Januari 1999
Reformasi Paradigma Pembangunan Dari Agenda Pertumbuhan ke Agenda Kerakyatan
Oleh : Martinus Nanang* Abstract Growth-centered development has been successful in achieving high GDP and GNP, but failed to achieve a sustainable environment and a just and equitable society. The reason is that the approach does not give enough priority to community/people participation. The participatory people-centered agenda is expected to contribute more to justice, environment sustainability, and social equity. The problem, however, is that the new agenda hardly works within a mainstream perspective which is quite developmentalistic. We expect that the people-oriented agenda can be applied successfully as a part of radical reform, particularly by creating a conducive political structure as a prerequisite for a thorough cultural reconstruction of the country.
P
ada masa pemerintahan Orde Baru “pembangunan” di Indonesia telah menjadi kata keramat, menjadi “developmentalisme” atau “pembangunanisme.” Pembangunan tidak lagi sekedar dilihat sebagai suatu proses atau strategi pengembangan manusia dan masyarakat yang harus dijalankan secara kontekstual dan culturally sensitive, melainkan telah menjadi semacam “ideologi” nasional, yaitu cara pandang atau perspektif tertentu mengenai penyelenggaraan seluruh bangsa dan negara. Karena itu salah-salah masyarakat dapat menanggung akibat yang sangat merugikan. Misalnya, masyarakat yang menolak menyerahkan tanah untuk suatu proyek perkebunan kelapa sawit dengan dalih pembangunan dapat dikenai tuduhan menolak pembangunan; yang berarti juga menolak kepentingan nasional.
Mengingat kecenderungan developmentalistis ini, maka banyak kalangan menolak menggunakan istilah pembangunan. Dalam diskusi ini saya tetap memakai istilah “pembangunan.” Alasannya, penggunaan istilah ini akan mempermudah pemahaman terhadap perspektif yang akan dikemukakan dalam diskusi ini. Dua perspektif yang berbeda menggunakan satu istilah yang sama: ”pembangunan.” Bagi saya yang
______________
1
Jurnal Sosial-Politika 2 *Memperoleh gelar MA Antropologi dari Ateneo de Manila University 1997, dosen FISIP Universitas Mulawarman dan peneliti pada Center for Social Forestry (CSF) Universitas Mulawarman. Mengikuti program doktor social forestry dengan spesialisasi manajemen hutan partisipatif di Universitas Tokyo sambil menjadi peneliti (research fellow) dan staff bidang kon.servasi hutan pada Institute for Global Environmental Strategies (IGES), Hayama, Jepang.
penting bukan soal mengganti istilah, tetapi lebih-lebih bagaimana memberi nuansa baru pada istilah yang lama dan sama: bagaimana mereformasi konsep dan strategi pembangunan?
Agenda Pertumbuhan Teori Pertumbuhan Klasik Agenda pertumbuhan bertumpu pada upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Teori pertumbuhan ekonomi klasik mendefinisikan pembangunan sebagai “kemampuan ekonomi nasional, yang kurang lebih ajeg dalam waktu lama, untuk meningkatkan pertumbuhan GNP pada tingkat kira-kira 5-7 persen atau lebih” (Todaro 1993:14). Laju pertumbuhan diukur dengan membandingkan indeks pertumbuhan income per capita atau per capita GNP dengan pertumbuhan penduduk suatu negara. Pembangunan ekonomi memberi tekanan pada struktur produksi dan lapangan kerja dengan fokus pada peningkatan industri manufaktur dan jasa. Artinya, pada percepatan industrialisasi. Akibatnya sektor pertanian dan pembangunan pedesaan terabaikan. Standar pertumbuhan ini biasanya dikaitkan juga dengan indikator sosial seperti tingkat melek huruf, pendidikan sekolah, kesehatan, perumahan, dan lain-
2
lain. Tetapi indikator sosial tersebut tidak menjadi perhatian utama. Singkatnya, teori pertumbuhan (klasik) yang dikembangkan setelah Perang Dunia II (1950-1960-an) selalu berarti fenomena ekonomi di mana hasil-hasil yang cepat, menyeluruh dan pertumbuhan GNP per capita akan menetes (trickle down) ke massa rakyat dalam bentuk lapangan kerja dan peluang-peluang ekonomi lainnya, menciptakan kondisi bagi distribusi lebih luas dari keuntungan ekonomi dan sosial. Masalah kemiskinan, pengangguran, dan distribusi pendapatan hanya bersifat se-kunder dalam teori ini. Ternyata proses yang berlangsung selama dua dekade tersebut menunjukkan adanya suatu kekeliruan, sebab tingkat hidup sebagian besar manusia ternyata tidak membaik, bahkan memburuk. Masalah kemiskinan, pengangguran dan pemerataan tetap krusial. Sementara itu kriteria pertumbuhan pun berubah. Negara-negara yang dilihat dari tingkat pertumbuhan dulu seharusnya masuk kelompok berkembang, sekarang tidak lagi dianggap berkembang atau terbelakang (underdeveloped). Meskipun secara kumulatif output ekonomi dunia meningkat 500 persen pada 1990 dibanding 1950 (lebih dari 100 persen per dekade) dan standar pendidikan dan ekonomi serta tingkat pendapatan juga meningkat di banyak negara, ternyata keberhasilan itu parsial saja. Dari 1950 sampai dengan 1990 jumlah penduduk dunia dan kemiskinan absolut meningkat dua kali lipat; lebih dari 1,2 miliar manusia kekurangan penghasilan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar (sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan). Masalah yang juga krusial adalah pemerataan. Menurut United Nation Develop-
Januari 1999 ment Program (UNDP 1992) 20 persen dari penduduk dunia menikmati 82,7 per-sen dari total pendapatan (naik dari 73,9 persen pada 1970), 20 persen penduduk termiskin berjuang untuk meraih hanya 1,4 persen (turun dari 2,3 persen pada 1970) dari total pendapatan. Sementara itu kualitas lingkungan ekosistem menurun secara dramatis dan masalah sosial makin memburuk (Korten 1993). Angka ini tetap bertahan dalam laporan UNDP 1996 dengan penambahan bahwa terjadi peningkatan ganda dalam perbandingan kaya-miskin dari 30:1 menjadi 61:1. 1 Kenyataan ini ironis sebab premis dari agenda pertumbuhan adalah bahwa “pertumbuhan ekonomi merupakan kunci untuk mengatasi kemiskinan, menurunkan tingkat pertumbuhan penduduk, melindungi lingkungan, dan memperkuat tatanan sipil” (Korten 1993:9). Pertumbuhan ekonomi membutuhkan investasi; maka diperlukan juga modal melalui simpanan domestik, hibah, pinjaman dan penanaman modal asing. Asumsi dasar di balik ini adalah bahwa orang kaya mempunyai kecenderungan lebih besar untuk menanam modal (invest) dari pada orang miskin. Maka preferensi kebijakan pembangunan diarahkan kepada kalangan bermodal. Sebaliknya orang miskin hanya menggunakan uangnya untuk kegiatan atau keperluan yang tidak produktif, sehingga tidak bermanfaat untuk menunjang pertumbuhan ekonomi (Korten 1990). Bagi negara-negara Selatan yang terbelakang, kapital pembangunan tidak dapat diharapkan dari simpanan domestik. Kare1
United Nation Development Programme, Human Development Report 1996. New YorkOxford: Oxford University Press, 1996, hlm. 2.
na itu pinjaman luar negeri menjadi faktor penentu. Makin besar pinjaman, makin besar dan cepat pertumbuhan dan makin cepat kemiskinan diatasi, makin stabil jumlah penduduk, perlindungan lingkungan dan masalah sosial dapat diatasi dengan baik.2 Tetapi, kenyataan menunjukkan bahwa premis dan asumsi ini tidak mendapat dukungan fakta.
Teori Redistribusi Pertumbuhan Kegagalan teori pertumbuhan klasik sungguh disadari oleh para ahli. Tahun 1970-an dan 1980-an merupakan periode pemikiran kembali dan di sinilah muncul konsep redistribusi pertumbuhan atau redistribution from growth. Owens (1987) menyatakan bahwa yang terpenting adalah pembangunan manusia, bukan pembangunan benda (the development of people rather than the development of things). Bank Dunia menyatakan bahwa tantangan pembangunan adalah bagaimana memperbaiki mutu hidup. Peningkatan pendapatan memang penting, tetapi pembangunan menuntut lebih dari itu. Pembangunan mencakup, sebagai tujuan dalam dirinya sendiri, pendidikan yang lebih baik, standar kesehatan dan gizi yang tinggi, berkurangnya kemiskinan, lingkungan yang bersih, pemerataan kesempatan berusaha, kebebasan individu yang lebih besar, dan kehidupan kultural yang lebih kaya” (World Bank 1991:4). 2
Menurut Kwik Kian Gie krisis ekonomi Indonesia sekarang ini justeru disebabkan oleh besarnya pinjaman luar negeri, sebagai konsekuensi dari investasi yang besar-besaran. Investasi kita terlalu besar (overinvestment), lebih besar dari kemampuan untuk mendanainya. Lihat Kompas, Juni 1998. 3
