOVEMBER DESEMBER
3.875 8.700 38.630 30.510 21.880 3.930
2000
6.290 16.940 24.510 32.670 23.690 19.230 31.260 700 720
TAHUN 2002 2004
2001
2006
RATA-2
600 100
400 5.100 5.900 7.300
7.510 3.590 7.240 29.500 81.830 1.500 3.950 1.100
2005
6.800 7.470 5.100 38.100 37.500 18.000 2.000
600 250 5.200 6.546 9.458 28.870 39.026 15.262 9.628 800 3.185
300 1.500 3.900 5.450 21.600 15.700 7.000 600 5.650
TOTAL
600 500 26.000 39.275 56.750 144.350 195.130 76.310 48.140 2.400 6.370
Berdasarkan data pada Tabel 11, kemudian dianalisis untuk mendapatkan grafik index musim penangkapan yang hasilnya terlihat pada Gambar 17.
3,5 3 2,5
In dex
2 1,5 1 0,5 0 -0,5
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agt
Sep
Okt
Nov
Des
-1 -1,5
Bulan
Gambar 17. Index musim penangkapan teri Dari grafik diatas terlihat bahwa musim puncak penangkapan ikan teri terjadi pada bulan Agustus dengan hasil tangkapan rata-rata sebesar 39.026 kg.
60
Sedangkan untuk musim penangkapan yang ideal adalah pada bulan Juli, Agustus dan September, dimana nilai Xj > X atau Xj > 9.902 kg . Bulan Juni dan Oktober menunjukkan nilai index yang hanya sedikit dibawah nol yaitu sebesar 0,04 pada bulan Juni dan -0,03 pada bulan Oktober, yang berarti hasil tangkapan ( Xj ) pada bulan Juni dan Oktober masih berada di kisaran rata-rata ( X ), yaitu masing-masing sebesar 9.458 kg dan 9.628 kg. Dengan pertimbangan bahwa penentuan musim penangkapan adalah untuk mendapatkan hasil yang optimal (dalam hal ini acuannya adalah hasil tangkapan rata-rata 1999-2006) namun juga semaksimal mungkin dapat mengakomodir kegiatan nelayan Karimunjawa, maka ditentukan bahwa musim penangkapan ikan teri adalah pada bulan Juni, Juli, Agustus, September dan Oktober.
5.3.2
Musim Penangkapan Ikan Tongkol Berdasarkan data hasil tangkapan pada kurun waktu 1999 – 2006
didapatkan data hasil tangkapan bulanan rata-rata ikan tongkol seperti tersaji pada Tabel 12. Tabel 12. Hasil tangkapan rata-rata bulanan ikan tongkol (dalam kg) BULAN JANUARI FEBRUARI MARET APRIL MEI JUNI JULI AGUSTUS SEPTEMBER OKTOBER NOVEMBER DESEMBER
1999
2.450 5.390 11.390 32.330 33.320 26.280
2000 5.050 3.750 650 150 200 1.900 31.850 41.220 60.040 63.220 20.400
2001 9.440 760 300 300
390 19.360 24.440 92.690 44.850 12.620
TAHUN 2002 2004 7.410 8.900 1.220 2.950 750 2.000 350 400 300 450 250 100 1.350 23.300 7.700 2.700
2005 850 100 250 900 600 2.700 2.450 11.500 8.750 11.400
2006 3.125 250 2.450
RATA-2 6.785 1.630 850 883 275 517 1.118 11.880 16.170 43.972 31.568 14.680
TOTAL 33.925 9.780 4.250 2.650 1.100 1.550 5.590 59.400 80.850 219.860 157.840 73.400
Berdasarkan data pada Tabel 12, kemudian dianalisis untuk mendapatkan grafik index musim penangkapan yang hasilnya terlihat pada Gambar 18.
61
Index Musim Penangkapan Tongkol 3,5 3 2,5
Index
2 1,5 1 0,5 0 -0,5 -1
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agt
Sep
Okt
Nov
Des
-1,5
Bulan
Gambar 18. Index musim penangkapan tongkol Dari grafik diatas, terlihat bahwa musim puncak penangkapan ikan tongkol terjadi pada bulan Oktober dengan hasil tangkapan rata-rata sebesar 43.972 kg. Musim penangkapan dapat kita tentukan berdasarkan pada bulan-bulan yang memberikan nilai index lebih besar dari nol, yaitu pada bulan Agustus, September, Oktober, November dan Desember
5.3.3
Musim Penangkapan Ikan Tenggiri Berdasarkan data hasil tangkapan pada kurun waktu 1999 – 2006
didapatkan data hasil tangkapan bulanan rata-rata ikan tenggiri seperti tersaji pada Tabel 13. Tabel 13. Hasil tangkapan rata-rata bulanan ikan tenggiri (dalam kg) BULAN JANUARI FEBRUARI MARET APRIL MEI JUNI JULI AGUSTUS SEPTEMBER OKTOBER NOVEMBER DESEMBER
1999
4.750 3.550 1.700 450 1.800 2.800 2.250 4.300
2000 2.950 5.250 9.800 4.600 4.650 3.250 3.650 2.300 2.100 500 500 2.720
2001 5.880 3.580 9.140 8.500 3.440 3.390 1.650 2.900 1.770 2.460 3.420 4.700
TAHUN 2002 2004 5.300 6.050 3.360 2.300 3.650 4.700 750 3.150 3.750 3.400 2.400 2.700 5.300 1.000 4.300 8.700 5.400 7.100
2005 4.300 4.800 4.800 4.750 2.250 3.600 2.500 1.800 3.450 3.950 3.950 10.100
2006 8.675 9.650 10.600 10.300
RATA-2 5.526 4.823 7.115 5.342 3.707 3.148 2.960 1.690 2.684 3.682 3.104 5.784
TOTAL 33.155 28.940 42.690 32.050 22.240 18.890 14.800 8.450 13.420 18.410 15.520 28.920
62
Berdasarkan data pada Tabel 13, kemudian dianalisis untuk mendapatkan grafik index musim penangkapan yang hasilnya terlihat pada Gambar 19.
Index Musim Penangkapan Tenggiri 0,8 0,6
Index
0,4 0,2 0 -0,2
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agt
Sep
Okt
Nov
Des
-0,4 -0,6 -0,8
Bulan
Gambar 19. Index musim penangkapan tenggiri Dari grafik diatas, terlihat bahwa musim puncak penangkapan ikan tenggiri terjadi pada bulan Maret dengan hasil tangkapan rata-rata sebesar 7.115 kg. Musim penangkapan dapat kita tentukan berdasarkan pada bulan-bulan yang memberikan nilai index lebih besar dari nol, yaitu pada bulan Januari, Februari, Maret, April dan Desember.
5.3.4
Musim Penangkapan Ikan Ekor Kuning Berdasarkan data hasil tangkapan pada kurun waktu 1999 – 2006
didapatkan data hasil tangkapan bulanan rata-rata ikan ekor kuning seperti tersaji pada Tabel 14. Berdasarkan data pada Tabel 14 tersebut, kemudian dianalisis untuk mendapatkan grafik index musim penangkapan yang hasilnya terlihat pada Gambar 20.
63
Tabel 14. Hasil tangkapan rata-rata bulanan ikan ekor kuning (dalam kg) BULAN
1999
2000
TAHUN 2002 2004
2001
JANUARI
480
FEBRUARI
2006 3.050
3.856
19.280
950
4.000
10.800
RATA-2
TOTAL
2005
1.810
3.900
10.400
6.100
5.553
22.210
880
3.100
4.350
7.050
14.550
5.986
29.930
APRIL
1.980
1.700
6.600
7.400
15.900
6.716
33.580
MEI
1.080
4.550
10.850
5.300
5.445
21.780
2.450
3.250
9.950
6.900
6.550
4.975
29.850
2.650
4.530
4.950
3.500
3.908
15.630
MARET
JUNI
750
JULI AGUSTUS
3.900
7.000
4.633
13.900
SEPTEMBER
3.000
9.750
8.900
9.325
18.650
OKTOBER
1.550
8.300
4.925
9.850
NOVEMBER
1.500
3.550
2.525
5.050
DESEMBER
12.650
6.050
9.350
18.700
Index Musim Penangkapan Ekor Kuning 0,8 0,6
Index
0,4 0,2 0 -0,2
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agt
Sep
Okt
Nov
Des
-0,4 -0,6 -0,8
Bulan
Gambar 20. Index musim penangkapan ekor kuning Dari grafik diatas, terlihat bahwa musim puncak penangkapan ikan ekor kuning terjadi pada bulan September dengan hasil tangkapan rata-rata sebesar 9.325 kg dan bulan Desember sebesar 9.350 kg. Namun
demikian
grafik
diatas
juga
memperlihatkan
fenomena
menyimpang, yaitu terjadinya fluktuasi hasil tangkapan yang tidak biasa pada periode bulan September hingga Desember. Bulan Oktober dan Desember
64
menunjukkan musim puncak tapi fenomena sebaliknya ditunjukkan pada bulan September dan November, oleh karena itu perlu pertimbangan lebih lanjut dalam penentuan musim penangkapan untuk ikan ekor kuning. Bila kita analisa lebih lanjut grafik pada Gambar 20 diatas, maka terlihat pada periode bulan September, Oktober hingga November tren hasil tangkapannya menurun, namun meningkat drastis pada bulan Desember dan menurun kembali secara drastis pada bulan Januari. Apabila kita lihat tren keseluruhan antara September – Januari yang menunjukkan kecenderungan menurun, maka data pada bulan Desember diasumsikan tidak logis sehingga dalam analisa ini akan diabaikan. Oleh karena itu penentuan musim penangkapan untuk ikan ekor kuning di Karimunjawa menjadi terdiri dari dua periode periode bulan Februari-Mei, dan bulan September berdasarkan nilai index yang lebih besar dari nol. Namun untuk alasan yang sama seperti dalam penentuan musim penangkapan ikan teri yaitu semaksimal
mungkin
mengakomodir
kegiatan
nelayan,
bulan
Oktober
dimasukkan dalam kategori musim penangkapan dengan pertimbangan bahwa nilai Xj yaitu sebesar 4.925 kg apabila dibandingkan dengan nilai X yaitu sebesar 5.600 kg, atau 88% dari hasil tangkapan rata-rata, yang diharapkan melalui pengaturan musim penangkapan, produksinya akan meningkat minimal menyamai produksi rata-rata bulanan. Dengan demikian penentuan musim penangkapan ikan ekor kuning di Karimunjawa adalah selama 6 bulan yaitu pada bulan Februari, Maret, April, Mei, September dan Oktober. Hal ini berarti memberikan kesempatan kepada biota tersebut untuk memulihkan stoknya pada bulan November-Januari dan bulan Juni – Agustus, sehingga diharapkan hasil yang didapat pada musim penangkapan akan optimal. Secara keseluruhan hasil ini oleh penulis dinilai lebih logis dibandingkan dengan menggantungkan penilaian hanya pada hasil perhitungan index semata. Dari hasil analisa penentuan musim penangkapan untuk 4 (empat) jenis ikan komoditi utama nelayan Karimunjawa, maka secara grafik musim penangkapan dapat dilihat pada Tabel 15.
