STUDI ANALISIS PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG MAHAR HUTANG YANG BELUM DIBAYAR KARENA SUAMI MENINGGAL DUNIA
SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Program Strata 1 (S.1) Dalam Ilmu Syari’ah
Oleh :
A. Khairul Anam N I M : 062111023
JURUSAN AL-AHWAL AL-SYAKHSIYAH FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2011
Prof. Dr. H. Muslich Shobir, M.A
H. Ahmad Izzuddin, M.Ag
Jl. Wahyu Asri Dalam I/AA. 44
Jl. Bukit Beringin Lestari
Semarang 50158
Blok C/131 Wonosari Ngaliyan Semarang
PERSETUJUAN PEMBIMBING Lamp : 4 (Empat) Eksemplar Hal
: Naskah Skripsi
Kepada Yth.
A.n Sdr. A. Khairul Anam
Dekan Fakultas Syari'ah IAIN Walisongo Di Semarang.
Assalamua’alaikum Wr.Wb. Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, bersama ini saya kirimkan naskah skripsi saudara: Nama NIM Jurusan Judul Skripsi
: A. Khairul Anam : 062111023 : Al-Ahwal Al-Syakhsiyah : Studi Analisis Pendapat Imam Syafi’i Tentang Mahar Hutang yang Belum Dibayar Karena Suami Meninggal Dunia
Selanjutnya saya mohon agar skripsi saudara tersebut dapat segera dimunaqosyahkan. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih. Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Semarang, 1 Juni 2011 Pembimbing I,
Pembimbing II,
Prof. Dr. H. Muslich Shobir, M.A
H. Ahmad Izzuddin, M.Ag
NIP. 050028292 000 000 000
NIP. 19720512 1999903 1 003
PENGESAHAN Skripsi Saudara
: A. Khairul Anam
NIM
: 062111023
Fakultas / Jurusan
: Syari‟ah / Al-Ahwal Asy-Syakhsiyah
Judul
: Studi Analisis Pendapat Imam Syafi’i Tentang Mahar Hutang
yang
Belum
Dibayar
Karena
Suami
Meninggal Dunia Telah Dimunaqosahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syari‟ah Institut Agama Islam Negeri Walisongo, dan dinyatakan lulus dengan predikat cumlaude / baik/ cukup, pada tanggal : 21 Juni 2011 Dan dapat diterima sebagai syarat guna memperoleh gelar sarjana Strata 1 dalam Ilmu Syari‟ah tahun akademik 2010/2011. Semarang, 1 Juli 2011 Ketua Sidang,
Sekretaris Sidang,
Rustam DKAH., M.Ag NIP. 19690723 199803 1 005
H. Ahmad Izzuddin, M.Ag NIP. 19720512 1999903 1 003
Penguji I,
Penguji II,
Drs. H. Slamet Hambali, M.S.I NIP. 19540805 198003 1 004
Dr. H. M. Arja Imroni, M.Ag NIP. 19690709 199703 1 001
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Prof. Dr. H. Muslich Shobir, M.A
H. Ahmad Izzuddin, M.Ag
NIP. 050028292 000 000 000
NIP. 19720512 1999903 1 003
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pikiran-pikiran orang lain kecuali
informasi
yang
terdapat
dalam
referensi yang dijadikan bahan rujukan.
Semarang, 1 Juni 2011 Deklarator,
A. Khairul Anam NIM : 062111023
ABSTRAK Dalam masalah mahar ternyata masih terjadi perbedaan pandangan dari beberapa Imam Madzab khususnya dalam hal pemberian mahar utang yang belum dibayar karena suami meninggal dunia. Imam Malik berpendapat bahwa mahar tidak wajib diberikan kepada istri ketika suami meninggal dunia dan belum terjadi hubungan suami istri. Akan tetapi, istri hanya berhak mendapat waris saja. Namun, Imam Syafi‟i berpendapat lain, seorang istri tetap mendapatkan mahar penuh ketika suami meninggal dunia baik belum terjadi maupun sudah terjadi hubungan suami istri serta belum ditentukan maharnya. Yang menjadi perumusan masalah yaitu apa yang melatarbelakangi pendapat Imam Syafi‟i sehingga tetap memberikan mahar utang yang belum dibayar sebab suami meninggal dunia dan bagaimana istinbath hukumnya? Dalam menyusun skripsi ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research) baik kepustakaan primer maupun sekunder. Di samping itu, menggunakan penelitian kualitatif dan pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif analisis dengan sumber data primer yaitu, karya Imam Syafi‟i berupa kitab al-Umm yang berhubungan dengan judul di atas ya‟ni dengan menggambarkan pendapat Imam Syafi‟i tentang mahar utang yang belum dibayar karena suami meninggal dunia, dan data sekunder yaitu literatur-literatur yang relevan dengan pembahasan judul di atas. Sedangkan teknik pengumpulan data menggunakan teknik dokumentasi dan teknik analisis data menggunakan analisis deskriptif dan komparatif. Hasil dari pembahasan menunjukkan bahwa menurut Imam Syafi‟i, mahar utang yang belum dibayar tetap menjadi kewajiban suami kepada seorang istri meskipun suami meninggal dunia baik belum maupun sudah terjadi hubungan suami istri serta belum ditentukan maharnya. Pihak yang mewakili untuk membayar mahar kepada istri dalam hal ini adalah ahli waris dari suami itu sendiri. Metode Istinbath hukum yang digunakan oleh Imam Syafi‟i adalah alQur‟an, sunnah, ijma‟ dan qiyas. Dalam hubungan dengan kewajiban memberikan mahar Imam Syafi‟i menggunakan metode istinbath hukum al-Qur‟an surat anNisa‟ ayat : 4 dan hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi.
MOTTO
Artinya : “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”.(Q.S an-Nisa‟ : 4)1
1
Tim Penyusun Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung : CV JArt, 2005, hlm. 107.
PERSEMBAHAN Sebuah karya saya persembahkan kepada :
Ibunda dan Ayahanda tercinta Ketulusan kasih dan sayang serta kesabaran dalam do’anya senantiasa mengiringi liku perjalanan asa dan cinta putramu Para Kyai dan Guruku Ilmu, amal dan bimbingannya mengarahkanku tetap pada koridor menuju cahaya Illahi Robbi Para “guru kecilku” Bimbingan, arahan dan kesabarannya saat mengenalkanku pada huruf alif tegak hingga huruf yang bertitik dua dibawah Kakek dan nenekku Petuah dan nasihat serta perhatiannya akan selalu teringat sepanjang hayat Seluruh kakak dan adikku tersayang Kalian sangat berharga memberiku dukungan dan semangat dalam pengembaraan di samudera pengetahuan Seseorang yang ada di hati Telah membuatku lebih bijak dalam memaknai arti hidup ini Aku dedikasikan karya ini untuk kalian semua………..
KATA PENGANTAR Alhamdulillah wa syukurillah, senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wata‟alaa yang telah melimpahkan rahmat, taufiq, hidayah serta ‘inayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Studi Analis Pendapat Imam Syafi‟i Tentang Mahar Hutang yang Belum Dibayar Karena Suami Meninggal Dunia tanpa adanya suatu kendala yang berarti. Shalawat dan salam penulis haturkan kepangkuan junjungan Nabi Agung Muhammad SAW pembawa risalah serta penebar kasih sayang bagi makhluk seluruh alam yang kita nantikan syafa‟atnya fi yaumil qiyamah. Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini tentunya bukan semata hasil jerih payah penulis secara pribadi. Akan tetapi, semua itu terwujud berkat adanya usaha dan bantuan dari berbagai pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis tidak lupa mengucapkan banyak terima kasih kepada : 1.
Prof. Dr. H. Muhibbin, M.Ag selaku Rektor IAIN Walisongo Semarang.
2.
Dr. Imam Yahya, M.Ag selaku Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo Semarang.
3.
Anthin Lathifah, M.Ag dan Nur Hidayati Setyani, S.H, M.H selaku Ketua Jurusan dan Sekretaris Jurusan Al-Ahwal Al-Syakhsiyah Fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo Semarang.
4.
Prof. Dr. H. Muslich Shobir, M.A dan H. Ahmad Izzuddin, M.Ag selaku pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga serta pikiran untuk memberikan pengarahan dalam proses bimbingan skripsi ini.
5.
Drs. Abdul Fatah Idris, M.S.I selaku Dosen Wali Studi yang telah membimbing dan mengarahkan masalah perkuliahan selama studi.
6.
Segenap Dosen Fakultas Syari‟ah yang senantiasa telah membimbing dan memotivasi serta mengajarkan ilmunya selama di bangku kuliah.
7.
Kepala
Perpustakaan IAIN Walisongo beserta
stafnya
yang telah
mempermudah pelayanan peminjaman buku selama proses pembuatan skripsi ini. 8.
Ibunda dan Ayahanda tercinta, Shohlal dan Sulastri, yang senantiasa memanjatkan do‟a dalam mengiringi langkah demi tercapainya cita-cita mulia.
9.
Kakak-kakakku, Isroikha, Munfarida, Mas Rokhan, Mas Abdul Adhim dan adikku tersayang, Anisa serta para keponakanku, Alif, Villa, Ayu dan Wardah, yang telah melengkapi ruangan hidup penuh bahagia.
10. Keluarga Besar PP. Salafiyah Karangmalang Kangkung Kendal, khususnya kepada KH. Abdul Hamid Muhtarom Ubaidillah, S.Ag, M.M (Alm.), Kyai Abdul Muiz, S.Pd.I beserta Ibu Nyai dan Keluarga Besar PP. Daarun Najaah Jerakah Tugu Semarang, khususnya kepada K.H Siradj Chudlori dan KH. Ahmad Izzuddin, M.Ag beserta Ibu Nyai selaku pengasuh, yang telah mendidik dan mengajarkan ilmunya menuju cahaya-Nya. 11. Sahabat-sahabat seperjuangan di kelas AS A ‟06 (Mughny al-Bartanjy, Suyanto, Hudazada, Simbah, Robot, Kang Blengko, Alfian, Tamam, Aniqotus, Leni, Irma, Naylul, Inayah, dll). Sahabat di Ikatan Mahasiswa Kendal (Imaken), Mogot “ Bedhil Band”, Kang Mustafit, Budi, Toyeng,
Anwar, Mas Komandan, Hudam, Canti, Umi Lay, Fida, Ana, dkk. Sahabat/i pergerakan di PMII Rasya. Sahabat di JQH, Mas Qosim, Mbak Laily, Munif, Sovil, dkk. Sahabat Posko 01 KKN Banyumeneng Mranggen. Sahabat berkarya di Forum Lingkar Pena (FLP) Zona Ngaliyan, Mas Syah Aziz Perangin Angin, dkk. Sahabat Komunitas Kamar Sastra Al-Badar Club (ABC) PP. Daarun Najaah. Seluruh sahabat di pesantren Daarun Najaah, Gus Labib (matur suwun nggeh Gus), Gus Dur Demak, Gus Sabigh, Karim, Wahib, Jeki, Dedy, Muttaqin, Wartono, Suley, Ahmadi “Mas Iwan”, Rifqi, Qomar, Kang Say, Maskhun, Gus Dapur, dll, kalian sahabat sejati selalu berbagi yang penuh inspirasi dalam hidup ini. Harapan dan do‟a penulis semoga Allah SWT memberikan pahala atas semua kebaikan mereka. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, penulis mengharap kritik dan saran yang membangun dari pembaca yang budiman demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya, penulis berdo‟a semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya. Amin Ya Rabbal „Alamin…..
Semarang, 1 Juni 2011
Penulis,
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . ..
i
HALAMAN PENGESAHAN .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ……… ii HALAMAN NOTA PEMBIMBING. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . iii HALAMAN DEKLARASI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. iv HALAMAN ABSTRAK…. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. v HALAMAN MOTTO . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. vi HALAMAN PERSEMBAHAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. vii HALAMAN KATA PENGANTAR . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . viii HALAMAN DAFTAR ISI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . xi BAB I
: Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah…….…………………………………..
1
B. Rumusan Masalah………………………………………………. 7 C. Tujuan Penelitian……………………………………………….. 7 D. Telaah Pustaka………………………………………………….. 8 E. Metode Penelitian………………………………………………. 10 F. Sistematika Penulisan…………………………………………... 12 BAB II : Ketentuan Umum Tentang Mahar A. Pengertian Mahar………….…………………………………… 14 B. Dasar Hukum Mahar…………….……………………………... 18 C. Kadar Mahar……………………….…………………………… 21 D. Macam-macam Mahar………………………………………….. 23 1. Mahar Musamma…………………………………………….. 23 2. Mahar Mitsil………………………………………………………… 25 E. Bentuk dan Syarat-syarat Mahar……………………………….. 28 F. Hikmah Mahar………………………………………………….. 31 BAB III: Pendapat Imam Syafi’i Tentang Mahar Hutang yang Belum Dibayar Karena Suami Meninggal Dunia
A. Biografi Imam Syafi‟i 1. Latar Belakang Keluarga……………………………………
32
2. Pendidikan…………………………………………………..
33
3. Guru dan Murid Imam Syafi‟i………………………………
38
4. Karya Imam Syafi‟i…………………………………………
41
B. Pendapat Imam Syafi‟i Tentang Mahar Hutang yang Belum Dibayar Karena Suami Meninggal Dunia……………..
45
C. Metode Istinbath Hukum Imam Syafi‟i Tentang Mahar Hutang yang Belum Dibayar Karena Suami Meninggal Dunia……………..
46
BAB IV : Analisis Pendapat Imam Syafi’i Tentang Mahar Hutang yang Belum Dibayar Karena Suami Meninggal Dunia A. Analisis Pendapat Imam Syafi‟i Tentang Mahar Hutang yang Belum Dibayar Karena Suami Meningggal Dunia……………
69
B. Analisis Metode Istinbath Hukum Imam Syafi‟i Tentang Mahar Hutang yang Belum Dibayar Karena Suami Meninggal Dunia... 78 BAB V : Penutup A. Kesimpulan……………………………………………………. 90 B. Saran-saran…………………………………………………….. 91 C. Penutup………………………………………………………… 92 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT PENULIS
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan muara atas rasa saling kasih dan mencintai antara lelaki dan perempuan yang diciptakan oleh Tuhannya. Sudah menjadi kodrat iradah Allah, manusia diciptakan berjodoh-jodoh dan diciptakan oleh Allah mempunyai keinginan untuk berhubungan antara pria dan wanita,1 sehingga manusia menjadi berkembang biak dan berlangsung dari generasi ke generasi berikutnya sehingga dapat melestarikan eksistensi2 dalam hidupnya. Hal ini tertera dalam surat an-Nisa‟ ayat : 1. Artinya : “Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya, dan dari keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang 3 banyak….”(QS. an-Nisa‟ : 1) Allah SWT tidak ingin menjadikan manusia seperti makhluk lainnya, yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan bebas antara jantan dan 1
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Bogor : Kencana, 2003, hlm. 27. Eksistensi adalah : keberadaan ; wujud (yang tampak) adanya ; suatu yang membedakan antara suatu benda dengan benda lain. Lihat Burhani MS, dkk, Kamus Ilmiah Populer, Jombang : Lintas Media, 2002, hlm. 111. 3 Tim Penyusun Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung : CV Penerbit J-ART, 2005, hlm. 78. 2
1
2
betinanya secara anarki tanpa ada suatu aturan. Akan tetapi, demi menjaga martabat dan kemuliaan manusia, Allah SWT mengadakan hukum sesuai dengan martabatnya. Sehingga hubungan laki-laki dan perempuan diatur secara hormat dan berdasarkan saling meridhai. Upacara akad nikah sebagai lambang dari adanya rasa ridha-meridhai, dihadiri para saksi yang menyaksikan kedua pasangan laki-laki dan perempuan itu telah saling terikat.4 Tujuan perkawinan menurut agama Islam ialah untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga, sejahtera yakni kasih sayang antar anggota keluarga.5 Islam sangat memerhatikan dan menghargai kedudukan wanita dengan memberi hak kepadanya, yaitu hak untuk menerima mahar (maskawin). Mahar merupakan syarat sahnya nikah, bahkan Imam Malik mengatakan sebagai rukun nikah maka hukum memberikannya adalah wajib. 6 Mahar hanya diberikan oleh calon suami suami kepada calon istri, bukan kepada wanita lainnya atau siapapun, walaupun sangat dekat dengannya. Orang lain tidak boleh menjamah apalagi menggunakannya, meskipun oleh suaminya sendiri kecuali dengan ridho dan kerelaan istrinya.7
4
M. Thalib, Perkawinan Menurut Islam, Surabaya : Al- Ikhlas, Cet.II, 1993, hlm. 1. Abd. Rahman Ghazaly, op. cit., hlm. 22. 6 Ibid., hlm. 86. 7 Ibid., hlm. 84-85. 5
3
Mahar merupakan pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang maupun jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Pemberian tersebut sebagai syarat sahnya pernikahan sehingga hukum mahar adalah wajib.8 Sesuai firman Allah SWT dalam Surat an-Nisa‟ ayat : 4. Artinya : “Berikanlah kepada perempuan-perempuan itu maskawin sebagai kewajiban. Akan tetapi, jika mereka berikan kepada kamu sebagian dari padanya dengan senang hati, maka makanlah dengan senang hati.” (Q.S. an-Nisa‟ : 4)9 Tiada ketentuan hukum yang disepakati Ulama‟ tentang batas maksimal pemberian mahar, demikian juga batasan minimalnya. Yang jelas meskipun sedikit, ia wajib ditunaikan.10 Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 30 dan 31 disebutkan bahwa “Calon mempelai pria wajib memberi mahar kepada calon mempelai wanita, yang bentuk, jumlah dan jenisnya disepakati oleh kedua belak pihak” dan “Penentuan mahar berdasarkan asas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam.”11 Dari uraian di atas jelaslah bahwa mahar adalah pemberian pria kepada wanita sebagai pemberian wajib, 8
bukan sebagai pemberian atau ganti rugi.
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, cet. II, Jakarta : Sinar Grafika, 2007,
hlm. 24. 9
TimPenyusun Depatemen Agama RI, op. cit, hlm.78. Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, cet. I, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 1995, hlm. 101. 11 Tim Redaksi Fokusmedia, Kompilasi Hukum Islam, cet. II, Bandung : Fokusmedia, 2007, hlm. 14. 10
4
Mahar itu untuk memperkuat hubungan dan menumbuhkan tali kasih sayang dan saling mencintai antara kedua suami istri.12 Tentang pemberian maskawin atau mahar itu boleh saja dibayarkan tunai atau sebagian tunai dibayarkan kelak. Hal ini diserahkan sebagaimana kebiasaan di dalam masyarakat. Akan tetapi, apabila telah terjadi hubungan seksual antara suami dan istri, atau suami meninggal dan belum terjadi hubungan seksual, maskawin wajib dibayarkan seluruhnya.13 Apabila perceraian terjadi sebelum dukhul akan tetapi besarannya mahar belum ditentukan, maka suami wajib membayar mahar mitsil14 (ps. 35 ayat (3) KHI ). Namun, jika suami meninggal sebelum dukhul, seluruh mahar yang telah ditetapkan menjadi hak penuh istrinya ( ps. 35 ayat (3)).15 Imam Malik dan Imamiyah 16 mengatakan bahwa tidak ada keharusan membayar mahar manakala salah seorang di antara kedua pasangan meninggal dunia sebelum terjadi percampuran.17 Apabila suami meninggal sebelum terjadi hubungan seksual (qobla dukhul), maka tidak wajib membayar mahar tetapi istri 12
Djamaan Nur, Fiqh Munakahat, cet. III, Semarang : CV Toha Putra, 1993, hlm. 83. Departemen Agama, Ilmu Fiqh, cet. II, Jakarta : Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama, 1984, hlm. 114. 14 Mahar mitsil adalah mahar yang tidak disebut besaran kadarnya pada saat terjadi pernikahan. Atau mahar yang diukur (sepadan) dengan mahar yang pernah diterima oleh keluarga terdekat, agak jauh dari tetangga sekitarnya, dengan mengingat status sosial, kecantikan dan sebagainya. Lihat Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, cet. I, Jakarta : Kencana, 2003, hlm. 94. 15 Ahmad Rofiq, 0p. cit., hlm. 104. 16 Imamiyah adalah salah satu kelompok dari aliran Syi‟ah yang mengagungkan 12 Imam antara lain : Ali bin Abi Thalib, Hasan bin Ali, Husein bin Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad AlBaqir, Ja‟far Ash-Shadiq, Musa Al-Khadim, Ali Ridha, Muhammad Al-Jawad, Ali Al-Hadi, Hasan AlAskari, Mahdi Al-Muntadhar. Lihat Muhammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh ‘ala al- Mazhahib alKhamsah, Terj Maskur A.B. dkk, Jakarta : Lentera, 2001, hlm. xxiii. 17 Muhammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh ‘ala al- Mazhahib al-Khamsah, Terj Maskur A.B. dkk, Jakarta : Lentera, 2001, hlm. 366. 13
5
mendapat warisan saja, yang diterangkan dalam kitab Al-Muwwatho’ karangan beliau : Artinya :“Hadits dari Malik, dari Nafi‟, bahwa anak perempuan Ubaydullah Ibn Umar yang ibunya adalah anak perempuan Zaid ibn al-Khattab, menikah dengan putri Abdullah Ibn Umar. Ia (si suami) meninggal sebelum menikmati pernikahan (melakukan hubungan seksual) ataupun sebelum menentukan maharnya. Ibu si istri menginginkan mahar tersebut dan Abdullah ibn Umar berkata : “Ia (si istri) tidak berhak atas mahar, sekirannya ia mempunyai mahar kami tidak akan menahannya, dan kami tidak memperlakukannya secara tidak adil.” Si ibu menolak untuk menerima hal itu. Zayd Ibn Tsabit dibawa untuk mengadili mereka, dan dia memutuskan bahwa si istri tidak memperoleh mahar, tetapi ia memiliki hak waris”.18 Pendapat Imam Malik ini justru berbeda dengan pendapat Imam Syafi‟i dan beberapa imam lainya. Menurut Imam Syafi‟i bahwa mahar tetap dibayarkan meskipun suami meninggal dunia. Karena menurut beliau bahwa mahar adalah wajib bagi seorang suami kepada istri, meskipun suami meninggal dunia. Hal ini disebutkan oleh Imam Syafi‟i dalam Kitab al-Umm :
18
Dwi Surya Atmaja, Terjemahan Al-Muwwatta’, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 1999, hlm. 281. 19 Al Imam Abi „Abdillah Muhammad Ibn Idris Asy-Syafi‟i, Al Umm, Juz 5, Beirut : Daar al-Kutub al- Ilmiyah, tth, hlm. 92.
