Reorientasi paradigma strategi4(2), pengentasan kemiskinan ... Pengembangan Inovasi dan Pertanian 2011: 87-102
87
REORIENTASI PARADIGMA DAN STRATEGI PENGENTASAN KEMISKINAN DALAM MENGATASI DAMPAK KRISIS EKONOMI GLOBAL1) I Wayan Rusastra Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jalan A. Yani No. 70, Bogor 16161 Telp. (0251) 8333964, Faks. (0251) 8314496 e-mail:
[email protected] Diajukan: 18 Maret 2011; Disetujui: 5 Mei 2011
ABSTRAK Pemerintah telah menetapkan penanggulangan kemiskinan sebagai prioritas utama dalam pembangunan nasional 2009-2014. Program pemberdayaan pertanian dan nonpertanian untuk kelompok miskin sudah relatif banyak, namun kurang efektif dan berkelanjutan karena bersifat parsial-sektoral. Mengingat besarnya sumber daya yang dicurahkan, dalam perspektif peningkatan efektivitas dan efisiensi program pembangunan, pemikiran ini bertujuan merumuskan reorientasi paradigma dan strategi sebagai syarat kecukupan dalam pengentasan kemiskinan di perdesaan. Krisis ekonomi berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi dan ketahanan pangan di tingkat regional dan global. Dampak krisis ekonomi global di Indonesia mencakup penurunan pertumbuhan sektor pertanian dan terhambatnya pencapaian target MDGs-1 2015 (12,3% vs target 7,5%). Dampak krisis, dengan risiko dan ketidakpastian yang tinggi, hendaknya membangkitkan kesadaran baru tentang pentingnya paradigma dan strategi pembangunan dan pertumbuhan inklusif. Pembangunan perdesaan inklusif mensyaratkan sinergi pertumbuhan di tingkat desa dengan program pemberdayaan kelompok miskin. Pengembangan agribisnis dan agroindustri patut dijadikan kegiatan utama program pemberdayaan, pembangunan perdesaan, dan instrumen penting dalam mempercepat transformasi ekonomi pertanian dan perdesaan. Komplementasi efektivitas program pengentasan kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi (di atas 7,0%), didukung integrasi ekonomi desa-kota, akan menjamin efektivitas dan efisiensi pemanfaatan sumber daya ekonomi dan mempercepat pengentasan kemiskinan di perdesaan dan secara nasional. Kata kunci: Kemiskinan, krisis ekonomi, ekonomi pertanian, agribisnis, agroindustri
ABSTRACT Paradigm Reorientation and Poverty Alleviation Strategy to Overcome the Impact of Global Economics Crisis The government has determined poverty alleviation as the main priority of national development for 2009-2014. There are a lot of agricultural and nonagricultural empowerment programs for the poor
1)
Naskah disarikan dari bahan Orasi Profesor Riset yang disampaikan pada tanggal 30 Desember 2010 di Bogor.
88
I Wayan Rusastra
people, but most of those are ineffective and unsustainable because of partial-sectoral in nature. Due to large amount of recources allocated, in the perspective of enhancing the effectiveness and efficiency of development programs, this paper aimed to redefine the paradigm and strategy as the sufficient condition for rural poverty alleviation in Indonesia. The economic crisis has negative impact on economic growth and food security at regional and global levels. The impacts of economic crisis in Indonesia consist of decreasing growth in agricultural sector and unreachable MDGs-1 2015’s target (12.3% vs 7.5% of the target). Crisis impact, with its high risk and uncertainty, should encourage new awareness regarding the importance of paradigm and strategy of development and inclusive growth. Inclusive rural development requires synergy of growth at village level with empowerment program for poor people. Agribusiness and agroindustry development should be fairly chosen as the main program activity of empowerment, rural development, and important instrument to accelerate rural and agricultural economic transformation. The complementary of effective alleviation program with high economic growth (above 7.0%), supported with rural-urban economic integration, could ensure the effective and efficient use of economic resources and capable to accelerate poverty alleviation in rural area and at national level. Keywords: Poverty, economic crisis, agricultural economics, agribusiness, agroindustry
PENDAHULUAN Pemerintah melalui Kabinet Indonesia Bersatu II telah menetapkan penanggulangan kemiskinan sebagai prioritas utama dalam pembangunan nasional 2009-2014 (Deputi Menko Kesra 2010). Secara nasional, penduduk miskin pada tahun 2009 masih tetap tinggi, yaitu 32,5 juta orang (14,15%), sebagian besar tinggal di perdesaan (63,4%) dan 64,7% dari mereka bekerja di sektor pertanian (Suharyanto 2010). Berdasarkan trend penurunan kemiskinan 2000-2009, kemiskinan relatif pada tahun 2015 diperkirakan akan mencapai 12,28%, jauh di atas target Millenium Development Goals-1 (MDGs-1) yang besarnya 7,50% (Rusastra et al. 2010). Beberapa faktor yang memengaruhi kinerja pengentasan kemiskinan dan pencapaian target MDGs-1 2015 adalah: (1) lemahnya pemahaman dan kesadaran tentang risiko dan dampak jangka panjang krisis ekonomi global (Rusastra dan Bottema 2008; Kuncoro et al. 2009; Rusastra et al. 2010); (2) belum mantapnya pemahaman dan implementasi pembangunan
perdesaan dan nasional inklusif; (3) belum berjalannya transformasi struktural ekonomi perdesaan dalam pengentasan kemiskinan (Rusastra 2008); dan (4) belum adanya konsistensi pembangunan agribisnis berdaya saing tinggi sebagai landasan program pemberdayaan kelompok miskin, pembangunan perdesaan, daerah, dan nasional (Rusastra et al. 2008; Kuncoro et al. 2009). Pemerintah telah menetapkan tiga kelompok program penanggulangan kemiskinan untuk periode 2010-2015, yaitu: (1) bantuan sosial terpadu berbasis keluarga; (2) penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat (PNPM Mandiri); dan (3) pemberdayaan masyarakat berbasis usaha kecil dan mikro (UKM). Target ketiga kelompok program tersebut pada tahun 2015 adalah terbentuknya lembaga partisipatif masyarakat di 78.000 desa (Deputi Menko Kesra 2010). Program pemberdayaan pertanian dan nonpertanian untuk kelompok miskin relatif banyak, namun kurang efektif dan berkelanjutan karena bersifat parsial-sektoral. Tingkat kedalaman dan keparahan kemis-
Reorientasi paradigma dan strategi pengentasan kemiskinan ...
