BAB II LANDASAN TEORI
A. FILM 1. Pengertian Film Film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupaka media komunikasi massa pandang dengar yang di buat berdasarka asas sinematografi dengan direkam pada pita seluliod, pita video, piringan video dan bahan hasil penemuan teknologi lainya dalam segala bentuk,jenis dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainya, dengan atau tanpa suara, yang
dapat
dipertunjukan
proyeksi,mekanik,elektronik
dan
dan
ditayangkan
lainya.1
Film
dengan
menurut
W.
sistem J.
S.
Poerwadarminta adalah barang tipis seperti selaput yg dibuat dari seluloid tempat gambar potret negatif (yang aan dibuat potret atau dimainkan dalam bioskop).2 Film (motion picture) merupakan salah satu media audio visual, yaitu media yang menyiarkan berita yang dapat ditangkap baik melalui indera mata maupun idera telinga degan sangat efektif dalam mempengaruhi penonton. Menurut A. W. Widjaja, film merupakan
kombinasi dari drama dengan
paduan suara dan musik, serta drama dengan paduan dari tingkah laku dan 1
Heri Effendi,Indutri Perfilma Indonesia,(Jakarta: Erlangga, 2008),hlm.63 W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Besar Bhasa Indonesia, (Jakarta: BalaiPustaka, 1976),hlm.
2
282
22
23
emosi, dapat dinikmati benar oleh penonton-penontonnya sekaligus dengan mata dan telinga.3 Menurut klasifikasinya film dibedakan menjadi 3 yaitu: 1. Menurut Jenis Film a) Film cerita (fiksi) Film cerita merupakan film yang dibuat atau diproduksi
berdasarkan
cerita
yang
dikarang
dan
dimainkan oleh aktor dan aktris.Kebanyakan atau pada umumnya
film
cerita
bersifat
komersial.Pengertian
komersial diartikan bahwa film dipertontonkan di bioskop dengan harga karcis tertentu. Artinya, untuk menonton film itu digedung bioskop, penonton harus membeli karcis terlebih dulu. Demikian pula bila ditayangkan ditelevisi, penayangannyadidukung dengan sponsor iklan tertentu pula. b) Film Non Cerita (non fiksi) Film non cerita adalah film yang mengambil kenyataan sebagai subyeknya. Film non cerita inni terbagi atas dua kategori, yaitu :
3
A. W. Widjaja, Komunikasi-Komunikasi da Hubungan Masyarakat, (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), hlm. 84
24
Film Faktual: menampilkan fakta atau kenyataan yang ada, dimana kamera sekedar merekam suatu kejadian. Sekarang, film faktual dikenal sebagai film berita (news-reel), yang menekankan pada sisi pemberitaan suatu kejadian aktual.
Fim Dokumenter: selain fakta, juga mengandung subyektifitas pembuat yang diartikan sebagai sikap atau opini terhadap peristiwa, sehingga perserpsi tentang kenyataan akan sangat tergantung pada si pembuat film dokumenter tersebut.
c) Film Pendek Film pendek merupakan sebuah karya film cerita fiksi yang berdurasi kurang dari 60 menit.di berbagai Negara, film pendek dijadikan laboratorium eksperimen dan batu loncatan bagi para film meker untuk memproduksi film panjang. d) Film Panjang Film panjang adalah film cerita fiksi yang berdurasi lebih dari 60 menit. Umummnya berkisar antara 90-100 menit.
