MAHAR SUAMI MENINGGAL QOBLA AL-DUKHUL (Analisis Terhadap Perbedaan Mazhab dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia)
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam
Oleh :
SURINA MOHAMAD NAPIAH NIM : 107044103853
K O N S E N T RA S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 2009M/1430H
KETENTUAN MAHAR SUAMI MENINGGAL DUNIA QOBLA AL-DUKHUL (Analisis Terhadap Perbedaan Mazhab Dan Kompilasi Hukum Islam)
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam
Oleh : SURINA BINTI MOHAMAD NAPIAH NIM : 107044103853
Pembimbing :
Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A. NIP : 150 169 102
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430H : 2009
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul MAHAR SUAMI MENINGGAL QOBLA AL-DUKHUL (Analisis Terhadap Perbedaan Mazhab dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia) telah diujikan dalam sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Pada 11 Maret 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Ahwal Syakhshiyah (Peradilan Agama). Jakarta, 11 Maret 2009 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum,
Prof.DR.H. Muhammad Amin Suma, SH,MA,MM NIP. 150210422
PANITIA UJIAN
1. Ketua
: Drs.H.A. Basiq Djalil, SH,MA. NIP. 150169102
(……………….......…)
2. Seketaris
: Kamarusdiana, S. Ag., MH. NIP. 150285972
(...................................)
3. Pembimbing
: Drs.H.A. Basiq Djalil, SH,MA. NIP. 150169102
(....……………………)
4. Penguji I
: Drs. H. Sayed Usman, SH,MH. NIP. 150216755
(.....................................)
5. Penguji II
: Dr. KHA. Juaini Syukri,Lcs,MA. NIP. 150256969
(....................................)
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yaang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berada di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 16 Februari 2009
Surina
KATA PENGANTAR
ِِْ ِِْ اِ ا ْ َِ ا Segala puji bagi Allah, Pencipta dan Penguasa alam semesta yang telah melimpahkan taufiq dan hidayah-Nya kepada penulis terutamanya dalam rangka penyelesaian skripsi ini. Selanjutnya shalawat dan salam untuk junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah menyelamatkan umat dari alam kegelapan ke alam terang benderang. Skripsi ini ditulis dalam rangka melengkapi syarat-syarat guna memperoleh gelar strata satu (S.1), pada jurusan Ahwal Al-Syakhshiyah, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah yang berjudul: “MAHAR SUAMI MENINGGAL QOBLA AL-DUKHUL (Analisis Terhadap Perbedaan Mazhab dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia).” Untuk menyelesaikan skripsi ini penulis banyak mendapat petunjuk dari berbagai pihak, baik secara langsung atau tidak langsung. Dalam hal ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat Bapak: 1. Prof. Dr. Muhammad Amin Suma MA., SH., MM. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Dengan kewenangan yang dimiliki telah memberikan kepercayaan kepada penulis untuk menyusun skripsi ini. 2. Drs. H.A. Basiq Djalil SH., MA. dan Drs. Kamarusdiana Sag, MA, masingmasing selaku ketua dan sekretaris jurusan Ahwal Al-Syakhshiyah yang telah banyak memberikan motivasi kepada penulis.
3. Drs. H.A. Basiq Djalil SH., MA. selaku dosen bimbingan yang dengan penuh kesabaran dalam memberi arahan dan masukan kepada penulis hingga tuntasnya sudah skripsi ini, hanya Allah saja yang selayaknya membalas jasanya. 4. Drs. H. Sayed Usman, SH, MA. dan Dr. KH. A. Djuaini Syukri, Lcs, MA. selaku penguji I dan penguji II yang telah memberikan saran-saran dan kritik yang sangat berguna untuk lebih sempurna dalam tulisan ini. 5. Seluruh bapak-bapak dosen Fakultas Syariah dan Hukum khususnya Ahwal Al-Syakhshiyah, serta kepada karyawan dan staff perpustakaan, yang banyak membantu penulis hingga selesainya skripsi ini. 6. Seluruh pihak Kedutaan Besar Malaysia di Indonesia yang banyak membantu penulis hingga selesainya skripsi ini. 7. Seluruh para dosen Akademi Pengajian Islam dan Dakwah terutama Bapak Rektor Al-Fadhil Ustaz Edeey Ameen yang telah banyak memberikan sokongan dan dukungan kepada penulis hingga dapat meneruskan pengajian di bumi Indonesia ini. 8. Teristimewa buat ayahanda, ibunda, abang, kakak dan adik disayangi
yang amat
terima kasih atas perhatian segala doa dan kesabaran atas jerih
payah dan segala pengorbanan yang tidak terbalas serta senantiasa memberikan semangat dan harapan tanpa jemu hingga penulis dapat menyelesaikan pengajian.
9. Baik teman-teman malaysia maupun teman-teman Indonesia terima kasih karena turut mendoakan dan memberikan pastisipasi, sumbangan berupa pikiran serta semangat kepada penulis. 10. Kepada semua pihak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu di sini, penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga. Akhirnya, ’Sirru a’la barakatillah’ dan semoga skripsi ini dapat memberikan masukan yang positif kepada pembaca sekalian, semoga bantuan yang telah diberikan kepada penulis mendapat imbalan dari Allah yang Maha Kuasa. Penulis amat menyadari bahwa di dalam penulisan skripsi ini tidak luput dari kekhilafan dan kesalahan, maka kritikan dan saran yang bersifat konstruktif sangat diharapkan di dalam rangka perbaikan dan kesempurnaan penulisan ini. -Amin Ya Rabbal A’lamin-
Jakarta, 16 Februari 2009 M 20 Safar 1430 H
Penulis
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR.................................. ..........................................................v DAFTAR ISI ........................................................................................................viii BAB I
PENDAHULUAN...........................................................................1 A. Latar Belakang Masalah..............................................................1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah..........................................3 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian....................................................4 D. Metode Penelitian .......................................................................4 E. Sistematika Penulisan...................................................................6
BAB II
BEBERAPA PENGERTIAN..........................................................8 A. Pengertian Ketentuan....................................................................8 B. Pengertian Mahar...........................................................................9 C.Pengertian Suami meninggal..........................................................9 D.Pengertian Dukhul.........................................................................10 E. Pengertian Kompilasi Hukum Islam............................................11
BAB III
EKSISTENSI MAHAR DALAM PERKAWINAN....................12 A. Mahar Dan Dasa Hukumnya.......................................................12 B. Kedudukan Mahar.......................................................................28 C. Jenis-jenis Mahar........................................................................34 D. Syarat Sahnya Mahar Dan Hikmah Mahar.................................37
BAB IV
MAHAR
SUAMI
YANG
MENINGGAL
QOBLA
AL-
DUKHUL.........................................................................................46 A. Pendapat Para Ulama Secara Umum .........................................46 B. Kompilasi Hukum Islam.............................................................65 Sebelum Ditetapkan Mahar.........................................................68 C. Setelah Ditetapkan Mahar ...........................................................70 D. Dalil-dalil yang Digunakan.........................................................72 E. Analisis Penulis...........................................................................74 BAB V
PENUTUP………………………………………………...………79 A. Kesimpulan……………………………………………………..79 B. Saran-saran...................................................................................80
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................81
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat
atau
miitsaaqan
ghaliidhan
untuk
mentaati
perintah
Allah
dan
melaksanakannya merupakan ibadah.1 Perkawinan merupakan fitrah yang dianugerahkan pada setiap manusia sejak zaman azali, yaitu ketika diciptakannya Adam dengan istrinya Hawa. Perkawinan bukan saja dambaan setiap insan, tetapi merupakan naluri atau tabiat bagi makhluk hidup lainnya. Melalui perkawinan, Allah SWT mengkaruniakan kepada manusia rasa cinta, kasih dan sayang di antara suami dan istri. Ketika membicarakan masalah perkawinan, banyak hal yang harus diperhatikan antara lain adalah mahar, karena salah satu hubungan hukum yang timbul dari sebab perkawinan adalah kewajiban calon suami untuk memberi mahar. Mahar yang diberikan kepada seorang istri merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh seorang suami yang ingin melangsungkan perkawinan. Menurut hukum perkawinan dalam Islam, suatu perkawinan dapat dilakukan walaupun tanpa menentukan kadar mahar atau menyebutnya dalam ‘aqad. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Wahbah Az-Zuhaili dalam kitabnya Al-Fiqh Islamiy Wa
1
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta, CV. Akademika Pressindo 2007), Cet. Kelima, h.114.
Adillatuhu bahwa dibolehkan ‘aqad nikah dengan tanpa menyebutkan mahar terlebih dahulu.2 Dengan demikian jelaslah bahwa perkawinan yang berlangsung tanpa menyebutkan mahar atau menentukan mahar dalam ‘aqad akan menimbulkan beberapa alternatif yaitu mahar tersebut akan diperlakukan seperti mahar mitsil jika telah terjadi dukhul (hubungan suami istri) atau mahar tidak diwajibkan bagi suami kecuali mut’ah (pemberian). Sebagian fuqaha’ (tidak termasuk Maliki) mengatakan bahwa mahar dalam perkawinan tidak termasuk dalam rukun dan bukan syarat sahnya ‘aqad nikah karena menghilangkan mahar dengan sengaja tidak menyebabkan batalnya perkawinan.3 Pendapat tersebut berbeda dengan pendapat Imam Malik yang mengatakan bahwa menghilangkan mahar dengan sengaja jelas dapat merusak perkawinan karena mahar adalah salah satu rukun dalam rukun-rukun perkawinan dan merupakan syarat sahnya suatu pernikahan, kecuali mahar yang belum diselesaikan oleh suami yang meninggal dunia qobla al-dukhul Selain itu, permasalahan lain yang dapat diteliti dalam persoalan ini adalah bahwa sebagian fuqaha’ berpendapat mahar dapat digugurkan secara keseluruhan dari tanggungan suami apabila terlaksananya perkawinan tafwidh yaitu tidak ditentukan mahar dalam ‘aqad kemudian berlaku perceraian qobla al-dukhul. Akan
2
Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh Islamiy Wa ‘Adillatuhu, (Beirut-Lebanon: Dar At-Fikr, t.t),
h.255. 3
Yusof Hamid Al-Alim, Maqasid Al-A’mmah Al-Syari’ah Al-Islami, (Khurtum: Dar AlSudaniyah, t.t), h. 427.
tetapi jika terjadi kematian suami dalam keadaan qobla al-dukhul, terjadi perbedaan pendapat di kalangan fuqaha’. Menurut mazhab Hanafi mahar tersebut akan dianggap sebagai mahar mitsil.4 Menurut mazhab Maliki terdapat hal yang demikian, tidak akan dikenakan mahar dan uang mut’ah sedikit pun. 5 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan masalah: Dalam penelitian ini penulis memfokuskan penelitian terhadap konsep mahar qobla al-dukhul menurut ulama fiqih dan pendapat mazhab Maliki mengenai eksistensi mahar dan dalil-dalil yang digunakan`. 2. Rumusan masalah: Rumusan masalah dalam skripsi ini adalah sebagai berikut: “Pada dasarnya mahar yang sudah diberikan tidak boleh ditarik kembali, namun di dalam kitab-kitab fikih, ulama’ beda pendapat tentang apabila suami meninggal qobla al-dukhul. Ada yang berpendapat mahar mitsil dan ada yang berpendapat kembalikan semua. Hal ini yang penulis ingin telusuri dalam penulisan ini”. Rumusan tersebut dapat dirinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut; a. Bagaimanakah konsep mahar menurut ulama fikih?
4
Ibnu Rusyd , Biadatul Mujtahid, (Ter. Abdurrahman, Haris Abdullah), (Semarang: CV Asy Syiea’, 1990), Jilid 2, h. 404. 5
164.
Ibnu Rusyd, Al-Mudawwanah Al-Kubra, (Beirut-Lebanon: Dar Asy-Shadir, t.t,) Jilid 2, h.
b.Bagaimana pendapat ulama mazhab Maliki mengenai eksistensi mahar yang tidak ditetapkan dalam ‘aqad dan qobla al- dukhul suami meninggal? c.Dalil apakah yang digunakan oleh mazhab Maliki terhadap mahar yang tidak ditetapkan dalam ‘aqad dan qobla al- dukhul suami meninggal? d.Bagaimana persepsi mahar suami yang meninggal qobla al-dukhul menurut Kompilasi Hukum Islam? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Subjek aktivitas yang ditulis oleh seseorang pasti memiliki tujuan tersendiri, demikian juga halnya dalam pembahasan judul ini di mana penulis mempunyai tujuan yang tertentu pula. Berdasarkan uraian terdahulu, maka penelitian ini bertujuan untuk; 1. Mengetahui konsep mahar menurut ulama Fiqih. 2. Mengetahui pendapat mazhab Maliki tentang mahar yang tidak ditetapkan dalam ‘aqad dan qobla al- dukhul suami meninggal. 3. Mengetahui dalil apakah yang digunakan oleh mazhab Maliki terhadap eksistensi mahar yang tidak ditetapkan dalam ‘aqad dan qobla al- dukhul suami meninggal. 4. Mengetahui persepsi mahar suami yang meninggal qobla al-dukhul menurut Kompilasi Hukum Islam. D. Metode Penelitian Untuk memperolehi sesuatu hasil yang maksimal dari suatu karangan ilmiah, maka penggunaan metode pengumpulan data yang diperlukan untuk penulisan tersebut akan memegang peranan yang sangat penting. Hal ini yang sangat mempengaruhi sampai tidaknya isi penulisan itu kepada tujuan yang ingin dicapai.
Dengan demikian penggunaan metode pembahasan bagi suatu penulisan merupakan suatu hal yang menentukan bermutu atau tidaknya dari penulisan yang bersangkutan. Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah: 1. Penentuan Jenis Data Dalam kajian ini data yang diteliti adalah data yang berhubung dengan topik yang dikaji, yaitu Mahar Suami Meninggal Qobla al-Dukhul: (Analisis Terhadap Perbedaan Mazhab Dan Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia). 2. Sumber Data a) Data Primer yaitu data yang langsung dikumpulkan oleh peneliti dari sumber pertamanya6. Data ini meliputi kitab-kitab fiqh dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, b) Data Sekunder merupakan data pelengkap yang terdiri daripada majalah, jurnal, ensiklopedia, kamus dan sebagainya. 3. Pengumpulan Data Merupakan library research yaitu melakukan penelitian kepustakaan dan mengumpulkan data seperti kitab-kitab yang muktabar antaranya: Kitab-kitab fiqh Maliki seperti, Kitab Al-Muwattha’, Al-Mudawwanah Al-Kubra dan kitab-kitab fiqh lainnya seperti, Fiqh Sunnah, Bidayatul Mujtahid, Al-Mizan Al-Kubra, AlFiqh Al-Islamiy Wa Adillatuhu dan lainnya. 4. Teknik Analisis Data
6
1, h. 39.
Sumadi Suryabrata. Metedologi Penelitian, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1983), cet.
Yaitu pengumpulan data-data melalui bacaan, penelusuran kitab-kitab dan lain-lain yang mempunyai kaitan dengan masalah yang akan dibahaskan dan kemudian dianalisis terhadap masalah yang ada sehingga menjadi suatu karya tulisan yang rapi dan utuh. 5. Metode Penulisan Dalam penulisan skripsi ini penulis berpandukan pada Buku Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta terbitan tahun 2007. E. Sistematika Penulisan Pembahasan skripsi ini terdiri daripada lima bab utama yang akan dibahaskan berdasarkan variable masing-masing dengan sistematikanya sebagai berikut: Bab satu Merupakan pendahuluan yang memuatkan latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab kedua pada bab ini, penulis menguraikan tentang pengertian istilah mengenai ketentuan, mahar, suami meninggal, dukhul dan Kompilasi Hukum Islam. Bab ketiga pembahasan tentang eksistensi mahar dalam perkawinan yang berisikan sub bahasan mahar, dasar hukumnya, kedudukan mahar, jenis-jenis mahar, syarat sahnya mahar dan hikmah mahar. Bab keempat adalah pembahasan mengenai mahar suami yang meninggal qobla al-dukhul, dengan sub bahasan, pendapat para ulama secara umum, Kompilasi Hukum Islam, sebelum dan setelah ditetapkan mahar, dalil-dalil yang digunakan serta pemahamannya dan analisis penulis.
Bab kelima merupakan penutup dari semua bab yang telah dibahaskan terdiri dari kesimpulan dan sarana-sarana.
BAB II PENJELASAN ISTILAH
Untuk menghindari kekeliruan dan kesalahpahaman dalam memahami istilahistilah yang terdapat dalam judul ini, maka perlu dijelaskan pengertian istilah sebagai berikut: A.
Pengertian Ketentuan
B.
Pengertian Mahar
C.
Pengertian Suami Meninggal
D.
Pengertian Dukhul
E.
Pengertian Kompilasi Hukum Islam
A. Pengertian Ketentuan Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, ketentuan diartikan sebagai “sesuatu yang tentu atau yang telah ditentukan; ketetapan; kepastian; dengan syarat tentu”.7 Dengan demikian, yang dimaksudkan dengan ketentuan adalah berupa suatu yang telah dipastikan atau ditentukan atau ditetapkan dengan memenuhi syaratsyarat tertentu.
7
h. 1054.
W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta Balai Pustaka, 1976),
B. Pengertian Mahar Dalam Kamus Munjid, mahar berarti harta yang diberikan kepada seorang perempuan yang bermanfaat baginya menurut syara’, diberikan kepadanya dengan segera ataupun memakai tempo (hutang).8 Sedangkan menurut istilah fiqh, mahar adalah nama harta yang wajib diberikan kepada seorang perempuan pada saat ‘aqad nikah sebagai imbalan untuk bersenang-senang dengannya. 9 Dengan demikian, mahar yang penulis maksudkan dalam pembahasan skripsi ini adalah maskawin (mahar) berupa harta pemberian dari mempelai laki-laki kepada mempalai wanita yang merupakan hak istri dan disebutkan ketika ‘aqad nikah berlangsung. C. Pengertian Suami Meninggal Kalimat “suami meninggal” terdiri dari dua kata yaitu “suami” dan “meninggal”. Dalam Kamus Bahasa Arab dijelaskan, bahwa pengertian suami adalah pria yang sudah menjadi pasangan hidup secara dengan seorang wanita.10 Berdasarkan pengertian ini suami adalah seorang yang jenis kelamin laki-laki dan sudah terjadi ikatan pernikahan secara sah dengan seorang wanita yang disenanginya.
8
Louis Ma’luf, Kamus Al-Munjid, (Beirut-Lebanon: Maktabah Asy-Sya’qiyah, 1986), h. 77.
9
Abdurrahman Al-Jaziry, Al-Fiqhu ‘Ala Mazahib Al-Arba’ah, (Kairo: At-Tijariyyah, 1996), Jilid 4, h.94. 10
h.860.
Yayasan Penyelenggaraan Penerjemah Al-Quran, Kamus Bahasa Arab, (Jakarta: 1973),
Dalam Kamus Hukum, makna suami adalah kepala dalam perkawinan atau persatuan suami istri atau yang bertanggung jawab dan harus melindungi keluarga serta isi rumahnya.11 Sedangkan makna meninggal yang diterangkan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah “berupa meninggal sesuatu, misalnya banyak orang meninggal kewajiban; meninggalkan sekolah, tidak masuk sekolah; atau meninggal dunia, berpulang (mati); contohnya; ibunya telah meninggal”.12 Jadi yang dimaksud dengan kalimat suami meninggal dalam penulisan skripsi ini adalah seorang laki-laki yang sudah mengikat hubungan dengan seorang wanita melalui ‘aqad nikah yang sah dan ia bertanggungjawab atas seisi keluarga yang dibinanya, namun kemudian ia meninggal dunia sebelum sempat memenuhi atau menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai seorang suami. Karena pada dasarnya laki-laki dipercayakan oleh syariat untuk melindungi wanita terutama istri dan memberikan nafkah secara lahir dan batin sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. D. Pengertian Al-Dukhul Dalam Kamus Istilah Fikih menyebutkan bahwa dukhul itu adalah masuknya zakar (kemaluan laki-laki) ke dalam farji (kemaluan perempuan).13 Dengan demikian dukhul adalah proses terjadinya hubungan suami istri antara kedua belah pihak, (lakilaki dan perempuan) yang sudah diikat oleh suatu ikatan yang resmi yaitu pernikahan. 11
12
J.C.T Simorangkir dkk, Kamus Hukum, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), h. 66.
W.J.S Poerwadarminta, (Op.cit.), h. 1076.
13
M. Abdul Mujieb, Mabruri Tholhah dan Syafi’ah, Kamus Istilah Fikih, (Jakarta:Penerbit Pt Pustaka Firdaus, 1994),h. 63.
Dari semua penjelasan istilah di atas, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan “Mahar Suami Meninggal Qobla Al-Dukhul ” adalah suatu ketetapan atau ketentuan yang berisi kewajiban untuk memenuhi sejumlah syarat-syarat berkaitan dengan persoalan mahar atau pemberian suami kepada wanita yang diperistrinya, yang belum ditetapkan atau disebutkan jumlahnya ketika ‘akad nikah berlangsung, namun kemudian suami meninggal sebelum memenuhi kewajibannya. E. Pengertian Kompilasi Hukum Islam Merupakan rangkuman dari berbagai pendapat hukum yang diambil dari berbagai kitab yang ditulis oleh para ulama fiqh yang biasa dipergunakan sebagai referensi pada Pengadilan Agama untuk diolah dan dikembangkan serta dihimpun ke dalam satu himpunan. Himpunan tersebut inilah yang disebut kompilasi. 14 Materi atau bahan-bahan hukum dimaksudkan telah diolah melalui proses dan metode tertentu, kemudian dirumuskan dalam bentuk yang serupa dengan peraturan perundang-undangan (yaitu dalam pasal-pasal tertentu). Bahan ini kemudian ditetapkan berlakunya melalui sebuah Keputusan Presiden yang untuk selanjutnya dapat digunakan oleh para Hakim Pengadilan Agama dalam memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu perkara yang diajukan kepadanya sebagai pedoman.
14
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2007), Cet. kelima, h. 14.
BAB III EKSISTENSI MAHAR DALAM PERKAWINAN
A. Mahar dan Dasar Hukumnya 1. Mahar. “Kata Mahar berasal dari bahasa Arab yaitu Al-mahr, jamaknya muhur dan muhurah.”15 Asal katanya ialah
َأََْرُاْ ََْأة
ٌَْ (mahar) sedangkan pemakaian katanya ialah
yang artinya ia memberikan mahar (maskawin) kepada seorang
perempuan.16 Dalam Kamus Al-Munjid dijelaskan bahwa mahar adalah:
ََْ ََُْ ِ َْرْأَةِ َِ اْ َْل ُِْ ِ َرًْ َﻥِْ ُ َُ!"ً أ 17
ً"!َُؤ
Artinya : Harta yang diberikan kepada seorang perempuan yang bermanfaat baginya menurut syara’ yang diberikan padanya segera ataupun tempo (hutang).
Menurut bahasa kata Al-Mahar bermakna Al-Shadaq yang dalam bahasa Indonesia mempunyai arti maskawin, contohnya dalam kalimat:
15
Ibnu Mandhurn Al-Ifriqy, Lisan Al-Arab, (Mesir: Dar Shadir, 1958), Jilid 5 , h. 184.
16
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta:Hida Karya Agung,1990). h.431.
17
Louis Ma’luf, Kamus Al-munjid, (Beirut-Lebanon: Maktabah Al-Syarqiyah, 1886), h 77.
18
َْ ََر ا َْرْأَة.َ-َو
Artinya: Seseorang telah memberi maskawin kepada perempuan itu. Abdurrahman Al-Jaziri dalam kitabnya “Al-fiqhu ‘ala Mazahib Al-Arba’ah” memberikan definisi mahar sebagai berikut:
ِ:َ َِ ْ7ِ6 ِِ ا ﻥِآًح.ْ َ ْ7ِ6 ُِ ِ َْرْأَة5َِ ُْ ا ْﻡَلِ ا !ذِي1ْ0ِإ ٍَُْْ وَ=ْءٍ ﺵ7َِ َِ َِِْْع0ِ; ا19ٍ.ِ0ٍ اَوِْآَح Artinya: Nama harta yang wajib diberikan kepada seorang perempuan pada saat ‘aqad nikah, sebagai imbalan untuk bersenang-senang dengannya, dan kerana jadinya wathi syubhah atau wathi pada nikah fasad. Untuk pengertian yang sama digunakan juga kata-kata sinonim (muradif) AlMahar yaitu Al-Shadaq, nihlah, faridhah, ajr, hiba’, ‘uqr, ala’iq, thaul, dan nikah.20 Allah SWT berfirman pada surat an-Nisa’ ayat 4 yang berbunyi:
(٤-Dً…)ﺱرة ا ﻥﺱ:َ ْFُِ َﺕِِ! ﻥ.َE َDCَ0ِﺕُْا ا ﻥAَ Artinya: “Berikan maskawin (mahar) kepada wanita yang kamu nikahi sebagai suatu pemberian dengan penuh kerelaan”… (An-Nisa’:4). Firman Allah SWT selanjutnya pada surat An-Nisa’ ayat 24 yang berbunyi:
☺ ☺... ! "#%&' 18
Ibid.
19
Abdurrahman Al-Jaziriy, Al-Fiqh ‘ala Mazahib Al-Arba’ah, (Mesir: Al-Tijiriya, 1996), Jilid
20
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Islamiy Wa Adillatuhu, (Beirut-Lebanon: Dar Al-Fikr, t.t),Juz
4, h. 94.
7, h. 251 .
456789:; 23% *0"1 / ()*+,-. D =? @AB. ☺< LM IJK / )*+,-.⌧G7H E ( ٢٤:ء0 )ﺱرة اﻝP☺
َِْ َ ََْ ا.ْ َْ ِ ََِْN ْ7َ َ ُ:ََْNْ ُ اM ِFَْﺕ0َ ْاَ َْلُ ا !ذِى 22
ً:َ ِْ-َF َِ ُِوْلOُ.ْ ِ
Artinya:Harta yang menjadi hak istri dari suaminya dengan adanya ‘aqad atau dukhul. Menurut golongan Syafi’iyah mahar, yaitu:
.23ٍ َْرًاSْRِ ِQَِْْ َْْءٍ اPَ ََْ ِآَحٍ ا5ََ َ ُ!َِ Artinya: Sesuatu yang menjadi wajib dengan adanya ‘aqad nikah atau watha’ atau karena merusakkan kehormatan wanita secara paksa (memperkosa).
Menurut golongan Hanabilah, Mahar adalah:
21
Ialah: menambah, mengurangi atau tidak membayar sama sekali maskawin yang telah ditetapkan. 22
Ibid., h. 252.
23
Ibid., h. 252.
ُYَ.َْ َِ أَوْ ُرِض.ْ َْ ْْ اXِ ْX!َ0 ٌDََا0 ،َِحVِّ ْ ا7ِ َُِﻥ!ُ اَ ِْوَض ِ:َُْ ِْ اDْ=ََوV َِحVِّ ِْ اFَ ْXِ ُ[َِْ َْ ا =َرَْْنِ أَْ اXِRِ رَا ِ:َِ اْ َآُْهDْ=ََ
24
Artinya: Suatu imbalan dalam nikah baik disebutkan di dalam ‘aqad atau diwajibkan sesudahnya dengan kerelaan kedua belah pihak atau hakim, atau imbalan dalam hal-hal yang menyerupai nikah seperti watha’ syubhat dan watha’ yang dipaksakan.
Sedangkan menurut mazhab Malikiyah, sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Fiqh Islamiy Wa Adillatuhu, disebutkan bahwa definisi mahar ialah:
َِ َِِْْع0ِ;ْْ ﻥَ^ِْرِ ا7ِ ِ:ََْNْ ِ ُِ]َ!ُ َ ََْل
25
Artinya: Sesuatu yang diberikan kepada istri sebagai ganti (imbalan) dari istimta’ (bersenang-senang) dengannya.
Dari definisi-definisi di atas, tampak bahwa definisi yang dikemukakan golongan Hanafiah membatasi mahar itu hanya dalam bentuk harta, sementara definisi yang dikemukakan oleh mazhab-mazhab lain (termasuk di dalamnya mazhab Maliki) tidak mengadakan pembatasan hanya pada harta saja. Dari sini dapat dipahami bahwa selain golongan Hanafiyah yang salah satunya Maliki, memasukkan
24
Ibid., h. 253.
25
Ibid., h. 253.
jenis atau bentuk-bentuk lain selain harta dalam pengertian mahar, seperti; jasa atau manfaat, mengajarkan beberapa ayat Al-Quran dan sebagainya. Dengan kata lain bahwa mahar itu boleh berupa barang (harta kekayaan) dan boleh juga berupa jasa atau manfaat. Jika berbentuk barang atau harta, disyaratkan haruslah barang tersebut berupa sesuatu yang mempunyai nilai atau harga, halal lagi suci. Sedangkan bila maharnya berbentuk jasa atau manfaat, maka disyaratkan harus dalam arti yang baik26. Dari beberapa pengertian mahar yang telah disebutkan baik menurut mazhab Maliki atau menurut mazhab yang lain, pada dasarnya mahar adalah pemberian wajib dari setiap calon suami kepada istri yang melalui pemberian mahar itu dapat menghalalkan terjadinya hubungan suami istri. Jadi, mahar itu benar-benar menjadi hak penuh bagi istri yang menerimanya, bukan hak bersama dan bukan juga hak walinya. Mahar yang diberikan oleh laki-laki (suami) terhadap istri adalah sudah menjadi hak mutlak bagi istri yang tidak dapat diambil atau dimanfaatkan oleh orang lain terkecuali berdasarkan keizinan atau kerelaan istri. Sejajar dengan hal ini, Yusuf Hamid Al-Amin mengatakan dalam kitabnya “Maqashid Al-A’mmah Al-Syari’ah AlIslami ” bahwa:
26
Ibid., h.254.
`َقF َِ َهُو.ْ-َْ َُ ُ ضِ اQُْaَ ََِْوN َ َ ِ:َْ!وN ِ `َقF ِdcَِ ٌQَِﺙ
27
Artinya: Hak istri atas suaminya itu ditetapkan sebab tuntutan ‘aqad dan dia (mahar) hak yang sabit (tetap) berdasarkan nash. Pemberian mahar kepada istri adalah kebenaran yang juga dilakukan oleh umat manusia, di mana kebiasaan ini seolah-olah sudah menjadi kesepakatan umum yang secara tidak langsung untuk mewajibkannya. Berdasarkan definisi di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa mahar itu adalah suatu pemberian yang wajib ditunaikan oleh calon suami kepada calon istri serta disebut dalam sighat ‘aqad nikah sebagai tanda persetujuan dan kerelaan untuk hidup bersama sebagai suami istri. Mahar atau maskawin dalam ajaran agama Islam, sama sekali bukanlah dimaksud sebagai harga, pengganti atau nilai tukar bagi wanita (calon istri) yang akan dinikahi. Mahar adalah sebagai sebagian dari lambang atau simbol atau tanda bukti bahwa suami menaruh cinta kasih terhadap wanita calon istri yang akan dinikahinya. Mahar juga berfungsi sebagai tanda ketulusan niat dari calon suami untuk membina suatu kehidupan berumah tangga bersama calon istrinya. 28 Mahar yang diberikan pada acara ‘aqad nikah tersebut, dapat juga dinilai sebagai bukti pendahuluan bahwa setelah hidup berumah tangga nanti, suami akan senantiasa memenuhi tanggung jawabnya, berupa memberi nafkah bagi istri dan
27
Yusuf Hamid Al-Amin, Maqashid Al-A’mmah Al-Syari’ah Al-Islami, (Sudan: Dar AlSudaniyah, t.t), h. 426. 28
Syamsuddin Muhammad bin Abi Abbas, Nihayah Al-Muhtaj, (Mesir: Mushthafa Al-Baby Al-Halaby, 1938), Juz 6 h. 238. Dan Lihat Abdurrahman Al-Jaziriy, (op.cit.), h. 108
keturunannya kelak. Hal tersebut ditunjukkan oleh seorang calon suami pada saat awal pernikahannya, yaitu dengan kerelaan hati memberikan sebagian dari hartanya kepada seorang (calon) yang akan menjadi istrinya. Demikian pula sebaliknya, calon istri dengan kesediannya menerima mahar dari calon suami, membuktikan pula bahwa ia dengan rela hati bersedia untuk menjadi istri dari calon suaminya, atau ia rela menerima kekuasaan dan kepimpinan suami terhadap dirinya29. 2. Dasar Hukum Mahar Para ulama telah menyepakati bahwa hukum memberi mahar atau maskawin itu adalah wajib. Hal ini berdasarkan pada dalil-dalil sebagai berikut: a. Al-Quran: Dalam surat An-Nisa’ ayat 4 disebutkan:
"MAST3H R ""1 ^ _ J] / Z[7\ V☺WNXEAY aS7Gb (T '`⌧ 456H )ﺱرةZG,cd ZG8( 9 :6
(٤:ء0اﻝ Artinya: Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan30. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (An-Nisa’: 4) Jihat dilalah dari ayat di atas adalah bahwa Allah SWT telah memerintahkan pada suami-suami untuk membayar mahar pada istrinya. Karena perintah tersebut
29
30
Ibid., h.109.
Pemberian itu ialah maskawin yang besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua pihak, karena pemberian itu harus dilakukan dengan ikhlas.
tidak disertai dengan qarinah yang menunjukkan kepada hukum sunat atau mubah, maka ia menghendaki kepada makna wajib. Jadi mahar hukumnya wajib bagi suami untuk diberikan kepada istrinya, karena tidak ada qarinah yang memalingkan dari makna wajib kepada makna yang lain. Dari segi lain, nihlah dalam ayat di atas juga bermakna Al-Faridhah AlWajibah (ketentuan yang wajib). Dengan begitu, makna ayat adalah: “dan berikanlah kepada wanita (istrimu) mahar sebagai sebuah ketentuan yang wajib”. Pemberian tersebut juga sebagai tanda eratnya hubungan dan cinta yang mendalam, di samping jalinan yang seharusnya menaungi rumah tangga yang mereka bina. Namun demikian, seandainya istri merasa suka atau rela memberikan kepada suaminya sesuatu dari maharnya tanpa merasa dirugikan dan tanpa unsur paksaan atau tipuan, maka suami boleh mengambil atau menggunakan pemberian itu dengan senang hati dan tidak ada dosa bagi suami untuk mengambil serta menerimanya. Dalam hal ini, dapat dilihat bahwa Islam sangat memperhatikan dan menghargai kedudukan seseorang wanita dengan memberikan hak kepadanya, di antaranya yaitu hak untuk menerima maskawin. Mahar hanya diberikan oleh calon suami kepada colon istri, bukan kepada wanita lainnya atau siapa saja, meskipun sangat dekat hubungan dengannya. Orang lain tidak boleh menjamah apalagi menggunakannya, bahkan oleh suaminya sendiri, kecuali dengan ridha dan kerelaan istri sendiri. Di kalangan masyarakat, telah menjadi suatu tradisi yang dijalankan secara turun temurun yaitu, bahwa mereka tidak cukup hanya dengan pemberian mahar saja, tetapi dibarengi pula dengan anekaragam hantaran (hadiah) lainnya, baik berupa
makanan, pakaian, peralatan rumah tangga dan lain-lain sebagai penghargaan dari calon suami kepada colan istri tercinta yang bakal mendampingi hidupnya31. Allah SWT berfirman dalam Surat An-Nisa’ ayat 20:
fE4g 5e<"#1' JK"1 hi 1j lN⌧mI hi 1j XnoE 9K =? @""1 ( R18 q[ *⌧ 3#p(N rb18s[1' / 78⌧L )ﺱرة33@mt P☺7=K"1 33W n
(٢٠:ء0اﻝ Artinya: Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain32, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang Dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ? (AnNisa’ : 20) Firman-Nya lagi dalam surat An-Nisa’ ayat 21 :
EN"1 rb18 q[ 78⌧D"1 wx /v9wK 45umu+ /`A`71' OKWP8T 5um( l8s1'"1 (١٢ :ء0( )ﺱرة اﻝu8:⌧z Artinya: Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat. (Surat An-Nisa’ : 21) Dalam ayat di atas disebutkan, bahwa mahar ini wajib diberikan kepada istri sebagaimana dinyatakan sendiri oleh kata “mahar”. Ia merupakan jalan yang 31
32
Ibid., h. 110.
