BAB II KAJIAN TEORI
2.1 Komunikasi Massa: Di antara berbagai macam level komunikasi yang telah diuraikan oleh para ahli, komunikasi massa memberikan kontribusi yang besar dalam perkembangan Ilmu Komunikasi, hal tersebut disebabkan oleh, beberapa keunggulannya yang dapat menjangkau khalayak dalam jumlah besar, dan sekaligus menjadi kontrol sosial bagi masyarakat, dengan menyebarkan ide ide baru. Berikut ini adalah beberapa ciri yang membedakan komunikasi massa dengan level komunikasi yang lain (Nurudin 2008:19-31) : a) Komunikator dalam komunikasi massa melembaga, yang artinya gabungan antar berbagai macam unsur dan bekerja satu sama lain dalam sebuah lembaga yang menyerupai sebuah sistem. Adapun pengertian sistem yang merujuk pada “Sekelompok orang, pedoman, dan media yang melakukan suatu kegiatan mengolah, menyimpan, menuangkan ide, gagasan, simbol, lambang menjadi pesan dalam membuat kesepakatan dan saling pengertian satu sama lain dengan mengolah pesan itu menjadi sumber informasi”. b) Komunikan dalam komunikasi massa bersifat heterogen atau beragam, yang berarti terdiri dari beragam pendidikan, umur, jenis kelamin, status sosial ekonomi, memiliki jabatan yang beragam, serta memiliki agama dan kepercayaan yang berbeda. c) Pesannya bersifat umum, yang memiliki arti pesan pesan dalam komunikasi massa tidak ditujukan kepada satu orang atau kelompok masyarakat tertentu. Dengan kata lain, pesan pesannya ditujukan pada khalayak yang plural. d) Komunikasinya berlangsung satu arah, yang merujuk pada khalayak yang tidak bisa langsung memberikan respons kepada komunikatornya (media massa yang bersangkutan). Kalaupun bisa sifatnya tertunda.
16
e) Komunikasi massa menimbulkan keserempakan yang berarti bahwa dalam komunikasi massa ada keserempakan dalam proses penyebaran pesan pesannya. Serempak berarti khalayak bisa menikmati media tersebut hampir bersamaan. f)
Komunikasi massa mengandalkan peralatan teknis, yang memiliki arti bahwa media sebagai alat utama dalam menyampaikan pesan kepada khalayaknya sangat membutuhkan peralatan teknis. Peralatan teknis dimaksudkan kepada media elektronik.
g) Komunikasi massa dikontrol oleh gatekeeper yang sering juga disebut dengan penapis informasi/penjaga gawang, adalah orang yang sangat berperan dalam penyebaran informasi media massa. Gatekeeper ini berfungsi sebagai orang yang ikut menambah atau mengurangi, menyederhanakan, mengemas agar semua informasi yang disebarkan lebih mudah dipahami. Menurut sejarah, awal kemunculan komunikasi massa, bermula dari semakin berkembangnya teknologi, dan keinginan untuk menyampaikan ide, gagasan, serta propaganda politik dengan menggunakan media yang memiliki kemampuan untuk menjangkau khalayak luas. Nurudin menjelaskan bahwa komunikasi masa adalah komunikasi melalui media massa (media cetak dan elektronik). Sebab awal perkembangannya, komunikasi massa berasal dari kata media of mass communication (media komunikasi massa), yang merujuk pada media massa atau saluran yang dihasilkan oleh teknologi modern (Nurudin 2007:4). Kemajuan teknologi sebagaimana diyakini memberikan kontribusi terhadap perkembangan komunikasi massa, menurut Gunaratne (Mc Quail 2011:27) telah terjadi sejak awal penemuan mesin cetak oleh Gutenberg. Gutenberg dianggap memberikan kontribusi terhadap perkembangan teknologi komunikasi, karena penemuan mesin cetak pada abad ke 15, meskipun jauh sebelumnya telah diketahui dan diterapkan di China dan Korea mengenai teknik percetakan dan penggunaan huruf yang dapat digeser geser.
17
Penyebaran ide skala besar (massal), telah terjadi sejak masa lampau, yaitu pada penyebaran mengenai kesadaran dan kewajiban politik serta agama. Pada awal abad pertengahan, gereja di Eropa memiliki alat yang terperinci dan efektif untuk memastikan penyiaran kepada semua orang tanpa terkecuali. Peristiwa ini dapat dikatakan sebagai komunikasi massa, kendati sebagian besar bebas dari bentuk media seperti pengertian saat ini, terlepas dari adanya teks yang berkaitan dengan agama. Kemunculan media independen dalam bentuk cetak, menimbulkan kekhawatiran bagi penguasa gereja dan Negara, hal tersebut didasari pada pemikiran mengenai potensi kehilangan kontrol yang diwakili media, dan penyebaran ide ide baru yang bersifat menyimpang. Propaganda negatif yang dilancarkan pada masa perang agama yang terjadi abad ke-16 menjadi bukti. Hal tersebut merupakan peristiwa bersejarah ketika komunikasi massa, yaitu media cetak memperoleh definisi sosial dan budaya tertentu yang tidak dapat ditarik kembali (Mc Quail 2011:26). Dalam kajian komunikasi massa terdapat perbedaan istilah antara mass communication dan mass communications, Back dan Whitney (Nurudin 2007:5-6) menjelaskan bahwa mass communications lebih menunjuk pada media mekanis yang digunakan, yakni media massa, sedangkan mass communication lebih menunjuk pada teori atau proses teoritik. Nurudin menjelaskan bahwa tidak perlu membedakan secara tajam mengenai istilah communication dan communications, sebab bahasan komunikasi massa tidak
lepas dari proses dan peran media
massanya yang saling mendukung satu sama lain (Nurudin 2007:5-6). Selain memiliki perbedaan dari istilah antara mass communications dan mass communication, komunikasi massa, juga mempunyai batasan konseptual yang membedakan arti, massa dalam komunikasi massa. Bramson (Mc Quail 2011:60) menjelaskan bahwa massa awalnya cenderung diasosiasikan secara negatif, yaitu merujuk pada gerombolan, atau orang biasa yang biasanya dipandang tidak berpendidikan, tak acuh, dan berpotensi irasional untuk dikontrol jika masyarakat ini berubah menjadi perusuh atau pengacau, namun di sisi lain juga dapat dipandang positif, yang kerap dikonotasikan dengan solidaritas pekerja biasa yang dibentuk melawan ketertindasan.