kinan tetap tinggi dan kelompok miskin sangat rentan terhadap perubahan eksternal sosial-ekonomi dan lingkungan, seperti sangat rentan terhadap kenaikan harga pangan, pengurangan subsidi faktor produksi, gejolak sosial, dan bencana alam. Sudaryanto (2009) dalam orasi profesor riset menawarkan program revitalisasi sektor pertanian yang mencakup diversifikasi pertanian, peningkatan investasi dalam pengembangan infrastruktur, dan inovasi teknologi dalam akselerasi pengentasan kemiskinan di perdesaan. Dalam membedah perangkap kemiskinan petani tanaman pangan, Swastika (2010) dalam naskah orasi ilmiahnya menawarkan pembangunan perdesaan terpadu yang didukung oleh industrialisasi perdesaan dan perluasan skala usaha tani. Kebijakan dan program yang ditawarkan tersebut penting artinya, tetapi belum cukup (necessary but not sufficient) dalam pengentasan kemiskinan perdesaan. Mengingat besarnya upaya, dana, dan sumber daya yang dicurahkan, dalam perspektif peningkatan efektivitas, efisiensi, dan daya guna kebijakan dan program, maka makalah ini membuat pemikiran dalam merumuskan reorientasi paradigma dan strategi pengentasan kemiskinan sebagai syarat kecukupan (sufficient condition) dalam pengentasan kemiskinan perdesaan di Indonesia.
DAMPAK KRISIS EKONOMI GLOBAL TERHADAP KEMISKINAN Dalam kurun waktu 1990-2010, terdapat dua krisis ekonomi yang sangat memengaruhi kinerja pengentasan kemiskinan, yaitu krisis ekonomi Asia/KEA (1997-1998) dan krisis ekonomi global/KEG (2007-2008). KEG diprediksi berdampak jangka panjang dengan risiko ketidakpastian yang relatif
89
tinggi sehingga membutuhkan strategi dan kesadaran baru tentang pentingnya pembangunan dan pertumbuhan inklusif.
Dampak Krisis Ekonomi Asia (1997-1998) Setelah mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat, Indonesia mengalami krisis sejak pertengahan 1997. Pada tahun 1996, pertumbuhan PDB nasional mencapai 8,0% dan menurun menjadi 4,6% pada tahun 1997. Dampak krisis semakin parah pada tahun 1998 dengan kontraksi ekonomi mencapai 13,7% (Warr 1999). Inflasi meningkat tajam (sekitar 70% pada tahun 1998) dan upah riil mengalami penurunan sehingga berdampak terhadap penurunan daya beli masyarakat. Peningkatan harga input pertanian berdampak negatif terhadap adopsi teknologi, produksi, dan pendapatan petani. Proporsi dan nilai nominal pengeluaran pangan mengalami peningkatan (Sudaryanto et al. 2000). Kondisi ini berdampak negatif terhadap ketahanan pangan rumah tangga dan tingkat kemiskinan. Populasi penduduk miskin meningkat dari 22,5 juta orang pada tahun 1996 menjadi 49,5 juta orang (24,23%) pada Desember 1998, dengan kenaikan absolut 27 juta orang dibandingkan kondisi sebelum krisis (1996). Sebagai akibat KEA, kemiskinan relatif meningkat dari 15,08% pada tahun 1990 menjadi 16,14% pada tahun 2000 (Irawan dan Romdiati 2000).
Dampak Krisis Ekonomi Global (2007-2008) Krisis ekonomi global/KEG (2007-2008) berdampak terhadap laju pertumbuhan
90
PDB Indonesia yaitu mengalami perlambatan dari 6,4% pada tahun 2008 menjadi 4,4% pada tahun 2009. Tingkat penurunan produk domestik bruto (PDB) pada tahun 2009 yang relatif tinggi terjadi di Kalimantan menjadi 1,1%, Sumatera 2,8%, dan Sulawesi 6,1%. Padahal di ketiga wilayah ini, sektor pertanian memberi kontribusi yang dominan terhadap penurunan PDB regional (Kuncoro et al. 2009). Krisis ekonomi global dalam periode 2007-2008 berdampak terhadap penurunan produksi komoditas biji-bijian dunia sebesar 2,1%. Tingkat kelangkaan pangan global diindikasikan oleh laju peningkatan indeks harga tiga komoditas pangan (gandum, jagung, dan beras) dari 16,7% pada tahun 2006 menjadi 50,6% pada tahun 2008 (Rusastra et al. 2010). KEG meningkatkan penduduk rawan pangan global menjadi 100 juta orang (Von Braunn 2008), dan akibat perubahan iklim global mencapai 105 juta (Evan 2009), yang jumlahnya secara akumulatif pada tahun 2009 mencapai 1,02 miliar orang (FAO 2009). Krisis pangan dan harga pangan yang tinggi dan cenderung meningkat, dipredikasi akan menjadi permasalahan jangka panjang ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan karena berbagai faktor, antara lain: (1) pemanfaatan sumber daya lahan dan komoditas pangan untuk pengembangan bioenergi (ADB 2008; CGIAR 2008); (2) tindakan spekulatif untuk meningkatkan cadangan pangan di luar batas kewajaran (von Braunn 2008; ADB 2008); (3) kelangkaan sumber daya alam (lahan dan air), perubahan iklim global, dan peningkatan permintaan pangan (ADB 2008; Evan 2009); dan (4) keterbatasan ketersediaan dana pembangunan untuk pengembangan infrastruktur dan kapasitas produksi pertanian di negara berkembang (Rusastra et al. 2010).
I Wayan Rusastra
Dampak KEG di Indonesia adalah penurunan laju dan kemampuan pemerintah dalam pengentasan kemiskinan. KEG juga berdampak terhadap sensitivitas garis kemiskinan. Peningkatan garis kemiskinan dari USD1,55/hari menjadi USD2,00/hari menambah jumlah penduduk miskin dari 35 juta orang (15,4%) menjadi 118 juta orang atau 52% dari total penduduk 228 juta orang pada tahun 2009 (Cargill 2010).
