PARADIGMA FIQH INDONESIA DALAM BINGKAI REFORMASI HUKUM ISLAM Rahmi Hidayati1 Abstract: Position of Indonesian fiqh in today’s national legal reform, festschrift in honor of T.M. Hasbi Ash Siddieqy, former lecturer of Sunan Kalijaga State Islamic Studies Institute, Yogyakarta. In general,there are two themes of Islamic law reformation in Indonesia: first, returning to the true message of Koran and Sunnah;second, Indonesiazing existing Islamic jurisprudence. The former is carried out by purifying Islamic rituals from non-Islamic elements, opening the gate of ijtihad, eliminating uncritical obedience to the school of law, allowing eclecticism through comparative study. The latter is conducted, among other things, by making customary law as a source of Islamic law in Indonesia. Keywords: Reformasi, Hukum Islam, Fiqh Indonesia.
Pendahuluan Berbicara tentang Fiqh Indonesia, yaitu fiqh yang ditentukan berdasarkan kepribadian dan karakter bangsa Indonesia, 2 tentunya merupakan keasyikan tersendiri bagi mereka yang berkepentingan. Pro dan kontra merupakan bagian yang tak terpisahkan, sekaligus sebagai bumbu penyedap. Pihak-pihak yang menolak biasanya berang1
Dosen Hukum Islam Fakultas Syariah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi. 2 Sudarnoto Abdul Hakim, Hasan Asari dan Yudian W. Asmin, (ed), Islam Berbagai Perspektif, Didedikasikan untuk 70 Tahun Prof H Munawir Sjadzali, MA, (Yogyakarta: Lembaga Penterjemah dan penulis Muslim Indonesia, 1995), hlm. 223-232.
AL-RISALAH
Jurnal Kajian Hukum Islam | Vol. 12, No. 1, Desember 2012
203
kat dari asumsi bahwa fiqh (bukan syari’ah) bersifat universal. Asumsi ini diwakili oleh Alie Yafie dan Ibrahim Hosen yang tegastegas menolak kehadiran Fiqh Indonesia. Dari kritik mereka, ternyata ada kesan bahwa mereka mengukur suatu konsep dengan anggapan mereka sendiri, bukan berdasarkan pada pengertian khusus yang dicetuskan oleh si pemilik ide. Kekeliruan ini mungkin diakibatkan oleh keengganan membaca secara teliti konsep Fiqh Indonesia yang dikemukakan oleh Hasbi Ash Shiddieqy. Sedangkan Hasbi sendiri belum sempat menyusun gagasannya secara sistematis sehingga menyebabkan orang lain salah dalam memahami gagasan besarnya.3 Sebaliknya, orang-orang yang mendukung Fiqh Indonesia seringkali mencerminkan sikap yang sama. Mereka mendukung sesuatu yang tidak mereka ketahui. Kenyataan ini dapat dilihat dalam buku Fiqh Indonesia dalam Tantangan yang menyebut Fiqh Indonesia sebagai gagasan Hasbi an sich, mereka tidak, apalagi mengetahui ruang lingkup dan metodologinya. Kesalahan ini dipertajam oleh Alyasa Abubakar yang tidak lagi membedakan antara teori Mazhab Nasional (Hazairin) dengan Fiqh Indonesia (Hasbi). Kekeliruan Alyasa ini sudah dimulai ketika ia menulis disertasinya yang kemudian diringkas menjadi salah satu makalah dalam buku Fiqh Indonesia dalam Tantangan di atas. Gagasan dan atau gerakan untuk mereformasi fiqh atau hukum Islam khas Indonesia, telah dirintis bersamaan dengan pembaharuan pemikiran Islam secara dialektis. Namun sejauh ini perhatian yang relatif menyeluruh dan berdiri sendiri terhadap kecenderungan pemikiran pembaharuan hukum kebanyakan masih didekati secara parsial. Sementara kajian terhadap pembaharuan pemikiran Islam telah dilakukan banyak sarjana baik Indonesia maupun luar Indonesia. Praktis, kajian tentang perjalanan dan perkembangan pemikiran Islam di Indonesia berkembang subur. Akhirnya gagasan mereformasi fiqh menjadi “Fiqh Indonesia” melalui Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 direalisasikan menjadi Kompilasi Hukum Islam (KHI). Sehingga KHI dipandang sebagai respon positif pemerintah terhadap kebutuhan dan keinginan umat Islam di negeri ini.4 3
Yudian Wahyudi, Ushul Fiqh versus Hermeneutika, (Yogyakarta: Nawesea Press, 2006), hlm. 29. 4 M. Atho Mudzhar, The Islamic Law in Indonesian, (Jakarta: Islamic
204
AL-RISALAH
Jurnal Kajian Hukum Islam | Vol. 12, No. 2, Desember 2012
Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah metode dekriptif analitis, maksudnya menggambarkan gagasan dan atau gerakan untuk mereformasi fiqh atau hukum Islam khas Indonesia. Adapun analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif, yakni suatu analisi yang tidak membutuhkan angka-angka.