25
Film yang diputar di bioskop umumnya termasuk dalam kelompok ini.4 2. Menurut cara pembuatanFilm a. Film Eksperimental Film Eksperimental adalah film ysng dibuat tanpa mengacu pada kaidah-kaidah pembuatan filmyang lazim. Tujuanya adalah untuk mengadakan eksperimentasi dan mencari cara-cara pengucapan baru lewat film, umumnya dibuat oleh sineas yangkritis terhadap perubahan (Kalangan seniman film), tanpa mengutamakan sisi komersialisme, namun lebih kepada sisi kebebasan berkarya. b. Film Animasi Film Animasi adalah film yang dibuat dengan memanfaatkan gambar (lukisan) maupun benda-benda mati yang lain, seperti boneka, meja, dan kursi yang bisa dihidupkan dengan teknik animasi.5 3. Menurut Tema Film (genre) a. Drama Tema ini lebih menekankan pada sisi human interest yang bertujuan mengajak penonton ikut merasakan kejadian
4
Sumarno, Marseli, Dasar-Dasar Apresiasi Film,(Jakarta: PT. Grasindo, 1996), hlm. 65-67 Ibid, Sumarno, Marseli., hlm. 68
5
26
yang dialami tokohnya, sehingga penonton merasase akanakan berada di dalam film tersebut. b. Action Tema action mengetengahkan adegan-adegan perkelahian, pertempuran dengan senjata, atau kebut-kebutan kendaraan antar tokoh yang baik (protagonis) dengan tokoh yang jahat (antagonis),
sehingga
penonton
ikut
merasakan
ketegangan,was-was, takut, bahkan bisa ikut bangga terhadap kemenangan si tokoh. c. Komedi Tema film komediintinya adalah mengetengahkan tontonan yang membuat penonton tersenyum, tau bahkan tertawa terbahak-bahak. d. Tragedi Film yang bertemakan tragedi, umumnya mengetengahkan kondisi atau nasib yang dialami oleh tokoh utama pada film tersebut. e. Horor
27
Film bertemakan horor selalu menampilkan adegan-adegan yang menyeramkan sehingga membuat penontonya merinding karena perasaan takut.6 2. Proses Produksi Film Kegiatanproduksi film dan produk audio visual lainya secara umum meliputi kegiatan Pra-produksi, Produksi, dan Post-produksi. 1. Pra-produksi Merupakan kegiatan tahap perencanaan produksi film yang akan di produksi. Di tahap ini, perekrutan awak produksi film sudah terpilih, kru film sudah menentukan jenis film yang akan dibuat, serta naskah cerita yang akan dipakai sudah matang dan tidak lagi mengalami perubahan. Para pemeran dan pelaku dalam film telah dipilih melalui proses seleksi (casting). Setiap departemen dari tim pembuat film mulai melakukan preparasi sesuai dengan kewajiban timnya masing-masing. Departemen sinematografi membuat daftar teknis pengambilan adegan per adegan (shotlist) dan sudah dapat menyusun jadwal syuting (breakdown dan rundown). Di tahap ini pula dilakukan pencarian lokasi yang sekiranya sesuai dengan plot naskah yang telah di buat. Saat melaksanakan pencarian lokasi, umumnya bebrapa pemeran juga turut di boyong untuk melakukan latihan akting di lokasi syuting bersangkutan. 6
Askurifai, Baksin, Membuat Film Indi itu Gampang, (Bandung: Kataris, 2003), hlm .5-6
28
2. Produksi Setelah semua kegiatan pra-produksi serta kegiatan lain yang berkaitan dengan preparasi selesai dilaksanakan, maka tahap selanjutnya adalah melaksanakan pengambilan gambar adegan (take shot)
atau
yang
lebih dikenal kaum awam dengan sebutan
“syuting”. Pembuatan film sifatnya kolaboratif, karena kegiatan ini melibatkan sejumlah kegiatan dengan didukung oleh latar belakang keahlian yang berbeda-beda. Dari seluruh pihak yang terlibat dalam pembuatan film, termasuk aktor dan aktris, harus dapat bersinergi dan saling mendukung agar setip aspek pekerjaan terlihat sempurna untuk menghasilkan film berkualitas. 3. Pasca produksi Setelah proses produksi rampung, maka kegiatan selanjutnya dalam pembuatan film adalah post-produksi. Dalam tahap ini, hasil perekaman gambar diolah dan digabungkan dengan hasilrekaman suara. Penggabungan tersebut disesuaikan dengan naskah sehingga dapat menjadi satu kesatuan karya audio-visual yang mampu bercerita kepada para penikmat film.7 3. Apresiasi Film Apresiasi film mempunyai arti pengamatan, penilaian, dan penghargaan ataupun pengenalan terhadap suatukarya seni. 7
Ibid,. Askurifai, Baksin,hlm 16-17
29
Kata mengapresiasi mengandung sejumlah pengertian yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Dalam hubungan dengan film, kata apresiasi mengandung pengertian memahami, menikmati, dan menghargai.8 1. Nilai-nilai Apresiasi a. Niali Hiburan Nilai hiburan sebuah film sangat penting, jika sebuah film tidak mengikat perhatian kita dari awal hingga akhir, film itu terancam gagal. Kita cepat menjadi bosan. Akbiatnya, kita tak bisa mengapresiasi unsurunsurnya. Nilai hiburan sangat relatif, karena tergantung dari selera penonton memang nilai hiburan ada kalanya dianggap rendah. Itu terutama sering ditujukan kepada film-film yang menawarkan mimpi-mimpi atau pelarian dari kenyataan hidup sehri-hari. b. Nilai Pendidikan Pendidikan yang dimaksud bukanlah pendidikan formal di bangku sejolah. Nilai pendidikan sebuah film lebih kepada pesan-pesan yang ingin disampaikan (nilai moral film). Setiap film umumnya mengundang nilai pendidikan, hanya perbedaan satu
dengan yang lainnya adalah pada
kedalam pesan yang ingin disampaikan. c. Nilai Artistik Nialai artistik sebuah film dikatakan berhasil apabila ditemukan pada sekuruh unsurnya. Sebuah film memang sebaiknya dinilai secara 8
Sumarno, Marseli, Dasar-Dasar Apresisasi Film,(Jakarta: PT. Grasindo, 1996), hlm, 95
30
artistk, bukan secara rasioanal. Sebab jika dilihat secara rasional, sebuah film artistik boleh jadi tak berharga karena tak punya maksud atau makna yang tegas. Padahal, keindahan itu sendiri mempunyai maksud atau makna.9 2. Tahapan Apresiasi a. Pemahaman Berkaitan dengan keterlibatan emosional dan pikiran.penonton memahami masalah, ide ataupun gagasan, serta merasakan perasaanperasaan dan dapat membayangkan dunia rekan yang ingin diciptakan
Apa yang ingin dikatakan film itu?