Dampak Krisis Ekonomi terhadap Pencapaian MDGs Regional dan MDGs-1 (2015) di Indonesia Pengentasan kemiskinan merupakan komitmen global dengan target mengentaskan separuh penduduk miskin pada tahun 2015 dari basis data tahun 1990. Sebagian besar negara di kawasan Asia Pasifik diprediksi tidak akan mampu mencapai target MDGs dengan empat kategori kinerja, yaitu: (1) terdapat kemajuan relatif baik (moving ahead), dengan indeks status melebihi rata-rata regional; (2) kehilangan momentum dengan kemajuan relatif lambat; (3) terdapat kemajuan (catching up), tetapi dengan indeks status di bawah rata-rata regional; dan (4) kinerja mengalami kemunduran (falling further behind), termasuk Indonesia (UNESCAP News Services 2006). Dalam periode relatif stabil (2000-2009), dengan laju penurunan kemiskinan relatif 2,2%/tahun, tingkat kemiskinan di Indonesia pada tahun 2015 diprediksi 12,3%, jauh di atas target 7,5% (Rusastra et al. 2009). Terdapat sejumlah faktor penghambat pencapaian target MDGs-1 2015, antara lain: (1) fluktuasi dan stagnasi tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan; (2) tidak adanya perubahan tingkat distribusi pendapatan secara nasional; (3)
Reorientasi paradigma dan strategi pengentasan kemiskinan ...
ketimpangan distribusi spasial kemiskinan (57,5% di Jawa); dan (4) disparitas tingkat kemiskinan antarwilayah (Jawa vs. luar Jawa) dan antara daerah perkotaan dan perdesaan (Irawan dan Romdiati 2000; Rusastra dan Bottema 2008; Rusastra et al. 2009, 2010).
REORIENTASI PARADIGMA PENGENTASAN KEMISKINAN Sejak 2004, pemerintah menetapkan paradigma pertumbuhan inklusif dalam pembangunan nasional. Fakta empiris menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang lebih baik dalam periode 2004-2009 dibandingkan dengan periode 1999-2003 (5,6% vs 3,5% per tahun) tidak diikuti oleh laju penurunan kemiskinan yang lebih baik (2,99% vs 5,73% per tahun) (Rusastra et al. 2009; Kompas 2010). Efektivitas pertumbuhan inklusif di tingkat nasional membutuhkan sinergi dan adaptasi dengan pembangunan ekonomi perdesaan dan program pemberdayaan kelompok miskin. Dengan demikian, dibutuhkan pemahaman konsep dan komponen dasar pembangunan perdesaan inklusif dan preskripsi reorientasi paradigma pengentasan kemiskinan ke depan.
Paradigma Pertumbuhan Inklusif dan Berkualitas Paradigma pertumbuhan inklusif pada dasarnya adalah: (1) pembangunan pro kelompok miskin; (2) laju pertumbuhan ekonomi; dan (3) mencegah kerusakan lingkungan (Rusastra dan Erwidodo 1998). Terdapat keterkaitan kuat antarketiganya. Keberlanjutan pertumbuhan ekonomi akan mendorong perbaikan distribusi
91
pendapatan, yang memiliki ketergantungan pada efisiensi dan konservasi penggunaan sumber daya. Konsekuensinya, pilihan prioritas sektoral adalah pembangunan pertanian berkelanjutan dengan tetap memprioritaskan pertumbuhan sektor ekonomi lainnya. Beberapa justifikasi yang mendasari pembangunan sektor pertanian berkelanjutan sebagai basis pertumbuhan ekonomi berkualitas adalah: (1) dominasi dalam penyerapan tenaga kerja serta dampak pengganda pertumbuhan yang tinggi dan luas (Rusastra dan Erwidodo 1998); (2) pengentasan kemiskinan merupakan prakondisi penting bagi kelestarian sumber daya dan lingkungan (Pakpahan 1995); (3) melibatkan sebagian besar petani skala kecil dan dapat menekan ongkos transaksi karena terkait dengan kebutuhan langsung konsumsi rumah tangga dan pasar lokal (Sustainet 2006); dan (4) dominasi dalam struktur pendapatan rumah tangga petani dan adanya peluang pengembangan diversifikasi usaha tani dalam rangka memantapkan ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan (Rusastra et al. 2005).
Komponen Dasar Pembangunan Perdesaan Inklusif Pembangunan perdesaan inklusif memiliki tiga komponen dasar, yaitu: (1) pengembangan potensi dan kapasitas SDM (individual/kelompok miskin); (2) pembangunan dan pemberdayaan holistik multisektoral di tingkat desa; dan (3) transformasi struktural ekonomi pertanian dan perdesaan melalui pengembangan agribisnis dan integrasi ekonomi desakota. Ketiga komponen tersebut harus dilaksanakan secara sinergis dan terintegrasi.
92
I Wayan Rusastra
Sinergi Pengembangan SDM dan Program Pembangunan Fokus pendekatan ini adalah pengembangan kapasitas individu/kelompok miskin yang bersifat spesifik sehingga mereka mampu mengakses dan mendapat manfaat dari program pembangunan. Peningkatan kesejahteraan kelompok miskin ditentukan oleh kemampuan pengambilan keputusan individu/kelompok, penguasaan aset, serta pengetahuan dan keterampilan (Bottema et al. 2009). Secara lebih spesifik, komponen pengembangan SDM adalah modal sumber daya manusia, kemampuan/modal sosial, kemampuan psikologis, dan keterlibatan dalam kegiatan sosial politik di masyarakat (Anonymous 2008). Keberhasilan peningkatan kesejahteraan kelompok miskin ditentukan oleh interaksi antarkomponen pengembangan SDM dan sinerginya dengan program pembangunan (Fillili 2008). Pendekatan ini merefleksikan pentingnya faktor nonpendapatan dalam peningkatan kesejahteraan kelompok miskin, seperti keterbukaan akses terhadap pelayanan pendidikan, kesehatan, dan informasi (Fillili 2008). Pengembangan SDM memerlukan perbaikan kualitas, keterjangkauan, dan ketersediaan infrastruktur pendidikan bagi penduduk di wilayah miskin, serta keberlanjutan investasi pelatihan paramedis, peningkatan akses kesehatan, dan perbaikan kualitas pelayanan publik di bidang kesehatan (Rusastra dan Napitupulu 2008).
Pendekatan Pembangunan dan Pemberdayaan secara Holistik Pengembangan kapasitas dan akses SDM perdesaan merupakan komponen penting
dalam mendukung keberhasilan pembangunan dan pemberdayaan secara holistik. Partisipasi masyarakat miskin perdesaan dalam perencanaan, implementasi kebijakan dan program turut menentukan keberhasilan pembangunan (Rusastra 2008). Dalam konteks ini dibutuhkan reorientasi pendekatan parsial sektoralindividual ke pendekatan holistik multisektoral berbasis komunitas dan bersifat partisipatif (Rusastra 2006; Anonymous 2008; Rusastra dan Napitupulu 2008). Parameter yang mendasari pendekatan ini adalah: (1) pengakuan atas eksistensi kapasitas dan modal sosial yang dimiliki penduduk miskin; (2) partisipasi penduduk miskin dalam proses pengambilan keputusan; (3) peningkatan transparansi dan akuntabilitas program penanggulangan kemiskinan; dan (4) reposisi peranan perencana dan pelaksana program dari agens pembangunan menjadi fasilitator pemberdayaan masyarakat (Mubyarto 2002; Adiyoga dan Herawati 2003).
