29
BAB II TINJAUAN UMUM MUNASAKHAH A. Munasakhah Dalam Pandangan Hukum Kewarisan Islam (Fiqh Mawaris) Dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Hukum kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkenaan dengan peralihan hak dan kewajiban atas harta, kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia kepada ahli warisnya.32 Dalam beberapa literatur hukum Islam ditemui beberapa istilah untuk menamakan Hukum Kewarisan Islam, seperti fiqh mawaris, ilmu faraidh, dan hukum kewarisan. Perbedaan dalam penamaan ini terjadi karena perbedaan arah yang dijadikan titik utama dalam pembahasan. Fiqh mawaris adalah kata yang berasal dari bahasa Arab fiqh dan mawaris. Fiqh menurut bahasa berarti mengetahui, memahami, yakni mengetahui sesuatu atau memahami sesuatu sebagai hasil usaha mempergunakan pikiran yang sungguhsungguh.33 Menurut Hazairin dalam bukunya Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Quran dan Hadist, beliau menulis fiqh adalah hasil pemikiran manusia yang dapat melahirkan suatu norma dengan berdasarkan kepada Al-Quran dan As-Sunnah. Namun karena fiqh sebagai hasil pemikiran manusia, tentunya mengenal batas-batas tertentu sebagaimana ilmu-ilmu yang lain. Pemikiran itu berada dalam batas-batas
32
M.Hasballah Thaib, Ilmu Hukum Waris Islam, Magister Kenotariatan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan : 2011, hal.1 33 Syafi’i Karim, Fiqh Ushulul Fiqh, Pustaka Setia, Bandung : 2001, hal.11
29
Universitas Sumatera Utara
30
disiplinnya, yaitu dengan metode dan sumber di atas maka tidak setiap hasil pemikiran manusia dapat dipahami sebagai fiqh.34 A. Hanafi, M.A. mengutip kata-kata Jurjani tentang Fiqh, yaitu: “Fiqh menurut bahasa (luqhah) ialah memahami pembicaraan seseorang yang berbicara. Menurut istilah ialah ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang amaliyah yang diambil dari dalil-dalilnya yang tafshili. Dia suatu ilmu yang diistimbathkan (diambil) dengan jalan pemikiran dan ijtihad. Dia memerlukan pemikiran dan renungan. Oleh karena itu, tidak boleh dinamakan Allah dengan Faqih, karena tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi bagi-Nya.”35 Fiqh mawaris adalah suatu disiplin ilmu yang membahas tentang harta peninggalan, tentang bagaimana proses pemindahan, siapa saja yang berhak menerima harta peninggalan itu serta berapa bagian masing-masing. Fiqh mawaris kadang-kadang disebut juga dengan istilah Al-Faraidh dihubungkan dengan ilmu, menjadi ilmu faraidh, maksudnya ialah : ilmu untuk mengetahui cara membagi harta peninggalan seseorang yang telah meninggal dunia kepada yang berhak menerimanya. Karena ada beberapa istilah, pembahasan selanjutnya pada penelitian ini akan memakai istilah Hukum Kewarisan Islam, karena istilah tersebut lebih dapat diterima dan dipahami dalam mempelajari hukum-hukum yang berkaitan dengan pembagian harta waris terutama pada pembagian kewarisan munasakhah ini. Al-Munasakhat dalam bahasa Arab berarti memindahkan dan menghilangkan, contohnya dalam kalimat nasakhtu al-kitaba bermakna kita menukil (memindahkan)
34 35
Hazairin, Op.cit.hal. 10 Ahmad Hanafi, Op.cit. hal. 7
Universitas Sumatera Utara
31
kepada lembaran lain; nasakhat asy-syamsu azh-zhilla berarti sinar matahari menghilangkan bayang-bayang. Makna yang pertama, sesuai dengan firman Allah yang artinya : “Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu kerjakan “. (Al-Jatsiyah: 29) Sedangkan makna yang kedua sesuai dengan firman berikut yang terjemahannya yaitu : “Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?” (Al-Baqarah: 106) Adapun pengertian al-munasakhat menurut istilah ulama faraidh ialah meninggalnya sebagian ahli waris sebelum pembagian harta warisan sehingga bagiannya berpindah kepada ahli waris lain bila ahli waris tersebut tidak terhijab. Bila salah seorang ahli waris meninggal, sedangkan ia belum menerima hak waris (karena memang belum dibagikan), maka haknya berpindah kepada ahli warisnya. Karenanya disini akan timbul suatu masalah yang oleh kalangan ulama faraidh dikenal dengan sebutan al-jami’ah 36 Menurut As-Sayyid Asy-Syarif, munasakhah adalah “pemindahan bagian warisan dari sebagian ahli waris kepada orang yang mewarisinya karena kematiannya sebelum pembagian harta warisan dilaksanakan”. Beliau menta’rifkan demikian, karena arti lafadh munasakhah tersebut berasal dari suku kata naskh yang menurut
36
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, Gema Insani Press, Jakarta: 1996, hal.132
Universitas Sumatera Utara
32
pengertian bahasa berarti naqlu atau tahwil, yakni memindahkan. Misalnya: A mati meninggalkan dua orang ahli waris, yang bernama B dan C. kemudian sebelum harta peninggalan tersebut dibagi-bagikan kepada B dan C, B menyusul meninggal, dengan tidak meninggalkan ahli waris seorangpun selain C saja. Atau seperti contoh tersebut tetapi B mempunyai ahli waris yang mewarisi B, yaitu D (cucu dari A). maka dengan kematian B tersebut, berpindah bagian B kepada C atau C dan D. Tentu saja disini ahli waris yang menggantikan (C dan D) yang tidak terhijab oleh ahli waris lainnya.37 Ibnu Umar Al-Baqry mendefinisikan munasakhah sebagai “kematian seseorang sebelum harta dibagi-bagikan sampai seseorang atau beberapa orang yang mewarisinya menyusul meninggal dunia.” Kedua pengertian munasakhah ini pada dasarnya sama saja karena sudah mengandung unsur-unsur penting dari munasakhah sebagai berikut: 38 1. Harta pusaka si pewaris belum dibagi-bagikan kepada ahli waris menurut ketentuan pembagian harta pusaka. 2. Adanya kematian dari seseorang atau beberapa orang ahli warisnya. 3. Adanya pemindahan bagian harta pusaka dari orang yang mati kemudian kepada ahli waris yang lain atau kepada ahli warisnya yang semula menjadi ahli waris terhadap orang yang pertama harus dengan jalan mempusakai. Kalau pemindahan bagian tersebut karena suatu pembelian atau penghibahan maupun hadiah, hal itu di luar pembahasan munasakhah.
