ANALISIS STRUKTUR NAFKAH DAN PENGHIDUPAN RUMAHTANGGA PEKERJA BATIK TULIS TRADISIONAL (Studi Sosio-Ekonomi Dua Tipe Industri Batik di Kota Pekalongan Provinsi Jawa Tengah)
Rani Yuliandani I34070030
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
ABSTRACT
Batik industry is making batik textile industry and is done by writing without the aid of modern machinery that uses a retractable “canting batik” on factory, pattern, color and unique texture. Nearly 80% of people's livelihood in Pekalongan have industrial sectors, namely industrial batik. From the beginning until now rely on the livelihoods of people in Pekalongan batik. Presence in the city of Pekalongan batik industry affects workers social batik life. What about their social life or work in small businesses and large enterprises to be able to survive in the Batik industry. The purpose of this study summarized in three questions. First, know the different structure of the domestic life of traditional batik workers in small industries and large industries on site. Second, know the difference in the quality of social life of traditional batik workers in small industries and large industries on site. This research was conducted in Pekalongan, Central Java in March 2011. The primary data obtained through questionnaires to respondents and in-depth interview to the informant, while the secondary data obtained from the relevant governmental institutions. Respondents were selected using random sampling techniques to select 60 respondents from the two industry types, namely Small and Large. Second batik industry, which consists of four small and four large industry, with a total of eight in the entire industry Pekalongan batik. Region chosen as the location of the batik industry Medono, Pesindon Batik Tourism Village, Kampung Batik Kauman, Noyontaan and Setono. Data were analyzed with Chi-Square test statistic with alpha value of 10%. The result is processed, then analyzed with frequency is presented in table and cross table. The results showed the economic conditions of domestic workers in two types of batik industry, both small and large industries. Seen on the structure of household income earned, changes in the level of income in the year 2006-2011 batik, the perception of the contribution of household income, changes in employment opportunities outside the batik industry sector in the year 20062011, the effect-making skills, to increase the hours of overtime work of batik, structure of expenditure/household consumption and labor time allocation batik. It can be concluded that the workers of the traditional batik home industries, small and large industries will survive (survival) in the economic sector because batik used as I support a "last resort" the workers batik. The role of the husband contributed much in household livelihood support. According to the results of field research in the social life of the workers in both types of industry batik changed his social life. Especially in the large industrial workers batik a greater level of satisfaction with the work in the batik industry.
Keywords: batik industry, condition of social life, condition of economic life
RINGKASAN RANI YULIANDANI. Analisis Struktur Nafkah dan Penghidupan Rumahtangga Pekerja Batik Tulis Tradisioanl (Studi Sosio-Ekonomi Dua Tipe Industri Batik di Kota Pekalongan Provinsi Jawa Tengah). Dibawah Bimbingan ARYA HADI DHARMAWAN. Industri batik tulis merupakan industri tekstil yang membuat batik tulis dan dikerjakan dengan tulisan tanpa bantuan mesin modern yaitu menggunakan canting yang digambar di atas kain batik dengan memiliki motif, corak, warna dan tekstur yang unik. Hampir 80 % masyarakat Pekalongan memiliki mata pencaharian di sektor industri, yaitu industri batik. Dari dulu sampai sekarang masyarakat Pekalongan menggantungkan hidupnya pada sumber nafkah dari membatik. Stuktur nafkah dan besarnya pendapatan pekerja batik berasal dari sektor industri batik. Selain itu, peran suami juga berkontribusi besar dalam memperoleh sumber nafkah rumah tangga. Kehadiran industri batik di Kota Pekalongan mempengaruhi kehidupan sosial pekerja batik tulis, yaitu kehidupan sosial pekerja batik baik yang bekerja pada industri kecil maupun industri besar agar tetap mampu bertahan hidup dalam pekerjaannya di sektor industri batik, sehingga berdampak pada perubahanperubahan kepada tatanan kehidupan sosial dan ekonomi rumah tangga pekerja batik tulis baik yang bekerja pada industri kecil maupun industri besar. Dengan demikian, dampak yang diterima bagi setiap rumah tangga pekerja batik tulis juga berbeda. Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, tujuan dari penelitian ini terangkum dalam tiga pernyataan. Pertama, mengetahui adanya perbedaan struktur nafkah rumahtangga pekerja batik tulis tradisional pada industri kecil dan industri besar di lokasi penelitian. Kedua, mengetahui perbedaan kualitas kehidupan sosial pekerja batik tulis tradisional pada industri kecil dan industri besar di lokasi penelitian. Penelitian ini dilakukan di Kota Pekalongan, Jawa Tengah pada bulan Maret 2011. Data primer diperoleh melalui penyebaran kuesioner kepada responden dan wawancara mendalam kepada informan, sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi-instansi terkait. Responden penelitian dipilih dengan menggunakan teknik random sampling dengan memilih
60 responden dari dua tipe industri yang berbeda yaitu Industri Kecil dan Industri Besar. Kedua industri batik ini, terdiri dari empat industri kecil dan empat industri besar, dengan total delapan industri batik di seluruh Kota Pekalongan. Daerah yang dipilih sebagai lokasi industri batik adalah Medono, Kampung Wisata Batik Pesindon, Kampung Batik Kauman, Noyontaan dan Setono. Data hasil penelitian dianalisis dengan manggunakan uji statistik Chi-Square dengan nilai alpha 10%. Hasil olahan tersebut, kemudian dianalisis dengan disajikan dalam bentuk tabel frekuensi dan tabel silang. Hasil penelitian menunjukkan kondisi ekonomi rumahtangga pekerja batik tulis pada dua tipe industri batik, baik industri kecil maupun industri besar. Dilihat pada struktur pendapatan yang diperoleh rumahtangga, perubahan tingkat pendapatan membatik pada tahun 2006-2011, persepsi kontribusi pendapatan rumah tangga, perubahan kesempatan kerja di luar sektor industri batik pada tahun 2006-2011, pengaruh keterampilan membatik terhadap penambahan jam lembur pekerja batik, struktur pengeluaran/konsumsi rumahtangga dan alokasi waktu pekerja batik tulis. Hal ini dapat disimpulkan bahwa rumahtangga pekerja batik tulis tradisional pada industri kecil maupun industri besar mampu bertahan hidup (survival) secara ekonomi dikarenakan sektor batik dijadikan sebagai “last resort” sumber nafkah pekerja batik. Peran suami berkontribusi besar dalam menghidupi nafkah rumahtangga. Selain kondisi ekonomi, kehidupan sosial pekerja batik tulis juga dapat dilihat dari aspek kepuasan kerja membatik, stres kerja pada pekerjaan membatik, kondisi tempat tinggal dan peluang peningkatan status sosial (mobilitas sosial) pekerja batik tulis. Sesuai hasil penelitian dilapangan membuktikan bahwa pekerja batik tulis pada industri kecil maupun industri besar mengalami perubahan kehidupan sosialnya. Khusunya pada pekerja batik industri besar yang lebih tinggi tingkat kepuasannya bekerja di industri batik.
ANALISIS STRUKTUR NAFKAH DAN PENGHIDUPAN RUMAHTANGGA PEKERJA BATIK TULIS TRADISIONAL (Studi Sosio-Ekonomi Dua Tipe Industri Batik di Kota Pekalongan Provinsi Jawa Tengah)
Rani Yuliandani I34070030
SKRIPSI Sebagai Prasyarat untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
LEMBAR PENGESAHAN
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang ditulis oleh: Nama Mahasiswa
: Rani Yuliandani
NRP
: I34070030
Judul
: Analisis Struktur Nafkah dan Penghidupan Rumahtangga Pekerja Batik Tulis Tradisioanl (Studi Sosio-Ekonomi Dua Tipe Industri Batik di Kota Pekalongan Provinsi Jawa Tengah)
Dapat diterima sebagai syarat kelulusan KPM 499 pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M. Sc, Agr. NIP. 19630914 199003 1 002 Mengetahui, Ketua Departemen
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS. NIP. 19550630 198103 1 003
Tanggal Pengesahan:
LEMBAR PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “ANALISIS
STRUKTUR
NAFKAH
DAN
PENGHIDUPAN
RUMAHTANGGA PEKERJA BATIK TULIS TRADISIONAL: Studi SosioEkonomi Dua Tipe Industri Batik Di Kota Pekalongan Provinsi Jawa Tengah)” INI BENAR-BENAR HASIL KARYA YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA SUATU PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK RUJUKAN
YANG
LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN
DINYATAKAN
DALAM
NASKAH.
DEMIKIAN
PERNYATAAN INI SAYA BUAT DENGAN SESUNGGUHNYA DAN SAYA BERSEDIA MEMPERTANGGUNGJAWABKAN PERNYATAAN INI.
RIWAYAT HIDUP
Rani Yuliandani atau biasa dipanggil Rani (Penulis), lahir di Kota Batang, tepatnya pada tanggal 12 Juli 1989. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara, pasangan Bapak Priyono, S.Pd. S.E (alm) dan Ibu Sri Estati. Penulis menempuh pendidikan dari mulai Taman Kanak-Kanak di TK Bhayangkari Batang pada tahun 1994-1995, lalu belajar di Sekolah Dasar Negeri 06 Batang pada tahun 1995-2001, SMP Negeri 1 Batang tahun 2001-2004 dan SMA Negeri 1 Batang tahun 2004-2007. Pada tahun 2007, penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Penulis telah memilih Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat yang berada dibawah Fakultas Ekologi Manusia sebagai angkatan ketiga (angkatan 44). Selama menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor, penulis mengikuti beberapa organisasi. Berawal pada Tingkat Persiapan Bersama (TPB) penulis telah menjadi anggota Omda IMAPEKA, lalu tahun 2008-2009 penulis telah diterima sebagai anggota Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM FEMA) dengan menjabat sebagai Divisi Pengembangan Olahraga dan Seni (PBOS). Lalu penulis juga aktif di kegiatan kepanitian-kepanitian di IPB, yaitu sebagai Divisi Konsumsi Familiarity Nite 2008, divisi Publikasi dan Dokumentasi Indonesian Ecology Expo 2008 (INDEX’2008), Divisi Konsumsi 2nd E’SPEND 2009, Divisi Humdan Masa Perkenalan Fakultas Ekologi Manusia 2009, Ketua Panitia Duta FEMA 2009, Peserta Pelatihan Fisik Dasar Keolahragaan IPB 2009. Selama di IPB, penulis pernah meraih prestasi dalam bidang olahraga, yaitu Juara I Lomba Maraton TPB Cup 2008, Juara I Lomba Lari 400 m Puteri dalam Kejuaraan Atletik Mahasiswa IPB 2009, Lomba Lari 3 Km dan 1500 m pada PORKAB Kab.Bogor 2009 (Ciampea), Juara 5 Lomba Lari Tingkat Nasional CIBINONG 10 K pada kategori Pelajar/Mahasiswa Puteri 2010, Juara 10 Lomba Lari Tingkat Nasional BOSTON 10 K (Bogor Siliwangi Marathon) pada kategori Umum Putri 2011, Juara Aerobik Beregu Purwosi Kab. Bogor Tahun 2011.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan
Rahmat
dan
Karunia-Nya
sehingga
penulis
dapat
menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Adapun skripsi yang penulis beri “Analisis Struktur Nafkah dan Kualitas Kehidupan Sosial RumahTangga Pekerja Batik Tulis Tradisional (Studi Sosio-Ekonomi Dua Tipe Industri Batik di Kota Pekalongan Provinsi Jawa Tengah)” merupakan hasil penelitian yang dilakukan untuk mengetahui bentuk struktur nafkah rumatangga pekerja batik tulis dan kualitas kehidupan sosial pekerja batik tulis. Skripsi ini menjelaskan perbandingan pada kedua tipe industri batik yaitu dilihat pada aspek ekonomi dan sosial rumahtangga pekerja batik tulis di Kota Pekalongan, Jawa Tengah. Adapun penulisan skripsi ini
dimaksudkan sebagai syarat kelulusan di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilakukan tidak semata-mata hanya untuk memperoleh gelar sarjana, melainkan juga untuk memperoleh pengetahuan terkait penulis. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi para pembaca dan dapat dijadikan sebagai acuan penelitian selanjutnya.
Bogor, Juni 2011
Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH
Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan atas karunia dan rahmat dari Allah SWT, yang telah memberikan kelancaran bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini tidak dapat diselesaikan tanpa mendapat bantuan dan doa dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M. Sc, Agr. Selaku dosen pembimbing yang telah memberikan semangat, dukungan, bimbingan, arahan, dan sarannya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik; 2. Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS dan Dr. Ir. Sarwititi S. Agung, MS. Selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan dan sarannya dalam penulisan skripsi ini; 3. Kedua orang tua penulis Bapak Priyono, S.Pd, S.E (alm) dan Ibu Sri Estati yang selalu memberikan dukungan, doa, semangat yang terus-menerus dan kasih sayang yang tak terhingga dari dulu sampai sekarang kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik; 4. Keluarga besar penulis Niken Mietasari, Satriyo Agung Nugroho, Lek Gun, Lek Anik, Lek Een, Om Hit, Embah Putri dan Bude Emi yang selalu memberikan, semangat, dukungan dan doa kepada penulis; 5. Keluarga besar Bapak Purwono yang telah memberikan doa dan dukunganya baik materil maupun non materil nya kepada penulis selama di IPB sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik; 6. Vecky Dwi Kuswandora atas bantuan, semangat, dukungan dan kasih sayang selama ini kepada penulis sehingga dapat termotivasi dalam penyelesaian skripsi ini dengan baik; 7. Bapak dan Ibu Pengusaha batik CV. Tobal, Larissa, Fenno, Arinna, Ganesha, Wiro Sembodo, Laa Raiba dan Mufti dan Kepala Museum Batik di Kota
Pekalongan
yang
telah
memberikan
berbagai
informasi,
perizinan,
pengalaman dan arahan kepada penulis selama penelitian di industri Batik Kota Pekalongan; 8. Kepala Museum Batik, Pekerja-pekerja batik tulis, staf-staf industri batik Bapak Zafir, Mas Eko, Mas Dicky, Mas Askur, Mbak Riesla, Bapak Farizi dan semuanya yang telah memberikan informasi, pengarahan dan semangat kepada penulis selama penelitian di industri batik Kota Pekalongan; 9.
Teman-teman SKPM 44 dan sahabat-sahabat Ume, Asih, Tita, Dian, Aris, Eka, Akira, Isma, Bagus dan yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terimakasih atas dukungan, motivasi dan suasana perkuliahan yang menyenangkan saat bersama-sama menempuh pembelajaran di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat;
10. Ali Sulton, Rr. Utami Annastasia, Rizki Afianti, Diah Irma Ayuningtyas, Anggi Akhirta Muray dan Siti Halimatussadiah sebagai teman satu bimbingan skripsi yang selalu bekerjasama dengan baik, dan selalu memberikan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.. 11. Keluarga besar Andini Fitnes Centre (AFC) yang telah memberikan semangat, dukungan, motivasi, canda dan tawa kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 12. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu dalam membantu menyelesaikan penelitian penelitian ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.
Bogor, Juni 2011
Penulis
xi
DAFTAR ISI DAFTAR ISI ................................................................................................................ xi DAFTAR TABEL ...................................................................................................... xiii DAFTAR GAMBAR .................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1 1.1 Latar Belakang ........................................................................................................ 1 1.2 Perumusan Masalah ................................................................................................ 4 1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................................... 6 1.4 Kegunaan Penelitian................................................................................................ 6
BAB II PENDEKATAN TEORITIS ......................................................................... 8 2.1 Tinjauan Pustaka ..................................................................................................... 8 2.1.1 Pengertian Batik ........................................................................................... 8 2.1.2 Proses Teknik Membatik .............................................................................. 9 2.1.3 Pengertian Industri ...................................................................................... 10 2.1.4 Pengertian Industri Kecil dan Industri Besar .............................................. 11 2.1.5 Penggolongan Industri ................................................................................ 12 2.1.6 Strategi Nafkah: Strategi Ekonomi dan Strategi Sosial .............................. 13 2.1.7 Strategi Bertahan Hidup Masyarakat .......................................................... 16 2.1.8 Dinamika Kehidupan Sosial-Ekonomi ....................................................... 17 2.2 Kerangka Konseptual ............................................................................................ 19 2.3 Kerangka Pemikiran .............................................................................................. 20 2.4 Hipotesis Penelitian............................................................................................... 23 2.5 Definisi Konseptual ............................................................................................... 24 2.5 Definisi Operasional.............................................................................................. 26
BAB III PENDEKATAN LAPANGAN .................................................................. 31 3.1 Metode Penelitian.................................................................................................. 31 3.2 Jenis dan Sumber Data .......................................................................................... 31 3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................................ 32
xii
3.4 Kerangka Sampling ............................................................................................... 32 3.5 Pemilihan Responden ............................................................................................ 34 3.6 Teknik Pengumpulan Data .................................................................................... 34 3.7 Teknik Pengolahan dan Analisis Data .................................................................. 35
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ................................... 36 4.1 Gambaran Umum Kota Pekalongan ..................................................................... 36 4.1.1 Keadaan Geografis, Administrasi dan Wilayah Kota Pekalongan ............. 36 4.1.2 Kondisi Infrastruktur Kota Pekalongan ...................................................... 36 4.1.3 Kondisi Sosial dan Ekonomi Penduduk Kota Pekalongan ......................... 37 4.2 Industri Batik di Kota Pekalongan ........................................................................ 39 4.3 Sejarah Batik Kota Pekalongan ............................................................................. 42 4.4 Pekerja Batik Tulis Kota Pekalongan ................................................................... 44 4.5 Profil Industri Batik Kota Pekalongan .................................................................. 47 4.6 Karakteristik Responden ....................................................................................... 50 4.7 Ikhtisar .................................................................................................................. 56
BAB V STRUKTUR NAFKAH DAN KERAGAMAN PENDAPATAN RUMAHTANGGA PEKERJA BATIK TULIS .................................... 61 5.1 Tingkat Pendapatan Rumahtangga ........................................................................ 61 5.1.1 Persepsi Tingkat Pendapatan Membatik..................................................... 67 5.1.2 Persepsi Kontribusi Pendapatan Rumahtangga .......................................... 72 5.1.3 Persepsi Kesempatan Kerja ........................................................................ 75 5.2 Struktur Pengeluaran Rumahtangga ...................................................................... 80 5.2.1 Tingkat Pengeluaran Rumahtangga ............................................................ 80 5.2.2 Tingkat Kemampuan Saving Rumahtangga ............................................ 84 5.3 Alokasi Waktu Pekerja Batik Tulis ....................................................................... 85 5.4 Ikhtisar .................................................................................................................. 90
BAB VI KUALITAS KEHIDUPAN SOSIAL PEKERJA BATIK TULIS ....... 93 6.1 Kepuasan Kerja Pekerja Batik Tulis ..................................................................... 93 6.1.1 Kepuasan Pekerja Batik Terhadap Upah .................................................... 93
xiii
6.1.2 Kepuasan Pekerja Batik Tulis Terhadap Jaminan Sosial dan Kesehatan ... 95 6.1.3 Tingkat Kepuasan Pekerja Batik Tulis Terhadap Fasilitas Kerja ............... 98
6.2 Tingkat Stres Pekerja Batik Dalam Membatik.................................................... 103 6.3 Kondisi Tempat Tinggal Rumahtangga .............................................................. 104 6.3.1 Kondisi Fisik Tempat Tinggal Rumahtangga ........................................... 104 6.3.2 Status Kepemilikan Peralatan Rumahtangga ............................................ 107 6.4 Tingkat Mobilitas Sosial ..................................................................................... 110 6.5 Ikhtisar ................................................................................................................ 114
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 117 7.1 Kesimpulan ......................................................................................................... 117 7.2 Saran .................................................................................................................... 118
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 119 LAMPIRAN ............................................................................................................. 121
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 1
Rata-rata Anggota Rumahtangga di Kota Pekalongan 2009 .................... 38
Tabel 2
Klasifikasi Industri Batik di Pekalongan dan Jumlah Tenaga Kerja ........ 40
Tabel 3
Karakteristik Umum Pekerja Batik Tulis pada Industri Kecil dan Industri Besar, Kota Pekalongan .............................................................. 58
Tabel 4
Kontribusi Pendapatan Rumahtangga Pekerja Batik Menurut Status Rumahtangga pada Industri Kecil dan Industri Besar, Kota Pekalongan (Rp/Tahun) ........................................................................... 62
Tabel 5
Rata-Rata Tingkat Pengeluaran Rumahtangga Pekerja Batik Tulis pada Industri Kecil dan Industri Besar ..................................................... 81
Tabel 6
Rata-Rata Tingkat Kemampuan Saving Rumahtangga Pekerja Batik pada Industri Kecil dan Industri Besar ..................................................... 84
Tabel 7
Struktur Nafkah Rumahtangga Pekerja Batik Tulis pada Industri Kecil dan Industri Besar Kota Pekalongan Tahun 2011 .......................... 90
Tabel 8
Kualitas Kehidupan Sosial Pekerja Batik Tulis Tradisional pada Indutri Kecil dan Industri Besar Kota Pekalongan, Tahun 2011 .......... 114
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Kerangka Konseptual Analisis Struktur Nafkah dan Penghidupan RumahTangga Pekerja Batik Tulis Tradisional ..................................... 19 Gambar 2 Kerangka Pemikiran Analisis Struktur Nafkah dan Penghidupan RumahTangga Rumah Batik Tulis Tradisional ..................................... 22 Gambar 3
Prosedur Sampling dalam Pengambilan Sampel .................................... 33
Gambar 4
Rata-Rata Umur Responden pada Industri Kecil dan Industri Besar ..... 50
Gambar 5
Persentase Responden Menurut Tingkat Pendidikan pada Industri Kecil dan Industri Besar ........................................................................ 51
Gambar 6
Persentase Responden Menurut Status Pernikahan Responden pada Industri Kecil dan Industri Besar Kota Pekalongan ...................... 52
Gambar 7
Persentase Responden Menurut Status Rumahtangga pada Industri Kecil dan Industri Besar ........................................................... 53
Gambar 8
Rata-rata Jumlah Anggota Rumahtangga Responden pada Industri Kecil dan Industri Besar ........................................................................ 54
Gambar 9 Rata-Rata Lama Bekerja (Tahun) Responden pada Industri Kecil dan Industri Besar .................................................................................. 56 Gambar 10 Persentase
Struktur
Kontribusi
Pendapatan
Rumahtangga
Responden pada Industri Kecil dan Industri Besar ................................ 62 Gambar 11 Persentase Ragam Pekerjaan Pasangan Responden pada Industri Kecil Secara Sektoral ............................................................................. 65 Gambar 12 Persentase Ragam Pekerjaan Pasangan Responden pada Industri Besar Secara Sektoral ............................................................................ 66 Gambar 13 Persentase Responden Menurut Persepsi Terhadap Pendapatan Harian Batik Tulis Tradisional .............................................................. 67 Gambar 14 Rata-Rata Tingkat Upah Harian Responden pada Industri Kecil dan Industri Besar .................................................................................. 68 Gambar 15 Persentase Responden Menurut Tingkat Pendapatan Membatik pada Tahun 2006 dan 2011 .................................................................... 70
xvi
Gambar 16 Persentase Responden Menurut Kontribusi Terhadap Pendapatan RumahTangga ........................................................................................ 73 Gambar 17 Persentase Responden Menurut Kesempatan Kerja di Luar Sektor Industri Batik Tahun 2006 dan 2011 ..................................................... 76 Gambar 18 Persentase Responden Menurut Alasan Pilihan Bekerja pada Industri Kecil dan Industri Besar ........................................................................ 77 Gambar 19 Persentase Responden Menurut Pengaruh Keterampilan Terhadap Jam Lembur pada Industri Kecil dan Industri Besar ............................. 79 Gambar 20 Persentase
Responden
Menurut
Tingkat
Pengeluaran
Rumahtangga pada Industri Kecil dan Industri Besar ........................... 82 Gambar 21 Rata-Rata Alokasi Waktu Kerja Responden pada Industri Kecil (Jam/Hari) .............................................................................................. 87 Gambar 22 Rata-Rata Alokasi Waktu Kerja Responden pada Industri Besar (Jam/Hari) .............................................................................................. 87 Gambar 23 Rata-Rata Tingkat Produktivitas Responden pada Industri Kecil dan Industri Besar .................................................................................. 89 Gambar 24 Persentase Responden Menurut Tingkat Kepuasan Terhadap Upah pada Industri Kecil dan Industri Besar .................................................. 94 Gambar 25 Persentase Responden Menurut Tingkat Kepuasan Terhadap Jaminan Sosial dan Kesehatan pada Industri Kecil dan Industri Besar ...................................................................................................... 96 Gambar 26 Persentase Responden Menurut Tingkat Kepuasan Terhadap Fasilitas Kerja pada Industri Kecil dan Industri Besar .......................... 99 Gambar 27 Persentase Responden Menurut Kondisi Fisik Tempat Tinggal RumahTangga Tahun 2006 dan 2011 .................................................. 105 Gambar 28 Persentase Responden Menurut Status Kepemilikan Peralatan Rumahtangga Kategori Non Luxurious pada Industri Kecil dan Industri Besar ....................................................................................... 108 Gambar 29 Persentase Responden Menurut Status Kepemilikan Peralatan Rumahtangga Kategori Luxurious pada Industri Kecil dan Industri Besar .................................................................................................... 109
xvii
Gambar 30 Persentase Responden Menurut Peluang Status Sosial pada Industri Kecil dan Industri Besar ......................................................... 111
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Negara Indonesia sedang dalam proses menuju era industrialisasi, suatu era yang dipandang sangat penting dalam sejarah kebudayaan bangsa karena pada era inilah diharapkan Indonesia dapat mengejar ketertinggalannya dari negara lain sehingga dapat hidup sederajat dengan negara-negara maju yang lain. Era industrialisasi dipandang sebagai era strategis untuk memacu bangsa dalam mencapai cita-cita kemerdekaan sebagai negara kesejahteraan. Namun tetap ada kesadaran bahwa jalan menuju cita-cita itu tidaklah mulus. Hasil riset terdahulu telah menunjukkan bahwa terdapat berbagai hal yang patut diperhatikan dalam menyiapkan diri dalam menyambut era industri itu, baik menyangkut kualitas penduduk, pendidikan, kesejahteraan dan sebagainya. Hal-hal tersebut sangat berpengaruh dalam upaya mencapai keberhasilan bangsa dalam melangkahkan kaki menuju era industri. Pembangunan di Indonesia saat ini berkembang dengan pesat membawa dampak bagi perekonomian masyarakat secara nyata. Salah satu bentuk kegiatan pembangunan itu adalah pembangunan di sektor industri. Masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk dengan keanekaraman kebudayaan dan suku bangsa, namun dengan latar belakang kesuburan alamnya, menyebabkan matapencaharian utama yang berlaku umum di seluruh wilayah Indonesia adalah pertanian. Oleh karena itu, kehidupan masyarakat Indonesia pada umunya dikategorikan sebagai agraris. Dengan pembangunan berorientasi industri, besar kemungkinan pendekatan pengembangan akan mengubah daerah menjadi kawasan industri. Masyarakat yang dahulunya tidak mengenal industri sebagai lapangan pekerjaan, kini tumbuh menjadi masyarakat yang kehidupannya tergantung dari industri atau masyarakat yang dipengaruhi oleh dinamika sektor industri di daerahnya. Kehadiran industri ke dalam suatu masyarakat akan menimbulkan dampak dan perubahan-perubahan pada tatanan kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat tersebut.
2
Menurut Prasetyo (2008), salah satu sektor yang akhir-akhir ini mendapat perhatian cukup besar dalam pengembangannya adalah sektor industri. Hal ini disebabkan karena sektor industri pada umumnya tumbuh lebih cepat daripada sektor-sektor lainnya. Industri mempunyai peranan yang strategis dalam membangun perekonomian pedesaan yaitu dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat. Pengembangan industri harus ditopang dengan penerapan teknologi modern, bukan hanya menghasilkan barang-barang kebutuhan hidup secara massal dan beranekaragam melainkan juga telah merangsang perkembangan masyarakat agraris ke arah masyarakat industri. Perubahan tersebut dapat dilihat diantaranya dengan menurunnya hasil di bidang pertanian. Dari beberapa pengaruh tersebut maka muncul pemikiran/ide untuk menciptakan usaha-usaha yang bergerak di bidang non-pertanian seperti industri-industri kecil atau home industry sampai dengan penciptaan industri-industri berskala besar. Sejarah telah mencatat bahwa industrialisasi di Indonesia pada akhirnya menggeser aktivitas ekonomi masyarakat, yang semula bertumpu kepada sektor pertanian untuk kemudian bersandar kepada sektor industri. Sektor industri pada umumnya tumbuh jauh lebih pesat dari pada sektor pertanian. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa peranan sektor industri dalam perekonomian suatu negara lambat laun akan semakin penting. Pembangunan industri ditunjukan untuk memperoleh struktur ekonomi yang seimbang antara sektor industri, pertanian, jasa, dan industri sebagai penggerak utama pertambahan ekonomi dan perluasan lapangan kerja. Pengaruh ekonomi tidak hanya akan terjadi di perkotaan tetapi juga akan berpengaruh di pedesaan (Susanto, 1980). Salah satu sektor industri yang sangat berkembang di Indonesia adalah Industri Batik Kota Pekalongan. Batik merupakan karya seni dan budaya warisan leluhur bangsa Indonesia yang dikagumi dunia. Pada awalnya batik mengalami proses industrialisasi dan menjadi komoditas perdagangan yang penting di Indosnesia. Batik telah menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara terkemuka penghasil kain tradisional yang halus di dunia. Salah satu daerah yang dijuluki sebagai Kampoeng Batik Indonesia adalah Pekalongan. Hal tersebut dengan adanya empat ikon sebagai tempat mempromosikan batik antara lain Museum Batik di Jalan Jetayu, Pasar Grosir Sentono, Kampoeng Batik Kauman yang telah
3
memperkuat pencitraan Pekalongan identik dengan batik dan Kampoeng Wisata Batik Pesindon yang menjadi pusat produksi batik di Pekalongan. Perkembangan industri pedesaan merupakan bagian dari transformasi sosialekonomi dibidang pertanian. Transformasi ini ditunjukkan dengan bergesernya peluang kerja masyarakat dari sektor pertanin beralih ke sektor industri. Konteks yang terkait dengan transformasi pedesaan adalah bahwa sebagian besar pekerja yang berada pada sektor pertanian berpindah ke sektor industri perkotaan (industri non-pedesaan) baik pada industri skala kecil di perkotaan maupun industri skala besar di perkotaan biasanya mereka datang dari angkatan kerja di pedesaan. Oleh karena itu, maka masa depan perkembangan industri yang berada di pedesaan atau di perkotaan berpengaruh besar dengan kaitan “pedesaan” dimana supply tenaga kerja yang pada umumnya pekerja di daerah tersebut kurang berpendidikan atau memiliki keterampilan yang terbatas memiliki kesempatan kerja yang cukup besar. Ketika industri-industri tradisional yang mempekerjakan pekerja dengan keterampilan yang terbatas dipastikan memiliki kaitan erat dengan situasi ketenagakerjaan di pedesaan. Disitulah sebenarnya relevansi dari industri batik Kota Pekalongan dengan studi sosio-ekonomi pedesaan di dalam wacana pembangunan di Indonesia. Dimana, tenaga kerja berasal dari pedesaan dengan memiliki keterampilan terbatas bekerja di sektor industri yang berada di perkotaan, sehingga terjadi transformasi tenaga kerja dari desa ke kota. Pekerja pada industri batik skala kecil maupun skala besar adalah kaum perempuan yang sudah identik dengan pekerja batik. Perempuan-perempuan Jawa di masa lampau menjadikan keterampilan dalam membatik sebagai matapencaharian mereka, sehingga di masa lalu pekerjaan membatik adalah pekerjaan eksklusif perempuan sampai dikenalnya “Batik Tulis”. Batik tulis ini dikerjakan oleh kaum perempuan yang secara turun-temurun memiliki ketrampilan dalam membatik (Trimargawati, 2008). Adanya industri batik di Kota Pekalongan sebagai salah satu strategi bertahan hidup rumahtangga pekerja batik tulis pada industri kecil maupun industri besar yang dijadikannya sebagai sumber nafkah rumahtangga. Industri batik sebagai salah satu sektor penting dalam pertumbuhan ekonomi dapat membawa dampak bagi kehidupan sosial dan ekonomi pekerja batik tulis khsusunya yang berada di pedesaan. Selain itu, adanya industri batik
4
mendorong masyarakat desa untuk bekerja pada industri batik yang berada di perkotaan.
1.2 Perumusan Masalah Pada kenyataannya, dalam realitas perkembangan ekonomi terbentuk tiga jenis industri, yaitu: industri besar, industri menengah dan industri kecil yang dapat berperan dalam menyumbangkan perekonomian di suatu daerah. Demikian halnya pada masyarakat pedesaan yang bekerja pada industri batik di Kota Pekalongan sangat bergantung adanya industri tersebut yang sudah turun-temurun atau mentradisi. Adanya industri batik di Kota Pekalongan yang dapat dilihat sebagai tulang punggung perekonomian masyarakat karena kegiatannya menyentuh langsung pada pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat. Dalam hal ini, adanya industri kecil di pedesaan memiliki peranan penting dalam meningkatkan kondisi perekonomian pekerja batik tulis di pedesaan khususnya sebagai sumber nafkah rumahtangga. Selain itu, industri besar yang berada di perkotaan juga berperan penting dalam menopang perekonomian pekerja batik tulis di yang berasal dari pedesaan. Masyarakat pedesaan pada awalnya menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian, sekarang mulai beralih menggantungkan pekerjaan pada sektor industri yang dapat memberikan perubahan pada tingkat ekonomi rumahtangganya. Sektor pertanian lambat laun bukan menjadi sektor andalan bagi masyarakat Pekalongan, khususnya kaum perempuan. Kaum perempuan lebih memilih bekerja pada industri batik baik skala kecil maupun skala besar. Keterbatasan keterampilan dan pendidikan, menjadikan kaum perempuan di Kota Pekalongan lebih memilih untuk menjadi pekerja batik tulis pada industri batik. Sedangkan, pekerjaan di sektor pertanian lebih dibebankan oleh kepala rumahtangga (suami) pekerja batik tulis tersebut. Selain itu, masyarakat pedesaan tidak hanya bekerja pada sektor industri kecil yang berada di sekitar daerahnya saja. Akan tetapi, para pengusaha batik pada industri besar juga memberdayakan masyarakat sekitar untuk dapat bekerja pada industri tersebut. Dengan kata lain, tingkat upah yang diberikan tidak sama dengan masyarakat yang bekerja di industri kecil. Dari pekerjaan di sektor industri batik memungkinkan pekerja batik memperoleh kesempatan kerja di luar
5
industri batik, yaitu dengan adanya pekerjaan sampingan yang dijadikan “strategi nafkah ganda” pekerja batik tulis. Pekerjaan sampingan tersebut dapat meningkatkan pendapatan perekonomian rumahtangga pekerja batik tulis. Warga masyarakat kota Pekalongan bekerja pada sektor industri batik menjadikannya sebagai sumber penghasilan utama masyarakat Pekalongan. Pekerjaan membatik sebagai pekerjaan turun-temurun dijadikan sebagai strategi nafkah bagi pekerja batik. Sektor industri batik yang lebih unggul dibanding sektor-sektor lainnya menyebabkan masyarakat Kota Pekalongan sangat menggantungkan hidupnya pada industri batik tersebut. Setiap skala ekonomi baik pada industri kecil maupun industri besar dapat menentukan tingkat kesejahteraan ekonomi para pengusaha dan pekerjanya. Dengan demikian menghadirkan dinamika sosial-ekonomi masyarakat, dimana gerak masyarakat menimbulkan perubahan dalam tata hidup masyarakat yang bersangkutan. Apakah strategi nafkah rumahtangga pekerja batik tulis pada industri kecil dan industri besar mampu memberikan kepastian untuk bertahan hidup pada rumahtangganya dalam menghadapi perubahan dan pengembangan sosialekonomi yang terjadi dan menopang perekonomian rumahtangga serta kualitas kehidupan sosial rumahtangga. Adanya industri batik dijadikan pilihan utama para pekerja batik tulis yang berasal dari daerah pedesaan dibandingkan sektor-sektor lainnya yang ada di Kota Pekalongan. Hal ini menjadi permasalahan yang perlu mendapat perhatian besar karena untuk melihat tingkat kepuasan terhadap pelayanan dan perlindungan sosial pekerja batik, status sosial, kondisi fisik tempat tinggal dan struktur nafkah rumahtangga pekerja batik tulis pada industri kecil dan industri besar, dapat dilihat dari perubahan sisi kehidupan sosial dan ekonomi. Fokus penelitian ini adalah hanya membandingkan dari aspek sosial dan ekonomi pada rumahtangga pekerja batik tulis di industri kecil dan industri besar. Industri menengah tidak termasuk dalam kajian penelitian ini. Hal ini dikarenakan dalam membandingkan diprioritaskan pada tingkat skala kecil dan tingkat skala besar saja. Terkait hal tersebut maka perumusan masalah penelitian ini terangkum dalam dua pertanyaan, yaitu: 1. Apakah terdapat perbedaan struktur nafkah rumahtangga pekerja batik tulis tradisional pada industri kecil dan industri besar?
6
2. Bagaimana perbedaan kualitas kehidupan sosial pekerja batik tulis tradisional pada industri kecil dan industri besar?
1.2 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Menjelaskan adanya perbedaan struktur nafkah rumahtangga pekerja batik tulis tradisional pada industri kecil dan industri besar di lokasi penelitian. 2. Menjelaskan perbedaan kualitas kehidupan sosial pekerja batik tulis tradisional pada industri kecil dan industri besar di lokasi penelitian.
1.4 Kegunaan Penelitian Penelitian ini memiliki beberapa manfaat untuk mahasiswa selaku pengamat dan akademisi, masyarakat ,pengusaha dan pemerintah. Adapun manfaat yang dapat diperoleh yaitu: 1.
Bagi Penulis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi proses pembelajaran dalam mengetahui bentuk struktur nafkah rumahtangga pekerja batik tulis dan permasalahan yang terjadi pada penghidupan pekerja batik pada industri kecil dan industri besar.
2.
Bagi Civitas Akademika Penelitian ini memberikan tambahan khazanah pengetahuan kepada mahasiswa mengenai struktur rumahtangga nafkah pekerja batik tulis dan penghidupan pekerja batik. Sehingga membuka realitas pikiran bagi mahasiswa dalam menanggapi permasalahan ini dan diharapkan tulisan ini menjadi referensi dalam melakukan penelitian-penelitian selanjutnya.
3.
Bagi Masyarakat Penelitian ini membantu masyarakat khususnya masyarakat Kota Pekalongan dan sekitarnya untuk mengetahui struktur nafkah dan kualitas kehidupan sosial rumahtangga pekerja batik pada industri kecil dan industri besar. Sehingga masyarakat membantu dalam menyikapi dinamika sosial-ekonomi.
7
4.
Bagi Pemerintah dan Pengusaha Penelitian
ini
diharapkan
dapat
menjadi
masukan
dan
bahan
pertimbangan dalam menentukan kebijakan yang berkaitan dengan pemberian izin lokasi usaha industri batik dan program pemberdayaan pekerja batik sehingga dapat memberikan perubahan kehidupan sosialekonomi masyarakat yang bekerja, sehinga mempengaruhi pada peningkatan pendapatan yang dapat menjadi strategi bertahan hidup pekerja batik tulis tersebut. Selain itu, pengusaha batik lebih memperhatikan kepentingan dan kebutuhan para pekerja batik.
8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Pengertian Batik Batik adalah bahan kain tekstil dengan pewarnaan menurut corak khas Indonesia dengan menggunakan lilin batik sebagai zat perintang warna. Seni batik merupakan merupakan kreasi yang mempunyai arti tersendiri, yang dihubungkan dengan tradisi, kepercayaan dan sumber-sumber kehidupan yang berkembang dalam masyarakat Indonesia. Sejarah perjalanan batik yang cukup panjang, kini menjadikan batik tidak hanya sebagai bahan pakaian saja, tetapi telah menjadi kebutuhan rumahtangga sehari hari dan sumber ekonomi serta kehidupan sebagian masyarakat Indonesia. Dewasa ini batik telah dijadikan salah satu pakaian nasional Indonesia. Bahkan batik telah menjadi ciri khas identitas bangsa Indonesia. Awalnya batik hanya dibuat dan dipakai oleh raja-raja dan keluarganya di lingkungan keraton. Beberapa diantaranya dijadikan pakaian upacara yang penuh dengan kesakralannya. Dalam perkembangan batik, teknik membuat batik keluar dari lingkungan keraton dan mulai dibuat dan dikembangkan oleh masyarakat sekitar keraton secara terbatas sesuai dengan kebutuhannya. Lama kelamaan batik tidak hanya dibuat oleh masyarakat sekitar keraton untuk kebutuhan sendiri tetapi telah menyebar dan dijadikan mata dagangan yang bermuara pada peningkatan kegiatan dan ekonomi keluarga (Asa, 2005). Berdasarkan konsensus nasional yang diselenggarakan pada tanggal 12 Maret 1996 batik digolongkan menjadi lima besar, diantaraya adalah : a) Batik Tulis adalah batik yang diperoleh dengan cara menggunakan canting tulis sebagai alat pembantu untuk melekatkan lilin batik ada kain. b) Batik Cap adalah batik yang diperoleh dengan menggunakan canting cap sebagai alat pembantu untuk melekatkan lilin pada kain c) Batik Kombinasi adalah batik yang diperoleh dengan cara menggunakan canting tulais dan cap sebagai alat pembantu melekatkan lilin pada kain. d) Batik Moderen adalah batik yang diperoleh dengan pelekatan lilil batik pada kain, tidak menggunakan canting tulis atau cap. Tetapi menggunakan kwas
9
atau alat lain disesuaikan dengan kebutuhannya. Batik moderen juga sering atau umum disebut batik lukis. e) Batik Bordir atau prada adalah batik, batik batik tulis, cap atau kombinasi yang sebagian dari motifnya (gambarnya) diberi warna-warna tertentu sesuai dengan selera, dengan cara dibordir atau dan diberi warna emas atau perak (prada) dengan menggunakan canting tulis atau kuwas.
2.1.2 Proses Teknik Membatik Membatik Menurut Susanto (1980), proses pembuatan batik adalah proses pekerjaan dari permulaan membatik sampai menjadi kain batik. Proses membatik menjadi kain batik dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu proses persiapan dan proses membuat batik. Sebelum pekerjaan membuat batik yang sebenarnya, maka sebagai pendahuluan atau persiapan, kain putih yang akan dibatik dikerjakan sebagai berikut: 1. Persiapan Kain untuk di Batik a. Memotong kain mori b. Mencuci kain mori c. Mengkanji kain mori d. Mengemplong kain mori 2. Proses Membatik Proses pekerjaan dalam membuat batik terdiri dari tiga macam pekerjaan utama yaitu pelekatan malam pada kain untuk membuat motif batik yang dikehendaki, diantaranya adalah: 1. Pelekatan malam batik dilakukan dengan beberapa cara, yaitu dengan ditulis dengan canting tulis dan dicapkan dengan cap atau dilukiskan dengan kuwas. 2. Pewarnaan batik yaitu pekerjaan pewarnaan ini dapat berupa mencelup, dapat secara coletan atau lukisan. 3. Menghilangkan malam yaitu menghilangkan malam batik yang telah melekat pada permukaan kain. Menghilangkan malam batik ini berupa penghilangan sebagian pada tempat tempat tertentu dengan cara dikerok atau menghilangkan malam batik secara keseluruhan dengan cara rebus.
10
3. Peralatan dan Bahan Membatik Peralatan membatik terdiri dari enam pokok peralatan yang penting antara lain: 1. Canting Tulis Canting tulis adalah sebuah alat dengan berbagai ukuran yang dipergunakan sebagai alat pembantu untuk melekatkan lilin (malam) batik pada kain dalam proses pembuatan batik tulis. 2. Canting Cap Canting Cap adalah alat yang terbuat dari tembaga yang dipakai sebagai alat pembantu untuk melekatkan lilin batik pada kain dalam proses pembuatan batik cap. 3. Lilin Batik (malam) Bahan ini adalah perintang warna masuk dalam kain saat proses pembatikan. 4. Motif atau Desain Motif pada umumnya berupa gambar atau bentuk batik yang akan dibuat 5. Zat Warna (Pewarna) Pewarna yang digunakan adalah berasal dari alam (indigo) setelah di kenal zat warna sintetis batik mulai menggunakannya 6. Kain Batik hanya mengenal bahan kain dari katun dalam perkembanganya di pakai juga media yang berupa kain sutra dan rayon.
2.1.3 Pengertian Industri Berbicara soal industri biasanya timbul suatu gambaran tentang pabrikpabrik besar dan perusahaan yang mengolah bahan mentah menjadi bahan jadi dengan
menggunakan
mesin-mesin
yang
dijalankan
oleh
para
tenaga
ahli/professional. Industri yang dimaksud di sini adalah industri dalam arti sempit. Dalam pengertian yang luas maka industri adalah kumpulan perusahaanperusahaan sejenis yang memproduksi barang serupa walaupun hasilnya berbedabeda. Pengertian menurut Sandy (1985), industri adalah usaha untuk memproduksi barang jadi dari bahan baku atau bahan mentah melalui proses
11
penggarapan dalam jumlah besar sehingga barang tersebut dapat diperoleh dengan harga satuan yang serendah mungkin tetapi dengan mutu setinggi mungkin. Industri merupakan aktivitas manusia untuk mengelola sumber daya-sumber daya (resources) baik Sumber Daya Manusia (SDM), maupun Sumber Daya Alam (SDA) di bidang produksi dan jasa. Di bidang produksi pengelolaan itu berupa bahan mentah dan atau penyiapannya menjadi bahan setengah jadi dan atau bahan setengah jadi menjadi bahan jadi. Sedangkan di bidang jasa merupakan segala aktivitas yang terkait dengan pengelolaan sumber daya itu baik langsung maupun melalui perantara. Aktivitas pengelolaan tersebut dimaksudkan untuk dipertukarkan (exchanged), memperoleh nilai tambah (added value), dan untuk meningkatkan keberlanjutan (sustainable) dari aktivitas itu. Pembangunan industri disesuaikan dengan perkembangan masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi. Industri adalah semua perubahan atau semua usaha yang melakukan kegiatan mengubah bahan mentah menjadi barang jadi atau setengah jadi yang kurang nilainya menjadi barang jadi yang lebih tinggi nilainya. Industri juga dapat didefinisikan sebagai suatu usaha untuk memproduksi barang jadi, bahan baku atau barang mentah melalui proses penggarapan dalam jumlah besar sehingga barang tersebut dapat diperoleh dengan harga serendah mungkin tetapi dengan mutu setinggi mungkin (Sandy, 1985). 2.1.4 Pengertian Industri Kecil dan Industri Besar Industri kecil adalah usaha produktif di luar usaha pertanian, baik itu merupakan mata utama maupun sampingan (Tambunan, 1993). Pengertian lain menyebutkan, bahwa industri kecil merupakan industri yang bergerak dengan sejumlah tenaga kerja dan modal kecil, menggunakan teknologi sederhana tetapi jumlah keseluruhan tenaga kerja berasal dari keluarga sendiri dan lingkungan sekitarnya. Antar pekerjanya memiliki hubungan kekeluargaan atau kekerabatan sehingga bersifat gotong-royong dan dapat digunakan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari atau meningkatkan pendapatan ekonomi pekerja. Misalnya, industri sepatu atau industri tas. Menurut
Peraturan
Menteri
Perindustrian
R1
Nomor:
41/M-
IND/RER/6/2008 setiap perusahaan industri sebagaimana dimaksudkan wajib memiliki Tanda Daftar Industri (TDI), yang diberlalukan sama dengan UII yang
12
diberikan kepada Perusahaan Industri yang telah memenuhi persyaratan, yaitu memiliki IMB, memiliki Izin Lokasi, Izin Undang-Undang Gangguan dan memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) atau Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL), telah selesai membangun pabrik dan saranan produksi. Setiap melakukan usaha industri di Daerah harus mendapatkan izim dari Walikota. Sedangkan industri besar merupakan industri dalam skala besar yang jumlah pekerjanya lebih besar daripada industri kecil dengan menggunakan teknologi canggih atau modern, dengan modal besar, tenaga kerja dalam jumlah banyak dan terampil berasal dari luar sentra industri, pemasarannya berskala nasional atau internasional.
2.1.5 Penggolongan Industri (i) Berdasarkan jumlah tenaga kerja yang digunakan, industri dapat dibagi diantaranya: a. Industri Rumahtangga Industri yang menggunakan tenaga kerja kurang dari empat orang. Ciri industri ini memiliki modal yang sangat terbatas, tenaga kerja berasal dari anggota keluarga, dan pemilik atau pengelola industri biasanya kepala rumahtangga itu sendiri atau anggota keluarganya. Misalnya: industri anyaman, industri kerajinan, industri tempe/tahu, dan industri makanan ringan. b. Industri Kecil Industri yang tenaga kerjanya berjumlah sekitar lima sampai 19 orang. Ciri industri kecil adalah memiliki modal yang relatif kecil, tenaga kerjanya berasal dari lingkungan sekitar atau masih ada hubungan saudara. Misalnya: industri genteng, industri batubata, dan industri pengolahan rotan.
c. Industri Sedang Industri yang menggunakan tenaga kerja sekitar 20 sampai 99 orang. Ciri Industri sedang adalah memiliki modal yang cukup besar, tenaga kerja
13
memiliki keterampilan tertentu dan pemimpin perusahaan memiliki kemampuan manajerial tertentu. Misalnya: industri konveksi, industri bordir dan industri keramik. d. Industri Besar Industri dengan jumlah tenaga kerja lebih dari 100 orang. Ciri industri besar adalah memiliki modal besar yang dihimpun secara kolektif dalam bentuk pemilikan saham, tenaga kerja harus memiliki keterampilan khusus, dan pimpinan perusahaan dipilih melalui uji kemampuan dan kelayakan (fit and proper test). Misalnya: industri tekstil, industri mobil, industri besi baja, dan industri pesawat terbang (Siahaan, 1996). (ii). Berdasarkan lokasi, industri dapat diklasifikasikan sebagai berikut : a. Industri Perkotaan Industri yang terletak dalam jarak yang dekat dengan daerah metropolitan atau kota yang besar. Adanya kepadatan penduduk yang cukup tinggi di kota metropolitan atau kota besar dapat dimanfaatkan sebagai sumber tenaga kerja bagi industri tersebut. b. Industri Semi perkotaan Kawasan industri yang terletak di ibukota kabupaten (diantaranya daerah perkotaan dan kecamatan). c. Industri Pedesaan Kawasan industri yang terletak di ibukota kecamatan yang penduduknya cukup besar. (iii). Menurut Badan Pusat Statistik (2009) industri diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Industri kerajinan rumahtangga yang mempunyai 1-4 karyawan. 2. Industri kecil rumahtangga yang mempunyai 5-19 karyawan. 3. Industri sedang rumahtangga yang mempunyai 20-99 karyawan. 4. Industri besar rumahtangga yang mempunyai lebih dari 100 karyawan.
2.1.6 Strategi Nafkah dan Sistem Penghidupan Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, nafkah diartikan sebagai cara hidup, definisi ini biasanya disejajarkan dengan konsep livelihood (mata-pencaharian)
14
akan tetapi konsep livelihood mencakup pemahaman yang lebih luas bukan hanya sekedar bagaimana memperoleh pemasukan. Secara sederhana livelihood didefinisikan sebagai “cara dimana orang memenuhi kebutukan mereka atau peningkatan hidup”. Dalam pandangan yang sangat sederhana livelihood terlihat sebagai “aliran pendapatan” berupa uang atau sumberdaya yang dapat digunakan oleh seseorang untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Dharmawan dalam Tulak (2009) memberikan penjelasan bahwa livelihood memiliki pengertian yang lebih luas daripada sekedar means of living yang bermakna secara sempit sebagai mata-pencaharian semata-mata. Dalam sosiologi nafkah, pengertian strategi nafkah lebih mengarah pada pengertian livelihood strategy (strategi penghidupan) daripada means of living strategy (strategi bertahan hidup). Pengertian livelihood strategy yang disamakan pengertiannya menjadi strategi nafkah (dalam bahasa Indonesia), sesungguhnya dimaknai lebih besar sekedar “aktivitas mencari nafkah” belaka. Sebagai strategi membangun sistem penghidupan, maka strategi nafkah bisa didekati melalui berbagai cara atau manipulasi aksi individual maupun kolektif. Strategi nafkah bisa berarti cara bertahan hidup ataupun memperbaiki status kehidupan. Dalam hal ini strategi penghidupan (livelihood strategies) pedesaan adalah strategi penghidupan dan nafkah yang dibangun dan selalu menunjuk pada peran sektor pertanian. Dalam posisi sistem nafkah yang demikian, basis nafkah rumahtangga industri adalah segala aktivitas ekonomi yang terkait dengannya. Karakteristik sistem nafkah penghidupan dan nafkah yang dicirikan oleh bekerjanya dua sektor ekonomi, juga sangat ditentukan oleh sistem sosial budaya setempat. Strategi nafkah dilakukan berdasarkan sumber-sumber nafkah yang dimiliki individu atau rumahtangga dan faktor-faktor di luar rumahtangga yang menentukan kemampuan rumahtangga dan menentukan strategi nafkah. Dengan demikian, strategi nafkah mempresentasikan serangkaian pilihan pengguanaan sumberdaya nafkah dan aktivitas nafkah yang dialukan rumahtangga untuk mencapai tujuan kesejahteraan sosial dan ekonomi rumahtangga. (Dharmawan, et.al 2007). Pemikiran Sajogyo dan para muridnya sangat jelas mengarah kepada upaya mengungkap akar persoalan tata-kehidupan serta kerentanan-kerentanan yang menyertai sistem penghidupan (livelihood vulnerability) penduduk di pedesaan.
15
Meski tidak secara eksplisit menggunakan istilah livelihood, namun perhatian Sajogyo (mahzab Bogor) pada persoalan kemiskinan yang kemudian menjelma ke dalam beberapa persoalan “derivet” nya seperti diversifikasi sumber nafkah (income sources diversification), pekerjaan nafkah wanita dan pembagian kerja dalam rumahtangga, ataupun lapangan kerja/usaha dan kesempatan kerja pedesaan, cukup untuk memperkuat klaim bahwa ia memang concern dengan masalah sistem penghidupan pedesaan. Sosiologi yang berkonsentrasi pada analisis “sistem penghidupan dan nafkah pedesaan” adalah bidang kajian yang muncul suatu keniscayaan bekerjanya dinamika sosial-ekonomi, ekologi dan politik yang mempengaruhi derajat eksistensi individu, rumahtangga, dan keolompok yang membina kehidupan suatu kawasan. Respon atas dinamika sosial-ekonomi dan politil dalam sistem penghidupan dan nafkah pedesaan direpresentasikan oleh pola-pola yang dibentuk, strategi yang dibangun, serta manuver-manuver dari aktivitas nafkah yang ditunjukkan disetiap aras, dalam menggali sumber-sumber penghidupan (nafkah). Strategi nafkah dalam kehidupan sehari-hari direpresentasikan oleh keterlibatan individu dalam pada proses perjuangan untuk mendapatkan suatu jenis mata-pencaharian atau bentuk kegiatan produktif demi mempertahankan ataupun meningkatkan derajat kehidupan dalam merespon dinamika sosialekonomi, ekologi dan politik yang mengenai mereka. (Dharmawan, 2007). Menurut Mardianingsih (2003) menunjukkan bahwa masyarakat yang memilili keunggulan dalam pencapaian tingkat ekonomi, biasanya memiliki kelenturan dalam strategi bertahan hidup (livelihood strategy). Hal ini menunjukkan bahwa mereka yang memiliki kelenturan dalam struktur nafkah (livelihood structure) akan menunjukkan tingkat stabilitas ekonomi rumahtangga yang lebih baik. Dengan menerapkan berbagai strategi nafkah (livelihood diversity) bertumpu pada sumberdaya yang dimiliki setiap rumahtangga dapat meningkatkan derajat kesejahteraannya (Tulak, et.al 2009). Strategi nafkah dalam hal ini dibatasi sebagai keseluruhan cara atau kegiatan ekonomi yang diambil rumahtangga sekedar untuk bertahan hidup (survival) dan/atau (dalam kondisi memungkinkan) untuk membuat status kehidupan menjadi lebih baik melalui pemanfaatan berbagai sumberdaya yang dimiliki.
16
2.1.7 Strategi Bertahan Hidup Masyarakat Pembangunan industri telah mengakibatkan terjadinya berbagai perubahan, terutama pada struktur ekonomi dan sosial masyarakat. Perubahan yang terjadi terutama berkaitan erat dengan pola perubahan pekerjaan, pola hubungan dan struktur kesempatan kerja, yang akhirnya bermuara pada struktur pendapatan masyarakat di daerahnya. Lahan pertanian yang terus menyempit karena tingginya kebutuhan akan lahan merupakan dampak pesatnya arus industrialisasi, kebutuhan prasarana, pemukiman. Meski demikian, sektor pertanian tidak terlalu banyak menyerap tenaga kerja wanita. Kondisi tersebut wanita lebih memiliki kesempatan untuk bekerja pada sektor industri. Pada
dasarnya
manusia
mempunyai
naluri
kreatif
dalam
upaya
mempertahankan hidupnya. Di tengah-tengah berbagai tekanan dan ancaman terhadap keberadaannya, biasanya cara dan strategi manusia agar tetap bisa survive kemudian muncul dengan sendirinya. Meningkatnya pembangunan desa yang diiringi dengan masuknya teknologi dan modal memicu perubahan sosialekonomi masyarakat desa, yang semula lebih kental sistem tradisional berubah menjadi modern. Perubahan ini bagi sebagian besar masyarakat desa tidaklah mudah, terutama bagi masyarakat kecil yang berpenghasilan rendah dan mempunyai keterampilan sangat terbatas di luar sektor pekerjaan yang selama ini mereka geluti. Dengan asumsi ini, seiiring dengan tekanan ekonomi pada wilayah pedesaan, bersamaan dengan hadirnya industrialisasi pada wilayah-wilayah tersebut, masyarakat desa harus mempunyai strategi nafkah (livelihood strategy) untuk tetap bisa mempertahankan kelangsungan hidupnya. Menurut
Becker
(1965),
tingkat
partisipasi
anggota
rumahtangga
dipengaruhi oleh perbedaan kelamin. Kaum wanita berperan ganda yaitu peran domestik (domestic role) dan peran publik (public role). Secara biologis kaum wanita melakukan peran domestik yaitu mengurus rumahtangga dan melakukan fungsi reproduksi. Disamping itu wanita juga berperan dalam fungsi produksi yaitu bekerja di sektor pasar tenaga kerja. Dengan investasi yang sama dan human capital, wanita memiliki keunggulan komparatif (comparative advantage) lebih besar dari laki-laki dalam pekerjaan rumahtangga, maka wanita akan mengalokasikan waktu untuk pekerjaan rumahtangga, sedangkan laki-laki untuk
17
pekerjaan mencari nafkah. Salah satu upaya untuk tetap dapat bertahan hidup (survival) dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari adalah dengan adanya industri kecil di pedesaan yang mampu menyediakan lapangan pekerjaan bagi wanita dan mengurangi pengangguran. Faktor ekonomi juga menjadi salah satu faktor yang cukup penting yang dapat menjadikan seorang wanita mencari pekerjaan di luar rumah yaitu pada industri kecil sebagai penambah penghasilan rumahtangga. Dari keadaan ini muncullah apa yang dinamakan peran ganda wanita, disatu sisi kesempatan yang ada yakni bekerja di luar rumah tetapi disisi lain mereka tidak boleh meninggalkan perannya di rumah. Untuk wanita yang tinggal di pinggiran kota (desa urban) atau kota besar umumnya tidak menjadi problem, meskipun kondisinya berbeda, tetapi untuk mereka yang tinggal di daerah pelosok desa (desa rural) tampaknya ini adalah pilihan yang sulit. Oleh sebab itu, adanya industri kecil yang berada di pedesaan dianggap paling cocok. Karakteristik yang melekat di dalamnya (jenis pekerjaan) memungkinkan mereka dapat melakukan kedua peran di atas, meskipun dengan resiko tidak dapat bekerja secara optimal.
2.1.8 Dinamika Kehidupan Sosial-Ekonomi Menurut Faridah (2007), industrialisasi akan mendorong pada perubahan sosial. Adanya industri dapat memberikan dampak positif pada sektor nonpertanian di deerahnya. Kehadiran industri ini berpengaruh besar bagi kehidupan sosial-ekonomi masyarakat, yaitu dengan tersedianya lapangan pekerjaan baru mengurangi jumlah pengangguran, meningkatkan pendapatan masyarakat yang tentunya akan meningkatkan pula kesejahteraan masyarakat, menanggulangi pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh pembuangan limbah pabrik di kotakota besar, mengurangi arus urbanisasi, melahirkan para pengusaha-pengusaha baru, meningkatkan pendidikan, dan melahirkan jiwa-jiwa yang disiplin yang mempunyai prinsip efektif dan efisien dalam segala kehidupannya (Faridah, 2007). Berkembangnya industri di pedesaan memberikan pengaruh yang sangat nyata yaitu munculnya golongan baru dalam masyarakat yaitu golongan pengusaha dan golongan buruh/pekerja.
18
Menurut Soesilowati (1988), masuknya industri membawa perubahan sosial pada masyarakat, yaitu masyarakat memiliki pandangan dunia yang baru. Dengan berbaurnya penduduk setempat dengan pendatang yang sudah ada membawa gaya hidup yang lain, maka sangat memungkinkan masyarakat mempunyai pandangan dunia yang berubah. Perubahan ini terjadi, terutama karena a). Dengan berdirinya pabrik banyak tanah pertanian yang terpakai, b). Dengan adanya industri mengundang orang-orang untuk datang, yang kemudian lebih banyak membuka lapangan pekerjaan dalam bidang jasa. Diikuti pula dengan pembangunan rumahrumah penduduk di sekitar industri sehingga membuat suasana ramai. Dengan bertambah ramainya akibat dari kehadiran industri, menjadi daya tarik bagi penduduk pendatang untuk bertempat tinggal menetap, maka semakin berkembang pula perkampungan baru. Banyak pendatang dari luar yang bekerja sebagai buruh industri maupun mencoba mengadu hidup di daerah. Sebagian besar penduduk desa yang tadinya bekerja sebagai buruh tani, sekarang banyak yang diterima menjadi buruh pabrik. Menurut Setyaningsih (2006), masuknya industri ke suatu daerah mengakibatkan berubahnya pola perilaku masyarakat. Perubahan perilaku masyarakat dalam hubungannya dengan pola kegiatan ekonomis. Masyarakat cenderung berperilaku seperti masyarakat pada negara-negara maju khususnya dalam hal konsumeritas. Masyarakat lebih konsumtif dalam hal pemenuhan kebutuhan. Di samping itu juga berubahnya mentalitas masyarakat yang lebih cenderung ke arah individualistis, sehingga nilai tolong-menolong, gotong-royong dan kerukunan atau kekeluargaan antar penduduk masyarakat mulai luntur. Pada dasarnya industri lebih mengenalkan pada masyarakat pedesaan tentang arti pentingnya disiplin dalam berbagai bidang kehidupan. Kehidupan yang materialistik yang mengukur segala sesuatunya dengan uang dan lebih cenderung individualistik. Selain itu, tercampurnya kebudayaan asli dengan kebudayaan modern. Hal ini disebabkan karena masuknya para pendatang dari luar desa yang bekerja tetap pada sektor industri.
19
2.2 Kerangka Konseptual Gambar 2 di bawah ini menjelaskan adanya Industrialisasi yang berada di suatu daerah menyebabkan berkembangnya pembangunan perekonomian di daerah pedesaan maupun perkotaan. Salah satu bentuk kegiatan itu adalah pembangunan di sektor industri, baik industri kecil maupun industri besar. Kehadiran industri di Pekalongan dijadikan sebagai strategi bertahan hidup bagi pekerja batik tulis. Adanya industri di Pekalongan dapat membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat yang berada di sekitar pinggiran Kota Pekalongan (desa urban) untuk bekerja di sektor industri batik yang berada di Perkotaan, khusunya industri besar. di Kota Pekalongan sektor yang menjadi andalan adalah sektor industri batik dari pada sektor pertanian. INDUSTRIALISASI
Industri Batik Skala Kecil
Industri Batik Skala Besar Kualitas Kehidupan Rumahtangga Pekerja Batik Tulis
Sosial
Kepuasan Kerja Stres Kerja Mobilitas Sosial Kondisi Tempat Tinggal
Ekonomi
Pendapatan Sumber Pendapatan Keterampilan Alokasi Waktu Kerja Konsumsi/Pengeluaran
Keterangan:
------
= faktor penyebab = fokus penelitian = hubungan
Gambar 1. Kerangka Konseptual Analisis Struktur Nafkah dan Penghidupan RumahTangga Pekerja Batik Tulis Tradisional
20
Perubahan transformasional tersebut berkenaan dengan struktur nafkah rumahtangga pekerja batik tulis pada industri kecil maupun industri besar. Dalam rangka strategi bertahan hidup dan meningkatkan status sosial-ekonominya, setiap pekerja industri batik membangun mekanisme strategi nafkah dengan pola nafkah ganda. Pekerja pada industri batik kecil dapat melakukan strategi/pola nafkah ganda dengan bekerja di luar industri batik (pekerjaan sampingan). Prospek pola nafkah rumahtangga pekerja batik tulis dicirikan oleh kompleksnya sumbersumber pendapatan rumahtangga pekerja batik yang dapat meningkatkan perekonomian pekerja batik rumahtangga. Sumber-sumber pendapatan ini diperoleh dari suami, isteri dan anak dalam satu rumahtanggamya. Dalam mencukupi kebutuhan ekonomi, peran anggota lain juga sangat penting untuk menambah pendapatan rumahtangga. Adanya industri kecil dan industri besar di Kota Pekalongan membawa dampak bagi kehidupan rumahtangga pekerja batik tulis, baik dilihat daria aspek sosial dan ekonominya. Dalam hal ini, aspek sosialnya adalah kepuasan bekerja pada kedua tipe industri batik, kondisi stres kerja, mobilitas sosial dan kondisi tempat tinggal rumahtangga pekerja batik tulis. Sedangkan pada aspek ekonominya, antara lain peningkatan pendapatan rumahtangga pekerja batik tulis, sumber-sumber pendapatan yang diperoleh rumahtangga, pengaruh keterampilan dalam memperoleh pendapatan, alokasi waktu kerja pekerja batik tulis dan macam-macam konsumsi/pengeluaran rumahtangga pekerja batik tulis. Dari aspek-aspek tersebut akan diuraikan mengenai analisis struktur nafkah dan penghidupan rumahtangga pekerja batik tulis tradisional. 2.3 Kerangka Pemikiran Dalam penelitian ini yang akan menjadi fokus penelitian adalah membedakan bentuk struktur nafkah rumahtangga pekerja batik tulis yang bekerja pada industri batik skala kecil dan industri batik skala besar dan melihat perubahan kehidupan sosial dan ekonomi rumahtangga pekerja batik tulis. Nantinya akan terlihat jelas ada atau tidaknya perbedaan-perbedaan tersebut, dimana dari jumlah pekerja batik antara industri batik skala kecil dan skala besar
21
memiliki perbedaan tersendiri. Aspek sosial ini dapat di ukur adalah tingkat kepuasan kerja, dimana pekerja memegang peran utama dalam menjalankan roda kehidupan perusahaan. Apabila pekerja memiliki produktivitas dan motivasi kerja yang tinggi, akan menghasilkan kinerja dan pencapaian yang baik bagi perusahaan. Sehingga berpengaruh pada pendapatan dan gaji pekerja. Hal ini menjadi strategi nafkah para pekerja batik tulis. Adanya kepuasan kerja yang didapat, pekerja cenderung loyal terhadap pekerjaannya atau sebaliknya, sehingga terjadi mobilitas sosial. Tingkat stres kerja juga berpengaruh pada lingkungan pekerjaan di industri batik tulis. Tingkat kondisi tempat tinggal juga berpengaruh pada kesejahteraan pekerjanya. Sedangkan pada struktur pendapatannya dapat diukur dari tingkat pendapatan rumahtangga baik isteri, suami, anak atau anggota lain yang berperan dalam memperoleh sumber nafkah rumahtangganya. Selain itu, pola nafkah ganda pekerja batik yang memiliki pekerjaan sampingan selain bekerja di industri batik, tingkat
keragaman
sumber
pendapatan
yang
didapatkan
dari
aktivitas
pekerjaannya, tingkat keterampilan/keahlian para pekerja yang berpengaruh terhadap pendapatan pekerja batik dan tingkat alokasi waktu kerja antara pekerja batik yang bekerja di industri batik maupun industri besar, baik kegiatan produktif dan reproduktif dan tingkat konsumsi/pengeluaran untuk kebutuhan primer, sekunder dan tersier rumahtangga pekerja batik tulis. Dari variabel-variabel yang diukur tersebut akan membandingkan dua tipe industri batik skala kecil dan industri batik skala besar serta melihat perbedaan diantara kedua tipe industri tersebut sesuai dengan hipotesis penelitian.
Profil Struktur Nafkah dan Penghidupan Rumahtangga Pekerja Batik Tulis Tradisional
SOSIAL Tingkat Kepuasan Kerja Tingkat Stres Kerja Tingkat Mobilitas Sosial Tingkat Kondisi Tempat Tinggal
EKONOMI
SOSIAL
EKONOMI
Tingkat Pendapatan
Tingkat Kepuasan Kerja
Tingkat Pendapatan
Tingkat Ragam Sumber Pendapatan
Tingkat Stres Kerja
Tingkat Ragam Sumber Pendapatan
Tingkat Keterampilan
Tingkat Mobilitas Sosial
Tingkat Alokasi Waktu Kerja
Tingkat Kondisi Tempat Tinggal
Tingkat Konsumsi
Tingkat Keterampilan
Tingkat Alokasi Waktu Kerja Tingkat Konsumsi
Analisis Perbandingan
A. Industri Batik Skala Kecil
B. Industri Batik Skala Besar
Gambar 2. Kerangka Pemikiran Analisis Struktur Nafkah dan Penghidupan RumahTangga Pekerja Batik Tulis Tradisional
22
23
2.4 Hipotesis Penelitian Dalam kerangka pemikiran di atas, maka hipotesis penelitian adalah sebagai berikut: 1. Terdapat perbedaan kehidupan ekonomi rumahtangga pekerja batik tulis pada industri kecil dan industri besar. Ho: Tidak terdapat beda nyata struktur nafkah rumahtangga pekerja batik tulis pada industri kecil dan industri besar. H1:
Terdapat beda nyata struktur nafkah rumahtangga pekerja batik tulis pada industri batik kecil dan industri batik besar.