Maksudnya Ialah: menceraikan isteri yang tidak disenangi dan kawin dengan isteri yang baru. Sekalipun ia menceraikan isteri yang lama itu bukan tujuan untuk kawin, Namun meminta kembali pemberian-pemberian itu tidak dibolehkan.
menjadikan istri senang hatinya dan ridha menerima kekuasaan suaminya kepada dirinya, seperti firman Allah SWT seperti berikut:
v9 l|N fN-{.H M *}~+ ☺ MAST3H M☺"1 wx /v9 =Xn*+ ... 45nH"71' RuK⌧Gb1' (٣٤:ء0)ﺱرة اﻝ Artinya : Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka... (An-Nisa’: 34).
Kemudian pada ayat 24 surat An-Nisa’ Allah SWT juga berfirman:
s uW23AX☺7H"1
69: ~0K MAST3H M A:W D R 45um3W☺ ,1' I 56H I}&'"1 / 456789:; R?4m J1' 45umH "M"#"1 "
4.⌧z ^3Q7v 56H"71[ ☺ ☺ / QGWAS 23% *0"1 / ()*+,-. ! "#%&' =? @AB. ☺< 456789:; )*+,-.⌧G7H E D O☺<: JN⌧D LM IJK / (٢٤ : ء0 )ﺱرة اﻝP☺
33
Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki33 (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu, dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian34 (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini
Maksudnya: budak-budak yang dimiliki yang suaminya tidak ikut tertawan bersama-
samanya. 34
Ialah: selain dari macam-macam wanita yang tersebut dalam surat An Nisa' ayat 23 dan 24.
bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu35. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Surat An-Nisa : 24) Al-istimta’ dalam ayat di atas artinya bersenang-senang dan Al-ita’ mencakup pengertian memberikan dan mengharuskan. Sedangkan Al-ujur bisa diartikan dengan mahar36. Mahar dinamakan dengan ajr (upah), karena ia merupakan upah atau imbalan dari kesediaan bersenang-senang. Jadi makna yang terkandung dalam ayat ini, (seperti yang dikemukakan oleh Mujahid dan lain-lain) adalah: Manfaat dan kesenangan yang diperoleh seorang laki-laki dari seorang wanita (istrinya) ketika melakukan hubungan suami istri yang disahkan melalui jalur pernikahan dan memberikannya dalam bentuk mahar.37 Jihad dilalah dari ayat ini sangat jelas, yaitu ketika Allah SWT berfirman:
!ُُ أُُْرَهُ! َ]ُْه:َRِْ َر.
Perintah di sini cukup tegas menunjukkan
kepada hukum wajib, sebab tidak ada sama sekali qarinah yang memalingkan kepada makna lain seperti mubah atau sunat38.
35
Ialah: menambah, mengurangi atau tidak membayar sama sekali maskawin yang telah
ditetapkan. 36
Abi Abbas, Nihayah Al-Muhtaj, h. 112.
37
Ibid., h. 112.
38
Ibid., h. 113.
Dari ayat tersebut, jelaslah bahwa Allah SWT mengatakan, wanita maupun di antara wanita-wanita yang dihalalkan bagi kalian (kaum laki-laki) untuk kalian kawini, maka berikanlah imbalannya, yaitu maskawin yang telah kalian wajibkan sebagai imbalan dari kenikmatan yang kalian rasakan itu. Hikmah yang terkandung di dalamnya adalah, bahwa ketika Allah SWT memberikan kepada kaum laki-laki hak untuk mengatur wanita, hak untuk memimpin rumah yang mereka tempati, dan hak menggauli istrinya. Sebagai konsekuensinya, Allah SWT mewajibkan kepada laki-laki untuk memberikan hak istrinya sebagai bentuk balasan atau penghargaan yang akan menyenangkan dirinya dan menjamin terwujudkan keadilan antara istri dan suami. Mahar ditetapkan pada waktu melangsungkan ‘aqad nikah kemudian berada di dalam kekuasaan orang yang diberi. Telah menjadi adat, bahwa mahar diberikan seluruhannya atau sebagian besarnya sebelum (dukhul) persetubuhan. Akan tetapi, mahar itu tidak wajib diberikan seluruhnya, kecuali jika dukhul telah berlangsung. Bagi siapa yang telah diceraikan sebelum terjadinya dukhul, maka suami hanya berkewajiban memberikan separuhnya saja, bukan seluruhnya. Sedangkan bila suami belum memberikan sesuatu sebelum dukhul, maka dia berkewajiban membayar seluruh mahar sesudahnya.39 Selanjutnya Allah SWT juga menjelaskan, bahwa tidak ada halangan bagi setiap pasangan suami istri untuk mengurangi jumlah mahar setelah ditentukan sebelumnya, atau meninggalkan seluruhnya sama sekali, atau menambahkannya
39
Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, (Beirut-Lebanon : Dar Al-Fikr, 1983), Jilid 2, h. 140-141.
dengan syarat keridhaan dari kedua belah pihak, terutama istri. Karena tujuan dari berlangsungnya suatu pernikahan adalah agar keduanya hidup dalam keadaan saling meridhai, saling mencintai, saling mengasihi, tenang dan tenteram dalam rumah tangga.40 Lebih dari itu, Allah SWT pencipta syari’at Maha Bijaksana, tidak meletakkan bagi kalian kecuali apa-apa yang mengandung kebahagiaan individu dan ummat, serta menjunjung tinggi urusan-urusan pribadi dan umum. Dengan kebijaksanaan-Nya, Allah SWT menetapkan syari’at-syari’at bagi para hamba-Nya, yang di dalamnya berisi kemaslahatan jika mereka berpegang teguh kepada-Nya. Di antaranya, Allah SWT mewajibkan kepada mereka, ‘aqad nikah untuk memelihara harta dan keturunan; mewajibkan kepada orang yang ingin menikmati wanita untuk membayar mahar yang mencukupinya sebagai tanda ia menerima untuk dikuasai dan dipimpin; serta mengizinkan bagi semua suami istri untuk melakukan yang baik bagi mereka atas dasar saling meridhai, seperti menggugurkan seluruh atau sebagian mahar, mengurangi atau menambahnya.41 Mahar itu wajib dibayar suami kepada istrinya. Namun setelah pasti ketentuan pembayarannya, tidak tertutup kemungkinan bagi pasangan suami istri yang saling cinta-mencintai, ridha-meridhai menjadi patri mesra dalam sebuah rumah tangga untuk menghadiahkan kembali mahar itu kepada suaminya, demi kepentingan dan kesenangan bersama karena harta itu telah menjadi harta istri.42 40
Ibid., h. 142.
41
42
Ibid., h. 143. Ibid., h. 144.
Hal ini, dapat kita melihat contoh yang diberikan oleh Khadijah selama masa perkawinannya dengan Nabi Muhammad SAW lima belas tahun sebelum ia menjadi Rasulullah SAW. Mahar Khadijah dibayar penuh oleh Nabi Muhammad SAW. Setelah maskawin itu menjadi miliknya dan telah tergabung dengan harta yang lain, demi cintanya kepada Rasulullah SAW dan untuk membantu perjuangannya, bukan hanya jiwa dan raganya saja yang diserahkan kepada suaminya, bahkan hartanya pun turut diserahkan semua. Sehingga pembelanjaan Rasulullah SAW dalam melakukan penyebaran Islam di zaman perjuangan pertama itu, sebagian besar adalah dari harta Khadijah. Demikianlah suri teladan yang patut diikuti dari kehidupan perkawinan Khadijah dengan Rasulullah SAW terutama dari sisi manfaat mahar. b. Al-Sunnah Terdapaat banyak hadits Rasulullah SAW sebagai dalil yang menyatakan bahwa mahar adalah suatu kewajiban yang harus dipikul setiap calon suami yang akan menikahi calon istrinya. Di antaranya ialah:
َ1! َ0َ َِْ َ ُg7! َE ِgُوْلَ ا0َ"أَ! ر، ِْي.َِِ اْ ﺱ.ََ0 ُْ ٍَْل0 َْ ْ َ ََت.َjَ ْXِ وَهَْتُ ﻥَْﺱ7hِ إِﻥg َُْل0َ َ :ْQَ َ-َ ،ٌَُْ إَِْأَةDَ َِ َjَ َُِْْْ إِْ َمْ َآhَN، ِg ُُْ0َ َر:ٌَ َلَ رَُل، ً"ِْ=َو !nِِيْ إ.ِْ َ :َ َُ؟ َ َلh.ٍَ ُﺹDْXَ َْ ِنjَ.ِْ َْ ه:َ َ َل.ٌ:ََF َِْ إjََا:ََِ !م0َُ َ َِْ وg 7! َِ ﺹg ُُْ0َ َ َ َل.َاoََارِيْ هNِإ : ل.ُ.َِ ﻡَأ:َ َ َل.ًrَْ ْqَِْ َ َjَ ََ اَرn ََ وQْ0َ َ ََْأَْ=َی ََ َ، ًrََْ َ َمْ َِدْ ﺵqََ َْ :ََ .ٍ.َِْدF َْﺕِﻡً ﻡِنt َْ َ ْاِ ْﺕَﻡِس
:ٌَ؟ َلvَ ِنAُْ َْ َِ اjََ ْ هَل:ََ !م0َُ َ َِْ وg 7! َE ِg ُُوْل0َ ِg ُُوْل0ََ َلَ ر، َََه0 ٍُوَر0ِ ،َاoَُوْرَةٌ آ0َو، َاoَV ٌُوْرَة0 ،ََْم ″.ََِ ِنَ اْ ُرْاjََ َِ ََVََُْN :َ1! َ0َ َِْ َ ُg 7! َE 43
( يoا رY)روا
Artinya: Dari Sahl bin Sa’idi, sesungguhnya Rasulullah SAW kedatangan tamu seorang wanita yang mengatakan: “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku serahkan diriku kepadamu”. Lalu wanita itu berdiri cukup lama sekali. Kemudian tampil seorang laki-laki dan berkata: “Ya Rasulullah SAW, nikahkanlah aku dengannya jika memang engkau tidak ada minat kepadanya”. Rasulullah SAW lalu bertanya: “Apakah kamu mempunyai sesuatu yang bisa diberikan sebagai maskawin kepadanya?” Laki-laki itu menjawab: “Saya tidak mempunyai apa-apa kecuali kain sarung yang sedang saya pakai ini ”. Nabi berkata lagi: “Jika sarung tersebut engkau berikan kepadanya, maka engkau akan duduk dengan tidak mengenakan kain sarung lagi. Karena itu carilah yang lain”. Lalu ia mencari tapi tidak mendapatkan sesuatu. Nabi bersabda lagi kepadanya: “Carilah, meskipun hanya sebentuk cincin dari besi”. Lelaki itu pun mencoba mencarinya namun tidak mendapatkan apa-apa. Lalu Rasulullah SAW bertanya lagi kepada laki-laki tadi: “Apakah kamu hafal sedikit saja dari ayat-ayat AlQuran”. Lelaki tadi menjawab: “Tentu saja, aku hafal surah ini dan surah ini”. Ada beberapa surat yang ia sebutkan. Lalu Rasulullah SAW bersabda kepadanya: “Kalau begitu aku nikahkan kamu dengannya dengan maskawin surat Al-Quran yang kamu hafal”. (Diriwayatkan oleh AtTirmidzi). Wajah dilalah dari hadits ini adalah perintah Rasulullah SAW sendiri pada laki-laki tersebut untuk mencari sesuatu yang dapat dijadikan mahar. Perintah itu menunjukkan kepada wajib karena Nabi SAW tetap menyuruhnya untuk mencari sampai beberapa kali, sampai beliau mengatakan: “Meskipun sebentuk cincin dari besi”.44
43
Abu Isa Muhammad ibn Surah At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, (Muhammad Jamil AlA’thar), Beirut-Lebanon: Dar Al-Fikr, t.t.), Juz 2, h. 360-361.
Dalam hadits di atas, pertama sekali Nabi SAW menyuruh mencari sesuatu untuk dijadikan mahar. Kata “sesuatu” pada dasarnya mencakup segala sesuatu yang baik bernilai atau yang tidak bernilai. Namun ketika Rasulullah SAW mengatakan “meskipun sebentuk cincin dari besi” dapatlah dipahami bahwa yang dimaksud dengan “sesuatu” sebagai mahar dalam hadits di atas adalah sesuatu yang bernilai. Maka tidak bisa dijadikan mahar benda yang tidak bernilai seperti sebiji padi. 45 Berdasarkan hadits di atas dan juga hadits-hadits yang lain, jelaslah bahwa mahar adalah suatu kewajiban yang harus ditunaikan oleh setiap calon suami yang akan menikahi calon istrinya. Oleh karena itu tidak mungkin diadakan persetujuan (ijma’) untuk meniadakannya. Namun masih perlu dikaji apakah mahar merupakan salah satu rukun atau syarat sahnya nikah. Jumhur ulama tetap berpendirian bahwa mahar tidak bisa dikatakan sebagai rukun nikah atau syarat sahnya nikah, tetapi hanya sebagai konsekuensi logis dari pelaksanaan ‘aqad nikah. Jelaslah mahar adalah wajib, ia boleh berupa barang (harta kekayaan) dan boleh juga berupa jasa atau manfaat. Kalau berupa barang, disyaratkan haruslah barang itu berupa sesuatu yang berupa sesuatu yang mempunyai nilai atau harga, halal lagi suci. Sedangan kalau berupa jasa atau manfaat haruslah berupa jasa atau manfaat dalam arti yang baik.46 c. Ijma’
44
Ibid., h. 362.
45
Ibid., h. 362.
46
Ibid., h. 363.
Para ulama sepakat (ijma’) bahwa mahar itu wajib hukumnya dalam pernikahan dan mahar juga merupakan bagian dari syarat sahnya nikah, yang harus dipikul oleh setiap calon suami terhadap calon istrinya.47 B. Kedudukan Mahar Salah satu dari keistimewaan Islam adalah memperhatikan dan menjunjung tinggi kedudukan wanita. Penghargaan tersebut berupa memberikan hak kepada kaum wanita untuk memegang urusannya (menerima mahar). Pada zaman Jahiliyah hak wanita dihilangkan dan disia-siakan. Sehingga para wali dapat dengan semena-mena memanfaatkan hartanya dengan tidak memberi kesempatan kepada wanita yang di bawah perwaliannya itu untuk mengurus atau menggunakan harta miliknya sendiri. Kemudian datanglah Islam yang membawa rahmat keseluruh alam. 48 Begitu pula untuk kaum wanita, kehadiran Islam menghilangkan belenggu tradisi tersebut. Wanita diberikan hak untuk memperoleh mahar, sedangkan laki-laki diwajibkan memberikan mahar, bilamana ia hendak mempersuntingkan seorang wanita menjadi istrinya. Mahar diberikan langsung kepada wanita yang dimaksudkan, bukan kepada wali atau ayahnya atau kepada orang yang mempunyai hubungan terdekat sekalipun. Selain wanita yang bersangkutan, tidak ada yang boleh mengganggu gugat mahar itu, kecuali atas izin dan kerelaannya sendiri. 49
47
Syamsuddin Muhammad bin Abi Abbas, Op.cit., h. 328.
48
Ibid., h. 329.
49
Ibid., h. 330.
Berdasarkan ijmak, baik dari masa Rasulullah SAW hingga saat ini, masalah mahar menjadi sesuatu yang penting dalam setiap perkawinan. Bukti dari kepedulian umat Islam mementingkan kedudukan dan eksistensi (keberadaan) mahar adalah, bahwa sangat jarang ditemukan adanya adat atau tradisi suatu masyarakat yang meniadakan atau menghilangkan mahar dalam perlaksanaan perkawinan. Para fuqaha mengantisipasikan hal tersebut dengan memberikan ancaman hukuman, jika terjadi suatu usaha untuk menggugurkan hak memberi mahar. Sebagai mana yang dikutip dalam kitab “Maqashid Al-A’mmah Al-Syari’ah Al-Islami” yang mengatakan:
َ.َْ َِْ َْمُ ا.َ ِِْ6 َ=ِِيْ ُرoآَحِ ا!ﻝh اXِ ُDََ اْ ُ َﻡxَ َْﺕtِإ 50
.ِYِْVِo ُِْو.ِ ِ.ْ-َ ِْ ا:!FِEْ ْ َ َِْ ََازُ ا1ِِ-َ!إِﺕ
Artinya: Para ulama telah berbeda pendapat pada pernikahan yang mensyaratkan tidak ada mahar di dalamnya setelah mereka sepakat atas kebolehan sahnya ‘aqad dengan tidak menyebutkan mahar. Dari kutipan di atas, dapat dipahami bahwa terdapat perbedaan pendapat di kalangan fuqaha, yaitu adanya membolehkan dan ada yang tidak membolehkan sesuatu perkawinan yang berlangsung dengan menghilangkan atau meniadakan mahar dengan sengaja. Sementara itu hukum tidak menyebutkan, bahwa mahar dalam ‘aqad nikah adalah boleh, kebolehan tersebut merupakan ijma’ ulama yang di dasarkan pada firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 236 sebagai berikut:
7K:_ JK 46789:; "(% ~0 @S☺ 45H "MAST3H … / ()*+,-. XnH RuB-.7G 11'
( ٢٣٦-Y- )ا
50
Yusuf Hamid Al-Amin, Op.cit., h. 427.
Artinya: “Tidak mengapa bagi kamu (tidak berdosa) jika kamu menceraikan istriistri kamu yang belum kamu gauli atau belum menetap bagi mereka maharnya…”(Al-Baqarah:236) Mahar merupakan konsekuensi dan salah satu hukum dari sebagian hukum yang berhubungan dengan suatu perkawinan yang shahih dan berhubungan sebadan sesudah terjadinya perkawinan fasid serta hubungan sebadan yang disebabkan kesamaran (ketidakjelasan). Mahar diwajibkan atas suami untuk diberikan kepada istri dengan didahului oleh ‘aqad nikah yang sah. Kewajiban itu menjadi semakin kuat dengan terjadinya hubungan kelamin dengan istri atau bersenang-senang yang sewajarnya dengannya ataupun karena kematiannya. Baik mahar itu disebutkan dalam ‘aqad nikah dengan penyebutan yang benar atau tidak disebutkan atau ditiadakan ataupun disebutkan dengan penyebutan yang tidak benar. Hanya saja, bila mahar itu disebutkan dalam ‘aqad nikah dengan penyebutan yang benar, maka yang telah disebutkan itu secara langsung (positif) menjadi hak istri dengan adanya ‘aqad tersebut. Jika tidak disebutkan, maka digantikan dengan mahar mitsil (persamaan) yang tetap menjadi hak istri.51 Mahar wajib pula atas suami kepada istrinya dengan terjadinya hubungan badan suami istri (dukhul), apabila hal itu terjadi setelah ‘aqad nikah yang fasad (batal, tidak sah) seperti perlaksanaan nikah tanpa dihadiri saksi-saksi atau setelah terjadinya kesamaran yang diakui keberadaannya, tanpa melalui pernikahan sama sekali. Sebagaimana seorang laki-laki menemui seorang perempuan di atas tempat
51
Ibid., h. 428.
tidurnya, kemudian ia menyangka perempuan itu istrinya dan lalu berhubungan badan dengannya. Pada hal ternyata perempuan itu adalah orang lain, bukan istrinya. Tetapi dalam hal ini, mahar itu menjadi sangat wajib sejak permulaan yaitu karena telah terjadinya hubungan badan.52 Selanjutnya, bila hubungan sebadan itu dilakukan setelah terjadi kesamaran, maka yang wajib untuk perempuan itu adalah mahar mitsil secara mutlak. Kemudian apabila hubungan sebadan itu terjadi sesudah ‘aqad nikah yang fasid, maka jika mahar disebutkan ketika ‘aqad, wajib bagi perempuan itu menerima haknya dalam jumlah yang lebih kecil antara mahar mitsil dan mahar musamma (yang disebutkan). Jika mahar tidak disebutkan, maka wajib bagi laki-laki tersebut untuk memberikan mahar mitsil kepada wanita itu secara mutlak. 53 Dalil melalui kewajiban mahar atas suami untuk istrinya adalah Al-Quran AlKarim, di antaranya firman Allah SWT dalam surat An-Nisa’ ayat 4 (sebagai mana yang disebutkan dalam pembahasan sub bab terdahulu), juga terdapat di dalam sunnah Nabi baik Qauliyyah (sabda), Amaliyah (amalan) dan Takririyah (penetapan). Di antaranya adalah apa yang dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim dari hadits seorang perempuan yang menghibahkan dirinya kepada Rasulullah SAW, sementara beliau
tidak
berminat
untuk
menikahinya.
Kemudian
Rasulullah
SAW
mengawinkannya dengan salah seorang yang hadir dalam pertemuan itu disertai izin dari perempuan tersebut terlebih dahulu. Beliau berkata kepada laki-laki yang mengawini perempuan itu:
52
Ahmad Al-Hajji Al-Qurdi, “Ahkamul Mar’ati Fi Fiqhil Islamy” Hukum-hukum Wanita dalam Fiqh Islam, (Terj. Moh. Zuhri. Ahmad Qarib), (Semarang: Dina Utama, 1986), h.33. 53
Ibid., h. 34.
54
...ٍ.ِْ.َF ِْ ًَِt َْ َ ْqَِْ ِ… ا
Artinya:…Carilah, sekalipun hanya sebuah cincin dari besi… Hadits lainnya yaitu, sebagaiman yang diriwayatkan oleh Abdul Rahman bin ‘Auf ketika ia ditanya oleh Rasulullah SAW tentang keadaannya, maka ia menjawab: “Saya telah mengawini seorang perempuan dengan maskawin seberat biji-bijian dari emas”. Rasulullah SAW bersabda: 55
…ٍ اَوْ ِمْ وَ َوْ ِﺵَة،َjَ ُg َjَ…َر
Artinya: ….Semoga Allah SWT memberkatimu, adakanlah walimah walaupun dengan seekor kambing.… Rasulullah SAW nikah beberapa kali dan pernikahan itu tidak pernah terlepas dari mahar.56 Begitu pula ketika beliau mengawinkan empat orang puterinya dan mensyaratkan mahar untuk mereka. Dengan demikian jelaslah bahwa kedudukan mahar sangat penting di dalam suatu perkawinan. Mahar merupakan suatu pemberian dalam perkawinan dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan dan khusus menjadi harta miliknya sendiri. Islam telah mengangkat derajat kaum wanita, karena mahar itu diberikan sebagai suatu tanda penghormatan kepadanya. Bahkan andai kata perkawinan itu
54
Muhammad Asy-Syaukani, Nailul Authar, (Terj. Adib Bishriy Musthofa), (Semarang: AsySyifa’, 1994), Jilid 6, h. 613. 55
Ibid., h. 614.
56
Ibid., h. 615.
berakhir dengan perceraian (talak) maka maskawin itu tetap merupakan hak milik istri dan suami tidak berhak mengambilnya kembali.
C Jenis-Jenis Mahar Ulama fikih telah sepakat bahwa mahar itu ada dua jenis yaitu mahar musamma dan mahar mitsil57. 1. Mahar Musamma Mahar musamma yaitu: mahar yang sudah disebut atau dijanjikan kadar dan besarnya ketika ‘aqad nikah atau mahar yang dinyatakan kadar atau jumlahnya pada waktu ‘aqad nikah.58 Ulama fikih sepakat bahwa dalam perlaksanaannya, mahar musamma harus diberi secara penuh apabila telah bercampur (berhubungan badan) dan salah satu dari suami istri meninggal dunia. Mahar musamma juga wajib dibayar secara keseluruhan apabila suami telah bercampur dengan istrinya dan ternyata nikahnya rusak (fasid) dengan sebab-sebab tertentu, seperti ternyata istrinya mahram sendiri atau dikira perawan ternyata telah janda atau hamil dari bekas suami terdahulu. Tetapi kalau istri diceraikan sebelum bercampur, maka mahar hanya wajib dibayarkan setengah dari jumlah yang telah disebutkan dalam ‘aqad.59 Dasarnya adalah firman Allah SWT yang berbunyi:
J1' }4mN X☺?7K:_ JK"1 i =? B. EN"1 @S☺
57
Ibnu Rusd, Bidayatul Mujtahid, (Beirut-Lebanon: Dar Al-Fikr, 1983) h. 15.
58
Ibid., h. 15.
59
Abdur Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Bogor:Kencona, 2003), h. 93.
) ..... B. X3 ()*+,-. . (٢٣٧Yا ر Artinya: “Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kaum tentukan itu.... ”(Al-Baqarah:237). 2. Mahar Mitsil Mahar mitsil ialah mahar yang seharusnya diberikan kepada perempuan atau diterima oleh perempuan yang sama jumlahnya dengan yang diterima perempuan lainnya, umurnya, kecantikannya, hartanya, akalnya, agamanya, gadisnya, janda dan negerinya.60 Dengan kata lain, mahar mitsil yaitu mahar yang tidak disebut besar jumlahnya pada saat sebelum ataupun ketika terjadi pernikahan atau mahar yang diukur (sepadan atau disamakan) dengan mahar yang pernah diterima oleh keluarga terdekat, agak jauh dari tetangga sekitarnya dengan mengingat status sosial, kecantikan dan sebagainya. Bila terjadi hal demikian (mahar itu tidak disebut besar kadarnya pada saat sebelum atau ketika terjadi pernikahan), maka mahar itu mengikuti maharnya saudara perempuan pengantin wanita (bibi, bude, anak perempuan bibi, anak perempuan bude). Apabila tidak ada, maka mahar mitsil itu beralih dengan ukuran wanita lain yang sederjat dengannya. Mahar mitsil juga terjadi dalam keadaan berikut:61
60
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Terj. Moh. Thalib), (Bandung: Al-ma’arif, t.t), Jilid , h. 65-
61
Abdur Rahman Ghazaly, (Op.cit.), h. 94.
66.
a. Apabila tidak disebutkan kadar mahar dan besarnya ketika berlangsung ‘aqad nikah, kemudian suami telah bercampur dengan istri atau meninggal sebelum bercampur. b. Jika mahar musamma belum dibayar sedangkan suami telah bercampur dengan istri atau meninggal sebelum bercampur. Wajibnya mahar dalam suatu perkawinan pada umumnya telah diketahui oleh umat Islam secara menyeluruh, hal ini dipahami di samping adanya nash, karena adanya praktek ‘aqad nikah yang jelas dan terbuka. Kewajiban memberi mahar tersebut tidak ada ketentuan ukurannya, karena Islam tidak menetapkan jumlah (besar atau kecilnya) mahar. Disebabkan adanya perbedaan kondisi (kaya dan miskin), mudah dan sulitnya rezeki serta tradisi yang membudayakan (dipakai). Oleh karena itu Islam menyerahkan masalah jumlah mahar berdasarkan kemampuan masingmasing orang.62 Dengan demikian, syari’at Islam tidak menetapkan besar atau kecilnya jumlah mahar yang harus diberikan oleh calon suami kepada calon istri, karena di samping untuk menghindari dari kesulitan juga bertujuan untuk mencari ketulusan yang murni. D. Syarat Sahnya Mahar Dan Hikmah Mahar 1. Syarat-syarat Sahnya Mahar Mahar yang diberikan oleh seorang laki-laki (suami) terdapat seorang calon istri adalah suatu kewajiban yang tidak dapat ditinggalkan atau dihilangkan, bahkan
62
Sayyid Sabiq, (Terj. Moh. Thalib), (Op. cit)., h.54.
tidak dapat pula kurang dari syarat-syarat yang telah ditentukannya. Para fuqaha dalam hal ini menetapkan bahwa syarat-syarat mahar tersebut adalah: a. Benda yang halal dan suci Suatu benda yang akan dijadikan mahar harus benar-benar terhindar dari unsur-unsur haram, karena itu mahar harus boleh dimiliki atau diperjual belikan atau dimanfaatkan. Dalam kitab Al-Fiqhu ‘ala Mazahib Al-Arba’ah disebutkan:
َُا.َE ْ اM~ِEَ َ"َ، ِِ َُِِْعnْ اM~ِEَ ٌاَْ َآُوْنَ =َهَِة ََ َ:َِْ َn َDََِْْ اYِoَِ َِ! ه:َِ وَاْ َْﺕ1M. ِیْرِ وَاNِْﻥt َْْرِوَ اtْ ِﺏ ِ:!َِ"ْ0ِ;ِْ ا:َِْ َِْا !ر7ِ
63
Artinya: Bahwa keadaan suci, sah dimanfaatkan dengannya, maka tidak sah mahar dengan minuman keras, babi, darah, dan bangkai karena yang demikian itu tidak ada harganya menurut pendapat syariat Islam.
Tidak dibenarkan benda-benda yang disebutkan di atas seperti minuman keras, babi, darah dan bangkai sesuai menurut penjelasan Al-Quran surat Al-Maidah ayat 3, yang berbunyi:
) 7<☺7H 56789:; -{. .,-3,7 57"1 M"1 M
4.H I}&' M"1 . (٣دة ـr … )ا Artinya: “Diharamkan bagimu memakan bangkai, darah, daging babi dan sesuatu (binatang) yang disembelih atas nama selain Allah SWT dengannya….” (Al-Maidah : 3)
63
Abdur Rahman Al-Jaziriy, (Op. cit.), h. 97.
Dari pengertian ayat di atas dan hubungannya dengan kutipan yang mengharamkannya mahar dengan benda yang tidak bermanfaat menurut Islam, maka dapat diambil perhatian bahwa segala benda yang haram untuk dipergunakan atau dimanfaatkan haram pula dijadikan mahar. b. Benda yang berharga Di samping tidak dibolehkannya mahar dengan benda-benda yang telah diharamkan dalam Islam, mahar juga tidak dibenarkan dengan benda-benda atau sesuatu yang tidak ada harganya, seumpama sampah, biji buah-buahan, buah-buahan yang busuk dan lain sebagainya. Hal ini dijelaskan dalam kitab Al-Fiqhu ‘ala Mazahib Al-Arba’ah sebagai berikut:
ٍ:َََِِْ َُ آ-َn ِْيo! ِیْرِا0َ ِْ M~ِEََ"َ ،َِْ َُ َ ًnَ َُْوVَ َْأ .64 dِ ِْن Artinya: Mahar adalah sesuatu harta benda yang mempunyai harga, maka tidak sah mahar dengan harganya murah yang tidak mempunyai harga seperti biji gandum. Dari kutipan di atas dapat dipahami bahawasanya mahar tidak dibenarkan dengan sesuatu benda yang tidak ada harga atau nilai, meskipun benda tersebut halal. Karena demikian itu terlalu mempermudah, seharusnya mahar tersebut hendaklah yang dipandang baik sebagaimana menurut pemahaman yang dapat diambil dari surat Al-Baqarah ayat 267 yang berbunyi:
64
Ibid., h. 96.
^NLM nt,1[W, RuKGb1' R(" (٢٦٧: )ا ة... 1=?4AS* Wm{<_ Artinya: “Hai orang –orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah SWT) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik… ”
(Al-Baqarah:267)
Hal ini juga dapat dilihat pada hadits Nabi SAW:
7ِ!ٌ ا ﻥ:ََْﺝN َ:ََِ]َ َتْ َﺉ0 :ََل- َِْنF!ِ ِْ َْدِ ا ر:ََ َ0 7ََِْ أ َ؟1! َ0َ ِِْ َ َیg ُِْ0َ َُا.َE ََْ آ1َV :ََ !م0َ َِْ َ ُg 7! َE :Qَ َ-َ ،ً!َ ً:َ ََرَ أَْ ِی7ََْaَِْاِِ اNَ]ٌِ ﻝ:َ َا.َE َ آَن:َْ َت ُqَْt َjْ َِ ،ٍ:َِ ُُْ اxْEِ ﻥ:ْQَ َ- ،َn :ْQَ َ- :ََل- ؟Mْرِى َ اْ َش.ََا ََ !م0َُ َ َیِْ وg 7! َE ِg ُِْ0َ َُا.َE َاoََ .ٍ1َِرْه. ِ:َِﺉ 65
( م0 Yَْاِِ )رواNَ
Artinya: Dari Abi Salamah bin Abdurrahman berkata: Saya bertanya kepada Aisyah istri RasulullahSAW, berapa maskawin Rasulullah SAW? Aisyah menjawab: maskawin kepada istri-istrinya adalah dua belas uqiah dan nash. Aisyah bertanya: tahukah engkau akan nash itu? Saya menjawab: tidak tahu. Aisyah berkata: setengah uqiyah, maka yang demikian itu lima ratus dirham. Inilah maskawin Rasulullah bagi istri-istrinya. (H.R Muslim) Hadits di atas menunjukkan benda yang berharga seperti mata uang, karena itu ia (mata uang) dapat dijadikan mahar. Hal seperti ini terdapat dalam masyarakat sekarang, di mana pihak pengantin pria menyerahkan sejumlah uang kepada pihak pengantin wanita pada saat ‘aqad nikah sebagai maskawin.
65
Imam Nawawy, Shahih Muslim Bi Syarhi Al-Nawawy, (Mesir: Al-Mathba’ah Al-Misriyah Wa Maktabuha, 1924), Juz 3, h. 585.
c. Benda yang dimiliki Di samping mahar tersebut sesuatu (benda) yang halal dan berharga, mahar juga harus benda yang dimiliki oleh seseorang dan dapat diserah kepada pengantin perempuan tersebut, dengan demikian mahar tidak boleh seperti burung yang terbang di udara atau ikan di laut yang belum dimiliki. Hal ini dijelaskan juga dalam kitab AlFiqhu Islamiy Wa Adillatuhu sebagai berikut:
ٌ.َِ ٌِْ َnَ ٌٌَِ ا.َْ ِِْ ُNَُْ َ"َ ،ِْ َمَ َِ اْ َرَر0َ َْأ 66
َُُِْ
Artinya: Bahwa benar mahar itu terhindar dari tipuan, maka tidak boleh mahar itu seorang hamba sahaya yang lari (hamba sahaya tersebut tidak ada di depan mata) unta yang sesat (unta yang tidak ada di depan mata) atau sesuatu yang serupa keduanya. Kutipan di atas menunjukkan tidak sah dijadikan mahar benda yang bukan miliknya, seperti barang titipan orang kepadanya dan tidak sah juga menjadikan mahar kalau tidak sanggup menyerahkannya, seperti miliknya yang telah dirampas orang dan tidak sanggup mengambilnya kembali. 2. Hikmah Mahar Salah satu dari usaha Islam ialah memperhatikan dan menghargai kedudukan wanita, yaitu memberikan hak untuk memegang urusannya, seperti hak untuk
66
Wahbah Az-Zuhaily, (Op.cit.), h. 259.
menerima mahar dan mengurusnya. Suami diwajibkan memberi mahar kepada istrinya bukan kepada ayahnya.67 Pensyari’atan mahar dalam perkawinan mengandung arti yang sangat dalam, antara lain: sebagai penghormatan terhadap yang dicintai, mengikat jalinan kasih sayang kepada istri serta mempererat hubungan antara keduanya, bukan dianggap pemberian atau ganti rugi.68 Pemberian mahar merupakan salah satu jalan yang dapat menjadikan istri berhati senang dan ridha menerima kekuasaan suami terhadap dirinya. Pemberian mahar itu kepada istrinya bukanlah harga dari wanita itu, dan bukan pula sebagai pembelian wanita itu dari orang tuanya, akan tetapi pensyari’atan mahar tersebut merupakan salah satu syarat yang dapat menghalalkan hubungan suami istri antara keduanya, yaitu hubungan timbal balik dengan senang hati dan penuh kasih sayang, dengan meletakkan status kepemimpinan dalam rumah tangga secara tepat dan bertanggungjawab.69
Dengan adanya kewajiban memberi mahar kepada istri, terentanglah tanggungjawab yang besar dari suami untuk memberikan nafkah di dalam kehidupan rumah tangga secara layak. Sebagaimana terdapat dalam firman Allah SWT:
v9 l|N fN-{.H M *}~+ ☺ MAST3H M☺"1 wx /v9 =Xn*+ / 45nH"71' RuK⌧Gb1'
( ٣٤ـD0 )ا
67
Ibid., h. 260.
