PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA NELAYAN TRADISIONAL Yuhka Sundaya Program Studi Ilmu Ekonomi Universitas Islam Bandung
Dalam proses penerbitan (in press) pada Performance Economic Journals
Abstract. The paper aim to build traditional fishermens household framework. Its expanded from basic model, called bioeconomic equilibrium or popularly called conventional fisheries management. However, the basic model is a general framework with certain assumption. So, economists could relaxing some assumption, if related fact under study different with its assumption. In this paper, i was replicated fishermens household. Generaly, they have any job both in fisheries activity and off-fish, like produced fickle fish. Its was done by fishermen couples. That is i called traditional fishermens. In this paper i analysis production and consumption behaviour of fishermens household. There are specific explanation about how they determined to participated both in fisheries and off-fishing activity. In the basic model its question do not explained explicitly.
PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA NELAYAN SUBSISTEN Yuhka Sundaya Program Studi Ilmu Ekonomi Universitas Islam Bandung Abstract. The paper aim to build traditional fishermens household framework. Its expanded from basic model, called bioeconomic equilibrium or popularly called conventional fisheries management. However, the basic model is a general framework with certain assumption. So, economists could relaxing some assumption, if related fact under study different with its assumption. In this paper, i was replicated fishermens household. Generaly, they have any job both in fisheries activity and off-fish, like produced fickle fish. Its was done by fishermen couples. That is i called traditional fishermens. In this paper i analysis production and consumption behaviour of fishermens household. There are specific explanation about how they determined to participated both in fisheries and off-fishing activity. In the basic model its question do not explained explicitly. Key words : conventional fisheries management, traditional fishermens household behaviour.
1.
Pendahuluan Teori manajemen perikanan konvensional merupakan kerangka kerja yang membantu ahli ekonomi dalam menjelaskan kegiatan ekonomi perikanan yang sifatnya general. Penjelasannya mencakup keseimbangan antara aspek ekonomi dan aspek biologi. Karena itu, teori tersebut dikenal juga dengan keseimbangan bioekonomi sumber daya perikanan. Sifatnya cenderung normatif. Teori tersebut menyajikan kerangka kerja untuk menggagas bentuk kebijakan dalam mengantisipasi terjadinya overfishing. Terdapat dua alternatif kebijakan ekonomi sebagai turunannya : kebijakan langsung dan tidak langsung. Kebijakan langsung mencakup regulasi untuk membatasi jumlah penangkapan ikan (kuota penangkapan ikan). Sedangkan kebijakan tidak langsung mencakup introduksi kebijakan fiskal : perpajakan dan subsidi. Lebih dari itu, teori tersebut dapat mengidentifikasi besarnya potensi lestari sumber daya ikan dalam dua rezim pengelolaan : terkendali dan akses terbuka (open access). Secara melekat muncul juga informasi mengenai tingkat upaya perikanan yang optimal. Kebijakan terbaik pertama untuk menciptakan manajemen perikanan yang lestari berdasarkan teori ini adalah perikanan harus diatur melalui pengendalian penuh atau diregulasi penuh oleh pemerintah. Akses terbuka terhadap sumber daya perikanan bukan rekomendasi terbaik dalam teori tersebut, karena rezim itu diprediksi akan menciptakan kondisi dimana nelayan tidak memperoleh rente ekonomi, dan tingkat pertumbuhan stok biomassa ikan berada dalam kondisi yang menurun. Dengan demikian pra kondisi untuk menciptakan perikanan yang berkelanjutan adalah menggeser sifat akses terbuka menjadi terkendali. Teori ini terus dikembangkan, hingga bisa memenuhi sifat dinamis perikanan (lihat Clark (1991) dan Hanley et al., (1987)). Mengamati beberapa pemikiran yang dituangkan dalam artikel jurnal terpilih, teori tersebut menerima kritik yang cukup berarti. Misalnya dari Wiyono (2006), Staples et al.,(2004) dan Berkes (2003). Wiyono (2006) menangkap adanya kelemahan dalam model ekonomi perikanan konvensional yang menyebabkan kesalahan praktek pengelolaan sumber daya ikan. Salah satunya, manajemen perikanan konvensional hanya terfokus pada stock assessment model yang menafikkan aspek sosial. Mengutip dari 1
Hilborn (1985), ia mengungkapkan juga bahwa krisis perikanan cod dan salmon di Canada pada tahun 1980an sebenarnya bukanlah karena ketidak mampuan model dalam memperediksi ekologi semata, tapi karena dinafikkannya aspek perilaku nelayan ini dalam pengelolaan sumberdaya ikan. Menurut Staples et al.,(2004) teori tersebut tidak cukup untuk memahami pembangunan berkelanjutan perikanan skala kecil. Berkes (2003) memandang bahwa teori tersebut tidak bekerja dengan baik. Dalam papernya ia membangun alternatif pemikiran dan konsep untuk mengembangkan perikanan skala kecil. Kritik tersebut memang relevan. Bagaimanapun sebuah teori merupakan abstraksi dari sebuah fenomena yang didasarkan pada asumsi tertentu. Dengan demikian penjelasan yang muncul dari teori tersebut tanpa merelaksasi asumsinya, tentu saja akan menghasilkan simpulan deduktif yang belum tentu cocok dengan obyek perikanan yang sedang dikaji. Bagaimanapun asumsi yang mendasarinya perlu ditimbang secara bijak dengan faktanya. Semakin banyak asumsi yang tidak cocok dengan fakta, penjelasannya akan meleset, dan bila diterapkan dalam pekerjaan praktis akan menciptakan kebijakan yang tidak tepat sasaran. Oleh karena itu, kritik terhadap teori tersebut tidak perlu dilebihlebihkan. Indonesia sebagai negara maritim memiliki sumber daya laut yang cukup luas. Luas perairan laut Indonesia diperkirakan sebesar 5.8 juta km2 dengan garis pantai terpanjang di dunia sebesar 81 ribu km dan gugusan pulau-pulau sebanyak 17 508, memiliki potensi ikan yang diperkirakan sebanyak 6.26 juta ton pertahun yang dapat dikelola secara lestari dengan rincian sebanyak 4.4 juta ton dapat ditangkap di perairan Indonesia dan 1.86 juta ton dapat diperoleh dari perairan ZEEI. Armada penangkapan ikan yang beroperasi di perairan Indonesia, terutama pada perairan pantai masih didominasi (85%) oleh armada penangkapan yang relatif kecil atau tradisional.1 Karena itu, asumsi yang melekat dalam teori manajemen perikanan konvensional belum tentu terpenuhi oleh karakteristik perikanan skala kecil tersebut. Paper ini coba menginduksi, meski tidak seluruhnya, karakteristik ekonomi nelayan tradisional yang mendominasi kegiatan perikanan di Indonesia. Tujuannya adalah menjelaskan perilaku ekonomi rumahtangga nelayan tradisional di Indonesia. Nelayan memang banyak ragamnya. Disini fokus pembahasannya adalah pada nelayan tradisional yang sifatnya subsisten. Pada dasarnya nelayan tipe ini merupakan tipe nelayan semi komersil. Dimana mereka tidak menjual seluruh hasil tangkapan ikannya. Sebagian hasil tangkapannya mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumahtangganya. Kemudian diantara anggota rumahtangganya terdapat pembagian kerja. Tipe nelayan seperti ini dipilih menjadi pembahasan dalam paper ini. Penjelasannya mencakup cara mereka mengalokasikan sumber daya rumahtangga untuk kegiatan ekonomi mereka. Bagian kedua dari paper ini menyajikan model dasar mengenai manajemen perikanan konvensional. Sebetulnya, materi tersebut dapat dibaca pada beberapa buku teks ekonomi sumber daya dan lingkungan. Akan tetapi, disini sintesanya dimunculkan untuk menampilkan bagaimana teori tersebut direlaksasi yang memenuhi karakteristik nelayan yang dikaji. Kemudian pada bagian ketiga disajikan penjelasan mengenai perilaku rumahtangga nelayan dalam aspek konsumsi dan produksi. Pada bagian ini, penjelasan isu perikanan yang dibahas pada bagian kedua tetap dipertahankan, dan 1
www.dkp.go.id/Info Aktual: Industri Perikanan/03/03/05
2
dengan cara demikian pembaca dapat melihat adanya prediksi yang berbeda diantara model dasar dengan hasil relaksasinya. Karena itu, simpulan yang disajikan pada bagian terakhir berisi proposisi mengenai perilaku ekonomi rumahtangga nelayan yang menjadi contoh pembahasan. 2.