65
Tabel 15. Musim penangkapan 4 (empat) komoditi utama nelayan Karimunjawa Musim Penangkapan
Jenis Ikan Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agust
Sep
Okt
Nop
Des
Teri Tongkol Tenggiri Ekor Kuning musim pancaroba musim barat musim timur
Bila kita kaitkan dengan angin musim yang terjadi secara umum di perairan Indonesia, maka terlihat bahwa ikan teri lebih banyak tertangkap pada musim timur, tongkol lebih banyak tertangkap pada akhir musim timur, musim peralihan kedua dan di awal musim barat, tenggiri lebih banyak tertangkap pada musim barat, sedangkan ekor kuning tidak banyak dipengaruhi oleh musim angin, namun kemungkinan besar lebih banyak dipengaruhi oleh siklus pemulihan stok ikan tersebut yang juga sangat bergantung pada kualitas ekosistem terumbu karang di Karimunjawa. Alokasi waktu penangkapan masing-masing jenis ikan dalam satu tahun dengan demikian adalah : 5 bulan untuk teri, tongkol dan tenggiri serta 6 bulan untuk ekor kuning.
5.4
Armada Tangkap dan Area Operasi Jumlah dan jenis alat tangkap yang terdapat di Karimunjawa serta
memenuhi aspek ramah lingkungan ditinjau dari segi peralatannya dapat dilihat pada Tabel 16. Bagan Perahu (lift net) merupakan alat tangkap dominan nelayan Desa Kemujan dan Karimunjawa, dengan target tangkapan utama adalah ikan teri (stolephorus sp). Pancing tonda dioperasikan hampir oleh semua nelayan di tiga desa di Kepulauan Karimunjawa dengan target tangkapan utama adalah ikan tongkol (auxis thazard) dan tenggiri (scomberomerus commersoni). Jaring insang merupakan alat tangkap dominan masyarakat Desa Parang dengan target tangkapan utama adalah ikan ekor kuning (caesio cunning ). Bubu dioperasikan
66
bersamaan pada saat nelayan memasang jaring insang, dengan target tangkapan utama adalah ikan-ikan karang, termasuk ekor kuning. Tabel 16. Jenis alat tangkap yang dioperasikan nelayan Karimunjawa No.
Jenis Alat Tangkap
Jumlah Alat Tangkap (Unit)
Produksi/Trip (Kg)
Jenis Ikan Tangkapan
1
Bagan Perahu
115
60
Teri
2
Pancing Tonda
699
25
Tongkol danTenggiri
3
Jaring Insang
168
10
Ekor Kuning
4
Bubu
573
0,5
Ekor Kuning
Sumber : Dinas kelautan dan perikanan Kab. Jepara (2004 dan 2006) Jumlah alat tangkap dalam Tabel 16 menunjukkan jumlah armada tangkap (kapal motor) yang mengoperasikan masing-masing alat tangkap yang bersesuaian, kecuali bubu yang dalam tabel tersebut adalah jumlah unit yang terpasang dan dioperasikan oleh nelayan armada jaring insang, terutama nelayan Pulau Nyamuk. Area operasi 4 (empat) jenis alat tangkap tersebut serta Zona Budidaya dapat dilihat pada Gambar 21 . Tabel 17 menunjukkan jumlah komposisi nelayan di Kecamatan Karimunjawa serta jumlah armada tangkap (kapal motor) yang dimiliki nelayan. Tabel 17. Jumlah nelayan dan armada tangkap
Desa
Juragan
Pandega
Jumlah Kapal
Karimunjawa Kemujan Parang Total
333 313 115 761
956 898 329 2183
356 331 119 806
Rasio Pandega Juragan 3 3 3 3
Rasio Pandega - Kapal 3 3 3 3
Sumber : Dinas kelautan dan perikanan Kab. Jepara (2006)
67
Gambar 21. Area operasi alat tangkap dan Zona Budidaya
68
Data jumlah alat tangkap (bagan perahu, pancing tonda dan jaring insang) pada Tabel 16 dibandingkan data jumlah kapal pada Tabel 17 menunjukkan selisih jumlah armada, yang bisa kita interpretasikan bahwa data jumlah kapal pada Tabel 17 menunjukkan armada yang digunakan untuk pancing tonda dan jaring insang, sedangkan bagan perahu dikategorikan sebagai armada tersendiri. Meskipun masih terdapat selisih, namun data jumlah pada Tabel 17 belum mencakup jumlah perahu motor tempel dan perahu tanpa motor yang digunakan oleh nelayan jaring insang. Rasio antara jumlah pandega – juragan dibandingkan dengan rasio jumlah pandega – kapal motor menunjukkan angka yang sama, dengan demikian dapat diasumsikan bahwa juragan adalah pemilik kapal. Rasio jumlah pandega – kapal, yaitu 3 (angka pembulatan), dapat kita interpretasikan bahwa satu kapal diawaki oleh 3 (tiga) orang nelayan/pandega.
5.5
Optimasi Alat Tangkap Untuk menghitung optimasi alat tangkap maka digunakan bantuan
program What’s Best yang merupakan pengembangan dari Lindo. Ada tiga tahapan yang harus ditentukan agar program ini dapat menghitung optimasi, yaitu : 1.
Menentukan tujuan
2.
Menentukan variabel (nilai-nilai yang dapat berubah)
3.
Menentukan batasan
Setelah tiga tahapan ini dilaksanakan, maka selanjutnya What’s Best dapat menghitung optimasi.
Variabel atau nilai peubah :
r1 = jumlah armada bagan perahu r2 = jumlah armada pancing tonda dengan target ikan tongkol r3 = jumlah armada pancing tonda dengan target ikan tenggiri r4 = jumlah armada jaring insang r5 = jumlah bubu
69
Batasan/Kendala :
q1 <= 121.821 kg (batas tangkapan ikan teri) q2 <= 173.586 kg (batas tangkapan ikan tongkol) q3 <= 79.091 kg (batas tangkapan ikan tenggiri) q4 + q5 <= 84.800 kg (batas tangkapan ikan ekor kuning) r4 <= 573 unit (batas jumlah bubu) Jumlah bubu (r4) perlu dibatasi tidak ada penambahan dari unit yang ada saat ini (573 unit), karena dalam prakteknya pemasangan bubu ini mengakibatkan kerusakan terumbu karang yang cukup tinggi, namun tetap diperhitungkan karena peranannya terhadap nelayan kecil.
Tujuan : Memaksimumkan nilai produksi yaitu : p1q1+ p2q2+ p3q3+ p4q4+ p5q5,
dimana :
p1 = harga ikan teri per kg = Rp. 16.600,p2 = harga ikan tongkol per kg = Rp. 5.300,p3 = harga ikan tenggiri per kg = Rp. 13.700,p4 = p5 = harga ikan ekor kuning per kg = Rp. 8.600,q1 = r1 * s1 * t1 q2 = r2 * s2 * t2 q3 = r3 * s3 * t3 q4 = r4 * s4 * t4 q5 = r5 * s5 * t5 dimana :
s1 = 60 kg (produksi bagan/teri per trip) s2 = s3 = 25 kg (produksi pancing tonda per trip) s4 = 10 kg (produksi jaring insang per trip) s5 = 0,5 kg (produksi bubu per unit/trip) t1 = 5 bulan * 5 trip per bulan = 25 trip t2 = t3 = 5 bulan * 10 trip per bulan = 50 trip t4 = t5 = 6 bulan * 10 trip per bulan = 60 trip Hasil perhitungan selengkapanya dapat dilihat pada Tabel 18.
70
Tabel 18. Hasil optimasi alat tangkap GOAL :
Maksimumkan Nilai Produksi per tahun 3.419.637.100 VARIABEL
Jenis Alat No. Tangkap 1 2 3 3 4
Bagan P. Pancing Tonda Pancing Tonda Jaring Bubu
Jumlah Alat Tangkap (Unit)
Produksi/ Trip
81
60
Teri
25
69
25
Tongkol
100
32
25
Tenggiri
100
71
10
Ekor Kuning
120
0
0,5
Ekor Kuning
120
(Kg)
Jenis Ikan Tangkapan
TOTAL
253
Uraian
Prod/thn
Kriteria Batas
Teri
121.821
=<=
121.821
Tongkol
173.586
=<=
173.586
Tenggiri
79.091
=<=
79.091
Ekor Kuning
84.800
=<=
84.800
Jumlah Bubu
Jumlah Trip/thn
Harga / kg
Nilai Nilai produksi / produksi/uni tahun t/ bln
16.600
1.616.158.600
3.980.000
5.300
572.833.800
1.650.000
13.700
925.364.700
5.850.000
8.600
305.280.000
720.000
8.600
0 3.419.637.100
0
<=
Batas Tangkapan (kg)
2000
Hasil perhitungan tersebut menunjukkan bahwa maksimum nilai produksi yang dihasilkan dari 4 (empat) komoditi utama per tahun adalah sebesar Rp. 3.419.637.100,-, dengan komposisi jumlah alat tangkap : bagan 81 unit, pancing tonda 101 unit, jaring insang 71 unit dan bubu 0 unit. Hasil tersebut kemudian dibandingkan dengan jumlah alat tangkap yang ada saat ini (Tabel 19). Tabel 19. Perbandingan jumlah alat tangkap No. 1
Bagan Perahu
115
Jumlah Alat Tangkap Optimum 81
2
Pancing Tonda
699
101
Tongkol danTenggiri
3
Jaring insang (Bottom Gill Net) Bubu
168
71
Ekor Kuning
573
0
Ekor Kuning
4
Jenis Alat Tangkap
Jumlah Alat Tangkap (Unit)
Jenis Ikan Tangkapan Teri
Dari tabel tersebut dapat kita simpulkan bahwa saat ini alat tangkap yang tersedia jumlahnya melebihi dari yang diperlukan, dan diperlukan pengurangan
71
jumlah alat tangkap agar hasil yang didapat optimal. Yang paling mencolok adalah pada alat tangkap bubu yang dalam perhitungan diasumsikan hanya menangkap ekor kuning, hasil optimumnya adalah nol, yang berarti untuk ekor kuning diarahkan seluruhnya pada alat tangkap jaring insang.