Fiqh Indonesia dan Reformasi Hukum Islam “Fiqh” adalah istilah yang lazim sering kita dengar.5 Sebab fiqh sangat akrab dengan kehidupan kita sehari-hari karena meliputi: Ibadah ; muamalah; jinayah dan telah banyak menghasilkan kitab fiqh.6 Kitabkitab fiqih ini adalah hasil dari pemikiran seorang mujtahid di suatu kawasan yang merupakan respon mujtahid tersebut di daerah tersebut. Karenanya Kitab Fiqih bukanlah kitab undang-undang yang mesti di taati, ia hanya merupakan konspilasi pendapat ulama tertentu. Sebab “the earlier jurist used personal opinion (ra’yu) and, there fore, did not have a determined methodology for deviration of the law”.7 Jadi nilai kebenarannya sangat relatif dan temporer. Kecuali itu, tidak ada laporan yang menye butkan seorang ulama pun yang mengatakan bahwa pendapatnyalah yang paling benar dan harus diikuti. Fiqh Islam, sejak pertama kali lahir telah berinteraksi dengan realitas sekitar masyarakat di mana fiqh dirumuskan dan diterapkan, dan realitas ulama yang memikirkan dan merumuskan. Dalam sejarah perkembangannya, dikenal ada fiqh Irak, fiqh Madinah, fiqh Syam dan fiqh Maghrib. Ada fiqh ahl ra’yi dan fiqh ahli hadits. Ada fiqh Abu Hanifah (w. 150H), Fiqh Malik bin Anas (w. 179H), Fiqh Muhammad bin Idris asy-Syafi’i (w. 204H) dan ada fiqh Ahmad bin Hanbal (241H). Di Indonesia pun, sejak pertama Islam masuk di Indonesia, telah Universities Press, 2003), hlm. 5 Mengenai kajian istilah fiqh, Lihat buku Imran Ahsan Khan Nyazee, Theories Of Islamic Law: the methodology of ijtihad, (Islamabad: Islamic Reseach Institute Press, 1994), p. 20-26. 6 Mengenai kajian Kitab Klasik yang berlaku di Indonesia , baca MartinVan Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 12. 7 Imran Ahsan Khan Nyazee, Op. Cit, p. 275.
AL-RISALAH
Jurnal Kajian Hukum Islam | Vol. 12, No. 1, Desember 2012
205
dikenalkan berbagai aliran pemikiran fiqh yang lahir dan berkembang di Indonesia. Ada pemikiran Syekh Abdurrauf Singkel (1643-1693M), Syekh Arsyad al-Banjari, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabau, Syekh Nawawi Banten (1230H/1813M-1314H/1897M), KH. Hasyim Asy’ari (1871-1947M), KH. Ahmad Dahlan dan banyak lagi yang lain. Di antara pemikir hukum kontemporer yang tercatat memberi andil besar pada madzhab fiqh Indonesia, adalah M.T. Hasbi ash-Shiddiqi (1905-1975), Hazairin (1906-1975), Ibrahim Hosein, Munawir Syadzali (1925-...), KH. Sahal Mahfudz (1937-...) dan KH. Ali Yafie (1923-...), Masdar F. Mas’udi (1954-...). Pada zaman setelah Ulama pengarang kitab wafat, para muridnya mensyarah kitabkitab guru mereka untuk dijadikan referensi utama. Pada gilirannya, kitab-kitab “syarah” ini dijadikan sebagai kitab ‘mutlak” bagi suatu kerajaan.8 Pada masa inilah mulai terjadi kemandegan pemikiran fiqh, dimana Fiqh menjadi bahan pesanan penguasa. Dan hanya Fiqh yang di restui penguasalah yang boleh berlaku di kerajaan tersebut. Dengan demikian, Ulama fiqh dalam menjawab persoalan umat yang diajukan kepada mereka harus sesuai dengan konteks masyarakat di daerah tersebut. Dalam konteks Indonesia, MUI adalah satu institusi yang memberikan fatwa hukum islam. Fatwa-Fatwa MUI ini merupakan respon terhadap pertanyaan dari para peminta fatwa.9 Pertanyaan yang akan di kemukakan selanjutnya adalah hukum islam yang bagaimana yang mesti di berlakukan di Indonesia yang sesuai dengan konteks Indonesia? Menjawab pertanyaan di atas, tampaknya harus ada pendifinisian mengenai hukum Islam yang sesuai dengan konteks Indonesia. Ada dua tokoh yang mencoba merumuskan bagaimana hukum islam dalam konteks keindonesiaan dan bersih dari kebudayaan arab, yaitu: Pertama, Hasbi Ash-shiddiqiey yang memperkenalkan “fiqh Indonesia”. Ia mendifinisikan “Fiqh Indonesia” sebagai fiqh yang di aplikasikan sejalan dengan karakter Indonesia.10 Menurut beliau, untuk menuju fiqh islam 8
Nurchalis Madjid, Tradisi Syarah dan Hasyiyah Dalam Fiqh dan Masalah Stagnasi Pemikiran Hukum Islam, (Jakarta: paramadina, 1995), hlm. 311-317. 9 M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi, (Yogyakarta: Titian Illahi Press, 1998), hlm. 28.
206
AL-RISALAH
Jurnal Kajian Hukum Islam | Vol. 12, No. 2, Desember 2012
yang berwawasan keindonesiaan, ada tiga bentuk ijtihad yang perlu di galakkan: (1) Ijtihad dengan mengklasifikasikan hukum-hukum produk ulama mazhab masa lalu. Ini di maksudkan agar dapat di pilih pendapat yang masih cocok untuk di terapkan dalam msyarakat kita:(2) Ijtihad dengan mengklasifikasikan hukum-hukum yang semata-mata di dasarkan pada adat dan kebiasaan dan suasana masyarakat di mana hukum itu berkembang;(3) ijtihad dengan mencari hukum-hukum terhadap masalah kontemporer yang timbul sebagai akibat kemajuan teknologi. Dengan demikian, ide” Fiqh Indonesia” yang di lontarkan oleh hasbi Ash-Shiddieqy adalah mencoba menelurkan hukum islam yang sesuai dengan adat dan perubahan yang berkembang di Indonesia. Pikiran di atas kemudian diterjemahkan oleh Yudian W. Asmin dengan menyebutkan bahwa ada dua tema besar reformasi Hukum Islam di Indonesia, yaitu: (1) kembali ke al-Qur’an; dan (2) keindonesiaan. Langkah pertama, tegas yudian di tandai dengan langkah-langkah yang bertujuan untuk membersihkan Praktik-praktik umat islam dari pengaruh non-islam:membuka ijtihad yang selama ini di anggap telah tertutup; mengganyang taqlid; memperbolehkan talfiq dengan cara memeperkenalkan studi perbandingan mazhab. Tema kedua, lanjut Yudian ada dua tema besar lagi, yaitu: cita untuk membangun hukum Islam yang berciri khas Indonesia dengan membebaskan budaya Indonesia dari Budaya arab dan menjadikan adat Indonesia sebagai salah satu sumber hukum Islam di Indonesia; keindonesiaan berorientasi konstitusiaonal yang di motori oleh sarjana umum yang menguasai system hukum Indonesia, akan tetapi kurang mendalami prinsip-prinsip “kembali pada Al-Qur’an dan sunnah”.11 Kedua, Hazairin Gelar Pangeran Alamsyah yang memperkenalkan ”Mazhab Nasional Indonesia”. Mazhab ini di bangun semata-mata lewat upaya pembaharuan terhadap mazhab Syafi’i sesuai dengan kondisi lokal masyarakat Indonesia.12 hasil pemikirannya dapat kita 10
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Syariah Islam Menjawab Tantangan Zaman, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), hlm. 36. 11 Yudian Wahyudi, Op. Cit, hlm. 44. 12 Abdul Halim, “Hazairin dan Pemikirannya Tentang Pembaharuan Hukum Kekeluargaan Dalam Islam”, Jurnal Penelitian Agama, No.18 Th.VII, Januari-April (1998), hlm. 5-7.
AL-RISALAH
Jurnal Kajian Hukum Islam | Vol. 12, No. 1, Desember 2012
207
lihat dalam UU No.7/ 1989 tentang Peradilan Agama dan disepakati nya kompilasi Hukum Islam. Setidaknya ada tiga hal relevansi pemikirannya dalam UU No. 7/ 1989, yaitu (1) Membuat wewenang pengadilan agama seragam di seluruh indonesia;(2) mensejajarkan seluruh pengadilan agama dalam satu system kesatuan yang semuanya mempunyai wewenang sama atas perkara perkawinan, kewarisan, dan wakaf; dan (3) menghapus perlunya pengukuhan pengadilan negeri atas keputusan yang dihasilkan pengadilan agama.13 Demikianlah pemikiran Hasbi ash-Shididieqy dan hazairin, dan kedua tokoh ini telah meletakkan dasardasar bahwa di perlukannya hukum Islam yang berkepribadian Indonesia dengan membuka kembali pintu Ijtihad.
Dinamika Fiqh Indonesia Dalam Bingkai Reformasi Hukum Islam Secara singkat, term Fiqh Indonesia itu dimaksudkan dengan fiqh yang sejalan dengan karakter Indonesia. 14 Dalam kerangka inilah, gagasan pembaharuan Hasbie menemukan titik relevansinya dengan situasi dan kondisi ummat Islam Indonesia. Gagasannya yang monumental adalah tentang fiqh Indonesia, yaitu suatu konstruksi fiqh yang sejalan dengan karakter masyarakat Indonesia.15 Hanya dengan mencari adaptabilitas dengan situasi yang berkembang, fiqh akan sejalan dengan kondisi Indonesia modern.16 Konsep fiqh ini mestinya telah dipromosikan oleh Hasbi AshShiddiqie sejak awal tahun 1940. Namun pada saat itu, konsep ini kurang mendapatkan respon dari para pemikir lain karena formulasi idenya yang mungkin masih lemah.17 Menurut RHA Sunaryo, sebagaimana dikutip oleh Nourouzzaman Shiddiqy, tulisan-tulisan Hasbie telah menimbulkan pemikiran-pemikir13
Ibid. M. Hasbi Ash-Shiddiqy, Op. Cit, hlm. 42-43. 15 Ibid. 16 B. J. Boland, Pergumulan Islam di Indonesia 1945-1970, (Jakarta: Grafitis Pres, 1985), hlm. 172. 17 Yudian Wahyudi, Hasbi’s Theory of Ijtihad in the Context of Indonesia Fiqh, (Montreal: McGill University, 1993), hlm. 1. 14
208
AL-RISALAH
Jurnal Kajian Hukum Islam | Vol. 12, No. 2, Desember 2012
an yang menghidupkan dan mengembangkan daya ijtihad, menghormati buah pikiran ulama terdahulu, memegang prinsip salaf shalih dan menampakkan keagungan syari’ah Islam. Lebih dari seratus buku dan sejumlah artikel yang beredar ke seluruh pelosok tanah air, bahkan sampai ke kawasan Asia Tenggara yang berbahasa Melayu, telah menjadi perangsang utama bagi gairah masyarakat untuk mempelajari Islam dari penulis muslim sendiri dari bahasa Indonesia. Yang tidak kalah pentingnya adalah Hasbie telah mengangkat fiqh Indonesia sehingga tidak ada lagi anggapan bahwa menggali fiqh sama dengan menggali jasad yang telah lama dikubur. Rintisan yang telah dilakukan Hasbie yang menekankan kepada kemashlahatan ummat, telah menggugah masyarakat akan arti penting fiqh dalam pembinaan Hukum Nasional sebagai salah satu unsur pembangunan bangsa. Hasbie adalah orang pertama yang mencetuskan gagasan mengenai perlunya dibentuk fiqh yang berkepribadian Indonesia. Dengan begitu ia telah membangkitkan semangat intelektualisme dalam memahami Islam di kalangan pemuda Indonesia, yang menjadi modal pula dalam mendidik kader bangsa serta menumbuhkan tunas perjuangan dalam rangka ikut serta mengantarkan bangsa Indonesia ke gerbang kemerdekaan. Dengan mengacu kepada pendekatan yang mempertimbangkan dimensi sosio-kultural yang diimplementasikan dalam gagasan fiqh Indonesia, hal ini mengindikasikan mengenai karakter fiqh yang tidak stagnan. Ada dua hal yang memungkinkan hukum ditetapkan berdasarkan situasi dan kondisi masyarakat setempat. Pertama, kaidah yang berlaku bagi fiqh muamalah bahwa hukum asal bagi semua perbuatan itu diperbolehkan, kecuali ada hukum yang melarangnya. Kedua, hadits yang berbunyi: ”Kamu lebih tahu urusan dunia kamu”. Hadits ini adalah sebuah pernyataan Nabi yang menunjukkan bahwa banyak hal yang masih akan terjadi sepeninggalnya, atau juga ada hal-hal yang terjadi yang pemecahan atau fatwanya memerlukan pengetahuan khusus. Semua hal yang akan terjadi harus ditampung dan ditempatkan di dalam kerangka hukum. Nalar berfikir yang digunakan Hasbi dengan gagasan fiqh Indonesia adalah satu keyakinan bahwa prinsip-prinsip hukum Islam sebenarnya memberikan ruang gerak yang lebar bagi pengembangan dan
AL-RISALAH
Jurnal Kajian Hukum Islam | Vol. 12, No. 1, Desember 2012
209
iijtihad-iijtihad baru. Dasar-dasar hukum Islam yang selama ini telah mapan dan mantap, seperti ijma’, qiyas, mashlahah mursalah, ‘urf, dan prinsip “perubahan hukum karena perubahan masa dan tempat”, justru akan menuai ketidaksesuaian ketika tidak ada lagi ijtihad baru. Dengan berpegang kepada paradigma itu, dalam konteks pembangunan semesta sekarang ini, gerakan penutupan pintu ijtihad (insidad bab al-ijtihad) merupakan isu usang yang harus segera ditinggalkan.18 Di samping itu Hazairin mengusulkan untuk menciptakan mazhab baru dalam hukum Islam yang difokuskan untuk memenuhi kebutuhan particular dari masyarakat Indonesia. Usulan itu didasarkan pada keyakinan bahwa pintu ijtihad itu senantiasa terbuka. Realisasi dari usulan itu, Hazairin mengajak untuk membangun suatu mazhab nasional Indonesia pada tahun 1951.19 Kedua usulan itu berorientasi pada kepastian hukum yang sama untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat Indonesia. Perbedaan antara keduanya disamping terletak pada namanya juga terletak pada sumber yang dijadikan acuan. Menurut Hazairin, mazhab Indonesia harus dibangun semata-mata melalui upaya pembaharuan terhadap mazhab Syafi’i sesuai dengan kondisi lokal masyarakat. Karena mazhab Syafi’i-lah yang diikuti oleh mayoritas masyarakat Indonesia. Adapun Hasbi lebih cenderung untuk menggunakan semua mazhab sebagai bahan dasar penyusunan fiqh Indonesia. Menurutnya, masalah hukum yang berkaitan langsung dengan problema yang secara spesifik bagi masyarakat Indonesia tidak seharusnya hanya dibatasi dengan mazhab Syafi’i. Permasalahan hukum itu harus dikembangkan sesuai dengan nilai-nilai lokal. Lebih lanjut, Hasbi menyatakan, fiqh yang dikembangkan di Indonesia selama ini mengesampingkan karakteristik yang khusus dari masyarakatnya. Sehingga aplikasi fiqh asing ke dalam komunitas lokal di Indonesia merupakan cara taqlid (meniru secara membabi buta). Reformasi tentunya memiliki makna luas, tetapi jika dikaitkan 18
M. Hasbi Ash-Shiddiqy, Syari’at Islam Menjawab Tantangan Zaman, Loc.
Cit. 19
Hazairin, Tujuh Perangkat Tentang Hukum, (Jakarta: Tintamas, 1974), hlm. 115; lihat juga Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional, (Jakarta: Tintamas, 1982), hlm. 5-6.
210
AL-RISALAH
Jurnal Kajian Hukum Islam | Vol. 12, No. 2, Desember 2012
dengan perkembangan hukum Islam di Indonesia maka konotasinya lebih bersifat meluruskan pemahaman umat Islam. Di samping itu, reformasi juga bermakna upaya mengadaptasikan hukum Islam ke dalam perubahan sosial yang oleh para pakar disebut modernisasi hukum Islam. Secara garis besar ada dua tema reformasi hukum Islam di Indonesia yaitu pertama, kembali kepada al Qur’an dan Sunnah, dan kedua keindonesiaan. Tema pertama ditandai dengan langkah-langkah yang bertujuan membersihkan praktik-praktik umat Islam dari pengaruh nonIslam; membuka pintu ijtihad yang selama ini tertutup, mengganyang taklid; memperbolehkan talfik dengan cara memperkenalkan studi perbandingan mazhab. Reformasi “Kembali kepada al Qur’an dan Sunnah” ini dimotori oleh ulama yang kurang menguasai sistim hukum Indonesia seperti A. Hassan, Moenawar Chalil, dan T. M. Hasbi AshShiddieqy. Tema kedua adalah keindonesiaan, yang pada dasarnya merupakan kelanjutan dari tema “Kembali kepada al Qur’an dan Sunnah”. Ada dua kecenderungan utama tema keindonesiaan, yaitu cita-cita untuk membangun hukum Islam yang berciri khas Indonesia dengan cara membebaskan budaya Indonesia dari budaya Arab dan menjadikan adat Indonesia sebagai salah satu sumber hukum Islam di Indonesia. Kecenderungan pertama ini ditandai dengan lahirnya konsep Fiqh Indonesia (Hasbi, 1940), Mazhab Nasional (Hazairin, 1950-an). Kecenderungan yang kedua adalah keindonesiaan yang berorientasi konstitusional. Ini dimotori oleh tokoh-tokoh umum yang menguasai sistem hukum Indonesia, tetapi kurang mendalami prinsip-prinsip “Kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah”. Pemikiran tentang perlunya pembaharuan hukum Islam dilakukan Prof. Hasbi Ash-Shiddiqy dan Prof Hazairin.20 Kedua tokoh ini melakukan pendekatan yang berbeda, jika Hasby mengacu dan ingin menghidupkan kembali kepada kemampuan metodologi hukum Islam yang dirintis para Ulama terdahulu. Maka Hazairin cenderung menginginkan konstitusionalisasi hukum Islam melalui kodifikasi dan unifikasi. Ia mengacu kepada semangat Piagam 20
B. J. Boland, Pergumulan Islam di Indonesia 1945-1970, Loc. Cit.
AL-RISALAH
Jurnal Kajian Hukum Islam | Vol. 12, No. 1, Desember 2012
211
Jakarta dengan melakukan interpretasi baru terhadap teks-teks ayat al Qur’an dan al Sunnah. Ini dapat dilihat misalnya dalam bukunya Hukum Kewarisan Billateral menurut Qur’an dan Hadis yang memberikan gambaran dari semangat dan pendekatan yang dilakukannya. Gagasan-gagasan yang dikembangkan mereka, yang pada awalnya kurang mendapat respon dan apresiasi yang memadai, setelah melalui perjuangan panjang dan ditindaklanjuti oleh para sarjana dan ulama sesudahnya, akhirnya membuahkan hasil.
Realisasi Pembaharuan Hukum Islam Apabila diperhatikan, tema besar dari wacana pembaharuan pemikiran hukum Islam adalah berangkat dari term ijtihad, suatu istilah yang inheren dengan watak hukum Islam itu sendiri. Sayangnya, sejarah telah terlanjur mencatat bahwa gerakan ijtihad—atau tajdid— ini mengalami pemasungan dalam waktu yang relatif lama. Implikasinya adalah munculnya kemandegan dan stagnasi intelektualisme Islam dalam bidang hukum. Reformasi secara istilah disamakan dengan modernisasi, reaktualisasi, rekonstruksi, tarjih, islah dan tajdid. Didalam kamus bahasa Inggris yang disusun oleh John M. Echols dan Hasan Syadili “reformation” mempunyai arti membentuk atau menyusun kembali.21 Konsep reformasi yang dimaksud di dalam tulisan ini adalah lebih cenderung diserupakan dengan konsep tajdid (pembaruan) yang mempunyai dua makna: pertama, pembaruan yang berarti mengembalikan segala sesuatu kepada aslinya. Kedua, pembaruan yang berarti modernisasi yaitu apabila tajdid itu sasarannya mengenai hal-hal yang tidak mempunyai sandaran, dasar, landasan dan sumber berubahberubah, seperti metode, siste, teknik, strategi dan lainnya untuk disesuaikan dengan situasi dan kondisi, ruang dan waktu. Masalah-masalah hukum yang perlu direformasi (diperbarui) adalah hal-hal sebagai berikut. Pertama, Manhaj Ilahi, baik tentang akidah, syari’ah atau akhlak untuk mengatur hubungan manusia dengan dengan tuhannya (hablun min Allah) dan hubungan antar sesama manu21
John M. Echols dan Hasan Syadili, Kamus Bahasa Inggris, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), hlm. 145
212
AL-RISALAH
Jurnal Kajian Hukum Islam | Vol. 12, No. 2, Desember 2012
sia. Kedua, Fikrah (pemikiran) dan Syakhiyah yang terus maju. Iman dan Islamnya yang telah usang menjadi baru kembali sesuai dengan perkembangan zaman. Oleh karena itu dalam melakukan pembaharuan hukum Islam hendaklah menjauhi hal-hal yang qath’i karena objek yang dapat diperbarui adalah hal-hal yang menyangkut dhanny saja. Dengan menjauhi dari sifat jumud yang mendukung status Qou yang ingin bertahan dengan fatwa-fatwa terdahulu, padahal hukum-hukum tersebut tidak relevan lagi dengan kebutuhan masyarakat kini. Menurut Yusuf Qardhawi yang dimaksud dengan Tajdid adalah berupaya mengembalikannya pada keadaan semula sehingga ia tampil seakan barang baru. Hal itu dengan cara memperkokoh yang lemah, memperbaiki yang usang dan menambal kegiatan yang retak sehingga kembali mendekat pada bentuknya yang pertama, sehingga tajdidu din bukan berarti bermakna mengubah agama tetapi mengembalikannya menjadi seperti era Rasulullah SAW, para sahabat, dan tabiin. Dari beberapa pengertian tentang pembaruan (tajdid) tersebut, pembaruan hukum Islam dapat diartikan sebagai upaya dan perbuatan melalui proses tertentu dengan penuh kesungguhan yang dilakukan oleh mereka yang mempunyai kompetensi dan otoritas dalam pengembangan hukum Islam (Mujtahid) dengan cara-cara yang telah ditentukan berdasarkan kaidah-kaidah istinbath hukum yang dibenarkan sehingga menjadikan hukum islam lebih segar dan modern, tidak ketinggalan zaman. Inilah yang didalam istilah Ushul fiqh dikenal dengan “Ijtihad”. Sebab-sebab pentingnya pembaruan hukum Islam di Indonesia dilandasi dari beberapa faktor berikut: Pertama, Untuk mengisi kekosongan hukum karena norma-norma didalam kitab fiqh klasik tidak begitu jelas mengaturnya, sedangkan kebutuhan masyarakat terhadap hukum dan masalah yang terjadi sangat mendesak untuk diterapkan. Kedua, pengaruh Globalisasi ekonomi dan iptek yang terus mengalami kemajuan sehingga perlu adanya hukum yang mengaturnya. Ketiga, pengaruh reformasi dalam berbagai bidang yang memberikan peluang kepada hukum Islam untuk dijadikan sebagai referensi Hukum dalam membuat hukum nasional. Keempat, pengaruh para pambaru pemikiran hukum Islam baik nasional maupun internasional, terutama yang menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan ilmu dan teknologi. Didalam prakteknya pembaruan Hukum Islam di Indonesia sudah
AL-RISALAH
Jurnal Kajian Hukum Islam | Vol. 12, No. 1, Desember 2012
