Teori milik dalam hukum Fiqh Islam
Abstrak Umat Islam pada saat ini membutuhkan pemahaman yang cukup komprehensif mengenai ekonomi yang sesuai dengan syariah Islam. Kajian untuk memperkuat pemikiran mu’amalah dengan berbagai teori seperti teori kontrak, teori harta dan teori milik adalah sangat diperlukan terutama guna menghadapi kasusu-kasus yang terjadoi ddi dunia modern. Kajian yang ditulis ini adalah berkenaan tentang teori mengenai hak milik dalam khazanah fiqh Islam yang sering dikemukakan oleh para ahli fiqh teutamanya berkisar bagaimana pemahaman fuqaha tentang definisi milik baik secara bahasa dan istilah, pembagian milik itru sendiri dan kategori milik yang terbagi atas beberapa bagian. Dengan menjelaskan konsep kepemilikan yang ada dalam khazanah keilmuwan Islam ini mudah-mudahan menambah pemahan fiqh mu’amalah lebih baik lagi. A. Pendahulun Fiqh mu’amalah adalah konsep pemahaman berkaitan dengan persoalan-persoalan syariat yang berkaitan dengan segala urusan kehidupan manusia yang mencakup semua bidang termasuk politik, sosial, ekonomi. Mu’amalah dalam pengertiannya yang lebih khusus ditujukan kepada sesuatu persetujuan akad atau pertukaran hak milik atau barang dengan uang untuk memperoleh keuntungan bersama atas dasar keridhaan dan kerelaan. Untuk memudahkan pemahaman berkenaan dengan kegiatan-kegiatan ekonomi yang dibolehkan oleh agama Islam seorang itu lebih dahulu perlu mengetahui dan memahami secra mendalam beberapa teori penting yang berkaitan dengan persoalan mu’amalah seperti teori hak, teori harta, teori milik dan teori akad. Pemahaman yang tepat dan betul mengenai kesemua teori ini akan dapat menjadikan seseorang itu mahir dalam menangani isu-isu ekonomi dan mampu menyelesaikan permasalahan
ekonomi yang bersifat
kontemporer yang semakin menantang dewasa ini.
B. Pengertian Milik 1. Dari Segi Bahasa Milik ialah perkataan yang berasal dari bahasa Arab yaitu al-milk yang bermaksud penguasaan atas sesuatu yang menjadikan seseorang dapat itu bertindak keatasnya secara persendirian.1
2. Dari Segi Istilah Para fuqaha telah memberikan banyak pengertian terhadap perkataan milik dari segi istilah yang hampir kesemuanya mempunyai persamaan yang sangat dekat satu sama lainnya, Badran Abu Ainain, Dekan Syariah Fakultas Hukum Universitas Iskandariyah Mesir memberikan pengertian yang paling baik dari beberapa pendapat yang banyak tentang milik yaitu bahwa milik adalah kekhususan terhadap sesuatu benda yang menyebabkan orang lain terlarang ikut campur di dalamnya dan memungkinkan bagi pemiliknya untuk melakukan tindakan tertentu atas barang tersebut kecuali ada dalil syara’ yang melarangnya.2 Diantara contoh-contoh orang yang memiliki harta tetapi dilarang oleh syariat dari melakukan tindakan apapun ke atas harta milik mereka ialah orang gila, orang idiot, cacat pemikiran dan anak kecil. Harta milik mereka hendaklah diatur oleh wali-wali mereka atau pemegang amanah yang dilantik. Kekuasaan yang dimiliki oleh wali atau pemegang amanah itu bukanlah kuasa yang tulen tetapi hanya gantian belaka. Oleh karena itu apabila mereka yang dilarang oleh syariat dari mengatur harta tadi sembuh atau pulih kembali seperti sediakala, maka harta itu hendaklah diserahkan kembali di bawah kekuasan mereka sendiri. Selain itu perwalian bidang kuasa penggantian ini boleh didapat melalui perwasiatan dan perwakilan.
