2. TINJAUAN PUSTAKA Bab ini akan menguraikan ilmu yang melandasi penelitian. Diawali dengan teori mengenai perilaku, Theory of Reasoned Action, Theory of Planned Behavior, metoda, instrumen penelitian serta analsis data statistik yang akan digunakan.
2.1.
Perilaku Konsumen
Asosiasi pemasaran di Amerika mendefinisikan Perilaku Konsumen sebagai interaksi dinamis antara pengaruh dan kognisi, perilaku, dan kejadian dimana manusia melakukan aspek pertukaran hidup mereka. Sesuai dengan hal tersebut, maka tiga hal penting yang dapat ditarik adalah (1) perilaku konsumen adalah dinamis, (2) hal tersebut melibatkan interaksi antara pengaruh dan kognisi, perilaku dan kejadian sekitar, dan (3) hal tersebut melibatkan pertukaran (Peter & Olson, 1996). Istilah perilaku erat hubungannya dengan permasalahn manusia dan konsep perilaku konsumen secara terus menerus dikembangkan dengan berbagai pendekatan. Perilaku konsumen adalah tindakan yang langsung terlibat dalam mendapatkan, mengkonsumsi, dan menghabiskan produk atau jasa, termasuk keputusan yang mendahului dan menyusul tindakan ini (Setiadi, 2003).
Kotler (2000) menyatakan bahwa titik tolak untuk memahami perilaku pembeli (konsumen) adalah model rangsangan-tanggapan yang diperlihatkan dalam gambar 2.1. Dari model ini, Kotler menyatakan bahwa perilaku pembelian konsumen dipengaruhi oleh faktor-faktor budaya, sosial, pribadi dan psiologis. Faktor-faktor budaya memiliki pengaruh yang paling luas dan paling dalam. Faktor budaya merupakan penentu keinginan dan perilaku yang paling mendasar. Masing-masing budaya terdiri dari sub budaya yang lebih kecil yang lebih banyak memberikan ciri-ciri dan sosialisasi khusus bagi anggota-anggotanya. Sub Budaya terdiri dari kebangsaan, agama, kelompok ras dan daerah geografis. Dalam faktor budaya juga
16
termasuk kelas sosial, karena pada dasarnya semua masyarakat memiliki strata sosial, dan strata sosial ini lebih sering ditemukan dalam kelas sosial dimana perbedaan kelas sosial akan menunjukan preferensi produk dan merek yang berbeda dalam banyak hal. Gambar 2.1 Model Perilaku Konsumen – Kotler
Sumber: Kotler, 2000
Selain faktor budaya, perilaku konsumen dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial seperti acuan, keluarga, serta peran dan status sosial. Keputusan pembelian konsumen juga diengaruhi oleh karateristik pribadi. Karakteristik ini meliputi usia dan tahap siklus hidup, pekerjaan dan keadaan ekonomi, gaya hidup serta kepribadian dan konsep diri pembeli. Selain ketiga faktor yang telah disebutkan sebelumnya, terdapat faktor lain yaitu faktor psikologis yang terdiri dari empat hal yaitu motivasi, persepsi, pembelajaran serta keyakinan dan pembelian. Dalam salah satu penelitian mengenai periklanan dengan pendekatan gaya hidup, Lekakos (2004) menyatakan bahwa model perilaku konsumen yang banyak digunakan dalam penelitian perilaku adalah model yang berasal dari Hawkins. Model ini menambahkan satu proses yaitu penerjemahan pengaruh internal dan eksternal konsumen menjadi konsep diri dan gaya hidup sebelum akhirnya mempengaruhi keputusan pembelian konsumen.
Selain dua model yang telah disebutkan, Peter dan Olson memberikan tiga elemen utama dalam analisis konsumen, yang pertama adalah afeksi dan kognisi, kedua
17
adalah perilaku dan ketiga adalah lingkungan. Hubungan antara elemen-elemen ini adalah suatu interaksi yang berkesinambungan yang disebut reciprocal determinism (penetapan timbal balik).
2.2.
The Theory of Reasoned Action
The Theory of Reasoned Action telah umum dibahas dalam buku-buku perilaku konsumen, diantaranya adalah Peter dan Olson (1996) serta Kanuk dan Schifman (2004) untuk menjelaskan sikap dan perilaku. Teori ini disusun sejak tahun 1971 dan dibukukan oleh Ajzen dan Fishbein tahun 1980 dengan tujuan untuk menyempurnakan dan menjelaskan dimensi yang tidak dapat dijelaskan oleh teori sebelumnya yaitu teori expectancy value model yang disusun oleh Fishbein pada awal
tahun
1967
sampai
dengan
awal
tahun
1970
(www.tcw.utwente.nl/theorieenoverzicht). Dalam teori expectancy value model, perilaku merupakan fungsi dari harapan yang dimiliki seseorang dan nilai dari tujuan yang ingin dicapai oleh seseorang. Teori ini menyatakan bahwa manusia adalah
mahluk
yang
berorientasi
kepada
hasil
(www.tcw.utwente.nl/
theorieenoverzicht), behavior ditentukan oleh intensi dan intensi ditentukan oleh attitude yang dipengaruhi oleh expectancy dan evaluation.
Teori EVM kemudian diperbaiki oleh TRA yang menyatakan bahwa selain ditentukan oleh attitude, intensi seseorang juga dipengaruhi oleh subjective norm, yaitu pendapat orang-orang yang berarti disekelilingnya. Meskipun komponen yang berada di dalam TRA serupa dengan komponen dalam tricomponent attitude model (TAM) yang menghubungkan komponen cognitive, affective dan conative, namun penyusunan hubungannya berbeda (Kanuk, Schifman, 2004). Model TRA dapat dilihat dalam gambar 2.4. Dalam model ini, intensi tidak hanya diukur dengan attitude, namun juga dipahami dengan jalan mengukur subjective norm yang terdiri dari dua hal, yaitu normative beliefs atau pendapat orang lain yang
18
berada disekitarnya dan motivation to comply atau kepatuhan seseorang terhadap orang lain. Gambar 2.2 Theory of Reasoned Action
Sumber: Kanuk & Shiffman, 2004
.
2.3.
The Theory of Planned Behavior
The Theory of Planned Behavior (TPB) dikembangkan oleh Icak Ajzen pada tahun 1991, dan sampai saat ini dipakai luas oleh para peneliti diberbagai negara di dunia untuk meneliti perilaku konsumen pada populasi tertentu. Teori ini merupakan pengembangan dari Theory of Reasoned Action (TRA) yang ditujukan untuk menjelaskan dan mengukur perilaku dengan lebih baik. Seperti dalam teori sebelumnya, pengaruh dominan terhadap perilaku masih dimiliki oleh intensi.
19
Menurut TPB, behavior (perilaku) dipengaruhi oleh intensi dan perceived behavior control. Intensi diasumsikan meliputi faktor-faktor motivasional yang mempengaruhi behavior. Faktor-faktor ini seperti seberapa kuatnya seseorang bersedia untuk berusaha agar dapat melakukan suatu tindakan. Namun perilaku tidak hanya dipengaruhi oleh motivasi, perilaku juga dipengaruhi oleh faktorfaktor non motivasional seperti misalnya faktor waktu, keahlian, uang dan dukungan dari pihak lain. Faktor-faktor nonmotivasional ini disebut sebagai actual control of the behavior (Ajzen, 2006). Jika dikaitkan dengan model yang diusung peneliti lain, maka faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku ini umum disebut sebagai faktor dari internal individu dan external individu (Engel, et.al, 1992; Peter & Olson,1996; Hawkins, 2004 ).
Ide dipengaruhinya perilaku oleh motivasi (intensi) dan kemampuan pengendalian (control) sudah ada sejak dasawarsa 40-an pada beragam teori seperti pada animal learning (Hull, 1943), level of aspiration (Levin et. al. 1944 dalam Hawkins, 2004), performance on psychomotor and cognitive task (e.g., Pleishman 1958; Locke, 1965; Vroom, 1964 dalam Hawkins, 2004)) dan person perception and attribution (e.g Heider, 1944; Anderson 1974, dalam Hawkins 2004). Konsep behavioral control juga disarankan untuk dimasukan pada model perilaku manusia seperti pada konsep “facilitating factors” (Triandis, 1977 dalam Hawkins, 2004)), “the context of opportunity” (Sarver, 1983 dalam Hawkins, 2004), atau dalam “action control” (Kulul, 1985, dalam Hawkins, 2004). Saran tersebut diajukan dengan asumsi bahwa motivasi dan kemampuan berinteraksi dan mempengaruhi perilaku. Intensis diharapkan mempengaruhi perilaku sesuai dengan derajat pengendalian yang dimiliki seseorang. Performance perilaku seseorang diharapkan meningkat sesuai dengan besarnya motivasi seseorang untuk mencoba melakukan sesuatu. Model TPB dapat dilihat dalam gambar 2.3.
20
Gambar 2.3 The Theory of Planed Behavior
Sumber: Ajzen, 2006
Menurut teori ini, terdapat tiga hal yang akan mempengaruhi niat atau intensi konsumen yaitu (1) behavioral beliefs yaitu keyakinan tentang kemungkinan akibat dari suatu perilaku (b) dan evaluasi dari akibat perilaku tersebut (e), (2) normative beliefs, yaitu keyakinan tentang harapan normatif orang lain (n) dan motivasi untuk mencapai harapan tersebut (m) dan (3) control beliefs, yaitu keyakinan tentang sebesar apa seseorang mampu melakukan sesuatu (c) dan sepercaya diri apakah seseorang merasa mampu atau tidak mampu untuk melakukan suatu perilaku (p). Behavioral beliefs menghasilkan attitude towards the behavior (sikap positif atau negatif terhadap perilaku), normative beliefs menghasilkan subjective norms (norma subjektif) dan control beliefs menghasilkan perceived behavioral control (pengendalian prilaku). Kombinasi sikap, norma subjektif dan pengendalian perilaku akan mempengaruhi behavioral intension.
21
Berikut adalah gambaran persamaan dari beberapa setiap variabel yang terdapat dalam TPB:
Attitude toward behavior (AB) dapat digambarkan dengan persamaan: AB =
∑b e
i i
............................................................................................(1)
Dimana: AB
-
Attitude toward behavior, sikap terhadap suatu perilaku
bi
-
Behavioral beliefs, keyakinan terhadap perilaku tertentu
ei
-
Outcome evaluation, evaluasi mengenai perilaku tertentu
Subjective norm (SN) dapat digambarkan dengan persamaan: SN =
∑ n m ...........................................................................................(2) i
i
Dimana: SN
-
Subjective Norm, norma subjektif individu atas suatu perilaku
ni
-
Normative beliefs, keyakinan normatif dari orang-orang yang menurut seseorang penting atas suatu perilaku
mi
-
Motivation to comply, motivasi untuk menuruti pendapat dari orang-orang yang menurut seseorang penting atas suatu perilaku
Perceived behavior control (PBC) dapat digambarkan dengan persamaan: PBC= ∑ ci pi ..........................................................................................(3)
22
Dimana: PBC
-
Perceived behavior control, sebesar apa seseorang merasa mampu melakukan suatu perilaku
ci
-
Control beliefs, keyakinan tentang sebesar apa seseorang mampu
pi
-
Perceived powers, sepercaya diri apakah seseorang merasa mampu atau tidak mampu untuk melakukan suatu perilaku
Ketentuan umum dari teori ini adalah semakin positif attitude dan subjective norm, dan semakin besar perceived behavioral control, maka akan semakin kuat juga intensi seseorang untuk berperilaku (Ajzen, 2006). Faktor utama dalam teori ini adalah intensi atau niat seseorang untuk melakukan sesuatu. Intensi diasumsikan mencakup faktor motivasi yang mempengaruhi perilaku serta indikator dari seberapa kuat seseorang akan berusaha untuk melakukan sesuatu. Namun perilaku juga tergantung pada faktor non motivasi seperti peluang dan sumber daya (uang, waktu dan keahlian) yang dibutuhkan untuk melakukan sesuatu.
2.4.
Intensi
Memperkirakan perilaku yang akan datang dari seorang konsumen, khususnya perilaku pembelian mereka adalah aspek yang sangat penting dalam peramalan dan perencanaan pemasaran. Ketika merencanakan strategi, para pemasar perlu memprediksi perilaku pembelian dan perilaku penggunaan konsumen beberapa minggu, bulan, atau kadang beberapa tahun sebelumnya. Untuk memprediksi perilaku secara akurat, pemasar harus mengukur keinginan konsumen, pada tingkat abstraksi dan kekhususan seperti komponen tindakan, target dan waktu dari perilaku (Peter & Olson, 1996). Konteks perilaku juga harus dirinci jika dianggap penting. tabel 2.1 memuat beberapa faktor yang dapat melemahkan hubungan antara keinginan berperilaku yang diukur dengan keinginan yang diamati. Pada situasi dimana hanya sedikit dari faktor tersebut yang beroperasi, keinginan yang diukur harus memperkirakan perilaku dengan baik.
23
Dalam pengertian luas, waktu adalah faktor utama yang mengurangi keakuratan prediksi pengukuran keinginan. Keinginan, seperti halnya faktor kognitif lainnya, dapat dan berubah sepanjang waktu. Semakin lama tenggang waktu yang diberikan, maka akan semakin banyak lingkungan yang tidak terantisipasi dapat terjadi dan mengubah keinginan pembelian awal konsumen. Oleh karena itu, pemasar harus memandang kekauratan pengukuran dalam tingkat yang lebih rendah ketika keinginan diukur jauh sebelum perilaku muncul. Akan tetapi, kejadian yang tidak terantisipasi juga dapat terjadi dalam periode yang singkat. Tabel 2.1 Faktor-faktor yang mengurangi atau melemahkan hubungan antara keinginan berperilaku yang diukur dengan perilaku yang diamati Faktor
Contoh Sejalan dengan melebarnya waktu antara pengukuran keinginan dengan
Penghalang
pengamatan perilaku, semakin banyak faktor yang dapat terjadi yang
Waktu
bertindak untuk memodifikasi atau mengubah keinginan awal, sehingga tidak memiliki kaitan lebih lanjut dengan perilaku yang diamati
Tingkat
Keinginan yang diukur harus dapat dispesifikasi pada tingkat yang sama
kekhususan
dengan perilaku yang diamati, jiika tidak, maka hubungan diantaranya
yang berbeda
akan lemah
Kejadian lingkungan yang tak terduga
Contoh dari situasi ini misalnya ketika seseorang terpaksa mengubah keinginan seseorang untuk membeli suatu barang di supermarket dengan merek lain karena persediaan barang tersebut habis.
Konteks situasional
Kadangkala konteks situasional dalam benak konsumen pada saat
yang tak
keinginan diukur berbeda dengan situasi pada saat perilaku dinyatakan.
terduga Derajat
Beberapa perilaku tidak berada di bawah pengendalian kemauan penuh.
pengendalian
Oleh karena itu keinginan tidak dapat memperkirakan secara akurat
kesengajaan
perilaku yang dipengendalian.
24
Faktor
Contoh Beberapa keinginan cukup stabil karena didasarkan pada struktur
Stablitas keinginan
kepercayaan utama pada sikap konsumen terhadap perilaku dan norma subjektif yang dibangun dengan baik. Keinginan lain tidah stabil, karena hanya didirikan di atas sejumlah kecil keyakinan yang dipegang lemah dan dapat dengan mudah berubah Konsumen dapat menerima informasi baru tentang konsekwensi utama perilaku mereka, yang membawa pada perubahan keyakinan dan sikap
Informasi baru
mereka terhadap tindakan dan atau norma subjektif. Perubahan ini pada akhirnya akan mengubah keinginan. Keinginan awal tidak lagi relefan pada perilaku dan tidak dapat memperkirakan perilaku akhir secara akurat.
Sumber:Peter & Olson, 1996
Perilaku konsumen yang berisi sedikit pengetahuan dan tingkat keterlibatan yang rendah dalam ingatan sangat sulit untuk diperkirakan, karena konsumen hanya memiliki sedikit kepercayaan dalam ingatan yang akan menjadi dasar bagi sikap dan keinginan mereka. Pada kasus tersebut, keinginan konsumen yang diukur mungkin diciptakan untuk menjawab pertanyaan penelitian. Namun, sebelum mendasarkan prediksi masa mendatang atas pengukuran sikap dan keinginan, peneliti perlu menentukan apakah konsumen dapat diharapkan memiliki kepercayaan, sikap, dan keinginan yang terbentuk dengan baik terhadap perilaku tersebut.
2.5.
Attitudes (sikap)
Sikap dapat diuraikan sebagai respon konsisten yang memiliki kecenderungan positif atau negatif berkenaan dengan suatu obyek (Aizen, 1985), sementara Kotler (2000) menyatakan bahwa sikap adalah evaluasi, perasaan emosional, dan kecenderungan tindakan yang menguntungkan atau tidak menguntungkan dan bertahan lama dari seseorang terhadap suatu obyek atau gagasan. Peter & Olson (1996) mendefinisikan sikap sebagai evaluasi konsep secara menyeluruh yang
25
dilakukan seseorang. Selama proses integrasi, konsumen mengkombinasikan beberapa pengetahuan, arti dan kepercayaan tentang produk atau merek untuk membentuk evaluasi menyeluruh. Kepercayaan ini dapat dibentuk melalui proses interpretasi atau diaktifkan dari ingatan. Kanuk dan Schiffman (2004) menyatakah bahwa sikap adalah kecenderungan perilaku positif atau negatif yang konsisten terhadap suatu objek yang didapatkan dari hasil pembelajaran.
