34
BAB II
KONSEP PENGGANTIAN TEMPAT AHLI WARIS/ AHLI WARIS PENGGANTI DALAM HUKUM KEWARISAN ISLAM A. Tinjauan Umum tentang Hukum Kewarisan Islam 1.
Pengertian Hukum Kewarisan Islam Hukum yang mengatur tentang peralihan harta warisan dari pewaris kepada
ahli waris dinamakan hukum kewarisan, yang dalam hukum Islam dikenal beberapa istilah seperti : faraidh, fikih Mawaris, dan lain-lain, yang kesemua pengertiannya oleh para fukaha (ahli hukum fikih) di kemukakan sebagai berikut : a. Hasbi Ash-Shiddieqy, hukum kewarisan adalah : Suatu ilmu yang dengan dialah dapat diketahui orang yang menerima pusaka, orang yang tidak menerima pusaka, serta kadar yang diterima tiap-tiap waris dan cara membaginya.56 b. Abdullah Malik Kamal Bin As-Sayyid Salim, Ilmu Fara’id ialah : Ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah fikih dan ilmu hitung yang berkaitan dengan harta warisan dan orang-orang yang berhak yang mendapatkannya agar masing-masing orang berhak mendapatkan bagian harta warisan yang menjadi haknya.57 c. Ahmad Zahari, Hukum Kewarisan Isalm yaitu :
56
Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqhul Mawaris (Jakarta: Bulan BIntang, 1973), hal. 18 Abdullah Malik Kamal Bin As-Sayyid Salim, Sahih Fikih Sunnah ( Penterjemah Khairul Amru Harahap dan Faisal Saleh), (Jakarta : Pustaka Azzam, 2007), hal. 682 57
34
Universitas Sumatera Utara
35
Hukum yang mengatur tentang peralihan hak milik atas harta warisan dari pewaris kepada orang-orang yang berhak menerimanya (ahli waris), berapa besar bagiannya masing-masing, kapan dan bagaimana cara peralihannya sesuai ketentuan dan petunjuk Al-Qur’an, hadist dan ijtihad para ahli.58 Dari definisi-definisi diatas dapatlha dipahami bahwa ilmu faraid sebagai ilmu yang mengatur tentang pemindahan dan pembagian harta peninggalan dari seseorang yang meninggal dunia kepada orang-orang yang masih hidup, baik mengenai harta yang ditinggalkan, orang-orang yang berhak menerimanya (ahli waris), bagian masing-masing ahli waris maupun cara penyelesaian pembagiannya. Kompilasi hukum Islam yang tertuang dalam format perundang-undangan yang mengatur ketentuan kewarisan dipakai sebagai pedoman dalam hukum kewarisan Islam. 2.
Unsur-unsur Hukum Kewarisan Menurut hukum kewarisan Islam ada 3 unsur yaitu : a. Pewaris (Muwarit) Yaitu : seseorang yang telah meninggal dan meninggalkan sesuatu yang dapat beralih kepada keluarganya yang masih hidup.59 Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 huru b mendefinisikan sebagai berikut : 58
Ahmad Zahari, Hukum Kewarisan Islam , (Pontianak : FH.Untan Pres, 2008), hal. 148 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta : Kencana Predana Media Group, 2008), hal. 12 59
Universitas Sumatera Utara
36
Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan, beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan. b. Ahli Waris (Warits) Yaitu : orang yang berhak mendapat warisan karena mempunyai hubungan dengan pewaris, berupa hubungan kekerabatan, perkawinan atau hubungan lainnya. Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 171 huruf c, menyatakan ahli waris adalah : orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. c. Warisan (Mauruts) Yaitu : sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia, baik berupa benda bergerak maupun benda tak bergerak. 3.
Syarat-syarat mewaris Sebelum seseorang mewaris haruslha dipenuhi tiga syarat yaitu : a. Meninggal dunianya pewaris Meninggalnya pewaris mutlak harus dipenuhi karena seseorang baru disebut pewaris setelah dia meninggal dunia yang berarti jika seseorang memberikan hartanya kepada ahli waris ketika dia masih hidup itu bukan waris. Meninggal dunia atau mati dapat dibedakan :
Universitas Sumatera Utara
37
1) Mati haqiqy (sejati), adalah kematian yang dapat disaksikan oleh panca indra. 2) Mati hukmy (menurut putusan hakim), yaitu kematian yang disebabkan adanya putusan hakim, baik orangnya masih hidup maupun sudah mati. 3) Mati taqdiry (menurut dugaan), yaitu kematian yang didasarkan ada dugaan yang kuat bahwa orang yang bersangkutan telah mati.60 b. Hidupnya ahli waris Hidupnya ahli waris harus jelas pada saat pewaris meninggal dunia karena seseorang akan mewaris jika dia masih hidup ketika pewaris meninggal dunia. Ahli waris merupakan pengganti untuk menguasai warisan yang ditinggalkan oleh pewaris, perpindahan hak tersebut diperoleh melalui jalan kewarisan. c. Tidak ada penghalang-penghalang untuk mewaris. Tidak terdapat salah satu dari sebab terhalangnya seseorang untuk menerima warisan. 4.
Sebab-sebab orang mewaris Harta orang yang telah meninggal dunia dengan sendirinya berpindah kepada
orang yang masih hidup yang menpunyai hubungan dengan orang yang meninggal tersebut. Hubungan yang dimaksud adalah yang menyebabkan orang menerima warisan, yaitu : a. Hubungan kekerabatan
60
H.R.Otje Salman S, Mustofa Haffas, Hukum Waris Islam, (Bandung : PT.Refika Aditama, 2006), hal. 5
Universitas Sumatera Utara
38
Hubungan kekerabatan adalah hubungan yang ditentukan oleh adanya hubungan darah yang ditentukan pada saat adanya kelahiran.61 Hubungan kekerabatan dalam garis lurus ke bawah (anak, cucu dan seterusnya), garis lurus ke atas (ayah, kakek dan seterusnya), maupun garis kesamping (saudara-saudara) dan mereka saling mewaris satu sama lainnya sesuai dengan ketetapan Allah SWT dalam Al-Qur’an, baik dari garis lakilaki/ ayah maupun dari garis perempuan/ ibu. b. Hubungan perkawinan Hak saling mewaris antara suami istri yang disebabkan adanya hubungan hukum yaitu perkawinan. Berlakunya hubungan kewarisan antara suami dan istri didasarkan pada : 1). Adanya akad nikah yang sah Keduanya masih terikat perkawinan ketika salah satu meninggal dunia, temasuk juga istri yang dalam masa iddah setelah ditalak raji’i. c. Hubungan Wala Adalah
hubungan
antara
seorang
hamba
dengan
orang
yang
memerdekakannya, orang yang memerdekakan hamba dapat mewarisi harta hamba yang dimerdekakannya, berdasarkan ketentuan Rasulullah SAW (Hadist). d. Hubungan seagama
61
Amir Syarifuddin, Op.Cit, hal. 175
Universitas Sumatera Utara
39
Hak saling mewaris sesama umat Islam yang pelaksanaannya melalui Baitulmaal. Hubungan ini terjadi apabila seorang Islam meninggal dunia tidak mempunyai ahli waris, sehingga hartanya di serahkan ke baitulmaal untuk digunakan oleh umat Islam. 5.