18
Konsep massa yang kerap digunakan untuk kaum kelas rendah, mulai mengalami perubahan makna sejak munculnya media yang kemampuannya dalam hal ini mampu menjangkau orang dalam jumlah banyak. Blummer (Mc Quail 2011:63) mulai mengenalkan istilah khalayak yang diyakini lebih besar dari kelompok, kerumunan, maupun publik. Khalayak ini sangat tersebar dan anggotanya tidak mengenal satu sama lain. Khalayak umumnya heterogen dalam hal yang terdiri atas sejumlah besar orang dari berbagai strata sosial dan kelompok demografi,tetapi juga homogen dalam hal pilihan objek ketertarikan tertentu dan menurut persepsi mereka yang ingin dimanipulasi. Serupa dengan hal tersebut, Nurdin menjelaskan bahwa, massa dalam komunikasi massa lebih menunjuk pada penerima pesan seperti khalayak, audience, penonton, pemirsa, atau pembaca yang berkaitan dengan peran media massa (Nurudin 2007:4). Berdasarkan ragam bentuknya, media massa dibedakan menjadi media elektronik (televisi,radio), media cetak (surat kabar, majalah dan tabloid), buku, film, dan yang terbaru yaitu internet (Nurudin 2007:5). Di Indonesia beragam bentuk media massa, yang merupakan sarana komunikasi massa, telah digolongkan sebagai lembaga sosial, atau disebut dengan pers, oleh Dewan Perwakilan Rakyat, berikut bunyi Undang Undang nomor 40 tahun 1999 pasal 1 ayat 1 : “Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia” (Tebba 2005:183). Pers di Indonesia dibedakan menjadi dua yaitu pers nasional dan pers asing, pers nasional adalah pers yang dikelola oleh perusahaan pers Indonesia, sedangkan pers asing adalah pers yang dikelola oleh perusahaan pers asing (Tebba 2005:184).
19
2.2 Surat Kabar Surat kabar dipercaya memiliki bentuk inovasi yang lebih baik daripada buku yang dicetak, terutama dengan penemuan bentuk literatur, sosial dan budaya baru. Keunggulannya dibandingkan dengan bentuk komunikasi budaya yang lain, terletak pada orientasinya kepada individu dan kepada realitas, kegunaannya serta sifat yang sekular, diyakini cocok bagi kebutuhan kelas baru, yaitu pelaku bisnis yang berbasis di kota kecil. Mc Quail menjelaskan lebih lanjut bahwa kebaruannya bukan hanya pada teknologi atau cara penyebarannya saja, tetapi juga pada fungsinya bagi kelas tertentu dalam perubahan iklim sosial politik yang lebih liberal (Mc Quail 2011:30-31). Dalam sejarah perkembangannya, pamflet, dan buletin merupakan purwarupa dari surat kabar, yang bahkan telah ditemukan selama hampir dua ratus tahun setelah penemuan mesin cetak, yaitu sejak akhir abad ke 16 dan awal abad ke 17 (Mc Quail 2011:30). Raymond (Mc Quail 2011:30) menjelaskan bahwa peran buku mulai tergantikan dengan pendahulu surat kabar ini, buletin yang berisi tentang peristiwa baru dan berkaitan dengan kegiatan perdagangan serta jual beli Internasional, mulai disebarkan melalui sistem layanan pos. Aktivitas ini merupakan perluasan dari aktivitas lama yang dilakukan pemerintah dengan tujuan diplomatik, komersial maupun pribadi. Surat kabar awal mulai diterbitkan secara komersial, atau dijual untuk umum
dengan
karakternya
yang
terbuka,
sehingga
masyarakat
dapat
menggunakannya untuk memperoleh informasi, rekaman, isu pengalihan dan gosip. Surat kabar komersial pada abad ke 17, tidak berasal dari satu sumber tertentu, tetapi merupakan kumpulan penerbit dan pencetak. Kerajaan atau pemerintah juga menerbitkan surat kabar, dengan ciri khas yang tidak jauh berbeda, hanya saja lebih difungsikan sebagai alat pemerintah dan perwakilan dari suara penguasa (Mc Quail 2011:30). Semangat perjuangan untuk mewakili kebebasan, seiring dengan kemajuan teknologi dan ekonomi, merupakan bagian yang tidak terpisahkan pada awal sejarah surat kabar sebagai lawan potensial dari pemerintah, hal tersebut tampak pada kekerasan yang dilakukan terhadap para pencetak, penyunting dan wartawan.
20
Perjuangan surat kabar yang mengusung kebebasan berpendapat, dianggap sebagai pergerakan hak hak kebebasan, demokrasi, yang mewakili warga negara dalam jumlah besar (Mc Quail 2011:31). Penguasa sering menganggap pers yang melakukan perlawanan sebagai pihak yang menyulitkan dan menyebalkan, meskipun menurut Schroeder (Mc Quail 2011:32) pers terkadang juga bekerja untuk pemerintah. Surat kabar di Indonesia sebagaimana telah ditetapkan menurut aturan hukum yang berlaku sebagai lembaga sosial, diharapkan mampu melaksanakan fungsinya sesuai dengan undang undang nomor 40 tahun 1999 tentang pers, pasal 3 ayat 1 dan 2 (Tebba 2005:185), yang berbunyi sebagai berikut : 1. Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. 2. Disamping fungsi-fungsi tersebut ayat (1), pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi. 2.3 Berita Berita dan surat kabar, merupakan bagian yang tidak terpisahkan, sebab sebagaimana sejarah dan fungsinya, surat kabar diyakini sebagai salah satu media massa yang menyampaikan informasi atau yang disebut dengan berita kepada target pembacanya. Secara sederhana, berita adalah jalan cerita tentang peristiwa. Hal ini dapat dikatakan bahwa suatu berita setidaknya mengandung dua hal yaitu peristiwa dan jalan cerita. Jalan cerita tanpa peristiwa, dan peristiwa tanpa cerita tidak dapat dikatakan sebagai sebuah berita (Tebba 2005:55). Tidak semua cerita dan peristiwa dalam kehidupan sehari hari dapat dimuat dalam pemberitaan, Tebba menjelaskan lebih lanjut bahwa peristiwa yang diberitakan tergantung pada beberapa hal, yaitu: ”a) Aktualitas. b) Jarak (dekat jauhnya) peristiwa dari khalayak (pembaca, pendengar, penonton). c) Penting tidaknya orang/figur yang diberitakan. d) Keluarbiasaan peristiwa. e) Akibat yang mungkin ditimbulkan dari berita itu. f) Ketegangan dalam peristiwa. g) Konflik dalam peristiwa. h) Perilaku seks.
