REORIENTASI PARADIGMA ILMU SOSIAL DAN PARADIGMA PEMBANGUNAN Dalam Konteks untuk Penguatan Kearifan Lokal1 Mustain mashud Pengantar Ilmu-Ilmu sosial (social science) muncul dan berkembang dari negara barat. Dalam sejarah perkembangan keilmuan sosial, terutama sosiologi dan antropologi, muncul dan berkembang sebagai respon terhadap dampak sosial (negatif) atas revolusi industri di Eropa barat, khususnya di Inggris dan Prancis. Pada awal kemunculannya, sampai pada dekade tertentu, sebagai suatu ilmu (science), ilmu-ilmu sosial banyak merujuk pada paradigma makro, suatu paradigma yang dalam melihat dan menganalisis suatu fenomena sosial berdasar pada tataran struktur dan kultur atau kelembagaan (institution). Orientasi paradigma keilmuan seperti itu bisa dimengerti oleh karena pengaruh filsafat dan ilmu alam yang ketika itu memang sangat dominan. Bahkan, sosiologi, diawal kemunculannya oleh August Comte sempat disebut sebagai fisika sosial Konsekuensinya adalah model analisis dan cara pemahaman ilmu-ilmu sosial (khususnya sosiologi) terhadap fenomena sosial banyak menggunakan pola berpikir ilmu fisika dan alam yang berbasis pada pendayagunaan logika formal yang terstruktur secara ketat, terumuskan secara sistematis dan prosedural serta predictable. Itulah sebabnya, mengapa teori-teori sosial yang ketika itu berkembang adalah Teori Evolusi sosial yang kemudian berkembang menjadi Teori Neo-Evolusi sosial. Teori-teori ilmu sosial model evolusi berpola linier acap dipergunakan untuk menjelaskan arah perubahan sosial. Dalam teori evolusi linier a.l. dikemukakan bahwa masyarakat akan terus berubah menurut garis lurus dari titik tertentu (sebut saja 0) menuju ke titik n. Perubahan masyarakat karenanya tidak pernah berbalik, melingkar atau siklus sebagaimana banyak terjadi di negara-negara berkembang seperti Afrika dan Asia Tenggara. Karena perubahan bersifat searah dan berpola linier (karena mengikuti logika ilmu alam yang positivistik), maka perubahan sosial itu, seperti layaknya perubahan alam, mestilah dapat diprediksikan (predictable). Dari sini lah kemudian muncul metode penelitian kuantitatif, suatu metode penelitian yang dalam menjelaskan fenomena sosial banyak menggunakan angka-angka terhadap fakta sosial. Pola berpikir ilmu-ilmu sosial yang positivistik demikian itu dalam prosesnya ‗bersinergi‘ dengan idiologi pembangunan yang pada awal abad 20 menjadi mainstream pembangunan di dunia, modernisasi. Hampir semua program pembangunan di negaranegara berkembang (termasuk Indonesia) secara tak terelakkan mengadopsi pola developmentalism yang berpola linier produk negara-negara barat yang baik dalam teknologi, skill maupun modalnya sangat kuat. Sebagaimana telah kita ketahui bersama dari berbagai teori-teori Sosiologi Pembangunan bahwa pola pembangunan model developmentalism ternyata sangat problematik dan karenanya telah terbukti gagal membawa kesejahteraan pada masyarakat di negara-negara berkembang.
1
Makalah disampaikan pada acara Seminar Nasional: Sumbangan Ilmu-Ilmu Sosial dalam Penguatan Kearifan Lokal oleh FKIP Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, 1 Oktober 2005
2 Model pembangunan gaya positivistik membawa konsekuensi terhadap metodologi yang digunakannya, yakni mengedepankan universalitas, berlingkup luas sehingga mengabaikan terhadap persoalan-persoalan komunitas, lokal dan kepentingankepentingan berskala mikro. Itulah sebabnya mengapa hampir semua kebijakan negara yang berparadigma makro seperti itu seringkali dan atau tidak selalu seiring dengan kebutuhan dan kondisi lokal. Konflik-konflik sosial yang melibatkan antara rakyat dan negara, atau antara rakyat dan swasta yang didukung negara seperti yang terjadi selama ini umumnya bersumber dari persoalan perbedaan kepentingan antara pihak supraordinasi dan rakyat yang tersubordinasi. Sistem pemerintahan yang sentralistik, sebagaimana dipraktekkan Orde Baru, biasanya dibaregi dengan sikap sangat represif dan otoriter sehingga hampir semuanya kebijakannya nyaris tidak ada yang bernuansa lokal. Dari Paradigma Makro ke Mikro Paradigma ilmu sosial makro yang positivistik berseiring dengan munculnya paradigma pembangunan linier melalui arus besar modernisasi. Perubahan paradigma pembangunan dari era orde lama (yang yang berorientasi nasionalis dan dikenal sangat populis) ke orde baru yang lebih berorientasikan pada proyek modernisasi dalam banyak hal telah meyebabkan terjadinya perubahan sosial yang luar biasa bagi rakyat Indonesia. Pilihan modernisasi di berbagai sektor kehidupan, harus diakui, telah menempatkan Indonesia di bawah rezim orde baru menjadi salah satu ―macam Asia‖ ekonomi. Namun, seiring dengan kemajuan pembangunan ekonomi yang dicapainya, ternyata telah pula meninggalkan sejumlah permasalahan bagi rakyat, misalnya persoalan kesenjangan sosial, ketimpangan akses sosial, politik, ekonomi dan budaya; pengangguran, kemiskinan, masalah-masalah sosial, KKN, rezim yang represf dan otoriter, sehingga kesuksesan pembangunan ekonomi yang dicapai selama 32 tahun pemerintahan orde baru harus dibayar mahal oleh pengorbanan rakyat kecil. Kebijakan pembangunan yang berdampak pada marjinalisasi rakyat inilah yang kemudian menyisakan persoalan pelik dan propblematik sehingga sampai pemerintahan pasca orde baru masih sering menimbulkan gerakan-gerakan perlawanan rakyat. Developmentalism yang selama dua dasawarsa terakhir memang telah menjadi ―agama sekuler baru‖ dan telah banyak menyengsarakan rakyat. Apakah pembangunan benar-benar merupakan jawaban untuk memecahkan masalah-masalah bagi rakyat, atau semata-mata merupakan alat untuk menyembunyikan penyakit sebenarnya yang lebih mendasar. Banyak ilmuwan sosial secara kritis meneliti dampak pembangunan, dan banyak penulis menganggap bahwa ide pembangunan justru telah menciptakan kesengsaraan ketimbang memecahkan masalah yang dihadapi rakyat (Faqih, 1996:29). Karena itu tidak salah kalau ada yang berpendapat bahwa ideologi ―pembangunanisme‖ yang berkembang dari teorisasi modernisasi ini sebenarnya adalah discourse mengenai keterbelakangan yang dilakukan oleh negara-negara industri maju dan ditimpakan kepada negara-negara Dunia Ketiga sebagai syarat apabila mereka ingin memperoleh bantuan asing. (Escobar, 1984 seperti dikutip Mas‘oed, 1993: 34). Gerakan sosial yang terjadi di Dunia ketiga seringkali berkaitan secara tidak langsung dengan pendekatan perubahan sosial yang dominan (mainstream approach), yakni perubahan sosial yang di rekayasa oleh negara, melalui apa yang disebut sebagai Mustain.doc/makalah-unlam/011005
3 pembanguan (development). Pada umumnya pelbagai studi tersebut dimaksudkan memahami watak perlawanan dan kritik terhadap modernisasi, yaitu suatu skenario yang diasumsikan dan dirancang untuk membawa kemajuan dan kemakmuran di dunia ketiga. Namun, bagi rakyat kecil, pembangunan justru dipandang sebagai penyebab kemacetan ekonomi, krisis ekologis dan berbagai kesengsaraaan rakyat. Konflik antara rakyat dan negara atau swasta yang didukung negara secara langsung juga berkaitan dengan masuknya sistem (pembangunan: penulis) swasta ke masyarakat yang berbasis pada ekonomi subsisten lokal. Masuknya sistem ekonomi swasta ini juga berarti mulai diperkenalkannya sistem ekonomi uang. Sistem ekonomi swasta dan moneterisasi yang dibawa masuk para pemodal (kapitalis) ke rakyat telah banyak mempengaruhi pola hubungan sosial dari komunalisme lokal ke pola hubungan rasional, seperti terlihat dari cara persewaan alat-alat produksi (seperti tanah, perahu/kapal nelayan, jaring penangkap ikan, dst) memberikan buruh secara upahan dengan uang tunai (fress money) yang semuanya itu lebih mengedepankan petimbanganpertimbangan legal-formal. Selain itu, masuknya sistem ekonomi perkebunan ke kehidupan rakyat marjinal juga telah menyebabkan terjadinya perubahan sosial yang mendasar. Misalnya, munculnya stratifikasi sosial baru, yaitu pengusaha sebagai kelompok minoritas elit ekonomi-politik dan kelompok buruh (pekerja)/penduduk pribumi. Mereka terbentuk dalam status ikatan sosial yang didasarkan pada ikatan ketergantungan antara majikan dan pekerja sebagai ikatan patron-klien (Kusbandriyo, 1996). Pihak pemodal (kapitalis) telah mendayagunakan sistem ekonomi modern yang swastaistik sementara pada saat yang sama rakyat tetap dengan sistem ekonomi pertanian yang tradisional. Maka, terbangunlah --sebagaimana dikemukakan Booke-dualisme ekonomi. Dualisme ekonomi ini, menurut Paige (1975) dalam bukunya Agrarian Revolution: Social Movement and Export Agriculture in the Undedevelopment World, mengakibatkan rendahnya subsistensi rakyat miskin yang pada gilirannya berdampak pada perbedaan-perbedaan konsep secara mendasar antara pihak kapitalis dan rakyat dalam memandang masalah status tanah dan pengusahaannya. Dalam sejarah perkebunan yang bersifat kontraktual dan swastaistik misalnya, selain amat jarang terjadi kepentingan rakyat diperhatikan sebagaimana semestinya, rakyat juga diposisikan sangat rendah (Lanberger, sebagaimana dikutip Kusbandrijo, 1996). Menurut Paige (1975), tuntutan ekonomi komersial untuk mengejar keuntungan cenderung untuk menguasai sebanyak mungkin surplus keuntungan dari pada berbagi keuntungan dengan marjinalatau buruh tani. Perbedaan kepentingan antara rakyat dan negara ini sangat rentan terhadap militansi dan radikalisme rakyat, baik yang secara diam-diam maupun terbuka sebagai bentuk mekanisme survival rakyat marjinal untuk mempertahankan kehidupannya sekaligus menuntut keadilan. Dalam konteks ini, sebagaimana dikatakan Lanberger (1981) bahwa berbagai tekanan yang dilakukan oleh perkebunan yang kapitalistik memposisikan rakyat sebagai klas masyarakat pinggiran, marjinal dan inferior yang dalam prosesnya menjadikan sikap mereka gampang bereaksi secara kolektif. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Scott (1993) bahwa posisi kelompok marjinal yang terpojokkan akan dengan gampangnya melakukan pembrontakan secara kolektif. Ketika ekspansi statis mencapai puncaknya karena keterbatasan lahan, maka strategi untuk memelihara homogenitas sosial diarahkan pada dinamika internal
Mustain.doc/makalah-unlam/011005
4 komunitas sebagaimana dikemukakan Gerzt2. Di tengah proses berbagi kemiskinan ini sesungguhnya mulai berkembang pula adanya pelapisan sosial berdasar pada penguasaan tanah. Seiring dengan itu, juga tengah berlangsung adanya perbedaan akses atas penguasaan tanah makin dominan menjadi dasar differensiasi sosial (Kano, 1984), bahkan konflik di pedesaan kemudian seringkali berpangkal pada masalah penguasaan tanah (Lyon, 1984). Sejarah menunjukkan bahwa dominasi barat yang dibawa kalangan swasta di perkebunan-perkebunan telah menyebabkan goyahnya tatanan masyarakat lokal yang tradisional beserta nilai-nilai tradisinya. Hal ini acapkali menjadi sumber terjadinya gerakan sosial. Sebagai aktifitas kolektif, gerakan sosial bertujuan untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang dicita-citakan, atau setidaknya menolak suatu perubahan yang seringkali dilakukan dengan jalan radikal (termasuk gerakan pembangkangan, penulis) (Sartono, 1987: 151-152). Termasuk ke dalam gerakan radikal disini a.l pembangkangan, penipuan, pemalsuan, kebodohan yang dibuat-buat, pembelotan, pencuri an kecil-kecilan, penyerangan, pelanggaran, pembakaran rumah dengan sengaja, penyelundupan dan pembunuhan secara diam-diam. Tindakan ini dilakukan sebagai alternatif untuk menentang secara terang-terangan dan atau terlalu riskan untuk mengadakan tantang an terbuka ( Scott, 1989). Ketika perasaan kolektif sudah mampu mendorong terjadinya gerakan sosial, maka kecenderungannya hampir sama yakni kemampuan partisipasinya untuk membangkitkan rasa rela ber korban, kecenderungan bertindak secara kompak, fanatis, kebencian, antusiasme, intoleransi dan kesetiaan tunggal. Peserta gerakan sosial adalah orang-orang yang kecewa dan tidak puas (Eric Hoffer, 1988). Dalam kondisi demikian telah terjadi depriviasi relatif, yaitu ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan yang dihadapi (Sylvia, 1984). Apa yang dikemukakan di atas adalah konsekuensi logis dari pola kebijakan negara yang bersifat makro. Dalam analisis sosiologis, kebijakan makro seperti itu tak ubahnya dengan pola berpikir paradigmnatik makro yang menempatkan determinan faktor struktur dan institusi sebagai dasar analisis fenomena sosial. Oleh karena itu adalah missmacht apabila kebijakan pembangunan disusun berdasar pada analisis makro, sementara kondisi eksisting masyarakat begitu majemuk, beragam dan plural. Berdasar atas kelemahan paradigma makro, maka muncullah paradigma sosiologi mikro sebagai alternatif lain yang dinilai lebih sesuai dengan kondisi masyarakat yang heterogen. Pendekatan sosiologi mikro mengakui eksistensi keunikan komunitas-komunitas lokal yang sangat mungkin saling berbeda. Pendekatan ini juga memposisikan komunitas lokal sebagai subyek pembangunan dari pada obyek pembangunan. Konsekuensinya, kebijakan peembangunan mesti lah berasal dan bersumber dari kepentingan dan kebutuhan mereka; bukan dari negara. Kebijakan otonomi daerah, meski sejauh ini masih problematik, boleh dibilang sebagai upaya pengakuan terhadap eksistensi masyarakat daerah dan lokal untuk menyusun dan mengelola pembangunan dari dan untuk masyarakat di daerahnya masing-masing.