Adakah gagasan yang tersirat?
Emosi macam apa yang ditawarkan?
Kebudayaan macam apa yang melahirkan film ini?
b. Penikmatan Keadaan dimana penonton
telah memahami dan menghargai
penguasaan pembuat film terhadap cara-cara penyajian pengalaman hingga dicapai tingkat penghayatan yang intens. Tidak seorang pun bisa menikmat karya film, atau bahkan memahamina, sampai seseorang mengerti bahasanya. Oleh karena itu, unsur-unsur film baru diselami.
9
Ibid, hlm98-99
Apakah fil itu utuh?
31
Apakah semua unsur menyatu?
c. Penghargaan Tahap ketika penonton memasalahkan dan menemukan hubungan pengalaman yang ia dapat dari karya film dengan pengalaman kehidupan nyata yang dihadapi. Ertemuan dengan jiwa dan roh film.
Seberapa jauh kita mendapatkan suatu pengalaman batin?
Seberapa jauh pandanan kita terhadap suatu aspek kehidupan lebih diperdalam?
32
B. Akhlak 1. Pengertian Akhlak Kata Akhlak berasal dari bahasa Arab Akhlak, dari katadasar „Khuluqun‟ , yang meurut bahasa berarti budi pelerti, perangai, tingkah laku atau tabiat, yang mempunyai sinonim denga etika. Etika berasal dari bahasa latin, etos yang berarti „kebiasaan‟. Sedangka dari terminologi, budi pekerti berarti perpaduan dari rasa yang bermanifestasi pada karsa da tingkah laku manusia.10 Sedangka istilah akhlak dalam Ensiklopedia Islam dimaksudkan sebagai suatu hal yang berkaitan dengan sikap, perilaku dan sifat-sifat manusia dalam berinteraksi denga dirinya dan sasarannya dan makhluk-makhluk lain dan dengan Tuhannya.11 Di dalam Ensiklopedia Pendidika pekerti, watak,
dikatakan bahwa akhlak adalah budi
kesusilaa, (kesadara baik dan moral), yaitu kelakua baik yang
merupaka akibat dari sikap jiwa yang benar terhadap Kholiknya dan terhadap sesama manusia.12 Pendidikan akhlak adalah pendidikan yang berorientasi membimbing dan menuntun kondisi jiwa khususnya agar dapat menumbuhkann akhlak dan kebiasaan yang baik sesuaii dengan aturan akal manusia dari syari‟at agama.13 Menurut Imam Ghazali Bahwa sebenarnya akhlak merupakan sifat yang tertanam dalam jiwa setiap manusia yang dari sifat tersebut akan munculkan tindakntindakan yang tidak perlu menggunakan pemikiran terlebih dahulu, atau bisa disebut dengan tindakan dan perbuatan yang spontanitas atau bergerak dengan sendirinya.
