UNIVERSITAS INDONESIA
PARADIGMA REALISME, LIBERALISME, DAN KONSTRUKTIVISME DALAM MEMANDANG DAMPAK KRISIS FINANSIAL GLOBAL AS TERHADAP SISTEM PERDAGANGAN INTERNASIONAL
TUGAS KARYA AKHIR
IRENE SEVERINA 0706291306
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL DEPOK JULI 2012
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
PARADIGMA REALISME, LIBERALISME, DAN KONSTRUKTIVISME DALAM MEMANDANG DAMPAK KRISIS FINANSIAL GLOBAL AS TERHADAP SISTEM PERDAGANGAN INTERNASIONAL
TUGAS KARYA AKHIR Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial di Universitas Indonesia
IRENE SEVERINA 0706291306
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL DEPOK JULI 2012
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan YME atas rahmat dan karuniaNya hingga tugas karya akhir ini dapat selesai tepat waktu. Tugas karya akhir ini merupakan syarat untuk mencapai gelar Sarjana Sosial dari Fakultas Ilmu Politik dan Ilmu Sosial Universitas Indonesia. Krisis Finansial Global AS yang mulai terjadi pada akhir tahun 2007 silam merupakan sebuah fenomena global yang sangat menarik untuk diteliti dalam kajian hubungan internasional. Krisis Finansial Global AS yang bermula dari krisis subprime mortgage dan juga kejatuhan Lehman Brothers telah menjadi titik awal bagi komunitas internasional untuk menyadari kelemahan di dalam sistem perdagangan internasional yang didasarkan pada prinsip perdagangan bebas (liberal). Ilmu Hubungan Internasional memiliki tiga paradigma utama: realisme, liberalisme, dan konstruktivisme. Tulisan ini akan melihat dan membandingkan bagaimana ketiga paradigma ini memandang dampak krisis finansial global AS terhadap sistem perdagangan internasional. Kelemahan serta karakter khas dari masing-masing paradigma ini akan berusaha ditampilkan dalam tulisan ini. Penulis di satu sisi menyadari bahwa masih terdapat banyak kelemahan dan kekurangan dalam tugas karya akhir ini baik secara teknis maupun substansi. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik maupun saran yang membangun dan dapat memperkaya penelitian ini. Pada akhirnya, penulis berharap tugas karya akhir ini dapat bermanfaat bagi pihak yang bersangkutan.
Depok, 10 Juli 2012 Irene Severina IV
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan puji syukur dan terima kasih kepada Tuhan YME yang telah senantiasa menyertai penulis dalam menyelesaikan tugas karya akhir. Penulis menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan tugas karya akhir ini, sangatlah sulit bagi penulis untuk menyelesaikan tugas karya akhir ini. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada: 1. Syamsul Hadi, Ph.D, selaku pembimbing TKA 2. Dosen pengajar mata kuliah colluqium, Mbak Anin dan Mas Andi yang telah memberikan banyak masukan bagi penulis terkait cara penulisan tugas karya akhir maupun pemahaman terhadap isu krisis finansial global AS yang diangkat oleh penulis 3. Mbak Riris, selaku salah satu dosen program konsentrasi Masyarakat Transnasional, yang telah berbaik hati untuk menyarankan penulis agar memilih jalur tugas karya akhir di saat penulis mengalami deadlock dengan proses penulisan skripsi 4. Dosen pengajar program hubungan internasional lainnya yang telah memberikan banyak bekal bagi penulis di dalam memahami berbagai teori dasar hubungan internasional 5. Kedua orang tua penulis, paman (sisuk), dan juga adik penulis yang terus bersabar di dalam memberikan dukungan moral dan menaruh kepercayaan terhadap penulis di dalam proses penyusunan tugas karya akhir ini. Terima kasih atas semua telepon dan kiriman paket makanan dari Medan yang diberikan kepada penulis selama proses penulisan tugas karya akhir ini 6. Teman seperjuangan kelas colluqium penulis, Caroline, Pettisa, Citra, dan Zahro yang menjadi sumber semangat dan informasi selama proses penyusunan tugas karya akhir ini berlangsung
V
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
7. Teman-teman dari EDS (English Debating Society) UI yang tidak hanya telah memberikan dukungan moral dan semangat kepada penulis secara verbal, sms, BBM tetapi juga telah menjadi teman yang berarti di dalam berbagai kompetisi dan latihan debat serta aktivitas hang out lainnya selama penulis menjalani kehidupan sebagai mahasiswi di UI. Ucapan terima kasih ini terutama ingin disampaikan oleh penulis kepada Ahdiat, Colley, Gesa, dan Odi yang telah meluangkan waktu untuk datang pada saat sidang penulis. Dan juga kepada anak-anak JOVED’12 (Denys, Fiska, Reta, Tom, Fiky, Asih) dan ALSA UNPAD’12 (Patty, Anas, Elvia, Andre, Boy, Terry, Sindhu, Reza, Nisna, Lisia) yang mampu menjadi sumber motivasi bagi penulis. 8. Aji, teman seangkatan penulis, yang telah menjadi teman penyemangat penulis di masa-masa genting proses penulisan tugas karya akhir ini 9. Resi, teman seangkatan penulis, yang sering menjadi tempat tumpuan curhat penulis melalui berbagai sesi hang out yang dilakukan bersama 10. Dina, teman seangkatan penulis dan Mbak Ayu yang telah membantu penulis di berbagai urusan administrasi terkait proses kelulusan penulis 11. Teman-teman seangkatan HI UI 2007 lainnya 12. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tugas karya akhir dan menyelesaikan studi di program Hubungan Internasional Universitas Indonesia yang tidak dapat disebutkan satu per satu
Depok, 10 Juli 2012 Irene Severina
VI
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
ABSTRAK
Nama
:
Irene Severina
Program Studi :
S1- Reguler Ilmu Hubungan Internasional
Judul
Paradigma Realisme, Liberalisme, dan Konstruktivisme dalam
:
Memandang Dampak Krisis Finansial Global AS terhadap Sistem Perdagangan Internasional
Tugas karya akhir ini membahas mengenai dampak krisis finansial global AS terhadap sistem perdagangan internasional dengan menggunakan tiga paradigma utama ilmu hubungan internasional yang mencakup realisme, liberalisme, dan konstruktivisme. Paradigma realisme dalam tulisan ini berupaya untuk menganalisis kemunduran AS sebagai kekuatan hegemoni dalam sistem perdagangan internasional. Selanjutnya paradigma liberalisme dalam tulisan ini menganalisis mengenai timbulnya bentuk kerja sama ekonomi baru di antara negara pasca krisis finansial global AS. Sedangkan paradigma konstruktivisme dalam tulisan ini menggunakan pendekatan analisis jaringan untuk menganalisis bagaimana krisis kepercayaan masyarakat internasional terhadap sistem perdagangan bebas mampu memunculkan sebuah gerakan masyarakat global yang dikenal dengan Occupy Movement.
Kata kunci: Krisis finansial global AS, sistem perdagangan internasional, hegemoni, kerja sama ekonomi, Occupy Movement
VIII
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
ABSTRACT
Name
:
Irene Severina
Study Program:
Undergraduate Study of International Relations
Judul
Realism, Liberalism, and Constructivism Paradigms in
:
Analyzing US Global Financial Crisis Impact towards International Trade System
This final paper discusses about the impact of US global financial crisis towards international trade system by utilizing three main paradigms in International Relations study: realism, liberalism, and constructivism. The realism paradigm tries to analyze the US declining hegemonic power in international trade system. Next, the liberalism paradigm analyzes about the occurrence of new economic cooperation among countries after the crisis. Meanwhile the constructivism paradigm uses the networking approach analysis to analyze about how the international society distrust towards free trade system has enabled the rise of global society movement known as the Occupy Movement.
Key words: US global financial crisis, international trade system, hegemony, economic cooperation, Occupy Movement
IX
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
DAFTAR ISI
DAFTAR BAGAN
XII
DAFTAR GRAFIK
XII
DAFTAR TABEL
XII
BAB 1 – PENDAHULUAN………………………………………………………...1 1.1 Latar Belakang……………………………………………………………1 1.2 Pertanyaan Permasalahan…………………………………………………3 1.3 Kerangka Pemikiran…………………………………………………........4 1.3.1 Teori Stabilitas Hegemoni (Hegemonic Stability)….................4 1.3.2 Teori Liberal Institusionalis (Liberal Institutionalism)……….9 1.3.3 Analisis Jaringan Sosial (Social Network Analysis)…………15 1.4 Metodologi……………............................................................................19
BAB 2 – Krisis Finansial Global AS…………………………………………........20 2.1 Krisis Subprime Mortgage………………………………….....................20 2.2 Kejatuhan Lehman Brothers……………………………………………..24 2.3 Struktur Finansial yang Rapuh…………………………………………..28
BAB 3 – PEMBAHASAN…………………………………………………………..31 3.1 Paradigma Realisme dalam Memandang Dampak Krisis Finansial Global AS terhadap Sistem Perdagangan Internasional Melalui Teori Hegemonic Stability………………………………………………………………………31 3.1.1 Sejarah Awal Mula AS Sebagai Hegemon dalam Sistem Perdagangan Internasional…………………………………………...31 3.1.2 Analisis Krisis Finansial Global AS terhadap Perannya sebagai Hegemon dalam Sistem Perdagangan Bebas………………………...35 3.1.2.1 Hegemoni AS dalam Sistem Perdagangan X Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
3.2
3.3
Internasional…………………………………………………35 3.1.2.2 Krisis Finansial Global AS dan Kemunduran Hegemon AS dalam Sistem Perdagangan Internasional………………..42 Paradigma Liberalisme dalam Memandang Dampak Krisis Finansial Global AS terhadap Sistem Perdagangan Internasional Melalui Teori LiberalInstitutionalism………………………………………….........46 3.2.1 Sejarah dan Tujuan Pendirian WTO (World Trade Organization)…………………………………………………………47 3.2.2 Analisis Dampak Krisis Finansial Global AS terhadap Kerja Sama Perdagangan Bebas WTO……………………………..49 Paradigma Konstruktivisme dalam Memandang Dampak Krisis Finansial Global AS terhadap Sistem Perdagangan Internasional Melalui Pendekatan Social Network Analysis……………………………………………………………….53 3.3.1 Faktor-Faktor Penyebab Runtuhnya Kepercayaan Masyarakat Internasional terhadap Sistem Perdagangan Bebas (Liberal)...53 3.3.2 Analisis Proses Terbentuknya Jaringan yang Mendasari Occupy Movement……………………………………………………..57 3.3.3 Occupy movement…………………………………………….61
BAB 4 – KESIMPULAN…………………………………………………………...65 4.1 Dampak Krisis Finansial Global AS sebagai Pemicu Occupy Movement………………………………………………………………….....65 4.2 Dampak Krisis Finansial Global AS terhadap Sistem Perdagangan Internasional Menurut Paradigma Liberalisme……………………………...65 4.3 Dampak Krisis Finansial Global AS terhadap Sistem Perdagangan Internasional Menurut Paradigma Liberalisme……………………………...65 4.4 Tabel Perbandingan Ketiga Paradigma………………………………….66
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………….69
XI Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
DAFTAR BAGAN Bagan 2.1 Perbandingan Model Pembiayaan Bank terhadap Kredit Hipotek Rumah……………………………………………………………………………….21
DAFTAR GRAFIK Grafik 2.1 Nilai Saham Pasar Modal AS Tahun 2007 (Kuarter Kedua)……….22 Grafik 3.1 Sirkulasi Uang Kertas Dolar AS di luar AS………………………….40
DAFTAR TABEL Tabel 3.1 Laporan Negara Pengguna dolar AS dalam Transaksi Nilai Tukarnya……………………………………………………………………………41
XII
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Krisis Finansial Global (Global Financial Crisis atau GFC) bermula dari apa yang pada awalnya merupakan dampak ledakan dari pasar properti Amerika Serikat dan juga peningkatan dalam penyitaan properti telah berkembang menjadi krisis finansial dan ekonomi global. Beberapa dari bank, institusi investasi, dan perusahaan asuransi terbesar telah menyatakan diri mereka bangkrut atau harus diselamatkan secara finansial. Pada bulan Oktober 2008, aliran kredit macet, kepercayaan para peminjam menurun, dan satu per satu, ekonomi dari negaranegara di seluruh dunia harus mengalami resesi. Krisis ini menunjukkan kelemahan fundamental dari sistem finansial di seluruh dunia, dan walaupun pemerintah di berbagai negara telah berkoordinasi melalui berbagai kebijakan moneter, intervensi bank sentral dan pemerintah senilai triliun dolar, serta paket stimulus dalam jumlah yang besar, krisis ini masih terlihat jauh dari selesai. 1 Krisis finansial global AS ini dimulai pada Juli 2007 ketika terjadinya credit crunch (kredit macet) yang terjadi ketika para investor di AS kehilangan kepercayaan terhadap nilai dari saham sub-prime mortgages yang berujung pada krisis likuiditas. Hal ini berdampak pada bagaimana Bank Sentral AS harus menyuntikkan dana dalam jumlah yang besar ke dalam pasar finansial. Pada bulan September 2008, krisis ini telah memperburuk pasar saham di seluruh dunia dan menjadikannya menjadi sangat rapuh. Kepercayaan para pelanggan menurun secara drastis seraya mereka menjadi semakin takut mengenai apa yang akan terjadi di masa depan. 2
1
Dick K. Nanto, “The Global Financial Crisis: Analysis and Policy Implications”, Report, Congressional Research Service, (Oktober 2009), halaman 10. 2 ___, “Global Financial Crisis – What Caused It and How the World Responded”, diakses dari http://www.canstar.com.au/global-financial-crisis/ diakses pada 18 April 2012 pukul 19.26.
1
Universitas Indonesia Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
2
Krisis finansial yang dimulai dari negara-negara maju ini menyebar secara cepat menuju negara dengan pasar emerging dan negara-negara berkembang. Para investor menarik modal dari berbagai negara, bahkan dari sektor yang diperkirakan memiliki tingkat resiko rendah, dan menyebabkan nilai saham-saham dan mata uang domestik anjlok. Hal ini semakin diperburuk dengan anjloknya jumlah ekspor dan harga barang-barang komoditas yang menyebabkan ekonomi di seluruh dunia memasuki masa resesi atau masa tingkat pertumbuhan ekonomi rendah. Krisis global ini sekarang sepertinya bermain pada dua level. Level pertama terjadi di antara negara-negara maju di mana sebagian besar dari kerugian yang diakibatkan oleh subprime mortgage debt, tingkat peningkatan investasi yang berlebihan, dan credit swaps terjadi. Sedangkan level yang kedua terjadi di antara negara-negara emerging dan berkembang yang mana sebenarnya merupakan pihak yang tidak bersalah dalam krisis ini namaun juga terkena dampak dari krisis ini dikarenakan kurang kuatnya sistem ekonomi yang mereka miliki sehingga dapat dengan mudah terpengaruh oleh apa yang sedang terjadi di pasar global. Sebagian besar negara maju (kecuali Islandia), telah mampu untuk membiayai paket penyelamatan mereka sendiri dengan meminjam dana melalui pasar modal domestik dan internasional, tetapi banyak dari negara-negara emerging dan berkembang yang tidak memiliki sumber modal yang cukup sehingga mereka telah beralih kepada IMF, World Bank, atau negara lainnya yang memiliki surplus modal seperti Jepang dan EU untuk mencari pinjaman. 3 Penurunan dalam kegiatan ekonomi yang terjadi secara bersamaan di seluruh dunia menandakan bahwa negara emerging dan berkembang masih belum mampu untuk memisahkan dirinya dari negara-negara maju dan bahwa pemerintahnya tidak dapat mengandalkan hanya pada kegiatan ekspor untuk menarik mereka keluar dari keadaan resesi. 4 Sebagai akibat dari tingkat penyebaran dampak krisis finansial global AS yang cepat ini, pada akhir tahun 2008-2009, dibentuk sebuah kelompok baru, G20 yang terdiri dari negara maju dan berkembang sebagai upaya untuk mencegah dampak krisis ini menjadi tidak dapat dibendung. Pada KTT G20 London (April 3 4
Loc. Cit., Nanto. Ibid., Nanto.
Universitas Indonesia Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
3
2009), para pemimpin negara yang tergabung dalam kelompok baru ini sepakat untuk mengumpulkan dana sebesar 5 triliun dolar AS sebagai bagian dari ekspansi fiskal dan 1,1 triliun dolar AS untuk membantu IMF (International Monetary Fund) serta institusi global lainnya agar dapat meningkatkan jumlah lapangan pekerjaan dan melakukan reformasi terhadap bank-bank. 5 Krisis finansial global telah menegaskan satu poin penting yaitu bahwa Amerika Serikat masih merupakan pusat dari finansial dunia. Krisis finansial regional (seperti misalnya krisis finansial Asia, krisis perbankan Jepang, atau krisis utang Amerika Latin) masih dapat terjadi tanpa memengaruhi sistem finansial global lainnya secara serius. Akan tetapi, ketika sistem finansial AS terjatuh, dampaknya juga dirasakan oleh bagian dunia lainnya secara signifikan. Ini disebabkan oleh peran AS sebagai penjamin utama dalam sistem finansial internasional, penyedia mata uang dollar yang mana sering digunakan sebagai simpanan cadangan mata uang dan media penukar internasional, serta merupakan penyumbang dari banyak modal finansial yang menyebar ke seluruh dunia dalam rangka mendapatkan hasil yang lebih tinggi.6
1.2 Pertanyaan Permasalahan Berdasarkan penjabaran latar belakang masalah dalam karya akhir ini, tulisan ini akan berupaya untuk menjawab pertanyaan Bagaimanakah ketiga paradigma dalam ilmu hubungan internasional: realisme, liberalisme, dan konstruktivisme memandang dampak krisis finansial global AS terhadap sistem perdagangan internasional?
5
Larry Elliott, “Global Financial Crisis: Five Key Stages 2007-2011”, (7 Agustus 2011), diakses dari http://www.guardian.co.uk/business/2011/aug/07/global-financial-crisis-key-stages pada 17 April 2012 pukul 20.46 6
Loc. Cit., Nanto, halaman 10.
Universitas Indonesia Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
4
1.3 Kerangka Pemikiran 1.3.1
Teori Stabilitas Hegemoni (Hegemonic Stability) Teori stabilitas hegemoni merupakan sebuah konsep konvensional yang
sering digunakan untuk menganalisis baik hubungan ekonomi internasional pada periode tahun 1970an dan 1980an maupun sejarah interaksi yang serupa selama kurun waktu 150 tahun terakhir. Teori ini menyatakan bahwa sebuah kekuatan hegemoni akan menciptakan sebuah tatanan ekonomi internasional yang stabil dan bahwa kemunduran kekuatan hegemoni tersebut akan memicu kepada ketidakstabilan global. Dalam konteks perdagangan internasional, teori ini berpendapat bahwa sebuah hegemon akan memungkinkan terciptanya pasar terbuka dan bahwa kemundurannya akan berujung pada berakhirnya sistem pasar terbuka yang telah ada. Hingga saat ini, sistem perdagangan internasional telah mengenal dua hegemon yaitu Inggris pada abad ke-19 dan AS pasca periode PD II. Oleh karena itu, kenaikan dan kemunduran hegemoni Inggris akan mampu untuk menjelaskan kemunculan dan kejatuhan “era perdagangan bebas”. Hal ini sama dengan bagaimana perubahan dalam kekuatan relatif AS tidak hanya akan mampu untuk menjelaskan pertumbuhan perdagangan global pada masa pasca perang tetapi juga
mampu untuk memprediksi masa berakhirnya dari rejim
perdagangan yang berlaku saat ini. 7 Charles P. Kinderberger merupakan tokoh pertama yang memperkenalkan teori ini melalui bukunya yang berjudul The World in Depression, 1929-1939. Dia memperlihatkan bahwa sebuah hegemon mampu untuk menyediakan kebaikan bersama berupa stabilitas global, dan bahwa ketiadaan sebuah kepemimpinan hegemoni akan memperburuk Depresi Besar. Dia juga menambahkan bahwa keberadaan sebuah hegemon ini juga harus dibarengi dengan kesediaan yang bersifat pamrih dan berpikiran jauh ke depan untuk menangani kepentingan seluruh dunia. Terkait dengan ini, dia menjelaskan bahwa problem pada era 1930an tidak hanya berakar dari kemunduran Inggris sebagai hegemon yang menyebabkannya tidak mampu untuk memberikan pengarahan tetapi juga dari 7
Arthur A. Stein, “ The Hegemon’s Dilemma: Great Britain and the United States, and the International Economic Order” dalam International Organization, Vol. 38, No. 2, (Spring, 1984), halaman 355-356.
Universitas Indonesia Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
5
ketidaksediaan
AS
untuk
menerima
tanggung
jawab
baru
mempertahankan sistem pasar terbuka pada masa kemunduran akonomi.
dengan 8
Sesuai dengan penggambarannya atas kestabilan ekonomi internasional sebagai kebaikan bersama, Kindleberger menyadari bahwa kombinasi berbagai negara akan mampu untuk menyediakan kepemimpinan yang dibutuhkan. Dia berpendapat bahwa, meskipun demikian, insentif untuk berbuat curang dan menjadi free rider akan cukup besar sehingga rejim internasional mana pun yang bergantung pada ketetapan bersama pada dasarnya akan bersifat tidak stabil. Kestabilan hanya dapat terjamin ketika sebuah hegemon menanggung baik biaya untuk menyediakan kebaikan bersama dan menarik dukungan dari negara lainnya. 9 Di dalam buku tersebut dan juga tulisan-tulisan lainnya, Kindleberger mengidentifikasi dan membahas secara terperinci tugas yang harus dijalankan oleh sebuah hegemon dari sistem ekonomi internasional. Tugas dari negara hegemon ini menurutnya mencakup pembentukan dan pemeliharaan sebuah rejim perdagangan liberal (bebas), pendirian sistem moneter internasional, dan juga menjadi ‘pemberi pinjaman saat terakhir’ untuk mencegah krisis finansial. 10 Analisis Kindleberger ini dilanjutkan dengan hipotesis bahwa kemunduran kemampuan ekonomi dari sebuah negara hegemon akan memicu pada melemahnya rejim yang mengatur perekonomian liberal dunia. Kemampuan dan keinginan yang menurun dari negara hegemon untuk menjalankan peraturan dari sebuah sistem ekonomi liberal internasional berujung pada meningkatnya proteksionisme perdagangan dan pelanggaran terhadap rejim yang mengatur mengenai perdagangan, moneter, dan berbagai bentuk perdagangan internasional lainnya. 11
8
Ibid., Stein halaman 356. Ibid., Stein halaman 356. 10 Robert Gilpin, "The Rise of American Hegemony," dalam Two Hegemonies: Britain 1846-1914 and the United States 1941-2001 diedit oleh Patrick Karl O'Brien dan Armand Clesse (Aldershot: Ashgate Publishing, Ltd., 2002), halaman 1-2. 11 Ibid., Gilpin diedit oleh O’Brien dan Clesse, halaman 2. 9
Universitas Indonesia Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
6
Ide mendasar Kindleberger mengenai pentingnya sebuah pemimpin politik bagi isu ekonomi internasional dapat dikategorikan ke dalam dua versi utama. Versi pertama merupakan ide original Kindleberger yang lebih berpendekatan liberalis sedangkan versi kedua merupakan ide Kindleberger yang telah disesuaikan oleh kelompok akademisi politik Amerika sehingga berpendekatan lebih realis. Perbedaan pertama dari kedua versi ini mengacu pada pendapat Kindleberger yang menyatakan bahwa negara hegemon menciptakan sistem ekonomi liberal internasional dikarenakan alasan ekonomi yang bersifat kosmopolitan (demi kebaikan bersama) sedangkan versi yang kedua berpendapat bahwa alasan yang lebih tepat adalah karena negara hegemon ingin memperjuangkan kepentingan mereka sendiri. Perbedaan yang kedua adalah bagaimana Kindleberger berpendapat bahwa alasan negara pemimpin untuk mendirikan sistem ekonomi liberal internasional hanyalah karena alasan ekonomi akan tetapi versi yang kedua berpendapat bahwa alasan negara pemimpin tersebut tidaklah hanya karena alasan ekonomi tetapi juga karena alasan politik. Meskipun terdapat beberapa perbedaan, kedua versi tersebut setuju bahwa syarat bagi sebuah produk kolektif seperti perdagangan bebas dan kestabilan sistem moneter adalah sebuah kekuatan dominan yang memiliki kepentingan dalam sebuah sistem ekonomi liberal internasional dan juga kesediaan untuk menggunakan sumber daya ekonomi dan politik untuk mencapai dan mempertahankan tujuan ini. 12 Pendapat Kindleberger ini selanjutnya semakin dikembangkan oleh berbagai ahli di bidang politik. Salah satu hal yang dikembangkan oleh para ahli tersebut adalah bahwa hegemon menciptakan sebuah tatanan ekonomi internasional yang liberal bukan dikarenakan oleh sifat altruisme mereka melainkan dikarenakan oleh kepentingan mereka sendiri di dalam sistem pasar terbuka. Robert Gilpin dan Stephen Krasner merupakan dua tokoh yang berkontribusi paling besar terhadap evolusi dari teori ini. Keduanya menekankan pada faktor kepentingan dan juga kemampuan dari hegemon untuk menciptakan sebuah tatanan perdagangan liberal. Gilpin berpendapat bahwa terdapat dua 12
Ibid., Gilpin diedit oleh O’Brien dan Clesse, halaman 2.
Universitas Indonesia Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
7
dimensi terhadap kekuatan sebuah hegemon: efisiensi ekonomi serta kekuatan politik dan militer. Sebuah hegemon akan memperoleh keuntungan terbesar dalam perdagangan bebas mengingat bagaimana hegemon tersebut merupakan aktor yang memiliki tingkat efisisensi ekonomi tertinggi. Dikarenakan oleh kekuatan politiknya, sebuah hegemon memiliki sumber daya untuk memaksa atau membujuk pihak lain agar mengadopsi kebijakan liberal di dalam sistem perdagangan luar negeri mereka. Krasner juga menarik kesimpulan yang sama dengan analisis yang berbeda. Dia menganalisis serangkaian kepentingan negara yang dipengaruhi oleh tatanan perdagangan internasional dan kemudian berkesimpulan bahwa hanya sebuah negara hegemon besar yang akan menganggap perdagangan bebas sebagai hal yang diinginkan dan dapat dicapai. Jadi, menurut Gilpin dan Krasner, hegemon merupakan syarat bagi kemunculan dari sebuah rejim perdagangan liberal. Dan oleh karena itu, mereka juga berpendapat bahwa kemunduran dari hegemon tersebut juga akan memicu pada kejatuhan dari tatanan perdagangan liberal.13 Dari deskripsi sebelumnya, kita dapat melihat bahwa teori stabilitas hegemoni dapat dibagi menjadi dua bagian utama. Bagian yang pertama menyatakan bahwa sebuah kekuatan hegemoni akan menyediakan kebaikan bersama bagi sistem internasional, seperti perdamaian, pertahanan, dan kemakmuran, yang mana juga dipetik manfaatnya oleh pihak hegemon serta di dalam prosesnya akan menciptakan tatanan yang stabil di dalam sistem. Anggota lainnya di dalam sistem memilih untuk berpartisipasi karena mereka akan mendapatkan manfaat sebagai free rider dari kebaikan bersama yang disediakan oleh hegemon. Menurut Krasner, salah satu kebaikan bersama yang disediakan oleh hegemon adalah sebuah sistem perdagangan terbuka yang didasarkan pada pasar bebas, mengingat keterbukaan akan mendorong akumulasi pendapatan nasional dan tingkat pertumbuhan ekonomi serta kekuatan politiknya. Sedangkan, bagian yang kedua dari teori ini menyatakan bahwa hegemon bersama dengan tatanan internasional liberal yang dipertahankannya, pada akhirnya harus mengalami kemunduran seraya kemampuannya untuk mempertahankan kestabilan 13
Op. Cit., Stein halaman 356-357.
Universitas Indonesia Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
8
mulai terkikis dikarenakan oleh peningkatan biaya yang dibutuhkan untuk menghindari ketidakstabilan. 14 Di samping kedua bagian tersebut, hal penting lainnya yang perlu juga diketahui dari teori ini adalah definisi dari hegemon itu sendiri. Terdapat beberapa definisi yang dicetuskan oleh para ahli mengenai definisi dari hegemon. Gilpin misalnya menganggap kekuasaan hegemoni sebagai gabungan antara kekuatan untuk memaksa negara lain dengan partisipasi sukarela di dalam sebuah sistem hegemoni. 15 Dia berupaya untuk membedakan konsep hegemon dengan kekaisaran dalam hal bagaimana kekuatan kekaisaran mempertahankan kekuasaan mereka secara paksa tanpa disertai dengan partisipasi sukarela dari koloninya. Di pihak lain, ahli lainnya seperti Snidal, Calleo dan Keohanne, seperti halnya Kindleberger, memandang hegemon sebagai pihak yang baik dan bersifat tidak memaksa. Sebuah hegemon, menurut mereka, mengatur dan menyusun sistem di mana norma yang berlaku berupa berbagai bentuk kerja sama berbeda yang dimungkinkan. 16 Selanjutnya, Strange dan Nye memperkenalkan deskripsi kekuasaan dengan nuansa yang sedikit berbeda dalam hal bagaimana mereka menganggap sumber daya ekonomi dan militer akan diperkuat oleh kekuatan struktural. Menurut Strange, kekuatan struktural ini merupakan kemampuan untuk memilih dan membentuk struktur ekonomi politik global yang terdapat di dalam negara lain, institusi politik mereka, perusahaan ekonomi mereka, dan bahkan para profesional yang akan mengoperasikan perusahaan ekonomi mereka. 17 Sebagai tambahan, Nye juga mendekripsikan jenis kekuasaan tidak langsung ini sebagai kemampuan untuk meyakinkan negara lainnya untuk membuat negara lain ‘menginginkan apa yang kita inginkan’ daripada memaksa mereka untuk ‘melakukan apa yang kita inginkan’. 18 Pendapat mengenai pentingnya kekuatan 14
Patrick K. O’Brien dan Geoffrey Allen Pigman, “Free Trade, British Hegemony and the International Economic Order in the Nineteenth Century” dalam Review of International Studies, Vol. 18, No. 2, (April, 1992), halaman 89-90. 15 R. Gilpin, War and Change in the International System, (Cambridge, 1981). 16 D. Snidal, “The Limits of Hegemonic Stability”, dalam International Organization, Vol. 39, (1985); D. Calleo, Beyond American Hegemony, (New York, 1987); R. O. Keohane, After Hegemony, (Princeton, 1984). 17 S. Strange, “The Persistent Myth of Lost Hegemony”, dalam International Organization, Vol. 41, (1987). 18 R. Nye, Bound To Lead, (New York, 1990).
Universitas Indonesia Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
9
struktural bagi sebuah negara hegemon bermula dari tulisan oleh Gramsci dan Wallerstein. Gramsci mengembangkan sebuah ide hegemoni yang berupaya untuk menjelaskan bagaimana para golongan atas di dalam sistem sosial dan ekonomi menggunakan kebudayaan mereka untuk mempertahankan kepopuleran dari sistem mereka. Wallerstein kemudian juga mengaplikasikan ide hegemoni Gramsci ke dalam sistem internasional. Wallerstein mendeskripsikan sistem yang telah ada sejak abad ke-16 sebagai sebuah ‘dunia-ekonomi’ kapitalis yang terdiri dari berbagai negara di mana para elit di negara inti mengatur hubungan ekonomi dan politik di antara negara dengan cara yang memungkinkan mereka untuk mempertahankan posisi mereka terhadap area semi-periferi dan periferi yang terdapat di dalam sistem, dengan memperkenalkan identitas kebudayaan nasional mereka misalnya. Dengan cara ini, mereka juga mempertahankan dominasi mereka atas golongan di bawah mereka di dalam wilayah negara mereka sendiri.19 Meskipun terdapat berbagai definisi yang berbeda mengenai apa yang dianggap sebagai hegemon, semua pendapat tersebut berhasil menegaskan bahwa konsep hegemoni mengacu kepada sebuah negara hegemon yang mampu untuk menggunakan
kekuatannya
atas
negara
lain
di
dalam
sebuah
sistem
internasional. 20
1.3.2
Teori Liberal Institusionalis (Liberal Institutionalism) Teori Liberal Institutionalism merupakan sebuah teori yang berupaya
untuk memberikan analisis mengenai bagaimana aktor negara yang pada dasarnya bersifat egois dan selalu mementingkan kepentingan mereka masing-masing dapat disatukan ke dalam sebuah hubungan kerja sama yang saling menguntungkan. Menurut teori ini, hubungan kerja sama tersebut dapat dimungkinkan dengan keberadaan
sebuah
institusi
internasional
yang
mengikat
para
negara
partisipannya dengan serangkaian norma dalam rangka untuk mencapai sebuah tujuan bersama. Beberapa asumsi dasar teori ini dapat dilihat melalui tabel berikut: 19 20
Immanuel Wallerstein, The Modern World-System (1), (New York/London, 1974). Loc. Cit., O’Brien dan Pigman.
Universitas Indonesia Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
10
LIBERAL INSTITUSIONALIS Karakter aktor negara
Terpecah-pecah ;
bukan
merupakan
sebuah entitas yang bersatu Faktor
pembentuk
sistem Terdapat faktor lain selain anarki seperti misalnya teknologi, ilmu pengetahuan,
internasional
dan juga keinginan setiap negara untuk memajukan tingkat kesejahteraannya Peran aktor negara dalam sistem Tidak dominan; aktor non negara juga memiliki peran yang dominan
internasional Pandangan
terhadap
internasional
institusi Aktor
independen
yang
dapat
memfasilitasi kerja sama internasional
Pandangan terhadap kerja sama Optimis internasional Sumber: Jurnal Ilmiah oleh Joseph M. Grieco, “Anarchy and the Limitsof Cooperation: A Realist Critque of the Newest Liberal Institutionalism”, dalam International Organization , Vol 42, No. 3, (Summer, 1988), halaman 494.
Institusi dapat didefinisikan sebagai serangkaian peraturan yang menetapkan cara-cara mengenai bagaimana negara-negara harus bekerja sama dan berkompetisi satu sama lainnya. 21 Institusi ini akan menentukan bentuk tingkah laku negara yang dapat diterima dan juga larangan mengenai tingkah laku negara yang dianggap melanggar batas. Peraturan-peraturan ini akan dinegosiasikan oleh berbagai negara dan mencakup kesediaan bersama untuk menerima norma lebih tinggi, yang mana merupakan standar perilaku yang didefinisikan dalam bentuk hak dan kewajiban. 22 Peraturan ini secara khusus akan diresmikan melalui perjanjian internasional, dan umumnya diwujudkan dalam organisasi dengan 21
Douglass C. North and Robert P. Thomas, "An Economic Theory of the Growth of the Western World," dalam The Economic History Review, 2nd series, Vol. 23, No. 1 (April 1970), halaman 5. 22 Stephen D. Krasner, ed., “International Regimes”, dalam International Organization (special issue), Vol. 36, No. 2 (Spring 1982), halaman 186.
Universitas Indonesia Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
11
personil dan anggaran belanja mereka sendiri. Walaupun peraturan-peraturan ini biasanya tergabung ke dalam sebuah organisasi resmi internasional, bukan organisasi tersebut yang akan mewajibkan negara-negara untuk mematuhi peraturan yang ada. Hal ini dikarenakan institusi tersebut bukanlan sebuah bentuk pemerintahan global. Negara-negara yang tergabung di dalam institusi tersebutlah yang harus memilih sendiri untuk mematuhi peraturan yang telah disepakati. 23 Menurut teori liberal institusionalis, tantangan utama bagi terciptanya kerja sama di antara negara yang memiliki kepentingan bersama adalah ancaman untuk berbuat curang. Adapun konsep analisis utama yang digunakan di dalam teori ini adalah konsep prisoner’s dilemma yang berupaya untuk menggambarkan inti dari problem yang harus diselesaikan oleh negara-negara agar dapat mencapai kerja sama. Konsep prisoner’s dilemma yang digunakan dalam teori ini pada dasarnya percaya bahwa setiap dua negara dapat memilih untuk berbuat curang atau bekerja sama satu dengan yang lainnya. Hal ini berangkat dari asumsi bahwa pada dasarnya setiap negara tersebut ingin memaksimalkan keuntungan mereka masing-masing tanpa memedulikan seberapa besar keuntungan yang akan diperoleh oleh pihak negara lainnya. Setiap negara tersebut hanya akan perduli terhadap pihak yang lainnya ketika strategi yang digunakan oleh pihak lain tersebut
berdampak
terhadap
prospek
untuk
memaksimalkan
perolehan
keuntungan mereka. Dalam skenario ini, strategi yang paling efektif bagi setiap pihak negara yang terlibat adalah untuk berbuat curang dan berharap bahwa pihak yang lainnya tetap menggunakan strategi kerja sama. Dengan kata lain, hasil yang paling ideal bagi sebuah negara adalah ketika mereka mampu menipu pihak yang lainnya untuk percaya bahwa mereka akan bekerja sama dan kemudian berbuat curang. Akan tetapi, kedua belah pihak paham mengenai alur skenario ini, dan oleh karena itu kedua belah pihak akan berupaya untuk berbuat curang satu dengan yang lainnya. Sebagai konsekuensinya, kedua belah pihak akan berakhir pada hasil yang jauh lebih buruk dibandingkan jika mereka memilih untuk bekerja sama mengingat kecurangan yang dilakukan oleh kedua belah pihak juga akan memicu hasil yang paling buruk. Inilah sebabnya walaupun ide untuk bekerja 23
John J. Mearsheimer, “The False Promise of International Institutions”, dalam International Security, Vol. 19, No. 3, (Winter, 1994-1995), halaman 8-9.
Universitas Indonesia Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
12
sama sebenarnya tidak semenarik ide untuk mencurangi pihak lainnya, hal tersebut masih akan jauh lebih baik dibandingkan jika kedua belah pihak memilih untuk berbuat curang. 24 Kunci untuk menyelesaikan dilema ini adalah ketika setiap pihak mampu untuk meyakinkan pihak lainnya bahwa mereka memiliki sebuah kepentingan bersama di dalam menjadikan apa yang kelihatannya berupa pengorbanan jangka pendek (keuntungan yang akan diperoleh dari upaya berbuat curang) demi memperoleh manfaat jangka panjang di masa depan (manfaat besar yang diperoleh dari kerja sama jangka panjang). Ini berarti bahwa setiap pihak yang terlibat harus mampu meyakinkan pihak lainnya agar bersedia untuk menerima hasil terbaik kedua, yakni kerja sama. Tantangan utama untuk mencapai hasil kerja sama ini adalah perasaan khawatir untuk dicurangi. Ini, singkatnya, merupakan permasalahan yang harus diselesaikan oleh institusi. 25 Untuk menangani permasalahan ‘kegagalan pasar politik’, sebuah institusi harus menghalangi para pelaku tindakan kecurangan dan melindungi para korban. Ada pun pesan yang harus mampu disampaikan oleh sebuah institusi terhadap pihak yang akan berbuat curang mencakup tiga hal utama yaitu bahwa: pihak tersebut akan ditangkap, dihukum dengan segera, dan dapat membahayakan upaya kerja sama lainnya di masa depan. Para calon korban, di pihak lain, membutuhkan sistem peringatan awal dari tindakan kecurangan agar dapat menghindari kerugian yang serius dan membutuhkan metode untuk menghukum pihak yang berbuat curang. 26 Teori liberal institusionalis tidak bertujuan untuk menangani para pelaku kecurangan dan korban dengan mengubah norma-norma fundamental dari tingkah laku negara. Teori ini juga tidak bermaksud untuk mengubah sifat mendasar dari sebuah sistem internasional yang anarki. Teori ini menerima asumsi bahwa negara-negara menjalankan agenda mereka di dalam sebuah kondisi yang anarkis dan bertingkah laku sesuai dengan kepentingan mereka masing-masing. Teori 24
Ibid., Mearsheimer, halaman 17. Ibid., Mearsheimer, halaman 17. 26 Ibid., Mearsheimer, halaman 17. 25
Universitas Indonesia Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
13
liberal institusionalis justru berkonsentrasi pada upaya untuk menunjukkan bagaimana peraturan dapat berfungsi untuk mencegah isu tindakan kecurangan, bahkan ketika negara-negara selalu berkeinginan untuk memaksimalkan kesejahteraan mereka. Mereka berpendapat bahwa institusi dapat mengubah perhitungan sebuah negara mengenai cara untuk mendapatkan keuntungan maksimal. Secara rinci, peraturan-peraturan dapat membuat negara-negara untuk membuat pengorbanan jangka pendek yang dibutuhkan untuk menyelesaikan isu prisoner’s dilemma dan oleh karena itu membuat mereka menyadari keuntungan jangka panjang yang akan diperoleh. Intinya, teori ini percaya bahwa sebuah institusi akan berujung pada kerja sama. 27 Hal ini berbeda dengan pihak realis yang menggunakan logika relativegain untuk menjelaskan bahwa negara tidak akan bekerja sama satu dengan yang lainnya ketika mereka memiliki kecurigaan bahwa calon pihak yang akan bekerja sama dengannya akan memperoleh keuntungan yang lebih besar dari hubungan kerja sama tersebut daripada yang seharusnya. Akan tetapi, ketika keberadaan sebuah institusi mampu untuk mengatasi rasa khawatir atas kemungkinan terjadinya kecurangan dan kemudian memungkinkan terjadinya kerja sama, sebuah institusi juga akan mampu untuk mengurangi rasa khawatir atas kemungkinan perolehan keuntungan yang tidak adil dari sebuah hubungan kerja sama. 28 Secara ideal, peraturan yang ditetapkan dalam sebuah institusi dapat membuat
empat
perubahan
utama.
