ANALISA PERBANDINGAN HUKUM KEWARISAN ADAT SUNDA DENGAN HUKUM KEWARISAN ISLAM Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh: Aep Saifullah NIM: 103044128018
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUD I AKHWAL SYAKHSHIYY AH FAKUL T AS SY ARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDA YATULAH JAKARTA 1428 H/2007 M
ANALISA PERBANDINGAN HUKUM KEWARISAN ADAT SUNDA DEN GAN HUKUM KEWARISAN ISLAM
SKRIP SI Diajukan Kepada Fakultas Syari'ah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh:
Aep Saifullah
103044128018
Di Bawah Bimbingan :
~;i~ Drs, H. Husni Thoyyar, M.Ag
NIP 150 050 919
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUD I AHWAL SYAKHSHIYYAH FAKULTAS SYARIAHDANHUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULAH JAKARTA 1428 H/2007 M
PENGESAHAN PANITJA 'd.lL\;\I Skripsi yang be1judul: "ANALISA PERBANDINGAN IHTI(Uf',1 KEVVARISAN ADAT SUNDA DENGAN HUKUM KEWARISAN ISLAlVl" telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakmia pada tanggal 6 Desember 2007. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam pada Jurusan Ahwal Syakhshiyyah
Jakarta, 6 Dcscrnber 2007 ...Mengesahkan ··' 'Deka
PANITIA UJIAN Ketua Sekretaris Pembimbing
Drs. H. A. Basiq Dj 1lil, SH, MA NIP. 150 169 102 : Kamarusdiana, MH NIP. 150 268 783 Drs, H. Husni Thoyyar, M.'1g NIP. 150 919
o:o
Penguji I
: Drs. H. Odjo Kusnara Nursidik, l\;1.Ag NIP. 150 268 783
Penguji II
: Muhammad Taufiki, M.Ag NIP. 150 290 159
KATA PENGANTAR
~)I <.J-.)\ .i3ll ~ Alhamdulillah, penulis memanjatkan rasa syukur ke hadirat Allah SWT. karena atas ridla-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga dicurahkan kepada Rasulullah Muhammad SAVl., karena atas suri tauladannya, penulis dapat melewati masa-masa tersulit dalam penulisan skripsi ini. Selama masa perkuliahan hingga tahap akhir penyusunan skripsi ini, banyak pihak yang telah memberikan bantuan dan motivasi kepada penulis. Oleh karena itu, dalam tulisan ini penulis ingin mengungkapkan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan Fakultas Syari'ah dan Hukum. 2. Bapak Drs. H. A. Basiq Jalil, SH, MA. dan Bapak Kamarusdiana, MH., selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Ahwal Syakhshiyyah yang senantiasa memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini. 3. Bapak Drs, H. Husni Thoyyar, M.Ag., selaku Dasen Pembimbing skripsi, penulis menghaturkan banyak terima kasih karena telah meluangkan waktu untuk membimbing dan memotivasi penulis. 4. Ayahanda H. Mukhtarudin dan Ibunda Hj. Nurohmah (Sri Sumiati), kedua orang tua tercinta yang telah berkorban tak kenal lelah dalarn menyelesaikan studi
kuliah, hingga ananda dapat meraih ilmu yang bermanfaat. Kasihmu tak lupa sepanjang hayat. 5. Kakanda Yunan Abdul Haris dan adinda Ainun Jariah beserta keluarga besar di rumah kediaman di Cibingbin, Kuningan yang senantiasa memberikan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan proses penyelesaian skripsi. 6. Bapak Ir. Herman Khoeron, M.Si., selaku Tokoh Muda Cirebon yang peduli terhadap kaum muda, atas dorongan dan spiritnya
telah banyak membantu
penulis dalam membantu proses studi sampai akhir kuliah. 7. Keluarga Besar Forum Masyarakat Peduli Daerah (FOR.Iv!ALIDA) Wilayah III Cirebon yang selalu memberikan doa dan menaruh harapan kepada penulis sehingga memotivasi penulis untuk dapat memberikan yang terbaik. 8. Teman-teman satu angkatan 2003 Konsentrasi Peradilar1 Agama kelas A dan kelas B yang telah banyak membantu serta bertukar pikiran, baik selama belajar maupun hingga detik-detik pelaksanaan wisuda. 9. Tak terlupakan, terima kasih kepada semua pihak yang turut membantu dalam kelancaran penulisan skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Semoga segala kebaikan dan sumbangsihnya dicatat oleh Allah SWT sebagai investasi amal untuk bekal di hari akhir nanti. Amin
Jakarta, 26 Dzulqa'dah 1428 H 06 Desember 2007 M
Penulis
DAFTARISI
KAT A PEN GANTAR ...................................................................................... . DAFT AR 181...................................................................................................... BABI
BAB II
iii
PENDAHULUAN ......................................................................... ..
1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................ .
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... .. ..... .. .. ... .... .. ...... ........ ....
1O
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................... ........................
11
D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan....................................
12
E. Sistematika Penulisan .................................................................
13
TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM KEWARISAN ISLAM.............................................................................................
15
A. Pengertian Hukum Kewarisan Islam ..........................................
15
B. Sejarah Kewarisan Islam.............................................................
20
C. Sumber Hukum Kewarisan Islam...............................................
25
D. Rukun dan Syarat Kewarisan......................................................
31
E. Sebab-sebab Penghalang Kewarisan...........................................
32
F. Ahli Waris dan Bagiannya..........................................................
33
G. Asas-asas Kewarisan Dalam Hukum Kewarisan Islam..............
38
BAB III
BAB IV
TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM KEWARISAN ADAT SUND A.............................................................................................
44
A. Pengertian Hukum Kewarisan Adat Sunda.................................
44
B. Sumber Hukum Kewarisan Adat Sunda .....................................
45
C. Rukun dan Syarat Kewarisan......................................................
46
D. Sebab-sebab Penghalang Kewarisan........... ............ ..... .. ........ .....
47
E. Ahli Waris dan Bagiannya ................................. .... .. ........ ...........
48
F.
54
Asas-asas Kewarisan Dalam Hukum Kewarisan Adat Sunda ...
ANALISA PERBANDINGAN HUKUM KEWARISAN ADAT SUNDA DENGAN HUKUM KEWARISAN ISLAM.................
58
A. Persamaan Hukum Kewarisan Adat Sunda Dengan Hukum Kewarisan Islam..........................................................................
58
B. Perbedaan Hukum Kewarisan Adat Sunda Dengan Hukum Kewarisan Islam............................................................................................
62
C. Analisis Hukum Antara Teori dan Praktek .................................
67
PENUTUP ........................................................................................
88
A. Kesimpulan .. .. .... .... .... ... ................................... ... ... .... ....... ... .. .... .
88
B. Rekomendasi dan Saran-saran....................................................
90
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................
92
BAB V
LAMPIRAN
BABI PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Sejarah perkembangan hukum Islam di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sejarah Islam itu sendiri. Membicarakan hukum Islam sama artinya dengan membicarakan Islam sebagai sebuah agama. Menmut Joseph Sacht, tidak mungkin mempelajari Islam tanpa mempelajari hukum Islam. Ini menunjukan bahwa sebagai sebuah institusi agama memiliki kedudukan yang sangat . "fik s1gm 1 an I .
Hukum Islam mencakup berbagai dimensi. Dimensi abstrak dalam wujud segala perintah dan larangan Allah dan Rasul·-Nya. Selain itu dimensi konkrit dalam wujud perilaku membangun apa yang menjadi titah tersebut yang bermnara pada perilaku manusia (amaliah) baik individual maupun kolektif. Hukum Islam juga mencakup substansi yang terintemalisasi ke dalam berbagai
. 12 . pranata sosia Hukum Islam dan pranata sosial sebagai unsur normatif dalam penataan kehidupan manusia berpangkal dari keyakinan dan penerimaan terhadap sumber ajaran Islam sepe1ii yang temmktub dalam Al-·Quran dan hadis. Kedua sumber ini lalu dijadikan rujukan dalam menata hubungan antara manusia dengan 1
Amiur Nuruddin, dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia; Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No l/1974 sampai KHI. (Jakarta, Prenada Media, 2004). h.2 2
Cik Hasan Bisri. Pilar-pi/ar Hukum Islam dan Pranata Sosial. (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2004) h. 38
2
makhluk lainnya. Hukum dideduksi secara preskriptif dari sumbemya (mashadir al-ahkam), sedangkan pranata diindukasi dari prapenataan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia yang spesifik3 . Keduanya menjadi unsur penata tentang berbagai kehidupan dalam suatu sistem sosial yang bersifat otonom, seperti umat Islam atau masyarakat bangsa. Secara sosiologis hukum dan pranata dipandang sebagai pola interaksi yang menjadi salah satu struktur dalam sistem sosial. Adapun secara antropologis, hukum dan pranata dipandang sebagai sistem norma atau kelakuan yang dijadikan pedoman perilaku dalam sistem sosial itu4. Hal ini menunjukkan bahwa kekuasaan itu bervariasi baik gradual maupun teritorial. Ada hukum yang memiliki daya atur dan daya ikat yang longgar dan ada pula yang ketat, di samping itu ada yang memiliki daya paksa walaupun dalam batas-batas tertentu. Hukum Islam sebagai suatu pranata sosial memiliki dua fungsi pertama, sebagai kontrol sosial (social of control) dan kedua sebagai nilai baru proses perubahan sosial (social of change) 5• Maka dari itu hukum Islam dituntut akomodatif terhadap persolan umat tanpa kehilangan prinsip-prinsip dasarnya. Sebab kalau tidak, kemungkinan besar
3
Amin Abdulah. Studi Agama: Normatifitas atau Historisitas? (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996). Cet. Pertama. h. 65 4
Ahmad Syafi'i Ma'arif. Islam dan lv!asa!ah Kenegaraan, (Jakarta, LP3S, 1996) Cet. Pertama. h. 45 5
Mochtar Kusumaatmadja. Pembinaan H11k11m Dalam Rangka Pembangunan Nasional (Bandung, Binacipta, 1986), h. 25
3
Islam akan mengalami kemandulan fungsi-meminjam istilah Abdurrahman Wahid (Gus Dur)- fosilisasi bagi kepentingan umat Islam. Bila formulasi penerapannya,
hukum Islam out of date itu tetap clipaksakan
dikhawatirkan
akan
menimbulkan
gejolak-gejolak
dari
masyarakat, sehingga akan memunculkan konflik internal dan ekstemal yang mengganggu stabilitas sosial. Berdasarkan elaborasi tersebut, maka upaya pembaharuan hukum melalui ijitihad mutlak cliperlukan7 • Hukum aclalah norma masyarakat juga, yang ditelaah dari suatu sudut tertentu yang selanjutnya disebut sebagai sistem sosial. Hukum itu timbul sebagai tingkah laku anggota masyarakat dalam hubungan satu sama lain yang didorong dengan motif untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Secara singkat dapat dikatakan bahwa hukum itu tidak timbul karena terjadinya konflik mengenai hak-hak orang, untuk kemuclian diselesaikan oleh suatu lembaga perwasitan tertinggi di wilayah bersangkutan, melainkan timbul dari praktek-praktek berdasarkan pertimbangan sosial dan individual bagaimana ha! tersebut dilakukan 8 Untuk melihat hukum itu bekerja sebagai sebagai suatu pranata di masyarakat, perlu kiranya memasukkan satu faktor yang menentukan bagi penerapan norma-norma hukum yakni manusia. Karena itu manusia atau orang
7
Mun'im A Sirry. Sejarah Fiqh Islam; Sebuah Pengamar (Surabaya, Risalah Gusti, 1995). h.
8
C.K Allen. law in the Making. (Oxford, The Clanrendon Press, 1957). h. 67-68
157
4
bisa menjadi subyek hukum yang dapat mengadakan hubungan dalam menimbulkan hak dan kewajiban hukum 8. Masuknya faktor manusia dalam hubungan proses hukum, maka dapat dikatakan hukum sebagai karya atau produk manusia yang berlaku di masyarakat. Menurut Chambliss dan Seidman, model masyarakat dibagi menjadi dua bentuk. Pertama, masyarakat non konflik yakni masyarakat yang berdasarkan pada basis nilai-nilai dan kesepakatan. Kedua, masyarakat konflik. 9 Sekalipun hukum merupakan sarana pengatur kehidupan sosial, namun yang menarik adalah justru hukum senantiasa tertinggal di belakang objek yang diatumya. Karena tak dapat dipungkiri bahwa hukum selalu erat kaitannya dengan perubahan sosial masyarakat. Dengan bahasa Sinzhemer, perubahan pada hukum akan terjadi apabila dua unsurnya bertemu pada satu titik singgung. Unsur tersebut adalah (I) keadaan atau kondisi barn yang timbul. (2) kesadaran masyarakat '0 Perubahan sosial yang terjadi di masyarakat selalu berimplikasi terhadap hukum yang berlaku. Hukum bagi masyarakat perkotaan dan hukum bagi masyarakat pedesaan tidak sama dalam ha! penerapannya. Produk hukumnya sama, tetapi antusias dan minat masyarakat dalam eksekusi di lapangan jauh
8
Hardjawijaya J. Hukum Perdata (Buku Kesatu Tentang Perorangan dan Hukum Keluarga) (Malang, PHPM Unibraw, 1979). h. 25 9
Chambliss dan Seidman. law. Order, and Power Reading. (Massachusetts, AddisaonWesley Publishing Company, 1971) h. 17 10
Hugo Sinzhemer. De Taak der Rechtssocio/ogie. (Haarlem, tp. 1935) h. 8
5
berbeda. Hal ini dapat terjadi mengingat antara kota dan desa sangat berbeda kondisi dan sifat masyarakatnya. Hal ini selaras dengan teori Marx Weber tentang tipe-tipe ideal dari sistem hukum yang terbentuk oleh masyarakat yaitu irrasional dan rasional 11. Seperti yang diketahui bersama bahwa dalam masyarakat selain terdapat hukum Islam, hukum positif
juga terdapat hukum adat atau tradisi yang berkembang di
masyarakat. Terlebih dengan perkembangan hukum Islam di daerah pedesaan, sangat tergantung kepada tokoh atau ulan1a (kyai) setempat, masyarakat desa yang nota-benenya kurang pengetahuan baik agama maupun umum. Kata adat berasal dari bahasa Arab yang berarti custom, kebiasaan. Pendapat lain menyatakan, bahwa adat sebenarnya berasal dari bahasa sansekerta, a (berarti "bukan") dan data (yang miinya"sifat"). Dengan demikian maka adat
sebenarnya bermii sifat immaterial, artinya adat menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan sistem kepercayaan. Hukum adat sebelumnya tidak dikenal di Indonesia, baru setelah ilmuwan Belanda Prof. Snouck Hourgronye (1857-1936) yakni orang yang ahli dalam 11
Menurut Weber ada beberapa tipe ideal dalam pembentukan hukum yang kemudian dipakai oleh masyarakat sebagai acuan, yakni : a. 1-lukum irrasional dan material, yaitu dimana pembentukan hukum didasarkan semata mata alas nilai emosional tanpa menunjuk suatu kaidah apapun. b. 1-lukum irrasional dan fom1al, yakni pembentukan hukum yang berpedoman pada kaidahkaidah di luar aka!, oleh karena berdasarkan pada wahyu atau ramalan. c. Hukum rasional dan material yakni dimana pembentukan hukum merujuk pada suatu kitab suci, kebijaksanaan penguasa atau ideology. d. Hukum rasional dan formal, yakni dimana hukum dibentuk atas dasar konsep abstrak dan ilmu hukum. (Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum (Jakat1a, Raja Grafindo Persada, 2003) h. 56
6
agama dan hukum Islam dalam bukunya The Atjeh yang selanjutnya dikembangkan dan disistemisasikan oleh C. Van Vollenhoven dan Ter Harr Bznu Jadi istilah hukum adat dikenal di Indonesia pasca terbitnya buku tersebut. Salah satu dari konsepnya adalah tentang Teori Receptie yang berbunyi "Hukum
is/am tidak ada, baru ada apabila sudah diterima oleh masyarakat adat dan muncul wujud baru yaitu hukum adat" Hukum adalah gejala masyarakat yang universal, ubi sociotes ibi ius (dimana ada masyarakat disitu pula terdapat hukum). Namun karena suasana dan lingkungan serta cara hidup masing-masing daerah yang berbeda, misalnya kota dan desa. Tentu tiap daerah tersebut memiliki corak dan khas berbeda yang tidak sama dengan lainnya. Bila dilihat dari kaca mata hukum Islam dan hukum positif sangat berbeda, pembagian warisan contoh kecilnya, dalam hukum Islam disebutkan antara laki-laki dan perempuan mendapat 2: 1 juga sama dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) tertera demikian. Namun ini tidak berlaku bagi masyarakat di daerah khususnya adat Sunda, pembagian tersebut dianggap oleh mereka tidak sesuai dengan prinsip keadilan serta tidak mencerminkan pembagian rata. Asumsi mereka pembagian harus dibagi imbang yakni I : I sehingga antar satu sama lainnya saling merata.
13
Muhammad Daud Ali. Hukum Islam Peradilan Agama dan Masalahnya, dalam, Hukum Islam Di Indonesia; Pemikiran dan Praktik (Bandung, Rosdakarya, 1991 ). h. 69
7
Kewarisan merupakan permasalahan yang sensitif, karena berkaitan dengan pembagian harta kekayaan orang yang meninggal dnnia kepada ahli warisnya. Bahkan seringkali terjadi perselisihan antara para ahli waris dalam pembagiannya. Hal ini disebabkan fitrah manusia yang lebih cenderung serakah, matrelistis, dan rela mengorbankan hak-hak orang lain demi kepentingan dan ambisi pribadinya. Oleh karena itu perlu ada sebuah sistem hukum untuk mengatur pembagian tersebut guna mencegah perselisihan dan ketidak-adilan. Salah satu dari sistem hukum itu adalah hukum kewarisan yang dalam Islam dikenal dengan istilah Fiqh Jvfawarits (faraid). Berkenaan dengan penyelesaian masalah kewarisan, di Indonesia terdapat beraneka ragan1 sistem kewarisan yang berlaku yakni : Sistem Hukum Kewarisan Perdata Baral (Eropa) yang tertuang dalam Burgerlijk Wetboek (Kitab Undangundang Hukum Perdata) disingkat KUHPer, sistem hukum Kewarisan Adat yang beraneka ragam pula sistemnya yang dipengaruhi oleh bentuk etnis di berbagai daerah lingkungan hukum adat, dan sistem hukum Kewarisan Islam yang terdiri dari pluralisme ajaran bersifat religi
13
.
Masyarakat biasanya memiliki kewenangan untuk menggunakan hukum yang mana yang akan dipilih dipakai (hak opsi). Pelaksanaan hak opsi dalam perkara waris dilandasi dengan UU No 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pada penjelasan umum dari butir ke-dua alinea ke-enam berbunyi :
1J M. Idris Ramulyo, 11ukun1 Ke..,varisan !sla111, Studi Kasus Perbandingan Ajaran Syafi'i (patrilinial) dan Hazairin (bilateral) praktek di PA dan KUHPer (BW), (Jakarta, Ind. Hill, 1987) h. I
8
"Sehubungan dengan ha! tersebut para pihak yang berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum mana yang akan dipergunakan dalam pembagian waris" Hak opsi merupakan hak untuk memilih sistem hukum apa yang akan dipergunakan dalam pembagian waris. Hak opsi hanya dapat digunakan apabila diantara ahli waTis terdapat ketidaksepakatan dalam penyelesaiannya. Menurut M. Yahya Harahap pemberlakuan hak opsi dalam perkara waris tersebut dianggap pelarian diri dari kekurangberanian para pembuat undang-undang dalam menentukan ketetapan yang memberikan bagian yang sama besar antara laki-laki dan perempuan. 14 Senada dengan itu Abdul Gani Abdullah berpendapat, bahwa asas pilih hukum kewarisan yang akan digunakan untuk menentukan pengadilan yang berwenang, tergantung kepada hukum yang dikehendaki oleh masing-masing pihak akibat ketidaksepakatan menentukan hukum, dan tidak bergantung kepada agama masing-masing. Dengan kata lain, asas pilihan hukum ini keluar atau menghindari dari hukum yang ditentukan agama. 15 Di Indonesia hukum kewarisan adat sangat dipengaruhi oleh prinsip garis keturunan yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan. Menurut Purwoto S
14
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (UU No 7 Tahun 1989), (Jakarta, Pustaka Kartini, 1997), h. 32 15
Abdul Gani Abdulllah, Dalam Sepuluh Tahun Undang-undang Peradilan Agama (Jakarta, Ditbinpera, 1999), h. 52
9
Gandasubrata, ada tiga sistem yaitu 17
kemasyaraktan yang mempengaruhi coraknya
:
1. Sistem kemasyaraktan kebapakan (patrilineal) 2. Sistem kemasyarakatan keibuan (matrilineal) 3. Sistem kebapak-keibuan (parental/bilateral) Hukum kewarisan adat Sunda contohnya, lebih kental nuansa adatnya, coraknya lebih sama dengan sistem parental/bilateral yalmi pembagian warisan yang ditarik menurut garis orang tua (bapak-ibu) dimana kedudukan pria dan wanita tidak ada perbedaan dalam pewarisan. Dalam pembagiannya tidak ada pemilahan secara beda, sistem ini lebih menitik beratkan atas asas kekeluargaan (musyawarah) di mana antara laki-laki dan perempuan mendapat sama rata. Sedangkan dalam hukum kewarisan Islam, sudah ada aturan dan pembagian klmsus terhadap harta peninggalan (tirkah) dari pewaris kepada ahli warisnya. Yang menjadi patokan adalah pembagian antara lald-laki dan perempuan dua berbanding satu. Tentu ha! ini sangat berbeda bila dibandingkan dengan hukum kewarisan adat Sunda. Pada umumnya keberadaan hukum kewarisan Islam tidak berlaku, masyarakat Sunda lebih memakai hukum kewarisan adatnya dibanding Hukum Kewarisan Islam, bahkan lebih sering digunakan dengan musyawarah (badami) secara kekeluargaan. Karena kebiasaan ini sering dilakukan, maka lambat laun
17
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional (Bandung, Binacipta, 1976) h. 72
10
menjadi jurisprudensi dan ketetapan hukum setempat kemudian menjadi adat atau tradisi yang berlaku. Dari pembahasan di atas, penulis merasa tertarik untuk meneliti lebih lanjut dan mencoba mengabadikannya dalam karya ilmiah yang berbentuk skripsi dengan judul "Analisa Perbandingan Hukum Kewarisan Adat Sunda Dengan Hukum Kewarisan Islam".
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan oleh penulis di atas dan mengingat pembahasan yang begitu luas mengenai hukum kewarisan adat Sunda dengan hukum kewarisan Islam khususnya, maka perlu dibatasi ruang lingkupnya agar lebihjelas dan rinci bahasannya. Hukum adat Sunda yang merupakan bagian dari kebudayaan Jawa Barat, memiliki daerah yang cukup luas, dan sunda sendiri dibagi kepada beberapa bagian yaitu: Sunda Priangan (Bandung, Tasilanalaya, Ciamis, Garut di!), Sunda Banten (Pandeglang, Lebak di!), Sunda Bogar (Bogar, Sukabumi, Cianjur di!) dan Sunda Cikuning Maja Ayu ( Cirebon, Kuningan, Majalengka, dan lndramayu). Dalam ha! ini agar lebih jelas pembahasannya, hukum kewarisan adat Sunda yang dimaksud pembahasan ini adalah Sunda di daerah desa Cibingbin Kecamatan Cibingbin Kabupaten Kuningan Jawa Barat. Maka pada bahasan skripsi ini, penulis membatasi mengenai hukum kewarisan adat Sunda yang ada di
11
daerah Kuningan Jawa Barat. Adapun rumusan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut : I. Apa perbedaan dan persamaan yang mendasar antara Hukum Kewarisan Adat Sunda dengan Hukum Kewarisan Islam ? 2. Bagaimana eksistensi Hukum Kewarisan Adat Sunda dan Hukum Kewarisan Islam dalam praktiknya di masyarakat ? 3. Sejauh mana pemakaian hak opsi (pilih) dalam menyelesaikan pembagian waris antara kedua hukum kewarisan tersebut ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : I. Mengetahui perbedaan dan persamaan antara Hukum Kewarisan Islam dengan Hukum Kewarisan Adat Sunda. 2. Dapat mengetahui keberadaan atau eksistensi hukum kewarisan adat Sunda dan hukum kewarisan Islam dalam praktiknya di masyarakat. 3. Mengetahui penggunaan hak opsi dalam menyelesaikan pembagian waris. Sedangkan manfaat dari penelitian ini yaitu : I. Tersedia data tentang penyelesaian perkara waris secara hukum Islam atau menggunakan hukum adat Sunda. 2. Sebagai sumbangsih dalam pengambilan keputusan dan yurisprudensi hukum terutama mengenai kewarisan.
12
3. Untuk memberikan kontribusi positif dari akademisi dalam rangka sebagai sosialiasi hukum Islam dan hukum adat Sunda yang berkaitan dengan kewarisan. 4. Sebagai bentuk khazanah keilmuan dan pengembangan keislaman serta wawasan bagi siapa saja yang membaca hasil penelitian ini.
D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan
Pembahasan skripsi ini dilakukan secara deskriptif
analisis dengan
melalui pendekatan sejarah (analisis histories) 17 • Penulis menggunakan studi kepustakaan (Library research) dengan menelusuri buku-buku, majalah-majalah, artikel dan karya ilimah lainnya yang berkenaan dengan tema bahasan ini. Data yang diperoleh tersebut disusun secara teratur dan sistematis lalu dianalisis secara kualitatif, dengan demikian jenis penelitian dalam kaiya ilmiah ini adalah penelitian kualitatif18 . Adapun teknik penulisan, penulis menggunakan buku "Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari 'ah dan Hukum UJN Syarif Hidayatullah Jakarta 2007 ".
17
Bambang Sunggono. Metodologi Penelitian Hukum. (Jakarta, Rajawali Pers, 2003). Cet. Ke-5. h. 102 18
h. 21
Burhan Ashshofa. Metode Penelitian Hukum. (Jakarta, PT Rineka Cipta, 2004). Cet. Ke-4.
13
E. SISTEMATIKA PENULISAN Ada pun sistematika penulisan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut : Bab Pertama
Pada bab ini berisi tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian dan teknik penulisan, serta sistematika penulisan.
Bab Kedua
Berisi tentang tinjauan umum tentang hukum kewarisan Islam yang meliputi : pengertian hukum kewarisan Islam, sejarah kewarisan Islam, sumber hukum kewarisan Islam, rukun dan syarat kewarisan, sebab-sebab penghalang kewarisan, ahli waris dan bagiannya, serta asas-asas kewarisan dalam hukum kewarisan Islam.
Bab Ketiga
Berisi tentang tinjauan umum tentang hukum kewarisan adat Sunda yang meliputi : penge1iian hukum kewarisan adat Sunda, sumber lmkum kewarisan adat Sunda, rukun dan syarat kewarisan, sebab-sebab penghalang kewarisan, ahli waris dan bagiannya, serta asas-asas kewarisan dalam hukum kewarisan adat sunda.
Bab Keempat
Pada bab ini membahas tentang analisa perbandingan terhadap hukum kewarisan Islam dengan hukum kewarisan adat Sunda, selain itu juga diuraikan mengenai persamaan dan perbedaan hukum kewarisan adat Sunda dengan hukum kewarisan Islam,
14
serta analisis hukum antara teori dan praktek dalam hukum kewarisan Islam dan hukum kewarisan adat Sunda
Bab Kelima
Bab ini merupakan bab penutup, clalmn bab ini berisikan kesimpulan hasil penelitian clan rekomendasi atau saran-saran, selain itu juga dilengkapi dengan daftar pustaka.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM KEWARISAN ISLAM A. Pengertian Kewarisan Islam Hukum kewarisan dalam Islam dikenal dengan nama "fiqh mawarits". Mawarits dalam pengertian etimologi adalah bentuk jamak dari kata tunggal "mirats" yang artinya harta pusaka atau warisan 1• Agar lebih jelas lagi pembahasannya, baik kiranya dijelaskan terlebih dahulu tentang definisi atau pengertian dari kewarisan tersebut. Secara etimologi (bahasa) kata "kewarisan" berasal dari yakni waratsa "'oJ
yang memiliki beberapa pengertian antara lain :
Pertama, Mengganti. Seperti yang tertera dalam QS. al··Naml (27): 16
( \i :\'VI J,Jll) Artinya: Dan Sulaifnan telah me1varisi Daud, dan dia berkata: uHai rnanusia, kami telah diberi pengerlian tentang suara burung dan katni diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (sen1ua) ini benar-benar suatu karunia yang nyata".
Pada terjemahan Al-Qur'an terdapat catatan kaki no 593 kata "mewarisi" diberikan penjelasan yaitu: "Nabi Sulaiman AS menggantikan kenabian dan kerajaan Nabi Daud AS. serta mewarisi ilmu pengetahuan dan
1 Mahmud Yunus, Ka1nus Arab Indonesia, (Jakarta, Yayasan Penyelenggara Penterjernah Penlafsir Al-Qur'an, IJ?3), Cet ke-J, h. 496
16
kitab Zabur yang diturunkan kepadanya" 2 • Melihat dari susunan kata tersebut secara bahasa mewarisi mempunyai arti menggantikan. Kedua, "Memberi" seperti yang tercantum dalam QS. al-Zumar (39): 74
b<
(Vi :
r~ I y)\) ~I ;..f r~:i {Ui~.:;..
Artinya: Dan mereka mengucapkan: "Segala puji bagi Allah yang telah memenuhi janji-Nya kepada kami dan telah (memberi) kepada kami tempat (bumi) ini sedang kami (diperkenankan) menempati tempat da/am syurga di mana saja yang kami kehendaki; Maka syurga ilu/ah sebaik-baik ba/asan bagi orang-orang yang bera1na/ 11,
Pada kalimat di atas terdapat kata (GJ..'.,,) yang bila disesuaikan dengan susunan katanya memiliki arti memberi, yakni pemberian Allah kepada manusia berupa segala kenikmatan dunia dan kenikmatan akhirat yaitu surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang beramal baik. Ketiga, "Mewarisi" yang terdapat dalam QS. Maryam (19): 6
Artinya: Yang akan niewarisi Aku dan 1ne1varisi sebahagian keluarga Ya'qub; danjadikanlah fa, Ya Tuhanku, seorangyang diridhai".
Dari tiga pengertian waris secara bahasa di atas ada tiga macam arti yaitu menggantikan, memberikan, dan mewarisi. Antara satu arti dengan lainnya bagian yang tidak terpisahkan melainkan memiliki kesamaan maksud,
2
532
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Te1jemahannya, (Surabaya, Mekar Jaya, 2004), h.
17
mengingat tiga arti tersebut selaras dengan pengertian waris a tau kewarisan. 3 Selain itu warisan mempunyai arti yaitu pindahnya sesuatu dari orang lain atau dari suatu kaum kepada kaum yang lain4 Adapun menurut tinjauan terminologi, sebagaimana halnya dalarn Karnus al-Munjid fi al-Lughah wa al-'Alarn adalah :
Yaitu : " Harta seseorang berpindah kepadanya setelah ia meninggal dunia"
Secara definitif, banyak dari tokoh dan ulama yang memberikan pengertian tentang kewarisan itu sendiri, menurut Muhammad Ali As-Sabuni, arti warisan adalah pindahnya hak milik orang lain yang meninggal, baik yang ditinggalkannya itu berupa benda bergerak atau tidak begerak. Menurut Muhammad Syarbini Al-Khatib yang dikutip oleh Drs. Ahmad Rofiq, MA dalarn bukunya "Hukum Islam di Indonesia" mengatakan bahwa kewarisan adalah hukum yang mengatur pembagian warisan dan mengetahui bagian-bagian yang diterima dari harta peninggalan untuk setiap yang berhak. Selain itu M.Idris Ramulyo, SH mendefinisikan kewarisan berupa himpunan
3
Ahmad Rafiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2000), h.
3556 4
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Hukum Warisan Dalam Syariat Islam (terjemah) (Bandung, CV. Diponegoro, 1988), h. 40 5
27 h. 895
Luwis Ma'luf, Al-Munjid fl al-Luhah wa al-'Alam, (Beirut, Dar al-Masyrik, 1984), Cet-
18
peraturan-peraturan hukum yang mengatur hak dan kewajiban dari harta yang ditinggalkannya. 6 Berbicara tentang pengertian hukum kewarisan, seperti dikemukakan di atas bahwa banyak definisi dan istilah kewarisan yang diutarakan oleh para ulama secara hakikat adalah sama namun hanya berbeda pada redaksi. Dalam Islam terdapat istilah-istilah yang berkenaan dengan kewarisan antara lain :7 I. Muwarrits, yaitu orang yang meninggal dunia. 2. Warits (ahli waris), yaitu orang yang mempunyai hubungan dengan orang yang meninggal dunia, maka ia berhak menerima bagian dari warisan. 3. Mauruts, yaitu hmia warisan (pusaka). 4. Ashabu al-Furudl (dzawi al:furud), yaitu ahli wans yang mempunyai bagian tertentu dari harta peninggalan si mayit yang ditetapkan oleh nash dan ijma'. 5. 'Ashabah, yaitu kelompok ahli wans yang berhak menenma dari s1sa bagian. 6. Dzawil Arham (ulu al-arham), yaitu kerabat pewaris yang tidak termasuk dzawil furud dan ashabah 8 .
59
6
M. Idris Ramu Iyo, Hukwn Kewarisan Islam, (Jakarta, Ind. Hill, I 998), h. I
7
Hasbi Ash Shiddiqy, Fiqhul Mmvaris, (Jakarta, Bulan Bintang, 1973), Cet ke-1, h. 18
8
Sayuti Thalib, Hukum Kewarisan di Indonesia, (Jakarta, Bina Aksara, J981), Cet ke-I, h.
19
7. Mawali, yakni ahli waris karena penggantian yaitu orang yang menjadi ahli waris karena tidak ada lagi penghubung antara mereka dengan pewaris, ini hasil ijtihad dari Prof. Hazairin. 9 Hukum kewarisan dikenal juga dengan istilah ilmu faraid 10. Dalam bahasa Arab perkataan faraid menunjukkan bentuk jamak, sedangkan bentuk tunggalnya faridah yang berarti suatu ketentuan atau bagian-bagian tertentu dari ahli waris yang diatur secara rinci dalam al-Quran 11 . Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dapat disimpulkan pula bahwa hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan
berapa bagiannya masing-masing. 12 Berdasarkan pengertian kewarisan dalam
Islam tersebut, telah
mengisyaratkan hal-hal yang berhubungan dengan kewarisan yaitu : adanya orang yang meninggal dunia (pewaris), harta yang ditinggalkan (warisan) dan orang yang mengurusi harta peninggalan dan berhak a1as harta peninggalan tersebut (ahli waris). 13 Hukum waris juga termasuk hukum benda, seperti
9
1-Iazairin, Hukunz Kei.11arisan Bilateral Menurut al-Qur'an dan Hadits, (Jakarta, Tinta Mas. 1967), cet ke-4, h. 28
'°
Sayyid Sabiq, Fiqh a/-Sunnah, (Beirut, Dar al-Fikr, 1983), cet ke-4, h. 424
11
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta, PT Raja Grafindo, 1995), cet ke-2, h. I
12
Kompilasi Hukum Islam (KH!) lnpres No 1Tahun1991 Pasal 171 (a)
13
Menurut M. Idris Ramu Iyo yang dimaksud harta warisan atau hai1a peninggalan ialah haita kekayaan dari seseorang yang meningal dunia berupa :
20
dalam KUH Perdata dijelaskan bahwa salah satu cara untuk mendapatkan hak kebendaan adalah warisan.
B. Sejarah Tentang Kewarisan Islam yang turun dalam kurun waktu 22 tahun 2 bulan 22 hari, dalam upaya merevisi atau memperbaharui tatanan hukum dalam wilayah Arab pada masa sebelum Islam dilakukan dengan bertahap serta bijaksana tanpa membebani penganutnya. Demikian pula yang terjadi dalam proses legislasi hukum kewarisan Islam. Islam turun pada saat yang tepat baik membawa informasi baru maupun menyempurnakan keberadaan hukum sebelumnya. Dalam hal sejarah kewarisan Islan1 pun turut mewarnai kehidupan ketika itu. I. Hukurn Kewarisan Masa Sebelurn Islam
Sistem sosial yang berlaku pada masyarakat Arab sebelum Islam datang diwarnai penuh oleh kultur Badui yang sering disebut dengan istilah
"Nomad Society". Keberadan atau eksistensi seseorang pada waktu itu diukur dari kekuatan fisik atau tenaga yang hanya dimiliki oleh kaum lakilaki saja. Sistem seperti ini sangat memberikan pengaruh cukup kuat dalam hukum kewarisan mereka. Konsekwensi tersebut mempunyai dampak yang buruk terhadap anak-anak laki-laki terlebih lagi bagi perempuan yang I.
2. 3.
Harta kekayaan yang terwujud yang dapat dinilai dengan uang tennasuk di dalamnya piutang yang hendak ditagih Harta kekayaan yang merupakan hutang-hutang yang harus dibayar pada saat meningal dunia Harta kekayaan yang masih bercampur dengan harta bawaan masing-masing suami isteri (lihat M. Idris Ramulyo, ibid, h. I 06
21
senantiasa mendapat perlakuan diskriminatif. Realitas demikian yang direvisi bahkan dihapus oleh Islam. Praktek demikian telah mendarah daging dalan1 masyarakat Arab ketika itu. Bahkan hingga masa awal-awal Islam, kebiasaan tersebut masih berlanjut. Satu ha! yang aneh bahwa yang diwariskan itu tidak hanya dalam ha! harta peninggalan saja, melainkan juga istrinya asalkan istrinya itu bukan ibu kandung dari anak yang mewarisi. Mereka juga memberi warisan kepada anak yang lahir di luar pernikahan. 14 Pada saat itu ada seorang laki-laki bernama Mihsan Ibn Qais alAslat ditinggal mati ayahnya, mendiang ayalmya meninggalkan istri yang cantik yang secara otomatis menjadi janda. Dalarn pembagian warisan janda tersebut tidak mendapat apa pun. Kemudian Mihsan pun berhasrat untuk mengawini janda ayahnya itu, namun ibunya tidak segera memberi jawaban lalu menghadap Rasulullah SAW untuk meminta izin agar diperkenankan kawin dengan Mihsan. Rasul tidak segera memberi jawaban, kemudian turunlah firman Allah SWT dalam QS. al-Nisa (4): 19
14
Ismuha, Penggantian Ten1pat Da!a1n Hukun1 Waris Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Hukum Adat, dan Hukum Islam (Jakarta, Bulan Bintang, 1978), Cet ke-1, h. 27
22
,,,
/
( \ ~ : £ /.,WI)~ Artinya: Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa 15 dan jangan/ah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecua/i bi/a mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bi/a kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.
Tentu saja ayat di alas tidak dimaksudkan bahwa mengawini jandajanda tersebut tidak dengan paksaan diperbolehkan Allah SWT dalam ayatnya yang lain ditegaskan : 16 (.
--: , •ti; .:,_.('~ G i :_ <.~ ~ u Lb ,~I; JL li L: ~I;-,w\ - ~FJ · c~ J /
~
)
)
( rr : z ;.w1) ~..:, ;L..j 1~·a:j
W
Artinya: Dan janganlah ka111u kalvini 1-vanita-lvanita yang telah dikawini o/eh ayahn1u,
terkecuali pada masa yang telah iampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-burukjalan (yang ditempuh).
2. Hukum Kewarisan Masa Awai Islam
Hukum kewarisan pada masa awal Islam belum mengalami pernbahan. Hal ini dapat dimengerti mengingat pada masa-masa awal Islam prioritas utama ajaran-ajarannya yakni membina akidah atau keyakinan
15
Ayat ini tidak menunjukkan bahwa mewariskan wanita tidak dengan jalan paksa dibolehkan. Menurut adat sebahagian Arab Jahiliyah apabila seorang meninggal dunia, Maka anaknya yang tertua atau anggota keluarganya yang lain mewarisi janda itu. janda tersebut boleh dikawini sendiri atau dikawinkan dengan orang lain yang maharnya diambil oleh pewaris atau tidak dibolehkan kawin lagi. 16
Ibid, h. 361
23
bagi pemeluknya yaitu mentauhidkan Allah SWT Yang Maha Esa, Ini dimaksudkan untuk mengoreksi keyakinan mereka (orang-orang Arab Jahiliyyah) yang terseret ke dalam kepercayaan syirik atau menyutukan Allah. Melihat realitas masyarakat yang belum siap itu, ayat-ayat yang mengatur tentang kewarisan belum cukup kuat dan tepat untuk diterapkan. Salah satu strategi Islam tidak sekaligus dalam mengadakan perubahan sosial masyarakat Arab Jahiliyyah, karena demikian sangat menggoncangkan masyarakat, adapun dengan secara berangsur-angsur
(tadriji) saja Nabi Muhammad SAW masih banyak sekali mendapat halangan dan rintangan. Hukum kewarisan Islam pada dasarnya bersumber dari firman Tuhan dalam bentuk Al-Quran dan hadis nabi yang terdiri dari ucapan, perbuatan, dan hal-hal yang didiamkannya. Dasar kewarisan itu ada yang secara tegas mengatur, dan ada yang tersirat bahkan hanya berisi pokokpokoknya saja. Dengan demikian dasar-dasar yang dijadikan sebab dan faktor mewarisi pada masa awal Islam adalah : a. Al- Qarabah
(Pertalian Kerabat)
b. Al-HilfWal Mu'aqqadah
(Janji Selia)
c. At-Tabanny
(Adopsi atau Pengangkatan Anak)
d. Hijrah
(dari Makkah ke Madinah)
e. Muakhah
(Ikatan Persaudaraan antara golongan Muhajirin dan Anshor)
24
Sebelum turunnya ayat Al-Quran yang mengatur pembagian warisan, di Madinah telah meninggal seorang sahabat nabi dari golongan Anshor, bernama Aus Bin Tsabit dan meninggalkan seorang isteri, empat orang anak perempuan dan dua orang anak pamannya. Lalu anak pamannya datang mengambil seluruh harta peninggalan Aus sebagai warisan, sesuai hukum adat yang berlaku sebelum Islan1 datang. Istri Aus merasa bahwa hukum tersebut tidak sesuai dengan prinsip keadilan, maka kemudian dia datang menghadap Nabi Muhammad SAW untuk mengadukan perihal tersebut. Lalu ia menjelaskan: "Ya Rasulullah ! suami saya bernama Aus telah meninggal dunia dan meninggalkan harta warisan yang cukup banyak pula. Kemudian datanglah kedua anak pamannya bernama Qatadah dan Afathah untuk mengambil seluruh harta peninggalan dan ke empat anak perempuannya sama sekali tidak diberi sedikit pun, sedangkan mereka masih tetap dalam pemeliharaan saya. Kemudian Nabi bersabda: "Pulanglah dahulu, saya menunggu
sampai Allah memberi ketentuan mengenai mereka." Tak lama kemudian turunlah firman Allah SWT dalam ayat QS al-Nisa (4): 7
Artinya: Bagi orang /aki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibubapak dan kerabatnya, baik sedikit a/au banyak menurut bahagian yang te/ah ditetapkan.
