BAB II KAJIAN TENTANG WARISAN MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM ADAT A. Pengertian Warisan Menurut Hukum Islam dan Hukum Adat 1. Menurut Hukum Islam Kata waris berasal dari bahasa arab yaitu warasa-yarisu-warisan yang berarti berpindahnya harta seseorang kepada seseorang setelah meninggal dunia. Adapun dalam Al-Qur’an ditemukan banyak kata warasa yang berarti menggantikan kedudukan, memberi atau menganugerahkan, dan menerima warisan. Sedangkan Almiras menurut istilah para ulama ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup baik yang ditinggalkan itu berupa harta,tanah atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar’i.5 Istilah kewarisan berasal dari bahasa arab Al-irts yang secara leksikal berarti perpindahan sesuatu dari seseorang kepada orang lain. Dan secara terminologi, ia berarti pengalihan harta dan hak seseorang yang telah wafat kepada seseorang yang amsih hidup dengan bagian-bagian tertentu, tanpa terjadi Aqad lebih dahulu.6 Kewarisan (Al-miras) yang disebut juga sebagai faraidh berarti bagian tertentu dari harta warisan sebagaimana telah diatur dalam nash Al-Qur’an dan Al-Hadits, Sehingga dalam konteks ini dapat disimpulkan bahwa pewarisan adalah pepindahan hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia terhadap orang-orang yang masih hidup dengan bagian-bagian yang telah ditetapkan dalam nash-nash baik Al-Qur’an dan Al-Hadits.7 Yang dimaksud dengan hukum kewarisan Islam disini adalah hukum kewarisan yang diatur dalam Al-Qur’an. Sunnah Rasul dan fikih sebagai hasil ijtihad 5
Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2011, h.17 6 Ali Parman, Kewarisan Dalam Alquran, Raja Grafindo Persada, 1995 , h.9 7 Habiburrahman., loc. cit.
Universitas Sumatera Utara
para fukaha dalam memahami ketentuan Al-Qur’an dan sunnah Rasul. Dengan demikian, hukum kewarisan Islam merupakan bagian dari agama Islam. Oleh karenanya, tidak aneh jika bagi umat Islam, tunduk kepada hukum kewarisan Islam itu merupakan tuntutan keimanannya kepada Allah swt.8 Dalam hubungan ini QS An Nisaa’ (4) : 65 mengajarkan, “ Maka demi Tuhanmu, mereka ( pada hakikatnya ) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” Kewarisan menurut hukum Islam ialah proses pemindahan harta peninggalan seseorang yang telah meninggal, baik yang berupa benda yang wujud maupun yang berupa hak kebendaan, kepada keluarganya yang dinyatakan berhak menurut hukum.9 Bertolak dari batasan ini, terlihat bahwa harta milik seseorang baru dikatakan berpindah apabila pewaris telah wafat dan ada dalil warisnya. Ahli waris memperoleh saham secara pasti sesuai ketentuan Al-Qur’an, apabila mereka telah memenuhi segala syarat pewarisan. Ada syarat yang melekat pada pewaris, ahli waris, dan bahkan ada syarat pada harta yang akan di wariskan. 10 Batasan tersebut menegaskan juga bahwa menurut hukum Islam, yang tergolong ahli waris hanyalah keluarga, yaitu yang berhubungan dengan pewaris dengan jalan perkawinan (suami atau isteri) atau dengan adanya hubungan darah (anak, cucu, orang tua, saudara, kakek, nenek, dan sebagainya).11
8
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, UII Pres, Yogyakarta, 2001., h.130 Ibid., h.132 10 Ali Parman, loc.cit. 11 Ahmad Azhar Basyir, loc. cit. 9
Universitas Sumatera Utara
Ringkasnya hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (hirkah) pewaris, menentukan siapasiapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.12 Sedangkan harta warisan adalah benda yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia yang menjadi hak ahli waris. Harta itu adalah sisa setelah diambil untuk berbagai kepentingan, yaitu biaya perawatan jenazah hutang-hutang dan penunaian wasiat.13 Hukum Islam adalah hukum Allah yang menciptakan alam semesta ini,termasuk manusia didalamnya. Hukumnya pun meliputi semua ciptaan Nya itu.Hanya, ada yang jelas sebagaimana yang ‘tersirat’ di balik hukum yang tersurat dalam Alquran itu. Selain yang tersurat dan tersirat itu, ada lagi hukum Allah yang ‘tersenbunyi’ dibalik Al-Qur’an. Hukum yang tersirat dan tersembunyi inilah yang harus dicari, digali dan ditemukan oleh manusia yang memenuhi syarat melalui penalarannya. Untuk menemukan hukum yang tersirat dan tersembunyi tersebut di perlukan wawasan yang jelas dan kemampuan untuk mencari dan menggali hakikat hukum ilahi serta tujuan Allah menciptakan hukum-hukum Nya.14 Hukum waris menduduki tempat amat penting dalam hukum Islam. Ayat Alquran mengatur hukum hukum waris dengan jelas dan terperinci. Hal ini dapat di mengerti sebab masalah warisan pasti di alami oleh setiap orang. Kecuali itu, hukum waris langsung menyangkut harta benda apabila tidak diberikan ketentuan pasti, amat mudah menimbulkan sengketa diantara ahli waris. Setiap terjadi peristiwa kematian seseorang, segera timbul pertanyaan bagaimana harta peninggalannya
12
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, Buku II, Hukum Kewarisan, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 171, Citra Umbara, Bandung, 2013, h.375 13 Abdul Ghofur Anshori., Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Ekonisia, Yogyakarta, 2002, h.20 14 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, h.124
Universitas Sumatera Utara
harus diperlakukan dan kepada siapa saja harta itu dipindahkan, serta bagaimana caranya. Inilah yang diatur dalam hukum waris.15 Hukum kewarisan, termasuk salah satu aspek yang diatur secara jelas dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Hal ini membuktikan bahwa, masalah kewarisan cukup penting dalam agama Islam. 16 Dari seluruh hukum yang berlaku dalam masyarakat, maka hukum perkawinan dan kewarisanlah yang menentukan dan mencerminkan sistem kekeluargaan yang sekaligus merupakan salah satu bagian dari hukum perdata.17 2. Menurut Hukum Adat Hukum waris adat meliputi aturan-aturan hukum yang bertalian dengan proses penerusan dan peralihan kekayaan materiel dan immaterieel dari turunan ke tururunan. Hanya tinggal ditunjukkan saja sampai dimana berlakunya pengaruh lain aturan hukum atas lapangan hukum waris dalam masing-masing lingkungan hukum.18 Istilah waris di dalam kelengkapan istilah hukum waris adat diambil alih dari bahasa Arab yang telah menjadi bahasa Indonesia, dengan pengertian bahwa di dalam hukum waris adat tidak semata-mata hanya akan menguraikan tentang waris dalam hubungannya dengan ahli waris, tetapi lebih luas dari itu.19 Sebagaimana telah dikemukakan di atas hukum waris adat adalah hukum adat yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan azas-azas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan waris serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan penguasaan dan pemilikkannya dari pewaris kepada waris. Hukum waris
15
