MODEL MATA PENCAHARIAN ALTERNATIF UNTUK PENGEMBANGAN EKONOMI RUMAH TANGGA NELAYAN TERUMBU KARANG (Studi Kasus Pengelolaan Terumbu Karang Di Kecamatan Tuppabiring Utara Kabupaten Pangkep Kepulauan Sulawesi Selatan)
PROPOSAL PENELITIAN
OLEH: SITTI FAKHRIYYAH NIM 117080100111005
PROGRAM DOKTOR PASCASARJANA FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2013
1
Proposal Penelitian
Judul
: MODEL MATA PENCAHARIAN ALTERNATIF UNTUK PENGEMBANGAN EKONOMI RUMAH TANGGA NELAYAN TERUMBU KARANG (Studi Kasus Pengelolaan Terumbu Karang Di Kecamatan Tuppabiring Utara Kabupaten Pangkep Kepulauan Sulawesi Selatan)
Nama Mahasiswa : Sitti Fakhriyyah Nim
: 1117080100111005
Program Studi
: Program Doktor Ilmu Perikanan dan Kelautan
Komisi Promotor: Promotor
: Prof. Dr. Ir. Soemarno, MS
Ko-Promotor
: Dr. Ir. Nuddin Harahap, MP
Ko-Promotor
: Dr. Ir. Pudji Purwanti, MP
Komisi Penguji: Penguji 1
: Dr. Ir. Ismadi, MS
Penguji 2
: Dr. H. Rudianto, MA.
Penguji 3
: Prof. Dr. Ir. Sutinah Made, M.Si
2
KATAPENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal disertasi dengan judul “MODEL MATA PENCAHARIAN ALTERNATIF UNTUK PENGEMBANGAN EKONOMI RUMAH TANGGA NELAYAN (STUDI KASUS PENGELOLAAN TERUMBU KARANG DI KECAMATAN TUPPABIRING UTARA KABUPATEN PANGKEP KEPULAUAN SULAWESI SELATAN) sebagai bahan ujian proposal untuk menyelesaikan Program Doktor pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya Malang. Dalam proposal ini dipaparkan tentang permasalahan, tujuan, kerangka piker dan metode penelitian. Penulis menyadari dalam proposal ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik sangat diharapkan guna perbaikan dan penyempurnaan proposal ini.
Malang, 27 Mei 2013
Penulis
3
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR ............................................................................ DAFTAR ISI ......................................................................................... DAFTAR TABEL .................................................................................. DAFTAR GAMBAR .............................................................................. I. PENDAHULUAN ......................................................................... 1.1. Latar Belakang ……………………….……………………… 1.2. Perumusan Masalah ………………….…………………….. 1.3. Tujuan Penelitian ……………………………………………. 1.4. Manfaat Penelitian……………………………………………
ii iii v vi 1 1 5 6 6
II.
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 2.1. Terumbu Karang………………………………………..…….. 2.1.1. Ancaman Terumbu Karang ………………………….. 2.1.2. Pengelolaan terumbu Karang ……………………….. 2.2. Rumah tangga Nelayan …………………………………….. 2.2.1. Produksi ……………………………………………….. 2.2.2. Curahan Kerja…………………………………………. 2.2.3. Pendapatan …………………………………………… 2.2.4. Pengeluaran …………………………………………... 2.3. Mata Pencaharian Alternatif………………………………… 2.4. Tinjauan Teoritis………………..…………………………….. 2.4.1. Proses Produksi……………………………………….. 2.4.2. Teori Alokasi Waktu Kerja…………………………… 2.4.3. Ekonomi Rumah Tangga Model Chayanov…………
8 9 10 13 15 16 17 21 23 23 25 26 32 39
III.
KERANGKA KONSEP PENELITIAN……………. ......................... 3.1. Kerangka Pikir Penelitian………………….………………… 3.2 Definisi Operasional…………………………………………..
44 44 46
IV.
METODE PENELITIAN................................................................. 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian. ............................................. 4.2. Rancangan Penelitian.......................................................... 4.3 Analisis data…. ..................................................................
49 49 51 53
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................
4
64
DAFTAR TABEL
No. 1.
2.
Teks
Halaman
Data Jumlah Responden pada Masing-masing Lokasi Penelitian………………………………………………………………
52
Tujuan dan Metode Analisis Model Mata Pencaharian Alternatif untuk Pengembangan Ekonomi Rumah Tangga Nelayan dalam Mengelola Terumbu karang……………………………………….…
59
5
DAFTAR GAMBAR
No.
Teks
1.
Kurva Pertumbuhan Ikan dalam Keseimbangan untuk Lingkungan Konstan (Anderson, 1986)…………………………….
28
Hubungan Produksi (Q) dan Pertambahan fishing effort (Panayotou, 1982)…………………………………………………….
29
3.
Pembeli Monopsonist (Pindyck dan Rubinfeld, 1995)…………….
31
4.
Kurva Penawaran Tenaga Kerja (Layard dan Walters, 1978)…...
37
5.
Rumah Tangga Petani Model Chayanov (Ellis, 1989)……………
40
6.
Kerangka Pikir Penelitian……………………………………………
45
7.
Peta Lokasi Penelitian………………………………………………
50
2.
6
Halaman
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Wilayah pesisir dan laut Indonsia memiliki posisi penting dalam
pembangunan bangsa karena sekitar 60% penduduk Indonesia hidup di wilayah pesisir. Selain itu, sebagian besar kota propinsi dan kabupaten terletak di kawasan pesisir. Sektor kelautan memberi kontribusi terhadap PDB nasional sebesar 20,06%; dan industri kelautan menyerap lebih dari 1,16 juta tenaga kerja langsung. Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki peran ekonomi yang sangat penting karena memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang sangat besar; yang bilamana dikelola dengan baik akan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah tersebut. Namun hal ini disebabkan karena kebijakan pembangunan pulau-pulau kecil dan pesisir yang tidak didasari atas potensi sumberdaya lokal. Kebijakan pembangunan pada masa lalu yang lebih terkonsentrasi pada wilayah daratan serta cenderung mengabaikan pembangunan wilayah pesisir dan laut telah menyebabkan kesenjangan pembangunan antara wilayah daratan dan laut. Kesenjangan ini dapat dilihat pada tingkat kesejahteraan sosial ekonomi yang rendah dan angka kemiskinan yang tinggi. Ketimpangan kebijakan pembangunan wilayah pesisir dan laut diperparah oleh tata pemerintahan yang kurang baik, sehingga membuat masyarakat di wilayah pesisir dan kepulauan kurang berdaya dalam berbagai sendi kehidupan. Kurangnya pemberdayaan ini antara lain disebabkan
oleh kebijakan yang sentralistik, proses perencanaan
top-down dan kebijakan keuangan yang sering tidak didahului dengan
7
peningkatan kapabilitas dan pemberdayaan kelembagaan kelompok ekonomi masyarakat pesisir dan kepulauan. Selain itu, pemanfaatan sumberdaya kelautan seperti menghadapi dilema. Di satu sisi, pemanfaatannya belum optimal, namun di sisi lain telah terjadi banyak kerusakan di perairan laut akibat pemanfaatan sumberdaya alam tanpa mempertimbangkan segi kelestariannya. Kondisi tersebut semakin dipersulit oleh lemahnya kemampuan perencanaan dan implementasi kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut. Wilayah perairan laut memiliki salah satu ekosistem penting, yaitu terumbu karang. Di mana kondisi terumbu karang di perairan Indonesia saat ini memprihatinkan karena banyak yang sudah rusak. Berdasarkan hasil pemantauan di 686 lokasi stasiun pantau, secara keseluruhan di Indonesia hanya 5,83% terumbu karang dalam kondisi sangat baik, dan sekitar 22,56 % berada dalam keadaan baik, sisanya sebanyak 36,59% dan 31,92% masing-masing dalam kondisi cukup dan kurang (Suharsono, 2005). Kerusakan terparah terumbu karang ditemukan di Wilayah Timur Indonesia. Data dari 195 lokasi stasiun menunjukkan bahwa 42,05% terumbu karang berada dalam kondisi kurang dan hanya 6,15% sumberdaya tersebut dalam kondisi sangat baik. Di kabupaten Pangkep, persentase kondisi terumbu karang rusak adalah 50,00%. Kondisi sedang 40.90%, kondisi bagus 9.10% dan kondisi sangat bagus 0.00%. (PPTK UNHAS, 2009). Realitas ini menunjukkan bahwa terumbu karang didaerah tersebut dalam kondisi terancam. Berbagai faktor berperan dalam menimbulkan kerusakan terumbu karang, baik faktor alam maupun manusia. Beberapa organisme laut yang berperan sebagai predator diantaranya adalah bintang laut. Dari sisi manusia,
8
kegiatan
eksploitasi alam
tanpa
memperhatikan
kelestariannya
menjadi
penyebab utama terjadi kerusakan terumbu karang. Kondisi ini diperparah oleh laju eksploitasi ikan-ikan karang untuk konsumsi dan ikan hias (Coremap, 1998). Penyebab kerusakan terumbu karang di pulau-pulau kabupaten Pangkep umumnya diakibatkan oleh kegiatan pemboman dan penggunaan bius (potassium sianida). Selain itu penambangan karang batu dan penggunaan jangkar kapal juga memberikan kontribusi terhadap kerusakan terumbu karang di beberapa pulau di kabupaten Pangkep adalah ledakan populasi Acanthaster plancii. Ledakan populasi Acanthaster plancii telah menyebabkan matinya karang yang relatif luas 1-2 tahun yang lalu di pulau-pulau yang termasuk dalam Taman Wisata Alam Laut Pulau Kapoposang sedangkan di daerah pesisir di kabupaten Pangkep, penyebab kerusakan terumbu karang di daerah ini diakibatkan juga tingginya laju sedimentasi dan limpasan air tawar dari sungaisungai yang mengalir di sekitar pulau-pulaunya. Sebagai upaya untuk mengatasi persoalan rusaknya terumbu karang di Indonesia, adalah melalui konservasi dan pengelolaan sumberdaya laut secara berkelanjutan. Untuk itu pemerintah Indonesia dengan bantuan dari beberapa kreditor luar negeri telah mengimplementasikan coremap. COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and Management Program) atau Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang adalah program jangka panjang yang diprakarsai oleh Pemerintah Indonesia dengan tujuan untuk melindungi, merehabilitasi, dan mengelola pemanfaatan secara lestari terumbu karang serta ekosistem terkait di Indonesia, yang pada gilirannya akan menunjang kesejahteraan masyarakat pesisir.
9
Adapun Visi pengelolaan Terumbu karang adalah yaitu terumbu karang merupakan sumber pertumbuhan ekonomi yang harus dikelola dengan bijaksana, terpadu dan berkelanjutan dengan memelihara daya dukung dan kualitas lingkungan melalui pemberdayaan masyarakat dan stakeholder guna memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat dan penggunaan secara berkelanjutan. Untuk mewujudkan visi tersebut maka ada empat tujuan pokok pengelolaam terumbu karang yaitu :
Tujuan sosial yaitu meningkatkan kesadaran masyarakat dan stakeholder mengenai pentingnya pengelolaan terumbu karang secara terpadu dan berkelanjutan
Tujuan konservasi ekologi yaitu melindungi dan memelihara ekosistem terumbu karang untuk menjamin pemanfaatan secara optimal dan berkelanjutan.
Tujuan
ekonomi
yaitu
pencaharian alternatif
meningkatkan
dan
mengembangkan
mata
dalam pemanfaatan jasa kelautan melalui
pengelolaan terumbu karang secara efisien dan berkelanjutan dan untuk memperbaiki
kesejahteraan
masyarakat
dan
menciptakan
sistem
stakeholder
serta
pembangunan ekonomi.
Tujuan
kelembagaan
yaitu
dan
mekanisme
kelembagaan yang professional efektif dan efisien dalam merencanakan dan mengelola terumbu karang secara terpadu dan optimal. (Mallawa A, 2006) Masyarakat nelayan sebenarnya mempunyai banyak waktu luang yang dapat dimanfaatkan selain usaha penangkapan ikan. Aktivitas penangkapan ikan
10
yang mereka lakukan sangat tergantung pada musim angin. Aktivitas/intensitas penangkapan ikan yang tinggi terjadi pada musim ikan (peak season) dimana keadaan laut relatif tenang biasanya terjadi pada bulan April. Aktivitas sedang biasanya pada bulan Mei sampai dengan bulan Juli; aktivitas berkurang terjadi pada musim kurang ikan (off season), biasanya terjadi pada bulan Agustus sampai dengan Oktober. Dan aktivitas penangkapan ikan hampir terhenti sama sekali pada musim paceklik atau musim utara, yang biasanya terjadi pada bulan November sampai dengan Januari. Secara perhitungan sederhana, diperkirakaln rata-rata waktu produktif nelayan dalam usaha penangkapan ikan adalah dalam satu tahun, hanyalah sekitar 9 bulan dalam satu bulan hanya sekitar 20 hari (PPTK UNHAS, 2009) Dengan kondisi yang demikian maka daerah penelitian dikembangkan usaha mata pencaharian alternatif jasa kelautan selain usaha penangkapan ikan dalam rangka menstabilkan dan meningkatkan pendapatan nelayan dari satu sisi dan mengurangi tekanan terhadap sumberdaya perikanan dari sisi lainnya. Dari sekian banyak usaha mata pencaharian alternatif yang berkembang maka diperlukan suatu model yang terbaik didaerah penelitian.
1.2.
Perumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan pokok dalam penelitian
dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Terjadi perbedaan produksi, curahan waktu kerja, penerimaan dan pengeluaran rumah tangga nelayan setiap musim (Musim puncak, Musim Paceklik dan Musim Peralihan) 2. Bagaimana peluang usaha mata pencaharian alternatif?
11
3. Bagaimana perilaku Rumah tangga Nelayan dalam mengelola terumbu karang? 4. Bagaimana model
mata pencaharian alternatif
untuk meningkat
Ekonomi Rumah Tangga nelayan dalam mengelola terumbu karang? 1.3.
Tujuan Penelitian Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan, maka tujuan dari
penelitian ini adalah: 1. Menganalisis perbedaan produksi, curahan waktu kerja, penerimaan dan pengeluaran rumah tangga nelayan pada setiap musim. 2. Mengetahui dan menganalisis peluang usaha ekonomi Rumah Tangga nelayan. 3. Mengetahui dan menganalisis Perilaku rumah tangga nelayan dalam mengelola terumbu karang 4. Merumuskan model mata pencaharian alternatif untuk meningkatkan ekonomi rumah tangga nelayan dalam mengelola terumbu karang
1.4.
Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Teoritis 1. Bermanfaat
untuk
pengembangan
konsep
pembangunan
yang
berkelanjutan dengan upaya peningkatan pendapatan rumah tangga nelayan. 2. Bermanfaat untuk penentuan produktifitas rumah tangga nelayan terhadap pengelolaan terumbu karang 3. Bagi perencanaan dan penentuan kebijakan, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang positif, untuk pengelolaan terumbu karang.
12
1.4.2 Manfaat Praktis 1. Memberikan masukan bagi pemerintah dan pihak-pihak terkait serta menyediakan
informasi
yang
bermanfaat
pengambilan keputusan yang lebih baik dalam
untuk
menentukan
peningkatan mata
pencaharian rumah tangga nelayan dan tetap melestarikan pengelolaan terumbu karang. 2. Masukan bagi para peneliti yang akan melakukan penelitian terkait di masa akan datang.
13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Terumbu Karang Terumbu karang disusun oleh karang-karang kelas Anthozoa, filum Cnidaria dan ordo Madreporaria. Karang dikelompokkan sebagai karnivora dan pemakan zooplankton. Makanan karang berasal dari tiga sumber yaitu (a) plankton yang ditangkap melalui tentakel yang dilengkapi dengan sel penyengat pelumpuh mangsa (nematocyst); (b) nutrisi organik
yang diserap secara
langsung dari air; dan (c) senyawa organik yang dihasilkan zooxanthellae, yaitu sejenis algae yang hidup di polip karang. Untuk kepentingan pembentukan karang, zooxanthellae merupakan yang paling penting (Dahuri, 2003). Terumbu karang (coral reef) sebagai ekosistem dasar laut dengan penghuni utama karang batu mempunyai arsitektur yang mengagumkan dan dibentuk oleh
ribuan
hewan kecil yang
disebut polip. Dalam
bentuk
sederhananya, karang terdiri dari satu polip saja yang mempunyai bentuk tubuh seperti tabung dengan mulut yang terletak dibagian atas dan dikelilingi oleh tentakel. Namun pada kebanyakan spesies, satu individu polip karang akan berkembang menjadi banyak individu yang disebut koloni (Sorokin, 1993) Menurut Nybakken (1986) terumbu karang dikelompokkan menjadi tiga tipe struktural umum yaitu: (a) Terumbu karang tepi (fringing reef) Ini berkembang disepanjang pantai dan mencapai kedalaman tidak lebih dari 40 m. Terumbu karang ini tumbuh ke atas atau kearah laut. Pertumbuhan terbaik biasanya terdapat dibagian yang cukup arus. Sedangkan diantara pantai dan tepi luar terumbu, karang batu cenderung
14
mempunyai pertumbuhan yang kurang baik bahkan banyak mati karena sering mengalami kekeringan dan banyak endapan yang datang dari darat. (b) Terumbu karang tipe penghalang (barrief reef) Terletak diberbagai jarak kejauhan dari pantai dan dipisahkan dari pantai tersebut oleh dasar laut yang terlalu dalam untuk pertumbuhan karang batu (40-70 m). Umumnya memanjang menyusuri pantai dan biasanya berputarputar seakan-akan merupakan penghalang bagi pendatang yang datang dari luar. (c) Terumbu karang cincin (atol) Terumbu ini yang melingkari suatu goba (laggon). Kedalaman goba di dalam atol sekitar 45 m jarang sampai 100 m. contohnya adalah di Pulau Taka Bone Rate di Sulawesi Selatan. Kondisi terumbu karang ditentukan oleh tinggi rendahnya nilai persentase tutupan karang hidupnya. Ada 4 (empat) kategori untuk menentukan kondisi terumbu karang menurut Australian Institute of Marine Science, yaitu: 1) hancur/rusak (0-24,9%); 2) sedang (25-49,9%); 3) baik (50-74,9%); dan 4) sangat baik (75-100%). Menurut Mc Allister, (1998) menyatakan bahwa perkiraan produksi perikanan tergantung pada kondisi terumbu karang. Kondisi terumbu karang yang sangat baik produksinya sebesar 18 ton/km 2/tahun, kondisi terumbu
karang
yang
baik
dapat
menghasilkan
produksi sebesar
13
ton/km2/tahun, sedangkan kondisi terumbu karang yang cukup baik dapat menghasilkan produksi sebesar 8 ton/km 2/tahun. Kemudian Cesar (1996) menyatakan
bahwa
terumbu
karang
yang
masih
asli dengan
daerah
perlindungan lautnya dapat menghasilkan nilai sebesar $ 24.000/km 2/tahun, untuk terumbu karang tanpa daerah perlindungan lautnya menghasilkan nilai
15
sebesar $ 12.000 /km2/tahun, terumbu karang yang rusak 50% menghasilkan nilai sebesar $ 6.000 /km2/tahun, dan terumbu karang yang rusak 75% menghasilkan nilai sebesar $2.000/km 2/tahun. Anna (2012) dari data yang diamati dapat menghasikan bahwa pulau karangrang mempunyai tutupan karang hidup sebesar 78,74% (sangat baik), pulau laiya persentase tutupan karang hidup sebesar 54,27% (baik) pengamatan dikedalaman 1-2 m sedangkan pada kedalaman 6-7 m menghasilkan persentase tutupan karang hidup sebesar 39,43% (sedang), pulau kulambing mempunyai persentase tutupan karang hidup sebesar 73,40% (sangat baik). Pulau Saugi mempunyai persentase tutupan karang hidup sebesar 43,24% (sedang). Pulau Salemo mempunyai persentase tutupan karang hidup sebesar 53,77% (baik). Pulau sabutung mempunyai persentase tutupan karang hidup sebesar 11,00% (rusak/hancur). Anonim (2010) dari data pengamatan di pulau Samatellu Lompo dimana luas terumbu karang sebesar 14,86 ha. Pengamatan pada kedalaman 3 meter persentase penutupan karang hidup pada tahun 2007 sebesar 52% (baik), tahun 2008 sebesar 57% (baik), tahun 2009 sebesar 73% (baik) dan tahun 2010 penurunan 31% menjadi 42% (sedang). Pengamatan terumbu karang pada kedalaman 10 meter menghasilkan persentase penutupan karang hidup pada tahun 2007 sebesar 24% (rusak), pada tahun 2008 sebesar 30% (sedang), pada tahun 2009 sebesar 46% (sedang) dan tahun 2010 sebesar 29% (sedang). 2.1.1. Ancamana Terhadap terumbu Karang Kerusakan ekosistem terumbu karang disebabkan oleh aktivitas manusia, baik langsung maupun tidak. Adapun faktor penyebabnya yaitu (1) kemiskinan Masyarakat pesisir; (2) Ekspansi modal; (3) kepadatan penduduk
16
di pesisir; (4) tingkat konsumsi yang berlebihan; (5) rendahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat dan (6) Lemahnya penegakan hukun (Ghufran, 2010) Kejadian
pemutihan
karang
missal
secara
global
tahun
1988
mengungkapkan telah adanya kelemahan di dalam beberapa ekosistem terumbu karang. Sebanyak 16% dari terumbu karang dunia telah hilang sebagai akibat dari hanya peristiwa tunggal tersebut. sepuluh tahun kemudian, jumlah terumbu karang yang telah hilang meningkat menjadi 40%. Sebanyak 15% lainnya berada dalam kondisi kritis, sedangkan hampir semua terumbu karang di seluruh dunia sekarang dalam kondisi terancam (Craig dkk, 2011). Selanjutnya dijelaskan bahwa kerusakan terumbu karang akibat (1) Tangkap lebih dan Penangkapan ikan yang merusak contohnya penggunaan sianida untuk menangkap ikan karang untuk perdagangan ikan hias. Racun ini membuat ikan pingsan sehingga nelayan mudah mengumpulkan ikan tanpa merusak. Penggunaan sianida untuk menangkap ikan karang untuk perdagangan ikan hias. Racun ini membuat ikan pingsan sehingga nelayan mudah mengumpulkan ikan tanpa merusak. Karangkarang dimana ikan ditangkap juga terkena dampak, sebagian besar memutih dan kemudian mati setelah terpapar racun sianida dan kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan bom. Kebanyakan bahan peledak yang digunakan berbahan dasar nitrat dan residu. (2) sedimen dan Pencemaran. Menurut Jan (2000) menyatakan bahwa Penurunan kondisi terumbu karena pemutihan karang dan serangkaian sebab lain. Pemutihan karang terjadi karena suhu permukaan laut dan tingkat sinar ultraviolet matahari yang tinggi, sehingga mempengaruhi psikologi karang dan menimbulkan efek pemutihan yang disebut bleaching. Penyebabnya adalah menghilangnya alga yang bersimbiosis (zooxanthellae) yang merupakan tempat bergantungnya polip
17
karang untuk mendapatkan makanan. Keadaan pemutihan yang terlalu lama (lebih dari 10 minggu) dapat menyebabkan kematian polip karang pada akhirnya. Dampak manusia lainnya terus mengancam kelangsungan terumbu karang. Perkembangan daerah pesisir, penggunaan lahan yang tak terencana, eksploitasi sumber daya laut yang berlebihan dan metode penangkapan ikan yang merusak juga pembuangan limbah dan polusi dari kapal-kapal semua berefek negatif bagi keadaan terumbu karang. Sahri (2010) menyatakan
bahwa di Karang Asem, Bali mengalami
tekanan pemanfaatan sumberdaya secara berlebihan. Lingkungan menjadi rusak, karena nelayan menambang karang untuk berbagai kepentingan. Akibatnya hasil penangkapan ikan menurun. Rusaknya terumbu karang berpengaruh terhadap berpengaruh terhadap kunjungan wisata laut. Untuk mengatasi agar kerusakan tidak berlanjut, Kelompok Nelayan Tunas Mekar (KNTM) dibentuk menyambut program pemerintah membuat terumbu karang buatan. Untuk mengamankan terumbu karang buatan ini KNTM membuat aturan yang harus ditaati. Bagi para pelanggar dikenakan beban sejumlah uang tertentu. Pada tingkat awal, wilayah “ karang buatan” ini tertutup untuk semua kegiatan penangkapan ikan. Kemudian setelah terumbu karang terbentuk, banyak ikan berdiam, maka nelayan diberi kesempatan untuk melakukan penangkapan ikan di wilayah terumbu karang tersebut. Kedatangan wisatawan ke desa ini juga menambah sumber pendapatan alternatif bagi nelayan setempat, sehingga pendapatan nelayan menjadi meningkat. Kerusakan terumbu karang oleh kegiatan manusia sangat mengancam ikan-ikan terumbu karang akibat hilangnya habitat (Allister, 1989). Penyebab langsung mortalitas terumbu karang adalah penangkapan yang berlebihan, cara-
18
cara penangkapan yang merusak, pencemaran dari pertanian/peternakan, industri dan kegiatan perkotaan, peleburan mineral yang ikut mengancam kelangsungan populasi ikan-ikan terumbu karang, baik jumlah dan spesiesnya. Banyak diantaranya kegiatan tersebut yang erat kegiatannya dengan kemiskinan dan pertumbuhan penduduk di dunia ketiga, disamping berhubungan erat dengan kebijakan negara industri dan kegiatan perusahaan-perusahaan multinasional. 2.1.2. Pengelolaan Terumbu Karang Konsep pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan mengacu pada upaya pemanfaatan ekosistem terumbu karang secara optimal dan diimbangi tindakan konservasi secara berkelanjutan. Pengelolaan yang dimaksud menghindari pemanfaatan yang eksplotatif dan melampaui ambang batas daya dukung ekosistem terumbu karang. Menurut Jan (2000) taktik pengelolaan untuk menyelamatkan terumbu karang seperti berikut ini: (1). Daerah Perlindungan Laut (DPL) akan berperan penting dengan membantu menjaga sumber-sumber larva karang dari daerahdaerah yang telah rusak. DPL dapat pula melindungi daerah-daerah dimana karang tengah berusaha untuk mengkolonisasi kembali daerah-daerah yang rusak. Tindakan-tindakan pengelolaan berkaitan dengan DPL yang dapat membantu regenerasi terumbu karang, (2) Perikanan di terumbu karang dapat dilakukan dengan memperhatikan zona larang memancing dan pembatasan peralatan memancing untuk melindungi kawasan berkembang biak dan menyediakan tempat perlindungan untuk ikan, perlindungan tertentu untuk jenis yang dapat membantu regenerasi terumbu, Mengembangkan daerah kehidupan alternatif bagi komunitas nelayan bila perlu membatasi masuknya nelayan baru
19
yang diatur melalui sistem perizinan serta mengatur pengambilan karang untuk perdagangan cinderamata dan akuarium, (3) Pariwisata
di daerah dimana
terumbu karangnya telah memutih dapat dipertahankan melalui tambahan aktivitas lain, baik yang berhubungan maupun yang tidak berhubungan dengan terumbu karang. Beberapa pilihan pengelolaan termasuk: Mempertahankan populasi ikan yang baik bagi para penyelam (diving dan snorkel) dengan penerapan sistem zonasi secara kreatif untuk mengurangi tekanan akibat perikanan
yang
berlebihan
dan
tingkat
kunjungan
wisatawan
serta
menyebarluaskan informasi kepada publik melalui pendidikan dan kegiatan propaganda lainnya. (4) Pengelolaan Pesisir Terpadu (ICM) sangat penting agar terumbu karang yang telah memutih dapat dikelola dalam konteks keputusan pemanfaatan lahan yang dibuat di daerah aliran sungai yang disesuaikan dan (5) restorasi terumbu karang. Pengelolaan terumbu karang dilakukan 2 langkah yaitu pemeliharaan karang bibit (transplant) dan out planting (penanaman) (Baruch, 2008). Pengelolaan terumbu karang dengan pendekatan konservasi biasa disebut pasif mempunyai kegiatan yaitu meningkatkan MPA (Marine protected areas), undang undang yang adaptif, stakeholder, mengurangi eksploitasi sumberdaya karang. Selain dilakukan MPA bagi terumbu karang, dilakukan pula restorasi dan silvikultur. Pengelolaan terumbu karang dapat dilakukan dengan MPA untuk skala ekologis berarti dengan cara tidak merusak sumberdaya pengguna komitmen dan menguasai kapasitas kelembagaan. Dari kegiatan dalam masyarakat sehingga muncul model-model seperti manajemen berbasis ekosistem yang
20
bergantung pada jaringan MPA dan skema zonasi yang memerlukan landasan empiris (Christie, 2007). Hasil penelitian Abdul (2011) Sebagian besar penduduk Desa Tongali, Kapoa dan Waonu menggantungkan kehidupan pada sumberdaya laut dengan mata pencaharian utama adalah nelayan. Mereka memanfaatkan sumberdaya laut seperti ikan, kepiting dan ikan-ikan hias dengan menggunakan berbagai macam alat tangkap yang dapat merusak dan mengeksploitasi sumberdaya alam tersebut. Dominasi pekerjaan nelayan di laut, seperti kemampuan menangkap ikan sangat mempengaruhi pendapatan dan keadaan ekonomi mereka. Pendapatan masyarakat nelayan masih relatif rendah dan sangat bervariasi tergantung pada musim, musim ikan, musim ombak atau musim paceklik. Untuk mencegah
semakin
memburuknya
kondisi
terumbu
karang
dikawasan
konservasi, terutama dari aktivitas masyarakat nelayan maka diperlukan pengelolaan
terumbu
karang.