5.6
Alokasi Budidaya Rumput Laut Apabila pembatasan jumlah alat tangkap dijadikan alat kebijakan, maka
bisa dipastikan akan banyak terjadi nelayan menganggur. Untuk itulah diperlukan alternatif penghasilan lain untuk memfasilitasi para nelayan yang jumlah alat tangkapnya dibatasi. Apabila diasumsikan bahwa satu alat tangkap dimiliki oleh satu RTP, maka akan terdapat 601 RTP (penjumlahan selisih alat tangkap RTP nelayan untuk Bagan Perahu, pancing tonda dan jaring insang), sedangkan apabila satu RTP rata-rata memiliki 50 bubu, maka total RTP yang menganggur menjadi 613 RTP. Jumlah inilah yang harus diprioritaskan untuk mendapatkan fasilitasi budidaya rumput laut dari pemerintah daerah. Namun perlu diperhatikan juga dari sisi penghasilan nelayan, karena jumlah optimum tadi dikaitkan dengan pembatasan musim tangkap, maka tidak sepanjang tahun alat tangkap tersebut dapat dioperasikan. Untuk itu maka bagi untuk setiap unit alat tangkap yang dioperasikan perlu diintegrasikan lebih lanjut dengan kepemilikan unit budidaya rumput laut sebagai tambahan alternatif penghasilan. Berdasarkan hasil estimasi, rata-rata nelayan membutuhkan penghasilan per bulan adalah 1,85-2,5 juta rupiah. Untuk perhitungan alokasi budidaya rumput laut pada penelitian ini, digunakan angka tertinggi yaitu 2,5 juta rupiah sebagai tolok ukur.
5.6.1
Analisis Ekonomi Budidaya Rumput Laut Hasil produksi rumput laut di Karimunjawa 2004-2005, memperlihatkan
bahwa ada dua metode yang umum digunakan nelayan yaitu metode rakit dan metode rawai (longline method). Metode rakit memberikan produksi per unit yang lebih baik, namun metode rawai merupakan metode yang lebih disukai. Hal ini
72
wajar karena metode rawai relatif lebih mudah untuk dioperasikan dan memerlukan biaya yang lebih murah dibandingkan metode lainnya. Tabel 20. Hasil produksi rumput laut Karimunjawa 2004 – 2005
NO. Teknis Usaha 1. 2.
Jumlah Unit
Jumlah Produksi basah (ton) 2004
Jumlah Produksi basah (ton) 2005
Ratarata produksi /unit/thn (ton) 1,94 1,56
Rakit 173 302,8 369.2 Rawai 1693 2.404,1 2879,08 Permukaan Dalam analisis ekonomi usaha budidaya rumput laut, maka metode rawai
digunakan sebagai dasar perhitungan, sebagai berikut : Satu unit budidaya rumput laut dialokasikan sebesar 500 m2 (10x50 m), sehingga seluruh perhitungan ekonomi mengacu pada satuan unit tersebut, yang secara garis besar adalah sebagai berikut : •
Dalam perhitungan satu kali masa panen dapat dicapai dalam jangka waktu dua bulan. Oleh karena itu dalam satu tahun berarti 6 x panen.
•
Satu unit terdiri dari 4000 titik ikat rumput laut, dengan perhitungan jarak antar tali 50 cm dan jarak antar bibit dalam satu tali 25 cm.
•
Berat bibit per titik adalah 125 gram (0,125 kg) sehingga bibit yang dibutuhkan = 0,125 Kg x 4000 = 500 Kg
•
Setiap kali panen satu titik bibit dapat mencapai berat 1 kg, sehingga produksi dalam satu kali panen = 4000 kg. Dengan demikian dalam satu tahun hasil produksi = 6 x 4000 kg = 24.000 kg.
•
Satu unit terdiri dari 4000 titik ikat rumput laut, dengan perhitungan jarak antar tali 50 cm dan jarak antar bibit dalam satu tali 25 cm.
Biaya investasi yang dibutuhkan adalah untuk investasi sarana budidaya sebesar Rp. 1.832.500,- per tahun dan investasi sarana penjemuran sebesar Rp. 2.210.000,- yang dihitung penyusutannya selama 3 tahun, sehingga total biaya investasi per tahun adalah Rp. 2.569.167,-. Biaya tetap dibutuhkan untuk pembelian bibit, ongkos ikat bibit dan pembelian karung untuk pengemasan hasil panen, sebesar Rp. 5.935.000,- per tahun. Rincian kebutuhan biaya disajikan pada tabel dibawah.
73
Tabel 21. Analisis kebutuhan biaya produksi rumput laut No
JENIS
SATUAN JUMLAH
HARGA SATUAN
TOTAL
I. BIAYA INVESTASI SARANA BUDIDAYA / TAHUN 1 Tali plastic 4 mm rol 18.000 288.000 16 2 Tali plastic 2 mm rol 10.000 10.000 1 3 Tali plastic 5 mm kg 20.000 360.000 18 4 Tali plastic 10 kg 20.000 260.000 mm 13 5 Tali plastic 12 kg 20.000 80.000 mm 4 6 Tali rapia gulung 10.000 10.000 1 7 Jangkar tancap buah 22.000 132.000 besi 6 8 Tenda lembar 150.000 150.000 1 9 Pelampung buah 20.000 80.000 Utama 4 10 Pelampung aqua buah 250 62.500 250 11 Sampan buah 300.000 300.000 1 12 Jangkar, kayu 100.000 100.000 SUB TOTAL I 1.832.500 II. BIAYA INVESTASI SARANA PENJEMURAN (PENYUSUTAN 3 TAHUN) 1 Waring m 300 2.500 750.000 2 Plastik m 300 2.500 750.000 3 Bambu batang 60 6.000 360.000 4 Paku,kayu dll 50.000 50.000 5 Biaya pembuatan unit 1 300.000 300.000 SUB TOTAL II 2.210.000 III. BIAYA TETAP DAN BIAYA OPERASIONAL / TAHUN (6 kali panen) 1 bibit kg 4.000 1.000 4.000.000 2 Ongkos ikat bibit titik 24.000 75 1.800.000 3 Karung 4 Biaya penyusutan
lembar
90
TOTAL BIAYA PER TAHUN
1.500
135.000 2.569.167 8.504.167
74
Nilai Hasil Panen per unit /tahun •
Hasil produksi basah per unit = 24.000 kg
•
Hasil produksi kering per unit = 24.000 kg x 0,10 = 2.400 kg
•
Nilai Jual Berat Kering per unit = 2.400 Kg X Rp 5.300,= Rp. 12.720.000,-
•
Laba kotor = Rp. 4.215.883,- per unit/tahun
•
Pendapatan per unit/bulan = Rp. 351.319,-
Investasi awal yang dibutuhkan adalah Rp. 5.031.667,-, sedangkan biaya operasional satu kali masa panen adalah Rp. 494.583,-. Berdasarkan hasil analisis usaha tersebut maka nilai R/C dari budidaya rumput laut adalah sebesar 1,50.
5.6.2
Optimasi Area Budidaya Rumput Laut Berdasarkan hasil optimasi alat tangkap dan analisis ekonomi budidaya
rumput laut, maka selanjutnya dapat kita hitung alokasi area perairan budidaya rumput laut yang dibutuhkan. Dasar perhitungan yang digunakan untuk menghitung alokasi area budidaya rumput laut adalah sebagai berikut : 1.
Alokasi lahan budidaya diprioritaskan untuk pandega/nelayan pekerja.
2.
Penghasilan awak kapal dari kegiatan perikanan tangkap dihitung dengan membagi dua nilai produksi/unit/bulan karena adanya sistem bagi hasil 50:50 dengan pemilik kapal (asumsi pemilik kapal tidak mengoperasikan sendiri). Penghasilan per orang dihitung dengan membagi penghasilan awak kapal kepada jumlah awak kapal yaitu 3 orang.
3.
Satu unit budidaya rumput laut adalah 10x50 m2. Keuntungan per unit: Rp. 351.319,- / bulan
4.
Tambahan penghasilan adalah tambahan penghasilan dari kegiatan budidaya rumput laut dari jumlah unit budidaya yang dialokasikan.
5.
Total penghasilan adalah penghasilan agregat nelayan per bulan dari kegiatan perikanan tangkap dan budidaya rumput laut. Dalam
75
perhitungan total penghasilan dibatasi tidak boleh kurang dari Rp. 1.800.000,- (estimasi kebutuhan minimal nelayan). 6.
Kebutuhan jumlah total unit budidaya (nelayan tangkap) untuk masingmasing jenis alat tangkap dihitung sebagai berikut : Jumlah unit total = Jumlah unit yang dibutuhkan per orang x Jumlah armada tangkap x jumlah awak kapal
7.
Kebutuhan jumlah total unit budidaya nelayan reposisi, yaitu nelayan yang harus mengalihkan kegiatannya ke usaha budidaya rumput laut, untuk masing-masing jenis alat tangkap dihitung sebagai berikut : Jumlah unit total = (jumlah alat tangkap tersedia - jumlah alat tangkap optimum) x jumlah unit yang dibutuhkan per orang dimana :
jumlah unit yang dibutuhkan per orang = 7 unit (menghasilkan pendapatan sebesar Rp. 2.459.236,- per bulan).
angka tersebut dihitung berdasarkan batas atas estimasi kebutuhan pendapatan nelayan (Rp. 2.500.000), dengan pertimbangan bahwa nelayan reposisi membutuhkan insentif yang lebih besar untuk bersedia mengalihkan kegiatannya ke usaha lain. 8.
Alokasi unit budidaya rumput laut dihitung dengan bantuan What’s Best untuk mendapatkan optimasi terhadap alokasi yang dihasilkan. Adapun tiga tahapan yang ditentukan adalah sebagai berikut : Tujuan : Minimumkan penambahan area budidaya dari yang sudah ditetapkan saat ini (Zona Budidaya) sebesar 788 ha (dibulatkan). Nilai peubah : jumlah unit budidaya per orang Kendala : Batas minimal total penghasilan yaitu Rp. 1.800.000,Hasil perhitungan What’s Best selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 22.
76
Tabel 22. Analisa kebutuhan alokasi areal budidaya rumput laut GOAL : MINIMUMKAN PENAMBAHAN AREA BUDIDAYA DARI YANG SUDAH DITETAPKAN (788 HA) Kebutuhan Penambahan Area :
125
ha VARIABEL
No.
1 2 3 3
Jenis Alat Tangkap
Bagan Perahu Pancing Tonda Pancing Tonda Jaring Insang
Jumlah Alat Tangkap (Unit)
Jenis Ikan Tangkapan
Jumlah Alat Tangkap Optimum (Unit)
115
Teri
81
699
Tongkol
69
Tenggiri
32
Ekor Kuning
71
169
Nilai produksi /unit /bln
Penghasilan/ bulan
3.980.000
Jumlah unit budidaya yang dibutuhkan
Tambahan penghasilan
Total penghasilan
Kebutuhan Jumlah Unit Budidaya nelayan nelayan tangkap reposisi
kalkulasi
dibulatkan
663.333
3,24
3
1.136.667
1.800.000
786
714
1.650.000
275.000
4,34
4
1.525.000
1.800.000
899
12.558
5.850.000
975.000
2,35
2
825.000
1.800.000
225
720.000
120.000
4,78
5
1.680.000
1.800.000
1.019
2.058
2.929
15.330
JUMLAH UNIT KEBUTUHAN TOTAL (UNIT) ALOKASI AREA PERAIRAN YANG DIBUTUHKAN (Ha) KENDALA : Total Penghasilan 1.800.000 =>= 1.800.000 =>= 1.800.000 =>= 1.800.000 =>=
18.259 913
Batasan 1.800.000 1.800.000 1.800.000 1.800.000
77
Hasil perhitungan tersebut memperlihatkan bahwa dibutuhkan area perairan seluas 913 ha untuk mengakomodasi seluruh nelayan tangkap yang selama ini beroperasi di Karimunjawa, yang berarti membutuhkan tambahan area budidaya sebesar 125 ha dari Zona Budidaya yang sudah ditetapkan. Tambahan area sebesar 125 ha tersebut merupakan kebutuhan minimum agar nelayan mendapatkan penghasilan dengan tingkat yang memadai. Nelayan yang mengoperasikan bagan perahu untuk menangkap teri membutuhkan 3 unit budidaya rumput laut untuk mendapatkan total penghasilan sekitar Rp. 1.800.000,-, sedangkan nelayan pancing tonda membutuhkan 4 unit pada saat musim tongkol dan 2 unit pada saat musim tenggiri, serta nelayan jaring insang membutuhkan 5 unit budidaya rumput laut. Total kebutuhan jumlah unit adalah sebesar 18.259 unit, sedangkan jumlah nelayan reposisi, yaitu nelayan tangkap yang harus mengalihkan kegiatannya ke budidaya rumput laut sebanyak 2190 orang atau hampir sekitar 74% dari jumlah seluruh nelayan Karimunjawa.