Manajamen Perikanan Konvensional : Model Dasar dan Pengembangannya Terdapat banyak sumber pustaka primer yang menjelaskan pemanfaatan sumberdaya ikan. Diantaranya adalah Clark (1990 dan 1999 dalam Handbook Environmental and Resource Economics), Hanley et, al (1997), Hartwick dan Olewiler (1998), Conrad (1999), dan Fauzi (2004). Dari beberapa sumber pustaka primer tersebut, penjelasan mengenai ekonomi sumberdaya ikan terkait dengan pemahaman mengenai pertumbuhan stok biomassa ikan, fungsi produksi perikanan, konsep keseimbangan bioekonomi dan berakhir dengan kajian mengenai kebijakan ekonomi perikanan. Dari penjelasan tersebut akhirnya dapat dimunculkan indikator yang dapat menjelaskan apakah suatu perikanan telah mengalami tangkap lebih atau belum, dan secara normatif dijelaskan bagaimana supaya suatu perikanan mencapai keseimbangan bioekonomi. Model ekonomi sumberdaya ikan yang dikemukakan dalam sumber pustaka primer tersebut ada yang bersifat statik dan dinamik. Menurut pendekatan biologi, indikator kelestarian sumberdaya ikan mengacu pada maximum sustainable yield (MSY), sedangkan menurut pendekatan ekonomi acuannya adalah maximum economic yiled (MEY). Perubahan dalam pertumbuhan stok biomassa ikan dapat dikaji melalui fungsi pertumbuhan stok berdasarkan model Schaefer. Pertumbuhan stok biomassa ikan ditentukan secara intrinsik oleh populasi dan ruang serta oleh introduksi eksploitasi ikan. Hubungan tersebut diekspresikan melalui persamaan (1).
dS F (S ) h dt S rS 1 qES K
(1)2
Persamaan (1) menjelaskan bahwa tingkat pertumbuhan stok biomassa ikan pada waktu tertentu ditentukan oleh aspek biologi ikan yang dalam bentuk eksplisit3
2
dimana : dS/dt = F = r = S K
= =
h q E
= = =
pertumbuhan stok biomassa ikan pada waktu tertentu bentuk fungsi pertumbuhan stok biomassa ikan tingkat pertumbuhan proporsional populasi bersih (net proportional growth rate population) atau pertumbuhan intrinsik (Fauzi, 2004, Hartwick1998, dan Conrad, 1999) jumlah stok biomassa ikan batas daya dukung lingkungan (carrying capacity) atau mencerminkan kondisi tingkat jenuh (saturation level) jumlah ikan yang ditangkap koefisien kemampuan tangkap (catcability coeficient) unit upaya (effort)
3
ditunjukkan oleh term pertama baris kedua persamaan 1 dan kegiatan penangkapan ikan sebagai reduktor stok biomassa ikan yang ditunjukkan oleh term kedua. Aspek biologi itu menggambarkan fenomena biologis dimana populasi ikan, S, menentukan tingkat pertumbuhan intrinsik, r. Dimana, r, sendiri adalah selisih antara tingkat kelahiran, b, dan tingkat kematian ikan, m. Kenyataannya semakin padat populasi sementara daya dukung lingkungan terbatas, maka desakan populasi ikan bisa menurunkan pertumbuhan intrinsik, r. Dengan demikian ”r” merupakan fungsi yang menurun dari ”S”, (dr/dS < 0). Sementara itu jumlah tangkapan ikan secara linear dinyatakan proporsional terhadap upaya, E, dan stok biomassa ikan, S. Notasi ”qE” menunjukkan kematian ikan karena penangkapan (fishing mortality – ”f”). Term kedua persamaan 1 merupakan bentuk eksplisit dari fungsi produksi atau eksploitasi ikan. Volume stok biomassa ikan diturunkan pada saat stok tumbuh pada titik maskimum. Dengan asumsi upaya bersifat konstan, maka dapat diperoleh definisi besarnya stok ikan pada tingkat pertumbuhan maksimum (SMSY) seperti dinyatakan dalam persamaan (2).
SMSY = K 1
q E r
(2)
Karenanya jika perikanan mengambil stok pada definsi di atas, maka perikanan mencapai hasil tangkapan yang lestari, YMSY. Ini, selengkapnya didefinisikan pada persamaan (3) yang secara matematis diperoleh dengan cara mensubstitusikan persamaan (2) ke dalam fungsi eksploitasi, h = qES, secara terpisah.
