21
TINJAUAN PUSTAKA
Perilaku Menurut Thaha (2000: 2930), perilaku adalah apa yang dikerjakan oleh manusia, baik yang dapat diamati secara langsung ataupun yang tidak dapat diamati secara langsung sebagai hasil dari interaksi antara sesorang atau individu dengan lingkungannya (P=F(I,L). Makmin (2001:8186) mengatakan bahwa perilaku adalah kemampuan yang dimiliki oleh individu karena pembawaan (hereditas) dan interaksi dengan lingkungan sesuai dengan tingkat perkembangan (P=f (H,E,T). Secara umum, perilaku manusia adalah hasil interaksi antara faktor genetik dan lingkungan. Hereditas atau keturunan merupakan konsepsi dasar atau modal untuk perkembangan perilaku, sedangkan lingkungan merupakan kondisi atau lahan yang mempengaruhi perkembangan perilaku tersebut. Mekanisme pertemuan antara kedua faktor tersebut dalam rangka terbentuknya suatu perilaku disebut proses belajar (learning process). Menurut Skinner (Salkind 1989), perilaku merupakan hasil hubungan antara perangsang (stimulus) dan respon. Ada dua respon yaitu: (1) respondent response atau reflextive, yaitu respon yang ditimbulkan oleh rangsangan tertentu relatif tetap, dan (2) operant response atau instrumental response, yaitu respon yang timbul dan perkembangannya diikuti oleh perangsangan tertentu. Perilaku dibedakan atas dua bentuk: (1) bentuk pasif, yaitu perilaku yang terjadi dalam diri manusia yang tidak dapat dilihat secara langsung oleh orang lain, seperti berpikir, pengetahuan dan sikap, dan (2) bentuk aktif, yakni perilaku yang dapat diamati secara langsung. Bentuk pertama disebut juga covert behaviour dan kedua overt behaviour.
Walgito (2003:13)
membaginya dengan perilaku yang tidak tampak (inner behavior) dan perilaku yang tampak (over behavior). Perilaku dipengaruhi oleh tiga faktor: (1) faktor predisposisi (predisposing factor), yakni faktor pencetus timbulnya perilaku, seperti pikiran dan motivasi untuk berperilaku yang meliputi pengetahuan, sikap, kepecayaan atau keyakinan, nilai dan persepsi yang berhubungan dengan motivasi individu untuk berperilaku, (2) faktor faktor yang mendukung (enabling factors), yakni yang mendukung timbulnya perilaku sehingga motivasi atau pikiran menjadi kenyataan, termasuk di dalamnya adalah lingkungan fisik dan sumbersumber yang ada di keluarga dan masyarakat, dan (3) faktorfaktor yang memperkuat atau mendorong (reinforcing factors), yakni faktor
22
yang merupakan pembentukan perilaku yang berasal dari orang lain yang merupakan kelompok referensi dari perilaku seperti keluarga, teman, guru atau mubaligh. Ada tiga cara untuk pembentukan perilaku yaitu: (1) dengan cara pembiasaan (kondisioning), didasarkan pada teori learning kondisioning oleh Pavlov, Thordinke dan Skinner, (2) dengan cara memberi pengertian (insight), yang didasarkan atas teori belajar kognitif oleh Kohler, dan (3) dengan cara menggunakan model, yang didasarkan pada teori belajar sosial oleh Bandura dalam (Walgito, 2003:1617). Jadi kalau orang tua ingin membentuk perilaku religius terhadap anak remaja mereka, orang tua harus melatih atau membiasakan anakanak mereka sejak dini melaksanakan ajaran agama seperti: shalat, puasa, bertingkah laku baik, dan lain sebagainya. Setelah menjadi kebiasaan remaja, diikuti dengan memberikan penjelasan, pengertian, dan pemahaman (hikmah) dari perilaku religius yang dilakukan, dan kemudian dilanjutkan dengan memberikan keteladanan oleh orang tua, guru, tokoh agama dan masyarakat tentang perilaku religius. Bloom dalam Winkel (1996: 244254), membagi perilaku ke dalam tiga ranah, yaitu ranah kognitif, afektif dan psikomotor, kemudian oleh para ahli pendidikan dikembangkan menjadi halhal yang dapat diukur yaitu pengetahuan, sikap dan praktik atau tindakan. Bloom mengklasifikasi ranah kognitif ke dalam enam kemamuan yaitu: (1) pengetahuan, (2) pemahaman, (3) penerapan, (4) analisis, (5) sintesis, dan (6) evaluasi; ranah afektif ke dalam lima kemamuan yaitu: (1) penerimaan, (2) partisipasi, (3) penilaian, (4) organisasi dan (5) pembentukan pola hidup; ranah psikomotor ke dalam tujuah kemamuan yaitu: (1) persepsi, (2) kesiapan, (3) gerakan terbimbing, (4) gerakan yang terbiasa, (5) gerakan yang kompleks, (6) penyesuaian pola gerakan, dan (7) kreativitas. Asngari (2001:17) mengatakan bahwa, untuk mengubah perilaku seseorang, kita dapat melakukanya dengan mengubah salah satu dari ketiga ranah (kognisi, afeksi dan psikomotor) atau keseluruhan ranah tersebut. Perubahan pada salah satu ranah itu akan saling mempengaruhi yang lainnya. Dengan kata lain, perubahan pada salah satu akan memberi efek pada perubahan ranah lainnya. Perubahan perilaku yang disengaja dan direncanakan pada dasarnya merupakan esensi dari pendidikan atau penyuluhan. Slamet (2001:9) mengatakan bahwa penyuluhan sebagai proses perubahan perilaku merupakan program pendidikan luar sekolah yang bertujuan untuk memberdayakan, memdanirikan sasaran, dan membangun
23
masyarakat madani. Penyuluhan bukan program charity yang bersifat darurat atau ad hoc, melainkan sistem yang berfungsi secara berkelanjutan, untuk menghasilkan perubahan perilaku dan tindakan sasaran yang menguntungkan dirinya sendiri dan masyarakatnya. Individu dalam masyarakat mengalami proses sosialisasi agar ia dapat hidup dan bertingkah laku sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarkat di mana individu berada. Sosialisasi sebagai proses transmisi antar generasi terjadi melalui interaksi sosial, dan fungsinya untuk bertahan dan kelangsungan susatu masyarakat melebihi satu generasi. Sosialisasi adalah proses belajar yang dialami seseorang untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, nilainilai dan normanorma agar ia dapat berpartisipasi sebagai anggota kelompok masyarakat (Ihromi, 2004:30). Dalam proses sosialisasi, individu dipengaruhi oleh keturunan (heredity) dan lingkungan (environment). Interaksi adalah kunci terjadinya sosialisasi untuk itu diperlukan agen sosialisasi, yakni orangorang di sekitar individu yang mentransmisikan nilainilai dan normanorma tertentu, baik secara langsung atau tidak langsung. Agen sosialisasi ini merupakan orang yang paling dekat (significant other) dengan individu, seperti orang tua, kakakadik, saudara, teman sebaya, guru dan lain sebagainya. Sosialisasi bisa berlangsung secara tatap muka, tapi juga bisa dalam jarak tertentu melalui media, atau surat menyurat, atau bisa juga formal maupun informal, baik sengaja atau tidak sengaja. Ada dua tahapan sosialisasi yaitu: (1) sosialisasi primer, yang dialami individu pertama kali dalam pembentukan kepribadiaannya, dan sebagai agennya adalah keluarga (terutama kedua orang tua), dan (2) Sosialisasi sekunder, sebagai proses memperkenalkan individu kedalam dunia baru dan kehidupan yang objektif di masyarakat, sebagai agen sosialisasi adalah sekolah, teman sebaya, lembaga pekerjaan dan masyarakat (Ihromi, 2004). Ketika masa remaja, agen sosialisasi diperankan oleh teman sebaya (peer group) dan sekolah. Sebab remaja melewatkan sebagian besar waktunya di sekolah terutama bersama teman sebaya. Karena itu sekolah memberikan peluang kepada remaja untuk dapat bergaul dengan teman sebaya dan mempersiapkan mereka supaya dapat hidup dan bertahan di masyarakat. Jadi perilaku adalah kemampuan bertindak yang dimiliki oleh seseorang hasil kombinsi
pengetahuan,
sikap
dan
keterampilan
(kognitif,
afektif
dan
24
keterampilan/psikomotor) atau sebagai hasil dari interaksi potensi bawaan dengan lingkungan melalui belajar. Belajar hakikatnya merubah perilaku individu secara keseluruhan aspek perilaku atau salah satunya melalui pendidikan formal atau penyuluhan (nonformal). Perilaku itu ada yang tampak dan dapat diamat seperti melaksanakan shalat, dan yang tidak tampak seperti pengetahuan terhadap Tuhan. Perilaku seseorang dipengaruhi oleh faktor pengetahuan dan keyakinan, faktor lingkungan fisik dan sumber daya, dan faktor pembentuk (kelompok referensi). Perilaku seseorang dibentuk melalui pembiasaan, pengertian atau pemahaman, dan penggunaan model (pentauladanan). Perilaku seseorang sebagai kombinasi dari pengetahuan, sikap dan keterampilan merupakan hasil interaksi individu dengan lingkungannya melalui proses belajar, diantara lingkungan itu adalah lingkugan sistem nilainilai, seperti ajaran agama. Agama sebagai salah satu sistem nilai dan sistem sosial terdiri dari ajaran tentang keyakinan, ritual, penataan sikap mental (akhlak) dan tata aturan duniawiah atau hubungan dengan sesama. Untuk itu perlu diuraikan tentang dimensi keberagamaan bagaimana individu beragama dan peran agama bagi individu dan masyarakat.
Religiusitas (Keberagamaan) Religiusitas dapat diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan manusia. Ia tidak hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual (ibadah), tetapi juga dalam melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan nilainilai agama yang diyakininya. Ia tidak hanya berkaitan dengan aktivitas yang tampak (zahir), seperti shalat dan menolong orang yang miskin, tetapi juga aktivitas yang tidak tampak atau terjadi dalam hati (batin) seseorang, seperti iman dan zikir kepada Allah. Keberagamaan itu meliputi dimensi keyakinan/iman, praktik agama (ritual), pengalaman rohaniah, pengetahuan agama dan tingkah laku (akhlak). Dimensi keyakinan berisi pengharapanpengharapan seseorang religius berpegang teguh pada pandangan teologis/ketuhanan tertentu dan mengakui kebenaran doktrin tersebut, yang dalam Islam disebut aqidah, seperti yakin adanya Allah Yang Maha Esa. Dimensi praktik (ritual) mencakup perilaku penyembahan/pemujaan, ketaatan atau kepatuhan dan halhal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap dokrin agama (teologi) yang dianutnya, dalam Islam disebut Ibadah, seperti mendirikan shalat lima waktu. Dimensi pengalaman rohaniah, berisikan
25
perasaanperasaan, persepsipersepsi dan sensasisensasi yang dialami seseorang dalam berhubungan dengan kekuatan Tuhan/supranatural (pengalaman batin), seperti merasa tenang dan sejuk hatinya setelah shalat atau membaca Alquran. Dimensi pengetahuan agama meliputi sejumlah pengetahuan minimal dan dasar yang harus dimiliki oleh seseorang tentang agamanya, seperti pengetahuan tentang rukun iman dan Islam. Dimensi pengamalan atau konsekuensi adalah merupakan akibat dari dimensidimensi sebelumnya yang tampak dalam perilaku seseorang dalam kehidupan seharihari atau aktualisasi nilainilai agama yang sudah terintegralisasi pada berbagai aspek kehidupan, dalam Islam disebut akhlak, seperti: perilaku tawaduk, jujur, tasamuh, ta`awun (Muhaimin, 2002:293294). Magill (1993:2096) memberikan batasan religiusitas :“… a person’s attitude toward religion in general; more specifically, the intensity of way in which a person is religious”. Religiusitas merupakan sikap seseorang terhadap agama secara umum, bukan hanya terhadap salah satu aspeknya saja dari agama, lebih khusus lagi religiusitas adalah intensitas cara seseorang untuk menjadi seorang yang beragama. Para psikolog sosial membedakan dua cara seorang menjadi beragama (ways of being religious), yaitu: (1) cara yang komitmen terhadap agama, dimana agama dipikirkan secara saksama dan diperlakukan dengan sungguhsungguh sebagai tujuan akhir (an end in itself), dan (2) agama digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tujuan yang berpusat pada diri sendiri (Roldan Robertson, (ed.), 1980: 299). Perbedaan ini melahirkan dua cara orang menjadi seorang beragama, yaitu beragama intrinsik dan ekstrinsik. Konsep ini kemudian dikenal dengan istilah religiusitas (religiousity) intrinsik dan ekstrinsik atau orientasi religius intrinsik dan ekstrinsik. Religiusitas intrinsik merupakan cara beragama yang memiliki komitmen terhadap agama secara seksama dan memperlakukan komitmen tersebut dengan sungguhsungguh sebagai tujuan akhir. Religiusitas ini beroperasi dalam pusat kepribadiaan dan “membanjiri” seluruh kehidupan dengan motivasi dan arti nilai agama, memandang serius ajaran mengenai persaudaraan dan berusaha untuk menghubungkan semua kebutuhan yang berpusat pada diri sendiri dengan ajaran agama (Allport, 1967:33). Dengan kata lain semua kebutuhan dan keiginan dirinya ditarik ke dalam ajaran agama. Cara beragama ini juga menjunjung tinggi kemurnian hati nurani, visi, pengertian dan komitmen yang memberikan makna pada ritualritual keagamaan yang dilakukan.
26
Individu intrinsik menemukan motif utamanya berperilaku dalam ajaran agama, kebutuhankebutuhan lain yang dimilikinya dianggap kurang signifikan jika tidak diharmonisasikan dengan keyakinankeyakinan dan aturan agama. Individu intrinsik tidak akan mengkompromikan keyakinannya dalam situasi di mana lebih dari satu motif agama berperan (mixedmotive situation). Pada individu intrinsik, ajaranajaran agama diinternalisasi dan diikuti secara penuh atau total (Allport, 1967: 35). Karenanya agama berfungsi sebagai framework dalam menjalani kehidupannya. Inilah yang dalam ajaran Islam disebut orang mukhlishin dan muttaqin. Ini berbeda dengan religiusitas ekstrinsik yang menggunakan agama sebagai alat untuk mencapai tujuantujuan yang berpusat pada diri sendiri. Religiusitas ekstrinsik benarbenar bersifat utilitarian, agama berguna dalam menjamin keselamatan, kedudukan sosial, ketenaran, dukungan sosial dan dukungan atas cara hidup yang dipilih (Allport,1967:36). Sifat religiusitas ini, penekanan diberikan pada penampilan luar dari agama, aspekaspek tangible, ritualized dan institutionalized dari agama yang banyak dianggap sebagai tanda ketaatan dalam kebudayaan. Individu ekstrinsik mengamalkan ajaranajaran agama yang dianutnya lemah atau longgar; dibentuk secara selektif sehingga sesuai dengan kebutuhankebutuhan pribadi yang lebih primer (Allport, 1967:37). Jadi, pelaksanaan ajaran agama dan upaya menjauhkan diri dari larangan agama akan sangat tergantung pada kebutuhankebutuhan lain dari individu tersebut. Bila ia menganggap pelaksanaan ajaran agama menghambat kebutuhannya yang lebih penting, seperti kedudukan sosialnya, maka ia akan cenderung mengabaikan ajaran agama tersebut. Dengan kata lain, individu ekstrinsik akan menarik semua ajaran agama kepada sudut kebutuhan dan keinginannya. Inilah yang dalam wacana Islam disebut kepribadian fasiq dan munafiq. Dalam mendefinisikan religiusitas, sekurangkurangnya terdapat tiga kriteria penting yaitu: (1) tingkat kepercayaan/keyakinan seseorang (the degree of a person belief), (2) intensitas dia mengikuti kegiatan keagamaan di mesjid/gereja dan sebagainya (How often he/she attends in services), dan (3) Seberapa penting dan sering dia beribadah (How important dan how often he/she prays). Untuk mengukur kadar religiusitas seseorang dapat diketahui melalui lima dimensi yaitu: (1) keterlibatan ritual, (2) keterlibatan ideologi, (3) keterlibatan intelektual, (4) pengalaman keagamaan, dan (5) pengamalan/aktualisasi ajaran agama dalam kehidupan seharihari. (Glock et al.:1965:20). Menurut Tamminen (Paloutzian, 1996:12), religiusitas adalah
27
ketergantungan terhadap Tuhan dan kehidupan abstrak serta komitmen kepribadian seseorang, pengalaman dan komitmen, cara berfikir, berbuat, dan berperilaku moral serta tindakan lainnya. Chapter 2 Pena dan Frehill dalam Journal for the Scientific Study of Religion (JSSR) mengemukakan pula bahwa kadar keberagamaan seseorang dapat dilihat melalui: (1) frekuensi mengikuti kegiatan agama, upacara agama dan peristiwa peristiwa keagamaan, (2) seberapa sering mendiskusikan masalahmasalah agama, dan (3) berapa sering meluangkan waktu untuk kehidupan beragama dengan keluarganya. (Pena, et al.,1998:624). Pendapat Pena dan Frehill di atas, pada prinsipnya mempunyai kemiripan dengan Woodroof (Benda, 1997:35) di mana untuk mengukur religiusitas seseorang bisa dilihat dari delapan aspek yaitu: (1) kehadirannya ke tempat ibadah (church attendence), (2) waktu beribadah (time in prayer), (3) mempelajari kitab suci (study the bible/holy book), (4) aktivitas di tempat ibadah (study in church), (5) keterlibatan/ kontribusi keuangan(contribution), (6) menikmati kehidupan beragama (share joy dan problems of religious life), (7) membicarakan masalahmasalah agama dalam keluarga atau dengan temanteman (talk about religion with family dan friends), dan (8) mencoba mengajak orang untuk memeluk agama dan beribadah (try to convert someone). Pengukuran terhadap tingkat keberagamaan atau religiusitas dapat dilihat dari tiga dimensi keterlibatan keberagamaan, yaitu: keterlibatan pikiran (rohani), keterlibatan fisik (raga), dan keterlibatan keuangan (harta). Bila seseorang semakin banyak/sering melibatkan dirinya dalam kehidupan beragama, maka semakin tinggi pula tingkat religiusitas seseorang. Sebaliknya, seseorang yang tidak pernah melibatkan diri dalam kegiatan ibadah baik yang bersifat ritual maupun yang nonritual, maka berarti tingkat religiusitasnya rendah. Menurut Paloutzian, pengaruh agama dapat positif maupun negatif terhadap kehidupan pribadi seseorang maupun dalam tingkat kehidupan sosial. (Paloutzian,1996:20). Secara sosiologis, agama berfungsi sebagai penyelamatan, edukatif, kontrol sosial, persaudaraan dan transpormatif (Hendropuspito,1997:4557). Agama yang fungsional akan dapat menyelamatkan seseorang atau masyarakat dari berbagai kerusakan dan petaka sebab agama berisikan hudan (petunjuk), bimbingan dan tuntunan ke arah hidup yang baik dan bermakna. Edukasi agama akan membimbing untuk menumbuhkembangkan potensi rohaniah fitri manusia secara positif dan optimal.
28
Kontrol sosial agama bertanggung jawab atas adanya normanorma yang baik yang diberlakukan untuk masyarakat dan mengawasi tingkah laku masyarakat supaya sesuai dengan tujuan mulia agama. Nilai ukhuwwah (persaudaraan) akan menuntun manusia untuk bersatu, kooperatif dan merasa sama (equal) yang dapat melahirkan tingkah laku toleran, ta`awun, empati, simpati, kasih sayang dan sebagainya. Fungsi transformatif agama akan mampu merubah dan memperbaiki individu dan masyarakat dari suatu keadaan yang kurang manusiawi atau konservatif kepada keadaan yang lebih baik dan bermutu. Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa religiusitas adalah proses bagaimana seseorang menjadi individu beragama yang sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya, meliputi aspek: (1) keterlibatan ideologi/keyakinan, (2) keterlibatan ritual/ibadah, (3) pengamalan/aktualisasi agama dalam kehidupan seharihari, (4) pengalaman batin keagamaan, dan (5) keterlibatan intelektual/pengetahuan. Boleh jadi keterlibatan itu secara intrinsik, yang ditunjukkan dengan perilaku berpusat pada nilai agama atau secara ekstrinsik di mana agama ditarik kepada kebutuhan dan kepentingannya atau agama berpusat pada dirinya. Agama yang fungsional dalam kehidupan individu dan sosial akan mampu menyelamatkan, menumbuhkembangkan potensi yang fitri, bertanggung jawab dan mengawasi norma sosial, membuat kehangatan antar sesama dan merubah serta memperbaiki individu dan masyarakat ke arah yang lebih baik lagi. Perilaku beragama yang berarti kemampuan bertindak sebagai kombinasi dari aspek pengetahuan, sikap dan pengamalan seorang beragama sebagai hasil interaksi dirinya dengan ajaran agama yang dianut melalui proses belajar dalam keluarga, sekolah, komunitas dan masyarakat luas. Perilaku ini mencakup lima dimensi agama keyakinan/iman, ibadah ritual, pengalaman batin/rasa agama, pengetahuan agama dan pengamalan/aktualisasi agama dalam kehidupan seharihari. Bagaimana dan pada taraf apa keberagamaan individu, selain dipengaruhi oleh lingkungan juga oleh keadaan diri sendiri atau fase perkembangan hidupnya. Untuk itu pengenalan terhadap fase perkembangan manusia dan berbagai ciricirinya amat penting, terutama fase remaja. Maka uraian di bawah ini akan menjelaskan fase perkembangan remaja dengan berbagai ciriciriya.