68
Ibid., h. 261.
69
Ibid., h. 262.
Artinya: “Kaum laki-laki adalah pemimpin kaum wanita, karena Allah SWT telah melebihkan sebagian dari mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), oleh karena itu laki-lakilah yang menafkahkan hartanya…”. (An-Nisa’: 34). Hikmah pensyari’atan mahar dalam perkawinan Islam antara lain adalah sebagai berikut: 1. Untuk menghalalkan hubungan antara pria dengan wanita, karena antara keduanya saling membutuhkan. Kebutuhan tersebut baru dapat terpenuhi melalui ikatan perkawinan (‘aqad nikah). Mahar itu hanya ada dengan sebab ‘aqad nikah. Adapun pemberian seorang pria kepada seorang wanita di luar ikatan perkawinan (bukan karena ‘aqad), itu bukanlah dinamakan mahar sekalipun pemberian itu banyak sekali, dan pemberian seperti itu tidaklah menghalalkan antara keduanya.Rasulullah SAW pernah bersabda:
ْ َن:ََ َل1! َ0َُ َ َِْ وg 7! َE !7ِ! اَ! ا ﻥ:ِg ِ.َْ ِْ َِِ َْ ْ.َ َ َِْ ً اَْ َْرًا0 ٍ:ََِV ََاقِ إَِْأَةٍ ِلْء.َE 7ِ ْ7َ=َْا 70
(.او.اYْﺕَﺡَ! )وا0ِا
Artinya: “Dari Jabir bin Abdillah RA bahwa Nabi SAW bersabda: Barangsiapa memberi tepung atau kurma kepada wanita sebagai maskawin, maka
70
Abu Daud Sulaiman bin Al-Ays’ats bin Ishaq bin Ishaq bin Basyir bin Syaddad bin ‘Amar bin Imran Al-Sisijstani, Mukhtashar Sunan Abi Daud, (Terj. H. Bey Arifin A. Syinqithy Djamaluddin), (Semarang: Cv Asy Syifa’, 1992), h. 41.
sesungguhnya ia telah menjadikan wanita itu halal. ” (Diriwayatkan oleh Abu Daud).
2. Untuk menjadi suatu penghargaan terhadap wanita, dalam arti bukan pembelian. Karena itu tidak ada tawar-menawar dalam soal mahar. Makanya dalam hukum agama Islam, setiap suatu yang berharga boleh dijadikan mahar, walaupun hanya sepasang sandal. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits.
ََaَ.َFَ:ٍ.َِْ0 ِْ َXْFَ َِa.َF ،ٍُ ِْ َِر.َFُ ََﺙ.َF ُ:ََْ َََﺙ.َF :َ ُْا- ،ٍََْ ُْ ُ.َFُ َ ِى.َْ ِْ َِْF َْدَا ِْ َِِ ُْ ِg ُ.َْ َُِْت0 ََ- ،ِg ِ.َُْ ِْ ِ1ِEَ َْ 7َ َ ْQََNَ ٍَاَةNَ ْXَِ ِْ ً أَ اَِْأَة:ٍَِِْ َْ أ:ََِْ ِjِ0َْ ِْ ِنQِْRَ أَر:َ1 َ0َُ َ َِْ وg 7 َE ِg ُُوْل0َ ََ َ ،َِْ َْ .ُYَNَََ :َ ََل،ْ ﻥََم:ْوََ ُكِ َِْ َْنِ؟ َ َت 71
(يo ا ﺕY)را
Artinya: Diberikan oleh Muhammad bin Basyar, diberitakan oleh Yahya bin Saad dan diberitakan oleh Abdurrahman bin Mahdi dan Muhammad bin Ja’afar, ia berkata: diberitakan oleh Syu’bah dari ‘Ashim bin Ubaidillah, ia berkata: saya mendengar dari Abdullah bin Amir bin Rabiah dari ayahnya: bahwasanya seorang perempuan dari Bani Fazarah kawin dengan maskawinnya sepasang sandal. Rasulullah bertanya kepada perempuan tersebut: Relakah engkau dengan maskawin sepasang sandal? perempuan
71
269.
Imam At-Iirmidzi, Jami’ Tirmidzi, (Riyadh: Darussalam Lin-Nasyr Wa-Tauzi’, 1999), h.
itu menjawab: Ya. Berkata Rasulullah SAW maka aku membenarkannya. (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi). 3. Untuk menjadi suatu pegangan bagi istri, yang bahwa perkawinan mereka telah diikat dengan suatu ikatan yang kuat, sehingga suami tidak mudah mencampakkan istri dengan begitu saja. Firman Allah SWT dalam Al-Quran:
fE4g 5e<"#1' JK"1 hi 1j lN⌧mI hi 1j XnoE 9K =? @""1 ( R18 q[ *⌧ 3#p(N
(٢٠۔D0 … ) ا78⌧L
Artinya: “Jika kamu ingin menggantikan istrimu dengan istri yang lain sedang kamu telah memberi kepada salah seorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali daripadanya barang sedikitpun...” (An-Nisa’: 20)
Firman Allah SWT lagi dalam surat An-Nisa’ ayat 21:
EN"1 rb18 q[ 78⌧D"1 wx /v9wK 45umu+ /`A`71' OKWP8T 5um( l8s1'"1 (u8:⌧z
( ٢ ا- D0 ) ا
Artinya: “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali padahal sebagian kamu telah bergaul dengan yang lain sebagai suami istri, dan mereka (istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat”. (An-Nisa’:21) Adapun hikmah pensyari’atan mahar menurut penulis adalah sebagai berikut: 1. Sebagai suatu motivasi dan tanggungjawab moral bagi setiap laki-laki yang ingin melangsungkan perkawinan.
2. Sebagai suatu kebebasan dari larangan hukum yang mutlak kepada yang membenarkan di dalam pergaulan. 3. Sebagai suatu bukti balasan penyerahan diri terhadap suami dari istri, sehingga terwujudnya rasa kebersamaan dengan pengertian yang sangat luas. 4. Terjalinnya hubungan dengan kasih sayang yang pantas dikenang oleh kedua belah pihak. 5. Sebagai penetapan status atau martabat wanita yang sudah dijunjung tinggi. Dengan demikian, hikmah dari diwajibkan mahar bagi istri atas suami adalah menunjukkan dan mengangkat tinggi kepentingan hubungan ini.Mahar merupakan dasar pembanggunan masyarakat yang benar, menciptakannya dan mengajarinya, selanjutnya diwajibkan mahar atas suami secara khusus, di mana suamilah yang lebih mampu untuk bekerja dan memberi nafkah. Dalam hal ini terkadang isyarat kepada apa yang diharuskan atas suami, berupa memenuhi berbagai tuntutan kebutuhan dan nafkah. Jadi suami harus sudah merasakan bertanggung jawab sejak awal lagi. Sebagaimana mahar mengandung suatu penghormatan kepada wanita yang berada di bawah perlindungannya atau pimpinannya serta taat kepadanya sebagai kepala rumah tangga.
BAB IV MAHAR SUAMI MENINGGAL QOBLA AL- DUKHUL A. Pendapat Para Ulama Secara Umum Mahar disebutkan dalam Al-Quran Surat An-Nisa ayat 4 :
"MAST3H R "1" ^ _ J] / Z[7\ V☺WNXEAY aS7Gb (T '`⌧ 456H ء0 )ﺱرة اﻝZG,cd ZG8( 9 :6 ( ٤: Artinya: Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan72. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (An-Nisa : 4 ) Mahar merupakan pemberian pertama seorang suami kepada istrinya yang dilakukan pada waktu akad nikah. Dikatakan yang pertama karena sesudah itu akan timbul beberapa kewajiban materiil yang harus dilaksanakan oleh suami selama masa perkawinan untuk kelangsungan hidup perkawinan itu. Dengan pemberian mahar itu suami dipersiapkan dan dibiasakan untuk menghadapi kewajiban materiil berikutnya.73 Mahar dalam Islam bukan berarti sebagai nilai tukar seorang anak perempuan kepada suaminya dalam transaksi jual beli. Mahar juga bukan seperti maskawin
72
Pemberian itu ialah maskawin yang besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua pihak, karena pemberian itu harus dilakukan dengan ikhlas. 73
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2007), Cet. Kedua, h. 87.
bangsa Eropah kuno, di mana ayah memberikan maskawin yang banyak kepada anak perempuannya sendiri ketika anak perempuan itu kawin, kemudian maskawin pemberian ayah perempuan itu dianggap harta yang menjadi milik suami. Hal inilah yang menjadi sebab seorang pria mengawini wanita di Eropah kuno. Begitu pula yang dipraktekkan di tengah umat Kristen dan Hindu di daerah Kerala dan beberapa wilayah lain di India. Pada zaman Arab Jahiliyah, maskawin dianggap sebagai harta milik bagi wali perempuan. Jumlah maskawin bervariasi sesuai dengan tingkat pendidikan, profesi, kekayaan, status sosial dan derajat anak laki-laki. 74 Dalam Islam, persoalanan maskawin atau mahar jauh berbeda dengan keadaan atau tradisi yang berlaku di luar ajaran Islam. Mahar dalam Islam merupakan pemberian dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan dalam perkawinan. Kemudian mahar ini menjadi milik mempelai itu sendiri, bukan milik sesiapa pun selain dia. Islam telah mengangkat derajat kaum perempuan, karena mahar itu diberikan sebagai tanda penghormatan kepada kaum hawa.75 Bilamana pernikahan itu berakhir dengan perceraian, maka perkawinan itu tetap menjadi hak milik istri dan suami tidak berhak mengambil kembali maharnya kecuali dalam kasus khulu’ (perceraian yang terjadi lantaran permintaan dari pihak istri). Dalam hal istri yang meminta cerai, hendaknya mengembalikan semua mahar yang telah diberikan kepadanya. Dengan kata lain, maskawin itu adalah sejumlah uang atau harta benda lainnya yang dijanjikan suami kepada istrinya karena ikatan pernikahan.
74
A. Rahman I Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariah), (Terj. Zaimudin dan Rusydi Sulaikan), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 208. 75
12, h. 52.
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Terj. Moh. Thalib), Jilid 7, (Bandung: Al-Ma’arif, 1996), Cet
Semua yang telah dikemukakan di atas adalah mengenai persoalan mahar dan tradisi yang dilakukan secara umum dalam suatu perkawinan. Ketentuan yang telah disebutkan itu, ialah dalam hal perberian mahar dari seorang laki-laki kepada calon istrinya yang telah ditetapkan terlebih dahulu jumlahnya ketika berlangsung ‘aqad nikah, sehingga kemudian bisa menghalalkan hubungan suami istri bagi kedua mempelai. Sedangkan dalam hal mahar yang tidak atau belum ditetapkan terlebih dahulu pada saat ‘aqad nikah berlangsung dan ternyata kemudian suami meninggal dunia, sementara belum sempat terjadi hubungan suami istri di antara kedua mempelai, maka dalam Islam terdapat ketentuan tersendiri mengenai hal tersebut.76 Mengenai mahar yang belum ditetapkan dalam perkawinan oleh suami yang meninggal dunia qobla al-dukhul, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Menurut pendapat para ulama secara umum, di antaranya Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Abi Daud dan fatwa Imam Syafi’i yang paling rajih (kuat) mengatakan bahwa, bila suami meninggal sementara ia belum sempat melakukan hubungan suami istri dengan perempuan yang dinikahinya dan suami pun belum menetapkan jumlah mahar yang harus diberikan kepada calon istrinya ketika ‘aqad berlangsung, maka istri berhak memperoleh mahar mitsil (mahar yang diberikan kepada perempuan atau diterima oleh perempuan disamakan dengan perempuan lainnya, baik dari segi umur, kecantikan, harta, kepribadian, agama, perawan atau janda dan daerah asalnya ketika ‘aqad nikah berlangsung) dan juga warisan. 77
76
Ibid., h. 53.
77
Ibid., h. 54.
Menurut mereka, bagi istri yang ditinggal mati oleh suami yang belum sempat bercampur dengannya dan tidak ditetapkan mahar sebelumnya, maka ia berhak mendapatkan mahar seperti perempuan lain yang dinikahi pada umurnya, dengan jumlah yang tidak kurang dan tidak lebih. Baginya juga terkena kewajiban menjalankan iddah (masa menunggu) dan berhak pula menerima warisan. Menurut mereka pendapat ini sesuai dengan putusan yang dijatuhkan oleh Rasulullah SAW dalam kasus Barwa’ binti Wasyiq yang dinikahi oleh suaminya, namun kemudian suami meninggal dunia sebelum sempat menggaulinya sementara mahar belum ditetapkan sebelum ‘aqad nikah78. Para ulama dari golongan Hanafiyah berpendapat, bahwa apabila suami telah menggauli istrinya atau berkhalwat (berduaan) dengannya atau ditinggal mati oleh suaminya, maka bagi istri berhak menerima mahar yang disebutkan atau mahar mitsil sesuai dengan cara yang telah dikemukakan. Setelah itu mahar itu tidak bisa gugur selain selain dengan ibra’ (pembebasan) yang benar (dalam kasus pernikahan anakanak). Selanjutnya jika suami istri terjadi perceraian qobla dukhul, maka jika perceraian itu disebabkan oleh suami seperti talak atau suami murtad atau atau penolakannya untuk masuk agama Islam, sedangkan bila mahar itu adalah mahar yang telah disebutkan dalam ‘aqad, bagi istri berhak memperoleh sebagian dari jumlah keseluruhannya.79 Namun begitu, kapan mahar tidak ditetapkan sebelumnya atau disebutkan secara tidak benar maka istri tidak berhak selain mut’ah.
78
Ibid., h. 65.
79
Ahmad Al-Hajji Al-Kurdi, “Ahkamul Mar’ati Fi Fiqhil Islamy” Hukum-Hukum Wanita
Kemudian apabila penceraian itu terjadi disebabkan oleh istri, seperti ia murtad, menolak memeluk Islam atau ia memilih dirinya sendiri untuk bebas setelah ia baligh atau dewasa (hal ini terjadi dalam kasus pernikahan yang dilangsungkan ketika masih kecil atau anak-anak), maka gugur pula maharnya dan istri tidak berhak menerima sesuatu pun, baik maharnya disebutkan atau tidak disebutkan atau ditetapkan terlebih dahulu ketika berlangsung ‘aqad nikah.80 Dalam hal kematian suami qobla al-dukhul karena dibunuh oleh istri, maka mazhab Syafi’iyah berpendapat, bahwa ia tidak berhak mendapat mahar sebagaimana bunyi kaedah berikut: 81
ََِِْرFِ َ5ِ َْْْلَ ا َ ََْ أَْ أَُ ُو0َِنْ إ
Artinya: Barangsiapa yang menyegerakan sesuatu sebelum masanya maka ia dihukum dengan terhalangnya sesuatu itu. Para ulama mazhab Hanafiah dan Hanabilah berpendapat bahwa istri tersebut berhak akan maharnya secara mutlak. Sebab kematiannya dianggap sama dengan hubungan sebadan dalam menetapkan mahar bagi istri secara mutlak. Namun jika istri membunuh suami setelah melakukan hubungan suami istri, maka istri berhak memperolah mahar secara utuh disebabkan terjadinya hubungan sebadan itu. Demikian juga sebaliknya, apabila suami membunuh istri sebelum melakukan hubungan sebadan atau sesudahnya, terhadap istri (meskipun sudah meninggal) tetap Dalam Fiqh Islam, (Terj. Moh. Zuhri. Ahmad Qarib), (Semarang:Dina Utama, 1986), h. 33. 80
Ibid., h. 66.
81
Ibid.,h. 48.
berhak menerima mahar secara utuh, karena kematian adalah seperti hubungan sebadan dalam hukum ketetapan mahar82. Dari persepsi para ulama di atas berhubungan dengan persoalan mahar yang belum ditetapkan dalam perkawinan oleh suami yang meninggal sebelum dukhul, dapat dilihat bahwa para ulama tersebut tidak mempersoalkan apakah setelah berlangsungnya ‘aqad nikah suami telah melakukan hubungan suami istri dengan mempelai perempuannya atau belum, baik suami masih hidup atau sudah meninggal, suami tetap harus menunaikan kewajibannya terhadap istri dalam perkawinan yaitu memberi mahar terhadap pasangannya (istrinya) itu. Mengenai jumlah mahar karena tidak ditetapkan sebelumnya ketika ‘aqad nikah berlangsung, maka pemberian mahar kepada istri yang ditinggalkan mati oleh suami tersebut berupa mahar mitsil dan ia juga berhak mendapatkan bagian harta warisan dari peninggalan suaminya.83 Apa yang telah dilakukan di atas adalah pendapat dari para ulama secara umumnya. Dalam hal tersebut, tidak semua ulama (termasuk mazhab yang empat) sepakat dengan pernyataan itu. Kalangan ulama yang berpendapat jauh berbeda dengan para ulama secara umumnya di dalam hal mahar yang belum ditetapkan oleh suami yang meninggal dunia qobla al-dukhul yaitu golongan mazhab Maliki beserta pengikutnya.84
82
Ibid., h. 48.
83
Ibid., h. 49.
84
Ibid., h. 50.
Menurut Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Pasal 35 Ayat (1) Suami yang mentalak istrinya qobla al-dukhul wajib membayar setengah mahar yang ditentukan dalam akad nikah. Ayat (2) Apabila suami meninggal dunia qobla al-dukhul seluruh mahar yang telah ditetapkan menjadi hak penuh istri. Ayat (3) Apabila perceraian terjadi qobla al-dukhul tetapi besarnya mahar belum ditetapkan, maka suami wajib membayar mahar mitsil85. Maka jelaslah menurut Kompilasi Hukum Islam, istri berhak mendapat seluruh mahar yang telah ditetapakan apabila suami meningal dunia qobla al-dukhul. Pada dasarnya, perbedaan pendapat mengenai persoalan tersebut disebabkan oleh adanya pertentangan antara qiyas dengan hadits. Hadits tersebut sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud ra., yang ketika ditanya masalah itu maka ia mengatakan:
،ْXَ=ًَ َِﻥt َََ وَإِْ آ،ِg ََوَاً َِنE ََV َِْ ٍاَ ُوْلُ َِْ ِرَأْي ََْ ََ ،ٍPَPََnٍَ وqََوَآn ََِﺉ0ِ َْاُ إِْرَأَةٍ ﻡِن.َE ََ إِن َ َ َل،ْXََََِْرِ ا0َ ِِلُ اِْن-ََْ ﻡ1َ-َ ،ُةُ وَ ََ ا ِْرَاث.ِْ َا Xِ َ1 َ0َِ َ َِْ وg 7 َِ ﺹg ُِْ0َ َِRَ-ِ َِْ َQَْیRَ-َ ُ.ََْا .(.او. اوY )را.ِ وَاِقQْ َرْوَعٍ ِﻥ
86
85
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: CV. Akademika Pressindo, 2007),Cet 5, h. 121. 86
Abu Daud Sulaiman bin Al-Ays’ats bin Ishaq bin Basyir bin Syaddad bin ‘Amar bin Imran Al-Sisijstani, Sunan Abi Daud, (Beirut-Lebanon: Dar asy-Sya’b), t.t, h. 231.
Artinya: Mengenai masalah ini, aku mengatakan dengan pendapat aku. Jika benar, maka itu datangnya dari Allah SWT dan jika salah maka itu berasal dari diriku sendiri, yaitu bahwa istri memperoleh mahar seperti mahar wanita dari golongan (mahar mitsil) tanpa pengurangan atau berlebihan dan berlaku atasnya ‘iddah dan memperoleh bagian dari warisan. Lalu berdirilah Ma’qil bin Yasar Al-Asyja’iy dan berkata, aku bersaksi bahwa dalam masalah ini engkau benar telah menghukum dengan putusan Rasulullah SAW terhadap Barwa’ binti Wasyiq. (H.R. Abu Daud). Segi pertentangan qiyas dengan hadits tersebut, bahwa mahar adalah sebagai pengganti. Oleh karena mahar itu belum diterima, maka pengganti tersebut tidak diwajibkan sebab dipersamakan dengan jual beli. Mengenai persoalan ini, Al-Muzani dari golongan mazhab Syafi’i mengatakan, bahwa apabila hadits Furu’ binti Wasyiq di atas kedudukan shahih, maka tidak ada perkataan (alasan) lain yang bisa dipegang dibandingkan dengan hadits87. Dengan demikian dapat difahami bahwa secara keseluruhan, pendapat para ulama secara umum dalam masalah mahar yang belum diterapkan dalam perkawinan oleh suami yang meninggal dunia sebelum terjadinya hubungan suami istri dengan perempuan yang dinikahinya, maka mahar tersebut harus tetap ditunaikan pemberiannya oleh pihak keluarga suami yang meninggal dunia itu kepada istri. Meskipun belum sempat berhubungan badan atau sudah, dan suami masih hidup atau kemudian meninggal, atas nama berlangsungnya ‘aqad nikah dan ikatan perkawinan itu telah sah dari sisi hukum, maka mahar terhadap istri tetap harus diberikan. Jadi istri berhak untuk memperoleh maharnya dan juga berhak untuk
87
Ibnu Rusyd, Bidayat’ul Mujtahid, (Terj. Abdurrahman dan Haris Abdullah), (Semarang: Asy. Syifa’, 1990), Jilid 2, h. 405.
mendapat bagian warisan dari harta peninggalan suaminya. Para ulama yang berpendapat seperti ini, mendasarkan penyataan mereka kepada hadits di atas, qiyas serta ijma’ bersama.88 Para ulama sepakat apabila seorang suami meninggalkan hutang mahar (maskawin) yang sudah ditetapkan sebelumnya dalam ‘aqad nikah, kemudian mereka bercerai karena talak, maka istri berhak atas mahar tersebut, meskipun mereka belum melakukan hubungan sebadan sekalipun. Jumlah mahar yang harus diberikan adalah separuh dari seluruh mahar yang telah ditetapkan dan itu menjadi harta milik sah istri. Mereka menetapkan hal tersebut berdasarkan kepada Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 237.
}4mN X☺?7K:_ JK"1 =? B. EN"1 @S☺ J1' X3 ()*+,-. i 11' luG , J1' 0K B. 9E"8 NLM R"uG , J1'"1 / N6T(H 2E7K / 6"7K :H _\.7N1' RuG *} +⌧G7H RAS3 *0"1 ☺ LM IJK / 456"( @ (٢٣٧-D )ﺱرة ا ﻥﺱz
.Q J :☺ Artinya: Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, Padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu mema'afkan atau dima'afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah89, dan pema'afan kamu itu lebih dekat kepada takwa. dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya
88
89
Ibid., h. 406.
Ialah suami atau wali. kalau Wali mema'afkan, Maka suami dibebaskan dari membayar mahar yang seperdua, sedang kalau suami yang mema'afkan, Maka Dia membayar seluruh mahar.
Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan. (Surat AlBaqarah:237) Kemudian para ulama juga sepakat, bahwa bagi perempuan yang jumlah maharnya belum ditentukan dan belum pernah pula dicampuri, maka baginya hanya berhak memperoleh mutah90 saja. Kesepakatan ini juga di dasarkan pada Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 236:
7K:_ JK 46789:; "(% ~0 @S☺ 45H "MAST3H / ()*+,-. XnH RuB-.7G 11' !Qb v9 9?"1
7KX☺7H v9"1 r9#EN ☺ W r9#EN v9 K R Q1c ☺7H (٢٣٦-D(^ )ﺱرة ا ﻥﺱQSb Artinya: Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan
isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), Yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan. (Surat Al-Baqarah:236) Pada ayat 236 surat Al-Baqarah dinyatakan bahwa suatu pernikahan yang berlangsung tanpa menyebutkan atau menetapkan terlebih dahulu jumlah maharnya, maka pernikahan itu hukumnya sah. Dalam pembahasan kitab fiqh, pernikahan yang
90
Lafaz mut’ah dengan dhammah mim, dalam bahasa berarti manfaat. Sedangkan dalam istilah fuqaha di sini adalah: “Harta yang diserahkan oleh suami kepada istri yang diceraikannya selain maskawin, untuk menghibur dirinya, dan sebagai ganti dari pedihnya perceraian”. Ahmad Al-Hajjis Al-Kurdi, Op.cit., h. 50.
demikian disebut dengan nikah tafwidh yaitu suatu pernikahan yang dilaksanakan tanpa menyebutkan atau menetapkan terlebih dahulu mahar pada waktu ‘aqadnya. 91 Mengenai kebolehan melaksanakan nikah tafwidh, para ulama telah sepakat bahwa hukumnya jaiz (boleh)92. Hal ini didasarkan kepada ayat tersebut di atas. Dalam ayat itu diterangkan bahwa, tidak dipandang berdosa apabila suami mencaraikan istrinya sebelum digauli dan belum pula ditetapkan jumlah mahar tertentu kepada istrinya tersebut. Karena perceraian pada dasarnya hanya terjadi setelah adanya pernikahan. Bila seseorang laki-laki melangsungkan pernikahan tanpa menetapkan terlebih dahulu bahwa mensyaratkan ‘aqad nikahnya tanpa pemberian mahar sama sekali, golongan Malik dan Ibnu Hazm berpendapat perkawinan itu tidak sah hukumnya atau bahkan batal nikahnya. 93 Sedangkan syarat di atas sudah jelas menyalahi hukum Allah SWT, oleh karena itu batal pula hukumnya dan perkawinannya di pandang tidak sah selama syarat yang menyebabkan hukum batal itu (mengenai mahar) tidak dipenuhi segera. Meskipun demikian mazhab Hanafi menyatakan boleh hukumnya, karena menurut mereka mahar tidak termasuk dalam rukun dan syarat sahnya suatu perkawinan. Di samping itu, dalam ayat tersebut juga dijelaskan, bahwa istri yang ditalak oleh
91
Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh Islamiy Wa ‘Adillatuhu, Beirut-Lebanon: Dar At-Fikr, t.t,h. 255.
92
Ibid., H. 256.
93
Sayyid Sabiq, Op.cit., h. 64.
suaminya qobla al-dukhul, sementara mahar belum ditetapkan ketika ‘aqad nikah berlangsung, maka bagi istri hanya berhak memperoleh bagian mut’ah.94 Selanjutnya, mengenai persoalan mahar yang belum ditetapkan oleh suami ketika ‘aqad nikah berlangsung dan ternyata kemudian suami meninggal dunia sebelum sempat menggauli istrinya, merupakan suatu masalah yang diperselisihkan atau terjadi perbedaan pendapat di kalangan para fuqaha’. Sebagaimana disebutkan dalam salah satu kitab fiqh yaitu Kifayatul Akhyar yang menyatakan sebagai berikut:
ُ َُْر5َِ ِْ ََلDْPَ َ َِرْض6 َْلَ ا- َِْْنN ُ ا.ََ َوْ َتَ أَﺡ 95
.ٌxَ"ِt ِِْ ٌvَُ ﺵ5ََِn َْاْ ِﺙْلِ ا
Artinya: Jika salah seorang suami istri meninggal dunia sebelum menetapkan mahar dan belum pula berhubungan suami istri (wathi’) maka adalah kewajiban atasnya mahar mitsil atau tidak wajib sesuatu apapun, dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat. Dalam masalah ini, mazhab Maliki berpendapat bahwa mahar istri yang belum ditetapkan terlebih dahulu ketika berlangsungnya ‘aqad nikah suami yang kemudian meninggal dunia sebelum melakukan dukhul, maka bagi istri tidak mempunyai hak untuk memperoleh mahar dari suaminya
94
Ibid., h. 65.
95
Imam Taqiyuddin Abi Bakar, Kifayatul Akhyar, Semarang: Dar Al-Ihya, 1989, h. 62.
yang telah meninggal dunia tersebut. Sebagaimana di dalam sebuah hadits Rasulullah SAW:
ِ.َْN ُQِْ َُ وَأ،ٍَُ ِْ ِg ِ.َُْ َ:ٍَِْ أَ اSَِ َْ ٍj َِ َْ َْلOْ.َ َْ َ َمQََ ٍَُ ِْ ِg ِ.َِْ ِِْْتَ اFَ ْQََﻥV ،ِ5=َtْ ِْ ا ِْ ِgُ.َْ َ َ َل،ََ َا.َْ أُﻡَ ﺹQًََ َْﺕ-َا.َE ََ ْ1ُ0َ ْ1َ َ َِ ِْآُْ وَ َم0َُْاٌ َمْ ﻥ.َE ََ ََV َْ َ، ٌَا.َE ََ َqَْ :ٍَُر ،ٍُ ِْ ﺙَِت.َْN ْ1َُ َََ ُوْا َْﻥ،َjِ َo َ َ]ََتْ أَُ أَْ ﺕَ َْل،َْﻥَظْ ُﻡ (j Y)روا.ُ وَ ََ ا ِْیْرَاْث،ََ ََا.َE َn ْْ أَن7َRَ َ
96
Artinya: Bersumber dari Malik dan Nafi, bahwasanya anak dari Abdullah bin Umar dan anak Zaid Ibn Khattab. Adalah ia menikah dengan anak laki-laki Abdullah Ibnu Umar, maka ia meninggal dunia dan belum bercampur dengannya dan tidak pula menyebutkan mahar baginya. Maka menuntutlah ibunya akan maharnya, maka berkatalah Abdullah ibn Umar, jika adalah baginya mahar tidaklah menahannya, dan tidak pula menzaliminya. Maka bersih keraslah ibunya menuntut mahar tersebut. Kemudian disampaikanlah di antaranya sesama mereka tersebut kepada Zaid bin Tsabit, maka memutuskanlah ia tidak ada mahar baginya dan baginya hanyalah harta warisan. ( Diriwayatkan oleh Imam Malik) Qaul Al-Sahabah atau ijtihad Zaid bin Tsabit pada masalah ini dijadikan pegangan oleh Imam Malik dalam memperkuat pendapatnya. Terhadap hadits di atas, Al-Zarqany menjelaskan dalam kitabnya yaitu Syarah Al-Zarqaniy ‘ala AlMuwattha’, bahwa menurut Ali bin Abi Thalib, jumhur sahabat berikut jama’ah mereka, mahar itu hukumnya menjadi wajib diberikan karena disebabkan kematian
96
Abu ‘Abdillah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Al-Harits ibn Ghaiman ibn Khutsail ibn ‘Amr ibn Al-Harits Al-Ashbahiy Al-Humairi, Al-Muwattha’, juz 2,Beirut-Lebanon: Dar Al-Kutub Al‘Ilmiyah, t.t., h. 527.
salah satu dari kedua pasangan suami istri, setelah berlangsungnya ‘aqad nikah. Sedangkan menurut Imam Syafi’i hal tersebut terasa ganjil untuk dilakukan, artinya kematian salah satu dari pasangan suami istri itu tidak menyebabkan wajibnya pemberian mahar.97 Pendapat Imam Syafi’i ini kemudian dikuatkan pula oleh Ibnu Arabi serta yang lainnya, sebagaimana menurut Abu Daud dan Tirmidzi bahwa hadits yang dipakai sebagai dasar pendapat itu kedudukannya adalah hasan shahih di mana dalam hadits dari Ma’qil bin Yasar tersebut diceritakan tentang kasus bahwa Barwa’ binti Qasyiq yang melaksanakan pernikahan tanpa menetapkan mahar terlebih dahulu kemudian suaminya meninggal sebelum menyentuhnya serta tidak meninggalkan mahar untuknya. Lalu Rasulullah SAW menetapkan kepadanya bagian warisan dari harta peninggalan suaminya. Namun, dalam hal ini, Imam Malik menolak pendapat yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW telah berbuat yang seperti itu.98 Dengan demikian, bila pendapat Imam Malik sebagaimana disebutkan di atas, secara tidak langsung bertentangan dengan hadits serupa yang diriwayatkan dari AlQamah sebagai berikut:
َQَ 1َََُ ٌَُ ﺙNَ ٍ إِْرَأَة7ِ ِg ُ.َْ ْ7ََْ َ ْ ََِ َلَ ا َِْ ِْﺕَ َُوْا إOَ ٌََ َِ َلOًَ َ َمْ َآُْ د-َا.َE ََ َُﻥَْ َْرِض ُة.ِْ ََﺉَِ وَ ََ اَِْْرَاثُ ََ َیَْ ا0ِ َِ َلَ أَرَىْ ََ ِﺙْلَ َْر
97
Imam Al-Zarqaniy, Syarah Al-Zarqaniy ‘ala Al-Muwattha’, (Beirut-Lebanon: Dar AlKutub Al-‘Ilmiyah, t.t.), Juz 3, h. 170. 98
Ibid., h. 171.
َ1 َ0َ ُِْ َ َیg 7 َE َ7ِْ أََ ا ﻥ7ََِِْْﻥَِن ا0 ُْ َُ ُ ْ ل.َََ ﺡFE :0ﻡO اY )روا.ْ7َRَ- َِ َاِ ِﺙْلَ ﻡ:َِْ ﺏَْوَعٍ إ7ِ6 7َRَ 99
(ىoا رﻡ
Artinya: Bersumber dari Al-Qamah, dia berkata: Abdullah pernah datang kepada seorang wanita yang dinikahi oleh seorang yang kemudian meninggal dunia, padahal dia belum menentukan mahar kepadanya dan dia belum sempat menggaulinya. Para ulama telah berselisih pendapat mengenai masalah itu. Menurut saya, wanita tersebut berhak mendapatkan mahar seperti mahar yang diterima oleh wanita-wanita lainnya dan dia juga berhak mendapatkan bagian warisan serta harus beriddah. Kemudian Ma’qil bin Sannan Al-Asyja’i menguatkan bahwa Rasulullah SAW pernah memutuskan mengenai kasus Barwa’ binti Wasyiq seperti apa yang diputuskan olehnya. (HR. Imam yang lima dan dishahihkan oleh Tirmidzi). Dalam hadits tersebut mengandung keterangan, bahwa seorang wanita mempunyai hak memperoleh mahar secara penuh dari seorang laki-laki yang memperistrinya dan belum menunaikan pemberian mahar, meskipun suami belum menunaikan pemberian mahar, meskipun suami belum pernah menyetubuhi istrinya. Ini adalah pendapat Ibnu Mas’ud, Ibnu Sirin, Ibnu Abu Laila, Imam Abu Hanifah berikut seluruh sahabatnya yaitu Ishaq dan Imam Ahmad bin Hanbal. 100 Sedangkan pendapat ini diikuti dari Ali, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Imam Malik, Al-Auzai, Al-Laits, Al-Hadi, Imam Syafi’i dalam salah satu pendapatnya (sebagaimana yang telah diterangkan di atas) serta Al-Qasimm menegaskan bahwa
99
Imam Asy-Syaukani, Nailul Authar (Terj. Abid Bisri Mustafa dkk), (Semarang: Asy-Syifa’, 1994), Jilid 6, h.616. 100
Ibid,. h. 617.
wanita tersebut hanya berhak menerima warisan saja. Jadi istri tidak berhak memperoleh mahar yang belum ditunaikan, juga mut’ah. Karena mut’ah itu hanya diberikan kepad wanita yang ditalak saja, sementara mahar itu diberikan sebagai ganti menggaulinya, meskipun ia belum sempat disentuh oleh suaminya yang telah meninggal tersebut.101 Tetapi Ali menyatakan, bahwa dia tidak bisa menerima pendapat seorang sahabat untuk dijadikan sebagai argumen, apalagi kalau pendapat tersebut sampai menyalahi Al-Quran dan hadits. Menurutnya, yang disebut dalam Al-Quran bukan mahar wanita sebelum digauli serta belum dibayarkan, bukan mahar wanita yang ditinggal mati oleh suaminya. Karena pada dasarnya ketetapan hukum yang berkaitan dengan kematian jelas berbeda dengan hukum yang menyangkut talak. Kalimat yang menyatakan, bahwa wanita itu berhak memperoleh warisan adalah berdasarkan ijma’ ulama. Hal ini disebabkan ia sudah terikat oleh ‘aqad pernikahan yang sah, sehingga bisa dibenarkan menurut syara’, di mana ia berhak menerima bagian warisan dari harta suaminya yang telah meninggal.102 Kembali kepada pendapat mazhab Maliki sebagaimana juga terdapat dalam kata Madawwanah Al-Kubra yang menyatakan:
101
Ibid., h. 618.
102
Ibid., h. 619.
ََ ْ[َِْ ْ1َ َ ًَجَ إَِْأَةNَ
ً!َُ َ َْ أَنQَُْ( أََأQْ ُ-
)
َِ َْاقٌَ ِﺙ.َE ََ ُ[ٍِ وََْرjِ َ َ.ِْ ٌNِrَ َُحV اَ ﻥ:(ََا ً؟ ) َل.َE ََ َ ،ٍَا.َE 7َ َ َِیRَْلَ أَْ َﺕَرَا- ََ َ= َِْلَ َِ وَإOَ. ِْإ ََ ٌ:َْ َ"َ ُﺕ،ٍَا.َE 7َ َ َِRََْ أَْ َﺕَرَا- َQَ ُِْ َإ:َُْْ َا 103
.َُاٌ َ ََ اَﻝَِْْاث.َE َnَ
Artinya: (Aku katakan) engkau lihat jika seorang laki-laki menikahi seorang perempuan dan ia tidak menetapkan mahar baginya, (ia menyatakan) nikah tersebut boleh menurut Imam Malik dan ditetapkan bagi perempuan tersebut mahar mitsil, jika ia (suami) meninggal dunia sebelum menetapkan mahar kepada istrinya, maka istri tidak berhak memperoleh mut’ah dan mahar, tetapi ia berhak menerima bagian warisan (dari harta suami yang meninggal tersebut). Dari keterangan di atas dapat dipahami, bahwa menurut Mazhab Maliki, suatu pernikahan yang tidak disebutkan atau ditetapkan lebih dahulu jumlah maharnya dalam ‘aqad nikah, tidak diwajibkan kepada suami untuk memberikan mahar mitsil kecuali karena terjadinya dukhul antara suami istri tersebut. Sedangkan bila suami meninggal dunia qobla al-dukhul sekalipun serta belum menentukan mahar ketika ‘aqad nikah dilangsungkan, maka gugurlah kewajiban kepada pihak suami dan keluarganya (wali) yang meninggal itu untuk membayar mahar kepada istrinya, baik berupa mahar mitsil ataupun mut’ah, kecuali hanya harta warisan saja yang berhak diterima istri.104
103
Ibnu Rusyd, Mudawwanah Al-Kubra, Jilid 2, Beirut-Lebanon: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah,
t.t, h. 164. 104
Ibid., h. 164.
Hal di atas adalah pendapat Imam Malik dalam satu versi dan dapat dikatakan sebagai pendapat klasik atau qaul qadim, sebagaimana banyak terdapat dalam kitabkitab fiqh mazhab Maliki. Namun, dalam versi lain mazhab Maliki juga berpendapat bahwa dalam persoalan istri yang ditinggal mati suaminya belum sempat digauli dan belum ditetapkan mahar pada waktu ‘aqad nikah, berhak memperolehi mut’ah dan warisan. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh ulama kontemporer yang mengangkat dan memahami pendapat mazhab Maliki atau bisa juga disebut qaul jadid (pendapat yang terbaru), sebagaimana yang tertera di bawah ini:
ََُوْلِ َِ َِْ آt. َاِ وَ َْلَ ا.E َ ا:ََِْْلَ َﺱ- َُْجN َْ اQَإِذْ ﻡ :ََاقٌ َ ََ اْ ﻡُﺕ.َE َqَْ ْ ََ ُوْا7َِNَْوnَْ ُُ َاFْEٍَ وَ أjِ َ 105
.ُوَاْ ِْرَاث
Artinya: Apabila suami meninggal dunia sebelum menetapkan mahar dan belum pula berhubungan (dukhul) dengan istrinya, maka Imam Malik beserta sahabatnya (pengikutnya) dan Al-Auzaiy menetapkan tidak ada mahar bagi istri kecuali mut’ah dan harta warisan. Dalam keterangan di atas dapat dipahami dengan jelas, bahwa mazhab Maliki memang meniadakan kewajiban membayar mahar dalam kasus istri yang ditinggal mati suami sebelum sempat digauli dan belum ditetapkan maharnya ketika ‘aqad nikah. Istri hanya berhak memperolah mut’ah dan warisan saja. Mut’ah yang
105
Ibnu Rusyd, Op.cit., hlm. 20.
dimaksudkan di sini ialah pemberian yang tidak dapat disamakan dengan mahar mitsil dan mahar musamma, bahkan setengan dari mahar pada segi nilainya. Mut’ah itu bisa berupa pemberian hewan atau makanan atau apapun yang bermanfaat serta tidak bertentangan dengan hukum Islam.
106
Dengan catatan, mut’ah tersebut diberikan
oleh pihak suami (walinya) menurut kemampuan yang ada. Oleh karena itu, ukuran mut’ah ini bisa saja berbeda-beda sesuai dengan kesanggupan dan kemampuan pihak suami.107 B. Kompilasi Hukum Islam. Undang-Undang Perkawinan tidak mengatur sama sekali mahar dalam perkawinan; namun Kompilasi Hukum Islam mengatur mahar secara panjang lebar dalam Pasal-pasal 30, 31, 32 ,33 ,34 ,35 ,36 ,37, 38, yang hamper keseluruhannya mengadopsi dari kitab fiqh menurut jumhur ulama.Lengkapnya adalah sebagai berikut108: Pasal tiga puluh menyebutkan bahwa calon mempelai pria wajib membayar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk, dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak. Sebenarnya yang wajib membayar mahar itu bukan calon mempelai laki-laki karena kewajiban itu baru ada setelah berlangsungnya akad nikah. Demikian pula
106
Sa’diy Abu Jib, Kamus Fiqhiyah, (Beirut-Lebanon: Dar Al-Fikr, 1987), hlm. 335.
107
Wahbah Zuhaily, Op.cit.,h. 20.
108
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2007), cet. ke-5, edisi pertama, h. 120-121.
yang menerima bukan calon mempelai wanita, tetapi mempelai wanita karena dia baru berhak menerima mahar setelah adanya akad nikah. Pasal tiga puluh satu menyebutkan bahwa penentuan mahar berdasarkan asas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam. Pasal tiga puluh dua menyebutkan bahwa mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita dan sejak itu menjadi hak pribadinya. Pasal tiga puluh tiga menyebutkan bahwa ayat satu: penyerahan mahar dilakukan dengan tunai; ayat dua: Apabila calon mempelai wanita menyetujui, penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau untuk sebagian. Mahar yang belum ditunaikan penyerahannya menjadi utang (calon) mempelai pria. Pasal tiga puluh empat menyebutkan bahwa ayat satu: Kewajiban penyerahan mahar bukan merupakan rukun dalam pernikahan; ayat dua: Kelalaian menyebut jenis dan jumlah mahar pada waktu ‘aqad nikah, tidak menyebabkan batalnya perkawinan. Begitu pula halnya dalam keadaan mahar masih terutang, tidak mengurangi sahnya perkawinan. Pasal tiga puluh lima menyebutkan bahwa ayat satu: Suami yang menalak istrinya qobla al-dukhul wajib membayar setengah mahar yang telah ditentukan dalam ‘aqad nikah; ayat dua: Apabila suami meninggal dunia qobla al-dukhul seluruh mahar yang ditetapkan menjadi hak penuh istrinya; ayat tiga: Apabila perceraian terjadi qobla al-dukhul tetapi besarnya mahar belum ditetapkan, maka suami wajib membayar mahar mitsil.
Pasal tiga puluh enam menyebutkan bahwa apabila mahar hilang sebelum diserahkan, mahar itu dapat diganti dengan barang lain yang sama bentuk dan jenisnya atau dengan barang lain yang sama nilainya atau dengan uang yang senilai dengan harga barang mahar yang hilang. Pasal tiga puluh tujuh mengatakan bahwa apabila terjadi selisih pendapat mengenai selisih pendapat mengenai jenis dan nilai mahar yang ditetapkan, penyelesaiannya diajukan ke Pengadilan Agama. Pasal tiga puluh lapan mengatakan bahwa ayat satu: Apabila mahar yang diserahkan mengandung cacat atau kurang, tetapi (calon) mempelai wanita tetap bersedia menerimanya tanpa syarat, penyerahan mahar dianggap lunas; ayat dua: Apabila menolak menerima mahar karena cacat, suami harus menggantinya dengan mahar lain yang tidak cacat. Selama penggantinya belum diserahkan, mahar dianggap masih belum dibayar. Jelaslah menurut Kompilasi Hukum Islam bahwa apabila suami meninggal qobla al-dukhul seluruh mahar yang ditetapkan menjadi hak penuh istrinya.
C. Sebelum Ditetapkan Mahar
Jika suami meninggal sebelum sempat bersenggama istrinya berhak mendapat mahar mitsil109 dan warisan.110 Abu Mas’ud, "Menurutku sendiri, jika benar, ia dari Allah, dan jika salah, ia dari aku sendiri. Perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya dan belum dijimak berhak mendapat mahar seperti perempuan-perempuan lain. Ia tidak boleh dikurangi dan tidak lebih. Dia wajib beriddah dan berhak mendapat warisan".111 Imam Malik beserta para pengikutnya dan Auza’i berpendapat bahwa istri tidak memperoleh maskawin, tetapi ia memperoleh mut’ah dan warisan. Imam Hanifah pula berpendapat bahwa istri memperoleh maskawin mitsil dan warisan. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Ahmad dan Daud. Kedua pendapat ini juga diriwayatkan dari Imam Syafi’i. Tetapi pendapat yang dipegangi di kalangan pengikutnya ialah seperti pendapat Imam Malik.112 Silang pendapat ini disebabkan oleh adanya pertentangan antara qiyas dengan hadits. Hadits tersebut adalah riwayat dari Ibnu Mas’ud r.a ketika ditanya tentang persoalan tersebut, ia menegaskan:
109
Mahar mitsil adalah mahar yang seharusnya yang diberikan kepada perempuan atau diterima oleh perempuan sama dengan mahar yang biasa diterima oleh perempuan –perempuan selainnya yang sepadan dengannya, baik dari segi usia, kecantikan, harta, akal, agama, kegadisan, kejandaan, maupun negerinya, ketika akad nikah dilangsungkan.
453.
110
Saayid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007) Cet. 2, h. 48-49.
111
Ibid., h. 49.
112
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), Jilid 2, Cet. 3, h. 452-
ََاق.َ أَن ﻝََ ﺹ،ْ$%َِ ً]َ=َO َ وَإِنْ آَن،ِ# ََِ6 ًَِنْ آَنَ ﺹََاﺏ6 ْXَِِْ ﺏَِأْی6 ُأَ ُْل ُ<ُْ ﺏ:ِ8ْ ََمَ ﻡ8َ َُاث6ْ2ِةُ وَﻝَ'َ اْﻝ4ِ ْ'َ اْﻝ2ََ1َ و،َ/َ.َ- ََ وَﻝ,َْ&ِ'َ ﻝَ وَآ0ِإِﻡَْأَةٍ ﻡِْ ﻥ َِ وَ>َمLْ2ََ1 ُ# َیJ ِ# ِْلIَُءِ رَﺱEَ8ِْ'َ ﺏ2ِ َFْ2َEَ8َُ ﻝ4َ'ْ-َ أ:ََل8َ $ِ َAْ-َ@ْیَ>َرِ ا 113
V داودI وأﺏS> ﻡLﺝ6UأQ .Oِ-ِ وَاFْNِْوَعٍ ﺏ6َِ ﺏ
Artinya : “ `Mengenai masalah ini, aku mengatakan dengan pendapatku. Jika benar, maka itu dari Allah. Dan jika salah, maka itu dariku sendiri. Yaitu bahwa istri memperoleh maskawin seperti maskawin wanita dari golongannya (mahar mitsil), tanpa pengurangan atau berlebihan, dan atasnya beriddah dan memperoleh warisan.` Lalu berdirilah Ma’qil bin Yasar al-Asyja’i dan berkata, `Aku bersaksi, bahwa dalam masalah ini engkau benar-benar telah menghukumi dengan keputusan Rasulullah SAW terhadap Barwa’ binti Wasyiq.`” (HR. Muslim dan Abu Dawud) Segi pertentangan qiyas dengan hadits itu ialah pemahaman maskawin itu pengganti. Dan karena maskawin belum diterima, pengganti tersebut tidak diwajibkan karena diqiyaskan dengan jual beli.114 Menurut Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia pasal tiga puluh lima ayat tiga bahwa apabila perceraian terjadi qobla al dukhul tetapi besarnya mahar belum ditetapkan, maka suami wajib membayar mahar mitsil.115 D. Setelah Ditetapkan Mahar
113
Ibid., h. 453.
114
Ibid., h. 454.
115
Abdurrahman, Kompilasi hukum Islam Di Indonesia, h. 121.
Jika suami meninggal setelah memberikan ketentuan mahar, segolongan fuqaha mengatakan bahwa istri memperoleh separuh maskawin. Segolongan lainnya mengatakan bahwa istri tidak memperoleh sesuatu pun, karena dasar penentuan maskawin tidak terdapat pada waktu akad nikah dilaksanakan. Pendapat ini dikemukakan oleh oleh Imam Hanifah dan para pengikutnya.Firman Allah SWT:
J1' }4mN X☺?7K:_ JK"1 i =? B. EN"1 @S☺ 0K B. X3 ()*+,-. R"uG , 11' luG , J1' 2E7K 9E"8 NLM RuG J1'"1 / N6T(H RAS3 *0"1 / 6"7K :H _\.7N1' LM IJK / 456"( @ *} +⌧G7H : ة- اﻝYﺱرQ z
.Q J :☺ ☺
V ٢٣٧ Artinya : Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, Padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu mema'afkan atau dima'afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah116, dan pema'afan kamu itu lebih dekat kepada takwa. dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan. (Surat Al-Baqarah: 237) Fuqaha berselisih pendapat tentang seorang wanita yang memberikan maskawinnya kepada suaminya, kemudian ia diceraikan sebelum digauli. 117 Bagi fuqaha yang berpendapat bahwa separuh maskawin itu terletak pada macam barang
116
Ialah suami atau wali. kalau Wali mema'afkan, Maka suami dibebaskan dari membayar mahar yang seperdua, sedang kalau suami yang mema'afkan, Maka Dia membayar seluruh mahar.
117
Ibnu Rusyd, h. 459.
maskawin mengatakan bahwa terdapat istri tidak ditagih sesuatu pun, karena suami telah menerima kembali seluruh maskawin.118 Sedang bagi fuqaha yang berpendapat bahwa separuh maskawin tersebut terletak pada tanggungan istri mengatakan bahwa suami berhak menagih kepada istrinya seperti jika istri memberi hartanya yang lain kepada suami. Dalam hal ini Imam
Hanafi
mengadakan
pemisahan
antara
penerimaan
dengan
bukan
penerimaan.119 Dia mengatakan bahwa jika istri telah menerima maskawin, maka suami berhak menagih separuhnya, tetapi jika istri belum menerima maskawin tersebut, kemudian ia memberikannya kepada suaminya, maka suami tidak memperoleh sesuatu pun. Jadi, seolah ia mengatakan bahwa hak atas maskawin adalah selama istri belum menerimanya, maka hal tersebut menjadi tanggungan istri.120 Menurut Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, pasal tiga puluh lima ayat dua mengatakan apabila suami meninggal dunia qobla al dukhul seluruh mahar yang ditetapkan menjadi hak penuh istri.121 E. Dalil-Dalil Yang Digunakan Terjadinya perbedaan pendapat di kalangan ulama mazhab mengenai mahar istri yang belum ditetapkan ketika ‘aqad nikah oleh suami yang kemudian meninggal 118
Ibid., h. 460.
119
Ibid., h. 461.
120
Ibid., h. 462.
