22
BAB II PANDANGAN FIQH ISLAM DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM MENGENAI HIBAH HARTA YANG SUDAH DIWASIATKAN
A. Pandangan Fiqh Islam dan Kompilasi Hukum Islam Mengenai Wasiat 1. Pengertian dan Dasar Hukum Wasiat Kata wasiat berasal dari kata Arab yaitu al-washiyah yang secara harfiah antara lain berarti pesan, perintah atau janji seseorang kepada orang lain untuk melakukan suatu perbuatan baik ketika orang yang berwasiat masih hidup maupun setelah wafat.28 Menurut Al Jaziri dikalangan mazhab Syafi’i, Hambali dan Maliki memberikan defenisi wasiat secara rinci, wasiat adalah suatu transaksi yang mengharuskan orang yang menerima wasiat berhak memiliki sepertiga harta peninggalan orang yang menyatakan wasiat setelah ia meninggal dunia.29 Sayyid Sabiq mengemukakan pengertian ini sejalan dengan defenisi yang dikemukakan oleh para ahli hukum Islam dikalangan mazhab Hanafi yang menyatakan bahwa wasiat adalah tindakan seseorang yang memberikan haknya kepada orang lain untuk memiliki sesuatu baik merupakan kebendaan maupun
28
Rachmadi Usman, Hukum Kewarisan Islam dalam Dimensi Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Mandar Maju, 2009), hal.141 29 M.Fahmi Al Amruzi, Rekonstruksi Wasiat Wajibah dalam Kompilasi Hukum Islam,(Jakarta: Aswaja Pressindo, 2012), hal. 50
22
23
manfaat secara sukarela tanpa imbalan yang pelaksanaannya ditangguhkan sampai terjadi kematian orang yang menyatakan wasiat tersebut. Mazhab Malikiyah mendefenisikan wasiat adalah
suatu perikatan yang
mengharuskan penerima wasiat menghaki sepertiga harta peninggalan si pewaris sepeninggalnya atau mengharuskan penggantian hak sepertiga harta peninggalan si pewasiat kepada si penerima wasiat sepeninggalnya pewasiat.30 Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 huruf f menyebut wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia. Dengan demikian dalam wasiat penyerahan dan peralihan harta benda yang diwasiatkan hanya akan berlaku bila orang yang mewasiatkan sudah meninggal dunia. Objek wasiat ini dapat berupa materi atau harta benda maupun manfaat dari materi itu sendiri. Jika seseorang menyatakan menerima wasiat sebelum meninggalnya orang yang berwasiat maka penerimaannya tersebut tidak sah misalnya seseorang mewasiatkan rumahnya kepada orang lain lalu orang tersebut menyatakan menerima rumah itu sejak ia mengetahui wasiat ini. Dalam hal ini penerimaan orang yang diberi wasiat tersebut tidak sah dan kepemilikan rumah tersebut tidak berpindah kepadanya
31
sebab wasiat tidak dapat dilaksanakan kecuali setelah meninggalnya
orang yang berwasiat tersebut. Selama orang yang berwasiat masih hidup maka baik
30
M. Idris Ramulyo, Hukum Kewarisan Islam Studi Kasus Perbandingan Ajaran Syafi’i, Hazairin Dan Praktek Di Pengadilan, (Jakarta, IND-HILL.CO, 1987), hal. 303 31 Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin, Panduan Wakaf, Hibah Dan Wasiat Menurut Al quran dan As Sunnah, (Jakarta : Pustaka Imam Asy Syafi’i, 2008 ), hal. 236
24
orang yang diberi wasiat menerima atau menolaknya hukumnya sama saja, sebab penerimaan orang yang diberi wasiat baru dianggap sah setelah meninggalnya orang yang memberi wasiat meskipun baru sesaat saja. Apabila seseorang menerima wasiat akan tetapi ia menangguhkan penerimaan wasiat tersebut, maka hal ini diperbolehkan, sebab yang menjadi ukuran penerimaan adalah ketika meninggalnya yang memberi wasiat, meskipun dalam tenggang waktu yang lama dan tidak disyaratkan adanya penerimaan wasiat oleh orang yang diberi wasiat, karena pada dasarnya wasiat sebelum meninggalnya orang yang berwasiat adalah akad yang diperbolehkan. 32 Beberapa dasar hukum wasiat dalam hukum Islam dijumpai dalam 33 1. Surat al Baqarah ayat 180 dan 181 yang artinya : “Diwajibkan atas kamu apabila seseorang diantara kamu kedatangan tanda-tanda maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabat secara makruf inilah kewajiban atas orangorang yang bertaqwa. Maka barang siapa yang mengubah wasiat itu setelah ia mendengarnya maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Menurut penjelasan Quraish Shihab dalam tafsir al Misbah, ayat ini mewajibkan kepada orang-orang yang menyadari kedatangan tanda-tanda kematian agar memberi wasiat kepada yang ditinggalkan berkaitan dengan hartanya apabila hartanya banyak.34 Maka barang siapa yang mengubah wasiat itu dengan menambah, mengurangi 32
atau
menyembunyikan
Ibid, hal. 236-237 Rachmadi Usman, Op.Cit, hal . 143 34 Thamrin, Op.Cit, hal. 60
33
wasiat
atau
kandungannya
setelah
ia
25
mendengarnya dan setelah jelas baginya maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. 35 Oleh karena itu melaksanakan wasiat orang yang meninggal wajib dilaksanakan dengan jujur. 2. Surat al Maidah ayat 106 yang artinya : “ Hai orang-orang yang beriman apabila salah seorang kamu menghadapi kematian sedang ia akan berwasiat maka hendaklah wasiat itu disaksikan oleh dua orang yang adil diantara kamu atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu jika kamu dalam perjalanan dimuka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian.” 3. An Nisa ayat 11 yang artinya : “ Jika yang meninggal itu mempunyai
saudara – saudara maka ibunya
mendapat seperenam. Pembagian - pembagian tersebut sesudah dipenuhinya wasiat yang ia buat atau dan setelah dibayar hutangnya.” 36 An Nisa ayat 12 yang artinya : “ Maka mereka bersekutu dalam sepertiga itu
sesudah dipenuhi wasiat
yang dibuat olehnya atau dan sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudarat kepada ahli warisnya.” 37 Ayat ini merupakan dalil dianjurkan kaum muslimin untuk berwasiat serta anjuran untuk melaksanakannya walaupun dalam pelaksanaannya hutang dahulu diselesaikan baru pelaksanaan wasiat. Penyebutan wasiat didahulukan atas 35
Quran Surat Al Baqarah ayat 181 Helmi Karim, Fiqh Muamalah, ( Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1993 ), hal. 86 37 Ibid, hal. 86
36
26
penyebutan hutang bukan menunjukkan pelaksanaan wasiat didahulukan atas pembayaran hutang, tetapi hanya menunjukkan pentingnya berwasiat dan untuk mengingatkan para ahli waris agar memperhatikannya karena tidak mustahil mereka mengabaikan wasiat atau menyembunyikannya. Adanya perulangan penyebutan mendahulukan wasiat atas hutang supaya ketika membagikan harta waris, kepunyaan orang lain tidak terlupakan dan jangan sampai wasiat yang dibuat merugikan ahli waris yang benar-benar berhak. 4.