2
Menurut Gerzt, masyarakat Jawa, dibawah tekanan penduduk yang terus bertambah sementara sumber daya (tanah) tetap, masyarakat tidak terbelah menjadi dua yakni tuan tanah dan tuna kisma; melainkan tetap mempertahankan homogenitas sosial-ekonominya dsengan cara membagi-bagi ―kueekonomi‖ yang ada, sehingga bagian yang diperoleh masing-masing makin lama makin kecil. Fenomena inilah yang kemudian disebut dengan pemerataan kemiskinan (sharred poverrty) Mustain.doc/makalah-unlam/011005
5
Hubungan Negara – Pasar – Rakyat Problematika kehidupan rakyat miskin dan marjinal adalah konsekuensi logis dari pola hubungan antara negara, pasar (kapitalis) dan rakyat. Manakala hubungan atara ketiga komponen ini tidak seimbang, eskploitatif, dan parsial, maka yang terjadi kemudian adalah munculnya ketidaksenangan, kejengkelan dan gerakan-gerakan perlawanan baik secara tertutup maupun terbuka. Analisis-analisis yang bersifat lokal di era pemerintahan Orde Baru dan periode transisi selama beberapa tahun terakhir seperti dilakukan Mas‘oed (1996), Budiman (1999, 2000), Heryanto (1993, 1996), Sparringa (1998, 1999, 2000b) dan Pabotinggi (1999) misalnya dapat dirujukan untuk memperkaya pemahaman kita terhadap proses perubahan yang tengah terjadi dalam masyarakat, terutama analisisnya tentang perkembangan dinamika sosial masyarakat lokal di pedesaan yang sedang mengalami perubahan—yang antara lain ditandai oleh munculnya perilaku-perilaku antagonisme dan konflik sosial yang multidimensi sebagai upaya menemukan ada tidaknya pola-pola umum di samping yang khusus dalam proses itu (Roberts, 1991; Neocleous, 1995, Steger and Lind, 1999). Termasuk di dalamnya adalah munculnya berbagai protest movement yang diorganisasikan oleh komunitas-komunitas lokal seperti komunitas petani. Dalam konteks teoritis semacam ini, konsep-konsep dasar yang menjelaskan berbagai bentuk resistensi marjinaltermasuk yang melibatkan tindakan-tindakan kekerasan, terutama yang dilakukan secara kolektif, juga dinilai penting untuk dirujuk. Dalam bentuk yang lebih luas, seluruh analisis tentang konflik, integrasi dan disintegrasi, baik yang disumbangkan oleh para penganut aliran struktural konflik3 maupun struktural fungsional, juga dapat disimak untuk membantu memahami fenomena di atas. Dalam konteks ini sangat mungkin faktor ideologi dan elit dalam kompetisi sumber-sumber kekuasaan dan perjuangan ideologis dalam perspektif makro maupun mikro dipakai sebagai alat analisis data (Giddens, 1995; Turner, 1996). Pada tingkat individu, berbagai fenomena yang berhubungan dengan prosesproses atribusi dan persepsi, prasangka sosial, alienasi, frustrasi, dan agresi, dilihat sebagai bagian dari pergumulan individu menemukan makna sosial yang terlahir dari interaksi di antara agen dan struktur. Pemahaman teoritis yang berasal dari perspektif interaksionisme simbolik, konstruktivis dan interpretatif (Collin, 1997) juga dimungkinkan untuk dipertimbangkan dirujuk sebagai dasar mengembangkan analisis. Dalam konteks hubungan antara negara dan petani, nelayan, buruh yang umumnya berposisi marjinal dan tersubordinasi oleh kekuasaan negara, sebaliknya negara berada dalam posisi supraordinasi dengan segala kekuasaan yang terpusat (Trijono, 1994:73)
3
Perspektif struktural konflik melihat persoalan konflik antara rakyat marjinaldan negara tersebut lebih sebagai suatu proses sosial saling memperebutkan sumber-sumber ekonomi dan kekuasaan politik secara kompetitif. Salah satu varian dari aliran pemikiran ini—sebagaimana dikemukakan Sparringa, 2000) melihat konflik di tengah masyarakat sebagai bagian dari perjuangan kekuasaan yang lebih luas, terutama di kalangan para elit politiknya. Namun demikian, masih ada beberapa aliran pemikiran teoritis lain (pasca 1990-an) yang menolak determinisme struktur sebagai pola dominan dalam menjelaskan perilaku: mulai dari teori kritis hermeneuti, Civil Society ala Habermas, Agency vs structure ala Giddens sampai dengan power/knowledge ala Foucault (Sparringa, 2000; Siahaan, 1985). Mustain.doc/makalah-unlam/011005
6 PASAR
NEGARA
Harga Jual
INPUT-Saprotan
PETANI
KONSUMEN
Analisis tentang hubungan antara negara, pasar dan rakyat adalah model analisis politik ekonomi. Analaisis politik ekonomi selalu bertumpu pada prinsip basis struktural dari kepentingan itu apa, berada dimana dan oleh siapa. Hubungan antara rakyat dan pasar dalam suatu masyarakat merupakan analisis kebijakan negara yang acapkali bermaksud baik, namun dalam prosesnya menjadi problematik dan diselewengkan karena adanya kepentingan-kepentingan tertentu (Bates, 1981). Kebijakan sektor pertanian misalnya, dengan pasar input, semua kebutuhan bahan saprotan (sarana produksi pertanian) dipasok oleh sumber tertentu. Demikian halnya ketika panen, juga akan dijual ke orang (pasar) tertentu. Apalagi, jika kedua pasar ini (input dan out put) dikuasai oleh orang sama: monompoli dan monopsoni. Intervensi negara yang semula bermasud baik membantu petani, hanya mungkin dilakukan melaui dua hal: intervensi pasar input dan intervensi pasar output. Namun, pemerintah cenderung memilih intervensi dengan cara pertama (intervensi pasar input) dari pada ouptput. Sebab, jika out put semua orang bisa menjual barang, dengan harga yang tinggi atas bantuan pemerintah, dan karena itu pemerintah tidak bisa memasukkan kepentingannya. Tetapi, jika cara pertama yang dipilih, pemerintah bisa menitipkan kepentingannya (politik, sosial, ekonomi, dsb). Jadi intervensi kebijakan publik negara yang sesungguhnya bermaksud baik, menjadi sumber persoalan, dan dalam kenyataan nya juga menjadi sumber kejengkelan dan ketidakpuasan rakyat, karena adanya titipan-titipan kepentingan negara. Apalagi jika, titipan kepentingan itu ditumpangi lagi oleh kepentingan pihak lain, baik swasta, politik, kelompok kepentingan lain, dsb. Persoalannya menjadi semakin problematik manakala format bantuan intervensi negara tersebut disusun bersamaan dengan paket kebijakan yang didalamnya terlalu banyak meng-akomodasi kepentingan kelompok tertentu (pasar misalnya). Harus diakui bahwa ke depan peran kapitalis global sungguh determinan dalam mewarnai (bahkan menentukan) coral dan bahkan arah pembangunan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Pilihan kebijakan pembangunan yang selama ini dilakukan oleh Indonesia, terutama pada era Orde Baru yang developmentalis adalah ditopang oleh investasi modal asing secara besar-besaran melalui industrialisasi. Konsekuensinya kebutuhan lahan atau tanah cukup besar sebagai tempat untuk melakukan investasi modal guna mengembangkan kegiatan usaha yang dilakukan. Berkaitan dengan itu maka negara memberikan jaminan memfasilitasi kebutuhan lahan tersebut, yang pada akhirnya memunculkan konflik pertanahan antara rakyat berhadap-
Mustain.doc/makalah-unlam/011005
7 hadapan dengan negara yang ditopang oleh perangkatnya dalam hal ini birokrasi dan tentara.