Selain empat definisi tersebut, terdapat hampir 100 definisi lain tentang sikap (Peter & Olson, 1996) yang kesemuanya memiliki satu kesamaan yang umum yaitu pada evaluasi seseorang. Orang memiliki sikap terhadap hampir semua hal mulai dari agama, politik, pakaian, musik, makanan dan lain-lain. Sikap menempatkan semua itu kedalam sebuah kerangka pemikiran yang menyukai atau tidak menyukai sebuah obyek, bergerak mendekati atau menjauhi obyek tersebut. Sikap menyebabkan orang-orang berperilaku secara cukup konsisten terhadap obyek serupa. Sikap seseorang membentuk pola konsisten dan sangat mungkin sulit berubah karena itu untuk mengubah suatu sikap mungkin mengharuskan penyesuaian sikap-sikap lain secara besar-besaran. Seseorang dapat memiliki sikap terhadap berbagai obyek fisik dan sosial (produk, merek, toko, dll) dan sikap terhadap obyek imajiner seperti ide dan konsep (kapitalisme, harga murah, dsb), serta sikap terhadap perilaku atau tindakan mereka, termasuk didalamnya tindakan masa lalu dan tindakan masa depan.
Perilaku berada di dalam dan dipengaruhi oleh situasi, dimana situasi tertentu dapat mempengaruhi sikap dan perilaku konsumen. Sehingga situasi harus dipertimbangkan dalam penelitian mengenai pengukuran sikap, sehingga dapat dihindari kesalahan interpretasi dalam menganalisis hubungan antara sikap dan perilaku (Kanuk & Schiffman, 2004). Umumnya pada situasi dimana seorang konsumen ingin memecahkan suatu masalah atau memuaskan kebutuhan, maka mereka akan membangun sikap terhadap suatu produk atau jasa berdasarkan informasi (pengetahuan dan keyakinan) yang dimilikinya. Para peneliti
26
menyarankan bahwa dalam memformulasikan sikap, maksimal terdapat tiga keyakinan (beliefs) yang akan memberikan kontribusi yang penting, sementara sisanya hanya memberikan input yang rendah terhadap sikap (Holbrook, 1981 dalam Kanuk & Schiffman, 2004).
Pembentukan sikap konsumen menurut Kanuk & Schiffman (2004) dipengaruhi oleh pengalaman pribadi, pengaruh teman dan keluarga, pemasaran langsung dan media masa. Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut; pengalaman pribadi mempengaruhi ketika konsumen pernah merasakan membeli atau mengkonsumsi produk dan layanan dan menyimpulkan sikap dari pengalaman mereka. Hasil penelitian menunjukan bahwa sikap yang dibentuk oleh pengalaman pribadi bertahan lebih kuat dibandingkan sikap yang dibentuk bukan oleh pengalaman pribadi.
Pengaruh lain selain pengalaman adalah keterlibatan dengan orang-orang terdekat seperti teman dan keluarga. Peranan keluarga dalam memberikan informasi yang mempengaruhi sikap sangat penting, karena keluarga mendidik seseorang dengan bilai-nilai dasar dan keyakinan. Kegiatan para pemasar melalaui pemasaran langsung juga mengubah formasi sikap. Pemasaran langsung dilakukan untuk menjangkau pangsa pasar tertentu (niches) agar produk dan jasa yang ditawarkan dapat sesuai dengan minat dan gaya hidup mereka. Pemasaran langsung dapat mengubah formasi sikap konsumen karena produk dan jasa yang ditawarkan serta pesan dalam promosi yang dilakukan dirancang sedemikian rupa sehingga memiliki kesempatan lebih besar untuk dapat mengubah sikap dibandingkan dengan pemasaran masal.
Selain pengaruh yang telah disebutkan sebelumnya, pengaruh lain adalah informasi yang didapatkan dari media massa. Media massa menyediakan informasi penting yang mempengaruhi pembentukan sikap. Hasil penelitian menunjukan bahwa informasi yang berasal dari media masa akan lebih mempengaruhi mereka
27
yang belum pernah memiliki pengalaman dengan produk atau jasa yang ditawarkan daripada mereka yang sebelumnya telah memiliki pengalaman. Sehingga iklan lebih cocok ditawarkan bagi mereka yang belum pernah mengkonsumsi atau memakai jasa yang diiklankan, karena pengaruhnya terhadap pembentukan sikap akan lebih terlihat.
Para pemasar yakin bahwa mengubah sikap konsumen merupakan salah satu strategi kunci dalam pemasaran. Perusahaan selalu berusaha mengubah sikap konsumen terhadap produk mereka menjadi lebih positif dan sebaliknya terhadap produk pesaing. Beberapa strategi untuk mengubah sikap antara lain adalah mengubah fungsi dasar motivasi konsumen, menghubungkan sebuah produk dengan kelompok atau kegiatan yang digemari konsumen, memecahkan atau menjembatani dua skap yang saling bertentangan, mengubah komponen dari model multiatribut dan mengubah keyakinan konsumen pada produk pesaing Kanuk & Schiffman; 2004).
2.6.
Nilai dan Norma
Konsumen memiliki nilai tentang pribadi dan simbolis yang dapat dipenuhi atau dipuaskan oleh suatu produk atau merek. Nilai adalah sasaran hidup yang luas dari masyarakat seperti misalnya pernyataan “saya ingin berhasil”. Nilai juga melibatkan afeksi hubungan dengan kebutuhan atau tujuan tersebut (perasaan dan emosi yang menyertai keberhasilan). Menyadari bahwa nilai telah terpuaskan atau tujuan utama hidup telah tercapai cenderung tidak nyata dan subjektif (contoh pada kalimat: “saya merasa aman”, “saya dihormati oleh orang lain”, “saya berhasil”). Sebaliknya, konsekwensi fungsional dan psikologis lebih nyata, dan lebih jelas ketika terjadi misalnya saja pada pernyataan “semua orang memperhatikan saya ketika saya menggunakan baju sutra itu” (Peter & Olson, 1996).
28
Sementa itu Engel meyatakan bahwa nilai adalah kepercayaan bersama atau norma kelompok yang telah diserap oleh individu melalui tahap modifikasi. Individu memiliki nilai yang didasarkan pada nilai inti dari masyarakat tempat mereka tinggal, tetapi kemudian dimodifikasi oleh nilai dari kelompok lain dimana mereka menjadi anggotanya dan situasi kehidupan individual atau kepribadian. Nilai pribadi menjawab pertanyaan, “Apakah produk ini untuk saya?” Nilai tersebut khususnya penting dalam tahap pengenalan kebutuhan dari pengambilan keputusan konsumen. Nilai juga digunakan oleh konsumen dalam menentukan kriteria evaluasi, dengan menjawab pertanyaan “Apakah merek ini untuk saya?” Nilai juga mempunyai pengaruh pada keefektifan program komunikasi sewaktu konsumen bertanya, “Apakah suatu situasi yang digambarkan dalam iklan adalah situasi dimana saya akan berpartisipasi?”.
Engel (1992) juga menyatakan bahwa norma adalah kepercayaan yang dianut dengan konsesnus dari suatu kelompok sehubungan dengan kaidah perilaku untuk anggota individual. Manusia mempelajari norma mereka melalui peniruan atau dengan mengamati proses ganjaran dan hukuman di dalam masyarakat dari anggota-anggota yang mematuhi atau menyimpang dari norma kelompok. Bila norma tidak lagi memberikan kepuasan di dalam masyarakat, maka norma tersebut akan punah. Misalnya untuk mengerti konsumen, maka perusahaan harus memperhatikan respon pemuasan fisik atau sosial seperti apa yang diberikan oleh norma budaya. Para pekerja kantoran yang jarang bergerak, mungkin akan lebih berminat untuk membeli daging olahan yang lezat, namun berkalori rendah dibandingkan dengan daging tebal yang banyak mengandung lemak.
Terdapat beberapa cara untuk mengklasifikasikan nilai. Salah satu cara yang sangat berguna adalah dengan mengidentifikasikan dua jenis nilai, yaitu nilai instrumen dan nilai terminal. Nilai Instrumen adalah pola perilaku atau cara bertindak yang diinginkan seperti misalnya bersenang-senang, bertindak independent dan menunjukan rasa percaya diri. Nilai terminal disisi lain adalah
29
adalah status keberadaan yang diinginkan atau status psikologis yang luas seperti misalnya perasaan bahagia, damai dan berhasil. Nilai instrumental dan terminal (tujuan atau kebutuhan) mewakili konekuensi terluas dan paling personal yang ingin dicapai seseorang dalam hidupnya.
Nilai yang merupakan aspek sentral dari konsep pribadi seseorang atau disebut sebagai pengetahuan tentang diri mereka sendiri disebut sebagai nilai inti (core values). Nilai inti adalah elemen kunci dalam suatu skema pribadi, yaitu satu jaringan asosiatif pengetahuan tentang diri sendiri yang saling berhubungan. Disamping nilai, termasuk dalam skema pribadi adalah kepercayaan dan perasaan tentang tubuh seseorang, pengetahuan tentang kejadian penting dalam hidup, dan pengetahuan tentang perilaku seseorang. Nilai inti konsumen memiliki pengaruh besar terhadap proses kognitif dan perilaku pemilihan mereka, sehingga menjadi hal yang menarik bagi pemasar dan biasanya dipakai dalam iklan. Karena mewakili konsekuensi penting yang relevan secara pribadi, maka nilai sering dihubungkan dengan tanggapan afektif yang kuat. Memuaskan suatu nilai biasanya menciptakan afeksi positif (kebahagiaan, suka cita, kepuasan), sementara memblok suatu nilai menciptakan afeksi negatif (frustasi, amarah, kekecewaan). Kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa konsumen dapat memiliki pengetahuan produk tentang ciri produk, konsekuensi menggunakan produk dan nilai personal.
2.7.
Perceived Behavioral Control
Telah banyak penelitian dilakukan untuk menjelaskan dan memprediksikan perilaku. Dalam berbagai penelitian terlihat indikasi bahwa intensi adalah indikator utama dari perilaku, namun pencapaian perilaku seseorang bukan hanya ditentukan oleh intensi, namun juga ditentukan oleh faktor lain. Misalnya saja dalam perilaku usaha seseorang untuk menurunkan berat badan, bukan hanya dengan mengurangi makan dan menambah frekuensi olahraga, namun juga
30
terdapat faktor lain seperti faktor psikologis dan faktor lain yang tidak dapat dikendalikan. Dapat dikatakan bahwa manusia memiliki pengendalian yang lebih besar atas kemauan dibandingkan dengan pengendalian terhadap perilakunya. Dari dekat dapat terlihat bahwa perilaku yang sesuai dengan kemauan seseorang juga merupakan subjek dari pengendalian kemauan yang tidak lengkap. Hal ini misalnya dapat dilihat dalam perilaku mengemudi kendaraan bermotor yang mengharuskan seseorang memiliki keahlian dan surat izin mengemudi untuk mengendarainya, meskipun orang itu tetap dapat mengemudikan kendaraan bermotor tanpa memiliki surat izin mengemudi. Dengan demikian, perilaku dan tujuan memiliki derajat pengendalian keinginan pribadi, jika perilaku biasanya berakhir dikeinginan pribadi, maka tujuan biasanya berujung dikeinginan nonpribadi.
Jelas bahwa pengukuran intensi hanya bisa dilakukan jika seseorang memiliki keterbatasan atau pengendalian atas sesuatu yang berasal dari keinginan pribadi. Maka jika dalam sebuah penelitian ditemukan korelasi yang rendah antara intensi dan perilaku, maka mungkin hal tersebut disebabkan karena peneliti berusaha untuk mengukur kriteria yang memiliki pengendalian keinginan pribadi yang relatif rendah. Dengan demikian, agar peneliti dapat menjelaskan perilaku dengan lebih baik, maka perlu dilakukan penelitian dengan mempertimbangkan tidak hanya intensi, namun juga derajat pengendalian keinginan pribadi. Pengendalian keinginan pribadi dapat menjadi variabel moderator dalam hubungan intensi dan perilaku. Hubungan antara intensi dan perilaku menjadi lebih kuat jika pengendalian keinginan pribadi juga tinggi. Namun seseorang hanya bisa memasukkan pengaruh dari pengendalian keinginan pribadi jika seseorang menyakini bahwa seiap individu memiliki derajat pengendalain yang berbeda. Dikarenakan keterbatasan untuk mengukur pengendalian keinginan nyata, maka sangat memungkinkan untuk mengukur pengendalian perilaku dari persepsi seseorang atas pengendalian perilaku (perceived behavioral control) yang dimilikinya. Perceived behavioral control dapat mewakili kontrol nyata untuk
31
memprediksi behavior. Banyak penelitian yang dilakukan sejak tahun 1975 memperlihatkan bahwa peneliti dapat memprediksikan perilaku dengan lebih baik ketika mereka memasukkan faktor perceived behavioral control. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa aturan umum yang berlaku dalam memprediksikan perilaku adalah bahwa jika seseorang memiliki control yang tinggi terhadap performance perilakunya, maka mereka akan berperilaku sesuai dengan intensi yang mereka miliki. Ketika perilaku tidak dipengaruhi oleh control keinginan yang lengkap dan control perilaku nyata sulit untuk diketahui, maka peneliti dapat mengukurnya dengan menggunakan persepsi control atau perceived behavioral control untuk memperbaiki prediksi perilaku. Hal lain yang penting adalah untuk memastikan cocoknya ukuran intensi dan behavior, juga stabilitas intensi terhadap waktu, karena perubahan intensi cenderung akan mengubah validitas dari prediksi yang dilakukan.