29
Perkembangan Remaja Menurut psikologi perkembangan yang dikemukakan oleh Hurlock (1980:14), ada sebelas periode kehidupan manusia berdasarkan bentukbentuk perkembangan dan polapola tingkah laku, diantaranya adalah masa remaja. Masa remaja ini dibagi ke dalam praadolescence yaitu umur 10 atau 12 tahun sampai 13 atau 14 tahun; masa remaja awal yaitu umur 13 atau 14 sampai 17 tahun; dan masa remaja akhir 17 tahun sampai 21 tahun. Hampir sama dengan pembagian di atas, Havinghurst (Monks, 1982:2324) membagi tahapan perkembangan manusia menjadi 6 tahapan, di antaranya masa remaja/adolescence pada umur 1218 tahun. Klasifikasi lain yang hampir sama menempatkan masa remaja termasuk dalam masa adolescence yaitu masa transasi dari masa anak–anak menuju masa dewasa awal yang dimulai pada umur 10 sampai 12 tahun dan berakhir pada umur 18 sampai 22 tahun (Santrock dan Yussen, 1989:1415). Batasan lain diungkapkan oleh Irwin dan Millstein (1990: 344) bahwa masa adolescence terjadi pada umur 1119 tahun yang terbagi masa remaja dalam 3 fase, yaitu: (1) Fase adolescence awal yaitu pada umur 1113,5 tahun, (2) Fase adolescence pertengahan yaitu pada umur 13,516 tahun, dan (3) fase adolescence akhir yaitu pada umur 1619 tahun. Masa adolescence adalah masa terjadinya perubahan dalam sistem fisiologi dan biokimia serta perilaku. Perubahanperubahan besar yang dialami oleh remaja yang meliputi perubahan biologis, adanya gap antara perkembangan biologis dan perkembangan sosial, adanya kebingungan dalam pikiran adolescence tentang peran orang dewasa, adanya kesulitan untuk melihat apa yang akan terjadi dan adanya kemudahan akses pada ancaman yang potensial seperti alkohol, narkoba, senjata tajam dan perilaku lain yang merusak (Munss, 1990:56). Masa adolescence adalah masa di mana individualisme mulai muncul, yaitu keinginan melibatkan identitas yang menyangkut diri sendiri (self) yang terpisah dari orang tua untuk mulai tergantung pada diri sendiri (independent self ). Psikologi dari budaya Barat mengasumsikan bahwa hidup seseorang akan lebih bervariasi dan berarti apabila mengandalkan pada diri sendiri dan percaya pada kekuatan kontrol personal. Budaya di Asia dan Amerika Tengah lebih banyak mengandalkan pada kolektivisme atau dapat juga disebut interdependent self, identitas lebih dikaitkan dengan orang lain (others) seperti keluarga, teman, dan rekan kerja. Secara detail konsep diri (self concept) dapat dibedakan berdasarkan independent dan interdependent.
30
Pada independent memiliki ciri: (1) identitas berkaitan dengan personal yang didefinisikan dengan ciriciri atau tujuan individu, (2) halhal yang penting adalah 'Me' yaitu prestasi dan pemenuhan personal serta hakhak pribadi, (3) didukung oleh budaya individualistik Barat, sedangkan Interdependent bercirikan: (1) identitas berkaitan dengan sosial yang didefinisikan dengan hubungan dengan orang lain, (2) halhal yang penting adalah 'We', yaitu tujuan dan solidaritas kelompok atau grup, hubungan dan tanggung jawab sosial, dan (3) didukung oleh budaya kolektivistik Asia dan negara dunia ketiga (Myers, 1999: 43). Adapun perbedaan konsep diri (self concept) antara lakilaki dan perempuan juga dikemukakan oleh Lever (Myers, 1999:175) yang terlihat pada perilaku di masa anakanak. Anak lakilaki cenderung untuk berusaha mandiri (independence) dengan berusaha untuk memperlihatkan identitasnya yang terpisah dari pengasuhnya, yakni ibunya. Sedangkan anak perempuan cenderung senang menerima rasa saling ketergantungan (unterdepedensi) dengan berusaha untuk memperlihatkan identitasnya melalui hubungan sosial. Dalam beraktivitas, anak lakilaki cenderung bergabung dengan aktivitas kelompoknya, sedangkan anak perempuan cenderung bermain dengan kelompok yang lebih kecil dengan menunjukkan perilaku yang kurang agresif, lebih banyak sharing, lebih banyak menjalin hubungan yang lebih akrab, dan lebih banyak berdiskusi dengan akrab dibandingkan dengan anak lakilaki. Tanen (Myers,1999:180) menambahkan bahwa masa dewasa lakilaki cenderung untuk menfokuskan diri lebih kepada tugastugas (tasks) dan berusaha untuk menggalang hubungan dengan kelompok yang lebih besar dibandingkan dengan perempuan yang cenderung untuk menfokuskan diri pada hubungan personal. Lebih lanjut lagi, di dalam grup perempuan cenderung untuk memberi lebih banyak dalam dana, bantuan, empati serta menunjukan dukungan yang lebih dibandingkan dengan lakilaki, sedangkan lakilaki lebih banyak membicarakan dan memberikan informasi dibandingkan dengan perempuan (Myers,1999.184). Gender dalam analisa psikologi menempati tempat yang penting dan dibahas secara baik terutama dalam analisa persamaan dan perbedaan perilaku. Gender diartikan sebagai "the characteristics people associate with male and famale" (Myers, 1999:182 183). Perbedaan perilaku antara lakilaki dan perempuan di antaranya adalah: (1) Laki– laki memasuki masa puber dua tahun setelah perempuan dan meninggal lima tahun lebih awal dari perempuan, (2) perempuan cenderung merasa rapuh (vulnerable) dan
31
mengalami gangguan kecemasan (anxiety) dan depresi dua kali lipat dibandingkan dengan lakilaki, (3) Lakilaki cenderung melakukan percobaan bunuh diri sebanyak tiga kali lipat dan cenderung untuk menjadi pecdanu alkohol (alcoholic) sebanyak lima kali lipat dibandingkan perempuan, dan (4) Lakilaki cenderung untuk banyak menderita hiperaktif, gangguan bicara pada masa anakanak, cenderung untuk menunjukan perilaku pribadi antisosial di masa dewasa dan cenderung untuk tidak mau mendengar siapapun dibandingkan dengan perempuan (Myers, 1999:183).
Perkembangan PsikoSeksual Menurut teori perkembangan psikoseksual oleh Sigmund Freud (Freud's psychosexual stages), dinyatakan ada lima tahapan perkembangan manusia, yaitu meliputi tahapantahapan: (1) Oral, (2) Anal, (3) Phallic, (4) Laten, dan (5) Gential. Masa remaja termasuk pada tahapan kelima, yaitu tahapan gential yang berlangsung mulai masa puber yang ditandai dengan keinginan seksual yang mulai bangkit (Santrock dan Yussen,1989:282295). Karena itu, remaja yang kurang memiliki pengendalian diri sangat mungkin untuk terlibat dalam perilaku seks akibat perkembangan hormon seksual yang terjadi. Peranan agama, orang tua, guru dan media massa sangat penting dalam mengarahkan remaja agar tidak terjerumus ke dalam perilaku seks bebas.
Perkembangan PsikoSosial Berdasarkan tahapan psikososial dari Erikson yang dikenal dengan Erikson's the psychososial stages, membagi delapan tahapan perkembangan manusia yang meliputi: (1) Tahapan trust versus mistrust pada priode infancy (setara dengan tahapan oral menurut teori Frued), (2) Tahapan autonomy versus shame, selfdoubt pada periode awal anakanak 23 tahun atau early childhood (setara dengan tahapan anal menurut teori Frued), (3) Tahapan initiatif versus guilt pada periode anakanak 36 tahun atau play age (setara dengan tahapan phalic menurut teori Freud), (4) Tahapan industry versus inferiority pada periode 69 tahun atau school age (setara dengan tahapan laten menurut teori Frued), (5) Tahapan indentity confusion versus role diffusion pada periode 1015 tahun atau adolescence, (6) Tahapan intimacy versus isolation yang terjadi pada masa dewasa awal atau young adulthood, (7) Tahap generativity versus stagnation pada periode dewasa pertengahan atau adulthood, dan (8) Tahapan ego integrity versus despair atau senescence pada periode dewasa terakhir (Dariyo, 2004).
32
Masa remaja termasuk pada tahapan kelima, yaitu tahapan pencarian identitas yang mana individu ingin mengungkapkan dan mengerti siapa dirinya dan apa yang diinginkan di masa depan. Pada tahapan ini orang tua sangat berperan dalam membantu anaknya untuk memahami dirinya dan mengeksplorasi berbagai peranan dalam kehidupan seharihari. Apabila anak remaja dapat mengeksplorasi peranannya dengan perilaku baik dan dapat menemukan jalur yang tepat bagi hidupnya, maka anak tersebut akan mencapai identitas positif (a positive identity). Sebaliknya, apabila anak tersebut terlalu dipaksa oleh orang tuanya dalam mengeksplorasi peranan sehingga anak kurang cukup kesempatan memahami cara pengeksplorasian peranannya sendiri, maka akan terjadi kebingungan terhadap identitas (a identity confusion) akan semakin besar (Dariyo, 2004). Masa remaja yang diawali dengan masa pubertas dicirikan dengan perhatian subjektif yang besar pada diri sendiri. Pada remaja puber, ciriciri penting lainnya adalah: (1) 'sang aku' menjadi segalanya, (2) tidak menghendaki campur tangan dan penguasaan orang tua atau orang dewasa lainnya, (3) tidak segansegan mengemukakan kecaman terhadap orang tua, guru atau orang dewasa lain, (4) kebutuhan untuk bergabung dengan temanteman sebaya kuat sekali, (5) berusaha untuk menemukan nilainilai hidup dan menetapkan citacitanya, (6) perasaan emosional yang sangat tinggi, dan (7) adanya kesadaran perasaan religius, etis, estetis, dan nasionalis dalam dirinya.
Perkembangan Kognitif Menurut teori perkembangan kognitif dari Piaget (Piaget's cognitive structural stages) ada empat tahapan perkembangan kognitif manusia. Tahap (1) sensorimotor pada masa infant (setara dengan tahapan oral dan onal menurut Freud, tahapan trust vs mistrust, autonomy vs shame menurut Erikson), (2) tahapan preoperasional pada masa anakanak awal (setara dengan tahapan phallic menurut Freud dan tahapan initiative vs guilt menurut Erikson), (3) tahapan concrete operational pada masa anakanak pertengahan dan akhir (setara dengan tahapan latency menurut Freud dan tahapan industry vs inferiority menurut Erikson), dan (4) tahapan formal operasional yang dimulai pada masa adolescence (setara dengan tahapan gential menurut Freud dan tahapan identity vs confusion diffusion menurut Erikson ) (Santrock dan Yussen,1989:295).
33
Piaget (Dariyo, 2004) melakukan studi tentang struktur kognitif anak yang terjadi pada masa puber adolescence. Perubahan dalam struktur kognitif yang menyangkut transisi dari pemikiran tahapan operasional ke pemikiran tahapan formal yang muncul selama masa adolescence tergantung pada modifikasi kualitatif termasuk: (1) Kemampuan kognitif yang telah dikembangkan menyangkut keterampilan yang dicirikan berfikir abstrak, (2) Kemampuan untuk menghubungkan satu elemen khusus dengan elemen khusus lainnya, sehingga mengarah pada analisa kombinasi, yang selanjutnya mengarahkan adolescence untuk dapat menghubungkan satu elemen dengan semua elemen yang lainya, dan (3) Proses berpikir konkrit yang terbalik seperti jika A = B, maka B=A. Selanjutnya pada tahap operasional formal, adolescence dapat mengambil aliran politik mana yang dipercayai dan kemungkinan dapat berbeda dari golongannya. Ditambahkan pula bahwa studi perkembangan adolescence ke dewasa awal adalah lebih sulit dibandingkan dengan studi tentang anakanak, kerena anakanak relatif kurang kreatif dibdaningkan dengan remaja. Namun demikian, studi tentang anak dan remaja membantu untuk mengerti perkembangan selanjutnya di masa dewasa awal. Periode umur 1520 tahun menandakan adanya mulai masa spesialisasi profesionalisme yang mempunyai konsekuensi terhadap program hidupnya. Ditambahkan oleh Elkind (Dariyo, 2004) mengenai ide tentang pemikiran ' adolescence egocentrism' melalui tahapan teori kognitif dari Piaget yang meliputi perkembangan emosional–sosial, kesadaran interpersonal dan personality. Egosentrisme muncul karena di saat adolescence yang sekarang dapat mengetahui/menyadari pikiran orang lain, namun adolescence tersebut masih gagal untuk membedakan antara objek yang dipikirkan oleh orang lain dan objek yang menjadi fokus perhatianya sendiri. Sebagai konsekuensi dari sifat egosentrisme ini adalah adanya antisipasi dari adolescence tentang reaksi orang lain terhadap dirinya. Antisipasi tersebut berdasarkan pikiran bahwa orang lain mengganggu atau mengkritik dirinya sebagaimana dirinya mengkritik dirinya sendiri. Perkembangan Sosial Berdasarkan teori belajar sosial (Sosial learning theory) dari Albert Bandura, dinyatakan bahwa anakanak belajar bersosialisasi melalaui pengamatannya terhadap orang lain. Melalui belajar dengan melakukan observasi ini (atau dikatakan sebagai imitation atau meniru), anak secara kognitif merepresentasikan tingkah laku orang lain dan kemudian diadopsi ke dalam tingkah laku dirinya sendiri. Observasi ini merupakan
34
dimensi yang amat penting dalam perkembangan sosial anak. Model perkembangan dan belajar dari Bandura terdiri dari tingkah laku (behaviour), orang tersebut (the person), dan lingkungannya (the environment). Teori belajar sosial menempatkan aspek lingkungan sebagai suatu determinan yang sangat penting dalam perkembangan anak, demikian juga proses kognitif. Dalam perkembangan sosial, anak perlu memperhatikan pentingnya selfefficacy, yaitu kepercayaan diri (confidence) dengan cara meyakinkan diri sendiri bahwa dia dapat mengawasi atau melakukan tindakannya. Dalam pdanangan Bandura, harapan seorang anak akan selfefficacy merupakan aspek yang kritis dalam perkembangan sosial yang positif pada anak. Isuisu yang dapat dikaitkan dengan perkembangan anak adalah: (1) Dependency yang didefinisikan sebagai ketergantungan antara satu orang pada yang lain yang meliputi kebutuhan untuk ditolong atau dibantu, dipelihara, dan dirawat, disayang dan dilindungi, (2) Otonomi yang didefinisikan sebagai belajar untuk mengontrol dirinya agar dapat mengerjakan sesuatu tanpa adanya bantuan dari orang lain. (3) Mastery yang diartikan sebagai penguasaan akan sesuatu yang merupakan keunggulan individu. (4) Kompetensi yang diartikan sebagai kecakapan/kemahiran (Santrock dan Yussen, 1989: 291293). Menurut Margon (Dariyo, 2004) disebutkan bahwa pengaruh sosial merupakan hal yang berperan penting dalam perkembangan anak. Pengaruh sosial dapat berupa: (1) Peniruan (imitation) yang meliputi peniruan vokal dan perilaku seseorang, (2) Penyesuaian sosial (sosial conformity) terdiri atas penyesuaian diri terhadap orang lain dan penyesuaian terhadap norma dan peraturan, yang keduanya menggambarkan situasi di mana anak berubah keyakinan dan kepercayaan supaya dapat lebih mirip dengan karakteristik anggota suatu grup, dan (3) Kepatuhan (obedience), menggambarkan situasi di mana yang berpengaruh mempunyai hak yang kuat sehingga anak mempunyai kewajiban untuk mengikuti segala perintah. Ciriciri perkembangan sosial remaja adalah sebagai berikut: (1) status anak remaja dalam mayarakat masih tidak menentu, (2) rasa emosional yang tinggi seperti cepat marah, takut, cemas, ingin tahu, iri hati, sedih, dan kasih sayang, (3) perasaan yang tak stabil seperti kesedihan yang tibatiba berganti dengan kegembiraan, rasa percaya diri berganti dengan keraguaan, rasa alturisme atau mementingkan orang lain
35
berganti dengan sikap acuh tak acuh, dan (4) mempunyai banyak masalah yang berhubungan dengan: (a) keadaan jasmaninya, (b) kebebasannya, (c) nilainilai yang dianutnya, (d) peranan pria dan wanita dewasa, (e) lawan jenis, (f) masyarakat, dan (g) kemampuan mengerjakan sesuatu yang terkadang sukar untuk diselesaikan karena menganggap orang tua dan guru terlalu tua untuk mengerti pikiran dan perasaannya.
Perkembangan Moral Jean Piaget (Asri, 2004:28) membagi tahapan perkembangan moral, yang meliputi: (1) Tahapan premoral yang menyangkut tidak adanya rasa kewajiban untuk memerintah, (2) Tahapan heteronomous, yang baik adalah kepatuhan literal untuk memerintah dan ketaatan karena adanya kekuatan dan hukuman (untuk umur 48 tahun), dan (3) Tahapan otonomi yang mana tujuan dan konsekuensi untuk mengikuti aturan adalah dipertimbangkan berdasarkan reciprocity dan exchange (umur 812 tahun). Selanjutnya, Jhon Dewey mengembangkan tiga tahapan perkembangan moral (berdasarkan studi Piaget sebelumnya), yang meliputi: (1) preconventional yang dimotivasi oleh implus biologi dan sosial yang menghasilkan moral, (2) Tahapan perilaku conventional di mana individu menerima dengan sedikit kritik ulasan/pertimbangan (reflection) tentang stdanar dari grupnya, dan (3) Tahapan perilaku otonomi di mana perilaku dituntun oleh pemikiran individu dan dinilai oleh dirinya sendiri apakah suatu tujuan dianggap baik dan tidak begitu saja menerima stdanar grupnya tanpa ulasan/pertimbangan (reflection). Selanjutnya, berdasarkan konsep tahapan perkembangan moral dari Piaget dan Dewey, Kholberg, (Asri, 2004:2832) kemudian mengembangkan tahapan perkembangan moral yang meliputi : (1) Tingkat Preconventional yang menyangkut tanggapan anak terhadap peraturan budaya dan label baik dan buruk, namun menginterpretasikan labellabel ini dalam artian secara fisik atau hedonistik sebagai akibat dari tindakan (imbalan dan hukuman). Tingkatan ini terdiri dari dua tahapan, yaitu : Tahapan 1: Orientasi hukuman dan kepatuhan yang menyangkut konsekuensi fisik dari aksiaksi yang bersifat baik atau buruk. Tahapan 2: Orientasi Instrumental relatif yang menyangkut tindakan yang benar apabila meliputi tindakan yang secara instrumental memuaskan kebutuhan seseorang dan terkadang kebutuhan orang lainya. Hal ini menyangkut hubungan
36
antara manusia (menyangkut elemen fairness, eciprocity, dan pembagian yang setara). (2) Tingkat conventional yang menyangkut pemeliharaan harapan dari keluarga, grup atau bangsa yang dipahami/dirasakan sebagai suatu yang berharga (sikapnya meliputi conformity, loyality, maintaining, dan supporting). Tingkatan ini terdiri dari dua tahapan, yaitu : Tahapan 3: Orientasi hubungan interpersonal atau 'good boynice girl' yang menyangkut perilaku baik yaitu yang dapat menyenangkan dan menolong orang lain. Tahapan 4: Orientasi 'Hukum dan keteraturan (the law dan order) yang menyangkut orientasi terhadap otoritas, peraturan yang tegas dan pemeliharaan keteraturan sosial. (3) Tingkat Post–conventional, otonom dan prinsip yang meyangkut adanya usaha yang tegas dalam mendefinisikan nilainilai moral dan prinsip yang sudah divalidasi terlepas dari kewenangan grup. Tingkatan ini terdiri dari 2 tahapan, yaitu: Tahapan 5: Orientasi sosial kontrak dan legalisasi yang menyangkut adanya tindakan yang benar yang didefinisikan berdasarkan hakhak individu dan stadar secara umum. Tahapan 6: Orientasi prinsip etika universal yang menyangkut adanya hakhak yang
didefinisikan
berdasarkan
pilihan
prinsipprinsip
etika
yang
mengedepankan suara hati, logika, komperhensif, dan universal dan konsisten. Dinyatakan oleh Kohlberg bahwa ada 10 nilainilai moral yang universal yang harus diketahui dan ditanamkan kepada remaja, yaitu meliputi hukuman (punishment); kepemilikan (property), aturan–aturan yang berhubungan dengan kewenangan, hukum, kehidupan, seks, kemerdekaan, keadilan yang menyebar (distributive justice), dan kebenaran (truth).
Perkembangan Keyakinan/Iman Fowler membagi perkembangan keyakinan itu kepada tujuh tahapan, yaitu: (1) Keyakinan elementer (primal faith) usia 03 tahun, (2) Keyakinan intuitifproyektif usia 37 tahun, (3) Keyakinan Mistisharfiah usia 712 tahun, (4) Keyakinan Sintesis Konvensional usia 1220 tahun, (5) Keyakinan Individualreflektif usia 20 tahun ke
37
atas, (6) Keyakinan EksistensialKonjungtif usia sekitar 35 tahun ke atas, dan (7) Keyakinan Eksistensiuniversal kirakira usia di atas 45 tahun (Supratiknya, 1995:111 222). Keyakinan sintesiskonvensional yang terjadi pada usia remaja mengalami perubahan yang radikal akibat munculnya kemampuan kognitif baru, yaitu operasi formal. Maka, remaja mulai mengambil alih pandangan orang lain menurut pola perspektif antar pribadi secara timbal balik, yang penekanannya adalah mengintegrasikan gambaran diri yang berbeda supaya menjadi satu identitas diri yang koheren. Maka tugas yang pokok adalah menciptakan sintesis identitas. Usaha menciptakan identitas pribadi dan seperangkat arti baru dalam hidup ini bersifat kompromistis. Identitas diri dibentuk oleh pengaruhpengaruh teman sebaya, sekolah, pekerjaan, media massa, kebudayaan populer dan kelompok religius, maka sintesis kompromistis terbentuk melalui interaksi antara berbagai pengaruh ini. Fase remaja merupakan fase yang menentukan masa dewasa. Keberhasilan melewati masa ini dengan baik akan berpengaruh positif terhadap masa dewasa. Untuk itu, ada beberapa tugas perkembangan yang harus dilakukan pada masa remaja (Havighurst 1958) yaitu: (1) Mencapai relasi baru dengan teman sebaya dan lawan jenis (2) Mencapai maskulinitas dan feminimitas dari peran sosial (3) Menerima perubahan fisik dan menggunakan secara efektif (4) Mencapai ketidaktergantungan emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya (5) Menyiapkan perkawinan dan kehidupan keluarga (6) Menyiapkan diri berkarir secara ekonomi (7) Menemukan pilihan dari nilainilai dan sistem moral/etika dalam berperilaku (8) Mencapai tingkah laku sosial sesuai dengan yang diharapkan
Perkembangan biologis, kognitif, sosial, moral dan keyakinan yang terjadi pada masa remaja akan berpengaruh terhadap perilaku keberagamaan mereka. Sosialisasi ajaran agama yang dilakukan oleh orang tua, guru, tokoh agama dan media massa, yang kurang memperhatikan ciriciri dan tugas perkembangan remaja akan berakibat kurang fungsionalnya ajaran agama dalam kehidupan. Untuk itu perlu dijelaskan perilaku religiusitas remaja.
38
Perilaku Religiusitas Remaja Masa remaja menduduki tahap yang krisis (jugencrise) dalam perjalanan hidup seseorang. Disebut masa krisis karena pada masa ini muncul gejalagejala yang menunjukkan adanya pembelokan dalam perkembangan, suatu kepekaan dan labilitas yang meningkat. Seperti krisis di keluarga, sekolah, masyarakat, dan keyakinan atau agama. Sejalan dengan perkembangan jasmani dan rohaninya, maka agama pada remaja turut dipengaruhi oleh perkembangan itu. Maksudnya, penghayatan remaja terhadap ajaran agama dan tindak keagamaan banyak terkait dengan faktor perkembangan tersebut. Perkembangan agama pada remaja ditandai oleh beberapa faktor perkembangan rohani dan jasmaninya. Perkembangan itu menurut W. Starbuck (Jalaluddin, 2001:74) adalah sebagai berikut: (1) Pertumbuhan pikiran dan mental, perkembangan perasaan, perkembangan sosial, perkembangan moral, sikap dan minat, ibadah, dan (2) Konflik dan keraguan, yang diakibatkan kesalahan organisasi keagamaan dan pemuka agama, kebiasaan, dan pendidikan. Keraguan yang ditimbulkan oleh faktorfaktor di atas pada akhirnya akan membawa konflik dalam diri remaja, sehingga mereka dihadapkan pada pilihan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk dalam beragama. Keraguan ini akan melahirkan beberapa bentuk konflik anatara lain: (1) Konflik yang terjadi antara percaya dan ragu, (2) Konflik yang terjadi antara pemilihan satu di antara dua macam paham, ide dan lembaga/organisasi keagamaan, (3) Konflik yang terjadi akibat pemilihan antara taat beragama atau sekuler, (4) Konflik yang terjadi antara melepaskan kebiasaan lama dengan menerima halhal yang baru dalam beragama. Tingkat keyakinan dan ketaatan beragama remaja amat tergantung pada kemampuan mereka dalam menyelesaikan keraguan dan konflik batin tersebut. Tetapi, di sisi lain, kemampuan remaja dalam mengatasi hal ini belum didukung dengan kematangan kejiwaannya. Karena itu, mereka sangat memerlukan bimbingan, pembinaan oleh
tokoh agama, dan dialog dengan suasana yang kondusif bagi
berkembangan rasa keagamaan mereka ke arah yang lebih baik. Sebaliknya, ketika hal ini tidak mereka dapatkan, maka tidak jarang remaja mengatasinya dengan cara bergabung pada peer group (teman sebaya) untuk berbagi rasa dan pengalaman. Dan
39
kalau peer group itu bukan kumpulan dari remaja yang berasal dari keluarga baikbaik serta memiliki tradisi keagamaan yang benar, maka dapat dipastikan keyakinan mereka akan rusak, ritualnya akan longgar dan akhlaknya akan berantakan, tidak baik. Dalam kenyataannya, kegoncangan dan kehausan yang dialami oleh remaja dalam beragama selalu berbeda dengan harapan yang mereka inginkan. Nilai ajaran agama yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan rohani dan mengisi kekosongan jiwa mereka tidak selamanya sesuai dengan harapan mereka. Di sisi lain, terdapat mazhab, sekte dan aliran dalam agama yang masingmasing mengklaim akan kebenarannya. Tokoh agama yang tadinya mereka idolakan, sekarang berperilaku tidak bermoral (terpuji). Ajaran agama yang mereka terima di rumah, sekolah dan masyarakat selalu paradoks dengan realitasnya di tengahtengah kehidupan. Ajaran agama juga tidak dikomunikasikan kepada mereka secara baik dan benar oleh orang tua, pendidik (guru agama) dan tokohtokoh agama. Semuanya ini memperburuk sikap keagamaan remaja dan berpotensi memunculkan perilaku menyimpang. Kemungkinan yang timbul dari suasana yang paradoks ini adalah mereka akan semakin jauh dari ajaran agama atau mereka menjadi penganut agama yang radikal dan konservatif. Keluarga, menurut para pendidik, merupakan lapangan pendidikan yang pertama, dan pendidiknya adalah kedua orang tua. Orang tua (bapak dan ibu) adalah pendidik kodrati. Mereka pendidik bagi anakanaknya karena secara kodrati ibu dan bapak diberi anugerah oleh Tuhan Yang Maha Pencipta. Karena naluri ini, timbul rasa kasih sayang oleh para orang tua kepada anakanak mereka, hingga secara moral mereka merasa terbebani tanggung jawab untuk memelihara, mengawasi dan melindungi serta membimbing keturunan mereka. Pendidikan keluarga merupakan pendidikan dasar untuk pembentukan jiwa keagamaan. Perkembangan agama berhubungan dengan unsurunsur kejiwaan sehingga sulit untuk diidentifikasi secara jelas karena masalah kejiwaan manusia demikian rumit dan kompleksnya. Namun demikian melalui fungsifungsi jiwa yang masih sangat sederhana tersebut, agama terjalin dan terlibat di dalamnya. Melalui jalinan unsurunsur dan tenaga kejiwaan ini pulalah agama itu berkembang (Jalaluddin, 2001: 75). Dalam kaitan itu pulalah terlihat peran pendidikan keluarga dalam menanamkan jiwa keagamaan pada anak. Maka tidak mengherankan jika Rasul menekankan tanggung jawab itu pada orang tua.
40
Menurut Rasulullah SAW, fungsi dan peran orang tua begitu penting bahkan mampu untuk membentuk arah keyakinan anakanak mereka. Menurut beliau dalam sebuah hadis yang intinya: “Setiap bayi yang dilahirkan sudah memiliki potensi untuk beragama, namun bentuk keyakinan agama mana yang akan dianut anak sepenuhnya tergantung dari bimbingan, pemeliharaan dan pengaruh kedua orang tua mereka” (HR. Bukhari, dalam Shahih Bukhari Kitab Janaiz bab 80). Oleh karena itu, keyakinan agama yang benar, kebiasaan dalam menjalankan ajaran agama dan berakhlak yang baik di waktu remaja bahkan sampai dewasa akan sangat tergantung pada pendidikan, kebiasaan dan suasana keagamaan yang dialaminya sejak masa anakanak. Demikian pula sebaliknya, keyakinan agama yang keliru, ketaatan yang longgar dalam beragama dan akhlak yang kurang terpuji dilakukan remaja, juga sebagai akibat atau buah dari masa anakanak. Pada masyarakat berperadaban modern, tradisi tersebut tak mungkin dipertahankan. Untuk menyelaraskan diri dengan perkembangan kehidupan masyarakatnya, seseorang memerlukan pendidikan. Sejalan dengan kepentingan itu, maka dibentuk lembaga khusus yang menyelenggarakan tugastugas kependidikan dimaksud. Dengan demikian, secara kelembagaan, sekolahsekolah pada hakikatnya merupakan lembaga pendidikan yang artifisial (sengaja dibuat) untuk membantu tugas orang tua. Selain itu, sejalan dengan fungsi dan perannya, sekolah sebagai kelembagaan pendidikan adalah pelanjut dari pendidikan keluarga. Karena keterbatasan orang tua untuk mendidik anakanak mereka, maka mereka diserahkan ke sekolahsekolah. Sejalan dengan kepentingan dan masa depan anakanak, terkadang orang tua sangat selektif dalam menentukan tempat untuk menyekolahkan anakanak mereka. Mungkin saja, orang tua yang berasal dari keluarga taat beragama akan memasukkan anakanak mereka ke sekolahsekolah agama. Sebaliknya, orang tua lain lebih mengarahkan anak mereka untuk masuk ke sekolahsekolah umum. Atau sebaliknya, para orang tua yang sulit mengendalikan tingkah laku anaknya akan memasukkan anakanak mereka ke sekolah agama dengan harapan secara kelembagaan sekolah tersebut dapat memberi pengaruh dalam membentuk kepribadian anakanak tersebut. Memang sulit untuk mengungkapkan secara tepat mengenai seberapa jauh pengaruh pendidikan agama melalui lembaga pendidikan formal terhadap perkembangan jiwa keagamaan anak. Berdasarkan penelitian Gillesphy dan Young,
41
walaupun latar belakang pendidikan agama di lingkungan keluarga lebih dominan dalam pembentukan jiwa keagamaan pada anak (Jalaluddin, 2001), barangkali pendidikan agama yang diberikan di lembaga pendidikan ikut berpengaruh dalam pembentukan jiwa keagamaan anak. Kenyataan sejarah menunjukkan kebenaran itu. Sebagai contoh adalah adanya tokohtokoh agama yang dihasilkan oleh pendidikan agama melalui kelembagaan pendidikan khusus seperti pondok pesantren, seminari maupun vihara. Pendidikan agama (relegious pedagogyc) sangat mempengaruhi tingkah laku keagamaan (religious behavior). Pendidikan agama di lembaga pendidikan bagaimanapun akan memberi pengaruh bagi pembentukan jiwa keagamaan pada anak. Namun, besar kecilnya pengaruh dimaksud tergantung berbagai faktor yang dapat memotivasi anak untuk memahami nilainilai agama, sebab pendidikan agama pada hakikatnya merupakan pendidikan nilai. Oleh karena itu, pendidikan agama lebih dititikberatkan pada bagaimana membentuk kebiasaan yang selaras dengan tuntutan agama. Kebiasaan adalah cara bertindak ataupun berbuat seragam. Pembentukan ini, menurut Weterington, melalui dua cara. Pertama dengan cara pengulangan, dan kedua dengan sengaja dan direncanakan. Jika melalui pendidikan keluarga, pembentukan jiwa keagamaan dapat dilakukan dengan menggunakan cara yang pertama, maka melalui lembaga pendidikan formal cara kedua akan lebih efektif. Dengan demikian pengaruh pembentukan jiwa keagamaan pada anak di lembaga pendidikan barangkali banyak tergantung pada bagaimana implementasi prencanaan pendidikan agama yang diberikan di sekolah (lembaga pendidikan) itu. Fungsi sekolah, dalam kaitannya dengan pembentukan jiwa keagamaan pada anak, antara lain sebagai pelanjut pendidikan agama di lingkungan keluarga atau membentuk jiwa keagamaan pada diri anak yang tidak menerima pendidikan agama dalam keluarga. Dalam konteks ini, guru agama harus mampu mengubah sikap anak didiknya agar menerima dan mengamalkan pendidikan agama yang diberikannya. Menurut McGuire, proses perubahan sikap dari tidak menerima ke sikap menerima berlangsung melalui tiga tahap perubahan sikap. Proses pertama adalah adanya perhatian; kedua adanya pemahaman; dan ketiga adanya penerimaan (Ancok,1989: 4041). Dengan demikian, pengaruh lembaga pendidikan dalam pembentukan jiwa keagamaan pada anak sangat tergantung kepada para pendidik untuk menimbulkan ketiga proses itu. Pertama, pendidikan agama yang diberikan harus dapat
42
menarik perhatian peserta didik. Untuk menopang pencapaian itu, maka guru agama harus dapat merencanakan materi, metode, dan alatalat bantu yang memungkinkan anakanak memberikan perhatiannya. Kedua, guru agama harus mampu memberikan pemahaman kepada anak didik tentang materi pendidikan agama yang diberikannya. Pemahaman ini akan lebih mudah diserap jika pendidikan agama yang diberikan dikaitkan dengan kehidupan seharihari. Jadi tidak terbatas pada kegiatan yang bersifat hafalan semata. Ketiga, penerimaan siswa terhadap materi pendidikan agama yang diberikan. Penerimaan ini sangat tergantung dengan hubungan antara materi dengan kebutuhan dan nilai bagi kehidupan anak didik. Dan sikap menerima tersebut pada garis besarnya banyak ditentukan oleh sikap pendidik itu sendiri, antara lain memiliki keahlian dalam bidang agama dan memiliki sifatsifat yang sejalan dengan ajaran agama seperti jujur, adil dan dapat dipercaya dan lain sebagainya. Sifatsifat ini akan sangat menentukan dalam mengubah sikap para anak didik. Selain hal itu, rasa keagamaan remaja di sekolah akan bertambah jika didukung oleh suasana religius, seperti kebiasaan shalat berjamaah di sekolah, pakaian rapi dan muslimah, suasana dialogis, demokratis dan suasana yang tidak kontroversi antara nilai agama dengan kenyataan yang ada di sekolah. Lembaga pendidikan yang ketiga yang mempengaruhi seseorang adalah lingkungan masyarakat. Anakanak mulai memasuki lingkungan sosial sejak dia mulai memiliki jiwa sosial. Dalam masyarakat ditemukan banyak fenomena yang tidak homogen, seperti pendidikan, profesi, kultur dan nilai yang dianut, pandangan hidup, faham keagamaan dan sebagainya. Semua fenomena ini akan mempengaruhi jiwa remaja, termasuk juga keberagamaannya. Bila suatu masyarakat mempunyai sikap kontrol sosial tinggi, kontrol terhadap perilaku keagamaan anggotanya pun juga akan tinggi atau kuat. Sebaliknya, jika sikap keagamaannya longgar dan pdanangan hidupnya materialistis, ini juga akan berakibat pada terjadinya ketaatan keagamaan yang longgar dan sikap individualistis dari anggotanya, termasuk remaja. Selain itu, keberagamaan remaja juga dipengaruhi oleh peer group, akses terhadap informasi, lingkungan sosialbudaya dan sistem penyuluhan agama (dakwah). Ketika semua fenomena ini kondusif bagi tumbuh dan terinternalisasinya nilainilai agama dalam kehidupan seseorang/remaja, maka tingkat keberagamaannya akan kuat dan tercermin dalam perilaku seharihari.
43
Keberagamaan masa remaja ditandai dengan perilaku yang kritis akibat ada kesenjangan antara ajaran yang diterima degan kenyataan dalam kehidupan seharihari. Remaja cenderung romantis. Karena itu dalam perilaku beragama pun menunjukan perilaku seharusnya (ideal) tapi sering lupa dalam pelaksanaannya. Berbagai sekte, mazhab dan pandangan dalam beragama dan kondisi remaja yang masih labil cenderung menunjukkan perilaku skeptis dalam beragama. Untuk itu perlu diuraikan faktorfaktor yang kondusif untuk pembentukan dan perkembangan beragama remaja yang sesuai dengan harapan. FaktorFaktor yang Mempengaruhi Keberagamaan Remaja Kondisi Keberagamaan dalam Keluarga Keluarga adalah unit universal yang sudah ada di dalam kebudayaan manapun, didalam ada sistem dan peraturan. Tanpa adanya aturan atau fungsi yang dijalankan oleh keluarga, manusia tidak bisa menghasilkan suatu kebahagiaan, atau arti (meaning). Bahkan dengan tidak adanya peraturan akan menghasilkan suatu generasi penerus yang tidak mempunyai daya kreasi yang lebih besar, dan mempunyai masalah emosional serta hidup tanpa arahan. Ditambahkan oleh Chapman bahwa keluarga di kebudayaan Barat selama tiga puluh tahun terakhir telah mengalami perubahan yang luar biasa dan sudah kehilangan jalan, bingung dan ragu jalan mana yang harus di tempuh. Levy (Megawangi,1999: 40) menyatakan bahwa persyaratan struktural yang harus dipenuhi oleh keluarga agar dapat berfungsi adalah meliputi: (1) Diferensiasi peran, yaitu alokasi peran/tugas dan aktivitas yang harus dilakukan dalam keluarga, (2) alokasi solidaritas yang menyangkut distribusi relasi antar anggota keluarga, (3) alokasi ekonomi yang menyangkut distribusi barang dan jasa antar anggota keluarga untuk mencapai tujuan keluarga, (4) alokasi politik yang menyangkut distribusi kekuasaan dalam keluarga, dan (5) alokasi integrasi dan ekspresi, yaitu cara/teknik sosialisasi internalisasi maupun pelestarian nilainilai maupun perilaku pada setiap anggota keluarga dalam memenuhi tuntutan normanorma yang berlaku. Keluarga berperan dalam menciptakan stabilitas, pemeliharaan, kesetiaan dan dukungan bagi anggotanya. Namun apabila fungsi keluarga tersebut tidak dapat dilakukan dengan optimal, maka akan timbul berbagai hal yang negatif baik bagi anggota keluarga itu sendiri maupun bagi masyarakat .
