REFORMASI HUKUM KEWARISAN DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA
Oleh : WAWAN KURNIAWAN, M.Ag NIP: 19721031 200710 1 001
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG 2012
IKHTISAR Wawan Kurniawan
REFORMASI HUKUM KEWARISAN DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM
Reformasi hukum kewarisan dimaksud adalah reformasi hukum kewarisan dalam KHI Buku II yang dipandang telah terjadi perubahan-perubahan baik sistimatika, materi, metode bahkan “status hukumnya”. Reformasi materi hukum kewarisan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam di satu sisi memberikan nilai maslahat namun di sisi lain, bisa dikhawatirkan memiliki interpretasi “menyimpang” dari ketentuan sebagaimana yang termaktub dalam al-Qur’an dan al-Hadits serta ijtihad jumhur ulama. Dengan demikian, perlu penelitian yang bertujuan menganalisa pola reformasi kewarisan KHI, dari sisi sistimatika, materi dan metode perumusannya. Perlu juga dianalisa bentuk-bentuk reformasi KHI serta korelasi fikih mawaris dengan hukum kewarisan KHI yang diasumsikan “berbeda” tersebut. Asumsi di atas sangat beralasan, mengingat karakteristik reformasi hukum di dunia Islam selama ini memunculkan tiga kelompok system hukum yang dianut. Pertama, Sistem yang masih mengakui syari’ah sebagai hukum asasi dan masih menerapkannya secara utuh. Kedua, Sistem yang meninggalkan syari’ah dan menggantikannya dengan hukum yang sama sekali sekuler. Ketiga, Sistem yang mengkompromikan kedua sistem tersebut. Dimanakah posisi hukum kewarisan KHI relevansinya dengan siste-sistem di atas. Untuk mendapatkan hasil maksimal dalam penelitian ini, maka penulis menggunakan metode deskripsi analitik guna mendeskripsikan segala hal yang menyangkut reformasi hukum kewarisan, khususnya hukum kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam yang tentunya bercorak ke-Indonesiaan. Kesimpulannya adalah, pola reformasi kewarisan dalam KHI dari sudut pandang sistimatika terdiri dari VI (enam) bab 44 (empat puluh empat) pasal, yaitu dari pasal 171 sampai dengan pasal 214. Dari sudut pandang materi kewarisan dalam KHI ini ada perbedaan dengan fikih mawaris. Sebab dalam hukum kewarisan KHI, masalah wasiat dan hibah termasuk pula dalam bahasan kewarisan, padahal dalam fikih klasik hal itu dibahas secara tersendiri. Sedangkan dari metode perumusannya, terdiri dari empat jalur; Pengumpulan data, wawancara, studi banding dan lokakarya. Menyangkut bentuk-bentuk reformasi hukum kewarisan dalam KHI banyak memasukkan unsur-unsur hukum adat dan kepentingan-kepentingan yang dibutuhkan masyarakat Indonesia masa sekarang. Maka tidak sedikit bentuk-bentuk hukum kewarisan yang belum tertuang dalam fikih klasik (fiqh al-mawarits), tertuang dalam hukum kewarisan KHI. Begitu pula fikih klasik (fiqh al-mawarits) memiliki perbedaan dengan hukum kewarisan dalam KHI, karena: Indonesia sebagai Negara yang sedang membangun menghendaki (unifikasi) hukum dalam bentuk Hukum Tertulis sebagai implikasi dari eksistensi lembaga peradilan, berubahnya zaman serta kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap kepastian hukum yang berskala local ke-Indonesiaan, serta sangat dibutuhkannya hukum terapan (materiil) bagi Instansi Pemerintahan (Pengadilan Agama) dan masyarakat Indonesia dalam menyelesaikan perkara-perkara kewarisan. 2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………………….. i IKHTISAR………………………………………………………………………… ..… ii DAFTAR ISI……………………………………………………………………………. iii
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah…………………………………………… 1
BAB II
B. Perumusan Masalah………………………………………………..
10
C. Tujuan Penelitian…………………………………………………..
10
D. Kegunaan Penelitian……………………………………………….
10
E. Kerangka Pemikiran…………………………………………….....
11
F. Langkah-Langkah Penelitian………………………………………
16
LANDASAN TEORITIS REFORMASI HUKUM A. Periodesasi Perkembangan Hukum Islam Di Indonesia…………...
19
1. Perkembangan hukum Islam periode awal sampai tahun 1945..
21
2. Perkembangan Hukum Islam periode 1945 sampai dengan tahun 1985………………………………………………….....
25
3. Perkembangan Hukum Islam periode tahun 1985 sampai sekarang………………………………………………………..
29
B. Latar Belakang Kemunculan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia…………………………………………………………...
29
1. Proses pembentukkan: Pelaksana Proyek…………………….
32
2. Pihak-pihak yang dilibatkan dan intensitas keterlibatannya…...
32
C. Pola Reformasi Hukum Kewarisan dalam (KHI) menurut Sistimatika, Materi dan Metodenya………………………………..
35
1. Sistimatika kewarisan dalam KHI……………………………..
35
2. Materi kewarisan dalam KHI…………………………………..
38
3. Metode perumusan kewarisan dalam KHI…………………….. 46 D. Asas-asas Kewarisan Islam dalam (KHI)……………………….....
3
50
BAB III
DIMENSI-DIMENSI KOMPILASI DALAM NUANSA REFORMIS A. Kedudukan Hukum Kewarisan (KHI) dalam Peraturan PerundangUndangan Indonesia………………………………………………
57
B. Kedudukan Hukum Kewarisan (KHI) Sebagai Pedoman Instansi Pemerintah dan Masyarakat dalam menyelesaikan perkara-perkara
BAB IV
kewarisan…………………………………………………………
63
C. Bentuk-bentuk reformasi hukum kewarisan dalam KHI………...
67
REFORMASI HUKUM KEWARISAN KHI DALAM PERSPEKTIF ISLAM A. Pola Perumusan Kewarisan dalam Fiqh Islam…………………….. 70
BAB V
1. Pewarisan Pada Masa Pra-Islam……………………………….
71
2. Pewarisan Pada Masa Awal Islam…………………………......
72
3. Pewarisan Pada Masa Islam Selanjutnya……………………...
74
B. Rukun dan Syarat Pewarisan………………………………………
80
C. Sebab-Sebab dan Penghalang pewarisan………………………….
81
D. Kelompok Ahli Waris……………………………………………..
83
E. Penyelesaian pembagian harta peninggalan……………………….
95
F. Analisis terhadap Reformasi Hukum Kewarisan KHI…………….
99
KESIMPULAN…………………………………………………………… 109 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
4
BAB I : PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Sebelum jauh menerangkan latar belakang masalah, penulis perlu menjelaskan
terlebih dahulu istilah-istilah yang terdapat dalam judul tulisan di atas, seperti “reformasi”, dan apa perbedaannya dengan “revolusi atau evolusi”, lantas mengapa menggunakan istilah reformasi tidak menggunakan istilah lain seperti pembaruan atau tajdid dalam bahasa arab. Reformasi, menurut Oxford 1Advanced Leaner’s Dictionary Of Current English adalah perubahan radikal ke arah yang lebih baik dalam bidang agama, politik dan sosial.2 Sedangkan revolusi, adalah perubahan secara menyeluruh, tidak hanya dalam bidang hukum tapi seluruh aspek kehidupan (seperti revolusi Amerika). Dan evolusi, adalah perkembangan secara perlahan-lahan.3 Dalam judul tulisan diatas penulis menggunakan istilah reformasi, karena menurut penulis Buku II tentang kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam memiliki perubahan radikal baik dari segi materi, bentuk, sistematika, wilayah, dan metodenya. Bahkan menurut Prof. Dr. Bustanul Arifin, SH. Ia mengatakan bahwa tiga buku hasil rancangan Proyek itu4 tidak saja merupakan reaktualisasi melainkan lebih daripada mencerminkan reformasi Hukum Islam.5 Sedangkan revolusi dan evolusi penulis pandang kurang tepat untuk dijadikan istilah penunjukkan judul tulisan di atas, kalaupun istilah evolusi agak mendekati, namun istilah itu hanya dapat dirujuk sebagai tahapan dan periodesasi perkembangan sistem hukum (historical periodic of islamic law) saja, dan ini pun kurang tepat, lebih tepat apabila istilah evolusi 1
AS Hornby, Oxford Advanced Leaner’s Dictionary Of Current English, Oxford Universiy Press, New York, 1974, hlm. 708 2 Peter Salim, Advanced English—Indonesian Dicionary, Second Edition. Tt. Hlm. 719. 3 Ibid, hlm. 285 4 Maksudnya adalah tiga buku rancangan Kompilasi Hukum Islam, yakni: Buku I tentang Perkawinan, Buku II tentang Kewarisan dan Buku III tentang Wakaf. 5 Menurutnya dapat dikaji dalam Buku II tentang Kewarisan, yakni: Pasal 209 yang menyatakan bahwa ayah angkat berhak ikut menerima warisan harta peninggalan anak angkatnya. Demikian juga sebaliknya, anak angkat berhak ikut menerima warisan harta peninggalan ayah angkatnya. Kalau mereka tidak menerima wasiat, diberikan wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan anak/orang tua angkatnya. Pdahal dalam hukum Islam, tidak ada anak dan orang tua angkat menerima warisan. Pasal 176 antara lain menyatakan bahwa bagian waris anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan. Namun, dalam pasal 229 (yang merupakan ketentuan penutup) menyatakan bahwa dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya, hakim wajib memperhatikan dengan sungguhsungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat sehingga putusannya sesuai dengan rasa keadilan. Dan hal itu sudah sering dilakukan oleh Pengadilan Indonesia, dengan tidak melaksanakan pembagian warisan berdasarkan prinsif anak laki-laki mendapat bagian dua sedangkan anak perempuan satu. Hukum kewarisan Islam di Indonesia mengakui lembaga gono gini, sedangkan dalam hukum Islam tidak ada. Lihat, Munawir Sadjali, dalam Amrullah Ahmad, SF, dkk, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Gema Insani Perss, Jakarta, 1996, hlm. 224-225.
5
digunakan untuk penunjukkan istilah “perkembangan atau perubahan perlahan” diluar sistem hukum. Sedangkan pembaruan, menurut penulis sinonim dengan kata tajdid6 dalam bahasa arab.7 Tajdid (pembaruan) adalah sesuatu yang pernah aktual pada awalnya, tetapi karena perkembangan waktu sesuatu itu menjadi tidak baru lagi, dan untuk mengaktualkannya kembali harus mengacu kepada konteksnya semula, memperbarui agama bukan berarti mengadakan hal yang baru
terhadap ajaran agama, tetapi hanya mengembalikan ajaran
agama yang sudah bercampur dengan bid’ah menjadi murni kembali seperti semula. Dan bagi penulis, inilah substansi dan makna kata reformasi.8 Sementara mengenai hukum kewarisan, lebih khusus diistilahkan mawarits atau faraidh yang berarti: Suatu bagian ahli warits yang telah ditentukan besar kecilnya oleh syara.9 Sedang Ilmu Faraidh oleh sebagian faradhiyun dita’rifkan dengan :
“...Ilmu Fiqh yang berpautan dengan pembagian harta pusaka, pengetahuan tentang cara perhitungan yang dapat menyampaikan kepada pembagian harta pusaka dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta peninggalan untuk setiap pemilik hak pusaka.”10 Sedangkan pengertian hukum kewarisan menurut pasal 171 point a. Kompilasi Hukum Islam, adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.11
6
Al-Qumi mendefinisikan tajdid sebagai menghidupkan kembali amalan Al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW yang pernah aktual dan menetapkan hukum suatu perbuatan berdasarkan kedua sumber tersebut. Sementara Al-Qari, menyatakan bahwa tajdid adalah membedakan antara sunnah dan bid’ah; memperjelas kandungan sunnah dan memuliakan ahlinya, serta menghancurkan bid’ah dan memerangi ahlinya. (H.Umar Syihab, Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran, Penerbit DINA UTAMA, Semarang, 1996, hlm. 37). 7 Sebab menurut Al-Qumi, kata “baru” dalam konteks bahasannya menghimpun tiga pengertian yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya, yakni: a. Barang yang diperbarui, pada mulanya pernah ada dan pernah dialami oleh orang lain; b. Barang itu dilanda zaman sehingga menjadi usang dan ketinggalan zaman; dan c. Barang itu kembali diaktualkan dalam bentuk kerasi baru. Umar Syihab, Ibid, hlm. 36. Lihat juga Rifyal Ka’bah dan Busthami Said, Reaktualisasi Ajaran Islam (Pembaharuan Agama Visi Modernis dan Pembaharuan Agama Visi Salaf), Minaret, Jakarta, 1987, hlm. 52. 8 Umar Syihab, op.cit, hlm. 36 9 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, PT. Al-Ma’arif, Bandung, 1981, hlm. 32 10 Asy-Syarbiny, Mughnil-Muhtaj, Juz III, t.t. hlm. 3. 11 Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Humaniora Utama Press, Bandung, 1992, hlm. 73.
6
Kemudian pengertian Kompilasi Hukum Islam, sebelum Inpres Nomor 1 Tahun 1991 lahir, istilah “Kompilasi” belum dikenal luas dalam tata hukum Nasional kita. Politik hukum dalam GBHN juga tidak mengenal istilah tersebut. GBHN hanya akrab dengan istilah kodifikasi dan unifikasi. Secara etimologis, “kompilasi” berarti suatu kumpulan atau himpunan,12 atau kumpulan yang tersusun secara teratur.13 “kompilasi” diambil dari kata compilare (bahasa latin)14 yang mempunyai arti mengumpulkan bersama-sama. Kata yang berasal dari bahasa latin itu kemudian dalam bahasa Inggris menjadi compilation yang berarti karangan yang tersusun dari kutipan-kutipan buku lain,15 dan dalam bahasa Belanda menjadi compilatie yang mengandung arti kumpulan dari lain-lain karangan.16 Sedangkan dalam kamus New Standard yang disusun oleh Funk dan Wagnalls, kompilasi (compilation) diartikan sebagai berikut: 1. Suatu proses kegiatan pengumpulan berbagai bahan unnntuk membuat sebuah buku, tabel, statistik, atau yang lain dan mengumpulkannya seteratur mungkin setelah sebelumnya bahan-bahan tersebut diseleksi. 2. Susunan yang dikumpulkan seperti buku yang tersusun dari bahan-bahan yang diambil dari sumber buku-buku. 3. Menghimpun atau proses penghimpunan.17 Dengan demikian, berdasarkan keterangan di atas, kompilasi menurut pemahaman bahasa merupakan suatu proses kegiatan pengumpulan berbagai bahan dan data yang diambil dari berbagai sumber buku untuk disusun kembali ke dalam sebuah buku baru yang lebih teratur dan sistematis. Proses pengambilan ini dilakukan dengan seleksi sesuai dengan kebutuhan. Dan Hukum Islam, secara substantif adalah dimensi integral dari ajaran agama Islam. Sebagai ajaran agama, hukum Islam berasal dari Allah SWT dan bersumber langsung kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Walaupun secara depinitif, penulis merasa kesulitan untuk membedakan term “hukum Islam” (bahasa Indonesia) dengan term fiqh, Syari’ah dan hukmu
12
John Mc. Echol dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1990, hlm. 132. 13 Depdikbud RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990, hlm. 453. 14 C. Kruyskampen F. De Tollenaere, Van Dale’s Xileuw Groart Waardenbook der Nederlandse taal, Gravenhage, Martimus Niijhoff, 1950, hlm. 345. 15 S. Wojowasito dan W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Lengkap Inggris Indonesia—Indonesia Inggris, Hasta, Jakarta, 1982, hlm. 88. 16 S. Wojowasito, Kamus Umum Belanda Indonesia, PT. Ichtiar Baru-Van-Hoeve, Jakarta, 1981, hlm. 123. 17 Funk and Wagnalls, New Standard Dictionary of The English Language, (tp.: ttp., tt.), hlm. 542.
7
ash-syar’iy. Dalam ilmu ushul al-fiqh dan ilm al-fiqh masing-masing term tersebut mempunyai ta’rifnya sendiri. Tampaknya, term “Hukum Islam” menurut penulis (istilah hukum Indonesia) dalam konteks hukum positif Indonesia hanyalah untuk membedakan dari term hukum Barat dan hukum Adat. Pembedaan ini untuk menunjukkan bahwa hukum tersebut adalah hukum yang berasal dari ajaran agama Islam. Namun sangat spesifik A. Wasit Aulawy menjelaskan bahwa “Hukum Islam” adalah hukum yang diyakini memiliki keterkaitan dengan sumber dan ajaran Islam yakni hukum amaly yang berupa interaksi sesama manusia bukan hukum junayat atau Pidana Islam. Jadi, segala ketentuan yang berhubungan dengan ibadah murni atau ibadah mahdhah tidak termasuk dalam pengertian hukum Islam. Ringkasnya, ia adalah Hukum Perdata Islam tertentu yang menjadi hukum positif bagi umat Islam, yang sekaligus merupakan hukum terapan bagi Peradilan Agama.18 Inilah barangkali latar belakang kenapa penulis mengambil judul tulisan diatas berikut keterangan istilah-istilahnya. Menyangkut masalah reformasi hukum sebagai substansi dari judul tulisan ini, dikatakan secara substantif-akademis oleh Tohir Mahmoud, bahwa proses reformasi hukum berawal dari teks-teks al-Qur’an, penafsiran ‘ulama klasik dan risalat-risalat ahli hukum Islam abad pertengahan, selanjutnya terjadi proses kodifikasi (tadwin) dan legislasi (tashri atau tawdi’). Pada tataran metodologis, pembaruan hukum Islam bersandarkan pada doktrin musawat al-madzahib fi al-fiqh (persamaan madzhab hukum Islam), istihsan (juristic equity), mashalih al-mursalah (public interest), istidlal (juristic reasioning), tadwin (codification) dan tawdi (legislation).19 Sementara teknik metodologi pembaruan bertumpu pada proses ijma (consesus of jurist), qiyas (analogical deduction of rules), ijtihad fardhi dan jama’i dan beberapa prinsip seperti takhayur (eclectic choice out of divergent legal principles within the Islamic Law) dan talfiq20 (combination of two or more paralel legal rules to evolve a new one). Lebih ringkas, Tahir Mahmood membagi pembaruan hukum Islam menjadi dua; hukum
18
A. Wasit Aulawi, dalam Amrullah Ahmad, SF, dkk, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Gema Insani Press, Jakarta, 1996, hlm. 53. 19 Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, Times Press, New Delhi, India, 1987, hlm. 13. 20 Walaupun J.N.D. Anderson dan L. Esposito khawatir dengan metode takhayyur dan Talfiq itu bahwa menurutnya, metode yang umumnya dikembangkan oleh pembaru Islam dalam menangani isu-isu hukum masih bertumpu pada pendekatan ang adhoc dan terpilah-pilah dengan mengeksploitasi prinsip takhayyur dan Talfiq. Penerapan kedua metode tersebut tentu saja belum mampu menghasilkan hukum yang komprehensif. (J.N.D. Anderson, Law Reform in the Muslim World, London: University of London the Athlon Press, 1976, hlm. 42; John L. Esposito, Women in Muslim Family Law, Syracuse: Syracuse University Press, 1982, hlm. 94102.
8
Islam yang dikodifikasi (codified Law) dan hukum Islam yang tidak dikodifikasi (uncodified law).21 Dengan demikian, hukum Islam memiliki semangat reformasi—dalam pengertian bahwa Islam telah merubah secara total proses menuju persamaan manusia, peradaban dan ketuhanan dalam naungan hukum-hukum Tuhan. Karena itu, masyarakat yang dibangun atas dasar hukum Allah, semisal membela orang lemah, keterbukaan dalam bermuammalah, tidak korup dalam administrasi adalah contoh nyata sebagaimana dimaktubkan dalam al-Qur’an.22 Dalam hal ini, reformasi pun merambah ke berbagai bidang sosial, keagamaan, ekonomi, politik dan hukum. Dalam bidang hukum, fakta sejarah menunjukkan bahwa proses reformasi sistem perundang-undangan mengikuti tahap-tahap perkembangan umat. Hal itu terbukti, dalam pandangan Jaih Mubarok,23 adanya teknik-teknik penjabaran syari’ah dari sumber sucinya serta cara-cara penyusunan konsep dan prinsip hukumnya mengalami perubahan dan perdebatan yang tidak terlepaskan dengan proses sejarah intelektual, sosial dan politik umat Islam, terutama perdebatan secara istilah.24 Berkenaan dengan dinamika dan perkembangan umat diatas, didukung pula oleh Widjaya (ed.), (1986: 106-107) bahwa “perubahan sosial adalah perubahan dalam struktur sosial dan dalam pola-pola hubungan sosial, yang antara lain mencakup sistem status, hubungan dalam keluarga, sistem politik dan persebaran penduduk.” Proses perubahan seperti diatas, terjadi melalui penemuan (discovery), penciptaan bentuk baru (invention), dan difusi (persebaran unsur-unsur kebudayaan). Proses seperti ini hampir menyeluruh ke segala aspek kehidupan termasuk aspek hukum.
21
Anderson dan Elposito, Ibid, hlm. 102. Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis, (Terj. Rusli Karim) Tiara Wacana, Yogya, 1991, hlm. 51. 23 Lihat Jaih Mubarok, Makalah disampaikan dalam acara diskusi buku yang diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) IAIN SGD Kerjasama dengan Himpunan Mahasiswa Jurusan Perbandingan Madzhab dan Hukum (PMH) Fakultas Syari’ah IAIN SGD Bandung pada tanggal 4 Juli 2000 lebih lengkap, lihat pula Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (2000), Rosda Karya, Bandung. 24 Mempersamakan al-Tasyri’ (yang berakar pada kata syara’a atau syari’ah) dengan al-Fiqh tidak berarti tanpa masalah, sebab dalam konteks tertentu, antara keduanya memang berbeda. Syari’ah dinilai sebagai titah Tuhan (Khitab Allah) yang ajeg, ia tidak berubah karena perubahan zaman, ia adalah titah yang didasarkan pada kehendak Allah yang dinilai Qath’iy al-wurud wa Qath’iy al-Dalalah. Sedangkan al-Fiqh adalah pemahaman ulama terhadap al-Qur’an dan al-Sunnah. Oleh karena itu, ulama menjelaskan bahwa kebenaran syari’ah bersifat absolut (mutlak benar). Sedangkan kebenaran al-Fiqh bersifat relatif, nisbi (mungkin salah dan mungkin juga benar). Perdebatan kedua mengenai istilah al-Tasyri’ dengan hukum Islam (dalam artian Qanun). Istilah al-Qanun sebenarnya istilah teknis yang mulai dikenal secara meluas si dunia Islam setelah wilayahwilayah Islam merdeka dari penjajahan negara-negara Barat. Indonesia dijajah oleh Belanda; Mesir dijajah oleh Perancis; dan India (Pakistan plus Bangladesh) dijajah oleh Inggris. Oleh karena itu, anatara al-Tasyri’ dengan al-Qanun terdapat perbedaan yang cukup mendasar. Di antara perbedaan tersebut adalah bahwa al-Syari’ah mengikat karena ketaatan hamba kepada penciptanya, sedangkan al-Qanun mengikat karena persepakatan. 22
9
Begitu halnya, pelaksanaan hukum Islam di Indonesia, secara ringkas, mengalami pase yang cukup panjang semenjak zaman kolonial Belanda hingga zaman reformasi ini. Sejarah membuktikan bahwa aplikasi hukum Islam dalam tatanan keindonesiaan, baru teraplikasikan dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, dan dalam UU No. 7 tahun 1989 tentang peradilan, itu pun dengan perjuangan yang “melelahkan” khususnya bagi umat Islam.25 Adapun sumber hukum yang dijadikan pedoman bagi para penegak hukum (Hakim), Praktisi, dan sebagainya selain undang-undang tertulis tersebut di atas adalah fatwa-fatwa ulama, baik yang tertulis dalam kitab-kitab fiqh klasik ataupun kitab-kitab fiqh modern. Sumber-sumber tersebut sampai hari ini merupakan bahan pelengkap dalam proses pengalian Hukum Islam. Dengan demikian, hukum mengalami pertumbuhan dan perkembangan tanpa dapat dihindari, karena secara internal hukum menuntut dirinya untuk diinterpretasi walau dengan varian-varian dan tingkat yang berbeda.26
Walaupun disebutkan oleh Baqir S. Manan27
bahwa interpretasi terhadap kaidah-kaidah hukum dapat dilakukan oleh kekuasaan kehakiman, legislatif dan eksekutif. Hal ini untuk menghindari kerancuan interpretasi akibat perbedaan pemikiran dan kemampuan masing-masing penegak hukum. Namun kondisi dimana tidak adanya pedoman hukum yang baku dan komprehensif bagi para praktisi hukum (baik formal maupun non-formal) selain kedua undang-undang diatas, dengan sendirinya akan melahirkan berbagai penafsiran dan pemahaman yang berbeda bahkan kontroversial. Upaya pembaruan (reformasi) dalam bentuk kodifikasi dan unifikasi hukum itu, khususya hukum keperdataan seperti waris, munakahat, dan lain sebagainya muncul ketika lahirnya Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Hukum-hukum tersebut telah mengalami perubahan baik status hukum ataupun dalam prakteknya. KHI yang tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991, dan dilaksanakan dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 154 tahun 1991. Menurut para pakar hukum Islam seperti Rachmat Djatnika, Abdul Gani Abdullah, Bustanul Arifin, dan lain sebagainya, KHI merupakan hukum positif Islam untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang
25
Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Gema Insani Press, Jakarta, 1992, hlm. 35. 26 Terdapat banyak corak penafsiran diantaranya penafsiran gramatikal (tata Bahasa), historis (sejarah), teologis (tujuan hukum), dan sistematis (hirarki perundang-undangan). 27 Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, Mandar Maju Bandung, 1995, hlm. 10.
10
berlaku. Ia memiliki konsistensi dengan peraturan perundang-undangan yang kedudukannya lebih tinggi dan dijadikan sebagai rujukan bagi para penegak hukum.28 Menyikapi lahirnya KHI ini, Guru Besar pada Fakultas Syari’ah IAIn Sunan Gunung Djati Bandung dalam kuliah Pranata Sosial Islam Pascasarjana, Rachmat Djatnika mengatakan bahwa KHI merupakan perwujudan fiqh Indonesia yang memiliki kekuatan sebagai Qanun. Lebih lanjut beliau mengatakan, apabila fiqh itu sudah menjadi qanun, melalui legislasi perundang-undangan, maka muatan yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh itu tidak berlaku lagi selama diatur dalam qanun tersebut. Dengan demikian, semua aparatur yang terlibat langsung dalam penegakan hukum dan keadilan, baik para hakim, pengacara, maupun notaris harus merujuk dan mempedomani KHI. Uraian diatas, memperlihatkan secara jelas telah terjadinya reformasi hukum baik pelaksanaan hukum Islam pra KHI dan sesudah KHI. Selanjutnya, bila dicermati tentang proses reformasi hukum yang termaktub dalam KHI, ia tidak terlepaskan dari karakteristik reformasi itu sendiri. Dalam hal ini, reformasi hukum meliputi sistematika hukum, materi hukum dan metode hukum. Pada tataran sistematika hukum, reformasi hukum, menurut pandangan Fazlur Rahman,29 memiliki tiga lapis pendekatan: 1. Pendekatan historis yang sederhana dan jujur dalam menemukan makna teks alQur’an. Pertama-tama, al-Qur’an harus ditelaah dalam susunan yang kronologis dengan pengujian terhadap wahyu-wahyu paling awal, kemudian; 2. Membedakan antara diktum hukum al-Qur’an, sasaran dan tujuan hukum-hukum itu 3. Sasaran al-Qur’an harus dipahami, diramu, dan memperhatikan setting sosiologis dimana Nabi bergerak dan bekerja. Berbeda pandangan dengan Rahman, An-Naim,30 menjelaskan bahwa pola perubahan bisa dimulai dengan pendekatan deduktif dan induktif dari masalah agama dan moral ke masalah politik dan hukum, melainkan pula perubahan dalam makna dan implikasi al-Qur’an dan al-Sunnah. KHI, bila dipandang dari segi sistematika hukum, ia termasuk kedalam dua kategori perubahan sebagaimana dijelaskan di atas. Hal itu tampak bahwa sistimatika KHI saat ini 28
Cik Hasan Bisri, Dimensi-dimensi Kompilasi Hukum Islam, Ulul Albab Press, Bandung, 1996,
hlm. 13. 29
Fazlur Rahman, Islam (Terj.), Salman ITB, Bandung, 1994, hlm. 67. Abdullah An-Naim, Toward an Islamic Reformation Cil Liberties, Human Rights and International Law (diterjemahkan oleh Ahmad Suaedy dan Amiruddin Arrani), Dekonstruksi Syari’ah, LkiS, Yogyakarta, 1994, hlm. 28. 30
11
bersumber pada al-Qur’an dan al-Hadits, dan fatwa-fatwa ulama dengan pelebaran wawasan materinya. Selanjutnya, Juhaya S. Praja menuturkaaan pada wilayah hukum terbagi kepada dua; wilayah insaniyah dan wilayah uluhiyah. Wilayah insaniyah tertumpu pada aspek-aspek kemanusiaan seperti: sikap, sifat, dan prilaku manusia. Misalnya; Hakim tidak boleh memutuskan perkara ketika sedang marah.
Kata marah, dapat diinterpretasikan dengan
berbagai argumentasi sepanjang aspek-aspek kemanusiaannya ada. Sedangkan wilayah uluhiyah adalah berupa doktrin atau dogma yang termaktub dalam al-Qur’an. Dengan penjelasan tersebut, KHI, bila disorot dengan kajian wilayah, ia termasuk pada wiayah insaniyah karena berupa pemikiran-pemikiran manusia yang terhimpun, kemudian dilegalisasi menjadi peraturan. Bahkan menurut A. Djazuli, KHI ini dibuat oleh dua kekuatan besar masyarakat Indonesia. Masyarakat ulama (Depatemen Agama) dan masyarakat umara (Mahkamah Agung). Dari dua kekuatan inilah akhirnya berhasil memunculkan suatu produk hukum yang termuat dalam KHI sebagai pegangan para hakim di lingkungan Peradilan Agama sekaligus bagi masyarakat yang membutuhkannya.31 Reformasi dalam kajian materi yang ada di KHI dalam penelitian ini adalah bidang kewarisan (Buku II). Pada dasarnya materi kewarisan ini merupakan suatu peralihan bahkan pembaruan bentuk hukum kewarisan Islam yang sangat dikenal dikalangan fuqaha. Bentukbentuk reformasi kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam antara lain: 1. Pasal 171 sub e tentang harta bersama. Di dalam pasal tersebut terungkap bahwa harta bersama itu terpisah dari harta pribadi masing-masing. Bahkan dalam perkawinan poligini—perkawinan serial, wujud harta bersama itu terpisah antara suami dengan masing-masing isteri. Sementara dalam al-Qur’an dan Al-Hadits, masalah ini tidak dijumpai nashnya secara pasti. 2. Pasal 177 tentang bagian ayah. Dalam pasal ini dirumuskan bahwa ayah mendapat 1/3 bagian dari apabila pewaris tidak meninggalkan anak. Tetapi apabila ada anak, maka ayah mendapat 1/6 bagian. Ketentuan pasal ini tidak terdapat dalam al-Qur’an (surat an-Nisa: 11) dan ijma ulama yang menentukan bagian ayah dengan cara ‘ashobah apabila yang meninggal dunia tidak meninggalkan anak. Pasal 183-184 tentang perdamaian dalam pembagian warisan dan pengangkatan wali.
31
A. Djazuli, Beberapa Aspek Pengembangan Hukum Islam di Indonesia, dalam Eddi Rudiana Arief, et. Al. (ED). Hukum Islam di Indonesia Pemikiran dan Praktek, Rosdakarya, Bandung, 1991, hlm. 235-236.
12
3. Pasal 183 membuka peluang adanya pembagian warisan dalam porsi yang sama (1:1) antara anak laki-laki dan anak perempuan yang menyimpang dari pasal 176 yang mengatur ketentuan anak laki-laki dan anak perempuan. 4. Pasal 189 tentang pemeliharaan keutuhan dan kesatuan lahan yang luasnya kurang dari 2 (dua) hektar, supaya dipertahankan kesatuannya sebagaimana semula. Sedangkan bagi ahli waris yang membutuhkan uang atau modal, maka bisa dilakukan dengan cara mengganti harta bagian dari harta waris yang didapatnya. Pola pembagian ini sebenarnya bertentangan dengan asas ijbari. Menurut Amir Syarifudin (1984: 18) mengungkapkan asas ijbari itu mengandung arti bahwa perpindahan hak milik dari seorang muwarits kepada orang lain (ahli waris) berlaku dengan sendiri menurut ketentuan Allah tanpa tergantung pada kehendak muwarits atau ahli waris. Berdasarkan uraian di atas, tampaknya pembaruan materi hukum kewarisan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam di satu sisi memberikan nilai maslahat, namun disisi lain, bisa dikhawatirkan memiliki interpretasi “menyimpang” dari ketentuan sebagaimana yang termaktub dalam al-Qur’an dan al-Hadits serta ijtihad jumhur ulama. Pada tataran metode, reformasi hukum, menurut para pakar hukum Islam tidak terlepaskan kepada metode istislah, ‘urf, qiyas dan istihsan—dua metode yang terakhir termasuk cara penafsiran hukum berdasarkan penalaran logis atas suatu ‘illat hukum, ratio logis. Metode ini, secara faktual epektif, akan tetapi ia juga melahirkan perbedaan sangat besar di kalangan para ahli hukum karena perbedaan pandangan dalam menentukan dan menguji ‘illat hukum yang sesungguhnya. Dalam banyak kasus penalaran tersebut (terutama qiyas) melahirkan varian-varian hukum yang idealistik dan tidak sosiologis.32 Problem metodologis ini berupaya dipecahkan oleh ahli-ahli hukum lainnya, seperti Al-Ghazali, dengan penawaran metode istislahi yang lebih etis dan pragmatis. Kemudian metode ini dikembangkan oleh al-Syatibi. Melalui karya monumentalnya (al-muwafaqat), ia secara genial berupaya merumuskan sebuah pendekatan metodologis yang didasarkan pada tujuan-tujuan syari’ah (maqashid al-Syari’ah). Begitu halnya dengan KHI, metode yang dikedepankan adalah metode istislah atau maslahat. Hal itu terbukti dari materi kewarisan terutama pada point angka 4, disampng juga menggunakan metode qiyas dan istihsan.
32
Ahmad Hasan, The early Development of Islamic Yurisprudence (terj.), Kitab Bhavan: New Delhi, 1994, hlm. 97.
13
Berangkat dari permasalahan di atas, penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang reformasi hukum kewarisan yang ada pada Kompilasi Hukum Islam dalam tinjauan Hukum Islam. B.
Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas, tampak danya berbagai permasalahan
yang menyangkut reformasi hukum kewarisan dalam KHI. Adapun yang dapat dianggap sebagai masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana ketentuan-ketentuan pembaruan hukum kewarisan Islam dalam KHI itu sesuai dengan ajaran al-Qur’an dan al-Hadits atau “menyimpang” dari kedua sumber hukum tersebut. Untuk lebih jelasnya dapat dirumuskan masalahnya sebagai berikut: 1. Apa pola reformasi kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia baik dari segi sistimatika, materi dan metodenya? 2. Bagaimana bentuk-bentuk reformasi kewarisan Islam dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia? 3. Mengapa hubungan fiqih klasik (fiqh mawarits) dengan Hukum Kewarisan dalam (KHI) memiliki “perbedaan”? C.
Tujuan Penelitian Sebagaimana tergambar dalam rumusan permasalahan di atas, penelitian ini
bertujuan: 1. Untuk mengetahui reformasi kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia baik dari segi sistimatika, materi maupun metodenya. 2. Untuk mengetahui bentuk-bentuk reformasi kewarisan Islam dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. 3. Untuk mengetahui hubungan antara fiqih klasik dengan KHI dalam bidang kewarisan yang memiliki perbedaan. D.
Kegunaan Penelitian
1.
Kegunaan Praktis a. Sebagai bagian penulisan, yakni dengan diperolehnya pemahaman tentang konsep kewarisan Islam. b. Bagi kalangan praktisi hukum dan lembaga yudikatif, diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam menerapkan hukum kewarisan Islam yang sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia. 14
c. Bagi kalangan akademis, dapat dijadikan sebagai bahan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang waris sehingga dapat dijadikan sebagai bahan informasi bagi para pembaca yang berkepentingan. 2.
Kegunaan Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan atau pengetahuan baru
dalam bidang hukum, sehingga menambah khazanah pengetahuan Ilmu Hukum Islam khususnya kewarisan. E.
Kerangka Pemikiran Reformasi, sebagaimana dijelaskan di atas adalah perubahan radikal ke arah yang
lebih baik dalam bidang agama, politik dan sosial.33 Begitu halnya, hukum kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, memiliki perubahan yang signifikan. Sedang reformasi (pembaruan) bila dikaitkan dengan pengertian transformasi pemikiran dapat ditemukan titik persamaan antara keduanya, yaitu usaha memunculkan pendapat baru dalam suatu masalah tanpa terlepas dari konteks aslinya. Namun dari sisi lain terdapat perbedaan, yakni timbulnya transformasi pemikiran bertitik tolak dari pembaruan. Dengan kata lain, adanya pembaruan menimbulkan trrransformasi pemikiran, yang selanjutnya menghasilkan transformasi sosial.34 Pembaruan adalah sesuatu yang pernah aktual pada awalnya, tetapi karena perkembangan waktu sesuatu itu menjadi tidak baru lagi, dan untuk mengaktualkannya kembali harus mengacu kepada konteksnya semula, termasuk hukum kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam. Di bawah ini beberapa teks hadits yang berkenaan dengan makna pembaruan, yakni:
Sesungguhnya Allah mengutus untuk umat ini di penghujung setiap seratus tahun, orang yang mengadakan pembaruan (interpretasi) agama untknya. (HR. Abu Dawud dari Abu Hurairah).35
33
AS. Hornby, Oxford Advanced Leaner’s Dictionary of Current English, Oxford University Press, New York, 1974, hlm. 708. 34 H. Umar Syihab, Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran, Bina Utama, Semarang, 1996, hlm. 45. 35 Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’ats bin Ishaq al-Azdi al-Sijistani, Sunan Abu Dawud, Musthafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, Mesir, 1995, juz II, hlm. 424; dan al-Hafidz Abi ‘Abd Allah al-Hakim alNaisaburi, Al-Mustadrak ‘ala al-Shahihaini, Dar al-Fikr, Beirut, 1978, hlm. 522.
15
Mayoritas ulama sepakat mengakui hadits di atas sebagai hadits shahih. Misalnya, alBaihaqi dan al-Hakim dari kalangan ulama salaf, al-Hafidz al-‘Iraqi, Ibn Hajar al-‘Asqalani, dan al-Sayuthi dari kalangan ulama khalaf,36 demikian pula Nashir al-Din al-Albani dari kalangan ulama kontemporer.37 Dari pengakuan ulama tentang status keshahihan hadits tersebut dapat dijadikan dasar hukum adanya pembaruan atau transformasi pemikiran terhadap ajaran-ajaran Islam, termasuk dalam hal ini transformasi pemikiran dari aspek hukumnya.38 Selain hadits diatas, masih ada hadits lain yang bertemakan pembaruan, yakni:
“...Perbaruilah imanmu! Rasulullah ditanya: “Bagaimana cara memperbarui iman kami? “Rasulullah menjawab: “Perbanyaklah ucapan laa ilaaha illallaah”. (HR. Ahmad dari Abu Hurairah). Atas dasar itu, seorang muslim seyogyanya selalu memperbarui imannya, dengan cara senantiasa mengucapkan kalimat laa ilaaha illallaah (tiada Tuhan selain Allah). Meskipun hadits di atas konteksnya berbeda dengan hadits sebelumnya, namun dapat dijadikan argumen bahwa Nabi Muhammad SAW selalu menganjurkan kepada umatnya untuk senantiasa melakukan pembaruan terhadap ajaran agamanya, termasuk hukum-hukumnya.39 Lebih rinci dijelaskan oleh Abdullah an-Naim,40 bahwa teknik-teknik pembaruan hukum termasuk pada bidang ilmu waris sebagai berikut: 1. Takhsis al-Qadddha (hak penguasa untuk memutuskan dan menguatkan keputusan pengadilan), digunakan sebagai prosedur untuk membatasi penerapan syari’ah pada persoalan-persoalan hukum perdata bagi umat Islam. Prosedur yang sama juga digunakan untuk mencegah pengadilan dari penerapan syari’ah dalam keadaan spesifik tanpa mengubah substansi aturan-aturan syari’ah yang relevan.
36
Lihat, Abi Thayyib Muhammad Syam al-Haq al-‘Azhim Abadi, ‘Aun al-Ba’bud Syarh Sunan Abi Dawud, Dar al-Fikr, Beirut, 1977, Juz XI, hlm. 396; dan Muhammad ‘Abd al-Rauf al-Manawi, Faidh al-Qadir bi Syarh al-Jami’ al-Shaghir, Dar al-Fikr, Beirut, 1972, Juz II, hlm. 282. 37 Lihat Rifyal Ka’bah dan Busthami Sa’id, Reaktualisasi Ajaran Islam (Pembaharuan Agama Visi Modernis dan Pembaharuan Agama Visi Salaf), Minaret, Jakarta, 1987, hlm. 50. 38 H. Umar Syihab, op.cit, hlm. 34. 39 Umar Syihab, Ibid, hlm. 35. 40 Abdullah an-Naim, op.cit., hlm. 89-91.
16
2. Takhayyur, menyeleksi berbagai pendapat di dalam madzhab fiqh tertentu dan tidak memilih pendapat dominan di dalam madzhab arus utama, termasuk mengizinkan seleksi pendapat dari madzhab sunni yang lain. Misalnya, Sudan dan Libya. 3. Bentuk penafsiran ulang (reinterpretasi). 4. Siyasah Syar’iyah (kebijakan penguasa untuk menerapkan aturan-aturan administratif yang bermanfaat dan tidak bertentangan dengan syari’ah) juga digunakan untuk memperkenalkan berbagai bentuk pembaruan. 5. Pembaruan dilakukan melalui berbagai keputusan pengadilan sebagaimana yang digunakan dalam tradisi hukum adat. Pada tataran karakteristik pembaruan hukum Islam di dunia Islam, menurut Anderson,41 terbagi menjadi tiga kelompok sistem hukum: (1) Sistem-sistem yang masih mengakui syari’ah sebagai hukum asasi dan kurang lebih masih menerapkannya secara utuh; (2) Sistem-sistem yang meninggalkan syari’ah dan menggantikannya dengan hukum yang sama sekali sekuler; (3) Sistem yang mengkompromikan kedua sistem tersebut. Redaksi yang berbeda dengan para pakar di atas, menurut Rachmat Syafe’i bahwa pembaruan hukum Islam di negara-negara Islam atau bukan terpola pada sistem adaptasi (penyesuaian dengan sistem hukum selain sistem hukum Islam), sistem sekuler (pemisahan antara sistem hukum Islam dengan sistem hukum lainnya dan sistem kombinasi (perpaduan antara keduanya). Begitu halnya, reformasi kewarisan dalam KHI menganut sistem-sistem pembaruan diatas. Terbukti dalam proses pengadaptasian hukum kewarisan mempunyai dasar pembenaran yang kuat sesuai dengan kaidah : al-‘adah al-muhakamah. Disamping itu juga dibenarkan oleh lembaga istislah, karena mengandung rasa keadilan dalam membina keutuhan, kerukunan, dan ketertiban kehidupan keluarga dan masyarakat umumnya. Metodologi yang dipergunakan dalam penyusunan Kompilasi Hukum Islam, disesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai yaitu penyusunan kaidah-kaidah atau garisgaris hukum sejenis kedalam sebuah kitab yang disusun secara sistematis dengan memanfaatkan sarana, bahan dan nara sumber yang tersedia. Untuk mengoptimalkan itu semua, ditempuh berbagai jalan yang disebut jalur dan pendekatan. Jalur pertama adalah jalur pengkajian kitab-kitab fiqih Islam, khususnya ketiga belas kitab fiqih yang ditentukan oleh Biro Peradilan Agama. Pengkajian kitab-kitab ini diserahkan 41
J.N.D. Anderson, Hukum Islam di Dunia Modern, (terj. Machum Husein), PT. Tiara Wacana, Yogya, 1994, hlm. 100-101.
17
kepada Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (IAIN) di seluruh Indonesia untuk diminta merumuskan garis-garis hukum yang terdapat di dalam kitab-kitab itu disertai dalil-dalil hukumnya yang terdapat dalam wahyu (al-Qur’an) dan Sunnah Rasulullah (Hadits). Jalur kedua yaitu jalur ulama disepuluh ibukota propinsi di Indonesia. Para ulama ini diwawancarai dan ditanyai (melalui kuisioner) berbagai hal yang akan dituangkan kedalam kompilasi kelak. Mereka, baik perorangan maupun sebagai pimpinan ormas sosial keagamaan mengemukakan berbagai pendapat hukumnya mengenai berbagai hal yang ditanyakan kepada mereka. Jalur ketiga, adalah jalur yurisprudensi. Yurisprudensi Peradilan Agama sejak zaman Hindia Belanda dahulu sampai saat penyusunan kompilasi itu, yang terhimpun dalam berbagai buku (dokumen), dipelajari, dikaji dan ditarik garis-garis hukumnya. Jalur keempat, adalah jalur studi perbandingan ke negara-negara yang penduduknya beragama Islam dan negara tersebut menerapkan hukum Islam beserta sistem peradilannya.42 Keempat jalur tersebut dapat dilalui dengan baik dan bahan-bahan yang diperoleh dituangkan ke dalam rumusan perundang-undangan.43 Pendekatan perumusan Kompilasi Hukum Islam ini diusahakan benar sesuai dengan patokan yang telah ditentukan semula selaras dengan sumber dan pendapat yang dapat dipertanggung jawabkan yang telah teruji kebenarannya dalam realitas sejarah serta perkembangan hukum dan yurisprudensi hukum Islam dari masa ke masa. Yang dijadikan sumber utama dalam merumuskan Kompilasi Hukum Islam ini adalah nash al-Qur’an dan al-Hadits. Namun, dalam pelaksanaannya, dilakukan langkah-langkah yang luwes, karena al-Qur’an bukanlah kitab hukum. Demikian juga halnya dengan alHadits, ia ‘ummu al-kitab’ yang memuat berbagai ajaran dasar yang menjadi pedoman hidup manusia dimana sala sepanjang masa. Dalam hubungan dengan perumusan garis-garis hukum dari al-Qur’an ini, panitia perumus senantiasa memperhatikan asbabun nuzul suatu ayat dan asbabul wurud suatu hadits. Dengan begitu, prinsip-prinsip umum yang terkandung di dalam kedua sumber hukum Islam itu dapat dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman dan keadaan disuatu tempat. Namun demikian, dalam pengembangan ini panitia terikat pada batasan ke-qath’ian (kejelasan) suatu nash. Apabila nashnya sudah qath’i, seperti perbandingan perolehan anak laki-laki dengan anak perempuan, tersebut dalam surat an-Nisa ayat 11, rumusannya tetap tidak berubah: bagi anak laki-laki adalah dua kali bagian anak 42
Dinyatakan, kajian perbandingan tentang hukum keluarga di Maroko, Mesir dan Turki. Cik Hasan Bisri, Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, Ulil Albab Press, Bandung, 1997, hlm. 24. 43 Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1997, hlm. 116.
18
perempuan. Sedang mengenai hal-hal yang tidak terdapat ketentuannya secara jelas dalam nash al-Qur’an dan al-Hadits tetapi dirasakan sebagai kebutuhan hukum masyarakat muslim sekarang ini, panitia perumus mengembangkan “garis hukum baru’, misalnya, mengenai hak anak untuk mengantikan kedudukan keahliwarisan orang tuanya yang telah meninggal terlebih dahulu ketika pembagian warisan dilakukan.44 Sebagai sumber kedua, para perumus kompilasi ini mengambil bahannya dari penalaran para fuqaha yang terdapat dalam berbagai kitab fiqih yang dikaji oleh para ahli tersebut diatas, melalui jalur pertama. Selain dari itu dipergunakan juga pendapat para ulama fiqih yang masih hdup di tanah air kita45 serta pendapat hakim agama yang tercermin dalam yurisprudensi, melalui jalur kedua dan ketiga. Akhirnya, para perumus Kompilasi Hukum Islam memanfaatkan juga kaidah fikih aladatu muhakamat (adat yang baik dapat dijadikan hukum Islam) pada harta bersama misalnya, yang tidak terdapat pengaturannya di dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Juga tidak dalam kitab-kitab fikih hasil penalaran para fuqaha tersebut diatas, sementara lembaga harta bersama terdapat dalam masyarakat adat orang Islam Indonesia dan hidup dalam kesadaran hukum masyarakat muslim di tanah air kita. Untuk menegakkan asas persamaan kedudukan serta keseimbangan hak dan kewajiban antara suami isteri dalam kehidupan rumah tangga, juga asas keadilan yang berimbang dalam hukum kewarisan Islam, lembaga harta bersama dalam hukum adat itu dijadikan hukum Islam dalam kompilasi, selaras dengan kaidah fiqih tersebut diatas.46 F.
Langkah-langkah Penelitian Dalam penelitian ini, penulis menggunakan langkah-langkah penelitian sebagai
berikut: 1.
Jenis Penelitian Jenis penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian kualitatif atau dinamakan juga
naturalitic inquiry. Menurut Bogdan dan Taylor (1975 : 5), penelitian kualitatif adalah 44
Hazairin, memasukan soal ahli waris pengganti yang dirumuskan dalam pasal 185 dengan kata-kata” (1) Ahli Waris yang meninggal dunia terlebih dahulu daripada sipewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang (a) dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris, atau (b) dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat. (2) Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti”. 45 Dua tokoh hukum Islam Indonesia pada waktu penyusunan kompilasi yang masih hidup, yakni, prof. Hazairin dan Prof. Hasby Ash-Shiddieqy. (Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hlm. 118). 46 Daud Ali, Ibid, hlm. 115-118.
19
prosedur penelitian yang bersifat deskriptif terhadap kata-kata atau tindakan dan data tambahan seperti dokumen dan lain-lain.47 2.
Sumber Data Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data-data yang bersifat literatur atau
kepustakaan. Yaitu buku-buku, laporan penelitian, majalah, jurnal, artikel, atau naskahnaskah lainnya yang berhubungan dengan permasalahan yan diteliti. Secara umum sumber data yang akan digunakan dalam penelitian ini dapat dibagi dalam dua kategori, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer yaitu kitab, buku-buku yang ditulis oleh para ahli hukum Islam. Sumbersumber tersebut adalah: Komplasi Hukum Islam, Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia (Abdul Gani Abdullah); Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur’an dan Hadits (Hazairin), Hukum Waris (Satrio, SH), Hukum Waris (Fathurrachman). Adapun sumber data sekunder antara lain: Hukum Islam di Indonesia, (Ahmad Rafiq); Tentang Hukum Perkawinan di Indonesia (Prins. J); Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan Islam, Hukum-hukum Fiqih Islam (Hasbi Ash-Shiddieqy); Dimensi-dimensi Kompilasi Hukum Islam (Cik Hasan Bisri); Al-Fara’idh (A. Hasan). 3.
Metode dan Teknik Pengumpulan Data Sebagaimana jenis penelitian ini bersifat kualitatif, penulis juga mengunakan metode
penelitian ini dengan metode kualitatif, seperti dikatakan Lexy J. Moleong48 (1996 : 5), “metode kualitatif digunakan dengan beberapa pertimbangan. Pertama, menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan ganda. Kedua, metode ini menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara responden dengan penelitian. Dan ketiga, metode ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama terhadap pola-pola nilai yang dihadapi.” Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan atau digunakan dalam penelitian ini adalah book survey, yaitu: teknik yang digunakan untuk meneliti data dan informasi tertulis dalam buku-buku yang disusun oleh para ahli baik dibidang hukum, sosial dan politik, khususnya masalah-masalah yang terkait dengan penelitian ini. 4.
Teknik Analisa Data Analisis data menurut Patton yang dikutip oleh Lexy J. Moleong,49 adalah proses
mengatur urutan data, mengorganisasikannya kedalam suatu pola, kategori dan satuan uraian 47
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, 1996 (Bandung: Rosdakarya), hlm. 3 Moleong, Ibid, hlm. 5 49 Ibid, hlm. 101 48
20
data, yakni memberikan arti yang signifikan terhadap analisis, menjelaskan pula uraian dan mencari hubungan diantara dimensi-dimensi uraian. Sementara Bogdan dan Taylor yang dikutip oleh Marzuki,50 mendefinisikan analisis data sebagai proses yang meneliti suatu usaha secara formal untuk menemukan tema dan merumuskan hipotesis ide, seperti yang disarankan oleh data dan sebagai usaha secara formal untuk menemukan tema dan hipotesis itu. kedua definisi ini dapat diambil rumusan bahwa analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan mengurutkan data kedalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. Secara oprasional pengorganisasian data itu meliputi: a. Pengorganisasian data yang digali dari bahan kepustakaan tentang bentuk reformasi di negara-negara Islam. b. Pengorganisasian data yang digali dari bahan kepustakaan tentang kewarisan dalam KHI. c. pengorganisasian
data
melalui
proses
identifikasi
dan
kategorisasi
serta
penyusunannya kedalam unit uraian tentang reformasi kewarisan yang terdapat dalam KHI. Tahap selanjutnya adalah mengumpulkan data kualitatif dengan cara mengkalasifikasi data tersebut sehingga tampak jelas reformasi kewarisan dalam KHI. Setelah itu, seluruh data di identifikasi, diklasifikasi kedalam kategori dan unit uraian selanjutnya dilakukan penafsiran data dengan cara memberikan pemaknaan secara deskriptif-analisis.51 Langkah berikutnya menarik kesimpulan dari hasil interpretasi data yang telah terakomodasi ke dalam kategori dan unit penjelasan yang sistematik dengan tujuan hukum Islam.
50 51
Marzuki, Metodologi Riset, BPFE-UI, Jakarta, 1995, hlm. 79 Winarno Surakhmad, Paper, Skripsi, Thesis, dan Disertasi, penerbit Tarsito, Bandung, 1994, hlm. 95.
21
BAB II LANDASAN TEORITIS REFORMASI HUKUM A.
Periodesasi Perkembangan Hukum Islam di Indonesia Membicarakan tentang Kompilasi Hukum Islam pada dasarnya adalah membicarakan
salah satu aspek dari hukum Islam di Indonesia dan bilamana kita membicarakan tentang hukum Islam di Indonesia, kita akan memasuki sebuah perbincangan yang kompleks karena hukum Islam menempati posisi yang sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara pada masa sekarang. Dikatakan persoalannya bersifat sangat kompleks dan juga penting, adalah karena: 1.
Berlakunya hukum Islam di Indonesia untuk sebagian besar adalah tergantung pada umat Islam yang menjadi pendukung utamanya. Padahal secara teoritik orang selalu mengaitkan berlakunya hukum dengan kekuasaan terutama sekali kekuasaan Negara.52 Indonesia bukanlah sebuah Negara Islam tetapi Negara Nasional yang tidak memberi tempat pada umat Islam untuk melaksanakan Hukum Islam bahkan juga pada umat-umat penganut agama lain. Akan tetapi, secara formal Negara juga tidak sepenuhnya menutup mata dari pelaksanaan hukum Islam sehingga disamping punya landasan dogmatik pada ajaran agama, keberadaan hukum Islam juga didukung oleh umatnya dan untuk sebagian mempunyai landasan formal dari kekuasaan Negara Republik Indonesia.
2.
Sekalipun Hukum Islam sudah dilakasanakan di Indonesia dalam kehidupan umatnya sudah lebiih dari ribuan tahun namun hukum Islam di Indonesia masih belum memperlihatkan bentuknya yang utuh sesuai dengan konsep dasarnya menurut al-Qur’an dan al-Sunnah.
3.
Hukum Islam dengan daya lenturnya yang tinggi senantiasa berpacu dengan perkembangan kemajuan zaman. Akan tetapi, usaha untuk selalu mengaktualkan hukum Islam untuk menjawab perkembangan dan kemajuan zaman masih belum dikembangkan
sebagaimana
mestinya,
52
bahkan cenderung
hanyut
dalam
Salah satunya diungkapkan oleh Bustanul Arifin, bahwa untuk mewujudkan terlaksanannya Hukum Islam, sulthan (kekuasaan) adalah factor yang sangat penting, bahkan wajib. Lihat, Amrullah Ahmad, SF, dkk, Biaografi Pemikiran dan perjuangan Busthanul Arifin, dalam “Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional” Gema Insani Press, Jakarta , 1996, hlm. 47.
22
pertentangan yang tak kunjung selesai sehingga untuk beberapa abad kita masih menunjukkan karya nyata mengenai hal ini.53 Kemudian mengenai bagaimana arti penting Hukum Islam bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia dapat kita lihat dalam tiga aspek: 1. Secara factual umat Islam Indonesia bukan hanya sekedar merupakan kelompok mayoritas di Indonesia tetapi juga merupakan kelompok terbesar dari umat Islam di dunia. Hukum Islam sebagai hukum yang dibuat dan berlaku terutama bagi umat tersebut adalah merupakan hukum dengan subjek yang besar. Sehingga betapapun dalam kondisi yang demikian hukum Islam menempati posisi yang sangat strategis bukan saja bagi umat Islam Indonesia tetapi bagi dunia Islam pada umumnya dan sekaligus juga menempati posisi yang strategis dalam system hukum Indonesia. 2. Sekalipun Negara Republik Indonesia bukan merupakan sebuah Negara Islam akan tetapi dengan menetapkan Pancasila sebagai dasar Negara dan satu-satunya asas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara tidak langsung Hukum Islam menempati posisi yang sangat penting. 3. Bangsa Indonesia dan Negara Republik Indonesia dalam rangka kegiatan pembangunannya telah menempatkan pembinaan Hukum Nasional sebagai salah satu bidang garapannya. Dalam proses demikian Hukum Islam mempunyai peluang yang sangat besar untuk dapat masuk sebagai salah satu bahan pokok yang sangat diperlukan untuk membina hukum nasional tersebut.54 Gambaran tentang arti penting dan kompleksitas berlakunya hukum Islam di Indonesia sebagaimana digambarkan di atas adalah sebuah pangkal tolak untuk mengkaji dan memahami lebih jauh berbagai masalah yang berkenaan dengan Kompilasi Hukum Islam yang mulai diberlakukan di Indonesia sejak tahun 1991 dimana keberadaan Kompilasi tersebut tidak terlepas dari kondisi dan situasi yang digambarkan tersebut. Kebutuhan akan adanya Kompilasi Hukum Islam bagi Peradilan Agama sudah lama menjadi catatan dalam sejarah Departemen Agama. Keluarnya Surat Edaran Kepala Biro Peradilan Agama Nomor B/1/735 tanggal 18 Pebruari 1958 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 yang mengatur tentang pembentukkan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyyah di luar pulau Jawa dan Madura menunjukkan salah satu bukti tentang hal tersebut. 53
H. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, Akademika Pressindo, Jakarta, 1992, hlm. 3. Dan bisa dibaca pula dalam, Saekan dan Erniati Effendi, Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Arkola, Surabaya, 1997, hlm. 9. 54 Saekan dan Erniati Effendi, Ibid, hlm. 4
23
Upaya pemenuhan kebutuhan akan adanya Kompilasi Hukum Islam bagi Peradilan Agama merupakan rangkaian pencapaian sebuah cita-cita bangsa Indonesia yang menyatu dalam sejarah pertumbuhn Peradilan Agama itu sendiri. Karena itu, Kompilasi Hukum Islam mempunyai titik awal dan titik akhir yang berimpit dengannya. Di dalam tulisan ini Kompilasi Hukum Islam ditempatkan sebagai pergeseran kea rah kesatuan hukum dalam bentuk tertulis dari beberapa bagian hukum Islam yang menjadi kewenangan Peradilan Agama. Atas dasar itu maka perlu kiranya diungkapkan periodesasi dan sejarah perkembangan hukum Islam hingga terbentuknya Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Hal itu antara lain sebagai berikut: a. Perkembangan Hukum Islam Periode awal sampai tahun 1945 b. Perkembangan Hukum Islam Periode tahun 1945 sampai dengan tahun 1985 c. Perkembangan Hukum Islam Periode tahun 1985 sampai sekarang (yaitu sampai terbentuknya KHI). Pada periode awal sampai tahun 1945, hukum Islam mengalami pergeseran dalam kedudukannya dalam system hukum yang berlaku. Dalam periode tahun 1945 sampai tahun 1985 pergeseran bentuk kepada hukum tertulis mulai dialami secara nyata, sedang pada periode tahun 1985 menuju ke periode taqnin, yaitu Kompilasi Hukum Islam dan embrionya. Di dalam kerangka ini Kompilasi Hukum Islam sebagi yang termuat dalam Inpres Nomor 1 tahun 1991 adalah satu bentuk terakhir dalam rekaman sejarah yang belum berakhir. 1. Perkembangan Hukum Islam Periode awal sampai tahun 1945 System hukum Indonesia adalah bersifat majemuk. Disebut demikian karena sampai sekarang di dalam Negara Republik Indonesia berlaku beberapa system hukum yang mempunyai corak susunan sendiri. Yang dimaksud adalah system hukum adat, system hukum Islam dan system hukum barat. Ketiga system tersebut mulai berlaku di Indonesia pada waktu yang berlainan. Hukum Islam telah ada dan berlaku di kepulauan Indonesia yaitu sejak orang Islam dating dan bermukim di Nusantara ini.55 Kedudukan hukum Islam dalam system hukum di Indonesia yang bersifat majemuk itu dapat ditelusuri dalam uraian berikut:
55
Menurut pendapat yang disimpulkan oleh Seminar “Masuknya Islam ke Indonesia” yang diselenggarakan di Medan 1963, Islam telah masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijriah atau abad ke tujuh/kedelapan Masehi. Pendapat lain menguatkan bahwa Islam baru sampai ke Nusantara ini pada abad ke-13 Masehi. Daerah pertama yang didatanginya adalah Pesisir Utara pulau Sumatera dengan pembentukkan masyarakat Islam pertama di Peureulak Aceh Timur dan Kerajaan Islam Pertama di Samudera Pasai, Aceh
24
Ketika singgah di Samudera Pasei pada tahun 1345 Masehi, Ibnu Batutah, seorang pengembara, mengagumi perkembangan Islam di negeri tersebut. Ia mengagumi kemampuan Sultan Al-Malik Al-AZahir berdiskusi tentang masalah Islam dan Ilmu Fikih. Menurut pengembara Arab-Islam Maroko itu, selain sebagai seorang Raja, Al-Malik Al-Zahir yang menjadi Sultan Pasei pada waktu itu adalah seorang Fuqaha (ahli hukum) yang mahir tentang hukum Islam madzhab Syafi'i.56 Menurut Hamka, dari Pasei-lah disebarkan faham Syafi'i ke kerajaan-kerajaan Islam lainnya di Indonesia. Bahkan setelah kerajaan Islam Malaka berdiri (1400-1500 M) para ahli hukum Islam Malaka datang ke Samudera Pasei untuk meminta kata putus mengenai berbagai masalah hukum yang mereka jumpai dalam masyarakat (Hamka, 1976: 53). Proses Islamisasi kepulauan Indonesia yang dilakukan oleh para saudagar melalui perdagangan dan perkawinan, peranan hukum Islam adalah besar.57 Ini dapat dilihat dalam kenyataan bahwa kalau seorang saudagar muslim hendak menikah dengan seorang wanita pribumi, wanita itu harus diislamkan lebih dahulu dan pernikahannya kemudian dilangsungkan menurut ketentuan hukum Islam. Kalau salah seorang anggota keluarga itu meninggal dunia, harta peninggalannya dibagi menurut hukum kewarisan Islam. Setelah agama Islam berakar dalam masyarakat, peranan saudagar dalam penyebaran Islam digantikan oleh para ulama yang bertindak sebagai guru dan pengawal hukum Islam.58 Dari uraian tersebut di atas dapatlah ditarik suatu keimpulan bahwa sebelum Belanda mengukuhkan kekuasaannya di Indonesia, hukum Islam sebagai hukum yang berdiri sendiri telah ada dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang disamping kebiasaan atau adat penduduk yang mendiami kepulauan nusantara ini.59 Hal tersebut dapat dibuktikan bahwa
Utara. Lihat, Muhammad Daud Ali, Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia), Rajawali Pers, Jakarta, 1993, hlm. 209. Menurut Moh. Koesnoe, Perbandingan antara Hukum Islam, Hukum Erofa dan Hukum Adat, Prasaran Seminar PTIS, Kaliurang, 1982, hlm. 2. Menyatakan bahwa Hukum Islam masuk ke Indonesia bersamaan dengan masuknya Islam disini. Kerajaan-kerajaan Islam yang kemudian berdiri, melaksanakan hukum Islam dalam wilayah kekuasaannya masing-masing. Kerajaan-kerajaan Islam itu antara lain Samudera Pasai di Aceh Utara pada akhir abad ke-13 yang merupakan kerajaan Islam yang pertama, kemudian diikuti Demak, Jepara, Tuban, Gresik dan beberapa Kerajaan lainnya. (Koesnoe, Perbandingan antara Hukum Islam, Hukum Erofa dan Hukum Adat, prasaran Seminar PTIS, Kaliurang, 1982). 56 Saefuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, Al-Ma’arif, Bandung, 1979. Hlm. 204-205. 57 M. Al-Naquib Al-Attas, Islam and Secularisme, Abim, Kuala Lumpur, 1978, hlm. 247. 58 Daud Ali, op-cit, hlm. 211 59 Kalau mempelajari sejarah hukum (legal History) Hindia Belanda mengenai kedudukan Hukum Islam, kita dapan membaginya dalam 2 periode: Pertama, Periode penerimaan Hukum Islam sepenuhnya, dan Kedua, Periode penerimaan hukum Islam oleh Hukum Adat. Periode penerimaan Hukum Islam dengan sepenuhnya itu disebut dengan istilah teori reception in complex. Sedangkan periode penerimaan hukum Islam oleh hukum Adat diistilahkan dengan teori receptive yang dipelopori oleh Snouck Hurgronje. Teori receptie ini diberi dasar hukumnya dalam Undang-undang Dasar
25
Islam berakar dalam kesadaran penduduk kepulauan Nusantara dan mempunyai pengaruh yang bersifat normatif dalam kebudayaan Indonesia. Pengaruh itu merupakan penetration, pasifique, tolerante et constructive : penetrasi secara damai, toleran dan membangun.60 Belanda—sejak masa berdirinya VOC—tetap mengakui kedudukan hukum Islam. Dalam bidang kekeluargaan, bahkan telah dikumpulkan dalam sebuah peraturan yang dikenal dengan Compendium Freijer. Selain itu telah dibuat pula kumpulan hukum perkawinan dan kewarisan Islam untuk daerah Cirebon, Semarang dan Makasar,61 dengan bentuk peraturan resolutie der Indische Regeering pada tanggal 25 Mei 1760.62 Pada zaman penjajahan Belanda—menurut Ismail Suni 1996 : 131, yaitu sejak zaman VOC—mula-mula Hukum Islam, dengan bertumpu pada pemikiran Sholten van Oud Haarlem, diakui Pemerintah Hindia Belanda secara tertulis dengan istilah "godsdiestige wetten", sebagai mana terlihat pada pasal 75 (lama) Regeering menginstruksikan
ke
Pengadilan
Reglemen
tahun
1855,
untuk mempergunakan "Undang-undang Agama,
Lembaga-lembaga dan kebiasaan" mereka, kalau golongan bumiputra yang bersengketa, sejauh "Undang-undang agama, Lembaga-lembaga dan kebiasaan itu tidak bertentangan dengan asas-asas kepatutan dan keadilan yang diakui umum”.63 adalah asas-asas kepatutan dan keadilan hakim-hakim Belanda yang menguasai .pengadilan pada masa itu. Kemudian ditegaskan dalam pasal 78 ayat (2) Regeering Reglemen 1855 yang menyatakan bahwa dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang bumiputera atau dengan mereka yang disamakan dengan mereka, maka mereka itu tunduk pada putusan hakim agama atau kepala masyarakat mereka yang menyelesaikan perkara itu menurut undang-undang agama atau ketentuan-ketentuan mereka.64
Hindia Belanda yang mengganti R.R., yang disebut Wet op de Staatsinrichting van Nederlands indie, disingkat Indische Staatsregeling (IS) dalam IS yang diundangkan dalam Stbl. 1929: 212, Hukum Islam dicabut dari lingkungan tata hukum Hindia Belanda. Pasal 134 ayat (2) IS tahun 1929 itu berbunyi: “Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesame orang Islam akan diselesaikan oleh Hakim Agama Islam apabila hukum Adat mereka menghendakinya dan sejauh itu tidak ditentukan lain dengan sesuatu ordonansi.” (Ismail Sunny, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, dalam Amrullah SF, op-cit, hlm. 131-132. 60 Daud Ali, op-cit, hlm. 212 61 R. Supomo dan R. Djokosutono, Sejarah Politik Hukum Adat (dari Zaman Kompeni sehingga tahun 1848), Jilid I, Pradnya Paramita, Jakarta, 1982, hlm. 30 62 Ismail Sunny, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, dalam Amrullah Ahmad SF, dkk, op-cit, hlm. 131. 63 Pada zaman penjajahan Belanda, dapat dijumpai beberapa macam Instruksi Gubernur Jenderal yang ditujukan kepada para Bupati, khususnya di pantai Utara Jawa agar memberi kesempatan kepada para ulama untuk menyelesaikan perkara perdata dikalangan penduduk menurut ajaran Islam.bahkan konon Keputusan Raja Belanda (Koninkelij Besluit) No. 19 Tanggal 24 Januari 1882 tentang Pembentukan Pengadilan Agama, berarti bahwa hukum yang berlaku bagi pribumi adalah hukum agama yang dipeluknya. (A. Wasit Aulawy, Sejarah Perkembangan Hukum Islam, dalam Amrullah Ahmad, SF, op-cit, hlm. 55). 64 Sajuti Thalib, Receptio a Contrario, Academica, Jakarta, 1980, hlm. 25.
26
Peradilan Agama yang diperuntukkan bagi mereka secara nyata sudah ada dan tersebar di berbagai daerah di Indonesia, dengan beraneka ragam sebutan namanya, seperti Rapat Ulama, Raad Agama, Mahkamah Islam, Mahkamah Syara', Priesterraad, Perigadilan Paderi, Godsdientigerechtspraak, Godsdienst Beamte, Mohammedancsche Godsdienst Beamte, Kerapatan Qadli, Hof Voor Islamietische Zaken, Kerapat Qadli Besar, Mahkamah Islam Tinggi dan sebagainya. Namun hal yang patut disayangkan, pada pertengahan tahun 1937 pemerintah Hindia Belanda mengumumkan gagasan memindahkan wewenang mengatur waris dari Pengadilan Agama kepada Pengadilan Negeri. Apa yang menjadi kompetensi Pengadilan Agama sejak tahun 1882 heridak dialihkan kepada Pengadilan Negeri. Dan dengan Stbl. 1937: 116 wewenang Pengadilan Agama itu dicabut, dengan alasan hukum waris Islam belum sepenuhnya diterima oleh hukum Adat.65
Reaksi pihak Islam terhadap campur tangan
Belanda dalam masalah-masalah Hukum Islam ini banyak ditulis dalam buku dan surat kabar pada waktu itu.66 Jelas bahwa politik hukum yang menjauhkan umat Islam dari ketentuanketentuan agamanya adalah taktik Belanda untuk meneguhkan kekuasaannya di Indonesia. Meskipun pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1937 ini telah mengeluarkan bidang kewarisan dari kewenangan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura kepada Pengadilan Negeri, namun de facto Hukum Islam masih tetap menjadi pilihan untuk menyelesaikan masalah kewarisan di antara mereka. Pada zaman Jepang tidak banyak mengalami perubahan yang berarti, akan tetapi, ada beberapa hal yang perlu dicatat yaitu aspek politik hukum Islam pada masa ini "dimanfaatkan" oleh pemerintah untuk mengambil hati penduduk muslimin Indonesia. Pada zaman pemerintahan Jepang ini, dibentuk semacam bagian urusan agama (shuumuhu) sebagai pengganti urusan agama di Departemen Pengajaran dan Urusan Agama (Depertement van Onderwijs en Eeredienst). Bagian urusan agama ini mempunyai cabang-cabang di Koci Zimu Kyoku (daerah Istimewa Yogyakarta) dan mungkin dibeberapa daerah lain yang banyak pemeluk Islamnya. Di dalam kemiliteran, terbentuk barisan Hizbullah (tentara Allah) yang terdiri dari para pemuda Islam. Dalam tentara Pembela Tanah Air (Peta), para ulama dan pimpinan Islam dilibatkan sebagai daidancho (komandan batalyon) dan chuudancho (perwira menengah). Jelas disini ada keterlibatan aspek politik Islam.67 Dengan demikian, ketika peluang dan kesempatan untuk memberlakukan hukum Islam kembali terbuka yaitu ketika 65
Ismail Suny, Hukum Islam dalam Hukum Nasional, Universitas Muhammadiyah, Jakarta, 1987, hlm. 5-6. Dimuat juga dalam Hukum dan Pembangunan, No. 4 Tahun ke-XVII, Agustus 1987, hlm. 351-357. 66 H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, LP3s, Jakarta, 1985, hlm. 30-31. 67 A. Timur Djaelani, Politik Hukum Islam, dalam Amrullah Ahmad SF, op-cit, hlm. 142
27
terbentuknya Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan, para pemimpin Islam tidak mensia-siakan dan terus memperjuangkannya tanpa menghubungkannya kembali dengan hukum Adat.68 Maka pada tahun 1957 yakni setelah Indonesia merdeka terbentuk kembali secara baru Badan Peradilan Agama dengan sebutan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar'iyah dan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar'iyah Propinsi.69 Sebutan ini nantinya dipergunakan dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989.70 2.
