A. BASIS SOSIAL DAN PARADIGMA TEORI KOMUNIKASI Khazanah keilmuan komunikasi dipengaruhi oleh ilmu-ilmu. sosial di mana ilmu sosial adalah induk dari ilmu komunikasi, di samping itu juga ilmu komunikasi dipengaruhi oleh ilmuwannya dan stakeholder akademik di sekitarnya. Sebagaimana telah dijelaskan mengenai filsafat sosiologi komunikasi maka sejarah teori komunikasi menempuh dua jalur. Pertama, kajian dan sumbangan pemikiran Auguste Comte, Durkheim, Talcott Parson dan Robert K. Merton merupakan sumbangan paradigma fungsional bagi lahirnya teori-teori komunikasi yang beraliran struktural-fungsional. Kedua, Sumbangan-sumbangan pemikiran Karl Marx dan Habermas menyumbangkan paradigma konflik bagi lahirnya teori-teori konflik dan teori kritis dalam kajian komunikasi. Di Indonesia, perkembangan teori komunikasi dan kajian-kajian media dan komunikasi menunjukkan perkembangan yang sangat menonjol sejak hampir sepuluh tahun terakhir ini. Desakan dan pergeseran ke-arah perubahan dan perkembangan studi-studi komunikasi telah dirasakan sejak rezim Soeharto berkuasa, namun ke kuasaan politik lebih kuat dari keinginan masyarakat itu sendiri sehingga banyak jatuh korban dan teori-teori komunikasi menjadi terpasung. Namun setelah Habibie berkuasa, keran media massa dibuka lebar-lebar, sehingga booming media terjadi sangat dahsyat Studi-studi komunikasi berkembang di berbagai perguruan tinggi dengan berbagai perspektif keilmuan. Jumlah media terutama media televisi, radio, dan media cetak berkembang sangat banyak di berbagai kota, terutama media televisi kemudian dengan regulasi yang ada, dapat didirikan di berbagai kota kecil di Indonesia. Basis sosial semacam ini melahirkan berbagai kajian dan perspektif komunikasi sehingga mendesak teori-teori komunikasi konvensional. Berbagai bidang studi terutama jenjang S2 dan S3 secara terbuka menerima berbagai jurusan keilmuan, sehingga mahasiswa-mahasiswa dengan leluasa melakukan hibridasi keilmuan, maka lahirlah berbagai perspektif baru dalam keilmuan komunikasi yang selama ini didominasi oleh perspektif teori konvensional. Dunia dan kajian komunikasi seperti gadis yang baru saja bisa menstruasi, masih remaja, cantik, dan memesona. Jurusan-jurusan ilmu komunikasi kemudian sarat dengan mahasiswa dan beberapa perguruan tinggi di Jakarta dan Bandung jurusan komuikasi telah mengalahkan penerimaan fakultas ekonomi yang selama ini berlimpah ruah dengan calon mahasiswa. Perkembangan terakhir dunia komunikasi di Indonesia saat ini dipengaruhi oleh tiga paradigma besar. Pertama, paradigma teori konvensional, yaitu paradigma teori yang dianut oleh para ilmuwan komunikasi yang secara keilmuannya mengembangkan teorinya ecara linier. Para ilmuwan ini memiliki kecenderungan memandang teori komunikasi secara tradisional, mereka sejak semula telah mempelajari bidang komunikasi sejak jenjang pendidikan SI dan tidak memalingkan pandangannya terhadap teori-teori lain di sekitar objek komunikasi. Kedua, paradigma kritis dan perspektif komunikasi, yaitu paradigma komunikasi yang dianut oleh para sarjana yang awalnya (terutama SI) belum mempelajari teori komunikasi, kemudian secara serius mempelajari komunikasi secara kritis dan menurut perspektif komunikasi yang dilihatnya. Paradigma ini antara lain adalah sosiologi komunikasi, hukum komunikasi dan hukum media, psikologi komunikasi, komunikasi antarbudaya, komunikasi politik, komunikasi organisasi, komunikasi publik, komunikasi sosial, semiotika komunikasi, public relation, dan sebagainya. Ketiga, paradigma teknologi media. Paradigma ini lahir dari para peminat teknologi telematika, terutama oleh para sarjana teknologi informasi. Walaupun paradigma ini tidak terlalu berpengaruh dalam kancah teori komunikasi bila dibandingkan dengan dua paradigma terdahulu, namun teori-teori komunikasi menggunakan perkembangan
Sosiologi Komunikasi dan Informasi
1
teknologi media ini untuk merevisi berbagai teori komunikasi yang ada hubungan dengan media dan komunikasi massa. Jadi, arah pengembangan teori banyak dipengaruhi oleh paradigma teknologi informasi ini, sehingga perguruan tinggi ilmu komunikasi memandang perlu mengajarkan teori dan sejarah teknologi komunikasi kepada mahasiswanya, sekaligus terus menjadikan paradigma ini sebagai lahirnya perspektif baru dalam teori-teori komunikasi sebagai metamorfosis dengan paradigma-paradigma lain. Dari sisi lain, menurut Sendjaja (2005:11), bahwa ilmu komunikasi pada dasarnya merupakan salah satu ilmu pengetahuan sosial yang bercirikan 'multi perspektif' dan 'multi paradigma'. Selanjutnya ia mengatakan, berdasarkan basis keilmuan, perspektif dan paradigma yang diterapkan dalam ilmu komunikasi bermacam ragam. Sehubungan dengan itu, berdasarkan metode dan logika, terdapat 4 (empat) perspektif yang mendasari teori dalam ilmu komunikasi. Keempat perspektif tersebut adalah covering lows, rules, system dan symbolic interactionism. Pemikiran perspektif pertama covering lows, yang berangkat dari prinsip kausalitas atau hubungan sebab akibat (Berger, 1977), umumnya menjadi basis pengembangan teori-teori komunikasi yang memerlukan pembuktian secara empiris. Pemikiran perspektif rules, berdasarkan prinsip praktis bahwa manusia aktif memilih, mengubah, dan menentukan aturan-aturan yang menyangkut kehidupannya (Chusman, 1977). Perspektif ini banyak diterapkan dalam teori-teori komunikasi pribadi. Perspekti sistem mempunyai 3 (tiga) model, yakni 'general system theory', 'cybernetics', dan 'structural fnnctionalism' (Monge, 1977), umumnya di jadikan landasan pada teori-teori informasi dan komunikasi organisasi. Sementara perseptif symbolic interactionism, lebih mengutamakan pengamatannya pada interaksi simbolis (Charon, 197S 1998) yang diterapkan pada penelitian-penelitian tentang perilaku komunikasi antar-individu dalam kehidupan sosial (Sendjaja, 2005: 11). Paradigma ilmu komunikasi berdasarkan metodologi penelitiannya, menurut Dedy N. Hidayat (1999) yang mengacu pada pemikiran Guba (1990: 1994) ada 3 (tiga) paradigma: (1) paradigma klasik (classical paradigm); (2) paradigma kritis (critical paradigm; dan (3) paradigma konstruktivisme (constructivism paradigm). Menurut Sendjaja (2005), paradigma klasik (gabungan dari paradigma 'positivism' dan post-positivism menurut Guba), menurut Dedy N. Hidayat (1999), bersifat 'interventionist', yakni melakukan pengujian hipotesis dalam struktur hypothetico-deductive method, melalui laboratorium, eksperimen, atau survei eksplanatif dengan analisis kuantitatif. Dengan demikian, objektivitas, validitas, dan realibilitas diutamakan dalam paradigma ini. Paradigma kritis lebih berorientasi 'participative' dalam arti mengutamakan analisis komprehensif, kontekstual, dan multilevel analisis, dan peneliti berperan sebagai aktivis atau partisipan. Sedangkan paradigma konstruktivisme, bersifat reflektif dan dialektikal. Menurut paradigma ini, antara peneliti dan subjek yang diteliti, perlu tercipta empati dan interaksi dialektis agar mampu merekonstruksi realitas yang diteliti melalui metode kualitatif seperti observasi partisivasi (participant observation). Sedangkan berdasarkan fokus wilayah kajiannya, menurut Griffin (2003) dalam Sendjaja (2005), paradigma teori dalam ilmu komunikasi dapat dikelompokkan dalam 7 (tujuh) tradisi: (1) tradisi psikologi-sosial; (2) tradisi sibernetika; (3) tradisi retorika; (4) tradisi semiotika; 5) tradisi sosiokultural; (6) tradisi kritis; dan (7) tradisi fenomenologi. Tradisi psikologi-sosial Sosiologi Komunikasi dan Informasi
2
memfokuskan perhatiannya pada komunikasi sebagai pengaruh antarpribadi. Tradisi sibernetika lebih melihat komunikasi sebagai pemrosesan informasi. Tradisi retorika menitikberatkan perhatiannya pada komunikasi sebagai seni berbicara di depan publik. Tradisi semiotika memandang komunikasi sebagai proses sebagai makna melalui tanda-tanda. Tradisi sosiokultural, melihat komunikasi sebagai penciptaan dan penentuan realitas sosial. Tradisi kritis lebih menekankan pada konsepsi komunikasi sebagai tantangan reflektif terhadap diskursus ketidakadilan. Sementara tradisi fenomenologi lebih memandang komu-nikasi sebagai pengalaman diri dan orang lain melalui dialog. B. JENIS PENGETAHUAN DAN PARADIGMA LAIN DALAM KOMUNIKASI Ilmu komunikasi, menurut Charles R. Berger dan Steven H. Chaffee (1987:15 dalam Sendjaja, 2005:9) dapat didefinisikan sebagai berikut: "Communication science seeks to understand the production, processing and effects of and signal systems by developing testable theories, containing lawful generalizations, that explain phenomena associated with production, processing, and effects'. Ilmu komunikasi berupaya memahami produksi, pemrosesan dan pengaruh dari sistem-sistem tanda dan lambang, melalui pengembangan teori-teori yang dapat diuji, berisikan generalisasi-generalisasi yang sah yang menjelaskan fenomena yang berkaitan dengan produksi, pemrosesan, dan pengaruh dari sistem tanda dan lambang tersebut. Pengertian ilmu komunikasi ini cenderung berorientasi 'positivistik'. Sementara itu, menurut Stephen W. Littlejohn (2002:11 dalam Sendjaja, 2005), sebagai salah satu ilmu pengetahuan sosial, ilmu komunikasi adalah "communication as a social science, communication involves understanding how people behave in creating, exchanging, and interpreting messages. Consequently, communication inquiry combines both scientific and humanistic methods". Jadi, komunikasi adalah suatu ilmu pengetahuan sosial yang memiliki ciri-ciri; berkenaan dengan pemahaman tentang bagaimana orang berperilaku dalam mencipta- kan, mempertukarkan, serta menginterprestasikan pesan-pesan. Oleh karena itu, (penelitian) keilmuan yang dipergunakan dalam bidang komunikasi memerlukan kombinasi penggunaan metode pendekatan 'scientific' (ilmiah impirispositivistik) dan metode pendekatan 'humanistic' (humanistik). 1. Pandangan Humanistik Menurut Littejohn (1996:11), tujuan humanitas adalah memahami respons subjektif individual. Sains adalah suatu aktivitas "di luar sana" sedangkan humanitas menekankan "di dalam sini". Sains berfokus pada dunia penemuan, humanitas berfokus pada orang penemu. Sains berupaya mencari kosensus, humanitas berupaya mencari interpretasi-interpretasi alternatif. Para humanis sering merasakan ingin tahu terhadap pernyataan bahwa ada suatu dunia kekal untuk ditemukan. Pakar humanitas cenderung tidak memisahkan "siapa seseorang" menunjukkan "apa yang dilihatnya" karena penekanannya pada respons subjektif. Pengetahuan humanistik teristimewa cocok terhadap problem seni, pengalaman pribadi, dan nilai-nilai. Hampir semua program riset dan penyusunan teori menyertakan beberapa aspek baik pengetahuan ilmiah maupun pengetahuan humanistik. Pada suatu saat ilmuwan adalah seorang humanis yang menggunakan intuisi kreativitas, interpretasi, dan pandangan dengan ironis. Ilmuwan menjadi objektif dalam menciptakan metode yang mengarah kepada observasi objektif, membuat riset, merancang suatu proses kreatif. Dengan demikian, pada suatu saat
Sosiologi Komunikasi dan Informasi
3
ilmuwan menjadi humanis pada gilirannya harus ilmiah, berupaya mencari fakta yang dapat dipahami. 2. Pandangan Social Science Salah satu pendekatan dalam ilmu pengetahuan adalah ilmu sosial. Walaupun pada mulanya pendekatan ilmu sosial merupakan satu upaya menggunakan pendekatan ilmu eksakta dalam melihat masyarakat sebagaimana yang dimaksud oleh August Comte memperkenalkan sosiologi sebagai ilmu yang membahas kehidupan sosial saat itu sehingga pada awalnya ilmu sosial menggunakan metode yang dipinjam dari ilmu fisika. Dalam berupaya mengobservasikan dan menginterpretasikan pola-pola perilaku manusia akar ilmu sosial menjadikan manusia sebagai objek studi yang arus diobservasinya. Apabila pola-pola perilaku pada kenyataanya ada, maka observasi haruslah seobjektif mungkin. Dengan kata lain, ilmuwan sosial seperti ilmuwan alam harus menegakkan konsensus pada apa yang diobservasinya secara akurat yang nantinya akan dijelaskan atau diinterpretasikan (Littlejohn, 1996:11). Penginterpretasian mungkin rumit karena kenyataannya adalah objek observasi itu adalah subjek manusia yang merupakan makhluk hidup yang berbeda dengan fakta-fakta alam. Makhluk hidup mampu memiliki pengetahuan dan memiliki nilai-nilai, membuat ia dapat berinterpretasi dan melakukan tindakan. Kontroversi mengenai objek manusia sebagai makhluk hidup dalam riset-riset ilmiah merupakan isu penting dalam ilmu sosial karena respons subjektif individu sebagai objek riset haruslah dipertimbangkan dalam memahami bagaimana orang berpikir dan mengevaluasi tindakannya. Komunikasi mengandung pemahaman bagaimana manusia berperilaku dalam mencipta, bertukar, dan penginterpretasian pesan-pesan. Akibatnya, komunikasi memerlukan gabungan metode keilmuan sosial dan humanistik (Littlejohn, 1996: 11). Dari berbagai pandangan yang dikemukakan para ahli (Berger & Chaffee, 1987; Littlejohn, 2002; Griffin, 2003; Rogers, 1994; Deetz dan Putnam, 2001, dalam Sendjaja, 2005: 10) secara umum, ilmu komunikasi mempunyai 3 (tiga) karakteristik sebagai berikut: Pertama, ilmu komunikasi merupakan ilmu sosial yang bersifat multidisipliner dan bidang kajiannya sangat luas. Disebut demikian, karena untuk fenomena yang berkaitan dengan produksi, proses dan pengaruh dari sistem-sistem tanda dan lambang konteksnya sangat luas, mencakup berbagai aspek sosial, budaya, ekonomi, dan politik dari kehidupan manusia. Unit analisisnya juga bervariasi, mulai dari unit individual atau personal, kelompok organisasi, masyarakat luas (dalam suatu negara), sampai ke unit-unit internasional dan global. Oleh karena itu, pendekatan yang diterapkan dalam ilmu komunikasi bersifat multidisipliner. Pemikiran-pemikiran teoretis yang dikemukakan dalam ilmu komunikasi, berasal dari dan berkenaan dengan berbagai disiplin lainnya, seperti sosiologi, psikologi sosial, politik, linguistik, antropologi, ekonomi, ekologi, hukum, dan ilmu-ilmu yang lainnya termasuk ilmu eksakta. Kedua, ilmu komunikasi tidak hanya merupakan ilmu pengetahuan yang bersifat murni-teoretis-akademis, tetapi juga merupakan ilmu pengetahuan terapan yang diperlukan berbagai kalangan praktisi. Karena, ilmu komunikasi juga menjelaskan tentang seni produksi sistem-sistem tanda dan lambang, mencakup berbagai aspek dan tingkat kepentingan yang sangat luas, menyangkut kepentingan perorangan, kelompok, organisasi dan perusahaan, sampai ke kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. Sistem tanda dan lambang juga diperlukan oleh seluruh bidang kehidupan, baik yang menyangkut politik, sosial, budaya, ataupun ekonomi dan bisnis. Ketiga, teknologi khususnya teknologi komunikasi yang diperlukan dalam proses produksi sistem tanda dan lambang merupakan salah satu objek kajian utama. Ini berarti pengembangan dan penerapan
Sosiologi Komunikasi dan Informasi
4
ilmu komunikasi tidak dapat dilepaskan dari teknologi, baik dalam bentuk 'software' (perangkat lunak) ataupun 'hardware' (perangkat keras). Karakter yang terakhir ini berkaitan dengan penjelasan paradigma teori komunikasi lain yang telah disebutkan di atas, yaitu paradigma teknologi media.