Pertama,
peraturan
tersebut
dapat
meningkatkan jumlah transaksi di antara negara-negara tertentu seraya waktu berjalan. Pengulangan pertemuan yang terinstitusionalisasi ini akan mencegah terjadinya kecurangan melalui tiga cara. Pertama, ini akan meningkatkan nilai resiko sebuah kecurangan melalui penciptaan akan prospek keuntungan di masa depan yang akan diperoleh melalui kerja sama. Sebuah negara yang tertangkap berbuat curang akan membahayakan prospeknya untuk mendapatkan manfaat dari 27
Ibid., Mearheimer, halaman 17-18. Robert O. Keohane dan Lisa L. Martin, “The Promise of Institutionalist Theory”, dalam International Security, Vol. 20, No. 1, (Summer 1995), halaman 45.
28
Universitas Indonesia Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
14
kerja sama di masa mendatang mengingat pihak korban kemungkinan besar akan membalas. Sebagai tambahan, pertemuan yang berulang ini juga akan memberikan kesempatan kepada para korban untuk memberikan bayaran yang setimpal bagi para pelaku yang berbuat curang: pertemuan berulang tersebut akan memungkinkan dilakukannya sebuah pembalasan ataupun penyusunan strategi untuk menghukum para pelaku kecurangan dan tidak membiarkan mereka bebas dengan tindakan pelanggaran mereka. Dan yang terakhir, pertemuan berulang ini juga akan memberikan penghargaan bagi negara-negara yang mengembangkan reputasi baik di dalam mengikuti peraturan yang berlaku dan menghukum negara yang memiliki reputasi sebagai pelaku kecurangan. 29 Kedua, peraturan juga dapat menciptakan ikatan bersama di antara negara dalam berbagai bidang isu yang berbeda. Tujuan bersama yang dikaitkan dengan sebuah isu akan menciptakan interdependensi yang lebih besar di antara negara yang mana kemudian akan membuat mereka menjadi lebih enggan untuk berbuat curang dalam bidang isu tersebut dikarenakan rasa khawatir bahwa pihak korban dan kemungkinan juga negara lainnya akan membalas di dalam bidang isu lainnya. Dengan kata lain, ikatan yang tercipta melalui tujuan bersama dalam bidang isu ini juga akan mengurangi kemungkinan terjadinya kecurangan melalui metode yang sama seperti pertemuan berulang yang dijabarkan sebelumnya. Tujuan bersama ini meningkatkan resiko dari tindakan kecurangan dan menyediakan sebuah metode bagi para korbannya untuk membalas tindakan si pelaku kecurangan. 30 Ketiga, serangkaian peraturan yang terstruktur juga dapat meningkatkan jumlah informasi yang tersedia bagi para partisipan dalam perjanjian kerja sama agar dimungkinkannya sebuah pengawasan yang ketat. Informasi yang dapat didistribusikan ini antara lain misalnya informasi mengenai biaya pengeluaran militer atau pun kapasitas para negara partisipan dari segi lainnya. Kemampuan untuk berbagi informasi ini justru akan semakin berharga bagi sebuah negara yang menurut para realis cenderung berfokus pada ide relative gain. 31 Peningkatan 29
Op. Cit., Mearheimer, halaman 18 Ibid., Mearheimer, halaman 18 31 Op. Cit., Keohane dan Martin, halaman 46. 30
Universitas Indonesia Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
15
level informasi ini akan memperkecil kemungkinan kecurangan melalui dua cara: (1) hal ini meningkatkan kemungkinan bahwa para pelaku kecurangan akan ditangkap, dan yang lebih penting (2) hal ini juga akan memberikan peringatan awal atas tanda-tanda kecurangan sehingga memungkinkan para calon korban untuk mengambil langkah pencegahan sebelum mereka mendapatkan hasil yang negatif. 32 Keempat, peraturan dapat mengurangi biaya transaksi dari perjanjian yang dilakukan secara individual. Ketika sebuah institusi melakukan tugas seperti yang dideskripsikan di atas, negara-negara dapat mendedikasikan upaya yang lebih sedikit untuk menegosiasikan dan memonitor perjanjian kerja sama, dan menghindar dari kemungkinan terjadinya pelanggaran. Dengan meningkatkan efisiensi dari kerja sama internasional, institusi yang ada akan menjadi lebih menguntungkan dan oeh karena itu menjadi lebih menarik bagi para negara yang mengutamakan kepentingan mereka masing-masing. 33
1.3.3 Analisis Jaringan Sosial (Social Network Analysis) Jaringan sosial merupakan struktur sosial yang dibentuk dari individuindividu atau organisasi-organisasi yang disebut dengan ”nodes” dan terikat atau terhubungkan dengan satu tipe interdependensi atau lebih, misalnya saja persahabatan, kekeluargaan, kepentingan yang sama (common interest), pertukaran finansial, ketidaksukaan, hubungan seksual, pengetahuan, atau prestise. Untuk mengkaji secara lebih mendalam mengenai jaringan sosial— termasuk juga yang berbentuk organisasi seperti NGO dan sebagainya—maka dipakailah apa yang disebut dengan Analisis Jaringan Sosial (Social Network Analysis). Konsep ini memandang hubungan sosial dalam konteks “teori jaringan” atau network theory yang terdiri dari nodes dan ties (ikatan-ikatan). Nodes dijelaskan sebagai individu-individu aktor di dalam jaringan-jaringan, dan ties 32 33
Ibid., Mearheimer, halaman 18 Ibid., Mearheimer, halaman 18
Universitas Indonesia Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
16
merupakan hubungan di antara aktor-aktor tersebut. Apabila kita mencoba menggambarkannya dalam sebuah grafik, maka kita akan menemukan struktur grafik yang seringkali sangat kompleks. Ini karena bisa saja banyak sekali bentukbentuk ties di antara nodes tersebut. Penelitian dalam beberapa ranah akademis telah membuktikan bahwa jaringan sosial bisa beroperasi pada level-level yang berbeda, dari ruang lingkup keluarga hingga level suatu bangsa dan memainkan peran yang kritis dalam menentukan cara-cara suatu masalah dapat diselesaikan, organisasi dijalankan, dan sejauh mana suatu individu bisa sukses dalam meraih tujuan-tujuan mereka. Dalam bentuk yang paling sederhana, suatu jaringan sosial merupakan peta dari ties yang spesifik, misalnya saja persahabatan, antara nodes yang dipelajari. Nodes yang mana suatu individu dapat terkoneksi merupakan kontak sosial dari individu tersebut. Jaringan juga dapat dipakai untuk mengukur social capital atau nilai yang suatu individu dapatkan dari jaringan sosial tersebut. Konsep-konsep ini sering digambarkan dalam suatu diagram jaringan sosial, di mana nodes merupakan poin-poin dan ties merupakan garis-garis. 34 Seperti yang telah dijelaskan di atas, Analisis Jaringan Sosial juga dapat dipakai untuk memeriksa bagaimana organisasi-organisasi—termasuk pula NGO—berinteraksi satu sama lain dan membentuk karakteristik banyaknya koneksi informal yang menghubungkan para eksekutif bersama-sama, dan juga asosiasi-asosiasi serta koneksi-koneksi antara pekerja individual dalam organisasi yang berbeda. Jaringan menyediakan cara-cara bagi perusahaan maupun organisasi untuk mengumpulkan informasi, menghalangi kompetisi, dan berkolusi dalam menentukan suatu harga atau kebijakan. 35 Analisis Jaringan Sosial bukanlah sebuah teori, melainkan sekumpulan pendekatan, teknik, dan alat-alat untuk mendeskripsikan dan menganalisis hubungan di antara individu-individu, organisasi, dan unit-unit sosial lainnya. Apa yang menyatukan pendekatan yang berbeda tersebut ialah fokus dasar pada struktur. Dengan kata lain, Analisis Jaringan Sosial mengukur realitas sosial tidak 34
Linton Freeman, The Development of Social Network Analysis, (Vancouver: Empirical Press, 2006). 35 Stanley Wasserman dan Katherine Faust, Social Network Analysis: Methods and Applications, (Cambridge: Cambridge University Press, 1994).
Universitas Indonesia Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
17
melalui referensi terhadap atribut individu, melainkan pada hubungan sosial, polapola yang terbentuk, dan implikasinya terhadap pilihan dan perilaku. Bagi Analisis Jaringan Sosial, penting untuk mengetahui bagaimana orang atau organisasi dapat terkoneksi dan berhubungan satu sama lain dan pola struktural apa yang muncul dari interconnectedness semacam itu. Interconnectedness inilah yang menjadi fokus pada Analisis Jaringan Sosial, dan bukan pada atribut. 36 Pada dasarnya, Analisis Jaringan Sosial merupakan cara yang dipakai untuk menemukan cara terbaik untuk mengurangi kompeksitas interaksi sosial menjadi pola-pola yang lebih sederhana dan menemukan platform observasi yang benar. Analisis Jaringan Sosial telah mengembangkan lima prinsip dasar atau lensa konseptual-metodologis yang dapat terangkum di bawah dua heading utama: 1) single-mode networks, dan 2) hyper-networks. 37 Single-mode networks bisa jadi merupakan inti dari kebanyakan Analisis Jaringan Sosial dan menekankan pada hubungan di antara nodes melalui dua prinsip yang keduanya mengomplementasikan satu dengan yang lainnya, yaitu: 38 a) Cohesion yang menekankan interconnectedness dari hubungan sosial dan tendensinya untuk membentuk kemungkinan meningkatkan intensitas hubungan yang tercipta; b) Equivalence yang menekankan sejauh mana anggota-anggota dari sebah jaringan memiliki hubungan yang mirip dengan yang lainnya
Di sisi lain, hyper-networks atau two-mode networks merupakan kasus lain yang lebih kompleks. Meskipun begitu, hyper-networks dapat membantu kita untuk mendeduksikan ties melalui partisipasi koinsidental di dalam kelompok atau acara. Ini muncul karena adanya partisipasi aktor-aktor yang overlapping dalam entitas tertentu, misalnya saja board of directors atau pada acara-acara konferensi atau demonstrasi. Apabila kita membayangkan hyper-network sebagai matriks, maka kita dapat membayangkan daftar pertemuan sebagai kolom dan aktor-aktor yang hadir sebagai baris. Kita bisa mengobservasi aktor tertentu mana yang 36
Helmut K. Anheier dan Hagai Katz, “Network Approaches to Global Civil”, dalam Mary Kaldor, Helmut Anheier, dan Marlis Glasius (eds), Global Civil Society, (Oxford: Oxford University Press, 2003), hlm.207 37 Anheier dan Katz, Ibid., hlm.208-210. 38 Loc. Cit., Hemut K. Anheir.
Universitas Indonesia Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
18
menghadiri pertemuan tertentu atau pertemuan tertentu mana yang dihadiri oleh aktor tertentu. Ini akan menciptakan apa yang disebut dengan ”dual networks”. Contoh seperti ini bisa terlihat misalnya saja pada keanggotaan organisasional dalam organisasi payung (umbrella organisations). Hal lainnya yang tidak kalah penting untuk diperhatikan ialah data jaringan (network data). Ini bisa didapat melalui survei atau wawancara. Aktoraktor yang berpartisipasi dalam jarangan ditanya mengenai koneksinya dengan aktor lainnya dan juga mengenai konten dan efek dari koneksi tersebut. Analisis Jaringan Sosial menempatkan bebas spesial terhadap pengumpulan data karena biasanya mensyaratkan data dalam jaringan yang lengkap dikumpulkan meskipun batasan-batasan dari satu jaringan sulit untuk diketahui. 39 Masuk ke dalam pembahasan singkat mengenai NGO dan networking yang dilakukannya yang akan dijelaskan secara lebih lanjut pada bagian analisis. Pada era 1990-an, pada dasarnya partisipasi NGO telah meluas ke dalam konferensi resmi dan paralel forum sejauh NGO tersebut terbagi ke dalam prosedur yang harus diikutinya: lobbying atau networking. Mereka yang berfokus pada lobbying biasanya benar-benar ikut dalam konferensi resmi atau berkoarkoar di sepanjang hallway di mana mereka cenderung dieksklusikan. Oleh karena itu biasanya NGO lebih tertarik di ranah networking di mana mereka bisa memanfaatkan fertile ground bagi pertukaran NGO yang disediakan forum. Selain usaha untuh memengaruhi mereka yang memegang posisi resmi, strategi yang berbeda dan seringkali komplementer ini berlangsung pada forum NGO paralel yang
bisa
dirangkum
sebagai
diskusi
kebijakan
NGO-to-NGO
yang
disuplementasi dengan informal networking. Namun begitu secara umum lobbying dan networking reportoir interdependen satu sama lain, meskipun bukan berarti selalu harmonis. 40
39
Anheier dan Katz, Ibid., hlm.210. Ann M. Clark, Elisabeth J. Friedman, dan Kathryn Hochstetler, “The Sovereign Limits of Global Civil Society: A Comparison of NGO Participation in UN World Conferences on Environment, Human Rights, and Women, dalam World Politics, 51.1, (John Hopkins University Press, 1998), hlm 5-9. 40
Universitas Indonesia Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
19
1.4 Metodologi Tulisan ini secara keseluruhan menggunakan metode positivis dengan pendekatan triangulasi. Hal ini dikarenakan tulisan ini menggunakan data-data kualitatif dan kuantitatif namun dalam melakukan pengambilan kesimpulan digunakan metode kualitatif yang kemudian diikuti dengan komparasi kesimpulan antara paradigma yang digunakan dalam tulisan ini. Metode kuantitatif tidk digunakan dalam tulisan ini karena setiap teori tidak dikeluarkan menjadi variabel pengukur yang ketat. Pembahasan paradigma dalam tulisan ini dilakukan secara general, tidak mendetail, sehingga tidak menggunakan operasionalisasi variabel yang mendalam.
Universitas Indonesia Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
20
BAB 2 Krisis Finansial Global AS
Krisis Finansial Global AS merupakan krisis finansial terbesar yang terjadi setelah Great Depression pada periode 1929 hingga 1930an. Krisis ini bermula dari kasus kredit hipotek rumah macet di AS (subprime mortgage) yang diubah menjadi produk finansial yang diperjualbelikan di berbagai pasar investasi dunia. Krisis ini tidak hanya memberikan dampak yang signifikan terhadap perekonomian AS tetapi juga terhadap perkekonomian global. Oleh karena itu pada tulisan ini, penulis akan berupaya untuk menganalisis fenomena ini dari tiga paradigma utama dalam hubungan internasional sehingga dapat dilihat pengaruh yang ditimbulkan oleh krisis ini terhadap berbagai aktor utama yang umumnya terlibat dalam dinamika hubungan internasional. Dan pada bab ini, penulis akan mendeskripsikan terlebih dahulu, beberapa penyebab utama yang menyebabkan terjadinya krisis finansial global ini.
2.1 Krisis Subprime Mortgage Krisis Subprime Mortgage (krisis kredit hipotek rumah subprime) merupakan krisis yang terjadi dikarenakan sistem pembayaran kredit cicilan rumah di AS yang tidak lagi menggunakan metode tradisional yang seharusnya. Secara tradisional, bank-bank membiayai peminjaman kredit hipotek rumah mereka melalui setoran dana yang mereka terima dari nasabah mereka. Namun sayangnya sistem tradisional ini telah membatasi bank-bank dalam hal jumlah pinjaman kredit hipotek rumah yang dapat mereka berikan. Pada beberapa tahun terakhir, banyak bank yang telah mengubah sistem pembiayaan pemberian kredit hipotek rumah ini ke sebuah model baru (model subprime) di mana mereka menjual kredit hipotek rumah mereka ke dalam pasar saham. Hal ini mempermudah mereka untuk memberikan tambahan pinjaman kredit hipotek rumah. Sayangnya model baru ini membuat mereka untuk tidak lagi memiliki insentif di dalam mengecek secara teliti kredit hipotek rumah yang akan mereka berikan (seperti misalnya dari segi kemampuan membayar cicilan si pengaju 20
Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
21
kredit). Perbedaan antara model tradisional dengan subprime yang digunakan bank untuk membiayai kredit hipotek rumah dapat dilihaat dari bagan berikut. 41 Bagan 2.1 Perbandingan Model Pembiayaan Bank terhadap Kredit Hipotek Rumah
Sumber: BBC, http://news.bbc.co.uk/2/hi/7073131.stm
Penawaran subprime mortgage ini sangat dimungkinkan karena lima tahun terakhir menjelang krisis subprime mortgage, pihak swasta telah meluaskan perannya di dalam pasar saham mortgage secara dramatis, sektor yang sebelumnya didominasi oleh agensi pemerintah seperti Freddie Mac. Pihak swasta ini berspesialisasi di dalam jenis mortgage yang baru, seperti peminjaman dengan mekanisme subprime, yang ditawarkan kepada para peminjam dengan catatan kredit dan pendapatan yang jelek, yang sebelumnya ditolak oleh agensi peminjam pemerintah seperti Freddie Mac. Selain itu, pihak swasta ini juga meningkatkan limit pinjaman kredit hipotek rumah sebanyak lebih kurang 417.000 dolar AS (peningkatan limit pinjaman ini disebut sebagai jumbo mortgage. Bisnis ini terbukti menguntungkan bagi bank yang mendapatkan biaya komisi dari setiap kredit hipotek rumah yagn berhasil mereka jual. Bahkan pihak bank mendesak 41
___, “The Downturn in Facts and Figures”, dalam BBC (21 November 2007), diakses dari http://news.bbc.co.uk/2/hi/7073131.stm pada 22 Juni 2012 pukul 02.51.
Universitas Indonesia Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
22
para broker mortgage ini untuk menjual lebih banyak jenis kredit hipotek rumah suprime ini. Sebagai akibatnya, pasar saham mortgage ini pada akhirnya bernilai sebesar 6 triliun dolar AS dan merupakan bagian terbesar dari seluruh pasar saham AS yang bernilai sebesar 27 triliun dolar AS, jumlah yang bahkan lebih besar dari nilai saham Departemen Keuangan AS. 42 Grafik 2.1 Nilai Saham Pasar Modal AS Tahun 2007 (Kuarter Kedua)
Sumber: Federal Reserve; Bank of England; SIFMA, http://news.bbc.co.uk/2/hi/7073131.stm
Pada tahun 2005, satu di antara lima kredit hipotek rumah yang terdapat di AS merupakan jenis subprime, dan jenis kredit hipotek rumah ini sangat popular terutama di kalangan para imigran yang berupaya untuk membeli rumah untuk pertama kalinya di daerah pasar perumahan yang sedang ‘hangat’ seperti wilayah selatan California, Arizona, Nevada, dan daerah pinggiran Washington DC serta New York City. Akan tetapi, jenis kredit hipotek rumah ini memiliki tingkat penyitaan rumah yang lebih tinggi dibandingkan jenis yang tradisional dikarenakan suku bunga yang dikenakan merupakan adjustable rate mortgages (ARMs); yang mana memang lebih rendah daripada tingkat suku dari pemerintah tetapi hanya berlaku untuk periode 2 tahun dan selanjutnya tingkat suku bunganya akan menjadi lebih tinggi dan sangat bergantung pada tingkat suku bunga dari pemerintah. Akibatnya, gelombang penyitaan rumah melanda AS mengingat 42
Ibid., “The Downturn in Facts and Figures”.
