25
BAB II SYARAT HIBAH MENURUT HUKUM ISLAM
A. Tinjauan umum tentang Hibah dan harta dalam Hukum Islam 1.
Tinjauan umum tentang Hibah Pengertian hibah memang banyak ditemukan dalam literatur hukum Islam,
walau pada prinsipnya mendekati sama. Pada mulanya kata hibah Secara etimologi adalah bentuk masdar dari kata wahaba yang berarti pemberian30, sedangkan hibah menurut istilah adalah akad yang pokok persoalannya, pemberian harta milik orang lain di waktu ia masih hidup tanpa imbalan.31 Sedangkan secara bahasa kata hibah berasal dari bahasa arab al-hibah yang berarti pemberian atau hadiah dan bangun(bangkit), yang terambil dari kata hubuubur riih artinya muruuruha (perjalanan angin).32 Hibah menurut terminologi syara’ adalah pemberian hak milik secara langsung dan mutlak terhadap satu benda ketika masih hidup tanpa ganti walaupun dari orang yang lebih tinggi.33
30
Ahmad Warson Munawir Al-Munawir, Kamus Arab Indonesia Yogyakarta Pondok Pesantren “ Al-Munawir,” 1984, hal. 1692. 31 Syayid Sabig, Fiqh Al-Sunnah, juz III, Beirut: Dar Al-Fikir, 1992, hal. 388. 32 ibid hal 984 33 Ibid hal 435
25
Universitas Sumatera Utara
26
Dari pengertian tersebut dapat diambil pengertian umum bahwa hibah merupakan pemberian harta kepada orang lain tanpa imbalan dimana harta diberikan sewaktu pemilik harta masih hidup. Hibah juga dalam pengertian umum adalah Sadaqah dan hadiah, dilihat dari aspek vertical (hubungan manusia dengan Tuhan) mempunyai dimensi taqorrub artinya ia dapat meningkatkan keimanan dan ketakwaan seorang, semakin banyak Berderma dan Sadaqah akan semakin memperkuat dan memperkokoh keimanan dan ketaqwaan34. Dilihat dari sudut lain hibah juga mempunyai aspek horizontal (hubungan sesama manusia serta lingkungannya) yaitu dapat berfungsi sebagai upaya mengurangi kesenjangan antara si kaya dan si miskin serta dapat menghilangkan rasa kecemburuan sosial. Sadaqah biasa kita sebut di Indonesia adalah sedekah. Penghibahan digolongkan dalam perjanjian cuma-cuma dalam perkataan dengan cuma-cuma ditunjukkan adanya prestis dari satu pihak saja, sedangkan pihak lainnnya tidak usah memberikan kontra prestisnya35. Makanya hibah disebut juga perbuatan hukum sepihak. Hibah juga merupakan perbuatan hukum sepihak, dalam hal itu pihak yang satu memberikan atau menjanjikan memberikan benda kepadanya kepada pihak lain dan tidak mendapatkan tukaran atau penggantian atau imbalan36. Dasar hibah menurut Islam adalah firman Allah Subhanahu wa ta’ala yang menganjurkan kepada umat Islam agar berbuat baik kepada sesamanya, saling 34
Chuzaimah T. Yanggo dan A Hafidz Anshory, Problematika Hukum Islam III, hal 81. Subekti, Aneka Perjanjian, PT Aditya Bakti, Bandung, 1995, hal 94. 36 Andi Tahrir Hamid, Beberapa Hal Baru Tentang Peradilan Agama Dan Bidangnya, hal 71.
35
Universitas Sumatera Utara
27
mengasihi dan sebagainya. Islam menganjurkan agar umatnya suka memberi karena memberi lebih baik dari pada menerima. Namun pemberian itu harus ikhlas, tidak ada pamrih apa-apa kecuali mencari ridha Allah Subhanahu wa ta’ala dan mempererat tali persaudaraan. Firman Allah Subhanahu wa ta’ala, artinya : “...Dan memberikan harta yang dicintai kepada kerabatnya, anak-anak orang miskin, musyafir ( yang memerlukan pertolongan), dan orang orang yang meminta...”. (Q.S. Al – Baqarah 177: ). Rasulallah juga bersabda, artinya : “Dari Abi Hurrairah dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : saling memberi hadiahlah kamu sekalian niscaya kamu akan mencintai”. (HR. Al – Bukhari).37 Di dalam Al–Qur’an maupun Hadist, memang tidak ditemui ayat dan hadist Nabi yang secara langsung memerintahkan untuk berhibah. Namun dari ayat-ayat dari Hadist di atas dapat dipahami, bahwa Allah dan Rasul-Nya menganjurkan umat Islam untuk suka menolong sesama, memberi hadiah, melakukan infaq, sedekah, ibraa, hadiah, ’Umra, Ruqbah dan pemberian pemberian lain termasuk hibah. Sedekah sedikit berbeda dengan hibah, sedekah biasanya si pemberi mengharapkan ridho Allah subhanahu wata’ala walau terkadang banyak juga niat
37
Abdul Aziz Bin Fathi As-Sayyid Nada, Ensiklopedi Adab Islam Menurut Al-Quran Dn Sunnah, pustaka imam Asy-Syafi’I, Jakarta, 2007, hal 60
Universitas Sumatera Utara
28
hibah adalah mencari pahala. Contoh sedekah ialah Seperti memberikan beras, atau benda lain yang bermanfaat kepada orang lain yang membutuhkan. Allah berfirman yang Artinya : "Dan kamu tidak menafkahkan, melainkan karena mencari keridhaan Allah dan sesuatu yang kamu belanjakan, kelak akan disempurnakan balasannya sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya". (QS. AI Baqarah : 272). Bersedekah haruslah dengan niat yang ikhlas, jangan ada niat ingin dipuji (riya) atau dianggap dermawan, dan jangan menyebut-nyebut shadaqah yang sudah dikeluarkan, apalagi menyakiti hati si penerima. Sebab yang demikian itu dapat menghapuskan pahala sedekah. Allah
berfirman
dalam
surat
AI
Baqarah
ayat
264:
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) shadaqahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia ..." (QS. AI Baqarah : 264) Istilah lain yang hampir sama dengan hibah adalah Ibraa. Artinya membebaskan hartanya kepada orang lain yang berhutang. Sedangkan hadiah artinya imbalan yang diberikan seseorang karena dia telah mendapatkan hibah38 atau hadiah itu lebih dimotivasi oleh rasa terima kasih dan kekaguman seseorang39, Hadiah yaitu pemberian seseorang kepada orang lain tanpa adanya pengganti dengan maksud memuliakan atau memberikan penghargaan. 38
Sayyid sabbiq, Op.Cit hal 417 Helmi Karim, Fiqh Muamalat, PT. Raja Grafindo Persada Jakarta cetakan kedua April 1997, hal 80 39
Universitas Sumatera Utara
29
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menganjurkan kepada umatnya agar saling memberikan hadiah. Karena yang demikian itu dapat menumbuhkan kecintaan dan saling menghormati antara sesama. Berbeda pula dengan pemberian ‘umra dan ruqbah. Umra artinya umur sedangkan ruqbah berarti mengintai. Menurut sayyid sabiq ‘umra adalah semacm hibah, yaitu seseorang menghibahkan sesuatu kepada orang lain selama dia hidup dan jika yang diberi hadiah itu mati maka barang atau harta itu kembali kepada pemberi bihah/penghibah40. Ada yang membedakan antara sedekah dengan hadiah dan mengatakan jika dia memberikan sesuatu sebagai hak milik kepada orang yang memerlukan sesuatu sebagai hak milik kepada orang yang memerlukan demi pahala akhirat dinamakan sedekah, dan jika dipindahkannya ke tempat yang menerima hibah sebagai tanda hormat kepadanya adalah hadiah dan setiap hadiah dan sedekah adalah hibah dalam arti bahasa dan tidak semua hibah adalah sedekah dan hadiah41. Namun jika seseorang memberikan hartanya kepada orang lain untuk dimanfaatkan tetapi bukan sebagai hak milik maka disebut pinjaman, jika pemberian itu disertai imbalan maka disebut jual beli. Dalam prakteknya ternyata Nabi Muhammad shallallahu’alahi wa sallam dan sahabatnya dalam memberi dan menerima hadiah tidak saja diantara sesama muslim
40
Sayyid sabiq jilid III op.cit hal 990 Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fikh Muamalah Sistem Transaksi Dalam Fikh Islam, jakarata , Amzah, cetakan pertama 2010 hal 438 41
Universitas Sumatera Utara
30
tetapi juga dari atau kepada orang lain yang berbeda agama, bahkan dengan orang bukan muslim42 sekalipun. Hibah yang berfungsi sebagai fungsi sosial yang dapat diberikan kepada siapa saja tanpa memandang ras, agama, kulit dan lain-lain. Hibah ini dapat dijadikan sebagai solusi dalam permasalahan warisan. Kenyataannya fungsi hibah yang sebenarnya merupakan suatu pemupukan tali silaturahmi akan tetapi banyak menimbulkan permasalahan-permasalahan dalam harta yang dihibahkan, sehingga fungsi dari hibah yang sebenarnya tidak berjalan dengan sesuai. Hibah dalam Hukum Islam dapat dilakukan secara tertulis maupun lisan, bahkan telah ditetapkan dengan tegas bahwa dalam Hukum Islam, pemberian harta berupa harta tidak bergerak dapat dilakukan dengan lisan tanpa mempergunakan suatu dokumen tertulis. Akan tetapi jika selanjutnya, bukti-bukti yang cukup tentang terjadinya peralihan hak milik, maka pemberian itu dapatlah dinyatakan dalam tulisan43. Jika pemberian tersebut dilakukan dalam bentuk tertulis tersebut terdapat 2 (dua) macam, yaitu : a. Bentuk tertulis yang tidak perlu didaftarkan, jika isinya hanya menyatakan telah terjadinya pemberian. b. Bentuk tertulis yang perlu didaftarkan, jika surat itu merupakan alat dari penyerahan pemberian itu sendiri, artinya apabila pernyataan penyerahan benda yang bersangkutan kemudian disusul oleh dokumen resmi tentang pemberian, maka yang harus didaftarkan44.
42
Lihat sayyid sabiq op.cit hal 985 Mu Al-Adab Al-Mufrud, Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1990, hal.180. 44 Eman Suparman, Op.Cit.1995, hal. 74-75. 43
Universitas Sumatera Utara
31
Mazhab Syafi’i memberikan beberapa pengertian tentang pengertian khusus dan pengertian umum hibah sebagai berikut :45 1) Memberikan hak memiliki suatu benda dengan tanpa ada syarat harus mendapat imbalan ganti, pemberian dilakukan pada saat pemberi masih hidup. Benda yang dimiliki yang akan diberikan itu adalah sah milik pemberi. 2) Memberikan hak memiliki suatu zat materi dengan tanpa mengharapkan imbalan/ganti. Pemberian semata – mata hanya diperuntukkan kepada orang yang diberi (mauhublah). Artinya, pemberi hibah hanya ingin menyenangkan orang yang diberinya tanpa mengaharapkan adanya pahala dari Allah Subhanahu wa ta’ala. Hibah dalam arti umum dapat diartikan sebagai sedekah. Pemberian sifatnya sunah yang dilakukan dengan ijab dan kabul waktu orang yang memberi masih hidup. Pemberian tidak dimaksudkan untuk mendapatkan pahala dari Allah atau karena menututp kebutuhan orang yang diberikannya Kompilasi Hukum Islam tidak terlalu banyak memberikan pengaturan mengenai hibah, yakni dalam Pasal 210 sampai dengan Pasal 214 dan sebelumnya dalam Pasal 171 butir g. Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam Pasal 171:g mendefinisikan hibah sebagai berikut : “Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki”.46
45
M.Idris Ramulyo. 2004. Perbandingan Hukum Kewarisan Islam denganKewarisan Kitab Undang undang Hukum perdata, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 116
Universitas Sumatera Utara
32
Kata “yang masih hidup”, mengandung arti bahwa perbuatan pemindahan hak milik itu berlaku semasa hidup. Dan bila beralih sesudah matinya yang berhak, maka disebut wasiat, tanpa imbalan, berarti itu semata-mata kehendak sepihak tanpa mengharapkan apa-apa47. Definisi definisi di atas sedikit berbeda, akan tetapi pada intinya sama, yaitu hibah merupakan pemberian sesuatu kepada orang lain atas dasar sukarela tanpa imbalas atau balasan. Namun Hasballah Thaib dalam hal ini mengatakan bahwa ada 3 tingkatan dalam hal membalas hibah seseorang: 1. pemberian seseorang kepada yang lebih rendah dari dirinya, seperti pemberian seorang majikan kepada pembantunyadengan maksud ingin menghormatri dan mengasihinya, pemberian yang demikian tidak menghendaki balasan 2. pemberian orang kecil kepada orang besar untuk mendapatkan kebutuhan dan manfaat 3. pemberian dari seseorang kepada orang lain yang setingkat dengannya. Pemberian ini mengandung makna kecintaan dan pendekatan. Dikatakan pula bahwa pemberian yang demikian wajib dibalas. Adapun apabila seseorang diberi
hadiah
dan
disyaratkan
untk
membalasnya
maka
ia
wajib
membalasnya48.
46
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, cet, ke-1, Jakarta: Akademika Pressindo, 1992, hlm. 156. 47 Amir Syarifudin, Pelaksana Hukum Waris Islam dalam Lingkungan Minangkabau, Jakarta: Gunung Agung, 1985, hal. 252. 48 M. Haballah Thaib, Perbandingan Mazhab dalam Hukum Islam , 1999, Pascasarjana USU, Medan hal 135 dan dapat dilihat dalam Fiqh Sunnah hal 422.
Universitas Sumatera Utara
33
Adapun bentuk bentuk macam hibah lainnya yaitu49 : 1.
Hibah barang
2.
Hibah manfaat
Hibah barang adalah memberikan harta atau barang kepada pihak lain yang mencakup materi dan nilai manfaat harta atau barang tersebut, yang pemberiannya tanpa ada harapan apapun. Misalnya menghibahkan rumah, sepeda motor, baju dan sebagainya. Hibah manfaat, yaitu memberikan harta kepada pihak lain agar dimanfaatkan harta tersebut atau manfaat barang yang dihibahkan itu, namun zat harta atau barang itu tetap menjadi milik pemberi hibah. Dengan kata lain, dalam hibah manfaat itu si penerima hibah hanya memiliki hak guna atau hak pakai saja. Hibah manfaat terdiri dari hibah berwaktu (hibah muajjalah) dan hibah seumur hidup (al-amri). Hibah muajjalah dapat juga dikategorikan pinjaman (ariyah) karena setelah lewat jangka waktu tertentu, barang yang dihibahkan manfaatnya harus dikembalikan. Kemudian, jika dikaitkan dengan pembatalan hibah maka, jumhur ulama berpendapat bahwa tidak boleh menarik kembali hibah yang telah diberikan. Hal ini berdasarkan hadist yang diriwayatkan Ibnu Abbas, beliau berkata, Rasulullah bersabda: ”menarik kembali hibah itu adalah seperti anjing yang muntah, kemudian menjilat kembali muntahnya tersebut”.
49
Ibnu Rusy, Bidayatul Mujtahid, Juz II, Mustofa al Baby Halaby wa Auladuh, Cairo, Mesir cetakan ke -2 1960, hal 249.
Universitas Sumatera Utara
34
2.