C. PENDEKATAN KEILMUAN DALAM KOMUNIKASI Ada dua pendekatan dalam keilmuan komunikasi yang selama ini digunakan. Pertama, disebut pendekatan non-ilmiah atau unscientific dan kedua adalah pendekatan ilmiah atau scientific. 1. Pendekatan Unscientific Dalam sejarah umat manusia, usaha untuk menjawab dorongan ingin tahu dan mencari kebenaran, bermula dari pendekatan ini. Sebelum orang menggunakan pendekatan scientific, pendekatan unscientific sudah digunakan dalam waktu yang cukup lama. Pada pendekatan unscientific umumnya orang menjawab dorongan ingin tahu dan mencari kebenaran, melalui: a. Secara kebetulan. b. Secara trial and error. c. Melalui otorisasi seseorang. d. Wahyu. Tidak ada sumber pasti yang menjelaskan tentang keempat cara di atas digunakan oleh umat manusia untuk menemukan kebenaran, namun menurut logika sejarah, keempat cara di atas secara bertahap atau secara bersama-sama digunakan orang untuk mencari kebenaran. Namun secara logika juga penemuan kebenaran dilakukan orang dari kegiatan-kegiatan yang sederhana dan secara bertahap meningkat mencapai kegiatan yang rumit dengan melibat orang lain. a. Penemuan Secara Kebetulan Pada mulanya manusia selalu kebingungan untuk memecahkan persoalan hidupnya dan rintangan alam sekitarnya. Karena pada waktu itu tingkat pengetahuan manusia amat rendah, maka manusia cenderung pasif terhadap usaha memecahkan berbagai misteri kehidupannya. Akibatnya, semua pengetahuan (kebenaran) diperoleh secara kebetulan. Cerita-cerita yang sungguh menarik tentang penemuan semacam itu adalah penemuan obat malaria yang dapat menyelamatkan berjuta-juta umat manusia dari bahaya penyakit tersebut. Mulanya orang tidak dapat berbuat apa-apa terhadap wabah malaria di mana-mana. Namun, setelah seorang Indian yang menderita demam dengan panas yang amat tinggi, secara tidak sengaja jatuh dalam sebuah sungai kecil yang airnya telah berwarna hitam. Tanpa disengaja Indian itu terminum air sungai tersebut. Setelah kejadian ini, berangsur-angsur orang Indian yang menderita malaria itu sembuh. Ternyata di kemudian hari diketahui, bahwa air sungai yang berwarna hitam itu disebabkan karena sebatang pohon Kina yang tumbang di
Sosiologi Komunikasi dan Informasi
5
sungai itu. Dari kejadian ini, kemudian orang baru mengetahui bahwa pohon Kina dapat dijadikan obat penyakit malaria. Kelemahan yang terkandung dalam penemuan-penemuan secara kebetulan ini, bahwa orang akan bersikap pasif terhadap dorongan ingin tahunya karena semuanya terjadi secara kebetulan, dan akibatnya pengetahuan berkembang sangat lambat. Dunia dan masyarakat berkembang menurut hukum alam dan secara evolusi membentuk kehidupan yang menurut alam adalah yang terbaik. Peran manusia hampir tidak ada, sehingga masyarakat juga berkembang dan berubah menurut hukum alam dan sunatullah. b. Penemuan Secara Trial and Error Tantangan alam semakin besar, membuat banyak orang mulai tidak percaya bahwa temuan baru dan pemecahan misteri kehidupan yang lebih cepat hanya dapat dihasilkan dari penemuan secara kebetulan. Perkembangan masyarakat yang terasa cepat menyebabkan manusia harus aktif mencari kebenaran, kendati sarana pengetahuan untuk mencapainya masih sangat tidak memadai. Namun untuk memotong waktu yang terlalu panjang ini, masyarakat harus memulai sesuatu dengan cara mencoba-coba (trial and error) walau tanpa kepastian. Suatu usaha trial and error tidak diawali dengan sebuah harapan, kendati tetap memiliki tujuan yang tak menentu, bahkan sering kali orang memulai trial and error dengan harapan yang hampa. Sampai pada suatu saat tertentu yang mungkin menghasilkan kejutan dari suatu proses coba-coba itu, dan kemudian memberikan harapan yang lebih banyak terhadap orang untuk meneruskan usaha tersebut. Suatu contoh dari proses trial and error ini adalah yang pernah iilakukan oleh Robert Kock (Nawawi, 1983 dalam Bungin, 2001: 11). Kock pernah mengasah kaca, dengan maksud mencoba-coba apa yang akan terjadi pada hasil asahan kacanya itu. Kock kemudian terus dan terus saja mengasah kaca. Akhirnya, kaca tersebut berjentuk lensa yang mampu memperbesar benda-benda yang tidak dapat dilihat oleh mata telanjang. Kemudian ternyata lensa tersebut telah mendasari pembuatan miskroskop. Dari pengalaman Kock di atas, tampak bahwa untuk mencapai ;u atu pengetahuan atau kebenaran tertentu, orang sering kali harus melalui berbagai usaha, kadang membutuhkan waktu yang lama ;ampai pada akhirnya ia menemukan sesuatu yang berarti. Sehingga trial and error terlalu banyak menghabiskan waktu, terlalu banyak mereka-reka, membuat spekulasi dalam ketidakpastian. c. Penemuan Melalui Otoritas Pak Kamijo warga sebuah dusun di desa Kec. Candi Sidoarjo, percaya betul bahwa hari Sabtu tanggal 27 Januari 2006 adalah hari yang paling baik untuk melaksanakan pernikahan anaknya. Ternyata yang menentukan hari baik bagi anaknya adalah seorang dukun di desanya itu. Begitu pula para pencari keadilan menggunakan otoritas hakim dan mahkamah agung untuk memutuskan sebuah perkara. Putusan hakim dan mahkamah agung adalah hasil otoritas yang dipercaya paling tidak oleh salah satu pihak sebagai sesuatu yang benar. Para pasien memandang diagnosis dokter sebagai sebuah kebenaran, murid SD juga demikian, selalu memandang apa yang diajarkan oleh gurunya sebagai sesuatu yang benar. Contoh-contoh tersebut adalah kasus-kasus bagaimana orang menemukan kebenaran dalam hidupnya.
Sosiologi Komunikasi dan Informasi
6
Kaum Skolastik yang begitu fanatik dengan Aristoteles, begitu kagum dengan semua pertanyaan Aristoteles, sehingga sedikitpun tidak menaruh curiga akan kelemahan pertanyaannya. Sampai-sampai mengiyakan saja apa yang dikatakan Aristoteles, bahwa gigi wanita lebih banyak dari gigi laki-laki. Padahal secara objektif jumlah gigi-gigi itu dapat dihitung sendiri. Kemudian pada kesempatan lain, kaum Skolastik serta-merta menolak undangan Galelio untuk melihat bulan-bulan dari Yupiter melalui teropong. Hal tersebut dalam ilmu astronomi Aristoteles, tidak pernah menyebut-nyebutkan bahwa bulan-bulan itu dapat dilihat (Hadi, 1978, Bungin, 2005: 11). Cerita-cerita di atas itu adalah contoh dari pendekatan otoritas dalam menemukan kebenaran. Memang pendekatan ini lebih praktis bila dibandingkan dengan pendekatan lainnya. Namun juga sangat terbuka untuk suatu kesalahan yang fatal. Berbeda dengan pendekatan kebetulan atau trial and error, menemukan kebenaran melalui otoritas membutuhkan orang lain yang dapat dijadikan subjek otorisasi, karena pada pendekatan ini sadar ataupun telah mengakui ketidakmampuan rasio seseorang untuk memecahkan problem kebenaran yang sedang dihadapinya. Otoritas membuat orang tergantung kepada orang yang memiliki otoritas tersebut dan membuat dirinya bertaklid dan jumud serta tanpa disadari telah membekukan kreativitas manusia dan usaha seseorang untuk berikhtiar. Otoritas telah menempatkan manusia dan budaya tertentu, katakan saja seperti raja, pemerintah, undang-undang, pengadilan, guru, pendeta, imam, dukun dan sebagainya, pada posisi yang amat penting dalam pembentukan sikap masyarakat tentang suatu kebenaran. Perkembangan selanjutnya, pendekatan otoritas hanya cocok untuk menemukan kebenaran dokmatis bagi kepentingan tertentu, seperti dalam kehidupan beragama, upaya-upaya penyembuhan penyakit, dan bentuk-bentuk kepatuhan lainnya dalam sistem kekerabatan dan monarki. Namun tidak menutup mata terhadap kebaikannya dalam hal usaha menuju pembuktian kebenaran secara ilmiah dan rasional. Karena pada saat pikiran seseorang terhempas dan kemudian dalam waktu yang hampir sama orang lain telah menemukan cara-cara baru yang lebih ilmiah untuk memburu dan membuktikan kebenaran yang menjadi "misteri besar" pada rasa ingin tahunya. d. Menemukan Kebenaran Melalui Wahyu Bagi orang tertentu menganggap bahwa sumber kebenaran hanyalah berasal dari sang pencipta alam semesta ini. Karena itu, ia hanya mau berbicara atau memberi keputusan apabila sudah mendapatkan wahyu. Wahyu dianggap sebagai sumber kebenaran yang datangnya dari luar dirinya dan memberi otorisasi terhadap keputusan dan tindakannya. Meski sumber kebenaran melalui wahyu ini adalah bentuk penemuan kebenaran yang paling tradisional, namun cara seperti ini tetap saja menjadi cara menemukan kebenaran yang sampai saat didigunakan. 2. Pendekatan Scientific Pendekatan ini juga disebut sebagai pendekatan Kritik-Rasional dan/atau Scientific Research. Ada dua macam proses yang dapat digunakan untuk menemukan kebenaran. Proses yang pertama dinamakan "berpikir kritis-rasional" dan cara yang kedua adalah penelitian ilmiah" (Scientific Research). Cara-cara berpikir kritis-rasional merupakan cara-cara perburuan kebenaran melalui pendekatan-pendekatan ilmiah. Secara sadar atau tidak, bahwa cara berpikir kritis-rasional adalah asal muasal gagasan mengenai proses penelitian ilmiah. Sosiologi Komunikasi dan Informasi
7
Walaupun demikian kritis-rasional dan penelitian ilmiah, memiliki perbedaan prosedur dan proses satu dengan yang lain, yakni berbeda bobot keilmiahan masing-masing, dan inilah yang akan dibicarakan kemudian. a. Berpikir Kritis-Rasional Manusia memiliki kemampuan untuk berpikir, karena itu berpikir adalah salah satu aktivitas batiniah manusia. Dengan akal budi yang dimiliki manusia, maka manusia dapat untuk berpikir. Proses berpikir adalah menghubungkan satu hal dengan hal lainnya, nenggunakan objek berpikir dan menghubungkannya dengan objek ainnya, membuat tesis dan mengkajinya dengan antitesis, kemudian nenghasilkan tesis, inilah yang dimaksud dengan proses berpikir kritis-rasional. Kemampuan berpikir semacam ini telah banyak menghasilkan kebenaran, walaupun kemudian belum tentu diakui sebagai produk ilmiah. Ada dua jalan yang dapat ditempuh dalam menggunakan cara berpikir rasional untuk menemukan kebenaran atau pengetahuan. Cara-cara itu adalah berpikir analitis dan berpikir sintetis. Sains sering diasosiasikan dengan objektivitas, walaupun objektivitas sains harus betul-betul dapat dibuktikan. Jika dengan objektivitas nilai-nilai diartikan menyerupai cara kerja mesin suspensi, jelas sains tidak objektif. Namun kalau objektivitas dimaksudkan sebagai standarisasi, maka sains akan benar-benar objektif. Ahli sains berupaya melihat dunia dalam suatu cara di mana seluruh observer lain, kalau dilatih dengan cara yang sama dan menggunakan metode sama, akan melihat yang sama. Replikasi dari suatu studi akan menimbulkan hasil-hasil identik dengan hasil- hasil sebelumnya. Standarisasi dan replikasi adalah penting dalam sains karena para ahli sains harus beranggapan bahwa dunia memiliki bentuk dan mereka melihat tugas mereka saat mengobservasinya. Tujuan sains adalah mengobservasi dan menjelaskan dunia seakurat mungkin. b. Penelitian Ilmiah (Scientific Research) Aktivitas manusia menemukan kebenaran atau pengetahuan melalui penelitian ilmiah adalah usaha yang paling maksimal yang dapat diterima akal sehat sampai saat ini. Selain upaya ini disebut sebagai upaya maksimal manusia, penelitian ilmiah juga adalah proses menemukan kebenaran yang dipercaya memiliki bobot ilmiah yang tinggi. Model riset ilmiah yang paling banyak dianut sampai saat ini adalah model Immanuel Kant, yaitu memadukan pemikiran kritis rasional dan pengamatan empiris. Riset ilmiah harus melakukan dua proses berpikir itu dalam satu kegiatan penelitian. Riset ilmiah bukan hanya pemikiran kritis rasional saja atau pengamatan empiris saja, tetapi hasil sinergitas dari kedua proses itu.