213
mulai berkembang sejak jaman kemerdekaan yaitu pada tahun 1945 dan kemudian sampai sekarang sudah cukup banyak produk reformasi hukum Islam tersebut diantaranya yang berperan penting dalam reformasi tersebut adalah ormas-ormas Islam dan yang paling penting adalah bahwa Pengadian Agama selaku lembaga penegak hukum menjadi lebih luas kewenangannya untuk melakukan reformasi hukum Islam yaitu dengan adanya UU Nomor 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman. Dan juga adanya Undang-Undang nomor 35 tahun 2000 tentang Propernas yang menyebutkan bahwa untuk membentuk hukum Nasional salah satu bahan bakunya adalah hukum Agama. Menurut Wael b hallaq, isu tentang terbuka atau tertutupnya pintu ijtihad sesungguhnya masih kontroversial. Ia mengemukakan bahwa informasi awal yang secara langsung berkaitan dengan kontroversi kelangsungan ijtihad muncul sekitar tahun 500 H. Bentuknya, silang pendapat antar seorang ahli hukum dari madzhab Hanbali, bernama Ibn ‘Aqil (w.513 H/1119 M) dan seorang sarjana dari madzhab Hanafi yang tidak diketahui namanya.22 Hallaq berkesimpulan bahwa isu tertutupnya pintu ijtihad lebih banyak pada bidang teologi ketimbang hukum, karena itu, pintu ijtihad tidak bisa ditutup. Tumbuh suburnya karya-karya syarah (komentar), hasyiyah (komentar atas komentar), mukhtasar (ringkasan), mukhtasar jiddan (ringkasan dari ringkasan) dan lain-lain, menunjukkan indikasi terjadinya penghargaan intelektual kepada karya seseorang secara missal. Implikasinya, kreatifitas pribadi kurang mendapatkan porsi yang prop Prof. KH Ibrahim Hosen misalnya, memiliki empat langkah dalam melakukan pembaharuan hukum Islam di Indonesia, sebagai berikut: 1. Menggalakkan lembaga ijtihad. Dalam hal ini Ibrahim Hosen tidak hanya berbicara akan tetapi langsung melakukan dan mempraktekkannya, sebagaimana akan terlihat dari pandangan-pandangan dan pendapatnya dibidang hukum Islam yang cukup maju. 2. Mendudukkan fiqh pada proporsi yang sebenarnya. Berdasarkan teori ushul al fiqh, Ibrahim Hosen mengklasifikasikan hukum Islam 22
Wael B. Hallaq, “Was the Gate of Ijtihad Closed?”, International Journal of Middle Eastern Studies, 16, 1, 1984. Baca juga “Kontroversi Seputar terbuka dan Tertutupnya Pintu Ijtihad”, al Hikmah, Jurnal Studi-studi Islam, no.7, 1413H/1992, hlm. 43.
214
AL-RISALAH
Jurnal Kajian Hukum Islam | Vol. 12, No. 2, Desember 2012
menjadi dua, yaitu hukum Islam kategori syari’ah, dan hukum Islam kategori fiqh. Syari’ah adalah hukum Islam yang telah dijeaskan secara tegas oleh nash al Qur’an atau Sunnah yang tidak mengandung penafsiran dan pentakwilan. Fiqh ialah hukum Islam yang tidak atau belum ditegaskan oleh nash al Qur’an atau Sunnah di mana hal itu baru diketahui setelah digali lewat ijtihad oleh mujtahid. Dari segi status dan penerapan antara syari’ah dan fiqh tidak sama. Syari’ah statusnya qath’iy dan kondisi serta situasi harus tunduk kepadanya, sedangkan fiqh statusnya dzanny dan penerapannya harus mengikuti kondisi dan situasi. 3. Mengembangkan pendapat bahwa orang awam tidak wajib terikat dengan mazhab manapun sejalan dengan kaidah al-‘ammah la mazhab lah (orang awam tidak ada mazhab baginya). Dengan demikian boleh saja seseorang berpindah mazhab, apalagi kalau ternyata mazhab yang baru (yang sekarang diikuti) itu lebih kuat dalilnya, lebih luas wawasannya dan lebih membawa kepada kemashlahatan. 4. Mengembangkan rasa dan sifat tasamuh (toleran) dalam bermazhab atau mengikuti pendapat salah seorang imam mujtahid dengan mengajak umat untuk mau mengikuti pandangan yang lebih sesuai dengan tuntutan kemajuan zaman.23 Kutipan di atas menunjukkan bahwa kecenderungan Ibrahim Hosen dalam melakukan pembaharuan hukum Islam lebih mengedepankan metode seleksi (takhayyur) atau dalam istilah yang sering digunakan oleh kalangan Ulama NU, adalah talfiq. Talfiq secara bahasa artinya melipat dua sisi sesuatu menjadi satu. Dalam pengertian istilah, menurut KH Sahal talfiq adalah menyatukan dua pendapat dari dua mazhab yang berbeda ke dalam problema hukum tertentu, sehingga menjadi satu komponen hukum yang tidak menjadi pendapat dua mazhab tersebut. Sementara pemikiran pembaharu hukum Islam lainnya, lebih melihat konsepsi metodologi yang dikembangkan oleh Ulama terdahulu, baik kaidah-kaidah kebahasaan (al qawa’id al usuliyah al lughawiyah) maupun kaidah-kaidah legislasi hukum Islam (al qawa’id al ushuliyah al tasyri’iyah).24 23
Panitia Penyusunan Biografi, Prof. KH Ibrahim Hosen dan Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Putra Harapan, 1990), hlm. 103-104. 24 Ali Yafie, Menggagas Fiqh Sosial, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 112-122.