Transformasi Struktur Ekonomi Pertanian dan Perdesaan Dalam perspektif pengentasan kemiskinan, pembangunan perdesaan perlu didukung oleh transformasi struktur ekonomi pertanian dan perdesaan (Rusastra 2008). Prinsip dasarnya adalah pemanfaatan teknologi terbarukan, investasi pendidikan untuk perbaikan kualitas tenaga kerja, penurunan biaya transaksi untuk penyatuan dan integrasi aktivitas ekonomi, dan peningkatan efisiensi alokasi sumber daya (Timmer 2006). Sasaran akhir transformasi struktural ekonomi adalah konvergensi produktivitas tenaga kerja dan kapital antara sektor pertanian (perdesaan) dan nonpertanian (perkotaan) melalui
Reorientasi paradigma dan strategi pengentasan kemiskinan ...
perbaikan integrasi ekonomi desa-kota (Timmer 2006; Rusastra dan Bottema 2008). Pengentasan kemiskinan membutuhkan upaya komprehensif secara simultan dengan tetap mempertahankan pertumbuhan sektoral, khususnya sektor pertanian, dan perluasan pembangunan sosial-ekonomi (Rusastra dan Erwidodo 1998). Upaya mengembangkan ekonomi pertanian dan perdesaan yang terintegrasi dengan ekonomi perkotaan memerlukan dua peta jalan utama dan dua peta jalan transisi untuk keluar dari kemiskinan. Dua peta jalan utama meliputi: (1) transformasi pertanian subsisten ke pertanian modern melalui konsolidasi manajemen usaha tani; dan (2) reorientasi aktivitas nonpertanian dari subsisten menjadi usaha formal yang lebih produktif dan menguntungkan (World Bank 2006). Transisi keluar dari kemiskinan mencakup: (1) diversifikasi usaha pertanian subsisten dan usaha informal nonpertanian di perdesaan; dan (2) migrasi tenaga kerja dan integrasi ekonomi desa-kota (World Bank 2006).
Reorientasi Paradigma Pengentasan Kemiskinan Reorientasi paradigma pengentasan kemiskinan mencakup tiga dimensi utama, yaitu: (1) pembangunan perdesaan inklusif; (2) transformasi struktural ekonomi perdesaan; dan (3) pertumbuhan inklusif ekonomi nasional. Dibutuhkan sinergi antara pembangunan perekonomian nasional dan pembangunan perdesaan inklusif melalui transformasi perekonomian dalam arti luas. Dengan paradigma baru ini, sasaran peningkatan kesejahteraan rakyat melalui tiga strategi pembangunan, yaitu pro pertumbuhan, pro kesempatan kerja, dan pro masyarakat miskin dapat dicapai.
93
Pembangunan Perdesaan Inklusif Keberhasilan pembangunan perdesaan inklusif ditentukan oleh: (1) peningkatan kapasitas dan akses ekonomi penduduk miskin melalui pendekatan pemberdayaan (Saptana et al. 2009; Sejati et al. 2009; Supriati et al. 2009); (2) pemacuan pertumbuhan ekonomi perdesaan melalui peningkatan kapasitas produksi, ketersediaan dan akses teknologi, dan peningkatan peran swasta (Rusastra et al. 2008; Sejati et al. 2009); (3) dukungan lintas sektoral terkait dengan pengembangan kelembagaan, dan infrastruktur, serta komitmen pembinaan dan pendanaan daerah (Rusastra 2006; Rusastra et al. 2008); dan (4) adaptasi dan sinergi program pembangunan perdesaan dengan pemberdayaan kelompok miskin. Pembangunan perdesaan inklusif diprioritaskan pada desa-desa miskin secara nasional. Implementasi program ini memerlukan koordinasi dan konsolidasi di lapangan. Pelaksanaan paradigma ini merupakan reorientasi pendekatan dari parsial sektoral ke holistik multisektoral dalam pengentasan kemiskinan.
Transformasi Struktural Ekonomi Perdesaan Proporsi tenaga kerja sektor pertanian di perdesaan relatif tinggi dengan tingkat produktivitas rendah. Percepatan pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan, di samping dengan merevitalisasi sektor pertanian, juga membutuhkan integrasi ekonomi antara desa dan kota. Sasarannya adalah konvergensi produktivitas, pendapatan, dan kesejahteraan antara sektor pertanian/perdesaan dan nonpertanian/perkotaan.
94
I Wayan Rusastra
Percepatan transformasi struktural terkait dengan pengentasan kemiskinan dapat dicapai melalui pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dengan fokus pada sektor pertanian di perdesaan, tanpa mengabaikan pertumbuhan perkotaan (Timmer 2006). Prinsip dasarnya adalah menciptakan kesempatan dan akses lebih luas bagi kelompok miskin. Kapasitas individu dan kelompok miskin harus ditingkatkan dan akses terhadap kesempatan ekonomi perlu ditumbuhkembangkan melalui investasi perdesaan, mobilitas tenaga kerja, dan integrasi ekonomi desa-kota, dengan sasaran menurunkan disparitas produktivitas sektor pertanian dan nonpertanian (Henderson 2007; Rusastra dan Napitupulu 2008). Transformasi dalam arti luas berlaku untuk desa miskin dan tidak miskin, dalam perspektif percepatan pertumbuhan inklusif ekonomi nasional.
Pertumbuhan Inklusif Ekonomi Nasional Pertumbuhan inklusif di tingkat nasional memegang peran penting dalam mempercepat pengentasan kemiskinan agregat. Indonesia dengan tingkat kemiskinan relatif tinggi membutuhkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dengan prioritas pertumbuhan sektor pertanian dan perdesaan. Pertumbuhan berkualitas melalui pembangunan pertanian dapat dicapai melalui beberapa cara, yaitu: (1) stabilisasi indikator makroekonomi dan keberpihakan kebijakan fiskal untuk pembangunan pertanian (Pasaribu et al. 2009); (2) optimalisasi alokasi sumber daya publik, serta fasilitasi pelayanan dan insentif dalam semangat mengatasi kegagalan produksi dan pasar (Fan Shenggen 2008); (3) pemulihan sumber daya lahan dan air dalam
perspektif stimulasi keberlanjutan pertumbuhan (Rusastra dan Erwidodo 1998); dan (4) promosi pengembangan produk dan pemasaran komoditas pertanian ramah lingkungan (Sustainet 2006). Akselerasi pertumbuhan ekonomi dan transformasi struktural dinilai paling efektif untuk mengangkat kesejahteraan masyarakat berpendapatan rendah. Tingkat pertumbuhan di atas 7,0%/tahun merefleksikan kapasitas perekonomian Indonesia, yang belum pernah dicapai pemerintah sejak KEA 1997-1998 (Takii dan Ramstetter 2007). Namun, distribusi pendapatan masih menjadi kendala yang belum terpecahkan secara adil dan lebih merata. Kebijakan yang perlu dipertimbangkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional yang dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat adalah: (1) pengurangan ekonomi dan logistik biaya tinggi; (2) dukungan teknologi, regulasi, dan iklim investasi yang kondusif; dan (3) prioritas tinggi pada investasi infrastruktur untuk mencapai tingkat pertumbuhan yang tinggi dan berkelanjutan di masa yang akan datang (Basri dan Patunru 2006; Resosudarmo dan Yusuf 2009).
KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN DALAM PENGENTASAN KEMISKINAN Pembelajaran dari respons kebijakan global dampak krisis terhadap pengentasan kemiskinan adalah pengakuan terhadap eksistensi dan peranan pengembangan usaha tani skala kecil. Usaha tani skala kecil dapat dipandang sebagai unit bisnis rasional yang perlu didukung secara terintegrasi dengan rantai pasok input, rantai pasok output, pengembangan infrastruktur, regulasi, dan jasa layanan lainnya (Simatupang 2010).
Reorientasi paradigma dan strategi pengentasan kemiskinan ...
Kebijakan Pengembangan Usaha Tani Skala Kecil Dalam perspektif pengentasan kemiskinan, pengembangan usaha tani skala kecil perlu mempertimbangkan kondisi berikut: (1) populasi rumah tangga petani kecil yang relatif tinggi, yaitu 13,7 juta, dengan pendapatan usaha tani sangat rendah dan belum dapat memenuhi kebutuhan keluarga (Rusastra et al. 2008a, 2009a); (2) pemantapan reorientasi tujuan pengembangan usaha tani, yaitu meningkatkan pendapatan dan ketahanan pangan rumah tangga petani serta mendinamisasi perekonomian desa (Simatupang dan Rusastra 2004). Instrumen kebijakan operasional yang harus dipertimbangkan adalah: (1) peningkatan ketersediaan dan akses sumber daya lahan serta kapasitas produksi pertanian (Rusastra dan Budhi 1997; Rusastra dan Sudaryanto 1999; Sudaryanto dan Rusastra 2006); (2) percepatan diversifikasi pertanian dengan fokus pengembangan usaha tani dan agroindustri komoditas nonpadi (Rusastra dan Budhi 1997; Sudaryanto dan Rusastra 2006); dan (3) keberpihakan dan konsistensi kebijakan subsidi dan proteksi yang rasional dan proporsional (Rusastra et al. 2002a, 2005).
Kebijakan Peningkatan Daya Saing Komoditas Pertanian Melonjaknya harga pangan global merupakan tantangan dan peluang peningkatan produksi dan daya saing komoditas pertanian nasional. Dengan kapasitas produksi dan potensi pasar domestik yang besar, Indonesia harus berusaha keras memenuhi kebutuhan pangan melalui peningkatan produksi dalam negeri. Ana-
95
lisis dinamika daya saing menunjukkan bahwa komoditas pertanian strategis memiliki potensi untuk ditingkatkan keunggulan komparatif dan kompetitifnya (Ilham dan Rusastra 2010). Komoditas substitusi impor seperti beras, jagung, dan kedelai tetap perlu ditingkatan produktivitas dan efisiensinya dan didukung stabilisasi harga melalui pengadaan dalam negeri dan penetapan tarif bea masuk yang rasional dan berimbang antarkomoditas (Rusastra 1996; Rusastra et al. 2004; Ilham dan Rusastra 2010). Komoditas gula dengan tingkat keunggulan komparatif yang relatif rendah membutuhkan dukungan perbaikan produktivitas dan efisiensi industri gula secara menyeluruh. Indikasi kenaikan harga gula dalam jangka panjang hendaknya menguatkan komitmen untuk meningkatkan produksi nasional (Rusastra et al. 1999, 1999a; Ilham dan Rusastra 2010). Desakan komoditas impor menyebabkan keunggulan kompetitif usaha ternak sapi potong mengalami kemunduran. Peningkatan daya saing sapi potong membutuhkan upaya yang konsisten terkait dengan diseminasi dan adopsi teknologi serta perbaikan efisiensi melalui peningkatan skala usaha, dukungan kelembagaan, dan akses permodalan (Ilham dan Rusastra 2010).
Pembangunan Perdesaan Berlandaskan Agribisnis Pemberdayaan usaha tani skala kecil tidak dapat dilepaskan dengan pembangunan perdesaan inklusif, melalui restrukturisasi agribisnis dan peningkatan daya saing. Operasionalisasi pembangunan agribisnis berdaya saing dalam pengentasan kemiskinan membutuhkan dukung-
96
I Wayan Rusastra
an paket kebijakan yang komprehensif dan terpadu yang meliputi tujuh komponen utama, dengan deskripsi dan sasaran sebagai berikut (Rusastra et al. 2002): 1. Pembangunan infrastruktur ekonomi perdesaan dengan sasaran peningkatan produktivitas dan efisiensi. 2. Pengembangan sistem inovasi pertanian dengan sasaran peningkatan kapasitas produksi, produktivitas, dan nilai tambah. 3. Pengembangan SDM dan kelembagaan petani melalui pembentukan organisasi petani dan aliansinya dengan pelaku agribisnis lainnya. 4. Optimalisasi sumber daya dengan sasaran menjaga keberlanjutan kapasitas produksi serta meningkatkan produktivitas dan daya saing. 5. Konsolidasi agribisnis secara vertikal melalui konsolidasi usaha tani skala kecil dengan mitra usaha dengan prinsip dasar saling menguntungkan. 6. Pemacuan investasi agribisnis dengan fasilitasi pemerintah, khususnya kredit investasi jangka panjang dan lingkungan ekonomi yang kondusif. 7. Rasionalisasi kebijakan subsidi dan proteksi sektor pertanian dan pengembangan agribisnis dengan mempertimbangkan multifungsi sektor pertanian, kebijakan negara lain, dan penyesuaian kebijakan insentif secara bertahap.
ARAH DAN STRATEGI PENGENTASAN KEMISKINAN Arah Pengentasan Kemiskinan Dalam rangka peningkatan efektivitas kebijakan pengentasan kemiskinan maka reorientasi paradigma dan strategi diarahkan untuk: (1) pemantapan pertumbuhan in-
klusif perekonomian nasional di atas 7,0% sesuai dengan kapastitas perekonomian nasional; (2) pembangunan perdesaan inklusif pada seluruh desa miskin secara nasional; (3) pengembangan agribisnis sebagai landasan utama pembangunan perekonomian nasional, wilayah, dan perdesaan; serta (4) percepatan transformasi struktural ekonomi pertanian, perdesaan, dan perekonomian nasional.