Ho: Tidak terdapat beda nyata tingkat ragam sumber pendapatan rumahtangga pekerja batik tulis pada industri kecil dan industri besar. H1:
Terdapat beda nyata tingkat ragam sumber pendapatan rumahtangga pekerja batik tulis pada industri kecil dan industri besar.
Ho: Tidak terdapat beda nyata tingkat keterampilan pekerja batik tulis pada industri kecil dan industri besar. H1:
Terdapat beda nyata tingkat keterampilan pekerja batik tulis pada industri kecil dan industri besar.
Ho: Tidak
terdapat
beda
nyata
tingkat
konsumsi/pengeluaran
rumahtangga pekerja batik tulis pada industri kecil dan industri besar. H1:
Terdapat beda nyata tingkat konsumsi/pengeluaran rumahtangga pekerja batik tulis pada industri kecil dan industri besar.
Ho: Tidak terdapat beda nyata tingkat alokasi waktu kerja pekerja batik tulis pada industri batik skala kecil dan industri batik skala besar. H1:
Terdapat beda nyata tingkat alokasi waktu kerja pekerja batik tulis pada industri batik skala kecil dan industri batik skala besar
2. Terdapat perbedaan kehidupan sosial pekerja batik tulis pada industri kecil dan industri besar. Ho: Tidak terdapat beda nyata tingkat kepuasan kerja pekerja batik tulis pada industri kecil dan industri besar.
24
H1: Terdapat beda nyata tingkat kepuasan kerja pekerja batik tulis pada industri kecil dan industri besar. Ho: Tidak terdapat beda nyata tingkat stres kerja pekerja batik tulis pada industri kecil dan industri besar. H1: Terdapat beda nyata tingkat stres kerja pekerja batik tulis pada industri batik dan industri besar. Ho: Tidak terdapat beda nyata tingkat kondisi tempat tinggal rumahtangga pekerja batik tulis pada industri kecil dan industri besar. H1: Terdapat beda nyata tingkat kondisi tempat tinggal rumahtangga pekerja batik tulis pada industri kecil dan industri besar. Ho: Tidak terdapat beda nyata tingkat mobilitas sosial pekerja batik tulis pada industri kecil dan industri besar. H1: Terdapat beda nyata tingkat mobilitas sosial pekerja batik tulis pada industri kecil dan industri besar.
2.4 Definisi Konseptual Dalam penelitian ini digunakan beberapa konsep untuk memberi batasan agar mudah dipahami. Selain itu, batasan dimaksudkan agar pembahasan penelitian ini menjadi terfokus. Adapun konsep yang dipergunakan adalah sebagai berikut: 1. Industri batik tulis merupakan industri tekstil yang membuat batik tulis, yang dikerjakan dengan tulisan tanpa bantuan mesin modern yaitu berupa kain batik dengan memiliki motif, corak, warna dan tekstur yang unik. 2. Perempuan pembatik tulis adalah perempuan yang menjadi buruh batik tulis. 3. Buruh batik tulis adalah seorang perempuan yang bekerja sesuai dengan keterampilannya dan memperoleh pekerjaan dari seorang pengusaha industri batik baik skala kecil maupun skala besar. 4. Pengusaha batik adalah seorang pemilik usaha yang memiliki modal seperti uang, kain, lilin malam, alat membati (canting), tempat babar,
25
tempat buruh, tempat penjemuran dan memiliki beberapa buruh yang bekerja di tempat produksinya serta melakukan pemasaran batik. 5. Rumahtangga adalah grup dimana orang-orang tinggal bersama dalam satu atap
dan
menggunakan
dapur
yang sama,
berkontribusi
dalam
pengambilan keputusan pendapatan serta memanfaatkan pendapatan tersebut untuk kepentingan bersama. 6. Struktur nafkah rumahtangga adalah sumber-sumber nafkah rumahtangga yang membentuk satu konfigurasi perekonomian rumahtangga yang berasal dari suami, isteri, anak atau anggota lain dalam rumahtangga demi memenuhi kebutuhan hidup rumahtangga. 7. Strategi nafkah adalah pilihan cara atau tindakan kegiatan ekonomi yang dilakukan untuk bertahan hidup (survival) atau untuk meningkatkan derajat sosial-ekonomi individu/rumahtangga. 8. Strategi nafkah ganda adalah bentuk strategi bertahan hidup dengan kombinasi
pekerjaan
untuk
mencukupi
kebutuhan
hidup
individu/rumahtangga. 9. Pola nafkah ganda adalah mengkombinasikan aktivitas nafkah (sumbersumber nafkah) dalam jangka waktu lama atau hampir permanen (livelihood
diversification
atau
multiple
employment)
pada
individu/rumahtangga. 10. Perubahan sosial-ekonomi adalah perubahan yang ditimbulkan oleh industri batik karena adanya perubahan kehidupan dan struktur ekonomi pekerja batik serta perubahannya terhadap fungsi dan situasi sosial pekerja batik. 11. Persepsi pekerja batik adalah proses penilaian pekerja batik tulis dalam memahami informasi lingkungannya terhadap obyek tertentu, misalnya: persepsi tentang pendapatan membatik dan persepsi tentang kesempatan kerja membatik. 12. Pendapatan adalah jumlah uang yang diterima oleh seseorang sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilakukan dalam kurun waktu satu tahun.
26
13. Ragam sumber pendapatan adalah macam-macam jenis pekerjaan baik pekerjaan utama dan pekerjaan sampingan yang dapat mendukung dalam peningkatan pendapatan. 14. Konsumsi
adalah
penggunaan/pengeluaran
kebutuhan
sehari-hari,
mencakup: kebutuhan primer, sekunder dan tersier. 15. Tempat tinggal adalah tempat seseorang bernaung dalam satu rumah. 16. Stres kerja merupakan suatu kondisi keadaan seseorang mengalami ketegangan karena adanya kondisi yang mempengaruhi dirinya. 17. Kepuasan kerja adalah sikap emosional yang menyenangkan pekerja batik terhadap kondisi yang diterimanya.
2.5 Definisi Operasional 1. Pendidikan adalah kemampuan untuk dapat memenuhi pendidikan terakhir responden. Pendidikan responden diukur dari tingkat pendidikan yang paling rendah sampai yang paling tinggi. a. Sangat Rendah
: Tidak Sekolah/Tidak Tamat SD
b. Rendah
: Tamat SD
c. Sedang
: Tamat SMP/Sederajat
d. Tinggi
: Tamat SMA/Sederajat
e. Sangat Tinggi
: Tamat Perguruan Tinggi (PT)/Sederajat
2. Status Pernikahan
adalah status yang dimiliki responden yang
rumahtangga yang terikat dalam perkawinan baik tinggal bersama ataupun terpisah. a. Belum Menikah
: responden yang masih berstatus anak dan belum memiliki keluarga, skor 1.
b. Menikah
: responden yang sudah memiliki keluarga sendiri, skor 2.
c. Janda
: responden yang hidup terpisah dengan suami atau suami sudah meninggal dunia, skor 3.
3. Struktur pendapatan adalah jumlah pemasukan yang diterima seseorang sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilakukan dalam kurun waktu
27
satu tahun. Jumlah pendapatan dikategorikan berdasarkan rata-rata pendapatan rumahtangga di lokasi penelitian. a. Rendah
: pendapatan < Rp 10.612.686, skor 1
b. Sedang
: Rp 10.612.686 ≤ pendapatan < Rp 18.299.770, skor 2
c. Tinggi
: pendapatan ≥ Rp 18.299.770, skor 3
4. Persepsi tingkat pendapatan adalah penilaian responden terhadap jumlah uang yang diterima sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilakukan dalam kurun waktu satu tahun. Tingkat pendapatan diukur dari jumlah pendapatan total rumahtangga pekerja batik saat ini pada industri kecil dan industri besar dibanding lima tahun yang lalu. a. Lebih buruk
: tingkat pendapatan
yang diperoleh responden sangat tidak dapat mencukupi kebutuhan keluarga dibandingkan lima tahun yang lalu pada saat belum atau sudah bekerja di industri batik, skor 1. b. Sama saja (belum bisa memenuhi kebutuhan keluarga) : tingkat pendapatan respoden yang diperoleh saat ini dibandingkan lima tahun yang lalu tidak terjadi perubahan sehingga pendapatan yang didapat saat ini masih belum bisa memenuhi kebutuhan rumahtangga, skor 2. c. Sama saja (bisa memenuhi kebutuhan keluarga)
: tingkat pendapatan
yang diperoleh responden saat ini dibandingkan lima tahun yang lalu tidak terjadi perubahan akan tetapi pendapatan yang di dapat saat ini dapat mencukupi kebutuhan rumahtangga, skor 3. d. Lebih baik
: tingkat pendapatan
yang diperoleh responden saat ini lebih baik atau pendapatan yang diperoleh saat ini lebih besar sehingga dapat mencukupi kebutuhan rumahtangga, skor 4. 5. Persepsi kontribusi rumahtangga adalah penilaian rumahtangga responden dalam menentukan terhadap peluang pekerjaan yang berperan sebagai kontribusi pendapatan dalam rumahtangga. a. Berkontribusi, tetapi bukan sebagai kontribusi utama : responden yang bekerja pada industri kecil dan industri besar berkontribusi dalam
28
pendapatan rumahtangga akan tetapi status kontribusinya bukan sebagai kontribusi utama, skor 1. b. Berkontribusi, sebagai kontribusi utama
: responden yang
bekerja pada industri kecil maupun industri besar berkontribusi utama dalam pendapatan rumahtangga (memiliki peran utama dalam keluarga), skor 2. 6. Persepsi tentang kesempatan kerja adalah penilaian responden terhadap peluang untuk memperoleh pekerjaan di luar sektor industri batik pada saat ini dibanding lima tahun yang lalu. a. Lebih kecil : tidak terdapat kesempatan kerja di luar sektor industri batik, skor 1. b. Sama saja : sama saja, tidak terjadi perubahan kesempatan kerja di luar sektor industri batik, skor 2. c. Lebih besar : pekerjaan di luar sektor industri batik terbuka lebar dan mudah dalam memperoleh pekerjaan dibanding pada sektor industri batik, skor 3. 7. Pilihan bekerja pada industri batik adalah pilihan masing-masing responden untuk bekerja pada industri kecil maupun industri besar. a. Membatik sudah menjadi hobbi
: skor 1
b. membatik sudah turun-temurun
: skor 2
c. Tidak memiliki keterampilan selain membatik
: skor 3
8. Pengaruh keterampilan pada jam lembur membatik adalah kemampuan responden untuk melakukan kegiatan lembur/penambahan jam kerja membatik. a. Tidak mendapatkan lembur membatik
:
responden
yang tidak melakukan kegiatan lembur membatik, skor 1. b. Mendapatkan lembur membatik melakukan
kegiatan
lembur
: responden yang membatik
sesuai
dengan
tingkat
keterampilan, skor 2. 9. Struktur pengeluaran rumahtangga adalah tingkat pengeluaran dari pendapatan yang diperoleh rumahtangga untuk membelanjakan kebutuhan primer, sekunder dan tersier dalam rumahtangga. Tingkat kemampuan
29
saving rumahtangga adalah besanrnya selisih pendapatan rumahtangga pada industri kecil maupun industri besar. a. Tidak mempunyai (selisih pendapatan kecil)
: selisih pendapatan
yang diperoleh rumahtangga tidak dapat digunakan untuk saving, skor 1. b. Mempunyai (selisisih pendapatan besar) : selisih pendapatan yang diperoleh rumahtangga digunakan untuk pengeluaran tak terduga, skor 2. 10. Alokasi waktu kerja adalah banyaknya penggunaan waktu kerja untuk kegiatan produktif dan reproduktif. Tingkat produktivitas pekerja diukur selisih antara pendapatan responden dalam satu hari dengan jumlah alokasi waktu kerja dalam satu hari responden industri kecil dibanding industri besar. 11. Kepuasan kerja pada industri batik adalah menunjukkan adanya kesesuaian harapan kerja responden dengan hasil yang diinginkan oleh responden yang bekerja pada industri kecil maupun industri besar. a. Tidak puas
: skor 1
b. Kurang puas
: skor 2
c. Cukup puas
: skor 3
d. Puas
: skor 4
e. Sangat puas
: skor 5
12. Tingkat stres kerja adalah kondisi menegangkan (fisik dan mental) yang dialami responden terhadap durasi jam pekerjaan membatik, ragam sumber pendapatan dan lingkungan yang berada disekitar tempat kerja. a. Sangat rendah
: skor 1
b. Rendah
: skor 2
c. Netral
: skor 3
d. Sangat Tinggi
: skor 4
13. Tempat tinggal adalah tempat sesorang bernaung. Tempat tinggal ini terdiri dari kondisi fisik tempat tinggal dan status kepemilikan alat elektronik dan kendaraan rumahtangga.
30
(i). Kondisi tempat tinggal adalah kondisi fisik rumah yang ditempati oleh satu keluarga saat ini dibandingkan lima tahun yang lalu. a. Tidak baik (lebih jelek) : kondisi dinding triplek/bambu, alas tanah, keadaan rumah tidak memungkinkan untuk ditempati semua anggota rumahtangga (kondisi lebih jelek) dibanding lima tahun yang lalu, skor 1. b. Kurang baik
: keadaan tempat tinggal, kondisi dinding
triplek/ bambu dan alas tanah atau dinding tembok dan alas kurang baik dibanding lima tahun yang lalu, skor 2 c. Sama saja
: keadaan tempat tinggal, kondisi dinding
triplek/ bambu dan alas tanah atau dinding tembok dan alas tidak terjadi perubahan pada saat ini dibanding lima tahun yang lalu, skor 3. d. Lebih baik
: keadaan tempat tinggal, kondisi dinding
triplek/ bambu dan alas tanah atau dinding tembok dan alas lebih baik atau pernah merenovasi rumah jadi lebih baik dibanding lima tahun yang lalu, skor 4. (i).
Kepemilikan peralatan rumahtangga adanya barang-barang elektronik dan kendaraan yang dimiliki oleh setiap rumahtangga. Kepemilikan peralatan elektronik dan kendaraan ini dikategorikan ke dalam barang mewah (luxurious) dan barang bukan mewah (non luxurious). a. Barang mewah (luxurous) : terdiri dari sepeda, televisi, kipas angin dan setrika. b. Barang bukan mewah
: terdiri dari sepeda motor, telepon
selular/HP, magig jar, DVD/VCD, water dispenser dan radio.
31
BAB III PENDEKATAN LAPANGAN
3.1 Metode Penelitian Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang didukung oleh pendekatan kualitatif. Dalam pendekatan kuantitatif, penelitian ini menggunakan metode penelitian survei. Penelitian survei adalah penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data pokok (Singarimbun, 1989). Sedangkan dalam metode penelitian kualitatif menggunakan metode studi kasus, pengamatan, dan wawancara. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk mengetahui struktur nafkah dan penghidupan setiap rumahtangga pekerja batik tulis yang menjadi sampel penelitian. Sedangkan metode kualitatif digunakan untuk melihat perkembangan pekerja batik tulis baik industri skala kecil maupun industri skala besar di Kota Pekalongan Jawa Tengah yang terungkap dari hasil penelitian kualitatif. Pengambilan data dilakukan melalui dua tahap. Tahap pertama, dilakukan pengambilan data melalui wawancara kuesioner kepada beberapa responden dan informan untuk melakukan test kuesioner (uji kuesioner) sebagai preliminary research. Tahap kedua, setelah menggunakan test kuesioner kemudian dilakukan editing kuesioner sebagai penelitian sesungguhnya yang disesuaikan dengan karakteristik masyarakat dan daerah lokasi penelitian.
3.2 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari lapangan/hasil kuesioner yang dilakukan dengan wawancara langsung kepada responden pada industri kecil dan industri besar. Selain itu, dilakukan juga wawancara mendalam kepada informan. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui studi literatur yang sumbernya berasal dari berbagai arsip/dokumen-dokumen Pemerintah Kota Pekalongan, data-data dari dinas terkait, makalah ilmiah, skripsi, tesis, internet dan lain sebagainya.
32
3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan di Kota Pekalongan, Provinsi Jawa Tengah sejak bulan Maret 2011 dan berakhir pada akhir bulan Maret 2011. Pemilihan tempat penelitian dilakukan secara sengaja (purposive). Dengan pertimbangan pemilihan daerah tersebut didasarkan pada alasan: 1). Pekalongan identik dengan batik yang biasa masyarakat menyebutnya sebagai “Kota Batik”. 2). Pekalongan menjadi
sentra
industri
batik
yang
menjadi
penopang
perekonomian
masyarakatnya. 3). Letak geografis kota Pekalongan berada di jalan pantura sehingga strategis sebagai pusat perdagangan. Pengolahan data dan hasil penulisan skripsi dilakukan pada bulan April-Mei 2011.
3.4 Kerangka Sampling Kerangka sampling dalam penelitian ini terdiri dari 8 industri batik di Kota Pekalongan yang terbagi menjadi dua kelompok dengan karakteristik yang berbeda. Kelompok pertama adalah industri besar yang terdiri dari 4 industri batik skala besar. Sedangkan kelompok kedua terdiri dari 4 industri batik skala kecil yang berada di Kota Pekalongan. Industri batik ini dipilih secara purposive, yaitu dipilih 8 industri batik tulis yang memproduksi sendiri dan sesuai dengan kriteria setiap industrinya. Dasar pemilihan 4 industri kecil dan 4 industri besar disesuaikan dengan jumlah responden penelitian. Data ini diperoleh melalui penelusuran data pengusaha-pengusaha batik di Pekalongan dari Disperindagkop bagian Industri. Dari dua kelompok tersebut dipilih secara pengelompokkan purposive berdasarkan penelusuran data dan informasi oleh informan yang terpercaya. Kemudian setiap industri batik baik skala kecil maupun skala besar memiliki pekerja-pekerja batik tulis di dalam industri atau perusahaan. Selanjutnya, kelompok batik tulis dipilih secara purposive yang akan dijadikan responden penelitian. Selanjutnya responden diambil secara acak yaitu dengan menggunakan sebanyak 30 pekerja batik tulis dari industri skala kecil dan skala besar pada delapan industri batik tersebut. Jumlah total responden yang diambil adalah sebanyak 60 responden dan 10 responden cadangan, sehingga total responden penelitian berjumlah 70 orang. Sedangkan untuk mendapatkan informasi mengenai rumahtangga pekerja batik tulis, dilakukan dengan cara
33
menggali informasi/wawancara secara langsung kepada responden, sehingga data mengenai pendapatan rumahtangga diperoleh melalui responden. Prosedur sampling dalam pengambilan responden dapat dilihat pada Gambar 4 di bawah ini. Industri Batik Kota Pekalongan
Jumlah Total Industri Batik: 634 Industri Batik
Industri batik skala kecil Jumlah Total: 381 industri Batik
Industri Batik Skala Besar Jumlah Total: 9 Industri Batik
Diambil secara Purposive sebanyak 4 industri kecil yang memproduksi sendiri
Diambil secara Purposive sebanyak 4 industri Besar yang memproduksi sendiri
Diambil secara Purposive: Kelompok Batik Tulis
Diambil secara Purposive: Kelompok Batik Tulis
Responden Setiap Industri Kecil di Random Secara Sederhana
Responden Setiap Industri Besar di Random Secara Sederhana
Secara acak dipilih sebanyak 30 responden dan 5 responden sebagai cadangan dari 4 Industri Batik
Secara acak dipilih sebanyak 30 responden dan 5 responden sebagai cadangan dari 4 Industri Batik
Total: 60 responden dan 10 responden cadangan Gambar 3. Prosedur Sampling dalam Pengambilan Responden
34
3.5 Pemilihan Responden Unit analisis penelitian ini adalah rumahtangga yang sasarannya pekerja batik tulis tradisional pada industri kecil dan industri besar. Unit analisis rumahtangga lebih ditekankan pada analisis kehidupan ekonomi rumahtangga pekerja batik tulis. Untuk mengetahui struktur nafkah dan penghidupan rumahtangga pekerja batik dilakukan dengan wawancara secara langsung kepada responden (pekerja batik tulis) baik pada industri kecil maupun industri besar dengan menggunakan data primer melalui kuesioner. Dalam wawancara kuesioner kepada responden, peneliti juga menggali informasi tentang rumahtangga setiap masing-masing responden (suami dan anak). Pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan (Simple Random Sampling). Setiap industri batik baik kecil maupun besar diambil setiap industri masing-masing 30 responden dengan jumlah responden yang akan diteliti sebanyak 60 responden dan 10 responden sebagai responden cadangan.
3.6 Teknik Pengumpulan data Dalam penelitian ini terdapat dua subjek penelitian yaitu responden dan informan. Data dari penelitian kuantitatif diperoleh melalui kuesioner dengan menggunakan teknik wawancara langsung kepada responden. Kemudian hasil kuesioner tersebut dicatat seperti apa adanya dan diolah dengan melakukan analisis dan interpretasi, selanjutnya dilakukan pembuatan kesimpulan tentang hasil kuesioner. Sedangkan data dari pendekatan kualitatif dilakukan melalui observasi ke lapangan dan wawancara mendalam kepada informan yaitu instansi pemerintahan terkait, seperti: Dinas Perindustrian, Perdagangan Koperasi dan UKM, Bappeda Kota Pekalongan, BPS Kota Pekalongan, Kepala Museum Batik Pekalongan, Staf Administrasi Industri Batik, Juragan batik dan PengusahaPengusaha Batik pada industri kecil maupun industri besar yang telah dijadikan sampel penelitian. Pemilihan informan dilakukan dengan menggunakan metode pengambilan sampel sistem bola salju (Snowball Sampling) dan Purposive. Pengambilan sampel ini digunakan untuk mendapatkan informan yang dapat memberikan informasi pendukung data kuantitatif.
35
3.7 Teknik Pengolahan dan Analisis Data Dalam penelitian kuantitatif, analisa data pada data primer dapat diolah dengan menggunakan tabel frekuensi. Data tersebut diperoleh melalui kuesioner diolah dan disajikan dalam bentuk tabel frekuensi digunakan untuk melihat perbandingan atau perbedaan struktur nafkah dan penghidupan rumhatangga pekerja batik tulis di industri batik kecil dan industri batik besar serta keterkaitan dari aspek-aspek yang menjadi dampak perubahan sosial-ekonomi pekerja batik tulis. Data primer tersebut selanjutnya dimasukan dalam bentuk tabulasi data, kemudian dianalisis sesuai dengan tujuan penelitian. Selanjutnya kuesioner diolah dengan melakukan beberapa langkah yaitu editing kuesioner, pengkodean data, pemindahan data ke lembar penyimpanan data, kemudian memasukan data ke dalam program microsoft excel dan SPSS 18.0 for windows, pembersihan dan perapian data, dan terakhir melakukan pengolahan data sesuai rencana analisis. Kemudian dilakukan analisis statistik dengan menggunakan uji statistik (ChiSquare). Uji menggunakan Chi-square ini digunakan untuk menguji hubungan dua variabel untuk melihat beda nyata antara industri kecil dan industri besar. Seluruh kuesioner dalam penelitian ini adalah kuesioner uji terpakai. Sebelum melakukan uji hubungan antar variabel dengan uji statistik Chi-square, peneliti menghitung nilai masing-masing variabel. Perhitungan ini dilakukan dengan mencari nilai rata-rata, baru kemudian dimasukkan dalam tabel Chi-square. Setelah itu di adakan uji statistik dengan Chi-square dengan menggunakan komputer program SPSS. Uji statistik Chi-square dengan menggunakan nilai alpha 10%. Sedangkan untuk pendekatan kualitatif digunakan untuk memberikan penguatan dari data yang diperoleh melalui panduan wawancara dengan melibatkan wawancara mendalam dan observasi. Gabungan data tersebut diolah dan dianalisis dengan disajikan dalam bentuk teks naratif, grafik, box, column, pie chart atau bagan, kemudian ditarik kesimpulan dari semua data yang telah diolah.
36
BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN
4.1 Gambaran Umum Kota Pekalongan 4.1.1 Keadaan Geografis, Administrasi dan Wilayah Kota Pekalongan Secara geografis Kota Pekalongan terletak di dataran rendah pantai Utara Pulau Jawa, dengan ketinggian kurang lebih 1 meter di atas permukaan laut. Serta berkoordinat fiktif 519,00 – 518,00 Km membujur dan 517,75 – 526,75 Km melintang. Letak wilayah yang berada pada daerah khatulistiwa menjadikan Kota Pekalongan memiliki iklim tropis dengan dua musim yaitu musim hujan dan musim panas. Kota Pekalongan memiliki luas wilayah 45,25 km2 dengan jumlah penduduk tahun 2009 sebesar 276.158 jiwa dan kepadatan penduduk 6.103 per Km2. Kota Pekalongan terbagi menjadi empat kecamatan yaitu Kecamatan Pekalongan Utara, Kecamatan Pekalongan Selatan, Kecamatan Pekalongan Barat dan Kecamatan Pekalongan Timur dan terdiri dari 46 kelurahan, dengan batasbatas wilayah sebagai berikut: Sebelah Utara
: Laut Jawa
Sebelah Timur
: Kabupaten Batang
Sebelah Selatan
: Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Batang,
Sebelah Barat
: Kabupaten Pekalongan
Secara administratif Kota Pekalongan dibagi menjadi empat kecamatan dengan luas wilayah 4.525 Ha atau sekitar 0,14 % dari luas wilayah Jawa Tengah (Luas Jawa Tengah 3.254 ribu Ha). Tahun 2009 luas tanah sawah 1.266 Ha, masih sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Hal ini berarti dalam tahun 2009 di Kota Pekalongan tidak terjadi perubahan penggunaan tanah dari tanah sawah menjadi tanah kering.
4.1.2 Kondisi Infrastruktur Kota Pekalongan Peningkatan partisipasi penduduk dalam bidang pendidikan tentunya harus diimbangi dengan penyediaan sarana fisik pendidikan dan sarana prasarana yang memadai. Terdapat sebayak 6 pendidikan sekolah tinggi, diantaranya: Sekolah
37
Tinggi Ilmu Ekonomi Muhammadiah, Politeknik Batik Pusmanu Pekalongan, Universitas Pekalongan (UNIKAL), Akademi Keperawatan Negeri, dan STMIK Widya Pratama Pekalongan. Selain itu, terdapat sebanyak 22 pendidikan tingkat SMA dan 23 pendidikan tingkat SMP. Peningkatan sarana kesehatan sangat diperlukan dalam upaya peningkatan kesehatan masyarakat. Selain pemerintah, peran swasta dalam menunjang sarana kesehatan juga cukup tinggi. Sarana fasilitas umum yang terdapat di Kota Pekalongan, meliputi: fasilitas kesehatan Rumah Sakit Umum (RSU), puskesmas puskemas pembantu dan puskesmas keliling, fasilitas olahraga, fasilitas transportasi perhubungan darat dan fasilitas. Selain itu, terdapat bidang sosial lainnya sepeti kesenian, peradilan, panti asuhan, keagamaan dan lain sebagainya. Kota Pekalongan terkenal dengan nuansa religiusnya karena mayoritas penduduknya memeluk agama Islam. Ada beberapa adat tradisi di Pekalongan yang tidak dijumpai di daerah lain misalnya: syawalan, sedekah bumi, dan sebagainya.
4.1.3 Kondisi Sosial dan Ekonomi Penduduk Kota Pekalongan Jumlah penduduk Kota Pekalongan pada tahun 2009 adalah 276.158 jiwa, terdiri dari 134.332 laki-laki (48,64%) dan 141.826 perempuan (51,36%). Sedangkan banyaknya rumahtangga adalah 68.432. Kepadatan jumlah penduduk di Kota Pekalongan cenderung meningkat seiring dengan kenaikan jumlah penduduk. Rasio ketergantungan jumlah penduduk usia 15-64 lebih besar dari penduduk usia 0-14 tahun dan 65 tahun ke atas. Penduduk usia kerja terdiri dari angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Proporsi penduduk yang tergolong angkatan kerja yang dikenal sebagai “Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja” (TPAK) memiliki angka yang rendah pada umur-umur muda (sekolah) dan mencapai puncaknya pada usia 40-45 tahun, secara perlahan-lahan mengalami penurunan pada umur-umur berikutnya dikarenakan pensiun dan mencapai usia tua. Berdasarkan kewarganegaraannya, terdapat Warga Negara Asing (WNA) sebanyak 132 laki-laki dan perempuan pada tahun 2009. Pada Tabel 2 di bawah
38
ini diperlihatkan data kependudukan rata-rata jumlah anggota rumahtangga di Kota Pekalongan Tahun 2009. Tabel 1. Rata-rata Jumlah Anggota RumahTangga di Kota Pekalongan 2009.
Pekalongan Barat
Jumlah Penduduk (jiwa) 87,905
21,443
Rata-rata Anggota RumahTangga 4,1
Pekalongan Timur
64,247
16,029
4,0
Pekalongan Selatan
51,354
12,824
4,0
Pekalongan Utara
72,625
18,136
4,0
Jumlah
276,158
68,432
4,0
Kecamatan
Banyaknya RumahTangga
Sumber: Data BPS, Kota Pekalongan 2009
Berdasarkan Tabel 1 di atas, menunjukkan bahwa banyaknya rumahtangga di Kota Pekalongan pada setiap kecamatan berbeda-beda, pada kecamatan Pekalongan Barat banyaknya rumahtangga sebanyak 21,443 jiwa, Pekalongan Timur sebanyak 16,029 jiwa, Pekalongan Selatan sebanyak 12,824 jiwa dan Pekalongan Utara sebanyak 18,136. Setiap Kecamatan tersebut menjadi sentra pekerja batik Kota Pekalongan dimana mayoritas pekerja batik tulis terdapat di kelurahan Pasirsari, Jenggot, Kauman, Gamer, Duwet, Sokorejo, Noyontaan, Jenggot dan sebagainya. Sebagian besar penduduk Kota Pekalongan terkonsentrasi di daerah dataran rendah. Dengan demikian penyebaran penduduk menjadi tidak merata. Dataran rendah menjadi pusat tumpuan kegiatan perekonomian. Titik berat kegiatan perekonomian masyarakat berkembang di dataran rendah, yang meliputi kegiatan pertanian, perdagangan dan perindustrian. Ketiga sektor inilah yang mampu menyerap banyak tenaga kerja. Pada tahun 2009 sektor industri Kota Pekalongan mampu menyarap tenaga kerja sebesar 6.445 orang (56.63%). Kota Pekalongan mayoritas penduduknya bekerja di sektor industri yang sebagian besar merupakan industri batik. Hal ini menjadikan pekerja di Kota Pekalongan sebagian besar bekerja pada sektor industri batik yang menjadi pusat industri batik. Sektor industri batik menjadikan penopang dan memberikan peluang besar dalam meningkatkan perekonomian masyarakat Kota Pekalongan.
39
Sektor industri di Kota Pekalongan dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu industri besar, industri sedang dan industri kecil. Pembagian tersebut berdasarkan pada banyaknya jumlah tenaga kerja. Industri besar memiliki jumlah tenaga kerja minimal 100 orang, industri sedang memiliki jumlah tenaga kerja 2099 orang, sedangkan industri kecil memiliki jumlah tenaga kerja 5-19 orang. Industri kecil masih dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu formal dan informal. Yang disebut sebagai industri kecil formal adalah industri kecil yang mempunyai izin berdirinya usaha dari Depperindagkop, sedangkan industri kecil non formal adalah
industri
kecil
yang
tidak
mendaftarkan
usahanya
ke
kantor
Depperindagkop, sehingga tidak mempunyai izin berdirinya usaha (BPS, 2009).
4.2 Industri Batik Di Kota Pekalongan Sebagaimana telah diketahui, Pekalongan dikenal sebagai “Kota Batik” mempunyai potensi besar dalam kegiatan perbatikan dan telah berkembang begitu pesat baik dalam skala kecil maupun besar. Hasil produksi batik Pekalongan juga menjadi salah satu penopang perekonomian Kota Pekalongan. Corak dan warna yang khas dari produk Batik Pekalongan telah menjadikan kerajinan Batik Pekalongan semakin dikenal. Industri dibidang batik ini telah mampu mengeksport ke berbagai negara antara lain Australia, Amerika, Timur Tengah, Jepang, Cina, korea dan Singapura. Bagi pecinta batik, Pekalongan merupakan tempat yang tepat untuk mencari batik dan aksesorisnya, karena Pekalongan adalah tempat pasar batik, butik batik serta grosir batik, baik batik asli (batik tulis) maupun batik cap, batik printing, batik painting maupun sablon dengan harga yang bervariasi. Industri ini memberikan sumbangan yang besar terhadap kemajuan perekonomian di Pekalongan dengan mayoritas dari home industry. Kota Pekalongan memiliki 634 industri batik dengan daya serap sebayak 9944 tenaga kerja dari total 276.158 penduduk.
40
Tabel 2. Klasifikasi Industri Batik dan Jumlah Tenaga Kerja di Kota Pekalongan Jenis Industri
Jumlah Unit Usaha
Industri Besar
Jumlah Tenaga Kerja (orang)
9
1246
Industri Menengah/Sedang
244
5136
Industri Kecil
381
3562
Jumlah
634
9944
Sumber: Disperindagkop Kota Pekalongan, 2009
Data pada Tabel 2 di atas, menunjukkan bahwa jumlah industri besar di Pekalongan adalah sebanyak sembilan unit usaha dengan menyerap tenaga kerja sebanyak 1246 orang dan industri menengah terdapat sebanyak 244 unit usaha dengan menyerap tenaga kerja 5136 orang, sedangkan pada industri kecil unit usaha terdapat sebanyak 381 dengan 3562 tenaga kerja. Dari sisi penyerapan tenaga kerja, sebagian besar penduduk Kota Pekalongan bekerja di sektor industri, khususnya pada industri batik. Angka ini menunjukkan bahwa industri kecil di Kota Pekalongan jauh lebih banyak daripada industri besar dan menengah. Hal ini dikarenakan pengrajin batik di Kota Pekalongan mendominasi untuk membuka usaha batik skala kecil dengan modal yang kecil dibanding pada industri besar dan menengah. Mayoritas batik di Pekalongan dikerjakan pada home industry
1
baik skala
kecil, menegah maupun besar. Hal ini dikarenakan home industry bersifat kebersamaan, sehingga para pekerja batik dapat berkumpul bersama-sama dalam pekerjaan membatik. Batik Pekalongan merupakan warisan budaya nenek moyang yang mentradisi dari dulu sampai sekarang secara turun-temurun. Para pekerja batik Kota Pekalongan mayoritas adalah penduduk asli Pekalongan. Pekerja batik Pekalongan memiliki keterampilan membatik secara turun-temurun dari keluarganya. Di Pekalongan terdapat banyak industri batik yang memperkerjakan buruh batik di setiap perusahaannya, dengan memiliki keahlian di bidang masingmasing. Jenis-jenis batik di Pekalongan, seperti: batik tulis, batik cap, batik
1
Industri batik yang dikerjakan di rumah-rumah penduduk yang biasanya dikerjakan pada sistem borongan (sistem babar).