C. Kategori milik 1. Melihat bentuk kepemilikan maka milik ini terbagi atas dua macam yaitu milk mutamayyiz dan milk ghairu mutamayyiz.3 Milk mutamayyiz ialah milik yang tertentu dan pribadi seperti sebuah mobil milik seseorang. Manakala milk ghairu mutamayyiz atau milkus sha’i ialah milik yang bersama dan berkongsi dengan orang lain. milkus sha’i terbagi dua bagian juga yaitu perkongsian yang dapat dibagi seperti tanah yang diwarisi dan perkongsian yang tidak dapat dibagi seperti sebuah rumah yang dikongsi milik bersama sama oleh beberapa orang. Dengan demikian diketahui bahwa harta yang dikongsi milik sebelum pembagian dilakukan adalah tidak memberikan pengkhususan kepada pemilik-pemilik tertentu. 2. Apabila dilihat dari segi kesempurnaan kepemilikan maka milik juga dapat dibagi kepada dua macam yaitu milik sempurna dan milik tidak sempurna. Milik tidak sempurna ini dibagi menjadi tiga macam yaitu milkul ‘ain, milkul manfa’ah syakhshi,
milkul manfa’ah aini, penjelasan mengenai kategori milik ditinjau dari kesempurnaan milik ini dijelaskan sebagai berikut: a. Milik Sempurna Seseorang dapat dikatakan memiliki harta secara sempurna apabila dia memiliki zat harta itu dan dapat memanfaatkannya serta melakukan apapun tindakan yang dibolehkan oleh syariat atas harta tersebut seperti menjual dan menyewakannya. Pemilikan ini juga bersifat tetap dan tidak terbatas oleh waktu selama harta itu ada. Walaupun begitu pemilikan harta ini dapat dipindahkan kepada orang lain seperti melalui jual beli, pusaka dan wasiat. Diantara sumber-sumber kepemilikan harta secara sempurna yang telah dibicarakan oleh fuqaha antara lain: 1. Penguasan atas al-mal al- mubah Al-mal al-mubah adalah harta yang tidak dimiliki oleh siapapun dan tidak terdapat larangan syariat untuk memilikinya seperti tanah yang belum diusahakan, air di sungai, rumput di hutan dan binatang buruan. Pemiliknya adalah tunduk kepada
perbuatan dan bukannya perkataan. Oleh karena itu siapa saja yang
terlebih dahulu menguasai al-mal al-mubah dengan perbuatan, maka harta tersebut adalah menjadi miliknya berdasarkan sabda Rasulullah SAW: Siapapun yang menguasai terlebih dahulu sebelum orang lain (harta itu) maka dia adalah pemiliknya (H.R Baihaqi). Pembukaan lahan di luar kawasan yang tidak dimiliki dan ditempati serta tidak digunakan seperti untuk mengambil kayu bakar atau menggembalakan binatang dapat menjadikan seseorang itu memiliki tanah tersebut secara sah berdasarkan sabda Rasulullah: Siapapun yang membuka tanah yang mati maka dia adalah pemiliknya (H.R.Baihaqi). Binatang-binatang di daratan dan segala kehidupan di air yang ditangkap dengan berbagi cara adalah milik sah bagi penangkapnya sesuai dengan firman Allah SWT dalam Surat Al-Maidah, ayat 2 dan 96, begitu juga barang-barang seperti kayu, rumput dan air yang diambil dari kawasan yang tidak dimiliki oleh seseorang dapat dimiliki oleh yang mengambilnya. Hanafiah, Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa bahan tambang yang terdapat di perut bumi menjadi milik orang yang memiliki tanah tersebut dan
bahan tambang yang berada di perut bumi yang tidak dimiliki oleh siapapun adalah hak milik orang yang menemukannya. 4 Namun begitu mereka berbeda pendapat mengenai hak negara atas bahan tambang tersebut. Syafi’iyah dan Hanabilah menyatakan bahwa bahan tambang dan rikaz adalah berbeda. Bahan tambang tidak dikenakan cukai apapun manakala rikaz diwajibkan cukai sebanyak 1/5. Menurut mereka bahan tambang dikenakan zakat berdasarkan dalildalil umum pensyariatan zakat. Hanafiah pula menyatakan bahwa bahan tambang termasuk dalam makna rikaz yang diwajibkan membayar cukai sebanyak 1/5 darinya kepada negara5 Manakala Malikiyah berpendapat bahwa semua bahan tambang adalah menjadi milik negara walaupun terdapat di dalam kawasan yang dimiliki oleh individu tertentu.6 Al-kanz adalah harta yang dikubur oleh manusia di dalam tanah dan apabila ditemukan ia adalah tetap menjadi milik si empunya asal harta tersebut atau warisnya. Jika si empunya tersebut tidak diketahui maka harta tersebut dapat diberikan kepada fakir miskin menurut pendapat Hanafiyah.7 Manakala pendapat Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah menyatakan bahwa al-kanz islami yang tidak dituntut itu dapat dimiliki oleh orang yang menemukannya.8 2. Kontrak Perpindahan Hak Kepemilikan Terdapat banyak kontrak yang menyebabkan suatu harta itu dipindahkan hak miliknya kepada orang lain, diantaranya seperti jual beli, pemberian dan wasiat yang berdasarkan atas kerelaan. Kontrak seperti ini banyak terjadi seharihari dan dapat dijadikan alat ukur bagi eksistensi kegiatan perekonomian suatu negara. Selain dari kontrak yang berdasarkan kerelaan ini, kontrak-kontrak yang berdasarkan paksaan juga dapat memindahkan hak milik atas suatu harta, seperti penjualan paksa harta orang yang berhutang sesuai petunjuk hakim untuk melunasi hutang-hutang orang yang berhutang, penjualan oleh pemerintah barang yang dimonopoli oleh sebagiaan orang (al-ihtikar) dengan harga yang sesuai pasaran demi kemaslahatan umum. Barang-barang dan harta-harta yang dijual secara paksa itu adalah akan menjadi milik sah bagi pembelinya walaupun kontrak dibuat secara paksaan.
Hak milik juga dapat dipidahkan melalui hak bertetangga dan berkongsi menurut Islam (hak syuf’ah) kepada rekan kongsi menurut pendapat jumhur ulama, menurut pendapat Hanafiyah termasuk tetangga juga dapat hak syuf’ah. Pendapat Hanafiyah yang menggabungkan hak suf’ah ini antara rekan kongsi dan tetangga lebih cocok secara prakteknya pada saat sekarang melihat banyaknya kasus perdebatan terjadi yang melibatkan hak tetangga seperti rumah kontrakan dan kembar. Pemerintah juga berhak mengambil tanah milik individu dengan cara paksa untuk menjamin kemaslahatan umum seperti perluasan masjid dan jalan dengan syarat diberikan ganti rugi yang pantas. Tindakan pemerintah dalam hal seperti ini didasarkan kepada kaedah fiqh yaitu: “segala tindakan dan keputusan imam atas rakyatnya adalah tergantung kepada kemaslahtan umum”. 3. Penggantian Alasan yang ketiga perpindahan milik adalah karena penggantian. Penggantian ini dapat terjadi melalui pewarisan yaitu apabila seseorang meninggal dunia maka harta peninggalan itu akan berpindah tangan dari pemiliknya kepada ahli waris secara pusaka. Selain itu penggantian juga dapat terjadi
melalui
pembayaran
atas
kerugian
baik itu
karena harta itu
dirusakkan/dihilangkan maupun ganti rugi kehilangan nyawa dan cedera anggota tubuh karena kecelakaan. 4. Penghasilan Dari Harta Hak Milik Setiap harta hasil dari milik seseorang adalah menjadi milik orang tersebut baik itu secara alamiah maupun dengan cara yang diusahakan oleh pemiliknya. Contohnya seperti anak bintang dan tumbuhan yang tumbuh di tanah milik seseorang. Imam Malik berpendapat bahwa menyimpan harta benda orang lain dalam waktu yang lama (al-hiyazah) dapat menjadi sebab kepada pemilikan harta tersebut. Tetapi beliau tidak menyatakan waktu penyimpanan tersebut. Sebagian riwayat menyatakan adalah selama sepuluh tahun lebih maka seseorang akan lebih berhak dari pemilik sebenarnya. 5. Pengambilan Harta Orang Kafir Harbi.
