8
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perilaku Ekonomi Rumahtangga Pertanian Badan Pusat Statistik (BPS) mendefinisikan rumahtangga pertanian sebagai rumah tangga yang menghasilkan produk pertanian dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya dijual, ditukar atau untuk memperoleh pendapatan dan keuntungan atas risiko sendiri (BPS, 1995). Dari batasan tersebut jelas bahwa produksi usahatani merupakan sumber pendapatan tunai (cash income) dan sekaligus menjadi sumber ketersediaan pangan natura rurnah tangga pertanian. Lebih lanjut dalam teori ekonomi, rumahtangga petani dianggap sebagai rumahtangga yang bertindak rasional sebagai satu unit keputusan ekonomi dalam mengelola sumberdaya yang dimiliki pada kegiatan produksi maupun konsumsi dengan kendala anggaran untuk memaksimalkan kepuasan (Ellis, 1988). Karakteristik rumahtangga pertanian menurut Ellis (1988) adalah (1) memiliki akses terhadap lahan baik menggarap lahan pertanian sendiri maupun menggarap lahan pertanian petani lain untuk mendapatkan penerimaan berupa penerimaan tunai maupun penerimaan fisik berupa hasil pertanian yang kemudian digunakan untuk konsumsi anggota rumahtangga, (2) menggunakan tenaga kerja keluarga sebagai faktor produksi usahatani sebagai bentuk manajemen terhadap sumberdaya yang dimiliki, (3) memiliki sejumlah modal yang tidak hanya digunakan untuk kegiatan produksi, melainkan juga untuk kegiatan konsumsi rumahtangga. Konsep rumahtangga pertanian awal yang berkembang adalah konsep neoklasik yang menempatkan rumahtangga petani hanya sebagi produsen produk pertanian, dimana konsep ini hanya menunjukan keterkaitan keputusan petani dalam mengelola sejumlah input produksi yang dimiliki untuk menghasilkan sejumlah output. Penggunaan input produksi yang optimal akan menghasilkan produksi yang maksimal, dimana penggunaan input dipengaruhi oleh harga input. Jika harga input meningkat maka penggunaan input akan dibatasi. Namun jika dikatkan dengan harga output, peningkatan harga output akan menjadi insentif bagi petani untuk meningkatkan produksinya sehingga membutuhkan tambahan input produksi. Kondisi yang memberi keuntungan bagi petani ditunjukan apabila
9
tambahan produk yang dihasilkan akibat penambahan satu satuan input atau dikenal dengan marginal physical product (MPP) sama dengan rasio harga input dengan harga output. Konsep neoklasik ini hanya membahas tentang keputusan petani dalam mengelola kegiatan produksi dengan alokasi input untuk menghasilkan output, namun belum mempertimbangkan peran petani yang juga sebagai konsumen hasil usahataninya sekaligus konsumen barang-barang di pasar serta keputusan ekonomi rumahtangga petani lainnya. Teori model rumahtangga pertanian yang sudah mempertimbangkan rumahtangga petani sebagai produsen dan konsumen dikemukakan Chayanov (1966)
dalam
Ellis
(1988)
yang
menyatakan
bahwa
rumah
tangga
memaksimumkan utilitas dengan mengoptimalkan penggunaan tenaga kerja keluarga dalam kegiatan usaha tani guna memenuhi kebutuhan konsumsi sendiri. Model ini belum mempertimbangkan keberadaan pasar tenaga kerja, namun telah menganggap rumahtangga pertanian menjual sekaligus mengkonsumsi hasil usahtaninya dengan asumsi petani mempunyai lahan untuk usahatani. Model ini berkembang setelah dikemukakan teori ekonomi neoklasik yang menganggap petani hanya sebagi produsen sehingga teori ini hanya mempertimbangkan bagaimana petani mengalokasikan sejumlah input untuk menghasilkan output (Ellis, 1988). Penyempurnaan teori ekonomi rumahtangga neoklasik menjadi new home economics menganggap rumahtangga pertanian sebagai produsen hasil usahatani dan konsumen barang di pasar sekaligus konsumen dari hasil usahataninya sendiri. Diawali oleh teori alokasi waktu dari Becker (1965) yang menyatakan utilitas rumah tangga tidak diturunkan langsung dari konsumsi barang pasar tetapi dari alokasi waktu untuk menghasilkan produk akhir yang dikonsumsi rumah tangga. Artinya rumahtangga pertanian memaksimalkan kepuasan dengan mengatur pilihan terhadap konsumsi barang pasar, konsumsi hasil usahatani sendiri dan konsumsi waktu santai dengan kendala anggaran. Konsumsi waktu santai diperhitungkan karena diduga menyebabkan adanya earning forgone (pendapatan yang hilang). Teori ini belum memperhitungkan tenaga kerja luar keluarga, perilaku rumahtangga yang memproduksi non market good serta rumahtangga yang menjual sebagian produk usahataninya ke pasar.