41
sablon/printing dan batik kombinasi. Sedangkan bahan baku pembuatan batik antara lain: mory, malam, gondorukem, minyak tanah dll. Pada tahun 2010, harga bahan baku pembuatan batik mengalami kenaikan yang cukup tinggi, sehingga menyebabkan masalah besar bagi pengusaha batik baik batik skala kecil, menengah maupun besar. Dengan harga bahan baku yang cukup mahal, membuat industri batik skala kecil mengalami kerugian yang mengakibatkan berhentinya produksi. Meningkatnya bahan baku pembuatan batik disebabkan karena faktor alam (musim hujan). Akibat menurunnya produksi batik di Pekalongan, menyebabkan produksi perhutani juga ikut menurun. Menghadapi permasalahan mengenai kenaikan harga bahan baku, pihak pemerintah memberikan jalan keluar untuk mengatasi permasalahan tersebut. Upaya yang dilakukan oleh pihak Walikota Pekalongan adalah dengan cara mempertemukan pihak pengusaha batik dengan pihak perhutani dengan menyepakati harga bahan baku sesuai dengan harga yang dipasarkan perhutani yaitu Rp 31.000/kg sesuai harga pasar dunia. Meningkatnya harga bahan baku batik menyebabkan keuntungan yang diperoleh para pengusaha batik Pekalongan mengalami penurunan. Para pengusaha batik masih belum dapat menaikkan harga jual batik dikarenakan mereka lebih mementingkan kebutuhan pokok untuk sehari-hari dibandingkan kebutuhan untuk pakaian. Adanya industri batik memunculkan organisasi seperti, Ikatan Para Pengusaha Batik (Ikatan Pengusaha Menengah-Besar), IWAPI (Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia). Bagi industri kecil diwakili oleh Paguyuban Pengusaha Batik. Paguyuban ini terdiri dari pengusaha-pengusaha batik di Kota Pekalongan, seperti: Paguyuban Kampung Batik Kauman, Kampung Wisata Batik Pesindon, Kampung Batik Pasir sari. Selain itu, Pemkot mulai menggalakkan aksi bersih “Produksi Bersih Anti Limbah” dan telah memberikan bantuan fasilitas Instalasi pengolah air limbah (IPAL) kepada pelaku industri. Akan tetapi, belum menjangkau untuk mengatasi pencemaran limbah. Oleh karena itu, Pemkot telah meminta kepada para pelaku industri untuk ikut peduli terhadap masalah kebersihan lingkungan. Dengan diberikannya fasilitas IPAL (Instalasi Pengolahan Limbah) yang dilakukan di beberapa tempat di wilayah Pekalongan, seperti: Kauman, Jenggot dll. Pada tahun 2010, Dinas Peindustrian Pusat memberdayakan
42
pekerja dan pengusahanya dengan membagikan 450 tabung gas ke masing-masing industri batik Pekalongan. Dalam mengahadapi kompetitor batik dari daerah lain, seperti: batik Solo dan batik Yogyakarta, batik Pekalongan mampu bertahan dan eksis dengan “Branding” yang sudah lama dikenal oleh seluruh masyarakat di Indonesia. Pemerintah melakukan kebijakan dengan cara mempromosikan batik secara intensif. Promosi ini dilakukan dengan mengadakan Pekan Batik Nusantara dan Pekan Batik Internasional.
4.3 Sejarah Batik Kota Pekalongan Di daerah perbatasan Utara Jawa, batik Pekalongan disebut "Batik Pesisiran". Secara historis, terdapat tiga jenis batik Pekalongan yaitu batik lokal, batik encim dan batik londo. Melalui pendekatan budaya, masyarakat Pekalongan memperlihatkan adanya kesatuan sebagai bagian dari kebudayaan Jawa. Oleh karena itu, perbedaan yang terdapat pada batik di wilayah pedalaman dan pesisir semata-mata karena faktor geografis. Sejak masa Hindu-Islam sampai masa kemerdekaan, Pekalongan menempati posisi jauh dari pusat kekuasaan. Secara otonom, Pekalongan tumbuh sebagai kota niaga dan sejak awal kota tersebut sudah menjadi daerah perdagangan. Sampai dengan masa kolonial, daerah itu memiliki pelabuhan laut yang ikut meramaikan lalu lintas perdagangan antar pulau di Nusantara. Adanya pelabuhan tersebut mempengaruhi perkembangan sosial-ekonomi maupun kependudukan. Urbanisasi kaum migran, baik dari daerah maupun luar juga ikut menentukan perkambangan Kota Pekalongan. Posisi Pekalongan sebagai daerah penghasil batik terbagi atas daerah Kota Pekalongan dan wilayah kabupaten. Keberadaan batik Pekalongan hampir sama tuanya dengan perkembangan Kota Pekalongan yang terus berkembang dari waktu ke waktu. Batik merupakan suatu istilah yang sangat populer dan menjadi baku sebagai nama kain yang dibuat melalui teknik celup rintang dengan media perintang berupa lilin. Istilah yang ini sudah ada sejak puluhan abad yang lalu yang berawal dari Kraton dan akhirnya menjadi suatu hasil kerajinan rakyat. Apabila ditinjau dari morfologi bahasa, kata “batik” terdiri dari dua kata yang
43
bergabung menjadi satu yaitu kata “ba” dan “tik”. Keduanya memang hampir tidak memiliki arti. Namun demikian, kata “batik” sebenarnya merupakan elemen seni rupa untuk mengawali karya tulis. Masing-masing kata tersebut mempunyai padanan yang terdiri dari kata “ba” dengan awalan “am” dan kata “tik”, sehingga apabila digabung diperoleh kata “ambatik” yang artinya membuat titik. Hasilnya adalah batik yang polanya berupa garis-garis yang tersusun dari titik-titik. Dalam khasanah seni rupa, terjadi bentuk diawali dengan titik, tersambung menjadi garis dan selanjutnya akan berkembang menjadi sebuah bentuk. Konsepsi semacam itu secara kebetulan hadir pada proses pembuatan batik dan selama ini kata batik tidak dipersoalkan lagi karena sudah merupakan nama baku (Asa, 2006). Bahan utama pembuatan batik adalah kain dan lilin. Sebuah titik dibentuk dari cairan lilin panas yang keluar dari alat bernama canting dan dimulai ketika cairan lilin tersebut masih berasap. Selanjutnya, jari-jari tangan yang terampil dari seorang pembatik menarikknya dengan sebuah garis dan bentuk mengikuti lukisan pola yang sudah dibuat di atas kain. Kemudian, suatu proses yang melibatkan teknik dan pewarnaan yang rumit akan dilakukan pada kain yang telah berlukiskan lilin tadi. Hal itu dikerjakan berulang kali sampai menjadi sebuah karya yang disebut batik. Pulau Jawa adalah sentral kelahiran dan perkembangan budaya batik hingga sekarang, terutama Kota Pekalongan, Provinsi Jawa Tengah. Kota Batik, sesuai namanya, telah memproduksi batik sejak 1800-an dengan perkembangan pesat dibanding daerah lain sesama produsen batik. Pada tahun 1800, perkembangan batik batik mengalami kejayaan di mana pada saat itu di bawah pemerintahan Soeharto, nilai mata uang sangat murah dan bahan baku pembuatan batik sangat murah. Dengan demikian banyak pengusaha batik yang memproduksi batik dalam jumlah yang cukup besar, sehingga pada tahun itu banyak konsumen yang membeli batik. Selain itu, batik mulai meningkat atau melonjak tajam pada saat UNESCO mengesahkan batik sebagai warisan budaya khas Indonesia pada 2 Oktober 2009
yang diperingati sebagai Hari Batik Nasional. Indonesia
merupakan bangsa yang memiliki banyak warisan budaya, termasuk batik Indonesia.
44
4.4 Pekerja Batik Tulis Pekalongan Batik Tulis adalah salah satu jenis hasil proses produksi batik yang teknis pembuatan motifnya langsung ditulis secara manual. Alat untuk menulisnya atau yang biasa disebut canting terbuat dari tembaga dengan gagang dari bambu. Ujung dari canting atau biasa disebut cucuk, mempunyai lubang yang bervariasi, sehingga bisa menentukan besar kecilnya motif. Sedangkan bak penampung canting disebut sebagai nyamplung. Nyamplung ini bisa berisi cairan malam atau pewarna, tergantung dari teknik batik yang akan digunakan. Ciri-ciri batik Tulis adalah : Motif tidak berulang Kombinasi warna bisa lebih banyak Warna dasarnya bisa gelap atau cerah Batik tulis yang diproduksi oleh para perajin di Pekalongan, di dalamnya mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu antara lain: keindahan (seni), ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Dalam perkembangannya, lambat laun kerajinan batik yang disebut dengan batik tulis ini ditiru oleh rakyat terdekat dan selanjutnya meluas menjadi pakaian rakyat yang sangat digemari, baik pria maupun wanita. Semula batik hanya dibuat di atas bahan dengan warna putih yang terbuat dari kapas yang dinamakan kain mori. Dewasa ini batik yang sudah menjadi kain tradisional Indonesia juga dibuat di atas bahan lain seperti sutera, poliester, rayon dan bahan sintetis lainnya. Disamping itu, cara pembuatannya juga mengalami perubahan. Batik Tulis Malam adalah teknik batik tulis dengan menorehkan cairan malam melalui canting tulis. Proses pembuatan batik tulis malam mirip seperti batik cap. Perbedaannya terdapat pada motif, jika batik cap motifnya cenderung berulang, maka batik tulis malam motifnya bisa unik kreatif persis seperti menggambar dengan bebas. Batik Tulis Colet adalah teknik batik tulis dengan menorehkan warna melalui canting tulis langsung ke kain mori, sehingga isi dari nyamplung canting adalah warna yang dikehendaki. Proses pembuatan batik tulis colet ini mirip seperti menggambar di kanvas. Jadi hasilnya sangat ditentukan dari kreatifitas dan keuletan goresan tangan dari pembatik. Semakin kecil dan detil
45
barisan titik-titik yang bisa dibuat oleh pembatik, maka akan semakin tinggi tingkat kesulitan dan nilai dari batik tersebut. Dinamika para pengusaha batik dalam memproduksi berbagai jenis produk berkaitan dengan peranan para pengusaha batik dalam upaya mereka mencari bentuk, jenis dan motif seiring dengan makin berkembangnya motif yang sesuai dengan minat dan daya beli konsumen. Standar upah bagi tenaga kerja pada batik tulis adalah sekitar Rp 10.000,00-Rp 20.000,00 per hari.
Jumlah ini bisa
mengalami kenaikan seiring dengan meningkatnya kemampuannya membatik. Upah umumnya diberikan atas harian atau mingguan yang jatuh pada setiap hari kamis atau dikenal dengan istilah kamisan, tetapi ada pula yang diberikan per hari setelah selesai bekerja membatik. Membicarakan tentang batik tulis tidak dapat dilepaskan dari keterlibatan perempuan sebagai tenaga kerja (Widuratmi, 2003). Untuk membedakan industri kecil, menengah dan besar biasanya dibedakan berdasarkan besarnya modal, jumlah tenaga kerja. Untuk batik skala besar memiliki pekerja yang banyak, modal yang besar dan upah yang cukup besar pula. Sedangkan untuk batik skala kecil hampir sama upahnya. Setiap wilayah Pekalongan, masing-masing daerah memberikan lapangan pekerjaan pada sektor industri batik yang sudah melekat pada masyarakat Pekalongan pada umumnya. Masyarakat di Pekalongan menggantungkan hidupnya pada pekerjaan di sektor industri batik, dikarenakan sektor industri memiliki kesempatan bekerja lebih besar dari sektor lainnya. Mayoritas para pekerja batik memiliki satu jenis pekerjaan saja, yaitu membatik. Hanya terdapat beberapa pekerja batik yang memiliji pekerjaan sampingan. Kebanyakan kaum perempuan mengerjakan pekerjaan membatik, sedangkan laki-laki melakukan proses pengecapan, pencelupan, pengeringan dan pengepakan. Dari penjelasan di atas, terdapat penggolongan gender dalam membatik. Upah pada sistem harian sudah dipatok harga oleh pengusaha masingmasing industri batik, tidak semua setiap pengusaha industri batik memberikan upah yang sama. Tetapi biasanya pengupahan pekerja juga melihat kondisi atau keadaan pengupahan batik di perusahaan lain (khusus pada industri besar). Jadi, pengusaha satu mengikuti upah pengusaha yang lain. Sistem borongan dilakukan melalui perantara dari pengusaha batik. Pengusaha batik memiliki kepercayaan
46
terhadap tugasnya untuk dikerjakan ke pekerja atau buruh di bawahnya (mbabar). Orang kepercayaan itu disebut “juragan”. Sedangkan pekerja di bawahnya disebut “buruh mbabar”. Pengusaha memberikan beberapa kain kepada juragan beserta desain dan motif yang diinginkan. Lalu juragan memberikan tugas kepada buruh mbabar di kampungnya. Satu kampung biasanya terdiri dari 10 sampai 20 orang. Pengerjaan batik ini dilakukan di rumah-rumah masing-masing (home industry). Juragan batik mendapatkan tugas tidak hanya dari satu perusahaan, tetapi beberapa perusahaan yang ada di Pekalongan biasanya tiga sampai empat perusahaan. Juragan mendapatkan keuntungan yang lebih banyak dibandingkan ”buruh mbabar” di bawahnya. Sistem borongan tersebut dilakukan dengan tujuan agar batik dapat diselesaikan dengan cepat. Biasanya apabila terdapat pesanan lebih dari pengusaha dituntut pengerjaan dengan cepat. Sedangkan pada sistem harian dikerjakan sesuai jam kerja membatik di pabrik dan dapat dibawa pulang ke rumah untuk dikerjakan secara lemburan. Sistem pengupahan batik untuk borongan tergantung dari kualitas kainnya, misalnya dalam satu hari pekerja berhasil menyelesaikan kain batik sebanyak dua buah, sehingga buruh batik batik tersebut mendapatkan upah sekitar Rp 4.000,00-Rp 5.000,00/kainnya.
4.5 ProfilIndustri Batik Kota Pekalongan No.
Nama Industri Batik Batik CV. TOBAL
Tipe Indus tri Besar
Asal-usul NamaIndus tri TOBAL: Toko yang ada di Bali
2.
Batik FENNO
Besar
3.
Batik LARISSA
Besar
1.
Tahun Berdiri
Bidang Usaha
Jenis Produksi
Kapasitas Produksi
1972
Produksidan Pemasaran
400 kodi/bulan
FENNO: diambil dari nama depan pemilik perusahaan (suami-istri)
1980
Produksidan Pemasaran
Bahasa latin: “gadis mungil” (diambil nama puterikedua)
1990
Produksi danPemasar an
Bahan hem, kemeja, bahan rok, dress, sarung, selendang, sarimbit dan sprey. Bahan hem, kemeja, bahan rok/dress, sprey, sarung selendang, sarimbit, jarik, bahan 2 meter, gamis, dan blues. Bahan hem, kemeja, bahanrok/ dress, sprey, sarung selendang, sarimbit, seragam, pakaian jadi.
Orientasi Pasar/Pemasara n Domestik dan Eksport (Australia, Mew Zealand, Jepang, Korea, Amerikadll).
Bahan Baku Katun prima, primis, paris, doby dan sutera.
Jumlah Tenaga Kerja 120 orang
Promosi
Pemaran INNACRAFT daniklan
Omzet Penjualan dan Asset 100 juta dan 1 milyar
150 kodi/bulan
Domestik(Jawa, Kalimantan, Sumatera, Bali, dan Jakarta) Mancanegara (Malaysia, Singapura dan Jepang)
Katun prima, primis, paris, sutera ATBM.
150 orang
Pameran INNACRAFT , iklan dan Gelar Batik Nusantara.
200 juta dan 1 milyar
100 kodi/bulan
Domestik (Yogyakarta, Solo, Semarang, Surabaya, Bandung, Jakarta dan luar Jawa) Eksport (Malaysia, Singapura).
Katun prima, primis, paris, doby dan sutera.
60 orang+
Pameran INNACRAFT , iklan dan Gelar Batik Nusantara.
100 juta dan 1 milyar
47
No.
Nama Industri Batik Batik ARINNA
Tipe Indus tri Besar
Asal-usul Nama Industri ARINNA :gabungan nama kedua putri pemilik industri batik.
5.
Batik GANESHA
Kecil
6.
Batik LAARAIBA
7.
Batik WIRO SEMBODO
4.
Tahun Berdiri
Bidang Usaha
Jenis Produksi
Kapasitas Produksi
1985
Produksi dan Pemasaran
100 kodi/bulan
GANESHA: diambil dari nama putera pemilik industri batik.
1999
Produksi dan Pemasaran
Bahan hem, kemeja, sarung, selendang, sarimbit, hiasan dinding, taplak meja dan abaya. Kemeja, sarung, selendang, sarimbit.
Kecil
LAA RAIBA: bahasa arab “tidak ragu”
1999
Produksi dan Pemasaran
20 kodi/bulan
Kecil
WIRO SEMBODO : berusaha sesuai dengan kemampuan
1980
Produksi danPemasar an
Bahan hem, kemeja, sarung selendang dan sarimbit. Bahan hem, kemerja, sarung, selendang, sarimbit, taplak meja, lopper.
15 kodi/bulan
15 kodi/bulan
Orientasi Pasar/Pemasara n Domestik (Jawa Tengah, Jakrta, Yogyakarta dan Solo)
Bahan Baku Katun prima, primis ima, rayon, sutera, ATBM, sutera cina dan thailand.
Jumlah Tenaga Kerja 70 orang+
Promosi
Pameran INNACRAFT
Omzet Penjualan dan Asset -
Tidak dilakukan pemasaran secara keluar tetapi hanya dilakukan dengan cara pengambilan langsung di tempat produksi. Domestik (Jakarta, Aceh, Yogyakarta dan Palembang)
Mori sutera, primis, doby.
11 orang
Dari mulut ke mulut (mouth for mouth)
3 juta dan (-)
Mori sutera, primis, doby.
16 orang
Website
20 juta dan (-)
Domestik (Jakarta, Yogyakarta dan Surabaya)
Katun primis, sutera ATBM, vishcos dan blaco.
15 orang
-
20 juta dan (-)
48
No.
8.
Nama Industri Batik Batik MUFTI
Tipe Indus tri Kecil
Asal-usul Nama Industri MUFTI: diambil dari nama putera kedua pemilik industri batik.
Tahun Berdiri 1999
Bidang Usaha
Jenis Produksi
Kapasitas Produksi
Produksidan Pemasaran
Bahan hem tulis, kemeja tulis, kemeja cap, hem cap, sarung, gamis dan sarimbit.
30 kodi/bulan
Orientasi Pasar/Pemasara n Domestik (Jakarta, Bogor, Depok)
Bahan Baku Primisima, prima, sutera ATBM.
Jumlah Tenaga Kerja 8 orang
Promosi
-
Omzet Penjualan dan Asset -
49
50
4.6 Karakteristik Pekerja Batik Mayoritas pekerja batik tulis terdapat di Kecamatan Pekalongan Barat dan Pekalongan Timur yang menjadi sentral pekerja pada industri batik di Kota Pekalogan. Responden penelitian adalah warga lokal (warga asli dan pendatang sekitar Kota Pekalongan). Pada industri batik skala kecil, pekerja batiknya berasal dari penduduk asli Pekalongan, sedangkan pada industri besar berasal dari penduduk asli Pekalongan dan sebagian berasal dari Kota Batang. Penduduk asli Pekalongan sebagian besar berasal dari Gamer, Sokorejo, Clumprit, Degayu, Sapuro, Krapyak, Landungsari, Medono, Setono, Tanjung, Peringlangu, Kuripan, Jenggot, Kauman dan Kota Batang yang berasal dari Denasri, Muneng dan Warungasem. Pekerja batik tulis dikerjakan oleh kaum perempuan yang sudah menjadi tradisi turun-temurun. Hal ini dikarenakan batik tulis identik dengan menggambar di atas kain mori yang memerlukan kesabaran, ketelitian dan ketepatan dalam membatik. Sehingga kaum perempuan lah yang melekat sebagai pekerja batik tulis. Agama yang dianut oleh seluruh responden dalam penelitian ini adalah beragama islam. Responden yang bekerja pada industri batik Kota Pekalongan merupakan asli orang Jawa. Hal ini dikarenakan mayoritas penduduk Kota Pekalongan adalah masyarakat asli Jawa Tengah dan semenjak lahir responden penelitian sudah menetap di Kota Pekalongan dan sekitarnya. Pada Gambar 5
Umur Responden (Tahun)
ditunjukkan rata-rata umur responden pada industri batik. 50
44
40
36
30 Industri Kecil 20
Industri Besar
10 0
Industri Kecil
Industri Besar
Keterangan: npekerja batik industri kecil : 35 npekerja batik industri besar : 35
Gambar 4. Rata-Rata Umur Responden pada Industri Kecil dan Industri Besar
51
Berdasarkan Gambar 5 di atas, menunjukkan bahwa rata-rata umur responden penelitian pada dua tipe industri batik berbeda antara industri kecil dan industri besar. Pada industri kecil rata-rata umur responden adalah 44 tahun, sedangkan pada industri besar adalah 36 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa pada industri kecil sebagian besar pekerjanya sudah lama bekerja pada industri batik tulis. Sementara pada tingkat pendidikan responden dalam penelitian ini dikategorikan menjadi lima, yaitu kategori sangat rendah, rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi. Tetapi pada kenyataannya, tingkat pendidikan responden hanya mencapai tiga kategori saja. Pada Gambar 6 ditunjukkan persentase tingkat pendidikan responden yang diambil dari 70 responden pada industri kecil dan
Persentase Responden (%)
industri besar. 100%
5,71
80%
34,29
5,71
60,00
60%
Tamat SMP/ sederajat Tamat SD Tidak sekolah/tidak tamat SD
40%
60,00 20%
34,29
0%
Industri Kecil
Industri Besar
Keterangan: npekerja batik industri kecil : 35 npekerja batik industri besar : 35
Gambar 5. Persentase Responden Menurut Tingkat Pendidikan pada Industri Kecil dan Industri Besar Berdasarkan Gambar 6 di atas, dapat dilihat bahwa pada industri kecil sebagain besar terdapat responden yang berpendidikan sangat rendah yaitu tidak sekolah yang artinya responden tidak pernah mengenyam bangku sekolah, yaitu sebesar 60.00% dan sebaliknya pada industri besar yang tidak sekolah sebesar 34,29%. Kemudian pada industri kecil yang berpendidikan sampai Sekolah Dasar (SD), yaitu sebesar 34,39 % dan 60,00% pada industri besar. Di samping itu,
52
hanya terdapat beberapa responden yang berpendidikan sampai Sekolah Menengah Pertama (SMP) yaitu sebesar 5,71 % pada kedua industri tersebut. Data ini menunjukkan bahwa hanya terdapat dua responden saja yang berpendidikan sampai tingkat SMP. Data dapat disimpulkan bahwa responden pada industri kecil sebagian besar berpendidikan sangat rendah atau tidak sekolah, dan sebaliknya pada industri besar sebagian besar respondennya berpendidikan rendah yaitu tamat SD, baik industri kecil maupun industri besar sama-sama tidak berpendidikan tinggi. Hal ini dikarenakan keterampilan dalam membatik tidak memerlukan pendidikan yang tinggi. Keterampilan membatik bagi mereka sudah menjadi turun-temurun. Bagi beberapa responden yang berpendidikan SMP dikarenakan mereka tidak memiliki pilihan lain selain bekerja di industri batik karena keterbatasan keterampilan. Selain itu, faktor rumahtangga sangat menentukan anggota lain juga bekerja di industri batik. Tingkat pendidikan tidak berpengaruh terhadap besarnya upah yang diterima responden. Pada Gambar 7 ditunjukkan status pernikahan responden pada industri batik kecil dan industri batik besar.
Persentase Responden (%)
100 80
71,43 57,14
60
Industri Kecil Industri Besar
40 22,86 20
17,14
20,00
11,43
0
Menikah
Belum menikah
Janda
Keterangan: npekerja batik industri kecil : 35 npekerja batik industri besar : 35
Gambar 6. Persentase Responden Menurut Status Pernikahan pada Industri Kecil dan Industri Besar
Berdasarkan data Gambar 7 di atas, dapat dilihat bahwa pekerja batik tulis yang bekerja di industri kecil dan industri besar berstatus sudah menikah atau
53
berkeluarga, yaitu sebesar 71,43% pada industri kecil dan 57,14% pada industri besar. Sementara itu, status responden yang belum menikah adalah sebesar 11,43% pada industri kecil dan 22,86% pada industri besar. Sisanya adalah responden yang berstatus janda/sebagai kepala keluarga. Faktor sosial ekonomi rumahtangga merupakan penyebab utama yang mempengaruhi kaum perempuan yang sudah menikah untuk bekerja. Status pernikahan merupakan salah satu faktor yang menentukan seorang perempuan untuk bekerja atau tidak disamping faktor lainnya yang ada di luar rumahtangga. Mayoritas pekerja batik tulis pada industri kecil dan industri besar tidak terdapat perbedaan status pernikahannya, baik yang sudah menikah ataupun yang belum menikah (anak) sama-sama memiliki kesempatan untuk bekerja pada sektor industri batik. Akan tetapi, persentase terbesar pekerja batik yang bekerja di industri batik adalah berstatus sudah menikah. Dengan demikian, semua pekerja batik yang bekerja pada suatu industri batik tidak mengenal status rumahtangga baik usia muda (belum menikah) yang masih menjadi tanggungan orang tua maupun yang sudah menikah, sehingga status pernikahan rumahtangga tidak menjadi penghambat kaum perempuan untuk bekerja di sektor industri batik tulis. Pada Gambar 8 ditunjukkan status rumahtangga pada industri kecil dan industri besar.
Persentase Responden (%)
100 80 68,57 60,00
60 40 20
17,14
20,00
14,29
20,00
Industri Kecil Industri Besar
0
Janda (KK)
Anak
Isteri
Keterangan: npekerja batik industri kecil : 35 npekerja batik industri besar : 35
Gambar 7. Persentase Responden Menurut Status Rumahtangga pada Industri Kecil dan Industri Besar
54
Berdasarkan data Gambar 8 di atas, menunjukkan bahwa pada industri kecil maupun industri besar lebih banyak yang mendominasi adalah responden yang berstatus sebagai “isteri”, yaitu sebesar 68,57% pada industri kecil dan 60,00% pada industri besar. Sementara itu, sebesar 14,39% berstatus “anak” pada industri kecil dan 20,00% pada industri besar. Sedangkan 17,14% dan 20,00% berstatus sebagai KK (Kepala Keluarga). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa status sebagai isteri mendominasi atau lebih banyak yang bekerja pada industri batik di Kota Pekalongan. Hal ini dikarenakan “isteri” yang berperan sebagai ibu rumahtangga lebih banyak memilih untuk bekerja sebagai pekerja batik tulis, baik pada industri kecil maupun industri besar. Seorang ibu mencari nafkah untuk keluarganya dengan menggantungkan hidupnya dari hasil bekerjanya dalam membatik. Pekerjaan membatik dijadikan sebagai pekerjaan utama responden. Sementara itu jumlah anggota keluarga responden ditunjukkan pada Gambar 9 di bawah ini. 5
5 4
Rata-Rata Anggota (per orang)
4 3 2 1 0
Industri Kecil
Industri Besar
Keterangan: npekerja batik industri kecil : 35 npekerja batik industri besar : 35
Gambar 8. Rata-Rata Jumlah Anggota Rumahtangga Responden pada Industri Kecil dan Industri Besar Berdasarkan data Gambar 9 di atas, menunjukkan bahwa rata-rata jumlah anggota rumahtangga pada industri kecil adalah sebanyak lima anggota. Sedangkan pada industri kecil sebanyak empat anggota. Anggota rumahtangga ini
55
dkhususkan bagi keluarga yang masih tinggal serumah dan masih memiliki peranan dalam pendapatan dan pengeluaran rumahtangga, baik ibu, bapak dan anak (kakak-adik). Dari dulu sampai sekarang pekerja batik mampu bertahan hidup dengan pekerjaannya walaupun dengan upah yang sangat kecil. Bagi mereka, pekerjaan membatik merupakan suatu “berkah”. Hal ini dikarenakan adanya kesempatan kerja di sektor industri batik Kota Pekalongan menjadikan responden memiliki pekerjaan sesuai dengan keterampilan yang dimiliki, sehingga pekerja batik memperoleh
pendapatan
yang
cukup
untuk
memenuhi
kebutuhan
rumahtangganya. Dalam membatik, waktu yang digunakan sangatlah lama dan panjang. Jadwal jam kerja membatik dimulai dari pukul 08.00 WIB-16.00 WIB dan jam istirahat hanya satu jam saja yaitu pukul 12.00 WIB-13.00 WIB. Jam istirahat mereka pergunakan untuk sholat, makan dan istirahat. Sebagian besar pekerja batik tulis pada industri kecil mengalokasikan waktu jam istirahatnya dipergunakan untuk pulang ke rumah, dikarenakan jarak rumah dengan tempat kerja cukup dekat. Sedangkan pada pekerja batik tulis di industri besar, penggunaan jam istirahat dilakukan disekitar pabrik/tempat produksi saja dikarenakan jarak pabrik dengan rumah cukup jauh. Selain itu, terdapat beberapa responden yang memiliki pekerjaan sampingan di luar pekerjaan membatik.
Pada industri kecil hanya ada satu
responden yang memiliki pekerjaan sampingan, yaitu pengrajin taplak meja (bordir). Sementara itu, pada industri besar terdapat tiga responden yang memiliki pekerjaan sampingan, yaitu: pengrajin taplak meja (bordir), pedagang sarapan dan buruh tani (pada saat panen). Pekerjaan sampingan ini dapat menambah pendapatan para pekerja batik, karena upah membatik dirasakan belum mencukupi untuk kebutuhan mereka dan adanya alokasi waktu untuk bekerja di luar pekerjaan membatik. Pada Gambar 10 ditunjukkan rata-rata lama bekerja (tahun) responden pada industri batik.
56
Rata-Rata Lama Bekerja (Tahun)
10
8 8 6
5
4 2 0
Industri Kecil
Industri Besar
Keterangan: npekerja batik industri kecil : 35 npekerja batik industri besar : 35
Gambar 9. Rata-Rata Lama Bekerja (Tahun) Responden pada Industri Kecil dan Industri Besar Berdasarkan data Gambar
10 di atas, menunjukkan bahwa rata-rata
pekerja batik yang bekerja pada industri kecil lebih lama bekerja dibanding industri besar. Pada responden yang bekerja pada industri kecil adalah selama empat tahun. Sedangkan pada responden yang bekerja di industri besar sudah bekerja selama delapan tahun. Jadi, responden yang bekerja pada industri besar lebih lama bekerja dibandingkan responden yang bekerja pada industri kecil. Kepuasan bekerja menjadi faktor lama bekerja di industri tersebut. Selain itu, adanya aturan-aturan tertentu dan hubungan yang baik antara pekerja dengan pengusaha dapat menjadi faktor responden untuk tetap bekerja pada industri besar. Sehingga pekerja batik loyal terhadap pekerjaannya. Lama bekerja juga dapat dilihat dari faktor umur responden. Semakin tua umur responden, semakin lama pula responden yang bekerja pada industri tersebut. Selain itu, responden memiliki keterampilan kerja yang lebih baik dan kualitas membatik yang baik.
4.7 Ikhtisar Di Kota Pekalongan pada tahun 2009, mayoritas penduduknya bekerja di sektor industri yang sebagian besar merupakan industri batik. Setiap Kecamatan tersebut menjadi sentra pekerja batik di Kota Pekalongan dimana mayoritas pekerja batik tulis terdapat di kelurahan Pasirsari, Jenggot, Kauman, Gamer, Duwet, Sokorejo, Noyontaan, Jenggot dan lain sebagainya. Jumlah penduduk
57
Kota Pekalongan pada tahun 2009 adalah 276.158 jiwa, terdiri dari 134.332 lakilaki (48,64%) dan 141.826 perempuan (51,36%). Sedangkan banyaknya rumahtangga adalah 68.432. Dari sisi penyerapan tenaga kerja, sebagian besar penduduk Kota Pekalongan bekerja di sektor industri khususnya industri batik. Hal ini tercermin pada tingginya persentase penduduk yang bekerja di sektor industri batik dari total usia produktif di seluruh Kota Pekalongan. Batik merupakan karya seni bangsa Indonesia dengan perpaduan antara seni dan teknologi para leluhur yang bernilai tinggi sebagai salah satu cabang seni rupa dengan latar belakang sejarah dan akar budaya dalam perkembangan kebudayaan bangsa Indonesia. Batik digolongkan ke dalam empat macam yang salah satunya adalah batik tulis. Pekerja batik tulis tidak hanya berasal dari penduduk asli Kota Pekalongan akan tetapi ada beberapa yang berasal dari luar Kota Pekalongan yaitu Kota Batang. Untuk membedakan industri kecil, menengah dan besar biasanya dibedakan berdasarkan besarnya modal dan jumlah tenaga kerja. Untuk batik skala besar memiliki pekerja yang banyak, modal yang besar dan upah yang cukup besar pula. Sedangkan untuk batik skala kecil memiliki pekerja yang sedikit dan besarnya upah hampir sama dengan pekerja batik pada industri manapun. Hal ini dikarenakan upah membatik setiap industri hampir sama besarnya dan sudah menjadi patokan. Kebanyakan pekerjaan membatik merupakan pekerjaan utama kaum perempuan. Setiap wilayah Pekalongan, masing-masing daerah memberikan kesempatan pekerjaan pada sektor industri batik yang sudah melekat pada masyarakat Pekalongan pada umumnya. Kondisi ekonomi pekerja batik bisa dikatakan cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Dimana suami bekerja dan isteri juga bekerja, samasama sebagai sumber nafkah rumahtangga. Masyarakat di Pekalongan menggantungkan hidupnya pada pekerjaan di sektor industri batik, dikarenakan sektor industri memiliki kesempatan bekerja lebih besar dari sektor lainnya. Mayoritas para pekerja batik memiliki satu jenis pekerjaan saja, yaitu membatik. Hanya terdapat beberapa pekerja batik yang memiliki pekerjaan sampingan. Kebanyakan kaum perempuan mengerjakan pekerjaan membatik, sedangkan lakilaki melakukan proses pengecapan, pencelupan, pengeringan dan pengepakan.
58
Dari penjelasan di atas, terdapat penggolongan gender dalam membatik. Pada tabel di bawah ini ditunjukkan karakteristik umum pekerja batik tulis yang bekerja pada industri kecil dan industri besar di Kota Pekalongan. Berdasarkan penjelasan dari Bab IV di atas, terangkum dalam tabel 3 di bawah ini. Tabel 3. Karakteristik Umum Pekerja Batik Tulis pada Industri Kecil dan Industri Besar, Kota Pekalongan Tahun 2011 Karakteristik Jenis kelamin Rata-rata umur pekerja batik Agama Etnis Asal penduduk
Industri Kecil Perempuan 44 tahun Islam Jawa Penduduk Asli
Tingkat pendidikan
Tidak Sekolah/Tamat SD (rendah) Isteri Tinggi
Industri Besar Perempuan 36 tahun Islam Jawa Penduduk Asli dan Pendatang Tidak Sekolah/Tamat SD (rendah) Isteri Tinggi
Lima anggota
Empat anggota
Lima tahun Pekerjaan tetap Satu reponden: pengrajin taplak meja (bordir)
Status dalam rumahtangga Tingkat keterampilan membatik Rata-rata jumlah anggota rumahtangga Rata-rata lama bekerja Sifat pekerjaan membatik Jenis pekerjaan sampingan di luar membatik
Transformasi dari pedesaan ke perkotaan Cara mendapatkan pekerjaan membatik Proses rekruitmen pekerja Aturan/sanksi Sistem pengupahan Cara sosialisasi tenaga kerja
Kuat
Delapan tahun Pekerjaan tetap Tiga responden; pengrajin taplak meja (bordir), pedagang sarapan dan buruh tani (saat panen) Kuat
Turun-temurun
Turun-temurun
Tidak ada seleksi Ada Harian Dari mulut ke mulut
Keterkaitan industri dengan perdagangan skala besar Keikutsertaan pelatihanpelatihan membatik Keterampilan yang Dimiliki Pekerja Selain Membatik
Kuat
Tidak ada seleksi Ada Harian Dari mulut ke mulut dan menggunakan selebaran/pengumuman tertulis Kuat
Tidak pernah
Tidak pernah
Ada
Ada
59
Berdasarkan tabel 3 di atas, menunjukkan bahwa seluruh pekerja batik tulis pada industri kecil maupun industri besar adalah kaum perempuan dikarenakan batik tulis merupakan pekerjaan yang secara budaya lekat dengan kebiasaan di masa lalu, yaitu menyiapkan pakaian bagi keluarganya. Selain itu, perempuan pembatik tulis identik dengan pekerjaan kaum perempuan (menggambar di atas kain). Pekerja batik tulis ini sebagian besar berstatus sebagai “isteri” yang menjadikan pekerjaan membatik sebagai pekerjaan utama atau pekerjaan tetap mereka sebagai sumber nafkah rumahtangganya. Pekerja batik tulis yang bekerja di industri kecil berasal dari penduduk asli Kota Pekalongan, sedangkan pada industri besar didominasi berasal dari penduduk asli dan sebagain kecil merupakan penduduk pendatang, yaitu Kota Batang. Tingkat pendidikan yang ditempuh pekerja batik pada industri kecil adalah tidak sekolah/tidak tamat SD yang berarti tingkat pendidikan mereka sangat rendah. Sedangkan pekerja pada industri besar berpendidikan tamat SD atau tingkat pendidikan mereka rendah. Hanya terdapat dua responden saja yang berhasil menempuh sampai tingkat SMP. Keterampilan membatik yang sudah turun-temurun menjadi modal utama responden untuk dapat bekerja pada setiap industri batik di Kota Pekalongan, sehingga pekerjaan membatik dikatakan “berkah”. Selain pekerja di sektor industri batik, terdapat beberapa pekerja batik baik yang bekerja industri kecil maupun industri besar yang memiliki pekerjaan sampingan, yaitu usaha taplak meja, pedagang sarapan dan
buruh tani (saat
panen). Pekerjaan sampingan memberikan sumbangan yang cukup untuk menambah penghasilan rumahtangga pekerja batik tulis. Tidak terdapat proses rekruitmen bagi pekerja yang ingin bekerja pada industri kecil maupun industri besar. Hanya saja dalam proses sosialisasi pekerja terdapat perbedaan antara industri kecil dan industri besar yang dilakukan penyebaran informasi dari mulut ke mulut tetangga atau saudara-saudara terdekat. Orang yang ingin bekerja tidak dilakukan seleksi atau persyaratan khusus untuk dapat bekerja di industri batik. Akan tetapi, faktor umur (lansia) juga menjadi pertimbangan bagi pengusaha industri batik. Sedangkan pada industri besar terdapat proses rekruimen pekerjanya yaitu dilakukan sosialisasi dengan cara membuat pengumuman tertulis dan disebarkan kepada masyarakat secara luas di
60
Kota Pekalongan dan sekitarnya. Kemudian pemilik industri batik melakukan test terhadap pekerja dalam hal memegang canting yang benar dan melakukan uji membatik di atas kain (teknik) sesuai dengan kemampuan mereka. Setelah itu, pengusaha yang akan menentukan layak atau tidaknya untuk dapat bekerja pada industri tersebut. Para pekerja batik tidak pernah mengikuti pelatihan membatik dikarenakan keterbatasan uang dan waktu tempuh sehingga pekerja batik hanya mengandalkan keterampilan mereka yang sudah menjadi tradisi turun-temurun. Sebagian kecil dari jumlah responden yang memiliki keterampilan di luar membatik, yaitu keterampilan menjahit dan menyulam.
61
BAB V STRUKTUR NAFKAH DAN KERAGAMAN PENDAPATAN RUMAHTANGGA PEKERJA BATIK TULIS TRADISIONAL
5.1 Tingkat Pendapatan Rumahtangga Hampir 80 % masyarakat Pekalongan memiliki mata-pencaharian di sektor industri, yaitu industri batik. Dari dulu sampai sekarang masyarakat Pekalongan menggantungkan hidupnya pada sumber nafkah dari membatik. Stuktur dan besarnya pendapatan responden berasal dari sektor industri batik. Fenomena dalam kombinasi struktur nafkah tidak terlepas dari peran anggota rumahtangga. Dimana peran suami sangat menentukan dalam nafkah rumahtangga. Pendapatan dalam pekerjaan membatik tidak dapat mencukupi untuk menghidupi anggota rumahtangga tanpa adanya kontribusi dari anggota rumahtangga lain. Dalam satu rumahtangga, tidak hanya suami yang bekerja namun anggota lain, seperti isteri dan anak turut membantu. Dalam penelitian ini responden berstatus sudah menikah (isteri) dan sebagian belum menikah (anak) yang memiliki pekerjaan tetap yaitu membatik. Tingkat pendapatan dalam rumahtangga terdiri dari suami, isteri dan anak. Pekerjaan membatik merupakan “last resort” atau pelabuhan terakhir untuk dapat bertahan hidup dalam menghidupi rumahtangganya. Pengambilan data pendapatan responden dilakukan dengan merinci pendapatan batik tulis per hari pada industri batik, baik industri kecil maupun industri besar. Selain itu, terdapat beberapa responden yang memiliki pekerjaan sampingan di luar industri batik dijadikan sebagai strategi nafkah ganda pekerja batik tulis. Responden yang memiliki pekerjaan sampingan sehingga pendapatan dari membatik dan non-batik yang diperoleh akan lebih banyak dibanding dengan responden yang bekerja membatik saja2. Secara umum mayoritas pekerjaan utama responden
adalah
bekerja
sebagai
buruh
batik
mendominasi
kegiatan
perekonomian di Kota Pekalongan, sehingga dapat menyumbangkan pendapatan
2
Jumlah responden yang memiliki pekerjaan sampingan sebanyak 4 orang dari total 70 responden.
62
terhadap rumahtangga. Data pada Tabel 4 ini menunjukkan struktur pendapatan rumahtangga pekerja batik tulis selama setahun. Tabel 4. Kontribusi Pendapatan Rumahtangga Rumahtangga pada Industri Kecil Pekalongan (Rp/Tahun) Rumahtangga Responden Industri Kecil Status dalam Rumahtangga Pendapatan Persentase (Rp/tahun) (%) Suami 8.182.069 47.01 Isteri 4.872.632 28.00 Anak 4.350.000 24.99 17.404.701 100.00 Jumlah
Pekerja Batik Menurut Status dan Industri Besar, di Kota Rumahtangga Responden Industri Besar Pendapatan Persentase(%) (Rp/tahun) 9.258.462 43.65 5.961.659 29.49 5.696.250 26.86 21.209.053 100.00
Sumber: Diolah dari Data Primer Penelitian, 2011
Persentase Rumahtangga (%)
100 90
24,99
26,86
28,00
29,49
80 70 60 50
Anak
40
Isteri
30
Suami
20
47,01
43,65
Industri Kecil
Industri Besar
10 0
Keterangan: npekerja batik industri kecil : 35 npekerja batik industri besar : 35
(Suami : mayoritas bekerja di sektor pertanian, sektor industri batik dan transportasi; Isteri: bekerja disektor industri batik; Anak: mayoritas bekerja di sektor industri batik) Uji Statistik Chi-Square, P-Value = 0,3827 (Tidak Berbeda Nyata)
Gambar 10. Persentase Struktur Kontribusi Pendapatan Rumahtangga Responden pada Industri Kecil dan Industri Besar Berdasarkan data pada Gambar 11 di atas, menunjukkan bahwa persentase pendapatan isteri (responden) pada industri kecil sebesar 28,00% yaitu berjumlah Rp 4.872.632,00 dibanding persentase pendapatan pada industri besar sebesar 29,49% yaitu berjumlah Rp 5.961.659,00. Hal ini dikarenakan upah harian pada
63
industri besar lebih banyak dibanding dengan industri kecil. Selain itu, sebagian besar responden pada industri besar melakukan aktivitas lembur pada waktu malam hari yang dapat menambah pendapatan mereka. Pendapatan suami menunjukkan jauh lebih besar dibandingkan pendapatan isteri (responden) dan anak dengan perbandingan persentase 47,01% pada rumahtangga pembatik industri kecil dan 43,65% pada rumahtangga pembatik industri besar. Dengan demikian suami sangat berperan besar dalam menghidupi rumahtangga. Akan tetapi dengan diuji melalui statistik chi-square sebesar P-Value = 0,3827 (> 10%) yang artinya bahwa tingkat pendapatan rumahtangga pekerja batik tulis antara industri kecil dan industri besar tidak berbeda nyata. Hal ini sesuai dengan hipotesis penelitian yang berarti menolak H1. Rumahtangga pembatik baik pada industri kecil maupun industri besar sama-sama yang memiliki kontribusi paling besar adalah sang suami. Suami memiliki peran utama dalam perekonomian rumahtangga, sedangkan isteri dan anak membantu dalam pendapatan total rumahtangga. Selain itu, pendapatan isteri juga tidak berbeda jauh dengan total pendapatan anak. Sebagian besar peran anak membantu perekonomian rumahtangg yang bekerja pada sektor industri batik juga. Proporsi yang dipegang untuk melihat struktur nafkah rumahtangga pekerja batik tulis bahwa komposisi terbesar dari sistem rumahtangga pekerja batik tulis di pedesaan disumbang dari sektor industri batik. Pekerja batik tulis (isteri/anak) bekerja untuk mencari nafkah yang didorong oleh tuntutan ekonomi rumahtangga, kerena pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan rumahtangganya. Dengan demikian, peran suami sangat berkontribusi dalam total pendapatan rumahtangga pekerja batik tulis baik di industri kecil maupun industri besar secara nyata. Walaupun upah responden dapat dikatakan kecil, yaitu antara Rp 10.000,00Rp 15.000,00 pada industri kecil dan Rp 15.000,00-Rp 20.000,00 pada industri besar. Tetapi peran anggota lain juga membantu menambah pendapatan rumahtangga pembatik. Angota rumahtangga baik laki-laki ataupun perempuan bekerja sama atau saling bahu-membahu dalam mencari nafkah keluarga untuk dapat bertahan hidup ditengah-tengah kebutuhan yang semakin banyak. Akan tetapi, pendapatan yang diperoleh pekerja batik tulis sangat berarti dalam menyumbangkan pendapatan rumahtangga. Pendapatan pekerja batik tulis pada
64
industri batik kecil maupun industri besar sama-sama menyumbangkan terhadap pendapatan total rumahtangga. Rata-rata tingkat upah yang diterima oleh total 70 responden penelitian pada industri kecil adalah sebesar Rp 15.000,00 dibandingkan dengan responden yang bekerja pada industri besar adalah sebesar Rp 19.000,00. Terdapat perbedaan yang cukup tipis dalam memperoleh upah hariannya, pendapatan yang diterima oleh responden dalam satu bulan adalah sebesar Rp 390.000,00/bulan untuk industri kecil dan Rp 494.000,00/bulan untuk industri besar. Sedangkan besarnya UMR Kota Pekalongan pada tahun 2011 adalah sebesar Rp 810.000,00/bulan. Dengan demikian, pendapatan yang diterima oleh masing-masing responden pada industri kecil maupun industri besar jauh di bawah UMR, sehingga dapat dikatakan pekerja batik tulis di Kota Pekalongan tergolong penduduk miskin. Apabila dibandingkan dengan standar garis kemiskinan menurut World Bank USD 2/kapita/hari atau kira-kira Rp 18.000,00/kapita/per hari. Pada industri kecil, rata-rata pendapatan total rumahtangga pekerja batik tulis adalah sebesar Rp 17.404.701,00/tahun dengan rata-rata jumlah rumahtangga sebanyak 5 orang, maka pendapatan rata-rata perkapita per tahunnya adalah sebesar Rp 4.351.175.00 USD/tahun. Pendapatan rata-rata perkapita per bulannya adalah sebesar Rp 362.597,000 USD/bulan. Kemudian, pendapatan rata-rata perkapita per harinya adalah sebesar Rp 12.086,00 USD/hari. Sedangkan pada industri besar rata-rata pendapatan total rumahtangga pekerja batik tulis adalah sebesar Rp 20.916.370,00 dengan rata-rata jumlah anggota rumahtangga sebanyak empat orang, maka pendapatan rata-rata perkapita per tahunnya adalah sebesar Rp 5.229.092,00 USD/tahun. Pendapatan rata-rata perkapita per bulannya adalah sebesar Rp 435.757,000 USD/bulan. Kemudian, pendapatan rata-rata perkapita per harinya adalah sebesar Rp 14.525,000 USD/hari. World Bank menetapkan garis kemiskinan adalah 2 USD/kapita/hari. Sesuai dengan hasil pendapatan per kapita di atas, dapat disimpulkan bahwa rumahtangga pekerja batik tulis pada industri kecil dan industri besar kedua-duanya berada di bawah Garis Kemiskinan.
65
Dengan demikian, rumahtangga pada industri kecil dan industri besar tergolong berada di bawah garis kemiskinan, sehingga mereka bertahan hidup “tidak aman” secara sosial dan ekonomi. Pendapatan per kapita/hari kurang dari USD 2/kapita/hari. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita per bulan atau di bawah “Garis Kemiskinan”. Pada Gambar 12 ditunjukkan persentase ragam pekerjaan pasangan (suami) responden pada industri kecil secara sektoral. Ragam Pekerjaan Pasangan Responden Pada Industri Kecil Buruh batik
8% 19%
Buruh tani Tukang batu
23% 19% 8%
Pedagang Nelayan
12% 11%
Transportasi*) Lainnya**)
*) tukang ojek dan tukang becak **) cetak aspal (waping), tukang sapu DKP Keterangan: npekerja batik industri kecil : 35 npekerja batik industri besar : 35
Gambar 11. Persentase Ragam Pekerjaan Pasangan (Suami) Responden pada Industri Kecil Secara Sektoral Berdasarkan data pada Gambar 12 di atas, menunjukkan bahwa ragam pekerjaan pasangan (suami) secara sektoral paling banyak adalah pada pekerjaan di sektor transportasi yaitu sebesar 19 % dibandingkan sektor lainnya. Selain itu, sebesar 19% bekerja di sektor industri batik dan sektor pertanian. Para suami responden bekerja sebagai tukang ojek dan tukang becak. Pekerjaan di bidang usaha transportasi lebih memberikan peluang besar bagi penduduk Kota Pekalongan. Hal ini dikarenakan, Kota Pekalongan terletak di jalan pantura yang sangat ramai dengan pengunjung dari luar Kota Pekalongan untuk menikmati suasana dan kerajinan seni batiknya, sehingga pekerjaan di sektor transportasi memberikan kontribusi utama bagi para suami dalam mencari nafkah untuk dapat
66
menghidupi keluarganya. Pada Gambar 13 ditunjukkan persentase ragam pekerjaan pasangan (suami) responden industri besar secara sektoral. Ragam Pekerjaan Pasangan Responden Pada Industri Besar Buruh batik
13% 9%
Buruh tani
17% 30%
Tukang batu Pedagang
13% Nelayan
9% 9% *) tukang ojek dan tukang becak **) buruh perbaikan perahu, jaga sound system, buruh jahit
Transportasi*) Lainnya**)
Keterangan: npekerja batik industri kecil : 35 npekerja batik industri besar : 35
Gambar 12. Persentase Ragam Pekerjaan Pasangan Responden pada Industri Besar Secara Sektoral Berdasarkan data Gambar 13 di atas, menunjukkan bahwa ragam pekerjaan pasangan (suami) responden pada industri besar secara sektoral paling banyak adalah pada pekerjaan di sektor transportasi yaitu sebesar 30% dibandingkan sektor lainnya. Sama hal nya dengan suami responden pada industri kecil juga mendominasi pada pekerjaan dibidang transportasi, yaitu sebagai tukang ojek dan tukang becak. Persentase pada gambar 12 dan 13 di atas menunjukkan bahwa terdapat ragam pekerjaan pasangan di sektor industri batik3 dan mayoritas di luar sektor industri batik. Pekerjaan sebagai usaha transportasi memberikan proporsi lebih tinggi. Dengan demikian ragam pekerjaan pasangan sangat berpengaruh pada tingkat pendapatan rumahtangga pekerja batik tulis dengan upah yang beragam. Upah yang didapat suami dari beragam pekerjaan tersebut adalah sekitar Rp 15.000,00-Rp 35.000,00/hari. Pendapatan yang diperoleh para suami tidak terdapat perbedaan yang cukup jauh dibandingkan pendapatan yang diperoleh isteri nya (pekerja batik tulis). Pada industri batik, 3
Jumlah pasangan responden pada industri kecil dan industri besar yang bekerja di industri batik (batik cap) sebanyak 13 orang.
67
pekerjaan yang dikerjaan laki-laki seperti batik cap, pewarnaan dan penglorotan. Kombinasi jenis pekerjaan antara isteri dan suami yang beragam saling menopang pada sistem penghidupan rumahtangga.
5.1.1 Persepsi Tingkat Pendapatan Membatik Besarnya pendapatan responden dari membatik pada industri kecil berbeda dengan besarnya pendapatan pada industri besar. Persepsi responden terhadap pendapatan membatik terbagi menjadi dua, yaitu cukup dan tidak cukup. Pada Gambar 14 ditunjukkan persentase persepsi responden terhadap pendapatan dalam
Persentase Responden (%)
membatik baik pada industri kecil maupun industri besar. 100%
37,14
80%
57,14
Tidak mencukupi
60%
Mencukupi
40%
62,86 42,86
20% 0%
Industri Kecil
Industri Besar
Keterangan: npekerja batik industri kecil : 35 npekerja batik industri besar : 35
Uji Statistik Chi-Square, Chi-Sq = 2.809, DF = 1, P-Value = 0.094 (Berbeda Nyata
Gambar 13. Persentase Responden Menurut Persepsi Terhadap Pendapatan Harian Batik Tulis Tradisional Berdasarkan data Gambar 14 di atas, menunjukkan persepsi responden akan besarnya pendapatan harian yang mereka terima menurut 70 responden penelitian. Melalui uji statistik dengan menggunakan chi-square sebesar P-Value = 0.094 (< 10%) yang artinya bahwa persepsi responden terhadap pendapatan membatik berbeda nyata antara pendapatan di industri kecil dan industri besar. Sebesar 57,14% responden yang bekerja pada industri kecil meyakini bahwa pendapatan harian membatik tidak mencukupi kebutuhan rumahtangga. Hal ini dikarenakan pendapatan membatik sangat kurang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari dan bahan pokok mahal dengan upah yang rendah. Sedangkan sebesar
68
62,86% responden pada industri besar meyakini bahwa pendapatan membatik dapat mencukupi kebutuhan rumahtangga. Selain itu, tidak terlepas dari peranan suami dan kontribusi anak untuk dapat mencukupi nafkah rumahtangga, sehingga dengan pendapatan harian yang diperoleh responden yang bekerja pada industri besar menyatakan dapat mencukupi kebutuhan rumahtangga. Dengan pengeluaran kebutuhan yang sederhana. Pada Gambar 15 ditunjukkan rata-rata tingkat upah harian
responden.
Cara
pengupahan
responden
ini
dilakukan
dengan
Rata-Rata Tingkat Upah (Rp)
menggunakan sistem upah harian. 25000
Rp19.629
20000
Rp15.143 15000 10000 5000 0
Industri Kecil
Industri Besar
Keterangan: npekerja batik industri kecil : 35 npekerja batik industri besar : 35
Gambar 14. Rata-Rata Tingkat Upah Harian Responden pada Industri Kecil dan Industri Besar Berdasarkan data pada Gambar 15 di atas, menunjukkan bahwa rata-rata tingkat upah harian responden tidak sama pada industri kecil dan industri besar. Tetapi tidak mengalami perbedaan yang cukup banyak. Pada industri kecil ratarata upah yang diterima responden adalah sebesar Rp 15.143,00, sedangkan pada industri besar rata-ratanya upah yang diterima responden sebesar Rp 19.629,00 hampir mendekati Rp 20,000,00. Hal ini dikarenakan pada industri besar, sebagian besar respondennya melakukan lembur kerja membatik, sehingga upah yang diterima juga lebih banyak. Faktor durasi jam kerja menjadi pengaruh cukup besar dalam memperoleh upah. Selian itu, tingkat keterampilan juga menjadi faktor keberhasilan responden dalam menyelesaikan kain batik dalam waktu yang cepat. Pada industri besar lebih mementingkan kualitas batik dan kualitas pekerja
69
batik. Dilihat dari rata-rata tingkat upah responden, tidak terjadi perbedaan yang cukup jauh dalam perolehan upah harian mereka. Kasus di bawah ini merupakan pengalaman responden dalam menyikapi kehidupan mereka terhadap upah yang diperoleh. Upah membatik tidak mencukupi kebutuhan saya karena upah membatik per harinya hanya Rp 10.000,00. Selain itu, suami saya jarang berangkat bekerja menjadi tukang becak, suami saya saja dalam bekerja tidak pasti mendapat uang, sehingga pendapatan saya dan suami belum dapat mencukupi kebutuhan rumahtangga. Saya kembalikan sama Allah, kalau rezeki sudah ada yang mengatur (Ibu Ytn; pekerja batik industri kecil, 45 tahun ). Alhamdulillah pendapatan saya dari bekerja membatik dapat mencukupi kebutuhan rumahtangga. Upah membatik seharinya hanya Rp 15.000,00. Pendapatan suami juga lumayan besar menjadi tukang sapu DKP. Sumai sangat berperan dalam mencukupi kebutuhan rumahtangga. Selain itu, anak saya sudah bekerja membantu orang tua. Akan tetapi, pendapatan tersebut sedikit demi sedikit saya kumpulkan untuk membayar hutang-hutang saya (Ibu Rna; pekerja batik industri kecil, 50 tahun).
Ibu Ytn merupakan salah satu responden yang mendapatkan upah per hari dari membatik sebesar Rp 10.000,00. Upah tersebut beliau peroleh selama bekerja di industri kecil. Dengan upah harian yang sangat kecil, suami berkontribusi dalam memperoleh nafkah. Akan tetapi, upah yang didapat suami tidak menentu dalam mendapatkan uang dari pekerjaannya menjadi tukang becak, sehingga pendapatan beliau tidak dapat mencukupi kebutuhan rumahtangga, mereka hidup sangat sederhana dan seadanya saja. Sedangkan pada kasus Ibu Rna, beliau mendapat upah harian sebesar Rp 15.000,00. Tingkat pendidikan yang sangat rendah tidak menjadi penghalang untuk tetap bekerja di industri batik selama kurang lebih dua tahun bekerja. Selain itu, dengan upah yang kecil dan bermodalkan keterampilan terbatas, beliau mampu mencukupi kebutuhan ruamhtangga dari upah membatiknya. Suami juga bekerja menjadi tukang sapu DKP yang pendapatannya lebih besar dibanding pendapatan isteri. Walaupun mereka memiliki hutang yang cukup banyak, mereka mampu bertahan hidup untuk tetap bekerja agar dapat membayar hutang-hutangnya. Prinsip mereka hanya untuk makan saja, kebutuhan lain tidak terlalu penting, sehingga suami sangat berperan penting dalam memenuhi kebutuhan rumahtangga. Pada Gambar 16, ditunjukkan persentase tingkat pendapatan membatik dibandingkan lima tahun yang lalu (2006-2011).
70
100 Persentase Responden (%)
Lebih baik 80 Sama saja (bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari)
60 45,71
42,86
40 25,71
28,57
22,86
28,57
20
Sama saja (belum bisa memenuhi kebutuhan seharihari) Lebih buruk
5,71
0
Industri Kecil
Industri Besar
Keterangan: npekerja batik industri kecil : 35 npekerja batik industri besar : 35
Uji Statistik Chi-Square, Chi-Sq = 5.107, DF = 3, P-Value = 0.164 (Tidak Berbeda Nyata)
Gambar 15. Persentase Responden Menurut Tingkat Pendapatan Membatik pada Tahun 2006 dan 2011 Berdasarkan data Gambar 16 di atas, menunjukkan sebagian besar responden yang bekerja pada industri kecil maupun industri besar menyatakan bahwa tingkat pendapatan di sektor industri batik pada tahun 2006 dan 2011 tidak terjadi peningkatan atau perubahan terhadap pendapatan yang diperoleh. Dapat dibuktikan melalui uji statistik chi-square sebesar P-Value = 0.164 (> 10%) yang artinya bahwa tidak berbeda nyata tingkat pendapatan antara industri kecil dan industri besar. Pada industri kecil sebanyak 16 orang (45,71%) menyatakan bahwa tingkat pendapatan dibandingkan lima tahun yang lalu tidak terjadi perubahan, artinya
sama
saja
atau
belum
bisa
memenuhi
kebutuhan
sehari-hari
rumahtangganya. Faktor upah yang kecil menjadikan penyebab responden masih tetap belum bisa memenuhi kebutuhan. Sedangkan pada industri besar sebanyak 15 orang (42,86%) menyatakan bahwa tingkat pendapatan dibandingkan lima tahun yang lalu sama saja, tetapi berbeda dengan industri kecil yaitu pendapatan yang diperoleh sudah dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari rumahtangganya. Hal ini dikarenakan, dalam satu rumahtangga saling „bekerja sama” untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sementara itu, pada industri kecil sebesar 8 orang (22, 86%) dan pada industri besar sebanyak 10 orang (28,57%) menyatakan
71
bahwa tingkat pendapatan responden lebih baik dibandingkan lima tahun yang lalu. Hal ini dikarenakan terdapat beberapa responden yang memiliki pekerjaan sampingan di luar industri batik, sehingga tingkat pendapatan mereka menjadi lebih baik dan memiliki tambahan penghasilan yang lebih untuk dapat memenuhi kebutuhan rumahtangga. Terdapat beberapa responden yang menyatakan bahwa tingkat pendapatan mereka sekarang menjadi lebih buruk dibanding lima tahun yang lalu. Pendapatan saya saat ini dibandingkan lima tahun lalu sama saja tidak terjadi perubahan. Kalau dahulu kebutuhan pokok harganya murah-murah walaupun upah membatik kecil tetapi dapat mencukupi kebutuhan rumahtangga. Apabila dibandingkan sekarang, upah membatik tidak terjadi peningkatan bahkan harga bahan pokok serba mahal. Kalau saya mempunyai keinginan sesuatu, hanya bisa ditahan saja karena tidak memiliki uang lebih. Kebutuhan untuk makan seadanya saja yang penting bisa untuk membiayai anak sekolah dan untuk kebutuhan makan (Ibu Sry; pekerja batik industri kecil, 35 tahun). Selain bekerja membatik, saya bekerja sambilan bordir taplak meja (rombe). Upah yang saya dapat cukup untuk menambah penghasilan rumahtangga. Menurut saya, upah membatik belum bisa mencukupi kebutuhan, anak-anak saya masih sekolah sehingga kebutuhan semakin banyak. Sekarang alhamdulillah saya memiliki pekerjaan sambilan, jadi penghasilannya lebih bagus dibanding sebelumnya. Suami saya bekerja membatik juga dan sudah mencukupi untuk kebutuhan rumahtangga (Ibu Tsr; pekerja industri nesar, 40 tahun). Sebelum bekerja di industri batik, saya bekerja menjadi pembantu rumahtangga. Gaji satu bulan lumayan besar dan bisa untuk mencukupi kebutuhan anak-anak saya. Tetapi saya hanya bekerja dua tahun saja dan sampai sekarang bekerja di industri batik. Upah lebih sedikit dibanding waktu saya bekerja menjadi pembantu rumahtangga (Ibu Iny; pekerja industri besar, 40 tahun).
Penjelasan di atas merupakan contoh kasus yang dialami beberapa responden baik di industri besar maupun industri kecil. Melihat kasus yang dipaparkan oleh Ibu Sry, beliau mengatakan bahwa pendapatan membatik dibanding lima tahun yang lalu tidak terjadi perubahan dibandingkan lima tahun yang lalu. Pada waktu dulu, upah membatik dapat dibelanjakan untuk kebutuhan pokok dengan jumlah yang banyak, dikarenakan harga bahan pokok yang masih murah. Dibandingkan upah yang sekarang sama saja tidak terjadi penambahan pendapatan dari majikan, sehingga beliau hanya “makan seadanya” dan menahan keinginan untuk membelanjakan yang dapat mengurangi pendapatan beliau,
72
seperti untuk makan enak saja tidak pernah (hanya nasi dengan lauk tahu dan tempe saja). Kemudian kasus yang dialami oleh Ibu Tsr, beliau mengatakan bahwa selain bekerja membatik beliau juga memiliki pekerjaan sampingan, yaitu bordir taplak meja (rombe). Pekerjaan membatik khusus dikerjakan pada pagi sampai sore hari saja, sedangkan untuk rombe dikerjakan pada malam hari. Kasus Ibu Tsr merupakan salah satu responden yang melakukan “strategi nafkah ganda”. Alasan beliau melakukan nafkah ganda ini adalah untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Hal ini dikarenakan upah membatik saja bagi beliau sangat tidak cukup untuk kebutuhan rumahtangga dengan jumlah anggota yang cukup banyak. Selain itu, suami juga membantu dalam nafkah rumahtangga. Para suami responden bekerja di sektor industri batik (batik cap) dengan pendapatan yang lebih baik dibanding isteri. Sedangkan pada kasus ibu Iny di atas, menunjukkan bahwa tingkat pendapatan beliau lebih buruk dibandingkan lima tahun yang lalu. Sebelum ibu bekerja di industri batik, beliau bekerja menjadi pembantu rumahtangga dengan gaji yang besar. Tetapi dikarenakan hubungan yang kurang baik dan tidak menyenangkan antara beliau dengan majikan, akhirnya beliau memutuskan untuk keluar dari pekerjaan tersebut dan berpindah ke sektor industri batik menjadi pekerja batik tulis pada industri besar.
5.1.2 Persepsi Kontribusi Pendapatan Rumahtangga Setiap anggota rumahtangga memiliki kontribusi pendapatan terhadap pendapatan total rumahtangga. Pada kontribusi pendapatan dapat dilihat setiap industri kecil dan industri besar yang menjadi kontribusi lebih besar dalam rumahtangga. Dari pendapatan total rumahtangga memang kontribusi suami pekerja batik tulis sebagai kepala keluarga lebih besar daripada kontribusi isteri dan anak-anaknya. Akan tetapi, pendapatan responden juga memberikan kontribusi yang cukup besar. Hal ini dikarenakan terdapat beberapa responden yang menjadi kepala keluarga atau peranannya sebagai tulang punggung keluarga (suami meninggal dunia) dengan menggantungkan hidupnya dari pekerjaan membatik. Dengan demikian, peran isteri di sini menggantikan suami berperan
73
besar dalam kontribusi utama rumahtangganya. Sementara itu, mayoritas responden memberikan kontribusi tetapi bukan kontribusi utama. Data pada Gambar 17, ditunjukkan persepsi kontribusi responden terhadap pendapatan rumahtangga pada industri batik. Persentase Responden (%)
100% 80%
77,14
60%
74,29
40%
Ya, tapi bukan kontribusi utama Ya, kontribusi utama
20%
22,86
25,71
Industri Kecil
Industri Besar
0%
Keterangan: npekerja batik industri kecil : 35 npekerja batik industri besar : 35
Uji Statistik Chi-Square, Chi-Sq = 0.078, DF = 1, P-Value = 0.780 (Tidak Berbeda Nyata)
Gambar 16. Persentase Responden Menurut Kontribusi Terhadap Pendapatan Rumahtangga Berdasarkan data pada Gambar 17 di atas, dapat dilihat pada industri kecil sebesar 77,14% (27 responden) menyatakan bahwa mereka bukan merupakan kontribusi utama dalam pendapatan total rumahtangga. Sedangkan pada industri besar sebesar 74,29% (26 responden) menyatakan bahwa mereka bukan merupakan kontribusi utama. Melalui uji statistik chi-square sebesar P-Value = 0.780 (> 10%) yang artinya bahwa responden yang bekerja pada industri kecil dan industri besar tidak berbeda nyata dalam meyakini bahwa pendapatan dari pekerjaan membatik adalah bukan kontribusi utama responden dalam pendapatan total rumahtangga mereka. Artinya pekerja batik tulis pada kedua tipe industri meyakini bahwa pekerjaan membatik terlalu kecil sebagai kontribusi utama dalam menopang perekonomian rumahtangga. Hal ini dikarenakan peran suami sebagai kontribusi utama dalam pendapatan total rumahtangga. Sementara itu, beberapa responden berkontribusi sebagai kontribusi utama dalam pendapatan total rumahtangga. Pada industri kecil terdapat delapan
74
responden yang menyatakan sebagai kontribusi utama dan pada industri besar terdapat sembilan responden yang menyatakan sebagai kontribusi utama. Responden
yang berstatus
sudah
menikah
merangkap
menjadi
kepala
rumahtangga atau tulang punggung keluarga dikarenakan suami yang sudah meninggal
dunia
atau
tidak
bekerja.
Dengan
demikian,
responden
menggantungkan hidupnya pada pekerjaan membatik, anak juga memberikan harapan bagi kelangsungan hidup rumahtangga mereka. Saya sudah bekerja menjadi buruh batik sudah 11 tahun, upah membatik per harinya Rp 20.000,00. Apalagi suami saya sudah meninggal dan saya menjadi tulang punggung keluarga. Untuk mencukupi kebutuhan rumahtangga saja tidak cukup, sekarang semua bahan pokok harganya mahal tidak seperti dulu. Selain saya membatik di pabrik, saya juga melakukan lembur membatik di malam hari, upahnya bisa untuk menambah penghasilan saya (Ibu Amn; pekerja batik industri besar, 46 tahun).
Penjelasan di atas merupakan contoh kasus oleh salah satu responden yang bekerja di industri besar. Beliau mengatakan bahwa upah membatik yang diperoleh beliau sebesar Rp 20.000,00/hari dengan bekerja selama 11 tahun. Ibu Amn berstatus sebagai kepala rumahtangga yang bertanggungjawab menghidupi anak-anaknya. Hal ini dikarenakan suami beliau sudah meninggal dunia sehingga beliau berperan ganda sebagai ibu dan kepala rumahtangga. Beliau belum mampu mencukupi kebutuhan rumahtangga dikarenakan kebutuhan pokok yang serba mahal. Akan tetapi, dengan upah membatik di pabrik beliau juga bekerja lembur membatik di malam hari. Pekerjaan lembur ini membantu untuk menambah penghasilan beliau. Bagi responden yang berstatus sebagai kepala rumahtangga baik industri kecil maupun industri besar, pendapatan rumahtangga tersebut berasal dari ibu dan anak, sehingga anak berkontribusi cukup besar dalam mencukupi kebutuhan rumahtangga. Belum lagi anak-anak yang masih kecil/sekolah memerlukan pengeluaran yang cukup banyak. Dalam keluarga subsisten, suami sering tidak dapat memenuhi kebutuhan rumahtangga, sehingga perempuan (isteri atau anak) dijadikan sebagai penopang pendapatan rumahtangga dan memberikan kontribusi yang cukup besar. Meski demikian, perempuan itu masih dalam koridor peran mereka sebagai pengelola domestik rumahtangga. Demikian pula dengan pekerja batik tulis, sumbangan mereka dalam kegiatan ekonomis sangat signifikan untuk mengimbangi
75
pendapatan suami yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga. Oleh karena itu, mereka melakukan pekerjaan lain di luar sektor pertanian karena tidak cukup untuk mempertahankan kehidupan rumahtangga, yaitu dengan memilih pekerjaan di sektor industri batik. Dengan demikian mereka melakukan dua peran sekaligus yaitu domestik dan publik. Justru peran yang tanpa mengenal waktu dan upaya yang tidak menentu terkesan eksploitatif dikarenakan bekerja tanpa mengenal waktu. Walaupun beberapa jenis pekerjaan perempuan diakui sebagai kegiatan yang “produktif”, tetapi pada kenyataan sebagian besar dari waktu yang tersita adalah untuk rumahtangganya. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa peran anggota lain dalam rumahtangga sangat penting untuk menambah pendapatan. Pada industri kecil, menunjukkan peran anggota lain lebih kecil dibanding dengan industri besar. Hal ini dikarenakan upah responden dalam membatik tidak mencukupi kebutuhan rumahtangga, sehingga anak terlibat dalam memperoleh sumber nafkah.
5.1.3 Persepsi Kesempatan Kerja Dari sisi penyerapan tenaga kerja sebagian besar penduduk kota Pekalongan bekerja di sektor industri. Hal ini tercermin pada tingginya persentase penduduk yang bekerja di sektor industri dari total usia produktif di seluruh Kota Pekalongan yaitu sebesar 36,92% (BPS, 2009). Dengan demikian, sektor industri khususnya industri batik menjadi pilihan pertama penduduk Kota Pekalongan dalam mencari matapencaharian. Perkembangan sektor industri
mampu
menciptakan struktur ekonomi yang seimbang dan mampu memperluas kesempatan lapangan pekerjaan. Hal ini diterlihat dari semakin meningkatnya jumlah tenaga kerja yang diserap oleh sektor industri batik dibanding tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2009, beberapa perusahaan batik mengurangi jumlah tenaga kerjanya untuk efisiensi produksi. Hal ini dilakukan dengan cara mengurangi atau menyeleksi pekerja batik bagi usia pekerja yang tidak produktif. Pada tahun 2010, harga bahan baku pembuatan batik mengalami kenaikan yang cukup tinggi. Hal ini menyebabkan masalah besar bagi pengusaha batik di industri kecil. Dengan harga bahan baku yang cukup mahal, membuat beberapa industri kecil mengalami penurunan produksi atau sampai kerugian yang cukup
76
besar, sehingga pekerja batik kehilangan pekerjaannya. Akan tetapi berbeda pada industri besar, walaupun menghadapi kondisi yang cukup sulit adanya masalah kenaikan harga bahan baku batik, tidak menjadikan industri besar menutup perusahannya. Industri besar mampu bertahan dengan kekuatan ekonomi, sehingga pekerja batik tetap memiliki pekerjaan dan mendapatkan upah sesuai dengan kemampuannya. Pada Gambar 18 ditunjukkan persentase persepsi kesempatan kerja responden di luar sektor industri batik dibanding lima tahun yang lalu (2006-2011) pada industri kecil dan industri besar. 100,00
Persentase Responden (%)
100
88,57
80 60
Lebih besar Lebih kecil
40
Sama saja (kecil) 20 2,86 0
Industri Kecil
Industri Besar
Keterangan: npekerja batik industri kecil : 35 npekerja batik industri besar : 35
Gambar 17. Persentase Responden Menurut Kesempatan Kerja di Luar Sektor Industri Batik Tahun 2006 dan 2011 Berdasarkan data pada Gambar 18 diatas, menunjukkan persepsi kesempatan kerja di luar sektor industri batik menurut 70 responden pada kedua tipe industri yang berbeda. Persepsi ini diukur dari perbedaan kesempatan kerja di luar sektor industri batik di banding lima tahun yang lalu, yaitu pada tahun 2006 dan tahun 2011. Pada industri kecil sebanyak 35 responden (100%) menyatakan bahwa kesempatan kerja bagi responden di luar industri batik lebih kecil di banding tahun 2011. Sedangkan pada industri besar sebanyak 31 responden (88,57%) menyatakan bahwa kesempatan kerja bagi responden di luar industri batik juga lebih kecil. Selanjutnya, terdapat responden pada industri besar yang meyakini bahwa kesempatan kerja di luar industri batik masih terbuka lapangan pekerjaan, yaitu sebesar 2,89%.
Hal ini dikarenakan kesempatan kerja pada
77
sektor industri batik lebih besar dibandingkan sektor-sektor lainnya. Selain itu, mayoritas penduduk Kota Pekalongan menggantungkan hidupnya bekerja pada sektor industri batik. Tingkat pendidikan yang sangat rendah dan keterbatasan keterampilan membuat responden tidak mampu keluar atau mencari pekerjaan lain di luar sektor industri batik, sehingga responden memilih bertahan untuk bekerja di industri batik demi memperolah penghasilan untuk rumahtangganya. Dengan memiliki keterampilan membatik atau hanya bisa membatik saja sudah cukup untuk dapat bekerja menjadi pekerja batik pada kedua tipe industri tersebut. Bagi responden dengan dapat bekerja sesuai keterampilan yang dimiliki, mereka terpaksa untuk terus bekerja demi mendapatkan uang untuk menghidupi rumahtangganya. Dari penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa proporsi ini sesuai dengan pilihan responden yang menyatakan bahwa tahun 2011 semakin tidak ada kesempatan kerja di luar sektor industri batik. Sektor ini mampu menopang perekonomian masyarakat Kota Pekalongan dan memberikan kesempatan kerja lebih luas pada industri kecil maupun industri besar. Pada Gambar 19 ditunjukkan persentase pilihan responden memilih bekerja di industri batik. 100
88,57
Persentase Responden (%)
85,71 80
Membatik menjadi hobi 60 Membatik sudah turun temurun
40 20
Tidak memiliki keterampilan selain membatik 8,57 5,71
8,57 2,86
0
Industri Kecil
Industri Besar
Keterangan: npekerja batik industri kecil : 35 npekerja batik industri besar : 35
Gambar 18. Persentase Responden Menurut Alasan Pilihan Bekerja pada Industri Kecil dan Industri Besar
78
Berdasarkan Gambar 19 di atas, menunjukkan pilihan responden memilih untuk bekerja di industri batik oleh 70 responden pada kedua tipe industri. Sebagian besar menyatakan bahwa responden tidak memiliki keterampilan selain membatik karena membatik sudah mentradisi dari nenek moyang mereka. Pada industri kecil sebanyak 30 orang (85,71%), sedangkan pada industri besar sebanyak 31 orang (88,57%) memilih alasan tersebut. Pada kedua industri, baik industri kecil dan industri besar menunjukkan persentase yang sama dan tidak terdapat perbedaan yang nyata. Kedua-duanya menyakini bahwa sektor industri batik sebagai tumpuan sumber penghasilan mereka. Semasa kecil mereka sudah bisa belajar membatik dari orang tuanya, sehingga membatik dijadikan hobbi yang menyenangkan. Untuk dapat menjadi pekerja batik pada suatu industri, tidak diperlukan keterampilan khusus selain membatik. Keterampilan membatik merupakan modal utama untuk dapat bekerja. Selain itu, juga diperlukan keahlian pada masingmasing bidang membatik, misalnya: batik tulis, batik tulis mopok, atau batik cap. Batik tulis hanya diperuntukkan oleh kaum perempuan saja. Keterampilan dalam mengerjakan
batik
tulis
ini,
seperti:
keterampilan
memegang
canting,
keterampilan dalam menggambar di atas kain mory sesuai dengan pola/motif dan keterampilan dalam memberi warna kain (batik tulis mopok) sesuai ukuran cucuk canting yang digunakan. Pada masing-masing pekerja batik memiliki tingkat keterampilan dalam membatik, tingkat keterampilan tersebut mempengaruhi kinerja membatik (kualitas membatik) dan besarnya upah yang diperoleh. Semakin cepat kinerja mereka dalam membatik, semakin cepat pula pengerjaan dalam membatik, sehingga mempengaruhi besarnya upah yang diberikan. Selain itu, keterampilan membatik juga mempengaruhi jam lembur atau penambahan jam kerja pada waktu malam hari. Hal tersebut juga dilakukan apabila terdapat pesanan-pesanan dalam jumlah cukup banyak. Sehingga para pekerja batik diharuskan lembur. Berikut ini adalah Gambar 20 ditunjukkan pengaruh keterampilan pada jam lembur/penambahan jam kerja responden dalam membatik pada industri kecil maupun industri besar.
Persentase Responden (%)
79
100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
22,86
74,29 Tidak lembur 77,14
Lembur
25,71
Industri Kecil
Industri Besar
Keterangan: npekerja batik industri kecil : 35 npekerja batik industri besar : 35
Uji Statistik Chi-Square, Chi-Sq = 18.529, DF = 1, P-Value = 0.000 (Berbeda Nyata)
Gambar 19. Persentase Responden Menurut Pengaruh Keterampilan Terhadap Jam Lembur pada Industri Kecil dan Industri Besar Berdasarkan data Gambar 20 di atas, menunjukkan bahwa pengaruh keterampilan terhadap jam lembur/penambahan jam kerja berbeda nyata antara industri kecil dan industri besar. Melalui uji statistik chi-square sebesar P-Value = 0.000 (< 10%) yang artinya bahwa pengaruh jam lembur membatik berbeda nyata pada industri kecil dan industri besar. Hal ini sesuai dengan hipotesis penelitian dimana menerima H1. Responden yang bekerja pada industri kecil tidak mendapatkan jam lembur membatik dibandingkan responden pada industri besar. Pada industri kecil, sebanyak 9 orang (25,71%) menyatakan bahwa responden mendapat penambahan jam kerja lembur membatik dan 26 responden (74,29%) yang menyatakan pernah melakukan pekerjaan lembur membatik. Sedangkan pada industri besar, sebanyak 27 orang (77,14%) menyatakan bahwa respondennya melakukan lembur/penambahan jam kerja membatik dan sebanyak 8 orang (22,86%) menyatakan bahwa tidak pernah melakukan lembur. Dengan demikian, pengaruh keterampilan terhadap jam lembur/penambahan jam kerja lebih besar pada industri besar. Hal ini dikarenakan, pada industri besar pekerjanya memiliki kualitas SDM yang cukup baik dibandingkan pada industri kecil, sehingga mereka mendapatkan jam lembur membatik. Selain itu, pada industri
besar
lebih
banyak
memperoleh
pesanan
dari
konsumen,
80
supplier/eksportir. Jam lembur sangat membantu dalam menambah penghasilan responden. Alokasi jam lembur ini dilakukan di luar jadwal kerja rutin di pabrik, yaitu pada waktu malam hari. Untuk durasi jam lembur tergantung dari individu masing-masing responden sesuai dengan kecepatan dan kemampuan responden dalam membatik. Besarnya upah lembur berkisar antara Rp 4.000,00-Rp 5.000,00. Untuk perolehan upah juga tergantung tingkat kesulitan kain dan motif batik. Responden yang melakukan lemburan hampir setiap harinya mereka bekerja. Biasanya yang memperoleh lemburan adalah responden yang masih kuat secara fisik dan usia produktif. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan jam kerja membatik dapat dikatakan efektif, hampir setiap harinya responden tersebut menghabiskan waktunya untuk membatik. Mayoritas responden baik industri kecil dan industri besar tidak memiliki keterampilan lain selain membatik, sehingga mereka memilih bekerja di industri batik dikarenakan keterbatasan pengetahuan dan keterampilan. Akan tetapi, dari 70 responden hanya delapan orang yang memiliki keterampilan di luar membatik, yaitu keterampilan menjahit dan keterampilan menyulam. Keterampilan tersebut juga tidak jauh dari pekerjaan yang dilakukan perempuan sesuai dengan jenis pekerjaan sampingan yang dimiliki responden. Dari total 70 responden, tidak pernah mengikuti pelatihan/kursus membatik. Padahal Pemkot Kota Pekalongan pernah
mengadakan
pelatihan-pelatihan
membatik
untuk
meningkatkan
keterampilan masyarakat Pekalongan dalam membatik. Bagi responden agar bisa membatik cukup hanya dengan belajar sendiri dari orang tua mereka atau tetangga-tetangga terdekat. Selain itu, mereka tidak diberikan kesempatan oleh pengusaha
batik
untuk
mengikuti
pelatihan.
Hal
tersebut
dikarenakan
pelatihan/kursus membatik hanya untuk kalangan kelas menegah dan menegah ke atas. Bagi kelas menengah ke bawah, pelatihan membatik diadakan di Kantor Balaidesa masing-masing Kelurahan bagi mereka yang ingin belajar membatik.
5.2 Struktur Pengeluaran Rumahtangga 5.2.1 Tingkat Pengeluaran Rumahtangga Secara garis besar kebutuhan rumahtangga dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu kebutuhan primer, sekuder dan tersier. Pada tingkat
81
pendapatan tertentu, setiap rumahtangga akan mengalokasikan pendapatannya utnuk dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan sehari-hari. Setiap rumahtangga memiliki pola pengeluaran (konsumsi) atau membelanjakan pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pengeluaran rumahtangga menunjukkan berapa besar pendapatan rumahtangga yang digunakan untuk keperluan konsumsi. Tingkat pengeluaran ini tidak terlepas dari pendapatan suami, ibu dan anak. Dengan demikian, besaran pendapatan/tahun yang dibelanjakan untuk setiap kebutuhan tersebut dapat digunakan sebagai petunjuk tingkat kesejahteraan rumahtangga. Dilihat dari tingkat pendapatan rumahtangga pekerja batik tulis, dapat digolongkan sebagai penduduk miskin. Tebel 5. Rata-Rata Tingkat Pengeluaran Rumahtangga Pekerja Batik Tulis Pada Industri Kecil dan Industri Besar Jenis Kebutuhan Primer Sekunder Tersier Jumlah
Industri Kecil
Industri Besar
Konsumsi (Rp/tahun)
Konsumsi (Rp/tahun)
7,239,557 767,314 776,743 8,783,614
8,256,497 909,771 1,091,886 10,258,154
Sumber: Diolah dari Data Primer Penelitian, 2011
Berdasarkan data pada Tabel 5 di atas, menunjukkan bahwa tingkat pengeluaran total per tahun rumahtangga pekerja batik tulis pada masing-masing industri batik berbeda. Total pengeluaran ini berdasarkan jenih kebutuhan rumahtangga. Pada industri kecil, tingkat pengeluaran per tahun paling banyak dikeluarkan untuk kebutuhan primer sebesar Rp 7.239.557,00; kebutuhan sekunder sebesar Rp 767.314,00 dan kebutuhan tersier sebesar Rp 776,743,00. Sedangkan pada industri besar, tingkat pengeluran per tahun paling banyak juga pada kebutuhan primer, yaitu sebanyak Rp 8.256.297,00; kebutuhan sekunder sebesar Rp 909.771,00; dan kebutuhan tersier sebesar Rp 1.091.886,00. Pada Gambar 21, ditunjukkan persentase tingkat pengeluaran rumahtangga pekerja batik tulis pada industri kecil dan industri besar.
82
Industri Kecil
Industri Besar Sekunder
Sekunder 8,74%
8.87%
Tersier 10,64%
Tersier 8,84%
Primer 82,42%
Primer 80,49%
Keterangan: npekerja batik industri kecil : 35 npekerja batik industri besar : 35
Uji Statistik Chi-Square, P-value = 0,6625 (Tidak Berbeda Nyata)
Gambar 20. Persentase Responden Menurut Tingkat Pengeluaran Rumahtangga pada Industri Kecil dan Industri Besar Berdasarkan data Gambar 21 di atas, menunjukkan bahwa persentase tingkat pengeluaran rumahtangga menurut 70 responden pada kedua tipe industri batik. Tingkat pengeluran ini diukur berdasarkan kotegori ketiga jenis kebutuhan, baik primer, sekunder maupun tersier. Sesuai dengan perincian data yang diperoleh responden, kebutuhan primer ini terdiri dari: beras, minyak goreng, susu, buahbuahan, roti/camilan, gula, kopi/teh, lauk-pauk, pakaian dan kosmetik. Pada kebutuhan sekunder, terdiri dari: biaya kesehatan, biaya listerik, biaya pendidikan, biaya transportasi dan biaya kegiatan sosial. Kemudian, pada kebutuhan tersier terdiri dari: biaya telpon/pulsa, biaya buku dan alat-alat tulis, biaya hiburan, biaya lebaran, biaya pajak PBB, biaya pajak motor, biaya bensin/perawatan motor dan biaya pijit. Melalui uji statistik chi-square sebesar P-value = 0,6625 (> 10%) yang artinya bahwa tingkat pengeluaran rumahtangga menyatakan tidak berbeda nyata pada kedua industri batik baik industri kecil maupun industri besar. Sesuai dengan hipotesis penelitian dapat dikatakan menolak H1, yaitu tidak terdapat perbedaan dalam pengeluaran kebutuhan-kebutuhan pada rumahtangga pekerja batik tulis baik industri kecil maupun industri besar. Komposisi yang dibelanjakan
83
untuk kebutuhan memiliki proporsi yang sama antara keduanya. Hal ini disebabkan, tingkat pengeluaran rumahtangga baik pada industri kecil maupun industri besar persentase tersbesar adalah untuk kebutuhan primer. Pada industri kecil menunjukkan angka sebesar 82,42 % untuk kebutuhan primer, 8,47% untuk kebutuhan sekunder dan 8,84 % untuk kebutuhan tersier. Sedangkan, pada industri besar persentase terbesar juga untuk kebutuhan primer sebesar 80,49%, sebesar 8,87 % untuk kebutuhan sekunder dan sebesar 10,64% untuk kebutuhan tersier. Dari angka-angka tersebut, menunjukkan sebagian besar rumahtangga responden mengeluarkan porsi lebih banyak dari pengeluaran non-makanannya. Dari pendapatan yang diperoleh, pengeluaran untuk pemenuhan kebutuhan keperluan sehari-hari berupa pemenuhan pangan baik dari segi skala prioritas menempati urutan pertama. Pemenuhan kebutuhan untuk keperluan anak sekolah, kegiatan-kegiatan sosial pengeluaran yang kadang kala relatif cukup besar jumlahnya baik dari segi besarnya maupun skala prioritas menempati urutan kedua dan ketiga. Faktor jumlah anggota keluarga juga mempengaruhi tingkat konsumsi rumahtangga semakin banyak jumlah anggota rumahtangga maka semakin banyak pula konsumsi yang dikeluarkan oleh rumahtangga. Akan tetapi, jumlah pengeluaran yang dibelanjakan oleh setiap rumahtangga responden termasuk golongan yang sederhana. Dengan demikian, persentase pengeluaran rumahtangganya untuk makanan (dari total pengeluaran rumahtangga) jauh lebih besar. Di samping itu, pada industri besar untuk pengeluaran kebutuhan tersier menunjukkan lebih besar dibandingkan industri kecil. Berdasarkan penjelasan di atas mengenai perincian kebutuhan tersier, bahwa pada rumahtangga industri besar terdapat lebih banyak responden yang anggota rumahtangganya masih memerlukan biaya untuk pendidikan, untuk kebutuhan kendaraan bermotor dan alat komunikasi (handphone), sehingga pengeluaran untuk kebutuhan tersier menjadi lebih banyak. Kondisi ekonomilah yang memaksa mereka untuk dapat memenuhi kebutuhan rumahtangga sesuai beban tanggungan anggota rumhtangganya. Dengan demikian, pekerja batik harus pandai mengelola keuangan rumahtangga untuk berbagai macam pengeluaran agar pendapatan suami dapat mencukupi kebutuhan rumahtangganya.
84
5.2.2 Tingkat Kemampuan Saving Rumahtangga Pendapatan yang diterima rumahtangga tidak seluruhnya digunakan untuk konsumsi, jika terdapat sisa pendapatan setelah dibelanjakan barang atau jasa biasanya digunakan untuk tabungan dan biasanya setiap rumahtangga mempunyai kebiasaan tertentu untuk mengalokasikan pendapatan menurut penggunaannya. Tabungan dipengaruhi oleh ukuran anggota dalam rumahtangga, semakin besar ukuran rumahtangga atau jumlah anggota rumahtangga maka semakin besar pula proporsi pendapatan yang dikeluarkan untuk konsumsi dan ini berakibat pada jumlah proporsi pendapatan untuk kemampuan menabung/saving. Selain itu, jumlah anggota keluarga yang bekerja akan menambah pendapatan yang diterima oleh kelaurga, misalnya: anak. Jadi tingkat menabung rumahtangga sama dengan pendapatan dikurangi konsumsi. Tabel 6. Rata-Rata Tingkat Kemampuan Saving Rumahtangga Pekerja Batik pada Industri Kecil dan Industri Besar, Tahun 2011. Jenis Industri Pendapatan Total Konsumsi Total Tingkat Saving (Rp/tahun) (Rp/tahun) (Selisih Pendapatan) Industri Kecil 17.404.701 8.783.614 8.621.086 Industri Besar
20.916.370
10.258.154
10.658.216
Sumber: Diolah dari Data Primer Penelitian, 2011
Berdasarkan data pada Tabel 6 di atas, menunjukkan bahwa rata-rata setiap rumahtangga pada industri kecil maupun industri besar memiliki tingkat kemampuan saving yang berbeda. Dari selisih antara total pendapatan rumahtangga per tahun dengan total konsumsi rumahtangga per tahun diperoleh hasil dari selisih pendapatan yang cukup tinggi. Dimana, pada rumahtangga industri kecil memiliki tingkat kemampuan menabung sebesar Rp 8.621.086,00 per tahun. Sedangkan pada rumahtangga industri besar memiliki kemampuan menabung sebesar Rp 10.658.216,00. Hal ini dikarenakan, pada industri besar total pendapatan rumahtangga menunjukkan lebih besar dibanding industri kecil, sehingga rumahtangga industri besar lebih mampu untuk mengalokasikan pendapatannya untuk menabung. Sisa dari rata-rata pendapatan total rumahtangga tersebut yang dinamakan tingkat kemampuan saving (saving ability). Dari
85
penjelasan data sebelumnya pada tabel 6 mengenai rata-rata tingkat pengeluaran rumahtangga, semua responden penelitian hanya menghafal pengeluaran yang mereka ingat saja setiap kebutuhan yang mereka perlukan dalam satu hari. Selain itu, mereka mencoba menutup-nutupi pengeluaran dikarenakan takut dianggap mewah atau berlebihan, sehingga sisa pendapatan tersebut masih digunakan untuk pengeluaran rumahtangga yang tidak terduga, baik yang dilakukan oleh suami, anak dan anggota rumahtangga lain yang masih menjadi tanggungjawab rumahtangga. Contoh pengeluaran-pengeluaran yang tidak terduga, seperti: biaya untuk kesehatan (sakit), biaya renovasi rumah, biaya perbaikan elektronik, biaya sumbangan rumahtangga, biaya cicilan motor (bagi yang memiliki motor), dan lain sebagainya. Beberapa pengeluaran yang tidak terduga tersebut biasanya bernilai cukup besar dan aktivitas pengeluaran tersebut dilakukan oleh para suami. Dengan demikian, sisa pendapatan (tingkat saving rumahtangga) pada industri kecil maupun industri besar digunakan untuk pengeluaran tak terduga dan untuk simpanan rumahtangga. Pendapatan saya tidak dapat mencukupi untuk membiaya renovasi rumah. Apalagi keluarga saya masih banyak terlilit hutang sehingga untuk membangun rumah sudah tidak mampu lagi, kondisi atap rumah yang sudah bocor tidak sanggup untuk memperbaiki rumah. Untuk urusan biaya renovasi rumah saya serahkan kepada suami saya (Ibu Kty; pekerja batik industri kecil, 45 tahun).
Kasus Ibu Kty di atas, merupakan salah satu responden yang bekerja di industri kecil. Beliau memiliki hutang-hutang yang belum sanggup dibayarnya dengan upah membatik yang di dapat sangat kecil. Apalagi kondisi rumah beliau tidak layak untuk ditempati oleh anggota rumahtangga yang berjumlah enam orang, sehingga untuk membiayai renovasi rumah beliau menyerahkan sepenuhnya kepada pihak suami. Biaya renovasi rumah tidak pasti dikeluarkan setiap tahunnya. Biaya renovasi rumah tersebut merupakan salah satu pengeluraan rumahtangga yang tidak terduga dan jumlahnya cukup banyak.
5.3 Alokasi Waktu Pekerja Batik Tulis Pekerja batik tulis baik pada industri kecil maupun industri besar memiliki tanggungjawab besar dalam pekerjaan domestik maupun publik. Kaum perempuan tidak terlepas pada peranannya sebagai ibu rumahtangga dan pekerja
86
industri batik. Mereka dihadapkan pada dua pilihan antara harus bekerja mengerjakan pekerjaan rumah atau pekerjaan di industri batik, maka mereka lebih mengutamakan penyelesaian pekerjaan di rumah sebelum berangkat untuk bekerja di industri batik. Pekerjaan di industri batik di sini merupakan pekerjaan produktif (kegiatan produktif), sedangkan pekerjaan rumahtangga dan di luar pekerjaan industri disebut pekerjaan reproduktif (kegiatan reproduktif). Pembagian waktu ini berdasarkan alokasi waktu dalam satu hari. Responden akan melakukan aktivitas mencari nafkahnya setelah mereka sudah mampu menyelesaikan semua pekerjaan rumah, seperti: mengurus anak dan suami. Akan tetapi, tidak semua responden dalam penelitian ini adalah berstatus sebagai isteri/sudah menikah, terdapat pula yang masih berstatus sebagai anak (rata-rata usia di atas 20 tahun), sehingga seorang anak sebelum berangkat bekerja ke kota, mereka bertugas membantu ibu dalam pekerjaan rumahtangga, seperti memasak, mencuci atau mengurus adikadik mereka. Proses ini berulang terus-menerus dalam kehidupan sehari-hari mereka. Hal ini dikarenakan jam kerja responden yang lebih besar dalam aktivitas mencari nafkah. Lama waktu yang dicurahkan dalam bekerja merupakan faktor untuk dapat meningkatkan pendapatan pekerja batik tulis yang bekerja di industri kecil maupun industri besar. Dengan catatan apabila pekerja batik tulis memiliki waktu di luar pekerjaan utamanya, seperti lembur membatik di malam hari dan memiliki pekerjaan sampingan di luar industri batik. Hal ini dikarenakan semakin banyak alokasi waktu yang digunakan dalam suatu pekerjaan maka dari segi pendapatan yang akan diperoleh juga akan semakin banyak. Alokasi waktu kerja pada industri kecil maupun industri besar dihitung secara rata-rata per hari baik pada kegiatan produktif maupun kegiatan reproduktif. Pada Gambar 22, ditunjukkan rata-rata alokasi waktu kerja responden pada industri kecil maupun industri besar dalam jam/hari yang bervariasi.
87
1,50
Industri Kecil
Kegiatan Produktif
Membatik 0,93 0,86 0,63 0,26
2,88 Kegiatan Reproduktif
12,62
6,83
Lembur batik Kerja sampingan*) Mencuci Memasak
7,00
2,03 0,50 0,59
Mengurus anak Bermain Tidur
Keterangan: npekerja batik industri kecil : 35 npekerja batik industri besar : 35
*) responden yang memiliki kerja sampingan: membuat bordir taplak meja dan dagang sarapan
Gambar 21. Rata-Rata Alokasi Waktu Kerja Responden pada Industri Kecil (Jam/Hari)
Industri Besar Kegiatan Produktif
Membatik
2,00
1,11 1,06 0,57 0,29
3,00
Kegiatan Reproduktif 12,12
Lembur batik Kerja sampingan*) Mencuci Memasak
6,91
Mengurus anak Bermain
7,00
1,06 0,75 0,37
Tidur Mengobrol Belanja Lainnya
Keterangan: npekerja batik industri kecil : 35 npekerja batik industri besar : 35
*) responden yang memiliki kerja sampingan: membuat bordir taplak meja dan dagang sarapan Uji Statistik Chi-Square, P-value = 0,9215 (Tidak Berbeda Nyata)
Gambar 22. Rata-Rata Alokasi Waktu Kerja Responden pada Industri Besar (Jam/Hari)
88
Berdasarkan data pada Gambar 22 dan 23 di atas, menunjukkan bahwa ratarata alokasi waktu kerja responden tidak terdapat perbedaan baik di industri kecil maupun industri besar. Alokasi waktu yang digunakan hampir sama untuk kegiatan dalam satu harinya. Melalui uji statistik chi-square sebesar P-value = 0,9215 (> 10%), yang artinya bahwa tidak berbeda nyata dan sesuai dengan hipotesis penelitian yaitu menolak H1. Hal tersebut dikarenakan dalam sehari selama 24 jam, responden pada industri kecil maupun industri besar sama-sama mengalokasikan waktu kerjanya untuk kegiatan produktif dan reproduktif. Tidak terdapat perbedaan alokasi waktu pekerja batik tulis antara industri kecil dan industri. Maksud dari kegiatan produktif ini adalah kegaitan publik atau aktivitas dalam mencari nafkah yang terdiri dari: aktivitas membatik, lembur membatik dan aktivitas pekerjaan sampingan yang dimiliki responden. Sedangkan kegiatan reproduktif adalah kegiatan domestik atau pekerjaan rumahtangga (di luar dari pekerjaan di industri) yang terdiri dari: aktivitas memasak, mencuci, mengurus anak, bermain, tidur, mengobrol dan belanja. Aktivitas-aktivitas tersebut yang diperoleh dari 70 responden penelitian. Untuk aktivitas lainnya, misalnya: menonton televisi, mengikuti pengajian di masjid dan bersih-bersih rumah. Responden yang bekerja di industri kecil maupun industri besar, alokasi waktu dalam sehari untuk aktivitas mencari nafkah paling besar adalah aktivitas membatik yaitu selama 7.00 jam/hari. Sedangkan pada industri kecil aktivitas lembur dan pekerjaan sampingan dilakukan selama 2.88 jam/hari dan 1.50 jam/hari. Tidak berbeda jauh pada industri besar, aktivitas lembur dan pekerjaan sampingan rata-rata alokasi waktunya juga hampir sama. Sementara itu, kegiatan reproduktif responden paling besar dialokasikan untuk tidur dan untuk kegiatan lainnya dilakukan pada aktivitas yang belum disebutkan pada gambar di atas. Denga demikian, bagi responden pada industri kecil maupun industri besar waktu dalam sehari selama hampir 24 jam digunakan untuk segala macam aktivitas yang sudah menjadi rutinitas mereka. Khusus untuk kegiatan reproduktif, aktivitas dan alokasi waktu yang digunakan bisa berubah-ubah sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi oleh responden. Pemberian pekerjaan pada pekerja batik tulis tetap mengacu pada struktur sosial yang berlaku. Hal ini tercermin pada penerimaan buruh/pekerja yang mempertimbangkan bakat keterampilan dan
89
kemampuan fisik yang akan berpengaruh pada pemberian upah. Pada Gambar 24, ditunjukkan rata-rata tingkat produktivitas pekerja batik tulis (Rp/Jam) pada
Rata-Rata Produktivitas (Rp)
industri kecil dan industri besar. 2.500
1.963
2.000
1.533 1.500 1.000 500 0
Industri Kecil
Industri Besar
Keterangan: npekerja batik industri kecil : 35 npekerja batik industri besar : 35
Gambar 23. Rata-Rata Tingkat Produktivitas Responden pada Industri Kecil dan Industri Besar
Berdasarkan data pada Gambar 24 di atas, dapat dilihat perbandingan ratarata tingkat produktivitas responden pada industri kecil dan industri besar. Hasil dari tingkat produktivitas ini diperoleh dari pendapatan responden per hari dibagi dengan alokasi waktu responden selama sehari. Hasil pada industri kecil, rata-rata tingkat produktivitasnya adalah Rp 1.533,00/jam. Sedangkan pada industri besar diperoleh rata-rata tingkat produktivitasnya adalah Rp 1.963,00/jam. Data tersebut menunjukkan bahwa pada industri besar lebih tinggi dibanding pada industri kecil. Dengan demikian, responden yang bekerja pada industri besar dapat dikatakan lebih produktif dalam pekerjaannya. Untuk meningkatkan produktivitas pekerja maka diperlukan etos kerja yang tinggi. Pada industri besar, responden lebih besar mengalokasikan waktunya pada kegiatan produktif. Hal ni dikarenakan responden pada industri besar lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bekerja lembur membatik dan untuk pekerjaan sampingan. Selian itu, upah yang diberikan oleh pengusaha industri besar berpengaruh untuk meningkatkan produktivitas kerja responden. Semakin besar upah yang diberikan, semakin
90
tinggi pula kinerja membatik dan motivasi membatik yang berpengaruh pada alokasi kerja responden dalam sehari.
