BAB II DASAR HUKUM DALAM MENETAPKAN HARTA BERSAMA DALAM HUKUM ISLAM A. Harta Bersama Dalam Pandangan Hukum Islam Dalam ajaran Islam dikenal dua istilah yang biasanya diterjemahkan menjadi Hukum Islam yakni syariat (syara') dan fikih, syariat adalah hukum-hukum yang sudah jelas maksudnya (qath'i) yang tersebut dalam Al-Qur’an atau Sunnah Rasul sedang fikih adalah pemahaman Para Ulama tentang ayat atau Sunnah Rasul (dzanni).30 Agar tidak terjadi kerancuan pengertian antara fikih dan syariat dalam membahas dasar-dasar Hukum Islam, kedua istilah tersebut sebaiknya dibedakan karena keduanya memang berbeda. Perbedaannya dimaksud adalah:31 a. Syariat yang terdapat dalam Al-Qur'an dan Kitab-Kitab Hadis adalah Wahyu Allah dan Sunnah Rasul. Fikih terdapat dalam kitab-kitab fikih. Fikih adalah pemahaman atau hasil rumusan Para Ulama yang memenuhi syarat-syarat untuk menjelaskan perkara hukum. b. Syariat bersifat fundamental, mempunyai ruang lingkup yang lebih luas dari fikih karena menurut para ahli didalamnya termasuk juga akidah dan akhlak. Fikih bersifat instrumental, ruang lingkupnya terbatas pada hukum yang
30
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, PT. Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 51. 31 Ibid.
26
Universitas Sumatera Utara
mengatur perbuatan manusia, yang biasanya disebut sebagai perbuatan hukum. c. Syariat adalah ketetapan Allah serta ketentuan Rasul karena itu syariat berlaku abadi. Fikih adalah karya manusia yang dapat diubah atau berubah dari masa kemasa yang tidak berlaku abadi. d. Syariat hanya satu, sedang fikih mungkin lebih dari satu seperti terlihat pada aliran-aliran hukum yang disebut dengan mazhab. e. Syariat menunjukan kesatuan dalam Islam, sedang fikih menunjukan keragamannya. Aturan-aturan mengenai harta bersama dalam Hukum Islam bersumber dari Hadis, adat dan Kompilasi Hukum Islam. Sumber-sumber tersebut dapat dirincikan sebagai berikut : 1.
Harta Bersama Dalam Tinjauan Al-Qur’an dan Hadis Harta bersama merupakan harta kekayaan yang dihasilkan oleh suami istri
selama dalam ikatan perkawinan. Para pakar hukum Islam mempunyai dua pendapat yang berbeda mengenai ketentuan harta bersama dalam Al-Qur’an. Sebagian mereka berpendapat bahwa harta bersama tidak ada diatur dalam Al-Qur’an sehingga sepenuhnya harta bersama diatur menurut ketentuan para ulama sendiri. Pendapat ini dikemukakan oleh Hazairin, Anwar Harjono dan Andoerraoef serta diikuti oleh murid-muridnya. Adapun mengenai pendapat lainnya adalah bahwa tidak mungkin jika agama Islam tidak mengatur tentang harta bersama sedangkan hal-hal lain yang kecil-kecil 27
Universitas Sumatera Utara
saja diatur secara rinci oleh agama Islam dan ditentukan kadar hukumnya. Tidak ada satupun yang tertinggal, semuanya termasuk dalam ruang lingkup pembahasan hukum Islam. Jika tidak disebutkan dalam Al-Qur’an, maka ketentuan ini pasti dalam Hadis dan Hadis ini merupakan sumber Hukum Islam juga.32 Menurut H.M. Hasballah Thaib, kata-kata harta syarikat terdiri dari dua suku kata yang berasal dari bahasa Arab disebut dengan “amwal” dan “syarikat”.33 Katakata amwal berbentuk jamak dari mal, banyak dijumpai didalam Al-Qur’an dan Hadis dengan berdasarkan firman Allah SWT yaitu: “Dan janganlah sebagian kamu memakan sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan harta itu kepada hakim-hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa padahal kamu mengetahui”.34 Sedangkan kata syarikat berarti perkongsian, persekutuan atau jama’ah. Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa kata-kata harta dan syarikat masih bersifat umum karena tidak ditentukan dari mana harta itu diperoleh, begitu juga dengan syarikat tidak diketahui harta apa yang dipersyarikatkan.35 Syarikat itu dapat dilaksanakan asalkan tidak dengan paksaan dan dilaksanakan dengan itikad yang baik. Jika salah satu pihak merasa tidak cocok lagi
32
T. Jafizham, Persentuhan Hukum di Indonesia dengan Hukum Perkawinan Islam, Percetakan Mustika, Medan, 1977, hlm. 119. 33 H.M. Hasballah Thaib, Hukum Benda Menurut Islam, Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa, Medan, 1992, hlm. 21. 34 QS. Al-Baqarah ayat 188. 35 H.M. Hasballah Thaib, Op. Cit., hlm. 22.