Perkembangan Hukum Islam Periode Tahun 1945 sampai dengan tahun 1985 Pemerintah Republik Indonesia menemukan kenyataan bahwa hukum Islam yang
berlaku itu tidak tertulis dan terserak diberbagai kitab yang sering berbeda tentang hal yang sama antara satu dengan lainnya. Hal tersebut bersesuaian dengan pendapat beberapa orang Hakim Agung yang mengemukakan beberapa seginya lebih rinci lagi. Bustanul arifin, misalnya mempersoalkan tentang adanya masalah Hukum Islam yang diterapkan oleh Pengadilan Agama. Dikatakannya bahwa Hukum Islam (Fiqh) tersebar dalam sejumlah besar kitab susunan para fuqaha beberapa abad yang lalu. Biasanya dikatakan bahwa dalam setiap masalah selalu ditemukan lebih dari satu pendapat (Qaul). Wajar jika orang bertanya “Hukum Islam yang mana?” bagi pribadi-pribadi atau kelompok-kelompok tertentu mungkin telah jelas mengingat masing-masing telah menganut faham tertentu. Hal ini menurut pendapatnya adalah suatu kenyataan yang tidak bermaksud mengingkari bahwa perbedaan pendapat diantara para fuqaha adalah rahmat, akan tetapi yang ditekankan disini adalah bahwa untuk 68
Mula-mula Badan Penyelidik yang beranggotakan 62 orang itu memperjuangkan dibentuknya Negara Islam. Namun, dari jumlah itu hanya 15 anggota yang mewakili kelompok nasionalis Islami yang menyetujui dasar Negara Islam, sedangkan suara terbanyak (45 suara) memilih dasar negara kebangsaan. Akan tetapi, berkat "panitia 9" dari Badan Penyelidik berhasil mencapai kompromi, yang terkenal dengan Piagam Jakarta, yang isinya antara lain, "Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemelukpemeluknya." Lihat H. Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, Pustaka-Perpustakaan Salaman ITB, Bandung, 1981, hlm. 14, 25-26. 69 Sampai dengan awal tahun 1980, nama Badan Peradilan Agama itu terdiri dari tiga kelompok, yaitu: 1) Kelompok Peradilan di pulai Jawa Madura (Stbl, 1882 No. 152 jo 1937 No. 116 dan 610) disebut Pengadilan Agama (terjemahan dari Priesterraat) dan Mahkamah Islam Tinggi (terjemahan dari Hof voor Islamietische Zaken). 2) Kelompok Peradilan Agama di sebagian daerah Kalimantan selatan dan Timur (Stbl. 1937 No. 638 dan 639) disebut dengan Kerapatan Qadli (terjemahan dari Kadigerecht) dan Kerapatan Qadli Besar (terjemahan dari Opper Kadigerecht). 3) Kelompok Peradilan Agama selain dari satu dan dua di atas (PP No. 45 Tahun 1957) disebut Pengadilan Agama/Mahkamah Syar'iyah dan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar'iyah Propinsi. Sebutan yang aneka ragam itu dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 6 Tahun 1980 tanggal 28 Januari 1980 diseragamkan menjadi Pengadilan Agama (untuk tingkat pertama) dan Pengadilan Tinggi Agama (untuk tingkat banding), tetapi tidak menseragamkan kompetensinya, sebab Keputusan Menteri tidak cukup kuat untuk mengubah kompetensinya Peradilan Agama yang dulunya diatur dengan Ordonantie atau Peraturan Pemerintah. 70 A. Rasyid Roihan, Hukum Acara Peradilan Agama, Rajawali Pers,Jakarta,1995,hlm. 17
28
diberlakukan di Pengadilan, suatu peraturan harus jelas dan sama bagi semua orang, yakni harus ada kepastian hukum.71 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 1945 dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan mendesak akan adanya kesatuan dan kepastian hukum dalam pencatatan nikah, talak dan rujuk umat Islam yang masih diatur oleh beberapa peraturan yang bersifat propensialistis dan tidak sesuai dengan negara Republik Indonesia sebagai negara kesatuan. Peraturan-peraturan tersebut adalah Huwellijksordonnantie S. 1929 No. 348 jo S. 1933 No. 98 dan Huwellijksordonnantie Buitengewesten S. 1932 No. 482. Pada saat itu juga telah terjadi pergeseran beberapa bagian Hukum Islam ke arah tertulis dan termuat dalam beberapa bagian penjelasan Undang-undang Nomor 22 tahun 1946. Dijelaskan pula bahwa pada saat itu Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk (umat islam) sedang dikerjakan oleh Penyelidik Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk yang dipimpin oleh Mr. Teuku Mohammad Hasan. Hal demikian sejalan dengan dikeluarkannya Edaran Biro Peradilan Agama No. B/1/735 tanggal 18 Februari 1958 sebagai pelaksanaan PP.45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di luar Jawa dan Madura. Di dalam huruf b surat edaran tersebut dijelaskan sebagai berikut : Untuk mendapatkan kesatuan hukum dalam memeriksa dan memutuskan perkara maka para Hakim Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah dianjurkan agar mempergunakan 13 kitab-kitab tersebut di bawah ini sebagai pegangan dan pedoman Hakim, kitab-kitab tersebut adalah : 1) Albajuri 2) Fathulmu’in 3) Syarqowi ‘alat Tahrier 4) Qolyubi/Mahalli 5) Fathul Wahhab dengan syarahnya 6) Tuhfah 7) Targhibulmusytaq 8) Qowwanin Syar’iyah Lis Sayyid bin Yahya 9) Qowwanin Syar’iyah Lis Sayyid Sadaqah Dachlan 10) Syamsuri fil Fara’idl 11) Bughyatul Musytarsyidin 71
Bustanul Arifin, Pemahaman Hukum Islam dalam Konteks Perundang-undangan, Wahyu, No. 108 Th. VII Mei 1985, hlm. 27
29
12) Alfiqu’ Alaa Madzahibil Abra’ah 13) Mughnil Muhtaj.72 Dari daftar kitab-kitab di atas kita sudah dapat melihat pola pemikiran hukum yang mempengaruhi penegakan hukum di Indonesia. Umumnya kitab-kitab tersebut adalah kitabkitab kuno dalam madzhab Syafi’i, kecuali mungkin nomor 12 termasuk bersifat komparatif atau perbandinganmadzhab. Begitu juga hampir semua kitab ditulis dalam bahasa Arab kecuali nomor 8 yang ditulis dalam bahasa Melayu Arab. Materi tersebut kelihatannya memang masih belum memadai, sehingga sering kali dikeluarkan instruksi maupun surat edaran untuk menyeragamkan penyelesaian perkara kasus demi kasus. Dan ternyata dengan langkah ini pun kepastian hukum masih merupakan kebutuhan yang belum terpenuhi. Dalam Hukum Perdata Perundang-undangan dan Peraturan Peradilan Agama yang dihimpun oleh Abdul Ghani Abdullah, misalnya kita dapat melihat betapa banyaknya peraturan dan petunjuk yang dikeluarkan mengenai hal ini.73 Hal yang tak kalah penting menurut Bustanul Arifin ialah, bahwa dasar keputusan Peradilan Agama adalah kitab-kitab fiqh. Ini membuka peluang bagi terjadinya pembangkangan atau setidaknya keluhan, ketika pihak yang kalah perkara mempertanyakan pemakaian kitab atau pendapat yang memang tidak menguntungkannya itu, seraya menunjukan kitab atau pendapat yang menawarkan penyelesaian yang berbeda. Bahkan diantara ketigabelas pegangan itu sudah jarang menjadi rujukan dan sering pula terjadi para hakim berselisih sesame mereka tentang pemilihan kitab rujukan. Peluang demikian tidak akan terjadi di Peradilan Umum, sebab setiap keputusan pengadilan selalu dinyatakan sebagai “pendapat pengadilan” meskipun mungkin hakim setuju dengan pendapat pengarang sebuah buku yang mungkin pula memang mempengaruhi putusan yang dijatuhkan.74 Namun demikian dengan penunjukan 13 buah kitab yang dianjurkan tersebut di atas, maka langkah ke arah kepastian hukum semakin nyata. Lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik merupakan pergeseran bagian-bagian dari Hukum Islam ke arah tertulis. Namun demikian bagian-bagian lain tentang perkawinan, kewarisan, wakaf dan lain-lain yang menjadi kewenangan Peradilan Agama masih berbeda di luar hukum tertulis.
72
Abdurrahman, op.cit, hlm. 22 Abdul Gani Abdullah, Himpunan Perundang-undangan dan Peraturan Peradilan Agama, Intermasa, Jakarta, 1991, hlm. ix-xiv. 74 Bustanul Arifin, Pemahaman Hukum Islam dalam Konteks Perundang-undangan, op.cit,hlm. 27. 73
30
Dalam rangka mencapai keseragaman tindakan antara Mahkamah Agung dan Departemen Agama dalam pembinaan Badan Peradilan sebagai salah satu langkah menuju terlaksananya Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman serta untuk menghindari perbedaan penafsiran dalam melaksanakan Undang-undang No. 1 tahun 1974, pada tanggal 16 september 1976 telah dibentuk Panitia Kerjasama dengan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung No. 04/KMA/1976 yang disebut PANKER MAHAGAM (Panitia Kerjasama Mahkamah Agung dan Departemen Agama).75 Setelah adanya kerjasama dengan Mahkamah Agung, maka kegiatan Departemen Agama dalam mewujudkan kesatuan hukum dan dibentuk hukum tertulis bagi Hukum Islam yang sudah berlaku dalam masyarakat yang sebagian masih sebagai hukum tidak tertulis, menampilakan diri dalam rangkaian seminar, simposium dan loka karya serta penyusunan Kompilasi Hukum Islam dalam bidang-bidang hukum tertentu, antara lain : 1) Penyusunan Buku Himpunan dan Putusan Peradilan Agama tahun 1976; 2) Lokakarya tentang Pengacara pada Pengadilan Agama tahun 1977; 3) Seminar tentang Hukum Waris Islam tahun 1978; 4) Seminar tentang Pelaksanaan UU Perkawinan tahun 1979; 5) Simposium beberapa Bidang Hukum Islam tahun 1982; 6) Simoposium Sejarah Peradilan Agama tahun 1982; 7) Penyusunan Himpunan Nash dan Hujjah Syar’iyah tahun 1983; 8) Penyusunan Kompilasi Peraturan Perundang-Undangan Peradilan Agama tahun 1981; 9) Penyusunan Kompilasi Hukum Acara Peradilan Agama I tahun 1984; 10) Penyusunan Kompilasi Hukum Acara Peradilan Agama II tahun 1985; 11) Penyusunan Kompilasi Hukum Acara Peradilan Agama III tahun 1986; 12) Penyusunan Kompilasi Hukum NTCR I dan II tahun 1985.76 Dalam kegiatan-kegiatan tersebut telah diikutsertakan ahli hukum dari beberapa kalangan hukum terkait seperti Hakim, Pengacara, Notaris, Kalangan Perguruan Tinggi, Departemen Kehakiman, IAIN dan juga Tokoh-Tokoh Masyarakat, Ulama dan Cendekiawan Muslim serta peorangan lainnya.
75
Pengadilan Tinggi Agama Jatim, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, 1995, hlm. 131 MarzukiWahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara, Lkis, Yogyakarta, 2001, hlm. 147-148. lebih jelas dapat ilihat, Ditbinbapera Depag RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Ditbinbapera: Jakarta, 1991/1992, hlm. 134-135. 76
31
Sementara itu pertemuan antara Ketua Mahkamah Agung RI dengan Menteri Agama RI tanggal 15 Mei 1979 menghasilkan disepakatinya penunjukkan enam orang Hakim Agung dari Hakim Agung yang ada untuk bertugas menyidangkan dan menyelesaikan permohonan kasasi khusus dari lingkungan Peradilan Agama.77 3.
Perkembangan Hukum Islam Periode tahun 1985 sampai sekarang Periode ini dimulai sejak ditandatangani Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah
Agung dan Menteri Agama RI tentang Penunjukkan pelaksana Proyek Pembangunan Hukum Islam melalui Yurisprudensi atau yang lebih dikenal sebagai Proyek Kompilasi Hukum Islam No. 07/KMA/1985 dan No. 25 Tahun 1985 tanggal 21 Maret 1985 di Yogyakarta, dikemukakan ada dua pertimbangan mengapa proyek ini diadakan, yaitu: a. Bahwa sesuai dengan fungsi Mahkamah Agung Republik Indonesia terhadap jalannya peradilan di semua lingkungan peradilan di Indonesia khususnya dilingkungan Peradilan Agama, perlu mengadakan Kompilasi Hukum Islam yang selama ini menjadikan hukum positif di Pengadilan Agama. b. Bahwa guna mencapai maksud tersebut, demi meningkatkan kelancaran pelaksanaan tugas, sinkronisasi dan tertib administrasi dalam proyek pembangunan hukum Islam melalui yurisprudensi, dipandang perlu membentuk suatu tim proyek yang susunannya terdiri dari para pejabat Mahkamah Agung dan Departemen Agama Republik Indonesia. Bilamana kita perhatikan konsideran tersebut masih belum memberikan jawaban yang tegas mengenai mengapa kita harus membentuk Kompilasi dimaksud. Bilamana kita teliti lebih lanjut ternyata Pembentukan Kompilasi Hukum Islam ini mempunyai kaitan yang erat sekali dengan kondisi Hukum Islam selama ini. Hal ini, penting untuk ditegaskan mengingat seperti apa yang dikatakan oleh Muchtar Zarkasyi sampai saat ini belum ada suatu pengertian yang disepakati tentang Hukum Islam di Indonesia. Ada berbagai anggapan tentang Hukum Islam, yang masing-masing melihat dari sudut yang berbeda.78 B. Latar Belakang Kemunculan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Ide Kompilasi Hukum Islam muncul setelah beberapa tahun Mahkamah Agung membina bidang justisial Peradilan Agama. Tugas pembinaan ini didasarkan pada UndangUndang No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman pasal 77
Pengadilan Tinggi Agama Jatim, op.cit, hlm. 131 H. Muchtar Zarkasyi, Hukum Islam dan Putusan-Putusan Pengadilan Agama, Makalah pada Seminar Hukum Islam di Indonesia, IAIN Imam Bonjol, Padang, 26-28 Desember 1985, hlm.3 78
32
11 ayat (1) yang menyatakan bahwa Organisasi, Administrasi dan Keuangan Pengadilan dilakukan oleh Departemen masing-masing, sedangkan pembinaan teknis yustisial dilakukan oleh Mahkamah Agung. Meskipun Undang-Undang tersebut ditetapkan tahun 1970, namun pelaksanannya dilingkungan Peradilan Agama baru pada tahun 1983 setelah penandatangan SKB Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama RI No. 01, 02, 03 dan 04/SK/1-1983 dan No. 1, 2, 3 dan 4 Tahun 1983. Keempat SKB ini merupakan jalan pintas sambil menunggu keluarnya Undang-Undang tentang Susunan, Kekuasaan dan Acara pada Peradilan Agama yang merupakan peraturan pelaksanaan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 bagi lingkungan Peradilan Agama yang pada saat itu sedang dalam proses penyusunan secara intensif.79 Selama pembinaan teknis yustisial Peradilan Agama oleh Mahkamah Agung, terasa adanya beberapa kelemahan, antara lain soal hukum Islam yang diterapkan di lingkungan Peradilan Agama, yang cenderung simpang siur disebabkan oleh perbedaan pendapat Ulama dalam hampir setiap persoalan. Untuk mengatasi hal ini diperlukan adanya satu buku hukum yang menghimpun semua hukum terapan yang berlaku bagi lingkungan peradilan agama yang dapat dijadikan pedoman oleh para hakim dalam melaksanakan tugasnya, sehingga terjamin adanya kesatuan dan kepastian hukum. Sebagaimana dikemukakan oleh Bustanul Arifin, selaku pencetus gagasan ini, bahwa: a. Untuk dapat berlakunya Hukum Islam di Indonesia, harus ada antara lain hukum yang jelas dan dapat dilaksanakan baik oleh aparat penegak hukum maupun oleh masyarakat. b. Persepsi yang tidak seragam tentang syar’iyah akan dan sudah menyebabkan hal-hal: Pertama, ketidakseragaman dalam menentukan apa-apa yang disebut Hukum Islam itu (Maa anzallahu); Kedua, tidak mendapat kejelasan bagaimana menjalankan syari’at itu (I’anfidziyah); Ketiga, akibat kepanjangannya adalah tidak mampu menggunakan jalan-jalan dan alat-alat yang telah tersedia dalam Undang-Undang Dasar 1945, dan perundang-undangan lainnya. c. Di dalam sejarah Islam pernah dua kali di tiga negara, Hukum Islam diperlukan sebagai Perundang-undangan negara.80
79
Bustanul Arifin, op.cit, hlm. 26 (1) Di India masa Raja An Rijeb yang membuat dan memberlakukan Perundang-undangan Islam yang terkenal dengan fatwa Alamfiri. (2) Di kerajaan Turki Utsmani yang terkenal dengan nama Majalah Al Ahkam Al Adliyah. (3) Hukum Islam pada tahun 1983 dikodifikasikan di Sudan. Lihat PTA Jatim, op.cit, hlm. 135. 80
33
Apa yang telah dilakukan oleh Departemen Agama pada tahun 1958 dengan membatasi hanya 13 buah kitab kuning dari kitab kuning yang selama ini dipergunakan di Peradilan Agama, adalah merupakan upaya kearah kesatuan dan kepastian hukum yang sejalan dengan apa yang dilakukan negara-negara tersebut, dan dari itulah kemusian muncul gagasan untuk membuat Kompilasi Hukum Islam sebagai hukum bagi Pengadilan Agama. d. Landasan Yuridis Landasan Yuridis tentang perlunya hakim memperhatikan kesadaran hukum masyarakat ialah Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 Pasal 20 ayat (1) yang berbunyi: “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat”. Dan di dalam fiqh ada kaidah yang mengatakan bahwa: “Hukum Islam dapat berubah karena perubahan waktu, tempat dan keadaan”. Keadaan masyarakat itu sendiri selalu berkembang karena menggunakan metode-metode yang sangat memperhatikan rasa keadilan masyrakat. Diantara metode-metode itu ialah maslahat mursalah, istihsan, istishab dan ‘urf. e. Landasan Fungsional Kompilasi Hukum Islam adalah Fiqh Indonesia karena ia disusun dengan memperhatikan kondisi kebutuhan hukum umat Islam Indonesia. Fiqh Indonesia sebagaimana pernah dicetuskan oleh Hazairin, dan T.M Hasby Ash Shiddiqy sebelumnya mempunyai type Fiqh lokal semacam Fiqh Hijazi, Fiqh Mishry, Fiqh Hindy, Fiqh lain-lain yang memperhatikan kebutuhan dan kesadaran hukum masyarakat setempat, yang bukan berupa madzhab baru tetapi ia mempersatukan berbagai fiqh dalam menjawab suatu persoalan fiqh. Ia mengarah kepada unifikasi mazhab dalam hukum Islam. Di dalam sistem hukum Indonesia ini merupakan bentuk terdekat dengan kodifikasi hukum yang menjadi arah pembangunan hukum Nasional Indonesia.81
81
PTA Jatim, Ibid, hlm. 137. Lihat pula, Saekan dan Erniati Effendi, Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Arkola, Surabaya, 1997, hlm. 20-22.
34
Proses Pembentukan 1. Pelaksana Proyek Gagasan Komplasi Hukum Islam berasal dari MA RI yang kemudian didukung penuh oleh Depag
RI. Sebagai realisasi dari gagasan tersebut, MA RI bersama Depag RI
memprakarsai adanya proyek pembangunan Hukum Islam melalui yurisprudensi, suatu proyek yang akan bertanggung jawab atas pembentukan Kompilasi Hukum Islam. Dengan demikian, pembentuka-pembentukan Kompilasi Hukum Islam dilaksanakan oleh sebuah tim pelaksana proyek yang ditunjuk dengan SKB ketua MA dan Menag RI,82 No. 07/KMA/1985 dan No. 25 Tahun 1985, pada tanggal 25 Maret 1985. Pembentukan tim ini seperti tersebut dalam konsideran SKB, didasarkan pada fungsi pengaturan MA RI terhadap jalannya peradilan di semua lingkungan peradilan di Indonesia, khususnya terhadap lingkungan Peradilan Agama. Penjabaran dari fungsi itu salah satunya adalah mengadakan Kompilasi Hukum Islam yang selama ini menjadi hukum materiil di Pengadilan Agama.83 Selain itu juga didasarkan pada UU No. 13 Tahun 1965 dan UU No. 14 Tahun 1970.84 Atas dasar itu, SKB menunjuk dan mengangkat para pejabat MA dan Depag RI sebagai pelaksana proyek.85 Berdasarkan susunan pelaksanaan proyek seperti termaktub dalam SKB tersebut, tampak bahwa penempatan personil didasarkan pada jabatan struktural yang bertanggung jawab terhadap pembinaan Peradilan Agama, dengan menggunakan asas perimbangan (equilibrium) dari dua instansi pemrakarsa, yakni keseimbangan personil di Depag dan MA RI. Dari 16 personil yang menduduki 11 jabatan, 8 personil dari MA RI dan 7 personil dari Depag RI. Sedangkan 1 personil sisanya, dari MUI, yakni KH. Ibrahim Hosein, LML. 2. Pihak-pihak yang Dilibatkan dan Intensitas Keterlibatannya Selain para birokrat dari Depag dan Hakim Agung dari MA RI yang turut terlibat dalam proses penyusunan KHI adalah para Ulama, dan para cendikiwan/intlektual muslim. Kedua pihak yang disebut terakhir masuk dalam lingkaran proses penyusunan, karena sengaja dilibatkan oleh tim Pelaksana proyek atau kedua pihak yang disebut pertama. Dari
82
Ketua MA RI saat itu adalah Ali Said, S.H. dn menteri Agamanya adalah H. Munawwir Sadzali,
M.A 83
Konsideran menimbang pada SKB Ketua MA RI dan Menteri Agama NO. 07/KMA/1985 dan No. 25 tahun 1985. 84 Konsidran mengingat, Ibid 85 Susunan pelaksana Proyek tercantum dalam dictum pertama pada SKB Ketua MA RI dan menteri Agama.
35
sini, maka intensitas keterlibatan mereka dalam proses pembentukan Kompilasi Hukum Islam mempunyai nilai yang berbeda-beda. Peran dan fungsi dan intensitas keterlibatan masingmasing. a.
Birokrat Depag dan Hakim Agung MA RI Kedua pihak ini selain sebagai penggagas pemrakarsa pembentukan KHI, peran yang
terpenting adalah sebagia penentu kebijaksanaan (decision marker) , walaupun menurut M. Yahya Harahap final rumusan KHI ada di tangan ulama pula.86 karena posisis mereka sebagai tim pelaksana proyek, maka segala kegiatan yang berkaitan dengan pembentukaan KHI ditanganinya.87 Peluang-pelung strategis dalam proses penyusunan KHI dikuasainya. Dengan demikian, kedua pihak inilah tim inti pembentukan KHI, pemeran paling dominan dan pihak yang terlibat paling intesif. Sedangkan pihak-pihak lain yang turut terlibat hanya bersifat menunjang, membantu, dan melengkapi, terutama dalam memberikan input data. b.
Ulama Ulama yang dimaksud dalam pengertian ini adalah mereka yang mempunyai otoritas
untuk mengambil keputusan88di bidang agama baik secara personal maupun kolektif. Mereka ini biasanya berbeda dalam naungan organisasi sosil keagamaan seperti MUI, NU, Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, dan Al Wasliyah, atau diluar organisasi formal tetapi karena kapasitas keilmuan dan integritas moralnya diakui masyarakat sebagai ulama. Ulama dalam klasifikasi ini lebih diartikan bukan mereka yang menjadi pegawai Negri (Birokrat) atau Hakim (Pemegang Kekuasaan Yudikatif), bukan pula yang bekerja di Perguruan Tinggi.89 Dari pihak Ulama yang masuk dalam tim pelaksana proyek hanya satu yakni KH. Ibrahim
Hosen,
LML
(dari
MUI).
Ia
duduk
dalam
pelaksana
bidang
kitab-
kitab/yurisprudensi. KH. Ibahim Husein, selain lebih disebut ulama karena wakil MUI, ia juga dalam sisi yang lain adalah pegawai negri (dari Depag RI) dan intlektual (karena Rektor 86
M. Yahya Harahap, finalnya rumusan KHI bukan ditentukan secara mutlak di tangan panitia. Sebab, untuk menetapkannya dimintakan justifikasi dari para ulama melalui seminar yang bersifat Nasional. Lihat M Yahya harahap, kedudukan kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU NO. 7 Tahun 1989, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1990 ), hlm. 95. 87 Seperti penyelenggaraan wawancara, perumusan dari hsil penelitian dan pengkajian kitab, lokakaarya, study banding, dll. Adapun pihak-pihak lain yang terlibat dalam kegiatan tersebut bersifat membantu. 88 Maksudnya adalah semacam mengeluarkan fatwa, mengelurkan hasi ijtihad, dll 89 Artinya, dalam proses ini KHI, Ulama yang dilibatkan selain dari unsur organisasi Islam juga diutamakan mereka yang mengasuh Pondok Pesantren, atau yang sering dikenal dengan istilah “kiai”. Lihat M. Yahya harahap, “Tujuan KHI”, dalm IAIN Syarif Hidayatullah, Kajian Islam Tentang masalah Kontemporer, Hikmat Syahid Indah, Jakarta, 1988, hlm. 92-93.
36
IIQ Jakarta), Ini Artinya secara kuantitatif peran ulama dalam decision making hanya 1/16 saja. Keterlibatan lain dalam penyusunan Kompilsi Hukum Islam, pihak ulama dijadikan sebagai responden90dan diundang sebagai peserta lokakarya Pembangunan Hukum Islam melalui yurisprudensi. Menurut catatan pelaksana proyek, wawancara terhadap para ulama dilakukan di sepuluh lokasi wilayah PTA, dengan melibatkan 185 ulama.91 Wawancara dilakukan oleh tim pelaksana Proyek ditambah dengan wakil dari PTA wilayah responden. Sedangkan dalam lokakarya selain sebagai peserta, ulama terlibat alam tim perumus komisi.92 c.
Intlektual / Cendikiawan Muslim Intlektual atau cendikiawan Muslim yang dimksud dalam klasifikasi ini adalah
mereka yang diakui karena kepakaran ilmunya, terutama dibidang Hukum Islam. Mereka ini biasanya mengajar disebuah Perguruan Tinggi (Islam). Semisal IAN atau sejenisnya. Dalam proses penyusunan Kompilasi Hukum Islam, pihak intllektual atau cendikiawan
muslim mempunyai peran sebagai peneliti kitab-kitab kuning dan peserta
lokakarya Pembangunan Hukum Islam melalui yurisprudensi. Kitab-kitab yang diteliti sebanyak 38 kitab dengan 160 rincian masalah pokok hukum materiil dalam bidang hukum keluarga (perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan sadaqah). Penelitian kitab-kitab yang dimaksud dialkukan oleh 10 IAIN se Indonesia.93 Penelitian tersebu memakan waktu 3 bulan, mulai tanggal 7 Maret sampai dengan 21 Juni 1985.
90
Kulifikasi Ulama yang masuk dalam daftar responden adalah ulama-ulama pilihan yang benar-benar diperkirakan berpengetahuan cukup dan beribawa. Selain itu, dipertimbangkan juga kelengkapan geografis dari jangkauan wibawanya. 91 Wilayah banda Aceh 20 Ulama; wilayah Medan 19 ulama; wilayah Padang 20 Ulama; wilayah Palembang 20 ulama; wilayah Bandung 16 ulama; wilayah Surakarta 18 ulama; wilayah Surabaya 18 ulama; wilayah Banjarmasin 15 ulama; wilayah Ujung Pandang 19 Ulama; wilayah Mataram 20 ulama. 92 (1) Komisi A tentang Hukum Perkawinan adalah KH. Ali yafie dan KH. Nahji Ahyad. (2) Komisi B tentang Hukum kewarisan adalah KH. Azhar Basyir (3) komisi C tentang Hukum wakaf adalah KH. Ibrahim Husein dan KH. Aziz Mayhuri. 93 (1) IAIN Arraniri Banda Aceh meneliti 6 kitab, yaitu Al-Bajury, Fath Mu’in Syarqawiy ‘ala alTahrier, Mughni al-Muhtaj, Nihayat al-Muhtaj, dn al-Syarqawiy. (2) IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta meneliti 6 kitab, yaitu I’anat al-Talibin Tuhfah, Targhibal-Musytaq, Bulghah al-Salik, Syamsuri fi al-faraidl, AlMudawana. (3) IAIN Antasari Banjarmasin meneliti 6 kitab, yaitu Qalyubil/Mahalliy, fath al-Wahhab, dengan syarahnya, Al-Umm, Bugyah al- Mustarsyidin, Bidayah al-Mujtahid, ‘Aqidah wa al-Syari’ah. (4) IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta meneliti 5 kitab, yaitu Al-Muhalla, Al-wajiz, fath al-Qadir, Al-Fiqh ‘ala Madzahib alArba’ah, Fiqh as-Sunah. (5) IAIN Sunan Ampel Surabaya meneliti 5 kitab, yaitu Kasyf al-Qina’, Majmua’ah Fatawa Ibn Taimiyah, Qawanin al-Syar’iyyah Li al-Sayyid Utsman bin yahya, Al-Mughniy, Al-Hidayah Syarh al-Bidayah taymiyyah al-Mubtadi. (6) IAIN Alauddin Ujung pandang meneliti 5 kitab yaitu Qawanin alSyar’iyyah Li al-Sayyid sudaqah Dahlan, Nawab al-Jalil, Syarh ibn “Abidin, Al-Muwaththa’, Hasyiyah Syamsuddin Muh.’Irfan Dasuqiy. (7) IAIN Imam Bonjol Padang meneliti 5 kitab, yaitu Bada’i al-Shana’iy, Tabyin al-Haqaiq, Al-Fatwa al-Hindiyyah Fath al-Qadir, Nihayah. Lihat Ditbinbapera, Kompilasi Hukum Islam, hlm. 166-168.
37
Sedangkan dalam lokakarya, disamping sebagai peserta para intlektual atau cendikiawan muslim terlibat dalam tim perumus, yakni tim perumus komisi C tentang hukum wakaf yang terlibat adalah H. Rahmat Djatnika.94 C. Pola Reformasi Hukum Kewarisan dalam (KHI) menurut Sistematika, materi dan Metodenya. 1. Sistemtika Kewarisan dalam KHI Sebagaimana telah disinggung diatas bahwa Kompilasi Hukum Islam ini hanya memuat tiga ketentuan hukum matteriil Islam, yakni ketentuan-ketentuan hukum perkwinan, (munakahat), hukum kewarisan (faraidl), dan hukum perwakafan (wakaf). Ketiga pengelompokan bidang hukum tersebut ditulis dalam Kompilasi Hukum Islam secara terpisah, masing-masing dalam buku tersendir. Dalam setiap buku, ketentun spesifikasi bidang hukum terbagi kedalam bab-bab, dan masing-masing bab dirinci lagi kedalam bagianbagian diurutkan sesuai dengan pengelompokan buku. Sedangkan penomoran pasal diurutkan secara keseluruhan dari buku pertama hingga buku keitga. Menurut sebagian pakar huku permusan-perumusan semacam ini termasuk salah astu poal reformasi hukum Islam yang telah tertuangdalam KHI, sebab dalam fiqh lama tidak merumuskan dengan pola-pola semacam ini.95 Walaupun ada beberapa pandangan yang kurang setuju dengan gagasan perumusan semacam ini, khususnya penempatan posisi peraturan- peraturan tertentu yang kurang sesuai.96 Sistematika Kompilasi Hukum Islam dimaksud adalah: 1)
Tiga buku, dan 229 pasal,yaitu a)
Buku I: Hukum Perkawinan, yang terbagi dalam: (1) XIX ( Sembilan belas ) bab (2) 170 pasal ( dari pasal1-170)
b)
Buku II: Hukum Kewarisan, yang terbagi dalam: (1) VI ( enam ) bab
94
Rahmat Djatnika, Guru Besar Bidang Studi Wakaf pada IAIN Sunan Gunung Djati Bandung. Salah satunya adalah H. Busthanul Arifin yang mengatakan bahwa KHI bukan saja sebagai bentuk Reaktualisasi, melainkan pula sebagai reformasi dalam bidang hukum Islam. 96 Diantaranya H.Abdurrahman, hal ini disbutnya sebagai sebuah perauturan perundang-undangan yang tidak menggambarkan sebuah sistematika yang “baik”.selain itu, KHI tidak mencantumkan ketentuan umum yang berlaku untuk semua bidang hukum yang diaturnya. Ketentuan umum hanya ada pada masing- masing buku. Itupun isinya lebih banyak nerupa keterangan mengenai beberapa istilah saja yang terkadang tidak lengkap, seperti pasal 229 yang seharusnya tergolong pada kertentuan umum justru dimasukan kedalam ketentuan penutup. Lihat H. Abdurrahma, op. cit, hlm. 64. Dan A. Hamis S. Attamimi, dapat dibaca dalam ‘Kedudukan kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional ( Suatu tinjauan dalam sudut teori perundang- undangan Indonesia” dalam Amrullah Ahmad SF, dkk, op. cit, hlm. 147- 155 95
38
(2) 44 pasal ( dari pasal 171- 214). c)
Buku III: Hukum Perwakapan, yang terbagi dalam: (1) V ( lima ) bab (2) 15 pasal ( dari pasal 215- 229 )
2)
Penjelasan atas buku Kompilasi Hukum Islam a)
Penjelasan Umum
b)
Penjelasan pasal demi pasal
Berdasarkan sistematika tersebut diatas, tampak dengan helas bahwa posisi terbesar dan muatan terbanyak ada pada buku pertama hukum perkawinan, kemudian hukum kewarisan dan yang paling sedikit adalah hukum perwakafan. Perbedaan ini timbul bukan karena ruanglingkup materi yang berbeda, tetapi hanya tingkat intensifitas dan uraian masingmasing ketentuan tersebut. Untuk bidang hukum perkawinan tidak sekedar pada dimensi hukum substantif saja yang diatur, tetapi teknis procedural yang berkenaan dengan tata cara pelaksanaan pun diatur secara gamblang.97 Namun pada kedua buku yang lainnya, tidak demikian rinci dalam pengaturannya.98 Secara garis besar substansi Kompilasi Hukum Islam mengatur mengenai hal- hal sebagai berikut: 1) Hukum Perkawinan, fokus perhatian dalam dalam pengaturannya adalah pada: a) Penjelasan istilah- istilah yang berhubungan dengan perkawinan. b) Dasar-dasar dan prinsip- prinsip perkawinanseperti tujuan, legalitas, dan hakikat diselenggarakannya perkawinan. c) Peminangan dan akibat hukumnya. d) Syarat dan Hukum perkawinan yang meliputi calon mempelai, wali nikah, saksi nikah, dan akad nikah. e) mahar; dan tata cara pemberiannya. f) Larangan Kawin. g) Perjanjian perkawinan dan akibat hukumnya. h) Kawin hamil dan hukumnya. i) Poligami ( beristri lebihdari satu orang); syarat dan tata cara perkawinan. j) Pencegahan Perkawinan; sebab dan tata cara pencegahan. 97
Namun disini tampak terjadi” pembengkakan “ dan terasa tumpang tindih antara aturan- aturan hukum pada UU No. 1 tahun 1974 dan PP.No. 9 tahun 1975 di satu pihak dengan KHI di pihak yang lain, suatu bentuk pengulangan yang dipandang kurang baik. 98 Bandingkan dengan H. Abdurrahman, op.cit, hlm. 63-64.
39
k) Batalnya perkawinan; sebab dan akibat hukumnya. l) Hak dan kewajiban suami istri yang meliputi kedudukan suami istri, kewajiban suami, tempat kediaman, kewajiban suami yang beristri lebih dari satu orang, dan kewajiban istri. m) Harta kekayaan dan perkawinan; status dan ketentuan bagiannya. n) Pemeliharaan anak; status pemegang tanggung jawabnya. o) Perwalian p) Putusnya perkawinan yang meliputi sebab dan tata caraperkawinan. q) Akibat putusnya perkawinan, meliputi akibat talak, waktu tunggu, akibat perceraian, mut’ah, akibat khulu’, dan akibat li’an.. r) Rujuk dan hak- hak rujuk. s) Masa berkabung. 2) Hukum Kewarisan, hal yang diatur adalah sebagai berikut : a) Penjelasan istilah- istilah yang berkaitandenganhukum kewarisan. b) Ahli waris, kwalifikasi,hak, dan kewajibannya. c) Besarnya bagian masing- masing ahli waris. d) apabila terjadi awl dan radd; tatacarapebagiannya. e) Wasiat. f) Hibah. 3) Hukum Perwakafan, yang diatur dalam perwakafan adalah; a) Penjelasan istilah- istilah yang berkaitan dengan hukum perwakafan. b) Tujuan, unsur- unsur dan syarat- syarat melakukan wakaf serta kewajiban dan hakhak nadzir. c) Tata cara perwakafan dan pendaftaran benda wakaf. d) Perubahan, penyelesaian, dan pengawasan benda wakaf. e) Ketentuan perwakafan yangmeliputi ketentuan penutup.99
99
Pola perumusan ketiga dalam KHI ini mencerminkan telah terjadinya reformasi khususnya dalam sisi sistematika perumusan dan penulisannya. Ditegaskan oleh Bustanul Ariffin, bahwa ketiga buku dalam KHI itu ”tidak saja merupakan reaktualisasi melainkan mencerminkan reformasi hukum Islam.“ Bandingkan dengan Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara, hlm. 162-165.
40
Dari uraian diatas, tampak adanyaperubahan- perubahan perumusan sistematika KHIyang menurut prof. Rachmat Djatnika sebagai fikh Indonesia- dari awal perumusanya dengan demikian dapat dibedakan dengan fiqh klasik (fiqh al- mawarits). 2. Materi Kewarisan dalam KHI
BUKU II HUKUM KEWARISAN BAB I KETENTUAN HUKUM Pasal 171 Yang dimaksud dengan : a. Hukum Kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemeliharaan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menetukan siapa- siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagian masing- masing. b. Pewaris adalah yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan keputusan pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan. c. Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum yang menjadi ahli waris. d. Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya. e. Harta warisan adalah bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninnggalnya, biaya pengurusan jenazah ( tajhiz ), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat. f. Wasiat adalah pemberian satu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia. g. Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki. h. Anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya seharihari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggungjawabnya dari orangtua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan. i. Baitul Maladalah balai harta keagamaan. BAB II AHLI WARIS Pasal 172 Ahli waris dipandang beragama Islam apabila dikelathui dari Kartu Identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya.
41
Pasal 173 Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena : a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris. b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman lima tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
Pasal 174 (1)
Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari : a. Menurut hubungan darah : i. Golongan laki-laki terdiri dari : ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek ii. Golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek. b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari duda dan janda.
(2)
Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya: anak,
ayah, ibu, janda, atau duda.
Pasal 175 (1)
Kewajiban ahli waris terhadap pewaris adalah :
a. Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai. b. Menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan, termasuk kewajiban pewaris maupun menagih piutang. c. Menyelesaikan wasiat pewaris. d. Membagi harta warisan diantara ahli waris yang berhak. (2) Tanggung jawab ahli waris terhadap hutang atau kewajiban pewaris hanya terbatas paeda jumlah atai nilai harta peninggalannya.
BAB III BESARNYA BAHAGIAN Pasal 176 Anak perempyuan bila hanya seoorang ia mendapat peparoh bagian, bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anak perempuan
42
bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-lakiadalah dua berbanding satu dengan anak perempuan. Pasal 177 Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian. Pasal 178 1. Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau dua saudara atau lebih. Bila tidak anak atau dua orang saudara atau lebih, maka ia mendapat sepertiga bagian. 2. Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil oleh janda atau duda bila bersama-sama dengan ayah. Pasal 179 Duda mendapat separoh bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak, maka duda mendapatkan seperempat bagian. Pasal 180 Janda mendapat seperempat bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak, maka janda mendapat seperdelapan bagian. Pasal 181 Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, maka saudara laki-laki dan saudara perempuan seibi masing-masing mendapat seperenam bagian. Bila mereka itu dua orang atau lebih maka mereka bersama-sama mendapat sepertiga bagian. Pasal 182 Bila seorang tanpa meninggalkan ayah dan anak, sedang ia mempunyai satu saudara perempuan kandung atau seayah, maka ia mendapat separoh bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara perempuan kandung atau seayah dua orang atau lebih, maka mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara laki-laki atau seayah, maka bagian saudara laki-laki adalah dua berbanding satu dengan saudara perempuan. Pasal 183 Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamain dalam pembagian harta waris, setelah masing-masing menyadari bagiannya. Pasal 184 Bagian ahli waris yang belum dewasa atau tidak mampu melaksanakan hak dan kewajibanya, maka baginya diangkat wali berdasarkan keputusan Hakim atau usul anggota keluarga. Pasal 185 1) Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalampasal 173. 2) Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti. Pasal 186 Anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan kelurga dari pihak ibunya. 43
Pasal 187 (1) Bilamana pewaris meninggalkan harta peninggalan maka oleh pewaris semasa hidupnya atau oleh para ahli waris dapat ditunjuk beberapa orang sebagai pelaksana pembagian harta warisan dengan tugas : a. Mencatat dalam suatu daftar harta peninggalan baik berupa berupa benda bergerak maupun tidak bergerak yang kemudian disahkan oleh para ahli waris yang bersangkutan, bila perlu dinilai harganya dengan uang. b. Menghitung jumlah pengeluaran unuk kepentingan pewaris sesuai dengan pasal 175 ayat (1) a, b dan c. (2) Sisa dari pengeluaran dimaksud diatas, adalah merupakan harta warisan yang harus dibagikan kepada ahli waris yang berhak.
Pasal 188 Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan permintaan kepada ahli waris yang lain utuk melakukan pembagian harta warisan. Bila ada antara ahli waris yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian harta warisan. Pasal 189 (1) Bila warisan yang akan dibagi berupa lahan pertanian yang luasnya kurang dari 2 hektar, supaya dipertahankan kesatuannya sebagimana semula, dan dimanfaatka untuk kepentingan bersama para ahli waris yang bersangkutan. (2) Bila ketentuan tersebut pada ayat (1) pasal ini tidak dimungkinkan karena di antara para ahli waris yang bersanhkutan ada yang memerlukan uang, maka lahan tersebut dapat dimiliki oleh seorang atau lebih ahli waris dengan cara membayar harganya kepada ahli waris yang berhak sesuai dengan baginya masing-masing. Pasal 190 Bagi pewaris yang beristri lebih dari seorang, maka masing-masing istri berhak mendapat bagian atas gonogini dari rumah tangga dengan suaminya, sedangkan keseluruhan bagian pewaris adalah menjadi hak para ahli warisnya. Pasal 191 Bila pewaris tidak meninggalkan ahli waris sama sekali, atau ahli warisnya tidak diketahui ada atau tidaknya, maka harta tersebut atas putusan pengadilan Agama diserahkan penguasaannya kepada Baitul Mal untuk kepentingan agama islam dan kesejahtraan umum. BAB IV AUL DAN RAD Pasal 192 Apabila dalam pembagian harta warisan diantara para ahli waris Dzawil furud menunjukkan bahwa angka pembilang lebuh besar dari angka penyebut, dan baru sesudah itu harta warisan dibagi secara aul menurur angka pembilang . Pasal 193 Apabila dalam pembagian harta warisan diantara antara ahli waris Dzawil furud menunjukkan bahwa angka pembilanh lebih kecil dari pada angka penyebut, sedangkan tidak ada ahli waris asabah, maka pembagian harta warisan tersebut dilakikan secara radd, yaitu 44
sesuai dengan hak masing-masing ahli waris, sedangkan sisanya dibagi secara berimbang di antrara mereka. BAB V WASIAT Pasal 194 (1) Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga. (2) Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat. (3) Pemilikan terhadap harta benda seperti dimaksud dalam ayat (1) pasal ini baru dapat dilaksanakan seudah pewasiat meninggal dunia.
Pasal 195 1) Wasiat dilakukan secara lisan di hadapan dua orang saks, atau tertulis di hadapan dua orang saksi, atau dihadapan nottaris. 2) Wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujui. 3) Wasiat kepada ahliwaris hanya berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris. 4) Pernyataan persetujuan pada ayat (2) dan (3) pasal ini dibuat secara lisan dihadapan dua orang saksi atau dihadapan Notaris. Pasal 196 Dalam wasiat baik secara tertulis maupun secara lisan harus disebutkan dengan tegas dan jelas siapa atai siapa-siapa atau lembaga apa yang ditunjuk akan menerima harta benda yang diwasiatkan. Pasal 197 1) Wasiat menjadi batal apabila calon penerima wasiat berdasarkan putusan Hakim yang telah mempunyai kekuatan hokum tetap dihikim karena : a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewasiat. b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewasiat telah melakukan suatu kejahatn yang diancam dengan hukuman lima tahun prnjara atau hukuman lebih berat. c. Dipersalahkan dengan kekerasan atau atau ancaman mencegah pewasiat untuk membuat atau mencabut atau merubah wasiat untuk kepentingan calon penerima wasiat. d. Dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak atau memalukan surat wasiat dari pewasiat. 2) Wasiat menjadi batal apabila orang yang ditunjuk untuk menerima wasiat itu : a. Tidak mengetahui adanya wasiat tersebut sampai ia meninggal dunia sebelum meninggalnya pewasiat. b. Mengetahui adanya wasiat tersebut, tapi ia menolak untuk menerimanya. c. Mengetahui adanya wasiat itu, tetyapi tidak pernah menyatakan menerima atau menolak sampai ia meninggal sebelum meninggalnya pewasiat. 3) Wasiat menjadi batal apabiala barang yang diwasiatkan musnah. Pasal 198 Wasiat yang berupa hasil dari suatu benda ataupun pemanfaatan suatu benda harus diberikan jangka waktu tertentu. 45
1)
2)
3) 4)
Pasal 199. Pewasiat dapat mencabut wasiatnya selama calon penerima wasiat belum menyatakan persetujuannya atau sudah menyatakan persetujuannya tetapai kemudian menarik kembali. Pencabutan wasiat dapat dilakukan secara lisan dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau tertulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan akte Notaris bila wasiat terdahulu dibuat secara lisan. Bila wasiat dibuat secara tertulis, maka hanya dapat dicabut dengan cara tertulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan akte Notaris. Bila wasiat dibuat berdasarkan akte Notaris, maka hanya dapat dicabut berdasarkan akte Notaris.
Pasal 200 Harta wasiat yang barang tak bergerak, bila karena suatu sebab yang sah mengalami penyusutan atau kerusakan yang terjadi sebelum pewasiat meninggal dunia, maka penerima wasiat hanya akan menerrima harta yang tersisa. Pasal 201 Apabila wasiat melebihi sepertiga darfi harta warisan, sedanhkan ahli warfis ada yang tidak menyetujuinya, maka wasiat hanya dilaksanakan sampai batas sepertiga harta warisan. Pasal 202 Apabila wasiat ditunjuk untuk berbagi kegiatan kebaikan, sedangkan harta wasiat tidak mencukupi, maka ahli waris dapat menentukan kegiatan mana yang didahulukan pelaksanaannya. Pasal 203 1) Apabila surat wasiat dalam keadaan tertutup, maka penyimpanannya ditempan Notaris yang membuat atau di tempat lain, termasuk surat-surat yang ada hubungannya. 2) Bilamana suatu surat wasiat dicabut sesuai dengan pasal 199 maka surat wasiat yang telah dicabut itu diserahkan kembali kepadapewasiat. Pasal 204 1) Jika pewasiat meniggal dunia, maka surat wasiat yang tertutup disimpan pada Notaris, dibuka olehnya dihadapan ahli rwaris, disaksikan dua orang saksi dan dengan membuat berita acara pembukaan surat wasiat itu. 2) Jika surat wasiat yang tertutup disimpan bukan pada Notaris maka penyimpanan harus menyerahkan kepada Notaris setempat atau Kantor Urusan Agama membuka sebagaimana ditentukan dalam ayat (1) pasal ini. 3) Setelah semua isi serta maksud surat wasiat itu diketahui maka oleh Notaris atau Kantor Urusan Agama diserahkan kepada penerima wasiat guna penyelesaian selanjutnya. Pasal 205 Dalam waktu perang, para anggota temtara dan mereka yang termasuk golongan tentara dan berada dalam daerah pertempuran atau yang berada di suatu tempat yang ada dalam kepungan musuh, dibolehkan membuat surat wasiat dihadapan seorang komandan atasannya dengan dehadiri oleh dua orang saksi. Pasal 206 46
Mereka yang sedang berada dalam perjalanan melalui laut dibolehkan membuat surat wasiat di hadapan nahkoda atau mualim kapal, dan jika pejabat tersebut tidak ada, maka dibuat dihadapan seorang yang menggantinya dengan dihadari oleh dua orang saksi. Pasal 207 Wasiat tidak diperbolehkan kepada orang yang melakukan pelayanan perawatan bagi seseorang dan kepada orang yang memberi tuntunan kerohanian ssewaktu ia mrnderita sakit hingga meninggalnya, kecuali ditentukan dengan tegas dan jelas untuk membalas jasa. Pasal 208 Wasiat tidak berlaku bagi Notaris dan saksi-saksi pembuat akte tersebut.
Pasal 209 1) Harta peninggalan anak angat dibagi berdasarkan pasal-pasal 176 sampai dengan 193 tersebut diatas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyakya 1/3 dari harta warisan anak angkatnya. 2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat waljibah sebanyakbanyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya. BAB VI HIBAH Pasal 210 1) Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat mengibahkan sebanyak-banyaknya 1\3 harta bendanya kepada orang lain atau lembaga dihadapan dua oranng saksi untuk dimiliki. 2) Harta benda yang dihibahkan harus merupakan hak dari penghibah Pasal 211 Hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan.
Pasal 212 Hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orang tua kepada anaknya. Pasal 213 Hibah yang diberikan pada saat pemberi hibah dalam keadaan sakit yang dekat dengan kematian, maka harus mendapat persetujuan dari ahli warisnya. Pasal 214 Warga negara Indonesia yang berada dinegara asing dapat membuat surat hibah dihadapan konsulat atau kedutaan Republik Indonesia setempat sepanjang isinya tidak bertentangan dengan ketentuan pasal-pasal ini.100
100
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Humaniora Utama Press, Bandung, dari sumber Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, dan Departemen Agama, 1991/1992, hlm. 73-84.
47
PENJELASAN UMUM 1.
2.
3.
4.
5.
Bagi bangsa dan negara Indonesian yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, adalah mutlak adanya suatu hukum nasional yang menjamin kelangsungan hidup beragama berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang sekaligus meru pakan perwujudan kesadaran hukum masyarakat dan bangsa. Berdasarkan Undang-Undang Nimir 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman jo Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkama Agung, Peradilan Agama mempunyai kedudukan yang sederajat dengan lingkungan Peradilan lainnya sebagai peradilan negara. Hukum Materiil yang selama ini berlaku di lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Islam yang pada garis besarnya meliputi bidang-bidang hukum perkawinan, hukum kewarisan dan hukum perwakafan. Berdasarkan Surat Edaran Biro Peradilan Agama tanggal 18 Pebuari 1958 Nomor B/I/735 hukum Materiil yang dijadikan pedoman dalam bidang-bidang hukum tersebut diatas adalah bersumber pada 13 buah kitab yang kesemuanya mazhab syafi’i. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor I Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintahan Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik maka kebutuhan hukum masyarakat semakin berkembang sehingga kitab-kitab tersebut dirasakan perlu pula untuk diperluas baik dengan menambahkan kitab-kitab dai mazhab yang lain, memperluas penafsiran terhadap ketentuan di dalamnya, membandingkannya dengan Yurispudensi Peradilan Agama, fatwa para ulama maupun perbandingan di negara-negara lain. Hukum Materiil tersebut perlu dihimpun dan diletakan dalam suatu dokumentasi Yustisia atau buku Kompilasi Hukum Islam sehingga dapat dijadikan pedoman bagi Hakim dilingkungan Badan Peradila Agama sebagai hukum terapan dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya.101 PENJELASAN PASAL DEMI PASAL
Dalam penjelasan paal demi pasal ini penulisan tidak akan mencantumkan secara keseluruhan penjelasan, hanya akan mencatat bagian dari pasal-pasal tentang materi kewarisannya saja. Karena sebagaimana disebutkan diatas, bahwa buku II tentang Kewarisan ini terdiri dari enam bab dan 44 pasal, yaitu dari pasal 171 sampai pasal 214, maka penjelasan pasal yang akan penulis uraikan pun cukup mencakup pasal-pasal pada hukum kewarisan dalam KHI tersebut. Adapun penjelasan padal-pasal itu, adalah: Pasal 149 s/d 185 Cukup jelas Pasal 186 Yang dimaksud dengan anak yang lahir diluar perkawinan adalah anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah atau akibat hubungan yang tidak sah. Pasal 187 s/d 228 Cukup jelas102
101 102
Ibid, hlm. 97-98. Ibid, hlm. 100-101.
48
Dengan demikian penjelasan demi pasal dan materi kewariasan dalam Kompilasi Hukum Islam dimaksud menurut pasal-pasal hukum kewarisan yang terdiri 44 pasal, mulai dari pasal 171 sampai pasal 214. 3. Metode Perumusan Kewarisan dalam KHI Dalam tata kerja “Proyek Pembangunan Hukum Islam melalui Yurispudensi” dijelaskan bahwa Kompilasi Hukum Islam dibentuk dengan cara-cara: 1. Pengumpulan data 2. Wawancara 3. Studi Pebandingan 4. Lokakarya103 Keempat karya tersebut sekaligus merupakan tugas pokok yang harus direalisasikan oleh tim pelaksana proyek. Artinya, cara-cara tersebut adalah cara minimal yang harus dilakukan oleh tim dalam upaya menyusun Kompilas Hukum Islam. Tujuannya tidak lain adalah merumuskan hukum materiil bagi Pengadilan Agama. Dengan demikian boleh dikatakan bahwa metode pendekatan yang dilakukan dalam menyusun Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah dengan empat jalur tersebut. Secara lebih jelas metedologi yang digunakan adalah sebagai berikut: 1) Penelitian (pengumpulan data) a.
Penelitian Kitab-Kitab Kuning Karena Kompulasi Hukum Islam (KHI) bukan proyek yang al-historis maka salah
satu sumber pencarian data-data materi hukum Islam yang dianggap akurat, acceptable dan konstektual adalah kitab-kitab tersebut diatas. Pencarian data dilakukan dengan menggunakan penelitian, penelaahan dan pengkajian. Jumlah total kitab yang teliti sebanyak 38 kitab.104 Pokok hukum materiil yang diteliti terbatas pada bidang hukum keluarga (perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, dan waqaf, serta sadaqah), dengan rincian sebanyak 160 masalah, suatu bidang hukum yang selama ini wiliyah kewenangan materiil Peradilan Agama. Kemudian, hasil penelitiannya diolah lebih lanjut oleh tim proyek bagian pelaksana bidang kitab dan yurisprudensi. Selain itu, sasaran kitab-kitab yang dijadikan objek penelitian adalah kitab-kitab kuning yang langsung dikumpulkan dari imam-imam madzhab dan syarah-syarahnya yang dianggap mempunyai otoritas (mu’tabarah), terutama di Indonesia. Hal yang dicari adalah 103
Lampiran SKB Ketua MA dan Menag RI No. 07?KMA/1985 dan No. 25 Tahun 1985. Rincian Kitab-Kitab tersebut telah terurai dalam “ Proses Pembentukan” point 2 sub c, Intlektual/ Cendikiawan Muslim. 104
49
kaidah-kaidah hukum dari imam madzhab tersebut beserta dalil-dalil dan argumentasinya, untuk kemudian disesuaikan dengan klasifikasi bidang-bidang hukum menurut ilmu hukum umum. b. Penelitian Yurisprudensi105Peradilan Agama Selain meneliti kitab-kitab kuning yang dahulu di”sakral”kan sebagai referensi formal-normatif, juga objek lain yang diteliti adalah yurisprudensi yang tidak lain adalah produk-produk putusan Peradilan Agama yang empiris. Karena, antara dua dimensi yang normatif dan empiris terkandung makna psikologis tersendiri dan bisa dijadikan indikator sosiologis dalam penegakkan hukum-hukum tersebut. Penelitian terhadap yurisprudensi putusan Peradilan Agama ini dilaksanakan oleh Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Depag RI. Ada 16 buku himpunan yurisprudensi yang menjadi bahan dalam penelitian ini.106 2) Wawancara (Interview) Untuk membuktikan secara realitas dari norma hukum yang hidup di masyarakat, maka selain meneliti teks-teks kitab juga dilakukan wawancara kepada 185 ulama di 10 lokasi PTA se-Indonesia.107 Sepuluh lokasi dan 185 ulama dalam wilayah tersebut dipandang sebagai representasi atau mewakili Indonesia baik dari segi responden maupun geografisnya. 185 ulama yang dijadikan responden adalah ulama-ulama pilihan yang dipandang mempunyai kapabilitas yang memadai dan karena karismanya yang mampu mempengaruhi masyarakat sekitarnya (dalam mengikuti fatwa-fatwanya). Wawancara ini dilakukan dengan dua cara: dengan mengajukan pokok-pokok masalah kepada responden secara bersama-sama dalam satu tempat atau dengan mewawancarai mereka secara terpisah.108 Pokok masalah yang dimaksud disusun dan
105
Yurisprudensi yang dimaksud adalah jurisprudentie (Belanda), bukan jurisprudence (Inggris), yakni putusan-putusan pengadilan yang dapat dianggap sebagai satu sumber hukum. Karena bila sudah ada suatu jurisprudentie yang tetap, maka hal ini akan selalu diikuti oleh hakim-hakim dalam memberikan putusannya dalam soal yang serupa. Lihat J.C.T. Simorangkir, dkk., kamus hukum, hlm. 78; Yan Pramadya Puspa, kamus hukum, hlm. 927-928. Sedangkan jurisprudence (Inggris) berarti ilmu hukum. Lihat John M Echol dan Hasan Shadily, kamus inggris indonesia, hlm. 338. 106 Empat buah buku Himpunan Putusan PA/PTA, yaitu terbitan tahun 1976/1977, 1977/1978, 1978/1979, dan 1980/1981; Tiga buah buku Himpunan Fatwa, yaitu buku terbitan tahun 1978/1979, 1979/1980, dan 1980/1981; Lima buah buku yurisprudensi PA, yaitu terbitan tahun 1977/1978, 1978/1979, 1981/1982, 1982/1983, dan 1983/1984; Empat buah hukum Law Report, yaitu buku terbitan tahun 1977/1978, 1978/1979, 1981/1982, dan 1983/1984. Lihat, Ditbinbapera, Kompilasi Hukum Islam, hlm. 152. 107 Rinciannya telah diuraikan pada “Proses Pembentukan” point 2 sub b, Ulama. 108 Bustanul Arifin, Kompilasi: Fiqh dalam Bahasa Undang-undang, Pesantren, No. 2 Vol. II/1985, hlm. 29.
50
disajikan dalam sebuah buku guid questioner yang berisi 102 masalah dalam bidang hukum keluarga (perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, dan wakaf).109 3) Studi Perbandingan Karena rencana pembentukan Kompilasi Hukum Islam (KHI) semacam ini bukan yang pertama kali dilakukan dalam sejarah peradaban Islam, maka proses pembentukan (KHI) di Indonesia tidak bisa menyampingkan begitu saja sejarah yang ada. Keberadaannya adalah mata rantai dari sejarah perkembangan hukum Islam secara positif di dalam suatu bentuk negara modern. Studi perbandingan terhadap produk-produk hukum Islam di negara lain, dengan demikian menjadi penting untuk dilakukan sebagai bahan pertimbangan. Studi perbandingan dalam rangka pembentukan Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia dilaksanakan ke Timur Tengah, yaitu ke negara-negara: 1.
Maroko, dilaksanakan pada tanggal 28 dan 29 Oktober 1986.
2.
Turki, dilaksanakan pada tanggal 1 dan 2 November 1986.
3.
Mesir, dilaksanakan pada tanggal 3 dan 4 November 1986.
Studi ini dimaksudkan untuk memperoleh sistem atau kaidah-kaidah hukum satu dengan yang lain, terutama yang paling tepat (applicable dan acceptable) untuk konteks Indonesia.110 Paling tidak ada 3 materi perbandingan yang diperoleh sebagai input bagi penyusunan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dari studi tersebut. Ketiga materi itu adalah mengenai: 1. Sistem Peradilan 2. Masuknya syari’ah law dalam arus tata hukum nasional 3. Sumber-sumber hukum dan hukum materiil yang menjadi pegangan atau terapan hukum di bidang ahwal syakhsyiyyah yang menyangkut kepentingan muslim.111 109
Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara, hlm. 157. Pihak-pihak yang dihubungi di negara Maroko adalah: (1) Direktur Institut Kehakiman Nasional; (2) Sekretaris Jendral Kementrian Wakaf dan Urusan Islam ; (3) Penasehat Menteri Wakaf dan Urusan Islam; (4) Ketua Supreme Court; (5) Ketua Badan Kerja Sama UNESCO-ALESCO. Dinegara Turki hanya dua negara yang dihubungi adalah: (1) Supreme Court, yang diwakili oleh Attorney General; (2) Ketua Islamic Centre. Sedangkan di Mesir yang dihubungi lebih luas lagi, selain pihak pengadilan dan pemerintah yang berwenang terhadap Hukum Islam, juga dihubungi pihak-pihak Perguruan Tinggi Islam terbesar di negeri itu. Yakni, selain ketua Supreme Court, Mufti Negeri dan Menteri Wakaf Mesir, pihak lain seperti Rektor Al-Azhar, Majelis Tinggi Al-Azhar, Grand Syekh Al-Azhar, dan Dekan Fakultas Dakwah Al-Azhar adalah partner studi yang tak ditinggalkan dalam menggali dan mengkaji materi-materi perbandingan (matters of comparative). Lihat, Marzuki Wahid, ibid, hlm.158-159. 111 Materi-materi masukan yang didapat dari 4 jalur informasi di atas di dapat juga dari masukanmasukan spontan dari: (1) Syuriah NU Jawa Timur yang mengadakan 3 kali bahtsul masail di tiga Pondok Pesantren, yaitu: Tambak Beras, Lumajang dan Sidoarjo; (2) Majelis Tarjih PP Muhammadiyah melalui suatu seminar tentang Kompilasi Hukum Islam yang dilaksanakan di Kampus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, tanggal 8-9 April 1986. Dihadiri oleh Menteri Agama dan Ketua MUI, KH. Hasan Basri. Lihat, 110
51
Studi perbandingan ini dilaksanakan oleh dua orang, yaitu H. Masrani Basra, Hakim Agung MA RI, selaku pimpinan Pelaksana Proyek, dan H. Muchtar Zarkasyi, Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Depag RI, dalam tim pelaksana proyek berkedudukan sebagai Wakil Pimpinan Proyek. 4) Lokakarya Pada upacara penyerahan naskah Rancangan Kompilasi Hukum Islam dilakukan penandatanganan Surat Keputusan Bersama (SKB) oleh Mahkamah Agung RI, H. Ali Said, S.H. dan Menteri Agama, H. Munawir Sjadzali, MA. Tentang pelaksanaan Lokakarya Pembangunan Hukum Islam melalui Yurisprudensi pada tanggal 2-6 Pebruari 1988 dimaksudkan untuk mendengarkan komentar akhir dari para ulama dan cendikiawan muslim. Ulama dan cendikiawan muslim yang diundang pada lokakarya tersebut adalah wakilwakil yang representatif dari daerah penelitian dan wawancara dengan mempertimbangkan luas jangkauan dan pengaruhnya dalam bidang keahliannya. Mereka yang ikut menghadiri adalah sebanyak 124 orang. Lokakarya tersebut diselenggarakan di Hotel Kartika Chandra Jakarta yang dibuka oleh Ketua Mahkamah Agung RI, H. Ali Said, S.H. dan ditutup oleh Wakil Ketua Mahkamah Agung RI, H. Purwoto Ganda Subroto, S.H.112 Pelaksanaan pembahasan naskah Rancangan Kompilasi Hukum Islam pada Lokakarya tersebut dibagi dalam dua instansi yaitu sidang Pleno dan sidang Komisi.113 Masing-masing komisi kemudian membentukk tim perumusnya. Pada akhir sidang pleno, wakil dari MUI (KH. Hasan Basri), wakil dari NU (KH. Ali Yafie), dan wakil dari muhammadiyah (KH. A. R. Fachruddin) masing-masing menyampaikan kata akhir justifikasi, sebagai legalitas rumusan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Lokakarya ini memang mempunyai peranan penting dalam penetapan Kompilasi Hukum Islam. Dengan adanya lokakarya ini, maka seperti apa yang dikemukakan oleh Yahya Harahap bahwa finalnya rumusan Kompilasi bukan ditentukan secara mutlak ditangan panitia. Akan tetapi untuk memperoleh rumusan finalnya, dimintakan lagi persetujuan
Saekan dan Erniati Effendi, sejarah penyusunan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, hlm. 29. Lihat juga, Marxzuki Wahid dan Rumadi, ibid, hlm. 159. 112 Saekan dan Erniati Effendi, ibid, hlm. 31. Sedangkan menurut Marzuki Wahid dan Rumadi, lokakarya tersebut ditutup oleh Menteri Agama RI, H. Munawir Sajdzali, MA. Ibid, hlm.161 113 Sidang Komisi terdiri dari komisi hukum perkawinan, komisi hukum kewarisan dan komisi hukum wakaf. Marzuki Wahid, ibid, hlm. 161.
52
pendapat dari para ulama, “ijma” dari para ulama terkemuuka melalui seminar yang bersifat nasional.114 Proses selanjutnya setelah naskah akhir Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari Buku 1 tentang Perkawinan, Buku II tentang Kewarisan dan Buku III tentang Perwakafan mengalami penghalusan redaksi yang intensif di Ciawi Bogor yang dilakukan oleh Tim Besar Proyek untuk selanjutnya disampaikan kepada Presiden oleh Menteri Agama dengan surat tanggal 14 maret 1988 Nomor : MA/123/1988 Hal : Kompilasi Hukum Islam dengan maksud untuk memperoleh bentuk yuridis untuk digunakan dalam praktik di lingkungan Peradilan Agama kemudian lahirlah Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991. Sebagai tindak lanjutnya, pada tanggal 22 Juli 1991 Menteri Agama telah mengeluarkan Keputusan No. 154 1991 tentang pelaksanaan Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 1991 Tanggal 10 Juni 1991. Selanjutnya Kompilasi ini disebarluaskan Kepada Ketua Pengadilan Tinggi Agama dan Ketua Pengadilan Agama melalui Surat Edaran Direktur
Pembinaan
Badan
Peradilan
Islam
tanggal
25
Juli
1991
No.
3694/EV/HK.003/AZ/91. Dengan adanya berbagai landasan hukum dimaksud Kompilasi Hukum Islam ini telah mempunyai tempat yang kokoh dalam sistem hukum Indonesia.115 D. Asas-asas Kewarisan Islam dalam (KHI) Hukum Kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkenaan dengan peralihan hak dan atau kewajiban atas harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia kepada ahli warisnya. Sumbernya adalah al-Qur’an, terutama surat an-Nisa ayat 11, 12, 176 dan al-Hadits yang memuat Sunnah Rasulullah yang kemudian dikembangkan secara rinci oleh ahli hukum fikih islam melalui ijtihad orang yang memenuhi syarat, sesuai dengan ruang dan waktu, situasi dan kondisi tempatnya berijtihad. Sebagai hukum yang bersumber ri wahyu Ilahi yang disampaikan dan dijelaskan oleh Nabi Muhammad dengan sunnahnya, hukum kewarisan Islam mengandung asas-asas yang diantaranya terdapat juga dalam hokum kewarisan buatan akal manusia di suatu daerah atau tempat tertentu. Namun, karena sifatnya yang sui generis (berbeda dalam jenisnya), hukum kewarisan Islam mempunyai corak tersendiri. Ia merupakan bagian dari agama Islam dan pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari iman atau akidah seorang muslim. Asas hukum kewarisan Islam yang dapat disalurkan
114
Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama Undang-undang No. 7 Tahun 1989, Pustaka Kartini, Jakarta, 1990. Hlm. 95. 115 Saekan dan Erniati Effendi, op.cit, hlm. 33-34
53
dari al-Qur’an dan al-Hadits, menurut Amir Syarifuddin (1984) adalah (i) asas ijbari, (ii) asas bilateral, (iii) asas individual, (iv) asas keadilan berimbang, dan (v) asas akibat kematian.116 Asas ijbari yang terdapat dalam hukum kewarisan Islam mengandung arti bahwa peralihan harta dari seorang yang meninggal kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris atau ahli warisnya. Unsur “memaksa” (ijbari = compulsary) dalam hukum kewarisan Islam itu terlihat, terutama, dari kewajiban ahli waris untuk menerima perpindahan harta peninggalan pewaris kepadanya sesuai dengan jumlah yang telah ditentukan Allah di luar kehendaknya sendiri. Oleh karena itu calon pewaris tidak perlu merencanakan penggunaan hartanya setelah ia dunia kelak, karena dengan kematiannya, secara otomatis hartanya akan beralih kepada ahli warisnya dengan perolehan (pembagian) yang sudah ditentukan. Asas ijbari hukum kewarisan Islam dapat dilihat dari beberapa segi yakni: 1.
Dari segi peralihan harta yang pasti terjadi setelah orang meninggal dunia. Ini dapat dilihat dari firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 7.
2.
Jumlah harta yang sudah ditentukan bagi masing-masing ahli waris.
3.
Penerimaan harta peninggalan sudah ditentukan dengan pasti yakni mereka yang mempunyai hubungan darah dan ikatan perkawinan dengan pewaris seperti yang dirinci dalam pengelompokan ahli waris di surat an-Nisa ayat 11, 12, dan 176.
Asas bilateral, asas ini dalam hukum kewarisan Islam berarti seseorang menerima hak atau bagian warisan dari kedua belah pihak; dari kerabat keturunan laki-laki dan dari kerabat keturunan perempuan. Asas ini dapat dilihat dalam surat an-Nisa pada ayat-ayat , yakni : 1.
Ayat 7 menegaskan bahwa seorang laki-laki berhak mendapat warisan dari ayahnya dan juga dari ibunya. Demikian juga perempuan, ia berhak mendapat waarisan dari kedua orang tuanya.
2.
Ayat 11 menegaskan bahwa : a. Anak perempuan berhak menerima warisan dari orang tuanya sebagaimana halnya dengan anak laki-laki dengan perbandingan bagian seorang anak laki-laki sebanyak bagian dua orang anak perempuan. b. Ibu berhak mendapat warisan dari anaknya, baik laki-laki maupun perempuan, sebesar seperenam. Demikian juga ayah berhak menerima warisan dari anaknya, baik anak laki-laki maupun perempuan, sebesar seperenam, bila pewaris meninggalkan anak. 116
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, PT . RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1997, hlm. 120
54
3.
Ayat 12 menyatakan bahwa : a. Bila seorang laki-laki mati punah, saudaranya yang laki-lakilah yang berhak atas harta peninggalannya, juga saudaranya yang perempuan berhak mendapat harta warisannya itu. b. Bila pewaris yang mati punah itu seorang perempuan, maka saudaranya, baik laki-laki maupun perempuan, berhak menerima harta warisannya.
4.
Ayat 176 menyebutkan bahwa : a. Seorang laki-laki yang tidak mempunyai keturunan, sedangkan ia mempunyai saudara perempuan, maka saudaranya yang perempuan itulah yang berhak menerima harta warisannya. b. Seorang perempuan yang tidak mempunyai keturunan, sedangkan dia mempunyai saudara laki-laki, maka saudaranya yang laki-laki itulah yang berhak menerima harta warisannya. Ahli waris keluarga dekat (kerabat) lain yang tidak tersebut secara nyata di dalam al-
Qur’an dapat diketahui dari penjelasan yang diberikan oleh Rasulullah dan perluasan pengertian ahli waris yang disebutkan dalam al-Qur’an. Misalnya, garis kekerabatan ke atas seperti kewarisan kakek dapat diketahui dari kata abun dalam al-Qur’an, yang dalam bahasa Arab, artinya kakek secara umum. Begitu pula halnya nenek, dapat dilihat dalam al-Qur’an dari perkataan ummi. Disamping itu terdapat juga penjelasan dari Nabi tentang kewarisan kakek dan kewarisan nenek ini. Demikian halnya juga dengan garis kerabat ke bawah. Walaupun tidak secara jelas disebut dalam al-Qur’an, namun, garis kerabat ke bawah itu dapat diketahui dari perluasan pengertian walad : anak, baik anak laki-laki maupun anak perempuan dan keturunannya. Asas individual, dengan asas ini dimaksudkan bahwa dalam hukum kewarisan Islam harta warisan dapat dibagi-bagi kepada ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. Untuk itu, dalam pelaksanaannya, seluruh harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang kemudian dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menerimanya menurut kadar bagian masing-masing. Dalam hal ini, setiap ahli waris berhak atas bagian yang didapatnya tanpa terikat kepada ahli waris yang lain, karena bagian masing-masing sudah ditentukan. Ayat 11, 12 dan 176 surat an-Nisa menjelaskan secara rinci hak masing-masing ahli waris menurut bagian tertentu dan pasti. Asas keadilan berimbang. Perkataan adil banyak terdapat dalam al-qur’an. Oleh karena itu kedudukannya sangat penting dalam sistem hukum kewarisan Islam. Dalam sistem ajaran Islam, keadilan adalah titik tolak, proses dan tujuan segala tindakan manusia. Dalam 55
kewarisan Islam, keadilan dapat diartikan pula sebagai keseimbangan antara hak dan kewajiban, keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaannya. Dengan demikian, asas ini mengandung arti bahwa harus senantiasa terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara hak yang diperoleh seseorang, dengan kewajiban yang ditunaikannya. Laki-laki dan perempuan misalnya, mendapat hak yang sama sebanding dengan kewajiban yang dipikulnya masing-masing dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Dalam sistem kewarisan Islam, harta peninggalan yang diterima oleh ahli waris dari pewaris pada hakikatnya adalah pelanjutan tanggung jawab pewaris terhadap keluarganya. Oleh karena itu bagian yang diterima oleh masing-masing ahli waris berimbang dengan perbedaan tanggung jawab masing-masing terhadap keluarganya. Terakhir, asas yang menyatakan bahwa kewarisan ada kalau ada yang meninggal dunia. Ini berarti bahwa kewarisan semata-mata sebagai akibat dari kematian seseorang. Menurut hukum kewarisan islam, peralihan harta seseorang kepada orang lain dapat terjadi setelah orang yang mempunyai harta itu meninggal dunia. Ini berarti bahwa harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain dan disebut sebagai harta warisan, selama orang yang mempunyai harta itu masih hidup. Juga berarti bahwa segala bentuk peralihan harta seseorang yang masih hidup kepada orang lain, baik secara langsung maupun yang akan dilaksanakan kemudian setelah kematiannya, seperti halnya wasiat, tidak termasuk kedalam kategori kewarisan menurut hukum islam. Ini juga berarti bahwa hukum kewarisan Islam hanya mengenal satu bentuk kewarisan saja yaitu, kewarisan sebagai akibat kematian seseorang yang disebut dalam hukum kewarisan perdata Barat kewarisan ab intestato atau kewarisan karena kematian atau kewarisan menurut undang-undang. Karena itu, hukum kewarisan islam tidak mengenal kewarisan atas dasar wasiat atau kewarisan karena diangkat atau ditunjjuk dengan surat wasiat yang dilakukan oleh seseorang pada waktu ia masih hidup.117 Asas kewarisan akibat kematian ini dapat digali dari pemakaian kata warasa yang banyak terdapat dalam Al-Quran. Dalam ayat-ayat kewarisan, beberapa kali kata warasa itu
117
Seperti halnya asas ijbari yang disebutkan diatas yakni seseorang tidak sekehendaknya saja menetukan hartanya setelah ia mati kelak. Walaupun benar, dalam hukum Islam seseorang dapat menentukan pemanfaatan harta kekayaannya setelah ia meninggal dunia (termasuk didalmnya wasiat), tetapi wasiat itu merupakan ketentuan tersendiri terpisah dari ketentuan hukum kewarisan. Dalam Kitab-kitab hukum fikih, wasiat ini dibahs tersendiri diluar hukum kewarisan, walaupun dalam Kompilasi Hukum Islam, wasiat dimuat dalam Buku II Hukum Kewarisan, bab V. (Mohammad Daud Ali, Ibid, hlm. 127-128).
56
dipergunakan. Dan, dari keseluruhan pemakaian itu terlihat bahwa peralihan harta berlauk sesudah yang mempunyai harta itu mati. Ini berarti bahwa warasa mengandung makna peralihan harta setelah kematian. Asas-asas hukum kewarisan Islam tersebut di atas berlaku juga bagi Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Buku II tentang kewarisan. Asas (i) ijbari, secara umum, terlihat pada ketentuan umum mengenai perumusan pengertian kewarisan, pewaris dan ahli waris. Secara khusus, asas ijbari mengenai cara peralihan harta warisan, juga disebut dalam ketentuan umum tersebut dan dan pada pasal 187 ayat (2) yang berbunyi sebagai berikut, “Sisa dari pengeluaran di maksud di atas adalah merupakan harta warisan yang harus dibagikan kepada ahli waris yang berhak”. Perkataan `harus` dalam pasal ini menunjjukan asas ijbari itu. Tentang bagaiamana masing-masing ahli waris dinyatakan dalam BAB III, pasal 176 sampai dengan pasal 182 mengenai siapa-siapa yang menjadi ahli waris diesbutkan dalam BAB II, pasal 174 ayat (1) dan (2). Asas (ii) bilateral dalam Kompilasi Hukum Islam dapat dibaca dalam pengelompokan ahli waris seperti tercantum dalam pasal 174 ayat (1) yaitu ayah, anak laki-laki, saudar lakilaki, paman dan kakek (golongan laki-laki), serta ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek (golongan perempuan) menurut hubungan darah. Dengan disebutkannya secara tegas golongan laki-laki dan golongan perempuan serempak menjadi ahli waris dalam pasal tersebut, jelas asas bilateralnya. Duda atau janda menjadi ahli waris berdasarkan hubungan perkawinan adalah juga ciri kewarisan bilateral. Dalam hubungan ini mungkin tidak ada salahnya untuk dicatat bahwa asas bilateral dalam hukum kewarisan di Indonesia, untuk pertama kali, dikemukakakn oleh almarhum Profesor Hazairin mantan Guru Besar Hukum Islam dan Hukum adat fakultas Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Dalam kuliah umumnya di Aula Universitas Indonesia memperingati hari ulang tahun Perguruan Tinggi Islam Jakarta (sekarang Universitas Islam Jakarta) tanggal 17 November 1957 beliau katakan bahwa sistem kekeluargaan: (perkawinan dan kewarisan dalam Al-Qur`an adalah bilateral. Kesimpulan itu beliau kemukakan setealah beliau mempelajari ayat-ayat perkawinan dan kewarisan (kekeluargaan) dalam Al-Qur`an. “Semenjak tahun 1950, kata beliau dalam bukunya Hukum ewarisan Bilateral menurut Al-Qur`an, makin tebal keyakinan saya bahwa Al-Quran adalah anti kepada masyarakat yang unilateral, yaitu masyarakat yang berclan-clan menurut sistem kekeluargaan secara matrilineal dan patrilineal. Menurut keyakinan saya, kata beliau lebih lanjut, Al-Qur`an hanya meridhoi masyarakat yang bokateral”. Keyakinan itu beliau peroleh setelah mempelajari dengan seksama suarat An-Nisa ayat 23 dan 24 mengenai larangan-larangan perkawinan. Di dalam ayat-ayat tersebut Allah tidak melarang perkawinan 57
cross cousin dan parallel cousin (menurut istilah antropologi sosial) antara seorang laki-laki dengan seorang wanita. Ini mengandung makna bahwa tidaklah wajib orang melakukan perkawinan eksogami untuk mempertahnkan clan (matrilineal dan patrilineal) da;am masyarakat unilateral dan bermakna puka tidak dilaranag orang melakukan perkawinan endogami dalam clan atau usbahnya. Karena sistem kekeluargaan dalam Al-Qur`an adalah bilateral, maka asas kewarisan yang merupakan bagian dari sistem kekeluargaan bilateral itu, juga bilateral seperti yang diuraikan dimuka, yang dianut pukla oleh Kompilasi Hukum Islam tercermin dalam pasl 174 ayat (1) di atas. Asas (iii) individual. Asas ini juga tercermin dalam pasal-pasal mengenai besarnya bagian ahli waris dalam Kompilasi Hukum Islam, BAB III pasal 176 sampai dengan pasal 180 tersebut diatas. Dan, khusus bagi ahli waris yang memperoleh harta warisan sebelum ia dewasa atau tidak mampu bertindak melaksanakan hak dan kewajibannya atas harta yang diperolehnya dari kewarisan, baginya diangkat wali berdasarkan putusan hakim atas usul anggota keluarganya. Ini diatur dlam pasal 184 Kopilasi Hukum Islam. Asas (iv) keadilan berimbang. Asas ini dalam kompilasi hukum islam terdapat, terutama, dalam pasal-pasal mengenai besarnya bagian yang disebut dalam pasal 176 dan pasal 180. Juga dikembangkan dalam penyesuaian perolehan yang dilakukan pada waktu penyelesaian pembagoain warisan melalui (1) pemecahan secara aul dengan membebankan kekurangan harta yang akan diabagi kepada semua ahli waris yang berhak menurut kadar bagian masing-masing. Ini disebut dalam pasal 192 dengan menaikan angka penyebut sesuai atau sama dengan angka pembilangnya. Selain dari itu, agar asas keadilan berimbang dapat diwujudkan waktu penyelesaiannya pembagian warisan, penyesuaian dapat dilakukan melalui (2) radd yakni mengembalikan sisa (kelebihan) harta kepada ahli waris yang ada sesuai dengan kadar bagian masing-masnig. Dalam hubungan ini perlu dicatat bahwa tedapat perbedaan pendapat mengenai siapa yang berhak menerima pengembalian itu. Namun, jumhur (kebanyakan = pada umumnya) ulama mengatakan bahwa yang berhak menerima pengembalaian sisa harat itu hanyalah ahli waris karena hubungan darh, bukan ahli waris karena hubungan [erkawinan. Dalam kopilasi hukum Islam soal ini dirumuskan dalam pasal 193, dengan kata-kata. “Apabila dalam penmbagian harta warisan diantara para ahli waris Dzawil Furud menunjukan bahwa angka pembilang lebih kecil dari pada angka penyebut, sedangkan tidak ada ahli waris asabah (berhubungan darah karena seklen) maka ebagian harta warisan tersebut dilakukan secara radd, sesuai dengan hak masing-masing ahli waris, sedangkan sisanya di bagi secara berimbang diantara mereka”. Dalam rumusan ini “tidak dibedakan antara ahli waris karena hubungan darah dengan ahli waris hubungan perkawnian” 58
yang dibedakan oleh pendapat jumhur ulama dalam fiqh mawaris di buku fiqh-fiqh kewarisan. Penyelesaian pembagian warisan dapat juga dilakukan dengan (3) takharuj atau tasaluh (damai) berdasarkan kesepakatan bersama. Di dalam kompilasi Hukum Islam hal ini dirumuskan di dalama pasal 183 dengan kata-kata, “Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagiaan harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya”. Ke dalam asas keadailan yang berimbang ini, dapat juga dimasukkan soal ahli waris pengganti yang dikedepankan oleh Hazairin, yang dirumuskan dalam pasal 185 dengan katakata “(1) Ahli waris yang meninggal dunia lebih dahulu dariapada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, keccuali mereka yang tersebut dala pasal 173 yaitu orang yang dihukum karena (a) dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris, atau (b) dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan Pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman lebih berat. (2) bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti”. Alasan memasukan soal ahli waris pengganti ini kedalam asas keadilan yang berimbang adalah karena masalah cucu yang orang tuanya meninggal lebih dahulu dari pewaris, menjadi masalah keadilan yang harus benar-benar ditentukan. Mengenai perikatan ahli waris pengganti itu sendiri, seperti dapat dibaca dalam keputusan hukum Indonesia, adalah berasal dari almarhum Profesor Hazairin tersebut diatas yang beliau angkat dari perbendaharaan hukum adat Indonesia. Dalam buku beliau yang telah disebut diaatas beliau katakan bahwa “garis pokok penggantian itu tidak ada sangkut pautnya dengan ganti-mengganti. Dia hanyalah cara untuk menunjukan siapa-siapa ahli waris. Tiaptiap ahli waris itu berdiri sendiri sebagai ahli waris. Dia bukan menggantikan ahli waris yang lain, sebab penghubungn yang sudah tidak ada lagi itu bukan ahli waris, sehingga soal representasi ataupun substutusi tidak ada disini”. Asas (v) yakni asas yang menyatakan bahwa kewarisan ada kalau ada
yang
meninngal dunia tercermin dalam rumusan-rumusan berbagai istilah yaitu hukum kewarisan, pewaris, ahli waris dan harta peninggalan dalam pasal 171 pada bab ketentuan umum, hanya, agak berbeda dengan kitab-kitab fikih selama ini, seperti telah disinggung dimuka, soal wasiat, dibicarakan dalam buku VI Hukum Kewarisan Bab V.118
118
Ibid, hlm. 128-136
59
BAB III DIMENSI-DIMENSI KOMPILASI DALAM NUANSA REFORMASI A.
Kedudukan Hukum Kewarisan dalam (KHI) dengan Peraturan Perundang-
undangan di Indonesia Sistem hukum Indonesia secara garis besar telah dituangkan dal;am pembukaan, batang tubuh, dan penjelasan UUD 1945. Untuk memahaminya, kita perlu terlebih dahulu meneliti penjelasannya, mengingat UUD 1945 merupakan konstitusi negara yang selain singkat, juga disebut oleh Bung Karno sebagai revolutiegrondwet, (“ undang-undangdasar revolusi”), yang dibuat dalam keadaan damai. Dalam penjelasan umum UUD 1945 ditegaskan bahwa pokok-pokok pikirang yang terkandung dalam pembukaan merupakan cita hukum yang menguasai hukumdasar negara. Selain itu, pokok-pokok pikiran itu juga merupakan norma pundamental negara. Wujud pokok-pokok pikiran dalam pembukaan itu dijelaskan juga dalam Penjelasan Umum UUD 1945, dan isinya tidak lain adalah pancasila. Dengan demikian, maka dalam sistem hukum Indonesia terdapat cita hukum, yang menurut Rudolf Stammler (1856-1939) merupakan konstruksi pikir untuk mengarahkan hukum kepada cita-cita yang digunakan masyarakat. Menurut Stammler, cita hukum berfungsi sebagai “bintang pemandu” bagi tercapainya citacita masyarakat. Meskipun merupakan “titik akhir” yang tidak mungkin dicapai, cita hukum bermanfaat karena pada satu sisi ia dapat menguji hukum yang berlaku, dan pada sisi lain dapat mengarahkan hukum positif yang mengatur tata kehidupan masyarakat dengan saksi pemaksa menuju sesuatu yang adil.119 Didalam sistem hukum di Indonesia, selain cita hukum, terdapat satu sistemnorma yang dapat disebut “subsistem norma hukum Indonesia”. Menurut penjelasan UUD 1945, dalam subsistem norma hukum ini Pancasila ditempatkan dalam kedudukan norma tertinggi negara. Norma tertingi negara yaitu dapat disebut norma dasar ataupun norma fundamental negara. Penjelasan umum UUD 1945 juga mengemukakan bahwa UUD ialah hukum dasar yang tertulis, sedangkan disamping UUD berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis, berupa aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan negara. 119
A. Hamid S. Attamimi, Kedudukan Kompilasi Hukuk Islam dalam Sistem HUkum Nasional, dalam Amrullah Ahmad SF. Dkk, Dimensi Hukum Islamdalam Sistem Hukum Nasional, Gema Insani Press, Jakarta, 1996, hlm. 148.
60
Penjelasan umum UUD 1945 tersebut menegaskan bahwa Negara Republik Indonesia mengakui dua jenis hukum dasar: yang tertulis disebut Undang-undang Dasar, dan yang tidak tertulis biasanya disebut konvensi ketatanegaraan (constitutional convension). Ketentuanketentuan UUD 1945 tidak menyebut apa-apa tentang susunan subsistem norma hukum di bawah norma fundamental negara dan norma hukum Batang Tubuh UUD 1945 yang disebut “aturan dasar negara” atau “aturan pokok negara”. Namun ada Aturan Peralihan Pasal II yang berbunyi: “segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. Dalam bidang perundangundangan, hal ini jelas menunjukan bahwa berbagai peraturan Hindia Belanda masih “langsung berlaku” selama peraturan-peraturan colonial itu belum diganti denagn yang baru dan dibentuk menurut UUD 1945. Jika demikian, bagian-bagian ketentuan pasal 131 dan 163 Indische Staatsregling
yang tidak bertentangan dengan UUD 1945 masih “:langsung
berlaku” karena belum diganti dengan yang baru menurut UUD 1945. Sebagaimana diketahui,
Indische Staatsregling (disingkat dengan IS), yang
merupakan undang-undang dasar negara colonial Hindia Belanda, dalam pasal 131 dan 163 mengatur hal-hal yang penting sebagai berikut: a. Penduduk Hindia Belanda terbagi kedalam golongan Eropa, Timur Asing, dan Bumiputra. Ke dalam yang terakhir ini termasuk golongan Eropa dan Timur Asing yang terlebur kedalamnya. b. Hukum perdata, hukuim dagang, serta hukum pidana, demikian juga dengan hukum acara perdata dan hukum acara pidana, diatur dengan ordonansi. c. Dengan asas konkordansi, maka hukujm perdata dan hukum dagang yang berlaku di Belanda diberlakukan bagi golongan Eropa yang berlaku di Hindia Belanda. Golongan Bumiputra dan Timur Asing, melaluipengaturan dengan ordonansi, dapat menundukan diri sebagaian atau secara keseluruhan kepada hukum perdatadan hukum dagang bagi golongan Eropa tersebut. d. Hukum perdata dan hukum dagang yang sekarang masih berlaku bagi golongan Bumiputra dan Timur Asing tetap berlaku sepanjang dan sejauh belim diganti dengan suatu ordonansi. Den gan demikian, bagi golongan Bumiputra hukum perdata yang berlaku ialah hukum adatnya, sepanjang dan sejauh mereka tidak menundukan diri kepada hukum perdata untuk golongan Eropa.120
120
A. Hamid S. Attamimi, Ibid, hlm. 150
61
Sebagaimana diketahui, paad zaman penjajahan Belanda, hukum golongan Eropa dipandang lebih tinggi daripada hukum golongan Bumiputra dan Timur Asing. ( perhatikan penundukan diri golongan Bumiputra Dan Timur Asing kepada hukum untuk golongan Eropa tetapi tidak sebaliknya). Selain itu, hukum golongan Eropa bersifat tertulis, sedangkan hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis, oleh karena pasal 131 IS berpegang pada asas hukum tertulis (menurut istilah Prof. Dr. Soepomo, “menghendaki supaya hukum itu ditulis tetap dalam ordonanansi”), maka kedudukan hukum adat lebih dianggap “rendah” tinggkatnya daripada hukum golongan Eropa yang tertulis. Negara Indonesia merdeka tidak mengenal golongan-golongan penduduk dengan tingkat yang berbeda-beda seperti pada zaman Hindia Belanda yaitu golongan Eropa, Bumiputra, dan Timur Asing dengan kedudukan hukum juga berbeda-beda. Negara Indonesia merdeka hanya mengenal golongan penduduk warga negara dan bukan warga negara (asing). Meskipun demikian , pluralism hukum diantara golongan warga negara tetap diakui, hanya tidak lagi dengan tingkatanyang berbeda-beda antar tata hukum golongan warga negara. Namun demikian, terdapat hal lain, yaitu ‘keutamaan’ hukum yang tertulis terhadap hukum yang tidak tertulis. Hal itu terlihat ketika para penyusun rancangan UUD 1945 mengubah sebutan konstitusi yang sedang dirancang dari “hukumdasar” menjadi “undang-undang dasar”, atau dengan perkataan lain, dari konstutusi tidak tertulis menjadi konstitusi tertulis. Selain itu, dari kalimat Penjelasan Umum UUD 1945 yang menyatakan, “... sedang disampingnya Undang-Undang Dasar itu berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis, …” dapat disimpulkanbahwa hukum dasar tidak tertulis bersifat ‘melengkapi’ hukum dasar tertulis, yaitu UUD 1945. Dan secara analogi dapat disimpulkan lebih lanjut bahwaapabila terjadi “persaingan” antara undang-undang dan hukum adat atau hukum kebiasaan lainnya maka yang disebut pertama memperoleh “keutamaan”. Hukum Islam di dalam kehidupan masyarakat Indonesia telah banyak dan telah lama dibicarakan orang. Timbul pertanyaan, apakah hukum islam dapat diberlakukan langsung secara penuh bagi orang Indonesia yang memeluk agama islam dan menghayati hokum islam itu dalam kehidupan sehari-hari (reception in complexu) sebagai mana dikemukakan oleh n der berg? Ataukah pemberlakuan hokum islam itu semata-mata karna ia telah menjadi hokum adatnya, seperti disinggung dalm pasal 131 IS (reception theori) sebagai mana dikemukakan oleh snouck Hurgronje dan Van Volen hoven? Bangsa Indonesia sendiri, telah memasuki alam kemerdekaan, cenderung menerima teori yang pertama. Hal itu tampak jelas setelah para anggota panitia persiapan kemerdekaan Indonesia (PPKI) dari golongan islam menerima
62
penghapusan tujuh kata dalam konsep UUD 1945 yang dipersiapkan oleh badan penyelidik usaha persiapan kemerdekaan Indonesia. Dengan dibentuknya departemen kementrian
agama dan dikembangkanya
pengadilan-pengadilan agama (islam), pemerintah tampaknya tidak lansung mengakui teori reception in complexu yang diperkenalkan para ahli dalam bidangnya. Namun demikian, hokum islam di Indonesia masih tetap merupakan hokum yang tidak tertulis, dalam arti bukan peraturan perundang-undangan, bukan geschreven wetellijke regels. Peraturan perundang undangan Indonesia bermacam-macam jenisnya, mulai dari masa UUD 1945 (periode 1),masa konstitusi Indonesia serikat, masa UUD sementara 1950, dan masa UUD 1945 (periode II). Hal itu dimungkinkan karena peraturan-peraturan tersebut belum dicabut atau diganti menurut konstitusi bersangkutan, juga karena peraturan peralihan pada tiap konstitusi memang memungkinkan berlakunya peraturan-peraturan lama tersebut. Hingga kini, penggantian dan penyesuaian seluruh peraturan itu dengan cita hokum dan norma fundamental Negara Indonesia, belum dapat dilaksanakan. Karna pebedaan sistem ketatanegaraan
dalam konstitusi-konstitusi tersebut, maka bedapula subsistem-subsistem
perundang-undangan, meskipun semuanya haarus tunduk pada cita hukum dan norma fundamental Negara Indonesia. Jenis peraturan perundang-undangan yang disebut dalam UUD 19945 memang hanya beberapa buah, yaitu undang-undang, peraturan pemerintah pengganti undang-undang, dan peraturan pemerintah. Namun, dalam praktek ketatanegaraan, dikenal adanya pelengkap, antara lain keputusan presiden dan keputusan mentri. Ketetapan majelis permusayawaratan rakyat sementara no. XX/MPR/1966 mencoba menertibkan dan merumuskan jenis-jenis peraturan perundang-undangan, namun Tap ini masih perlu disempurnakan karena mengandung beberapa kesalahan meskipun dinyatakan masih berlaku. (lihat Tap no. V/MPR/1973 dan Tap no. IX/MPR/1978) Berdasarkan penelitian, maka jenis peraturan perundang-undangan republic Indonesia dewasa ini ialah berturut-turut dan berjenjang dari atas kebawah, sebagai berikut : 1) Undang-undang dan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang
disetingkatkan dengan Undang-undang; 2) Peraturan Pemerintah; 3) Keputusan Presiden; 4) Keputusan Menteri; 5) Keputusan Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen; 6) Keputusan Direktur Jendral Departemen; 63
yang
7) Keputusan Badan Negara; 8) Peraturan Daerah Tingkat I; 9) Keputusan Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I; 10) Peraturan Daerah Tingkat II; 11) Keputusan Bupati dan Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II.121 Jenis peraturan perundang-undangan tersebut mempunyai fungsi sendiri-sendiri. Dari berbagai jenis peraturan perundang-undangan, yang perlu diketahui materi muatannya ialah Undang-undang karena ia menjangkau hak-hak dasar atau hak-hak asasi manusia pada umumnya. Sementara itu, peraturan perundang-undangan lainnya merupakan peraturan atribusian atau peraturan pendelegasian dari undang-undang. Menyangkut hubungannya dengan kompilasi Hukum Islam di Indonesia, dimana KHI adalah himpunan ketentuan hokum Islam yang dituliskan dan disusun secara teratur. KHI bukanlah peraturan perundang-undangan, bukan hokum tertulis meskipun ia dituliskan, bukan undang-undang, bukan peraturan pemerintah, bukan keputusan presiden, dan seterusnya. KHI menunjukkan adanya hokum tidak tertulis yang hidup secara nyata dalam kehiupan sehari-hari sebagian besar rakyat Indonesia yang beragama Islam untuk menelusuri norma-norma hokum bersangkutan apabila diperlukannya, bail di dalam maupun di luar pengadilan.122 Sebelum intruksi presiden nomor 1 tahun 1991 dikeluarkan, sementara pihak menghendaki agar KHI ditetapkan dengan keputusan presiden atau dengan peraturan pemerintah, sementara ada juga yang secara tidak sadar menghendaki agar ditetapkan dengan undang-undang. Sebagaimana diketahui, Undang-undang, Peraturan Pememrintah, atau Keputusan Presiden berfungsi menetapkan norma/kaidah hokum atau mencabut/menghapuskannya. Fungsi tersebut berlaku bagi semua norma dengan berbagai adresat, baik yang bersifat umum dan hal yang diaturnya adalah abstrak (disingkat umum-abstrak), ataupun umum-konkret, individual-abstrak, dan individual-konkret. Sebuah intruksi memiliki adresat (atau adresatadresat) tertentu, oleh karena itu, adresarnya bersifat individual. Sebuah intruksi juga memuat hal yang disuruh – melakukannya.dilarang – melakukannya, dan tertentu pelaksanaanya /frekuensinya (satu kali, dua kali, atau beberapa kali). Jadi, ia bersifat konkret. Singkatnya, 121 122
A. Hamid S. Attamimi, Ibid, hlm. 152. Ibid, hlm 153.
64
norma hokum yang dikandung sebuah intruksi hanya dapat berlangsung jika antara yang member intruksi dan menerima intruksi terdapat hubungan organisasi. Lain halnya dengan peraturan. Sebuah norma hokum yang berisi peraturan, bail dituangkan dalam Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, atau dalam Keputusan Menteri, adresatnya selalu bersifat umum (tidak ditujukan kepada orang-orang tertentu,tetapi kepada semua golongan) dan hal yang diaturnya selalu bersifat abstrak (tidak tertentu ulang kali/frekuensinya). Dengan demikian, Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 berisi norma dengan adresat yagn individual (ditujukan kepada Menteri Agama)
dan
dengan
perbuatan
yang
bersifat
konkret,
tertentu
ulang
kalinya
(menyebarluaskannya). Berdasarkan uraian diatas, khusunya yang bersangkutan dengan norma suatu peraturan yang adresat-nya bersifat umum dan hal yang diatur/dilakukannya bersifat abstrak, maka terhadap Keputusan Menteri Agama Nomor 154 Tahun 1991 perlu diberikan beberapa catatan. 1) Sebagaimana dikatakan, suatu Keputusan mengandung norma yang : a)
Umum-abstrak
b)
Umum-konkret
c)
Individual-abstrak
d)
Individual-konkret.
Norma manakah yang dimaksud oleh Keputusan Menteri Agama tersebut? Jelas, tidak mungkin yang dimaksud adalah umum-abstrak karena Presiden mengeluarkannya dalam bentuk Intruksi Presiden. Mengapa Menteri Agama melanjutkannya dalam bentuk keputusan yang mengandung berbagai kemungkinan sifat-sifat norma tersebut? 2) Dilihat dari isinya, Keputusan Menteri tersebut ternyata sama dengan isi Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, yaitu mengandung norma hokum yang adresat-nya individual yaitu jajaran Departemen Agama sedangkan hal yang disuruh melakukan ialah : (1) Menyebarluaskan KHI, dan (2) menerapkan KHI. Maka, dilihat dari sifat normanya yang individual-konkret, ia adalah Keputusan Intruksi Menteri Agama, bukan Keputusan Menteri Agama. Akhirnya “bentuk luar” dan “format” KHI- yang disebutkan dalam Intruksi Presiden dan Keputusan Menteri Agama tersebut dan dapat dilihat dalam buku kecil terbitan Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Departemen Agama-perlu dikritik seperlunya.123 123
A. Hamid S. Attamimi, Ibid, hlm. 154.
65
Sebagaiman diketahui, KHI dalam penerbitan itu dibagi dalam “buku”, “bab”, “bagian”, “pasal”, dan “ayat”. Akibat “bentuk luar” dan “format” yang menyerupai batang tubuh peraturan perundang-undangan ini, maka dapat dimengerti apabila banyak diantara anggota masyarakat yang menganggap KHI adalah peraturan perundang-undangan dalam arti hukum tertulis. Padahal, sebagaimana diuraikan diatas, KHI adalah hukum tidak tertulis (yangdituangkan dalam suatu komplikasi tertulis). Oleh karena itu, untuk menghindari salah paham, sebaiknya KHI dituliskan tidak dengan “pasal-pasal” (apalagi donesia “buku”,” bab”, dan “bagian”) tetapi cukup dengan angka Arab, yang berurutan dari nomor satu sampai selesai (1,2,3, dan seterusnya). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa: 1. KHI sangat menguntungkan sebagian besar masyarakat Indonesia. Rakyat Indonesia yang beragama Islam karena dapat mengetahui bagaimana hukum yang berlaku bagi mereka dibidang perkawianan, kewarisan, dan kewakafan; dan para pejabat Indonesia apapun agama yang dianutnya – dapat mengetahui hukum yang berlaku bagi bawahannya yang beragama islam, mengingat untuk beberapa tindakan bawahan diperlukan persetujuan atasan. 2. KHI, ditulis, belum merupakan hukum tertulis. Karena system hukum nasional Indonesia mengakui hukum tertulis dan hukum tidak tertulis, maka KHI dapat mengisi hukum umum, khususnya mengisi kekosongan hukum bagi warga Negara Indonesia yang beragama Islam. 3. Adalah sesuatu yang menguntungkan bahwa penyebarluasan KHI dilakukan dengan instruksi Presiden, bukan Negara keputusan Presiden, dan lebih-lebih bukan dengan Undang-undang. Dengan demikian, salam paham beberapa pihak yang menyangka bahwa KHI seolah-olah usaha kembali kepada “piagam Jakarta” dapat disahkan. 4. Agar KHI tetap mempunyai “bentuk luar”. “format”, dan “ciri” sebagai hukum tidak tertulis maka teknik penulisannya perlu diperhatikan dan disempurnakan agar tidak rancu dengan bentuk luar dan format hukum tertulis.124 Demikian beberapa catatan tentang kedudukan KHI dalam system perundangundangan di Indonesia.
124
A. Hamid S. Attamimi, Ibid, hlm. 155.
66
B. kedudukan Hukum Kewarisan dalam (KHI) sebagai Pedoman Instansi Pemerintah dan Masyarakat dalam Menyelesaikan Sengketa Kewarisan Dasar Hukum Kompilasi Hukum Islam di Indonesia adalah intruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tanggla 10 Juni 1991. Menurut Ismail Suny, sudah jelas bahwa dalam bidang perkawinan, kewarisan, dan wakaf bagi pemeluk-pemeluk islam telah ditetapkan oleh Undang-undang yang berlaku dalam hukum islam, aritnya, bahwa bagi masyarakat muslim Indonesia yang harus dijasikan pegangan hukum itu adalah Kompilasi Hukum Islam dalam setiap penyelesaian-penyelesaian masalah perkawian, kewarisan, dan wakaf, dan itu adalah hukum Islam yang sudah dilegalisi oleh Undang-undang.125 Dan selanjutnya ia mengatakan bahwa Intruksi Presiden tersebut itu dasar hukumya adalah pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yanitu kekuasaan Presiden atau Intruksi Presiden, kedudukan hukumnya adalah sama.126 Karena itu pembicaraan mengenai kedudukan pompilasi tidak mungkin dilepaskan dari Intruksi Presiden dimaksud. Intruksi Presiden RI yang ditunjukkan kepada menteri Agama dalam penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam yang sudah disepakati tersebut, dalam dictum keputusannya hanya menyatakan: PERTAMA: Menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam, yang terdiri dari: a. Buku I tentang Hukum Perkawinan b. Buku II tentang Kewarisan c. Buku III tentang Perwakafan Sebagaimana telah diterima baik oleh para alim ulama Indonesia dalam lokakarya di Jakarta pada tanggal 2-5 februari 1988 untuk digunakan oleh instansi Pemerintah dan Masyarakat yang memerlukannya. KEDUA: Melaksanakan Intruksi ini dengan sebaik-baiknya dan dengan penuh tanggung jawab.
Sedangkan konsideran Intruksi tersebut menyatakan:
a. Bahwa ulama Indonesia dalam lokakarya yang diadakan di Jakarta pada tanggal 2 sampai dengan 5 februari 1988 telah menerima baik rancangan buku Kompilasi Islam, yaitu buku I tentang Hukum Perkawinan, Buku II tentang Hukum Kewarisan dan buku III tentang Hukum Perwakafan;
125
Ismail Suny, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, dalam Eddi Rudiana Arief, et. Al “Hukum Islam di Indonesia, Perkembangan dan Pembentukkan, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1991, hlm. 44. 126 Ismail Suny, Ibid, hlm. 44
67
b. Bahwa Kompilasi Hukum Islam tersebut dalam hukruf a oleh Instansi Pemerintah
dan
oleh
masyarakat
dan
oleh
masyarakat
yang
memerlukaknnya dapat digunakan sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah dibidang tersebut; c. Bahwa oleh karena itu Kompilasi Hukum Islam tersebut dalam huruf a perlu disebarluaskan. Sesuai dengan maksud penetapannya Intruksi Presiden tersebut hanyalah mengatur tentang soal “penyebarluasan” Kompilasi Hukum Islam yang telah diterima oleh para ulama dalam satu lokakarya nasional. Oleh karenanya adalah wajar bila mana dala intruksi tersebut tidak kita jumpai adanya penegasan berkenaan dengan kedudukan dan fungsi dari Kompilasi yang bersangkutan. Dalam instruksi ini tidak ada penegasan bahwa kompilasi itu merupakan lampiran dari Intruksi Presiden dimaksud sebagaimana lazimnya kita jumpai dalam intrusi yang serupa sehingga ia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari inpres yang bersangkutan. Dengan demikian juga tidak ada penunju,kan teks resmi dari Kompilasi Hukum Islam yang harus disebarluaskan. Hanya saja, dalam konsideran secara tersirat hal ini ada diseutkan bahwa Kompilasi ini dapat digunakan sebagai pedoman dalam penyekesaian masalah-masalah dibidang tersebut (maksudnya tentu bidang-bidang yang diatur oleh pompilasi yaitu Hukum Perkawinan, hukum kewarisan dan hukum perwakafan), oleh instansi Pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya. Berdasarkan penegasan tersebut maka kedudukan kompilasi ini hanyalah “pedoman”. Disini tidak ditemukan penjelasan apa sebenarnya yang dimaksud dengan pedoman. Akan tetapi, dari susunan kata atau kalimat dapat digunakan sebagai pedoman akan dapat menimbulkan kesan bahwa dalam masalah ini kompilsai tidak mengikat artinya para pihahk dan instansi dapat memakainya dan dapat pula tidak memakainya. Oleh karena itu, pengertian sebagai pedoman harus bermakna sebagai tuntunan atau petunjuk yang harus dipakai baik oleh pengadilan Agama maupun warga masyarakat dalam menyelesaikan sengketa mereka dalam bidang hukum perkawianan, kewarisan, dan perwakafan. Lebih lanjut dalam diktum Keputusan Menreti Agama tanggla 22 juli 1991 No. 154 Tahun 1991 disebutkan, bahwa: Pertama
: Seluruh Instansi Departemen Agama dan Instansi Pemerintah lainynya yang terkait yang menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam dibidang Hukum Perkawinan, Kewarisan, dan Kewakafan sebagaimana dimaksud dalam
68
dictum pertama Intruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1991 tanggal 10 juni 1991 untk digunakan oleh Instansi pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya dalam menyelesaikan masalah-maslah dibidang tersebut. Kedua
: Seluruh lingkungan instansi tersebut dalam dictum pertama, dalam menyelesaikan masalah-masalah dibidang hukum perkawinan, kewarisan, dan kewakafan sedapat mungkin menerapkan Kompilasi Hukum Islam tersebut disamping peraturan perundang-undangan lainnya.
Ketiga
: Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam dan Direktur Bimbingan
Masyarakat
Islam dan Urusan Haji
mengkoordinasikan
pelaksanaan Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia ini dalam bidang tugasnya masing-masing. Keempat
: Keputusan ini mulai berlaku sejak diterpkannya.127
Satu hal yang perlu perhatian dari Keputusan Menteri Agama ini ialah pada diktum bagian kedua yang berkaitan dengan kedudukan kompilasi yang intinya agar supaya seluruh lingkungan Instansi (dalam kasus ini terutama sekali dimaksud tentunya adalah Instansi Peradilan Agama) agar “sedapat mungkin menerapkan Kompilasi Hukum Islam tersebut di samping peraturan perundang-undangan lainnya”. Kata-kata “sedapat mungkin” dalam Keputusan Menteri Agama ini kiranya mempunyai kaitan cukup erat dengan kata-kata “dapat digunakan” dalam Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 sebagaimana dikemukakan di atas, dan juga harus diartikan bukan dalam artian kompilasi hanya dipakai kalau kedaan memungkinkan akan tetapi sebagai suatu anjuran untuk lebih menggunakan kompilasi ini dalam penyelesaian sengketa-sengketa perkawinan, kewarisan, dan perwakafan yang terjadi di kalangan umat Islam. Selain itu, dari kata-kata “di samping” peraturan perundangundangan, hal ini menunjukkan adanya kesederajatan kompilasi ini dengan ketentuanketentuan perundang-undangan mengenai perkawinan dan perwakafan yang sekarang sudah berlaku serta dengan ketentuan perundangan kewarisan yang nantinya akan ditetapkan keberlakuannya bagi umat Islam. Dengan demikian, khusus menyangkut fungsi pelaksanaan kompilasi ini tentunya masih diperlukan petunjuk teknis berkenaan dengan bagaimana seharusnya Kompilasi 127
H. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Akademika Pressindo, Jakarta, 1992, hlm.
56.
69
Hukum Islam ini seharusnya dilaksanakan oleh jajaran aparatur Peradilan Agama sehingga mereka tidak mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya. Melalui petunjuk pelaksanaan ini diharapkan akan dapat diberikan kejelasan mengenai bagaimana kedudukan dan fungsi Kompilasi Hukum Islam dalam praktik penyelesaian perkara. Apabila kita berasumsi tentang Instruksi Presiden dan Keputusan Menteri Agama menyangkut kompilasi ini mempunyai kedudukan sebagai “pedoman” dalam artian sebagai sesuatu petunjuk bagi para hakim Peradilan Agaman dalam memutus dan menyelesaikan perkara, maka kedudukannya adalah tergantung sepenuhnya dari para Hakim dimaksud untuk menuangkannya dalam keputusan-keputusan mereka masing-masing sehingga kompilasi ini akan terwujud dan mempunyai makna serta landasan yang kokoh dalam yurisprudensi Peradilan Agama. Dengan cara demikian, maka Peradilan Agama tidak hanya berkewajiban menerapkan ketentuan-ketentuan yang sudah digariskan dalam kompilasi, akan tetapi justru mempunya peranan yang lebih besar lagi untuk memperkembangkan dan sekaligus melengkapinya melalui yurisprudensi yang dibuatnya.128 C. Bentuk-bentuk Reformasi Hukum Kewarisan dalam KHI Bentuk-bentuk reformasi kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam antara lain: 1. Pasal 171 sub e yang berbunyi “Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperlaun pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz) pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat. “ Di dalam pasal tersebut terungkap bahwa harta bersam itu terpisah dari harta pribadi masing-masing. Bahkan dalam perkawinan poligini--perkawinan serial, wujud harta bersama itu terpisah antara suami dengan masing-masing isteri. Sementara dalam al-Qur`an dan al-Hadits, masalah ini tidak dijumpai nashnya secara pasti. Ilmu fiqh cenderung mengabaikan masalah ini sehingga menimbulkan kesan bahwa isteri tidak berperan dalam pembinaan rumah tangga, termasuk aspek financialnya.129 Sebagai logika bagi system Harta Bersama, dalam system perkawinan masyarakat Indonesia terdapat sejumlah ciri-ciri: a. Perlunya dedikasi secara total dari suami dan isteri; b. Perlunya partisipasi penuh kedua belah pihak dalam membina rumah tangga c. Keterbukaan dan saling mempercayai 128
H. Abdurrahman, Ibid, hlm. 53-58. A. Wasit Aulawi, Sejarah Perkembangan Hukum Islam, dalam Amrullah Ahmad SF, dkk, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, hlm.59 129
70
d. Kerja sama dan saling menolong dalam arti luas e. Adanya jaminan hukum.130 Dedikasi seorang isteri telah berubah di zaman kita hari ini, hal ini merupakan adat/kebiasaan yang sudah mengakar di dalam masyarakat kita. Jadi, dalam membina rumah tangga selain menjalankan ketentuan-ketentuan hukum yang normatif, kita tidak dapat mengabaikan pula peranan adat/tradisi yang pada akhirnya dapat direalisasikan sebagai hukum.131 2. Pasal 176 antara lain menyatakan bahwa bagian waris anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan. Namun pasal 299 (yang merupakan ketentuan penutup) menyatakan bahwa dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya, hakim wajib memperhatikan dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat sehingga putusannya sesuai dengan rasa keadilan. Dan hal itu sudah sering dilakukan oleh pengadilan Indonesia, dengan tidak melaksanakan pembagian warisan berdasarkan prinsip anak laki-laki mendapat bagian dua sedang perempuan satu.132 3. Pasal 177 tentang bagian ayah. Dalam pasal ini dirumuskan bahwa ayah mendapat 1/3 bagian dari apabila pewaris tidak meninggalkan anak. Tetapi apabila ada anak, maka ayah mendapat 1/6 bagian. Ketentuan pasal ini tidak terdapat dalam al-Qur`an (surat al-Nisa: 11) dan ijma ulama yang menentukan bagian ayah dengan cara `ashobah apabila yang meninggal dunia tidak meninggalkan anak. 4. Pasala 184 tentang perdamaian dalam pembagian warisan. Pasal ini membuka peluang adanya pembagian warisan dalam porsi yang sama (1:1) antara anak laki-laki dan anak perempuan yang menyimpang dari pasal 176 yang mengatur ketentuan anak laki-laki dan anak perempuan. 5. Pasal 184 tentang pengangkatan wali. 6. Pasal 185 tentang ahli waris pengganti. Apabila istilah “Ahli Waris Pengganti” ini dimaksudkan mengangkat seorang bukan ahli waris menjadi ahli waris, maka jelas hal itu bertentangan dengan hukum kewarisan Islam yang berasaskan ijbari.133
130
Aulawy, Ibid, hlm. 60. Hasil ijtihad fiqh---sebagai produk hukum yang diambil dengan menggunakan metode `urf yang tentu bertujuan mashlahat. Aulawy, Ibid, hlm. 60. 132 Munawir Sadzali, Relevansi Hukum Keluarga Islam dengan Kebutuhan Masa Kini, dalam Amrullah Ahmad, hlm. 224. 133 Lihat Aulawy, Ibid, hlm. 63. 131
71
7. Pasal 189 tentang pemeliharaan keutuhan dan kesatuan lahan pertanian yang luasnya kurang dari 2 (dua) hektar, supaya dipertahankan kesatuannya sebagaimana semula. Sedangkan bagi ahli waris yang membutuhkan uang/modal, maka bias dilakukan dengan cara mengganti harga bagian dari harta waris yang didapatnya. Pola pembagian ini sebenarnya bertentangan pula dengan asas ijbari. Amir syarifudin (1984:18) mengungkapkan asas ijbari itu mengandung arti bahwa perpindahan hak milik dari seorang muwarits kepada orang lain (ahli waris) berlaku dengan sendiri menurut ketentuan Allah tanpa tergantung pada kehendak muwarits atau ahli waris. 8. Pasal 209 menyatakan bahwa ayah angkat berhak ikut menerima warisan harta peninggalan anak angkatnya. Demikian juga sebaliknya, anak angkat berhak ikut menerima warisan harta peninggalan ayah angkatnya. Kalau mereka tidak menerima wasiat, diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan anak/orang tua angkatnya. Padahal, dalam hukum Islam, tidak ada anak dan orang tua angkat menerima warisan. 9. Hukum kewarisan Islam di Indonesia mengakui lembaga Gono-Gini, sedangkan dalam hukum Islam tidak ada.134
134
Munawir Sadzali, op.cit, hlm. 225.
72
BAB IV REFORMASI HUKUM KEWARISAN KHI DALAM PERSPEKTIF SLAM
A. Pola Perumusan Kewarisan dalam Fikih Islam (Fiql Al-Mawarits) Proses perjalanan kehidupan manusia adalah lahir, hidup dan mati. Semua tahap itu membawa pengaruh dan akibat hukum kepada lingkungannya, terutama dengan orang yang dekat dengannya, baik dekat dalam arti nasab maupun dalam arti lingkungan. Kelahiran membawa akibat timbulnya hak dan kewajiban bagi dirinya dan orang lain serta timbulnya hubungan hukum antara dia dengan orang tua, kerabat dan masyarakat lingkungannya. Selama hidupnya, sejak proses bayi, anak-anak, tamyiz, usia baligh dan usia selanjutnya, manusia bertindak sebagai penanggung hak dan kewajiban, baik selaku pribadi, anggota keluarga, warga Negara, dan pemeluk agama yang harus tunduk, taat dan patuh kepada ketentuan syari’at dalam seluruh totalitas kehidupannya. Demikian juga kematian seseorang membawa pengaruh dan akibat hukum kepada diri, keluarga, masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Selain itu, kematian tersebut menimbulakn kewajiban orang lain bagi dirinya (si mayit) yang berhubungan dengan pengurusan jenazahnya (fardhu kifayah). Dengan kematian itu timbul pula akibat hukum lain secara otomatis, yaitu adanya hubungan ilmu hukum yang menyangkut hak para keluarganya (ahli waris) terhadap seluruh harta peninggalannya. Bahkan masyarakat dan Negara (Baitul Mal) pun, dalam keadaan tertentu, mempunyai ha katas peninggalan tersebut. Adanya kematian seseorang mengakibatkan timbulnya cabang ilmu hukum yang menyangkut bagaimana cara pengoperan atau penyelesaian harta peninggalan kepada keluarga (ahli waris)-nya, yang dikenal dengan nama: Hukum Waris. Dalam syari’at Islam ilmu tersebut dikenal dengan nama: Mawarits, Fiqh Mawarits atau Faraidh. Dalam hukum positif di Indonesia selain dikenal hukum waris yang berasal dari syari’at Islam, dikenal juga hukum waris lain, yaiitu hukum waris yang berasal dari hukum adat bangsa Indonesia dan hukum waris dari kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) yang terdapat pada buku II (Erfrecht). Jadi, dengan meninggalnya seseorang terjadilah proses pewarisan yaitu “Suatu proses pemindahan dan pengoperan harta kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia.”135 135
H. Abdul Wahab Afif, Hukum Waris Islam, Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Gunung Djati, Serang, 1978, hlm. 3
73
Dari seluruh hukum, hukum perkawinan dan hukum pewarisanlah yang menentukan dan mencerminkan system kekeluargaan yang berlaku dalam masyarakat. Demikian pentingnya hukum kewarisan karena sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, bahwa setiap manusia akan mengalami peristiwa yang merupakan peristiwa hukum yang lazim disebut meninggal dunia.136 Sejak kematian seseorang itulah seluruh harta benda miliknya beralih kepada ahli warisnya, inilah yang dimaksud adagium Perancis yang berbunyi: “Le mort saisit le vit” artinya yang meninggal dunia berpegang kepada yang hidup. Maksudnya “Jika ada seseorang yang meninggal dunia, maka seluruh miliknya pada ketika ia meninggal dunia itu, dengan sendirinya beralih kepada ahli warisnya yang masih hidup”.137 Dalam hukum waris tersebut ditentukanlah siapa-siapa yang menjadi ahli waris, siapa-siapa yang berhak mendapatkan bagian harta warisan tersebut, berapa bagian mereka masing-masing, bagaimana ketentuan pembagiannya, serta diatur pula berbagai hal yang berhubungan dengan soal pembagian harta warisan. Untuk sekedar menelusuri latar belakang hukum waris Islam guna mencapai pengetahuan tentang paradigm hukum waris Islam tersebut, maka perlu dijelaskan perkembangan dan tahapan-tahapan serta sejarah pengetahuan kewarisan Islam itu secara periodic—sistimatis. 1. Pewarisan pada Masa Pra-Islam. Pada zaman jahiliyah orang-orang Arab—bangsa yang gemar mengembara dan berperang—kehidupannya bergantung dari hasil perniagaan rempah-rempah serta hasil jarahan dan rampasan perang dari bangsa-bangsa yang mereka taklukkan. Mereka beranggapan bahwa kaum lelaki yang sudah dewasa saja yang mampu dan memiliki kekuatan dan kekuasaan dalam memelihara harta kekayaan mereka. Anggapan semacam diatas berlaku pula dalam hal pembagian harta warisan. Itulah sebabnya mereka, saat itu memberikan harta warisan kepada kaum leki-laki, tidak kepada perempuan: Kepada orang-orang yang sudah dewasa, tidak kepada anak-anak; dan kepada orang-orang yang mempunyai perjanjian prasetia138, juga kepada orang-orang yang diadopsi. Menurut mereka, anak-anak yang belum dewasa dan kaum perempuan termasuk keluarga yang belum atau tidak pantas menjadi ahli waris. Bahkan sebagian mereka beranggapan bahwa janda perempuan dari orang-orang yang 136
Idris Radja Mulya, Hukum Kewarisan Islam (Studi Kasus Perbandingan Ajaran Syafi’i— Patrilineal, HAzairin—Bilateral, dan Praktek di Pengadilan Agama), Ind Hill Co., Jakarta, 1984, hlm. 1. 137 Ali Affandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), Bina Aksara, Jakarta, 1983, hlm. 35. 138 Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Toha Putera, Semarang, 1972, hlm. 424.
74
meninggal termasuk sebagai wujud harta warisan yang dapat diwariskan kepada dan diwarisi oleh para ahli waris suaminya. Dari uraian di atas, dapatlah dipahami bahwa sebab-sebab yang memungkinkan seseorang mendapat harta warisan pada zaman jahiliyah adalah: a. Adanya pertalian kerabat. b. Adanya ikatan janji prasetia. c. Adanya pengangkatan anak. Orang-orang yang mempunyai pertalian kerabat dengan si mati, yang menerima harta warisan, terbatas kepada kaum laki-laki yang sudah dewasa, seperti anak laki-laki, saudara laki-laki, paman, dan anak-anak paman dari si mati. Orang-orang yang mempunyai ikatan janji prasetia dengan si mati berhak mendapatkan seperenam harta peninggalannya. Janji prasetia tersebut baru terjadi dan mempunyai kekuatan hukum, apabila kedua belah pihak telah mengadakan ijab-qabul dalam janji prasetianya.139 Pengangkatan anak (adopsi) merupakan adat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat Arab Jahiliyah, walaupun anak tersebut jelas mempunyai orang tua sendiri. Anak yang diangkat mempunyai hak-hak yang sama dengan hak-hak anak kandung, misalnya nasab dan warisan.140 2. Pewarisan pada Masa Awal Islam Pada masa awal Islam, kekuatan kaum muslimin masih sangat lemah, lantaran jumlah mereka sedikit. Untuk menghadapi kaum musyrikin Quraisy yang sangat kuat, Rasulullah saw meminta bantuan penduduk di luar kota Makkah yang sepaham dan simpatik terhadap perjuangannya dalam memberantas kemusyrikan. Setelah menerima perintah dari Allah SWT. Rasulullah saw bersama-sama sejumlah sahabat besar meninggalkan kota Makkah menuju Madinah. Di kota yang baru ini Rasulullah saw dan para pengikutnya disambut dengan gembira oleh orang-orang Madinah dengan ditempatkan di rumah-rumah mereka, dicukupi segala keperluan hariannya, dilindungi jiwanya dari pengejaran kaum musyrikin Quraisy, dan dibantu dalam menghadapi musuhmusuh yang menyerangnya. Orang-orang yang menyertai hijrah Rasulullah saw dari Mekkah
139
Ucapan (sumpah) prasetia yang biasa digunakan antara lain, “Darahku darahmu, pertumpahan darahku pertumpahan darahmu, kamu mewarisi hartaku aku pun mewarisi hartamu, kamu dituntut darahmu karena tindakanmu terhadapku akupun dituntut darahku karena tindakanku terhadapmu.´ Hasanain Muhammad Makhluf, Al-MAwarits fi al-Syari’at al-Islamiyyah, Lajnah al-Bayyan al-Araby, Kairo, 1985, hlm. 5. 140 H. Abdul Wahab Afif, op-cit, hlm. 12
75
disebut kaum Muhajirin, dan mereka yang menyambut kedatangan Rasulullah saw di Madinah disebut kaum Anshar. Untuk memperteguh dan mengabadikan persaudaraan kaum Muhajirin dan kaun Anshar, Rasulullah saw menjadikan ikatan persaudaraan tersebut sebagai salah satu sebab untuk saling mewarisi satu sama lain. Misalnya apabila seorang Muhajir meninggal dunia di Madinah dan ia mempunyai wali (ahli waris) yang ikut hijrah, maka harta peninggalannya diwarisi oleh walinya yang ikut hijrah. Sedangkan ahli warisnya yang enggan hijrah ke Madinah tidak berhak mewarisi hartanya sedikit pun. Akan tetapi apabila Muhajir tersebut tidak mempunyai wali yang ikut hijrah, maka harta peninggalannya dapat diwarisi oleh saudaranya dari kaum Anshar yang menjadi wali karena ikatan persaudaraan.141 Dari uraian di atas, dapatlah dipahami bahwa sebab-sebab yang memungkinkan seseorang yang mendapatkan harta warisan pada masa awal Islam adalah: a. Adanya pertalian kerabat. b. Adanya pengangkatan anak. c. Adanya hijrah (dari Mekkah ke Madinah) dari persaudaraan antara kaum Muhajirin dan Anshar. Hijrah dan muakhkhah sebagai sebab pewarisan dibenarkan Allah SWT. Dalam firman-Nya Q.S. Al-Anfal ayat 72, yang bunyinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertoIongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi. dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, Maka tidak ada 141
Facturrahman, Ilmu Waris, Al-Ma’arif, Bandung, 1981, hlm. 17.
76
kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, Maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada Perjanjian antara kamu dengan mereka. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan. (Q.S. Al-Anfal, 8:72).
3.
Pewarisan pada Masa Islam Selanjutnya. Setelah aqidah umat Islam bertambah kuat, dan satu sama lain di antara mereka telah
terpupuk rasa saling mencintai, apabila kecintaan mereka kepada Rasulullah saw sudah sangat melekat, perkembangan Islam makin maju, pengikut-pengikutnya bertambah banyak, pemerintah Islam sudah stabil, dan lebih dari itu penaklukan kota Mekkah telah berhasil dengan sukses, maka kewajiban hijrah yang semula sebagai sarana untuk menyusun kekuatan antara kaum muslimin dari kota Mekkah dengan kaum muslimin yang ada di kota Madinah dicabut dengan Hadits Rasulullah saw:
"Tidak ada kewajiban berhijrah setelah penaklukkan kota Mekkah." (H.R. Bukhari dan Muslim). Demikianlah juga sebab-sebab pewarisan atas dasar ikatan persaudaraan di-nasakh oleh firman Allah SWT surat al-Ahjab ayat 6 yang bunyinya:
"...Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (warismewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang Mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu (agama)... " (Q.S. alAhzab, 33:6). 77
Sebab-sebab pewarisan yang hanya berdasarkan kelaki-lakian yang dewasa, dan mengenyampingkan anak-anak dan kaum perempuan, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyah juga telah dibatalkan oleh firman Allah SWT surat an-Nisa ayat 7 dan 11, yang bunyinya:
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya. Dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.” (Q.S. al-Nisa, 4:7).
"Allah Kfensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak laki-laki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan... " (Q.S. al-Nisa, 4: 11). Sebab-sebab pewarisan yang berdasarkan janji prasetia dibatalkan oleh firman Allah dalam surat al-Anfal ayat 75, yang bunyinya:
"... Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya dari pada yang bukan kerabat di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (Q.S. al-Anfal, 8 : 75). Sedangkan pewarisan yang berdasarkan adanya pengangkatan anak (adopsi) dibatalakan oleh firman Allah surat al-Ahzab ayat 4-5 dan ayat 40, yang bunyinya:
78
"...Dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataan di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (mernakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih add pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui nama bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudarasaudaramu seagama dan maula-maulamu... " (Q.S. al-Ahzab, 33 :4-5).
"Muhammad sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi..." (Q.S. al-Ahzab, 33:40).
Dari uraian di atas, dapatlah dipahami bahwa dalam pewarisan Islam kaum kerabat yang berhak menerima harta warisan tidak terbatas kepada kaum laki-laki yang sudah dewasa, melainkan juga kepada anak-anak dan perempuan. Dan dalam pewarisan Islam tidak dikenal adanya janji prasetia dan pengangkatan anak (adopsi). Pembatalan atau penghapusan sebab-sebab pewarisan yang berdasarkan janji prasetia dan pengangkatan anak (adopsi) di atas bukan berarti Islam melarang umatnya untuk menjadikan seseorang sebagai anak angkat atau tolan seperjanjian, bahkan Islam menganjurkan pemeliharaan anak angkat keluarga yang kurang mampu oleh keluarga yang mampu. Namun, hendaklah diingat bahwa anak angkat atau tolan seperjanjian, dalam hukum
79
Islam bukanlah ahli waris. Pemberian harta seseorang kepada anak angkat atau tolan seperjanjiannya dapat dilakukan melalui hibah atau wasiat.142 Disamping hal di atas, Ikatan Perkawinan ditegaskan pula menjadi sebab penerimaan warisan sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an surat al-Nisa ayat 12, yang artinya :
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak,maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya setelah dipenuhi semua wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkanjika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yan kamu tinggalkan setelah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu…” (Q. S. Al-Nisa, 4:12 ).
Demikian juga Pemerdekaan Budak sebagaimana disebutkan dalam hadits menjafi salah sau sebab penerimaan warisan dalam hokum islam. Hal itu disinyalir oleh Rosululloh dalam haditsnya :
142
Sayuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1993, hlm. 170-171
80
“Wala’ mempunyai bagian sebagaimana kerabat mempunyai bagian.” (HR. Ibnu HIbban dan Hakim ). Jadi, sebab-sebab yang memungkinkan seseorang mendapatkan harta waisan menurut islam adalah : a. Adanya pertalian kerabat. b. Adanya ikatan perkawinan. c. Adanya pemerdekaan budak. Adapun sumber-sumber hokum yang menjadi rujukan hokum kewarisan islam dalam menetapkan dan memecahkan suatu masalah huum adalah al-Quran,al-Sunnah dan ijtihad (fardhi atau jam’i ) a. Al-Quran Al-Quran menjelaskan ketentuan-ketentuan pembagian warisan secara jelas, antara lain dalam (Q.S.al-nisa ayat 7, 11,12, dan 176) yang bunyinya adalah :
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan” (Q.S. al-Nisa ; 7).
81
“Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu.Yaitu: bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan: dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditingalkan,jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika yang meninggal tidak mempunyai anak dan iaia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sperenam. (pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagiMaha Bijaksana”. (Q.S. al-Nisa : 11).
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu 82
mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris) (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun. (Q.S annisa :12 ).
“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.(Q.S Annisa :176 ).
83
b. As – sunnah Hadits yang menjadi ketentuan pembagian waris antara lain :
“Bagikanlah harta warisan di antara ahli waris menurut Kitabulloh”. (HR.Muslim dan Abu Dawud).
Nabi saw bersabda :” Berikanlah harta warisan kepada orang-orang yang berhak,sesudah itu,sisanya, untuk orang laki-laki yang lebih utama. (HR.Bukhori dan Muslim ). c. Ijma’ dan ijtihad Ijma’ dan Ijtihad para sahabat, imam-imam madzhab dan mujtahid-mujtahid kenamaan mempunyai peranan yang tidak kecil sumbangannya terhadap pemecahanpemecahan terhadap masalah mawaris yang belum dijelaskan oleh nash-nash yang sharih. Seperti pembagian muqasamah (bagi sama) dalam masalah al-jaddu wal-Ikhwah (kakek bersama-sama dengan saudara ),pembagian bagi cucu yang ayahnya lebih dahulu meninggal dunia dalam masalah wasiat wajibah, pengurangan dan penambahan bagian para ahli waris dalam masalah ‘Aul dan Radd, pembagian tsulutsul baqi (sepertiga sisa) bagi ibu jika hanya bersama bapak dan suami atau isteri dalam masalah Gharrawain, dan lain sebagainya.
1.
Rukun dan syarat pewarisan. Untuk terjadinya pewarisan, diperlukan tiga rukun (unsur), yaitu sebagaimana ditulis
oleh Sayid Sabiq : a. Ahli waris, yaitu orang-orang yang dihubungkan kepada si mati dengan salah satu sebab-sebab pewarisan, b. Pewaris, yaitu si mati, bak mati haqiqi maupun hokum, seperti yang telah hilang, yang oleh hakim dinyatakan telah meninggal dunia, c. Warisan, dinamakan juga dengan tirkah atau mirats, yaitu harta atau hak yang berpindah dari si pewaris kepada ahli waris.143
143
Sayid Sabiq, op-cit, hlm. 426.
84
Ketiga rukun di atas berkaitan antara satu dengan lainnya. Ketiganya harus ada dalam setiap pewarisan. Dengan kata lain, pewarisan tidak mungkin terjadi manakala salah satu diantara ketiga unsure di atas tidak ada. Sebagaimana rukun pewarisan, syarat pewarisan pun ada tiga yaitu : a. Meninggalnya pewaris dengan sebenarnya maupun secara hokum, seperti keputusan hakim atas kematian orang yang mafqud (hilang) b. Hidupnya ahli waris setelah kematian si pewaris, walaupun secara hukm seperti anak dalam kandungan. c. Tidak adanya salah satu penghalang dari penghalang-penghalang pewarisan.144 Penjelasan syarat pewarisan nomor tiga, diharapkan,para ahli waris berupaya untuk tidak melakukan hal-hal yang sekiranya dapat menolaknya untuk menerima harta peninggalan si pewaris. Mengenai syarat yang ketiga (tidak adanya penghalag pewarisan ) di atas, di antara ahli faraidh, ada yang menyatakan bahwa hal tersebut tidak termasuk kedalam syarat pewarisan. Menurut mereka, yang menjadi syarat (pewarisan) ketiga adalah pengetahuan tentang keadaan ahli waris.145 Perbedaan pendapat mengenai syarat-syarat pewarisan di atas, dapatlah dipahami bahwa kepastian matinya pewaris dan kepastian hidupnya ahli waris pada saat matinya pewaris, baik secara haqiqi maupun hulani atau taqdiri merupakan syarat pewarisan yang menjadi kesepakatan para ulama faraidh; sedangkan syarat-syarat lainnya, seperti tidak adanya salah satu penghalang dari penghalang-penghalang pewarisan, pengetahuan tentang jalur pewarisan sebagai syarat khusus bagi para hakim dan pemberi fatwa, syarat tidak adanya ahli waris lain dalam pewarisan wala, merupakan syarat pewarisan khusus menurut peninjauan mereka yang mengemukakannya. 2.
Sebab-sebab dan Penghalang Pewarisan
Pewarisan merupakan pengalihan hak dan kewajiban, dari orang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya dalam memiliki dan memanfaatkan harta peninggalan. Pewarisan tersebut baru terjadi manakala ada sebab-sebab yang mengikat pewaris dengan ahli warisnya. Adapun sebab-sebab tersebut adalah: 144
Ibid, hlm. 426-427. Dr. Muhammad All Ash-Shabuni, Ilmu Hukum Waris menurut Ajaran Islam, Alih Bahasa H. Zaid Husen al-Hamid, Mutiara Ilmu, Surabaya, t.t. hlm. 32, Lihat juga, Drs. KH. Ahmad Rifa'i Arief, Taisir alMa'sur fi Ilmi al-Fara'idh, Ponpes Daar al-Qalam, Tangerang, t.t. hlm. 3. beliau mengungkapkan bahwa syarat pewarisan yang ketiga itu adalah "Pengetahuan jalur kewarisan, termasuk syarat khusus bagi hakim dan pemberi fatwa." 145
85
a. Perkawinan b. Kekerabatan c. Wala' Sebab-sebab pewarisan ini dapat dikelompokkan kepada dua bagian, yaitu sebab nasabiyah (adanya hubungan nasab) dan sebab sababiyah (adanya sebab). Kekerabatan terkategori sebab nasabtyah, sedangkan perkawinan dan wala' terkategori sebab sababiyah. Perkawinan yang menjadi sebab pewarisan tersebut diisyaratkan harus menjadi akad yang sah menurut syari'at walaupun dalam perkawinan tersebut belum terjadi khalwat (tinggal berduaan), dan ikatan perkawinan tersebut masih utuh atau dianggap masih utuh. Jadi, perkawinan yang fasid atau yang bathil tidak menjadi sebab pewarisan. Suatu perkawinan dianggap masih utuh apabila perkawinan tersebut telah diputuskan dengan talak raj’i tetapi masih dalam masa iddah. Sebab, pada saat itu, swami masih mempunyai hak penuh untuk merujuk kembali bekas isterinya yang masih menjalankan iddah, balk dengan perkataan maupun dengan perbuatan, tanpa memerlukan kerelaan isteri, membayar mas kawin bare, dan menghadirkan saksi sena wali. Dengan demikian, hak suamiisteri untuk saling mewarisi masih tetap ada. Jadi, wanita yang ditalak raj'i hukumnya seperti isteri. Mereka masih mempunyai hak-hak suami-isteri, seperti hak waris-mewarisi antara keduanya manakala salah satu diantara keduanya ada yang meninggal sebelum selesainya masa iddah.146 Kekerabatan merupakan sebab pewarisan karena kelahiran147, suatu unsur kasualitas adanya seseorang yang tidak dapat dihilangkan, baik untuk anak turun (cabang) dari si mati (furu 'ul mayyit), leluhur (pokok) yang menyebabkan adanya si mati (ushulul mayyit), atau keluarga yang dihubungkan dengan si mati melalui garis menyamping (al-hawasyi). Mer..:ka yang memiliki ikatan kekerabatan dengan si mati, sebagai sebab dalam menenma harta peninggalan, adalah bapak dan ibu, anak-anak, dan orang-orang yang bernasab kepada mereka. Begitu pula wala' merupakan hal yang menjadikan seseorang, menurut hukum, mempunyai ikatan kekerabatan dengan orang lain. Sedangkan yang dimaksud dengan penghalang pewarisan adalah hal-hal, keadaan, atau pekerjaan, yang menyebabkan seseorang yang seharusnya mendapatkan warisan tidak
146
Lihat Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mackhab, terjemahan Masykur A.B., Afif Muhammad, dan Idrus al-Kaff, Lentera Basritama, Jakarta. 1996, hlm. 451. 147 Yang menjadi dasar kekerabatan ini, dalam Al-Qur'an surat al-Anfal: 75 yang artinya, Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya dari pada yang bukan kerabat di dalam Kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
86
mendapatkannya. Hal-hal yang dapat menggugurkan atau menghilangkan hak seseorang tersebut adalah: a. Perbudakan b. Pembunuhan c. Berlainan Agama d. Berlainan Negara Perbudakan, pembunuhan dan berlainan agama sebagai penghalang pewarisan telah menjadi kesepakatan para fuqaha. Sedangkan berlainan negara sebagai penghalang pewarisan masih diperselisihkan. Yusuf Musa (1959:161) tidak memasukkan perbudakan sebagai penghalang pewarisan. Sebab, baik secara perbuatan maupun secara peraturan atau undang-undang (Kitab undang-undang Hukum Warisan Mesir) perbudakan itu tidak ada.148 Namun demikian, para Faradhiyun telah menyepakati perbudakan sebagai penghalang pewarisan berdasarkan adanya na.,h sharih, yakni firman Allah SWT Surat al-Nahl ayat 75, yang bunyinya:
"Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatu pun". (Q.S. al-Nahl 16:75). 3.
Kelompok Ahli Waris Para ahli waris yang mempunyai hak waris dart seseorang yang meninggal dunia—
baik yang ditimbulkan melalui hubungan turunan (zunnasbi), hubungan periparan (asshar), maupun hubungan perwalian (mawali) dapat dikelompokkan atas dua golongan, yakni (1) golongan yang hak warisnya mengandung kepastian, berdasarkan ittifaq oleh para ularna atau sarjana hukum Islam, dan (2) golongan yang hak warisnya masih diperselisihkan (ikhtilaf) oleh para sarjana hukum Islam. Golongan ahli waris yang telah disepakati hak warisnya terdiri atas 15 orang laki-laki dan 10 orang perempuan. Mereka adalah:
148
Argumentasi ini wajar diungkapkannya, karena beliau adalah penduduk Mesir dan merujuk pada ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Mesir.
87
a. Kelompok Ahli Waris Laki-laki 1) Anak laki-laki 2) Cucu laki-laki pancar laki-laki dan seterusnya ke bawah 3) Bapak 4) Kakek shahih149dan seterusnya ke atas 5) Saudara laki-laki sekandung 6) Saudara laki-laki sebapak 7) Saudara lalci-laki seibu 8) Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung 9) Anak laki-laki saudara laki-laki sebapak 10) Paman sekandung 11) Paman sebapak 12) Anak laki-laki paman sekandung 13) Anak laki-laki paman sebapak 14) Suami 15) Orang laki-laki yang memerdekakan budak b. Kelompok Ahli Waris Perempuan 1) Anak Perempuan 2) Cucu Perempuan pancar laki-laki 3) Ibu 4) Nenek dari pihak bapak dan seterusnya ke atas 5) Nenek dari pihak ibu dan seterusnya ke atas 6) Saudara perempuan sekandung 7) Saudara perempuan sebapak 8) Saudara perempuan seibu 9) Isteri 10)Orang perempuan yang memerdekakan budak. Dari kedua puluh lima ahli waris tersebut sebagian mempunyai bagian fardh) tertentu, yakni bagian yang telah ditentukan kadarnya (furudhul muqaddarah), mereka ahli waris ashhabul furudh atau dzawil furudh; sebagian lainnya tidak mempunyai bagian tertentu, tetapi 149
Kakek Shahih, adalah bapaknya bapak dan seterusnya ke atas selama belum dihubungkan oleh ahli wails perempuan. Sedangkan yang sudah dihubungkan dengan ahli waris perempuan atau kakek dari pihak ibu disebut kakek ghair shahih.
88
mereka menerima sisa pembagian setelah diambil oleh ahli waris ashhabul furudh, mereka disebut ahli waris ‘ashabah. Golongan ahli waris yang masih diperselisihkan hak warisnya adalah keluarga terdekat (zul arham), yang tidak disebutkan di dalam kitab Allah (Al-Qur’an) tentang bagian (fardh), ataupun tentang ‘ushbat (Ibnu Rusyd, 1963:11). Mereka dikenal dengan sebutan ahli waris dzawil arham. A. Ashhabul Furudh Yang dimaksud dengan ashhabul furudh atau dzawil furudh adalah para ahli warits yang mempunyai bagian tertentu yang telah ditetapkan oleh syara’ (dalam Al-Qur’an), yang bagiannya itu tidak akan bertambah atau berkurang, kecuali dalam masalah-masalah yang terjadi dalam radd atau ‘aul. Bagian-bagian yang telah ditentukan al-furudh al-muqaddarah dalam al-Qur’an hanya ada enam, yakni: 1/2, 1/4, 1/8, 1/3, 2/3, dan 1/6. Orang-orang yang berhak menerima bagian- bagian tersebut (ashhabul furudh atau dzawil furudh) adalah: 1)
Suami
2)
Bapak
3)
Kakek dan seterusnya ke atas
4)
Saudara laki-laki seibu
5)
Isteri
6)
Anak Perempuan
7)
Cucu perempuan pancar laki-laki dan seterusnya ke bawah
8)
Ibu
9)
Nenek dari pihak bapak
10)
Nenek dari pihak ibu
11)
Saudara perempuan sekandung
12)
Saudara perempuan sebapak
13)
Saudara perempuan seibu.
Sebelum menerangkan bagian penerimaan bagian masing-masing ahli waris ashhabul furudh di atas perlu kiranya dijelaskan terlebih dahulu istilah-istilah yang digunakan dalam pembagian warisan tersebut, seperti: 1. Far’u al warits, yaitu anak turun (cabang) dari pewaris, mereka terdiri atas: a. Anak laki-laki 89
b. Anak perempuan c. Cucu laki-laki pancar laki-laki d. Cucu perempuan pancar laki-laki 2. Walad al-shulbi, yaitu anak inti (keturunan langsung) dari pewaris, mereka terdiri atas: a. Anak laki-laki b. Anak perempuan 3. Ashlu al-Dzakar, yaitu leluhur (pokok) lelaki dari pewaris, mereka terdiri atas: a. Bapak b. Kakek 1)
Penerima bagian setengah Para ahli waris ashhabul furudh yang berhak mendapatkan bagian setengah
(ashhabun nishfi) adalah: b. Suami c. Anak perempuan d. Cucu perempuan pancar laki-laki e. Saudara perempuan sekandung, dan f. Saudara perempuan sebapak Mereka mendapatkan bagian tersebut dengan ketentuan atau syarat sebagai berikut: a) Suami mendapat bagian setengah dengan ketentuan bahwa ia tidak mewarisi bersama far’ul warits, yaitu keturunan pewaris yang berhak mendapatkan bagian, seperti anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki pancar laki-laki, dan cucu perempuan pancar laki-laki. b) Anak perempuan mendapat bagian setengah dengan ketentuan bahwa ia seorang diri (tidak ada anak perempuan selainnya) dan tidak mewarisi bersama anak laki-laki yang menjadikannya sebagai penerima ‘ashabah bil ghair. c) Cucu perempuan pancar laki-laki mendapat bagian setengah dengan ketentuan bahwa ia seorang diri (tidak ada cucu perempuan pancar laki-laki selainnya) dan tidak mewarisi bersama cucu laki-laki pancar laki-laki yang menjadikannya sebagai penerima ‘ashabah bil ghair, serta tidak mewarisi bersama waladu shulbi, yaitu anak laki-laki dan anak perempuan. d) Saudara perempuan sekandung mendapat bagian setengah dengan ketentuan bahwa ia seorang diri (tidak ada saudara perempuan sekandung selainnya) dan tidak mewarisi
90
bersama saudara laki-laki sekandung yang menjadikannya sebagai penerima ‘ashabah bil ghair, serta tidak mewarisi bersama bapak dan far’ul waris. e) Saudara perempuan sebapak mendapat bagian setengah dengan ketentuan bahwa ia seorang diri (tidak ada saudara perempuan sebapak lainnya) dan tidak mewaris bersama saudara laki-laki sebapak yang menjadikannya sebagai penerima ‘ashabah bil ghair, serta tidak mewarisi bersama bapak, far’ul waris, dan saudara laki-laki atau saudara perempuan sekandung. Para ahli waris yang berhak mendapat bagian setengah tersebut tidak mungkin masing-masing mendapat bagian setengah dalam satu kasus pewarisan, kecuali suami bersama-sama dengan saudara perempuan sekandung atau bersama-sama dengan saudara perempuan sebapak.150 2)
Penerima bagian seperempat Para ahli waris ashhabul furudh yang berhak mendapatkan bagian seperempat
(ashhabul rubu’) adalah : a. Suami, dan b. Isteri dan para isteri. Mereka mendapatkan bagian tersebut dengan ketentuan atau syarat sebagai berikut: a. Suami mendapat bagian seperempat dengan ketentuan bahwa ia mewarisi bersama far’ul waris. b. Isteri atau para isteri mendapat bagian seperempat dengan ketentuan bahwa ia atau mereka tidak mewarisi bersama far’ul waris. 3)
Penerima bagian seperdelapan Para ahli waris ashhabul furudh yang berhal mendapatkan bagian seperdelapan
(ashhabul tsamin) adalah isteri atau para isteri, dengan ketentuan bahwa ia atau mereka mewarisi bersama far’ul waris. 4)
Penerima bagian sepertiga Para ahli waris ashhabul furudh yang berhak mendapatkan bagian sepertiga (ashhabul
tsuluts) adalah: a. Ibu, dan 150
Muhammad al-Ied al-Khatrawi, Al-Raid fi Ilmi al-Faraidh, Riadh. t.t. hlm. 15.