D. JENIS TEORI KOMUNIKASI 1. Jenis-jenis Teori Komunikasi Littlejohn (1996:21) mengatakan, berdasarkan metode penjelasan serta cakupan objek pengamatan, secara umum teori-teori komunikasi dapat dibagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama disebut kelompok 'teori-teori umum' (general theories), kelompok kedua adalah kelompok teori-teori kontekstual' (contextual theories). Sosiologi Komunikasi dan Informasi
8
Ada empat jenis teori dalam kelompok teori-teori umum (general theories), namun dimanfaatkan secara efektif dalam kancah-kancah komunikasi, yaitu: (1) teori-teori fungsional dan struktural; (2) teori-teori behavioral dan cognitive; (3) teori-teori konvensional dan interaksional; serta (4) teori-teori kritis dan interpretatif. Sementara itu, kelompok teori-teori kontekstual (contextual theories) terdiri dari teori-teori tentang: (1) komunikasi antarpribadi; (2) komunikasi kelompok; (3) komunikasi organisasi; dan (4) komunikasi massa. a. Teori-teori Umum 1) Teori-teori Fungsional dan Struktural Ciri dan jenis teori ini dibangun berdasarkan asumsi dasar teori, yaitu: (1) masyarakat adalah organisme kehidupan; (2) masyarakat memiliki sub-subsistem kehidupan; (3) masing-masing subsistem memiliki fungsi yang berbeda; (4) fungsi-fungsi subsistem saling memberi kontribusi kepada subsistem lainnya; dan (5) setiap fungsi akan terstruktur dalam masyarakat berdasarkan fungsi masing- masing. Meskipun pendekatan fungsional dan struktural ini sering kali dikombinasikan, namun masing-masing mempunyai ddk penekanan yang berbeda. Pendekatan strukturalisme yang berasal dari linguistik, menekankan pengkajiannya pada hal-hal yang menyangkut pengorganisasian bahasa dan sistem sosial. Pendekatan fungsionalisme yang berasal dari biologi, menekankan pengkajiannya tentang cara-cara pengorganisasian dan mempertahankan sistem. Apabila di telaah, kedua pendekatan ini sama-sama mempunyai penekanan yang sama yakni tentang sistem sebagai struktur yang berfungsi. Menurut Littlejohn (1996:14), kedua pendekatan ini juga memiliki beberapa persamaan karakteristik sebagai berikut: a)
Baik pendekatan strukturalisme maupun pendekatan fungsionalisme, keduanya sama-sama lebih mementingkan synchrony (stabilitas dalam kurun waktu tertentu) daripada diachrony (perubahan dalam kurun waktu tertentu). b) Kedua pendekatan sama-sama mempunyai kecenderungan memusatkan perhatiannya pada akibat-akibat yang tidak ‘diinginkan’ (unintended consequences) daripada hasil-hasil yang sesuai tujuan. Kalangan strukturalis tidak memercayai konsep-konsep 'subjektivitas' dan 'kesadaran'. Bagi mereka yang diamati terutama sekali adalah faktor-faktor yang berada di luar kontrol dan kesadaran manusia. c) Kedua pendekatan sama-sama mempunyai kepercayaan bahwa realitas itu pada dasarnya objektif dan independent (bebas). Oleh karena itu, pengetahuan, menurut pandangan ini, dapat ditemukan melalui metode pengamatan (observasi) empiris yang cermat. d) Pendekatan strukturalisme dan fungsionalisme juga sama-sama bersifat dualistik, karena keduanya memisahkan bahasa dan lambang dari pemikiran-pemikiran dan objek-objek yang disimbolkan dalam komunikasi. Menurut pandangan ini, dunia hadir karena dirinya sendiri, sementara bahasa hanyalah alat untuk merepresentasikan apa yang telah ada. e) Kedua pendekatan juga sama-sama memegang prinsip the correspondence theory of truth (teori kebenaran yang sesuai). Menurut teori ini bahasa harus sesuai dengan realitas. Simbol- simbol harus memprestasikan sesuatu secara akurat. 2) Teori-teori Behavioral dan Cognitive Sosiologi Komunikasi dan Informasi
9
Menurut Sendjaja (2002: 1-23), sebagaimana halnya dengan teori-teori strukturalis dan fungsional, teori-teori behavioral dan cognitive juga merupakan gabungan dari dua tradisi yang berbeda. Asumsinya tentang hakikat dan cara menemukan pengetahuan juga sama dengan aliran strukturalis dan fungsional. Perbedaan utama antara aliran behavioral dan kognitif dengan aliran strukturalis dan fungsional hanya terletak pada fokus pengamatan serta sejarahnya. Teori-teori behavioral dan fungsional yang berkembang dari, sosiologi dan ilmu-ilmu sosial lainnya cenderung memusatkan pengkajiannya pada hal-hal yang menyangkut struktur sosial dan budaya. Sementara teori-teori behavioral dan kognitif yang berkembang dari psikologi dan ilmu-ilmu pengetahuan behavioralis lainnya, cenderung memusatkan pengamatannya pada diri manusia secara individual. Salah satu konsep pemikirannya yang terkenal adalah tentang model "S-R" (stimulus-response) yang menggambarkan proses informasi antara 'stimulus' (rangsangan) dengan 'response' (tanggapan). Teori-teori 'behavioral dan cognitive' juga mengutamakan analisis variabel (variable-analytic). Analisis ini pada dasarnya merupakan upaya mengindentifikasikan variabel-variabel kognitif yang dianggap penting, serta mencari hubungan korelasi di antara variabel. Analisis ini juga menguraikan tentang cara-cara bagaimana variabel-variabel proses kognitif dan informasi menyebabkan atau menghasilkan tingkah laku tertentu. Komunikasi, menurut pandangan teori ini, dianggap sebagai manifestasi dari tingkah laku, proses berpikir, dan fungsi 'bio-neural' dari individu. Oleh karena variabel-variabel penentu yang memegang peranan penting terhadap sarana kognisi seseorang (termasuk bahasa) biasanya berada di luar kontrol dan kesadaran orang tersebut. 3) Teori-teori Konvensional dan Interaksional Teori-teori ini berpandangan bahwa kehidupan sosial merupakan suatu proses interaksi yang membangun, memelihara serta mengubah kebiasaan-kebiasaan tertentu, termasuk dalam hal ini bahasa dan simbol-simbol. Komunikasi, menurut teori ini, dianggap sebagai alat perekat masyarakat (the glue ofsociety). Kelompok teori ini berkembang dari aliran pendekatan 'interaksionisme simbolis' (symbolic interactionism) sosiologi dan filsafat bahasa ordiner. Bagi kalangan pendukung teori-teori ini, pengetahuan dapat ditemukan melalui metode interpretasi. Berbeda dengan teori-teori strukturalis yang memandang struktur sosial sebagai penentu, teori-teori interaksional dan konvensional melihat struktur sosial sebagai produk dari interaksi. Fokus pengamatan teori-teori ini tidak terhadap struktur, tetapi tentang bagaimana bahasa dipergunakan untuk membentuk struktur sosial serta bagaimana bahasa dan simbol-simbol lainnya direproduksi, dipelihara, serta diubah dalam penggunaannya. Makna, menurut pandangan kelompok teori ini, tidak merupakan suatu kesatuan objektif yang ditransfer melalui komunikasi, tetapi muncul dari dan diciptakan melalui interaksi. Dengan kata lain, makna merupakan produk dan interaksi. Menurut teori-teori interaksional dan konvensional, makna pada dasarnya merupakan kebiasaan-kebiasaan yang diperoleh dari interaksi. Oleh karena itu, makna dapat berubah dari waktu ke waktu, dari konteks ke konteks, serta dari satu kelompok sosial ke kelompok lainnya. Dengan demikian, sifat objektivitas dari makna adalah relatif dan temporer (Sendjaja, 2002: 1-24). 4) Teori-teori Kritis dan Interpretatif Kelompok teori yang keempat adalah kelompok-kelompok teori kritis dan interpretatif. Mengacu pandangan Sendjaja (2002: 1.25), bahwa kelompok teori ini gagasan-gagasannya banyak berasal dari berbagai tradisi, seperti sosiologi interpretatif (interpretative sociology), pemikiran Max Weber, phenomenology dan hermeneutics, Marxisme dan aliran Frankfurt School serta sebagai pendekatan tekstual, seperti teori-teori retorika, Biblical, dan
Sosiologi Komunikasi dan Informasi
10
kesusastraan. Pendekatan kelompok teori ini terutama sekali populer di negara- negara Eropa. Teori-teori kiritis dan interpretatif ini kemudian melahirkan teori dan pendekatan baru dalam komunikasi seperti sosiologi komunikasi, hukum komunikasi dan hukum media, komunikasi antar budaya, komunikasi politik, komunikasi organisasi, komunikasi publik, semiotika komunikasi, public relation, dan sebagainya. Meskipun ada beberapa perbedaan di antara teori-teori yang termasuk dalam kelompok ini, namun terdapat dua karakteristik umum. Pertama, penekanan terhadap peran subjektivitas yang didasarkan pada pengalaman individual. Kedua, makna atau meaning merupakan konsep kunci dalam teori-teori ini. Pengalaman dipandang sebagai meaning centered atau dasar pemahaman makna. Dengan memahami makna dari suatu pengalaman, seseorang menjadi sadar akan kehidupan dirinya. Dalam hal ini bahasa menjadi konsep sentral karena bahasa dipandang sebagai kekuatan yang mengemudikan pengalaman manusia. Di samping persamaan umum, juga terdapat perbedaan yang mendasar antara teori-teori interpretatif dan teori-teori kritis dalam hal pendekatannya. Pendekatan teori interpretatif cenderung menghindarkan sifat-sifat preskriptif dan keputusan-keputusan absolut tentang fenomena yang diamati. Pengamatan (observation) menurut teori interpretatif, hanyalah sesuatu yang bersifat tertatif dan relatif. Sementara teoriteori kritis (critical theories) lazimnya cenderung menggunakan keputusan-keputusan absolut, preskriptif, dan juga politis sifatnya. 2. Teori-Teori Kontekstual Seperti apa yang dijelaskan oleh Sendjaja (2002: 1.25), berdasarkan konteks atau tingkatan analisisnya, teori-teori komunikasi secara umum dapat dibagi dalam lima konteks atau tingkatan, sebagai berikut: (1) komunikasi intra-pribadi (intra-personal communication); (2) komunikasi antarpribadi (interpersonal communication); (3) kelompok komunikasi (group communication); (4) komunikasi organisasi (organizational commimication); dan (5) komunikasi massa (mass communication). Intra-personal communication adalah proses komunikasi yang terjadi dalam diri seseorang. Yang jadi pusat perhatian adalah bagaimana jalannya proses pengolahan informasi yang dialami seseorang melalui sistem syaraf dan indranya. Teori komunikasi intra-pribadi umumnya membahas mengenai proses pemahaman, ingatan, dan interpretasi terhadap simbol-simbol yang ditangkap melalui pancaindra. Interpersonal communication atau komunikasi antarpribadi adalah komunikasi antar perorangan dan bersifat pribadi, baik yang terjadi secara langsung (tanpa medium) ataupun tidak langsung (melalui medium). Kegiatan-kegiatan seperti percakapan melalui telepon, surat-menyurat pribadi merupakan contoh-contoh komunikasi antarpribadi. Teori-teori antarpribadi umumnya memfokuskan pengamatannya pada bentuk-bentuk dan sifat hubungan (relationship), percakapan (discourse), interkasi, dan karakteristik komunikator. Komunikasi kelompok (group communication) memfokuskan pembahasannya pada interaksi di antara orang-orang dalam kelompok-kelompok kecil. Komunikasi kelompok juga melibatkan komunikasi antarpribadi. Teori-teori komunikasi kelompok antara lain membahas tentang dinamika kelompok, efisiensi dan efektivitas penyampaian informasi dalam kelompok, pola dan bentuk informasi, serta pembuatan keputusan. Komunikasi organisasi (organizational communication) menunjuk kepada pola dan bentuk komunikasi yang terjadi dalam konteks dan jaringan organisasi. Komunikasi organisasi melibatkan bentuk- bentuk komunikasi formal dan informal, serta bentuk-bentuk Sosiologi Komunikasi dan Informasi
11
komunikasi antarpribadi dan komunikasi kelompok. Pembahasan teori-teori komunikasi organisasi antara lain menyangkut struktur dan fungsi organisasi, hubungan antarmanusia, komunikasi dan proses pengorganisasian, serta kebudayaan organisasi. Komunikasi massa (mass communication) adalah komunikasi melalui media massa yang ditujukan kepada sejumlah khalayak yang besar. Proses komunikasi massa melibatkan aspek-aspek komunikasi intra-pribadi, komunikasi antarpribadi, komunikasi kelompok, dan komunikasi organisasi. Teori-teori komunikasi massa umumnya memfokuskan perhatiannya pada hal-hal yang menyangkut struktur media, hubungan media dengan masyarakat, hubungan antara media dan khalayak, aspek-aspek budaya dari komunikasi massa, serta dampak atau hasil komunikasi massa terhadap individu.
E. MODEL DAN PROSES KOMUNIKASI 1. Model Komunikasi Komunikasi berasal dari bahasa Latin 'communis" atau "common" dalam bahasa Inggris yang berarti sama. Berkomunikasi berarti kita sedang berusaha untuk mencapai kesamaan makna, "commonness". Atau dengan ungkapan yang lain, melalui komunikasi kita mencoba berbagi informasi, gagasan, atau sikap kita dengan partisipan lainnya. Kendala utama informasi, gagasan atau sikap kita dengan partisipan lainnya. Kendala utama dalam berkomunikasi adalah kita sering mempunyai makna yang berbeda terhadap lambang yang sama. Oleh karena itu, komunikasi seharusnya dipertimbangkan sebagai aktivitas di mana tidak ada tindakan atau ungkapan yang diberi makna secara penuh, kecuali jika diindentifikasikan oleh partisipan komunikasi yang terlibat (Kathleen K. Reardon ,1987, Sendjaja, 2002: 4.4). Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss dalam buku Human Communication menjelaskan 3 model komunikasi: Pertama, model komunikasi linier, yaitu model komunikasi satu arah (one-way view of communication). Di mana komunikator memberikan suatu stimulus dan komunikan memberikan respons atau tanggapan yang diharapkan, tanpa mengadakan seleksi dan interpretasi. Seperti, teori jarum hipodermik (hypodermic needle theory), asumsi-asumsi teori ini yaitu ketika seseorang memersuasi orang lain, maka "menyuntikkan satu ampul" persuasi kepada orang lain itu, hingga orang lain tersebut melakukan apa yang ia kehendaki. Kedua, model komunikasi dua arah adalah model komunikasi interaksional, merupakan kelanjutan dari pendekatan linier. Pada model ini, terjadi komunikasi umpan balik (feedback) gagasan. Ada pengirim (sender) yang mengirimkan informasi dan ada penerima (receiver) yang melakukan seleksi, interpretasi dan memberikan respons balik terhadap pesan dari pengirim (sender). Dengan demikian, komunikasi berlangsung dalam proses dua arah (two-way) maupun proses peredaran atau perputaran arah (cyclical process), sedangkan setiap partisipan memiliki peran ganda, di mana pada satu waktu bertindak sebagai sender, sedangkan pada waktu lain berlaku sebagai receiver, terus seperti itu sebaliknya. Ketiga, model komunikasi transaksional, yaitu komunikasi hanya dapat dipahami dalam konteks hubungan (relationship) di antara dua orang atau lebih. Proses komunikasi ini menekankan semua perilaku adalah komunikatif dan masing-masing pihak yang terlibat dalam
Sosiologi Komunikasi dan Informasi
12
komunikasi memiliki konten pesan yang dibawanya dan saling bertukar dalam transaksi (Sendjaja, 2002: 4.4). 2. Proses Komunikasi Menurut Sendjaja dkk. (2002:4.6), dalam tataran teoretis, paling tidak kita mengenal atau memahami komunikasi dari dua perspektif, yaitu perspektif kognitif dan perilaku. Komunikasi menurut Colin Cherry, yang mewakili perspektif kognitif adalah penggunaan lambanglambang (symbols) untuk mencapai kesamaan makna atau berbagi informasi tentang satu objek atau kejadian. Informasi adalah sesuatu (fakta, opini, gagasan) dari satu partisipan kepada partisipan lain melalui penggunaan kata-kata atau lambang lainnya. Jika pesan yang disampaikan diterima secara akurat, receiver akan memiliki informasi yang sama seperti yang dimiliki sender, oleh karena itu tindak komunikasi telah terjadi. Sementara Skinner dari perspektif perilaku memandang komunikasi sebagai perilaku verbal atau simbolis di mana sender berusaha mendapatkan satu efek yang dikehendakinya pada receiver. Masih dalam perspektif perilaku, Dance menegaskan bahwa komunikasi ada karena adanya satu respons melalui lambang-lambang verbal di mana simbol verbal tersebut bertindak sebagai stimulus untuk memperoleh respons. Kedua pengertian komunikasi yang disebut terakhir, mengacu pada hubungan stimulus respons antara sender dan receiver (Sendjaja dkk.: 2002: 4.6). Pada umumnya proses komunikasi antarmanusia dapat digambarkan dalam model berikut. SKEMA 1
MODEL KOMUNIKASI ANTARMANUSIA
Sumber: Jerry W. Koehler, Karl W.E. Anatol, Ronald L. Appibaum: Organizational Communication, Behavioral Perspectives (Sendjaja, dkk. (2002: 4.7) Dalam kehidupan sehari-hari, proses komunikasi diawali oleh sumber (source) baik individu ataupun kelompok yang berusaha berkomunikasi dengan individu atau kelompok lain.
Sosiologi Komunikasi dan Informasi
13
Langkah pertama yang dilakukan sumber adalah ideation, yaitu penciptaan satu gagasan atau pemilihan seperangkat informasi untuk dikomunikasikan. Ideation ini merupakan landasan bagi suatu pesan yang akan disampaikan. Langkah kedua dalam penciptaan suatu pesan adalah encoding, yaitu sumber menerjemahkan informasi atau gagasan dalam wujud kata-kata, tanda-tanda atau lambang-lambang yang disengaja untuk menyampaikan informasi yang diharapkan mempunyai efek terhadap orang lain. Pesan atau message adalah alat-alat di mana sumber mengekspresikan gagasannya dalam bentuk bahasa lisan, bahasa tertulis ataupun perilaku nonverbal, seperti bahasa isyarat, ekspresi wajah, atau gambar-gambar. Langkah ketiga dalam proses komunikasi adalah penyampaian pesan yang telah disandi (encode). Sumber menyampaikan pesan kepada penerima dengan cara berbicara, menulis, menggarnbar, ataupun melalui suatu tindakan tertentu. Pada langkah ketiga ini, kita mengenal istilah channel atau saluran, yaitu alat-alat mtuk menyampaikan suatu pesan. Saluran untuk komunikasi lisan adalah komunikasi tatap muka, radio, dan telepon. Sedangkan saIuran untuk komunikasi tertulis meliputi setiap materi yang tertulis ataupun sebuah media yang dapat mereproduksi kata-kata tertulis, seperti: televisi, LCD, kaset video, atau OHP (overhead- projector). Sumber berusaha untuk membebaskan saluran komunikasi dari gangguan ataupun hambatan, sehingga pesan dapat sampai kepada penerima seperti yang dikehendaki. Langkah keempat, perhatian dialihkan kepada penerima pesan. Jika pesan itu bersifat lisan, maka penerima perlu menjadi seorang pendengar yang baik, karena jika penerima tidak mendengar, pesan tersebut akan hilang. Dalam proses ini, penerima melakukan decoding, yaitu memberikan penafsiran interpretasi terhadap pesan yang disarnpaikan kepadanya. Pemahaman (understanding) merupakan kunci untuk melakukan decoding dan hanya terjadi dalam pikiran nenerima. Akhirnya penerimalah yang akan menentukan bagaimana memahami suatu pesan dan bagaimana pula memberikan respons terhadap pesan tersebut. Tahap terakhir dalam proses komunikasi adalah feedback atau umpan balik yang memungkinkan sumber mempertimbangkan kembali pesan yang telah disampaikannya kepada penerima. Respons atau umpan balik dari penerima terhadap pesan yang disampaikan sumber dapat berwujud kata-kata ataupun menyimpannya. Umpan balik inilah yang dapat dijadikan landasan untuk mengevaluasi efektivitas komunikasi (Sendjaja, 2002:4.7).