Kawasan
konservasi
ditetapkan
dengan
pembagian zonasi dan pengaturan pengoperasian alat tangkap. Kegiatan tersebut dilakukan melalui pendekatan pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis masyarakat. Pengelolaan berbasis masyarakat sebagai suatu strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada masyarakat dan dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan aspek kelembagaan hukum. 2.2. Rumah Tangga Nelayan Model ekonomi rumah tangga digunakan Becker (1965) selanjutnya dikembangkan dan diaplikasikan di Negara-negara sedang berkembang untuk pedesaan. Diantaranya Bagi dan Singh (1974) memformulasikan
model
ekonomi mikro dalam pengambilan keputusan rumah tangga, dimana bentuk keputusan yang dilakukan oleh rumah tangga dibagi dalam enam kelompok yaitu
21
keputusan berproduksi, keputusan
konsumsi, marketed surplus, penggunaan
tenaga kerja, keputusan investasi dan keputusan finansial. Barnum dan Squire (1979) menggunakan model rumah tangga pedesaan
untuk
mengukur
kepuasan
rumah
tangga
pedesaan
dalam
mengkonsumsi barang dan waktu luang. Lebih lanjut Barnum dan Squire menggunakan model ekonometrika untuk mengkaitkan perilaku produksi rumah tangga petani, konsumsi dan suplai tenaga kerja untuk menelaah pertanian semi komersial pada situasi pasar yang bersaing. Sedangkan dalam mengestimasi fungsi konsumsi waktu luang, konsumsi padi milik sendiri dan konsumsi barangbarang konsumsi (komoditi bukan hasil pertanian), digunakan beberapa variabel antara lain tingkat upah, tenaga kerja keluarga, jumlah tanggungan anak, umur kepala keluarga dan tingkat pendidikan kepala keluarga. Dalam pengkajian ekonomi rumah tangga nelayan, beberapa peneliti di Indonesia telah pula mencoba untuk mengaplikasikan model ekonomi rumah tangga petani di pedesaan dengan beberapa modifikasi untuk menjelaskan perilaku ekonomi rumah tangga nelayan. Model yang digunakan untuk ekonomi rumah tangga nelayan diturunkan dari teori ekonomi rumah tangga atas dasar model yang disusun oleh Bagi dan Singh dengan memasukkan peubah yang relevan dengan kondisi ekonomi rumah tangga nelayan di pedesaan pantai. Dalam model tersebut terdapat 4 (empat) komponen peubah yang menjadi unsur utama yang membentuk keterkaitan perilaku ekonomi dalam rumah tangga nelayan yaitu kegiatan produksi, curahan kerja, pendapatan dan pengeluaran. 2.2.1. Produksi Produksi adalah kegiatan untuk mengolah bahan baku atau bahan mentah menjadi bahan jadi atau setengah jadi yang dapat dimanfaatkan atau
22
digunakan oleh konsumen dan mempunyai nilai lebih. Tingkat Produksi suatu barang tergantung pada jumlah modal, tenaga kerja, kekayaan alam dan tingkat teknologi yang digunakan. Persiapan produksi perikanan meliputi perencanaan produk, perencanaan standart produksi, dan pengasaan tenaga kerja (Mimit, dkk. 2005) Produksi merupakan hasil akhir dan proses atau aktivitas ekonomi dengan memanfaatkan beberapa masukan atau input. Sujarno (2008) dalam Putong (2002) produksi atau memproduksi menambahkan kegunaan (Nilai guna) suatu barang. Kegunaan suatu barang akan bertambah bila memberikan manfaat baru atau lebih dari bentuk semula. Teori produksi yang sederhana menggambarkan tentang hubungan antara tingkat produksi suatu barang dengan jumlah tenaga kerja yang digunakan untuk menghasilkan berbagai tingkat produksi lainnya adalah tetap jumlahnya, yaitu modal dan tanah jumlahnya dianggap tidak mengalami perubahan. Juga teknologi dianggap tidak mengalami perubahan. Satu-satunya faktor produksi yang dapat diubah jumlahnya adalah tenaga kerja (Sukirno, 2004). 2.2.2. Curahan Kerja Hendra (2012) akumulasi curahan waktu kerja wanita nelayan pada semua kegiatan adalah 14.5 jam per hari atau sekitar 58,87%. Dimana kegiatan produktif sebesar 6,75 jam, kegiatan domestik sebesar 4,88 jam dan kegiatan sosial sebesar 2,73 jam. Hal ini menunjukkan wanita nelayan menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mengurus keperluan dan kesejahteraan keluarga. Wanita nelayan dituntut untuk bisa membagi waktunya tersebut dengan baik. Namun terkadang waktu yang dialokasikan wanita pada kegiatan
23
mengurus rumah tangga tidak terlalu diperhatikan karena kegiatan tersebut dianggap sebagai kewajiban seorang wanita dalam keluarga. Miftahuddin (2003) menyatakan bahwa Kontribusi curahan kerja sektor pertanian didominasi oleh suami, dengan tingkat rata-rata curahan kerja jam pertahun sebesar 2.378 (51,61%), kemudian istri 1.016 jam pertahun (22,05%) dan anak dan anggota lain 1.214 jam pertahun (26,35%). Hal ini disebabkan karena suami lebih banyak menggunakan waktunya untuk mencari nafkah dilaut dibandingkan dengan anggota lainnya. Sedangkan kontribusi curahan kerja istri disektor perikanan juga cukup besar, rata-rata istri mencurahkan waktunya untuk bekerja sebesar 5 - 4 jam perhari. Sedangkan kontribusi curahan kerja diluar sektor perikanan didominasi oleh istri dengan tingkat rata-rata curahan kerja jam pertahun 496 (55,79%), kemudian disusul anak dan anggota lain sebesar 283 jam/tahun (31,83%) dan suami sebesar 110 jam pertahun (12,37%). Hal ini disebabkan karena pekerjaan luar sektor perikanan bagi suami maupun anak laki-laki umumnya bersifat musiman, hal ini logis karena untuk istri maupun anak perempuan tidak melakukan kegiatan melaut. Sehingga mereka akan melakukan kegiatan diluar sektor pada setiap musim. Sedangkan bagi suami, karena teknologi yang digunakan untuk melaut baik kapal maupun alat tangkap masih relatif kecil dan semi tradisional tidak memungkinkan mereka untuk melaut sepanjang musim. Sementara itu menurut Muhammad dkk (1991) pada tahun 1988 dan tahun 1989 ternyata usaha penangkapan ikan di selat Madura masih merupakan pilihan lapangan kerja masyarakat pedesaan pantai. Hal ini disebabkan terbatasnya lapangan kerja pertanian dan rendahnya keterampilan atau pendidikan yang dimiliki. Sedangkan menurut Reswati (1991) di daerah
24
Ketapang Kabupaten Lampung Selatan, rumah tangga nelayan mencurahkan tenaga kerja keluarganya terbesar di sektor perikanan, di samping jenis pekerjaan di sektor pertanian. Selanjutnya dihasilkan bahwa pemanfaatan tenaga kerja keluarga nelayan skala kecil untuk memperoleh pendapatan masih belum optimal. Hanya 11% nelayan responden yang istrinya bekerja dan 9% responden anak nelayan ikut mencurahkan
tenaga kerjanya. Sementara itu,
menurut Direktorat Jenderal Perikanan (1993), sumber pendapatan nelayan dari kegiatan non-perikanan seperti buruh tani, karyawan dan tukang berkisar antara 22% - 43%. Pemanfaatan sumberdaya perikanan laut mempunyai resiko yang relatif besar. Refleksinya besar tersebut dinyatakan oleh jumlah hari kerja nelayan. Survey Sosial Ekonomi perikanan Laut di Pantai Utara laut Jawa yang dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Perikanan (1980) menunjukkan bahwa rata-rata jumlah jam kerja yang digunakan oleh nelayan untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan hanya 151 hari per tahun. Hermanto (1986) menyatakan bahwa setiap nelayan di Muncar mempunyai jam kerja sekitar 14-20 jam per hari selama 15-25 hari per bulan. Untuk hari-hari tidak melaut, mereka gunakan untuk memperbaiki alat tangkap, mesin, ataupun perahunya. Sedangkan menurut Purwono, (1991) di Puger Jember, nelayan bekerja per minggu rata-rata 4,9 hari dengan rata-rata jam kerja 9,5 jam per hari. Selebihnya dari waktu tersebut dari 93% nelayan menyatakan menganggur. Selanjutnya dari hasil analisa regresi diperoleh bahwa pengalaman kerja memberikan pengaruh positif terhadap penggunaan jam kerja dan produktivitas nelayan. Variable dependency ratio dan pendidikan nelayan berpengaruh positif terhadap peningkatan jam kerja nelayan memiliki pengaruh
25
terhadap menurunnya produktivitas nelayan. Sedangkan jenis perahu eder memiliki jam kerja dan produktivitas yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan jenis perahu pakisan dan jukung. Sementara temuan Purwanti (1994) di Kabupaten Pasuruan curahan waktu kerja nelayan payang dan jaring lebih tinggi dibandingkan dengan nelayan pancing. Hal ini berakibat pada pendapatan yang diperoleh. Nelayan payang dan jaring memperoleh pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan nelayan pancing. Waktu untuk bekerja dalam satu trip penangkapan ikan di laut dibedakan waktu berlayar pergi pulang dan kegiatan operasi atau melabuh alat tangkap. Agar jam kerja efektif lebih tinggi, maka jam kerja untuk berlayar pergi pulang ke daerah penangkapan diusahakan lebih singkat. Hal ini dapat dicapai jika digunakan teknologi yang lebih tinggi. Teknologi ini diperlukan untuk menggerakkan
perahu
guna
mempercepat
waktu
pencapaian
daerah
penangkapan (fishing ground) (Manurung, 1983). Disamping itu penggunaan teknologi alat tangkap juga berpengaruh terhadap hasil tangkapan. Dalam upaya mencukupi kebutuhan hidup dalam rumah tangga nelayan skala kecil, kontribusi kerja wanita nelayan dalam rumah tangga nelayan cukup besar terutama dalam kegiatan perdagangan ikan dan pengolahan hasil perikanan (Purwanti, 1997; Uption dan Susilowati, 1992; Antunes, 1998). Curahan kerja wanita nelayan adalah dalam kegiatan perdagangan dan pengolahan hasil perikanan, dengan demikian masih berkaitan dengan kegiatan pemanfaatan sumberdaya perikanan. Menurut Susilowati (1998) partisipasi kerja istri/wanita dalam menambah pendapatan rumahtangga nelayan dipengaruhi oleh pekerjaan dan posisi suami, jumlah anggota keluarga dan peranannya dalam proses pengambilan keputusan dalam rumah tangga nelayan. Dengan
26
demikian rumah tangga nelayan melakukan kegiatan produksi untuk berbagai jenis pekerjaan. 2.2.3. Pendapatan Pendapatan merupakan salah satu indikator kesejahteraan dalam ekonomi rumah tangga. Dengan dasar skema waktu pengamatan yang berbeda antara satuan waktu per bulan, pertahun diperoleh kesimpulan yang sama antara Aryani (1994) dan Reniati (1998) dalam hal: (1) penerimaan nelayan juragan lebih tinggi dari penerimaan nelayan pandega (2) anggota rumah tangga yaitu istri dan anak, disamping suami selaku kepala rumah tangga memegang peranan penting dalam berkontribusi untuk penerimaan rumah tangga nelayan (4) penerimaan non melaut memegang peranan menentukan dalam alokasi curahan kerja anggota keluarga dan kontribusinya terhadap penerimaan rumah tangga nelayan. Perilaku rumah tangga yang demikian, menurut Roch et al (1998) merupakan strategi rumah tangga nelayan dalam pemanfaatan ekonomi rumah tangga dalam menghadapi berbagai resiko, yang selanjutnya disebut sebagai “pluriactivity strategy” Hasil dari penelitian tersebut baik Aryani (1994) maupun Reniati (1998) mendisagregasi rumah tangga nelayan menjadi nelayan juragan dan nelayan buruh secara terpisah. Sementara besarnya penerimaan sebagai pendapatan nelayan buruh dari kegiatan melaut adalah terkait erat dengan penerimaan juragan dari kegiatan kerja melaut, karena besarnya pendapatan juragan dan pandega (nelayan buruh) didasarkan pada sistem bagi hasil yang berlaku. Sedangkan penelitian Muhammad (2002) mengintegrasikan aspek bio-ekonomi dan keterkaitan perilaku rumah tangga Juragan dan Pendega dengan simulasi peubah kebijakan dan non-kebijakan. Sementara penelitian Sutoyo (2005) lebih
27
menekankan pada evaluasi sejauhmana Program Pemberdayaan Pengelolaan Sumberdaya Berbasis Komunitas (PSBK) dapat meningkatkan pendapatan rumah tangga nelayan kecil melalui kajian ekonomi rumahtangga nelayan kecil. Rumah tangga nelayan pada umumnya memiliki persoalan yang lebih kompleks dibandingkan dengan rumah tangga pertanian. Rumah tangga nelayan memiliki ciri-ciri khusus seperti penggunaan wilayah pesisir dan lautan yang bersifat common property sebagai faktor produksi. Pekerjaan sebagai nelayan penuh resiko sehingga hanya dikerjakan oleh lelaki (Pangemanan dkk, 2002). Hasil penelitian Purwono (1991) menunjukkan bahwa 90,7% nelayan responden
di
Kecamatan
Puger
Kabupaten
Jember
mengandalkan
pendapatannya dari upah kerja nelayan. Sedangkan 9,3% sisanya selain memperoleh pendapatan dari kerja nelayan juga mendapatkan upah dari hasil kerja bukan nelayan dan pendapatan dari hasil kerja. Berdasarkan konstribusi pendapatan sebesar 91,9% dari hasil kerja sebagai nelayan dan 9,1% sisanya merupakan sumbangan dari pendapatan bekerja selain nelayan dan bukan pekerja. Selanjutnya diperoleh hanya 7% istri nelayan yang bekerja membantu mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Hendra dkk (2012) secara umum kontribusi pendapatan responden terhadap pendapatan keluarga cukup besar yaitu 39,45%. Dimana kontribusi pendapatan yang bekerja sebagai pengupas kulit kepiting sebesar 39,26%, pembuat kerupuk ikan sebesar 38,11%, pengolahan bakso ikan sebesar 43,58% dan pengolahan ikan asin sebesar 39,45%. Hal ini menunjukkan bahwa pendapatan istri berpengaruh cukup besar terhadap pendapatan keluarga. Semakin kecil pendapatan suami maka kontribusi pendapatan istri semakin
28
besar sehingga wanita nelayan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dengan aktif dalam kegiatan mencari nafkah. 2.2.4. Pengeluaran Hendra (2012) rata-rata total pengeluaran konsumsi keluarga nelayan setiap bulan adalah Rp 935.000. Dari keseluruhan responden, rata-rata pengeluaran konsumsi untuk bahan pangan adalah Rp 585.000 atau 62,59% dari total pengeluaran, sedangkan rata-rata pengeluaran konsumsi untuk bukan pangan adalah Rp 350.0900 atau 37,41%. Reniati (1998) secara khusus menganalisis komposisi dan besarnya pengeluaran pangan dan non pangan. Jika dibandingkan dengan besarnya penerimaan, atas dasar data yang tersedia ternyata besarnya pengeluaran baik rumah tangga nelayan juragan maupun nelayan buruh yaitu 45,32% - 54,96% untuk nelayan juragan dan 45,70%-46,97% untuk nelayan pandega yang berarti masih lebih rendah dari besarnya penerimaan. Temuan Muhammad (2002), peningkatan mutu Sumberdaya manusia ikut menentukan dan memacu secara positif perbaikan pola konsumsi dan mutu pangan baik pada rumah tangga nelayan Juragan maupun Pandega. Selanjutnya peningkatan mutu sumberdaya manusia juga diperlukan dalam upaya mengatur pola pengeluaran konsumsi non-pokok pada nelayan juragan. Selain itu perlu diarahkan pada menumbuhkan budaya menabung yang terkaitkan dengan lembaga keuangan sebagai upaya mengatur pola pengeluaran untuk konsumsi non pokok baik pada rumah tangga nelayan juragan maupun nelayan pandega
2.3. Mata Pencaharian Alternatif Anonim (2009) menyatakan bahwa fungsi pendapatan diperoleh bahwa pendapatan nelayan responden yang memanfaatkan waktu tidak melautnya jauh
29
lebih tinggi dibanding dengan yang tidak memanfaatkan. Dilanjutkan bahwa status nelayan, alat tangkap yang digunakan dan pemanfaatan waktu tidak melaut untuk menambahkan pendapatan juga berpengaruh nyata pada tingkat pendapatan rumah tangga. Anonim (2009) menyatakan bahwa mayoritas (80%) nelayan yang berpendapatan tingkat pendapatan melautnya rendah, cenderung memanfaatkan waktu tidak melautnya untuk kegiatan-kegiatan yang dapat menambah pendapatan. Sebaliknya, mayoritas (56,7%) nelayan yang berpendapatan tingkat pendapatan melautnya tinggi, cenderung tidak memanfaatkan waktu tidak melautnya pada kegiatan-kegiatan yang tidak menambah pendapatan artinya nelayan yang berpendapatan rendah cenderung memanfaatkan waktu tidak melautnya pada kegiatan-kegiatan yang tidak menambah pendapatan. Kemudian dijelaskan bahwa tingkat pendapatan melaut nelayan berpengaruh nyata pada pemanfaatan waktu tidak melaut untuk kegiatan meningkatkan pendapatan rumah tangganya. Makin tinggi tingkat pendapatan melaut, nelayan cenderung memanfaatkan waktu tidak melautnya untuk istirahat. Yuswadi (2003) menyatakan bahwa pendapatan keluarga yang dimaksud adalah semua pendapatan yang berasal dari anggota keluarga selain pendapatan ibu rumah tangga. Dari hasil penelitian diperoleh data bahwa besarnya pendapatan rata-rata keluarga petani responden kurang dari 250.000 setiap bulannya. Sementara ibu rumah tangga yang bekerja disektor non pertanian rata-rata pendapatannya sebesar Rp 450.000 sampai dengan Rp 600.000,- setiap bulannya. Ini artinya sumbangan pendapatan ibu rumah tangga terhadap pendapatan keluarga sangat besar. Rata-rata persentase sumbangan pendapatan ibu rumah tangga terhadap pendapatan keluarga di
30
Desa Dengkol sebesar 193%. Dari besarnya sumbangan pendapatan ibu rumah tangga tersebut, maka sebesarnya pendapatan ibu rumah tangga tidak dapat dikatakan
sebagai
pendapatan
tambahan
melainkan
sebagai
sumber
pendapatan keluarga yang utama. Ismiran (2004) menyatakan bahwa kegiatan off-farm telah memberikan kontribusi yang cukup terhadap pendapatan para petani miskin namun off-farm belum sepenuhnya dilaksanakan secara maksimal. Hal ini dilatar belakangi oleh adanya suatu kondisi yang cenderung mengarahkan petani pada suatu keterpaksaan dalam berusaha. Mereka yang mempunyai kekuatan sumberdaya modal masih mendomiasi dalam menentukan dan mengarahkan apa yang harus dilakukan oleh para petani miskin. Sehingga indikasi adanya kelemahan posisi tawar petani miskin didusun ini semakin tinggi. Ditambah dengan kondisi geografis daerah dan topografi daerah yang cukup sulit, sehingga semakin menjadi alat yang efektif bagi para tengkulak atau pedagang besar untuk mengeksploitasi petani setempat. 2.4. Tinjauan Teoritis Model rumah tangga nelayan diadopsi dari model empiris rumah tangga petani (agricultural household model). Sesuai dengan teori ekonomi mikro, rumah tangga sebagai produsen bertujuan memaksimumkan keuntungan sedangkan sebagai konsumen bertujuan memaksimumkan utilitas. Teori ini dikemukakan pertama kali oleh Gary Becker, disebut “new home economics” (sadoulet dan Janvry, 1994) di mana menempatkan rumah tangga sebagai pengambil keputusan dalam kegiatan produksi dan konsumsi, serta kaitannya dengan alokasi waktu dan pendapatan rumah tangga yang dianalisis secara simultan.
31
Becker mengembangkan teori household dengan menerapkan fungsi kepuasan maksimal dari konsumsi barang-barang ke dalam “new household economics”. Menurut Becker (1965) terdapat dua proses perilaku rumah tangga. Pertama proses produksi rumah tangga yang digambarkan dalam fungsi produksi. Kedua, proses konsumsi rumah tangga yang merupakan preferensi atau pemilihan terhadap barang yang dikonsumsi, yang dalam analisisnya lebih ditekankan pada alokasi waktu rumah tangga yang dibagi ke dalam waktu bekerja produktif dan waktu santai atau leisure. 2.4.1.
Proses Produksi Dalam kegiatan produksi rumah tangga diperlukan faktor produksi
(input) untuk menghasilkan suatu produk. Transformasi antara suatu set faktor input menjadi output digambarkan dalam suatu fungsi produksi. Lebih spesifik lagi fungsi produksi merupakan kombinasi beberapa input dalam jumlah minimum yang menghasilkan output (Yotopoulos and Nugent, 1976). Secara matematis hubungan input dan output dapat digambarkan dalam bentuk persamaan: Q = f (K,L,M…Xn)
……………………………………………………….(1)
K,L,M…Xn adalah faktor produksi yang mempengaruhi produksi, Kapital, Labor, Material dan faktor lain yang berpengaruh terhadap hasil produksi (Nicholson, 1985). Semua input dan output diukur dalam unit secara fisik, namun dapat pula diasumsikan dengan harga atau nilai dari beberapa input atau output (Yotopoulos dan Nugent, 1976). Menurut Soekartawi (1990) secara umum faktor yang mempengaruhi produksi dibedakan menjadi dua kelompok yaitu faktor biologi dan sumberdaya alam serta faktor sosial ekonomi seperti biaya produksi,
32
harga, tenaga kerja, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, kelembagaan, tersedianya kredit dan sebagainya. Fungsi produksi di bidang perikanan memiliki ciri yang spesifik karena faktor sumberdaya alam merupakan sumberdaya milik bersama (Common property). Menurut Tai (1996) kegiatan produksi melaut nelayan berinteraksi sangat erat dengan dinamika cadangan ikan dan kebijakan dalam pemanfaatan penangkapan ikan itu sendiri. Muhammad (2002) dalam mengintegrasikan aspek bioekonomi dan keterkaitan perilaku rumah tangga juragan dan Pendega di mana perilaku produksi dijabarkan menjadi 3 persamaan fungsional yaitu persamaan asset kapal, daerah penangkapan dan produktivitas ikan per trip. Produktivitas penangkapan ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor produksi yaitu klasifikasi teknologi dan kondisi umum lokasi. Tumulyadi (2005) menghubungkan produksi penangkapan ikan yang diukur dari total berat ikan yang tertangkap dengan beberapa variabel antara lain jumlah kapal yang dimiliki juragan, harga ikan dan jumlah BBM yang digunakan, waktu kerja juragan dan pengalaman juragan. Sedangkan Sutoyo (2005) menghubungkan produktivitas melaut dengan nilai alat tangkap melaut, tingkat pendidikan dan pengalaman nelayan serta daerah penangkapan. Untuk
mengevaluasi keberlanjutan dalam eksploitasi perikanan
sebagai signal early warning didasarkan pada status cadangan ikan relatif bagi terlampauinya tingkat eksploitasi dari yang seharusnya. Indikator yang digunakan adalah hasil pendugaan maximum sustainable yield (MSY)
(Smith 1982,
Panayotou 1982, Hilborn dan Walters, 1992). Schaefer (1954)
menyatakan bahwa pertumbuhan suatu populasi
organism hidup dalam kondisi lingkungan konstan, dimana persediaan makanan
33
terbatas dapat digunakan untuk menjelaskan pertumbuhan populasi ikan. Schaefer menggunakan persamaan logistik sebagai berikut: dP/dt = ki P (L-P) …………………..…………………………………… (2) dimana: P
= populasi/stok ikan dalampertumbuhan
L
= populasi maksimum sesuai dengan daya dukung lingkungan
Ki
= konstan
Persamaan logistik (2) tersebut menghasilkan kurva kenaikan populasi secara alami dalam bentuk parabola dengan kecepatan tumbuh sebesar nol pada tingkat populasi maksimum sebesar L/2 (titik A) yang ditunjukkan pada gambar 1
Gambar 1. Kurva Pertumbuhan Ikan dalam Keseimbangan untuk Lingkungan Konstan (Anderson, 1986) Pada gambar 1 garis horinsontal menunjukkan ukuran stok ikan sedangkan garis vertikal menunjukkan pertumbuhan stok ikan periode tertentu, keduanya dalam satuan berat. Secara alami pertumbuhan stok ikan cenderung mengarah ke L. ketika berlangsung kegiatan penangkapan ikan, pertumbuhan populasi aktual adalah sama dengan pertumbuhan alami dikurangi kematian ikan karena penangkapan ikan dan perubahan fishing effort. Mengingat hasil tangkap
34
bervariasi tergantung pada jumlah fishing effort, sehingga akan diperoleh tingkat keseimbangan besarnya populasi ikan pada “setiap tingkat” fishing effort. Pada tingkat eksploitasi sebesar L/2, keseimbangan penangkapan ikan tertinggi (maksimum) dapat diraih tanpa mengurangi besarnya cadangan ikan yang ada. Tingkat pemanfaatan maksimum tersebut dikenal sebagai titik maximum sustainable yield (MSY) (O‟Rourke, 1971). Usaha penangkpan ikan pada dasarnya memanfaatkan sumberdaya ikan yang merupakan „milik bersama‟. Akibat ciri pemilikan tersebut, maka fungsi produksi panen ikan ditunjukkan sebagai hubungan antara hasil penangkapan secara keseluruhan (sebagai output) dan jumlah upaya penangkapan/jumlah kapal yang beroperasi (fishing effort) sebagai input (Panayotou, 1982). Mengingat jumlah cadangan ikan di suatu perairan dibatasi oleh daya dukung lingkungan tertentu, maka fungsi produksi panen ikan dapat digambarkan seperti pada gambar 2
Gambar 2. Hubungan Produksi (Q) dan Pertambahan fishing effort (Panayotou, 1982) Pada tahap awal, perkembangan usaha penangkapan ikan naik dan produksi ikan secara keseluruhan juga meningkat. Namun setelah mencapai puncak produksi pada tingkat L/2, maka penambahan fishing effort secara
35
keseluruhan akan diikuti oleh produksi yang menurun. Dengan dasar fungsi produksi tersebut, maka eksploitasi penangkapan ikan disuatu perairan tertentu menurut Panayotou (1982) dapat digolongkan menjadi 2 kategori yaitu: 1. Tingkat eksploitasi sebelum puncak produksi yang selanjutnya disebut “Under-exploited” dan 2. Tingkat eksploitasi sesudah puncak produksi yang selanjutnya disebut “Overexploited”. Dalam keadaan under-exploited, pembangunan perikanan dapat ditempuh strategi penambahan fishing effort. Namun ketika keadaan berada pada kategori “over-exploited” perlu ditempuh strategi perbaikan pemanfaatan usaha penangkapan ikan untuk mencapai tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan secara maksimum berkelanjutan. Faktor sosial-ekonomi yang sering dijumpai pada masyarakat nelayan dan mempengaruhi produksi dan penerimaan adalah adanya kelembagaan kredit non formal yang dilakukan oleh pemilik uang (pedagang ikan). Adanya ikatan kredit menyebabkan nelayan harus menjual hasil tangkapan kepada pemilik uang yang jumlah terbatas. Kelembagaan kredit ini akan mempengaruhi harga jual dari ikan hasil tangkapan nelayan. Dengan demikian, mengarah pada terbentuknya pasar monopsoni/oligopsoni yaitu pasar dengan hanya satu atau sedikit pembeli (Pindyck dan Rubinfeld, 1995). Pada gambar 3 digambarkan pasar monopsoni. Kuantitas optimal monopsonist untuk membeli pada Qm* yaitu pada perpotongan antara kurva demand (marginal value) dan kurva marginal expenditure (ME). Harga yang dibayar oleh monopsoni didapatkan dari kurva supply, yaitu Pm* yang membawa pada kuantitas barang sebanyak Q m*. Akhirnya
36
kuantitas Qm* rendah dan harga Pm* lebih rendah daripada kuantitas dan harga yang berlaku pada pasar persaingan sempurna (Qo dan Po).
Gambar 3. Pembeli Monopsonist (Pindyck dan Rubinfeld, 1995). Dalam pasar monopsoni, seorang monopsonist dapat membeli barang dengan harga dibawah Nilai marginal karena supply atau kurva pengeluaran rata-rata (Average Expenditure) ditunjukkan dengan kemiringan yang naik. Dengan demikian pembelanjaan marginal (Marginal Expenditure) lebih besar daripada pengeluaran rata-rata (AE). Kekuatan monopsoni menghasilkan harga yang rendah dan pembelian dalam kuantitas yang rendah. Kesejahteraan secara keseluruhan pada pasar monopsoni dapat dijelaskan dengan membandingkan surplus konsumen dan produsen pada pasar persaingan sempurna dengan surplus yang dihasilkan pada pasar monopsoni. Net benefit pada pasar monopsoni dapat dimaksimalkan melalui pembelian pada kuantitas Qm pada harga Pm pada saat nilai marginal (MV) sama dengan marginal expenditure (ME). Pada pasar persaingan sempurna, harga sama dengan Marginal Value sehingga harga dan kuantitas kompetitif (P o dan Qo) ditemukan pada perpotongan antara kurva pengeluaran rata-rata (AE) dan kurva Nilai marginal (MV). Perubahan surplus yang terjadi
37
mengacu pada harga dan kuantitas pada pasar persaingan sempurna (P o; Qo) kepada harga dan kuantitas pada pasar monopsoni (P m; Qm). Dengan monopsoni, harga lebih rendah dan yang terjual sedikit. Karena harga yang lebih rendah, penjual kehilangan sejumlah surplus yang ditunjukkan pada daerah A. sebagai tambahan, penjual kehilangan surplus yang ditunjukkan pada daerah C karena penurunan penjualan. Dengan demikian total kehilangan dari surplus produsen (penjual) adalah A + C. Surplus
keuntungan pembeli
ditunjukkan pada daerah A melalui pembelian pada harga yang rendah. Dengan demikian, pembeli lebih rendah (Qm) dibandingkan Qo dan kehilangan surplus yang ditunjukkan oleh daerah B. Total surplus keuntungan pembeli adalah A – B. Karenanya terdapat kehilangan surplus bersih yang ditunjukkan oleh daerah B + C. Ini merupakan deadweight loss from monopsony power. Bahkan jika keuntungan para monopsoni dipotong pajak dan didistribusikan pada produsen, maka akan timbul inefisiensi karena output akan lebih kecil. Deadweight loss merupakan dampak sosial yang harus ditanggung akibat inefisiensi tersebut.
2.4.2.
Teori Alokasi Waktu Kerja Menurut Becker (1965) proses kedua dalam perilaku rumah tangga
adalah proses konsumsi rumah tangga yang merupakan preferensi atau pemilihan terhadap barang yang dikonsumsi. Dalam analisisnya lebih ditekankan pada alokasi waktu rumah tangga yang dibagi kedalam waktu bekerja produktif dan waktu santai atau leisure. Dalam
teori utility, seorang konsumen akan memaksimumkan
kepuasannya dengan mengkonsumsi bermacam barang atau jasa yang tersedia. Secara umum fungsi utility dapat ditulis dalam bentuk persamaan: μ = f (X1, X2, … Xn) …………………………………………………… (3)
38
X1, X2, … Xn merupakan jumlah tiap barang X yang dikonsumsi konsumen. Marginal utility (guna batas) X1 adalah kepuasan ekstra yang diterima karena mengkonsumsi satu unit X1 tambahan, sedangkan konsumsi komiditi lain dianggap konstan dan diformulasikan (Nicholson, 1985): MUX1 = δμ/δX1
……………………………………………………...(4)
Differensial total utility tersebut adalah: δU = MUX1 dX1 + MUX2 dX2 + … + MUXn dXn ……………..…………………….. (5) kepuasan maksimum dapat diperoleh dengan anggaran belanja yang dimiliki konsumen. Dengan demikian seseorang yang akan memaksimumkan kepuasan selalu dihadapkan pada kendala anggaran: I = P1X1 + P2X2 + … + PnXn
….…………………………………………………..(6)
Atau : I - P1X1 - P2X2 - … - PnXn = 0 ………………………………….………………….. (7) Problema diatas dapat diselesaikan dengan menggunakan Lagrangean: L = μ (X1, X2, …, Xn) + λ (1 - P1X1 - P2X2 - … - PnXn ) …………………….……(8) Syarat pertama maksimisasi kepuasan: (1). (2). . . . (n). (n+1).
P1X1 - P2X2 - … - PnXn = 0
………………………………….….(9)
Seseorang yang rasional akan memilih barang yang paling disenangi. Dengan asumsi cateris paribus, seseorang yang rasional dalam mengkonsumsi
39
dihadapkan pada penentuan pilihan. Dengan demikian persamaan diatas dapat disederhanakan menjadi fungsi utility untuk dua jenis barang seperti dalam persamaan berikut: Μ = f (X1, X2) …………………………………………………………….. (10) Dari persamaan tersebut, konsumen dapat mengkonsumsi dua macam barang X1 atau X2 untuk mendapatkan kepuasan maksimum. Analog dengan persamaan diatas, dapat pula digunakan dalam kaitannya antara maksimisasi kepuasan dengan alokasi waktu kerja. Seseorang dalam memaksimumkan kepuasan dengan mengkonsumsi barang X1 atau barang X2. Barang X1 dapat dibeli dengan pendapatan yang diperoleh dari waktu yang dicurahkan untuk bekerja. Dalam mengalokasikan waktu individu dihadapkan pada dua pilihan, yaitu bekerja dan tidak bekerja untuk menikmati waktu luangnya. Bekerja berarti menghasilkan upah yang selanjutnya akan meningkatkan pendapatan dapat digunakan
untuk
membeli
barang-barang
konsumen
yang
akan
dapat
memberikan kepuasan. Dengan menganalogikan fungsi utility di atas, maka secara sederhana hubungan tersebut dapat dituliskan sebagai berikut (Layard dan Walters 1978): Max π = F (Y, L)………………………………………………………..…(11) Di mana : Y
= pendapatan yang dapat digunakan membeli barang
L
= waktu luang Pilihan
antara
bekerja
guna
memperoleh
pendapatan
untuk
mengkonsumsi barang dan waktu luang yang memberikan tingkat kepuasan yang sama. Perbedaan preference tenaga kerja dan waktu luang ditentukan oleh anggapan tenaga kerja terhadap nilai waktu luang tersebut. Tenaga kerja yang
40
menganggap tambahan waktu luang bernilai sangat tinggi akan bersedia mengorbankan pendapatan lebih besar dibandingkan dengan tenaga kerja yang menganggap waktu luang kurang berharga. Utility juga dapat meningkat dengan bertambahnya pendapatan yang menyebabkan baik barang konsumsi maupun waktu luang bisa bertambah bersama-sama. Dalam mengkonsumsi barang yang diperoleh dari pendapatan dan menikmati waktu luang, seorang individu dihadapkan pada kendala pendapatan yang tergantung pada tingkat upah dan waktu kerja, dan juga waktu yang tersedia yang jumlahnhya tetap. Kedua kendala ini secara bersama-sama merupakan kendala anggaran (budget constraint). Dengan demikan budget constraint berupa garis lurus, merupakan tempat kedudukan titik-titik yang mencerminkan kombinasi waktu luang dan pendapatan sedemikian rupa sehingga jumlah waktu yang dipergunakan tetap (Ehrenberg dan Smith (1998); Bellante dan Jackson (1990)). Menurut Layard dan Walkers (1978) jumlah waktu kerja sehari adalah 24 jam dikurangi waktu luangnya. Sedangkan menurut Ehrenberg dan Smith (1998) seorang pekerja memiliki waktu 16 jam dalam sehari yang akan dialokasikan untuk bekerja dan waktu luang. Slope dari budget constraint menunjukkan tingkat upah. Semakin besar slope budget constraint tingkat upah atau pendapatan yang semakin besar. Perpotongan antara budget constraint dan indifference curve merupakan kombinasi yang terbaik antara waktu luang dan pendapatan yang akan memberikan tingkat kepuasan (utility) yang maksimum. Adanya perubahan tingkat upah akan mengakibatkan secara serentak kenaikan dalam harga relatif maupun dalam pendapatan. Perubahan tingkat upah dari seorang individu dapat dilukiskan dengan bergesernya budget
41
constraint dari titik poros, yang berarti pula tingkat utility maksimum yang dapat dicapai oleh individu berubah (gambar 4). Pada tingkat upah yang berbeda, ditunjukkan dengan budget constraint Wo, W 1, W 2 dan seterusnya. Akibat pergeseran budget constraint, akan diikuti dengan pergeseran indifference curve untuk mendapatkan kepuasan yang maksimum. Pada gambar 4. Terlihat pada tingkat upah riil Wo, kepuasan maksimal terjadi pada titik A dengan kansumsi waktu luang sebesar OR. Naiknya tingkat upah riil dari Wo ke W 1 akan menyebabkan bergesernya tingkat kepuasan maksimal ke titik B. Kenaikan upah tersebut akan menyebabkan individu menambah jam kerjanya dan mengurangi waktu luang dari OR menjadi OP. Namun kenaikan tingkat upah riil yang melebihi W 1 (misalnya dari W 1 ke W2) akan mengakibatkan titik kepuasan maksimum yang terjadi justru akan mengurangi jam kerja dan menambah waktu lainnya dari OP menjadi OS. Dengan menurunkan titik-titik keseimbangan tersebut akan diperoleh kurva penawaran tenaga kerja individu SS 1 (lihat Layard dan Walters (1978); Yotopoulus dan Nuget (1976); Ehrenberg dan Smith (1988). Dalam kurva tenaga kerja tersebut, sampai pada titik B memiliki slope yang positif. Namun setelah melewati titik keseimbangan B, maka akan terjadi kurva penawaran tenaga kerja yang berslope negative (backward bending labor supply curve).
42
Gambar 4. Kurva Penawaran Tenaga Kerja (Layard dan Walters, 1978) Untuk menjelaskan terjadinya kurva penawaran tenaga kerja yang berslope negatif tersebut, dapat ditunjukkan dengan bekerjanya efek substitusi dan efek pendapatan sebagai akibat dari kenaikan tingkat upah. Penambahan waktu kerja sebagai akibat kenaikan tingkat upah disebut dengan efek substitusi (Subsitusion effect), sedangkan menurunnya jam kerja ( meningkatnya waktu luang) sebagai akibat peningkatan tingkat upah menyebabkan peningkatan dalam pendapatan disebut efek pendapatan (income effect). Ketika kurva penawaran tenaga kerja meningkatkan, ini menunjukkan bekerjanya efek substitusi yang lebih dominan. Namun, ketika terjadi backward bending supply curva menunjukkan bekerjanya efek pendapatan yang lebih dominan. Pada Gambar 4, akibat adanya tingkat upah dari Wo ke W 1 mendorong individu untuk mensubstitusikan waktu luangnya untuk banyak bekerja. Hal ini ditunjukkan dengan pergeseran titik A ke A‟ sebesar RQ. Perubahan ini disebut efek substitusi. Gerakan kedua, dengan naiknya tingkat upah maka pendapatan tenaga kerja lebih besar sehingga akan mengkombinasikan waktu kerja dan waktu luang yang lebih baik. Sebagai konsekwensinya akan diperoleh tingkat kepuasan yang lebih tinggi (ditunjukkan denga pergeseran titik A‟ ke B sebesar QP). Perubahan ini disebut efek pendapatan. Apabila efek substitusi lebih besar
43
dari efek pendapatan, mengakibatkan terjadinya kurva penawaran tenaga kerja yang meningkat. Namun apabila efek substitusi lebih kecil dari efek pendapatan maka akan terjadi kurva penawaran tenaga kerja yang menurun. Secara matematis bekerjanya efek substitusi dari efek pendapatan akibat perubahan upah dapat dijelaskan sebagai berikut (lihat Layard dan Walters, 1978). Dengan menganggap bahwa tenaga kerja memiliki pendapatan yang berasal dari pendapatan tanpa kerja (non wages income) dan upah yang diperoleh dari bekerja. Besarnya pendapatan total yang diperoleh: Y = W.H + y …………………………………………………..………… (12) Di mana: Y = Pendapatan W = Upah H = jam kerja y = Pendapatan tanpa kerja (non wages income) Kurva penawaran untuk memaksimalkan kepuasan menjadi: H = f (w,y) …………………………………………………….……… (13) Dengan mengilustrasikan Equasi slutsky maka total efek dalam waktu dekat akibat perubahan tingkat upah dapat ditulis: Efek Total = Efek substitusi + Efek pendapatan (
)
(
) ………………………………………………..(14)
Nilai dari efek pendapatan adalah negatif. Artinya, jika terjadi kenaikan tingkat upah dan diikuti dengan penambahan jam kerja, maka pendapatan tenaga kerja akan meningkat. Dengan asumsi waktu luang adalah barang normal, meningkatkannya pendapatan ini akan diikuti dengan menurunnya jam kerja.
44
Di negara maju dengan pendapatan perkapita penduduk yang relatif sudah tinggi besar kemungkinannya terjadi backward bending labor supply curve. Hal ini disebakan pada tingkat pendapatan yang relatif tinggi individu akan merasakan bahwa kebutuhan hidupnya akan barang dan jasa sudah tercukupi, sehingga mereka mengurangi waktu kerja dan menambah waktu luang untuk meningkatkan
kesejahteraannya.