10
Rachmat Djatmika, Sistem Etika Islam, (Akhlak Mulia), (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1992), hlm. 26. Depag RI, Ensiklopedia Islam I (Jakarta : 1993), hlm. 132 12 Soegarda Poerbaka watja, Ensiklopedi Pendidikan, (Jakarta: Gunung Agung, 1976), hlm.9. 13 Darmuin (ed), Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm 97. 11
33
Dari berbagai definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Akhlak (etika) Islam adalah suatu ilmu yang membicarakn tentang kepribadian manusia yangtidak membutuhkan pikiran, tetapi tingkah laku manusia mengkaji tentang baik buruk dan menunjukan atau yang seharusnya diperbuat untuk mendapatkan sikap yang bertanggung jawab dan dilakukan dengan sadar yang bersumber dari al-Qur‟an dan hadits. Setelah mengetahui definisi pendidikan dan akhlak, maka dapat disimpulkan bahwa pensisikan dasar dan akhlak, keutamaa perangi dan tabiat agar hal yang demikian itu dimiliki dan terapkan pada diri manusia sehingga suatu adab kebiasaan yang bersumber pada al-Qur‟an dan hadits. 2. Dasar-dasar Pendidikan Akhlak Pendidikan akhlak sebagai roh atau jiwa pendidikan islam, dalam proses penjelasanya membutuhkan dasar yang kokoh sebagai pijakan yang dapat mengantarkan pada tercapainya tujuan yang di cita-citakan. Ada bebrapa hal yang menjadikan dasar dari pendidikan akhlak, yaitu : a. Dasar segi hukum Dasar dari segi ini berasal dari peraturan perundang-undangan, baik secara langsung atau tidak langsung dapat dijadikan pedoman atau dasar dari pelaksanaan pendidikan dan pembinaan akhlak. Adapun dasar yuridis pendidikan akhlak ini adalah dasar yang bersifat operasioaal,yaitu dasar yag secara langsung mengatur pelaksanaan pendidikan termasuk pedidikan akhlak adalah UUSPN Bab. II Pasal 4 dinyatakan bahwa : “Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupa bangsa dan mengembangkan manusisa Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang berima dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti
34
yang luhur memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.”14 Drs.achma Charis Zubair dalam bukunya Kuliah Etika menyebutkan bahwa norma yag berlaku umum ada tiga, yaitu : sopasanntu, hukum da moral.15Norma sopan satun hanya berlaku berdasarkan suatu kebiasaan. Norma ini terbentuk menurut pedapat kebanyakan orang sehingga dapat berubah menurut keputusan. Norma hukum dalam praktiknya dapat dikataka sebagai hukum itu sendiri. Norma moral adalah nilai-nilai dalam masyarakat dalam hubunganya dengan moral atau kesusilaan.16 b. Dasar segi religius Yang dimaksud dengan dasar religius adalah dasar yang bersumber dari ajaran Islam yaitu Al-Qur‟an dan hadits. Islam, dalam ajaranya jelas menitik berat kepada pembentukan akhlak yang sempura menuju insan sempurna. Abi Muhammad Saw, merupakan Nabi terakhir, merupakan sosok yang sempurna, ia menjadi panutan bagi seluruh umat Islam dari zaman dahulu sampai zaman sekarang, seperti surat Al-Ahzab Ayat 21 berikut ini :
ِ لَقَ ْد َكانَ لَ ُك ْم فِ ْي َرسُوْ ِل هللاِ أُس َْوةٌ َح َسنَةٌ لِ َم ْه َكانَ يَرْ جُوْ هللاَ َو ْاليَوْ َم َاآلخ َر َو َذ َك َرهللا َكثِيْر
14
Nursalim, dkk., Metodologi Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam,2002), hlm.5 15 Achmad Charis Zubair, Kuliah Etika (Jakarta: Rajawali Pers, 1987), hlm. 21 16 Ahmad Mustofa, Ilmu Budaya Dasar (Bandung: Pustaka Setia,1999), hlm. 128-129
35
“Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat da dia banyak menyebut Allah.” (Al-Ahzab:21)17 Etika Islam (akhak) yang bersifat teoristik (berkisar sekitar Tuhan) berbedq dengan akhlak bersifat antroposentrik (berkisar manusia), sehingga dasar religius menjadi penting dalam pembahasan etika teosentrik. Akhlak menurut etika yang mengatur interaksi suatu individu dengan Allah, manusia, lingkungan dengan dirinya sendiri. Dalam islam yang menjadi dasar adalah imam yang benar dan sempurna yang diatur dalam Al-Qur‟an da hadits.18 Allah memuliakan manusisa dengan akal dan menjelaskannya sebagai akal taktif.19 Allah juga memberi mereka kebebasan da kemampuan memiliki, yang membuatanya bebas melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan sesuai dengan petunjuk akal atau syara‟. Inilah rahasia keindahan akhlak dan bukti akan kemuliannya. Syara‟ mengarahkan akal dengan menetapkan pilihan-pilihan di hadapanya. Syara‟ membrikan kebebasan kepada akal untukmemilih dan melaksanakan apa
yang diinginkan dari pilihan-pilihan tersebut.