91
b. Dua orang saudara, baik laki-laki maupun perempuan, seibu atau lebih. Mereka mendapatkan bagian tersebut dengan ketentuan sebagai berikut: a)
Ibu mendapatkan bagian sepertiga dengan ketentuan bahwa ia tidak mewarisi bersama far’ul waris, atau beberapa (dua orang atau lebih) saudara, baik laki-laki, perempuan, maupun campuran; baik sekandung, sebapak, seibu, maupun campuran; baik mereka dalam keadaan mewarisi maupun terhijab. Dalam hal mewarisi bersama bapak dan salah seorang suami-isteri, ibu mendapat bagian tsulusul baqi (sepertiga dari sisa harta peninggalan setelah diambil bagian suami atau isteri).
b)
Dua orang saudara laki-laki atau perempuan seibu, atau mendapat bagian sepertiga dengan ketentuan bahwa mereka tidak mewaris bersama far’ul waris, atau ashlu dzakarin, yaitu bapak dan kakek.
5)
penerima bagian duapertiga Para ahli waris ashabul furudh yang berhak mendapatkan bagian dua pertiga adalah a. Dua orang anak perempuan atau lebih b. Dua orang cucu perempuan pancar laki-laki atau lebih c. Dua orang saudara perempuan sekandung atau lebih dan d. Dua orang saudara perempuan sebapak atau lebih
Mereka mendapatkan bagian tersebut dengan ketentuan atau syarat sebagai berikut : a)
Dua orang anak perempuan atau lebih mendapat bagian dua pertiga dengan ketentuan bahwa mereka tidak mewarisi bersama anak laki-laki yang menjadikannya sebagai penerima ‘ashabah bil ghair’.
b)
Dua orang susu perempuan pancar laki-laki atau lebih mendapat bagian dua pertiga dengan ketentuan bahwa mereka tidak mewarisi bersama cucu laki-laki pancar laki-laki yang menjadikannya sebagai penerima’ashabah bil ghair, serta tidak mewarisi bersama wakadu shulbi, yaitu anak laki-laki dan anak perempuan.
c)
Dua orang saudara perempuan sekandung atau lebih mendapat bagian dua pertiga dengan ketentuan bahwa mereka tidak mewarisi bersama saudara laki-laki sekandung yang menjadikannya sebagai penerima ashahab bil gghair, serta tidak
92
mewarisi bersama bapak dan far’ul waris (anak laki-laki, anak perempuan, cucu anak pancar laki-laki, dan cucu perempuan pancar laki-laki). d)
Dua orang saudara perempuan sebapak atau lebih mendapat bagian dua pertiga dengan ketentuan bahwa mereka tidak mewarisi bersama saudara laki-laki sebapak yan menjadikannya sebagai penerima ‘ashabah bil ghair, serta tidak mewarisi bersama bapak, far’ul waris, serta saudara laki-laki atau perempuan sekandung.
6) penerima bagian seperenam Para ahli waris ashabul furudh yang berhak mendapatkan bagian seperenam adalah : a. Bapak b. Ibu c. Kakek d. Nenek dari pihak bapak e. Nenek dari pihak ibu f. Saudara perempuan sebapak atau lebih g. Sudara laki-laki atau perempuan seibu, dan h. Cucu perempuan pancar laki-laki atau lebih. Mereka mendapat bagian tersebut dengan ketentuan atau syarat sebagai berikut : a)
Bapak mendapat bagian seperenam dengan ketentuan bahwa ia mewarisi bersama far’ul waris.
b)
Ibu ,endapat bagian seperenam dengan ketentuan bahwa ia mewarisi bersama far’ul waris, atau beberapa (dua orag atau lebih) saudara, baik laki-laki, perempuan, maupun campuran, baik sekandung, sebapak, seibu, maupun campuran;baik mereka dalam keadaan mewarisi maupun terhijab.
c)
Kakek mendapat bagian seperenam dengan ketentuan bahwa ia mewarisi bersama far’ul waris, tetapi tidak mewarisi bersama bersama bapak atau kakek yang lebih dekat dengan sipewaris.
d)
Nenek dari pihak bapak mendapat bagian seperenam dengan ketentuan bahwa ia tidak mewarisi bersama bapak, ibu, atau nenek yang lebih dekat dengan si pewaris, baik dari pihak bapak maupun pihak ibu.
e)
Nenek dari pihak ibu mendapat bagian seperenam dengan ketentuan bahwa ia tidak mewarisi bersama ibu atau nenek dari pihak ibu yang lebih dekat dengan si pewaris. 93
f)
Saudara perempuan sebapak (seorang atau lebih) mendapat bagian seperenam dengan ketentuan
bahwa ia atau mereka mewaris bersama seorang saudara
perempuan sekandung yang mempunyai bagian setengah, yakni manakala ia tidak bersama bapak, far’ul waris, saudara laki-laki sekandung, serta tidak bersama saudara laki-laki sebapak yang menjadikannya sebagai penerima ‘ashabah bil ghair. g)
Saudara laki-laki atau perempuan seibu mendapat bagian seperenam dengan perempuan pancar laki-laki (seorang atau lebih) mendapat bagian seperenam dengan ketentuan bahwa ia atau mereke mewarisi bersamaetentuan bahwa ia hanya seorang diri (tidak ada saudara selainnya), dan tidak mewarisi bersama far’ul waris, atau bersama ashludzakarin (bapak dan kakek).
h)
Cucu perempuan pancar laki-laki (seorang atau lebih) mendapat bagian seperenam dengan ketentuan bahwa ia atau mereka mewarisi bersama seorang anak peremuan yang mempunyai bagian setengah, yakni manakala tidak bersama anak laki-laki;atau tidak bersama dengan cucu laki-laki pancar laki-lakiyang menjadikannya sebagai penerima ‘ashabah bil ghair.
b) ‘ashabah Kata ‘ashabah merupakan jamak dari ‘ashib yang berarti (kerabat seseorang dari pihak bapaknya). Dalam memberikan definisi ‘ashabah atau ta’shib, pada hakikatnya, para ulama faraidh mempunyai kesamaan persepsi dan maksud, yakni antara lain, sebagaimana yang dikemukakan Rifa’I arief,151 “Bagian yang tidak ditentukan dengan kadar tertentu (khusus), seperti mengambil seluruh harta atau menerima sisa setelah pembagian ashhabul furudh”. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa ahli waris ‘ashabah dapat mewarisi seluruh harta bila tidak ada ahli waris ashabul furudh; mewarisi sisa harta setelah diambil harta peninggalan apabila harta tersebut tidak tersisa setelah diambil bagian para ahli waris ashhabul furudh. Sayid sabiq152 membagi ‘ashabah atas dua bagian, yakni ‘ashabah nasabiyah dan ‘ashabah sababiyah. Ashabah nasabiyah berdasarkan adanya ikatan kekerabaan, sedangkan ‘ashabah sababiyah berdasarkan adanya sebab memerdekakan hamba sahaya atau budak.
151 152
Ahmad Rifa’I Arief,0p.cit,t.t hlm.6. Sayid Sabiq,0p.cit,hlm.432.
94
Mengenai ‘ashabah nasabiyah, Rifa’i Arief153 membaginya menjadi tiga bagian, yaitu: 1)
‘Ashabah bil Nafsi
Orang-orang yang menjadi ahli waris ‘ashabah bi nafsi adalah: seluruh ahli waris laki-laki, selain dari pada suami dan saudara laki-laki seibu. Jadi, orang-orang yang berhak menjadi penerima ‘ashabah bil nafsi hanya 12 orang, yaitu : a) Anak laki-laki b) Cucu laki-laki pancar laki-laki c) Bapak d) Kakek e) Saudara laki-laki sekandung f) Saudara laki-laki sebapak g) Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung h) Anak laki-laki saudara laki-laki sebapak i) Paman sekandung j) Paman sebapak k) Anak laki-laki paman sekandung l) Anak laki-laki paman sekandung154 Prioritas pemberian bagian ‘ashabahbil nafsi terhadap kedua belas orang di atas adalah : Pertama, menilik jihatnya, yakni mendahulukan jihat bunuwwah, yaitu jihat ke-anakan (anak laki-laki dan cucu laki-laki pancar laki-laki) daripada jihat ubuwwah, yaitu jihat kebapak-an (bapak dan kakek) ; mendahulukan jihat ubuwwah daripada jihat ukhuwwah, yaitu jihat
ke-saudara-an (saudara laki-laki sekandung dan saudara laki-laki sebapak beserta
keturunannya); mendahulukan jihat ukhuwwah dari pada jihat ‘umumah, yaitu jihat kepaman-an (paman sekandung dan paman sebapak beserta keturunannya). Kedua, menilik derajatnya, yakni mendahulukan yang lebih dekat derajatnya dengan pewaris. Penilikan derajat ini dilakukan apabila dalam satu jihat terdapat beberapa ahli waris “ashabah”. Apabila anak laki-laki, berderajat satu, bersama-sama dengan cucu laki-laki pancar laki-laki, berderajat dua, maka yang harus didahulukan adalah anak laki-laki. Bapak, didahulukan dari pada kakek, saudara laki-laki sekandung, didahulukan dari pada anak laki153
Ahmad Rifa’I Arief,0p.cit, hlm.6.
154
Ibid,
95
laki saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki didahulukan dari pada anak laki-laki sebapak, paman sekandung didahulukan dari pada anak laki-laki paman sekandung, dan seterusnya. Ketiga,menilik kekuatan kekerabatan, yakni mendahulukan para ahli waris ‘ashabah yang memiliki kekerabatan rangkap, seperti saudara laki-laki sekandung dari pada yang memiliki kekerabatan tunggal, seperti saudara laki-laki sebapak. Anak laki-laki saudara lakilaki sekandung didahulukan dari pada anak laki-laki saudara laki-laki sebapak, paman sekandung didahulukan dari pada paman sebapak, dan seterusnya. Apabila ada beberapa ahli waris ‘ashabah yang memiliki jihat,derajat, dan kekuatan kekerabatan yang sama, maka mereka bersama-sama (berbagi rata antar mereka) mendapatkan bgian ‘ashabah. Ahli waris ‘ashabah bil nafsi, dalam keadaan tertentu, dapat menerima seluruh harta peninggalan, menerima sisa harta peninggalan, atau tidak menerima sama sekali harta peninggalan tersebut. Hal ini sebagai mana dikemukakan oleh Hasanain Muhammad Makhluf155: “Bahwasanya mereka (ahli waris’ ashabah) mendapatkan sisaa dari ashabul furudh apabila harta peninggalan tersebut masih tersisa, menerima seluruh harta apabila tidak ada seorang pun ahli waris ashabul furudh (yang menerima bagian), dan tidak menerima bagian sedikit pun apabila harta peninggalan tersebut telah terhabiskan oleh ahli waris ashabul furudh”. Namun, dalam hal kakek mewarisi bersama-sama dengan saudara sekandung atau saudara sebapak –tatkala tidak ada anak laki-laki, cucu laki-laki pancar laki-laki, dan bapakmasih diperselisihkan oleh para ulama paraidh. 2)
‘ashabul bil ghair
Orang-orang yang menjadi ahli waris ‘ashabul ghoir adalah seorang atu sekelompok anak perempuan bersama seorang atau sekelompok anak laki-laki, dan seorang atau sekelompok saudara perempuan dengan seorang atau sekelompok saudara laki-laki, manakala kelompok laki-laki tersebut menjadi ahli waris ‘ashabah bil nafsi. Hal ini sebagai mana dikemukakan oleh Hasanain Muhammad Makhluf156 yaitu : “setiap perempuan penerima faredh yang memerlukan orang lain untuk menjadikan ‘ashabah dan bersama-sama menerima bagian ‘ashabah itu. Dan mereka itu adalah 4 orang perempuan yang memiliki fardh 1/2 apabila tunggal dan 2/3 apabila lebih dari seorang yaitu: anak perempuan sekandung, cucu perempuan pancar laki-laki, saudara perempuan sekandung, dan saudara 155 156
Husanain Muhammad Makhluf, op-cit, hlm. 100. Ibid, hlm. 102
96
perempuan sebapak, apabila ada ahli waris ‘ashabah bil nafsi bersama-sama dengan salah seorang diantara mereka, yang sama sederajat dan kekuatan kekerabatanya, maka perempuan tersebut mewarisi secara ‘ashabah, bukan secara fardh. Dan keduanya (perempuan dengan orang yang menjadikanya ‘ashabah) mewarisi bersama-sama dengan ketentuan bagian laki-laki dua kali lipat bagian perempuan. Dari uraian diatas dapatlah dipahami, bahwa anak perempuan dijadikan ‘ashabah oleh anak laki-laki (saudaranya), cucu perempuan pancar laki-laki dijadikan ‘ashabah oleh pancar laki9laki cucu laki-laki (saudaranya), saudara perempuan sekandung dijadikan ‘ashabah oleh saudara laki-laki sekandung (saudaranya), dan saudara perempuan sebapak dijadikan ‘ashabah oleh saudara laki-laki sebapak (saudaranya). Dalam menerima bagian ‘ashabah tersebut, mereka mendapatkan bagian dengan ketentuan: bagian ahli waris laki-laki dua kali lipat bagian ahli waris perempuan,sebagaimana firman Allah SWT surat Al-Nisa ayat 11 diatas. 3)
‘ashabah Ma’al Ghoir
Orang-orang yang menjadi ahli waris ‘ashabul ma’al ghoir adalah seorang atau sekelompok saudara perempuan, baik sekandung maupun sebapak, yang mewarisi bersamasama dengan seorang atau sekelompok anak perempuan atau cucu perempuan pancar lakilaki, manakala tidak ada anak laki-laki, cucu laki-laki pancar laki-laki, atau bapak, serta tidak ada sodaranya yang laki-laki, yang menjadikanya sebagai ahli waris ‘ashabah bil ghoir.157 Ahli waris ‘ashabah ma’al ghair mendapatkan sisa harta peninggalan setelah pembagian ashhabul furudh. Jadi, manakala harta peninggalan setelah pembagian ashabul furudh dan ahli waris lainya tidak bersisa, maka ahli waris ‘ashabah ma’al ghoir tidak mendapat bagian. Dari pembahasan di atas, tampaklah bahwa saudara perempuan sekandung atau sebapak mempunyai tiga keadaan, yaitu penerima warisan secara fardh manakala tidak bersama-sama dengan saudara laki-lakinya; sebagi ‘ashabah bil ghoir manakala bersamasama dengan saudara laki-lakinya; dan sebagai ‘ashabah ma’al ghoir manakala bersamasama dengan anak perempuan atau cucu perempuan pancar laki-laki.
c. Dzawil Arham Dzawil Arham berasal dari bahasa arab: dzawu dan al arham. Semula istilah dzawil arham mempunyai arti yang luas, yakni mencakup seluruh keluarga yang mempunyai
157
Lihat Hasanain Muhammad Makhluf, op-cit, hlm. 102. Dan Sayid Sabiq, op-cit, hlm. 438.
97
hubungan kerabat dengan orang yang meninggal. Keeluasan arti dzawil arham tersebut diambil dari pengertian lafadz al-arham pada firman Allah SWT surat al-Anfal ayat 75:
“Orang-orang yang mempunyai pertalian kerabat. Sebagian adalah lebih berhak daripada sebagian mereka (yang lain) di dalam ketetapan Allah (Q.S. Al-Anfal:75) Para ulama paraidh memberikan definisi dzawil arham sebagai mana yang di kemukakan Sayid Sadiq158: “Setiap kerabat yang bukan (tidak termasuk) ashhabul furuddh (tidak termasuk golongan ‘ashabah. Dari uraian diatas,dapatlah dipahami bahwa orang-orang yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan si pewaris, selain kedua puluh lima orang ahli waris yang telah di sebutkan di atas,termasuk kelompok dzawil arham. Orang-orang yang termasuk kelompok dzawil arham tersebut,antara lain,adalah : 1) Cucu perempuan pancar perempuan dan seterusnya ke bawah. 2) Cucu laki-laki pancar perempuan dan seterusnya ke bawah. 3) Anak perempuan saudara laki-laki sekandung dan seterusnya ke bawah. 4) Anak perempuan saudara laki-laki sebapak dan seterusnya ke bawah. 5) Anak laki-laki saudara perempuan sekandung dan seterusnya ke bawah. 6) Anak perempuan saudara perempuan sekandung dan seterusnya ke bawah. 7) Anak laki-laki saudara perempuan sebapak dan seterusnya ke bawah. 8) Kakek dari pihak ibu dan seterusnya ke atas.159 Mengenai hak waris dzawil arham, para fuqoha masih berselisih pendapat. Sebagian mereka menyatakan bahwa dzawil arham sama sekali tidak dapat menerima warisan, dan sebagian lainya menyatakan bahwa dalam keadaan tertentu, yakni manakala tidak ada lagi golongan ashhabul furudh dan ‘ashabah dzawil arham dapat menerima warisan. Golongan yang menyatakan bahwa dzawil arham sama sekali tidak menerima warisan adalah antara lain, Zaid bin Tsabit, Ibnu Abbas ra, (dalam salah satu riwayatnya). Said bin Musayyab, Sufyan al-Tsauri, Imam Malik, Imam Syafi’idan Ibnu Hazm.160 158
Sayid Sabiq, Ibid, hlm. 446. Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris (Hukum Kewarisan Islam), Gaya Media Pratama, Jakarta, 1997, hlm. 115. 159
98
Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa tidak ada hak waris bagi dzawil arham. Dan harta warisan (yang tidak ada penerimanya,baik dari golongan ashabbul furudh maupun ‘ashabah) tersebut diberikan kepada Baitul Mal. Pendapat ini juga merupakan pendapat Abu Bakar, Umar, Utsman, Zaid, Zuhri, Auza’i, dan Daud.161 Alasan yang dikemukakan oleh golongan yang menyatakan ketiadaan warisan bagi dzawil arham adalah, antara lain, adanya firman Allah (Q.S. Maryam: 64) yang bunyinya:
“.... Dan tidaklah sekali-kali Tuhanmu lupa..” Serta hadits ‘Atha bin Yassar yang diriwayatkan oleh Sa’ad didalam musnad-nya ( Ibnu Qudamah, 1367 H:229) :
“ Bahwa Rasulallah saw. Mengenakan jubah untuk beristikharah kepada Allah Ta’ala tentang pusaka ‘ammah dan khalah. Kemudian Allah memberikan petunjuk, bahwa tidak ada hak waris bagi keduanya. “ Sedangkan golongan yang menyatakan bahwa dzawil arham berhak menerima warisan adalah, antara lain, Ali, Ibnu Mas’ud ( dalam salah satu riwayatnya yang termasyhur), Syuraih al-Qadhi, Ibnu Sirrin, ‘Atha, Mujahid, Imam Abu Hanifah, dan Imam Ahmad bin Hambal.162 Alasan yang dikemukakan oleh golongan yang menyatakan adanya hak waris bagi dzawil arham adalah sebagaimana dikemukakan Fatchurrahman163 bahwa rangkaian kaliamat “ba’duhum aula biba’dhin fi kitabillah” maknanya “ba’duhum aula bimirratsi ba’dhin fima kataballahu wahakama bihi, “ yakni sebagian kerabat itu lebih utama mempusakai harta peninggalan dari pada sebagian kerabat yang lain menurut ketentuan dan ketetapan Allah. Bukan berarti bahwa sebagian itu lebih utama dari pada sebagian kerabat yang lain, sehingga membawa akibat adanya penafsiran untuk menyisihkan dzawil arham dari pengertian kerabat secara umum.
160
Muhammad Yusuf Musa, Al-Tirkah wa al-Mirats fi al-Islam, Daar al-Kitab al-Araby, Mesir, 1959.
Hlm. 277. 161
Sayid Sabiq, op-cit, hlm. 446. Lihat Yusuf Musa, op.cit, hlm. 278. 163 Fatchurrahman, op.cit, hlm. 353-354. 162
99
Menurut kebanyakkan mufassirin, ayat (Q.S. Al-Anfal: 75) tersebut merupakan penasakh ayat al-Qur’an tentang pusaka mempusakai berdasarkan janji prasetia (Q.S. AnNisa:33). Karenanya, hak waris para kerabat itu mutlak dan bersifat umum, tidak terbatas pada kerabat golongan ashhabul furudh dan ‘ashabah saja, melainkan juga golongan dzawil arham. Dengan demikian, hak waris seluruh kerabat itu harus berdasarkan suatu ketentuan yang bersifat umum, yang dalam hal ini sudah tercakup pada kalimat al-arham. 4.
Penyelesaian Pembagian Harta Peninggalan Dalam penyelesaian pembagian harta peninggalan, kadang kala jumlah saham yang
akan diterima oleh para ahli waris sama besar dengan asal masalahnya, disebut masalah biasa (‘adilah), kadang kala jumlah saham lebih besar dari pada asal masalah, disebut ‘aul (‘a-ilah), dan kadang kala jumlah sahamnya lebih kecil dari pada asal masalahnya, disebut masalah radd ( naqishah). a.
Masalah Biasa Dalam penyelaian masalah biasa, karena jumlah saham yang akan diterima para ahli
waris sama dengan asala masalahnya, dengan sendirinya, harta peninggalan si pewaris dapat diterimakan secara utuh kepada ahli warisnya. Dan setiap ahli waris, yang berhak menerima harta peninggalan tersebut, mendapatkan bagian sesuai dengan fardh (bagian) yang telah ditentukan bagi mereka, baik sebagai ashhabul furudh maupun ‘ashabah.
b.
Masalah ‘Aul Dalam penyelesaian malasah ‘aul, karena jumlah saham yang akan diterima para ahli
waris lebih besar dari pada asal maslahnya, kadar (bagian) harta peninggalan si pewaris yang akan diterimakan kepada ahli warisnya tidak mencukupi. Setiap ahli waris, yang berhak menerima harta peninggalan tersebut, mendapat bagian lebih kecil dari fardh (bagian) yang telah ditentukan bagi mereka. Hal tersebut dapat dilihat dari definisi-definisi yang dikemukakan para ulama tentang ‘aul sebagai berikut : Sayid Sabiq berpendapat bahwa masalah ‘aul adalah : adanya kelebihan saham dzawil furudh dan adanya kekurangan kadar bagian mereka dalam pembagian harta peninggalan.164
164
Sayid Sabiq, op.cit, hlm. 442.
100
Yusuf Musa165 dengan redaksi yang berbeda mengemukakan bahwa masalah ‘aul adalah : kekeurangan kadar (bagian) harta peninggalan atas kelebihan jumlah saham para ahli waris. Sedangkan Hasanain Muhammad Makhluf berpendapat lain masalah ‘aul yakni: adanya kelebihan dalam saham-saham para ahli waris dari besarnya asal masalah, dan adanya kekurangan dalam kadar penerimaan mereka karena asal masalahnya tidak cukup untuk memenuhi fardh-fardh ashabul furudh.166 Dari uaraian diatas, dapatlah dipahami bahwa ‘aul adalah adanya kelebihan jumlah saham dari pada asal masalah, dan dengan sendirinya terjadi pengurangan kadar ( bagian ) para ahli waris. Masalah ‘aul merupakan masalah ijtihadiyah. Sebab, tidak ada satu nash (baik alQur’an maupun al-Hadits) pun yang menerangakan masalah ‘aul, dan masalah tersebut belum pernah muncul pada masa Rasulullah saw. Dan Abu Bakar al-Shiddiq ra. Masalah ‘aul baru timbul pada masa Umar bin Khaththab ra. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh sebagian para ahli, bahwa orang yang pertama kali memecahkan masalah ‘aul adalah Umar bin Khaththab, setelah ia bermusyawarah dengan Zaid bin Tsabit dan Abbas bin Abdul Muthalib. Disamping pendapat di atas, ada pula pendapat yang menyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib-lah yang pertama kali menyelesaikan masalah ‘aul, yakni pada saat ia sedang menerangkan hal ihwal agama diatas sebuah mimbar, salah seorang pendengar mngajukan pertanyaan mengenai suatu kasus kewarisan yang ahli warisnya terdiri atas isteri, 2 anak perempuan, ibu dan bapak. Terlepas dari ikhtilaf siapa yang pertama kali memecahkan masalah ‘aul tersebut, namun pada hakikatnya masalah ‘aul ini disepakati oleh para sahabat, tabi’in dan para imam madzab-yakni Hanafiyah, Syafi’iyah, Malikiyah, dan Hanbaliyah--serta Syi’ah Zaidiyah: namun ditentang oleh Ibnu Abbas ra., Syi’ah Imamiyah dan Ja’fariyah, Ibnu Hazm, Muhammad bin Hanafiyah, Ali bin Al-Hasan, dan Zainal ‘Abidin; yang menyatakan bahwa ahli waris ashhabul furudh yang tidak termasuk kelompok ashabah (bil ghair), seperti antara lain, suami, isteri dan ibu harus didahulukan penerimaannya dari pada ahli waris ashhabul furudh yang termasuk kelompok ashabah (bil ghair), seperti antara lain, anak perempuan atau saudara perempuan sekandung.167
165
Muhammad Yusuf Musa, op.cit, hlm. 317. Hasanain Muhammad Makhluf, op.cit, hlm. 114. 167 Lihat Muhammad Yusuf Musa, op.cit, hlm. 319-321. 166
101
Apabila dalam suatu masalah atau kasus pembagian harta peninggalan terjadi ‘aul, maka bagian yang diterima oleh ahli waris masing-masing adalah saham mereka masingmasing dibagi jumlah seluruh saham yang ada, bukan saham masing-masing dibagi asal masalah,sebagaimana dilakukan pada masalah ‘adilah. Sebab, apabila pembagian dilakukan sebagimana dalam masalah ‘adilah (seperti halnya pendapat Ibnu Abbas), maka ahli waris yang diberikan bagian lebih dahulu akanmenerima bagian secara utuh, sedangkan yang menerima terakhir akan mendapat lebih kecil dari fardh (bagian) yang seharusnya diterima, atau bahkan sama sekali tidak menerima bagian. c.
Masalah Radd Masalah radd merupakan kebalikan daripada masalah ‘aul. Kalau dalam masalah ‘aul
jumlah saham para ahli waris lebih besar daripada asal masalahnya, dalam masalah radd justru sebaliknya, yaitu jumlah sahamnya lebih kecil daripada asal masalahnya. Masalah ini, biasanya juga disebut masalah al-Naqishah. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Hasanain Muhammad Makhluf168: Radd kebalikan daripada ‘aul, yaitu adanya kelebihan pada kadar bagian ahli waris dan kekurangan pada jumlah sahamnya. Dan Rifa’i Arief169berpendapat bahwa radd adalah: adanya kekurangan jumlah saham dari pada asal masalah, dan adanya kelebihan kadar bagian para ahli waris. Dari uraian diatas, dapatlah dipahami bahwa radd adalah suatu masalah atau kasus pewarisan yang jumlah sahamnya lebih kecil daripada asal masalahnya; dan dengan sendirinya, terjadi penambahan kadar (bagian) para ahli waris. Karena pada masalah Radd ini ada penambahan kadar kepada para ahli waris, maka pada masalah ini tidak terdapat ahli waris Ashabah. Sebab apabila ada ahli waris ‘ashabah, maka kelebihan tersebut akan menjadi hak penerimanya. Mengenai siapa saja yang berhak mendapatkan kelebihan saham (radd), para ulama berbeda pendapat. Jumhur sahabat, para imam madzhab, serta para fuqoha muta’akhirin yang mengikuti pendapat Ali bin Abi Thalib r.a. mengemukakan: setiap ahli waris, laki-laki maupun perempuan berhak menerima radd (sisa harta peninggalan), terkecuali suami atau istri.170 Jadi, para ahli waris yang berhak menerima radd adalah: (1) anak perempuan, (2) cucu perempuan pancar laki-laki, (3) ibu, (4) nenek dari pihak bapak, (5) nenek dari pihak
168
Hasanain Muhammad Makhluf, op.cit, hlm. 122. Ahmad Rifa’I Arief, op.cit, hlm. 29. 170 Ibid, hlm. 29. 169
102
ibu, (6) saudara perempuan sekandung, (7) saudara perempuan sebapak, (8) saudara laki-laki seibu, (9) saudara perempuan seibu. Dalam masalah yang terjadi radd, bisa jadi, seluruh ahli warisnya berhak menerima radd, atau diantara mereka ada yang tidak berhak menerimanya (suami atau istri). Karenanya, dalam penyelesaian masalah radd perlu diperhatikan hal-hal berikut: Pertama: Jika tidak ada suami stau istri, dan hanya seorang atau sekelompok ahli waris maka seluruh peninggalan menjadi penerimaannya. Kedua: Apabila tidak ada suami atau istri, dan ahli warisnya terdiri atas beberapa orang atau kelompok, maka cara penyelesaiannya sebagaimana cara penyelesaian masalah ‘aul, yakni jumlah saham pada masalah tersebut dijadikan asal masalahnya. Ketiga: Apabila ada seorang suami atau istri, dan hanya seorang atau sekelompok ahli waris, maka sisa harta peninngalannya diberikan kepada selain suami atau istri tersebut. Dalam keadaan demikian, ahli waris yang menerima radd tersebut seakan-akan sebagai ahli waris ‘ashabah. Keempat: Apabila ada salah seorang suami atau istri, dan ahli warisnya terdiri dari beberapa orang atau kelompok, maka cara penyelesaiannya adalah memberikan terlebih dahulu bagian suami atau istri, lalu sisanya diberikan kepada para ahli waris selain suami atau isteri. Ibnu Abbas berpendapat bahwa selain suami atau istri ada ahli waris lain yang tidak berhak menerima radd, yaitu nenek, baik dari pihak bapak, maupun dari pihak ibu.171 Sedangkan menurut Ibnu Mas’ud selain yang disebutkan diatas masih ada ahli waris yang tidak berhak menerima radd, yaitu: cucu perempuan pancar laki-laki apabila mewarisi bersama-sam dengan anak perempuan dan saudara seibu apabila mewarisi bersama-sama dengan ibu.172 Adapun cara penyelesaiannya seperti yang telah dikemukakan diatas, yakni dengan melihat apakah seluruh ahli waris berhak menerima radd atau ada diantara mereka yang tidak berhak menerimanya. Berbeda dengan pendapat-pendapat diatas, Khalifah Utsman Bin Affan berpendapat bahwa seluruh ahli waris (tanpa terkecuali) berhak menerima radd. Karenanya, suami atau 171
Muhammad Yusuf Musa, op.cit, hlm. 328. Lihat Muhammad Muhyi al-Din Abd al-Hamid, Ahkam al-Mawarits fi al-Syari’ati al-Islamiyah ‘ala Madzahib al-‘Aimah al-Arba’ah, Dar al-Kitab al-Araby, Beirut, 1984, hlm. 173. 172
103
istri pun berhak menerima tambahan dari sisa harta peninggalan. sebab, bagian suami atau isteri dalam masalah ‘aul ikut dikurangi, maka wajar apabila dalam masalah radd pun ikut diberikan tambahan sisa harta tersebut.173 Jadi, seluruh kasus yang terjadi radd cara penyelesaiannya sebagaimana penyelesaian masalah ‘aul, yakni jumlah saham pada masalah tersebut dijadikan asal masalahnya. Sedangkan Zaid bin Tsabit berpendapat bahwa sisa harta setelah diambil oleh para ashabul furudh--apabila tidak ada ahli waris ashabah--tidak dikembalikan kepada ahli waris tersebut, melainkan diserahkan ke Baitul Mal atau Balai Harta Keagamaan.174 B. Analisis Terhadap Reformasi Hukum Kewarisan KHI Kompilasi hukum islam hanya memuat tiga ketentuan hukum materiil Islam, yakni ketentuan-ketentuan hukum perkawinan (munakahat), hukum kewarisan (fara’idl), dan hukum perwakafan (waqaf). Ketiga pengelompokkan bidang tersebut tertulis didalam Kompilasi Hukum Islam secara terpisah, masing-masing dalam buku tersendiri. Dalam setiap buku, ketentuan spesifikasi bidang hukum terbagi kedalam bab-bab, dan masing-masing bab dirinci lagi kedalam bagian-bagian diurutkan sesuai dengan pengelompokkan buku. Sedangkan penomoran pasal diurutkan secara keseluruhan dari buku pertama hingga buku ketiga. Menurut H. Abdurrahman,175 hal ini disebutnya sebagai sebuah peraturan perundangundangan yang tidak menggambarkan sebuah sistematika yang “baik”. Selain itu, KHI tidak mencantumkan adanya ketentuan umum yang berlaku untuk semua bidang hukum yang diaturnya. Ketentuan umum hanya ada pada masing-masing buku. Itupun isinya lebih banyak berupa keterangan mengenai beberapa istilah saja yang terkadang tidak lengkap, seperti pasal 229 yang seharusnya tergolong pada ketentuan umum justru dimasukkan kedalam ketentuan penutup.176 Namun demikian, perumusan-perumusan semacam ini termasuk salahsatu pola reformasi hukum islam, sebab dalam fiqih lama tidak merumuskannya denagan pola-pola semacam ini.177 walaupun ada beberapa pandangan yang kurang setuju dengan gagasan perumusan semacam ini, khususnya penempatan posisi peraturan-peraturan tertentu yang kurang sesuai.
173
Ibid, hlm. 172. Muhammad Yusuf Musa, op.cit, hlm. 326. 175 Lihat, H. Abdurrahman, op.cit, hlm. 64. 176 Ibid 177 Antara lain, Busthanul Arifin menganggapnya tidak Cuma sebagai reaktualisasi, akan tetapi lebih mencerminkan nilai-nilai reformasi hukum Islam. 174
104
Berdasarkan sistematika yang dicatat penulis dalam Bab II point C tesis ini, tampak dengan jelas bahwa posisi terbesar dan muatan terbanyak ada pada buku pertama hukum perkawinan, kemudia hukum kewarisan dan yang paling sedikit adalah hukum perwakafan. Perbedaan ini timbul bukan karena ruang lingkup materi yang berbeda, tetapi hanya karena tingkat intensivitas dan uraian masing-masing ketentuan tersebut. Untuk bidang hukum perkawinan tidak sekedar pada dimensi hukum substantive saja yang diatur, tetapi teknis procedural yang berkenaan dengan tata cara pelaksanaan pun diatur secara gamblang.178 Namun pada kedua buku yang lainnya, tidak rinci dalam pengaturannya.179 Meskipun demikian, menurut Prof. DR. H. Bustanul Arifin, S.H. menyatakan bahwa tiga buku hasil rancangan proyek ini, yang didalamnya termasuk Buku II tentang kewarisan, tidak saja merupakan reaktualisasi melainkan mencerminkan reformasi hukum Islam.180 Sebagai contoh yakni: pasal 209 yang menyatakan bahwa ayah angkat berhak ikut menerima warisan harta peninggalan anak angkatnya. Demikian pula sebaliknya, anak angkat berhak ikut menerima harta peninggalan ayah angkatnya. Kalau mereka tidak menerima wasiat, diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan anak atau orang tua angkatnya. Padahal dalam hukum Islam, tidak ada anak dan orang tua angkat menerima warisan. Juga dalam pasal 176 antara lain disebutkan bahwa bagian waris anak laki-laki dua berbanding satu dengan anak perempuan. Namun, pasal 229 (yang merupakan ketentuan penutup) menyatakan bahwa dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukkan kepadanya, hakim wajib memperhatikan dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat sehingga putusannya sesuai dengan rasa keadilan. Dan hal itu sudah sering dilakukan oleh pengadilan Indonesia,dengan tidak melaksanakan pembagian warisan berdasarkan prinsif anak laki-laki mendapat bagian dua sedangkan anak perempuan satu.181 Begitu pula Hukum kewarisan Islam di Indonesia (KHI) mengakui lembaga Gonogini dan ahli waris pengganti,,sedangkan dalam Hukum Islam tidak ada.182 Namun perlu 178
Disini tampak terjadi “pembengkakan” dan terasa tumpang tindih antara atura-aturan hukum pada UU No. 1 Tahun 1974 dan PP. No. 9 Tahun 1975 di satu pihak dengan KHI di pihak yang lain, suatu bentuk pengulangan yang dipandang kurang baik. 179 Bandingkan dengan H. Abdurrahman, op.cit, hlm. 63-64. 180 Munawir Sadjali, Relevansi Hukum Keluarga Islam dengan Kebutuhan Masa Kini, dalam Amrullah Ahmad SF, dkk, hlm. 224. 181 Di Indonesia, kedudukan, kewajiban, hak wanita dan pria adalah seimbang. Itu dinyatakan dalam berbagai peraturan perundangan maupun dalam praktik, walau harus diakui disana-sini perlu dibenahi (menyangkut aspek hata warisan wanita dan pria dalam KHI). A. Wasit Aulawi, Sejarah Perkembangan Hukum Islam, dalam Amrullah Ahmad SF, dkk, Dimensi Hukum Islam dalaM Sistem Hukum Nasional, Gema Insani Press, Jakarta, 1996, hlm. 62. 182 Lihat Munawir Sadjali, op.cit, hlm. 224-225.