21
i) Kemajuan kemajuan yang diberitakan. j) Emosi yang ditimbulkan oleh peristiwa. k) Humor yang terkandung dalam peristiwa” (Tebba 2005:55). Berita juga dapat dibagi ke dalam beberapa macam, tergantung dari sudut pandang melihatnya, seperti berikut: ”a) Sifat kejadian yang dibedakan antara berita yang terduga seperti misalnya perayaan hari nasional, dan dapat juga dibedakan sebagai berita yang tidak terduga, misalnya saja ledakan bom, kebakaran, kecelakaan lalu lintas, dan semacamnya. b) Cakupan isi berita yang terbagi pada berita politik, ekonomi, kebudayaan, pendidikan, hukum, seni, agama, kejahatan, olahraga, militer, laporan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta sebagainya. c) Bentuk penyajian berita yang dibedakan, seperti berita langsung (sportnews), berita komprehensif (Comprehensive news), dan feature” (Tebba 2005:56). Sebagaimana berita telah dibedakan berdasarkan sudut pandang melihatnya, dalam hal menulispun setiap berita memiliki ketentuan penulisan yang berbeda, seperti misalnya berita langsung, biasanya ditulis dengan piramida terbalik, dimana semua yang dianggap paling penting diletakkan pada lead atau intro. Oleh sebab itu dalam sebuah lead, sebaiknya mencakup 5 W + 1 H, yaitu (Tebba 2005:57): ”a) b) c) b) c) d)
What (Apa yang terjadi) Who (Siapa yang terlibat dalam peristiwa) Where (Dimana peristiwa terjadi) When (Kapan peristiwa terjadi) Why (Mengapa terjadi) How (Bagaimana melihat peristiwanya)”
Piramida terbalik dibutuhkan agar khalayak yang terlalu sibuk, bisa tetap mengikuti peristiwa yang terjadi, selain itu gaya piramida terbalik juga memudahkan para redaktur, produser atau penyunting untuk memotong bagian berita yang kurang penting yang terletak pada bagian bawah, ketentuan seperti ini biasanya berlaku pada media cetak seperti majalah atau surat kabar (Tebba 2005:57).
22
2.4 Rubrik Setiap materi berita media cetak, yang diterbitkan, baik itu surat kabar, majalah, maupun semacamnya, secara umum telah dikategorikan ke dalam beberapa rubrik yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat memiliki arti sebagai kepala ruangan (ruangan tetap) dalam surat kabar, majalah, dan sebagainya: : surat kabar membuka -- untuk menampung pendapat pembaca. Effendy menjelaskan, bahwa secara etimologi rubrik berasal dari bahasa Belanda yaitu Rubriek, yang memiliki definisi ruangan pada halaman surat kabar, majalah atau media cetak lainnya, mengenai suatu aspek atau kegiatan dalam kehidupan masyarakat; misalnya rubrik wanita, rubrik olahraga, rubrik pendapat pembaca dan sebagainya (Effendy 1989:316).
2.5 Wacana Perspektif Foucault Bahasan mengenai wacana memiliki peran penting, dalam kajian media massa, termasuk diantaranya membongkar praktik kekuasaan. Serupa dengan hal tersebut Foucault (Eryanto 2001:65) menjelaskan bahwa
wacana tidaklah
dipahami sebagai serangkaian kata atau proposisi dalam teks, melainkan lebih kepada sesuatu yang memproduksi lain seperti misalnya sebuah gagasan, konsep atau efek. Wacana dapat dideteksi karena secara sistematis suatu ide, opini, konsep, dan pandangan hidup dibentuk dalam suatu konteks tertentu sehingga mempengaruhi cara berpikir dan bertindak tertentu. Bahkan lebih lanjut diyakini bahwa, suatu wacana memiliki keterkaitan dengan kekuasaan, karena strategi kuasa berlangsung di mana-mana. Eriyanto menjelaskan lebih lanjut bahwa, jika banyak teoretisi lebih memusatkan perhatian pada negara, maka Foucault meneliti kekuasaan lebih kepada individu, subjek yang kecil. Kuasa tidak dimaknai dalam term "kepemilikan", di mana seseorang mempunyai sumber kekuasaan tertentu, melainkan dipraktikkan dalam suatu ruang lingkup di mana ada banyak posisi yang secara strategis berkaitan satu sama lain. Di mana saja terdapat susunan, aturan-aturan, sistem-sistem regulasi, di mana saja ada manusia yang mempunyai hubungan tertentu satu sama lain dan
23
dengan dunia, di situ kuasa sedang bekerja. Kuasa tidak datang dari luar, tetapi menentukan susunan, aturan-aturan, dan hubungan-hubungan itu dari dalam. Sebagai contoh dapat disebut hubungan-hubungan sosial ekonomi, hubunganhubungan yang menyangkut keluarga, seksualitas, media komunikasi, dinas kesehatan, pendidikan, dan ilmu pengetahuan. Setiap rnasyarakat mengenal beberapa strategi kuasa yang menyangkut kebenaran: beberapa diskursus diterima dan diedarkan sebagai benar. Ada instansi-instansi yang menjamin perbedaan antara benar dan tidak benar. Ada macam-macam aturan dan prosedur untuk memperoleh dan menyebarkan kebenaran (Eryanto 2001:65-66). Bagi Foucault (Eryanto 2001:66), kekuasaan selalu terakumulasikan melalui pengetahuan, yang memiliki efek kuasa. Penyelenggara kekuasaan, selalu memproduksi pengetahuan sebagai dasar dari kekuasaannya, yang dalam hal ini hampir tidak mungkin mampu berdiri jika tidak ditopang oleh suatu ekonomi politik kebenaran. Tidak ada pengetahuan tanpa kuasa, dan sebaliknya tidak ada kuasa tanpa pengetahuan, konsep ini membawa konsekuensi, untuk mengetahui kekuasaan dibutuhkan penelitian mengenai produksi pengetahuan yang melandasi kekuasaan. Karena setiap kekuasaan disusun, dimapankan, dan diwujudkan lewat pengetahuan dan wacana tertentu, atau dengan kata lain suatu wacana menghasilkan kebenaran dan pengetahuan tertentu yang menimbulkan efek kuasa. Kebenaran yang dimaksud oleh Foucault (Eryanto 2001:67), tidak dipahami sebagai suatu konsep yang abstrak, melainkan sengaja diproduksi setiap kekuasaan, untuk menghasilkan kebenaran sendiri yang menggiring khalayak untuk mengikuti kebenaran yang telah ditetapkan tersebut. Di sini, setiap kekuasaan selalu berpura pura menghasilkan rezim kebenaran tertentu yang disebarkan lewat wacana yang dibentuk oleh kekuasaan. Foucault (Eryanto 2001:71-72 ) mengatakan lebih lanjut bahwa wacana yang menghasilkan hubungan antara kekuasaan disatu sisi dan pengetahuan disisi lain, dapat disimbolkan, bukan hanya secara referensial, melainkan juga produktif dan kreatif. Simbol yang dihasilkan wacana itu, antara lain melalui bahasa,