Kebebasan ini tidak hanya dalam memilih sesuatu akhlak tertentu, tetapi juga dalam memilih keimanan dan kekafiran.20
17
DEPAG RI, Al-Qur‟an dan Terjemahan, (Jakarta: Yayasan Penyelenggaraan Penerjemah Al-Qur‟an DEPAG RI, 1989), hlm. 670 18 Ali Abdul Halim Mahmud, Akhlak Mulia (Jakarta: Gema Insani, 2004),hlm. 15 19 Ibid, Ali Abdul Halim Mahmud., hlm. 19 20 Ibid, Ali Abdul Halim Mahmud., hlm. 20-21
36
c. Dasar segi psikologi Semua manusia normalakan merasakan dirinya padaperasaan dan mengakui adanya kekuatan dari luar dirinya,ia adalah Dzat Yang Maha Kuasa tempat berlindung dan memohon pertolongan. Hal ini nampak terlihat di dalam sikapdan tingkah laku seseorang maupun mekanisme yang bekerja pada diri seseorang. Ini disebabkan karena secara berpiki, bersikap, serta tingkah laku seseorang tidak dapat dipisahkan dengan keyakinan yang di miliki. Di sinilah letaknya keberadaan moral tidak dapat dipisahkan dengan keyakinan agama.21 3. Tujuan Pendidikan Akhlak Melihat dari segi tujuan akhir setiap ibadah adalah pembinaan taqwa. Bertaqwa mengandung arti melaksanakan segala perintah agama dan meninggalkan segala larangan agama. Ini berarti menjauhi perbuatan-perbuatan baik (akhlaqul karimah). Perintah Allah ditujukan kepada kepada perbuatan-perbuatan baik dan larangan berbuat jahat (akhlaqul mazmumah). Orang bertaqwa berarti orang yang berakhlak mulia, berbuat baik dan berbui luhur. Secara umum dapat diklasifikasikan tujuan pendidikan akhlak yaitu sebagai berikut : a. Mengajarkan kepada manusia agar dapat hidup bermasyarakat tanpa merasa disakiti dan menyakiti orang lain. b. Untuk menentukan batas antara yang baik dan yang buruk, antara yang terpuji dan yang tercela.
21
Zakiah Drajat, dkk, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 155
37
c. Membentuk orang-orang yang beramal baik,keras kemauan, sopan bicara dan pebuatan, mulia dalamtingkah laku dan perangi, bersifat bijaksana, sopan dan beradap, ikhlas, jujur, suci, dan selalu mendekatkan diri kepada Allah..22 Di dalam pendekatan diri kepada Allah manusia selalu diingatkan kepada hal-hal yang bersih dan suci. Ibadah yang dilakukan semata-mata ikhlas dan mengantar kesucian seseorang menjadi tujuan dan kuat. Sedangkan jiwa yang suci membawa budi pekerti yang baik dan luhur. Oleh karena itu ibadah di samping latihan spiritual juga merupakan latihan sikap dan meluruskan akhlak. 4. Metode pendidikan akhlak Dalam penerapannya, Pembiaan akhlak memiliki beberapametode. Metode lazim diartikan sebagai cara untuk mendekati msalah sehingga diperoleh hasil yag memuaskann. Adapun metode-metode yang bisa diguakan dalammelakukan pembinan akhlak ini antara lain: 1. Metode Individual Adalah metode dimana pembina melakukan komunikasi langsung (bertatap muka) denga orang yang dibinanya. Metodeini dapat dirinci lagi menjadi:
22
hlm.104
M, Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Post Modernisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997),
38
a. Metode Individual Yaitu Pembinaan dalam hal ini komunikasi langsung secara individual dengan pihak yang dibinanya. Hal ini dapat dilakukan denga mempergunakan teknik: 1) Percakapan Pribadi Yakni pembiana melakukan dialog langsung tatap muka dengan anak 2) Kunjungan Rumah (home visit) Yakni pembina mengadakan dialog dengan klien (anak) tetapi dilaksanakan di rumah siswa sekaligus untuk mengamati rumah siswa dan lingkungannya. 3) Observasi Yakni pembina melakuka percakapa individual sekaligus mengamati tingkah laku klien (anak) dan lingkungannya. b. Metode Kelompok Yaitu pembina melakukan komunikasi langsung dengan klien (anak) dalam kelompok. Hal ini dapat di jadikan dengan menggunaka beberapa teknik: 1. Diskusi kelompok Yaitu
pembina
mengadakan
melaksanakan
diskusi
bersama
mempunyai masalah yang sama 2. Ceramah
pembinaan kelompok
dengan lainnya
cara yang
39