2.8.
Beliefs (keyakinan)
Kotler (2000) memberikan definisi keyakinan sebagai gambaran pemikiran yang dianut seseorang tentang suatu hal. Keyakinan mungkin berdasarkan pengetahuan, pendapat atau kepercayaan. Keyakinan dapat membentuk citra dan merek sehingga orang akan bertindak berdasarkan citra tersebut.
Sikap seseorang seringkali diukur dari keyakinannya. Keyakinan atau beliefs terhadap sebuah obyek menjelaskan informasi mendasar mengenai sikap terhadap obyek tersebut. Secara umum, keyakinan merujuk kepada penilaian subjektif seseorang terhadap aspek-aspek yang berbeda dalam hidupnya, atau dapat dikatakan tentang bagaimana seseorang memandang dirinya dan lingkungan disekitarnya. Berdasarkan hal tersebut, maka beliefs didefinisikan sebagai probabilitas subjektif diantara obyek yang diyakini dengan obyek, nilai, atribut dan konsep lainnya (Ajzen, 1985). Definisi ini secara tidak langsung menggambarkan
32
bahwa beliefs melibatkan hubungan antara dua aspek dari dunia seseorang. Informasi mengenai hubungan ini didapatkan dari observasi langsung, yaitu ketika seseorang melalui inderanya melihat bahwa sebuah obyek memiliki atributnya masing-masing. Misalnya ketika seseorang melihat bahwa meja berbentuk bulat, mencium atau merasakan bahwa segeas susu sudah basi atau melihat hitamnya kulit seseorang. Pengalaman langsung seseorang terhadap suatu obyek memberikannya informasi mengenai descriptive beliefs. Pandangan seseorang memiliki validitas yang baik, sehingga jarang dipertanyakan kebenarannya,oleh sebab itu biasanya descriptive beliefs memiliki kepastian maksimal, namun semakin lama, ketika orang cenderung lupa maka descriptive beliefs ini menjadi semaki lemah.
Interaksi seseorang dengan orang lain dapat menimbulkan beliefs atau keyakinan tentang sifat atau sika seseorang yang tidak terobservasi. Perkenalan dengan seseorang A dapat menciptakan keyakinan mengenai kepribadian dan sifat orang tersebut meskipun kenyataannya tidak terobservasi. Misalnya orang yang gemuk dan lucu diyakini memiliki sifat yang ceria dan gembira, dan orang yang menangis diyakini sedang sedih. Keyakinan yang ditarik bukan berdasarkan observasi langsung
dikatakan
sebagai
inferential
beliefs.
Keyakinan
seperti
ini
menyimpulkan suatu kondisi dari hasil observasi langsung, misalnya saja karena pernah melihat seseorang yang sedih menangis, maka jika seseorang menangis, dapat disimpulkan bahwa orang tersebut sedang bersedih. Inferential beliefs dibentuk berdasarkan kesimpulan sebelumnya, namun jika dianalisis lebih lanjut, maka keyakinan ini berasal dari descriptive beliefs.
Keyakinan yang dimiliki seseorang terbentuk berdasarkan pengalaman langsung terhadap suatu obyek, atau melalui proses pengambilan kesimpulan. Seringkali seseorang menerima informasi mengenai suatu obyek yang berasal dari sumber eksternal seperti buku, majalah, televisi, radio, perkuliahan, teman dan lain sebagainya. Jika terbentuknya keyakinan dipengaruhi oleh informasi dari luar,
33
maka hal ini disebut sebagai informational beliefs. Sehingga meskipun observasi langsung mengenai hubungan suatu obyek dan atributnya dapat menghasilkan descriptive beliefs, informasi dari luar yang menghubungkan suatu obyek dengan suatu atribut dapat menghasilkan informational beliefs.
Jika seseorang
mendapatkan informasi dari surat kabar bahwa seorang politisi memiliki sifat licik, maka dia akan memiliki keyakinan bahwa seorang politisi memiliki sifat licik, dan orang itu akan mengulang memorinya tentang kelicikan seorang politisi ketika suatu saat ditanya mengenai hal yang sama. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi apakah informasi yang diterima seseorang dari luar dapat diterima menjadi informational beliefs.
Pembentukan descriptive beliefs diyakini merupakan hasil dari observasi langsung. Kesimpulan ini didapatkan dari banyak hasil penelitian eksperimental yang dilakukan dengan memanipulasi rangsangan yang diberikan terhadap seseorang, baik itu perempuan maupun laki-laki, tentang suatu obyek. Hasilnya menunjukkan bahwa, keyakinan yang dibentuk merupakan refleksi dari hasil observasi seseorang terhadap suatu obyek. Hanya dalam kasus tertentu seseorang cenderung memiliki keyakinan yang berbeda dengan kenyataan, yaitu ketika observasi dilakukan sangat singkat pada kejadian yang mendadak seperti kecelakaan atau kejadian traumatis dan saat seseorang terhipnotis dan membentuk persepsi yang salah. Namun dalam kondisi yang normal, hal ini jarang sekali terjadi. Dalam banyak penelitian terungkap bahwa sikap, karakter, dan keyakinan pribadi seseorang tidak mempengaruhi descriptive beliefs yang terbentuk dari hasil observasi langsung, namun tetap harus diperhatikan sebagai faktor-faktor tersebut berperan penting terhadap terbentuknya inferential beliefs.
Peter dan Olson (1996) menyatakan bahwa melalui pengalaman konsumen mendapatkan kepercayaan (beliefs) tentang produk, merek, dan obyek lain dalam lingkungan. Kepercayaan atau keyakinan ini merupakan suatu jaringan asosiatif dari arti yang saling dihubungkan dan tersimpan dalam ingatan. Karena kapasitas
34
kognitif seseorang terbatas, maka sebagian kecil dari kepercayaan ini yang dapat diaktifkan dan dikendalikan dengan baik pada suatu saat. Keyakinan yang diaktifkan disebut sebagai keyakinan utama. Hanya keyakinan utama (salient beliefs) tentang suatu obyek tertentu yang menyebabkan atau menciptakan sikap seseorang terhadap obyek tertentu. Oleh karena itu, salah satu kunci untuk memahami sikap konsumen adalah dengan mengidentifikasi dan memahami apa yang mendasari salient beliefs.
2.9.
Kerangka Teoritis
Sekaran (2003) menyatakan bahwa tahap penyusunan kerangka teoritis membahas saling ketergantungan antar variabel yang dianggap perlu untuk melengkapi dinamika situasi yang sedang diteliti. Penyusunan kerangka ini akan membantu peneliti untuk mengendalikan, menghipotesiskan dan menguji hubungan tertentu sehingga meningkatkan pemahaman mengenai dinamika situasi. Pada tahap ini dapat disusun hipotesis yang dapat diuji untuk mengetahui apakah teori yang dirumuskan valid atau tidak. Hubungan yang dihipotesiskan kemudian dapat diuji dengan analisis statistik yang tepat.
Dalam hubungannya dengan perilaku masyarakat pedesaan terhadap teknologi telekomunikasi telepon, maka peneliti tertarik untuk menguraikan perilaku masyarakat pedesaan dengan mengunakan model dasar TRA dan TPB yang menempatkan intensi sebagai variabel terikat. Variavel bebas yang mempengaruhi variabel terikat terdiri dari variabel-variabel yang terdapat di dalam model TPB yang dikembangkan oleh Ajzen (1991) sebagai berikut (1) keyakinan tentang kemungkinan akibat dari suatu perilaku dan evaluasi dari akibat perilaku tersebut (behavioral beliefs), (2) keyakinan tentang harapan normatif orang lain dan motivasi untuk mencapai harapan tersebut (normative beliefs) dan (3) keyakinan tentang keberadaan faktor-faktor yang dapat mendukung atau menghambat
35
terjadinya perilaku dan sebesar apa pengaruh faktor-faktor tersebut (control beliefs). Behavioral beliefs menghasilkan sikap positif atau negatif terhadap perilaku, normative beliefs menghasilkan norma subjektif dan control beliefs menghasilkan pengendalian perilaku. Kombinasi sikap terhadap perilaku, norma subjektif dan pengendalian perilaku akan mempengaruhi behavioral intensi. Salah satu variabel dari tiga variabel bebas tersebut di atas yaitu perceived behavioral control merupakan variabel baru yang membedakan model TPB dan TRA. Penting atau tidaknya variabel-variabel ini relatif dan tergantung pada perilaku dan situasi yang berbeda-beda. Dalam satu kasus dapat ditemukan bahwa attitude yang berpengaruh signifikan terhadap intensi, sementara dalam kasus lainnya dimungkinkan kedua variabel ini sama-sama memberikan pengaruh yang signifikan. Aturan umum dalam hubungan variabel ini adalah: semakin baik attitude dan subjective norm terhadap perilaku, maka akan semakin besar intensi seseorang untuk melakukan sesuatu.
Pada model TRA (Fischbein, 1980), intensi hanya dipengaruhi oleh attitude dan subjective norm. Ajzen (1991) kemudian mengikutsertakan variabel perceived behavior control (PBC) ke dalam model TRA dan menamakan model ini sebagai TPB. Penambahan variabel ini dilakukan karena dalam perkembangannya, TRA dirasa kurang mengakomodir perilaku seseorang ketika subjek tidak memiliki kebebasan untuk berperilaku atas kemauannya sendiri. (Ajzen, 1991; Ajzen, 2006). Pendapat Ajzen ini diperkuat oleh telah dilakukannya 16 penelitian di berbagai bidang mengenai perilaku yang menunjukan bahwa keikutsertaan PBC dalam model meningkatkan kekuatan model untuk memprediksi dan menjelaskan niat seseorang.
Sampai dekade terakhir, TRA dan TPB masih digunakan untuk menjelaskan perilaku dala berbagai bidang dan menghasilkakn temuan yang beragam. Dalam penelitian mengenai perilaku guru dalam menggunakan komputer, Smarkola (2008) menyatakan bahwa model TPB menunjukan manfaat yang besar dalam
36
menjelaskan perilaku yang dimaksud dalam penelitian. Sementara TRA dapat menjelaskan perilaku konsumsi daging di Irlandia dengan hasil bahwa kedua variabel (Attitude dan Subjective norm) berpengaruh signifikan positif terhadap intensi (McCarthy, 2002).
Penelitian yang dilakukan oleh Nasco et.al (2007) dengan menggunakan teori TPB pada studi kasus para manajer dan pengusaha kecil menengah di Chile menunjukan bahwa perceived behavioral control tidak berpengaruh signifikan pada pembentukan intensi. Penelitian-penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan TPB juga ditemukan menggambarkan hubungan yang tidak konsisten mengenai PBC dalam TPB. Penelitian yang membuktikan bahwa PBC berpengaruh signifikan terhadap intensi dilakukan oleh Chang (Nasco et.al, 2007) yang menemukan bahwa PBC merupakan prediktor dari intensi yang paling kuat, Verkatesh (dalam Nasco et. al, 2007) menemukan bahwa PBC dapat menjadi prediktor dari intensi hanya dalam beberapa bagian dari hubungan, sementara Riemenscheider et.al. (2003) bahkan menemukan bahwa PBC tidak dapat dibuktikan sebagai prediktor bagi intensi. Celuch et.al. (2007) bahkan menyarankan agar penelitian lanjutan melakukan pengujian hubungan moderasi diantara variabel yang terdapat di dalam model TPB.
