BAB III PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG HUKUM MENDENGARKAN KHUTBAH JUM'AT
A. Biografi Imam Syafi’i l. Latar Belakang Kehidupan Imam Syafi’i Imam Syafi’i adalah salah seorang ulama yang sangat masyhur. Setiap orang yang memperhatikan nya akan tertarik untuk mengetahui lebih dalam pribadi, perilaku, dan peninggalannya yang telah membuat orang yang memperhatikan nya menghormati, memuliakan, dan mengaguminya. Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Idiris bin al-Abbas bin Utsman bin Syaf'i bin al-Saib al-Quraisy. la lahir pada tahun 150 H / 767 M di Fustat (Cairo) Mesir. Ia sering juga dipanggil dengan nama Abu Abdullah, karena salah seorang putranya bernama Abdullah. Setelah menjadi ulama besar dan mempunyai banyak pengikut, ia lebih dikenal dengan nama Imam Syafi’i dan mazhabnya disebut mazhab Syafi’i . Kata Syafi’i dinisbatkan kepada kakeknya yang ketiga, yaitu Syafi’i bin al-Saib bin Abid bin Abdul Yazid bin Hasyim bin al-Mutalib bin Abdul Manaf. Sedangkan ibunya bernama Fatimah Binti Abdullah bin al-Hasan bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Dari garis keturunan ayahnya, Imam Syafi’i
bersatu dengan keturunan Nabi Muhammad SAW pada Abdul
Manaf, kakek Nabi SAW yang ketiga. Sedangkan dari pihak ibunya, ia
32
33
adalah cicit dari Ali bin Abi Thalib. Dengan demikian, kedua orang tuanya berasal dari bangsawan Arab, Quraisy.1 Kedua orang tua Syafi’i meninggalkan Makkah menuju Gaza (suatu tempat di Palestina) ketika masih dalam kandungan. Tidak beberapa lama setelah tiba di Gaza, ayahnya jatuh sakit dan meninggal dunia. Beberapa bulan sepeninggal ayahnya ia dilahirkan dalam keadaan yatim. Syafi’i diasuh dan dibesarkan oleh ibunya sendiri dalam kehidupan yang sangat sederhana, bahkan banyak menderita kesulitan. Setelah Syafi’i berumur dua tahun, ibunya membawanya pulang ke kampung asalnya Makkah, di sinilah Syafi’i tumbuh dan dibesarkan.2 Dari segi urutan masa, Imam Syafi’i merupakan imam ketiga dari empat orang imam yang masyhur. Tetapi, keluasan dan jauhnya jangkauan pemikirannya dalam menghadapi berbagai masalah yang berkaitan dengan ilmu dan hukum fiqh menempatkannya menjadi pemersatu semua imam. Sehingga menampakkan dengan jelas pribadinya yang ilmiah.3 Bila kedua imam pendahulunya, yaitu Abu Hanifah dan Malik bin Anas masing-masing telah menjadi pemimpin pendekatan ahlu ra'yi dan ahlu hadits, maka Imam Syafi’i menggunakan kedua pendekatan itu dalam memahami kandungan al-Qur'an dan Sunnah. Sikap inilah yang membuat Syaikh Muhammad Abu Zahrah berpendapat bahwa Imam Syafi’i telah 1
Dahlan Abdul Azis, Ensiklopedia Islam, Jilid 4, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, t.th.,
hlm. 327. 2 3
Ibid.
Mustofa Muhammad Asy-Syak'ah, Islam Tidak Bermazhab, