REAKTUALISASI PEMBAGIAN HARTA BERSAMA DALAM MAZHAB SYAFII DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA Syaikhul Hakim Sekolah Tinggi Agama Islam Al Hikmah Tuban E-mail :
[email protected]
Abstract: A joint property in the perspective of the Shafi'i school of thought (madzhab) is categorized as so-called al-mal al-musytarak. When the status of ownership is indistinguishable for being mixed, the division could be conducted through a peaceful means (sulh), namely by determining the portion of each spouse and each should accept any agreement. The division of joint property in the Compilation of Islamic Law (KHI) due to both the death of a spouse or divorce should be balanced ie half portion is for the one who lived longer due to the death of a spouse and each spouse will get a half in the case of divorce. The division of joint property based on both the Syafi'i school of though and the KHI is broadly the same, namely ensuring that the division is balanced for it is a solution to reach an agreement, while the division of joint property based on the KHI constitutes a force majeure legal provision when it has been decided by a judge and is legally binding. Keywords: Division of joint property; Shafi'i school of thought, Compilation of Islamic Law
Pendahuluan Sistem hukum kewarisan Islam yang dijelaskan dalam al Qur’an memiliki hubungan yang erat dengan sistem masyarakat adat Arab pada waktu itu, sistem masyarakat Arab pada waktu itu memiliki corak patrilineal yaitu sistem hubungan kekerabatan yang memberikan peran lebih pada kelompok keluarga garis keturunan laki-laki, peran lebih yang dimiliki oleh garis keturunan laki-laki dalam masyarakat Arab dibuktikan dengan penjelasan dalam berbagai sumber, diantaranya dijelaskan dalam al Qur’an surat an nisa’ ayat 34. ِ ِ ال قَ َّو ُامو َن َعلَى الن ٍ ض ُه ْم َعلَى بَ ْع ض َوبِ َما أَنْ َف ُقوا ِم ْن أ َْم َوالِ ِه ْم ُ الر َج ِّ َ َّل اللَّهُ بَ ْع َ َ ِّساء ب َما فَض Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.1 Dalam bidang hukum keluarga Islam diantaranya disebutkan bahwa yang dapat menjadi wali nikah adalah orang tua laki-laki, saudara dan laki-laki dari kerabat terdekat 2 , yang memilik hak talak adalah laki-laki dan masih banyak lagi peran dominan yang dimiliki oleh laki dalam bidang hukum keluarga Islam, peran dominan yang dimiliki oleh garis keturunan laki-laki ini juga terdapat dalam sistem kewarisan Islam, dijelaskan bahwa bagian waris dari pewaris laki-laki adalah dua kali lipat dari pada bagian yang diterima oleh ahli waris
1
al Qur’an, 8: 34. Terjemah Departemen Agama RI (Bandung, Juma>natu al ‘Ali Art, 2004). 84 Muhammad ibn Qa>sim ibn Muhammad ibn Muhammad Abu Abd Allah shamsu al di>n al ghazy, Fathu al qari>b al Muji>b fi sharh}I al fa>z} al taqri>b (Bairut:Da>r ibn Hazm, 2005), 228 2
AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 2, Desember 2015
156
perempuan, besarnya nilai harta warisan yang diterima oleh pewaris laki-laki diimbangi dengan kewajiban-kewajiban yang dibebankan pada pihak laki-laki diantanya : Suami disamping memiliki kewajian memberi nafkah pada istrinya juga berkewajiban mensejahterakan istrinya baik dalam hal tempat tinggal, pakaian, makanan, bahkan suami diharuskan menyewa pembantu bila istrinya termasuk perempuan yang biasa dilayani pembantu saat masih bersama orang tuanya 3 Laki-laki disamping berkewajiban memberi nafkah pada istrinya juga memiliki kewajiban untuk menafkahi keluarga terdekatnya yang tidak mampu, seperti orang tua, kakek, saudara. Konsep hukum kewarisan Islam yang dipengaruhi oleh kultur masyarakat Arab yang bercorak patrilineal tentu tidak mudah untuk diterapkan secara menyeluruh dalam suatu tatanan masyarakat yang memiliki sistem dan corak yang berbeda, di Indonesia sebelum munculnya kompilasi hukum Islam (KHI) telah hidup dan berkembang sebuah sistem waris adat yang telah dipraktekkan oleh masyarakat secara turun temurun, sistem waris adat yang ada di Indonesia memiliki corak yang beragam sesuai dengan faktor geografis dam kultur adat yang berkembang dalam suatu masyarakat. Sistem hubungan kekrabatan yang ada di Indonesia secara garis besar dibagi menjadi tiga yaitu : masyarakat yang memiliki sistem kekerabatan patrilineal, seperti masyarakat Batak, Lampung, Nias dan Bali, masyarakat yang memiliki sistem kekerabatan matrilineal, seperti masyarakat Minangkabau, Kerinci, Semendo Sumatra selatan, masyarakat yang memiliki sistem kekrabatan bilateral, seperti masyarakat Bugis, Dayak, dan Jawa.4 Keberagaman bentuk hubungan kekerabatan yang ada dalam masyarakat Indonesia tentu tidak bisa dinafikan keberadaannya, dan memaksakan sistem hukum kewarisan Islam yang dipengaruhi oleh kultur Arab secara menyeluruh tanpa mempertimbangkan kultur yang hidup dan berkembang dalam suatu masyarakat, diantara kultur yang berkembang dalam masyarakat Indonesia terutama masyarakat yang bercorak bilateral adalah adanya harta bersama. Munculnya harta bersama dalam sebuah ikatan perkawinan disebabkan oleh tradisi dalam masyarakat yang memiliki corak bilateral, dalam masyarakat bilateral harta kekayaan yang dihasilkan oleh suami maupun istri dicampur menjadi satu tanpa membedakan kekayaan tersebut hasil kerja suami atau hasil kerja istri, pencampuran kekayaan yang terjadi antara suami dan istri memang memiliki sisi positif diantaranya menciptakan hubungan yang harmonis dalam suatu keluarga, namun hal tersebut dapat menjadi sebab timbulnya persengketaan antara ahli waris yang ada bila salah satu dari suami atau istri meniggal dunia. Sengketa waris terjadi karena pemahaman ahli waris tentang hukum waris Islam kurang mencukupi, sehingga ada pihak-pihak tetentu dari ahli waris yang merasa berhak mendapatkan bagian lebih dari harta peninggalan yang ada, disamping itu sudah menjadi watak manusia, khususnya dalam hal menerima warisan untuk mendapat bagian sebanyakbanyaknya, oleh karena itu perlu kiranya memberikan pemahaman pada ahli waris yang ada dan pada khalayak umum bagaimana cara membagi harta bersama yang baik dan benar agar pihak-pihak yang menjadi ahli waris dapat menerima haknya sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan ketentuan hukum yang berlaku.
3
Shamsu al di>n Muhammad Ibn Ahmad al khot}i>b al sharbiny, Mughny al muhtaj (Bairut:Da>r al kutub al ‘ilmiyah, 1994), jild 5, 161. 4 Djamanat samomir, Hukum adat Indonesia (Bandung: Nuansa Aulia, 2013), 273.
AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 2, Desember 2015
157
Pembahasan tentang harta bersama dalam KHI hanya dibahas sekilas,yaitudalam pasal 85 sampai dengan pasal 97, dalam pasal-pasal tersebut terdapat dua pasal yang menjelaskan metode pembagian harta bersama. yaitu pasal 96 dan 97 KHI, dengan redaksi sebagai berikut “apabila terjadai cerai mati, maka separo harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama”. “Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”. Ketentuan dua pasal tersebut memberikan gambaran metode pembagian harta bersama, yaitu untuk putusnya perkawinan akibat cerai mati harta bersama dibagi menjadi dua, separuh dari harta bersama diberikan pada pasangan yang hidup lebih lama, sedangkan putusnya perkawianan akibat terjadi cerai hidup masing-masing pihak mendapat bagian seperdua sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.Metode pembagian harta bersama yang telah dijelaskan dalam ketentuan pasal 96 dan 97 KHI dikuatkan dengan putusan peradilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, diantara putusan peradilan tersebut adalah putusan Pengadilan Jepara, dengan nomor putusan :1326/Pst.G/2010/PA.Jpr. Ketentaun dalam pasal 96 diatas tampaknya sedikit kontradiksidengan hukum waris Islam dalam al Qur’an, dimana dalam ketentuan hukum waris Islam seorang suami ataupun istri tidak dapat langsung dipastikan mendapat bagian separo dari harta peninggalan, akan tetapi seorang suami atau istri bisa mendapatkan bagaian separo dari harta peninggalan kalau suami atau istri tersebut tidak memiliki anak. Ketentuan pasal 96 KHI bila dikaitkan dengan kehidupan suami istri dimasa modern tentu akan lebih kompleks lagi, dimana dalam kehidupan rumah tangga modern banyak sekali istri menjadi wanita karir yang terkadang penghasilannya melebihi penghasilan yang dimiliki oleh suami. Bila ketentuan pasal 96 KHI diberlakukan secara universal tanpa melihat kontribusi istri dalam menghasilkan harta kekayaan dalam suatu rumah tangga tentu ketentuan ini akan banyak merugikan pihak istri dan ahli warisnya bila yang meninggal dalam rumah tangga tersebut adalah istri, karena separo dari harta bersama secara langsung akan menjadi milik suami, sedangkan bila dihitung dengan teliti sebenarnya harta tersebut merupakan harta yang berasal dari hasil kerja istri, yang pada dasarnya harta tersebut menjadi harta peninggalan yang harus dibagikan pada ahli waris yang ada sesuai dengan hak-hak yang mereka miliki. Metode pembagian harta bersama juga tidak dibahas dengan jelas baik dalam Al Qur’an maupun dalam literatur kitab-kitab klasik, hal ini disebabkan oleh kultur bangsa arab yang tidak mengenal adanya pencampuran harta kekayaan yang diperoleh suami maupun istri. Dalam kultur bangsa arab, harta yang diperoleh dari hasil kerja suami maupun istri tidak dijadikan satu akan tetapi disendirikan. Konsekwensi dari tidak dicampurnya harta kekayaan yang diperoleh oleh suami dengan harta kekayaan istri diimbangi dengan kewajiban memberi nafkah pada istri sesuai kemampuan suami dihitung tiap hari, perhitungan pemberian nafkah pada istri adalah kewajiban yang tidak dapat ditawar selama istri masih taat pada suaminya, sehingga apabila suatu saat suami tidak memberi nafkah pada istrinya, maka hal tersebut dihitung sebagai hutang yang harus dibayar ketika telah mampu membayar. Berdasarkan penjelasan diatas, perlu kiranya melakukan upaya reaktualisasi pembagian harta bersama yang sering terjadi di masyarakat Indonesia, hal ini perlu dilakukan untuk mendapatkan formulasi pembagian harta bersama yang sesuai dengan perkembangan hukum keluarga Islam dan mampu memberikan keadilan secara universal baik pihak suami maupun istri serta ahli waris yang lain sesuai dengan hak-hak yang seharusnya didapatkan. AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 2, Desember 2015
158
Macam-macam Harta dalam Perkawinan Macam-macam harta dalam perkawinan, menurut pasal 35 Undang-undang no.1 Tahun 1974 tentang perkawinan dijelaskan sebagai berikut : 1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. 2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri yang selanjutnya dikenal dengan istilah harta bawaan. 3. Harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Harta ini dikenal dengan istilah harta perolehan. Menurut Sayuti Thalib, harta suami isteri itu dapat digolongkan menjadi beberapa macam sebagai berikut :5 1. Dilihat dari sudut asal usulnya, harta suami isteri itu dapat digolongkan menjadi tiga golongan, yaitu: a. Harta bawaan, yaitu harta masing-masing suami isteri yang telah mereka miliki sebelum mereka kawin baik berasal dari warisan, hibah atau usaha mereka sendiri. b. Harta masing-masing suami isteri yang diperoleh setelah menikah, yaitu yang diperoleh dari warisan, hibah atau wasiat untuk masing-masing suami atau isteri dan bukan diperoleh dari usaha mereka baik perorangan maupun bersama-sama. c. Harta pencaharian, yaitu harta yang diperoleh suami isteri setelah mereka berada dalam hubungan perkawinan dengan jalan usaha mereka baik sendiri, perorangan maupun secara bersama-sama. 2. Dilihat dari sudut hubungan harta dengan perorangan dalam masyarakat, maka harta itu akan berupa : a. Harta milik bersama. b. Harta milik seseorang tetapi terikat kepada keluarga. c. Harta milik seseorang dan pemilikan dengan tegas oleh yang bersangkutan atau disebut juga dengan harta milik pribadi. Sedangkan menurut M. Idris Ramulyo, macam-macam harta suami isteri yang lazim dikenal di Indonesia antara lain :6 1. Harta yang diperoleh masing-masing suami isteri sebelum perkawinan melalui usaha mereka masing-masing. Harta seperti itu di Bali disebut Guna Kaya. Di Sumatera Selatan disebut harta pembujang bila diperoleh oleh perawan (gadis). Menurut UU No. 1 tahun 1974 harta tersebut dikuasai masing-masing pihak yang memilikinya. 2. Harta yang diperoleh pasangan suami isteri yang diberikan oleh keluarga atau orang tua untuk mereka berdua pada saat mereka menikah. Harta tersebut bisa berupa modal usaha, perabotan rumah tangga atau tempat tinggal. Seumpama terjadi perceraian maka harta tersebut kembali kepada keluarga atau orang tua yang memberikan. Di Minangkabau harta ini dikenal dengan istilah Harta Asal. 3. Harta yang diperoleh oleh masing-masing suami isteri dalam masa perkawinan melalui hibah, wasiat maupun dari orang tua atau keluarga terdekat. Harta semacam ini di Jawa 5
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia (Jakarta: Universitas Indonesia, 1986), 83 M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), 28-29 6
AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 2, Desember 2015
159
Tengah, Jawa Timur dan Yogyakarta dikenal dengan nama harta Gawan, di Jakarta disebut Barang Usaha, di Banten disebut Barang Sulu, di Jawa Barat disebut Barang Benda atau Barang Asal atau Barang Pusaka. 4. Harta yang diperoleh masing-masing suami isteri dalam masa perkawinan melalui usaha mereka berdua atau dari usaha salah satu dari mereka. Harta tersebut disebut harta pencaharian. Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 harta tersebut menjadi harta bersama suami isteri. Harta jenis ini di Aceh disebut Haraueta Sihareukat, di Bali disebut Druwegabro, di Jawa disebut harta Gono-Gini. Berdasarkan urain diatas, harta benda dalam perkawinan bila ditinjau dari asal usulnya secara garis besar dibagi menjadi tiga macam, yaitu : 1. Harta Bersama Sebagaimana telah dijelaskan, harta bersama dalam perkawinan adalah “harta benda yang diperoleh selama perkawinan”. Suami dan istri mempunyai hak dan kewajiban yang sama atas harta bersama. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang HAM pasal 51: a. Seseorang istri selama dalam ikatan perkawinan mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan kehidupan perkawinannya, hubungan dengan anakanaknya, dan hak pemilikan sertta pengelolaan harta bersama. b. Setelah putusnya perkawinan, seseorang wanita mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama baik mengenai harta bersama ataupun mengenai anak-anaknya, dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak. Setelah putusnya perkawinan, seseorang wanita mempunyai hak yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan harta bersama tanpa mengurangi hak anak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.Harta yang dihasilkan bersama oleh suami istri selama masa perkawinan dikuasai bersama suami istri.Sesuai namanya yakni harta bersama suami istri, maka selama mereka masih terikat dalam perkawinan harta itu tidak dapat dibagi.Harta itu sama-sama mereka manfaatkan hasilnya dan dibagi apabila mereka bercerai, baik cerai hidup atau cerai mati.7 2. Harta Bawaan Harta bawaan adalah “harta benda milik masing-masing suami istri yang diperoleh sebelum terjadinya perkawinan atau yang diperoleh sebagai warisan atau hadiah”. 8 Tentang macam harta ini, KHI pasal 87 ayat (1) mengatur, “harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawianan”.9 Harta bawaan bukan termasuk dalam klasifikasi harta bersama.Suami atau istri berhak mempergunakan harta bawaannya masing-masing dan juga dapat melakukan perbuatan hukum terhadapnya.Sebagai Dasar hukumnya adalah undang-undang perkawinan pasal 36 ayat (2), yang mengatakan bahwa, “megenai harta bawaan masingmasing suami atau istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hokum 7