78
6. PEMBAHASAN
6.1
Efektifitas Optimasi Optimasi idealnya dilakukan pada kondisi dimana semua parameternya
diketahui secara pasti dan kuantitatif, misalnya optimasi pada produksi suatu barang tertentu dengan sistem atau pola tertentu. Analog dengan hal tersebut, optimasi penangkapan ikan dapat dilakukan secara efektif apabila dilakukan pada sistem tertutup, dibatasi oleh batas-batas fisik geografis, dan pola pemanfaatannya diketahui secara pasti. Perairan dengan batasan geografis seperti danau atau waduk merupakan kondisi yang ideal untuk melakukan optimasi. Optimasi pada perairan yang terbuka dan luas seperti di perairan laut tentunya memiliki kelemahan karena faktor sumberdaya ikan yang tidak menetap di satu tempat dan rekrutmen di kawasan yang diteliti dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar kawasan tersebut, kecuali untuk ikan yang tidak beruaya jauh keluar kawasan tersebut. Salah satu kendala lain optimasi di perairan terbuka adalah pola penangkapan ikan di luar kawasan di sepanjang alur ruaya yang tidak diketahui karena umumnya tersebar dan bahkan tidak tercatat. Karena keterbatasan tersebut, pada penelitian ini perlu dibuat asumsi awal bahwa pola penangkapan di luar kawasan adalah tetap atau stabil selama kurun waktu penelitian. Hal ini pula yang menjadi dasar bagi penulis untuk tidak memberikan nilai batasan penangkapan berdasarkan nilai MSY. Nilai batasan pada penelitian ini lebih bertumpu pada pola hasil tangkapan yang selama ini terjadi yang mencerminkan kemampuan menangkap nelayan setempat. Faktor lain yang menjadi kendala bagi penulis untuk mendasarkan nilai batasan pada MSY adalah karena ketiadaan data yang cukup. Data hasil tangkapan yang tersedia hanyalah data jumlah hasil tangkapan (dalam kg) per hari (yang kemudian diolah kembali dan ditampilkan menjadi data bulanan terlampir), data lainnya seperti jumlah armada yang beroperasi per hari/bulan tidak tersedia. Satu-satunya hasil penelitian tentang MSY di Karimunjawa adalah pada tahun 1989 yang diterbitkan oleh BTNKJ, namun angka MSY tersebut tidak dapat diacu dalam penelitian ini karena merupakan data agregat ikan pelagis, tidak merujuk pada jenis ikan tertentu.
79
Satu hal yang mendukung dalam optimasi ini adalah fakta bahwa seluruh ikan yang ditangkap oleh nelayan Karimunjawa didaratkan di dermaga Pulau Karimunjawa melalui pengumpul dan dicatat oleh petugas Dinas Perikanan Karimunjawa sebelum dipasarkan ke Jepara atau Semarang. Data inilah yang digunakan untuk analisa optimasi dalam penelitian ini. Untuk kawasan yang memiliki data yang lebih baik, minimal memiliki data hasil tangkapan per upaya penangkapan, penghitungan MSY masih dapat dilakukan meskipun tetap memiliki kelemahan. Hal ini dilakukan pada penelitian serupa mengenai optimasi di Pelabuhan Ratu, dan diakui bahwa kelemahannya adalah tidak bisa menggambarkan upaya penangkapan yang sesungguhnya, karena berapa banyak setiap kapal melakukan operasi penangkapan tidak diketahui (Wiyono, 2001). Hal lain yang mendukung adalah terbatasnya pola penangkapan ikan, yang jangkauannya tidak lebih dari 3 mil laut. Hal ini terkait erat dengan armada tangkap yang dimiliki oleh nelayan yang umumnya dibawah 10 GT. Hal ini diperkuat dengan ditetapkannya zona pemanfaatan perikanan tradisional yang mensyaratkan hanya jenis alat tangkap lokal (yang disetujui masyarakat lokal) yang boleh dioperasikan di zona tersebut, yang berarti bahwa pola penangkapan tampaknya tidak akan berubah hingga adanya ketentuan lain. Zona pemanfaatan perikanan tradisional memiliki batasan, memiliki titik-titik koordinat sehingga luasannya tertentu, dengan demikian dari sisi penangkapan ikan, kawasan ini dapat dianggap tertutup ditinjau dari pola pemanfaatannya. Bila kita bandingkan dengan penelitian serupa yang dilakukan oleh Wiyono di teluk Pelabuhan Ratu (2001), optimasi yang dihasilkan mungkin masih mengalami bias karena secara geografis bukan merupakan kawasan tertutup, serta tidak diatur pola penangkapannya karena nelayan lain tidak dilarang melakukan aktifitas penangkapan di kawasan tersebut. Hal ini juga tampaknya disadari, sehingga dalam pembahasannya Wiyono menyarankan beberapa skenario pengelolaan, dibatasi oleh batas-batas kawasan pengelolaan dengan pola pemanfaatan alat tangkap berdasarkan hasil perhitungan optimasi yang dilakukannya.
80
Optimasi perikanan tangkap yang dihasilkan dalam penelitian ini bisa digolongkan kedalam ”classical one-parameter harvest policies” (Thompson, 1999), yaitu hanya menghasilkan parameter penangkapan optimal konstan. Meskipun hasilnya memiliki fleksibilitas rendah dan secara substansi bisa saja di bawah optimal (sub-optimal), namun lebih mudah dipahami dan ditelusuri prosesnya (Thompson, 1999).
6.2
Efektifitas Pengelolaan Taman Nasional Penerimaan dan peran serta masyarakat terhadap pola pengelolaan sangat
menentukan efektifitas dari pengelolaan tersebut. Tidak efektifnya pengelolaan kawasan perlindungan alam di Karimunjawa selama ini terutama disebabkan oleh kurangnya apresiasi dan keikutsertaan masyarakat dalam kegiatan pengelolaan. Penyebab kurangnya peran aktif masyarakat adalah : (1)
Kurangnya sosialisasi program-program pengelolaan di Taman Nasional Karimunjawa kepada masyarakat,
(2)
Kurangnya
upaya
membangun
kepedulian
masyarakat
dalam
hal
perlindungan kelestarian alam, (3)
Tidak terbangunnya komunikasi dua arah antara balai taman nasional dengan masyarakat sehingga terbentuk pola pikir “konservasi berarti pelarangan”. Hal ini juga disadari oleh pengelola taman nasional, yang kemudian
menginisiasi perubahan zonasi pada tahun 2003 dan disahkan tahun 2005 melalui SK Dirjen PHKA. Keterlibatan masyarakat dalam penentuan zonasi baru tersebut merupakan penggerak utama revisi zonasi tersebut. Lebih khusus lagi keterlibatan masyarakat ini ditekankan oleh Kelleher (1999), yang menyatakan penetapan zonasi dilaksanakan bersama dengan, untuk dan oleh masyarakat lokal, tidak lagi sebagai pihak pasif dari kebijakan daerah perlindungan melainkan sebagai mitra aktif, atau bahkan sebagai inisiator dan dapat juga sebagai pelaku utama; dikelola untuk memenuhi kebutuhan masyarakat lokal, yang merupakan kebutuhan esensial dari suatu kebijakan daerah perlindungan baik secara ekonomi maupun budaya.
81
Pelibatan peran serta masyarakat merupakan syarat mutlak ketimbang keputusan politis pada penetapan sebuah taman nasional atau kawasan lindung lainnya (Buscher et al., 2007). Selain menekankan aspek sosial terkait dengan taman nasional pada aspek pelibatan masyarakat dalam penentuannya, Buscher juga menyinggung masalah kesejahteraan nelayan di sekitar kawasan lindung merupakan akar permasalahan yang perlu ditanggulangi. Senada dengan Buscher, Braak et al. (2004) dalam King (2007) menyoroti keterkaitan antara keberadaan taman nasional dan kesejahteraan masyarakat dengan menyatakan bahwa fokus utama adalah bagaimana upaya memberdayakan masyarakat dan mengakomodasi kebutuhan masyarakat sekitar kawasan lindung sehingga mampu membalikkan posisi masyarakat yang tadinya dianggap sebagai ancaman terhadap keberlanjutan kawasan lindung menjadi faktor pendukung melalui kemitraan yang saling menguntungkan semua pihak, masyarakat, pengelola dan ekosistem itu sendiri. Pertimbangan sosio-ekonomi tersebut semakin menjadi penting dalam pengelolaan kawasan lindung. Permasalahan
yang
menyelimuti
keberlanjutan
Taman
Nasional
Karimunjawa terkait dengan masyarakat sekitar disadari oleh semua pihak tidak hanya pada keterlibatan pada penetapan zonasi semata. Masalah yang mendasar justru adalah pada kesejahteraan masyarakat itu sendiri, yang umumnya miskin, minim pendidikan dan ketergantungan terhadap sumberdaya laut sangat tinggi (WCS, 2003). Dua unsur biaya yang terkait dengan kawasan lindung (Kelleher, 1999), yaitu kompensasi terhadap masyarakat lokal atau keuntungan yang didapat dengan ditetapkannya kawasan lindung; dan biaya pengelolaan kawasan lindung. Unsur biaya yang pertama dapat bernilai sangat besar, dalam hal ini termasuk kompensasi kepada nelayan yang kehilangan pendapatannya akibat ditutupnya area penangkapan (fishing ground) mereka. Namun jika kawasan lindung berhasil dalam menciptakan kegiatan pariwisata dan memulihkan stok ikan sebagai tujuan utama, maka biaya kompensasi tersebut tidak akan menjadi beban yang perlu dipertimbangkan oleh pengelola, kecuali mungkin dalam masa transisi. Pembiayaan ini tentunya menjadi tanggungjawab pengelola, yang dalam kasus taman nasional adalah pemerintah. Di Taman Nasional, pemerintah selama
82
ini hanya mampu menganggarkan untuk biaya pengelolaan, itupun seringkali tidak mencukupi, apalagi untuk menganggarkan kompensasi terhadap masyarakat yang terkena dampak khususnya nelayan. Kebuntuan seperti ini dapat diatasi dengan diterapkannya kebijakan yang mampu memberdayakan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya. Pemerintah dalam hal ini tetap harus mengeluarkan sejumlah biaya, namun tidak akan sebesar biaya kompensasi langsung yang sangat rawan masalah sosial dalam pelaksanaannya. King (2007) mencontohkan adanya kebijakan yang diterapkan di taman nasional di Afrika Selatan melalui gerakan ”Swi ta Lunga” , bahasa setempat yang artinya ”keadaan akan membaik”. Gerakan ini memfokuskan pada pengentasan kemiskinan masyarakat sekitar taman nasional melalui pembaharuan berbagai sumber ekonomi bahkan hingga aspek tata pemasarannya. Sebagai satu contoh inisiasi di Indonesia, mungkin adalah seperti yang dilaporkan Meyer et al. (2004) dalam Asia Pacific Marine Finfish Aquaculture
Network Magazine Vol. IX No. 4 mengenai pemberdayaan ekonomi masyarakat oleh pengelola taman nasional melalui inisiasi kegiatan pembenihan dan pembesaran ikan kerapu di kawasan Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Barat. Sejalan dengan berbagai kajian tersebut, melalui penelitian ini penulis mencoba menggugah kembali perhatian pada aspek sosio-ekonomi khususnya kesejahteraan nelayan untuk menghasilkan sebuah solusi bagi keberlanjutan taman nasional. Didapatnya hasil bahwa sektor perikanan tangkap tidak mampu memberikan penghasilan yang memadai dan potensi usaha budidaya rumput laut mampu memberikan penghasilan yang lebih baik, dapat dijadikan acuan bagi penentuan kebijakan ataupun aturan pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa. Satu hal yang perlu ditekankan adalah perlunya pengelola Taman Nasional Karimunjawa, dalam hal ini pemerintah, secara konsisten menjalankan kebijakannya sehingga masyarakat tidak merasa diabaikan ataupun termarjinalkan. Konsistensi dari pemerintah sangat diperlukan agar pemberdayaan masyarakat tidak hanya berhenti pada inisiasi kegiatan produksi tapi juga mencakup pada aspek pemasaran yang mampu menjamin keberlanjutan usaha
83
yang dilakukan masyarakat dengan membuka akses dan menggalang kemitraan dengan dunia swasta.
6.3
Kebijakan Pengelolaan Di Zona Pemanfaatan Perikanan Tradisional dan Zona Budidaya Sumberdaya ikan yang menjadi komoditi utama merupakan spesies yang
paling rawan terancam degradasi karena beberapa karakteristiknya antara lain : bernilai ekonomi tinggi, ukuran relatif besar, lambat dewasa, jangkauan geografis terbatas, rekrutmen yang sporadis (Wu, 2002). Freon et al (2005) menyebutkan bahwa mekanisme pengaturan dalam pengelolaan perikanan dapat dibagi menjadi enam kategori : pengaturan ukuran ikan; pengaturan kuota, pengaturan kapasitas armada tangkap, pengaturan standar pengusahaan penangkapan ikan, pengaturan musim tangkap, penutupan area dan penentuan kawasan lindung terkait dengan kawasan penangkapan. Beberapa kategori yang disebutkan diatas sudah diakomodir dalam penelitian ini antara lain pengaturan musim tangkap dan pengaturan kapasitas armada tangkap (jumlah armada tangkap). Hasil optimasi alat tangkap dalam penelitian ini yang menyarankan untuk mengurangi jumlah alat tangkap untuk 4 (empat) komoditi utama serta penangkapan
ikan
tertentu
hanya
dalam
bulan-bulan
tertentu,
dalam
implementasinya mungkin sulit diterima. Perlu ditekankan apabila hal ini akan diterapkan dalam aturan pengelolaan zona pemanfaatan perikanan tradisional, adalah untuk melindungi ketersediaan sumberdaya yang menjadi sumber pendapatan ekonomi mereka sendiri. Penekanan ini biasanya tidak cukup, karena umumnya dampaknya tidak segera dirasakan dan ketika dampaknya dirasakan (jumlah hasil tangkapan bertambah dan ukuran ikan meningkat) akan merangsang kembali tingkat pemanfaatan yang lebih tinggi (Sanchirico et al., 2002). Sanchirico et al. (2002) juga menyatakan bahwa kawasan lindung dapat menyediakan perlindungan terhadap habitat kritis, situs bersejarah serta keanekaragaman hayati namun fungsinya untuk meningkatkan pengelolaan perikanan dampaknya sering tidak terlihat. Hal ini terjadi karena fakta bahwa kawasan lindung hanya ’mengobati’
84
gejalanya tapi tidak mengobati masalah fundamental terjadinya tekanan pemanfaatan yang tinggi. Diperlukan keterpaduan terhadap kompleksitas interaksi antara faktor-faktor biologi, ekonomi dan institusi. Penekanan diberikan pada bagaimana memberikan insentif kepada nelayan yang beroperasi di kawasan lindung agar mau berperan terhadap faktor-faktor tersebut sehingga efektifitas kawasan lindung, khususnya terhadap peningkatan pengelolaan perikanan, dapat tercapai. Peluang untuk tercapainya tujuan tersebut masih terbuka mengingat skala usaha nelayan Karimunjawa umumnya adalah perikanan skala kecil. Perikanan skala kecil secara ekologis lebih efisien, menghasilkan lapangan kerja yang lebih banyak dan lebih berkelanjutan dibandingkan perikanan skala besar atau skala industri (Pauly, 1979). Kebijakan pembatasan produksi tangkapan (jumlah dan jenis serta bisa ditambahkan ukuran), pengaturan alat tangkap, sistem buka tutup (pengaturan pola penangkapan berdasarkan musim) seperti yang dihasilkan dalam penelitian ini akan dapat diimplementasikan apabila masyarakat nelayan memiliki substitusi penghasilan dari dibatasinya kesempatan mereka untuk menangkap ikan. Crawford (2002) dalam penelitiannya ”Seaweed Farming : An Alternative
Livelihood for Small-Scale Fishers?” menyebutkan beberapa kisah sukses pengembangan budidaya rumput laut sebagai mata pencaharian alternatif nelayan, yang bertujuan meningkatkan taraf hidup nelayan serta mengurangi tekanan perikanan tangkap. Smith (1980) merekomendasikan budidaya rumput laut di Filipina sebagai bentuk insentif untuk mengurangi tekanan perikanan tangkap dari kegiatan penuh waktu menjadi kegiatan paruh waktu. Namun hanya sekitar 50% nelayan yang bersedia mengalihkan kegiatannya, dan nelayan tangkap lebih reseptif terhadap pengalihan ini. Kesediaan untuk beralih kegiatan juga ditunjukkan oleh nelayan yang bermukim di tempat-tempat yang relatif terisolasi secara geografis, miskin, muda, kurang berpendidikan dan kurang berhasil, namun nelayan yang memiliki kelompok umumnya kurang dapat menerima resiko dari kegiatan baru. Oleh karena itu Crawford (2002) lebih menyarankan kegiatan budidaya ini sebagai kegiatan suplementer, mengurangi tekanan perikanan tangkap dari
85
kegiatan penuh waktu menjadi kegiatan paruh waktu. Hal tersebut selaras dengan hasil penelitian ini, dimana tidak seluruhnya nelayan beralih kegiatan ke budidaya rumput laut, tapi sebagian menjadikannya sebagai kegiatan tambahan/suplementer untuk mencapai penghasilan bulanan yang memadai, dan kegiatan perikanan tangkap hanya dikhususkan untuk jenis ikan yang memberikan nilai ekonomi tinggi serta difokuskan pada bulan-bulan tertentu, atau dengan kata lain menjadikan perikanan tangkap sebagai kegiatan paruh waktu. Contoh lain penerapan budidaya rumput laut sebagai kegiatan alternatif dilakukan di Teluk Nicoya, Amerika Tengah dengan tujuan mengurangi tekanan perikanan tangkap (Phillips, 1985 dalam De Silva 1992), di Filipina dengan tujuan menyeimbangkan peningkatan kegiatan perikanan tangkap dan penurunan hasil tangkapan (Delmendo, 1989), di Vietnam dengan tujuan mengurangi tekanan terhadap eksploitasi mangrove (Duc, 1996 dalam Crawford, 2002), di Tanzania dengan tujuan mengurangi eksploitasi terumbu karang (Msuya, 1998), di Zanzibar ditetapkan sebagai kegiatan standar untuk desa-desa pesisir (Zanzibar, 2002) serta di Nusa Penida, Bali sebagai alternatif kegiatan yang dinilai ramah lingkungan (YMK, 2002). Hal lain yang mendukung pengembangan budidaya rumput laut sebagai kegiatan alternatif adalah karena adanya dampak positif terhadap lingkungan, khususnya terhadap ekosistem terumbu karang dan mangrove di kawasan yang berbatasan.
Penelitian-penelitian
awal
mengkhawatirkan
potensi
dampak
budidaya rumput laut, seperti perubahan pola sedimentasi dan pergerakan arus, erosi, penurunan nutrien dan perubahan habitat (De Silva, 1999) atau dampak ekologis akibat penutupan rumput laut yang dilakukan di atas perairan terumbu karang. Argumen terhadap hal ini dikemukakan Ask, 1999, yang menyatakan bahwa dampak lingkungan yang terjadi dari kegiatan budidaya rumput laut adalah minimal, bahkan dampaknya positif ditandai dengan meningkatnya populasi ikan herbivor dan kerang-kerangan. Peningkatan populasi ikan juga diduga terjadi dengan adanya klaim dari masyarakat pembudidaya rumput laut di Bentenan dan Tumbak, Sulawesi Utara, yang mengatakan bahwa terjadi peningkatan populasi ikan Siginid (Pollnac et. al, 1997). Mungkin yang perlu menjadi perhatian adalah dampak dari praktek pelaksanaannya, seperti yang terjadi di Taman Nasional
86
Bunaken
yang
menggunakan
kayu
mangrove
sebagai
pancang
yang
mengakibatkan penurunan populasi mangrove di dalam kawasan (NRMP, 1996), atau sampah sarana budidaya yang ditinggalkan nelayan pada saat kegiatan berhenti yang merusak ekosistem terumbu karang. Potensi terbesar yang ada saat ini untuk substitusi kegiatan di Karimunjawa adalah pada pengembangan usaha budidaya rumput laut. Secara sosial budaya usaha ini diyakini penulis tidak akan menemui hambatan karena nelayan Karimunjawa pernah mengecap hasil dari usaha ini namun kemudian terbentur masalah teknis dan akses pemasaran sehingga saat ini praktis hanya diusahakan oleh segelintir nelayan saja yang masih memiliki cukup modal. Disinilah seharusnya peran pengelola Taman Nasional Karimunjawa menjembatani permasalahan yang terjadi di masyarakat demi tercapainya tujuan penetapan taman nasional. Pemberian bimbingan teknis dan fasilitasi akses modal dan pemasaran akan membuka peluang bagi terciptanya iklim ekonomi yang sehat bagi masyarakat Karimunjawa. Indikator-indikator lain secara makro untuk keberlanjutan usaha ini sangat terbuka, antara lain permintaan pasar dunia yang tinggi serta adanya kebijakan nasional melalui revitalisasi perikanan. Permintaan pasar lokal sendiri untuk produk rumput laut ini juga cukup tinggi, antara lain dari Sidoarjo dan Semarang. Dampak negatif yang dikhawatirkan seperti disebutkan sebelumnya diatas dapat dihindari apabila dalam pelaksanaannya masyarakat diberikan bimbingan dan penyuluhan terhadap dampak lingkungan. Diperlukannya area budidaya rumput laut sebesar 913 ha yang dihasilkan dalam penelitian ini, menyebabkan perlunya penambahan areal Zona Pemanfaatan Perikanan Budidaya sebesar dari luas yang ditentukan saat ini sebesar 788,213 ha. Penambahan area untuk tambahan alokasi budidaya rumput laut dapat diambil dari sebagian Zona Pemanfaatan Perikanan Tradisional atau sebagaian dari Zona Pemanfaatan Pariwisata yang dalam prakteknya selama ini belum memberikan dampak ekonomi positif bagi nelayan. Implikasi politis akibat perubahan kebijakan zonasi mungkin dapat terjadi, oleh karena itu kebijakan ini juga hanya efektif dilakukan secara bertahap dan disosialisasikan secara luas sebelum diterapkan.