28
Universitas Sumatera Utara
melaksanakan perkongsian yang disepakati, maka ia dapat membubarkan perkongsian itu secara baik dan terhadap hal ini tidak dapat diwariskan.36 Agama Islam mempunyai peraturan dan dasar hukum untuk semua persoalan dan cocok untuk segala zaman, dengan demikian dasar penetapan harta syarikat dapat dihubungkan dengan Hadis Qudsi yang diriwayatkan oleh Abu Daud37, yaitu: Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Allah SWT berfirman: “Aku adalah ketiga dari dua orang yang bersekutu, selama yang seorang tidak mengkhianati kawannya. Tapi apabila ia khianati, aku keluar dari mereka.” (Diriwayatkan oleh Abu Daud dan disahkan oleh Hakim). Dengan adanya Hadis di atas dapat diambil suatu pengertian bahwa: 1. Perkongsian hukumnya boleh. 2. Tidak dibenarkan adanya penipuan dan pengkhianatan karena perkongsian yang tidak ada penipuan disukai Allah SWT. 3. Allah SWT bersama-sama orang yang bersyarikat selama salah seorang dari yang berkongsi itu tidak mengkhianati kawannya, begitu juga perkongsian suami istri yang sangat berbeda dengan perkongsian lainnya yang biasa terjadi di tengah-tengah masyarakat. Perkongsian suami istri yang dimulai dengan ijab dan kabul pada saat aqad nikah pada dasarnya bertujuan untuk membina rumah tangga yang diridhai Allah.38
36
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Materiel Dalam Praktek Peradilan Agama, Pustaka Bangsa Press, Jakarta Pusat, 2003, hlm. 159. 37 M. Hasballah Thaib, Op. Cit., hlm. 27. 38 Ibid.
29
Universitas Sumatera Utara
4. Kebijaksanaan dalam urusan dunia lebih banyak diserahkan kepada muslimin sendiri sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW “Kamu lebih mengetahui tentang urusan duniamu.” Berpijak pada uraian di atas perlu adanya ketetapan pembagian harta bersama apabila suami istri bercerai, baik bercerai mati atau cerai hidup. Dalam hal ini Moh. Anwar, berpendapat bahwa: ...Suami mendapat 2/3 (dua pertiga) sedang istri mendapat 1/3 (sepertiga) dengan perhitungan bahwa laki-laki lebih kuat dari perempuan.39 Berdasarkan hal di atas bagian laki-laki lebih banyak dari bagian perempuan dalam pembagian harta bersama, mengingat bahwa laki-laki lebih banyak memberikan saham dan andil dibandingkan dengan perempuan dalam memperoleh harta bersama tersebut, namun demikian hukum Islam tidak mengatur ketetapan pembagian yang pasti tentang harta bersama dalam suatu perkawinan sebagaimana pembagian warisan. Adat kebiasaan sebaiknya disesuaikan dalam menentukan pembagian harta bersama karena tidak adanya ketetapan yang pasti, sebagaimana yang dikemukakan oleh H. Ismuha bahwa pembagian harta bersama antara suami istri itu disesuaikan menurut adat setempat, karena Islam tidak menetapkan cara pembagian sebagaimana yang telah ditetapkan dalam pembagian waris.40
39
Al Imam Jalaluddin ‘Abdur Rahman bin Abi Bakar As-Sayuthi, Jami’us Shaghir, Juz I,
hlm. 108. 40
Abdurrahman al-Jaziri, Kitabul Fiqhi ‘Ala Mazahibil Arba’ah, Juz III, Darul Fikri, Beirut,
hlm. 315.
30
Universitas Sumatera Utara
Abdullah Syah juga menambahkan bahwa:41 1. Tidak ada suatu nash pun yang menunjukkan bahwa perkongsian semacam itu tidak dibolehkan dalam Islam. Satu-satunya alasan yang dikemukakan oleh Imam Syafi’i ialah adanya penipuan. Tetapi alasan ini dapat ditolak dengan alasan di atas. 2. Ketentuan Hukum Islam yang berbunyi Al-‘Adatu muhakkamah dapat berlaku di sini. Mengingat adat kebiasaan dalam menyelesaikan dan pengurusan harta syarikat sudah merupakan adat kebiasaan yang diterima dengan baik oleh masyarakat. Kebiasaan ini tidak bertentangan dengan salah satu nash yang pasti. 3. Syariat Islam datang untuk menciptakan kemaslahatan manusia, baik di dunia maupun di akhirat kelak. 4. Perubahan hukum karena perubahan-perubahan suasana telah terjadi pada masa Nabi dan pada masa sahabat. 5. Sighat ijab dan qabul dalam perkongsian suami istri dalam harta syarikat dapat diartikan suatu lafaz atau pernyataan izin kepada kongsinya untuk bertindak atas namanya. Kalau ada izin seperti itu, meskipun tidak ada lafaz perkongsian, juga dianggap cukup. Kebiasaan yang berlaku di Indonesia, dengan terjadinya perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita, maka masing-masing pihak sudah memberi izin kepada pihak lainnya untuk
41
Abdullah Syah, Op. Cit., hlm. 172.
31
Universitas Sumatera Utara
bertindak atas namanya dalam menempuh hidup berumah tangga, maka dalam hal ini berlaku lagi kaidah Al-‘Adatu Muhakkamah. 6. Sekalipun Mazhab Syafi’i tidak membolehkan perkongsian tenaga (‘abdan) dan perkongsian tidak terbatas (mufawadah) karena adanya unsur kesukaran dalam mengukur unsur tenaga dalam perkongsian (dapat menimbulkan penipuan), Mazhab Safi’i menerima adat kebiasaan sebagai dasar hukum, demikian juga ‘urf yang baik yang telah berlaku ditengah-tengah masyarakat yang tidak diingkari oleh masing-masing pihak (suami atau istri) dengan membuat perjanjian lain. Menurut H.M. Arsyad Thalib Lubis harta dapat dimiliki seseorang dengan dua cara, yaitu:42 1. Sebab yang dapat menimbulkan milik. 2. Sebab yang dapat memindahkan milik. Adapun yang dimaksud dengan menimbulkan milik adalah menjadikan harta yang sah dan belum menjadi milik orang sama sekali, maka harta tersebut dapat menjadi milik seseorang dengan jalan mengambil dan menguasai dengan sengaja atau menguasai sesuatu harta yang sah menurut hukum Islam atau hukum yang mengatur hal itu, misalnya: air sungai, batu emas, pohon dan lain sebagainya menjadi milik bagi orang yang mula-mula mengambil dan menguasai harta itu dengan sengaja. Demikian juga harta yang telah menjadi milik seseorang dapat berpindah menjadi milik orang lain dengan 2 cara, yaitu: 42
H.M Arsyad Thalib Lubis, , Ilmu Fiqih, Firma Islamiyah, Cet. III, Medan, hlm. 198.
32
Universitas Sumatera Utara
a. Pindah dengan akad Yaitu memindahkannya dengan melakukan akad jual beli, hibah, sedekah, wasiat dan sebagainya. b. Pindah dengan dipusakai Yaitu bila seseorang mati meninggalkan harta milik maka harta itu pindah menjadi milik warisnya dengan jalan dipusakai.43 Dengan demikian cara pemilikan harta itu dapat dilakukan dengan cara memiliki harta yang belum dimiliki orang sama sekali atau dengan memindahkan hak milik itu menjadi milik orang lain dengan jalan akad atau dipusakakan. Di dalam ajaran Islam dibolehkan membuat perjanjian yang berguna untuk mengantisipasi efek yang timbul setelah adanya jalinan hubungan suami istri termasuk akibat dari harta kekayaan mereka, hal ini dapat dihubungkan dengn firman Allah SWT yang berbunyi:44 “Hai orang-orang yang beriman, sempurnakanlah segala janji-janjimu.” Selain menunjukkan bolehnya membuat janji juga diwajibkan memenuhi janji yang telah dibuat antara satu dengan lainnya. Selain itu dengan adanya perjanjian yang dibuat oleh suami istri di saat berlangsungnya perkawinan dengan sendirinya suami atau istri secara pasti telah mempunyai tanggung jawab menjaga dan memelihara harta kekayaan mereka secara timbal balik di samping kewajiban yang lain.
43 44
Ibid. QS.Al-Maaidah ayat 1.
33
Universitas Sumatera Utara
Harta bersama merupakan harta benda kekayaan yang diperoleh suami istri dari saat berlangsungnya perkawinan karena itu bukan berarti bahwa harta benda suami istri yang diperoleh sebelum perkawinan seperti harta pemberian, warisan, hibah, semua itu tidak termasuk harta syarikat. Harta tersebut dapat menjadi harta bersama bila disaat berlangsungnya perkawinan diadakan perjanjian yang menetapkan bahwa harta tersebut digabung menjadi milik bersama atau sama sekali tidak ada perjanjian yang mengatur tentang harta mereka. T. Jafizham mengatakan bahwa mereka yang akan menjadi suami istri boleh membuat perjanjian, bahwa harta benda yang dibawa ke dalam perkawinan dan harta benda yang diperoleh sendiri dalam perkawinan menjadi harta bersama.45 2.
Harta Bersama Berdasarkan Adat (‘Urf) Istilah harta bersama dalam perkawinan terdapat dalam berbagai bahasa
daerah di Indonesia. Menurut adat Jawa harta bersama disebut harta gono gini, harta syarikat di Tanjung Pura (Sumatera Timur), Hareuta Shareukat di Aceh, barang berpantangan di Kalimantan, harta Suarang di Minangkabau dan cakkara di Sunda, Sapikul Sagendong di Jawa dan Sasuhun Sarembat di Bali.46 Iman Sudiyat menjelaskan masalah kedudukan janda tehadap harta bersama dalam perkawinan menurut adat sebagai berikut:47
45
T. Jafizham, Op. Cit., hlm. 169. Abdullah Syah, Op. Cit., hlm. 166. 47 Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta, 1981, hlm. 165-166. 46
34
Universitas Sumatera Utara
“Mengenai posisi janda di dalam harta peninggalan, hukum adat bertitik tolak dari asas bahwa wanita sebagai orang asing tidak mewarisi, namun selaku istri turut memiliki harta yang diperoleh selama perkawinan (harta bersama). Di samping itu di semua wilayah ia berhak atas nafkah seumur hidup dari harta peninggalan suaminya, kecuali di wilayah yang tidak memerlukan aturan demikian itu, berhubung dengan tata susunan sanak yang matrilinial. Di Bali janda juga berhak mengurus harta tersebut, selama anak laki-laki belum disahkan sebagai pengganti di depan jenazah almarhum ayahandanya, menurut kenyataannya si janda di tempat-tempat lain sering juga mempunyai hak serupa.”