Hadist Rasul SAW 38: diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yang artinya :” Tiada hak (pantas) seorang muslim yang mempunyai sesuatu yang wajar diwasiatkannya, lalu ia
permalamkan
dua
malam
melainkan
wasiat
itu
telah
tertulis
disampingnya. 5.
Hadist riwayat Turmuzi dan Abu Daud yang artinya : “ Sesungguhnya Rasul SAW bersabda seorang laki-laki beramal dan seorang wanita senantiasa taat kepada Allah selama 60 tahun, kemudia datanglah kepada mereka saat kematian keduanya merugikan ahli waris dalam soal wasiat, maka keduanya pasti wajib di dalam neraka. Kemudian Abu Hurairah membacakan ayat Al quran yakni surat An Nisa ayat 12, sesungguhnya penyelesaian wasiat terhadapnya atau penyelesaian hutang tanpa menimbulkan kerugian dalam wasiat.” Hadist ini merupakan dasar hukum dalam penetapan hukum wasiat karena
didalamnya ada ancaman terhadap wasiat yang merugikan ahli waris. 6. Riwayat Ibnu Majah Rasul bersabda: “ Barang siapa yang meninggal dunia
38
Thamrin, Op.Cit, hal.63-65
27
ia telah berwasiat maka matinya berada dalam jalan Allah, meninggal pada jalan taqwa dan persaksian dan juga meninggal dalam keadaan diampuni (dosa-dosanya ).39 Hadist ini mengandung makna kebaikan orang yang berwasiat dalam pandangan Allah sehingga disejajarkan dengan sabilillah dan matinya dinilai mati orang yang taqwa. 7. Ijma’ Seluruh pakar hukum Islam (fuqaha) telah sepakat atau ijma’ tentang dianjurkan berwasiat, dan dalam pelaksanaannya telah disepakati pula bahwa wasiat tidak dilaksanakan kecuali setelah dilunasi hutang dan bila masih ada kelebihan baru wasiat dilaksanakan. Telah pula disepakati bahwa wasiat mulai dilaksanakan setelah kematian orang yang berwasiat dan penerimaan orang yang mendapat wasiat.40 Kaum muslimin sepakat bahwa tindakan wasiat merupakan syariat Allah dan RasulNya. Ijma’ yang demikian didasarkan pada ayat-ayat al Quran dan Sunah. 41 2.
Hukum Melakukan Wasiat Para ulama sepakat bahwa lafaz kutiba dalam surat al Baqarah ayat 180 pada
dasarnya menyatakan wajib. Namun arti tersebut tidak dijadikan dasar karena ada beberapa faktor yaitu :42
39
Ahmad Rofiq , Hukum Islam di Indonesia, ( Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1997 ), hal.445 Thamrin, Op.Cit, hal.66 41 Ahmad Rofiq, Op.Cit, hal. 445 42 Andi Syamsu Alam dan M.Fauzan , Hukum Pengangkatan Anak Dalam Perspektif Islam, (Jakarta:Kencana Prenada Media Grup, 2008 ), hal. 63 40
28
a. Ayat-ayat tentang kewarisan yang telah memberikan hak (saham) tertentu kepada orang tua dan anggota kerabat. b. Adanya hadist yang melarang berwasiat kepada ahli waris. c. Kenyataan dalam sejarah bahwa
Rasul SAW tidak memberikan wasiat
kepada kaum kerabatnya. Oleh karenanya hukum asal melakukan wasiat menurut ijma’ ulama adalah sunat muakkad. Namun jika dilihat dari sisi harta yang ada pada pemilik harta dan orang yang akan berwasiat, ulama menetapkan hukum yang berbeda bagi para individu yang akan berwasiat sesuai dengan objek wasiat tersebut. Hukum melakukan wasiat bermacam-macam sesuai dengan kondisi dan illat hukumnya. Untuk itu hukum melakukan wasiat terdiri atas : 43 1.
Wasiat yang dihukumkan wajib, yakni seseorang diwajibkan melakukan wasiat sebelum ia meninggal dunia. Wasiat jenis ini bertujuan untuk membayar hutang dan menunaikan kewajiban. Contohnya ialah wajib berwasiat untuk mengembalikan pinjaman atau untuk membayar hutang. Wasiat juga wajib dilakukan oleh orang yang masih terkait oleh suatu tanggung
jawab,
seperti
wasiat
mengeluarkan
zakat
harta
yang
ditinggalkannya, supaya hajinya ditunaikan atau supaya diyat atau kifarat yang belum dibayar agar dilunasi. Hal yang seperti ini disepakati oleh para ulama.
43
Helmi Karim, Op.Cit , hal. 90-91
29
Golongan Syafi’iyyah mengatakan adalah disunahkan membuat wasiat untuk membayar hak-hak yang berupa hutang, mengembalikan barang titipan, pinjaman dan sejenisnya, pelaksanaan wasiat-wasiat lain jika ada memperhatikan urusan-urusan anak dan orang yang baligh namun dalam keadaan idiot, dan wasiat yang berkenaan dengan hak adami adalah wajib seperti barang titipan. 44 2.
Wasiat yang hukumnya dianjurkan atau mustahabbah supaya dilakukan oleh seseorang sebelum ia meninggal dunia. Contohnya ia berwasiat untuk karib kerabat yang bukan termasuk ahli waris yang berhak menerima harta pusaka, sehingga kaum kerabat tersebut ikut terbantu oleh wasiat tersebut. Wasiat juga dianjurkan untuk tujuan kebaikan guna membantu orang-orang yang memerlukan bantuan. Wasiat juga amat baik dilakukan untuk menolong fakir miskin yang sangat memerlukan bantuan.