87
7. KESIMPULAN Kesimpulan 1.
Jenis ikan yang merupakan komoditi utama nelayan Kepulauan Karimunjawa terdiri dari 4 (empat) komoditas perikanan tangkap yaitu teri (Stolephorus sp), tongkol (Auxis thazard), tenggiri (Scomberomerus, sp) dan ekor kuning (Caesio cunning).
2.
Musim tangkap ikan teri (Stolephorus sp) terjadi selama 5 (lima) bulan dari bulan Juni hingga Oktober, ikan tongkol (Auxis thazard) selama 5 bulan dari bulan Agustus hingga Desember, tenggiri (Scomberomerus, sp) selama 5 bulan dari bulan Desember hingga April dan ekor kuning (Caesio
cunning) terjadi selama 6 bulan yaitu bulan Februari hingga Mei, bulan September dan Oktober. 3.
Jumlah alat tangkap optimum yang dapat dioperasikan di perairan Kepulauan Karimunjawa adalah sebagai berikut : (i) bagan perahu sebanyak 81 unit dengan target tangkapan ikan teri (ii) pancing tonda sebanyak 101 unit dengan target tangkapan ikan tongkol dan tenggiri (iii) jaring insang sebanyak 71 unit dengan target tangkapan ikan ekor kuning dan (iv) bubu sebanyak 0 unit.
4.
Dibutuhkan alokasi area perairan seluas 913 ha untuk budidaya rumput laut sebagai kegiatan alternatif nelayan. Kebutuhan jumlah unit masingmasing nelayan adalah 3 unit untuk nelayan bagan perahu dengan target tangkapan ikan teri, 4 unit untuk nelayan pancing tonda dengan target tangkapan ikan tongkol, 2 unit untuk nelayan pancing tonda dengan target tangkapan ikan tenggiri dan 5 unit untuk nelayan jaring insang dengan target tangkapan ikan ekor kuning.
Saran 1.
Hal-hal yang tercantum dalam 4 (empat) butir kesimpulan diatas perlu dipertimbangkan dalam pengambilan kebijakan pengaturan pada Zona Pemanfaatan Perikanan Tradisional TNK dan Zona Budidaya TNK.
88
2.
Perlu standarisasi pencatatan data untuk menghasilkan analisa yang lebih baik.
3.
Perlu penelitian lanjutan mengenai penentuan MSY yang lebih komprehensif sebagai pembatas hasil tangkapan, penelitian untuk mengetahui teknologi alat tangkap yang paling optimal serta penelitian untuk mengetahui kesesuaian lahan budidaya rumput laut untuk mengakomodasi kekurangan lahan yang dihasilkan dari perhitungan dalam penelitian ini.
89
DAFTAR PUSTAKA
Adiwibowo, S. 1995. Adaptasi Ekologi Masyarakat di Wilayah Pesisir. Makalah Kursus Pelatihan ICZPM Angkatan I. PPLH-IPB. Bogor. Ask, E.I. 1999. Cottonii and Spinosum Cultivation Handbook. FMC BioPolymer Corporation. Philippines. 52p. Baisre, J.A. 2000. Chronicles of Cuban Marine Fisheries (1935-1995) : Tren Analysis and Fisheries Potential. FAO Fisheries Technical Paper No. 394. Rome, FAO. 26p. Barber, C.V., Miller, K.R. and Boness, M. (eds). 2004. Securing Protected Areas in the Face of Global Change: Issues and Strategies. IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, UK. xxxiii + 236pp. Bengen, D.G, Tahir, A., Wiryawan, B. 2003. Program Daerah Perlindungan Laut Pulau Sebesi, Lampung Selatan. PKSPL IPB. Bogor. 44 hlm. Beveridge, G.S. and R.S. Schicter. 1970. Optimization Theory and Practice. McGraw Hill Koqakusha Ltd. Tokyo. Bianchi M., Boyle M., Hollingsworth D. 1999. “A comparison of methods for trend estimation" : Applied Economics Letters. 6(2): 103-109. BPPT. 2002. Peta Laut Indonesia. Jakarta. Braak, L., E. Mhlongo, J. Sturgeon and H. Magome. 2004. Policy recommendations on issues relating to neighbouring communities. KNP, Scientificservices,www.parkssa.co.za/conservation/scientific_services/ss _KMIneighbour.html. Bunce, L., Townsley, P., Pomeroy, R. and Pollnac, R. Socioeconomic Manual for Coral Reef Management. IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, UK. pp : 245. Buscher, B., Wolmer, W. 2007. Introduction : The Politics of Engagement between Biodiversity Conservation and the Social Sciences. Conservation and Society Journal Vol. 5 No. 1. 21p. Carner, G. 1984. Kelangsungan Hidup Saling Ketergantungan dan Persaingan di Kalangan Kaum Miskin Philipina dan Pembangunan Berdimensi Kerakyatan: Penyunting Korten dan Sjahrir. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
90
Christensen, V., Walters, C.J. 2004. Trade-offs in Ecosystem Scale Optimization of Fisheries Management Policies. Bulletin of Marine Science. Miami. pp 549-562. Clark, C.W. 1985. Bioeconomic Modelling of Fisheries Management. John Wiley & Sons. Chichester-New York-Brisbane-Toronto-Singapore. Collette, B.B., and C.R. Aadland. 1996. Fishbase Website Ref. 32349. Crawford, B. 2002. Seaweed Farming : An Alternative Livelihoods for SmallScale Fishers?. Working Paper for Coastal Resources Center University of Rhode Islands. 23p. Dahuri, R., Jais, J, J., Ginting, P., Sitepu, M.J. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Laut Secara Terpadu. Pradnya Paramita. Jakarta. 328 hlm. Damanhuri, D. Dan L.Arianto, 1995. Dimensi Sosial Ekonomi dalam Kerangka Pembangunan Masyarakat Pesiisr. Makalah Pertemuan Ilmiah Badan Pembinaan Hukum Nasional. Jakarta. Delmendo, M. N. 1989. Bivalve Farming : an alternative economic activity for small-scale coastal fishermen in the ASEAN region. ASEAN/SF/89/Tech 11. ASEAN/UNDP/FAO Regional Small-Scale Coastal Fisheries Development Project. Manila, Philippines. 45p. Departemen Kehutanan. 2001. Rencana Pengelolaan 25 Tahun Taman Nasional Karimunjawa. Departemen Kehutanan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Balai Taman Nasional Karimunjawa, Semarang. 137 hlm. Departemen Kehutanan. 2004. Penataan Zonasi Taman Nasional Karimunjawa Kabupaten Jepara Provinsi Jawa Tengah. Departemen Kehutanan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Balai Taman Nasional Karimunjawa, Semarang. 63 hlm. De Silva, S.S. 1992. Tropical Mariculture. Academic Press, New York. pp. 28-29. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Jepara. 2006. Buku Saku Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Jepara. Semarang. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. 2004. Pedoman Umum Budidaya Rumput Laut di Laut. DKP. Jakarta. 48 hal. Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. 2004. Profil Pulau-Pulau Kecil di Indonesia. DKP. Jakarta. 157 hal. Djuhanda, T. 1981. Dunia Ikan. Armico. Bandung. 191 hal.
91
Fahrudin, A. 1997. Metode Penelitian dan Analisis Data Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir. Pelatihan Pengelolaan Hutan Mangrove. PKSPLIPB. Bogor. FAO Marine Resources Service, Fishery Resources Division. 2005. Review of the State of World Marine Fishery Resources. FAO Fisheries Technical Paper No. 457. Rome, FAO. 235p. Fiorentini, L., Caddy, J.F., de Leiva, J.I. 1997. Long and Short Term Trends of Mediterranean Fishery Resources. Studies and Reviews. General Fisheries Council for the Mediterranean No. 69. Rome, FAO. 72p. Fréon, P., P. Cury, L. Shannon, and C. Roy. 2005. Sustainable Exploitation Of Small Pelagic Fish Stocks Challenged By Environmental And Ecosystem Changes: A Review. Bulletin Of Marine Science 76(2). Miami. pp 385– 462. Garcia, S.M., de Leiva, J.I. 2000. Trends In World Fisheries and Their Resouces. Extracted from The State of Fisheries and Aquaculture 2000, FAO. Rome, FAO. 9p. Gordon, H.S. 1954. The Economic of a Common Property Resource : The Fishery. J. Polit. Econ. 62: 124-142. Gumay, et.al. 2002. Distribusi dan Kelimpahan Rumput Laut di Kepulauan Karimunjawa Jawa Tengah. Jurnal Elektronik. Tim Pandu, Semarang. 9 hal. Hutomo, M., S. Martosewojo. Certain Aspect of the Biology of Sardinella fimbriata (Cuvier & Valenciennes) from Jakarta Bay. Oseanologi di Indonesia. LON-LIPI. Jakarta. hal : 1-16. ISRS. 2004. Sustainable Fisheries Management in Coral Reef Ecosystems. Briefing paper 4, International Society for Reef Studies, pp:14. Kadarsan, H.W. 1984. Keuangan dan Pembiayaan Perusahaan Pertanian Dalam Hubungan Dengan Ilmu Ekonomi dan Keuangan. Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Kelleher, G. 1999. Guidelines for Marine Protected Areas. IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, UK. xxiv +107pp. King, N., Biggs, H., Loon, R. 2007. Seeking Common Ground : How Natural and Social Scientists Might Jointly Create an Overlapping Worldview for Sustainable Livelihoods : A South African Perspective. Conservation and Society Journal Vol. 5 No. 1. pp 88-114.