Berdasarkan beberapa penelitian empiris yang diuraikan diatas, maka peneliti melihat masih terdapat kemungkinan untuk menggali hubungan intensi dengan variabel-variabel lainnya dalam model PBC. Untuk itu, peneliti tertarik untuk menempatkan PBC sebagai variabel moderator yang akan mengubah hubungan attitude towards the behavior (AB) dan subjective norm (SN) terhadap intensi (I) dalam konteks teknologi telekomunikasi telepon di pedesaan. Model penelitian dapat dilihat pada gambar 2.4.
37
Gambar 2.4 Model Penelitian
2.10. Hipotesis Penelitian
Sugiyono (1999) menyatakan bahwa hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian. Dikatakan sementara karena jawaban yang diberikan baru berdasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan pada faktafakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data. Jadi hipotesis juga dapat dinyatakan sebagai jawaban teoritis terhadap rumusan masalah penelitian dan belum jawaban yang empirik. Bila dilihat dari tingkat eksplanasinya, bentuk rumusan masalah penelitian ada tiga, yaitu rumusan masalah deskriptif (variabel mandiri), komparatif (perbandingan) dan asosiatif (hubungan). Oleh karena itu, maka bentuk hipotesis penelitian juga ada tiga yaitu hipotesa deskriptif, komparatif dan asosiatif/hubungan.
Penyusunan hipotesis dilakukan setelah variabel-variabel dalam penelitian diidentifikasi dan dicari hubungannya melalui pemikiran logis dan kerangka teoritis. Peneliti kemudian berada dalam posisi untuk menguji apakah hubungan
38
yang diteorikan benar-benar terbukti kebenarannya. Dengan menguji hipotesis dan menegaskan perkiraan hubungan, diharapkan solusi dapat ditemukan untuk masalah yang dihadapi (Sekaran 2003).
Lebih lanjut disebutkan bahwa menurut kaidah ilmu sosial, untuk menyebutkan sebuah hubungan signifikan secara statistik, maka peneliti harus yakin bahwa 95 dari 100 hubungan yang diamati akan mendukung hipotesis. Hanya boleh ada 5% peluang bahwa hubungan tersebut tidak ditemukan.
Hipotesis direksional adalah hipotesis yang menyatakan hubungan antara dua variabel atau membandingkan dua kelompok dengan menggunakan istilah-istilah seperti positif, negatif, lebih dari, kurang dari dan sebagainya. Sementara hipotesis nondireksional adalah hipotesis yang mendalikan hubungan atau perbedaan, tapi tidak memberikan indikasi mengenai arah dari hubungan atau perbedaan tersebut.
Dari latar belakang penelitian dapat digambarkan bahwa terdapat dorongan yang kuat untuk menghubungkan seluruh pedesaan di Indonesia dengan jaringan telekomunikasi. Ini tidak hanya menjadi agenda pemerintah, namun juga pihak swasta. Terlihat dengan semakin meluasnya jaringan telekomunikasi ke wilayah pedesaan yang dilakukan oleh operator-operator telekomunikasi di Indonesia. Meskipun jumlah pedesaan di Indonesia yang belum terjangkau oleh telepon masih tinggi, namun di beberapa daerah khususnya pulau Jawa, sudah hampir semua pedesaan terjangkau oleh layanan telekomunikasi (Depkominfo, 2007). Populasi
masyarakat
pedesaan
yang
telah
terjangkau
oleh
teknologi
telekomunikasi akan menjadi objek dari penelitian ini. Meskipun telah terjangkau oleh layanan teknologi telekomunikasi telepon, tidak semua masyarakat pedesaan memiliki telepon. Oleh sebab itu menarik kiranya untuk mengetahui variabel apa saja yang dapat dijadikan parameter untuk mengukur attitude, subjective norm dan perceived behavioral control masyarakat pedesaan dan bagaimana hubungan
39
masing-masing variabel terhadap intensi masyarakat pedesaan untuk memiliki dan menggunakan teknologi telekomunikasi.
Mengacu pada kaidah umum hubungan setiap variabel dalam TPB yang dikemukakan oleh Ajzen (2006), maka hipotesis penelitian yang disusun untuk hubungan antara variabel attitude toward behavior (AB) dengan intensi (I) adalah H1
Sikap masyarakat pedesaan terhadap telepon berpengaruh positif terhadap intensi
mereka
untuk
memiliki
dan
menggunakan
teknologi
telekomunikasi telepon
Untuk hubungan antara subjective norm (SN) dengan intensi (I), hipotesis penelitian yang disusun adalah : H2
Norma subjektif
masyarakat pedesaan terhadap telepon berpengaruh
positif terhadap intensi mereka untuk memiliki dan menggunakan teknologi telekomunikasi telepon
Dalam penelitian ini, hubungan variabel perceived behavior control (PBC) diteliti pada dua model, yang pertama adalah sebagai variabel independen (gambar 2.4) dan yang kedua sebagai variabel moderator yang mempengaruhi hubungan antara variabel independen dan variabel dependen.
Sebagai variabel independen,
hipotesis penelitian yang diajukan adalah sebagai berikut:
H3.1
Peceived behavior control masyarakat pedesaan terhadap telepon berpengaruh positif terhadap intensi mereka untuk memiliki dan menggunakan teknologi telekomunikasi telepon
Sementara sebagai variabel moderator, hipotesis penelitian yang diajukan adalah sebagai berikut :
40
H3.2
Perceived behavior control masyarakat pedesaan terhadap kepemilikan dan penggunaan telepon mempengaruhi hubungan antara sikap dan intensi serta hubungan antara norma subjektif dan intensi masyarakat pedesaan untuk memiliki dan menggunakan teknologi telekomunikasi telepon
Hubungan hipotesis yang dimiliki peneliti dapat dilihat dalam gambar 2.5. Gambar 2.5 Peta Hipotesis dalam Penelitian
41