24
moralitas, hukum, dan lainnya, yang tidak hanya mengacu pada sesuatu, melainkan turut menghasilkan perilaku nilai-nilai, dan ideologi. Kuasa tidak bekerja dengan cara negatif melalui penindasan dan pengekangan, sebagaimana menurut analisis Foucault (Eryanto 2001:68-69) terhadap hilangnya bentuk menghukum pada paruh kedua abad ke-18 yang awalnya masih berbentuk hukuman keji dengan, pancung, dan cambuk yang bahkan dipertontonkan di depan publik, hingga kemudian digantikan oleh pelaksanaan hukuman yang tidak sewenang wenang, dan semakin tidak menyentuh tubuh seperti misalnya hukuman penjara yang membentuk publik menjadi disiplin. Dengan kata lain publik dikontrol, dan diatur, secara positif, yaitu dengan undang-undang yang memuat ketentuan penghukuman ditetapkan. Eriyanto menjelaskan lebih lanjut mengenai pemikiran Foucault, bahwa sebagaimana, kehidupan bukan diatur melalui serangkaian represi, melainkan melalui kekuatannya memberikan definisi dan melakukan regulasi, maka berbagai regulasi itu di antaranya yang menentukan manusia, memilah, mengklasifikasikan, dan menggolongkan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang harus dilakukan dan mana yang harus dihindari, mana yang sah mana yang tidak. Di sini, kekuasaan dipahami sebagai serangkaian prosedur yang memproduksi, rnenyebarkan, dan mereproduksi pernyataan pernyataan. Misalnya, definisi normal dan abnormal jelas merupakan pendefinisan sosial. Lewat definisi semacam ini, individu dikontrol bahwa yang normal dan baik seperti ini, yang tidak norrnal sehingga tidak baik seperti itu. Kalau ingin baik dan disebut normal, berperilakulah seperti ini, sebab kalau berperilaku seperti itu tidak normal dan tidak baik. Melalui wacana, individu bukan hanya didefinisikan tetapi juga dibentuk, dikontrol. dan disiplinkan. Misalnya, pembagian kerja dalam rumah tangga. Wacana yang berkembang menyatakan laki laki yang bekerja di luar rumah menghidupi keluarganya, sementara perempuan berada di dalam rumah mengurusi rumah tangga dan merawat anak-anak. Definisi pembagian kerja perempuan dan laki laki ini mernbentuk individu bagaimana seharusnya yang baik itu dan bagaimana pula menjadi perempuan
25
yang baik. Keberhasilan laki laki kalau ia bisa menghidupi keluarganya, dan akan dianggap gagal kalau ekonomi rumah tangga kacau. Hal yang sebaliknya dikenakan pada perempuan. Kalau ada perempuan yang bekerja, apalagi malam hari, akan ditanggapi secara buruk menelantarkan anak anak. Sehingga kalau karena pekerjaannya itu, anak-anak menjadi tidak terurus dan nakal, maka yang disalahkan adalah perempuan karena ia memang yang bertugas mendidik anakanak. Berbagai simbol wacana seperti moral laki laki baik seperti ini, wanita baik seperti itu), aturan hukum (wanita yang bekerja di malam hari harus meminta izin dari suami) membentuk jaring bagaimana hubungan kekuasaan itu hendak dikontrol dan didisiplinkan (Eryanto 2001:72-73). Selain regulasi yang didefinisikan dalam norma masyarakat, Eriyanto juga menjelaskan bahwa regulasi dalam perspektif Foucault dapat dilihat pada undang undang yang dibuat. Kepada individu diberikan aturan tertulis mengenai hukuman bagi setiap pelanggaran. Hukuman diterapkan bukan untuk balas dendam, tetapi mencegah pengulangan tindak kejahatan. Pelaksanaan hukuman diarahkan pada kesadaran, hasrat, dan kehendak individu, menjadi penaklukan ide. Gagasan untuk berbuat jahat dikalahkan dengan pikiran mengenai beratnya hukuman. Kuasa menghukum dilaksanakan lebih untuk menarik dan menimbulkan kesadaran pada individu. Di dalam strategi baru ini, bukan lagi tubuh fisik yang disentuh kuasa, melainkan jiwa, pikiran, kesadaran dan kehendak individu yang mampu menangkap tanda-tanda yang tersebar di dalam tubuh masyarakat Di dalam prosedur pemenjaraan, hukuman dilaksanakan bukan untuk menghapus kejahatan atau penjahat, melainkan untuk mengoreksi, melatih, dan menormalkan individu. Foucoult menjelaskan lebih lanjut bahwa kekuasaan dengan sengaja menghasilkan realitas, normalisasi, regulasi, dan bahkan melalui wacana, yang tujuannya mengoreksi serta membuat individu menjadi patuh dan berguna (Eryanto 2001:69). Foucault (Eryanto 2001:67) menolak pandangan yang menyatakan kekuasaan sebagai subjek yang berkuasa seperti raja, negara, pemerintah, ayah, laki-laki, sebagaimana subjek tersebut kerap dianggap melarang, membatasi, atau
26
menindas. Menurut Foucault, kuasa tidak bersifat subjektif. Kekuasaan dalam pandangan Foucault disalurkan melalui hubungan sosial, di mana memproduksi bentuk-bentuk kategorisasi perilaku sebagai baik atau buruk, sebagai bentuk pengendalian perilaku.