F. LINGKUP TEORI KOMUNIKASI 1.
Teori Komunikasi Kelompok
Komunikasi dalam kelompok merupakan bagian dari kegiatan keseharian orang. Sejak lahir, orang sudah mulai bergabung dengan kelompok primer yang paling dekat, yaitu keluarga. Kemudian seiring dengan perkembangan usia dan kemampuan intelektual kita masuk dan terlibat dalam kelompok-kelompok sekunder seperti sekolah, lembaga agama, tempat pekerjaan dan kelompok sekunder lainnya yang sesuai dengan minat dan keterikatan kita, ringkasnya kelompok merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan kehidupan kita, karena melalui kelompok, memungkinkan kita dapat berbagi informasi, pengalaman, dan pengetahuan kita dengan anggota kelompok lainnya. 2.
Teori Komunikasi Organisasi
Komunikasi adalah sebuah tindakan untuk berbagi informasi, gagasan ataupun pendapat dari setiap partisipan komunikasi yang terlibat di dalamnya guna mencapai kesamaan makna. Tindak komunikasi tersebut dapat dilakukan dalam beragam konteks, antara lain adalah dalam Sosiologi Komunikasi dan Informasi
14
lingkup organisasi (organizational communication). Dalam konteks organisasi, pemahaman mengenai peristiwa-peristiwa komunikasi yang terjadi di dalamnya, seperti apakah instruksi pimpinan sudah dilaksanakan dengan benar oleh karyawan ataupun bagaimana bawahan mencoba menyampaikan keluhan pada atasan, memungkinkan tujuan organisasi yang telah ditetapkan dapat tercapai sesuai dengan hasil yang diharapkan, merupakan contoh sederhana untuk memperlihatkan bahwa komunikasi merupakan aspek yang penting dalam suatu organisasi, baik organisasi profit maupun nonprofit. 3.
Teori Komunikasi Massa
Teori "desa global" yang pernah dilontarkan oleh Marshall McLuhan beberapa waktu yang lalu menarik untuk disinggung kembali dalam bagian ini. Ia mengatakan bahwa, kita sebenarnya hidup dalam suatu 'desa global'. Pernyataan McLuhan ini mengacu pada perkembangan media komunikasi modern yang telah memungkinkan jutaan orang di seluruh dunia untuk dapat berhubungan dengan hampir setiap sudut dunia. Hal ini merupakan tantangan baru bagi semua disiplin ilmu, karena komunikasi modem yang dibantu oleh media massa mampu menciptakan dalam menata publik, menentukan isu, memberikan kesamaan kerangka pikir. Secara teori, pada satu sisi, konsep komunikasi massa mengandung pengertian sebagai suatu proses di mana institusi media massa memproduksi dan menyebarkan pesan kepada publik secara luas, namun pada sisi lain, komunikasi massa merupakan proses di mana pesan tersebut dicari, digunakan, dan dikonsumsi oleh audience. Fokus kajian dalam komunikasi massa adalah media massa. Media massa adalah institusi yang menebarkan informasi berupa pesan berita, peristiwa, atau produk budaya yang memengaruhi dan merefleksikan suatu masyarakat. Sehubungan dengan itu, maka institusi media massa juga adalah bagian dari sistem kemasyarakatan dari suatu masyarakat dalam konteks yang lebih luas. Kajian tentang media dapat dilakukan dari dua dimensi komunikasi massa. Dimensi pertama dapat menjelaskan hubungan antara media dengan audience, andience dalam pengertian individual maupun kelompok. Teori-teori mengenai hubungan antara media andience, menekankan adanya komunikasi massa pada individu dan kelompok sebagai hasil interaksi dengan media. Dalam kajian pertama ini, disebut sebagai kajian dimensi mikro dari teori komunikasi massa. Dimensi kedua disebut sebagai kajian dimensi makro, di mana kajian ini memandang dari sisi pengaruh media kepada masyarakat luas beserta institusi-institusinya. Dimensi ini menjelaskan keterkaitan antara media dengan berbagai institusi lain di masyarakat, seperti politik, budaya, sosial, ekonomi pendidikan, agama, dan sebagainya. Teori-teori komunikasi yang menjelaskan keterkaitan tersebut, mengkaji posisi atau kedudukan media dalam masyarakat, di mana keduanya saling memengaruhi satu dengan lainnya. 4. Teori-teori Komunikasi Interpretatif dan Kritis a.
Teori-teori Komunikasi Interpretasi
Mengacu pada pendapat Sendjaja (2002:9.11), bahwa pendekatan interpretasi yang dikenal dalam istilah Jerman 'Verstehen ' atau pemahaman, berusaha untuk menjelaskan makna dari tindakan. Karena suatu tindakan dapat memiliki banyak arti, maka makna tidak dapat dengan mudah diungkap begitu saja. Interpretasi, secara harfiah, merupakan proses aktif dan Sosiologi Komunikasi dan Informasi
15
inversi. Meskipun makna yang dimaksud oleh para pelakunya penting dalam berbagai bentuk interpretasi adalah suatu tindakan kreatif dalam mengungkap kemungkinan-kemungkinan makna. Teori komunikasi interpretatif ini antara lain mengadopsi teori interaksi simbolis, teori hermenuetik, teori semiotika, maupun teori simbol. Teori-teori ini berkembang sangat pesat dalam bidang komunikasi akhir-akhir ini karena perkembangan media komunikasi yang begitu pesat terutama media cetak dan elektronik. Kemajuan visualisasi media informasi menyebabkan penggunaan simbol-simbol sosial dan budaya modern tidak bisa dihindari. Bahasa komunikasi berkembang dengan sangat pesat dan modern, begitu pula perilaku orang berkomunikasi ikut berubah. Dari konteks inilah, maka berkembang teori-teori interpretatif dalam kancah komunikasi saat ini. b.
Teori-teori Komunikasi Kritis
Meskipun terdapat beberapa macam ilmu sosial kritis, semuanya memiliki tiga asumsi dasar yang sama. Pertama, semuanya menggunakan prinsip-prinsip dasar ilmu sosial interpretatif, seperti yang dijelaskan pada bagian pertama tulisan ini. Yaitu, bahwa ilmuwan kritis menganggap perlu untuk memahami pengalaman orang dalam konteks. Secara khusus pendekatan kritis bertujuan untuk menginterpretasikan dan karenanya memahami bagaimana berbagai kelompok sosial dikekang dan ditindas. Kedua, pendekatan ini mengkaji kondisi-kondisi sosial dalam usahanya untuk mengungkap struktur-struktur yang sering kali tersembunyi. Kabanvakan teori-teori kritis mengajarkan, bahwa pengetahuan adalah kekuatan untuk memahami bagaimana seseorang ditindas sehingga orang dapat mengambil tindakan untuk mengubah kekuatan penindas. Ketiga, pendekatan kritis secara sadar berupaya untuk menggabungkan teori dan tindakan. Teori-teori tersebut jelas normatif dan bertindak untuk mencapai perubahan dalam berbagai kondisi yang memengaruhi hidup kita (Sendjaja, 2002: 30). Wacana-wacana ilmu sosial kritis pada dasarnya memiliki implikasi ekonomi dan politik, maupun sosiologis tetapi banyak di antaranya yang berkaitan dengan komunikasi dan tatanan interaksi sosial dan komunikasi dalam masyarakat. Meskipun demikian, teoretisi kritis biasanya menyangkut banyak hal dalam keseluruhan sistem masyarakat. Dengan demikian, suatu teori kritis mengenai komunikasi dan ilmu-ilmu sosial lainnya perlu melibatkan masyarakat secara keseluruhan. Dengan demikian, maka lahirlah berbagai teori kritis baru dalam komunikasi seperti sosiologi komunikasi, hukum komunikasi dan hukum media, psikologi komunikasi, komunikasi antarbudaya, komunikasi politik, komunikasi organisasi, komunikasi kelompok, komunikasi publik, public relation, komunikasi sosial, semiotika komunikasi, dan sebagainya.
G. TEORI DAN MODEL KOMUNIKASI ANTARPRIBADI 1. Teori-teori Diri dan Orang Lain Pribadi adalah individu yang berbeda satu dengan lainnya, perbedaan tersebut menyebabkan orang mengenal individu secara khas dan membedakannya dengan individu
Sosiologi Komunikasi dan Informasi
16
lainnya. Kualitas individu menentukan kekhasannya dalam hubungannya dengan individu lain, dan kekhasan tersebut akan menentukan kualitas komunikasinya. a. Persepsi Terhadap Diri Pribadi (Self Perception) Langkah pertama dalam persepsi diri adalah menyadari diri kita sendiri, yaitu mengungkap siapa dan apa kita ini, dan sesungguhnya menyadari siapa diri kita, adalah juga persepsi diri. Proses psikologis diasosiasikan dengan interpretasi dan pemberian makna terhadap orang atau objek tertentu, proses ini dikenal sebagai persepsi. Dengan mengutip Cohen, Fisher (1987:118, Sendjaja, 2002: 2.13) dikemukakan, bahwa persepsi didefinisikan sebagai interpretasi terhadap berbagai sensasi sebagai representasi dari objek-objek eksternal, jadi persepsi adalah pengetahuan tentang apa yang dapat ditangkap oleh indra kita. Definisi ini melibatkan sejumlah karakteristik yang mendasari upaya kita untuk memahami proses antarpribadi. Selanjutnya Sendjaja mengatakan bahwa: Pertama, suatu tindakan mensyaratkan kehadiran objek-objek eksternal untuk dapat ditangkap oleh indra kita. Dalam hal persepsi terhadap diri pribadi, kehadirannya sebagai objek eksternal bisa jadi kurang nyata, tetapi keberadaannya jelas dapat dirasakan. Kedua, adanya informasi untuk diinterpretasikan. Informasi yang dimaksud di sini adalah segala sesuatu yang diperoleh melalui sensasi atau indra yang kita miliki. Ketiga, menyangkut sifat representatif dari pengindraan. Maksudnya, kita tidak dapat mengartikan makna suatu persepsi didasarkan pada pengamatan langsung. Konsekuensinya adalah pengetahuan yang kita peroleh melalui persepsi bukanlah tentang apakah suatu objek, melainkan apa yang tampak sebagai objek tersebut. Adakalanya penampakan dapat menyesatkan seperti yang kita alami dalam ilusi optis, special effects dalam film dan sebagainya. Oleh karenanya, persepsi tidak lebih dari pengetahuan mengenai apa yang tampak sebagai realitas bagi diri kita. Dengan demikian, maka persepsi diri perlu otokoreksi karena bisa jadi perspesi kita tentang diri kita adalah sebuah tipu muslihat yang diciptakan oleh proses persepsi individu tentang dirinya sendiri (yang salah). b. Kesadaran Pribadi (Self Awareness) Memahami tentang diri sendiri bagaikan kita berkacakan cermin, bahwa apa yang dilihat adalah wajah kita sebenarnya. Ketika orang menyadari siapa dirinya secara simultan ia juga telah mempersepsikan dirinya sendiri. Agar orang dapat menyadari dirinya sendiri, pertama kali orang harus memahami apakah diri atau self (nya) tersebut. "Diri" secara sederhana dapat ditafsirkan sebagai identitas individu. Dengan demikian, identitas diri adalah cara-cara yang digunakan orang untuk membedakan individu satu dengan individu-individu lainnya. Karena itu, "diri" adalah suatu pengertian yang mengacu kepada identitas spesifik dari seseorang. c. Pengungkapan Diri (Self Disclosure) Self disclosure atau proses pengungkapan diri yang telah lama menjadi fokus penelitian dan teori komunikasi mengenai hubungan, merupakan proses mengungkapkan informasi pribadi kita kepada orang lain dan sebaliknya. Sidney Jourard (1971, Sendjaja, 2002:2.141) menandai sehat atau tidaknya komunikasi pribadi dengan melihat keterbukaan yang terjadi didalam komunikasi. Mengungkapkan yang sebenarnya tentang dirinya, dipandang sebagai ukuran dari hubungan yang ideal.
Sosiologi Komunikasi dan Informasi
17
Ahli lain, Joseph Luft (Reardon, 1987: 163, Sendjaja, 2002), mengemukakan teori self disclosure lain yang didasarkan pada model interaksi manusia, yang disebut Johari Window. Menurut Luft, orang memiliki atribut yang hanya diketahui oleh dirinya sendiri dan orang lain, dan tidak diketahui oleh siapa pun. Jika komunikasi antara dua orang berlangsung dengan baik, maka akan terjadi disclosure yang mendorong informasi mengenai diri masing-masing ke dalam kuandran "terbuka". Meskipun self disclosure mendorong adanya keterbukaan, namun keterbukaan itu sendiri ada batasnya. Artinya, perlu kita pertimbangkan kembali apakah menceritakan segala sesuatu tentang diri kita kepada orang lain akan menghasilkan efek positif bagi hubungan kita dengan orang tersebut. Beberapa penelitian menunjukkan, bahwa keterbukaan yang ekstrem akan memberikan efek negatif terhadap hubungan (Littlejohn, 1939: 161).
2. Teori Hubungan Antarpribadi (Interpersonal Relationship) a. Memahami Hubungan Antarpribadi Di dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, hubungan antarpribadi memainkan peran penting dalam membentuk kehidupan masyarakat, terutama ketika hubungan antarpribadi itu mampu memberi dorongan kepada orang tertentu yang berhubungan dengan perasaan, pemahaman informasi, dukungan, dan berbagai bentuk komunikasi yang memengaruhi citra diri orang serta membantu orang untuk memahami harapan-harapan orang lain. Komunikasi antarpribadi dalam keluarga dan tempat kerja yang penuh ketegangan, bisa jadi meningkatkan kemungkinan seseorang untuk terserang stroke, hipertensi, dan berbagai penyakit lainnya. Sebaliknya pasangan suami istri yang saling mencintai dan merek yang memiliki jaringan teman yang menyenangkan cenderung terhindar dari hipertensi. Uraian ini menunjukkan, bahwa manusi tidak dapat menghindar dari jalinan hubungan dengan sesamanya Kita memiliki kadar yang berbeda dalam membutuhkan orang lain demikian pula mengenai nilai penting kuantitas dan kualitas hubungan antarpribadi. Meskipun demikian, secara pasti dapat dikatakan bahwa kita memerlukan hubungan antarpribadi. Bagian berikut akan membahas teori-teori mengenai pengembangan, pemeliharaan dan mengakhiri hubungan (Reardon, 1987:159, Sendjaja, 2002:2.39) b. Teori-teori Pengembangan Hubungan Pemahaman mengenai hubungan merupakan suatu aspek penting dari studi tentang komunikasi antarpribadi, karena hubungan berkembang dan berakhir melalui komunikasi. Telah puluhan tahun para ahli mencoba untuk menentukan bagaimana hubungan terbentuk dan bagaimana hubungan berakhir. 1) Self Disclosure Proses pengungkapan diri (self disclosure) adalah proses pengungkapan informasi diri pribadi seseorang kepada orang lain atau sebaliknya. Pengungkapan diri merupakan kebutuhan seseorang sebagai jalan keluar atas tekanan-tekanan yang terjadi pada dirinya. Proses pengungkapan diri dilakukan dalam dua bentuk; pertama, dilakukan secara tertutup, yaitu seseorang mengungkapkan informasi diri kepada orang lain dengan cara sembunyi-sembunyi melalui ungkapan dan tindakan, di mana ungkapan dan tindakan itu Sosiologi Komunikasi dan Informasi
18
merupakan sebuah keterbukaan tentang apa yang terjadi pada diri seseorang. Namun cara pengungkapan diri semacam ini jarang dipahami orang lain, kedua orang lain memiliki perhatian terhadap orang yang melakukan pengungkapan diri itu. Dalam teori-teori interaksi simbolik bahwa semua tindakan, perkataan, dan ungkapan-ungkapa seseorang memiliki makna interaksi tentang apa yang sedang dipikirkan. Jadi, tindakan adalah ekspresi dari apa yang ada dalam pikiran seseorang. 2) Social Penetration Altman dan Taylor (1973, Sendjaja, 2002: 2.42) mengemukakan suatu model perkembangan hubungan yang disebut social penetration atau penetrasi sosial. Yaitu proses di mana orang saling mengenal satu dengan lainnya. Model ini selain melibatkan self disclosure juga menjelaskan bilamana harus melakukan self disclosure dalam perkembangan hubungan. Penetrasi sosial merupakan proses yang bertahap, dimulai dari komunikasi basa-basi yang tidak akrab dan terus berlangsung hingga menyangkut topik pembicaraan yang lebih pribadi dan akrab, seiring dengan berkembangnya hubungan. Di sini orang akan membiarkan orang lain untuk lebih mengenal dirinya secara bertahap. Dalam proses ini orang biasanya akan menggunakan persepsinya untuk menilai keseimbangan antara upaya dan ganjaran (cost and rewards) yang diterimanya atas pertukaran yang terus berlangsung untuk memperkirakan prospek hubungan mereka. Jika perkiraan tersebut menjanjikan kesenangan dan keuntungan, maka mereka secara bertahap akan bergerak menuju tingkat hubungan yang lebih akrab. Altman dan Taylor, menggunakan bawang merah (onion) sebagai analogi untuk menjelaskan bagaimana orang melalui interakasi saling mengelupas lapisan-lapisan informasi mengenai diri masingmasing. Lapisan luar berisi informasi superfisial, seperti nama, alamat, atau umur. Ketika lapisan-lapisan ini sudah terkelupas; kita semakin mendekati lapisan terdalam yang berisi informasi yang lebih mendasar tentang kepribadian. Altman dan Tavlor juga mengemukakan adanya dimensi "keluasan" dan "kedalaman" dari jenis-jenis informasi, yang menjelaskan bahwa pada setiap lapisan kepribadian. Keluasan mengacu kepada banyaknya jenis-jenis informasi pada lapisan tertentu yang dapat diketahui oleh orang lain dalam pengembangan hubungan. Dimensi kedalaman mengacu pada lapisan informasi mana (yang lebih pribadi atau yang superfisial) yang dapat dikemukakan pada orang lain. Kedalaman ini diasumsikan akan terus meningkat sejalan dengan perkembangan hubungan. Model ini menggambarkan perkembangan hubungan sebagai suatu proses, di mana hubungan adalah sesuatu yang terus berlangsung dan berubah. 3) Process View Process View menganggap bahwa kualitas dan sifat hubungan dapat diperkirakan hanya dengan menggunakan atribut masing-masing sebagai individu dan kombinasi antara atribut- atribut tadi. Hubungan intensif antara orang-orang dalam kelompok primer dapat menyebabkan lahirnya proses view. Jadi, umpamanya suami istri memahami perilaku masing-masing, istri memahami makna senyum suami, sedangkan suami juga memahami kerutan kening istri. Namun pemahaman makna itu berhubungan secara spesifik dengan objek tertentu. Jadi umpamanya pemahaman istri terhadap senyuman suami itu ketika berhubungan dengan peristiwa ketika suami menyentuh istri, begitu pula pemaknaan suami terhadap senyuman istri ketika berada di toko pakaian. Atribut yang sama, yaitu "senyuman", namun memiliki makna yang berbeda apabila dilakukan oleh orang dan objek serta situasi yang berbeda. Proses vieiv membutuhkan waktu dalam memahami atribut-atribut yang digunakan di antara orang-orang dalam kelompok primer itu.
Sosiologi Komunikasi dan Informasi
19
4) Social Exchange Teori ini menelaah bagaimana kontribusi seseorang dalam suatu hubungan, di mana hubungan itu memengaruhi kontribusi orang lain. Thibaut dan Kelley, (Sendjaja, 2002: 2.43) pencetus teori ini, mengemukakan bahwa orang mengevaluasi hubungannya dengan orang lain dengan mempertimbangkan konsekuensinya, khususnya terhadap ganjaran yang diperoleh dan upaya yang telah dilakukan, orang akan memutuskan untuk tetap tinggal dalam hubungan tersebut atau pergi meninggalkannya. Ukuran bagi keseimbangan pertukaran antara untung dan rugi dalam hubungan dengan orang lain itu disebut comparison levels, di mana apabila orang mendapatkan keuntungan dari hubungannya dengan orang lain, maka orang akan merasa puas dengan hubungan itu. Sebaliknya, apabila orang merasa rugi berhubungan dengan orang lain dalam konteks upaya dan ganjaran, maka orang cenderung menahan diri atau meninggalkan hubungan tersebut. Biasanya dalam konteks hubungan ini, seseorang memiliki banyak alternatif yang dapat diberikan dalam model pertukaran sosial di mana pilihan-pilihan dan alternatif tersebut memiliki ukuran yang dapat ditoleransi seseorang dengan mempertimbangkan alternatif-alternatif yang dia miliki. Asumsi tentang perhitungan antara ganjaran dan upaya (untung-rugi) tidak berarti bahwa orang selalu berusaha untuk saling mengeksploitasi, tetapi bahwa orang lebih memilih lingkungan dan hubungan yang dapat memberikan hasil yang diinginkannya. Tentunya kepentingan masing-masing orang akan dapat dipertemukan untuk dapat saling memuaskan daripada mengarah pada hubungan yang eksploitatif. Hubungan yang ideal akan terjadi bilamana kedua belah pihak dapat saling memberikan cukup keuntungan sehingga hubungan tersebut menjadi sumber yang dapat diandalkan bagi kepuasan kedua belah pihak (Roloff, 1981, Sendjaja, 2002: 2.43)
H. TEORI DAN MODEL KOMUNIKASI KELOMPOK 1. Pengertian Komunikasi Kelompok Baruch Spinoza 300 tahun yang lalu menyatakan, bahwa -rianusia adalah binatang sosial. Pernyataan ini diperkuat oleh psikologi modern yang menunjukkan bahwa orang lain mempunyai pengaruh yang sangat besar pada sikap kita, perilaku kita, dan >abikan persepsi kita (Severin dan Tankard, Jr., 2005: 219). Kelompok adalah sekumpulan orang-orang yang terdiri dari dua atau tiga orang bahkan lebih. Kelompok memiliki hubungan yang intensif di antara mereka satu sama lainnya, terutama kelompok primer, intensitas hubungan di antara mereka merupakan persyaratan utama yang dilakukan oleh orang-orang dalam kelompok tersebut. Kelompok memiliki tujuan dan aturan-aturan yang dibuat sendiri dan merupakan kontribusi arus informasi di antara mereka sehingga mampu menciptakan atribut kelompok sebagai bentuk karakteristik yang khas dan melekat pada kelompok itu. elompok yang baik adalah kelompok yang dapat mengatur sirkulasi tatap muka yang intensif di antara anggota kelompok, serta tatap muka itu pula akan mengatur sirkulasi komunikasi makna di antara mereka, sehingga mampu melahirkan sentimen-sentimen kelompok serta kerinduan di antara mereka.
Sosiologi Komunikasi dan Informasi
20
Terminologi tatap muka (face to face) mengandung makna bahwa setiap anggota kelompok harus dapat melihat dan mendengar anggota lainnya dan juga harus dapat mengatur umpan balik secara verbal maupun nonverbal dari setiap anggotanya. Batasan ini tidak berlaku atau meniadakan kumpulan individu yang bersifat crowd atau kerumunan orang yang sedang melihat aksi-aksi panggung Peterpan, atau kerumunan orang yang sedang menonton sepak bola di televisi. Wacana menarik dalam konteks face to face ini adalah menyangkut hubungan-hubungan tatap muka yang menggunakan media telekomunikasi. Mengingat kemajuan teknologi saat ini menyebabkan orang hidup terpisah semakin jauh, namun konten komunikasinya semakin dekat. Umpamanya si Anwar, mahasiswa sebuah perguruan tinggi di Surabaya, sehari-hari menyewa sebuah kamar kost di sekitar kampusnya, namun setiap minggu harus pulang ke rumahnya agar bisa berkumpul dengan orang tuannya. Ia secara rutin baru bisa berkumpul dengan orang tuanya setiap hari minggu, karena itu hari minggu adalah hari yang paling berbahagia bagi Anwar dan orang tuanya, karena dapat berkumpul bersama. Namun ketika Anwar diberi telepon seluler oleh ibunya dengan alasan agar setiap saat dapat berhubungan dengan Anwar maka Anwar diizinkan oleh orang tuanya tidak setiap minggu pulang ke rumahnya, dengan alasan setiap hari dapat berhubungan dengan Anwar. Dengan demikian, makna tatap muka tersebut berkaitan erat dengan adanya interaksi di antara semua anggota kelompok. Pengertian kelompok di sini adalah kelompok kecil, tidak ada batasan yang jelas tentang berapa jumlah orang yang berada dalam satu kelompok kecil, namun pada umumnya kelompok kecil terdi dari 2 sampai 15 orang. Jumlah yang lebih kecil dari 2 orang bukanlah kelompok, begitu pula jumlah anggota kelompok yang melebi 15 orang, akan menyulitkan setiap anggota berinteraksi dengan anggota kelompok lainnya secara intensif dan face to face. Kelompok juga memiliki tujuan-tujuan yang diperjuangkan bersama, sehingga kehadiran setiap orang dalam kelompok diikuti dengan tujuan-tujuan pribadinya. Dengan demikian, kelompok memiliki dua tujuan utama, yaitu tujuan masing-masing pribadi dalam kelompok dan tujuan kelompok itu sendiri. Setiap tujuan individu harus sejalan dengan tujuan kelompok, sedangkan tujuan kelompok harus memberi kepastian kepada tercapainya tujuan-tujuan individu. Sebuah kelompok akan bertahan lama apabila dapat memberi kepastian bahwa tujuan individu dapat dicapai melalui kelompok, sebaliknya individu setiap saat dapat meninggalkan kelompok apabila ia menganggap kelompok tidak memberi kontribusi bagi tujuan pribadinya. Kelompok juga memberi identitas terhadap individu, melalui dentitas ini setiap anggota kelompok secara tidak langsung berambungan satu sama lain. Melalui identitas ini individu melakukan pertukaran fungsi dengan indivudu lain dalam kelompok. Pergaulan ini akhirnya menciptakan aturan-aturan yang harus ditaati oleh setiap individu dalam kelompok sebagai sebuah kepastian hak dan kewajiban mereka dalam kelompok. Aturan-aturan inilah bentuk lain dari karakter sebuah kelompok yang dapat dibedakan dengan kelompok lain dalam masyarakat. Ada empat elemen kelompok yang dikemukakan oleh Adler dan Rodman (Sendjaja, 2002: 3.5), yaitu interaksi, waktu, ukuran, dan tujuan. (1) Interaksi dalam komunikasi kelompok merupakan aktor yang penting, karena melalui interaksi inilah, kita dapat melihat perbedaan antara kelompok dengan istilah yang disebut dengan coact. Coact adalah sekumpulan orang yang secara serentak terrikat dalam aktivitas yang sama namun tanpa komunikasi satu ama lain. Misalnya, mahasiswa yang hanya secara pasif mendengarkan suatu perkuliahan, secara teknis belum dapat disebut sebagai kelompok. Mereka dapat dikatakan
Sosiologi Komunikasi dan Informasi
21
sebagai kelompok apabila sudah mulai mempertukarkan pesan dengan dosen atau rekan mahasiswa yang lain. (2) Sekumpulan orang yang berinteraksi untuk jangka waktu yang singkat, tidak dapat digolongkan sebagai kelompok, kelompok mempersyaratkan interaksi dalam jangka waktu yang panjang, karena dengan interaksi ini akan dimiliki karakteristik atau ciri yang tidak dipunyai oleh kumpulan yang bersifat sementara. (3) Ukuran atau jumlah partisipan dalam komunikasi kelompok, i bak ada ukuran yang pasti mengenai jumlah anggota dalam suatu zlompok. (4) Elemen terakhir adalah tujuan yang mengandung pengertian bahwa keanggotaan dalam suatu kelompok akan membantu individu yang menjadi anggota kelompok tersebut dapat mewujudkan satu atau lebih tujuannya. 2. Karakteristik Komunikasi Kelompok Karakteristik komunikasi dalam kelompok ditentukan melati dua hal, yaitu norma dan peran. Norma adalah kesepakatan da perjanjian tentang bagaimana orang-orang dalam suatu kelompok berhubungan dan berperilaku satu dengan lainnya. Severin dan Tankard (2005:220, Reno, Cialdini dan Kallgren, 1993) mengatakan norma-norma sosial (social norm) terdiri dari dua jenis; deskriptif dan perintah. Norma-norma deskriptif menentukan apa yang pada umumnya dilakukan dalam sebuah konteks, sedangkan norm, norma perintah (injunctive norm) menentukan apa yang pada umunnya disetujui oleh masyarakat. Keduanya mempunyai dampak pada tingkah laku manusia, namun norma-norma perintah tampaknya mempunyai dampak yang lebih besar. Norma oleh para sosiolog disebut juga dengan 'hukum' (law ataupun 'aturan' (rule), yaitu perilaku-perilaku apa saja yang pantas dan tidak pantas untuk dilakukan dalam suatu kelompok. Ada tiga kategori norma kelompok, yaitu norma sosial, prosedural, dan tugas. Norma sosial mengatur hubungan di antara para anggota kelompok. Sedangkan norma prosedural menguraikan dengan lebih rinci bagaimana kelompok harus beroperasi, seperti bagaimana suatu kelompok harus membuat keputusan, apakah melalui suara mayoritas ataukah dilakukan pembicaraan sampai tercapai kesepakatan. Dari norma tugas memusatkan perhatian pada bagaimana suatu pekejaan harus dilakukan (Sendjaja, 2002: 3.6). Peran adalah aspek dinamis dari kedudukan (status). Apakah seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka dia menjalankan suatu peran (Soekanto, 200 242). Peran dibagi menjadi tiga, yaitu peran aktif, peran partisipatif dan peran pasif. Peran aktif adalah peran yang diberikan oleh anggota kelompok karena kedudukannya di dalam kelompok sebagai aktivis kelompok, seperti pengurus, pejabat, dan sebagainya. Peran partisipatif adalah peran yang diberikan oleh anggota kelompok pada umumnya kepada kelompoknya, partisipasi anggota macam ini akan memberi sumbangan yang sangat berguna bagi kelompok itu sendiri. Sedangkan peran pasif adalah sumbangan anggota kelompok yang bersifat pasif, di mana anggota kelompok menahan diri agar memberi kesempatan kepada fungsi-fungsi lain dalam kelompok dapat berjalan dengan baik. Dengan cara bersikap pasif, seseorang telah memberi sumbangan kepada terjadinya kemajuan dalam kelompok atau memberi sumbangan kepada kelompok agar tidak terjadi pertentangan dalam kelompok karena adanya peran-peran yang kontradiktif. Peran juga mencakup tiga hal: (a) peran meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat, dengan demikian peran berfungsi membimbing seseorang dalam kehidupan kemasyarakatan; (b) peran adalah suatu konnsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi; (c)
Sosiologi Komunikasi dan Informasi
22
peran juga menyangkut perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat (Soekanto, 002: 244). 3. Fungsi Komunikasi Kelompok Keberadaan suatu kelompok dalam masyarakat dicerminkan lebih adanya fungsi-fungsi yang akan dilaksanakannya. Fungsi-fungsi tersebut mencakup fungsi hubungan sosial, pendidikan, persuasi, pemecahan masalah dan pembuatan keputusan, serta fungsi terapi (Sendjaja, 2002: 3.8). Semua fungsi ini dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat, kelompok, dan para anggota kelompok itu sendiri. a. Fungsi pertama dalam kelompok adalah hubungan sosial, dalam arti bagaimana suatu kelompok mampu memelihara dan memantapkan hubungan sosial di antara para anggotanya, seperti bagaimana suatu kelompok secara rutin memberikan kesempatan kepada anggotanya untuk melakukan aktivitas yang informal, santai, dan menghibur. b. Pendidikan adalah fungsi kedua dari kelompok, dalam arti bagaimana sebuah kelompok secara formal maupun informal bekerja untuk mencapai dan mempertukarkan pengetahuan. Melalui fungsi pendidikan ini, kebutuhan-kebutuhan dari para anggota kelompok, kelompok itu sendiri, bahkan kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi. Namun demikian, fungsi pendidikan tergantung pada tiga faktor, yaitu jumlah informasi baru yang dikontribusikan, jumlah partisipan dalam kelompok, serta frekuensi interaksi di antara para anggota kelompok. Fungsi pendidikan ini akan sangat efektif jika setiap anggota kelompok membawa pengetahuan yang berguna bagi kelompoknya tanpa pengetahuan baru yang disumbangkan masing- masing anggota, mustahil fungsi edukasi ini akan tercapai. c. Fungsi persuasi, seorang anggota kelompok berupaya memersuasi anggota lainnya supaya melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Seseorang yang terlibat usaha-usaha persuasif dalam suatu kelompok, membawa risiko untuk tidak diterima oleh para anggota lainnya. Misalnya, jika usaha-usaha persuasif tersebut terlalu bertentangan dengan nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok, maka justru orang yang berusaha memersuasi tersebut akan menciptakan suatu konflik, dengan demikian malah membahayakan kedudukannya dalam kelompok. d. Fungsi problem solving, kelompok juga dicerminkan dengan kegiatan-kegiatannya untuk memecahkan persoalan dan membuat keputusan-keputusan. Pemecahan masalah (problem solving) berkaitan dengan penemuan alternatif atau solusi yang tidak diketahui sebelumnya; sedangkan pembuatan keputusan (decision making) berhubungan dengan pemilihan antara dua atau lebih solusi. Jadi, pemecahan masalah menghasilkan materi atau bahan untuk pembuatan keputusan. e. Fungsi terapi. Kelompok terapi memiliki perbedaan dengan kelompok lainnya, karena kelompok terapi tidak memiliki tujuan. Objek dari kelompok terapi adalah membantu setiap individu mencapai perubahan personalnya. Tentunya, individu tersebut harus berinteraksi dengan anggota kelompok lainnya guna mendapatkan manfaat, namun usaha utamanya adalah membantu dirinya sendiri, bukan membantu kelompok mencapai konsensus. Contoh dari kelompok terapi ini adalah kelompok konsultasi perkawinan, kelompok penderita narkotika, kelompok perokok berat, dan sebagainya. Tindak komunikasi dalam kelompok-kelompok terapi dikenal dengan nama pengungkapan diri (self disclosure). Artinya, dalam suasana yang mendukung, setiap anggota dianjurkan untuk berbicara secara Sosiologi Komunikasi dan Informasi
23
terbuka tentang apa yang menjadi permasalahannya. Jika muncul konflik antar-anggota dalam diskusi yang dilakukan, orang yang menjadi pemimpin atau yang memberi terapi yang akan mengaturnya. 4. Tipe Kelompok Soeryono Soekanto (2002: 118) menjelaskan, bahwa kelompok secara umum terdiri dari beberapa rumpun; pertama adalah kelompok teratur, yaitu kelompok yang dapat dijelaskan strukturnya maupun norma dan perannya seperti ingroup dan outgroup, kelompok primer dan kelompok sekunder, paguyuban dan patembayan, kelompok formal dan kelompok informal, membership group dan reference group, kelompok okupasional dan volunteer. Kedua, kelompok yang tidak teratur yaitu kerumunan (crowd) dan publik. Tiga, masyarakat (community) perkotaan dan masyarakat pedesaan. Keempat, kelompok kecil (small group). Ronald B. Adler dan George Rodman (Sendjaja, 2002: 3.14), membagi kelompok dalam tiga tipe, yaitu kelompok belajar (learning r cup), kelompok pertumbuhan (growth group), dan kelompok pemecahan masalah (problem solving group) Penjelasan ketiga tipe kelompok itu adalah sebagai berikut: a. Kelompok Belajar (Learning Group) Kata 'belajar' atau learning, tidak tertuju pada pengertian pendidikan di sekolah, namun juga termasuk belajar dalam kelompok (learning group), seperti kelompok bela diri, kelompok sepak bola, kelompok keterampilan, kelompok belajar, dan sebagainya. Tujuan dari learning group ini adalah meningkatkan informasi, pengetahuan, dan kemampuan diri para anggotanya. b. Kelompok Pertumbuhan (Growth Group) Kelompok pertumbuhan memusatkan perhatiannya kepada permasalahan pribadi yang dihadapi para anggotanya. Wujud nyata dari growth group ini adalah kelompok bimbingan perkawinan, kelompok bimbingan psikologi, kelompok terapi, serta kelompok yang memusatkan aktivitasnya kepada penumbuhan keyakinan diri, yang biasa disebut dengan conscioustiess raising group. Karakteristik yang terlihat dalam tipe kelompok ini adalah growth group tidak mempunyai tujuan kolektif yang nyata, dalam arti bahwa seluruh tujuan kelompok diarahkan kepada usaha membantu para anggotanya mengindentifikasi dan mengarahkan mereka untuk perduli dengan persoalan pribadi yang mereka hadapi untuk perkembangan pribadi mereka. c. Kelompok Pemecahan Masalah (Problem Solving Group) Kelompok ini bertujuan untuk membantu anggota kelompok lainnya memecahkan masalahnya (problem solving). Sering kali seseorang tak mampu memecahkan masalahnya sendiri, karena itu ia menggunakan kelompok sebagai sarana memecahkan masalahnya. Kelompok akan memberi akses informasi kepada individu sehubungan dengan problem yang dialaminya, berupa pengalaman anggota kelompok lain ketika menghadapi masalah yang sama, atau informasi lain yang dapat membantu individu memecahkan masalahnya. Kelompok juga memberi kekuatan emosional kepada individu dalam membuat keputusan dan melakukan sebuah tindakan untuk mengatasi masalah individu.