Strategi Pengentasan Kemiskinan Pembangunan dan pertumbuhan inklusif secara nasional membutuhkan beberapa upaya, yaitu: (1) stabilisasi indikator makroekonomi, didukung oleh keberpihakan kebijakan fiskal dan sistem insentif untuk pembangunan pertanian; (2) peningkatan kapasitas produksi, didukung oleh pengembangan infrastruktur dan pelestarian sumber daya alam dalam perspektif menjaga keberlanjutan pertumbuhan ekonomi jangka panjang; (3) sinergi dan integrasi program pemberdayaan kelompok miskin, pembangunan inklusif perdesaan, dan pertumbuhan inklusif di tingkat nasional; dan (4) peningkatan kapasitas dan akses penduduk miskin, proteksi penguasaan aset produktif, dan percepatan peningkatan pendapatan. Langkah strategis yang perlu dipertimbangkan untuk memosisikan agribisnis sebagai andalan pembangunan pertanian dan perdesaan adalah: (1) konsolidasi kegiatan agribisnis sehingga responsif terhadap dinamika pasar, teknologi, dan permodalan; (2) pengelolaan agribisnis dengan pola manajemen tunggal berdasarkan satu jenis produk, yaitu produk akhir; (3) pengembangan kemitraan agribisnis konsolidatif untuk menghindari eksploitasi antarpelaku agribisnis; (4) restrukturisasi
Reorientasi paradigma dan strategi pengentasan kemiskinan ...
agribisnis menjadi mata rantai produk agribisnis vertikal sebagai landasan agribisnis berdaya saing (Rusastra et al. 2002). Akselerasi transformasi struktural perekonomian untuk mempercepat pengentasan kemiskinan dilakukan dengan strategi: (1) pemantapan dan perluasan program pemberdayaan kelompok miskin dengan sasaran seluruh desa miskin secara nasional; (2) sinergi program pemberdayaan dan pertumbuhan ekonomi di tingkat desa; (3) migrasi tenaga kerja dan integrasi ekonomi desa-kota; dan (4) percepatan dan perluasan pertumbuhan ekonomi wilayah dan nasional.
97
ekonomi global diprediksi menjadi masalah jangka panjang ketahanan pangan dan kemiskinan. Permasalahan ini diperparah oleh kelangkaan sumber daya lahan dan air, perubahan iklim global, dan peningkatan permintaan pangan dunia. Dampak krisis, dengan risiko dan ketidakpastian yang tinggi, hendaknya membangkitkan kesadaran baru tentang pentingnya paradigma dan strategi pembangunan dan pertumbuhan inklusif. Pendekatan ini mampu mensinergikan pertumbuhan ekonomi, peningkatan kesempatan kerja, dan pengentasan kemiskinan.
Implikasi Kebijakan KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan Krisis ekonomi berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi dan ketahanan pangan di tingkat regional dan global. Perlambatan pertumbuhan ekonomi global berdampak negatif terhadap pertumbuhan dan keberlanjutan usaha tani. Penurunan produksi dan pasokan pangan global berdampak buruk terhadap tingkat dan volatilitas harga pangan. Kesemuanya ini berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi, ketahanan pangan, dan tingkat kemiskinan di negara berkembang. Dampak krisis ekonomi global di Indonesia mencakup beberapa aspek, yaitu: (1) penurunan pertumbuhan sektor pertanian dengan implikasi perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional; (2) kemunduran (falling further behind) dalam pencapaian MDGs di tingkat regional; dan (3) terhambatnya pencapaian target MDGs-1 2015 (12,3% vs target 7,5%). Dampak krisis
Pembangunan perdesaan inklusif mensyaratkan sinergi pertumbuhan di tingkat desa dengan program pemberdayaan kelompok miskin. Pengembangan agribisnis/ agroindustri patut dijadikan kegiatan utama program pemberdayaan, pembangunan perdesaan, dan instrumen penting percepatan transformasi ekonomi pertanian dan perdesaan. Keberhasilan pendekatan ini akan ditentukan oleh eksistensi pengembangan pola kemitraan agribisnis vertikal konsolidatif dan dukungan lintas sektoral dalam pengembangan kelembagaan, sarana dan prasarana, serta komitmen pembinaan dan pendanaan daerah. Dalam perspektif peningkatan efektivitas dan efisiensi, kebijakan dan program pembangunan hendaknya difokuskan pada pembangunan perdesaan miskin melalui pendekatan pembangunan perdesaan inklusif berlandaskan agribisnis dan agroindustri. Konsolidasi dan optimalisasi alokasi sumber daya pembangunan dan ekonomi yang dikuasai pemerintah, swasta, dan lembaga ekonomi lainnya agar dilakukan secara proporsional dan optimal
98
I Wayan Rusastra
dalam mendukung gerakan pengentasan kemiskinan di perdesaan. Pendekatan yang sama juga dapat diterapkan dalam pengentasan kemiskinan perkotaan dengan mempertimbangkan kegiatan pemberdayaan UKM nonpertanian. Pada saat bersamaan, pemerintah dan masyarakat dapat mengalokasikan sumber daya pembangunan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sesuai dengan kapasitas perekonomian nasional (di atas 7,0%/tahun) melalui pengembangan infrastruktur, investasi, dan iklim ekonomi yang kondusif. Optimalisasi alokasi dana pembangunan untuk program pengentasan kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi, dengan tujuan utama peningkatan pendapatan penduduk miskin, memegang peranan sentral. Komplementasi pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan efektivitas program pengentasan kemiskinan, didukung dengan integrasi ekonomi desakota, akan dapat menjamin efektivitas dan efisiensi pemanfaatan sumber daya ekonomi dan mempercepat pengentasan kemiskinan di perdesaan dan secara nasional.
DAFTAR PUSTAKA ADB (Asian Development Bank). 2008. Soaring Food Prices: Response to the Crisis. ADB, Manila, the Philippines. 15 pp. Adiyoga, I.D.B.M. dan E. Herawati. 2003. Pola nafkah lokal: Acuan mengkaji kemiskinan di era otonomi daerah (kasus NTT). Jurnal Ekonomi Rakyat Tahun I No. 12, Februari 2003. Anonymous. 2008. Agency capacity and welfare improvement: Life history of mover. SEMERU No.27, SeptemberDesember 2008.