YMSY = KqE 1
qE r
(3)
Melalui persamaan (3), muncul prediksi, jika fishing mortality lebih besar dari pertumbuhan intrinsik (f > r), maka tidak akan memberikan hasil tangkapan ikan yang lestari (YMSY = 0). Sifat hubungan yang halus antara E dan hasil tangkapan ikan, Y, dalam model Schaefer perlu diamati. Dimana dengan meningkatnya E, maka Y akan meningkat secara halus menuju tingkat maksimum (E = (r/2)q, S1 = K/2), dan kemudian menurun menuju nol (E = r/q, S1 = 0). Uraian ini diilustrasikan pada Gambar 1. Hasil tangkapan lestari tersebut menjadi indikator untuk mengkaji status pemanfaatan suatu perikanan. Tingkat pemanfaatannya dapat dikatakan lestari secara biologi jika hasil tangkapan aktual sama dengan hasil tangkapan lestari, Yact = YMSY. Selanjutnya tingkat pemanfaatannya dikategorikan tidak lestari atau mengalami masalah overfishing jika Yact > YMSY, dan dikategorikan underfishing jika Yact < YMSY. Oleh karena itu, upaya perikanan harus dikurangi atau direduksi jika terjadi overfihsing. 3
Tanpa mempertimbangkan adanya batasan ruang yang mendukung pertumbuhan ikan, dS/dt = rS. Karena ”r” ditentukan pula oleh kepadatan populasi ikan maka dS/dt = r(S).S. Persamaan 1 menjadi eksplisit dengan menginkorporasikan bentuk pertumbuhan logistic dari Verhulst, yaitu, r(S) = r(1 –
S ), (Clark, 1990:10-11) K 4
Gambar 1. Kurva hasil-upaya untuk model Schaefer Sumber : Clark, 1990, dimodifikasi
Model Schaefer tidak memberikan jaminan apakah YMSY tersebut dapat memberikan keuntungan maksimum bagi nelayan. Berdasarkan kontribusi model Schaefer, Gordon kemudian memasukan variabel harga ke dalam model Schaefer. Jika harga diinternalisasikan sebagai pengali ke dalam sustainable yield, Y, definisinya menjadi total penerimaan (total revenue, TR), sedangkan jika biaya diinternalisasikan sebagai pengali effort definisinya menjadi biaya total (total cost, TC). Berbasis pada sifat open access yang seolah-olah mencerminkan situasi pasar persaingan, maka harga dan biaya dianggap sebagai suatu konstanta yang bersifat eksogen. Selisih antara TR dan TC itu disebut sebagai sewa ekonomi yang memaksimumkan pertumbuhan ikan (sustainable economic rent) atau ringkasnya disebut rente ekonomi lestari. Uraian ini secara matematis diilustrasikan dalam persamaan (4). P.Y(E) – cE = TR – TC = π
(4)
Gordon memprediksi bahwa dalam upaya perikanan akses terbuka (E) akan cenderung mencapai keseimbangan penangkapan (bioeconomic equilibrium). Teori Gordon dalam perikanan akses terbuka memprediksikan keseimbangan dimana rente ekonomi akan menghilang (π = 0) seiring dengan membesarnya upaya hingga mencapai tingkat upaya perikanan akses terbuka, yang mana penerimaan secara eksak sama dengan opportunity cost. Melalui Gambar 2 diprediksi bahwa, jika upaya secara aktual berada di bawah upaya perikanan akses terbuka (E < E), maka sustainable economic rent masih positif (π > 0) yang memberikan insentif untuk menarik masuk nelayan baru, sehingga secara aggregat upaya aktual akan mendekati upaya perikanan akses terbuka. Setelah upaya perikanan akses terbuka tercapai, selanjutnya tidak akan memberikan insentif bagi nelayan baru, karena bila E > E sustainable economic rent akan negative atau istilah lainnya nelayan akan mengalami kerugian. Karenanya secara rasional nelayan akan menghindari kerugian itu. Namun nampaknya perilaku nelayan yang dianggap mempertimbangkan secara rasional keuntungan yang mereka peroleh tidak akan terjadi selama pada saat yang sama tidak tersedia lapangan kerja non penangkapan ikan dan adanya highliner illusion. 5
Menurut Clark (1990), prediksi Gordon itu dapat terjadi jika tersedia lapangan pekerjaan baru yang memberikan keuntungan lebih besar dari kegiatan penangkapan ikan. Sedangkan menurut Fauzi (2005:22) masyarakat nelayan, utamanya nelayan marjinal menghadapi apa yang disebut highliner illusion (ilusi untuk menjadi nelayan sukses). Sayangnya, parameter opportunity cost tersebut tidak dijelaskan secara melekat. Pada bagian ketiga paper ini, perilaku tersebut dijelaskan secara eksplisit dalam model.
Gambar 2. Model Gordon dalam Perikanan Akses Terbuka Sumber : Clark (1990:30), dimodifikasi
Selanjutnya dengan menganggap fungsi ekploitasi ikan bersifat linear terhadap upaya dan mensubstitusikan jumlah populasi ikan pada saat MSY (persamaan (2)) ke dalam identitas rente ekonomi lestari (persamaan (4), dimana π = 0), maka akan diperoleh definisi tingkat upaya keseimbangan perikanan akses terbuka (E = E) yang disajikan pada persamaan (5).4
E
r c 1 q pqK
(5)
Dan tingkat stok dalam perikanan akses terbuka didefinisikan dalam persamaan (6).5
4
TR – TC = π = 0 pqES – cE = 0 substitusi “S” dengan fungsi logistik pertumbuhan ikan maka :
1 qE r qE pqKE 1 r
pqKE
5
- cE = 0 = cE
maka diperoleh persamaan [6] pqES – cE = 0 pqES = cE S = c/pq
6
S
c pq
(6)
Menurut Gordon, ketika tingkat upaya dideterminasi masing-masing oleh paramater ekonomi (c dan p) dan parameter biologi (r, K dan q) disebut sebagai ”keseimbangan bioeconomic”. Jika parameter biologi konstan, maka upaya keseimbangan hanya ditentukan oleh parameter ekonomi saja (c/p). Karenanya, dalam kondisi biaya perikanan relatif lebih tinggi daripada harga ikan (c > pqK), seperti yang ditampilkan oleh kurva TC1 dalam Gambar 3, maka nelayan tidak akan mengeksploitasinya, karena nilai pasarnya tidak dapat menutupi biaya eksploitasi ikan. Gambar 3 menjelaskan bahwa TC1 > TC2 > TC3, dimana pergeseranya ke kiri atas ditentukan secara eksogen oleh kenaikan opportunity cost (c/p). Bagaimana analisa di balik perpotongan kurva TC2 dan TC 3 masing – masing terhadap TR ? Pada tingkat harga yang lebih tinggi atau biaya yang lebih rendah perikanan menjadi profitable, dan keseimbangan bioekonomi dalam Gambar 3 berada pada tingkat upaya E 2 . TR, TC2
TC TC1
TR
TC3
max
1
E = 0 E
2
=0
EMSY
E
3
E
Gambar 5. Keseimbangan bioekonomi tingkat E1, E2, E3 yang terkait dengan menurunnya biaya-harga, c/p, secara progresiv. Sumber : Clark, 1990, dimodifikasi kembali
Pada tahap ini upaya masih tetap berada di bawah maximum sustainable biological yield (EMSY), dan overfishing secara biologis tidak terjadi, bahkan pada tingkat upaya ini rente ekonomi lebih besar atau berada pada tingkat maksimum (π > 0). Akan tetapi, jika rasio harga-biaya menjadi lebih rendah, maka keseimbangan yang dicapai akan berada pada tingkap upaya E 3 (lebih besar dari EMSY), dan pada keseimbangan ini terjadi overfishing secara biologis, bahkan rente ekonomi disini sama dengan nol (π = 0). Dari uraian ini disimpulkan bahwa jika alokasi upaya berada di bawah EMSY, maka akan membuahkan keuntungan maksimum dibandingkan dengan alokasi upaya yang lebih besar dari EMSY yang hanya memberikan rente ekonomi nol (π = 0). Karenanya secara intuitif, alokasi upaya di bawah EMSY lebih efisien dibandingkan alokasi upaya di atas EMSY. 7
Dari kerangka kerja berbasis model Gordon tersebut, diprediksi pula bahwa seiring dengan meningkatnya harga ikan atau seiring berkembangnya inovasi teknologi yang mereduksi biaya perikanan, maka perikanan akses terbuka pada akhirnya akan mengalami overfishing secara biologi dan secara ekonomi. Sebaliknya, penurunan harga ikan dan meningkatnya biaya perikanan yang menekan upaya akan mengantisipasi kedua jenis overfishing tersebut. Model dasar yang dijelaskan tersebut telah menginspirasi beberapa ahli ekonomi untuk menjelaskan obyek perikanan tertentu dengan merelaksasi beberapa asumsinya.6 BjØrndal dan Conrad (1991), BjØrndal (2000) Arnason et al.,(2004) mengembangkan model dasar dengan menginkorporasikan sifat dinamis biologi ikan. Mereka membangun model dynamic optimization problem. Eggert and Tveteras (2004) melakukan penelitian dengan mempertimbangkan sifat stokastik dari produksi perikanan. Aryani (1994), Reniati (1998), Muhammad (2002), Simanulang (2006) dan Arnason dan Kashorte (2006) menganalisis perilaku ekonomi rumahtangga nelayan dalam kegiatan produksi, curahan waktu kerja, pendapatan dan pengeluaran secara simultan. Dari ulasan terhadap gagasan para ahli ekonomi tersebut, gagasan Muhammad (2002) nampak lebih sofistik. Ia membangun model yang menginkorporasikan kompleksitas sosial ekonomi nelayan dan aspek biologi. Namun dengan mengamati keseluruhan hasil studinya, nampak bahwa kerangka kerja yang ia bangun tidak menginkorporasikan fungsi stok ikan secara eksplisit, meski dalam model empirisnya ia inkorporasikan. Inilah yang menggugah penulis untuk turut memberikan kontribusi dalam permasalahan ekonomi perikanan. 3.