Setiawan Budi Utomo, Fiqh Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer, (Jakarta: gema insani, 2003), 127 Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Saat Terjadinya Perceraian, (Jakarta: Visi Media, 2008), 15 9 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, 135 8
AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 2, Desember 2015
160
mengenai harta bendanya”.Hal senada juga dinyatakan dalah KHI pasal 87 ayat (2), “suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sedekah, atau lainnya”. Artinya berdasarkan ketentuan ini, harta bawaan yang dimiliki secara pribadi oleh masing-masing pasangan tidak bisa diotak-atik oleh pasangan yang lain. Harta bawaan bisa saja menjadi harta bersama jika sepasang pengantin menentukan hal demikian dalam perjanjian perkawinan yang mereka buat. Atau dengan kata lain, perjajian perkawinan yang mereka sepakati menentukan adanya peleburan (persatuan) antar harta bawaan dengan harta bersama.10 3. Harta Perolehan Harta perolehan adalah “harta benda yang hanya dimiliki secara pribadi oleh masingmasing pasangan (suami istri) setelah terjadinya ikatan perkawinan”. Harta ini umumnya berbentuk hibah, hadiah, dan sedekah.Harta ini tidak diperoleh melalui usaha bersama mereka berdua selama terjadinya perkawinan.Bedanya dengan harta bawaan yang diperoleh sebelum masa perkawinan, tetapi harta macam ini diperoleh setelah masa perkawinan. Sebagaimana halnya harta bawaan, harta ini juga menjadi milik pribadi masingmasing pasangan, baik suami maupun istri, sepanjang tidak ditentukan lain dalam pertjajian perkawinan. Dasarnya adalah KHI pasal 87 ayat (2), “suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sedekah atau lainnya”. Harta perolehan sama dengn harta bawaan, keduanya bukan merupakan obyek dari harta bersama, yang hanya disebut dengan harta perolehan adalah harta milik masingmasing suami istri setelah menikah, tetapi bukan diperoleh dari usaha bersama atau usaha masing-masing. Dalam kedudukannya sebagai modal kekayaan untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga suami, maka harta perkawinan itu dapat digolongkan menjadi empat macam, yaitu: a. Harta yang diperoleh atau dikuasai suami atau istri sebelum perkawinan yaitu harta bawaan. b. Harta yang diperoleh atau dikuasai suami istri bersama-sama selama perkawianan yaitu harta pencaharian. c. Harta yang diperoleh atau dikuasai suami atau istri secara perseorangan sebelum atau sesudah perkawinan yaitu harta penghasilan. d. Harta yang diperoleh suami istri bersama ketika upacara perkawinan sebagai hadiah yang kita sebut hadiah perkawinan. Pengertian Harta Bersama Harta bersama merupakan salah satu macam dari sekian banyak harta yang dimiliki seseorang.Dalam kehidupan sehari-hari harta mempunyai arti penting bagi seseorang, karena dengan memiliki harta dia dapat memenuhi kebutuhan hidup secara wajar dan memperoleh status sosial yang baik dalam masyarakat.Arti penting tersebut tidak hanya dalam segi kegunaan (aspek ekonomi) melainkan juga dari segi keteraturannya, namun secara hukum
10
Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Saat Terjadinya Perceraian, 15
AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 2, Desember 2015
161
banyak orang yangbelum memahami aturan hukum yang mengatur tentang harta, apalagi harta yang didapat oleh suami istri dalam perkawinan. Kurangnya pengetahuan mengenai ketentuan hukum yang mengatur tentang harta bersama dapat menyulitkan untuk memfungsikan harta bersama tersebut secara benar. Oleh karena itu, terlebih dahulu dikemukakan beberapa pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan harta bersama. Secara bahasa, harta bersama adalah dua kata yang terdiri dari kata “harta” dan “bersama”.Menurut bahasa “harta” adalah barang-barang, uang dan sebagainya yang merupakan kekayaan.Atau bisa juga disebut barang-barang milik seseorang, kekayaan berwujud dan tidak berwujud yang bernilai. 11 Harta bersama berarti harta yang digunakan (dimanfaatkan) bersama-sama. Dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan, mengenaiharta bersama telah dijelaskan dalam Bab VII pasal 35 sampai dengan pasal 37.Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, harta barsama itu diaturdalam Bab I pasal 1 huruf (f) dan Bab XIII pasal 85 sampai dengan pasal 97.Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 35 dinyatakan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, sedangkan harta bawaan dari masing-masing suami istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.12 Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia pasal 1 huruf (f)menyebutkan, bahwa yang dimaksud dengan harta kekayaan dalam perkawinanatau syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suamiisteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung dan selanjutnya disebutharta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa pun.13 Abdul Kadir Muhammad, dalam bukunya hukum harta kekayaan menyatakan bahwa: “Konsep harta bersama yang merupakan harta kekayaan dapat ditinjau dari segi ekonomi dan dari segi hukum, walaupun keduanya tinjauan itu berbeda, keduanya ada hubungan satu sama lain. Tinjauan dari segi ekonomi menitikberatkan pada nilai kegunaan, sebaliknya tinjauan dari segi hukum menitik beratkan pada aturan hukum yang mengatur”. 14 Menurut Abdul Manan, bahwa “harta bersama adalah harta yang didapat/diperoleh selama ikatan perkawinan berlangsung dan tanpa mempersoalkan terdaftar atau nama siapa.”15 Memperhatikan beberapa pendapat dan analisis di atas bahwa harta bersama adalah harta yang didapat atau diperoleh selama perkawinan. Harta tersebut akan menjadi harta bersama jika tidak ada perjanjian mengenai status harta tersebut sebelum ada pada saat dilangsungkan perkawinan, kecuali harta yang didapat itu diperoleh dari hadiah atau warisan, atau bawaan dari masing-masing suami istri yang dimiliki sebelum dilangsungkan perkawinana
11
Desy Anwar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Terbaru Dilengkapi Pedoman Umum Ejaan yang Disempurnakan, (Surabaya: Amalia, Cet. 1, 2003), 169 12 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, Cet. 6, 1995), 155 13 UU Perkawinan Indonesia 2007, 175 14 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Harta Kekayaan, (Bandung, PT Citra Aditya, 1994), 9. 15 Abdul Manan , “Beberapa Masalah Tentang Harta Bersama”. Mimbar Hukum, no.33, tahun VII, 1997, 59.
AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 2, Desember 2015
162
sebagaimana dijelaskan di atas seperti yang tercantum pada pasal 35 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Terbentuknya Harta Bersama Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 telah menegaskan harta benda yang diperoleh selama perkawinan adalah hartabersama, ketentuan dalam pasal ini memberikan pengertian bahwa harta bersama itu terbentuk sejaktanggal terjadinya perkawinan sampai perkawinan itu putus. Ketentuan tentang satu barang atau benda masuk kedalam hartapersatuan atau tidak ditentukan oleh faktor selama perkawinan antarasuami dan istri berlangsung, barang menjadi harta bersama kecuali hartayang diperoleh berupa warisan, wasiat dan hibah oleh satu pihak, harta inimenjadi harta pribadi yang menerimanya. Pasal 1 sub f jo Pasal 85 Kompilasi Hukum Islam menyebutkanbahwa harta bersama adalah harta yang diperoleh sepanjang perkawinan,baik benda itu terdaftar atas nama suami ataupun sebaliknya atas namaistri. Akan tetapi akan menjadi barang pribadi apabila harta yangdipergunakan untuk membeli benda tersebut mengunakan harta pribadisuami atau istri dengan kata lain harta yang dibeli dengan harta yangberasal dari barang pribadi adalah milik pribadi. Bisa juga terjadi suami istri memiliki harta bersama setelah terjadiperceraian, dengan ketentuan bahwa uang yang dipergunakan untuk membeli benda itu berasal dari atau harta bersama semasa perkawinanterdahulu, sehingga ini juga akan tetap dibagi sama banyak. Macam-macam Harta Bersama Kompilasi Hukum Islam Pasal 91 menyatakan bahwa wujud hartabersama itu antara lain: 1. Harta bersama sebagai tersebut dalam Pasal 85 dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud. 2. Harta Bersama yang berwujud dapat meliputi benda bergerak, tidak bergerak dan suratsurat berharga lainnya. 3. Harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak maupun kewajiban. 4. Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lain. Menurut ketentuan dalam pasal 100 dan pasal 121 persatuan harta kekayaan meliputi: “harta kekayaan suami dan istri, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, yang sekarang maupun yang kemudian, termasuk juga yang diperoleh dengan cuma-cuma (warisan, hibah); segala beban suami dan istri yang berupa hutang suami dan istri, baik sebelum maupun sepanjang perkawinan”. Memperhatikan pasal 91 KHI di atas bahwa yang dianggap harta bersama adalah berupa benda milik suami istri yang mempunyai nilai ekonomi dan nilai hukum, yaitu mempunyai nilai kegunaan dan ada aturan hukum yang mengatur.Harta bersama dapat berupa benda berwujud yang meliputi benda bergerak dan tidak bergerak serta harta bersama dapat berbentuk surat-surat berharga dan harta bersama dapat berupa benda tidak berwujud berupa hak dan kewajiban.
AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 2, Desember 2015
163
Ruang Lingkup Harta Bersama Ruang lingkup harta bersama, mencoba memberi penjelasan bagaimana cara menentukan, apakah suatu harta termasuk atau tidak sebagai obyek harta bersama antara suami istri dalam perkawinan. Memang benar, baik pasal 35 ayat (1), Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 maupun dalam Kompilasi Hukum Islam telah menentukan segala harta yang diperoleh selama perkawinan dengan sendirinya menurut hukum menjadi harta bersama. Gambaran ruang lingkup harta bersama dalam suatu perkawinan, diantaranya adalah sebagai berikut16 1. Harta Yang Dibeli Selama Perkawinan Patokan pertama untuk menentukan apakah suatu barang termasuk obyek harta bersama atau tidak, ditentukan pada saat pembelian. Setiap barang yang dibeli selama perkawinan, harta tersebut menjadi obyek harta bersama suami istri tanpa mempersoalkan apakah suami atau istri yang membeli, apakah harta tersebut terdaftar atas nama suami atau istri dimana harta tersebut terletak. Apa saja yang dibeli selama perkawinan berlangsung otomatis menjadi harta bersama. Tidak menjadi soal siapa dianatara suami istri yang membeli. Juga tidak menjadi masalah atas nama suami atau istri harta tersebut terdaftar. Juga tidak peduli apakah harta itu terletak dimanapun.Yang penting, harta tersebut dibeli dalam masa perkawinan, dengan sendirinya menurut hukum menjadi obyek harta bersama.17 Lain halnya jika uang yang digunakan untuk membeli barang tersebut berasal dari harta pribadi suami atau istri, jika uang pembelian barang tersebut secara murni berasal dari harta pribadi, barang yang dibeli tidak termasuk obyek harta bersama.Harta yang seperti itu tetap menjadi miliki pribadi suami atau istri. 2. Harta Yang Dibeli Dan Dibangun Sesudah Perceraian Yang Dibiayai Dari Harta Bersama Patokan untuk menentukan sesuatu barang termasuk obyek harta bersama, ditentukan oleh asal usul uang biaya pembelian atau pembangunan barang yang bersangkutan, meskipun barang itu dibeli atau dibangun sesudah terjadi perceraian. 18 Misalnya suami istri selama perkawinan berlangsung mempunyai harta dan uang simpanan, kemudian terjadi perceraian.Semua harta dan uang simpanan dikuasai suami dan belum dilakukan pembagian.Dari uang simpanan tersebut suami membeli atau membangun rumah.Dalam kasus yang seperti ini, rumah yang dibeli atau dibangun oleh suami sesudah terjadi perceraian, namun jika uang pembelian atau biaya pembangunan berasal dari harta bersama, maka barang hasil pembelian atau pembangunan yang demikian tetap masuk kedalam obyek harta bersama. 3. Harta Yang Dapat Dibuktikan Dan Diperoleh Selama Perkawinan Patokan ini sejalan dengan kaidah hukum harta bersama.Semua harta yang diperoleh selama perkawinan dengan sendirinya menjadi harta bersama.Namun kita sadar bahwa dalam sengketa perkara harta bersama, tidak semulus dan sesederhana itu.Pada umumnya, pada setiap perkara harta bersama, pihak yang digugat selalu mengajukan bantahan bahwa harta yang digugat bukan harta bersama, tetapi harta pribadi.Hak pemilikan tergugat bisa dialihkannya berdasarkan atas hak pembelian, warisan atau hibah.Apabila tergugat mengajukan dalih yang seperti itu, patokan untuk menentukan apakah suatu barang termasuk 16
Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), 275278 17 Ibid., 275 18 Ibid., 275
AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 2, Desember 2015
164
harta bersama atau tidak, ditentukan oleh kemampuan dan keberhasilan penggugat membuktikan bahwa harta-harta yang digugat benar-benar diperoleh selama perkawinan berlangsung, dan uang pembeliannya tidak berasal dari uang pribadi.19 4. Penghasilan Harta Bersama Dan Harta Bawaan Penghasilan yang tumbuh dari harta bersama atau berasal dari harta bersama akan menjadi harta bersama. Akan tetapi, bukan hanya yang tumbuh dari harta bersama yang jatuh menjadi obyek harta bersama diantara suami istri, namun juga termasuk penghasilan yang tumbuh dari harta pribadi suami istri akan jatuh menjadi obyek harta bersama. 20 Dengan demikian, fungsi harta pribadi dalam perkawinan, ikut menopang dan meningkatkan kesejahteraan keluarga.Sekalipun hak dan kepemilikan harta pribadi mutlak berada di bawah kekuasaan pemiliknya, namun harta pribadi tidak terlepas dari fungsinya dan dari kepentingan keluarga.Barang pokoknya memang tidak diganggu gugat, tapi hasil yang tumbuh dari padanya jatuh menjadi obyek harta bersama. Ketentuan ini berlaku sepanjang suami istri tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Jika dalm perjanjian perkawinan tidak diatur mengenai hasil yang timbul dari harta pribadi seluruh hasil yang diperoleh dari harta pribadi suami istri jatuh menjadi harta bersama.Misalnya rumah yang dibeli dari harta pribadi, bukan jatuh menjadi harta pribadi, tetapi jatuh menjadi harta bersama.Oleh karena itu, harus dibedakan harta yang dibeli dari hasil penjualan harta pribadi dengan harta yeng diperoleh dari hasil yang timbul dari harta pribadi.Dalam hal harta yang dibeli dari hasil penjualan harta pribadi, tetapi secara mutlak menjadi harta pribadi.21 5. Segala Penghasilan Pribadi Suami Istri Segala penghasilan suami atau istri, baik yang diperoleh dari keuntungan melalui perdagangan masing-masing ataupun hasil perolehan masing-masing pribadi sebagai pegawai menjadi yurisdiksi harta bersama suami atau istri. Jadi sepanjang mengenai penghasilan pribadi suami atau istri tidak terjadi pemisahan, maka dengan sendirinya terjadi penggabungan ke dalam harta bersama. Penggabungan penghasilan pribadi suami atau istri ini terjadi demi hukum, sepanjang suami atau istri tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Tinjauan Yuridis Harta Bersama dalam Hukum Islam dan Hukum Positif 1. Harta Bersama Dalam Hukum Islam Baik dalam Al-qur,an maupun Al-hadist tidak dibicarakan tentang harta bersama, akan tetapi dalam kitab-kitab fiqih ada pembahasan yang dapat diartikan sebagai pembahasan tentang harta bersama, yaitu yang disebut Syirkah atau Syarikah. Dalam Al-qur’an yang dapat diartikan berhubungan dengan harta bersama diantaranya adalah Firman Allah SWT dalam surat an-Nisa’ ayat 32:
ِ ِ َصيب ِم َّما ا ْكتَسبوا ولِلنِّس ِاء ن ِ ِ لرج صيبٌ ِم َّما ا ْكتَ َسبْ َن َ ِّ ل ٌ َال ن َ َ َُ
19
Ibid., 277 Ibid., 277 21 Ibid., 278 20
AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 2, Desember 2015
165
Bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan22. Ayat tersebut bersifat umum dan tidak hanya ditujukan terhadap suami atau istri, melainkan semua pria dan wanita.Jika mereka berusaha dalam kehidupannya sehari-hari, maka hasil usaha mereka itu merupakan harta pribadi yang dimiliki dan dikuasai oleh pribadi masing-masing.Untuk hukum waris ayat tersebut mengandung pengertian bahwa setiap pria atau wanita mempunyai hak untuk mendapat bagian harta warisan yang ditinggalkan atau diberikan orang tua.23 Pandangan hukum Islam yang memisahkan harta kekayaan suami istri sebenarnya memudahkan pemisahan mana yang termasuk harta suami dan mana yang termasuk harta istri, mana harta bawaan suami dan mana harta bawaan istri sebelum terjadinya perkawinan, mana harta suami atau istri yang diperoleh secara sendiri-sendiri selama perkawinan, serta mana harta bersama yang diperoleh secara bersama selama terjadinya perkawinan. Pemisahan harta tersebut akan sangat berguna dalam pemisahan antara harta suami atau harta istri jika terjadi perceraian dalam perkawinan mereka. Hukum Islam juga berpendirian bahwa harta yang diperoleh suami selama perkawinan menjadi hak suami, sedangkan istri hanya berhak terhadap nafkah yang diberikan suami kepadanya. 24 Namun, al-Qur’an dan hadis tidak memberikan ketentuan yang tegas bahwa harta benda yang diperoleh suami selama berlangsungnya perkawinan sepenuhnya menjadi hak suami, dan istri hanya terbatas atas nafkah yang diberikan suaminya.Bagaimana dengan posisi harta bersama menurut Islam? Berikut ini akan dikemukakan pemetaan pandangan hukum Islam tentang harta bersama. Muhammah Idris Ramulyo dalam bukunya yang berjudul “Hukum Perkawinan Hukum Kewarisan, Hukum Peradilan Agama, Dan Zakat Menurut Hukum Islam”, membagi pandangan hukum Islam tentang harta bersama kedalam dua kelompok sebagai berikut:25 a. Kelompok yang memandang tidak adanya harta bersama dalam lembaga Islam kecuali dengan konsep syirkah Pandangan ini tidak mengenal percampuran harta kekayaan antara suami dan istri karena perkawinan.Harta kekayaan istri tetap menjadi milik istri dan dikuasai sepenuhnya, demikian pula harta suami tetap menjadi milik suami dan dikuasai sepenuhnya.Dalam pandangan kelompok ini, istri tetap dianggap cakap bertindak meskipun tanpa bantuan suaminya dalam soal apapun, termasuk dalam hal mengurus harta benda sehingga dianggap bahwa istri dapat melakukan segala perbuatan hukum dalam kehidupan masyarakat. Kelompok ini memandang bahwa suami tidak berhak atas harta istrinya karena kekuasaan istri terhadap harta adalah tetap dan tidak berkurang sedikitpun, meskipun mereka berdua diikat dalam hubungan perkawinan.Oleh karenanya, suami tidak boleh mempergunakan harta istri untuk keperluan belanja rumah tangga kecuali mendapat izin dari istrinya.Bahkan, menurut kelompok ini jika suami mempergunakan harta istri tanpa 22