10
Model ekonomi rumahangga secara simultan dikemukakan oleh Nakajima (1986) yang menyatakan perilaku rumah tangga pertanian sebagai produsen, penyedia dan pengguna tenaga kerja dan konsumen dapat terjadi bersamaan. Dalam hal ini, rumahtangga pertanian mengatur penggunaan tenaga kerja dalam keluarga dan mengkonsumsi hasil usahatani sendiri dengan tujuan mengatur pendapatan rumahtangga yang terbatas dalam kegiatan produksi dan konsumsi (keputusan simultan). Nakajima mengidentifikasi perbedaan rumahtangga pertanian
dengan
usahatani
komersil,
dimana
rumahtangga
pertanian
memanfaatkan tenaga kerja dalam keluarga, mengkonsumsi hasil usahatani sendiri serta
melakukan
kegiatan
produksi
sebagai
satu
kesatuan
unit
yang
memaksimalkan kepuasaan dengan sumberdaya yang dimiliki, sedangkan usahtani
komersil
memaksimalkan
penggunaan
input
produksi
untuk
memaksimalkan keuntungan. Teori ini mempertimbangkan kemungkinan rumah tangga menjual sebagian hasil usaha tani (semi komersil) dan eksistensi pasar tenaga kerja. Barnum dan Square (1979) dalam Ellis (1988) mengembangkan model ekonomi rumahtangga yang mempertimbangkan respon rumahtangga terhadap perubahan faktor internal rumahtangga dan pasar (perubahan harga input dan output) dengan asumsi : rumahtangga dapat menggunakan tenaga kerja dalam keluarga maupun luar keluarga, ketersediaan lahan sebagai faktor produksi adalah tetap, rumahtangga mengkonsumsi hasil produksinya sendiri dan waktu santai untuk memaksimalkan utilitas serta preferensi rumahtangga petani untuk mengkonsumsi hasil produksinya sendiriatau menjual hasil produksinya untuk kebutuhan konsumsi non usahatani. Pengembangan model new home economics juga dilakukan Ellis (1988) yang menyatakan adanya keputusan simultan antara produksi dan konsumsi dengan pasar tenaga kerja yang kompetitif. Model Rumah Tangga Pertanian Singh (1986) menyatakan dalam rumah tangga pertanian, skala produksi usahatani ditentukan oleh tingkat pemanfaatan sumberdaya seperti luas lahan garapan, tenaga kerja, maupun modal. disamping pengaruh faktor eksternal pasar input dan output. Keseimbangan pasar inputoutput terbuka terhadap pengaruh sumber-surnber perubahan seperti peraturan dan kebijakan pemerintah. Penerimaan usahatani dan usaha produktif lain secara
11
bersama-sarna akan menentukan tingkat pendapatan rumah tangga. Penjualan langsung produksi usahatani menghasilkan pendapatan tunai bagi rumah tangga. Namun, produksi itu juga dapat disimpan (walaupun hanya sementara) sebagai cadangan konsumsi atau kemudian dijual seluruhnya untuk meningkatkan daya beli. Pendapatan rumah tangga dialokasikan pada berbagai pengeluaran. Adanya kendala anggaran mempengaruhi keputusan rumah tangga dalam mengurangi pengeluaran pangan dan preferensi untuk menabung. Penggunaan model perilaku ekonomi rumah tangga sebagai pendekatan analisis ketahanan pangan rumah tangga memungkinkan digunakannya indikator proses yang meliputi keputusankeputusan produksi dan indikator hasil yang mencakup keputusan pemanfaatan output produksi dan pendapatan untuk berbagai tujuan pengeluaran rumah tangga secara bersamaan. Singh (1986) menyatakan rumah tangga diasumsikan hanya memperoleh pendapatan tunai dari surplus penawaran (marketed surplus) sehingga keputusan mengkonsumsi output usaha tani sendiri akan terkait dengan keputusan pengeluaran lain dalam rumah tangga. Definisi rumahtangga pertanian dalam penelitian Asmarantaka (2007) adalah satu unit kelembagaan keluarga, hidup bersama yang setiap saat memutuskan secara bersama produksi pertanian, konsumsi, reproduksi dan menyatukan anggaran. Sesuai dengan prinsip ekonomi, rumahtangga petani dalam mengalokasikan sumberdaya selalu bertindak rasional, mengkonsumsi barang dan jasa untuk memaksimalkan utilitas, sebagai produsen akan memaksimumkan keuntungan. Perubahan perilaku rumahtangga pertanian dipengaruhi kekuatan pasar (supply dan demand) dan juga pengaruh faktor eksternal (sosial, lingkungan dan karakteristik keluarga). Pendapatan total rumahtangga berasal dari pendapatan dari pertanian maupun diluar pertanian yang kemudian digunakan untuk kegiatan produksi, konsumsi, tabungan dan investasi (biaya kesehatan dan pendidikan) Dalam analisis ekonomi rumahtangga pertanian, rumahtangga pertanian dianggap berada dalam lingkungan pasar persaingan sempurna, pasar persaingan tidak sempurna dan atau dalam lingkungan antara pasar bersaing dengan tidak bersaing. Berdasarkan kondisi tersebut, terdapat tiga model persamaan dalam
12
analisis rumahtangga pertanian, yaitu model recursive, model non recursive, dan model persamaan simultan. Pada pasar persaingan sempurna, model yang digunakan adalah model recursive, yaitu persamaan simultan satu arah antara keputusan produksi dan konsumsi. Pasar output dan inputnya bersaing sempurna, harga input dan harga output adalah peubah eksogen terhadap rumahtangga pertanian, dimana pada kondisi mengabaikan biaya transaksi dan apakah rumahtangga pertanian mengkonsumsi produk hasilnya sendiri atau menjual atau membeli apa yang dibutuhkan untuk konsumsi. Demikian pula dengan penggunaan tenaga kerja, tidak dipertimbangkan penggunaan tenaga kerja dalam keluarga atau sewa, menyewa tenaga kerja luar keluarga atau menawarkan tenaga kerja dalam keluarga (Barnum and Squire, 1979 dalam Asmaratanka, 2007). Untuk kondisi pasar bersaing tidak sempurna, digunakan model persamaan simultan dua arah atau model non recursive, dimana pada kondisi ini rumahtangga pertanian menunjukan adanya kegagalan pasar, karakteristik produk pertanian yang berat dan mudah rusak serta risiko dari variasi harga dan adanya diskrimnasi dalam pasar tenaga kerja sehingga keputusan produksi mempengaruhi keputusan konsumsi dan sebaliknya. Model ini memasukan harga input ataupun harga output sebagai peubah endogen dan harga yang digunakan adalah harga bayangan (Kusnadi, 2005). Sedangkan model persamaan simultan digunakan untuk menangkap kompleksitas dan perubahan peubah ekonomi yang mempengaruhi ekonomi rumahtangga, dimana peubah tersebut memungkinkan adanya hubungan simultan dua arah antara keputusan produksi dan konsumsi, keterkaitan penggunaan tenaga kerja dalam kegiatan produksi dan keterkaitan pendapatan baik dari pertanian maupun di luar pertanian dengan persamaan konsumsi baik pangan dan non pangan serta persamaan tabungan dan investasi, dalam bentuk persaman struktural dan persamaan identitas. Bentuk analisis dapat berdasarkan perbedaan geografis atau teknologi, berdasarkan komoditi tertentu yang diusahakan rumahtangga pertanian. Dalam penelitian yang menggunakan persamaan simultan, peubah harga output input dan upah tenga kerja dianggap sebagai peubah eksogen.
13
2.2. Ketahanan Pangan Rumahtangga Untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional dan regional, ketahanan pangan rumahtangga adalah pilar yang harus dibangun. Pangan yang tersedia secara nasional harus mampu diakses oleh rumahtangga, termasuk rumahtangga petani yang mempunyai daya beli rendah terhadap pangan. Ketahanan pangan adalah fenomena yang kompleks, seperti dijelaskan dalam Undang Undang No : 7 tahun 1996 tentang pangan, pengertian ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari ketersediaan yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Dari pengertian tersebut, tersirat bahwa upaya mewujudkan ketahanan pangan nasional harus lebih dipahami sebagai pemenuhan kondisi kondisi : (1) Terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersediaan yang cukup, dengan pengertian ketersediaan pangan dalam arti luas, mencakup pangan yang berasal dari tanaman, ternak dan ikan dan memenuhi kebutuhan atas karbohidrat, vitamin dan mineral serta turunan, yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan kesehatan manusia. (2) Terpenuhinya pangan dengan kondisi aman, diartikan bebas dari pencemaran biologis, kimia, dan benda lain yang lain dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia, serta aman untuk kaidah agama. (3) Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, diartikan bahwa distribusi pangan harus mendukung tersedianya pangan pada setiap saat dan merata di seluruh tanah air. (4) Terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau, diartikan bahwa pangan mudah diperoleh rumah tangga dengan harga yang terjangkau. Ketahanan pangan tidak hanya ditentukan oleh ketersediaan pangan dalam suatu wilayah atau rumahtangga. Internasional Confrence in Nutrition, (FAO/WHO, 1992) mendefenisikan ketahanan pangan sebagai akses setiap rumah tangga atau individu untuk memperoleh pangan pada setiap waktu untuk keperluan hidup sehat. Untuk mencapai ketahanan pangan diperlukan kemampuan atau akses terhadap pangan tersebut. Hasil Lokakarya Ketahanan Pangan Nasional (DEPTAN, 1996) mendefenisikan ketahanan pangan adalah kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan anggota rumah tangga dalam jumlah, mutu dan ragam sesuai dengan budaya setempat dari waktu kewaktu agar dapat hidup sehat.