Sosiologi Komunikasi dan Informasi
24
I. TEORI DAN MODEL KOMUNIKASI ORGANISASI 1. Pengertian Komunikasi Organisasi Organisasi adalah suatu kumpulan atau sistem individual yang berhierarki secara jenjang dan memiliki sistem pembagian tugas untuk mencapai tujuan tertentu. DeVito (1997: 337), menjelaskan organisasi sebagai sebuah kelompok individu yang diorganisasi untuk mencapai tujuan tertentu. Jumlah anggota organisasi bervariasi dari tiga atau empat sampai dengan ribuan anggota. Organisasi juga memiliki struktur formal maupun informal. Organisasi memiliki tujuan umum untuk meningkatkan pendapatan, namun juga memiliki tujuan-tujuan spesifik yang dimiliki oleh orang-orang dalam organisasi itu. Dan untuk mencapai tujuan, organisasi membuat norma aturan yang dipatuhi oleh semua anggota organisasi. Dari batasan tersebut, maka suatu organisasi sebenarnya memiliki karakter yang hampir sama dengan kelompok, perbedaannya adalah pada jumlah anggota yang lebih banyak dan struktur yang lebih rumit, dengan demikian juga, maka norma-norma organisasi juga lebih kompleks. Organisasi memiliki suatu jenjang jabatan ataupun kedudukan yang memungkinkan semua individu dalam organisasi tersebut memiliki perbedaan posisi yang sangat jelas, seperti pimpinan, staf pimpinan, dan karyawan. Masing-masing orang dalam posisi tersebut memiliki tanggung jawab terhadap bidang pekerjaannya itu. Dengan demikian, komunikasi organisasi adalah komunikasi antarmanusia (human communication) yang terjadi dalam konteks organisasi di mana terjadi jaringan-jaringan pesan satu sama lain yang saling bergantung satu sama lain. 2. Fungsi Komunikasi dalam Organisasi Menurut Sendjaja (2002: 4.8), organisasi baik yang berorientasi untuk mencari keuntungan (profit) maupun nirlaba (non-profit), memiliki empat fungsi organisasi, yaitu: fungsi informatif, regulatif, persuasif, dan integratif. Keempat fungsi tersebut dijelaskan sebagai berikut. a. Fungsi Informatif Organisasi dapat dipandang sebagai suatu sistem proses informasi (information processing system). Maksudnya, seluruh anggota dalam suatu organisasi berharap dapat memperoleh informasi yang lebih banyak, lebih baik, dan tepat waktu. Informasi yang didapat memungkinkan setiap anggota organisasi dapat melaksanakan pekerjaannya secara lebih pasti. Informasi pada dasarnya dibutuhkan oleh semua orang yang mempunyai perbedaan kedudukan dalam suatu organisasi. Orang-orang dalam tataran manajemen membutuhkan informasi untuk membuat suatu kebijakan organisasi ataupun guna mengatasi konflik yang terjadi di dalam organisasi. Sedangkan karyawan (bawahan) membutuhkan informasi untuk melaksanakan pekerjaan, di samping itu juga informasi tentang jaminan keamanan, jaminan sosial dan kesehatan, izin cuti, dan sebagainya.
Sosiologi Komunikasi dan Informasi
25
b.
Fungsi Regulatif
Fungsi regulatif ini berkaitan dengan peraturan-peraturan yang berlaku dalam suatu organisasi. Pada semua lembaga atau organisasi, ada dua hal yang berpengaruh terhadap fungsi regulatif ini. Pertama, atasan atau orang-orang yang berada dalam tatanan manajemen, yaitu mereka yang memiliki kewenangan untuk mengendalikan semua informasi yang disampaikan. Di samping iti mereka juga mempunyai kewenangan untuk memberi instruksi atau perintah, sehingga dalam struktur organisasi kemungkinan mereka ditempatkan pada lapis atas (position of outhority) supaya perintah-perintahnya dilaksanakan sebagaimana mestinya. Namun demikian sikap bawahan untuk menjalankan perintah banyak bergantung pada: 1) keabsahan pimpinan dalam menyampaikan perintah, 2) kekuatan pimpinan dalam memberi sanksi, 3) kepercayaan bawahan terhadap atasan sebagai seorang pemimpin sekaligus sebagai pribadi, 4) tingkat kredibilitas pesan yang diterima bawahan. Kedua, berkaitan dengan pesan atau message. Pesan-pesan regulatif pada dasarnya berorientasi pada kerja. Artinya, bawahan membutuhkan kepastian peraturan tentang pekerjaan yang boleh untuk dilaksanakan. c. Fungsi Persuasif Dalam mengatur suatu organisasi, kekuasaan dan kewenanga tidak akan selalu membawa hasil sesuai dengan yang diharaplcai Adanya kenyataan ini, maka banyak pimpinan yang lebih sulit untuk memersuasi bawahannya daripada memberi perintah. Setiap pekerjaan yang dilakukan secara sukarela oleh karyawan akan menghasilkan kepedulian yang lebih besar dibanding kalau pimpinan sering memperlihatkan kekuasaan dan kewenangannya. d. Fungsi Integratif Setiap organisasi berusaha untuk menyediakan saluran yang kernungkinkan karyawan dapat melaksanakan tugas dan pekerjaan dengan baik. Ada dua saluran komunikasi formal, seperti penerbitan khusus dalam organisasi tersebut (newsletter, bulletin) dan laporan kemajuan organisasi, juga saluran komunikasi informal, seperti perbincangan antarpribadi selama masa istirahat kerja, pertandingan olahraga, ataupun kegiatan darmawisata. Pelaksanaan aktivitas ini akan menumbuhkan keinginan untuk berpartisipasi yang lebih besar dalam diri karyawan terhadap organisasi. 3. Pendekatan Hubungan Manusiawi (Human Relations) Secara umum, dalam berbagai hal, pendekatan struktural dan fungsional mengenai organisasi hanya menekankan pada produktivitas dan penyelesaian tugas-tugas pekerjaan, sedangkan faktor manusia dipandang sebagai variabel dalam suatu pengertian yang lebih luas. Menurut Chris Agrys, praktik organisasi yang demikian dipandang tidak manusiawi, karena penyelesaian suatu pekerjaan lebih mengalahkan perkembangan individu dan keadaan ini berlangsung secara berulang-ulang atau dalam bahasa Agrys, ketika kompetensi teknis tinggi, maka kompetensi antarpribadi dikurangi. Oleh karena itu, Agrys mencoba menjelaskan pandangannya melalui pendekatan human relations untuk mengkritik prespektif struktural fungsional.
Sosiologi Komunikasi dan Informasi
26
Ada beberapa anggapan dasar dari pendekatan human relations, yaitu (a) produktivitas ditentukan oleh norma sosial, bukan faktor psikologis; (b) seluruh imbalan yang bersifat non ekonomis, sangat penting dalam memotivasi para karyawan; (c) karyawan biasanya memberikan reaksi suatu persoalan, lebih sebagai anggota kelompok daripada individu; (d) kepemimpinan memegang peranan yang sangat penting dan mencakup aspek-aspek formal dan informal; (e) penganut aliran human relations menggangap komunikasi sebagai fasilitator penting dalam proses pembuatan keputusan. Sementara itu, Rensis Likert secara lebih terperinci menjelaskan teori human relations, seperti apa yang dikenal dengan Empat Sistem Likert, yaitu sistem exploitative authoritative, sistem benevolent authoritative, sistem consultative, dan sistem participative management (Sendjaja, 2002:4.30). Sistem exploitative authoritative, pimpinan menggunakan kekuasaan dengan tangan besi. Keputusan yang dibuat oleh pimpina tidak dimanfaatkan atau memerhatikan umpan balik dari par bawahannya. Sedangkan sistem benevolent authoritative, pimpinan cukup memiliki kepekaan terhadap kebutuhan para bawahan. Pada sistem consultative, pimpinan masih memegang kendali, namun mereka juga mencari masukan-masukan dari bawahan. Dan sister participative management, memberi kesempatan kepada para bawahan untuk berpartisipasi penuh dalam proses pengambilan keputusan. Sistem ini mengarahkan para bawahan untuk meningkatkan rasa tanggung jawab dan motivasi bekerja yang lebih baik.
J. TEORI EFEK KOMUNIKASI MASSA 1. Stimulus-Respons Teori stimulus-respons ini pada dasarnya merupakan suati prinsip belajar yang sederhana, di mana efek merupakan reaksi terhadap stimulus tertentu. Dengan demikian, seseorang dapat men jelaskan suatu kaitan erat antara pesan-pesan media dan reaks audience. McQuail (1994: 234) menjelaskan elemen-elemen utama dari teori ini adalah: (a) pesan (Stimulus); (b) seorang penerima atau receiver (Organisme); dan (c) efek (Respons). Prinsip stimulus-respons ini merupakan dasar dari teori jarum hipodermik, teori klasik mengenai proses terjadinya efek media massa yang sangat berpengaruh. Seperti yang telah dijelaskan di atas, teori jarum hipodermik memandang bahwa sebuah pemberitaan media massa diibaratkan sebagai obat yang disuntikkan ke dalam pembuluh darah audience, yang kemudian audience akan bereaksi seperti yang diharapkan. Dalam masyarakat massa, di mana prinsif stimulus-respons mengasumsikan bahwa pesan informasi dipersiapkan oleh media dan didistribusikan secara sistematis dan dalam skala yang luas. Sehingga secara serempak pesan tersebut dapat diterima oleh sejumlah besar individu, bukan ditujukan pada orang per orang. Kemudian sejumlah besar individu itu akan merespon pesan informasi itu. Penggunaan teknologi telematika yang semakin luas dimaksudkan untuk reproduksi dan distribusi pesan informasi itu sehingga diharapkan dapat memaksimalkan jumlah penerimaan respon oleh audience, sekaligus meningkatkan respons oleh audience. Pada tahun 1970, Melvin DeFleur melakukan modifikasi terhadap teori stimulus-respons dengan teorinya yang dikenal sebagai perbedaan individu dalam komunikasi massa (individual differences).
Sosiologi Komunikasi dan Informasi
27
Disini diasumsikan, bahwa pesan-pesan media berisi stimulus tertentu yang berinteraksi secara berbeda-beda dengan karakteristik pribadi dari para anggota audience. Teori DeFleur ini secara eksplisit telah mengakui adanya intervensi variabel-variabel psikologis yang berinteraksi dengan terpaan media massa dalam menghasilkan efek. Berangkat dari teori perbedaan individu dan stimulus-respons ini, DeFleur mengembangkan model psikodinamik yang didasarkan pada yakinan bahwa kunci dari persuasi yang efektif terletak pada modifikasi struktur psikologis internal dan individu. Melalui modifikasi inilah respons tertentu yang diharapkan muncul dalam perilaku individu akan tercapai. Esensi dari model ini adalah fokus pada variabel-variabel yang berhubungan dengan individu sebagai penerima pesan, suatu kelanjutan dari asumsi sebab akibat, ini mendasarkan pada perubahan sikap sebagai ukuran bagi perubahan perilaku (Sendjaja, 2002: 5.14). 2. Komunikasi Dua Tahap dan Pengaruh Antarpribadi Lazarsfeld mengajukan gagasan mengenai 'komunikasi dua tahap' (twoo step flow) dan konsep 'pemuka pendapat'. Sering kali informasi mengalir dari radio dan surat kabar kepada para pemuka pendapat, dan dari pemuka pendapat kemudian kepada orang lain yang kurang aktif dalam masyarakat. Gagasan ini kemudian memasukkan kritik terhadap teori stimulus-respons dalam konteks media massa. Mengacu kepada Sendjaja (2002: 5.16), teori komunikasi dua tahap dan konsep pemuka pendapat memiliki asumsi-asumsi sebagai berikut: (a) individu tidak terisolasi dari kehidupan sosial, tapi merupakan anggota dari kelompok-kelompok sosial dalam berinteraksi dengan orang lain; (b) respons dan reaksi terhadap pesan dari media tidak terjadi secara langsung dan segera, tetapi melalui perantaraan dan dipengaruhi oleh hubungan-hubungan sosial tersebut; (c) ada dua proses yang berlangsung, yang pertama mengenai penerimaan dan perhatian, dan yang kedua berkaitan dengan respons dalam bentuk persetujuan atau penolakan terhadap upaya memengaruhi atau penyampaian informasi; (d) individu tidak bersikap sama terhadap pesan media, melainkan memiliki berbagai pesan yang berbeda dalam proses komunikasi, dan khususnya, dapat dibagi di antara mereka yang secara aktif menerima dari menyebarkan gagasan dari media, dan mereka yang semata-mata hanya mengandalkan hubungan personal dengan orang lain sebagai panutannya; (e) individu-individu yang berperan lebih aktif (pemuka pendapat) ditandai oleh penggunaan media massa yang lebih besar, tingkat pergaulan yang lebih tinggi, anggapan bahwa dirinya berpengaruh terhadap masing-masing lain, dan memiliki pesan sebagai sumber informasi dan panutan. Secara garis besar, menurut teori ini media massa tidak bekerja dalam suatu situasi sosial yang pasif, tetapi memiliki suatu akses ke dalam jaringan hubungan sosial yang sangat kompleks, dan bersaing dengan sumber-sumber gagasan, pengetahuan, dan kekuasaan yang lainnya 3. Difusi Inovasi Salah satu persoalan empiris komunikasi massa adalah berkaitan dengan proses adopsi inovasi. Hal ini relevan untuk masyarakat yang sedang berkembang maupun masyarakat maju, karena terdapat kebutuhan yang terus-menerus dalam perubahan sosial dan teknologi, untuk mengganti cara-cara lama dengan teknik-teknik baru. Teori ini berkaitan dengan komunikasi massa, karena dalam berbagai situasi di mana efektivitas potensi perubahan yang berawal dari penelitian ilmiah dan kebijakan publik, dalam pelaksanaannya, sasaran dari upaya difusi inovasi umumnya petani dan anggota masyarakat pedesaan.
Sosiologi Komunikasi dan Informasi
28
Everett M. Rogers (1983:165) mengatakan, merumuskan kembali teori ini dengan memberikan asumsi bahwa sedikitnya ada 5 tahap dalam suatu proses difusi inovasi, yaitu Pertama, Pengetahuan: kesadaran individu akan adanya inovasi dan adanya pemahaman tertentu tentang bagaimana inovasi tersebut berfungsi. Kedua, Persuasi: individu membentuk/memiliki sifat yang menyetujui atau tidak menyetujui inovasi tersebut. Ketiga, Keputusan: individu terlibat alam aktivitas yang membawa pada suatu pilihan untuk mengotopsi inovasi tersebut. Keempat, Pelaksanaan: individu melaksanaan keputusannya itu sesuai dengan pilihan-pilihannya. Kelima, konfirmasi: individu akan mencari pendapat yang menguatkan keputusan yang telah diambilnya, namun dia dapat berubah dari keputusan yang telah diambil sebelumnya jika pesan-pesan mengenai inovasi yang diterimanya berlawanan satu dengan lainnya. Mengacu kepada penjelasan Sendjaja (2002: 2.17), bahwa teori ini mencakup sejumlah gagasan mengenai proses difusi inovasi sebagai berikut: Pertama, teori ini membedakan tiga tahapan utama dari keseluruhan proses ke dalam tahapan anteseden, proses, dan konsekuensi. Tahapan yang pertama mengacu kepada situasi atau karakteristik dari orang yang terlibat yang memungkinkannya untuk diterpa informasi tentang suatu inovasi dan relevansi informasi tersebut terhadap kebutuhan-kebutuhannya. Misalnya, adopsi inovasi biasanya lebih mudah terjadi pada mereka yang terbuka terhadap perubahan, menghargai kebutuhan akan informasi, dan selalu mencari informasi baru. Tahapan kedua berkaitan dengan proses mempelajari, perubahan sikap, dan keputusan. Di sini nilai inovatif yang dirasakan akan memainkan peran penting, demikian pula dengan norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam sistem sosialnya. Jadi, kadang kala peralatan yang secara teknis dapat bermanfaat, tidak diterima oleh suatu masyarakat karena alasan-alasan moral atau kultural, atau dianggap membahayakan struktur hubungan sosial yang telah ada. Tahapan konsekuensi dari aktivitas difusi terutama mengacu pada keadaan selanjutnya jika terjadi adopsi inovasi. Keadaan tersebut dapat berupa terus menerima dengan menggunakan inovasi, atau kemudian berhenti menggunakannya Kedua, perlu dipisahkannya fungsi-fungsi yang berbeda dari pengetahuan', 'persuasi', 'keputusan', dan 'konfirmasi', yang biasanya terjadi dalam tahapan proses, meskipun tahapan tersebut tidak harus selesai sepenuhnya/lengkap. Dalam hal ini, proses komunikasi lainnya dapat juga diterapkan. Misalnya, beberapa karakteristik yang berhubungan dengan tingkat persuasi. Orang yang tahu lebih awal tidak harus para pemuka pendapat, beberapa penelitian menunjukkan, bahwa 'tahu lebih awal' atau 'tahu belakangan/tertinggal' berkaitan dengan tingkat sosial-sosial tertentu. Jadi, kurangnya integrasi sosial seseorang dapat dihubungkan dengan 'kemajuannya' atau 'ketinggalannya' dalam masyarakat. Ketiga, difusi inovasi biasanya melibatkan berbagai sumber komunikasi yang berbeda (media massa, advertensi atau promosi, penyuluhan, atau kontak-kontak sosial yang informal), dan efektivitas sumber-sumber tersebut akan berbeda pada tiap tahap, serta untuk fungsi yang berbeda pula. Jadi, media massa dan advertensi dapat berperan dalam menciptakan kesadaran dan pengetahuan, penyuluhan berguna untuk memersuasi, pengaruh antarpribadi berfungsi bagi keputusan untuk menerima atau menolak inovasi, dan pengalaman dalam menggunakan inovasi dapat menjad i sumber konfirmasi untuk terus menerapkan inovasi atau sebaliknya . Keempat, teori ini melihat adanya 'variabel-variabel penerima' yang berfungsi pada tahap pertama (pengetahuan), karena diperolehnya pengetahuan akan dipengaruhi oleh kepribadian atau karakteristik sosial. Meskipun demikian, setidaknya sejumlah variabel penerima akan
Sosiologi Komunikasi dan Informasi
29
berpengaruh pula dalam tahap-tahap berikutnya dalam proses difusi inovasi. Ini terjadi juga dengan 'variabel-variabel sistem sosial' yang berperan terutama pada tahap awal (pengetahuan) dan tahap-tahap berikutnya. 4. Teori Agenda-Setting Agenda-setting diperkenalkan oleh McCombs dan DL Shaw dalam Public Opinion Quarterly tahun 1972, berjudul The Agenda- Setting Function of Mass Media. Asumsi dasar teori agenda-setting adalah bahwa jika media memberi tekanan pada suatu peristiwa, maka media itu akan memengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting. Jadi, apa yang dianggap penting bagi media, maka penting juga bagi masyarakat. Oleh karena itu, apabila media massa memberi perhatian pada isu tertentu dan mengabaikan yang lainnya, akan memiliki pengaruh terhadap pendapat umum. Asumsi ini berasal dari asumsi lain bahwa media massa memiliki efek yang sangat kuat, terutama karena asumsi ini berkaitan dengan proses belajar dan bukan dengan perubahan sikap dan pendapat. Teori agenda-setting menganggap bahwa masyarakat akan belajar mengenai isu-isu apa, dan bagaimana isu-isu tersebut disusun mendasarkan tingkat kepentingannya (Effendy, 2000: 287). McCombs dan Donald Shaw mengatakan pula, bahwa audience tidak hanya mempelajari berita-berita dan hal-hal lainnya melalui media massa, tetapi juga mempelajari seberapa besar arti penting diberikan pada suatu isu atau topik dari cara media massa memberikan penekanan terhadap topik tersebut. Misalnya, dalam merefleksikan apa yang dikatakan oleh para kandidat dalam suatu kampanye pemilu, media massa terlihat menentukan mana topik yang penting. Dengan kata lain, media massa menetapkan 'agenda' kampanye tersebut dan kemampuan untuk memengaruhi perubahan kognitif individu ini merupakan aspek terpenting dari kekuatan komunikasi massa (Effendi, 2000: 288). Pada tahun 1976, McCombs dan Shaw mengambil kasus Watergate sebagai ilustrasi dari fungsi agenda-setting. Mereka menunjukkan bahwa sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru dalam mengungkap kasus politik yang korup, tetapi pemberitaan surat kabar yang sangat intensif dan diikuti oleh penayangan dengar pendapat di Dewan Perwakilan melalui televisi, telah membuat kasus Watergate menjadi 'topic of the year' (Sendjaja, 2002: 5.26). 5. Teori Dependensi Efek Komunikasi Massa Teori yang dikembangkan oleh Sandra Ball-Rokeach dan Melvin L. DeFleur (1976, Sendjaja, 2002: 5, 26) memfokuskan perhatiannya pada kondisi struktural suatu masyarakat yang mengatur kecenderungan terjadinya suatu efek media massa. Teori ini pada dasarnya merupakan suatu pendekatan struktur sosial yang berangkat dari gagasan mengenai sifat suatu masyarakat modern (atau masyarakat massa), di mana media massa dapat dianggap sebagai sistem informasi yang memiliki peran penting dalam proses pemeliharaan, perubahan, dan konflik pada tataran masyarakat, kelompok atau individu dalam aktivitas sosial. Pemikiran terpenting dari teori ini adalah bahwa dalam masyarakat modern, audience menjadi tergantung pada media massa sebagai sumber informasi bagi pengetahuan tentang, dan orientasi kepada, apa yang terjadi dalam masyarakatnya. Jenis dan tingkat ketergantungan akan dipengaruhi oleh jumlah kondisi struktural, meskipun kondisi terpenting terutama berkaitan dengan tingkat perubahan, konfliknya atau tidak stabilnya masyarakat tersebut, dan kedua, berkaitan dengan apa yang dilakukan media yang pada dasarnya melayani berbagai fungsi informasi. Dengan demikian, teori ini menjelaskan saling hubungan antara tiga perangkat variabel utama dan menentukan jenis, efek tertentu sebagai hasil interaksi antara ketiga variabel tersebut.
Sosiologi Komunikasi dan Informasi
30
Menurut (Sendjaja, 2002: 5, 27) pembahasan lebih lanjut mengenai teori ini ditujukan pada jenis-jenis efek yang dapat dipelajari melalui teori ini. Secara ringkas kajian terhadap efek tersebut dapa t dirumuskan sebagai berikut: (a) Kognitif, menciptakan atau menghilangkan ambiguitas, pembentukan sikap, agenda-setting, perluasan sistem keyakinan masyarakat, penegasan/penjelasan nilai-nilai; (b) Afektif, menciptakan ketakutan atau kecemasan, dan meningkatkan atau menurunkan dukungan moral; dan (c) Behavioral, mengaktifkan atau menggerakkan atau meredakan, pembentukan isu tertentu atau penyelesaiannya, menjangkau atau menyediakan strategi untuk, suatu aktivitas serta menyebabkan perilaku dermawan. Lebih lanjut Ball-Rokeach dan DeFleur (1976, Sendjaja, 2002: 5. 28) mengemukakan, bahwa ketiga komponen yaitu audience, sistem media dan sistem sosial, saling berhubungan satu dengan lainnya, meskipun sifat hubungan ini berbeda antara masyarakat satu dengan masyarakat lainnya. Setiap komponen dapat pula memiliki cara yang beragam yang secara langsung berkaitan dengan perbedaan efek yang terjadi. Seperti misalnya sistem sosial akan berbeda-beda sesuai dengan tingkat stabilitasnya. Adakalanya sistem sosial yang stabil akan mengalami masa-masa krisis. Sistem sosial yang telah mapan dapat mengalami tantangan legitimasi dan ketahanannya secara mendasar. Dalam kondisi semacam ini akan muncul kecenderungan untuk mendefinisikan hal-hal baru, penyesuaian sikap, menegaskan kembali nilai-nilai yang berlaku atau mempromosikan nilai-nilai baru, yang kesemuanya menstimulasi proses pertukaran informasi. Audience akan memiliki hubungan yang beragam dengan sistem sosial dan perubahan-perubahan yang terjadi. Sejumlah kelompok mungkin mampu bertahan sementara lainnya akan lenyap. Demikian pula dengan keragaman ketergantungan pada media massa sebagai informasi dan panduan. Pada umumnya kelompok elite pada masyarakat akan memiliki lebih banyak kendala terhadap media, lebih banyak akses ke dalamnya, dan tidak terlalu tergantung pada media jika dibandingkan dengan masyarakat kebanyakan. Sementara kelompok elite cenderung untuk memiliki akses kepada sumber informasi lain yang lebih cakap dan kompeten, non-elite terpaksa tergantung pada media massa atau sumber informasi perorangan yang biasanya kurang memadai. Media massa beragam dalam hal kualitas, persebaran, realibilitas, dan otoritas. Untuk kondisi tertentu atau dalam masyarakat tertentu media massa akan lebih berperan dalam memberikan informasi sosial-politik dibandingkan dalam kondisi atau masyarakat lainnya. Selanjutnya, terdapat pula keragaman fungsi dari media massa untuk memenuhi berbagai kepentingan, selera, kebutuhan, dan sebagainya. 6. Spiral of Silence Teori spiral of silence atau spiral kebisuan berkaitan dengan pertanyaan mengenai bagaimana terbentuknya pendapat umum. Dikemukakan pertama kali oleh Elizabeth Noelle-Neuman, sosiolog Jerman, pada tahun 1974, teori ini menjelaskan bahwa jawaban dari pertanyaan tersebut terletak dalam suatu proses saling memengaruhi antara komunikasi massa, komunikasi antarpribadi, dan persepsi individu atas-pendapatnya sendiri dalam hubungannya dengan pendapat orang lain dalam masyarakat. Teori ini mendasarkan asumsinya pada pemikiran sosial-psikologis tahun 30-an yang menyatakan bahwa pendapat pribadi sangat tergantung pada apa yang dipikirkan oleh orang lain, atau atas apa yang orang rasakan sebagai pendapat dari orang lain. Berangkat dari asumsi tersebut, spiral of silence selanjutnya menjelaskan bahwa individu pada umumnya berusaha untuk menghindari isolasi, dalam arti kesendirian mempertahankan sikap atau keyakinan tertentu. Oleh karenanya, orang akan mengamati lingkungannya untuk mempelajari pandangan-pandangan mana yang bertahan dan mendapatkan dukungan, dan mana yang tidak dominan atau populer. Jika orang merasakan bahwa pandangannya termasuk di antara yang tidak dominan atau tidak populer, maka ia
Sosiologi Komunikasi dan Informasi
31
cenderung kurang berani mengekspresikannya, karena adanya ketakutan akan isolasi tersebut (Sendjaja, 2002: 5, 28). Noelle-Neuman mengatakan, ada hubungan yang signifikan antara persepsi terhadap pendapat mayoritas, pengungkapan pendapat pribadi, kecenderungan dalam isi media, dan pendapat para jurnalis. Dalam kondisi tertentu, media massa tampak membentuk persepsi mengenai pendapat yang dominan dan karenanya memengaruhi pendapat individu melalui cara-cara yang dijelaskan oleh teori spiral ofsilence ini. 7. Information Gaps Dalam membahas efek jangka panjang komunikasi massa, tampaknya penting untuk dikemukakan suatu pokok bahasan yang disebut sebagai celah informasi atau celah pengetahuan (information atau knowledge gaps). Latar belakang pemikiran ini terbentuk oleh arus informasi yang terus meningkat, yang sebagian besar dilakukan oleh media massa. Secara teoretis peningkatan ini akan menguntungkan setiap orang dalam masyarakat karena setiap individu memiliki kemungkinan untuk mengetahui apa yang terjadi di sekelilingnya atau di dunia, yang tentunya akan memantu dirinya dalam memperluas wawasan. Namun informasi sering kali menghasilkan efek negatif, di mana peningkatan pengetahuan pada kelompok tertentu akan menjauh dan meninggalkan kelompok lainnya. Dalam hal seperti ini information gaps akan terjadi dan terus meningkat sehingga menimbulkan jarak antara kelompok sosial yang satu dengan yang lain dalam hal pengetahuan mengenai suatu topik tertentu. Philip Tichenor (1970) yang mengawali pemikiran tentang knowledge gaps, dengan menjelaskan bahwa ketika arus informasi dalam suatu sistem sosial meningkat, akan melebarkan celah pengetahuan di antara sistem sosial yang berbeda di masyarakat. Sementara itu, Everett M. Rogers (1976) memperkuat asumsi tersebut dengan mengatakan bahwa, informasi bukan hanya menghasilkan melebarnya knowledge gaps, tetapi juga gaps yang berkaitan dengan sikap dan perilaku. Menurutnya komunikasi massa bukan satu-satunya penyebab terjadinya gaps tersebut, karena efek yang serupa juga terjadi pada komunikasi langsung antar-individu (Sedjaja, 2002: 5.30). 8. Uses and Gratifications Penggunaan (uses) isi media untuk mendapatkan pemenuhan (gratification) atas kebutuhan seseorang atau uses and gratification, salah satu teori dan pendekatan yang sering digunakan dalam komunikasi. Teori dan pendekatan ini tidak mencakup atau mewakili keseluruhan proses komunikasi, karena sebagian besar perilaku audience hanya dijelaskan melalui berbagai kebutuhan (needs) dan kepentingan (interest) mereka sebagai suatu fenomena mengenai proses penerimaan (pesan media). Pendekatan uses and gratifications ditujukan untuk menggambarkan proses penerimaan dalam komunikasi massa dan menjelaskan penggunaan media oleh individu atau agregasi individu (Effendy, 2000: 289). Pendekatan uses and gratifications memberikan alternatif untuk memandang pada hubungan antara isi media dan audience, dan pengkategorian isi media menurut fungsinya. Meskipun masih diragukan adanya satu atau beberapa model uses and gratifications, Katz (Effendy, 2000: 290) menggambarkan logika yang mendasari pendekatan mengenai uses and gratifications: (1) kondisi sosial psikologis seseorang akan menyebabkan adanya (2) kebutuhan, yang menciptakan (3) harapan-harapan terhadap (4) media massa atau sumber-sumber lain, yang membawa kepada (5) perbedaan pola penggunaan media (atau Sosiologi Komunikasi dan Informasi