25
Dengan turunnya ayat tersebut, maka Islam telab mengubab hukum waris yang berlaku pada sebelumnya yang menetapkan bahwa wanita dan anak laki-laki yang masih kecil tidak menerima warisan. Kemudian pada ayat-ayat berikutnya secara tadriji Allah menjelaskan dan menentukan bagian-bagian serta keputusan lainnya. Ketentuan tersebut merupakan landasan utama yang menunjukkan bahwa dalam Islam baik laki-laki maupun perempuan sama-sama . 17 . mempunym. hak wans
Juga merupakan pengakuan Islam babwa
perempuan sebagai subyek lmkum yang mempunyai hak dan kewajiban. Tidak demikian halnya, pada masa jabiliyab di mana wanita dipandang sebagai obyek bagaikan benda biasa yang dapat diwm·iskan.
C. Sumber atau Dasar Hukum Kewarisan Islam
Ruang lingkup kewarisan Islam sangat jelas dasar hukumnya, maka kemudian penulis merasa sangat perlu untuk mengupasnya. Dasar kewarisan dalam Islam adalah : 1. Al-Qur'an
Al-Qur'an adalah sumber hukum Islam pertama dan utama. Ia menjelaskan ketentuan-ketentuan hukum kewarisan secara jelas dan rinci.
17
Anwar Sitompul, Dasar-dasar Praktis Pembagian Harta Peninggalan Menurut Hukum Waris Islam, (Bandung, Armico, 1984), h. 15
26
Adapun ayat-ayat yang dijadikan sebagai dasar dari hukum kewarisan dalam Islam, seperti QS al-Nisa (4): 11
c.,,,.,,_.
J,-
,,"'t
J}t,,,
.,,,,
,,....
JJ ___
t
}J-,..
&
"',,.,,'?-
J
ltl:,•<10_g\' '\·0 '..U':J"-<''Ll\'".<'•L:,\; ·.:i 11· -~, ..-"'" · ..r ("+.! -'.J r-' ·-' r-' · ;,i· -' '-1; L¢'Y- ~-' ( ' ' : £ ;.w1)
~ 1:.:c 0t?:&l01 "¥i ::._; ~.;,1}
Artinya:
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sa1na dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-n1asingnya seperenarn dari
harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi o/eh ibu··bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di alas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang ruamu dan anakanakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekar (banyak) manfaatnya bagimu. lni ada/ah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Kemudian dijelaskan pula dalam ayat lain QS al-Nisa (4): 12
27
Artinya: Dan baghnu (suan1i-suan1i) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteriisterilnu, jika 1nereka tidak n1en1punyai anak. jika Jsteri-isterilnu itu 1nempunyai anak, Maka kan1u 1nendapat seperempal dari harta yang ditingga/kannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. para isteri memperoleh seperen1pat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak 1nernpunyai anak. jika katnu niernpunyai anak, Maka para isteri me1nperoleh seperdelapan dari harta yang kan1u tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutanghutangmu. jika seseorang mati, baik !aki-!aki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara !aki-/aki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masingmasing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika Saudara-saudara seibu itu !ebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat {kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.
Kemudian dalam ayat lain QS al-Nisa (4): 33 menerangkan:
}
11.ft~'
} .... .,t
.. f-=, ... ,\
I
-
Artinya:
Bagi tiap-tiap harta peningga!an dari harta yang ditingga/kan ibu bapak dan karib kerabat, kami jadikan pewaris-pewarisnya. dan Oika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, Maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.
28
Kemudian dalam ayat lain QS al-Nisa (4): 176
( \Vi Artinya: Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang ka/a/ah 18). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak tnen1punyai anak dan me1npunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (se/uruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu duo orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan o/eh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudarasaudara laki don perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian duo orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
2. Sunnah atau Hadis Imam al-Bukhari menghimpun hadis tentang kewarisan tidak kurang dari empat puluh enam hadits dan Imam Muslim menyebut haditshadits kewarisan kurang lebih dua puluh hadis. Namun pada bahasan kali ini perincian hadits tersebut tidak akan dikutip semua, hanya yang pokok
18
Kala/ah ialah : seseorang mati yang ticlak meninggalkan ayah dan anak
29
saja yang akan dikemukakan, seperti hadis mengenai kewarisan yang diriwayatkan oleh Muslim dari Ibnu Abbas RA 19 : ,.. ...
(4.).y ~) _?~ ~) "'
"'
,,
,..
,,
,..
,..
,..
,..
J
l>
J'/j..__j ~ :;~t.:._; ~~ ~\~llJ.kl-1 ,, ... ,, ,, ,..
,..
Artinya:
"Berikan hart a pusaka kepada pemiliknya (orang yang menerima fardlu}. Sisa dari hartanya diberikan kepada orang laki-laki yang paling dekat kepada orang yang meninggal." (Muuafaq A/aihi}
Dali! di alas merupakan hadis shahih dan tidak diragukan kedudukannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu 'Ala Ibnu Muhammad dengan sanad dari Uhaib Ibnu Thowus dari bapaknya.
Artinya:
Dari Usamah bin Zaid r.a bahwa nabi SAW bersabda: "Orang is/am tidak rneivarisi orang kafir, den1ikian juga orang kajir tidak me1varisi orang isla1n. 11 (Muttafaq
Alaihi} 20
" (~)...U\) ~L:J\ o\JJ) ~~ ~\~\ Artinya: Dari 'Amr bin Syu'aib dari bapaknya dari kakeknya dari nabi Muhammad SAW telah bersabda: "Pen1bunuh itu tidak dapat 1neivarisi sesuatu pun dari yang terbunuh". (HR. Nasai dan Daruquthni} 21
19
Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy Syaukani, Nail al-Author, (Azhar, Maktabatul Iman, t.th) Ji lid Ke-5, h. 60 20 Hafidz Ahmad bin Ali bin Hajr Al-Asqalani, Bulug/111/ Maram, (Mesir, Dar al-Hadis, t.th) h. 162 21
Ibid, h. 163
30
Dari pengertian hadis pertarna dan kedua di atas, dapat dipaharni bahwa pembagian warisan diserahkan terlebih dahulu kepada orang yang berhak yaitu yang tergolong dalam Ashabul Furudh, sisanya kemudian untuk Ashabah. Diketahui pula bahwa perbuatan waris mewarisi hanya diperbolehkan bagi yang satu agarna (Islam), dan terakhir juga menjelaskan tentang ahli waris yang tidak mendapatkan harta pusaka karena membunuh. 3. Ijma'
Yaitu kesepakatan para ularna atau para sahabat sepeninggal Rasulullah SAW tentang ketentuan warisan yang dalam Al-Quran. Karena telah disepakati oleh para sahabat dan ularna maka ijma' dijadikan sebagai sumber dan referensi hukum. 22 4. Ijtihad
Yaitu pemikiran para sahabat atau ulama dalam menyelesaikan ha!hal pembagian warisan yang belum atau tidak disepakati. Yang dimaksud di sini adalah ijtihad dalam menerapkan istinbath hukum, bukan untuk mengubah pemaharnan atau ketentuan yang sudah ada. Misalnya terhadap masalah raad atau 'aul, di dalarnnya terdapat perbedaan pendapat yang sejalan dengan hasil ijtihad masing-masing sahabat, tabi'in atsu ularna.
22
Tengku Muhammad Hasby Ash-Shidiqy, Fiqh Mawarits (Semarang, Pustaka Rizki Putra, 1999), Cet ke-1, h. 303
31
D. Rukun, Syarat Dan Sebab-sebab Kewarisan
Agar pembagian warisan menjadi sah secara hukum maka harus terdapat rukun dan syarat mewarisi. Rukun mewarisi adalah : 1. Muwarits, yaitu orang yang meninggal, atau disebut juga dengan pewaris. 2. Warits (ahli waris), yaitu orang yang memiliki hubungan dengan pewaris dengan suatu sebab menerima pusaka, seperti kekerabatan (hubungan darah) dan perkawinan. 3. Muruts (harta atau pusaka) yakni harta dari orang yang meninggal. Adapun syarat-syaratnya adalah : I. Matinya Muwaris, Para ulama membedakan kepada tiga macam :
a. Mali Haqiqi, yaitu kematian yang nyata disaksikan oleh panca indera. b. Mali Hukmy, yaitu kematian berdasarkan vonis hakim karena alasan kuat. c. Mali Taqdiri, yaitu kematian yang berdasarkan dugaan keras seperti kematian bayi dalam pemt ibunya karena minum racun atau pemukulan terhadap ibunya. 2. Hidupnya ahli waris di saat kematian muwaris, ahli waris yang telah mati disaat kematian muwaris tidak berhak menerima warisan. Karena dari segi kecakapan hukum, orang yang mati tidak lagi menerima warisan tetapi masih
memiliki
peninggalannya.
kewajiban
seperti
membayar
hutang
dari
harta
32
3. Tidak ada penghalang untuk mewarisi. 23 Sedangkan yang menjadi penyebab terjadinya kewarisan antara lain : I. Perkawinan yang sah. 2. Kekerabatan, yakni hubungan darah yang mengikat ahli warts dengan muwar1s. 3. Wala' yaitu kekerabatan yang timbul karena membebaskan (memberikan) hak budak.
E. Sebab-Sebab Atau Penghalang Tidak Menerima Warisan Yang dimaksud penghalang di sini adalah suatu tindakan atau hal-hal yang menggugurkan hak seseorang untuk mewarisi harta pusaka. Adapun yang menjadi penghalang untuk mendapat warisan yaitu : I. Pembunuhan yang dilakukan seseorang terhadap bapalmya sendiri. Perbuatan anak tersebut merupakan suatu tindakan makar pembunuhan yang dapat menggugurkan haknya untuk mewarisi harta peninggalan ayahnya, sekalipun telah memenuhi rukun dan syarat mewarisi. 2. Berlainan agama, yang menjadi penghalang adalah apabila antara ahli waris dan muwarits berbeda agarna atau keyakinan.
23
Fatchur Rahman, I/mu Waris, (Bandung, PT Al Ma'arif, 1987), h. 50
33
F. Ahli Waris dan Bagian-bagiannya
Seperti yang telah dibahas sebelumnya di antara salah satu faktor-faktor yang dapat waris-mewarisi adalah ahli waris. Ahli waris yaitu orang yang mempunyai hubungan dengan orang yang meninggal dunia, dan berhak menerima bagian dari warisan. Mengenai berapa besar ketentuan bagiannya sudah ditetapkan dalam Al-Quran 24 • Antara lain: 1. Yang Mendapat Seperdua (112)
a. Anak perempuan tunggal, seperti dalam firman Allah SWT,
Artinya: Jika anak peren1puan itu seorang saja, Maka ia me1nperoleh separo dari
hart a.
b. Cucu perempuan tunggal dari anak laki-laki (diqiyaskan kepada anak perempuan) c. Saudara perempuan : I) Saudara perempuan tunggal yang sekandung 2) Saudara perempuan tunggal yang sebapak, apabila saudara perempuan yang sekandung tidak ada. Finnan Allah :
Artinya: Dan bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya
24
72
!kin Sadikin, Tanya Jawab Hukum Ke/uarga dan Waris, (Bandung, Armico, 1982), h.
34
d. Suami (duda) Suami mendapat seperdua (setengah) apabila isterinya tidak mempunyai anak atau cucu (laki-laki atau perempuan) dari anak lakilaki. Firman Allah SWT,
Artinya: Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditingga/kan o/eh isteri-isterimu, sjika 1nereka tidak 1nempunyai anak
2. Yang Mendapat Seperempat (1/4) a. Suami, apabila isterinya ada dan terdapat anak atau cucu dari anak lakilaki. Firman Allah,
-~ , ~. ~ ~ ~;u-L__,< J
}.:-r'-' ,
k.,
»t1\ ~ ~\~ ".I- ~ ~I~ Lb · ~ c;..r r-- ...\JJ ~ (.) (.);
(\Y :i/
~WI) ... ;___j._~jf~, ~~
Artinya: Jika isteri-isterin1u itu 1netnpunyai anak, Maka kamu 1nendapat seperempat
dari harta yang ditingga/kannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat a/au (dan) seduah dibayar hutangnya
b. Isteri (seorang atau lebih), apabila suammya tidak mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki. Finnan Allah,
Artinya: "Para isteri memperoieh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak 1ne111punyai anak 11
35
3. Yang Mendapat Seperdelapan (118) Isteri (seorang atau lebih), apabila suaminya mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki. Firman Allah dalam QS al-Nisa 4:12,
Artinya: ".Jika kamu rnempunya; anak, Maka para isteri 1nen1peroleh seperdelapan dari harta yang kan1u tinggalkan 11
4. Yang Mendapat Dua Pertiga (2/3) a. Dua orang anak perempuan atau lebih, apabila ticlak acla anak laki-laki. Finnan Allah clalam QS al-Nisa 4: 11,
Artinya: " Maka jika anak itu semuanya perempuan !ebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditingga!kan"
b. Dua orang cucu perempuan atau lebih clari anak laki-laki, apabila anak perempuan ticlak acla (cliqiyaskan kepacla anak perempuan) c. Dua orang saudara perempuan atau lebih yang seibu sebapak (sekanclung). Firman Allah QS. al-Nisa 4: 176) :
Artinya: "Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditingga!kan o/eh yang meninggal.
cl. Dua orang saudara perempuan atau lebih yang sebapak (Surat. An Nisa 4: 176)
36
5. Yang Mendapat Sepertiga (1/3) a. Ibu, apabila anak yang meninggal tidak mempunyai anak atau cucu (dari laki-laki) atau dia tidak mempunyai saudara (laki-laki atau perempuan) yang sebapak atau seibu (sekandung). Firman Allah QS. alNisa (4):11:
Artinya: "Jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi a/eh ibubapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenan1
b. Dua orang saudara atau lebih (laki-laki atau perempuan) yang seibu. Firman Allah SWT QS al-Nisa (4):12: ~
#
~I
J
-
/
J
:lb:._r:.,
?
J."
_,
,-
?
t
G
}
/
~ Jll·~ ~ J.-f=I lylb:.
,-
0~
(f: \~\.WI) Artinya: Tetapi jika saudara-saudara seibu itu /ebih dari seorang, Maka mereka bersekutu da/a111 yang seperliga itu
Di dalam ayat tersebut tidak disebutkan saudara seibu, akan tetapi maksudnya untuk saudara seibu, sebab mengenai saudara sekandung dan sebapak telah dijelaskan pembagiannya pada ayat lain.
37
6. Yang Mendapat Seperenam (1/6) a. Ibu, apabila anaknya meningal itu tidak mempunyai anak atau cucu (laki-laki) atau saudara (laki-laki dan perempuan) yang sebapak dan seibu (sekandung). Firman Allah SWT QS. al-Nisa 4: 11, »"'
J."
:.Uj ,4.J
....
~
(JD
",,."
ul- 2.J_;
-t
J
J,
tt'""
~ l.)"'..._.:....i
"'.,,,. 4:?
"'1<1
.,.
,,.1.
~J U"-;'. ~Y.~J , , (f:\ \/~WI)
Artinya: "Dan untuk dua orang ibu bapak bagi rnasing-rnasingnya seperenam dari hart a yang dili11ggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak
b. Bapak, apabila anaknya yang meninggal mempunyai anak atau cucu (laki-laki atau perempuan) dari anak laki-laki c. Nenek (ibu dari ibu atau ibu dari bapak), apabila ibu tidak ada, ha! ini karena berdasarkan kepada hadits yang diriwayatkan dari Zaid, beliau berkata:
Artinya: "Sesungguhnya Nabi saw re/ah menetapkan bagian nenek seperenam (116) bagian dari harta warisan." (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, Turmudzi kecua/i anNasai).
d. Cucu perempuan (seorang atau lebih) dari anak laki-laki, apabila orang yang meninggal mempunyai anak tunggal, akan tetapi apabila anak perempuannya lebih dari seorang, maka cucu perempuan tidak mendapat apa-apa. Nabi bersabda :
38
Artinya: 11 Nabi telah men-1berikan seperenan1 bagian unruk cucu perernpuan dari anak /aki-laki, serta (ada) anak perempuan." (HR. Bukhari)
e. Kakek (datuk), apabila orang yang meninggal mempunyai anak atau cucu (dari anak laki-laki) sedang bapaknya tidak ada. f.
Saudara (laki-laki atau perempuan) yang seibu.
g. Saudara perempuan yang sebapak (seorang atau lebih), apabila saudaranya yang meninggal mempunyai seorang saudara.
G. Asas-asas dan Prinsip Kewarisan Dalam Islam Hukum Kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkenaan dengan peralihan hak atau kewajiban atas harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia kepada ahli warisnya.
25
Asas hukum kewarisan Islam yang dapat disalurkan dari Al-Quran dan hadits, antara lain :
1. Asas Ijbari Asas ini dalam kewarisan Islam mengandung arti bahwa peralihan harta seorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris atau ahli waris. Unsur keharusan (ijbari: compulsory) dalam 25
Keputusan Seminar Hukum Waris Islam yang diselenggarakan oleh Proyek Pembinaan Sadan Peradilan Agama, tanggal 5-8 April 1982, di Cisarua Bogor, (Jakarta, Depag RI, t.th)
39
hukum kewarisan Islam terutama terlihat dari segi ahli waris harus (tidal boleh tidak) menerima berpindahnya harta pewaris kepadanya sesuai deanganjumlah yang telah ditentukan oleh Allah. 26 Adanya asas ijbari dalam hukum kewarisan Islam dapat dilihat dari: a. Segi peralihan harta b. Segi jumlah pembagian c. Segi kepada siapa harta itu beralih Asas ijbari ini dapat dilihat pada Kompilasi Hukum Islam (KI-II) dalam Bab I tentang ketentuan umum pasal 171 huruf a sampai f, Bab II tentang ahli waris pasal 172 sampai 175 dan Bab III tentang besarnya bagian pasal 17 6 sampai 179. 2. Asas Bilateral
Asas ini yaitu bahwa seseorang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak baik keturunan laki-laki maupun perempuan. Asas ini dapat dilihat dalam surat An-Nisa ayat 7, 11, 12 dan 176. Dalam ayat 7 surat tersebut ditegaskan bahwa seorang laki-laki dan perempuan berhak mendapat warisan dari orang tuanya secara bilateral. Asas bilateral dapat dilihat dalam KHI pada pasal 174, Bab III tentang besamya bagian, pasal 176-191, dan bab IV tentang Aul dan Rad pasal 192 dan 193.
26
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam : Pengantar !/mu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2004) Cet ke-4, h. 14 I
40
3. Asas Individual Asas ini menyatakan bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi pada masing-masing ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. Dalam pelaksanaannya seluruh harta warisan dinyatakan dalan1 nilai tertentu yang kemudian dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak sesuai kadar masing-masing. Dalam hal ini setiap ahli waris berhak atas bagian yang diperolehnya tanpa terikat kepada ahli waris lain, karena bagian-bagiarmya sudah ditentukan.
4. Asas
Keadila~ng Berimbang Asas ini beraiti harus senantiasa terdapat keseimbangan antara hak
dan kewajiban, baik hak yang diperoleh dengan kewajiban yai1g harus ditunaikarmya. Laki-laki dan perempuan misalnya, mendapat hak yai1g sebanding dengan kewajiban yang dipikulnya (kelak) dalm keluarga dan masyarakat. Dalfilll sistem kewarisan Islfilll, haita peninggalan yang diterima oleh ahli waris pada hakikatnya adalah pelanjutan tanggung jawab pewaris terhadap keluarganya. Oleh karena itu, perbedaan bagian yang diterima oleh masing-masing ahli waris berimbang dengan perbedaan tanggung jawab masing-masing terhadap keluarga. KHI merumuskannya dalam pas al 183, yaitu : para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalan1 pembagian ha1ta warisan setelah masing-masing menyadari bagiannya.