Universitas Indonesia Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
23
kebanyakan dari tingkat suku bunga yang dikenakan bagi para pencicil kredit hipotek rumah meningkat dalam kurun waktu dua tahun berikutnya. 43 Gelombang penyitaan rumah ini berdampak dramatis terhadap harga rumah, dan bahkan membalikkan ledakan pasar rumah yang terjadi pada beberapa tahun terakhir sebelum terjadinya krisis subprime mortgage menjadi terjadinya penurunan harga rumah nasional di AS sejak periode 1930an. Pengajuan penyitaan rumah telah meningkat sebesar 75% pada 2007 di antara menurunnya nilai rumah dan kredit yang lebih ketat. Bank dan institusi peminjam lainnya melaporkan pengajuan penyitaan rumah senilai 2,2 juta US dollar selama 2007, yang mana merupakan representasi dari 1% atas semua rumah tangga di AS, meningkat sebesar 0,58% pada tahun 2006. Kegiatan penyitaan ini diperkirakan akan semakin meningkat lagi ke depannya. 44 Di samping itu, terdapat lebih kurang empat juta rumah yang tidak terjual dalam keadaan harga anjlok seraya para pembangun rumah juga dipaksa untuk menurunkan harga rumah dalam rangka menyingkirkan properti yang belum terjual di pasaran.45 Dampak krisis subprime mortgage terhadap perekonomian AS dapat dilihat dari tiga sektor utama. Pertama, dari sektor industri perumahan yang diperkirakan akan berkurang setengah jumlahnya, dan berakibat pada hilangnya lebih kurang satu hingga dua juta lapangan pekerjaan. Industri perumahan menyumbang 15% terhadap keseluruhan perekonomian AS, akan tetapi melambatnya sektor ini juga berdampak terhadap industri lainnya seperti misalnya industri perlengkapan rumah tangga yang mencakup perabotan maupun alat-alat elektronik rumah tangga. Kedua, timbulnya fenomena credit crunch (keengganan bank untuk memberikan kredit terhadap nasabahnya). Pasca terjadinya krisis subprime mortgage, bank-bank memotong jumlah kredit yang mereka tawarkan terhadap nasabahnya. Mereka menolak aplikasi kartu kredit dan meminta jumlah setoran yang lebih besar bagi pembelian rumah, serta memeriksa secara lebih detail aplikasi peminjaman untuk kepentingan pribadi. Credit crunch ini semakin 43
Ibid., “The Downturn in Facts and Figures”. Dick K. Nanto, “The Global Financial Crisis: Analysis and Policy Implications”, Congressional Research Service, (Oktober 2009), halaman 2. 45 Op. Cit., “The Downturn in Facts and Figures”. 44
Universitas Indonesia Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
24
memperburuk sektor properti di AS mengingat semakin sulit bagi individu untuk memperoleh baik kredit hipotek rumah tradisional maupun kredit hipotek rumah subprime. Hal ini diakibatkan oleh kerugian besar yang dialami oleh banyak bank. Pihak bank telah menyatakan kerugian sebesar 60 milyar dolar AS yang bersumber dari saham subprime mortgage mereka. Ketiga, kejatuhan pasar saham. Krisis subprime mortgage juga berdampak terhadap para pemegang saham subprime yang kebanyakan menggunakan dana pension mereka untuk membeli saham tersebut. Nilai saham subprime mortgage telah menurun secara drastis hanya dalam jangka beberapa bulan pada awal tahun 2007 dan diperkirakan nilai sahamnya hanya bernilai antara 20%-40% dari nilai saham awal pada saat mereka dibeli. 46
2.2 Kejatuhan Lehman Brothers Lehman Brothers merupakan bank investasi tertua dan terbesar keempat di Wall Street. Bank investasi ini memiliki lebih kurang 28.000 staf yang tersebar di 60 kantor cabangnya yang berada di 28 negara. Aset yang dimiliki oleh Lehman Brothers bernilai 600 milyar dolar AS yang terdiri atas aset dan hubungan perdagangannya dengan institusi finansial utama lainnya. 47 Di antara periode tahun 1994 dan 2007, nilai kapitalisasi pasar Lehman Brothers bertumbuh dari 2 milyar dolar AS menjadi 45 milyar dolar AS. Nilai sahamnya meningkat dari 5 dolar AS menjadi 86 dolar AS, yang mana memberikan laba tahunan rata-rata sebesar 24,6% bagi para pemegang sahamnya. Dan pada tahun 2006, Lehman Brothers merupakan institusi yang menjadi penanggung asuransi utama yang didukung oleh subprime mortgage. 48 46
Ibid., “The Downturn in Facts and Figures”. Stephen Foley, “Crash of a Titan: The Insisde Story of the Fall of Lehman Brothers”, dalam The Independent (7 September 2009), diakses dari http://www.independent.co.uk/news/business/analysis-and-features/crash-of-a-titan-the-insidestory-of-the-fall-of-lehman-brothers-1782714.html pada 21 Juni 2012 pukul 23.47. 47
48
Jamie Oliver and Tony Goodwin, “The King of Subprime”, dikases dari
http://www.director.co.uk/ONLINE/2010/11_10_vince_cable_responsible_capitalism.html pada 22 Juni 2012 pukul 00.18
Universitas Indonesia Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
25
Lehman Brothers didirikan oleh seorang imigran Jerman bernama Henry Lehman bersama sengan saudaranya Emanuel dan Mayer pada tahun 1850. Awalnya, Lehman Brothers didirikan hanya sebagai sebuah supermarket kecil yang selama beberapa dekade berikutya berkembang menjadi sebuah institusi finansial internasional yang diperhitungkan seiring dengan berkembangnya perekonomian AS di tingkat internasional. Lehman Brothers telah berhasil melewati beberapa krisis utama yang terjadi di dunia seperti kebangkrutan investasi jalan raya kereta api pada periode 1800an, Great Depression pada periode 1930an, kedua perang dunia, krisis kekurangan modal oleh American Express pada 1994, dan juga kejatuhan kredit Rusia pada 1998. Meskipun Lehman Brothers memiliki kemampuan untuk selamat melewati krisis tersebut, bank investasi ternama ini pada akhirnya mengalami kejatuhan juga setelah strateginya untuk menjadikan pasar subprime mortgage sebagai investasi utamanya terbukti sebagai tindakan yang terlalu beresiko. 49 Pada 15 September 2008, Lehman Brothers menyatakan dirinya pailit. Dengan aset senilai 639 milyar dolar AS dan hutang sebesar 619 milyar dolar AS, pernyataan pailit oleh Lehman Brothers tersebut merupakan yang terbesar dalam sejarah, mengingat aset yang dimilikinya jauh melebihi perusahaan-perusahaan raksasa sebelumnya yang juga menyatakan dirinya pailit seperti WorldCom dan Enron. Kejatuhan Lehman Brothers juga menjadikannya sebagai korban terbesar dari krisis suprime mortgage AS yang mana merupakan krisis finansial yang melanda pasar finansial global pada tahun 2008. Kejatuhan ini juga menjadi peristiwa yang meningkatkan dampak krisis finansial tahun 2008 dan berkontribusi terhadap erosi dari kapitalisasi pasar yang bernilai 10 triliun dolar AS dari pasar modal global pada Oktober 2008, yang menjadi bulan dengan catatan penurunan tertinggi pada sejarah pasar modal global. 50 Faktor utama yang menyebabkan kejatuhan ini bermula ketika AS mengalami ledakan pasar rumah (biasanya dikenal sebagai bubble) pada periode 49
___, “Case Study: The Collapse of Lehman Brothers”, diakses dari http://www.investopedia.com/articles/economics/09/lehman-brotherscollapse.asp#axzz1yRhJLU7E pada 22 Juni 2012 pukul 00.32. 50 Ibid,. “Case Study: The Collapse of Lehman Brothers”.
Universitas Indonesia Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
26
2003-2004, Lehman Brothers langsung membeli beberapa perusahaan pemberi kredit hipotek rumah (subprime mortgage) seperti BNC Mortgage dan Aurora Loan Services yang berspesialisasi dalam pemberian pinjaman jenis Alt-A (jenis pinjaman kredit yang diberikan tanpa dokumentasi yang lengkap) meskipun telah terdengar peringatan atas tingkat resiko yagn tinggi terhadap keputusan tersebut. 51 Keputusan Lehman Brothers untuk membeli kedua perusahaan tersebut (akuisisi) memungkinkan perusahaan ini untuk mengemas ulang pinjaman kredit hipotek rumah (mortgage loans) ke dalam bentuk saham. ‘Saham’ ini terlihat menjanjikan mengingat pasar rumah AS pada saat itu sedang mengalami lonjakan yang sangat pesat. Saham ini selanjutnya diperjualbelikan ke pasar saham global melalui Wall Street ataupun melalui hubungan kerja sama perdagangan Lehman Brothers dengan sesama institusi investasi lainnya. 52 Akuisisi Lehman Brothers atas kedua perusahaan ini pada awalnya terlihat menjanjikan; catatan pendapatan bisnis real estate (jual beli rumah) dalam bentuk pasar modal meningkat tajam sebesar 56% dari 2004 hingga 2006, sebuah tingkat pertumbuhan yang cepat dibandingkan dengan sektor bisnis lain dalam investasi
perbankan
atau
manajemen
aset.
Perusahaan
ini
berhasil
mengasuransikan nilai mortgage sebesar 146 milyar dolar AS pada tahun 2006, yang mana merupakan peningkatan sebesar 10% dari tahun 2005. Lehman Brothers mencatat keuntungan setiap tahunnya dari periode 2005-2007. Pada tahun 2007, perusahaan ini melaporkan pendapatan bersih senilai 4,2 milyar dolar AS dari total pendapatan sebesar 19,3 milyar dolar AS. 53 Akan tetapi sayangnya, semua investasi yang menguntungkan tersebut dibangun di atas landasar pasir yang terbukti tidak kokoh. Pada kuarter pertama 2007, keretakan pada pasar rumah AS mulai terlihat dampaknya seraya kegagalan pada subprime mortgage telah meningkat jumlahnya hingga mencapai tujuh angka. Seraya krisis kredit ini memuncak pada Agustus 2007 dan juga dibarengi dengan kegagalan dari dana bendungan dari Bear Stearns, nilai saham Lehman 51
Ibid., “Case Study: The Collapse of Lehman Brothers”. Op. Cit., Oliver dan Goodwin.. 53 Op. Cit., “Case Study: The Collapse of Lehman Brothers”. 52
Universitas Indonesia Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
27
Brothers mengalami penurunan secara tajam. Pada bulan tersebut, Lehman Brothers mengeliminasi 2.500 pekerjaan yang berhubungan dengan mortgage dan menutup unit BNC. Sebagai tambahan, perusahaan ini juga menutup perusahaan pemberi pinjaman Alt-A Aurora di tiga negara bagian. Meskipun demikian, Lehman Brothers masih tetap menjadi pemain utama di balik ‘saham’ mortgage dan meskipun nilainya sempat mengalami perbaikan pada periode akhir 2007, fakta ini membuat perusahaan ini mengalami kerugian yang signifikan. Kegagalan ini semakin dipastikan ketika Bear Stearns, institusi investasi terbesar kedua yang memegang ‘saham’ mortgage jatuh pada 15 Maret 2008 dan membuat nilai sahamnya jatuh sebesar 48%. 54 Kebangkrutan Lehman Brothers semakin dipastikan ketika pemerintah AS menolak untuk memberikan suntikan dana (bail out) terhadap institusi investasi raksasa ini. Keputusan pemerintah yang pada saat itu dibuat oleh Hank Paulson (Menteri Keuangan), Ben Bernanke (Direktur Bank Nasional), dan juga Tim Geithner (Direktur Bank Nasional New York) didasarkan pada fakta bahwa pemerintah ingin memberikan peringatan terhadap institusi investasi dominan di negara tersebut agar kelak tidak melakukan tindakan investasi yang terlalu beresiko. Mereka berpendapat bahwa jika pihak pemerintah secara terus menerus memberikan suntikan dana setiap kali perusahaan investasi raksasa ini mengalami kegagalan maka tendensi perusahaan ini untuk melakukan tindakan investasi yang lebih beresiko akan jauh lebih tinggi. 55 Kejatuhan Lehman Brothers menandai fase baru dalam krisis finansial global AS. Pemerintah di seluruh dunia berjuang untuk menyelamatkan institusi finansial utama mereka seraya kegagalan dari pasar saham perumahan (subprime mortgage) terus memburuk. Banyak institusi finansial yang terus mengalami masalah likuiditas serius. Hal ini telah memicu pemerintah di berbagai dunia untuk memberikan paket stimulus yang bertujuan untuk memberikan modal awal untuk melewati ekonomi yang sedang melambat. Presiden Obama mengusulkan pengeluaran nasional sebesar 1 triliun dolar AS sebagai upaya untuk memulihkan 54 55
Ibid., “Case Study: The Collapse of Lehman Brothers”. Op. Cit., Foley.
Universitas Indonesia Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
28
kondisi perekonomian tersebut dari krisis finansial yang sedang melanda. Selain AS, pemerintah Australia juga melakukan hal yang serupa dengan memberikan dana tunai langsung kepada para pembayar pajaknya dari semua tingkat usia dan juga berfokus pada proyek infrastruktur yang berjangka panjang. Pemerintah Australia menghabiskan 10,4 milyar dolar AS di dalam upaya pemberian paket stimulus ini. Selain berbagai paket stimulus yang ditawarkan oleh pemerintah, kejatuhan Lehman Brothers juga telah membuat banyak orang untuk mulai berinvesatsi dalam emas, saham-saham dan juga mata uang dolar AS atau Euro yang dilihat sebagai alternatif yang jauh lebih aman dibandingkan dengan pasar saham secara umum ataupun pasar saham perumahan. 56
2.3 Struktur Finansial yang Rapuh Dari kedua deskripsi penyebab terjadinya krisis finansial global AS di atas, kita dapat menyimpulkan satu penyebab tambahan dari krisis tersebut. Alasan utama mengapa krisis subprime mortgage dapat terjadi dan juga mengapa dampaknya dapat menyebar secara cepat dalam tingkat global adalah karena tidak adanya sistem regulasi yang memadai untuk mengatur transaksi finansial baik di AS maupun di tingkat internasional. Dengan kata lain, struktur finansial AS sebagai salah satu aktor dominan dalam sistem perdagangan internasional sangat lemah karena tidak adanya sistem pengawasan yang jelas dari pemerintah terhadap transaksi finansial yang dilakukan oleh pihak swasta finansial yang dominan di negaranya. Hal ini terlihat dari bagaimana beberapa bank investasi terbesar di negara tersebut seperti Lehman Brothers maupun Bear Stearns dapat dengan gampangnya mengemas ulang kredit hipotek rumah subprime yang beresiko tinggi menjadi produk saham yang diperjualbelikan di Wall Street maupun di pasar saham global lainnya tanpa adanya pihak yang terlbeih dahulu memastikan keamanan dari produk saham yang baru pertama kali diperjualbelikan tersebut. 56
___, “Global Financial Crisis - What caused it and how the world responded”, diakses dari http://www.canstar.com.au/global-financial-crisis/ pada 22 Juni 2012 pukul 02.09.
Universitas Indonesia Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
29
Fakta ini semakin diperkuat ketika para pemimpin dunia memulai serangkaian pertemuan internasional untuk menangani perubahan kebijakan, regulasi, pengawasan, dan pelaksanaan sistem finansial global. Beberapa pihak menggambarkan pertemuan ini sebagai Bretton Wood II. Rangkaian pertemuan ini dimulai dengan KTT G-20 pada 15 November 2008 di Washington DC, dilanjutkan dengan KTT G-20 London pada 2 April 2009, dan KTT yang ketiga dilaksanakan di Pittsburgh pada 24-25 September dengan Presiden Obama sebagai tuan rumah. 57 Isu yang berupaya ditangani oleh AS dan negara lainnya berpusat pada ‘perbaikan sistem’ dan pencegahan krisis yang sama untuk terjadi lagi. Sebagian besar dari kebijakan ini mencakup masalah teknis regulasi dan pengawasan terhadap pasar finansial, serta penetapan standar bagi kecukupan modal dan skema untuk mendanai dan melakukan intervensi finansial di masa mendatang jika dibutuhkan. Pada KTT G-20 November 2008, para pemimpin tersebut menyepakati Rencana Kebijakan yang memetakan rancangan kerja yang komprehensif. 58 Sebagian besar dari detail teknis rencana kerja ini telah disesuaikan dengan standar dari beberapa organisasi internasional. Pada KTT London, para pemimpin G-20 menangani isu koordinasi dan pengawasan dari sistem finansial internasional dengan mendirikan Badan Stabilitas Nasional yang baru (Financial Stability Board atau FSB). FSB ini akan berkolaborasi dengan IMF untuk memberikan peringatan awal dari resiko finansial dan makroekonomi dan juga tindakan yang dibutuhkan untuk mengatasi resiko tersebut. KTT ini membiarkan setiap negara individual untuk membentuk kembali dan sistem peraturan mereka dalam rangka mengidentifikasi resiko sistemik dari makro prudensial tetapi sepakat untuk meregulasi dana pembendung dan Badan Rating Kredit mereka. 59 Sedangkan bagi AS, pertanyaan utama yang timbul adalah apakah sistem Bretton Wood harus diubah dari yang mana AS memainkan peran sebagai dinding penopang arsitektur finansial internasional menjadi sistem di mana AS tetap 57
Loc. Cit., Nanto, halaman 15. Ibid., Nanto, halaman 15. 59 Ibid., Nanto, halaman 15. 58
Universitas Indonesia Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
30
menjadi dinding penopang tetapi pasar finansialnya lebih dieropakan (pasar finansialnya dibatasi oleh peraturan pasar finansial internasional). Apakah arsitektur finansial internasional hanya cukup diperkuat atau harus dibarengi dengan kontrol lebih. Dan jika memasukkan unsur kontrol lebih, kontrol tersebut harus dilakukan oleh siapa. Dan berapa lamakah jangka waktu yang harus diberikan bagi arsitektur perekonomian yang baru ini agar dapat diwujudkan. 60
60
Ibid., Nanto, halaman 16.
Universitas Indonesia Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
31
BAB 3 PEMBAHASAN
3.1 Paradigma Realisme dalam Memandang Dampak Krisis Finansial Global AS terhadap Sistem Perdagangan Internasional Melalui Teori Hegemonic Stability Tujuan utama dari sub-bab ini adalah untuk mengetahui bagaimana pandangan seorang realis di dalam melihat dampak dari krisis finansial global AS terhadap sistem perdagangan internasional terkait dengan peran AS sebagai hegemon. Oleh karena itu di dalam sub-bab ini, penulis terlebih dahulu akan menguraikan sejarah singkat mengenai bagaimana AS dapat menjadi hegemon dalam sistem perdagangan internasional. Selanjutnya, di dalam bagian analisis teori, penulis akan menguraikan fakta yang membuktikan peran AS sebagai hegemon dalam sistem perdagangan internasional yang dilanjutkan dengan deskripsi mengenai bagaimana krisis finansial global AS mampu menimbulkan kemunduran peran hegemon AS dalam sistem yang sama.
3.1.1
Sejarah Awal Mula AS Sebagai Hegemon dalam Sistem Perdagangan Internasional Sejarah AS sebagai hegemon dalam sistem perdagangan internasional
bermula dari kejatuhan Inggris sebagai hegemon pada akhir abad ke-19. Pada awalnya AS menolak untuk memikul tanggung jawab sebagai hegemon baru dalam sistem ekonomi internasional hingga akhir Perang Dunia II. Penerimaan AS atas perannya yang baru bisa dikatakan dimulai pada tahun 1933 ketika Menteri Luar Negeri pada saat itu, Cordell Hull menyatakan komitmen negara adikuasa tersebut terhadap perdagangan bebas internasional. Meskipun demikian, kesediaan badan eksekutif AS untuk memikul tanggung jawab baru ini tetap membutuhkan persetujuan dari badan kongresnya. Pada tahun 1934, Kongres AS meresmikan UU Perjanjian Perdagangan Timbal Balik (Reciprocal Trade Agreements Act) yang memberikan kekuasaan kepada Presiden untuk menegosiasikan perjanjian 31
Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
32
yang menyangkut penurunan bea impor/ekspor sebanyak 50%. Dengan diberlakukannya UU ini, AS dapat memulai peran barunya sebagai hegemon menggantikan Inggris yang memegang peran tersebut pada abad ke-19. 61 Walaupun AS pada awalnya kelihatan enggan untuk menjadi hegemon baru menggantikan Inggris, AS muncul pada masa Perang Dunia I dengan sebuah visi yang jelas atas sebuah tatanan internasional baru yang diinginkannya. Visi yang disebut Rooseveltian ini (nama ini diambil dari nama Presiden Franklin Delano Roosevelt) terdiri atas beberapa elemen. Elemen yang pertama terdiri dari pembentukan PBB dan terutama Dewan Keamanan (termasuk lima anggota tetapnya)
yang
akan
bertanggung
jawab
untuk
menjamin
perdamaian
internasional. Sebagai tambahan terhadap visi tersebut, Konferensi Bretton Woods (1944) juga mengusulkan dibentuknya sekumpulan institusi ekonomi baru yang mencakup International Monetary Fund (IMF), International Bank for Reconstruction and Development (World Bank), dan International Trade Organization yang akan bertanggung jawab untuk memajukan dan mengurus administrasi dari sebuah sistem ekonomi terbuka internasional yang multilateral. Dari ketiga institusi tersebut, International Trade Organization pada akhirnya ditolak oleh Kongres AS karena hal tersebut dianggap akan terlalu mencampuri kebijakan ekonomi domestik. Sebagai gantinya, AS dan mitra kerja sama ekonominya mendirikan General Agreement on Tariff and Trade (GATT – saat ini dikenal sebagai WTO) sebagai sebuah forum negosiasi dan bukan sebagai sebuah institusi internasional yang lengkap. Tatanan internasional pasca perang didasarkan pada Piagam Atlantik dan prinsip Four Freedoms (sekarang ini dikenal sebagai HAM) yang dibentuk oleh AS dan sekutu perangnya. Melalui tatanan baru ini, para negara pemenang Perang Dunia I tersebut berharap mereka akan
dapat
membangun
sebuah
dunia
yang
damai,
makmur,
dan
61
Arthur A. Stein, “The Hegemon’s Dilemma; Great Britain, the United States, and the International Economic Order”, dalam International Organization, Vol. 38, No. 2, (Spring, 1984), halaman 376-377.
Universitas Indonesia Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
33
berperikemanusiaan, yang mana merupakan unsur-unsur yang hilang pada masa pasca Perang Dunia I. 62 Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kerangka institusi ekonomi internasional pasca perang diprakarsai pada Konferensi Bretton Woods pada tahun 1944. Kerangka yang pada akhirnya dikenal sebagai Bretton Woods System (BWS) ini pada dasarnya merupakan prestasi oleh AS dan Inggris dan merefleksikan pemikiran tokoh ekonomi seperti Harry Dexter White dan John Maynard Keynes. Walaupun terdapat beberapa perselisihan pendapat di antara para negosiator AS dan Inggris, konferensi ini berhasil merangkum dua tujuan utama. Tujuan pertama dari konferensi ini adalah untuk memformulasikan prinsip-prinsip yang akan dimasukkan ke dalam institusi yang membentuk BWS yaitu IMF, World Bank, dan GATT. Prinsip-prinsip tersebut mencakup: (1) komitmen terhadap perdagangan bebas melalui negosiasi multilateral dan prinsip non diskriminasi, (2) perjanjian bahwa transaksi keuangan yang sekarang akan bebas dari kontrol terkecuali kontrol atas modal, dan (3) perjanjian bahwa nilai tukar harus ditetapkan dan bahwa penyesuaian terhadap nilai tukar tersebut harus diketahui oleh semua pihak. Tujuan kedua dari konferensi ini adalah untuk memungkinkan pihak pemerintah yang tergabung dalam BWS untuk menerapkan kebijakan stabilisasi Keynesian dan kesejahteraan sosial. Dan oleh karena itu setiap negara akan diberikan kebebasan (dalam batas yang telah ditetapkan) untuk menerapkan kebijakan pertumbuhan ekonomi dan tenaga kerja semaksimal mungkin.
Prinsip-prinsip
fundamental
dan
institusi
internasional
yang
menerapkannya telah menciptakan kerangka ekonomi internasional yang kemudian berkembang pada masa pasca perang. 63 Pada tahun-tahun berikutnya, BWS telah dimodifikasi secara signifikan untuk merespon realita ekonomi dan politik yang dimulai langsung setelah Perang 62
Robert Gilpin, “The Rise of American Hegemony”, dalam Two Hegemonies:Britain 1846-1914 and the United States 1941-2001 diedit oleh Patrick Karl O’Brien dan Armand Clesse (Aldershot: Ashgate Publishing, Ltd., 2002), halaman 165-182 yang diakses dari http://www.mtholyoke.edu/acad/intrel/ipe/gilpin.htm pada 1 Mei 2012 pukul 21.14, halaman 3.
63
Ibid., Gilpin, halaman 7.
Universitas Indonesia Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
34
Dunia II berakhir. Ekonomi Jepang dan Eropa yang lesu, problem ‘kekurangan dolar’, dan terutama keadaan darurat pada periode Perang Dingin yang membawa perubahan signifikan terhadap sistem yang pada awalnya dibentuk. Dalam rangka untuk membentuk sistem aliansi melawan Uni Soviet, AS berbalik dari posisi awalnya pada beberapa isu ekonomi internasional dan mengambil peran pemimpin (hegemon) yang tegas di dalam upayanya untuk membentuk sistem ekonomi pasca perang. Kemunculan tatanan ekonomi internasional pasca perang tidak dapat dipahami tanpa mengakui adanya kebutuhan akan kerja sama untuk mencari sekutu melawan Uni Soviet. 64 Untuk menjalankan perannya sebagai sebuah hegemon, AS yang pada masa tersebut merupakan negara kreditor terpenting di dunia, menggunakan cadangan devisanya, terutama melalui Marshall Plan, untuk memfasilitasi upaya pembangunan kembali ekonomi Eropa Barat sebagai penyangga untuk melawan ekspansi Uni Soviet. Sebagai persyaratan untuk menerima bantuan AS ini, pemerintah Eropa Barat diwajibkan untuk menghilangkan rintangan perdagangan di dalam Eropa dan untuk bekerja sama serta mengkoordinasikan rencana ekonomi mereka melalui Organization for European Economic Cooperation (OECC). Eropa Barat juga dianjurkan untuk menjalankan reformasi ekonomi domestik termasuk upaya untuk mengadopsi teknik manajemen dan manufaktur AS yang lebih produktif. Dalam rangka mengembangkan proses integrasi Eropa ini, AS bahkan memberikan toleransi terhadap diskriminasi Eropa terhadap ekspor produk pertanian dan industrinya. Selain bantuan ke Eropa, AS juga memberikan bantuan ekonomi kepada Jepang untuk membangun ekonominya dan kemudian mengintegrasikan sistem ekonomi negara tersebut ke dalam sistem Barat. Oleh karena faktor inilah, selama masa Perang Dingin, tatanan ekonomi dan keamanan internasional pasca perang menjadi lebih bergantung satu dengan yang lainnya. 65 Inti dari BWS yang telah dimodifikasi ini terdiri dari dua rejim internasional yang mengemban peran penting pada masa awal kesuksesan sistem ekonomi internasional. Rejim pertama, International Monetary Fund (IMF) 64
Ibid., Gilpin, halaman 8. Robert Gilpin, The Challenge of Global Capitalism: The World Economy in the 21st Century, (Princeton: Princeton University Press, 2000), halaman xii, 373.
65
Universitas Indonesia Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
35
memiliki kewajiban resmi untuk mengatur sistem moneter internasional agar tetap didasarkan pada sistem nilai tukar tetap yang dapat disesuaikan. Meskipun pada kenyataannya AS menggunakan sumber daya ekonomi dan pengaruh politiknya untuk memastikan kesuksesan awal dari sistem moneter tersebut. Rejim yang kedua adalah General Agreement on Tariff and Trade (GATT) yang memiliki kewajiban utama untuk mengatur sistem perdagangan internasional. Kewajiban ini tersebar di antara sejumlah negara dan seraya jumlah negara yang terlibat di dalamnya semakin bertambah, rejim perdagangan ini menjadi semakin susah untuk mencapai kesepakatan. 66
3.1.2
Analisis Krisis Finansial Global AS terhadap Perannya sebagai Hegemon dalam Sistem Perdagangan Bebas
3.1.2.1 Hegemoni AS dalam Sistem Perdagangan Internasional Menurut teori stabilitas hegemoni, konsep hegemoni mengacu kepada sebuah negara hegemon yang mampu untuk menggunakan kekuatannya atas negara lain di dalam sebuah sistem internasional. Gilpin berpendapat bahwa terdapat dua dimensi yang dapat digunakan untuk mengukur kekuatan sebuah hegemon yaitu: kekuatan politik dan militer serta efisiensi ekonomi. Selain itu, teori ini juga percaya bahwa sebuah hegemon akan mampu menciptakan sebuah sistem perdagangan liberal. Sesuai dengan kriteria tersebut, bagian ini akan berupaya untuk mengkaji mengapa AS dapat dikategorikan sebagai sebuah hegemon dalam sistem perdagangan internasional. Bagian ini akan berupaya untuk mengkaji hal tersebut dengan melihat posisi AS dalam insitusi perdagangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia (dimensi kekuatan politik dan militer) serta peran dolar AS sebagai mata uang internasional yang dominan (dimensi efisiensi ekonomi). (a) IMF dan Bank Dunia
66
Loc. Cit., Gilpin, halaman 8.
Universitas Indonesia Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
36
Secara umum, AS dapat dikatakan menempati posisi yang spesial di dalam IMF dan Bank Dunia. Ketika kedua institusi tersebut dibentuk, struktur mereka, lokasi, dan mandat yang ditetapkan bagi keduanya sebagian besar ditentukan oleh AS. 67 AS memiliki lebih dari sepertiga kekuatan voting di setiap institusi.68 Selain itu, tidak ada penarikan dana dari IMF yang dapat dicairkan sebelum mendapat persetujuan yang jelas dari AS. 69 Beberapa fakta ini menunjukkan bahwa AS pada dasarnya telah diatur agar dapat memainkan peran yang dominan di kedua institusi tersebut. Akan tetapi, untuk menganalisis secara lebih detail pengaruh dominasi AS di kedua institusi tersebut, kita dapat melihatnya dari empat karakter utama. Pertama, bagaimana sistem pendanaan kedua institusi tersebut. Kedua, seberapa besar pengaruh AS di dalam proses pengambilan keputusan atas pemberian pinjaman dari kedua institusi tersebut. Ketiga, pengaruh AS terhadap pengaturan staf dan manajemen kedua institusi tersebut. Dan yang terakhir adalah bagaimana sistem representasi dan juga pembentukan mandat dari kedua institusi tersebut. Pertama, faktor pendanaan IMF dan Bank Dunia. Tidak seperti PBB, kedua institusi internasional ini tidak menggantungkan pendanaan mereka dari biaya keanggotaan tahunan. Oleh karena itu, suntikan dana dari AS terhadap kedua institusi tersebut merupakan sebuah hal yang substansial bagi keberlangsungan mereka dan itulah sebabnya AS secara tidak langsung memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kedua institusi tersebut. Di IMF, AS memberikan kontribusi dana sebesar 17,67% yang mana menjadikannya sebagai sumber utama pembiayaan institusi ini dan juga kemampuan voting sebesar 17,33% yang memungkinkannya untuk mendapatkan hak veto terhadap kebijakan-kebijakan utama yang dihasilkan oleh IMF. Sebagai tambahan, setiap 5 tahun sekali, IMF akan mengadakan tinjauan kembali terhadap kuota kontribusi dana yang telah diberikan. Hal ini memungkinkan pihak Kongres AS untuk terlibat secara jauh di dalam IMF mengingat keputusan mengenai apakah AS akan 67
Richard Garner, Sterling-Dollar Diplomacy, (New York: Columbia University Press, 1980). Joseph Gold, Voting and Decisions in the International Monetary Fund, (Washington DC: IMF, 1972), halaman 238. 69 Brian Tew, International Monetary Cooperation, 1945 – 70, (London: Hutchinson, 1970). 68
Universitas Indonesia Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
37
meningkatkan kontribusi dananya harus mendapat persetujuan dari Kongres terlebih dahulu. Ini terbukti dari pembentukan Komisi Meltzer yang bertugas untuk memberikan rekomendasi mengenai kebijakan yang akan diambil AS terhadap IMF. 70 Halnya tidak jauh berbeda di World Bank di mana AS juga merupakan kontributor dana utama di kedua badan Bank Dunia yaitu IBRD dan IDA. Di dalam IBRD, AS menyumbang sebesar 16.98% saham modal yang kemudian digunakan oleh IBRD untuk menggalang dana di dalam pasar finansial. Kontribusi ini memberikan 16,52% voting yang mana juga memberikan AS hak untuk memveto keputusan-keputusan utama yang telah disepakati oleh anggota institusi ini secara mayoritas. Sebagai tambahan, AS juga menyumbangkan dana sebesar 20,86% terhadap IDA, badan yang berfungsi untuk memberikan dana pinjaman terhadap negara-negara berkembang yang miskin. Pengaruh kekuatan politik yang diperoleh AS menjadi signifikan melalui sumbangan ini mengingat pada akhir 1970, AS pernah mengancam untuk tidak lagi memberikan sumbangan terhadap IDA jika dana yang disalurkan diberikan ke Vietnam. 71 Kedua, pengaruh AS di dalam proses pengambilan keputusan atas pemberian pinjaman dari kedua institusi tersebut. Secara teori, AS harus netral secara politik ketika memberikan masukan bagi IMF dan Bank Dunia terkait pihak yang akan diberikan pinjaman. Dalam kasus IMF, faktor utama yang seharusnya menjadi bahan pertimbangan adalah jumlah hutang yang dimiliki oleh sebuah negara dan juga tingkat kepentingan strategis dan ekonomi negara tersebut bagi AS dan negara-negara pemegang saham utama lainnya. Namun pada kenyataannya, berdasarkan data historis pinjaman oleh IMF, negara-negara yang seringkali diberikan pinjaman oleh IMF adalah negara-negara yang memiliki kedekatan politik atau menjadi target politik AS. Hal ini dianalisis oleh Strom Thacker yang menggunakan dua hipotesis untuk menguji fakta ini yakni hipotesis ‘kedekatan politik’ (political proximity) dan ‘pergerakan politik’ (political 70 Ngaire Woods, “The United States and International Financial Institutions: Power and Influence within the World Bank and the IMF”, diakses dari www.globaleconomicgovernance.org/wp.../US%20and%20IFIs.pdf pada 19 Juni 2012 pukul 06.06, halaman 6-8. 71
Ibid., Woods, halaman 8-9.
Universitas Indonesia Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
38
movement) yang dibasiskan pada pola voting yang dilakukan oleh IMF. 72 Hal yang sama juga terjadi di dalam Bank Dunia, di mana pada masa Perang Dingin, institusi ini menjadi salah satu alat politik yang penting bagi AS di dalam mencegah penyebaran pengaruh Uni Soviet. Misalnya, pada tahun 1944, AS menggunakan Bank Dunia sebagi penyalur dana Marshall Plan yang diperuntukkan bagi negara Eropa Barat. Kemudian pada tahun 1948, ketika Yugolaviabaru pecah dari Uni Soviet, AS dengan segera memberikan pinjaman dana bagi negara tersebut melalui Bank Dunia. 73 Ketiga, pengaruh AS terhadap pengaturan staf dan manajemen kedua institusi tersebut. Berbeda halnya dengan institusi multilateral lainnya seperti PBB, IMF dan Bank Dunia tidak menetapkan kuota kewarganegaraan yang akan memastikan representasi adil baik secara formal di dalam dewan pemerintahannya maupun secara informal di dalam urusan staf yang direkrut. Selain itu, persyaratan untuk bekerja dengan menggunakan beberapa bahasa berbeda juga tidak ada. Hal ini pada akhirnya mengarah pada fakta bahwa sebagian besar staf baik di tingkat senior maupun junior yang dipekerjakan di kedua institusi tersebut umumnya berasal dari negara-negara berbahasa Inggris dengan mayoritas berasal dari AS dan Inggris. Tindakan diskriminasi ini semakin diperkuat oleh fakta bahwa penunjukan anggota staf senior di kedua institusi tersebut harus selalu merupakan kandidat yang paling disukai oleh AS. Hal ini terbukti dalam kasus penunjukan Presiden Bank Dunia dan juga Direktur IMF yang hingga saat ini tetap berasal dari AS walaupun kandidatnya ditunjuk oleh negara Eropa Barat. Tindakan dominasi ini dilakukan untuk memastikan bahwa setiap proses pengambilan keputusan yang dilakukan di dalam kedua institusi tersebut menggunakan sistem ekonomi dari AS sehingga dominasi AS di sistem finansial internasional akan selalu tetap dapat dipertahankan. 74 Keempat, bagaimana sistem representasi dan juga pembentukan mandat dari kedua institusi tersebut. Dari segi representasi dan pembentukan mandat, AS 72
Strom Thacker, “The High Politics of IMF Lending”, dalam World Politics, Vol. 52, No.1, (1999), halaman 58 dan 64. 73 Loc. Cit., Woods, halaman 12. 74 Ibid., Woods, halaman 16-17.
Universitas Indonesia Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
39
bukan hanya memiliki pengaruh yang substansial dikarenakan oleh persentase voting dan hak veto yang dimilikinya. Pengaruh AS di dalam kedua institusi tersebut juga semakin diperkuat oleh fakta bagaimana perwakilan pejabat tinggi yang mewakili AS di IMF jumlahnya jauh lebih banyak dibandingkan dengan perwakilan dari negara lainnya. Misalnya di IMF, ketika negara lain hanya memiliki satu atau dua pejabat tinggi sebagai perwakilan, AS memiliki lebih kurang 36 orang yang secara rutin akan terlibat dalam proses pemberian saran maupun pemikiran strategi IMF secara keseluruhan. Sebagai tambahan, juga terdapat Wakil Asisten Departemen Keuangan yang fokus utamanya adalah untuk mengatur kinerja IMF agar disesuaikan dengan kebijakan dari Departemen Keuangan AS. Dari penjelasan ini, kita dapat melihat bagaimana AS akan selalu mendominasi proses pembentukan mandat di IMF dan Bank Dunia. 75 (b) Dolar AS sebagai Mata Uang Internasional Salah satu faktor utama yang mendorong peran AS sebagai hegemon dalam sistem perdagangan internasional adalah karena peran dolar AS sebagai mata uang internasional yang dominan. Pada beberapa dekade terakhir sejak kejatuhan Inggris sebagai hegemon, dolar AS menjadi mata uang yang paling banyak digunakan baik dalam perdagangan, investasi, maupun cadangan devisa oleh negara lain. Menurut data IMF, pada kurun waktu 2002-2003, dolar AS digunakan sebesar 66% dari total cadangan devisa dunia. Dolar juga digunakan sebesar 45% dari total international debt securities. 76 Selain sebagai cadangan devisa, dolar AS, juga merupakan mata uang yang paling banyak digunakan secara tunai di seluruh dunia. Sebagian besar sirkulasi uang kertas dolar AS diperkirakan berasal dari luar AS. Lebih dari 70% sirkulasi uang kertas nominal 100 dolar AS dan hampir 60% sirkulasi uang kertas
75
Ibid., Woods, halaman 18. Barry Eichengreen,” The Dollar Dilemma: The World’s Top Currency Faces Competition”, dalam Foreign Affairs, Vol. 88, No.5, (September/Oktober, 2009), hal 55-56. 76
Universitas Indonesia Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
40
nominal 20 dan 50 dolar AS berasal dari luar AS, sementara dua per tiga dari seluruh sirkulasi uang kertas dolar AS berasal dari luar AS sejak 1990. 77 Grafik 3.1 Sirkulasi Uang Kertas Dolar AS di luar AS
Sumber: Federal Reserve Bank of New York estimates, based on U.S. Treasury Department (2005), http://voxeu.org/index.php?q=node/4819
Dolar AS juga tetap menjadi pilihan mata uang yang utama di dalam berbagai transaksi valuta asing di seluruh dunia. Jika pada masa Bretton Woods dolar AS merupakan mata uang dominan, pada periode sekarang telah terdapat banyak pilihan mata uang lainnya yang dapat dijadikan sebagai alternatif. Meskipun demikian, banyak negara yang masih tetap melakukan transaksi valuta asing menggunakan dolar AS. Hingga tahun 2007, terdapat tujuh negara yang menggunakan dolar AS di dalam dewan pengurus mata uang mereka, dan 89 77
Lina Goldberg, “What is the status of the international roles of the dollar?”, diakses dari http://voxeu.org/index.php?q=node/4819 pada 19 Juni 2012 pukul 10.37.
Universitas Indonesia Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
41
negara yang menetapkan nilai tukar mata uang mereka terhadap dolar AS. Pembagian negara-negara yang menghubungkan dolar AS terhadap mata uang mereka telah stabil sejak 1995 dan grup yang direpresentasikan dalam tabel berikut merepresentasikan sepertiga dari GDP dunia (tidak termasuk AS). 78 Tabel 3.1 Laporan Negara Pengguna dolar AS dalam Transaksi Nilai Tukarnya
Sumber: Reinhart dan Rogoff (2004); Ilzetzki, Reinhart, dan Rogoff (2008); dan Lina Goldberg, http://voxeu.org/index.php?q=node/4819
Dominasi dolar AS dalam sistem perdagangan internasional dimulai sejak Konferensi Bretton Woods I (1944) yang mana salah satu agendanya pada saat itu adalah untuk membentuk sistem moneter internasional yang baru yang sebelumnya menggunakan sistem tukar emas. Mengingat AS pada saat itu merupakan negara yang menguasai lebih dari setengah kapasitas manufaktur dunia dan memiliki emas dalam jumlah terbanyak, para pemimpin negara yang berpartisipasi dalam konferensi tersebut sepakat untuk menjadikan dolar AS sebagai patokan dalam sistem nilai tukar dunia. Adapun sistem nilai tukar yang disepakati pada saat itu adalah fixed exchange rate terhadap dolar AS. Sayangnya, 78
Ibid., Goldberg.
Universitas Indonesia Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
42
sistem fixed exchange rate ini harus berakhir pada tahun 1971 ketika inflasi yang terjadi mengakibatkan devaluasi yang tinggi terhadap nilai dolar. Sebagai respon atas kejadian tersebut, diadakan Smithsonian Agreement yang menggagaskan ide agar dolar menggantikan fungsi emas, namun berujung pada kegagalan. Akhirnya pada tahun 1976, melalui Jamaican Agreement, dibentuk Bretton Wood II yang pada intinya mengubah sistem fixed exchange rate menjadi floating exchange rate yang terkendali. Ini berarti bahwa meskipun setiap negara dapat tetap membiarkan nilai tukar mata uang mereka terhadap dolar untuk berubah, namun ketika perubahan tersebut terlalu drastis, bank sentral negara yang bersangkutan masih tetap dapat melakukan intervensi. 79
3.1.2.2 Krisis Finansial Global AS dan Kemunduran Hegemon AS dalam Sistem Perdagangan Internasional Seperti yang telah dibahas pada bab sebelumnya, krisis finansial global AS telah
memberikan
dampak
negatif
yang
signifikan
terhadap
keadaan
perekonomian domestik di negara tersebut. Penurunan keadaan perekonomian domestik AS ini juga memberikan pengaruh terhadap kemunduran peran AS sebagai hegemon dalam sistem perdagangan internasional. Terkait dengan kondisi ini, berdasarkan analisis teori stabilitas hegemoni, hegemon bersama dengan tatanan internasional liberal yang dipertahankannya, pada akhirnya harus mengalami kemunduran seraya kemampuannya untuk mempertahankan kestabilan mulai terkikis dikarenakan oleh peningkatan biaya yang dibutuhkan untuk menghindari ketidakstabilan. 80 Susan Strange juga berpendapat bahwa dalam kasus hegemoni AS, akan selalu terdapat elemen domestik yang selalu dipertimbangkan untuk menghasilkan kebijakan luar negerinya. Dia berpendapat bahwa hegemoni AS akan menurun ketika terdapat faktor domestik yang cukup 79
US Department of State, “The Bretton Woods System”, diakses dari http://economics.about.com/od/foreigntrade/a/bretton_woods.htm pada 19 Juni 2012 pukul 10.30.