Pengertian harta dalam Hukum Islam Sebagai sistem hukum, hukum Islam tidak boleh dan tidak dapat disamakan
dengan keempat sistem hukum yang pada umumnya terbentuk dari kebiasaan masyarakat, hasil pemufakatan & budaya manusia di suatu tempat di suatu masa. Beda dari keempat sistem hukum yang lain. Sistem hukum Islam tidak hanya hasil pemukafatan manusia yang dipengaruhi oleh kebudayaannya di suatu tempat pada suatu masa. Apabila Hukum Islam itu disistematisasikan seperti di dalam tata hukum Indonesia, maka akan tergambarkan bidang ruang lingkup muamalat dalam arti luas sebagai berikut50: a)
Tentang Hukum Perdata Islam Hukum Perdata (Islam) meliputi: a. Munakahat, mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan dan perceraian serta akibatakibat hukumnya, b. wirasah, mengatur segala masalah dengan pewaris, ahli waris, harta peninggalan, serta pembagian warisan. Hukum warisan Islam ini disebut juga hukum faroid, c. muamalat, ialah dalam arti yang khusus, mengatur masalah kebendaan dan hakhak atas benda, tata hubungan manusia dalam masalah jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam, perserikatan, kontrak dan sebagainya.
b) Tentang Hukum Publik Islam Hukum Publik (Islam) meliputi: a. Jinayah, yang memuat aturan-aturan mengenai perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman, baik dalam 50
Muhammad Daud Ali. Hukum Islam,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada). 1999 hal 5 dan 6
Universitas Sumatera Utara
35
jarimah hudud maupun dalam jarimah ta’zir. Yang dimaksud dengan jarimah adalah perbuatan tindak pidana. Jarimah hudud adalah perbuatan pidana yang telah ditentukan bentuk dan batas hukumannya dalam al-Qur’an dan AsSunnah(hudud artinya batas). Jarimah ta’zir adalah perbuatan tindak pidana yang bentuk dan ancaman hukumnya ditentukan oleh penguasa sebagai pelajaran bagi pelakunya (ta’zir artinya: ajaran atau pelajaran); b. al-ahkam as-sulthoniyah, membicarakan
permasalahan
yang
berhubungan
dengan
kepala
Negara/pemerintahan, hak pemerintah pusat dan daerah, tentang pajak, dan sebagainya; c. Siyar, mengatur urusan perang dan damai, tata hubungan dengan pemeluk agama lain dan Negara lain; dan d. mukhasamat, mengatur soal peradilan, kehakiman, dan hukum acara. Apabila bagian-bagian hukum Islam bidang muamalat dalam arti luas tersebut dibandingkan dengan susunan hukum Barat, seperti dalam ilmu-ilmu hukum, maka munakahat, dapat disamakan dengan hukum perkawinan; wirasah/faroid sama dengan hukum kewarisan; muamalat dalam arti khusus sama dengan hukum benda dan hukum perjanjian, jinayah/uqubat sama dengan hukum pidana; al-ahkam assulthoniyah sama dengan hukum ketatanegaraan, yaitu tata Negara dan administrasi Negara; siyar sama dengan hukum internasional; dan mukhasamat sama dengan hukum acara. Hukum Islam telah diterapkan di Indonesia jauh sebelum adanya Negara Kesatuan Republik Indonesia . pengertian Hukum Islam sendiri punya 2 makna yaitu sebagai syari’at dan fiqh. Pengertian pertama, hukum Islam bersifat absolut, tidak akan berubah. Sedangkan menurut pengertian kedua sebagai fiqh yang merupakan
Universitas Sumatera Utara
36
penjabaran lebih lanjut dari syari’at dengan syarat tidak boleh bertentangan dengan syariah hukum Islam dapat berubah & berkembangan. Jadi fiqh di suatu negara dapat berbeda dengan fiqh di negara lain.51 Namun demikian, bila membicarakan syari’at dalam arti hukum Islam, maka terjadi pemisahan bidang hukum sebagai disiplin ilmu hukum. Sesungguhnya hukum Islam tidak membedakan secara tegas antara wilayah hukum privat dan hukum publik, seperti yang dipahami dalam ilmu hukum barat karena dalam hukum privat terdapat segi-segi hukum publik; demikian pula sebaliknya dalam hukum publik terdapat pula segi-segi hukum privat. Ruang lingkup hukum Islam dalam arti fikih Islam meliputi : munakahat, warisan, muamalat dalam arti khusus, jinayah atau uqubat, al-ahkam assulthoniyah (khilafah), siyar, dan mukhasamat.52 Kalangan ulama fiqh telah membahas tentang harta, cara mendapatkan dan memindahkan hak milik sebagaimana mereka juga telah membahas tentang hak dan sumber sumber yang ada, mereka juga mengupas tentang toeri akad dan perbuatan yang menyebabkan seseorang memberi jaminan, sebagaimana mereka juga telah membahas tentang aplikasi tori mendapatkan kekayaan tanpa usaha, lalu membahas tentang hubungan antara pemberi dan penerima utang dan ini akan dapati tersebar luas dalm bab bab fiqh yang berbeda beda. Harta termasuk salah satu keperluan pokok manusia dalam menjalani kehidupan di dunia ini, sehingga oleh ulama ushul fiqh persoalan harta dimasukkan 51
Afdol, Landasan Hukum Positif pemberlakuan Hukum Islam dan permasalahan implementasi hukum kewarisan Islam, 2003, Airlanggga University Press, Surabaya, hal 1. 52 M. Rosyidi. 1971. Keutamaan Hukum Islam. (Jakarta: Bulan Bintang), hal.25.
Universitas Sumatera Utara
37
ke dalam salah satu al-dharuriyyat al khamsah(lima keperluan pokok) yang terdiri atas agama, jiwa, akal, keturunan dan harta53 Jadi harta merupakan keperluan hidup pokok bagi manusia, sarana memenuhi kesenangan, sebagai bekal bagi kehidupan akhirat sekaligus sabagai cobaan. Makna dari harta itu sendiri ialah berasal dari bahasa Arab disebut al-mal, ada beberapa pendapat tentang pengertian mal yaitu: 1. Menurut bahasa umum yaitu, uang atau harta sedangkan menurut istilah ialah segala sesuatu yang berharga dan bersifat materi serta beredar diantara manusia54 2. Menurut ulama Hanafiah yang dikutip dari Nasrun Haroen55 al mal artinya segala yang diminati manusia dan dapat dihadirkan ketika diperlukan atau segala sesuatu yang dapat dimiliki, disimpan dan dimanfaatkan. 3. Sedangkan menurut jumhur ulama (selain Hanafiayah): yang juga dikutip oleh Nasrun Haroen56 al mal yaitu segala sesuatu yang mempunyai nilai dan dikenakan ganti rugi bagi orang yang merusaknya atau melenyapkannya. Dalam perdata Islam , harta disebut juga istilah mal, jama’nya amwal57 Dari kandungan definisi di atas ada perbedaan perbedaan esensi harta, yaitu menurut jumhur ulama harta itu tidak saja bersifat materi melainkan juga termasuk
53 Ibn Ishaq Al Syathiby, Al-Muwafaqat Fi Ushul Al-Syari’ah (Beirut: dar al-ma’rifah 1975), jilid II hal 8-12.lihat juga Wahbah al Zuhaily, Ushul Al-Fiqh Al Islamy (Damaskus; dar al fikr, 2001) juz 2cet ke 2 hal 1048 54 M.Abdul Mujieb(et al). Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta:PT. Pustaka Firdaus, 1994), cet. Ke 1 hal 191 55 Nasroen Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007)cet ke 2 hal 73 56 Ibid hal 73 57 Zahri Hamid, Harta Dan Milik Dalam Hukum Islam , CV Bina Usaha, Yogyakarta, Cetakan pertama, 1985 hal 1.