5.4 Ikhtisar Industri batik di Kota Pekalongan membawa perubahan bagi kehidupan ekonomi rumahtangga pekerja batik tulis, baik yang bekerja pada industri kecil maupun industri besar. Hal ini dapat dilihat dari struktur nafkah rumahtangga pekerja batik tulis yang terdiri dari: besarnya pendapatan yang diperoleh dalam membatik, ragam sumber pendapatan rumahtangga, pola nafkah ganda pekerja batik, persepsi kontribusi pendapatan rumahtangga, pengaruh keterampilan dalam membatik, persepsi kesempatan kerja, struktur pengeluaran rumahtangga dan alokasi waktu yang digunakan pekerja batik tulis. Data pada tabel 7 merangkum kondisi ekonomi pada struktur nafkah yang diterima oleh rumahtangga pekerja batik tulis selama kurun waktu lima tahun (2006-2011). Tabel 7. Struktur Nafkah Rumahtangga Pekerja Batik Tulis pada Industri Kecil dan Industri Besar Kota Pekalongan, Tahun 2011 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Kondisi Ekonomi Tingkat pendapatan rumahtangga Persepsi Pendapatan membatik Pola nafkah ganda rumahtangga Upah harian membatik Kontribusi pendapatan membatik Persepsi kesempatan kerja di luar industri batik Pengaruh keterampilan terhadap jam lembur Struktur pengeluaran rumahtangga Kemampuan saving rumahtangga Alokasi waktu kerja responden Produktivitas kerja
Industri Kecil Sedang
Industri Besar Tinggi
Sama saja (belum bisa memenuhi kebutuhan) Besar
Sama saja (bisa memenuhi kebutuhan) Besar
Kecil Besar
Sedang Besar
Kecil
Kecil
Kecil
Besar
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Besar
Besar
Kecil
Besar
91
Berdasarkan tabel 7 di atas, terlihat bahwa struktur pendapatan rumahtangga pekerja batik pada industri kecil berada pada kategori sedang, karena rata-rata rumahtangga pekerja batik tulis selama satu tahun terakhir memperoleh pendapatan antara Rp 10.612.686,00 sampai Rp 18.299.770,00. Sedangkan ratarata pendapatan rumahtangga pekerja batik tulis pada industri besar adalah lebih dari Rp 18.299.770,00 atau berada pada kategori tinggi. Berdasarkan hipotesis penelitian membuktikan bahwa menolak H1, yang artinya tidak terdapat berbedaan struktur nafkah rumahtangga pekerja batik tulis pada industri kecil maupun industri besar. Rumahtangga pekerja batik tulis pada kedua tipe industri tersebut yang memiliki peran penting dalam nafkah rumahtangga adalah suami (kontribusi besar). Walaupun upah membatik dikatakan kecil sehingga peran suami dan anak terlibat dalam aktivitas nafkah. Rata-rata tingkat upah yang diperoleh responden adalah sebesar Rp 15.000,00 pada industri kecil dan sebesar Rp 19.000,00 pada indsutri besar. Persepsi pendapatan membatik dibandingkan lima tahun yang lalu pada industri kecil dan industri besar tidak berbeda nyata antara keduanya. Responden yang bekerja pada industri kecil menyatakan, pada saat ini belum bisa memenuhi kebutuhan keluarga dengan pendapatan yang sedikit, dikarenakan kebutuhan untuk rumahtangga sekarang serba mahal. Sedangkan
pada industri besar sama saja, tetapi sudah dapat mencukupi
kebutuhan rumahtangganya. Pendapatan suami jauh lebih besar dari pendapatan isteri (pekerja batik). Hanya terdapat empat responden saja dari total 70 responden yang memiliki pekerjaan sampingan untuk menambah penghasilan rumahtangga. Hal ini dikarenakan, membatik merupakan pekerjaan utama bagi para pekerja batik dan minimnya tingkat keterampilan yang dimiliki, sehingga kesempatan kerja di luar industri batik dikatakan kecil. Aktivitas lembur yang dilakukan pekerja batik berbeda nyata pada industri besar dibandingkan industri kecil. Hal ini dikarenakan pada industri besar banyak mendapatkan pesanan sehingga pekerjanya dituntut untuk bekerja lembur. Dari pekerjaan lembur tersebut, para pekerja batik mendapatkan upah dari lembur untuk menambah pendapatan mereka. Akan tetapi, alokasi waktu yang dibutuhkan menjadi lebih banyak. Tidak terdapat perbedaan alokasi waktu kerja pekerja batik pada industri kecil maupun industri besar, dimana alokasi waktu untukkegiatan
92
produktif dan reproduktif yang dilakukan sama. Selain itu, struktur pengeluaran rumahtangga pekerja batik juga tidak terdapat perbedaan antara pekerja di industri kecil maupun industri besar, pengeluaran kebutuhan yang paling besar adalah pada kebutuhan primer. Terdapat tingkat saving rumahtangga, akan tetapi pendapatan tersebut digunakan untuk pengeluaran-pengeluaran yang tidak terduga dan responden mencoba menutup-nutupi kebutuhan mereka.
93
BAB VI KUALITAS KEHIDUPAN SOSIAL PEKERJA BATIK TULIS
Dalam kehidupan masyarakat Kota Pekalongan tidak terlepas dari sistem ekonomi maupun sosial. Selain itu, masyarakat Kota Pekalongan masih kental menganut sistem kulturalnya sebagai pekerja batik yang sudah mentradisi dari nenek moyang. Kota Pekalongan berkembang pesat menjadi pusat batik atau sentral Batik Indonesia yang kini sudah memiliki branding “World City Of Batik”. Dengan kata lain, suatu perkembangan kota harus mengarah pada penyesuaian lingkungan fisik ruang kota dengan perkembangan sosial dan kegiatan usaha masyarakat kota. Keberhasilan tersebut tidak terlepas dari peran pekerja batik, khususnya batik tulis yang dikenal langka dan mahal.
Walaupun mayoritas
pekerja batik tulis berasal dari pedesaan yang memiliki keterbatasan pengetahuan dan
keterampilan,
pekerja
batik
memberikan
kontribusi
besar
dalam
meningkatkan status sosial Kota Pekalongan. Walaupun ditengah-tengah krisis ekonomi pekerja batik tulis mampu Adapun pengaruh kehidupan sosial pekerja batik tulis adalah pada kepuasan bekerja pada sektor industri batik, diantaranya: tingkat kepuasan kerja (upah/gaji, jaminan sosial dan jaminan kesehatan, fasilitas kerja, prestasi kerja, aturan/sanksi dan lain-lain), tingkat stres kerja, kondisi tempat tinggal, status kepemilikan peralatan dan mobilitas sosial pekerja batik tulis.
6.1 Kepuasan Kerja Pekerja Batik Tulis 6.1.1 Kepuasan Pekerja Batik Terhadap Upah Kepuasan atau ketidakpuasan responden pada industri kecil maupun industri besar tergantung pada hasil yang didapat dengan apa yang diharapkan. Sebaliknya, apabila yang didapat responden lebih rendah daripada yang diharapkan akan menyebabkan responden tidak puas. Berikut ini data mengenai persentase tingkat kepuasan responden terhadap upah/gaji yang ditunjukkan pada Gambar 25 di bawah ini.
diberikan
94
Persentase Responden (%)
100 80 Tidak puas
60
51,43
Kurang puas 40,00
40
28,57
34,29
37,14
Cukup puas Puas
20 2,86
5,71
0
Industri Kecil
Industri Besar
Keterangan: npekerja batik industri kecil : 35 npekerja batik industri besar : 35
Uji Statistik Chi-Square, Chi-Sq = 9.921, DF = 2, P-Value = 0.007 (Berbeda Nyata)
Gambar 24. Persentase Responden Menurut Tingkat Kepuasan Terhadap Upah pada Industri Kecil dan Industri Besar
Berdasarkan data pada Gambar 25 di atas, menunjukkan perubahan tingkat kepuasan kerja antara responden pada industri kecil dan industri besar. Melalui uji statistik chi-square sebesar P-Value = 0.007 (< 10%) yang artinya bahwa tingkat kepuasan responden terhadap upah berbeda nyata pada industri kecil dan industri besar. Sesuai dengan hipotesis penelitian dikatakan menerima H1, sehingga terjadi perbedaan secara nyata besarnya upah yang diperoleh responden pada kedua industri tersebut. Responden yang bekerja di industri kecil merasakan kurang puas terhadap upah yang diberikan pengusaha, yaitu sebanyak 18 responden (51,43%). Sedangkan pada industri besar sebanyak 13 responden (37,14%) menyatakan puas terhadap upah yang diberikan. Upah membatik pada batik tulis di setiap industri memiliki standar upah yang sama, tidak ada perbedaan yang cukup besar dalam sistem pengupahan membatik. Namun, perbedaan yang sangat menonjol adalah atas prestasi kerja mereka tidak sesuai dengan upah yang diperoleh pada kedua tipe industri batik. Pada industri kecil upah yang diberikan cukup jauh nilainya dibandingkan dengan responden yang bekerja pada industri besar. Khusus pada industri besar biasanya sistem pengupahan menyesuaikan dengan perusahaan besar yang lain. Misalnya, upah yang diberikan pada Industri A adalah sekian,
95
tetapi industri B (yang menjadi patokan) memberikan upah kepada pekerjanya lebih besar, maka industri A dan lainnya mengikuti industri B. Informasi mengenai upah tersebut diberitahukan melalui pengusaha batik. Dengan pengecualian khusus industri yang sama-sama besar. Pekerja batik di industri kecil kurang mendapatkan perhatian oleh pengusahanya (majikan). Bagaimana tidak pekerja yang sudah lama bekerja atau sudah tua maupun mereka yang bekerja dengan baik dan ulet belum pernah merasakan adanya kenaikan upah. Dengan demikian, sebagian besar responden di industri besar memiliki keinginan untuk berpindah ke industri batik lain yang upahnya jauh lebih besar. Namun, faktor umur, jarak dan kurangnya alat transportasi yang membuat mereka tidak berani meninggalkan perusahaan dimana mereka bekerja. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tingkat kepuasan kerja responden terhadap upah yang diperoleh pada industri kecil dapat dikatakan lebih rendah dibandingkan dengan tingkat kepuasan responden yang bekerja pada industri besar. Responden yang bekerja pada industri besar lebih merasakan kepuasannya terhadap upah, walaupun upah yang diperoleh masih dikatakan kurang untuk mencukupi kebutuhan rumahtangga. Hal tersebut dikarenakan pekerjaan membatik memerlukan waktu yang sangat lama dan tidak sebanding dengan tingkat upah yang diberikan. Dengan kata lain, upah yang diperoleh responden tidak sesuai dengan yang diharapkan.
6.1.2 Kepuasan Pekerja Batik Tulis Terhadap Jaminan Sosial dan Kesehatan Setiap perusahaan batik pasti sudah memiliki pelayanan kepada pekerjanya. Selain upah, adanya jaminan sosial dan kesehatan setiap perusahaan sangat berdampak pada pekerja batik tulis. Hal ini merupakan bentuk dari perlindungan sosial dan kesehatan para pengusaha di setiap industri batik. Akan tetapi, tidak semua responden yang bekerja industri batik mendapat jaminan kelayakan hidup. Padahal, setiap perusahaan bertanggungjawab atas keselamatan dan kesehatan para pekerjanya. Tingkat kepuasan responden terhadap jaminan sosial dan kesehatan pada industri kecil dan industri besar akan ditunjukkan pada Gambar 26 di bawah ini.
96
Persentase Responden (%)
100 80 65,71
62,86 Tidak puas
60
Kurang puas 40
28,57
25,71 20
Cukup puas Puas
8,57
8,57
0
Industri Kecil
Industri Besar
Keterangan: npekerja batik industri kecil : 35 npekerja batik industri besar : 35
Uji Statistik Chi-Square, Chi-Sq = 51.769, DF = 3, P-Value = 0.000 (Berbeda Nyata)
Gambar 25. Persentase Responden Menurut Tingkat Kepuasan Terhadap Jaminan Sosial dan Kesehatan pada Industri Kecil dan Industri Besar Berdasarkan data pada Gambar 26 di atas, dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan tingkat kepuasan responden terhadap jaminan sosial dan kesehatan pada industri kecil dan industri besar. Setelah dilakukan uji statistik chi-square sebesar P-Value = 0.000 (< 10%), yang artinya bahwa tingkat kepuasan responden terhadap jaminan sosial dan kesehatan berbeda nyata pada industri kecil dan industri besar, yaitu sebanyak 23 responden (65,71%) menyatakan ketidakpuasan terhadap jaminan sosial dan kesehatan yang ada pada industri kecil. Sedangkan sebayak 22 responden (62,86%) menyatakan kepuasan terhadap jaminan sosial dan jaminan kesehatan pada industri besar dimana mereka bekerja. Dari pemaparan di atas, bahwa pada industri kecil jaminan sosial dan kesehatan yang diberikan perusahaan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan responden, tidak langsung terkena dampak positifnya kepada responden. Jaminan sosial dan kesehatan ini diberikan bagi responden yang sangat membutuhkan bantuan, bentuk jaminan sosial yang dimaksud dalam bentuk bantuan sosial, berupa: bantuan dana (masalah keuangan yang sedang dihadapi rumahtangga responden), bantuan santunan kematian. Sedangkan jaminan kesehatan dalam bentuk bantuan kesehatan bagi responden yang sedang sakit.
97
Majikan CV. Tobal sangat baik dengan semua pekerja batik. Jika terdapat buruh batik yang sedang sakit, majikan membantu dalam meringankan beban pekerja untuk berobat. Saya juga pernah mengalaminya, apalagi perusahaan ini terdapat puskesmas khusus bagi pekerja yang sakit. Di perusahaan juga terdapat tunjangan duka bagi pekerja yang mengalami musibah, sehingga saya puas bekerja di perusahaan ini karena pelayanan yang diberikan kepada saya membuat saya puas (Ibu Prn; pekerja batik industri besar, 56 tahun). Sampai sekarang saya bekerja di industri batik majikan saya belum pernah memberikan bantuan dana. Apabila saya sedang sakit, saya berobat sendiri ke puskesmas. Saya kadang-kadang tidak berangkat kerja karena sering sakit-sakitan. Saya berharap majikan saya memberikan bantuan untuk berobat. Jadi, saya tidak puas terhadap jaminan kesehatan di perusahaan ini. Semua pekerja batik juga mengalami hal yang sama. Saya hanya bisa sabar saja (Ibu Ktj; pekerja batik industri kecil, 50 tahun).
Dari penjelasan di atas merupakan kasus responden pada salah satu perusahaan di industri kecil dan industri besar. Pada industri besar, responden yang bekerja kepada majikan merasakan kepuasan terhadap tunjangan sosial dan kesehatan. Sikap majikan terhadap pekerja batik sangat ramah dan mengerti apa yang sedang dirasakan para pekerjanya. Apabila responden sedang bermasalah dengan kesehatannya (sakit), majikan memberikan bantuan uang untuk berobat. Selain itu, terdapat puskesmas khusus para pekerja batik yang sedang sakit lalu di bawa ke dokter perusahaan. Hal tersebut berdasarkan pernyataan oleh Ibu Prn, sehingga responden yang bekerja di industi batik tersebut merasa puas terhadap pelayanan yang diberikan oleh majikan. Kasus pada industri besar yang lain adalah untuk jaminan kesehatan kepada responden, majikan memberikan uang sebesar Rp 1500,00 untuk biaya membeli obat. Pada industri kecil, responden yang bekerja tidak merasakan kepuasan adanya tunjangan sosial dan kesehatan yang diberikan pengusaha atau majikan, sehingga apabila terdapat buruh batik yang sedang sakit atau bermasalah pada keuangan mereka, tidak terdapat bantuan dalam bentuk apapun. Hal tersebut seperti yang dinyatakan oleh Ibu Ktj. Dapat dikatakan, rendahnya rasa kepedulian terhadap pekerjanya menyebabkan keluhan-keluhan buruh batik. Namun, tidak semua industri kecil merasakan hal yang sama. Ada pula industri kecil yang pengusahanya memberikan tunjangan sosial kepada buruh batik dengan memberikan bantuan dana bagi mereka yang membutuhkan uang, tetapi dengan catatan gaji mereka dipotong sesuai dengan uang yang mereka butuhkan. Kasus
98
tersebut sangat memprihatinkan, disaat mereka sedang dihadapi situasi yang mendesak yaitu mengalami kesulitan keuangan, mereka kehilangan akal untuk meminjam ke orang lain. Pada akhirnya, cara lain yang mereka lakukan adalah dengan meminjam kepada pengusaha/majikan mereka. Selain itu, bagi yang tidak bisa mengembalikan uangnya dengan terpaksa pihak majikan melakukan keputusan memotong gaji buruh batik sesuai dengan jumlah uang yang mereka pinjam. Hubungan ibu dengan pekerja-pekerja batik sangat baik. Mereka sudah ibu anggap seperti bagian dari keluarga Ibu. Sifat kekeluargaan sangat terasa antara Ibu dan buruh batik. Bagaimana tidak, sudah bertahun-tahun mereka bekerja di perusahaan Ibu. Apabila ada buruh batik yang mengalami kesulitan dalam hal keuangan mereka, Ibu membantu seadanya saja dan kadang-kadang memberikan uang untuk berobat, yang terpenting harus saling membantu sesama dan yang ibu harapkan pekerja-pekerja batik puas bekerja di sini. Tetapi kadang-kadang mereka suka diam dan malu-malu mengatakan sesuatu. Maka dari itu, jalan keluar untuk mengerti keadaan mereka dengan cara terbuka untuk mengeluarkan pendapat-pendapatan mereka, kadang-kadang dilakukan sharing bersama (Ibu Sri; majikan industri kecil, 50 tahun).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa setiap perusahaan batik baik pada industri kecil maupun industri besar terdapat pelayanan tersendiri terhadap para respondennya. Tergantung dengan sikap majikan terhadap pekerja batik tulis, bagaimana cara majikan memperlakukan pekerjanya dengan baik. Akan tetapi, sebagian besar responden mengatakan bahwa responden yang bekerja pada industri besar lebih merasa puas terhadap jaminan sosial dan kesehatan yang diberikan oleh majikan mereka dibandingkan dengan industri kecil. 6.1.3 Tingkat Kepuasan Pekerja Batik Tulis Terhadap Fasilitas Kerja Setiap perusahaan batik pada industri kecil maupun industri besar memiliki fasilitas tersendiri bagi para pekerjanya. Fasilitas kerja yang diberikan oleh pengusaha/majikan merupakan bentuk pelayanan terhadap pekerja batik tulis dalam memenuhi kebutuhan. Adanya fasilitas kerja yang disedikan tersebut, sangat mendukung para pekerja batik dalam melakukan pekerjaannya selama jam kerja membatik. Perasaan senang dan semangat akan membuahkan hasil yang diharapkan pada masing-masing pekerja industri batik, sehingga pekerja batik merasa nyaman bekerja di perusahaan baik pada industri kecil maupun industri besar. Data pada Gambar 27 ditunjukkan persentase tingkat kepuasan responden
99
terhadap fasilitas kerja yang diberikan oleh pengusaha/majikan pada kedua tipe industri batik.
Persentase Responden (%)
100
91,43
80 54,29
60
Cukup puas
40 20
Kurang puas
28,57
Puas
17,14 8,57
0
Industri Kecil
Industri Besar
Keterangan: npekerja batik industri kecil : 35 npekerja batik industri besar : 35
Uji Statistik Chi-Square, Chi-Sq = 13.083, DF = 2, P-Value = 0.001 (Berbeda Nyata)
Gambar 26. Persentase Responden Menurut Tingkat Kepuasan Terhadap Fasilitas Kerja pada Industri Kecil dan Industri Besar Berdasarkan data pada Gambar 27 di atas, menunjukkan tingkat kepuasan responden terhadap fasilitas kerja yang diberikan pengusaha terdapat perbedaan pada industri kecil dan industri besar. Melalui uji statistik chi-square sebesar PValue =0,001 (< 10%) yang artinya bahwa tingkat kepuasan responden terhadap fasilitas kerja berbeda nyata pada industri kecil dan industri besar. Sesuai dengan hipotesis penelitian bahwa menerima H1. Pada industri kecil, sebanyak 19 responden (54,29%) menyatakan puas terhadap adanya fasilitas kerja yang diberikan oleh majikan, sebanyak 10 responden (28,57%) menyatakan cukup puas dan 6 responden (17,14%) menyatakan kurang puas atau tidak sesuai dengan apa yang mereka harapkan. Sedangkan pada industri besar, hampir seluruh responden menyatakan kepuasan dengan pelayanan dan fasilitas yang diberikan oleh pengusaha/majikannya, yaitu sebanyak 32 responden (91,43%). Bentuk fasilitas kerja yang berada di dalam tempat kerja responden diberikan pada masing-masing industri tersebut seperti: peralatan membatik (canting) dengan jumlah yang cukup banyak, makan dan minum (jajan dan air teh manis), hiburan (radio) serta fasilitas pendukung seperti: fasilitas ibadah, toilet/WC, ruang sharing. Akan tetapi, tidak
100
semua bentuk fasilitas yang disebutkan di atas dimiliki oleh setiap industri batik yang menjadi objek penelitian ini. Sama hal nya dengan fasilitas pendukung, yang sebagian besar hanya dimiliki oleh industri besar. Alhamdulillah sampai sekarang saya bekerja di industri batik pelayanan yang diberikan majikan saya sangat baik. Suasana lingkungan kerja sangat menyenangkan, nyaman dan luas. Sikap pekerja-pekerja batik yang lain sangat baik kepada saya. Alat-alat untuk membatik seperti canting diberikan dari majikan, jika rusak diganti yang baru. Ibu tidak pernah mengganti canting apabila rusak. Selain itu, setiap pagi diberikan minuman teh manis dan hiburan dangdutan, sehingga ibu puas dengan suasana tempat bekerja (Ibu Ctn; pekerja batik industri besar, 45 tahun). Bekerja membatik itu sangat membosankan, di sini tidak terdapat pelayanan dari majikan. Saya hanya mengobrol dengan pekerja batik yang lain. Semua pekerja di sini sudah saya anggap seperti keluarga sendiri. Saya dari rumah biasanya selalu membawa nasi dan singkong rebus untuk di makan di pabrik. Semua pekerja di sini membawa makanan sendiri-sendiri dari rumah. Majikan saya kurang adanya perhatian kepada pekerja batik. Selain itu, beliau jarang datang ke pabrik (Ibu Mkn; pekerja batik industri kecil, 39 tahun).
Penjelasan di atas merupakan contoh kasus mengenai kepuasan responden terhadap fasilitas kerja pada industri kecil dan industri besar. Kasus Ibu Ctn menyatakan kepuasan beliau terhadap pelayanan/fasilitas yang diberikan majikannya.
Beliau
mengatakan
lingkungan
dan
suasana
kerja
sangat
menyenangkan, dikarenakan suasana pabrik yang bersih, terang dan nyaman untuk bekerja. Fasilitas-fasilitas yang diberikan adalah seperti alat-alat untuk membatik (canting), apabila canting mengalami kerusakan maka majikan memberikan canting yang baru. Hal tersebut sangat meringankan beban pekerja batik karena pekerja batik tidak perlu mengeluarkan uang untuk membeli canting. Tidak seperti pada industri kecil, apabila canting rusak menjadi resiko pekerjanya untuk membeli canting yang baru. Selian itu, fasilitas minum berupa teh manis selalu diberikan setiap hari dari pagi sampai sore. Majikan kadang-kadang mengontrol para pekerja batik untuk melihat kegiatan membatik, sehingga terdapat pendekatan secara langsung dengan buruh batik. Hubungan yang baik antara buruh batik dengan majikan akan berpengaruh pada kenyamanan pekerja sehingga dapat meningkatkan produktivitas pekerja batik tulis. Sedangkan pada kasus yang dialami Ibu Mkn terjadi pada industri kecil. Beliau mengatakan bahwa di tempat kerjanya tidak terdapat fasilitas hiburan,
101
misalnya: lagu-lagu dangdut atau radio yang bisa sebagai penambah semangat dan penghilang rasa jenuh. Apalagi pekerjaan membatik merupakan pekerjaan yang monoton dan kadang membuat bosan karena hanya diam dan duduk sambil memegang canting. Salah satu cara untuk melepas rasa bosan adalah dengan mengobrol dan bercanda bersama pekerja batik lainnya selama membatik. Sistem keakraban dan kekeluargaan yang terus dibangun menciptakan lingkungan yang menyenangkan. Ibu Mkn setiap hari selalu membawa makanan sendiri dari rumah untuk bekal makan siang di tempat kerjanya, menu makanan beliau hanya berlauk tempe dan tahu. Selain itu, beliau juga membawa makanan kecil seperti singkong rebus untuk makanan selingan selama membatik. Majikan beliau tidak pernah memberikan makanan kecil untuk pekerjanya, di samping itu majikan jarang berada di tempat kerja untuk mengontrol pekerja batik. Selama majikan tidak berada di tempat tugas mengontrol diserahkan oleh anak majikan. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa tingkat kepuasan pekerja batik yang bekerja di industri besar dan industri kecil sama-sama merasakan kepuasan terhadap fasilitas yang diberikan oleh majikan/pengusaha. Akan tetapi, responden yang bekerja di industri besar menyatakan tingkat puas yang tinggi dibandingkan responden di industri kecil. Setiap pengusaha memiliki cara untuk membuat pekerja-pekerjanya senang terhadap fasilitas dan suasana kerja. Dengan memberikan tempat kerja yang menyenangkan berarti pula menimbulkan peranan betah bekerja pada responden. Lama jam istirahat selama satu jam ini berlaku untuk semua pekerja batik tulis pada masing-masing industri. Waktu tersebut digunakan sebaik-baiknya oleh responden untuk makan, sholat dan istirahat. Sebagian responden yang bekerja pada industri kecil maupun industri besar, terdapat fasilitas tempat ibadah dan toliet. Untuk keperluan makan, para responden mencari makan di warung-warung terdekat atau membawa bekal dari rumah. Bagi yang tempat tinggalnya dekat dengan tempat kerja biasanya responden menggunakan jam istirahat untuk makan dan sholat di rumah. Kedisiplinan merupakan hal yang penting bagi setiap pekerja batik tulis. Setiap perusahaan memiliki peraturan tertentu yang harus ditaati setiap pekerjanya. Apabila dilanggar, pekerja yang melanggar peraturan tersebut akan
102
diberikan sanksi oleh pengusaha batik. Kedisiplinan sebaiknya dibangun dan ditanamkan pada jiwa setiap pekerjanya. Peraturan yang terdapat pada setiap industri kecil dan industri besar seperti, peraturan jam berangkat dan menjalankan tugas sesuai pekerjaannya. Apabila terdapat pelanggaran terhadap keterlambatan diharuskan melapor terlebih dahulu dengan majikannya. Ketelatenan membatik juga menjadi faktor penentu dalam tingkat kecepatan penyelesaian membatik dan terhindar dari rusaknya pemberian lilin di atas kain. Kasus di bawah ini merupakan contoh pengalaman pengusaha batik dalam kedisiplinan para pekerjanya. Box 1 Kasus Pengusaha Batik Terhadap Kedisiplinan Pekerja Batik Peraturan pada perusahaan Batik Larissa mengharuskan mengharuskan pekerja batik disiplin terhadap jam kerja. Berangkat pukul 08.00-16.00 WIB, sedangkan jam istirahat diberikan selama satu jam yaitu pukul mulai 12.00-13.00 WIB. Pengusaha batik Larissa memiliki pengalaman dengan pekerja batik. Beliau pernah mengalami kejadian pelanggaran yang dilakukan pekerja batiknya di pabrik. Pekerja batik pernah mencuri kain batik yang disembunyikan di perutnya. Kecurangan tersebut diketahui oleh pekerja batik yang lain, mereka curiga dengan perilaku dan fisik pekerja tersebut. Kain yang dia curi adalah kain sutera yang terkenal sangat mahal harganya. Pada akhirnya pekerjapekerja lain melapor kepada pengusaha dan langsung menindak tegas pekerja tersebut untuk mengakui perbuatannya. Dengan berat hati saya mengeluarkan pekerja tersebut dari perusahaan. Pengalaman tersebut menjadi pelajaran bagi pekerja-pekerja batik yang lain. Kepercayaan yang diberikan harus benar-benar dilakukan dengan baik, tanpa ada kebohongan dan kecurangan lagi. Maka dari itu, pengusaha selalu menanamkan kedisiplinan kerja kepada pekerjanya agar berlaku jujur. (Bapak Eddy; pengusaha industri besar, 50 tahun) Pada perusahaan CV. Tobal terdapat peraturan untuk pekerja seperti: peraturan jam kerja, peraturan sistem keamanan dan kesehatan kerja. Sistem keamanan di perusahaan ini cukup terjamin dengan adanya staf-staf bagian yang bekerja mengontrol para pekerja batik. sistem kesehatan di perusajaan ini bekerja sama dengan puskesmas daerah dan terdapat dokter perusahaan untuk menangani pekerja batik yang sakit. Antara majikan dan pekerja pernah terjadi konflik atau beda pendapat dengan pekerja batik. Untuk mengatasi permasalahan intern yang terjadi antara kedua belah pihak, pengusaha melakukan sharing bersama pekerja batik atau dengan cara memanggil pekerja yang bermasalah. Secara terbuka kami bersama mengemukakan atau mengutarakan pendapatan dan keluhan-keluahan yang dirasakan pekerja secara langsung. Adanya pendekatan dengan sistem kekeluargaan pada pekerja menyebabkan saling keterbukaan dan kenyamanan satu sama lain. Perusahaan ini menyediakan ruangan direktur (ruangan khusus) untuk tempat sharing kalau terjadi sesuatu dengan pekerja. Bagian yang menangani kasus seperti ini adalah bagian Supervisor. Perusahaan berusaha memberikan kenyamanan dan kepuasan bekerja (Ibu Naning, 37 tahun).
103
Dari penjelasan di atas merupakan contoh pengalaman pengusaha pada dua industri batik mengenai kedisiplinan pekerja batik tulis. Konflik yang dialami pada perusahaan batik Larissa mengakibatkan kerugian secara ekonomi dan sosial.
Hubungan antar pengusaha/majikan dengan pekerjanya harus terjalin
dengan baik sehingga menimbulkan dampak positif bagi pekerja dan perusahaan. Kedisiplinan pada pekerjaan akan terbangun dan memberikan kepuasan bagi pekerjanya. Setiap keputusan diambil secara bijaksana dan sesuai dengan kebutuhan pekerjanya. Untuk meningkatkan
kedisplinan diperlukan adanya
peraturan-peraturan pada setiap industri batik dan adanya fasilitas-fasilitas yang memadai bagi para pekerjanya. Dengan demikian kepuasan dan keloyalan pekerja akan berdampak pada kehidupan sosial para pekerja batik tulis.
6.2 Tingkat Stres Pekerja Batik Dalam Membatik Pekerjaan membatik merupakan pekerjaan yang tidak mudah dan memerlukan waktu yang cukup lama untuk menyelesaikan satu kain batik. Penyelesaian untuk batik tulis diperlukan waktu selama dua sampai tiga bulan. Setiap hari pekerja batik tulis membatik selama tujuh jam, apabila ditambah dengan pekerjaan lembur dan pekerjaan sampingan akan lebih lama waktu untuk bekerja. Situasi tersebut yang membuat pekerja batik tulis mengalami tekanan terhadap jumlah jam kerja yang panjang. Faktor lingkungan kerja dan suasana kerja menyebabkan nyaman atau tidaknya mereka bekerja. Selain itu, faktor usia responden yang mayoritas sudah tua secara terus-menerus bertahan untuk membatik sesuai dengan durasi jam kerja mereka. Hal tersebut mampu menyebabkan stres sesuai dengan kondisi pekerjaan. Tingkat stres yang dihadapi pekerja dalam pekerjaan membatik dapat dikatakan cukup tinggi. Bagaimana tidak, membatik dilakukan dengan duduk di atas kursi kecil, fokus menggambar dengan canting dan bau asap malam yang sangat menyengat hidung. Setiap hari mereka dihadapkan dengan situasi seperti itu dan berdampak pada kesehatan pekerja batik. Dampak yang mereka rasakan adalah rasa pusing, capek punggung dan batuk-batuk. Selain itu, perubahan teknologi dari minyak tanah ke gas pada industri kecil maupun industri besar juga
104
berdampak pada rasa ketakutan dan ketidaknyamanan responden akan bahayanya. Mereka mengatakan bahwa apabila menggunakan gas takut tabung meledak. Hal tersebut
juga
menjadikan
stres/kekhawatiran
para
pekerjanya
dengan
menggunakan gas. Di bawah ini contoh kasus yang dialami responden dalam membatik. Kerja membatik itu sangat capek dari pagi sampai sore terus membatik dan terdapat lembur membatik pada malam hari. Waktu untuk istirahat di rumah sangat sedikit, karena banyak waktu yang digunakan untuk bekerja. Rumah saya jauh dari tempat kerja, sesampai di rumah sudah sangat capek. Setelah maghrib saya melanjutkan kembali untuk lembur. Walaupun saya sudah tua, alhamdulillah saya masih kuat untuk membatik (Ibu Msl; pekerja batik industri kecil, 60 tahun).
Ibu Msl mengatakan bahwa hal yang dirasakan pada saat membatik adalah rasa capek yang sangat tinggi. Durasi jam kerja mempengaruhi tingkat stres pada pekerjaan membatik. Apalagi ditambah dengan pekerjaan lembur membatik di malam hari, rasa capek pun semakin terasa. Jarak rumah dengan tempat kerja yang cukup jauh juga menjadi penyebab keterlambatan untuk sampai di rumah, setelah itu masih ada tanggungjawab untuk mengurus anak-anak dan suami. Pukul 19.00 WIB beliau meneruskan pekerjaan membatik sampai pukul 22.00 WIB. Hal tersebut berdampak pada kesehatan pekerja batik yang semakin menurun sesuai dengan usia yang sudah tua. Walaupun umur boleh dikatakan tua, semangat untuk terus bekerja mencari nafkah dijalaninya dengan rasa senang dan bahagia. Bagi pekerja batik, rasa capek dan stres kerja sudah dianggap biasa dalam pekerjaannya. Kondisi yang dialami oleh Ibu Msl sebagian besar responden juga mengalami hal yang sama.
6.3 Kondisi Tempat Tinggal Rumahtangga 6.3.1 Kondisi Fisik Tempat Tinggal Rumahtangga Hampir 65% rumahtangga pekerja batik pada industri kecil maupun industri besar memiliki tempat tinggal sendiri (milik pribadi). Namun, ada beberapa rumahtangga yang tidak memiliki rumah sendiri artinya mereka hidup bersama dengan orang tua atau masih menumpang bersama orang tua. Hal ini dikarenakan, responden masih bergantung dengan orang tua mereka sampai mereka sudah berkeluarga dan memiliki anak. Berdasarkan data yang diperoleh, kapasitas
105
tempat tinggal rumahtangga pekerja batik tulis bisa dikatakan memadai untuk menampung seluruh anggota rumahtanga. Sebagian besar dinding rumah pekerja batik sudah menggunakan tembok dengan kondisi lantai sudah menggunakan semen. Walaupun terdapat beberapa yang masih berdinding papan/triplek dan beralaskan tanah. Kondisi tersebut cukup memprihatinkan dan tidak layak bagi anggota rumahtangga yang jumlahnya banyak dalam satu rumah. Tingkat kenyamanan pun menjadi permasalahan bagi mereka apabila menghadapi cuaca atau kondisi alam yang kurang baik, seperti: rumah banjir, angin kencang yang mengakibatkan genteng rusak dan bocor. Bagaimanapun dengan kondisi tersebut mereka mampu tetap bertahan hidup, mereka tidak mampu untuk memperbaiki rumah dikarenakan pendapatan yang diperoleh rumahtangga belum mencukupi. Pada Gambar 28 berikut ini akan ditunjukkan mengenai persentase kondisi fisik tempat tinggal 70 responden dibanding lima tahun yang lalu (2006-2011).