6
Artinya : “Bahwa Imam Syafi‟i RA berkata : apabila suami menikahi wanita dengan mahar yang telah disebutkan, maka mahar tersebut ditetapkan sebagai kewajiban suami, jika suami atau istri meninggal sebelum melakukan hubungan suami istri atau setelah melakukan hubungan suami istri. Apabila mahar yang disebut berupa uang maka suami wajib membayar dengan uang. Apabila dengan hutang maka harus dibayar dengan hutang, apabila berupa takaran yang disifati maka berupa takaran dan apabila berupa barang yang disifati maka dengan barang. Apabila mahar yang disebut berupa barang tertentu semisal, hamba sahaya, unta atau sapi dan rusak ketika masih dibawa suami sebelum ia serahkan kemudian suami men-talaq istri sebelum melakukan hubungan suami istri maka istri berhak mendapatkan separuh harga barang tersebut, terhitung harga pada waktu akad nikah yaitu pada hari istri memiliki mahar”. Disamping itu, maskawin dibayar sepenuhnya karena salah seorang dari kedua belah pihak ada yang meninggal dunia, sekalipun persetubuhan belum dilakukan, menurut kesepakatan para sahabat. Atau telah melakukan persetubuhan dengan memasukkan hasyafah (kepala penis) saja, sekalipun selaput darah istri masih utuh.20 Berangkat dari kontroversi dan permasalahan di atas, penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut ke dalam karya skripsi. Kemudian penulis akan membahas lebih spesifik tentang pendapat dan metode istinbath hukum yang digunakan oleh Imam Syafi‟i tentang mahar hutang karena suami meninggal dunia.
20
Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari al-Fannani, Terjemahan Fathul Mu’in, Jilid 2, cet. III, Bandung : Sinar Baru Algesindo, 2005, hlm. 1288.
7
Melihat dari latar belakang permasalahan yang ada, maka penulis akan membahasnya ke dalam skripsi yang berjudul “Studi Analisis Pendapat Imam Syafi’i Tentang Mahar Hutang Yang Belum Dibayar Karena Suami Meninggal Dunia” B. Rumusan Masalah Untuk membuat permasalahan menjadi spesifik yang sesuai dengan titik kajian, maka diperlukan rumusan masalah yang lebih fokus. Hal ini dimaksudkan agar dalam pembahasan ini tidak melebar dari tujuan penelitian. Dari latar belakang yang telah disampaikan di atas, ada beberapa rumusan masalah yang dapat diambil yaitu : 1.
Apa pendapat Imam Syafi‟i tentang mahar hutang yang belum dibayar karena suami meninggal dunia ?.
2.
Bagaimana metode istinbath hukum Imam Syafi‟i tentang mahar hutang yang belum dibayar karena suami meninggal dunia ?.
C. Tujuan Penelitian Tujuan penulisan karya ini adalah untuk menjawab tentang apa yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah di atas. Beberapa tujuan dari penelitian ini diantaranya sebagai berikut : 1.
Untuk mengungkapkan pendapat Imam Syafi‟i tentang mahar hutang yang belum dibayar karena suami meninggal dunia.
8
2.
Untuk mengetahui bagaimana metode istinbath hukum yang digunakan oleh Imam Syafi‟i tentang mahar hutang yang belum dibayar karena suami meninggal dunia.
D. Telaah Pustaka Tentang penelusuran penulis sejauh ini, ada beberapa penelitian yang membahas tentang mahar, akan tetapi berbeda dengan penelitian dalam skripsi ini. Ahmad Farikhin, Alumnus Fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo Semarang, tahun 2008 dalam skripsinya yang berjudul “Analisis Pendapat Ibnu Abidin tentang Kadar Mahar Istri Qabla Dukhul yang Ditinggal Mati Suami” membahas tentang pendapat Ibnu Abidin tentang kadar mahar bagi suami yang belum menyebutkan jumlah, sifat dan jenis mahar ketika dalam akad pernikahan. Menurut Ibnu Abidin, istri mendapat mahar seperti mahar yang diterima wanitawanita saudaranya serta berhak mendapatkan warisan. Hikmawati, Alumnus Fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo Semarang, tahun 2006 dalam skripsinya yang berjudul “ Studi Analisis Pendapat Imam Malik tentang Membayar Mahar Bagi Istri Yang Dicerai Qabla Dukhul” membahas pendapat Imam Malik tentang gugurnya kewajiban membayar mahar bagi istri yang dicerai qabla dukhul. Hal ini tidak tergantung oleh pihak mana perceraian terjadi baik suami maupun istri. Mahar tersebut gugur seluruhnya apabila terjadi perpisahan suami istri, sebelum terjadi senggama.
9
Akhmad Arif, Alumnus Fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo Semarang, tahun 2006 dalam skripsinya yang berjudul “Analisis Pendapat Muhammad Sahrur tentang Kebolehan Poligami dengan Janda Tanpa Mahar” membahas pendapat Muhammad Sahrur. Menurut pandangannya bahwa mahar bukan suatu kewajiban yang harus dibayar dalam perkawinan poligami. Muhammad Sahrur menyatakan sebagai kemudahan dari Allah terhadap persoalan
mengawini
ibu
dari
anak-anak
yatim
tersebut.
Maka
dia
memperbolehkan seorang laki-laki yang tidak memberikan maskawin dengan maksud mencari ridha Allah dengan mengawini mereka dan anak-anaknya. Izzatul Aliyah, Alumnus Fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo Semarang, tahun 2007, dalam skripsinya yang berjudul ”Kriteria Minimal Pembayaran Maskawin ( Studi Analisis Atas Pendapat Imam Malik )” membahas tentang pendapat Imam Malik tentang kriteria minimal pembayaran maskawin. Menurut pandangannya, bahwa maskawin ada batas minimalnya. Imam Malik menetapkan batas minimal maskawin sekurang-kurangnya seperempat dinar emas atau perak seberat tiga dirham atpenulis beau barang yang sebanding dengan berat emas atau perak tersebut. Berdasarkan penelusuran dari beberapa penelitian yang telah kami kemukakan di atas, maka penulis memilih judul dengan alasan belum pernah dibahas oleh peneliti terdahulu sehingga penelitian yang akan penulis lakukan berbeda dengan karya skripsi yang telah ditulis oleh peneliti terdahulu. Skripsi ini lebih spesifik membahas tentang pendapat Imam Syafi‟i dalam kitab al-Umm.
10
Disamping itu, untuk memahami lebih komprehensif tentang pemikiran Imam Syafi‟i khususnya yang berkaitan dengan mahar, mengingat pemikiranpemikiran Imam Syafi‟i sampai sekarang masih dipakai di Indonesia yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). E. Metode Penelitian Dalam rangka menyelesaikan penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode sebagai berikut: 1. Jenis Penelitian Dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (Library Research) yaitu serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan penelitian,21 yaitu dengan mengumpulkan teori-teori dalam kitab-kitab, pendapat para ahli dan karangan ilmiah lainnya yang ada relevansinya dengan pembahasan dengan karya skripsi ini. 2. Sumber Data Mengingat penelitian ini menggunakan metode Library Research, maka diambil data dari berbagai sumber tertulis sebagai berikut : a.
Sumber data primer, yaitu data yang diperoleh dari data-data sumber primer, yaitu sumber asli yang memuat informasi atau data tersebut.22
21
Mestika Zed, Metodologi Penelitian Kepustakaan, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia,
2004, hlm. 3.
22
Tatang M. Amrin, Menyusun Rencana Penelitian, Cet. III, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 1995, hlm. 133.
11
Adapun sumber primer penelitian ini adalah kitab al-Umm karya Imam Syafi‟i. b.
Sumber data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari sumber yang bukan asli yang memuat informasi atau data tersebut.23 Adapun sumber-sumber sekunder dalam penulisan skripsi ini diantaranya : 1)
Kitab al-Muwwatta’, karya Imam Malik
2)
Kitab ar-Risalah karya Imam Syafi‟i
3)
Kitab al-Khawi al-Kabir, karya Imam al-Mawardi
4)
Kitab-kitab Hadis dan buku-buku lain yang membahas tentang mahar.
3. Metode Pengumpulan Data Dalam rangka mendapatkan data yang akurat, untuk mendukung penelitian ini, maka penulis menggunakan metode pengumpulan data ya‟ni metode dokumen (documentation). Metode dokumen adalah metode yang dilakukan dengan cara mencari dan mempelajari data-data dari catatan-catatan, transkip, berkas, surat, majalah, surat kabar dan sebagainya yang berkaitan dengan penelitian ini. 24 Studi dokumen dalam penelitian ini digunakan untuk memperoleh data-data dari kitab al-Umm karya Imam Syafi‟i maupun kitab-kitab yang ada kaitannya dengan pembahasan ini. 23
Ibid., hlm. 133. Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta :Rineka Cipta, 1993, hlm, 202. 24
12
4. Metode Analisis Data Berdasarkan data diperoleh untuk menyusun dan menganalisa datadata yang terkumpul maka metode yang penulis gunakan adalah metode deskriptif-analisis adalah suatu bentuk analisa yang berkenaan dengan masalah yang diteliti. Analisis Deskriptif yaitu bertujuan untuk memberikan deskripsi mengenai subyek penelitian berdasarkan data yang diperoleh.25 Dengan demikian penulis akan menggambarkan pendapat Imam Syafi‟i tentang mahar hutang yang belum dibayar karena suami meninggal dunia yang terdapat kitab al-Umm. Selain itu, penulis menggunakan analisis penelitian dengan metode komparasi. Penelitian komparasi akan dapat membandingkan kesamaan pandangan dan perubahan pandangan-pandangan orang, group atau negara, terhadap kasus, terhadap orang, peristiwa atau terhadap ide-ide.26 Pada penelitian ini penulis akan membandingkan dari beberapa pandangan tentang mahar yaitu pendapat dari Imam Syafi‟i, Imam Malik dan imam lainnya sehingga akan diambil sebuah kesimpulan. F. Sistematika Penulisan Secara garis besar penulisan skripsi ini terdiri dari 5 bab, dimana dalam setiap bab terdapat sub-sub bab permasalahan ; yaitu :
25
Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Jilid I, Yogyakarta : Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM, 2001, hlm. 45. 26 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta : Rineka Cipta, 2006, hlm, 267.
13
Pada Bab I memuat tentang latar belakang permasalahan, rumusan masalah, tujuan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan. Pada Bab II akan dijelaskan tentang pengertian mahar, dasar hukum mahar, kadar mahar, macam-macam mahar, bentuk dan syarat-syarat mahar serta hikmah adanya mahar. Bab III berisi tentang biografi Imam Syafi‟i, pendapat Imam Syafi‟i tentang mahar utang yang belum dibayar karena suami meninggal dunia, metode istinbath hukum Imam Syafi‟i secara umum, dan metode istinbath hukum Imam Syafi‟i tentang mahar utang yang belum dibayar karena suami meninggal dunia. Selanjutnya pada Bab IV, dibahas analisis pendapat Imam Syafi‟i tentang mahar utang yang belum dibayar karena suami meninggal dunia dan analisis metode istinbath hukum Imam Syafi‟i tentang mahar utang yang belum dibayar karena suami meninggal dunia. Terakhir, Bab V sebagai penutup, yang meliputi kesimpulan, saran-saran dan penutup.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG MAHAR A. Pengertian Mahar Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa mahar berarti pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah.27 Sedangkan dalam Kamus AlMunawwir, kata mahar berarti maskawin.28 Shadaq atau mahar diambil dari kata ash-shidqu yang artinya kesungguhan atau kebenaran. Karena, seorang laki-laki merasa benar-benar ingin menikahi wanita yang diinginkan tersebut. Sedangkan, mahar yang akan diberikan tersebut sebagai ganti yang telah disebutkan dalam akad nikah atau sesudahnya. 29 Kata mahar dalam al-Qur‟an tidak digunakan, akan tetapi digunakan kata shaduqah, yaitu dalam surat an-Nisa‟ ayat : 4.30
Artinya : “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”.(Q.S an-Nisa‟ : 4)
27
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta :Balai Pustaka, 2002, hlm. 696. Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Yogyakarta :Pustaka Progressif, 1997, hlm. 1363. 29 Saleh Al- Fauzan, Al-Mulakhkhasul Fiqhi, Terj. Abdul Hayyie Al-Kattanie, dkk, Jakarta : Gema Insani, 2006, hlm. 672. 30 Ahmad Rofiq, op. cit., hlm.100. 28
14
15
Ditinjau dari asbab al-nuzul surat an-Nisa‟ ayat 4 di atas adalah bahwa dalam tafsir jalalain ada keterangan sebagai berikut : diketengahkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Abu Salih katanya :”Dulu jika seorang laki-laki mengawinkan putrinya, diambil maskawinnya tanpa memberikan padanya, maka Allah pun melarang mereka berbuat demikian, sehingga menurunkan ayat 4 surat anNisa‟.31 Sedangkan mahar itu dalam bahasa Arab disebut dengan delapan nama, yaitu : mahar, shadaq, nihlah, faridhah, hiba‟, ujr, uqar dan alaiq. Keseluruhan kata tersebut mengandung arti pemberian wajib sebagai imbalan dari suatu yang diterima.32 Menurut HAMKA bahwa kata shidaq atau shaduqat dari rumpun kata shidiq, shadaq, bercabang juga dengan kata shadaqah. Dalam maknanya terkandung perasaan jujur, putih hati. Jadi artinya harta yang diberikan dengan putih hati, hati yang suci, muka jernih dari suami kepada calon istri. Arti yang mendalam bahwa mahar itu adalah laksana cap atau stempel karena nikah sudah di materaikan.33 Menurut Imam Taqiyuddin Abubakar, mahar (shadaq) ialah sebutan bagi harta yang wajib atas orang laki-laki bagi perempuan sebab nikah atau bersetubuh (wathi‟). Di dalam al-Qur‟an maskawin disebut shadaq, nihlah, 31
Imam Jalaluddin al-Mahalli, Imam Jalaluddin as-Suyuti, Tafsir Jalalain, Terj. Mahyudin Syaf, dkk, Bandung : Sinar Baru, 1990, hlm. 414. 32 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta : Prenada Media Group, 2006, hlm. 84-85. 33 HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Juz IV, Jakarta : Yayasan Nurul Islam, 1981, hlm. 294.
16
faridhah dan ajr. Dalam sunnah disebuh mahar,‟aliqah dan „aqar. Shadaq (maskawin) berasal dari kata shadq artinya sangat keras karena pergantiannya (bayarannya) sangat mengikat, sebab maskawin tidak dapat gugur dengan relamerelakan taradhi. 34 Menurut Zainuddin Ibn „Aziz al-Malibary menegaskan, mahar ialah sesuatu yang menjadi wajib dengan adanya pernikahan atau persetubuhan. Sesuatu itu dinamakan shidaq karena memberikan kesan bahwa pemberi sesuatu itu betul-betul senang mengikat pernikahan, yang mana pernikahan itu adalah pangkal terjadinya kewajiban pemberian tersebut, shidaq dinamakan juga dengan mahar.35 Sedangkan menurut Ibrahim Muhammad al-Jamal, mahar/maskawin adalah hak wanita, karena maskawin itu membahagiakan jiwanya, dan dia menyukai sesuai dengan kemampuan prianya. Islam tidak menyukai berlebihlebihan dalam maskawin, sehingga dapat memudahkan manusia untuk kawin. Mempermahal mahar adalah sesuatu yang dibenci dalam Islam, karena akan mempersulit hubungan diantara sesama manusia.36 Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat penulis simpulkan bahwa maskawin adalah harta pemberian wajib dari pihak suami kepada pihak istri, dan sebagai hak penuh bagi istri serta tidak boleh diganggu oleh siapapun bahkan 34
Imam Taqiyuddin Abubakar ibn Muhammad al-Hussaini, Kifayah al-Ahyar, Beirut : Daar al- Kutub al-Ilmiah, tth, Juz 2, hlm.60. 35 Zainuddin Ibn „Aziz Al-Malibary, Fathul Mu‟in, Maktabah wa Matbaah, Semarang: Toha Putera, tth, hlm. 88. 36 Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqh al-Mar‟ah al-Muslimah, Terj. S. Ziyad „ Abbas, Jakarta : PT Multi Kreasi Singgasana,1991, hlm.31.
17
suaminya sendiri. Suami diperbolehkan menikmati maskawin tersebut setelah mendapat kerelaan dari istrinya. Agama tidak membolehkan laki-laki meminta kembali mahar yang telah diberikan kepada istrinya.37 Allah SWT telah berfirman : Artinya : “Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata. Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat”. (Q.S an-Nisa‟ : 20-21).38 Mahar yang telah disepakati boleh diserahkan saat akad nikah, separoh atau sebagiannya. Tetapi, sesudah terjadi hubungan suami istri mahar itu wajib dibayar seluruhnya. Dalam keadaan perceraian sebelum melakukan hubungan suami istri, istri hanya berhak mengambil maskawin itu separoh. Hal ini disepakati para ulama, dan separoh lagi dikembalikan kepada suami. Kecuali, istri tersebut melepaskan haknya, maka suami boleh mengambil semua, atau
37
H.S.A Alhamdani, Risalah Nikah ; Hukum Perkawinan Islam, Terj. Agus Salim, Jakarta : Pustaka Amani, 1989, hlm.114-115. 38 Tim Penyusun Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 82
18
suami yang melepaskan haknya, maka istri juga boleh mengambil semua. 39 Hal ini berdasarkan pada firman Allah SWT : …… Artinya : “Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, Padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu mema'afkan atau dima'afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah”. (al-Baqarah : 237)40
Islam menganggap penyerahan hak ini dari laki-laki kepada perempuan sebagai suatu pendekatan diri kepada Allah SWT, dan termasuk sebagai sifat yang baik dan luhur. Hal ini terkandung dalam firman Allah SWT :
Artinya : “Dan apabila kamu maafkan, (itu) lebih dekat kepada taqwa, dan janganlah lupa kebaikan sesamamu”. ( al-Baqarah : 237)41 Maksudnya, bahwa perceraian janganlah menyebabkan kamu lupa tentang keakraban, persaudaraan dan kasih sayang antara sesamamu.42 B. Dasar Hukum Mahar 1.
Firman Allah SWT : 39
Said Abdul Aziz Al-Jandul, Wanita Dibawah Naungan Islam, Jakarta : CV Firdaus, 1997, hlm. 18. 40 Tim Penyusun Departemen Agama RI, op. cit, hlm. 39. 41 Ibid, hlm. 39. 42 Said Abdul Aziz Al-Jandul, op. cit, hlm. 25.
19
Artinya : “Berikanlah kepada perempuan-perempuan itu maskawin sebagai kewajiban. Akan tetapi, jika mereka berikan kepada kamu sebagian dari padanya dengan senang hati, maka makanlah dengan senang hati”. (Q.S. an-Nisa‟ : 4).43 Juga dalam firman Allah SWT : Artinya : ”Berikanlah kepada perempuan-perempuan maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu pemberian yang ikhlas”.(Q.S an-Nisa‟ :24)44 2.
Sabda Rasulullah SAW :
43 44
Tim Penyusun Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 78. Ibid. hlm. 79 .
20
. Artinya : “Telah mengabarkan kepada kami Qutaibah kepada Ya‟kub dari Abi Khazim dari Sahal bin Sa‟ad as-Sa‟idi berkata : ada seorang wanita datang kepada Rasulullah SAW dengan berkata : “ Ya Rasulullah! Saya datang untuk menyerahkan diri kepada tuan (untuk dijadikan istri). ”Rasul memandang wanita itu dengan teliti lalu beliau menekurkan kepala. Ketika wanita itu meyadari bahwa Rasul tidak tertarik padanya, maka ia pun duduklah. Lalu salah seorang sahabat beliau berdiri dan berkata :”Ya Rasulullah! seandainya tuan tidak membutuhkannya, kawinkanlah dia dengan saya. ”Rasul bertanya: ”Adakah engkau mempunyai sesuatu?” Jawab orang itu : ”Demi Allah, tidak ada apa-apa, ya Rasulullah. ”Rasul berkata: ”Pergilah kepada sana keluargamu! Mudahmudahan engkau memperoleh apa-apa. ”Lain orang itu pergi. Setelah kembali ia berkata: ”Demi Allah, tidak ada apa-apa. ”Rasul berkata: “Carilah walaupun sebuah cincin besi! ”Orang itu pergi, kemudian kembali pula. Ia berkata : ”Demi Allah, ya Rasulullah, cincin pun tidak ada. Tetapi saya ada mempunyai sarung yang saya pakai ini. ( Menurut Sa‟id, ia tidak mempunyai kain selain dari yang dipakainya itu). Wanita itu boleh mengambil dari sebahagian dari padanya. ”Rasullullah berkata : ”Apa yang dapat engkau lakukan dari sarungmu itu. Kalau engkau pakai tentu ia tidak berpakaian. “Lalu orang itu pun duduklah. Lama ia termenung kemudian ia pergi. Ketika Rasul melihatnya pergi, beliau menyuruh agar orang itu dipanggil kembali. Setelah ia datang, beliau bertanya: ”Adakah engkau menghafal Qur‟an? ”Orang menjawab : ”saya hafal surat ini dan surat itu. ”Ia lalu menyebutkan nama beberapa surat dalam Al-Qur‟an. Rasul bertanya lagi : ”Kamu dapat membacanya diluar kepala? ”Ya,” 45
Al-Imam Abu Abdillah Ibn Ismail al-Bukhari, Juz V, Sahih al-Bukhari, Beirut : Daar alKutub al-„Ilmiah, tth, hlm. 444.
21
jawab orang itu. “ Pergilah, engkau saya kawinkan dengan wanita itu dengan Alqur‟an yang engkau hafal itu”. (HR al-Bukhari). C. Kadar Mahar Syari‟at Islam tidak membatasi kadar mahar yang harus diberikan suami kepada istrinya. Agama menyerahkan kepada masyarakat untuk menetapkannya menurut adat yang berlaku dikalangan mereka. Nash Qur‟an dan hadits hanya menetapkan bahwa mahar itu harus berbentuk dan bermanfaat tanpa melihat sedikit atau banyaknya, karena itu dapat berupa cincin besi, seperti yang diriwayatkan, bahwa Rasulullah SAW bersabda :46 Artinya : “(Langsungkanlah pernikahan) meski hanya dengan (mahar) cincin yang terbuat dari besi”. (HR. Al-bukhari, Ahmad, Ibnu Majah, Tirmidzi dan ia men-shahihkannya) Ibnu Taimiyyah berkata, “Mahar wanita boleh banyak jumlahnya, jika ia mampu dan hukumnya tidak makruh. Kecuali, disertai dengan hal-hal atau syarat lain yang bisa menjadikan hukumnya menjadi makruh, seperti diikuti dengan rasa kebanggaan dan kesombongan. Sedangkan bagi yang tidak mampu memenuhi jumlah yang besar tersebut, maka hukumnya makruh. Bahkan bisa menjadi haram jika benar-benar pihak laki-laki tidak bisa memenuhi hal itu atau benda itu berbentuk benda yang diharamkan. Jika jumlah mahar yang ditentukan itu besar dan dia menyanggupi dengan ditangguhkan (tidak tunai), maka
46
Kamil Muhammad „Uwaid, Fiqih Wanita, Terj. M Abdul Ghoffar E.M, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2006, hlm. 412.
22
hukumnya juga makruh. Karena, hal ini bisa menyibukkan suami dengan tanggungan yang dipikulnya”.47 Bagaimanapun, Islam memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada lakilaki dan perempuan supaya menikah agar masing-masing dapat menikmati hubungan yang halal dan baik. Untuk mencapai hal ini, tentunya harus diberikan jalan yang mudah dan sarana yang praktis sehingga orang-orang yang fakir yang tidak mampu mengeluarkan biaya yang besar mampu untuk menikah. Mereka ini termasuk golongan mayoritas dari umat manusia. Karena itu, Islam tidak menyukai mahar yang berlebih-lebihan. Sebaliknya, Islam menghendaki bahwa setiap kali mahar itu lebih murah sudah tentu akan memberi keberkahan dalam kehidupan suami istri. Mahar yang murah pun menunjukkan kemurahan hati dari pihak perempuan.48 Sebagaimana yang telah diketahui bahwa banyaknya mahar akan menjadikan suami benci terhadap istrinya, ketika ia ingat besarnya mahar yang harus dipenuhi. Karena itu, wanita yang paling mulia dan diberkahi Allah adalah wanita yang paling sedikit maharnya, seperti yang telah diterangkan dalam hadis „Aisyah r.a. Kemudahan mahar akan membawa berkah bagi sang istri dan dapat menimbulkan rasa cinta kasih dari suaminya. 49
47
Saleh Al-Fauzan, op. cit., hlm. 673. Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid III, Jakarta : Pena Pundi Aksara, 2007, hlm. 44. 49 Saleh al-Fauzan, op. cit, hlm. 674. 48
23
Banyak sekali manusia yang tidak mengetahui ajaran ini, bahkan menyalahinya dan berpegang pada adat ajaran jahiliyah dalam pemberian mahar yang berlebihan-lebihan dan menolak untuk menikahkan anaknya kecuali kalau dapat membayar mahar dengan jumlah yang besar, memberatkan dan menyusahkan urusan perkawinan, sehingga seolah-olah perempuan itu seolaholah barang dagangan yang dipasang tarif dalam sebuah etika perdagangan. Perbuatan semacam ini banyak menimbulkan banyak kegelisahan sehingga baik laki-laki maupun perempuan terlibat dalam bahaya, menimbulkan banyak kejahatan, kerusakan dan mengacaukan dunia perkawinan. Akibatnya, yang halal ini lebih sulit dicapai daripada yang haram (zina). 50 D. Macam-macam Mahar Ulama fiqh sepakat bahwa mahar itu ada dua macam, yaitu mahar musamma dan mahar mitsil ( sepadan).51 1.
Mahar Musamma Mahar musamma yaitu mahar yang sudah disebut atau dijanjikan kadar dan
besarnnya ketika akad nikah. Atau mahar yang dinyatakan
kadarnya pada waktu akad nikah. Ulama fiqh sepakat bahwa mahar musamma dalam pelaksanaannya harus diberikan secara penuh apabila :
50 51
Sayyid Sabiq, op. cit, hlm. 44. Abd. Rahman Ghazaly, op. cit., hlm. 92.
24
a.
Telah bercampur (bersenggama). Tentang hal ini Allah SWT berfirman : Artinya : “Jika kamu menukar istri dan kamu telah memberikan kepada salah seorang diantara mereka sebesar qinthar52 maka janganlah kau ambil dari padanya sedikitpun, apakah kamu mau mengambil secara kebohongan dan dosa yang nyata ?”. (Q.S an-Nisa‟ : 20).53 Dalam ayat lain Allah SWT berfirman : Artinya :“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat”. (QS. an-Nisa‟ : 21)54
b. Salah satu dari suami istri meninggal. Demikian menurut ijma‟. Mahar musamma juga harus wajib dibayarkan seluruhnya apabila suami telah bercampur dengan istri, dan ternyata nikahnya rusak dengan sebab-sebab tertentu, seperti ternyata istrinya mahram sendiri, atau dikira perawan ternyata janda, atau hamil dari bekas suami lama. 52
Kata qinthar dalam ayat tersebut bernilai tinggi. Ada yang mengatakan 1200 „uqiyah emas dan ada pula yang mengatakan 70.000 mitsqal. Lihat Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta : Prenada Media Group, 2006, hlm.93. 53 Tim Penyusun Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 72. 54 Ibid, hlm 72.
25
Akan tetapi, kalau istri di cerai sebelum bercampur hanya wajib dibayar setengahnya, berdasarkan firman Allah SWT : …. Artinya : Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu… .( Q.S al-Baqarah : 237).55 2.
Mahar Mitsil (sepadan) Mahar mitsil yaitu mahar yang tidak disebut besar kadarnya pada saat sebelum ataupun ketika terjadi pernikahan. Atau mahar yang diukur (sepadan) dengan mahar yang pernah diterima oleh keluarga terdekat, dengan mengingat status sosial, kecantikan dan sebagainya. Mahar mitsil diwajibkan dalam tiga kemungkinan : a.
Suami dalam keadaan tidak menyebutkan sama sekali mahar dan jumlahnya.
b.
Suami menyebutkan mahar musamma, namun mahar tersebut tidak memenuhi syarat yang ditentukan atau mahar tersebut cacat seperti maharnya adalah mahar minuman keras.
55
Ibid, hlm. 39.
26
c.
Suami menyebutkan mahar musamma, namun kemudian suami istri berselisih dalam jumlah atau sifat mahar tersebut dan tidak dapat diselesaikan.56 Menurut Mazhab Abu Hanifah, wajib diberikan mahar mitsil
karena tiga hal diantaranya : 1)
Pada waktu dilakukan akad nikah tidak disebutkan jumlah dan jenis mahar dan sebelumnya belum ditentukan mahar itu, seperti dalam nikah tafwidh. Dengan berlangsungnya akad nikah ini wanita yang bersangkutan berhak menerima mahar mitsil.
2)
Pada waktu akad nikah tidak disebut maharnya, tetapi kemudian ternyata barang yang disebut itu tidak halal atau yang disebut sebagai mahar itu sesuatu yang tidak berharga. Menyebut barang yang demikian sebagai mahar dalam akad nikah adalah sia-sia saja, maka wanita yang bersangkutan berhak menerima mahar mitsil.
3)
Sepasang suami istri telah sepakat kawin tanpa mahar, namun menurut hukum Islam suami harus membayar mahar, sebab mahar itu adalah hak Allah. Dalam hal ini istri berhak menerima mahar mitsil karena ada keharusan dalam syara‟ bahwa suami membayar mahar kepada istrinya karena terjadi perkawinan sehingga orang
56
Amir Syarifuddin, op. cit., hlm. 89.
27
yang melakukan perkawinan tidak berhak menghilangkan ketentuan itu.57 Dalam hal nikah tafwidh, apabila wanita sudah dicampuri suaminya wanita harus mendapat mahar mitsil. Jadi, keharusan membayar mahar mitsil itu bukan karena akad nikahnya, tetapi karena mereka telah bercampur. Istri berhak menuntut kepada suami dalam ketentuan jumlah maharnya sebelum dicampuri. Apabila suami menentukan jumlah mahar itu kurang daripada mahar mitsil maka hal ini harus disetujui pihak wanita karena mahar itu haknya. Tetapi kalau suami menentukan jumlahnya sebesar mahar mitsil maka tidak perlu meminta persetujuan lagi. Kalau suami tidak mau menentukannya atau terjadi perselisihan pendapat tentang besar jumlahnya, maka hakimlah yang menentukan mahar mitsil mereka.58 Nikah yang tidak disebutkan dan tidak ditetapkan maharnya disebut nikah tafwidh. Hal ini menurut jumhur ulama diperbolehkan. Firman Allah SWT : Artinya : “Tidak ada sesuatu pun (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum menentukan maharnya…”.(Q.S al-Baqarah : 236).59
57
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan Ahlus- Sunnah dan Negara-negara Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1988, hlm. 227. 58 Ibid., hlm. 227. 59 Tim Penyusun Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 39.
28
Ayat ini menunjukkan bahwa seorang suami boleh menceraikan istrinya sebelum digauli dan belum juga ditetapkan jumlah mahar tertentu kepada istrinya itu. Dalam hal ini, maka istri berhak menerima mahar mitsil. E. Bentuk Mahar dan Syarat-Syarat Mahar Pada umumnya mahar itu dalam bentuk materi, baik berupa uang atau barang berharga lainnya. Namun, syari‟at Islam memungkinkan mahar itu dalam bentuk jasa melakukan sesuatu. Mahar dalam bentuk jasa ini ada landasannya dalam al-Qur‟an dan demikian pula dalam hadist Nabi. Contoh mahar dalam bentuk jasa dalam al-Qur‟an ialah menggembalakan kambing selama 8 tahun sebagai mahar perkawinan seorang perempuan. Hal ini dikisahkan Allah SWT dalam surat al-Qhashash ayat 27 :60 Artinya : “Berkatalah dia (Syu'aib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anak perempuanku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun Maka itu adalah urusanmu”. (Q.S al-Qashash :27). Contoh dalam hadis Nabi adalah menjadikan mengajarkan Al-Qur‟an sebagai mahar sebagaimana terdapat dalam hadis dari Sahal bin Sa‟ad al-Sa‟adi dalam bentuk muttafaq alaih.
60
Amir Syarifuddin, op. cit,. hlm. 91-92.
29
61
Artinya : “Nabi bertanya: ”Adakah engkau menghafal Qur‟an? ”Orang menjawab :”saya hafal surat ini dan surat itu. ”Ia lalu menyebutkan nama beberapa surat dalam al-Qur‟an. Rasul bertanya lagi : ”Kamu dapat membacanya diluar kepala? ”Ya,” jawab orang itu. “Pergilah, saya kawinkan engkau dengan wanita itu dengan mahar mengajarkan al-Qur‟an”. Contoh lain adalah Nabi sendiri ketika menikahi Sofiyah yang waktu itu masih berstatus sebagai hamba dengan maharnya memerdekakan Sofiyah tersebut. Kemudian ia menjadi ummu al-mukminin. Ulama Hanafiyah berbeda pendapat dengan jumhur ulama dalam hal ini. Menurut ulama ini apabila seorang laki-laki mengawini seorang perempuan dengan mahar memberikan pelayanan kepadanya atau mengajarinya al-Qur‟an, maka mahar itu batal dan oleh karenanya kewajiban suami adalah mahar mitsil. Kalau mahar itu dalam bentuk uang atau barang berharga, maka Nabi menghendaki mahar itu dalam bentuk yang lebih sederhana. Hal ini tergambar dalam sabdanya dari „Uqbah bin „Amir yang dikeluarkan oleh Abu Daud dan disahkan oleh Hakim, ucapan Nabi : “Sebaik-baiknya mahar itu adalah paling mudah”. Hal ini dikuatkan pula dengan hadis Nabi dari Sahal Ibn Sa‟ad yang dikeluarkan oleh al-Hakim yang mengatakan : bahwa Nabi Muhammad SAW
61
Al-Imam Abu Abdillah Ibn Ismail al-Bukhari, op. cit., hlm. 444.
30
pernah mengawinkan seorang laki-laki dengan seorang perempuan dengan maharnya sebentuk cincin besi.62 Dengan tidak adanya petunjuk yang pasti tentang mahar, para Ulama memperbincangkannya, mereka sepakat menetapkan bahwa tidak ada batas maksimal bagi sebuah mahar. Namun dalam batas minimal terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ulama Hanafiyah menetapkan batas minimal mahar sebanyak 10 dirham perak dan apabila kurang dari itu tidak memadai oleh karenanya diwajibkan mahar mitsil, dengan pertimbangan bahwa itu adalah batas minimal barang curian yang mewajibkan had terhadap pencurinya. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa batas minimal mahar adalah 3 Dirham perak atau seperempat dinar emas. Sedangkan Ulama Syafi‟iyah dan Hanabilah tidak memberi batas minimal dengan arti apapun yang penting bernilai dapat dijadikan mahar. Apabila mahar dalam bentuk barang maka syaratnya : 1.
Jelas dan diketahui bentuk dan sifatnya.
2.
Barang itu miliknya sendiri secara kepemilikan penuh dalam arti dimiliki zatnya dan dimiliki pula manfaatnya, bila salah satu saja yang dimiliki, seperti manfaatnya saja dan tidak zatnya umpama barang yang dipinjam, tidak sah dijadikan mahar.
62
Ibid, hlm. 93.
31
3.
Barang itu sesuatu yang memenuhi syarat untuk diperjualbelikan dalam arti barang yang tidak boleh diperjualbelikan tidak boleh dijadikan mahar, seperti minuman keras, daging babi dan bangkai.
4.
Dapat diserahkan pada waktu akad atau pada waktu yang dijanjikaan dalam arti barang tersebut sudah berada ditangannya pada waktu diperlukan. Barang yang tidak dapat diserahkan pada waktunya tidak dapat dijadikan mahar, seperti burung yang terbang di udara.63
F. Hikmah Mahar Mahar itu merupakan pemberian pertama seorang suami kepada istrinya yang dilakukan pada waktu akad nikah. Dikatakan yang pertama karena sesudah itu akan timbul beberapa kewajiban material yang harus dilaksanakan oleh suami selama masa perkawinan untuk kelangsungan hidup perkawinan itu. Dengan pemberian mahar suami dipersiapkan dan dibiasakan untuk menghadapi kewajiban material selanjutnya.64 Kemudian hikmah disyariatkannya mahar atau maskawin dalam nikah adalah sebagai ganti dihalalkannya wanita atau dihalalkannya bersetubuh dengan suaminya. Disamping itu, mahar juga sebagai tanda hormat sang suami kepada pihak wanita dan sebagai tanda kedudukan wanita tersebut telah menjadi hak suami.65
63
Amir Syarifuddin, op. cit., hlm. 94-95. Ibid, hlm. 87. 65 Saleh al-Fauzan, op. cit., hlm. 674. 64
BAB III PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG MAHAR HUTANG YANG BELUM DIBAYAR KARENA SUAMI MENINGGAL DUNIA A. Biografi Imam Syafi’i 1. Latar Belakang Keluarga Sebelum lebih jauh membahas pendapat Imam Syafi‟i tentang mahar hutang yang belum dibayar karena suami meninggal dunia, penulis akan menggambarkan lebih dekat sekilas tentang biografi Imam Syafi‟i. Imam Syafi‟i lahir di Gaza (masih wilayah „Asqalan)66 pada bulan Rajab tahun 150 H atau sekitar 767 M. Imam Syafi‟i lahir dalam keadaan yatim bertepatan dengan wafatnya Imam Abu Hanifah.67 Imam Syafi‟i wafat di Mesir pada tahun 204 H (819 M).68 Nama lengkap Imam Syafi‟i adalah Muhammad Ibn Idris Ibn al„Abbas asy-Syafi‟i Ibn asy-Sa‟ib Ibn „Ubayd Ibn „Abduyazid Ibn Muthalib Ibn Abdumanaf. Muthalib adalah saudara kandung Hasyim Ibn „Abdumanaf. Sedangkan Hasyim adalah ayah „Abdul Muthalib, datuk Nabi Muhammad SAW. Ibu Imam Syafi‟i adalah cucu perempuan dari saudara Fathimah binti
66
„Asqalan adalah sebuah tempat yang berada di pesisir laut putih ditengah-tengah Kota Palestina. „Asqalan juga terkenal dengan sebutan “ Pengantin Syam” tanahnya subur-makmur dan kehidupan rakyatnya pun sejahtera. Lihat Abdurrahman Asy-Syarqawi, Riwayat Sembilan Imam Fiqih, Bandung : Pustaka Hidayah, 2000, hlm. 382. 67 Lahmidin Nasution, Pembaharuan Hukum Islam dalam Madzab Imam Syafi’i, Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2001, hlm.15. 68 Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, Jakarta : Logos, 1997, hlm. 120-121.
32
33
As‟ad, Ibu Imam „Ali Ibn Thalib. Oleh karena itu, Imam Syafi‟i mengatakan, “Ali Ibn Abi Thalib adalah putra pamanku dan putra bibiku”. Imam Syafi‟i adalah putra dari suami-isteri yang sama-sama berdarah Quraisy. Ayahnya termasuk miskin dan sering meninggalkan Makkah untuk mencari penghidupan yang lebih matang di Madinah. Akan tetapi, di Kota itu, ia tidak menemukan yang dimaksud. Kemudian, ia bersama keluarganya pindah ke Gaza dan meninggal dunia disana, dua tahun setelah Imam Syafi‟i lahir. Sepeninggal ayahnya, ibu Imam Syafi‟i tidak dapat hidup menetap di Gaza. Ia membawa anaknya yang berusia dua tahun itu ke „Asqalan. Akan tetapi, penghidupan di „Asqalan tidak ramah bagi seorang janda muda. Ia kemudian membawa Imam Syafi‟i, pulang ke kampung halaman, Makkah, tanah tumpah darah para orang tuanya secara turun-temurun. Disana ia akan hidup ditengah kaumnya sendiri yaitu masyarakat Quraisy. 69 2. Pendidikan Dalam mengawali pendidikannya pada usia kanak-kanak, Imam Syafi‟i diikutsertakan belajar pada suatu lembaga pendidikan di Makkah, tetapi ibunya tidak mempunyai biaya pendidikan sebagaimana mestinya. Sebenarnya, guru yang mengajarnya terbatas memberikan pelajaran kepada anak-anak yang lebih besar. Akan tetapi, setelah ia mengetahui bahwa setiap apa yang diajarkannya kepada Imam Syafi‟i dapat dimengerti dan dicerna 69
Abdurrahman asy-Syarqawi, Riwayat Sembilan Imam Fiqih, Bandung : Pustaka Hidayah, 2000, hlm. 382.
34
dengan baik, lagi pula setiap ia berhalangan ternyata Imam Syafi‟i sanggup menggantikan gurunya meneruskan apa yang telah diajarkan kepadanya kepada anak-anak yang lain, akhirnya Imam Syafi‟i dipandang sebagai murid yang bantuannya lebih besar daripada bayaran yang diharapkan dari ibunya. Oleh karena itu, Imam Syafi‟i dibiarkan terus belajar tanpa dipungut bayaran. Keadaan seperti itu berlangsung hingga Imam Syafi‟i berkesempatan belajar al-Qur‟an dan menghatamkannya dalam usia tujuh tahun. Tamat belajar al-Qur‟an, Imam Syafi‟i oleh ibunya dimasukkan ke lembaga pendidikan lain yang berada di dalam Masjid Haram, agar dapat membaca al-Qur‟an lebih baik termasuk tajwid dan tafsirnya. Di lembaga tersebut, belajar beberapa orang guru ahli tafsir, tartil dan tajwid. Dalam usia 13 tahun, Imam Syafi‟i sudah mampu membaca al-Qur‟an dengan tartil dan baik, sudah dapat menghafalkannya bahkan memahami apa yang dibacanya sebatas kesanggupan seorang anak yang baru berusia 13 tahun. Ia membaca al-Qur‟an dengan suara yang merdu dan tartil, ia benarbenar khusyu‟ dicekam perasaan sedih bercampur perasaan takut kepada Allah SWT. Di saat-saat ia sedang membaca al-Qur‟an di Masjid Haram, banyak orang yang mendengarnya duduk bersimpuh didepannya, bahkan ada pula yang meneteskan air mata karena terpukau mendengar suaranya yang merdu.
35
Ia kemudian mulai belajar menghafal banyak hadis. Untuk itu, ia turut serta belajar pada guru-guru tafsir dan guru-guru ahli di bidang ilmu hadis. Pada saat itu harga kertas sangat mahal. Untuk mencatat pelajaran, ia mengumpulkan kepingan-kepingan tulang yang lebar dan besar. Di atas tulang itulah ia menulis catatan-catatannya. Apabila tidak ditemukan tulang, ia pergi ke diwan70, untuk mengumpulkan buangan kertas yang bagian belakangnya masih dapat digunakan untuk menulis catatan-catatan pelajaran. Sulit baginya untuk memperoleh kertas, oleh karena itu, ia lebih mengandalkan ingatan dengan cara menghafal. Karena kebiasaan itulah Imam Syafi‟i mempunyai daya ingat yang kuat sehingga dapat menghafal semua pelajaran yang diterima dari guru-gurunya.71 Di samping cerdas, Imam Syafi‟i juga sangat tekun dan tidak kenal lelah dalam belajar. Pada usia 10 tahun ia sudah membaca seluruh isi kitab al-Muwatta’ karangan Imam Malik dan pada usia 15 tahun telah menduduki kursi mufti di Makkah. Selama menuntut ilmu, Imam Syafi‟i hidup serba kekurangan dan penuh penderitaan. Diriwayatkan bahwa karena kemiskinan dan ketidakmampuannya ia terpaksa kertas-kertas bekas dari kantor-kantor pemerintah atau tulang-tulang sebagai alat untuk mencacat pelajarannya. Setelah menghafal isi kita al-Muwatta’, Imam Syafi‟i sangat berhasrat untuk menemui pengarangnya, Imam Malik, sekaligus memperdalam ilmu 70
Diwan adalah semacam kantor sebagai tempat dimana masyarakat mencatatkan berbagai urusannya dalam kehidupan sehari-hari. 71 Ibid, hlm.385-386.
36
fikih yang amat diminatinya. Lalu dengan meminta izin kepada gurunya di Makkah. Imam Syafi‟i berangkat ke Madinah, tempat Imam Malik. Diceritakan bahwa dalam perjalanan antara Makkkah dan Madinah yang ditempuhnya selama 8 hari Imam Syafi‟i sempat menghatamkan (baca sampai selesai) al-Qur‟an selama 16 kali. Setibanya di Madinah, ia lalu salat di Masjid Nabi, menziarahi makam Nabi SAW, baru kemudian menemui Imam Malik. Selama di Madinah, Imam Syafi‟i tinggal dirumah gurunya, Imam Malik. Ia sangat dikasihi oleh gurunya itu dan kepadanya diserahi tugas untuk mendiktekan isi kitab al-Muwatta’ kepada murid-murid Imam Malik. Imam Syafi‟i adalah profil ulama yang tidak pernah puas dalam menuntut ilmu. Semakin banyak ia menuntut ilmu semakin dirasakannya banyak yang tidak
diketahuinya. Ia kemudian meninggalkan Madinah
menuju Irak untuk berguru kepada ulama besar disana, antara lain Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan. Keduanya adalah sahabat Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi). Dari kedua Imam tersebut, Imam Syafi‟i memperoleh pengetahuan yang lebih luas mengenai cara-cara hakim memeriksa dan memutuskan perkara, cara memberi fatwa, cara menjatuhkan hukuman serta berbagai metode yang diterapkan oleh para mufti di sana yang tidak pernah dilihatnya di Hijaz. 72
72
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, cet. IV, Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997, hlm. 27.
37
Di samping itu, Imam Syafi‟i mendalami bahasa Arab untuk menjauhkan dari pengaruh Ajamiyah 73 yang sedang melanda bahasa Arab pada masa itu. Imam Syafi‟i pergi ke Kabilah Hudzail74 yang tinggal di pedusunan untuk mempelajari bahasa Arab yang paling fasih lidahya, sangat indah susunan bahasanya. Selama 10 tahun Imam Syafi‟i tinggal di Badiyah, mempelajari sya‟ir, adab dan sejarah. Imam Syafi‟i terkenal ahli dalam bidang sya‟ir yang digubah oleh golongan Hudzail itu. Disana juga belajar bermain panah sehingga kemahiran dalam bidang tersebut. Dalam masa itu Imam Syafi‟i menghafalkan al-Qur‟an dan hadis, mempelajari sastra Arab, memahirkan diri dalam mengendarai kuda serta meneliti keadaan pendudukpenduduk Badiyah dan penduduk Kota.75 Imam Syafi‟i pulang dari pegunungan sebagai seorang penunggang kuda. Ia memperoleh banyak pengetahuan dan pengalaman dari kehidupan masyarakat Bani Hudzail, pandai memanah dan menguasai ilmu bahasa dan sastra Arab secara lebih cemerlang. Di samping itu, menguasai ilmu alQur‟an, hadis dan fikih. Semua itu merupakan kekayaan yang amat besar baginya.
73
Ajamiyah adalah bahasa asing ( selain bahasa Arab). Kabilah Hudzail merupakan kabilah yang paling fasih dalam berbahasa Arab, syair-syair mereka pun sangat kaya dengan khazanah bahasa itu. al-Laits sendiri banyak sekali menghafal syairsyair gubahan orang-orang Hudzail. Dalam menafsirkan kalimat-kalimat al-Qur‟an, ia sering bersandar pada bahasa mereka, seperti yang pernah dilakukan oleh Ibn „Abbas, guru semua ulama ahli tafsir. Lihat Abdurrahman asy-Syarqawi, Riwayat Sembilan Imam Fiqih, Bandung : Pustaka Hidayah, 2000, hlm. 384. 75 T.M Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam-Imam Madzhab Dalam Membina Hukum Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1973, hlm. 235. 74
38
Lengkaplah sudah perangkat ilmiah yang dimiliki Imam Syafi‟i untuk dapat memahami dengan baik makna al-Qur‟an, hadis-hadis, pusaka pemikiran serta amalan para sahabat Nabi Muhammad SAW. Ia telah memiliki kekayaan dalam ilmu bahasa untuk membuka makna kata dan kalimat yang terkunci, di samping rasa seni sastra yang memberikan kemungkinan kepadanya untuk menjangkau kelembutan balaghah dan rahasia ilmu bayan (kedua-duanya merupakan cabang ilmu bahasa Arab). Tibalah saat para gurunya untuk berkata padanya,”Tibalah bagimu untuk berfatwa”. Itu berarti bahwa guru-gurunya tidak meragukan lagi kemampuan Imam Syafi‟i untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dan memecahkan ketentuan hukum syari‟at yang dibutuhkan kaum muslimin.76 3. Guru dan Murid Imam Syafi’i Di Madinah Imam Syafi‟i berguru kepada Imam Malik dan di Kufah, ia berguru kepada Muhammad Ibn al-Hasan al-Syaibani yang beraliran Hanafi yang telah membantunya melepaskan diri dari konspirasi politik dengan ahl al-bayt. Imam Malik merupakan puncak tradisi Madrasah Madinah ( Hadis), dan Abu Hanifah adalah puncak Madrasah Kufah (Ra’y). dengan demikian, Imam Syafi‟i dapat dikatakan sebagai sintesis antara aliran Kufah dan aliran Madinah.
76
Abdurrahman Asy-Syarqawi, op. cit., hlm. 385-387.
39
Disamping itu, Imam Syafi‟i berguru kepada beberapa ulama selama tinggal di Yaman, Makkah dan Kufah. Di antara ulama Yaman yang dijadikan guru oleh Imam Syafi‟i adalah Mutharraf Ibn Mazim, Hisyam Ibn Yusuf, Umar Ibn Abi Salamah dan Yahya Ibn Hasan. Selama tinggal di Makkah, Imam Syafi‟i belajar kepada guru terkemuka. Diantara ulama Makkah yang menjadi
guru Imam Syafi‟i adalah Sufyan Ibn „Uyainah,
Muslim Ibn Khalid al-Zanji, Sa‟id Ibn Salim al-Kaddah, Daud Ibn Abd alRahman al-Aththar dan „Abd al-Hamid „Abd al-Aziz Ibn Abi Zuwad. Dalam menguasai fikih Madinah, Imam Syafi‟i Berguru langsung kepada Imam Malik, sedangkan dalam menguasai fikih Irak, ia berguru kepada Muhammad Ibn al-Hasan al-Syaibani yang merupakan penerus fikih Hanafi. Disamping itu, mempelajari fikih al-Auza‟i dari Umar Ibn Abi Salamah dan mempelajari fikih al-Laits kepada Yahya Ibn Hasan. 77 Sebagai seorang ulama yang mempunyai kedalaman dan keluasan ilmu pada masanya, Imam Syafi‟i mempunyai banyak pengikut dan muridmurid yang nantinya sangat besar jasa mereka dalam mengembangkan Mazhab Syafi‟i baik di Makkah, Irak maupun di Mesir. Diantara murid-murid Imam Syafi‟i yang terkenal adalah Abu Bakar al-Humaidi (w.219 H) dari Makkah, yang kemudian turut serta bersama Imam Syafi‟i ke Mesir. Kemudian murid-murid Imam Syafi‟i yang lain
77
Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam ; Studi Tentang Qawl Qadim dan Qawl Jadid, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2002, hlm. 29-30.
40
adalah Abu Ishak Ibrahim Ibn Muhammad (w.237 H), Abu Bakar Muhammad Ibn Idris, Abdul Wahid dan Musa Ibn Jarad. Selanjutnya muridmurid beliau di Baghdad adalah Abu Ali al-Hasan al-Za‟farani (w. 260 H), murid yang satu ini banyak menukil pendapat Imam Syafi‟i dan paling terkenal di Baghdad. Di samping itu, murid beliau yang juga terkenal adalah Abu Ali al-Husin al-Karabisi (w. 256 H), Abu Saur al-Kalibi (w. 240 H), Ahmad Ibn Hanbal yang nantinya mengembangkan mazhab tersendiri. Adapun murid-murid Imam Syafi‟i di Mesir adalah Harmalah Ibn Yahya (w.266 H) yang cukup besar jasa-jasanya meriwayatkan kitab-kitab Imam Syafi‟i, dan Abu Ya‟kub Yusuf Ibn Yahya al-Buaiti, seorang yang dihargai dan disayangi Imam Syafi‟i serta ditunjuk oleh beliau sebagai penggantinya. Kemudian murid Imam Syafi‟i adalah Abu Ismail Ibn Yahya alMuzani (w. 264 H), Muhammad Ibn Abdullah, Ibn Abdul Hakam (w. 268 H), al-Rabi‟ Ibn Sulaiman Ibn Daud al-Izi (w. 256 H). diceritakan bahwa alMuzani banyak mempunyai kitab-kitab Syafi‟i dan menulis kitab al-Mabsut dan al-Mukhtasar min ‘Ilm al-Syafi’i. melalui murid-murid beliau inilah, pandangan dan pemikiran Imam Syafi‟i berkembang dan meluas ke berbagai kawasan negeri Islam yang hingga sekarang tetap eksis dan lestari diikuti oleh umat Islam.78
78
31-32.
Romli S.A, Muqaranah Mazhahib Fil Ushul, Jakarta : Gaya Media Pratama, 1999, hlm.
41
4. Karya-karya Imam Syafi’i Ketokohan dan kepiawaian Imam Syafi‟i dalam bidang pemikiran hukum memang luar biasa. Hal ini, tidak lain karena di samping beliau membaktikan diri mengajarkan ilmu, juga aktif menulis dan membukukan pandangan- pandangannya. Karya beliau dalam bidang ushul fiqh adalah kitab ar-Risalah.79 Kitab ini khusus membahas tentang ushul fikih yang merupakan kitab pertama yang ditulis ulama dalam bidang usul fikih. Di dalamnya Imam Syafi‟i menguraikan dengan jelas cara-cara mengistinbathkan hukum. Sampai sekarang buku ini tetap merupakan buku standar dalam usul fikih.80 Selain kitab ar-Risalah, Imam Syafi‟i juga menyusun kitab fiqh yang dikenal dengan nama al-Umm. Kitab ini berisi berbagai pandangan tentang fiqh, yang menekankan praktek ajaran Islam. Kitab ini ditulis oleh Imam Syafi‟i ketika di Mesir. Beliau pergi ke Mesir pada tahun 204 H. Berdasarkan riwayat, ketika berada di Mesir ini Imam Syafi‟i mencapai puncak 79
Kitab ar-Risalah yang ditulis oleh Imam Syafi‟i memuat rumusan dan metode berfikir serta kaidah-kaidah dasar dalam melakukan istinbath hukum atau ijtihad. Berdasarkan beberapa riwayat bahwa kitab ar-Risalah ini ditulis ketika beliau berada di Makkah atas permintaan Abdurrahman Ibn Mahdi. Riwayat lain mengatakan kitab ar-Risalah ditulis oleh Imam Syafi‟i ketika beliau berada di Baghdad untuk kedua kalinya. Jika benar kitab ar-Risalah ditulis di Makkah, maka karya ini ditulis antara tahun 186-195 H dengan perincian bahwa Imam Syafi‟i bermukim lebih kurang Sembilan tahun di Makkah setelah kembali dari lawatan pertamanya ke Baghdad. Akan tetapi, jika kitab ar-Risalah ditulis antara tahun 195-198 H, sebab kedatangan Imam Syafi‟i ke Baghdad untuk kedua kalinya terjadi tahun 195 H dan menetap di kota ini selama lebih kurang tiga tahun. Sebetulnya tidak ada penjelasan yang pasti. Namun yang jelas, bisa jadi awal penulisannya dimulai ketika Imam Syafi‟i berada di Makkah dan penyelesaiannya di Baghdad. Tetapi, boleh jadi juga penulisannya di Makkah lalu ketika berada di Baghdad untuk kedua kalinya merupakan penerapannya. Lihat Romli S.A, Muqaranah Mazhahib Fil Ushul, Jakarta : Gaya Media Pratama, 1999, hlm. 29-30. 80 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, op. cit., hlm. 329.
42
kesempurnaannya dan banyak melahirkan pandangan-pandangan baru dalam bidang fiqih. Selama di Mesir, di samping menulis kitab al-Umm, beliau juga menulis kitab yang terkenal dengan nama al-Imlak dan al-Amali. Kemudian kitab al-Musnad, berisi tentang hadis-hadis Nabi SAW yang dihimpun dari kitab al-Umm. Di sana dijelaskan keadaan sanad setiap hadis. Selanjutnya karya beliau adalah Ikhtilaf al-Hadis, suatu kitab hadis yang menguraikan pendapat Imam Syafi‟i mengenai perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam hadis. Terdapat pula buku-buku yang memuat ide-ide dan pikiran-pikiran Imam Syafi‟i, tetapi ditulis oleh murid-muridnya, seperti, al-Fiqh, al-Muktasar al-Kabir, al-Mukhtasar as-Shahir dan al-Fara’id. Ketiganya dihimpun oleh Imam al-Buwaiti.81 Sedangkan di Mesir ada Abu Ya‟qub Yusuf bin Yahya Al-Buthi, murid yang paling senior di Mesir, juga ada Ismail bin Yahya al-Muzani ia termasuk murid yang paling cerdas, pendapatnya yang brilian yang berbeda dengan sang Guru, serta memiliki karya antara lain: Al-Mukhtasar AshShagir dan al-Jami’ Al-Kabir, kemudian ada Ar-Rabi‟ bin Sulaiman AlMuradi yang meriwayatkan kitab Al-Umm dari Imam Syafi‟i.82 Berbagai pandangan baru Imam Syafi‟i muncul di Mesir sehingga dalam fiqih Syafi‟i ditemukan dalam Qaul (pendapat) yaitu Qaul al-Qadim
81
Ibid. hlm. 330. Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’ Sejarah Legislasi Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2009, hlm. 188 82
43
dan Qaul al-Jadid.83 Disebabkan karena Imam Syafi‟i berhadapan dengan adat dan tradisi masyarakat yang berbeda dengan apa yang ia lihat dan rasakan ketika berada di Makkah, Hijaz dan Baghdad (Irak). Dengan perbedaan ini, maka Imam Syafi‟i merubah pendapatnya mengenai beberapa masalah yang tidak cocok dengan lingkungan masyarakat Mesir. Di samping itu, ketika Imam Syafi‟i berada di Mesir banyak bergaul dengan para ulama dan banyak mendengar dan menemukan hal-hal yang belum ditemukan sebelumnya baik mengenai masalah hadis maupun fiqih.84 Imam Syafi‟i ketika datang ke Mesir, pada umumnya penduduk Mesir saat itu mengikuti Madzhab Hanafi dan madzhab Maliki. Kemudian setelah ia membukukan kitabnya (qaul jadid), ia mengajarkannya di Masjid „Amr Ibn „Ash, maka mulai berkembanglah pemikiran madzhabnya di Mesir, apalagi di waktu itu yang menerima pelajaran darinya banyak dari kalangan ulama, seperti, Muhammad Ibn Abdullah Ibn Abd al-Hakam, Ismail Ibn Yahya, al-Buwaithiy, al-Rabi‟, al-Jiziy, Asyhab Ibn al-Qasim dan Ibn Mawaz. Mereka adalah ulama yang berpengaruh di Mesir. Inilah yang mengawali tersiarnya mazhab Syafi‟i sampai ke seluruh pelosok. Penyebaran mazhab Syafi‟i ini antara lain di Irak, lalu berkembang dan tersiar ke Khurasan, Pakistan, Syam, Yaman, Persia, Hijaz, India,
83
Qaul al-Qadim (pendapat yang lama) adalah pendapat beliau sebelum berada di Mesir, yaitu ketika masih berada di Makkah maupun di Baghdad. Sementara Qaul al-Jadid (pendapat baru) adalah pandangan-pandangan yang lahir setelah Imam Syafi‟i bermukim di Mesir. 84 Ibid, hlm. 31.
44
daerah-daerah Afrika dan Andalusia sesudah tahun 300 H. Kemudian mazhab Syafi‟i ini tersiar dan berkembang bukan hanya di Afrika, tetapi ke seluruh pelosok negara-negara Islam, baik di Barat maupun di Timur yang dibawa oleh para muridnya dan pengikut-pengikutnya dari satu negeri ke negeri lain, termasuk Indonesia. Kala kita melihat praktik ibadah dan mu‟amalah umat Islam di Indonesia, pada umumnya mengikuti mazhab Syafi‟i. Hal ini karena disebabkan karena beberapa faktor : a.
Setelah adanya hubungan Indonesia dengan Makkah dan diantara kaum muslimin Indonesia yang menunaikan ibadah haji, ada yang bermukim di sana dengan maksud belajar ilmu agama. Guru-guru mereka adalah ulama-ulama yang bermadzhab Syafi‟i dan setelah kembali ke Indonesia mereka menyebarkannya.
b.
Hijrahnya kaum muslimin dari Hadhramaut ke Indonesia adalah merupakan sebab yang penting pula bagi tersiarnya madzhab Syafi‟i di Indonesia, karena ulama Hadhramaut adalah bermadzhab Syafi‟i.
c.
Pemerintah kerajaan Islam di Indonesia selama zaman Islam mengesahkan dan menetapkan Mazhab Syafi‟i menjadi haluan hukum di Indonesia. Keadaan ini diakui pula oleh Pemerintah Hindia Belanda, terbukti pada masa akhir kekuasaan Belanda di Indonesia, kantor-kantor
kepenghuluan
dan
Pengadilan
Agama,
hanya
mempunyai kitab-kitab fiqh Syafi‟iyyah, seperti kitab al-Tuhfah, alMajmu’, al-Umm dan lain-lain.
45
d.
Para pegawai jawatan dahulu hanya terdiri dari ulama mazhab Syafi‟i kerena belum ada yang lainnya. 85
B. Pendapat Imam Syafi’i tentang Mahar Hutang yang Belum Dibayar Karena Suami Meninggal Dunia. Seperti yang telah dijelaskan di dalam latar belakang pada bab I di atas, tentang
mahar hutang yang belum belum dibayar karena suami meninggal
dunia, bahwa menurut pendapat Imam Syafi‟i, mahar tetap wajib dibayar oleh suami kepada istri baik qabla dukhul maupun ba’da dukhul. Pendapatnya dijelaskan dalam kitab al-Umm :
Artinya : “Bahwa Imam Syafi‟i RA berkata: apabila suami menikahi wanita dengan mahar yang telah disebutkan, maka mahar tersebut ditetapkan sebagai kewajiban suami, jika suami atau istri meninggal sebelum melakukan hubungan suami istri atau setelah melakukan hubungan suami istri. Apabila mahar yang disebut berupa uang maka suami wajib membayar dengan uang. Apabila dengan hutang maka harus dibayar dengan hutang, apabila berupa takaran yang disifati maka berupa takaran dan 85
Huzaemah Tahido Yanggo, op. cit., hlm. 136-137. 86 Al-Imam Abi „Abdillah Muhammad Ibn Idris asy-Syafi‟i, loc. cit.
46
apabila berupa barang yang disifati maka dengan barang. Apabila mahar yang disebut berupa barang tertentu semisal, hamba sahaya, unta atau sapi dan rusak ketika masih dibawa suami sebelum ia serahkan kemudian suami men-talaq istri sebelum melakukan hubungan suami istri maka istri berhak mendapatkan separuh harga barang tersebut, terhitung harga pada waktu akad nikah yaitu pada hari istri memiliki mahar”. C. Metode Istinbath Hukum Imam Syafi’i Tentang Mahar Hutang yang Belum Dibayar Karena Suami Meninggal Dunia. Seperti Imam Madzhab lainnya, Imam Syafi‟i menentukan thuruq alistinbath al-ahkam tersendiri. Adapun langkah-langkah ijtihad menurut Imam Syafi‟i adalah sebagai berikut :”Asal adalah al-Qur‟an dan sunnah, apabila tidak ada dalam al-Qur‟an dan sunnah, maka ia melakukan qiyas terhadap keduanya. Thaha Jabir Fayadh al-„Ulwani menjelaskan langkah-langkah ijtihad Imam Syafi‟i sebagai berikut.87
ا
Artinya : “Pokok hukum adalah al-Qur‟an dan sunnah, apabila tidak ada dalam al-Qur‟an dan sunnah, maka analogi terhadap al-Qur‟an dan sunnah. Apabila suatu hadis muttasil kepada Nabi SAW dan 87
Jaih Mubarok , op. cit., hlm. 31-32.
47
sanadnya shahih maka cukuplah baginya untuk dijadikan dalil. Ijma‟ lebih utama atas khabar dan ahad. Makna hadis yang diutamakan adalah makna zhahir. Apabila terdapat hadis yang berbeda, maka sanad hadis yang lebih baik diutamakan. Hadis munqathi’ tidak dapat dipergunakan kecuali munqathi’ dari Ibn al-Musayyab; pokok tidak boleh dianalogikan kepada pokok; dan tidak boleh dipertanyakan (mengapa dan bagaimana) bagi hukum pokok. Tetapi pertanyaan itu digunakan untuk menentukan hukum cabang (far’); apabila analogi dilakukan secara benar terhadap hukum pokok, maka ia dapat dijadikan hujjah.” Dari perkataan beliau tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa pokokpokok pikiran beliau dalam mengistinbathkan hukum adalah : 1.
Al-Kitab Al-Qur‟an merupakan Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dalam bahasa Arab, riwayatnya mutawatir. al-Qur‟an sebagai sendi fundamental dan rujukan pertama bagi semua dalil dan hukum syari‟at, merupakan Undang-Undang Dasar, sumber dari segala sumber dan dasar dari semua dasar. Hal ini sudah merupakan kesepakatan seluruh Ulama Islam.88 Mengenai keharusan berpegang kepada al-Qur‟an tersebut dapat dipahami dari ayat 59 surat an-Nisa‟.89
88
Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam; Permasalahan dan Fleksibilitasnya, Jakarta : Sinar Grafika, 2007, hlm. 9-10. 89 Satria Effendi, Ushul Fiqh, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2005, hlm.78.
48
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur‟an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”(Q.S. an-Nisa‟: 59).90 Al-Qur‟an diturunkan dalam bahasa Arab murni tidak ada campuran dari bahasa selain Arab. Imam Syafi‟i mewajibkan agar orang Islam mempelajari bahasa Arab. Karena dengan belajar bahasa Arab, mereka bisa mengetahui isi kandungan al-Qur‟an. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat Ibrahim ayat 4 : Artinya : ”Kami tidak mengutus seorang Rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. dan Dia-lah Tuhan yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana”.(Q.S Ibrahim :4)91
90 91
Tim Penyusun Depatemen Agama RI, op. cit., hlm. 88. Ibid, hlm.256.
49
Dengan demikian sifat umum yang dianut oleh al-Qur‟an jelas mengandung makna, bahwa al-Qur‟an membiarkan masalah-masalah mu‟amalat, siyasah, qadla‟ (peradilan) berkembang menurut masa, keadaan dan tempat. Ini semua menjadi bukti tentang kedinamisan al-Qur‟an.92 Disamping itu, untuk memahami al-Qur‟an diperlukan pengetahuan bahasa Arab, makna, ‘am dan khash, tafsir dan lainnya. Imam Syafi‟i membagi ‘am dan khash dalam tiga bagian :93 a.
Pernyataan umum dengan maksud umum. Artinya : “ Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu” (Q.S. az-Zumar :62)94 Artinya : ”Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya”.(Q.S Hud: 6)95
b.
92
Pernyataan Umum dengan maksud umum dan khusus juga tercakup.
Nourouzzaman Shiddiqi, Fiqh Indonesia Penggagas dan Gagasannya, Yogyakarta: Pustaka pelajar Offset, 1997, hlm. 106 93 Imam Syafi‟i, ar-Risalah Imam Syafi’i, Terj. Ahmadie Thoha, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1986, hlm. 40-44. 94 Tim Penyusun Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 466. 95 Ibid, hlm. 223.
50
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (Q.S al-Baqarah : 183-184)96 Artinya : ”Sesungguhnya shalat itu diwajibkan atas orang-orang mukmin pada waktu-waktu yang ditentukan.” (Q.S anNisa‟ :103) c.
Pernyataan umum dengan maksud khusus Artinya : ”orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: "Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka", Maka Perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: "Cukuplah Allah menjadi penolong Kami dan Allah adalah Sebaik-baik Pelindung". (Q.S Ali-Imran :173)97
96 97
Ibid, hlm. 29. Ibid, hlm. 73.
51
Kemudian dalam hal penjelasan arti dapat dikategorikan menjadi 3 bagian :98 1)
Pernyataan arti yang menjelaskan. Artinya : “Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari yang bukan Sabtu, ikanikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka Berlaku fasik.” (Q.S al-A‟raf : 163)99
2)
Pernyataan yang lafadnya menjelaskan arti implisitnya, bukan arti ekplisitnya. Artinya : ”Kembalilah kepada ayahmu dan Katakanlah: "Wahai ayah kami! Sesungguhnya anakmu telah mencuri, dan Kami hanya menyaksikan apa yang Kami ketahui, dan sekalikali Kami tidak dapat menjaga (mengetahui) barang yang ghaib. Dan tanyalah (penduduk) negeri yang Kami berada disitu, dan kafilah yang Kami datang bersamanya, dan
98 99
Imam Syafi‟i, op.cit., hlm. 45-49. Tim Penyusun Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 172.
52
Sesungguhnya Kami adalah orang-orang yang benar".(Q.S Yusuf : 81-82)100 3)
Pernyataan yang lafadnya menjelaskan arti implisitnya.
Artinya : “Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibubapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam.”(Q.S an-Nisa‟ :11)101 2.
Sunnah Menurut istilah syara‟ bahwa Sunnah adalah hal-hal yang datang dari Rasulullah SAW baik berupa ucapan, perbuatan maupun ketetapan. Sunnah Qauliyah (ucapan) yaitu : Hadis-hadis Rasulullah SAW yang diucapkan dalam berbagai tujuan dan persesuaian (situasi). Sunnah fi’liyah, yaitu: perbuatan-perbuatan Nabi SAW, seperti pekerjaan melakukan shalat lima waktu dengan Sunnah kaifiyahnya (tata cara) dan rukun-rukunnya, pekerjaan melakukan ibadah haji dan lain sebagainya. Sunnah taqririyah, yaitu : perbuatan sebagian para sahabat Nabi yang telah diikrarkan oleh Nabi SAW, baik perbuatan itu berupa ucapan atau 100 101
Ibid, hlm. 246. Ibid, hlm. 79.
53
perbuatan, sedangkan ikrar itu adakalanya dengan cara mendiamkannya, atau tidak menunjukkan tanda-tanda ingkar atau menyetujuinya, dan atau melahirkan anggapan baik terhadap perbuatan itu, sehingga dengan adanya ikrar dan persetujuan ini perbuatan tersebut dianggap sebagai perbuatan yang dilakukan Rasul SAW sendiri. Seperti, berita bahwa dua orang sahabat telah keluar untuk suatu kepergian (keperluan), tiba-tiba datang waktu shalat dan mereka tidak mendapatkan air, maka mereka bertayamum dan mengerjakan shalat. Kemudian mereka mendapatkan air masih dalam waktunya shalat. Maka satu diantara mereka mengulangi shalatnya dan yang lain tidak. Ketika mereka berdua menceritakan kejadian itu kepada Rasul SAW, beliau membenarkan semuanya apa yang telah diperbuat. Beliau berkata seorang yang tidak mengulangi shalatnya: “Engkau telah melakukan sunnah dan telah cukup bagimu shalatmu”. Dan berkata kepada seorang yang mengulangi shalatnya: “Bagimu pahala dua kali lipat”.102 Imam Syafi‟i memandang al-Qur‟an dan sunnah berada dalam satu martabat. Beliau menempatkan al-Sunnah sejajar Dengan al-Qur‟an, karena menurut beliau bahwa sunnah itu menjelaskan al-Qur‟an, kecuali hadis ahad tidak sama nilainya dengan al-Qur‟an dan hadis mutawatir. Disamping itu,
102
Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam Ilmu Ushulul Fiqh, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2002, hlm. 46-47.
54
karena al-Qur‟an dan sunnah adalah wahyu, meskipun kekuatan sunnah secara terpisah tidak sekuat seperti al-Qur‟an. Dalam pelaksanaannya, Imam Syafi‟i menempuh cara, bahwa apabila di dalam Al-Qur‟an sudah tidak ditemukan dalil yang dicari, ia menggunakan hadis mutawatir, jika tidak ditemukan dalam hadis mutawatir, ia menggunakan khabar ahad. Jika tidak ditemukan dalil yang dicari dengan kesemuanya itu, maka dicoba untuk menetapkan hukum berdasarkan zhahir al-Qur‟an atau sunnah secara berturut. Dengan teliti ia mencoba untuk menemukan mukhashshish dari al-Qur‟an dan sunnah. Selanjutnya menurut Sayyid Muhammad Musa dalam kitabnya alIjtihad, apabila Imam Syafi‟i tidak menemukan dalil dari zhahir nash alQur‟an dan sunnah serta tidak ditemukan mukhashshishnya, maka ia mencari apa yang pernah dilakukan Nabi atau keputusan Nabi. Kalau tidak ditemukan juga, maka ia mencari lagi bagaimana pendapat para ulama sahabat. Jika ditemukan ada ijma’ dari mereka tentang hukum masalah yang dihadapi, maka hukum itulah yang dipakai. Imam Syafi‟i walaupun berhujjah dengan hadis ahad, namun beliau tidak menempatkannya sejajar dengan al-Qur‟an dan hadis matawatir. Karena hanya al-Qur‟an dan hadis mutawatir sajalah yang qath’iy tsubutnya, yang dikafirkan orang yang mengingkarinya dan disuruh bertaubat.
55
Imam Syafi‟i dalam menerima hadis ahad mensyaratkan sebagai berikut : a.
Perawinya terpercaya. Ia tidak menerima hadis dari orang yang tidak dipercaya.
b.
Perawinya berakal, memahami apa yang diriwayatkannya.
c.
Perawinya dhabith (kuat ingatannya).
d.
Perawinya benar-benar mendengar sendiri hadis itu dari orang yang menyampaikan kepadanya.
e.
Perawi itu tidak menyalahi para ahli ilmu yang juga meriwayatkan hadis itu.103 Telah sepakat umat Islam, bahwa apa yang keluar dari Rasulullah
SAW, baik ucapan, perbuatan maupun taqrir, yang dimaksudkan dengan itu, membentuk hukum syari‟at Islam atau tuntunan, dan disampaikan kepada kita dengan sanad yang shahih yang mendatangkan kepastian dan dugaan yang kuat, maka kebenarannya itu sekaligus merupakan hujjah atas umat Islam, sumber daripada pembentuk hukum syari‟at Islam, yang oleh mujtahidin diistinbathkan daripadanya, hukum-hukum syari‟at mengenai perbuatan orang-orang mukalaf. Artinya bahwa hukum yang datang dalam sunnah-sunnah ini adalah hukum-hukum yang datang dari di dalam alQur‟an, sebagai undang-undang yang harus diikuti. Bukti-bukti kehujjahan al-Sunnah diantaranya : 103
Huzaemah Tahido Yanggo, op. cit., hlm. 128-129.
56
1)
Nash-nash al-Qur‟an Karena Allah SWT dalam beberapa ayat kitab al-Qur‟an telah
memerintahkan mentaati Rasul-Nya. Menurut-Nya, taat kepada Rasul-Nya berarti taat kepada-Nya. Seperti dalam firman-Nya surat al-Ahzab : 36. Artinya : “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan yang lain”. (Q.S al-Ahzab : 36)104 2)
Ijma‟ para sahabat r.a semasa hidup Nabi dan setelah wafatnya mengenai keharusan mengikuti sunnah Nabi SAW. Pada masa hidup Nabi mereka melaksanakan hukum-hukumnya dan
menjalankan segala perintah dan larangan-larangannya, hukum halal serta haramnya. Dalam keharusan mengikuti mereka tidak harus membedakan diantara hukum yang diwahyukan kepadanya dalam al-Qur‟an dan hukum yang keluar dari dalam diri Nabi sendiri. Dan oleh karena itu, Mu‟adz bin Jabal berkata “ Jika saya tidak mendapati dalam Kitabullah, hukum yang hendak saya jadikan keputusan, maka saya jatuhkan keputusan dengan sunnah Rasulullah SAW.”. Mereka (para sahabat) setelah wafat Nabi, apabila tidak mendapatkan di dalam Kitabullah, hukumnya sesuatu yang 104
Tim Penyusun Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 424.
57
terjadi pada mereka, maka mereka kembali kepada sunnah Rasulullah SAW. Abu Bakar ketika tidak hafal sunnah mengenai suatu kejadian, maka keluarlah beliau dan bertanya kepada ummat Islam: “ Adakah diantara kamu terdapat orang yang hafal sunnah dari Nabi kita tentang kejadian ini?”. Demikian pula Umar mengerjakan seperti itu dan juga sahabat lainnya yang bertugas untuk memberikan fatwa dan keputusan, pun pula para Tabi‟in dan Tabi‟it Tabi‟in juga menempuh jalan para sahabat, sekiranya salah seorang mereka tidak mengetahui seseorang yang menyalahinya berbuat melampaui batas mengenai keharusan mengikuti sunnah Rasul SAW, manakala telah shahih penukilannya. 3)
Dalam al-Qur‟an. Allah SWT telah mewajibkan kepada manusia beberapa ibadah
secara global tanpa penjelasan (secara terperinci), tidak dijelaskan didalamnya mengenai hukum-hukumnya atau cara melaksanakannya. Dalam firman Allah SWT surat al-Baqarah ayat : 183. Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa”.(QS. al-Baqarah :183).105
105
Ibid, hlm. 29.
58
Ayat lain lagi yang berbunyi :
Artinya : “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah” (Q.S Ali-Imran : 97).106 Tetapi Allah SWT tidak menjelaskan tentang bagaimana didirikan shalat atau ditunaikan zakat atau puasa serta amalan ibadah haji. Rasulullah SAW telah menjelaskan keglobalan ini dengan sunnah qauliyah dan sunnah amaliyahnya. Karena Allah telah memberinya kekuasaan untuk memberikan penjelasan.107 Sebagaimana firman-Nya.
Artinya : “Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur‟an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.”(Q.S. an-Nahl : 44).108 3.
Ijma‟ Ijma‟ adalah salah satu dalil syara‟ yang memiliki tingkat kekuatan argumentatif setingkat di bawah dalil-dalil nash (al-Qur‟an dan hadis). Ia merupakan dalil pertama setelah al-Qur‟an dan hadis, yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum syara‟. Ijma‟ ialah : kesepakatan para mujtahid dalam suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW, terhadap hukum syara‟ yang bersifat praktis 106
Ibid, hlm. 63 Abdul Wahab Khalaf, op. cit., hlm. 50-51. 108 Tim Penyusun Departemen Agama RI, op. cit., hlm.273. 107
59
(‘amaly). Para ulama telah bersepakat, bahwa ijma‟ dapat dijadikan argumentasi (hujjah) untuk menetapkan hukum syara‟, tetapi mereka berbeda pendapat dalam menentukan siapakah ulama mujtahid yang berhak menetapkan ijma‟. Sejak periode sahabat hingga masa imam-imam mujtahid, pemikiran ijma‟ telah berkembang melalui tiga periode sebagai berikut : a.
Setelah Rasulullah SAW wafat, para sahabat melakukan ijtihad untuk menetapkan hukum terhadap masalah-masalah yang mereka hadapi. Khalifah „Umar Ibnu Khattab RA. Misalnya, selalu mengumpulkan para sahabat untuk berdiskusi dan bertukar pikiran dalam menetapkan hukumnya beberapa masalah yang mereka hadapi. Jika mereka telah sepakat pada suatu hukum, maka dia menjalankan pemerintahannya berdasarkan hukum yang telah disepakati tersebut. Akan tetapi, apabila mereka belum menemukan titik temu (konsensus), maka mereka mengkaji kembali hingga mencapai pada hukum yang diputuskan oleh kalangan fuqaha diantara sahabat itu. Dengan demikian hukum tersebut telah disepakati para mujtahid yang tentunya mempunyai kedudukan yang lebih kuat dari pendapat pribadi. Tetapi, pada umumnya, hukumhukum yang telah disepakati adalah hukum-hukum yang telah dijelaskan oleh nash al-Qur‟an dan hadis.
60
b.
Pada masa ijtihad, para imam mujtahid berusaha agar pendapatnya tidak menyimpang dari apa yang telah ditetapkan oleh para fuqaha di negerinya, sehingga imam mujtahid tersebut tidak dianggap menyimpang pola berpikirnya. Imam Abu Hanifah misalnya, berusaha keras untuk mengikuti hukum yang telah disepakati oleh ulama Kufah yang hidup sebelumnya, sedang Imam Malik menganggap bahwa ijma‟ ahli Madinah dapat dijadikan argumentasi (hujjah).
c.
Para fuqoha berusaha keras untuk mengetahui ijma‟ dari sahabat untuk diikuti agar mereka tidak menyimpang dari hukum yang telah disepakati oleh para sahabat. Bahkan ketika terjadi perbedaan pendapat diantara mereka, mereka berusaha agar pendapatnya tidak menyimpang dari pendapat-pendapat para sahabat. Dengan kecenderungan demikian, nampak bahwa ijma‟ mempunyai
kedudukan yang penting dalam ijtihad. Dalil yang menjadi dasar ijma‟ adalah sabda Rasulullah SAW sebagai berikut :109 Artinya : “Apa yang dipandang oleh kaum muslimin baik, maka menurut pandangan Allah juga baik”.
109
Mahammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, Jakarta : Pustaka Firdaus, 2005, hlm. 307-309.
61
Jumhur
ulama‟
berpendapat
bahwa
ijma‟
dapat
dijadikan
argumentasi (hujjah), sebagaimana firman Allah SWT : Artinya: ”Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”.(Q.S an-Nisa‟ : 115)110 Nash di atas menjelaskan, bahwa mengikuti jalan yang bukan jalannya orang mukmin adalah haram. Karena orang yang melakukan hal tersebut berarti menentang Allah dan Rasul-Nya, dan diancam neraka Jahanam. Jika mengikuti selain jalan orang mukmin diharamkan, berarti mengikuti jalan orang mukmin adalah wajib. Barangsiapa menentang orangorang mukmin atau menentang pendapat mereka, berarti ia tidak mengikuti jalan orang-orang mukmin. Jika jama‟ah orang-orang mukmin berkata “ ini halal”, maka apabila ada orang mengatakan terhadap hal tersebut sebagai haram berarti ia tidak mengikuti jalannya orang-orang mukmin. Mengikuti pendapat orang-orang mukmin, berarti mengikuti sesuatu yang ditetapkan berdasarkan ijma‟. Dengan demikian, ijma‟ dapat dijadikan hujjah yang
110
Tim Penyusun Depatemen Agama RI. op. cit., hlm. 98.
62
harus dipergunakan untuk menggali hukum syara‟ (istinbath) dari nash-nash syara‟. Ijma‟ mempunyai beberapa tingkatan sebagai berikut : Ijma‟ sharih, dimana setiap mujtahid menyatakan bahwa mereka
1)
menerima pendapat yang disepakati tersebut. Ijma‟ sharih inilah yang disepakati jumhurul fuqoha sebagai hujjah. Imam Syafi‟i memberikan interpretasi terhadap ijma‟ sharih ini sebagai berikut : “Ijma‟ sharih ialah, jika engkau atau salah seorang ulama mengatakan, “Hukum ini telah disepakati”, maka niscaya setiap ulama yang engkau temui juga mengatakan seperti apa yang engkau katakan”. Ijma‟ Sukuti, Imam Syafi‟i tidak memasukkan ijma‟ sukuti ini dalam
2)
kategori ijma‟ yang dapat dijadikan argumentasi (hujjah). Ijma‟ sukuti ialah : suatu pendapat yang dikemukakan oleh seorang mujtahid, kemudian pendapat tersebut telah diketahui oleh para mujtahid yang hidup semasa dengan mujtahid di atas, akan tetapi, tidak ada seorang pun yang mengingkarinya. 111 4.
Qiyas Imam Syafi‟i adalah seorang penggagas adanya qiyas. Akan tetapi, ulama sebelum beliau sudah membicarakan masalah ra’yu akan tetapi belum ada batasan dan dasar penggunaannya. 111
Muhammad Abu Zahrah, op. cit., hlm. 317-318.
63
Qiyas merupakan suatu cara penggunaan ra’yu untuk menggali hukum syara‟ dalam hal-hal yang nash al-Qu‟an dan sunnah tidak menetapkan hukumnya secara jelas. Secara etimologi kata qiyas berarti “Qadr”, artinya mengukur, membanding
sesuatu dengan yang semisalnya. Sedangkan menurut
terminologi bahwa qiyas terdapat beberapa definisi yang saling berdekatan. Diantaranya definisi-definisi itu sebagai berikut : Menurut Al-Ghazali dalam al-Mustashfa bahwa qiyas adalah “menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya disebabkan ada hal-hal yang sama diantara keduanya, dalam penetapan hukum atau peniadaan hukum”. Menurut Ibnu Subki dalam bukunya Jam’u al Jawami’ memberikan definisi bahwa qiyas adalah” menghubungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui karena kesamaanya dalam „illat hukumnya menurut pihak yang menghubungkan (mujtahid). Ulama yang mendukung qiyas mengemukakan dalil berdasarkan alQur‟an dan sunnah serta perkataan, tindakan para sahabat berdasarkan penalaran. Hal ini sesuai firman Allah SWT dalam surat al-Hasyr ayat : 2.
64
Artinya : “Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama.112 kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangkasangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan”.(Q.S al-Hasyr : 2)113 Pada dasarnya ada dua macam cara penggunaan ra’yu yaitu: penggunaan ra’yu yang masih merujuk pada nash dan penggunaan ra’yu yang secara bebas tanpa mengaitkan kepada nash. Bentuk pertama secara sederhana disebut qiyas. Meskipun qiyas tidak menggunakan nash secara langsung, tetapi karena merujuk kepada nash, maka dapat dikatakan bahwa qiyas juga sebenarnya menggunakan nash tetapi tidak secara langsung. 114 Menurut Imam Syafi‟i, qiyas terbagi menjadi 2 macam. Pertama, kasus yang persoalkan tercakup dalam arti dasar yang terdapat dalam ketentuan pokok. Dalam qiyas semacam ini tidak terjadi perbedaan. Kedua,
112
Yang dimaksud dengan ahli kitab ialah orang-orang Yahudi Bani Nadhir, merekalah yang mula-mula dikumpulkan untuk diusir keluar dari Madinah. 113 Tim Penyusun Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 546. 114 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jakarta : Prenada Media Group, 2009, hlm. 170-172.
65
kasus yang dipersoalkan tercakup dalam ketentuan pokok yang berbedabeda. Dalam hal ini qiyas harus diterapkan pada ketentuan yang lebih mendekati kemiripannya karena dalam qiyas semacam ini perbedaan kesimpulan sering kali terjadi.115 Dalam masalah mahar hutang yang belum dibayar karena suami meninggal dunia, Imam Syafi‟i menggunakan dalil al-Qur‟an sebagai dasar istinbath hukum yang pertama, yang diterangkan dalam bab as-Shidaq Kitab al-Hawi al-Kabir karangan Imam al-Mawardi, dari aliran fiqh Syafi‟iyah, yaitu dalam Surat an-Nisa‟ ayat 4.
Artinya : “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”.(Q.S an-Nisa‟ : 4). Penulis menjelaskan istinbath hukum Imam Syafi‟i tersebut yang diambil dari kitab al-Hawi al-Kabir dalam bab ash-Shidaq, karena di dalam sumber data primer yaitu kitab al-Umm, tidak disebutkan secara jelas oleh Imam Syafi‟i dalam istinbath hukumnya, sehingga penulis berusaha mencari di dalam sumber data sekunder yaitu kitab al-Hawi al-Kabir.
115
Imam Syafi‟i, op. cit.,hlm. 229. Imam Abi al-Hasan „Ali Ibn Muhammad Ibn Habib al-Mawardi, Kitab al-Hawi al-Kabir, Juz IX, Beirut : Daar al-Kutub al-„Ilmiah, tth, hlm. 390. 116
66
Dengan demikian, ayat tersebut sebagai istinbath hukum Imam Syafi‟i dalam menetapkan kewajiban membayar mahar khususnya mahar hutang yang belum dibayar karena suami meninggal dunia. Alasan yang pertama mengapa menggunakan surat an-Nisa‟ ayat 4 sebagai dasar istinbath hukum Imam Syafi‟i adalah menurut jumhur ulama bahwa mereka (suami istri) terikat dalam suatu ikatan perkawinan. Kedua, dilihat dari sisi lain mereka adalah wali karena mereka itu (orang-orang jahiliyah) memiliki kewajiban membayar mahar kepada perempuan. Maka Allah memerintahkan untuk membayar mahar kepada mereka (isteri). Kemudian kata nihlah, menurut Abi Sholih mempunyai tiga ta‟wil (penafsiran). Pertama, bahwa dia wajib membayarkan mahar artinya dia mempunyai hutang kepada isterinya. Kedua, kerelaan hati seorang isteri akan terganti ketika mahar itu diberikan. Ketiga, Allah mewajibkan membayar mahar kepada suami sesudah mempunyai hak memiliki dari wali isterinya.117 Jadi Imam Syafi‟i mengambil istinbath dari al-Quran dari surat anNisa‟ ayat 4 sudah tepat. Hal ini juga sesuai dengan surat al-Qashsash ayat 28 yang menyatakan bahwa ketika Syuaib menikahkan anak perempuannya dengan Musa seperti yang diterangkan dalam al-Qur‟an sebagai berikut :
117
Ibid, hlm. 390.
67
Artinya : “berkatalah dia (Syu'aib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun” (Q.S. al-Qashash :27) Selanjutnya istinbath hukum Imam Syafi‟i yang kedua adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi sebagai berikut:
118
Artinya : “Mahmud Ibn Ghoilan, Zaid Ibn al-Khubab, dan Sufyan mengabarkan, dari Mansur, dari Ibrahaim, dari Alqamah, dari Ibnu Mas‟ud sesungguhnya dia ditanya tentang seorang laki-laki yang menikahi perempuan dan dia belum memberinya mahar dan juga belum melakukan hubungan suami istri sampai dia meninggal. Ibnu Mas‟ud berkata: baginya mendapat mahar sebagaimana mahar istrinya. Tidak ada kerugian dan melebihi batas. Dan dia berkewajiban „iddah dan berhak mendapatkan warisan. Kemudian Ma‟qil Ibn Sinan al-Asyja‟iy berdiri dan berkata: Rasulullah SAW pernah memutuskan masalah yang terjadi pada Barwa‟ Binti Wasyiq perempuan dari kalangan kami sebagaimana yang engkau putuskan. Ibnu Mas‟ud pun merasa senang dengannya. (HR. Tirmidzi) Istinbath hukum yang kedua yang digunakan Imam Syafi‟i adalah hadis di atas. Akan tetapi, hadis ini secara langsung juga tidak disebutkan di 118
Imam „Isa Muhammad Ibn „Isa Ibn Surrah, Sunan at-Tirmidzi, Juz III, Beirut : Daar alKutub al-„Ilmiah, tth. hlm. 1145.
68
dalam kitab al-Umm, sehingga penulis berusaha mencari hadis yang berkaitan langsung dengan mahar hutang, hadis yang ditemukan adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi yang dihimpun dalam kitabnya, Sunan at-Tirmidzi. Hadis ini menjelaskan bahwa ketika suami menikahi isteri kemudian seorang suami meninggal dunia meninggal dunia, akan tetapi belum memberikan maharnya maka suami tetap mempunyai kewajiban membayar mahar, isteri pun wajib ber‟iddah dan baginya juga mendapat warisan. Syarih berkata : Hadis ini menunjukkan bahwa perempuan yang ditinggal mati suaminya sesudah akad nikah berlangsung, sebelum ditentukan maharnya dan belum dicampuri, maka berhak menerima mahar penuh. Begitulah pendapat Ibnu Mas‟ud, Ibnu Sirin, Ibnu Abi Laila, Abu Hanifah dan teman-temannya, Ishaq dan Ahmad. Dan Hakim pernah meriwayatkan dalam mustadraknya dari Harmalah Ibn Yahya, bahwa ia pernah mendengat Imam Syafi‟i berkata : jika sah hadis Barwa‟ bin Wasyiq itu, maka aku berpendapat seperti itu. Hakim berkata : Syekh kami, Abu „Abdillah berkata : Kalau seandainya Syafi‟i berada di tempat ini tentu aku akan berdiri di hadapan orang banyak dan berkata : Hadis (hadis Barwa‟) itu adalah sah, maka berpendapatlah engkau (hai Syafi‟i) seperti itu.119
119
A. Qadir Hassan, dkk, Terjemahan Nailul Authar Himpunan Hadis-hadis Hukum, Surabaya : PT Bina Ilmu, 1984, hlm. 2238.
BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG MAHAR HUTANG YANG BELUM DIBAYAR KARENA SUAMI MENINGGGAL DUNIA A. Analisis Pendapat Imam Syafi’i
tentang Mahar Hutang yang Belum
Dibayar Karena Suami Meningggal Dunia Dalam bab ini penulis akan menganalisis pendapat Imam Syafi‟i tentang mahar hutang yang belum dibayar karena suami meninggal dunia. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bab III di atas, bahwa mahar merupakan sesuatu yang harus ada dalam sebuah pernikahan. Akan tetapi, dalam hal ini masih terjadi perbedaan pandangan dari beberapa Imam Mazhab, terutama dalam hal pemberian mahar baik sebelum maupun setelah terjadi hubungan suami istri. Apakah mahar tetap diberikan atau menjadi gugur ketika suami meningggal dunia karena belum maupun setelah terjadi hubungan suami istri?. Pendapat Imam Syafi‟i sendiri berbeda dengan pendapat imam lainnya. Perbedaan pendapat merupakan sesuatu yang biasa karena pemahaman para imam mazhab sangat dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan dan kapasitas keilmuan yang dimiliki serta sosio-kultur masyarakat dimana ia berada. Dalam masalah mahar Imam Syafi‟i berpendapat, bahwa mahar harus dibayarkan oleh suami meskipun telah meninggal dunia baik sudah terjadi dukhul maupun qabla dukhul karena hal ini telah dijelaskan dalam kitab al-Umm sebagai berikut :
69
70
Artinya : “Bahwa Imam Syafi‟i RA berkata : Apabila suami menikahi wanita dengan mahar yang telah disebutkan, maka mahar tersebut ditetapkan sebagai kewajiban suami, jika suami atau istri meninggal sebelum melakukan hubungan suami istri atau setelah melakukan hubungan suami istri. Apabila mahar yang disebut berupa uang maka suami wajib membayar dengan uang. Apabila dengan hutang maka harus dibayar dengan hutang, apabila berupa takaran yang disifati maka berupa takaran dan apabila berupa barang yang disifati maka dengan barang. Apabila mahar yang disebut berupa barang tertentu semisal, hamba sahaya, unta atau sapi dan rusak ketika masih dibawa suami sebelum ia serahkan kemudian suami men-talaq istri sebelum melakukan hubungan suami istri maka istri berhak mendapatkan separuh harga barang tersebut, terhitung harga pada waktu akad nikah yaitu pada hari istri memiliki mahar.” Besaran mahar yang harus dikeluarkan sama seperti saat diucapkan dalam akad pernikahan seperti yang telah diterangkan dalam pendapatnya, Imam Syafi‟i memandang bahwa apabila suami tidak dapat membayar mahar dengan uang maka dapat diganti dengan barang yang jumlah sama seperti nilai uang yang disebutkan, atau apabila tidak mampu dengan barang maka dapat memakai takaran yang nilainya sama seperti harga barang tersebut.
120
Al-Imam Abi „Abdillah Muhammad Ibn Idris asy-Syafi‟i, loc. Cit.
71
Apabila akad nikah berlangsung tidak disebutkan berapakah maskawin yang akan diberikan, perkawinan itu sah, tetapi maskawin itu tetap wajib dibayar, dan disebut mahar mitsil, yaitu maskawin yang sepantasnya yang wajib diberikan kepada si isteri tersebut. Sepantasnya disini digunakan sebagai ukuran, berapakah biasanya maskawin perempuan dikalangan keluarga si isteri tersebut. Maskawin itu boleh saja dibayarkan tunai dan sebagian dibayarkan kelak. Tentang hal ini diserahkan bagaimana kebiasaan di dalam masyarakat. Akan tetapi, apabila telah terjadi hubungan seksual antara suami dan isteri, atau suami meninggal, dan belum terjadi hubungan seksual, mahar wajib dibayarkan seluruhnya.121 Menurut Imam Syafi‟i, bahwa apabila hutang tersebut tidak diketahui secara detail, tetapi secara global misalnya, akan dibayar pada salah satu diantara dua waktu yang ditentukan tersebut (sebelum mati atau jatuh talak), maka mahar musamma-nya fasid dan ditetapkanlah mahar mitsil.122 Dalam hal ini, kalau Imam Hanafi dikenal sebagai pemikir rasional dan Imam Malik dikenal sebagai pemikir tradisional, maka Imam Abi „Abdillah Muhammad Ibn Idris asy-Syafi‟i berada diantara keduanya. Penyebab utamanya adalah: 1.
Imam Syafi‟i pernah tinggal di Hijaz dan belajar pada Imam Malik, selanjutnya ia pindak ke Irak dan belajar pada murid-murid Imam Hanafi.
121 122
Tim Penyusun Departemen Agama, op. cit., hlm. 114. Muhammad Jawad Mughniyah, op. cit., hlm. 369.
72
2.
Imam Syafi‟i adalah pengembara ke berbagai kota dan akhirnya pindah ke Mesir, daerah yang kaya dengan warisan budaya Yunani, Romawi, Persia dan Arab. Kedua fakor utama itulah yang membuat corak pemikiran Imam Syafi‟i
merupakan sintesis dari corak pemikiran Imam Hanafi dan Imam Malik, sehingga ia dikenal sebagai faqih yang moderat.123 Kemoderatan Imam Syafi‟i dalam berpendapat juga dipengaruhi oleh adat dan tradisi masyarakat yang berbeda dengan apa yang ia lihat dan rasakan ketika berada di Makkah, Hijaz dan Baghdad (Irak). Kemudian, ketika Imam Syafi‟i berada di Mesir banyak bergaul dengan para ulama dan banyak mendengar dan menemukan hal-hal yang belum ditemukan sebelumnya baik mengenai masalah hadis maupun fiqih. Meskipun pendapat Imam Syafi‟i sudah jauh ratusan tahun lalu yang dikemukan pada masanya. Akan tetapi, saat ini masih relevan dengan keadaan sekarang sehingga dapat memberikan kontribusi dalam penyusunan sebuah hukum misalnya, di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), disana banyak ketentuan-ketentuan yang mengadopsi dari fiqih Syafi‟iyah. Hal ini menjadi bagian dari eksistensi pemikiran Imam Syafi‟i sampai saat ini. Di samping itu, Imam Syafi‟i sangat berhati-hati dalam mengemukakan pendapatnya, karena dalam pengembaraan baik di Irak maupun di Mesir hingga
123
1996, hlm. 97.
Umar Syihab, Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran, Semarang : Dina Utama,
73
melahirkan Qaul Qadim dan Qaul Jadidnya, merupakan sebuah pengalaman keilmuan yang sangat berharga baginya sehingga Imam Syafi‟i mengetahui secara pasti bagaimana menerapkan hukum pada kondisi mayarakatnya saat itu. Imam Syafi‟i memiliki pandangan jauh ke depan sebelum mengemukakan pendapatnya, ini menunjukkan seorang pemikir yang cerdas karena melihat biografinya saja, ketika di usia anak-anak sudah mampu menghafal al-Qur‟an, membaca dengan tartil dan fasih serta memahami makna yang terkandung di dalamnya. Meskipun pendapat Imam Syafi‟i ini oleh beberapa kalangan ulama cukup dikenal moderat khususnya dalam hal pemberian mahar. Akan tetapi masih juga ada perbedaan pandangan ya‟ni dengan Imam Malik yang mengatakan bahwa apabila suami meninggal sebelum melakukan hubungan suami istri dan belum menentukan maharnya, maka seorang istri tidak mendapat mahar, tetapi berhak mendapat waris. Pendapat ini diterangkan dalam kitab al-Muwwatho’ sebagai berikut:
124
Al-Imam „Abdillah Malik Ibn Anas Al-Ashabi, op. cit., hlm. 182.
74
Artinya :“Hadits dari Malik, dari Nafi‟, bahwa anak perempuan Ubaydullah Ibn Umar yang ibunya adalah anak perempuan Zaid Ibn al-Khattab, menikah dengan putri Abdullah Ibn Umar. Ia (si suami) meninggal sebelum menikmati pernikahan (melakukan hubungan seksual) ataupun sebelum menentukan maharnya. Ibu si istri menginginkan mahar tersebut dan Abdullah Ibn Umar berkata : “Ia (si istri) tidak berhak atas mahar, sekirannya ia mempunyai mahar kami tidak akan menahannya, dan kami tidak menerima hal itu. Zayd Ibn Tsabit dibawa untuk mengadili mereka, dan dia memutuskan bahwa si istri tidak memperoleh mahar, akan tetapi ia memiliki hak waris”.125 Pendapat di atas menyatakan bahwa apabila ada suatu peristiwa dalam suatu kehidupan rumah tangga yaitu adanya seorang wanita sebagai istri yang dinikahi oleh seorang pria sebagai suami, dan maharnya belum ditentukan maka nikahnya diperbolehkan. Istri berhak mendapat mahar mitsil ketika sudah terjadi hubungan suami istri. Apabila suami mentalak istri sebelum terjadi hubungan dan maharnya belum ditentukan maka istri ini mendapat mut’ah126, dan menurut pendapat Imam Malik bagi istri yang ditinggal mati suaminya serta belum terjadi hubungan suami istri dan maharnya belum ditentukan maka istri tidak mendapat mahar mitsil tetapi ia mendapat warisan. Perspektif Imam Malik bahwa istri yang ditinggal mati oleh suaminya atau cerai mati sebelum senggama dengan istrinya, maka secara otomatis tidak ada kewajiban membayar mahar, karena pada hakikatnya suami belum menikmati hubungan dengan istrinya. Maka dari itu, istri berhak mendapatkan warisan atau
125
Dwi Surya Atmaja, op. cit., hlm. 281. Mut‟ah adalah pemberian tertentu yang nilainya diserahkan kepada istri sesuai kemampuan mantan suami, lihat Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia, Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta : Kencana, 2006, hlm. 90. 126
75
peninggalan harta pusaka dari suaminya sebagai pengganti mahar. Berbeda dengan cerai talak, apabila suami mentalak istri maharnya belum ditentukan ketika akad nikah dan belum bersenggama maka istri mendapat mut’ah saja dan tidak mendapat mahar. Sama dengan pendapat Imam Malik, tetapi terdapat sedikit perbedaan yang mendasar yaitu kalau cerai mati menurut Imam Malik mendapat warisan dan diharuskan „iddah, sedangkan cerai talak tidak mendapatkan warisan dan tidak ada masa „iddah tetapi mendapatkan mut’ah sebagai pengganti untuk kesenangan, dan ini dijelaskan dalam surat al-Baqarah ayat 236 di atas. Dengan demikian pendapat Imam Malik menunjukkan bahwa kewajiban membayar mahar kepada istrinya adalah gugur karena suami meninggal sebelum terjadi senggama dengan istrinya. Nampaknya Imam Malik menempatkan posisinya ditengah-tengah. Artinya ia tidak berpihak pada kaum pria tetapi juga kaum wanita. Dan pendapatnya itu didasarkan pada kebiasaan yang berkembang di tempat di mana beliau hidup
127
bahwa seorang wanita yang belum tidak terlalu sulit untuk dapat menikah lagi. Sedangkan kalau sudah di dukhul maka kaum wanita pada waktu itu bukan hanya berstatus janda tetapi kaum pria juga kurang menyukai menikah dengan janda yang sudah di dukhul (sudah berhubungan). Dalam hal istri yang sudah bermubasyaroh dengan suaminya, maka dimungkinkan hubungan tersebut telah menanamkan cikal bakal janin, maka
127
1995.
Mun‟im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam Sebuah Pengantar, Surabaya : Risalah Gusti,
76
selayaknya suami memberi mahar. Sedangkan apabila suami meninggal dunia dalam kondisi istri belum sampai menikmati hubungan badan dengan suaminya maka istri dalam posisi seorang gadis maka suami tidak perlu membayar mahar. Dengan kata lain, bahwa istri tersebut belum dirugikan dan suami belum menikmati apa-apa dari istrinya. Karena mahar menurut beliau terletak pada kenikmatan atau bersenang-senang (istimta’) dengan istrinya.128 Dengan demikian, pendapat beliau ini karena keteguhannya dalam memegang tradisi orang-orang Madinah dan perbuatan orang-orang Madinah (amal ahlul Madinah). Mencermati pendapat Imam Malik tersebut menurut pemahaman penulis, karena Imam Malik sebagai seorang imam besar yang dikenal sebagai pemikir tradisionalis yang lahir pada tahun 93 H/712 M dan wafat 179 H/796 M, jauh sebelum Imam Syafi‟i mencapai masa kejayaannya. Jadi wajar, pendapatnya masih terkesan global dan cenderung tradisionalis. Disamping itu, faktor pendidikan dan kultur masyarakat dimana ia berada juga sangat menentukan dalam rangka mengeluarkan produk hukumnya. Kemudian pendapat Imam Hanafi dan Imam Hambali mengatakan bahwa manakala salah satu diantara mereka meninggal dunia sebelum terjadi percampuran, maka ditetapkan bahwa si istri berhak atas mahar mitsil secara 128
Menurut Imam Malik mahar adalah suatu pemberian suami kepada istrinya dengan ketentuan suami sudah pernah menerima kenikmatan (istimta’) dengan istrinya. Menurut Imam Syafi‟i mahar adalah : sesuatu pemberian yang wajib dengan terjadinya nikah (akad nikah) atau wathi atau pernikahan yang dipaksa. Lihat Imam al-Qadhi Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad ibn Rusyd alQurthubi al-Andalusi, Bidayah al-Mujtahid, Beirut : Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 1996.
77
penuh sebagaimana ketentuan yang berlaku bila suami telah mencampuri istrinya.129 Melihat beberapa pandangan di atas, penulis lebih sepakat dengan pendapat Imam Syafi‟i yang tetap memberikan mahar bagi seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya meskipun belum maupun telah melakukan hubungan suami serta belum memberikan maharnya. Disamping itu, tentang siapa yang memberikan mahar kepada istrinya karena suami meninggal dunia, maka dalam hal ini sebagai pihak yang mewakili adalah ahli waris dari suami itu sendiri. Besarannya yang yang diberikan sesuai yang disebutkan dalam akad pernikahan dan apabila tidak disebutkan berarti menggunakan mahar mitsil. Karena seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa keberadaan wanita sangat dihormati oleh Islam, karena mahar sebagai bentuk ungkapan ketulusan hati suami benar-benar mencintai istrinya sehingga setiap terjadi pernikahan haknya untuk menerima mahar pun secara otomatis harus diterima oleh istri. Di samping itu mahar menjadi konskuensi dari adanya akad nikah. Karena menurut Imam Syafi‟i bahwa mahar merupakan pemberian wajib dari suami kepada istrinya ketika terjadi akad nikah, sehingga meskipun suami meninggal baik belum maupun sudah terjadi hubungan suami istri mahar tetap wajib diberikan. Dalam kewajiban membayar mahar sudah diterangkan dalam al-Qur‟an surat anNisa‟ ayat 4 yang telah dipaparkan di atas..
129
Muhammad Jawad Mughniyah, op. cit., hlm 366.
78
Pendapat Imam Syafi‟i tersebut lebih dinamis serta banyak dipakai oleh generasi-generasi selanjutnya. Sebagai contoh, untuk konteks masyarakat muslim khususnya di negara Indonesia yang mayoritas menganut fiqih Syafi‟iyah, dalam hal pemberian mahar saja kebanyakan masyarakat tidak memasang batasan yang sangat tinggi akan tetapi tergantung kesepakatan dari keduanya sehingga kecil kemungkinan suami untuk menghutang mahar karena suami dapat menunaikan secara langsung maharnya pada waktu terjadi akad pernikahan. B. Analisis Metode Istinbath Hukum Imam Syafi’i Tentang Mahar Hutang yang Belum Dibayar Karena Suami Meninggal Dunia Di dalam buku metodologisnya, ar-Risalah, ia menjelaskan kerangka dan dasar-dasar mazhabnya dan beberapa contoh bagaimana merumuskan hukumhukum far’iyyah dengan menggunakan dasar-dasar tadi. Menurutnya, al-Qur‟an dan sunnah berada dalam satu tingkat, dan bahkan merupakan satu kesatuan sumber syari‟at Islam. Sedangkan teori-teori seperti qiyas, istihsan, istishab dan lain-lain hanyalah merupakan suatu metode merumuskan dan menyimpulkan hukum dari sumber utama tadi.130 Pemahaman integral al-Qur‟an dan Sunnah ini merupakan karakteristik menarik dari pemikiran fiqh Syafi‟i. Menurut Imam Syafi‟i, kedudukan sunnah, dalam banyak hal, menjelaskan dan menafsirkan sesuatu yang tidak jelas dari al-
130
Al-Imam Abu „Abdillah Muhammad Ibn Idris asy-Syafi‟i, ar-Risalah, Mesir : alIlmiyah, 1312 H, hlm. 477-497.
79
Qur‟an, memerinci yang global, mengkhususkan yang umum, dan bahkan membuat hukum tersendiri yang tidak ada dalam al-Qur‟an. Karenanya, sunnah Nabi tidak berdiri sendiri, tetapi mempunyai keterkaitan erat dengan al-Qur‟an. Hal ini dapat dipahami karena al-Qur‟an dan sunnah adalah Kalamullah: Nabi Muhammad SAW tidak berbicara dengan hawa nafsu, semua ucapannya adalah wahyu yang diturunkan oleh Allah SWT, sebagaimana yang dijelaskan firmanNya.
Artinya :”Sesungguhnya al-Quran itu adalah benar-benar wahyu (Allah yang diturunkan kepada) Rasul yang mulia, dan al-Quran itu bukanlah Perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kamu beriman kepadanya. Dan bukan pula Perkataan tukang tenung. sedikit sekali kamu mengambil pelajaran daripadanya. Ia adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan semesta alam”.(Q.S alHaqqah : 40-43).131 Hipotesa menarik lainnya dalam pemikiran metodologis Syafi‟i adalah pernyataannya, “Setiap persoalan yang muncul akan ditentukan ketentuan hukumnya dalam al-Qur‟an”. Untuk membuktikan hipotesanya itu, Imam Syafi‟i menyebut empat cara al-Qur‟an dalam menerangkan suatu hukum. Pertama, al-Qur‟an menerangkan suatu hukum dengan nash-nash hukum yang jelas. Seperti, nash yang mewajibkan shalat, zakat, puasa dan haji serta nash yang mengharamkan zina, minum khamar, makan bangkai dan lainnya. 131
Tim Penyusun Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 569.
80
Kedua, suatu hukum yang disebut secara global dalam al-Qur‟an dan dirinci
dalam
sunnah
Nabi.
Misalnya,
jumlah
rakaat
shalat,
waktu
pelaksanaannya, demikian pula zakat, apa dan berapa kadar yang harus dikeluarkan. Semua itu yang disebut global dalam al-Qur‟an dan Nabi yang menjelaskan secara rinci. Ketiga, Nabi Muhammad SAW juga sering menentukan suatu hukum yang tidak ada nash hukumnya dalam al-Qur‟an. Bentuk penjelasan al-Qur‟an untuk masalah seperti ini dengan mewajibkan untuk taat pada perintah Nabi dan menjauhi larangannya. Dalam al-Qur‟an dijelaskan:” Barangsiapa yang taat kepada Rasul, berarti taat kepada Allah” (Q.S an-Nisa‟ : 38). Dengan demikian, suatu hukum yang ditentukan oleh sunnah berarti ditetapkan juga oleh al-Qur‟an. Karena al-Qur‟an memerintahkan untuk mengambil apa yang diperintahkan oleh Nabi SAW dan menjauhi segala yang dilarang. Keempat, Allah SWT juga mewajibkan kepada hamba-Nya untuk berijtihad terhadap berbagai persoalan yang tidak ada ketentuan nashnya dalam al-Qur‟an dan hadis. Penjelasan al-Qur‟an terhadap masalah seperti ini yaitu dengan memperbolehkan ijtihad (bahkan mewajibkan) sesuai dengan kapasitas pemahaman terhadap maqasid al-syari’ah (tujuan-tujuan umum syari‟at), misalnya, dengan qiyas atau penalaran analogis. Dalam al-Qur‟an diterangkan pada surat an-Nisa‟ ayat 58.
81
Artinya : ”Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat. (Q.S anNisa‟ 58)132 Mengenai masalah mahar, ditinjau dari asbab al-nuzul surat an-Nisa‟ ayat 4 di atas bahwa dalam tafsir jalalain ada keterangan sebagai berikut: diketengahkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Abu Salih katanya : ”Dulu jika seorang laki-laki mengawinkan putrinya, diambil maskawinnya tanpa memberikan padanya, maka Allah pun melarang mereka berbuat demikian, sehingga menurunkan ayat 4 surat an-Nisa‟.133 Dalam Tafsir al-Azhar mengenai surat an-Nisa‟ ayat 4 bahwa kata shadaq atau shaduqat yang dari rumpun kata shidiq, shadaq, bercabang juga dengan kata shadaqah yang terkenal. Di dalam maknanya terkandunglah perasaan jujur, putih hati. Jadi harta yang diberikan dengan putih hati , hati suci, muka jernih kepada calon isteri. Kemudian di dalam ayat ini disebut nihlah, yang diartikan sebagai kewajiban. Supaya cepat saja dipahami, karena mahar itu wajib dibayar. Qatadah memang memberi arti : pemberian fardhu. Ibnu Juraij mengartikan, pemberian yang ditentukan jumlahnya. Dan ada pula yang berpendapat bahwa kata nihlah 132 133
Ibid, hlm. 88. Imam Jalaluddin al-Mahalli, Imam Jalaluddin as-Suyuti, op. cit., hlm. 414.
82
itu dari rumpun kata an-Nahl, bermakna lebah. Laki-laki mencari harta yang halal laksana lebah mencari kembang, yang kelak menjadi madu. Hasil jerih payah sucinya itulah yang akan diserahkannya kepada calon isterinya. 134 Selanjutnya bunyi pada ujung surat an-Nisa‟ ayat 4 yang artinya “ Tetapi Jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”. Setelah mahar diberikan, yang timbul dari hati suci tadi maka mahar itu, telah menjadi hak perempuan itu sehingga telah menjadi dia yang empunya. Sebagaimana barang-barang di dalam rumah itu, baik pemberian ayah dan bundanya atau hadiah dari suaminya sendiri adalah haknya mutlak. Laki-laki yang beriman dan berbudi tidak akan mengganggu hak itu. Tetapi, kalau dia rela memberikan sebagian daripadanya, karena kasih sayang yang telah terjalin, tidak masalah yaitu setelah jelas bahwa itu telah ke tangannya. Tetapi, dengan ini tidak berarti bahwa perempuan itu atau walinya diperbolehkan maafkan mahar saja sebelum akad nikah. Hati bersih tidaklah berarti bahwa ketentuan agama boleh dirubah. Terima dahulu mahar itu, maka setelah di tangan, bolehkan kalau hendak memberi pula kepada suami dengan hati cinta.135 Di samping itu, kata nihlah, menurut Abi Sholih mempunyai tiga ta‟wil (penafsiran). Pertama, bahwa dia wajib membayarkan mahar artinya dia 134
HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jurong Town : Pustaka Nasional PTE LTD, 1999, hlm.
135
Ibid, hlm, 1097.
1096.
83
mempunyai hutang kepada isterinya. Kedua, kerelaan hati seorang isteri akan terbayar ketika mahar itu diberikan. Ketiga, Allah mewajibkan membayar mahar kepada suami sesudah mempunyai hak memiliki dari wali isterinya. Dalam masalah mahar ada dua alasan yang mendasari mengapa mahar itu wajib diberikan seperti yang diterangkan Al-Mawardi dalam kitab al-Hawi alKabir yaitu, pertama, menurut jumhur ulama bahwa mereka (suami istri) terikat dalam suatu ikatan perkawinan. Kedua, dilihat dari sisi lain mereka adalah wali karena mereka itu (orang-orang jahiliyah) memiliki kewajiban membayar mahar kepada perempuan. Maka Allah memerintahkan untuk membayar mahar kepada mereka (isteri). Oleh karena itu, setelah mengetahui baik dari asbab an-nuzul maupun penafsiran dari surat an-Nisa‟ ayat 4, bahwa mahar menjadi kewajiban yang harus dibayarkan oleh suami kepada isterinya ketika terjadi akad pernikahan. Suami pun tidak diperkenankan mengambil kembali kecuali atas kerelaan hati dari isterinya sendiri. Sehingga dalam hal ini penulis sepakat bahwa mahar wajib diberikan kepada isteri dari seorang suami ketika terjadi akad pernikahan. Karena dalam tafsir di atas juga disebutkan bahwa kata nihlah itu dari rumpun kata an-Nahl, bermakna lebah. Seorang laki-laki mencari harta yang halal laksana lebah mencari kembang, yang kelak akan menjadi madu sehingga hasil jerih payah sucinya itulah yang akan diberikan kepada calon isteri nantinya. Maka dalam hal kewajiban membayar mahar, Imam Syafi‟i mengambil dalil al-Qur‟an sebagai istinbath hukumnya yang sudah disebutkan dalam bab 3
84
di atas, yang diterangkan dalam bab as-Shidaq Kitab al-Hawi al-Kabir karangan Imam al-Mawardi. Penulis mencantumkan istinbath hukum Imam Syafi‟i yang diambil dari kitab al-Hawi al-Kabir karena pengarang kitab tersebut dari mazhab Syafi‟iyah sehingga pemikirannya pun sama dengan penggagasnya, Imam Syafi‟i. Penafsiran Imam Syafi‟i tentang surat an-Nisa‟ ayat 4 di atas sudah jelas, bahwa mahar sesuatu yang wajib diberikan oleh seorang suami terhadap istri ketika terjadi akad pernikahan meskipun suami belum maupun sudah terjadi hubungan suami istri. Karena surat an-Nisa‟ ayat 4 merupakan satu kesatuan dalam pemberian mahar baik belum maupun sudah terjadi hubungan suami istri. Maka sudah jelas, bahwa ketentuan segala sesuatu itu merujuk pada alQur‟an dan sunnah. Menurut Imam Syafi‟i, “Kembalikanlah pada Allah dan Rasul”, artinya, kembalikanlah al-Qur‟an dan sunnah. Pengembalian itu hanya dapat dilakukan dengan qiyas. Dengan landasan ayat ini, ia ingin menyebutkan bahwa ijtihad merupakan perintah al-Qur‟an itu sendiri dan bukan melakukan rekayasa hukum. Dari penjelasan tersebut dapat diketahui dengan jelas, bahwa sikap moderat Imam Syafi‟i telah digambarkan dalam kitab metodologisnya, ar-Risalah. Ia begitu teguh dalam berpegang pada al-Qur‟an dan sunnah dan pada saat yang sama memandang penting penggunaan rasio dan ijtihad. Menurut Imam Syafi‟i, struktur hukum Islam dibangun atas empat dasar yang disebut “sumber-sumber hukum”. Sumber-sumber tersebut adalah alQur‟an, sunnah, ijma‟ dan qiyas. Meskipun ulama sebelumnya juga
85
menggunakan keempat dasar di atas. Namun, rumusan Imam Syafi‟i mempunyai suasana dan pandangan yang baru, dalam penggunaan ijma‟ misalnya, Imam Syafi‟i tidak sepenuhnya meniru Imam Malik yang masih terkesan global tanpa penjelasan dan batasan yang jelas. Disisi lain, penulis membandingkan tentang surat al-Baqarah ayat 236 yang menjelaskan bahwa suami tidak berkewajiban membayar maskawin atau mahar ketika menceraikan istrinya sebelum berhubungan suami istri dan ketika akad pernikahan maharnya belum ditentukan. Karena pendapat Imam Malik bahwa mahar diberikan ketika sudah berhubungan atau bersenang-senang (istimta’) dengan istrinya. Akan tetapi, Imam Syafi‟i berpendapat bahwa mahar tetap diberikan ketika sudah terjadi akad pernikahan meskipun belum maupun sudah melakukan hubungan suami istri. Apapun bentuknya ketika memiliki manfaat yang bisa diterima mempelai wanita, dapat dijadikan mahar. Bahkan ada hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari yang menjelaskan, bahwa Rasulullah SAW saat itu pernah berkata kepada seseorang yang datang kepada Rasul untuk menikah : Cobalah cari walaupun sebentuk cincin besi. Orang itu pun mencari tetapi tidak mendapat apapun juga. Nabi SAW. Kemudian berkata kepadanya: Apakah engkau mempunyai sesuatu dari al-Qur‟an? Orang tersebut menjawab : Ya, surat anu, orang tersebut menyebutkan suatu surat tertentu. Nabi akhirnya berkata : Baiklah
86
aku (Rasulullah) kawinkan kamu berdua dengan maskawin beberapa surat dari al-Qur‟an.136 Juga ada sebuah peristiwa yang diriwayatkan oleh Abu Daud, ketika „Ali menikah dengan Fatimah, Rasullullah SAW bersabda kepada „Ali “Berilah ia sesuatu !” „Ali menjawab : Aku tidak punya apa-apa kemudian Rasulullah SAW bertanya “Manakah baju besimu dari Huthamiyah itu?”. Kemudian „Ali pun memberikan baju besi itu kepada Fathimah, lalu ia mencampurinya. 137 Kejadian ini menggambarkan betapa dalam ajaran Islam sangat menghargai kedudukan dan kehormatan seorang wanita dengan memberikan hak kepadanya, berupa mahar ya‟ni dengan beberapa surat dari al-Qur‟an sekalipun. Disisi lain, penafsiran tentang ayat tersebut mencerminkan sikap kemoderatan Imam Syafi‟i dalam menetapkan suatu hukum. Imam Syafi‟i tidak memberi batasan minimal maupun batasan maksimal dalam masalah mahar, sehingga ini menjadi bagian kecil dari gambaran seorang faqih yang dinamis dalam menetapkan sebuah hukum. Selanjutnya analisis hadis yang digunakan Imam Syafi‟i tentang masalah mahar hutang yang belum dibayar karena suami meninggal dunia. Hadis tersebut telah diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi sehingga kesahihannya tidak diragukan lagi.