44
Keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi anak dalam mencapai perkembangannya, termasuk perkembangan keberagamaannya. Karena keluarga berperan sebagai institusi yang dapat memenuhi kebutuhan fisikbiologis dan sosio psikologis manusia. Secara psikososiologis keluarga berfungsi sebagai: (1) pemberi rasa aman bagi anak dan anggota keluarga lainnya, (2) sumber pemenuhan kebutuhan pisik dan psikis, (3) sumber kasih sayang dan penerimaan, (4) model perilaku yang tepat bagi anak untuk dapat belajar menjadi anggota masyarakat yang baik, (5) pemberi bimbingan bagi pengembangan perilaku yang secara sosial dianggap tepat, (6) pembentuk kemampuan anak dalam memecahkan masalah yang dihadapi untuk penyesuaian diri terhadap kehidupan, (7) pemberi bimbingan dalam belajar motorik, verbal dan sosial yang dibutuhkan untuk penyesuaian diri, (8) stimular bagi pengembangan anak dalam mencapai prestasi di sekolah dan masyarakat, (9) pembimbing dalam pengembangan aspirasi, dan (10) sumber persahabatan dan teman bermain bagi anak sampai usia berkeluarga (Syamsu, 2002: 38). Bagi para ahli sosiologi, fungsi keluarga dikelompokkan ke dalam: 1) fungsi biologis, 2) ekonomi, 3) edukatif, 4) sosialisasi, 5) perlindungan (protektif), 6) rekreatif, dan 7) religius (penanaman nilainilai agama). Keluarga yang fungsional ditdanai oleh adanya ciriciri berikut: 1) saling mencintai dan menghargai, 2) bersikap terbuka dan jujur, 3) orang tua menerima perasaan, mendengarkan anak dan menghargai pendapatnya, 4) ada sharing masalah atau pendapat di antara anggota keluarga, 5) bersinergi untuk berjuang mengatasi masalah hidup, 6) saling menyesuaikan diri dan mengakomodasi, 7) melindungi dan mengayomi anak, dan 8) ada komunikasi yang baik. Alexdaner A.Schneiders (Syamsu, 2002: 43) mengatakan bahwa keluarga yang ideal ditandai oleh: (1) minimnya pertengkaran dan perselisihan antar anggota keluarga, (2) ada kesempatan untuk menyatakan keinginan dan perasaan, (3) penuh kasih sayang, (4) penerapan disiplin yang tidak keras dan kaku, (5) ada kesempatan untuk bersikap mandiri, (6) saling mencintai dan menghargai (respek), (7) ada musyawarah keluarga dalam memecahkan masalah, (8) menjalin kebersamaan dan kerjasama, (9) orang tua memiliki emosi yang stabil, (10) berkecukupan secara ekonomi, dan (11) mengamalkan nilainilai agama dan moral. Pengamalan nilainilai agama dapat diupayakan dengan menciptakan kondisi religius dalam keluarga, seperti melaksanakan shalat berjamaah, puasapuasa sunat,
45
menyantuni fakir miskin dan anak yatim, tadarus dan tadabur Alquran, membaca buku/majalah/koran tentang masalah agama, mengikuti pengajian atau ceramah agama, mendiskusikan dengan anggota keluarga masalah agama, membiasakan mengucapkan salam, berdoa, menghiasi rumah dengan aksesoris yang bernuansa Islami dan keteladanan akhlakul karimah oleh orang tua. Penelitian membuktikan bahwa : (1) remaja yang komitmen agamanya lemah memiliki resiko empat kali lebih tinggi dari remaja yang komitmen agamanya tinggi untuk penyalahgunaan narkotika, alkohol dan zat adiktif (NAZA), dan (2) remaja yang dibesarkan dalam keluarga yang tidak religius, beresiko untuk terlibat penyalahgunaan NAZA jauh lebih besar dari remaja yang dibesarkan dalam keluarga yang religius. Disfungsional keluarga dan ditambah dengan erosi nilainilai agama dalam keluarga akan melahirkan remaja yang: (1) berperilaku nakal, (2) mengalami depresi, (3) melakukan tindakan kekerasan dan kriminal, (4) melakukan hubungan seksual bebas secara aktif, (5) meningkatnya penderita HIV/AIDS di kalangan remaja, dan (6) kecenderungan terhadap miras dan obatobatan terlarang (Syamsu, 2002: 4145). Status sosial ekonomi keluarga berpengaruh terhadap proses sosialisasi anak. Status sosial dapat diukur dari pendidikan, pekerjaan dan penghasilan. Berdasarkan kreteria ini ada empat kelas sosial, yaitu: (1) Lowerclass adalah pekerja manual yang tidak memiliki keterampilan, seperti buruh banguan. (2) Workingclass adalah pekerja manual yang memiliki keterampilan tertentu, seperti tukang jahit, sopir dan tukang bangunan. (3) Middleclass adalah pegawai kantoran atau profesional, seperti guru dan pegawai administrasi. (4) Eliteclass, sama dengan middleclass hanya kekayaan dan latar belakang keluarga lebih tinggi (Ihromi, 2004: 49). Selain hal di atas, yang juga dapat mempengaruhi perkembangan beragama remaja dalam keluarga adalah perlakuan orang tua terhadap anak (parenting style). Dalam kaitan ini, Diana Baumrind (Syamsu, 2002:5153) melakukan penelitian untuk melihat kontribusi parenting style (authoritarian, permissive, dan authoritative) terhadap kompetensi sosial, emosional dan intelektual siswa. Hasilnya ditemukan bahwa (1) remaja yang orang tuanya bersikap authoritarian cenderung bersikap bermusuhan dan memberontak, (2) remaja yang orang tuanya bersikap permissive
46
cenderung berperilaku bebas (tidak terkontrol), dan (3) remaja yang orang tuanya authoritative cenderung terhindar dari perilaku gelisah, kacau dan nakal. Temuan penelitian terhadap hubungan parenting style terhadap religiusitas remaja menunjukkan bahwa kontribuasi parenting style ayah terhadap tingkat religiusitas sebesar 18,8 persen dan ibu sebesar 44,4 persen. Hal ini dapat dipahami, selain karena ayah lebih banyak waktu di luar rumah mencari nafkah adalah karena kurang kelembutan. Sedangkan ibu selain tidak dituntut untuk banyak keluar rumah adalah karena ibu penuh kelembutan dan kesejukan. Salah satu faktor dalam keluarga yang mempunyai peranan penting dalam pembentukan kepribadian adalah praktik pengasuhan anak. Orang tua mempunyai berbagai macam fungsi, salah satu di antaranya ialah mengasuh putraputrinya. Dalam mengasuh anaknya, orang tua dipengaruhi oleh budaya yang ada di lingkungannya. Di samping itu, orang tua juga diwarnai oleh sikapsikap tertentu dalam memelihara, membimbing, dan mengarahkan putraputrinya. Sikap tersebut tercermin dalam pola pengasuhan kepada anaknya yang berbedabeda, karena orang tua mempunyai pola pengasuhan tertentu. Pola asuhan itu, menurut Stewart dan Koch terdiri dari tiga kecenderungan pola asuh orang tua yaitu: (1) pola asuh otoriter, (2) pola asuh demokratis, dan (3) pola asuh permisif (Syamsu, 2002). Sebagai pengasuh dan pembimbing dalam keluarga, orang tua sangat berperan dalam meletakkan dasardasar perilaku bagi anakanaknya. Sikap, perilaku, dan kebiasaan orang tua selalu dilihat, didengar, dinilai, dan ditiru oleh anaknya yang kemudian semua itu secara sadar atau tak sadar diresapinya dan kemudian menjadi kebiasaan pula bagi anakanaknya. Hal demikian disebabkan karena anak mengidentifikasikan diri pada orang tuanya sebelum mengadakan identifikasi dengan orang lain (Syamsu, 2002). Faktor lingkungan sosial memiliki kontribusi bagi perkembangan tingkah laku individu (anak). Lingkungan ini maksudnya keluarga, khususnya orang tua terutama pada masa awal (kanakkanak) sampai masa remaja. Dalam mengasuh anaknya, orang tua cenderung menggunakan pola asuh tertentu. Penggunaan pola asuh tertentu ini memberikan kontribusi dalam mewarnai perkembangan terhadap bentukbentuk perilaku tertentu pada anaknya. Salah satu perilaku yang muncul dapat berupa perilaku taat beragama.
47
Pola asuh orang tua merupakan interaksi antara anak dan orang tua selama mengadakan kegiatan pengasuhan. Pengasuhan ini berarti orang tua mendidik, membimbing, dan mendisiplinkan serta melindungi anak untuk mencapai kedewasaan sesuai dengan normanorma yang ada dalam masyarakat. Koch (Syamsu, 2002) menyatakan bahwa pola asuhan merupakan sikap orang tua dalam berinteraksi dengan anakanaknya. Sikap orang tua ini meliputi cara orang tua memberikan aturanaturan, hadiah maupun hukuman, cara orang tua menunjukkan otoritasnya, dan cara orang tua memberikan perhatian serta tanggapan terhadap anaknya. Dalam melakukan tugastugas perkembangannya, individu banyak dipengaruhi oleh peranan orang tua tersebut. Peranan orang tua itu memberikan lingkungan yang memungkinkan anak dapat menyelesaikan tugastugas perkembangannya. Keluarga yang dilandasi kasih sayang sangat penting bagi anak supaya anak dapat mengembangkan tingkah laku sosial yang baik. Bila kasih sayang tersebut tidak ada, maka seringkali anak akan mengalami kesulitan dalam hubungan sosial, dan kesulitan ini akan mengakibatkan berbagai macam kelainan tingkah laku sebagai upaya kompensasi dari anak. Sebenarnya, setiap orang tua itu menyayangi anaknya, akan tetapi manifestasi dari rasa sayang itu berbedabeda dalam penerapannya; perbedaan itu akan nampak dalam pola asuh yang diterapkan. Menurut Stewart dan Koch (Syamsu, 2002), orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter mempunyai ciri sebagai berikut: kaku, tegas, suka menghukum, kurang ada kasih sayang serta simpatik. Orang tua memaksa anakanak untuk patuh pada nilai nilai mereka, dan mencoba membentuk tingkah laku sesuai dengan tingkah lakunya serta cenderung mengekang keinginan anak. Orang tua tidak mendorong serta memberi kesempatan kepada anak untuk mandiri dan jarang memberi pujian. Hak anak dibatasi tetapi dituntut tanggung jawab seperti orang dewasa. Dalam penelitian Walters (Syamsu, 2002) ditemukan bahwa orang tua yang otoriter cenderung memberi hukuman terutama hukuman fisik, amat berkuasa terhadap anak, memegang kekuasaaan tertinggi serta mengharuskan anak patuh pada perintahperintahnya. Dengan berbagai cara, segala tingkah laku anak dikontrol dengan ketat dan tidak memberikan hak kepada anaknya untuk mengemukakan pendapat serta mengutarakan perasaanperasaannya. Baumrind dan Black (Syamsu, 2002) dalam penelitiannya menemukan bahwa teknikteknik pengasuhan orang tua demokratis akan menumbuhkan keyakinan dan kepercayaan diri yang maupun mendorong tindakantindakan mandiri membuat
48
keputusan sendiri akan berakibat munculnya tingkah laku mandiri yang bertanggung jawab. Stewart dan Koch (Syamsu, 2002) menyatakan bahwa orang tua yang demokratis memandang sama kewajiban dan hak antara orang tua dan anak. Secara bertahap orang tua memberikan tanggung jawab bagi anakanaknya terhadap segala sesuatu yang diperbuatnya sampai mereka menjadi dewasa. Mereka selalu berdialog dengan anakanaknya, saling memberi dan menerima, selalu mendengarkan keluhan keluhan dan pendapat anakanaknya. Dalam bertindak, mereka selalu memberikan alasannya kepada anak, mendorong anak saling membantu dan bertindak secara obyektif, tegas tetapi hangat dan penuh pengertian. Menurut Hurlock (1976: 98), pola asuhan demokratik ditandanai dengan ciriciri bahwa anakanak diberi kesempatan untuk mandiri dan mengembangkan kontrol internalnya, anak diakui keberadaannya oleh orang tua, anak dilibatkan dalam pengambilan keputusan, selalu memperhatikan perkembangan anak, dan tidak hanya sekedar mampu memberi nasehat dan saran tetapi juga bersedia mendengarkan keluhankeluhan anak berkaitan dengan persoalan persoalannya. Pola asuhan demokratik memungkinkan semua keputusan merupakan keputusan anak dan orang tua. Stewart dan Koch (Syamsu, 2002) menyatakan bahwa orang tua yang mempunyai pola asuh permisif cenderung selalu memberikan kebebasan pada anak tanpa memberikan kontrol sama sekali. Anak dituntut atau sedikit sekali dituntut untuk suatu tangung jawab, tetapi mempunyai hak yang sama seperti orang dewasa. Anak diberi kebebasan untuk mengatur dirinya sendiri dan orang tua tidak banyak mengatur anaknya. Orang tua permisif memberikan kepada anak untuk berbuat sekehendaknya dan lemah sekali dalam melaksanakan disiplin pada anak. Hurlock (1976: 107) mengatakan bahwa pola asuhan permisif bercirikan adanya kontrol yang kurang, orang tua bersikap longgar atau bebas, bimbingan terhadap anak kurang. Sementara itu, Bowerman, Elder dan Elder (Syamsu, 2002) mengatakan, ciri pola asuh ini adalah semua keputusan lebih banyak dibuat oleh anak daripada orang tuanya, kurang tegas dalam menerapkan peraturanperaturan yang ada, dan anak diberikan kesempatan sebebasbebasnya untuk berbuat dan memenuhi keinginannya. Lewin, Lippitt, dan White (Gerungan,1987: 57) berpendapat bahwa kelompok anak lakilaki yang diberi tugas tertentu di bawah asuhan seorang pengasuh yang berpola demokratis tampak bahwa tingkah laku agresif yang timbul adalah dalam taraf
49
sedang. Kalau pengasuh kelompok itu adalah seorang yang otoriter maka perilaku agresif mereka menjadi tinggi atau justru menjadi rendah. Hasil yang ditemukan oleh Lewin dkk tersebut diteruskan oleh Meuler (Gerungan,1987:84) dalam penelitiannya yang menemukan hasil bahwa anakanak yang diasuh oleh orang tua yang otoriter banyak menunjukkan ciriciri adanya sikap menunggu dan menyerahkan segalagalanya pada pengasuhnya,
keagresifan,
kecemasan dan mudah putus asa. Baldin (Gerungan, 1987:91) menemukan dalam penelitiannya dengan membandingkan keluarga yang berpola demokratis dengan yang otoriter dalam mengasuh anaknya, bahwa asuhan dari orang tua demokratis menimbulkan ciriciri berinisiatif, berani, lebih giat, dan lebih bertujuan. Sebaliknya, semakin otoriter orang tuanya makin berkurang ketidaktaatan anak, bersikap menunggu, tak dapat merencanakan sesuatu, daya tahan kurang, dan menunjukkan ciriciri takut. Jadi, setiap pola asuh orang tua akan berpengaruh terhadap anak dalam perilaku tertentu, misalnya terjadinya keagresifan pada anak. Kelas sosial dan status ekonomi juga mempengaruhi perkembangan agama remaja. Sigelman dan Shaffer (Syamsu, 2002: 53) melakukan penelitian dengan membandingkan orang tua kelas atas, menengah dan bawah. Hasilnya menunjukkan bahwa
orang tua kelas bawah cenderung sangat menekankan kepatuhan dan respek terhadap otoritas, sering menggunakan hukuman fisik dan lebih keras dalam “toilet training”, kurang memberikan alasan kepada anak, kurang bersikap hangat dan kurang memberi kasih saya pada anak. Karena itu sikap anakanak mereka cenderung agresif, independen dan lebih awal dalam pengalaman seksual. Pikunas (Syamsu, 2002: 53) mengatakan orang tua kelas menengah cenderung berlebihan dalam memberikan pengawasan dan perhatian, ibu merasa bertanggung jawab terhadap tingkah laku anak, dan menerapkan kontrol yang lebih halus. Mereka mempunyai ambisi untuk meraih status yang lebih tinggi, menekankan anak untuk mengejar statusnya melalui pendidikan dan latihan profesional. Anakanak mereka cenderung punya inisiatif, keingintahuan dan kreatifitas. Kelas atas cenderung lebih memanfaatkan waktu luangnya dengan kegiatankegiatan tertentu, lebih memiliki latar belakang pendidikan yang reputasinya tinggi dan biasanya senang mengembangkan apresiasi estetika. Anakanaknya cenderung memiliki rasa percaya diri, bersikap memanipulasi aspek realitas. Pengaruh status ekonomi terhadap kehidupan remaja cukup besar. Orang tua yang mengalami tekanan ekonomi atau tidak mampu memenuhi kebutuhan
50
finansialnya, cenderung menjadi depresi, mengalamai konflik keluarga, akhirnya remaja kurang punya harga diri, prestasi belajar rendah, kurang dapat bergaul, mengalami masalah dalam penyesuaian diri, depresi dan agresi. Giddens (Syakrani, 2004: 4) mengemukakan bahwa globalisasi bukan hanya memberi tekanan ke atas dalam bentuk makin kaburnya batasbatas politik sebuah negara, tetapi juga ke bawah yang berupa makin rapuhnya keluarga sebagai wadah proses pelembagaan karakter dan watak manusia. Globalisasi membuat kehidupan berputar dengan amat cepat. Menyiasati kehidupan yang makin cepat ini, orang mulai meyakini sebuah kredo, yakni bergerak cepat atau mati. Selain itu, globalisasi yang menjadi penggerak dan sekaligus anak kandung transformasi masyarakat dari masyarakat industri menuju masyarakat informasi, dengan perangkat ideologi (kapitalisme) dan budaya (postmodernisme), menimbulkan konsekuensikonsekuensi logis tak terhindarkan; satu di antaranya adalah apa yang oleh Fukuyama (Syakrani, 2004:8) disebut the great disruption, yang diawali dengan kehancuran keluarga. Ada beberapa indikator mengenai hal ini. Dua di antaranya adalah terjadinya defisit modal sosial dan rapuhnya keluarga, Piliang dalam (Syakrani, 2004:8). Dua indikator ini sangat penting dalam pembentukan “civil society.” Fukuyama mengemukakan bahwa keluarga merupakan pilar utama “civil society,” karena nilai nilai pembentuknya seperti trust, kejujuran, kerjasama, dan resiprositas dikembangkan untuk pertama kalinya dalam institusi keluarga. Dari perspektif ini, kita dapat berargumen bahwa pemberdayaan keluarga merupakan hal yang krusial. Bahkan, Giddens (Syamsu, 2002: 4) mengemukakan, berhasilnya implementasi kebijakan ekonomi politik jalan tengah (third way) juga tergantung pada terbentuknya keluarga yang demokratis. Strategisnya penguatan institusi keluarga juga bisa dipahami dari wacana masyarakat madani versi Madjid, yang mengemukakan bahwa masyarakat madani merupakan sebuah tatanan masyarakat yang warganya menjunjung tinggi nilai nilai egalitarian dan supremasi hukum, jujur, adil, dan menghargai pluralisme (Syamsu, 2002). Watakwatak ini untuk pertama kalinya berkembang dalam institusi keluarga. Wacana pengembangan sumberdaya manusia berbasis keluarga sebenarnya bukan hal baru. Kalau dalildalil naqli (berdasarkan Alquran dan sunnah) digunakan, maka wacana ini sudah berkembang 14 abad yang lalu. Beberapa tahun terakhir, khususnya di Indonesia, wacana ini mengarustengah kembali, khususnya ketika
51
ramalan lost of generation akan menjadi kenyataan, ketika makin banyak bukti tentang merosotnya kualitas sumber daya manusia baik karena masalah gizi buruk mapun defisit karakter, dan ketika pendekatan reformasi sistem pendidikan (formal) belum menunjukkan kinerja menggembirakan. Menurut Berger dan Berger (Syakrani, 2004: 3), dalildalil ilmiah, selain ldanasan filosofis, yang menguatkan pengarustengahan wacana tersebut sudah lama dikemukakan. Aristotle mengemukakan bahwa "... kasih sayang, cinta kasih, dan rasa hormat anak kepada orang tuanya yang dibina dalam keluarga akan membuat anak juga hormat dan menghargai orang lain ketika mereka besar." Menurut Lasch (Syamsu, 2002), institusi keluarga akan menjadi satusatunya lembaga yang bisa menjadi surga di tengah kehidupan yang makin tak bernurani; a heaven in the heartless world. Bennet dalam (Syakrani, 2004: 4) mengemukakan bahwa keluarga merupakan " . . . the original dan most effective Department of Health, Education, and Welfare. If it fails to teach honesty, courage, desire for excellence, and a host of basic skills, it is exceedingly difficult for any other agency to make up for its failures." Menurut Rich dan Popov (Syakrani, 2004: 4), keluarga merupakan wahana pengembangan keterampilanketerampilan unggul (mega skills) dan kebajikan kabajikan moral (virtues). Kegagalan keluarga mengembangkan keterampilan unggul tersebut tidak dapat diatasi oleh institusi sosial lain, termasuk oleh sekolah. Begitu pentingnya institusi ini, sehingga Perserikatan BangsaBangsa (PBB) pernah merancang program yang menjadikan keluarga sebagai wahana pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM). Jadi, status sosial dan ekonomi keluarga, kondisi fisik keluarga, keberfungsian keluarga, cara dan sikap orang tua dalam memperlakukan anak atau pola asuh, kondisi religius dalam keluarga, yang pada akhirnya berpengaruh terhadap perkembangan dan kualitas agama anak/remaja.
Kondisi Lingkungan Masyarakat Kondisi lingkungan masyarakat yang dimaksud di sini adalah situasi, interaksi sosial, sosioreligius dan sosiokultural yang secara potensial berpengaruh terhadap perkembangan beragama atau kesadaran beragama remaja. Dalam masyarakat yang interaksi sosialnya berjalan dengan harmonis, sosiokulturalnya berdasar nilainilai
52
religius dan moralitas. Hal ini akan melahirkan dan menumbuhkan masyarakat madani, yang menjunjung tinggi nilainilai kemanusiaan, keadilan, kejujuran, persamaan dan toleransi. Sebaliknya masyarakat yang jauh dari nilainilai religius dan moralitas akan menyuburkan tumbuhnya masyarakat yang gaya hidup materialistis dan hedonistis (kenikmatan materi/jasmani), hipokratik/ munafik, mengabaikan nilai kemanusiaan, diskrimatif, intoleran dan mendewakan nilainilai kebendaan yang profan (duniawi). Kualitas pribadi dalam masyarakat yang kondusif untuk perkembangan kesadaran beragama remaja adalah pribadi yang: (1) taat menjalankan kewajiban agama secara vertikal dan horizontal, dan (2) menghindari perilaku yang bertentangan dengan ajaran agama dan moralitas, seperti sikap permusuhan, saling curiga, munafik, mencuri, korupsi, perbuatan maksiat dan keji lainnya. Kualitas pribadi masyarakat yang tidak kondusif ditdanai: (1) gaya hidup materialistis, hedonistis dan sekularistis, (2) sikap dan tindakan yang melecehkan ajaran agama, dan (3) mementingkan individualistik dan tidak peduli terhadap kemiskinan, kebodohan dan kemaksiatan yang terjadi di masyarakat (Syamsu, 2002: 8). Proses sosialisasi terjadi dalam kehidupan seharihari melalui interaksi sosial dengan menggunakan media atau lingkungan sosial tertentu. Oleh sebab itu, kondisi kehidupan lingkungan tersebut akan sangat mewarnai dan mempengaruhi input dan pengetahuan yang diserap. Salah satu teori menjelaskan tentang kriminalitas di daerah perkotaan menyatakan bahwa tingkat kriminalitas yang tinggi dalam masyarakat kota pada umumnya berada pada bagian wilayah kota yang miskin, dampak kondisi perumahan di bawah stdanar, overcrowding, derajat kesehatan rendah serta komposisi penduduk yang tidak stabil (Eitzen, 1986: 400). Menurut pendekatan sistem, perilaku individu sebagai masalah sosial bersumber dari sistem sosial terutama dalam pdanangan disorganisasi sosial sebagai sumber masalah. Dikatakan oleh Eitzen (1986: 10) bahwa seseorang dapat menjadi buruk/jelek karena hidup dalam lingkungan masyarakat yang buruk. Hal ini dapat dijelaskan bahwa umumnya pada masyarakat yang mengalami gejala disorganisasi sosial, norma dan nilai sosialnya kehilangan kekuatan mengikat. Dengan demikian, kontrol sosial menjadi lemah sehingga memungkinkan terjadinya berbagai bentuk penyimpangan perilaku. Di dalam masyarakat yang mengalami disorganisasi sosial, seringkali yang terjadi bukan sekadar ketidakpastian dan surutnya kekuatan mengikat norma sosial. Tetapi lebih dari
53
itu, perilaku menyimpang karena tidak memperoleh sanksi sosial kemudian dianggap sebagai hal yang biasa dan wajar. Sepanjang hidup, setiap orang mengalami sosialisasi dalam lingkungannya. Thornburg (Dariyo, 2004: 113114) mengatakan bahwa ada lima tahapan sosialisasi, yaitu: 1) kesempatan belajar sosial, 2) konfirmasi belajar sosial, 3) kematangan sosial, 4) integrasi sosial, dan 5) menemukan identitas sosial (lihat Tabel 1). Lingkungan masyarakat yang kondusif bagi perkembangan agama remaja adalah dicirikan oleh kondisikondisi sebagai berikut: masyarakat yang memiliki penataan perumahan yang memenuhi stdanar kesehatan, tersedia sarana dan kapital sosial untuk menjalankan dan meningkatkan pengamalan nilainilai agama, seperti adanya mushalla atau masjid, majelis taklim, organisasi remaja masjid, pengajian agama dan perpustakaan, masyarakat yang taat menjalankan kewajiban agama secara vertikal dan horizontal, menghindari perilaku yang bertentangan dengan ajaran agama dan moralitas, seperti sikap permusuhan, saling curiga, munafik, mencuri, korupsi, perbuatan maksiat dan keji lainnya, serta memiliki kontrol sosial yang kuat berdasarkan nilainilai kemanusiaan dan agama.
Tabel 1. Tahaptahap Perkembangan Sosialisasi Individu Tahap
Kesempatan Belajar Sosial Sejak lahir 18 th.
Konfirmasi belajar sosial
Kematangan sosial
Praremaja (9 13 th)
Remaja (13 18 th)
Pengaruh utama
Orang tua
Orang tua dan teman sebaya
Teman sebaya
Pengaruh teman sebaya Tahap transfer
Minimal
Tidak kuat
Fasilitas
Makin kuat
Usia
Integrasi sosial
Menemukan identitas sosial Remaja akhir Dewasa (24 (1923 th) th ke atas) Masyarakat
Kuat
Teman sebaya dan masyarakat Kuat
Berkurang
Fasilitas
Saling ber hubungan
Tidak kuat
Pengaruh Teman Sebaya (Peer Group)
Siswasiswi SMA/MA tergolong dalam masa remaja. Ada beberapa pandangan dalam hal ini, salah satu di antaranya dikemukakan Fishbein (1978:307) bahwa masa remaja itu ditdanai dengan datangnya masa pubertas, dan bersamaan dengan itu terjadi pula pertumbuhan fisik yang diikuti timbulnya gejolakgejolak emosional.
54
Timbulnya gejolak pada masa remaja ini karena remaja berada pada masa transisi. Suatu masa di mana periode anakanak sudah terlewati dan di satu sisi ia belum diterima sebagai manusia dewasa. Pada masamasa seperti ini, remaja senang mencari nilainilai baru sehingga ia mulai sering meninggalkan rumah untuk bergabung dengan temantemannya (peer group). Dalam peer group, anakanak berasal dari berbagai lingkungan keluarga, karakteristik psikologis maupun sosial. Oleh sebab itu, terjadi pula berbagai watak dan kegiatan. Salah satu pengaruh yang mungkin dapat muncul adalah terjadinya perilaku longgar atau taat mengamalkan agama. Hal ini dapat terjadi karena remaja berada pada kondisi yang labil dan emosional. Di samping karena adanya solidaritas yang kuat di antara sesama teman akibat adanya in group feeling yang sangat kuat. Peer group terbentuk karena adanya kesesuaian aspekaspek tertentu di antara anggotaanggotanya, seperti gaya, nilainilai atau simbolsimbol. Anggota peer group ini dapat terdiri dari lakilaki maupun perempuan. Remaja hidup dalam suatu lingkungan sosial tertentu. Masyarakat sebagai suatu lingkungan yang relatif besar diatur dalam suatu norma atau nilai, atau dibatasi oleh suatu budaya tertentu. Kebudayaan dalam suatu tatanan masyarakat mengatur perilaku orang untuk hidup bermasyarakat, termasuk remaja. Remaja yang berada pada kondisi ingin mencari nilainilai baru dalam grupnya, kemungkinan pula bertolak belakang dengan normanorma masyarakat yang sudah mapan. Benturan nilai ini dimungkinkan pula terjadinya perilaku konflik dan tindakan agresif. Kelompok teman sebaya sebagai lingkungan sosial bagi remaja mempunyai peranan yang penting bagi perkembangan kesadaran beragama mereka. Peranan itu cukup penting ketika terjadinya perubahan dalam masyarakat pada: (1) perubahan struktur keluarga dari keluarga besar kepada keluarga kecil, (2) kesenjangan antara generasi tua dengan generasi muda, (3) derasnya arus komunikasi yang menerpa kaum muda, dan (4) panjangnya masa penundaan memasuki masyarakat orang dewasa (Syamsu, 2002: 59) Perhatian remaja terhadap teman sebaya adalah sebagai akibat terjadinya beberapa perubahan pada diri remaja, yaitu perubahan emosi sebagai akibat fisik, minat dan peran yang diharapkan oleh kelompok sosial, nilai moral, perilaku sosial, dan kepribadian.
55
Perubahan fisik pada remaja yang mengakibatkan mereka mempunyai penampilan fisik ideal atau tidak ideal adalah ketika mereka dapat diterima dan direspon oleh peer groupnya. Ketegangan emosional yang terjadi dalam diri remaja baik dengan keluarga dan masyarakat menyebabkan mereka membutuhkan orang lain yang mau mendengarkan, merasakan, mencarikan solusi dan dapat dipercaya untuk membantu mereka, di sinilah peran teman sebaya. Dengan kata lain, perubahanperubahan di atas membuat remaja mempunyai perhatian yang besar dari dan kepada teman sebaya ketimbang keluarga dan orang dewasa lainnya. Sebab keluarga dan orang dewasa sering tidak bisa mengerti dan memahami mereka. Peranan teman sebaya bagi remaja memberikan kesempatan untuk belajar tentang: 1) bagaimana berinteraksi dengan orang lain, 2) mengontrol tingkah laku sosial, 3) mengembangkan keterampilan dan minat yang relevan dengan usianya, dan 4) saling bertukar perasaan dan masalah. Bagi Peter dan Anna Freud, teman sebaya telah berperan bagi remaja dalam: 1) memperbaiki lukaluka psikologis masa kanakkanak, 2) mengembangkan hubungan baru yang lebih baik, dan 3) membantu pemahaman tentang: a) konsep diri, masalah dan tujuan hidup yang lebih jelas, b) perasaan berharga, dan c) perasaan optimis tentang masa depan (Syamsu, 2002: 60). Kondisi remaja yang lebih banyak berada di luar rumah bersama dengan teman teman sebaya sebagai kelompok. Maka dapat dipahami bahwa pengaruh temanteman sebaya terhadap sikap, pembicaraan, penampilan dan tingkah laku, minat dan nilainilai lebih besar daripada pengaruh keluarga atau guru. Misalnya ketika mereka berpakaian yang sesuai dengan kelompok sebaya, merokok, mencoba melakukan miras, keluyuran di mallmall dan lain sebagainya. Usaha melakukan halhal itu memberikan kesempatan lebih besar kepada mereka untuk diterima kelompok. Bila sebaliknya mereka kemungkinan akan ditolak oleh kelompoknya. Menurut Hurlock (1980:217), ada beberapa kondisi agar remaja dapat diterima atau ditolak oleh kelompok mereka yaitu: (1) kesan pertama yang menyenangkan akibat penampilan sikap yang menarik perhatian, (2) reputasi dan prestasi, (3) penampilan yang sesuai dengan penampilan temanteman sebaya, (4) perilaku sosial yang ditandai oleh bisa kerjasama, tanggung jawab, mudah bergaul, pintar, bijaksana dan sopan, (5) memiliki kematangan emosional, (6) bermoral yang ditunjukan oleh perilaku jujur, setia, empati dan ektraversi, dan (7) status sosialekonomi.
56
Syamsu (2002: 60) berpendapat bahwa faktor yang menentukan daya tarik hubungan interpersonal di antara remaja adalah karena adanya persamaanpersamaan, yaitu: jenis kelamin, usia, ras, minat, nilainilai, pendapat, dan sifatsifat kepribadian. Kalau di sekolah dipengaruhi oleh faktorfaktor: apresiasi pendidikan, perestasi, absensi, dan pengerjaan tugastugas rumah. Remaja yang tumbuh kembangnya di tengahtengah keluarga yang fungsi keluarganya berjalan dengan harmonis, penuh kasih sayang, religius, menghargai prestasi dan nilainilai moralitas. Maka akan lahir dan tumbuh remaja yang religius dan mampu menghindari diri dari pengaruhpengaruh negatif atau tidak sehat dari teman sebaya. Bahkan ia akan dapat menjadi panutan dan motor bagi kelompoknya untuk berprestasi.
Pengaruh Media Informasi Komunikasi dapat dipahami sebagai proses penyampaian pesan dari sumber kepada penerima melalui channel (saluran), yang dapat diterima melalui media massa maupun personal (interpersonal dan kelompok). Dengan demikian, ada lima komponen komunikasi, yaitu: yang menyampaikan pesan, pesan, channel, penerima pesan dan efek. Komunikasi massa dapat dipahami sebagai proses komunikasi yang berlangsung di mana pesannya dikirim dari sumber yang melembaga kepada khalayak yang sifatnya massal (heterogen dan tidak saling mengenal) melalui alatalat yang bersifat mekanis (media cetak atau elektronik) seperti: radio, televisi, surat kabar/majalah dan film (Rakhmat, 1998: 189). Dari pengertian di atas, ada lima karakteristik komunikasi massa: (1) Komunikasi bersifat umum, (2) Berlangsung secara searah, (3) Komunikator bersifat melembaga, (4) Menimbulkan keserempakan, dan (5) Bersifat heterogen. Berdasarkan jenisnya, media massa dapat dibedakan menjadi empat, yaitu media cetak, media audio, media visual dan audiovisual. Media cetak yang menampilkan informasi melalui lambang tertulis/tercetak, seperti: buku, koran, majalah dan tabloid. Media audio adalah seperangkat media komunikasi dengan menggunakan sinyal elektronik, seperti radio. Media visual adalah media yang menampilkan visualisasi berupa gambar atau grafis, seperti internet, pesan atau gambar di ponsel. Media audiovisual adalah media yang menggabungkan antara unsur audio dan unsur visual, seperti Televisi, VCD/DVD dan film layar lebar (Rakhmat, 1998: 189).
57
Keterdadahan pada media massa adalah perilaku pengguna media komunikasi dalam bentuk aktivitas membaca media masa cetak, mendengarkan radio, dan menonton televisi, dan film. Pengukuran keterdadahan pada media massa dilihat dari aspek yang berkaitan dengan jumlah waktu yang digunakan, jenis isi media dan hubungan individu konsumen dengan media (Rakhmat, 1998: 190) Efek media massa terhadap khalayak berkaitan dengan efek pesan dan efek kehadiran. Efek pesan adalah efek yang berkaitan dengan pesan yang disampaikan oleh media massa, yang meliputi aspek kognitif (berubah pandangan dan pendapatnya), afektif (berubah perasaan) dan konatif (mengambil keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu). Efek kehadiran media massa merupakan efek yang timbul akibat kehadirannya sebagai benda fisik (Rakhmat, 1998: 217219) Dalam membicarakan efek media massa ini ada dua teori, yaitu model jarum hipodermik dan model uses and gratification. Yang pertama mengatakan bahwa komunikator, pesan dan media sangat perkasa dalam mempengaruhi khalayak, sebab khalayak pasif. Sedangkan yang kedua berpendapat bahwa khalayak peserta aktif dan selektif dalam menggunakan media untuk memenuhi kebutuhannya (Rakhmat, 1998: 220). Menurut Katz, asumsi teori Uses and Gratification ini adalah: (1) khalayak dianggap aktif, artinya mereka menggunakan media mempunyai tujuan; (2) persepsi khalayak selektif, artinya mereka memilih media dan isi media untuk memenuhi kebutuhannya; (3) media bersaing dengan sumbersumber lain seperti: keluarga, teman, dan (4) khalayak mengetahui kebutuhannya dan dapat memenuhinya jika dikehendaki, artinya mereka mengetahui alasanalasan menggunakan media (Rakhmat, 1998:205). Ada dua hal yang mempengaruhi perilaku khalayak akan media, yaitu lingkungan sosial dan motif untuk memenuhi kebutuhan. Lingkungan sosial mencakup demografi, afiliasi kelompok dan karakteristik kepribadian. Karakteristik demografi meliputi: usia, jenis kelamin, agama, etnis, suku bangsa, tempat tinggal, pekerjaan, pendidikan dan pendapatan (Effendi, 1993). Sedangkan kebutuhan khalayak terhadap media meliputi kebutuhan kognitif, afektif, integrasi personal, integrasi sosial, dan kebutuhan melepaskan ketegangan atau hiburan. Dalam kaitan fungsi media massa untuk memenuhi kebutuhan khalayak, terdapat aliran unifungsional, yang berpendapat bahwa media massa hanya dapat memenuhi satu motif, yaitu hiburan, atau hasrat bermain, atau kontak sosial, atau
58
informasi. Fungsi multifungsional meliputi: pengawasan lingkungan; hubungan sosial; transmisi kultural dan hiburan (Rachmat, 1998: 208). McQuail (1989) menjelaskan tentang motif khalayak dalam penggunaan media massa, yaitu : (1) Motif mencari hiburan: (a) hasrat melarikan diri dari kegitan rutin, (b) bersantai, (c) mengisi waktu, (d) penyaluran emosi, dan (e) memperoleh rasa estetis dan membangkitkan gairah seks. (2) Motif identitas pribadi: (a) menemukan penunjang nilainilai pribadi, (b) menemukan model perilaku, (c) mengindentifikasi diri dengan nilainilai lain dalam media, dan (d) meningkatkan pemahaman tentang diri sendiri. (3) Motif integrasi sosial: (a) memperoleh empati sosial, (b) mengindentifikasi diri dengan orang lain, (c) menemukan bahan percakapan sosial, dan (d) membantu menjalankan peran sosial yang memungkinkan berinteraksi dengan teman, keluarga dan masyarakat. (4) Motif informasi: (a) mencari berita tentang peristiwa dan kondisi lingkungan dan masyarakat; (b) referensi untuk memperteguh pilihan/keputusan, (c) memuaskan rasa ingin tahu, (d) belajar dan pendidikan, dan (e) rasa damai, percaya diri dengan penambahan pengetahuan. Seperti halnya media massa yang lain, keberadaan internet membangkitkan berbagai pertanyaan akan efek negatif yang ditimbulkannya, selain efek positif seperti penyampaian dan pengiriman informasi yang cepat dan update melalui fasilitasfasilitas email, surat kabar online, forum diskusi dan juga chatting serta beragam situssitus yang ada memperkaya khasanah pengetahuan penggunanya. Tetapi acapkali dianggap sebagai penyebab perilaku asosial penggunanya. Hal ini dikarenakan internet adalah media komunikasi yang memiliki karakteristik interaktif yang membuat penggunanya merasakan seolah mengalami komunikasi tatap muka sebagaimana di dunia nyata walaupun hal tersebut hanya terjadi di dunia maya (virtual warfel). Hasil penelitian yang dilakukan di Inggris terhadap 445 pengguna internet menunjukkan adanya relasi positif antara tingginya penggunaan internet dengan sikap depresi dan introvert (Yuyun, 2004: 1). Hasil penelitian Yuyun (2004: 1) menunjukkan bahwa remaja pengguna internet di Surabaya termasuk dalam kategori medium users, berdasar jumlah waktu penggunaan internet per bulan. Berdasar jumlah waktu ini pula, diketahui bahwa internet telah
59
terintegrasi dalam kehidupan sosial remaja seharihari. Integrasi atau domestikasi internet sebagai teknologi komunikasi dalam kehidupan sosial keseharian remaja nampaknya tidak lepas dari proses adopsi internet itu sendiri. Tingkat keterampilan mengakses internet remaja termasuk dalam kategori penguna tahap awal (early adopter), yaitu temanteman mereka sendiri sebagai tempat belajar. Keberadaan internet nampaknya menjadi pesaing utama televisi, baik dari segi penyedia hiburan maupun informasi. Bagi sebagian remaja pengguna internet, televisi tetap merupakan alternatif media hiburan dan informasi utama dikarenakan mereka ada perlunya, ada tujuan/intention untuk mengkonsumsinya. Internet unggul karena isi informasinya yang sangat beragam, karena itu diperlukan adanya tujuan maksud para pengguna sebelum mengkonsumsi internet. Remaja pengguna internet memandang internet memiliki manfaat positif yang lebih banyak daripada manfaat negatifnya, seperti menambah pengetahuan, informasi dan hiburan. Berdasarkan penelitian dilakukan Jejak Kaki Internet Protection di Jakarta, ditemukan 97 persen anak usia antara 914 tahun mengaku sudah pernah mengakses situs porno di internet. Hingga saat ini lebih dari 1100 situs lokal terlarang ditemukan di dunia maya. Situs terlarang itu terdiri dari situs kalimatkalimat porno berbahasa Indonesia dan Melayu, 200 situs foto porno yang menampilkan orangorang Indonesia, 200 situs kategori nonpornografi yang mengdanung kekerasan, judi, dan kegiatan negatif lainnya, serta 100 situs domain dengan nama potensial yang biasa dipakai situs terlarang (http://www.republika.co.id/online_detail.asp?id=2327&kat_id=23). Kehadiran teknologi komputer sendiri sesungguhnya bersifat netral. Pengaruh positif atau negatif yang bisa muncul lebih banyak tergantung dari pemanfaatannya. Jika anakanak dibiarkan menggunakan komputer secara sembarangan, tanpa ada monitoring dari orang tua, serta tidak adanya pemasangan alat sistem proteksi yang mampu memfilter semua content yang tidak diinginkan akan mudah dibuka remaja. Ditemukan bahwa sebanyak 98 persen orang tua tidak mengawasi anaknya saat menggunakan internet di rumah. Psikolog Sugianto mengatakan, efek psikologis pornografi dari internet bagi anak sangat memicu perkembangan kelainan seksual mereka karena mengenal pornografi sejak dini. Akibat lainnya, seseorang akan cenderung menjadi antisosial, tidak setia dengan pasagannya, melakukan kekerasan dalam rumah tangga, tidak