Persentase Responden (%)
100 80 62,86
60,00
Tidak baik (lebih jelek)
60
Kurang baik 40
31,43
28,57
Sama saja Lebih baik
20 5,71 0
2,86
Industri Kecil
2,86
5,71
Industri Besar
Keterangan: npekerja batik industri kecil : 35 npekerja batik industri besar : 35
Uji Statistik Chi-Square, Chi-Sq = 0.071, DF = 1, P-Value = 0.790 (Tidak Berbeda Nyata)
Gambar 27. Persentase Responden Menurut Kondisi Fisik Tempat Tinggal Rumahtangga Tahun 2006 dan 2011 Berdasarkan data pada Gambar 28 di atas, menunjukkan kondisi fisik tempat tinggal rumahtangga pekerja batik tidak jauh berbeda dibandingkan lima tahun yang lalu. Melalui uji statistik Chi-square sebesar P-Value = 0.790 (> 10%) yang artinya bahwa antara industri kecil dibandingkan industri besar tidak berbeda nyata pada kondisi tempat tinggal pada tahun 2011. Sesuai dengan
106
hipotesis penelitian dikatakan menolak H1, yaitu tidak terdapat perbedaan kondisi rumah dibandingkan lima tahun yang lalu pada kedua tipe industri tersebut. Selain itu, dapat dilihat bahwa rata-rata kondisi fisik tempat tinggal rumahtangga responden mengatakan sama saja (tidak ada perubahan), yaitu sebanyak 22 rumahtangga (62,86%) pada industri kecil dan sebanyak 21 rumahtangga (60,00%) pada industri besar. Kemudian terdapat pula beberapa rumahtangga yang mengatakan kondisi fisik tempat tinggal dibandingkan lima tahun yang lalu dalam keadaan lebih baik, yaitu sebanyak 10 rumahtangga (28,57%) pada industri kecil dan sebanyak 11 rumahtangga (31,43%) pada industri besar. Sedangkan sisanya adalah dalam keadaan yang cukup memprihatinkan yaitu kurang baik dan tidak baik (lebih jelek) dibandingkan kondisi fisik tempat tinggal pada lima tahun yang lalu. Tidak terdapat perbedaan kondisi fisik tempat tinggal antara kedua industri batik tersebut, sebagian besar rumahtangga pekerja batik belum sanggup melakukan renovasi terhadap tempat tinggalnya dikarenakan pendapatan rumahtangga pekerja batik belum mencukupi untuk membangun rumah mereka kembali menjadi lebih baik. Pendapatan yang diperoleh rumahtangga tersebut hanya untuk keperluan/kebutuhan sehari-hari saja. Untuk urusan tempat tinggal tidak menjadi kebutuhan utama/kepentingan utama. Selain itu, masih terdapat beberapa responden yang terlilit hutang dan belum bisa membayarnya. Namun, terdapat beberapa rumahtangga dengan kondisi fisik tempat tinggal yang lebih baik dibandingkan lima tahun yang lalu. Hal ini dikarenakan, sebagian besar responden masih menumpang tempat tinggal bersama orang tuanya, sehingga semua anggota rumahtangga mendapat bantuan untuk membangun rumah menjadi lebih baik. Selain itu, pendapatan yang diperoleh masing-masing rumahtangga sudah mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari dan sedikit demi sedikit dapat membangun atau memperbaiki tempat tinggal. Faktor kenyamanan juga menjadi pengaruh terhadap suasana tempat tinggal yang lebih baik, seperti contoh kasus di bawah ini. Keadaan tempat tinggal saya dibandingkan lima tahun yang lalu, sekarang lebih bagus. Dulu suami saya pekerjaannya dagang sepeda, sehingga pendapatan suami lebih banyak dan uangnya bisa untuk membangun rumah. Sekarang, suami sudah berpindah pekerjaan menjadi tukang becak,
107
suami tidak selalu mendapat uang dari hasil membecak. Untuk kondisi rumah seadanya saja, keinginan untuk memperbaiki rumah ada tetapi uang belum mencukupi (Ibu Nsr; pekerja batik industri kecil, 45 tahun). Sebelum saya dan suami bekerja di industri batik, kondisi rumah saya sangat jelek sekali. Alhamdulillah sekarang lebih bagus, pendapatan suami mencukupi untuk memperbaiki rumah. Adanya bantuan dari pemerintah sangat meringankan beban saya dan suami (Ibu, Csm; pekerja industri kecil, 48 tahun).
Kasus ibu Nsr di atas merupakan salah satu kasus dari beberapa responden dengan kondisi fisik tempat tinggal yang kurang baik. Beliau mengatakan bahwa pekerjaan suami yang dulu bekerja dagang sepeda sekarang berpindah menjadi tukang becak menyebabkan penurunan status perekonomian rumahtangganya, sehingga
suami
belum
mampu
untuk
membangun/memperbaiki
tempat
tinggalnya. Sedangkan, kasus pada rumahtangga Ibu Csm keadaan fisik tempat tinggal beliau lebih baik dibandingkan lima tahun yang lalu. Hal ini dikarenakan pendapatan suami yang lebih baik dan mereka hanya menumpang tempat tinggal bersama orang tuanya. Selain itu, adanya bantuan dari Pemerintah yang dapat meringankan beban ekonomi rumahtangganya.
6.3.2 Status Kepemilikan Peralatan Rumahtangga Status kepemilikan peralatan setiap rumahtangga juga menjadi perhatian untuk ditelusuri baik kepemilikan peralatan elektronik maupun kendaraan. Untuk mengetahui tingat perekonomian rumahtangga berdasarkan kondisi tempat tinggal, dapat dilihat pada status kepemilikan peralatan rumahtangga. Pendapatan rumahtangga yang diperoleh dari bekerja di sektor industri batik dan di luar industri batik digunakan untuk membelanjakan peralatan rumahtangga yang sederhana tetapi bermanfaat. Dilihat dari status kepemilikan peralatan elektronik maupun kendaraan dari 70 rumahtangga pekerja batik, mayoritas termasuk sederhana sesuai dengan status mereka sebagai rumahtangga yang tergolong miskin. Uang hasil pekerjaanya sedikit demi sedikit membuahkan hasil untuk memenuhi kebutuhan akan peralatan rumahtangga. Pada Gambar 29, ditunjukkan persentase kepemilikan peralatan rumahtangga pada kategori tidak mewah (non luxurious).
108
97,14 94,29
Peralatan RumahTangga
Sepeda
85,71 88,57
TV 34,29
Radio
20,00 22,86 11,43
Kipas angin
Industri Besar (n=35 orang) Industri Kecil (n=35 orang)
22,86
Setrika
8,57
0
20 40 60 80 100 Persentase Kepemilikan Peralatan RumahTangga
Gambar 28. Persentase Responden Menurut Status Kepemilikan Peralatan Rumahtangga Kategori Non Luxurious pada Industri Kecil dan Industri Besar Bersadarkan data pada Gambar 29 di atas, menunjukkan status kepemilikan peralatan elektronik dan kendaraan rumahtangga pada kategori barang bukan mewah (non luxurious). Jenis peralatan rumahtangga ini seperti: sepeda, tv, radio, kipas angin dan setrika. Alat transportasi berupa sepeda dimiliki sebanyak 33 rumahtangga (94,29%) pada industri kecil dan sebanyak 34 rumahtangga responden (97,14%) industri besar. Alat transportasi (sepeda) ini menjadi hal wajib bagi setiap responden yang bekerja di industri kecil maupun industi besar. Sepeda inilah yang menjadi alat transportasi setiap hari kaum perempuan. Menurut responden, diyakini dengan menggunakan sepeda tidak mengeluarkan biaya untuk ongkos kerja dan selain itu menjadi sarana olahraga bagi para responden saat berangkat kerja dan pulang kerja. Status kepemilikan kendaraan berupa sepeda menduduki tingkat paling tinggi atau paling banyak diantara peralatan rumahtangga yang lainnya. Kemudian, yang menduduki peringkat kedua adalah kepemilikan alat elektronik berupa televisi, radio, kipas angin dan setrika yang terbesar dimiliki oleh rumahtangga industri besar. Pada Gambar 30 dibawah ini ditunjukkan persentase kepemilikan peralatan rumahtangga pada kategori mewah (luxurious).
109
Peralatan RumahTangga
Telepon seluler/HP
42,86
57,14
14,29 22,86
DVD/VCD Player Sepeda motor
48,57
20,00 5,71
Rice cooker/magic jar
Industri Besar (n=35 orang)
14,29
Industri Kecil (n=35 orang)
8,57
Water dispencer
2,86
Parabola 0
20
40
60
80
100
Persentase Kepemilikan Peralatan RumahTangga
Gambar 29. Persentase Responden Menurut Status Kepemilikan Peralatan Rumahtangga Kategori Luxurious pada Industri Kecil dan Industri Besar Bersadarkan data pada Gambar 30 di atas, menunjukkan status kepemilikan peralatan elektronik dan kendaraan rumahtangga pada kategori barang mewah (luxurious). Jenis peralatan rumahtangga ini seperti: telepon seluler/HP, DVD/VCD player, sepeda motor, rice cooker dan parabola. Peralan elektronik yang menduduki peringkat terbesar adalah kepemilikan telepon seluler/HP sebanyak 15 rumahtangga (42,86%) pada industri kecil dan 20 rumahtangga (57,14%) pada industri besar. Alat komunikasi ini biasanya digunakan oleh anaknya baik yang masih sekolah atau yang sudah menikah. Terdapat beberapa pula rumahtangga yang sudah memiliki kendaraan sepeda motor, yaitu sebanyak 7 rumahtangga responden industri kecil dan 17 rumahtangga responden industri besar. Biasanya kendaraan ini digunakan oleh para suami responden sebagai sarana untuk bekerja di Kota. Sisanya berupa kepemilikan water dispenser, dvd/vcd player, kipas angin, radio, magig jar, setrika dan parabola. Kepemilikan alat-alat elektronik tersebut tidak begitu banyak dimiliki orang rumahtangga responden baik industri kecil maupun industri besar. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa status kepemilikan alat elektronik dan kendaraan paling banyak dimiliki oleh rumahtangga responden industri besar dibandingkan industri kecil. Akan tetapi, jumlah yang dimiliki tidak jauh berbeda dengan rumahtangga industri kecil. Hal ini dikarenakan, sebagian
110
besar rumahtangga responden baik industri kecil maupun industri besar samasama berasal dari pedesaan yang berada pada lapisan sosial-ekonomi bawah dengan pendapatan yang rendah untuk setiap rumahtangganya. Status suami berperan dalam pengambilan keputusan dala membelanjakan peralatan elektronik dan kendaraan baik yang tergolong barang mewah ataupun tidak. Dari Gambar 29 dan 30 di atas, dapat disimpulkan bahwa hampir seluruh rumahtangga pekerja batik tulis pada industri kecil maupun industri besar memiliki peralatan elektronik dan kendaraan (barang bukan mewah). Hal ini dikarekan peralatan tersebut masih bersifat sederhana dan mereka tergolong mampu membeli peralatan tersebut. Sedangkan pada kategori barang mewah (luxurious) tidak semua rumahtangga pekerja batik tulis pada kedua tipe industri tersebut memiliki peralatan elektronik dan kendaraan. Hal ini dikarenakan pendapatan yang mereka dapatkan belum mampu untuk membelanjakan peralatan-peralatan yang tergolong mewah tersebut.
6.4 Tingkat Mobilitas Sosial Pekerja Batik Tulis Pekerjaan di sektor industri batik sering dipandang lebih halus dan tidak kasar dibandingkan pekerjaan di luar sektor industri batik, seperti: buruh tani, tukang sapu DKP, tukang ojek dan nelayan.
Hal ini dikarenakan responden
bekerja membatik di dalam ruangan yang tidak terkena sinar matahari yang menyengat atau di dalam rumah bagi pekerja industri kecil dan di dalam pabrik bagi pekerja industri besar. Pekerjaan responden hanya dilakukan dengan diam di tempat duduk sambil memegang canting dengan memberi lilin di atas kain mori, sehingga pekerjaan tersebut dianggap bukan pekerjaan yang kasar. Selain itu, sektor industri batik menjadi sektor yang paling dominan di Kota Pekalongan dibanding sektor-sektor lainnya. Pada tahun 2011, sektor pertanian sudah mulai mengalami penurunan dikarenakan lahan pertanian beralih fungsi untuk pembangun perumahan-perumahan, faktor cuaca yang ekstrim dan tidak menentu mengakibatkan kenaikan harga pupuk dan terjadi penggenangan lahan pertanian oleh air laut sehingga merusak tanaman padi (padi menjadi mati). Akibat terbatasnya pekerjaan di sektor pertanian, peluang terbesar dalam memperoleh pekerjaan adalah di sektor industri batik. Dapat dikatakan pekerjaan sebagai
111
pekerja batik merupakan pekerjaan utama responden. Walaupun demikian, pekerjaan membatik tetap menjadi perhatian mengenai kecilnya upah yang diperoleh masing-masing responden. Pada Gambar 31, ditunjukkan persentase peluang status sosial responden. Persentase Responden (%)
100
88,57 80,00
80 60 Ya 40
Tidak 20,00
20
11,43
0
Industri Kecil
Industri Besar
Keterangan: npekerja batik industri kecil : 35 npekerja batik industri besar : 35
Uji Statistik Chi-Square, Chi-Sq = 18.651, DF = 1, P-Value = 0.000 (Berbeda Nyata)
Gambar 30. Persentase Responden Menurut Peluang Peningkatan Status Sosial pada Industri Kecil dan Industri Besar Berdasarkan data pada Gambar 31 di atas, menunjukkan persentase peluang dalam meningkatkan status sosial responden berbeda nyata antara responden pada industri kecil dibandingkan dengan industri besar. Melalui uji statistik chisquare sebesar P-Value = 0.000 (< 10%) sesuai dengan hipotesis penelitian yaitu menerima H1. Responden pada industri kecil dan industri besar mengatakan tidak memiliki peluang untuk meningkatkan status sosial mereka, yaitu sebanyak 31 responden (88,57%) pada industri kecil dan sebanyak 28 responden (80,00%) pada industri besar. Hal ini dikarenakan bekerja pada industri batik hanya mendapatkan upah yang kecil
untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga.
Responden pada industri kecil dan industri besar meyakini bahwa upah yang diperoleh dari tahun ke tahun belum mengalami peningkatan yang nyata. Sebenarnya, keinginan mereka adalah dapat diberikan upah yang lebih baik sesuai dengan kinerja dan kualitas mereka dalam membatik. Disesuaikan dengan jam kerja yang sangat lama dan ditambah dengan jam lembur membatik di malam hari. Sangat memprihatinkan kondisi pekerja batik tulis tersebut. Selain itu, faktor
112
tingkat pendidikan yang sangat rendah (tidak sekolah dan tamat SD) juga sangat berpengaruh pada kehidupan sosial responden dalam memperoleh pekerjaan. Dengan
keterbatasan
keterampilan
dan
pengetahuan
menyebabkan
responden terpaksa menggantungkan hidupnya pada pekerjaan membatik sesuai dengan keterampilan yang mereka miliki. Sebagian besar responden yang bekerja di industri kecil dan industri besar adalah perempuan pedesaan dengan status keluarga yang tidak berkecukupan. Kecilnya pendapatan responden menyebabkan pekerja batik tidak memiliki kekuasaan secara ekonomi, sehingga dapat dikatakan status sosial mereka rendah. Walaupun terdapat beberapa responden saja yang memiliki pekerjaan sampingan tidak menjadi jaminan untuk mereka dapat hidup lebih baik dan lebih makmur, cukup untuk tambahan kebutuhan rumahtangga. Mereka terpaksa mengkombinasikan sejumlah kegiatan ekonomi dan bekerja lebih lama dengan upah yang rendah. Pekerjaan membatik dianggap mereka merupakan “berkah” karena bermodalkan keterampilan membatik menjadikan mereka memiliki pekerjaan tetap di Kota. Pekerja batik tulis akan tetap menjadi pekerja batik tulis, posisi kelompok tersebut tidak akan pernah berpindah pada jenis pekerjaan atau bidang batik yang lain, disesuaikan dengan pembagian kerja dan keterampilan masing-masing. Pekerja batik tulis sangat identik dengan kaum perempuan. Mereka meyakini bahwa pekerjaan tersebut sangat meyenangkan dan merupakan pekerjaan yang cocok bagi mereka. Tidak memungkinkan bagi mereka untuk pindah atau keluar dari industri batik. Berdasarkan data mengenai kondisi tempat tinggal dan status kepemlikian peralatan rumahtangga responden, menggambarkan keadaan yang sangat sederhana dan bukan termasuk seseorang yang dipandang lebih terhormat di dalam masyarakatnya. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa responden pada industri kecil dan industri besar tidak mengalami gerak sosial menuju strata yang lebih tinggi dan tidak terjadi perubahan standar hidup. Dengan demikian bentuk mobilitas yang terjadi adalah “mobilitas horisontal” yaitu gerak sosial pekerja batik tulis tidak mengalami perubahan dan pengaruh sosial terhadap status sosialnya. Ketidakinginan responden untuk berpindah ke pekerjaan lain di luar sektor industri batik dikarenakan kepuasan dan kesetian mereka dalam pekerjaan
113
membatik. Pekerjaan membatik bagi mereka diibaratkan seperti “nafas” yang artinya responden mampu bertahan hidup pada pekerjaan tersebut dan memberikan kepuasan secara lahir dan batin. Pekerjaan membatik memanglah tidak mudah, membutuhan ketelatenan dan kesabaran yang tinggi. Kesulitan tersebut hanya dialami saat awal belajar membatik, selanjutnya membatik bagi pekerja yang sudah berpengalaman (profesional) merupakan pekerjaan yang mudah dan menyenangkan. Pekerjaan membatikpun dijadikan hobbi baru bagi responden. Bagaimana tidak, belajar membatik sudah diajarkan pada waktu masih kecil sampai sekarang sudah menikah dan sudah nenek-nenek. Terdapat beberapa pengalaman yang dialami responden selama bekerja di industri batik. Saya puas bekerja di industri batik, dari kecil saya sudah belajar membatik sampai sekarang ibu sudah lama bekerja di batik. Pengalaman saya sudah cukup banyak sehingga saya betah bekerja membatik karena saya bisanya hanya membatik. Saya tidak ingin pindah-pindah ke luar industri batik (Ibu Mzm; pekerja batik industri besar, 45 tahun). Saya sudah tua tidak ingin berpindah-pindah pekerjaan lagi, walaupun upah membatik kecil sehari hanya dapat Rp 10.000,00. Tetapi saya sudah betah dan hobbi membatik. Selain itu, saya berangkat ke tempat kerja jalan kaki karena dekat dari rumah saya (Ibu Rbd; pekerja batik industri kecil, 50 tahun).
Berdasarkan kasus Ibu Mzm dan Ibu Rbd di atas, mengatakan bahwa beliau merasakan kepuasan bekerja di sektor industri batik karena sudah dari kecil bekerja membatik sampai sekarang. Faktor umur menjadi alasan untuk tidak berpindah ke pekerjaan yang lain dan keterbatasan keterampilan. Semakin tua atau semakin lama waktu responden bekerja, maka semakin terpuaskan untuk menetap pada industri batik. Walaupun upah yang diberikan kecil, asalkan dapat bekerja untuk mencukupi kebutuhan rumahtangga dan tidak menggantungkan pendapatan suami saja. Kaum perempuan memiliki kemampuan untuk mandiri mencari nafkah dan terlepas dari kontrol para suami. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa responden yang bekerja pada industri kecil maupun industri besar tidak mampu untuk ke luar dari sektor industri batik. Hal ini dikarenakan kepuasan untuk menetap di industri batik dan keterbatasan akses untuk berpindah ke sektor yang modern. Sikap “pasrah” dan “nrimo” yang terdapat pada masing-masing responden mampu menjadikan kekuatan besar untuk bertahan hidup dan sebagai penopang kehidupan mereka.
114
Meskipun faktor kemiskinan menjadi belenggu dan belum dapat terlepas dari kehidupan pekerja batik tulis.
6.5 Ikhtisar Industri batik di Kota Pekalongan memberikan peluang besar masyarakat Kota Pekalongan baik yang tinggal di pedesaan maupun perkotaan. Kehidupan sosial para pekerja batik yang bekerja pada industri kecil maupun industri besar ditentukan dari tingkat kepuasan kerja dalam membatik, keadaan tempat tinggal, status kepemilikan peralatan rumahtangga dan mobilitas sosial pekerja batik tulis tradisional. Penjelasan pada Bab V1 di atas, terangkum dalam tabel 8 di bawah ini. Tabel 8. Kualitas Kehidupan Sosial Pekerja Batik Tulis Tradisional pada Industri Kecil dan Industri Besar Kota Pekalongan, Tahun 2011 Aspek Penelitian Kepuasan pekerja batik terhadap upah Kepuasan pekerja batik terhadap jaminan sosial dan kesehatan Kepuasaan pekerja batik terhadap fasilitas kerja Kepuasan pekerja batik terhadap kedisiplinan kerja Kepuasan pekerja batik terhadap aturan/sanksi Kepuasan pekerja batik pada pekerjaan di sektor industri batik Tingkat stres pekerja batik dalam pekerjaan membatik Kondisi fisik tempat tinggal Status tempat tinggal Jumlah kepemilikan peralatan elektronik dan kendaraan rumahtangga Peluang peningkatan status sosial pekerja batik Keinginan untuk menetap di sektor industri batik
Industri Kecil Kurang puas
Industri Besar Puas
Tidak puas
Puas
Puas
Puas
Puas
Puas
Cukup puas
Puas
Puas
Puas
Netral
Netral
Sama saja (tidak ada perubahan), cukup layak Pribadi Sedikit
Sama saja (tidak ada perubahan), cukup layak Pribadi Banyak
Rendah
Rendah
Besar
Besar
115
Berdasarkan tabel 8 di atas, terlihat bahwa tingkat kepuasan pekerja batik terhadap upah pada industri kecil berbeda dengan industri besar. Dengan kata lain, sesuai hipotesis penelitian membuktikan bahwa tingkat kepuasan pekerja batik menerima H1, yang artinya terdapat beda nyata tingkat kepuasan kerja responden pada industri kecil maupun industri besar. Tingkat kepuasan ini diantaranya adalah kepuasan terhadap upah, kepuasan terhadap jaminan sosial dan kesehatan, kepuasan terhadap fasilitas kerja, kepuasan terhadap kedisiplinan kerja dan kepuasan terhadap aturan/sanksi pada industri kecil dan industri besar. Pada industri kecil, responden yang menyatakan kepuasan terhadap upah rendah dikarenakan jumlah upah harian membatik yang diperoleh sangat sedikit dan tidak sesuai dengan harapan dan hasil dari membatik yang membutuhkan waktu yang lama. Selain itu, kepuasan terhadap jaminan sosial dan kesehatan juga rendah dikarenakan pekerja batik menyatakan kurang adanya perhatian terhadap bantuan sosial dan kesehatan yang diberikan pengusaha pada industri kecil. Mereka sangat berharap adanya bantuan untuk mengurangi beban mereka. Sementara itu, kepuasan terhadap fasilitas kerja yang diberikan hampir seluruh responden baik industri kecil maupun industri besar menyatakan puas, akan tetapi responden pada industri besar lebih banyak yang menyatakan puas, sehingga pada industri besar kepuasan terhadap fasilitas kerja tergolong tinggi. Pada industri besar, terdapat peraturan-peraturan pada perusahaan yang harus ditaati oleh seluruh responden, seperti: peraturan jadwal masuk dan peraturan selama bekerja membatik. pada industri besar tergolong lebih tinggi, yang artinya banyak yang menyatakan puas terhadap aturan/sanksi yang berlaku. Berdasarkan hipotesis penelitian pada tingkat stres kerja membuktikan bahwa hipotesis tersebut menerima H0, yang artinya bahwa tidak terdapat beda nyata tingkat stres kerja pekerja batik yang bekerja di industri kecil maupun industri besar. Responden pada kedua industri tersebut, menyatakan stres kerja yang netral (sedang), karena faktor dari durasi jam kerja, rasa capek dalam membatik dan usia yang sudah tua. Sedangkan pada ragam pekerjaan responden bagi (pekerjaan sampingan) dikatakan memiliki tingkat stres yang tinggi. Kondisi fisik tempat tinggal responden pada industri kecil dan industri besar menyatakan tidak ada perubahan dibandingkan lima tahun yang lalu, baik belum atau sudah
116
bekerja di industri batik. keadannya masih masa, tidak lebih baik atau tidak lebih buruk. Kondisi dinding dan alas tempat tinggal pekerja batik cukup layak untuk menampung seruluh anggota rumahtangga. Status tempat tinggal tersebut merupakan milik pribadi. Pada responden yang bekerja di industri besar, jumlah peralatan elektronik dan kendaraan lebih banyak dibanding responden di industri kecil. Hal ini tidak terlepas dari peran suami, dimana pendapatan yang diperoleh juga berkontribusi dalam kepemilikan peralatan rumahtangga. Peluang peningkatan status sosial menunjukkan perbedaan antara responden pada industri kecil maupun industri besar. Sesuai dengan hipotesis penelitian membuktikan bahwa menerima H1. Responden yang bekerja pada industri kecil maupun industri besar mengatakan tidak memiliki peluang untuk meningkatkan status sosial mereka. Kecilnya pendapatan responden menyebabkan pekerja batik tidak memiliki kekuasaan secara ekonomi, sehingga dapat dikatakan status sosial mereka rendah. Walaupun terdapat beberapa responden saja yang memiliki pekerjaan sampingan tidak menjadi jaminan untuk mereka dapat hidup lebih baik dan lebih makmur, cukup untuk tambahan kebutuhan rumahtangga. Bentuk mobilitas yang terjadi adalah “mobilitas horisontal”. Dengan demikan, adanya industri batik di Kota Pekalongan menentukan sistem penghidupan mereka dalam kehidupan sosial pekerja batik, sehingga besar keinginan mereka untuk menetap di sektor industri batik dan memilih bertahan hidup dari nafkah membatik.
117
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan Struktur nafkah rumahtangga pekerja batik tulis pada industri kecil dan industri besar tidak berbeda nyata (menolak H1). Pendapatan dari pekerja batik hanya menyumbangkan sekitar 28%-29% total pendapatan rumahtangga. Hal ini dikarenakan pendapatan suami sangat berperan dan berkontribusi dalam perekonomian rumahtangga. Dengan demikian, pendapatan isteri maupun anak yang bekerja hanyalah untuk menopang ekonomi rumahtangga. Sekalipun demikian pekerjaan membatik yang dilakukan oleh isteri merupakan “last resort” atau pelabuhan terakhir untuk dapat bertahan hidup karena tidak adanya kesempatan kerja di luar sektor membatik bagi perempuan. dalam menghidupi rumahtangga sekalipun upah yang diperoleh sangat kecil. Rumahtangga pekerja batik tulis tergolong berada di bawah “Garis Kemiskinan” karena memiliki pendapatan tidak lebih dari USD 2/kapita/hari. Pendapatan rata-rata rumahtangga pekerja batik industri kecil adalah sebesar Rp 12.086,00 USD/hari. Sedangkan pendapatan rata-rata rumahtangga pekerja batik tulis pada industri besar adalah sebesar Rp 14.525,00 USD/hari. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perubahan atau perbedaan secara nyata pada kondisi ekonomi rumahtangga pekerja batik pada industri kecil maupun industri besar. Rumahtangga pada kedua tipe industri batik dikatakan belum sejahtera secara ekonomi. Sekalipun rumahtangga pekerja batik tulis pada industri kecil maupun industri besar berada pada garis kemiskinan atau dikatakan belum sejahtera secara ekonomi tetapi mereka dinyatakan puas bekerja di industri batik. Sehingga tidak terdapat hubungan pada kehidupan sosial dan ekonomi rumahtangga pekerja batik tulis. Kepuasan bekerja inilah yang membuat pekerja batik tulis memilih untuk terus melakukan pekerjaannya atau menetap di industri batik. Pekerja batik tulis pada industri besar lebih menyatakan kepuasan bekerja terhadap upah, fasilitas kerja dan pelayanan jaminan sosial dan kesehatan dibandingkan dengan pekerja batik tulis yang bekeja di industri kecil. Dengan demikian, walaupun rumahtangga
118
pekerja batik tulis tidak terdapat perubahan standar hidup dan berada pada situasi ekonomi sulit, tetapi mereka bahagia dan puas pada pekerjaannya.
7.2 Saran Beberapa saran yang dapat diajukan dari hasil penelitian ini, antara lain: 1. Pemerintah memasukkan indikator-indikator kepuasan kerja dalam mendeteksi dan memperhitungkan sistem penghidupan pekerja batik tulis pada industri kecil dan industri besar. Sekalipun demikian pekerja batik tulis tetap berada pada kelompok yang rendah. 2. Pemerintah dihimbau tidak menaikkan harga bahan pokok agar mereka tidak lebih terjebak dalam kemiskinan.
119
DAFTAR PUSTAKA
Asa, K. 2006. Batik Pekalongan dalam Lintasan Sejarah, Batik Pekalongan on History, Yogyakarta: Cahaya Timur Offset. Becker, G. S. 1965. The Economic Approach to Human Behavior. Chicago. The University of Chicago Press BPS. 2009. Kota Pekalongan Dalam Angka. Badan Pusat Statistik, Pekalongan. Dharmawan, A.H. 2007. Sistem Penghidupan dan Nafkah Pedesaan: Pandangan Sosiologi Nafkah (Livelihood Sociology) Mahzab Barat dan Mahzab Bogor. Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi dan Ekologi Manusia. Vol. 01, No. 02 Agustus 2007. Hlm 169-192. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Dharmawan, A.H, Purnomo, A.M, Agusta, I. 2007. Transformasi Struktur Nafkah Pedesaan: Pertumbuhan “Modal Sosial Bentukan” dalam Skema Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat di Kabupaten Kuningan. Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi dan Ekologi Manusia. Vol. 01, No. 02 Agustus 2007, hlm 193-216. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Faridah, K. 2007. Skripsi Dari Ekonomi Pertanian Ke Ekonomi Industri (Sejarah Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Kubangwungu Kecamatan Ketanggungan Kabupaten Brebes Tahun 1969-2000) [Skripsi]. Semarang: Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang. Iskandar, H. 2007. Kajian Dampak Kebisingan (Dalam Lingkungan Pabrik) Terhadap Penurunan Tingkat Pendengaran Karyawan Di Kawasan Industri Kota Tangerang [Skripsi] Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Kardi, M. 2005. Sejarah Perbatikan Indonesia, Makalah Seminar Jejak Telusur dan Perkembangan Batik Pekalongan. Pekalongan. Mardianingsih, D. I. 2003. Industri Pariwisata dan Dampaknya Terhadap Kehidupan Sosial-Ekonomi Masyarakat Lokal; Kasus Dua Desa di Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang. Provinsi Jawa Tengah [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Sandy, I. M. 1985. Republik Indonesia Geografi Regional. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Setyaningsih, D. 2006. Dampak Industri Konveksi Terhadap Pergeseran Nilai Kerukunan Dalam Masyarakat Jawa; Studi Kasus Desa Srinahan
120
Kecamatan Kesesi Kabupaten Pekalongan [Skripsi]. Jakarta: Fakultas Sosiologi dan Antropologi, Universitas Indonesia. Siahaan. 1996. Pola Pengembangan Industri. Jakarta: Departemen Perindustrian. Singarimbun, M. 1989. Metode Penelitian Survey. Jakarta: LP3ES. Soesilowati, S. E. 1988. Dampak Industri PT. Krakatau Stell Terhadap Masyarakat Pedesaan Di Daerah Cilegon: Studi Kasus Desa Masigit [Tesisi]. Jakarta: Fakultas Pascasarjana, Universitas Indonesia. Susanto, S. 1980. Seni Kerajinan Batik Indonesia. Yogyakarta: Balai Penelitian Batik dan Kerajinan, Lembaga Penelitian dan Pendidikan Industri, Departemen RI. Tambunan, T. 1993. Perkembangan Industri Skala Kecil di Indonesia. Jakarta: Salemba Empat. Trimargawati, N. E. 2008. Penerapan Hukum Hak Cipta Seni Batik Pekalongan Sebagai Komoditas Internasional [Tesis]. Semarang: Fakultas Ilmu Hukum, Universitas Negeri Semarang. Tulak, P.P, Dharmawan, A.H, Juanda, B. 2009. Struktur Nafkah Rumahtangga Petani Transmigran (Studi Sosio-Ekonomi di Tiga Kampung di Disterik Masni Kabupaten Manokwari). Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia, Vol. 03, No,02 Agustus 2009, hlm 203-220. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Tulak, P.P. 2009. Analisis Tingkat Kesejahteraan Dan Strategi Nafkah RumahTangga Petani Transmigran; Studi Sosio-Ekonomi Perdandingan di Tiga Kampung di Disterik Masni Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Widuratmi, C. F. 2003. Perempuan Pembatik Tulis (Mengungkap Pola Hubungan Juragan-Buruh dan Keterlibatannya dalam Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) di Kecamatan Bayat, Klaten. Studi Kasus Pendampingan LSM Bina Swadaya) [Tesis]. Jakarta: Program Kajian Wanita, Universitas Indonesia.
LAMPIRAN
Sampling Frame Pekerja Batik Industri Kecil di Kota Pekalongan Jawa Tengah, Tahun 2011
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Industri Kecil I RTM ASH ATN RSM INT KTY UMN ACH UMI RNA IWN SRT NYM MSH BRY ARN
No. Industri Kecil II 1. STN 2. RBD 3. SIT 3. YTN 5. ENI 6. SUE 7. JNH 8. END 9. SES 10. MNH 11. IKA 12. SRY 13. SRP 14. INY 15. NNA 16. KRY
Keterangan:
= Responden
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21.
Industri Kecil III VEL DRY NUR IND ERN MRD ONI YYN MMI DIN NTN RNA STW WLS NRS CAE MKN JRY MRT NTI MSL
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
Industri Kecil IV DSA SAT MBO NSR KTJ END RSY NKN MIS CSM NNK NRL TTI MJN NNK SUM ANY
Sampling Frame Pekerja Batik Industri Besar di Kota Pekalongan Jawa Tengah, Tahun 2011
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
Industri Besar I AST STI TSR NSA CTN JAE DKA INA RZH RNI SJD TRY SLY ELA MRF FFH KTJ
No. Industri Besar II 1. KSN 2. UPI 3. MZM 3. CAS 5. KNT 6. MMI 7. CSW 8. TTI 9. AMN 10. INY 11. NOV 12. TSM 13. DIN 14. RKY
Keterangan:
= Responden
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Industri Besar III UMI LIA NNI ULI RUL RSY NGS RKN AYU WYT LIN HNF SRM NSA PIA RIS
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22.
Industri Besar IV RHM VVI TMM TRT IYM JPR DRH ISK FTM NNS WRS BSR ILA MAF IRN PRN KSS WDA JUR PRI NNA VIA
Daftar Responden Industri Kecil dan Industri Besar, Kota Pekalongan Jawa Tengah Tahun 2011
No. 1. 2 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34 35.
Nama Responden Industri Kecil Industri Besar RTM AST RSM TSR KTY CTN RNA JAE SRT INA MSH RNI ARN TRY RBD ELA YTN MRF SUE KTJ SES KSN SRY MZM INY KNT VEL CSW NUR AMN ERN INY YYN TSM DIN RKY STW UMI NRS NNI JRY RUL MKN RSY NTI RKN MSL WYT KRY SRM SAT RHM NSR TRT KTJ DRH RSY FTM MIS WRS CSM ILA NRL PRN MJN JUR SUM PRN ANY VIA
Jadwal Pelaksanaan Penelitian Tahun 2011
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Kegiatan 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 Penyusunan proposal skripsi Kolokium Perbaikan proposal skripsi Pengambilan data lapangan Pengolahan dan analisis data Penulisan draft skripsi Revisi skripsi Sidang skripsi Perbaikan skripsi Penggandaan skripsi
PETA KOTA PEKALONGAN
Sumber: http://gambar-peta.blogspot.com/2010/09/gambar-peta-kotapekalongan.html
DOKUMENTASI
Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UKM
Badan Pusat Statistik Kota Pekalongan
Batik LARRISSA
Motto Pekalongan “Kota Batik”
Museum Batik Pekalongan
Batik TOBAL
Batik FENNO
Peresmian Museum Batik
Kompor Malam
Aktivitas Membatik
Canting
Aktivitas Membatik
Aktivitas Membatik
Alat Transportasi Pekerja Batik
Kondisi Tempat Tinggal Pekerja Batik (Degayu)
Kondisi Tempat Tinggal Pekerja Batik (Degayu)
Showroom Batik