BAB II PARADIGMA DAN TEORI KOMUNIKASI 2.1 Kajian Penelitian Terdahulu Kajian penelitian terdahulu merupakan salah satu referensi yang diambil peneliti. Melihat hasil karya ilmiah para peneliti terdahulu yang mana ada dasarnya peneliti mengutip beberapa pendapat yang dibutuhkan oleh penelitian sebagai pendukung penelitian. Tentunya dengan melihat hasil karya ilmiah yang memiliki pembahasan serta tinjauan yang sama. Penelitian ini termasuk dalam penelitian analisis tekstual dengan pendekatan studi semiotika. Untuk pengembangan pengetahuan, peneliti akan terlebih dahulu menelaah penelitian mengenai semiotika. Hal ini perlu dilakukan karena suatu teori atau model pengetahuan biasanya akan diilhami oleh teori dan model yang sebelumnya. Selain itu, telaah pada penelitian terdahulu berguna untuk memberikan gambaran awal mengenai kajian terkait dengan masalah dalam penelitian ini. Setelah peneliti melakukan tinjauan pustaka pada hasil terdahulu, ditemukan beberapa penelitian tentang representasi budaya dalam film. Berikut ini adalah penelitian mengenai representasi budaya dalam film :
Nama
: Rr. Windhy Prameswari
Metode
: Kualitatif Studi Semiotika Roland Barthes
Judul Penelitian
: Representasi Budaya Jepang dalam Kimono Geisha (Analisis Semiotik pada Film “Memoirs of a Geisha”)
Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang 2009 Melalui penelitian terhadap film Memoirs Of A Geisha ini, peneliti mencoba membongkar dan memahami makna sekaligus pesan dibalik tanda-tanda budaya yang direpresentasikan. Untuk itulah metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis semiotic dengan pendekatan subyektif interpretative. Dimana dengan metode semiotika Roland Barthes peneliti mendapatkan peluang yang cukup besar untuk mengkaji makna dibalik tanda. Melalui proses
16 Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
pemaknaan denotasi dan konotasi dari penanda dan petanda tersebut diharapkan dapat mengungkapkan mitos dibalik fenomena sebuah film yang luput dari perhatian . Representasi budaya Jepang dalam film MOG dari hasil analisis data yang telah diteliti ternyata memiliki tendensi untuk memberikan interpretasi negatif, dimana banyak terdapat mistifikasi didalam tayangannya. Film tersebut dinilai sebagai sebuah kritikan keras sutradara (Amerika) dalam memandang legenda sebuah budaya (sosok geisha) yang absurb, diperlihatkan pula bahwa mizuage dalam budaya Jepang adalah „sesuatu‟ yang bisa diperdagangkan. Sekali lagi penonton dihadapkan pada pilihan ambigu dengan pemahaman profesinya yang masih saja mengambang tanpa batasan yang jelas. Selain itu terdapat pula beberapa unsur propaganda yang dengan sengaja telah dibentuk oleh sutradara sebagai jerat ideologi kekuasaan dan kekuatan media yang mengatur apa dan bagaimana penonton berpikir. Dari penelitian tersebut terdapat beberapa kesimpulan yakni dalam hal ini Amerika tidak berusaha meluruskan anggapan miring tentang fenomena geisha, namun sebaliknya dengan sengaja telah memberikan pandangan subyektif (dari sudut pandang Amerika) dalam melihat budaya Jepang, dengan kata lain wacana tentang fenomena geisha hanyalah sebuah „umpan‟ bagi media provokasi Amerika. Dengan demikian sutradara telah membentuk pesan budaya yang homogen, dimana penonton tidak mendapatkan kesempatan dalam menilai dan memahami makna representasinya secara sadar, wacana akan geisha dinilai sebagai suatu kesesatan pemikiran terhadap masalah pelacuran yang legal dilakukan oleh bangsa Jepang.
Nama
: Rahmi Dafiza
Judul Penelitian
: Representasi Budaya Seni Rongggeng Dalam Film Sang Penari
Program Studi
: Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro 2012
Dalam penelitian ini mengkaji tentang kebudayaan berupa tarian ronggeng yang hampir hilang setelah kejadian keracunan massal tempe bongkrek di kampung Dukuh Paruh yang mengakibatkan banyak penerus kebudayaan leluhur
17 Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
tersebut meninggal yang diperankan oleh tokoh utama Prisia Nasution (Srintil). Menurut hasil analisis peneliti dalam film ini diperoleh tanda kebudayaan yang ditampilkan dalam bentuk adegan tari-tarian, kehidupan budayanya serta lirik lagunya. Pada penelitian ini yang menggunakan delapan analisis semiotik Roland Barthes dalam menganalisis tanda.
Nama
: Edwina Ayu Dianingtyas
Metode yang digunakan : Kualitatif Studi Semiotika Judul Penelitian
: Representasi Perempuan Jawa
Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Diponogoro 2010 Mengetahui representasi perempuan Jawa dan untuk menjelaskan gagasangagasan dominan yang ingin disampaikan oleh film R.A Kartini yang berkaitan dengan persoalan Ideologi. Penelitian Edwina Ayu Dianingtyas lebih condong meneliti ketidakadilan gender dalam budaya Jawa yang identic dengan ideology patriaki. Ideologi patriaki dalam film R.A Kartini ditampilkan melalui budaya poligami, penggunaan bahasa dalam kebudayaan Jawa.
Nama
: PARAMESWARI PRIMADITA
Metode
: Semiotika Roland Barthes
Judul Penelitian
: REPRESENTASI
BUDAYA
MISTIS
KUNTILANAK DALAM FILM KUNTILANAK( Studi Analisis Semiotik Representasi Budaya Mistis Yang Ada Dalam Film Kuntilanak ) Penelitian ini menaruh perhatian pada masalah budaya mistis Kuntilanak yang ada dalam film “Kuntilanak ( 2006 )“ Budaya mistis ini adalah Mistis NonKeagamaan yang masih sering ditemukan dalam lingkup masyarakat. Hal-hal berbau mistis non-keagamaan yang terdapat didalam film ini antara lain; Pesugihan, Kuntilanak, pemakai durma Jawa yang memiliki kekuatan mistis, unsur kesuraman dan ketakutan. penafsiran terhadap mimpimimpi menurut penafsiran Jawa. Metode dalam penelitian ini bersifat analisis semiotic, yaitu penelitian kualitatif dengan cara merepresentasikan tanda-tanda di film “KUNTILANAK2006”.
18 Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Semiotik film adalah ilmu yang mengkaji tanda-tanda yang terdapat pada film ini menggunakan teori Roland Barthes mengenai mitos dan kerangka analisis semiotik pada film menurut John Fiske. Tehnik pengumpulan data memakai tehnik dokumentasi dan pengamatan secara langsung terhadap beberapa scene dalam film. Hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
memang
benar
adanya
praktekpraktek, serta pemikiran dan ideology Mistis Non-Keagamaan yang berkembang dalam masyarakat kita. Dimana praktek-praktek dan ideology tersebut justru meng-arahkan individu pada perbuatan-perbuatan yang jauh melenceng dari norma ke-Tuhanan, serta kemasyrakatan dan hati nurani yang ada. Kesimpulan yang dihasilkan dari film ini masih banyaknya budaya mistisme yang berkembang di penjuru Nusantara dan bahwa mistisme itu amat mempengaruhi pola pikir masyarakat kita.
2.2 Paradigma Konstruktivisme Teori konstruktivisme adalah pendekatan secara teoritis untuk komunikasi yang dikembangkan tahun1970-an oleh Jesse Deli dan rekan-rekan sejawatnya. Teori konstruktivisme menyatakan bahwa individu melakukan interprestasi dan bertindak menurut berbagai kategori konseptual yang ada dalam pikirannya. Menurut teori ini, realitas tidak menunjukkan dirinya dalam bentuknya yang kasar, tetapi harus disaring terlebih dahulu melalu bagaimana cara seseorang melihat sesuatu (Morissan, 2009:107). Konstruktivisme menolak pandangan positivisme yang memisahkan subjek dan objek komunikasi. Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pesan. Konstruktivisme justru menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan komunikasi serta hubungan-hubungan sosialnya. Subjek memiliki kemampuan melakukan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana. Teori konstruktivisme menyatakan bahwa individu mengintrepretasikan dan beraksi menurut
kategori konseptual dari pikiran. Realitas tidak
mengambarkan diri individu namun harus disaring melalui cara pandang orang
19 Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
terhadap realitas tersebut. Teori konstruktivisme dibangun berdasarkan teori yang ada sebelumnya, yaiyu konstruksi pribadi atau konstruksi personal (personal construct) oleh George Kelly. Iya menyatakan bahwa orang memahami pengalamannya dengan cara mengelompokkan berbagai peristiwa menurut kesamaannya dan membedakan berbagai hal melalui perbedaannya (Littlejohn 2009: 180). Paradigma konstrukivisme ialah paradigma dimana kebenaran suatu realitas sosial dilihat sebagai konstruksi sosial, dan kebenaran suatu realitas sosial bersifat relatif. Paradigma konstruktivisme ini berada dama perspektif interpretivisme (penafsiran) yang terbagi dalam 3 jenis , yaitu interaksi simbolik, fenomenologis dan hermeneutik. Paradigma konstruktivisme dalam ilmu sosial merupakan
kritik
terhadapa
paradigm
positivis.
Menurut
paradigm
konstruktivisme realitas sosial yang diamati oleh seseorang tidak dapat digeneralisasikan pada semua orang, seperti yang biasa dilakukan oleh kaum positivis. Konsep mengenai konstruksionis diperkenalkan oleh sosiolog interpretative. Peter L. Berger bersama Thomas Luckman. Dalam konsep kajian komunikasi, teori konstruksi sosial bisa disebut berada diantara teori fakta sosial dan definisi sosial (Eriyanto 2004:13) Paradigma konstruktivisme yang ditelusuri dari pemikiran Weber, menilai perilaku manusia secara fundamental berbeda dengan perilaku alam, karena manusia bertindak sebagai agen yang mengkonstruksi dalam realitas sosial mereka, baik itu melalui pemberian makna maupun pemahaman perilaku menurut Weber, menerangkan bahwa substansi bentuk kehidupan di masyarakat tidak hanya dilihat dari penilaian objektif saja, melainkan dilihat dari tindakan perorang yang timbul dari alasan-alasan subjektif. Weber juga melihat bahwa tiap individu akan memberikan pengaruh dalam masyarakatnya. Paradigma konstruktivis dipengaruhi oleh perspektif interaksi simbolis dan perspektif struktural fungsional. Perspektif interaksi simbolis ini mengatakan bahwa manusia secara aktif dan kreatif mengembangkan respons terhadap stimulus dalam dunia kognitifnya. Dalam proses sosial, individu manusia dipandang sebagai pencipta realitas sosial yang relatif bebas di dalam dunia sosialnya. Realitas sosial itu memiliki makna manakala realitas sosial tersebut
20 Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
dikonstruksikan dan dimaknakan secara subjektif oleh individu lain, sehingga memantapkan realitas itu secara objektif (Weber, 2006:56). Paradigma Konstruktivis berbasis pada pemikiran umum tentang teoriteori yang dihasilkan oleh peneliti dan teoritisi aliran konstruktivis. Littlejohn mengatakan bahwa Paradigma konstruktivis berlandaskan pada ide bahwa realitas bukanlah bentukan yang objektif, tetapi dikonstruksi melalui proses interaksi dalam kelompok, masyarakat, dan budaya (Wibowo, 2011: 27). Paradigma dalam penelitian semiotika banyak mengacu pada paradigma konstruktivis, meski sejumlah penelitian lainnya menggunakan paradigma kritis namun paradigma konstruktivis lebih relevan jika digunakan untuk melihat realitas signifikannya objek yang diteliti,dari paradigma konstruktivis dapat dijelaskan melalui empat dimensi seperti diutarakan oleh (Hidayat dalam Wibowo, 2010: 28) sebagai berikut: 1. Ontologis: relativism, relaitas merupakan konstruksi sosial. Kebenaran suatu realitas bersifat relatif, berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial. 2. Epstemologis: transactionalist/subjectivist, pemahaman tentang suatu realitas atau temuan suatu penelitian merupakan produk interaksi antara peneliti dengan yang diteliti. 3. Axiologis: Nilai, etika dan pilihan moral merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu penelitian. Peneliti sebagai passionate participant, fasilitator yang menjebatani keragaman subjektivitas pelaku sosial. Tujuan penelitian lebih kepada rekonstruksi realitas sosial secara dialektis antara peneliti dengan pelaku sosial yang diteliti. 4. Metodologis: menekankan empati dan interaksi dialektis antara peneliti dengan responden untuk merekonstruksi realitas yang diteliti, melalui metode-metode kualitatif seperti participant observasion. Kriteria kualitas penelitian authenticity dan revlectivty: sejauh mana temuan merupakan refleksi otentik dari realitas yang di hayati oleh para pelaku sosial.