Said Hawa menyatakan bahwa pengambilan harta orang kafir harbi secara paksa oleh orang Islam jika tidak ada perjanjian damai dengan orang Islam adalah halal, menurut beliau Allah SWT yang memiliki alam ini tidak memberikan hak milik kepada orang kafir harbi melainkan dengan keredaan orang Islam melalui perjanjian damai.9 6. Pembayaran Zakat Selanjutnya Said Hawa menambahkan bahwa pengambilan harta orang kaya kepada fakir miskin melalui pembayaran zakat termasuk kepada pemilikan harta melalui ketentuan syariat. 10
b.
Milik Tidak Sempuna. Adapun pembagian jenis milik yang kedua adalah milik yang tidak sempurna,
pembagiannya terbagi atas tiga macam yaitu milkul ain, milkul manfaah syakhshi dan milkul manfaah aini, penjelasannya sebagai berikut: 1.
Milkul Ain Adalah pemilikan terhadap zat harta saja, ia dinamakan juga dengan milkul
ruqbah.11 Pemilik harta milku ain tidak boleh memanfaatkan harta tersebut dan juga tidak boleh melakukan apapun tindakan keatasnya seperti menjualnya. Contohnya adalah seseorang yang memiliki sebuah mobil yang telah disewa kepada orang lain selama tiga bulan. Mobil tersebut adalah milik tuannya secara milkul ain dalam masa penyewaannya tersebut. Dalam masa itu yang empunya mobil sebenarnya tidak boleh menggunakan mobil tersebut dan tidak boleh menjual atau menyewakannya kepada orang lain. Akan tetapi setelah masa waktu penyewaan itu berakhir maka pemilik asli tadi akan kembali memiliki mobil tersebut itu secara sempurna. 2.
Milkul Manfa’ah al Syakshi Adalah pemilikan manfaat sesuatu harta secara individual. Ia juga dinamakan
sebagai harta intifa’, akan tetapi Malikiyah membedakan antara istilah milkul manfaah dengan hak intifa’, mereka menyatakan bahwa hak intifa’ adalah untuk kegunaan individual semata, manakala milkul manfa’ah boleh dimanfaatkan juga kepada orang lain. Terdapat lima sebab yang menjadikan seseorang itu dapat memiliki sesuatu harta secara milkul manfaah syakhshi yaitu:
a.
Al-‘iarah yaitu satu kontrak meminjamkan sesuatu harta kepada orang lain secara gratis. Apabila kontrak ini berlaku peminjan dapat dikatakan memiliki harta tersebut sercarta milkul manfa’ah syakhshiyah dalam arti dia boleh memanfaatkan harta tersebut untuk dirinya sendiri dan boleh meminjamkannya kepada orang lain menurut pendapat jumhur Hanafiyah dan al Malilikiyah. Syafi’iyah dan Hanabilah pula berpendapat bahwa peminjan hanya dibenarkan menggunakan harta tersebut untuk manfaat pribadinya saja dan tidak boleh dipinjamkan kepada orang lain.
b.