Dewan Pemasaran
Negara
Investor dan Industri Manufaktur Kota
Penyediaan bantuan modal Pinjaman lunak Menjamin bahan-bahan produksi dari hasil pertanian Dan, sifatnya resmi
PETANI
Kapitalisme Global Globalisasi adalah akibat langsung dari modernisasi. Modernisasi, sekulerisasi, dan globalisasi memiliki keterkaitan hubungan terhadap pola-pola keberagamaan masyarakat. Transformasi struktur sosial dan ide-ide yang dimulai di Eropa barat telah mengakibatkan munculnya modernisasi di seluruh penjuru dunia, khususnya dunia ekonomi kapitalis, sistem politik akan kedaulatan negara, ilmu pengetahuan dan teknologi, kesehatan, pendidikan dan boleh jadi sistem media massa. Salah satu akibat dari perluasan global dan kekuasan masyarakat Barat adalah penyebaran nilai-nilai yang dikandungnya. Khususnya mangenai persamaan dan kemajuan yang secara bertahap menjadi gejala yang terkenal dalam perspektif globalisasi. Kebijakan pembangunan bernuansakan kekuatan global di Indonesia antara lain dapat dilihat dari kebijakan pertanahan sebagai upaya mendukung pertumbuhan ekonomi yang cepat (Mac. Andrew 1986), yang ditujukan untuk kepentingan berbagai kebutuhan pembangunan sektoral (pertanian dan industri). Kebijakan ini jelas memperlihatkan pergeseran fokus kebijakan yang ketika jaman orde lama lebih ditujukan untuk melindungi rakyat (populisme), ke fasilitasi pemilik modal dalam rangka mengejar pertumbuhan ekonomi (kapitalisme). Itulah sebabnya mengapa sejak tahun 1980-an kebijakan pertanahan era Orde Baru lebih ditujukan untuk memecahkan persoalan pertanahan yang menghambat pelaksanaan kebijakan pembangunan. Karena pendekatannya kapitalistik, dan ketersediaan tanah menjadi prasyarat beroperasinya industri, maka tanah menjadi komoditas: siapa pun yang memiliki uang akan menguasai dan bahkan memiliki tanah tanpa harus dibatasi. Maka muncullah pasar tanah, yang ironisnya, semuanya itu didukung oleh sejumlah kebijakan negara4. 4
Beberapa produk kebijakan pemerintahan yang menyokong bagi pembentukan pasar tanah. Misalnya adalah sebagai berikut: Pertama, Meningkatkan status institusi Pengelola Pertanahan dari Dirjen Agraria - Departemen Dalam Negeri ke Badan Pertanahan Nasional. Melalui Keppres No.26/1988, Badan Pertanahan Nasional dibentuk untuk meningkatkan perannya sebagai pengada tanah bagi pembangunan, menggantikan Dirjen Agraria Depatemen dalam Negeri; Kedua, Perubahan Konsep tentang Tanah: Menuju Konsep Tanah sebagai Komoditi Strategis (berasal dari konsep kapitalis) menggantikan konsep tanah berfungsi sosial (sesuai ketentuan lokal); Ketiga, Mengubah ‗Payung‘ Undang-undang Induk dari ―UUPA‖ ke ―UUTR‖. Dengan disahkannya Undang-undang No.24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, Orde Baru memasuki suatu kecenderungan baru dalam kebijakan pertanahan tentang pengadaan tanah. Mustain.doc/makalah-unlam/011005
8 Sebagaimana disebutkan di depan bahwa ide developmentalism ironisnya bukan sepenuhnya keputusan elit negara di Jakarta, melainkan hasil konstruksi kekuatan capital global (Fauzi, 2001: 286) yang ternyata sangat problematik bagi petani. 1 Studi Bank Dunia tahun 1991, dilaporkan dalam ―Indonesia: Land Resource Management and Planning” merekomendasikan penggunaan mekanisme-mekanisme pasar yang didasarkan pada harga (tanah) yang wajar, dan percepatan pendaftaran tanah. Agenda tersebut didasari oleh dua keprihatinan: pertama, adalah pengadaan tanah (land acquisition), yang (acapkali tak lancar) memperlambat sejumlah proyek pembangunan insfrastruktur perkotaan dan pembangunan pedesaan, serta menghasilkan sejumlah ketegangan sosial; kedua, rencana tata ruang atau tata guna tanah yang disebabkan oleh konflik antar permintaan tanah dari berbagai sektor, seperti kehutanan, pertanian, perkotaan, industri, dan pertambangan -- yang tidak selalu dapat dipecahkan secara efektif dengan kerangka kebijakan pertanahan yang ada. Kedua hal tersebut rupanya merupakan kendala langsung dari proyek- proyek yang dibiayai oleh hutang Bank Dunia (dan Asian Development Bank -ADB) -- sebagaimana dikemukakan oleh dokumen resmi ADB; ―Pengalaman-pengalaman menunjukkan bahwa implementasi sejumlah besar proyek-proyek yang dibiayai oleh (Asian Development) Bank dan World Bank pada berbagai sektor benar-benar dipengaruhi oleh dua faktor utama, yakni kesulitan pengadaan tanah ...‖ Dari sejumlah keterangan di atas, jelas bahwa kebijakan pertanahan pemerintah Indonesia dalam mengatasi masalah pertanahan sangat terkait erat dengan pengaruh internasional -- terutama MultiDevelopment Bank, terutama Bank Dunia yang kita tahu memimpin negara-negara yang tergabung dalam CGI (Consultative Group on Indonesia). Apakah pembangunan benar-benar merupakan jawaban untuk memecah kan masalah-masalah bagi rakyat, atau semata-mata merupakan alat untuk menyembunyikan penyakit sebenarnya yang lebih mendasar (Faqih, 1996:29). Karena itu tidak salah kalau ada yang berpendapat bahwa ideologi ―pembangunan-isme‖ yang berkembang dari teorisasi modernisasi ini sebenarnya adalah discourse mengenai keterbelakangan yang dilakukan oleh negara-negara industri maju dan ditimpakan kepada negara-negara Dunia Ketiga sebagai syarat apabila mereka ingin memperoleh bantuan asing (Mas‘oed, 1993: 34). Kalangan bisnis global, sangat berkepentingan dengan terwujudnya suatu perubahan pemerintah Indonesia yang bersih, baik dan berwibawa (clean and good Dengan demikian, semua peraturan perundang-undangan di atas yang menyangkut aspek pemanfaatan ruang dapat terangkum dalam satu sistem hukum penataan ruang Indonesia.‖ Keempat, Dikeluarkannya Kebijakan Pertanahan Pro-pasar, seperti Kepres No.55 tahun 1993, Permenag/Kepala BPN No.1 tahun 1994 intinya untuk kepentingan bisnis, pengambilalihan tanah harus dilakukan secara langsung antara pihak swasta dengan para pemegang hak atas tanah dan bangunan serta tanaman dengan cara jual-beli, tukar menukar atau cara lain atas dasar musawarah (pasal 2 ayat (3) Keppres No.55 Tahun 1993)‖, tidak lagi mengikuti prosedur sebagaimana diatur dalam Permendagri No.15 tahun 1975 dan berdasarkan Permendagri No.2 tahun 1976. Pernyataan-pernyataan Menteri Agraria/Kepala BPN di awal April 1996 ini tentang swastanisasi lembaga pendaftaran tanah, merupakan suatu awal dari akan munculnya kebijakan pro-pasar dan Kelima, melaksanakan Proyek Administrasi Pertanahan (Land Administration Project) -PAP. Upaya besar yang dilakukan oleh kolaborasi antara pemerintah Indonesia, Bank Dunia dan Australian Aid adalah Proyek Administratsi Pertanahan. Asumsinya adalah dengan status penguasaan yang jelas akan dapat mengurangi biaya dari mata rantai lain, seperti broker-rent dan bureaucratic-rent, yang menyebabkan harga tanah bagi investor semakin melambung. Secara tidak langsung, pendaftaran ini lebih ditujukan untuk menciptakan tertib administrasi dan memudahkan proses pengadaan tanah untuk kepentingan investasi melalui pasar tanah. Dan ini berarti pula bahwa para pemilik modal akan menanamkan modalnya dalam bentuk tanah karena pada kondisi luas tanah yang semakin terbatas investasi berupa tanah akan sangat menguntungkan. Mustain.doc/makalah-unlam/011005