3. Wasiat yang sifat dan hukumnya boleh dilakukan oleh seseorang sebelum ia wafat, seperti berwasiat untuk orang kaya baik ia termasuk kaum keluarganya yang tidak menerima harta warisan ataupun orang asing. 4. Wasiat yang karahah tahrim sebagaimana yang dikemukakan oleh ulama mazhab Hanafi. Contohnya adalah berwasiat untuk ahl al fusuq dan ahli maksiat. Para ulama sependapat bahwa berwasiat untuk ahli waris hukumnya adalah makruh kecuali kalau ahli waris yang diberi wasiat itu seorang miskin sedangkan ahli waris yang lain bersamanya tidak tergolong miskin. Kalau berwasiat kepada ahli waris yang miskin sedangkan ahli 44
Wahbah Az Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu Jilid 10 , ( Jakarta,Gema Insani Darul Fikir, 2011 ), hal.159
30
waris lainnya tergolong kaya maka wasiat jenis ini
hukumnya adalah
mubah. 5.
Wasiat
yang
hukumnya
haram
yakni
wasiat
yang
tidak
boleh
dilakukan oleh seorang muslim, seperti berwasiat untuk maksiat. Contohnya
adalah
berwasiat
supaya
uangnya
dipergunakan
pekerjaan yang menyesatkan. Berwasiat itu juga hukumnya
untuk
haram bila
wasiat itu akan menyebabkan mudorat kepada pihak lain, seperti merugikan ahli waris. Wasiat yang menimbulkan kemudoratan termasuk dalam kategori dosa besar. Ibnu Abbas berkata : “ Wasiat yang menimbulkan kemudoratan merupakan dosa besar. Menurut Hazairi mengenai hukum mubah, bila wasiat ditujukan kepada kerabat atau ahli waris adalah boleh berwasiat kepada ahli waris dengan alasan yang mendesak karena perlu biaya pengobatan yang besar, pendidikan anak-anak yang masih kecil atau biaya pengobatan sedangkan ahli waris yang lain sudah cukup mampu.45 Hadist Rasul SAW yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim yang artinya : “ Tidak ada hak seorang muslim yang mempunyai sesuatu yang pantas untuk diwasiatkan sampai dua malam melainkan hendaklah wasiatnya tertulis disisi kepalanya.” 46 Riwayat lain mengemukakan bahwa Rasul SAW memandang perbuatan wasiat sebagai tindakan yang berfaedah yang akan menjamin masuk surga yang dalam 45
M. Idris Ramulyo, Op.Cit, hal.307 Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan Kitab UndangUndang Hukum Perdata, ( Jakarta : Sinar Grafika, ), hal.108 46
31
hadistnya “ Barang siapa mati dengan meninggalkan wasiat berarti ia mati di jalan Allah dan sunah Nabi dan ia mati bertakwa, bersaksi akan keesaanNya dan ia mati terampuni dosa-dosanya.” ( Ibnu Majah, Sunah,2:901(No.2701 ). 47 Rasul juga menunjukkan bahwa nilai perwujudan baik atau buruknya perilaku seseorang seperti yang tercermin dalam wasiatnya, lebih penting daripada semua perbuatan sepanjang hidupnya. Sebagai mana sabda rasul “ Orang yang mungkin berbuat baik selama tujuh puluh tahun, tetapi ia berbuat tidak adil ketika membuat wasiat, maka kejahatan dari perbuatannya ini akan ditutupkan diatasnya dan ia akan masuk neraka. Jika di lain pihak orang yang berbuat jahat selama tujuh puluh tahun tetapi ia berlaku adil dalam wasiatnya, maka kebajikan dari perbuatannya ini akan ditutupkan diatasnya dan ia akan masuk surga.” (Ibnu Hanbal (Musnad), Ibnu Majah , Ibnu Daud (Sunan) ).48 3.
Rukun Dan Syarat Wasiat Menurut Fiqh Dan Kompilasi Hukum Islam Secara garis besar syarat-syarat wasiat adalah mengikuti rukun-rukunnya.
Dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat dalam memberikan uraian tentang rukun dan syarat wasiat. Sayyid Sabiq menyebutkan bahwa rukun wasiat itu hanya menyerahkan dari orang yang berwasiat saja, selebihnya tidak perlu
49
. Sedangkan
Ibnu Rusyd dan Al Juzairy mengemukakan pendapat ulama secara muqaranah (komparitif) bahwa ada empat rukun wasiat yaitu :50
47
David S.Powers, Op.Cit, hal.184 Ibid , hal 184-185 49 Ahmad Rofiq, Op.Cit, hal.361 50 Ibid , hal. 361 48
32
1.
Al Mushii (orang yang berwasiat) Para ulama sepakat bahwa orang yang berwasiat adalah mushii yang dapat
bertindak sebagai pelaku utama dan setiap orang yang memiliki barang manfaat secara sah dan tidak ada paksaan. Mazhab Hanafi mensyaratkan orang yang berwasiat harus orang yang cakap hukum untuk bertindak dalam pemilikan dan pengalihan hak untuk itu harus memenuhi syarat dewasa, berakal sehat, tidak mempunyai hutang, merdeka, atas kemauan sendiri, dan orang yang berwasiat itu tidak terkekang mulutnya sebab kalau ia tidak bisa berkata-kata maka tidak sah wasiatnya kecuali ia bisu dan terpaksa bicara secara isyarat maka sah wasiatnya. 51 Menurut Muhammad Jawaz Mughniyah bahwa semua ahli hukum Islam sepakat bahwa wasiat orang gila yang dibuat dalam kondisi sedang gila dan wasiat anak kecil yang belum mumayyiz adalah tidak sah. Mereka berselisih pendapat tentang wasiat anak kecil tetapi sudah mumayyiz. Para ahli hukum dikalangan mazhab Malik, Hambali dan Syafi’i membolehkan asalkan anak tersebut sudah berumur 10 tahun penuh, sebab Khalifah Umar memperbolehkan wasiat jika anak berumur 10 tahun penuh. Pakar hukum di kalangan mazhab Hanafi menyatakan bahwa wasiat yang demikian itu tidak boleh, kecuali jika wasiat itu menyangkut persiapan kematian dan penguburannya, padahal seperti diketahui kedua hal ini tidak menemukan wasiat. Dikalangan mazhab Imamiyah menganut prinsip bahwa wasiat anak kecil yang belum mumayyiz diperbolehkan ( jaiz ) dalam masalah kebaktian (al birr ) dan perbuatan baik (ihsan) dan tidak diperkenankan dalam masalah lainnya. Hal ini didasarkan pada pendapat Imam Ash Shadiq yang memperbolehkannya. 52
51
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:Kencana 2006) hal. 156-157 52 Rachmadi Usman, Op.Cit, hal. 146-147
33
Menguatkan pendapat diatas Imam Abu Hanifah dan Daud Zahiri menyatakan tidak sah jika orang yang berwasiat anak kecil, orang gila, orang safih ( orang yang mempunyai IQ sangat rendah ) adalah tidak sah. 53 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dalam hal ini mirip dengan pendapat mazhab Hanafi dan Syafi’i dalam satu pendapatnya yang dinyatakan dalam Pasal 194 bahwa orang yang berwasiat itu adalah orang yang telah berumur sekurangkurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan mewasiatkan sebagian hartanya kepada orang lain atau suatu lembaga.