21 Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
2.3. Teori Film 2.3.1 Perkembangan Teori Rudolph Arnheim, salah satu tokoh pemikir, mengacu kepada adanya potensi perubahan dari pembuatan film dari aslinya, dikarenakan adanya pilihan framing, sudut kamera, dan pencahayaan. Maka, proses pengeditan menjadi akar dari teori ini. Lev Kuleshov melakukan eksperimen dengan mengedit rekaman bersamasama dengan cara yang berbeda untuk menentukan dampak pada penonton. Hal itu menunjukkan bahwa penonton menjadi penentu hubungan dari bidikan satu ke bidikan lainnya. Sergei Eisenstein berpendapat bahwa potensi tertinggi dalam pengeditan terletak pada tabrakan gambar yang berbeda untuk menghasilkan ide-ide baru. André Bazin dan Siegfried Kracauer menjelaskan bahwa film tidak memproduksi dunia yang telah dikenal oleh penonton, tetapi mengungkapkan apa yang tidak diketahui sebelumnya oleh penonton. Dalam hal pengeditan, teori realis juga tidak sepaham dengan teori formatif. Bazin percaya bahwa jika sebuah film harus diedit, maka harus mengalami pengeditan yang berkelanjutan, di mana tindakan pengeditan dibagi persusunannya, lalu kemudian disusun kembali. Oleh karena itu, Bazin menyukai pendekatan sinematik yang mengambil take panjang, yaitu membidik seluruh adegan dalam satu bidikan yang terus-menerus dengan fokus yang nampak sama. Bazin menekankan bahwa para pembuat film harus bebas saat membuat film dengan melakukan berbagai pendekatan sinematik, bukan menenakankan pengeditan. Setelah itu, banyak teori bermunculan, teori ini dikembangkan dari ilmu sosial, misalnya teori lingusitik oleh Ferdinand de Saussure dan teori psikoanalisis oleh Jacques Lacan. Teori ini juga harus dipahami dalam konteks sejarah, bahwa film diproduksi sesuai lingkungan sosialnya, misalnya tentang hak-hak sipil, hak perempuan, dan gerakan antiperang pada zaman tersebut. Ide-ide tradisional tentang gender dan seksualitas juga menjadi tantangan dalam film. Hingga muncul teori baru, Teori Marxis dan Teori Film Feminis. Marxisme merupakan tantangan kapitalisme, sedangkan feminisme merupakan tantangan patriarki, yang sama-sama menjadi ideologi dominan dalam budaya
22 Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
pada saat itu. Marxisme mendukung untuk mengakhiri penindasan kaum miskin dan kelas pekerja, sementara feminisme mendukung untuk mengakhiri penindasan perempuan. Kedua perspektif tersebut digunakan dalam berbagai kritik pada film. Teori ini dianggap dapat mendorong kelanjutan ideologi penindasan dalam struktur-struktur lainnya, sehingga mereka hanya dianggap sebagai koreksi dalam perfilman. Setelahnya, Teori Film sekali lagi berubah arah. Teori baru menolak asumsi dasar dari teori materialis, namun secara implisit mengakui kekakuan sistematis yang mereka bawa ke studi tentang film. Teori baru ini dicontohkan pada karya Gilles Deleuze. Film sebagai bahasa sistem atau kode yang harus dipecahkan untuk menemukan makna yang tersembunyi di dalamnya. Deleuze berpendapat bahwa film sebagai gambar dan suara yang kompleks. 1930-an, Teori Formatif, yaitu: Film bukan sekedar rekaman gambar, karena adanya potensi perubahan dari pembuatan film dari aslinya, dikarenakan adanya pilihan framing, sudut kamera, dan pencahayaan, maka, proses pengeditan menjadi akar dari teori ini. meskipun teori film dari masa pergantian abad melalui tahun 1930-an berbedabeda sesuai fokus dari tokoh pemikir masing-masing, tetapi mereka menekankan pada perubahan sebuah film dikarenakan alat-alat yang ada. 1945-an (Setelah Perang Dunia II), Teori Realis, yaitu: Kualitas film terletak pada kemampuannya menangkap hal-hal yang nyata dan realis film tidak memproduksi dunia yang telah dikenal oleh penonton, tetapi mengungkapkan apa yang tidak diketahui sebelumnya oleh penonton. pembuat film harus bebas saat membuat film dengan melakukan berbagai pendekatan sinematik, bukan menenakankan pengeditan. 1960-an, Teori Materialis, yaitu: Tindakan dan kesadaran manusia dibentuk oleh materi sebagai kekuatan pokok yang ada di luar kendali individu. Teori dikembangkan dari ilmu sosial, misalnya teori lingusitik oleh Ferdinand de Saussure dan teori psikoanalisis oleh Jacques Lacan. film diproduksi sesuai lingkungan sosialnya, misalnya tentang hak-hak sipil, hak perempuan, dan gerakan antiperang pada zaman tersebut
23 Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Setelah 1970-an, Teori Marxis dan Teori Film Feminis, marxisme merupakan tantangan kapitalisme, sedangkan feminisme merupakan tantangan patriarki, yang sama-sama menjadi ideologi dominan dalam budaya pada saat itu Teori ini dianggap mendorong kelanjutan ideologi penindasan dalam struktur-struktur lainnya, sehingga mereka hanya dianggap sebagai koreksi dalam perfilman. 1980-an, Teori Film kembali berubah arah, yaitu: Menolak asumsi dasar dari teori materialis, namun mengakui kekakuan sistematis film. film sebagai bahasa sistem atau kode yang harus dipecahkan untuk menemukan makna yang tersembunyi di dalamnya. film sebagai gambar dan suara yang kompleks.
2.3.2 Pengertian Film Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, film berarti (1) selaput tipis yang dibuat dari seluloid untuk tempat gambar negatif (yang akan dibuat potret) atau untuk tempat gambaran positif (yang akan dimainkan dalam bioskop), (2) lakon (cerita) gambar hidup (KBBI, 2002: 316). Film adalah gambar hidup dari seonggok seluloid dan dipertontonkan melalui proyektor. Di mana sekarang produksi film tidak hanya menggunakan pita seluloid (proses kimia) tetapi memanfaatkan tegnologi video (proses elektonik) namun keduanya tetap sama yaitu merupakan gambar hidup (Sumarno, 1994: 4). Film merupakan gambar bergerak yakni bentuk dominan dari komunikasimassa visual dibelahan dunia ini. Kemampuaan film yang melukiskan gambar hidup dan suara menjadikan daya tarik tersendiri. Film atau gambar hidup, bioskop dalam bahasa inggris disebut Moving Pictures, moving pictures or cinema, yaitu serentetan gambar hasil proyeksi pada film diatas layar, ialah gambar foto benda atau makluk (obyek) pada taraf-taraf gerak yang diproyeksikan sedemikian cepatnya, sehingga menurut penangkapan mata merupakan rentetan gerak yang tidak terputus. Pemotretan berentet ini dilakukan tahun 1870 dan diperbaiki oleh penemuan-penemuan Thomas A. Edision dan kakak adik Lumiere. Film bioskop ini adalah jenis film teatrikal (threatical film) (Kusnawan, Et,al: 99). Isi dari film akan dikembangkan kalau sarat akan simbol-simbol atau pengertian, dan dapat mengsosialisasikan suatu
24 Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
maksud dari film tersebut di kehidupan sehari-hari. Dengan demikian film akan sangat diterima di dalam kehidupan manusia. Film adalah media komunikasi massa yang kedua muncul di dunia setelah surat kabar, mempunyai masa pertumbuhan pada akhir abad ke-19. Pada awal perkembangannya, film tidak seperti surat kabar kabar yang mengalami unsurunsur teknik, politik, ekonomi, sosial dan demografi yang merintangi kemajuan surat kabar pada masa pertumbuhan pada abad ke-18 dan pemulaan abad ke-19 (Sobur, 2004: 126). Meskipun dunia perfilman mengalami kemunduran, namun menurut Garin Nugroho, sinema Amerika pasca 1970-an mampu mengalami kebangkitan kembali, yang justru dibangkitkan oleh generasi televisi. Seiring dengan kebangkitan film, maka muncul film-film yang mengumbar seks, kriminal dan kekerasan. Inilah yang kemudian melahirkan berbagai studi komunikasi massa. Sayangnya, perkembangan awal studi komunikasi beberapa dekada, paradigma yang mendominasi dampak media. Selama beberapa dekade, paradikma yang mendominasi penelitian komunikasi tidak jauh beranjak dari “model komunikasi mekanistik”, yang pertama kali diasumsikan oleh Shanon dan Weaver. Komunikasi selalu diasumsikan oleh paradikma ini sebagai entitas pasif dalam menerima pengaruh dari media massa. Film merupakan gambar bergerak yakni bentuk dominan dari komunikasi massa visual dibelahan dunia. Film atau motion pictures ditemukan dari hasil pengembangan prinsip-prinsip fotografi dan proyektor. Film yang pertama kali diperkenalkan kepada publik Amerika Serikat adalah The Life Of An American Fireman dan film The Gread Train Robbery yang dibuat oleh Edwin S. Porter pada tahun1903 (Ardianto, 2004: 134). Tetapi The Gread Train Robbery yang masa putarannya hanya 11 menit dianggap sebagai film cerita pertama, karena telah menggambarkan situasi secara ekspresif, serta peletak dasar teknik editing yang baik. Tahun 1906 sampai tahun 1916 merupakan periode paling penting dalam sejarah perfilman di Amerika Serikat, karena pada dekade ini lahir film feature, lahir pula bintang film serta pusat perfilman yang terkenal sebagai Hollywood. Periode ini juga disebut sebagai the of age Griffith karena David Wark Griffith-
25 Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
lah yang telah membuat film sebagai media yang dinamis. Diawali dengan film The Adventure Of Dolly (1908) dan puncaknya film The Birith of a Nation (1915) serta film Intolerance (1916). Griffith mempelopori gaya berakting yang lebih alamiah, organisasi berita yang baik dan yang paling utama mengangkat film sebagai media yang memiliki karakteristik unik, dengan gerakan-gerakan kamera yang dinamis, sudut pengambilan yang baik, dan teknik editing yang baik pula (Ardianto, 2004: 135). Pada periode ini pula nama Mack Senneet dengan Keystone Company-nya yang telah membuat film comedi bisu dengan bintang legendaris Charlie Caplin apabila film permulaannya merupakan film bisu, maka pada tahun 1927 di Broadway Amerika Serikat muncul film bicara yang pertama meskipun dalam keadaan belum sempurna sebagaimana yang dicita-citakan. Menurut perfilman di Indonesia, film pertama di negeri ini berjudul Lely Van Java yang diproduksi di Bandung pada tahun 1926 oleh seseorang yang bernama David. Film ini disusun oleh Eulis Atjih produksi Kruenger Corporation pada tahun 1927/1928. Sampai pada tahun1930 film yang disajikan masih merupakan film bisu, dan yang mengusahakannya adalah orang-orang Belanda dan Cina (Effendy, 1981: 201). Film bicara yang pertama berjudul Terang Bulan yang dibintangi oleh Roekiah dan R. Mochtar berdasarkan naskah penulis Indonesi Saerun. Pada saat perang Asia Timur Raya dipenghujung tahun 1941, perushaan perfilman yang diusahakan oleh orang Belanda dan Cina itu berpindah tangan kepada pemerintah Jepang, diantaranya adalah NV. Muliti Film yang diubah nama menjadi Nippon Eiga Sha, yang selanjutnya memproduksi film Feature dan film Dokumenter. Jepang telah memanfaatkan film untuk media informasi dan propaganda. Namun tatkala Bangsa Indonesia sudah memproklamasikan kemerdekannya, maka pada tanggal 6 Oktober 1945 Nippon Eiga Sha diserahkan secara resmi kepada Pemerintah Republik Indonesia. Effendy, pada Komala dalam Karlinah, dkk. (1999) menyebutkan bahwa serah terima dilakukan oleh Ishimoto dari pihak Pemerinta militer Jepang kepada R.M Soetarto yang mewakili Pemerintah Republik Indonesia. Sejak tanggal 6 Oktober 1945 lahirlah Berita Film Indonesia atau BFI. Bersama dengan pindahnya Pemerintah Republik Indonesia dari Yogyakarta, BFIpun pindah dan
26 Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
bergabung dengan perusahaan milik negara, yang pada akhirnya berganti nama menjadi Perusahaan Film Nasional.
2.3.3. Jenis-jenis Film Jenis-jenis film pada dasarnya dapat dikelompokan sebagai berikut: 1.Film cerita Film cerita (story film) adalah jenis yang mengandung suatu cerita yang lazim dipertunjukan di gedung-gedung bioskop dengan bintang film tenar dan film ini didistribusikan sebagai barang dagangan. Cerita yang diangkat dalam film cerita biasanya berupa cerita fiktif atau berdasarkan kisah nyata yang dimodifikasi, sehingga ada unsur menarik, baik dari segi alur ceritanya maupun dari segi gambar artistiknya. Misalnya film Janur Kuning, Serangan Umum 1 Maret dan lain sebagainya. 2.Film berita Film berita atau newsreel adalah film mengenai fakta, peristiwa yang benar-benar terjadi. Karena sifatnya berita, maka film yang disajikan kepada publik harus mengandung nilai berita (news value). Kriteria berita itu adalah penting dan menarik. Jadi berita juga harus penting atau menarik atau penting sekaligus menarik. Film beritanya bisu, pembaca berita yang membicarakan narasinya. Bagi peristiwa-peristiwa tertentu, peran, kerusuhan, pemberontakan dan lain sebagainya film berita yang dihasilkan kurang baik. Dalam hal ini terpenting adalah peristiwanya terekam secara utuh. 3. Film dokumenter Film dokumenter (documentary film) didevinisikan oleh Robert Flaherty sebagaimana yang dikutip oleh Andianto dan Erdinaya (2004: 137-139) adalah karya ciptaan mengenai kenyataan (creative treatmen of actuality). Berbeda dengan film berita yang merupakan rekaman kenyatan, maka film dokumenter merupakan hasil interprestasi pribadi (pembuatnya) mengenai kenyataan tersebut. Misalnya, seorang sutradara ingin membuat film dokumenter mengenai para pembatik di kota Pekalongan, maka ia akan membuat naskah yang ceritanya bersumber pada kegiatan para pembatik seharihari dan sedikit merekayasanya agar dapat menghasilkan kualitas film cerita dengan gambar yang lebih baik.
27 Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
4. Film kartun Film kartun (cartoon film) dibuat untuk konsumsi anak-anak. Dapat dipastikan, kita semua mengenal tokoh Donal Bebek (Donald Duck), Putri Salju (Snow White), Miki Mouse (Mickey Mouse) yang diciptakan oleh seniman Amerika Serikat Walt Disney (Andiyanto dan Erdinaya, 2004: 139-140).
2.3.4. Unsur-unsur Film 1.Sutradara Sutradara merupakan pionir pembuatan film tentang bagaimana yang harus tampak oleh penonton. Tanggung jawabnya meliputi aspek-aspek kreatif, baik interpretatif maupun teknis dari sebuah produksi film. Selain mengatur laku didepan kamera dan mengarahkan akting serta dialog, sutradara juga mengontrol posisi kamera beserta gerak kamera, suara dan pencahayaan. Disamping itu sutradara menjadi penyumbang hasil akhir sebuah film. 2. Skenario Skenario adalah naskah yang disusun dalam bentuk literer sebagai landasan bagi penggarapan suatu produksi. Dalam dunia perfilman, skenario dinamakan jugan “shooting script” lengkap dengan dialog-dialog dan istilah teknis sebagai instruksi kepada kerabat kerja seperti juru kamera, juru suara, juru cahaya, dan lain-lain (Effendi, 1989: 321). Skenario film disebut juga screen atau script yang diibaratkan seperti cetak biru insinyur atau kerangka bagi tubuh manusia. 3. Penata Fotografi Penata fotografi atau juru kamera adalah tangan kanan dari sutradara dalam kerja lapangan. Ia bekerja sama untuk menentukan jenis-jenis shot, termasuk menentukan jenis-jenis lensa. Selain itu, juga menentukan diafragma kamera dan mengatur lampu-lampu untuk mendapatkan efek pencahayaan yang maksimal. Selain itu juga juru kamera melakukan tugas pembingkaian. Dalam pelaksanaan tugasnmya, seorang juru kamera juga membuat komposisi-komposisi dari subyek yang hendak direkam.
28 Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
4.Penata artistik Tata artistik berarti penyusunan segala sesuatu yang melatar belakangi cerita film, yakni mengangkat pemikiran tentang setting. Yang dimaksud setting adalah tempat-tempat waktu berlangsungnya cerita film. Oleh karena itu, sumbangan yang dapat diberikan seorang penata artistik kepada produksi film sangatlah penting. Seorang penata artistik boleh memiliki kecendrungan, namun bukan gaya yang harus tunduk pada tuntunan cerita atau pengarahan sutradara. Seorang artistik bertugas sebagai penterjemah konsep visual sutradara kepada pengertian-pengertian visual dan segala hal yang mengelilingi aksi di depan kamera, dilatar depan bagaimana di latar belakang. 5. Penata Suara Sebagai media audio visual, pengembangan film sama sekali tidak boleh hanya memikirkan aspek visual, sebab suara juga merupakan komponen aspek kenyataan hidup dalam sebuah film. Itu sebabnya perkembangan teknologi perekaman suara untuk film tidak bisa diabaikan. Tata suara dikerjakan di studio suara. Tenaga ahlinya disebut penata suara yang tugasnya dibantu oleh tenagatenaga pendamping, seperti perekaman suara di studio maupun di lapangan. Perpaduan unsur-unsur suara ini nantinya akan menjadi jalur suara yang letaknya bersebelahan dengan jalur gambar dalam hasil akhir film yang nantinya akan dipersiapkan diputar di gedunggedung bioskop. 6. Penata musik Musik sejak dahulu sangatlah penting untuk mengiringi sebuah film. Dalam era film bisu, sudah ada usaha-usaha untuk mempertunjukan film dengan iringan musik hidup. Para pemusik bersiap di dekat layar dan akan memainkan musik pada adeganadegan tertentu. Perfilman Indonesia memiliki penata musik yang handal, yaitu Idris Sardi. Beliu berulangkalin meraih piala citra untuk tata musik terbaik. Tugas terpenting seorang penata musik adalah untuk menata paduan bunyi (bukan efek suara) yang mampu menambah nilai dramatik seluruh cerita film.
29 Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
7. Pemeran Pemeran atau aktor adalah orang yang memerankan suatu tokoh dalam sebuah cerita film. Pemeran mengekspresikan tingkah laku tidak lepas dari tuntunan sutradara dan naskah scenario. 8. Penyuting Penyuting disebut juga editor yaitu orang yang bertugas menyusun hasil shoting sehingga membentuk rangkaian cerita sesuai konsep yang diinstruksikan seorang sutradara dalam sebuah film 9. Editor Editor bertugas menysun hasil syuting hingga membentuk rangkaian cerita. Seorang editor berkerja dibawah pengawasan seorang sutradara tanpa mematikan kreatifitas, sebab tugas dari seorang editor berdasarkan konsepsi. Editor akan menyusun segala materi di meja editing menjadi pemotongan kasar (rought cut) dan pemotongan halus (tine cut). Hasil pemotongan halus disempurnakan lagi dan akhirnya ditransfer bersama suara dengan efek-efek transisi optik untuk menunjukkan waktu maupun adegan. Dilihat dari segi teknis, unsur-unsur film terdiri dari: 1. Audio (Dialog dan Sound Effect) a. Dialog berisikan kata-kata, dialog dapat digunakan untuk menjelaskan perihal tokoh atau peran, menggerakkan plot maju dan membuka fakta. b. Sound Effect adalah bunyi-bunyian yang digunakan untuk melatar belakangi sebuah adegan yang berfungsi sebagai penunjang sebuah gambar untuk membentuk nilai dramatik dan dramatika sebuah adegan dalam film. 2. Visual a. Angle kamera dibedakan menurut karakteristik dari gambar yang dihasilkan ada tiga yaitu: 1) High Angle, yaitu sudut pengambilan gambar dari tempat yang lebih tinggi dari objek. Hal ini akan memberikan kepada penonton sesuatu kekuatan atau rasa superioritas. 2) Low Angle, yaitu yaitu sudut pengambilan gambar dari tempat yang lebih rendah dari objek. Hal ini akan membuat seseorang nempak
30 Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
kelihatan mempunyai kekuatan yang menonjol dan akan kelihatan kekuasaannya. 3) Straight Angle, yaitu sudut pengambilan gambar yang normal, biasanya ketinggalan kamera setinggi dada dan sering digunakan pada acara yang gambarnya tetap. Mengesankan situasi yang normal, bila mengambil Straight Angle secara zoom in menggambarkan ekspresi wajah objek atau pemain dalam memainkan karakternya, sedangkan pengambilan Straight Angle secara zoom out menggambarkan secara menyeluruh ekspresi gerak tubuh dari objek atau pemain. b. Pencahayaan/Lighting adalah tata lampu dalam film. Ada 2 macam pencahayaan yang dipake dalam suatu produksi film yaitu Natural Light (Matahari) dan Artifical Light (Buatan). Jenis pencahayaan antara lain: 1) Front Lighting/cahaya depan yaitu pencahayaan yang merata dan tampak natural atau alami. 2) Side Lighting/cahaya samping Yaitu pencahayaan subjek lebih terlihat dinamis, biasanya banyak dipake untuk menonjolkan suatu benda karakter seseorang. 3) Back Lighting/cahaya belakang Yaitu pencahayaan yang menghasilkan bayangan dan dimensi. 4) Mix Lighting/cahaya campuran Pencahayaan yang merupakan gabungan dari gabungan ketiga pencahayaan sebelumnya, efek yang dihasilkan lebih merata dan meliputi setting yang mengelilingi objek. c. Teknik Pengambilan Gambar Pengambilan gambar atau perlakuan kamera juga merupakan salah satu hal yang penting dalam proses penciptaan visualisasi simbolik yang terdapat dalam film. Proses tersebut akan dapat mempengaruhi hasil gambar yang diinginkan, apakah ingin menampilkan karakter tokoh, ekspresi wajah dan setting yang ada dalam sebuah film. d. Setting Setting adalah tempat atau lokasi untuk mengambil sebuah visual dalam pembuatan film.
31 Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
2.3.5. Tujuan dan Pengaruh Film Film mempunyai tujuan, selain dapat memasukkan pesanpesan juga mengandung unsur hiburan, informasi dan pendidikan. Film sebagai media komunikasi mempuyai tujuan transmission of values (penyebaran nilai-nilai). Tujuan ini disebut dengan sosialisasi. Sosialisasi ini mengacu pada cara, dimana individu mengadopsi perilaku dan nilai kelompok. Film memberikan dapat memberikan pengaruh yang sangat besar sekali pada jiwa manusia. Dalam suatu proses menonton sebuah film, terjadi suatu gejala yang disebut oleh ilmu jiwa sosial sebagai identifikasi psikologi (Kusnawan, et al, 2004: 93). Alasan khusus mengapa seseorang lebih suka menonton film dari pada membaca buku, karena di dalam film terdapat unsur usaha manusia untuk mencari hiburan dan meluangkan waktu karena film bersifat hidup dan memikat. Alasan utama seseorang menonton film yaitu untuk memberi nilai-nilai yang memperkaya batin. Setelah seseorang menyaksikan film, maka seseorang tersebut akan memanfaatkan dan mengembangkan suatu realitas rekaan sebagai bandingan terhadap realitas kehidupan nyata yang dihadapi. Jadi film dapat dipakai penonton untuk melihat hal-hal di dunia ini dengan pemahaman baru (Sumarno, 1996: 22). Film sebagai salah satu media komunikasi massa yang memiliki kapasitas untuk memuat pesan yang sama secara serempak dan mempnyai sasaran yang beragam dari agama, etnis, status, umur, dan tempat tinggal dapat memainkan peranan sebagai saluran penarik untuk pesan-pesan tertentu dari dan untuk manusia. Dengan melihat film kita dapat memperoleh informasi dan gambar tentang realitas tertentu, realitas yang sudah diseleksi (Asep S. Muhtadi dan Sri Handayani, 2000: 95). Film disadari maupun tidak disadari dapat mengubah pola kehidupan seseorang. Terkadang ada seseorang yang ingin meniru gaya hidup dari meniru kehidupan yang dikisahkan dalam sebuah film. Terkadang seseorang meniru atau menyamakan seluruh pribadinya dengan salah seorang pemeran film. Pengaruh sebuah film diantaranya: 1. Pesan yang terdapat dalam adegan-adegan film akan membekas dalam jiwa penonton, gejala ini menurut ilmu jiwa sosial disebut sebagai identifikasi psikologi.