Yaitu suatu teknik pembinaan kelompok dengan menggunakan pengarahan yang dilakukan oleh seorang pembina atau seorang mubaligh
(da‟i)
melalui
bicaranya
(pidatonya)
dengan
dicampurkan karakteristik dalam bicaranya yang menimbulkan pengaruh bagi peserta terbina (anak) 3. Sosiodrama Yaitu pembinnaann kelompok yang dilakukan cara bermain peran untuk memecahkan atau mencegah timbulnya masalah secara sosiologis 4. Psikodrama Yaitu pembinaan kelompok yang dilakuka dengan cara bermain peran untuk memecahkan atau mencegah timbulnyamasalah psikologis 5. Group Teaching Pemberian pembinaan kelompok dengan memberi materi pembinaan kelompok tertentu (ceramah) kepadakelompok yang telah disiapkan. 2. Metode Komunikasi tidak Langsung Adalah yang dilakukan media komunikasi massa. Hal ini dilakuka secara individual atau kelompok bahkan massal. a. Metode Individu 1. Melalui surat menyurat 2. Melalalui telephone dan sebagainya. b. Metode kelompok atau massal 1. Melalui surat kabar atau majalah
40
2. Melalui brosur 3. Melalui radio (media audio) 4. Melalui televisi. 3. Metode Interaksi (Praktek) a. Integrated yaitu dengan mengguakan beberapa sarana peridbadatan lainya secara stimulam untuk di arahkan pada pembinaan akhlak pembiasaan yang dilakukan sejakkecil dan berlangsung secara kontinyu.23 b. Metode melalui keteladanan. Karena akhlak yang baik tidak dapat dibentuk hanya dengan pelajaran, intruksi dan larangan sebab tabi‟ar jiwauntuk menerima keutamaan itu tidak cukup dengan hanya seorang guru mengatakan „‟kerjakan ini dan jangan kerjakan itu‟‟. c. Senantiasa menggapdiri ini sebagai yang banyak kekurangan dari kelebihan. Dalam hal ini Ibnu Sina mengatakan “Jika seorang menghendaki dirinya berakhlak mulia, hendaknya ia lebih dahulu mengetahui kekurangan dan cacat yang ada dalam dirinya, dan membatasi sejauh mungkin untuk tidak berbuat kesalahan, sehingga kecacarannya itu tidak terwujud dalam kenyataan‟‟.24 5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Akhlak Menurut H.M Arifin dalam bukunya filsafat pendidikan Islam berpendapat bahwa: „‟faktor yang mempengaruhi akhlak anak ada dua fisikyang meliputi faktor dalam yaitu intelektual dalam hati (rohaniyah) yang dibawa anak sejak lahir dan faktor dari luar adalah kedua orang tua dirumah, guru disekolah serta tokoh-tokoh, serta kerja sama yang baik antara tiga lembaga pedidikan tersebut. Maka aspek kognitif (pengetahuan) dan psikomotorik (pengalaman) ajara yag diajarkan akan
23
Abudin, Nata, Akhlak Tasawuf,(Jakarta: Raja Grafindo Persada,2003), h.163-165 Ibid, h. 165
24
41
terbetuk pada diri anak, da inilah yag selanjutya dikeal degan istilah manusia seutuhnya.25 Menurut Abudin Nata, bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan akhlak pada khususnya dan pendidikan pada umumnya, antara lain: 1. Faktor internal Yaitu sifat yang dibawa dari sejak lahir yaitu potensi, fisik, intelektual dan hati (rohaniah). 2. Faktor external Yaitu faktor dari luar seperti lingkungan sosial, termasuk pembinaan dan pendidikan yang diberikan.26
C. Pondok Pesantren 1. Pengertian Pondok Pesantren Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk memenuhi, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral agama islam sebagai pedoman perilaku sehari-hari.27 Pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan agama islam yang tumbuh serta diakui oleh masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (kampus) yang sehariharinya menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada dibawah kedaulatan seseorang atau beberapa Kyai dengan ciriciri khas yang bersifat kharismatis serta independent dalam segala hal.28
25
H. M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,1994), Cet, Ke-IV, h.34 Abudin, Nata., Opcit.170 27 Soekarno Karyo,dkk, Ensiklopedi Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam ,(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998), hlm. 118 28 Djamaludin dan Abdullah Aly, Kapita Selekta Pendidikan Islam,(Jakarta: CV. Pustaka Setia, 1999), hlm. 99. 26