Basri, M.Ch. and A.A. Patunru. 2006. Survey of recent development. Bull. Indones. Econ. Studies 42(4): 259-319. Bottema, J.W.T., M. Siregar, and H. Madiadipura. 2009. Family life history as a tool in the study of long-term dynamic of poverty: An exploration. p. 63-81. In I W. Rusastra, S.M. Pasaribu, and Y. Yusdja (Eds.). Proceeding of the National Seminar on Land and Household Economy 1970-2005: Changing road for poverty reduction. ICASEPS and UNESCAP-CAPSA, Bogor. Cargill, W.F.P. 2010. Smart School Make Smart Kids. Annual Report 2010. Cargill and World Food Programme, Indonesia. CGIAR (Consultative Group on International Agricultural Research). 2008. The Biofuel Revolution: Boon or Bann for the Developing World’s Poor? http:/www.cgiar.org/[March 2008]. Deputi Menko Kesra. 2010. Usaha mengurangi kemiskinan dan pengangguran. Makalah dipresentasikan dalam Round Table Discussion Peringatan 30 Tahun Yayasan Agro Ekonomika, Jakarta, 7 Mei 2010. Deputi Menko Kesra Bidang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan, Yayasan Agro Ekonomika, dan Kantor Berita Indonesia ANTARA, Jakarta. Evan, A. 2009. The Feeding of the Nine Billion: Global Food Security for the 21st Century. WFP. http://beta.wfp.org [22 January 2009]. FAO (Food and Agriculture Organization. 2009. The State of Food Insecurity in the World 2009: Economic crisis – Impact and lessons learned. Food and Agriculture Organization, Rome. 54 pp. Fan Shenggen. 2008. Public Expenditure, Growth, and Poverty: Lessons from developing countries. IFPRI (Inter-
Reorientasi paradigma dan strategi pengentasan kemiskinan ...
national Food Policy Research Institute), Washington, DC, and The Jhons Hopkins University Press, Baltimore. 243 pp. Fillili, R. 2008. Coupling agency and structure in poverty analysis. SEMERU No. 27, September-December, 2008. 32 pp. Henderson, W. 2007. Rural-urban inequality in Asia. CAPSA Flash 5(9): 1. Ilham, N. and I W. Rusastra. 2010. Daya saing komoditas pertanian: Konsep, kinerja, dan kebijakan pengembangan. Pengembangan Inovasi Pertanian 3(1): 38-52. Irawan, P.B. dan H. Romdiati. 2000. Dampak krisis ekonomi terhadap kemiskinan dan beberapa implikasinya untuk strategi pembangunan. hlm. 193-243. Dalam A.K. Seta, M. Atmowijoyo, S.M. Atmojo, A.B. Jahari, P.B. Irawan, dan T. Sudaryanto (Ed.). Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta. Kompas. 2010. Arah ekonomi merisaukan: Perlu pengawasan dalam pelaksanaan kebijakan. Kompas, 6 Juli 2010. Kuncoro, M., T. Widodo, and R.H. McLeod. 2009. Survey of recent development. Bull. Indones. Econ. Studies 45(2): 151-176. Mubyarto. 2002. Penanggulangan kemiskinan di Jawa Tengah dalam era otonomi daerah. Jurnal Ekonomi Rakyat Tahun I No. 9, November 2002. Pakpahan, A. 1995. Apakah ada ruang untuk meningkatkan pendapatan petani lahan kering tanpa merusak lingkungan? Lokakarya Pelembagaan Penelitian dan Pengembangan Sistem Usahatani Konservasi di Lahan Kering Bagian Hulu DAS Jratunseluna dan
99
Brantas, Tawangmangu, 7-8 Desember 1995. Pasaribu, S., Y. Yusdja, and I W. Rusastra. 2009. Synopsis and overview: Changing road for land and household economy policy – How stakeholder take their pathway. p. 7-18. In I W. Rusastra, S.M. Pasaribu, and Y. Yusdja (Eds.). Proceeding of the National Seminar on Land and Household Economy 1970-2005: Changing road for poverty reduction.UNESCAP-CAPSA and ICASEPS, Bogor. Resosudarmo, B.P. and A.A.Yusuf. 2009. Survey of recent development. Bull. Indones. Econ. Studies 45(4): 287-315. Rusastra, I W. 1996. Keunggulan Komparatif, struktur proteksi, dan perdagangan internasional kedelai Indonesia. Dalam B. Amang, M.H. Sawit, dan A. Rachman (Ed.). Ekonomi Kedelai Indonesia. Institut Pertanian Bogor Press, Bogor. Rusastra, I W. dan G.S. Budhi. 1997. Konservasi lahan pertanian dan strategi antisipatif dalam penanggulangannya. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 16(4): 107-113. Rusastra, I W. and Erwidodo. 1998. Growth, equity and environmental aspect of agricultural development in Indonesia. Forum Penelitian Agro Ekonomi 6(1): 32-41. Rusastra, I W. dan T. Sudaryanto. 1999. Dinamika ekonomi perdesaan dalam perspektif pembangunan nasional. hlm. 669. Dalam I W. Rusastra, A.R. Nurmanaf, B. Hutabarat, Y. Yusdja, T. Pranadji, dan K. Suradisastra (Ed.). Dinamika Inovasi Sosial Ekonomi dan Kelembagaan Pertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
100
Rusastra, I W., R. Suprihatini, and M. Iqbal. 1999. The sugar development strategy with an economic crisis and competitive market. In P. Simatupang, S. Pasaribu, S. Bahri, and R. Stringer (Eds.). Indonesia’s Economic Crisis: Effect on agriculture and policy response. CASER, Bogor, and CIES, Univ. of Adelaide, Australia. Rusastra, I W., A. Supanto, dan A.A.W. Amsari. 1999a. Keunggulan komparatif, struktur proteksi, dan perdagangan internasional gula. Dalam M.H. Sawit , P. Suharno, dan A. Rachman (Ed.). Ekonomi Gula Indonesia. Bulog, Jakarta dan Institut Pertanian Bogor Press, Bogor. Rusastra, I W., P. Simatupang, dan B. Rachman. 2002. Pembangunan ekonomi perdesaan berlandaskan agribisnis. Dalam T. Sudaryanto dan E. Pasandaran (Ed.). Analisis Kebijakan: Pembangunan pertanian andalan berwawasan agribisnis. Monograph Series No. 23. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Rusastra, I W., B. Sayaka, dan Saptana. 2002a. Kebijakan harga dan subsidi faktor produksi. Dalam T. Sudaryanto, I W. Rusastra, A. Syam, dan M. Ariani (Ed.). Analisis Kebijakan: Paradigma pembangunan dan kebijakan pengembangan agro industri. Monograph Series No. 21. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Rusastra, I W., B. Rachman, dan S. Friyatno. 2004. Analisis daya saing dan struktur proteksi komoditas palawija. hlm. 28-49. Dalam H.P. Saliem, E. Basuno, B. Sayaka, dan W.K. Sejati (Ed.). Prosiding Efisiensi dan Daya
I Wayan Rusastra
Saing Sistem Usahatani Beberapa Komoditas Pertanian di Lahan Sawah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Rusastra, I W., Sumaryanto, and P. Simatupang. 2005. Agricultural development policy strategies for Indonesia: Enhancing the contribution of agricultural to poverty reduction and food security. Forum Penelitian Agro Ekonomi 23(2): 84-111. Rusastra, I W. 2006. Poverty alleviation paradigm: Toward holistic community empowerment and development. CAPSA Flash 4(12): 1. Rusastra, I W. 2008. Structural transformation: A paradigm for rural development and poverty alleviation. CAPSA Flash 6(5): 1. Rusastra, I W. and J.W.T. Bottema. 2008. Eradicate extreme poverty and hunger (MDG-1): Performance and policy for acceleration the attainment of national goal in 2015. Palawija News 25(2): 59. Rusastra, I W. dan T.A. Napitupulu. 2008. Karakteristik wilayah dan keluarga miskin di perdesaan: Basis perumusan intervensi kebijakan. hlm. 9-22. Dalam Y. Yusdja, A.R. Nurmanaf, dan I.S. Anugrah (Ed.). Prosiding Seminar Nasional Meningkatkan Peran Sektor Pertanian dalam Penanggulangan Kemiskinan. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor. Rusastra, I W., Supriyati, W.K. Sejati, dan Saptana. 2008. Model Pemberdayaan Masyarakat Miskin Perdesaan: Analisis program ketahanan pangan dan desa mandiri pangan. Kerja sama Penelitian Badan Ketahanan Pangan, Jakarta dan UNESCAP-CAPSA, Bogor.