9 government). Agar tercipta pemerintah yang bersih dan berwibawa, maka rakyat diharapkan bisa mengontrol aktifitas pemerintahan. Lebih dari itu, diperlukan juga adanya pengakuan bahwa semua pihak, termasuk mereka, berhak atas penguasaan dan akses kepada sumber-sumber agraria. Hal ini oleh investor dinilai sangat penting, karena kelak ia bisa membangun kontak langsung rakyat, baik orang per orang maupun kelompok; tidak perlu lagi melalui negara. Inilah yang kemudian disebut dengan agenda globalisasi ekonomi di sektor agraria yang didorong oleh prinisp pasar bebas. Formalisasi untuk mempertegas kepastian hukum (seperti serifikasi tanah) hak-hak semua orang secara hukum menjadi agenda utama lainnya dari kelompon bisnis ini (Fauzi, 1999:279). Mereka tidak ikut camput dalam urusan kebijakan negara, hanya saja merupakan kebijakan yang bersahabat dengan pasar. Dalam kaitan dengan hal ini, sejarah sosial5 telah membuktikan bahwa interaksi di dalam pasar, walau bagaimanapun, akan dimenangkan oleh pihak-pihak yang memiliki kekuatan modal lebih dibanding pihak lainnya (Fauzi, 1999:281). Mereka membutuhan pemerintahan yang “clean and good government”, pemerintah yang bersih dan baik serta tidak korup. Karena itu, mereka menginginkan agar rakyat bisa mengontrol aktifitas pemerintahan –agar tidak KKN dan menyalahgunakan kekuasan—di satu sisi, dan di sisi lain, agar aktifitas investasi mereka bisa bebas dari praktek-praktek korupsi dan pengutan-pungutan yang memberatkan investasi. Itulah sebabnya mengapa gerakan menciptakan suatu iklim investasi yang bebas dari intervensi negara (terutama aparat negaranya), misalnya yang berkaitan dengan pengadaan tanah untuk kegiatan investasi maupun dalam proses eksploitasi sumber-sumber agraria (Fauzi, 1999:278). Dengan demikian, Dewan Pemasaran menjadi instrumen redistribusi pendapatan dari pertanian untuk kepentingan industri. Selain itu, juga diperlukan adanya pengakuan bahwa semua pihak, termasuk investor, atas penguasaan dan akses kepada sumber-sumber agraria. Hal ini oleh investor dinilai sangat penting, karena kelak ia bisa berhubungan langsung dengan masyarakat, baik orang per orang maupun kelompok; tidak perlu lagi ada proteksi, batasan-batasan, perlindungan, intervensi maupun manipulasi dari negara. Kondisi seperti inilah yang kemudian disebut dengan agenda globalisasi ekonomi di sektor agraria yang didorong oleh prinsip pasar bebas. Karena itu, formalisasi (sertifikasi tanah?) hak-hak semua orang secara hukum menjadi agenda utama lainnya dari kelompon bisnis ini (Fauzi, 1999:279). Agenda utama bisnis global tersebut sesungguhnya lebih didorong oleh kepentingan bisnis, perdagangan dan investasi mereka agar tidak direcoki oleh kekuatankekuatan lain –seperti negara dengan aparaturnya-- di luar kekuatan pasar itu sendiri. Selain itu, bagaimana menciptakan iklim dan kondisi usaha yang lebih efisien dan menguntungkan dalam usaha perdagangan mereka dan bisa mengeruk keuntungan lebih banyak lagi. Mereka bukan bicara keadilan agraria, melainkan hanya keadilan dan kesamaan dalam berusaha atau berbisnis, atau singkatnya bagaimana menciptakan pasar yang 5
Sejarah sosial didunia telah membuktikan bagaimana kekuatan-kekuatan modal asing yang hendak mengintervensi pasar lokal atau hendak memperluas jaringan perdagangannya senayatanya telah merombak wajah peradaban umat manusia dari satu model penindasan feodalisme ke penindasan lain yang lebih kejam, yakni kapitalisme kolonial.. Yang menarik, peridode penjajahan, sebetulnya justru dimulai ketika ada kehendak untuk ikut masuk dalam pasar dan perdagangan internasional yang bebas. Akankah gerakan globalisasi perdagangan bebas sekarang ini merupakan bentuk pengulangan di era kolonialisasi masa lalu? Mustain.doc/makalah-unlam/011005
10 terbuka di lapangan agraria. Apapun kebijakan negara tidak masalah, asal kan kebijakan yang bersahabat dengan pasar.(Fauzi, 1999:280). Sekali lagi, semuanya itu dilakukan dalam konteks penciptaan pasar terbuka di sektor agraria. Dalam kaitan dengan hal ini, sejarah sosial6 telah membuktikan bahwa interaksi di dalam pasar, walau bagaimanapun, akan dimenangkan oleh pihak-pihak yang memiliki kekuatan modal lebih dibanding pihak lain Kebijakan pertanahan Orde Baru mulai memasuki tahapan baru, seiring dengan arus besar yang bernama: Deregulasi. Asal usul „deregulasi‟ ini dapat ditelusuri dari Structural Adjustment Programs (SAP) dari Bank Dunia terhadap ekonomi politik negara-negara penghutang -- termasuk Orde Baru. SAP adalah formula untuk mengatasi krisis finansial. Bagi Bank Dunia, krisis finansial ini bersifat vital, karena berkait langsung dengan kemampuan negara tersebut membayar kembali hutang-hutangnya. Arus yang dinamakan ‗deregulasi‘ tersebut mempertegas aktor pokok yang bermain dalam pembentukan kebijakan Orde Baru, yakni Bank Dunia. Dalam buku State and Civil Society in Indonesia, Arief Budiman memberikan gambaran menyeluruh dan dinamis tentang aktor-aktor pokok pembentuk termaksud: ―... Menurut sejumlah ekonom dan ilmuan sosial dalam Diskusi Panel Kompas, pembangunan ekonomi dewasa ini menghasilkan keuntungan terutama bagi tiga kelompok sosial: pelaku bisnis, birokrat dan kaum profesional (Kompas, 16 Agustus 1989). Dengan menguatkan pengamatan ini, perlu ditambahkan modal asing sebagai komponen lain yang mendapatkan keuntungan dari situasi sekarang.
Proses pendaftaran tanah yang dimandatkan oleh PP No.10 tahun 19617 sulit ditunaikan oleh pemerintah. Sejak dahulu, strategi nyata BPN (dahulu Dirjen Agraria Departemen dalam Negeri) adalah penyediaan tanah untuk kepentingan pembangunan. Land Registration (pendaftaran tanah) ini juga akan menghasilkan penguatan terhadap struktur penguasaan yang timpang. Penguasaan tanah yang semakin timpang diperkuat dengan adanya registrasi model PAP ini. Berbeda halnya dengan pendaftaran tanah yang diamanatkan oleh PP No.10 tahun 1961 yang berorientasi pada penataan penguasaan tanah yang timpang melalui program landreform. Secara formal, PAP memang akan mengubah bentuk sengketa tanah: Dari sengketa yang bersifat ekstraekonomi menjadi sengketa yang bersifat ‗ekonomi‘. Dasar dari sengketanya tetap sama, yakni suatu penguasaan tanah yang timpang. Namun secara keseluruhan, skenario ini tidak akan terwujud, karena watak kebijakan pemerintah dalam pengadaan tanah untuk pembangunan masih ambivalen: di satu pihak pemerintah memproduksi sejumlah kebijakan pro-intervensi negara, seperti kelembagaan Ijin Lokasi; di pihak lain
6
Sejarah sosial didunia telah membuktikan bagaimana kekuatan-kekuatan modal asing yang hendak mengintervensi pasar lokal atau hendak memperluas jaringan perdagangannya senayatanya telah merombak wajah peradaban umat manusia dari satu model penindasan feodalisme ke penindasan lain yang lebih kejam, yakni kapitalisme kolonial.. Yang menarik, peridode penjajahan, sebetulnya justru dimulai ketika ada kehendak untuk ikut masuk dalam pasar dan perdagangan internasional yang bebas. Akankah gerakan globalisasi perdagangan bebas sekarang ini merupakan bentuk pengulangan di era kolonialisasi masa lalu? 7 Sementara itu, PP No.10 tahun 1961 merupakan paket pendaftaran tanah untuk kepentingan penataan penguasaan tanah melalui landreform. Saat ini, diakui secara resmi bahwa setelah 33 tahun peraturan pendaftaran tanah tersebut dilansir, dari sekitar 54 juta bidang tanah hak yang memenuhi syarat untuk didaftar, baru lebih kurang 13 juta bidang tanah yang sudah didaftar. Jadi, data resmi ini menunjukkan bahwa hanya sekitar 24% dari persil tanah-tanah di Indonesia yang terdaftar di BPN. Keadaan ini merupakan masalah bagi penciptaan pasar tanah Mustain.doc/makalah-unlam/011005
11 diproduksi sejumlah kebijakan pro-pasar, seperti kelembagaan pendaftaran tanah, hak tanggungan. Menurut analisis Mazhab Marxian atau Ekonomi Politik, konflik agraria berlangsung dalam konteks bangkitnya kekuasaan modal yang menghancurkan tatanan masyarakat lokal-prakapitalis. Bagaimana watak dari modal (character of capital) telah merusak tatanan lama. Merumuskan kembali inti pandangan Karl Marx dalam bukunya Capital, Kautski, melalui buku, The Agrarian Question, menyatakan: "Apakah modal, dan dengan cara bagaimana modal tersebut, mengambil alih- pertanian, mengubahnya secara mendasar, menghancurkan bentuk-bentuk lain dari produksi dan kemiskinannya, dan mendirikan bentuk yang baru di atasnya. Pandangan yang mengutamakan bagaimana bekerjanya modal ini berpayung pada konsep primitive accumulation8. Dalam konteks sistemik, terjadi transformasi dari ekonomi produksi untuk subsistensi menjadi ekonomi produksi komoditi. Dominasi absolut dari ekonomi produksi komoditi merupakan salah satu ciri pokok kapitalisme. Akumulasi primitif merupakan transformasi massif dari kekayaan non-modal menjadi modal dalam sirkuit produksi kapitalis di satu pihak; dan di pihak lain, transformasi dari kelas petani yang pada gilirannya menuju terbentuknya kelas buruh. Pandangan ini percaya bahwa kenyataan yang tidak bisa diingkari adalah modal menuntut untuk digandakan terus-menerus. Inilah yang disebut sebagai keharusan akumulasi modal. Para pengusaha modal besar berkepentingan mengubah uang mereka menjadi modal, untuk kemudian dalam sirkuit produksi kapitalis, mereka memperoleh surplus dalam bentuk uang kembali yang lebih besar lagi. Dengan demikian, apa yang sesungguhnya menjadi penyebab persengketa an sumber-sumber produksi lokal (agraria) bukanlah kelangkaan sumber-sumber agraria; akan tetapi akibat ekspansi besar-besaran dari modal, yang difasilitasi oleh institusiinstitusi negara. Pola sengketa agraria di masa Orde Baru ini, membantah asumsi pokok dari mazhab Smithian dan Ricardian, yang mengabaikan bagaimana modal bekerja untuk merusak hubungan sosial masyarakat yang lama, dan untuk selanjutnya masyarakat berada dalam kontradiksi sistem kapitalisme yang relatif menetap (bukan keseimbangan yang diatur oleh ‗tangan-tangan yang tidak kentara‘), yakni antara modal dan tenaga kerja; dan antara modal kecil dan modal besar. Kedua, dengan demikian, dapat dianggap bahwa konflik agraria merupakan satu ciri pokok dalam perubahan struktural yang terjadi dalam era Orde Baru. Perubahan struktural yang dimaksud hanya bisa dimengerti baik, apabila diletakkan dalam konteks pembentukan modal (capital formation) dalam pembangunan kapitalisme, dengan berbagai dimensinya. Latar belakang kebijakan pertanahan seperti itulah yang menjadi konteks gerakan rakyat kecil di pedesaan yang umumnya sebagai petani dalam menghadapi kekuasaan negara (sejak) kolonial dalam memperebutkan hak milik dan penguasaan tanah. Di samping latar belakang itu, Sartono Kartodirdjo, (1973) melihat bahwa faktor penetrasi ekonomi kolonial terhadap ekonomi desa, kepemimpinan para kyai dan ustadz, ideologi mesianisme, nativisme dan perang suci serta lingkungan budaya yang kondusif telah menjadi "amunisi" yang memungkinkan terjadinya berbagai perlawanan petani terhadap negara. 8
Akumulasi primitif adalah suatu proses awal dari berkembangnya kapitalisme, yang ditandai oleh dua ciri transformasi: (i) kekayaan alam diubah menjadi modal dalam ekonomi produksi kapitalis; dan (ii) kaum petani diubah menjadi buruh upahan. Ini adalah proses yang ditandai dengan kebrutalan dan perampasan harta benda secara kekerasan. Mustain.doc/makalah-unlam/011005
12 Dengan berbagai kebijakan seperti itu maka sempurnalah masyarakat miskin di perdesaan steril dari dinamika politik nasional dan sebaliknya ia menjadi objek pembangunan (baca: rekayasa) rezim sentralistis Orde baru. Pada masa Orba orientasi kebijakan pertanahan adalah pengadaan tanah untuk investasi dengan sifatnya yang kapitalistik, strategi pemerintah adalah pengambilan tanah rakyat dalam rangka pembangunan industri tanpa penataan struktur. Melalui birokratisasi dan korporatisasi negara, peran negara secara sistematik didesain untuk mendukung kepentingan kapital dan menempatkan kebijaksanaan peningkatan kesejahteraan petani pemilik tanah ke posisi pinggiran. Dalam konteks itulah problematika dan kebijakan agraris sepanjang Orba menimbulkan berbagai pergolakan petani di berbagai pelosok di Indonesia. Dengan demikian pertentangan dan konflik agraria lebih sering merupakan pertentangan antara pemilik modal (kelas-kelas kapitalis) dengan petani kecil desa (apakah itu kaum tani atau masyarakat adat). Struktur kapitalisme yang tercipta saat ini merupakan struktur ekonomi yang dicirikan oleh kepentingan kela-kelas kapitalis, baik di desa maupun di kota, melawan kepentingan petani kecil dan menengah. Kebijakan pembangunan yangberorientasi terhadai pertumbuhan ekonomi melalui industrialisasi dengan kekuatan pendudukung modal asing (capital global) dalam kenyataannya sangat problematik bagi rakyat lokal. Komoditasi tanah telah memunculkan pasar tanah. Kecenderungannya, investor juga tertarik menanamkan modalnya dalam bentuk tanah karena akan sangat menguntungkan. Proses ini tanpa disadari telah mengintegrasikan petani dengan tanahnya ke dalam sistem kapitalisme melalui ekpansi pasar dengan fasilitas intervensi kebijakan negara. Idiologi pembangunan telah memarjinalisasi petani karena tanah mereka telah diklaim sebagai milik negara yang pengalihannya tanpa melalui proses dialog (Zakaria, 2000: 23-25). Menariknya, di era pasca perang dingin, intervensi kekuatan dan kekuaasan bukan saja (lagi) oleh negara, melainkan lebih dari pasar. Kalangan bisnis global, tak mau lagi direcoki dengan praktek-praktek korupsi aparat negara sehingga sangat berkepentingan mewujudkan pemerintah Indonesia yang bersih (clean and good government) agar investasi mereka di Indonesia berjalan lancar. Untuk itu, mereka juga menginginkan agar rakyat bisa mengontrol aktifitas pemerintahan. Selain itu, mereka juga memerlukan adanya pengakuan bahwa semua pihak, termasuk investor, berhak atas penguasaan dan akses kepada sumber-sumber agraria (Fauzi, 1999). Hal ini oleh investor dinilai sangat penting, karena kelak ia bisa berhubungan langsung dengan masyarakat, baik orang per orang maupun kelompok; tidak perlu ada proteksi lagi, batasan-batasan, perlindungan, intervensi maupun manipulasi dari negara. Inilah yang kemudian disebut dengan agenda globalisasi ekonomi di sektor agraria yang didorong oleh prinsip pasar bebas. Karena itu, formalisasi (serifikasi tanah?) hak-hak semua orang secara hukum menjadi agenda utama lainnya dari kelompon bisnis ini (Castells, 1996; Khor, 2002; Setiawan, 2001). Apapun kebijakan negara tidak masalah, asalkan kebijakan yang bersahabat dengan pasar. Dalam kaitan dengan hal ini, sejarah sosial telah membuktikan bahwa interaksi di dalam pasar, walau bagaimanapun, akan dimenangkan oleh pihak-pihak yang memiliki kekuatan modal lebih dibanding pihak lainnya (Fauzi, 1999:281). Berdasar kecenderungan seperti itu, maka yang dihadapi petani tidak saja negara (yang kian melemah peranannya), tetapi juga kekuatan pasar global (global capitalism) Mustain.doc/makalah-unlam/011005
13 yang semakin kuat. Jika di era perang dingin dimana kekuasaan orde baru begitu kuat, maka negara –dengan aparat-aparatnya yang tersebar sampai di pelosok pedesaan menjadi agen pembangunan secara efektif dan efisien. Maka di era pasca perang dingin, justru kekuatan pasar yang semakin merajelela kekuatannya tanpa bisa dikontrol. Sebab, pasar mampu dan dengan leluasa membentuk dan menawarkan sesuatu yang menguntungkan kepada siapa saja (bisa individual, kelompok, organisasi sosial keagamaan dan bahkan pemerintahan lokal) untuk bisa menjadi agen kepentingannya. Kehidupan rakyat yang sebelumnya dihantui ketidakjelasan (unclearly), dengan demikian kian diperparah dengan rasa ketidakmenentuan (uncertanily). Oleh karena berbagai tekanan yang tidak saja dari negara melainkan juga dari kekuatan pasar global. Kasus-kasus gerakan perlawanan petani terhadap negara (dan kini juga swasta) yang keras dan cenderung radikal bahkan penuh anarkis boleh jadi berkaitan oleh semakin kuatnya tekanan struktur sosial yang menghimpit kehidupan masyarakat sehari-hari, seperti perlakuan tidak adil, tidak jujur dan pemaksaan-pemaksaan kehendak oleh sekelompok kecil orang (yang dekat dan atau mengatasnamakan kepentingan negara dan umum) yang mempunyai kepentingan. Para ahli sosiologi politik seperti O‘Donnell dan Schmitter (1986), Huntington (1991), Zalaquett (1989), dan Goodwin and Nacht (1995) umumnya memahami permasalahan mendasar yang dihadapi oleh rakyat yang sedang mengalami transisi, seperti halnya perubahan dari rejim otoritarian ke rejim yang lebih demokratis, khususnya dalam menganalisis berkembang nya kecenderungan global pasca-perang dingin yang dialami banyak negara bangsa (nation state) sejak satu dasa warsa terakhir ini. Perkembangan hubungan tataran global perlu dicermati karena ternyata kebijakan politik ekonomi global pasca perang dingin secara signifikan berpengaruh terhadap kebijakan ekonomi di negara-negara ber kembang, yang menariknya kebijakan ini tidak saja pada level negara, melainkan bisa langsung mempengaruhi kehidupan rakyat di pedesaan.
