PERKAWINAN WANITA HAMIL: Perspektif Empat Imam Mazhab dan Kompilasi Hukum Islam
Oleh: H. ^athurrabmctn A^hari *)
ABSTRAK Milihat dan fakta sekarang, banyak wanita harm] di luar perkawinan, karena terialu bebasnya pcrgaulan antara lald-laJd dan wanita, tanpa berpikir, bagaimana jika sekiranya keharmlan sampai teqadi. Dalam hukum Islam, orang yang melakukan hubungao seksual di luar perkawinan dihukumkan zina, jika seotang wanita yang berbuat zina itu sampai hamil, maka para imam mazhab (Hanafi, Malik, Syafi'i dan Ahmad bin Hanbal) berbeda pendapat, apakah wanita yang hamil akibat perbuatan zina itu boleh melangsungkan periciwin deogan laidlaki yang menghamilmya atau dengan laki-kki lain ataukah tidak boleh. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam, kebolehan kawin hamil mendapat tempat pada Bab ^11 Pasal 53 ayat 1, 2, dan 3 KHI. Kata Kunci: Perkawinan, Wanita hamil. Imam Mazhflb, KHI. A. Pendahuluan Alquran, As-Sunnah dan hasil Ijtihad Perkawman menurut agama dan penAipat para ulama. adalah sebuah proses pembentukan Oleh karena itu bagi orang fcehiarga ysng tidak dapat Islam ar^lflh suatu kemestian untuk disflenggarakan di luar ketenman. melaksanakan ketentuan-ketentuan Perkawinan telah diatur secara jelas oleh hukum perkawinan yang dttun^uk oleh kctentuaa-ketentuan hukum Islam yang daul-dalil yang jelas dan benar dalam digali dan sumber-sumbemya baik dan soal yang kedl sekalipun.
* ) Peaulis adalab dosec Fakultas Syari'ah IAJN Antasafl mata kuHah Ushul Fitih Jurmm Perbandinean Madzhftb dan Hukum
SYARIAH: jur^'Hukun dafi Pemikifwi. No. 2, Tabufi 6, JuS - Desember2006
228
229
H. Fatfaurrahman Alhaa, Perkawinaii Wamta Hewni (DaSam
Bagi seorang gadis tentu dia ddak pemah hamil, karena belum pemah kawin, yang men)adi persoalan adalah temyata dia hamil, maka dapat dipasdkan bahwa kehamilannya itu adalah hasii dan hubungan seksual di luar perkawinan. Aldbatnya dengan berbagai pertimbangan dicoba untuk menutup-nutupinya, antara lain dengan melangsuogkan perkawinan dengan laki-laki, balk dengan orang yang menghamilinya, ataupun dengan lakilald lam yang bersedia mengawinmya.
Jika kawin hamil dilangsungkan, maka timbuj petsoaian lain, vaitu tentang status anak yang dikandung oleh wanita tersebut, apakah status nasab dihubungkan kepada ibunya ataukah kepada orang yang mengawini.
Dalam ketentuan nukum Islam, orang yang melakukan hubungan seksual di luar perkawinan dihukumkan zina, jika wanita yang berbuat zina itu hamil, maka para imam mazhab fikih berbeda pendapat, apakah wanita yang
Berdasarkan persoalanpersoalan tersebut, penuHs mencoba mengungkapkan pendapat-pendapat para imam mazhab dan Kompilasi Hukum Islam tentang perkawinan wanita hamil dengan laki-laki setta status anak yang dikandung oleh wanita tersebut. Bagaimana status perkawinan wanita haxnil dalam pendapat icnatn mazhab; ? Baeaimana status perkawinan wanita hamil dalam Kompilas Hukum Islam; ? Bagaimana korelasi pendapat para imam mazhab dengan KHI
hamil
melangsungkan
tentang perkawinan wanita hamil; ?
perkawinan dengan laki-laki ataukab ddak boleh. Ada di antaia pendapat imam mazhab yang membolehkan wanita yang hamil itu melangsungkan pcikawman dengan laki-laki yang menghamilinya atau dengan laki-laki lain. Tetapi ada pula pendapat imam mazhab yang ddak membolehkan wanita yang hamil itu melangsungkan perkawinannya.