al Qur’an, 8: 34. Terjemah Departemen Agama RI, 83. Hilman hadi kusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, (Bandung: Mandar Maju, 2007), 117. 24 Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Saat Terjadinya Perceraian (Jakarta: Visi Media, 2008), 52. 25 Moh. Idris Ramulyo Hukum Perkawinan Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama Dan Zakat Menurut Hukum Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 1999), 29. 23
AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 2, Desember 2015
166
persetujuan darinya maka harta itu menjadi hutang suami yang wajib dibayarkan kepada istri kecuali jika istrinnya itu bersedia membebaskan tanggungan itu. Meskipun demikian kelompok ini memandang bahwa dalam hubungan perkawinan istri menjadi “syarikatur rajuly fil hayati”, yaitu kongsi sekutu bagi suami dalam menjalani bahtera hidup.Artinya hubungan suami istri merupakan suatu bentuk syirkah (kongsi, kerjasama, persekutuan).26 Harta kekayaan suami dan istri bisa bersatu (harta bersama) karena adanya pengertaian syirkah semacam itu, harta itu seakan-akan dianggapsebagai harta tambahan karena usaha bersama suami istri selama masa perkawinan mereka.Jika terjadi perceraian, harta syirkah ini dibagi antara suami istri menurut pertimbangan siapa diantara mereka yang lebih banyak yang berinvestasi. b. Kelompok Yang Memandang Adanya Harta Bersama Dalam Hukum Islam Disamping mengetahui ketentuan yang berlaku dalam undang-undang perkawinan bahwa harta bersama itu diakui dan diatur dalam hukum posistif.Kelompok ini juga memandangan ketentuan tentang harta bersama itu sesuai dengan kehendak dan aspirasi hukum Islam.Harta bersama yang dimaksud adalah harta yang diperoleh pasangan suami istri setelah hubungan perkawinan mereka berlangsung dan atas usaha mereka berdua atau usaha salah seorang dari mereka. Sekali mereka itu terikat dalam perjanjian perkawinan sebagai suami istri maka semuanya menjadi satu baik harta maupun anak-anak. Sebagaimana yang datur oleh alQur’an surat an-Nisa’ ayat 21 yang menyebutkan perkawinan sebagai suatu ikatan perkawinan yang suci, kuat dan kokoh (mitsaqah ghalidhan), artinya perkawinan yang dilakukan melalui ijab Kabul dan memenuhi syarat serta rukun perkawinan lainnya seperti wali, saksi, mahar, dan I’lanun nikah (pemberitahuan perkawinan) sudah merupakan syirkah antara suami dan istri. Oleh karena itu, hal-hal yang berkenaan dengn hubungan perkawinan mereka termasuk masalah harta benda menjadi milik bersama.27 Berdasarkan dua pemetaan pandangan tersebut, sesungguhnya harta bersama bisa ditelusuri dalam hukum Islam, baik itu melalui konsep syirkah maupun berdasarkan kehendak atau aspirasi hukum Islam itu sendiri. 2. Harta Bersama Dalam Hukum Perdata Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga mengatur masalah harta bersama dalam perkawinan.Pasal 119 KUHPerdata menyatakan bahwa: ”Mulai saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan isteri, sekedar mengenai itu dengan perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan lain. Persatuan itu sepanjang perkawinan tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan sesuatu persetujuan antara suami dan istri”28. Penyatuan harta ini sah dan tidak bisa diganggu gugat selama perkawinan tidak berakhir akibat perceraian atau kematian. Namun, kalau pasangan suami isteri sepakat untuk tidak menyatukan harta kekayaan mereka, mereka dapat membuat perjanjian di depan notaris sebelum perkawinan dilangsungkan, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 139-154
26
Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini, 54 M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), hal. 232 28 R. Subekti, R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Jakarta, Pradnya Paramita, 1980),47. 27
AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 2, Desember 2015
167
KUHPerdata29. Adapun berkaitan dengan pembagian harta bersama, Pasal 128 KUHPerdata menetapkan bahwa kekayaan-bersama mereka dibagi dua antara suami dan isteri, atau antara para ahli waris mereka, tanpa mempersoalkan dari pihak mana asal barang-barang itu30. Perjanjian sebagaimana tersebut di atas harus dilaksanakan sebelum perkawinan dilangsungkan dan dibuat dalam bentuk akta otentik di muka notaris.Akta otentik ini sangat penting, karena dapat dijadikan bukti dalam persidangan pengadilan apabila terjadi sengketa tentang harta bawaan masing-masing suami istri.Jika tidak ada perjanjian kawin yang dibuat sebelum perkawinan dilaksanakan, maka terjadi pembaharuan semua harta suami dan istri dan harta suami istri dianggap harta bersama. Dalam Pasal 128-129 KUHPerdata dinyatakan bahwa apabila putus tali perkawinan antara suami istri, maka harta bersama itu dibagi antara suami istri tanpa memperhatikan dari pihak mana barang-barang kekayaan itu sebelumnya diperoleh.Perjanjian perkawinan dibenarkan oleh peraturan perUndang-Undangan sepanjang tidak menyalahi tata susila dan ketentuan umum yang berlaku dalam kehidupan masyarakat. Sepanjang tidak diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam terutama menyangkut tentang perjanjian maka berlaku KUHPerdata.Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa dalam KUHPerdata dikatakan, mulai saat perkawinan dilangsungkan secara hukum berlakulah kesatuan bulat antara harta kekayaan suami istri.Persatuan itu sepanjang perkawinan, tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan suami antara suami istri.Jika dimaksud mengadakan penyimpangan dari ketentuan itu, suami istri itu harus menempuh jalan dengan perjanjian kawin yang diatur dalam pasal 139-154 KUHPerdata. 3. Harta Bersama Menurut Undang-undang No 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 maka perjanjian yang dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan sebagaimana tertuang dalam pasal 29 ayat (1) Undangundang nomor 1 tahu 1974 tentang perkawinan. Menurut Pasal 35-37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.Harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di dibawah pengawasan masing-masing suami istri sepanjang para pihak tidak menentukan lain.suami atau istri dapat bertindak untuk berbuat sesuatu atas harta bersama itu atas persetujuan kedua belah pihak.Suami atau istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bersama tersebut.Apabila perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama tersebut diatur menurut hukum masing-masing. Menurut Pasal 36 atat (2) Undang-undang nomor1 tahun 1974 jo Pasal 94 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam, istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum terhadap harta pribadi masing-masing. Mereka bebas menentukan harta tersebut tanpa campur tangan suami atau istri untuk menjual, menghibahkan atau menggunakan.Tidak diperlukan bantuan hukum dari suami untuk melakukan tindakan hukum terhadap harta pribadi masing-masing suami istri.Ketentuan ini dapat dilihat dalam pasal 86 Kompilasi 29 30
Ibid., 51-53. Ibid., 49.
AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 2, Desember 2015
168
Hukum Islam dimana ditegaskan bahwa tidak ada percampuran antara harta pribadi suami istri karena perkawinan.Baik harta istri maupun harta suami tetap mutlak menjadi hak istri dan hak suami dikuasai penuh oleh masing-masing suami dan istri. Menurut Abdul Manan, ”Pembakuan istilah harta bersama sebagai terminus hukum yang berwawasan nasional baru dilaksanakan pada Tahun 1974 dengan berlakunya UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sebelum pembakuan itu, tedapat berbagai macam istilah yang dipengaruhi oleh hukum adat seperti barang gawaan di Jawa tengah, barang usaha di Betawi, barang sulur di Banten, harta tuha atau harta pusaka di Aceh, perimbit Ngaju Dayak.31 Semua harta kekayaan yang diperoleh suami istri selama dalam ikatan perkawinan menjadi harta bersama, baik harta tersebut diperoleh secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama. Demikian juga dengan harta yang dibeli selama ikatan perkawinan berlangsung adalah menjadi harta bersama, tidak menjadi masalah apakah istri tau suami yang membeli, tidak menjadi masalah apakah istri atau suami mengetahui pada saat pembelian itu, dan juga tidak menjadi masalah atas nama siapa harta itu didaftarkan.32 4. Kompilasi Hukum Islam Berbeda halnya dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 soal harta bersama secara singkat hanya dalam tiga pasal, pasal 35 samapai pasal 37, maka dalam KHI soal harta bersama diatur secara lebih enumeratif mulai pasal 85 sampai pasal 97. Adapun pengaturan harta bersama secara lebih lanjut, menyatakan : a) Pasal 85 Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau istri. b) Pasal 86 1) Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta istri karena perkawinan. 2) Harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya. c) Pasal 87 1) Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta yang diperoleh masingmasing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan. 2) Suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqoh, atau lainnya. d) Pasal 88 Apabila terjadi perselisian antara suami istri tentang harta bersama maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada pengadilan agama. e) Pasal 89 Suami bertanggungjawab menjaga harta bersama, harta istri maupun hartanya sendiri. f) Pasal 90
31
Abdul Manan ,“ Beberapa Masalah Tentang Harta Bersama”. Mimbar Hukum, no. 33, tahun VII, 1997, 59. A. Damanhuri. HR. Segi-segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama (Bandung : CV Mandar Maju. 2007). 37. 32
AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 2, Desember 2015
169
Istri turut bertanggungjawab menjaga harta bersama, maupun harta suami yang ada padanya. g) Pasal 91 1. Harta bersama sebagai tersebut dalam pasal 85 di atas dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud. 2. Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga. 3. Harta bersama tidak berwujud dapat berupa hak maupun kewajiban 4. Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya. h) Pasal 92 Suami atau istri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama. i) Pasal 93 1. Pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau istri dibebankan pada harta masingmasing. 2. Pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan pada harta bersama. 3. Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan pada harta suami. 4. Bila harta suami tidak ada atau tidak mencukupi dibebankan kepada harta istri. j) Pasal 94 1. Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang masing-masing terpisah dan berdiri sendiri. 2. Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang sebagai tersebut ayat 1 dihitung pada saat berlangsung akad perkawinan yang kedua, ketiga, atau yang keempat. k) Pasal 95 1. Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 24 ayat 2 huruf c peraturan pemerintahan no. 9 tahun 1975 dan pasal 136 ayat 2, suami atau istri dapat meminta Pengadilan Agama untuk melakukan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros, dan sebagainya. 2. Selama masa sita dapat dilakukan penjualan atas harta bersama untuk kepentingan keluarga dengan izin Pengadilan Agama. l) Pasal 96 1. Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama 2. Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar keputusan Pengadilan Agama. m) Pasal 97
AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 2, Desember 2015
170
Janda tergugat cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian lain dalam perkawinan.33 Harta bersama antara suami istri pada umumnya menjadi persoalan yang diperdebatkan apabila hubungan perkawianan itu sudah terputus,putusnya hubungan perkawinan dapat disebabkan oleh kematian, perceraian, dan juga putusan pengadilan.Berdasarkan sebab terputusnya perkawinan tersebut, tuntutan pembagian harta bersama oleh suami maupun istri dikelompokkan menjadi dua yaitu pembagian harta bersama akibat terjadinya perceraian, baik cerai talak maupun cerai gugat yang biasa disebut dengan istilah cerai hidup dan pembagian harta bersama akibat terjadinya kematian dari salah satu pihak suami ataupun istri yang biasa disebut cerai mati. Penerapan pembagian harta bersama akibat putusnya hubungan perkawinan karena cerai hidup pada umumnya tidak begitu menimbulkan persoalan, hal ini disebabkan oleh beberapa hal diantaranya : 1. Suami istri yang telah bercerai pada umumnya akan berusaha memilih jalan damai 2. Pembuktian terkait harta bersama dapat dilakukan oleh kedua belah pihak dengan mudah 3. Belum ada pihak ketiga yang ikut memperebutkan pembagian harta bersama diantara suami dan istri yang telah bercerai Sehingga pembagian harta bersama dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan pasal 97 KHI, yang menyatakan pembagiannya dilakukan secara berimbang yaitu setengah bagian untuk suami dan setengah bagian untuk istri.Lain halnya pembagian harta bersama dalam keadaan cerai mati,dalam masalah ini bisa timbul berbagai masalah yang memerlukan kearifan tersendiridalam menyelesaikannya. Pembagian harta bersama karena cerai mati bisa menjadi rumit, dikarenakan munculnya pihak ketiga sebagai ahli waris, disamping itu pada umumnya masyarakat merasa tabu untuk segera membagi harta bersama antara janda atau duda dengan anak-anak mereka. Penundaan pembagian harta bersama akibat cerai mati akan semakin mempersulit pembagian harta bersama yang ada, karena bukti-bukti tentang kepemilikan harta bersama bisa saja hilang, dialihkan kepemilikannya atau bahkan dimanipulasi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Pembagaian Harta bersama menurut Mazhab Syafii Perkara perdata merupakan bagian dari hukum privat, suatu perkara perdata akan diproses di pengadilan apabila pihak-pihak yang dirugikan mengajukan gugatan. Proses penyelesaian perkara perdata secara umum dapat dilakukan dengan dua cara yaitu : mediasi dan Litigasi. Harta bersama akibat cerai mati merupakan salah satu bagian dari perkara perdata yang proses penyelesaiannya dapat dilakukan melalui mediasi dan litigasi, proses mediasi dalam penyelesaian kasus perdata merupakan alternatif yang dianjurkan dalam al Qur’an. Hal ini ditegaskan dalam suratan Nisa’ Ayat 35
33
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Akademika Presindo, 2004), 134-137.
AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 2, Desember 2015
171
ِ ِ ِ ِ ِ ِ يما ْ َِوإِ ْن خ ْفتُ ْم ِش َقا َق بَ ْينِ ِه َما فَابْ َعثُوا َح َك ًما م ْن أ َْهل ِه َو َح َك ًما م ْن أ َْهل َها إِ ْن يُِري َدا إ ً ص ََل ًحا يُ َوفِّ ِ ِق اللَّهُ بَ ْي نَ ُه َما إِ َّن اللَّ َه َكا َن َعل َخبِ ًيرا
“Dan jika kamu khawatir ada persengketaan antar keduanya, maka kirimkanlah seorng Hakam (juru damai), dari keluarga laki-laki dan seorang Hakam dari keluarga perempuan.Jika kedua orang Hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu.Sesungguhnya allah maha mengetahui lagi maha mendengar”34. Kandungan ayat diatas secara umum memberikan anjuran untuk menyelesaiakan permasalahan dalam suatu perkawinan dengan cara kekeluargaan, bila kedua belah pihak tidak mampu mendapatkan solusi yang baik, hendaklah menunjuk seorang mediator yang akan membantu penyelesaian perkara yang disengketakan. Solusi yang ditawarkan dalam ayat al Qur’an diatas dapat diterapkan dalam penyelesaian sengketa harta bersama, hal ini dikuatkan dengan salah satu pendapat yang dikemukakan olehAbd al Rahman seorang mufti Hadramaut yang bermazhab syafii, bahwa harta bersama yang dihasilkan oleh suami maupun istri dalam suatu ikatan perkawinan merupakan bentuk al ma>l al mushtarak yang penyelesaiannya dapat dilakukan dengan menggunakan metode sulh.35 Oleh karena itu dalam pembagian harta bersama akibat cerai mati seperti contoh kasus diatas dapat dilakukan dengan dua cara yaitu : al Sulkh dan al Fara>id} Pembagaian harta bersama dengan menggunakan carasulkh merupakan cara pembagian yang paling mudah dan menghemat waktu serta tidak berpostensi menimbulkan polemik baru dikemudian hari, hal ini disebabkan karena cara pemecahan masalah dengan menggunaklan metode sulkh lebih mengedepankan sisi perdamain dan kekeluargaan. al Sulh} secara etimologi diartikan dengan memutus permusuhan, sedangkan al Sulh} dalam terminologi fiqh diartikan dengan suatu perikatan yang dilakukan untuk memutus permusuhan yang telah terjadi36 Sulkh secara garis besar dibagi menjadi tiga macam yaitu : 1. Sulh }al ibra>’ yaitu perikatan perdamian yang dilakukan dengan cara memberikan sebagian hak yang dipersengketakan dan menetapkan sebagian dari hak tersebut, misalkan terjadi persengketaan terkait jumlah hutang antara dua orang yang bersengketa, orang yang menghutangi mengaku jumlah piutang adalah satu juta rupiah sedangkan orang yang berhutang mengaku lima ratus ribu rupiah. Bila kemudian orang yang menghutangi bersedia mengurangi hak yang dimilikinya dan beralih pada sebagian hak tersebut maka ini disebut dengan Sulh }al ibra>’. 2. Sulh al Mu’a>wad}ah yaitu perikatan perdamain yang dilakukan dengan cara menukarkan hak kebendaan yang dipersengketakan dengan suatu hak kebendaan yang lain, 3. Sulh al H}at}yt}ah yaitu perikatan yang dilakukan dengan cara mengurangi sebagian hak yang dimiliki untuk menempuh kesepakatan perdamaian antara dua orang yang bersengketa.37 34
al Qur’an, 8: 35.Terjemah Departemen Agama RI (Bandung, Juma>natu al ‘Ali Art, 2004).84. Abd al Rahman ibn Muhammad ibn Husyn ibn ‘Umar,Bughyah al Mustar shidyn (t.t,Da>r Ihya>’ al Kutub al ‘Arabyyah, t.th), 159. 36 Muhammad ib Qa>sim ibn Muhammad ibn Muhammad Abw Abd Allah Shamsu al diyn al Ghazy, Fathu al Qari>b al Muji>yb fi Sharhi Alfa>z} al Taqri>yb (Bairut, Da>r Ibn h}azm, 2005), 175. 35
AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 2, Desember 2015
172
Berdasarkan pendapat dalam mazhab Syafii diatas, maka penyelesaian sengketa harta bersama dalam contoh kasus yang telah penulis sebutkan dapat dilakukan dengan mengkombinasikan prinsip Sulh dan prinsip pembagian harta warisan dalam ilmu fara>id}, prinsip Sulh diterapkan dalam rangka meminimalisasi kemungkinan timbulnya persengketaan dikemudian hari antara istri yang telah ditinggal mati suaminya dengan ahli waris yang lain,yang mana penetapan harta bersama akibat cerai mati dapat menimbulkan prasangka dari ahli waris bahwa penetapan tersebut telah mengurangi hak waris yang seharusnya diterima. Untuk memudahkan proses pembagian harta bersama dan pembagian harta warisan yang masih tercampur menjadi satu seperti contoh kasus diatas, maka perlu dilakukan beberapa hal yaitu : 1. Melakukan inventarisasi seluruh harta yang dimiliki oleh suami sejak pertamakali menikah sampai dengan meninggal 2. Mengumpulkan seluruh ahli waris yang ada untuk melakukan penetapan harta bersama, kemudian harta bersama tersebut dibagi dengan menggunakan prinsip Sulh, sebagian untuk istri dan sebagain lagi untuk suami38 dan selanjutnya harta bersama bagian suami dan istri yang telah meninggal dunia menjadi harta peninggalan yang akan diwaris oleh ahli waris yang ada. 3. Melunasi hutang yang ditinggalkan oleh pasangan suami istri tersebut saat keduanya masih hidup. Bila hutang yang ada adalah hutang bersama maka pelunasannya diambilkan secara berimbang dari masing-masing bagian harta bersama suami istri yang telah dibagi. 4. Membagi harta peninggalan suami dengan menggunakan hukum waris islam, dan memperkirakan bagian istri dari harta wrisan tersebut seandainya masih hidup. 5. Menetapkan harta peninggalan istri yaitu harta bersama yang menjadi bagiannya ditambah dengan warisan yang diperoleh dari suaminya yang telah meninggal. 6. Menetapkan ahli waris istri dan membagi harta peninggalannya sesuai dengan hukum waris Islam.