42
Menurut Departemen
Agama Republik Indonesia. Pengertian Pondok
Pesantren tidak dapat diberikan batasan yang tegas, melainkan mengandung fleksibilitas pengertian yang mempunyai ciri-ciri yang memberikn pengertian Pondok Pesantren yaitu: Kyai, santri, asrama, dan masjid dengan aktivitasnya.29 Dalam dunia pesantren diakui bahwa pesantren adalah lembaga lokal yang mengajarkan praktik-praktik dan kepercayaan-kepercayaan Islam. Bagaimana pesantren menjadi lembaga lokal adalah materi dari beberapa perbedan yang muncul, yang perdebatan ini selalu menjadi sejarah. Pesantren di Jawa usianya setua Islam di jawa sendiri baik dalam laopran tertulis maupun berita dari mulut ke mulut, pesantren erat sekali kaitanya dengan Wali Songo (sembilan wali yang membawa Islam ke Jawa). Wali pertama, jika malah bukan yang paling terkenal, Maulana Malik Ibrahim dianggap sebagai yang pertama kali mendirikan pesantren di Jawa pada tahun 1399 sebagai wahana untuk menggembleng mubaligh dalam rangka menyebarkan lebih jauh di Jawa.30 Jadipondok pesantren adalah suatu tempat pedidikan dan pengajaran yang menekankan pelajaran agama Islam dan didukung asrama sebagai tempattinggal santriyang bersifat permanen. 2. Sejarah Pondok Pesantren Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan serta sarana penyebaran agama Islam lahir da berkembang masa-masa permulaan kedatnga Islam itu sendiri. Sedang sistem pondok sebenarnya sudah ada jauh sbelum kedatngan Islam itu sendiri.
29
Qodri A.Aziziy, Pola Pengembangan Pondok Pesantren,(Jakarta: Ditjen Binbaga Islam DepagRI, 2003), hlm. 40 30 Ronald Alan Lukens-Bull, Jihad Ala Pesantren di Mata Antropologi Amerika, (Yogyakarta: Gama Media, 2004), hlm. 56.
43
Pondok pesantren sebgaia lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia telah menunjukan kemampuannnya dalam mencetak kader-kader ulama dan telah berjasa turut mencerdaskan masyarakat Indonesia. Selain tugas utamanya mencetak calon ulama, pondok pesantren juga menjadi pusat kegiatan pendidikan yang telah berhasil menanamkan
semangat
kewiraswastaan,
semangat
berdikari
yang
tidak
menggantungkan diri kepada orang lain. Kecuali itu dalam pondok pesantrenpun ditanamkan semangat patriotik membela tanah air dan agama, sehingga tidak mengherankan apabila dalam masa penjajahan Belanda dan Jepang sering timbul pemberontakan-pemberontakan yang dipimpin kalangan pesantren. Demikian pula dalam sejarah perjuangan merebut kemerdekaan, kalangan pondok pesantren selalu aktif mengambil bagian melawan kaum penjajah.31 Pondok pesantren, jika disandingkn dengan lembaga pendidikan yang pernah muncul di Indonesia, merupakan sistem pendidikan tertua saat ini dan di anggap sebagai produk budaya Indonesia. Pendidikan ini semula merupakan pendidikan agama Islam yang dimulai sejak munculnya masyarakat Islam di Nusantara pada abad ke-13. Beberapa abad kemudian penyelenggaraan pendidikan ini semakin teratur dengan muculnya tempat-tempat pengajian (“nggon ngaji”). Bentuk ini kemudian berkembang dengan pendrian-pendirian tempat-tempat menginap para pejar (santri), yang kemudian disebut pesantren. Meskipun bentuknya sangat sederhana, pada waktu itu pendidikan pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan yang terstruktur, sehingga penididkan ini dianggap sebagai bergengsi. Di lembaga inilah
31
Abd.Rahman, Saleh,dkk, Pedoman Pembinaan Pondok Pesantren,(Jakarta:Proyek Pembinaan dan Bantuan Pondok Pesantren,1982), hlm.3
44