Universitas Sumatera Utara
38
manfaat dari benda itu sendiri. Sedangkan ulama Hanafiyah berpendirian bahwa harta hanya bersifat materi. Kemudian Hasbi Ash Shiddieqy mengatakan sebagai berikut: 1. Mal adalah nama bagi selain manusia yang ditetapkan untuk kemaslahatan manusia dapat dipelihara pada suatu tempat, dapat dikelola dengan jalan ikhtiar. 2. Benda yang dijadikan harta itu dapat dijadikan harta oleh umumnya manusia atau oleh sebagian mereka 3. Sesuatu yang tidak dipandang harta tidak sah kita mentransaksikannya 4. Sesuatu yang dimubahkan walaupun dipandang harta, seperti sebiji beras, tidaklah dipandang sebagai harta walaupun boleh kita memilikinya 5. Harta itu wajib mempunyai wujud, karena manfaat tidak termasuk dalam bagian harta 6. Harta yang dijadikan harta dapat disimpan untuk waktu tertentu atau untuk waktu yang lama dan digunakan di waktu dia dibutuhkan58. Para ahli fiqh menjelaskan bahwa harta adalah sesuatu yang mungkin dapat dikuasai dan diambil manfaatnya menurut cara yang terbiasa59 maka sesuatu baru dikatakan harta apabila memenuhi 2 hal: 1. kemungkinan dapat dikuasai 2. kemungkinan dapat diambil manfaatnya menurut cara yang terbiasa berdasarkan definisi di atas jelaslah bahwa harta itu mesti berupa materi, sebab materi itulah yang dapat disimpan dan dikuasai. Yang demikian ini adalah pendapat ulama hanafiyyah60. Namun dari segi bernilai atau tidak bernilainya, harta dibagi kepada dua macam, yaitu : 58
Lihat Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah (jakarta:bulan bintang , 1989) cet ke
3 hal 140 59 60
Zahri Hamid,Op.Cit, hal 1 Ibid hal 3
Universitas Sumatera Utara
39
1. Harta Mutaqqawwin. Definisi harta ini adalah sesuatu yang bernilai dimana orang yang merusakkannya secara melawan hukum wajib menggantikannya. Sesuatu yang tidak memiliki unsur unsur yang sedemikian itu tidak dapat disebut sebagai harta mutaqqawwin, seperti benda yang tidak ada pemiliknya61. 2. Harta Ghairu Mutaqawwim. Adalah bila tidak dipenuhi didalamnya salah satu dari dua hal yaitu pemeliharaan dan kebolehan mengambil manfaat dalam keadaan leluasa dan biasa62. Misalnya adalah minuman keras dan babi, bagi umat muslim keduanya adalah harta yang tidak boleh dipelihara. Namun ada ruksah untuk memakannya dalam keadaan sangat terpaksa misalnya jika di hutan tidak ada lagi makanan selain babi, maka boleh memakannya dan tidak ada dosa baginya. Harta yang kita miliki sebenarnya tidak semua milik kita, makanya dalam islam ada hak orang lain yang wajib harus dikeluarkan jika kita memenuhi syarat tiap tahunnya seperti zakat. Begitu juga hibah. Di dalam harta juga ternyata terkandung di dalamnya hak masyarakat. Islam menghormati hak milik pribadi seseorang dan menegaskan adanya hak masyarakat dalam hak pribadi itu, karena Islam memberikan kebebasan menggunakan harta kepada pemiliknya selama tidak membuat orang lain rugi. Hibah untuk kerabat dekat lebih utama daripada kerabat yang jauh, sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Absullah bin Umar dia berkata, bersabda Rasulullah :”orang orang yang menyayangi akan disayangi oleh Alla, maka 61 62
Ibid hal 4 Ibid hal 5
Universitas Sumatera Utara
40
sayangilah orang yang ada di muka bumi niscaya kalian akan disayangi oleh yang di langit, rahim berasal dari Rahman Allah siapa yang menyambungkannya, maka Allah akan menyambungnya dan siapa yang memutuskannya, maka Allah akan memutuskannya”63. Dasar hibah menurut Islam juga adalah firman Allah Subhanahu wa ta’ala yang menganjurkan kepada umat Islam agar berbuat baik kepada sesamanya, saling mengasihi dan sebagainya. Islam menganjurkan agar umatnya suka memberi karena memberi lebih baik dari pada menerima. Namun pemberian itu harus ikhlas, tidak ada pamrih apa-apa kecuali mencari ridha Allah dan mempererat tali persaudaraan, seperti firman Allah Subhanahu wa ta’ala: “Tolong menolonglah kamu sekalian atas kebaikan dan takwa dan janganlah kamu sekalian tolong menolong atas sesuatu dosa dan permusuhan”.(Q.S Al – Maidah : 2). Kemudian, Firman Allah Subhanahu wa ta’ala yang artinya : “Dan meberikan harta yang dicintai kepada kerabatnya, anak-anak orang miskin, musyafir ( yang memerlukan pertolongan), dan orangorang yang meminta”. (Q.S. Al – Baqarah : 177 Rasulallah bersabda, artinya: “siapa yang mendapatka kebaikan dari saudaranya yang bukan karena mengharap dan minta minta, maka hendaklah ia menerimanya dan tidak menolaknya karena itu adalah rezeki yang diberikan Allah kepadanya” (HR Ahmad)
63
Dalam riwayat Al-Bukhari, (Riyadh Ash-Shalihiin karya An-Nawawi hal 153)
Universitas Sumatera Utara
41
Di dalam Al–Qur’an maupun Hadist, belum dapat ditemui ayat atau sabda Nabi yang secara langsung memerintahkan untuk berhibah. Namun dari ayat-ayat dan Hadist di atas dapat dipahami, bahwa Allah dan Rasul-Nya menganjurkan umat Islam untuk suka menolong sesama, melakukan infaq, sedekah dan pemberianpemberian lain termasuk hibah. Selain itu dasar hukum hibah dalam hukum waris Islam terdapat dalam AlQur’an dan hadis Rasulullah saw, yang mengartikan bahwa hibah ialah pemberian dari seseorang kepada orang lain.64 Dewasa ini telah berkembang pengertian hibah adalah pemberian dari satu negara kepada negara lainnya. Bahkan dapat pula diartikan suatu pemberian dari suatu badan hukum kepada badan hukum lainnya. B. Syarat Hibah Menurut Hukum Islam Hibah baru dikatakan sah apabila disertai oleh ijab dan kabul65, atau dengan kata lain yang mengandung isi pemberian harta kepada seseorang tanpa disertai imbalan. Sedangkan menurut mazhab hanafi sudah cukup dengan ijab saja sudah sah. Kalau menurut mazhab Hambali bahwa cukup dengan perbuatan yang menunjukkan kepada pemberian saja sudah dianggap sah, sebab Nabi shallallahu a’laihi wasallam dan sahabat diberi hadiah dan memberi hadiah melakukan hal yang demikian itu.66 Hibah tidak terkait dengan syarat apapun, apabila hibah dikaitkan dengan penggantian sesuatu maka dikatakan jual beli, Namur jika syarat diserahkan setelah pemberi hibah meninggal dunia maka dikatakan wasiat. Maka Akad hibah itu semata 64
M. Idris Ramulyo. Op.Cit Hal. 116 Ijab berarti pernyataan orang yang memberi harta, Kabul merupakan pernyataan orang yang menerima harta. 66 Sayyid Sabbiq, Op.Cit hal 419. 65
Universitas Sumatera Utara
42
mata bersifat penyerahan harta kepada orang lain secara sukarela tanpa imbalan apapun. Walaupun hibah merupakan akad yang sifatnya menjalin silaturahmi, Namun tindakan tersebut mempunyai rukun dan syarat yang harus dipenuhi, jika salah satu rukun atau syarat itu tidak dipenuhi baik oleh pemberi atau penerima hibah maka bisa menjadi tidak sah. Dalam buku Fiqh Muamalah67 disebutkan dalam Ilmu Fiqh diterangkan rukun hibah itu ada 4 yaitu: shigat hibah, penghibah, penerima hibah dan barang hibah. Kemudian jika di dalam buku Fiqh ‘ala Mazhabil Arbaan diterangkan bahwa rukun hibah itu ada tiga yaitu orang yang melakukan akad (orang yang menghibahkan dan yang menerima hibah), harta yang dihibahkan dan shigat hibah.68 Sedangkan jumhur ulama mengemukan bahwa rukun hibah itu ada empat:69 1. orang yang menghibahkan (al Wahib) 2. harta yang dihibahkan ( al-mauhub) 3. lafal hibah 4. orang yang menerima hibah (Mauhub lahu) Dalam buku Fikh Muamalat disebutkan sebagaimana amalan-amalan yang lain, maka tidaklah sah suatu amal perbuatan tanpa terpenuhinya rukun hibah, adapun uraian tentang syarat hibah adalah70 : a.