121
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, h. 121.
dunia qobla al-dukhul, disebabkan oleh berbagai hal yaitu perbedaan pemahaman dan penafsiran terhadap persoalan yang ada serta pertentangan antara qias dan asar (qaul shahabiy)122. Dalam menetapkan pendapatnya terhadap persoalan tidak berhaknya istri memperoleh mahar dari suaminya yang belum ditetapkan dalam ‘aqad nikah, dan kemudian
suami
meninggal
sebelum
menggauli
istrinya,
mazhab
Maliki
menggunakan dalil-dalil yang dapat diterima oleh hukum syara’, di antaranya adalah:123 1. Qiyas Dalil qiyas yang digunakan oleh mazhab Maliki, sebagaimana yang diterangkan seperti berikut:
ْ1َ َ َ6 ٌ[ََاقَ ِو.E َا َُوَ أَ اoَِ َُِسُ اْ َُرَض- َْأَ ا 124
.ِSَْ ْ ا7َ َ ٌqَِ ُ[َْ اَ ِْو5Aََ ِْ[ْ اَ َُْو[ُ مْ ی
Artinya: Adapun qiyas yang dimaksudkan dalam hal ini yaitu mahar tersebut adalah sebagai ganti (penukar), maka selama benda yang akan diganti tersebut tidak diambil, tidak pula diwajibkan memberi gantinya sebagaimana diqiyaskan kepada jual beli.
122
Ibnu Rusyd, Op.cit., hlm. 20.
123
Ibid., h. 21.
124
Ibid., h.21.
Dari uraian di atas dapat dinyatakan, bahwa mazhab Maliki menguatkan pendapatnya dengan mengqiyaskan hal tersebut kepada jual beli. Secara logika, jual beli itu pada hakikatnya adalah tukar menukar sesuatu atau benda, jika benda atau sesuatu tersebut tidak diambil oleh pembeli, maka penukarannya pun tidak mesti diberikan. Begitu pula halnya dengan mahar yang diqiyaskan kepada jual beli, dimana bila tidak ditentukan terlebih dahulu jumlah mahar ketika ‘aqad nikah dilangsungkan, maka tidak dapat ditentukan pula berapa pembayarannya. 125 Namun demikian, penqiyasan mahar pada masalah tersebut di atas tidak dapat diterapkan kepada masalah-masalah lain dalam artian terbatas pada masalah mahar istri yang belum ditetapkan oleh suami yang meninggal dunia qobla al-dukhul. Karena mengenai masalah ini tidak dapat dijumpai penjelasan yang qathiy dalam nash serta berbedanya situasi dan kondisi berikut pemahamannya yang timbul.126 2. Qaul Shahaby Selain dari qiyas di atas, mazhab maliki dalam menetapkan pendapatnya juga tidak terlepas kepada dalil-dalil lainnya yaitu qaul shahaby yang di dalamnya menerangkan tentang pernikahan putri Ubaidullah yang menikah dengan putra Abdullah Ibnu Umar yang kemudian meninggal dunia sebelum bercampur dengan istrinya dan tidak pula menyebutkan mahar untuk istrinya pada waktu ‘aqad nikah. Lalu ibu pada istri tersebut menuntut kepada pihak suami anaknya untuk menunaikan maharnya, hingga terjadi percekcokan dan pada akhirnya diputuskan oleh Zaid bin 125
Ibid., h. 21.
126
Ibid,. h. 22.
Tsabit, bahwa tidak ada pemberian mahar kepada wanita yang ditinggal mati suaminya itu. Bagi istri tersebut hanya berhak memperolah warisan dari harta peninggalan suaminya.127 F. Analisis Penulis Dari keseluruhan
pendapat
yang
dikemukakan
dalam
uraian-uraian
sebelumnya berkaitan dengan persoalan mahar yang belum disebutkan atau ditetapkan ketika ‘aqad nikah oleh suami yang meninggal dunia sebelum sempat melakukan hubungan suami istri dengan wanita yang dipersuntingnya, terdapat beberapa akibat hukum atau konsekuensi. Namun demikian, tidak dapat dikatakan bahwa pendapat yang satu lebih baik dibandingkan dengan pendapat yang lainnya. Begitu pula dengan pendapat mazhab Maliki yang berbeda dengan pendapat jumhur ulama dalam menetapkan status hukum mahar tersebut. Karena semua pendapat para ulama mazhab itu disertai dengan dalil-dalil atau alasan-alasan yang mereka pilih serta digunakan untuk menguatkan masing-masing pendapat mereka. Tinggal bagaimana saja bagi generasi-generasi berikutnya untuk memilih dan menetapkan salah satu pendapat tersebut yang dianggap relevan untuk masa sekarang bila kasus-kasus serupa ini terjadi dalam masyarakat. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bagi jumhur fuqaha’ atau kebanyakan ulama mazhab, berkaitan dengan persoalan di atas, mahar harus tetapi diberikan kepada istri yang ditinggal mati suaminya tersebut, mahar yang diberikan adalah mahar mitsil dan bagi istri juga berhak menerima harta warisan suaminya.
127
Ibid., h. 23.
Mahar tersebut harus tetap ditunaikan meskipun suami belum menggaulinya. Konsekuensinya atau akibat hukumnya di sini adalah wajibnya pemberian mahar tersebut secara utuh kepada istri, karena sebab kematian itu disamakan dengan melakukan hubungan suami istri dan juga karena telah berlangsung ‘aqad nikah yang sah.128 Sedangkan bagi mazhab Maliki, mahar tersebut menjadi gugur seluruhnya karena sebab kematian suami dan karena sebab belum digaulinya istri oleh suami yang meninggal dunia itu.129 Menurut mazhab ini pernikahan yang belum ditetapkan maharnya itu diqiyaskan dengan jual beli, di mana setelah barang atau sesuatu yang mau dibeli itu diambil, maka ketika itu pulalah penukaran atau gantinya harus diberikan. Berkaitan dengan persoalan di atas yaitu sebab mahar tidak ditetapkan dan sebab istri belum digauli, maka hukum pembayaran mahar tersebut pun ditiadakan. 130 Dalam hal ini konsekuensi hukumnya adalah kewajiban membayar mahar terhadap istri yang ditinggal mati oleh suaminya itu menjadi gugur dikarenakan jumlah maharnya belum ditentukan sementara suami meninggal dunia sebelum menggauli istrinya. Jadi konsekuensi yang harus dipenuhi dalam masalah ini, menurut mazhab Maliki adalah pihak suami (walinya) hanya harus membayar mut’ah dan memberikan bagian warisan kepada istri. 131
128
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, h. 140.
129
Ibnu Rusyd, Mudawwanah Al-Kubra, h. 165.
130
Ibid., h. 165.
131
Ibid., h. 166.
Dalam masalah ini mazhab Maliki mendasari pendapatnya pada asar dan qias. Terhadap masalah ini dapat dilihat dengan jelas bahwa para fuqaha’ tidak ada satupun yang menggunakan dalil nas Al-Quran, karena tidak ada ayat yang qat’iy menjelaskannya. Adapun Surat al-Baqarah ayat 236 tidak dapat dijadikan dalil karena masalahnya sudah berbeda yaitu, mahar istri yang belum ditetapkan oleh suami dalam ‘aqad nikah bercerai qobla al-dukhul. Dalam pengambilan hukum mazhab Maliki adalah salah satu dari mazhab yang mempergunakan hadits ahad sebagai hujjah, dan ia menentukan juga keabsahan hadits tersebut. Sehingga dikatakan bahwa hadits ahad dan asar (perkataan) sahabat yang sahih meskipun tidak masyhur, tetapi perbuatan penduduk Madinah dan ijma’ ulamanya lebih kuat darinya dan didahulukan dari hadits ahad.132 Dengan cara mengeluarkan hukum seperti ini adalah dasar pengambilan hukum Imam Malik yang menegaskan bahwa hadits ahad dapat dijadikan dasar hukum demikian juga dengan qaul sahabah, meskipun tidak masyhur akan tetapi perbuatan penduduk Madinah dan ijma’ ulamanya lebih kuat daripada hadits ahad yang dha’if.133 Perbuatan penduduk Madinah tidaklah terlepas dari perkataan dan ijtihad para sahabat, dengan demikian asar yang telah menetapkan bahwa tidak ada mahar bagi suami yang meninggal dunia qobla al-dukhul dan maharnya belum ditetapkan yaitu
132
Ibid., h. 167.
133
Ibid., h. 167.
seperti ijtihad Zaid bin Tsabit di atas adalah dasar hukum dari antara dasar hukum yang dapat diterima dan dijadikan hujjah. Bahkan dikatakan dalam kitab Liwasith Fi Ushul Fiqh Al-Islam bahwa:
ً:َُ ﺡqٌْ َی.َِوْلُ إِْﺕWَ اﻝ7َِFE وْلَ اW َ أ7ِ6 ًRَْ أَیxَ"ِOَnَو َِﺙِیٍْ َِ اْ َ>َﺉِلV 7ِ ْﺕَ َُوْاOَِ إ:ََﺡE َرَ َِ اOَْ أ7ََِﺡE 7َ َ ْ هَذَا1ِْْ ِﻥ7ِِ َ ﺕَ]ْﺕYْ َی7َ َ ٌ:ُF ْ1ِِ ه.َFََوْلُ أ- َوَ َوْ آَن 134
.ُxَ"ِO ْا
Artinya: Dan tidak ada perbedaan pendapat bahwa perkataan sahabat adalah ijtihad yang tidak dapat dikalahkan oleh sahabat yang lain, karena sahabat tersebut berbeda pendapat banyak terjadi dalam permasalahan ini. Jika perkataan seorang mereka menjadi hujjah yang lain niscaya tidak terjadi perbedaan pendapat ini.
134
Wahbah Al-Zuhaili, Liwasith Fi Ushul Fiqh Al-Islam, (Damesqi: 1979), h. 541.
BAB V PENUTUP
Dari uraian terdahulu penulis mengambil beberapa kesimpulan dan saransaran sebagai berikut: A. Kesimpulan 1. Mahar adalah wajib ada dalam pernikahan bagi mengangkat darjat wanita. 2. Pernikahan menyebutkan mahar (mahar musamma) wajib dipenuhi pada saat ‘aqad nikah atau sampai pada batas waktu yang telah ditentukan, terkecuali terjadi perceraian sebelum hubungan suami istri, maka kewajiban suami memberi separoh mahar yang telah ditentukan. Sedangkan mahar yang tidak disebutkan dalam ‘aqad nikah akan dihitung sebagai mahar mitsil jika suami telah dukhul dengan istrinya. 3. Menurut mazhab Maliki suami tidak wajib memenuhi mahar yang tidak ditentukan atau disebutkan yang meninggal qobla al-dukhul. Menurut pendapat mazhab Maliki tidak wajib karena tidak ada penjelasan qat’i yang jelas dari Al-Quran dan hadits. 4. Mazhab Maliki menyamakan pernikahan dengan jual beli dan kesamaan bahwa mahar tidak wajib dibayar karena mahar (harga) tidak ditetapkan dan benda yang diperjual belikan tidak diambil. Meskipun mahar dalam masalah ini tidak wajib dipenuhi suami, namun pihak suami wajib mengeluarkan harta warisan kepada istrinya, karena sebab ‘aqad nikah, maka harta warisan dapat diterima.
5. Menurut Kompilasi Hukum Islam di Indonesia suami meninggal dunia qobla al-dukhul seluruh mahar yang telah ditetapkan menjadi hak penuh istrinya. 6. Menurut mazhab Hanafi pula, mahar dari suami yang meninggal dunia qobla al-dukhul dianggap sebagai mahar mitsil.
B. Saran-Saran Setelah penulis membuat beberapa kesimpulan pada skripsi ini, maka sesuai dengan kondisi dan keadaan yang memungkinkan penulis meyampaikan saran-saran sebagai berikut: a. Mahar itu harus jelas ketika dalam akad nikah karena peristiwa itu sakral (ada kaitan dengan Allah) dalam perkawinan. b. Mahar qobla al- dukhul perlu dimasukkan di dalam kurikulum baik tsanawiyah maupun aliyah. c. Penjelasan mengenai mahar qobla al-dukhul perlu disosialisasikan melalui pidato, khutbah Jumat dan ceramah agama.
DAFTAR PUSTAKA Abburrahman, Kompilasi Hukum Akademika Pressindo, 2007.
Islam
Di
Indonesia,
Jakarta:
CV.
Al-Quran dan Terjemahan, Departemen Agama RI, Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Quran, 1985. Abdur Rahman I Doi., Penjelasan lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariah), (Terj. Zaimudin dan Rusydi Sulaikan), Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002. ………….., Perkawinan Dalam Syariat Islam, Jakarta : Rineka Cipta, 1998. Abdub Bary Al-Munir Al-Qurtuby, Al-Kafi fi Fiqh Ahlil Madinah Al-Maliki, BeirutLebanon: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, t.t. Abdur Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Bogor: Kencona, t.t. Abdurrahman Al-Jaziriy, Al-Fiqhu ‘ala Mazahib Al-Arba’ah, Jilid 4,Mesir: AlTijariya 1996. Abi Muwahib Abdul Wahhab, Al-Mizan Al-Kubra, Juz 1, Beirut-Lebanon: Dar AlFikr, 1978. Abu Daud Sulaiman bin Al-Ays’ats bin Ishaq bin Basyir bin Syaddad bin ‘Amar bin Imran Al-Sisijstani, Sunnan Abi Daud, Beirut-Lebanon: Dar asy-Sya’b, t.t. ………….., Mukhtashar Sunan Abi Daud, (Terj. H. Bey Arifin. A. Syinqithy Djamaluddin ) Semarang: Cv Asy Stifa’, 1992. Abu ‘Abdillah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Anas ibn Al-Harits ibn Ghaiman ibn Khutsail ibn ‘Amar ibn Al-Harits Al-Ashbahiy Al-Humairi, Al-Muwattha’, Juz. 2, Beirut-Lebanon: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, t.t. Abu Isa Muhammad ibn Surah At-Tirmidzi, Sunan Al-Turmidzi, (Muhammad Jamil Al-A’thar), Juz. 2, Beirut-Lebanon: Dar Al-Fikr, t.t. Ahmad Al-Hajji al-Kurdi, “Ahkamul Mar’ati Fi Fiqhil Islamy” Hukum-Hukum wanita Dalam Fiqh Islam, (Terj. Moh. Zuhri Ahmad Qarib), Semarang: Dina Utama, 1986. Ahmad Al-Syurbasi, Sejarah Dan Biografi Empat Imam Mazhab, Jakarta: Bumi Askara, 1991.
Hasan Kamil Al-Multhawy, Fiqh Al-Muamalat ‘ala Mazahib Al-Imam Malik, BeirutLebanon: Dar Al-Fikr, 1970. Ibnu Mandhur Al-Ifriqy, Lisan Al-Arab, Jilid 5, Mesir: Dar Shadir, 1958. Rusyd, Ibnu. Bidayatu’l Mujtahid, Jilid 2, Terj. Abdurrahman dan Haris Abdullah, Semarang: Asy. Syifa’, 1990. ..............., Bidayatu’l Mujtahid, Beirut-Lebanon: Dar Al-Fikr, 1983. ...............,Mudawwanah Al-Kubra, Jilid 2, Beirut-Lebanon: Dar Al-Kutub Al‘Ilmiyah, t.t. Imam Al-Zarqany, Syarah Al-Zarqany ‘ala Al-Muwattha’, Juz.3, Mesir: AlMathba’ah al-Misriyah Wa Maktabuha, 1924. Imam Taqiyuddin Abi Bakar, Kifayatul Akhyar, Semarang: Dar Al-Ihya, 1989. Imam At-Tirmidzi, Jami’ Tirmidzi, Riyadh: Darussalam Lin-Nasyr Wa-Tauzi’, 1999. J.C.T Simorangkir dkk., Kamus Hukum, Jakarta: Bumi Aksara, 1995. Louis Ma’luf, Kamus Al-Munjid, Beirut-Labanon: Maktabah Al-Syarqiyah, 1886. Nazar Bakry, Fiqh Dan Ushul Fiqh, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003. M. Abdul Mujieb, Mabruri Tholhah dan Syafi’ah, Kamus Istilah Fikih, Jakarta: Penerbit Pt Pustaka Firdaus, 1994. Mahmoud Syaltot, Islam Aqidah dan Syari’ah, Jakarta: Pustaka Amani, 1986. Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Hida Karya Agung, 1990. Muhammad Abu Zahrah, Tarikh Al-Mazahib Al-Fiqhiyyah, Mesir: Al-Mudna, t.t.
Muslim Ibrahim, Pengantar Fiqh Muqaaran, Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama, 1991. Sa’diy Abu Jib, Kamus Fiqhiyah, Beirut-Labanon : Dar Al-Fikr, 1987. Said Muhammad Musa, Al-Ijtihad, Mesir: Dar Al-Kutub Al-Hadditshah, t.t. Sabiq, Sayyid. Fiqh Al-Sunnah, Jilid 2, Beirut-Lebanon: Dar Al-Fikr, 1983.
………….., Fiqh Sunnah, (Terj. Moh. Thalib), Jilid 7, Bandung: Al-Ma’arif, t.t.
Syamsuddin Muhammad bin bi Abbas, Nihayah Al-Muhtaj, Juz. 6, Mesir: Mushthafa Al Baby Al-Halaby, 1938.
Wahbah Al-Juhaily, Liwasith Fi Ushul Fiqh Al-Islam, Damesqi: 1979.
Wahbah Al-Zuhaily, Al-Fiqh Islamiy Wa Adillatuhu, Juz 7, Beirut-Lebanon: Dar AlFikr,t.t. Yayasan Penyelenggaraan Penterjemahan Jakarta:1973.
Al-Quran,
Kamus
Bahasa
Arab,
Yusuf Hamid Al-Amin, Maqashid Al-A’mmah Al-Syari’ah Al-Islami, Sudan: Dar AlSudaniyah, t.t.