37 38
Ibid. Fatur Rahman, Op.cit. hal .460
Universitas Sumatera Utara
33
4. Pemindahan bagian ahli waris yang telah meninggal kepada ahli warisnya Unsur-unsur penting yang terkait dengan kasus kewarisan munasakhah ini, menimbulkan
keadaan-keadaan
yang
dapat
menyebabkan
terjadinya
kewarisan munasakhah ini, keadaan yang dimaksud, yaitu : 39 1. Apabila ahli waris mayit kedua adalah para ahli waris yang sama (selain yang bersangkutan) dengan ahli waris dari mayit pertama sehingga tidak terjadi perubahan dalam pembagian. Misalnya, jika seseorang wafat meninggalkan lima orang anak laki-laki atau lima orang anak perempuan dan tidak ada ahli waris selain mereka. Tiba-tiba salah seorang diantara mereka wafat meninggalkan keempat saudaranya. Jika hal itu terjadi, warisan dibagikan kepada empat orang itu sebagai pengganti lima orang. Maksudnya adalah sebagai berikut : a. Seseorang wafat meninggalkan lima anak laki-laki. Warisan dibagikan sesuai dengan jumlah ru’us mereka, yaitu lima. b. Kemudian salah seorang dari para ahli waris yang lima itu wafat meninggalkan empat saudaranya. Warisan tetap dibagikan sesuai dengan jumlah ru’us mereka, yaitu empat melalui furudh dan radd. Misalnya lagi, andaikata seorang laki-laki mati meninggalkan tiga saudara perempuan seayah seibu, kemudian mati salah seorang saudara perempuannya meninggalkan dua saudara perempuannya tanpa ada
39
http://pendidikan.blogspot.com/2010/12/sistem-penggantian-tempat-munasakhah.html, terakhir kali diakses tanggal 10 Mei 2012
Universitas Sumatera Utara
34
pewaris selain keduanya. Sehingga dalam kedua keadaan diatas itu memiliki hukumnya sama. 2. Apabila para pewaris mayit kedua adalah juga pewaris mayit pertama disertai perbedaan nisbah mereka kepada mayit. Misalnya, jika seseorang wafat meninggalkan seorang anak laki-laki dari istri pertama dan tiga anak perempuan dari istri kedua, tiba-tiba salah seorang anak perempuan wafat meninggalkan saudara-saudaranya (dua saudara kandung perempuan dan satu saudara seayah). Jika ini terjadi maka: 40 a. Pada perhitungan pertama (ketika si ayah wafat) : para ahli waris disatukan oleh hubungan “anak” (banuwwah) karena mereka semua adalah anak si ayah. Warisan dibagikan antara mereka sebagai ‘ashabah, dengan mengikuti prinsip untuk laki-laki adalah dua kali bagian perempuan. Bentuk ‘ashabah mereka adalah ‘ashabah bil ghair; b. Pada perhitungan kedua (ketika salah seorang anak perempuan wafat) : para ahli waris disatukan dengan hubungan persaudaraan (ukhuwwah) sehingga terjadi perbedaan pembagian menurut furudh dan ‘ashabah yang mengikuti jenis kelamin masing-masing dan hubungan kedekatan dengan mayit kedua karena dua saudara kandung perempuan akan mewarisi melalui furudh dan saudara seayah akan mewarisi melalui ‘ashabah (‘ashabah bin nafsi). Atau dengan kalimat pendek dapat 40
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
35
dikatakan bahwa ahli waris mayit kedua adalah ahli waris mayit pertama dengan perubahan bagian warisan untuk mereka yang masih hidup. Oleh karena itu, pembagiannya disini berubah dan dalam keadaan seperti ini harus ada tindakan baru dan pengeluaran masalah yang bernama
“Al-Jaamiah
(kewarisan
berganda)”,
yaitu
yang
menggabungkan dua masalah. 3. Apabila para ahli waris mayit kedua lain dari pada pewaris mayit pertama atau sebagian dari mereka mewarisi dari dua jalur, yaitu dari jalur mayit pertama dan dari jalur mayit kedua. Dalam keadaan ini haruslah dikeluarkan “Al-Jaami’ah”, karena pembagiannya berbeda terhadap para pewaris. Misalnya, jika seorang istri (mayit pertama) pertama wafat meninggalkan suami, anak perempuan dan ibu. Tiba-tiba si suami (mayit kedua) wafat meninggalkan seorang istri kedua, ayah dan ibu. Setelah itu, si anak perempuan (mayit ketiga anak mayit pertama) juga wafat meninggalkan dua anak laki-laki, seorang anak perempuan dan nenek (“ibu” dari mayit pertama) ini wafat. Sehingga dalam keadaan ini, kewarisan berganda yang ada harus dipisah terlebih dahulu, karena pembagiannya berbeda terhadap para pewaris.41 Munasakhah menurut hukum kewarisan Islam, dalam menentukan ahli waris pengganti, lebih mengacu ke dalam hukum kewarisan patrilineal menurut ulama 41
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
36
Syafi’i yaitu penggantian ahli waris bersifat sangat terbatas antara kerabat keturunan laki-laki dan kerabat keturunan perempuan. Selain dalam pandangan hukum kewarisan Islam (fiqh mawaris), munasakhah ini juga berkembang sebagai bagian bentuk dari ahli waris pengganti yang telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Sebelum dikeluarkannya Kompilasi Hukum Islam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni dan Keputusan Menteri Agama tanggal 22 Juli 1991 Nomor 154, Pengadilan Agama di Indonesia dalam memutus dan menyelesaikan perkara kewarisan, berpedoman pada hukum kewarisan madzhab Syafi’i. Hal tersebut sesuai dengan surat edaran Biro Peradilan Agama Departemen Agama Republik Indonesia tanggal 18 Februari 1958 Nomor B/I/735. Dalam hukum kewarisan patrilineal menurut ulama Syafi’i dikenal ada tiga macam ahli waris yaitu dzawil furudl, asabah dan dzawil arham. Dari ketiga macam ahli waris tersebut yang berhak mendapat warisan hanya dzawil furudl dan asabah saja sedangkan dzawil arham tidak berhak mendapat warisan. Ciri dari hukum kewarisan patrilineal menurut ulama Syafi’i adalah pertama adanya diskriminasi antara kerabat keturunan laki-laki dan kerabat keturunan perempuan, dan kedua pada penggantian ahli waris bersifat sangat terbatas. 42 Akibat dari ketentuan tersebut, banyak kasus kewarisan yang penyelesaiannya kurang dapat diterima paling tidak oleh sebagian masyarakat Islam di Indonesia, karena dipandang tidak adil dan diskriminatif. Sebagai contoh, jika dalam suatu kasus 42
Ahmad Zahari, Op.cit. hal.67
Universitas Sumatera Utara
37
kewarisan ahli warisnya terdiri dari cucu yang berasal dari anak laki-laki dan cucu yang berasal dari anak perempuan, maka yang berhak mendapat warisan hanya cucu yang berasal dari anak laki-laki saja, cucu yang berasal dari anak perempuan tidak mendapat warisan karena ia adalah dzawil arham. Demikian pula jika ahli warisnya terdiri dari keponakan laki-laki dan keponakan perempuan, maka yang berhak mendapat warisan hanya keponakan laki-laki saja, keponakan perempuan tidak mendapat warisan karena ia adalah dzawil arham.43 Cara pembagian yang demikian itu dipandang janggal, tidak adil dan diskriminatif, sehingga sulit diterima. Betapa tidak, karena bagi seorang paman semua anak dari saudara-saudaranya adalah keponakannya sendiri, yaitu darah daging dari saudara-saudaranya yang laki-laki maupun perempuan. Demikian pula bagi seorang kakek, semua anak dari anak-anaknya adalah cucu-cucunya sendiri, yaitu darah daging dari anak-anak yang telah meninggal dunia yang berarti pula darah dagingnya sendiri, tidak peduli apakah cucunya itu laki-laki atau perempuan, dan juga tidak peduli apakah cucunya itu berasal dari anaknya yang laki-laki ataupun yang perempuan. Dengan demikian berarti semua keponakan atau semua cucu layaknya akan menempati posisi yang sama atau hak yang sama untuk mendapatkan warisan dari harta peninggalan paman atau kakeknya, betapapun kecilnya bagian yang akan mereka terima. Namun dalam hukum kewarisan patrilineal menurut ulama Syafi’i tidaklah demikian karena bercorak patrilineal, hukum kewarisan patrilineal menurut 43
Ibid
Universitas Sumatera Utara
38
ulama Syafi’i menempatkan keponakan perempuan sebagai dzawil arham, dan akibatnya mereka tidak mendapat bagian apa-apa dari harta warisan paman dan kakeknya. Kejanggalan, kepincangan dan ketidakadilan menjadi semakin dirasa tatkala mereka berhadapan dengan kasus kewarisan yang ahli warisnya terdiri dari dzawil arham semuanya seperti cucu laki-laki dan perempuan yang berasal dari anak perempuan dan seterusnya, karena menurut kewarisan patrilineal menurut ulama Syafi’i harta warisan harus diserahkan kepada Baitulmal untuk diwariskan kepada umat Islam lainnya, sementara keluarga pewaris sendiri yang dzawil arham itu tidak mendapat apa-apa. Memperhatikan ketentuan kewarisan yang dipandang tidak adil dan diskriminatif tersebut, maka dalam Kompilasi Hukum Islam dengan mengambil pengembangan dari kewarisan munasakhah dicantumkan Pasal 185 yang ayat (1) nya menyebutkan bahwa, “ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya”. Anak yang menggantikan kedudukan orang tuanya tersebut selanjutnya disebut sebagai ahli waris pengganti.44 Dengan waris pengganti yang rumusannya seperti itu maka sanak keluarga yang semula digolongkan sebagai dzawil arham kecuali bibi tidak hanya sekedar dapat lebih diutamakan haknya untuk mendapat warisan dibandingkan dengan baitulmal, akan tetapi ia juga dapat tampil sebagai ahli waris yang berhak mendapat warisan sekalipun ahli waris dzawil furudl dan asabah ada bersama-sama dengan 44
Ibid. hal.69
Universitas Sumatera Utara
39
mereka. Dengan demikian maka kewarisan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), dengan waris penggantinya telah mengurangi sifat diskriminasi yang selama ini terjadi dalam pembagian warisan dan sekaligus telah memberikan rasa keadilan kepada sanak keluarga dari pewaris, kecuali bibi dan keturunannya. Jika dipahami secara tekstual redaksi dari Pasal 185 tersebut, maka makna yang terkandung didalamnya adalah : 1. Penggantian dalam Pasal 185 itu mencakup penggantian tempat, derajat dan hak-hak, tanpa batas dan tanpa diskriminasi antara laki-laki dan perempuan. a. Penggantian
tempat artinya cucu menggantikan orang tuanya dan
menempati tempat orang tuanya selaku saudara pewaris, keponakan menggantikan orang tuanya dan menempati tempat orang tuanya selaku saudara pewaris, saudara sepupu menggantikan orang tuanya dan menempati tempat orang tuanya selaku paman pewaris, dan seterusnya. b. Penggantian derajat artinya ahli waris pengganti yang menggantikan anak laki-laki memperoleh derajat yang sama dengan derajat anak laki-laki, ahli waris pengganti yang menggantikan anak perempuan memperoleh derajat yang sama dengan derajat anak perempuan dan seterusnya. c. Penggantian
hak artinya, jika orang yang digantikan oleh ahli waris
pengganti itu mendapat warisan, maka ahli waris pengganti juga berhak mendapatkan warisan, dan jika orang yang digantikan itu menghijab ahli waris yang lain maka ahli waris pengganti juga menghijab ahli waris tersebut, dan seterusnya.
Universitas Sumatera Utara
40
d. Tanpa batas artinya, penggantian itu berlaku bagi cucu pewaris meskipun pewaris mempunyai anak laki-laki lain atau dua orang anak perempuan lainnya yang masih hidup. e. Tanpa diskriminasi artinya yang dapat menjadi ahli waris pengganti adalah semua keturunan baik laki-laki maupun perempuan, baik keturunan digaris laki-laki maupun perempuan, kecuali yang tidak disebut dalam Pasal 174 ayat (1) huruf a. Dengan demikian, maka yang dapat menjadi ahli waris pengganti adalah cucu laki-laki dan cucu perempuan dari anak laki-laki dan anak perempuan saudara laki-laki, anak laki-laki dan anak perempuan saudara perempuan, anak laki-laki dan anak perempuan paman dan keturunan dari ahli waris pengganti tersebut.45 2. Ahli waris pengganti akan mendapat bagian sebesar bagian ahli waris yang ia gantikan, artinya jika ahli waris pennganti itu menggantikan kedudukan anak laki-laki maka ia akan mendapatkan bagian sebesar bagian anak laki-laki, jika ia menggantikan kedudukan anak perempuan maka bagiannya adalah sebesar anak perempuan tersebut, dan jika ahli waris pengganti itu ada dua orang atau lebih maka mereka akan berbagi sama rata atas bagain ahli waris yang mereka gantikan, dengan ketentuan yang laki-laki mendapat dua kali bagian yang perempuan. Yang dimaksud dengan sederajat dalam Pasal 185 ayat (2) yang berbunyi “bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang 45
Ibid.hal. 73
Universitas Sumatera Utara
41
sederajat dengan yang diganti” yaitu sederajat misalnya antara anak laki-laki dan anak laki-laki, bukan antara anak laki-laki dan anak perempuan dimana Al-Quran Surat An-Nisaa ayat 11, KHI Pasal 176 dan 182 membedakannya. Dengan demikian, bagian ahli waris pengganti yang menggantikan kedudukan anak laki-laki tidak boleh melebihi atau tidak boleh lebih besar dari pada bagian anak laki-laki pewaris yang masih hidup, namun bisa lebih besar dari bagian anak perempuan pewaris, tergantung posisi kasusnya seperti apa. Sedangkan pada munasakhah menurut bahasa yaitu memindahkan / menyalin dan menghapus. Menurut istilah yaitu sebagian ahli waris ada yang mati sebelum diadakan pembagian harta pusaka/harta waris dengan meninggalkan perolehan waris dan ahli waris atau perpindahan hak waris seorang yang belum diterima oleh ahli warisnya. Jadi pada dasarnya antara hukum waris Islam dengan Kompilasi Hukum Islam telah mengatur sedemikian rupa tentang munasakhah maupun ahli waris pengganti ini. Bedanya dalam hukum waris Islam adanya hijab dan mahjub pada ahli waris pengganti tapi maksudnya sama yaitu meninggalnya ahli waris sebelum dia mendapatkan bagiannya. B. Penetapan Ahli Waris Dalam Kasus Kewarisan Munasakhah Perpindahan hak waris seseorang yang belum diterima kepada ahli warisnya atau pindah dari satu masalah ke masalah yang lain yang dimaksud dari kasus kewarisan munasakhah. Dengan kata lain, seorang meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris, tetapi berhubung karena satu dan lain hal salah seorang dari
Universitas Sumatera Utara
42
ahli waris tersebut meninggal dunia sebelum warisan pertama dan meninggalkan ahli waris yang lain pula. Maka dalam hal ini pula terdapat dua kasus. Kasus pertama dan kasus kedua dan tidak menutup kemungkinan untuk timbulnya kasus ketiga dan seterusnya. 46 Sebenarnya dalam hal tersebut masing-masing kasus dapat diselesaikan satusatu. Tetapi tidak lazim hal demikian dalam pembagian pusaka yang terjadi di masyarakat. Yang lazim adalah kedua kasus tersebut diselesaikan sekaligus dan inilah yang disebut dengan munasakhah. Munasakhah dalam pandangan hukum kewarisan Islam disini, dalam menetapkan ahli waris, lebih mengacu ke dalam hukum kewarisan patrilineal menurut ulama Syafi’i.47 Hukum kewarisan patrilineal menurut ulama Syafi’i dikenal ada tiga macam ahli waris yaitu dzawil furudl, ‘asabah dan dzawil arham. Dari ketiga macam ahli waris tersebut yang berhak mendapat warisan hanya dzawil furudl dan ‘asabah saja, sedangkan dzawil arham tidak berhak mendapat warisan.48 Dalam garis besarnya, ahli waris yang termasuk dalam kasus munasakhah dapat dijelaskan sebagai berikut: 49 1. Ahli waris yang terdiri dari ‘asabah saja 2. Ahli waris yang terdiri dari shahibul fard/ dzu fardlin ditambah ‘asabah.
46 Pahing Sembiring, Hukum Islam II Bidang Hukum Waris Islam (Faraidh), Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan : 2002, hal. 96 47 Ahmad Zahari, Op.cit. hal. 107 48 Ibid. 49 Pahing Sembiring, Loc.cit.
Universitas Sumatera Utara
43
Adapun maksud ‘asabah pada ahli waris dalam kasus munasakhah ini yaitu ahli waris yang tidak ditentukan berapa besar bagiannya, namun ia berhak menghabisi semua harta jika mewaris seorang diri, atau semua sisa harta jika mewaris bersama dengan ahli waris dzawil furudl.50 Ahli waris yang terdiri dari ‘ashabah menerima harta warisan salah satu diantara 2 (dua) yaitu menerima seluruh harta warisan atau menerima sisa dari harta warisan. Jika ahli waris dzu fardlin tidak ada, maka ia menerima seluruh harta warisan, akan tetapi kalau ada dzul fardlin ia menerima sisa pusaka setelah ahli waris dzu fardlin mengambil bagiannya.51 Dalam hukum kewarisan patrilineal menurut ulama Syafi’i mengenal tiga macam ‘asabah yaitu ‘asabah bin nafsi, ‘asabah bilghairi dan ‘asabah ma’al ghairi. ‘Asabah bin nafsi adalah ahli waris (laki-laki) yang sejak semula berkedudukan sebagai ‘asabah. ‘Asabah bin nafsi ini terdiri dari : 52 a. Anak laki-laki b. Cucu laki-laki dari anak laki-laki dan seterusnya kebawah c. Ayah d. Kakek dari pihak ayah dan seterusnya keatas e. Saudara laki-laki sekandung f. Saudara laki-laki seayah g. Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung
50
Ahmad Zahari, Op.cit. hal.108 http://msyahrur.blogspot.com/2011/09/sekilas-singkat-tentang-warisan.html, terakhir kali diakses tanggal 28 Juni 2012 52 Ahmad Zahari, Op.cit. hal. 109 51
Universitas Sumatera Utara
44
h. Anak laki-laki saudara laki-laki seayah i. Paman yang sekandung dengan ayah j. Paman yang seayah dengan ayah k. Anak laki-laki paman yang sekandung dengan ayah l. Anak laki-laki paman yang seayah dengan ayah ‘Asabah bil ghairi adalah ahli waris (perempuan) yang semula berkedudukan sebagai dzawil furudl, kemudian berubah status menjadi ‘asabah karena tertarik oleh saudara laki-laki, sehingga ahli waris laki-laki dan ahli waris perempuan bersamasama manjadi ‘asabah, dan mereka berhak menghabisi semua harta atau semua sisa harta dengan ketentuan yang laki-laki mendapat dua kali bagian yang perempuan. Ahli waris yang termasuk dalam kategori ini adalah:53 a. Anak perempuan menjadi ‘asabah karena tertarik oleh anak laki-laki b. Cucu perempuan menjadi ‘asabah karena tertarik oleh cucu laki-laki c. Saudara perempuan sekandung menjadi ‘asabah karena tertarik oleh saudara laki-laki yang sekandung d. Saudara perermpuan seayah menjadi ‘asabah karena tertarik oleh saudara laki-laki seayah ‘Asabah ma’al ghairi adalah ahli waris (perempuan) yang semula berkedudukan sebagai dzawil furudl, kemudian berubah status menjadi ‘asabah karena mewarisi harta bersama dengan anak perempuan atau cucu perempuan pewaris. Ahli waris yang termasuk dalam kategori ini adalah : 53
Ibid. hal. 110
Universitas Sumatera Utara
45
a. Saudara perempuan sekandung jika pewaris bersama anak perempuan atau cucu perempuan pewaris b. Saudara perempuan seayah jika mewaris bersama anak perempuan atau cucu perempuan pewaris Sedangkan yang dimaksud dengan dzu fardlin adalah seseorang yang mempunyai pembagian tertentu (sudah ditentukan). Adapun pembagian tertentu menurut Al-qur’an ada 6 (enam) yaitu : 54 1. ½ (setengah) 2. ¼ (seperempat) 3. 1/8 (seperdelapan) 4. 1/3 (sepertiga) 5. 2/3 (duapertiga) 6. 1/6 (seperenam) Ahli waris yang mendapatkan bagian salah satu dari enam macam bagian tersebut dinamakan ahli waris dzu fardlin. Pembagian tertentu (sudah ditentukan) bagi ahli waris, disini yang dimaksudkan adalah dzawil furudl. Adapun ahli waris yang mendapat ½ (seperdua) terdiri dari : a. Anak perempuan tunggal (QS. An-Nisa ayat 11) b. Cucu perempuan tunggal dari anak laki-laki (Qiyas) c. Saudara perempuan tunggal yang sekandung (QS. An-Nisa ayat 176)
54
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
46
d. Saudara perempuan tunggal yang seayah jika yang sekandung tidak ada (QS. An-Nisa ayat 176) e. Suami atau duda jika istrinya yang meninggal itu tidak mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki (QS. An-Nisa ayat 12) Ahli waris yang mendapat seperempat terdiri dari : 55 a. Suami atau duda jika istrinya yang meninggal itu ada mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki (QS. An-Nisa ayat 12) b. Istri atau janda jika suaminya yang meninggal itu tidak mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki (QS. An-Nisa ayat 12) Ahli waris yang mendapat 1/8 (seperdelapan) hanya satu orang saja yaitu istri atau janda jika suaminya yang meninggal itu ada mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki (QS. An-Nisa ayat 12). Ahli waris yang mendapat 2/3 (dua pertiga) terdiri dari : a. Dua orang perempuan atau lebih, jika anak laki-laki tidak ada (QS. An-Nisa ayat 11) b. Dua orang cucu perempuan atau lebih dari anak laki-laki, jika anak perempuan tidak ada (Qiyas) c. Dua orang saudara perempuan atau lebih yang sekandung (QS. An-Nisa ayat 176) d. Dua orang saudara perempuan atau lebih yang seayah, jika yang sekandung tidak ada (QS. An-Nisa ayat 176) 55
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
47
Ahli waris yang mendapat 1/3 (sepertiga) terdiri dari : a. Ibu jika anaknya yang meninggal itu tidak mempunyai anak atau cucu baik laki-laki maupun perempuan dari anak laki-laki, atau saudara-saudara baik laki-laki maupun perempuan yang sekandung, seayah atau seibu (QS. An-Nisa ayat 11) b. Dua orang saudara atau lebih yang seibu (QS. An-Nisa ayat 12) Ahli waris yang mendapat 1/6 (seperenam) terdiri dari : 56 a. Ibu jika anaknya yang meninggal itu ada mempunyai anak, atau cucu baik laki-laki maupun perempuan dari anak laki-laki, atau saudara-saudara baik laki-laki maupun perempuan yang sekandung, seayah atau seibu (QS. An-Nisa ayat 11) b. Ayah jika anaknya yang meninggal itu ada mempunyai anak atau cucu baik laki-laki maupun perempuan dari anak laki-laki (QS. An-Nisa ayat 11) c. Nenek (ibu dari ibu atau ibu dari ayah) jika anaknya yang meninggal itu tidak mempunyai ibu (HR. Zaid) d. Cucu perempuan seorang atau lebih dari anak laki-laki, jika pewaris mempunyai satu orang anak perempuan (HR. Bukhari) e. Kakek dari pihak ayah jika pewaris mempunyai anak atau cucu dari anak lakilaki sedangkan ayahnya tidak ada (Ijma’ ulama) f. Seorang saudara seibu laki-laki atau perempuan (QS. An-Nisa ayat 12)
56
Ibid. hal 108
Universitas Sumatera Utara
48
g. Seorang atau lebih saudara perempuan seayah jika pewaris mempunyai seorang saudara perempuan sekandung (Ijma’ ulama). Dalam hal ini, apabila ahli waris yang terdiri dari ‘asabah semuanya dan ahli waris shahibul fard/ dzu fardlin tidak ada, maka cara membagi pusakanya (warisan) dilakukan dengan menjadikan asal masalahnya jumlah ahli waris shahibul fard/ dzu fardlin tersebut dan dipandang kasus (masalah) pertama (kematian pada si pewaris) ataupun kasus (masalah) kedua (kematian pada ahli warisnya) didalam kewarisan munasakhah ini dianggap tidak ada.57 Contohnya : seorang meninggal, yang meninggalkan 5 orang anak laki-laki, sebelum pusaka dibagikan mati pula salah seorang anak laki-laki tersebut dengan meninggalkan 4 orang anak laki-laki. Dalam masalah ini, dikatakan saja seorang yang meninggal, meninggalkan 4 orang anak lakilaki, maka asal masalahnya 4 menurut jumlah manusianya (mereka). Sedangkan apabila mati seorang lagi anak tersebut maka asal masalahnya 3 yang sesuai dengan jumlah manusianya. Apabila ahli waris shahibul fard/ dzu fardlin ditambah dengan ahli waris dari ‘asabah, maka lebih dahulu dibuat perhitungan masalah pertama atau pada kematian yang pertama pada kasus munasakhah ini dan kemudian dibuat perhitungan pada masalah kedua atau pada kematian ahli waris selanjutnya pada kasus munasakhah ini, dan harus ditentukan tiga angka yaitu : 58 1. Angka asal masalah pertama atau ‘aulnya (amI/aul)
57 58
Pahing Sembiring, Op.cit. hal. 97 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
49
2. Angka asal masalah kedua/ ‘aulnya (amII/aul) 3. Angka pendapatan mayat yang kedua diterimanya dari kasus pertama (warisan dari mayat pertama) (pmII). Contohnya : Istri meninggal, dengan meninggalkan ahli waris yaitu suami, ibu, dan bapak. Kemudian sebelum pusaka dibagikan meninggal pula suami dengan meninggalkan ahli waris seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Sehingga penyelesaian dari kasus munasakhah ini yaitu : 1. Ahli waris istri (Angka asal masalah pertama atau ‘aulnya (amI/aul)) a. Suami : ½ = 3/6 = 3 b. Ibu : 1/6 = 1/6 = 1 c. Bapak : 1/3 (‘asabah bin nafsi) = 2/6 = 2 Sehingga amI/aul nya yaitu = 6 2. Ahli waris suami (Angka asal masalah kedua/ ‘aulnya (amII/aul)) a. Seorang anak laki-laki : 2/3 b. Seorang anak perempuan : 1/3 (‘asabah bilghair) 3. Angka pendapatan mayat yang kedua diterimanya dari kasus pertama (warisan dari mayat pertama) (pmII) yaitu 3. Jadi pendapatan suami dari warisan istrinya diberikan kepada anak laki-laki dan anak perempuan dengan perbandingan 2: 1. Sehingga seorang anak laki-laki mendapat 2/3 × 3 = 2 dan seorang anak perempuan mendapat 1/3 × 3 = 1 Penetapan ahli waris dalam kasus munasakhah ini, adalah dengan menempatkan setiap ahli waris yang berhak menerima warisan (pusaka) dari setiap
Universitas Sumatera Utara
50
pewarisnya baik pusaka yang berasal dari bagian ahli waris yang telah meninggal lebih dahulu dari pada si pewarisnya maupun yang meninggal tetapi belum adanya pembagian pusaka dari si pewaris sebelumnya. C. Penggantian Tempat (Ahli Waris Pengganti) Sebagai Pengembangan Dari Munasakhah Ayat-ayat Al-Quran terutama pada bidang kewarisan, yang mengatur akan kedudukan cucu, kemenakan, kakek, dan ahli waris yang derajatnya lebih jauh lagi tidak dirinci bagiannya atas warisan. Dalam Al-Quran, ahli waris yang bagiannya atas warisan dirinci dengan jelas ialah anak, orang tua (bapak dan ibu), saudara, janda, dan duda. Tiga ahli waris yang disebut pertama adalah ahli waris karena hubungan darah, sedangkan dua ahli waris yang disebutkan kemudian adalah ahli waris karena perkawinan. Sehingga pemindahan bagian ahli waris yang telah meninggal kepada ahli warisnya atau cucu dari sipewaris tidak dirinci bagiannya atas warisan yang diterimanya. Sebagai hukum setelah Al-Quran, As-Sunnah merupakan petunjuk apabila suatu persoalan tidak diatur oleh Al-Quran atau diatur secara garis besar saja. Ternyata, As-Sunnah tidak merinci secara jelas bagian cucu, kemenakan, kakek, dan ahli waris yang derajatnya lebih jauh lagi. Sehingga kajian tentang ahli waris pengganti (plaatsvervulling) di dalam hukum kewarisan Islam merupakan kajian baru dan tidak dikenal sebelumnya oleh para fuqaha dalam literatur fikih klasik, ketentuan ini merupakan terobosan baru dalam hal penyelesaian kewarisan anak (cucu) dari ahli waris (ayah) yang terlebih dahulu meninggal dari pewaris (kakek), menurut fuqaha mazhab anak tersebut
Universitas Sumatera Utara
51
digolongkan dalam posisi dzawil arham yang menurut ketentuan syara’ (dalam hal ini fikih dari ulama Syafi’i) bahwa anak (cucu) yang ayahnya meninggal terlebih dahulu dari pewaris (kakeknya) tersebut tidak dapat memperoleh dan menerima harta warisan.59 Di dalam kenyataannya terlihat sering anak-anak yang kematian ayahnya lebih dahulu dari kakeknya tersebut hidup dalam kemiskinan, sedang saudara-saudara ayahnya hidup dalam kecukupan. Anak yatim tersebut menderita karena kehilangan ayah dan sekaligus kehilangan hak (terhijab) dari kewarisan karena kewarisan ayahnya diambil oleh saudara-saudara ayahnya. Melihat kenyataan tersebut, perundang-undangan di beberapa negara muslim tidak lagi mengikuti aturan-aturan fikih klasik mazhab tersebut, tetapi disana telah diadakan beberapa perubahan terutama menyangkut hak anak (cucu) yang kematian ayahnya terlebih dahulu dari kakeknya tersebut. Hukum kewarisan di Mesir (1946) telah memperkenalkan lembaga alwassiyah al-wajibah (wasiat wajib) yang secara serta merta seorang pewaris dianggap telah berwasiat untuk anak (cucu) yang kematian ayahnya terlebih dahulu dari kakeknya itu tadi, dan hak yang diberikan adalah sebanyak hak yang seharusnya diterima ayahnya atau maksimal 1/3 harta. Ketentuan tentang wasiat wajibah ini juga
59
http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/05/makalah-ilmu-faraid.html, diakses pada tanggal 28 Juni 2012.
terakhir
kali
Universitas Sumatera Utara
52
telah menjadi perundang-undangan di beberapa negara muslim lainnya seperti Tunisia (1959), Iraq (1964) dan Pakistan (1961). 60 Karena baik Al-Quran maupun As-Sunnah tidak menegaskan bagian cucu, kemenakan, kakek, dan ahli waris yang derajatnya lebih jauh lagi, maka persoalan itu dicari jalan keluarnya melalui ijtihad. Salah satu ijtihad untuk menentukan bagian cucu adalah ijtihad yang dilakukan Zaid bin Tsabit. 61 Pada saat itu, ijtihad Zaid bin Tsabit mendapat pembenaran, sebab jalan pikiran tersebut sesuai dengan alam pikiran masyarakat Arab pada saat ijtihad tersebut dilakukan. Penonjolan kedudukan laki-laki maupun keturunan lewat garis laki-laki, merupakan sesuatu yang sangat logis, sebab alam pikiran patrilineal sangat mempengaruhinya. Keturunan lewat orang perempuan sama sekali tidak disinggung-singgung, sebab mempersoalkannya justru dianggap sangat tidak logis oleh alam pikiran patrilineal. Tidak mewarisnya orang dari garis perempuan, bukan merupakan persoalan dan juga tidak menyinggung rasa keadilan. Yang perlu dicari pemecahannya adalah keturunan lewat garis laki-laki.62 Oleh karena itu, pikiran-pikiran kearah sistem penggantian tempat
tidak
dijumpai. Dalam kaitan ini Tahir Mahmood berkata : “Doktrin representasi tidak diakui dalam hukum kewarisan Islam dimana para keluarga yang lebih dekat
60 Al Yasa Abu Bakar, Ahli Waris Sepertalian Darah, Kajian Perbandingan Terhadap Penalaran Hazairin Dan Penalaran Fikih Mazhab, INIS, Jakarta : 1998, hlm. 3. 61 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaharuan Hukum Positif di Indonesia, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta : 2009, hal.154 62 Ibid
Universitas Sumatera Utara
53
menyingkirkan yang lebih jauh dalam golongan yang sama. Cara pemecahannya dengan memperkenalkan prinsip wasiat wajibah.”63 Dari pernyataan Tahir Mahmood tampak bahwa ajaran tentang penggantian tempat tidak diakui dalam hukum kewarisan Islam. Sebagai gantinya, diperkenalkan wasiat wajibah. Pranata wasiat wajibah, yang memberikan jalan keluar bagi cucu yang tidak mewaris, memperluas pengertian cucu sampai derajat yang tidak terbatas jika cucu tersebut lewat garis laki-laki dan satu derajat jika lewat garis perempuan. Jika hanya dilihat dari segi ini, sesungguhnya masalah cucu dalam wasiat wajibah amat mirip dengan penggantian tempat. “Sesungguhnya masalah cucu merupakan waris pengganti ayahnya yang mati terlebih dahulu. Pemikiran seperti ini tidak diakui oleh golongan Ahlussunnah”. Di Indonesia, Hazairin berpendapat bahwa penggantian tempat dikenal dalam hukum kewarisan Islam. Dengan pemikiran yang amat logis dan analitis, beliau memaparkan bahwa pemikiran kearah sistem penggantian tempat lebih logis jika dikaitkan dengan ayat-ayat Al-Quran dalam bidang kewarisan jika dibandingkan dengan pemikiran kearah lainnya. Dalam melakukan analisis ayat-ayat
Al-Quran
bidang kewarisan, metode yang beliau pergunakan adalah metode perbandingan langsung, yaitu perbandingan antara segala ayat yang ada sangkut pautnya dengan pokok persoalan, yaitu persoalan kewarisan. Karena dasar pikiran ini, beliau
63
Abdullah Siddik, Op.cit. hal.223
Universitas Sumatera Utara
54
berpendapat bahwa tidak ada kemungkinan bagi suatu ayat Al-Quran untuk memasukkan ayat yang lain.64 Anak laki-laki mewaris dari bapak maupun ibunya. Anak perempuan mewaris dari bapak maupun ibunya. Bapak mewaris dari anak laki-laki maupun perempuan. Ibu mewaris dari anak laki-laki maupun perempuan. Kebenaran dari pernyataan ini dapat dilihat dari Al-Quran Surah An-Nisaa’ ayat 11, yang artinya: Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anakanakmu. Yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan apabila anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta. Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya, seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, makanya ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.65 Ayat ini tidak menunjukkan bahwa pengertian anak diperluas menjadi cucu dan seterusnya dalam garis lurus, tetapi ayat ini jelas menunjukkan bahwa hak mewaris orang laki-laki dan orang perempuan sama. Artinya, baik laki-laki atau perempuan mewaris tanpa melihat apakah yang diwarisi itu laki-laki atau perempuan. Ini jelas menunjukkan bahwa Al-Quran menghendaki sistem bilateral dalam bidang
64 65
Hazairin, Op.cit. hal. 3 Departemen Agama Republik Indonesia, Op.cit. hal.150
Universitas Sumatera Utara
55
kewarisan, apalagi jika ayat tersebut dikaitkan dengan Al-Quran Surah An-Nisaa’ ayat 7. Jika kemudian dalam praktik timbul persoalan mengenai cucu, konsistensi terhadap ayat tersebut tetap perlu. Pendapat Zaid bin Tsabit mengenai cucu menunjukkan bahwa beliau tidak konsisten. Tidak konsistennya terlihat mengapa cucu dari garis laki-laki saja yang mungkin mewaris. Disini ditegaskan kata “mungkin”, sebab cucu dari anak laki-laki pun tidak akan mewaris jika ada anak lakilaki. Dalam keadaan yang disebutkan terakhir ini, cucu terhijab oleh anak laki-laki. Cucu dari anak perempuan sama sekali tidak disebutkan oleh Zaid bin Tsabit. Dalam alam pikiran patrilineal, cucu lewat garis perempuan hanya dipandang sebagai ahli waris dzul arham. Bertolak dari pikiran yang sangat sederhana, tetapi sangat logis itu, beliau menguraikan bagaimana kemungkinan yang terjadi dalam hukum kewarisan Islam jika terdapat ahli waris pengganti atau penggantian tempat 66. Al-Quran Surah An-Nisaa’ ayat 12 menjelaskan bagian suami, istri dan saudara atas warisan. Selengkapnya arti ayat tersebut adalah: Dan bagian kamu (kamu-kamu) laki-laki seperdua dari harta peninggalan istri-istri kamu (kamu-kamu) apabila mereka tidak mempunyai anak (walad), maka jika ada bagi meeka itu anak (walad), maka bagi kamu (kamu-kamu) seperempat dari harta peninggalan mereka, sesudah pengeluaran wasiat yang diwasiatkan atau utang; dan bagi mereka seperempat dari harta peninggalan kamu kalau tidak ada anak (walad) bagi kamu, maka bagi mereka seperdelapan dari harta peninggalan kamu sesudah dikeluarkan wasiat yang kamu wasiatkan, atau utang; dan jika ada seorang laki-laki diwarisi secara punah (kalalah) atau seorang perempuan, sedang baginya ada seorang 66
Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Op.cit, hal 157
Universitas Sumatera Utara
56
saudara laki-laki atau perempuan, setiap mereka itu memperoleh seperenam, maka jika mereka itu lebih banyak daripada demikian, maka mereka itu bersekutu (syurakaa’). Untuk sepertiga, sesudah di keluarga wasiat yang diwasiatkannya atau utang, pengeluaran yang tidak mendatangkan kemudaratan (kesempitan), demikianlah ketentuan Allah; dan Allah itu mengetahui lagi penyantun.67 Apabila sebelum Islam datang, seorang perempuan tidak mungkin mewaris dalam keadaan apa pun, apalagi seorang janda. Setelah Islam datang, seorang perempuan sama haknya dengan seorang laki-laki dalam mewaris. Seorang janda pada masa sebelum Islam datang telah dijadikan objek kewarisan, artinya ia dijadikan seolah-olah suatu barang yang dapat dialihkan kepemilikannya. Dalam hukum kewarisan Islam, kedudukan seorang janda sangat kuat. Sebab ia tidak mungkin terhijab hirman oleh siapapun. Ia hanya mungkin ter-hijab nuqshan, yaitu dengan tampilnya keturunan.68 Disamping itu, dalam ayat Al-Quran di atas juga ditegaskan bahwa saudara juga mewaris. Saudara laki-laki dan saudara perempuan mewaris dari saudaranya yang meninggal dunia. Artinya, tidak memperhatikan berkelamin apa saudara yang meninggal dunia, baik saudara laki-laki maupun saudara perempuan dapat mewaris. Selanjutnya, bagian saudara tersebut diatur dalam Al-Quran Surah An-Nisaa’ ayat 176, yang artinya : Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: Allah member fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu) jika seseorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta 67 68
Departemen Agama Republik Indonesia, Op.cit. hal. 155 Moh.Muhibbin dan Abdul Wahid, Op.cit. hal.158
Universitas Sumatera Utara
57
saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri atas) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak dua kali bagian saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Kedua ayat Al-Quran ini, yakni Surah An-Nisaa’ ayat 12 maupun 176, mengatur bagian saudara atas warisan. Karena adanya perbedaan itu, golongan Ahlussunnah menafsirkan bahwa saudara dalam ayat 12 merupakan saudara seibu, sedangkan saudara dalam ayat 176 merupakan saudara kandung atau saudara sebapak.69 Dari ayat-ayat Al-Quran diatas, jelas sekali bagian kemenakan tidak diatur. Yang jelas diatur adalah bagian saudara, baik saudara laki-laki maupun perempuan. Pada waktu membicarakan bagian kemenakan, golongan Ahlussunnah hanya mambahas kemenakan dari garis laki-laki saja, yaitu kemenakan dari saudara kandung dan sebapak. Itupun hanya sebatas pada kemenakan laki-laki, sedangkan kemenakan perempuan, hanya dipandang sabagai ahli waris dzul arham, kemenakan laki-lakipun, kalau ia berasal dari saudara perempuan, baik kandung maupun sebapak atau kemenakan itu berasal dari saudara seibu maka kemenakan tersebut hanya dipandang sebagai ahli waris dzul arham. Sama seperti pada waktu analisis mengenai bagian cucu, Hazairin sangat tidak sependapat dengan keadaan seperti itu. Menurut beliau, sistem penggantian tempat merupakan jalan yang sangat tepat untuk mengatasi kekusutan itu. Contoh sederhana, 69
Ibid
Universitas Sumatera Utara
58
seorang meninggal dunia dengan meninggalkan dua orang kemenakan laki-laki, yang seorang berasal dari saudara laki-laki, sedangkan yang lain berasal dari saudara perempuan. Menurut golongan Ahlussunnah, anak dari saudara perempuan sama sekali tidak mewaris, karena terhalang oleh anak laki-laki dari saudara laki-laki. Dalam keadaan seperti ini, seluruh warisan diterima oleh anak laki-laki dari saudara laki-laki, yang disebut terakhir ini berkedudukan sebagai ashabah binafsihi. Dalam contoh ini, semua saudara pewaris telah meninggal dunia lebih dahulu daripada pewaris. Jika sistem penggantian tempat diterapkan dalam kejadian tersebut, kedua kemenakan itu berhak mewaris. Kemenakan laki-laki dari anak laki-laki memperoleh sepertiga bagian, sedangkan kemenakan laki-laki dari saudara laki-laki memperoleh dua pertiga bagian.70 Setelah Hazairin membuktikan adanya penggantian tempat dalam hukum kewarisan Islam, baik dalam garis lurus kebawah, ke atas, dan garis ke samping. Beliau berusaha merumuskan pengertian penggantian tempat tersebut menurut hukum kewarisan Islam. Menurut beliau, yang dimaksud dengan garis pokok penggantian adalah suatu cara untuk menentukan siapa-siapa ahli waris. Tiap-tiap ahli waris berdiri sendiri sebagai ahli waris, dia bukan menggantikan ahli waris yang lain. Jika seseorang meninggal dunia, yang tampil sebagai ahli waris terdiri atas anak, cucu, saudara, bapak, ibu, dan kakek serta nenek. Dari sekian ahli waris yang ada, perlu diadakan penyaringan atau penentuan siapa yang berhak memperoleh bagian warisan. Jika antara pewaris dengan ahli waris tidak ada penghubung, bisa 70
Ibid. hal.159
Universitas Sumatera Utara
59
dikatakan orang tersebut mewaris langsung. Misalnya, seorang anak mewaris dari orang tuanya. Jika antara pewaris dengan ahli waris
tersebut mewaris karena
penggantian tempat, misalnya seorang cucu yang orang tuanya telah meninggal dunia lebih dahulu daripada pewaris. Menentukan siapa ahli waris dari keseluruhan ahli waris yang ada inilah yang dimasudkan oleh Hazairin dengan garis pokok penggantian. Pada pemikiran Hazairin mengenai dikenalnya penggantian tempat dalam hukum kewarisan Islam apabila diuji dengan As-Sunnah dalam bidang kewarisan, sehingga ada beberapa hadis yang perlu diutarakan dalam kaitan ini, yakni sebagai berikut. Ibnu Abbas telah berkata : Apakah Zaid bin Tsabit tidak takut akan Allah dengan menjadikan anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu laki-laki dari anak lakilaki) seperti anak laki-laki, tetapi ia tidak menjadikan bapaknya bapak sebagai bapak. Maksudnya, jika seseorang mati dengan tidak meninggalkan bapak, bapaknya bapak mestinya dianggap seperti bapak, sebagaimana anak dianggap sebagai anak. Ini pendapat Ibnu Abbas. Ibnu Abbas bercerita bahwa Rasulullah berkata, Bayarkanlah faraidh kepada yang berhak menerimanya, dan sisanya (yaitu setelah dibagi untuk ahli waris dzul faraidh) untuk orang laki-laki yang terdekat (HR. Bukhari dan Muslim). Hadist yang pertama menunjukkan bahwa Ibnu Abbas tidak setuju dengan pendapat Zaid bin Tsabit yang menyamakan kedudukan cucu dari anak laki-laki dengan anak laki-laki, baik dalam mewaris maupun menghijab. Dalam phadis yang kedua, sangat penting
Universitas Sumatera Utara
60
jika dikaitkan dengan ijtihad Hazairin tentang penggantian tempat dalam hukum kewarisan Islam.71 Penggantian tempat ini yang merupakan ajaran Hazairin juga telah diatur dalam kompilasi Hukum Islam (KHI) yang merupakan pengembangan dari kasus munasakhah yang lebih cenderung dengan hukum kewarisan patrilineal menurut ulama Syafi’i, yang masih tetap di pergunakan tidak hanya oleh masyarakat Islam, melainkan juga oleh para Hakim di lingkungan Peradilan Agama sendiri. Pelembagaan ahli waris pengganti (plaatsvervulling) dalam KHI tersebut dilakukan dengan cara modifikasi. Artinya: 72 1. Pelembagaannya melalui pendekatan kompromistis dengan hukum adat atau nilai-nilai hukum Eropa. 2. Cara perkembangannya tidak mengikuti pendekatan berbelit melalui bentuk wasiat wajibah seperti yang dilakukan beberapa negara, seperti Mesir. Tapi langsung secara tegas menerima kompromi yuridis waris pengganti baik bentuk dan perumusan. 3. Penerimaan lembaga ini tidak secara bulat, tetapi dalam bentuk modifikasi dalam acuan penerapan: a. Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti. 71
Ibid. Departemen Agama RI, Mimbar Hukum dan Aktualisasi Hukum Islam, no. 44 thn.1999, Al-Hikmah dan Ditbinbapera Islam, Jakarta, hal.22-23. 72
Universitas Sumatera Utara
61
b. Apabila waris pengganti seorang saja dan ayahnya hanya mempunyai seorang saudara perempuan, maka bagiannya sebagai ahli waris pengganti tidak lebih besar dari bagian saudara perempuan ayahnya, harta warisan dibagi dua antara waris pengganti dengan bibinya. Motivasi pelembagaan hukum waris pengganti (plaatsvervulling) dalam hukum waris KHI tersebut, didasarkan atas rasa keadilan dan perikemanusiaan. Oleh karena tidak layak dan tidak adil serta tidak manusiawi menghukum seseorang untuk tidak berhak menerima warisan yang semestinya harus diperoleh ayahnya, hanya karena faktor kebetulan ayahnya meninggal lebih dahulu dari kakek. Apalagi jika faktanya, pada saat kakek meninggal dunia, anak-anaknya semua sudah kaya dan mapan, sebaliknya si cucu oleh karena ditinggal menjadi yatim, melarat dan miskin dan dilenyapkan pula haknya untuk memperoleh apa yang semestinya menjadi hak bapaknya karena bapaknya meninggal terlebih dahulu dari kakeknya tersebut. Dengan demikian pelaksanaan ahli waris pengganti sebagaimana yang termuat dalam KHI tersebut kelihatannya memberikan keadilan di Indonesia yang sangat tinggi terutama terhadap anak yang ayahnya terlebih dahulu meninggal dari kakeknya yang dalam sistem kewarisan Islam (syara’) ia tidak akan mendapatkan harta waris. Pelaksanaan ahli waris pengganti sebagaimana yang telah ditetapkan oleh KHI masih berbentuk law in book dan tentunya belumlah sepenuhnya sesuai dengan kenyataan (penerapan) yang ada di dalam masyarakat (law in action). Dalam teorinya, sebuah sistem hukum dapat dikatakan efektif apabila hukum tersebut sudah dapat dipatuhi masyarakat, dan masyarakat akan mematuhi hukum jika mereka
Universitas Sumatera Utara
62
mengetahui ketentuan-ketentuan kaedah hukum (aspek kognitif) sehingga timbul sikap akan sadar hukum (aspek afektif),73 dengan ini hukum dapat dilaksanakan sesuai dengan yang dicita-citakan (ius constituendum) terhadap hukum yang sedang berlaku (ius constitum).74 Dari segi praktis, kewarisan menurut KHI berfungsi sebagai hukum terapan, sedangkan hukum kewarisan menurut ulama Syafi’i dan Hazairin dapat merupakan doktrin-doktrin yang dapat dipilih guna mengisi kekosongan (rectsvacuum) terhadap KHI yang secara normatif belum membahas tuntas semua permasalahan dalam hukum kewarisan Islam di Indonesia.
73
Abd Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, jilid I, Pt. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1986, hlm. 310. 74 Ibid. hal. 126
Universitas Sumatera Utara