Penghalang orang mewaris Dalam hukumkewarisan Islam ada empat yang menjadi penghalang mewaris,
yaitu : a. Pembunuhan Pembunuhan yang dilakukan ahli waris terhadap pewaris menjadi penghalang baginya untuk menerima warisan dari pewaris. Hal ini sesuai dengan Hadist Rasulullah SAW yakni hadist riwayat Ahmad yang artinya : “barang siapa membunuh seorang korban, maka ia tidak dapat mewarisnya, walaupun korban tidak mempunyai ahli waris selain dirinya sendiri, (begitu juga) walaupun korban itu adalah orang tuanya atau anaknya sendiri, maka bagi pembunuh tidak berhak menerima warisan62 Pada dasarnya pembunuhan adalah kejahatan, namun demikian ada juga pembunuhan yang dilakukan dalam keadaan tertentu sehingga pembunuhan bukan menjadi suatu kejahatn, untuk itu pembunuhan dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu : 1) Pembunuhan secara hak dan tidak melawan hukum, yaitu :
62
Ahmad Rafiq, Fiqih Mawaris, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1993), hal. 24
Universitas Sumatera Utara
40
Pembunuhan yang pelakunya tidak dinyatakan sebagai pelaku kejahatan dan dosa, dapat dikategorikan dalam hal ini : a)
Pembunuhan musuh dalam perang
b) Pembunuhan dalam pelaksanaan hukuman mati c)
Pembunuhan dalam membela jiwa, harta dan kehormatan
2) Pembunuhan secara tidak hak melawan hukum, yaitu : pembunuhan yang dilarang oleh agama dan terhadap pelakunya dikenakan sanksi dunia dan/ atau akhirat, yang termasuk dalam kategori ini adalah : a)
Pembunuhan sengaja dan terencana, yaitu suatu pembunuhan yang pelaksanaannya terdapat unsur kesengajaan. Sanksi dunia hukuman mati dalam bentuk qishas (Q.S.Al-Baqarah (2) : 178). Sanksi Akhiran Neraka Jahanam (Q.S.An-Nisa (4) : 92).
b) Pembunuhan tersalah, yaitu pembunuhan yang tidak terdapat unsur kesengajaan tetapi membuat orang terbunuh. Sanksi dunia berupa denda/diyat ringan yang harus diserahkan kepada keluarga korban. Sanksi akhirat bebas. c)
Pembunuhan seperti segaja
d) Pembunuhan seperti tersalah
Universitas Sumatera Utara
41
Keduanya mendapatkan sanksi dunia berupa denda/diyat yang harus diserahkan kepada keluarga korban.63 Dari uraian tentang pembunuhan diatas maka yang merupakan sebab terhalangnya seseorang mewaris dari orang yang dibunuhnya adalah : 1) Pembunuhan yang memutus tali silaturrahmi. 2) Pembunuhan dengan tujuan mempercepat proses berlakunya kewarisan. 3) Pembunuhan yang merupakan kejahatan atau maksiat.64 b. Berbeda Agama Berbeda agama berarti agama pewaris berbeda dengan ahli waris, sehingga tidak saling mewarisi, misalnya pewaris muslim, ahli waris non muslim. Hal ini didasari oleh Hadist Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, yang artinya : “ orang Islam tidak dapat mewaris harta orang kafir, dan orang kapir pun tidak dapat mewaris harta orang Islam”.65 c. Perbudakan Perbudakan menjadi penghalang untuk mewaris, hal ini didasari pada kenyataan bahwa budak tidak memiliki kecakapan untuk bertindak, dengan kata lain budak tidak dapat menjadi subjek hukum. Al-Qur’an dalam Surah An-Nahl ayat 75 menegaskan yang artinya :
63
Amir Syarifuddin, Op.Cit. hal. 194 Ibid, hal. 196 65 Fatcthur Rahman, Op.Cit, hal. 95 64
Universitas Sumatera Utara
42
“Allah SWT membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya/ budak yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun dan seorang yang kami beri rizki yang baik dari kami, lalu dia menafkahkan sebahagian rezeki itu secara sembunyi dan secara terang-terangan, adakah mereka sama? Segala puji bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tiada mengetahui.66 Ayat diatas menegaskan bahwa seorang hamba sahaya/ budak tidak cakap mengurusi hak miliknya dengan jalan apapun, karena tidak cakap berbuat maka budak tidak dapat mewaris. Sesungguhnya, pada masa sekarang berbicara tentang budak yang dikaitkan dengan persoalan kewarisan sudah tidak ada lagi, kalaupun ada jumlahnya sedikit. Kompilasi Hukum Islam (inpres No. 1/1991) pada Buku II, Pasal 173 menyatakan seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan Hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dihukum karena : a. Dipersalahkan
telah
membunuh
atau
mencoba
membunuh
atau
menganiaya berat sipewaris. b. Dipersalahkan secara menfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih besar. 6.
Asas-asas Hukum Kewarisan Islam Asas-asas hukum keawarisan Isalm dapat digali dari keseluruhan ayat-ayat
hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan penjelasan tambahan dari Hadist Nabi Muhammad SAW. Dalam hal ini dapat dikemukakan lima asas : 66
www.al-qur’andigital.com
Universitas Sumatera Utara
43
a.
Asas Ijbari Yaitu peralihan harta orang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup berlaku dengan sendirinya tanpa tergantung kepada kehendak pewaris atau ahli waris. Asas Ijbari dalam hukum kewarisan Islam tidak dalam arti yang memberatkan ahli waris. Seandainya pewaris mempunyai hutang yang lebih besar dari warisan yang ditinggalkannya, ahli waris tidak dibebani untuk membayar hutang tersebut, hutang yang dibayar sebesar warisan yang ditinggalkan oleh pewaris.
b.
Asas Bilateral Bahwa seseorang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu pihak kerabat garis keturunan laki-laki dari pihak kerabat garis keturunan perempuan.
c.
Asas individual Bahwa harta dapat dibagi-bagi untuk dimiliki secara perorangan. Ini berarti setiap ahli waris berhak atas bagian yang didapatnya tanpa tergantung dan terikat dengan ahli waris lainnya. Keseluruhan harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang mungkin dibagi-bagi, kemudian jumlah tersebut dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menurut kadar masingmasing. Bisa saja harta warisan tidak dibagi-bagikan asal ini dikehendaki oleh ahli waris yang bersangkutan, tidak dibagi-baginya harta warisan itu tidak menghapus hak mewaris para ahli waris yang bersangkutan.
d.
Asas Keadilan Berimbang
Universitas Sumatera Utara
44
Asas ini dapat diartikan adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan. Secara dasar dapat dikatakan bahwa faktor perbedaan jenis kelamin tidak menentukan dalam hak kewarisan artinya laki-laki mendapat hak kewarisan begitu pula perempuan mendapat hak kewarisan sebanding dengan yang di dapat oleh laki-laki. e.
Asas Kewarisan Semata Kematian Bahwa peralihan harta seseorang kepada orang lain berlaku setelah yang mempunyai harta tersebut meninggal dunia dan selama harta itu tidak dapat beralih kepada orang lain.67
B. Ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris dalam hukum kewarisan Islam 1.
Ahli Waris Pengganti/ penggantian tempat ahli waris Istilah penggantian tempat ahli waris/ahli waris pengganti, secara harfiah
terdiri dari kata waris dan kalimat pengganti. Kata-kata ahli waris adalah mereka yang berhak atas harta warisan yang ditinggalkan oleh pewarisnya.68 Kemudian kalimat pengganti berasal dari kata ganti yang diberi awalan pe yang berarti orang yang menggantikan pekerjaan, jabatan orang lain sebagai wakil.69 Dalam Kamus Hukum disebutkan penggantian tempat ahli waris/ahli waris pengganti adalah pengganti dalam pembagian warisan bilamana ahli waris tersebut 67
Amir syarifuddin, Op. Cit, hal. 16-28 Ali Parman, Kewarisan dalam Al-Qur’an, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 41 69 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1984), 68
hal. 297
Universitas Sumatera Utara
45
lebih dahulu meninggal dari pada si pewaris, maka warisannya dapat diterima kepada anak-anak anak waris yang meninggal.70 Menurut Hazairin, Hazairin, cucu yang terlebih dahulu orangtuanya meninggal dunia dari kakek dan neneknya, secara umum (dengan tanpa membedakan jenis kelamin) dapat menggantikan kedudukan orang tuanya dalam memperoleh warisan secara umum (dengan tanpa membedakan jenis kelamin) pula. pula Pemahaman Hazairin tentang adanya penggantian tempat ahli waris/ahli waris/ waris pengganti ini didasarkan pada pemahaman kata mawali dalam Q.S. An-Nisa (4) : 33 yang berbunyi :
Yang terjemahannya menurut Hazairin : “ Bagi setiap orang Allah SWT mengadakan mawali bagi harta peninggalan orang tua dari keluarga dekat, dan jika orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah ada orang-orang kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah SWT menyaksikan segala sesuatu.71 Terjemahan Hazairin tersebut berbeda rbeda dengan terjemahan Ulama U pada umumnya, termasuk terjemahan Departemen Agama R.I. R.I 72 mawali berasal dari
70
Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum,, (Semarang : CV. Aneka Ilmu, 1977), hal. 320 Hazairin 1, Op.Cit. Op.Cit hal. 30 72 Terjemahan Departemen Agama R.I : “Bagi tiap-tiap tiap tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan kaum kerabat, kami jadukan pewaris-pewarisnya. pewaris pewarisnya. Dan (jika ada) orang orangorang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mere mereka bahagiannya. 71
Universitas Sumatera Utara
46
bahasa Arab dalam bentuk jamak (plural), mufradnya (singularnya) al maula yang berarti al-malik-u wa al-sayyi-u : raja atau tuan, majikan, budak, yang memerdekakan, yang dimerdekakan, pemberi nikmat, yang mencintai, teman (sahabat), sekutu, tetangga, pengikut, tamu, anak laki-laki, paman, anak laki-laki paman, menantu, kemenakan (anak laki-laki dari saudara perempuan), kerabat yang dekat secara mutlak.73 Menurut H. Toha Jahja Omar, M.A.,74 kata mawali dalam Q.S.4: 33 adalah lafaz mujmal yang mufradnya maula yang mempunyai arti lebih dari satu, antara lain: a. Tuan yang memerdekakan, b. Budak yang dimerdekakan, c. Sahabat, lafaz mujmal perlu kepada mubayyin. Mubayyinnya ada tiga, yaitu : 1. Qur’an atau firman Allah, SWT, 2. Sabda Rasul, 3. Perbuatan Rasul. Lafaz mawali dalam ayat itu sudah ada mubayyinnya, yaitu terdiri dari dua kalimat, karena itu Q.S. An-Nisa(4): 33 harus dibaca :
“Bagi tiap-tiap pewaris kami jadikan mawali, dari harta peninggalannya dan mereka itu adalah dua ibu-bapak dan kerabat-kerabat yang terdekat”.
Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu”. Departemen Agama R.I., Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta : PT. Bumi Restu, 1976-1977), hal. 122-123 73 Louis Ma’luf dalam Ramlan Yusuf Rangkuti, Fikih Kontemporer di Indonesia (studi tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia), ( Medan, Pustaka Bangsa Press, 2010), hal. 346 74 Toha Yahya Omar, “Pembahasan Utama dalam Seminar Hukum Nasional 1963 tentang asas-asas Tata Hukum Nasional dalam Bidang Hukum Waris”, dalam Perdebatan dalam Seminar Hukum Nasional tentang Faraid, (Jakarta : Tintamas, 1964), hal. 20
Universitas Sumatera Utara
47
“Al-Walidaini wa al-aqrabuna bukan menjadi fa’il dari taraka, tetapi menerangkan maksud al-mawali, sedangkan fa’il dari taraka kembali kepada lafaz kullin yang dalam hal ini pewaris. Mahmud Yunus, setelah mengutip Q.S. An-Nisa’(4); 33, menyebutkan bahwa arti mawali (jamak maula) menurut bahasa banyak sekali, yaitu yang mempunyai (tuan), budak, yang memerdekakan, yang dimerdekakan, halif, tetangga, anak, anak paman, anak saudara perempuan, paman, dan lain-lain. Tetapi bila kata itu disusun dalam satu kalimat, maknanya hanya satu, bukan semua makna itu. Bahkan beliau katakan, telah sepakat ahli tafsir, arti mawali dalam ayat tersebut adalah anak atau ahli waris atau asabah atau yang mempunyai wilayah atas harta peninggalan, namun mereka berbeda pendapat tentang tafsir ayat tersebut.75 Mengapa sepakat ahli tafsir tentang mawali itu arti mawali itu ahli waris. Karena Q.S. An-Nisa (4): 33 itu, diterangkan oleh Q.S. Maryam (19): 5-6 bahwa mawali disebutkan maknanya dengan ahli waris dan wali adalah awala. Demikian pula Q.S. An-Nisa (4): 7 yang menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan (mawali bapak dan karib-karib yang terdekat). Berdasarkan penjelasan ayat terhadap ayat tersebut, maka ulama tafsir sepakat bahwa mawali dalam Q.S. An-Nisa (4): 33 itu maknanya adalah ahli waris.76
75 Mahmud Yunus, “Pembahsan Umum” dalam Perdebatan dalam Seminar Hukum Nasional tentang Faraid, (Jakarta : Tintamas, 1964), hal. 78. 76 Adapun teks Q.S. Maryam (19): 5-6 dan Q.S.An-Nisa (4): 7 adalah sebagai berikut : Q.S. Maryam (19): 5-6 : Q.S.An-Nisa (4): 7 :
Universitas Sumatera Utara
48
Berdasarkan Q.S. An-Nisa (4): 1 dan Q.S. Al-Ahzab (33):6 yang menyebutkan al-arham dan ulu al-arham. Hazairin menyimpulkan hubungan darah menurut Al-Qur’an itu ada 4 (empat) macam, yaitu : walidan, aulad, aqrabun dan ulu al-qurba. Khusus istilah walidan dan aqrabun adalah ahli waris, tetapi kata-kata itu digunakan sebagai istilah hubungan kekeluargaan, maka selalu berarti perhubungan, dan perhubungan itu selalu bertimbalan. Walidan dapat menjadi ahli waris bagi anaknya, dan aqrabun dapat pula menjadi ahli waris bagi sesama aqrabunnya. Berbeda dengan istilah ulu al-qurba, ditinjau dari sudut kedudukan seseorang dalam hubungannya dengan orang lain, maka jelas dia bukan ahli warisnya, tetapi mereka itu masih sepertalian darah dengan dia. Ini berarti ulu al-qurba itu menurut Al-Qur’an sebagai timbalan perhubungan yang tidak mungkin menjadi pewaris bagi sesama ulu al-qurbanya. Karena itu dapat disimpulkan bahwa aqrabun itu berarti “keluarga dekat” yang dapat mewarisi sesamanya, sedang ulu al-qurba sebagai “keluarga jauh” yang tidak mungkin saling mewarisi sesama mereka (baik sebagai pewaris dan ahli waris).77 Didalam Q.S. An-Nisa (4): 33, Allah SWT memerintahkan agar memberikan nasib (harta) pewaris kepada mawali si fulan (orang yang terlebih dahulu meninggal dari pewaris). Dengan demikian, berarti mawali si fulan itu adalah ahli waris yang akan memperoleh harta warisan, disamping adanya ahli waris lain, seperti ayah dan ibu. Sebab itu, harta warisan wajib diberikan kepada mawali si fulan, bukan kepada si fulan (yang lebih dahulu meninggal dari pewaris). Pertanyaan yang muncul, apa 77
Hazairin, Op.Cit. hal. 26-27
Universitas Sumatera Utara
49
hubungan si fulan dengan pewaris (si mayit) sehingga mawali si fulan itu ikut pula menjadi ahli waris tehadap si mayit (pewaris), padahal si fulan itu sendiri tidak ikut menjadi ahli waris karena ia lebih dahulu meninggal dari si pewaris. Hazairin menjelaskan bahwa si fulan itu tidak ahli waris, karena prinsip umum Al-Qur’an menyatakan bahwa pewarisan itu terjadi didasarkan kepada adanya hubungan pertalian darah antara si mayit dengan anggota keluarganya yang masih hidup. Oleh karena itu si fulan adalah anggota keluarga yang telah meninggal terlebih dahulu dari pewaris, maka ia tidak lagi sebagai ahli waris. Adapun mawali si fulan tersebut menjadi ahli waris adalah merupakan keturunan di mayit yang bukan status anak baginya. Hubungan si fulan dengan mawali-nya bisa terjadi dalam 3 (tiga) jalur, yaitu : yaitu sebagai walidan (orang tua) dari si mawali, atau aulad (anak) dari si mawali. Dengan demikian, dapat dipahami mawali si fulan itu adalah keturunan dari si pewaris, meskipun bukan anaknya secara langsung seperti halnya si fulan (anaknya yang terlebih dahulu meninggal daripada pewaris). Jadi hubungan si mawali dengan si pewaris adalah melalui anaknya yang telah terlebih dahulu meninggal dari pewaris. Karena itulah, mawali tersebut masuk ke dalam istilah aqrabun (para keluarga dekat yang memperoleh warisan, selain kedua ibu bapak). Dari penjelasan tersebut dapat disimpulan bahwa mawali itu adalah karena penggantian, yaitu orang-orang menjadi ahli waris karena tidak ada lagi penghubung antara mereka dengan sepewaris.78 Allah SWT menjadikan mawali bagi seseorang bukanlah sia-sia, tetapi ada maksudnya. Harta itu memang bukan untuk si fulan, karena dia sendiri telah 78
Ibid
Universitas Sumatera Utara
50
meninggal dunia terlebih dahulu sebelum si pewaris meninggal. Tetapi bahagian yang diperolehnya seandainya dia masih hidup pada saat si pewaris mewariskan harta peninggalannya akan dibagi-bagikan kepada mawali-nya itu, mereka bukan sebagai ahli waris si fulan, tetapi sebagai ahli waris dari yang mewariskan kepada si fulan tersebut, misalnya bapak atau ibu si fulan tersebut. Pengertian tersebut tergambar bagi seorang bapak atau ibu yang diwarisi oleh anak-anaknya bersama-sama dengan mawali bagi anak-anaknya yang telah meninggal terlebih dahulu. Bisa saja terjadi pengertian lain, seperti seorang bapak atau ibu yang hanya diwarisi oleh mawali untuk anak-anaknya yang semuanya telah meninggal terlebih dahulu.79 2.
Ahli Waris Pengganti dalam Konsep Fikih Klasik Konsep Fikih Klasik seperti as-Sarakhsiy dalam al-Mabsut, Imam Malik
dalam al-Muwatto, Imam Syafi’i dalam al-Umm, dan Ibn Qudamah dalam al-Mugni, tidak dikenal istilah ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris. Tetapi Syamsuddin Muhammad ar-Ramli dalam karyanya,80mencatat : a.
Cucu laki-laki dari anak laki-laki dapat menggantikan ayahnya, sedangkan cucu dari anak perempuan tidak mungkin.
b.
Cucu tersebut baru dapat menggantikan orang tuanya apabila pewaris tidak meninggalkan anak laki-laki yang masih hidup.
79
Hazairin 1, Op Cit. hal. 29-31 : Departemen Agama R.I., Laporan Hasil Seminar Hukum Waris Islam, (Jakarta : Ditbinbapera Depag R.I., 1982), hal. 76. 80 Al-Ramli dalam Ramlan Yusuf Rangkuti, Fikih Kontemporer di Indonesia (studi tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Medan, Pustaka Bangsa Press, 2010). hal. 351
Universitas Sumatera Utara
51
c.
Hak yang diperoleh pengganti belum tentu sama dengan hak orang yang digantikan tetapi mungkin berkurang. Istilah ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris sesungguhnya
telah dikenal dalam hukum Islam, jadi kurang tepat apa yang ditulis oleh Wirjono Prodjodikoro, bahwa dalam hukum Islam tidak dikenal ahli waris pengganti.81 Muhammad Amin al-Asyi82mencatat : “cucu dari anak laki-laki adalah seperti anak laki-laki, hanya ia tidak mendapat dua kali bahagian bersama anak perempuan. Cucu perempuan dari anak laki-laki adalah seperti anak perempuan, kecuali ia dapat terhalang dengan adanya anak laki-laki. Nenek perempuan adalah seperti ibu, hanya ia tidak dapat menerima 1/3 atau 1/3 sisa. Kakek adalah seperti ayah, kecuali ia tidak dapat menghalangi saudara seibu-sebapak dan saudara sebapak. Saudara laki-laki sebapak adalah seperti saudara laki-laki seibu-sebapak, kecuali ia tidak menerima dua kali banyaknya, bersama saudara perempuan sebapak. Saudara perempuan sebapak adalah seperti saudara perempuan seibu-sebapak, kecuali ia dapat terhalang dengan adanya saudara laki-laki seibu-sebapak.83 Berdasarkan pendapat diatas, dapat dipahami bahwa istilah penggantian tempat ahli waris/ ahli waris pengganti telah lama dikenal dalam konsep fikih klasik, hanya saja bentuk penggantiannya yang 81
Wirjono Prodjodikoro selengkapnya menyatakan “ menurut tafsiran yang sampai sekarang hampir merata dianut, maka hukum Islam tidak kenal penggantian tempat ahli waris/ ahli waris pengganti ini, maka didaerah-daerah yang pengaruh hukum Islam ada agak kuat, mungkin masih menajadi persoalan, apakah penggantian tempat ahli waris/ ahli waris pengganti ini diakui oleh masyarakat. Lihat Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, (Bandung : Sumur, 1976), Cetakan ke 5, hal. 43 82 Muhammad Amin al-Asyi dalam A. Wasit Aulawi, Sistem Penggantian dan Pengelompokan Ahli Waris, (Jakarta : UI Depok, 1992), hal. 12 83 Ramlan Yusuf Rangkuti, Op. Cit, hal. 352
Universitas Sumatera Utara
52
berbeda, serta hak ahli waris pengganti tidak sama dengan hak ahli waris yang digantikannya. Sebagai contoh cucu dari pancar anak perempuan tidak mendapat bahagian warisan seperti yang didapat oleh cucu pancar anak laki-laki. 3.
Ahli Waris Pengganti Menurut Kompilasi Hukum Islam Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, disebutkan bahwa yang
dimaksud Ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris adalah ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada pewaris, maka kedudukannya sebagai ahli waris dapat digantikan oleh anaknya.84 Jadi anak dari yang seharusnya menjadi ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pewaris, itulah ahli waris pengganti. Anak dari ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pewaris dapat menggantikan kedudukan bapaknya sebagai ahli waris dengan syarat anak itu tidak terhalang menjadi ahli waris, seperti yang disebut dalam pasal 173.85 Disebutkan juga dalam KHI, bahwa bagian bagi ahli waris pengganti belum tentu sama jumlahnya dengan ahli waris yang digantikan sekiranya ia masih hidup, karena ada disyaratkan bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.86
84
KHI Pasal 185 ayat 1, “ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada sipewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173.” 85 KHI Pasal 173, “seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan keputusan Hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dihukum karena : a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pewaris, b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat”. 86 KHI Pasal 185 ayat 2, “bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti”.
Universitas Sumatera Utara
53
Memperhatikan Pasal 185 KHI, A. Sukris Sarmadi menyebutkan : “Ahli waris pengganti/penggantian tempat ahli waris adalah ahli waris yang menggantikan kedudukan ahli waris, yang didalam situasi tertentu sama pengertiannya Hazairin dan sistem pewarisan mawali, tetapi bersyarat, yakni tidak boleh melebihi bahagian orang yang sederajat dengan orang yang diganti, dan ada kemungkinan semakna dengan Syi’ah dalam hal menggantikan kedudukan orang tua mereka, tetapi tidak terhijab dengan orang yang sederajat dengan orang yang diganti.”87 Berdasarkan pengertian diatas, yang dimaksud dengan ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris itu adalah ahli waris dari ahli waris yang diganti (orang yang meninggal dunia terlebih dahulu dari pada si pewaris). Itu berarti tidak hanya anak dari ahli waris yang telah meninggal terlebih dahulu, seperti yang tertera di dalam Pasal 185 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam. Hal ini dapat dilihat dari penyamaan ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris itu dengan ahli waris mawali menurut pendapat Hazairin, yaitu mawali (ahli waris pengganti) adalah berupa nama yang umum dari mereka yang menjadi ahli waris karena penggantian, yaitu orang-orang yang menjadi ahli waris karena tidak ada lagi penghubung antara mereka dengan si pewaris.88 Istilah penghubung antara mawali dengan sipewaris ini bisa diartikan dengan ahli warisnya, bila demikian halnya, maka dimungkinkan terjadi pada tiga arah hubungan kekerabatan, yaitu hubungan ke bawah, ke atas, dan ke samping. Dengan 87
A. Sukri Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1970), Cetakan ke I, hal. 165-166 88 Hazairin 1. Op.Cit. hal. 32
Universitas Sumatera Utara
54
demikian ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris dalam KHI itu disimpulkan mencakup tiga arah hubungan kekerabatan tersebut. Imran AM. Menyatakan
bahwa sistem kewarisan yang dianut Kompilasi
Hukum Islam adalah sistem kewarisan bilateral sesuai dengan Q.S. An-Nisa (4): 7 dan 11, yaitu baik anak laki-laki maupun anak perempuan, demikian juga cucu dari anak laki-laki maupun cucu dari anak perempuan adalah sama-sama dinyatakan sebagai ahli waris. Berbeda halnya dengan sistem kewarisan yang dianut fikih Sunni yang menyatakan bahwa cucu dari anak perempuan dinyatakan tidak sebagai ahli waris (zawil arham), sedangkan cucu dari anak laki-laki tetap sebagai ahli waris.89 Departemen Agama RI telah menerbitkan sebuah buku yang berjudul “Analisis Hukum Islam Bidang Kewarisan”. Didalam buku tersebut dinyatakan : “Walaupun tidak bersifat memaksa, pencatuman ketentuan ini (ahli waris pengganti) di dalam Kompilasi Hukum Islam secara tidak langsung akan bersinggungan dan mengubah banyak aturan didalam faraid (fikih kewarisan Islam).” Bila bahagian ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris sama besarnya dengan bahagian ahli waris yang diganti (mawali), dimana kedudukan ahli waris pengganti/penggantian tempat ahli waris sama dengan ahli waris yang diganti dalam menerima bahagian harta warisan pewaris, maka demikian juga halnya kedudukan ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris dalam masalah hijab mahjub (mendiding dan didinding). 89
Imran, A.M, “Hukum Kewarisan dan Hibah dalam Kompilasi Hukum Islam” dalam AlHikmah dan DITBINBAPERA Islam, Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam, No. 24 Tahun VII – 1996, (Jakarta: Al-Hikmah dan Ditbinbapera Islam, 1996), hal. 45
Universitas Sumatera Utara
55
Ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris itu akan menghijab setiap orang yang semestinya dihijab oleh orang yang digantikannya. Hal ini berlaku umum, tanpa membedakan jenis kelamin ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris itu, apakah dia laki-laki atau perempuan. Misalnya kedudukan cucu sebagai ahli waris pengganti, tanpa membedakan jenis kelamin mereka ( laki-laki atau perempuan) dapat menghijab saudara. Dalam Pasal 185 KHI, kata anak disebut secara mutlak, tanpa keterangan “laki-laki atau perempuan”. Ini berarti, kalau ada anak, tanpa membedakan laki-laki dan perempuan, maka anak tersebut dapat menghijab hirman (menutup total) terhadap saudara-saudara kandung ataupun paman pewaris. Sedangkan menurut fikih klasik (sunni) yang berlaku di Indonesia selama ini, kalau anak tersebut perempuan hanya dapat menghijab nuqsan (mengurangi bagian ahli waris asabah).90 Kata anak secara mutlak, tanpa membedakan laki-laki dengan perempuan, seperti dalam KHI, nampaknya didasarkan kepada kajian kata walad yang tercantum dalam Q.S.An-Nisa (4): 176 : Menurut riwayat dari Umar ibn Khattab. Dari Ibn Jarir dan juga Ibn ‘Abbas dan Ibn Zubair; dalam riwayat Ibn Jarir, mereka berpendapat bahwa makna kata walad yang ada dalam ayat tersebut meliputi anak laki-laki dan anak perempuan. Bahkan kata walad dalam ayat tersebut, bukan hanya dipergunakan dalam pengertian anak tapi juga mencakup bapak. Hal ini didasarkan atas putusan Abu Bakar RA, kemudian dianut oleh Jumhur Ulama. Berdasarkan penafsiran ini, ayat 90
Asawi Ahmad Aswi dalam Ramlan Yusuf Rangkuti, Op. Cit, hal. 358
Universitas Sumatera Utara
56
diatas bisa berarti : Jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak, bapak juga, dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya.” Jika dalam satu kasus, seseorang meninggal dan meninggalkan ayah dan saudari perempuan, maka saudari perempuan itu tidak mewarisi sama sekali, karena mahjub (terdinding) oleh bapak. Hal ini disepakati ulama. Penggunakan kata walad untuk pengertian anak sudah dijelaskan berdasarkan nas, sedang penggunaan kata walad untuk pengertian bapak adalah bersifat ijtihadi (taammuli).91 Rachmad Budiono menyatakan, bahwa Kompilasi Hukum Islam merumuskan ketentuan ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris didasarkan pada pendapat Hazairin, yang dipandang sebagai pencetus gagasan tentang ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris dalam hukum waris Islam.92 Menurut Ismuha, Hazairin adalah orang yang pertama kali mengeluarkan pendapat bahwa cucu dapat menggantikan ayahnya yang telah meninggal dunia terlebih dahulu dari si pewaris, meskipun pewaris memiliki anak laki-laki lain yang masih hidup.93 Pendapat Hazairin itu didasarkan atas analisanya terhadap Q.S.An-Nisa (4): 33, dimana kata-kata mawali diartikan sebagai ahli waris pengganti/ penggantian 91
Ibn Kalir dalam Ramlan Yusuf Rangkuti, Op. Cit, hal. 356 A.Rachmad Budiono, Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditiya Bakti, 1999), hal. 22 93 Ismuha, Penggantian Tempat dalam Hukum Waris Menurut KUH Perdata, Hukum Adat dan Hukum Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1978), hal. 81 92
Universitas Sumatera Utara
57
tempat ahli waris, yaitu ahli waris yang menggantikan seseorang untuk memperoleh bagian warisan yang tadinya akan diperoleh oleh orang yang digantikan itu seandainya masih hidup.94 Sayuti Thalib, sebagai murid Hazairin, menjelaskan tentang mawali sebagai ahli waris pengganti, menarik 4 (empat) garis hukum, yaitu : a. Dan bagi setiap orang, kami (allah SWT) telah menjadikan mawali (ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris) untuk mewarisi harta peninggalan ibu bapaknya (yang tadinya akan mewarisi harta peninggalan itu). b. Dan bagi setiap orang, kami (Allah SWT) telah menjadikan mawali untuk mewarisi harta peninggalan aqrabun-nya (yang tadinya akan mewarisi harta peninggalan itu). c. Menjadikan mawali untuk mewarisi harta peninggalan dalam seperjanjiannya. d. Maka berikanlah kepada mereka warisan mereka.95 Amrullah Ahmad memberikan pendapat atas Teori Hazairin yang menyatakan bahwa dalam sistem kewarisan bilateral ahli waris dibagi kepada 3 (tiga) golongan, golongan Zawi al-Faraid, Zawi al-qarabah dan mawali (ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris) : a. Mawali adalah sebagai ahli waris pengganti. b. Mawali menerima bagian sebanyak yang diterima oleh orang tuanya seandainya mereka masih hidup.
94 95
Hazairin 1, Op.Cit. hal. 29-31 Sayuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta : Bumi Aksara, 1982), hal. 27
Universitas Sumatera Utara
58
c. Mawali yang berkedudukannya sama dalam satu jurai akan berbagi diantara mereka menurut prinsip bagian seorang anak laki-laki memperoleh dua bagian dari anak perempuan. d. Penggantian ini merupakan prinsip yang bersifat umum dan terbuka sampai keturunan yang terbawah. e. Hijab mahjub hanya berlaku dalam satu jurai. f. Yang digantikan maupun yang menggantikan tidak dibedakan antara laki-laki dan perempuan.96 Muhammad Daud Ali menyatakan bahwa yang menjadi dasar memasukkan ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris ke dalam Kompilasi Hukum Islam adalah memberlakukan asas keadilan yang berimbang, karena keadilan merupakan
salah
satu
tujuan
hukum
disamping
kepastian
hukum
dan
perikemanusiaan.97 Menurut Aristoteles keadilan adalah kebaikan yang berkaitan dengan hubungan antar manusia. Adil berarti menurut hukum ada apa yang dibanding, taitu yang semestinya atau keadilan berimbang.98 Adanya keseimbangan antara berbagai kepentingan sehingga tidak terjadi benturan-benturan dan untuk itu perlu ada aturan-aturan. Oleh sebab itu perlu ada
96
Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam dan Sistem Hukum Nasional, (Jakarta : Gema Insani Press, 1996), hal. 65-66 97 Muhammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Huku Islam di Indonesia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1993), hal. 292. 98 Dardji Darmonodiharjo dan sidharto, Pokok-pokok Filasafat Hukum, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1999), hal. 154
Universitas Sumatera Utara
59
suatu rumusan hukum yang dapat bertindak sebagai wasit jika terjadi perbedaanperbedaan diantara pemilik kepentingan tersebut. Prinsip Hukum Islam dalam menerapkan suatu hukum adalah berupaya mewujudkan keadilan, sebab sistem hukum yang tidak punya akar subtansial pada keadilan dan moralitas akhirnya akan ditinggalkan oleh masyarakat.99 Nampaknya pada prinsip inilhah diletakkan rumusan ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris seperti tersebut pada Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam yang menjadi motivasi pelembagaan waris pengganti berdasarkan atas rasa keadilan dan perikemanusiaan dimana cucu menerima warisan dengan jalan penggantian. Selain didasarkan atas tujuan hukum Islam tersebut, menurut Daud Ali, Ulama Indonesia menerima rumusan Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam itu, karena dalam fikih mawaris selama ini telah diterapkan lembaga wasiat wajibah yang diperuntukkan bagi cucu yang orang tuanya telah meninggal lebih dahulu dari pewaris.100 Berbeda dengan pandangan Daud Ali diatas, M. Yahya Harahap berpendapat bahwa sumber utama yang digunakan dalam perumusan Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah, seperti ditafsirkan oleh Hazairin. Bahkan dalam pelembagaan Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam tersebut, ia mencatat :
99
Fatthurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos WacanaIslam, 1999), hal. 75 M. Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 1993), hal. 297 100
Universitas Sumatera Utara
60
a. Pelembagaannya melalui pendekatan kompromistis dengan hukum adat atau nila-nilai hukum Eropa. b. Cara perkembangannya tidak mengikuti pendekatan berbelit melalui bentuk wasiat wajibah seperti yang dilakukan beberapa negera seperti Mesir, tapi langsung secara tegas
menerima
konsepsi
yuridis waris pengganti
(plaatsvervulling) baik dalam bentuk dan perumusan. c. Penerimaan lembaga ini tidak secara bulat, tetapi dalam bentuk modifikasi, dalam acuan penerapan : -
Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.
-
Jika kalau waris pengganti seorang saja, dan ayahnya hanya mempunyai seorang saudara perempuan, agar bagiannya sebagai ahli waris pengganti tidak lebih besar dari bagian saudara perempuan ayahnya, harta warisan dibagi dua diantara ahli waris pengganti dengan bibinya.101
Berbicara masalah motif pelembagaan ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris yang didasarkan atas rasa keadilan dan perikemanusiaan, M. Yahya Harahap mempertanyakan : patutkah melenyapkan hak seorang cucu oleh karena ditinggal yatim, melarat dan miskin untuk memperoleh apa yang semestinya menjadi bagian bapaknya. Tentu tidak layak dan tidak adil dan tidak manusiawi menghukum seseorang tidak berhak menerima warisan yang semestinya harus diperoleh ayahnya 101
M. Yahya Harahap, Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam: Memfositifkan Abstraksi Hukum Islam dalam Mimbar Hukum, Aktualisasi Hukum Islam, No. 24 Tahun VII, (Jakarta : AlHikmah dan Ditbinbapera Islam, 1996), hal. 55
Universitas Sumatera Utara
61
hanya karena faktor takdir dari Allah SWT ayahnya lebih dahulu meningga dari kakeknya. Apalagi jika hal ini dikaitkan dengan fakta, pada saat kakek meninggal, anak-anaknya semua sudah kaya dan mapan.102 Berdasarkan penjelasan tersebut diatas, bahwa pemberlakuan Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam tersebut bersifat tentatif, bukan imperatif. Oleh karena itu sangat besar peran dari Para Hakim Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah dalam menentukan/menetapkan ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris. 4.
Penggantian Tempat Ahli Waris/ Ahli Waris Pengganti Di Negara-negara Muslim lain Para ahli hukum Islam sepakat untuk memberlakukan hukum Islam pada
setiap sendi kehidupan umat Islam. Seiring dengan perkembangan Islam di dunia hingga saat ini, upaya pemberlakuan hukum Islam masih terus dilakukan. Persoalan mendasar dalam hukum Islam adalah persoalan perkembangan kehidupan moderen yang diikuti dengan problematika hukum baru yang memerlukan jawaban terhadapnya dengan menggunakan hukum Islam. Untuk itu para ahli hukum Islam disetiap perkembangan hukum di dunia selalu melakukan upaya ijtihad dalam rangka mengembangkan hukum Islam. Upaya untuk menjawab berbagai persoalan hukum baru dalam kehidupan modern di dunia Islam ternyata memiliki berbagai haluan pikiran. Bila diperhatikan, dalam konteks historis perkembangan hukum waris Islam selama ini terjadi pengelompokan pemikiran khususnya dibidang hukum waris Islam. Ada 5 (lima) 102
Ibid, hal. 56
Universitas Sumatera Utara
62
golongan yang telah mewarnai konflik yang mendasari paradigma penalaran terhadap hukum waris Islam, sebagai berikut :103 a. Paradigma berpikir Skriptualisme konservatif, disini hukum waris Islam dipahami secara tekstual tanpa mempertimbangkan efektivitas hukum dalam kehidupan disamping mengabaikan kemungkinan adanya penafsiran lain yang menyalahi teks ini secara historis, mazhab Zhohiri dapat dimasukkan didalamnya, dan termasuk golongan tradisionalis (Ahlu Riwayah). b. Paradigma berfikir Skriptualisme Moderat, sauatu kelompok yang memahami nas agama secara tektual tanpa mengabaikan adanya kemungkinan interpretasi yang luas terhadap teks suci dalam batas metode istimbath hukum (istidlal). Kelompok Syiah dan Sunni dapat dimasukkan didalamnya. Terhadap kelompok sunni minimal 4 mazhab, yakni dimulai dari mazhab Imam Ahmad Ibn Hambali yang agak lebih ketat merefleksikan tekstual nas agama, kemudian Imam Malik bercorak lebih longgar, kemudian Imam Syafi’i hingga yang lebih moderat dinisbahkan kepada Imam Hanafi. Nama terakhir ini banyak orang memasukkannya sebagai golongan tradisionalis Islam. Ini didasarkan atas adanya kesamaan yang umum diantar mereka yang lebih mengutamakan
penafsiran
secara
tekstual
yang
kemudian
berusaha
menafsirkannya secara luas. Dalam perkembangan dunia Islam, kelompok ini mempengaruhi sebagia besar para pemikir muslim.
103
A. Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, (Jakarta, Rajawali Press, 1997), hal. 9-10
Universitas Sumatera Utara
63
c. Paradigma berfikir Esensialisme Rasionalis, mendasarkan pemahaman kepada esoteris nas agama diatas komitmennya terhadap justifikasi rasional. Situasi dan kondisi politik, ekonomi, sosial kultural sangat berperan mendasari dan mewarnai penafsiran nas agama sebagai cara interaksi rasio terhadap nas. Bagaimanapun, nalar rasio sangat terkait terhadapnya demi mewujudkan suatu efektivitas hukum dan keadilan yang dipahami secara imperalis. Pola penafsiran Umar Ibn Khatab, RA dalam kasus penghentian pemberian bagian mualaf yang sebelumnya baik berdasarkan praktik Rasulullah SAW ataupun teks Suci yang menegaskannya (Q.S.AT Taubah ayat 60) para mualaf dianggap orang yang berhak sadaqah/zakat. Penghentian ini berdasarkan situasi kondisi sebagai preseden rasio. Kasus talak, harta ghonimah ; pemanfaatannya, tentang pajak hingga kasus mencuri unta, secara keseluruhan dilatar belakagi oleh fakta imperis kondisional. Belakangan corak berpikir sebagai model kaum modernis. d. Paradigma berfikir Rasionalisme Liberal, suatu kelompok yang bercirikan sangat moderat dimana nas agama secara keseluruhan dipahami secara umum. Disini doktrin agama normatif dimanifestasikan sebagai paradigma proyek percontohan pembinaan hukum Ilahiyah yang karena pemunculan suatu hukum baru merupakan kebebasan rasio yang berlandaskan rasa tanggung jawab penuh terhadapnya. Hukum pidana Islam normatif dianggap dapat saja diganti dengan hukum pidana modern yang secara keseluruhan dibawah naungan intelektual manusia, hal ini pun dapat pula terjadi dalam hukum
Universitas Sumatera Utara
64
keperdataan Islam. Hal yang terpenting bagi mereka adalah konsep-konsep tujuan keadilan hukum dalam Islam. Inti hukum inilah yang harus direfleksikan dalam pembentukan hukum. Hukum modern, demontrasi keadilan dikembangkan secara rasional agar hubungan antar manusia dengan individu lainnya dapat terpelihara dengan baik dengan keadilan yang dipahami manusia secara sosial-kultur. Kelompok ini merupakan kelompok modernis tetapi lebih bebas dan tidak terikat dengan doktrin metode berpikir lama yang dianggap mengikat. Jika kelompok ketiga (esensialisme rasional) masih mengganggapnya sebagai doktrin yang harus dikembangkan dan dibela, maka kelompok yang keempat ini tidak mengklaimnya sebagai keharusan. e. Paradigma berpikir Universalisme Transformatif, kelompok ini dapat pula disebut sebagai kelompok yang mewakili modernis dengan corak pemikiran yang berbeda dengan dua kelompok modernis sebelumnya. Corak pemahaman terhadap nas agama bercirikan upaya pemaduan corak pemikiran keseluruhan kelompok-kelompok yang ada, baik yang berhaluan kelompok-kelompok yang ada, baik yang berhaluan tradisionalis ataupun modernis. Mereka berkeyakinan bahwa masing-masing kelompok dengan corak pemikirannya mempunyai keistimewaan yang dapat digunakan dalam konteks-konteks tertentu. Jadi pada sisi tertentu merupakan perpaduan dengan kecendrungan dan pengutamaan corak tertentu terkadang secara spesifik mengharuskan cara penafsiran secara tunggal yang kondusif. Dapat dilihat formulannya bercirikan
Universitas Sumatera Utara
65
berubah-ubah, tanpa terikat dengan salah satu doktrin kelompok haluan dan bersifat kasuistik. Berdasarkan lima kelompok tersebut, kelompok kedua yaitu skriptualisme moderat, suatu kelompok yang memahami nas agama secara tekstual tanpa mengabaikan adanya kemungkinan interprestasi yang luas terhadap teks suci dalam batas metode istimbath hukum (istidlal). Kelompok ini bisa dikatagorikan sebagai kelompok tradisionali Islam. Dengan kata lain, meskipun pada prinsipnya mereka sama berpikir normatifnya namun kecendrungan mereka berbeda dikarenakan pengaruh setting sosial. Ada rasio-sosial yang dipertentangkan dalam memahami nasnas yang memiliki celah untuk ditafsirkan secara sosiologis dan filosofis. Oleh karenanya, hukum waris Islam terjadi perkembangan yang signifikan di kalangan umat Islam dunia tanpa merubah teks normatif. A. Hussaini mengatakan bahwa hukum waris Islam merupakan bentuk spesialis sebagai sebuah disiplin keilmuan dengan
selalu
berpatokan
pada
Al
Qur’an
dan
Al
Sunnah.104
Berdasarkan demikian, terjadi penafsiran terhadap hukum kedudukan para cucu dalam hukum kewarisan dikarenakan tidak ada ketegasan teks normatif yang ada dalam Al Qur’an maupun Al Hadis. Bahasan cucu ini nantinya berkembang dengan istilah ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris seperti di Indonesia.
104
Hussaini dalam Abdullah Siddik, Hukum Waris Islam dan perkembangannya di seluruh dunia, (Jakarta : Wijaya, 1984), hal. 27
Universitas Sumatera Utara
66
Hukum waris pengganti bagi umat Islam di Indonesia dikenal sejak diterbitkannya Kompilasi Hukum Islam tahun 1991.105 dimana dalam butir Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa (1) Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada sipewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173.(2) Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti. Pemberlakuan hukum ini sangat berpengaruh dalam sistem pembagian kewarisan Islam yang selama ini tidak mengenal ahli waris pengganti/penggantian tempat ahli waris. Ketentuan ini merupakan suatu terobosan terhadap pelenyapan hak cucu atas harta warisan ayah apabila ayah telah dahulu meninggal dari kakek. Cara ini tidak mengikuti pendekatan berbelit melalui bentuk wasiat wajibah seperti yang di lakukan beberapa negara lainnya, tetapi langsung secara tegas menerima konsepsi yuridis waris pengganti.106 Kenyataan ini terjadi di negara-negara yang berpendudukkan mayoritas muslim. Mereka masih tidak memberlakukan adanya ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris, baik terhadap anak turun pewaris yaitu kebawah seterusnya, keatas dan menyamping. Para ahli Hukum Islam ketika itu bereaksi untuk mencari solusi alternatif atas kebuntuan konsep kewarisan mazhab sunni. Dan
105
Inpres No. 1 Tahun 1991 Rachmadi Usman, Hukum Kewarisan Islam dalam Dimensi Kompilasi Hukum Islam, (Bandung : Mandar Maju, 2009), hal. 108 106
Universitas Sumatera Utara
67
akhirnya mereka melakukan wasiat wajibah seperti di Mesir, di ikuti oleh Sudan, Suriah, Maroko, dan Tunisia dengan beberapa variasi.107 Cara ini tentu saja tidak sistematik karena akan mempengaruh porsi perolehan para ahli waris yang berhak dan menimbulkan ketidak pastian hukum. Undangundang wasiat wajibah Mesir Nomor. 71 Tahun 1946 disebutkan kandungan pokoknya, sebagai berikut:108 a. Apabila mayit tidak mewasiatkan kepada keturunan anak laki-lakinya yang telah mati di waktu dia masih hidup atau mati bersamanya sekalipun secara hukum, warisan dari peninggalannya seperti bagian yang berhak diterima oleh si anak laki-laki ini seandainya anak laki-laki ini hidup di waktu ayahnya mati. Maka wajiblah wasiat wajibah untuk keturunan anak laki-laki ini dalam peninggalan harta ayahnya menurut bagian anak laki-laki ini dalam batasbatas 1/3; dengan syarat keturunan dari anak laki-laki ini bukan pewaris dan si mayit tidak pernah memberikan kepadanya tanpa imbalan melalui tindakan lain apa yang wajib di berikan kepadanya. Dan bila apa di berikan kepadanya itu kurang dari bagian nya maka wajiblah baginya wasiat dengan kadar menyempurnakannya. Wasiat diberikan kepada golongan tingkat pertama dari anak laki-laki dari anak-anak perempuan dan kepada anak laki-laki dari anak laki-laki dari garis laki-laki dan seterusnya kebawah; dengan syarat setiap pokok (yang menurunkan) menghijab cabang (keturunannya) bukan 107
Abdullah Siddiq, Hukum Waris Islam dan perkembangannya di seluruh dunia, (Jakarta : Wijaya, 1984), hal. 21-23-25 108 Sayed Sabiq, Op. Cit, hal. 458
Universitas Sumatera Utara
68
menghijab cabang pokok yang lain dan bagian setiap pokok di bagikan kepada cabangnya. Dan bila pembagian warisan itu turun ke bawah seperti halnya kalau pokok atau pokok-pokok mereka yang sampai kepada si mayit itu sesudah si mayit dan kematian mereka (pokok-pokok) dalam keadaan tertib seperti tertibnya tingkat-tingkat. b. Apabila mayit mewasiatkan kepada orang yang wajib di wasiati dengan wasiat yang melebihi bagiannya maka kelebihan wasiat itu merupakan ikhtiariyyah. Dan bila ia mewasiatkan kepadanya dengan wasiat yang kurang dari bagiannya maka wajib di sempurnakan. Bila ia mewasiatkan kepada sebagian orang yang wajib di wasiati dan tidak kepada sebagian yang lain maka orang yang tidak mendapatkan wasiat itu wajib di beri kadar bagiannya. Orang yang tidak di beri wasiat wajiblah di kurangi bagiannya dan di penuhi bagianbagian orang yang mendapat wasiat yang kurang dari apa yang diwajibkannya sari sisanya 1/3. Bila hartanya kurang maka di ambilakan dari bagan orang yang tidak mendapat wasiat wajibah dan dari orang yang mendapat Ikhtiyariyyah. c. Wasiat wajibah di dahulukan atas wasiat-wasiat yang lain. Bila mayit tidak mewasiatkan kepada orang yang wajib di wasiati dan dia mewasiatkan kepada orang lain maka orang yang wajib di beri wasiat wajibah itu mengambil kadar bagiannya dari sisa dari sepertiga harta peninggalan bila sisa itu cukup; bila tidak maka dari sepertiga dari bagian yang diwasiatkan bukan dengan wasiat wajibah.
Universitas Sumatera Utara
69
Senada dengan yang ada di Mesir, negara Tunisia memberlakukan Undangundang tahun 1956 tentang hukum keluarga terkhusus Pasal 191 tentang kebolehan anak-anak dari anak laki-laki atau perempuan yang meninggal lebih dahulu untuk menerima bagian dari orang tuannya jika ia masih hidup dengan maksimum sepertiga harta warisan melalui wasiat wajibah.109 Hukum keluarga yang diundangkan di Siria dalam Pasal 232-238 menyatakan bahwa tidak ada wasiat yang di bolehkan bagi keturunan kecuali pada golongan pertama di mana golongan yang mahzub (cucu pancar perempuan) berhak mendapat harta warisan yang di kenal dengan wasiat wajibah.110 Yordania khusus mengenai wasiat wajibah di jelaskan pada Pasal 182 Undang-undang 1976 bahwa jika seseorang meninggal dunia dan anak laki-lakinya telah meninggal terlebih dahulu, maka cucu-cucunya berhak wasiat wajibah tidak lebih dan sepertiga harta warisan.111 Di Indonesia melewati Pasal 185 KHI ternyata lebih maju memprogresifkan hukum kewarisan khususnya terhadap hak warisan para cucu pancar perempuan maupun para cucu yang terhijap karena adanya anak lelaki dan perempuan sebagai solusi atas kebuntuan madzhab sunni yaitu dengan melewati istilah adanya penggantian ahli waris yang di sebut ahli waris pengganti.
109
Tahir Mahmood dalam Sukris Sarmadi, Dekonstruksi Hukum Progresif Ahli Waris Pengganti dalam Kompilasi Hukum Islam, (Yogyakarta : Aswaja Pressindo, 2012), hal. 59 110 Ibid. hal.149 111 Ibid. hal.86
Universitas Sumatera Utara