Ahmad Azhar Basyir, Op. cit., h.3 Abdul Ghofur Anshori, Op. cit., h.14 17 Ali Parman, Op. cit., h.1 18 Ter Haar Bzn Terjemahan K. Ng. Soebakti Poesponoto, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, h.231 19 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2013, h.7 16
Universitas Sumatera Utara
adat sesungguhnya adalah hukum penerusan harta kekayaan dari suatu generasi kepada turunannya.20 Dalam hal ini adapun pendapat para ahli hukum adat di masa lampau tentang hukum waris adat yakni: …Soepomo, menyatakan bahwa hukum waris adat memuat peraturanperaturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barangbarang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda (immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada turunannya. Proses tersebut tidak menjadi akuut oleh sebab orang tua meninggal dunia. Memang meninggalnya bapak atau ibu adalah suatu peristiwa yang penting bagi proses itu, akan tetapi sesungguhnya tidak mempengaruhi secara radikal proses penerusan dan pengoperan harta benda dan harta bukan benda tersebut.21 …Ter Haar, merumuskan hukum waris adat meliputi peraturan-peraturan hukum yang bersangkutan dengan proses yang sangat mengesankan serta yang akan selalu berjalan tentang penerusan dan pengoperan kekayaan materiil, dan immaterial dari suatu generasi kepada generasi berikutnya.22 …Wirjono Prodjodikoro, memberi pengertian bahwa warisan itu adalah soal apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.23 Dengan demikian hukum waris itu memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur cara penerusan dan peralihan harta kekayaan (berwujud atau tidak berwujud) dari pewaris kepada para warisnya. Cara penerusan dan peralihan harta kekayaan itu dekat berlaku sejak pewaris masih hidup atau setelah pewaris meninggal dunia.24 Mengartikan waris dari sudut hukum adat maka pada kenyataannya sebelum pewaris wafat sudah dapat terjadi perbuatan penerusan atau pengalihan harta kekayaan waris. Perbuatan penerusan atau pengalihan harta dari pewaris kepada
20
Hilman Hadikusuma, loc. cit. Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012, h.259 22 Soerojo Wignojodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Haji Masagung, Jakarta, 1988, h.161 23 Soerojo Wignojodipoero, loc. cit. 24 Hilman Hadikusuma, op.cit., h.8 21
Universitas Sumatera Utara
waris sebelum pewaris wafatdapat terjadi dengan cara penunjukan, penyerahan kekuasaan atau penyerahan pemilikan atas bendanya oleh pewaris kepada waris.25 Hukum waris adat itu mempunyai corak dan sifat-sifat tersendiri yang khas Indonesia, yang berbeda dari hukum Islam maupun hukum barat. Sebab perbedaannya terletak dari latar belakang alam fikiran bangsa Indonesia yang berfalsafah Pancasila dengan masyarakat yang Bhineka Tunggal Ika. Latar belakang itu pada dasarnya adalah kehidupan bersamayang bersifat tolong menolong guna mewujudkan kerukunan, keselarasan dan kedamaian didalam hidup.26 Bangsa Indonesia yang murni alam fikirannya berazas kekeluargaan dimana kepentingan hidup yang rukun damai lebih diutamakan dari sifat-sifat kebendaan dan mementingkan diri sendiri. Jika pada belakangan ini Nampak sudah banyak kecenderungan adanya keluarga-keluarga yang mementingkan kebendaan dengan merusak kerukunan hidup kekerabatan atau ketetanggan maka hal itu merupakan suatu krisis akhlak, antara lain disebabkan pengaruh kebudayaan asing yang menjajah alam fikiran bangsa Indonesia.27
25
Ibid. Ibid., h.9 27 Ibid. 26
Universitas Sumatera Utara
B. Dasar Hukum Pembagian Warisan Menurut Hukum Islam dan Hukum Adat 1. Menurut Hukum Islam Hukum kewarisan Islam di Indonesia adalah hukum waris yang bersumber kepada Al Qur’an dan Hadits, hukum yang berlaku universal di bumi mana pun di dunia ini. 28 Hukum kewarisan Islam disebut juga hukum fara’id, jamak dari kata farida, erat sekali hubungannya dengan kata fard yang berarti kewajiban yang harus dilaksanakan.29 Sebelum datangnya agama Islam, isteri ataupun anak perempuan bukanlah dipandang sebagai orang-orang yang memilik hak waris. Sebaliknya mereka dianggap sebagai harta warisan, dan oleh karena itu boleh diwariskan. Wahyu AlQur’an kemudian di turunkan dalam hal waris-mewaris sebagai perbaikan terhadap keadaan-keadaan sebelumnya dimana pada masa itu wanita merupakan kekayaan, begitu juga laki-laki yang tidak mampu ke medan perang untuk bertempur juga dianggap bukan sebagai orang-orang yang berhak mewaris. Munculnya Islam dengan peraturan baru tentang hukum waris untuk perempuan dan anak-anak kecil telah memberikan perubahan yang sangat signifikan bagi status kaum perempuan dan anak-anak.30 Hak waris bagi wanita maupun laki-laki, diatur dalam berbagai ayat seperti dalam Surat An-Nisaa’ ayat 7, 11, 12, 176, yang mengatur tentang hak-hak seseorang dalam pewarisan. Sebsgai surat pertama tentang hak pewarisan ayat ini
28
Habiburrahman, op. cit.,h.79 Mohammad Daud Ali, op. cit., h. 313 30 Habiburrahman, Op. cit.,h.80 29
Universitas Sumatera Utara
merupakan perrbaikan, khususnya bagi wanita termasuk anak perempuan, isteri, dan ibu.31 Untuk lebih jelasnya ayat-ayat kewarisan inti ini,secara berurutan dapat dicantumkan terjemahannya sebagai berikut: a. Surat An-Nisaa’ ayat 7, yang artinya: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapaknya dan kerabatnya, dan bagiorang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapaknya dan kerabatnya,baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.”32 b. Surat An-Nisaa’ ayat 11, yang artinya: “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua anak perempuan; dan jika anak itu semuanys perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggalkan itu mempunyai anak; jika yang meninggalkan itu tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga, jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (pembagian tersebut diatas) sesudah di penuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya, (tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”33 c. Surat An-Nisaa’ ayat 12, yang artinya: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istri itu mempunyai anak maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya seusfah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para istri memperoleh seperempat harga yang ditinggalkan kamu jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dibayar huyang-hutangmu. Jika sseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak mempunyai anak, tetapi mempunyai saudara laki-laki (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu iu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang spertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan yidak member madharat (kepada ahli waris). (Allah) menetapkan yang demikian itu sebagai syari’at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.34 d. Surat An-Nisaa’ ayat 33, yang artinya: “Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu-bapaknya dari karib-kerabatnya, kami jadikan pewaris-pewarisnya Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah
31
Ibid., h.81 Abdul Ghofur Anshori, Op. cit.,h.8 33 Ibid. 34 Ibid. 32
Universitas Sumatera Utara
setiap dengan mereka, maka berilah kepada mereka bagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.”35 e. Surat An-Nisaa’ ayat 176, yang artinya: ‘’Mereka meminta fatwa kepadamu tentang kalalah). Katakanlah: Allah member fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seseorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan. Dan perempuan maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika tidak mempunyai anak: tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari hrta yang ditunggalkan oleh orang yang meninggal. Dan jka mereka (ahli waris itu sendiri) saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki seabnyak bagian dua orang saudara perempua. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”36 Surat An-Nisaa’ ayat 11 dan Surat An-Nisaa’ ayat 12 kedua ayat tersebut merupakan pendahuluan tentang ketentuan memberi kepada setiap pemilik hak-hak sah mereka, juga menegaskan bahwa ada hak buat lelaki dan perempuan berupa bagian tertentu dari warisan ibu, bapak, dan kerabat yang akan diatur oleh Allah. Kedua ayat tersebut kemudian memerinci ketetapan-ketetapan mengenai ahli waris dan bagiannya, yaitu bagian anak seorang anak lelaki dan anak kamu, kalau bersamanya ada anak-anak perempuan dan tidak ada halangan yag ditetapkan agama baginya untuk memperoleh warisan, misalnya membunuh pewaris atau bebeda agama dengannya, maka dia berhak memperoleh warisan yang kadarnya sama dengan dua orang anak perempuan.37 Ketentuan hukum waris Islam hendaknya tidak berakibat mudharat kepada ahli waris, beberapa tindakan yang tidak diperbolehkan dan dianggap bertentangan dengan syariat adalah: 1) Mewariskan lebih dari sepertiga harta pusaka;
35
Ibid., h.9 Ibid. 37 Habiburrahman, Op. cit.,h.84
36
Universitas Sumatera Utara
2) Berwasiat dengan mkasud mnegurangi harta warisan, sekalipun kurang dari sepertiga, dianggap sebagai hal yang memberi mudharat dan tidak diperbolehkan.38 Hadits yang berhubungan dengan hukum waris: “…Berikanlah bagian-bagian tertentu kepada orang yang berhak, sesudah itu sisanya untuk orang laki-laki yang lebih utama.” (HR.bukhari dan Muslim). “…Berikanlah 2/3 untuk dua anak Saad, 1/8 untuk jandanya dan sisanya adalah untukmu (paman).” (HR. Abu Dawud At Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad). “…1/3 adalah banyak atau besar (untuk pelaksanaan wasiat) jika kamu meninggalkan ahli warisanmu dalam keadaan yang cukup adalah lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin yang meminta-minta kepada orang banyak.” (HR.Bukhari dan Muslim). Pembagian warisan menurut hukum waris Islam dilakukan dengan cara sebagai berikut: a) Dilakukan
terlebih
dahulu
pembayaran
utang-utang
dari
pewaris
diselesaikan, termasuk biaya rumah sakit dan biaya pemakaman. b) Pada saat pembagian warisan, dihadiri oleh pejabat Balai Harta Peninggalan dan dilakukan di depan notaris yang dipilih oleh ahli waris sendiri. Bila tidak ada kesepakatan tentang notaris mana yang dipilih, pengadilan agama menunjuk seorang notaris untuk pencatatan pembagian warisan tersebut. c) Dibuat daftar harta benda warisan baik yang berwujud maupun tidak berwujud, bergerak maupun tetap. Bila terdapat perubahan harta benda warisan, harus dinyatakan perubahannya itu dikuatkan oleh notaries. d) Harta benda warisan di atas ditaksir nilainya oleh yang berkompeten di bidangnya. e) Ahli waris yang satu terhadap yang lain dapat mengajukan pembatalan pembagian warisan atas pembagian warisan yang dilakukan dengan tekanan,
38
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
paksaan, penipuan dan dapat menimbulkan kerugian hingga ¼ bagian yang dikarenakan kesalahan penaksiran nilai harta benda warisan. f) Apabila salah seorang ahli waris tidak memasukkan harta warisan dalam daftar warisan, diadakan pembagian warisan lanjutan. g) Jangka waktu pembatalan adalah dalam rentang waktu tiga tahun sejak warisan dibagikan. Atas pembatalan ini, keadaan warisan kembali pada keadaan semula yang tidak terbagi, untuk kemudian diulangi kembali pembagian warisan seperti di atas.39 Adapun dasar pembagian warisan menurut Kompilasi Hukum Islam yakni: Pasal 176: Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separuh bagian, bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan. Pasal 177: Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian. Pasal 178: Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau dua saudara atau lebih. Bila tidak ada anak atau dua orang saudara atau lebih, maka ia mendapat sepertiga bagian. Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil oleh janda atau duda bila bersama-sama dengan ayah. Pasal 179: Duda dari pewaris mendapat separoh bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meningaglkan anak, maka duda mendapat seperempat bagian.
39
Ibid., h.128
Universitas Sumatera Utara
Pasal 180: Janda dari pewaris mendapat seperempat bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak, maka janda dari pewaris mendapat seperdelapan bagian. Pasal 181: Bila seorang meninggal tanpa menimggalkan anak dan ayah, maka saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-masing mendapat seperenam bagian. Bila mereka itu dua orang atau lebih maka mereka bersama-sama mendapat sepertiga bagian. Pasal 182: Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan ayah dan anak, sedang ia mempunyai satu saudara perempuan kandung atau seayah, maka ia mendapat separuh bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara perempuan kandung atau seayah dua orang atau lebih, maka mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara laki-laki kandung atau seayah, maka bagian saudara laki-laki adalah dua berabnding satu dengan saudara perempuan. Pasal 183: Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya. Pasal 184: Bagi ahli waris yang belum dewasa atau tidak mampu melaksanakan hak dan kewajibannya, maka baginya diangkat wai berdasarkan keputusan Hakim atas usul anggota keluarga. Pasal 185: Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikkan oleh anaknya. Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti. Pasal 186: Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya. Universitas Sumatera Utara
Pasal 187: Bilamana pewaris mennggalkan harta peninggalan maka oleh pewaris semasa hidupnya atau oleh para ahli waris dapat ditunjuk beberapa orang sebagai pelaksana pembagian harta warisan dengan tugas: -
Mencatat dalam suatu daftar harta peninggalan baik berupa benda bergerak maupun tidak bergerka yang kemudian disahkan oleh para ahli waris yang bersangkutan, bila perlu dinilai harganya dengan uang.