Relasi sosial
itulah
yang
memproduksi bentuk
subjektivitas dan perilaku lebih dari secara sederhana. Serupa dengan hal tersebut Staple (Eryanto 2001:69-70) menyatakan pendapatnya bahwa, apa yang digambarkan oleh Foucault mengenai disiplin, normalisasi, dan kontrol tersebut merupakan gambaran umum kehidupan modern atau kapitalisme. Dalam kapitalisme, kehidupan pada dasarnya tidak diatur dan dikontrol melalui sebuah kekuasaan yang sifatnya represif dan tunggal, tetapi lewat sebuah mekanisme, aturan, dan tata cara yang mengontrol kehidupan masyarakat agar terkontrol dan disiplin. Kekuasaan dalam masyarakat modern terutama tidak bekerja secara terang-terangan, dengan adanya Raja yang memerintah atau adanya otoritas individual yang berkuasa dan mengatur kehidupan seseorang. Kekuasaan justru bekerja secara tidak terlihat, dan tanpa disadari dengan praktik disiplinisasi. Teknik disiplinisasi ini di antaranya melalui penetapan aturan dan berbagai prosedur kegiatan, jadwal, pelaksanaan, dan tujuan kegiatan yang menghasilkan keteraturan. Kontrol juga dilakukan dengan memberi ganjaran bagi yang mengikuti dan hukuman bagi yang melanggar, bahkan kontrol mental lewat aturan moral dan agama. Lewat disiplin tersebut, individu modern dikontrol tanpa sadari. Semakin dia merasa bebas, sesungguhnya semakin ia masuk dalam perangkap kekuasaan yang mengontrol dan mengatur dirinya. Eriyanto secara keseluruhan menguraikan perspektif Foucoult mengenai wacana dalam 2 bagian, yaitu produksi wacana dan wacana terpinggirkan, sebagaimana berikut:
A. Produksi Wacana Wacana dan keterkaitannya dengan realitas, menjadi salah satu fokus penting bagi Foucoult, untuk membongkar praktik kekuasaan. Realitas itu sendiri, menurut Foucault, tidak bisa didefinisikan, apabila tidak mempunyai akses
27
dengan pembentukan struktur diskursif. Persepsi serta cara menafsirkan objek dan peristiwa dalam system makna tergantung pada struktur diskursif. Struktur diskursif membuat objek atau peristiwa terlihat nyata. Struktur wacana dari realitas, tidaklah dilihat sebagai sistem yang abstrak dan tertutup. Pandangan tentang suatu objek dibentuk dalam batas batas yang telah ditentukan oleh struktur diskursif tersebut, sebagaimana wacana dicirikan oleh batasan bidang dari objek, definisi dari perspektif yang paling dipercaya dan dipandang benar sedangkan yang lain tidak. Dengan kata lain wacana tertentu membatasi pandangan khalayak, mengeluarkan sesuatu yang berbeda dalam batasbatas yang telah ditentukan, serta mengalihkan khalayak pada jalan pikiran tertentu dan menghayati itu sebagai sesuatu yang benar. Ketika aturan dari wacana dibentuk, pernyataan kemudian disesuaikan dengan garis yang telah ditentukan. Di sini, pernyataan yang diterima dimasukkan dan mengeluarkan pandangan yang tak diterima mengenai suatu objek. Objek bisa jadi tidak berubah, tetapi struktur diskursif yang dibuat membuat objek menjadi berubah. Wacana membentuk dan mengkonstruksikan peristiwa tertentu dan gabungan dari peristiwa-peristiwa ke dalam narasi yang dapat dikenali oleh kebudayaan tertentu.
Dalam prosesnya,
khalayak
mengkategorisasi
dan
menafsirkan pungalaman serta peristiwa, dengan mengikuti struktur yang tersedia dan dalam menafsirkan tersebut, khalayak sukar keluar dari struktur diskursif yang terbentuk. Struktur diskursif tersebut adalah bangunan besar, dan secara sistematis batas-batas itu berbentuk sebuah episteme, perangkat dari struktur diskursif sebagai suatu keseluruhan melalui mana kebudayaan berpikir. Mekanisme struktur diskursif tersebut dapat dilihat dari bagaimana suatu cara berpikir didikte dan berpandangan dalam batas-batas yang telah ditentukan oleh struktur diskursif, bukan dengan yang lain (Eryanto 2001:73-76).