41
5. Asas Akibat Kematian Ini berarti kewarisan semata-mata sebagai akibat kematian seseorang. Menurut ketentuan hukum Islam, peralihan harta seseorang kepada orang lain disebut dengan kewarisan, terjadi setelah orang yang mempunyai harta meninggal dunia. Ini berarti harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain selama ia masih hidup sedangkan dalam KHI merumuskannya dalam pasal 211, yaitu : peralihan harta dengan jalan hibah dapat diperhitungkan sebagai warisan. 6. Asas Hajib Mahjub Hajib dan Mahjub berarti orang yang menjadi penghalang dan terhalangi. Dalam hukum kewarisan Islam, tidak semua ahli waris mendapat bagian dari harta peninggalan, karena penentuannya berdasarkan orang lebih dekat kekerabatannya dengan pewaris. Dalam KHI pasal 174 ayat (2) disebutkan : apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya: anak, ayah, ibu, janda atau duda. Yang dimaksud semua ahli waris yaitu pertarna, golongan laki-laki terdiri dari : ayah, anak dan saudara laki-laki, paman dan kakek. Kedua, golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak dan saudara perempuan dan nenek. Dari golongan laki-laki, saudara terhalang oleh ayah. Dari golongan perempuan saudara perempuan terhalang oleh anak dan ayah, nenek terhalang oleh ibu
42
7. Asas Kesamaan Agama Beragama Islam merupakan dasar yang menjadikan seseorang dapat saling waris mewarisi. Dalam KHI dirumuskan pada pasal 171 huruf b : "Pewaris adalah orang yang pada saat meninggal berdasarkan putusan pengadilan
beragama Islam,
meninggalkan
al1li
waris,
dan
harta
peninggalan". Huruf c : "ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris". Ditinjau dari sudut ekonomi pembagian warisan mempunyai fungsi guna menyalurkan hmta kekayaan dari penumpukkan pada diri seseorang. Menurut Muhammad Najatullah Siddiqi sebagaimana dikutip oleh Abdul Qadir Jaelani
menyatakan perbedaan zakat dengan warisan yang
menyatakan: 27 "Apabila pada zakat terjadi pembagian kernbali kekayaan antm·a generasi sekarang, maka pada harta warisan pembagian kembali kekayaan antara generasi yang pergi dengan yang ada sekarang" Ketentuan kewarisan dalam Islam tidak dibatasi pada kelompok kecil saja, menurut Mustafa Husni as-Siba'i tujuan Islam dalam memperbanyak ahli waris agar harta warisan itu tidak te1timbun oleh
27
Abdul Qadir Jaelani, Keluarga Sakinah (Surabaya, Bina Ilmu, I 995) h. 277
43
beberapa tangan saja, melainkan terpencar-pencar dan terbagi secara merata28 . Dengan demikian Islam menentukan beberapa prinsip pembagian warisan (pusaka) seperti halnya yang dikemukakan oleh Mahmud Syaltut: 29 a. Adanya
hubungan
kekeluargaan
dan
perkawinan.
Hubungan
kekeluaraaan mencakup hubungan karena kelahiran, dan hubungan persaudaraan yang mencakup aspek yaitu saudara sebapak dan seibu, saudara sebapak saja dan saudara seibu saja, sedangkan hubungan perkawinan mencakup suan1i dan isteri. b. Meniadakan pembedaan sifat laki-laki dan wanita se11a besar kecilnya dalam ahli waris. c. Bapak dan anak tidak terhalang oleh siapa pw1 dalam pembagian warisan, meski jumlah bagian yang bakal diperolehnya sangat tergantung oleh ahli waris yang lain. d. Saudara laki-laki dan perempuan tidak memperoleh bagian (hak) selama masih ada bapak dan ibu. e. Jika ahli waris itu terdiri atas laki-laki dan perempuan, maka golongan laki-laki menerima dua kali bagian wanita.
28
Mustafa Husni as-Siba'i, Kehidupan Sosial Menurut Islam (Bandung, Diponegoro, 1981), h. 161 29
Mahmud Syaltut, Islam, Aqidah Dan Syari'ah (Jakarta, Pustaka Amani, 1986), h. 353
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM KEWARISAN ADAT SUNDA
A. Pengertian Hokum Kewarisau Adat Sunda
Daerah Kuningan merupakan salah satu dari wilayah Jawa Barat yang hingga kini masih kental nuansa agamis khususnya dalam masalah kewarisan. Hal ini mengingat adat atau tradisi di daerah ini sudah terpatri sejak sebelum Islam masuk ke wilayah tersebut tepatnya 3500 SM. 1 Sebelum Islam datang, masyarakat Kuningan menganut agama Hindu dan merupakan daerah otonom yang masuk wilayah kerajaan Sunda yang terkenal dengan nama "Padjadjaran". Seluruh Jawa Barnt termasuk Cirebon pada tahun 1389 M masuk bagian dari kerajaan Pajajaran. Kata sunda sendiri memiliki arti aneka ragam, antara lain jamal, indah, atau elok. Lambat laun kata ini selain itu sebagai salah satu suku atau bahasa di Jawa Barat. 2 Mengingat hampir seluruh warga Kuningan adalah mayoritas islam yang sangat taat pada ajaran agamanya. Sehingga hal ini membuat kuatnya pengaruh islam yang ditunjukkan dengan kentalnya pengaruh Islam dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai ritual agama penting menjadi kewajiban yang
1 •
Sejarah Ringkas Kabupalen Daerah TK. fl Kuningan, (Kuningan, Dinas Pariwisata
Daerah, 2000), h. 1 2•
Ajip Rosyidi, Kesusaslraan Sunda Dewasa lni, (Cirebon, t.p, 1966), h. 107
45
tidak dilepaskan dan ditinggalkan oleh masyarakat setempat, seperti selametan, muharraman, mauludan dan sebagainya. 3 Dalam hal kewarisan pun yang mana berkenaan dengan harta peninggalan, secara adat masih berlaku hingga kini. Menurut istilah adat sunda yang dikemukakan oleh Saini KM, hukum waris ialah peraturan hukurn yang mengatur pemindahan hak milik barang-barang, harta benda dari generasi yang berangsur mati (generasi tua) kepada generasi muda (ahli waris) yang masih hidup, baik dari bapak kepada anak, dari anak kepada cu cu dan seterusnya. 4
B. Sumber Hukum Kewarisan Adat Sunda
Untuk mengetahui sumber hukum kewarisan adat Sunda, berarti tidak lepas dari kehidupan keagamaan orang Sunda. Mayoritas agama yang dipeluk masyarakat Sunda adalah agama Islam, sehingga kepercayaan, sejarah dan ajarannya tidak bisa dilepaskan antara keduanya. Dalam pengertian antropologi, agama sebagai bagian dari kebudayaan. Kehidupan agama tersebut juga tampak amat kuat bagi orang Sunda. Apabila kita pelajari tahap-tahap lingkaran hidupnya dari sejak masa kelahiran, memotong rambut, perkawinannya, sampai meninggalnya tentu saja masih dalam bingkai-bingkai agama. Hal ini sangat tidak mengherankan mengingat 3 .
Adaby Darhan dan Abdul Wahid, Antara Saung, Warung, dan Tajug: Transformasi Ekonomi dan Prilaku Agama Komunitas Pedagang Di Cibingbin, Jawa Baral. (Jogjakarta, Lembaga Penelitian UGM) 2004, h. 26 4
• Saini K.M, Adat !stiadat Daerah Jawa Baral, (t.t, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1980), h. 147
46
nilai-nilai agama memainkan peranan yang amat besar dalam kehidupan manusia dan masyarakat 5•
C. Rukuu dan Syarat Kewarisan Mengenai rukun dan syarat kewarisan adat Sunda, penulis mengambil kesimpulan dari karangan RD Soepomo tentang kewarisan Hukum Perdata Adat Jawa Barat yang menjelaskan sebagai berikut : Rukun kewarisan adat Sunda ada tiga : I. Pewaris, adalah orang yang meninggalkan harta kekayaan. 2. Ahli waris, adalah orang yang ada hubungannya dengan orang yang telah meninggal, seperti kekerabatan dan perkawinan. 3. Warisan, adalah harta yang menjadi pusaka pewaris atau barang-barang dari harta benda pewaris. Adapun syarat-syarat kewarisan adat Sunda, pada prinsipnya sama dengan syarat-syarat kewarisan Islam, hanya perbedaan istilah saja yang beda antara lain : I. Pewaris, artinya orang yang mewariskan. Dalam ha! ini pewarisan baru terjadi apabila si pewaris sudah meninggal dunia. Meninggal disini, baik hakiki maupun tahkim (berdasarkan keputusan hakim). Tanggal kematian itu dihitung seperti yang dinyatakan oleh keputusan hakim, bukan tanggal
5
• Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta, Djambatan, 1979), Cet ke-4, h. 311
47
ketika keputusan itu dikeluarkan. Hal tersebut menyangkut mati secara hukmi atau ada keraguan kapan matinya seseorang 2. Ahli waris, artinya anggota keluarga benar-benar hidup ketika pewaris meninggal dunia, dan ahli waris tersebut berhak memperoleh harta pusaka 3. Tidak adanya penghalang-penghalang untuk mewarisinya Walaupun dua syarat telah dipenuhi yakni syarat (1) dan (2), namun salah seorang dari mereka tidak dapat mewarisi harta peninggalannya kepada yang lain jika terdapat salah satu dari macam penghalang yang mewarisi.
D. Sebab-sebab dan Penghalang Kewarisan 1. Sebab-sebab waris-mewarisi adalah6 : a. Sedarah dan tidak sedarah, ahli waris yang sedarah terdiri dari anak kandung, orang tua, saudara dan cucu. Sedangkan ahli waris tidak sedarah ialah anak angkat, janda atau duda. b. Hubungan perkawinan, bila seseorang laki-laki telah melangsungkan akad nikah yang sah dengan perempuan, maka di antara keduanya telah terdapat hubungan kewarisan. Artinya istri menjadi ahli waris bagi suaminya yang telah mati begitupun sebaliknya. c. Kepunahan atau Nunggul Pinang, yakni jika pewaris tidak memiliki ahli waris sama sekali maka harta kekayaannya tersebut diserahkan
'. Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, (Bandung, Alumni, 1983), Cet ke-2, h. 109
48
kepada desa atau Baitul Mal atau kepada orang yang tidak mampu atau dibagikan di antara ketiganya. 2. Penghalang atau sebab-sebab tidak mewarisi adalah : Hak waris seseorang juga dapat hilang dikarenakan perbuatan salah yang dilakukan ahli waris yang bertentangan dengan hukum adat. Perbuatan salah dapat dibatalkan apabila ahli waris memaafkan, memberi ampunan secara nyata dalam ucapan atau prilakusebelum atau ketika proses pembagian warisan. Perbuatan tersebut antara lain : a. Membunuh atau berusaha menghilangkan nyawa pewaris atau anggota keluarga pewaris. b. Melakukan penganiayaan atau berbuat merugikan kehidupan pewaris. c. Melakukan perbuatan tidak baik, menjatuhkan nama baik pewads atau nama kerabat pewaris disebabkan perbuatan tercela. d. Murtad dari agama atau berpindah agama dari kepercayaan.
E. Ahli Waris dan Bagiannya I. Ahli Waris
Sistem kekerabatan orang Sunda dipengaruhi oleh adat yang diteruskan secara turun-temurun. Karena agama Islam telah lama dipeluk oleh masyarakat Sunda, maka sangatlah sulit kiranya untuk memisahkan mana adat dan mana agama. Biasanya kedua unsur ini terjalin erat menjadi adat kebiasaan dan kebudayaan setempat.
49
Adat memang memegang peranan meskipun tak selalu dapat disesuaikan dengan syariah. Mengenai warisan menurut syariah anak lakilaki dengan anak perempuan ialah dua berbanding satu (2; I). Di adat Sunda, Jawa Barat ha! itu berlainan, karena menurut adat baik anak lakilaki maupun perempuan memperoleh warisan yang sama besarnya7• Mengenai prinsip garis keturunan, dapat dikatakan bahwa sistem kekerabatan di Sunda adalah bersifat bilateral. Yang dimaksudkan dengan bilateral
adalah
gar1s
keturunan
yang
menghitungkan
hubungan
kekerabatan melalui orang laki-laki maupun wanita. Adapun sistem silsilah kekerabatan pada orang Sunda menunjukkan ciri-ciri bilateral dan generasional. Dilihat dari sudut ego, orang sunda mengenal istilah tujuh generasi ke atas dan tujuh generasi ke bawah, yakni : Ke Atas
KeBawah
a. Ko lot
a. Anak
b. Embah
b. Incu
c. Buyut
c. Buyut
d. Bao
d. Bao
e. Janggawareng
e. Janggawareng
f.
Udeg-udeg
g. Gantung siwur
7
f.
Udeg-udeg
g. Gantung siwur
• Kosoh S, dkk, Sejarah Daerah Jawa Baral, (Jakarta, Proyek Inventarisasi dan dokumentasi Sejarah nasional, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Dirjen Kebudayaan, Depdikbud, 1994), eel ke-2, h. 127
50
Bagi orang Sunda sebutan kekerabatan bagi kekerabatan pihak lakilaki tidak berbeda dengan sebutan kekerabatan bagi kerabat pihak wanita. Apabila kita melihat istilah kekerabatan orang Sunda, maka tampak istilah yang dipergunakan untuk kedua generasi ke atas dan ke bawah dilihat dari sudut ego seperti: ayah dengan sebutan apa, bapa, pa. Ibu dengan sebutan
ema, ma. Kakak laki-laki dengan sebutan kakang, kaka, akang, atau kang. Kakak perempuan dengan sebutan ceuceu, euceu, ceu. Kakak laki-laki ayah atau ibu dengan sebutan uwa. Adik laki-laki ayah atau ibu dengan sebutan
mamang, emang, atau mang. Adik perempuan ayah atau ibu dengan sebutan bibi, ibi, embi atau bi. Adalah berbeda, sedangkan sejak generasi ketiga ke atas maupun ke bawah istilahnya sama yakni prinsip polarity (diabaikan). Ada benamya anggapan bahwa dua generasi keatas dan kebawah itu masih mempunyai hubungan yang fungsionil dalam hubungan kekerabatan, sedangkan tiga generasi ke atas dan ke bawah hanya mempunyai fungsi tradisional dalam hubungan kekerabatan. Dari kajian antropologi di alas tentang sistem kekerabatan adat Sunda bisa dijadikan piranti untuk analisis mengenai hukum adat Sunda tentang sistem kewarisan. Seperti dalam tertib parental (susunan pertalian menurut garis ayah maupun ibu) yang umum di daerah adat Sunda, semua harta benda kepunyaan kedua orang tua yang meninggal diwariskan kepada beberapa
51
ahli waris yang mendapatkan, dan ha! itu dapat dikelompokkan kepada beberapa ahli waris, antara lain : Generasi pertama
Semua harta benda kepunyaan pewaris diwariskan kepada semua anak-anaknya.
Generasi kedua
Semua harta benda kepunyaan pewaris diwariskan kepada orang tua, j ika yang berpulang itu tak meninggalkan anak-anak.
Generasi ketiga
Semua harta benda kepunyaan pewaris diwariskan kepada ahli waris dari kedua orang tuanya, dalam ha! ini adalah ke tangan kerabatnya sendiri dari pihak keluarga suami yang masih hidup. Syaratnya yakni jika orang tua tersebut telah meninggal dunia.
Semua harta benda kepunyaan kedua orang tua tersebut diwariskan sama rata kepada ahli waris yang mendapatkan, baik itu anak-anaknya, orang tuanya, maupun saudara-saudaranya dari pihak keluarga suami isteri yang masih hidup. Harta pusaka dalam aturan tertib ini senantiasa terdiri dari harta milik sendiri dari yang meninggal ditambah dengan harta bersama dalam perkawinan.
2. Harta Bagian Yang Diperoleh oleh Ahli Waris Mengenai pembagian warisan menurnt adat sunda pada umumnya terbagi pada 2 macam cara yang dibagi kepada generasi muda yaitu :
52
a. Pembagian sebelum generasi tua meninggal Yang dimaksud generasi tua disini ialah bapak dan ibu dari generasi muda tersebut. Pembagian sebelum generasi tua meninggal dilakukan atas persetujuan antara suami dan istri. Bisa juga suami melakukan itu tanpa persetujuan isterinya. Pihak generasi muda (anakanaknya) hanya menerima saja pembagian yang dikehendaki oleh ayah bunda mereka. Cara demikian hanya dilakukan dalam lingkungan keluarga mereka sendiri, tanpa dihadiri dari pihak luar manapun baik dari petugas KUA maupun dari pihak Desa. Harta kekayaan warisan tersebut dibagikan sama rata kepada anak-anaknya, pembagian ini tidak melihat jenis kelamin misalnya anak laki-laki mendapat satu sedangkan perempuan mendapat setengahnya. Bila pembagian tersebut sudah ditentukan jumlah besar dan banyaknya harta warisan, maka kemudian dibuatkan dan diuruskan surat-suratnya yang sah pada pamong desa atau depan notaris. Apabila terdapat dari generasi muda (salah satu anaknya) meninggal, maka pembagian anak-anak lainnya tetap disesuaikan atas keputusan orang tua. Lalu ketentuan tersebut diuruskan surat-suratnya yang sah pada pamong desa atau depan notaris. b.
Pembagian sesudah generasi tua meninggal Pembagian warisan sesudah generasi tua meninggal, dilakukan apabila kedua orang tua ibu dan bapak dari waris setelah meninggal.
53
Kalau ibu saja yang meninggal, pembagian belum bisa dilakukan. Apabila bapak saja yang meninggal sedangkan ibu masih hidup, hak kekuasaan atas semua hmta jatuh kepada ibu (istrinya), dan ini yang mengatur segala sesuatunya mengenai harta kekayaan suaminya yang meninggal itu. Sang ibu selanjutnya mengurus untuk keperluan bagi anakanaknya san1pai ada ketentuan pembagimmya, apakah warisan suaminya tersebut akan dibagikan kepada anak-anaknya menurut cara pertama diatas, apabila tidak demikian maka pembagimmya dilakukan dengan cara kedua. Cara kedua dilakukm1, melihat silsalah keturunan keluarga (turun reki), apakah termasuk anak sulung, bungsu atau bontot. Anak
sulung atau pertama mendapatkan bagian warisan lebih besm· dari adikadiknya, selmtjutnya anak ke-dua mendapatkan lebih kecil dari sulung begitupun selanjutnya. Pembagian sepe1ti ini tidak melihat jenis apakah laki-laki atau perempuan. Namun lebih ditekankan kepada aspek strata keluarga. Dalam ha! kedua orang tua meninggal dari ahli warisnya, maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dalam proses pembagian warisan. Tidak mustahil diantara mereka ada yang serakah dalam mengambil bagiannya, tentu saja ingin mendapat jatah lebih banyak dan besar dari yang lain.
54
Pada umumnya di adat Sunda, pembagian warisan dilaksanakan secara damai dan musyawarah yang menghasilkan mufakat antara ahli wai·is, setelah segala tanggungan dai·i orang yang meninggal, selesai ditunaikan seperti melunasi hutang-hutangnya, biaya penguburan, melaksanakan wasiatnya dan lain-lain. Biasanya pembagian tersebut diatur oleh laki-laki yang tertua dari ahli waris sa111pai mendapatkan persesuaian dai·i mereka. Tetapi bila tidak tercapai kesepakatan dala111 pembagian, maka dimintakan pertimbangan dan saran dari saudarasaudara pihak bapak atau i bu. Kalau dengan cara ini masih belum juga selesai, maka dimintakan pertimbangan dan penyelesaian dari pihak KUA (Kantor Urusan
Aga111a)
setempat.
Di
sm1
segala
pertimbangan
dan
penyelesaian dilakukan berdasarkan hukum Isla111 sesuai ketentuan kitab faroid.
F. Asas-asas Hukum Kewarisan Adat Sunda
Pada prinsipnya hukum waris adat sunda memiliki asas yang berpangkal dari sila-sila Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia (way of life). Tetapi bukan semata-mata terdapat asas kerukunan dan asas
kesa111aan hak dalam pewarisan, na111un terdapat pula asas-asas hukum yang terdiri dari :
55
1. Asas Ketuhanan
Asas ketuhanan ini adalah sila ketuhanan yang maha esa dengan artian setiap orang, tiap anggota keluarga yang percaya dan taqwa kepada Tuhan Maha Pencipta menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Bahwa rejeki dan kekayaan manusia yang dapat dikuasai dan dimilikinya adalah karunia tuhan. Dalam pembagian warisan, menurut adat Sunda asas ketuhanan sangat diutamakan mengingat, bahwa sesuatu yang ada di muka bumi ini adalah milik Tuhan. Sebelum harta pusaka dibagikan kepada ahli waris, hendaknya berlandaskan kepada ajaran-ajaran agama yang dianut olehnya agar terhindar dari ·sifat keserakahan dan ingin menguasai harta. 2. Asas Kesamaan dan Kebersamaan Hak Asas
kesamaan
hak
dan
kebersamaan
hak
disini
adalah
kemanusiaan yang adil dan beradab, dengan artian hak atas warisan yang diperlukan secara adil dan bersifaat kemanusiaan baik dalam acara pembagian
maupun
dalam
cara
pemanfaatannya
dengan
selalu
pembagian
harta
memperhatikan para waris yang hidupnya kekurangan. Dengan
asas
tersebut,
diharapkan
dalam
peninggalan (warisan) dapat sesuai po rs inya. Dan tidak ada yang merasa diuntungkan maupun dirugikan. Contoh, pada pembagian warisan sebelum generasi tua meninggal, anak laki-laki dan anak perempuan mendapatkan bagian yang setara atau sama rata. Sedangkan dalam pembagian warisan
56
setelah generasi tua meninggal, anak laki-laki dan anak perempuan mendapatkan bagian sesuai dengan cara tersebut yakni melihat garis silsilah keturunan. 3. Asas Kerukunan dan Kekeluargaan Dengan sila persatuan ini dalam ruang lingkup yang kecil seperi keluarga
atau
kerabat
menetapkan
kepentingan
kekeluargan
dan
kebersamaan sebagai kesatuan masyarakat kecil yang hidup rukun. Kepentingan mempertahankan kerukunan kekeluargaan atau kekerabatan selalu ditetapkan diatas kepentingan kebendaan perseorangan. Demi persatuan dan kesatuan keluarga maka apabila seorang pewaris wafat bukanlah tuntutan atas harta warisan yang harus segera diselesaikan, melainkan bagaimana memelihara persatuan itu supaya tetap rukun dan damai dengan adanya hruia warisan itu. Diharapkan dengan asas kerukunan dan kekeluargaaan, berfungsi bagi proses pembagian waris agar tidak memecah belah antar keluarga. Seperti anak laki-laki mgm mendapatkan bagian lebih besar dari perempuan atau sebaliknya. 4. Asas Musyawru·ah dan Mufakat Asas musyawarah dan mufakat menurut hukum waris adat manisfestasinya berarti kesanak saudaraan pewaris yang terpelihara atas dasar musyawarah mufakat para anggota keluarga. Artinya dalam mengatur atau menyclesaikan harta warisan setiap anggota waris mempunyai rasa tanggung jawab yang sama dan atau hak dan kewajiban yru1g sama berdasarkan musyawarah mufakat bersama.
57
Asas tersebut berfungsi, mentolerir terjadinya kesenjangan antar ahli waris dalam pembagian tirkah dari pewaris. Pada umumnya dalam adat Sunda, kebanyakan lebih banyak memakai cara demikian yang diterima masyarakat. Ketika cara pembagian sebelum dan sesudah generasi tua meninggal, maka asas ini menjadi solusi akhir bagi tercapainya ahli waris dalam mendapatkan bagiannya. 5. Asas Keadilan dan Parimirma Dengan adanya rasa keadilan ini maka dalam hukum waris adat tidak berarti membagi pemilikan atau pemakaian hmia warisan yang sama jumlahnya atau nilainya, tetapi yang selaras dan sebanding dengan kepentingan pemerataanya. Dan asas parimirma, di dalam hukum wm·is adat, yaitu asas welas kasih terhadap para ahli waris, yang dikarenakan keadaan, kedudukan, jasa, karya dan sejarahnya, sehingga mendapatkan hak dan bagian dari harta pusaka. 8 Asas keadilan ini mewakili dari tujuan adanya bagi waris. Antara anak laki-laki dan perempuan mendapatkan bagian sesuai hak dan bagiannya. Seperti pembagian waris sebelum generasi tua meninggal, generasi muda (anak-anak) menerima bagian yang dikehendak oleh orang tua mereka. Begitu juga dalam pembagian setelah generasi tua meninggal, anak laki-laki dan perempuan mendapatkan bagian yang ditetapkan oleh orang tua mereka.
8
. Ter Haar BZN, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Penerjemah K. Ng. Soebakti Peosponoto (Jakarta, Pradnya Paramita, 1999), Cet. Ke-12, h.10.
BAB IV ANALISA PERBANDINGAN HUKUM KEWARISAN ADAT SUNDA DENGAN HUKUM KEWARISAN ISLAM
A. Persamaan Hukum Kewarisan Adat Sunda Dengan Hukum Kewarisan Islam
1. Pengertian dan Istilah-istilah a. Pengertian Hukum Kewarisan Dalam pengertian hukum kewarisan baik hukum kewarisan adat Sunda maupun hukum kewarisan Islam, secara umum sama, yakni menerangkan bahwa kewarisan terjadi karena ada peristiwa hukum yang sama, yaitu ada kematian seseorang yang meninggalkan harta waris dan ahli waiis. Pembagian harta peninggalan tersebut kepada ahli warisnya, dilakukan setelah ditunaikan kewajiban berupa penguburan mayat dan penyelesaian hutang-hutangnya. b. Istilah-istilah dalam Hukum Kewarisan Istilah-istilah yang terdapat dalam hukum kewarisan Islam dan hukum adat Sunda pada dasarnya mempunyai arti yang sama, misalnya pewaris, harta warisan, ahli waris, dan sebagainya. , Istilah-istilah yang terdapat pada hukum kewarisan adat Sunda dan hukum kewai'isan Islam yang membedakan adalah asal kata dari hukum kewarisan Islam berasal dari bahasa Arab, sedangkan hukum kewarisan
59
adat sunda berasal dari bahasa Sunda. Dalam kewarisan Islam seperti bapak (i.,il), kakek (4), bapaknya kakek (:i..,JI i.,il), kakeknya kakek (:i..,JI 4) dll. Adapun dalam kewarisan adat Sunda terdapat istilah kolot (bapak), embah (kakek) buyut (bapaknya kakek), beo (kakeknya kakek) di!. 2. Harta Warisan
a. Harta warisan Dalam kewarisan Islam, pembagian harta warisan baru dapat dilakukan kepada ahli waris setelah terlebih dahulu dilaksanakan empat jenis pembayaran (kewajiban), yaitu : 1) Biaya-biaya pengurusan jenazah.
2) Hak-hak yang berkaitan dengan harta wans (zakat yang belum dikeluarkan). 3) Hutang-hutang si pewaris ketika hidupnya. 4) Wasiat si pewaris. Pengurusan jenazah sejak dimandikan
sampai
dimakamkan,
biayanya diambil dari harta peninggalan si pewaris dengan ketentuan tidak berlebih-lebihan yang sesuai dengan ajaran Islam. Apabila dilakukan karena tradisi atau adat setempat, maka tidak dibiayai dari harta peninggalan pewaris. Setelah diambil untuk pengurusan jenazah dan pembayaran zakat, sisa harta peninggalan dian1bil lagi untuk melunasi hutang-hutang si mayat.
60
Apabila jumlab hutang melebihi dari jumlab harta peninggalan maka pembayarannya dicukupkan dengan harta warisan yang ada. Menurut Hadi Ramulyo, ahli waris tidak dibebani kewajiban menutup kekurangannya dari harta mereka. Namun, jika abli waris menyanggupi untuk menutupi kekurangannya, ha! demikian dipandang sebagai kebaikan abli waris bukan merupakan kewajiban hukum. Dalam hukum kewarisan adat Sunda berlaku suatu asas babwa apabila seseorang meninggal dunia, maka seketika itu juga segala hak dan kewajiban hukum dalam lapangan hukum harta kekayaan atau hak kewajiban yang dapat dinilai dengan uang beralih kepada abli warisnya. Dengan demikian, harta peninggalan si pewaris harus secepat mungkin dibagi-bagikan kepada ahli warisnya. Kalau henclak dibiarkan untuk tidak segera dibagikan, harus terlebih dahulu dengan persetujuan seluruh abli waris. Dalam hukum kewarisan adat Sunda dijelaskan babwa biaya penguburan mayat merupakan hutang preferent, yaitu dapat diclabulukan pembayarannya dari harta warisan sebelum hutang-hutang lain clibayar. 3. Rukun, dan Syarat Mewarisi a. Rukun atau unsur yang mewarisi Dalam hukum kewarisan Islam maupun hukum kewarisan adat Sunda keduanya memberikan penjelasan sama mengenai rukun atau unsur mewarisi, yaitu :
61
I) Ada pewans, yaitu orang yang meninggalkan harta pusaka ketika meningal dunia. 2) Ada ahli waris, yaitu orang yang berhak menerima warisan yakni mereka yru1g mempunyai hubungan darah atau perkawinill1. 3) Ada harta warisan, yaitu harta peninggalan dari si pewaris. b. Syarat mewarisi Dalam hukum kewarisan adat Sunda ada dua ha! yang menjadi syarat dalam mewarisi yakni : Pertama, pewru·is yang sudah meninggal dunia. Kedua, ahli waris yang hendak mewarisi masih hidup atau ada saat kematian si pewaris. Sedangkan menurut hukum kewarisan Islam, selain dua syarat di atas ditan1bah lagi tidak ada penghalang untuk menerima warisan. 4. Penghalang Atau Schab Tidak Menerima Warisan Mengenai ha! ini pada prinsipnya sama, yaitu menurut hukum kewarisan adat Sunda yang menjadi penghalang dalam mencrima warisan adalah ahli waris yang dipersalahkill1 karena telah membunuh atau mencoba membunuh, kemudian ahli waris yill1g telah menggelapkill1, memusnahkill1 atau memalsukan surat wasiat atau dengill1 memakai kekerasru1 atau ill1Camill1 telah menghalang-halangi pewaris untuk membuat surat wasiat sesuai kehendaknya. Selain itu juga ahli waris yang berpaling dari agama Islam (murtad).
62
Sedangkan menurut hukum Islam yang menjadi penghalang atau sebab tidak menerima warisan adalah ahli waris yang telah membunuh pewaris, ahli waris yang berlainan agama dengan si pewaris, ahli waris yang keluar dari agama Islam (murtad). Titik persamaan dari kedua hukum kewarisan tersebut mengenai ahli waris, adalah bersifat imparsial yang tidak membedakan dari pada asas kesetaraan. Adapun hukum adat Minangkabau bersifat matrilineal, hukum adat Batak bersifat patrilinial, sedangkan hukum adat Sunda dipakai keduaduanya. Hal tersebut selaras dengan Islam, yakni kalau seseorang meninggal dunia, maka ahli warisnya baik laki-laki maupun perempuan mendapatkan wansan.
B. Perbedaan Hukum Kewarisan Adat Sunda Dengan Hukum Kewarisan Islam 1. yumber Hukum Kewarisan
Sumber hukum kewarisan Islam adalah Quran dan Hadis yang kebenarannya dijamin oleh Allah SWT, dan siapa pun tidak bisa meragukan kedua hukum itu. Adapun hukum kewarisan adat Sunda juga bersumber dari sumber kedua tersebut, yang nota bene mayoritas masyarakat Sunda menganut agama Islam. Selain itu terdapat aturan yang sudah menjadi tradisi setempat seperti pembagian turun reki {pembagian yang ditinjau dari silsilah keluarga). Namun ha! terakhir ini merupakan buatan manusia yang amat
rentan sekali, sehingga terdapat kekurangan dan kesalahan. Menurut hukum
63
kewarisan adat Sunda, bahwa Islam adalah sebuah kepercayaan orang Sunda yang dijadikan sebagai tradisi turun temurun. 2. Ahli Waris Dalam hukum kewarisan Islam, seorang ahli waris dapat dan berhak menerima warisan, apabila ia : I) Sebagai ahli waris 2) Sudah ada dan hidup ketika pewaris meninggal dunia 3) Tidak terdapat penghalang kewarisan seperti membunuh 4) Tidak terhijab Menerima dan menolak war1san menurut hukum kewarisan Islam tidak terdapat aturan tentang tersebut, baik menerima secara murni atau pun dengan syarat. Dalam kewarisan Islam, ahli waris yang dinyatakan mendapatkan warisan dibedakan dalam tiga golongan, yaitu : I) Ahli waris "Asha bu/ Furudh", yaitu ahli waris yang menerima bagian yang besar kecilnya telah ditentukan dalam al-Qur'an seperti 1/2, 1/3 atau 116.
2) Ahli waris "Ashabah", yaitu bagian sisa setelah diberikan kepada ahli waris ashabul furudh. Dengan kata lain, ashabah juga berarti mereka yang berhak atas semua peninggalan bila tidak didapatkan seorang pun di antara
ashabul furud. 3) Ahli waris "Dzawil Arham", yaitu kekerabatan secara mutlak baik dari pihak bapak maupun pihak ibu.
64
Sedangkan
menurut kewarisan adat
Sunda,
ahli
war1s
yang
mendapatkan warisan di antaranya : Generasi pertama : Semua harta benda kepunyaan pewaris diwariskan kepada semua anak-anaknya. Generasi kedua
: Semua harta benda kepunyaan pewaris diwariskan kepada orang tua, j ika yang meninggal itu tak meninggalkan anak-anak.
Generasi ketiga
: Semua harta benda kepunyaan pewaris diwariskan kepada ahli waris kepada familinya sendiri jika orang tuanya telah meninggal dunia.
Menurut hukum kewarisan adat Sunda terdapat dua bentuk sikap dalam menerima warisan, yaitu menerima secara mumi dan menerima secara bersyarat. Ahli waris yang menerima dengan secara mumi berarti ahli war1s tersebut
menanggung kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikan seperti
membayar hutang-hutang pewaris, melaksanakan wasiat. Karena ahli waris telah menggantikan posisinya. Sedangkan dalam penerimaan secara bersyarat yaitu seorang ahli waris menerima harta warisan dengan mengajukan syarat, artinya ahli waris tersebut hanya dapat melunasi hutang-hutang pewaris. Jadi, dalam menerima harta warisan seseorang ahli waris mempunyai kebebasan untuk menentukan sikapnya asal tidak akan merugikan dirinya.
65
3. Sebab Mewarisi Menurut hukum kewarisan adat Sunda ada dua sebab menerima warisan yaitu hubungan kerabat yang sedarah (semenda) dan hubw1gan perkawinan. Sedangkan dalam hukum kewarisan Islam ada satu ha! lagi yang menjadi sebab mewarisi, yakni yaitu al-wala, yakni kekerabatan yang timbul karena membebaskan (memberikan) hak budak. Namun ha! tersebut pada saat ini tidak ada karena sudah tidak relevan dalam konteks sekarang. Apabila pewaris tersebut tidak meninggalkan ahli waris, maka harta peninggalannya dimasukkan kedalam Baitulmal, kalau dalam adat SWldanya dinamakan nunggul pinang atau kepunahan.
4. Bagian-bagian Ahli Waris Dalam hal pembagian harta warisan, banyak perbedaan yang prinsipil antara hukum kewarisan Islam dan hukum kewarisan adat Sunda. Menurut hukW11 kewarisan Islam, laki-laki mendapat bagian dua kali lipat dari perempuan (2; I), sedangkan menurut hukum kewarisan adat sunda, antara laki-laki dan perempuan tidak ada perbedaan, semuanya mendapat sama rata dalam pembagiannya (I; 1). Kedudukan janda menurut hukum Islam berbeda dengan kedudukan duda, sebab janda sebagai ahli waris dari mendiang suaminya memperoleh seperdelapan (1/8) bagian dari harta pusaka jika terdapat anak. Apabila tidak terdapat anak maka bagian janda mendapat seperempat (1/4) bagian dari harta peninggalan.
66
Bagian suami, jika terdapat anak ia mendapat seperempat (1/4) dari warisan, jika tidak terdapat anak ia mendapat setengah (1/2) bagian. Berbeda dengan hukum kewarisan adat sunda yang menempatkan kedudukan janda dan duda dalam posisi sama sebagai ahli waris dari yang meninggal. Kedudukan datuk (kakek) dan nenek dengan saudara, menurut hukum kewarisan adat Sunda bahwa kakek baik dari pihak ibu maupun dari pihak bapak tersingkir oleh saudara, karena saudara termasuk golongan ke-II, sedangkan kakek termasuk golongan ke-III. Selagi ada golongan ke-II, maka golongan ke-III (dalam hal ini kakek), tidak dapat tampil mewarisi harta peninggalan. Adapun menurut hukum kewarisan Islam, kalcek dan nenek sebagai ahli waris berhak menerima warisan yang dibedakan menjadi : a. Kakek dari pihak bapak (bapak dari bapalc dan seterusnya). b. Kakek dari pihak ibu (bapak dari ibu dan seterusnya). c. Nenek baik pihak ibu maupun bapak. Kakek dari pihak ibu dikategorikan sebagai dzawil arham yaitu, keturunan keluarga perempuan yang tidak berhak mewarisi kecuali tidak ada sama sekali dzawil furudh dan ashabah. Sedangkan nenek dapat mewarisi menggantikan ibu seperenam (116) , dan berbagi sanm rata atas seperenam (1/6) bila dua orang atau lebih dengan tidak membedakan nenek dari pihak bapak atau dari pihak ibu.
67
C. Analisis Hulmm Antara Teori Dan Praktek
1. Pembahasan Teori
Di Indonesia dewasa ini terdapat beraneka sistem hukum kewarisan yang berlaku bagi masyarakat yakni : a. Sistem hukum kewarisan perdata barat (eropa) yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW). b. Sistem hukum kewarisan adat yang beraneka ragam yang dipengaruhi oleh bentuk etnis. c. Sistem hukum kewarisan Islam yang juga terdiri dari pluralisme ajaran dan pemahaman. Hukum kewarisan ini berlaku bagi orang-orang Indonesia yang beragama Islam berdasarkan staatsblad 1854 nomor 129 yang diundangkan di negeri Belanda dengan staatsblad 1855 no 2 di Indonesia. Dengan staatsblad 1929 nomor 221 yang telah diubah berdasarkan pasal 29 undang-undang dasar 1945 jo ketetapan MPR nomor II/MPR/1983 Bab IV. Menurut Hazairin di samping hukum perkawinan, hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum kekeluargaan yang memiliki peranan sangat penting bahkan menentukan dan mencerminkan sistem kekeluargaan yang berlaku dalam masyarakat tersebut1.
1
198 l) h. l
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al Qir'an dan Hadits, (Jakarta: Tinta mas,
69
2. Aspek Sosiologis Di berbagai daerah, masyarakat menghendaki agar soal-soal perkawinan dan harta kewarisan mereka diatur menurut hukum Islam. Penghulu mengetuai suatu kelompok dalam masyarakatnya yang besukusuku, yang dalam ha! ini kedudukan adat sangat kuat. Namun walaupun demikian masih terdapat ketentuan dan peraturan yang tegas bahwa adat dapat berlaku bila bersandar kepada agama. Dengan demikian ini merupakan kebalikan dari teori Receptie Snouck Hurgronye tentang hubungan hukum adat dengan hukum Islam, yang ada
Receptio a contrario hukum adat berlaku kalau tidak betentangan dengan hukum Islam4 . 3. Aspek filosofis Dalam Al Quran banyak menjelaskan mengenai filosofi makna-malma dari kehidupan ini, begitu pula dengan hukum kewarisan yang sudah diatur didalamnya. Secara ideal itulah suatu ketentuan Allah yang merupakan keharusan (
4
. Sayuti Thalib, Receptio a Contrario (hubungan-hubungan hukum adat dengan hukum Islam) (Jakarta, Academika, 1980) h, 7
70
2. Contoh Kasus Pembagian Warisan di Masyarakat Untuk mengetahui bagaimana proses kasus atau contoh pembagian harta warisan, dalam ha! ini lebih dikonsentrasikan di daerah Cibingbin, Kuningan, Jawa Baral, penulis mengambil data dari sejumlah ahli waris yang telah melakukan pembagian harta pusaka yang terdapat di Desa Cibingbin, Kuningan mulai dari bulan Januari sampai Oktober 2007. Yang menjadi catatan di sini yaitu data yang diambil adalah perkara bagi waris yang dapat terdeteksi dan teridentifikasi. Artinya, yang akan dianalisis sebagai data dalam penelitian ini adalah proses, dan hasil keputusan pembagiannya dalam praktik di masyarakat. Apakah lebih cenderung memakai hukum kewarisan Islam ataukah adat Sunda ketika menggunakan pilihan (opsi) hukum tersebnt. Alasan penulis mengambil analisa pembagian warisan adalah karena pada umumnya praktek pembagian warisan pada keluarga sangat tertutup dan ekslusif, para ahli waris tidak mau dipublikasikan karena bersifat private dan internal keluarga, sehingga proses pencarian datanya memerlukan waktu untuk dikaji. Di samping itu, mengingat sangat jarangnya orang meninggal yang meajadi pewaris, sehingga akan sulit mencari data yang diharapkan. Mengenai banyaknya kematian yang terjadi di Desa Cibingbin, Kecamatan Cibingbin Kabupaten Kuningan dalam rentang waktu dari bulan Januari hingga Oktober tahun 2007 dapat dilihat tabel berikut ini.
71
No
Nama
Bulan
Almarhum/ah
Keterangan Alam at Bagi Waris
Pembagian
I
Januari
-
-
2
Februari
Rustam Efendi
Blok Manis
3
Maret
Juju Junaedi
Blok Pahing
4
April
5
Mei
-
-
-
-
6
Juni
Eddi Ruhaedi
Blok Kliwon
Diketahui
Musyawarah Keluarga
7
Juli
-
-
-
-
8
Agustus
Yayat Hidayat
Blok Manis
Diketahui
Musyawarah Keluarga
9
September
-
-
10
Oktober
-
-
-
Tidak Diketahui Tidak Diketahui
Tertutup Tertutup
-
-
4 orang Jumlah Sumber: Laporan Bulanan Bagian Data/Arsip Desa Cibingbin, Kuningan Diambil Tanggal 15 Oktober 2007 Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa perkara bagi waris yang diambil jadi sample selama tahun 2007, tetapi karena dalam penelitian ini tidak diprioritaskan melihat data per tahun, maka penulis tidak menyamaratakan jumlah perkara dalam setiap tahunnya untuk dijadikan sampel. Penulis hanya mengambil data yang ditemukan saja dan yang dapat mewakili perkara bagi waris selan1a periode bulan Januari sampai Oktober tahun 2007. Dalam label di atas, penulis membuat kolom "bulan" sebagai bukti bahwa
perkara-perkara
tersebut
terjadi
di
waktu
itu.
Kolom
"nama
almarhum/ah" menerangkan tentang siapa yang menjadi pelaku pewaris. Kolom
72
"alamat" sebagai identitas dari mana yang meninggal berasal. Adapun kolom "keterangan bagi waris" isinya berupa hasil observasi penulis dalam mencari data dari ahli waris . Sedangkan kolom "pembagian" isinya adalah hasil final putusan keluarga dalam upaya penyelesaian yang berkenaan dengan pembagian harta warisan antara ahli waris. Dari tabel di atas juga dapat diketahui bahwa sekalipun orang yang meninggal bervariatif, terlihat dari subjek pewaris bukan hanya dari pihak lakilaki tetapi juga terdapat pihak perempuan. Sehingga dalam kajian hukumnya dapat diselesaikan menurut cara yang disepakati dari ahli waris, selain jalur yang ditetapkan dalam hukum kewarisan Islam yang tertuang dalam Al-Qur' an, hukum positif (KHI), ahli waris kadang lebih leluasa memakai hukum adat Sunda yang menjadi tradisi. Meskipun pada kenyataannya dari 4 kasus hanya terdapat 2 kasus yang dapat di ketahui dan diselesaikan prosesnya, tetapi ha! ini membuktikan bahwa tidak setiap perkara bagi haiia wai·isai1 dapat diselesaikan dengan ketentuan pembagiannya sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 176-191 KHI, tetapi ada alternatif pembagian lain dari ahli waris yakni melalui jalur musyawarah mufakat keluarga. Untuk lebih mengoptimalkan penelitian ini, selain menyuguhkan data melalui label, penulis juga akan menganalisis beberapa hasil pembagian waris yang sudah ditetapkan, untuk mengetahui sejauh mana implementasi di
73
masyarakat dalam pembagian harta pusaka. Apakah diselesaikan secara adat atau memakai aturan Islam. Untuk mempermudah dalam menganalisis hasil bagi warisan, maka dari sejumlah data yang diperoleh dalam penelitian ini, penulis mengklasifikasikan kasus pembagian warisan yang dapat diketahui prosesnya. Adapun klasifikasi yang di maksud adalah sebagai berikut :
a. Kasus I Dari meninggalnya
beberapa
kasus
seseorang
proses
apakah
bagi
laki-laki
war1s atau
yang
disebabkan
perempuan.
Penulis
mengambil contoh dari almarhum laki-laki yang meninggal. Bapak Eddy Ruhaedi bin Mahmud, umur 39, pekerjaan wiraswasta meninggal pada hari Minggu tanggal 10 Juni 2007 akibat serangan jantung yang dialaminya sejak dua tahun terakhir. Setelah menjalani beberapa kali pengobatan,
akhirnya
ajal
menjemputnya
hingga
jasad
almarhum
dikebumikan di Taman Pemakaman Umum di daerah setempat. Almarhum suami tinggal bersama keluarga di Blok Kaliwon, Desa Cibingbin Kecamatan Cibingbin Kabupaten Kuningan. Ia telah menikah dengan istri yang bernama Nunung Nmjannah pada bulan November tahun 1989. Selama perkawinan almarhum telah dikaruniai dua orang anak (satu anak perempuan dan laki-laki) yang bernama : Lili Maulidatul Hasanah berusia 16 tahun (lahir 17 Juni 1991), dan Fadli Bayyinusysyafaat berusia enam tahun ( 15 Mei 1999). Selain itu, almarhum juga meninggalkan sanak
74
kerabatnya berjumlah empat saudara (dua laki-laki dan
perempuan).
Mereka itu adalah Bapak Warto, Ibu Ina, Ibu Hj Uni dan Bapak Waryo. Selama 18 tahun perkawinan dengan Nunung Nurjannah, almarhum memiliki dan meninggalkan harta peninggalan yang kalau dijumlahkan totalnya Rp 40.000.000,-. Antara lain berupa : I) Satu buah rumah berukuran 8x10 M2 No. 39 yang terletak di Blok Kaliwon Rt. 0031002, Desa Cibingbin Kecamatan Cibingbin Kabupaten Kuningan. Rumah ini kalau ditaksir harganya sekitar Rp 20.000.000,2) Satu buah kios warung alat-alat besi berukuran 3x5 No. 55 yang terletak di Pasar Poncol, Kelurahan Bungur Kecamatan Senen, Jakarta Pusat yang kalau dihaTgakan senilai Rp 20.000.000,Pembagian warisan dilakukan setelah hutang-hutang si mayyit dan seluruh perkara yang berkenaan dengan biaya pemakaman diberesin. Lalu sisa harta peninggalannya yang kemudian menjadi duduk perkaranya langsung
dibagikan.
Pembagian
warisannya
diselesaikan
dengan
menggunakan cara adat atau tradisi keluarga yakni dengan sistem musyawarah mufakat antar ahli waris/keluarga. Dari hasil mufakat tersebut, disepakati dan diputuskan, sisa dari harta peninggalan al marhum berupa I buah rumah bernkuran 8x I 0 M2 dan 1 buah kios warung besi yang terletak di Jakarta, diberikan semua kepada 2 anak
keturunannya
Bayyinusysyafaat.
yakni
Lili
Malulidatul
Hasanah
dan
Fadli
75
Harta pusaka tersebut berhak dimiliki kedua anak yang dibagi keseluruhan sanm rata. Sedangkan ibu Nunung Nurjannah kedudukannya sebagai janda (istri almarhum) dan ke 4 saudaranya, tidak mendapatkan apaapa. Semua haiia warisan dilimpahkan untuk 2 anak untuk di jaga dan dikelola. Namun
berhubung
posisi
2
anaknya
sedang
dalam
masa
pertumbuhan yakni yakni Lili Malulidatul Hasanah, berusia 16 tahun yang sedang dalam tahap pendidikan di SMA dan Fadli Bayyinusysyafaat masih berusia 6 tahun yang baru duduk di kelas 2 SD. Sementara posisi janda mendiang hanya numpang sementara atau ikut sama ke-2 anaknya sampai merawat mereka hingga dewasa. Bahkan kalau istri alamai·hum menikah lagi dengan orang lain, dia tetap harus tinggal dengan mereka dan tetap merawat rumah dan usaha kiosnya sampai posisi anak-anak dewasa atau berkeluarga. Pembagian harta wansan dengan cara tersebut sudah menjadi kesepakatan keluarga, dan yang paling utama ha! demikian pula sudah menjadi ketetapan tradisi dan keumuman setempat. Seperti dalam tertib parental (susunan pertalian menurut garis ayah maupun ibu) yang berlaku di adat Sunda, kedua anak tersebut termasuk kategori generasi pertama yang berhak mendapatkan warisan. Dari hasil pembagian tersebut, menurut ibu Nunung Nurjannah (selaku istri almarhum) dianggap tidak adil, karena kalau memakai cara
76
pembagian hukum Islan1 atau syariah tentu ia dapat bagian dari warisan. Tetapi, akhirnya bagaimanapun dia harus terima dan ikhlas dengan hasil kesepakatan keluarga. Hal ini dicapai untuk menghindari agar tidak terjadinya keributan dan sengketa/konflik keluarga khususnya dari pihak keluarga almarhum. Makanya diambil jalan tengah seperti pembagian menggunakan cara di alas. Namun kalau pembagian waris tersebut menggunakan hukum Islam (faroidl) atau yang sesuai dengan aturan KHI, tentu sangat berbeda bahkan j auh dari hasil apa yang disebut diatas. Seperti dalarn Pasal 176-191 KHI
tentang pembagian masing-masing ahli waris, posisi ibu Nunung sebagai janda (istri almarhum) mendapatkan seperdelapan (1/8) dari harta peninggalan, Fadli Bayyinusysyafaat sebagai anak laki-laki mendapat duapertiga (2/3) dan Lili MH yang merupakan anak perempuan mendapat sepertiga (1/3) dari harta. Adapun saudara-saudara seibu-sebapak dari almarhum tidak mendapatkan harta karena terhalang (mahjub) dengan adanya anak. Istri
=
Anak (lk)
1/8
3/24
= =
}
2/3
- 16/24
1/3
=
2;1=3< Anak (pr)
27/24 2 sdr (lk) : 2 sdr (lk)
} Mahjub/terhalang
8/24
77
Untuk menghindari seperti ini maka secara adil ditempuh memaki sistem "aul" yakni menyamakan antara jumlah pembilang (24) dengan penyebut (27) menjadi 27, berarti menjadi 27 /27. maka pembagian warisan tersebut adalah : Istri
=
1/8
Anak (lk) =} Anak (pr) =
=
3/27 x Rp. 40.000.000,- = Rp. 4.400.000,-
2/3 16/27 x Rp. 40.000.000,- = Rp. 23.700.000,2·I=3 \ ' 1/3 = 8/27 x Rp. 40.000.000,- = Rp. 11.800.000,-
Analisis Praktek
Dalam kasus ini, penulis melihat bahwa pe1masalahan harta warisan berbeda dengan harta bersama atau gono gini yang diperebutkan bila terjadi perceraian. Harta warisan adalah harta yang ditinggalkan oleh almarhum yang dibagikan dan diperuntukkan kepada ahli waris. Dalam prosesnya, penulis menilai bahwa pembagian yang dilakukan oleh keluarga melalui kesepakatan secara mufakat tanpa dihadiri oleh kyai/tokoh dan aparat desa . Selain sudah menjadi adat dan tradisi setempat, musyawarah ini dipakai untuk menghindari keributan atau konflik keluarga akibat warisan. Dari pengamatan penulis, pelaksanaan mufakat ini dilakukan sepihak, tidak dipertanyakan kepada salah satu ahli waris yakni sang janda (istri almarhum) cara atau hukum apa yang akan digunakan. I-Ianya dari pihak keluarga almarhumlah yang paling ngotot untuk memakai cara
78
mufakat. Karena pada dasarnya, sang janda pun dalam kenyataannya ingin mendapatkan bagian dari harta peninggalan almaThum. Memang haiia peninggalan tersebut tidak begitu banyak tapi ha! ini bukan tanpa alasan, mengingat semasa hidupnya almarhum, sang istri telah bekerja sama dalam mengumpulkan dan merawat haiia. Hingga pada akhirnya hak bagian istri harus terhapus dengan hasil keputusai1 mufakat keluarga. Penulis mencatat ada beberapa catatan dari proses pembagian terse but, pertama, hak janda (isteri almarhum) tergadaikan dengan memakai hukum secara adat yang otomatis tidak mendapatkan hak bagiannya. Kedua, -tidak ada istilah bekas anak- dalam ha! ini posisi janda kalau memang mengedepankan ego dan kepentingan pribadi, bisa saja tidak mau mengurus ke-2 anaknya yang masih dalam tahap pe1iumbuhan, mengingat tidak mendapatkan harta warisan. Tapi ibu Nunung Jebih mengutamakan kepentingan masa depan anak-anaknya, sehingga menerima apapun keputusan dari hasil mufakat keluarga, ia juga bersedia merawat dan mengelola harta warisan almarhum, meskipun dengan bahasa kasarnya menumpang- pada ke-2 anaknya. Penulis membllildingkan, kalau saja perkara tersebut diselesaikan menurut ilmu Faroidl (hukum Islam) otomatis akan berbeda jauh hasilnya. Karena kedudukan istri masuk pada kategori Furudl Al- Muqaddaroh sesuai yang ditentukan dalam Al-Qur'an dan Hadits. Pasal 176-191 KHI juga
79
disebutkan, posisi isteri mendapat seperdelapan (1/8) dari harta pusaka apabila terdapat anak. Hemat penulis, ini menandakan hak pilih (opsi) dalam pengambilan hukum dalam pembagian waris diatas tidak diprioritaskan. Hak opsi hukum akan dilakukan bila keputusan hasil mufakat keluarga tersebut tidak diterima dan dijalankan oleh para ahli waris. Dengan kata lain hukwn Islam menjadi "second line" atau pilihan kedua oleh masyarakat dalam menentukan bagi waris memakai hukum Islam. Dengan demikian dari perkara diatas, penulis menilai pembagian yang berlangsung tersebut lebih mengedepankan aspek prinsip-prinsip keadilan demi menjaga keutuhan ikatan keluarga. Mungkin dengan cara seperti itu diyakini mengandung maslahat lebih baik. b. Kasus II Almarhum yang bemama Yayat Hidayat bin Abdul Hakim, usia 55 tahun, pekerjaan wiraswasta wafat pada hari Kamis, 20 Agustus 2007 di rumah kediaman akibat gejala penyakit tipes yang barn dideritanya selama 6 bulan terakhir. Beliau tinggal bersarna keluarga di Blok Manis, Desa Cibingbin Kecamatan Cibingbin Kabupaten Kuningan. Ia telah menikah dengan istri yang bernama Ida Nuraida pada bulan April tahun 1969. Selama perkawinan almarhum telah dikaruniai 3 (tiga) orang anak (1 anak laki-laki dan 2 anak perempuan) yang bernama : Anang Rohmana berusia 37 tahun (lahir I 0 Mei 1970), Dewi Rahmawati berusia 27 tahun
80
(lahir 15 September 1980), dan Ita Purnamasari yang berusia 20 tahun (lahir 13 Maret 1990). Selain itu, almarhum juga meninggalkan isteri tercinta Ida Nuraida se1ia seorang kakek berusia 70 tahun bemama Abdul Hakim. Selama 38 tahun perkawinan, almarhum bekerja mencari nafkah hingga akhirnya memiliki dan meninggalkan harta pusaka yang kalau dijumlahkan totalnya Rp 72.000.000,-. Antara lain berupa : I. Satu buah rumah berukuran I Ox 10 M2 No. 21 yang terletak di Blok
manis Rt. 005/002, Desa Cibingbin Kecamatan Cibingbin Kabupaten Kuningan. Rumah ini kalau ditaksir harganya sekitar Rp 35.000.000,2. Satu bidang tanah berukuran 400 M2 yang terletak persis di samping rumah kediaman almarhum. Apabila dinilai sebanding dengan harga Rp 15.000.000,3. Satu buah kios warung nasi berukuran 5xl0 No. 06 yang terletak di Pasar Cibingbin, Kecamatan Cibingbin Kabupaten Kuningan yang kalau dihitung sejumlah Rp 10.000.000,4. Satu unit motor merk Honda Supra tahun 2005 wama hitam No. Pol. E 5158 YD atas nama Yayat Hidayat No. Rangka : MHl-KEV 414 K 359622, No Mesin KEV 41360075. Kalau dinominalkan senilai dengan Rp 12.000.000,Pembagian warisan tidak langsung dilakukan, ada jeda
81
dibagikan. Seluruh keluarga sepakat dalam cara dan proses pembagiannya diselesaikan dengan menggunakan adat Sunda atau tradisi keluarga yakni dengan sistem musyawarah mufakat antar ahli waris/keluarga. Dari hasil mufakat tersebut, telah disepakati keputusan, sisa dari harta peninggalan almarhum berupa I buah rumah berukuran 8x!O M2, I bidang tanah kosong (kebun) berukuran 400 M2 yang terletak persis di samping rumah kediaman almarhum, I buah wanmg nasi berukuran Sx!O yang terletak di pasar, dan I unit sepeda motor merk Honda tahun 2005 diberikan semua kepada 3 anak ketunmannya yakni Anang Rohmana, Dewi
Rahmawati dan lta Purnamasari. Harta pusaka tersebut berhak dimiliki ke-3 anak yang dibagi keseluruhan san1a rata. Antara lain, Anang Rohmana mendapat 1 buah warung nasi dan sepeda motor, Dewi Rahmawati mendapat 1 bidang tanah kosong (kebun) berukuran 400 M2 dan !ta Purnamasari mendapat rumah. _ Ibu Ida Nuraida yang kedudukannya sebagai janda (istri almarhum) dan bapak Abdul Hakim selaku kakek, tidak mendapatkan apa-apa dari bagian harta warisan. Semua harta warisan dilimpahkan untuk 3 anak untuk di jaga, dikelola dan dimanfaatkan dengan baik. kemudian posisi janda (isteri almarhum) dan kakek menjadi tanggungan ke 3 anak tersebut. _ Pembagian harta warisan dengan cara tersebut sudah menjadi kesepakatan keluarga, ha! demikian dipakai lagi-lagi karena sudah menjadi kebiasaan adat di Sunda dan tradisi disanai Sama seperti kasus pertama,
82
dalam tertib parental (susunan pertalian menurut garis ayah maupun ibu) yang berlaku di adat Sunda, kedua anak tersebut termasuk kategori generasi pertama yang berhak mendapatkan warisan. Hal ini dicapai untuk menghindari agar tidak terjadinya keributan dan sengketa/konflik keluarga antar ahli waris. Makanya diambil jalan tengah seperti pembagian menggunakan cara diatas. / Kesepakatan tersebut hampir disetujui oleh semua ahli waris, tidak ada yang mempermasalahkan, sehingga kedepan tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti iri dengki, gugatan harta warisan di!. Musyawarah ini berjalan lancar walau tidak melibatkan kyai, tokoh atau aparat desa. - Berbeda hasilnya kalau pembagian waris tersebut menggunakan hukum Islam (faroidl), atau yang sesuai dengan aturan KHI, tentu sangat tidak sama bahkan jauh dari basil apa yang disebut diatas. Seperti dalam Bab III Pasal 176-191 KHI tentang pembagian masing-masing ahli waris, posisi ibu Aida sebagai janda (istri almarhum) mendapatkan seperdelapan (1/8) dari haiia peninggalan, bapak Abdul Hakim kedudukan sebagai kakek mendapat seperenam (1/6) harta, Anang Rohmana sebagai anak kandung laki-laki pertama mendapat duaperempat (2/4) dan masing-masing Dewi dan !ta yang merupakan anak pererl).puan mendapat seperempat (1/4) dari harta pus aka. Adapun perincian berapa bagian masing-masing, seperti diuraikan berikut:
83
= 1/8 = 3/24 x 72.000.000 = Rp. 9.000.000,-
Istri Kakek
1/6 = 4/24 x 72.000.000 = Rp. 12.000.000,-+ Rp. 21.000.000,Karena bagian istri dan kakek sudah ditemukan, lain jumlah harta =
peninggalan dikurangi jumlah dari istri dan kakek. Maka sisa Rp. 72.000.000 - Rp. 21.000.000,- = Rp. 51.000.000,-. Melihat posisi laki laki (2;1), maka bagian 1 anak laki-laki dan 2 anak perempuan adalah (2; 1+1)= 4. Maka: I Anak (lk) = 2/4 x 51.000.000 = Rp. 25.500.000 2 Anak (pr) = 2/4 x 51.000.000 = Rp. 25.500.000: 2 =@Rp. 12.750.000 Dengan demikian bila memakai ilmu faroidl dari tiap ahli waris mendapatkan bagiannya. Janda mendapat Rp. 9.000.000,- Kakek mendapat Rp. 12.000.000,- Anang mendapat Rp. 25.500.000 Dewi dan Ita masingmasing mendapat Rp. 12.750.000.- Analisis Praktek
Pada perkara tersebut, penulis melihat bahwa proses pembagian warisan yang dilakukan benar-benar sudah disiapkan sejak almarhum meninggal, maksudnya jangan sampai ketika musyawarah berlangsung terjadi emosi atau pikiran tak terkendali gara gara berebut harta peninggalan. Melihat kasus ini, penulis sedikit Jega karena dari proses pembagiannya tidak ada unsur-unsur keterpaksaan dari ahli waris tentang hukum mana yang dipakai. Maksudnya tidak ada pihak yang merasa
84
dirugikan baik dari istri almarhum, kakek bahkan anak-anaknya. Semua abli waris legowo dan menerima dengan keputusan mufakat tersebut. Hal ini memang dalan1 keluarga almarhum sangat mengutarnakan kerukunan keluarga, ibarat kata berapapun harta pasti kan dibeli demi terjaganya harmonisasi keluarga. Dari pengamatan penulis, musyawarab tersebut dihadiri oleh semua kerabat keluarga dan tidak mendatangkan dari kyai/ularna atau aparat desa. Namun pelaksanaan ini
berjalan lancar dalam suasana akrab keluarga.
Sehingga gejolak-gejolak yang timbul kedepan akibat pembagian waris dapat diantisipasi gejalanya. Pada dasarnya, tiap abli war1s mengetahui bagian-bagiannya terutarna laki-laki, mengingat porsinya setengab lebih besar dari perempuan (2;1). Walaupun harta peninggalannya tidak begitu banyak, tapi namanya fitrah manusia tetap saja ingin meguasai bagiannya dan mendapatkan paling besar. Tapi ha! tersebut tidak terdetik di pikiran ahli waris, dan prosesnya dilakukan sesuai kebersarnaan. Apabila dilihat dalam pasal 176-191 KHI, posisi isteri, kakek dan anak-anaknya mendapat bagian dari harta pusaka, mengingat semua abli waris tersebut
dalam hukum Islam pun sudah jelas ketentuannya masuk
dalam kategori Furud\ Al- Muqaddaroh. Hemat penulis, ini menandakan hak pilih (opsi) dalam pengambilan hukum dalam pembagian waris di atas tidak diutamakan. Hak opsi akan
85
dilakukan bila keputusan basil mufakat kelauarga tersebut tidak dapat dijalankan. Dari contoh 2 perkara di atas, penulis melihat bahwa masalah harta warisan yang terjadi di masyarakat tidak terlalu bergejolak. Masyarakat sendiri sudah mampu menyelesaikan urusannya tanpa dibantu oleh orang lain yang dalam hal ini kyai/ulama, tokoh atau aparat pemerintah. Tentang hak pilihan (opsi) hukum yang digunakan, penulis mnyimpulkan sebetulnya semua ahli waris mengetahui dan paham tentang pembagian yang tertulis dalam Faroidl, namun masyarakat lebih cenderung memakai musyawarah mufakat keluarga yang sudah menjadi tradisi atau · sering kali disebut sebagai adat. Hampir dari seluruh pennasalahan bagi waris, dapat diselesaikan dengan jalan damai. Tidak ada perkara yang sampai ke pengadilan, semuanya dapat diselesaikan di tingkatan keluarga. Paling kalaupun sampai berlarut-larut tidak kunjung selesai, kyai/ulama,
tokoh dan aparat
pemerintah mampu mencarikan solusi akhir dari sengeketa warisan tersebut. 3. Analisa Perbandingan Hukum dalam Teori dan Praktek Apabila ditarik benang merah antara kajian hukum secara teoritis (law in book) dengan kajian hukum dalam tataran praktis (law in action) mengenai permasalahan pembagian harta warisan, banyak hal yang harus dicatat untuk dapat menjawab rumusan masalah bagaimana tinjauan atau perspektif hukum kewarisan Islam terhadap hukum yang berlaku di adat Sunda.
86
Dalam Bab terdahulu telah dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur pembagian warisan dan mengetahui bagian-bagian yang diterima dari harta peninggalan kepada setiap yang berhak. Dalam Islam istilah ini sering disebut Fiqh Mawarits atau Faroidl. Dalam KHI Pasal 171 ayat a juga dijelaskan hukum kewarisan yaitu : "Hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa siapa yang berhak dan berapa bagiannya msingmasmg. Adapun dari pengertian adat Sunda, hukum kewarisan hampir tidak jauh beda pengertiannya dengan menurut Islam dan KHI, yaitu peraturan hukum yang mengatur pemindahan hak milik barang-barang atau harta benda dari generasi tua (mayit/almarhum) kepada generasi muda (ahli waris) yang masih hidup baik dari bapak kepada anak, anak kepada cucu dan seterusnya. Berbicara kewarisan tidak lepas dari faktor-faktor yang berkenaan dengan warisan, seperti rukun, syarat, sebab, asas dan bagiannya. Semuanya sudah tersurat dan tersirat secara jelas dalam hukum waris Islam dan adat Sunda. Dalan1 prakteknya di masyarakat, ketentuan dari kedua cara pembagian warisan masih digunakan dalam penyelesaiannya oleh ahli waris. Dari beberapa perkara yang disajikan sebagai contoh, dapat diketalrni bahwa memang keberadaan dan eksistensi antara hukum kewarisan Islam clan hukum kewarisan aclat Sunda khususnya claerah Kuningan masih berjalan beriringan, namun
87
dalam pemakaian hukum lebih dikedepankan secara musyawarab keluarga yang dijadikan tradisi dan adat setempat walau pun tidak sesuai dengan hukum Islam. Hal ini menurut penulis bukan suatu problem, karena antar keduanya terdapat asas dan prinsip yang sama, meskipun dalam pembagiannya sangat mencolok, yakni dalam Islam pembagiannya 2;1 sedangkan di adat Sunda sebaliknya I; I. Masyarakat melihat aspek maslabat dan kepentingan kedepan, agar keluarga tidak terpecah dan terjadinya sengketa keluarga akibat warisan. Hal ini didukung dari hasil wawancara dengan para ahli waris, tokoh/ulama dan aparat pemerintahan yang mengemukakan bahwa pembagian harta warisan bersifat fleksibel. Dalam sistem kewarisan yang berlaku di Indonesia, memang ha! demikian dilegalkan selama memang tidak menyimpang dari jalur hukum dan agama. Pada pasal 183 KHI menyebutkan "para abli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan setelah masing-masing menyadari bagiannya". Dengan demikian, ketentuan pembagian harta warisan bukan merupakan sesuatu yang tetap dan baku, masyarakat khususnya adat sunda dapat memilab dan memilih cara bagaimana dalam penyelesaian pembagiannya.
BABV PENUTUP
A. KESIMPULAN Setelah melakukan penelitian dengan kajian dari berbagai sumber, penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Hukum kewarisan Adat Sunda dan hukum kewaristm Islam pada prinsipnya sama. Persamaaan dan perbedaan yang mendasar dari kedua sistem hukum tersebut terletak pada pengertian, proses terjadinya kewa.risan, sumber, rukun, syarat, sebab-sebab dan penghalang yang mewarisi serta asas-asas terjadinya kewarisan. 2. Pada prakteknya di masyarakat, hukum kewarisan Islam dan kewarisan adat Sunda tetap dilestarikan dan masih dipakai bahkan berlangsw1g hingga kini. Bagi setiap orang Islam hendaknya berpegang teguh kepada prinsip hukum kewarisan Islam, karena sudah merupakan komitmen bagi setiap pemeluk agama Islam yang berdasarkan al-Qur'an dan al-Hadits. Adapun bagi masyarakat Sunda yang tetap memakai ketentuan sesuai adatnya dalam ha! pembagian warisan, diperkenankan. Mengingat pada prinsip dan substansinya terdapat kesamaan yang tidak jauh berbeda. 3. Mengenai pemakaian hak opsi (memilih) dalam pembagian kewarisan, tidak ada aturan yang mengharuskan seseorang memakai sistem hukum mana dalam penyelesaian perkara warisan. Pada umumnya di adat Sunda, pembagian
89
warisan dilaksanakan secara damai dan musyawarah yang menghasilkan mufakat antara ahli waris, setelah segala tanggungan dari orang yang meninggal, selesai ditunaikan seperti melunasi hutang-hutangnya, biaya penguburan, melaksanakan wasiatnya dan lain-lain. Kesimpulan di alas merupakan jawaban dari rumusan permasalahan yang menjadi latar belakang penulisan skripsi ini. Sekalipun dalam prosesnya banyak kendala yang dihadapi. Akhirnya penulis berharap semoga tulisan dalam bentuk skripsi ini dapat bermanfaat, khususnya bagi penulis, umumnya bagi siapa saja yang haus akan ilmu pengetahuan.
B. REKOMENDASIATAUSARAN Dengan penulisan skripsi ini, penulis
dapat mengetahui perbandingan
antara Hukum Kewarisan Adat Sunda dengan Hukum Kewarisan Islam di Desa Cibingbin Kecamatan Cibingbin Kabupaten Kuningan, Jawa Baral. Adapun saran untuk kedepan dari penelitian ini adalah : I. Hendaknya setiap orang Islam berpegang teguh kepada prms1p hukum kewarisan Islam, karena sudah merupakan komitmen bagi setiap pemeluk Agama Islam yang berdasarkan al-Qur'an dan al-Hadits. 2. Hendaknya para hakim Pengadilan Agama dan Negeri maupun para tokoh masyarakat (kyai) yang memiliki interpretasi, harus sejalan dalam penerapan suatu aturan hukum mengenai ketentuan hukum kewarisan dalam KHI dan hukum adat. Sehingga dalam menangani kasus pembagian warisan, tidak
90
terjadi perbedaan di antara tafsiran masyarakat yang berakibat pada timbul ketidakpastian hukum. 3. Kepada pemerintah Indonesia hendaknya segera membentuk dan melegitimasi undang-undang pokok mengenai kewarisan yang berlaku untuk seluruh rakyat Indonesia seperti ha! Undang-undang No I tahun J974 tentang perkawinan. Agar penetapan hukum bersumber kepada satu sumber hukum yang tertata rapi dan tidak terkotak-kotakan oleh aliran lainnya. 4. Hendaknya
ketentuan
mengenai
harta
warisan
dalam
KHI
dapat
disosialisasikai1 oleh para praktisi hukum Islam dan para ulama kepada masyarakat, sehingga masyarakat dapat mengetahui pembagian harta warisan tersebut. Bagi yang ingin melaksanakan peraturan dan ketentuan sesuai adat, hendaknya dilestarikan sebaik mungkin yang tetap dalam koridor tatanan hukum nasional, mengingat ini merupakan bagian dari keanekaragaman budaya bangsa Indonesia. 5. Hendaknya masyarakat memahami bahwa masalah harta warisan dalain perkawinan sebaiknya dituai1gkan dalam bentuk surat perjanjian dan dibuatkan bukti kepemilikannya, agar ketika terjadi proses kematian di kemudian hari, masalah harta harta pusaka ini dapat diselesaikan dengan segera yang tidak menimbulkan konflik.
91
DAFTAR PUST AKA Al-Quran al-Karim. Abdulllah, Abdul Gani, Dalam Sepuluh Tahun Undang-undang Peradilan Agama, Jakarta, Ditbinpera, 1999. Abdulah, Amin, Studi Agama: Normatifitas atau Historisitas?, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996, Cet. Ke-I. Al-Bukhari, Abdullah Muhammad bin Ismail, Shahih al-Bukhari, Beirut, Dami Fikr, 1981,juz 8. Ali, Muhammad Daud, Hukum Islam : Pengantar llmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2004, Cet. Ke-4. _ _ _ _ _ _ _ _ , Hukum Islam Peradilan Agama dan Masalahnya, dalam, Hukum Islam Di Indonesia; Pemikiran dan Praktik, Bandung; Rosdakarya, 1991. Allen, C.K, Law in the Making, Oxford, The Clanrendon Press, 1957. Al-Shabuni, Muhammad Ali, Hukum Warisan Dalam Syariat Islam (terjemah), Bandung, CV. Diponegoro, 1988. Al-Siba'i, Mustafa Husni, Kehidupan Sosial Menurut Islam, Bandung, Diponegoro, 1981. Ash-Shiddieqy, Tengku Muhammad Hasbi, Fiqhul Mawaris, Jakarta, Bulan Bintang, 1973), Cet. Ke- I.
- - - - -, Tengku Muhammad Hasby, Fiqh Mawarit, Semarang, Pustaka Rizki Putra, 1999, Cet. Ke- I.
Ashshofa, Burhan, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, PT Rineka Cipta, 2004, Cet. Ke-4. Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional, Bandung, Binacipta, 1976. Bisri, Cik Hasan, Pilar-pilar Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakai1a, Raja Grafindo Persada, 2004.
92
Chambliss dan Seidman. Law, Order, and Power Reading, Massachusetts, AddisaonWesley Publishing Company, 1971. Darhan, Adaby dan Wahid, Abdul, Antara Saung, Warung, dan Tajug: Transformasi Ekonomi dan Prilaku Agama Komunitas Pedagang Di Cibingbin, Jawa Barat, Jogjakarta, Lembaga Penelitian UGM, 2004. Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, Surabaya, Mekar Jaya, 2004. Dinas Pariwisata Daerah, Sejarah Ringkas Kabupaten Daerah TK. II Kuningan, Kuningan, 2000. Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1991, Kompilasi Hukum Islam (KHI) Inpres No 1Tahun1991Pasal171 (a). Hadikusuma, Hilman, Hukum Adat Dalam Yurisprudensi: Hukum Kekeluargaan, Perkawinan, dan Pewarisan, Bandung, PT Citra Adtya Bhakti, 1993.
_ _ _ _ _ _ _ _ , Hukum Waris Adat, Bandung, Alumni, 1983, Cet. Ke-2. Harahap, M. Yahya, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, UU No 7 Tahun 1989, Jakarta, Pustaka Kartini, 1997. Hardjawijaya J Prof, SH. Hukum Perdata, Buku kesatu tentang perorangan dan hukum keluarga, Malang, PHPM Unibraw, 1979. Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur'an dan Hadits, Jakarta, Tinta Mas, 1967, Cet. Ke-4.
- - - ·, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al Qur'an dan Hadits, Jakarta, Tinta Mas, 1981. lbnu Hajjaj, Al-Imam Abi Husain Muslim, Shahih Muslim, Beirut, Darul Fikr, Juz II, t.th. Ismuha, Penggantian Tempat Dalam Hukum Waris Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Hukum Adat, dan Hukum Islam (Jakatia, Bulan Bintang, 1978), Cet.Ke-1. Jaelani, Abdul Qadir, Keluarga Sakinah, Surabaya, Bina Ilmu, 1995.
93
K.M, Saini, Adat lstiadat Daerah Jawa Barat, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1980. Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakatia, Djan1batan, 1979, Cet. Ke-4. Kosoh S, dkk, Sejarah Daerah Jawa Barat, Jakarta, Proyek Inventarisasi dan dokumentasi Sejarah nasional, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Dirjen Kebudayaan, Depdikbud, 1994, Cet. Ke-2. Kusumaatmadja, Mochtar, Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Nasional, Bandung, Binacipta, 1986. Ma'arif, Ahmad Syafi'i, Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta, LP3S, 1996, Cet. Ke-I. Ma'luf, Luwis, Al-Murifidfi al Lughoti Wa al'Alam, Beirut, Darul Masyriq, 1984, Cet. Ke-27. M. Zain, Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer; Analisis Yurisprudensi dengan pendekatan ushuliyyah, Jakarta, Kencana, 2004, Cet. Ke-1. Nuruddin, Amiur, dan Akmal Tarigan, Azhari, Hukum Perdata Islam di Indonesia; Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 111974 sampai KHl, Jakarta, Prenada Media, 2004. Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Jawa Barat, Jakarta, Depdikbud, 1979. Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama, Keputusan Seminar Hukum Waris Islam, tanggal 5-8 April 1982, Cisarua, Bogor, Jakarta, Depag RI. Qamaruddin, dkk, Saleh, Asbabun Nuzul, Bandung, Diponegoro, 1975. Rafiq, Alunad, Fiqh Mawaris, Jakarta, PT Raja Grafindo, 1995, Cet. Ke-2. _ _ _ _ _, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2000.
Rahardjo, Satjipto, !!mu Hukum, Bandung, Alumni, 1981. Ralunan, Fatchur, !!mu Waris, Bandung, PT. Al Ma'arif, 1987.
94
Ramulyo, M. Idris, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta, Ind. Hill, 1998.
- - - - - -, Hukum Kewarisan Islam, Studi Kasus Perbandingan Ajaran Syafi'i (patrilinial) dan Hazairin (bilateral) praktek di PA dan KUHPer (BW), Jakarta, Ind. Hill, 1987.
_ _ _ _ _ _ , Perbandingan Hukum Kewarisan Islam Di Pengadilan Agama Dan Kewarisan Menurut KUHPer (BW) di Pengadilan Negeri (suatu studi kasus), Jakarta, Pedoman Ilmu Jaya, 1992, Cet. Ke-I.
Rosyidi, Ajip, Kesusastraan Sunda Dewasa lni, Cirebon, 1966, t.p. Sabiq, Sayyid, Fiqhus Sunnah, Beirnt, Darul Fikr, 1983, Cet. Ke-4. Sadikin, !kin, Tanya Jawab Hukum Keluarga dan Waris, Bandung, Armico, 1982. Sinzhemer, Hugo, De Taak der Rechtssociologie, Haarlem, 1935, t.p. Sirry, Abdul Mun'im, Sejarah Fiqh Islam; Sebuah Pengantar, Surabaya; Risalah Gusti, 1995. Sitompul, Anwar, Dasar-dasar Praktis Pembagian Harta Peninggalan Menurut Hukum Waris Islam, Bandung, Armico, 1984. Soekanto, Soerjono, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2003. Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta, Rajawali Pers, 2003, Cet. Ke-5. Syaltut, Mahmud, Islam, Aqidah Dan Syariah, Jakarta, Pustaka Amani, 1986. Thalib, Sayuti, Receptio a Contrario (Hubungan-Hubungan Hukum Adat Dengan Hukum Islam), Jakarta, Academika, 1980. Thalib, Sayuti, Hukum Kewarisan di Indonesia, Jakarta, Bina Aksara, 1981, Cet. Ke!. Ter Haar BZN, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Te1j. K. Ng, Soebakti Poesponoto Jakarta, Pradnya Paramita, 1999, Cet. Ke-12. Yunus, Mahmud, Kamus Arab Indonesia, Jakarta, Yayasan Penyelenggara Penterjemah Pentafsir Al-Qur'an, 1973, Cet. Ke-1.
HASIL WAWANCARA
Hari/Tangal
: Minggu, 12 Agustus 2007
Waktu
: Pukul 16.45-17.15 WIB
Tempat
: Rumah kediaman ahli waris
Tujuan Wawancara
: Sebagai data Japangan dalam penyusunan skripsi
Judul Skripsi
: Hukum Kewarisan Adat Sunda Ditinjau Dari Perspektif Hukum Kewarisan Islam
Objek Wawancara
: Ny. Nunung Nmjannah (Istri Almarhum)
Keterangan : T =Tanya
J = Jawab
I. T : Kapan Ibu menikah dan berapa lama usia pcrnikahan anda dengan
almarhum? J : Saya menikah dengan Bapak Eddy Ruhaedi (almarhum) bulan November
1989, tanggalnya saya agak lupa. Berarti usia pernikahan saya dengan beliau ada sekitar 18 tahun
2. T : Kapan dan apa faktor yang dapat menyebabkan meninggalnya almarhum? J : Almarhum meninggal pada hari Minggu, 10 Juni 2007 di Cibingbin karena
sakit jantung yang dialaminya sejak 2 tahun silam.
3. T : Siapa saja ahli waris yang ditinggalkannya ? J : Dari hasil perkawinan dengan almarhum, alhamdulillah dikarunia 2 anak. Satu
perempuan bernama Lili Malulidatul Hasanah yang berusia 16 tahun. Dan satu lagi anak laki-laki bernama Fadli Bayyinusysyafaat bernsia 5 tahun. Adapun dari pihak almarhum meninggalkan ahli waris sebanyak 4 saudara (3 kakak laki-laki dan perempuan serta 1 adik laki-Jaki). Mereka itu adalah Bapak Warto, !bu Ina,
!bu HJ Uni dan Bapak Waryo.
4. T : Apa saja atau berapa banyak harta warisan yang ditinggalkan oleh almarhum?
J : Selama kurun 18 tahun menikah dengan beliau terdapat harta peninggalan yang sampai sekarang masih dijaga dan dipelihara yakni I buah rumah ukuran 8x l Om yang kalau ditaksir harganya sekitar Rp. 20.000.000,- dan l buah kios (warung) alat-alat besi di Jakarta yang juga kalau dihargakan senilai Rp. 20.000.000,-. Jadi total harta peninggalan warisan tersebut berjumlah Rp. 40.000.000,-
5. T : Bagaimana proses pembagian harta pusaka dari almarhum terhadap pihak ahli waris? J : Pembagian warisan dalam keluarga kami menggunakan cara adat atau tradisi
keluarga yakni dengan sistem musyawarah mufakat. antar keluarga. Setelah perkara/urusan almarhum seperti biaya pemakaman, hutang-hutang dll diberesi, maka sisa dari harta peninggalan tersebut diberikan kepada 2 anak keturnnan kami yakni Lili Malulidatul Hasanah dan Fadli Bayyinusysyafaat. Harta pusaka tersebut berhak dimiliki ke-2 anak kami. Sedangkan saya sebagai janda (istri almarhum) dan saudara-saudaranya, tidak mendapatkan apa-apa. Semua harta warisan dilimpahkan untuk 2 anak kami, biar nanti mereka berdua yang mengolah dan menggunakan warisan. Dan posisi saya cuman numpang sementara atau ikut sama ke-2 anak sampai merawat mereka hingga dewasa. Bahkan kalau saya menikah lagi dengan orang lain, saya hams tinggal dengan mereka dan tetap merawat rumah dan usaha kiosnya sampai posisi anak-anak dewasa atau berkeluarga.
6. T : Apakah dengan cara seperti itu sudab dianggap adil ? J : Pembagian dengan cara tersebut sudah menjadi kesepakatan keluarga, dan
yang paling utama ha! demikian pula sudah menjadi ketetapan tradisi dan keumuman setempat. Bagi saya (selaku istri almarhum) ya dianggap adi! tidal<:
adil, karena kalau memakai cara pembagian hukum islam atau syariat tentu saya dapat bagian dari warisan. Tetapi ya sudab, akhimya pun saya terima dan ikhlas dengan hasil kesepakatan keluarga. Hal ini untuk menghindari agar tidak terjadinya keributan dan sengketa!konflik keluarga khususnya dari pihak keluarga almarhum. Makanya diambil jalan tengab seperti pembagian menggunakan cara diatas.
7. T : Kalau tidak ada yang sctuju dengan proses pembagiannya yang sudah dilakukan, bagaimana antisipasi ha! terscbut ?
J : lnsya Allah tidak ada yang dirugikan, karena kami memutuskan dengan cara mufakat keluarga dengan saling menerima masing-masing demi kemaslabatan keluarga terutama ke-2 anak kami. Bilamana terjadi ketidak-puasan yang akhimya dapat menyebabkan sengketa, kan1i berusaba meminimalisimya dengan cara dimusyawarabkan kembali antar keluarga. Mungkin juga dengan diberikan penjelasan dan pemahaman oleh sepuh keluarga bahkan tokoh masyarakat.
8. T : Sejauh mana pemahaman ibu sebagai istri almairhum, terhadap hukum kewarisan, apakah di jalani sesuai ketcntuan hukum Islam atau Iebih mcngutamakan adat dan tradisi? J : Yang saya tabu kalau dalam hukum Islamkan, istri dapat bagian ya ...
pengennya sesuai syariat tapi gimana lagi karena sudah menjadi keumuman atau tradisi disini, pembagian warisannya pun memakai mufakat keluarga
Kuningan, Minggu 12 Agustus 2007 Mengetalmi, Respond en
( Nunung Nurjan ah )
5. T : Apa perbedaan dan persamaan yang mendasar antara Hukum Kewarisan Adat Sunda dengan Hukum Kewarisan Islam ? J : Keduanya sama sama membagi harta warisan kepada ahli waris. Perbedaanya
hanya kepada cara dan porsi bagian yang ditentukan masing-masing. Hukum Islam sudah menentukan bagiannya (Furudl Al- Muqaddarah) yang ditetapkan dalam Al-Quran dan Hadits. Adapun Hukum Adat Sunda pembagiannya disesuaikan dengan keputusan musyawarah mufakat keluarga. Kedua hukum ini mengandung prinsip-prinsip yang sepadan antara lain prinsip keadilan, individual, kesamaan agama dll.
6. T : Bagaimana eksistensi Hukum Kewarisan Adat Sunda dan Hukum Kewarisan Islam dalam praktiknya di masyarakat ? J : Di masyarakat kedua hukum tersebut beriringan dan sampai saat ini masih
berlaku keberadaannya. Mana yang dipakai tergantung masyarakat selama mengandung kemaslahatan. Kalau dengan cara adat lebih mengandung efek negatif yang menimbulkan perseteruan, ya harus kembali dengan cara syariat. Dalam hal ini tergantung kesadarannya, ketika orang sadar maka akan menerima hasil pembagiannya. Karena kalau sudah masuk wilayah hukum Islam, biasanya bukan maslahat atau tidak maslahat lagi. Sebab hukum islam pasti sudah maslahat lho. Soal taslim apakah dirinya menerima atau tidak ... ya mungkin diawali dirinya tidak menerima . Dalam hukum Islam ada pepatah mengatakan likulli syain manfa' atun. "Setiap segala sesuatu ada manfaatnya"
7. T : Sejauh mana pemakaian hak opsi (pilih) dalam menyelesaikan pembagian waris antara kedua hukum kewarisan tersebut ? J : Memang dalam warisan tidak ada aturan yang mengharuskan seseorang
memakai aturan hukum mana. Hak pilih (opsi) itu dikembalikan kepada masyarakat langsung. Konteks daerah sini biasanya langsung menentukan dengan cara kekeluargaan, untuk hal-hal berkenaan dengan hukum positif seperti UU,
KHI jarang sekali masyarakat mengetahui aturan-aturan atau undang-undang negara itu, jangankan orang awam, yang bekerja di Dinas, Kantor pun belwn mengetahuinya. Baik petani, pedagang sangat jauh pemahamannya ke arah sana.
8. T : Dilihat dari kuantitas, lebih banyak mana keluarga ahli waris yang memakai sistem kewarisan Islam atau adat ? J : Sepanjang saya ketahui masyarakat condong dominan memakai tradisi. Ya ..
saya lebih cenderung memakai kata mufakat keluarga bukan adat, biasanya bagi orang yang mengerti lebih condong tidak memakai hukum adat tetapi hukwn islam yang nota bene 2 banding' I
Kuningan, Senin, 11 September 2007 Mengetahui,
( KH Asep Syarifuddin )
HASIL WA WANCARA
Hari/Tangal
: Senin, 11 September 2007
Waktu
: Pukul 20.00-21.00 WIB
Tempat
: Rumah kediaman
Tujuan Wawancara
: Sebagai data lapangan dalam penyusunan skripsi
Judul Skripsi
: Hukum Kewarisan Adat Sunda Ditinjau Dari Perspektif Hukum Kewarisan Islam
Objek Wawancara
: KH. Asep Syarifuddin (Kyai dan Tokoh Masyarakat)
Keterangan : T =Tanya
I. T
J = Jawab
: Apakah ada dikotomi (perbedaan) pemahaman agama dalam
masyarakat, terutama dengan banyak aneka ragam pemahaman konsep islam (NU-Muhammadiyyah) ? J : Saya menilai selama ini tidak ada perbedaan pemahaman yang cukup tajam antara kedua ormas tersebut, mungkin hanya seputar yang furu'2 saja. Memang dalam skup Cibingbin perbedaan pemahaman tersebut mencolok mengingat disini yakni mayoritas kaum Nahdliyyin (NU) sehinga apapun konsep diluar itu sedikit menjadi asing. Namun saya tekaakan memang kita perlu bertoleransi dalam perbedaaan pendapat, selama dalam koridor agama mari kita junjung sifat tasamuh dalam Islam.
2. T : Bagaimana bapak menyikapinya bila terjadi pertentangan antar kedua kubu terscbut ? J : Dalam konteks Cibingbin, kebetulan masih sangat jarang Kyai atau ulama yang menguasai Ilmu Faraidl. Oleh kaema itu bilamana ada permasalahan tentang kewarisan langsung menanyakan ke saya. Tidak ada perbedaan yang mencolok dalam pendapat, karena memang soal keilmuan tidak ada yang tinggi, khususnya tentang Faroidl.
3. T : Dalam perkara warisan, sejauh mana pemahaman masyarakat tentang hukum kewarisan ? J : Karena ini masalah sensitif, masyarakat menilai warisan tidak perlu
dipublikasikan. Sehingga bilamana terjadi kematian, urusan ini langsung diselesaikan secara kekeluargaan. Prosesnya lebih dominan diselesaikan dengan mufakat keluarga, jarang menggunakan pedoman Faroidl. Faroidl digunakan ketika musyawarah yang dilakukan tidak kunjung selesai, barulah keberadaannya menjadi solusi akhir.
4. T : Sejauh mana peran tokoh masyarakat dalam melaksanakan hukum kewarisan tersebut mengenai prakteknya di masyarakat ?
J : Pertama, yang harus kita sadari bahwa pe1masalahan warisan adalah masalah sensitif, artinya cepat mengandung reaksi. Oleh karena sensitif, yang saya tahu di Cibingbin tidak ada yang langsung menanyakan warisan. Karena nanti dikhawatirkan ada anggapan dari ahli waris ada maksucl tertentu dari tokoh atau ulama ketika mempertanyakan perihal tersebut. Kemudian ada juga di daerah ini, setelah meninggal ada warisan yang tidak dibagikan kepada ahli warisnya. Hal seperti ini masih banyak terjadi yang sesungguhnya akan menjadi born waktu bagi mereka. Justru nanti ketika sebagian ahli waris mempertanyakan bagiannya. Maka kan menjadi problem dan sengketa di kemudian hari. Jadi yang saya rasakan peran ulama dalam kewarisan tidak begitu dominan. Artinya ada 2 kemungkinan, karena soal warisan masyarakat berpikir yang penting ada unsur keadilan dan merata. Oleh karena itu peran kyai tidak diperlukan lagi. Masyarakat kebanyakan berpikiran seperti ini. Tetapi tatkala ada permasalahan yang tidak kunjung selesai, baru sang kyai dihubungi.
HASIL WAWANCARA
Hari/Tangal
: Minggu, 21 Oktober 2007
Waktu
: Pukul 20.00-21.00 WIB
Tempat
: Rumah kediaman ahli waris
Tujuan Wawancara
: Sebagai data lapangan dalam penyusunan skripsi
Judul Skripsi
: Hukum Kewarisan Adat Sunda Ditinjau Dari Perspektif Hukum Kewarisan Islam
Objek Wawancara
: Bapak Anang (Ahli Waris/Putra Almarhumah)
Keterangan : T =Tanya
J = Jawab
1 T : Kapan orang tua menikah dan berapa lama usia pernikahan almarhum ? J : Orang tua saya menikah bulan April tahun 1969, tanggalnya saya kurang ingat persis. Berarti usia pernikahan mereka sekitar 3 8 tahun
2. T : Kapan dan apa faktor yang dapat menyebabkan meninggalnya almarhum? J : Beliau almarhum meninggal pada hari Kamis, 20 Agustus 2007 di Cibingbin karena darah tinggi yang dideritanya sudah lama. Hampir semua obat dan rumah sakit disini didatangi tapi tidak kunjung sembuh, sampai akhirnya ajal menjemputnya.
3. T : Siapa saja ahli waris yang ditinggalkannya ? J : Selama pernikahan, rumah tangga berjalan harmonis, almarhum meninggalkan sanak kerabatnya. Dikarunia 3 anak. Satu anak laki-laki bemama Anang Rohmana yang berusia 37 tahun. Dan dua anak perempuan bernama Dewi Rahmawati berusia 20 tahun dan !ta Purnamasari yang berusia 17 tahun. Adapun dari pihak keluarga almarhum meninggalkan masing-masing seorang Istri dan Kakek tercinta.
4. T : Apa saja atau berapa banyak harta warisan yang ditinggalkan oleh almarhum? J : Dal am waktu 38 tahun berkeluarga, tidak banyak harta warisan yang
ditinggalkan.
Harta peninggalan yang sampai sekarang masih dipelihara dan
dirawat yakni 1 buah rumah ukuran 1Ox1 Om yang kalau ditaksir harganya sekitar Rp. 35.000.000,-. 1 buah kebun (tanah kosong) berukuran 7x!O, dengan nilai rupiahnya Rp. 15.000.000,- selain itu 1 buah warung Nasi berukuran 5x10 yang terletak di Pasar dengan harga Rp. 10.000.000,- clan sebuah Motor Honda keluaran 2005 yang juga kalau dihargakan senilai Rp. 12.000.000,-. Jadi total harta peninggalan warisan tersebut be1jumlah Rp. 72.000.000,-
5. T : Bagaimana proses pembagian harta pusaka dari almarhum terhadap pihak ahli waris? J : Prosesnya diselesaikan secara hukum adat, ga pake hukum islam, ribet
caranya. Kalau dengan musyawarah keluarga kan bisa diselesaikan secara cepat. Maksudnya pembagian warisan dalam keluarga kami menggunakan cara adat atau tradisi keluarga yakni dengan sistem musyawarah mufakat antar keluarga. Setelah perkara/urusan almarhum seperti biaya administrasi pemakaman, hutang-hutang dll diberesi, maka sisa dari harta peninggalan tersebut diberikan kepada 3 anak keturunan almarhum yakni Anang Rohmana, Dewi Rahmawati dan !ta
Purnamasari. Harta pusaka tersebut berhak dimiliki oleh kami bertiga selaku keturunannya. Dari basil mufakat tersebut, disepakatilah bagian-bagiannya. Saya Anang
Rohmana selaku putra sulung mendapat sebuah warung nasi dan motor Honda, Dewi Rahmawati anak ke-2 mendapat Tanah Kosong (Kebun) dan terakhir si bungsu !ta Purnamasari mendapat rumah yang sekarang ditempati oleh keluarga. Sedangkan ibu kami sebagai janda (istri almarhum) dan kakek, tidak mendapatkan
apa-apa.
Semua
harta
warisan
keturunannya, mereka biar kami yang mengurusinya.
dilimpahkan
untuk
anak
6. T : Apakah dengan cara seperti itn sudah dianggap adil ?
J : Ya tentu. Cara sepe1ti itu sudah kesepakatan kami Pembagian dengan cara tersebut sudah menjadi kesepakatan keluarga, dan yang paling utama ha! demikian pula sudah menjadi ketetapan tradisi dan keumuman setempat. Bagi saya (selaku anak tertua) ya dianggap adil, walaupun katanya ... kalau cara pembagiaru1ya memakai hukum Islam (Faroidl) tentu saya dapat bagian warisan lebih besar dari ke-2 adik perempuan saya. Tetapi ya sudah, akhimya pun saya terima denngan legowo hasil kesepakatan keluarga. Mengingat adik-adik saya memang lebih banyak keringatnya membantu orang tua semasa hidupnya. Hal ini untuk menghindari agar tidak terjadinya keributan dan sengketa/konflik keluarga. Kan malu kalau sampai bertengjkar, masa gara-gara warisan keluarga jadi pecah Makanya diambil jalan tengah seperti pembagian menggunakan cara tersebut.
7. T : Kalan tidak ada yang setuju dengan proses pembagiannya yang sudah dilakukan, bagaimana antisipasi ha! tersebut ?
J : Saat pembagiannya kami sudah sepakat. Kayaknya enggak deh, itu udah diantisipasi.
Kedepan Insya Allah tidak ada yang dirngikan, karena kami
memutuskan dengan cara musyawarah keluarga dengan sating menerima masingmasing demi kemaslahatan keluarga kami. Kalaupun terjadi iri dengki atau ketidak-puasan yang ujungnya
menyebabkan keretakan, kami bernsaha
meminimalisimya dengan cara dimusyawarahkan kembali antar keluarga. Mungkin juga dengan diberikan penjelasan dan pemahaman oleh sepuh keluarga bahkan tokoh masyarakat. Dan memang ketika musyawarah, tidak ada dari pihak luar (Kyai atau aparat pemerintah) yang hadir. Cukup keluarga kami aja yang rembuginnya.
8. T : Sejauh mana pemahaman bapak sebagai ahli waris almarhum, terhadap hukum kewarisan, apakah di jalani sesuai ketentuan Hukum Islam atau lebih mengutamakan adat dan tradisi? J : Sedikit-sedikit Insya Allah saya tahu kalau dalam hukum Islamkan, antara
lakilaki dan perempuan bagiannya 2 berbanding 1, juga kerabat dari yang meninggal pun mendapatkan bagian. Tapi karena sudah menjadi tradisi disini, pembagian warisannya pun memakai mufakat keluarga
Kuningan, Minggu 21 Oktober 2007 Mengetahui, Responden
d~
( Anang Rohmana )
HASIL WAWANCARA
Hari/Tangal
: Senin, 22 Oktober 2007
Waktu
: Pukul 16.00-17.30 WIB
Tempat
: Rumah kediaman
Tujuan Wawancara
: Sebagai data lapangan dalam penyusunan skripsi
Judul Skripsi
: Hukum Kewarisan Adat Sunda Ditinjau Dari Perspektif Hukum Kewarisan Islam
Objek Wawancara
: H. Choeruddin (Aparat Pemerintah Desa)
Keterangan : T =Tanya
J = .Jawab
I. T : Bagaimana menurut Bapak kebiasaan masyarakat disini tentang
masalah kewarisan? J : Kalau disini biasanya memakai hukum adat dengan cara musyawarah antar
keluarga, seperti nanti malam ada pembagian warisan, aparat dari desa diundang untuk menghadiri, kalo tidak Pak Kuwu (kepala desa) ya sekdesnya atau yang mewakili. Dan rapat keluarga itu juga dihadiri oleh ahli waris pihak keluarga.
2. T : Dalam pembagiannya lebih cenderung kemana, memakai hukum Islam atau dengan mufakat keluarga (adat)?
J : Ya pada intinya ada yang lebih suka nyerahin pada kyai gimana dia aja, ga ada yang bertentangan, kecuali ada yang emosi dari pihak keluarga maka bisa jadi bubar forum keluarga. Ada yang gini, kita kan kumpul nanti malam dengan dihadiri oleh kyai, terns si A dapat bagian sawah, si B dapat bagian rumah, atau kadang si B ga mau dapat rumah karena udah punya. Cara demikian dilakukan dengan mufakat keluarga yang menghasilkan pembagian jatah sama rata. Dalam islamkan contoh si istri 50 dan laki-laki I 00.
3. T : Berapa lama proses waktu bagi warisan dari kematian almarhum? J : Waktu bagi warisan tergantnng kesadaran dari ahli waris, bahkan ada yang
bertahun-tahnn harta peninggalan yang belnm dibagikan kepada ahli warisnya. · Seperti ada kelnarga yang meninggal snaminya, sampai sekarang belnm ada kejelasan pembagiannya. Seharusnya disegerakan snpaya tidak berlarut-larnt, tapi belnm ada yang jelas. Kadang ada yang jelas pembagiannya oleh kyai diatur, tapi dari perwakilan desa tidak dipanggil.
4. T : Selaku aparat desa, bagaimana mensikapi keinginan dari perbedaan ahli waris dalam pembagiannya? J : Kalan pemerintah mengikuti kepntnsan kyai, biasanya dalam kelnarga
pembagian sudah dilakukan dari sekarang sebelnm almarhnm meninggal. Warga lebih cendernng memakai mufakat keluarga dari pada hnknm syariat (Faroidl), karena nntnk menjaga kentnban keluarga agar tidak pecah gara gara rebntan harta. Bilamana tidak dapat disepakati, maka penyelesaiannya kembali sesuai dengan hnknm Islam yang diyakini menjadi solusi. Kadang jnga kyai membiarkan pembagian tersebnt dengan cara bagi rata namun tidak lnpa memberikan arahanarahan.
5. T : Apakah masyarakat mengetahui adanya Hukum Positif (UU atau KHI) ? J : Sangat jarang..... paling yang tahu hanya kalangan senior atau yang tna-tna.
Sebab masalah warisan yang diatur dalam huknm positif (UU dan KHI) dan di dalam ilmn Faroid jarang diajarkan, kecnali di sekolah itnpnn jarang yang hapal bahkan mengnasai.
6. T : Seberapa knat ketetapan hukum dari basil mufakat keluarga? J : Hnknm tersebut berkepntnsan tetap dan mengikat antar ahli waris, karena
sudah menjadi kesepakatan kelnarga. Bagi yang mengingkarinya maka ia akan disebut pembeli, tidak mentaati hasil mnsyawarah keluarga, secara otomatis akan
dijauhi oleh sanak famili lainnya. Hal ini yang menjadi aturan umum atau konvensi. Tapi biasanya putra bungsu yang selalu ingin menang. Ahli waris yang lain sudah dibagi. Contoh, putra sulung mendapatkan sawah sedangkan yang bungsu dapat rumah. Yang bungsu ini juga ingin mendapat bagian sawah.
7. T : Apakah tiap ada pembagian warisan, aparat pemerintah barns tahu dan
dilibatin? J : Seyogyanya demikian, dan yang sudah-sudah, aparat desa kan hadir bila
dibutuhkan oleh pihak keluarga. Kalau tidak ada ya ... cukup dari ulama/kayi saja yang memberesinya. Soalnya kalau ada dari pihak pemerintah, takut pihak keluarga menjadi malu.
8. T: Pada kesimpulannya, masyarakat disini Jebih banyak memakai mufakat keluarga dari pada hukum Islam? J : Ya, lebih sering memakai cara demikian, kalau masalahnya tidak kunjung
heres, baru dibawa ke pemerintah desa. Begitulah kondisi masyarakat disini (sambil mengisap rokoknya)
Kuningan, Senin 22 Oktober 2007 Mengetahui, Responden
( H Choeruddin )