-
Menghitung jumlah pengeluaran untuk kepentingan pewaris.
Selanjutnya dari pengeluaran dimaksud diatas adalah merupakan harta warisan yang harus dibagikan kepada ahli waris yang berhak. Pasal 188: Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan permintaan kepada ahli waris yang lain untuk melakukan pembagian harta warisan. Bila ada diantara ahli waris yang tidak menyetujui permintaan iyu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian harta warisan. Pasal 189: Bila harta warisan yang akan dibagi berupa lahan pertanian yang luasnya kurang dari 2 hektar, supaya dipertahankan kesatuannya sebagaimana semula, dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama para ahli waris yang bersangkutan. Bila ketentuan tersebut tidak dimungkinkan karena diantara para hali waris yang bersangkutan ada yang memerlukan uang, maka lahan tersebut dapat dimilik oleh seorang atau lebih ahli waris dengan cara membayar harganya kepada ahli waris yang berhak sesuai dengan bagiannya masing-masing. Pasal 190: Bagi pewaris yang beristeri lebih dari seorang, maka masingmasing isteri berhak mendapat bagian atas gono-gini dari rumah tangga dengan suaminya, sedangkan keseluruhan bagian pewaris adalah menjadi hak para ahli warisnya, Universitas Sumatera Utara
Pasal 191: Bila pewaris tidak meningglkan ahli waris samas sekali,ahli warisnya tidak diketahui ada atau tidaknya, maka harta tersebut atas putusan Pengadilan Agama diserahkan penguasaannya kepada Baitul Mal untuk kepentingan agama Islam dan kesejahteraan umum. 2. Menurut Hukum Adat Hukum adat waris meliputi norma-norma hukum yang menentukan harta kekayaan baik yang materil maupun yang inmateriil yang manakah dari seseorang yang dapat diserahkan kepada keturunannya serta yang sekaligus juga mengatur saat, cara dan proses peralihannya. 40 Hukum adat waris menunjukkan corak-corak yang khas dari aliran pikiran tradisional Indonesia. 41 Hukum adat waris menetapkan dasar persamaan hak, hak sama ini mengandung hak untuk diperlakukan sama oleh orangtuanya di dalam proses meneruskan dan mengoperkan harta benda keluarga. Disamping dasar persamaan hak hukum adat waris juga meletakkan dasar kerukunan pada proses pelaksanaan pembagian berjalan secara rukun dengan memperhatikan keadaan istimewa dari tiap waris. Harta warisan tidak boleh di paksakan untuk dibagi antara para ahli waris. Harta peninggalan dapat bersifat tidak dapat dibagi atau pelaksanaan pembagiannya ditunda untuk waktu yang cukup lama ataupun hanya sebagian yang dibagi-bagi. Pembagiannya merupakan tindakan bersama, berjlan secara rukun dalam suasana ramah-tamah dengan memperhatikan keadaan khusus tiap waris. Harta peninggalan tidak merupakan satu kesatuan harta warisan, melainkan waib diperhatikan sifat/macam, asal dan kedudukan hukum dari pada barang-barang masing-masing yang terdapat dalam harta peninggalan itu.42
40
Soerojo Wignojodipoero, loc. cit. Ibid., h.163 42 Ibid.
41
Universitas Sumatera Utara
Pembagian warisan menurut hukum adat dilaksanakan menurut daerah masing masing, yang berarti pula mempunyai adat masing-masing.43 Hukum waris adat diwarnai oleh sistem kekeluargaan dalam masyarakat, sistem tersebut dibedakan sebagai berikut: a. Sistem Patrilineal, yaitu sistem kekeluargaan yang meraik garis keturuanan pihak nenek moyang laki-laki. Didalam sistem ini kedudukan dan pengaruh pihak laki-laki dalam hukum waris sangat menonjol. b. Sistem Matrilineal, yaitu sistem kekeluargaan yang meraik garis keturunan pihak nenek moyang perempuan. Didalam sistem kekeluargaan ini pihak laki-laki tidak menjadi pewaris untuk anak-anaknya. Anak-anak mereka merupakan bagian dari bagian keluarga ibunya, sedangkan ayahnya masih merupakan anggota keluarganya sendiri. c. Sistem Parental atau Bilateral, yaitu sistem ynag menarik garis keturunan dari dua sisi, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu. Didalam sistem iini kedudukan anak laki-laki dan perempuan dalam hukum waris sama dan sejajar. Artinya baik anak laki-laki maupun anak perempuan merupakan ahli waris dari harta peninggalan orangtua mereka.44 Pada umumnya hukum adat tidak menentukan kapan waktu harta warisan itu akan dibagi atau kapan sebaiknuya diadakan pembagian, begitu pula siapa yang menjadi juru bagi tidak ada ketentuannya. Menurut adat kebiasaan waktu pembagian setelah wafat pewaris dapat dilaksanakan setelah upacara sedekah atau selamatan yang disebut waktu nujuh hari, waktu empat puluh hari, nyeratus hari atau waktu
43 44
F.Satriyo Wicaksono, Hukum Waris, Visimedia, Jakarta, 2012, h.85 Habiburrahman, Op. cit.,h.89
Universitas Sumatera Utara
seribu hari setelah pewaris wafat, oleh karena pada waktu-waktu tersebut para anggota waris berkumpul.45 Apabila harta warisan akan dibagi maka yang menjadi juru bagi dapat ditentukan anatara lain adalah: 1) Orang tua yang masih hidup (janda atau duda dari pewaris), atau 2) Anak tertua lelaki atau perempuan,atau 3) Anggota keluarga tertua yang dipandang jujur adil dan bijaksana, atau 4) Anggota kerabat tetangga, pemuka masyarakat adat atau pemuka Agama yang diminta, ditunjuk atau dipilih para waris untuk bertindak sebagai juru bagi.46 Selama pembagian warisan itu berjalan baik, rukun dan damai diantara para waris, maka tidak diperlukan adanya campur tangan dari orang luar keluarga bersangkutan. Campur tangan dan kesaksian petua adat atau para pemuka masyarakat hanya diperlukan apabila ternyata jalannya musyawarah untuk mencapai mufakat menjadi seret dan tidak lancar.47 Hukum adat tidak mengenal cara pembagian dengan perhitungan matematika, tetapi selalu didasarkan atas pertimbangan mengingat wujud benda dan kebutuhan waris bersangkutan. Jadi walaupun hukum waris adat mengenal asas kesamaan hak tidak berarti bahwa setiap waris akan mendapat bagian warisan dalam jumlah yang sama, dengan nilai harga yang sama atau menurut banyaknya bagian yang sudah tertentu.48
45
Hilman Hadikusuma, Op.cit., h.104 Ibid. 47 Ibid., h.105 48 Ibid.
46
Universitas Sumatera Utara
Di Indonesia
yang menjunjung tinggi musyawarah untuk mufakat,
menetapkan pembagian warisan menurut musyawarah diantara ahli waris, dengan cara sebagai berikut: a) Pembagian warisan dilaksanakan dalam waktu menurut adat kebiasaan masyarakat setempat, ada yang 40 hari setelah pewaris meninggal dunia dan ada pula 100 hari setelah pewaris meninggal dunia. Hal ini dilakukan untuk ketenangan almarhum/almarhumah pewaris dan mencerminkan sifat masyarakat yang tidak matrealistik. b) Selama anak-anak pewaris belum dewasa, harta warisan tidak akan dibagi. c) Dilakukan musyawarah yang diwarnai rasa kekeluargaan, agar dalam membagi waris dapat menghasilkan pembagian yang adil bagi ahli waris. d) Adakalanya dalam pembagian waris tersebut diperlukan bantuan dari ulama untuk mengingatkan rasa keadilan dalam membagi waris serta telah terpunhinya hukum Agama yang dianutnya. Para ahli waris dapat memilih untuk menggunakan hukum waris adat atau hukum waris Islam. e) Apabila musyawarah tidak menemui kesepakatan, diselesaikan melalui pengadilan negeri. f) Sebelum harta warisan dibagi kemasing-masing ahli waris, para ahli waris bertanggung jawab untuk melunasi utang dari pewaris. Harta warisan dipakai untuk melunasi uatng dari pewaris setelah itu dibagi keahli waris. Hibah yang telah dilakukan pewaris semasa hidupnya dapat dipakai untuk melunasi utang pewaris apabila harta warisan tidak cukup. Namun di beberapa daerah adat tidak dapat dipakai untuk melunasi uatang pewaris. g) Besarnya bagian masing-masing ahli waris sebagai berikut: (1) Anak kandung baik laki-laki maupun perempuan mendapatkan pembagian yang sama, tetapi ada kalanya berlaku prinsip sepikul Universitas Sumatera Utara
segendong (yang artinya 2:1), bagian anak perempuan separuh dari bagian anak laki-laki. (2) Anak angkat mendapatkan harta warisan bersifat serelanya dan ahli waris yang lain atas harta warisan yang ada, dapat pula berlaku hanya berhak atas harta pencaharian orang tua angkatnya. Apabila anak anak angkat menerima wasiat atau hibah ada adat tertentu menetukan tidak boleh lebih dari ½ seluruh harta warisan. (3) Anak tiri mendapatkan harta warisan bersifat serelanya dari ahli waris yang lain atas harta warisan orang tua tirinya, atau adakalanya hanya dapat mewarisi harta dari orang tua kandungnya saja. (4) Anak tidak sah hanya mewarisi dari ibu kandungnya saja. Dibeberapa adat menetapkan bahwa anak tidak sah, walaupun pada akhirnya ibu menikah dengan ayah biologisnya. (5) Janda/duda menerima bagian warisan sama besar dengan seorang anak, apabila
tidak
ada
anak,
harta
warisan
jatuh
semua
pada
Janda/menerima wasiat atau hibah ada adat tertentu menetukan tidak boleh lebih dari ½ seluruh harta warisan. (6) Anak tiri mendapatkan harta warisan bersifat serelanya dari ahli waris yang lain atas harta warisan orang tua tirinya, atau adakalanya hanya dapat mewarisi harta dari orang tua kandungnya saja. (7) Anak tidak sah hanya mewarisi dari ibu kandungnya saja. Dibeberapa adat menetapkan bahwa anak tidak sah,walaupun pada akhirnya ibu menikah dengan ayah biologisnya. (8) Janda/duda menerima bagian warisan sama besar dengan seorang anak, apabila tidak ada anak, harta warisan jatuh semua pada Janda/duda, sedangkan harta pusaka kembali ke asal. Janda/duda berhak atas ½ harta pencaharian.
Universitas Sumatera Utara
Hukum waris adat di Indonesia banyak terpengaruh oleh hukum Islam, ahli waris hanya bertanggung jawab sebatas pada harta peninggalan saja. Sehingga, ahli waris harus menyelesaikan kewajiban dari pewaris atas seluruh utang-utangnya dari para kreditur.49
C. Macam-Macam Ahli Waris Menurut Hukum Islam dan Hukum Adat 1. Menurut Hukum Islam Macam-macam ahli waris menurut pasal 174 Kompilasi Hukum Islam terdiri dari: a. Menurut hubungan darah: 1). Golongan laki-laki terdiri dari: ayah,anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek; 2) Golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek. b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari duda atau janda.50 Bagian ahli waris menurut sistem bilateral, sebagai berkut: 1) Ahli waris dzul faraid, yakni ahli waris yang bagiannya telah diatur dalam Alquran dan hadis yaitu ibu, bapak, duda, saudara laki-laki seibu, saudara perempuan kandung, saudara perempuan sebapak, kakek dan nenek. 2) Ahli waris dzul qarabat, yakni ahli waris yang mendapat bagian warisan yang tidak ditentukan jumlahnya dan mendapatkan sisa warisan. Ahli waris 49
F.Satriyo Wicaksono, Op. cit., h.86 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, Buku II, Hukum Kewarisan, Op. cit., h.376 50
Universitas Sumatera Utara
ini mempunyai hubungan dengan pewaris melalui garis laki-laki dan perempuan, yaitu anak laki-laki, anak perempuan yang mewaris bersama anak laki-laki, bapak, saudara laki-laki apabila pewaris tidak ada keturunan, dan saudara perempuan apabila pewaris tidak mempunyai keturunan. 3) Ahli waris mawali (pengganti), yakni ahli waris yang menggantikan seseorang yang meninggal untuk mendapatkan bagian warisan yang akan didapatkan oleh orang yang digantikan seandainya ia hidup. Misalnya, cucu yang menggantikan ayahnya dalam mewarisi harta kekayaan dari kakeknya. Ahli waris menurut sitem waris patrilineal, sebagai berikut: a) Ahli waris dzul faraid, yakni ahli waris yang mendapatkan bagian sesuai ketentuan dalam Al-Qur’an dan Hadits, antara lain: ibu, bapak, duda, saudara laki-laki seibu, saudara perempuan seibu, cucu perempuan dari anak laki-laki, saudara perempuan kandung, saudara perempuan sebapak, kakek dan nenek. b) Ahli waris ashabah, yakni ahli waris yang tidak memperoleh bagian tertentu, tapi mendapatkan seluruh harta warisan apabila tidak ada ahli waris dzul faraid, dan mendapatkan seluruh sia harta warisan setelah dibagikan kepada ahli waris dzul faraid atau tidak menerima apapun jika telah halus dibagikan kepada ahli waris dzul faraid Ahli waris ashabah terbagi dalam tiga golongan yakni: (1) Asabah binafsihi, merupakan ahli waris ashabah karena dirinyya sendiri bukan karean bersama ahli waris lainnya, yaitu: anak laki-laki, bapak, kakek, cucu laki-laki dari anak laki-laki, saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki sebapak, paman kandung, paman sebapak, anak laki-laki paman kandung, dan anak laki-laki paman sebapak. Universitas Sumatera Utara
(2) Asabah bil-ghairi, merupakan ahli waris ashabah karena bersama ahli waris lainnya, yaitu seorang wanita yang menjadi ahli waris asabah karena ditarik oleh ahli waris laki-laki, yaitu anak perempuan yang mewaris bersama anak laki-laki, cucu perempuan yang mewaris bersama cucu lakilaki, saudara perempuan kandung yang mewaris dengan saudara laki-laki kandung, saudara perempuan sebapak yang dengan saudara yang mewaris bersama saudara laki-laki sebapak. (3) Asabah ma’al-ghairi, yakni saudara peremouan kandung atau sebapak yang menjadi ahli waris asabah karena mewaris bersama dengan keturunan perempuan, yaitu: saudara perempuan kandung yang mewaris dengan anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki, saudara perem[uan sebapak yang mewaris dengan anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki. Ahli waris dzul arham, yakni ahli waris yang mempunyai pertalian darah dengan pewaris lewat keluarga perempuan, yang termasuk ahli waris ini adalah cucu dari anak perempuan, anak perempuan saudara laki-laki, anak perempuan pama, paman seibu, saudara laki-laki ibu, dan bibi. Didalam kewarisan patrilineal selalu memberikan kedudukan yang lebih kepada pihak laki-laki, termasuk bagian antara ibu dan bapak atas harta warisan dari anaknya sendiri.51 2. Menurut Hukum Adat Menurut hukum adat, untuk menentukan siapa yang menjadi ahli waris digunakan dua macam garis pokok, yaitu: a. Garis pokok keutamaan 51
F.Satriyo Wicaksono, Op. cit., h.129
Universitas Sumatera Utara
b. Garis pokok pengganti Garis pokok keutamaan adalah garis hukum yang menentukan urutan-urutan keutamaan diantara golongan-golongan dalam keluarga pewaris dengan penegrtian bahwa golongan yang satu lebih diutamakan dari pada golongan yang lain. Dengan garis pokok keutamaan tadi, maka orang-orang yang mempunyai hubungan darah dibagi dalam golongan-golongan sebagai berikut: 1) Kelompok keutamaan I: keturunan pewaris, 2) Kelompok keutamaan II: orang tua pewaris, 3) Kelompok keutamaan III: saudara-saudara pewaris, dan keturunannya, 4) Kelompok keutamaan IV: kakek dan nenek pewaris, 5) dan seterusnya. Garis pokok penggantian adalah garis hukum yang bertujuan untuk menentukan siapa diantara orang-orang didalam kelompok keutamaan tertentu, tampil sebagai ahli waris. Yang sungguh-sungguh menjadi ahli waris adalah: a) Orang yang tidak mempunyai penghubung dengan pewaris, b) Orang yang tidak ada lagi penghubungnya dengan pewaris. Di dalam pelaksanaan penetuan para ahli waris dengan mempergunakan garis pokok keutamaan dari penggantian, maka harus diperhatikan dengan seksama prinsip garis keturunan yang dianut oleh suatu masyarakat tertentu. Demikian pula harus diperhatikan kedudukan pewaris, misalnya sebagai bujangan, janda, duda, dan seterusnya.52 Pada umumnya para waris ialah anak termasuk anak dalam kandungan ibunya jika lahir hidup, tetapi tidak semua anak adalah ahli waris, kemungkinan para waris lainnya seperti anak tiri, anak angkat, anak piara, waris balu, waris kemenakan, dan 52
Soerjono Soekanto, Op. cit., h.260
Universitas Sumatera Utara
para waris pengganti seperti cucu, ayah-ibu, kakek-kakek, waris anggota kerabat dan waris lainnya. Kemudian berhak tidaknya para waris tersebut dipengaruhi oleh sistem
kekerabatan bersangkutan dan mungkin juga karena pengaruh Agama,