Jurnal Sosial-Politika 2 Maka pembangunan harus dilihat sebagai proses multidimensional yang melibatkan perubahan-perubahan penting dalam struktur sosial, sikap masyarakat dan institusi nasional, percepatan pertumbuhan, reduksi ketimpangan (inequality), dan penghapusan kemiskinan (Todaro 1993:16). Teori pertumbuhan baru ini oleh Korten (1990) disebut equity-led sustainable growth (ELSG) atau equity-led strategy (EqLS), yaitu pertumbuhan berkelanjutan yang didasarkan pada prinsip keadilan dan pemerataan. Dalam teori ini konsep keadilan mendahului pertumbuhan atau strategi redistribusi mendahului pertumbuhan. Sukses “macan-macan Asia” didorong oleh prinsip dan strategi ELSG, bukan karena export-led strategy (ExLS). Beberapa faktor penting dari ELSG tersebut dapat disebutkan di sini (Korten 1990): 1. Baiknya dasar-dasar institusional (pendidikan, land-reform, member-controlled organization [kemandirian organisasi], dan kemampuan organisasi untuk berkomunikasi ke atas). Hal ini penting untuk menghalangi monopoli. 2. Peningkatan produktivitas di tingkat pedesaan dengan penekanan pada “unimodal agricultural strategy (UAS). UAS menekankan peningkatan produktivitas dan pendapatan keluarga kecil dengan tekanan pada teknologi hemat modal dan teknologi padat karya (laborusing technology). Strategi ini membuka pasar internal terhadap arus barang-barang industri dan jasa. Di Korea Selatan, Taiwan, dan Jepang pasar-pasar menyerap hasil industri kecil pedesaan untuk melayani kebutuhan penduduk pedesaan. Berlainan dengan UAS, “bimodal agricultural strategy (BAS) berkonsentrasi pada pertanian
4
dan perkebunan komersial yang memerlukan modal besar, sehingga hanya menguntungkan orang-orang kaya. 3. Pertumbuhan industri perkotaan. Kemajuan dalam produktivitas dan pendapatan penduduk pedesaan meningkatkan pertumbuhan industri perkotaan di Korea Selatan dan Taiwan dengan pasokan pangan dan tenaga kerja. Pertumbuhan di pedesaan mendorong produk-produk mereka. Selanjutnya industri perkotaan yang maju meningkatkan kinerja ekspor. 4. Peran Pemerintah. Kebijakan pemerintah di negara-negara macan Asia menentukan pertumbuhan ekonomi. Landreform, pendidikan, dan pengendalian pertumbuhan penduduk memerlukan kebijakan pemerintah yang mendukung. Pemerintah juga perlu menentukan prioritas sektor ekonomi tertentu.
Agenda Kerakyatan Equity-led Strategy (EqLS) sudah cukup progresif dibandingkan dengan teori pertumbuhan klasik kovensional. Namun demikian EqLS masih perlu dikoreksi karena kelemahannya ialah mengabaikan aspek keberlanjutan (sustainability) dan demokratisasi yang merupakan issue penting dalam agenda pembangunan baru yang disebut People-centered Development (PCD) atau pembangunan yang berpusat pada rakyat (Korten 1990). Konsep PCD mula-mula dikembangkan di kalangan organisasi non-pemerintah (Ornop) dunia, berangkat dari pengalaman dan kesaksian akan tragedi manusia berupa kemiskinan yang parah, perang dan akibatnya, kerusakan lingkungan, peningkatan penduduk yang terlalu pesat, dan disintegrasi sosial (kekerasan massal, obat bius,
Januari 1999 dll). Upaya-upaya dan teori-teori pembangunan yang sudah dijalankan ternyata tidak menjawab permasalahan tersebut dengan baik. Banyak upaya mengatasi kemiskinan malah hanya membantu orang kaya dan kemiskinan ditangani gejalanya saja (quick fix dan karitatif).
Visi PCD PCD melihat pembangunan sebagai proses transformasi dalam institusi, teknologi dan prilaku dengan memperhatikan realitas ekologis dan sosial (Korten 1990). Transformasi harus merupakan jawaban atas kebutuhan masyarakat global berupa: 1. Keadilan (justice). Hilangnya ketimpangan kaya-miskin. Ini tidak berarti bahwa setiap orang harus mempunyai pendapatan yang sama, tapi bahwa semua orang memiliki sarana dan kesempatan untuk menghasilkan pendapatan yang cukup untuk diri sendiri dan keluarga (sustenance; Todaro 1993). Kebutuhan dasar manusia mencakup pangan, papan, kesehatan, dan perlindungan. Di sini pertumbuhan ekonomi sungguh penting, tetapi hanya sebagai faktor yang perlu (necessary factor), bukan faktor yang mencukupi (sufficient factor). 2. Keberlanjutan (sustainability). Eksploitasi sumber daya alam sudah sampai pada tingkat yang membahayakan generasi sekarang dan akan datang (aspek ini akan dibahas lebih jauh di bawah). 3. Ketercakupan (inclusiveness). Setiap orang harus dilihat sebagai bagian dari suatu kelompok masyarakat (lokal, nasional, dan dunia) dan berhak untuk memberi kontribusi bagi masyarakat
tersebut. Pada tingkat global inclusiveness ini menuntut visi sebagai warga dunia (global citizen) yang, meski tidak bertentangan dengan nasionalisme, dilawankan dengan nasionalisme kaku. Nampak bahwa PCD melihat pembangunan sebagai gerakan rakyat, bukan sekedar program dan kegiatan pemerintah (yang dibantu dengan dana luar negeri). PCD mencoba membuat sintesis transformasi dari aspek lingkungan, hak azasi manusia, perlindungan konsumen, gerakan perempuan dan perdamaian. Dengan lain kata PCD memberi porsi yang besar pada kebebasan (freedom) dan harga diri (selfworth) masyarakat (bdk. Todaro 1994). Harga diri (self-worth atau self-esteem), sering juga disebut otentisitas, identitas, martabat, respek, kehormatan, adalah pengakuan bahwa seseorang atau kelompok orang tertentu tidak boleh dimanfaatkan oleh orang lain sebagai alat semata untuk mencapai tujuan orang lain tersebut. Hal ini menyangkut nilai yang berlaku dalam masyarakat. Persoalannya, nilai-nilai sering rancu dan membi-ngungkan. Dewasa ini kemakmuran (pros-perity) telah menjadi nilai yang dominan dan menjadi tolok ukur universal bagi harga diri. Bagi negaranegara yang belum makmur pembangunan lalu menjadi tujuan yang tidak bisa dihindarkan untuk menca-pai harga diri tersebut. Kebebasan (freedom) oleh Todaro didefinisikan sebagai “pembebasan diri dari kondisi alienasi material atas hidup dan dari perbudakan sosial terhadap alam, kebodohan, orang lain, kemalangan, institusi, dan keyakinan-keyakinan dogmatis” (Toda-
5
Jurnal Sosial-Politika 2 ro 1994:18). Pertumbuhan ekonomi berkaitan erat dengan kebebasan untuk memilih. Menurut Lewis (1963) “keuntungan pertumbuhan ekonomi bukan bahwa kekayaan menghasilkan kebahagiaan, melainkan bahwa kekayaan meningkatkan rentang pilihan manusia. Dengan kekayaan orang lebih mampu menguasai atau mengontrol alam dan lingkungan fisik (misalnya menghasilkan pangan, tempat tinggal dan perlindungan) ketimbang jika miskin. Kekayaan juga memungkinkan orang untuk memilih kesenangan (greater leisure) dengan mengumpulkan barang dan jasa, atau malah sebaliknya, menolak pentingnya harta dan memilih kehidupan spiritual-kontemplatif. Kebebasan juga harus mencakup sebagai komponennya kebebasan politik seperti (tapi tidak hanya) “keamanan pribadi, rule of law, kebebasan mengemukakan pendapat, partisipasi politik, dan kesetaraan kesempatan”(Todaro 1994:18). Menurut UNDP (1992) banyak negara (Indonesia, Saudi Arabia, Chile, Korea Selatan, Singapura, Malaysia, dan Thailand) yang secara meyakinkan maju di bidang ekonomi, tetapi mempunyai catatan rendah dalam penghargaan atas kebebasan warga negara atau Human Freedom Index (HFI) tahun 1991. Berdasarkan visi tersebut di atas pembangunan menurut PCD dapat dirumuskan sbb: Pembangunan ialah proses yang dengannya anggota-anggota masyarakat meningkatkan kemampuan pribadi dan institusional mereka untuk memobilisasi dan mengatur sumber daya guna menghasilkan perbaikan kualitas hidup yang berkelanjutan dan terdistribusi secara adil sesuai dengan aspirasi mereka sendiri (Korten 1990).
6
Definisi ini menekankan bahwa pembangunan merupakan suatu proses dengan fokus pada kemampuan pribadi dan institusi. Definisi ini juga memuat keadilan, keberlanjutan dan ketercakupan serta harga diri dan kebebasan sebagai prinsip. Diakui bahwa hanya masyarakat yang bersangkutan yang dapat mendefinisikan apa yang mereka anggap sebagai perbaikan dalam kualitas hidup mereka. Definisi pembangunan ini berdasarkan pandangan bahwa bumi bagaikan pesawat angkasa luar yang hanya mempunyai persediaan perbekalan yang sangat terbatas dan tidak dapat ditambah atau diperbaharui (spaceship economics).
Pembangunan Berkelanjutan What exactly to be sustained? Apa yang harus berkelanjutan? Ada dua perspektif dari pembangunan berkelanjutan (PB) yang berkembang. Pertama, keberlanjutan pembangunan ekonomi (sustainable economic development) atau oleh Redclift (1989) disebut The managerialist approach of ecological economics). Pearce (dalam Redclift 1989) menyatakan bahwa PB harus merupakan upaya memperbesar keuntungan bersih dari pembangunan ekonomi dengan mempertahankan kualitas sumber daya alam sepanjang masa. Dengan lain kata, tingkatan pendapatan tertentu harus diper-tahankan dengan mempertahankan juga sumber pendapatan tersebut. Pembangunan harus merupakan kaitan atau trade-off antara beberapa sistem atau antara masa kini dan masa depan. Pendekatan ekonomi melihat bahwa mengabaikan lingkungan mengandung biaya ekonomi (economic cost). Nilai-nilai numerik lingkungan dan kerusakan lingkungan merupakan instrumen penting untuk mencapai kelestarian.
Januari 1999 Masalahnya, konsep ini lebih cocok (viabel) untuk negara maju ketimbang negara berkembang dan terbelakang. Mengapa? Pendekatan ekonomi klasik berpegang pada prinsip “kesediaan membayar” (willingness to pay) sebagai alat untuk memahami biaya dan keuntungan lingkungan (Pierce 1989 dalam Redclift 1993). Tidak sulit untuk memahami kesulitan negara-negara berkembang untuk membayar biaya lingkungan tersebut, sebab mata pencaharian pokok sering kali memaksa masyarakat untuk mengeksploitasi lingkungan dengan mengabaikan aspek kelestariannya demi keuntungan ekonomis jangka pendek. Dalam hal ini kebijakan lingkungan di negara-negara berkembang tidak boleh dibatasi pada trade-off ekonomi dan lingkungan, tetapi harus memperhatikan juga points of reference lain yang juga penting seperti keadilan sosial dan ekonomi politik manajemen lingkungan dan sumber daya alam. Kedua, pendekatan kebutuhan manusia (the human needs approach). PB bukan hanya soal ekonomi, tapi juga sosial, politik dan kultural. Brundland Commission (dalam Redclift 1993:175) mendefinisikan PB sebagai berikut: Pembangunan berkelanjutan adalah proses dengan mana eksploitasi sumber daya, tujuan investasi, orientasi pembangunan teknologi dan perubahan institusi berada dalam keselarasan, dan memperbesar potensi masa kini dan masa depan, untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi manusia. Penting dalam definisi ini untuk melihat PB sebagai suatu tujuan normatif. Bagi Brundland tanggung jawab atas masalah
lingkungan dan upaya memobilisasi political will untuk menangani masalah tersebut, terletak pada kepentingan manusia ketimbang pada trade-off antara sistem ekonomi dan ekologi. Menurut definisi Brundland, tanpa tujuan normatif metode-metode yang baik dan kebijakan yang bagus tidak akan berguna (unworkable). Brundland menem-patkan tanggung jawab masalah lingkung-an, dan upaya memobilisasi kemauan politik untuk mengatasinya, pada institusi dan kepentingan manusia. Tanpa redefinisi dan revisi dalam hubungan politik dan ekonomi yang menghubungkan negara maju dan negara berkembang pembangunan berkelanjutan tidak akan berhasil-guna. Konsep Brundland kemudian dikembangkan oleh beberapa ahli. Menurut Chambers (1988) kelestarian sumber daya alam tak bermakna jika dipisahkan dari manusia (human agents) yang mengelola lingkungan. Chambers menggunakan konsep integrasi sustainable livelihood security (SLS). Conway juga menekankan aktor manusiawi dalam pembangunan. Baginya kelestarian adalah “the ability to maintain productivity, whether of a field, farm, or nation, in the face of stress or shock” (Conway and Barbier 1988: 653). What needs to be sustained? Tinjauan di atas memperlihatkan bahwa terdapat berbagai pendapat yang berbeda, bahkan bertentangan. Apakah keberlanjutan harus dipertahankan pada level produksi atau konsumsi? Petani? Kampung, kabupaten, atau negara? Apa yang berkelanjutan pada level tertentu belum tentu demikian pada level lain. Ketidaklestarian disebabkan oleh tingkat konsumsi negara maju, sementara
7
Jurnal Sosial-Politika 2 kebanyakan upaya pelestarian dilakukan pada tingkat produsen di negara berkembang. Maka pembangunan berkelanjutan mencakup pemenuhan kebutuhan manusia atau mempertahankan pertumbuhan ekonomi atau mempertahankan modal sumberdaya alam (natural capital) atau ketiganya.
Strategi PCD 1. Pengorganisasian Menurut Cernea (1993) PB membutuhkan suatu pattern of social organization yang memadai. PB tidak dapat dicapai dengan akumulasi keberhasilan teknologi atau ekspansi ekonomi, juga tidak dengan prudent environmental management saja. Diperlukan peran dan partisipasi lebih besar dari aktor sosial, baik secara individual maupun kolektif. Maka PB sekaligus bersifat sosial dan kultural. Sosial berarti partisipasi dan keadilan yang lebih besar dan kultural menunjuk pada nilai dan keanekaragaman budaya. Kedua aspek ini saling berkaitan erat. Cernea (1993) menunjuk bahwa sebabsebab kegagalan pembangunan yang diprogramkan dari atas (induced development) degan menggunakan uang sebagai pemacu pembangunan adalah karena tidak memperhatikan faktor sosial dan kultural. Ketika bantuan finansial terhenti, pembangunan tidak dapat berlangsung lagi. Dalam kenyataan banyak pemerintah tidak memberi perhatian pada pentingnya pembentukan organisasi dan institusi tingkat basis (grassroots). Di Indonesia pembentukan kelembagaan tingkat desa masih banyak yang merupakan upaya dari atas, misalnya LKMD (Nanang 1997). Dari pengalaman ini Cernea melihat pentingnya strategi pembangunan (berke-
8
lanjutan) yang menekankan pentingnya pengorganisasian atau bersifat “intensif organisasi” (organizational intensity) dan padat organisasi (organizational density). “Intensitas” organisasi menunjuk pada persyaratan yang diperlukan untuk membangun kemampuan organisasi guna mengembangkan program atau strategi tertentu. Tingkat intensitas organisasi (rendah atau tinggi) tergantung pada program pembangunan tertentu. “Kepadatan” organisasi merefleksikan frekuensi atau tipe dan bentuk organisasi yang terdapat dalam lingkungan sosial tertentu dan keterlibatan (belongingness) individu-individu dalam suatu tindakan sosial yang terorganisasi. Di sini organisasi dilihat sebagai “modal sosial” (social capital)3 karena dapat memperbesar kapasitas sosial untuk tindakan yang terorganisasi, memungkinkan individu untuk berinteraksi secara lebih teratur di antara mereka, dan memperkuat posisi individu sebagai subyek pembangunan. Organisasi memberikan struktur yang stabil untuk tindakan kolektif demi tujuan bersama. Dengan menciptakan spesialisasi peran, kewajiban dan hak timbal balik para anggota, sistem kewenangan dan tanggung jawab internal, promosi norma dan prilaku yang bermanfaat, dengan membatasi pola prilaku 3
Social Capital berbeda dari human capital.. Yang pertama menunjuk pada investasi dalam “keorganisasian” (organization-ness), yakni bagaimana individu mengorganisasikan diri dalam bentuk organisasi, asosiasi, jaringan atau bentuk interaksi lainnya yang terpolakan dan berfungsi untuk mengatur keterkaitan antar individu. Yang terakhir menunjuk pada investasi dalam pendidikan, pelatihan dan pembentukan ketrampilan guna meningkatkan kemampuan dan produktivitas individu-individu.
Januari 1999 yang merugikan, organisasi meningkatkan kemampuan sosial anggota-anggotanya (Cernea 1993). Kepadatan organisasi dapat diukur dengan melihat tingkat keanggotaan, jumlah organisasi yang ada, pola hubungan antar anggota, dan tingkat keterlibatan anggota dalam kegiatan bersama. Dalam rangka pemberdayaan masyarakat, pengorganisasian dan keterorganisasian masyarakat mesti dilihat sebagai faktor yang sangat penting sebab, seperti dikatakan Max Weber, organisasi (organization) merupakan salah satu sumber kekuatan (power source). 2. Cetakbiru vs Belajar Sosial Agenda pertumbuhan (ekonomi) menekankan konsep dan perencanaan yang tersentralisasi (center-to-field orientation). Metode yang digunakan adalah “cetakbiru” (blueprint) di mana kondisi sosial masyarakat tertentu harus disesuaikan dengan rambu-rambu perencanaan yang telah dibuat di atas (pemerintah). Menurut Friedmann (1981) cetakbiru digunakan untuk merancang masa depan yang dilaksanakan oleh suatu otoritas sentral menurut suatu program spesifik. Penyusunan cetakbiru sering kali merupakan hasil suatu pilot project di mana keberhasilan (atau kegagalan) pada proyek tertentu dianggap akan merupakan keberhasilan (atau kegagalan) pada proyek lain. Pendekatan ini tidak memperhitungkan keragaman sosial dan budaya masyarakat.4 4
Akar pendekatan cetakbiru adalah perspektif ilmu yang positivistik (positivisme), yang antara lain merupakan konsekuensi dari fisika Newton. Menurut perspektif ini hukum fisik berlaku di mana-mana pada segala tempat dan waktu. Diterapkan pada gejala sosial perspektif ini
PCD menolak cetakbiru karena bersifat deterministik dan simplistik. Sebaliknya dikembangkan konsep ”belajar sosial” (social learning). Kalau perencanaan cetakbiru berdasarkan asumsi bahwa realitas sosial sama dengan realitas fisik, maka konsep belajar sosial (BS) menaruh perhatian pada relativitas realitas sosial karena berakar dalam kultur dan tradisi suatu masyarakat, selalu berubah, serta tergantung pada komitmen individu yang membentuk masyarakat tersebut (Thomas 1982). Menurut Dunn (1971) BS didasarkan pada asumsi bahwa manusia sebagai individu dan kelompok mempunyai kemampuan yang unik untuk berfungsi sebagai organis-me yang mampu belajar (learning orga-nism), yaitu, untuk melakukan tindakan ter-tentu yang diarahkan untuk mengubah atau memprogram kembali tingkah laku tertentu. BS mempunyai karakteristik pokok sebagai berikut: mengutamakan partisipasi masyarakat lokal atau kelompok, itirative: artinya kesalahan dan kegagalan dianggap sebagai bahan untuk belajar guna memperbaiki diri (pembangunan merupakan suatu proses trial and error), pentingnya peran ahli ilmu sosial dalam pembangunan (penelitian tetap merupakan proses belajar sosial),5 dan pentingnya transformasi biromelihat bahwa hukum sosial tidak berbeda dari hukum fisik. Maka apa yang berlaku untuk suatu agregat sosial juga berlaku untuk agregat sosial yang lain. Positivisme ditentang oleh paradigma pengetahuan baru yang berkembang berdasarkan fisika quantum yang dikembangkan oleh Einstein dan kawan-kawan dari Lembaga Max Plank di Jerman. Paradigma pengetahuan baru menekankan relativitas fisik dan sosial (Lihat Bronowski 1973 dan Nanang 1995). 5 Dalam rangka ini dikembangkan metode penelitian yang disebut action research, yaitu 9
Jurnal Sosial-Politika 2 krasi (Korten 1981).
Pembangunan Pada Era Reformasi Paradigma dan pendekatan pembangunan yang oleh pemerintah orde baru dijalankan secara sangat sentralistik akan mendapat “tantangan” serius pada era reformasi (Orde Reformasi) yang diawali dengan mundurnya Soeharto dari kursi kepresidenan pada 21 Mei 1998. Dikatakan “tantangan” karena pada usia era reformasi yang masih sangat prematur ini, belum terlihat adanya perubahan dalam paradigma dan pendekatan pembangunan di tanah air ini.6 Jika gerakan reformasi yang berintikan gerakan demokratisasi berhasil, tidak dapat lain bahwa konsekuensinya adalah pengakuan dan pemberian hak real kepada rakyat untuk menentukan nasib sendiri (partisipasi yang sesungguhnya (true participation). Ini berarti bahwa pendekatan pembangunan juga harus berpusat pada rakyat (peoplecentered). Pemberdayaan rakyat dari berbagai aspek, termasuk aspek politis, harus menjadi agenda nyata dalam era reformasi. Jadi ada secercah harapan bahwa tidak ada lagi tekanan-tekanan (yang terlalu kuat) terhadap masyarakat kita yang kecil di penelitian yang mengintegrasikan kegiatan pengkajian dan tindakan secara bersama-sama sebagai suatu proses yang berulang-ulang (membentuk spiral). 6 Departemen Kehutanan sedang merumuskan reformasi pembangunan kehutanan. Konsepkonsepnya sedang dibahas oleh berbagai pihak (Departemen Kehutanan sendiri, universitas, LSM, GTZ, dll). Namun hingga kini belum dihasilkan suatu keputusan atau ketetapan politis yang mengikat segenap pihak yang berkepentingan (stakeholders) dengan bisang kehutanan ini.
10
pedalaman. Tidak ada lagi pemaksaan program HTI, transmigrasi, perkebunan karet dan sawit yang mencaplok secara sewenang-wenang lahan rakyat. Tidak ada lagi orang lokal yang terpaksa menjadi transmigran di kampungnya sendiri. Tidak ada lagi orang kota yang datang dan melaksanakan begitu saja program yang sudah dibuat dari atas dengan anggapan bahwa orang desa tidak mengerti apa-apa. Pendeknya, tidak ada lagi intimidasi terhadap rakyat dengan dalih pembangunan. Pada masa orde baru pemerintah memberi preferensi kepada pemilik modal dan kalau terjadi perbedaan kepentingan antara pemodal (yang didukung pemerintah dan ABRI) dengan rakyat jelata, maka yang dibela adalah pemodal tersebut. Perencanaan pembangunan bersifat sentralistik, memprioritaskan cetakbiru dan pilot project. Pemerintah dilihat sebagai aktor utama, sedangkan rakyat mempunyai peran marginal. Akibatnya proses pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan bersifat center-to-field oriented. Partisipasi masyarakat dilihat sebagai “ikut serta” atau “membantu” saja dalam program pemerintah; partisipasi seperti itu dengan tepat disebut mobilisasi. Pembangunan sebagai proses belajar sosial sama sekali tidak dikenal. Pengembangan dan penguatan organisasi dan institusi lokal memang dilakukan oleh pemerintah. Tetapi pendekatannya tetap saja top-down. Organisasi adat, misalnya, diganti dengan pemerintahan desa dan LKMD. Malah, adat diatur (katanya, dibina) dengan undang-undang dan peraturan menteri. Maka “pembinaan adat” merupakan suatu contradictio in terminis (kontradiksi dalam istilah), sebab pada prinsipnya adat tidak berkembang karena pengaturan
Januari 1999 dari luar (Nanang 1997). Adat, tradisi dan pengetahuan lokal memang penting dalam pendekatan belajar sosial. Akan tetapi saya tidak mendukung asumsi statis, sebab studi sosiologis-antropologis memperlihatkan bahwa suatu masyarakat selalu berubah (society is always changing), berkembang, atau bahkan mati. Jadi sambil membela kepentingan tradisi, perlu juga dipertimbangkan dinamika masyarakat tersebut. Dan dinamika tersebut dalam banyak kasus berkaitan erat dengan tekanan-tekanan (pressures) dari luar. Peluang apa yang dapat diambil oleh masyarakat dalam dinamika tersebut? Saya beranggapan bahwa masalah reformasi atau transformasi paradigma pembangunan adalah masalah rekonstruksi kebudayaan. Secara tradisional kebudayaan didefinisikan sebagai proses belajar atau hasil yang diperoleh dari suatu proses belajar tersebut. Tetapi kebudayaan juga merupakan fungsi dari suatu struktur masyarakat. Oleh karena dalam lingkup nasional struktur ditentukan sebagian besar oleh keputusan politik, maka reformasi politik tingkat nasional akan menentukan bagaimana kebudayaan nasional dan kebudayaan masyarakat partikular dipengaruhi juga. Menurut Keesing kebudayaan pada dasarnya bersifat ideologis (Culture is basically ideological), yang berarti cara berpikir, cara memandang realitas atau world view. Maka apakah dalam orde reformasi pembangunan akan menganut agenda pertumbuhan atau kerakyatan, akan tergantung pada keputusan politis tingkat nasional; sementara itu tingkat penerimaan terhadap agenda baru juga tergantung bagaimana persepsi masyarakat dibentuk oleh struktur
politik dan sosial yang berlaku. Sesungguhnya, perbedaan antara paradigma pertumbuhan dan paradigma kerakyatan tidak selalu harus dipertentangkan secara hitam-putih. Bagaimanapun rakyat memerlukan pertumbuhan ekonomi yang memadai. Menurut UNDP arah kebijakan ke depan ialah untuk makin mengintegrasikan pembangunan ekonomi dengan pembangunan manusia. Pengintegrasian tersebut meliputi pemerataan, kesempatan kerja, akses ke aset produktif, dana sosial, kesejajaran gender, kebijakan kependudukan berupa pendidikan, kesehatan, good governance, dan masyarakat madani yang aktif.7 Demokratisasi (sebagai bagian dari good governance) juga tidak selalu berarti mengeksklusikan sentralisasi. Dalam hal-hal tertentu keduanya saling melengkapi, sehingga harus dilihat sebagai suatu continuum. Tetapi masalah kita ialah bahwa kebijakan pemerintah orde baru telah menimbulkan persepsi yang salah mengenai partisipasi masyarakat dalam pembangunan dan menjauhkan masyarakat dan aparatus birokrasi dari pendekatan pembangunan yang demokratis.8 7
“For the policy-makers everywhere, the focus must be on strengthening the links between economic growth and human development.” UNDP 1996, hlm. 6. 8 Dalam suatu ujian sekripsi mahasiswa saya bertanya, “Apakah mungkin pembangunan suatu masyarakat berhasil tanpa melibatkan intervensi pemerintah?” Si mahasiswa yang diuji menjawab, “Tidak mungkin.” Jawaban ini bagi saya memperlihatkan betapa pengaruh sentralisasi sudah sedemikian parah sehingga calon sarjana pun memandang rendah potensi masyarakat. Adakah ini juga merupakan refleksi kelemahan dalam teori yang diperolehnya di bangku kuliah? 11
Jurnal Sosial-Politika 2 Dengan demikian tantangan kita adalah bagaimana mentransformasi agenda pembangunan? Bagaimana mereorientasi pandangan dan sikap birokrasi dan masyarakat umum? Bagaimana membuat pembangunan menjadi “agenda rakyat”?
Daftar Pustaka Bronowski, J, 1973. The Ascent of Man. Boston/Toronto: Little, Brown and Company. Cernea, Michael M, 1993. “Culture and Organization: The Social Sustainability of Induced Development.” Dalam Sustainable Development, 1/2: 18-29.
Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 1998 “Agenda Kegiatan Reformasi Kehutanan dan Perkebunan.” Jakarta, Mei. Dunn, Edgar S., Jr, 1971. Economic and Social Development: A Process of Social Learning. Baltimore: The John Hopkins University Press. Friedmann, John, 1981. “Planning as Social Learning.” Reprinted from Retracking America. Emmaus, Pa.: Rodale Press.
Kompas, Juni 1998.Korten, David C, 1993. “Growth for Whom? Rethinking Foreign Aid, Development, and the Meaning of Human Progress.” Dalam World Business Academy Perspectives, 7/3. _________, 1990 Getting to the 21st Century: Voluntary Action and the Global Agenda. West Hartford: Kumarian Press, Inc. (Reprinted by Bookmark Inc., Manila, 1990). _________, 1981 “Rural Development Programming: The Learning Process Approach.” Dalam Rural Development Participation Review. Ithaca, N.Y.:
12
Rural Development Committee, Cornel University. Nanang, Martinus, 1995. “The Paradigm of Knowledge and Sciences.” Department of Sociology and Anthropology, Ateneo de Manila University, December 1 (unpublished). _________, 1997. “Community Decisionmaking Process: A Study of the Impact of Power Structure on Community Participation in an East Kalimantan Village, Indonesia.” MA Thesis, Ateneo de Manila University. Owens, Edgar, 1987. The Future of Freedom in Developing World: Economic Development and Political Reform. New York: Pergamon Press. Redclift, Michael, 1993. “Sustainable Development: Concept, Contradictions, and Conflicts.” Dalam Food for the Future: Conditions and Contradictions of Sustainability. Edited by Patricia Allen. New York: John Willey and Sons, Inc. Thomas, Theodore, 1982. “Reorienting Bureaucratic Performance: A Social Learning Approach to Development Action.” Paper dalam World Conference of the Society for International Development. Baltimore, Maryland, Juli 18 (unpublished). Todaro, Michael P, 1994. Economic Development. New York: Longman Publishing. United Nation Development Programme, Human Development Report 1996. New York-Oxford: Oxford University Press. World Bank, 1991. World Development Report, 1991. New York: Oxford Uni-versity Press.
Copyright (c) 1999 Online Document Production Section Faculty of Social and Political Sciences, Mulawarman University Samarinda, East Kalimantan, Indonesia http://fisip.unmul.ac.id
13