14
Ketahanan pangan pada tataran nasional merupakan kemampuan suatu bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan dalam jumlah yang cukup, mutu yang layak, aman, dan juga halal, yang didasarkan pada optimalisasi pemanfaatan dan berbasis pada keragaman sumber daya domestik. Salah satu indikator untuk mengukur ketahanan pangan adalah ketergantungan ketersediaan pangan nasional terhadap impor (Litbang Deptan, 2005). Ketahanan pangan rumahtangga ditentukan oleh empat element penting, yakni: ketersediaan pangan, aksesibilitas yang menggambarkan kemampuan untuk menguasai pangan yang cukup, keamanan yang dapat diartikan sebagai stabilitas (menunjukkan pada kerentanan internal seperti penurunan produksi) dan keandalan (menunjukkan pada kerentanan eksternal seperti flukuasi perdagangan internasional), keberlanjutan merupakan kontinuitas dari akses dan ketersediaan pangan yang ditunjukkan oleh keberlanjutan usaha tani (LIPI, 2005). Ketahanan pangan mempunyai faktor determinan, yaitu ketersediaan dan daya beli rumahtangga terhadap pangan (Hardono, 2002). Menurut kajian ketahanan pangan dan kemiskinan oleh Omotesho (2007), faktor-faktor yang menentukan status ketahanan pangan rumahtangga adalah akses pada fasilitas kesehatan, ukuran rumahtangga, ukuran usahatani dan pengeluaran pangan rumahtangga. Pengukuran tingkat ketahanan pangan menjadi penting dilakukan dalam menentukan kebijakan ketahanan pangan. Pengukuran tingkat ketahanan pangan rumah tangga tidak hanya melalui Angka Kecukupan Energi dan Angka Kecukupan Protein, tetapi juga harus dilihat dari porsi pengeluaran pangan yang menunjukkan kemampuan dari rumah tangga dalam mencukupi pangan. Menurut Handewi et al., 2001, rumah tangga yang menghabiskan 70 % pendapatannya untuk konsumsi pangan menunjukkan rumah tangga yang rawan pangan. Hal ini didasarkan pada dimensi dan ukuran yang sering digunakan untuk menetapkan batas garis kemiskinan dengan menggunakan tingkat pendapatan rumah tangga melalui porsi pengeluaran pangan. Rumah tangga miskin biasanya kehilangan akses untuk mencukupi pangan (FAO, 2005). Dengan demikian, kondisi kemiskinan dalam rumah tangga merupakan kondisi yang rawan pangan. Oleh karena itu, tingkat pendapatan dalam rumah tangga merupakan faktor yang penting dalam upaya pemantapan ketahanan pangan. Penghitungan ketahanan
15
pangan rumahtangga juga dilakukan Faridi (2010) dimana ketahanan pangan rumahtangga dicerminkan oleh keseimbangan gizi dari pangan yang dikonsumsi rumahtangga dan perbandingan pengeluaran pangan dengan pendapatan rumahtangga. Berikut ini dirangkum beberapa indikator ketahanan pangan yang telah dirumuskan.
Tabel 1. Indikator Ketahanan Pangan Sumber Sayogyo dalam
Tahun 1991
Handono (2002)
Indikator Ketahanan Pangan Pendapatan rumah tangga, harga pangan, harga barang konsumsi lain, sistem irigasi, status gizi, dan pelayanan kesehatan
Maxwell and
1992
Frankenberger
Indikator Proses: · Ketersediaan Pangan Berkaitan dengan Produksi Pertanian sendiri, Iklim, Akses terhadap SDA dan Pasar · Akses Pangan : Strategi RT Memenuhi Kekurangan Pangan / daya beli terhadap pangan Indikator Dampak: · Langsung : Konsumsi dan Frekuensi Pangan Tidak Langsung : Penyimpanan Pangan dan Status Gizi
DEPTAN RI
2004
Penilaian Keanekaragaman Pangan : Pola Pangan Harapan (PPH) yaitu komposisi pangan yang seimbang untuk dikonsumsi guna memenuhi kebutuhan gizi penduduk.
Widya Karya
2004
TKE = {(Jumlah Konsumsi Energi/ Kapita/ Hari) /
Nasional Pangan
(Kecukupan Energi [2000 kkal])} x 100 %
dan Gizi dalam
TKP = {(Jumlah Konsumsi Protein/ Kapita/ Hari)/
Muhilai et.al (1998)
(Kecukupan Protein [52 gram])} x 100 % TKE / TKP < 70 % : RT defisit Kalori dan atau Protein
UU Pangan No 7 tahun 1996
2005
· Kecukupan Ketersedian Pangan :≥ 240 hari : Cukup. · Stabilitas Ketersediaan Pangan : Kebiasaan makan 3 kali sehari. · Aksesbilitas : Pemilikan Lahan (Langsung/ Tidak; produksi sendiri/ beli). · Kualitas/ Keamanan Pangan : Ada/ tidak bahan makanan yang mengandung protein hewani/ nabati.
16
Indikator lain yang dapat digunakan untuk mengukur derajat ketahanan pangan rumahtangga adalah menggunakan gabungan dua indikator ketahanan pangan, yakni pangsa pengeluaran pangan dan kecukupan konsumsi energi (Handewi et al., 2001).
Tabel 2. Indikator Ketahanan Pangan : Kecukupan Energi dan Pangsa Pengeluaran Pangan Konsumsi Energi Per Unit Ekuivalen Orang Dewasa Cukup : ≥ 80 % dari syarat kecukupan energi Kurang : < 80 % dari syarat kecukupan gizi
Pangsa Pengeluaran rendah jika pengeluaran pangan ≤ 60 % dari pengeluaran total Tahan Pangan
Pangsa Pengeluaran tinggi : jika pengeluaran pangan > 60 % dari pengeluaran total Rentan Pangan
Kurang Pangan
Rawan Pangan