Ilmu Sosial dan Kearifan Lokal Unsur dan dimensi lokalitas untuk konteks masyarakat Indonesia adalah realitas obyektif yang sudah lebih dahulu ada sebelum negara yang namanya Indonesia (state) berdiri. Artinya, masyarakat lokal yang sering disebut suku bangsa (nation) yang jumlah cukup banyak merupakan basis kultural bagi eksistensi negara. Keragaman suku bangsa yang begitu beragam, dengan keunikannya masing-masing sudah tentu mempunyai sistem kehidupan sosial budayanya yang khas dan otonom. Tetapi semua karakteristik dan keunikan masing-masing nations itu tergradasi oleh kebijakan ‗penyeragaman‘ oleh negara yang sentralistik. Polarisasi antar segmen kehidupan sosial merambah di hampir semua bidang kehidupan masyarakat yang pada gilirannya mendekonstruksi pola hubungan sosial lokal. Paling tidak terdapat dua faktor penyebab terjadinya polarisasi pergaulan sosial dikotomik antara rakyat dan "mereka" yang diuntungkan dengan kebijakan negara, yakni transformasi sosial dan dosa politik Ode Baru. Akibat transformasi sosial -perubahan dari masyarakat tradisional ke pasca tradisional- yang ternyata lebih banyak mendatangkan kecemasan dibanding kesempatan bisa meraih kemakmuran. Cara hidup yang sudah terbangun dan menguntungkan semua warga menjadi ambruk. Akibatnya, terjadilah disorientasi nilai dan norma, hilangnya peluang mencari nafkah dan pekerjaan, bubarnya jaringan sosial seperti yang biasa terjadi dalam setiap urbanisasi atau praktik gusur-menggusur. Ujung-ujungnya, muncullah situasi yang tak menunjang perluasan kemampuan sosialisasi yang sebenarnya diperlukan untuk menghayati nilai-nilai Mustain.doc/makalah-unlam/011005
14 kebangsaan. Sementara itu, dosa politik Orde Baru, antara lain dapat dilihat dari dikeluarkannya kebijakan depolitisasi dan pembangunan yang tak menciptakan keadilan namun malah memperluas jurang perbedaan sosial. Rakyat tidak diberi kesempatan memecahkan pelbagai konflik secara wajar, sementara pada saat bersamaan rakyat juga sering "dikorbankan" demi proyek-proyek besar berlabel "atas nama kepentingan umum" dan ―demi pembangunan‖ namun nyatanya hanya menguntungkan sebagian kecil orang. Dalam kondisi demikian, akan dengan mudah terjadi perpecahan sosial secara vertikal paling dasar, yakni antara rakyat yang "tak menikmati kue pembangunan" dan mereka yang "menikmati kue" pembangunan. Dalam pergaulan antarwarga secara horizontal, masing-masing kelompok lalu menutup diri, mudah berprasangka dan curiga terhadap kelompok lain. Akibatnya, meledaklah kerusuhan komunal yang melibatkan pendatang dengan warga asli, dan seterusnya. Pada konteks inilah, komunalisme dan primordialisme yang sudah menjadi patologi bisa menjadi faktor pengancam persatuan bangsa. Semuanya itu berujung pada kian jauhnya cita-cita pembangunan, terwujudnya kesejahteraan sosial. Kita masih ingat penghapusan Departemen Sosial pada era pemerintah Gus Dur? Dibalik penghapusan Depsos, terkandung maksud hendak mengubah pola kebijakan kesejahteraan masyarakat berdasar potensi rakyat; bukan menurut negara. Dalam pendangan Gus Dur pada masyarakat (lokal, daerah atau komunitaslah) eksistensi dan substansi pembangunan kesejahteraan sosial. Kalau paradigma tidak di rubah, maka pembangunan kesejahteraan sosial akan kehilangan eksistensinya. Oleh karena itu itu, paradigma9 pembangunan kesejahteraan sosial untuk semua lapisan masyarakat perlu menyesuaikan dengan perubahan paradigma pembangunan di Indonesia yang bergeser kepada strategi pembangunan yang berpusat pada manusia (people-centered development). Paradigma people-centered akan memberikan peranan kepada ‗individu‘ sebagai aktor yang menentukan tujuan yang hendak dicapai, menguasai sumber-sumber, mengarahkan proses yang menentukan hidup mereka. Oleh sebab itu paradigma ini memberi tempat yang penting bagi prakarsa dan keanekaragaman lokal yang tentunya selaras dengan semangat otonomi daerah. Paradigma people-centered (Moebyarto, 1996) berbeda secara fundamental di dalam karakteristik dasarnya dibandingkan dengan paradigma pertumbuhan dan paradigma kebutuhan pokok yang telah mendominasi proses pembangunan kita selama ini. Paradigma pembangunan yang berpusatkan manusia diharapkan akan dapat mengubah peranan masyarakat sebagai penerima bantuan pasif pelayanan pemerintah yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pokok menjadi anggota masyarakat yang mampu berperan aktif di dalam pembangunan. Di samping itu peran pemerintah perlu lebih sebagai pembina kemampuan dan fasilitator pembangunan sesuai dengan trade mark pembangunan kesejahteraan sosial yang dalam kegiatannya menggunakan pendekatan pekerjaan sosial dengan konsep "help people to help themselves" yang dapat dikembangkan menjadi konsep bekerja bersama masyarakat agar mereka dapat menolong diri mereka sendiri.
9
Paradigma di sini diartikan sebagai suatu teori, perspektif, atau kerangka berpifikir yang menentukan bagaimana kita memandang, menginterpretasikan, dan memahami aspek-aspek kehidupan (Dr Anita Lei, 1999). Mustain.doc/makalah-unlam/011005
15 Dengan kapasitas modal sosial yang ada, warga komunitas lokal akan mampu meningkatkn tingkat kehidupan ekonomi mereka. Sebab, peranan modal sosial, tidak kalah pentingnya dengan infrastruktur ekonomi lainnya. Oleh karena itu, perlu diprioritaskan membangun modal sosial demi kesuksesan pembangunan ekonomi. Meski modal sosial secara konseptual rancu, namun secara umum dapat dikategorikan dalam dua kelompok: (1) yang menekankan pada jaringan hubungan sosial (networking). Dan (2) lebih menekankan pada karakteristik (traits) yang melekat (embedded) pada diri individu manusia yang terlibat dalam interaksi sosial. Kelompok pertama menekankan bahwa modal sosial ditentukan oleh jaringan sosial yang diikat antara lain oleh kepemilikan informasi, rasa percaya, saling memahami, dan kesamaan nilai serta saling mendukung. Sedangkan kelompok kedua sebagaimana pernah disebut Francis Fukuyama sebagai "kemampuan orang untuk bekerja bersama untuk satu tujuan bersama di dalam suatu organisasi.
Mustain.doc/makalah-unlam/011005
16
Kepustakaan
Adimiharja, Kusnaka, dkk, 1999, Petani, Merajut Tradisi Era Globalisasi. (Bandung: Humaniora Hutama Press).
Booke, J.H, 1983. Prakapitalisme di Asia, (Jakarta: Sinar Harapan)
Breman, Jan, 1983, Control of Land and Labour in Colonial Java. (Holand: Foris Publicatorrs)
Fakih, Mansour, 1996, Masyarakat Sipil Untuk Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar)
---------------, 1999, ―Masyarakat Sipil dan Perubahan Sosial di Indonesia‖ dalam Menuju Masyarakat Terbuka (Yogyakarta: Insist)
------------------, 2001, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Insist).
Fauzi, Nur, 1999, Petani dan Penguasa, Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan KPA)
Noer Fauzi.,et.al.,2000., Otonomi Daerah dan Sengketa Tanah, Cetakan Pertama, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta
Gautama, Sandra dan Sandra Kartika (penyunting), 1999, Menggugat Posisi Masyarakat Adat Terhadap Negara. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar).
Geerzt, Cilifort, 1983, Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia (Jakarta: Bharata).
Gunawan Wiradi, 2000,. Reforma Agraria Perjalanan Yang Belum Berakhir, Cetakan Pertama, KPA,Insist, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Hayami, Y dan Kikuchi, M, 1987, Dilema Ekkonomi Desa: Suatu Pendekatan Ekonomi Terhadap Perubahan Kelembagaan di Pedesaan. (Jakarta: YOI).
Heryanto, Ariel., 1996, ―Bahasa dan Kuasa: Tatapan Postmoderenism‖, dalam Latif, Y. and Ibrahim, I., Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru, (Bandung: Penerbit Mizan)
----------------, 1996, ―Indonesian Middle-Class Opossition in the 1990s‖, in Garry Rodan, Political Opposition in Industrialising Asia, London: Routledge
Jhamtani, Hira dan Lutfiyah Hanim, 2002, Globalisasi, Monopoli Pengetahuan, Telaah Tentang TRIPS dan Keragaman Hayati di Indonesia. (Jakarta: INFID, KONPHALINDO dan IGJ).
Julianto, Dadang, 2000; (Penyunting), Arus Bawah Demokrasi. Otonomi dan Pemberdayaan Desa. (Yogyakarta: Lapera).
Karl J Pelzer, 1990, Sengekta Agraria: Pengusaha Perkebunan Melawan Petani, (Jakarta: Sinar Harapam)
Kartodirdjo, Sartono, 1987, Kebudayaan Pembangunan dalam Perspektif Sejarah. (Yogyakarta: University Press)
Khor, Martin, 2002, Globalisasi dan Krisis Pembangunan Berkelanjutan. (Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas)
---------------, 2000, Globalisasi, Perangkap Negara-Negara Selatan. (Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas)
Mustain.doc/makalah-unlam/011005
17
Konsorsium Pembaruan Agraria, 2000, Usulan Ketetapan MPR Republik Indonesia tentang Pembaruan Agraria Reforms Agraria). (Bandung: KPA)
Kuntowijoyo, 1993 Radikalisasi Petani: Esei-Esei Sejarah, (Yogyakarta: Bentang Intervisi Utama), 1993.
---------------, 1997. Radikalisasi Petani, Cetakan Kedua, Bentang Intervisi, Yogyakarta
Langenberg, M,van, ―Negara Orde Baru: Bahasa, Ideologi dan Hegemoni‖, in Latif, Y. and Ibrahim, I., Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru, Bandung: Penerbit Mizan) 1996, halp. 223-245.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.,2000., Permusyawaratan Rakyat Repulik Indonesia, No.IV/ MPR/ 2000
Masoed, Mohtar, 1989, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966 – 1971. Jakarta: LP3ES
--------------, 1994, Ekonomi Politik Internasional Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Mubyarto, 1987, Politik Pertanian dan Pembangunan Pedesaan. (Jakarta: Sinar Harapan), 1987.
Nasikun dan Lambang Trijono, 1992, Proses Perubahan Sosial di Desa Jawa: Surplus Produksi dan Pergeseran Okupasi. (Jakarta: Rajawali), 1992.
Maryudi Sastrowihardjo.,2000.,Kebijakan Masalah Pertanahan Pada Era Reformasi Untuk Pengembangan Sub Sektor Perkebunan (Jakarta: Pustaka Pelajar)
Pratikno, 2000, ―Pergeseran Negara dan Masyarakat dalam ‗Desa‘‖ dalam Arus Bawah Demokrasi, Otonomi dan Pemberdayaan Desa. Yakyakarta: Lapera, hal. 131 – 151
Putra, Fadillah, 1999, Devolusi: Politik Desentralisasi sebagai Media Rekonsiliasi Ketegangan Politik Negara – Rakyat. (Jakarta: Pustaka Pelajar)
Rosen, George, 1975, Peasant Society in a Changing Economy, Comparative Development in Souteast Asia and India. (Chicago: University of Illinois Press
Ruwiastuti, Maria, Nur Fauzi dan Dianto Bachriadi, 1997, Penghancuran Hak Masyarakat Adat Ata Tanah, Sistem Penguasaan Tanah Masyarakat Adat dan Hukum Agraria. (Jakarta: KPA dan INPI-Pact)
Rupp, Sylvia, 1984, LTH, Gerakan Kaum Mahdi: ―Studi Tentang Gerakan Keagamaan Revolusioner‖, (terj. Anas Mahyudin, (Bandung: Pustakan).
Scott, James, 1989, ―Evereday Form of Resistance‖, Peasant Resistance (New York: Rmunck Me Sharpe.
Setaiawan, Bonnie,1999, Peralihan ke Kapitalisme di Dunia Ketiga. Teori-Teori Radikal Dari Klasik sampai Kontemporer. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar)
------------, (ed), 2000, Perjuangan Demokrasi dan Masyarakat Sipil, Reposisi dan Peran Ornop/LSM di Indonesia. (Jakarta: INFID).
------------, Menggugat Globalisasi, (Jakarta: INFID, IGJ)
Soewarno, PJ, 2000, ―Demokrasi Desa di Indonesia, Melacak Akar Sejarahnya‖ dalam Arus Bawah Demokrasi, Otonomi dan Pemberdayaan Desa. Yakyakarta: Lapera, hal. 152 – 168
Suhendar, Endang dan Ifdhal Kasim, 1995, Tinjauan Kritis Terhadap Kebijakan Pertanahan Masa Orde Baru, (Jakarta: Elsam)
------------, 1996, Tanah Sebagai Komoditas, Tinjauan Kritis Terhadap Kebijakan Pertanahan Masa Orde Baru. (Jakarta: Elsam).
Ketetapan
Majelis
Mustain.doc/makalah-unlam/011005
18
Sparringa, Daniel, 1997, ―Discourse, Democracy and Intellectuals in New Order Indonesia‖, a Ph.D Thesis, The Flinders University of South Australia.
Parsons, Talcott and E.A. Shills, 1951, Toward A General Theory of Action (New York: Harper & Row)
Tjondronegoro, Sediono M.P, 1999, Sosiologi Agraria, Kumpulan Tulisan. (Bandung: Akatiga)
Wahono, Francis, ―Menuju Penguatan Hak-Hak Petani Melalui Gerakan Petani Organik‖ dalam Wacana. Edisi 5, Tahun II/2000, hal. 129 – 145.
-------------, (ed) Hak-Hak Azasi Petani dan Proses Perumusannya. (Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas).
Widodo, Bambang Eka Cahya, 2000, ―Membangun Kehidupan Masyarakat Demokratis di Desa‖ dalam Arus Bawah Demokrasi. (Yokyakarta, Lapera), 2000, hal 194-209
Wiradi, Gunawan, 2000, Reforma Agraria. Perjalanan Yang Belum Berakhir. (Yogyakarta: Insist)
-------------, 1983, Petani, Suatu Tinjauan Antropologis. (Jakarta: Radjawali Press), 1983
Zakaria, R Yando (ed), ―Memikir Ulang Konsep Negara (Bangsa)‖, dalam Wacana Jurnal Ilmu Sosial Transformatif, Otonomi, Siasat Rezim Sentralistik. (Yogyakarta: Insist), Tahin II, 2000 hal. 10-20.
Mustain.doc/makalah-unlam/011005