BAB II Landasan Teori
2.1. Teori-teori Dasar 2.1.1 Komunikasi dan Komunikasi Massa Komunikasi adalah proses penyampaian suatu pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberi tahu atau untuk mengubah sikap, pendapat, atau perilaku baik langsung secara lisan maupun tak langsung melalui media (Effendy, 2004:5). Komunikasi merupakan unsur utama dalam segala kegiatan kehidupan manusia, baik secara pribadi maupun kelompok. Komunikasi sangat erat kaitannya dengan segala aspek kehidupan, sehingga setiap perubahan penting yang terjadi pada komunikasi akan memiliki pengaruh, dampak dan implikasi pada keseluruhan kehidupan manusia dan masyarakat, tidak terkecuali pada pranata dan lembaganya. Proses komunikasi dapat dilakukan secara bertatap muka atau dilakukan dengan menggunakan bantuan media. Dengan bantuan dari media-media tersebut, setiap individu dapat dengan mudah menyampaikan pesan-pesan komunikasinya tanpa mengenal ruang dan waktu (Rohim, 2009:21). Konsep komunikasi massa pada satu sisi mengandung pengertian suatu proses di mana organisasi media memproduksi dan menyebarkan pesan kepada publik secara luas dan pada sisi lain merupakan proses di mana pesan tersebut dicari, digunakan, dan dikonsumsi oleh komunikasi
massa adalah
audien. Pusat dari studi mengenai
media. Media
11
merupakan organisasi yang
12 menyebarkan informasi yang merupakan produk budaya atau pesan yang mempengaruhi dan mencerminkan budaya dalam masyarakat. Komunikasi massa didefenisiskan sebagai penggunaan teknologi yang dapat mendesiminasikan pesan secara luas, sangat beragam, tersebar luas kepada para penerima. Pesan-pesan media, secara khusus dapat disampaikan lewat teknologi, dimana pengaruh tampilan dan gambar pesan dapat dimodifikasi lewat kecanggihan teknologi (Rohim, 2009:22).
2.1.2
Komunikator Komunikator adalah pihak yang mengirim pesan kepada khalayak. Oleh
karena itu, komunikator biasa disebut pengirim, sumber, source atau encoder (Cangara,2007:85) Dalam komunikasi peranan komunikator sangat penting. Komunikasi haruslah luwes sehingga komunikator sebagai pelaksana dapat segera mengadakan perubahan apabila ada suatu faktor yang mempengaruhi. Suatu pengaruh yang menghambat komunikasi bisa datang sewaktu-waktu, lebih-lebih jika komunikasi dilangsungkan melalui media massa. Faktor-faktor yang berpengaruh bisa terdapat pada komponen media atau komponen komunikan sehingga efek yang diharapkan tak kunjung tercapai. Dalam proses komunikasi seorang komunikator akan sukses apabila ia berhasil menunjukkan source credibility, artinya menjadi sumber kepercayaan bagi komunikan. Kepercayaan komunikan kepada komunikator ditentukan oleh keahlian komunikator dalam bidang tugas pekerjaannya dan dapat tidaknya ia dipercaya. Seorang ahli hukum akan mendapat kepercayaan apabila ia berbicara mengenai masalah hukum. Demikian pula seorang dokter akan memperoleh
13 kepercayaan kalau ia membahas masalah kesehatan. Kepercayaan kepada komunikator mencerminkan bahwa pesan yang disampaikan kepada komunikan dianggap benar dan sesuai dengan kenyataan empiris. Jadi seorang komunikator menjadi source of credibility disebabkan adanya ethos pada dirinya yaitu apa yang dikatakan oleh Aristoteles, dan yang hingga kini tetap dijadikan pedoman yaitu good sense, good moral character dan good will, yang oleh para cendikiawan modern diterjemahkan menjadi itikad baik (good intentions), dan dapat
dipercaya
(thrustworthiness)
dan
kecakapan
atau
kemampuan
(competence or expertness). Berdasarkan hal itu komunikator yang ber-ethos menunjukkan bahwa dirinya mempunyai itikad baik, dapat dipercaya dan mempunyai kecakapan dan keahlian (Effendy, 2007:306).
2.1.3 Teori S-O-R Dari uraian-uraian di atas maka teori yang menedekati permasalahan penelitian ini adalah Teori S-O-R (Stimulus-Organism-Response). Teori ini mengemukakan bahwa tingkah laku sosial dapat dimengerti mengenai suatu analisis dari stimulus yang diberikan dan dapat mempengaruhi reaksi yang spesifik dan didukung oleh hukuman maupun penghargaan sesuai dengan reaksi yang terjadi. Dengan kata lain, menurut Effendy efek yang ditimbulkan sesuai dengan teori S-O-R yang merupakan reaksi yang bersifat khusus terhadap stimulus khusus, sehingga seseorang dapat mengharapkan dan kesesuaian antara pesan dan reaksi komunikan (Effendy,2007:254). Prinsip teori ini pada dasarnya merupakan suatu prinsip belajar yang sederhana, dimana efek merupakan reaksi terhadap stimuli tertentu. Dengan demikian seseorang dapat mengharapkan atau memperkirakan suatau ikatan
14 yang erat antar pesan-pesan media dan reaksi audien. Berdasarkan uraian di atas, maka proses komunikasi dalam teori S-O-R ini digambarkan sebagai berikut: Gambar 2.1 Model S-O-R
STIMULUS
• • •
ORGANISM Perhatian Pengertian Penerimaan
RESPONSE (Perubahan Sikap)
Bagan tersebut menunjukkan bahwa perubahan sikap bergantung pada proses yang terjadi pada individu. Stimulus ataupun pesan yang disampaikan kepada komunikan mungkin diterima atau ditolak. Komunikasi akan terus berlangsung jika ada perhatian dari komunikan. Proses berikutnya adalah pengertian. Kemampuan komunikasi inilah yang melanjutkan ke proses berikutnya. Setelah komunikan mengolahnya dan menerimanya maka terjadilah kesediaan untuk mengubah sikap. Dikaitkan dengan Program Top KPop terhadap minat musik remaja di Perumahan Kencana Loka Blok F1 Gambar di atas menunjukkan bahwa: a. Pesan (Stimulus), stimulus atau pesan yang dimaksud disini adalah program acara Top KPop. b. Komunikan (Organism), yang menjadi sasaran dalam penelitian ini adalah Remaja di Perumahan Kencana Loka Blok F1. c. Efek (Response), berupa perubahan sikap yang melalui tahap-tahap:
15 •
Pengetahuan bermusik komunikan bertambah setelah menonton Program Top KPop.
•
Timbulnya perasaan suka ataupun minat yang mendorong komunikan untuk menonton Program Top KPop.
•
Tindakan komunikan yang diwujudkan dengan menonton Program Top KPop. Yang dimaksud dengan perubahan sikap yang berhubungan pada
penelitian ini adalah perubahan sikap/ response komunikan yang diwujudkan dengan tindakan menonton Program Top KPop di televisi.
2.1.4 Televisi sebagai Media Komunikasi Massa Televisi merupakan media yang mendominasi komunikasi massa, karena sifatnya yang dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan khalayak. Televisi mempunyai kelebihan dari media massa lainnya yaitu bersifat audiovisual (didengar dan dilihat), dapat menggambarkan kenyataan dan langsung dapat menyajikan peristiwa yang sering terjadi ke setiap rumah para pemirsa dimanapun mereka berada. Dengan ini dapat dikatakan bahwa televisi sebagai media massa dapat berfungsi sangat efektif, karena selain dapat menjangkau ruang yang sangat luas juga dapat mencapai massa atau pemirsa yang sangat banyak dalam waktu yang relatif singkat. Jadi suatu pesan yang ditayangkan di televisi selalu bisa di tonton oleh khalayak tertentu (Morissan, 2008:35).
16 2.1.5 Efek Komunikasi Massa Setiap aktifitas komunikasi akan menimbulkan pengaruh atau efek baik terhadap individu maupun masyarakat, dan bertalian dengan pengetahuan, sikap dan perilaku. Efek adalah unsur penting dalam keseluruhan proses komunikasi. Efek bukan hanya sekedar reaksi penerima terhadap pesan yang dilontarkan oleh komunikator, melainkan merupakan panduan sejumlah kekuatan yang bekerja dalam masyarakat. Dimana komunikator hanya dapat menguasai satu kekuatan saja yaitu pesan-pesan yang dilontarkan. Bentuk konkrit efek dalam komunikasi adalah terjadinya perubahan pendapat atau sikap atau perilaku khalayak akibat pesan yang menyentuhnya. Efek dari pesan yang disebarkan oleh komunikator melalui media massa timbul pada komunikan sebagai sasaran komunikasi. Oleh karena itu efek melekat pada khalayak sebagai akibat dari perubahan psikologis. Efek dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori (Effendy, 2007:318-319) yaitu: 1. Efek kognitif yaitu berhubungan dengan pikiran atau penalaran, sehingga khalayak yang semula tidak tahu, yang tadinya tidak mengerti yang tadinya bingung menjadi merasa jelas. 2. Efek afektif yaitu berkaitan dengan perasaan. Akibat dari membaca surat kabar atau majalah, mendengarkan radio, menonton acara televisi atau film bioskop dapat menimbulkan perasaan tertentu pada khalayak. 3. Efek konatif yaitu bersangkutan dengan niat, tekad, upaya, usaha yang cenderung menjadi suatu tindakan atau kegiatan. Efek konatif tidak langsung timbul sebagai akibat terpaan media massa, melainkan didahului oleh efek kognitif dan afektif. Dengan kata lain timbulnya efek konatif setelah muncul efek kognitif dan efek afektif.
17 2.1.6 Perilaku Menurut Effendy (2004:19) perilaku adalah suatu kesiapan kegiatan (preparatory activity), suatu kecenderungan pada diri seseorang untuk melakukan suatu kegiatan menuju atau menjauhi nilai-nilai sosial. Menurut J. Paul Peter dan Jerry C. Olson (1999), perilaku dapat didefenisikan sebagai evaluasi konsep secara menyeluruh yang dilakukan oleh seseorang. Dapat dikatakan bahwa perilaku merupakan suatu respon evaluatif. Respon evaluatif merupakan bentuk reaksi yang dinyatakan sebagai sikap yang muncul yang didasari proses evaluasi dalam diri individu yang memberi kesimpulan terhadap rangsangan dalam bentuk nilai baik dan buruk, menyenangkan atau tidak menyenangkan, positif atau negatif, yang kemudian mengkristal menjadi potensi dan reaksi terhadap suatu objek (Mar’at, 1993:15). Diantara sumber informasi yang paling penting dalam kehidupan modern adalah media massa. Media massa tidak mengubah sikap secara langsung. Media massa mengubah dulu citra dan citra mendasari sikap (Rivers, 2003:44). Kemampuan acara musik dalam menciptakan perilaku yang mendukung terhadap apa yang ditampilkan sering tergantung pada sikap audien.