Kedua Belah Pihak yang Berakad (Aqidain) Kedua pihak itu biasa disebut pemberi hibah dan penerima hibah. 67
Helmi Karim Op.cit hal 76. Abdur Rahman Al Jazari, Kitabul Fiqh alal Majhabil Arba’ah. JUZ III Darul Kutubil Ilmiyah. Beirut Lebanon. 1990 hal 257. 69 Abdul Rahman Ghazaly, Op.Cit., hal 160. 70 Abdul Aziz Muhammad Azzam,Op.cit. hal 442 68
Universitas Sumatera Utara
43
Pertama, pihak pemberi hibah: Ada beberapa syarat orang yang memberi hibah, yakni: 1. Harus memiliki hak atas barang hibah dan mempunyai kebebasan mutlak untuk berbuat terhadap hartanya71. Ini juga dikatakan dalam kompilasi hukum Islam pasal 210 (2). Hak berasal dari bahasa Arab al haqq, yang secara etimologi mempunyai beberapa pengertian berbeda, diantaranya : milik, ketetapan dan kepastian, bagian dari kewajiban daan kebenaran. Dalam terminoloi fiqh terdapat beberapa pengertian al haqq yang dikemukakan oleh para ulama fiqh, diantaranya: Menurut Wahbah al-Zuhaily72:”suatu hukum yang telah ditetapkan secara syara”. Menurut Syeikh Ali al Kalif73: ”kemaslahatan yang diperoleh secara syara”. Kata milik berasal dari bahasa Arab al-milk, yang secara etimologi berarti penguasaan
terhadap
sesuatu.
Al-Milk
juga
berarti
sesuatu
yang
dimiliki(harta). Secara terminologi al milk didefinisikan oleh Muhammad Abu Zahrah 74 adalah:
71
Wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Medan Bpk Drs.H.Mohd Hidayat Nassery, Agustus 2011 72 Wahbah al Zuhaily, Al Fiqh Al-Islami Wa Adillatuh (damaskus Dar Fikr,2005)juz 4 hal 8 73 Ali al Khalif, AlHaqq wa Zimmah (Mesir; Dar al-Fikr al-Arabi, 1976) hal 36. 74 Muhammad Abu Zahrah, Al-Milkiyah wa Nazhariyah al-aqd fi al-syari’ah al-islamiyah. (mesir: Dar al fikr- al-Arabi. 1962)hal 15
Universitas Sumatera Utara
44
”pengkhususan seseorang terhadap pemilik sesuatu benda menurut syara’ untuk bertindak secara bebas dan bertujuan mengambil manfaatnya selama tidak ada penghalang yang bersifat syara” Artinya benda yang dikhusukan kepada seseorang itu sepenuhnya berada dalam penguasaannya, sehingga orang lain tidak boleh bertindak dan memanfaatkannya. Pemilik harta bebas untuk bertindak hukum terhadap hartanya, seperti jual beli, wakaf dan meminjamkannya kepada orang lain, selama tidak ada halangan dari syara’. Contoh halangan syara’ antara lain orang itu belum cakap bertindak hukum, misalnya anak kecil, orang gila, atau kecakapan hukumnya hilang, seperti orang yang jatuh pailit, sehingga dalam hal hal tertentu mereka tidak dapat bertindak hukum terhadap miliknya sendiri75 Dengan kata lain apabila seseorang telah memiliki suatu benda yang sah menurut syara’, orang tersebut bebas bertindak terhadap benda tersebut, baik akan dijual maupun akan digadaikan, baik dia sendiri yang melakukannya maupun perantaraan orang lain. Para fuqaha berpendapat bahwa hak merupakan imbangan dari benda(a’yan), sedangkan ulama Hanafiyah berpendapat hak bukanlah harta76. Untuk itu, disyaratkan bahwa yang diserahkan itu benar-benar milik penghibah secara sempurna. Namun kenyataannya inilah yang terjadi di
75 76
Mustafa Ahmad al-Zarqa’. Op.cit jilid I hal 241 Lihat Hendi Suhendi, Fiqh Muamalat, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada 2005, hal 34
Universitas Sumatera Utara
45
Pengadilan Agama Medan dalam kasus putusan no. 887/pdt.g/2009/PN Medan, bahwa Tergugat I terbukti bukan pemilik penuh harta yang dihibahkannya kepada Tergugat lainnya. 2. Penghibah juga harus orang yang cakap untuk bertindak menurut hukum. Dalam kompilasi hukum Islam dikatakan minimal umur 21 tahun (pasal 210 ayat 1) Penghibah itu adalah orang yang telah mempunyai kesanggupan melakukan
tabarru,
maksudnya
ia
telah
mursyid¸
telah
dapat
mempertanggung jawabkan perbuatannya, jika terjadi sesuatu persoalan atau perkara dikemudian hari.. 3. Lalu tidak disyaratkan penghibah itu harus muslim 4. Pemberi hibah ini harus dalam keadaan sehat dan memiliki kemampuan. Kemudian para fuqaha berselisih paham dalam hal si pemberi hibah dalam keadaan sakit, bodoh dan bangkrut77.
Di dalam kompilasi hukum Islam
dikatakan Pasal 213 dikatakan Hibah yang diberikan pada saat pemberi hibah dalam keadaan sakit yang dekat dengan kematian, maka harus mendapat persetujuan dari ahli warisnya. Para jumhur ulama berpendapat bahwa mengenai orang sakit boleh berhibah 1/3 hartanya, karena dipersamakan dengan wasiat. Sebagian ulama salaf dan sebagian fuqaha zhahiri berpendapat bahwa hibahnya itu dikeluarkan dari pokok hartanya bila ia meninggal dunia. Dan trtidak 77
Ibnu Rusy , Op.cit hal 245
Universitas Sumatera Utara
46
diperselisihkan lagi bila seseorang telah sehat lagi maka hukum hibahnya dihukumkan sah.78 Jumhur ulama berpendapat bahwa sakit yang menghalangi hibah ialah sakit yang mengkhawatirkan. Bahkan imam Malik mengatakan hal yang mengkhawatirkan itu seperti menjelang persalinan hamil, serta penumpang laut yang tinggi gelombangnya, tapi dalam hal ini masih banyak perselisihan. Adapun penyakit yang lama tidak menjadi penghalang melakukan hibah. 5. Syarat lain yang penting bagi penghibah adalah bahwa tindakan hukum itu dilakukan atas kesadaran sendiri, bukan karena ada paksaan dari pihak luar, selama ada bukti yang kuat yang didapat selama pembuktian di pengadilan.79 Sesuai juga dengan isi Kompilasi Hukum Islam pasal 210 (1). Kedua, pihak penerima hibah, Ada beberapa syarat orang yang memberi hibah, yakni: Harus
berada
pada
waktu
diberi
hibah80
maksudnya
ketika
keberadaannya masih dalam bentuk janin maka tidak sah hibah tersebut karena dikhawatirkan atau belum pasti hidup atau tidaknya anak tersebut. Demikian pula hibah kepada orang gila atau anak kecil. Mereka tidak lah sah hibah kepada mereka kecuali ada wali yang mewakili mereka, pemeliharanya atau orang yang mendidiknya walaupun ia orang asing.81 b.
Sesuatu yang Dihibahkan (mauhub) 78
Ibid hal 245 Wawancara, op.cit. 80 Sayyid Sabiq, Fiqh Al Sunnah,(beirut; dar al fikr,2006),jilid III hal 985 81 ibid 79
Universitas Sumatera Utara
47
Sesuatu ataupun harta yang akan dihibahkan, dengan syarat harta itu milik penghibah secara sempurna (tidak bercampur dengan milik orang lain) dan merupakan harta yang bermanfaat serta diakui agama. Dengan demikian, jika harta yang akan dihibahkan tidak ada, harta tersebut masih dalam khayalan atau harta yang dihibahkan itu adalah benda-benda yang materinya diharamkan agama, maka hibah tersebut tidak sah82. Sama halnya seperti jual beli, maka benda yang semisal buah yang belum muncul di pohon atau seperti anak kambing yang masih di perut ibunyahukumnya batal. Juga diperbolehkannya memberi anjing piaraan karena ia bermanfaat. Serta tidak diperbolehkan menghibahkan minuman keras. Syarat yang lain adalah benda tersebut dapat dimiliki zatnya, dapat pula berpindah tangan, maka menghibahkan air di sungai adalah hibah yang tidak sah, begitu pula tidak sah hibah ikan di laut, juga hibah sebuah mesjid.83 Jika dilihat dari jumlah harta yang akan dihibahkan maka para jumhur ulama berbeda pendapat. Jumhur ulama berpendapat bahwa seseorang boleh menghibahkan semua harta yang dimilikinya. Adapun menurut Muhammad Ibnu al-Hasan dan sebagian pengikut mazhab Hanafi berpendapat bahwa tidak sah menghibahkan semua harta, meskipun dalam kebaikan karena mereka menganggap yang berbuat seperti itu orang yang dungu yang wajib dibatasi tindakannya84.bahkan di kompilasi hukum Islam yang berlaku di Indonesia tidak boleh lebih dari 1/3 harta penghibah.