Sebaliknya
di
Negara-negara
sedang
berkembang di mana pendapatan masyarakat masih tergolong rendah, efek substitusi lebih dominan daripada efek pendapatan sehingga peningkatan tingkat upah akan berpengaruh positif terhadap waktu kerja. 2.4.3. Ekonomi Rumah Tangga Model Chayanov Model ekonomi rumah tangga Chayanov diadopsi Ellis (1989) menjelaskan bahwa maksimisasi utilitas rumah tangga difokuskan terutama pada keputusan subyektif petani berkaitan dengan penggunaan tenaga kerja dalam usaha tani. Keputusan subyektif berkisar pada penentuan jumlah tenaga kerja keluarga yang harus dicurahkan pada aktivitas usahatani untuk memperoleh pendapatan guna memenuhi kebutuhan keluarga. Agar kebutuhan output minimum per kapita yang diinginkan dapat tercapai, maka anggota keluarga yang bekerja harus bekerja lebih giat dan memperpanjang jam waktu bekerja. Semakin tinggi pendapatan rumah tangga perkapita semakin tinggi kecenderungan rumah tangga untuk menabung dan mengakumulasi modal, yang pada gilirannya akan meningkatkan output per jam kerja. Hal ini dapat terjadi sampai pada titik dengan teknologi yang tersedia, perbandingan antara modal usahatani terhadap tenaga kerja mencapai optimum. Asumsi terpenting teori Chayanov dalam ekonomi rumah tangga adalah:
45
1.
Rumah tangga tidak menggunakan tenaga kerja non keluarga dan tidak ada tenaga kerja keluarga yang bekerja di luar usahataninya. Ini berarti tidak ada pasar tenaga kerja.
2.
Output yang dihasilkan digunakan oleh rumah tangga sendiri atau dijual dipasar dan dinilai berdasarkan harga pasar.
3.
Masing-masing
rumah
tangga
mempunyai
norma
sosial
terhadap
pendapatan minimum. Dengan kata lain, rumah tangga merupakan suatu unit yang mempunyai tingkat konsumsi minimal yang dapat diterima. Asumsi teori perilaku rumah tangga dari chayanov dapat dijelaskan pada gambar 5. Pendapatan kotor digambarkan pada garis vertikal yang diukur dengan satuan uang karena ada pasar output. Garis horizontal menunjukkan total waktu kerja yang tersedia dalam rumah tangga. Total waktu yang dialokasikan untuk bekerja pada usahatani diukur dari kiri ke kanan (OH) dan waktu untuk kegiatan lain diukur dari kanan ke kiri (HO).
Gambar 5. Rumah Tangga Petani Model Chayanov (Ellis, 1989) Dalam model Chayanov, aspek produksi dan konsumsi rumah tangga adalah merupakan satu unit kesatuan. Aspek produksi ditunjukkan oleh fungsi produksi yang respon output terhadap berbagai tingkat input tenaga kerja. Fungsi 46
produksi (kurva TVP) menunjukkan adanya hasil marginal yang semakin menurun untuk input tenaga kerja. Kurva TVP dapat juga menggambarkan kurva pendapatan keluarga karena output dan pendapatan adalah identik. Kurva indiferen (I1, I2) menggambarkan aspek konsumsi yang mencerminkan utilitas kombinasi leisure (L) dan pendapatan (Y). fungsi utilitas (U) yang menggambarkan utilitas rumah tangga petani adalah fungsi dari pendapatan (Y) dan leisure (L) dapat dinotasikan: U = f (Y, L) Setiap titik pada kurva indiferen, misalnya titik B pada I2 menunjukkan kombinasi pilihan rumah tangga untuk
leisure
dan pendapatan. Slope kurva pada
titik B menunjukkan sejumlah tambahan pendapatan (δY) yang dibutuhkan rumah tangga sebagai kompensasi atas kehilangan satu unit leisure (δL). Secara implisit jumlah tambahan pendapatan ini merupakan tingkat upah subyektif anggota keluarga petani. Tingkat upah subyektif relatif dipengaruhi oleh slope dan posisi kurva indiferen, tingkat pendapatan
yang memenuhi standar hidup minimal keluarga
petani (Ymin) dan jumlah maksimun hari kerja penuh yang dimiliki oleh anggota rumah tangga (Hmak). Dua kendala ini dipengaruhi oleh jumlah anggota keluarga dan jumlah tenaga kerja produktif dalam keluarga. Dua kendala ini mempengaruhi bentuk kurva indiferen dimana pada sudut kiri bawah pada saat kurva indiferen memotong batas pendapatan minimum, kurva indiferen akan menjadi horizontal dan marginal utilitas leisure menjadi nol. Sebaliknya sisi kanan atas kurva indifferen akan cenderung menjadi vertikal setelah mencapai batas Hmak. Pada saat marginal utilitas pendapatan
47
menjadi nol yang berarti tidak ada lagi tambahan pendapatan yang dapat mengkompensasi berkurangnya leisure. Keseimbangan rumah tangga usahatani oleh titik singgung fungsi produksi terhadap kurva indifferen tertinggi yang tercapai pada titik A dengan tenaga kerja He dan pendapatan Ye, sehingga produksi marginal tenaga kerja (MVPH) sama dengan nilai subyektif dari waktu tenaga kerja keluarga (δY/δL) yaitu jumlah tambahan pendapatan yang diperlukan untuk mengganti kehilangan satu unit leisure. Model ekonomi rumah tangga Chayanov adalah untuk memaksimalkan utilitas dengan tiga kendala yaitu (a) fungsi produksi (b) tingkat pendapatan minimal yang dapat diterima dan (c) jumlah maksimum hari kerja rumah tangga petani. Secara sederhana dapat dinotasikan: Umak = f (Y, L) Kendala: Y = Py. F(H); Y ≥ Ymin; H ≤ Hmax Penyelesaian permasalahan dapat diperoleh pada saat marginal substitusi untuk pendapatan (yaitu upah subyektif) sama denga nilai produksi marginal tenaga kerja yang dinotasikan: MUL/MUY = δY/δL = MVPH Cirri teori Chayanov lain adalah jumlah dan komposisi anggota keluarga, besarnya struktur keluarga sangat menentukan tingkat minimum output. Secara keseluruhan rata-rata output petani menentukan batas paling rendah dan paling tinggi volume aktivitas ekonomi. Besarnya struktur keluarga merupakan determinan pertimbangan bersenang-senang terhadap pendapatan pada fungsi rumah tangga dan tingkat upah subyektif rumah tangga. Subyektivitas keseimbangan mikro ekonomi rumah tangga dianggap sebagai
48
karakter ekonomi rumah tangga. Hal ini berarti produksi batas tenaga kerja pada produksi petani berbeda-beda antara rumah tangga usahatani, tergantung dari struktur demografi petani. Karakter struktur demografi harus diperhitungkan, apabila akan memperhitungkan dampak keseimbangan hasil terhadap penggunaan tenaga kerja dalam fungsi produksi. Fungsi produksi atau kurva pendapatan keluarga dapat berubah karena (1) perubahan dalam sumber-sumber lain yang dikombinasikan
dengan
tenaga
kerja
terhadap
output
yang
dihasilkan
(2) perubahan pada teknologi produksi atau (3) perubahan pada harga pasar output yang dihasilkan. Perubahan tersebut akan cenderung mengubah kurva pendapatan keluarga kearah atas dan akan menempatkan kepuasan rumah tangga pada kurva indiferen yang lebih tinggi.
49
BAB III KERANGKA KONSEP PENELITIAN 3.1. Kerangka Pikir Penelitian Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep) mempunyai jumlah kecamatan sembilan yang terdiri dari enam kecamatan di pesisir daratan dan empat kecamatan di perairan yang terdiri dari pulau-pulau kecil. Dari ke empat kecamatan tersebut mempunyai terumbu karang yang sangat luas sebesar 36.000 km2. Terumbu karang yang dimiliki sangat memprihatikan dengan persentasi 50% dalam kondisi rusak, 40.9% dalam kondisi sedang 9.1% kondisi bagus. Ini disebabkan karena nelayan yang menangkap ikan dengan cara membom, membius sehingga terumbu karang rusak. Di mana terumbu karang merupakan tempat berkumpulnya ikan. Akibat rusaknya terumbu karang sehingga produksi hasil tangkapan nelayan tersebut sangat kurang. Selain itu, musim penangkapan yang juga mendukung produksi hasil tangkapan berkurang. Aktivitas/intensitas penangkapan ikan yang tinggi terjadi pada musim puncak dilakukan pada bulan april dan musim paceklik aktivitas penangkapan hampir terhenti sama sekali yang biasa dilakukan pada bulan november sampai januari. Jadi rata-rata produktifitas nelayan dalam 1 (satu) tahun hanya 9 (sembilan) bulan dan dalam 1 (satu) bulan sekitar 20 hari, sehingga masyarakat nelayan mempunyai waktu luang yang banyak. Kondisi yang demikian perlu diusahakan meningkatkan
untuk
mengembangkan
pendapatan
nelayan
usaha dan
alternatif.
Dengan
mengurangi tekanan
tujuan
terhadap
sumberdaya perikanan. Sehingga perlu penelitian tentang model mata pencaharian alternatif ekonomi rumah tangga nelayan dalam mengelola terumbu karang.
50
Identifikasi, Inventarisasi Aktivitas dan Permasalahan RumahTangga Nelayan di KawasanTerumbuKarang
Aktifitas Ekonomi RumahTangga Nelayan
Model Sumberdaya Terumbu Karang
Pemanfaatan Waktu Tidak Melaut
Melaut
Tidak Menambah Pendapatan PemanfaatanSumberdaya: TenagaKerja Modal Skill
Pendapatan Melaut
Menambah Pendapatan
PemanfaatanSumberdaya: Lahan TenagaKerja Modal Skill
Pendapatan Pemanfaatan Waktu tidak Melaut
PemanfaatanSumberdaya: TenagaKerja Modal Skill
Pendapatan dalam Mengelola Terumbu Karang
Model Mata Pencaharian Alternatif untuk meningkatkan ekonomi RumahTangga dalam Mengelola Terumbu Karang
Gambar 6. Kerangka Pikir Penelitian
51
3.2.
Definisi Operasional Konsep pengukuran yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:
3.2.1.
Nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan kegiatan usaha dan pekerjaan penangkapan ikan di laut.
3.2.2.
Rumah tangga nelayan adalah rumah tangga inti (ayah, ibu, anak) dan orang yang tinggal bersama dalam satu atap rumah dan paling sedikit satu anggota keluarga bermata pencaharian sebagai nelayan.
3.2.3.
Kegiatan ekonomi rumah tangga nelayan terbagi atas 4 (empat) blok kegiatan ekonomi yaitu produksi melaut dan non melaut, curahan kerja seluruh anggota rumah tangga, pendapatan rumah tangga (melaut dan non melaut) dan pengeluaran dalam sehari-hari.
3.2.4.
Mata pencaharian Alternatif adalah penghasilan diluar hasil tangkapan nelayan.
3.2.5.
Produksi melaut adalah kegiatan menangkap ikan di laut yang dilakukan nelayan dan keluarganya .
3.2.6.
Produksi non melaut adalah kegiatan yang dilakukan diluar hasil tangkapan yang dapat meningkatkan ekonomi rumah tangga
3.2.7.
Curahan kerja adalah jumlah jam kerja yang dicurahkan atau digunakan oleh rumah tangga untuk mendapatkan penghasilan dari melaut dan diluar melaut
3.2.8.
Curahan waktu kerja suami adalah waktu yang digunakan untuk kegiatan produktif baik kegiatan melaut maupun non melaut
3.2.9.
Curahan waktu kerja istri adalah waktu yang digunakan untuk kegiatan rumah tangga, kegiatan produktif dan kegiatan sosial
52
3.2.10.
Curahan waktu kerja anggota lain adalah waktu yang digunakan untuk kegiatan produktif baik melaut maupun tidak melaut
3.2.11.
Harga ikan dikonversi berdasarkan harga ikan dari hasil tangkapan yang paling dominan di daerah penelitian berdasarkan musim.
3.2.12.
Biaya operasional melaut adalah biaya yang dikeluarkan setiap kali menangkap ikan seperti bahan bakar minyak, rokok, retribusi dan lainlain
3.2.13.
Biaya Tetap Melaut adalah biaya yang dikeluarkan walaupun tidak melaut tetap dikeluarkan seperti pajak usaha, biaya perawatan alat.
3.2.14.
Total Biaya Melaut adalah jumlah biaya operasional melaut dan biaya tetap melaut.
3.2.15.
Penerimaan melaut adalah seluruh hasil tangkapan dikalikan harga yang berlaku pada waktu transaksi
3.2.16.
Penerimaan non melaut adalah seluruh kegiatan produktif diluar melaut yang dihasilkan dikalikan harga yang berlaku pada waktu transaksi
3.2.17.
Pendapatan total rumah tangga adalah seluruh pendapatan anggota rumah tangga nelayan (suami, istri dan anggota lain) baik melaut maupun pendapatan tidak melaut
3.2.18.
Pendapatan melaut yaitu selisih penerimaan melaut dikurangi dengan total biaya melaut
3.2.19.
Pendapatan non melaut adalah selisih penerimaan non melaut dikurangi dengan total biaya yang dikeluarkan
3.2.20.
Pengeluaran Rumah Tangga Nelayan
adalah seluruh pengeluaran
pokok (makanan) dan pengeluaran non pokok (bukan makanan)
53
3.2.21.
Pengeluaran Pokok adalah pengeluaran sehari-hari yaitu beras, ikan, daging, sayur, buah-buahan, susu, telur, minyak goreng, gula dan jajanan
3.2.22.
Pengeluaran Non Pokok adalah pengeluaran seperti pakaian, listrik, pendidikan, kesehatan, kebersihan, transfortasi, keamanan, sosial, arisan dan rekreasi
54
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilakukan di Sulawesi Selatan yaitu Kabupaten Pangkajene Kepulauan.
Lokasi penelitian tersebut dipilih berdasarkan
pertimbangan bahwa daerah tersebut memiliki terumbu karang yang luas sebesar 36.000 km2 (DKP Kab. Pangkep, 2001). Kabupaten Pangkep Kepulauan
memiliki 4 kecamatan di perairan yang terdiri dari pulau-pulau kecil
yaitu Liukang Tuppabiring Utara, Liukang Tuppabiring, Liukang Tangngaya dan Liukang Kalmas. Dari keempat kecamatan tersebut dipilih salah satu kecamatan dengan mempertimbangkan bahwa kecamatan tersebut berdekatan dengan daratan utama (main land) kabupaten Pangkep. Dimana kecamatan tersebut yaitu Kecamatan Liukang Tuppabiring Utara. Kecamatan tersebut terdiri dari 7 (tujuh) desa yang memiliki 19 pulau dimana 17 pulau yang berpenghuni dan 2 pulau yang tidak berpenghuni. Setiap desa mewakili 1 pulau untuk lokasi penelitian. Jadi jumlah lokasi penelitian yaitu 7 pulau. Untuk lokasi penelitian dapat dilihat pada gambar 2. Dan Waktu penelitian dilaksanakan bulan November 2012 sampai September 2013.