Reorientasi paradigma dan strategi pengentasan kemiskinan ...
Rusastra, I W., S. Priyatno, and E.M. Lokollo. 2008a. Land economy and poverty reduction: Current status and policy implication. Palawija News 25(1): 5-9. Rusastra, I W., H.P. Saliem, E. Suryani, Ashari, dan Y. Supriyatna. 2009. Kebijakan mengatasi krisis pangan-energifinansial terhadap ketahanan pangan dan kemiskinan. Sinergi Penelitian dan Pengembangan Bidang Pertanian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor. Rusastra, I W., E.M. Lokollo, and S. Friyatno. 2009a. Land and household economy: Analysis of agricultural census 1983-2003. p. 99-124. In I W. Rusastra, S.M. Pasaribu, and Y. Yusdja (Eds.). Proceeding of the National Seminar on Land and Household Economy 1970-2005: Changing road for poverty reduction. ICASEPS and UNESCAP-CAPSA, Bogor. Rusastra, I W., H.P. Saliem, dan Ashari. 2010. Krisis global pangan-energifinansial: Dampak dan respon kebijakan ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian 8(1): 29-48. Saptana, W.K. Sejati, and I W. Rusastra. 2009. The achievement and impact of the special programme for food security in Banjar District, West Java, Indonesia. Palawija News 26(1): 1-5. Sejati, W.K., Supriyati, and I W. Rusastra. 2009. The implementation and impact of desa mapan (food self-sufficiency village) progamme in Central-South Timor and Ciamis Regencies, Indonesia. Palawija News 26(3): 6-10. Simatupang, P. dan I W. Rusastra. 2004. Kebijakan pembangunan sistem agribisnis padi. hlm. 363-392. Dalam F. Kasryno, E. Pasandaran, dan A.M.
101
Fagi (Ed.). Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Simatupang, P. 2010. Introduksi dan Praksis Paradigma Agribisnis di Indonesia: Kontribisi Pemikiran Profesor Bungaran Saragih. hlm. 273. Dalam B. Krisnamurthi, R. Pambudy, F.B.M. Dabukke (Ed.). Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih. Institut Pertanian Bogor Press, Bogor. Sudaryanto, T., I W. Rusastra, P. Simatupang, dan M. Ariani. 2000. Reorientasi kebijakan pembangunan tanaman pangan pascakrisis ekonomi. Dalam A.K. Seta, M. Atmowijoyo, S.M. Atmojo, A.B. Jahari, P.B. Irawan, dan T. Sudaryanto (Ed.). Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta. Sudaryanto, T. dan I W. Rusastra. 2006. Kebijakan strategis usaha pertanian dalam rangka peningkatan produksi dan pengentasan kemiskinan. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 25(4): 115-122. Sudaryanto, T. 2009. Akselerasi Pengentasan Kemiskinan di Perdesaan: Revitalisasi Peran Sektor Pertanian. Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Suharyanto, K. 2010. Kemiskinan di sektor pertanian. Makalah dipresentasikan dalam Round Table Discussion Peringatan 30 Tahun Yayasan Agro Ekonomika, Jakarta 7 Mei 2010. Deputi Menko Kesra Bidang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan, Yayasan Agro Ekonomika, dan Kantor Berita Indonesia ANTARA, Jakarta.
102
Supriyati, Saptana, and I W. Rusastra. 2009. People’s empowerment model through the Pidra programme in Central South Timor, Indonesia. Palawija News 26(2): 1-6. Sustainet, G.T.Z. 2006. Sustainable Agriculture: A pathway out of poverty for India’s rural poor. Deutsche Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit, Eschborn. 157 pp. Swastika, D.K.S. 2010. Membangun Kemandirian dan Kedaulatan Pangan untuk Membedah Perangkap Kemiskinan Petani Tanaman Pangan. Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Takii, S. and E.D. Ramstetter. 2007. Survey of recent development. Bull. Indones. Econ. Studies 43(4): 259-322. Timmer, C.P. 2006. The Structural Transformation in Historical Perspective: Lessons from Global Patterns and Divergent Country Path. Center for Global Development, USA.
I Wayan Rusastra
UNESCAP News Services. 2006. Many Asian Countries Falling Short of MDG Targets. Report Says, Press Release No. G/45/2006. http://www.unescap. org/. [16 October 2006]. Von Braunn, J. 2008. Food and Financial Crisis: Implication for agriculture and the poor. Brief prepared for the CGIAR Annual General Meeting, Maputo, Mozambique, December 2008. IFPRI, Washington, DC. Warr, P.G. 1999. Indonesia’s crisis and the agriculture sector. In P. Simatupang , S. Pasaribu, S. Bahri, and R. Stringer (Ed.). Indonesia Economic Crisis: Effect on agriculture and policy response. CASER, Bogor and CIES, Univ. of Adelaide, Australia. World Bank. 2006. Revitalizing the Rural Economy: An assessment of the rural invesment climate in Indonesia. The World Bank Office, Jakarta.