82
Syafiie Hassanbasri Ensiklopedia Islam, Hibah, Kompas, Jakarta, 3 Oktober 2001 Abdul Rahman Ghazaly, Op.Cit.,hal 161 84 Sayyid sabiq, Op.cit hal 986 83
Universitas Sumatera Utara
48
Tidak sahnya atau batalnya harta yang dihibahkan terpisah dengan yang lainnya85 seperti contoh seseorang menghibahkan sebidang tanah namun masih ada tanaman milik orang yang menghibahkan, atau menghibahkan sapi yang hamil sedangkan yang dihibahkan hanya induknya tetapi anaknya tidak. Kepemilikan benda bergerak dengan kepemilikan benda tidak bergerak tentu berbeda, Ada kriteria tertentu untuk sesuatu benda yang boleh dihibahkan yaitu setiap benda yang boleh diperjual belikan, karena dia adalah akad yang bertujuan mendapatkan hak milik terhadap suatu barang, maka dia bisa memiliki sesuatu yang bisa dimilikinya dengan cara jual beli, sehingga setiap yang boleh dijual boleh dihibahkan sebagiannya walaupun barang tersebut banyak. Hadist yang diriwayatkan Umar Ibnu Salamah Adh-Dhumari dari seorang lelaki dari Buhuz bahwa dia pergi bersama Rasulullah menuju Mekkah sehingga ketika mereka berada dekat Lembah Rauha’ kemudian mereka menemukan seekor keledai liar sedang makan rumput lalu mereka menceritakannya kepada Nabi Muhammad, beliau bersabda: ”biarkan dia sampai pemiliknya datang” lalu datanglah Kabilah Buhuz dan berkata : ” ya Rasulullah ambillah oleh kalian keledai ini” lalu Nabi menyuruh Abu Bakar untuk membagikannya kepada para sahabat. Perawi berkata :” kemudan kami meneruskan perjalanan sehingga kami sampai di sebuah pedesaan kami melihat ada menjangan yang pincang di bawah sebuah pohon milik
85
Ibid hal 162
Universitas Sumatera Utara
49
yang ada tanda hak miliknya lalu Nabi menyuruh seorang shabat untuk menjaganya sehingga dia bisa memberi tahu orang lain tentang hewan itu”86. Semua barang yang tidak diperjualkan, maka tidak boleh dihibahkan, seperti barang-barang yang haram dan najis juga barang yang belum diketahui asal-usulnya. Hibah dalam Hukum Islam dapat dilakukan secara tertulis maupun lisan, bahkan telah ditetapkan dengan tegas bahwa dalam Hukum Islam, pemberian harta berupa harta tidak bergerak dapat dilakukan dengan lisan tanpa mempergunakan suatu dokumen tertulis. Akan tetapi jika selanjutnya, bukti-bukti yang cukup tentang terjadinya peralihan hak milik, maka pemberian itu dapatlah dinyatakan dalam tulisan.87 Jika pemberian tersebut dilakukan dalam bentuk tertulis tersebut terdapat 2 (dua) macam, yaitu : a.
Bentuk tertulis yang tidak perlu didaftarkan, jika isinya hanya menyatakan telah terjadinya pemberian.
b.
Bentuk tertulis yang perlu didaftarkan, jika surat itu merupakan alat dari penyerahan pemberian itu sendiri, artinya apabila pernyataan penyerahan benda yang bersangkutan kemudian disusul oleh dokumen resmi tentang pemberian, maka yang harus didaftarkan.88.
c.
Shigat/ucapan89
86
Ibid hal 445 Mu Al-Adab Al-Mufrud, Op.Cit., hlm.180. 88 Eman Suparman, Op.Cit, hlm. 74-75. 89 Abd Ai-Rahman Al-Jazari, Kitab Al-Fiqih mazahib Al-Arba, Beirut: Dar Al-Kitab AlIlmiah, 1990, hlm.257 87
Universitas Sumatera Utara
50
Adanya ijab dan kabul yang menunjukkan ada pemindahan hak milik seseorang (yang menghibahkan) kepada orang lain (yang menerima hibah). Bentuk ijab bisa dengan kata-kata hibah itu sendiri, dengan kata-kata hadiah, atau dengan kata-kata lain yang mengandung arti pemberian. Terhadap kabul (penerimaan dari pemberian hibah), para ulama berbeda pendapat. Imam Maliki dan Imam Syafi'i menyatakan bahwa harus ada pernyataan menerima (kabul) dari orang yang menerima hadiah, karena kabul itu termasuk rukun. Sedangkan bagi segolongan ulama Mazhab Hanafi, kabul bukan termasuk rukun hibah. Dengan demikian, sigat (bentuk) hibah itu cukup dengan ijab (pernyataan pemberian) saja.90 Imam Ahmad dan Abu Tsaur berpendapat bahwa hibah menjadi sah dengan terjadinya akad, sedangkan penerimaan tidak menjadi syarat sama sekali, baik secara syarat kelengkapan maupun syarat sahnya hibah.golongan Zhariri yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bahwa penerimaan menjadi syarat sahnya hibah pada barang yang dapat ditakar dan ditimbang.91 Walau penerimaan itu tidak dipersyaratkan, kecuali ada dalil yang menguatkan. Shigat adalah ijab dan qabul. Adapun makna Akad ada hubungannya dengan shigat, bahwa akad secara syar’i yaitu: hubungan antara ijab dan qabul dengan cara yang dibolehkan oleh syariat yang mempunyai pengaruh secara langsung92. Ini artinya bahwa akad termasuk dalam kategori hubungan yang mempunyai nilai menurut pandangan syara’ antara dua orang sebagai hasil dari kesepakatan antara keduanya yang kemudian kedua keinginan itu dinamakan ijab dan qabul.
90
Depdiknas, Ensiklopedia Islam, Faskal II. PT Ichtiah baru Van Hoeve, jakarta hal 106-107 Ibnu Rusy, Op.cit hal. 247. 92 Abdul Aziz Muhammad Azzam, op.cit. hal 17 91
Universitas Sumatera Utara
51
Hibah dalam Ensiklopedi Islam antara lain tertulis, Para fukaha (ahli fikih) mendefinisikannya sebagai akad yang mengandung penyerahan hak milik seseorang kepada orang lain semasa hidupnya tanpa ganti rugi. Dengan demikian, akad hibah itu tidak terkait dengan syarat apa pun. Adapun yang disunnahkan agar orangtua tidak membeda bedakan sebagian anak dengan sebagian yang lain dalam hibah sebagaimana diriwayatkan oleh AnNu’man bin Basyir dia berkata: “ Ayah saya memberiku hibah lalu mendatangi rasullullah dan berkata: “ya Rasululah saya memberi anak saya satu pemberian dan ibunya berkata dia tidak ridha sebelum ayah bertemu dengan rasulullah
lalu
Rasulullah bertanya kepadanya: “apakah kamu memberi semua anakmu seperti itu?” dia menjawab: “tidak, Ya Rasulullah” Rasul bersabda: “takutlah kamu kepada Allah dan berbuat adillah di antara anakmu, bukankah kamu gembira jika mereka sama sama mendapat kebajikan?” dia menjawab: “tentu, ya Rasulullah” Nabi menjawab: “mengapa tidak kamu lakukan”.93 Jika dia membedakan antara anak anaknya dalam hibah, maka akad hibahnya tetap sah sesuai dengan hadist yang diriwayatkan oleh An-Nu’man bahwa Nabi bersabda : “berikan saksi kepada ini selain saya”, seandainya akad tidak sah pastilah Nabi akan menjelaskan dan tidak menyuruhnya mencari saksi selain beliau. Maka tidak boleh dilarang jika dia memberikan hibah sedikit atau menerima hibah sedikit sesuai dengan hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dia berkata, bersabda Nabi: “seandainya saya diundang untuk jamuan kaki kambing pasti
93
Diriwayatkan oleh Syafi’i dalam Al-Umm dan Al-Baihaqi di dalamnya disebutkan: “lalu dia mendatangi Nabi”, disebutkan “takutlah kamu kepada Allah dan berlaku adil kepada anak anakmu” (At-Talkhish, 3/72)
Universitas Sumatera Utara
52
saya akan datang, dan jika saya diberi hadiah kaki kambing kambing atau lengan tangan kambing pastilah saya akan menerimanya”.94 Jika terjadi ijab dan qabul dan terpenuhi semua rukun yang ada maka syara’ akan menganggap ada ikatan di antara keduanya dan akan terlihat hasilnya pada barang yang diakadkan berupa harta yang menjadi tujuan kedua belah pihak yang membuat akad. Pengaruhnya adalah keluarnya barang yang di akadkan dari kondisi pertama menjadi kondisi baru, jika dia jual beli maka barang yang dijual akan berpindah ke tangan pembeli. Namun makna ikatan diatas dibatasi oleh bentuk yang diperbolehkan oleh syariat dan mengeluarkan semua ikatan yang tidak dibolehkan oleh syariat seperti jika ada orang yang ber akad :” saya sewa engkau untuk mencuri harta si fulan dengan bayaran sekian”, lalu pihak penerima berkata:”ya saya terima”, maka ini tidak boleh. Dalam hibah disyaratkan ada ijab dan qabul namun dalam hadiah tidak harus ada ijab dan qabul menurut pendapat yang shahih walaupun bukan makanan. Namun cukup mengirim dari si pemberi dan menerima dari pihak penerima hadiah sehingga pengiriman dan penerimaan sama seperti ijab dan qabul, inilah yang sudah menjadi kebiasaan masyarakat perkotaan. Adapun sedekah maka tidak perlu ada shigat secara pasti dan inilah pendapat yang jelas sebagaimana dikatakan oleh Imam Asy-Syafi’i. Ulama berselisih pendapat, apakah penerimaan itu menjadi syarat sahnya akad atau tidak. Ats-Tsauri, Syafi’i, dan Abu Hanifah sependapat bahwa penerimaan itu termasuk syarat sahnya hibah. Apabila barang tidak diterima, maka pemberi hibah
94
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Hadistnya Abu Hurairah kitab An-Nikah dan diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari hadisnya Anas (At-Talkish Al-Habiir, 3/70).