2.1.7 Globalisasi Budaya Globalisasi adalah suatu fenomena khusus dalam peradaban manusia yang bergerak terus dalam masyarakat global dan merupakan bagian dari proses manusia global itu. Kehadiran teknologi informasi dan teknologi komunikasi mempercepat akselerasi proses globalisasi ini. Globalisasi menyentuh seluruh aspek penting kehidupan. Globalisasi menciptakan berbagai tantangan dan
18 permasalahan baru yang harus dijawab, dipecahkan dalam upaya memanfaatkan globalisasi untuk kepentingan kehidupan. Secara umum, globalisasi berarti meningkatnya keterkaitan antara orangorang dan tempat-tempat sebagai akibat dari kemajuan teknologi transportasi, komunikasi, dan informasi yang memunculkan konvergensi politik, ekonomi, dan budaya. Wacana globalisasi sebagai sebuah proses ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga ia mampu mengubah dunia secara mendasar. Komunikasi dan transportasi internasional telah menghilangkan
batas-batas
budaya
setiap
bangsa.
(http://.en.wikipedia/org/wiki/Globalization)
Marshall
McLuhan
pelopor
jargon
desa
global
dalam
bukunya
Understanding Media, 1964 mengatakan: “Today, after more than a century of electric technology, we have extended our central nervous system itself in a global embrace, abolishing both space and time as far as our planet is concerned.”
Desa Global adalah konsep mengenai perkembangan teknologi komunikasi di mana dunia dianalogikan menjadi sebuah desa yang sangat besar. Konsep ini berangkat dari pemikiran McLuhan bahwa suatu saat nanti informasi akan sangat terbuka dan dapat diakses oleh semua orang. Desa Global menjelaskan bahwa tidak ada lagi batas waktu dan tempat yang jelas. Informasi dapat berpindah dari satu tempat ke belahan dunia lain dalam waktu yang sangat singkat, menggunakan teknologi media massa. McLuhan menyatakan bahwa desa global terjadi sebagai akibat dari penyebaran informasi yang sangat cepat dan massive di masyarakat. Penyebaran
19 yang cepat dan massive ini menggunakan teknologi informasi dan komunikasi (media massa). Hal ini juga diamini oleh Galperin. Menurut Galperin, globalisasi budaya meningkat di berbagai negara seiring perkembangan di bidang teknologi komunikasi dan informasi, globalisasi ekonomi, juga globalisasi di bidang tayangan televisi dan film. Bahkan, gencarnya perdagangan internasional program-program televisi dan film membuat globalisasi budaya semakin tak terbendung (Muharromaningsih, 2006:50) Globalisasi secara intensif terjadi pada awal ke-20 dengan berkembangnya teknologi komunikasi melalui media massa. Kontak budaya tidak perlu melalui kontak fisik karena kontak melalui media telah memungkinkan sehingga tidak mengherankan bila globalisasi berjalan dengan cepat dan massal. Globalisasi dalam kebudayaan dapat berkembang dengan cepat. Hal ini tentunya dipengaruhi oleh adanya kecepatan dan kemudahan dalam memperoleh akses komunikasi dan berita namun hal ini justru menjadi bumerang tersendiri dan menjadi suatu masalah yang paling krusial atau penting dalam globalisasi, yaitu kenyataan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dikuasai oleh negara-negara maju, bukan negara-negara berkembang seperti Indonesia. Mereka yang memiliki dan mampu menggerakkan komunikasi internasional justru negara-negara maju. Akibatnya, negara-negara berkembang, seperti Indonesia selalu khawatir akan tertinggal dalam arus globalisasi dalam berbagai bidang seperti politik, ekonomi, sosial, budaya, termasuk kesenian kita. Kebudayaan setiap bangsa cenderung mengarah kepada globalisasi dan menjadi peradaban dunia sehingga melibatkan manusia secara menyeluruh. Simon Kemoni, sosiolog asal Kenya mengatakan bahwa globalisasi dalam bentuk yang alami akan meninggikan berbagai budaya dan nilai-nilai budaya. Dalam
20 proses alami ini, setiap bangsa akan berusaha menyesuaikan budaya mereka dengan perkembangan baru sehingga mereka dapat melanjutkan kehidupan dan menghindari kehancuran. Tetapi menurut Simon Kemoni, dalam proses ini negara-negara Dunia Ketiga harus memperkokoh dimensi budaya mereka dan memelihara struktur nilai-nilainya agar tidak dieliminasi oleh budaya asing. Dalam rangka ini, berbagai bangsa Dunia Ketiga haruslah mendapatkan informasi ilmiah yang bermanfaat dan menambah pengalaman mereka. Globalisasi budaya yang terus berkembang dan menelusup ke segala lingkup kehidupan kemudian memunculkan istilah baru yaitu global pop culture dimana budaya trend dalam suatu wilayah dipopulerkan dengan bantuan teknologi hingga ke taraf dunia atau lingkup global (Hutagalung,2007:4). Global pop culture (film, musik, pakaian dan sebagainya) mengusung nilai-nilai ideologi dari negara asalnya yang mungkin saja jauh berbeda dari negara yang terkena imbas budaya pop. Budaya pop membuat mereka terlena akan hiburan yang ditawarkan. Transfer nilai budaya melalui hiburan ini mampu menciptakan kesamaan selera terhadap budaya pop tertentu yang
dapat mengancam eksistensi budaya dan
identitas masyarakat lokal. Semakin sering kita ditawarkan produk budaya pop tersebut, kita semakin tidak sadar bahwa hal tersebut bukanlah budaya dan identitas kita, sebaliknya, kita menganggap ini sebagai bagian dari keseharian kita. Norma, nilai dan gaya hidup kemudian diadaptasi dari hasil mengonsumsi budaya pop tersebut dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kita sehingga menyebabkan kita kehilangan karakteristik. Melihat begitu besarnya peran gobalisasi memporak-porandakan batas-batas geografis, bahkan mampu menghilangkan identitas, tetap saja kita tidak boleh semena-mena men-judge negatif kehadiran globalisasi di tengah arus modernitas.
21 Menurut para penganut globalis positif, globalisasi hanya sebagai pemicu yang mampu memperkecil budaya lintas teritorial agar lebih mudah untuk dipahami dan diakses. Walaupun globalisasi dianggap sebagai ancaman oleh sebagian besar orang, lantas tidak menjadikannya sebagai alasan utama ketika kehadirannya menimbulkan bermacam-macam kesempatan yang baik bagi individu dan masyarakat luas seperti: kesempatan ekonomi, wawasan lebih luas, kesempatan untuk keluar dari feodalisme, dan membuka diri terhadap nilai-nilai modernitas. Selain itu, globalisasi mampu menghasilkan masyarakat dunia yang toleran dan bertanggung jawab. Dalam pandangan kaum hiperglobalis,
globalisasi budaya adalah,
.....homogenization of the world under the auspices of American Popular Culture or Western consumerism in general”. Ini berarti bahwa globalisasi budaya adalah proses hegemonisasi di dunia di bawah bantuan budaya popular Amerika. Di era globalisasi kebanyakan media tidak hanya ditujukan pada pasar dalam negeri, melainkan mengalir ke konsumen atau pengguna yang secara geografis hidup berjauhan. Atau sebaliknya, media itu ditemukan dan digunakan oleh orang yang pada awalnya tidak diperkirakan sebagai pengguna. Namun saat ini, globalisasi yang sering diidentikkan dengan Amerikanisasi atau Westernisasi sepertinya hanya merupakan wacana perdebatan lama. Di Asia khususnya, masyarakat mulai bosan dengan budaya popular Amerika yang notabene bertahun-tahun telah menguasai pasar, sehingga munculah budaya global alternatif yang tidak didominasi oleh budaya popular Amerika tetapi mulai menyisipkan nilai-nilai Asia. Munculnya budaya global alternatif ini disebabkan kelemahan pada asumsi-asumsi imperialisme budaya seperti tidak melakukan analisis dinamika yang terjadi pada tingkat individu.
22 Peneliti imperialisme budaya memang lebih menekankan diri pada unsur-unsur makro. Morley juga mengkritik model awal imperialisme budaya karena hanya mempertimbangkan secara ekslusif arus komunikasi internasional searah dari Amerika ke seluruh belahan dunia lain. Contoh nyata saat ini, banyak terdapat counter flow eksporter program televisi dari berbagai belahan dunia (Badruddin,2006:77).