54
Harta benda yang diwasiatkan itu
harus merupakan hak si pewasiat dan pelaksanaan wasiat setelah pewasiat meninggal dunia. Dikemukakan pula bahwa batas minimal orang yang boleh berwasiat adalah orang yang benar-benar telah dewasa secara undang-undang, berbeda dengan batasan baliqh dalam kitab-kitab fiqh tradisional. 55 2.
Al Mushaa Lahu (orang yang menerima wasiat) Para ulama sepakat bahwa wasiat tidak boleh diberikan kepada ahli waris
kecuali jika disetujui oleh para ahli waris lainnya. Larangan memberikan wasiat kepada ahli waris didasarkan pada hadist Rasul SAW yang disampaikan pada kutbah di tahun haji wada’ yang artinya : “ Sesungguhnya Allah SWT telah memberikan hak
53
Thamrin , Op.Cit , hal.72 Abdul Manan , Op.Cit, hal. 158 55 Ibid , hal. 158 54
34
kepada orang yang memiliki hartanya, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris (hadist Turmuzi dan Abu Daud).” 56 Pihak yang dapat bertindak sebagai penerima wasiat adalah subjek hukum baik orang maupun badan hukum dan secara hukum dapat dipandang cakap untuk memiliki sesuatu hak atau benda yang harus memenuhi persyaratan sebagai penerima wasiat yaitu :57 1. Pihak penerima wasiat telah ada pada waktu pewasiatan terjadi. 2. Penerima wasiat adalah orang atau badan hukum. 3. Penerima wasiat bukan pembunuh pewasiat atau melakukan percobaan pembunuhan ketika pemberi wasiat masih hidup. 4. Penerima wasiat bukan sesuatu badan yang mengelola kemaksiatan. 5. Penerima wasiat bukan ahli waris dari penerima wasiat. 3.
Al Mushaa Bihi (barang yang diwasiatkan) Pada dasarnya benda yang menjadi objek wasiat adalah benda-benda atau
manfaat yang dapat digunakan bagi kepentingan manusia. Sesuatu yang diwasiatkan itu harus memenuhi persyaratan yaitu: 58 a. Dapat berlaku sebagai harta warisan baik benda bergerak maupun benda tidak bergerak atau dapat menjadi objek perjanjian.
56
Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama Islam, Ilmu Fiqh 3 (Jakarta:Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1986), hal.193 57 Rachmadi Usman , Op.Cit , hal. 147 58 Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan Kitab UndangUndang Hukum Perdata, Op.Cit, hal. 109-110
35
b. Benda itu sudah ada wujud pada waktu diwasiatkan dan dapat pula dialihkan kepemilikannya kepada penerima wasiat. c. Hak milik itu benar-benar kepunyaan pewasiat, bukan harta yang didalamnya belum dipisahkan hak orang lain. d. Harta yang diwasiatkan tidak boleh melebihi sepertiga dari harta peninggalan/warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujuinya.59 Menurut mazhab Hanafi, Ishak, Syarik, dan Ahmad dalam satu riwayat yaitu ucapan Ali dan Ibnu Mas’ud memperbolehkan kepadanya untuk berwasiat lebih dari sepertiga bila tidak mempunyai ahli waris dan karena wasiat yang ada di dalam ayat adalah wasiat mutlak sehingga dibatasi oleh sunnah dengan mempunyai ahli waris. 60 Dengan demikian wasiat mutlak itu boleh bagi orang yang tidak mempunyai ahli waris. Mengenai wasiat yang berupa manfaat suatu benda sementara bendanya sendiri tetap menjadi pemilikya atau keluarganya maka para fuqaha berbeda pendapat. Fuqaha kalangan Amshar mengemukakan bahwa pewasiatan manfaat itu boleh saja dilakukan, sedangkan Ibnu Abi Laila, Ibnu Syubrumah dan Ahli Zhahiri berpendapat bahwa pewasiatan manfaat itu adalah batal karena manfaat adalah tidak sama dengan harta. Sementara para ahli hukum yang lain beralasan bahwa manfaat itu akan berpindah kepada hak milik ahli waris karena orang yang meninggal dunia tidak mempunyai sesuatu yang terdapat pada milik orang lain.
59 60
Pasal 195 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam Mardani, Op.Cit hal.114
36
Sayyid Sabiq menegaskan bahwa wasiat segala benda atau manfaat seperti buah dari pohon atau anak dari hewan adalah sah, yang penting benda atau manfaat itu ada wujudnya dan dapat diserahkan kepada orang yang menerima wasiat pada saat orang yang berwasiat meninggal dunia. Pendapat terakhir ini sejalan dengan pendapat mayoritas ahli hukum Islam yang menyatakan bahwa manfaat dapat dikategorikan sebagai benda oleh karena itu mewariskan manfaat saja hukumnya boleh.
61
Demikian pula menurut Sayyid Sabiq bahwa sah pula mewasiatkan piutang dan manfaat seperti tempat tinggal serta kesenangan dan tidak sah mewasiatkan yang bukan harta, seperti bangkai dan yang tidak bernilai bagi orang yang mengadakan akad wasiat, seperti khamar bagi kaum muslimin. 62 Dalam Pasal 198 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa wasiat yang berupa hasil dari suatu benda ataupun pemanfaatan suatu benda harus diberikan jangka waktu tertentu. Pembatasan dimaksud untuk memudahkan tertib administrasi karena substansi wasiat sesungguhnya adalah untuk jangka waktu selama-lamanya, karena ia termasuk jenis sedekah jariyah. Selanjutnya Pasal 200 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan harta wasiat yang berupa barang tidak bergerak bila karena suatu sebab yang sah mengalami penyusutan atau kerusakan yang terjadi sebelum pewasiat meninggal dunia, maka penerima wasiat hanya akan menerima harta yang tersisa. Wasiat dapat dilaksanakan dilaksanakan maksimal sepertiga dari seluruh harta si pewasiat.