AL-RISALAH
Jurnal Kajian Hukum Islam | Vol. 12, No. 1, Desember 2012
215
Sementara Hasbi sendiri dalam usahanya merekonstruksi fiqh Indonesia, muslim Indonesia harus menempatkan fiqh Islam sebagai warisan ulama pada posisi yang tepat. Jangan sampai terjadi percampuradukan antara wahyu dengan peraturan yang dihasilkan lewat proses ijtihad. Salah satu hal yang harus dipertimbangkan juga dalam membangun fiqh Indonesia adalah dengan memperhatikan sejarah pembentukan hukum Islam (tarikh al-tasyri’).25 Sejarah hukum Islam menunjukkan bahwa kemunculan madzhab hukum yang independen pada hampir setiap kota kesultanan Arab sejak masa awal sejarah Islam, termasuk Imam Hanafi di Kufah, Imam Malik di Madinah, Imam Syafi’i di Baghdad (madzhab al Qadim) dan di Mesir (mazhab al-jadid), dan Imam Hanbali di Baghdad. Perbedaan tempat kelahiran madzhab-madzhab tersebut dipengaruhi oleh adat yang berbeda, dan secara otomatis, menghasilkan pendapat hukum yang berbeda pula. Perbedaan ini tidak hanya karena spirit para mujtahid tersebut, tetapi juga perbedaan sejarah dan geografi hukum Islam.26 Dengan mempertimbangkan kepada fakta sejarah tersebut, keberadaan fiqh Indonesia dinilai Hasbie sebagai sah adanya. Dalam kerangka untuk memfungsikan fiqh sebagaimana mestinya, ada 4 langkah yang dapat diambil yaitu: 1. Menyusun kembali kitab-kitab fiqh lama dalam bentuk dan sistematika yang sesuai dengan kemajuan dan tuntutan masa kini. Jika ini dapat dilakukan, masyarakat dapat dengan mudah untuk mengambil manfaatnya. 2. Menyusun kitab fiqh al-hadits yang menjadi pedoman bagi pengkaji atau pencari hukum Islam. Kitab ini harus lengkap memuat babbab fiqh dalam segala bidangnya secara ringkas. Ulama-ulama dahulu pada abad 3-4 H/9-10 M, telah menyusun kitab sejenis ini. Akan tetapi kitab-kitab peninggalan mereka sudah tidak cocok lagi dengan tingkat kecerdasan, pengalaman dan kebutuhan masyarakat masa kini. Kitab fiqh al hadits harus dikosongkan dari masalah kira-kira, seperti yang terdapat dalam kitab fiqh taqdiri 25
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), hlm. 31. 26 M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 95.
216
AL-RISALAH
Jurnal Kajian Hukum Islam | Vol. 12, No. 2, Desember 2012
fiqh pengandaian. Membahas peristiwa-peristiwa hukum yang timbul pada masa kini yang erat hubungannya dengan kehidupan dan gerak masyarakat. 4. Melakukan kajian perbandingan antara fiqh dan hukum positif.27 Dalam usaha ini, merupakan hal bijak jika kita mengambil pengalaman dari negara lain, terutama dalam aspek syari’ah yang sejalan dengan spirit dan tujuan legislasi Islam. Dari negara lain, kita dapat mengambil banyak pelajaran mengenai aspek apa saja yang dapat memberikan manfaat bagi kehidupan keagamaan kita. Hasbie adalah penentu fiqh Indonesia yang sangat fleksibel. Hal ini didukung oleh perbandingan yang sistematis antara fiqh dan hukum adat Indonesia, antara fiqh dengan sistem legal Indonesia, dan antara fiqh dengan sistem hukum Internasional. Hasbie menganjurkan kepada para ahli hukum indonesia untuk menggunakan metode deduksirasional. Dengan ijtihad bi al-ra’yi, dapat menderivasi peraturan pada kasus-kasus yang tidak diwahyukan secara umum dalam teks. Peraturan ini dapat dilakukan dengan ijtihad kolektif (al-ijtihad al-jama’i), atau konsensus yang didasarkan al Qur’an, sunnah atau ra’y, ijtihad kolektif diyakini Hasbie lebih memungkinkan untuk menghasilkan hukum. Kumpulan para ahli hukum memperkaya pilihan-pilihan pendapat yang ada untuk kemudian dirumuskan sebagai peraturan. Ini akan berbeda dengan upaya yang dilakukan secara individual. Dengan gagasan pembaharuan yang menekankan kepada prinsip kemaslahatan ummat, telah memposisikan Hasbie sebagai sosok yang memegang peranan penting dalam konstelasi pembaharuan hukum Islam.28 Menurut Muhammad Azhar, trend pembaharuan hukum Islam di Indonesia dengan salah satu tokohnya adalah Hasbie menunjukkan trend neomodernisme. Beberapa karakteristik yang menunjukkan kepada corak neomodernisme adalah: 3.
27
Nouruzzaman Shiddiqi, Fiqh Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 1996), hlm. 229. 28 Munawir Sjadzali, “Landasan Pemikiran Politik Hukum Islam dalam Rangka Menentukan Peradilan Agama di Indonesia”, dalam Tjun Surjaman (ed), Hukum Islam di Indonesia, Pemikiran dan Praktek, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991), hlm. 45
AL-RISALAH
Jurnal Kajian Hukum Islam | Vol. 12, No. 1, Desember 2012
217
1.