Al-ijarah yaitu penyewaan sesuatu harta kepada orang lain dengan suatu balasan yang ditentukan semasa akad. Dalam hal ini penyewa adalah memiliki harta tersebut secara milkul manfaat syakhshiyah. Dia boleh memanfaatkan harta tersebut untuk dirinya dan orang lain bahkan dia juga boleh menyewakannya kepada orang lain walaupun dalam konsep milkul ain itu mensyaratkan bahwa harta itu hanya boleh dimanfaatkan oleh penyewa pertama saja.
c.
Al-waqf ialah penyekatan hak milik sesuatu harta dari dimiliki oleh siapapun secara milkul ain. Manakalah manfaatnya dapat digunakan oleh al-mawquf alaih baik itu indivudu ataupun organisasi untuk manfat umum. Al mauquf alaih yang memiliki harta terasebut secarta milkul manfaah syakhshi boleh memanfaatkannya untuk dirinya senbdiri. Harta tersebut juga boleh dimanfaatkan kepada orang lain atau diniagakan untuk mendapatkan keuntungan jika diizinkan oleh pewakaf.
d.
Al wasiah bil manfa’ah ialah suatu perwasiatan
kepada orang lain untuk
memanfaatkan sesuatu harta. Orang yang diwasiatkan itu dikatakan memiliki harta tersebut secara milkul manfa’ah al-syaksi dan boleh menggunakannya untuk manfaat pribadinya. Pemanfaatan harta tersebut kepada orang lain adalah tunduk kepada izin pewasiat. e.
Al-ibahah ialah izin untuk memanfaatkan sesuatu harta secara pribadi seperti memakan sesuatu makanan dan menginap di rumah seseorang. Oleh karena itu orang yang diberikan izin untuk hal yang demikian itu tidak boleh menggantikan orang lain untuk memanfaatkan harta tersebut. Pemilikan harta secara milkul manfah syakhshi ini boleh ditentukan waktu,
tempat dan sifat-sifatnya ketika akad dijalankan. Ia tidak boleh diwarisi menurut pendapat Hanafiyah karena ia tidak dianggap sebgai harta, berbeda dengan pendapat
jumhur. Pemilik suatu harta secara milku manfaat syakhshi ini hendaklah menjaga harta tersebut sebagai suatu amanah. Oleh karena itu apapun kelalaian yang dapat menyebabkan kerusakan atau kehilangan akan dikenakan ganti rugi. Biaya perawatannya dibawah tanggung jawab pemilik milkul manfaa’ syakhshi jika diberikan secara gratis seperti melalui kontrak al-‘iarah dan jika diberikan dengan tukaran seperti melalui kontrak sewa menyewa (al- ijarah) maka tanggung jawab biaya perawatannya tetap pemilik milkul ain.12 Seperti yang telah dijelaskan sebelum ini, milkul manfaah syakhshi adalah suatu kepemilikan yang terbatas akan waktu. Harta ini hendaklah diserahkan kembali kepada pemilik milkul ain setelah menyempurnakan manfaat atau habis waktu kepemilikannya. Dalam kasus-kasus tertentu seperti hasil tanaman yang belum dapat dipanen sedangkan waktu pemilikan sudah habis, maka tanah tersebut perlulah kembali ditambahkan kepadanya status milkul manfaah syaksi sehingga waktu panennya selesai dengan syarat hendaklah ia diberikan sewa yang pantas kepada pemilik milkul ain. Harta yang dimiliki secara milkul manfaah syakhshi tidak boleh dimanfaatkan kembali terhitung dengan habisnya waktu yang telah ditentukan atau rusaknya harta tersebut yang tidak memungkinkan untuk seseorang memanfaatkanya lagi ataupun kematian dari pemilik milkul manfaah syaksi menurut pendapat Hanafiyah. Hanafiyah juga berpendapat kematian pemilik milkil ain dalam kontrak al ‘iarah dan ijarah dapat menyelesaikan waktu kepemilikan dari milkul manfaah syakhshi. Manakala jumhur menyatakan bahwa kematian pemilik milkul ain atau milkul manfaah syakhshi tidak memberi pengaruh apapun terhadap waktu pemilikan tersebut. Waktu pemilikan milkul manfaah syaksi melalui sebuah kontrak wasiah dan waqf tidak tunduk kepada kematian kedua-dua pemilik tersebut menurut persepakatan para ulama. 3. Milkul Manfa’ah Ain Milkul manfa’ah aini atau dinamakan juga sebagai hak irtifaq adalah hak yang ditetapkan atas suatu harta aqar (tak bergerak) milik seseorang untuk memanfaatkan harta aqar milik orang lain seperti haq syarbi, haq shafah, haq masil, haq majri, haq murur dan haq jiwar. Haq syarbi yaitu hak milik atas air untuk kegunaan pertanian dan seumpamanya. Haq shafah yaitu hak milik atas air untuk minuman dan kegunaan sehari-hari dirumah.