61 62
Abdul Manan , Op.Cit, hal. 160 Rachmadi Usman , Op.Cit , hal. 148
37
4. Sighat (redaksi wasiat) Mengenai sighat ini sebagian ulama terutama dari kalangan mazhab Hanafi ada yang keberatan untuk menetapkan sighat wasiat sebagai salah satu unsur atau rukun wasiat. Menurut mereka dalam wasiat hanya diperlukan pernyataan pemberian wasiat dari pemilik harta karena wasiat adalah akad yang hanya mengikat pihak yang berwasiat, sedangkan bagi pihak yang menerima wasiat akad itu tidak mengikat. Mereka menyamakan antara hak yang akan diterima melalui warisan dan yang diterima melalui wasiat yaitu hanya berlaku setelah pemilik harta meninggal dunia.
63
Imam Asy Syafi’i juga cenderung pada tidak perlu adanya qabul dalam wasiat, beliau mengqiyaskan wasiat dengan waris. Bahkan beliau menyatakan bahwa qabul dari pihak penerima wasiat bukan merupakan syarat sahnya wasiat.64 Pada dasarnya sighat wasiat disyaratkan berupa suatu perkataan atau pernyataan yang jelas menunjukkan pada pengertian pemberian wasiat untuk seseorang atau lebih baik secara lisan maupun tulisan. Sighat wasiat terdiri dari ijab dan qabul . Ijab adalah kata-kata atau pernyataan yang diucapkan atau dinyatakan oleh orang yang berwasiat, sedangkan qabul adalah kata-kata atau pernyataan yang diucapkan atau dinyatakan oleh orang yang menerima wasiat,.65 Wahbah al Zuhaili menegaskan bahwa mayoritas ulama sepakat bahwa wasiat baru sah bila menggunakan ijab dan qabul dan boleh juga dengan menggunakan
63
Rachmadi Usman , Op.Cit , hal.145 Ibid , hal 146 65 Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama Islam, Ilmu Fiqh 3 (Jakarta:Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1986) , hal. 189 64
38
bahasa isyarat dan tulisan. Ada beberapa ketentuan yang mesti dipenuhi dalam sighat wasiat diantaranya : 66 a. Ulama fiqh menetapkan bahwa sighat ijab dan qabul yang digunakan dalam wasiat harus jelas dan sejalan. b. Ucapan qabul dari orang yang diberi wasiat ketika orang yang berwasiat masih hidup tidak berlaku akan tetapi menurut ulama mazhab Hanafi qabul boleh diucapkan sebelum atau sesudah orang yang berwasiat wafat. Ulama juga sepakat bahwa apabila seseorang berwasiat kepada fulan lalu orang tersebut wafat setelah al musi (orang yang berwasiat) wafat tetapi belum menyatakan qabulnya maka ucapan qabul digantikan oleh ahli waris si fulan. c. Qabul harus diungkapkan oleh orang yang telah baligh dan berakal. Apabila penerima wasiat itu anak kecil atau orang gila maka qabul mesti diwakili oleh walinya. d. Ulama fiqh sepakat tidak mensyaratkan qabul apabila wasiat ditujukan untuk kepentingan umum seperti masjid dan anak-anak yatim yang identitasnya tidak dijelaskan dalam wasiat maka hukum wasiat bersifat mengikat sekalipun tanpa qabul setelah orang yang berwasiat wafat. e. Wasiat diperbolehkan melalui isyarat yang dipahami akan tetapi menurut ulama mazhab Hanafi dan Hambali ketentuan ini hanya bisa diterima apabila orang yang berwasiat bisu dan tidak bisa baca tulis. Apabila yang berwasiat mampu baca tulis maka wasiat melalui isyarat tidak sah. Sebaliknya ulama mazhab Maliki dan mazhab Syafi’i berpendapat bahwa wasiat tetap sah melalui isyarat yang dapat dipahami sekalipun orang yang berwasiat mampu untuk berbicara dan baca tulis. f. Qabul menurut jumur ulama harus diungkapkan melalui lisan atau tindakan hukum yang menunjukkan kerelaan penerima wasiat tersebut seperti bertindak hukum pada barang yang diwasiatkan. Menurut mereka qabul tidak cukup hanya dengan sikap tidak menolak wasiat tetapi harus jelas. Ulama mazhab Hanafi mengatakan qabul bisa dengan ungkapan yang jelas atau tindakan yang menunjukkan kerelaan menerima wasiat bahkan boleh juga dengan sikap tidak menolak sama sekali wasiat (diam saja).
66
Andi Syamsu Alam dan M.Fauzan , Op.Cit, hal. 71-72
39
B. Pandangan Fiqh Islam dan Kompilasi Hukum Islam Mengenai Hibah 1. Pengertian Dan Dasar Hukum Hibah Hibah secara bahasa berasal dari kata wahaba, secara terminologi syariat Islam hibah adalah : akad yang menjadikan kepemilikan tanpa adanya pengganti ketika masih hidup dan dilakukan secara sukarela.67 Menurut ulama Hanabilah hibah artinya : memberikan kepemilikan atas barang yang dapat di tasharuf kan berupa harta yang jelas atau tidak jelas karena adanya uzur untuk mengetahuinya berujud dapat diserahkan tanpa adanya kewajiban ketika masih hidup tanpa adanya pengganti yang dapat dikategorikan sebagai hibah menurut adat dengan lafazh hibah atau tamlik (menjadikan milik).68 Sayyid Sabiq mendefenisikan hibah sebagai akad yang pokok persoalannya pemberian harta milik seseorang kepada orang lain diwaktu dia tanpa adanya imbalan. Sulaiman Rasyid mendefenisikan hibah adalah memberikan zat dengan tidak ada tukarnya dan tidak ada karenanya. 69 Menurut Kompilasi Hukum Islam, hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki. 70 Berdasarkan defenisi diatas maka kriteria hibah adalah : 71
67
Rachmat Syafei, Fiqh Muamalah , (Bandung : Pustaka Setia, 2001), hal. 242 Ibid, hal. 242 69 Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K.Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, ( Jakarta:Sinar Grafika ,1994), hal.113 70 Pasal 171 huruf g Kompilasi Hukum Islam 71 Mardani, Op cit , hal.125 68
40
1. Suatu pemberian. 2. Tanpa mengharapkan kontraprestasi atau secara cuma-cuma. 3. Dilakukan ketika pemberi hibah masih hidup. 4. Tidak dapat ditarik kembali. 5. Hibah merupakan perjanjian bersegi satu ( bukan timbal balik ) karena hanya terdapat satu pihak yang berprestasi. Hibah lebih luas cakupannya yaitu meliputi sedekah dan hadiah. Sedangkan makna hibah secara umum meliputi hal-hal seperti yang dibawah ini : 1. Ibraa yang artinya menghibahkan hutang kepada orang lain yang berhutang. 2. Sedekah artinya menghibahkan sesuatu dengan mendapatkan pahala di akhirat. Motivasinya hanya ingin mencari pahala dan keridhaan Allah
72
itulah letak perbedaan mendasar antara sedekah dan hibah. Para ulama membagi sedekah itu kepada wajib dan sedekah sunat. 3. Hadiah ialah memberikan sesuatu zat dengan tidak ada tukarannya tetapi dengan maksud memuliakan orang yang diberi dengan mengantarkannya ketempat orang yang menerimanya. 73 Hadiah itu lebih lebih dimotivasi oleh rasa terima kasih dan kekaguman seseorang. Jadi hibah yaitu memberikan sesuatu kepada orang lain tanpa imbalan (penggantian), sedekah yaitu memberikan sesuatu kepada orang lain karena mengharapkan pahala di akhirat, sedangkan hadiah yaitu memberikan sesuatu kepada
72 73
Rachmadi Usman , Op cit , hal.149 T. Jafizham, Sari Kuliah Hukum Islam I, ( Medan : FH.USU, 1999 ), hal157
41
orang lain untuk memuliakan atau menghormati orang lain yang menerimanya. Oleh karena itu setiap sedekah dan hadiah itu adalah hibah dan tidak sebaliknya. 74 Beberapa dasar hukum hibah dapat dikaji dari Al Quran 75 : 1. Surat Asy-Syu’ara ayat 21 yang artinya : “ Kemudian Tuhanku memberikan kepadaku ilmu serta Dia menjadikanku salah seorang diantara Rasul.” 2. Surat Al Baqarah ayat 177 yang artinya : “ Dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya anak-anak yatim orang-orang miskin musafir yang memerlukan pertolongan dan orang-orang yang memintaminta dan memerdekakan hamba sahaya.” 3. Surat Al Maidah ayat 2 yang artinya: “ Dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebaikan dan takwa dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah sesungguhnya Allah amat berat siksaNya.” 4. Surat An Nisa ayat 4 yang artinya : “ Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati, maka makanlah atau ambillah pemberian itu sebagai hadiah yang sedap lagi baik akibatnya.” 5. Hadist Rasul SAW riwayat Abu Hurairah :” saling memberi hadiahlah kamu karena hadiah itu menghilangkan kebencian hati dan janganlah seorang
74
Mardani, Op cit , hal 126 M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ,(Jakarta:Sinar Grafika, 1994), hal.118-119 75
42
tetangga perempuan meremehkan hadiah dari tetangganya sekalipun hadiah itu sepotong kaki kambing.” 76 6. Hadist Rasul riwayat Abu Hurairah : “ Seandainya saya diundang untuk jamuan kaki kambing, pasti saya akan datang dan jika saya diberi hadiah kaki kambing atau lengan tangan kambing pastilah saya akan menerimanya. “ 77 Hibah hukumnya mandub (dianjurkan) dalam hibah ada makna silaturahim, sesuai dengan hadist yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a. bahwasanya Nabi SAW bersabda:” Saling memberi hadiahlah kalian niscaya kalian akan saling mencintai.” 78 Adapun yang disunahkan agar orang tua tidak membeda-bedakan sebagian anak dengan sebagian anak lainnya. 2.
Rukun dan Syarat Hibah Suatu hibah dikatakan sah bila memenuhi rukun dan syarat yang telah
ditentukan menurut syara’ :79 1. Adanya orang yang menghibahkan atau pemberi hibah (al wahib) Disyaratkan bagi penghibah syarat-syarat sebagai berikut : a. Penghibah memiliki apa yang dihibahkan b. Penghibah bukan orang yang dibatasi haknya karena suatu alasan c. Penghibah orang yang dewasa
76
Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K.Lubis, Op cit , hal. 114 Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalat Sistem Transaksi Dalam Fiqh Islam, (Jakarta, Amzah, 2010), hal.440 78 Ibid, hal.438-439 79 Rachmadi Usman , Op cit , hal. 151-153 77
43
d. Penghibah tidak dipaksa sebab hibah itu akad yang mensyaratkan kerelaan dalam keabsahannya. Apabila seseorang menghibahkan hartanya, sedangkan dirinya menderita sakit yang menyebabkan kematian maka hukum hibahnya itu sama seperti wasiatnya.
80
Apabila ada orang lain atau salah satu ahli waris mengakui bahwa ia telah menerima hibah, maka hibahnya dipandang tidak sah sebab dikhawatirkan pemberi hibah sewaktu menghibahkan hartanya itu tidak didasarkan atas sukarela atau setidaknya pemberi hibah tidak lagi dapat membedakan pada saat itu mana yang baik dan mana yang buruk. Tetapi sebaliknya bila ahli waris mengakui kebenaran dari hibah itu maka hibah tersebut dipandang sah. 81 2. Adanya orang yang menerima hibah (al mauhublah). Bahwa penerima hibah haruslah orang yang benar-benar ada pada waktu hibah dilakukan. Adapun yang dimaksud dengan benar-benar ada ialah penerima hibah sudah lahir dan tidak dipersoalkan apakah ia anak-anak, kurang akal dan dewasa setiap orang dapat menerima hibah.82 3. Adanya objek hibah, sesuatu yang dihibahkan (al hibah) . Berkaitan dengan benda yang dihibahkan disyaratkan sebagai berikut: a. Benda-benda tersebut benar-benar ada. b. Benda tersebut harta yang bernilai.
80
Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K.Lubis, Op cit, hal.117-118 Ibid, hal.118 82 Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K.Lubis, Op cit, hal. 116
81
44
c. Benda tersebut dapat dimiliki zatnya yakni yang dihibahkan itu apa yang biasanya dimilikinya, diterima peredarannya dan pemilikannya dapat berpindah tangan karenanya tidak sah menghibahkan sesuatu di sungai, ikan di laut, burung di udara, mesjid-mesjid atau pesantren-pesantren. d. Benda yang dihibahkan itu tidak berhubungan dengan tempat milik penghibah seperti menghibahkan tanaman, pohon atau bangunan tanpa tanahnya. Akan tetapi yang dihibahkan itu wajib dipisahkan dan diserahkan kepada yang diberi hibah sehingga menjadi milik baginya. e. Benda yang dihibahkan itu dikhususkan yakni yang dihibahkan itu bukan untuk umum sebab pemegangan dengan tangan itu tidak sah, kecuali ditentukan atau dikhususkan seperti halnya jaminan. Imam Malik , Asy Syafi’i, Ahmad dan Abu Tsaur berpendapat tidak disyaratkan syarat ini, mereka berpendapat bahwa hibah untuk umum yang tidak dibagi-bagi itu sah. Bagi golongan Maliki boleh menghibahkan apa yang tidak sah dijual seperti unta liar dan buah sebelum nampak hasilnya. 4. Adanya ijab qabul (shighat hibah) Pada prinsipnya ijab qabul dilakukan berdasarkan atas kesepakatan bebas diantara para pihak dan tanpa ada unsur paksaan, kekhilafan, maupun penipuan. Pernyataan ijab qabul pelaksanaan hibah dimaksud dapat dilakukan secara lisan maupun tulisan bahkan hendaknya disaksikan oleh dua orang saksi untuk itu. Sayyid Sabiq mengatakan bahwa hibah itu sah melalui ijab qabul, bagaimanapun bentuk ijab qabul yang ditunjukkan oleh pemberian harta tanpa imbalan. Orang-orang Imam
45
Hanafi berpendapat bahwa ijab itu saja sudah cukup dan itulah yang paling shahih. Sementara orang-orang Imam Hambali berpendapat bahwa hibah itu sah dengan pemberian yang menunjukkan kepadanya karena Rasul SAW memberikan hadiah. Adapun orang yang bisu cukup dengan isyarat yang bisa dipahami saja. Hibah dengan ucapan kiasan perlu kepada niat dari pemberi hibah dan yang termasuk hibah dengan ucapan kiasan seperti seseorang berkata kepada orang lain saya pakaikan kamu baju ini sebab ia bisa berarti pinjaman dan hibah jika ia berkata saya tidak berniat hibah maka ia benar ucapannya sebab ungkapan itu bukan termasuk yang jelas untuk hibah oleh sebab itu kembali kepada niatnya. Dalam pelaksanaan hibah yang terpenting harus dilakukan ketika penghibah masih hidup adanya pernyataan terutama dari pemberi hibah serta untuk kepentingan pembuktian jika di kemudian hari terjadi sengketa maka dibutuhkan adanya saksi-saksi dan bahkan sebaiknya dibuat secara tertulis dalam sebuah akta. C. Menghibahkan Harta Yang Telah Diwasiatkan
Menurut
Fiqh
Islam
Dan Kompilasi Hukum Islam Pada dasarnya setiap orang dapat menghibahkan harta miliknya kepada siapa saja yang dikehendakinya ketika pemberi hibah dalam keadaan sehat walafiat. Hibah dilakukan oleh penghibah tanpa mengharapkan imbalan dan jasa yang dilakukan secara suka rela demi kepentingan seseorang atau demi kemaslahatan umat. Menghibahkan tidak sama artinya dengan menjual atau menyewakan jika dikaitkan dengan suatu perbuatan hukum maka hibah termasuk salah satu bentuk pemindahan hak milik, dengan terjadinya akad hibah maka pihak penerima hibah dipandang telah
46
mempunyai hak penuh atas harta itu sebagai hak miliknya sendiri. Jadi transaksi hibah bersifat tunai dan langsung serta tidak boleh dilakukan atau disyaratkan bahwa perpindahan itu berlaku setelah pemberi hibah meninggal dunia, sebagaimana halnya di dalam wasiat. Sayyid Sabiq dan Chairuman Pasaribu menjelaskan bahwa apabila seseorang menghibahkan hartanya sedangkan orang yang memberi hibah itu dalam keadaan sakit yang menyebabkan kematiannya, maka hukum hibah itu sama dengan wasiat. Oleh karena itu apabila ada orang lain yang atau salah satu ahli waris mengaku bahwa ia telah menerima hibah maka hibahnya itu dipandang tidak sah, sebab dikhawatirkan si pemberi hibah sewaktu menghibahkan hartanya itu tidak didasarkan pada sukarela atau setidaknya ia tidak lagi dapat membedakan mana yang baik dan buruk. Tetapi sebaliknya apabila ahli waris mengakui kebenaran dari hibah itu maka hibah itu dipandang sah. Jumhur fukaha berpendapat bahwa orang sakit dibenarkan menghibahkan sepertiga hartanya karena hibah disini disamakan dengan wasiat. Ketentuan terakhir ini dianut oleh Kompilasi Hukum Islam. 83 Dikaitkan dengan perbuatan hukum maka wasiat termasuk bentuk hibah dan pada dasarnya juga bermakna transaksi pemberian sesuatu pada pihak lain. Pemberian itu dapat berupa penghibahan harta ataupun pemberian manfaat dari milik pemberi wasiat kepada yang menerima wasiat. Para ulama memberikan rumusan tentang wasiat dengan redaksi yang bervariasi, akan tetapi intinya adalah wasiat merupakan pesan dari seseorang berupa pernyataan baik lisan maupun tulisan yang berisi tentang sesuatu apakah berupa pemberian barang atau hak kepada orang lain atau sesuatu badan yang berlaku setelah yang memberi pesan atau orang yang membuat pernyataan itu meninggal dunia dan ia bersifat tidak membatalkan wasiatnya itu. 84
83 84
Abdul Manan , Op.Cit, hal.134-135 Thamrin , Op.Cit , hal. 59
47