Universitas Sumatera Utara
53
tidak terikat. Menurut Malik, hibah menjadi sah dengan adanya penerimaan dan calon penerima hibah boleh dipaksa untuk menerima seperti jaul beli. Apabila penerima hibah memperlambat tuntutan untuk menerima hibah sampai pemberi hibah itu mengalami pailit atau menderita sakit, maka hibah tersebut batal. Sedangkan menurut Ahmad dan Abu Tsaur, hibah menjadi sah dengan terjadinya akad sedangkan penerimaan tidak menjadi syarat sama sekali. Adapun rukun hibah menurut Al – Jazairi adalah sebagai berikut : a.
Aqid (pemberian)
b.
Penerima hibah
c.
Sesuatu yang diberikan
d.
Sigat.95 Sedangkan bentuk syarat syarat hibah menurut Departemen Agama96 dan
penerapannya di Pengadilan Agama Medan adalah: a.
Syarat bagi Penghibah (pemberi hibah) :
1.
Penghibah adalah orang yang memiliki dengan sempurna sesuatu atas harta yang dihibahkan. Dalam hibah terjadi pemindahan milik karena itu mustahil orang yang tidak memiliki akan menghibahkan sesuatu barang kepada orang lain. Seperti halnya perkara nomor 887 / pdt.G/2009 yang ada si pengadilan agama, bahwa tergugat bukanlah pemilik sempurna harta yang dihibahkannya.
95
Abd Ai-Rahman Op.Cit,.hal .257 Departemen Agama Republik Indonesia Ilmu Fiqih, jilid III, Jakarta Proyek Pembinaan Prasarana Akan Sarana Perguruan Tinggi Agama Islam, 1986, hlm 201-203. 96
Universitas Sumatera Utara
54
2.
Penghibah itu adalah orang yang mursyid, yang telah dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya jika terjadi persoalan atau perkara yang berkaitan dengan pengadilan mengenai harta tersebut. Demikian juga di Pengadilan Agama Medan bahwa pemberi hibah merupakan pihak yang sudah dewasa, dan cakap menurut hukum dibuktikan dengan umur tergugat dan penggugat.
3.
Penghibah tidak berada di bawah perwalian orang lain, jadi penghibah itu harus orang dewasa, sebab anak-anak kurang kemampuannya.
4.
Penghibah harus bebas tidak ada tekanan dari pihak lain dipaksa karena hibah disyratkan kerelaan dalam kebebasan. Di pengadilan agama terbukti dalam perkara nomor 887 bahwa tidak ada tekanan dari tergugat untuk memberikan harta hibah.
5.
Seseorang melakukan hibah itu dalam mempunyai iradah dan ikhtiyar dalam melakukan tindakan atas dasar pilihannya bukan karena dia tidak sadar atau keadaan lainnya. Seseorang dikatakan ikhtiar dalam keadaan tindakan apabila ia melakukan perbuatan atas dasar pilihannya bukan karena pilihan orang lain, tentu saja setelah memikirkan dengan matang. Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam Pasal 210 (1) mensyaratkan pemberi
hibah telah berumur sekurang-kurangnya 21 (dua puluh satu) Tahun.97 b.
Syarat bagi Penerima Hibah : 1. Bahwa ia telah ada dalam arti yang sebenarnya karena itu tidak sah anak yang belum lahir menerima hibah. 97
Abdurrahman, op, cit, hlm. 164.
Universitas Sumatera Utara
55
2. Jika penerima hibah itu orang yang belum mukalaf, maka yang bertindak sebagai penerima hibah adalah wakil atau walinya atau orang yang bertanggung jawab memelihara dan mendidiknya. c.
Syarat bagi barang atau harta yang dihibahkan : 1. Barang hibah itu telah ada dalam arti yang sebenarnya waktu hibah dilaksanakan. Maksudnya barangnya maujud, walaupun tidak di tempatnya, misalnya ”saya memberi kamu rumah yang ada di kota A”, mobilnya diyakini ada walau tidak di tempat saat itu. Yang tidak dibolehkan adalah misalnya ”saya memberikan anak sapi yang masih ada di perut sapi ini” padahal anaknya belum lahir, ini tidak boleh bahkan haram hukumnya, karena spekulasi bisa terlalu tinggi. 2. Barang yang dihibahkan itu adalah barang yang boleh dimiliki secara sah oleh ajaran Islam, dan bermanfaat. misalnya hibah yang tidak dibolehkan ”saya hibahkan salib ini kepadamu”, tinjauannya adalah boleh tidak barang itu digunakan dalam syariat Islam. Contoh lain yang tidak boleh di hibah adalah menghibahkan kotoran yang najis, karena najis dalam syariat tidak dapat digunakan, namun jika najis tersebut berubah jadi berguna seperti biogas maka ada perbedaan pendapat disini, apakah najis jika berubah itu suci atau tidak, misalnya kotoran kambing boleh tidak dihibahkan, maka nabi mengatakan boleh karena bisa dimanfaatkan. 3. Barang itu telah menjadi milik sah dari harta penghibah, baik pemilikan secara sempurna maupun sebagai wakil dari pemilik tersebut, misalnya A dititipi
Universitas Sumatera Utara
56
komputer oleh B, lalu A menghibahkannya kepada C, ini tidak boleh. Atau misalnya belum ada serah terima barang tapi sudah diberikan kepada pihak lain lagi, ini tidak boleh. 4. Harta yang dihibahkan itu dalam kekuasaan yang tidak terikat pada suatu perjanjian dengan pihak lain seperti harta itu dalam keadaan digadaikan. 5. Barang itu mampu untuk diserahkan, misalnya menghibahkan unta yang kabur, menghibahkan motor yang hilang, ini semua tidak sah. 6. Barang tersebut diketahui oleh semua yang bertransaksi, caranya yaitu dengan melihat bendanya langsung, bisa juga dengan gambar, atau dengan cara disifatkan (diberi ciri cirinya). Kompilasi Hukum Islam (KHI) membatasi harta yang dihibahkan sebanyakbanyaknya sepertiga (1/3) dari harta milik penghibah, sebagaimana tersebut dalam Pasal 210 Ayat (1). d.