92
Kriswantoro, M., Sunyoto. 1986. Mengenal Ikan Laut. Tirta Raga Karya. Badan Penerbit Karya Bani. Jakarta. 99 hal. Mavhunga, C., Dressler, W. On The Local Community : The Language of Disengagement?. Conservation and Society Journal Vol. 5 No. 1. 2007. pp 44-59. Meyer, T., et al. 2004. Sustainable, Profitable and Socially Responsible - Building a ‘Triple Bottom Line’ Grouper and Snapper Culture Industry in Komodo. Asia Pacific Marine Finfish Aquaculture Network - Electronic Magazine Vol. IX No. 4. pp 34-36. Msuya, F. 1998. Seaweed Farming [in Zanzibar]. Tanzania Coastal Resources Management Partnership. Pwani Yetu 2:6-7. Nazir, M. 1988. Metode Penelitian Sosial. Penerbit Ghalia Indonesia. Jakarta.365 hal. Nontji. A. 1987. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta. 351 hlm. Norimarna, M.K.J. 1996. Mengapa Masyarakat Indonesia Membutuhkan Pengelolaan Kawasan Pesisir ? (Tinjauan Sosek). Semiloka Nasional Peranan Masyarakat dalam Pengelolaan Kawasan Pesisir Indonesia 11 – 15 November 1996. Pusat studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup. UNPATI. Ambon. NRMP. 1996. Studi Budidaya Rumput Laut di Taman Nasional Bunaken. Natural Resources Management Project Report No. 73. Associates in Rural Development, Office of Rural and Environmental Management, USAID/Jakarta, and BAPPENAS – Ministry of Forestry. 26p. NSW Department of Primary Industries. 2006. Fishery Management Strategy for NSW Ocean Trap and Line Fishery. NSW Department of Primary Industries. Cronulla NSW. 104p. Nurfiarini, Amula. 2003. Kajian Pengembangan Budidaya Perikanan Pesisir dan Pengaruhnya Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir Teluk Saleh Kabupaten Dompu. Tesis. IPB. Bogor. 163 hlm. Panayotou, T. 1982. Management Concept for Small-scale Fisheries : Economic and Social Aspect. FAO-UN. Rome. 53p. Pauly, D. 1979. Theory and management of tropical multispecies stocks, with emphasis on the Southeast Asian demersal fisheries. International Center for Living Aquatic Resources Management, Manila, Philippines. 35 p. Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Tengah. 2001. Data Dasar Kepulauan Karimunjawa Tahun 2000. Semarang. 203 hlm.
93
Pollnac, R.B., F. Sondita, B. Crawford, E. Mantjoro, C. Rotinsulu and A. Siahainenia. 1997b. Baseline Assessment of Socioeconomic Aspects of Resources Use in the Coastal Zone of Bentenan and Tumbak. Proyek Pesisir Technical Report No: TE-97/02-E. Coastal Resources Center, University of Rhode Island, Narragansett, Rhode Island, USA. 79p. Pomeroy, R.S., Parks, J.E. and Watson, L.M. 2004. How is your MPA doing? A Guidebook of Natural and Social Indicator for Evaluating Marine Protected Area Management Effectiveness. IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, UK. pp : 216. Prasojo. W. Nuraini. 1993. Pola Kerja Rumah Tangga Miskin pada Musim Paceklik (Studi Perbandingan Pada Komunitas Nelayan dan Pertanian Tanaman Pangan di Kecamatan Astanajapura Kabupaten Cirebon. Jawa Barat) Tesis. IPB. Bogor. Purwanti, F. 2003. Kajian Tentang Pengembangan dan Pengelolaan Kawasan Taman Nasional Laut Karimunjawa. Makalah Falsafah Sains SPS-S3 IPB. Bogor. 3 hal. Saaty, Thomas L. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin. PT. Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta. 267 hlm. Sanchirico, J.N., Cochran, K.A., Emerson, P.M. 2002. Marine Protected Areas : Economic and Social Implications. Environmental Defense. Texas. 29p. Schaefer, M. 1954. Some aspects of the dynamics of populations important to the management of the commercial marine fisheries. Bull. I-ATTC/Bol. CIAT, 1(2):27-56. Schaefer, M. 1957. A study of the dynamics of the fishery for yellowfin tuna in the eastern tropical Pacific Ocean. Bull. I-ATTC/Bol. CIAT, 2:247-268. Smith, I.R. and R.P. Smith. 1980. A fishing community’s response to seaweed farming. ICLARM Newsletter. July, 1980. pp. 6-8. Sukoso. 2006. Kawasan Konservasi Laut : Jalan Alternatif Penyelamatan Kelestarian Sumberdaya Perikanan. Universitas Brawijaya. Malang. 14 hlm. Supranto, J. 1988. Riset Operasi Untuk Pengambilan Keputusan. UI Press. Jakarta. Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Pesisir Tropis. Gramedia. Jakarta.
94
Syafrin, N. 1993. analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Usaha Penangkapan Ikan (Studi Kasus di Kota Madya Padang). Tesis. IPB. Bogor. Thompson, G.G. 1999. Optimizing Harvest Control Rules in the Presence of Natural Variability and Parameter Uncertainty. Alaska Fisheries Center. Seattle. 22p. WCS Marine Program Indonesia. 2004. Laporan Teknis Wildlife Conservation Society Asia Pacific Coral Reef Program Indonesia Survei 2003 – 2004 di Kepulauan Karimunjawa, Jawa Tengah. Wildlife Conservation Society Asia Pacific Coral Reef Program Indonesia, Bogor. 66 hlm. Wiyono, Eko Sri. 2001. Optimasi Manajemen Perikanan Skala Kecil Di Teluk Pelabuhan Ratu, Jawa Barat. Tesis. IPB. Bogor. 94 hlm. Wu, R. 2002. Global Outlook and Strategies Towards Sustainability. Powerpoint. City University of Hong Kong. Hong Kong. YMK. 2002. Tata niaga rumput laut Nusa Penida : benturan kepentingan dan pengusaha pariwisata lingkungan pesisir. Yayasan Mainikaya Kauci. http://manikaya.terranet.or.id Zanzibar. 2002. Zanzibar Ecology. www.allaboutzanzibar.com
95
LAMPIRAN
96
Lampiran 1.Data produksi perikanan Karimunjawa (melalui dermaga perintis dan dermaga rakyat)
Sample data produksi harian untuk Bulan April 2006
PRODUKSI PER JENIS IKAN NO
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
NAMA BAKUL
Rundo Joko Tajab H. Cipto Kris Matbari Marlis Waroh Wawan H. Aviv Manap Jumlah Harga Rata2 (Rp/Kg)
Ekor Kuning Berat (Kg) 3.950
NILAI (Rp 000) 33.575
550
4.675
11.400
96.900
15.900
135.150
8.500
Tenggiri
800 200 650 150 2.050 800 1.600 850 850 750 1.600
NILAI (Rp 000) 12.000 3.000 9.750 2.250 30.750 12.000 24.000 12.750 12.750 11.250 24.000
10.300
154.500
Berat (Kg)
15.000
Badong NILAI (Rp 000)
Berat (Kg)
Sulir
Todak
NILAI (Rp 000)
Berat (Kg)
3.750
200 250 100 350
1.000 1.250 500 1.750
1.400
7.000
200 200 100 50
1.000 1.000 500 250
2.150
10.750
1.450
7.250
750
5.000
5.000
Campur
NILAI (Rp 000)
Berat (Kg)
300
1.500
700
3.500
1.000
5.000
5.000
100 100 1.000
NILAI (Rp 000) 500 500 5.000
950 400 350 500 400 600
4.750 2.000 1.750 2.500 2.000 3.000
4.400
22.000
Berat (Kg)
5.000
Jumlah Berat (Kg)
NILAI (Rp 000)
4.850 500 2.200 250 4.100 1.200 2.700 2.250 1.350 14.200 1.600
46.075 4.500 17.500 2.750 41.000 14.000 31.425 19.750 15.250 118.400 24.000
35.200
334.650
9.507
97
Rekapitulasi Data Bulanan Produksi Perikanan Tangkap Karimunjawa Tahun 1999
PRODUKSI PER JENIS IKAN NO
BULAN
Ekor Kuning Berat (Kg)
Tongkol
Tenggiri
Badong
Manyung
Berat (Kg)
Berat (Kg)
Berat (Kg)
Berat (Kg)
1
JANUARI
2
FEBRUARI
3
MARET
4
APRIL
5
MEI
6
JUNI
7
JULI
2.450
1.700
8
AGUSTUS
5.390
450
9
SEPTEMBER
11.390
1.800
10
OKTOBER
32.330
2.800
11
NOPEMBER
33.320
12
DESEMBER Jumlah
750
200
3.550
100
Berat (Kg)
2.100
100
Lodi Berat (Kg)
Teri Berat (Kg)
Kakap Merah Berat (Kg)
Lobster
Berat (Kg)
Berat (Kg)
3.875
670
8.700
440
38.630
300
30.510
600
21.880
165
700
525
3.930
2.250
4.250
1.300
26.280
4.300
3.180
700
111.160
21.600
8.230
5.575
550 1.920
300
4.570
107.525
100
Kerapu
1.040
750
4.750
Cumi
Berat (Kg)
Jumlah Berat (Kg)
210
363
20
12.758
115
135
1.650
15.670
75
870
44.715
1.920
39.020
145
780
38.680
55
75
650
41.065
85
280
3.100
44.585
100
2.670
37.230
1.098
11.660
273.723
450
550
Lainlain
705
98
Rekapitulasi Data Bulanan Produksi Perikanan Tangkap Karimunjawa Tahun 2000
PRODUKSI PER JENIS IKAN NO