Apa sap dalil yang dipergunakan para imam mazhab dalam mendukung pendapatnya ?.
itu
boleh
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) perkawinan wanita hamil telah mendapat tempat pada Bab VIII Pasal 53 ayat 1, 2, dan 3 dan membolehkannya wanita hamil melangsungkan perkawinannya dengan Iflka-laki yang menghamili.
Adapun metode penulisan yane digunflltflQ adalah metode kompratif, yaitu membanding diantara pendapat para imam mazhab (HanafL, Malik, Syafi'i dan Ahmad bin Hanbal)
dan Kompilasi Hukum Islam, begitu pula dalil-dalil yang dtguxiakan oleh paza imam mazhab dalam mendukung pendapatnya. B. Perkawinan Wanita Hamil Dalam Pendapat Para Imam Mazhab 1. Status Perkawinan Wanita Hamil
SYA914H:]unialHitkuM dan PwnkttWt, NA 2, Tofwir 6,]uS - Deswiw2006
Ketentuan ini teriihat dengan sikapnya mengartikan nikah dengan setubuh. Maka konsckuensmya asal tefjadi hubungan seksual yang mengakibatkan lahimya seorang bayi, maka bayi tersebut adalah anak lald-laki pelaku perbuatan zma tersebut Dengan demikian, bayi yang
lahir dari perkawinan wanita hamil itu bukan secara langsung dmasabkan kepada kid-laid yang mengawini ibunya bayi, tetapi dmasabkan kepada mereka yang menulild bibit, ardnya bisa pula dinasabkan kepada orang yang bukan meogawini ibu bayi tersebut. C. Perkawinan Wanita Hamil Dalam KHI 1. Status Perkawinan Wanita Hamil Status perkawinan wanita hamil clabffT Kompilasi Hukuni Islam di Indonesia disebutkan pada Bab VIII Pasal 53 ayat 1, 2 dan 3 yaitu ; (1) Seorang wanita hamil di hiar nikah dapat dikawinkan dengan pria menghamilinya. (2) Perkawinan dengan wanita ha^il yang disebutkan pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya
(3) Dengan
dilangsungkannya
perkawinan pada saat wanita hami^ tidak dipechikan perkawinan uljing setelah anak dikandung bhir. Pasal 53 ayat 2 KHI menyatakan bahwa perkawinan wanita hamil itu
234
benar-benar dilangsungkan kedka waoita itu dalatn keadaan hamiL Sedangkan kelahiran bayi yang dalam kanduneannya tidak perlu ditunggu. Dalam KHI perkawinan wanita hamil akabat perbuatan zma tidak mengenal iddah, oleh karena itu odak mengakibatkan adanya masa iddah. Namun perkawinan wanita hamil seperti Pasal 53 ayat 1, hanya boleh dikawinkan dengan laki-lald yang menghamilinya. Untuk mengetahui siapakah laki-laki yang menghamili wanita itu sangat sulit, apalagi dihubungkan dengan pembukoan menurut hukum Islam harus disaksiltan oleh empat orang saksi. Pembuktian itu semakin sulit apabila kemgman dan usaha secara sengaja menutup-nutapi, atau orang yang pemah menzinahi beberapa orang. Pasal 53 ayat 1 dan 2 tersebut semacam ada sikap yang ddak konsisten. Dikatakan demikian, karena apabila berpedoman kepada Pasal 53 ayat 2 KHI. tersebut temyata hanya berpedoman kepada formalitasnya safa, yaitu karena wanita hamil tersebut belum pemah menikah. «n»ka ketentuan yane berlaku bagin^i adalah hak kegadisan, walau keoyataannya wanita
itu telah hamil. Tetapi muncul unekapan lain yang sebenamya ddak mampu membawa aspirasi terdahulu, yaitu wanita hamil itu hanya boleh
235
H. Fathurrahman A2hari, Perkawinan Wamta Hamil (Da/am
dikawinkan
dengan
lald-laki
yang
menghamilinya. Pada hal wanita yang dihukumkan gadis itu, dia boleh dikawinkan dengan setiap laki-laki yang dimgininya sccara bebas. Inilah gambaran kurang konsistennya. Kemudian Pasal 53 ayat 3 menyatakan bahwa, dengan dilangsunckannya perkawinan pada saat wanita hamil, ridak dipetlukan lagi perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir. Adanya ketentuan bahwa perkawinan tersebut ndak periu diulangi lagi, maka menjadi isyarat bahwa perkawinan terdahulu telah dmyatakan sah. 2.
