BAB III PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG MAHAR MUQADDAM
A. Biografi Imam Syafi’i 1. Tempat Lahir, Silsilah Perjalanan Hidup Imam Syafi’i Imam Syafi’i adalah imam ketiga dari empat mazhab menurut urutan kelahirannya. Beliau adalah “Nashirul Hadits,” pembela hadits dan “mujaddid”, pembaharu abad kedua hijriyah.1 Menurut kebanyakan ahli sejarah bahwa Syafi’i dilahirkan di Ghaza, Palstina, tahun 150 H (767 M). namun ada yang mengatakan lahir di Asqalan, yaitu daerah yang kurang lebih 3 farsakh (8 km atau 3,5 mil) dari Ghaza, dan perjalanan dua tiga hari dari Baitul Maqdis. Ada juga yang mengatakan lebih jauh dari itu yaitu di Yaman. Imam Nawawi berkata, “Menurut jumhur, Syafi’i lahir di Ghaza.” Diriwayatkan bahwa Syafi’i lahir pada malam hari bertepatan dengan wafatnya Abu Hanifah. Jika riwayat ini benar, maka itu adalah kejadian yang menakjubkan, yakni lahirnya seorang imam bertepatan pada wafatnya imam yang lain. Nama lengkap beliau adalah Abu Adbullah Muhammad bin Idris bin Abas bin Utsman bin Syafi’i bin Sa’id bin Ubaidillah bin Abi Yazid
1
Ahmad Asy-Syarbasy, Al-Aimmah al-Arba’ah, Terj. Futuhal Arifin, Lc., “4 Mutiara Zaman”, Jakarta, Pustaka Kalami, Cet. Ke-1, 2003, hlm. 127.
bin Hasyim bin Mutlalib bin Abdul Manaf. Ibunya bernama Fathimah binti Abdullah bin Hasan bin Husein bin Ali bin Abi Thalib. Asy-Syafi’i lahir di tengah-tengah keluarga miskin. Ayahnya meninggal ketika beliau masih kecil. Kemudian ibunya membawanya ke Mekkah. Ia hidup sebagai anak yatim yang fakir dari keturunan bangsawan tinggi, keturunan yang paling tinggi di masanya, Asy-Syafi’i hidup dalam keadaan sangat sederhana. Namun, kedudukannya sebagai putra bernasab mulia menyebabkan ia terpelihara dari perangai buruk, selalu berjiwa besar, dan tidak menyukai kehinaan diri.2 Pada usia 2 (dua) tahun imam Syafi’i dibawa ibunya ke Mekkah dari Guzzah yang merupakan tanah tumpah darah asli bagi nenek moyang imam Syafi’i. Pada usia yang relatif muda imam Syafi’i telah mampu menghafal al-Qur’an. Disamping kecerdasannya dalam menghafal alQur’an ia juga rajin menghafal al-Hadits yang ia dengar. Kemudian dicatat dan dibukukan dalam percetakan sehingga ia dikenal sebagai orang yang cinta ilmu dan ahli hadits.3 Imam Syafi’i hidup di tengah-tengah masyarakat Mekkah kemudian pindah ke kota Madinah. Kedua kota ini adalah bumi Hijaz yang merupakan tempat perbendaharaan sunnah (Hadits). Kota ini tidak begitu ramai dengan berbagai kebudayaan sebagaimana kota-kota lainnya. Kesederhanaan
2
tatanan
masyarakat
tidak
banyak
menimbulkan
Mahmud Syalthut, Ali As-Sayis, Muqaaranatul Madzaahib Fil Fiqh, Terj. Abdul Zakiy Al-Kaaf, “Fiqih Tujuh Madzhab”,Banbung : CV. Pustaka Setia, Cet. Ke-1, 2000, hlm. 17. 3 Subhi Mahmashani, Terj. Ahmad Sujono, Filsafat Hukum Islam, Bandung : PT. AlMa’arif, 1981, hlm., 51.
problematika kehidupan masyarakat, dan untuk menyelesaikan masalah pun langsung mendasarkan pada al-Qur’an dan al-Hadits, maka wajar lah apabila imam Syafi’i ini lebih cenderung pada aliran Hadits. Pada awalnya Imam Syafi’i cenderung kepada syair, sastra dan belajar bahasa Arab sehari-hari. Tapi dengan demikian Allah justru menyiapkannya untuk menekuni fiqh dan ilmu pengetahuan. Terdapat beberapa riwayat yang menyebabkan Imam Syafi’i seperti itu diantaranya adalah : Suatu hari, di masa mudanya ketika ia berada di atas kendaraan. Di belakangnya terdapat sekretaris Abdullah Al-Zubairi. Lalu Syafi’i membuat perumpamaan dengan sebuah syair. Maka sang sekretaris itu memukulkan cambuknya layaknya seorang pemberi nasehat dan berkata, “Orang seperti anda
mencampakkan kepribadiannya seperti ini?
Bagaimana perhatian anda terhadap fiqh?” hal ini mempengaruhi dirinya dan membangkitkan semangatnya untuk bergegas belajar kepada Muslim bin Khalid Az-Zanji, Mufti Mekkah.4 Syafi’i menuntut ilmu di Mekkah dan mahir di sana. Ketika Muslim bin Khalid Az-Zanji memberikan peluang untuk berfatwa, Syafi’i merasa belum puas atas jerih payahnya selama ini. Ia menuntut ilmu terus dan akhirnya pindah ke Madinah dan bertemu Imam Malik di sana. Sebelumnya ia telah mempersiapkan diri membaca kitab al-Muaththa (karya Imam Malik) yang sebagian besar telah dihafalkannya. Ketika
4
Ahmad Asy-Syarbasy, Op. Cit., hlm., 131
Imam Malik bertemu dengan Syafi’i, Malik berkata, “Sesungguhnya Allah SWT. telah menaruh cahaya dalam hatimu, maka jangan padamkan dengan perbuatan maksiat.”5 Mulailah Syafi’i belajar dari Imam Malik dan senantiasa bersamanya hingga Imam Malik wafat pada tahun 179 H. selama itu pula ia mengunjungi ibunya di Mekkah. Kemudian pada tahun 195 H Imam Syafi’i mengembara ke Baghdad,
yang
merupakan
kota
yang
sudah
maju
peradaban
masyarakatnya pada waktu itu. Di kota ini Imam Syafi’i menetap beberapa tahun lamanya sebelum ia melakukan perjalanan ke kota lainnya, yaitu Mesir pada tahun 199 H dan ia
memilih kota ini sebagai
tempat
tinggalnya. Di Baghdad ia belajar Ilmu Fiqh Madzhab Hanafi, yang terkenal dengan madzhab Ahlul Ro’yi, sebagaimana di Hijaz yang tradisional. Kemudian ia cenderung kepada sifat itu, maka di kota Irak pun ia cenderung pada kondisi Irak, yaitu kota yang terkenal dengan Ahlu Ra’yu. Imam Syafi’i telah mendengar berita yang menyatakan kebesaran ulama’ di Irak seperti Abu Yusuf dan Muhammad Ibn Hasan, maka ia berkehendak untuk bertemu dengan mereka. Di kota ini ia berguru kepada Muhammad Ibn Hasan seorang tokoh ahli Fiqh. Maka terkumpullah pada diri Syafi’i beberapa ilmu dari para ahli Hadits dan Ra’yu.