Adapun alasan lain yang menyebutkan bahwa janda tidak berhak atas harta bersama adalah janda tidak ikut secara fisik dan membantu suami dalam mencari harta benda, maka hukum adat lama menganggap tidak pernah terbentuk harta bersama dalam perkawinan. Jika ditinjau historis harta bersama di Indonesia, telah terjadi perkembangan hukum adat. Pendapat bahwa janda tidak berhak atas harta bersama tersebut mendapat kritik keras dari berbagai kalangan ahli hukum sejalan dengan perkembangannya pandangan emansipasi wanita dan arus globalisasi segala bidang.48 Terjadi pergeseran konsepsi nilai-nilai hukum baru yang menentukan terbentuknya
harta
bersama
dalam
perkawinan
dapat
dilihat
berdasarkan
yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 7 November 1956 Nomor 5/K/Sip/1956 yang mengatakan bahwa segala harta yang diperoleh selama perkawinan akan menjadi harta bersama suami-istri.49 Dapat dilihat dari pertimbangan Hakim yang berbunyi: “menurut hukum adat semua harta yang 48
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006, hlm. 108. 49 Ibid.
35
Universitas Sumatera Utara
diperoleh selama berlangsungnya perkawinan, termasuk gono-gini meskipun mungkin hasil kegiatan suami sendiri.”50 Dalam Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 19 Februari 1976 Nomor 985/K/Sip/1973 juga dirumuskan kaidah hukum yang menyatakan bahwa menurut hukum adat semua harta kekayaan yang diperoleh suami istri selama dalam perkawinan dianggap harta pendapatan bersama sekalipun harta itu semata-mata hasil pencarian suami istri.51 Kedudukan janda di dalam hukum adat telah mengalami pergeseran dalam hukum waris adat. Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 100K/Sip/1967 telah melahirkan satu penemuan hukum yang menyimpang dari ketentuan hukum waris adat yang tidak mengenal adanya harta bersama dalam perkawinan dan janda bukan merupakan ahli waris dari mendiang suaminya.52 Dari ketiga contoh putusan di atas dapat disimpulkan bahwa ketentuan adanya harta bersama dalam perkawinan telah ada sebelum lahirnya Undang-Unadng Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang terdapat dalam Pasal 35 ayat 1 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan nilai-nilai tersebut dipertegas lagi dalam Bab XII Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa harta bersama
50
Tesis Yusriana, Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama (Penelitian Di Pengadilan Agama Lubuk Pakam), Sekolah Pasca Sarjana USU, Medan, 2006, hlm. 23. 51 Rangkuman Yurisprudensi Mahkamah Agung RI, hlm. 79. 52 Runtung, Makalah, Menuju Unifikasi Hukum Harta Perkawinan di Indonesia, hlm. 74.
36
Universitas Sumatera Utara
suami istri itu adalah harta yang diperoleh selama ikatan perkwainan berlangsung dan perolehan itu tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama suami atau istri.53 Dasar penetapan harta bersama dalam suatu perkawinan dapat dihubungkan dengan adat kebiasaan dalam penyelesaian dan pengurusan harta bersama yang sudah merupakan adat kebiasaan yang diterima baik oleh masyarakat. Hal ini sesuai dengan bunyi kaidah fikih yang mengatakan bahwa adat kebiasaan itu dapat menjadi hukum.54 Adat kebiasaan dapat menjadi dasar hukum selama tidak bertentangan dengan nash-nash yang kuat karena kebiasaan penyelesaian harta bersama dalam suatu perkawinan telah diterima baik oleh masyarakat. Adapun yang menjadi ruang lingkup dalam harta bersama menurut adat adalah: a. Harta yang diperoleh suami atau istri selama perkawinan, terkecuali yang diperoleh masing-masing karena pewarisan atau hadiah yang ditujukan secara pribadi kepada masing-masing suami atau istri. b. Harta yang diperoleh suami atau istri dari hasil harta bawaannya masingmasing. c. Harta bawaan masing-masing suami atau istri yang dinyatakan secara tegas menjadi harta bersama dalam perjanjian perkawinan suami istri tersebut. Pertumbuhan masyarakat yang menuju kearah persamaan kedudukan antara pria dan wanita dapat dilihat dari yurisprudensi di atas. Janda berhak mendapat
53 54
Ibid. H.M. Hasballah Thaib, Op. Cit., hlm. 28.
37
Universitas Sumatera Utara
separuh dari harta peninggalan suaminya dan separuh dari harta pencarian yang merupakan bagian suaminya dibagi sama antara janda dan anak-anak sedangkan terhadap harta bawaan hanya diwarisi oleh anak-anak saja. Masalah hubungan hukum adat dengan hukum Islam ini dapat dilihat dari sudut al-ahkam al-khamsah (norma atau kaidah Hukum Islam), yaitu:55 1. Haram (larangan) adalah suatu ketentuan larangan dari agama yang tidak boleh dikerjakan. Kalau orang melanggarnya, berdosalah orang itu. 2. Fardhu (kewajiban) adalah suatu ketentuan agama yang harus dikerjakan kalau tidak berdosa. Atau suatu ketentuan jika ditinggalkan berdosa. 3. Makruh (celaan) adalah suatu ketentuan larangan yang lebih baik tidak dikerjakan dari pada dilakukan. Atau meninggalkannya lebih baik dari pada melakukannya. 4. Sunnah (anjuran) adalah suatu perbuatan jika dikerjakan akan mendapat pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa. 5. Jaiz atau mubah (boleh)adalah dibolehkan atau sering kali juga disebut halal. Satu perbuatan yang tidak ada ganjaran atau siksaan bagi orang yang mengerjakannya atau tidak mengerjakannya atau segala sesuatu yang diizinkan oleh Allah untuk mengerjakannya atau meninggalkannya tanpa dikenakan siksa bagi pelakunya.