sehingga antara daerah yang satu dan yang lain terdapat perbedaan. Adapun rincian para ahli waris menurut hukum adat adalah53: (1) Anak Kandung Anak kandung adalah anak yang lahir dari kandungan ibu dan ayah kandungnya. Kedudukan anak kandung sebagai waris dipengaruhi oleh perkawinan yang dilakukan orang tuanya baik secara sah ataupun tidak sah. Di beberapa daerah terdapat perbedaan hukum waris adat yang berlaku mengenai kedudukan anak sebagai waris dari orangtuanya. Disamping itu terdapat pula perbedaan antara anak lelaki dan anak perempuan dalam pewarisan, atau juga anak sulung, anak tengah, anak bungsu dan anak pangkalan. (a) Anak Sah Di berbagai golongan masyarakat yang dikatakan anak sah ialah anak kandung yang lahir dari perkawinan orangtuanya yang sah menurut ajaran Agama. Sehingga anak yang lahir dari perkawinan yang tidak menurut hukum Agama pada dasarnya tidak berhak sebagai ahli waris yang sah dari orang tua kandungnya. Sedangkan anak yang sah baik anak lelaki maupun anak perempuan pada dasarnya adalah waris dari orang tua yang melahirkannya. (b) Anak Tidak Sah Anak tidak sah adalah anak yang lahir dari perbuatan orang tua yang tidak menurut ketentuan Agama. Anak-anak tidak sah ini mempunyai tidak hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya tetapi juga dengan ayah biologisnya, 53
Hilman Hadikusuma, Op. cit., h.67
Universitas Sumatera Utara
melalui pembuktian yang didukung oleh ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. Hal ini terdapat dalam putusan MK RI No. 46/PUU-VIII/2010. (c) Waris Anak Lelaki Anak lelaki sebagai waris dapat diketahui dalam sistim kekerabatan patrilinial dimana kebanyakan berlaku bentuk perkawinan jujur seperti terdapat di tanah Batak, Lampung, pepadun, di Bali dan juga di daerah Nafri Jayapura Irian Jaya. Sedangkan anak-anak perempuan tidak sebagai waris tetapi dapat sebagai penerima bagian harta warisan untuk dibawa sebagai harta bawaan kedalam perkawinannya mengikuti pihak suami. Apabila pewaris tidak punya keturunan sama sekali, maka pewaris mengangkat anak lelaki dari saudara kandungnya lelaki yang terdekat, demikian seterusnya sehingga hanya anak lelaki yang menjadi waris, dimana segala sesuatunya harus didasarkan atas musyawarah dan mufakat para anggota kerabat. (d) Waris Anak Perempuan Sebagai kebalikan dari pewarisan dalam sistem kekerabatan patrilinial ialah pewarisan pada anak-anak wanita yang berlaku pada sistem kekerabatan matrilineal, dimana bentuk perkawinan semenda yang berlaku dan suami setelah perkawinan mengikuti kedudukan isteri atau tidak termasuk kekerabatan isteri seperti berlaku di Minangkabau. Apabila pewaris tidak mempunyai anak wanita tetapi hanya mempunyai anakanak laki-laki saja, sebagaimana berlaku di daerah semendo maka salah seorang
Universitas Sumatera Utara
anak lelaki diambilkan wanita sebagai isterinya dalam bentuk perkawinan semendo ngangkit. (e) Waris Anak Lelaki dan Anak Perempuan Kedudukan anak lelaki dan anak perempuan sebagai waris yang berhak sama atas harta warisan orang tuanya berlaku dikalangan masyarakat dengan sistem kekeluargaan parental. Yang dimaksud semua anak lelaki dan perempuan adalah sama haknya atas harta warisan tidak berarti bahwa jenis atau jumlah harta warisan dibagi merata diantara semua waris, dapat dengan begitu saja dinilai harganya dengan uang. (f) Waris Anak Sulung Pada umumnya keluarga-keluarga Indonesia menghormati kedudukan anak tertua, ia patut dihargai sebagai pengganti orangtua setelah orangtua tidak ada lagi, kepadanyalah sepantasnya setiap anggota keluarga meminta petunjuk dan nasehat. Jika anak tertua masih kecil maka kakek atau nenek menggantikan tanggung jawab orang tua dan jika kakek dan nenek tidak ada lagi tanggung jawab diteruskan pada paman atau bibik. Diberbagai daerah ada hukum adat yang menegaskan kedudukan anak tertua lelaki dan anak tertua perempuan. (g) Waris Anak Pangkalan dan Anak Bungsu Dibeberapa daerah disamping kedudukan anak sulung yang menjadi penerus keturunan dan pengganti tanggung jawab orang tua sebagai kepala keluarga dalam mengurus rumah tangga, terdapat pula yang disebut anak pangkalan dan anak bungsu sebagia orang pertama da orang kedua dalam menentukan pewarisan harta warisan orang tua.
Universitas Sumatera Utara
(2) Anak Tiri dan Anak Angkat Pada dasarnya anak tiri bukan waris dari ayah tiri atau ibu tirinya, tetapi ia adalah waris dari ayah-ibu kandungnya sendiri. (a) Anak tiri Anak tiri jika anak kandung m,asih ada tidak akan menjadi waris dari orang tua tirinya. Namun dalam kehidupan rumah tangaga sehari-hari ia dapat ikut menikmati kesejahteraan rumah tangga bersama bapak tiri atau ibu tiri bersam dengan saudara-suadara tirinya. Ada kemungkinan anak kandung sebagai waris dapat disisihkan anak tiri. (b) Anak Angkat Menurut hukum Islam anak angkat tidak diakui untuk dijadikan sebagai dasar dan sebab mewaris, Karena prinsip pokok dalam kewarisan adalah hubungan darah atau arham. Tetapi nampaknya diberbagai daerah yang masyarakat adatnya menganut agama Islam, masih terdapat dan berlaku pengangkatan anak dimana si anak angkat dapat mewarisi harta kekayaan orang tua angkatnya. Bahkan karena sayangnya pada anak angkat pewarisan bagi anka angkat telah berjakan sejak pewaris masih hidup. Sejauhmana anak angkat dapat mewarisi orang tua nagkatnya dapat dilihat dari katar belakang sebab terjadinya anak angkat itu. (c) Anak Angkat Mewaris Hanya didalam pewarisan jika anak kandung masih ada maka anak angkat mendapat warisan yang tidak sebanyak anak kandung, dan jika orang yua angjat takut anak angkat tidak mendapat bagian tyang wajar atau mungkin tersisih sama sekali oleh anak kandung dengan menggunakan dasar hukum Islam, maka sudah menjadi adat kebiasaan orang tua angkat itu member bagian harta warisan kepada Universitas Sumatera Utara
anak anagkat sebelum ia wafat dengan cara penunjukan, atau hibah/wasiat. Betapapun anak angkat itu berhak mewaris dari orang tua angkatnya, namun ia tidak boleh melebihi anak kandung. (d) Waris Balu, Janda Atau Duda Sesungguhnya kedudukan balu sebagai waris atau bukan waris dipengaruhi oleh sistem kekerabatan dan masyarakat bersangkutan dan bentuk perkawinan yang berlaku diantara mereka. Dalam masyarakat adat batak ahli waris janda selama ia masih tetap tinggal dikampung dimana suaminya berada, biasanya harta peninggalan suami yang telah meninggal diserahkan sepenuhnya kepada kepada istrinya (janda) selama ia belum menikah dan selama ia tidak meninggalkan perkampungan suaminya, tetapi jika ia menikah kembali atau pindah dari kampung suaminya maka harta peninggalan suaminya beralih pada anak kandungnya yang di amanahkan kepada mertua atau keluarga mertuanya. Khusus untuk duda harta warisan peninggalan istri sepenuhnya dikuasainya sebatas ia belum menikah dengan orang lain, karena ia merupakan tulang punggung dalam menghidupi anak-anak dan keluarganya. Jika ia menikah kembali maka harta peninggalan istrinya tetap menjadi penguasaannya selama ia masih membiayai dan memelihara anak-anaknya, jika kalau ada tuntutan dari pihak keluarga istrinya biasanya diberikan sebagian harta peninggalan istrinya sekedar pemberian kasih sayang dan penghormatan pada mertuanya.