Kedua hak ini ditetapkan pada air sungai dan danau alami yang tidak dimiliki oleh siapapun. Air sungai dan danau buatan yang dimiliki hanya dikhususkan untuk hak shafah saja. Hak syarbi tidak bisa digunakan buat air/danau buatan kecuali izin dari pemilknya. Hak al-majri adalah hak untuk mengalirkan air untuk kegunaan pertanian yang melalui tanah orang lain. Haq al masil adalah hak untuk mengalirkan air lebihan atau yang telah digunakan melalui tanah orang lain menumju saluran umum. Hak murur adalah hak untuk melalui tanah orang lain untuk dapat menuju ke jalan utama milik publik. Hak jiwar ialah hak bertetangga dan ini terbagi atas dua yaitu tetangga bersebelahan menyamping dan tetangga bertingkat. Hak jiran bersebelahan adalah tunduk bagi kedua dua belah pihak adapun hak jiran bertingkat tunduk untuk tetangga sebelah atas. Kesemua jenis haq irtifaq ini dapat dimanfaatkan dengan syarat tidak mendatangkan kemudaratan terhadap pihak yang satu lagi berdasarkan sabda Rasulullah SAW.: tidak ada kemudharatan dan tidak boleh memudharatkan. Hak milik jenis ini tetap selama kedua-dua aqar itu ada tanpa melihat kepada pemilik-pemiliknya. Milkul manfaah aini ini akan tetap ada melalui sebab-sebab dibawah ini: a. Perkongsian Umum Perkongsian umum meliputi semua jenis kemanfaatan umum yang harus diberikan hak-hak tertentu demi menjamin kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan seperti pengunaan jalan-jalan dan sungai-sungai. b. Kontrak Bersyarat Haq irtifaq juga dapat diperoleh melalui persyaratan dalam suatu kontrak yang dijalankan contohnya ialah seorang pembeli yang telah meletakan syarat-syarat untuk lewat diatas tanah penjual sewaktu akad jual beli berlangsung. Persyaratan ini seterusnya menetapkan haq irtifaq untuk pembeli yaitu lewat diatas tanah penjual. c. Al-taqadum Haq irtifaq juga dapat ditetapkan melalui taqadum yaitu kewujudan sesuatu sejak zaman dahulu yang tidak diketahui masanya seperti seorang yang mewarisi tanah pusaka yang memang telah mempunyai saluran air melalui tanah
orang lain. Pada lahirnya saluran tersebut adalah ada disebabkan oleh sesuatu proyek yang dilaksanakan untuk manfaat umum. Oleh karena itu haq irtifaq yaitu memanfaatkan saluran air yang melalui tanah orang lain secara taqadum ini adalah sah. Dengan demikian dapatlah disimpulkan perbedaan antara hak intifa’ dengan haq irtifaq, adapun haq irtifaq hanya berkaitan dengan barang tidak bergerak (al-aqar) manakala haq intifa’ meliputi aqar dan tidak bergerak (manqul). Haq irtifaq adalah hak milik yang tetap walaupun pemiliknya telah berganti manakala haq intifa’ adalah terbatas pada waktu tertentu. Haq irtifaq juga dapat diwarisi walaupun ini hanya pendapat Hanfiyah yang menyatakan barang tersebut bukanlah harta, manakala haq irtifa’ tidak dapat diwarisi menurut pendapat Hanafiyah. 1
Jubran Mas’ud, al Rad Mu’jam Lughowi, Asri, Dar Ilmi lil Malayin, Beirut, 1986, J.2, h.1431 Abu Ainain Badran, Syariah Islamiyah Tarikhuhu wa Nazariyat al Milkiyah wal Uqud, Mu’asasah Shahab al Jamiah li Atiba wa Nasr wal Tauzi, Iskandariyah, t.th, h. 309 3 Muhammad Salam Madkur, al Madkhal lil Fiqh ul Islamiy Tarikhuhu wa Masodiruhu wa Nazariyatul Ammah, Dar Nahdah al Arabiyah, Qahirah,1383, h.481 4 Ibrahim bin Ali bin Yusuf Al Syirazzi, al Muhadzdzab, Darul Fikri, Beirut, t.th, j.1, h.426 5 Muhammad Bin Abdul Wahid As Siwasi, Syarh Fathul Qodir, Darul Fikr Beirut, t.th, h.235 6 Ahmad bin Muhammad Al Dardir, Syarh Shogir Ala Aqrab Masalik lil Madzahib Imam Malik, Darul Ma’arif , Qohirah, j1. h.650-651 7 Ibrahim bin Ahmad bi Ali Al Haskafi, al Durul Mukhtar Sharh Tanwir al Absar, Darul fikri, Beirut, 1386, j.1.hlm.216 8 Khalil bin Ishaq al Maliki, Mukhtashar Khalil, Darul Ihya al Kutub al Arabiyah, al Halab, t.th, h. 66 9 Said Hawa, al Islam, Maktabah Wahbah , Qahirah, 1987, j.3.h.20. 10 Ibid. 11 Abu Ainain Badran, Syariah Islamiyah Tarikhuhu wa Nazariyat al Milkiyah wal Uqud, h.310 12 Wahbah Zuhaili, al Fiqhul Islam wa Adilatuh, Darul Fikri, Damaskus, J.4, h. 61-62 2
Daftar Pustaka
Abu Ainain Badran, Syariah Islamiyah Tarikhuhu wa Nazariyat al Milkiyah wal Uqud, Iskandariyah: Mu’asasah Shahab al Jamiah li Atiba wa Nasr wal Tauzi, t.th. Ahmad bin Muhammad Al Dardir, Syarh Shogir Ala Aqrab Masalik lil Madzahib Imam Malik, Qohirah: Darul Ma’arif , t.th. Ibrahim bin Ali bin Yusuf Al Syirazzi, al Muhadzdzab, Beirut: Darul Fikri, t.th. Ibrahim bin Ahmad bi Ali Al Haskafi, al Durul Mukhtar Sharh Tanwir al Absar, Beirut : Darul fikri, 1386. Jubran Mas’ud, al Rad Mu’jam Lughowi, Asri, J.2, Beirut:Dar Ilmi lil Malayin, , 1968. Khalil bin Ishaq al Maliki, Mukhtashar Khalil, al Halab: Darul Ihya al Kutub al Arabiyah, t.th. Muhammad Salam Madkur, al Madkhal lil Fiqh ul Islamiy Tarikhuhu wa Masodiruhu wa Nazariyatul Ammah, Qahirah: Dar Nahdah al Arabiyah, 1383. Muhammad Bin Abdul Wahid As Siwasi, Syarh Fathul Qodir, Beirut: Darul Fikr, t.th. Said Hawa, al Islam, J.3, Qahirah: Maktabah Wahbah, 1987. Wahbah Zuhaili, al Fiqhul Islam wa Adillatuh, J.4, Damaskus: Darul Fikri, 1989.