Koreksi Hukum Kewarisan Bilateral menurut Hazairin terhadap Ajaran Hukum Kewarisan Patrilineal Ahlussunnah Waljamaah Andi Nuzul * Abstrak Hukum kewarisan Islam lahir dan berkembang di Timur Tengah menurut Hazairin dipengaruhi oleh sistem kekeluargaan patrilineal. Implikasi dari sistem kekeluargaan patrilineal adalah hasil interaksi ahli hukum (ulama) Arab terhadap lingkungan sosial menghasilkan produk hukum Islam Islam yang diwarnai oleh budaya masyarakat Arab, atau tampilan hukumnya bercorak patriachat. Dalam perkembangannya, produk hukum kewarisan Islam yang demikian itu akan berbenturan jika diterapkan dalam struktur dan susunan masyarakat yang berbeda (non patriachat). Benturan terjadi karena tidak dijadikannya sistem kekerabatan yang bersifat netral yaitu sistem kekerabatan parental sebagai landasan hukum kewarisan Islam yang kemudian melahirkan sistem hukum kewarisan bilateral. Padahal menurut Hazairin, al-Qur’an pada Surat an-Nisa' ayat 7, 11 dan 12 telah menunjukan bahwa sistem hukum kewarisan yang dituju dalam Islam adalah sistem hukum kewarisan bilateral. Teori Hazairin ini relevan untuk menengahi sistem hukum kewarisan unilateral bagi masyarakat patrilineal dan masyarakat matrilineal yang dianggapnya berat sebelah. Kata kunci: hukum, kewarisan, bilateral, Hazairin, ahlussunnah waljamaah. A. Pendahuluan Tidak dapat dipungkiri, masalah kewarisan merupakan salah satu masalah penting dalam kehidupan manusia. Pewarisan timbul karena adanya tiga hal,1 pertama adanya orang yang meninggal dunia, yang disebut dengan pewaris (eflater); kedua, adanya harta peninggalan (erfenis), yang merupakan harta kekayaan si pewaris; dan yang ketiga, adanya orang yang menerima harta warisan tadi, yang disebut dengan ahli waris (erfgenaam). Pewarisan berarti adanya perpindahan saham, berupa harta benda dari pewaris kepada ahli waris. Indonesia, negeri yang mayoritas penduduknya muslim, namun memiliki tiga sistem hukum kewarisan yang merupakan hukum positif
*
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Watampone, Sulawesi Selatan. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan Di Indonesia, Cet. VII, (Bandung: Sumur Bandung, 1983), p. 14. 1
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Andi Nuzul: Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Hazairin…
722
dalam masyarakatnya.2 Sistem kewarisan menurut hukum adat juga berbeda-beda antara daerah yang satu dengan daerah lainnya, yakni ada sistem kewarisan individual dan ada sistem kewarisan yang kolektif. 3 Pada sistem kewarisan kolektif terbagi dua yaitu sistem kewarisan kolektif murni dan sistem kewarisan mayorat. Sistim kewarisan individual dapat ditemui pada masyarakat yang tidak ber-klan seperti masyarakat Jawa, masyarakat Sulawesi, dan masyarakat Kalimantan, sedangkan sistem kewarisan kolektif dapat ditemukan pada masyarakat ber-klan misalnya pada masyarakat Minangkabau, masyarakat Batak, masyarakat Lampung., dan masyarakat Ambon. Sistem hukum kewarisan kedua yang berlaku adalah sistem hukum kewarisan Islam, dan sistem hukum kewarisan ini muncul seiring masuknya agama Islam di Indonesia. Sistem hukum kewarisan Islam merupakan salah satu elemen penting dari syariat Islam, mulai berkembang dan diterima di Indonesia dengan perantaraan para mubaligh dan ulama (da’i) yang senantiasa menyebarkan agama Islam. Sistem hukum kewarisan Islam pun memiliki banyak aliran, yakni ajaran kewarisan Islam menurut Ahlus Sunnah Waljamaah dan ajaran kewarisan Islam menurut Syi’ah. Ajaran kewarisan menurut Ahlus Sunnah Waljamaah terdapat empat mazhab atau aliran yaitu, mazhab Syafi'i, mazhab Hanafi, mazhab Hanbali, dan mazhab Maliki4. Untuk di Indonesia, hukum kewarisan Islam yang paling dominan dianut masyarakat muslim adalah ajaran hukum kewarisan menurut Ahlus Sunnah Waljama’ah, terutama ajaran hukum kewarisan dari mazhab Syafi'i. Bentuk kekerabatan dalam hukum Islam menentukan asas yang berlaku dalam hukum kewarisan. al-Qur’an maupun Sunnah memang tidak menjelaskan struktur atau susunan kekerabatan yang dikehendaki dalam hukum Islam. Namun di satu sisi, dalam realitasnya kita dihadapkan berbagai macam bentuk susunan kekerabatan, meliputi: patrilineal, matrilineal, dan bilateral, yang masing-masing memiliki implikasi terhadap hukum waris Islam. Beragamnya bentuk kekerabatan yang berlaku dalam masyarakat, maka bentuk kekerabatan bagaimana yang sesuai dengan hukum 2