Model Ekonomi Rumahtangga Nelayan Tradisional Pada bagian kedua diuraikan bahwa seandainya nelayan memiliki alternatif pekerjaan lain di luar perikanan, maka keseimbangan ekonomi perikanan akan tercapai. Jika perikanan tersebut diregulasi secara ketat, maka keseimbangan yang dicapainya adalah keseimbangan bioekonomi, sedangkan jika perikanan tersebut bersifat akses terbuka, maka keseimbangan dicapainya adalah keseimbangan perikanan open access. Secara ekonomi keseimbangan bioekonomi menciptakan kegiatan perikanan yang lebih efisien dibandingkan keseimbangan open access. Dalam bagian ini dibangun kerangka pemikiran mengenai perilaku ekonomi rumahtangga nelayan tradisional yang memiliki pekerjaan ganda di bidang perikanan dan non perikanan. Untuk mengkaji perilaku ekonomi rumahtangga nelayan tradisional dapat dilakukan secara deduktif melalui model konseptual. Model konseptual ekonomi rumahtangga nelayan tradisional merupakan abstraksi atau ilustrasi dari perilakunya yang nyata dan lebih komplek. Model ini memperluas model ekonomi rumahtangga yang dibangun oleh Becker (1965), dan Singh et, al (1986) serta Taylor and Adelman (2003) yang lebih khusus mengkaji perilaku ekonomi rumahtangga usaha tani. Spesifikasi yang mencolok dari karakteristik ekonomi rumahtangga nelayan ditunjukkan oleh empat karakteristik ekonomi. Pertama, spesifikasi model mempertimbangkan adanya tambahan kendala stok biomassa sumberdaya ikan laut dalam masalah maksimisasinya. Dalam model ekonomi rumahtangga usaha tani, sumberdaya sejenis lahan biasanya dianggap 6
Ini dapat kita pelajari dari hasil studi empiris BjØrndal dan Conrad (1991), BjØrndal (2000), Eggert and Tveteras (2004), Arnason et al, (2004), Aryani (1994), Reniati (1998), Muhammad (2002), Simanulang (2006) dan Arnason dan Kashorte (2006).
8
konstan, sedangkan stok biomassa ikan merupakan fungsi yang ditentukan oleh faktor biologi dan faktor ekonomi sebagaimana dijelaskan pasa bagian kedua paper ini. Kedua rumahtangga nelayan tradisional tidak merekrut pekerja dari luar rumahtangga, akan tetapi mereka berpeluang menawarkan keahliannya kepada kegiatan usaha atau pekerjaan lainnya di luar kegiatan eksploitasi ikan mereka secara individu. Misalnya suami bisa menjadi buruh atau menjadi anak buah kapal (ABK) pada rumahtangga nelayan yang skala usahanya besar, sedangkan istri dapat menjajakan dagangan milik orang lain dan/atau memproduksi ikan olahan. Ketiga, perekonomian rumahtangga nelayan tradisional tidak terlepas dari kegiatan meminjam uang, biasanya dari salah seorang Juragan, dan cicilan pengembaliannya dilakukan dengan menjual hasil tangkapan ikannya (ikan segar) dalam persentase tertentu dengan harga yang ditetapkan oleh Juragan. Dengan kata lain, Juragan menetapkan kuota penjualan senilai ”R” persen kepada nelayan yang meminjam uang sebagai mekanisme pengembalian pinjaman. Perilaku tersebut biasanya dilakukan oleh nelayan pada saat musim paceklik atau musim angin barat yaitu bulan September hingga Desember. Terakhir, spesifikasi model juga menangkap eksistensi sistem bagi hasil diantara nelayan juragan dengan ABKnya. Karakteristik keempat ini menangkap adanya infleksibilitas pasar tenaga kerja dalam usaha perikanan. Model konseptual ini juga mengasumsikan bahwa nelayan berperilaku rasional di dalam menentukan keputusan konsumsi dan produksi yang optimal. Untuk tujuan penyederhanaan, dianggap bahwa utilitas rumahtangga nelayan bersumber dari konsumsi tiga jenis komoditi dan waktu santai yang membentuk suatu fungsi utilitas dengan memiliki properti seolah cekung (quasi-concave). Persamaan (7) menyatakan fungsi utilitas rumahtangga nelayan tradisional. U(Xf, Xo, Xm, Xh, Xw )
(7)7
Di dalam mencapai atau memaksimisasi fungsi utilitas tersebut, rumahtangga nelayan memiliki beberapa kendala berupa : 1) kendala anggaran, 2) sumber daya waktu, 3) fungsi produksi gabungan (joint product) yaitu fungsi penangkapan ikan dan fungsi produksi pengolahan ikan dan 4) stok biomassa ikan laut. Kendala pertama adalah anggaran rumahtangga nelayan yang bersifat endogen. Identitas anggaran tersebut dinyatakan pada persamaan (8).