B. Wacana Terpinggirkan Dalam suatu masyarakat biasanya terdapat beragam wacana yang berbeda satu sama lain, sehingga kemudian kekuasaan memilih dan mendukung wacana tertentu, sebagaimana wacana yang dipilih oleh kekuasaan menjadi dominan,
28
sedangkan wacana wacana lainnya akan menjadi “terpinggirkan”(marginalized) atau “terpendam” (submerged). Terdapat dua konsekuensi dari wacana dominan. Pertama, wacana dominan memberikan arahan bagaimana suatu objek harus dibaca dan dipahami. Pandangan yang lebih luas menjadi terhalang, karena kekuasaan dalam wacana dominan memberikan pilihan yang tersedia dan siap pakai. Pandangan dibatasi hanya dalam batas-batas struktur diskursif tersebut, tidak dengan yang lain. Kedua. struktur diskursif yang tercipta atas suatu objek tidaklah berarti kebenaran. Batas batas yang tercipta tersebut bukan hanya membatasi pandangan, tetapi juga menyebabkan wacana lain yang tidak dominan menjadi terpinggirkan. Setiap kekuasaan pada dasarnya berusaha membentuk pengetahuannya menciptakan rezim kebenaran sendiri. Kekuasaan selalu datang dengan memproduksi suatu ekonomi politik kebenaran, melalui mana kekuasaan dengan begitu dimapankan, disusun, dan diwujudkan serta dilestarikan. Oleh karena itu, dalam analisis wacana perlu melihat bagaimana produksi wacana atas suatu hal diproduksi dan bagaimana reproduksi itu dibuat oleh kelompok atau elemen dalam masyarakat. Analisis wacana bukanlah melihat apa yang sebenarnya terjadi, tetapi bagaimana setiap kelompok, terutama yang berkuasa, memproduksi kebenaran atas suatu wacana. Produksi kebenaran itu terutama akan disebarkan dengan berbagai organ yang dimiliki. Wacana semacam ini tidak banyak dikedepankan dalam pemberitaan. Proses terpinggirkannya wacana dalam proses pemberitaan ini membawa beberapa kesimpulan. Pertama, khalayak tidak diberi kesempatan untuk mendapatkan informasi yang beragam dari berbagai sudut mengenai suatu peristiwa. Di sini tidak harus dikatakan bahwa wacana yang terpinggirkan adalah wacana yang benar mengenai suatu peristiwa, tetapi karena tidak banyak ragam perspektif dari suatu wacana maka dimensi peristiwa tidak lengkap. Kedua, bisa jadi peminggiran wacana menunjukkan praktik ideologi. Sering kali seseorang, suatu kelompok tertentu, suatu gagasan, tindakan, kegiatan terpinggirkan, dan menjadi marjinal lewat penciptaan wacana-wacana tertentu, seperti misalnya wacana yang kerap memarjinalkan kaum perempuan, hal tersebut dapat dilihat melalui terbentuknya wacana dominan bahwa perempuan itu lemah, di bawah laki-laki, keibuan, berada di sektor privat, dan sebagainya. 29
2.6 Ideologi Eriyanto menjelaskan bahwa salah satu konsep ideologi yang penting untuk dibahas dalam wacana media adalah konsep ideologi Althusser,yang memfokuskan pandangannya pada dialektika yang dikarakteristikkan dengan kekuasaan yang tidak seimbang atau dominasi. (Eriyanto 2001:98) Salah satu ciri khas dari teori Althusser menurut Cahyadi (Eriyanto 2001:99) mengenai ideologi, adalah,konsepnya mengenai subjek dan ideologi, yang pada intinya saling berkaitan, yaitu ideologi memerlukan subjek dan subjek memerlukan ideologi. Ideologi yang merupakan rumusan dari individu individu tertentu, keberlakuannya menuntut tidak hanya kelompok yang bersangkutan tetapi juga selain membutuhkan subjek,ideologi turut menciptakan subjek, atau yang dikenal dengan istilah interpelasi. Dalam interpelasi individu konkret direkrut menjadi subjek ideologi. Althusser (Eriyanto 2001:99-100) berpendapat bahwa kehidupan manusia sebagai subjek sangat berkaitan dengan struktur yang bukan ciptaannya melainkan ciptaan kelompok atau kelas tertentu. Oleh karenanya individu individu yang merupakan subjek bagi struktur tidak lain hanya dimanfaatkan untuk pelayanan kepentingan dari kelas tertentu yang menciptakan struktur tersebut. Macdonell (Eriyanto 2001:100) berpandangan bahwa konsepsi Althusser atas ideologi , menempatkan seseorang bukan pada posisi tertentu dalam suatu relasi sosial tetapi juga hubungan antara individu dengan relasi sosial tersebut. Relasi yang dimaksudkan, adalah imajiner, karena ia bekerja melalui pengetahuan/ pengakuan dan identifikasi untuk menempatkan atau menyapa seseorang dalam posisi tertentu. Ideologi menginterpelasi individu sebagai subjek dan menempatkan seseorang dalam posisi tertentu. Tolson (Eriyanto 2001: 101-102) menjelaskan lebih lanjut bahwa interpelasi juga terjadi dalam isi media. Teks media diyakini selalu menyapa seseorang dan menempatkan seseorang ketika harus membaca atau melihat suatu teks, oleh karena isi media pada dasarnya bukan ditujukan untuk dirinya sendiri, melainkan ditujukan untuk berkomunikasi dengan khalayak. Interpelasi berkaitan dengan identifikasi, bagaimana, dan dengan siapa seseorang mengidentifikasi
30
dirinya dari teks yang disediakan. Bagian yang penting dari interpelasi adalah, menunjukkan posisi ideologi yang diambil ketika membaca teks media. Ideologi dalam keterkaitannya dengan wacana, yang dalam hal ini adalah teks berita, kerap dianggap sebagai sesuatu yang tidak netral dan berlangsung secara alamiah, karena didalamnya kerap diisi dengan kepentingan kepentingan media massa untuk berebut pengaruhnya terhadap khalayak. Oleh karena itu, cerminan dari ideologi suatu media, bisa dilihat dari teks berita yang dimunculkan, seperti misalnya ideologi femininis, antifeminis, kapitalis, sosialis, dan sebagainya (Eriyanto2001:14)
2.7 Feminisme Sudarminta (Hardiman 2010:201) menjelaskan bahwa feminisme adalah berbagai paham atau aliran pemikiran dan gerakan politik, ekonomi, sosial-budaya (termasuk di dalamnya gerakan etis) yang memiliki keprihatinan dan kepedulian terhadap realitas gender yang memperjuangkan kesamaan hak dan membela kepentingan kaum perempuan. Dalam realitas politik, ekonomi, dan budaya patriarki selama berabad abad, kesamaan hak dan kepentingan kaum perempuan cenderung diabaikan atau bahkan ditindas.
2.8 Subordinasi Subordinasi telah menjadi fokus perhatian penting dalam melihat diskriminasi atau ketidakadilan gender. Dalam situs resminya, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menjelaskan, bahwa arti dari subordinasi adalah, suatu penilaian atau anggapan bahwa suatu peran yang dilakukan oleh satu jenis kelamin lebih rendah dari yang lain 1. Fakih menjelaskan lebih lanjut bahwa subordinasi dapat terlihat terjadi pada perempuan ketika, misalnya, anggapan bahwa perempuan itu irrasional atau emosional sehingga 1
Dalam Aplikasi Data dan Informasi PP dan KPA. Subordinasi (Online) http://www.menegpp.go.id/aplikasidata/index.php?option=com_content&view=article&id=98:sub ordinasi&catid=52:bentuk-ketidakadilan-gender&Itemid=108 diunduh pada 2 Desember 2012 pukul 21.00 WIB
31
perempuan tidak bisa tampil memimpin, yang berakibat pada munculnya sikap yang menempatkan perempuan tidak pada posisi penting. Praktik tersebut sesungguhnya berangkat dari kesadaran gender yang tidak adil (Fakih 2012 15-16). 2.9 ”Ruang Publik” Ruang publik secara etimologi berasal dari bahasa latin, yaitu ‟publicus‟ , yang pada konteks masyarakat romawi kuno memiliki dua arti, yang pertama adalah milik rakyat sebagai satuan politis atau milik negara; dan arti yang kedua, sesuai dengan rakyat sebagai seluruh penduduk dengan kata lain untuk itu adalah ‟umum‟. Dalam konsep tersebut sudah tersirat dua hal, yakni suatu ‟ruang‟ tempat hal hal yang bersifat umum dibicarakan, dan suatu subyek hukum, yakni rakyat atau negara. Ruang di zaman Yunani Romawi terletak di luar rumah, yaitu di jalan jalan, alun alun, dan di arena teater. Sementara itu ‟ruang‟ yang berada di bawah kekuasaan pater familias (ayah), disebut privatus, maka kemudian tidak hanya ada res publica (hal publik), melainkan juga res privata (hal privat). Kendati distingsi eskplisit tentang ‟privat‟ dan ‟publik‟ itu adalah sebuah gagasan modern yang belum berkembang dalam masyarakat kuno. Publicus juga mengandung arti lain yang terkait dengan kekuasaan para pejabat negara. Dalam masyarakat Eropa abad pertengahan pemaknaan kata publicus tidak banyak bergeser dari hal hal yang dimengerti di zaman Yunani dan Romawi kuno (Hardiman 2010:4). Mulai abad ke 18 kata ‟publik‟ dihubungkan dengan sesuatu yang baru, yakni dengan tulis menulis sebagai ‟publik pembaca‟ yang di Jerman sejak waktu itu disebut Lesepublicum, seiring dengan semakin berkembangnya percetakan dan pos yang membuat intensitas tulis menulis menjadi sangat tinggi dan menyentuh persoalan persoalan publik. Di dalam masyarakat sendiri terbentuk suatu lapisan sosial kaum terdidik yang dapat membaca dan menulis sehingga membentuk ‟publik‟ sendiri, yakni ‟publik‟ pembaca. Penyebaran buku buku akibat penemuan mesin cetak telah menghasilkan perkembangan yang sangat menakjubkan dalam membangun kepedulian warga tergadap persoalan persoalan publik (Hardiman 2010:6).
32
Habermas (Hardiman 2010:269-270) merumuskan ”public sphere” atau ruang publik dalam penjelasan berikut: ”Dengan 'ruang publik' kami maksudkan pertama tama suatu wilayah kehidupan sosial kita di mana apa yang disebut opini publik terbentuk. Akses kepada ruang publik terbuka bagi semua warga negara. Sebagian dari ruang publik terbentuk dalam setiap pembicaraan di mana pribadi pribadi berkumpul untuk membentuk suatu 'publik'. Bila publik menjadi besar, komunikasi ini menuntut suatu sarana untuk diseminasi dan pengaruh ; zaman sekarang surat kabar dan majalah,radio,dan televisi menjadi ruang publik” Dalam definisi tersebut, tiga unsur seperti media, pembicaraan, dan opini publik secara erat terhubung. Ruang publik bukan merupakan suatu ruang fisik, tetapi ruang sosial yang diproduksi oleh tindakan komunikatif. Ruang publik juga bukan suatu institusi atau organisasi politik,melainkan suatu ruang tempat warga negara terlibat dalam diskusi mengenai isi publik. Habermas (Hardiman 2010:270-271) menjelaskan lebih lanjut bahwa kemunculan "public sphere", dimulai pada akhir abad ke 17 dan awal abad ke 18 di Paris,dan London, yaitu timbul debat dan diskusi yang terjadi di salon salon dan kafetaria. Di situ orang orang berkumpul dan berdiskusi mengenai isu publik. Diskusi ini difasilitasi oleh penerbitan lembaran lembaran berita dan surat kabar, yang merupakan forum bagi debat politik dimana orang (laki laki dan golongan menengah) dapat melontarkan kritik kepada pemerintah. Meskipun hanya mewakili kaum borjuis, ruang publik mewujudkan gagasan mengenai komunitas warganegara, yang berkumpul bersama sebagai orang orang sederajat dalam suatu forum masyarakat sipil,dan berbeda dari otoritas negara dan ruang privat keluarga. Forum itu mampu membentuk opini melalui debat debat rasional. Habermas (Hardiman 2010:194-195) menjelaskan lebih lanjut bahwa, pada masa transisi kapitalisme liberal abad ke 19 menuju tahap kapitalisme yang dikendalikan oleh monopoli dan negara abad ke 20, ruang publik mulai memasuki masa kemunduran. Refeodalisasi yang merujuk pada pengertian bahwa negara dan pasar melakukan intervensi intervensi hegemonis ke dalam ruang publik, membuat ruang publik yang di dalam era pencerahan borjuis abad ke 18 berciri otonom dan kritis terhadap ekonomi dan birokrasi, kini malah semakin
33
memprihatinkan, karena cenderung dijadikan arena kepentingan kepentingan pasar dan birokrasi. Wilayah wilayah privat dan keseharian warga negara, mulai dieksploitasi dan diangkat ke ranah publik demi kepentingan komersial. Serupa dengan hal tersebut Habermas (Hardiman 2010:195) mengatakan lebih lanjut bahwa kepentingan kepentingan pribadi korporasi korporasi bisnis memiliki fungsi fungsi politis untuk mengendalikan media dan bahkan birokrasi birokrasi negara, sehingga kebijakan kebijakan negara lebih mengekspresikan kepentingan bisnis, selain itu pihak birokrasi sendiri juga mulai mencampuri urusan urusan wilayah privat dan keseharian warga negara, dan mengaburkan perbedaan antara ranah privat dan publik yang dalam era borjuis cukup jelas dipertahankan. Segala bentuk aspirasi dan pendapat warga negara sudah beralih fungsi dari sekedar berpartisipasi menyikapi permasalahan yang terjadi demi kepentingan bersama, menjadi sekedar hiburan yang dibentuk oleh media demi kepentingan komersial. Habermas (Hardiman 2010:195) berpendapat bahwa ruang publik di dalam negara negara kapitalis maju telah dirampas oleh kekuatan investasi raksasa yang segera mengubah ruang lingkup perdebatan rasional yang bebas menjadi lingkup manipulasi,konsumsi, dan pasivitas. Opini publik bahkan bukan lagi mencerminkan aspirasi murni masyarakat warga, melainkan merupakan hasil bentukan para elit media yang berkolaborasi dengan para elit pasar dan birokrasi. Warga masyarakat secara tidak langsung dipaksa dan dibatasi untuk lebih memperhatikan pemberitaan pemberitaan bentukan media. Segala berita, informasi, komentar, dan kontribusi dalam media,telah berubah fungsinya menjadi komoditas komoditas yang dapat dipertukarkan dengan uang,seperti komoditas komoditas lain dalam bisnis kapitalis. Istilah 'refeodalisasi sendiri berubah memiliki arti selain hegemoni pasar atas demokrasi, yaitu : ruang publik tidak menjadi arena diskursus bagi masyarakat warga, melainkan menjadi panggung representasi diri para elit media yang menjadi alat kepantingan kepentingan pasar dan kekuasaan (Hardiman 2010:196).