BULAN
Ekor Kuning Berat (Kg)
Tongkol
Tenggiri
Badong
Manyung
Berat (Kg)
Berat (Kg)
Berat (Kg)
Berat (Kg)
Cumi Berat (Kg)
Lodi Berat (Kg)
Teri Berat (Kg)
Kakap Merah Berat (Kg)
Kerapu
Lobster
Berat (Kg)
Berat (Kg)
Lainlain Berat (Kg)
Jumlah Berat (Kg)
1
JANUARI
5.050
2.950
1.050
600
75
8.500
18.225
2
FEBRUARI
3.750
5.250
1.660
3.650
405
5.550
20.265
3
MARET
650
9.800
3.250
5.600
315
300
7.400
27.315
4
APRIL
5
MEI
6
JUNI
2.450
7
JULI
2.650
8
AGUSTUS
9
SEPTEMBER
10
4.600
3.700
2.300
1.750
2.350
6.290
3.500
210
30
1.750
26.480
150
4.650
600
2.500
10.050
3.900
16.940
500
430
630
750
41.100
200
3.250
850
3.600
1.400
850
24.510
450
80
100
500
38.240
1.900
3.650
650
5.150
1.000
850
32.670
31.850
2.300
1.725
950
1.425
23.690
300
100
41.220
2.100
2.050
550
1.020
19.230
OKTOBER
60.040
500
1.950
1.250
1.300
31.260
120
540
96.960
11
NOPEMBER
63.220
500
700
180
1.600
700
450
30
67.380
12
DESEMBER
20.400
2.720
240
1.200
300
2.150
720
300
100
400
28.530
228.430
42.270
6.040
21.175
23.390
25.295
156.010
2.485
2.460
25.650
543.055
Jumlah
5.100
650
650
49.820
80
150
62.570 66.170
4.750
99
Rekapitulasi Data Bulanan Produksi Perikanan Tangkap Karimunjawa Tahun 2001
PRODUKSI PER JENIS IKAN N O
BULA N
1
JAN
2
FEB
Ekor Kunin g
Tongk ol
Tenggi ri
Badon g
Manyun g
Berat (Kg)
Berat (Kg)
Berat (Kg)
Berat (Kg)
Berat (Kg)
480
Sulir
Toda k
Cumi
Lodi
Berat (Kg)
Berat (Kg)
Berat (Kg)
Berat (Kg)
Teri
Gurit a
Betet (Hijau )
Kaka p Mera h
Kerap u
Lobste r
Lainlain
Jumla h
Berat (Kg)
Berat (Kg)
Berat (Kg)
Berat (Kg)
Berat (Kg)
Berat (Kg)
Berat (Kg)
Berat (Kg)
9.440
5.880
1.980
1.740
1.080
3.350
250
610
760
3.580
300
3.660
1.130
2.350
350
355
2.080
620
160
9.090
34.060
15.600
28.085
30
1.620
30.975
3
MAR
880
300
9.140
1.020
8.700
1.580
4.025
4
APR
1.980
300
8.500
1.480
2.640
2.720
3.400
7.510
2.260
500
365
760
32.415
5
MEI
1.080
3.440
980
2.820
1.060
1.800
3.590
280
465
230
460
16.205
6
JUNI
3.250
3.390
2.650
1.250
300
1.750
7.240
200
535
100
1.300
21.965
7
JULI
4.530
390
1.650
1.100
340
1.325
29.500
100
175
130
850
8
AGT
3.000
19.360
2.900
300
250
1.300
81.830
100
40.090 109.15 5
9
SEPT
24.440
1.770
600
440
1.125
1.500
100
150
25
10
OKT
92.690
2.460
1.390
1.320
1.575
3.950
200
100
145
30.150 103.83 0
11
NOP
44.850
3.420
1.040
1.580
2.070
780
2.100
1.100
1.370
60
80
58.450
12
DES Jumla h
12.620
4.700
1.470
2.280
9.590
1.780
2.350
4.600
170
205.150
50.830
12.020
26.960
11.660
2.560
15.200
10.22 0
26.45 0
980
136.22 0
5.970
980
5.920
115
3.740
39.560 1.380
29.680
544.94 0
100
Rekapitulasi Data Bulanan Produksi Perikanan Tangkap Karimunjawa Tahun 2002
PRODUKSI PER JENIS IKAN N O
BULA N
Ekor Kunin g
Tongk ol
Tenggi ri
Badon g
Manyun g
Berat (Kg)
Berat (Kg)
Berat (Kg)
Berat (Kg)
Berat (Kg)
Sulir
Toda k
Cumi
Lodi
Teri
Berat (Kg)
Berat (Kg)
Berat (Kg)
Berat (Kg)
Berat (Kg)
1
JAN
950
7.410
5.300
2.320
3.180
10.62 0
1.530
2
FEB
1.810
1.220
3.360
2.950
2.200
5.410
1.200
3
MAR
3.100
3.650
2.620
4.470
6.730
3.300
4
APR
1.700
2.000
750
1.000
2.200
4.500
1.050
5
MEI
4.550
400
3.750
1.950
3.100
2.900
6
JUNI
9.950
450
2.400
1.000
2.700
1.800
7
JULI
22.06 0
11.480
19.210
11.840
17.850
31.96 0
8
AGT
9
SEPT
10
OKT
11
NOP
12
DES Jumla h
Gurita
Betet (Hijau )
Kaka p Mera h
Kerap u
Lobste r
Lainlain
Jumlah
Berat (Kg)
Berat (Kg)
Berat (Kg)
Berat (Kg)
Berat (Kg)
Berat (Kg)
Berat (Kg)
4.600
2.280
540 1.32 0
3.250
2.380
5.200
400
4.340
3.250
5.100
1.550
2.000
5.900
700
250
800 1.15 0 1.00 0
2.000
7.300
7.330
4.81 0
20.30 0
18.70 0
11.25 0
1.250
1.250
85
150
700
180
55
1.350
26.605
4.130
205
180
6.140
45.785
1.550
2.000
190
28.890
1.700
200
28.300
1.850
25
700
31.425
800
8.190
199.43 0
9.930
2.470
38.425
101
Rekapitulasi Data Bulanan Produksi Perikanan Tangkap Karimunjawa Tahun 2004
PRODUKSI PER JENIS IKAN NO
BULAN
Ekor Kuning
Tongkol
Tenggiri
Badong
Manyung
Bawal
Sulir
Todak
Cumi
Lodi
Teri
Gurita
Betet (Hijau)
Kakap Merah
Jumlah
Berat (Kg)
Berat (Kg)
Berat (Kg)
Berat (Kg)
Berat (Kg)
Berat (Kg)
Berat (Kg)
Berat (Kg)
Berat (Kg)
Berat (Kg)
Berat (Kg)
Berat (Kg)
Berat (Kg)
Berat (Kg)
Berat (Kg)
1
JAN
4.000
8.900
6.050
1.400
1.750
900
600
1.350
900
200
1.450
2
FEB
3.900
2.950
2.300
1.150
3.150
1.350
350
750
1.100
200
700
3
MAR
4.350
750
4.700
1.050
3.700
3.050
250
1.300
2.850
200
4
APR
6.600
350
3.150
350
2.900
1.850
600
1.200
200
6.800
1.100
5
MEI
10.850
300
3.400
2.400
2.650
4.350
1.600
1.450
500
7.470
2.200
37.170
6
JUNI
6.900
1.200
1.200
300
1.300
5.100
350
19.050
7
JULI
4.950
250
5.300
350
1.000
850
100
650
38.100
300
51.850
8
AGT
3.900
100
1.000
200
550
950
200
1.250
2.700
9
SEPT
9.750
1.350
4.300
10
OKT
1.550
23.300
8.700
11
NOP
1.500
7.700
5.400
12
DES
12.650
2.700
7.100
Jumlah
70.900
48.650
54.100
650
14.500
18.500
200
22.600 200
37.500
25.300
45.350
1.400
18.000
36.250
1.150
2.000
38.200
1.500
700
300
17.950
2.750
2.850
750
200
29.000
4.250
11.550
14.100
2.300
850
19.000
600
1.200
300
7.100
500
200
27.500
114.970
2.350
4.750
200
368.720
102
Rekapitulasi Data Bulanan Produksi Perikanan Tangkap Karimunjawa Tahun 2005
PRODUKSI PER JENIS IKAN NO
BULAN
Ekor Kuning
Tongkol
Tenggiri
Badong
Manyung
Bawal
Sulir
Todak
Cumi
Teri
Lainlain
Jumlah
Berat (Kg)
Berat (Kg)
Berat (Kg)
Berat (Kg)
Berat (Kg)
Berat (Kg)
Berat (Kg)
Berat (Kg)
Berat (Kg)
Berat (Kg)
Berat (Kg)
Berat (Kg)
1
JANUARI
10.800
2
FEBRUARI
10.400
3
MARET
7.050
4
APRIL
7.400
5
MEI
5.300
6
JUNI
7
4.300
1.600
2.600
850
4.800
1.200
2.300
100
4.800
1.050
1.950
2.450 250
550
22.300
1.400
1.050
600
22.600
1.950
1.100
1.500
19.750
950
850
300
1.150
17.400
550
1.500
1.600
12.750
4.750
450
1.550
250
2.250
550
750
6.550
900
3.600
450
2.850
100
400
3.900
JULI
3.500
600
2.500
100
1.750
250
350
5.450
8
AGUSTUS
7.000
2.700
1.800
350
500
400
450
21.600
34.800
9
SEPTEMBER
8.900
2.450
3.450
200
750
550
15.700
32.000
10
OKTOBER
8.300
11.500
3.950
2.050
1.600
750
7.000
35.550
11
NOPEMBER
3.550
8.750
3.950
500
350
200
600
12
DESEMBER
6.050
11.400
10.100
2.150
100
4.750
200
100
5.650
84.800
39.500
50.250
4.450
14.100
5.000
10.400
6.900
61.700
Jumlah
400
6.850
18.750 200
300
14.700
18.200 40.500
5.350
289.300
103
Rekapitulasi Data Bulanan Produksi Perikanan Tangkap Karimunjawa Tahun 2006
PRODUKSI PER JENIS IKAN NO
BULAN
Ekor Kuning
Tongkol
Tenggiri
Badong
Sulir
Todak
Teri
Campur
Jumlah
Berat (Kg)
Berat (Kg)
Berat (Kg)
Berat (Kg)
Berat (Kg)
Berat (Kg)
Berat (Kg)
Berat (Kg)
Berat (Kg)
1
JANUARI
3.050
3.125
8.675
500
8.750
150
2
FEBRUARI
6.100
250
9.650
900
10.050
550
600
150
28.250
3
MARET
14.550
2.450
10.600
3.450
14.200
300
100
800
46.450
4
APRIL
15.900
10.300
2.150
1.450
1.000
4.400
35.200
39.225
7.000
34.450
2.000
5.350
134.150
5
MEI
6
JUNI
7
JULI
8
AGUSTUS
9
SEPTEMBER
10
OKTOBER
11
NOPEMBER
12
DESEMBER Jumlah
39.600
5.825
24.250
700
104
Lampiran 2. Status Report Perhitungan What’s Best 8.0 What'sBest!® 8.0.4.7 (Dec 04, 2006) - Library 4.1.1.125 - Status Report DATE GENERATED:
Jan 27, 2008
02:00 PM
MODEL INFORMATION: CLASSIFICATION DATA Current Capacity Limits -------------------------------------------------------Numerics 52 Variables 28 Adjustables 4 300 Constraints 4 150 Integers/Binaries 0/0 30 Nonlinears 0 30 Coefficients 51 Minimum Minimum Maximum Maximum
coefficient coefficient coefficient coefficient
value: in formula: value: in formula:
0.05 on Sheet1!L10 Sheet1!L11 1800000 on Sheet1!K15
MODEL TYPE:
Linear
SOLUTION STATUS:
GLOBALLY OPTIMAL
OBJECTIVE VALUE:
124.93742581528
DIRECTION:
Minimize
SOLVER TYPE:
. . .
TRIES:
0
INFEASIBILITY:
1.1641532182693e-010
BEST OBJECTIVE BOUND:
. . .
STEPS:
. . .
ACTIVE:
. . .
SOLUTION TIME:
0 Hours
0 Minutes
0 Seconds
End of Report
105