STRATEGI RUMAHTANGGA NELAYAN DALAM MENGATASI KEMISKINAN (Studi Kasus Nelayan Desa Limbangan, Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu, Propinsi Jawa Barat)
Oleh: ABDUL MUGNI A14202017
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
RINGKASAN
ABDUL MUGNI. STRATEGI RUMAHTANGGA NELAYAN DALAM MENGATASI KEMISKINAN. Studi Kasus Nelayan Desa Limbangan, Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu, Propinsi Jawa Barat (Di bawah bimbingan SAHARUDIN)
Kemiskinan pada masyarakat nelayan di Desa Limbangan dipahami sebagai ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar, yaitu kebutuhan akan sandang, pangan dan papan serta keterbatasan dalam menjangkau pelayanan pendidikan. Ciri kemiskinan pada masyarakat nelayan di Desa Limbangan dapat diidentifikasi secara fisik dan sosial. Secara fisik, kemiskinan dapat dicirikan oleh kepemilikan rumah tempat tinggal yang sangat sederhana, yaitu berupa rumah semi permanen dan rumah yang terbuat dari dinding anyaman bambu. Selain itu, dapat pula terlihat dari keterbatasan pemilikan barang-barang yang dapat menunjukkan status sosial yang tinggi seperti emas, perabotan rumahtangga yang mewah, dan lain-lain. Secara sosial, kemiskinan pada masyarakat nelayan dapat terlihat dari rendahnya tingkat pendidikan keluarga, tingkat kesehatan dan lainlain. Faktor-faktor penyebab kemiskinan pada masyarakat nelayan di Desa Limbangan sangat kompleks dan beragam. Faktor-faktor penyebab kemiskinan tersebut berupa perubahan cuaca dan fluktuasi musim ikan, sumberdaya manusia (SDM) nelayan yang masih rendah, adanya eksploitasi pemodal, ketimpangan dalam sistem bagi hasil, motorisasi dan kebiasaan nelayan. Strategi yang diterapkan oleh rumahtangga nelayan dalam menghadapi situasi kemiskinan tersebut berupa pola nafkah ganda, peranan anggota keluarga (istri dan anak) nelayan, diversifikasi peralatan tangkap, pemanfaatan organisasi produksi, dan pemanfaatan jaringan sosial. Penerapan berbagai strategi tersebut telah membantu para nelayan dalam menghadapi situasi kemiskinan, sehingga mereka tetap dapat bertahan hidup ditengah keadaan yang serba miskin.
STRATEGI RUMAHTANGGA NELAYAN DALAM MENGATASI KEMISKINAN (Studi Kasus Nelayan Desa Limbangan, Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu, Propinsi Jawa Barat)
Oleh: ABDUL MUGNI A14202017
SKRIPSI Sebagai Bagian Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
PERNYATAAN
DENGAN BERJUDUL
INI
SAYA
MENYATAKAN
“STRATEGI
BAHWA
RUMAHTANGGA
SKRIPSI
NELAYAN
YANG DALAM
MENGATASI KEMISKINAN” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI MANAPUN UNTUK MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, Agustus 2006
Abdul Mugni A 14202017
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGAMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang ditulis oleh: Nama Mahasiswa
: ABDUL MUGNI
Nomor Pokok
: A14202017
Judul
: Strategi
Rumahtangga
Nelayan
Dalam
Mengatasi
Kemiskinan (Studi Kasus Nelayan Desa Limbangan, Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu, Propinsi Jawa Barat). Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Ir. Saharuddin, M.Si NIP. 132 047 078
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr. NIP. 130 422 698
Tanggal Lulus Ujian:
KATA PENGANTAR
Fenomena kemiskinan pada masyarakat nelayan di Indonesia merupakan topik yang sering diperbincangkan baik dalam karya ilmiah maupun dalam media masa. Dalam tulisan ini dijelaskan tentang faktor-faktor penyebab kemiskinan pada masyarakat nelayan dan bentuk-bentuk strategi rumahtangga nelayan dalam berusaha mengatasi faktor-faktor penyebab kemiskinan tersebut. Semua kegiatan yang berkaitan dengan penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari adanya dukungan berbagai pihak. Karena itu, saya mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan terhadap kegiatan penyusunan skripsi ini. Skripsi ini dimaksudkan sebagai syarat kelulusan studi S1 saya di Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2006
Penulis
i
UCAPAN TERIMAKASIH
Alhamdulillah. Puji syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan nikmat-Nya kepada kita semua. Atas izin dari-Nya juga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk memenuhi syarat kelulusan studi S1 di Institut Pertanian Bogor. Penulisan skripsi ini mengambil judul “ Strategi Rumahtangga Nelayan Dalam Mengatasi Kemiskinan”. Pada kesempatan ini rasa hormat dan terimakasih serta penghargaan yang tulus penulis sampaikan kepada: 1. Bapak Ir. Saharudin, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi. Atas saran dan bimbingannya. 2. Ibu Ir. Melani abdulkadir Sunito, M.Si selaku pembimbing akademik, yang selalu mendukung dan memberi semangat. 3. Ir. Martua Sihalaho, M.Si, yang telah bersedia menjadi penguji dalam ujian skripsi saya. 4. Ibu dan Ayah tercinta atas do’a dan usahanya yang tak kenal lelah memperjuangkan segalanya. 5. Keluarga tercinta (paman, bibi, kakak dan adik-adikku) atas segala do’a dan dukungannya. 6. Keluarga besar Bapak Prof. Dr. Ir. H. Dedi Fardiaz, M.Sc atas segala dorongan, bimbingan dan bantuannya. 7. Rosi Cisadesi atas semangat, dukungan, kebersamaan dan bantuannya selama penyusunan skripsi ini. 8. Masyarakat nelayan Desa Limbangan, atas kerjasama dan bantuannya. 9. Teman-teman KPM 39 atas kebersamaan dan dukungannya. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyusun dan menyelesaikan studi pustaka ini, yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu. Terimakasih atas segalanya. Tiada yang sempurna selain Allah. Saya hanya manusia yang tak akan pernah sempurna, begitupun dengan karya ini. Kritik dan saran demi perbaikan karya ini, saya terima dengan senang hati, alamatkan langsung ke
[email protected].
ii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 16 Februari 1982 di Indramayu, Jawa Barat. Penulis merupakan anak keempat dari sebelas bersaudara pasangan Mukamad dan Maeni. Pendidikan yang di tempuh oleh penulis pertama kali adalah SDN Srengseng III, Kecamatan Krangkeng, Kabupaten Indramayu, tahun 1990-1996. Penulis melanjutkan ke SLTPN 1 Karangampel di kota yang sama pada tahun 1996-1999. Sekolah Menengah Umum ditempuh penulis di SMUN 1 Krangkeng, pada tahun 1999-2002. Pada tahun 2002 pula, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Ujian Seleksi Masuk IPB) pada Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (KPM) sebagai angkatan 39. Selama bersekolah, penulis aktif dalam berbagai kegiatan ekstrakurikuler seperti Pramuka, PASKIBRA, PMR, dan OSIS. Penulis pernah menjabat sebagai ketua PMR SMUN 1 Krangkeng pada tahun 2000-2001. Begitu pula pada masa kuliah, penulis aktif dalam kegiatan kemahasiswaan. Penulis pernah menjabat sebagai ketua UKM Aikido Institut Pertanian Bogor periode 2003-2004 dan, staf Biro Olahraga dan Seni MISETA periode 2003-2004 dan anggota UKM Bulutangkis tahun 2003 sampai sekarang.
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .......................................................................................
i
UCAPAN TERIMAKASIH .............................................................................
ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iii DAFTAR TABEL ............................................................................................. vi DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... vii DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... viii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang ...........................................................................................
1
1.2
Perumusan Masalah ...................................................................................
5
1.3
Tujuan Penelitian .......................................................................................
5
1.4
Kegunaan Penelitian ..................................................................................
5
BAB II 2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Pendekatan Teoritis ....................................................................................
7
2.1.1 Karakteristik Umum Masyarakat Nelayan .....................................
7
2.1.1.1 Stratifikasi Masyarakat Nelayan.............................................
7
2.1.1.2 Tipologi Nelayan ....................................................................
8
2.1.1.3 Hubungan Antar Tipe Nelayan ............................................... 11 2.1.2 Kemiskinan Nelayan ...................................................................... 12 2.1.2.1 Konsep Kemiskinan................................................................ 12 2.1.2.2 Ciri Kemiskinan Nelayan ....................................................... 17 2.1.2.3 Faktor-faktor Penyebab Kemiskinan Nelayan........................ 18 2.1.3 Strategi Rumahtangga Nelayan ..................................................... 20 2.2
Kerangka Pemikiran ................................................................................... 23
2.3
Batasan Pengertian ..................................................................................... 27
2.4
Hipotesis Pengarah ..................................................................................... 28
iii
BAB III METODE PENELITIAN 3.1
Metode Penelitian ...................................................................................... 29
3.2
Lokasi dan Waktu Penelitian ..................................................................... 30
3.3
Teknik Pengumpulan Data ......................................................................... 30
3.4
Teknik Pengolahan dan Analisis Data ....................................................... 31
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Gambaran Umum Desa ............................................................................... 33 4.1.1 Lokasi dan Keadaan Alam ............................................................... 33 4.1.2 Penduduk dan Mata Pencaharian ..................................................... 34 4.1.3 Sarana, Prasarana dan Pola Pemukiman .......................................... 36 4.1.4 Motorisasi Peralatan Tangkap ......................................................... 39 4.1.5 Jenis Paralatan Tangkap .................................................................. 40 4.1.6 Tradisi dan Kepercayaan Masyarakat .............................................. 44
BAB V KEMISKINAN DAN STRATEGI RUMAHTANGGA NELAYAN 5.1 Situasi Umum Kehidupan Nelayan ............................................................. 46 5.1.1 Stratifikasi Masyarakat Nelayan ...................................................... 47 5.1.2 Hubungan Antar Tipe Nelayan ........................................................ 48 5.1.3 Sistem Bagi Hasil ............................................................................ 51 5.1.4 Kemiskinan Nelayan ........................................................................ 61 5.2
Faktor-faktor Penyebab Kemiskinan Nelayan ........................................... 64 5.2.1 Fluktuasi Musim Tangkapan ........................................................... 64 5.2.2 Sumberdaya Manusia (SDM) Nelayan ............................................ 65 5.2.3 Eksploitasi Pemodal (Bakul) ........................................................... 66 5.2.4 Ketimpangan Sistem Bagi Hasil ...................................................... 67 5.2.5 Motorisasi ........................................................................................ 68 5.2.6 Pencemaran Lingkungan ................................................................. 69 5.2.7 Kebiasaan Nelayan .......................................................................... 70
5.3
Strategi Rumahtangga Nelayan .................................................................. 72 5.3.1 Peran Anggota Keluarga .................................................................. 72 5.3.2 Pola Nafkah Ganda .......................................................................... 73
iv
5.3.3 Diversifikasi Peralatan Tangkap ...................................................... 74 5.3.4 Pemanfaatan Organisasi produktif ................................................... 75 5.3.5 Jaringan Sosial ................................................................................. 76
BAB VI PENUTUP 6.1
Kesimpulan ................................................................................................ 88
6.2
Saran........................................................................................................... 92
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 93 LAMPIRAN ....................................................................................................... 96
v
DAFTAR TABEL
Halaman No 1.
Teks Jumlah dan Persentase Penduduk Desa Limbangan, Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu, Propinsi Jawa Barat Menurut Tingkat Pendidikan, 2005 ........................................................... 34
2.
Jumlah dan Persentase Penduduk menurut Jenis Mata Pencaharian di Desa Limbangan .................................................................................... 35
3.
Bangunan Sarana Pendidikan di Desa Limbangan, Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu, Propinsi Jawa Barat ........................... 37
4.
Bangunan Rumah Nelayan Menurut Jenis Rumah, Jumlah, dan Pemilik.. 39
5.
Perbedaan Jenis Alat Tangkap Nelayan di Desa Limbangan Menurut Jenis ikan, Jumlah nelayan, Frekuensi menabur jaring, Wilayah operasi dan Musim ...................................................................... 43
6.
Pembagian Hasil Bidak pada Jenis Alat Tangkap Jaring Payang .............. 53
7.
Pembagian Hasil Bidak pada Jenis Alat Tangkap Jaring Kantong ............ 56
8.
Pembagian Hasil Bidak pada Jenis Alat Tangkap Jaring Rampusan ......... 58
9.
Pembagian Hasil Bidak pada Jenis Alat Tangkap Jaring Kopet ................ 60
10.
Kalender Musim Nelayan Desa Limbangan ............................................ 64
11.
Peralatan Tangkap Berdasarkan Jenis Ikan yang dapat di Tangkap .......... 75
Lampiran
12.
Teknik Pengumpulan Data ........................................................................ 97
vi
DAFTAR GAMBAR
Halaman No
Teks
1. Kerangka Studi Strategi Nelayan Dalam Mengatasi Kemiskinan ............... 26 2. Bagan Alir Bagi Hasil Pada Jenis Alat tangkap Jaring Payang .................. 55 3. Bagan Alir Bagi Hasil Pada Jenis Alat tangkap Jaring Kantong ................ 57 4. Rumah Tempat Tinggal Nelayan Bidak ....................................................... 63 5. Kegiatan Menggorek Anak-anak Nelayan di Tempat Pelelangan Ikan ....... 72 6.
Struktur Jaringan Sosial: Hubungan Bidak, Juragan dan Bakul ................. 77
7. Peta Mobilitas Musiman Nelayan di Desa Limbangan ................................ 80
Lampiran
8. Peta Lokasi Penelitian ................................................................................... 96
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman No 1. Panduan Pertanyaan Wawancara ................................................................. 99
viii
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Sumberdaya pesisir dan kelautan adalah asset yang penting bagi Indonesia.
Dengan luas laut 5,8 juta Km2, Indonesia sesungguhnya memiliki sumberdaya perikanan laut yang besar dan beragam. Potensi lestari sumberdaya perikanan laut di Indonesia adalah 6,7 juta ton pertahun dari berbagai jenis ikan, udang dan cumi-cumi. Apabila potensi ini diperkirakan kedalam nilai ekonomi berdasarkan harga satuan komoditi perikanan, maka akan diperoleh nilai sebesar US $ 15 Miliar (Dahuri, 1996). Jumlah penduduk Indonesia sekitar 210 juta jiwa. Pada saat ini setidaknya terdapat 2 juta rumahtangga yang menggantungkan hidupnya pada sektor perikanan. Dengan asumsi tiap rumahtangga nelayan memiliki 6 jiwa maka sekurang-kurangnya terdapat 12 juta jiwa yang menggantungkan hidupnya seharihari pada sumberdaya laut termasuk pesisir. Mereka pada umumnya mendiami daerah kepulauan, sepanjang pesisir termasuk danau dan sepanjang aliran sungai. Penduduk tersebut tidak seluruhnya menggantungkan hidupnya dari kegiatan menangkap ikan akan tetapi masih ada bidang-bidang lain seperti usaha pariwisata bahari, pengangkutan antar pulau, danau dan penyeberangan, pedagang perantara atau eceran hasil tangkapan nelayan, penjaga keamanan laut , penambangan lepas pantai dan usaha-usaha lainnya yang berhubungan dengan laut dan pesisir. Nelayan merupakan salah satu bagian dari anggota masyarakat yang mempunyai tingkat kesejahteraan paling rendah. Dengan kata lain, masyarakat
2
nelayan adalah masyarakat paling miskin dibanding anggota masyarakat subsisten lainnya (Kusnadi, 2002). Suatu ironi bagi sebuah Negara Maritim seperti Indonesia bahwa ditengah kekayaan laut yang begitu besar masyarakat nelayan merupakan golongan masyarakat yang paling miskin. Pemandangan yang sering dijumpai di perkampungan nelayan adalah lingkungan hidup yang kumuh serta rumah-rumah yang sangat sederhana. Kalaupun ada rumah-rumah yang menunjukkan tanda-tanda kemakmuran (misalnya rumah yang megah dan berantena parabola), rumah-rumah tersebut umumnya dipunyai oleh pemilik kapal, pemodal, atau rentenir yang jumlahnya tidak signifikan dan sumbangannya kepada kesejahteraan komunitas sangat tergantung kepada individu yang bersangkutan. Disamping itu, karena lokasi geografisnya yang banyak berada di muara sungai, lingkungan nelayan sering kali juga sudah sangat terpolusi. Sejak dahulu sampai sekarang nelayan telah hidup dalam suatu organisasi kerja secara turun-temurun tidak mengalami perubahan yang berarti. Kelas pemilik sebagai juragan relatif kesejahteraannya lebih baik karena menguasai faktor produksi seperti kapal, mesin alat tangkap maupun faktor pendukungnya seperti es, garam dan lainnya. Kelas lainnya yang merupakan mayoritas adalah pekerja atau penerima upah dari pemilik faktor produksi dan kalaupun mereka mengusahakan sendiri faktor atau alat produksinya masih sangat konvensional, sehingga produktivitasnya tidak berkembang, kelompok inilah yang terus berhadapan dan digeluti oleh kemiskinan (Pangemanan dkk, 2003). Rumahtangga nelayan pada umumnya memiliki persoalan yang lebih komplek dibandingkan dengan rumahtangga pertanian. Rumahtangga nelayan
3
memiliki ciri-ciri khusus seperti pengunaan wilayah pesisir dan lautan ( common property ) sebagai faktor produksi, adanya ketidakpastian penghasilan, jam kerja yang harus mengikuti siklus bulan yaitu dalam 30 hari satu bulan yang dapat dimanfaatkan untuk melaut hanya 20 hari sisanya mereka relatif menganggur. Selain itu pekerjaan menangkap ikan adalah merupakan pekerjaan yang penuh resiko dan umumnya karena itu hanya dapat dikerjakan oleh laki-laki, hal ini mengandung arti anggota keluarga yang lain tidak dapat membantu secara penuh. Kemiskinan bukanlah masalah yang baru, namun pada akhir-akhir ini kembali muncul ke permukaan sebagai akibat dari laju pertumbuhan ekonomi yang mendorong terjadinya kesenjangan yang semakin melebar antara “si kaya” dan “si miskin” (Hermanto, 1995). Problem kemiskinan merupakan suatu hal yang tidak bisa terlepas dari pembangunan suatu bangsa. Kemiskinan merupakan side effect dari lajunya pembangunan nasional tanpa ada maksud untuk menciptakannya (Dahuri, 1994). Berbagai usaha penanggulangan telah dilakukan baik oleh pemerintah maupun pihak-pihak lain. Misalnya masalah pengelolaan dalam pemanfaatan sumberdaya laut, pemerintah telah membuat peraturan yang tercantum dalam perundangan yang ada, seperti UU No.9 Tahun 1985, Keputusan Menteri Pertanian No.185, Kepres 23 Tahun 1982, peraturan-peraturan tersebut pada dasarnya mengatur tentang pembatasan alat-alat tangkap
yang merusak
sumberdaya laut, pembatasan dan pengaturan zona penangkapan ikan berdasarkan skala usaha dan alat tangkap yang digunakan, pengaturan izin usaha kepada nelayan-nelayan asing, izin pembudidayaan laut, dan pengaturan sistem pemasaran ikan (Hermanto, 1995). Selain itu, pemerintah telah membentuk
4
Departemen Perikanan dan Kelautan (DKP) sebagai wujud keseriusan pemerintah dalam menangani pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan serta masalah kemiskinan nelayan. Keberadaan DKP diharapkan membawa angin segar bagi masyarakat kelautan dan perikanan, terutama masyarakat nelayan. yang selama ini menjadi korban pembangunan. Namun dalam perjalanannya, ternyata keberadaan DKP dengan program-programnya, khususnya Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) hingga saat ini belum mampu menciptakan nelayannelayan tangguh dan sejahtera. Hal ini didasarkan pada fakta empiris yang menunjukkan masih kurang tepatnya berbagai pendekatan yang digunakan oleh para akademisi, LSM dan birokrat dalam melaksanakan program pembangunan, terlebih program yang hanya bersifat proyek jangka pendek (Solihin, 2005). Dari permasalahan di atas, maka pertanyaan pokok yang diajukan dalam penelitian ini adalah “Bagaimana masyarakat nelayan bertahan hidup ditengah keadaan yang serba miskin?”. Hal inilah yang akan menjadi fokus dalam penelitian ini, yaitu mengetahui kondisi kemiskinan pada masyarakat nelayan dan mengidentifikasi usaha-usaha rumahtangga nelayan dalam mengatasi faktor-faktor penyebab kemiskinan tersebut.
5
1.2.
Perumusan Masalah Merujuk pada latar belakang yang telah diuraikan di atas, perumusan
masalah yang akan ditelaah lebih lanjut dalam penelitian ini adalah mengenai kemiskinan pada masyarakat nelayan dan strategi yang dilakukan oleh rumahtangga nelayan dalam mengatasi faktor-faktor penyebab kemiskinan tersebut. Secara lebih rinci permasalahan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Faktor-faktor apa yang menyebabkan kemiskinan pada masyarakat nelayan? 2. Bagaimana strategi rumahtangga nelayan dalam berusaha mengatasi faktorfaktor penyebab kemiskinan tersebut?
1.3.
Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini
adalah mengetahui faktor-faktor penyebab kemiskinan pada masyarakat nelayan dan mengidentifikasi usaha-usaha rumahtangga nelayan dalam mengatasi faktorfaktor penyebab kemiskinan tersebut.
1.4.
Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi pihak akademisi yang tertarik
pada masalah-masalah yang berkaitan dengan strategi rumahtangga nelayan dalam mengatasi kemiskinan. Bagi penulis, kegunaan penelitian ini adalah dapat menambah pengetahuan dan pemahaman tentang kondisi kemiskinan yang terjadi pada masyarakat nelayan dan usaha-usaha untuk memberdayakannya. Selain itu, bagi pembuat kebijakan (pemerintah, khususnya pemerintah daerah) penelitian ini
6
dapat dijadikan sebagai salah satu bahan untuk mempertimbangkan pendekatan yang tepat dalam usaha penanggulangan kemiskinan nelayan, sehingga programprogram atau proyek-proyek yang ditawarkan bagi masyarakat nelayan benarbenar efektif untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan. Sedangkan bagi masyarakat nelayan sendiri, hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dalam usaha memperbaiki kesejahteraan hidup para nelayan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Pendekatan Teoritis
2.1.1. Karakteristik Umum Masyarakat Nelayan Nelayan dapat diartikan sebagai orang yang hasil mata pencaharian utamanya berasal dari menangkap ikan di laut. Menurut Setyohadi (1998), nelayan dikategorikan sebagai seseorang yang pekerjaannya menangkap ikan dengan menggunakan alat tangkap yang sederhana, mulai dari pancing, jala dan jaring, bagan, bubu sampai dengan perahu atau jukung yang dilengkapi dengan alat tangkap ikan. Namun dalam perkembangannya nelayan dapat pula dikategorikan sebagai seorang yang profesinya menangkap ikan dengan alat yang lebih modern berupa kapal ikan beserta peralatan tangkapnya yang sekarang dikenal sebagai anak buah kapal (ABK). Di samping itu juga nelayan dapat diartikan sebagai petani ikan yang melakukan budidaya ikan di tambak dan keramba-keramba di pantai.
2.1.1.1. Stratifikasi Masyarakat Nelayan Menurut Soekanto (2002), setiap masyarakat senantiasa mempunyai penghargaan tertentu terhadap hal-hal tertentu dalam masyarakat yang bersangkutan. Penghargaan yang lebih tinggi terhadap hal-hal tertentu, akan menempatkan hal tersebut pada kedudukan yang lebih tinggi dari hal-hal lainnya. Kalau masyarakat lebih menghargai kekayaan material daripada kehormatan, misalnya, maka mereka yang lebih banyak mempunyai kekayaan material akan
8
menempati kedudukan yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan pihakpihak lain. Gejala tersebut menimbulkan lapisan masyarakat, yang merupakan pembedaan posisi seseorang atau suatu kelompok dalam kedudukan yang berbeda secara vertikal. Menurut Kusnadi (2000), dengan mengamati pola-pola penguasaan asset produksi,
seperti
modal,
peralatan
tangkap,
dan
pasar,
akan
mudah
mengidentifikasi adanya pelapisan sosial dalam kehidupan masyarakat nelayan. Perbedaan-perbedaan kemampuan
ekonomi diantara lapisan-lapisan sosial itu
diwujudkan dalam ketimpangan pemilikan barang-barang kekayaan. Di bagianbagian tertentu dari kampung nelayan, biasanya ada satu-dua rumah yang dibangun megah. Sementara itu, kondisi rumah-rumah disekitarnya adalah sebaliknya. Jenis rumah pertama dapat diidentifikasi sebagai rumah pemilik perahu, pedagang ikan, sedangkan jenis rumah yang terakhir adalah milik nelayan miskin. Gejala demikian merupakan gejala yang paling kasat mata dalam kehidupan di kampung-kampung nelayan. Rumah-rumah yang megah dan perhiasan emas yang dikenakan dalam penampilan sehari-hari adalah harta kekayaan yang biasa diperlihatkan orangorang kaya. Sebaliknya, rumah yang sederhana, tidak adanya perhiasan dan banyaknya hutang ke berbagai pihak adalah bentuk dari ketiadaan harta yang bisa diperlihatkan oleh orang-orang miskin kepada masyarakat.
2.1.1.2. Tipologi Nelayan Tipologi dapat diartikan sebagai pembagian masyarakat ke dalam golongan-golongan menurut kriteria-kriteria tertentu. Mengacu kepada Satria
9
(2001), kriteria dalam tipologi masyarakat nelayan dapat dilihat berdasarkan kapasitas teknologi (alat tangkap dan armada) maupun budaya. Dua hal tersebut (teknologi dan orientasi budaya) sangat terkait satu sama lain. Nelayan kecil mencakup barbagai karakteristik, ketika seorang nelayan belum menggunakan alat tangkap yang maju, pada umumnya diiringi oleh beberapa karakteristik budaya seperti lebih berorientasi subsistensi. Sementara itu, nelayan besar dicirikan oleh skala usaha yang besar, baik kapasitas teknologi penangkapan maupun jumlah armadanya, mereka berorientasi pada keuntungan (profit oriented), dan umumnya melibatkan sejumlah buruh nelayan sebagai anak buah kapal (ABK) dengan organisasi kerja yang semakin kompleks. Pola hubungan antar berbagai status dalam organisasi tersebut juga semakin hierarkhis. Wilayah operasinya pun semakin beragam. Satria (2002), menggolongkan nelayan menjadi 4 (empat) tingkatan yang dilihat dari kapasitas teknologi, orientasi pasar dan karakteristik hubungan produksi. Keempat tingkatan nelayan terbut adalah: 1. Peasant-fisher atau nelayan tradisional yang biasanya lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan sendiri (subsisten). Umumnya nelayan golongan ini masih menggunakan alat tangkap tradisional, seperti dayung atau sampan tidak bermotor dan masih melibatkan anggota keluarga sebagai tenaga kerja utama. 2. Post-peasant fisher dicirikan dengan penggunaan teknologi penangkapan ikan yang lebih maju seperti motor tempel atau kapal motor. Penguasaan sarana perahu motor tersebut semakin membuka peluang bagi nelayan untuk menangkap ikan di wilayah perairan yang lebih jauh dan memperoleh
10
surplus dari hasil tangkapannya karena mempunyai daya tangkap lebih besar. Umunya, nelayan jenis ini masih beroperasi diwilayah pesisir. Pada jenis ini, nelayan sudah berorientasi pasar. Sementara itu, tenaga kerja yang digunakan sudah meluas dan tidak bergantung pada anggota keluarga saja. 3. Commercial fisher, yaitu nelayan yang telah berorientasi pada peningkatan keuntungan. Skala usahanya sudah besar yang dicirikan dengan banyaknya jumlah tenaga kerja dengan status yang berbeda dari buruh hingga manajer. Teknologi yang digunakan pun lebih modern dan membutuhkan keahlian tersendiri dalam pengoperasian kapal maupun alat tangkapnya. 4. Industrial fisher, ciri nelayan jenis ini adalah diorganisasi dengan cara-cara yang mirip dengan perusahaan agroindustri dinegara-negara maju, secara relatif lebih padat modal, memberikan pendapatan yang lebih tinggi daripada perikanan sederhana, baik untuk pemilik maupun awak perahu, dan menghasilkan untuk ikan kaleng dan ikan beku yang berorientasi ekspor.
Menurut Mubyarto, et al (1984), berdasarkan stratifikasi yang ada pada masyarakat nelayan, dapat diketahui berbagai tipologi nelayan, yaitu: 1. Nelayan kaya A, yaitu nelayan yang mempunyai kapal sehingga mempekerjakan nelayan lain tanpa ia sendiri harus ikut bekerja. 2. Nelayan kaya B, yaitu nelayan yang memiliki kapal tetapi ia sendiri masih ikut bekerja sebagai awak kapal. 3. Nelayan sedang, yaitu nelayan yang kebutuhan hidupnya dapat terpenuhi dengan pendapatan pokoknya dari bekerja sebagai nelayan, dan memiliki perahu tanpa mempekarjakan tenaga dari luar keluarga.
11
4. Nelayan miskin, yaitu nelayan yang pendapatan dari perahunya tidak mencukupi kebutuhan hidupnya, sehingga harus ditambah dengan bekerja lain baik untuk ia sendiri atau untuk isteri dan anak-anaknya. 5. Nelayan pandega atau tukang kiteng.
2.1.1.3. Hubungan Antar Tipe Nelayan Menurut Satria (2002), hubungan antar tipe nelayan dicirikan dengan kuatnya ikatan patron-klien. Kuatnya ikatan patron-klien tersebut merupakan konsekuensi dari sifat kegiatan penangkapan ikan yang penuh dengan resiko dan ketidakpastian. Bagi nelayan, menjalin ikatan dengan patron merupakan langkah yang penting untuk menjaga kelangsungan kegiatannya karena pola patron-klien merupakan institusi jaminan ekonomi. Hal ini terjadi karena nelayan belum menemukan alternatif institusi yang menjamin kepentingan sosial ekonomi mereka. Masyhuri (2001), menggambarkan bahwa pada saat hasil tangkapan kurang baik, nelayan kekurangan uang. Pada akhirnya, ia melepas barang-barang yang mudah dijual dengan harga lebih murah kepada patron. Selanjutnya, nelayan akan mencari hutang kepada patron dengan jaminan ikatan pekerjaan atau hasil tangkapan yang hanya akan dijual kepada patron dengan harga lebih rendah dari harga pasar. Selain itu Kusnadi (2002), menjelaskan bahwa dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan berupa penangkapan ikan oleh berbagai tipe nelayan tidak jarang menimbulkan konflik sosial antar kelompok masyarakat nelayan dalam memperebutkan sumberdaya perikanan di daerah perairan mereka. Konflik sosial, baik terbuka maupun laten antar kelompok masyarakat nelayan dalam
12
memperebutkan sumberdaya perikanan dapat berlangsung di berbagai daerah pesisir.
2.1.2. Kemiskinan Nelayan 2.1.2.1. Konsep Kemiskinan Kemiskinan secara umum dapat dibedakan dalam beberapa pengertian. Menurut Hermanto dkk. (1995), kemiskinan dapat diartikan suatu keadaan dimana seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, yaitu kebutuhan akan pangan. Sedangkan Mangkuprawira (1993) menjelaskan bahwa kemiskinan sering disebut pula sebagai ketidak berdayaan dalam pemenuhan kebutuhan pokok baik materi maupun bukan materi. Materi dapat berupa pangan, pakaian, kesehatan dan papan. Sedangkan bukan materi berbentuk kemerdekaan, kebebasan hak asasi, kasih sayang, solidaritas, sikap hidup pesimistik, rasa syukur dan sebagainya.. Menurut Setiadi (2006), kemiskinan merupakan masalah struktural dan multi dimensional, yang mencakup politik, sosial, ekonomi, asset dan lain-lain. Dimensi-dimensi kemiskinan pun muncul dalam berbagai bentuk, seperti (a) tidak dimilikinya wadah organisasi yang mampu memperjuangkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat miskin, sehingga mereka benar-benar tersingkir dari proses pengambilan keputusan penting yang menyangkut diri mereka. Akibatnya, masyarakat miskin tidak memiliki akses yang memadai ke berbagai sumberdaya kunci yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan hidup mereka secara layak, termasuk akses informasi. (b) tidak terintegrasinya warga miskin ke dalam institusi sosial yang ada, sehingga mereka teralinasi dari dinamika masyarakat; (c) rendahnya penghasilan sehingga tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup
13
mereka sampai batas yang layak dan (d) rendahnya kepemilikan masyarakat miskin ke berbagai hal yang mampu menjadi modal hidup mereka, termasuk asset kualitas sumberdaya manusia (human capital), peralatan kerja, modal dana, perumahan, pemukiman dan sebagainya. Ellis (1983) dalam Darwin (2002), menyebutkan bahwa dimensi kemiskinan dapat diidentifikasi menurut ekonomi, sosial, dan politik. Kemiskinan ekonomi adalah kekurangan sumberdaya yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang. Kemiskinan ekonomi ini terbagi menjadi dua bagian yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut adalah seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan fisik minimum. Sedangkan kemiskinan relatif adalah seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan sesuai dengan perkembangan masyarakat saat itu. Kemiskinan sosial adalah kemiskinan akibat kekurangan jaringan sosial dan struktur yang tidak mendukung untuk mendapatkan kesempatan-kesempatan agar produktivitas seseorang meningkat. Penyebabnya antara lain karena faktor internal yaitu hambatan budaya sehingga disebut kemiskinan kultural. Sedangkan faktor eksternal diakibatkan oleh birokrasi dan peraturan resmi yang berakibat mencegah seseorang untuk memanfaatkan kesempatan yang ada. Yang termasuk dalam pengertian ini adalah kemiskinan struktural yaitu kemiskinan yang di derita masyarakat karena struktur sosial masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka, seperti kekurangan
fasilitas
pemukiman
yang
sehat,
pendidikan,
komunikasi,
perlindungan hukum dari pemerintah, dan lain-lain. Sedangkan kemiskinan politik
14
adalah kurangnya akses kekuasaan yang dapat menentukan alokasi sumberdaya untuk kepentingan sekelompok orang atau sistem sosial. Menurut Soemardjan (1997), ditinjau dari sudut sosiologi kemiskinan dapat dilihat dari pola-polanya, yaitu: 1. Kemiskinan Individual, kemiskinan ini terjadi karena adanya kekurangankekurangan yang disandang oleh seorang individu mengenai syarat-syarat yang diperlukan untuk mengentaskan dirinya dari lembah kemiskinan. Mungkin individu itu sakit-sakitan saja, sehingga tidak dapat bekerja yang memberi penghasilan. Mungkin juga ia tidak mempunyai modal finansial atau modal keterampilan (skill) untuk berusaha. Mungkin juga ia tidak mempunyai jiwa usaha atau semangat juang untuk maju di dalam kehidupan. Individu demikian itu dapat mederita hidup miskin dalam lingkungan yang kaya. Namun bagaimanapun, kalau individu itu dikaruniai jiwa usaha yang kuat atau semangat juang yang tinggi niscaya ia akan menemukan jalan untuk memperbaiki taraf hidupnya. 2. Kemiskinan Relatif, untuk mengetahui kemiskinan relatif ini perlu diadakan perbandingan antara taraf kekayaan material dari keluarga-keluarga atau rumahtangga-rumahtangga di dalam suatu komunitas tertentu. Dengan perbandingan itu dapat disusun pandangan masyarakat mengenai mereka yang tergolong kaya dan relatif miskin di dalam komunitas tersebut. Ukuran yang dipakai adalah ukuran pada masyarakat setempat (lokal). Dengan demikian suatu keluarga yang di suatu daerah komunitas dianggap relatif miskin dapat saja termasuk golongan kaya apabila diukur dengan kriteria di
15
tempat lain yang secara keseluruhan dapat dianggap komunitas atau daerah yang lebih miskin. 3. Kemiskinan Struktural, kemiskinan ini dinamakan struktural karena disandang oleh suatu golongan yang ”built in” atau menjadi bagian yang seolah-olah tetap dalam struktur suatu masyarakat. Di dalam konsep kemiskinan struktural ada suatu golongan sosial yang menderita kekurangan-kekurangan fasilitas, modal, sikap mental atau jiwa usaha yang diperlukan untuk melepaskan diri dari ikatan kemiskinan. Salah satu contoh dari golongan yang menderita kemiskinan struktural yaitu nelayan yang tidak memiliki perahu. Di dalam golongan ini banyak terdapat orang-orang yang tidak mungkin hidup wajar hanya dari penghasilan kerjanya, akibatnya mereka harus pinjam dan selama hidup terbelit hutang yang tak kunjung lunas. 4. Kemiskinan Budaya, yaitu kemiskinan yang diderita oleh suatu masyarakat di tengah-tengah lingkungan alam yang mengandung cukup banyak sumberdaya yang dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki taraf hidupnya. Kemiskinan ini disebabkan karena kebudayaan masyarakat tidak memiliki ilmu pengetahuan, pengalaman, teknologi, jiwa usaha dan dorongan sosial yang diperlukan untuk menggali kekayaan alam di lingkungannya dan menggunakannya untuk keperluan masyarakat. Lewis (1966), memahami kemiskinan dan ciri-cirinya sebagai suatu kebudayaan, atau lebih tepat sebagai suatu sub kebudayaan dengan struktur dan hakikatnya yang tersendiri, yaitu sebagai suatu cara hidup yang diwarisi dari generasi ke generasi melalui garis keluarga. Kebudayaan kemiskinan merupakan
16
suatu adaptasi atau penyesuaian, dan juga sekaligus merupakan reaksi kaum miskin terhadap kedudukan marginal mereka di dalam masyarakat yang berstrata kelas, sangat individualistis dan berciri kapitalisme. Kebudayaan tersebut mencerminkan suatu upaya mengatasi rasa putus asa dan tanpa harapan, yang merupakan perwujudan dari kesadaran bahwa mustahil dapat meraih sukses di dalam kehidupan sesuai dengan nilai-nilai dan tujuan masyarakat yang lebih luas. Kurang efektifnya partisipasi dan integrasi kaum miskin ke dalam lembaga-lembaga utama masyarakat, merupakan salah satu ciri terpenting kebudayaan kemiskinan. Ini merupakan masalah yang rumit dan merupakan akibat dari berbagai faktor termasuk langkanya sumberdaya-sumberdaya ekonomi, segregasi dan diskriminasi, ketakutan, kecurigaan atau apati, serta berkembangnya pemecahan-pemecahan masalah secara setempat. Rendahnya upah, parahnya pengangguran dan setengah pengangguran menjurus pada rendahnya pendapatan, langkanya harta milik yang berharga, tidak adanya tabungan, tidak adanya persediaan makanan di rumah dan terbatasnya jumlah uang tunai. Semua kondisi ini tidak memungkinkan adanya partisipasi yang efektif di dalam sistem ekonomi yang lebih luas. Sebagai respon terhadapnya, kita temui di dalam kebudayaan kemiskinan tingginya hal gadai menggadaikan barang-barang pribadi, hidup dibelit hutang kepada lintah darat setempat dengan bunga yang mencekik leher, munculnya sarana kredit informal yang secara spontan diorganisasikan dalam ruang lingkup tetangga, penggunaan pakaian dan mebel bekas, dan adanya pola untuk sering membeli dalam jumlah kecil-kecilan sehari-harinya sesuai dengan tingkat kebutuhan yang diperlukan.
17
2.1.2.2. Ciri Kemiskinan Nelayan Menurut Hermanto (1995), kemiskinan pada masyarakat nelayan dapat dicirikan oleh pendapatan yang berfluktuasi, pengeluaran yang konsumtif, tingkat pendidikan keluarga rendah, kelembagaan yang ada belum mendukung terjadinya pemerataan pendapatan, potensi tenaga kerja keluarga (istri dan anak) belum dapat dimanfaatkan dengan baik, dan akses terhadap permodalan yang rendah. Menurut Kusnadi (2002), ciri umum yang dapat dilihat dari kondisi kemiskinan dan kesenjangan sosial-ekonomi dalam kehidupan masyarakat nelayan adalah fakta-fakta yang bersifat fisik berupa kualitas pemukiman. Kampung-kampung nelayan miskin akan mudah diidentifikasi dari kondisi rumah hunian mereka. Rumah-rumah yang sangat sederhana, berdinding anyaman bambu, berlantai tanah berpasir, beratap daun rumbia, dan keterbatasan pemilikan perabotan rumahtangga adalah tempat tinggal para nelayan buruh atau nelayan tradisional. Sebaliknya, rumah-rumah yang megah dengan segenap fasilitas yang memadai akan mudah dikenali sebagai tempat tinggal pemilik perahu, pedagang perantara atau pedagang berskala besar dan pemilik toko. Selain gambaran fisik, kehidupan nelayan miskin dapat dilihat dari tingkat pendidikan
anak-anak
mereka,
pola
konsumsi
sehari-hari
dan
tingkat
pendapatannya. Karena tingkat pendapatan nelayan rendah, maka adalah logis jika tingkat pendidikan anak-anaknya juga rendah. Banyak anak nelayan yang harus berhenti sebelum lulus sekolah dasar atau kalaupun lulus, ia tidak akan melanjutkan pendidikannya ke sekolah lanjutan pertama. Disamping itu, kebutuhan hidup yang paling mendasar bagi rumahtangga nelayan miskin adalah pemenuhan kebutuhan pangan. Kebutuhan dasar yang lain, seperti kelayakan
18
perumahan dan sandang dijadikan sebagai kebutuhan sekunder. Kebutuhan akan pangan merupakan prasyarat utama agar rumahtangga nelayan dapat bertahan hidup.
2.1.2.3. Faktor-faktor Penyebab Kemiskinan Nelayan Menurut Pangemanan dkk. (2003), ada banyak penyebab terjadinya kemiskinan pada masyarakat nelayan, seperti kurangnya akses kepada sumbersumber modal, akses terhadap
teknologi, akses terhadap pasar
maupun
rendahnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam. Selain itu dapat pula disebabkan karena faktor-faktor sosial seperti pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi, rendahnya tingkat pendidikan, dan rendahnya tingkat kesehatan
serta alasan-alasan lainnya seperti kurangnya prasarana umum di
wilayah pesisir, lemahnya perencanaan spasial yang mengakibatkan tumpang tindihnya beberapa sektor pada satu kawasan, polusi dan kerusakan lingkungan. Menurut Kusnadi (2000), faktor-faktor yang menyebabkan semakin terpuruknya kesejahteraan nelayan sangat kompleks, yaitu: 1. Faktor alam yang berkaitan dengan fluktuasi musim ikan. Jika musim ikan atau ada potensi ikan yang relatif baik, perolehan pendapatan bisa lebih terjamin, sedangkan pada saat tidak musim ikan nelayan akan menghadapi kesulitan-kesulitan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Faktor alamiah ini selalu berulang setiap tahun. 2. Faktor non alam, yaitu faktor yang berkaitan dengan ketimpangan dalam pranata bagi hasil, ketiadaan jaminan sosial awak perahu, dan jaringan pemasaran ikan yang rawan terhadap fluktuasi harga, keterbatasan
19
teknologi pengolahan hasil ikan, dampak negatif modernisasi, serta terbatasnya peluang-peluang kerja yang bisa di akses oleh rumahtangga nelayan. Kondisi-kondisi aktual yang demikian dan pengaruh terhadap kelangkaan sumberdaya akan senantiasa menghadapkan rumahtangga nelayan ke dalam jebakan kekurangan. Menurut Suyanto (2003), faktor yang menyebabkan kondisi kesejahteraan nelayan tidak pernah beranjak membaik, yaitu : Pertama, berkaitan dengan sifat hasil produksi nelayan yang sering kali rentan waktu atau cepat busuk. Bagi nelayan tradisional yang tidak memiliki dana dan kemampuan cukup untuk mengolah hasil tangkapan mereka, maka satu-satunya jalan keluar untuk menyiasati kebutuhan hidup adalah bagaimana mereka menjual secepat mungkin ikan hasil tangkapannya ke pasar. Bagi nelayan miskin, persoalan yang paling penting adalah bagaimana mereka bisa memperoleh uang dalam waktu cepat, meski seringkali kemudian mereka harus rela menerima pembayaran yang kurang memuaskan dari para tengkulak terhadap ikan hasil tangkapan mereka. Di komunitas nelayan manapun, jarang terjadi nelayan bisa menang dalam tawarmenawar harga dengan tengkulak karena secara struktural posisi nelayan selalu kalah akibat sifat hasil produksi mereka yang sangat rentan waktu. Kedua, karena perangkap hutang. Akibat irama musim ikan yang tidak menentu dan kondisi perairan yang overfishing, maka sering terjadi keluarga nelayan miskin kemudian harus menjual sebagian atau bahkan semua asset produksi yang mereka miliki untuk menutupi hutang dan kebutuhan hidup sehari-hari yang tak kunjung usai.
20
2.1.3. Strategi Rumahtangga Nelayan Konsep strategi dapat diartikan sebagai rencana yang cermat mengenai suatu kegiatan untuk mencapai tujuan tertentu. Secara harfiah pengertian strategi adalah berbagai kombinasi dari aktivitas dan pilihan-pilihan yang harus dilakukan orang agar supaya dapat mencapai kebutuhan dan tujuan kehidupannya (Barret, et all. dalam Aristiyani, 2001). Crow dalam Dharmawan (2003) mengartikan strategi sebagai seperangkat pilihan diantara berbagai alternatif yang ada. Konsep strategi ini merupakan bagian dari pilihan rasional, dimana dalam teori tersebut dikatakan bahwa setiap pilihan yang dibuat individu, termasuk pemilihan suatu strategi dibuat berdasarkan perimbangan rasional dengan mempertimbangkan untung rugi yang akan diperoleh. Rumahtangga menunjuk pada sekumpulan orang yang hidup satu atap, tetapi tidak selalu memiliki hubungan darah. Setiap anggota dalam rumahtangga memiliki kesepakatan untuk menggunakan sumber-sumber yang dimilikinya secara bersama-sama. Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan Manig dalam Dharmawan seperti dikutip Lestari (2005), bahwa rumahtangga adalah grup dimana orang-orang tinggal bersama dalam satu atap dan menggunakan dapur yang sama, berkontribusi dalam pengumpulan pendapatan serta memanfaatkan pendapatan tersebut untuk kepentingan bersama. Dalam rumahtangga, semua modal dan barang diatur oleh kepala rumahtangga yang bertindak tanpa pamrih demi kepentingan bersama. Meskipun ada pembagian pekerjaan yang berdasarkan jenis kelamin dan umur, namun, semuanya bekerja untuk kepentingan bersama. Masing-masing anggota rumahtangga akan berkontribusi sesuai dengan peran, tanggungjawab dan kemampuannya.
21
Menurut Sitorus (1999) dalam Ihromi (1999), strategi ekonomi keluarga nelayan miskin menunjuk pada alokasi potensi sumberdaya rumahtangga secara rasional kedua sektor kegiatan sekaligus, yaitu sektor produksi dan sektor non produksi. Di bidang produksi, rumahtangga nelayan miskin menerapkan pola nafkah ganda, yaitu melibatkan sebanyak mungkin potensi tenaga kerja rumahtangga di berbagai kegiatan ekonomi pertanian dan luar pertanian, baik dalam status berusaha sendiri maupun status memburuh. Sektor non produksi atau lembaga kesejahteraan asli merupakan bagian penting dalam strategi ekonomi rumahtangga nelayan miskin. Sekalipun sifatnya tidak rutin, keterlibatan anggota rumahtangga di lembaga kesejahteraan asli dapat memberikan manfaat ekonomi yang penting bagi rumahtangga, secara langsung maupun tidak langsung. Penerimaan dari lembaga arisan, memungkinkan rumahtangga nelayan miskin untuk dapat membiayai kebutuhan yang memerlukan biaya cukup besar, antara lain perbaikan rumah, biaya sekolah anak, pesta (ritus), dan modal usaha. Penerimaan tersebut tidak saja membantu rumahtangga nelayan miskin dalam mengatasi konsekuensi kemiskinan (berupa kekurangan konsumsi) tetapi pada tingkat tertentu juga dapat mengatasi penyebab kemiskinan berupa kekurangan modal produksi. Menurut Kusnadi (2000), strategi nelayan dalam menghadapi kemiskinana dapat dilakukan melalui: 1. Peranan Anggota Keluarga Nelayan (istri dan anak). Kegiatan-kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh anggota rumahtangga nelayan (istri dan anak) merupakan salah satu dari strategi adaptasi yang harus ditempuh untuk menjaga kelangsungan hidup mereka.
22
2. Diversifikasi Pekerjaan Dalam menghadapi ketidakpastian penghasilan, keluarga nelayan dapat melakukan kombinasi pekerjaan. 3. Jaringan Sosial Melalui jaringan sosial, individu-individu rumahtangga akan lebih efektif dan efisien untuk mencapai atau memperoleh akses terhadap sumberdaya yang tersedia di lingkungannya. Jaringan sosial memberikan rasa aman bagi rumahtangga nelayan miskin dalam menghadapi setiap kesulitan hidup sehingga dapat mengarungi kehidupan dengan baik. Jaringan sosial secara alamiah bisa ditemukan dalam segala bentuk masyarakat dan manifestasi dari hakikat manusia sebagai makhluk sosial. Tindakan sosial-budaya yang bersifat kreatif ini mencerminkan bahwa tekanan-tekanan atau kesulitankesulitan ekonomi yang di hadapi nelayan tidak direspon dengan sikap yang pasrah. Secara umum, bagi rumahtangga nelayan yang pendapatan setiap harinya bergantung sepenuhnya pada penghasilan melaut, jaringan sosial berfungsi sangat strategis dalam menjaga kelangsungan kehidupan mereka. 4. Migrasi Migrasi ini dilakukan ketika di daerah nelayan tertentu tidak sedang musim ikan dan nelayan pergi untuk bergabung dengan unit penangkapan ikan yang ada di daerah tujuan yang sedang musim ikan. Maksud migrasi adalah untuk memperoleh penghasilan yang tinggi dan agar kebutuhan hidup keluarga terjamin. Dalam waktu-waktu tertentu, penghasilan yang telah diperoleh, mereka bawa pulang kampung untuk diserahkan kepada keluarganya, tetapi
23
kadang kala penghasilan itu dititipkan kepada teman-temannya yang sedang pulang kampung. Apabila di daerahnya sendiri telah musim ikan, atau keadaan hasil tangkapan nelayan setempat mulai membaik, merekapun akan kembali ke kampung halaman dan mencari ikan didaerah asalnya.
2.2.
Kerangka Pemikiran Menurut Kusnadi (2000), faktor penyebab kemiskinan nelayan dapat
berupa berupa fluktuasi musim ikan, pada saat tidak musim menangkap ikan nelayan menghadapi kesulitan-kesulitan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ketimpangan sistem bagi hasil dan dampak negatif motorisasi, menyebabkan semakin terpuruknya nelayan kecil. Pangemanan dkk. (2003) menjelaskan bahwa faktor penyebab kemiskinan pada masyarakat nelayan yaitu berupa rendahnya tingkat pendidikan nelayan, sehingga rumahtangga nelayan sangat terbatas dalam mengakses peluang-peluang kerja yang tersedia khususnya peluang kerja di luar sektor perikanan. Sedangkan Suyanto (2003) menjelaskan bahwa kemiskinan nelayan di sebabkan oleh perangkap hutang, akibat irama musim yang tidak menentu seringkali rumahtangga nelayan miskin harus menjual asset produksi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan menutupi hutang yang tak kunjung usai. Menurut Sitorus (1999) dalam Ihromi (1999), strategi rumahtangga nelayan miskin dalam mengatasi kemiskinan dapat berupa pola nafkah ganda dan pemanfaatan kelembagaan kesejahteraan asli (kelompok arisan), penerapan strategi tersebut dapat membantu rumahtangga nelayan miskin dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari dan membantu mengatasi faktor penyebab kemiskinan
24
berupa kekurangan modal produksi. Kusnadi (2000) menjelaskan bahwa strategi yang diterapkan oleh rumahtangga nelayan dalam mengatasi kemiskinan dapat berupa peranan anggota keluarga (istri dan anak) nelayan, diversifikasi pekerjaan. Penerapan strategi ini dapat membantu menambah sumber pendapatan rumahtangga nelayan di tengah ketidakpastian hasil tangkapan nelayan. Jaringan sosial juga dapat diterapkan sebagai strategi mengatasi kemiskinan karena melalui jaringan sosial rumahtangga nelayan akan lebih efektif untuk memperoleh akses terhadap sumberdaya yang tersedia di lingkungannya. Jaringan sosial memberikan rasa aman bagi rumahtangga nelayan miskin dalam menghadapi kesulitan hidup sehingga dapat mengarungi kehidupan dengan baik. Menurut
Corner
(1988:187-189)
dalam
Kusnadi
(2000),
bahwa
dikalangan penduduk miskin terdapat beberapa pola strategi adaptasi yang dikembangkan untuk menjaga kelangsungan hidup, yaitu: 1.
Melakukan beraneka ragam pekerjaan untuk memperoleh penghasilan.
2.
Jika kegiatan-kegiatan tersebut masih kurang memadai, penduduk miskin akan berpaling kepada sistem penunjang yang ada di lingkungannya. Sistem ikatan kekerabatan, ketetanggaan, dan pengaturan tukar-menukar secara timbal balik merupakan sumberdaya yang sangat berharga bagi penduduk miskin dalam menghadapi penghasilan dan peluang yang semakin menurun.
3.
Bekerja lebih banyak meskipun lebih sedikit masukan. Strategi yang bersifat ekonomis ini ditempuh untuk mengurangi tingkat kebutuhan konsumsi sehari-hari.
25
4.
Memilih alternatif lain jika ketiga alternatif di atas sulit dilakukan dan kemungkinan untuk tetap bertahan hidup di Desa sudah sangat kritis. Rumahtangga miskin tersebut harus menghadapi pilihan terakhir agar segera meninggalkan Desa dan bermigrasi ke daerah lain.
Berdasarkan
beberapa
pustaka
(Kusnadi,
Sitorus,
Suyanto,
dan
Pangemanan dkk) masyarakat nelayan dengan berbagai karakteristiknya khususnya nelayan kecil dan buruh nelayan selalu dihadapkan pada masalah kemiskinan. Faktor-faktor penyebab kemiskinan nelayan tersebut dapat berupa fluktuasi musim tangkapan, rendahnya sumberdaya manusia nelayan, eksploitasi pemodal, ketimpangan dalam sistem bagi hasil, motorisasi, pencemaran lingkungan, serta kebiasaan nelayan. Strategi-strategi yang dapat dilakukan oleh rumahtangga nelayan dalam mengatasi masalah kemiskinan yaitu pola nafkah ganda, peranan anggota keluarga, diversifikasi peralatan tangkap, pemanfaatan organisasi produktif, dan jaringan sosial. Strategi yang banyak dilakukan oleh rumahtangga nelayan di Desa Limbangan untuk mengatasi kemiskinan yaitu peranan anggota keluarga (istri dan anak) nelayan.
26
Berikut adalah skema atau alur berpikir dari penelitian mengenai strategi rumahtangga nelayan dalam mengatasi kemiskinan:
Faktor Penyebab Kemiskinan: • Fluktuasi musim tangkapan • Sumberdaya manusia nelayan • Eksploitasi pemodal • Ketimpangan sistem bagi hasil • Motorisasi • Pencemaran lingkungan • Kebiasaan nelayan
Kemiskinan rumahtangga nelayan
Strategi Rumahtangga Nelayan: • • • • •
Pola nafkah ganda Peranan anggota keluarga Diversifikasi peralatan tangkap Organisasi produktif Jaringan sosial
Gambar 1. Kerangka Studi Strategi Rumahtangga Nelayan Dalam Mengatasi Kemiskinan
Keterangan: : Memiliki keterkaitan dengan
27
2.3.
Batasan Pengertian 1. Kemiskinan Kemiskinan dapat diartikan suatu keadaan dimana seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, yaitu kebutuhan sandang, pangan, papan, dan lain-lain. 2. Pola Nafkah Ganda Upaya yang dilakukan rumahtangga nelayan untuk mempertahankan keberlangsungan hidup dengan menambah sumber pendapatan dengan melakukan berbagai jenis pekerjaan yang berbeda. 3. Peran Anggota Keluarga Upaya yang dilakukan rumahtangga nelayan untuk mempertahankan keberlangsungan hidup dengan menambah sumber pendapatan melalui penghasilan anggota rumahtangga. 4. Organisasi produktif Organisasi formal maupun informal (bentukan masyarakat sendiri) dimana rumahtangga nelayan terlibat di dalamnya untuk memperoleh sejumlah manfaat. 5. Jaringan Sosial Merupakan strategi yang melibatkan pertukaran dan kerjasama dalam bentuk materi ataupun non-materi.
28
2.4.
Hipotesis Pengarah Faktor penyebab kemiskinan pada masyarakat nelayan sangat kompleks.
Faktor penyebab kemiskinan nelayan tersebut dapat berupa fluktuasi musin tangkapan, rendahnya sumberdaya manusia (SDM) nelayan, eksploitasi pemodal, ketimpangan sistem bagi hasil, motorisasi, pencemaran lingkungan, dan kebiasaan nelayan. Rumahtangga nelayan tidak
menghadapi masalah kemiskinan dengan
sikap pasrah, melainkan melakukan berbagai strategi untuk mengatasi kemiskinan tersebut. Strategi yang dapat dilakukan oleh rumahtangga nelayan yaitu pola nafkah ganda, peranan anggota keluarga (istri dan anak), diversifikasi peralatan tangkap, pemanfaatan organisasi produktif, dan jaringan sosial. Dengan penerapan berbagai strategi tersebut, nelayan dapat bertahan hidup ditengah keadaan yang serba miskin atau setidaknya nelayan tidak terjerumus lebih dalam kepada jurang kemiskinan.
BAB III METODOLOGI
3.1.
Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan mempergunakan pendekatan kualitatif,
yang berusaha menggambarkan usaha-usaha masyarakat nelayan dalam mengatasi kemiskinan melalui metode studi kasus. Pendekatan kualitatif digunakan untuk mengembangkan pemahaman yang mendalam tentang permasalahan penelitian yang didasarkan pada pemahaman yang berkembang diantara orang-orang yang menjadi
subyek
penelitian.
Melalui
pendekatan
ini,
diharapkan
dapat
menggambarkan kompleksitas permasalahan penelitian dan untuk menghindari keterbatasan pembentukan pemahaman yang diikat oleh suatu teori tertentu dan yang hanya berdasar pada penafsiran peneliti. Melalui metode studi kasus, peneliti berusaha menangkap realitas sosial secara holistik dan mendalam tentang permasalahan penelitian. Tipe studi kasus yang dilakukan dalam penelitian ini adalah tipe studi kasus instrumental, dimana dalam penelitian ini memperlakukan kasus rumahtangga nelayan sebagai instrumen untuk memahami kondisi kehidupan pada masyarakat nelayan. Sesuai dengan tujuan dan kegunaan penelitian yang ingin dicapai, maka digunakan tipe penelitian yang bersifat eksplanatif. Tipe tersebut digunakan karena dalam penelitian ini ingin dipahami dan digambarkan bagaimana
masyarakat
nelayan
berusaha
meningkatkan kesejahteraan hidupnya.
mengatasi
kemiskinan
untuk
30
3.2.
Lokasi dan Waktu Penelitian Masyarakat yang penulis kaji dalam penelitian mengenai strategi
rumahtangga nelayan dalam mengatasi kemiskinan ini yaitu masyarakat nelayan yang berlokasi di Desa Limbangan, Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu, Propinsi Jawa Barat (lihat lampiran Gambar 8). Penentuan lokasi dilakukan secara purposive (sengaja), dengan pertimbangan bahwa Desa Limbangan merupakan salah satu pusat pemukiman nelayan yang ada di Kabupaten Indramayu, dan kehidupan masyarakat nelayannya memiliki karakteristik yang mendukung topik penelitian. Selain itu juga,
jarak yang relatif dekat dan penguasaan peneliti
terhadap bahasa daerah masyarakat nelayan setempat dapat memudahkan dalam pengambilan data. Waktu pelaksanaan penelitian dimulai pada bulan Juli sampai Agustus 2006. Dalam rentang waktu tersebut, peneliti diharapkan mampu mengumpulkan data-data yang diperlukan untuk menjawab perumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini.
3.3.
Teknik Pengumpulan Data Data yang diambil dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder (lihat tabel 12). Pengumpulan data primer dilakukan dengan menggunakan wawancara mendalam.
Wawancara mendalam akan dilakukan
terhadap responden, baik nelayan Anak Buah Kapal (ABK) ataupun nelayan juragan, dan yang relevan dengan studi. Wawancara juga dilakukan dengan para informan. Wawancara seperti ini perlu dilakukan untuk re-cek informasi dari responden. Untuk membantu proses wawancara dalam penelitian ini digunakan
31
pedoman pertanyaan sebagai interview guide (lihat lampiran 1). Pemakaian pedoman wawancara dimaksudkan agar proses wawancara berjalan lancar dan terarah pada fokus penelitian. Disamping wawancara mendalam, penelitian akan menggunakan metode pengamatan langsung (observasi). Tujuan pengamatan langsung adalah untuk mencocokkan hasil wawancara dengan kenyataan yang ada. Selain itu juga, dengan pengamatan langsung diharapkan akan terungkap kenyataan yang ada yang mungkin tidak dapat diketahui hanya melalui wawancara. Sedangkan data sekunder merupakan data yang menyangkut permasalahan penelitian dari berbagai instansi maupun sumber lain yang telah didokumentasikan dan dicatat, termasuk data statistik maupun data dari sumber litaratur yang lain. Data sekunder ini akan diperoleh melalui studi dokumen. Fenomena atau informasi penting tentang obyek studi dari seorang responden akan diperdalam dan dikembangkan lebih lanjut dengan informasi dari responden lainnya. Dengan cara ini, penetapan responden lebih ditentukan oleh permasalahan penting yang muncul atau yang ditemukan di lapangan. Responden dalam penelitian ini berjumlah 12 rumahtangga, terdiri atas 7 rumahtangga buruh nelayan (Bidak), 3 rumahtangga pemilik perahu (Juragan), dan 2 rumahtangga pemodal (Bakul).
3.4.
Metode Pengolahan dan Analisis Data Data kualitatif baik primer maupun sekunder yang telah didapatkan di
lapangan melalui wawancara mendalam, pengamatan langsung (observasi) dan studi dokumen dicatat dalam catatan harian yang kemudian akan diolah dan
32
dianalisis secara kualitatif melalui tahapan-tahapan reduksi, penyajian data, dan penarikan kesimpulan (Sitorus, 1998). Tahapan reduksi meliputi kegiatan meringkas
data,
mengkode
dan
mengklasifikasikan
data
tersebut
berdasarkangugus-gugus analisis dalam outline skripsi. Penyajian data tersebut diuraikan secara deskriptif dalam bentuk teks naratif dan matriks.
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1.
Gambaran Umum Desa
4.1.1. Lokasi dan Keadaan Alam Desa Limbangan termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu, Propinsi Jawa Barat. Desa ini termasuk Desa yang relatif baru, karena baru terbentuk pada tahun 1986 yang merupakan hasil pemekaran dari Desa Lombang. Menurut masyarakat setempat, asal usul nama Desa berasal perjalanan seseorang yang bernama Mbah Kuwu Sangkan, pada saat sedang mencari ikan-ikan kecil (rebon), beliau singgah di daerah ini untuk “melimbang” yang artinya memisahkan antara sampah (balad) dengan ikan, sehingga daerah ini dinamakan Desa Limbangan. Desa Limbangan memiliki luas wilayah 321,354 Ha, terdiri dari 3 Rukun Warga (RW) dan 12 Rukun Tetangga (RT). Masing-masing RW dan RT tersebut dipimpin oleh seorang ketua. Sedangkan batas-batas wilayah administrasi Desa Limbangan, yaitu sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Lombang, sebelah Barat berbatasan dengan Desa Majakerta dan sebelah Timur berbatasan dengan Desa Lombang. Keadaan alam Desa Limbangan berupa pantai yang memanjang dan sungai yang menjorok ke darat, sungai ini dimanfaatkan oleh nelayan untuk mendaratkan perahu-perahu mereka. Selain itu, di Desa ini juga masih terdapat tanah sawah, namun sawah-sawah tersebut merupakan sawah tadah hujan . Hal ini dikarenakan tidak adanya saluran irigasi untuk sawah, kalaupun ada airnya sudah asin seperti
34
air laut, sehingga tidak cocok digunakan untuk pengairan sawah. Tanah sawah tersebut sebagian besar dimiliki oleh penduduk Desa Lombang yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani. Pada perkembangannya tanah sawah di Desa ini banyak dikonversikan menjadi tambak. Tambak yang terdapat di Desa Limbangan pada umumnya adalah tambak udang dan hanya sebagian kecil tambak ikan bandeng.
4.1.2. Penduduk dan Mata Pencaharian Jumlah penduduk Desa Limbangan sebanyak 3662 jiwa atau 1004 Kepala Keluarga (KK) yang terdiri atas 1897 jiwa laki-laki dan 1765 jiwa perempuan. Adapun jumlah penduduk Desa Limbangan berdasarkan tingkat pendidikannya dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Jumlah dan Persentase Penduduk Desa Limbangan, Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu, Propinsi Jawa Barat Menurut Tingkat Pendidikan 2005. No
Tingkat Pendidikan
Jumlah Penduduk (Jiwa) 1. Belum sekolah 1040 2. Tidak pernah sekolah 120 3. Tidak tamat SD 255 4. Belum tamat SD 697 5. Tamat SD/sederajat 878 6. Tamat SLTP/sederajat 473 7. Tamat SLTA/sederajat 186 8. Akademi/Perguruan Tinggi 13 Jumlah 3662 Sumber : Data Monografi Desa Limbangan, 2005.
Persentase (%) 28,40 3,27 6,96 19,04 23,97 12,92 5,08 0,36 100,00
Jika mengacu kepada program pendidikan yang dicanangkan oleh pemerintah, yaitu program wajib belajar 9 tahun, maka tingkat pendidikan penduduk di Desa Limbangan dapat dikatakan masih rendah. Hal itu ditunjukkan dengan hanya 18,36 persen saja penduduk yang tamat di atas Sekolah Dasar (SD).