55
Gambar 7. Peta Lokasi Peneliti
56
4.2. Rancangan Penelitian 4.2.1. Jenis dan Sumber Data Jenis penelitian yang digunakan yaitu penelitian survei. Penelitian survei adalah penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok. Sumber data dalam penelitian ini berasal dari data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui penelitian lapangan dengan menggunakan metode pengumpulan data yakni
metode pengumpulan data
dengan beberapa teknik sekaligus seperti Indepth Interview, wawancara dengan menggunakan kuisioner dan observasi. Indepth Interview dilakukan pada tokohtokoh
masyarakat sedangkan wawancara dengan menggunakan kuisioner
dilakukan
terhadap
responden
masyarakat
nelayan.
Jenis
data
yang
dikumpulkan meliputi data karakteristik rumah tangga, usaha penangkapan ikan, produksi ikan, curahan hari kerja, biaya yang dikeluarkan dalam penangkapan ikan, biaya yang dikeluarkan dalam kehidupan sehari-hari (pengeluaran pangan dan non pangan) besarnya pendapatan hasil tangkapan dan pendapatan dari usaha lainnya. Sedangkan data sekunder diperoleh dari kantor Dinas Perikanan berupa statistik berupa statistika perikanan, data kependudukan dari kantor desa, kecamatan, Statistika, BAPPEDA dan lembaga lain yang terkait dengan penelitian ini, baik berupa pustaka, hasil penelitian maupun laporan. Hasil penelitian yang diperlukan yaitu tutupan karang hidup didaerah tersebut.
4.2.2. Penentuan Sampel dan Alat Pengumpul Data Sampel dari penelitian ini adalah rumah tangga nelayan yang mempunyai mata pencaharian alternatif baik dari usaha perikanan maupun usaha diluar perikanan. Pengambilan sampel yang diambil secara acak
57
(random). Dengan asumsi bahwa populasi dianggap homogen. Jumlah populasi nelayan di daerah penelitian yaitu 1.151 KK. Sampel yang digunakan sebesar 15% dari populasi dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 1. Data Jumlah Responden pada Masing-masing Lokasi Penelitian NO
DESA
Mewakili Desa
Jumlah KK
Nelayan
Sampel
1 Mattiro Baji
Pulau Saugi
118
79
12
2 Mattiro Bombang
Pulau salemo
122
64
10
3 Mattiro Bulu
Pulau Karanrang
645
439
66
4 Mattiro Kanja
Pulau Sabutung
271
154
23
5 Mattiro Labangeng
Pulau Laiya
192
125
19
6 Mattiro Uleng
Pulau Kulambing
91
86
13
7 Mattiro Walie
Pulau Samatellu Lompo
269
204
31
1151
174
JUMLAH Sumber data: Data Primer, 2013
Jadi jumlah responden dalam penelitian ini sebesar 174 rumah tangga nelayan. Alat dalam pengumpulan data dipenelitian ini dengan menggunakan angket/kuesioner dan dokumentasi. 4.2.3. Tahapan dan Desain Penelitian Tahapan penelitian ini dilakukan dengan 3 tahap yaitu: Penelitian Tahap I a. Survei ke daerah penelitian (melihat potensi dan kondisi sosial ekonomi masyarakat) b. Mendata jumlah penduduk tiap pulau penelitian Penelitian Tahap II a. Menentukan responden
58
b. Wawancara dengan menggunakan kuesioner Penelitian Tahap III a. Mentabulasi data penelitian b. Mengolah data c. Menyusun laporan penelitian 4.3. Analisis Data Analisi data yang digunakan disesuaikan permasalah. Untuk menjawab permasalahan dapat dilihat sebagai berikut: 1.
Untuk perbedaan Musim dalam kegiatan ekonomi Rumah tangga nelayan ada 4 bagian yaitu:
a.
Produksi: Produksi dalam penelitian ini dapat dilihat yaitu produksi melaut dan produksi non melaut. Dimana produksi melaut yaitu kegiatan hasil tangkapan melaut yang dilakukan nelayan yang diukur dengan kilogram. Sedangkan produksi non melaut adalah kegiatan yang dihasilkan rumah tangga nelayan diluar kegiatan melaut yang dapat menambah pendapatan rumah tangga yang diukur dengan satuan produk.
b.
Curahan waktu Kerja Curahan waktu kerja terdiri dari tiga sumber yaitu: suami, istri dan sumber lainnya dimana: b.1. suami Menurut Indra (2010) menyatakan bahwa apabila terdapat lebih dari satu kegiatan atau pekerjaan yang berbeda dalam periode waktu yang sama, maka untuk mengetahui curahan waktu masing-masing kegiatan secara riil digunakan rumus Mangkuprawira (1984) sebagai berikut:
59
Hal ini juga dilakukan untuk menghindari kelebihan waktu dalam satu hari (24 jam) yang dilakukan setiap anggota rumah tangga dalam melakukan kegiatan atau pekerjaan. b.2. istri/wanita curahan waktu kerja wanita nelayan dikelompokkan menjadi tiga kegiatan, yaitu kegiatan rumah tangga (memasak, mengurus anak dan suami, belanja), kegiatan mencari nafkah (kegiatan produktif) dan kegiatan sosial kemasyarakatan (Paloepi 1999) Menurut Gumilar (2005), curahan waktu kerja yang dilakukan oleh wanita nelayan untuk kegiatan rumah tangga dapat diukur dengan menggunakan rumus:
Dimana: CWK = curahan waktu kerja wanita untuk kegiatan rumah tangga WKr
= waktu kerja wanita untuk kegiatan rumah tangga
WKn = waktu kerja wanita untuk mencari nafkah WKs = waktu kerja wanita untuk kegiatan sosial kemasyarakatan Menurut Gumilar (2005), curahan waktu kerja yang dilakukan oleh wanita nelayan untuk kegiatan mencari nafkah dapat diukur dengan menggunakan rumus:
Dimana: 60
CWK = curahan waktu kerja wanita untuk kegiatan rumah tangga WKr
= waktu kerja wanita untuk kegiatan rumah tangga
WKn = waktu kerja wanita untuk mencari nafkah WKs = waktu kerja wanita untuk kegiatan sosial kemasyarakatan c.
Pendapatan Rumah tangga Pendapatan adalah penerimaan bersih dari anggota rumah tangga nelayan. Penerimaan diperoleh dari penerimaan melaut dan penerimaan
non
melaut. Penerimaan melaut dapat dilihat rumus sebagai berikut: TRm = Pm.Qm Dimana: TRm = Total penerimaan hasil melaut (Rp) Pm
= harga ikan (Rp)
Qm = hasil tangkapan melaut (produksi melaut) (kg) Sedangkan penerimaan non melaut dapat dilihat rumusnya sebagai berikut: TRn = Pn.Qn Dimana: TRn = Total Penerimaan non hasil melaut (Rp) Pn = Harga produk/barang diluar melaut (Rp) Qn = hasil produksi non melaut (kg atau biji) Setiap kegiatan akan mengeluarkan biaya. Adapun biaya yang dikeluarkan yaitu biaya operasional dan biaya tetap. Untuk melihat biaya melaut dapat dilihat rumus sebagai berikut: TCm = FCm + VCm
61
Dimana: TCm = Total biaya hasil melaut (Rp) FCm = biaya tetap yang dikeluarkan nelayan (Rp) VCm = biaya operasional melaut (Rp) Sedangkan biaya yang dikeluarkan diluar melaut adalah sebagai berikut: TCn = FCn + VCn Dimana: TCn = Total biaya usaha yang dikeluarkan diluar melaut (Rp) FCn = biaya tetap yang dikeluarkan usaha diluar melaut (Rp) VCn = biaya operasional usaha diluar melaut (Rp) Untuk melihat pendapatan melaut dapat dilihat rumus sebagai berikut: Im = TRm -TCm Sedangkan pendapatan non melaut dapat dilihat sebagai berikut: In = TRn -TCn Jadi pendapatan setiap anggota rumah tangga nelayan dapat dilihat sebagai berikut: I = Im + In Dimana: I
= Pendapatan anggota rumah tangga (suami, istri dan sumber lain)
Im = Pendapatan hasil melaut In = Pendapatan diluar hasil melaut Pendapatan rumah tangga berasal dari tiga sumber, yaitu dari suami, istri dan sumber lainnya. Menurut Mardiana (2004) pendapatan rumah tangga responden dapat dihitung dengan rumus: It = Ih + If + Io
62
Dimana: It = pendapatan rumah tangga Ih = pendapatan suami If = pendapatan istri Io = pendapatan sumber lain d.
Pengeluaran Rumah tangga nelayan Pengeluaran rumah tangga dihitung dari pengeluaran untuk makanan dan pengeluaran bukan makanan dalam setahun terakhir, kemudian dibagi 12 sehingga
diperoleh
rataan
pengeluaran
rumah
tangga
perbulan.
Pengeluaran rumah tangga perbulan dibagi dengan jumlah anggota rumah tangga sehingga diperoleh pengeluaran perkapita dalam Rp/kapita per bulan (Ikeu dkk, 2007) Pengeluaran makanan (pangan) yaitu beras, daging, ikan, sayur, buahbuahan, susu, telur, minyak goreng, gula dan jajanan sedangkan pengeluaran bukan makanan yaitu pakaian, pendidikan, kesehatan, kebersihan, transfortasi, keamanan, penerangan, sosial, arisan dan rekreasi
Di mana: PR = Pengeluaran Rumah tangga perbulan (Rp) PM = Pengeluaran Makanan (Rp) PB = Pengeluaran bukan Makanan (Rp)
63
PP = Pengeluaran Perkapita (Rp) ƐAK = Jumlah Anggota Keluarga 2.
Untuk mengetahui layak usaha tersebut dikembangkan, maka digunakan rumus kelayakan usaha. Adapun rumus kelayakan usaha dapat dilihat sebagai berikut: RC ratio Dengan syarat : R/C Ratio > 1 usaha tersebut layak R/C Ratio = 1 usaha tersebut impas R/C Ratio < 1 usaha tersebut tidak layak Setelah usaha tersebut layak, maka dapat dikembangkan dengan melihat peluang usaha. Peluang usaha dapat dikembangkan apabila ada
3.
potensi didaerah tersebut
Sumberdaya manusia
modal
Untuk mengetahui perilaku rumah tangga nelayan dalam mengelola terumbu karang dapat digunakan analisis secara deskriptif. Di analisis dengan menggunakan metode deskriptif, yaitu metode di mana data dikumpulkan,
disusun,
diinterpretasikan,
dan
dianalisa
sehingga
memberikan keterangan yang lengkap bagi permasalahan yang dihadapi. 4.
Untuk
menentukan
model
mata
pencaharian
alternatif
untuk
pengembangan ekonomi rumah tangga nelayan dalam mengelola terumbu karang maka digunakan analisis yang menggunakan Software Stella 9.02 sebagai tools yang komprehensif untuk menggambarkan
64
terkaitan kegiatan rumah tangga nelayan dalam mengelola terumbu karang. Dalam simulasi model mata pencaharian alternatif dalam pengelolaan terumbu karang, optimasi ini akan dilakukan tiga skenario, yaitu: a.
Skenario curahan kerja, perkembangan berbagai faktor ekologi, ekonomi dan sosial.
b.
Skenario optimis, yaitu meningkatkan curahan kerja, berbagai faktor ekologi, ekonomi dan sosial
c.
Skenario pesimis, yaitu menurunkan curahan kerja, berbagai faktor ekologi, ekonomi dan sosial. Untuk melihat variabel-variabel yang akan digunakan dapat dilihat pada
tabel berikut: Tabel 2. Tujuan dan Metode Analisis Model Mata Pencaharian Alternatif untuk Pengembangan Ekonomi Rumah Tangga Nelayan dalam Mengelola Terumbu karang No Tujuan Metode analisis 1 Mengetahui kondisi Terumbu - Hasil Penelitian didaerah tersebut karang di Kecamatan dengan melihat persentase Tuppabiring Utara tutupan karang hidup, nilai indeks keanekaragaman (H‟), nilai indeks kemerataan (J), dan Nilai indeks kekayaan jenis (d) 2 Mengetahui kegiatan ekonomi - Menghitung produksi melaut dan rumah tangga nelayan yaitu non melaut produksi, curahan kerja, - Menghitung curahan kerja rumah penerimaan dan pengeluaran tangga nelayan - Menghitung penerimaan rumah tangga nelayan - Menghitung pengeluaran rumah tangga nelayan 3 Mengukur daya dukung untuk - Pengukuran daya dukung lahan mata pencaharian alternatif (KJA untuk kegiatan mata pencaharian dan budidaya rumput laut) alternatif 4 Merancang model dinamik mata - Analisis sistem dan pemodelan pencaharian alternatif untuk dengan berbagai faktor yang pengembangan ekonomi rumah mempengaruhi yakni ekologi, tangga nelayan dalam sosial dan ekonomi dengan software stella versi 9.02 pengelolaan terumbu karang
65
Dimana Mata pencaharian alternatif yaitu Budidaya Rumput laut dan Budidaya Keramba Jaring Apung (KJA). Untuk membuat model harus menentukan daya dukung Budidaya rumput laut dan KJA.
Daya Dukung Budidaya Rumput Laut. Daya dukung lahan budidaya rumput laut dapat dianalisis dengan menggunakan pendekatan luas areal budidaya yang sesuai (kategori sangat sesuai dan sesuai), kapasitas lahan dan metode budidaya yang diterapkan. Parameter yang menjadi acuan dalam penentuan daya dukung lahan tersebut, antara lain;
a. Luas lahan budidaya rumput laut yang sesuai. Luas lahan (areal perairaan) budidaya rumput laut yang sesuai dapat diperoleh dari hasil analisis kesesuaian lahan dengan menggunakan GIS. b. Kapasitas lahan perairan Kapasitas lahan diartikan sebagai luasan lahan perairan yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya rumput laut secara terus menerus dan secara sosial tidak menimbulkan konflik serta secara ekologi tidak mengganggu ekosistem. Besarnya kapasitas lahan yang ditetapkan dalam studi ini dianalisis dengan formula sebagai berikut:
= =
66
Di mana: KL
= Kapasitas lahan
Δ L = L2 – L1 L1
= Luas unit budidaya
L2
= Luas yang sesuai untuk satu unit budidaya
l1
= lebar unit budidaya
l2
= lebar yang sesuai untuk satu unit budidaya
P1
= panjang unit budidaya
P2
= panjang yang sesuai untuk satu unit budidaya
c. Luasan Unit Budidaya Luasan unit budidaya adalah besaran yang menunjukkan luasan dari satu unit budidaya rumput laut, dimana setiap luasan unit budidaya berbeda-beda tergantung dari metode budidaya yang digunakan. d. Daya Dukung Lahan Daya dukung lahan menunjukkan kemampuan maksimum lahan yang mendukung
aktivitas
budidaya
secara
terus
menerus
tanpa
menimbulkan terjadinya penurunan kualitas, baik lingkungan biofisik maupun sosial. Berdasarkan dengan pendekatan tersebut di atas maka daya dukung lahan untuk budidaya rumput laut dapat dianalisis dengan formula sebagai berikut: DDLKJA
= LLS x KL
DDLKJA
= Daya dukung lahan budidaya rumput laut (ha)
LLS
= Luas lahan sesuai (ha)
Di mana:
67
KL
= Kapasitas lahan (ha)
Sedangkan untuk menghitung berapa jumlah unit budidaya yang dapat didukung oleh lahan berdasarkan daya dukung yang diperoleh, dapat dianalisis dengan persamaan sebagai berikut: JUBKJA = Dimana: JUBKJA
= Jumlah unit budidaya rumput laut (unit)
DDL
= Daya dukung lahan (ha)
LUB
= Luas unit budidaya (unit/ha)
Daya Dukung KJA Penentuan daya dukung lingkungan untuk kegiatan perikanan di daerah penelitian mengacu pada berbagai parameter yang digunakan dalam
analisis kesesuaian. Berdasarkan pengukuran berbagai
parameter yang menjadi acuan maka ditentukan luasan areal budidaya perikanan KJA yang dimungkinkan. Parameter tersebut antara lain: a.
Luas Lahan Budidaya Ikan dengan KJA yang sesuai. Luas lahan (areal perairan) budidaya ikan dengan KJA yang sesuai dapat diperoleh dari hasil analisis kesesuaian lahan.
b.
Kapasitas lahan perairan. Besarnya kapasitas lahan yang digunakan untuk kegiatan budidaya dengan KJA dianalisis seperti formula yang digunakan pada budidaya rumput laut. Yang berbeda adalah luas unit budidaya yang digunakan secara umum di perairan Indonesia (Sunyoto, 2000), yaitu dengan luas (12 m x 12 m) = 144m 2 = 0,00014 km2
68
c.
Luasan unit rakit KJA. Luasan unit rakit KJA adalah besaran yang menunjukkan luasan dari satu unit rakit dengan empat keramba berukuran 3m x 3m x 3m
d.
Daya Dukung Lahan. Daya dukung lahan menunjukkan kemampuan maksimum lahan yang mendukung aktivitas budidaya secara terus menerus tanpa menimbulkan terjadinya penurunan kualitas, baik lingkungan biofisik maupun sosial.
Berdasarkan dengan pendekatan tersebut di atas maka daya dukung lahan untuk budidaya KJA dapat dianalisis dengan formula sebagai berikut: DDLKJA
= LLS x KL
DDLKJA
= Daya dukung lahan budidaya dengan KJA (ha)
LLS
= Luas lahan sesuai (ha)
KL
= Kapasitas lahan (ha)
Di mana:
Sedangkan untuk menghitung berapa jumlah unit budidaya yang dapat didukung oleh lahan berdasarkan daya dukung yang diperoleh, dapat dianalisis dengan persamaan sebagai berikut: JUBKJA = Dimana: JUBKJA
= Jumlah unit budidaya dengan KJA (unit)
DDL
= Daya dukung lahan (ha)
LUB
= Luas unit budidaya (unit/ha)
69
DAFTAR PUSTAKA Abdul, H.L. 2011. Analisis Ekologi-Ekonomi Pengelolaan Perikanan Berbasis Ekosistem Terumbu Karang. (Studi Kasus Perairan Pulau Liwutongkidi Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara. Tesis. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor Anna, dkk. 2006. Studi Baseline Ekologi Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep). COREMAP. ………. 2012. Ekosistem Pesisir Perairan Pangkajene Kepulauan Propinsi Sulawesi Selatan. CRITC- Pusat Penelitian Oseanografi. Jakarta Antunes, I, 1998. Setting the Seine, A Matter of Luck Knowledge and Beliefs of Purse Seine Captain Anonim. 2009. Evaluasi DPL Terhadap Pelestarian Terumbu Karang di Kabupaten Pangkep. Laporan Akhir. CRITC- Pusat Penelitian Oseanografi. Jakarta ……….. 2010. Status Data Base Terumbu Karang Sulawesi Selatan. Laporan Akhir. CRITC- Pusat Penelitian Oseanografi. Jakarta
Aryani, F. 1994. Analisis Curahan Kerja dan Konstribusi Penerimaan Keluarga Nelayan Dalam Kegiatan Ekonomi di desa Pantai. PPS-IPB. Bogor. Bagi, F.S and I,J Singh, 1974, A Microeconomic Rural Sociology. The Ohio State University. Colombus-Ohio. Barnum H.N; and L. Squire, 1979, A Model of an Agricultural Household Theory and Evidence. The Johns Hopkins University Press. Baltimore and London. Baruch, R. 2008. Management of Coral Reefs: We have gone wrong when Neglecting Active Reef Restoration. Marine Pollution Bulletin. www.elsevier.com p 1821-1824. Beckers, G. 1965. A Theory of The Allocation of Time. Jour. Of Economics. Colombia. Cesar H. 1996. Economic Analisys of Indonesian Coral Reefs. The World Bank. 23p Christie, P. 2007. Best Practices for Improved Governance of Coral Reef Marine Protected Areas. Published online. www.Springer.com P 1047-1056. Craig R, Justin M,Dave l, Diana K. 2011. Terumbu Karang dan Perubahan Iklim. Panduan Pendidikan dan Pembangunan Kesadartahuan. CoralWatch, The University of Queensland, Brisbane, Australia
70
Dahuri,
R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut; Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Direktorat Jenderal Perikanan, 1980, Survei Sosial Ekonomi Perikanan Laut di Pantai Utara Jawa Timur Departemen Pertanian Jakarta. _____,
1993, Evaluasi Pembangunan Sub Sektor Perikanan Pembangunan Jangka Panjang Tahap I (PJPT I), Jakarta.
Dalam
Ehrenberg, R.G. and R.S. Smith, 1988. Modern Labor Economics Theory and Public Policy 3 rd Edition. Scott Foresman and Company Glenview. Llinois Boston London Ghufran, K. 2010. Ekosistem Terumbu Karang. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta Gumilar, I. 2005. Peran Serta wanita dalam Meningkatkan Pendapatan Keluarga (Kasus Pantai Utara Jawa barat). Program Riset Hibah Kompetitif A2 BATCH 2 2005 DIKTI. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Padjajaran Hendra, W. Irang, G dan Ankiq, T. 2012. Kontribusi Ekonomi Produktif Wanita Nelayan Terhadap Pendapatan Keluarga Nelayan. Journal Perikanan dan Kelautan. Vol. 3 No. 3 September 2012. P.95-106 Hermanto, 1986, Analisis Pendapatan dan Pencurahan Tenaga Kerja Nelayan di Desa Pantai Studi Kasus di Muncar Banyuwangi. Pusat Penelitian Agro Ekonomi Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Jakarta. Hilborn, R and C.J. Walters. 1992. Quantitative Fisheries Stock Assesments; Choice, Dynamics and Uncertainty. Charman and Hall, New York. Ikeu, T. Hidayat, S. Clara, M.K, Hardinsyah dan Dadang S. 2007. Analisis Peubah Konsumsi Pangan dan Sosio Ekonomi Rumah tangga Untuk Menentukan Indikator Kelaparan. Journal Media Gizi dan Keluarga. Juli 2007. 31 (1). P.20-29. Indra Rocmadi. 2010. Curahan Kerja, Kontribusi Anggota keluarga dalam Pendapatan Rumah Tangga dan Pola Pengeluaran Nelayan Tradisional di Kabupaten Brebes Jawa Tengah. Tesis. Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Ismiran Wattiheluw. 2004. Alternatif Peningkatan Pendapatan Rumah Tangga Petani Melalui kegiatan off-farm (Studi Kasus Desa Tawangsari Kecamatan Pujon Kabupaten malang). Tesis. Program Studi Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Kekhususan Ekonomi Pembangunan. Program Pascasarjana Universitas Brawijaya Malang. Jan Henning Steffen. 2000. Pengelolaan Terumbu Karang yang telah Memutih dan Rusak Kritis. IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge
71
Mallawa A. 2006. Pengelolaan Sumberdaya Ikan Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat . Disajikan Dilokakarya Penelitian Program Coremap II kabupaten Selayar. Mangkuprawira, S. 1984. Alokasi Waktu dan Kontribusi Kerja Anggota Keluarga dalam Kegiatan Ekonomi Rumah tangga: Studi Kasus di Dua Tipe Desa di Kabupaten Sukabumi Jawa barat. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor Manurung. VT, 1983, Suatu Tinjauan Kriteria Nelayan Kecil dan Masalah Pembiayaannya di Jawa Timur dalam Proceding Workshop Sosial Ekonomi Perikanan Indonesia, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Departemen Pertanian Jakarta. Mardiana, D. 2004. Profil wanita Pengolahan Ikan di Desa Blanakan Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang Jawa barat. Program Studi Manajemen Bisnis Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Miftahuddin. 2003. Peluang Pengembangan Usaha dan Keragaan Ekonomi Rumah Tangga Istri Nelayan Pekerja di Kabupaten Aceh Besar: Suatu Analisis Simulasi. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Mimit, P. Gathot, S dan Permana A. 2005 Perencanaan Usaha (Bussines Plan) sebagai Aplikasi Ekonomi Perikanan. Bahtera Press. Muhammad, S.E. Susilo, A. Qoid dan M. Primyastanto, 1991. Analisis Pengembangan Usaha Perikanan Skala Kecil di Selat Madura. Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya Malang. Muhammad, S. 2002. Kajian Ekonomi Rumah Tangga Nelayan di Jawa Timur: Analisis Simulasi Kebijakan, Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. PPS IPB. Bogor. Disertasi. Nicholson, 1985. Microeconomic Theory Basic Priciples and Extension Third Edition. The Dryden Press Hisdale linois. Paleopi, S.R. 1999. Peran Wanita Terhadap Tingkat Pendapatan dan Kesejahteraan Rumah Tangga (Studi Kasus pada Anggota Kelompok Usaha Bersama (KUB) di Desa Cikahuripan Kecamatan Cisolok kabupaten Sukabumi). Program Studi Manajemen Bisnis dan Ekonomi Perikanan Kelautan. Departemen Sosial Ekonomi dan Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor Purwanti, P. 1994. Curahan Waktu dan Produktivitas Kerja Nelayan di Kabupaten Pasuruan. FPS UGM, Yogyakarta. Thesis S-2.
72
Purwanti, P.A. Qoid, dan Murniyati. 1997. Studi Model Pembinaan Kelompok Usaha Bersama (KUB) Wanita Nelayan Dalam Upaya Peningkatan Pendapatan Masyarakat Nelayan di Pedesaan Pantai Jawa Timur. PSWLEMLIT Universitas Brawijaya Malang Purwono. G.S. 1991. Alokasi Waktu dan Produktivitas Nelayan di Kecamatan Puger Kabupaten Jember, FPS UGM. Yogyakarta. Thesis S-2 Reniati. 1998. Faktor-faktor yang Mempengaruhi dan Keterkaitan Keputusan Kerja Produksi dan pengeluaran Rumah Tangga Nelayan. PPS. IPB. Thesis S-2. Reswati. 1991. Pemanfaatan Tenaga Kerja dalam Keluarga sebagai Usaha Peningkatan Pendapatan Nelayan di Ketapang Kabupaten Lampung Selatan. Journal Penelitian Perikanan Laut no. 60. Jakarta. Roch, J.N. Luong, R and Clignet. 1998. A Note on The Demografhic, Economic and Social Structures of The Fishermen,s Household. Proc. Soc. Ec. Inovation and Management (SOSEKIMA) of the Java Sea Pelagic Fisheries, 4-7 Desember 1995. EURO-CRIFI-ORSTOM, p.145-151. Sahri Muhammad. 2010. Kebijakan Pembangunan Perikanan dan Kelautan: Pendekatan SIstem. Universitas Brawijaya Press (UB Press). Soekartawi. 1995. Analisi Usahatani. UI Press. Jakarta. Sujarno. 2008. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Nelayan Di Kabupaten Langkat. Tesis. Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Medan Sukirno, S. 2004. Pengatar Teori Mikro Ekonomi. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Susilowati, I. 1998. The Role of Woman in Fishing Household in Juwana Sub Disstric, Pati Regency, Central Java, Indonesia. Proc. Soc. Ec. Inovation and Management (SOSEKIMA) of the Java Sea Pelagic Fisheries, 4-7 Desember 1995. EURO-CRIFI-ORSTOM, p.153-160 Sutoyo. 2005. Kajian Ekonomi Rumah Tangga Nelayan Kecil pada Program Pemberdayaan Pengelolaan Sumberdaya Berbasis Komunitas (PSBK) (Kasus di Muncar Banyuwangi). PPS Unibraw. Malang Thesis S-2. Tai, S.Y and T. Heaps. 1996. Effort Dynamic and Alternatives Management Policies for the Small Pelagic Fisheries of Northwest Peninsular Malaysia. Mar. res Economic. Vol II. P.85-103 Tumulyadi, A. 2005. Analisa Ekonomi Rumah tangga Nelayan Rumpon (Kasus Penangkapan Ikan Cakalang dan Tuna dengan Alat Bantu Rumpon di PPI Pondokdadap-Kabupaten Malang. PPS Unibraw. Malang. Thesis S-2.
73
Uption, M dan T. Susilowat. 1992. The Role of Women in Small Scale Fishery Development in Indonesia. CRIFI, AARD, DEPTAN, Jakarta p.126-166. Yotopoulos PA and J.B. Nugent. 1976. Economic of Development Emprical Investigations. Harper International Edition. Harper and Row Publisher. Yuswadi widodo. 2003. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ibu Rumah Tangga Bekerja di Sektor Non Pertanian dalam Meningkatkan Pendapatan Keluarga (kasus di Desa Dengkol Kec. Singosari Kab. Malang). Tesis. Program Studi Ekonomi Pertanian Kekhususan Agribisnis. Program Pascasarjana Universitas Brawijaya Malang.
74