55
Forum Silaturahmi Persatuan Islam Pakistan, Mengenal macam-Macam Hukum Di Syari’at Hukum Islam, http://fospi.wordpress.com/2008/07/22/mengenal-macam-macam-hukum-di syariatislam/html., terakhir di akses 10 Juli 2012.
38
Universitas Sumatera Utara
Ke dalam kategori kelima inilah (jaiz atau mubah) adat dan bagian-bagian hukum adat dapat dimasukkan baik yang telah ada sebelum Islam datang ke tanah air maupun yang tumbuh kemudian, asal tidak bertentangan dengan aqidah (keyakinan) Islam. Menurut T.M Hasbi Ash-Shiddieqy di dalam kitab-kitab fikih Islam banyak sekali garis-garis hukum yang dibina atas dasar ‘urf atau adat karena para ahli hukum telah menjadikan ‘urf atau adat sebagai salah satu alat atau metode pembentukan Hukum Islam.56 Pernyataan Hasbi ini adalah sejalan dengan salah satu patokan pembentukan garis hukum dalam Islam, yaitu al ‘adatu muhakkamat yang berarti bahwa adat dapat dijadikan Hukum Islam.57 Yang dimaksud dengan adat dalam hubungan ini adalah kebiasaan dalam pergaulan hidup sehari-hari yang tercakup dalam istilah muamalah (hal-hal yg termasuk urusan kemasyarakatan) bukan mengenai ibadah. Sebab mengenai ibadah orang tidak boleh menambah atau mengurangi apa yang telah ditetapkan oleh Allah seperti yang tertulis di dalam Al-Qur’an dan yang telah diatur oleh Sunnah Rasul-Nya seperti yang termuat dalam kitab-kitab Hadis yang sahih. Agar dapat dijadikan Hukum Islam, beberapa syarat harus dipenuhi. Menurut Sobhi Mahmassani, syarat-syarat tersebut adalah:58
56
Mohammad Daud Ali, Op. Cit., hlm. 229. Ibid. 58 Ibid, hlm. 230. 57
39
Universitas Sumatera Utara
1. Adat itu dapat diterima oleh perasaan dan akal sehat serta diakui oleh pendapat umum. 2. Sudah berulangkali terjadi dan telah pula berlaku umum dalam masyarakat yang bersangkutan. 3. Telah ada persetujuan atau pilihan lain antara kedua belah pihak. 4. Tidak bertentangan dengan nash (kata atau sebutan yang jelas dalam AlQur’an dan Sunnah Nabi Muhammad) atau dengan kata lain tidak bertentangan dengan syariat Islam. B. Harta Bersama Dalam Kompilasi Hukum Islam Kompilasi Hukum Islam merupakan hukum materil yang pada garis besarnya meliputi bidang-bidang hukum perkawinan, hukum kewarisan dan hukum perwakafan yang dapat dijadikan pedoman bagi Hakim di lingkungan Badan Peradilan Agama sebagai hukum terapan dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya. Dengan tersusunnya Kompilasi Hukum Islam menurut Wasit Aulawi dapat diharapkan:59 a. Memenuhi asas manfaat dan keadilan berimbang yang terdapat dalam Hukum Islam. b. Mengatasi berbagai masalah khilafiyah (perbedaan pendapat) untuk menjamin kepastian hukum
59
Wasit Aulia, H.A., Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Pengukuhan, IAIN, Jakarta, 1989, hlm. 12.
Pidato
40
Universitas Sumatera Utara
c. Mampu menjadi bahan baku dan berperan aktif dalam pembinaan hukum nasional. Sebelum membahas ketentuan mengenai harta bersama dalam Kompilasi Hukum Islam, sebaiknya memahami makna dari harta bersama terlebih dahulu. Harta bersama dalam Kompilasi Hukum Islam disebut juga dengan syirkah yaitu harta kekayaan yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun. 60 Kaidah-kaidah harta bersama suami istri terdapat dalam Pasal 85 sampai dengan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam. Pasal 85 KHI menyatakan bahwa adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami istri. Dengan demikian apabila ada yang ingin membuat perjanjian mengenai kedudukan harta dalam perkawinan, menurut Pasal 47 ayat 2 KHI perjanjian tersebut dapat meliputi percampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencarian masingmasing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan Hukum Islam. Pasal 86 ayat 1 KHI menentukan bahwa pada dasarnya tidak ada pencampuran antara harta suami dan harta istri karena perkawinan. Hak atas harta bawaan ini ditegaskan dalam Pasal 86 ayat 2 KHI, yang menentukan bahwa harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya.
60
Tim Redaksi Aulia,Op. Cit., hlm. 1.
41
Universitas Sumatera Utara
Bandingkan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 119 yang menentukan bahwa mulai saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum berlaku lah persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan istri kecuali jika ada perjanjian kawin. Mengenai harta bawaan ini Kompilasi Hukum Islam mengatur lebih lanjut dalam Pasal 87 ayat 1, bahwa harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta yang diperoleh dari masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguassaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Guna melengkapi hal itu, pada ayat 2 menegaskan bahwa suami atau istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masingmasing berupa hibah, hadiah, sedekah atau lainnya. Selain hak atas bawaan, suami atau istri berhak atas separuh harta perkawinan atau harta bersama, apabila terjadi perceraian. Wirjono Prodjodikoro mengemukakan bahwa di antara tiga sistem hukum yang berlaku di Indonesia, dalam hal harta bersama suami istri, hukum Islam paling sederhana pengaturannya, tidak rumit dan mudah untuk dipraktekkan.61 Hukum Islam tidak mengenal adanya percampuran harta milik suami dengan harta milik istri, masing-masing dan tidak diperkenankan adanya campur tangan salah satu pihak dalam pengaturannya. Ikut campurnya salah satu pihak hanya bersifat nasehat saja, bukan penentu dalam pengelolaan harta milik pribadi suami atau istri tersebut. 61
Abdul Manan, Op. Cit., hlm. 160.