35
Rendahnya jumlah anak-anak yang melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, bukan hanya disebabkan oleh ketidakmampuan para orang tua secara materi, tetapi juga oleh keinginan sendiri anak-anak tersebut. Mereka memilih tidak mau melanjutkan sekolah walaupun orangtuanya mampu. Mereka lebih memilih langsung ikut bekerja di laut atau sebagai nelayan. Sebagian dari anakanak tersebut memilih melaut karena ikut-ikutan temannya yang lain, dan juga mereka melihat anak-anak yang lain mampu mempunyai uang sendiri setelah bekerja melaut. Namun ada juga sebagian orang tua yang menginginkan anaknya untuk membantu bekerja di laut untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, sehingga terdapat anak-anak yang terpaksa harus meninggalkan bangku sekolahnya. Tabel 2. Jumlah dan Persentase Penduduk Menurut Jenis Mata Pencaharian di Desa Limbangan 2005. No
Jenis Mata Pencaharian
Jumlah Penduduk (jiwa) 1. Nelayan 1580 2. Petani 137 3. Pedagang 105 4. Wiraswasta 75 5. Buruh Industri 15 6. Pegawai Negeri Sipil 10 7. Peternak 10 8. Montir 1 Jumlah 1933 Sumber : Data Monografi Desa Limbangan, 2005
Persentase (%) 81,74 7,09 5,43 3,89 0,78 0,51 0,51 0,05 100,00
Mata pencaharian penduduk Desa Limbangan sangat bervariasi, mulai dari petani, nelayan, sampai pegawai negeri (Tabel. 2). Tetapi berdasarkan Tabel tersebut, sebagian besar penduduk di Desa Limbangan bermata pencaharian sebagai nelayan, yaitu sebesar 81,74 persen. Hal ini disebabkan letak Desa Limbangan yang berada di wilayah Pesisir Pantai Utara Jawa, selain itu juga, sektor pekerjaan nelayan merupakan bidang yang paling terbuka luas dan sangat
36
mudah dimasuki oleh penduduk yang tingkat pendidikannya rendah dan memiliki keterbatasan modal usaha. Mata pencaharian sebagai petani, baik petani sendiri maupun buruh tani pada tabel di atas, sebagian besar adalah bekerja sebagai petani sawah. Sementara itu buruh industri yang banyak menjadi mata pencaharian penduduk sebagian besar adalah industri pengolahan hasil ikan seperti industri udang, ikan teri dan rajungan. Selain itu adapula pemilik toko atau warung yang menjual kebutuhan hidup sehari-hari penduduk Desa Limbangan, mereka hampir tersebar merata di seluruh bagian Desa ini.
4.1.3. Sarana, Prasarana dan Pola Pemukiman Penduduk Kondisi jalan utama yang ada di Desa Limbangan yaitu berupa jalan beraspal yang panjang keseluruhannya sekitar 600 meter. Pembangunan jalanjalan tersebut merupakan bantuan dari pemerintah dan hasil swadaya masyarakat. Sedangkan jalan-jalan kecil yang ada di Desa, seperti gang-gang kecil, sebagian sudah dilakukan pengerasan dengan biaya swadaya masyarakat, ada juga jalanjalan di Desa yang masih berupa jalan tanah atau kerikil. Transportasi yang digunakan penduduk Desa ini apabila hendak bepergian adalah dengan menggunakan becak dan sepeda motor. Sarana transportasi ini hanya menghubungkan sampai jalan raya utama yaitu jalan yang menghubungkan transportasi menuju daerah-daerah di Kabupaten. Namun, sebagian besar penduduk juga telah memiliki kendaraan pribadi, seperti sepeda, sepeda motor dan mobil yang dapat digunakan untuk sarana transportasi masyarakat setempat.
37
Sarana pendidikan yang terdapat di Desa Limbangan masih belum mencukupi. Hal itu dapat terlihat pada Tabel 3 berikut ini: Tabel 3. Bangunan Sarana Pendidikan di Desa Limbangan, Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu, Propinsi Jawa Barat. Bangunan Jumlah Bangunan Taman Kanak-kanak 2 (TK) Sekolah Dasar (SD) 2 Madrasah 1 Sumber : Data Monografi Desa Limbangan, 2005
Jumlah Guru
Jumlah Murid
4
97
20 4
878 80
Bagi penduduk yang akan melanjutkan pendidikan selepas Sekolah Dasar (SD), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) terdekat adalah di Desa Juntinyuat yang berjarak sekitar 3 Km dari Desa. Sedangkan bagi anak-anak yang ingin melanjutkan pendidikan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA), mereka harus ke luar Kecamatan, biasanya sekolah yang dituju terletak di Kecamatan Indramayu, Balongan, Jatibarang, Karangampel, Krangkeng dan lain-lain. Prasarana untuk menunjang kegiatan ibadah, di Desa Limbangan terdapat 1 buah masjid dan 17 buah mushola. Untuk keperluan kesehatan, penduduk Desa biasanya memanfaatkan Puskesmas pembantu yang ada di Desa tersebut. Selain itu di Desa Limbangan juga terdapat dua orang bidan dan seorang mantri yang membuka praktek setiap hari selain hari libur. Akan tetapi, banyak juga penduduk yang lebih memilih berobat kepada paranormal atau ke luar Desa, yang biasanya pada dokter-dokter spesialis yang ada di Kota Indramayu dan Cirebon. Di Desa Limbangan fasilitas-fasilitas umum seperti listrik, telepon dan Produksi Air Minum (PAM) sudah tersedia dan telah dinikmati hampir oleh sebagian warga. Fasilitas listrik telah masuk ke Desa ini sejak tahun 1986. namun ada pula sebagian rumah warga yang hanya dialiri listrik oleh tetangganya,
38
sehingga mereka hanya mempunyai kewajiban membayar kepada tetangga yang mengaliri listriknya tersebut. Dengan adanya fasilitas listrik telah mendorong kepemilikan barang-barang elektronik, seperti televisi, kulkas, tape, vcd dan lainlain. Saluran PAM masuk ke Desa Limbangan pada tahun 1988. Sebelum masuknya saluran PAM, kebutuhan air warga hanya di dapat dari sumur atau sumur bor yang mereka miliki. Akan tetapi, air sumur yamg mereka miliki hanya dapat digunakan untuk keperluan mandi, mencuci dan Buang air (MCK), sedangkan untuk minum dan masak warga mengambil air dari desa lain atau yang dikenal dengan istilah ngangsu. Hal ini dilakukan karena kebanyakan sumursumur milik warga airnya tidak layak apabila digunakan untuk minum atau masak. Sarana komunikasi berupa fasilitas telepon baru masuk ke desa Limbangan pada tahun 2001. Menurut salah seorang informan Dsp (55 tahun), akhir-akhir ini telah banyak warga yang mempunyai telepon genggam atau handphone (HP). HP ini digunakan oleh warga untuk berkomunikasi dengan keluarga atau saudaranya yang bekerja di luar negeri sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) atau Tenaga Kerja Perempuan (TKW). Selain itu, HP digunakan juga untuk mendapatkan informasi tentang fluktuasi musim ikan di daerah tertentu. Pola pemukiman penduduk di Desa Limbangan adalah pola menyebar mengikuti jalan dan gang-gang, rumah-rumah penduduk menghadap ke jalan-jalan utama Desa dan juga gang-gang kecil. Rumah-rumah di Desa ini sebagian besar tidak mempunyai halaman yang luas dan jarak antar rumah saling berhimpitan. Rumah-rumah yang terletak di pinggir-pinggir jalan Desa rata-rata kondisinya
39
cukup baik, apalagi rumah-rumah milik para bakul1 dan juragan2. Akan tetapi, sebagian besar kondisi rumah-rumah nelayan masih sangat sederhana. Berdasarkan kondisi fisik bangunannya, rumah-rumah di Desa Limbangan dapat dibagi menjadi tiga kategori, seperti terlihat pada tabel 4 berikut ini:
Tabel 4. Bangunan Rumah Nelayan Menurut Jenis Rumah, Jumlah, dan Pemilik. Jenis Rumah Permanen Semi permanen Sedehana/gubuk
Jumlah (buah) 375 475 250
Pemilik Bakul dan Juragan Juragan dan Bidak Bidak
4.1.4. Motorisasi Peralatan Tangkap Motorisasi usaha penangkapan merupakan pengadaan motor bagi perahuperahu penangkap ikan milik nelayan baik berupa “motor tempel” maupun “motor duduk” dengan tujuan untuk meningkatkan nelayan dalam mengelola sumberdaya perikanan di laut. Dengan adanya motorisasi usaha penangkapan ikan ini, diharapkan nelayan dapat meningkatkan jangkauan operasi penangkapan ikan agar hasil yang diperoleh dapat ditingkatkan. Motorisasi peralatan tangkap di Desa ini sudah dimulai sejak tahun 1972an. Hal ini dilatar belakangi oleh adanya program pemerintah tentang motorisasi peralatan tangkap dan persaingan diantara nelayan. Pada waktu perahu-perahu nelayan di Desa Limbangan masih menggunakan dayung dan layar, perahuperahu nelayan dari daerah lain seperti Cirebon sudah menggunakan mesin, sehingga nelayan di Desa ini kalah bersaing dengan nelayan-nelayan dari daerah
1
2
Bakul adalah istilah lokal untuk sebutan pemodal atau pedagang yang membeli hasil tangkapan nelayan, disebut juga sebagai pedagang pengumpul. Juragan adalah nelayan yang memiliki perahu yang digunakan untuk melaut, biasanya memiliki buruh nelayan sebagai Anak Buah Kapal (ABK).
40
lain dalam usaha penangkapan ikan. Melihat kenyataan seperti itu, mau tidak mau nelayan di Desa Limbangan melakukan motorisasi pada perahu-perahu mereka dengan alasan agar mampu bersaing dengan nelayan-nelayan dari daerah lain dan dapat meningkatkan hasil tangkapan. Pada awal perkembangan proses motorisasi peralatan tangkap, para nelayan mendapatkan mesin dan peralatan tangkap lainnya dari hasil kredit kepada pemerintah melalui Koperasi yang ada di Desa ini. Pada tahun 1972, pemerintah telah menyalurkan bantuan kredit berupa 12 unit mesin. Bantuan kredit tersebut tidak disambut secara antusias oleh para nelayan karena pada waktu itu para nelayan takut akan dikenakan sanksi apabila tidak dapat mengembalikan bantuan kredit tersebut. Pada tahun 1974, bantuan kredit tersebut dihentikan karena para nelayan tidak dapat mengembalikan pinjaman kredit, sehingga untuk tahun-tahun selanjutnya para nelayan mendapatkan mesin dan peralatan tangkap lainnya dari uang hasil pinjaman kepada bakul atau modal sendiri.
4.1.5. Jenis Peralatan Tangkap Peralatan tangkap yang digunakan oleh masyarakat nelayan di Desa Limbangan sangat beragam diantaranya yaitu: 1. Jaring Payang Jaring Payang merupakan jenis alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan teri. Alat tangkap jaring ini berukuran panjang 7 m, lebar 10 m, dan diameter lubang jaring 4-5 inci. Perahu yang digunakan bermesin duduk dengan kekuatan 12-20 PK. Sedangkan ukuran perahu yang digunakan yaitu
41
panjang 7-9 meter, lebar 2,40-2,50 meter dan tinggi 1,8 meter. Jenis alat tangkap ini dioperasikan oleh 7-9 orang. Dalam sekali melaut nelayan pada jenis alat tangkap ini akan melakukan tawur3 sebanyak 15-25 kali. Hal ini sangat tergantung dengan banyaknya hasil tangkapan pada setiap tawur, apabila hasilnya baik, maka kemungkinan besar nelayan akan melakukan tawur lebih sedikit. Wilayah operasi jenis alat tangkap ini pada kedalaman 710 meter. Jenis alat tangkap ini biasa dioperasikan pada musim Timur. 2. Jaring Kantong Jaring Kantong merupakan jenis alat tangkap yang digunakan untuk menangkap udang. Alat tangkap jaring ini berukuran panjang 2 m, lebar 12 m, dan diameter lubang jaring 2 inci. Perahu yang digunakan bermesin duduk dengan kekuatan 12-20 PK. Sedangkan ukuran perahu yang digunakan yaitu panjang 7-9 meter, lebar 2,40-2,50 meter dan tinggi 1,8 meter. Jenis alat tangkap ini dioperasikan oleh 3-4 orang. Dalam sekali melaut nelayan pada jenis alat tangkap ini akan melakukan tawur sebanyak 3-4 kali. Wilayah operasi jenis alat tangkap ini pada kedalaman 10-20 meter. Jenis alat tangkap ini biasanya dioperasikan pada musim Barat. 3. Jaring Rampusan/Unyil Jaring Rampusan merupakan jenis alat tangkap yang digunakan untuk menangkap berbagai jenis ikan, seperti ikan Lowang, Kembung dan lain-lain. Alat tangkap jaring ini berukuran panjang 5 m, lebar 15 m, dan diameter lubang jaring 2,25 inci. Perahu yang digunakan bermesin duduk dengan kekuatan 12-20 PK. Sedangkan ukuran perahu yang digunakan yaitu panjang
3
Tawur adalah istilah lokal untuk kegiatan menabur jaring pada saat melaut
42
7-9 meter, lebar 2,40-2,50 meter dan tinggi 1,8 meter. Jenis alat tangkap ini dioperasikan oleh 3-4 orang. Dalam sekali melaut nelayan pada jenis alat tangkap ini akan melakukan tawur sebanyak 2-3 kali. Wilayah operasi jenis alat tangkap ini pada kedalaman 7-8 meter.
Jenis alat tangkap ini biasa
dioperasikan pada musim Timur. 4. Jaring Kejer/Bubu Jaring Kejer/Bubu merupakan jenis alat tangkap yang digunakan untuk menangkap Rajungan. Alat tangkap jaring ini berukuran panjang 1 m, lebar 8 m, dan diameter lubang jaring 3-4 inci. Perahu yang digunakan bermesin duduk dengan kekuatan 12-20 PK. Sedangkan ukuran perahu yang digunakan yaitu panjang 7-9 meter, lebar 2,40-2,50 meter dan tinggi 1,8 meter. Jenis alat tangkap ini dioperasikan oleh 3-4 orang. Dalam sekali melaut nelayan pada jenis alat tangkap ini akan melakukan tawur sebanyak 2-3 kali. Wilayah operasi jenis alat tangkap ini pada kedalaman 9-10 meter. Jenis alat tangkap ini biasa dioperasikan pada musim Timur. 5. Jaring Kopet Jaring Kopet merupakan jenis alat tangkap yang digunakan untuk menangkap Ikan Tanjan. Alat tangkap jaring ini berukuran panjang 7 m, lebar 13 m, dan diameter lubang jaring 1 inci. Perahu yang digunakan bermesin duduk dengan kekuatan 12-20 PK. Sedangkan ukuran perahu yang digunakan yaitu panjang 7-9 meter, lebar 2,40-2,50 meter dan tinggi 1,8 meter. Jenis alat tangkap ini dioperasikan oleh 3-4 orang. Dalam sekali melaut nelayan pada jenis alat tangkap ini akan melakukan tawur sebanyak 2-3 kali. Wilayah operasi jenis
43
alat tangkap ini pada kedalaman 10-15 meter. Jenis alat tangkap ini biasanya dioperasikan pada musim Barat.
Tabel 5. Perbedaan Jenis Alat Tangkap Nelayan di Desa Limbangan Menurut Jenis ikan, Jumlah nelayan, Frekuensi menabur jaring, Wilayah operasi dan Musim Jenis alat tangkap
Jaring payang Jaring Kantong Jaring Rampusan Jaring Kejer/Bubu Jaring Kopet
Jenis ikan
Teri Udang Lowang, kembung dan lain-lain Rajungan Tanjan
Jumlah nelayan (orang) 6-9 3-4 3-4
Frekuensi menabur jaring 15-25 3-4 2-3
Wilayah Operasi (meter) 7-10 10-20 7-8
Musim
3-4 3-4
2-3 2-3
9-10 10-15
Timur Barat
Timur Barat Timur
Pada umumnya kegiatan penangkapan ikan dapat dilakukan setiap hari sepanjang tahunnya, namun karena hasil tangkapan dipengaruhi juga oleh musim penangkapan ikan, sehingga pada musim-musim tertentu yaitu pada musim paceklik ikan atau masyarakat sering menyebutnya sebagai musim laip, banyak para nelayan yang tidak berangkat melaut karena tidak ada hasil tangkapan sehingga kalau dipaksakan berangkat melaut akan rugi. Kondisi tersebut sangat berhubungan dengan kondisi alam yang sedang terjadi di daerah tersebut. Masyarakat nelayan di Desa Limbangan mengenal dua musim, yaitu musim Barat atau yang biasa disebut Baratan dan musim Timur atau Timuran. Musim Barat terjadi sekitar bulan November sampai bulan Pebruari, dimana pada musim ini ombak relatif besar dengan arus yang relatif kuat, sehingga pada musim barat kadang banyak nelayan yang tidak melaut. Sedangkan musim Timur terjadi antara bulan April sampai bulan September, dimana pada musim ini ombak relatif kecil dan merupakam musim kering atau banyak ikan.
44
4.1.6. Tradisi dan Kepercayaan Masyarakat Penduduk di Desa Limbangan semuanya beragama Islam. Untuk masalah aliran, masyarakat
di Desa Limbangan hanya mengenal satu aliran yaitu
Nahdlatul Ulama (NU), sehingga dalam ritual keagamaan diantara masyarakat relatif sama. Di Desa Limbangan terdapat tradisi yang sudah turun-temurun dan rutun dilaksanakan setiap tahun. Tradisi tersebut adalah pesta laut yang oleh masyarakat setempat dikenal dengan istilah Nadran. Dalam acara pesta nadran selain upacara adat, terdapat pula pementasan kesenian daerah berupa pementasan wayang, baik wayang kulit maupun wayang golek. Selain itu, terdapat juga hiburan yang dapat dinikmati oleh masyarakat, antara lain konser dangdut, dan pasar malam yang diselenggarakan selama seminggu. Biaya yang digunakan untuk penyelenggaraan nadran tersebut merupakan hasil dari swadaya masyarakat. Sumbangan dari masyarakat tersebut dikumpulkan atau dicicil selama setahun, yang pembayarannya dapat dilakukan setelah pulang melaut. Untuk jumlah uang yang harus disumbangkan biasanya telah ditetapkan bersama melalui musyawarah. Selain itu, terdapat pula tradisi sedekah bumi dan tolak bala. Tradisi-tradisi tersebut dilakukan sebagai wujud rasa syukur atas hasil tangkapan ikan yang telah diperoleh. Tradisi-tradisi tersebut dipercayai oleh masyarakat untuk menghormati penguasa laut. Masyarakat nelayan mempercayai bahwa penguasa laut adalah nabi Khidir, as. Selain itu, pelaksanaan tradisi-tradisi tersebut bertujuan agar pekerjaan melaut mereka mendapatkan hasil yang lebih baik dan agar tidak mendapatkan aral melintang dalam mencari ikan dilaut. Masyarakat setempat mempercayai bahwa jika tradisi-tradisi tersebut tidak
45
dilaksanakan pada kurun waktu tertentu, maka masyarakat akan mendapatkan musibah. Selain tradisi-tradisi tersebut, masyarakat nelayan juga mempercayai adanya pantangan-pantangan yang harus dipatuhi, seperti tidak boleh melaut pada saat hari lebaran, baik lebaran idul fitri maupun lebaran haji. Apabila pantangan ini dilanggar masyarakat nelayan di Desa Limbangan percaya bahwa pada saat melaut akan mendapatkan musibah.
BAB V KEMISKINAN DAN STRATEGI RUMAHTANGGA NELAYAN
5.1.
Situasi Umum Kehidupan Nelayan Bagi para nelayan di Desa Limbangan, secara umum kehidupan sehari-hari
mereka sudah dimulai pada pagi hari. Para nelayan berangkat melaut sekitar pukul 03.00 dan pulang pada siang hari sekitar pukul 13.00. Karena harus mengikuti penjualan hasil tangkapan dan membereskan peralatan tangkap setelah digunakan melaut, biasanya para nelayan baru pulang ke rumah juragan sekitar pukul 15.00. Setelah pulang kerumah juragan, kegiatan yang dilakukan adalah pembagian hasil atau dikenal dengan istilah nyacar. Setelah pembagian hasil selesai para nelayan pulang kerumah masing-masing. Setelah di rumah kegiatan yang dilakukan oleh nelayan satu dengan yang lainnya berbeda-beda, ada yang membantu pekerjaan isterinya, beristirahat, ataupun melakukan kegiatan lainnya. Namun, pada waktu-waktu tertentu, seperti pada saat musim menangkap udang, kehidupan sehari-hari nelayan sangat berbeda dari hari-hari biasanya. Pada saat musim tersebut kegiatan nelayan sangat padat, karena setelah selesai melakukan pembagian hasil para bidak masih mempunyai kewajiban untuk memperbaiki alat tangkap jaring yang rusak ketika digunakan untuk menangkap ikan. Kegiatan memperbaiki jaring yang terkoyak (ngiteng) pada saat menangkap ikan ini dilakukan sampai larut malam bahkan sampai pagi hari, sehingga kadangkadang sebagian nelayan tidak sempat beristirahat untuk tidur karena harus pergi melaut (miyang).
47 5.1.1. Stratifikasi Masyarakat Nelayan Sektor nelayan yang menjadi mata pencaharian pokok masyarakat Desa Limbangan (81,74%), stratifikasi sosial yang muncul adalah berdasarkan penguasaan asset produksi di bidang perikanan. Meskipun beragam sektor pekerjaan lain mulai tumbuh di Desa ini, namun sektor perikanan masih menjadi sektor yang diunggulkan oleh masyarakat. Stratifikasi sosial yang muncul pada masyarakat nelayan di Desa Limbangan dapat terlihat oleh adanya ketidaksetaraan ekonomi antar lapisan. Pada masyarakat nelayan di Desa Limbangan, muncul istilah bakul, juragan, dan bidak. Istilah-istilah tersebut sekaligus menjadi penyebutan dalam pelapisan di masyarakat. Istilah bakul menempati stratifikasi sosial yang paling tinggi. Istilah bakul diperuntukkan untuk lapisan masyarakat yang mempunyai asset yang besar dalam bidang perikanan dan hal itu tercermin dari kepemilikan properti yang ada di darat, seperti bangunan rumah yang bagus, kepemilikan alat transportasi, barang-barang elektronik dan sebagainya. Kelompok ini tidak terlibat secara langsung dalam kegitan menangkap ikan, melainkan hanya sebagai pembeli pengumpul atau mendistribusikan hasil tangkapan para nelayan.Bakul yang sudah sukses biasanya mempunyai jaringan yang luas diantara para nelayan dan juga jaringan pasar, baik pasar lokal maupun pasa regional seperti pasar Jakarta dan sekitarnya. Bagi bakul yang melakukan usaha jual beli ikan dalam skala kecil biasanya disebut sebagai bakul engklek. Lapisan berikutnya adalah kelompok masyarakat nelayan yang di sebut juragan. Juragan adalah nelayan yang memiliki alat-alat produksi (perahu dan peralatan tangkap). Kelompok ini dianggap sebagai lapisan menengah. Sebagian
48 besar para juragan di Desa ini masih ikut dalam kegiatan menangkap ikan (miyang), sehingga memiliki hubungan yang dekat dengan para bidaknya. Karena dianggap memiliki tingkat ekonomi yang lebih, juragan seringkali menjadi sandaran bagi anak buahnya( bidak) bila mengalami kesulitan ekonomi. Lapisan masyarakat yang dianggap paling bawah adalah bidak, penyebutan istilah bidak adalah mengacu pada nelayan yang tidak bermodal, hanya modal tenaga dan kemauan saja. Kelompok ini adalah lapisan yang paling bawah, baik secara sosial mapun secara ekonomi. Lapisan ini banyak bergantung pada hasil tangkapan, bila hasil tangkapan melimpah, penghasilan seorang bidak akan cukup untuk menutupi kebutuhan sehari-hari, dan bila hasil tangkapan ikan sedikit, untuk mencukupi kebutuhan pokok saja harus menghutang terlebih dahulu kepada juragan, kerabat, teman atau tetangganya.
5.1.2. Hubungan Antar Tipe Nelayan Hubungan antar bakul secara sepintas terlihat sangat individualis dan terkesan memiliki persaingan untuk memperoleh ikatan penjualan dari para juragan. Kerjasama diantara bakul terlihat pada penetapan harga ikan hasil tangkapan nelayan, sehingga harga penjualan ikan yang berlaku pada setiap bakul sama. Hal ini akan memperkuat posisi para bakul dalam penetapan harga ikan pada saat melakukan transaksi jual beli dengan para juragan. Pola kerjasama antara bakul dan juragan terimplementasi dalam ikatan jual beli. Pada saat seorang juragan membutuhkan modal untuk membeli atau memperbaiki alat-alat produksi (perahu, mesin, dan peralatan tangkap lainnya), mereka meminjam uang kepada bakul dengan konsekuensi
juragan harus
49 menjual hasil tangkapannya kepada bakul tersebut dengan harga yang jauh lebih rendah dibandingkan harga di pasaran. Kerjasama ini dilakukan oleh juragan karena tidak membutuhkan persyaratan yang berbelit-belit, semuanya cukup dilakukan secara lisan. Sekalipun uang pinjaman tersebut tidak memiliki bunga, namun konsekuensi berupa ikatan penjualan dirasa oleh para juragan sangat memberatkan karena harga penjualan ikan yang diperoleh jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan harga pasar, sehingga pola kerjasama yang terjadi dianggap oleh para juragan secara tidak langsung bersifat eksploitatif, karena para bakul hanya memetik keuntungan tanpa harus bekerja keras di laut. Hubungan antar juragan terlihat pada kerjasama antar juragan dalam penetapan sistem bagi hasil yang berlaku pada setiap jenis alat tangkap, sehingga sistem bagi hasil yang berlaku pada setiap juragan relatif sama. Selain itu juga kerjasama antar juragan terlihat ketika sedang menangkap ikan di tengah laut. Kerjasama ini terjadi pada saat seorang juragan mendapatkan musibah, misalnya terjadi kerusakan mesin sehingga perahu tidak dapat berjalan, maka juragan yang lain akan membantu dengan menggandeng perahu tersebut sampai ke tempat pendaratan perahu. Hal ini biasanya dilakukan tanpa adanya imbalan apapun atau secara sukarela. Pola hubungan kerjasama antara juragan dengan bidak adalah hubungan kerja sama antara juragan sebagai ”patron” dengan bidak selaku ”klien”. Hubungan kerjasama ini merupakan suatu bentuk hubungan kerjasama tradisional dikalangan masyarakat nelayan khususnya nelayan di Desa Limbangan. Juragan sebagai pemilik sarana penangkapan ikan (alat-alat produksi) membutuhkan tenaga kerja, sedangkan bidak menyediakan tenaga kerja dengan menerima upah
50 berupa uang dari hasil penangkapan ikan di laut. Untuk bekerja menjadi bidak, seseorang harus memiliki kriteria antara lain: memiliki fisik yang kuat, mau bekerja keras, jujur, ulet, tidak mabuk laut serta tidak mudah putus asa dalam bekerja. Akan tetapi hal terpenting adalah tidak mabuk laut agar tidak menghambat kegiatan penangkapan ikan. Pola hubungan seperti ini sudah berlangsung sangat lama dan bertahan secara turun-temurun. Hubungan kerjasama ini biasanya diikat oleh pinjaman uang (sejenis uang kontrak kerja) yang besarnya sekitar Rp 100.000,00 – Rp 500.000,00. Besarnya uang pinjaman yang diberikan oleh juragan didasarkan atas pengalaman dan kemampuan bidak dalam memperoleh hasil tangkapan. Ikatan kerja ini hanya berdasarkan kesepakatan informal yang dilandasai atas dasar rasa saling percaya dan kejujuran. Pinjaman uang tersebut tidak perlu dibayar selama bidak masih bekerja kepada juragan yang bersangkutan dan dianggap lunas atau hanya membayar sebagian uang pinjaman jika bidak tersebut meninggal dunia. Sepanjang bidak tersebut masih memiliki ikatan kerja dengan juragan, maka bidak tidak diperkenankan bekerja pada perahu milik juragan yang lainnya. Jika bidak ingin berpindah bekerja pada juragan lain, bidak harus mengembalikan uang pinjaman tersebut pada juragan yang lama sebesar uang pinjaman yang pernah diterimanya. Menurut para nelayan bidak, berpindahnya bidak pada juragan lain terutama karena juragan tersebut dianggap pelit dalam artian tidak mau meminjamkan uang pada saat bidak sangat membutuhkan uang tersebut. Seperti pada saat anggota keluarga sakit, lebaran atau untuk mencukupi kebutuhan ekonomi keluarganya. Selain itu alasan lain mengenai berpindahnya bidak pada
51 juragan lain adalah adanya keinginan untuk memperoleh pinjaman uang ikatan kerja yang lebih besar dari yang pernah diterima sebelumnya. Bagi para juragan yang tidak mau bidaknya berpindah bekerja kepada juragan lain, maka juragan tersebut sangat menghargai pekerjaan bidaknya dan tidak segan-segan untuk memberikan pinjaman uang kepada bidaknya. Bagi para bidak, menjalin ikatan dengan juragan merupakan suatu hal penting untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Pola hubungan patron-klien ini merupakan tata hubungan yang saling menguntungkan, dimana bidak selaku nelayan yang tidak memiliki alat-alat produksi diberikan keuntungan oleh juragan selaku pemilik alat-alat produksi untuk bekerja sebagai bidak pada juragan yang bersangkutan dan akan memproleh imbalan yang setimpal dengan hasil usahanya.
5.1.3. Sistem Bagi Hasil Sistem bagi hasil adalah pola pembagian dari hasil penjualan tangkapan setelah melakukan kegiatan menangkap ikan di laut (miyang) dalam satu kali melaut. Sistem bagi hasil ini dilakukan oleh para nelayan karena adanya ketidakpastian hasil dalam usaha penangkapan ikan. Pada waktu dulu sistem bagi hasil yang berlaku pada tiap-tiap peralatan tangkap sama yaitu 50 persen bagi pemilik perahu (juragan) dan 50 persen bagi buruh nelayan (bidak). Namun pada perkembangannya, sistem bagi hasil mengalami perubahan karena jumlah pemilik perahu (juragan) yang semakin bertambah sementara jumlah buruh nelayan relatif tetap, sehingga persaingan antar juragan untuk mendapatkan tenaga kerja buruh nelayan. Untuk mengatasi persaingan antar juragan tersebut, para juragan membuat kesepakatan yang baru tentang sistem bagi hasil yang berlaku.
52 Sistem bagi hasil yang berlaku pada masyarakat nelayan di Desa Limbangan sangat bergantung pada jenis alat tangkap karena pada tiap-tiap alat tangkap sistem bagi hasil yang berlaku berbeda-beda. Perbedaan sistem bagi hasil ini dikarenakan oleh adanya perbedaan harga pada peralatan tangkap. Pada peralatan tangkap yang harganya lebih mahal, maka bagian pemilik parahu (juragan) akan lebih besar bila dibandingkan dengan sistem bagi hasil pada peralatan tangkap yang harganya relatif lebih murah. Selain itu, perbedaan system bagi hasil disebabkan pula oleh adanya perbedaan resiko kerusakan alat tangkap jaring pada saat digunakan dalam kegiatan melaut (miyang). Sepeti terlihat pada uraian berikut ini: 1. Jaring Payang Setelah proses penjualan hasil tangkapan selesai, hasil penjualan tidak langsung dibagi, tetapi dipotong terlebih dahulu 3 persen untuk pembayaran retribusi kepada petugas TPI. Biaya retribusi ini ditanggung bersama antara nelayan dan bakul. Setelah dipotong biaya retribusi, baru kemudian dilakukan pembagian hasil. Aturan atau ketentuan yang digunakan dalam pembagian hasil untuk menentukan besarnya bagian yang diperoleh setiap komponen yang terlibat dalam hubungan kerja, yaitu sebagai berikut: a. Jumlah keseluruhan pendapatan atau uang penghasilan dalam sekali melaut mula-mula dipotong untuk biaya retribusi dan biaya perbekalan atau biaya operasional melaut (miyang). Untuk sekarang ini, dengan adanya kenaikan harga BBM, biaya perbekalan pada jenis alat tangkap ini rata-rata sekitar Rp 125.000,00.- mencakup antara lain: biaya solar, oli, minyak tanah, es, makanan dan rokok. Biaya perbekalan tersebut terlebih
53 dahulu ditanggung oleh pemilik perahu (juragan), setelah kegiatan melaut selesai biaya perbekalan tersebut akan dibayar dari penjualan hasil tangkapan. b. Setelah dipotong biaya perbekalan, selanjutnya dibagi menjadi dua bagian, yaitu satu bagian atau 40 persen untuk pemilik perahu (juragan) dan satu bagian 60 persen untuk buruh nelayan (bidak). c. Dari keseluruhan bagian para bidak yang besarnnya 60 persen tersebut, dibagi sesuai dengan besarnya bagian yang harus diterima oleh masingmasing bidak menurut perannya dalam bertugas di laut. Rincian pembagian hasil pada jenis alat tangkap ini dapat dilihat pada tabel 6 berikut ini: Tabel 6. Pembagian Hasil Bidak pada Jenis Alat Tangkap Jaring Payang No 1 2 3 4 5
Spesialisasi kerja Juru mudi Pemburit Jembatu Motoris Penabur saya
Jumlah orang 1 1 1 1 3–4
Bagian 1,5 1,5 1 1 1
Keterangan: 1. Juru mudi, yaitu nelayan yang bertugas mengemudikan perahu pada saat melaut 2. Pemburit, yaitu nelayan yang bertugas menarik jaring 3. Jembatu, yaitu nelayan yang bertugas melemparkan batu pada saat menabur jaring 4. Motoris, nelayan yang bertugas mengopersikan mesin pada perahu 5. Penabur saya, yaitu nelayan yang bertugas menaburkan jaring pada saat melaut (miyang).
54 Contoh sistem bagi hasil pada alat tangkap jaring payang sebagai berikut: Misal hasil kotor penjualan ikan teri dalam satu kali melaut (miyang) adalah Rp 300.000,00. Uang tersebut mula-mula dikurangi biaya retribusi sebesar 3%. Namun karena biaya retribusi ini ditanggung oleh nelayan dan bakul, sehingga nelayan hanya di bebani setengahnya (1,5%) yaitu sebesar Rp 4500,00. Dengan demikian uang yang tersisa adalah Rp 295.500,00. Dari uang yang tersisa tersebut di kurangi biaya perbekalan sebesar Rp 125.000,00, sehingga uang yang tersisa sebesar Rp 170.500,00. Selanjutnya uang tersebut dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian pemilik parahu (juragan) sebesar 40% (Rp 68.200,00) dan bagian bidak sebesar 60% (Rp 102.300,00). Dari bagian bidak sebesar Rp 102.300,00 ini dibagi sesuai dengan jumlah bidak yang ikut melaut (miyang) dan besarnya bagian yang harus diterima oleh masing-masing bidak menurut perannya dalam bertugas di laut. Apabila bidak yang ikut melaut (miyang) berjumlah 8 orang, maka hasil yang diterima oleh masing-masing bidak adalah sebagai berikut: a. Juru mudi (1,5 bagian) sebesar Rp 19.000,00 b. Pemburit (1,5 bagian) sebesar Rp 19.000,00 c. Jembatu (1 bagian) sebesar Rp12.800,00 d. Motoris (1 bagian) sebesar Rp 12.800,00 e. Penabur saya masing-masing (1 bagian) sebesar Rp 12.800,00 Pada kasus juragan yang ikut dalam kegiatan melaut (miyang), maka selain bagian juragan sebesar 40% (Rp 68.200,00) juga ditambah bagian jurumudi sebesar1,5 bagian (Rp 19.000,00), sehingga pendapatan total juragan sebesar Rp 87.200,00.
55 Bagan alir bagi hasil pada jenis alat tangkap jaring payang dapat terlihat pada gambar 2. perlu dikemukakan disini, bahwa mekanisme pembagian hasil tersebut bisa dijalankan jika hasil yang di dapat dari kegiatan melaut (miyang) telah melewati jumlah nilai untuk menutupi biaya retribusi dan biaya perbekalan. Jika hasil dari melaut (miyang) relatif kecil, maka perhitungan tersebut tidak sepenuhnya dijalankan. Hasil Tangkapan
Dikurangi biaya retribusi dan operasional/perbekalan
40% juragan
60% Bidak
1. 2. 3. 4. 5.
Juru mudi Pemburit Jembatu Motoris Penabur saya
Gambar 2. Bagan Alir Bagi Hasil Pada Jenis Alat tangkap Jaring Payang
2. Jaring Kantong Setelah proses penjualan hasil tangkapan selesai, kemudian dilakukan pembagian hasil. Aturan atau ketentuan yang digunakan dalam pembagian hasil untuk menentukan besarnya bagian yang diperoleh setiap komponen yang terlibat dalam hubungan kerja, yaitu sebagai berikut: a. Jumlah keseluruhan pendapatan atau uang penghasilan dalam sekali melaut mula-mula dipotong biaya perbekalan atau biaya operasional melaut (miyang). Besarnya biaya perbekalan pada jenis alat tangkap ini rata-rata sekitar Rp 90.000,00.- mencakup antara lain: biaya solar, oli,
56 minyak tanah, es, makanan dan rokok. Biaya perbekalan tersebut terlebih dahulu ditanggung oleh pemilik perahu (juragan), setelah kegiatan melaut selesai biaya perbekalan tersebut akan dibayar dari penjualan hasil tangkapan. b. Setelah dipotong biaya perbekalan, selanjutnya dibagi menjadi dua bagian, yaitu satu bagian atau 30 persen untuk pemilik perahu (juragan) dan satu bagian 70 persen untuk bidak. c. Dari keseluruhan bagian para bidak yang besarnnya 70 persen tersebut, dibagi sesuai dengan besarnya bagian yang harus diterima oleh masingmasing bidak menurut perannya dalam bertugas di laut. Rincian pembagian hasil pada jenis alat tangkap ini dapat dilihat pada tabel 6 berikut ini: Tabel 7. Pembagian Hasil Bidak pada Jenis Alat Tangkap Jaring Kantong No 1 2 3
Spesialisasi kerja Juru mudi Pemburit Penabur saya
Jumlah orang 1 1 2
Bagian 1 1 1
Contoh sistem bagi hasil pada alat tangkap jaring kantong sebagai berikut: Misal hasil kotor penjualan udang dalam satu kali melaut (miyang) adalah Rp 300.000,00. Uang tersebut mula-mula di kurangi biaya perbekalan sebesar Rp 90.000,00, sehingga uang yang tersisa sebesar Rp 210.000,00. Selanjutnya uang tersebut dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian pemilik parahu (juragan) sebesar 30% (Rp 63.000,00) dan bagian bidak sebesar 70% (Rp 147.00,00). Dari bagian bidak sebesar Rp 147.000,00 ini dibagi sesuai dengan jumlah bidak yang ikut melaut (miyang) dan besarnya bagian yang harus diterima oleh masing-masing bidak menurut perannya dalam bertugas di laut. Apabila bidak yang ikut melaut
57 (miyang) berjumlah 4 orang, maka hasil yang diterima oleh masing-masing bidak adalah sebagai berikut: a. Juru mudi (1 bagian) sebesar Rp 36.750,00 b. Pemburit (1 bagian) sebesar Rp 36.750,00 c. Penabur saya masing-masing (1 bagian) sebesar Rp 36.750,00 Pada kasus juragan yang ikut dalam kegiatan melaut (miyang), maka selain bagian juragan sebesar 30% (Rp 63.200,00) juga ditambah bagian jurumudi sebesar 1 bagian (Rp 63.000,00), sehingga pendapatan total juragan sebesar Rp 99.750,00. Bagan alir bagi hasil pada jenis alat tangkap jaring kantong ini dapat terlihat pada gambar 3 berikut ini: Hasil Tangkapan
Dikurangi biaya operasional/perbekalan
30% juragan
70% Bidak
1. 2. 3.
Juru mudi Pemburit Penabur saya
Gambar 3. Bagan Alir Bagi Hasil Pada Jenis Alat tangkap Jaring Kantong
3. Jaring Rampusan/Unyil Sistem bagi hasil pada jenis alat tangkap ini sama dengan sistem bagi hasil yang berlaku pada jenis alat tangkap jaring kantong, yaitu: a. Jumlah keseluruhan pendapatan atau uang penghasilan dalam sekali melaut mula-mula dipotong biaya perbekalan atau biaya operasional
58 melaut (miyang). Besarnya biaya perbekalan pada jenis alat tangkap ini rata-rata sekitar Rp 80.000,00.- mencakup antara lain: biaya solar, oli, minyak tanah, es, makanan dan rokok. Biaya perbekalan tersebut terlebih dahulu ditanggung oleh pemilik perahu (juragan), setelah kegiatan melaut selesai biaya perbekalan tersebut akan dibayar dari penjualan hasil tangkapan. b. Setelah dipotong biaya perbekalan, selanjutnya dibagi menjadi dua bagian, yaitu satu bagian atau 30 persen untuk pemilik perahu (juragan) dan satu bagian 70 persen untuk bidak. c. Dari keseluruhan bagian para bidak yang besarnnya 70 persen tersebut, dibagi sesuai dengan besarnya bagian yang harus diterima oleh masingmasing bidak menurut perannya dalam bertugas di laut.
Tabel 8. Pembagian Hasil Bidak pada Jenis Alat Tangkap Jaring Rampusan No 1 2 3
Spesialisasi kerja Juru mudi Pemburit Penabur saya
Jumlah orang 1 1 2
Bagian 1 1 1
Contoh sistem bagi hasil pada alat tangkap jaring rampusan/unyil sebagai berikut: Misal hasil kotor penjualan ikan dalam satu kali melaut (miyang) adalah Rp 200.000,00. Uang tersebut mula-mula di kurangi biaya perbekalan sebesar Rp 80.000,00, sehingga uang yang tersisa sebesar Rp 120.000,00. Selanjutnya uang tersebut dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian pemilik parahu (juragan) sebesar 30% (Rp 36.000,00) dan bagian bidak sebesar 70% (Rp 84.00,00). Dari bagian bidak sebesar Rp 84.000,00 ini dibagi sesuai dengan jumlah bidak yang ikut melaut (miyang) dan besarnya bagian yang harus diterima oleh masing-masing
59 bidak menurut perannya dalam bertugas di laut. Apabila bidak yang ikut melaut (miyang) berjumlah 4 orang, maka hasil yang diterima oleh masing-masing bidak adalah sebagai berikut: a. Juru mudi (1 bagian) sebesar Rp 21.000,00 b. Pemburit (1 bagian) sebesar Rp 21.000,00 c. Penabur saya masing-masing (1 bagian) sebesar Rp 21.000,00 Pada kasus juragan yang ikut dalam kegiatan melaut (miyang), maka selain bagian juragan sebesar 30% (Rp 36.000,00) juga ditambah bagian jurumudi sebesar 1 bagian (Rp 21.000,00), sehingga pendapatan total juragan sebesar Rp 57.000,00.
4. Jaring Kopet Sistem bagi hasil pada jenis alat tangkap ini juga sama dengan sistem bagi hasil yang berlaku pada jenis alat tangkap jaring kantong dan jaring rampusan, yaitu: a. Jumlah keseluruhan pendapatan atau uang penghasilan dalam sekali melaut mula-mula dipotong biaya perbekalan atau biaya operasional melaut (miyang). Besarnya biaya perbekalan pada jenis alat tangkap ini rata-rata sekitar Rp 80.000,00.- mencakup antara lain: biaya solar, oli, minyak tanah, es, makanan dan rokok. Biaya perbekalan tersebut terlebih dahulu ditanggung oleh pemilik perahu (juragan), setelah kegiatan melaut selesai biaya perbekalan tersebut akan dibayar dari penjualan hasil tangkapan.
60 b. Setelah dipotong biaya perbekalan, selanjutnya dibagi menjadi dua bagian, yaitu satu bagian atau 30 persen untuk pemilik perahu (juragan) dan satu bagian 70 persen untuk bidak. c. Dari keseluruhan bagian para bidak yang besarnnya 70 persen tersebut, dibagi sesuai dengan besarnya bagian yang harus diterima oleh masingmasing bidak menurut perannya dalam bertugas di laut.
Tabel 9. Pembagian Hasil Bidak pada Jenis Alat Tangkap Jaring Kopet No 1 2 3
Spesialisasi kerja Juru mudi Pemburit Penabur saya
Jumlah orang 1 1 1
Bagian 1 1 1
Contoh sistem bagi hasil pada alat tangkap jaring kopet sebagai berikut: Misal hasil kotor penjualan ikan dalam satu kali melaut (miyang) adalah Rp 200.000,00. Uang tersebut mula-mula di kurangi biaya perbekalan sebesar Rp 80.000,00, sehingga uang yang tersisa sebesar Rp 120.000,00. Selanjutnya uang tersebut dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian pemilik parahu (juragan) sebesar 30% (Rp 36.000,00) dan bagian bidak sebesar 70% (Rp 84.00,00). Dari bagian bidak sebesar Rp 84.000,00 ini dibagi sesuai dengan jumlah bidak yang ikut melaut (miyang) dan besarnya bagian yang harus diterima oleh masing-masing bidak menurut perannya dalam bertugas di laut. Apabila bidak yang ikut melaut (miyang) berjumlah 4 orang, maka hasil yang diterima oleh masing-masing bidak adalah sebagai berikut: a. Juru mudi (1 bagian) sebesar Rp 21.000,00 b. Pemburit (1 bagian) sebesar Rp 21.000,00 c. Penabur saya masing-masing (1 bagian) sebesar Rp 21.000,00
61 Pada kasus juragan yang ikut dalam kegiatan melaut (miyang), maka selain bagian juragan sebesar 30% (Rp36.000,00) juga ditambah bagian jurumudi sebesar 1 bagian (Rp 21.000,00), sehingga pendapatan total juragan sebesar Rp 57.000,00.
5. Jaring Kejer Pada jenis alat tangkap ini tidak terdapat bagi hasil. Namun hanya membayar uang sewa perahu kepada pemilik perahu (juragan) sebesar Rp 2.000-Rp 3.000 perkilogram untuk biaya pemeliharaan perahu dan mesin. Dalam pengoperasiannya para bidak menggunakan alat tangkap sendiri-sendiri. Contoh pembayaran sewa pada jenis alat tangkap jaring kejer sebagai berikut: Misal dalam kegiatan melaut (miyang) dilakukan oleh 4 orang terdiri seorang juragan dan 3 orang bidak, dari masing-masing 4 orang tesebut menghasilkan rajungan sebanyak 10 kg, jika juragan menentukan harga sewa perkilogramnya sebesar Rp 3.000,00, maka masing-masing bidak tersebut akan mengeluarkan biaya sewa sebesar Rp 30.000,00. Dengan demikian seorang juragan medapatkan total biaya sewa sebesar Rp 90.000,00.
5.1.4. Kemiskinan Nelayan Kemiskinan dipahami secara beragam oleh masyarakat nelayan di Desa Limbangan. Misalnya rumahtangga Bapak Dkm memahami kemiskinan sebagai ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan konsumsi sehari-hari. Menurtnya ”Kemiskinan dicirikian oleh susahnya memenuhi kebutuhan konsumsi sehari-hari. Rumahtangga miskin biasanya mengkonsumsi makanan dengan lauk tempe dan tahu, sedangkan orang kaya mengkonsumsi makanan dengan lauk-pauk yang beraneka ragam”.
62 Rumahtangga Bapak Rsd memahami kemiskinan sebagai keterbatasan dalam bidang pendidikan. Menurutnya ”Kemiskinan ini di cirikan oleh rendahnya tingkat pendidikan keluarga nelayan, sehingga tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan yang mencukupi untuk memenuhi syarat bekerja di sektor lain yang memiliki penghasilan yang besar. Rumahtangga Bapak Usm memahami kemiskinan sebagai ketidak mampuan dalam memenuhi kebutuhan pokok, yaitu kebutuhan pangan, sandang dan papan. Menurutnya ”Kemiskinan di cirikan oleh kondisi tempat tinggal yang sangat sederhana yaitu berupa rumah semi permanen atau gubuk yang berlantaikan tanah, dan tidak memiliki perabotan rumahtangga yang mewah seperti TV, tape, kulkas, serta tidak memiliki barang-barang kekayaan seperti perhiasan emas, dan alat transportasi (mobil dan motor). Secara umum, kemiskinan dipahami oleh masyarakat nelayan sebagai ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan pokok, yaitu kebutuhan akan sandang, pangan dan papan serta keterbatasan dalam menjangkau pelayanan pendidikan. Kemiskinan nelayan di Desa Limbangan dapat dicirikan secara fisik dan sosial. Secara fisik kemiskinan nelayan dicirikan oleh kondisi rumah tempat tinggal nelayan yang sangat sederhana, yaitu berupa rumah-rumah semi permanen atau rumah-rumah yang terbuat dari dinding anyaman bambu. Selain itu kurangnya pemilikan perabotan rumahtangga serta tidak memiliki barang-barang berharga yang dapat menunjukkan status sosial yang tinggi seperti perhiasan emas, perabotan rumahtangga yang mewah, alat trasportasi, dan lain-lain.
63
Gambar 4. Rumah Tempat Tinggal Nelayan Bidak
Secara sosial, kemiskinan nelayan di Desa Limbangan dicirikan oleh tingkat pendidikan anggota rumahtangga yang masih rendah. Sebagian besar nelayan di Desa Limbangan hanya mampu menempuh pendidikan sampai tingkat Sekolah Dasar (SD), bahkan ada pula sebagian nelayan yang sama sekali tidak pernah mengenyam bangku pendidikan, sehingga tidak mempunyai kemampuan baca tulis. Hal ini sangat logis, karena orang tua mereka dulu sangat miskin sehingga tidak mampu membiayai mereka sekolah tinggi-tinggi, selain itu, anakanak mereka diharapkan bisa membantu pekerjaan orangtuanya di laut untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari meskipun harus berhenti sekolah. ”Kula lagi waktu cilik cuma bisa sekolah sampe kelas siji SD, sawise kuwen langsung menggawe ning laut, karena pada waktu semono wong tua kula wis tua lan sakit-sakitan, dadi kula selaku anak kang paling gede terpaksa kudu luruh duit kanggo nyukupi kebutuan wong tua lan ketelu adine kula (Ksd/Juragan)” (Saya pada waktu kecil hanya bisa sekolah sampai kelas satu SD, setelah itu langsung bekerja melaut, karena pada waktu itu orang tua saya sudah tua dan sakit-sakitan, sehingga saya sebagai anak yang paling tua terpaksa harus mencari uang untuk memenuhi kebutuhan orang tua dan ketiga adik saya).
Selain itu, kemiskinan dapat pula dicirikan oleh kesehatan anggota rumahtangga yang masih rendah. Hal ini dapat terlihat dari menu makanan seharihari dan perawatan kesehatan anggota rumahtangga. Bagi rumahtangga nelayan
64 miskin, menu makanan sehari-hari masih belum memenuhi menu empat sehat lima sempurna. Selain itu, Rumahtangga nelayan miskin di Desa Limbangan biasanya hanya memeriksakan kesehatannya di puskesmas pembantu yang ada di Desa atau hanya kepada paranormal. Sedangkan orang yang kaya biasanya memeriksakan kesehatannya di rumah sakit atau dokter spesialis yang ada di kotakota seperti Indramayu, Cirebon dan lain-lain. Hal ini seperti diungkapkan oleh salah seorang responden sebagai berikut: ”Wong ora duwe mah mangane cuma karo oncom lan tau bae, ora kaya wong sugih mangane laue macem-macem (Wnh/Istri nelayan bidak)”. (Orang miskin itu makannya hanya dengan tempe dan tahu saja, tidak seperti orang kaya makannya dengan lauk yang bermacam-macam).
5.2.
Faktor-faktor Penyebab Kemiskinan Nelayan
5.2.1. Fluktuasi Musim Tangkapan Faktor penyebab kemiskinan nelayan di Desa Limbangan di antaranya adalah berupa fluktuasi musim ikan. Fluktuasi musim ikan ini dapat menyebabkan ketidakpastian pendapatan nelayan. Apabila sedang musim ikan, maka penghasilan nelayan pun cukup baik. Namun pada saat musim ikanpun mulai berkurang maka sering kali para nelayan mendapatkan hasil tangkapan yang paspasan atau bahkan rugi. Kondisi ini dapat dilihat pada kalender musim berikut ini:
Tabel 10. Kalender Musim Nelayan Desa Limbangan No
Kegiatan 1
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Menangkap ikan teri Menangkap udang Menangkap rajungan Menangkap berbagai jenis ikan Panen raya Nadran Paceklik Bawaan (mobilitas nelayan) Bekerja dipertanian
2
3
4
5
Bulan 6 7
8
9
10
11
12
65 ”Ning waktu sewulan kira-kira cuma limang dina bae nelayan bisa oleh hasil tangkapan sing cukup lumayan, selebihe nelayan olih hasil sing pas-pasan bahkan kadang-kadang sempet rugi (Srm/Juragan)” (Dalam waktu satu bulan diperkirakan hanya lima hari saja nelayan dapat menikmati hasil tangkapan yang cukup baik, selebihnya nelayan mendapatkan hasil tangkapan yang pas-pasan atau bahkan rugi).
5.2.2. Sumberdaya Manusia (SDM) Nelayan Sumberdaya manusia nelayan di Desa Limbangan masih sangat rendah. Hal ini dapat terlihat dari rendahnya tingkat pendidikan para nelayan yaitu hanya 18,36 persen saja penduduk yang dapat menyelesaikan pendidikan di atas SD. Rendahnya tingkat pendidikan nelayan ini tidak terlepas dari budaya dan lingkungan setempat. Rendahnya tingkat pendidikan nelayan ini bukan hanya dialami oleh nelayan sebagai kepala keluarga saja, namun berimbas juga kepada anggota keluarga. Rendahnya pendidikan para kepala keluarga ini tidak terlepas dari latar belakang keluarga dan kondisi masyarakat Desa pada waktu dulu. Bagi masyarakat Desa Limbangan yang dominan nelayan ini, pada waktu dulu tingkat pendidikan bagi nelayan belum menjadi kebutuhan yang begitu penting, apalagi pada saat itu kondisi sarana dan prasarana tidak mendukung, sehingga masyarakat lebih memilih untuk bekerja. Faktor utama masyarakat tidak melanjutkan pendidikan yaitu karena faktor ekonomi keluarga. Selain itu, para orangtua terpaksa memanfaatkan tenaga anaknya untuk membantu perekonomian keluarga, atau paling tidak dengan demikian dapat mengurangi beban keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan rumahtangga nelayan dalam menjangkau pelayanan pendidikan sangat terbatas. Dengan rendahnya tingkat pendidikan nelayan ini berpengaruh juga terhadap ketrampilan, pola pikir, dan sikap mental mereka. Dalam bekerja,
66 nelayan lebih banyak mengandalkan kekuatan fisik atau tenaga, sehingga dapat dipastikan bahwa nelayan tidak mempunyai kesempatan yang cukup untuk mencari lapangan pekerjaan lain di luar sektor perikanan. Seperti diungkapkan oleh salah seorang responden berikut. ”Nelayan kaya kula mah cuma bisa menggawene ning laut, lamon menggawe sejene ora becus, maklum pendidikane rendah, dadi ora ngerti apa-apa (Tlm/Bidak)”. (Nelayan seperti saya hanya bisa bekerja di laut, kalau bekerja di pekerjaan lain hasilnya tidak memuaskan, maklum pendidikannya rendah, sehingga tidak mengerti apa-apa).
5.2.3. Eksploitasi Pemodal (Bakul) Kemiskinan rumahtangga nelayan di Desa Limbangan dapat pula disebabkan oleh adanya ekploitasi para pemodal (Bakul) yaitu berupa hubungan patron-klien yang sangat merugikan nelayan kecil dan buruh nelayan. Pada saat seseorang ingin memiliki perahu dan menjadi juragan namun tidak cukup memiliki modal, maka orang tersebut akan meminjam uang kepada bakul untuk membeli perahu dan perlengkapan alat tangkap. Besarnya uang pinjaman ini berkisar antara Rp 5.000.000,00 – Rp 10.000.000,00 (20%-30% dari harga perahu). Pilihan ini dilakukan oleh nelayan karena prosedurnya relatif lebih mudah jika dibandingkan dengan meminjam uang di bank, peminjaman uang pada bakul ini cukup dilakukan secara lisan. Namun konsekuensinya para juragan harus menjual hasil tangkapannya kepada bakul yang telah meminjamkan uang tersebut dengan harga hasil tangkapan yang jauh lebih rendah bila dijual dipasaran (langgan). Contohnya harga ikan teri apabila dijual kepada langgan hanya Rp 9000,00-Rp 10.000,00 perkilogram sedangkan harga dipasaran mencapai Rp 12.000,00 perkilogram.
67 ”Lamon cuma ngandalaken asil sing nangkep iwak, juragan ora bakal bisa nglunasi utange ning bakul, sebab asil nangkep iwak ora tentu lan ning waktu rugi, juragan terpaksa nyilih duit maning ning bakul kanggo biaya ngurusi prau lan alat tangkep, dadi utang juragan tambah gede lan tergantung pisan karo bakul (Wrn/Juragan)”. (Kalau hanya mengandalkan hasil dari menangkap ikan, juragan tidak akan pernah bisa melunasi hutangnya kepada bakul, karena hasil tangkapan yang tidak menentu dan pada saat rugi, juragan terpaksa akan meminjam uang lagi kepada bakul untuk biaya pemeliharaan perahu dan perlengkapan alat tangkap, sehingga hutang juragan akan semakin besar dan akan sangat tergantung kepada bakul).
5.2.4. Ketimpangan dalam Sistem Bagi Hasil Sistem bagi hasil dilakukan oleh para nelayan dengan alasan karena hasil tangkapan yang tidak menentu. Sistem bagi hasil yang berlaku ini dianggap hanya menguntungkan pihak juragan saja karena besarnya pembagian hasil yang sangat timpang. Ketidakpuasan nelayan bidak terhadap sistem bagi hasil terjadi jika operasi perahu tidak memperoleh penghasilan, pada situasi seperti itu, bidak tidak mendapatkan suatu kompensasi dalam bentuk apapun dari juragan pemilik kapal. Jaminan sosial tenaga kerja bagi bidak juga tidak ada, sehingga jika bidak sakit harus menanggung sendiri biaya pengobatannya atau meminjam uang terhadap juragannya. Dalam keadaan seperti ini bidak tidak dapat berbuat banyak karena tingkat ketergantungan terhadap juragan cukup tinggi. bidak menerima kenyataan-kenyataan seperti ini karena dipaksa oleh keadaan dan terikat kontrak kerja terhadap juragannya. Hal ini menurut mereka merupakan suatu sistem yang telah diterima secara turun-temurun. ”Urip nelayan bidak mah kengelan pisan sebab ning bagi asil bae cuma olih sebagen. Sing enak mah juragan bisa olih asil bagen sing akeh (Tnh/Bidak)”. (Hidup nelayan bidak sangat susah karena dalam bagi hasil saja hanya mendapatkan satu bagian. Yang enak juragan bisa mendapatkan hasil bagian yang banyak).
68 5.2.5. Motorisasi Motorisasi perahu-perahu nelayan dalam pelaksanaannya memiliki kelebihan dan kekurangan. Dengan adanya penggunaan mesin, perjalanan perahu nelayan untuk menangkap ikan dapat dilakukan dengan lebih cepat, penghematan tenaga pendayung dan kegiatan tidak tergantung pada arah angin, yang berarti waktu dan tenaga dapat dihemat. Selain itu juga, kegiatan menangkap ikan dapat dilakukan dengan lebih intensif. Namun, dalam perkembangannya motorisasi peralatan tangkap ini telah menyebabkan tersisihnya kelembagaan ekonomi (TPI) karena para nelayan harus menjual hasil tangkapannya kepada para bakul yang menjadi langgannya bukan melalui lelang bebas di TPI seperti sebelum diberlakukannya motorisasi. Selain itu, motorisasi peralatan tangkap erat kaitannya dengan penggunaan bahan bakar. Setelah adanya kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) mulai tahun 1998 sampai terakhir pada bulan September 2005 yang lalu, masyarakat nelayan sangat merasa terbebani karena harus mengeluarkan biaya operasional yang lebih besar. Kenaikan harga BBM tersebut tidak dibarengi dengan kenaikan harga hasil produksi nelayan. Seperti diungkapkan oleh salah seorang responden sebagai berikut: ”Ning waktu bengen nangkep iwak ora usah ado-ado, cukup ning banyu 3 depah ato sekitar 8 meter, nelayan wis oli pengasilan akeh, sawise ana motorisasi, nelayan angel oli iwak lan jarake kudu ado, dadi kudu ngetokaken biaya perbekelan sing luwi akeh (Kmr/Juragan)”. (Pada waktu dulu menangkap ikan tidak perlu jauh-jauh, cukup pada jarak kedalaman 3 jengkal atau sekitar 8 meter, nelayan sudah mendapatkan hasil yang banyak, setelah adanya motorisasi, nelayan susah mendapatkan ikan dan jaraknya pun harus jauh, sehingga harus mengeluarkan biaya perbekalan yang semakin besar). ”Bengen sadurunge krisis, lagi waktu rega solar masih Rp 750,00 rega urang bisa sampe Rp 100.000,00 – Rp 125.000,00 perkilo, sekiyen rega solar Rp 5000,00, tapi rega urang cuma Rp 80.000,00 – Rp 100.000,00 perkilo (Wrn/Juragan)”. (Dulu sebelum krisis, pada waktu harga solar masih Rp 750,00 harga udang bisa mencapai Rp 100.000,00 – Rp 125.000,00 perkilogram, sekarang harga solar Rp 5000,00, namun harga udang hanya Rp 80.000,00 – Rp 100.000,00 perkilogram).
69 5.2.6. Pencemaran Lingkungan Kemiskinan rumahtangga nelayan dapat terlihat pula oleh adanya penurunan hasil tangkapan dan gagalnya usaha tambak para nelayan. Menurut Informasi salah seorang informan Rmd (49 tahun), hal ini diduga akibat adanya pencemaran lingkungan oleh PT. Pertamina dan PT. Batavindo yang bergerak pada pembuatan bahan baku cat dan pelapis keramik. Kebocoran pada pipa pengeboran lepas pantai menyebabkan pencemaran laut, sehingga ikan-ikan yang dulunya bisa ditangkap nelayan kini tidak ada, selain itu pembangunan tempat penambangan lepas pantai dulunya merupakan wilayah penangkapan ikan yang sangat potensial, akibat pembangunan tempat penambangan lepas pantai, kini nelayan tidak bisa lagi menangkap ikan di tempat tersebut. Selain itu, pipa limbah pembuangan dari PT. Batavindo yang mengalami kebocoran menyebabkan pencemaran dan akibatnya nelayan mengalami gagal panen pada usaha tambaknya. Setelah melalui proses penelitian oleh Dinas Pertambangan dan Lingkungan hidup, terbukti bahwa pencemaran lingkungan di Desa Limbangan disebabkan oleh kebocoran pipa limbah PT. Batavindo, maka pada tahun 2003 para nelayan menuntut ganti rugi, namun jumlah ganti rugi yang diberikan oleh PT. Batavindo dinilai oleh para nelayan tidak sebanding dengan kerugian yang harus ditanggung oleh para nelayan. Sekalipun penyebab pencemaran sudah ditangani, namun dampaknya sampai saat ini masih dirasakan oleh para nelayan yaitu berupa penurunan hasil produksi nelayan. Seperti diungkapkan oleh salah seorang responden berikut. “ Asil tangkepan nelayan tambah susah sawise ana dibangun tempat penambangan ning tengah laut karma tempat mau bengene dadi tempat tangkepan iwak kang bagus, akibat anane penambangan ning tengah laut, sekiyen nelayan ora bisa maning nangkep iwak ning tempat mau, Sejene kuwen, kebocoran pipa penambangan nyebabaken iwak kang bengene bisa ditangkep sekiyen ora nana maning (Srm/Juragan)”.
70 (Hasil penangkapan nelayan semakin susah setelah adanya pembangunan tempat penambangan lepas pantai karena tempat tersebut pada waktu dulu merupakan tempat penangkapan ikan yang sangat potensial, akibat adanya pembangunan tempat penambangan lepas pantai, sekarang nelayan tidak dapat lagi menangkap di tempat tersebut. Selain itu, kebocoran pada pipa penambangan menyebabkan ikan yang dulunya dapat di tangkap di wilayah itu, sekarang tidak ada lagi)
5.2.7. Kebiasaan Nelayan Pada saat hasil tangkapan sedang tidak baik atau pada saat musim paceklik, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari seringkali para nelayan meminjam uang kepada para juragan atau Bank harian (Bank dinan). Bahkan untuk memenuhi kebutuhan yang memerlukan biaya yang besar, para nelayan biasanya meminjam uang kepada para rentenir. Pinjaman kepada para rentenir ini biasanya dialokasikan oleh para nelayan untuk biaya anggota keluarga (istri dan anak) yang akan berangkat bekerja ke luar negeri sebagai
TKI atau TKW.
Sedangkan pinjaman kepada juragan dan Bank harian (Bank dinan) biasanya dialokasikan oleh para nelayan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari seperti kebutuhan dapur, membayar iuran listrik dan iuran air. Namun adapula sebagian nelayan yang mengalokasikan uang pinjaman tersebut untuk memenuhi kebiasaan-kebiasaan mereka, yaitu berupa kebiasaan minum-minuman keras dan bermain judi. Selain uang pinjaman, uang hasil menangkap ikan yang seharusnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari juga digunakan untuk minum-minuman keras dan berjudi. Kebiasaan ini hampir sudah umum dilakukan oleh para nelayan yang dalam kehidupan sehari-harinya memang kurang taat beribadah. Kebiasaan buruk ini sangat terlihat jelas pada saat acara pesta laut (nadran), hari raya idul fitri, dan pada saat ada pesta hiburan di Desa seperti
71 sandiwara, konser dangdut dan lain-lain. Kebiasaan-kebiasaan ini menyebabkan para nelayan terjerat hutang dan semakin sulit untuk keluar dari kemiskinan. Kebiasaan ini dapat terlihat pada contoh kasus rumahtangga Bapak Prd berikut ini: Prd (28 tahun) adalah seorang bidak yang berasal dari keluarga yang sederhana, ia merupakan anak kedua dari empat bersaudara. Kemampuan sebagai nelayan didapatnya dari orangtuanya. Karena keterbatasan ekonomi keluarga, ia hanya mampu menikmati pendidikan sampai kelas empat SD. Pada waktu kecil, ia banyak menghabiskan waktunya untuk bekerja di bakul udang milik saudaranya. Namun setelah usaha milik saudaranya tersebut mengalami kebangkrutan, ia terpaksa harus bekerja di laut sebagai nelayan bidak karena menurutnya tidak ada peluang kerja yang lain yang dapat ia masuki. Sebagai seorang nelayan ia banyak menghabiskan waktunya untuk bekerja di laut. Jika tidak melaut ia menghabiskan waktunya untuk beristirahat di rumah. Menurutnya ”Hidup nelayan sangat susah karena penghasilannya tidak menentu. Apalagi sebagai nelayan bidak penghasilannya sangat sedikit karena dalam bagi hasil hanya mendapatkan satu bagian”. Sebagai nelayan yang relatif muda, Prd masih suka berkumpul dengan teman-temannya. Apalagi sekarang ia hanya tinggal seorang diri karena istrinya bekerja ke luar negeri. Ketika penulis menanyakan tentang kegiatan berkumpul-kumpul dengan teman-temannya, ia menjelaskan bahwa “ Saat berkumpul dengan teman-temannya ia melakukan kegiatan yang telah umum dilakukan oleh teman-temannya yaitu minumminuman keras”. Ketika penulis menyatakan bahwa kegiatan tersebut tidak baik, ia mengakui kalau kegiatan tersebut tidak baik dan di larang oleh agama, namun
72 karena ajakan teman-temannya ia hanya bisa menuruti dengan alasan tidak enak dengan teman. Untuk memenuhi kebiasaan minum-minuman keras ini Pak Prd menggunakan uang hasil melaut dan kadang-kadang meminjam kepada Juragan.
5.3.
Strategi Rumahtangga Nelayan
5.3.1. Peran Anggota Keluarga Rumahtangga nelayan berusaha mengoptimalkan peran tenaga kerja anggota keluarga dalam berusaha mengatasi masalah kemiskinan,. Bagi anak-anak yang masih kecil biasanya membantu mencari penghasilan dengan menggorek4 diTempat Pelelangan Ikan (TPI). Kegiatan menggorek ini dilakukan pada saat musim menangkap ikan teri. Sedangkan untuk hari-hari biasa anak-anak meminta ikan kepada nelayan yang baru mendarat (alang-alang). Dalam sehari, biasanya anak-anak tersebut bisa mendapatkan penghasilan Rp 3.000,00 - Rp 10.000,00. Uang hasil nggorek dan alang-alang tersebut sebagian diserahkan kepada orang tua dan sebagian lagi dipergunakan untuk jajan dan ditabung untuk keperluan sekolah.
Gambar 5. Kegiatan Menggorek Anak-anak Nelayan di Tempat Pelelangan Ikan 4
Menggorek adalah kegiatan mencari sisa-sisa ikan yang berceceran pada saat penimbangan
73 ”Sawise balik sekolah, kula biasa nggorek atawa jaluk alang-alang ning nelayan kang nembe darat. Biasane duite sebagian dinakna ning wong tua, kanggo jajan, lan ditabung kanggo keperluan sekolah (Irw/Anak nelayan bidak)”. (Setelah pulang sekolah, saya biasanya menggorek atau minta alang-alang kepada nelayan yang baru mendarat. Biasanya uang dari kegiatan tersebut sebagian diberikan kepada orangtua, jajan, dan ditabung untuk keperluan sekolah).
Bagi para istri atau anak gadis dapat membantu memenuhi kebutuhan hidup keluarga dengan bekerja di pabrik pengolahan ikan. Namun ada pula sebagian istri dan anak nelayan yang memilih bekerja keluar negeri sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW). Hasil dari pekerjaannya sebagai TKW ini sangat membantu dalam meningkatkan kesejahteraan hidup keluarga. ”Lamun dudu karna pengasilan anak kang menggawe ning luar negri, kluarga kula ora arep kaya skiyen, bisa mbangun umah, tuku prabotan rumahtangga, lan bisa nduweni modal kanggo buka usaha dadi pedagang blekutak lan sontong (Srn/Bidak)”. (Kalau bukan karena penghasilan anak yang bekerja diluar negeri, keluarga saya tidak akan seperti sekarang ini, bisa membangun rumah, membeli perabotan rumahtangga, dan bisa mempunyai modal untuk membuka usaha menjadi pedagang blekutak dan sontong).
Sedangkan bagi anak laki-laki biasanya membantu orang tuanya bekerja melaut atau bekerja ke luar negeri sebagai TKI. Bagi nelayan juragan menggunakan tenaga kerja anggota keluarga lebih menguntungkan karena tidak harus memberikan pinjaman uang sebagai ikatan kerja, dan selain itu hasilnya pun bisa dinikmati oleh keluarga sendiri. Penerapan strategi ini telah membantu menambah pendapatan rumahtangga nelayan dalam mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.
5.3.2. Pola Nafkah Ganda Menghadapi situasi kemiskinan yang berkaitan dengan hasil tangkapan yang tidak menentu, rumahtangga nelayan berusaha mengalokasikan tenaga kerjanya ke berbagai jenis pekerjaan, seperti menjadi buruh tani, buruh pabrik
74 pengolahan ikan, dan lain-lain. usaha-usaha ini perlu dilakukan untuk menambah sumber pendapatan keluarga. Dengan semakin tumbuhnya sektor informal di Desa Limbangan, memicu gejala pola nafkah ganda pada masyarakat nelayan. Meskipun kegiatan perikanan sangat padat sehingga sangat sedikit memberi ruang bagi para nelayan untuk melakukan pekerjaan lain, para nelayan pada suatu waktu masih mempunyai kesempatan untuk melakukan pola nafkah ganda. Penerapan strategi ini telah membantu sumber pendapatan keluarga di tengah ketidakpastian hasil tangkapan ikan. Seperti di ungkapkan salah seorang responden berikut. ”Karna asil tangkepan sing ora tentu, kadang-kadang kula gah menggawe dadi buruh tani, atawa menggawe dadi buru pabrik iwak. Asil sing pegawean-pegawean iku bisa nambah pendapetan kluarga (Dkm/Bidak)”. (Karena hasil tangkapan yang tidak menentu, kadang-kadang saya bekerja juga sebagai buruh tani atau bekerja sebagai buruh pabrik pengolahan ikan. Hasil dari pekerjaanpekerjaan tersebut dapat menambah sumber pendapatan keluarga).
5.3.3. Diversifikasi Peralatan Tangkap Diversifikasi peralatan tangkap pada masyarakat nelayan di Desa Limbangan difasilitasi oleh pemerintah
melalui pemberian bantuan kredit
peralatan tangkap jaring. Pelaksanaan bantuan kredit ini dikoordinir oleh kopersi nelayan. Misalnya peralatan tangkap jaring kopet, mulai dikenal oleh para nelayan di Desa Limbangan sekitar dua tahun yang lalu. Pada awalnya jenis peralatan tangkap ini hanya berjumlah 10 unit jaring, namun karena dinilai banyak memberikan keuntungan bagi nelayan, akhirnya nelayan banyak yang mengadopsi peralatan tangkap tersebut. Diversifikasi peralatan tangkap ini dilakukan oleh para nelayan untuk mengantisipasi fluktuasi musim ikan, sehingga pada saat-saat tertentu para nelayan harus menggunakan alat tangkap tertentu yang sesuai dengan jenis ikan
75 yang dapat ditangkap. Misalnya pada saat musim ikan teri, maka para nelayan menggunakan alat tangkap jaring payang. Pada saat musim udang, para nelayan menggunakan alat tangkap jaring kantong. Pada saat musim rajungan, para nelayan menggunakan alat tangkap jaring kejer atau bubu, dan lain-lain. Penerapan strategi ini telah membantu nelayan dalam mengatasi faktor penyebab kemiskinan berupa fluktuasi musim ikan yang tidak menentu. ”Ning waktu bengen, alat tangkep sing digunakaken cuma loro, yaiku jaring payang lan jaring kantong, dadi kula sering nganggur. Sekiyen mah enak alat tangkepe wis akeh, dadi kula bisa sering-sering miyang (Srm/Juragan)”. (Pada waktu dulu, alat tangkap yang saya gunakan hanya dua jenis, yaitu jaring payang dan jaring kantong, sehingga saya sering kali menganggur. Sekarang mah enak alat tangkapnya sudah banyak, sehingga saya bisa sering-sering melaut).
Diversifikasi peralatan tangkap yang dilakukan oleh para nelayan di Desa Limbangan dapat terlihat pada tabel 11 berikut ini: Tabel 11. Peralatan Tangkap Berdasarkan Jenis Ikan yang dapat di Tangkap No 1 2 3 4 5
Peralatan Tangkap Jaring Payang Jaring Kantong Jaring Kejer/Bubu Jaring Rampusan/Unyil Jaring Kopet
Jenis Ikan Teri Udang Rajungan Lowang, kembung, gilig, keting Tanjan
5.3.4. Pemanfaatan Organisasi Produktif Para istri nelayan di Desa Limbangan ikut aktif dalam kelompok arisan dan kelompok pengajian untuk membantu mengatasi masalah kemiskinan. Kegiatan arisan dilakukan setiap seminggu sekali yaitu pada hari Jum’at dengan besar iuran Rp 10.000,00 – Rp 20.000,00. Pembayaran uang iuran ini bisa diangsur dari hasil menangkap ikan. Kegiatan arisan ini biasanya dilakukan pada saat pengajian ibu-ibu. Kegiatan ini dilakukan pada siang hari karena para isteri nelayan memiliki waktu yang sangat luang disiang hari. Hasil dari kegiatan arisan
76 ini dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan selain itu, dapat pula dijadikan sebagai modal untuk membuka usaha kecil-kecilan seperti berdagang dan lain-lain. Sedangkan kelompok pengajian bapak-bapak dilakukan setiap seminggu sekali yaitu setiap malam jum’at. Kegiatan ini dilakukan pada malam hari karena pada siang hari para nelayan banyak menghabiskan waktunya untuk menangkap ikan di laut. Penerapan strategi ini telah membantu rumahtangga nelayan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari dan tambahan modal usaha. Seperti diungkapkan salah seorang responden berikut. “Sejene sibuk ngurusi pegawaean umah, saben dina jumat kula biasane melu kegiatan arisan lan pengajian wong wadon. Gedene setoran arisan iki Rp 20.000,00 lan lamon untung bias olih duit skitar Rp 2.000.000,00. Duit arisan ini biasane kanggo nyukupi kebutuan sedina-dina, mbayar setoran listrik lan banyu, terus kanggo modal usaha cilikcilikan (Kltm/Istri nelayan bidak)” (Selain sibuk mengurusi pekerjaan rumahtangga, setiap hari Jumat saya biasanya ikut kegiatan arisan dan pengajian ibu-ibu. Besarnya iuran dalam kegiatan arisan ini Rp 20.000,00 dan kalau beruntung bisa mendapatkan uang sekitar Rp 2.000.000,00. Uang tersebut biasa digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, membayar tagihan listrik dan air, serta untuk dijadikan modal usaha kecil-kecilan).
5.3.5. Jaringan Sosial Hubungan sosial yang dilakukan nelayan merupakan salah satu upaya untuk mempertahankan keberadaannya. Setiap individu nelayan memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam hal kuantitas dan kualitas, juga intensitas hubungan sosial yang dilakukannya, sekalipun terbuka luas peluang nelayan untuk melakukan hubungan sosial secara maksimal. Hubungan tersebut bukan hanya melibatkan dua individu, melainkan banyak individu. Hubungan antar individu nelayan tersebut akan membentuk jaringan sosial yang sekaligus merefleksikan terjadinya pengelompokan sosial dalam kehidupan masyarakat nelayan. Jaringan sosial mengacu pada hubungan yang di bangun oleh nelayan dengan berbagai pihak untuk mengantisipasi tekanan-tekanan hidup.
77 Jaringan sosial dimanfaatkan nelayan sebagai salah satu strategi dalam menghadapi kemiskinan. Jaringan sosial ini dimanfaatkan dalam kegiatan menangkap ikan dan mengatasi tekanan-tekanan ekonomi. Pada musim tidak menangkap ikan para nelayan (Bidak) biasanya meminjam uang kepada saudara, tetangga maupun teman untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Adapula nelayan yang meminjam uang kepada juragan dengan jaminan ikatan kerja, sehingga pada saat musim ikan tiba nelayan tersebut harus bekerja pada juragan tersebut. ”Ning masa paila, biasane kluarga kula gadekaken atawa ngadol prabotan umah kanggo nyukupi kebutuan urip sedina-dina. Lamon ora nyukupi, kluarga kula biasa nyili duit ning sedulur, tangga atawa batur kang dianggep mampu. Pernah kula nyili duit ning juragan kelawan jaminan pegawean, dadi lamon musim miyang teka, kula kudu menggawe ning juragan mau (Rsd/Bidak)”. (Pada saat masa paceklik, biasanya keluarga saya menggadaikan atau menjual perabotan rumahtangga untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Apabila hal itu tidak juga mencukupi, keluarga saya biasa meminjam uang kepada kerabat, tetangga atau teman yang dianggap mampu. Pernah juga saya meminjam uang kepada juragan dengan jaminan ikatan kerja, sehingga apabila musim menangkap ikan tiba, saya harus bekerja pada juragan tersebut).
2
1
3
6
7
5
4
8
9
10
11
12
13
14
Gambar 6. Struktur Jaringan Sosial: Hubungan Bidak, Juragan dan Bakul Keterangan: : Memiliki hubungan yang terikat : Memiliki hubungan yang tidak terikat
78 1. Nsd (Bakul)
8. Trj (Bidak)
2. Rmd (Bakul)
9. Dkm (Bidak)
3. Dna (Juragan)
10. Tlm (Bidak)
4. Wrn (Juragan)
11. Tnh (Bidak)
5. Dsn (Juragan)
12. Rsd (Bidak)
6. Usm (Bidak)
13. Prd (Bidak)
7. Ipn (Bidak)
14. Srn (Bidak)
Berdasarkan gambar di atas, struktur jaringan sosial yang terjadi pada hubungan antara Bidak, Juragan dan Bakul adalah sebagai berikut. Nsd sebagai seorang bakul ia memiliki 2 orang juragan (Dna dan Wrn) yang terikat penjualan hasil tangkapan kepadanya, hubungan yang terikat ini terjadi karena bakul memberikan sejumlah pinjaman uang kepada juragan yang membutuhkan modal untuk membeli atau memperbaiki alat produksi (perahu, mesin, dan peralatan tangkap lainnya). Karena telah terikat penjualan dengan bakul Nsd, maka kedua juragan ini tidak boleh menjual hasil tangkapannya kepada bakul lainnya (Rmd). Nsd juga memiliki hubungan kerjasama dengan bakul lain (Rmd), kerjasama ini dilakukan untuk menetapkan harga ikan hasil tangkapan nelayan, sehingga tidak ada persaingan harga diantara bakul dan memperkuat posisi bakul dalam transaksi jual beli. Dna sebagai seorang juragan ia memiliki 4 orang bidak yang semuanya memiliki ikatan kerja kepadanya, sehingga ke empat bidaknya tersebut tidak boleh bekerja kepada juragan lain (Wrn atau Dsn). Ikatan kerja ini terjalin karena juragan memberikan sejumlah uang pinjaman sebagai ikatan kerja kepada para bidaknya. Apabila salah seorang bidaknya ingin pindah bekerja kepada juragan lain. Maka ia harus melunasi terlebih dahulu uang ikatan kerja kepada juragan
79 yang lama (Dna). Perekrutan para Bidak tersebut didasarkan pada kemampuan yang dimiliki oleh para Bidak, selain itu juga masih terkait adanya hubungan kekerabatan dan ketetanggaan antara Juragan dan Bidak. Wrn sebagai juragan ia memiliki 3 orang bidak yang terikat hubungan kerja (Tlm, Tnh dan Rsd) dan seorang bidak yang tidak terikat (Prd). Karena tidak memiliki ikatan kerja, Prd dapat bekerja kepada juragan lain (Dna atau Dsn). Dsn sebagai seorang juragan ia memiliki seorang bidak yang terikat (Srn) dan seorang bidak yang tidak terikat (Prd). Ia dulunya terikat penjualan kepada seorang bakul (Nsd), namun setelah ia mampu melunasi uang pinjamannya kepada bakul tersebut, sekarang ia tidak memiliki ikatan penjualan kepada bakul tertentu, sehingga ia bisa menjual hasil tangkapannya kepada bakul yang ia kehendaki. Diantara para juragan (Dna, Wrn dan Dsn) memiliki hubungan kerjasama dalam penetapan sistem bagi hasil yang berlaku, sehingga sistem bagi hasil yang berlaku pada setiap juragan relatif sama. Selain itu, jaringan sosial dimanfaatkan juga oleh para nelayan untuk mendapatkan informasi tentang fluktuasi musim ikan di daerah tertentu. Informasi ini diperoleh masyarakat nelayan dari kerabat atau temannya yang tinggal di daerah lain. Informasi tersebut dimanfaatkan oleh para nelayan sebagai salah satu bahan pertimbangan untuk memutuskan dalam kegiatan mobilitas musiman nelayan (bawaan). Kegiatan bawaan ini dilakukan oleh para nelayan karena di daerah Limbangan sedang tidak musim ikan sedangkan di daerah lain sedang musim ikan. Adapun daerah yang sering menjadi tujuan dalam kegiatan bawaan ini adalah daerah Terungtum, Eretan, Blanakan, Ciasem, dan Muara Angke. Khusus untuk daerah Muara Angke, biasanya para nelayan yang melakukan
80 bawaan ke daerah ini bersifat perorangan karena apabila berkelompok dan menggunakan perahu akan memerlukan biaya operasional yang sangat besar karena jaraknya yang relatif sangat jauh dari Desa Limbangan. Pada saat para nelayan sedang melakukan bawaan, para bakul banyak yang tidak memperoleh pendapatan karena para nelayan yang menjadi langgannya menjual hasil tangkapannya di daerah lain. Namun, terdapat juga sebagian bakul yang mendatangi daerah-daerah tujuan bawaan nelayan dengan maksud agar para nelayan yang menjadi langgannya tetap menjual hasil tangkapan kepada bakul tersebut. Kegiatan mobilitas musiman nelayan (bawaan) ini dapat terlihat pada peta mobilitas nelayan berikut ini: LAUT Ikan Teri
Muara Angke
Udang Rajungan
Ciasem
Blanakan
Eretan Air laut pasang Terungtum
DARATAN
Musim kemarau
Tempat pendaratan
TPI I
Tempat pendaratan
TPI II
Keterangan: Nelayan pergi ke laut Nelayan kembali ke daratan
Gambar 7. Peta Mobilitas Musiman Nelayan di Desa Limbangan Berdasarkan gambar di atas, pada saat air laut pasang, para nelayan di Desa Limbangan mendaratkan perahunya di sungai, sehingga para nelayan akan melakukan penjualan hasil tangkapan pada Tempat Pelelangan Ikan (TPI II) karena jaraknya yang dekat dengan sungai tempat mendaratkan perahu nelayan
81 tersebut. Sedangkan pada saat air laut surut (musim kemarau) dan sungai tidak bisa digunakan untuk mendaratkan perahu, maka para nelayan mendaratkan perahunya di tepi-tepi pantai dan menjual hasil tangkapannya di Tempat Pelelangan Ikan (TPI I). TPI I ini dulu merupakan tempat kegiatan lelang terbuka, namun setelah adanya langgan di TPI I ini tidak ada lagi kegiatan lelang terbuka karena para nelayan harus menjual hasil tangkapannya kepada para bakul yang menjadi langgannya, sehingga setiap harinya di TPI I ini relatif sepi. Penerapan berbagai strategi tersebut dapat terlihat pada contoh-contoh kasus rumahtangga berikut ini: a. Rumahtangga Bapak Dkm Bapak Dkm (39 tahun) merupakan seorang nelayan bidak yang kehidupannya sangat sederhana, rumahnya berlantai tanah dan dinding yang terbuat dari anyaman bambu sudah terlihat sangat rusak termakan usia. Kemampuan bekerja sebagai nelayan diperoleh dari orang tuanya yang dulu juga sebagai nelayan bidak. Pada waktu kecil ia hanya bersekolah sampai kelas empat SD, dan setelah itu ia langsung bekerja di laut untuk membantu mencari ikan. Kehidupan sehari-hari Pak Dkm banyak dihabiskan untuk bekerja di laut dan pada saat-saat tertentu ia bekerja juga sebagai buruh tani. Menurutnya “Kehidupan sebagai nelayan sangat susah karena hasil tangkapannya tidak menentu dan penghasilannya sedikit”. Ketika penulis menanyakan apa maksud penghasilanya sedikit?, Pak Dkm menjelaskan bahwa dalam sekali melaut hasil bersih nelayan bidak setelah bagi hasil misalnya Rp 15.000,00, bisa dibayangkan uang tersebut bagaimana bisa untuk mencukupi kebutuhan
82 keluarga, belum untuk biaya sekolah anak. “Kalau bapak pendidikannya tinggi mah enak bisa mencari pekerjaan yang penghasilannya tetap”. Ibu Wnh (35 tahun), istri Pak Dkm ini sempat lulus SD,sehingga ia mempunyai kemampuan untuk baca tulis. Sehari-hari ibu Wnh menghabiskan waktunya untuk bekerja mengurusi pekerjaan rumahtangga, bekerja di pabrik rajungan, menjadi buruh cuci dan pada waktu panen padi ia bekerja juga sebagai buruh tani. Menurutnya ”Orang miskin itu serba susah, makannya saja hanya dengan tempe dan tahu saja, tidak seperti orang kaya makannya dengan lauk yang bermacam-macam”. Selain itu juga ia menjelaskan “kalau hanya mengandalkan penghasilan suami, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga, sehingga saya juga harus ikut membantu bekerja untuk memenuhi sumber pendapatan keluarga”. Pasangan bapak Dkm dan ibu Wnh ini telah 19 tahun menikah dan dikaruniai dua orang anak, anak pertamanya Irw (11 tahun) masih duduk di kelas lima SD dan anak keduanya Aln (6 tahun). Irw ditengah kesibukannya bersekolah ia menyempatkan diri untuk membantu keluarga dengan menggorek di tempat pelelangan ikan (TPI) atau meminta alang-alang kepada para nelayan yang baru mendarat. Menurutnya “uang hasil kegiatan tersebut sebagian di berikan kepada orangtua, jajan, dan ditabung untuk keperluan sekolah”.
b. Rumahtangga Bapak Usm Bapak Usm (50 tahun) adalah seorang nelayan bidak, ia mulai bekerja melaut pada usia 15 tahun, pada waktu kecil ia hanya bersekolah sampai kelas
83 2 SD, kemampuannya bekerja dilaut didapat dari orangtuanya yang dulu juga seorang nelayan bidak. Kehidupan sehari-hari pak Usm adalah bekerja di laut sebagai buruh nelayan (bidak), selain itu, ia juga membantu usaha dagangan istrinya, dan pada waktu-waktu tertentu ia juga bekerja di pertanian sebagai buruh pemanen padi (nderep). Ketika penulis menanyakan kondisi kehidupannya sebagai nelayan, ia menjelaskan bahwa ”Kehidupan sebagai nelayan banyak susahnya apalagi seorang nelayan bidak seperti saya, kalau hanya mengandalkan dari pekerjaan melaut tidak akan cukup untuk memenuhi keluarga, untungnya istri saya membuka warung kecil-kecilan dan anak perempuan saya juga bekerja di luar negeri sebagai TKW, jadi bisa membantu untuk memenuhi kebutuhan keluarga”. Ibu Ktn (42 tahun), istri pak Usm mini dalam kehidupan sehari-hari ia banyak menghabiskna waktunya untuk mengurusi pekerjaan rumahtangga dan berjualan. Seminggu sekali ia menyempatkan diri untuk mengikuti pengajian dan arisan. Menurutnya “ Mengikuti pengajian dan arisan banyak memberikan keuntungan, selain dapat meningkatkan tali silaturahmi diantara istri nelayan juga dapat memberikan keuntungan secara ekonomi, misalnya modal warung ini sebagian saya peroleh dari hasil arisan, dan sebagian keuntungan yang diperoleh dari usaha warung ini saya tabung untuk membayar iuran arisan setiap minggunya sebesar Rp. 20.000,00”. Ketika peneliti menanyakan peran anak-anaknya
dalam
membantu
memenuhi
kebutuhan
keluarga,
ia
menjelaskan bahwa “ kedua anak gadisnya sudah setahun ini bekerja ke luar negeri sebagai TKW, uang dari hasil kerja anaknya di luar negeri tersebut dapat membantu mencukupi kebutuhan keluarga seperti memperbesar usaha
84 warung dan membiayai sekolah anak. Selain itu, Hto (12 tahun), anak ketiga dari pasangan bapak Usm dan Ibu Ktn ini, selain sibuk bersekolah juga ikut menggorek di tempat pelelangan ikan atau meminta alang-alang kepada para nelayan yeng baru mendarat.
c. Rumahtangga Bapak Dsn Bapak Dsn (55 tahun) adalah seorang juragan, ia mulai bekerja di laut pada usia 16 tahun, pada waktu itu ia ikut membantu orangtuanya yang juga sebagai juragan. kehidupan sehari-hari Pak Dsn banyak dihabiskan untuk bekerja di laut, dan apabila sedang tidak melaut Pak Dsn menghabiskan waktunya untuk memperbaiki alat tangkap dan beristirahat. Perahu yang dimiliki Pak Dsn dulunya sebagian modalnya merupakan hasil pinjaman kepada bakul. Namun setelah anak perempuannya bekerja ke luar negeri (Arab Saudi) sebagai TKW, ia dapat melunasi hutangnya. Menurutnya “ Hidup sebagai nelayan sangat susah karena hasilnya tidak dapat dipastikan, kadang dapat hasil banyak, kadang pas-pasan, bahkan kadang-kadang rugi”. Pada waktu musim tidak menagkap ikan (paceklik), Pak Dsn biasanya melakukan bawaan ke berbagai daerah, biasanya daerah yang dituju antara lain Trungtum, Eretan, Blanakan, dan Ciasem. Ibu Rmn (45 tahun), layaknya sebagai ibu rumahtangga ia mengerjakan tugas rumahtangga dan membantu suaminya menyiapkan peralatan dan perbekalan untuk melaut. Selain itu juga, pada waktu-waktu tertentu ia bekerja dipertanian. Pasangan Bapak Dsn dan ibu Rmn ini telah menikah selama 36 tahun dan telah dikaruniai 6 orang anak. Empat anak
85 tertuanya telah berkeluarga dan tinggal bersama mertuanya, dan anak ke limanya Ipn (22 tahun) bekerja melaut membantu orangtuanya dan pada waktu-waktu tertentu ia bekerja juga sebagai buruh di pabrik penggilingan padi. Stn (19 tahun) anak ke enamnya ini bekerja di Luar negeri (Abudabi) sebagai TKW, uang hasil kerjanya rutin dikirmkan kepada orangtuanya untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga dan menambah modal usaha orangtuanya.
d. Rumahtangga Bapak Rsd Pak Rsd (60 tahun) adalah seorang nelayan bidak, ia merupakan anak kedua dari empat bersaudara. Orangtuanya dulu merupakan seorang pemilik perahu (juragan). Pada waktu kecil, Pak Rsd hanya mampu sekolah sampai kelas dua SD, alasannya karena ia ingin bekerja sebagai nelayan dan dapat menghasilkan uang sendiri. Kehidupannya sebagai nelayan banyak dihabiskan untuk bekerja di laut dan pada saat tidak melaut, ia menghabiskan waktunya untuk beristirahat dengan keluarga dan cucu-cucunya. Menurut ceritanya dulu ia pernah bekerja di saudaranya sebagai buruh pengepakan udang, tapi setelah usaha saudaranya mengalami kebangkrutan, ia terpaksa bekerja di laut, karena dengan pendidikannya yang rendah sulit baginya untuk memasuki pekerjaan di sektor lain. Menurutnya “Hidup sebagai nelayan sangat susah karena sangat tergantung dengan keadaan fluktuasi musim ikan, sehingga hasilnya tidak menentu, tidak seperti kerja di darat hasilnya sudah dapat ditentukan”. Misalnya pekerja kantoran hasilnya sudah ditentukan setiap bulannya berapa, sedangkan bekerja dilaut hasilnya tidak dapat dipastikan.
86 Susahnya hidup sebagai nelayan sangat dirasakan ketika sedang tidak musim menangkap ikan (paila). Menurutnya “Pada saat masa paceklik, biasanya keluarga saya menggadaikan atau menjual perabotan rumahtangga untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Apabila hal itu tidak juga mencukupi, keluarga saya biasa meminjam uang kepada kerabat, tetangga atau teman yang dianggap mampu. Pernah juga saya meminjam uang kepada juragan dengan jaminan ikatan kerja, sehingga apabila musim menangkap ikan tiba, saya harus bekerja pada juragan tersebut”. Ibu Kltm (53 tahun), istri pak Rsd ini hanya seorang ibu rumahtangga. Setiap harinya banyak menghabiskan waktunya untuk mengerjakan tugastugas rumahtangga, dan mengurusi cucunya ketika anaknya bekerja di pabrik pengolahan
ikan.
Menurutnya
“Selain
sibuk
mengurusi
pekerjaan
rumahtangga, setiap hari Jumat saya biasanya ikut kegiatan arisan dan pengajian ibu-ibu. Besarnya iuran dalam kegiatan arisan ini Rp 20.000,00 dan kalau beruntung bisa mendapatkan uang sekitar Rp 2.000.000,00. Uang tersebut biasa digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, membayar tagihan listrik dan air, serta untuk dijadikan modal usaha kecilkecilan”. Pada saat musim paceklik, untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga kadang-kadang saya meminjam uang kapada Bank harian (bank dinan). Uang pinjaman kepada bank harian ini sebesar Rp 112500,00 – Rp 225.000,00. Besarnya setoran setiap hari untuk pinjaman sebesar 112500,00 adalah Rp 5000,00 sedangkan untuk pinjaman Rp 225.000,00 adalah sebesar Rp 10.000,00.
87 Dari hasil pernikahannya dengan Ibu Kltm, Pak Rsd dikaruniai tiga orang anak yang semuanya sudah berkeluarga. Hanya seorang anaknya yang masih tinggal bersamanya yaitu Rni (35 tahun). Rni bekerja di pabrik rajungan, pada saat ia bekerja anaknya yang masih balita dititipkannya kepada ibunya. Pada saat gajian rni sering mengasih uang kepada ibunya untuk membantu mencukupi kebutuhan keluarga.
BAB VI PENUTUP
6.1.
Kesimpulan Masalah kemiskinan yang terjadi pada masyarakat nelayan di Desa
Limbangan tidak terlepas dari adanya berbagai faktor penyebab kemiskinan. Faktor penyebab kemiskinan tersebut berupa fluktuasi musim tangkapan, faktor ini telah menyebabkan ketidakpastian hasil tangkapan para nelayan, sehingga pada saat sedang tidak musim menangkap ikan para nelayan sangat kesusahan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sehari-hari. Rendahnya sumberdaya manusia nelayan yang dicirikan dengan rendahnya tingkat pendidikan keluarga nelayan menyebabkan susahnya nelayan untuk mengakses peluang-peluang kerja yang tersedia, khususnya peluang kerja di luar sektor perikanan. Eksploitasi pemodal berupa ikatan penjualan kepada bakul tertentu dengan harga jauh di bawah harga pasar menyebabkan semakin kecilnya hasil pendapatan nelayan, sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan hidup keluarga sehari-hari. Ketimpangan sistem bagi hasil juga telah menyebabkan nelayan (bidak) semakin terpuruk karena sistem bagi hasil yang berlaku hanya menguntungkan pihak juragan saja, sehingga menambah kesenjangan ekonomi antara pemilik perahu (juragan) dan buruh nelayan (bidak). Selain itu, penerapan motorisasi pada perahu-perahu nelayan, di satu sisi memiliki keuntungan yaitu dapat menghemat waktu, energi, dan kegiatan penangkapan ikan tidak lagi bergantung pada arah angin, sehingga para nelayan dapat lebih intensif untuk pergi melaut (miyang). Namun di sisi lain, penerapan
89 motorisasi tersebut telah menyebabkan tersisihnya kelembagaan ekonomi (TPI), sehingga para nelayan yang dulunya dapat melakukan kegiatan lelang terbuka di TPI, kini tidak dapat lagi melaksanakannya karena mereka harus menjual hasil tangkapannya kepada para bakul yang menjadi langgannya. Hal ini telah menyebabkan semakin tingginya ketergantungan para nelayan terhadap para pemodal (bakul). Faktor ini sangat dominan dalam menyebabkan kemiskinan nelayan di Desa Limbangan kerena selain menyebabkan tersisihnya kelembagaan ekonomi, motorisasi juga erat kaitannya dengan penggunaan bahan bakar minyak (BBM), kenaikan harga BBM tidak di di barengi dengan kenaikan harga hasil produksi nelayan, sehingga menyebabkan semakin susahnya nelayan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Pencemaran lingkungan yang diduga disebabkan oleh PT. Pertamina dan PT. Batavindo telah menyebabkan menurunnya hasil tangkapan dan gagalnya usaha tambak nelayan. Sekalipun pencemaran lingkungan ini sudah ditangani, namun sampai saat ini dampaknya masih dirasakan oleh para nelayan yaitu berupa penurunan hasil produksi nelayan. Pada saat musim paceklik untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, rumahtangga nelayan seringkali menggadaikan atau menjual harta kekayaan dan perabotan rumahtangga, apabila hal tersebut tidak mencukupi, maka para nelayan akan meminjam uang kepada kerabat, tetangga atau teman yang dianggap mampu, bahkan ada pula sebagian nelayan yang meminjam uang kepada juragan dan rentenir. Pengalokasian uang tersebut tidak sepenuhnya digunakan untuk memenuhi
kebutuhan
hidup
keluarga
sehari-hari.
Sebagian
nelayan
mengalokasikan uang pinjaman ini untuk memenuhi kebiasaan-kebiasaan mereka
90 berupa minum-minuman keras dan berjudi, sehingga menyebabkan nelayan terjerat hutang dan semakin sulit untuk keluar dari kemiskinan. Menghadapi situasi kemiskinan tersebut, rumahtangga nelayan berusaha menerapkan
berbagai
strategi
dengan
melakukan
diferensiasi
peranan.
Diferensiasi peranan tersebut dapat terlihat dalam berbagai strategi yang diterapkan oleh rumahtangga nelayan. Strategi-strategi tersebut berupa peranan anggota keluarga (istri dan anak nelayan), penerapan strategi ini terlihat pada peranan anggota rumahtangga dalam membantu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Bagi anak-anak yang masih kecil biasanya membantu mencari penghasilan dengan menggorek dan meminta ikan kepada nelayan yang baru mendarat (alang-alang). Bagi para istri atau anak gadis membantu memenuhi kebutuhan hidup keluarga dengan bekerja menjadi buruh di pabrik pengolahan ikan atau memilih bekerja keluar negeri sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW). Sedangkan bagi anak laki-laki biasanya membantu orang tuanya bekerja di laut. Penerapan strategi ini telah membantu menambah pendapatan rumahtangga nelayan dalam mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Pola nafkah ganda, rumahtangga nelayan berusaha mengalokasikan tenaga kerjanya ke berbagai jenis pekerjaan, seperti menjadi buruh tani, buruh pabrik pengolahan ikan, dan lain-lain. Penerapan strategi ini dimaksudkan untuk menyikapi situasi kemiskinan yang berkaitan dengan hasil tangkapan yang tidak menentu. Penerapan strategi ini telah membantu sumber pendapatan rumahtangga di tengah ketidakpastian hasil tangkapan nelayan. Diversifikasi peralatan tangkap, pada saat-saat tertentu para nelayan menggunakan alat tangkap sesuai dengan jenis ikan yang dapat ditangkap pada waktu itu. Diversifikasi peralatan tangkap
91 ini dilakukan oleh para nelayan untuk mengantisipasi fluktuasi musim ikan yang tidak menentu. Pemanfaatan organisasi produktif, untuk membantu memenuhi kebutuhan hidup keluarga, para istri nelayan di Desa Limbangan ikut aktif dalam kelompok arisan dan kelompok pengajian. Hasil dari kegiatan arisan ini dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan selain itu, dapat pula dijadikan sebagai modal usaha. Jaringan sosial, para nelayan memanfaatkan jaringan sosial sebagai salah satu strategi dalam menghadapi kemiskinan. Jaringan sosial ini dimanfaatkan dalam kegiatan menangkap ikan dan mengatasi tekanan-tekanan ekonomi. Selain itu, jaringan sosial dimanfaatkan juga oleh para nelayan untuk mendapatkan informasi tentang fluktuasi musim ikan di daerah tertentu. Informasi tersebut dimanfaatkan oleh para nelayan sebagai salah satu bahan pertimbangan untuk memutuskan dalam kegiatan mobilitas musiman nelayan (bawaan). Penerapan strategi ini telah membantu rumahtangga nelayan dalam mengatasi faktor penyebab kemiskinan berupa eksploitasi pemodal dan ketimpangan sistem bagi hasil. Dari berbagai strategi yang diterapkan, peranan anggota keluarga (istri dan anak) nelayan merupakan strategi yang banyak dilakukan oleh rumahtangga nelayan di Desa Limbangan karena strategi ini relatif mudah dilakukan dan dapat membantu rumahtangga nelayan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Penerapan berbagai strategi tersebut dapat membantu para nelayan bertahan hidup ditengah keadaan yang serba miskin.
92 6.2.
Saran Berdasarkan hasil penelitian ini, beberapa hal yang dapat diusulkan
sebagai saran adalah: 1. Mengoptimalkan kembali peran kelembagaan ekonomi (TPI), sehingga para nelayan dapat melakukan kegiatan lelang terbuka kembali dan tidak terlalu bergantung kepada para juragan atau bakul. 2. Perlu dibangun pelabuhan kecil agar perahu-perahu dari daerah lain dapat mendaratkan dan menjual ikannya di daerah Limbangan. Hal ini perlu dilakukan untuk menunjang kemajuan ekonomi Desa. 3. Perlu dibentuk kelompok-kelompok nelayan dan kegiatan pendampingan, baik oleh petugas penyuluhan, LSM, dan lain-lain, agar nelayan dapat dikoordinir dalam wadah organisasi.
93 DAFTAR PUSTAKA
Aristiyani, Tri. 2003. Strategi Nafkah dan Kerja Perempuan pada Rumahtangga Petambak Penggarap dalam Menghadapi Resiko (Kasus pada Komunitas Petambak di Desa Karya Bakti, Kabupaten Karawang, Jawa Barat). Skripsi, Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Dahuri, Rokhmin. 1994. Studi Model Pengentasan Kemiskinan Nelayan di Desa Gebang Mekar, Kabupaten Cirebon, Propinsi Jawa Barat. Program Pengelolaan Wilayah Pesisir. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup. Institut Pertanian Bogor; Bogor.
Dahuri, Rokhmin. 1996. Potensi Sumberdaya Pesisir dan Laut: Perspektif Ekonomi dan Ekologi. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan lautan. Institut Partanian Bogor; Bogor.
Darwin, M.S.P. 2002. Karakteristik Kemiskinan Masyarakat Nelayan di Kecamatan Syiah Kuala Banda Aceh. Skripsi Institut Pertanian Bogor; Bogor. Dharmawan, Arya Hadi. 2003. Farm Household Livelihood Strategies and Socioeconomic Changes in Rural Indonesia. Disertasi, University of Gottingen, Jerman. Hermanto et al., 1995. Kemiskinan di Pedesaan : Masalah dan Alternatif Penanggulangannya. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. IPB; Bogor.
Ihromi, T.O. 1999. Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Yayasan Obor Indonesia; Jakarta. Lestari, Dewi. 2005. Strategi Nafkah Rumahtangga Nelayan Pantai Utara dan Pantai selatan Jawa (Studi kasus Komunitas Nelayan Banyuwoto, Jawa
94 Tengah dan Komunitas Nelayan Cipatuguran, Jawa Barat). Skripsi, Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Kusnadi, 2000. Nelayan : Strategi adaptasi dan Jaringan Sosial. Humaniora Utama Press ; Bandung.
Kusnadi, 2002. Konflik Sosial Nelayan Kemiskinan dan Perebutan Sumberdaya Perikanan. LKiS; Yogyakarta. Lewis, Oscar. 1966. Kebudayaan Kemiskinan dalam Parsudi Suparlan (ed.), kemiskinan di Perkotaan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Mangkuprawira, S. 1993. Pendekatan Pengentasan Kemiskinan Oleh Perguruan Tinggi. Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat. IPB; Bogor.
Masyhuri, 2001. Adaptasi Kelembagaan Ekonomi Masyarakat Nelayan dalam Pemanfaatan Sumberdaya Alam Indonesia. Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2E - LIPI); Jakarta.
Mubyarto et al., 1984. Nelayan dan Kemiskinan. Rajawali Pers; Jakarta.
Pangemanan, et al., 2003. Sumber Daya Manusia (Sdm) Masyarakat Nelayan. http://rudyct.tripod.com/sem1_023.htm. Diakses pada tanggal 5 Desember 2005 pukul 08.30 wib.
Satria, Arif. 2002. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. PT Pustaka Cidesindo; Jakarta. Setiadi, 2006. Mengungkap pengentasan Kemiskinan Secara Partisipatoris. http://www.ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=307. Diakses pada tanggal 28 Februari 2006 pukul 08.55 wib. Setyohadi, Tuk. 1998. Pemberdayaan Nelayan dan kelautan Dalam Kerangka Konsepsi Benua Maritim Indonesi dalam Prosiding Simposium Perikanan Indonesia II Ujung Pandang, 2-3 Desember 1997. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan bekerja sama dengan Japan Internasition
95 Agency, Universitas Hasanuddin, Dinas Perikanan Dati I Sulawesi Selatan, Ikatan Sarjana Perikanan Indonesia dan Himpunan Mahasiswa Perikanan Indonesia. Sitorus, M.T. Felix. 1998. Penelitian Kualitatif: Suatu Pengantar. DOKISH. Fakultas pertanian. Institut Pertanian Bogor. Soekanto, Soerjono. 2002. Sosiologi Suatu Pengantar. PT Raja Gravindo Persada; Jakarta.
Soemardjan, Selo. Alfian. Tan Mely G. 1984. Kemiskinan Struktural Suatu Bunga Rampai. Mataangin Offsen; Jakarta
Soemardjan, Selo. 1997. Jurnal Sosiologi Indonesia. Ikatan Sosiologi Indonesia; Jakarta.
Solihin, Ahmad. 2005. Pendekatan Sosial-Budaya dalam Memberdayakan Nelayan.http://www.ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=307.Diakses Pada tanggal 25 Februaru 2006 pukul 09.30 wib.
Sumodiningrat. 1989. Dalam Darwis,V dan Numanaf, R.A. 2001. Pengentasan Kemiskinan: Upaya Yang Telah Dilakukan Dan Rencana Waktu Mendatang.http://pse.litbang.deptan.go.id/publikasi/FAE_19_1_2001_4.p df. Diakses pada tanggal 1 Maret 2006 pukul 08.15 wib.
Suyanto, Bagong. 2003. Upaya Menyejahterakan Nelayan di Jatim Meningkatkan Produktivitas
atau
Diversifikasi?.
http://www.kompas.co.id/kompas-
cetak/0304/23/jatim/274420.htm. Di akses pada tanggal 14 Desember 2005 pukul 8.04 wib.
LAMPIRAN
Lampiran Gambar 8. Peta Lokasi Penelitian
Desa Limbangan
KABUPATEN INDRAMAYU LOKASI PENELITIAN
97 Lampiran Tabel 12. Teknik Pengumpulan Data
No
1
Kebutuhan data/informasi
Gambaran Umum Desa: Jumlah penduduk Desa Mata pencaharian
Sumber
Teknik
data/informasi
pengumpulan data
Data Monografi Desa Aparatur Desa,
Studi Dokumen data monografi Desa
Penyebaran penduduk
tokoh masyarakat
Wawancara
Komposisi penduduk
dan anggota
Pengamatan
masyarakat
langsung
Informan dan
Wawancara
Responden
mendalam
(usia, jenis kelamin, pendidikan, etnis, dan religi) Kondisi infrastruktur Desa Sistem nilai budaya, norma, dan pranata dalam Desa
2
Faktor penyebab kemiskinan nelayan Faktor-faktor penyebab
Pengamatan
kemiskinan nelayan
langsung
Faktor paling dominan yang menyebabkan kemiskinan nelayan
3
Strategi rumahtangga nelayan
Informan dan
Wawancara
Responden
mendalam
Bentuk-bentuk strategi
Pengamatan
rumahtangga nelayan
langsung
Pihak-pihak yang terkait dalam strategi
98 tersebut Implementasi strategi Hasil yang dapat diperoleh dari penerapan strategi tersebut
99 Lampiran 1. Panduan Pertanyaan Wawancara
1. Gambaran umum Desa Limbangan a. Bagaimana sistem nilai budaya, norma, dan pranata yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat? b. Bagaimana kehidupan sosial ekonomi desa, khususnya masyarakat nelayan? c. Bagaimana ketersediaan sarana dan prasarana umum yang tersedia di Desa yang mendukung kegiatan penangkapan? d. Bagaimana gambaran umum lingkungan perumahan desa, khususnya perumahan nelayan?
2. Identifikasi faktor penyebab kemiskinan nelayan a. Faktor-faktor apa yang menyebabkan kemiskinan pada masyarakat nelayan di Desa Limbangan? b. Faktor apa yang paling dominan menyebabkan kemiskianan pada masyarakat nelayan di Desa Limbangan?
3. Strategi rumahtangga nelayan a. Bagaimana bentuk-bentuk strategi rumahtanga nelayan dalam mengatasi faktor-faktor penyebab kemiskinan tersebut? b. Pihak-pihak mana saja yang terkait dalam strategi tersebut? c. Bagaimana implementasi dari berbagai bentuk strategi tersebut? d. Bagaimana hasil yang dapat diperoleh/dirasakan oleh rumahtangga dari penerapan strategi tersebut?