Universitas Sumatera Utara
D. Sebab-Sebab Terhalangnya Seseorang Mendapatkan Warisan Menurut Hukum Islam dan Hukum Adat 1.
Menurut Hukum Islam Memperoleh hak mewaris tidak cukup hanya karena adanya penyebab
kewarisan, tetapi pada seseorang itu juga harus tidak ada penyebab yang dapat menghalangnya untuk menerima warisan. Karena itu, orang yang dilihat dari aspek penyebab-penyebab kalau kewarisan sudah memenuhi syarat untuk menerima warisan, tetapi kalau ia dalam keadaan dan atau melakukan sesuatu yang menyebabkan dia tersingkir sebagai ahli waris, maka pemenuhan terhadap aspek pertama tadi tidak ada artinya. Faktor-faktor penghalang kewarisan itu ialah54: a. Faktor pembunuhan b. Faktor beda Agama c. Faktor perbudakan d. Faktor murtad e. Faktor berlainan Negara f. Faktor mati bersama-sama antara anak dan bapak. 1) Faktor Pembunuhan Islam secara tegas melarang pembunuhan, khususnya sesama muslim (QS AlBaqarah (2) : 176) karena pembunuhan termasuk salah satu dari bentuk kejahatan (dosa besar) dan mendapat hukuman didunia. Sangsi hukumannya ialah qishosh yaitu dalam proses pembunuhan, kecuali jika pembunuh dapat pemaafan dari ahli waris terbunuh dengan cara membayar diat (ganti rugi). Dalam kaitannya dengan hak waris mewaris, maka orang yang membunuh pewaris ia tidak mendapat hak mewarisi dari pewaris tersebut. Hal ini tercatum secara tegas dalam sabda Rasulullah yang menyatakan bahwa, Seseorang yang membunuh tidak berhak menerima 54
Abdul Ghofur Anshori, Op.cit., h.31
Universitas Sumatera Utara
warisan dari orang yang dibunuhnya (HR Abu Daud dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah). 2) Faktor Beda Agama Berbeda Agama disini ialah perbedaan agama antara pewaris dengan ahli waris, satu pihak beragama Islam sedangkan yang lain beragama bukan Islam. Dasar hukumnya seperti yang disabdakan Rasulullah melalui Usamah Ibnu Zaid yang diriwayatkan Bukhari Muslim. Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah bahwa seorang muslim tidak menerima warisan dari yang bukan muslim dan sebaliknya seorang bukan muslim tidak mewarisi dari seorang muslim. 3) Faktor Perbudakan Seorang budak tidak mempunyai hak untuk mewarisi dan diwarisi. Hal ini sedikitnya karena dua hal yaitu, seorang budak dipandang tidak memiliki kecakapan untuk mengelola harta benda (QS An-Nahl (16): 75). Disamping itu status kekeluargaan dari kerabatnya dianggap putus karena ia sudah termasuk keluarga asing (Idris Ramulya, 1984 : 40). 4) Faktor Murtad Orang murtad ialah orang yang keluar dari Agama Islam karena ia telah keluar dari Islam, maka ia tidak dapat mewarisi harta peninggalan keluarganya, alasannya karena salah satu faktor terjadinya pewarisan adalah hubungan keagamaan (Islam) di antara individu (yang berkeluarga). 5) Faktor Berlainan Negara Perbedaan Negara didasarkan pada kateristik yaitu angkatan perangnya, kepala negaranya berbeda, dan tidak ada kekuasaan (diplomatik) satu sama lain. Dimaksud dengan “ tidak ada ikatan kekuasaan” adalah tidak ada hubungan diplomatik atau kerjasama untuk saling membantu dalam berbagai bidang. Universitas Sumatera Utara
Kendatipun demikian perlu dicatat bahwa, dalam kasus berlainan yang kebetulan bermukim di negara berbeda, dapat digolongkan dalam dua macam yaitu: a) Berbeda Negara antar orang-orang non muslim b) Berbeda Negara antar orang-orang atau keluarga muslim Dengan demikian faktor berlainan Negara bisa tidak dijadikan sebagai faktor yang menghalangi hak kewarisan. 6) Faktor Mati Bersama Antara Anak dan Bapak Faktor ini sebenarnya telah diuraikan pada pembahasan tentang persoalanpersoalan sekitar syarat kewarisan. Dalam kasus ini karena antara pewaris dan ahli waris mati mendadak tidak bisa ditemtukan siapa dari mereka yang mati terlebih dahulu, misalnya mati karena tenggelam atau kebakaran. Dengan matinya mereka secara bersamaan, maka sudah jelas bapak tidak bisa mewarisi anaknya dan sebaliknya, tetapi kalau anak yang mati berasamaan bapak itu memiliki anak, maka anak tersebut yang memiliki hak mewarisi (sebagai mawali). 2. Menurut Hukum Adat Setiap orang pada dasarnya adalah waris dari pewaris orang tua kandung atau orang tua angkatnya berdasarkan hukum adat yang berlaku baginya. Namun demikian ada kalanya seseorang dapat kehilangan hak mewarisi dikarenakan perbuatannya yang bertentangan dengan hukum adat. Perbuatan salah yang memungkinkan hilangnya hak mewaris seseorang terhadap harta warisan orang tuanya atau dari pewaris lainnya adalah misalnya dikarenakan antara lain sebagai berikut55: a. Membunuh atau berusaha menghilangkan nyawa pewaris atau anggota keluarga pewaris
55
Hilman Hadikusuma, op. cit., h.108
Universitas Sumatera Utara
b. Melakukan penganiayaan atau berbuat merugikan kehidupan pewaris c. Melakukan perbuatan tidak baik, menjatuhkan nama baik pewaris atau nama kerabat pewaris karena perbuatan yang tercela d. Murtad dari agama atau berpindah dari agama dan kepercayaan, dan sebagainya. Perbuatan salah yang dimaksud dapat dibatalkan memberi ampunan dengan nyata dalam perkataan atau perbuatan, sebelum atau ketika warisan dilakukan pembagian. Pengampunan atas kesalahan waris yang bersalah dapat berlaku atas semua harta warisan atau hanya untuk pembagian saja. Misalnya waris masih diperkenankan menerima bagian dari harta pencaharian tetapi tidak diperkenankan mewarisi harta asal, atau hanya mendapat bagian harta pencaharian yang lebih sedikit dari bagian waris lainnya.
Universitas Sumatera Utara