Mempertimbangkan seluruh tradisi Islam, baik yang bersifat tradisional maupun modern. 2. Dialektika antara Islam normatif dan historis, atau Islam konseptual dan Islam aktual. 3. Digunakan metodologi ilmiah dalam upaya reformulasi hukum Islam, berdasarkan kepada khazanah intelektualisme Islam klasik dan akar-akar spritualisme Islam. 4. Penafsiran al Qur’an dan Sunnah secara historis sosiologis dan kronologis. 5. Ada pembedaan antara yang ideal moral dengan legal spesifik, dengan mengedepankan ideal moral. 6. Upaya mensistematisasi metode penafsiran modernisme klasik. 7. Memasukkan masalah kekinian ke dalam pertimbangan reinterpretasi al Qur’an.29 Secara legal formal pembaruan Hukum Islam Indonesia ditandai dengan adanya peranan Pengadilan Agama dalam pemberlakuan UU nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan PP tahun 1975 yang kemudian dilanjutkan dengan beberapa peraturan perundang-undangan yang lainnya yang substansinya mencoba menggeser nilai-nilai fiqh klasik kepada nilai-nilai baru. Pihak lain yang dituntut berperan dalam pembaruan Hukum Islam adalah mereka para Hakim Pengadilan Agama, Para Hakim ini dibebani tugas untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai Hukum Islam yang berkembang di masyarakat, dengan ijtihad mereka menemukan hukum baru terhadap suatu peristiwa yaitu menggunakan metode Qiyas, Istihsan, Sadz dzari’ah,‘Urf, danMaslahah. Masyarakat Moslem dapat menerima pembaruan hukum Islam, baik dalam peraturan perundang-undangan maupun melalui putusanputusan Pengadilan Agama. Penerimaan ini didasarkan kepada suatu kenyataan bahwa Hukum Islam memang sesuai dengan cita hukum dan rasa keadilan yang selama ini sangat diidamkan oleh masyarakat. Putusan Pengadian agama sangat diperlukan saat ini dalam rangka membentuk kaidah hukum baru yang sesuai dengan perkembangan 29
Muhammad Azhar, Fiqh Kontemporer dalam Pandangan Neo-Modernisme Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 65-66.
218
AL-RISALAH
Jurnal Kajian Hukum Islam | Vol. 12, No. 2, Desember 2012
jaman dengan tidak melupakan konsep-konsep yang dibuat terdahulu oleh para Ulama.
Penutup Reformasi secara istilah disamakan dengan modernisasi, reaktualisasi, rekonstruksi, tarjih, islah dan tajdid. Munculnya gerakan reformasi terhadap rigisitas hukum Islam melahirkan sebuah konsep fiqh yang berbasis lokal atau dapat dikatakan sebagai fiqh keindonesiaan. Keindonesiaan merupakan kelanjutan dari tema “Gerakan Kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah” tetapi sekaligus merupakan sikap kembali kepada sikap dan pola pikir tradisional yang mempertahankan adat tetapi ditolak kaum reformis. Kaum reformis keindonesiaan bercita-cita ingin membangun hukum Islam yang indegenous keindonesiaan. Uraian tentang reformasi hukum Islam di Indonesia menunjukkan bahwa pembaharuan hukum itu merupakan suatu keharusan dalam rangka perbaikan aplikasi hukum Islam demi terwujudnya kemashlahatan umum yang sesuai dengan karakter lokal yang menjadi alat kebiasaan. Hal ini berperan sebagai penegasan eksistensi Islam yang mempertegas posisinya dalam peta pemikiran hukum Negara ini. Realisasi dari upaya ini berupa Fiqh (Mazhab) Indonesia Produk dari Indonesianisasi pemikiran hukum ini berupa Kompilasi Hukum Islam (KHI). Bibliografi Abdul Halim, “Hazairin dan Pemikirannya Tentang Pembaharuan Hukum Kekeluargaan Dalam Islam”, Jurnal Penelitian Agama, No.18 Th.VII, Januari-April (1998). Ali Yafie, Menggagas Fiqh Sosial, Bandung: Mizan, 1994. B. J. Boland, Pergumulan Islam di Indonesia 1945-1970, Jakarta: Grafitis Pres, 1985. Hazairin, Tujuh Perangkat Tentang Hukum, Jakarta: Tintamas, 1974. ______, Hukum Kekeluargaan Nasional, Jakarta: Tintamas, 1982. Imran Ahsan Khan Nyazee, Theories Of Islamic Law: the methodology of ijtihad, Islamabad: Islamic Reseach Institute Press, 1994. John M. Echols dan Hasan Syadili, Kamus Bahasa Inggris-Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992.
AL-RISALAH
Jurnal Kajian Hukum Islam | Vol. 12, No. 1, Desember 2012
219
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat, Bandung: Mizan, 1999. Muhammad Azhar, Fiqh Kontemporer dalam Pandangan Neo-Modernisme Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. Munawir Sjadzali, “Landasan Pemikiran Politik Hukum Islam dalam Rangka Menentukan Peradilan Agama di Indonesia”, dalam Tjun Surjaman (ed), Hukum Islam di Indonesia, Pemikiran dan Praktek, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991. M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi, Yogyakarta: Titian Illahi Press, 1998. ______, The Islamic Law in Indonesian, Jakarta: Islamic Universities Press, 2003. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Perbandingan Mazhab, Jakarta: Bulan Bintang, 1990. ______, Pengantar Ilmu Fiqh, Jakarta: Bulan Bintang, 1992. ______, Syariah Islam Menjawab Tantangan Zaman, Jakarta: Bulan Bintang, 1996. Nouruzzaman Shiddiqi, Fiqh Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 1996. Nurchalis Madjid, Tradisi Syarah dan Hasyiyah Dalam Fiqh dan Masalah Stagnasi Pemikiran Hukum Islam, Jakarta: paramadina, 1995. Panitia Penyusunan Biografi, Prof. KH Ibrahim Hosen dan Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Putra Harapan, 1990. Sudarnoto Abdul Hakim, Hasan Asari dan Yudian W. Asmin, (ed), Islam Berbagai Perspektif, Didedikasikan untuk 70 Tahun Prof H Munawir Sjadzali, MA, Yogyakarta: Lembaga Penterjemah dan penulis Muslim Indonesia, 1995. Wael B. Hallaq, “Was the Gate of Ijtihad Closed?”, International Journal of Middle Eastern Studies, 16, 1, 1984. Yudian Wahyudi, Hasbi’s Theory of Ijtihad in the Context of Indonesia Fiqh, Montreal: McGill University, 1993. Yudian Wahyudi, Ushul Fiqh versus Hermeneutika, Yogyakarta: Nawesea Press, 2006.
220
AL-RISALAH
Jurnal Kajian Hukum Islam | Vol. 12, No. 2, Desember 2012