Pertama, Sistem hukum kewarisan Islam; kedua sistem hukum kewarisan adat; dan ketiga sistem hukum KUHPerdata; Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam,(Edisi Revisi), Cet. I, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), pp. 1-2; lihat R. Wirjono Prodjodikoro, Ibid., p. 58. 3 Hilman Hadikusuma, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Cet. I, (Bandung: Mandar Maju. 1992), pp. 212-213. 4Idris Ramulyo, Perbandingan, p. 1. SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Andi Nuzul: Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Hazairin…
723
kewarisan Islam?. Bagi masyarakat Indonesia sistem bilateral dipandang lebih cocok, selain lebih mencerminkan keadilan, juga lebih sesuai dengan semangat al-Qur’an. Hukum kewarisan yang berlaku selama ini adalah patrilineal, berasal dari kalangan Sunni yang banyak dipengaruhi oleh kultur Arab, sehingga banyak ditemukan kendala ketika menerapkan pada kultur yang berbeda, seperti dalam masyarakat Indonesia. Sistem kewarisan yang ketiga adalah sistem kewarisan menurut Hukum Perdata Barat, pada sistem hukum kewarisan ini berpedoman pada Burgerlijk Wetboek (BW) atau Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Hukum Kewarisan menurut KUHPerdata semula hanya berlaku bagi golongan masyarakat Eropa yang bertempat tinggal di Indonesia dan yang dipersamakan dengan mereka melalui asas konkordansi (Concordantie Beginsel) yang dinyatakan dalam Pasal 131 Indische Staatsregeling (IS) ayat (2) Sub a.5 Pada ketentuan pasal tersebut disebutkan bahwa terhadap orang Eropa yang berada di Indonesia dan yang dipersamakan dengan mereka diberlakukan hukum perdata Eropa. Namun, pada perkembangan berikutnya dengan melalui ketentuan Pasal 131 IS jo S. 1917 No.129 jo S. 1924 No.556, jo S. 1924 No. 556, dan jo S. 1925 No. 92, maka Hukum Kewarisan menurut KUHPerdata tersebut berlaku juga bagi golongan: 1) Orang-orang Timur asing Tionghoa. 2) Orang-orang Timur asing bukan Tionghoa, namun hanya untuk pewarisan berdasarkan testamen, sedangkan pewarisan berdasarkan Undang-undang (ab-intestato) tidak berlaku6. 3) Bahkan berdasarkan perkembangan lebih lanjut sistem hukum kewarisan KUHPerdata juga berlaku pada orang-orang pribumi berdasarkan dengan cara penundukan diri secara sukarela, melalui peraturan yang dinamakan Regeling op de vrijwillige onderwerping aan het Europesch privaatrecht sebagaimana yang diatur dalam Staatblad 1917 no.12, kemudian Staatblad ini drubah dengan Staatblad 1926 no. 36.7 Dalam sejarah pertumbuhan hukum kewarisan di Indonesia, sejak tahun 1950an telah berkembang satu aliran atau ajaran hukum kewarisan hasil ijtihad Hazairin yang popular dengan sebutan ajaran hukum kewarisan bilateral8. Ajaran hukum kewarisan bilateral Hazairin yang 5
Suriani Ahlan Syarif, Intisari Hukum Waris Menurut Burgerlijk Wetboek, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1993), p. 10. 6 Ibid. 7 Soepomo, Sistem Hukum Di Indonesia Sebelum Perang Dunia II, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1997), p. 124 ; lihat Juga Asis Safioedin, Beberapa Hal Tentang Burgerlijk Boek, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990), p. 9. 8 Idris Ramulyo, Perbandingan, p. 2. SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Andi Nuzul: Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Hazairin…
724
menjadi fokus kajian pada penelitian ini, membawa pengaruh dalam perjalanan pembaruan hukum kewarisan di Indonesia, bahkan turut mempengaruhi perkembangan jurisprudensi Mahkamah Agung dan rancangan perundang-undangan di bidang hukum kewarisan nasional sejak dari tahun 1960, terutama dalm menuju upaya pembentukan hukum kewarisan nasional. B. Sifat Sistem Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Hazairin Hazairin yang memiliki gelar kebangsawanan Datuk Pangeran, lahir di Bukit Tinggi pada 28 November 1906 dan meninggal pada 11 Desember tahun 1975,9 sebagai pencetus bentuk hukum kewarisan bilateral. Pengetahuan Hazairin dalam hukum adat, dan hukum Islam begitu mendalam, maka dari itu melalui keahliannya dalam bidang hukum adat dan hukum Islam inilah, senat guru besar Universitas Indonesia mengukuhkan dirinya sebagai guru besar hukum adat dan hukum Islam pada fakultas hukum pada tahun 1952.10 Menurut Hazairin, teori Receptie yang dicetuskan oleh Snouck Hurgronje pada akhir abad XIX telah menjadikan hukum Islam tersingkir oleh hukum adat. Oleh karena itu, Hazairin tidak segan-segan untuk menyebut teori ini sebagai “Teori Iblis”, dan sebagai sanggahan atas teori Hurgronje, ia kemudian mengemukakan satu teori bantahan yang ia namakan teori Receptie Exit, yang kemudian ditindaklanjuti oleh muridnya, Sajuti Thalib, dengan teori Receptie a Contrario.11 Pemikirannya tentang hukum kewarisan yang terkenal dengan teori hukum kewarisan bilateral menurut al-Qur’an telah dipresentasikan pada tahun 1957. Dalam teorinya, Hazairin mempertanyakan kebenaran hukum kewarisan yang dianut kalangan Sunni yang bercorak patrilineal bila dihadapkan dengan al-Qur’an dan Hadis. Dengan keahliannya dalam bidang hukum adat dan antropologi sosial, Hazairin mengkaji ayat-ayat tentang perkawinan dan kewarisan. Menurutnya, al-Qur’an dan Hadis Nabi hanya menghendaki sistem sosial atau sistem kekerabatan yang parental, dan hukum kewarisan yang digariskan di dalamnya adalah bercorak bilateral, bukan patrilineal seperti yang dikenal selama ini.12 9
Hassan Shadily dan John M. Echols, Ensiklopedia Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia, 1982), p. 1273. 10 Nurul Huda, "Keberadaan Mawali Hukum Kewarisan Bilateral", SUHUF, Jurnal Fakultas Agama Islam, Vol. XVIII No.2, 2006, pp. 18-29. 11 Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Kewarisan Islam, Konsep Hukum Kewarisan Bilateral Hazairin, Cet. I (Yogyakarta: UII Press, 2005), p. 192. 12 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur’an dan Hadis, (Jakarta: Tintamas, 1982), p. 2. SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Andi Nuzul: Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Hazairin…
725
Hazairin telah memberikan pemahaman yang baru terhadap hukum kewarisan dalam Islam secara total dan komprehensif dengan asumsi dasar sistem bilateral yang dikehendaki al-Qur’an. Tentu saja sistem ini mempunyai dampak sosial yang luas bila dapat diterapkan dalam kehidupan. Menariknya, teori ini agaknya lebih dekat dengan rasa keadilan dalam masyarakat kita, bila dibandingkan dengan sistem kewarisan bercorak patrilineal. Sistem hukum kewarisan patrilineal yang dianut kalangan Sunni sebenarnya terbentuk dari struktur budaya Arab yang bersendikan sistem kekeluargaan yang bercorak patriachat. Pada masa awal terbentuknya fiqh, ilmu pengetahuan mengenai bentuk-bentuk masyarakat belumlah berkembang, sehingga para fuqaha dalam berbagai mazhab fiqh belum memperoleh perbandingan mengenai berbagai sistem kewarisan dalam berbagai bentuk masyarakat.13 Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila hukum kewarisan yang kemudian disusun bercorak patrilineal. Penelitian Hazairin terhadap sistem hukum kewarisan menurut al-Qur’an tiba pada kesimpulan bahwa al-Qur’an hanya meridhai masyarakat yang bilateral, dan al-Qur’an menuju kepada pembentukan dan penyempurnaan masyarakat yang bilateral, sehingga dengan demikian sistem hukum kewarisan yang dikehendaki pula hanyalah sistem kewarisan bilateral. Hazairin mengkritik pendirian mazhab Ahlussunnah Waljama’ah dengan mengatakan bahwa fiqh mawaris Ahlussunnah Waljama’ah yang terbentuk dalam masyarakat kebudayaan Arab yang bersendikan sistem kekeluargaan yang patrilineal yang difatwakan para mujtahid di masa itu adalah fatwa yang lahir ketika belum memperoleh bahan-bahan perbandingan mengenai berbagai sistem hukum kewarisan yang dijumpai dalam kelompok masyarakat, sehingga menurutnya dengan fatwa tersebut ada kesan telah terjadi konflik antara fiqh mawaris Ahlussunnah Waljama’ah dengan hukum adat.14 Hukum kewarisan Islam lahir dan berkembang di Timur Tengah, di mata Hazairin struktur masyarakat Timur Tengah (Arab) penganut sistem kekeluargaan patrilineal.15 Implikasi dari sistem kekeluargaan patrilineal adalah hasil interaksi ahli hukum (ulama) Arab terhadap lingkungan sosial akan menghasilkan produk hukum Islam yang diwarnai oleh budaya masyarakat Arab, dan tampilan hukumnya bercorak patriachat. Dalam perkembangannya, produk hukum Islam yang demikian itu akan berbenturan jika diterapkan dalam struktur dan susunan masyarakat yang berbeda (non patriachat). Dampak benturan tersebut adalah tidak 13
Ibid. Ibid., pp. 1-2. 15 Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum, p. 196. 14
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Andi Nuzul: Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Hazairin…
726
dijadikannya sistem kekerabatan yang bersifat netral yaitu antara patrilineal dan matrilineal sebagai landasan hukum kewarisan Islam, pada hal menurur Hazairin, al-Qur’an telah mengisyaratkan bahwa sistem kekerabatan yang tepat menjadi landasan hukum kewarisan Islam adalah bilateral16. Atas dasar analisis di atas, maka teori hukum kewarisan bilateral Hazairin, sebagaimana dijelaskan oleh Abdul Ghofur Anshori,17 sangat memperhatikan adanya kekuatan ‘Maha’ di luar kekuatan manusia dan seluruh dunia ciptaan-Nya. Aturan yang berasal dari kekuatan ‘Maha’ tersebut tertuang dalam al-Qur’an dan Hadis yang mengikat setiap muslim dalam menjalankan, termasuk dalam menentukan hukum. Namun demikian, al-Qur’an dan Hadis sendiri memerlukan penafsiran untuk dapat diopersionalkan dalam tindakan nyata. Penafsiran itu kemudian menimbulkan silang pendapat sebagai akibat dari perbedaan cara pandang dan latar belakang sosial mufasir di kala itu. Misalnya antara Hazairin dan Syafi'i terjadi perbedaan frame of reference dalam menyelami alQur'an dan Hadis untuk menemukan hukum kewarisan. Perbedaan yang lahir itu berimplikasi pada perbedaan penampilan masing-masing hukum kewarisan yang dihasilkan. Sebagai sebuah contoh yang dihasilkan dari perbedaan dalam menyelami al-Qur’an dan Hadis antara Hazairin dan Syafi'i, adalah perbedaan yang signifikan yang terlihat antara hukum kewarisan bilateral hasil ijtihad Hazairin di satu sisi, dengan hukum kewarisan patrilineal yang ditampilkan Syafi'i,18 yaitu: a. Sistem hukum kewarisan bilateral menyamakan kedudukan leluhur dan keturunan, sedangkan sistem hukum kewarisan patrilineal membedakan kedudukan antara ahli waris laki-laki dengan ahli waris perempuan. b. Sistem hukum kewarisan bilateral memandang saudara secara mutlak tanpa membedakan antara saudara kandung, seayah, atau seibu saja, sedangkan sistem hukum kewarisan patrilineal memberikan garis tegas perbedaan di antara ketiga saudara tersebut. c. Kalalah dalam sistem hukum kewarisan bilateral diartikan sebagai mati punah tidak meninggalkan keturunan ”ke bawah”, implikasinya keturunan secara mutlak meng-hijab saudara. Sementara sistem hukum kewarisan patrilineal memahami kalalah sebagai mati tidak meninggalkan keturuan laki-laki atau ayah, maka saudara dapat mewaris bersama anak perempuan. Konsep sistem hukum kewarisan bilateral ajaran Hazairin adalah sebuah konsep hukum kewarisan Islam yang membicarakan persoalan 16
Ibid. Ibid. 18 Ibid. 17
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Andi Nuzul: Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Hazairin…
727
pembagian harta warisan, karena hukum kewarisan termasuk dalam kategori hukum, maka tujuan akhir yang akan dicapai adalah keadilan. Keadilan menurut konsep Hazairin adalah idealisme, sedangkan idealisime memerlukan rangkaian proses untuk menjadi aktual, dan hukum walaupun bukan satu-satunya, tetapi merupakan sarana berprosesnya idealisme keadilan tersebut.19 C. Tiga Prinsip Dasar Hukum Kewarisan Bilateral Hazaririn Ajaran hukum kewarisan bilateral Hazairin mengandung tiga prinsip pokok sebagai inti ajarannya, yaitu:20 1. Ahli Waris laki-laki sama kedudukannya dengan ahli waris perempuan. Ahli waris perempuan sama dengan laki-laki dapat menutup ahli waris kelompok keutamaan yang lebih rendah. Selama masih ada anak, baik laki-laki maupun perempuan, maka datuk ataupun saudara baik lakilaki maupun perempuan sama-sama ter-hijab. Implikasi dari penetapan kedudukan yang sama antara keturunan atau anak laki-laki sama dengan anak perempuan adalah istilah kalalah menurut konsep Hazairin berarti mati punah ke bawah, artinya mati tanpa meninggalkan keturunan (lakilaki dan perempuan). Sepanjang masih ada keturunan (laki-laki maupun perempuan) maka secara mutkak meng-hijab saudara. Berbeda pengertian kalalah menurut sistem hukum patrilineal seperti pandangan mazhab Ahlussunnah waljamaah, memahami kalalah sebagai mati tidak meninggalkan keturunan laki-laki atau ayah, dan akibatnya saudara dapat mewaris bersama anak perempuan. Sistem hukum kewarisan bilateral hasil ijtihad Hazairin tidak membedakam garis keturunan laki-laki dan perempuan, kedua-duanya memiliki kekuatan yang sama, mereka sama hak untuk mendaptkan harta warisan dari ke dua orang tuanya dan kerabatnya. Untuk prinsip yang pertama ini, Hazairin menyandarkan pendapatnya pada al-Qur’an Surat an-Nisa’ ayat 7. 2. Garis Kerabat Laki-Laki Sama Kuatnya Dengan Garis Kerabat Perempuan Dalam Pewarisan Hubungan kewarisan melalui garis kerabat laki-laki sama kuatnya dengan garis kerabat perempuan, dengan kata lain hubungan garis bapak dan garis ibu dalam pewarisan sama kuatnya. Karenanya penggolongan ahli waris menjadi ashabah dan zawu al-arham dalam konsep mazhab Ahlussunnah tidak diakui dalam teori Hazairin. Dengan demikian, 19
Hazairin, Tujuh Serangkai Tentang Hukum, (Jakarta: Bina Aksara, 1981), p. 75. Nurul Huda, "Keberadaan Mawali, p. 2; Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum, pp. 194-195. 20
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
728
Andi Nuzul: Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Hazairin…
Hazairin menolak ashabah dan zawu al-arham karena adanya hak anak perempuan sama dengan anak laki-laki untuk meng-hijab kerabat garis ke samping. 3. Kedudukan Mawali Konsep Mawali dalam al-Qur’an menurut Hazairin diartikan sebabagi ahli waris pengganti. Menurut Hazairin Mawali selalu mewaris, tidak pernah tertutup oleh ahli waris lain (ahli waris utama). Cucu dapat mewaris bersama dengan anak manakala orang tuanya meninggal lebih dulu daripada kakeknya dan bagian yang diterimanya sama besarnya dengan yang diterima oleh orang tuanya (seandainya masih hidup). Keberadaan Mawali ini merupakan konsep yang benar-benar baru dalam ilmu faraid (waris) dan lebih mencerminkan keadilan. Kehadiran Mawali menyebabkan peng-hijab-an hanya akan terjadi antarkelompok keutamaan, namun tidak terjadi antarderajat sebagaimana yang dikenal dalam sistem hukum kewarisan patrilineal yang dikembangkan para imam mazhab Ahlussunnah Waljamaah. Peng-hijab-an tidak akan terjadi karena adanya ahli waris pengganti, dan sandarannya pada al-Qur’an Surat an-Nisa’ ayat 33. Ketentuan bagian Mawali adalah mengikuti pada jumlah yang ditetapkan bagi orang yang digantikan kedudukannya. Dengan kata lain, bagian yang diterima ahli waris pengganti adalah sebanyak bagian yang seharusnya diterima ahli waris yang digantikan kedudukannya. Menurut sistem hukum kewarisan bilateral, posisi dari garis ayah dan garis ibu sama kuatnya sebagai jalur yang menghubungkan dengan ahli waris. Begitu pula sama kuatnya posisi anak laki-laki dan anak perempuan sebagai ahli waris, juga mengenai ahli waris pengganti, tidak pernah tertutup karena keberadaan ahli waris utama yang lain, karena cucu yang orang tuanya meninggal lebih dulu daripada kakeknya, akan mewaris bersama dengan anak-anak pewaris (paman) yang masih hidup, dan memperoleh bagian sama besarnya dengan bagian yang diterima oleh orang tuanya seandainya orag tuanya tersebut masih hidup. Hazairin melalui ajaran hukum kewarisan bilateralnya tersebut, membagi ahli waris menjadi dua cara, yaitu: a) Berdasarkan hubungan darah. Kelompok ini dibagi menjadi empat kelompok keutamaan secara berurutan sebagai berikut: (1) Orang tua, anak dan ahli waris pengganti anak, (2) Orang tua, saudara dan ahli waris pengganti saudara, (3) Orang tua, dan (4) Ahli waris pengganti orang tua. b) Berdasar pada perolehan saham dibedakan kepada orang yang mendapatkan bagian pasti yaitu dzawil al-furudi, dan ahli waris yang mendapat bagian sisa (bagian terbuka) yang disebut dzawil al-qarabat, SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Andi Nuzul: Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Hazairin…
729
dan Mawali. Berbeda mazhab Ahlussunnah yang membedakan ahli waris yang berdasar pada pasti tidaknya jumlah saham yang mereka terima menjadi tiga yaitu, dzawil al-furud, ashabah, dan dzawil al-arham.21 Zawu al-faraid adalah ahli waris yang telah ditetapkan bagiannya dalam al-Qur’an. Dalam hal ini hampir seluruh mazhab fiqh menyepakatinya, baik Sunni maupun Syiah. Bagian mereka dikeluarkan dari sisa harta setelah harta peninggalan dibayarkan untuk wasiat, hutang, dan biaya kematian dan lain-lain. Zawu al-qarabat adalah ahli waris yang tidak termasuk zawu al-faraid menurut sistem bilateral. Bagian mereka dikeluarkan dari sisa harta peninggalan setelah dibayar wasiat, hutang, onkos kematian, dan bagian untuk zawu al-faraid. Mawali merupakan ahli waris yang menggantikan seseorang untuk memperoleh bagian warisan yang tadinya akan diperoleh orang yang akan digantikan tersebut. Hal ini terjadi karena orang yang digantikan tersebut telah meninggal lebih dulu daripada si pewaris. Orang yang digantikan ini merupakan penghubung antara yang menggantikan dengan pewaris (yang meninggalkan harta warisan). Adapun yang dapat menjadi Mawali yaitu keturunan anak pewaris, keturunan saudara pewaris. Kelompok Mawali, kelompok ahli waris ini merupakan konsep yang benar-benar baru dalam ilmu faraid (waris). Akibat pengelompokan ahli waris menurut konsep Hazairin di atas, melahirkan kelompok keutamaan secara hirarkhis,22 seperti berikut ini: 1) Keutamaan pertama: anak, Mawali anak, orang tua, dan duda atau janda. 2) Keutamaan kedua: saudara, Mawali saudara, orang tua, dan duda atau janda. 3) Keutamaan ketiga: orang tua, dan duda atau janda. 4) Keutamaan keempat: janda atau duda, Mawali untuk ibu dan Mawali untuk ayah. Berdasarkan dengan kelompok keutamaan di atas, ditemukan bahwa masing-masing ahli waris dalam keutamaan berbeda-beda statusnya, ada yang sebagai zawu al faraid dan ada pula yang sebagai zawu al qarabat. Degan pengertian lain bahwa setiap kelompok keutamaan di atas dirumuskan secara komplit, artinya kelompok keutamaan yang lebih rendah tidak dapat mewaris bersama-sama dengan kelompok keutamaan yang lebih tinggi. Karena kelompok keutamaan yang lebih rendah tertutup oleh kelompok keutamaan yang lebih tinggi. Inti dari kelompok keutamaan pertama adalah adanya anak dan atau Mawali-nya. Dengan 21
22
Ibid. Ibid., p. 6.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Andi Nuzul: Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Hazairin…
730
demikian, jika tidak ada anak dan atau Mawali-nya berarti bukan kelompok keutamaan pertama. Inti kelompok keutamaan kedua adalah adanya saudara dan atau Mawali-nya, sedangkan inti dari kelompok keutamaan ketiga adalah adanya ibu dan bapak. Adapun janda atau duda meskipun selalu ada dalam setiap kelompok keutamaan, namun ia menjadi penentu bagi kelompok keutamaan keempat. Demikianlah cara hukum kewarisan bilateral dalam menyelesaikan persoalan waris jika terdapat ahli waris yang cukup banyak dan lengkap. Saudara pewaris dapat mewaris bersama dengan orang tua (bapak ataupun ibu), suatu hal yang tidak mungkin terjadi pada hukum kewarisan Sunni yang bercorak patrilineal. Di samping itu, ayah dari ayah atau ibu dari ayah tidak mungkin menjadi sebagai zawu al-faraid, demikian pula terhadap cucu perempuan, seperti dalam sistem hukum kewarisan kalangan Sunni. Masalah kasus hukum kewarisan yang dianggap rumit, seperti ahli waris kakek bersama saudara yang banyak memunculkan variasi pendapat dalam sistem Sunni tidak akan pernah terjadi dalam sistem hukum kewarisan bilateral.23 Ketiga prinsip pokok ajaran hukum kewarisan bilateral Hazairin sebagaimana yang telah disebutkan di atas, sekaligus menunjukkan perbedaannya dengan hukum kewarisan menurut fiqh Sunni, sebab ketiga prinsip tersebut tidak ditemukan dalam hukum kewarisan menurut fiqh Sunni, malahan dalam sistem hukum kewarisan menurut faham sunni berlaku ketentuan,24 yaitu: 1. Ahli waris perempuan tidak dapat meng-hijab (menghalangi) ahli waris laki-laki yang lebih jauh. Contohnya, ahli waris anak perempuan tidak dapat menghalangi saudara laki-laki. 2. Hubungan kewarisan melalui garis laki-laki lebih diutamakan daripada garis perempuan. Adanya penggolongan ahli waris menjadi ashabah dan zawu al-arham merupakan contoh yang jelas. Ashabah merupakan ahli waris menurut sistem patrilineal murni, sedangkan zawu al-arham adalah perempuan-perempuan yang bukan zawu al-faraid dan bukan pula ashabah. 3. Tidak mengenal ahli waris pengganti, semua mewaris karena dirinya sendiri. Cucu yang orang tuanya meninggal lebih dulu daripada kakeknya, tidak akan mendapat warisan ketika kakeknya meninggal. Sementara saudara-saudara dari orang tua sang cucu tetap menerima warisan.
23 24
Hazairin, Hukum Kewarisan, pp. 20-21. Nurul Huda, "Keberadaan Mawali, p. 6.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Andi Nuzul: Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Hazairin…
731
Menurut pengamatan Hazairin, sistem hukum kewarisan sunni yang bercorak patrilineal dengan prinsip seperti di atas, kurang sesuai dengan rasa keadilan masyarakat di Indonesia yang umumnya bercorak bilateral. Bagi masyarakat patrilineal pun seperti dalam masyarakat Batak, dan masyarakat Bali bukan berarti tidak ada konflik dengan sistem kewarisan kalangan sunni apalagi bagi masyarakat matrilineal seperti Minangkabau, tentu lebih berat lagi untuk menerima sistem kewarisan ini. Hal inilah yang menggugah Hazairin untuk memikirkan sistem bagaimanakah yang dikehendaki oleh al-Qur’an. Menurutnya, tidak mungkin al-Qur’an memberikan ketentuan yang tidak adil. Berdasarkan pengamatannya terhadap beberapa ayat tentang perkawinan dan kewarisan akhirnya dia mempunyai keyakinan bahwa al-Qur’an menghendaki sistem kekeluargaan yang bilateral. D. Sumber Acuan Hukum Kewarisan Bilateral Ajaran Hazairin Sumber acuan hukum kewarisan bilateral ajaran Hazairin serta pengelompokannya adalah berdasarkan ayat-ayat hukum kewarisan (Q.S. an-Nisa' ayat 11,12, 22, 23, 24 33, dan 176. 1. al-Qur’an Surat an-Nisa’ ayat 22-24 memberi petunjuk bahwa semua bentuk perkawinan sepupu tidaklah dilarang, baik cross-cousins maupun parallel cousins. pembolehkan perkawinan sepupu ini berarti tanggallah syarat exogami yang menjadi benteng bagi sistem klan dalam masyarakat yang patrilineal dan matrilineal. Jika klan telah tumbang, maka timbullah masyarakat yang bercorak bilateral. 2. al-Qur’an Surat an-Nisa’ ayat 11 memberi petunjuk bahwa semua anak, baik laki-laki maupun perempuan sebagai ahli waris bagi ayah dan ibu. Hal ini merupakan bentuk sistem bilateral, karena dalam masyarakat patrilineal ketentuan hukumnya hanya anak laki-laki yang berhak mewaris, begitu halnya dalam sistem masyarakat matrilineal anak-anak hanya mewaris dari ibunya, tidak dari bapaknya. 3. al-Qur’an Surat an-Nisa’ ayat 12 dan 176 juga mendukung sistem bilateral, yaitu dengan menjadikan saudaranya ahli waris bagi saudaranya yang mati punah (tidak berketurunan), tidak dibedakan apakah saudara itu laki-laki atau perempuan. 4. al-Qur’an Surat an-Nisa’ ayat 7, 8, 11, 12, dan 176 menyatakan bahwa sistem kewarisan yang dikehendaki oleh al-Qur’an di samping bilateral adalah individual. Maksudnya, masing-masing ahli waris berhak atas bagian yang pasti dan bagian-bagian tersebut wajib diberikan kepada mereka dengan istilah nasiban mafrudan, fa atuhum nasibuhum, al-qismah, di samping terdapat bagian-bagian tertentu (furud al-muqaddarah). Sistem kewarisan yang dikehendaki dalam al-Qur’an adalah individual bilateral. SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
732
Andi Nuzul: Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Hazairin…
Hazairin ingin mengajak umat Islam untuk memperbarui pemahaman terhadap ayat-ayat tentang kewarisan. Lebih jauh dengan ajaran hukum kewarisan bilateral Hazairin dikatakan sebagai sarana pembaruan hukum masyarakat, sesuai teori hukum Roscoe Pound yang mengatakan law as a tool of social engineering.25 Berdasarkan pada teorinya tersebut, Roscoe Pound mengatakan: Melihat hukum sebagai suatu lembaga sosial yang dapat disempurnakan melalui usaha manusia yang dilakukan secara cendekia, dan menganggap sebagai kewajiban mereka untuk menemukan cara-cara yang paling baik bagi memajukan serta mengarahkan usaha itu.26 Sistem hukum kewarisan bilateral yang dicetuskan Hazairin memang pada awalnya, bahkan sampai saat ini masih mendapat tanggapan pro dan kontra di kalangan umat Islam Indonesia. Fenomena ini merupakan hal yang wajar apabila ada yang masih belum dapat menerima ide pembaruan, apalagi dengan mengkaji ulang sesuatu yang telah lama mapan, akan sulit diterima meskipun hal yang baru ini cukup rasional dan argumentatif. Namun, bukan berarti mereka yang menolak termasuk tidak rasional. Mereka yang menolak di samping didasarkan pada pengetahuan tentang sistem hukum kewarisan yang selama ini mereka ketahui, juga tidak sedikit pula yang mensikapi dengan penuh curiga terhadap sesuatu yang dianggap baru. Meskipun pada awalnya banyak terjadi penolakan, namun tidak sedikit pula yang bersimpati dan mendukung ide kewarisan bilateral ini. Bahkan dewasa ini hampir setiap kali membahas tentang hukum kewarisan hampir tidak melepaskan pemikiran Hazairin. Barangkali penolakan yang terjadi terhadap sistem kewarisan bilateral lambat laun berkurang seiring dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan terbukanya masyarakat untuk menerima perubahan. Dukungan terhadap pendapat Hazairin telah banyak dikemukakan dalam berbagai kajian ilmiah. Keberatan terhadap teori ini agaknya lebih disebabkan ketidakberanian mereka mengoreksi cara tafsir mazhab Sunni yang lebih condong kepada sistem patrilineal dan terlanjur disakralkan. Untuk itu, agar pemikiran Hazairin dapat diterima di kalangan Sunni yang konservatif ini manakala dia mampu memahami bahwa sistem kewarisan
25 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, cet. I, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1992), p. 19; lihat pula Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat, cet. I, (Jakarta: Rajawali, 1980), p. 51. 26 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, (Bandung: Alumni, 1979), p. 150
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Andi Nuzul: Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Hazairin…
733
Sunni merupakan salah satu hasil penalaran intelektual sebagaimana halnya yang dilakukan Hazairin. Terlepas adanya sikap pro dan kontra di atas, perlu diketahui bahwa pemikiran Hazairin ini telah turut memperkaya khasanah perkembangan hukum Islam di Indonesia pada umumnya, dan hukum kewarisan pada khususnya. Kompilasi Hukum Islam (KHI) tahun 1991 sebagai bentuk kodifikasi hukum Islam di Indonesia salah satu wujud nyata pengaruh ajaran hukum kewarisan Hazairin, seperti telah diaturnya ketentuan tentang ahli waris pengganti pada Pasal 185 KHI. Bahkan, pemikiran Hazairin dalam lapangan hukum perkawinan cukup memiliki titik taut dengan sistem hukum perkawinan berdasarkan Undang-undang nomor 1 tahun 1974, terutama ketentuan mengenai kedudukan suami isteri dalam rumah tangga dan dalam masyarakat, serta ketentuan mengenai harta benda dalam perkawinan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 35 s/d Pasal 37 UU no. 1974. C. Penutup Ajaran hukum kewarisan bilateral Hazairin membawa perubahan dalam bidang hukum kewarisan bagi masyarakat Indonesia pada umumnya, dan masyarakat muslim pada khususnya, sehingga tidak sedikit dari ahli hukum Indonesia di bidang ini mengikuti pandangan dan pemikiran Hazairin, seperti Sajuti Thalib, termasuk mengikuti dan menganut teorinya mengenai eksistensi hukum Islam di Indonesia. Hukum kewarisan yang terdapat dalam KHI berdasarkan INPRES No. 1 tahun 1991 yang berlaku internal bagi umat Islam Indonesia saat ini, selain dengan kompromistis beberapa ketentuan dalam hukum waris adat dan KUHPerdata serta dengan hukum kewarisan Islam sendiri hasil pemikiran para imam mazhab, terdapat kecenderungan kuat terdapat pengaruh dari ajaran hukum kewarisan bilateral Hazairin. Misalnya, KHI juga mengatur mengenai penggantian tempat (Plaatsvervulling) yaitu Pasal 185 KHI. Penggantian tempat dikenal baik dalam KUHPerdata juga dalam Hukum Adat, dan penggantian tempat menurut Hazairin disebut dengan Mawali. Hazairin mengkaji hukum kewarisan Islam dengan mengaitkan sistem kekerabatan yang berlaku dalam masyarakat, karena menurutnya “dari seluruh hukum, maka hukum perkawinan dan kewarisan yang menentukan dan mencerminkan sistem kekeluargaan yang berlaku dalam masyarakat”. Hazairin mengemukakan teori yang berbeda dengan yang dipunyai mazhab hukum kewarisan Islam sebelumnya seperti dalam ajaran atau Mazhab Ahlus Sunnah Waljamaah, sehingga dapat dikatakan hukum kewarsan bilateral Hazairin merupakan suatu mazhab baru dalam lapangan SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
734
Andi Nuzul: Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Hazairin…
hukum kewarisan di Indonesia. Dengan demikian, kehadiran hukum kewarisan bilateral yang dibangun atas ijtihad Hazairin, disatu sisi diyakini Hazairin sebagai sistem hukum kewarisan yang sesuai dengan al-Qur’an dan hadis, dan sekaligus merupakan pembaruan hukum kewarisan di Indonesia. Daftar Pustaka Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, cet. I, Jakarta: Akademika Pressindo, 1992. Anshori, Abdul Ghofur, Filsafat Hukum Kewarisan Islam, Cet. I, Yogyakarta: UII Press, 2005. Hadikusuma, Hilman, Pengantar Hukum Adat Indonesia. Cet. I. Bandung: Mandar Maju, 1992. Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur’an dan Hadith, Cet. VI, Jakarta: Tintamas, 1982. _______, Tujuh Serangkai Tentang Hukum, Jakarta: Bina Aksara, 1981. Huda, Nurul, "Keberadaan Mawali Hukum Kewarisan Bilateral", SUHUF, Jurnal Fakultas Agama Islam, Vol.XVIII (No.2). pp. 18-29. ISSN 0852-368X, hlm: Abstract, http://library.ums.ac.id/jurnal/agama/suhuf, Diakses pada Senin, 1 April 2008. Instruksi Presiden, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: Akademika Presindo, 1992. Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Waris Di Indonesia, Cet. II, Bandung: Sumur Bandung, 1983. Rahardjo, Satjipto, Hukum Dan Perubahan Sosial, Bandung: Alumni, 1979. Ramulyo, Idris, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan Menurut KUH Perdata (BW). Cet. I (ed. Revisi), Jakarta: Sinar Grafika, 2004. Safioedin, Asis, Beberapa Hal Tentang Burgerlijk Boek, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990. Soepomo, Sistem Hukum Di Indonesia Sebelum Perang Dunia II, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1997.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Andi Nuzul: Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Hazairin…
735
Subekti dan Tjitrosoedibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Cet. XXVIII, Jakarta: Pradnya Paramita, 1996. Syarif, Ahlan Suriani, Intisari Hukum Waris Menurut Burgerlijk Wetboek, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1993.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010