Status Nasab Anak Dalam Perkawinan Wanita Hamil Menurut KHI
Dengan kebolehan wanita hamil melangsungkan petkawinan seperti Pasal 53 ayat 1, 2 dan 3 KHI, maka timbul satu masalah penting, yakni pada penentuan nasab anak yang dilahirkan. Untuk mengannsipasi hal terscbut, KHI. sebenamya ddak menyodorkan konsep redaksi yang tegas untuk memberikan penyelesaian hukumnya. Tetapi apabila dipahami dari Pasal 99 point a, KHI menyatakan bahwa "anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah", bahwa pasal ini berarti mengakui kawin hamil. Petnahaman ini diambil dari teks Pasal tersebut "anak yang sah adalah anak
yang dilahirkan dalam", ini memberikan isyarat bahwa ada wanita hamil. Kemudian dalam masa hamilnya dia kawin dengan laki-laki, lalu dalam masa perkawinan tersebut lahir anak, anak tersebut dmyatakan anaknya. Dengan demikian, jelas kawin hamil telah dinyatakan boleh sebelumnya, Men^nai status nasab anak yang lahir )uga dapat menpdi anak yang sah dari laki-laki yang mengawimnya, Hal ini dipahami dari teks "anak yang sah" yaitu anak sah dari suami ibunya. Jika demikian, berarti anak tersebut mempunyai nasab kepada suami ibunya.
Status
nasab
anak
dalam
perkawinan )uga telah diatur dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pada Pasal 92. Undang-Undang ini merupakan dasar hukum dalam melangsungkan perkawinan di IndonesiaD. Korelasi Pendapat Para Imam Mazhab Dengan KHI Tentang Perkawinan Wanita Hamil Menyorori pendapat para imam ma2hab tentang keabsahan perkawinan wanita hamil dan menghubungkannya dengan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia tampak keduanya masih bisa dikatakan se^alan. Hal ini apabila mengambil pendapat Imam Hanafi dan Imam Syafi'i. Inti pendapat tersebut adalah kebolehan perkawinan wanita hamil.
•n^jRMH: ]unialHukstm dan Pwwkvwt, No. 2, Tabus 6,]n& - Desmber 2006
Adapun status nasab anak yang lahir dalam perkawinan wanita hamil dalam KHI dmasabkan kepada suami ibunya hal mi sejalan dengan pendapat Imam Hanafi yang mengaitkan nasab
anak kepada pemihk bibit secara umum. Perbedaannya adalah, apabila temyata pcmilik bibit itu bukan orang yang mengawini wanita hamil itu. Imam Hanafi menghubungkannya bukan kepada laki-laki yaflg mengawininya, tetapi kepada pemilik bibit yang menyebabkan lahimya anak tersebut. Sedangkan KHI tetap menghubungkan nasab anak kepada laki-laki yang mengawini wanita hamil tersebut Dengan demikian, penults meHhat bahwa pembuat Kompilasi Hukum Islam di Indonesia mencermmkan sikap kehad-hatian, terikat sepenuhnya dengan hukum Islam, tetapi tidak mengacu kepada fiqh mazhab tertentu. Jika melihat kepada pendapat imam mazhab dan KHI yang beriaku di Indonesia, maka dalam hal status pcrkawman wanita hamil dengan lakilaki, KHI lebih bersifat kehad-hadan, yang hanya membolehkan kawin dengan lald-lald yang mcnghamilmya. Bagaimana kalau perkawinannya itu dilangsungkan dajam keadaan hamil tua, maka pendapat Imam Syafi'i lebih menyelematkan kepada status anak. Katena menurut Imani Syafi'i bahwa pengakuan status anak itu ditentukan
236
dengan masa kehamilan dalam perkawinannya dengan seorang laki-laki, yaitu apabila perkawmannya itu adalah enam bulan, lalu anak lahir, maka anak tersebut memilild hubungan nasab kepada suaminya. Seandainya kurang dari enam bulan, maka nasab anak rersebut dihubungkan kepada ibunya. Sedangkan dalam KHI tidak ada menyebutkan usia kehamilajonya, mi berarti bahwa apabila seorang wanita hamil kemudian kawin dengan laki-laki* maka anak yang dalam kandungannya adalah anak laki-laki yang mengawininya. Ini berarti KHI sejalan dengan pendapat Imam Hanafi yang mengajLtkan nasab anak kepada pemilik bibitnya. Hanya saja Imam Hanafi membolehkan kawin dengan laki-laki yang bukan menghamilinya.