42
Universitas Sumatera Utara
Ketentuan Hukum Islam tersebut sangat erat karena kenyataannya percampuran hak milik suami istri menjadi harta bersama banyak menimbulkan masalah dan kesulitan sehingga memerlukan aturan khusus untuk menyelesaikannya. Meskipun Hukum Islam tidak mengenal adanya percampuran harta pribadi masing-masing ke dalam harta bersama suami istri tetapi dianjurkan adanya saling pengertian antara suami istri dalam mengelola harta pribadi tersebut, jangan sampai di dalam mengelola kekayaan pribadi ini dapat merusak hubungan suami istri yang menjurus kepada perceraian. Pada Pasal 88 KHI disebutkan bahwa apabila terjadi perselisihan antara suami istri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama. Pengadilan agama adalah pihak ketiga, sebagai tempat penyelesaian harta bersama apabila urusan pembagian harta bersama tidak dapat ditempuh dengan jalan perdamaian atau kesepakatan antara para pihak yang bersengketa (Ash-Shulhu) tentang bagian yang diterima oleh masing-masing, yang dengan kesepakatan itu para ahli waris dengan sukarela melepaskan sebagian haknya. Suami istri harus menjaga harta bersama dengan penuh amanah, sebagaimana diatur dalam Pasal 89 KHI, “Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta istri maupun hartanya sendiri” dan Pasal 90 KHI, “Istri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama maupun harta suami yang ada padanya”. Pasal 91 KHI menyatakan bahwa harta bersama dalam perkawinan dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud. Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda bergerak, benda tidak bergerak dan surat-surat berharga, sedangkan 43
Universitas Sumatera Utara
harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak dan kewajiban. Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya. Dengan kata lain, harta bersama merupakan hak bersama yang oleh masingmasing pihak boleh dipergunakan asalkan mendapat izin dari pasangannya. Suami atau istri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama (Pasal 92 KHI). Apabila penjualan atau pemindahan harta bersama mengabaikan persetujuan suami/istri maka perjanjian cacat hukum dalam unsur subyektifnya. Pada saat melakukan transaksi tersebut statusnya bukanlah sebagai subyek yang secara penuh berwenang untuk melakukan tindakan hukum sehingga perjanjian dapat dibatalkan.62 Mengenai pertanggungjawaban hutang yang dibebankan terhadap harta bersama diatur dalam Pasal 93 KHI, yang menyatakan bahwa pertanggungjawaban yang dilakukan untuk kepentingan keluarga dibebankan kepada harta bersama, bila harta bersama tidak mencukupi maka dibebankan kepada harta suami, bila harta suami tidak ada atau tidak mencukupi dibebankan kepada harta istri. Adapun pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau istri dibebankan pada hartanya masing-masing. Pasal 29 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menentukan untuk membuat suatu perjanjian dalam perkawinan harus atas persetujuan bersama, perjanjian itu hanya berlaku dan sah bagi yang membuat 62 Pasal 1320 KUHP Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat yaitu: 1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya 2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3. suatu hal tertentu 4. suatu sebab yang halal
44
Universitas Sumatera Utara
perjanjian. Hal ini menentukan status hutang tersebut. Jika suatu perjanjian hutang tidak terpenuhi syarat Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu kesepakatan para pihak maka perjanjian itu dapat dibatalkan. Dengan tidak adanya
persetujuan bersama suami istri ketika membuat
persetujuan hutang maka perjanjian itu hanya berlaku bagi salah satu pihak yang membuat perjanjian itu yakni suami atau istri. Sehingga perjanjian itu bukan perjanjian bersama tetapi perjanjian pribadi.63 Karena perjanjian pribadi maka hutang tersebut adalah hutang pribadi dan pembebanan pertanggungjawaban menjadi beban pribadi atau harta pribadi. Pengaturan harta bersama dari perkawinan yang mempunyai istri lebih dari seorang terdapat dalam Pasal 94 KHI yang menyatakan bahwa harta bersama tersebut masing-masing terpisah dan berdiri sendiri dan dihitung pada saat berlangsungnya perkawinan yang kedua, ketiga atau keempat. Pasal 94 KHI menegaskan bahwa bentuk harta bersama dalam perkawinan poligami, masing-masing terpisah dan tersendiri. Aturan ini sejalan dengan ketentuan Pasal 65 ayat 1 huruf b dan c Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Asas dalam perkawinan poligami adalah terbentuknya beberapa harta bersama sebanyak istri yang dikawini suami. Terbentuknya masing-masing harta bersama sebanyak istri dihitung sejak tanggal berlangsungnya perkawinan dan masing-masing harta bersama terpisah dan tersendiri. 63
Tesis Andayanti Lubis, Kajian Yuridis Pertanggungjawaban Atas Harta Bawaan Istri Terhadap Hutang Suami Dengan Jaminan Harta Bersama (Studi Kasus Putusan Nomor: 295/Pdt.G/2001/PN.Mdn), Mkn, Universitas Diponegoro, 2009, Semarang.