2.1.8 Memahami Budaya Populer Secara umum, budaya populer atau sering disingkat budaya pop merupakan budaya yang ringan, menyenangkan, trendi, banyak disukai dan cepat berganti. Menilik dari sejarahnya, kehadiran budaya populer tidak dapat terlepaskan dari perkembangan pembangunan pada abad ke-19 dan abad ke -20. Pada abad ke-19, pembangunan aspek media massa, khususnya surat kabar dan novel menjadikan jarak yang terpisah antara suatu masyarakat di belahan dunia yang berbeda dapat mengakses trend kultur, tidak terhambat oleh jarak. Memasuki abad ke-20, penemuan radio, televisi dan komputer semakin mempercepat penyebaran trend kultur dari belahan dunia yang satu ke belahan dunia lain. Budaya populer sebelum masa industri disebut juga sebagai budaya yang berasal dari budaya rakyat (folk culture). Ia mengangkat masalah ini melalui pendekatan yang beranggapan bahwa budaya pop adalah sessuatu yang diterapkan pada ”rakyat” dari atas. Budaya pop adalah budaya otentik ”rakyat” yang kemudian berkembang menjadi sebuah budaya yang populer di tengah masyarakat. Namun, seiring perkembangan kajian mengenai budaya pop dan terciptanya masyarakat industri, terjadi pergeseran makna terhadap budaya pop. Budaya pop kini dipandang sebagai budaya massa. Budaya massa acapkali
23 diartikan sebagai budaya populer yang diproduksi oleh teknik industri dengan produksi massal dan dipasarkan kepada masyarakat massa demi keuntungan kapitalis. Budaya massa mulai banyak menarik perhatian teoritikus sejak tahun 1920 dimana pada tahun tersebut mulai bermunculan sinema dan radio, produksi massal dan konsumsi kebudayaan, bangkitnya fasisme dan kematangan demokrasi liberal di sejumlah negara Barat. Signifikansi sosial budaya populer di zaman modern ini dapat dipetakan berdasarkan bagaimana budaya populer itu diidentifikasikan melalui gagasan budaya massa. Tidak bisa dipungkiri, industrialisasi dan urbanisasi merupakan elemen yang paling berpengaruh terhadap lahirnya khalayak budaya massa yang disebut masyarakat massa. Industrialisasi memicu konsumerisme yang berlebihan sementara urbanisasi menjadi perantara budaya secara geografis. Industrialisasi dan urbanisasi meruntuhkan perantara sosial yang sebelumnya menjadi petanda identitas sosial. Sebuah budaya yang akan memasuki dunia hiburan dan dipentaskan kemudian disebarluaskan ke berbagai wilayah di belahan dunia, pada umumnya menempatkan unsur populer sebagai unsur utamanya. Budaya itu kemudian memperoleh kekuatannya manakala media massa digunakan sebagai by pass penyebaran pengaruh di masyarakat. Konteks sosial semacam ini lebih cenderung membawa manusia dalam dunia yang serba tipuan. Maksudnya, kadang kefanaan menjadi suatu tujuan yang lebih konkret dari apa yang diperjuangkan oleh manusia itu sendiri. Dan disaat dunia tipuan ini dapat dimanipulasi oleh industri media, maka tipuan itu menjadi abadi dalam dunia fana. Kemajuan teknologi telekomunikasi telah membentuk
24 dunia ini sekecil telur burung merpati. Batas-batas budaya dan negara menjadi musnah. Kekuasaan tertinggi di dunia ini tidak lagi terletak pada pemilikan, akan tetapi pada penguasaan ( Bungin, 2008:51) Pada awalnya kajian tentang budaya populer tidak bisa dilepaskan dari peran Amerika Serikat dalam memproduksi dan menyebarkan budaya populer. Negara itu telah menanamkan akar yang sangat kuat dalam industri budaya populer, antara lain melalui Music Television (MTV), McDonald, Hollywood, dan industri animasi mereka (Walt Disney, Looney Toones, dll). Namun, perkembangan selanjutnya memunculkan negara-negara lain yang juga berhasil menjadi pusat budaya populer seperti Jepang, Korea Selatan, Hongkong, dan Taiwan. Menurut Nissim Kadosh Otmazgin, peneliti dari Center for Southeast Asian Studies (CSEAS) Kyoto University, Jepang sangat sukses dalam menyebarkan budaya populernya. Ia mengemukakan bahwa, “Selama dua dekade terakhir, produk-produk budaya populer Jepang telah diekspor, diperdagangkan, dan dikonsumsi secara besar-besaran di seluruh Asia Timur dan Asia Tenggara”. Manga (komik Jepang), anime (film animasi), games, fashion, musik, dan drama Jepang (dorama) merupakan contoh-contoh budaya populer Jepang yang sukses di berbagai negara. Setelah kedigdayaan Jepang, menyusul Korea Selatan yang kini semakin menunjukkan kemampuannya menyaingi serbuan budaya Jepang yang terlebih dulu melakukan ekspansi melalui budaya populer dalam bentuk hiburan. Tidak ketinggalan, film, drama dan musik k-pop Korea semakin mendunia. Amerika Serikat sebagai negara asal budaya pop juga tidak luput terkena imbas Korean Wave (istilah penyebaran budaya pop Korea ke berbagai belahan dunia). Amerika
25 kini menjadi basis para ikon budaya pop Korea memperluas pengaruhnya. Beberapa artis kenamaan Korea kini telah berhasil masuk ke dunia hiburan terbesar di dunia yaitu Hollywood. Selain itu, film-film Korea juga menjadi semacam magnet yang mengundang sutradara Hollywood untuk melakukan remake film Korea, salah satunya Il Mare yang ceritanya diadopsi Hollywood menjadi Lake House. Kasus di Amerika Serikat tersebut menjadi contoh keberhasilan
ekspansi
budaya
populer
Korea
dan
kekhawatiran
yang
menyertainya. Istilah “Koreanisasi” sering digunakan untuk menggambarkan penyebaran budaya populer Korea. Budaya populer sifatnya lebih banyak mempertontonkan sisi hiburan, yang kemudian mengesankan lebih konsumtif. Hiburan merupakan kebutuhan pribadi masyarakat yang telah dipengaruhi oleh struktur kapitalis. Prinsip –prinsip yang menonjol dalam hiburan adalah kesenangan yang tertanam dan menjelma dalam kehidupan manusia, sehingga pada saat lain akan menjelma membentuk budaya manusia. Akhirnya, kesenangan itu menjadi larut dalam kebutuhan manusia yang lebih besar, bahkan kadang menjadi eksistensi kehidupan manusia. Kesenangan juga membuat manusia manja dan terbiasa dengan kehidupan yang aduhai dan serba mengagumkan. Budaya pop sengaja dimunculkan untuk menjaga jarak keterlibatan ‘orangorang’ dari budaya ‘riil’. Kita juga dapat melihat bagaimana budaya pop sengaja dibangkitkan untuk menegaskan posisi orang-orang yang memusuhi mode manipulasi komersial yang disokong oleh ideologi industri budaya kapitalis. Dari kedua hal tersebut, nyata-nyata budaya pop digunakan sebagai agen penghancur budaya yang lain; sebuah bayang-bayang berbahaya yang mengancam dan menjegal kemajuan hal-hal yang riil.(Storey;2003:276)
26 Dalam dunia kapitalisme, hiburan dan bahkan budaya telah menjelma menjadi industri. Pada konteks ini, Theodor Adorno dan Max Horkheimer mengatakan budaya industri adalah media tipuan. Budaya telah berubah menjadi alat industri serta menjadi produk standar ekonomi kapitalis. Dunia hiburan telah menjadi sebuah proses reproduksi kepuasan manusia dalam media tipuan. Hampir tidak ada perbedaan lagi antara kehidupan nyata dan dunia yang digambarkan dalam film yang dirancang menggunakan efek suara dengan tingkat ilusi yang sempurna sehingga tak terkesan imaginator. Karl Marx dan pengikutnya selalu menganggap keberadaan media menjadi penunjang bertahannya budaya populer hingga saat ini dan mengakibatkan penurunan selera khalayak terhadap berbagai hal. Namun hal ini ditentang kaum populis yang melihat keberadaan budaya pop sebagai suatu hal yang positif. Kubu populis memandang bahwa tidak ada salahnya media massa melayani selera massa dalam masyarakat kapitalistik dan demokratis. Susan Sontag sebagai pelopor revisionisme budaya populer dalam bukunya “On Culture and The New Sensibility” menganggap bahwa budaya populer tidak sekedar budaya rendahan yang tidak memiliki nilai. Sontag menunjukkan bahwa budaya pop bisa mengangkat isu-isu serius seperti yang dilakukan seni tinggi dengan membandingkan kesan yang ditimbulkan lukisan Rauschenberg dengan lagu-lagu Supreme. Selain itu, Sontag juga memandang keberadaan budaya pop mampu menjadi perekat sosial. Hingga saat ini, kaum konservatif dan neokonservatif terus menyerang kebudayaan populer, namun anehnya kekuatan budaya populer semakin kuat dan mengakar pengaruhnya kepada miliaran manusia. Dan anehnya pula, kebudayaan populer lebih banyak berpengaruh pada kelompok orang muda dan menjadi pusat
27 ideologi masyarakat dan kebudayaan, padahal budaya populer terus menjadi kontradiksi dan perdebatan ( Bungin, 2008:50) Mazhab Frankfurt dan Marxisme menjadi gagasan yang paling mengemuka banyak digunakan sebagai landasan dalam mengkaji budaya populer. Mazhab Frankfurt meyakini bahwa kapitalisme mampu bertahan lama karena kemakmuran dan konsumerisme. Kapitalisme mampu menciptakan kebutuhan-kebutuhan palsu, menciptakan semacam ikon yang dipuja dan menjadikan kita sebagai korban fetisisme yang mengatasnamakan uang, lebih memuja harga, berupaya menaikkan status dalam pandangan orang lain dengan mengonsumsi barang-barang bermerek dan memaksakan diri memenuhi gaya hidup berlebihan. Konsep kapitalisme menyebabkan kita memiliki kebutuhan palsu. Pada dasarnya, manusia memiliki kebutuhan sejati untuk bersikap kreatif, lepas dan mandiri, menentukan nasibnya sendiri, berpartisipasi penuh sebagai anggota kelompok kolektif yang bermakna dan demokratis serta sanggup menjalani hidup bebas dan tanpa kekangan serta berpikir untuk diri sendiri. Oleh karena itu, konsep ini didasarkan pada pernyataan bahwa kebutuhan sejati tidak dapat direalisasikan dalam kapitalisme modern karena adanya kebutuhan-kebutuhan palsu yang baru dilahirkan sistem ini supaya dapat bertahan Mazhab Frankfurt menyatakan bahwa kapitalisme berhasil mengatasi banyak kontradiksi maupun krisis yang dihadapinya, sehingga memperoleh kekuatan stabilitas dan kesinambungan baru sekaligus yang belum pernah ada. Kapitalisme
menyebabkan
pertumbuhan
ekonomi,
kemakmuran
dan
konsumerisme serta berbagai persoalannya seperti ketidakmerataan secara terusmenerus, kemiskinan dan rasisme.
28 Adorno merupakan salah satu teoretikus penganut Mazhab Frankfurt yang pendapat-pendapatnya paling banyak dijadikan landasan dalam mempelajari budaya populer. Ia lebih merujuk budaya populer sebagai budaya massa yang diembel-embeli kapitalisme. Adorno beranggapan bahwa budaya populer selera (yang lebih) rendah masyarakat secara keseluruhan, sehingga mengurangi kualitasnya sebagai masyarakat. Hal itu dianjurkan karena media massa dapat “menakortikakan” dan “mengatomkan” orang-orang, turut menyebabkan mereka dicurigai terhadap teknik persuasi massa dengan keterampilan demagogues yang mencabut demokrasi. Bernard Rosenberg merangkumnya sebagai berikut: “Pada tempatnya yang terburuk, budaya massa diperlakukan tidak hanya untuk mengkerdilkan selera tetapi untuk membuat brutal sembari memberi jalan kepada totaliterianisme. Namun di balik semua keburukan itu, budaya populer mampu menciptakan
sebuah
kehidupan
ekonomi
yang
jauh
lebih
baik
dan
mensejahterakan. Teori ini juga menunjukkan adanya jarak intelektual dan politis antara Mazhab Frankfurt dan analisis Marx. Frankfurt melihat sifat tahan lama dari kapitalisme. Frankfurt jelas tidak menyangkal bahwa kapitalisme mengalami berbagai kontradiksi internal. Akan tetapi, selama masyarakat kapitalis mampu melahirkan tingkat kesejahteraan ekonomi yang semakin tinggi bagi sebagian besar populasi, termasuk kelas pekerjanya, peruntuhan akhir dan bangkitnya sosialisme menurut Marx agaknya nyaris tak mungkin terjadi. Marx yang menganggap bahwa suatu saat orang-orang akan menjadi jenuh dengan budaya pop yang disuguhkan akan meruntuhkan keberadaan dan kejayaan budaya pop dan melahirkan suatu kehidupan yang dinamai sosialisme.
29 2.1.9 Menggagas Sub-Kultur Secara sosiologis, sebuah subkultur adalah sekelompok orang yang memiliki perilaku dan kepercayaan yang berbeda dengan kebudayaan induk mereka. Subkultur dapat terjadi karena perbedaan usia anggotanya, ras, etnisitas, kelas sosial, dan/atau gender, dan dapat pula terjadi karena perbedaan aesthetik, religi, politik, dan seksual; atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut (http://.en.wikipedia/org/wiki/Subkultur) Anggota dari suatu subkultur biasanya menunjukan keanggotaan mereka dengan gaya hidup atau simbol-simbol tertentu. Karenanya, studi subkultur seringkali memasukkan studi tentang simbolisme (pakaian, musik dan perilaku anggota sub kebudayaan) dan bagaimana simbol tersebut diinterpretasikan oleh kebudayaan induknya. Sebuah subkultur selalu hadir dalam ruang dan waktu tertentu, ia bukanlah satu gejala yang lahir begitu saja. Kehadirannya akan saling kait mengkait dengan peristiwa-peristiwa lain yang menjadi konteksnya. Thornton dalam usaha pendefinisian subkultur menjelaskan bahwa atribut subkultur diberikan berdasarkan pembedaan antara suatu kelompok sosial atau budaya tertentu dengan masyarakat atau kebudayaan yang lebih luas. Penggunaan kata “sub” sendiri berkonotasi dengan perbedaannya dengan masyarakat dominan atau mainstream (Sosang,2009:26) Subkultur seringkali diidentikkan dengan budaya kaum muda. Menurut Johanna and Rob White, sebagai subjek dalam masyarakat, kaum muda seringkali didefinisikan dalam bingkai usia sebagai sebuah fase dalam kehidupan manusia. Saat dimana mereka mulai tertarik memperbincangkan hal-hal mengenai seksualitas, dan menemukan cara-cara mengekspresikan kemandirian mereka. Tindakan dan perhatian dalam hal ini dilihat sebagai kesadaran generasi. Namun
30 pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa terdapat banyak jenis subkultur dan mengapa orang-orang memilih jenis subkultur tertentu (Sosang,2009:29) Tidak dipungkiri, kebanyakan dari kita menganggap dan mengidentikkan subkultur dengan suatu kegiatan yang sifatnya negatif. Geng motor, musik underground, anak jalanan dan perilaku amoral lainnya. Padahal, kalaulah kita tahu dan sadar akan arti dan tujuan kata tersebut dialamatkan, maka kita akan sadar dengan sendirinya bahwa subkultur tidak selalu ditujukan untuk hal yang negatif. Pesantren barangkali salah satu subkultur yang nyata dan jelas juga berkesan positif. Pesantren yang dimaksud adalah pesantren yang kiai dan sistem pendidikannya tidak mengacu pada sistem pendidikan nasional. Contoh lain selain pesantren adalah klub/komunitas pecinta sepeda motor yang mewadahi para pecinta atau pengendara sepeda motor ke arah yang lebih positif, subkultur anime yang mewadahi para pecinta komik atau korea lovers yang merupakan subkultur penggemar hiburan Korea. Konsep subkultur merupakan hal yang berdaya mobilitas mengkonstitusi obyeknya dari studi. Hal ini merupakan suatu istilah klasifikatori yang mencoba memetakan dunia sosial didalam suatu tindakan terhadap representasi. Keakuratan sub kultur bukan pada sejauh mana mampu berfungsi dalam pemakaiannya. Kata Sub bermakna sebagai istilah dan menunjukkan pembedaan dengan jelas arus utama budaya dominan dalam masyarakat. Dengan kata lain, sub kultur dimaksudkan agar bagian masyarakat tertentu mampu memaknai hidup secara baru sehingga dapat menikmati kesadaran menjadi yang lain dalam perbedaan terhadap budaya dominan masyarakat. Dalam suatu subkultur, identitas kultural menjadi suatu cerminan dari suatu kelompok walaupun kita tidak bisa memungkiri dalam suatu kelompok itu
31 terdapat karakter individual yang berbeda satu sama lain diantara para anggotanya. Identitas kultural sendiri adalah suatu karakter tertentu dari sebuah sistem komunikasi kelompok yang timbul ketika orang menyatakan dirinya sebagai anggota sebuah kelompok di dalam situasi, kegiatan, atau konteks komunikasi tertentu. Dalam perspektif komunikasi, identitas diletakkan dalam proses komunikasi dimana pesan-pesan dibentuk, diperkuat, dipertandingkan, dan ditantang. Sebuah perspektif komunikasi juga mencakup perhatian terhadap penciptaan identitas kultural melalui produk, kata-kata, dan gambar-gambar yang dikirimkan melalui media atau kanal-kanal teknologi. Pada level kelompok, subkultur Korea Lovers dijadikan sebagai basis politik identitas. Aktivitas khalayak media dan penggemar adalah bagian aktivitas subkultur yang paling cepat pertumbuhannya. Yang menjadi perekat pada kelompok subkultur penggemar budaya pop Korea adalah media, dalam hal ini film, drama dan musik Korea itu sendiri meskipun anggota kelompok ini mungkin memiliki identitas lain di luar kelompok ini. Konsumsi budaya pop Korea secara kolektif, kesenangan yang mereka dapatkan, dan kekritisan mereka terhadap budaya dominan yaitu Barat juga membentuk identitas pada level transnasional dan membentuk komunitas bervisi sama yang beroperasi di luar batasan negara. Ini dapat dilihat dari partisipasi penggemar dalam forum-forum internasional dan persamaan nilai dan praktik budaya pada penggemar budaya pop Korea di negara lain. Terbentuknya identitas dalam sebuah subkultur tentu saja menyeret anggotanya pada kegiatan konsumsi tanda atau simbol yang menunjukkan identitas mereka sebagai bagian dari sebuah subkultur. Konsumsi subkultural adalah konsumsi pada tahapnya yang paling diskriminatif. Melalui suatu proses
32 ‘perakitan’, subkultur-subkultur mengambil berbagai komoditas yang secara komersial tersedia untuk tujuan dan makna subkultur itu sendiri. Produk-produk dipadukan atau diubah dengan cara yang tidak diniatkan oleh produsennya; komoditas
diartikulasikan
kembali
untuk
menghasilkan
makna-makna
oposisional. Contoh-contoh seperti komunitas Teddy Boys yang mengenakan Jaket Savile Row Edwardian, komunitas mod yang mengenakan setelan Italia. (Storey,2007:152). Seperti halnya komunitas di atas, Korea Lovers juga merupakan sebuah komunitas yang memiliki ciri khas tersendiri dengan menunjukkan identitas ke-Korea-an mereka, baik melalui pakaian, cara mereka bicara maupun pernak-pernik yang dapat memperkuat identitas mereka sebagai penggemar budaya pop Korea. Judith K. Martin dan Thomas K. Nakayama mengatakan terdapat tiga perspektif tentang identitas yaitu: perspektif psikologi sosial, perspektif komunikasi dan persfektif kritis. Dalam kasus pembentukan identitas dari para penggemar budaya pop Korea, untuk menganalisis pada skala mikro yaitu pada tataran individu, peneliti menggunakan perspektif komunikasi dimana proses avowal dan ascription merupakan hal yang penting. Seorang penggemar budaya pop Korea bisa saja melakukan avowal tentang identitas dirinya, namun jika proses ascription dari orang lain di lingkungannya itu bertentangan dengan apa yang digambarkan oleh dirinya, seorang penggemar budaya pop Korea yang termasuk dalam dominant reader akan menarik diri dari lingkungan sosialnya dan lebih memilih mencari teman bermain atau masuk dalam kelompok yang akan melakukan ascription yang sesuai dengan avowalnya. Sementara penggemar budaya
pop
Korea
yang
termasuk
negotiated
reader
mungkin
akan
menegosiasikannya dan akan menyesuaikan identitas kulturalnya ke dalam
33 identitas kultural yang dominan di lingkungannya, atau dengan kata lain ia akan menyesuaikan proses avowalnya dengan proses ascription orang-orang di lingkungannya (Setiowati,2008:544). Sementara itu dalam analisis skala meso, peneliti akan menggunakan perspektif kritis karena identitas para penggemar Korea ini tercipta karena latar belakang sejarah, ekonomi, politik dan wacana yang beredar saat ini. Maraknya serbuan hiburan budaya pop Korea saat ini akan menciptakan suatu identitas kultural bagi penggemar budaya pop Korea. Berdasarkan pengamatan, identitas para penggemar budaya pop Korea akan “Ke-Korea-an” tiap individu dalam kelompok memang berbeda-beda baik dari segi jenis maupun tingkatannya. Cara pembacaan teks yang berbeda ini terjadi akibat proses sosialisasi yang berbeda dari tiap-tiap individu. Latar belakang keluarga, pendidikan, agama, dan aspek sosial lainnya pada tiap individu, amat berpengaruh pada cara pembacaan khalayak terhadap teks media. Cara pembacaan yang berbeda juga berpengaruh pada pembentukan identitas dari khalayak. Sesuai dengan teori perbedaan individual yang berpendapat bahwa karena karakter psikologis pada setiap orang sangat beragam dan karena mereka memiliki persepsi yang berbeda-beda terhadap sesuatu, pengaruh media berbeda-beda antara satu orang ke orang lain. Lebih spesifik, pesan media mengandung ciri stimulus tertentu yang memiliki interaksi yang berbeda dengan karakteristik pribadi masing-masing khalayak. Walaupun pada akhirnya individu tersebut membentuk suatu kelompok sosial atas dasar kesamaan, perbedaan individu dalam kelompok tetap ada. Kelompok sosial hanya menjadi penguat apa yang diyakini oleh individu, namun tingkat hegemoni di dalam kelompok tidak akan
34 utuh. Mereka memang memiliki kesamaan namun tidak dalam segala hal karena ada faktor lain yang turut andil dalam membentuk individu. Melvin D. Defleur dalam teorinya “Individual Differences Theory of Mass Communication Effect” menelaah perbedaan-perbedaan diantara individuindividu sebagai sasaran media massa ketika mereka diterpa sehingga menimbulkan efek tertentu. Anggapan dasar dari teori ini ialah bahwa manusia amat bervariasi dalam organisasi psikologisnya secara pribadi. Variasi ini sebagian dimulai dari dukungan perbedaan secara biologis. Tetapi ini dikarenakan pengetahuan secara individual yang berbeda. Manusia yang dibesarkan dalam lingkungan yang secara tajam berbeda, menghadapi titik-titik pandangan yang berbeda secara tajam pula. Dari lingkungan yang dipelajarinya itu, mereka menghendaki seperangkat sikap, nilai, dan kepercayaan yang merupakan tatanan psikologisnya masing-masing pribadi yang membedakannya dari yang lain. Teori perbedaan individual ini mengandung rangsangan-rangsangan khusus yang menimbulkan interaksi yang berbeda dengan watak-watak perorangan anggota khalayak. Oleh karena terdapat perbedaan individual pada setiap pribadi anggota khalayak itu, maka secara alamiah dapat diduga akan muncul efek yang bervariasi sesuai dengan perbedaan individual itu. Tetapi dengan berpegang tetap pada pengaruh variabel-variabel kepribadian (yakni menganggap khalayak memiliki ciri-ciri kepribadian yang sama) teori tersebut tetap akan memprediksi keseragaman tanggapan terhadap pesan tertentu (jika variabel antara bersifat seragam). Mary Jane Collier pun mempertegas dengan mengatakan, ketika kita menggunakan budaya sebagai pendekatan untuk melihat karakter atau identitas kelompok, kita harus menyadari bahwa tiap kelompok itu dibangun atas dasar
35 pendapat-pendapat sekelompok individual. Selain itu, seseorang bisa mempunyai identitas yang beragam, tergantung peran apa yang sedang dijalankannya, sehingga kita harus menyadari bahwa identitas kultural itu kompleks dan diciptakan, dipelihara, dipertentangkan dan dipertandingkan pada saat kita melakukan hubungan dengan orang lain (Setiowati,2008:543).
2.1.10 Budaya Penggemar Para penggemar adalah bagian paling tampak dari khalayak teks dan dan praktik budaya pop. Penggemar selalu dicirikan sebagai suatu kefanatikan yang potensial. Hal ini berarti bahwa kelompok penggemar dilihat sebagai perilaku
yang
berlebihan
dan
berdekatan
dengan
kegilaan.
Jenson
menunjukkan dua tipe khas patologi penggemar; individu yang terobsesi dan kerumunan histeris. Ia berpendapat bahwa kedua figur itu lahir dari pembacaan tertentu dan kritik atas modernitas yang tak diakui dimana para penggemar dipandang sebagai simptom psikologis dari dugaan disfungsi sosial. Para penggemar ditampilkan sebagai salah satu dari ‘liyan’ yang berbahaya dalam kehidupan modern. ‘Kita’ ini waras dan terhormat, ‘mereka’ itu terobsesi dan histeris. (Storey,2003:157-158) Penggemar dipahami sebagai korban-korban pasif dan patologis dari media massa. Media massa mengkonstruksikan wacana kepada penggemar dan membentuk theatre of mind mereka. Hal ini menyebabkan penggemar tidak bisa mendiskriminasikan dan menciptakan jarak antara diri mereka dan objekobjek kesenangan. Stereotip yang paling umum misalnya adalah kelompokkelompok gadis dan perempuan histeris yang meneriaki para selebritis idola mereka, kelompok penggemar yang saling bersaing mengadopsi gaya idolanya
36 atau kelompok penggemar yang rela melakukan apa saja demi bertemu idolanya. Kelompok penggemar (fandom) dipandang sebagai simptom (patologis) yang tampak dari kemungkinan runtuhnya budaya, moral dan sosial yang tak terelakkan lagi mengikuti transisi dari masyarakat pedesaan dan agrikultural menuju masyarakat industrial dan urban. Pada tahapnya yang paling lunak, kelompok penggemar merepresentasikan satu upaya yang putus asa untuk mengompensasikan kelemahan kehidupan modern. Fandom cenderung selalu mengejar kepentingan-kepentingan, memamerkan selera dan preferensi sehingga sangat pas untuk berbagai teks dan praktik budaya pop. Para khalayak ini dapat dikatakan memamerkan kesenangan mereka hingga menimbulkan rasa emosional, sementara khalayak dominan senantiasa mampu menjaga jarak dan kontrol estetik yang terhormat. Hal ini memperlihatkan bagaimana pasifnya khalayak penggemar budaya pop dalam menerima isi media, sehingga mereka mau ‘menggilai’ sesuatu yang dianggap tidak mempunyai nilai estetika seperti halnya budaya dominan. Namun Jenson tidak sependapat dengan istilah khalayak yang pasif sebab menurutnya, pandangan ini terbentuk karena adanya dominasi pemikiran sosial dari kelompok masyarakat yang lebih dominan. Menurut Jenson, terdapat tiga ciri utama dalam menandai moda pemberian makna budaya penggemar dalam teks-teks media, yaitu: (1) cara penggemar menarik teks mendekati ranah pengalaman hidup mereka; (2) peran yang dimainkan melalui pembacaan kembali dalam budaya penggemar; (3) proses yang memasukkan informasi program ke dalam interaksi sosial secara terus menerus (Storey, 2003: 157-158)
37 Paul Wills mengatakan bahwa dalam kehidupan remaja yang notabene adalah penggemar budaya pop, para individu dan kelompok berusaha untuk secara kreatif membuktikan kehadiran, identitas dan makna dari ungkapan perasaan, tanda dan simbol dalam kehidupan mereka, melalui suatu upaya yang disebut kreativitas simbolik. Mereka menciptakan suatu kreativitas simbolik dari apa yang mereka konsumsi dari media. Kreativitas simbolik sendiri merupakan bertumpuk cara dimana remaja menggunakan, memanusiakan, menghiasi, dan menobatkan makna-makna dalam ruang-ruang kehidupan dan praktek-praktek sosial yang umum. Mereka menciptakan gaya-gaya dan pilihan-pilihan pakaian, penggunaan musik, TV, majalah yang selektif dan aktif, hiasan kamar-kamar mereka, ritual-ritual percintaan dan gaya-gaya subkultural seperti gaya bicara dan senda gurau, serta penciptaan musik dan tarian (Setiowati, 2008:541). Untuk memuaskan hasrat sebagai bagian dari kelompok penggemar, individu dalam kelompok tersebut merasa dituntut untuk mengikuti gaya hidup kelompok penggemar tersebut. Tidak dapat dielakkan lagi, praktik konsumsi tidak bisa lepas dari mereka demi pemenuhan kebutuhan demi mendapat pengakuan dan menjadi bagian dari kelompok penggemar. Berbelanja menjadi sebuah solusi untuk memenuhi segala kebutuhan berupa atribut-atribut yang mencerminkan mereka sebagai bagian dari kelompok penggemar. Praktik konsumsi yang dilakukan kelompok penggemar sepertinya sejalan dengan pernyataan Bre Renada “Aku membeli, maka aku ada...” Menurut Bre Renada, dalam konteks kehidupan masyarakat modern sekarang ini, faktor konsumsilah yang menjadi dasar untuk menjelaskan realitas sekaligus meletakkan eksistensi manusia dalam kehidupan sosialnya.
38 Konsumsi di era yang disebut Bre sebagai kapitalisme mutakhir ini telah mengalami pergeseran nilai dari tingkat konsumsi barang-barang kebutuhan atau benda-benda yang mempunyai kegunaan langsung dan mendesak, menjadi konsumsi “simbol-simbol” atau “tanda-tanda”. Meaghan Morris menegaskan bahwa pusat perbelanjaan digunakan oleh kelompok-kelompok berbeda secara berbeda. “Terdapat praktik-praktik yang berbeda dalam menggunakan suatu pusat perbelanjaan pada suatu hari; sejumlah orang bisa ada di sana sekali seumur hidup mereka; terdapat pengguna-pengguna yang sesekali memilih pusat perbelanjaan itu dan bukan yang ini pada hari itu untuk alasan-alasan khusus atau cukup manasuka saja; orang mungkin belanja di satu pusat perbelanjaan dan pergi ke pusat perbelanjaan lainnya untuk bersosialisasi atau berkelilingkeliling. Penggunaan pusat-pusat perbelanjaan sebagai tempat pertemuan (dan kadang kala untuk berteduh dan bernaung gratis) oleh orang-orang muda, para pensiunan, pengangguran dan tunawisma adalah bagian familiar dari fungsi sosialnya yang kerap kali direncanakan, kini, oleh manajemen pusat perbelanjaan”
Ada sebuah perumpamaan yang mengatakan bahwa pusat-pusat perbelanjaan tidak lain merupakan ‘katedral-katedral konsumsi’. Konsumsi tidak hanya dipandang sebagai aktivitas ekonomi belaka untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan material. Lebih dari itu, konsumsi juga berhubungan dengan mimpi dan hasrat, identitas dan komunikasi. Paul Willis dalam Storey (2003:171) berpendapat bahwa orang-orang membawa identitas hidup ke perdagangan dan konsumsi komoditas-komoditas kultural dan juga terbentuk di sana. Mereka membawa pengalaman, perasaan, posisi sosial, dan keanggotaan sosial ke pertemuan mereka dengan perdagangan. Karenanya, mereka membawa tekanan simbolik kreatif
yang dibutuhkan, tidak hanya untuk
memahami komoditas kultural, tetapi sebagian melalui komoditas kultural itu mereka
memahami
kontradiksi
dan
struktur
sebagaimana
mereka
mengalaminya di sekolah, college, produksi, pertetanggaan, dan sebagai
39 anggota-anggota gender, ras, kelas, dan usia tertentu. Akibat dari kerja simbolik yang diperlukan ini boleh jadi cukup berbeda dengan apa pun yang pada awalnya terkode di dalam komoditas kultural. Willis berpendapat bahwa dorongan kapitalis akan keuntungan menghasilkan kontradiksi-kontradiksi yang bisa dimanfaatkan oleh kreativitas simbolik dalam ranah budaya bersama. Tetapi, lebih dari ini semua, dan lebih penting dari ini, dorongan kapitalis akan keuntungan menghasilkan kondisi-kondisi bagi produksi ranah budaya bersama itu sendiri. Barangkali catatan mutakhir paling menarik mengenai budaya penggemar dalam Cultural Studies adalah Textual Poachers karya Henry Jenkins. Dalam sebuah penelitian etnografis mengenai sebuah komunitas penggemar (yang sebagian besar, tetapi tidak semata-mata, perempuan kelas menengah kulit putih), Jenkins mendekati kelompok penggemar sebagai seorang akademikus (yang mengakses teori-teori budaya pop tertentu, seperangkat literatur kritis dan etnografis) maupun sebagai penggemar (yang memiliki akses terhadap pengetahuan tertentu dan tradisi-tradisi dalam komunitas tersebut). Sebagaimana Jenkins ingin tegaskan, kajian itu dituangkan dalam bentuk dialog aktif dengan komunitas penggemar: “Praktik saya dari permulaan adalah berbagi pengalaman dengan semua penggemar yang saya kutip pendapatnya di tiap-tiap bab serta mendorong kritisme mereka terhadap isinya. Saya telah menerima banyak surat dari para penggemar, yang menawarkan wawasan mereka mengenai isu-isu yang diangkat di sini dan saya sudah banyak belajar banyak dari reaksi mereka. Saya telah bertemu dengan kelompok-kelompok penggemar dalam diskusi-diskusi terbuka mengenai suatu teks dan menyertakan pendapat mereka dalam revisi
40 teks tersebut. Pada sejumlah kasus, saya memasukkan reaksi-reaksi mereka ke dalam teks, tetapi ketika ini tidak terjadi secara langsung dan eksplisit, haruslah dipahami bahwa teks ini ada dalam dialog aktif dengan komunitas penggemar tersebut”.(Storey,2003:159-160)
Penelitian Jenkins ini bertujuan untuk menentang stereotip negatif mengenai
penggemar
sebagai
sosok-sosok
yang
menggelikan
atau
memprihatinkan serta mendorong satu kesadaran yang lebih besar akan kekayaan budaya penggemar. Kajian ini dapat dijadikan rujukan untuk meningkatkan pengetahuan akademis mengenai budaya penggemar serta menjadi sebuah penegasan bahwa kaum akademisi bisa belajar dari budaya penggemar. Melalui berbagai penelitian yang telah dilakukan selama ini oleh Jenkins, ia menyimpulkan tiga ciri utama yang menandai pemberian makna budaya penggemar dalam teks-teks media: pertama, cara penggemar menarik teks mendekati ranah pengalaman hidup mereka. Pembacaan penggemar dicirikan oleh sebuah intensitas keterlibatan intelektual dan emosional. Pembaca tidak ditarik ke dalam dunia fiksi yang belum ditetapkan, tetapi sebaliknya ditarik ke dalam suatu dunia yang telah dia ciptakan dari materimateri tekstual. Hanya dengan mengintegritasikan isi media kembali dalam kehidupan sehari-hari mereka, hanya dengan keterlibatan yang karib dengan makna dan materinya, para penggemar bisa mengonsumsi fiksi dan menjadikannya sebagai sumber daya yang aktif. Kedua, peran yang dimainkan melalui pembacaan kembali dalam budaya penggemar. Penggemar tidak sekedar membaca teks, mereka senantiasa membaca kembali teks-teks itu. Pembacaan kembali atas teks-teks dapat
41 mengubah pengalaman pembaca mengenai suatu teks. Pembacaan kembali dapat meruntuhkan operasi ‘kode hermeneutik’ (cara di mana suatu teks mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk mendorong hasrat untuk terus membaca). Pembacaan kembali dengan begitu menggeser perhatian pembaca dari apa yang akan terjadi menuju bagaimana sesuatu itu terjadi, mempertanyakan hubungan antartokoh, tema, narasi, produksi pengetahuan dan wacana sosial. Terakhir, proses yang dengannya informasi program dimasukkan ke dalam interaksi sosial yang terus-menerus. Sementara kebanyakaan pembacaan adalah suatu proses soliter, yang dilakukan secara pribadi, para penggemar mengonsumsi teks-teks sebagai bagian dari suatu komunitas. Budaya penggemar berkenaan dengan penampilan publik dan sirkulasi produksi makna dan praktik-praktik pembacaan. Para penggemar mencipta makna-makna untuk berkomunikasi dengan para penggemar lain. Tanpa penampilan publik dan sirkulasi makna-makna ini, kelompok penggemar tidak akan menjadi kelompok penggemar. Seperti yang kita ketahui bersama, kelompok penggemar sifatnya terorganisir, barangkali pertama dan terutama, adalah suatu institusi teori dan kritik, suatu ruang semi-terstruktur dimana interpretasiinterpretasi yang bertanding dan evaluasi-evaluasi terhadap teks-teks bersama dikedepankan, diperdebatkan, dan dinegosiasikan serta ruang dimana pembaca berspekulasi mengenai hakikat media massa dan hubungan mereka sendiri dengan media massa. Sumber teoretis utama Jenkins adalah teoretikus budaya Perancis, Michel de Certeau yang membongkar istilah konsumen untuk menguak aktivitas yang terletak di dalam tindak konsumsi: apa yang dia sebut produksi
42 sekunder. Konsumsi itu berliku-liku, ia tersebar, tetapi ia memperkenalkan dirinya di mana-mana, secara diam-diam dan hampir tidak kelihatan, sebab ia tidak memanifestasikan dirinya lewat produk-produknya sendiri, tetapi sebaliknya lewat caranya menggunakan produk-produk yang ditimpakan oleh tatanan ekonomi dominan. De Certeau mencirikan konsumsi aktif atas teksteks itu sebagai ‘berburu’: para pembaca adalah orang yang bepergian, mereka bergerak melintasi tanah milik orang lain, seperti orang-orang nomaden yang meretas jalan mereka melintasi medan-medan yang tidak mereka tulis. Gagasan de Certeau mengenai ‘berburu’ merupakan sebuah penolakan atas model tradisional pembacaan ini, dimana tujuan pembacaan adalah penerimaan pasif terhadap maksud tekstual. Ia adalah model dimana pembacaan disederhanakan menjadi sebuah pertanyaan tentang salah atau benar. Menurut Jenkins: “ Apa yang signifikan dalam hubungannya dengan model de Certeau adalah bahwa mereka merupakan komunitas konsumen yang sangat aktif dan vokal yang aktivitas-aktivitasnya mengarahkan perhatian pada proses pemberian (makna) kultural ini...... Para penggemar tidaklah unik dalam status mereka sebagai pemburu tekstual, kendati demikian, mereka telah mengembangkan tindakan berburu menjadi sebentuk seni”. (Storey,2003:161) Michel de Certeau berpendapat bahwa di dalam kelompok penggemar tidak terdapat pembedaan yang kaku antara pembaca dan penulis. Budaya penggemar adalah sebuah budaya konsumsi dan produksi. Kelompok penggemar tidak hanya soal konsumsi, ia juga berkenaan dengan produksi teks, lagu, puisi, novel, fanzine (majalah yang dikelola secara amatir dan ditujukan bagi subkultur yang antusias pada minat tertentu), video dan lain-lain yang
43 dibuat secara respons atas teks media profesional mengenai kelompok penggemar (Storey,2003:162). Berbicara mengenai kelompok penggemar, bukan hanya mengenai komunitas-komunitas kumpulan pembaca teks yang antusias, lebih daripada itu, budaya penggemar juga berkenaan dengan produksi budaya. Mereka me re-cycle teks yang dikonsumsinya dengan berbagai cara. Misalnya saja melalui karya fiksi yang terinspirasi dari berbagai teks yang telah mereka konsumsi, membuat video-video musik di mana citra dari program favorit menjadi semacam panduan, atau bahkan membuat fanzine. Menurut Jenkins, kelompok penggemar merupakan suatu ruang yang didefinisikan berdasarkan penolakannya atas nilai dan praktik biasa, perayaannya atas emosi yang digeluti secara mendalam dan kesenangan yang direngkuh dengan penuh gairah. Eksistensi kelompok penggemar itu sendiri merepresentasikan kritik terhadap bentuk-bentuk konvensional budaya konsumen (Storey,2003:166). Jenkins menemukan cara kelompok penggemar memberdayakan diri mereka yaitu dengan jalan perjuangan untuk menciptakan sebuah budaya partisipatoris dari kekuatan-kekuatan yang mengubah banyak orang menjadi penonton. Komunitas kelompok penggemar menurut Jenkins berjuang untuk menentang tuntutan terhadap yang biasa dan sehari-hari. Sementara berbagai subkultur kaum muda mendefinisikan diri mereka bertentangan dengan orang tua dan budaya-budaya dominan, komunitas kelompok penggemar menempatkan diri sebagai beroposisi dengan pasivitas budaya sehari-hari dari praktik biasa.
44 2.1.11 Gaya Hidup Gaya hidup dapat dipahami sebagai adaptasi aktif individu terhadap kondisi sosial dalam rangka memenuhi kebutuhan untuk menyatu dan bersosialisasi dengan orang lain. Kepribadian dianggap sebagai penentu gaya hidup, dan oleh karena kepribadian setiap manusia unik, gaya hidup pun unik. Gaya hidup dipahami sebagai tata cara hidup yang mencerminkan sikap-sikap dan nilai dari seseorang. Namun, ketika satu gaya hidup menyebar kepada banyak orang dan menjadi mode yang diikuti, pemahaman terhadap gaya hidup sebagai suatu keunikan tidak memadai lagi digunakan. Gaya hidup bukan lagi semata-mata tata cara atau kebiasaan pribadi dan unik dari individu, tetapi menjadi suatu identitas yang diadopsi oleh sekelompok orang. Sebuah gaya hidup bisa menjadi populer dan diikuti oleh banyak orang. Mereka tak segansegan
mengikutinya
jika
dianggap
baik
oleh
banyak
orang
(Hujatnikajennong,2006:37). Dalam pola kehidupan sosial, masalah gaya hidup tak bisa dilepaskan dari terminologi budaya. Seperti yang diungkapkan Kephart, budaya biasa didefinisikan sebagai “Keseluruhan gaya hidup suatu masyarakat – kebiasaan/adat istiadat, sikap dan nilai-nilai mereka, serta pemahaman yang sama yang menyatukan mereka sebagai suatu masyarakat”. Namun definisi ini menurut Chaney merupakan penyalahgunaan gagasan tentang gaya hidup. Sementara gaya hidup tergantung pada bentuk-bentuk kultural, masing-masing merupakan gaya, tata krama, cara menggunakan barang-barang, tempat dan waktu tertentu yang merupakan karakteristik suatu kelompok, tetapi bukanlah keseluruhan pengalaman sosial mereka. (Putra,2006:48)
45 Dalam arus kultur kontemporer, gaya hidup memegang peranan penting dalam membangun eksistensi manusia yang hidup dalam kultur tersebut. Gaya hidup dianggap sebagai cerminan identitas diri seseorang atau sekelompok orang. Gaya hidup dalam arus kultur kontemporer ini kemudian memunculkan dua hal yang sama dan sekaligus berbeda, yaitu alternatif dan diferensiasi. Alternatif lebih bermakna resistensi atau perlawanan terhadap arus budaya mainstream sedangkan diferensiasi mengikuti arus mainstream. Alternatif adalah sebuah bentuk resistensi untuk tidak mengikuti arus kapitalisme sedangkan Diferensiasi adalah suatu pilihan untuk membuat diri berbeda dengan
mengonsumsi
barang-barang
yang
ditawarkan
pemegang
modal/kapitalis. Penggunaan waktu luang dan konsumsi atas barang dan jasa dapat dikatakan sebagai sebuah parameter untuk melihat gaya hidup. Pola konsumsi tersebut jelas lahir dari suatu ekspansi besar dari ideologi kapitalisme. Kapitalisme menaruh cengkeramannya di berbagai aspek kehidupan, seakan menemukan
bentuk
manifestasi
yang
sangat
mantap
pada
budaya
mengonsumsi. Masyarakat seolah-olah dibuat butuh oleh kapitalisme untuk mengikuti pola konsumsi suatu benda atau jasa. Kesadaran masyarakat sengaja diracuni demi mencetak dollar bagi kelompok tertentu (Putra,2006:53). Menurut Marxis, sifat produksi dalam sistem kapitalisme tidak semata komoditi dianggap sebagai benda guna (use value), akan tetapi sebagai objek yang mengandung kekuatan daya pesona tertentu dan membentuk pencitraan diri melalui penciptaan icon, yang memberikan status tertentu pada orang yang memakainya. Itulah yang terjadi pada pengaruh budaya Korea, menjadikan produk massal yang menyihir berbagai pihak untuk menjadikan pesona budaya
46 Korea begitu memikat dan memesona. Menurut Karl Marx, produk budaya adalah komoditas, fetisisme terhadap suatu icon terletak dalam nilai dan kualitas yang dikenakan terhadap produk-produk tersebut. Di era modern seperti sekarang ini, masyarakat sepertinya digiring menuju dunia gaya hidup konsumeristis: “Aku adalah apa yang aku konsumsi”. Piramida kebutuhan Maslow pun jungkir balik. Aktualisasi diri adalah kebutuhan pertama manusia seperti halnya Korea Lovers yang rela merogoh kocek dalam-dalam demi pemenuhan akan kebutuhan yang semu. Alasan utama mereka membeli berbagai produk berbau Korea bukan untuk memenuhi kebutuhan utama yaitu bertahan hidup tapi demi sekedar pemenuhan hasrat untuk ‘menjadi’. Dalam pandangan Giddens yang menyatakan gagasan gaya hidup telah dikorupsi oleh konsumerisme, menunjukkan kebutuhan tentang gaya ini menjadi tidak wajar dan dibuat-buat. Istilah konsumerisme berasal dari kata consumption yang berarti konsumsi dan pemakaian. Konsumerisme pada Bahasa Latin: consumere atau consumo, sumpsi, sumptum, yang berarti menghabiskan,
memakai
sampai
habis,
memboroskan,
menghambur-
hamburkan, menggerogoti sampai habis. Menurut James F. Engel, bahwa konsumerisme memiliki dua pemaknaan, pertama, dilihat sebagai gerakan atau kebijakan untuk melindungi konsumen dengan menata metode dan standar kerja produsen, penjual dan pengiklan; kedua, paham atau gaya hidup yang menganggap barang-barang mewah sebagai ukuran kebahagiaan, kesenangan, dan sebagainya. Pada opsi ini, konsumerisme termaknai sebagai gaya hidup yang boros dan bergaya hidup pada peningkatan pembelian barang-barang yang secara teori bukan kebutuhan pokok. Ia adalah mentalitas yang terbentuk
47 oleh kondisi dan kebijakan sosial yang menyenangkan, sekaligus juga menyengsarakan. Iklan TV terus mencekoki kita dengan segala kebutuhan, keinginan dan naluri yang wajib untuk dipenuhi. Kebutuhan tersier bahkan berubah posisi menjadi kebutuhan primer. Akibatnya, orang-orang bersandar pada siklus keinginan yang tiada putusnya. Orang-orang diarahkan untuk selalu mempunyai keinginan terhadap sesuatu yang baru, tanpa peduli apakah ia benar-benar membutuhkannya. Orang-orang berusaha mengikuti lingkaran setan konsumerisme secara terus menerus. Mereka bekerja ekstra keras untuk membeli segala sesuatu yang terbaru dan terbaik yang sebetulnya tidak mereka butuhkan agar menurut mereka bisa menjadi manusia “yang terbaik”. Agar aliran “pengabdian diri kepada segala sesuatu yang paling baru” ini bisa diterima oleh umat manusia, maka para tokoh aliran yang mendewakan konsumerisme ini harus bekerja keras dalam mengajarkan agamanya. Mereka tidak sekedar menjajakan berbagai produk tetapi juga mengajarkan sebuah ideologi. Mereka mengembangkan suatu sistem nilai yang terus menerus membombardir masyarakat dengan pesan-pesan untuk “memanjakan diri sendiri” dan “mendapat kepuasan secara instan” . Untuk dapat memahami sistem nilai yang mereka kembangkan, seseorang hanya perlu melihat pada ungkapan-ungkapan seperti “aku harus menjadi yang pertama” atau “aku harus memilikinya” atau “berikan itu kepadaku”. Dewa konsumerisme inilah yang menciptakan dan menopang sistem kapitalis (Fredericks,100:2004). Gaya hidup dalam masyarakat konsumsi dalam kacamata Baudrillard tak lebih dari pengaturan dan penampakan contoh diskriminasi sosial berdasarkan
mode
yang
menciptakan
ketakjuban
sesaat
(ephemeral
48 mystifications). Sebagai contoh, selain bermaksud memberikan makna dan tujuan hidup, fashion semata-mata merupakan kekacauan dan kedahsyatan yang tidak menandakan apapun sehingga dalam permainan struktural dari penandaan referensi diri (self-referential signification) terdapat anarki tanda yang mengancam karena tidak adanya tata tertib (Ferica,2006:3). Dalam pandangan ini, sebagian besar kegiatan konsumsi adalah konsumsi tanda (signs). Kumpulan tanda tertanam dalam pertumbuhan kebudayaan komoditas dan penciptaan gaya hidup. Pernyataan yang kemudian muncul adalah seberapa pentingkah gaya hidup menurut kacamata penikmatnya? Tentu pertanyaan ini akan dekat sekali dengan, seberapa penting nilai-nilai trend dalam kehidupan dan urat nadi seorang penikmat gaya hidup. Menurut Giddens, perkembangan gaya hidup dan perubahan struktural modernitas saling terhubung melalui reflektifitas institusional; karena keterbukaan kehidupan sosial masa kini, pluralisasi konteks tindakan dan aneka ragam otoritas, pilihan gaya hidup semakin penting dalam penelusuran identitas diri dan aktifitas keseharian. Identitas diri tidak diwariskan atau statis, melainkan menjadi suatu proyek refleksif, yang menjadi sebuah nilai dari kehidupan seseorang. Dipertegas juga, bahwa identitas seseorang tidak dapat ditemukan dalam perilaku, maupun dalam reaksi orang lain, tetapi pada kemampuan untuk menjaga akan narasi tertentu. Pada wilayah ini, berbicara identitas diri semakin masuk pada wilayah ideologis tertentu, yang melandasi kenapa seseorang harus bergaya. Gaya hidup yang muncul pada masa kini merupakan cerminan dan wajah kultural dari elemen kultural yang ada, sehingga identitas diri tersebut
49 sudah masuk pada identitas kelompok, bahkan menjadi identitas kultural dalam wacana nasional. Bagi Hebdige, gaya bukanlah ekspresi lokasi kelas, ia adalah sistem yang menandai, yang mengomunikasikan identitas kultural dan perbedaan kultural. Subkultur-subkultur kaum muda mengkomunikasikan identitas khas mereka dan perbedaan mereka dari dan dalam oposisi terhadap kelompok sebaya, orang tua serta budaya-budaya dominan melalui suatu politik gaya. Makna dari subkultur kaum muda senantiasa dimainkan melalui gaya dan bukannya sebagai suatu perjuangan yang sungguh-sungguh berlangsung di tempat lain. (Storey,2007:153) Melalui teori hegemoni Gramsci, Cohen berpendapat bahwa perjuangan subkultur kaum muda kini bisa diposisikan pada perjuangan kelas yang lebih luas. Hebdige menggeser penekanan dari politik kelas ke politik gaya. Seperti dijelaskan bahwa tentangan terhadap hegemoni yang direpresentasikan subkultur tidak dikemukakan secara langsung oleh mereka. Sebaliknya, tentangan itu diungkapkan secara tak langsung dalam gaya. (Storey,2007:151) Konsumsi subkultural adalah konsumsi yang pada tahapnya bersifat diskriminatif. Melalui suatu proses perakitan, subkultur-subkultur mengambil berbagai komoditas yang secara komersial tersedia untuk tujuan dan makna subkultur itu sendiri. Produk-produk dipadukan atau diubah dengan cara yang tidak diniatkan oleh produsennya; komoditas diartikulasikan kembali untuk menghasilkan makna-makna oposisional. (Storey,2007:152) Melalui ritual konsumsilah subkultur membentuk identitas yang bermakna. Pemberian makna selektif dan penggunaan kelompok atas apa yang disediakan
oleh
pasar
bekerja
serentak
untuk
mendefinisikan,
50 mengekspresikan, merefleksikan serta memperjelas perbedaan dan pembedaan kelompok (Storey,2007:128) Setiap kelompok memiliki tanda-tanda yang membedakannya dengan kelompok lain. Tanda tersebut biasanya mereka ekspresikan melalui aktivitas konsumsi yang meliputi barang-barang atau gaya hidup tertentu. Beberapa waktu lalu masyarakat Indonesia sangat menggandrungi gaya ala Jepang yaitu Harajuku. Berbagai lapisan masyarakat terkena imbasnya termasuk beberapa musisi, salah satunya Maia Estianty yang bergaya Harajuku saat manggung. Seiring waktu, selera masyarakat berubah sejak munculnya tayangan hiburan Korea. Mereka mulai melirik Korea sebagai kiblat, bahkan adaptasi gaya hidup ala Korea ini masih bertahan sampai sekarang sejak kemunculannya di tahun 2002. Munculnya trend baru dalam mengkonsumsi tayangan hiburan ala Korea di berbagai penjuru negara, cukup banyak berpengaruh terhadap gaya hidup dan fashion yang diusung para penikmatnya. Ini tampak dari berbagai komoditas berbau Korea yang difetisasi untuk membebani konsumen demi kepentingan produsen semata. Sama halnya dengan sistem industri lain, kekuatan arbitrer industri hiburan Korea dan sosialisasi media massa berperan membentuk kebutuhan akan tayangan hiburan Korea beserta embel-embelnya serta mengendalikan perilaku konsumen dan menyediakan model gaya hidup mengkonsumsi segala hal berbau Korea. Media massa menjadi semacam sarana konsumsi hiburan Korea yang memungkinkan terciptanya konsumsi. Sarana konsumsi yaitu media, tidak hanya tempat orang mengonsumsi tanda, tapi juga penting bagi dirinya sendiri sebagai struktur yang menggiring orang mengonsumsi hal-hal
51 lain yang lebih banyak dan berbeda. Dalam konteks penelitian ini, media massa menjadi sarana konsumsi yang memfasilitasi gaya hidup Korea Lovers di Makassar. Perannya tak hanya sebagai latar tempat bagi konsumen untuk mengonsumsi tayangan hiburan Korea tetapi juga sebagai sebuah struktur yang mendorong konsumen terpengaruh untuk mengadopsi dan menerapkannya sebagai gaya hidup.