105
diingat apabila istilah “Ahli Waris pengganti ”ini dimaksudkan mengangkat seorang bukan ahli waris menjadi ahli waris,maka jelas hal itu berentangan dengan hukum Kewarisan dalam Islam yang berdasarkan pada ijabari. Akan tetapi dalam KHI istilah itu tidak demikian.183 HKI yang secara prinsip telah diterima oleh para ulama-merumuskan pula dalam pasal 85 sampai 97 mengenai Harta Bersama,yang antara lain memiliki kaidah fiqh, “taghayyul ahkam bitahayyuril aziminah wal amkinah wal amkinah wal awa’id“.184 Tentang harta bersama,telah mengubah peran istri tidak hanya sebagai ibu rumah tangga,namun di zaman kita hari ini dituntut pula dedikasi seorang istri bagi pembinaan rumah tangganya. Dan hal ini sudah merupakan adat atau kebiasaan yang mengakar didalam masyarakat kita.Jadi,dalam membina rumah tangga selain menjalankan ketentuan-ketentuan hukum yang normative,kita tidak dapat mengabaikan pula peranan adat atau tradisi.185 Dari sisi metodologi pembentukan Kompilasi Hukum Perkawinan di Indonesia, Satria effendi mengatakan bahwa unang-undang perkawinan di Indonesia dan KHI banyak dimasuki unsur siyasah Syar’iyahnya yang berlandaskan mashalat al-mursalat. 186 Walaupun jauh-jauh hari praktik Istislah yang keluar dari ketentuan wahyu,dikritik keras oleh Imam Al-Ghazali karena menurutnya ada yang memfungsikan mashlahat al-mursalat dengan mengabaikan syari’at dan wahyu.187 Selain Al-Ghazali, kalangan Syi’ah Imamiyah,kelompok yang dikenal dengan golongan al-muhaddisin ini, bahkan mengecam metode ijtihad (proses istimbhat al-ahkam) juga mengkritik metodologi hukum islam (ushul fiqh) secara mentah-mentah,karena mereka menganggap bahwa metode ijtihad merupakan prangkat spekualitas ciptaan manusia yang mencampuri urusan Allah dan Rasul-Nya sehingga hal itu ditolak.188 Terlepas dari pertentangan pendapat diatas,yang jelas metode istislah ini menurut Imam Malik ditunjukan memelihara lima pokok tujuan hukum (al-ahkam al-khamsah) walaupun tidak ada isyrat dalil yang tegas terhadapnya (mashalahat mursalah). Hal ini tentu saja menyangkut pula tentang komplilasi Hukum Islam yang lain bertujuan kemaslahatan.189 183
Ringkasannya dapat dibaca dalam A. Wasit Aulawi, op.cit, hlm. 63. Ibid, hlm.62 185 Dr. Subkhi Mahmasany dan pakar hukum yang lain menetapkan bahwa sebuah adat dapat ditetapkan sebagai ketentuan hukum, apabila: a. Dapat diterima oleh akal sehat. b. Kejadian itu trus berlangsung, tidak hanya sekali dua kali saja. c. Tidak menyalahi ajaran islam, dan d. Adat itu berlaku sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Lihat, A. Wasit Aulawy, op.cit, hlm. 61. 186 Satria Efendi, Metodologi HUKUM Islam, dalam Amrullah Ahmad SF, dkk, hlm. 124 187 Lihat, Satria Efendi, ibid, hlm. 124. 188 Ibid, hlm. 126. 189 Ibid, hlm. 124. 184
106
Masih menyangkut metodologi istinbaht hukum islam, Satria Effendi mengatakan, tidak ada satu ushul fiqh pun yang dapat dianggap terbaik karena masing-masing aliran memiliki keunggulan dan kelemahannya. Ushul fiqh yang terbaik masa kini adalah gabungan berbagai aliran sebelumnya. Dengan memilih aspek-aspek yang dipandang terbaik dari tiaptiap aliran adalah yang mampu menjawab permasalahan masa kini. Untuk itu, sikap keterbukaan perlu dikembangkan.190 Khusus menyangkut status hukum KHI dalam system perundangan kita,telah disebutkan bahwa instrument hukum yang digunakan sebagai justifikasi diberlakukannya Komplikasi Hukum Islam di Indonesia adalah Inpres No.1 tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991.191 Kemudian dasar hukum ini ditidak lanjuti dengan keputusan Mentri Agama RI No.154 Tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991.192 Karena menggunakan instrumen hukum “Inpre” inilah, terjadi dua pandangan yang bertolak belakang dalam menilai status hukum Kompilasi Hukum Islam dan implikasinya terhadap instansi pemerintah dan masyarakat; meningkat secara imperative atau fakultatif.Bila melihat instrumennya saja, tampak bahwa inpres tidak termasuk dalam tata urutan perundang-undangan yang ditetapkan TAP MPRS No.XX/1966 junco TAP MPR No. V/MPR/1973. Dengan argumentasi tersebut, pandangan pertama mengangap bahwa Kompilasi Hukum Islam yang tidak tertulis, karena inpres itu tidak termasuk dalam rangkaian tata urutan perundang-undangan yang berlaku secara positif di Indonesia. Dalam inpres No.1 Tahun 1991 maupun keputusan Menag RI No.154 Tahun 1991, tak terdapat satu pun dictum
190
Satria Efendi, ibid, hlm. 127 Sesuai dengan organ hukumnya, inpres ini berisi intruksi kepada Menteri Agama untuk melakukan dua hal: pertama, menyebar luaskan Kompilasi hukum islam untuk digunakan oleh instansi pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya. Kedua, melaksanakan instruksi ini dengan sebaik-baknya dan penuh tanggung jawab. Diktum, pertama dari inpres itu adalah instruksi “penenyebar luasan” oleh karena itu dapat dipahami bila dalam inpres tersebut tidak ada penegasan mengenai kedudukan dan fungsi KHI secara jelas. (Marzuki Wahid dan Rumadi, Fikih Madzhab Negara, LkiS, Yogyakarta, 2010. Hlm. 165. 192 Keputusan Menteri tersebut menetapkan empat hal: pertama, seluruh instansi Depag dan instansi pemerintahan lainnya yang terlibat agar menyebarluaskan KHI. Kedua, seluruh lingkungan instansi Depag selain menggunakan peraturan perundang-undangan lainnya sedapat mungkin menerapkan KHI dalam menyelesaikan masalah-masalah perkawinan, kewarisan dan perwakafan. Ketiga, Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam dan Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji mengkoordinasikan pelaksanaan keputusan menteri ini. Keempat, keputusan ini berlaku sejak tanggal 22 Juli 1991. Pada level oprasional,inpres dan Keputusan Menteri tersebut selanjutnya dilaksanakan oleh Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam atas nama Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama dengan Surat edaran tanggal 25 Juli 1991 No 3694/EV/HK.00.3/A2/91. Surat Edaran ini ditujukan kepada Ketua PTA dan Ketua PA seluruh Indonesia untuk menyebar luaskan sebagaimana mestinya.Satria Effendi, op.cit,hlm 165166. 191
107
yang menegaskan kedudukan dan fungsi Kompilasi Hukum Islam. Secara umum, Inpres dan keputusan Menag RI itu hanya bberisi intruksi untuk menyebarluaskan KHI.193 Secara tekstual, kompilasi Hukum Islam yang hendak disebarluaskan bukan merupakan bagian intregral dari inpes tersebut. Karena, dalam inpres hanya disebutkan : “ Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari : (a) Buku I tentang Hukum Perkawinan, (b) Buku II tentang Hukum kewarisan, (c) Buku III tentang Hukum Perwakafan, sebagaimana telah diterima baik oleh para Alim Ulama Indonesia dalam lokakaryanya di Jakarta pada tanggal 25 Pebruari 1988", tidak ada penegasan bahwa "Kompilasi itu merupakan lampiran yang tak terpisah dari Inpres" dimaksud sebagaimana lazimnya tata peraturan perundangan yang lain.194 Dengan demikian, ketentuan-ketentuan hukum yang berada dalam KHI ini dapat dianggap sebagai ketentuan-ketentuan peraturan yang tidak mengikat secara imperatif.195 Akan tetapi, melihat konsideran mengingat dalam inpres tersebut persoalannva menjadi lain, landasan hukum Inpres—yang disebutkan konsideran mengingat passal 4 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa "Presiden RI memegang kekuasaan pemerintahan menutut UUD". Sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, Presiden berkewajiban untuk menjalankan UU, untuk itu ia mempunyai kekuasaan untuk menetapkan peraturan pemerintahan (pouvoir reglementair).196 A. Hamid S. Attamimi dalam disertasinya berkenaan dengan itu, membagi materi muatan keputusan Presiden yang berfungsi pengaturan itu ke dalam: 1) Materi muatan keputusan Presiden berfungsi pengaturan yang delegasian Peraturan Pemerintah. 2) Materi muatan Keputusan Presiden yang berfungsi pengaturan yang mandiri.197 Ismail Sunny, dengan mendasarkan pada thesis A. Hamid S. Attamimi, berpendapat bahwa Keputusan Presiden dan Instruksi Presiden mempunyai kedudukan hukum yang sama.198 Kendatipun Inpres tidak termasuk dalam tata urutan peraturan perundang-undangan,
193
Marzuki Wahid dan Rumadi, op.cit, hlm. 168. Bandingkan dengan H. Abdurrahman, op.cit, hlm. 54-55. 195 Dan apabila hal tersebut dikorelasikan dengan pandangan Marzuki Wahid di atas, maka relevan apabila KHI dipandang sebagai hukum yang tidak tertulis walaupun dalam kenyataannya ia telah dituliskan (dibukukan) dan ketentuan hukumnya pun dengan demikian jelas tidak mengikat secara imperatif. 196 Abdurrahman, op.cit, hlm. 165-166. 197 Lebih jelas mengenai ini, Baca A. hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden RI dalam Penyelenggaraan Negara”, Desertasi pada Fak. Pascasarjana UI Jakarta, 1990, hlm. 235-241. 198 Ismail Sunny, Kompilasi Hukum Islam ditinjau dari Sudut PertumbuhanTeori Hukum di Indonesia, Mimbar hukum, No. 4 Tahun II, 1991, hlm.3-4. 194
108
tetapi ia merupakan implementasi program legislatif Nasional yang mempunyai kemampuan mandiri dan bisa berlaku efektif bersanding dengan instrument hukum lainnya.199 Dengan nalar demikian, pandangan lain berpendapat bahwa KHI merupakan hukum tertulis dan hukum positif yang mempunyai kekuatan hukum pemberlakuan sebagai pedoman, baik bagi instansi pemerintahan ataupun masyarakat yang memerlukannya. Terlebih lagi menurut A. Hamid S. Attamimi bahwa Keputusan Presiden yang berfungsi pengaturan yang mandiri—termasuk Inpres menurut Ismail Sunny—mempunyai posisi yang sama dengan UU.200 Oleh karena itu, KHI menurut pandangan ini mempunyai kekuatan mengikat secara imperative sekaligus. Selain nalar tersebut, keberadaan KHI dalam tata hukum Indonesia ditopang oleh 3 UU No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman, UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, dan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.201 KHI bisa dikatakan sebagai pelaksanaan dari UU No. 7 tahun 1989. is merupakan hukum materil yang disusun karena dibutuhkan untuk melaksanakan UU No. 7 Tahun 1989. Presiden sebagai mandataris dalam melaksanakan UU memandang perlu adanya Kompilasi Hukum Islam itu, maka dengan itu lahirlah Inpres No. 1 tahun 1991.202 Peranan UU No. 14 Tahun 1970 sebagai pilar adalah karena UU tersebut merupakan dasar atas eksistensi Peradilan Agama (UU No. 7 Tahun 1989).203 Sedangkan UU No. 1 Tahun 1974 selain mengakui kedudukan hukum Islam dalam perkawinan, juga hampir semua isinya dipengaruhi oleh hukum Islam.204 Untuk memperkuat pandangan diatas, dalam konsideran menimbang tersirat maksud dan fungsi KHI ini. Pada point b konsideran menimbang, dinyatakan: "Bahwa Kompilasi Hukum Islam tersebut dalam huruf a oleh instansi pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah di bidang tersebut.205
199
Abdul Gani Abdullah, Pemasyarakatan Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Mimbar Hukum, No. 5 Tahun III, 1991, hlm. 1 200 A. Hamid S. Attamimi, op-cit, hlm. 352-357. 201 Marzuki Wahid dan Rumadi, op.cit, hlm. 167. 202 Ibid, hlm. 168. 203 Pasal 10 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970. 204 Baca H. Zaenal Abidin Abubakar, Pengaruh hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia, Mimbar Hukum No. 9 Tahun IV, 1993, hlm. 58-59. 205 Konsideran menimbang point b pada Inpres No. 1 Tahun 1991.
109
Tulisan tentang kelayakan Hukum Kewarisan KHI sebagai pedoman instansi pemerintah dan masyarakat dibahas gamblang pula oleh Abdul Gani Abdullah.206 Menurut beliau,
teks
tersebut
secara
implisit menunjukkan Bahwa Kompilasi Hukum Islam
merupakan pedoman bagi instansi pemerintahan dan masyarakat yang memerlukannya dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang-bidang hukum yang termuat didalamnya. Walaupun pedoman yang dimaksudkan tidak dijelaskan lebih lanjut oleh Inpres. Seperti terlihat dan susunan kata: "...dapat dipergunakan sebagai pedoman..." dalam konsideran Inpres.207 "...untuk digunakan oleh instansi pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya" dalam dictum Inpres,208 "...sedapat mungkin menerapkan Kompilasi Hukum Islam tersebut..." dalam dictum Keputusan Menag.209 Maka dari susunan kata tersebut, menunjukkan (atau dapat dianggap) bahwa Kompilasi Hukum Islam tidak mengikat secara imperatif. Para pihak dapat menjalankannya dan dapat pula meninggalkannya, sesuai dengan kebutuhan dan keperluannya. Jadi, pedoman dalam pengertian itu bersifat fakultatif. Hal ini tentu solo bertentangan dengan pandangan yang menyatakan mengikat secara imperatif sebagaimana uraian diatas.210 Polemik tentang dasar hukum Inpres ini, yang menegaskan dasar hukum Inpres adalah mengikat serta menyepakati tentang pemberlakuannya KHI di Indonesia, Ismail Sunny,211 dan Abdul Gani Abdullah,212 berpendapat bahwa KHI merupakan hukum tertulis dan hukum positif yang mempunyai kekuatan hukum pemberlakuan sebagai pedoman, baik bagi instansi pemerintahan ataupun masyarakat yang memerlukannya. Oleh karena itu, KHI menurut pandangan ini mempunyai kekuatan mengikat secara imperatif, sementara pandangan sebagian yang lain menganggapnya tidak demikian yakni kekuatan hukumnya hanya bersifat fakultatif. Adapun bentuk-bentuk reformasi kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam antara lain:
206
Abdul Ghani Abdullah, Pemasyarakatan Inpres No. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Mimbar Hukum No. 5 Tahun. III, 1992, hlm. 1-2. 207 Kopnsideran menimbang point b pada Inpres No. 1 Tahun 1991. 208 Dictum pertama Inpres No. 1 tahun 1991. 209 Dictum kedua pada Keputusan Menag, No. 154 Tahun 1991. 210 Marzuki Wahid dan Rumadi, op.cit, him. 168-169. 211 Ismail Sunny, Kompilasi Hukum Islam ditinjau dari Sudut Pertumbuhan Teori Hukum di Indonesia, op.cit, hlm. 3-4. 212 Abdul Gani Abdullah, Pemasyarakatan Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang KHI, op.cit, hlm. 1.
110
1) Pasal 171 sub e yang berbunyi "Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dan harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz) pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat." Di dalam pasal tersebut terungkap bahwa harta bersama itu terpisah dari harta pribadi masing-masing. Bahkan dalam perkawinan poligini¬perkawinan serial, wujud harta bersama itu terpisah antara suami dengan masing-masing isteri. Sementara dalam al-Qur'an dan al-Hadits, masalah ini tidak dijumpai nashnya secara pasti. Dalam literatur lama fiqh Islam tidak dijumpai pembahasan mengenai harta bersama. Ilmu fiqh cenderung mengabaikan masalah ini sehingga menimbulkan kesan bahwa isteri tidak berperan dalam pembinaan rumah tangga, termasuk aspek financialnya.213 Sebagai logika bagi sistem Harta Bersama, dalam sistem perkawinan masyarakat Indonesia terdapat sejumlah ciri-ciri: a) Perlunya dedikasi secara total dari suami dan isteri; b) Perlunya partisipasi penuh dua belah pihak dalam membina rumah tangga c) Keterbukaan dan saling mempercayai d) Kerja sama dan saling menolong dalam arti luas, dan e) Adanya jaminan hukum. Dedikasi seorang isteri telah berubah di zaman kita hari ini, hal ini merupakan adat dan kebiasaan yang sudah mengakar di dalam masyarakat kita. Jadi, dalam membina rumah tangga selain menjalankan ketentuan-ketentuan hukum yang normatif, kita tidak dapat mengabaikan pula peranan adat dan tradisi yang pada akhirnya dapat direalisasikan sebagai hukum. Maka konsep harta bersama ini sangat urgen sekali untuk dimasukkan ke dalam Kompilasi sebagai suatu ketentuan hukum di Indonesia. Hasil ijtihad (fiqh) ini, sebagai suatu produk hukum yang diambil dengan menggunakan metodologi urf dan tentu saja bertuj uan mashlahat.214 2) Pasal 176 menyatakan bahwa bagian waris anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan. Namun pasal 229 (yang merupakan ketentuan penutup) menyatakan bahwa dalam menyeiesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya, hakim wajib memperhatikan dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat sehingga putusannya sesuai dengan rasa keadilan. Dan hal itu 213 214
A. Wasit Aulawi, op.cit, hlm. 59. Aulawi, Ihid, him. 60.
111
sudah sering dilakukan oleh pengadilan Indonesia, dengan tidak melaksanakan pembagian warisan berdasarkan prinsip anak laki-laki mendapat bagian dua sedang perempuan satu.215 Hal ini lebih bertujuan pada pelestarian adat dan tradisi putusan hukum yang hidup di Indonesia, ketimbang nilai-nilai syari'at Islam. 3) Pasal 177 tentang bagian ayah. Dalam pasal ini dirumuskan bahwa ayah mendapat 1/3 bagian dari apabila pewaris tidak meninggalkan anak. Tetapi apabila ada anak, maka ayah mendapat 1/6 bagian. Ketentuan pasal ini tidak terdapat dalam al-Qur'an (surat al-Nisa: 11) dan ijma ulama yang nienentukan bagian ayah dengan cara 'ashobah apabila yang meninggal dunia tidak meninggalkan anak. 4) Pasal 183 tentang perdamaian dalam pembagian warisan. Pasal ini membuka peluang adanya pembagian warisan dalam porsi yang sama (1:1) antara anak laki-laki dan anak perempuan yang menyimpang dari pasal 176 yang mengatur ketentuan anak laki-laki dan anak perempuan. 5) Pasal 184 tentang pengangkatan wall. 6) Pasal 185 tentang ahli waris pengganti. Walaupun hal ini jelas tidak dimaksudkan mengangkat seorang bukan ahli waris menjadi ahli waris, karena tentu hal itu bertentangan dengan hukum kewarisan Islam yang berasaskan ijbari.216 7) Pasal 189 tentang pemeliharaan keutuhan dan kesatuan lahan pertanian yang luasnya kurang dari 2 (dua) hektar, supaya dipertahankan kesatuannya sebagaimana semula. Sedangkan bagi ahli waris yang membutuhkan uang atau modal, maka bisa dilakukan dengan cara mengganti harga bagian dari harta warisan yang didapatnya. Pola pembagian ini sebenarnya bertentangan pula dengan asas ijbari. Menurut Amir Syarifudin (1984:18) mengungkapkan asas ijbari itu mengandung arti bahwa perpindahan hak milik dan seorang muwarits kepada orang lain (ahli waris) berlaku dengan sendiri menurut ketentuan Allah tanpa tergantung pada kehendak muwarits atau ahli waris. 8) Pasal 209 menyatakan bahwa ayah angkat berhak ikut menerima warisan harta peninggalan anak angkatnya. Demikian juga sebaliknya, anak angkat berhak ikut menerima warisan harta peninggalan ayah angkatnya. Kalau mereka tidak menerima wasiat, diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan anak atau
215
Munawir Sadzali, Relevansi Hukum Keluarga Islam dengan Kelmhan Masa Kini, dalam Amrullah Ahmad, op.cit, him. 224. 216 Bandingkan dengan, Aulawi, op.cit, hlm. 63
112
orang tua angkatnya. Padahal, dalam hukum Islam, tidak ada anak dan orang tua angkat menerima warisan. 9) Hukum kewarisan Islam di Indonesia mengakui lembaga Gono-Gini, sedangkan dalam hukum Islam tidak ada.217 Inilah perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam Fiqh lama Islam ataufiqh mawarits dengan hasil ijtihad filth Indonesia yang termuat dalam Kompilasi Hukum Islam buku II tentang Kewarisan.
217
Munawir Sadzali, Ibid, him. 225.
113
BAB : V PENUTUP
KESIMPULAN Berdasarkan uraian dan penjelasan yang dikemukakan pada bab-bab sebelumnya, akhirnya dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Pola reformasi kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam dilihat dari sudut pandang sistimatika terdiri dari VI (enam) bab dan 44 (empat puluh empat) pasal, yaitu dari pasal 171 sampai dengan pasal 214. Enam bab dan empat puluh empat pasal tersebut, adalah: a. Bab I tentang Ketentuan Umum, meliputi satu pasal yaitu, pasal 171 yang berisi sembilan sub. b. Bab II tentang Ahli Waris, meliputi empat pasal, yaitu: Pasal 172 sampai dengan pasal 175. c. Bab III tentang Besarnya Bahagian, meliputi enam belas pasal. Mulai dari pasal 176 sampai dengan pasal 191. d. Bab IV tentang 'Aul dan Radd, meliputi dua pasal, yaitu: Pasal 192 sampai dengan pasal 193. e. Bab V tentang Wasiat, meliputi enam belas pasal, yaitu: Pasal 194 sampai dengan pasal 209. f. Bab VI tentang Hibah, meliputi lima pasal, yaitu: Pasal 210 sampai dengan pasal 214. Dari sudut pandang materi, konsep kewarisan dalam KHI ini berbeda dengan konsep kewarisan lama fikih mawaris. Sebab dalam hukum kewarisan KHI, masalah wasiat dan hibah termasuk pula dalam bahasan tentang kewarisan, padahal dalam fikih klasik, hal itu dibahas secara tersendiri. Sedangkan dari sudut pandang metode kewarisan dalam KHI, hal itu terdiri dari empat jalur metodologi perumusan, empat jalur tersebut adalah: a. Pengumpulan Data. Dalam hal ini telah dilakukan sebuah penelitian terhadap Kitab-kitab kuning yang berjumlah 38 kitab, dan penelitian terhadap yurisprudensi Peradilan Agama. b. Wawancara. Hal ini dilakukan terhadap 185 ulama di 10 lokasi PTA se-Indonesia. c. Studi Perbandingan ke negara-negara Timur Tengah. 114
Hal ini telah dilakukan ke tiga negara, yaitu: Maroko, Turki dan Mesir. d. Lokakarya. Sebagai kata akhir (justifikasi—keberlakuan hukum) yang dihadiri oleh 124 orang/ulama se-Indonesia sebagai proses "ijma al-`ulama" Indonesia terhadap keberlakuan KHI di Indonesia. Dan bila dipandang dari metodologi ushul fiqh, hal itu tidak terlepas dari penalaran qiyas, istihsan, mashlahah mursalah dan 'urf 2. Bentuk-bentuk reformasi hukum kewarisan dalam KHI banyak memasukkan unsurunsur hukum adat dan kepentingan-kepentingan yang dibutuhkan masyarakat Indonesia masa sekarang. Maka banyak bentuk-bentuk hukum kewarisan yang belum tertuang dalam fiqh klasik (fiqh al-mawarits), namun hal itu telah termuat dan terkodifikasikan dalam hukum kewarisan KHI, Antara lain: pasal 171 tentang Harta Bersama, pasal 177 tentang pembagian ayah secara `ashabah. Pasal 209 yang menyatakan bahwa ayah angkat dan anak angkat menerima warisan, dan bila mereka tidak menerima wasiat, maka berhak menerima wasiat wajibah. Dan KHI pun mengakui lembaga gono-gini padahal fiqh klasik tidak mengakuinya (tidak menjadikan sub bahasannya). Disamping
itu,
adapula
pertentangan-pertentangan
kebijakan
hukum
kewarisan yang telah termuat dalam KHI antara pasal yang satu dengan pasal-pasal yang lainnya, antara lain: pasal 176 tentang pembagian anak laki-laki dengan anak perempuan. Hal ini bertentangan dengan pasal 229 (yang merupakan ketentuan penutup), yang menyatakan bahwa dalam menyelesaikan perkara-perkara, hakim wajib memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat sehingga putusannya sesuai dengan rasa keadailan. Dalam hal ini, Pengadilan Indonesia, sering melakukan pembagian warisan tidak berdasarkan prinsip 2 banding 1 bagi anak lakilaki dan perempuan. Juga, pasal 183 tentang perdamaian dalam pembagian warisan yang dapat bertentangan pula dengan pasal 176. Demikian juga, pasal 185 tentang ahli waris pengganti dan pasal 189 tentang keutuhan dan kesatuan lahan pertanian yang luasnya kurang dari 2 (dua) hektar, bertentangan dengan asas ijbari dalam hukum kewarisan Islam (fiqh lama). 3. fiqh klasik (fiqh al –mawaris) memiliki perbedaan dengan hukum dalam kewarisan dalam KHI karena : a. indonesia
sebagai
negara
berkembang
yang
sedang
membangun
menghendaki keseragaman (unifikasi) hukum dalam bentuk kodipikasi (Hukum Tertulis) sebagai implikasi dari eksistensi lembaga peradilan. 115
b. Berubahnya zaman serta kebutuhan masyarakat indonesia terhadap kepastian hukum yang akan di anutnya. Taghayurul ahkam bitaghayuril azminah wal amkinah wal awal’id. Penegasan kaidah fikih sebagai dasar akan butuhnya perubahan hukum yang bersekala lokal ke- Indonesiaan. c. Agar hukum kewarisan dalam KHI dapat dijadikan hukum terapan (materiil) bagi instansi Perintah (Pengdilan Agama) dan masyarakat indonesia dalam menyelesaikan perkara-perkara kewarisan.
DAFTAR PUSTAKA A. Djazuli, Beberapa Aspek Pengembangan Hukum Islam di Indonesia,dalam Eddi Rudiana Arief, et Al. (ED).Hukum Islam di Indonesia Pemikiran dan Praktik, Rosdakarya, Bandung,1991. A. Hamid S Attamami, Kedudukan Kompilisasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional (Suatu
Tinjauan
dari
sudut
Teori
Perundang-undang
Indonesia,
Gema
Insani
Press.Jakarta,1996. ………………………...,Peranan Keputusan Presiden RI dalam Penyenlenggaraan Negara, DESERTASI, pada Fakultas Pascasarjana UI, Jakarta.1990. Rasyid Roihan, Hukum Acara Peradilan Agama, Rajawali Pers,Jakarta,1995. A.Timur Djaelani, Politik Hukum Islam, Gema Insani Press, Jakarta, 1996. A. Wasit Aulawi, Sejarah perkembangan Hukum Islam ,Gema Insani Press, Jakarta ,1996. Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Gema Insani Press, Jakarta,1992. …………………………,Himpunan Perundang-undangan dan Peraturan Peradilan Agama, Intermasa, Jakarta,1991. …………………………,Pemasyarakatan Inpres No.1 Tahun 1991 tentang Kompilisasi Hukum Islam, Mimbar Hukum, No.5,Tahun III, 1991.
116
Abdul Wahab Afif, Hukum Waris Islam, Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Gunung Djati, Serang, 1978. Abdullah An-Naim, Toward an Islamic
Reformation Cil Liberties, Human Right and
International Law (diterjemahkan oleh Ahmad Suaedi dan Amiruddin Arram), Dekontruksi Syariah’ah, Lkis. Yogyakarta, 1994. Abdurahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Akademika Pressindo, Jakarta, 1992. Abi Thayyib Muhammad Syam al-Haqq, ‘Aun al-‘bud Syarh Sunan Abi Dawud, Juz.XI,Daar al-Fikr, Beirut, 1977. Abu Dawud Asulaiman, Sunan Abi Dawud, Musathafa al-Babi Al-Halabi wa Auladuh, Juz II, Mesir, 1995. Ahmad Hasan, The early Development of Islamic Yurisprudence (terj.),Kitab Bhavan: New Delhi, 1994. Ahmad Rifa’I Arief, Taisir al-Ma;sur fi Ilmi al-Fara’idh, Ponpes,Daar al-Qalam, Tanggerang, t.t Al-Hakim al-Naisabury, Al-Mustadrak ala al-Shahihaini, Daar al-Fikr, Beirut, 1978 Ali Affandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian Menurur Kitab Undangundang Hukum Perdata (BW), Bina Aksara, Jakarta, 1983. Amir Syariffudin, Meretas Kebekuan Ijtihad, Ciputat Pers, Jakarta , 2002. Amrullah Ahmad, SF.Dkk, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Gema Insani Press, Jakarta, 1996. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda ,LP3S, Jakarta, 1985. AS Hornby. Oxford Advanced Leaner’s Dictionary of Current English, Oxford University Press, New York, 1974. Asy-Syabiny, Mugnil-Mmuhtaj, Juz, III, t.p. t.t. Baqir S. Manan, Pertumbuhan dan perkembangan Konstitusi suatu Negara, Mandar Maju, Bandung, 1995. Bustanul Arifin, Pemahaman Hukum Islam dalam Kontesk Perundang-undangan, Wahyu, No. 108 Th. VII Mei 1985.
117
…………………, Kompilasi: Fiqh dalam Bahasa Undang-undang, Pesantren, No.2 Vol.II/1985. C. Kruyskampen F. De Tollenaere, Van Dale’s Xileuw Groart Waardenbook der Nederlandse Taal, Gravenhage, Martimus Niijhoof,1950. Cik
Hasan Bisri, Dimensi-dimensi Kompilasi Hukum Islam, Ulul Albab Press,
Bandung,1996. …………………….,(Penyunting), Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1999. …………………, Peradilan Islam dalam Ttanan Masyarakat Indonesia , Ulil-Albab Press Bandung,1997. Depdikbud RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990. Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Humaniora Utama Press, Bandung, 1992. Endang Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, Pustaka-Perpustakaan Salman ITB, Bandung, 1981. E. Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Buku Ichtiar, 1959). Fatchur Rahman, Ilmu Waris, PT. Al-Ma’arif, Bandung, Cet. II, 1981. Fazlur Rahman, Islam (terj), Salman ITB, Bandung, 1994. Hasanain Muhammad Makhluf, Al-Mawarits Fi al-Syari’at al-Islamiyyah, Lajnah al-Bayyan al-Araby, Kairo, 1985. Hazarain, Hukum Kewarisan Bilateral menurut Qur’an dan Hadits, Tintamas Indonesia, Cet. VI, Jakarta, 1982. Hilman Hadikusumah, Hukum Perjanjian Adat, Alumni, Bandung, 1989. Idris Radja Mulya, Hukum Kewarisan Islam (Studi Kasus Perbandingan Ajaran Syafi’i– Patrilineal, Hazairin–Bilateral, dan Praktek di Pengadilan Agama), Ind Hill Co, Jakarta, 1984. Iman Sudiyat, Asas-asas Hukum Adat Bekal Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1981. Ismail Suny, Hukum Islam dalam Hukum Nasional, Universitas Muhammadiyah, Jakarta, 1987. 118
__________, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Gema Insani Press, Jakarta, 1996. __________, Kompilasi Hukum Islam ditinjau dari Sudut Pertumbuhan Teori Hukum di Indonesia, Mimbar Hukum, No. 4, Tahun II, 1991. Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (2000), Rosda Karya, Bandung. ___________, Makalah disampaikan dalam acara diskusi buku yang diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) IAIN SGD Bekerjasama dengan Himpunan Mahasiswa jurusan Perbandingan Madzhab dan Hukum (PMH) Fakultas Syari’ah IAIN SGD pada tanggal 4 Juli 2000. J.N.D. Anderson, Hukum Islam di Dunia Modern, (Terj. Machum Husein), PT. Tiara Wacana, Yogya, 1994. John L. Esposito, Woman in Muslim Family Law, Syarcuse University Press, Syarcuse, 1982. John Mc. Echol dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1990. Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, 1996 (Bandung: Rosdakarya). M. Ali Hasan, Hukum Warisan dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1981. M. Al-Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme, Pustaka, Bandung, 1981. M. Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 Tahun 1989, Pustaka Kartini, Jakarta, 1990. _______________, Kajian Islam tentang Berbagai Masalah Kontemporer, Hikmat Syahid Indah, Jakarta, 1988. Marzuki, Metodologi Riset, BPFE-UI, Jakarta, 1985. Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqih Madzhab Negara, LkiS, Yogyakarta, 2001. Moh. Koesnoe, Perbandingan antara Hukum Islam, Hukum Eropa dan Hukum Adat, Prasaran Seminar PTIS, Kaliurang, 1982. Muchtar Zarkasyi, Hukum Islam dan Putusan-Putusan Pengadilan Agama, Makalah pada Seminar Hukum Islam di Indonesia, IAIN Imam Bonjol, Padang, 26-28 Desember 1985. Muhamad ‘Abd al-Rauf al-Mannawi, Faidh al-Qadir bi Syarh al-Jami’ al-Shaghir, Juz II, Daar al-Fikr, Beirut, 1972. 119
Muhammad al-Ied al-Khatrawi, Al-Raid fi al-Ilmi al-Fara’idh, Tiadh. t.t. Muhammad Ali As-Shabuni, Hukum Waris dalam Syari’at Islam, Diponegoro, Bandung, 1995. _______________________, Ilmu Hukum Waris Menurut Ajaran Islam, alih bahasa H. Zaid Husen al-Hamid, Mutiara Ilmu, Surabaya, t.t. _______________________, Hukum Waris dalam Syari’at Islam, alih bahasa M. Samhuji Yahya, CV. Diponegoro, Cet. III. Bandung, 1995. Muhammad Daud Ali, Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 1993. __________________, Hukum Islam dan Peradilan Agama, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1997. Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, ter. Masykur A.B., Afif Muhammad, dan Idrus al-Kaff, Lentera Basritama, Jakarta, 1996. Muhammad Muhyi al-Din Abd al-Hamid, Ahkam al-Mawarits fi al-Syari’ati al-Islamiyah ‘ala Madzahib al-‘Aimah al-’Arba’ah, Daar al-Kitab al-‘Araby, Beirut, 1984. Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis, (Ter. Rusli Karim), Tiara wacana, Yogya, 1991. Muhammad Yusuf Musa, Al-Tirkah wa al-Mirats fi al-Islam, Daar al-Kitab al-Araby, Mesir, 1959. Munawir Sadjali, Relevansi Hukum Keluarga Islam dengan Kebutuhan Masa Kini, Gema Insani Press, Jakarta, 1996. ______________, Ijtihad Kemanusiaan, Paramadina, Jakarta, 1997. Noel J. Coulson, Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah, P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat), Jakarta, 1987. Pengadilan Tinggi Agama Jawa Timur, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, 1995. Peter Salim, Advanced English - Indonesian Dictionary, Second Edition, T.t. Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia, INIS, Jakarta, 1998. R. Supomo dan R. Djokosutono, Sejarah Politik Hukum Adat (dari zaman Kompeni sehingga tahun 1948), Jilid I, Pradnya Paramita, Jakarta, 1982. 120
Rifyal Ka’bah dan Busthami Said, Reaktualisasi Agama Islam (Pembaharuan Agama Visi Amodernis dan Pembaharuan Agama Visi Salaf), Minaret, Jakarta, 1997. S. Wojowasito dan W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Lengkap Inggris–Indonesia, IndonesiaInggris, Hasta, Jakarta, 1982. S. Wojowasito, Kamus Umum Belanda Indonesia, PT. Ichtiar Baru-Van-Hoeve, Jakarta, 1981. Saefuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, AlMa’arif, Bandung, 1979. Saekan dan Erniati Effendi, Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Arkola, Surabaya, 1997. Sajuti Thalib, Receptio a Contrario, Akademika, Jakarta, 1980. __________, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1993. Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Toha Putera, Semarang, 1972. Soerjono Soekanto, Kedudukan dan Peranan Hukum Adat di Indonesia, Kunia Esa, Jakarta, 1981. Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris (Hukum Kewarisan Islam), Gaya Media Pratama, Jakarta, 1997. Tahir Mahmood, Personal Law In Islamic Countries, Times Press, New Delhi, India, 1987. Tjun Sumardjan (ed.), Hukum Islam di Indonesia: Perkembangan dan Pembentukan, (Bandung: Rosdakarya, 1991). Umar Syihab, Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran, Dina Utama, Semarang, 1996. Winarno Surakhmad, Paper, Skripsi, Thesis, dan Disertasi, Penerbit Tarsito, Bandung, 1994. Zaenal Abidin Abubakar, Pengaruh Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia, Mimbar Hukum, No. 9, Tahun IV. 1993.
121
122
123
124