45
Universitas Sumatera Utara
Pasal 95 Kompilasi Hukum Islam ayat 1 mengatakan bahwa dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 24 ayat 2 huruf c Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 dan Pasal 136 untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros dan sebagainya. Pada ayat 2 disebutkan bahwa selama masa sita dapat dilakukan penjualan atas harta bersama untuk keperluan keluarga dengan izin Pengadilan Agama. Dalam kaitannya dengan pembagian harta bersama, Pasal 96 ayat 1 KHI menentukan pula apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama. Ayat 2 mengatakan bahwa pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama. Pasal 97 menentukan bahwa janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Pembagian harta bersama ini dapat dikaitkan dengan firman Allah SWT, yang berbunyi: “Bagi laki-laki mendapat bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi wanita mendapat bagian dari apa yang mereka usahakan”.64 Disini dapat terlihat bahwa pembagian terhadap harta bersama dapat dilakukan berdasarkan besar kecilnya
64
QS. An-Nissa’ ayat 32.
46
Universitas Sumatera Utara
sumbangan kekayaan bersama. Apabila sama besar, maka harta peninggalan almarhum setengah dari harta bersama tersebut. Apabila tidak sama besar antara usaha suami dengan usaha istri maka harta peninggalan suami banding istri adalah dua banding satu. C. Pendapat Para Ulama Tentang Harta Bersama Dalam Perkawinan Di dalam kitab-kitab fikih tradisionial, harta bersama diartikan sebagai harta kekayaan yang dihasilkan oleh suami istri selama mereka diikat oleh tali perkawinan atau dapat disebut bahwa harta bersama itu adalah harta yang dihasilkan dengan jalan syirkah antara suami istri sehingga terjadi percampuran harta yang satu dengan yang lain dan tidak dapat dibeda-bedakan lagi. Ada beberapa istilah syirkah yang dikemukakan Para Ulama Fikih. Menurut Mazhab Maliki, syirkah adalah sesuatu izin untuk bertindak secara hukum bagi dua orang yang bekerjasama terhadap harta mereka. Menurut Mazhab Syafi’i dan Hambali, syirkah adalah hak bertindak hukum bagi dua orang atau lebih pada sesuatu yang mereka sepakati. Dan menurut Mazhab Hanafi, syirkah adalah akad yang dilakukan oleh orang-orang yang bekerjasama dalam modal dan keuntungan.65 Dalam bahasa Arabnya didapati berbagai logat harta syarikat yang isi dan tujuannya sama, yaitu: Syarikat, Syarkat dan Syirkat. Ketiga macam logat dan sebutan itu tidak berubah artinya. Para Ulama fikih membagi syirkah dalam dua bentuk, yaitu syirkah al-amlak (perserikatan dalam pemilikan) dan syirkah al-‘uqud (perserikatan berdasarkan suatu akad). 65
Tesis Yusriana, Op. Cit., hlm. 26.
47
Universitas Sumatera Utara
Syirkah al-amlak adalah dua orang atau lebih memiliki harta bersama-sama tanpa melalui akad syirkah. Syirkah ini terbagi dua bentuk, yaitu:66 1. Syirkah ikhtiyar (perserikatan dilandasi pilihan orang yang bersyarikat), yaitu perserikatan yang muncul akibat tindakan hukum orang yang berserikat, seperti dua orang yang bersepakat membeli suatu barang atau mereka menerima harta hibah, wasiat atau wakaf dari orang lain, lalu kedua orang itu menerima pemberian hibah, wasiat atau wakaf tersebut dan menjadi milik mereka secara berserikat. Dalam kasus seperti ini, harta yang dibeli bersama atau yang dihibahkan, diwakafkan atau yang diwasiatkan orang itu menjadi harta serikat bagi mereka berdua. 2. Syirkah jabr (perserikatan yang muncul secara paksa, bukan atas keinginan orang yang berserikat), yaitu sesuatu yang ditetapkan menjadi milik dua orang atau lebih tanpa kehendak dari mereka. Seperti harta warisan yang mereka terima dari seorang yang wafat. Harta warisan itu menjadi milik bersama orang-orang yang menerima warisan itu. Para ahli fikih berpendapat bahwa status harta masing-masing orang yang berserikat dalam bentuk syirkah al-amlak di atas, sesuai dengan hak masing-masing, bersifat berdiri sendiri secara hukum. Apabila masing-masing ingin bertindak hukum
66
Tesis Yusriana, Op. Cit., hlm. 28.