32 Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
2. Pesan film dengan adegan-adegan penuh kekerasan, kejahatan, dan pornografi, apabila ditonton dengan jumlah banyak akan mengundang keprihatinan bayak pihak. Sajian tersebut memberikan dampak buruk dan kecemasan bagi gaya hidup manusia modern. Kecemasan tersebut berasal dari keyakinan bahwa isi film seperti itu akan mempengaruhi efek moral, psikologi, dan sosial yang sangat merugikan, khususnya pada generasi muda dan akan menimbulkan anti sosial. 3. Pengaruh terbesar yang ditimbulkan film yaitu imitasi atau peniruan. Peniruan yang diakibatkan oleh anggapan bahwa apa yang dilihatnya wajar dan pantas untuk dilakukan setiap orang. Jika film yang isinya tidak sesuai dengan norma budaya bangsa (seperti seks bebas, penggunaan narkoba) dikonsumsi oleh penonton remaja, maka remaja generasi muda Indonesia bisa rusak (Aep Kusnawan, 2004, 95).
2.3.6 Film sebagai Representasi Budaya Film adalah gambar-hidup, juga sering disebut movie. Film, secara kolektif, sering disebut sinema. Sinema itu sendiri bersumber dari kata kinematik atau gerak. Film juga sebenarnya merupakan lapisan-lapisan cairan selulosa, biasa di kenal di dunia para sineas sebagai seluloid. Pengertian secara harafiah film (sinema) adalah cinemathographie yang berasal dari Cinema + tho = phytos (cahaya) + graphie = grhap (tulisan = gambar = citra), jadi pengertiannya adalah melukis gerak dengan cahaya. Agar kita dapat melukis gerak dengan cahaya, kita harus menggunakan alat khusus, yang biasa kita sebut dengan kamera. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, film dapat diartikan dalam dua pengertian. Pertama, film merupakan sebuah selaput tipis berbahan seluloid yang digunakan untuk menyimpan gambar negatif dari sebuah objek. Kedua, film diartikan sebagai lakon atau gambar hidup. Film sebagai media komunikasi merupakan sebuah kombinasi antara usaha penyampaian pesan malalui gambar yang bergerak, pemanfaatan teknologi kamera, warna dan suara. Unsur-unsur tersebut didukung oleh suatu cerita yang
33 Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
mengandung suatu pesan yang ingin disampaikan oleh sutradara kepada khalayak film. Film merupakan media komunikasi massa memiliki beberapa fungsi komunikasi (Effendy,212:1981) sebagai berikut : a.
Hiburan
Fungsi film sebagai hiburan bermaksud menghibur sasaran utamanya dengan isi cerita film, geraknya, keindahannya, suara, dan sebagainya agar penonton mendapat kepuasan psikologis. Film-film seperti inilah yang banyak dihadirkan di bioskop-bioskop, maupun dalam format video compact disc (VCD) dan digital versatile disc (DVD). Film jenis inilah yang menjadi objek dagang para produser dan dunia industri film. b.
Pendidikan
Film pendidikan atau sering disebut film ilmiah adalah film yang berisi uraian atau penjelasan ilmiah tentang suatu objek untuk mendapatkan pengetahuan dengan taraf yang lebih tentang subjek tersebut. c.
Penerangan
Film penerangan adalah film yang memberikan penjelasan kepada penonton tentang suatu hal atau masalah, agar penonton menjadi mengerti atau paham tentang hal tersebut dan dapat melaksanakannya. d.
Propoganda
Film propaganda adalah film dengan sasaran utama untuk mempengaruhi penonton, agar penonton merima atau menolak sesuatu ide atau barang, membuat senang atau tidak senang kepada sesuatu , sesuai dengan keinginan si propogandis. Film propaganda biasanya digunakan untuk kampanye politik atau promosi barang dagangan. Di dalam sebuah film terkandung pesan-pesan yang ingin disampaikan oleh sutradara. Penonton harus bisa menyaring pesan dan informasi yang terkandung dalam film tersebut. Ini menyadarkan kita bahwa apa yang disajikan film tidak semuanya memiliki muatan positif. Merupakan tantangan tersendiri bagi masyarakat untuk lebih cerdas memilih tontonan yang berkualitas agar tidak terjebak dalam realitas dan lingkungan tiruan dari media yang kompleks
34 Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Budaya dapat diciptakan dan dipelihara melalui komunikasi, termasuk komunikasi massa. Salah satu media massa yang berperan dalam pembelajaran budaya yaitu film. Film dapat merepresentasikan suatu budaya tertentu. Film juga digunakan sebagai cerminan untuk mengaca atau untuk melihat bagaimana budaya bekerja atau hidup di dalam suatu masyarakat. Melalui film sebenarnya kita juga bisa banyak belajar tentang budaya. Baik itu budaya masyarakat di mana kita hidup di dalamnya, atau bahkan budaya yang sama sekali asing buat kita. Dan kita menjadi paham perbedaan dalam budaya masyarakat terutama melalui film. Representasi budaya merujuk kepada konstuksi segala bentuk media (terutama media massa) terhadap segala aspek realitas atau kenyataan, seperti masyarakat, objek, peristiwa, hingga identitas budaya. Representasi ini bisa berbentuk kata-kata atau tulisan bahkan juga dapat dilihat dalam bentuk gambar bergerak atau film. Representasi tidak hanya melibatkan bagaimana identitas budaya disajikan (atau lebih tepatnya dikonstruksikan) di dalam sebuah film, tapi juga dikonstruksikan di dalam proses produksi oleh masyakarat yang mengkonsumsi nilai-nilai budaya yang direpresentasikan dalam film tersebut. Dalam
film
sebagai
representasi
budaya,
film
tidak
hanya
mengkonstruksikan nilai-nilai budaya tertentu di dalam dirinya sendiri, tapi juga tentang bagaimana nilai-nilai tadi diproduksi dan bagaimana nilai itu dikonsumsi oleh masyarakat yang menyaksikan film tersebut. Jadi ada semacam proses pertukaran kode-kode kebudayaan dalam tindakan menonton film sebagai representasi budaya.
2.4 Semiotika Semiotika berasal dari bahasa Yunani semeion yang berarti „tanda‟ atau seme yang berarti „penafsir tanda‟. Tanda-tanda (signs) adalah basis dari seluruh komunikasi (Littlejohn, 1996:64). Semiotika adalah studi mengenai tanda (signs) dan simbol yang merupakan tradisi penting dalam pemikiran tradisi komunikasi. Tradisi semiotika mencakup teori utama mengenai bagaimana tanda mewakili objek, ide, situasi, keadaan, perasaan, dan sebagainya yang berada di luar diri (Morissan, 2009:27).
35 Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Konsep dasar yang menyatukan tradisi semiotika ini adalah „tanda‟ yang diartikan sebagai suatu stimulus yang mengacu pada sesuatu yang bukan dirinya sendiri. Semiotika, atau dalam istilah Roland Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objekobjek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Barthes, 1988:179). Semiotika didefenisikan oleh Ferdinand de Saussure di dalam Course in General Linguistic, sebagai ilmu yang mengkaji tentang tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial. Implisit dalam defenisi Saussure adalah prinsip bahwa semiotika sangat menyandarkan dirinya pada aturan main atau kode sosial yang berlaku di dalam masyarakat, sehingga tanda dapat dipahami maknanya secara kolektif (Piliang, 2012:300). Saussure dengan model dyadic, menyatakan bahwa tanda terdiri atas : signifier (signifiant) yaitu forma atau citra tanda tersebut, atau dengan kata lain wujud fisik dari tanda; dan signified (signifie) yaitu konsep yang direpresentasikan atau konsep mental (Birowo, 2004:45). Tanda sebagai kesatuan yang tak dapat dipisahkan dari bidang penanda (signifier) dan bidang petanda (signified). Suatu penanda tanpa petanda tidak memiliki arti apa-apa. Charles Sanders Pierce, pendiri semiotika modern, mendefenisikan semiotika sebagai suatu hubungan antara tanda (simbol), objek dan makna. Tanda mewakili
objek
(referent)
yang
ada
di
dalam
pikiran
orang
yang
menginterpretasikannya (interpreter). Pierce menyatakan bahwa representasi dari suatu objek dengan interpretant. Tanda merupakan sesuatu yang hidup dan dihidupi (cultivated). Tanda dan referen harus saling bekerja sama agar suatu tanda dapat berfungsi. Pierce mengatakan bahwa tanda-tanda berkaitan dengan objek-objek yang menyerupainya dimana keberadaannya memiliki hubungan sebab-akibat dengan tanda-tanda atau karena ikatan konvensional dengan tandatanda tersebut. Ia menggunakan istilah icon untuk kesamaannya, indeks untuk hubungan sebab-akibat, dan symbol untuk asosiasi konvensional.
36 Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Pembagian tipe-tipe tanda berdasarkan objeknya menjadi ikon, indeks dan simbol menjadi sangat bermanfaat dan fundamental mengenai sifat tanda. Tanda merupakan suatu yang mewakili sesuatu yang dapat berupa pengalaman, pikiran, gagasan atau perasaan. Jika sesuatu misalnya A adalah asap hitam yang mengepul dari kejauhan, maka ia dapat mewakili B, yang misalnya sebuah kebakaran (pengalaman). Tanda semacam ini dapat disebut sebagai indeks yakni antara A dan B ada ketertarikan (contiguity). Tanda juga bisa berupa lambang ataupun simbol, seperti contoh burung dara yang sudah diyakini sebagai tanda atau lambang perdamaian. Burung dara tidak dapat begitu saja digantikan dengan burung atau hewan yang lainnya. Ikon adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat bersamaan dalam bentuk alamiah. Atau dengan kata lain, ikon adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan (Sobur, 2004:41). Contohnya saja potret foto seseorang yang dapat dikatakan sebagai suatu ikon, begitu juga dengan peta atau gambar yang ditempel pada pintu kamar kecil pria dan wanita yang merupakan sebuah ikon. Pada dasarnya ikon adalah suatu tanda yang bisa menggambarkan ciri utama dari sesuatu, meskipun sesuatu yang lazim yang disebut sebagai objek acuan tersebut tidak hadir. Ikon adalah suatu benda fisik (dua atau tiga dimensi) yang menyerupai apa yang dipresentasikannya. Model tanda objek interpretant dari Pierce merupakan sebuah ikon dalam upayanya mereproduksi dalam konkret struktur relasi yang abstrak diantara unsurunsurnya. Dapat pula dikatakan sebagai ikon atau tanda yang memiliki ciri yang sama dengan apa yang dimaksudkan. Contohnya: Peta Indonesia yang merupakan ikon dari wilayah Indonesia yang tergambar dalam peta tersebut, atau foto Megawati sebagai ikon presiden perempuan pertama di Indonesia. Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan (Sobur, 2004:42). Contohnya yang paling jelas adalah asap sebagai tanda adanya api. Selain itu, tanda tangan (signature) merupakan indeks dari keberadaan seseorang yang menorehkan tanda tanda tangan tersebut.