Penutup Harta bersama dalam persfektif mazhab Syafii dikategorikan sebagi al ma>l al Musytarak, al ma>l al Musytarak bila telah bercampur menjadi satu dan tidak bisa dibedakan status kepemilikannya maka pembagiannya dapat dilakukan dengan menggunakan metodeSulh (perdamaian), dengan metode ini pembagian harta dilakukan dengan cara menetapkan bagian untuk masing-masing pihak dan masing-masing pihak merelakan bila dalam pembagian tersebut terdapat pengurangan bagian demi tercapainya kesepakatan pembagian harta bersama. Pembagian harta bersama dalam KHI baik karena cerai mati maupun cerai talak ditetapkan secara berimbang yaitu setengah bagian untuk orang yang hidup lebih lama dalam hal cerai mati, dan masing-masing mendapatkan seperdua dalam hal cerai talak. 37
Ibid, 176. Pembagian harta bersama menggunakan metode sulh dengan konsepsi dibagi dua secara berimbang adalah metode pembagian yang paling mudah dan harus mendapatkan persetujuan dari semua ahli waris yang ada, apa bila ahli waris tidak setuju dengan cara pembagian tersebut, maka dilakukan pembagian sesuai dengan kesepakatan yang tercapai. Bisa dengan formulasi ¾ dan ¼ atau pun yang lainnya sesuai dengan sistem pembagian harta bersama yang telah disepakati. 38
AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 2, Desember 2015
173
Metode pembagian harta bersama yang terdapatdalam mazhab Syafii dan KHI secara garis besar memiliki kesamaan, yaitu mengupayakan terjadinya pembagian yang berimbang walupun dalam metode sulh pembagian dengan bentuk berimbang merupakan solusi yang ditawarkan agar tercapai kesepakatan pembagian harta bersama, sedangkan pembagian berimbang yang ditetapkan dalam KHI merupakan ketentuan hukum yang memiliki sifat memaksa ketika telah diputuskan oleh Hakim dan telah memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Daftar Rujukan Abdul Karim, Muhammad. Hukum harta kekayaan, Bandung, PT. Citra Atitiya, 1994. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: Akademika Presindo, 2004. al Qur’an, 8: 35. Terjemah Departemen Agama RI, Bandung, Juma>natu al ‘Ali Art, 2004 Ali, H. Zainuddin. Pelaksanaan hukum waris di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 2008. Anshory (Al), Zakaria bin Muhammad bin Zakaria. Fathul Wahhab, Bairut, Da>r al Fikr,1994 Anwar, Desy, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Terbaru Dilengkapi Pedoman Umum Ejaan yang Disempurnakan, Surabaya: Amalia, Cet. 1, 2003 Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Cet. 13, Jakarta: Rineka Cipta, 2006. Bakr, Abuw bin Muhammad bin Abd al Mu’min bin Huraiz bin Ma’la> al Husainy, Kifayah al Ahya>r, Damaskus, Da>r al khair, 1994 Damanhuri, A.. HR. Segi-segiHukumPerjanjianPerkawinanHartaBersama, CV MandarMaju. Bandung. 2007. Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar bahasa Indonesia, (pdf file), Jakarta: pusat bahasa, 2008 Dzahabi (al),Syamsuddin, SiyarA’lam an-Nubala, Tt: Muassisahar-Risalah, 1405 H, Muhamad bin Idris As-Syafi‟I, ar-Risalah, tahqiq Ahmad Muhamad Syakir, Beirut: Dar al-Fikr, tt. Ghazy (al), Muhammad ibn Qa>sim ibn Muhammad ibn Muhammad Abu Abd Allah shamsu al di>n. Fathu al qari>b al Muji>b fi sharh}I al fa>z} al taqri>b, Bairut, Da>r ibn Hazm, 2005. Hadikusuma, Hilman, HukumPerkawinan Indonesia MenurutPerundangan, HukumAdat, Hukum Agama, Bandung: MandarMaju, 2007 Hadikusuma,Hilman, HukumPerkawinanAdat, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, Cet. 6, 1995. Harahap, M Yahya, PembahasanPermasalahandanPenerapan KUHAP,(Jakarta: SinarGrafika, 2008) Harahap,Yahya, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama, Jakarta: Sinar Grafika, 2003 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Quran, Jakarta: Tintamas, 1982 Hiariej, Eddy O.S, Teori & Hukum Pembuktian, Jakarta, Penerbit Erlangga, 2012 Imam,MuhamadKamaluddin, Nadzariyyat al-Fiqh fi al_Islam: MadkhalManhajiy, kitabacuanUniversitasIskandariyahdan, Beirut al-Arabiyah, t.p, t.th, Kholaf, Abdul Wahab, IlmUshul al-Fiqh, Beirut: Dar al-Kutub Al-Ilmiyah, 2010 M
AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 2, Desember 2015
174
Lubis,SuhardiK ,KomisSimanjuntak, HukumWaris Islam LengkapdanPraktis, Jakarta; SinarGrafika, 1995 M Kasiram, merodologi penelitian, UIN Maliki Pres, 2010 Manan, Abdul, “Beberapa Masalah Tentang Harta Bersama”.MimbarHukum, no.33, tahun VII, 1997 Mandzur,Ibnu, Lisan al-‘Arab, Beirut: Dar Shodir, tt. Mardalis, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1995 Muhammad bin isma>’il Abu abdillah al bukhari: Sohih Al Bukhori, Tt, Da>r T}wq al Naja>h, 14 22 H. Muhammad ibn Qa>sim ibn Muhammad ibn Muhammad Abw Abd Allah Shamsu al diyn al Ghazy, Fathu al Qari>b al Muji>yb fi Sharhi Alfa>z} al Taqri>yb, Bairut, Da>r Ibn h}azm, 2005 Muhammad, Abdul Kadir, HukumHartaKekayaan, Bandung, PT Citra Aditya, 1994 Muhammad, Abu ‘Abdillah, ibn Idris al Shafii, al Umm, Bairut: Dar al Kutub al ‘Ilmiyah, 1993. Muslim Bin al haza>j Abuw al Hasan al Qushairy al Naisa>bury, al musnad al Sahih al Mukhtashar bi Naql al ‘adl ‘an al ‘adlila>Rasulallah shola allah ‘alaihisalam, Bairut, Da>r al turath al ‘araby, t,th Nasution, Amin Husain, HukumKewarisan, Jakarta, PT Raja Grafindo, 2012. Panitia Penulisan Buku 70 tahun Munawir Sjadzali, Kontekstualisasi Ajaran Islam (Paramadina: Jakarta, 1995) Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar bahasa Indonesia, (pdf file), Jakarta, pusat bahasa, 2008 R. Subekti, R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta, Pradnya Paramita, 1980 Rahman (al),Abd, ibn Muhammad ibn Husyn ibn ‘Umar, Bughyah al Mustarshidyn, t.t,Da>r Ihya>’ al Kutub al ‘Arabyyah, t.th. Ramulyo, M. Idris, HukumPerkawinan Islam, Jakarta: BumiAksara, 2004. Ramulyo, M. Idris, HukumPerkawinan, HukumKewarisan, HukumAcaraPeradilan Agama dan Zakat MenurutHukum Islam, Jakarta: SinarGrafika, 1995 S. Nasution, Metode Research: Penelitian Ilmiah, Jakarta: Bumi Aksara, 2006. Saiban, Kasuwi. Hukum Kewarisan dalam Islam, Malang, Unmer Pres, 2010. Samomir, Djamanat. Hukum adat Indonesia, Bandung, Nuansa Aulia, 3013 Sharbiny (al), Shamsu al di>n Muhammad Ibn Ahmad al khot}i>b. Mughny al muhtaj, Bairut, Da>r al kutub al ‘ilmiyah, 1994. Siba’I (al),Mushtafa, As-Sunnah waMakanatuha fi al-Tasyri’al-Islamiy, Damaskus: Dar AlWarraq, tt. Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Kalarta,Universitas Indonesia, 1981 Soepomo, R, hukumacaraPerdataPengadilanNegeri, Jakarta: Pt. PradnyaParamita, 2005 Soesilo, R., RIB/HIR denganpenjelasannya, Bandung, Pt. Karya Nusantara, t.th Sofyan,Ibnu, FiqhWaris, Kediri, Pustaka ‘azm, 2010 Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta, Cet.IV, 2008. Sulaima>n, Abuw Da>wud bin al ash’ath bin ishaq bin bashyr bin shada>d bin ‘amr al azdy al sijista>ny : Sunan Abi Dawud , Bairut, Maktabah al ‘ashriyah,t.th AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 2, Desember 2015
175
Suratman, dan Philips Dillah, Metode Penelitian Hukum, Bandung, Cv. Alfabeta, 2013 Susanto, Happy, PembagianHartaGono-Gini SaatTerjadinyaPerceraian, Jakarta: Visi Media, 2008 Sutanto,Retnowulan, Iskandar Oerip kartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Bandung, MandarMaju, 1997 Syafi’I,(al), al-Umm, Beirut: DarulMa‟rifah, 1393 H Syarbini, (al)Muhamad Al-Khatib, al-Iqna’ fi Hall AlfadzAbiSyuja’I, tahqiq Ali Muhamad Mu‟awaddanAdil Ahmad Abdul Maujud, Beirut: DarulKutubIlmiah, cet. Ke-3, 2004 M. Thalib, Sayuti, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: Universitas Indonesia, 1986 Utomo,Setiawan Budi, Fiqh Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer, Jakarta: gemainsani, 2003 UU No.1 th 1974 9 (pdf file). Tentang perkawinan, pasal 35 ayat 1, Pustaka : yaysan peduli anak YPPN tt. UU Perkawinan Indonesia 2007 Yahya Bin Abi Al Khair Bin Salim Al ‘Umra>Ny, Abu Hasan :al Baya>n fi al Mazhab al imam asyafi’I, Jiddah, Da>r al Manhaj, t.th Zahrah, Abu, Tarikh al-Madzahib as-Siyasiyyah fi as-Siyasahwa al-‘AqaidwaTarikh alMadzahib al-Fiqhiyyah, Beirut: DarulFikr al-„Arabi, tt. Zakaria>, Abu,Yahya ibn Ibra>hi>m ibn Ahmad ibn Muhammad Abu Bakr ibn Abu T}ohir al Azdy, Mana>zil Al-‘Aimmah al-‘Arbaah, t.t, Maktabah al-Muluk, 2002. zakariya>,AbuwMuhyi al di>n Yahya bin sharaf al Nawawy, Raud}Ah Al T}>alibynWa ‘Aumdah Al Muttaqiyn, Bairut, Maktabah al isla>my, 1991.
AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 2, Desember 2015