kaum muslimin Indonesia mendalami doktrin dasar Islam, khususnya menyangkut praktek kehidupan keagamaan.32 Lemabaga pesantren semakin berkembang secara cepat dengan adanya sikap non-kooperatif ulama terhadap kebijakan “Politis Etsi‟ Pemerintah Kolonial Belanda pada akhir abad ke-19. Kebijakan Pemerintah Kolonial ini dimaksudkan sebagai balas jasa kepada rakyat Indonesia dengan memberikan pendidikan modern, termasuk budaya Barat. Namun pendidikan yang diberikan sangat terbatas, baik dari segi jumlah yang mendapat kesempatan mengikuti pendidikan maupun dari sagi tingkat pendidikan yang diberikan. Perkembangan pesantren yang begitu pesat juga diterangarai berkat dibukanya terusan Suez pada 1689 sehingga memungkinkan banyak pelajar Indonesia mengikuti pendidikan di Mekkah. Sepulangnya kekampung halaman, para pelajar yang mendapat gelar “haji” ini mengembangkan pendidikan agama di tanah air
yang
bentuk kelembagaanya disebut “pesantren” atau “pondok pesantren”.33 Dalam sejarah perkembnagan zaman selanjutnya, pondok pesantren selalu berusaha meningkatkan kualitasnya dengan mendirikan madrasah-madrasah di dalam kompleks pesantren masing-masing, yaitu di bawah tanggung jawab dan pengawasan Departemen Agama. Dengan cara ini, pesantren tetap berfungsi sebagai pesantren dalam pengertian aslinya, yakni tempat pendidikan dan pengajaran bagi para santri yang ingin memperoleh pengetahuan Islam secara mendalam dan sekaligus merupakan
madrasah
bagi
anak-anak
di
lingkungan
pesantren.
Dalam
perkembanganya, pesantren bukan hanya mendirikan madrasah, tetapi juga sekolah-
32
M. Sulton dan M,Khusnuridlo, Menejemen Pondok Pesantren Dalam Prespektif Global, (Yogyakarta: Laksbang Pres Sindo,2006), hlm. 4 33 Ibid,. Hlm.4-5
45
sekolah umum yang mengikuti sistem dan kurikulum Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Diknas). Dengan menjamurnya pondok pesantren sekarang ini, membuktikan betapa besarnya peranan pesantren dalam menumbuh kembangkan sumber daya umat yang dilandasi iman dan taqwa, menciptakan manusia-manusia yang jujur, adil, percaya diri dan bertanggung jawab, menghasilkan manusia yang memiliki dedikasikan keikhlasan dan kesungguhan dalam perjuangan. Dan pada kenyataanya ajaran agama Islam bersifat universal akan lebih unggul dan mampu mengendalikan perubahanperubahan zaman bagi generasi-generasi berikutnya, dengan pedoman padasumber hukum tertulis tertinggi Islam (Al-Qur‟an dan Hadits) untuk mewujudkan masyarakat yang maju, mandiri dan diberkahi oleh Allah SWT. 3. Karakteristik Pondok Pesantren a. Pondok Pesantren sebagai Lembaga Pendidikan Islam Kehadiaran Ban Umayah menjadikan pusat ilmu pengetahuan, sehingga anak-anak masyarakat Islam tidak hanya belajar di masjidjuga di lembagalembaga seperti „‟kuttab‟‟ (pondok pesantren). Kuttab iidengan karakteristiknya yag khas, merupakan wahan dan lembaga pendidikan Islam yag semula sebagai lembaga baca dan dengan sistem halaqah (sistem wetonan).34 Pada tahap berikutnya kuttab mengalami perkembangan yang sangat pesat, karena didukung
oleh dana dari pendidikan dari masyarakat, serta adanya
rencana-rencana yang harus dipatuhi oleh pendidik dan anak didik. Di Indonesia, istilah kuttab dikenal dengan istilah “pondok pesantren” yaitu sebagai lembaga penididikan Islam yang di dalamnya terdapat seorang kyai (pendidik) 34
Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikann Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1988), hlm, 112
46
b. Tujuan Pendidikan Pondok Pesantren Tujuan pendidikan pesntren adalah
menciptakan dan mengembangkan
kepribadian muslim yaitu kepribadian yang beriman dan bertaqwa kepada Allah, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat atau berkhidmat kepada masyarakat dengan jalan kawula atau abdi masyarakat sebagai mana kepribadian Nabi Muhammad Saw (mengikuti sunah Nabi), mampu berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan Islam dan kejayaan umat di tengah-tengah masyarakat (izz Al Islam wa al muslimin) dan mencintai ilmu dalam rangka megembangkan kepribadian manusia.35
35
Mujamil Qomar,Pesantren: dari Transformasi Metodologi Menuju DemokratisasiInstitusi,(Jakarta: Erlangga, 2007), hlm.3