80
Patrick K. O’Brien dan Geoffrey Allen Pigman, “Free Trade, British Hegemony and the International Economic Order in the Nineteenth Century” dalam Review of International Studies, Vol. 18, No. 2, (April, 1992), halaman 89-90.
Universitas Indonesia Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
43
dominan timbul sehingga harus dipertimbangkan ketika AS akan menghasilkan kebijakan di tingkat sistemik (internasional). 81 Dalam kasus krisis finansial global AS, faktor domestik yang harus dipertimbangkan oleh AS adalah ketahanan ssitem finansial domestiknya yang menyebabkan negara tersebut beralih pada serangkaian kebijakan yang bersifat sangat proteksionis; sesuatu yang sangat bertentangan
dengan
ideologi
perdagangan
bebas
yang
selama
ini
didengungkannya. Sebagai akibatnya, hegemoni AS dalam sistem perdagangan bebas mulai tersaingi oleh kemunculan hegemon baru yang terbukti lebih mampu bertahan di dalam sistem perdagangan bebas saat ini yaitu Cina. Untuk menganalisis kemunduran hegemoni AS, bagian tulisan ini akan berupaya untuk menganalisis peran AS di dalam sistem perdagangan internasional yang akhir-akhir ini mendapatkan persaingan kuat dari Cina. Adapun aspek yang akan dikaji untuk melihat persaingan ini adalah peningkatan peran Cina dalam sistem perdagangan internasional dan peran Cina di dalam IMF (International Monetary Fund). (a) Peningkatan Peran Cina dalam Sistem Perdagangan Internasional Pada beberapa dekade terakhir, Cina mampu melakukan perubahan ekonomi secara signifikan sehingga negara tersebut kini telah menempti posisi kedua dalam segi pertumbuhan ekonomi. Bahkan baru-baru ini, IMF memprediksikan bahwa ekonomi Cina akan menjadi yang terbesar di dunia pada tahun 2016. Hal ini dapat dilihat dari sektor manufaktur di mana Cina telah terbukti mampu mengalahkan AS di dalam berbagai sektor, termasuk di antaranya menjadi produsen nomor satu baja, menjadi eksportir dari empat per lima produk tekstil di seluruh dunia, dan eksportir dari dua per tiga mesin fotokopi, DVD player, serta microwave. Meskipun memang masih terdapat sejumlah bagian
81
Susan Strange, “The Persistent Myth of Lost Hegemony”, dalam International Organization, Vol. 41, (1987), halaman 551-574.
Universitas Indonesia Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
44
penting dari sektor industri ini yang dimiliki oleh perusahaan asing termasuk perusahaan AS seperti General Motors. 82 Di pihak lain, Cina juga merupakan pemegang cadangan devisa dolar AS terbesar, seperti misalnya obligasi Departemen Keuangan AS. Hal ini juga yang sering menjadi salah satu alasan mengapa Cina mengurangi konflik dalam skala penuh dengan AS saat ini, mengingat Cina memiliki bagian yang sangat besar dalam perekonomian AS, baik sebagai pemegang saham obligasi dan sebagai eksportir utama barang-barang ke AS. Meskipun demikian, AS telah menghalangi beberapa investasi skala besar dari Cina dan juga upaya pembelian negara tersebut atas beberapa perusahaan minyak, teknologi, dan perusahaan lainnya. 83 Sebagai tambahan, Cina pada saat ini juga merupakan konsumen terbesar dunia atas produk-produk logam mendasar dan merupakan salah satu importir terbesar hidrokarbon. Sejumlah investasi penting dan perdagangan oleh Cina di Arab Saudi, Iran, dan Venezuela ditambah dengan keterlibatannya dengan negaranegara Asia Tengah, mengindikasikan kebutuhan Cina yang semakin meningkat atas minyak dan gas serta ketertarikannya terhadap kepentingan geostrategi AS di negara dan kawasan yang disebutkan sebelumnya. Dengan tingkat konsumsi energi Cina yang mencapai 20% dari total konsumsi energi dunia, Cina diperkirakan akan menggantikan posisi AS sebagai konsumen hidrokarbon terbesar pada abad berikutnya. 84 (b) Peran Cina dalam IMF Partisipasi Cina dalam institusi perdagangan internasional seperti IMF pada beberapa tahun terakhir jelas membuktikan bahwa negara tersebut memandang partisipasi aktifnya dalam institusi internasional sebagai kesempatan untuk meningkatkan power ekonominya. Hal ini berkaitan erat dengan upayanya untuk mencapai kepentingan nasionalnya dan juga untuk meningkatkan image 82
Fran Shor, “Declining US Hegemony + Rising Chinese Power: A Formula for Conflict?”, diakses dari http://www.stateofnature.org/decliningUsHegemony.html pada 22 Juni 2012 pada pukul 06.15. 83 Ibid., Shor. 84 Ibid., Shor.
Universitas Indonesia Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
45
dirinya sebagai rising power yang benign (tidak mengancam) terkait dengan timbulnya kekhawatiran dari masyarakat internasional akan kebangkitannya yang dianggap sebagai ancaman bagi sistem internasional yang sedang berlangsung. 85 Cina juga menyadari bahwa perannya di dunia internasional tidak hanya ditentukan oleh seberapa besar kekuatan ekonomi atau bahkan militer yang dimilikinya tetapi juga oleh seberapa besar pengaruhnya dalam menentukan norma dan peraturan internasional. Terkait dengan hal tersebut, Cina memulai perannya secara aktif di dalam IMF untuk mengubah sistem moneter internasional yang sedang berlaku saat ini. Salah satu kepentingan utama Cina untuk melakukan hal tersebut terkait dengan bagaimana selama ini negara tersebut tidak menaati aturan sistem nilai tukar floating dan justru menggunakan sistem nilai tukar fixed yang pada akhirnya menimbulkan hubungan perdagangan yang tidak adil dengan AS. 86 Terkait dengan hal kepentingan tersebut, Cina mulai menekankan pentingnya penggunaan SDR (special drawing rights) yang mana merupakan sebuah bentuk ‘mata uang’ berupa basket of currencies yang setiap lima tahun sekali akan diubah komposisinya. Cina menginginkan supaya yuan juga dimasukkan ke dalam kelompok mata uang SDR ini karena negara yang mata uangnya masuk ke dalam kategori ini dapat dipastikan memiliki ‘kontrol’ yang lebih terhadap sistem moneter internasional mengingat mata uang negara yang bersangkutan akan dijadikan sebagai acuan bagi mata uang negara lain. Namun, Cina juga sadar bahwa mata uang yang diperbolehkan untuk menjadi mata uang SDR, sesuai dengan persyaratan dari IMF yang baru dibuat pada November 2005, bukanlah mata uang yang hanya digunakan secara lokal seperti halnya Yuan. Oleh karena itulah, internasionalisasi mata uang yuan mulai menjadi salah satu agenda utama Cina pada beberapa tahun terakhir.
87
Dan sejauh ini, agenda Cina tersebut
terlihat didukung oleh IMF yang belum lama ini mengubah status yuan dari yang sebelumnya berstatus substantially undervalued menjadi moderately undervalued. 85
Men Honghua, “Learn to Play by the Rules: China’s Role in International Institutions”, diakses dari http://www.irchina.org/en/pdf/mhh3.pdf, halaman 10-11. 86 Eryan Tri Ramadhani, Internasionalisasi Yuan: Transisi China Menuju Kekuatan Hegemon, Skripsi, Universitas Indonesia, Depok, 2010, Print, halaman 101. 87 Ibid,. Eryan Tri Ramadhani, halaman 102.
Universitas Indonesia Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
46
Wakil Direktur Manajemen Utama IMF, David Lipton, menyatakan bahwa perubahan ini didasarkan pada fakta bahwa akun surplus Cina saat ini telah menurun dari yang sebelumnya 10% dari total GDP pada 2007 menjadi kurang dari 3% pada 2011. 88 Selain itu, Cina juga berupaya sangat keras untuk meningkatkan kuota hak suaranya dalam IMF. Hingga saat ini, Cina telah mampu mendapatkan
dukungan
suara
dari
negara-negara
berkembang
yang
mendukungnya agar mendapatkan hak suara yang lebih besar dalam IMF. Kedua aspek di atas menunjukkan bagaimana meskipun AS masih memiliki pengaruh yang dominan di dalam sistem perdangangan internasional, perannya tidak lagi sekuat dulu di mana AS dapat dikatakan sebagai hegemon tunggal yang tidak memiliki saingan dominan.
3.2 Paradigma Liberalisme dalam Memandang Dampak Krisis Finansial Global AS terhadap Sistem Perdagangan Internasional Melalui Teori Liberal Institutionalism Tujuan utama dari sub-bab ini adalah untuk mengetahui bagaimana pandangan seorang liberalis di dalam melihat dampak dari krisis finansial global AS terhadap sistem perdagangan internasional terkait dengan peran institusi perdagangan internasional (yang mana pada tulisan ini akan mengangkat studi kasus WTO (World Trade Organization)) di dalam menjalin kerja sama dari negara-negara untuk mengadopsi sistem perdagangan bebas. Oleh karena itu di dalam sub-bab ini, penulis terlebih dahulu akan menguraikan sejarah singkat pendirian WTO dan bentuk kerja sama apa yang diupayakan oleh institusi tersebut. Selanjutnya, pada bagian analisis teori, penulis akan berupaya untuk menjelaskan
mengenai
bagaimana
krisis
finansial
global
AS
mampu
menimbulkan keinginan untuk bekerja sama yang baru di antara negara-negara dalam rangka untuk membentuk struktur finansial yang lebih kokoh.
88
Erik Wasson, “IMF Softens Stance on China’s Currency”, diakses dari http://thehill.com/blogs/on-the-money/1005-trade/231759-imf-softens-stance-on-chinas-currency pada 22 Juni 2012 pukul 07.13.
Universitas Indonesia Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
47
3.2.1
Sejarah dan Tujuan Pendirian WTO (World Trade Organization) WTO
(World
Trade
Organization)
merupakan
sebuah
institusi
internasional yang bertujuan untuk mengawasi dan mengenalkan sistem perdagangan bebas. Pembentukan institusi ini berawal dari Konferensi Bretton Wood yang diadakan pasca Perang Dunia II. Pada saat itu, AS yang baru saja mulai menjalankan peran barunya sebagai hegemon dalam sistem perdagangan internasional, membentuk tiga buah institusi ekonomi internasional yang dijadikan sebagai pilar struktur perdagangan bebas yang baru. Salah satu institusi yang dibentuk pada saat itu adalah GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) yang tujuan utamanya untuk menghilangkan tarif yang umumnya dikenakan oleh setiap negara yang terlibat dalam perdagangan internasional. Kemudian pada 1 Januari 1995, GATT diubah namanya menjadi WTO. Dan hingga saat ini WTO beranggotakan 155 negara ditambah dengan 29 negara observer. 89 Terdapat lima prinsip perdagangan utama yang diadopsi oleh WTO. Kelima prinsip tersebut mencakup: (1) Non diskriminasi. Prinsip ini terdiri dari dua komponen utama yaitu peraturan most favored nations (MFN) kebijakan national treatment. Peraturan MFN mewajibkan seorang anggota WTO untuk memberlakukan syarat perdagangan spesial yang diberlakukan oleh sebuah negara terhadap semua anggota WTO. Sedangkan kebijakan national treatment berarti bahwa semua barang yang diimpor oleh sebuah negara harus diberikan perlakuan yang sama dengan produk domestik. Ini berarti bahwa sebuah negara tidak boleh memberlakukan tarif tambahan tertentu terhadap produk impor. Meskipun demikian, area perdagangan di mana kedua komponen ini diberlakukan masih berbeda tergantung kawasan sebuah negara. (2) Resiprositas.
Prinsip ini
merefleksikan keinginan untuk membatasi
kemungkinan free rider dari negara partisipan yang mungkin timbul dikarenakan oleh peraturan MFN dan keinginan untuk memiliki akses yang lebih baik terhadap pasar asing. 89
Ian F. Ferguson, "The World Trade Organization: Background and Issues", dalam Congressional Research Service, (9 Mei 2007), halaman 4.
Universitas Indonesia Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
48
(3) Komitmen yang mengikat dan dapat diwajibkan. Komitmen tarif yang dibuat oleh anggota WTO dalam sebuah negosiasi multilateral akan dihitung dalam sebuah daftar konsesi. Daftar ini selanjutnya akan menciptakan ‘ikatan maksimum’; di mana setiap negara dapat mengubah ikatannya, tetapi hanya setelah negara tersebut bernegosiasi dengan mitra dagangnya yang mana dapat mencakup kewajiban untuk mengkompensasikan kerugian yang ditimbulkan dari perubahan tersebut. Jika tidak terdapat kesepakatan di antara pihak yang terlibat, negara yang terlibat dapat melaporkan hal tersebut melalui prosedur penyelesaian konflik WTO. (4) Transparansi. Anggota WTO diwajibkan untuk mempublikasikan peraturan dagang mereka, mempertahankan institusi yang berugas untuk memonitor keputusan administratif yang berkaitan dengan perdagangan sebagai persiapan untuk merespons permintaan informasi dari anggota lainnya, dan juga untuk memberitahukan kepada pihak WTO setiap perubahan yang dibuat dalam kebijakan perdagangan. Semua informasi tersebut harus diberikan melalui laporan spesial secara berkala. (5) Katup pengamanan. Dalam kondisi spesifik, sebuah negara diizinkan untuk membatasi perdagangan. Keadaan spesifik ini dapat mencakup upaya untuk melindungi lingkungan, kesehatan masyarakat, hewan, dan tanaman. 90 Untuk memastikan setiap negara anggotanya benar-benar menerapkan semua prinsip tersebut, WTO secara berkala mengadakan proses negosiasi yang dibagi per babak di mana setiap babak mendiskusikan aspek perdagangan yang berbeda-beda. Pada masa GATT, terdapat tujuh babak negosiasi yang diadakan untuk mendiskusikan permasalahan perdagangan yang pada intinya bertujuan untuk mematangkan sistem yang benar-benar dapat menghilangkan tarif sebagai salah satu tantangan utama dalam perdagangan internasional. Sedangkan pada masa WTO, terdapat dua babak negosiasi yang telah berjalan yaitu babak
90
WTO, “Understanding The WTO: Basics; Principles of the Trading System”, diakses dari http://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/tif_e/fact2_e.htm pada 22 Juni 2012 pukul 08.55.
Universitas Indonesia Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
49
Uruguay (yang menjadi babak di mana WTO didirikan) dan babak Doha yang masih berlangsung hingga saat ini. 91 Sesuai dengan teori liberal institusionalis yang menyatakan bahwa keberadaan sebuah institusi akan memastikan berlangsungnya proses kerja sama mengingat sebuah institusi dapat menetapkan norma ataupun peraturan bagi anggotanya, WTO terbukti mampu untuk menggalang negara-negara agar bersedia untuk bersatu di bawah kerangka perdagangan bebas meskipun hal tersebut menuntut dilakukannya pengorbanan dari setiap negara anggota yang terlibat. Hubungan kerja sama tersebut dapat terjadi dalam kasus ini karena pada akhirnya setiap negara yang pada dasarnya ingin mendapatkan keuntungan terbesar dalam hubungan perdagangan menyadari bahwa partisipasi mereka dalam WTO akan dapat memastikan bahwa persaingan yagn terjadi dalam hubungan perdagangan menjadi dapat lebih diprediksikan. Kemampuan prediksi ini berangkat dari fakta bahwa setiap negara mengetahui aturan tingkah laku perdagangan yagn seharusnya dilakukan dan juga bahwa setiap negara harus menyediakan informasi yang transparan mengenai kebijakan perdagangan mereka.
3.2.2
Analisis Dampak Krisis Finansial Global AS terhadap Kerja Sama Perdagangan Bebas WTO Krisis finansial global AS tidak dapat dipungkiri telah menjadi ancaman
besar terhadap prinsip perdagangan bebas yang didengungkan oleh WTO. Beberapa negara bahkan menerapkan kebijakan yang cenderung melindungi atau membantu industri domestik. WTO telah mendapati sejumlah bentuk pembatasan perdagangan baru dan kebijakan menyimpang yang telah diperkenalkan termasuk peningkatan dalam inisiasi investigasi perdagangan dan peningkatan dalam jumlah tarif baru dan tindakan non tarif baru. WTO juga mengkompilasikan sebuah daftar baru dari kebijakan perdagangan dan yang berkaitan dengan perdagangan yang telah diambil sejak September 2008. Kebijakan ini termasuk 91
Ibid., “Understanding the WTO: Basics; Principles of the Trading System”.
Universitas Indonesia Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
50
peningkatan tarif baja di India, peningkatan tarif terhadap 940 produk impor oleh Ekuador, pembatasan terhadap titik masuk bagi sejumlah produk impor di Indonesia, peningkatan tarif terhadap impor minyak bumi oleh Korea Selatan, pengenalan kembali subsidi ekspor bagi beberapa produk susu tertentu oleh Komisi Eropa, dan peningkatan kewajiban pajak pada mobil dan truk impor di Rusia. Cina juga telah mengumumkan serangkaian kebijakan yang mencakup penyediaan dana sebesar 586 milyar dolar AS untuk mendorong konsumsi domestik. AS bahkan pada Februari 2009 juga meluncurkan paket stimulus yang mendengungkan tema
Buy America. Meskipun program tersebut hanya
diaplikasikan terhadap baja, besi, dan barang manufaktur lainnya, tindakan tersebut telah mendapat kecaman dari masyarakat internasional yang menyatakan bahwa kebijakan tersebut secara tidak langsung menganjurkan kebijakan proteksionisme yang sangat bertentangan dengan prinsip perdagangan bebas yang diprakarsai oleh AS melalui WTO. 92 Kekhawatiran atas meningkatnya sebuah tipe ‘proteksionisme finansial’ juga telah muncul di antara negara-negara berkembang. Pemerintah dapat mengarahkan bank yang telah menerima suntikan modal untuk meminjamkan lebih banyak di tingkat domestik daripada di tingkat internasional. Peminjaman dana oleh Departemen Keuangan AS untuk membiayai budget AS yang semakin bertumbuh juga telah menarik dana dari berbagai daerah di dunia. Kekhawatiran ini juga berlaku bagi negara-negara seperti Vietnam, Cina dan negara eksportir lain dalam kasus apakah aliran dana investasi perusahaan privat akan berkurang seraya para produsen menghadapi permasalahan meningkatnya suplai produk di pasaran dan kapasitas produksi yang berlebih. 93 Kebijakan ‘proteksionisme finansial’ ini terutama sangat jelas dilakukan oleh AS. Bagi AS, kekacauan finansial yang ditimbulkan oleh krisis finansial global telah menyentuh kebijakan nasional yang fundamental untuk melindungi keamanan ekonomi dari warganya. Krisis ini juga telah memengaruhi negara tersebut di dalam mencapai tujuan kebijakan domestik dan luar negerinya seperti 92
Dick K. Nanto, “The Global Financial Crisis: Analysis and Policy Implications”, Congressional Research Service, (Oktober 2009), halaman 19-20. 93 Ibid., Nanto, halaman 20.
Universitas Indonesia Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
51
misalnya mempertahankan kestabilan politik dan hubungan yang kooperatif dengan
negara
lainnya
serta
mendukung
infrastruktur
finansial
yang
memungkinkan bagi sebuah perekonomian internasional yang lancar. Dampak dari krisis finansial tidak hanya dirasakan oleh Wall Street dan Main Street (ikon pasar saham dan institusi finansial internasional) tetapi juga terwujud dalam aliran ekspor impor, tingkat pertumbuhan dan pengangguran, pendapatan dan pengeluaran pemerintah, serta resiko politik di beberapa negara. 94 Kebijakan awal AS diarahkan pada upaya untuk menahan dampak penyebaran dari krisis global ini dan menangani resesi yang diakibatkannya. Dua tindakan badan legislatif yang paling krusial adalah Program TARP (Troubled Asset Relief Program) yang diarahkan pada upaya penyediaan bantuan bagi institusi finansial dan American Recovery and Reinvestment Act tahun 2009 yang ditujukan pada upaya penyediaan stimulus bagi ekonomi. 95 Proposal kebijakan untuk mengganti beberapa peraturan spesifik serta struktur regulasi dan pengawasnya pada tingkat domestik dan internasional telah diajukan melalui proses legislatif, dari administrasi (kabinet pemerintahan), dan dari rekomendasi oleh organisasi internasional seperti IMF, Bank for International Settlements, dan Badan Stabilitas Finansial (Forum). Pada 17 Juni 2009, administrasi Obama mengumumkan rencananya untuk atas reformasi peraturan untuk sistem finansial AS. Dalam Kongres, sejumlah rancangan UU telah diperkenalkan untuk menangani isu-isu seperti pembentukan sebuah komisi untuk menginvestigasi
penyebab
dari
krisis
finansial,
penyediaan
mekanisme
transparansi yang lebih bertanggung jawab terhadap aktivitas pinjam meminjam dari Federal Reserve and Treasury (badan nasional yang bertanggung jawab untuk mengatur cadangan mata uang negara dan mengawasi pencetakan mata uang negara), penanganan permasalahan di dalam pasar properti dan perumahan, menyediakan dana bagi IMF, penanganan problem dengan pelanggan kartu kredit, penyediaan bimbingan yang telah dikembangkan bagi pasar finansial dan
94
Dick K. Nanto, “The Global Financial Crisis: Analysis and Policy Implications”, Congressional Research Service, (Oktober 2009), halaman 2. 95 Ibid., Nanto, halaman 4.
Universitas Indonesia Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
52
komoditas, penanganan utang nasional AS, dana pendirian sebuah sistem monitoring resiko. 96 Meskipun demikian, pada saat yang sama, krisis finansial global AS pada akhirnya juga membuat berbagai negara di dunia menjadi semakin bersatu melalui forum kerja sama perdagangan lainnya yang berfokus pada upaya untuk menciptakan struktur sistem finansial internasional yang lebih baik. Bentuk kerja sama ini dapat dilihat dari pertemuan G-20 yang tidak hanya melibatkan negaranegara maju tetapi juga negara-negara yang dianggap berpotensi sebagai emerging market seperti Indonesia, India, dan Brazil. Rangkaian pertemuan ini dimulai dengan KTT G-20 pada 15 November 2008 di Washington DC, dilanjutkan dengan KTT G-20 London pada 2 April 2009, dan KTT yang ketiga dilaksanakan di Pittsburgh pada 24-25 September 2009 dengan Presiden Obama sebagai tuan rumah. 97 Pada KTT Pittsburgh ini misalnya, semua pemimpin negara-negara G-20 sepakat untuk menciptakan sebuah kerangka bagi pertumbuhan ekonomi yang kokoh, bertahan lama, dan seimbang melalui enam kebijakan yang pada intinya menekankan pada regulasi pemerintah yang lebih jelas terhadap instrument finansial seperti bank dan institusi investasi lainnya. Sedangkan pada KTT London, para pemimpin negara G-20 sepakat untuk mendirikan sebuah Badan Stabilitas Finansial (Financial Stability Board) yang akan bekerja sama dengan IMF untuk memastikan kerja sama internasional dalam hal regulasi perbankan, dana bendungan (hedge funds), dan agensi rating kredit. Hal lain yang juga disepakati adalah penambahan dana bagi IMF dan bank pengembangan multilateral lainnya sebagai stimulus yang diarahkan terhadap pengembangan pasar ekonomi. 98 Dari sebuah deskripsi tersebut, terlihat jelas bahwa meskipun terdapat perubahan arah kebijakan ekonomi yang lebih proteksionis dari negara-negara pasca terjadinya krisis finansial global, ide bahwa kerja sama dapat tetap terjadi melalui sebuah institusi tetap dapat terjadi. Melalui institusi G-20, beberapa 96
Ibid., Nanto, halaman 4 – 5. Ibid., Nanto, halaman 15. 98 Ibid., Nanto, halaman 81-84. 97
Universitas Indonesia Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
53
negara yang dianggap sebagai pemain kunci dalam sistem perdagangan internasional, tetap dapat diajak untuk bekerja sama. Hal ini terjadi karena negaranegara tersebut bahwa cara terbaik untuk mencegah krisis yang sama untuk tidak terjadi lagi adalah ketika terdapat serangkaian peraturan yang mengawasi sistem finansial setiap negara, sebuah hal yang belum ada pada sistem perdagangan internasional pada saat ini.
3.3 Paradigma
Konstruktivisme
dalam
Memandang
Dampak
Krisis
Finansial Global AS terhadap Sistem Perdagangan Internasional Melalui Pendekatan Social Network Analysis Tujuan utama dari sub-bab ini adalah untuk mengetahui bagaimana pandangan seorang konstruktivis di dalam melihat dampak dari krisis finansial global AS terhadap sistem perdagangan internasional terkait dengan timbulnya Occupy Movement yang mana merupakan gerakan protes massal yang dilakukan oleh masyarakat internasional secara global sebagai akibat dari runtuhnya rasa percaya mereka terhadap sistem perdagangan bebas. Oleh karena itu di dalam subbab ini, penulis terlebih dahulu akan mendeskripsikan faktor-faktor yang menjadi penyebab utama dari krisis kepercayaan masyarakat internasional terhadap sistem perdagangan bebas. Selanjutnya, penulis akan memberikan analisis mengenai bagaimana krisis finansial global AS dapat menjadi sebuah fenomena yang memunculkan faktor-faktor pembentuk jaringan sosial yang merupakan cikal bakal dari sebuah gerakan massal yang dikenal sebagai Occupy Movement.
3.3.1 Faktor-Faktor
Penyebab
Runtuhnya
Kepercayaan
Masyarakat
Internasional terhadap Sistem Perdagangan Bebas (Liberal) Krisis finansial global AS tidak hanya menimbulkan perubahan drastis dalam hal hirarki kepemimpinan di dalam sistem perdagangan internasional serta fokus kebijakan perdagangan yang menjadi lebih proteksionis tetapi juga telah menimbulkan krisis kepercayaan dari masyarakat internasional terhadap sistem perdagangan bebas. Krisis kepercayaan ini terutama sangat dirasakan oleh
Universitas Indonesia Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
54
masyarakat di negara-negara maju yang selama ini memang menjadi pilar utama dari kapitalisme yang merupakan hasil dari sistem perdagangan bebas. Secara umum, terdapat tiga faktor utama yang mengakibatkan dampak ini yaitu: (1) meningkatnya tingkat pengangguran, (2) kebijakan austerity, dan (3) kesenjangan sosial antara kelompok masyarakat elit ekonomi dengan kelompok masyarakat pada umumnya.
(a) Meningkatnya Tingkat Pengangguran Menurut data yang dikeluarkan oleh IMF dan ILO (International Labor Organization),
krisis
finansial
global
AS
telah
meningkatkan
jumlah
pengangguran secara drastis di seluruh dunia hingga lebih dari 210 juta orang (pada September 2010), yang mana merupakan kenaikan sebesar 30 juta orang sejak tahun 2007. Tingkat pengangguran telah meningkat sebanyak 3% di sebagian besar negara maju sejak tahun 2007 dan sebanyak ¼ persen di negara emerging (hingga Sepetember 2010). Di antara negara maju, beberapa negara yang mengalami tingkat pengangguran paling tinggi terjadi di Spanyol (10%) serta AS dan New Zealand. Hal ini cukup berbeda dari negara berkembang dan emerging yang meskipun pada awalnya mengalami tingkat pengangguran tinggi di bidang ekspor, sekarang telah mulai pulih, mengingat banyak dari para eksportir di negara tersebut telah mengalihkan pasar mereka menjadi lebih beragam dan tidak lagi bergantung pada pasar dari negara maju. Tingkat pengangguran yang tinggi ini sangat berpotensi untuk mengakibatkan dampak sosial jangka panjang seperti faktor biaya kesehatan dan anak-anak dari para penganguran tersebut. Selain itu, berdasarkan analisis dari dampak krisis ekonomi sebelumnya, tingkat penganggruan tinggi juga akan berdampak terhadap menurunnya jangka umur hidup masyarakat, prestasi akademis, dan juga berkurangnya kohesi sosial masyarakat. 99 Dengan kata lain, tingkat pengangguran yang tinggi berkaitan
99
IMF, “Sharp Rise in Unemployment from Global Recession”, (2 September 2010), diakses dari http://www.imf.org/external/pubs/ft/survey/so/2010/NEW090210A.htm pada 6 Juli 2012 pukul 12.00.
Universitas Indonesia Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
55
langsung dengan berkurangnya tingkat kesejahteraan masyarakat di sebuah negara.
(b) Kebijakan Austerity Selain tingkat pengangguran yang tinggi, krisis finansial global AS telah menyebabkan banyak pemerintah di negara maju untuk menjalankan kebijakan austerity. Kebijakan austerity merupakan kebijakan yang berfokus pada upaya untuk mengurangi anggaran pengeluaran pemerintah dalam rangka untuk mengurangi budget deficit. Kebijakan austerity merupakan kebijakan yang tidak populis mengingat kebijakan tersebut akan berdampak pada penurunan kuantitas dan kualitas dari jasa dan fasilitas yang disediakan oleh pemerintah. Akan tetapi, kebijakan ini menjadi sebuah hal yang harus dilakukan pasca krisis finansial global AS mengingat banyak negara yang mengalami kenaikan tajam terhadap budget deficit mereka dikarenakan oleh upaya pemerintah untuk memberikan stimulus terhadap sektor finansial mereka.100 Kebijakan austerity ini dilakukan oleh sebagian besar negara maju mulai pada awal tahun 2011 sebagai bagian dari upaya mereka untuk mempertahankan rating kredit negara mereka masing-masing. Rating kredit ini sangat penting untuk dipertahankan mengingat setelah krisis finansial global AS terjadi, tingkat kepercayaan investor terhadap negara-negara maju semakin berkurang sehingga banyak dari para investor tersebut yang mulai mengalihkan dana investasi mereka ke pasar negara emerging. Dengan dijalankannya kebijakan austerity yang berfokus pada pemotongan pengeluaran pemerintah, para pemimpin negara tersebut berharap bahwa budget deficit negara dapat semakin ditekan sehingga pada akhirnya rating kredit beberapa negara dan juga kepercayaan para investor yang sudah menurun dapat dipulihkan kembali. Salah satu negara yang cukup dominan di dalam melakukan kebijakan ini adalah AS yang mulai pada awal tahun 2011 meluncurkan berbagai program 100
___, “Austerity”, diakses dari http://www.investopedia.com/terms/a/austerity.asp#axzz1zoqKBezA pada 6 Juli 2012 pukul 13.00.
Universitas Indonesia Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
56
austerity senilai 1 triliun dolar AS (jumlah ini bahkan akan ditingkatkan dengan tambahan pemotongan 1,2 triliun dolar AS pada awal tahun 2013 nanti). Pemotongan anggaran pengeluaran pemerintah AS ini berdampak pada berkurangnya budget untuk membiayai asuransi kesehatan negara, Medicare dan juga berbagai bentuk pengeluaran sosial lainnya seperti fasilitas bagi para pengangguran serta pemotongan lapangan pekerjaan di sektor sosial pemerintah dan dana pensiun. 101 Kebijakan ini juga dilakukan oleh Perancis yang mengumumkan akan melakukan pemotongan anggaran pengeluaran sebesar 6 – 8 milyar Euro pada November 2011. Pemotongan anggaran ini direncanakan akan dilakukan dengan mengurangi jumlah lapangan pekerjaan di sektor publik. 102
(c) Kesenjangan Sosial Krisis finansial global AS juga membuat masyarakat AS dan internasional semakin merasakan kesenjangan sosial yang terjadi di antara kelompok elit ekonomi dan kelompok masyarakat pada umumnya. Kesenjangan ini semakin dirasakan terutama pada saat pemerintah di banyak negara maju memilih untuk menerapkan kebijakan yang semakin menguntungkan kelompok elit ekonomi yang kebanyakan dapat dikatakan sebagai pihak yang memotori terjadinya krisis finansial global AS seperti misalnya CEO Goldman Sachs, Llyod Blankfein. Salah satu contoh dari kebijakan yang memihak para elit ekonomi ini dapat dilihat dari bagaimana di saat masyarakat harus mengalami dampak dari tingkat pengangguran tinggi dan juga berkurangnya fasilitas sosial dari pemerintah dikarenakan oleh kebijakan austerity, para elit ekonomi ini justru mendapatkan suntikan dana (bailout) yang dibiayai oleh pajak dari masyarakat. Bukan hanya itu, para elit ekonomi ini juga mendapatkan tax break (kebijakan untuk memberikan persentase pajak yang tidak representatif terhadap akumulasi property). Hal ini dapat dilihat bagaimana 1470 elit ekonomi yang berpenghasilan 101
Patrick Martin, “Obama, Congress Make New Austerity Plans”, (23 November 2011), diakses dari http://www.wsws.org/articles/2011/nov2011/budg-n23.shtml pada 8 Juli 2012 pukul 17.26. 102 James Boxell, “Sarkozy to Unveil Austerity Budget”, (7 November 2011), diakses dari http://www.irishtimes.com/newspaper/world/2011/1107/1224307165379.html?via=rel pada 8 Juli 2012 pukul 17.33.
Universitas Indonesia Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
57
di atas 1 juta dolar pada tahun 2009 tidak membayar pajak apa pun. Selain itu, tariff pajak bagi para milioner pada tahun 2009 adalah 22,4% yang mana menurun dari 30,4% dari tarif pajak pada tahun 1995. 103 Dengan semua perlakuan khusus yang mereka dapatkan, akumulasi kekayaan para elit ekonomi ini juga semakin meningkat pasca terjadinya krisis finansial global AS. Menurut data statistik dari salah satu kelompok riset AS, AlterNet, 74 warga Amerika yang tergabung dalam kelompok elit ekonomi berpenghasilan di atas 50 juta dolar AS per tahun, mendapatkan penghasilan ratarata sebesar 91,2 juta dolar AS pada tahun 2008. Tetapi pada tahun 2009, penghasilan rata-rata dari kelompok elit yang sama mencatat penghasilan rata-rata sebesar 518,8 juta dolar AS. Dengan kata lain, kelompok elit ekonomi ini berhasil meningkatkan pendapatan mereka sebanyak 5 kali dari jumlah yang sebelumnya hanya dalam kurun waktu setahun pada masa terjadinya krisis finansial global AS. 104
3.3.2
Analisis Proses Terbentuknya Jaringan yang Mendasari Occupy Movement Berdasarkan pendekatan analisis jaringan sosial (social network analysis),
terdapat dua faktor utama yang dapat memicu terbentuknya sebuah gerakan sosial yang bersifat grass root atau bottom up. Adapun faktor tersebut mencakup: 105 1. Cohesion yang menekankan interconnectedness dari hubungan sosial dan tendensinya untuk membentuk kemungkinan meningkatkan intensitas hubungan yang tercipta; 2. Equivalence yang menekankan sejauh mana anggota-anggota dari sebuah jaringan memiliki hubungan yang mirip dengan yang lainnya 103
David DeGraw, “Meet the Global Financial Elites Controlling $46 Trillion in Wealth”, (11 Agustus 2011), diakses dari http://www.alternet.org/investigations/151999/meet_the_global_financial_elites_controlling_$46_ trillion_in_wealth?page=entire pada 8 Juli 2012 pukul 18.32. 104 Ibid., David DeGraw, “Meet the Global Financial Elites Controlling $46 Trillion in Wealth”. 105 Helmut K. Anheier dan Hagai Katz, “Network Approaches to Global Civil”, dalam Mary Kaldor, Helmut Anheier, dan Marlis Glasius (eds), Global Civil Society, (Oxford: Oxford University Press, 2003), halaman 208-210.
Universitas Indonesia Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
58
Oleh karena itu, yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana krisis finansial global AS dapat menjadi unsur pemicu yang menimbulkan kedua faktor pendukung tersebut. Jika kita berupaya untuk menganalisis dari segi faktor cohesion, hal utama yang perlu kita kaji adalah bagaimana krisis finansial global AS dapat menjadi faktor yang menimbulkan interconnectedness (saling berhubungan atau benang merah) di kalangan masyarakat internasional. Krisis finansial global AS terbukti mampu menjadi sebuah fenomena yang memicu timbulnya interconnectedness ini dikarenakan oleh dampak global yang melanda masyarakat di sebagian besar negara maju yang menjadi tempat awal bermulanya krisis ini. Dampak global ini berupa menurunnya tingkat kesejahteraan mereka dikarenakan oleh ketiga faktor yang telah dijelaskan di atas. Penurunan tingkat kesejahteraan ini merupakan sebuah dampak universal yang sama mengingat hal ini berkaitan langsung dengan kemampuan setiap individu untuk memenuhi kebutuhan mendasar mereka. Dengan kata lain, tingkat kesejahteraan ini berhubungan langsung dengan kualitas hidup seseorang. Menurut pendekatan analisis jaringan sosial, salah satu alat yang memungkinkan
terbentuknya
interconnectedness
adalah
teknologi
digital
(internet). Teknologi digital telah menjadi sebuah kultur politik bagi kegiatan jaringan aktivis. Alasannya adalah karena infrastruktur dari teknologi digital ini telah membentuk sebuah jaringan global di komunitas internasional yang memungkinkan berbagai individu maupun organisasi dengan latar belakang yang berbeda untuk saling bertukar informasi dan ide. Hal ini pada akhirnya membuat teknologi digital sebagai sebuah wadah baru yang mampu untuk menciptakan sebuah norma bersama yang disepakati oleh komunitas internasional terutama di kalangan grass root. Teknologi digital ini mampu misalnya membuat sebuah NGO lokal yang kekurangan sumber daya untuk mencari dukungan dari NGO lainnya yang bergerak di bidang isu yang sama untuk mewujudkan norma bersama yang telah disepakati di dalam isu yang bersangkutan. Dengan kata lain, peran teknologi digital ini telah memungkinkan dibentuknya sebuah politik jaringan yang menjadi dasar pembentukan organisasi payung di mana berbagai organisasi, kelompok maupun individu saling mendukung untuk mencapai tujuan
Universitas Indonesia Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
59
bersama sambil tetap mempertahankan otonomi dan spesifikasi dari setiap elemen yang terlibat. 106 Peran
teknologi
digital
(internet)
di
dalam
menimbulkan
interconnectedness di kalangan masyarakat AS dan internasional terkait dengan dampak penurunan tingkat kesejahteraan hidup mereka juga sangat berpengaruh. Peran internet dalam menyalurkan informasi dapat kita lihat melalui peran media massa serta situs jejaring sosial (Facebook dan Twitter) di dalam membangun kesadaran dari masyarakat internasional untuk menyuarakan protes mereka terhadap pemerintah. Internet mempermudah masyarakat untuk mengetahui perkembangan berita terbaru kegiatan demonstrasi massal di berbagai wilayah AS yang selanjutnya menyebar ke negara lain dalam rangka menentang kebijakan pemerintah yang dianggap terlalu memihak para kelompok elit ekonomi di dalam sistem perdagangan bebas. Internet juga memungkinkan upaya pengorganisasian gerakan demonstrasi massal. Hal ini dapat dilihat dari gerakan protes Occupy Wall Street di Zucotti Park, New York (cikal bakal Occupy Movement) yang terwujud melalui ajakan untuk berdemonstrasi yang disuarakan melalui website yang dibentuk oleh salah satu NGO yang kemudian disebarluaskan melalui Facebook dan Twitter. 107 Dengan kata lain, krisis finansial global AS telah memungkinkan terbentuknya sebuah perasaan sepenanggungan di kalangan masyarakat AS dan internasional yang menjadi korban dari krisis finansial global AS yang kemudian disuarakan
melalui
teknologi
internet
untuk
semakin
memperkuat
interconnectedness yang sudah tercipta. Selain cohesion, faktor lain yang juga cukup penting di dalam terbentuknya jaringan sosial adalah equivalence yang pada dasarnya menekankan pada kemiripan hubungan di antara anggota-anggota yang terlibat di dalam sebuah 106
Jeffrey S. Juris, “The New Digital Media and Activist Networking within Anti-Corporate Globalization Movements”, dalam Annals of the American Academy of Political and Social Science, Vol. 597, Cultural Production in a Digital Age, (Januari, 2005), halaman 197 -200.
107
Mattathias Schwartz, "Pre-Occupied", diakses dari http://www.newyorker.com/reporting/2011/11/28/111128fa_fact_schwartz?currentPage=all pada 23 April 2012 pukul 14.30.
Universitas Indonesia Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
60
jaringan. Pada kasus ini, krisis finansial global AS telah menciptakan sebuah identitas yang sama di kalangan sebagian besar masyarakat AS dan internasional. Identitas tersebut merupakan fakta bahwa mereka semua merupakan korban dari sistem perdagangan bebas (kapitalisme) yang tidak adil. Hal ini diidentifikasi secara jelas melalui Occupy Movement melalui slogan mereka yang mengusung tema We’re the 99%. Krisis finansial global AS telah memperkuat identitas masyarakat AS dan internasional yang tidak termasuk dalam kelompok elit ekonomi sebagai kelompok yang terlupakan oleh pemerintah. Hal ini semakin diperkuat terutama ketika banyak pemerintah di negara maju yang lebih memilih untuk memfokuskan anggaran pemerintah bagi upaya bailout institusi investasi besar yang sebenarnya menjadi dalang dari krisis finansial global AS. Kebijakan tersebut pada akhirnya semakin menguntungkan kelompok elit ekonomi yang seharusnya bertanggung jawab dan sebaliknya semakin merugikan kelompok masyarakat luas karena pemerintah terpaksa harus memotong anggran pengeluaran di sektor publik yang berfokus pada pemberian fasilitas dan servis dari pemerintah. 108 Menurut pendekatan analisis jaringan sosial, pembentukan sebuah identitas merupakan elemen penting yang dibutuhkan untuk memunculkan sebuah gerakan grass root. Hal ini dikarenakan sebuah identitas akan memungkinkan terciptanya sebuah gerakan yang bersifat memberdayakan (empowering) menuju tujuan bersama yang lebih baik. Sebuah jaringan sosial yang terbentuk tidak akan ada artinya ketika tidak memiliki sebuah tujuan untuk memberdayakan sebuah kelompok masyarakat ke arah yang lebih baik. Tujuan untuk memberdayakan ini jugalah yang juga akan semakin memotivasi terjadinya pertukaran informasi. Identitas yang terbentuk dapat menjadi titik tolak ukur awal untuk mengetahui sejauh mana perubahan yang harus diperjuangkan. 109
3.3.3 Occupy Movement 108
Loc. Cit., David DeGraw, “Meet the Global Financial Elites Controlling $46 Trillion in Wealth”. 109 Josefina Stubbs, “Powerful Connections: South-South Linking”, dalam Focus on Gender, Vol. 1, No. 1, (Februari, 1993), halaman 53.
Universitas Indonesia Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
61
Dari analisis di atas, kita telah melihat bagaimana krisis finansial global AS telah menjadi sebuah fenomena global yang mampu menciptakan elemen yang diperlukan bagi terbentuknya sebuah jaringan yang membentuk sebuah gerakan massal, Occupy Movement. Occupy Movement merupakan sebuah gerakan protes yang diinisiasikan oleh gerakan Occupy Wall Street yang dimulai pada 17 September 2011 di Taman Zucotti yang terletak di daerah finansial Wall Street ,New York. Gerakan protes Occupy Wall Street ini pada awalnya diinisiasi oleh sebuah grup aktivis Kanada bernama Adbusters. Isu utama yang diangkat oleh protes ini adalah kesenjangan ekonomi dan sosial, keserakahan, korupsi, dan pengaruh perusahaan besar yang dianggap terlalu besar di kalangan pemerintah terutama di bagian jasa finansial. Slogan yang diangkat oleh gerakan ini adalah ‘We are the 99%’ (Kami adalah bagian dari 99%) yang berupaya untuk mengangkat isu kesenjangan pendapatan dan juga distribusi kekayaan di AS di antara kelompok masyarakat konglomerat yang membentuk 1% populasi di AS dengan 99% sisa populasi AS lainnya. 110 Gerakan Occupy Wall Street terinspirasi dari sebuah gerakan protes mahasiswa Inggris pada tahun 2010, gerakan protes anti austerity (aksi penghematan oleh pemerintah dengan memotong budget mereka di berbagai sektor pelayanan masyarakat seperti penyediaan asuransi kesehatan) di Yunani dan Spanyol yang dikenal sebagai ‘indignados’ dan juga gerakan protes Arab Spring. 111 Akan tetapi serangkaian kejadian yang memicu gerakan protes ini adalah serangkaian percakapan email di antara pendiri organisasi aktivis Kanada Adbusters Media Foundation dengan salah satu editor senior di organisasi tersebut. Percakapan tersebut pada akhirnya memicu organisasi tersebut untuk mengadakan gerakan okupasi di daerah Manhattan. Inisiasi gerakan protes ini dilakukan dengan pembentukan sebuah website bernama OccupyWallStreet.org 110
___, "Intellectual Roots of Wall St. Protest Lie in Academe — Movement's principles arise from scholarship on anarchy", dalam The Chronicle of Higher Education, diakses dari http://chronicle.com/article,Intellectual-Roots-of-Wall/129428 pada 23 April 2012 pukul 14.14.
111
Peter Apps, (October 11, 2011), "Wall Street action part of global Arab Spring?", Reuters, diakses dari http://www.reuters.com/article/2011/10/11/uk-global-politics-protestidUSLNE79A03220111011 pada 28 Maret 2012 pukul 01.27.
Universitas Indonesia Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
62
dan juga melalui pengiriman email terhadap semua pendukung organisasi Adbusters. 112 Adapun gerakan yang diinisiasi tersebut merupakan sebuah gerakan protes damai yang bermaksud untuk memprotes pengaruh korporasi yang terlalu besar dalam sistem demokrasi di AS, kurangnya konsekuensi hukum yang diberikan terhadap pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam krisis finansial global, dan kesenjangan kekayaan yang semakin meningkat. Dengan kata lain, gerakan ini merupakan upaya yang digerakkan bagi masyarakat AS agar dapat menyuarakan protes mereka terhadap sistem finansial mereka yang dianggap terlalu bergantung pada segelintir kelompok elit ekonomi. Gerakan Occupy Wall Street mencuat sebagai salah satu dampak dari krisis finansial global AS yang telah menyebabkan kejatuhan perekonomian domestik negara tersebut. Krisis finansial global AS telah menyebabkan meningkatnya tingkat pengangguran, berkurangnya dana kesejahteraan sosial yang diperoleh masyarakat sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk melakukan kebijakan austerity, dan juga meningkatnya jumlah orang yang kehilangan tempat tinggalnya sebagai akibat dari krisis subprime mortgage. Semua kejadian tersebut telah mengakibatkan masyarakat AS merasa semakin tidak puas bukan hanya terhadap pemerintah AS tetap juga terhadap sistem perdagangan internasional bebas yang dianggap terlalu memihak kelompok elit perekonomian AS yang hanya terdiri dari 1%. Masyarakat AS melihat sendiri bagaimana institusi perekonomian penting di negara mereka dikontrol oleh sekelompok elit yang sebagian besar turut bertanggung jawab dalam menyebabkan krisis subprime mortgage tetapi dapat terbebas dari dampak krisis finansial global AS seperti pengangguran dan kehilangan tempat tinggal. 113 Gerakan Occupy Wall Street ini selanjutnya menyebar ke hampir seluruh kota besar di seluruh negara bagian AS seperti Boston, Las Vegas, San Fransico, 112 Loc. Cit., Mattathias Schwartz, "Pre-Occupied". 113
David Graeber, “Occupy Wall Street's anarchist roots” diakses dari http://www.aljazeera.com/indepth/opinion/2011/11/2011112872835904508.html pada 23 April 2012 pukul 16.06.
Universitas Indonesia Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
63
dan kota-kota besar lainnya. Semua gerakan Occupy Wall Street ini mengangkat permasalahan isu yang sama yaitu ketimpangan ekonomi yang dianggap berasal dari sistem perdagangan internasional yang tidak adil dan hanya mengutamakan kelompok elit tertentu. Dengan kata lain, gerakan Occupy Wall Street merupakan sebuah bentuk respons dari rasa tidak percaya masyarakat AS terhadap sistem perdagangan bebas (kapitalisme). Gerakan Occupy Wall Street ini selanjutnya semakin menyebar bahkan hingga tingkat internasional dan disebut sebagai Occupy Movement. Occupy Movement ini dilakukan di berbagai kota besar di berbagai negara baik yang merupakan sesama negara Barat (negara Eropa Barat, Australia, Kanada, dsb.), Asia (Korea Selatan, Malaysia, Hongkong, dsb.) dan bahkan Timur Tengah (Iran). Adapun metode yang digunakan sama seperti yang diterapkan dalam Occupy Wall Street yaitu metode demonstrasi dengan menempati tempat umum serta penyebaran informasi yang dilakukan melalui media jaringan sosial seperti Facebook dan Twitter. 114 Secara garis besar, kronologis krisis finansial global AS hingga terbentuknya Occupy Movement dapat dilihat pada tabel berikut: Periode Waktu
Keterangan Titik awal krisis finansial global AS di
Akhir 2007
level domestik (menurunnya nilai saham subprime mortgage dan timbulnya fenomena credit crunch) Fase awal dampak penyebaran krisis
September 2008
finansial global AS (kejatuhan Lehman Brothers dan pasar saham global)
114
Ken Voigt, “Beyond Wall Street: 'Occupy' protests go global”, diakses dari http://edition.cnn.com/2011/10/07/business/wall-street-protest-global/index.html pada 22 Juni 2012 pukul 12.15.
Universitas Indonesia Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
64
Tingkat pengangguran meningkat secara Awal 2009
global terutama di negara maju yang menjadi titik awal dari krisis finansial global AS Kebijakan austerity mulai diterapkan
Awal 2011
oleh pemerintah di berbagai negara maju NGO Adbusters dari Kanada mulai
Juni 2011
menyuarakan gerakan protes dengan membentuk website OccupyWallStreet.org Gerakan Occupy Wall Street di Zucotti
September 2011
Park, New York berlangsung (gerakan ini merupakan gerakan awal yang memelopori Occupy Movement) Gerakan Occupy Wall Street mulai
Oktober 2011 - sekarang
menyebar ke berbagai kota besar di AS, Eropa dan berbagai negara di belahan dunia lainnya
Sumber: ___, “Occupy Wall Street: A Protest Timeline”, diakses dari http://theweek.com/article/index/220100/occupy-wall-street-a-protest-timeline pada 9 Juli 2012 pukul 09.34
Universitas Indonesia Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
65
BAB 4 KESIMPULAN
4.1 Dampak Krisis Finansial Global AS sebagai Pemicu Occupy Movement Menurut paradigma realisme, krisis finansial global AS akan berujung pada menurunnya kekuatan hegemoni AS di dalam sistem perdagangan internasional. Menurunnya peran AS sebagai hegemon dikarenakan biaya yang harus dikeluarkan untuk mempertahankan produk kolektif bersama yang pada kasus ini merupakan sistem perdagangan bebas menjadi semakin mahal harganya setelah kejatuhan sistem ekonomi domestiknya yang dipicu oleh krisis subprime mortgage dan kejatuhan Lehman Brothers.
4.2 Dampak Krisis Finansial Global AS terhadap Sistem Perdagangan Internasional Menurut Paradigma Liberalisme Menurut paradigma liberalisme, krisis finansial global AS akan memicu sebuah bentuk kerja sama perdagangan internasional baru yang bersifat lebih proteksionisme di bawah naungan institusi ekonomi internasional lain selain WTO yaitu G-20. Kerja sama ini tetap dimungkinkan karena pada akhirnya setiap negara menyadari bahwa cara terbaik bagi mereka untuk menghindari dampak krisis finansial global yang serupa di masa mendatang adalah dengan membentuk sebuah sistem finansial baru yang melibatkan sistem regulasi yang lebih matang bagi semua negara.
4.3 Dampak Krisis Finansial Global AS terhadap Sistem Perdagangan Internasional Menurut Paradigma Liberalisme Menurut paradigma konstruktivisme, krisis finansial global AS akan memicu pada timbulnya rasa tidak percaya secara kolektif dari masyarakat internasional terhadap sistem perdagangan bebas (kapitalisme). Rasa tidak
65
Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
66
percaya ini diwujudkan dalam bentuk gerakan protes massal yang disebut sebagai Occupy Movement yang bertujuan untuk memprotes ketidakadilan sistem perdagangan bebas yang selalu menguntungkan kelompok elit ekonomi yang hanya membentuk 1% dari populasi masyarakat pada umumnya.
4.4 Tabel Perbandingan Ketiga Paradigma Realisme
Liberalisme
Konstruktivisme
Krisis Finansial Global AS
Krisis Finansial Global AS
Krisis Finansial Global AS
Sistem ekonomi domestik AS melemah (kejatuhan sektor finansial yang diawali dengan subprime mortgage)
Banyak negara yang melanggar prinsip kerja sama ekonomi yang berlandaskan perdagangan bebas di bawah WTO
Timbulnya rasa tidak percaya terhadap sistem perdagangan bebas (liberal) yang disebabkan oleh meningkatnya tingkat pengangguran, kebijakan austerity, serta kesenjangan sosial antara kelompok elit ekonomi dengan kelompok masyarakat luas
Menurunnya hegemoni AS dalam sistem perdagangan internasional
Menguatnya peran Cina dalam sistem perdagangan internasional
Terbentuknya kerja sama ekonomi baru yang lebih berarah proteksionis di bawah kerangka kerja sama G-20
Kerja sama ekonomi baru ini terbentuk sebagai upaya untuk memastikan transparansi dari setiap negara terhadap sistem finansial mereka (memastikan agar negara lain tidak berbuat curang)
Terbentuknya jaringan yang berujung pada timbulnya gerakan Ocuupy Movement
Dari tabel perbandingan di atas, kita dapat melihat bagaimana setiap paradigma HI pada akhirnya mampu menyorot dampak krisis finansial global AS dari tiga perspektif aktor yang berbeda dalam sistem perdagangan internasional
Universitas Indonesia Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
67
yaitu state (negara) untuk pandangan realisme, sistem untuk pandangan liberalisme, dan society (masyarakat) untuk pandangan konstruktivisme. Karena memiliki fokus yang berbeda, setiap paradigma ini memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Untuk paradigma realisme, kelebihan dari teori stabilitas hegemoni adalah bagaimana teori ini mampu menunjukkan karakter komunitas internasional sesuai dengan keadaan yang paling realistis yaitu sebuah sistem internasional yang akan didominasi oleh aktor negara yang memiliki kekuatan politik, ekonomi, dan militer terbesar. Oleh karena itu, teori ini berhasil di dalam menggambarkan dampak dari menurunnya kekuatan aktor yang dominan ini (hegemon) terhadap sistem perdagangan yang dipeloporinya. Akan tetapi, teori ini terlalu berfokus pada upaya untuk menjelaskan upaya dominasi yang mampu dilakukan oleh sebuah hegemon tanpa menganalisis mengapa pada akhirnya hegemon ini terkadang bersedia untuk mengkompromikan beberapa kepentingannya demi mendapatkan dukungan dari negara-negara yang tidak sedominan dirinya. Dengan kata lain, teori ini tidak mampu memasukkan unsur analisis dari faktor lain yang berasal dari aktor non negara. Akibatnya, teori ini tidak dapat menjelaskan mengapa setelah kemunduran AS sebagai hegemon, AS masih tetap menjadi aktor yang dominan di dalam sistem perdagangan internasional. Untuk paradigma liberalisme, kelebihan dari teori liberal institusionalis adalah bagaimana teori ini mampu untuk menganalisis dampak dari krisis finansial global AS dengan menggunakan pandangan yang cukup seimbang karena tidak terlalu berfokus pada perspektif aktor negara tetapi pada perspektif sebuah sistem internasional melalui konsep prisoner’s dilemma. Sayangnya, hal ini jugalah yang menjadi kelemahan teori ini karena pada akhirnya teori ini tidak mampu untuk menjelaskan mengapa kerja sama ekonomi internasional yang dinaungi oleh WTO bisa mengalami kegagalan padahal sudah terdapat norma yang mengikat para negara anggota yang tergabung di dalamnya. Teori ini hanya mampu untuk menjelaskan mengapa sebuah kerja sama dapat dimulai tanpa menganalisis lebih lanjut faktor apa saja yang dibutuhkan untuk membuat kerja sama tersebut bertahan.
Universitas Indonesia Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
68
Untuk paradigma konstruktivisme, kelebihan dari pendekatan analisis jaringan adalah bagaimana pendekatan ini mampu memasukkan perspektif masyarakat yang selama ini dianggap sebagai aktor yang paling tidak berpengaruh dalam sistem internasional di dalam mengalami dampak krisis finansial global AS yang terjadi di tingkat negara. Pendekatan ini mampu menganalisis kestabilan sistem perdagangan internasional dari aspek yang tidak dapat dikuantifikasikan yaitu rasa percaya masyarakat internasional terhadap sistem perdagangan bebas yang diprakarsai oleh aktor negara. Akan tetapi, yang menjadi kelemahan pendekatan ini adalah kurangnya kemampuan untuk mengkuantifikasi faktor sosial yang ada sehingga korelasi di antara komponen yang berupaya untuk dianalisis masih seringkali mengalami ambiguitas.
Universitas Indonesia Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
69
DAFTAR PUSTAKA
Buku: Anheier,Helmut K. dan Hagai Katz. 2003. “Network Approaches to Global Civil”, dalam Mary Kaldor, Helmut Anheier, dan Marlis Glasius (eds), Global Civil Society. Oxford: Oxford University Press. Freeman, Linton. 2006. The Development of Social Network Analysis. Vancouver: Empirical Press. Gilpin, Robert. 2002. “The Rise of American Hegemony," dalam Two Hegemonies: Britain 1846-1914 and the United States 1941-2001 diedit oleh Patrick Karl O'Brien dan Armand Clesse Aldershot: Ashgate Publishing, Ltd. Gilpin, Robert. 1990. War and Change in the International System. Cambridge, 1981. Nye, R. 1990. Bound To Lead. New York. Wallerstein, Immanuel. 1974. The Modern World-System (1). New York/London. Wasserman, Stanley dan Katherine Faust. 1994. Social Network Analysis: Methods and Applications. Cambridge: Cambridge University Press. Jurnal: Juris, Jefferey S. “The New Digital Media and Activist Networking within AntiCorporate Globalization Movements”, dalam Annals of the American Academy of Political and Social Science, Vol. 597, Cultural Production in a Digital Age, (Januari, 2005). Keohane, Robert O. dan Lisa L. Martin, 1995. “The Promise of Institutionalist Theory”, dalam International Security, Vol. 20, No. 1, (Summer 1995). Krasner, Stpehen D. ed. 1982. “International Regimes”, dalam Organization (special issue), Vol. 36, No. 2 (Spring 1982).
International
Mearsheimer, John J. 1994-1995. “The False Promise of International Institutions”, dalam International Security, Vol. 19, No. 3, (Winter, 19941995) O’Brien, Patrick K. dan Geoffrey Allen Pigman. 1992. “Free Trade, British Hegemony and the International Economic Order in the Nineteenth
Universitas Indonesia Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
70
Century” dalam Review of International Studies, Vol. 18, No. 2, (April, 1992). North, Douglass C. dan Robert P. Thomas. 1970. "An Economic Theory of the Growth of the Western World," dalam The Economic History Review, 2nd series, Vol. 23, No. 1 (April 1970). Snidal, D. 1985. “The Limits of Hegemonic Stability”, dalam International Organization, Vol. 39, (1985). Stein, Arthur A. 1984. “ The Hegemon’s Dilemma: Great Britain and the United States, and the International Economic Order” dalam International Organization, Vol. 38, No. 2, (Spring, 1984). Strange, Susan. 1987. “The Persistent Myth of Lost Hegemony”, dalam International Organization, Vol. 41, (1987).
Laporan Ilmiah: Nanto, Dick K. 2009. “The Global Financial Crisis: Analysis and Policy Implications”, Congressional Research Service, (Oktober 2009).
Internet: ___, “Global Financial Crisis – What Caused It and How the World Responded”, diakses dari http://www.canstar.com.au/global-financial-crisis/ diakses pada 18 April 2012 pukul 19.26. Larry Elliott, “Global Financial Crisis: Five Key Stages 2007-2011”, (7 Agustus 2011), diakses dari http://www.guardian.co.uk/business/2011/aug/07/globalfinancial-crisis-key-stages pada 17 April 2012 pukul 20.46 ___, “The Downturn in Facts and Figures”, dalam BBC (21 November 2007), diakses dari http://news.bbc.co.uk/2/hi/7073131.stm pada 22 Juni 2012 pukul 02.51. Stephen Foley, “Crash of a Titan: The Insisde Story of the Fall of Lehman Brothers”, dalam The Independent (7 September 2009), diakses dari http://www.independent.co.uk/news/business/analysis-and-features/crash-of-atitan-the-inside-story-of-the-fall-of-lehman-brothers-1782714.html pada 21 Juni 2012 pukul 23.47.
Universitas Indonesia Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
71
Jamie Oliver and Tony Goodwin, “The King of Subprime”, dikases dari http://www.director.co.uk/ONLINE/2010/11_10_vince_cable_responsible_capital ism.html pada 22 Juni 2012 pukul 00.18 ___, “Case Study: The Collapse of Lehman Brothers”, diakses dari http://www.investopedia.com/articles/economics/09/lehman-brotherscollapse.asp#axzz1yRhJLU7E pada 22 Juni 2012 pukul 00.32 ___, “Global Financial Crisis - What caused it and how the world responded”, diakses dari http://www.canstar.com.au/global-financial-crisis/ pada 22 Juni 2012 pukul 02.09 IMF, “Sharp Rise in Unemployment from Global Recession”, (2 September 2010), diakses dari http://www.imf.org/external/pubs/ft/survey/so/2010/NEW090210A.htm pada 6 Juli 2012 pukul 12.00 ___, “Austerity”, diakses dari http://www.investopedia.com/terms/a/austerity.asp#axzz1zoqKBezA pada 6 Juli 2012 pukul 13.00 Patrick Martin, “Obama, Congress Make New Austerity Plans”, (23 November 2011), diakses dari http://www.wsws.org/articles/2011/nov2011/budg-n23.shtml pada 8 Juli 2012 pukul 17.26 James Boxell, “Sarkozy to Unveil Austerity Budget”, (7 November 2011), diakses dari http://www.irishtimes.com/newspaper/world/2011/1107/1224307165379.html?via =rel pada 8 Juli 2012 pukul 17.33 David DeGraw, “Meet the Global Financial Elites Controlling $46 Trillion in Wealth”, (11 Agustus 2011), diakses dari http://www.alternet.org/investigations/151999/meet_the_global_financial_elites_c ontrolling_$46_trillion_in_wealth?page=entire pada 8 Juli 2012 pukul 18.32
Universitas Indonesia Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012