Pm.Xm + Pj(R.Qf) = Pf[Z.Qf – (Xf + Qo)] + Po(Qo – Xo) – Pb.B + Wh.Toh + Ww.Tow + E = π + Wh.Toh + Ww.Tow + E
[8]8
7
dimana, U = bentuk fungsi utilitas rumahtangga nelayan perorangan = jumlah konsumsi ikan segara hasil eksploitasi suami Xf = jumlah konsumsi ikan olahan hasil produksi istri Xo Xm = jumlah konsumsi barang dan jasa yang tersedia di pasar Xh = waktu santai suami (husband) = waktu santai istri (wife) Xw
9
Identitas anggaran tersebut menjelaskan bahwa nilai pengeluaran rumahtangga nelayan tradisional untuk konsumsi komoditi pasar dan membayar cicilan pinjaman kepada Juragan setara dengan keuntungan (π) ditambah dengan penerimaan suami dan istri dari pekerjaan lainnya (Wh.Toh + Ww.Tow), serta ditambah dengan sejumlah pinjaman uang dari Juragan (E). Disini perlu dijelaskan secara eksplisit bahwa sumber penerimaan utama rumahtangga nelayan berasal dari penjualan bersih (marketed surplus, MS) ikan segar, yakni Pf[Z.Qf – (Xf + Qo)], dan penjualan bersih ikan olahan, yakni Po(Qo – Xo). Kendala kedua yang dihadapi oleh rumahtangga nelayan perorangan di dalam memaksimumkan fungsi utilitas mereka adalah kendala ketersediaan waktu kerja suami dan istri. Kendala ini dinyatakan pada persamaan (9). Th = Xh + Twh + Toh Tw = Xw + Tww + Tow
(9a) (9b) (9)9
Melalui definisi sumberdaya waktu tersebut, selanjutnya variabel Toh dan Tow yang tertera dalam persamaan 9 dapat disubtitusi oleh persamaan kedua variabel tersebut pada persamaan 9a dan 9b. Dimana modifikasi persamaan [9a] dan [9b] masing-masing adalah Toh = Th – Xh – Twh dan Tow = Tw – Xw – Tww. Setelah kedua identitas ini disubstitusikan ke dalam persamaan 8 dan dengan mengaturnya kembali, maka proses ini akan memberikan definisi baru mengenai anggaran rumahtangga nelayan tradisional. Pm.Xm + Pf.Xf + Po.Xo + Wh.Xh + Ww.Xw + Pj(R.Qf) = Y = + Wh.Th + Ww.Tw + E
(8’)
8
dimana, = Pm = Pj = Pf = Po Wh = Ww = = Pb R = Z = = Qf = Qo Toh = Twh = E = π
=
harga komoditi konsumsi yang tersedia di pasar (komoditi pasar) harga ikan segar yang ditetapkan Juragan harga ikan segar di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) harga ikan olahan upah suami upah istri harga input variabel lainnya (misal BBM, es dan garam) kuota penjualan kepada Juragan (persen) persentase penjualan di TPI, dimana Z = 1 – R jumlah ikan segar hasil eksploitasi jumlah ikan olahan alokasi waktu kerja suami pada pekerjaan lain di luar melaut alokasi waktu kerja istri pada pekerjaan lain di luar pengolahan ikan nilai pinjaman rumahtangga nelayan yang diperoleh dari Juragan keuntungan rumahtangga nelayan tradisional
9
dimana, = total sumberdaya waktu yang tersedia, untuk i = h dan w Ti Twh = alokasi waktu kerja suami untuk melaut Twh = alokasi waktu kerja istri untuk memproduksi ikan
10
Term pada sisi kiri persamaan (8’) adalah identitas pengeluaran rumahtangga nelayan yang menginkorporasi nilai konsumsi waktu santai secara eksplisit. Term sisi kanan persamaan tersebut adalah pendapatan potensial atau populer dengan istilah full income, Y, dimana nilai sumberdaya waktu yang tersedia diinkorporasi secara eksplisit ke dalam anggaran rumahtangga dengan pembobotnya adalah upah kerja suami dan istri pada pekerjaan lainnya (Becker, 1965). Selanjutnya, opportunity cost dari nilai pekerjaan suami dan istri pada pekerjaan lainnya (Wh.Twh + Ww.Tww) diinkorporasikan secara eksplisit dalam identitas keuntungan rumahtanngga nelayan, sehingga definisi keuntungan menjadi, π = Pf(Z.Qf – Qo) + Po.Qo – Pb.B – Wh.Twh – Ww.Tww. Kendala ketiga yang dihadapi oleh rumahtangga nelayan perorangan adalah kendala fungsi tangkapan ikan dan fungsi produksi ikan olahan. Fungsi produksi ini secara matematis dapat digabungkan dan dinyatakan secara implisit sebagaimana disajikan pada persamaan (10). G(Qf, Qo, Twh, Tww, B, V , S) = 0
(10)10
”G” diasumsikan memenuhi beberapa properti fungsi produksi umum atau biasanya, yaitu seolah cembung (quasi-convex). Perubahan output merespon secara positif terhadap perubahan input tapi dengan tingkat perubahan yang menurun. Kendala terakhir yang dihadapi oleh suami nelayan dalam kegiatan penangkapan ikan adalah kendala ketersediaan stok biomassa ikan. Terdapat dua konsep stok ikan, yaitu density dependent growth (DDG) dan density independent growth (DIG). Konsep DDG menyatakan bahwa perubahan stok ikan pada periode waktu tertentu, St+1, ditentukan oleh populasi pada awal periode, St (Fauzi, 2004; 100 dan Hartwick, 1998; 97). Konsep DIG lebih sofistik dibandingkan dengan DDG. Konsep DIG menginkorporasikan kelas umur ikan dan dinamika pertumbuhan ikan secara alami dan tingkat kematian yang disebabkan oleh kegiatan penangkapan (BjØrndal et al, 2000). Fungsi stok biomassa ikan ditentukan oleh bentuk fungsi produksi atau eksploitasi sumberdaya ikan. Mempelajari dari Clark (1990), fungsi eksploitasi sumberdaya ikan dapat mencerminkan sifat linear atau non linear (contohnya adalah mencerminkan hubungan Cobb-Douglas). Namun pada akhirnya, carrying capacity stok biomassa ikan, koefisien kemampuan tangkap (catchability coeficient), input perikanan dan tingkat pertumbuhan stok biomassa ikan, semuanya menjelaskan volume stok biomassa ikan.11 10
dimana, G = bentuk fungsi produksi gabungan B = jumlah input variabel lainnya (misal BBM, es dan garam)
V S
11
= =
jumlah input tetap (missal perahu dan alat tangkap ikan) stok biomassa ikan yang tersedia pada suatu fishing ground dengan jarak tertentu (dalam mil)
Fungsi pertumbuhan stok biomassa ikan seiring dengan perubahan waktu secara umum dinyatakan oleh : dS/dt = F(S) – Qf(E) dimana : F(S) = fungsi stok biomassa ikan Qf = fungsi eksploitasi sumberdaya ikan
11
Disini, fungsi stok biomassa ikan dinyatakan dalam bentuk umum sebagaimana disajikan pada persamaan (11). Upaya perikanan pada persamaan tersebut dinyatakan dalam bentuk yang didekomposisi. S(K, q, Twh, B, V , r)
(11)
Dari fungsi tujuan dan empat macam kendala yang dihadapi oleh rumahtangga nelayan perorangan, jika rumahtangga ini memaksimisasi utilitasnya, maka pilihan rumahtangga memiliki sifat rekursif, akan tetapi dimensi waktu keputusan tersebut bersifat simultan. Rumahtangga nelayan berperilaku seperti memaksimisasi sisi penerimaan dari pendapatan potensial dengan kendala fungsi eksploitasi ikan dan pengolahan ikan, dan kemudian memaksimisasi utilitas dengan kendala pendapatan potensial. Analisis penggunaan input optimal yang mencakup alokasi waktu kerja dan sumberdaya ikan serta jumlah konsumsi dan produksi gabungan yang optimal dapat ditemukan dengan mencari solusi interior terhadap model ekonominya. Ilustrasinya dapat diperoleh dari turunan pertama atas fungsi Lagrange (£) yang memaksimisasi fungsi utilitas dengan mempertimbangkan empat jenis kendala. Fungsi Lagrange dan turunan parsialnya disajikan pada persamaan (12) dan (13).