32
keterlibatan dalam aktivitas lainnya) yang akhirnya akan menghasilkan (6) pemenuhan kebutuhan dan (7) konsekuensi lainnya, termasuk yang tidak diharapkan sebelumnya. Sebagai tambahan bagi elemen-elemen dasar tersebut di atas, pendekatan uses and gratifications sering memasukkan unsur motif untuk memuaskan kebutuhan dan alternatif-alternatif fungsional untuk memenuhi kebutuhan. Kari Erik Rosengren memodifikasi 7 elemen di atas menjadi 11 elemen sebagai berikut: (1) kebutuhan mendasar tertentu, dalam interaksinya dengan (2) berbagai kombinasi antara intra dan ekstra individu, dan juga dengan (3) struktur masyarakat, termasuk struktur media, menghasilkan (4) berbagai percampuran personal individu, dan (5) persepsi mengenai solusi bagi persoalan tersebut, yang menghasilkan (6) berbagai motif untuk mencari pemenuhan atau penyelesaian persoalan, yang menghasilkan (7) perbedaan pola konsumsi media dan (8) perbedaan pola perilaku lainnya, yang menyebabkan (9) perbedaan pola konsumsi, yang dapat memengaruhi (10) kombinasi karakteristik intra dan ekstra individu, sekaligus akan memengaruhi pula (11) struktur media dan berbagai struktur politik, kultural, dan ekonomi dalam masyarakat (Effendy, 2000: 291). 9. Teori Uses and Effects Menurut (Sendjaja, 2002: 5.41), teori uses and effect pertama kali dikemukakan oleh Sven Windahl (1979), merupakan sintesis antara pendekatan uses and gratifications dan teori tradisional mengenai efek. Konsep 'use' (penggunaan) merupakan bagian yang sangat penting atau pokok dari pemikiran ini. Karena pengetahuan mengenai penggunaan media yang menyebabnya, akan memberikan jalan bagi pemahaman dan perkiraan tentang hasil dari suatu proses komunikasi massa. Penggunaan media massa dapat memiliki banyak arti. Ini dapat berarti exposure yang semata-mata menunjuk pada tindakan mempersepsi. Dalam konteks lain, pengertian tersebut dapat menjadi suatu proses yang lebih kompleks, di mana isi terkait harapan-harapan tertentu untuk dapat dipenuhi, fokus dari teori ini lebih kepada pengertian yang kedua. 10. Information Seeking Donohew dan Tipton (1973), menjelaskan tentang pencarian, pengindraan dan pemrosesan informasi, disebut memiliki akar dari pemikiran psikologi sosial tentang kesesuaian sikap. Salah satu asumsi utamanya adalah bahwa orang cenderung untuk menghindari informasi yang tidak sesuai dengan image of reality-nya karena informasi itu bisa saja membahayakannya. 11. Konstruksi Sosial Media Massa Asal mula konstruksi sosial dari filsafat konstruktivisme, yang dimulai dari gagasan-gagasan konstruktif kognitif. Menurut Von Glasersfeld, pengertian konstruktif kognitif muncul pada abad ini. Dalam tulisan Mark Baldwin yang secara luas diperdalam dan sebarkan oleh Jean Piaget. Namun apabila ditelusuri, sebenarnya gagasan-gagasan pokok konstruktivisme sebenarnya telah dimulai oleh Giambatissta Vico, seorang epistimolog dari Italia, ia adalah cikal bakal konstruktivisme (Suparno, 1997: 24). Berger dan Luckmann kemudian melalui Social Construction of Reality (1965), menulis tentang konstruksi sosial atas realitas sosial dibangun secara simultan melalui tiga proses, yaitu eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Proses simultan ini terjadi antara idividu
Sosiologi Komunikasi dan Informasi
33
satu dengan lainnya di dalam masyarakat. Bangunan realitas yang tercipta karena proses sosial tersebut adalah objektif, subjektif, dan simbolis atau intersubjektif. Gagasan awal dari teori konstruksi sosial media massa ini adalah untuk mengoreksi teori konstruksi sosial atas realitas yang dibangun oleh Berger dan Luckmann (1965). Seperti yang sudah dijelaskan di bab-bab sebelumnya, substansi "teori konstruksi sosial media massa" adalah pada sirkulasi informasi yang cepat dan luas sehingga konstruksi sosial berlangsung dengan sangat cepat dan sebarannya merata. Realitas sosial yang terkonstruksi itu juga membentuk opini massa, massa cenderung apriori dan opini massa cenderung sinis. Posisi "konstruksi sosial media massa" adalah mengoreksi substansi kelemahan dan melengkapi "konstruksi sosial atas realita", dengan menempatkan seluruh kelebihan media massa dan efek media pada keunggulan "konstruksi sosial media massa" atas "Konstruksi sosial atas realita". Namun proses simultan yang digambarkan di atas tidak bekerja secara tiba-tiba, namun terbentuknya proses tersebut melalui beberapa tahap penting. Dari konten Konstruksi sosial media massa, proses kelahiran konstruksi sosial media massa melalui tahap-tahap sebagai berikut: (a) tahap menyiapkan materi konstruksi; (b) tahap sebaran konstruksi; (c) tahap pembentukan konstruksi; dan (d) tahap konfirmasi. 1 2 . Lasswell Model Seorang ahli ilmu politik Amerika Serikat pada tahun 1948 mengemukakan suatu ungkapan yang sangat terkenal dalam teori dan penelitian komunikasi massa. Ungkapan yang merupakan cara sederhana untuk memahami proses komunikasi massa adalah dengan menjawab pertanyaan sebagai berikut: siapa (who); berkata apa (says what); melalui saluran apa (which channel); kepada siapa (to whom); dengan efek apa? (with what effect?) Pertanyaan-pertanyaan Lasswell ini, meskipun sangat sederhana atau terlalu menyederhanakan suatu fenomena komunikasi massa, namun sangat membantu mengorganisasikan dan memberikan struktur pada kajian terhadap komunikasi massa. Selain dapat menggambarkan komponen-komponen dalam proses komunikasi massa, Lasswell sendiri menggunakan pertanyaan-pertanyaan tersebut untuk membedakan berbagai jenis penelitian komunikasi.
K. EMPAT TEORI PERS Dalam Four Theories of the Press (Siebert, Peterson, dan Schramm, 1956, Severin dan Tankard, Jr. 2005: 373), membagi pers di dunia dalam 4 kategori: otoriter, liberal, tanggung jawab sosial, dan totaliter-Soviet. Namun kesemuanya merupakan "Teori Normative" yang berasal dari pengamatan, bukan dari hasil uji dan pembuatan hipotesis dengan menggunakan metode ilmu sosial. 1. Teori Otoriter Penemuan alat cetak pers dan pelat huruf yang mudah dipindah terjadi saat dunia di bawah kekuasaan otoriter sistem kerajaan dengan kekuasaan absolutnya. Ketika dasar dan teori pers pertama (teori otoriter) mendukung dan menjadi kepanjangan tangan kebijakan pemerintah yang sedang berkuasa dan melayani negara. Mesin cetak harus memiliki izin dan, Sosiologi Komunikasi dan Informasi
34
dalam beberapa kondisi, harus mendapat hak pemakaian khusus dari kerajaan atau pemerintah agar bisa digunakan dalam penerbitan. Melalui penerapan hak khusus, lisensi, sensor langsung, dan peraturan yang diterapkan sendiri dalam tubuh serikat pemilik mesin cetak, individu dijauhkan dari kemungkinan mengkritik pemerintah yang berkuasa. Dalam sistem imun demikian, tetap dianggap sebagai alat untuk menyebarkan kebijakan pemerintah (Severin dan Tankard, Jr.2005:373) 2. Teori Liberal Teori Liberal pers berkembang sebagai dampak dari masa pencerahan dan teori umum tentang rasionalisasi serta hak-hak alamiah dan berusaha melawan pandangan yang otoriter. Dari tulisan Milton, Locke, dan Mill dapat dimunculkan pemahaman bahwa pers harus mendukung fungsi membantu menemukan kebenaran dan mengawasi pemerintah sekaligus sebagai media yang memberikan informasi, menghibur, dan mencari keuntungan. Di bawah teori liberal pers bersifat swasta, dan siapa pun yang mempunyai uang yang cukup dapat menerbitkan media. Media dikontrol dalam dua cara. Dengan beragamnya pendapat, "proses pembuktian kebenaran" dalam "pasar bebas gagasan" akan memungkinkan individu membedakan mana yang benar atau salah. Demikian pula dengan sistem hukum yang memiliki ketentuan untuk menindak tindakan fitnah, tindakan senonoh, ketidaksopanan, dan hasutan dalam masa peperangan. Teori liberal pers berkembang di Inggris selama abad ke-18 tetapi tidak diperbolehkan dijalankan dikoloni Inggris di Amerika Utara sampai putusnya hubungan dengan negara induk tersebut. Setelah tahun 1776, teori ini diimplementasikan di seluruh wilayah yang lepas dari pemerintahan kolonial dan secara resmi diadopsi dengan adanya Amandemen Pertama pada Piagam Hak Asasi Manusia baru yang ditambahkan ke dalam Undang- Undang Dasar (Severin dan Tankard, Jr. 2005: 378). 3. Teori Tanggung Jawab Sosial Di abad kedua puluh di Amerika Serikat, ada gagasan yang berkembang, bahwa media satu-satunya industri yang dilindungi Piagam Hak Asasi Manusia, harus memenuhi tanggung jawab sosial. Teori tanggung jawab sosial, yang merupakan evolusi gagasan praktisi media, Undang-Undang Media, dan hasil kerja Komisi Kebebasan Pers (Commission on Freedom of the Press), berpendapat bahwa selain betujuan untuk memberikan informasi, menghibur, mencari untung (seperti hal teori liberal), juga bertujuan untuk membawa konflik ke dalam arena diskusi. Teori tanggung jawab sosial mengatakan bahwa, setiap orang yang memiliki sesuatu yang penting untuk dikemukakan harus diberikan hak dalam forum, dan jika media dianggap tidak memenuhi kewajibannya, maka ada pihak yang harus memaksanya. Di bawah teori ini, media dikontrol oleh pendapat masyarakat, tindakan konsumen, kode etik profesional, dan dalam hal penyiaran, dikontrol oleh badan pengatur mengingat keterbatasan teknis pada jumlah saluran frekuensi yang tersedia (Effendy, 2000: 272). 4. Teori Komunis Soviet Teori otoriter pers di banyak negara berubah menjadi teori Totaliter-Soviet. Soviet berpandangan, bahwa tujuan utama media adalah membantu keberhasilan dan kelangsungan sistem Soviet. Media dikontrol oleh tindakan ekonomi dan politik dari pemerintah dan badan pengawas dan hanya anggota partai yang loyal dan anggota partai ortodoks saja yang bisa menggunakan media secara regular. Media dalam sistem Soviet dimiliki dan dikontrol oleh negara dan ada hanya sebagai kepanjangan tangan negara.
Sosiologi Komunikasi dan Informasi
35
Sejak Four Theories ofthe Press (Siebert, Peterson, dan Scharamm, 1956, Severin dan Tankard, Jr. 2005: 380) ditulis, telah ada banyak perubahan di negara-negara sosialis. Tahun 1980-an, di negara Cina, kepemilikan surat kabar secara pribadi diperbolehkan dalam skala tertentu. Semua kritikan dapat ditoleransi, khususnya jika itu merupakan kritikan pada individu atau kebijakan lokal yang dapat merongrong tujuan program negara "4 modernisasi". Pada salah satu tindakan pelarangan penerimaan saluran televisi asing. Di akhir musim panas tahun 1999, polisi Cina mulai merampas satelit, antena penerima, dan dekoder. Tahun itu merupakan saat yang sangat sensitif bagi pemerintahan Cina, dengan adanya tiga peristiwa penting, hari peringatan demonstrasi Tiananmen kesepuluh, perayaan ulang tahun Republik Cina kelima puluh, dan perayaan gerakan Empat Mei yang kedelapan puluh, saat para pelajar memrotes perlakuan kekuatan Barat terhadap Cina. Pemerintah memperingatkan operator TV kabel untuk tidak menayangkan program TV asing. Beberapa pakar percaya pemerintah ingin memblokir saluran akhir yang mungkin menyiarkan berita tentang Tianannmen (Landler, 1999, Severin dan Tankard, Jr. 2005: 80). Schramm mengatakan bahwa, sumbangan besar dari Marx adalah menjungkirbalikan dialektika Hegel dengan membuat dialektika realistis sebagai kebalikan dari idealistis. Ia mengatakan bahwa, kondisi hidup yang bersifat materialistis, terutama cara manusia mengelola hidupnya dan jenis kehidupan yang ia kelola nenentukan ide manusia. Dengan kata lain, kondisi ekonomi, sistem produksi, dan hubungan produktif menjadi faktor sentral bagi kehidupan manusia. Sehubungan dengan pandangan ini, maka Schramm berpendapat pengawasan terhadap media massa harus berpijak pada mereka yang memiliki fasilitas, sarana percetakan, stasiun siaran, dan lain-lain. Selama kelas kapitalis mengawasi fasilitas fisik ini, kelas buruh tidak akan mempunyai akses pada saluran-saluran komunikasi. Kelas buruh harus mempunyai sarana komunikasi sendiri dan kebebasan pers hanya ada pada masyarakat tanpa kelas (Effendy, 2000: 271). L. TEORI KOMUNIKASI DUNIA MAYA ATAU TEORI CYBERCOMMUNITY Pada bagian lain dalam buku ini telah dijelaskan mengenai persoalan virtual reality, realitas maya, cybercommunity, sebagai akibat langsung dari perkembangan teknologi telematika yang semakin pesat. Sehingga oleh banyak cabang ilmu sosial mulai melihat masalah cyber Community ini sebagai sebuah arena kajian yang menarik sebuah sosiologi kehidupan baru yang menarik dikaji. Walaupun wilayah kajian ini masih prematur disebut telah melahirkan sebuah teori, namun bisa jadi teori yang lahir dari kajian masyarakat maya (cybercommunity) ini, menjadi sebuah teori paling akhir dalam kajian komunikasi atau sosiologi komunikasi, karena seperti yang dijelaskan pada bagian tentang masyarakat cyber, telah lahir sebuah kajian ilmiah mengenai cybercommunity, di mana cybercommunity ini memiliki struktur yang menyerupai kehidupan sosial masyarakat nyata, sehingga dapat dikatakan sebagai sebuah teori cybercommunity. Tankard (2005), dalam bukunya tentang teori komunikasi, menjelaskan tentang teori komunikasi dunia maya, di mana yang dimaksud oleh Severin dan Tankard sebagai dunia maya adalah cybercommunity itu. Walaupun unsur-unsur dunia maya tidak dijelaskan secara detail oleh keduanya dalam buku tersebut, sebagaimana konsep teori cybercommunity dalam buku ini, namun keduanya mengajukan beberapa bagian-bagian penting dalam teori komunikasi dunia maya, yaitu (1) konsep dasar komunikasi digital, seperti dunia maya (cyberspace), virtual reality (VR) komunitas maya (virtual communities) chat rooms, multi-user domain
Sosiologi Komunikasi dan Informasi
36
(MUD), inter-aktivitas, hypertext, dan multimedia; (2) ruang dan wilayah teori komunikasi dunia maya, seperti penentuan agenda (agenda-setting), manfaat dan gratifikasi, pembauran inovasi, kesenjangan pengetahuan, kredibilitas media, dan gagasan McLuhan tentang media baru (new media); dan (3) riset-riset baru pada komunikasi cyber, yaitu mediamorfosis, riset tentang hypertext, riset multimedia, riset desain antarmuka (komunikasi dua-arah), riset eros digital atau cinta online, riset tentang kecanduan Internet, serta riset tentang pemakaian Internet dan depresi.
Referensi: A.S. Haris Sumadiria. (2014). Sosiologi Komunikasi Massa. Sembiosa Rekatama Media, Bandung Burhan Bungin. (2014). Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Kencana, Jakarta. Momon Sudarma. ((2014). Sosiologi Komunikasi. Mitra Wacana Media, Jakarta.
Sosiologi Komunikasi dan Informasi
37