Syarat bagi Sigat atau Ijab Qabul : Setiap hibah harus ada Ijab Qabul, tentu saja Sigat itu hendaklah ada
persesuaian antara Ijab dan Qabul, bagi orang yang tidak atau dapat berbicara, maka sigat hibah cukup dengan isyarat, asal isyarat itu benarbenar mengandung arti hibah dapat dipahami oleh pihak-pihak yang berhibah. Juga terdapat syarat yang dikutip dari Putusan Nomor: 09/Pdt.G/2008/PTA Palembang, bahwa rukun hibah yang harus dipenuhi sebagaimana yang diuraikan dalam Fiqhus Sunnah III halaman 390,yang artinya : Dan sahnya hibah itu dengan
Universitas Sumatera Utara
57
adanya ijab dan kabul ;98 Kompilasi Hukum Isalam (KHI) mensyaratkan hibah juga harus dilaksanakan di hadapan dua orang saksi (Pasal 210 Ayat 1). Selain syarat hibah, ada juga syarat dalam hibah, maksudnya syarat yang di buat oleh manusia atau para pihak itu sendiri. Syarat dalam hibah ini dibolehkan selama tidak melanggar syariat. Misalnya ” saya hibahkan mobil ini dengan syarat kamu antar saya ke kota A” ini hibah yang dibolehkan. Namun ada syarat yang tidak boleh/fasik/batil misalnya karena menggantung contoh ”saya hibahkan mobil ini jika istri saya ridho”, dan ” saya hibahkan mobil ini tapi jangan diberi kepada si fulan”. Menurut fuqaha mencabut kembali hibah (al-i’tishar) itu boleh, Malik dan Jumhur ulama Madinah berpendapat bahwa ayah boleh mencabut kembali pemberian yang dihibahkan kepada anaknya selama anak itu belum kawin atau belum membuat utang. Begitu pula seorang ibu boleh mencabut kembali pemberian yang telah dihibahkannya, apabila ayah masih hidup. Tetapi ada riwayat dari Malik bahwa ibu tidak boleh mencabut hibahnya kembali. Ahmad dan fuqaha zhahiri berpendapat bahwa seseorang tidak boleh mencabut kembali pemberian yang telah dihibahkannya. Dalam pada itu, Abu Hanifah berpendapat bahwa seseorang boleh mencabut kembali pemberian yang telah dihibahkan kepada perempuan (dzawil arham) yang tidak boleh dikawini (mahram). Fuqaha sependapat bahwa seseorang tidak boleh mencabut
98
www.google.com: P U T U S A N Nomor: 09/Pdt.G/2008/PTA Plg.di akses tanggal 2 November 2010.
Universitas Sumatera Utara
58
kembali hibahnya yang dimaksudkan sebagai sedekah ,yakni untuk memperolah keridaan Allah Subhanahu wa ta’ala. Silang pendapat ini berpangkal pada adanya pertentangan antara beberapa hadis. fuqaha yang melarang secara mutlak pencabutan kembali hibah beralasan dengan pengertian umum hadis sahih, yaitu sabda Nabi : “Orang yang mencabut kembali hibahnya tak ubahnya seekor anjing yang menjilat kembali muntahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Sementara fuqaha yang mengecualikan larangan tersebut bagi kedua orang tua beralasan terhadap sabda Nabi: “Tidak halal bagi orang yang memberi hibah untuk mencabut kembali hibahnya kecuali ayah” (HR. Bukhari dan Nasai) Menurut jumhur ulama pemberian haram diminta kembali dalam keadaan apapun sekalipun antara saudara maupun suami isteri kecuali pemberian dari ayah kepada anaknya sendiri. Para ulama sepakat bahwa wajib memperlakukan anak anaknya dengan adil. Seorang ayah tidak boleh melebihkan pemberiannya kepada sebagian anaknya yang lain karena dikhawatirkan menimbulkan permusuhan bahkan bisa jadi memutuskan tali silaturanhmi. Maka ayah
yang melakukan seperti itu hendaklah ia
membatalkannya, rasullah bersabda: ”Persamakanlah di antara anak anakmu dalam pemberian. Seandainya aku hendak melebihkan seseorang tentulah aku lebihkan anak anak perempuan”(HR.Ahmad) Selain hibah ada juga istilah yang hampir sama dengan kata hibah tersebut yaitu Al ’umra dan Ruqba. Al ’umra adalah diambil dari kata umur yang artinya
Universitas Sumatera Utara
59
hidup, disebut demikian karena orang jahiliyah jika seseorang memberi orang lain rumah dia berkata kepadanya saya berikan ’umra ini kepadamu artinya saya hibahkan untukmu selama umurmu dan hidupmu. Dalam hal ini ada mekanisme ’umra yang berlaku: Mekanisme Pertama, pemberi ;umra mengatakan saya berikan rumah ini tanpa ada penjelasan lebih lanjut.hukum rumah ini menjadi milik penerima selamanya dan tidak boleh ditarik kembali oleh pemberi karena ia merupakan sesuatu yang sudah dilepaskan hukumnya untuk selama lamanya, ini salah satu dari dua pendapat Imam Syafi’i dan sesuai pendapat jumhur Ada juga pendapat kedua bahwa ia berstatus pinjaman yang boleh diambil kembali oleh pemberi jika ia sudah meninggal sesuai dengan hadist Sufyan dari Ibnu Juraij dari Atha dari Jabir secara marfu’: Mekanisme kedua, pemberi ’umra mengatakan: ”harta ini milikmu selama kamu masih hidu, dan jika kamu sudah meninggal dikembalikan kepadaku”. Ini adalah pinjaman terbatas yang harus dikembalikan kepada pemberi pinjaman jika yang meminjam sudah meninggal dunia. Ini adalah pendapat mayoritas sebagian ulama mazhab Syafi’i. Namun pendapat yang lebih shahih adalah tidak bolehnya kembali barang tersebut ke pemberi sebab dianggap syarat yang rusak dan tidak berlaku lagi. Mekanisme ketiga, pemberi mengatakan: ”harta ini milikmu dan anakmu setelah kamu atau dengan ucapan yang menunjukkan untuk selamanya” hukumnya sama dengan hukum hibah. Diriwayatkan dari Imam Malik, ia mengatakan bahwa hukumnya sama dengan hukum wakaf.
Universitas Sumatera Utara
60
Kesimpulannya, jika ada syarat dalam ’umra bahwa ia menjadi milik yang menerima dan anak keturunannya maka ini mempertegas hukumnya,ia menjadi milik yang menerima dan ahli warisnya dan ini adalah pendapat semua ulama yang membolehkan; umra, dan jika ia memutlakkan (tanpa syarat) ia menjadi milik penerima dan ahli warisnya juga karena berbentuk pemberian hak milik sama dengan hibah, dan jika memberi syarat harta tersebut akan kembali menjadi milik si pemberi setelah penerima meninggal Imam Syafi’i berkata akad dan syarat sah,dan kapan penerima meninggal maka dikembalikan kepada pemberi. Jika memang ’umra dan ruqba boleh dilakukan, maka akadnya sah untuk tanah dan yang lainnya berupa berbagai macam jenis hewan, pakaian karena ia sejenis hibah, maka sah sama seperti hibah hibah yang lain. Oleh sebab itu jika ia berkata: menempati rumah ini adalah milikmu selama kamu masih hidup atau tempatilah selama kamu masih hidup, ini bukan satu akad yang wajib sebab pada dasarnya ia adalah hibah manfaat, dan semua manfaat baru bisa dirasakan kegunaannya jika dipakai sedikit demi sedikit, tidak menjadi wajib kecuali sebatas yang diterimanyadan ditempatinya dan bagi yang memberi hak menempati ada hak rujuk kapan dia mau, dan jika dia meninggal dunia maka akad batal. Sedangkan Ar-ruqba dengan pola kata yang sama denga ’umra diambil dari kata muraqabah (pengawasan) sebab keduanya saling mengawasi yang lain kapan dia meninggal agar dia bisa rujuk kepadannya, lalu para ahli warisnya menggantikannya posisinya, inilah arti menurut bahasa99.
99
Abdul Aaziz Muhammad Azzam, Op.Cit., hal 459
Universitas Sumatera Utara