34
2.10 Penelitian Sebelumnya Peneliti Judul SEPTIAN ANALISIS
Tujuan Menggambarkan
Metode Analisis
Hasil Radio Female Semarang
WIDYA
WACANA
strategi wacana
Wacana
melalui program
WARDANI
FEMINISME
yang dilakukan
Metode
Tupperware She Can! on
(362006048)
SARA MILLS
dalam membangun Sara Mills
Radio telah
PADA
representasi
(Analisis
merepresentasikan
PROGRAM
perempuan.
wacana
perempuan dengan baik.
Feminisme)
Perempuan tidak hanya
TUPPERWARE SHE CAN! ON
diposisikan sebagai obyek
RADIO (Studi
namun juga diberi
Kasus di radio
kesempatan menjadi
Female
subyek dalam
Semarang Tahun
perbincangan. Peran
2010)
perempuan di sektor publik tampil sebagai sosok yang tak kalah dari laki-laki, namun dalam sektor domestik perempuan tetap bertanggungjawab.
MARTHA
REPRESETASI
Menggambarkan
Analisis
Tayangan Take Him Out
PRISCILLA
FEMINISME
representasi
Wacana
telah berupaya untuk
MADA
DALAM
feminisme dalam
Metode
merepresenatsikan
WAROUW
PROGRAM
program reality
Sara Mills
dengan apik mengenai
(362006073)
REALITY
show Take Him
(Analisis
kondisi perempuan dalam
SHOW TAKE
Out Indonesia
Wacana
memperjuangkan hak
HIM OUT
(analisis wacana
Feminisme)
untuk memilih untuk
INDONESIA
perspektif feminis
menemukan pasangan,
(Analisis
Sara Mills).
walaupun pada
Wacana Feminis
realitasnya kelanjutan
Sara Mills)
hubungan tersebut dikembalikan kepada
35
pasangan yang dipilih. MARIA
REPRESENTA
Menggambarkan
Analisis
Enam cerpen menunjukan
DOROTEA.
SI FEMINIS
representasi
Wacana
ideologi perjuangan
D.A.
DALAM BUKU
feminis dalam
Kritis
gender, dengan empat
STEVIANITA
13
buku 13
Metode
diantaranya beraliran
(362008078)
PEREMPUAN
Perempuan karya
Sara Mills
liberal (”Cermin
KARYA
Yonathan
(Analisis
Peninggalan”, ”Rumah
YONATHAN
Rahardjo
Wacana
Warisan”, ”Korban
Feminisme)
Banjir” dan ”Hubungan
RAHARDJO
Abadi”) dan dua cerpen menampilkan ideologi feminis sosialis (”Kekuatanku” dan ”Ingat Pesan Sarni”). Sementara tujuh cerpen lainnya menampilkan ideologi patriakhi dari pengarang. Meski masih patriakhi, penggambaran perempuan yang ditampilkan pada setiap cerpennya, tidak lagi perempuan yang lemah, pasif dan tidak berdaya. Kedekatan Yonathan dengan perempuanperempuan dalam hidupnya, menjadikan Yonathan Rahardjo sensitif mengangkat pengalaman hidupnya menjadi kenyataan baru. Hasilnya muncullah gambaran-gambaran
36
perempuan apa adanya dan berbeda. Berdasarkan hal ini, pengarang dapat dikategorikan sebagai „feminis setengah jalan‟, karena pandangan feminismenya masih terangkai dalam bingkai pemikiran dan perspektif patriarki. Hal ini disebabkan kesadaran akan perjuangan feminis beserta alirannya belum sepenuhnya menjadi pemikiran dari Yonathan Rahardjo. Faktor lainnya adalah karena kelelakian pengarang, latar belakang pendidikan dan lingkungan dimana Yonathan Rahardjo tinggal turut memberikan pengaruh. TINGKAT
Mengetahui
ANGGREAN
PENGETAHUA
tingkat
harian Jawa Pos, khususnya
Y (51404108)
N REMAJA
pengetahuan
remaja di Surabaya dapat
SURABAYA
Surabaya
mengetahui fenomena
MENGENAI
mengenai rubrik
fenomena remaja yang
RUBRIK
Deteksi di harian
"DETEKSI" DI
Jawa Pos.
HARIAN
Survei
Melalui rubrik “DetEksi” di
NATALIA
terjadi, karena berdasarkan analisa diketahui bahwa sebagian besar responden
JAWA POS
menyatakan pengetahuan mereka tentang rubrik “DetEksi” bertambah
37
setelah membaca rubrik ”DetEksi”, melalui Rubrik “DetEksi”, para responden dapat mengetahui informasi mengenai musik, film, buku-buku baru, game, pacaran remaja, otomotif, dan lain lain yang sebelumnya belum mereka ketahui menjadi tahu. Terdapat hubungan bahwa semakin tinggi frekuensi, durasi dan atensi responden membaca rubrik “DetEksi” maka semakin banyak pula pengetahuan yang mereka dapat baik itu pengetahuan tentang informasi yang disampaikan maupun karakteristik rubrik ini
38
2.11 Kerangka Pikir Bagan 2.1 Kerangka Pikir Jawa Pos Mengemas pesan dan opini target pembaca usia muda
Minat Baca Khalayak usia muda menurun
Persaingan Media Massa (Media Cetak/ Surat Kabar)
“Ruang Publik”
Rubrik DetEksi Jawa Pos
Analisis Wacana Kritis Sara Mills
Wacana Subordinasi Perempuan Pada Rubrik DetEksi Jawa Pos
39
Isi Rubrik Deteksi Jawa Pos