5
Ibid.,
Syafi’i banyak mengambil manfaat dari beberapa kitab Muhammad Ibn Hasan dari pelajaran Fiqh Irak dan perdebatannya dengan beberapa ulama’
fiqh
di
sana.
Dari
sini,
ia
bisa
mempersiapkan
diri
mengkompromikan fiqh madinah dan fiqh Irak, atau fiqh tekstual dan fiqh kontekstual, sehingga membantunya meletakkan dasar-dasar ushul fiqh, dan kaidah fiqh (qawaid al-fiqhiyah), menjadikan ia terkenal, disebutsebut namanya dan terangkat derajatnya.6 Pengetahuan Syafi’i terbentuk dari beberapa sumber. Antara lain, guru, bacaan dan belajarnya, serta perjalanannya ke Yaman, Kufah, Bashrah, Makkah, Baghdad, dan Mesir. Ada juga dari perdebatan yang serius di masanya antara para pakar teologi dan filsafat, pakar fiqh dan ulama’ hadits dan sebagainya, serta pemikiran dan perenungannya terhadap ilmu dan lingkungan yang kesemuanya itu sangat dominan dalam membentuk wawasannya yang sangat luas. Dengan
bekal
pengetahuannya,
beliau
melangkah
untuk
menyampaikan berbagai kritik dan kemudian mengambil jalan keluarnya sendiri. Mula-mula beliau berbeda pendapat dengan gurunya (Imam Malik). Perbedaan ini berkembang sedemikian rupa sehingga beliau menulis buku yang berjudul “Khilaf al-Malik” yang sebagian besar kritik terhadap pendapat (fiqh) madzhab gurunya itu, beliau juga terjun dalam perdebatan-perdebatan sengit dengan madzhab Hanafi dan banyak mengeluarkan kritik sebagai koreksi terhadapnya.
6
Ibid, hlm. 136
Kritik-kritik imam Syafi’i terhadap dua madzhab tersebut akhirnya ia muncul dengan madzhab baru yang merupakan sintesa dari kedua madzhab (ahli hadits dan ahli ra’yu) yang benar-benar orisinil. Namun demikian yang paling menentukan orisinilitas madzhabnya ini adalah kehidupan empat tahunnya di Mesir. Memang banyak kota di mana imam Syafi’i mengembangkan atau menggali ilmu, seperti kota Yaman, Persi, Baghdad dan lain-lain. Tetapi di Mesir inilah Imam Syafi’i sampai meninggalnya dipergunakan untuk menulis sebagian besar bukubukunya, bahkan juga untuk merevisi buku-buku yang pernah ditulisnya. Di kota ini pula ia meletakkan dasar-dasar madzhab barunya yang dikenal dengan kaul jadid.7 Sebagaimana yang telah dikatakan bahwa fiqh Syafi’i adalah fiqh yang lahir karena kondisi masyarakatnya sehingga dengan adanya dua kota yang merupakan tempat yang paling mempengaruhi teori imam Syafi’i dengan didukung keadaan yang berbeda itu pula, maka fiqh Syafi’i juga dibedakan menjadi dua macam yakni madzhab kaul kadim dan madzhab kaul jadid. Madzhab kaul kadim adalah pendapat imam Syafi’i ketika di Irak dan kaul jadid adalah pendapat imam Syafi’i di Mesir. Dengan perpaduan pemikiran imam Syafi’i akibat pengaruh dari corak pendidikan dan pengalaman dari beberapa negara tersebut, Imam Syafi’i mengkombinasikan dan mengkomparasikan serta mendiskusikan
7
Farouq Abu Zaed, Hukum Islam antara Tradisional dan Modernitas, Jakarta : P3M, 1986, hlm. 30.
fiqh negara Hijaz dan Irak. Kemudian ia menjadi terkenal dengan sebutan ahli hadits dan ahli ra’yu.8 Dalam madzhab fiqhnya, Imam Syafi’i menempatkan al-Qur’an sebagai imam (dasar utama) dalam mengambil hukum. Beliau berkata, “sunnah sejajar kedudukannya dengan al-Qur’an karena as-Sunnah berfungsi sebagai penjelas al-Qur’an.” Karena itu menurut beliau asSunnah ditempatkan sebagai dasar kedua setelah al-Qur’an.9 Misalnya beliau sependapat dengan Imam Malik (ahlu al-Hadits) dalam hal menempatkan al-Qur’an sebagai dasar hukum Islam, karena menurutya as-Sunnah sebagai dasar hukum yang kedua. Dilain fihak Imam Syafi’i sepakat dengan madzhab Hanafi (Ahlu al-Ra’yu) dalam kecenderungannya memakai ijtihad atau rasio. Namun Imam Syafi’i memberikan suatu batasan bahwa dasar ijtihad atau ra’yu tersebut hendaklah berbentuk qiyas (analogi). Dalam pemakaian qiyas ini imam Syafi’i memberikan ketentuanketentuannya. Beliau sependapat dengan Imam Malik dalam mengambil ijma’ sebagai sumber hukum sesudah al-Qur’an dan as-Sunnah, tetapi beliau memberikan persyaratan-persyaratan yang ketat, sehingga ijma’ bukan semata-mata hasil pikiran tanpa ketentuan yang pasti. 2. Guru-guru Imam Syafi’i Imam Syafi’i menerima fiqh dan Hadits dari banyak guru yang masing-masing mempunyai manhaj sendiri dan tinggal di tempat-tempat 8 9
Subhi Mahmashani, Op. Cit., hlm. 51. Ahmad Asy-Syarbasy, Loc. Cit., Hlm. 140.
yang berjauhan satu sama lainnya. Ada di antara gurunya yang Mu’tazili yang memperkatakan ilmu kalam yang tidak disukainya. Dia mengambil mana yang perlu diambil dan dia tinggalkan mana yang perlu ditinggalkan. Imam Syafi’i menerima ilmunya dari ulama-ulama Makkah, Madinah, Iraq dan ulama-ulama Yaman.10 Semula Imam Syafi’i berguru pada syekh Muslim bin Khalid AzZanji dan beberapa imam Makkah. Kemudian setelah umur 13 tahun ia pergi ke Madinah dan berkumpul dengan Imam Malik sampai beliau wafat. Imam Syafi’i juga mempunyai banyak guru yang ia temui di kotakota besar ketika ia berkelana. Diantaranya ialah gurunya di Makkah, Muslim bin Khalid AzZanji, Sufyan bin Uyainah, Sa’id bin Salim Al-Qaddah, Dawud bin Abdurrahman Al-Athar dan Abdul Hamid bin Abdul Aziz bin Abi Dawud. Gurunya di Madinah antara lain, Malik bin Anas, Ibrahim bin Sa’ad Al-Anshari, Abdul Aziz bin Muhammad Al-Darawardi, Ibrahim bin Yahya Al-Asami, Muhammad bin Sa’id bin Abi Fudaik dan Abdullah bin Nafi’ Al-Shani. Gurunya di Yaman, Muththarif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf, Hakim Shan’a (ibukota Republik Yaman), Umar bin Abi Maslamah AlAuza’i Dan Yahya Hasan.
10
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-pokok Pegangan Imam Mazhab, Cet. I, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997, hlm. 486-487.
Gurunya di Irak antara lain, Muhammad bin Al-Hasan, Waki’ bin Jarra Al-Kufi, Abu Usammah Hamad bin Usamah Al-Kufi, Ismail bin Athuyah Al-Basyri dan Abdul Wahab bin Abdul Majid Al-Basyri.11 Imam Syafi’i menerima pelajaran dari tokoh berbagai mazhab. Ia menerima fiqh Malik dari Malik sendiri, Maliklah gurunya yang merupakan bintang, mempelajari fiqh Auza’I dari Umar ibn Abi Salamah, mempelajari Fiqh Al-Laits dari Yahya ibn Hassan dan mempelajari fiqh Abu Hanifah dari Muhammad ibn al-Hassan. Bahkan ia mempelajari fiqh pada tokoh-tokoh Mu’tazilah, walaupun dalam masalah I’tiqad mereka tidak menempuh ahlul hadits. Justru semua inilah yang memperluas bidang fiqihnya, memperbanyak materi dan mempertebal kamus pengetahuannya. Dengan demikian Imam Syafi’i dapat mengumpulkan fiqh Makkah, Fiqh Madinah, Fiqh Syam, Fiqh Mesir dan Fiqh Irak. 3. Murid-murid Imam Syafi’i Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa imam Syafi’i mempunyai banyak guru. Begitu juga murid-muridnya, mereka tersebar di Makkah, Mesir dan sebagian di Baghdad Irak, merekalah yang menyebarkan madzhab gurunya. Diantara murid yang ada di Makkah, antara lain: Abu Bakar alHumaidi, Ibrahim bin Muhammad Abbas, Abu Bakar Muhammad bin Idris dan Musa bin Abi al-Jarud. Murid Syafi’i di Irak, antara lain : alHasan bin Muhammad al-Za’farani (wafat : 260 H), Abu Husain al-
11
Ibid., hlm., 135.
Karabisi (wafat : 295H), Imam Ahmad bin Hambal (wafat : 241 H) dan Dawud ad-Dhahiri (wafat : 505 H). Sedangkan muridnya yang di Mesir antara lain : al-Bughaisti (wafat : 270 H), al-Mazani (wafat : 269 H) dan ar-Rabi’ah (wafat : 270 H). Generasi penerus dan penyebar madzhab Imam Syafi’i adalah : Abu Ishaq as-Saerazi (wafat : 478 H) adalah pengarang kitab “alMuhadzdzab”, Imam Ghazali (wafat : 505 H) pengarang kitab “Ihya ‘Ulumuddin” dan “al-Mustahfa”, dan al-Wazid ‘Izzudin ibn Abdi Salam (wafat :660 H0 adalah pengarang kitab “Qawa’id al-Ahkam Fi Masail alAhkam”, Muhyiddin an-Nawawi (wafat : 676 H) yang mengarang kitab Fiqh diantaranya “Majmu’ Syarah Muhadzab” dan “Minhaj athThalibin”, Taqiyuddin as-Shabuni (wafat : 765 H), Jalaluddin as-Suyuti (wafat : 791 H), pengarang kitab “Asybah wan Nadhair” dan kitab “Tanwirul Hawalaik” syarah kitab al-Muwaththa’ Imam Malik dan masih banyak lagi yang lainnya.12 4. Karya-karya Imam Syafi’i Menurut Qadli Imam Abu Muhammad bin Husain bin Muhammad al-Maruzi murid Imam Syafi’i, mengatakan bahwa Imam Syafi’i telah mengarang kitab sebanyak 113 kitab, baik dalam bidang hadits, ilmu fiqh dan ushulnya, tafsir, sastra dan lain-lain. Yaqut menyebutkan dalam kitab “Mu’jam al-Udaba’ juz 17”, puluhan kitab Imam Syafi’i. Yang dimaksud kitab di sini bukanlah kitab yang ada seperti sekarang ini, melainkan
12
Subhi Mahmashani, Op. Cit., hlm. 53.
beberapa bab masalah fiqh yang kebanyakan telah termuat dalam kitabnya al-Umm. Dan kitab-kitab tersebut bisa dijadikan sebagai pegangan dan pengetahuan yang dapat di nikmati sampai sekarang, diantaranya adalah: a. Ar-Risalah Kitab ini disusun berkaitan dengan kaidah ushul fiqh, yang di dalamnya diterangkan mengenai pokok-pokok pegangan Imam Syafi’i dalam mengistinbath hukum. Ar-Risalah merupakan kitab Ushul fiqh yang pertama. Akan tetapi sebagai penulis ar-Risalah itu sendiri adalah murid Syafi'i yaitu ar-Rabi’ ibn Sulaiman (270 H), dan Rabi’ inilah yang meriwayatkan dari Imam Syafi’i tentang Ar-Risalah (karena Syafi’i tidak menulisnya secara langsung). Di dalam kitab Ar-Risalah Imam Syafi’i membahas tentang ketentuan-ketentuan nash kitab dan masalah nasikh mansukh, kecacatan dalam hadits, syarat-syarat penerima hadits ahad yang meliputi hadits mursal sebagai hujjah hukum, ijma’ ijtihad istihsan serta qiyas. b. Al-Umm Al-Umm adalah kitab yang ditulis sendiri oleh Imam Syafi’i. Kemudian diriwayatkan oleh ar-Rabi’. Segala yang termuat dalam kitab al-Umm adalah pendapat Imam Syafi’i, itulah hujjah dalam mazhabnya.13
13
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Op. Cit. hlm. 514.
Kitab ini berisi hasil-hasil ijtihad Imam Syafi’i yang telah dikodifikasikan dalam bentuk dan jilid-jilid yang membahas masalah Thaharah, Ibadah, Amaliah sampai pada masalah peradilan seperti Jinayah, Muamalah, Munakahat dan lainnya. c. Ikhtilaf al-Hadits Disebut Ikhtilaf al-Hadits karena di dalamnya mengungkapkan perbedaan para ulama’ dalam persepsinya tentang hadits mulai dari sanad sampai perawi yang dapat dipegang termasuk analisanya tentang hadits yang menurutnya dapat dipegang sebagai hujjah. d. Musnad Di dalam kitab Musnad isinya hampir sama dengan yang ada dalam kitab Ikhtilaf al-Hadits, kitab ini juga memaparkan persoalan hadits, hanya saja terkesan bahwa yang ada dalam kitab ini adalah hadits yang dipergunakan Imam Syafi’i khususnya yang berkaitan dengan fiqh kitab al-Umm, di mana dari segi sanadnya telah dijelaskan secara jelas dan rinci.
B. Pendapat Imam Syafi’i Tentang Mahar Muqaddam Mahar adalah hak isteri, yang dapat digunakan sepenuhnya oleh isteri dalam memanfaatkan barang tersebut serta memperoleh kompensasi baik karena barangnya diambil kegunaannya oleh orang lain maupun karena
konsumsi untuk dihabiskan zatnya.14 Sedangkan mahar sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa yang dimaksud dengan mahar adalah pemberian dari calon suami kepada calon isteri, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam (ps. 1 huruf d. KHI).15 Kemudian dalam masalah pembayaran mahar sebagaimana telah dipaparkan diatas, mahar dapat diberikan atau dibayarkan di muka, kontan, dan atau diutang.. Namun para ulama menganjurkan bahwa mahar sebaiknya dibayar kontan meski hanya sebagian. Dalam kehidupan Islam sudah menjadi kebiasaan dan suatu hal yang lazim dengan yang namanya melamar atau pinangan (khitbah). Seorang lakilaki atau calon suami sering memberikan sesuatu kepada calon istrinya sebelum akad nikah. Dan hal ini banyak terjadi dalam adat istiadat di negara Indonesia. Dalam hal ini Imam Syafi’i berpendapat bahwa harta yang telah diberikan calon suami kepada isterinya sebelum akad tersebut boleh dijadikan dan dianggap mahar dan ketika keduanya melangsungkan akad nikah suami tidak wajib untuk memberikan mahar kepada isterinya karena sudah dibayarkan oleh suami sebelum akad. Sebelum penulis menguraikan pendapat Imam Syafi’i tentang mahar muqaddam, alangkah baiknya akan penulis jelaskan terlebih dahulu tentang pengertian mahar muqaddam menurut Imam Syafi’i.
14
Taqyuddin an-Nahbani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, Risalah Gusti, t.t, hlm. 66. 15 A. Rofiq, MA., Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, t.t, hlm.101.
Mahar muqaddam mengandung dua kata, pertama mahar yaitu pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita baik berupa barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Kedua muqaddam, artinya adalah didahulukan. Jadi yang dimaksud dengan mahar muqaddam di sini adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita baik berupa barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum islam yang diberikan sebelum dilangsungkannya akad nikah, seperti misalnya saat pertunangan atau pemberian tukon (istilah Jawa). Adapun kaitannya dalam masalah pembayaran mahar sebagaimana yang telah penulis kemukakan diatas bahwa imam Syafi’i berpendapat pembayaran
mahar
kepada
calon
isteri
boleh
dibayarkan
sebelum
berlangsungnya akad nikah, sebagaimana yang disebut dalam kitab Bughyah al-Mustarsyidin sebagai berikut :
ﺩﻓﻊ ﳌﺨﻄﻮ ﺑﺘﻪ ﻣﺎﻻﰒ ﺍﺩﻋﻰﺍﻧﻪ ﺑﻘﺼﺪ ﺍﳌﻬﺮ ﻭﺍﻧﻜﺮﺕ ﺻﺪ ﻗﺖ ﻫﻲ ﺍﻥ ﻛﺎﻥ .ﺍﻟﺪﻓﻊ ﻗﺒﻞ ﺍﻟﻌﻘﺪ ﻭﺍﻻﺻﺪﻕ Artinya: “Apabila calon suami memberikan harta kepada calon isterinya dengan maksud memberikan mahar akan tetapi calon isteri ingkar apabila harta itu diberikan sebelum akad, dan apabila harta tidak diberikan sebelum akad maka calon suamilah yang benar.”16 Begitu juga yang disebut dalam kitab al-Khawi al-Kabir di mana Imam Syafi’i mengatakan :
16
Abd al-Rahman bin Muhammad bin Husein bin Umar, Bughyah al-Mustarsyidin, Indonesia : Dar Ihya’ al-Kutub al-Arobiyyah, t.t hlm. 214.
ﻓﺎﻥ ﻗﺎ ﻟﺖ ﺍﳌﺮﺃﺓ ﺍﻟﺬﻱ ﻗﺒﻀﺖ ﻫﺪﻳﺔ ﻭﻗﺎﻝ ﺑﻞ ﻫﻮﻣﻬﺮﻓﻘﺪ ﺍﻗﺮﺕ: ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻰ .ﲟﺎﻝ ﻭﺍﺩﻋﺖ ﻣﻠﻜﻪ ﻓﺎﻟﻘﻮﻝ ﻗﻮﻟﻪ Artinya: ”Imam Syafi’i berkata : Apabila calon isteri berkata bahwa apa yang diterimanya adalah hadiah, tetapi calon suami mengatakan mahar sedangkan isteri mengakui harta adalah miliknya, maka yang dianggap adalah ucapan calon suami. ”17 Dari kedua keterangan tersebut diatas terkandung maksud bahwa boleh membayar mahar sebelum dilangsungkan akad nikah dengan catatan disertai dengan adanya niat memberikan mahar oleh calon suami. Dalam kitab lain juga dijelaskan :
ﻟﻮﺧﻄﺐ ﺍﻣﺮﺃﺓ ﰒ ﺍﺭﺳﻞ ﺍﻭﺩﻓﻊ ﺑﻼ ﻟﻔﻆ ﺍﻟﻴﻬﺎ ﻣﺎﻻ ﻗﺒﻞ ﺍﻟﻌﻘﺪ ﻭﻟﻮﺍﻋﻄﺎﻫﺎ ﻣﺎﻻ ﻓﻘﺎﻟﺖ ﻫﺪ ﻳﺔ ﻭﻗﺎﻝ ﺻﺪﺍﻗﺎ ﺻﺪﻕ ﺑﻴﻤﻴﻨﻪ Artinya : “Jika seorang laki-laki melamar perempuan, kemudian memberikan padanya harta tanpa adanya perkataan sebelum akad, dan apabila ia memberikan padanya harta kemudian perempuan tersebut mengatakan hadiah, dan laki-laki mengatakan maskawin, maka ia dibenarkan dengan sumpahnya”.18 Begitu juga dalam kitab Al-Fatawi al-Kubra yang menerangkan bahwa :
ﺑﺎﻥ ﺍﻟﻌﱪﺓ ﺑﻨﻴﺔ ﺍﳋﺎﻃﺐ ﺍﻟﺪﺍﻓﻊ ﻓﺎﻥ ﺩﻓﻊ ﺑﻨﻴﺔ ﺍﳍﺪﻳﺔ ﻣﻠﻜﺘﻪ ﺍﳌﺨﻄﻮﺑﺔ ﺍﻭﺑﻨﻴﺔ ﺍﺣﺴﺎﻧﻪ ﻣﻦ ﺍﳌﻬﺮ ﺣﺴﺐ ﻣﻨﻪ ﻭﺍﻥ ﻛﺎﻥ ﻣﻦ ﻏﲑ ﺟﻨﺴﻪ 17 Abi al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, juz IX, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiah, t.t. hlm. 501. 18 ….., I’anat al-Thalibin, juz. III, Beirut : Dar al-Kutub, t.t., hlm. 355
Artinya : “Bahwa dalam hal tersebut tergantung dengan niat laki-laki yang melamar, apa bila memberikan dengan niat memberikan hadiah maka wanita yang dilamar memilikinya sebagai hadiah, atau dengan niat baik memberikan mas kawin, maka dihitung sebagai maskawin walaupun tidak dari jenisnya maskawin”.19 Di samping itu juga Imam Syafi’i berpegang pada sebuah hadits Nabi:
ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ﺍﻥ ﺍﻟﻨﱮ ﺍﷲ ﺻﻞ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻣﻨﻊ ﻋﻠﻴﺎ ﺍﻥ ﻳﺪﺧﻞ ﺑﻔﺎﻃﻤﺔ ﺣﱴ .ﻳﻌﻄﻴﻬﺎ ﺷﻴﺌﺎ Artinya : “Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa nabi SAW melarang mangumpuli Fatimah sampai ia memberikan sesuatu kepadanya (mahar)…20 Pendapat Imam Syafi’i tersebut bermula dari adanya perbedaan persepsi antara suami isteri dalam hal harta yang diberikan sebelum dilangsungkannya akad nikah itu merupakan mahar atau hadiah. Pendapat Imam Syafi’i tersebut berbeda dengan pendapat Imam Malik yang mengatakan bahwa apabila harta yang diberikan berupa sesuatu yang biasanya dihadiahkan suami untuk isterinya seperti pakaian dan perhiasan, maka yang dibenarkan adalah ucapan isterinya yaitu harta yang diberikan oleh suami sebelum akad nikah adalah hadiah bukan mahar dengan adanya sumpah isteri karena melihat kebiasaannya.21 Akan tetapi pendapat Imam Malik tersebut ditolak oleh Imam Syafi’i, karena harta itu tidak bisa dimiliki sebab adanya pengakuan saja, sehingga apabila isteri mengaku bahwa harta yang diterimanya adalah hadiah maka tidak bisa diterima ucapannya.
19
Ibnu Hajar al-Haitamy, Al-Fatawi al-Kubra al-Fiqhiyah, juz. IV, Beirut : Dar al-Fikr, t.t., hlm. 111. 20 Imam al-Khafidz abi Daud sulaiman bin al-Asy’ad, Sunan Abi Daud, juz II, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.t. hlm. 106 21 Ibid.
C. Metode Istinbath Hukum Imam Syafi’i Tentang Mahar Muqaddam Sebelum penulis kemukakan tentang metode istinbath hukum Imam Syafi’i tentang pembayaran mahar yang dibayarkan sebelum akad nikah (mahar muqaddam), terlebih dahulu penulis akan mengemukakan bagaimana metode istinbath hukum secara umum yang digunakan oleh Imam Syafi’i. Sebagaimana diketahui bahwa pemikiran Imam Syafi’i dalam bidang hukum merupakan sumbangan yang sangat besar bagi keilmuan (hukum Islam). Pemikiran imam Syafi’i adalah jembatan antara dua kutub pemikiran yang ekstrim yaitu antara ahli ra’yu dan ahli hadits. Kelompok pertama diwakili oleh Imam Abu Hanifah dengan menggunakan metode pendekatan hukumnya lebih mengedepankan aspek rasionalitas. Sedangkan kelompok yang kedua yang dipelopori oleh Imam Malik dengan menggunakan metode pemahaman hukum yang lebih mengedepankan aspek normatifitas dan memegangi hadits secara ketat. Imam Syafi’i tampak seolah-olah berada diantara dua ekstrimitas tersebut. Hal ini dikarenakan Imam Syafi’i pernah mengembara ilmu dari satu tempat ke tempat yang lain dan dari satu guru ke guru yang lain. Imam Syafi’i pernah berguru kepada Imam Malik dan pernah pula belajar pada as-Syaibany seorang tokoh hukum Islam mazhab Hanafi. Pengalaman-pengalaman berguru tersebut tampaknya membuat Imam Syafi’i dapat memberi warna tersendiri pada pola pikiran mazhab Imam Syafi’i. Dalam mazhab fiqhnya, Imam Syafi’i menempatkan al-Qur’an sebagai imam (dasar utama) dalam mengambil hukum. Beliau berkata, “Sunnah sejajar
kedudukannya dengan al-Qur’an karena as-Sunnah berfungsi sebagai penjelas al-Qur’an.” Karena itu, sunnah menurut beliau ditempatkan sebagai dasar kedua setelah al-Qur’an.22 Ketika disodorkan masalah padanya, maka yang pertama kali beliau mencari solusinya dari hadits Nabi. Bahkan beliau minta pada muridnya untuk meninggalkan pendapatnya dan mengambil pendapat yang sesuai dengan hadits jika memang pendapatnya itu bertentangan dengan hadits. Imam Syafi’i menempatkan ijma’ sebagai hujjah setelah al-Qur’an dan hadits, tapi beliau masih memberi batasan dan syarat bagi ijma’. Imam Syafi’i berpendapat bahwa dalam syari’ah seseorang tidak boleh mengedepankan pendapatnya kecuali untuk dasar qiyas. Yaitu memberi hukum atas sesuatu yang tidak ada nashnya disamakan dengan sesuatu yang sudah jelas nashnya karena persamaan illatnya (alasan dalam hukumnya). Karakteristik fiqh dan pengetahuan Syafi’i yang menonjol ialah bahwa beliau telah meletakkan kaidah-kaidah ushul fiqh. Beliau membangun dasar ilmu ushul fiqh dengan meletakkan kaidah secara umum sebagai rujukan dalam mengetahui urutan pengambilan dalil syar’i. Imam Nawawi menamakan ilmu ushul dan kaidah-kaidahnya yang menjadi dasar fiqh imam Syafi’i dan mazhabnya dengan perkataannya sebagai berikut. “Dia datang setelah munculnya kitab-kitab ditetapkannya hukum, dia telah mempelajari mazhab terdahulu, mengambilnya dari imam-imam pilihan, berdiskusi 22
dengan
orang-orang
pintar
kemudian
menyeleksi
dan
Ahmad Asy-Syarbasy, Al-Aimmah al-Arba’ah, Terj. Futuhal Arifin, Lc., “4 Mutiara Zaman”, Jakarta, Pustaka Kalami, Cet. Ke-1, 2003, hlm.140
menyelidikinya serta meringkasnya dalam metode yang meliputi al-Quran, as-Sunnah, ijma’, qiyas. Dia tidak meringkasnya pada salah satu dari empat, sebagaimana yang dilakukan oleh orang lain.”23 Kemudian dalam menerangkan dasar-dasar mazhabnya, Imam Syafi’i berkata :
ﺍﻻﺻﻞ ﻗﺮﺍﻥ ﻭﺳﻨﺔ ﻓﺎﻥ ﱂ ﻳﻜﻦ ﻓﻘﻴﺎﺱ ﻋﻠﻴﻬﻤﺎ ﻭﺍﺫﺍ ﺍﺗﺼﻞ ﺍﳊﺪ ﻳﺚ ﻋﻦ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﻭﺍﳊﺪ ﻳﺚ ﻋﻠﻰ ﻇﺎ ﻫﺮﻩ ﻭﺍﺫﺍ ﺍﲪﺘﻞ.ﻭﺻﺢ ﺍﻻﺳﻨﺔ ﻭﺍﻻﲨﺎﻉ ﺍﻛﱪ ﻣﻦ ﺍﳋﱪ ﺍﳌﻨﻔﺮﺩ ﻭﺍﺫﺍ ﺗﻜﺎﻓﺄﺕ ﺍﻻﺣﺎﺩﻳﺚ ﻓﺎﺻﺤﻬﺎ ﺍﺳﻨﺎﺩﺍ.ﻣﻌﺎﱏ ﻓﻤﺎ ﺍﺷﺒﻪ ﻣﻨﻬﺎ ﻇﺎﻫﺮﻩ ﺍﻭﻻﻫﺎ ﻭﻟﺲ ﺍﳌﻨﻘﻄﻊ ﺑﺸﻴﺊ ﻣﺎﻋﺪ ﻣﻨﻘﻄﻊ ﺍﺑﻦ ﺍﳌﺴﻴﺐ ﻭﻻﻳﻘﺎﺱ ﺍﺻﻞ ﻋﻠﻰ ﺍﺻﻞ.ﺍﻭﻻﻫﺎ ﻭﻻﻳﻘﺎﻝ ﻟﻼ ﺻﻞ ﱂ ﻭﻛﻴﻒ؟ ﻭﺍﳕﺎ ﻳﻘﺎﻝ ﻟﻠﻔﺮﻭﻉ ﱂ؟ ﻓﺎﺫﺍ ﺻﺢ ﻗﻴﺎﺳﻪ ﻋﻠﻰ ﺍﻻ ﺻﻞ .ﺻﺢ ﻭﻗﺎﻣﺖ ﺑﻪ ﺣﺠﺔ Artinya : “Yang menjadi pokok adalah al-Qur’an dan as-Sunnah, kalau tidak ada dalam al-Qur’an dan as-Sunnah barulah qiyas pada keduanya. Kalau hadits dari Rasulullah sudah shahih sanadnya, maka itulah sunnah. Ijma’ lebih besar dari pada kabar orang seorang. Hadits diartikan menurut dhahirnya lafad. Tetapi kalau artinya banyak, maka yang dekat dengan dhahir itulah yang pantas. Kalau bersamaan banyak hadits, maka yang paling shahih sanadnya itulah yang disahulukan. Hadits munqathi’ (sanadnya tidak sampai pada Nabi) tidak diterima. Kecuali munqati’ yang disampaikan Ibn Musayyab. Asal tidak diqiyaskan dengan asal. Asal tidak ditanya kenapa dan bagaimana. Hal ini boleh ditanyakan pada furu’ pada asal. Maka itulah suatu dalil (hujjah).”24 Dari perkataan Imam Syafi’i dapat diambil kesimpulan bahwasannya pokok-pokok pikiran beliau dalam istinbath hukum sebagai berikut :
23 24
Ibid. hlm. 142 Imam Syafi’I, ar-Risalah, Beirut : Daar al-Fikr t.t. hlm. 39
1. Al-Kitab (al-Qur’an). 2. Al-Sunnah. 3. Ijma’. 4. Qiyas. Untuk mengetahui secara utuh dan detail pemikiran Imam Syafi’i tentang keempat sumber hukum tersebut, maka akan penulis uraikan satu persatu, sebagai berikut : 1. Al-Kitab (al-Qur'an) Al-Qur’an
adalah
kalam
Allah
yang
diturunkan
melalui
perantaraan malaikat Jibril ke dalam kalbu Rasulullah saw. Dengan menggunakan bahasa Arab dan disertai dengan kebenaran agar dijadikan hujjah (penguat) dalam hal pengakuannya sebagai Rasul, dan agar dijadikan sebagai undang-undang bagi seluruh ummat manusia, di samping merupakan amal ibadah jika membacanya.25 Menurut Syafi’i, al-Qur’an adalah sumber pokok dari semua pengetahuan dasar tentang hukum, Imam Syafi’i mengatakan bahwa alQur’an mengandung tuntutan bagi masalah apapun yang mungkin timbul dikalangan kaum muslim. Imam Syafi’i mengemukakan sejumlah ayat untuk menjustifikasikan pendapatnya di antaranya adalah :
ﻢ ﻌﻠﱠﻬ ﻭﹶﻟ ﻢ ﻴ ِﻬﺰ ﹶﻝ ِﺇﹶﻟ ﺎ ﻧﺱ ﻣ ِ ﺎﻦ ﻟِﻠﻨ ﻴﺒﺮ ِﻟﺘ ﻚ ﺍﻟ ﱢﺬ ﹾﻛ ﻴﺎ ِﺇﹶﻟﺰﹾﻟﻨ ﻭﺃﹶﻧ ِﺮﺰﺑ ﺍﻟﺕ ﻭ ِ ﺎﻴﻨﺒﺑِﺎﹾﻟ {44} ﻭ ﹶﻥﺘ ﹶﻔ ﱠﻜﺮﻳ 25
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Terj. Masdar Helmy, Bandung : Gema Risalah Pres, 1992, hlm. 39
Artinya : “Dengan membawa keterangan-kterangan (mu’jizat) dan kitabkitab. Dan kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (Q.S. alNahl: 44).26 2. Al-Sunnah Menurut istilah syara’ as-Sunnah ialah sesuatu yang datang dari Rasulullah saw. Baik ucapan, perbuatan maupun taqrir (persetujuan). Sunnah juga disebut hadits dan khabar.27 Umat Islam sepakat bahwa apa saja yang datang dari Rasulullah saw. Baik ucapan, perbuatan atau taqrir, membentuk suatu hukum atau tuntutan yang disampaikan kepada umat manusia dengan sanad shahih dan mendatangkan yang Qath’i atau Zhanni. Karenanya, dengan kebenaran itu adalah sebagai hujjah bagi umat Islam dan sebagai sumber pembentukan hukum Islam yang oleh para mujtahid dijadikan sebagai rujukan istinbath dan hukum-hukum syari’at bagi mukalaf. Dengan kata lain, hukum-hukum yang ada pada as-Sunnah adalah hukum-hukum yang ada di dalam al-Qur’an, sebagai peraturan perundangan yang harus ditaati.28 Asy-Syafi’i dalam ar-Risalah mengemukakan sejumlah hujjah untuk membuktikan bahwasanya as-Sunnah adalah suatu hujjah dari hujjah-hujjah agama. Ia telah berjasa dalam mengumpulkan dalil-dalil
26
Departemen Agama RI., Yayasan Penterjemah al-Qur’an, al-Qur’an dan Terjemhnya, Jakarta : Bumi Restu, 1976, hlm. 408. 27 A. Hanafi, Ushul Fiqh, Jakarta: Widjaya, 1993, hlm. 108. 28
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: Gema Risalah Pres, 1992, hlm. 67.
yang membuktikan kehujjahan as-Sunnah. Itulah sebabnya ia diberi gelar “Nashirul Sunnah”.29 Asy-Syafi’i dalam mengambil dasar as-Sunnah atau al-Hadits tidaklah yang mutawattir saja, melainkan ahad pun diambil dan dipergunakan untuk dijadikan hujjah asal telah mencukupi syaratsyaratnya, yakni para perawinya itu orang-orang yang terpercaya, kuat ingatannya dan bersambung sanadnya sampai pada Rasulullah saw. Asy-Syafi’i menempatkan as-Sunnah sejajar dengan al-Qur’an karena as-Sunnah merupakan penjelas dari al-Qur’an, akan tetapi asySyafi’i tidak mengatakan kalau hadits ahad30 juga senilai dengan alQur’an, sekalipun hadits itu juga dipergunakan sebagai hujjah, karena menurutnya hanya al-Qur’an dan as-Sunnah Mutawatirlah yang qot’i subutnya.31 Asy-Syafi’i berpendapat bahwa as-Sunnah mempunyai hak untuk mendatangkan hukum-hukum yang belum ada dalam al-Qur’an. asySyafi’i hanya menggunakan hadits ahad bila perawinya berkesinambungan dan tidak terputus. Ia tidak menggunakan hadits mursal sebagai dalil kecuali dalam hal-hal yang sangat tertentu saja. Dia menerima hadits mursal jika tabi’i yang memursalkannya itu, seorang tabi’i besar yang 29 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-pokok Pegangan Imam Mazhab, Cet. I, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997, hlm. 247. 30 Ditinjau dari segi rawinya, as-Sunnah dibagi menjadi tiga macam : Sunnah Mutawattir, yaitu sunnah yang diriwayatkan oleh sekelompok orang (rawi), yang rawi-rawi itu tidak mungkin bersekutu melakukan kebohongan. Sunnah Masyhurah, yaitu sunnah yang diriwayatkan dari Rasulullah saw. Oleh seorang atau dua orang atau kelompok yang tidak mencapai derajat atau tingkat tawatur (Mutawatir). Sunnah Ahad, yaitu sunnah yang diriwayatkan oleh kelompok orang yang tidak mencapai derajat tawatur atau diriwayatkan oleh seorang atau dua orang atau kelompok orang yang tidak mencapai derajat tawatur. 31 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Ibid, hlm, 248.
banyak bertemu dengan sahabat. Seperti Said ibn Masayab. Karena hadits mursal Sa’id adalah disepakati menjadi hujjah.32 Atau hadits itu dikuatkan oleh hadits muttashil yang lain, atau oleh hadits mursal yang lain yang satu arti dengan dia, dan telah diterima oleh ahli ilmu, atau diamalkan oleh sebagian ulama, atau segolongan ulama telah memfatwakan sesuai dengan kandungan hadits mursal itu.33 3. Ijma’ Ijma’ menurut istilah ushul adalah kesepakatan para imam mujtahid diantara umat Islam pada suatu masa setelah Rasulullah wafat, terhadap hukum syara’ tentang suatu masalah atau kejadian.34 Asy-Syafi’i mengatakan ijma’ adalah hujjah. Ia menempatkan ijma’ setelah al-Kitab dan as-Sunnah sebelum al-Qiyas. Dengan memperhatikan apa yang disebut dalam ar-Risalah nyatalah bahwa ia menempatkan ijma’ sebelum qiyas atau harus didahulukan ijma’ atas qiyas. Asy-Syafi’i menggunakan ijma’ jika sudah terang tidak ada seorangpun yang menyalahinya atau membantahnya. Oleh karena itu asySyafi’i tidak menerima ijma’ sukuti. Ijma’ yang dapat diterima oleh asySyafi’i hanyalah ijma’ yang merupakan konsensus total yang harus dinyatakan dengan formal sehingga ia tidak dapat menerima kesepakatan
32
Syaikh Mahmud Syaltout, Perbandingan Mazhab dalam Masalah Fiqh, Jakarta: Bulan Bintang, 1973, hlm, 192. 33 Ibid. hlm, 158. 34 Abdul Wahab Khalaf, Op. Cit. Hlm, 81
diam-diam (ijma’ sukuti).35 Karena pandangan yang demikian itu asySyafi’i hanya dapat menerima ijma’ yang terjadi dikalangan para sahabat Nabi saw. Itupun terbatas hanya pada kewajiban-kewajiban dan laranganlarangan pokok.36 4. Al-Qiyas Asy-Syafi’i adalah mujtahid yang mula-mula menguraikan dasar qiyas. Para fuqaha sebelumnya membahas tentang ar-Ra’yu tanpa menentukan batas-batasnya dan dasar-dasar penggunaannya, tanpa menentukan norma-norma ra’yu yang shahih dan yang tidak shahih. Menurut ulama’ ushul al-Qiyas berarti menyamakan suatu kejadian yang tidak ada nash kepada kejadian lain yang ada nashnya pada nash hukum yang telah menetapkan lantaran adanya kesamaan diantara dua kejadian itu dalam illat (sebab terjadinya) hukumnya.37 Asy-Syafi’i mengambil dan mempergunakan hukum dasar qiyas apabila sudah jelas tidak terdapat dalil al-Qur’an, as-Sunnah dan Ijma’, oleh karena itu asy-Syafi’i tidak terburu-buru menjatuhkan hukum secara qiyas sebelum menyelidiki lebih lanjut dan detail tentang dapat atau tidaknya hukum itu menggunakan qiyas. 35
Dilihat dari segi melakukan ijtihad, ijma’ dibagi menjadi dua. Ijma’ Sharih yaitu kesepakatan para mujtahid pada suatu waktu terhadap hukum suatu kejadian atau peristiwa dengan menyajikan pendapat masing-masing secara jelas yang dilakukan dengan cara memberi fatwa atau memberi keputusan. Dengan kata lain, setiap mujahid menyampaikan ucapan atau perbuatan yang menyebabkan pendapatnya masing-masing secara jelas. Ijma’ Sukuti yaitu sebagian mujtahid pada suatu waktu mengemukakan pendapatnya secara jelas terhadap suatu kejadian yang dilakukan dengan cara memberi fatwa atau memberi keputusan, dan mujtahid yang lain tidak menanggapi pendapat tersebut dalam hal persesuaiannya atau perbedaannya. Lihat Abdul Wahab Khalaf, dalam Ilmu Ushul Fiqh, hlm. 90-91. 36 Zarkowi Soejoeti, Pengantar Ilmu Fiqh, Bagian I, Semarang: Walisongo Press, 1987, hlm, 136. 37 Abdul Wahab Khalaf, loc.cit., hlm, 92-93.
Qiyas (analogi) adalah metode berfikir yang dipergunakan untuk mencari kejelasan hukum dari contoh-contoh serupa yang terdapat dalam nash al-Qur’an atau Sunnah (Hadits) Nabi. Sementara itu proses pengambilan qiyas sekurang-kurangnya harus didasarkan kepada dua hal : Pertama, jika Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan sesuatu secara tersurat, atau menghalalkan-Nya karena alasan atau illat tertentu, kemudian kita dapatkan hal serupa tapi tidak ada nash khusus di dalam alQur’an atau sunnah, maka kita bisa memberikan hukum haram atau halal berdasarkan fakta bahwa hal itu mempunyai esensi (illat) yang sama dengan yang telah ditetapkan status hukumnya dalam al-Qur’an atau Sunnah tadi. Kedua, dalam hal didapat dua kasus yang hampir-hampir sama, maka analogi (qiyas) harus didasarkan atas kemiripan yang paling lengkap, terutama dari sudut lahiriahnya.38 Demikianlah secara garis besar mengenai sumber hukum yang dijadikan patokan asy-Syafi’i dalam menggali hukum untuk menghadapi atau menyelesaikan berbagai permasalahan dalam hal hukum. Dari dalil-dalil yang ada tentang mahar, ternyata tidak ada dalil khusus yang
menyatakan atau
menerangkan tentang
mekanisme
pembayaran mahar, terutama mahar yang dibayarkan sebelum akad (mahar muqaddam). Untuk itu
Imam Syafi'i menggunakan dalil-dalil
tentang kewajiban untuk membayar mahar serta dalil tentang pelarangan 38
Imam Syafi’I, Ar-Risalah, Terj. Ahmadie Thoha, Cet. IV, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1992, hlm., 23.
Nabi untuk melakukan hubungan suami isteri sebelum mahar itu dibayarkan. Sedangkan istinbath hukum Imam Syafi’i yang berkaitan dengan mahar muqaddam adalah sebagai berikut : 1. al-Quran
ﻩ ﺎ ﹶﻓ ﹸﻜﻠﹸﻮﻧ ﹾﻔﺴ ﻨﻪﻲ ٍﺀ ِﻣ ﺷ ﻦ ﻋ ﻢ ﻦ ﹶﻟ ﹸﻜ ﺒﺤﹶﻠ ﹰﺔ ﹶﻓِﺈ ﹾﻥ ِﻃ ﻦ ِﻧ ﺪﻗﹶﺎِﺗ ِﻬ ﺻ ﺎ َﺀﻨﺴﻮﺍ ﺍﻟﻭ َﺁﺗ ﴾4﴿ﻣﺮِﻳﺌﹰﺎ ﻫﻨِﻴﺌﹰﺎ Artinya : “Berikanlah mas kawin kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang wajib, kemudian mereka menyerahka kamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagaai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”. (QS. 4.4)39 Dari
ayat
tersebut
Imam Syafi’i
menafsirkan
tentang
secepatnya membayar mahar, karena melihat kata yang dipakai dalam ayat tersebut menunjukkan kalimat perintah ( ) أﺗﻮاdimana kalimat perintah menunjukkan makna segera, sebagaimana kaidah ushul fiqh :
ﺍﻻﺻﻞ ﰱ ﺍﻻﻣﺮﻳﻘﺘﻀﻰ ﺍﻟﻔﻮﺭ Artinya : “Bermula suruhan menghendaki kesegeraan”40 2. al-Hadits
ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ﺍﻥ ﺍﻟﻨﱮ ﺍﷲ ﺻﻞ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻣﻨﻊ ﻋﻠﻴﺎ ﺍﻥ ﻳﺪﺧﻞ .ﺑﻔﺎﻃﻤﺔ ﺣﱴ ﻳﻌﻄﻴﺘﻬﺎ ﺷﻴﺌﺎ 39 40
Depag RI, al-Qur’an Dan Terjemahnya, Semarang : Toha Putera, tt, 115 A. Hanafi, Ushul Fiqh, Cet. XII, Jakarta : Widjaya, hlm., 38.
Artinya : “Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa nabi SAW melarang mangumpuli Fatimah sampai ia memberikan sesuatu kepadanya (mahar)…41 Dari dalil tersebut sudah jelas bahwa mahar adalah sesuatu yang harus dibayarkan oleh suami kepada iseteri. Dan dalam pembayarannya tentu saja akan lebih baik kalau mahar itu dibayarkan di muka. Karena dengan dibayarkannya mahar di muka, maka akan lebih aman dari segi suami, karena sudah tidak ada lagi tanggungan terhadap isteri yaitu membayar mahar. Selain itu pemberian yang disegarakan akan lebih baik dari pada pemberian yang ditunda atau dihutang.
41
Imam al-Khafidz abi Daud sulaiman bin al-Asy’ad, Sunan Abi Daud, juz II, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.t. hlm. 106