E. DaliI Yang Dipcrgunakan Para Ulama Oalam Pendapatnya
Mendukmig
Para ulama menggunakan dalil Alquran dalam menentukan hukum status perkawinan wanita hamil, terutama bagi Imam Hanafi dan Imam Syafi'i, yaitu memahami AIc[uran pada surah An-Nur ayat 2. Sedangkan Imam Malik dan Itnam Ahmad bin Hanbal ridak memahami ayat tersebut, tetapi memberlakukan dalfl lain. Karenanya terjadilah perbedaan dalam menentukan hukum status perkavinan wanita hamiL Hanbal
237
H. Pathunahman Azhari, Perkasman Wamta Mafia! (Dalam ,
Disamping dalil Alquran, para ulama menggunakan hadis Nabi Muhammad SAW. baik dalam menentukan status perkawinan, status nasab anak maupun akibat hukum yang timbul. Baik Imam Hanafi dan Syafi'i yang membolehkan perkawinan wanita hamil, maupun Imam Malik dan Imam Abroad bin Hanbal yang melarang perkawinan wanita hamil, mereka menggunakan dalil atau alasan dari hadis-hadis Nabi SAW. Tetapi hadtshadis yang dipergunakan berbeda bunvinya, sehingga berbeda pula kesimpulan hukumnyaDi samping kedua dalil tersebut (Alquran dan hadis) para ulama mempergunakan ijtihad. Penggunaan i)tihad tampak terlihat kedka menentukan status nasab anak. Jumhur ulama berijohad dengan memahami lafaz "nikah" dalam ard secara istilahi sedangkan Imam Hanafi memahami dalam arti hakiki. Dalil-dalil yang diperguniikan oleh para ulama dalam rnendukung pendapat dan nya itu sesuai dengan dasar-dasar istinbath hukum Islam yang ditetapkan oleh konsensus ulama. Memperhatikan dalil-dalil atau alasan yang dipergunakan oleh para ulama dan KHI, maka pendapat uiama dan KHI yang membenarkan perkawinan wanita hamil, walaupun dengan lald-laki yang menghamilinya,
maka janganlah kawin hamil semakm terbiasa, tetapi semestinya rasa tabu bagi pelakunya. Sebenamya pendapat para ulama dan KHI. hanya memberikan jalan keluar bagi mereka ^ng telah terlanjur hamil sebelum menikah. Ini bukan berarti memberikan pcluang untuk hamil sebelum menikah (berbuat zina), sebab perbuatan zina suatu perbuatan yang sangat jahat dan dosa besarF. Kesimpulan Berdasarkan uraian-uraian tersebut, maka dapatlah disimpulkan : \. Menurut pendapat empat imam mazhab, terdapat dua kelompok. Satu kelompok: yaifu Imam Hanafi dan Imam Syafi'i membolehkan perkawinan wanita hamil. Kelompok kedua: Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal yang melarang. Sedangkan menurut KHI bahwa wanita hamil dapat melangsungkan perkawinan dengan hki-Iaki yang menghamilinya. 2. Tentang status nasab anak yang lahir dalam perkawinan wanita hamil, para imam mazhab berbeda pendapat, Imam Svafi'i menetapkan bahwa anak itu dinasabkan kepada laki-laki yang mengawini ibunya jika lajna kehamilan di atas enam bulan, tetapi |ika lama kehamilan di bawah dari enam bulan, maka nasab anak dihubungkan kepada ibunya ibunya
SY^RL4H:JurM/HvJkMii dan Pemikirwt, No. 2, Tobu» 6, JvS - Dssenber 2006
Sedangkan Imam Hanafi menasabkan kepada laki-kki yang menghamilinya, Adapun menurut KHI anak tersebut diakui dalam perkawinan, karefla lahir dalam perkawinan yang sah 3. Koretasi pendapat empat imam mazhab dengan KHI, adalah sebagai berikut. a. Tentang status perkawinan wanita hamil, KHI sejalan dengan pendapat Imam Hanafi dan Imam Syafi'i yang membolehkan perkawinan wanita hamil dengan laki-laki. Namun kebolehan perkawinan dalam KHI itu khusus dengan laki-lakj yang menghamili wanita tersebut.
238
b. Tentang status nasab anak yang lahit akibat zina, KHI lebih berkotelasi dengan pendapat Imam Hanafi yang menghubungkan nasab kepada laki-laki pemilik bibit yang menghamih ibunya. Sedangkan menurut KH I status anak dihubungkan kepada laki-laki yang mengawini ibunya, karena laki-laki yang mengawini ibunya itulah yang memiliki bibit 4. Dalil-dalil yang dipergunakan oleh para ulama dalam mendukung pendapatnya yaitu; AIquran, hadis dan Iftihad. oooOooo
Catatan: 1
Abdurrahman .\\-)var^,Al-Fu)h Ala Miuf'yibibta/-Ari/a'ah, )va l\\ Dar a! Haya al Tuib ai-
Arabi, Beirut, 1969, hal. 521. 2
3
\bid, hai. 523.
Deparremen Agama RI, Al^urcm dan Terjemabiya^ Madinah at-Munawwarah, MushfafAsySyaoef, tth. hal 543. 1
haL283.
Abu Daud, Sulaiman Al-Ji&tani, Smm» Ahi Davd, Mushhaf al-Baby ai-Halaby, Mesir, t.th.
s
Ibid, haL 232.
6
Abu Daud, Op. Gt. hal. 331
7
Ibid. hal. 283. Ibnu Rusyd, Btdayatu/Miptahid,]uz III, Mesir, Mushtafa al-Halaby wa Auladihi, 1960, hal.
8
358 5
Muhammad bin Ismail Al-Bukhan, Shahih Qukhari, Juz VIII, Syirkah wa Maktabul iMnshtafa al-Halaby wa Auladihi, t.th. hat. 22 '" Ibnu Rusyd, Op. 01, hal. 385.
DAFTAR KEPUSTAKAAN Abu Zahrah, Muhammad, Ushul^h, Qahirah, Darul Fikr, Al-Araby, 1958 Abdurrahman, Ksmpilasi Hukum Isiam^ Jakarta, Pressindo, 1992 Anshary, Syekh al-Islam Zakaria, Fatbu/ Wabah, II, Lebanon: Darul Fikr, t.th Bukhary, Muhammati bin Ismail, Al-Shahih J^ukhari^ Juz VIII, Mesir, Syirksh wa Maktabu al Mushtafa al-Halaby wa Auladidi, Lth. Departemen Agama RI, A.lqwran dan 'Verjemahnya, Madinah al- Mu nawwarah, Mushtafa Asy-Syarie, .t.th. Jasdry, Abdurrahman al- Ai-Piqh 'ala Mad^ahtbi al-Arba'ah Juz IV, Beirut Darul Haya' al-Turb al-Araby, 1969. Khalaf, Abdul Wahab, llmu Ushu/ F^A, Al- Azhar; Maktabah Dar allslamiah,1968 Munawar, ahmad wu^oa Al-Munayjvar^ Jogjakarta; Edisi Lux, 1984 Rusydi, Ibnu, Kidayatu/U/ama ]uz III, Mesir; Mushtafa al-Halaby
wa
Auladihi, 1960 Sayid Sabiq, Fi^h As-Sunnah,]va III, Beirut; Dar al-Kitab al-Araby, 1391. Syairazy, al-Fairuzzabady,
Abi Ishaq I brahim bin Alt bin Yusuf,
Al-
Muha^syb^ Juz II, Lebanon, Dar al-Fikr, t.th.
Sajistani, Abu Daud Sulaiman, al-As'ats bin Ishaq bin Bashir Syaddad bin Amir bin Imran Al-Azdi, As-Sunan Abi Daud, Mesir Mushtafa Al-Baby al-Halaby. Lth. Wahbah al-Zuhaily, Al-Piqh Al-lslam wa AtUlatuhu, ]\a VII, Beinn^Darul Fikr, 1985.