48
Universitas Sumatera Utara
terhadap harta serikat itu, harus ada izin dari mitranya karena seseorang tidak memiliki kekuasaan atas bagian harta orang yang menjadi mitra serikatnya.67 Syirkah al-‘uqud adalah syirkah yang akadnya disepakati dua orang atau lebih untuk mengikatkan diri dalam perserikatan modal, kerja dan keuntungan. 68 Adapun bentuk-bentuk syirkah al-uqud adalah sebagai berikut: 1. Syirkah ‘Inan yaitu dua orang atau lebih berkongsi (bersyarikat) di dalam harta yang tertentu, umpamanya bersarikat didalam membeli suatu barang dan keuntungan untuk mereka. 2. Syirkah Abdan yaitu dua orang atau lebih bersyarikat masing-masing mengerjakan suatu pekerjaan dengan tenaga dan hasilnya (upahnya) untuk mereka bersama menurut perjanjian yang mereka buat, seperti tukang kayu, tukang batu, mencari ikan di laut, berburu dan kegiatan yang seperti menghasilkan lainnya. 3. Syirkah Mufawadhah yaitu perserikatan dari dua orang atau lebih untuk melaksanakan suatu pekerjaan dengan tenaganya yang masing-masing di antara mereka mengeluarkan modal, menerima keuntungan dengan tenaga dan modalnya, masing-masing melakukan tindakan meskipun tidak diketahui oleh pihak lain. 4. Syirkah Wujuh yaitu syarikat atas tanpa pekerjaan ataupun harta, yaitu permodalan dengan dasar kepercayaan pihak lain kepada mereka. 67
A. Rahman Ritonga, Ensiklopedia Hukum Islam, Jilid 3, Ikhtiar Baru Van Hoeve, Jakarta,
hlm. 171. 68
Ibid.
49
Universitas Sumatera Utara
Terhadap pembagian harta syarikat sebagaimana tersebut di atas, dapat diungkapkan pendapat ulama fikih tentang hukum masing-masing bentuk syirkah yang termasuk dalam kategori Syirkah al-‘uqud, yaitu:69 1. Tentang Syirkah ‘Inan, ulama fikih sepakat menyatakan bahwa bentuk perserikatan ini adalah boleh. 2. Tentang Syirkah Mufawadhah, terdapat perbedaan pendapat para ulama fikih. Menurut ulama mazhab Hanafi dan Zaidiah, tidak diperbolehkan bila modal salah satu pihak lebih besar dari pada pihak lain, dan keuntungan untuk satu pihak lebih besar dari keuntungan yang diterima mitra serikatnya. Namun jika dilakukan transaksi secara musyawarah dan persetujuan para pihak maka ulama mazhab Hanafi membolehkan bentuk syirkah ini. Sedangkan ulama mazhab Maliki tidak membolehkan perserikatan ini. Ulama Mazhab Syafi’i dan Hambali tidak membolehkan perserikatan ini karena sulit untuk menentukan kesamaan modal, kerja dan keuntungan dalam perserikatan tersebut. 3. Tentang Syirkah Abdan ada perbedaan pendapat para ulama fikih, yaitu: Ulama
mazhab
Maliki,
Hanafi,
Hambali
dan
Zaidiah
berpendapat
membolehkan, hanya saja khusus mazhab Maliki mensyaratkan sifat pekerjaan itu harus sejenis, satu tempat serta hasil yang diperoleh dibagi menurut kuantitas kerja masing-masing. Sedangkan menurut mazhab Syafi’i memandang perserikatan itu tidak sah atau tidak dibolehkan karena yang 69
Tesis Yusriana, Op. Cit., hlm. 32.
50
Universitas Sumatera Utara
menjadi objek perserikatan itu adalah modal/harta bukan kerja. Sehingga ada kemungkinan terjadi unsur penipuan yang mungkin akan menimbulkan perselisihan. 4. Tentang Syirkah Wujuh, terdapat perbedaan pendapat ulama fikih. Ulama mazhab Hanafi, Hambali dan Zaidiah memandang perserikatan ini hukumnya boleh karena dalam perserikatan ini masing-masing pihak bertindak sebagai wakil dari pihak lain sehingga pihak lain itupun terikat pada transaksi yang telah dilakukan mitra serikatnya. Disamping itu, perserikatan seperti ini banyak dilakukan di berbagai wilayah Islam dan tidak ada ulama fikih yang menentangnya.
Sedangkan
mazhab
Maliki
dan
Syafi’i
berpendapat
perserikatan ini tidak diperbolehkan. Alasan mereka adalah objek perserikatan itu adalah modal dan kerja sedangkan dalam syirkah wujuh tidak demikian baik modal maupun kerja dalam perserikatan ini dalam syirkah wujuh tidak ada, bentuk kerjanya pun tak jelas. Harta bersama dalam perkawinan digolongkan dalam bentuk syirkah abdan dan syirkah mufawadhah sebagaimana yang telah dikemukakan di atas. Suatu hal yang penting untuk dicatat bahwa doktrin hukum fikih tidak ada yang membahas secara rinci tentang harta bersama suami istri dalam perkawinan. Dalam kitab-kitab fikih disebutkan hanya secara garis besarnya saja sehingga menimbulkan penafsiran yang berbeda terhadap suatu masalah yang mereka hadapi dalam kenyataannya. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena pada umumnya
51
Universitas Sumatera Utara
pengarang kitab fikih adalah orang Arab dan tidak mengenal adana adat mengenai pencarian bersama suami istri. Namun demikian Para Ulama di Indonesia ketika merumuskan Pasal 85 sampai dengan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam setuju untuk mengambil syirkah abdan sebagai landasan merumuskan kaidah-kaidah harta bersama suami istri dalam kompilasi. Para Perumus Kompilasi Hukum Islam melakukan pendekatan dari jalur syirkah abdan dengan hukum adat. Cara pendekatan yang demikian ini tidak bertentangan dengan kebolehan menjadi ‘urf sebagai sumber hukum dan sejiwa dengan kaidah yang mengajarkan al ‘adatu muhakkamah.
52
Universitas Sumatera Utara