136 137
Al-Imam Abu Abdillah Ibn Ismail al-Bukhari, op. cit., hlm. 444. A. Qadir Hassan, dkk, op. cit., hlm. 2239.
87
Syarih berkata : Hadis ini menunjukkan bahwa perempuan yang ditinggal mati suaminya sesudah akad nikah berlangsung, sebelum ditentukan maharnya dan belum dicampuri, maka berhak menerima mahar penuh. Begitulah pendapat Ibnu Mas‟ud, Ibnu Sirin, Ibnu Abi Laila, Abu Hanifah dan teman-temannya, Ishaq dan Ahmad. Dan Hakim pernah meriwayatkan dalam mustadraknya dari Harmalah Ibn Yahya, bahwa ia pernah mendengat Imam Syafi‟i berkata : jika sah hadis Barwa‟ bin Wasyiq itu, maka aku berpendapat seperti itu. Hakim berkata : Syekh kami, Abu „Abdillah berkata : Kalau seandainya Syafi‟i berada di tempat ini tentu aku akan berdiri di hadapan orang banyak dan berkata : Hadis (hadis Barwa‟) itu adalah sah, maka berpendapatlah engkau (hai Syafi‟i) seperti itu.138 Menurut pemahaman penulis, bahwa hadis yang digunakan sebagai istinbath hukum Imam Syafi‟i merupakan hadis yang sahih karena memenuhi persyaratan untuk disebut sebagai hadis sahih diantaranya : a.
Sanadnya bersambung (ittishal al-sanad) Maksudnya bahwa periwayat dalam sanad menerima riwayat hadis dari periwayat terdekat sebelumnya. Keadaan ini berlangsung dari awal hingga akhir sanad. Untuk membuktikan apakah antara periwayat itu bersambung atau tidak, dapat dilihat dari usia dan tempat tinggal mereka. Selain itu juga dapat dilihat dari cara tahammul wa ‘ada’ al-hadis yang mereka gunakan.
b.
Diriwayatkan oleh periwayat yang „adil 138
Ibid, hlm. 2238.
88
Secara leksikal,’adil berarti lurus, tidak berat sebelah, tidak zalim, tidak menyimpang, tulus dan jujur. Secara terminologi, seseorang dapat dikatakan ’adil jika ia memiliki sifat-sifat ketakwaan, seperti senantiasa melaksanakan perintah dan menjauhi larangan, aqidahnya benar, dirinya terpelihara dari dosa besar dan dosa kecil, senantiasa memelihara ucapan dan perbuatannya yang dapat menodai muru’ahnya, di samping ia harus Muslim, balig, berakal dan tidak fasik. c.
Diriwayatkan oleh periwayat yang dhabith Secara leksikal dhabith kokoh, kuat, hafal dengan sempurna. Menurut Ibnu Hajar al-„Asqalani, periwayat yang dhabith adalah periwayat yang kuat hafalannya terhadap apa yang pernah didengarnya, kemudian mampu menyampaikan hafalannya itu kapan saja manakala diperlukan.
d.
Terhindar dari syadz (janggal) Syadz berarti janggal, menyalahi aturan, atau menyimpang. Secara terminologi, syadz ialah hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang tsiqah, tetapi riwayatnya bertentangan dengan riwayat yang dikemukakan oleh banyak periwayat tsiqah yang lain.
e.
Tidak mengandung „illat (cacat) „Illat berarti penyakit, cacat, keburukan. Menurut istilah „illat berarti suatu sebab yang tersembunyi atau yang samar-samar, yang karenanya dapat merusak kesahihan hadis tersebut. Dikatakan samar-samar, karena jika
89
dilihat dari segi lahirnya hadis tersebut terlihat sahih. „Illat kemudian mengakibatkan kualitas hadis menjadi lemah dan tidak sahih.139 Melihat persyaratan di atas untuk disebut sebagai hadis sahih yang telah diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, maka jelas karena hadis tersebut menerangkan bahwa Rasulullah SAW pernah memutuskan Barwa‟ binti Wasyiq seperti apa yang disampaikan Ibnu Mas‟ud ketika dia ditanya tentang seorang laki-laki yang menikahi perempuan dan dia belum memberinya mahar dan juga belum melakukan hubungan suami istri sampai dia meninggal. Ibnu Mas‟ud berkata: baginya mendapat mahar sebagaimana mahar istrinya. Dan dia berkewajiban „iddah dan berhak mendapatkan warisan. Dari gambaran kasus ini berarti istinbath hukum Imam Syafi‟i memakai hadis tentang mahar hutang karena suami meninggal dunia tetap wajib dibayarkan, meskipun belum terjadi hubungan suami istri, apalagi sudah terjadi hubungan suami istri, mahar tetap menjadi kewajiban penuh oleh seorang suami kepada istri.
139
Muhammadiyah Amin, Ilmu Hadis, Gorontalo : Sultan Amai Press bekerjasama dengan Grha Guru Yogyakarta, 2008, hlm. 166-168.
BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Demikian seluruh rangkaian pembahasan tentang mahar hutang yang belum dibayar karena suami meninggal dunia telah selesai, maka penulis mengambil suatu kesimpulan : 1.
Bahwa mahar menurut Imam Syafi’i merupakan suatu pemberian yang wajib diberikan oleh seorang suami kepada seorang istri secara penuh ketika terjadi pernikahan. meskipun suami meninggal dunia dan diantara mereka belum maupun telah melakukan hubungan suami istri serta belum memberikan maharnya. Karena mahar sebagai konskuensi dari adanya akad pernikahan. Di samping itu, yang memberikan mahar kepada istrinya karena suami meninggal dunia, maka dalam hal ini sebagai pihak yang mewakili adalah ahli waris dari suami itu sendiri. Besarannnya yang yang diberikan sesuai yang disebutkan dalam akad pernikahan dan apabila tidak disebutkan berarti menggunakan mahar mitsil. Di samping itu, Imam Syafi’i dalam hal mahar tidak menetapkan batasan minimal maupun maksimal, akan tetapi tergantung kesepakatan diantara calon suami dan calon istri, sehingga dengan demikian tidak menjadikan penghalang bagi para pemuda yang akan melangsungkan pernikahan. Kemudian menurut Imam Malik, bahwa istri yang ditinggal mati oleh suaminya atau cerai mati
90
91
sebelum senggama dengan istrinya, maka secara otomatis tidak ada kewajiban membayar mahar, karena pada hakikatnya suami belum menikmati hubungan atau bersenang-senang (istimta’) dengan istrinya. Karena menurut Imam Malik mahar itu terletak pada menikmati hubungan atau bersenang-senang (istimta’) nya. Maka dari itu, istri berhak mendapatkan warisan atau peninggalan harta pusaka dari suaminya sebagai pengganti mahar. 2.
Pendapat Imam Syafi’i tetap mewajibkan membayar mahar bagi seorang suami kepada seorang istri, meskipun suami sudah meninggal dan belum maupun telah terjadi hubungan suami istri serta belum menentukan maharnya ini didasarkan pada al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 4 serta hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Kedua dasar inilah yang dijadikan metode istinbath hukum Imam Syafi’i. Menurut penulis dalil tersebut cukup kuat dan hadis yang disebutkan juga sahih karena dari segi riwayatnya sangat kuat dan segi matannya tidak bertentangan dengan al-Qur’an dengan peran dan fungsi serta perkawinan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
B. SARAN Membicarakan Masalah mahar memang sangat penting terutama menjelang seseorang ingin melaksanakan pernikahan. Terkadang hanya karena masalah mahar akhirnya bisa menjadi bahan pembicaraan yang kurang berkenan di hati
92
mempelai bahkan di lingkungan masyarakat sekitarnya. Dalam hal ini pendapat Imam Syafi’i memberikan pandangan yang ideal dalam menetapkan mahar sehingga dapat dijadikan acuan dalam rangka memberikan mahar dari calon suami kepada calon istri. Berkaitan dengan tema ini penulis memberikan beberapa saran sebagai berikut : 1.
Hendaknya para calon mempelai ketika ingin melakukan pernikahan perlu membicarakan mahar sesuai kesepakatan antara pihak suami dan pihak istri. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari hal-hal yag tidak diinginkan ketika sudah menjalani kehidapan bersama dalam rumah tangga nantinya.
2.
Para calon mempelai perlu memahami bahwa mahar merupakan sesuatu cara untuk mempererat tali kasih sayang diantara mereka serta simbol ketulusan hati seorang suami kepada istri.
C. PENUTUP Syukur Alhamdulillah, penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wata’ala, lantaran rahmat dan karunia-Nya segala kendala telah dilalui dalam menyelesaikan skripsi ini. Meskipun sudah berusaha secara maksimal, penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat kekurangan dan kelemahan
baik
secara
metodologi,
tata
bahasa
maupun
sistematika
penulisannya. Untuk itu, penulis mohon kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi perbaikan dan kesempurnaan karya tulis ini. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu atas terselesaikannya karya tulis ini, semoga amal baik mereka
93
mendapat pahala dan diterima oleh Allah Subhaanahu Wata’ala. Tidak lupa penulis juga mohon maaf apabila dalam penulisan karya tulis ini terdapat kesalahan yang kurang berkenan di hati pembaca, maka sebagai manusia biasa, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Penulis berdo’a kepada Allah Subhaanahu Wata’ala semoga karya tulis ini dapat menambah khazanah keilmuan dan bermanfaat bagi penulis khususnya serta para pembaca pada umumnya. Amin……. Wallahu a’lam bish shawab
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Sulaiman, Sumber Hukum Islam; Permasalahan dan Fleksibilitasnya, Jakarta : Sinar Grafika, 2007. Alhamdani, H.S.A, Risalah Nikah ; Hukum Perkawinan Islam, Terj. Agus Salim, Jakarta : Pustaka Amani, 1989. Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, cet. II, Jakarta : Sinar Grafika, 2007. Amin, Muhammadiyah, Ilmu Hadis, Gorontalo : Sultan Amai Press bekerjasama dengan Grha Guru Yogyakarta, 2008. Amrin, Tatang M, Menyusun Rencana Penelitian, Cet. III, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 1995. Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta : Rineka Cipta, 1993. Atmaja, Dwi Surya, Terjemahan Al-Muwwatta’, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 1999. Al-Bukhari, Al-Imam Abu Abdillah Ibn Ismail, Sahih al-Bukhari, Juz V, Beirut : Daar al-Kutub al-‘Ilmiah, tth. Daly, Peunoh, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan Ahlus- Sunnah dan Negara-negara Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1988. Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 2002. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, cet. IV, Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997. Effendi, Satria, Ushul Fiqh, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2005. Al-Fannani, Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari, Terjemahan Fathul Mu’in, Jilid 2, cet. III, Bandung : Sinar Baru Algesindo, 2005.
Al-Fauzan, Saleh, Al-Mulakhkhasul Fiqhi, Terj. Abdul Hayyie Al-Kattanie, dkk, Jakarta : Gema Insani, 2006. Ghazaly, Abd. Rahman, Fiqh Munakahat, Bogor : Kencana, 2003. Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Jilid I, Yogyakarta : Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM, 200. Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juz IV, Jakarta : Yayasan Nurul Islam, 1981. _______ , Tafsir Al-Azhar,
Jurong Town : Pustaka Nasional PTE LTD, 1999.
Hasan, A. Qadir, dkk, Terjemahan Nailul Authar Himpunan Hadis-Hadis Hukum, Surabaya : PT Bina Ilmu, 1984. Al-Hussaini, Imam Taqiyuddin Abubakar Ibn Muhammad, Kifayah al-Ahyar, Juz II, Beirut : Daar al- Kutub al-‘Ilmiah, tth. Al-Jandul, Said Abdul Aziz, Wanita Dibawah Naungan Islam, Jakarta : CV Firdaus, 1997. Al-Jamal, Ibrahim Muhammad, Fiqh al-Mar’ah al-Muslimah, Terj. S. Ziyad ‘ Abbas, Jakarta : PT Multi Kreasi Singgasana, 1991. Jalalayn, Imam, Tafsir Jalalain, Terj. Mahyudin Syaf, dkk, Bandung : Sinar Baru, 1990. Khalil, Rasyad Hasan, Tarikh Tasyri’ Sejarah Legislasi Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2009. Khallaf, Abdul Wahab, Kaidah-Kaidah Hukum Islam Ilmu Ushulul Fiqh, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2002. Al-Mawardi, Imam Abi al-Hasan ‘Ali Ibn Muhammad Ibn Habib, Kitab al-Khawi alKabir, Juz IX, Beirut : Daar al-Kutub al-‘Ilmiah, tth. Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Yogyakarta : Pustaka Progressif, 1997. Mughniyah, Muhammad Jawad, al-Fiqh ‘ala al- Mazhahib al-Khamsah, Terj Maskur A.B. dkk, Jakarta : Lentera, 2001. MS, Burhani, dkk, Kamus Ilmiah Populer, Jombang : Lintas Media, 2002
Mubarok, Jaih, Modifikasi Hukum Islam ; Studi Tentang Qawl Qadim dan Qawl Jadid, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2002. Nur, Djamaan, Fiqh Munakahat, cet. III, Semarang : CV Toha Putra, 1993. Nasution, Lahmidin, Pembaharuan Hukum Islam dalam Madzab Imam Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2001.
Syafi’i,
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam Di Indonesia, cet. I, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 1995. Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah, Jilid III, Jakarta : Pena Pundi Aksara, 2007. S.A, Romli, Muqaranah Mazhahib Fil Ushul, Jakarta : Gaya Media Pratama, 1999. Ibn Surrah, Imam ‘Isa Muhammad Ibn ‘Isa, Sunan at-Tirmidzi, Juz III, Beirut : Daar al-Kutub al-Ilmiah, tth. Syihab Umar, Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran, Semarang : Dina Utama, 1996. Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, Jakarta : Prenada Media Group, 2009. Sirry, Mun’im A., Sejarah Fiqih Islam Sebuah Pengantar, Surabaya : Risalah Gusti, 1995. Asy-Syafi’i, Al-Imam Abi ‘Abdillah Muhammad Ibn Idris, Al Umm, Juz V, Beirut : Daar al-Kutub al- Ilmiyah, tth. _________, Al-Imam Abu ‘Abdillah Muhammad Ibn Idris, ar-Risalah, Mesir : al‘Ilmiyah, 1312 H. Asy-Syarqawi, Abdurrahman, Riwayat Sembilan Imam Fiqih, Bandung : Pustaka Hidayah, 2000. Ash-Shiddieqy, T.M Hasbi, Pokok-Pokok Pegangan Imam-Imam Madzhab Dalam Membina Hukum Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1973. __________, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta : Prenada Media Group, 2006. Syafi’i, Imam, ar-Risalah Imam Syafi’i, Terj. Ahmadie Thoha, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1986.
Shiddiqi, Nourouzzaman, Fiqh Indonesia Penggagas dan Gagasannya, Yogyakarta: Pustaka pelajar Offset, 1997. Tim Penyusun Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung : CV Penerbit J-ART, 2005. Tim Penyusun Departemen Agama, Ilmu Fiqh, cet. II, Jakarta : Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama, 1984. Thalib, M, Perkawinan Menurut Islam, Cet.II, Surabaya : Al-Ikhlas, 1993. Tim Redaksi Fokusmedia, Kompilasi Hukum Islam, cet. II, Bandung : Fokusmedia, 2007. ‘Uwaid, Syaikh Kamil Muhammad, Fiqih Wanita, Terj. M Abdul Ghoffar E.M, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2006. Yanggo, Huzaemah Tahido, Pengantar Perbandingan Mazhab, Jakarta : Logos, 1997. Zahrah, Mahammad Abu, Ushul Fiqih, Jakarta : Pustaka Firdaus, 2005. Zed, Mestika, Metodologi Penelitian Kepustakaan, Jakarta :Yayasan Obor Indonesia, 2004.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Nama Lengkap
: A. Khairul Anam
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Tempat, Tanggal Lahir
: Kendal, 21 Juni 1988
Agama
: Islam
Alamat Asal
: Karangmalang Rt 2/2 Kangkung Kendal 51353
Alamat Sekarang
: PP. Daarun Najaah Jl. Stasiun No. 275 Jerakah Tugu Semarang 50151
Telepon
: 085226538950
Pendidikan Formal
: -
MI Salafiyah Karangmalang, lulus tahun 2000 MTs NU 18 Salafiyah, lulus tahun 2003 MAN Model Kendal, lulus tahun 2006 IAIN Walisongo Semarang Fakultas Syari’ah lulus tahun 2011 Pendidikan Non-Formal : - PP. Salafiyah Karangmalang Kangkung Kendal - PP. Daarun Najaah Jerakah Tugu Semarang (2006 – sekarang) Pengalaman Organisasi : - Ketua Ektra Seni Baca al-Qur’an (ESBQ) MAN Model Kendal (2006) - Koordinator Dept. Kajian dan Pelatihan HMJ AS (2008) - Pengurus Departemen Lembaga Kajian dan Penerbitan (LKP) di PMII Rasya (2008) - Koordinator Tilawah pada UKM Jam’iyyatul Qurro’ wal-Huffadz (JQH) Fakultas Syari’ah (2007) - Koordinator Lembaga Kajian dan Pelatihan pada Ikatan Mahasiswa Kendal ( Imaken) Cab.Walisongo. (2009) - Pengurus Forum Lingkar Pena (FLP) Zona Ngaliyan Semarang (2009) - Dewan Redaksi Buletin an-Najwa PP. Daarun Najaah Jerakah Tugu Semarang (2008). Demikian riwayat ini dibuat dengan sebenar-benarnya untuk menjadi maklum dan periksa adanya.
Semarang, 21 Juni 2011 Penulis,
A. Khairul Anam