37 Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dan petandanya. Simbol juga merupakan tanda yang berdasarkan konvensi (perjanjian) atau peraturan yang telah disepakati bersama. Simbol dapat dipahami jika seseorang sudah mengerti arti yang telah disepakati sebelumnya. Contohnya seperti burung Garuda bagi masyarakat Indonesia adalah sebagai lambang Pancasila yang memiliki makna, namun bagi orang yang memiliki latar budaya yang berbeda sepeti orang indian, mereka menganggap burung garuda dianggap seperti burung yang biasa saja dan tidak memiliki arti apa-apa. Hubungan antara ikon, indeks dan simbol tersebut memiliki sifat konvensional. Hubungan antara simbol, thought of reference (pikiran atau referensi) dengan referent (acuan) dapat digambarkan melalui bagan semiotic triangle berikut ini : Gambar 1 Kategori Tipe Tanda Pierce Pikiran atau Referensi
Simbol
Acuan
Sumber : Sobur, Alex.2004. Semiotika Komunikasi. Bandung : Remaja Rosdakarya. Hlm.159
Berdasarkan bagan di atas dapat dijelaskan bahwa pikiran merupakan mediasi antara simbol dan acuan. Atas dasar hasil pemikiran itu pula terbuahkan referensi yang merupakan hasil penggambaran maupun konseptualisasi acuan simbolik. Dengan demikian referensi merupakan gambaran hubungan antara tanda kebahasaan berupa kata-kata maupun kalimat dengan dunia acuan yang membuahkan satuan pengertian tertentu. Simbol berbeda dengan tanda. Tanda berkaitan langsung dengan objek, sedangkan simbol memerlukan proses pemaknaan yang lebih intensif setelah menghubungkan dia dengan objek. Dengan
38 Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
kata lain, simbol lebih substansif daripada tanda. Semiotika dibagi ke dalam tiga wilayah, yaitu: 1. Semantik Semantik membahas bagaimana tanda berhubungan dengan referennya, atau apa yang diwakili suatu tanda. Semiotika menggunakan dua dunia, yaitu dunia benda (world of things) dan dunia tanda (world of signs) dan menjelaskan hubungan keduanya. Prinsip dasar semiotika adalah bahwa representasi selalu diperantarai atau dimediasi oleh kesadaran interpretasi seorang individu, dan setiap interpretasi atau makna dari suatu tanda akan berubah dari satu situasi ke situasi lainnya (Morissan, 2009: 29).
2. Sintaktik Sintaktik (syntactics) yaitu studi mengenai hubungan diantara tanda. Dalam hal ini, tanda tidak pernah sendirian mewakili dirinya, tanda adalah selalu menjadi bagian dari sistem tanda yang lebih besar atau kelompok tanda yang diorganisir melalui cara tertentu. Sistem tanda seperti ini disebut dengan kode (code). Secara umum, sintaktik sebagai aturan yang digunakan manusia untuk menggabungkan atau mengkombinasi berbagai tanda ke dalam suatu sistem makna yang kompleks. Aturan yang terdapat pada sintatik memungkinkan manusia menggunakan berbagai kombinasi tanda yang sangat banyak untuk mengungkapkan arti atau makna (Morissan 2009:30).
3. Pragmatik Pragmatik
adalah
bidang
yang
mempelajari
bagaimana
tanda
menghasilkan perbedaan dalam kehidupan manusia, atau dengan kata lain studi yang mempelajari penggunaan tanda serta efek yang dihasilkan tanda. Aspek pragmatik dari tanda memiliki peran penting dalam komunikasi, khususnya untuk mempelajari mengapa terjadi pemahaman (understanding) atau kesalahpahaman (misunderstanding) dalam berkomunikasi (Morissan 2009:30).
39 Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
2.4.1 Semiotika Roland Barthes Kancah penelitian semiotika tidak bisa begitu saja melepaskan nama Roland Barthes, ahli semiotika yang ahli semiotika yang mengembangkan kajian yang sebelumnya punya warna kental strukturalisme kepada semiotika teks. Barthes berpendapat bahasa adalah sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya. Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Barthes ini dikenal dengan “order of significations” (Kriyantono, 2010 : 272). Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya dalam tanda adalah peran pembaca (the reader). Tradisi Semiotika pada awal kemunculannya hanya sebatas makna-makna denotatif atau semiotika denotasi. Sementara bagi Barthes ada makna lain yang bermain pada level yang lebih mendalam, yaitu pada level konotasi. Tambahan ini adalah sumbangan dari Barthes yang sangat berharga untuk menyempurnakan pemikiran Saussure, yang hanya berhenti pada tataran denotatif semata. Dengan membuka wilayah pemaknaan konotatif ini, pembaca teks dapat memahami penggunaan bahasa kiasan dan metafora yang tidak mungkin dapat dilakukan pada level denotatif (Manneke Budiman, dalam Christomy dan Yuwono, 2004:255). Barthes melontarkan konsep tentang konotasi dan denotasi ini sebagai kunci dari analisisnya. Dalam Mithologies-nya (1983) secara tegas ia membedakan antara denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama dengan sistem pemaknaan tataran kedua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Sistem kedua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif. Lewat model Signifikasi dua tahap (two order of signification) Barthes menjelaskan bahwa denotasi atau signifikansi tahap pertama merupakan hubungan antara penanda (signifier) dan petanda (signified) di dalam sebuah tanda terhadap
40 Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
realitas external. Itu yang disebut Barthes sebagai denotasi yaitu makna paling nyata dari tanda (sign). Denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan tingkat kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca seta nilai-nilai dari kebudayaannya. Konotasi mempunyai makna yang subjektif dan paling tidak intersubjektif. Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah objek, sedangkan makna konotasi adalah bagaimana cara mengggambarkannya (Wibowo, 2011:37). Konotasi bekerja dalam tingkat subjektif sehingga kehadirannya tidak disadari. Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda tetap membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Pembaca mudah sekali membaca makna konotatif sebagai fakta denotatif. Karena itu, salah satu tujuan analisis semiotika adalah untuk menyediakan metode analisis dan kerangka berpikir dan mengatasi terjadinya salah baca (misreading) atau salah dalam mengartikan makna suatu tanda. Penanda-penanda konotasi, yang dapat disebut sebagai konotator terbentuk dari tanda-tanda (kesatuan penanda dan petanda) dari sistem yang bersangkutan. Beberapa tanda dapat membentuk sebuah konotator tunggal. Dalam iklan, susunan tanda-tanda nonverbal dapat menutupi pesan yang ditunjukkan. Citra yang terbangun di dalamnya meninggalkan „pesan lain‟, yakni sesuatu yang berada di bawah citra kasar atau penanda konotasinya. Sedangkan untuk petanda konotasi, karakternya umum, global dan tersebar sekaligus menghasilkan fragmen ideologis. Dapat dikatakan bahwa ideologi adalah suatu form penanda-penanda konotasi, sementara tampilan iklan melalui ungkapan atau gaya verbal, nonverbal dan visualisasinya merupakan elemen bentuk (form) dari konotator-konotator. Konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebut sebagai ‟mitos‟ dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Konotasi merupakan aspek bentuk dari tanda, sedangkan mitos adalah muatannya. Dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda dan tanda pada sistem pemaknaan tataran kedua. Namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya, atau dengan kata lain, mitos adalah juga
41 Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
suatu sistem pemaknaan tataran kedua. Di dalam mitos pula sebuah petanda dapat memiliki penanda (Sobur, 2004:71). Misalnya saja Imperialisme Inggris, yang ditandai oleh berbagai ragam penanda seperti teh, bendera Union Jack serta bahasa Inggris yang menjadi bahasa internasional. Artinya dalam segi jumlah, petanda lebih miskin jumlahnya daripada penanda, sehingga dalam praktiknya terjadilah pemunculan sebuah konsep secara berulang-ulang dalam bentuk-bentuk yang berbeda. Dalam realitas yang termediasi, banyak mitos yang diciptakan media di sekitar kita, misalnya mitos tentang kecantikan dan kejantanan. Mitos ini bermain dalam tingkat bahasa yang dalam bahasa Barthes disebut sebagai „adibahasa‟ atau metalanguage (Strinati, 1995 : 113). Dibukanya pemaknaan konotatif dalam kajian semiotika memungkinkan „pembaca‟ iklan memaknai bahasa metaforik yang maknanya hanya dapat dipahami pada tataran konotatif. Dalam mitos, hubungan antara penanda dan petanda terjadi secara termotivasi. Berbeda dengan level denotasi yang tidak menampilkan makna (petanda) yang termotivasi, level konotasi menyediakan ruang bagi berlangsungnya motivasi makna ideologis. Barthes menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja, berikut peta tanda Roland Barthes :
Gambar 2 Peta Tanda Roland Barthes
Sumber:http://www.ahlidesain.com/semiotika-dalam-desain-komunikasi visual.html
42 Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Pada tingkatan pertama (Language), Barthes meperkenalkan signifier (1) dan signified (2), yang gabungan keduanya menghasilkan sign (3) pada tingkatan pertama. Pada tingkatan kedua, sign (3) kembali menjadi signifier (I) dan digabungkan dengan signified (II) dan menjadi sign (III). Sign yang ada di tingkatan kedua inilah yang berupa myth (mitos) disebut juga sebagai metalanguage. Di sini dapat dikatakan bahwa makna denotatif adalah makna yang digunakan untuk mendeskripsikan makna definisional, literal, gamblang atau common sense dari sebuah tanda dan makna konotatif mengacu pada asosiasiasosiasi budaya sosial dan personal berupa ideologis, emosional dan lain sebagainya. Roland Barthes dalam bukunya S/Z seperti dikutip Yasraf A.Piliang mengelompokkan kode-kode menjadi lima kisi-kisi kode, yakni : Kode hermeneutik, yaitu artikulasi sebagai cara pertanyaan, teka-teki, respons, enigma, penangguhan jawaban, akhirnya menuju pada jawaban. Atau dengan kata lain, kode hermeneutik berhubungan dengan teka-teki yang timbul dalam sebuah wacana. Siapakah mereka? Apa yang terjadi? Halangan apakah yang muncul? Bagaimanakah tujuannya? Jawaban yang satu menunda yang lain. Kode Semantik, yaitu kode yang mengandung konotasi pada level penanda. Misalnya konotasi feminitas, maskulinitas. Dengan kata lain, kode semantik adalah tanda-tanda yang ditata sehingga memberikan suatu konotasi maskulin, feminim, kebangsaan, kesukuan, loyalitas. Kode Simbolik, yaitu kode yang berkaitan dengan psikoanalisis, antitesis, kemenduaan, pertentangan dua unsur, skizofrenia. Kode narasi atau proairetik, yaitu kode yang mengandung cerita, urutan, narasi atau antinarasi. Terakhir ada Kode kebudayaan atau kultural, yaitu suara-suara yang bersifat kolektif, anonim, bawah sadar, mitos, kebijaksanaan, pengetahuan, sejarah, moral, psikologi, sastra, seni dan legenda.
2.4.2 Semiotika Dalam Film Barthes melihat signifikasi sebagai sebuah proses yang total dengan suatu susunan yang sudah terstruktur. Signifikasi itu itu tak terbatas pada bahasa,tetapi
43 Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
terdapat pula pada hal-hal yang bukan bahasa. Pada akhirnya Barthes menanggap kehidupan sosial sendiri merupakan suatu bentuk dari signifikasi. Dengan kata lain, kehidupan sosial, apapun bentuknya, merupakan suatu sistem tanda tersendiri pula. Kehidupan sosial seringkali digambarkan dalam tayangan film. Dengan demikian simbol yang tersirat dalam film dapat ditransfer oleh penonton ke dalam kehidupannya. Halhal yang memiliki arti simbolis tak terhitung jumlahnya. Dalam kebanyakan film setting, memiliki arti simbolik yang penting sekali, karena tokoh-tokoh sering dipergunakan secara simbolik. Dalam setiap bentuk cerita, sebuah simbol adalah sesuatu yang kongkret (sebuah obyek khusus, citra, pribadi, bunyi, kejadian atau tempat) yang mewakili atau melambangkan suatu kompleks, ide, sikap-sikap, atau rasa sehingga memperoleh arti yang lebih besar dari yang tersimpan dalam dirinya sendiri. Oleh karena itu sebuah simbol adalah suatu macam satuan komunikasi yang memiliki beban yang khusus sifatnya. Pada awalnya film adalah hiburan bagi kelas bawah, dengan cepat film mampu menembus batas-batas kelas dan menjangkau kelas lebih luas. Kemampuan film menjangkau banyak segmen sosial, kemudian menyadarkan para ahli komunikasi terutama, bahwa film memiliki potensi untuk mempengaruhi khalayaknya. Karena itu, mulailah merebak studi yang ingin Kajian semiotika dalam film sudah banyak dilakukan diantaranya adalah Budi Irawanto seorang alumnus Unversitas Gadjah Mada, yang mengkaji semiotika atas teks film Enam Djam di Jogja, Janur Kuning dan Serangan Fajar. Ketiga film tersebut diproduksi pada masa yang berbeda oleh perusahaan film yang berbeda pula. Film Enam Djam di Jogja diproduksi pada masa Orde Lama, suatu periode yang sangat kuat diwarnai oleh persaingan ideologis antara kelompok sipil dan militer. Film ini diproduksi oleh Perfini (Perusahaan Film Nasional Indonesia) yang didirikan oleh Usmar Ismail pada tanggal 30 Maret 1950. Perfini pada mulanya berbentuk firma, kemudian berubah menjadi N.V, hari lahir Perfini inilah oleh Dewan Film Indonesia kemudian ditetapkan sebagai “Hari Film Nasional”17. Sedangkan dalam film Janur Kuning dan Serangan Fajar diproduksi masa Orde Baru, sebuah periode yang ditandai oleh dominannya peran kelompok militer yang ditopang oleh ideologi yang kuat.
44 Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Secara relevan film merupakan bidang kajian bagi analisis semiotika, karena film dibangun dengan tanda semata-mata. Tanda-tanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik untuk mencapai efek bersamaan dengan tanda-tanda arsitektur, terutama indeksikal pada film digunakan tanda-tanda ikonis, yakni tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu. Sistem semiotika yang lebih penting dalam film digunakannya tandatanda ikonis, yakni berupa tanda-tanda yang dapat menggambarkan sesuatu yang dimaksud dalam penyampaian pesannya kepada audien. Metz dalam Sobur mengatakan meskipun ada upaya lain diluar pemikiran continental tentang des Hautes Etudes et Sciences Sociales (EHESS) Paris, merupakan figure utama dalam pemikiran semiotika sinematografi hingga sekarang. Sumbangan Metz dalam teori film adalah usaha untuk menggunakan peralatan konseptual linguistik struktural untuk meninjau kembali teori film yang ada. Salah satu area semiologi penting yang ditekuni Roland Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai sistem pemaknaan tataran ke-dua, yang dibangun diatas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Dalam perkembangannya, baik karena kemajuan teknik-teknik yang semakin canggih maupun tuntutan massa penonton, pembuat film semakin bervariasi. Untuk sekedar memperlihatkan variasi film yang diproduksi, maka jenis-jenis film dapat digolongkan sebagai berikut: 1. Teatrical Film (Film teaterikal) Film teaterikal atau disebut juga film cerita, merupakan ungkapan cerita yang dimainkan oleh manusia dengan unsur dramatis dan memiliki unsur yang kuat terhadap emosi penonton. Pada dasarnya, film dengan unsur dramatis bertolak dari eksplorasi konflik dalam suatu kisah. Misalnya konflik manusia dengan dirinya sendiri,manusia dengan manusia yang lain,manusia dengan lingkungan sosialnya,yang pada intinya menunjukkan pertentangan, lewat plot kejadian-kejadian disampaikan secara visual. Cerita dengan unsur dramatis ini dijabarkan dengan berbagai tema.Lewat tema inilah film teaterikal digolongkan beberapa jenis yakni: Pertama, Film Aksi (Action film), film ini bercirikan
45 Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
penonjolan filmnya dalam masalah fisik dalam konflik. Dapat dilihat dalam film yang mengeksploitasi peperangan atau pertarungan fisik,semacam film perang, silat, koboi, kepolisian, gengster dan semacamnya. Kedua, film Spikodrama, film ini didasarkan pada ketegangan yang dibangun dari kekacauan antara konflikkonflik kejiwaan,yang mengeksploitiasi karakter manusia,antara lain dapat dilihat dari film-film drama yang mengeksploitasi penyimpangan mental maupun dunia takhayul, semacam film horor. Ketiga, film komedi, film yang mengekspliotasi situasi yang dapat menimbulkan kelucuan pada penonton. Situasi lucu ini ada yang ditimbulkan oleh peristiwa fisik sehingga menjadi komedi. Selain itu,adapula kelucuan yang timbul harus diinterpretasikan dengan referensi intelektual. Keempat, film musik, jenis film ini tumbuh bersamaan dengan dikenalnya teknik suara dalam film, dengan sendirinya film jenis ini mengekspliotasi musik. Tetapi harus dibedakan antara film-film yang didalamnya terkandung musik dan nyanyian. Tidak setiap film dengan musik dapat digolongkan sebagai film musik. Yang dimaksud disini adalah film yang bersifat musikal, yang dicirikan oleh music yang menjadi bagian internal cerita, bukan sekedar selingan. 2. Film Non-teaterikal (Non-teatrical film) Secara sederhana,film jenis ini merupakan film yang diproduksi dengan memanfaatkan realitas asli, dan tidak bersifat fiktif. Selain itu juga tidak dikmaksudkan sebagai alat hiburan. Film-film jenis ini lebih cenderung untuk menjadi alat komunikasi untuk menyampaikan informasi (penerangan) maupun pendidikan. Film non-teaterikal dibagi dalam: Pertama, film dokumenter, adalah istilah yang dipakai secara luas untuk memberi nama film yang sifatnya nonteaterikal. Bila dilihat dari subyek materinya film dokumenter berkaitan dengan aspek faktual dari kehidupan manusia, hewan dan makhluk hidup lainnya yang tidak dicampuri oleh unsur fiksi. Dalam konsepnya, film ini adalah drama ide yang dianggap dapat menimbulkan perubahan sosial. Karena bukan untuk kesenangan
estetis,
hiburan
menyadarkan.penonton katalain,membangkitkan
akan
atau
pendidikan.
berbagai perasaan
aspek
Tujuannya kenyataan
masyarakat
adalah hidup. atas
untuk Dengan suatu
masalah,untukmemberikan ilham dalam bertindak,atau membina standart perilaku
46 Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
yang berbudaya. Dalam temanya berkaitan dengan apa yang terjadi atas dirimanusia, berupa pernyataan yang membangkitkan keharuan dan kenyataan dalam kerangka kehidupan manusia. Kedua, film pendidikan, film pendidikan dibuat bukan untuk massa,tetapi untuk sekelompok penonton yang dapat diidentifikasikan secara fisik. Film ini adalah untuk para siswa yang sudah tertentu bahan pelajaran yang akan diikutinya. Sehingga film pendidikan menjadi pelajaran ataupun instruksi belajar yang direkam dalam wujud visual. Isi yang disampaikan sesuai dengan kelompok penontonnya, dan dipertunjukkan di depan kelas. Setiap film ini tetap memerlukan adanya guru atau instruktur yang membimbing siswa. Ketiga, film animasi, animasi kartun dibuat dengan menggambarkan setiap frame satu persatu untuk kemudian dipotret. Setiap gambar frame merupakan gambar dengan posisi yang berbeda yang kalau di-seri-kan akan menghasilkan kesan gerak. Pioner dalam bidang ini adalah Emile Cohl (1905), yang semula memfilmkan boneka kemudian membuat gambar kartun di Prancis. Sedang di Amerika Serikat Winsor McCay mempelopori film animasi (1909). Walt Disney menyempurnakan teknik dengan memproduksi seni animasi tikus-tikus, dan kemudian membuat film serita yang panjang seperti “Snow White and Seven Dwarfs” (1937)25. Dengan menggunakan gambar, pembuat film dapat menciptakan gerak dan bentuk-bentuk yang tak terdapat dalam realitas. Apa saja yang dapat dipikirkan, dapat diflmkan melalui gambar. Dengan potensinya, film animasi tidak hanya digunakan untuk hiburan, tetapi juga untuk illustrasi dalam film pendidikan. Misalnya dengan gambar grafis yang bersifat dinamis ataupun kerja mesin ataupun skema yang hidup. Dengan menggunakan gambar, pembuat film dapat menciptakan gerak dan bentuk-bentuk yang tak terdapat dalam realitas. Apa saja yang dapat dipikirkan, dapat pula difilmkan melalui gambar. Dengan potensinya, film animasi tidak hanya untuk hiburan, tetapi juga untuk ilustrasi dalam film pendidikan. Misalnya dengan gambar grafis yang bersifat dinamis, ataupun cara kerja mesin ataupun skema yang hidup
47 Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
2.4.3
Semiotika Komunikasi Visual Semiotika komunikasi mengkaji tanda dalam konteks komunikasi yang
lebih luas, yang melibatkan pelbagai elemen komunikasi, seperti saluran (channel), sinyal (signal), media, pesan, kode (bahkan juga (noise). „semiotika komunikasi‟ menekankan aspek „produksi tanda‟ (sign production) di dalam pelbagai rantai komunikasi, saluran, dan media ketimbang „sistem tanda‟ (sign system). Didalam semiotika komunikasi, tanda ditempatkan dalam rantai komunikasi, sehingga mempunyai peran penting dalam penyampaian pesan. Semiotika komunikasi visual diperlukan untuk mengkaji tanda verbal (judul, subjudul, dan teks) dan tanda visual ilustrasi, logo, tipografi dan tata visual). Desain komunikasi visual dengan pendekatan teori semiotika. Diharapkan pisau analisis semiotika visual mampu menjadi salah satu pendekatan untuk memperoleh makna yang terkandung dibalik tanda verbal dan tanda visual karya desain komunikasi visual (Tinarbuko, 2010: 9). Desain komunikasi visual adalah ilmu yang mempelajari konsep komunikasi dan ungkapan daya kreatif, yang diaplikasikan dalam pelbagai media komunikasi visual dengan mengolah elemen desain grafis yang terdiri atas gambar (ilustrasi) huruf dan tipografi, warna, teknik pengambilan gambar. Semua itu dilakuakan guna menyampaikan pesan secara visual, audio, dan/atau audio visual kepada target sasaran yang dituju. 1. Tipografi Tipografi dalam konteks komunikasi visual mencakup pemilihan bentuk huruf; besar huruf; cara dan teknik penyusunan huruf menjadi kata atau kalimat yang sesuai dengan karakter pesan (sosial atau komersial) yang ingin disampaikan (Tinarbuko, 2010:25). Huruf dan tipografi dalam perkembangannya menjadi ujung tombak guna menyampaikan pesan verbal dan pesan visual kepada seseorang, sekumpulan orang, bahkan masyarakat luas yang dijadikan tujuan akhir proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan atau terget sasaran. Tipografi dalam hal ini adalah seni memilih dan menata huruf untuk pelbagai kepentingan menyampaikan informasi berbentuk pesan sosial ataupun
48 Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
komersial. Dewasa ini, perkembangan tipografi banyak dipengaruhi oleh kemajuan teknologi digital. Huruf yang telah disusun secara tipografis merupakan elemen dasar dalam membentuk sebuah tampilan desain komunikasi visual. Hal ini diyakini dapat memberikan inspirasi untuk membuat suatu komposisi yang menarik. sedangkan bentuk-bentuk tipografi itu sendiri dapat dipergunakan secara terpisah atau dapat pula dikomposisikan dengan materi lain seperti ilustrasi hand drawing ataupun image. Dalam perkembanganya, ada lebih dari seribu macam huruf Romawi atau Latin yang telah diakui oleh masyarakat dunia. Tetapi huruf tersebut sejatinya merupakan hasil perkawinan silang lima jenis huruf berikut ini : 1) Huruf Romein. Garis hurufnya memperlihatkan perbedaan antara tebaltipis dan mempunyai kaki atau kait yang lancip pada setiap batang hurufnya. 2) Huruf egyptian. Garis hurufnya memiliki ukuran yang sama tebal pada setiap sisinya. Kaki atau kaitnya berbentuk lurus atau kaku. 3) Huruf Sans Serif. Garis hurufnya sama tebal dan tidak mempunyai kaki atau kait. 4) Huruf miscellaneous. Jenis huruf ini lebih mementingkan nilai hiasnya daripada nilai komunikasinya. Bentuknya senantiasa mengedepankan aspek dekoratif dan ornamental. 5) Huruf Script. Jenis huruf ini menyerupai tulisan tangan dan bersifat spontan. Sementara itu, Danton Sihombing (2001: 96) mengelompokkan keluarga huruf berdasarkan latar belakang sejarahnya : 1) Old Style, jenis huruf ini meliputi : Bembo, Caslon, Galliard, Garamond. 2) Transitional, jenis huruf ini meliputi : baskerville, Perpetua, Times New Roman. 3) Modern, jenis huruf ini meliputi : Bodoni 4) Egyptian atau Slab Serif, jenis huruf ini meliputi : Bookman, Serifa.