Pada dasarnya memberi wasiat merupakan tindakan iktiyariyah yakni suatu tindakan yang dilakukan atas kemauan sendiri dan dalam keadaan bagaimanapun. Wasiat itu bukan merupakan suatu keharusan yang harus dibuat dan dilaksanakan seseorang untuk memberi wasiat kepada orang lain ataupun menerima wasiat, oleh karena itu orang yang memberi wasiat boleh saja menarik kembali wasiat yang telah dinyatakannya, baik itu wasiat yang berkenaan dengan harta, manfaat ataupun hal yang berkenaan dengan kekuasaan atau wilayah. Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 171 huruf (f) mengandung pengertian bahwa wasiat berlaku setelah pemberi wasiat meninggal dunia dan wasiat itu merupakan pemberian yang dapat diberikan kepada penerima wasiat walaupun tidak diketahui oleh penerima wasiat. Kompilasi Hukum Islam tidak mengatur secara khusus mengenai siapa penerima wasiat. Berdasarkan pasal 171 huruf (f) dapat diketahui bahwa penerima wasiat adalah orang dan lembaga dan Pasal 196 juga menegaskan bahwa dalam wasiat baik secara tertulis maupun secara lisan harus disebutkan dengan tegas siapa-siapa dan lembaga apa yang ditunjuk untuk menerima harta benda yang diwasiatkan. Wasiat tidak boleh dilakukan dengan menghibahkan atau menyerahkan seluruh harta oleh pihak yang berwasiat sebagaimana ketentuan dalam hibah. Jika seseorang menghibahkan dengan cara mewasiatkan seluruh hartanya maka wasiat itu berlaku hanya sepertiga bagian dari seluruh harta peninggalan. Sebagaimana ketentuan hibah dan wasiat dalam ketentuan hukum Islam, apabila seseorang telah mewasiatkan harta miliknya kepada seseorang kemudian ia hendak menghibahkan kembali harta
48
miliknya itu kepada orang yang lainnya, maka ia harus membatalkan wasiat yang telah diperbuat tersebut sehingga tidak terjadi silang sengketa diantara penerima wasiat dan penerima hibah. Berlainan dengan hibah, mayoritas ulama fiqh menyatakan bahwa apabila wasiat telah memenuhi rukun dan syaratnya maka wasiat dianggap sah dan harus dilaksanakan terhitung sejak wafatnya al mushii, namun mereka sepakat bahwa akad wasiat bersifat tidak mengikat, al mushii boleh membatalkan wasiatnya selagi ia masih hidup, kapan saja ia mau baik dibatalkan seluruh wasiat maupun sebagiannya dan pembatalan itu dapat dilakukan dalam keadaan sehat ataupun sakit
85
yang berarti
bahwa wasiat yang diucapkan seseorang bisa batal dan dibatalkan oleh pemberi wasiat secara sepihak. Hal ini juga berdasarkan kepada ucapan Umar bin Khathab yang mengatakan “seseorang boleh membatalkan atau mengubah wasiatnya”. Diperbolehkannya membatalkan wasiat karena wasiat hanya sekedar pemberian atau hadiah yang baru bisa dilaksanakan setelah orang yang berwasiat meninggal dunia. Oleh sebab itu al mushii boleh saja membatalkan pemberiannya sebelum ia meninggal dunia. 86 Penerima wasiat tidak dianggap berhak atas sesuatu yang diwasiatkan untuknya kecuali setelah wafatnya si pemberi wasiat dan setelah pelunasan semua hutangnya dan seandainya hutang-hutang itu menghabiskan seluruh harta peninggalannya maka
85 86
Andi Syamsu Alam dan M.Fauzan , Op.Cit, hal. 76 Ibid hal. 76-77
49
si penerima wasiat tidak berhak lagi atas apapun. 87 Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al Quran surah An Nisa ayat 12 yang artinya sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau dan sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudarat kepada ahli waris. Para ulama sepakat bahwa wasiat bisa batal apabila : 88 1. Wasiat itu dicabut atau dibatalkan sendiri oleh orang yang memberi wasiat tanpa memerlukan persetujuan pihak yang akan menerima wasiat. Pembatalan itu bisa berbentuk dijualnya harta yang menjadi objek wasiat itu oleh yang berwasiat atau mengalihkan wasiat yang sudah disampaikan itu kepada pihak lain atau ia berwasiat menambah, mengurangi atau menukar materi yang sudah diwasiatkannya itu. 2. Wasiat itu bisa batal bila pihak yang berwasiat terkena penyakit gila dan sampai meninggal dunia. 3. Wasiat bisa batal bila pihak yang akan menerima wasiat lebih dahulu wafat dari orang yang berwasiat. 4. Wasiat juga bisa batal bila harta yang diwasiatkan itu musnah, hilang atau habis sebelum pihak yang berwasiat meninggal. 5. Wasiat batal bila pihak yang akan menerima wasiat membunuh pihak yang berwasiat secara tidak hak atau berencana untuk membunuh pihak yang berwasiat namun rencana itu tidak terlaksana akibat sesuatu hal diluar kemampuan pihak yang menerima wasiat. Pembatalan wasiat menurut kesepakatan ulama fiqh boleh dilakukan dengan ucapan yang jelas atau dengan tindakan. Contoh ucapan yang jelas dari al mushii adalah, “ saya batalkan wasiat yang telah saya akadkan untuk si fulan “ atau al mushii mengatakan “ harta ini untuk ahli warisku “ dengan menunjuk harta yang sebelumnya diwasiatkan kepada si fulan atau al mushii menyembelih hewan yang telah diwasiatkan atau menjual dan menghibahkannya kepada orang lain. Hanya saja ulama
87
Muhammad Bagir, Fiqih Praktis II, Menurut Al Quran, As Sunah Dan Pendapat Para Ulama, ( Bandung : Karisma, 2008 ), hal. 260 88 Helmi Karim, Op.Cit , hal 97
50
mazhab Maliki berpendirian bahwa melakukan tindakan hukum terhadap harta yang telah diwasiatkan harus bersifat menyeluruh seperti menjual harta itu keseluruhannya atau menghibahkannya kepada orang lain. 89 Termasuk sebagai pembatalan wasiat menurut ulama mazhab Hanafi adalah sikap mengingkari wasiat yang telah diakadkan misalnya al mushii mengingkari wasiatnya kepada si fulan, padahal sebelumnya ia telah mengakadkan wasiat untuk si fulan tersebut. Akan tetapi menurut ulama lainnya termasuk Muhammad bin Hasan asy Syaibani (sahabat Imam Abu Hanifah) sikap seperti itu tidak termasuk pembatalan wasiat, artinya sekalipun al mushii mengingkari wasiat yang telah ia ikrarkan maka wasiat tetap sah.90 Setelah dilakukan pembatalan ataupun pencabutan wasiat tersebut, seseorang dapat menghibahkan kembali hartanya kepada orang lain. Pemberian hibah ini dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan ucapan dan perbuatan, ucapan meliputi ijab dan qabul sedangkan perbuatan dengan memberikan sesuatu yang menunjukkan makna hibah. Kompilasi Hukum Islam tidak terlalu banyak memberikan pengaturan mengenai hibah yakni Pasal 210 sampai dengan Pasal 214 dan dalam Pasal sebelumnya yaitu Pasal 171 butir g dan mengenai wasiat diatur dalam Pasal 194 sampai dengan Pasal 209 mengenai orang yang berhak untuk wasiat atau subjek wasiat, bentuk wasiat, jenis-jenis wasiat, pembatalan dan pencabutan wasiat dan hal lain lain yang berkenaan dengan wasiat.
89 90
Andi Syamsu Alam dan M.Fauzan , Op.Cit, hal.77 Ibid, hal. 77