60
sensitif, dan menimbulkan kecanduan mengakses internet terutama pada situs game dan porno (http://www.republika.co.id/online_detail.asp?id=2327&kat_id=23) Berbagai variasi games komputer kadang luput dari pengawasan orang tua. Padahal kadang games sarat dengan unsur kekerasan dan agresivitas yang memicu munculnya perilakuperilaku agresif dan sadistis pada diri anak. Kecdanuan bermain internet pada anak bisa dihindari sejak awal, jika sejak awal orang tua mampu memberi pengertian dan pemahaman tentang segala dampak dari penggunaan berbagai situs yang dapat dengan mudah diakses. Selain itu orang tua juga harus mengatur waktu yang tepat bagi anak untuk mengenal serta berinteraksi dengan teknologi internet. Nursyawal (Pikiran Rakyat, 30 Juni 2004), mengutip Redatin Purwadi, membuktikan asumsi adanya pengaruh negatif tayangan televisi terhadap perilaku khalayak. Tingginya frekuensi menonton televisi memberi sumbangan atas penyimpangan nilai dan perilaku. Pengaruh tayangan televisi ini ditentukan oleh faktor lingkungan keluarga dan ketaatan beragama. Makin lemah kedua faktor itu, makin kuat pangaruh televisi. Hasil penelitian ini membuktikan kekuatan pengaruh media dalam teori hipodermik. Katanya, media massa itu seperti jarum suntik yang tidak bisa ditolak. Isinya masuk begitu saja ke dalam aliran darah begitu disuntikkan. Tetapi menurut teori Cybernetics, atau teori mutakhir, teori kritis, yang menegaskan, media massa "hanya mungkin" berpengaruh secara signifikan dalam habitat yang sesuai. Bergantung tingkat sosial, terpaan medianya, kebutuhan individu, dan lainlain. Pengaruh positif atau negatif disaring oleh halhal tadi. Pada masyarakat yang tingkat melek hurufnya rendah, seperti Indonesia, ketika media massa hanyalah pengisi waktu, maka pengaruh negatif cukup besar. Berdasarkan survei khalayak, waktu yang dihabiskan orang Indonesia untuk menonton televisi, jauh lebih besar dibanding warga AS. Menurut data US Census Bureau (1998), orang AS menggunakan waktu ratarata 2,5 jam sehari untuk nonton televisi. Menurut data Survey Research Indonesia (SRI1998) orang Indonesia ratarata 5 jam sehari di depan televisi (Pikiran Rakyat, 30 Juni 2004). Kebetahan pemirsa televisi duduk di depan layar kaca. Tak ada yang sanggup menolak sajian sinetron, film India, telenovela, goyang ngebor, misteri dunia lain dan terakhir segala macam reality shows, baik berupa audisi, mengerjai orang, dan lain sebagainya. Program itu menduduki rating tinggi untuk program TV di Indonesia. Jika
61
dihitung porsi interaksi manusia Indonesia dengan televisi, akan terlihat (nonton TV 5 jam + tidur 7 jam + kerja/sekolah 8 jam = 20 jam). Sisa 4 jam sehari habis dipakai makan, mandi, dan macet di jalan. Bayangkan berapa sisa waktu untuk berinteraksi sosial dan membaca untuk menambah wawasan. Mungkin ini sebab nilai sosial, kekeluargaan dan solidaritas menjadi hilang dan budaya membaca rendah. Redatin (Nursyawal, 2004) menyimpulkan bahwa media massa telah mengambil alih fungsi pranata sosial tradisional dalam internalisasi nilai. Kemampuan ini diperkuat oleh ketiadaan konstruksi pengetahuan kritis dalam diri khalayak, khususnya di Indonesia, terhadap muatan media massa karena nilai kekeluargaan dan agama yang memudar. Penelitian Redatin diperkuat oleh temuan Hanirono yang mengungkapkan, lebih banyak remaja kota Bandung mengenal seks dari media massa daripada orang tua atau sekolah (Pikiran Rakyat, Mei 2002). Di sisi lain, aborsi di kalangan remaja ditengarai cukup tinggi juga dari pengaruh media massa ini. Setiap produk media memiliki kecenderungan diinterpretasikan secara berbeda oleh individu dan khalayak. Pengaruhnya bisa berupa peneguhan sehingga individu percaya apa yang tampak di media adalah realitas sebenarnya. Bisa sebaliknya, menggelisahkan dan berujung pada penolakan. Hal ini sangat terkait dengan pengetahuan, motif dan nilainilai yang dimiliki khalayak. Tragedi ErfurtJerman dan tragedi yang sama di Belanda dan AS sepanjang tahun 2002, ketika sejumlah remaja membawa senjata api lalu menembaki guru dan temanteman sekolahnya tanpa rasa bersalah, menunjukkan bahwa mereka telah hidup dalam realitas virtual sejak sekian lama. Mereka tidak dinyatakan schizophrenia. Hanya konstruksi sosial atas realitas yang mereka miliki telah berubah. Para remaja itu beradaptasi dengan gambargambar, dimensi dan nilainilai dari sekian banyak videogame, seperti yang ditemukan Bundes Kriminal Amt (BKA)—satuan resersenya polisi Jerman—di kamar seorang remaja Erfurt pelaku penembakan membabi buta di sekolahnya (Pikiran Rakyat, 30 Juni 2004). Dari contoh tadi, ada sebagian kelompok masyarakat percaya bahwa dampak negatif media harus dihilangkan dengan pengendalian isi. Sebagian lagi memberi penguatan pada internalisasi nilai, norma, melalui pendidikan umum dan agama sehingga khalayak dapat memilih sajian informasi yang dibutuhkan dari media dengan tetap membebaskan perilaku media dalam menyajikan isi. Sebagian lagi membangun ikatan moralitas di antara profesional media, dengan menyepakati aturan main bersama,
62
agar nilai masyarakat tidak bentrok dengan kepentingan media itu sendiri (Pikiran Rakyat, 3062004). Kondisi Pendidikan Agama di Sekolah Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang secara sistematis melaksanakan program bimbingan, pengajaran, dan latihan dalam rangka membantu siswa agar mampu mengembangkan potensinya dalam aspek moralspiritual, emosional, intelektual, dan sosial. Karena itu, sekolah berperan sebagai substitusi keluarga dan guru substitusi orang tua bagi mengembangkan potensi diri siswa dalam cara berpikir, bersikap dan bertingkah laku. Dengan kata lain, sekolah mempunyai peran dan tanggung jawab dalam membantu siswa mencapai tugas perkembangannya. Ada lima alasan kenapa sekolah berperan bagi perkembangan siswa: (a) siswa harus hadir di sekolah, (b) sekolah memberikan pengaruh sejak dini sesuai dengan perkembangan konsep dirinya, (c) siswa banyak menghabiskan waktunya di sekolah dari pada di tempat lain di luar rumah, (d) sekolah memberikan kesempatan kepada siswa untuk meraih sukses, dan (e) sekolah memberikan kesempatan pertama kepada siswa untuk menilai dirinya, dan kemampuannya secara realistik (Syamsu, 2002:55) Agar peran dan tanggung jawab sekolah terlaksana dengan baik, maka sekolah harus mengupayakan iklim yang kondusif, atmosfir yang sehat, baik menyangkut aspek manajemen dan profesionalisme pengelolanya. Michael Rutter mencirikan sekolah yang kondusif bagi perkembangan siswa adalah “sekolah yang memajukan, meningkatkan atau mengembangkan prestasi akademik, keterampilan sosial, sopan santun, sikap positif terhadap belajar, rendahnya angka absen siswa, memberikan keterampilan keterampilan yang memungkinan siswa dapat bekerja.” Sekolah yang sehat bagi perkembangan siswa, selain ditdanai oleh halhal di atas, juga sangat didukung oleh kualitas para guru, yang menyangkut karakteristik pribadi dan kompetensi. Sebab, kemajuan belajar di kelas dipengaruhi oleh hubungan interpersonal antar guru dengan siswa. Hubungan itu bisa bersifat hangat atau dingin, tenang atau tegang, kohesif atau antagonistik, bersahabat atau bermusuhan, harmonis atau tidak harmonis dan stimulatif atau restriktif. Menurut Kerlinger, karakteristik guru yang mendukung hubungan dengan siswa ditandai oleh: (1) orientasi pribadi yang positif, (2) organisasi tugas yang sistematik
63
efisien, saksama, teliti, dan dapat dipahami, dan (3) lentur dalam berpikir, imajinatif, sensitif, dan toleran (Syamsu, 2002: 57). Allan C. Ornstein mengelompokkan karakteristik guru kepada: (1) Guru Kreatif: imajinatif, senang bereksperimen, dan orisinal, Guru Tidak kreatif: bersifat rutin, eksak, dan berhatihati, (2) Guru Dinamis: enerjik, ekstrover, Guru Tidak Dinamis: pasif, menghindar, dan menyerah, (3) Guru Terorganisasi: sadar akan tujuan, pandai mencari cara pemecahan masalah, dan kontrol, Guru Tidak terorganisasi: kurang sadar akan tujuan, tidak memiliki kemampuan mengontrol, dan (4) Hangat: pandai bergaul, ramah dan sabar, Guru Dingin: tidak bersahabat, sikap permusuhan, dan tidak sabar (Syamsu, 2002: 57). Dalam kaitan dengan pengembangan kesadaran beragama siswa karakteristik guru yang baik adalah : (1) Kepribadian yang berakhlak mulia seperti; jujur, bertangung jawab, disiplin, komitmen terhadap tugas, bersemangat, kreatif, dan respek terhadap siswa. (2) Menguasai disiplin ilmu yang diajarkan (3) Memahami ilmuilmu yang relevan untuk menunjang kemampuan dalam mengelola proses belajarmengajar (4) Memiliki wawasan yang luas agar mampu mengkontektualisasikan materi Pendidikan Agama Islam yang diberikan. Faktor lain yang mendukung perkembangan keberagamaan siswa di sekolah adalah: (1) Kepedulian kepada sekolah, guruguru dan staf sekolah terhadap pelaksanaan ajaran agama di sekolah, seperti memberikan contoh dalam bertingkah laku, bertutur kata, berpenampilan yang sesuai dengan ajaran Islam; (2) Upaya guru bidang studi umum menyisipkan atau menghubungkan nilainilai agama dalam mata pelajaran yang diajarkannya; (3) Tersedianya sarana ibadah yang memadai dan memfungsikannya secara optimal; (4) Tersedianya media informasi atau bukubuku keagamaan yang memadai; (5) Penyelenggaraan kegiatan ekstrakurikuler kerohanian, ceramahceramah, diskusi keagamaan secara rutin; (6) Suasana sekolah yang dihiasi dengan asesoris dan pesanpesan religius. Pada hakikatnya pendidikan agama ini adalah bertujuan membentuk karakter seseorang menjadi manusia yang berakhlakul karimah (berakhlak mulia). Dalam
64
menjalankan pendidikan agama di sekolah ada tiga elemen yang penting diperhatikan yaitu, prinsip, proses dan parakteknya. Dalam menjalankan prinsip, nilainilai agama yang diajarkan harus termanifestasi dalam kurikulum sehingga semua siswa faham betul tentang nilainilai itu dan mampu menerjemahkan dalam perilaku nyata, sehingga menurut Brooks dan Goble (1997) harus diterapkan di seluruh sekolah (school wide approach). Pendekatan yang ditempuh agar pendidikan agama menjadi karakter siswa adalah (Brooks dan Goble 1997) : (1) Sekolah harus dipandang sebagai suatu lingkungan yang memiliki bahasa dan budayanya sendiri, namun sekolah juga harus memperluas pendidikan akhlak/ karakter bukan saja kepada guru, staf dan siswa tetapi juga kepada keluarga/rumah dan masyarakat sekitarnya; (2) Dalam menjalankan kurikulum pendidikan agama sebaiknya: (a) pengajaran tentang nilainilai berhubungan dengan sistem sekolah secara keseluruhan; (b) diajarkan sebagai subjek yang berdiri sendiri namun diintegrasikan dalam kurikulum sekolah keseluruhan; dan (c) seluruh guru dan staf menyadari dan mendukung tema nilainilai yang diajarkan, dan (3) Penekanan ditempatkan untuk merangsang siswa bagaimana menerjemahkan prinsip nilai ke dalam bentuk perilaku prososial. Agar pembentukan manusia menjadi berkualitas secara intelektual, emosional dan spiritual, maka pendidikan agama di sekolah amat diperlukan dan strategis. Bukan hanya untuk siswa mengetahui agama/ kebajikan (knowing the good) tapi juga merasakan (feeling the good), mencintai (loving the good) menginginkan (desiring the good) dan mengerjakan kebaikan atau ajaran agama (acting the good). Metode pendidikan agama yang lebih menekankan otak kiri dengan hafalan konsep (memorization in learning) harus dirubah dengan metode yang lebih menekankan pada otak kanan dengan perasaan, cinta, pembiasaan/ latihan dan amalanamalan di dalam keluarga, sekolah dan masyarakat.
FaktorFaktor yang Mempengaruhi Pendidikan Agama di Sekolah Secara global, faktorfaktor yang mempengaruhi Pendidikan Agama Islam di sekolah dapat dibedakan menjadi tiga macam (Muhibuddin Syah, 1999). (1) Faktor internal (faktor dari dalam siswa), yakni keadaan/ kondisi jasmani dan rohani siswa.
65
(2) Faktor eksternal (faktor dari luar siswa), yakni kondisi lingkungan di sekitar siswa. (3) Faktor pendekatan belajar (approach to learning), yakni jenis upaya belajar siswa yang meliputi strategi dan metode yang digunakan siswa untuk melakukan kegiatan pembelajaran materimateri pelajaran. Faktorfaktor di atas dalam banyak hal sering saling berkaitan dan mempengaruhi satu sama lain. Seorang siswa yang bersikap conserving (melestrikan) terhadap ilmu pengetahuan atau bermotif ekstrinsik (faktor eksternal), umpamanya, biasanya cenderung mengambil pendekatan belajar yang sederhana dan tidak mendalam. Sebaliknya, seorang siswa yang berinteligensi tinggi (faktor internal) dan mendapat dorongan positif dari orang tuanya (faktor eksternal), mungkin akan memilih pendekatan belajar yang lebih mementingkan kualitas hasil pembelajaran. Jadi karena pengaruh faktorfaktor tersebut di ataslah, muncul siswasiswa yang highachievers (berprestasi tinggi) dan underachievers (berprestasi rendah) atau gagal sama sekali. Dalam hal ini, seorang guru yang kompeten dan profesional diharapkan mampu mengantisipasi kemungkinankemungkinan munculnya kelompok siswa yang menunjukkan gejala kegagalan dengan berusaha mengetahui dan mengatasi faktor yang menghambat proses belajar mereka.
Faktor Internal Siswa Faktor ini berasal dari dalam diri siswa sendiri yang meliputi dua aspek, yakni: 1) aspek fisiologis (yang bersifat jasmaniah), dan 2) aspek psikologis (yang bersifat rohaniah). Aspek Fisiologis (Jasmaniah) Kondisi umum jasmani dan tonus (tegangan otot) mempengaruhi tingkat kebugaran organorgan tubuh dan sendisendinya dan dapat mempengaruhi semangat dan intensitas siswa dalam mengikuti pelajaran. Kondisi organ tubuh yang lemah, apalagi jika disertai pusingpusing kepala misalnya, dapat menurunkan kualitas ranah cipta (kognitif) sehingga materi yang dipelajarinya pun kurang atau tidak berbekas. Untuk mempertahankan tonus jasmani agar tetap bugar, siswa sangat dianjurkan mengkonsumsi makanan dan minuman yang bergizi. Selain itu, siswa juga dianjurkan memilih pola istirahat dan olah raga ringan yang sedapat mungkin terjadwal secara tetap dan berkesinambungan. Hal ini penting, sebab perubahan pola makanminum dan
66
istirahat akan menimbulkan reaksi tonus yang negatif dan merugikan semangat mental siswa itu sendiri. Kondisi organorgan khusus siswa, seperti tingkat kesehatan indera pendengar dan indera penglihat, juga sangat mempengaruhi kemampuan siswa dalam menyerap informasi dan pengetahuan, khususnya yang disajikan di kelas. Daya pendengaran dalam penglihatan siswa yang rendah, umpamanya, akan menyulitkan sensory register dalam menyerap itemitem informasi yang bersifat echoic dan econic (gema dan citra). Akibat negatif selanjutnya adalah terhambatnya proses informasi yang dilakukan oleh sistem memori siswa tersebut. Untuk mengatasi kemungkinan timbulnya masalah mata dan telinga di atas, guru yang profesional semestinya bekerja sama dengan pihak sekolah untuk memperoleh bantuan pemeriksaan rutin (periodik) dari dinasdinas kesehatan setempat. Kiat lain yang tak kalah penting untuk mengatasi kekurangsempurnaan pendengaran dan penglihatan siswasiswa tertentu itu ialah dengan menempatkan mereka di deretan bangku terdepan secara bijaksana. Artinya, guru tidak perlu menunjukkan sikap dan alasan (apalagi di depan umum) bahwa mereka ditempatkan di depan kelas karena kurang sempurnanya mata dan telinga mereka. Langkah bijaksana ini perlu diambil untuk mempertahankan selfesteem dan self confident siswa khusus tersebut. Kemerosotan selfesteem dan selfconfisident (rasa percaya diri) seorang siswa akan menimbulkan frustrasi yang pada gilirannya, cepat atau lambat, siswa tersebut akan menjadi underachiever atau mungkin gagal, meskipun kapasitas kognitif mereka normal atau lebih tinggi daripada temantemannya (Muhibuddin Syah, 1999: 133). Khusus pada remaja akibat terjadi perubahan fisik yang mengakibatkan kematangan seksual primer dan sekunder, maka remaja menyikapinya ada yang secara negatif dan positif. Secara negatif menimbulkan perilaku bingung, sedih, stres, cemas, mudah marah, mudah tersinggung, emosional dan dorongan yang tinggi terhadap lawan jenis (Dariyo, 2004: 21). Kalau orang tua kurang pemahaman terhadap remaja dan penanaman nilai agama kurang, akibatnya semangat belajar kurang atau rendah, dapat tergelincir kepada perbuatanperbuatan yang dilarang agama seperti onani, masturbasi, pacaran di luar batas. Aspek Psikologis Banyak faktor termasuk aspek psikologis yang dapat mempengaruhi kuantitas dan kualitas perolehan pembelajaran. Namun, di antara faktorfaktor rohaniah yang
67
pada umumnya dipandang lebih esensial itu adalah sebagai berikut: (1) tingkat kecerdasan/inteligensi siswa, (2) sikap siswa, (3) bakat siswa, (4) minat siswa, dan (5) motivasi siswa (Muhibuddin Syah, 1999). Kecerdasan Inteligensi pada umumnya dapat diartikan sebagai kemampuan psikofisik untuk mereaksi rangsangan atau menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan cara yang tepat (Reber dalam Muhibuddin Syah, 1999: 135). Jadi, inteligensi sebenarnya bukan persoalan kualitas otak saja, melainkan juga kualitas organorgan tubuh lainnya. Akan tetapi, memang harus diakui bahwa peran otak dalam hubungannya dengan inteligensi manusia lebih menonjol daripada peran organorgan tubuh lainnya, lantaran otak merupakan "menara pengontrol" hampir seluruh aktivitas manusia. Tingkat kecerdasan atau inteligensi (IQ) siswa tak dapat diragukan lagi sangat menentukan tingkat keberhasilan belajar siswa. Ini bermakna bahwa semakin tinggi kemampuan inteligensi seorang siswa maka semakin besar peluangnya untuk meraih sukses. Sebaliknya, semakin rendah kemampuan inteligensi seorang siswa maka semakin kecil peluangnya untuk memperoleh sukses dalam belajar. Anak yang memiliki kecerdasan tinggi dalam pelajaran agama dapat dilihat dari nilai yang diperolehnya. Selanjutnya, di antara siswasiswa yang mayoritas berinteligensi normal itu mungkin terdapat satu atau dua orang yang tergolong gifted child atau talented child, yakni anak sangat cerdas dan anak sangat berbakat (IQ 140 ke atas). Di samping itu, mungkin ada pula siswa yang berkecerdasan di bawah batas ratarata (IQ 70 ke bawah). Menghadapi situasi seperti ini, setiap guru profesional sepantasnya menyadari bahwa keluarbiasaan inteligensi siswa, baik yang positif seperti superior maupun yang negatif seperti borderline, lazimnya menimbulkan kesulitan belajar siswa yang bersangkutan. Di satu sisi siswa yang cerdas sekali akan merasa tidak mendapatkan perhatian yang memadai dari pelajaran yang disajikan terlampau mudah baginya. Akibatnya, ia menjadi bosan dan frustrasi karena tuntutan kebutuhan keingintahuannya (curiosity) merasa dibendung secara tidak adil. Di sisi lain, siswa yang bodoh sekali akan merasa sangat payah mengikuti sajian pelajaran karena terlalu sukar baginya. Karenanya siswa itu sangat tertekan, dan akhirnya merasa bosan dan frustrasi seperti yang dialami rekannya yang luar biasa positif tadi (Muhibuddin Syah, 1999).
68
Untuk menolong siswa yang berbakat, sebaiknya guru memberikan tugas pelajaran yang lebih tinggi daripada pelajaran kelasnya sekarang atau membebaskannya dari mata pelajaran dengan langsung memberi nilai setelah mengujinya. Sementara itu, untuk menolong siswa yang berkecerdasan di bawah normal, itu tak dapat dilakukan selain mengikuti pelajaran di kelas bawahnya atau memberikan remedial. Sikap Sikap adalah gejala internal yang berdimensi afektif berupa kecenderungan untuk mereaksi atau merespons (response tendency) dengan cara yang relatif tetap terhadap objek orang, barang, dan sebagainya, baik secara positif maupun negatif. Sikap (attitude) siswa yang positif, terutama kepada guru dan mata pelajaran agama yang disajikan merupakan pertanda awal yang baik bagi proses belajar siswa tersebut. Sebaliknya, sikap negatif siswa terhadap guru dan mata pelajaran agama, apalagi jika diiringi kebencian kepada guru atau kepada mata pelajaran agama dapat menimbulkan kesulitan belajar bagi siswa tersebut. Selain itu, sikap terhadap ilmu pengetahuan agama yang bersifat conserving, walaupun mungkin tidak menimbulkan kesulitan belajar, namun prestasi yang dicapai siswa akan kurang memuaskan. Untuk mengantisipasi kemungkinan munculnya sikap negatif siswa seperti tersebut di atas, guru agama dituntut untuk terlebih dahulu menunjukkan sikap positif terhadap dirinya sendiri dan terhadap mata pelajaran agama yang menjadi bidangnya. Dalam hal bersikap positif terhadap mata pelajarannya, seorang guru agama sangat dianjurkan untuk senantiasa menghargai dan mencintai profesinya. Guru agama yang demikian tidak hanya menguasai bahanbahan yang terdapat dalam bidang studinya, tetapi juga mampu meyakinkan kepada para siswa akan manfaat arti penting pendidikan agama itu bagi kehidupan mereka. Dengan demikian, siswa akan merasa membutuhkannya, dan dari perasaan butuh itulah diharapkan muncul sikap positif terhadap pendidikan agama Islam tersebut sekaligus terhadap guru yang mengajarkannya (Muhibuddin Syah, 1999). Bakat Secara umum, bakat (aptitude) adalah kemampuan potensial yang dimiliki seseorang untuk mencapai keberhasilan pada masa yang akan datang, (Chaplin, 1972; Reber, 1988 dalam Muhibuddin Syah, 1999:136). Dengan demikian, sebetulnya setiap orang pasti memiliki bakat dalam arti berpotensi untuk mencapai prestasi sampai ke tingkat tertentu sesuai dengan kapasitas masingmasing. Jadi, secara global bakat itu mirip dengan inteligensi. Itulah sebabnya seorang anak yang berinteligensi sangat
69
cerdas (superior) atau cerdas luar biasa (very superior) disebut juga sebagai talented child, yakni anak berbakat. Dalam perkembangan selanjutnya, bakat kemudian diartikan sebagai kemampuan individu untuk melakukan tugas tertentu tanpa banyak bergantung pada upaya pendidikan dan latihan. Seorang siswa yang berbakat dalam bidang Tilawah Alquran, misalnya, akan jauh lebih mudah menyerap informasi, pengetahuan, dan keterampilan yang berhubungan dengan bidang tersebut dibanding dengan siswa lainnya. Inilah yang kemudian disebut bakat khusus (specific aptitude) yang konon tak dapat dipelajari karena merupakan karunia inborn (pembawaan sejak lahir). Sehubungan dengan hal di atas, bakat akan dapat mempengaruhi tinggi rendahnya prestasi belajar bidangbidang studi tertentu, seperti pendidikan agama. Oleh karenanya, adalah hal yang tidak bijaksana apabila orang tua memaksakan kehendaknya untuk menyekolahkan anaknya pada jurusan keahlian tertentu tanpa mengetahui terlebih dahulu bakat yang dimiliki anaknya. Pemaksaan kehendak terhadap seorang siswa, dan juga ketidaksadaran siswa terhadap bakatnya sendiri sehingga ia memilih jurusan keahlian tertentu yang sebenarnya bukan bakatnya, akan berpengaruh buruk terhadap kinerja akademik (academic performance) atau prestasi belajarnya. Minat Secara sederhana, minat (interest) berarti kecenderungan dan kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu. Menurut Reber (1988), minat tidak termasuk istilah populer dalam psikologi karena ketergantungannya yang banyak pada faktorfaktor internal lainnya seperti: pemusatan perhatian, keingintahuan, motivasi, dan kebutuhan. Namun, minat seperti yang dipahami dan dipakai oleh orang selama ini dapat mempengaruhi kualitas pencapaian hasil belajar siswa dalam bidangbidang studi tertentu. Umpamanya, seorang siswa yang menaruh minat besar terhadap pendidikan agama Islam akan memusatkan perhatiannya lebih banyak daripada siswa lainnya. Kemudian, karena pemusatan perhatian yang intensif terhadap materi itulah yang memungkinkan siswa tadi untuk belajar lebih giat, dan akhirnya mencapai prestasi yang diinginkan. Guru agama dalam kaitan ini seyogianya berusaha membangkitkan minat siswa untuk menguasai pengetahuan yang terkandung dalam bidang studinya dengan cara yang kurang lebih sama dengan kiat membangun sikap positif seperti terurai di muka.
70
Motivasi Pengertian dasar motivasi ialah keadaan internal organisme, baik manusia ataupun hewan, yang mendorongnya untuk berbuat sesuatu. Dalam pengertian ini, motivasi berarti pemasok daya (energizer) untuk bertingkah laku secara terarah (Gleitman, 1986; Reber, 1988 dalam Muhibuddin Syah, 1999:137). Dalam perkembangan selanjutnya, motivasi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: 1) motivasi intrinsik, dan 2) motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah hal dan keadaan yang berasal dari dalam diri siswa sendiri yang dapat mendorongnya melakukan tindakan belajar. Termasuk dalam motivasi intrinsik siswa adalah perasaan menyenangi materi dan kebutuhannya terhadap materi pendidikan agama tersebut, misalnya untuk kehidupan masa depan siswa yang bersangkutan. Adapun motivasi ekstrinsik adalah hal dan keadaan yang datang dari luar individu siswa yang juga mendorongnya untuk melakukan kegiatan belajar. Pujian dan hadiah, peraturan/tata tertib sekolah, suri teladan orang tua, guru, dan seterusnya merupakan contohcontoh konkret motivasi ekstrinsik yang dapat menolong siswa untuk belajar. Kekurangan atau ketiadaan motivasi, baik yang bersifat internal maupun yang bersifat eksternal, akan menyebabkan kurang bersemangatnya siswa dalam melakukan proses pembelajaran materimateri pelajaran baik di sekolah maupun di rumah. Dalam perspektif kognitif, motivasi yang lebih signifikan bagi siswa adalah motivasi intrinsik karena lebih murni dan langgeng serta tidak bergantung pada dorongan atau pengaruh orang lain. Dorongan mencapai prestasi dan dorongan memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk masa depan, umpamanya, memberi pengaruh lebih kuat dan relatif lebih langgeng dibandingkan dengan dorongan hadiah atau dorongan keharusan dari orang tua dan guru.
Faktor Eksternal Seperti faktor internal siswa, faktor eksternal siswa juga terdiri atas dua macam, yakni: faktor lingkungan sosial dan faktor lingkungan nonsosial. Lingkungan Sosial Lingkungan sosial sekolah seperti para guru, para staf administrasi, dan teman teman sekelas dapat mempengaruhi semangat belajar seorang siswa. Para guru yang selalu menunjukkan sikap dan perilaku yang simpatik dan memperlihatkan suri teladan
71
yang baik dan rajin khususnya dalam hal belajar, misalnya rajin membaca dan berdiskusi, dapat menjadi daya dorong yang positif bagi kegiatan belajar siswa. Selanjutnya, yang termasuk lingkungan sosial siswa adalah masyarakat dan tetangga juga temanteman sepermainan di sekitar perkampungan siswa tersebut. Kondisi masyarakat di lingkungan kumuh yang serba kekurangan sarana keagamaan dan anak anak pengangguran, misalnya, akan sangat mempengaruhi aktivitas belajar agama siswa. Paling tidak, siswa tersebut akan menemukan kesulitan ketika memerlukan teman belajar atau berdiskusi atau meminjam alatalat belajar tertentu yang kebetulan belum dimilikinya. Lingkungan sosial yang lebih banyak mempengaruhi kegiatan belajar agama ialah orang tua dan keluarga siswa itu sendiri. Sifatsifat orang tua, praktik pengelolaan keluarga, ketegangan keluarga, dan demografi keluarga (letak rumah), semuanya dapat memberi dampak baik ataupun buruk terhadap kegiatan belajar dan hasil yang dicapai oleh siswa. Contoh: kebiasaan yang diterapkan orang tua siswa dalam mengelola keluarga (family management practices) yang keliru, seperti kelalaian orang tua dalam memonitor kegiatan keagamaan anak, dapat menimbulkan dampak lebih buruk lagi. Dalam hal ini, bukan saja anak tidak mau belajar melainkan juga ia cenderung berperilaku menyimpang, terutama perilaku menyimpang yang berat seperti antisosial (Patterson dan Loeber, 1984 dalam Muhibuddin Syah, 1999: 139). Lingkungan Nonsosial Faktorfaktor yang termasuk lingkungan nonsosial ialah gedung sekolah dan letaknya, rumah tempat tinggal keluarga siswa dan letaknya, alatalat belajar, keadaan cuaca dan waktu belajar yang digunakan siswa. Faktorfaktor ini dipandang turut menentukan tingkat keberhasilan belajar pendidikan agama siswa. Contoh: kondisi rumah yang sempit dan berantakan serta perkampungan yang terlalu padat dan tak memiliki sarana keagamaan dan umum untuk kegiatan remaja (seperti masjid/mushalla, organisasi remaja masjid, lapangan voli) akan mendorong siswa untuk berkeliaran ke tempattempat yang sebenarnya tak pantas dikunjungi. Kondisi rumah dan perkampungan seperti itu jelas berpengaruh buruk terhadap kegiatan belajar pendidikan agama siswa (Muhibuddin Syah, 1999). Khusus mengenai waktu yang disenangi untuk belajar (study time preference) seperti pagi atau sore hari, seorang ahli bernama J. Biggers (Muhibuddin Syah, 1999: 140) berpendapat bahwa belajar pada pagi hari lebih efektif daripada belajar pada
72
waktuwaktu lainnya. Namun, menurut penelitian beberapa ahli learning style (gaya belajar). Menurut Dunn et. Al. (Muhibuddin Syah, 1999:140), hasil belajar itu tidak bergantung pada waktu secara mutlak, tetapi bergantung pada pilihan waktu yang cocok dengan kesiapan siswa. Di antara siswa ada yang siap belajar pada pagi hari, ada pula yang siap pada sore hari, bahkan tengah malam. Perbedaan antara waktu dan kesiapan belajar inilah yang menimbulkan perbedaan study time preference antara seorang siswa dengan siswa lainnya. Akan tetapi, menurut hasil penelitian mengenai kinerja baca (reading performance) sekelompok mahasiswa di sebuah universitas di Australia Selatan, tidak ada perbedaan yang berarti antara hasil membaca pada pagi hari dan hasil membaca pada sore hari. Selain itu, keeratan korelasi antara study time preference dengan hasil membaca pun sulit dibuktikan. Bahkan mereka yang lebih senang belajar pada pagi hari dan ditest pada sore hari, ternyata hasilnya tetap baik. Sebaliknya, ada pula di antara mereka yang lebih suka belajar pada sore hari dan ditest pada saat yang sama, namun hasilnya tidak memuaskan (Muhibuddin Syah, 1999: 140). Dengan demikian, waktu yang digunakan siswa untuk belajar yang selama ini sering dipercaya berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa tak perlu dihiraukan. Sebab, bukan waktu yang penting dalam belajar melainkan kesiapan sistem memori siswa dalam menyerap, mengelola, dan menyimpan itemitem informasi dan pengetahuan yang dipelajari siswa tersebut.
Faktor Pendekatan Belajar Pendekatan belajar dapat dipahami sebagai segala cara atau strategi yang digunakan siswa dalam menunjang efektivitas dan efisiensi proses pembelajaran materi pendidikan agama. Menurut Lawson, (Muhibuddin Syah, 1999: 141), strategi dalam hal ini berarti seperangkat langkah operasional yang direkayasa sedemikian rupa untuk memecahkan masalah atau mencapai tujuan belajar tertentu seperti pendididikan agama. Di samping faktorfaktor internal dan eksternal siswa sebagaimana yang telah dipaparkan di muka, faktor pendekatan belajar juga berpengaruh terhadap taraf keberhasilan proses pembelajaran pendidikan agama siswa tersebut. Seorang siswa yang terbiasa mengaplikasikan pendekatan belajar deep, misalnya, mungkin sekali berpeluang untuk meraih prestasi belajar yang bermutu daripada siswa yang menggunakan pendekatan belajar surface atau reproductive.
73
Untuk memperjelas uraian mengenai faktorfaktor yang mempengaruhi belajar tersebut di atas, berikut ini penyusun sajikan dalam Tabel 2. Tabel 2. FaktorFaktor yang Mempengaruhi Belajar Internal Siswa
Ragam Faktor dan Elemennya Eksternal Siswa
1. Aspek Fisiologis : tonus jasmani, mata dan telinga 2. Aspek Psikologis : Intelegensia, sikap, minat, bakat dan motivasi
1. Lingkungan sosial : keluarga, guru, staf, teman dan masyarakat
Pendekatan Belajar Siswa
1.Pendekatan tinggi : speculative, achieving
2.Pendekatan Sedang : 2. Lingkungan non sosial: Analitical, deep Rumah, sekolah peralatan dan 3.Pendekatan Rendah : alam Reproductive dan surface
Muhaimin (2002:185) menyimpulkan bahwa ada tiga faktor yang yang memiliki interelasi dan mempengaruhi pembelajaran pendidikan agama Islam, yaitu: 1) Kondisi pembelajaran pendidikan agama Islam (PAI), 2) Metode pembelajaran PAI, dan 3) Hasil pembelajaran PAI.
Pendidikan Agama Islam Pengertian Pendidikan Agama Islam Pendidikan Agama Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, mengimani, bertakwa, dan berakhlak mulia dalam mengamalkan ajaran agama Islam dari sumber utamanya kitab suci Alquran dan Hadis, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan, serta penggunaan pengalaman. Dibarengi tuntunan untuk menghormati penganut agama lain dalam hubunganya dengan kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat hingga terwujud kesatuan dan persatuan bangsa (GBPP Pendidikan Agama Islam 2004). Mata pelajaran Pendidikan Agama Islam itu keseluruhannya terliput dalam lingkup: Alquran dan Hadis, Keimanan, Akhlak, dan Fikih/Ibadah. Sekaligus menggambarkan bahwa ruang lingkup Pendidikan Agama Islam mencakup perwujudan keserasian, keselarasan dan keseimbangan hubungan manusia dengan Allah SWT, diri
74
sendiri, sesama manusia, makhluk lainnya maupun lingkungannya (Hablun minallah wa hablun minannas). Fungsi Dan Tujuan Pendidikan Agama Islam Pendidikan Agama Islam di SMA berfungsi untuk: (a) Pengembangan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT serta akhlak mulia peserta didik seoptimal mungkin, yang telah ditanamkan lebih dahulu dalam lingkungan keluarga, (b) Penanaman nilai ajaran Islam sebagai pedoman mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, (c) Penyesuaian mental peserta didik terhadap lingkungan fisik dan sosial melalui pendidikan agama Islam, (d) Perbaikan kesalahankesalahan, kelemahan kelemahan peserta didik dalam keyakinan, pengamalan ajaran agama Islam dalam kehidupan seharihari, (e) Pencegahan peserta didik dari halhal negatif budaya asing yang akan di hadapinya seharihari, (f) Pengajaran tentang ilmu pengetahuan keagamaan secara umum (alam nyata dan tidak nyata), sistem dan fungsionalnya; dan (g) Penyaluran siswa untuk mendalami pendidikan agama ke lembaga pendidikan yang lebih tinggi.
Pendidikan Agama Islam di SMA bertujuan untuk menumbuhkan dan meningkatkan keimanan, melalui pemberian dan pemupukan pengetahuan, penghayatan, pengamalan serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam. Sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang dalam hal keimanan, ketakwaannya kepada Allah SWT serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta untuk dapat melanjutkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Kompetensi Pendidikan Agama Islam
Kompetensi Rumpun Siswa beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; berakhlaq mulia/berbudi pekerti luhur yang tercermin dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran agamanya; serta mampu menghormati agama lain dalam kerangka kerukunan antar umat beragama.
Kompetensi spesifik
75
Dengan landasan Alquran dan Sunah Nabi SAW; siswa beriman dan bertakwa kepada Allah SWT; berakhlak mulia/berbudi pekerti luhur yang tercermin dalam perilaku seharihari dalam hubungannya dengan Allah, sesama manusia, dan alam sekitar; mampu membaca dan memahami Alquran; mampu beribadah dan bermuamalah dengan baik dan benar; serta mampu menjaga kerukunan intern dan antar umat beragama.
Kompetensi Pendidikan Agama Islam Sekolah Menengah Atas (a) Mampu membaca dengan mengetahui hukum bacaannya, menulis, dan memahami ayat Alquran serta mampu mengimplementasikan dalam kehidupan seharihari, (b) Beriman kepada Allah SWT, malaikat, kitabkitab, rasul, hari kiamat, dan qadha qadar; dengan mengetahui fungsi dan hikmahnya serta terefleksi dalam sikap, perilaku, dan akhlak peserta didik pada dimensi kehidupan seharihari, (c) Terbiasa berperilaku dengan sifatsifat terpuji, menghindari sifatsifat tercela, dan bertatakrama dalam kehidupan seharihari, (d) Memahami sumber hukum dan ketentuan hukum Islam tentang ibadah, muamalah, mawaris, munakahat, jenazah, dan mampu mengamalkannya dalam kehidupan seharihari, (e) Memahami dan mampu mengambil manfaat dan hikmah perkembangan Islam fase Umayyah, Abbasiyah, abad pertengahan, abad pembaharuan, dan perkembangan Islam di Indonesia dan dunia serta mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari hari. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 Pasal 2 ayat (3), ditetapkan bahwa kewenangan Pemerintah Pusat di bidang pendidikan dan kebudayaan, di antaranya adalah: (1) Penetapan stdanar kemampuan siswa dan warga belajar serta pengaturan kurikulum nasional dan penilaian hasil belajar secara nasional serta pedoman pelaksanaannya; (2) Penetapan materi stdanar pelajaran pokok. Berdasarkan ketentuan tersebut standar nasional kemampuan dasar pendidikan agama Islam SMA diorganisasikan dengan komponen pokok: (1) Kompetensi Dasar, (2) Materi Pokok, dan (3) Indikator.
76
Kemampuan Dasar Kompetensi Dasar berisi sekumpulan kemampuan minimal yang harus dikuasai siswa selama menempuh pendidikan di SMA. Kompetensi ini berorientasi pada perilaku afektif dan psikomotorik dengan dukungan pengetahuan kognitif dalam rangka memperkuat keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan ajaran Islam. Kemampuankemampuan yang tercantum dalam komponen Kemampuan Dasar ini merupakan penjabaran dari kemampuan dasar umum yang harus dicapai di SMU, yaitu: (a) Beriman kepada Allah SWT dan lima rukun iman yang lain dengan mengetahui fungsi dan hikmahnya serta terefleksi dalam sikap dan akhlak peserta didik dalam dimensi vertikal maupun horizontal, (b) Dapat membaca, menulis, dan memahami ayatayat Alquran serta mengetahui hukum bacaannya dan mampu mengimplementasikan dalam kehidupan seharihari, (c) Mampu beribadah dengan baik sesuai dengan tuntunan syari’at Islam baik ibadah wajib maupun ibadah sunah, (d) Dapat meneladani sifat, sikap, dan kepribadian Rasulullah, sahabat, dan tabi’in serta mampu mengambil hikmah dari sejarah perkembangan Islam untuk kepentingan hidup seharihari masa kini dan masa depan, (e) Mampu mengamalkan sistem mu’amalat Islam dalam tata kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Seperti tergambar dalam kemampuan dasar umum di atas, kemampuan dasar tiap kelas yang tercantum dalam Stdanar Nasional juga dikelompokkan ke dalam lima unsur pokok mata pelajaran Pendidikan Agama Islam SMA, yaitu: (1) Alquran, (2) Keimanan, (3) Akhlak, (4) Fikih/Ibadah, dan (5) Tarikh. Berdasarkan pengelompokan per unsur, kemampuan dasar mata pelajaran Pendidikan Agama Islam SMU adalah sebagai berikut: Alquran : (1) Membaca Alquran dengan fasih (tadarrus) (Dilaksanakan pada setiap awal jam pelajaran Pendidikan Agama selama 510 menit)
77
(2) Membaca dan faham ayatayat tentang manusia dan tugasnya sebagai makhluk serta mampu menerapkannya dalam perilaku seharihari (3) Membaca dan faham ayatayat tentang prinsipprinsip beribadah serta mampu menerapkannya dalam perilaku seharihari (4) Membaca dan faham ayatayat tentang demokrasi serta mampu menerapkannya dalam perilaku seharihari (5) Membaca dan memahami ayatayat tentang kompetisi serta mampu menerap kannya dalam perilaku seharihari (6) Membaca dan memahami ayatayat tentang perintah menyantuni kaum lemah serta mampu menerapkannya dalam perilaku seharihari (7) Membaca dan memahami ayatayat tentang perintah menjaga kelestarian lingkungan hidup serta mampu menerapkannya dalam perilaku seharihari (8) Membaca dan memahami ayatayat tentang anjuran bertoleransi serta mampu menerapkannya dalam perilaku seharihari (9) Membaca dan memahami ayatayat tentang etos kerja serta mampu menerapkannya dalam perilaku seharihari (10)
Membaca dan memahami ayatayat yang berisi dorongan untuk
mengembangkan IPTEK serta mampu menerapkannya dalam perilaku sehari hari Keimanan (1) Beriman kepada Allah dan menghayati sifatsifatNya (2) Beriman kepada malaikat dan memahami fungsinya serta mampu menerapkan dalam perilaku seharihari (3) Beriman kepada rasulrasul Allah dan memahami fungsinya serta mampu menerapkan dalam perilaku seharihari (4) Beriman kepada kitabkitab Allah dan memahami fungsinya serta mampu menerapkan dalam perilaku seharihari (5) Beriman kepada hari akhir dan memahami fungsinya serta mampu menerapkan dalam perilaku seharihari (6) Beriman kepada qadha dan qadar dan memahami fungsinya serta mampu menerapkan dalam perilaku seharihari
Akhlak
78
(1) Terbiasa dengan perilaku dengan sifatsifat terpuji (2) Terbiasa menghindari sifatsifat tercela (3) Terbiasa bertata krama
Fikih Ibadah (1) Memahami sumbersumber hukum Islam dan pembagiannya (2) Memahami hikmah shalat dan mampu menerapkannya dalam perilaku seharihari (3) Memahami hikmah puasa dan mampu menerapkannya dalam perilaku seharihari (4) Memahami hukum Islam tentang zakat secara lebih mendalam dan hikmahnya serta mampu menerapkannya dalam perilaku seharihari (5) Memahami hikmah haji dan umrah serta mampu menerapkannya dalam kehidupan seharihari (6) Memahami hukum Islam tentang wakaf dan hikmahnya serta mampu menerapkannya dalam kehidupan seharihari (7) Memahami hukum Islam tentang jual beli dan mampu menerapkannya dalam kehidupan seharihari (8) Memahami hukum Islam tentang riba dan mampu menghindarinya dalam kehidupan seharihari (9) Memahami hukum Islam tentang kerja sama ekonomi dan mampu menerapkannya dalam kehidupan seharihari (10) Memahami ketentuan hukum penyelenggaraan jenazah dan mampu mempraktikkannya (11) Memahami hukum Islam tentang jinayat dan hudud dan mampu menghindari kejahatan dalam kehidupan seharihari (12) Memahami ketentuan tentang khutbah dan dakwah serta mampu mempraktikkannya (13) Memahami hukum Islam tentang mawaris dan hikmahnya serta mampu menerapkannya dalam kehidupan seharihari (14) Memahami hukum Islam tentang pernikahan dan hikmahnya serta mampu menerapkannya dalam kehidupan seharihari
Tarikh
79
(1) Memahami perkembangan Islam pada masa Umayyah dan mampu menerapkan manfaatnya dalam perilaku seharihari (2) Memahami perkembangan Islam pada masa Abbasiyyah dan mampu menerapkan manfaatnya dalam perilaku seharihari (3) Memahami perkembangan Islam pada abad pertengahan dan mampu menerapkan manfaatnya dalam perilaku seharihari (4) Memahami perkembangan Islam pada masa pembaharuan dan mampu menerapkan manfaatnya dalam perilaku seharihari (5) Memahami perkembangan Islam di Indonesia dan mampu menerapkan manfaatnya dalam perilaku seharihari (6) Memahami perkembangan Islam di dunia dan mampu menerapkan manfaatnya dalam perilaku seharihari.