£=
U(Xf, Xo, Xm, Xh, Xw) + [Pf.ZQf – Pf.Qo + Po.Qo + Wh.Th – Wh.Twh + Ww.Tw – Ww.Tww – Pb.B + E – Pm.Xm – Pf.Xf – Po.Xo – Wh.Xh – Ww.Xw – Pj(R.Qf)] + G(Qf, Qo, Twh, Tww, B, V , J , S)
(12)
S = stok biomassa ikan E = upaya atau komposisi dari input perikanan yang beragam Dengan menganggap F(S) mencerminkan sifat pertumbuhan logistik, yaitu, [rS(1 – S/K)] dimana, r = tingkat pertumbuhan ikan (tingkat kelahiran dikurangi tingkat kematian) K = carrying capacity dan fungsi eksploitasi memiliki sifat homogen derajat satu terhadap E, Qf = qES, maka fungsi pertumbuhan stok biomassa ikan dapat dinyatakan secara eksplisit sebagai berikut : dS/dt = rS(1 – S/K) – qES Pada titik maksimum pertumbuhan stok biomassa ikan sama dengan nol, jadi : rS(1 – S/K) – qES = 0 rS(1 – S/K) = qES, dan dengan mengaturnya kembali diperoleh fungsi stok biomassa ikan sebagai berikut : S = K(1 – qE/r) Selanjutnya, jika fungsi eksploitasi sumberdaya ikan mencerminkan homogen derajat tertentu terhadap E (lebih besar dari satu atau sebaliknya), maka fungsi pertumbuhan stok biomassa ikan menjadi : dS/dt = rS(1 – S/K) - qEαS rS(1 – S/K) – qEαS = 0 rS(1 – S/K) = qEαS, dan dengan mengaturnya kembali diperoleh fungsi stok biomassa ikan sebagai berikut : S = K(1 – qEα/r) Simpulan dari uraian tersebut menyatakan bahwa volume stok biomassa ikan dijelaskan oleh carrying capacity, catcability coefficient, upaya (baik dikomposisikan atau didekomposisikan) dan tingkat pertumbuhan stok biomassa ikan.
12
+ θS(K, q, Twh, B, V , r) Syarat pertama yang harus dipenuhi agar fungsi Lagrange tersebut maksimum adalah turunan pertama fungsi tersebut harus sama dengan nol. Turunan parsial fungsi Lagrange selengkapnya disajikan dalam persamaan (13) hingga (15).
∂£/∂Xf
= Uf – Pf
=0
(13a)
∂£/∂Xo
= Uo – Po
=0
(13b)
∂£/∂Xm
= Um – Pm
=0
(13c)
∂£/∂Xh ∂£/∂Xw
=0 = Uh – Wh =0 = Uw – Ww = Pf.ZQf – Pf.Qo + Po.Qo + Wh.Th – Wh.Twh + Ww.Tw – Ww.Tww – Pb.B + E – Pm.Xm – Pf.Xf – Po.Xo – Wh.Xh – Ww.Xw – Pj(R.Qf)
∂£/∂
(13d) (13e)
=0
(13f)
1/ ∂£/∂Qf
= Pf.Z – Pj.R + / Gf
=0
(14a)
1/ ∂£/∂Qo
= Po – Pf + / Go
=0
(14b)
+ / Gh + θ/λ Sh
=0
(14c)
+ / Gw
=0
(14d)
=0 =0 =0
(14e) (14f) (14g)
=0
(15)
1/ ∂£/∂Twh = –Wh 1/ ∂£/∂Tww
= –Ww
1/ ∂£/∂B = – Pb + / GB + θ/λ SB ∂£/∂S = + .Gs ∂£/∂ = G(Qf, Qo, Twh, Tww, B, V , J , S) ∂£/∂ = S(K, q, Twh, B, V , r)
Dengan mempertimbangkan pengambilan keputusan yang bersifat rekursif, maka analisisnya dapat dimulai dari penentuan input optimal untuk menghasilkan produksi gabungan yang optimal. Prediksi atau penjelasan secara kualitatif mengenai input dan output optimal bagi rumahtangga nelayan tradisional disajikan pada bagian 3.1 hingga 3.3. 3.1.
Analisis Penggunaan Input Optimal Dalam bagian ini dijelaskan keputusan rumahtangga nelayan tradisional dalam mengalokasikan waktu kerjanya untuk kegiatan eksploitasi ikan dan non perikanan, serta bagaimana efek dari kenaikan harga input dominan, seperti halnya BBM, bahan makanan dan spare part perahu, dan terakhir dijelaskan bagaimana keputusan rumahtangga nelayan tradisional dalam memanfaatakan sumberdaya ikan. Persamaan (14c) hingga (14f) dapat menjadi dasar untuk memahami keputusan rumahtangga nelayan tradisional dalam memutuskan penggunaan inputnya yang optimal. Dari persamaan tersebut terdapat tiga jenis keputusan penggunaan input yang unik, yaitu keputusan alokasi waktu kerja suami untuk melaut atau bisa disetarakan dengan jumlah trip melaut (persamaan (14c)), keputusan penggunaan input variable lainnya, dalam hal 13
ini kita spesifikasikan dengan input BBM, bahan makanan dan spare part perahu (persamaan (14e)) dan keputusan pemanfaatan sumberdaya ikan (persamaan (14f)). Persamaan (14c) menjelaskan keputusan alokasi waktu kerja suami dalam kegiatan eksploitasi sumberdaya ikan. Alokasi waktu kerja suami tersebut dapat disetarakan dengan istilah trip melaut. Term kedua dan ketiga pada persamaan tersebut dapat disederhanakan lagi sehingga dapat menyatakan tambahan pendapatan potensial atas tambahan jumlah trip melaut, ∂Y/∂Twh. Uraiannya disajikan sebagai berikut :
/λ = (∂£/∂G)/(∂£/∂Y) = ∂Y/∂G, dan Gh = ∂G/∂Twh jadi, /λ.Gh = (∂Y/∂G).(∂G/∂Twh) = ∂Y/∂Twh θ/λ = (∂£/∂S)/(∂£/∂Y) = ∂Y/∂S, dan Sh = ∂S/∂Twh jadi, θ/λ.Sh = (∂Y/∂S).(∂S/∂Twh) = ∂Y/∂Twh Oleh karena itu, /λ.Gh + θ/λ.Sh = 2(∂Y/∂Twh)
Dalam keadaan yang rasional, jumlah trip melaut ditentukan oleh perbandingan antara tingkat upah pada pekerjaan lainnya dengan tambahan pendapatan potensial atas tambahan jumlah trip melaut. Pembanding tingkat upah pada pekerjaan lainnya ini memiliki bobot yang lebih besar (double weighted). Alokasi waktu kerja suami pada pekerjaan lainnya akan bertambah, jika tingkat upahnya lebih tinggi dari dua kali tambahan pendapatan potensial atas tambahan trip melautnya. Hal ini dapat menjadi sebuah alasan mengapa populasi rumahtangga nelayan tradisional cenderung meningkat. Dimana pendapatan dari trip melaut memiliki bobot yang lebih besar dibandingkan dengan pendapatan dari pekerjaan lainnya. Persamaan (14d) menyatakan bahwa alokasi waktu kerja istri dalam mengelola ikan ditentukan dengan mempertimbangkan tambahan pendapatan potensial atas tambahan waktu kerja mengolah ikan dengan tingkat upah istri pada pekerjaan lainnya. Melalui pertimbangan ini dapat diprediksi bahwa alokasi waktu kerja istri untuk mengolah ikan akan berkurang jika tingkat upah pada pekerjaan lainnya lebih besar dari tambahan pendapatan potensial atas tambahan waktu kerja mengolah ikannya. Persamaan (14e) menyatakan penggunaan input variable lainnya dalam kegiatan eksploitasi ikan. Dimana jumlah input variabel yang digunakan, sebagai contoh BBM, ditentukan dengan mempertimbangkan harganya dan tambahan pendapatan potensial atas tambahan penggunaan input BBMnya. Term kedua dan ketiga pada persamaan tersebut memiliki uraian yang serupa dengan persamaan (14c). Tambahan pendapatan potensial atas tambahan penggunaan BBMnya memiliki bobot duakali lipat. Oleh karena itu dapat diperkirakan bahwa jika terdapat kenaikan harga BBM, maka penggunaan BBMnya akan mengalami penurunan sedikit saja. Persamaan (14f) menyatakan bahwa pemanfaatan stok biomassa ikan ditentukan secara subyektif oleh rumahtangga nelayan tradisional. Pernyataan ini muncul karena pemanfaatan stok biomassa ikan ditentukan dengan mempertimbangkan harga bayangannya. Dimana harga bayangan ini merupakan tambahan kesejahteraan rumahtangga nelayan tradisional atas perubahan stok biomassa ikan. Eksisnya harga bayangan dalam input stok biomassa ikan merupakan implikasi dari sifat barang publik dan dalam tatanan hak kepemilikan yang seolah bersifat akses terbuka (open access). Sifat kepemilikan ini menciptakan ketidaksempurnaan pasar (incomplete market) pada 14
setiap sumberdaya alam, dan eksistensinya dapat berpotensi untuk menghasilkan inefisiensi dalam kegiatan pemanfaatan stok biomassa ikan laut. Oleh karena itu, walaupun perilaku rumahtangga nelayan diasumsikan rasional, namun mereka akan menentukan keputusan subyektif dalam pemanfaatan sumberdaya ikan laut. Dalam keadaan yang optimal, harga bayangan ini dapat disetarakan dengan perubahan kesejahteraan rumahtangga nelayan tradisional atas perubahan stok biomassa ikan, ∂£/∂S. Uraiannya disajikan sebagai berikut :
.Gs = (∂£/∂G).(∂G/∂S) = ∂£/∂S
Keputusan penggunaan input optimal dengan basis equimarginal principle sebelumnya, jika diaplikasikan dapat menghasilkan produksi gabungan rumahtangga nelayan tradisional yang optimal, baik hasil eksploitasi maupun hasil ikan olahan. Uraiannya disajikan pada bagian 3.2.
3.2.
Analisis Produksi Gabungan Optimal Dengan menginkorporasikan penggunaan input yang optimal ke dalam fungsi produksinya maka akan menghasilkan produksi gabungan yang optimal. Persamaan (15a) secara umum menunjukkan bahwa tingkat transformasi produk (rate of product transformation, RPT) dalam produksi ditentukan oleh rasio harga ikan segar dan ikan olahan. RPT selengkapnya disajikan pada persamaan (16).
Pj Gf = R Z GO Po
(16)
Konsekuensi dari pinjaman rumahtangga nelayan tradisional terhadap Juragan menjadi pertimbangan dalam penentuan produksi optimalnya. Berdasarkan persamaan (16), ditunjukkan bahwa kuota penjualan terhadap juragan, R, menjadi pembobot rumahtangga nelayan tradisional dalam menentukan produksi optimal. Rumahtangga tersebut menentukan masing-masing produksinya secara optimal dengan mempertimbangkan harga ikan segar yang ditetapkan Juragan dan harga ikan olahan. Harga ikan segar di TPI tidak menentukan produksi gabungan optimal rumahtangga nelayan tradisional, karena bagaimanapun rumahtangga nelayan tradisional harus mengutamakan pembayaran pinjaman dengan memenuhi kuota penjualan kepada Juragan. Dengan menganggap bahwa kuota penjualan tersebut tetap, keragaan persamaan (16) menunjukkan bahwa jika Juragan menaikan harga ikan segar, maka suami akan terdorong untuk meningkatkan hasil eksploitasi ikan dengan konsekuensi berkurangnya hasil produksi ikan olahan, sebaliknya, kenaikan dalam harga ikan olahan akan mendorong istrinya untuk meningkatkan produksi ikan olahannya dengan konsekuensi berkurangnya penjualan hasil eksploitasi ikan yang dilakukan oleh suami.
15
3.3.
Analisis Konsumsi Optimal Keputusan produksi gabungan optimal tersebut pada akhirnya akan menentukan pendapatan potensial dan tingkat konsumsi yang optimal. Berdasarkan persamaan (13a) hingga (13e), pada prinsipnya dikemukakan bahwa rumahtangga nelayan akan terus menambah konsumsinya atas ikan segar, ikan olahan, komoditi pasar dan waktu santai, sedemikian hingga tambahan manfaat sumber utilitas tersebut sama dengan hargaharganya (untuk tambahan manfaat waktu santai sama dengan tingkat upah suami dan istri pada pekerjaan lainnya). Persamaan (17) meringkas pernyataan ini. Ui/Uj = Pi/Pj, untuk i, j = f, o, m, h dan w
(17)
Suatu kenaikan harga dalam komoditi konsumsi tersebut diperkirakan dapat mengurangi jumlah konsumsinya. Begitupun halnya dengan kenaikan tingkat upah pada pekerjaan lainnya. Jika tingkat upah pada pekerjaan lainnya mengalami kenaikan, maka baik suami maupun istri akan mengurangi konsumsinya atas waktu santai. 4.
Simpulan Model dasar pemanfaatan sumber daya ikan sebagaimana disajikan pada bagian kedua paper ini, cocok menjadi kerangka kerja untuk menganalisis perikanan skala besar. Dimana setiap unit usahanya bersifat komersil penuh, dan semua hasil tangkapan dijual seluruhnya tanpa ada bagian yang dikonsumsi dan/atau diolah kembali menjadi produk ikan olahan. Kemudian, menurut Fauzi (2005) model tersebut secara implisit menganggap bahwa input perikanan sifatnya reversible. Input perikanan tersebut dapat digunakan sebagai input bagi kegiatan produksi non perikanan tangkap ketika keseimbangan bioekonomi di bawah rejim akses terbuka terpenuhi. Dalam model dasar diprediksi bahwa di bawah perikanan yang bersifat akses terbuka, bila rente ekonomi telah habis, tidak akan ada nelayan baru yang masuk ke dalam industri perikanan. Akan tetapi, pra kondisi apa yang membentuk perilaku tersebut tidak dapat dijelaskan oleh model tersebut. Model ekonomi rumahtangga nelayan tradisional yang diuraikan pada bagian ketiga paper ini dapat menjadi kerangka kerja untuk menganalisis dan merumuskan aturan pada kegiatan perikanan tradisional. Hasil pemecahan model mempromosikan beberapa proposisi sebagai berikut : (1) Rumahtangga nelayan akan berpartisipasi pada kegiatan off-fishing bila tingkat upahnya dua kali lebih besar dari tambahan pendapatan potensial kegiatan perikanan. Inilah yang menjadi pra kondisi tercapainya keseimbangan bioeconomic di bawah rejim akses terbuka atas sumber daya ikan. Highliner illusion akan terus melekat pada diri nelayan bila informasi kegiatan off-fishing tertutup bagi nelayan. (2) Permintaan rumahtangga nelayan atas input variabel perikanan kurang begitu peka dengan perubahan harganya; (3) Pemanfaatan stok biomassa ikan ditentukan secara subyektif oleh rumahtangga nelayan tradisional. Pemanfaatannya ditentukan oleh harga bayangan. Dimana harga bayangan tersebut setara dengan perubahan kesejahteraan rumahtangga nelayan atas perubahan stok biomassa ikan; 16
(4) Produksi optimal rumahtangga nelayan mempertimbangkan pinjaman yang harus mereka bayar kepada juragannya. Ini menjadi utama. Karena itu harga pasar ikan tidak menentukan keputusan produksi optimal. Sebaliknya, tingkat ekspolitasi nampak lebih peka terhadap harga ikan yang ditetapkan oleh juragan. Pada pihak lain, istri nelayan nampak lebih peka dengan perubahan harga pasar ikan olahan dan menimbulkan konsekuensi untuk mengurangi penjualan ikan segar yang dilakukan oleh suami; dan (5) Konsumsi rumahtangga atas waktu luang akan berkurang bila terjadi kenaikan tingkat upah pada kegiatan off-fishing. Berdasarkan proposisi-proposisi tersebut, karena itu bila kebijakan ekonomi fokus pada pencapaian keseimbangan bioeconomic maka sekurang-kurangnya terdapat dua hal yang perlu dikreasi. Pertama, di kawasan pesisir perlu ada perluasan kesempatan kerja off-fishing dengan tingkat penerimaan yang lebih berarti (significant) dari kegiatan perikanan tangkap. Indikasi kesempatan kerja tersebut adalah bisnis pengolahan ikan atau kesempatan kerja lain, tapi dengan kualifikasi yang dapat diakses oleh angkatan kerja kawasan pesisir. Kemudian, hasil analisis menunjukkan bahwa suami rumahtangga nelayan tradisional nampak kurang begitu peka dengan harga pasar ikan, karena mereka terikat (so closed) kontrak dengan juragan. Ini merupakan cara nelayan untuk mengatasi unsur ketidakpastian dalam kegiatan perikanan tangkap. Akan tetapi, kondisi sosial itu membuat signal pasar remang-remang bagi nelayan. Dengan demikian kebijakan ekonominya juga perlu mempertimbangkan aspek kelembagaan nelayan. Sekurangkurangnya, kebijakan ekonomi perlu diarahkan secara bertahap (gradually) untuk mengurangi dominasi juragan terhadap nelayannya agar secara bertahap pula signal pasar menjadi semakin terbuka bagi nelayan sebagai pengguna utama sumber daya ikan. Daftar Pustaka Arnason, R. 2004. Optimal Feedback Controls : Comparative Evaluation of The Con Fisheries in Denmark, Iceland, and Norway. AJAE (May 2004) : 531-542. Arnason, R and Kashorte, M. 2006. Commercialization of South Africa’s Subsistence Fisheries? Considerations, Criteria and Approach. International Journal of Oceans and Oceanography. ISSN 0973-2667 Vol.1 No.1 (2006), pp. 45-65. © Research India Publications. http://www.ripublication.com/ijoo.htm. Aryani, Florida. 1994. Analisis Curahan Kerja dan Kontribusi Penerimaan Keluarga Nelayan dalam Kegiatan Ekonomi di Desa Pantai. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Becker, Gary S. A Theory of the Allocation of Time. Economic Journal, Vol. 75, No. 299, (September 1965), 493-517. (Reprinted in Becker (1976)). Berkes, Fikret. 2003. Alternatives to Conventional Management: Lessons from SmallScale Fisheries. Environments : a Journal of Interdisciplinary Studies. Heritage Resources Centre, Faculty of Environmental Studies, University of Waterloo. Canada. 17
Bjørndal, T and Conrad, J. 1991. A Bioeconomic Model of the Harp Seal in the Northwest Atlantic. Land Economics; May 1991; 67, 2; ABI/INFORM Research. pg. 158. Bjørndal et al. 2000. International Management Strategies for a Migratory Fish Stock : A Bio-Economic Simulation Model of Norwegian Spring-Spawning Heering Fishery. Centre for Fisheries Norway. Clark, Collin, W. Mathematical Bioeconomic : The Optimal Management of Renewable Resources. John Wiley & Sons, Inc. Second Edition. Canada. Clark, W. C. 1999. Renewable Resource : Fisheries. In van den Bergh, J.C.J.M. Handbook of Environmental and Resource Economics. Edward Elgar Publishing, Inc. Massachusetts. Conrad. J, M. 1999. Resource Economics. Cambridge University Press. New York. Eggert. H and Tveteras, R. 2004. Stochastic Production And Heterogeneous Risk Preference : Commercial Fishers’ Gear Choices. AJAE (February 2004) : 199212. Fauzi, Akhmad. 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan : Isu, Sintesis, dan Gagasan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan : Teori dan Aplikasi. Pt. Gramedia. Jakarta. Hartwick. J and Olewiler N.D. 1998. Economics of Natural Resource Use. Second Edition. Addison-Wesley Educational Publisher.Inc, United States of America. Hanley, Nick and Shogren, J. F, and White, Ben. Macmillan Press Ltd. London. Hilborn, R. 1985. Fleets dynamics and individual variation: why some people catch more fish than others. Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Science 42:2-13. Muhammad, Sahri. 2002. Ekonomi Rumahtangga Nelayan dan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan di Jawa Timur : Suatu Analisis Simulasi Kebijakan. Disertasi Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Simanulang, S. 2006. Analisis Model Peluang Kerja Suami dan Istri Perilaku Ekonomi Rumahtangga dan Peluang Kemiskinan : Studi Kasus Rumah Tangga Nelayan Tradisional di Kecamatan Pandan Kabupaten Tapanuli Tengah Provinsi Sumatera Utara. Tesis Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Singh,
I, Squire, L, Strauss, J. 1986. Agricultural Household Models: Extensions,Applications, and Policy, The John Hopkins University Press, Baltimore. 18
Reniati. 1998. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi dan Keterkaitan Keputusan Kerja, Produksi dan Pengeluaran Rumahtangga Nelayan. Tesis Magister Sains Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Taylor, J.E, and Adelman, I. 2003. Agricultural Household Model : Genesis, Evolution and Extension. Kluwer Academic Publisher. Netherlands. Wiyono, E.S. 2006. Mengapa Sebagian Besar Perikanan Dunia Overfishing? (Suatu Telaah Manajemen Perikanan Konvensional) . Inovasi. Vol.6/XVIII/Maret 2006.
19