Sumber : Toole (1991) dalam Handewi et.al.2001 Ketahanan pangan rumah tangga dengan keragaman indikator yang telah dirumuskan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor ketersediaan pangan dan daya beli adalah faktor determinan (faktor yang sangat menentukan). Jika menggunakan definisi ketahanan pangan dalam UU Pangan, maka ketahanan pangan rumah tangga dapat dilihat dari ketersediaan pangan di rumah tangga (baik produksi sendiri maupun beli), keterjangkauan terhadap pangan yang ditentukan oleh pendapatan keluarga, konsumsi pangan yang ditunjukan dengan porsi pengeluaran pangan dan kualitas gizi. Tingkat pendapatan menentukan jenis dan jumlah pangan yang akan dibeli serta seberapa besar proporsi dari pendapatan yang akan dikeluarkan untuk membeli pangan. Daya beli atau kemampuan keluarga untuk membeli pangan dipengaruhi oleh pendapatan keluarga dan harga pangan itu sendiri. Perubahan pendapatan secara langsung dapat mempengaruhi perubahan konsumsi pangan keluarga. Meningkatnya pendapatan berarti memperbesar peluang untuk membeli pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik. Sebaliknya, penurunan dalam hal kualitas dan kuantitas pangan yang hendak dibeli. Sementara untuk pengeluaran pangan keluarga Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas, 1996-1998) menunjukkan pengeluaran bagi keluarga miskin berkisar 60-80% dari pendapatan dan bagi keluarga mampu berkisar antara 20-59 %. Hal ini sesuai dengan hukum Engel, pada saat terjadinya peningkatan
17
pendapatan, konsumen/ keluarga akan membelanjakan pendapatannya untuk pangan dengan proporsi yang semakin kecil. Sebaliknya bila pendapatan menurun, porsi yang dibelanjakan untuk pangan makin meningkat (Soekirman, 2000 dalam Ginting, 2012). Sedangkan menurut asumsi Berg, 1986 dalam Ginting 2012 persentasi pengeluaran pangan keluarga dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu : pengeluaran pangan <45 % dikatergorikan sebagai keluarga kaya, pengeluaran pangan 46-79 % dikategorikan sebagai keluarga menengah, dan pengeluaran pangan >80 % termasuk kategori keluarga miskin. Ketahanan pangan ditingkat rumah tangga sangat berkaitan dengan faktor kemiskinan. Ketahanan pangan terutama ditentukan oleh nilai ekonomis beras, sebab beras merupakan komoditas paling penting di Indonesia, terutama bagi kelompok sosial ekonomi rendah. Menurut Faridi (2005), karakteristik anggota rumahtangga seperti jenis kelamin, usia, dan kegiatan anggota keluarga mennetukan kebutuhan kalori anggota keluarga yang selanjutnya menentukan tingkat ketahanan pangan rumahtangga. Ketahanan pangan di tingkat rumah tangga juga dipengaruhi oleh ketahanan pangan di tingkat nasional dan regional, namun tanpa disertai dengan distribusi dan aksesibilitas rumah tangga terhadap pangan, maka tidak akan tercapai ketahanan pangan di tingkat rumah tangga. Oleh karena itu kompleknya permasalahan dan faktor yang mempengaruhi, maka sampai saat ini belum ada cara yang paling sempurna untuk menilai dan menerangkan semua aspek yang berkaitan dengan ketahanan pangan. Ketahanan pangan sangat ditentukan oleh faktor ketersediaan pangan. Ketersediaan pangan ditingkat rumah tangga merupakan faktor langsung yang mempengaruhi ketahanan pangan ditingkat rumah tangga. Ketersediaan pangan lebih mengacu pada simpanan bahan pangan (food storage) dan ketersediaan pangan pokok (staple food) di rumah kemarin (Badan Ketahanan Pangan, 2006). Jika
dikaitkan
dengan
keputusan-keputusan
yang
dihadapi
oleh
rumahtangga pertanian, maka indikator ketahanan pangan rumahtangga pertanian dapat dirumuskan sebagai berikut : a.
Ketersediaan pangan yang diproksi dari jumlah produksi pangan rumahtangga pertanian yang tidak dijual dan jumlah pangan (beras) yang
18
dibeli di pasar serta jumlah raskin yang dikonsumsi. Rumahtangga petani dinyatakan tahan pangan jika ketersediaan pangan mampu memenuhi kebutuhan konsumsi anggota keluarga b.
Akses rumahtangga petani terhadap pangan yang diproksi dari persentase jumlah pendapatan rumahtangga yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan anggota keluarga atau pengeluaran pangan terhadap pengeluaran
total
rumahtangga
petani.
Dalam
perilaku
ekonomi
rumahtangga, jumlah pendapatan yang digunakan untuk pangan ini terkait dengan kegiatan konsumsi pangan yang mencerminkan jumlah pengeluaran pangan rumahtangga petani. Dalam struktur pengeluaran rumahtangga pertanian, jumlah pengeluaran non pangan dan tabungan rumahtangga perlu dipertimbangkan karena hal ini akan mempengaruhi keputusan petani dalam mengalokasikan pengeluaran rumahtangga untuk pangan. c.
Utilisasi atau aspek pemanfaatan dari konsumsi pangan yang diproksi dari angka
kecukupan
gizi
sebagai
indikator
hasil
ketahanan
pangan
rumahtangga. Kecukupan gizi merupakan perbandingan antara total konsumsi energi rumahtangga dengan angka kecukupan energi seluruh anggota keluarga (Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi, 2004). Pemenuhan pangan dengan indikator kecukupan gizi akan berpengaruh pada kualitas sumberdaya manusia dalam rumahtangga pertanian.
2.3. Kebijakan Pemerintah dalam Ketahanan Pangan Rumahtangga Petani Pengembangan ketahanan pangan mempunyai perspektif pembangunan yang sangat mendasar karena: 1.
Akses terhadap pangan dengan gizi seimbang bagi segenap rakyat Indonesia merupakan hak yang paling azasi bagi manusia.
2.
Keberhasilan dalam pengembangan kualitas sumber daya manusia sangat ditentukan oleh keberhasilan pemenuhan kecukupan dan konsumsi pangan dan gizi.
3.
Ketahanan pangan merupakan basis atau pilar utama dalam mewujudkan ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional yang berkelanjutan (Suryana, 2004)
19
Ketahanan pangan merupakan suatu sistem yang terintegrasi yang terdiri atas berbagai subsistem. Subsistem utamanya adalah ketersediaan pangan, distribusi pangan dan konsumsi pangan. Terwujudnya ketahanan pangan merupakan sinergi dari interaksi ketiga subsistem tersebut. 1.
Subsistem ketersediaan pangan mencakup aspek produksi, cadangan serta keseimbangan antara impor dan ekspor pangan. Ketersediaan pangan harus dikelola sedemikian rupa sehingga walaupun produksi pangan bersifat musiman, terbatas dan tersebar antar wilayah, tetapi volume pangan yang tersedia bagi masyarakat harus cukup jumlah dan jenisnya serta stabil penyediaannya dari waktu ke waktu.
2.
Subsistem distribusi pangan mencakup aspek aksesibilitas secara fisik dan ekonomi atas pangan secara merata. Sistem distribusi bukan semata-mata menyangkut aspek fisik dalam arti pangan tersedia di semua lokasi yang membutuhkan, tetapi juga masyarakat. Surplus pangan di tingkat wilayah belum menjamin kecukupan pangan bagi individu masyarakatnya. Sistem distribusi ini perlu dikelola secara optimal dan tidak bertentangan dengan mekanisme pasar terbuka agar tercapai efisiensi dalam proses pemerataan akses pangan bagi seluruh penduduk. Akses ekonomi masyarakat terhadap pangan sangat ditentukan oleh pendapatan masyarakat, sehingga kebijakan ketahanan pangan hendaknya dikaitkan pada upaya peningkatan pendapatan masyarakat dan pengentasan kemiskinan untuk memperbaiki daya beli masyarakat terhadap pangan.
3.
Subsistem konsumsi pangan menyangkut upaya peningkatan pengetahuan dan kemampuan masyarakat agar mempunyai pemahaman atas pangan, gizi dan kesehatan yang baik, sehingga dapat mengelola konsumsinya secara optimal. Konsumsi pangan hendaknya memperhatikan asupan pangan dan gizi yang cukup dan berimbang, sesuai dengan kebutuhan bagi pembentukan manusia yang sehat, kuat, cerdas dan produktif. Dalam subsistem konsumsi terdapat aspek penting lain yaitu aspek diversifikasi. (Badan Ketahanan Pangan, 2006) Diversifikasi pangan merupakan suatu cara untuk memperoleh keragaman
konsumsi zat gizi sekaligus mengurangi ketergantungan masyarakat atas satu jenis
20
pangan pokok tertentu, yaitu beras. Ketergantungan yang tinggi dapat memicu instabilitas apabila pasokan pangan tersebut terganggu. Pembangunan ketahanan pangan memerlukan keharmonisan dari ketiga subsistem tersebut. Pembangunan subsistem ketersediaan pangan diarahkan untuk mengatur kestabilan dan kesinambungan ketersediaan pangan, yang berasal dari produksi, cadangan dan impor. Pembangunan sub-sistem distribusi pangan bertujuan menjamin aksesibilitas pangan dan stabilitas harga pangan. Pembangunan sub-sistem konsumsi bertujuan menjamin setiap rumah tangga mengkonsumsi pangan dalam jumlah yang cukup, bergizi dan aman. Keberhasilan pembangunan masing-masing sub-sistem tersebut perlu didukung oleh faktor ekonomi, teknologi dan sosial budaya.yang pada akhirnya akan berdampak pada status gizi . Permasalahan ketahanan pangan rumahtangga petani salah satunya disebabkan oleh rendahnya pendapatan rumahtangga sehingga mengakibatkan daya beli terhadap pangan rendah. Dimensi yang fundamental dalam rendahnya pendapatan yang mencerminkan kemiskinan adalah food security (ketahanan pangan), karena kemiskinan menyebabkan hilangnya akses untuk mencukupi pangan (FAO, 2005). Rumah tangga miskin menggunakan tidak kurang dari 80 % dari seluruh pengeluarannya untuk pengeluaran pangan dan 60 % diantaranya untuk beras (Siswono, 2001). Jadi ketergantungan rumah tangga miskin pada pangan sangat besar bahkan merealokasikan dana pendidikan dan kesehatan guna mengalihkan ke pangan. Jenis pangan inferior menjadi pilihan, walau tidak kaya dengan kandungan energi dan protein sehingga berdampak pada menurunnya konsumsi energi dan protein. Bagi rumah tangga pertanian berpendapatan rendah, kendala anggaran akan mempengaruhi perubahan porsi pengeluaran, baik pangan maupun non pangan dan preferensi menabung. Pengurangan alokasi sumber daya untuk pengeluaran pangan akan berpengaruh pada ketahanan pangan. Pemerintah berupaya menjaga ketahanan pangan rumah tangga petani dengan program yang baik langsung maupun tidak langsung mendukung ketahanan pangan rumahtangga. Berdasarkan jenis bantuan yang diberikan, program tersebut terdiri dari program yang berhubungan langsung dengan ketahanan pangan berupa pemberian bantuan natura yang bertujuan untuk pemenuhan konsumsi sesaat dan program pemberdayaan ekonomi berupa bantuan
21
modal untuk kegiatan produktif masyarakat. Program raskin (beras untuk keluarga miskin) merupakan program yang berhubungan langsung dengan ketahanan pangan dan mempengaruhi keputusan konsumsi rumah tangga pertanian. Sedangkan salah satu program yang secara tidak langsung bertujuan untuk ketahanan pangan rumah tangga pertanian dan bersifat pemberdayaan ekonomi rumahtangga adalah program PUAP (Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan) dengan tujuan peningkatan pendapatan dan produksi petani sehingga memperbaiki daya beli terhadap pangan dan ketersediaan/cadangan pangan rumahtangga. Program Pemberdayaan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP) adalah program pemberdayaan masyarakat yang bertujuan meningkatkan pendapatan petani sehingga mampu meningkatkan daya beli terhadap pangan dan program beras untuk masyarakat miskin yang bertujuan mengurangi pengeluaran pangan dan meningkatkan ketersediaan pangan rumahtangga petani sehingga mendukung ketahanan pangan rumahtangga. Program Pemberdayaan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) dilaksanakan oleh petani (pemilik dan/atau penggarap), buruh tani dan rumah tangga tani miskin di perdesaan melalui koordinasi Gapoktan sebagai lembaga yang dimiliki dan dikelola oleh petani. Kementerian Pertanian mulai tahun 2008 telah melaksanakan program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) dibawah koordinasi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-Mandiri) dan berada dalam kelompok program pemberdayaan masyarakat. Pelaksanaan Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) tahun 2011 mengacu kepada pola dasar yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 09/Permentan/ OT.140/2/2011 tentang Pedoman Umum Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 11/Permentan/ OT.140/3/201 untuk meningkatkan keberhasilan penyaluran dana BLM-PUAP kepada Gapoktan dalam mengembangkan usaha produktif petani dalam mendukung 4 (empat) sukses Kementerian Pertanian yaitu (1) swasembada dan swasembada berkelanjutan, (2) diversifikasi pangan, (3) nilai tambah, daya saing, dan ekspor, dan (4) peningkatan kesejahteraan petani. Strategi dasar yang dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat, optimalisasi potensi
22
agribisnis, fasilitasi modal usaha petani kecil, penguatan dan pemberdayaan kelembagaan. Dana BLM PUAP yang disalurkan Kementrian Pertanian kepada Gapoktan dimanfaatkan sebagai modal usaha yang dikelola secara berkelanjutan oleh pengurus Gapoktan sesuai RUB (Rencana Usaha Bersama). Dana BLM PUAP kemudian disalurkan pada kelompok tani sesuai RUK (Rencana Usaha Kelompok) yang diajukan masing-masing kelompok tani. Dana PUAP di setiap kelompok tani diberikan pada anggota kelompok tani sebagai modal usaha produktif petani sesuai dengan RUA (Rencana Usaha Anggota). Dilakukan pelaporan berkala oleh Gapoktan dan kelompok tani tentang perkembangan usahatani petani penerima BLM-PUAP. PUAP yang berkelanjutan diharapkan berkembang menjadi unit usaha simpan pinjam otonom atau Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKMA). Sementara penyaluran Raskin (Beras untuk Rumah Tangga Miskin) sudah dimulai sejak 1998. Krisis moneter tahun 1998 merupakan awal pelaksanaan Raskin yang bertujuan untuk memperkuat ketahanan pangan rumah tangga terutama rumah tangga miskin. Pada awalnya disebut program Operasi Pasar Khusus (OPK), kemudian diubah menjadi Raskin mulai tahun 2002, Raskin diperluas fungsinya tidak lagi menjadi program darurat (social safety net) melainkan sebagai bagian dari program perlindungan sosial masyarakat. Melalui sebuah kajian ilmiah, penamaan Raskin menjadi nama program diharapkan akan menjadi lebih tepat sasaran dan mencapai tujuan Raskin. Penetapan jumlah beras per bulan per RTM yang pada awalnya 10 kg, selama beberapa tahun berikutnya bervariasi dari 10 kg hingga 20 kg, dan pada 2009 menjadi 15 kg. Frekuensi distribusi yang pada tahun-tahun sebelumnya 12 kali, pada 2006 berkurang menjadi 10 kali, dan pada 2007 sampai sekarang ini kembali menjadi 12 kali per tahun. Sasaran penerima manfaat yang sebelumnya menggunakan data keluarga prasejahtera (KPS) dan keluarga sejahtera 1 (KS-1) alasan ekonomi hasil pendataan BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional), sejak 2006 berubah menggunakan data RTM hasil pendataan BPS (Badan Pusat Statistik).
23
Program ini dilaksanakan sebagai konsekuensi logis dari kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang subsidinya ditarik oleh pemerintah pusat. Kenaikan harga BBM tersebut jelas berdampak pada naiknya harga bahan pangan (sembilan bahan pokok), salah satunya beras. Program Raskin ini bertujuan untuk mengurangi beban pengeluaran dari rumah tangga miskin sebagai bentuk dukungan dalam meningkatkan ketahanan pangan dengan memberikan perlindungan sosial beras murah dengan jumlah maksimal 15 Kg/rumah tangga miskin/bulan dengan masing-masing seharga Rp 1600,00/Kg (netto) di titik distribusi. Program ini mencakup di seluruh provinsi, sementara tanggung jawab dari distribusi beras dari gudang sampai ke titik distribusi di pegang oleh Perum Bulog. Sasaran dari Program Raskin ini adalah meningkatkan akses pangan kepada keluarga miskin untuk memenuhi kebutuhan pokok dalam rangka menguatkan ketahanan pangan rumah tangga dan mencegah penurunan konsumsi energi dan protein.
2.4. Penelitian Terdahulu Studi empiris tentang kemiskinan dan ketahanan pangan dilakukan oleh Saputra (2008) menyatakan adanya hubungan lurus antara pendapatan masyarakat dengan pola konsumsi pangan masyarakat miskin, dimana 80 % dari pendapatan digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan. Dengan demikian keterbatasan pendapatan, berimplikasi pada kerawanan pangan. Analisis ketahanan pangan rumahtangga pertanian dilakukan oleh Hardono (2002) dengan model persamaan simultan dan metode 2 SLS. Hasil analisis menunjukan faktor-faktor determinan ketahanan pangan rumahtangga pada indikator : produksi usahatani, pendapatan, ketersediaan, pengeluaran pangan dan kecukupan energi adalah luas sawah garapan, alokasi tenaga kerja, harga padi, pendapatan istri, perbedaan lokasi dan agroekosistem, pendapatan disposable, jumlah anggota keluarga, ketersediaan pangan, pengeluaran pangan, non pangan dan pendidikan. Upaya peningkatan akses rumahtangga pertanian terhadap pangan terkendala oleh tidak responsifnya luas garapan terhadap perubahan harga padi, jumlah tenaga kerja dan modal usaha. Ketersediaan pangan responsif terhadap harga padi dan pendapatan, sedangkan kecukupan energi ditentukan oleh
24
pengeluaran pangan dan jumlah anggota keluarga. Nilai tabungan berkorelasi positif dengan tingkat pendapatan dan cadangan pangan. Sedangkan faktor eksternal yang berpengaruh pada peningkatan ketahanan pangan rumahtangga adalah kenaikan harga padi, luas garapan, alokasi waktu berburuh dan cadangan pangan. Faktor eksternal yang menurunkan ketahanan pangan rumahtangga adalah kenaikan harga pupuk dan upah buruh tani. Asmarantaka (2007) menganalisis perilaku ekonomi rumahtangga petani yang dikaitkan dengan tingkat ketahanan pangan, menggunakan model persamaan simultan dan metode 2 SLS. Hasil analisis menunjukkan pengeluaran konsumsi pangan rumahtangga pertanian di desa pangan dan perkebunan termasuk dalam kategori tahan pangan berdasarkan pendekatan setara beras, dimana ketahanan pangan tertinggi terdapat pada desa perkebunan dan terendah di desa pangan. Dengan demikian, konsep ketahanan pangan tidak selalu searah dengan ketersediaan produksi, tetapi ditentukan oleh akses ketersediaan pangan melalui tingkat
pendapatan
rumahtangga
pertanian.
Model
persamaan
simultan
menunjukan bahwa produksi responsif terhadap penggunaan tenaga kerja sehingga peningkatan penggunaan tenaga kerja akan berdampak positif terhadap produktifitas usahatani yang pada akhirnya meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan rumahtangga petani sehingga mendukung ketahanan pangan rumahtangga. Pengeluaran konsumsi, investasi pendidikan, kesehatan dan tabungan dipengaruhi dan responsif terhadap pendapatan. Peningkatan harga output komoditas utama maupun kenaiakan harga input mempunyai dampak positif terutama bagi desa pangan, yaitu peningkatan pendapatan usahatani, tabungan dan biaya investasi. Penelitian lain tentang ekonomi rumahtangga dilakukan Rochaeni (2005) dengan pembahasan tentang waktu kerja, pendapatan dan pengeluaran rumahtangga pertanian menggunakan model persamaan simultan dengan metode 2 SLS. Dalam penelitian ini dinyatakan bahwa alokasi waktu kerja anggota rumahtangga petani lebih banyak pada non usahatani karena pendapatan dari non usahatani lebih besar dari pendapatan usahatani. Pengeluaran total rumahtangga pertanian terbesar dialokasikan untuk konsumsi pangan dan non pangan, yakni sebesar 50,52 % dari pendapatan total rumahtangga, sedangkan untuk investasi
25
sebesar 22,77 % dari pendapatan total rumahtangga. Perubahan curahan kerja anggota rumahtangga akan berpengaruh pada tingkat pendapatan rumahtangga. Sementara perubahan harga input dan output padi menurunkan curahan kerja suami pada usahatani padi dan meningkatkan pendapatan dari non usahatani padi. Hasil penelitian Smith dan Strauss (1986) dalam Singh et.all (1986) menggunakan data Sierra Leone merupakan simulasi data mikro untuk mengetahui konsekuensi intervensi kebijakan terhadap berbagai tipe rumahtangga yang menunjukan bahwa kenaikan harga padi
memperbaiki gizi penduduk
pedesaan secara keseluruhan . Bagi rumahtangga berpendapatan rendah yang umumnya mempunyai persediaan jumlah padi lebih banyak untuk dijual sebagai tambahan keuntungan, maka kenaikan harga padi memberi dampak positif terhadap status gizi. Tambahan keuntungan ketika harga padi naik dapat digunakan untuk mengimbangi kenaikan harga pangan lain yang dibeli untuk dikonsumsi sehingga status gizi mereka bertambah baik. Penelitian ini membahas peranan bantuan modal PUAP dalam meningkatkan produktifitas usahatani dan pendapatan petani serta proporsi raskin dalam pengeluaran pangan rumahtangga sehingga diketahui peranan kedua program penanggulangan kemiskinan tersebut terhadap ketahanan pangan rumahtangga petani.