Materi Dan Indikator Pendidikan Agama Materi Materi pokok merupakan bagian dari struktur keilmuan suatu bahan kajian yang dapat berupa bidang ajar, gugus isi, proses, keterampilan, dan/atau pengertian konseptual, yang harus dimiliki dan dikembangkan pada diri siswa. Materi pokok ini berfungsi sebagai batasan keluasan dan kedalaman bahan ajar yang disampaikan kepada siswa.
Indikator Indikator adalah kompetensi spesifik dan rinci yang diharapkan dapat dikuasai siswa dan merupakan penjabaran dari kompetensi dasar. Indikator merupakan target pencapaian pembelajaran dan sekaligus menjadi ukuran keberhasilan proses pembelajaran untuk mencapai kompetensi dasar. Rumusan kompetensi dalam indikator berupa kompetensi operasional, sehingga tingkat ketercapaiannya dapat diukur. Misalnya : “Siswa dapat melaksanakan wudhu”. Pada dasarnya kompetensi dasar dianggap telah dikuasai siswa, jika spesifikasi kompetensi yang menjadi indikator telah dikuasai. Namun pada kompetensi dasar tertentu, ketercapaian kompetensi yang ada dalam indikator saja belum memadai untuk menjadi petunjuk ketercapaian kompetensi dasar karena pada kompetensi dasar tersebut titik berat kompetensi yang hendak dicapai tidak mungkin dirinci menjadi bentuk
80
perilaku operasional. Misalnya adalah kompetensi dasar beriman. Dalam hal ini, indikator hanya dimaksudkan untuk menunjukkan ketercapaian aspekaspek perilaku lahiriah dari keimanan yang menjadi kompetensi dasar.
Pendekatan Pendekatan Terpadu dalam Pendidikan Agama Islam meliputi: (a) Keimanan, memberikan peluang kepada peserta didik untuk mengembangkan pemahaman adanya Tuhan sebagai sumber kehidupan makhluk sejagat ini; (b) Pengamalan, memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mempraktikkan dan merasakan hasilhasil pengamalan ibadah dan akhlak dalam menghadapi tugastugas dan masalah dalam kehidupan; (c) Pembiasaan, memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk membiasakan sikap dan perilaku baik yang sesuai dengan ajaran Islam dan budaya bangsa dalam menghadapi masalah kehidupan; (d) Rasional, usaha memberikan peranan pada rasio (akal) peserta didik dalam memahami dan membedakan berbagai bahan ajar dalam materi pokok serta kaitannya dengan perilaku yang baik dengan perilaku yang buruk dalam kehidupan duniawi; (e) Emosional, upaya menggugah perasaan (emosi) peserta didik dalam menghayati perilaku yang sesuai dengan ajaran agama dan budaya bangsa; (f) Fungsional, menyajikan bentuk semua materi pokok (Alquran, Keimanan, Ibadah/Fikih, Akhlak), dari segi manfaatnya bagi peserta didik dalam kehidupan seharihari dalam arti luas; dan (g) Keteladanan, yaitu menjadikan figur guru agama dan non–agama serta petugas sekolah lainnya maupun orang tua peserta didik, sebagai cermin manusia berkepribadian agama.
Pengorganisasian Materi Pengorganisasian Materi pada hakikatnya adalah kegiatan menyiasati proses pembelajaran dengan perancangan/rekayasa terhadap unsurunsur instrumental melalui upaya pengorganisasian yang rasional dan menyeluruh. Kronologis pengorganisasian materi pembelajaran itu mencakup tiga tahap kegiatan, yaitu perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian. Perencanaan terdiri dari perencanaan per satuan waktu dan perencanaan per satuan bahan ajar. Perencanaan per satuan waktu terdiri dari program tahunan dan program semester/catur wulan. Perencanaan per satuan bahan ajar dibuat berdasarkan satu kebulatan bahan ajar yang dapat disampaikan dalam satu atau beberapa kali pertemuan. Pelaksanaan terdiri dari langkahlangkah pembelajaran di dalam atau di luar
81
kelas, mulai dari pendahuluan, penyajian, dan penutup. Penilaian merupakan proses yang dilakukan terus menerus sejak perencanaan, pelaksanaan, dan setelah pelaksanaan pembelajaran per pertemuan, satuan bahan ajar, maupun satuan waktu. Dalam proses perancangan dan pelaksanaan pembelajaran hendaknya diikuti langkahlangkah strategis sesuai dengan prinsip didaktik, antara lain: (1) Dari mudah ke sulit; (2) Dari sederhana ke kompleks; (3) Dari kongkrit ke abstrak.
RambuRambu (1) Membaca Alquran Membaca Alquran di awal setiap pelajaran selama 5 sampai 10 menit dengan tujuan untuk mengoptimalkan ketercapaian kemampun membaca/menghafal Alquran secara baik dan benar. (2) Nilainilai Setiap materi yang diajarkan kepada peserta didik mengdanung nilainilai yang terkait dengan perilaku kehidupan seharihari, misalnya mengajarkan materi ibadah yaitu “Wudhu”, selain keharusan menyampaikan air pada semua anggota wudhu di dalamnya juga terkdanung nilainilai bersih. Nilainilai inilah yang harus ditanamkan kepada peserta didik dalam pendidikan agama (afektif). (3) Aspek Sikap Untuk unsur pokok akhlak misalnya, selain dikaji masalah yang bersangkutan dengan aspek pengetahuan, aspek fungsionalnya diutamakan pada aspek sikap, sehingga kelak siswa mampu bersikap sebagai seorang muslim yang berakhlak mulia. Dan untuk mencapai tujuan tersebut unsur akhlak juga didukung oleh ceritacerita Rasul yang berkaitan dengan sifatsifat keteladanannya (uswatun hasanah). (4) Ekstrakurikuler Kegiatan ekstrakurikuler Pendidikan Agama Islam dapat mendukung kegiatan intrakurikuler, misalnya melalui kegiatan pesantren kilat, imtak Ramadhan, peringatan harihari besar Islam, bakti sosial, shalat Jum’at, tahun baru Islam, lomba baca tulis Alquran (BTA), dan lainlain. (5) Keterpaduan.
82
Pola pembinaan Pendidikan Agama Islam dikembangkan dengan menekankan keterpaduan antara tiga lingkungan pendidikan yaitu lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Untuk itu, guru Pendidikan Agama Islam (GPAI) perlu mendorong dan memantau kegiatan pendidikan agama Islam yang dialamai oleh siswanya di dua lingkungan lainnya (keluarga dan masyarakat), sehingga terwujud keselarasan dan kesesuaian sikap serta perilaku dalam pembinaannya (Disarikan dari Kurikulum KBK Pendidikan Agama Islam, 2004)
Penyuluhan Agama pada Remaja
Dengan memperhatikan batasan pengertian penyuluhan pertanian, maka penulis mengadopsi batasan penyuluhan agama sesuai dengan content atau isi sebagai berikut: (1) Penyuluhan agama sebagai proses penyebarluasan informasi yang berkaitan dengan ajaran agama dengan memperbaiki caracara beragama (pengetahuan, berkeyakinan, beribadah, bermu’amalah dan berakhlak) agar memiliki kemampuan untuk melaksanakan ajaran agama dan meningkatkan kualitas dirinya, keluarga dan masyarakat sebagai hamba Allah dan khalifahNya. (2) Penyuluhan agama sebagai prosses penerangan, yaitu proses untuk memberikan penerangan kepada masyarakat tentang segala sesuatu yang belum diketahuinya tentang ajaran agama untuk dilaksanakan atau diterapkan dalam kehidupan seharihari supaya meningkat kualitas diri dan keluarga mereka sebagai hamba Allah dan khalifahNya. (3) Penyuluhan agama sebagai proses perubahan perilaku (pengetahua, sikap dan keterampilan/psikomotor) di kalangan masyarakat agar mereka tahu, mau dan mampu/bisa melaksanakan perubahanperubahan dalam kehidupan beragamanya demi tercapainya peningkatan kualitas hidup pribadi, keluarga dan masyarakat ke arah yang lebih baik sesuai dengan ajaran Islam. Tahu berarti benarbenar memahami dengan pikirannya segala ilmu yang berhubungan dengan ajaran agama yang harus ia lakukan; Mau berarti dengan sukarela dan kemauan sendiri untuk mencari, menerima, memahami, menghayati dan menerapkan/ melaksanakan segala informasi yang diperlukan untuk peningkatan kualitas beragamanya; Mampu dalam arti terampil untuk melakukan/mempraktikkan ajaran agama dalam kehidupan seharihari secara baik/sempurna.
83
(4) Penyuluhan agama sebagai proses pendidikan, sebagai suatu sistem pendidikan bagi masyarakat untuk membuat mereka tahu, mau dan mampu mengamalkan ajaran agama dalam rangka meningkatkan kualitas pribadi, keluarga dan masyarakat yang Islami. Sebagai proses pendidikan masyarakat, penyuluhan agama dapat dilakukan di mana saja, terencana/terprogram, tidak terikat waktu, disesuaikan dengan kebutuhan sasaran, pendidik dapat berasal dari anggota peserta, metode literal (saling mengisi), tidak mementingkan target materi tapi proses belajar/dialog; sasarannya semua masyarakat. (5) Penyuluhan agama sebagai rekayasa sosial untuk terciptanya perubahan perilaku dari anggotaanggota masyarakat seperti yang dikehendaki oleh Islam demi perbaikan kualitas sebagai hamba Allah dan khalifahNya. Falsafah Penyuluhan agama (mengadopsi Ensminger (1962): Proses pendidikan (perubahan periaku); Sasaran penyuluhan segenap warga masyarakat; Tujuan penyuluhan membantu masyarakat agar ia mampu membantu dirinya sendiri; Belajar sambil melakukan/mengamalkan; Pengembangan potensi individu; Suatu bentuk kerjasama untuk meningkatkan kualitas kehidupan; Diselaraskan dengan budaya masyarakat/kontekstual; Demokratis; Kegiatan dialogis dan Proses pendidikan yang berkelanjutan. Prinsipprinsip penyuluhan agama agar efektif (Dahama dan Bhatnagar, 1980): (1) Mengacu kepada minat dan kebutuhan masyarakat; (2) Melibatkan masyarakat bawah; (3) Memperhatikan keragaman budaya; (4) Mempertimbangkan akibat perubahan terhadap budaya; (5) Kerjasama dan partisipasi; (6) Demokratis dalam penerapan ilmu; (7) Belajar sambil mengamalkan/menerapkan (8) Penggunaan metode yang sesuai/relevan; (9) Kepemimpinan mempengaruhi sasaran; (10) Spesialis yang terlatih (punya ilmu agama yang memadai); (11) Segenap anggota keluarga/masyarakat; (12) Kepuasan sasaran. Kekuatankekuatan yang mempengaruhi penyuluhan agama:
84
(1) Keadaan pribadi sasaran; kebutuhan, keinginan, harapan, perasaan tentang tekanan dan dorongan yang tidak selalu sama. (2) Keadaan lingkugan fisik: sifatsifat alami, teknologi dan geografis. (3) Keadaan lingkungan sosial dan budaya: lembaga sosial, ekonomi, pendidikan, politik. (4) Lingkungan kelembagaan: kebijakan tentang pendidikan agama Peran penyuluh (Kurt Levin, 1943): pencarian diri dengan masyarakat; menggerakan masyarakat untuk melakukan perubahan; pemantapan hubungan dengan masyarakat sasaran. Bagi Lippitt 1956: Pengembangan kebutuhan untuk melakukan perubahan, menggerakkan masyarakat untuk melakukan perubahan; memantapkan hubungan dengan masyarakat sasaran. Bagi Mosher 1968 peran penyuluh, sebagai guru, penganalisa, penasehat dan organisator. Kemampuan yang harus dimiliki oleh penyuluh : (1) Kemampuan bermunikasi yang baik konvergensi: realitas fisik, psikologi dan sosial. (2) Sikap bangga dengan profesinya, mencintai sasaran, meyakini inovasi (3) Kemampuan pengetahuan; (4) Kemampuan sosial budaya; (5) Kepribadian: jujur, dinamis, mudah bergaul, dapat bekerjasama. Kunci keberhasilan penyuluh: (1) Mau dan mampu menjalin hubungan dengan berbagai pihak; (2) Perantara berbagai sumber inovasi; (3) Menyesuaikan kegiatan penyuluhan dengan kebutuhan sasaran Hastabrata Penyuluhan: 1). mencintai pekerjaan dan masyarakat; 2). berperilaku luhur; 3). selalu menambah ilmu/belajar; 4). menjalin hubungan dengan masyarakat; 5). menunjukkan hasil apa yang telah ia lakukan; 6). tidak dengan paksaan menunjukan hasil; 7). sasaran segenap masyarakat; 8). penyuluhann bukan satusatunya upaya perbaikan. Prinsipprinsip
belajar
dalam
penyuluhan:
prinsip
latihan,
menghubungkan, prinsip akibat, dan prinsip kesiapan. Ciriciri remaja sebagai sasaran penyuluhan agama: (1) Fisik: Kematangan seksual dan tanda yang jelas dari maskulinitas dan feminimitas;
prinsip
85
(2) Intelektual: berpikir abstrak, menguji hipotesis secara nalar ilmiah, memikirkan tentang masa depan, berpikir operasi kritis dan argumentatif; (3) Emosional: agresif dan lari dari kenyataan. Pengaruh besar dari orang tua dan teman sebaya; (4) Psikososial: memahami orang lain, conformity terhadap hal negatif juga positif. (5) Perkembangan moral: berperilaku sesuai dengan tuntutan dan norma kelompok, loyal terhadap norma yang berlaku dan diyakininya. (6) Perkembangan kepribadian: perkembangan identitas diri: realistik, pilihan orang tua, bingung tentang identitas, penundaan. (7) Perkembangan agama: kegoncangan keyakinan, labil, skeptis akibatnya malas dan enggan beribadah, keinginan untuk bebas, mulai melibatkan diri dalam kegaiatankegiatan keagamaan, perkembangan sangat dipengaruhi oleh keluarga, teman sebaya dan masyarakat sosialbudaya (nilainilai yang diacu masyarakat). Penyesuai sosial yang diharapkan dari Remaja: (1) Lingkungan Keluarga: (a) menjalin hubungan baik dengan orang tua, (b) menerima otoritas orang tua, (c) menerima tanggung jawab dan batasanbatasan norma dalam keluarga, d. berusaha membatu anggota keluarga. (2) Lingkungan sekolah: (a) respek dan menerima aturan sekolah, (b) berpartisipasi dalam kegitankegiatan sekolah, (c) menjalin persahabatan dengan teman sekolah, (d) bersikap hormat pada pihak sekolah, (e) membantu sekolah dalam merealisasikan tujuantujuanya. (3) Lingkungan masyarakat: (a) mengakui dan respek terhadap hakhak masyarakat, (b) memelihara hubungan dengan orang lain, (c) berempati dan altruis terhadap kesejahteraan orang lain, (d) respek terhadap nilainilai, hukum, tradisi, dan kebajikankebajikan di masyarakat. Salah satu tugas dari penyuluhan agama adalah membantu remaja dalam tugas perkembangan yang meliputi (Havighurst, 1958): (1) Mencapai relasi baru dengan teman sebaya dan lawan jenis. (2) Mencapai maskulinits dan feminimitas dari peran sosial. (3) Menerima perubahan fisik dan menggunakan secara efektif. (4) Mencapai ketidaktergantungan emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya. (5) Menyiapkan perkawinan dan kehidupan keluarga.
86
(6) Menyiapkan diri berkarir secara ekonomi. (7) Menemukan pilihan dari nilainilai dan sistem moral/etika dalam berperilaku. (8) Mencapai tingkah laku sosial sesuai dengan yang diharapkan. Implikasi tugas perkembangan masa remaja terhadap penyuluhan adalah: (1) Mempelajari peran jenis kelamin secara tepat (2) Independensi secara emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnnya (3) Mengembangkan kesadaran tatanan nilai (4) Dapat bergaul dengan teman sebaya (5) Mengembangkan keterampilan intelektual Tiga model relasi remaja dengan keluarga, guru atau orang dewasa lainnya dan teman sebaya, yang dapat dipertimbangkan dalam melaksanakan penyuluhan agama pada remaja: (1) Model Psikoanalisa (Freud, Blos, Youniss dan Smollar): konflik, kebebasan dan otonomi, konflik dengan orang tua untuk otonomi, dan relasi dengan teman sebaya merupakan tempat yang aman untuk perkembangan otonomi. Remaja mulai menjauh dari orang tua, dan menempatkan teman sebaya sebagai subjek penting dan orang tua sebagai objek. (2) Model Sosialisasi (Brittan, Kahn dan Magnord): teman sebaya sebagai saingan bagi orang tua: orang tua sebagai pengawas dan pemberi kritik terhadap anak agar terjadi keseimbangan dalam norma sosial, karena itu remaja harus mampu menyesuaikan diri dari dua kutub orang tua dan teman sebaya. Sebab nilainilai yang berkembang dalam kelompok sebaya sebagai perlawanan terhadap nilai nilai yang sudah ditanamkan oleh orang tua. Kalau orang tua tidak memonitor atau mengendalikan kegiatan remajanya, maka remaja akan mengikuti budaya teman sebaya. Karena anak banyak beradu argumen dengan teman sebaya. Maka juga demikian dengan orang tuanya. (3) Model kognitif (Piaget, Cooper & Aayers – Lopez): relasi dengan kelompok teman sebaya saling melengkapi dengan orang tua, bukan sebagai pesaing, dan akan mengoptimalkan perkembangan anak karena dapat menerima orang lain melalui sifat baik dari orang tua, anak akan lebih mampu mengintegrasikan perspektifnya. Relasi kontinuitas yang satu dengan yang lain saling mempengaruhi.
87
Memperhatikan permasalahan yang berkaitan dengan penyuluhan agama di atas dan meyakini bahwa pendidikan agama juga bagian dari proses peyuluhan, maka keberhasilan penyuluhan/pendidikan agama di keluarga, sekolah dan masyarakat haruslah memperhatikan falsafah, prinsip, dan persoalan lain yang mendukung keberhasilan penyuluhan. Memperhatikan karakteristik remaja sebagai sasaran peyuluhan serta tugas perkembangan yang mesti dilakukan terhadap remaja agar agama menjadi fungsional dan membudaya dalam kehidupan remaja adalah suatu keniscayaan untuk keberhasilan pendidikan dan penyuluhan agama remaja. Untuk itu, orang tua, guru (pihak sekolah) dan tokoh agama atau mayarakat sudah seharusnya memperhatikan falsafah, prinsip, karakteristik dan tugas perkembangan remaja dalam menyajikan ajaran agama kepada remaja.