2.1 Teori Khusus 2.2.1 Teori Uses and Gratification Teori ini pertama kalinya diperkenalkan oleh Herbert Blumer dan Elihu Katz pada tahun 1947 dalam buku The Uses Of Mass Communications: Current Perspectives On Gratifications Research. Penelitiannya diarahkan kepada jawaban terhadap pertanyaan “apa yang dilakukan media untuk khalayak (what do media do to people?)”. Teori ini mengatakan bahwa pengguna media memainkan peran aktif dalam memilih dan menggunakan media. Dengan kata lain, pengguna media memainkan peran aktif dalam memilih dan menggunakan media, dimana pengguna media berusaha untuk mencari sumber media yang paling baik di dalam usaha memenuhi kebutuhannya (Nurudin, 2007: 191-192). Uses and Gratifications merupakan salah satu teori yang paling terkenal pada bidang komunikasi massa. Teori ini menunjukkan bahwa permasalahan utamanya bukan pada bagaimana cara media mengubah sikap dan perilaku khalayak, tetapi lebih kepada bagaimana media memenuhi kebutuhan pribadi dan sosial khalayak. Sehingga pada khalayak yang aktif, yang menang menggunakan media untuk mencapai tujuan khusus.
52 Blumer dan Katz mengatakan bahwa pengguna media memainkan peran aktif untuk memilih dan menggunakan media. Artinya, audiens (pengguna media) adalah pihak yang aktif dalam proses komunikasi, dan berusaha untuk mencari sumber media yang paling baik dalam usaha memenuhi kebutuhannya. Walaupun ada juga yang mengatakan bahwa selektifitas media berdasarkan suasana hati seseorang. John Fiske (2005) menyatakan bahwa teori uses and gratifications secara tak langsung menyatakan bahwa pesan adalah apa yang dibutuhkan oleh khalayak, bukan yang dimaksudkan oleh pengirim. Menurutnya pendekatan atau teori uses and gratifications adalah suatu teori yang menyatakan bahwa para anggota khalayak memiliki kebutuhan atau dorongan tertentu yang bisa dipenuhi dengan menggunakan sumber-sumber media dan nonmedia; atau suatu studi tentang motif-motif penggunaan dan ganjaran yang dicari. Dalam melihat media, teori uses and gratifications lebih menekankan pada pendekatan manusiawi. Artinya, manusia itu punya otonomi dan wewenang dalam memperlakukan media. Karena khalayak mempunyai banyak alasan untuk menggunakan media. Selain itu, konsumen mempunyai kebebasan untuk memutuskan bagaimana mereka menggunakan media (lewat media mana) dan bagaimana media itu akan berdampak pada dirinya. Karena menurut teori ini mungkin saja media itu akan berdampak pada dirinya. Karena menurut teori ini mungkin saja media dapat mempunyai pengaruh jahat
dalam
kehidupan
mereka.
Sebagai
contoh
penulis
akan
menggunakannya dalam aplikasi teori uses and gratifications yang akan penulis jabarkan di bawah.
53 Seperti diulas Nurudin (2004), teori uses and gratifications beroperasi dalam beberapa cara, seperti yang akan dilihat pada bagan dibawah ini:
Sumber pemuasan kebutuhan yang berhubungan dengan non media:
Lingkungan Sosial 1. Ciri‐ciri demogra fis 2. Afiliasi kelompo k
Kebutuhan Khalayak 1. Kognitif 2. Afektif 3. Integratif personal 4. Integratif sosial 5. Pelepasan
1. Keluarga, teman‐ teman 2. Komunikasi interpersonal
Penggunaan media massa: 1. Jenis‐jenis media SK, majalah, radio, TV dan film 2. Isi media 3. Terpaan media 4. Konteks sosial dan terpaan
Pemuasan media (fungsi): 1. Pengamata n lingkungan 2. Diversi/hib uran 3. Identitas personal
Gambar 2.2 Teori Uses and Gratification
Bagan tersebut menjelaskan bahwa: Kebutuhan kognitif adalah kebutuhan yang berkaitan dengan peneguhan informasi, pengetahuan, dan pemahaman mengenai lingkungan. Kebutuhan ini didasarkan pada hasrat untuk memahami dan menguasai lingkungan, juga memuaskan rasa penasaran kita dan dorongan untuk
54 penyelidikan kita. Kebutuhan afektif adalah kebutuhan yang berkaitan dengan peneguhan pengalaman-pengalaman yang estetis, menyenangkan, dan emosional. Kebutuhan pribadi secara integratif adalah kebutuhan yang berkaitan dengan peneguhan kredibilitas, kepercayaan, stabilitas, dan status individual. Kebutuhan sosial secara integratif adalah kebutuhan yang berkaitan dengan peneguhan kontak dengan keluarga , teman , dan dunia. Hal tersebut didasarkan pada hasrat untuk berafiliasi. Sementara itu, kebutuhan pelepasan adalah kebutuhan yang berkaitan dengan upaya menghindarkan tekanan, ketegangan, dan hasrat akan keanekaragaman. (Nurudin, 2007: 194195). Berbicara tentang kebutuhan, biasanya orang akan menrujuk kepada hirarki kebutuhan ( need Hierarchi) Abraham Meshlow (1954), yaitu sebagai berikut: 1. Phsycological needs ( kebutuhan fisiologis), 2. Safety Needs (kebutuhan keamanan), 3. Love needs (kebutuhan cinta), 4. Esteem needs (kebutuhan penghargaan), 5. Self-actualization needs (kebutuhan aktualisasi diri). Dari lima kebutuhan tersebut para peneliti uses and gratifications lebih banyak tertarik kepada kebutuhan cinta, kebutuhan penghargaan, dan kebutuhan aktualisasi diri. Teori yang dikembangkan untuk menjelaskan komunikasi massa ini, berlandaskan keyakinan bahwa khalayak memiliki sekumpulan kebutuhan yang dicari pemuasannya melalui media massa. Sehingga pengguna mempunyai pemilihan alternatif untuk memuaskan kebutuhannya.
55 Fiske (2005) meringkas asumsi-asumsi teori uses and gratifications sebagai berikut: 1. Khalayak itu aktif, bukanlah penerima yang pasif atas apapun yang media siarkan, khalayak memilih menggunakan isi program. 2. Para anggota khalayak secara bebas menyeleksi media dan programprogramnya yang terbaik yang bisa mereka gunakan untuk memuaskan keburuhannya. Produser media mungkin tak menyadari penggunaanoleh khalayak yang menjadi sasaran program, dan anggota khalayak yang berbeda mungkin memanfaatkan program yang sama untuk memuaskan kebutuhan yang berbeda. 3. Media bukan satu-satunya sumber pemuasan. 4. Orang bisa, tahu dibuat bisa, menyadari kepentingan dan motifnya dalam kasus-kasus tertentu. (bagi pengkritik metode ini, ini adalah asumsi yang terlemah.
Kritik
seperti
menyatakan
bahwa
motif
yang
bisa
diartikulasikan seringkali kurang penting, dan bahwa menghubungkan khalayak dengan isi program hanya lewat mata rantai kebutuhankebutuhan yang rasional dan pemuasan adalah “pemaknaan” terbatas yang tak bisa diterima). 5. Petimbangan nilai tentang signifikasi kultural dari media massa harus dicegah.
2.2 Kerangka Konsep Dalam menyusun kerangka konsep diperlukan hasil pemikiran rasional yang bersifat kritis dalam memperkirakan kemungkinan hasil penelitian yang akan dicapai (Nawawi, 2001:40).
56 Konsep yakni istilah dan defenisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak: kejadian, keadaan, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial (Singarimbun, 2006:33). Jadi kerangka konsep adalah landasan berfikir yang menjelaskan makna dan maksud dari teori yang dipakai atau menjelaskan kata-kata yang mungkin masih abstrak pengertiannya di dalam teori tersebut. Agar konsep-konsep dapat diteliti secara empiris, maka harus dioperasionalisasikan dengan mengubahnya menjadi variabel. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagi berikut: 1. Variabel Bebas (X) Adalah sejumlah gejala atau faktor atau unsur yang menentukan atau mempengaruhi munculnya gejala, faktor, atau unsur yang lain (Nawawi, 2001:56). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah acara Top KPop di stasiun televisi O Channel. 2. Variabel Terikat (Y) Adalah sejumlah gejala atau faktor atau unsur yang ada atau muncul dipengaruhi atau ditentukan adanya variabel bebas (Nawawi, 2001:57). Variabel terikat dalam penelitian ini adalah Perilaku remaja di Perumahan Kencana Loka Blok F1.
2.3 Model Teoritis Varibel-variabel yang telah dikelompokkan dalam kerangka konsep akan dibentuk menjadi suatu model teoritis sebagai berikut:
57 Gambar 2.3 Model Teoritis
Variabel Bebas (X) Acara Top KPop di O Channel
Karakteristik Responden
Variabel Terikat (Y) Perilaku Remaja di Perumahan Kencana Loka Blok F1