49 Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
5) Sans Serif, jenis huruf ini meliputi : Franklin Gothic, Futura, Gill Sans, Optima. Huruf-huruf tertentu dalam melakukan aktivitas perancangan. Ia harus menjadikan rangkaian huruf (kata atau kalimat) tidak sekedar bisa di baca dan dimengerti maknanya. Tetapi lebih dari itu, seorang desainer komunikasi visual harus piawai menampilkan tipografi yang enak di pandang mata dan lebih melancarkan pembaca dalam memahami media komunikasi visual. Dengan demikian, keberadaan tipografi dalam rancangan karya desain komunikasi visual sangat penting. Sebab, perencanaan dan pemilihan tipografi yang tepat, baik ukuran, warna, maupun bentuk, diyakini mampu menguatkan isi pesan verbal desain komunikasi visual tersebut. Dalam social communication seperti dikutip Bebe Indah Maryam, ada beberapa faktor yang mempengaruhi mudah tidaknya ketersampaian sebuah pesan verbal yang terkandung dalam karya desain komunikasi visual, diantaranya: pertama, latar belakang, yakni warna dasar dan tekstur yang digunakan. Teks menjadi unsur utama dari sebuahpesan verbal akan terlihat jelas manakala keberadaan warna huruf dan latarnya cukup kontras Kedua, besar huruf yang digunakan. Ukuran standar teks adalah antara 6 sampai 10 point, tergantung luas ruangan yang tersedia dan banyak sedikitnya teks yang akan ditampilkan, juga menyesuaikan keluarga huruf yang ingin ditampilkan. Selain itu, Danton Sihombing (2001:28) mengingatkan, keluarga huruf terdiri dari kembangan yang berakar dari struktur bentuk dasar (regular) sebuah alfabet dan setiap perubahan huruf masih memiliki kesinambungan bentuk. Perbedaan tampilan yang pokok dalam keluarga huruf dibagi menjadi tiga bentuk pengembangan : (1)kelompok berat terdiri atas light, regular, dan bold. (2) Kelompok proporsi condesed, regular, dan extended. (3) kelompok kemiringan yaitu italic.Ketiga, spasi antarhuruf, kata, maupun jarak antar baris kalimat. Keempat, faktor-faktor subjektif seperti jarak baca maupun kualitas penerangan ketika membaca. Berdasarkan hal tersebut diatas, maka ketika desainer komunikasi visual mahir mengusai tipografi yang dipergunakan untuk menyampaikan informasi yang bersifat sosial ataupun komersial, maka sejatinya sang desainer tersebut
50 Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
mampu memposisikan dirinya sebagai kurir komunikasi (visual) yang bertanggung jawab kepada masyarakat luas yang dijadikan target . 2. Komposisi Warna Warna memegang peranan penting dalam sebuah iklan, yakni untuk mempertegas dan memperkuat kesan atau tujuan iklan tersebut. Warna juga mempunyai fungsi untuk memperkuat aspek identitas menurut pakar Psikologi, J. Linschoeten dan Mansyur (dalam Kasali, 1995 : 87) warna itu bukanlah suatu gejala yang hanya dapat diamati saja, warna itu mempengaruhi kelakuan, memegang peranan penting dalam penilaian estetis dan turut menentukan suka tidaknya kita terhadap berbagai benda. Bagi yang ingin mendesain sebuah gambar visual periklanan tidak terlepas dari artistik, desain, warna serta tema dari gambar yang ingin di buat. Dibawah ini dipaparkan potensi karakter warna yang mampu memberikan kesan pada seseorang, yang akan dideskripsikan sebagaimana yang diungkapkan Barker (1954) dalam Mulyana : 1. Merah, Melambangkan kesan energi, kekuatan, hasrat, erotisme, keberanian, simbol dari api, pencapaian tujuan, darah, resiko, ketenaran, cinta, perjuangan, perhatian, perang, bahaya, kecepatan, panas, kekerasan. Warna ini dapat menyampaikan kecenderungan untuk menampilkan gambar dan teks secara lebih besar dan dekat. warna merah dapat mengganggu apabila digunakan pada ukuran yang besar. Merah cocok untuk tema yang menunjukkan keberanian seseorang. energi misal mobil, kendaraan bermotor, olahraga dan permainan. 2. Putih. Menunjukkan kedamaian, Permohonan maaf, pencapaian diri, spiritualitas, kedewaan,
keperawanan
atau
kesucian,
kesederhanaan,
kesempurnaan,
kebersihan, cahaya, takbersalah, keamanan, persatuan. Warna putih sangat bagus untuk menampilkan atau menekankan warna lain serta memberi kesan kesederhanaan dan kebersihan. 3. Hitam. Melambangkan perlindungan, pengusiran, sesuatu yang negatif, mengikat, kekuatan, formalitas, misteri, kekayaan, ketakutan, kejahatan, ketidak bahagiaan,
51 Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
perasaan
yang dalam, kesedihan, kemarahan, sesuatu
yang melanggar
(underground), modern music, harga diri, anti kemapanan. Sangat tepat untuk menambahkan kesan misteri. latar belakang warna hitam dapat menampilkan perspektif dan kedalaman. Sangat bagus untuk menampilkan karya seni atau fotografi karena membantu penekanan pada warna-warna lain. 4. Biru. Memberikan kesan Komunikasi, Peruntungan yang baik, kebijakan, perlindungan, inspirasi spiritual, tenang, kelembutan, dinamis, air, laut, kreativitas, cinta, kedamaian, kepercayaan, loyalitas, kepandaian, panutan, kekuatan dari adlam, kesedihan, kestabilan, kepercayaan diri, kesadaran, pesan, ide, berbagi, idealisme, persahabatan dan harmoni, kasih sayang. Warna ini memberi kesan tenang dan menekankan keinginan. Biru tidak meminta matauntuk memperhatikan. Obyek dan gambar biru pada dasarnya dapat menciptakan perasaan yang dingin dan tenang. Warna Biru juga dapat menampilkan kekuatan teknologi, kebersihan, udara, air dan kedalaman laut. Selain itu, jika digabungkan dengan warna merah dan kuning dapat memberikan kesan kepercayaan dan kesehatan. 5. Hijau Menunjukkan warna bumi, penyembuhan fisik, kelimpahan, keajaiban, tanaman dan pohon, kesuburan, pertumbuhan, muda, kesuksesan materi, pembaharuan, daya tahan, keseimbangan, ketergantungan dan persahabatan. Dapat digunakan untuk relaksasi, menetralisir mata, memenangkan pikiran, merangsang kreatifitas. 6. Kuning Merujuk pada matahari, ingatan, imajinasi logis, energi sosial, kerjasama, kebahagiaan, kegembiraan, kehangatan, loyalitas, tekanan mental, persepsi, pemahaman, kebijaksanaan, penghianatan, kecemburuan, penipuan, kelemahan, penakut, aksi, idealisme, optimisme, imajinasi, harapan, musim panas, filosofi, ketidakpastian,resah dan curiga. Warna kuning merangsang aktivitas mental dan menarik perhatian, Sangat efektif digunakan pada blogsite yang menekankan pada perasaan bahagia dan kekanakan.
52 Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
7. Merah Muda Warna Merah Muda menunjukkan simbol kasih sayang dan cinta, persahabatan, feminin, kepercayaan, niat baik, pengobatan emosi, damai, perasaan yang halus, perasaan yang manis dan indah. 8. Ungu Menunjukkan
pengaruh,
pandangan
ketiga,
kekuatan
spiritual,
pengetahuan yang tersembunyi, aspirasi yang tinggi, kebangsawanan, upacara, misteri, pencerahan, telepati, empati, arogan, intuisi, kepercayaan yang dalam, ambisi, magic atau keajaiban, harga diri. 1. Orange Menunjukkan kehangatan, antusiasme, persahabatan, pencapaian bisnis, karier, kesuksesan, kesehatan pikiran, keadilan, daya tahan, kegembiraan, gerak cepat, sesuatu yang tumbuh, ketertarikan, independensi. Pada Blog dapat meningkatkan aktifitas mental. Disamping itu warna Orange memberi kesan yang kuat pada elemen yang dianggap penting. 10. Coklat Menunjukkan Persahabatan, kejadian yang khusus, bumi, pemikiran yang materialis, reliabilitas, kedamaian, produktivitas, praktis, kerja keras. Warna coklat sangat tidak menarik apabila digunakan tanpa tambahan gambar dan ornamen tertentu, coklat harus didukung ornament lain agar menarik. 11. Abu-Abu Mencerminkan keamanan, kepandaian, tenang dan serius, kesederhanaan, kedewasaaan, konservatif, praktis, kesedihan, bosan, profesional, kualitas, diam, tenang. 12. Emas Mencerminkan prestis (kedudukan), kesehatan, keamanan, kegembiraan, kebijakan, arti, tujuan, pencarian kedalam hati, kekuatan mistis, ilmu pengetahuan, perasaan kagum, konsentrasi. 13. Teknik Pengambilan Gambar Dalam analisis visual gambar menjadi suatu elemen terpenting yang menjadikannya bermakna, Ada dua aspek yang difokuskan dalam menganalisis iklan yakni aspek visual yang berupa ekspresi para tokoh, cara pengambilan
53 Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
gambar dan setting. Kedua aspek audio yang berupa narasi, gaya bahasa dan pilihan kata yang ada pada iklan. Konsep pengambilan gambar, teknik editing dan pergerakan kamera yang dijelaskan oleh Asa Berger. Cara pengambilan gambar dalam penelitian ini dapat berfungsi sebagai penanda. Gambar menjadi elemen terpenting untuk membentuk suatu tayangan berdurasi. Teknik pengambilan suatu gambar akan menentukan kualitas gambar yang dihasilkan apakah memenuhi kriteria menjadi gambar yang layak. Teknik pengambilan suatu gambar memiliki kode-kode
yang
menginformasikan
memiliki hampir
makna
seluruh
tersendiri.
aspek
Kode-kode
tentang keberadaan
tersebut kita
dan
menyediakan konsep yang bermanfaat bagi analisis seni populer dan media. Beberapa elemen gambar dapat ditemui dalam kode, terutama yang berhubungan dengan bahasa gambar yang bisa dilihat sebagai berikut
54 Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Tabel 1 Teknik Dalam Pengambilan Gambar PENANDA (SIGNIFIER)
MENANDAKAN (SIGNIFIED)
PENGAMBILAN GAMBAR Extreme Long Shot
Kesan luas dan keluarbiasaan
Full Shot
Hubungan sosial
Big Close Up
Emosi, dramatik, moment penting
Close Up
Intim atau dekat
Medium Shot
Hubungan personal dengan subjek
Long Shot
Konteks Perbedaan dengan publik
SUDUT PANDANG (Angle) Pengambilan Gambar: High
Dominasi, Kekuasaan dan otoritas
Eye-Level
Kesejajaran, keamanan dan sederajat
Low
Didominasi, dikuasai dan kurang otoritas
TIPE LENSA Wide Angle
Dramatis
Normal
Normalitas dan keseharian
Telephoto
Tidak personal, Voyeuristik
FOKUS Selective focus
Meminta perhatian (tertuju pada satu objek)
Soft Focus
Romantis serta nostalgia
Deep Focus
Semua unsur adalah penting (melihat secara keseluruhan objek
PENCAHAYAAN High Key
Riang dan cerah
Low Key
Surm dan muram
High Contrast
Dramatikan dan teatrikal
Low Contrast
Realistik serta terkesan seperti documenter
PEWARNAAN Warm (kuning, orange, merah, abu-abu)
Riang dan Cerah
Cool (biru dan hijau)
Pesimisme, tidak ada harapan
Black and White (Hitam dan Putih)
Realisme, aktualisme, harapan
55 Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Sumber: Selby, Keith, dan Codery, Ron, How to Study Television, London, Mc Millisan. 1995 (dlam Muhammad Reza, 2011, Representasi Citra Budaya dalam Iklan)
2.5 Komunikasi Antar Budaya Budaya berkenaan dengan cara manusia hidup. Manusia belajar, berfikir, merasa, mempercayai, dan mengusahakan apa yang patut menurut budayanya. Budaya pada dasarnya merupakan nilai – nilai yang muncul dari proses interaksi antarindividu. Nilai – nilai ini diakui baik secara langsung maupun tidak, seiring dengan waktu yang dilalui dalam interaksi tersebut. Bahkan terkadang sebuah niai tersebut di alam bawah sadar individu dan diwariskan secara turun menurun pada generasi berikutnya. Budaya berkesinambungan dan hadir dimana-mana, budaya juga berkenaan dengan bentuk fisik serta lingkungan sosial yang mempengaruhi hidup kita. Budaya kita secara pasti mempengaruhi kita sejak dalam kandungan hingga mati dan bahkan setelah mati pun kita dikuburkan dengan cara yang sesuai dengan budaya kita. Merujuk arti budaya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003:169), budaya bisa diartikan sebagai 1.) pikiran, 2.) akal budi, 3.) sesuatu mengenai kebudayaan yang sudah berkembang (beradab dan maju) dan 4.) sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dan sukar diubah. Koenjaraningrat (1989:186) mengemukakan konsep kebudayaan dalam arti yang sangat luas yaitu seluruh total dari pikiran, karya, dan hasil karya manusia yang tidak berakar dari nalurinya, namun diperoleh dari proses belajar manusia. Selanjutnya, menurut Taylor (1985:332), kebudayaan adalah kompleks keseluruhan yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, kebiasaan, serta kecakapan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan dipelihara oleh anggota masyarakat untuk menangani berbagai masalah – masalah yang timbul dan berbagai persoalan yang timbul.
2.5.1 Unsur-Unsur Budaya Koenjaraningrat dalam buku Mentalitas dan Kebudayaan (2004:2) mengemukakan tujuh unsur kebudayaan universal yang meliputi :
56 Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
a.
Religi
(sistem
kepercayaan).
Berkenaan
dengan
agama
dan
kepercayaan yang dianut dalam suatu masyarakat b. Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, sistem perkawinan). Yaitu cara-cara perilaku manusia yang terorganisir secara sosial meliputi sistem kekeraban, sistem komunitas, sistem pelapisan sosial, sistem politik. c.
Sistem pengetahuan. Meliputi teknologi dan kepandaian dalam hal tertentu, misalnya pada masyarakat petani ada pengetahuan masa tanam, alat pertanian yang sesuai lahan, pengetahuan yang menentukan proses pengolahan lahan.
d. Bahasa (lisan, tulisan). Terdiri dari bahasa lisan, bahasa tertulis dan naskah kuno. e.
Kesenian. Berkenaan dengan hal-hal yang menurut etika dan estetika seperti: seni gambar, musik, tari dan lainnya
f.
Mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi (pertanian, peternakan, sistem produksi, sistem distribusi). Yaitu segala sesuatu yang berkenaan dengan perekonomian dan mata pencaharian diantaranya alat-alat pertanian, sistem jual beli, cara bercocok tanam, sistem produksi, sistem distribusi, sistem konsumsi).
g. Peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian, perumahan, alatalat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi, transpor). Ini meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan kelengkapan atau peralatan hidup manusia sehari-hari demi menunjang aktivitas kehidupan dan mencapai kesejahteraan. Peralatan dan perlengkapan yang dimaksud meliputi pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat pabrik, alat transportasi. Susunan tata urut dari unsur-unsur kebudayaan universal yang tercantum diatas sengaja dibuat untuk sekalian menggambarkan unsur-unsur mana yang paling sukar berubah atau terkena pengaruh oleh budaya lain, dan mana unsur yang paling mudah terpengaruh budaya lain. Adapun wujud kebudayaan menurut Koenjaraningrat (5:2004), ada tiga wujud kebudayaan, yakni:
57 Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
a.
Gagasan
Yaitu wujud kebudayaan yang berupa gagasan, ide, nilai, norma, peraturan, dan lain sebagainya. Sifatnya abstrak, tidak dapat diraba, disentuh dan bukan barang yang nyata. Jika gagasan ini dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan tersebut berada dalam karangan-karangan atau tulisan-tulisan. Misalnya: kitab kuno, prasati dan lain sebagainya. b.
Aktivitas
Yaitu tindakan atau aktivitas manusia yang berasal dari pemikiran kebudayaan. Wujud kedua ini sering disebut dengan sistem sosial, terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang sering berinteraksi. Sifatnya nyata, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, dapat diamati dan didokumentasikan. Misalnya: sistem adat, sitem kemasyarakatan dan lain sebagainya. c.
Artefak
Yaitu wujud fisik berupa hasil aktivitas atau karya manusia dalam masyarakat yang berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, didokumentasikan serta sifatnya wujud konkret. Misalnya: Patung, bangunan dan lain sebagainya.
2.5.2
Pesan Tradisi Budaya dalam Suatu Film Film sebagai sebuah media komunikasi merupakan sebuah kombinasi
antara usaha penyampaian pesan melalui gambar yang bergerak, pemanfaatan teknologi kamera, warna dan suara. Unsur-unsur tersebut didukung oleh suatu cerita yang mengandung sutu pesan yang ingin disampaikan sutradara kepada khalayak film. Film dapat dikatakan sebagai salah satu media hiburan yang paling populer, selain televisi. Film mulanya hanya bisa disaksikan dalam sebuah gedung yang disebut bioskop dan hanya kalangan tertentu saja yang mampu menonton film di tempat macam ini. Film menjadi berbeda dengan bentuk media audiovisual yang lainnya karena film mampu membentuk identitasnya sendiri.
58 Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Film memiliki pengaruh yang kuat dalam mempengaruhi pola pikir dan budaya masyarakat. Di dalam sebuah film terkandung pesan–pesan yang ingin disampaikan oleh sutradara seperti pesan moral, pesan sosial, maupun pesan budaya. Dengan menonton sebuah film kita bisa mengetahui suatu budaya yang ditampilkan dalam film tersebut, selain itu kita juga bisa mengetahui budaya tertentu meskipun kita belum berkunjung ke tempat tersebut.
2.6 Representasi dalam sebuah film Karakteristik film sebagai media massa juga mampu membentuk semacam konsensus publik secara visual (visual public consensus), karena film selalu bertautan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan selera publik. Dengan kata lain, film merangkum pluralitas nilai yang ada di dalam masyarakat. (Irawanto, 1999:14) Film mampu menangkap gejala-gejala dan perubahan yang terjadi dalam masyarakat yang kemudian disajikan kembali kepada masyarakat untuk mendapat apresiasi. Sebagai salah satu media komunikasi, film mengandung berbagai pesan yang ingin disampaikan oleh penciptanya. Pesan-pesan tersebut dibangun dari berbagai macam tanda yang terdapat dalam film. Graeme Turner menyebut perspektif yang dominan dalam seluruh studi tentang hubungan film dan masyarakat sebagai pandangan yang refleksionis. Yaitu film dilihat sebagai cermin yang memantulkan kepercayaan-kepercayaan dan nilai-nilai dominant dalam kebudayaannya. Bagi Graeme, perspektif ini sangat primitif dan mengemukakan metapora yang tidak memuaskan karena menyederhanakan proses seleksi dan kombinasi yang selalu terjadi dalam setiap komposisi ungkapan, baik dalam film, prosa atau percakapan (Irawanto, 1999:15). Antara film dan masyarakat sesungguhnya terdapat kompetisi dan konflik dari berbagai faktor yang menentukan, baik bersifat kultural, sub kultural, industrial, serta institusional.Ada dua pendekatan yang digunakan untuk mengkaji adanya hubungan antara film dengan kultur masyarakat, yaitu secara textual dan contextual (Turner, 1995:153). Pendekatan tekstual berfokus pada teks-teks film. Film sebagai sebuah teks dipahami sebagai ekspresi dari aspek-aspek tertentu pada kultur masyarakatnya. Isi film yang ada di masyarakat, cenderung
59 Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
mempertahankan struktur sosial yang sudah ada dengan cara mereproduksi makna-makna yang berasal dari nilai-nilai, ideologi, dan kepentingan kelompokkelompok dominan dalam masyarakat. Sedangkan pendekatan kontekstual lebih menekankan pada aspek industrial, kultural politik, dan institusional film. Dalam kaitan ini, film lebih dipandang sebagai suatu proses produksi kultural daripada sebagai sebuah representasi dimana sebuah produksi film akan dipengaruhi oleh lingkup sosial dan ideologi di mana film itu dibuat dan berpengaruh kembali pada kondisi masyarakatnya. Antara masyarakat dan film terdapat berbagai dimensi yang menimbulkan makna-makna yang dapat dikaji untuk menghasilkan pemahaman tentang aspek-aspek yang muncul dari suatu realitas. Bagaimana pun hubungan antara film dan ideologi kebudayaannya bersifat problematis. Karena film adalah produk dari struktur sosial, politik, budaya, tetapi sekaligus membentuk dan mempengaruhi struktur tersebut. Turner berpendapat bahwa selain film bekerja pada sistem-sistem makna kebudayaan untuk memperbarui, memproduksi, atau me-reviewnya– ia juga diproduksi oleh sistemsistem makna itu. Dengan demikian, posisi film sesungguhnya berada dalam tarik ulur dengan ideologi kebudayaan dimana film itu diproduksi. Hal ini menunjukkan bahwa film tidak pernah otonom dari ideologi yang melatarinya.
60 Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2 Tabel Proses Representasi Fiske PERTAMA
REALITAS (Dalam bahasa tulis, seperti dokumen wawancara transkrip dansebagainya. Dalam televisi seperti perilaku, make up, pakaian, ucapan, gerak-gerik dan sebagainya.
KEDUA
REPRESENTASI Elemen tadi ditandakan secara teknis. Dalam bahasa tulis seperti kata, proposisi, kalimat, foto, caption, grafik, dan sebagainya. Dalam TV seperti kamera, musik, tata cahaya, dan lain-lain). Elemen-elemen tersebut di transmisikan ke dalam kode representasional yang memasukkan diantaranya bagaimana objek digambarkan (karakter, narasi setting, dialog, dan lain lain)
KETIGA
IDEOLOGI Semua elemen diorganisasikan dalam koheransi dan kode ideologi, seperti individualism, liberalisme, sosialisme, patriarki, ras, kelas, materialisme, dan sebagainya
61 Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Sumber : Wibowo, Semiotika komunikasi aplikasi praktis bagi penelitian dan skripsi komunikasi (Jakarta:Mitra Wacana Media,2011), hal.123
Pertama, realitas, dalam proses ini peristiwa atau ide dikonstruksi sebagai realitas oleh media dalam bentuk bahasa gambar ini umumnya berhubungan dengan aspek seperti pakaian, lingkungan, ucapan ekspresi dan lain-lain. Di sini realitas selalu siap ditandakan. Kedua, representasi, dalam proses ini realitas digambarkan dalam perangkat-perangkat teknis seperti bahasa tulis, gambar, grafik, animasi, dan lainlain.
Ketiga,
tahap
ideologis,
dalam
proses
ini
peristiwa-peristiwa
dihubungkan dan diorganisasikan ke dalam konvensi konvensi yang diterima secara
ideologis.
Bagaimana
kode-kode
representasi
dihubungkan
dan
diorganisasikan ke dalam koherensi sosial atau kepercayaan dominan yang ada dalam masyarakat. Representasi bekerja pada hubungan tanda dan makna. Konsep representasi sendiri bisa berubah-ubah, selalu ada pemaknaan baru. Representasi berubah-ubah akibat makna yang juga berubah -ubah. Setiap waktu terjadi proses negoisasi dalam pemaknaan. Jadi representasi bukanlah suatu kegiatan atau proses statis tapi merupakan proses dinamis yang terus berkembang seiring dengan kemampuan intelektual dan kebutuhan para pengguna tanda yaitu manusia sendiri yang juga terus bergerak dan berubah. Representasi merupakan suatu proses usaha konstruksi. Karena pandangan-pandangan baru yang menghasilkan pemaknaan baru , juga merupakan hasil pertumbuhan konstruksi pemikiran manusia, melalui representasi makna diproduksi dan dikonstruksi. Ini menjadi proses penandaan, praktik yang membuat suatu hal bermakna sesuatu.
62 Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara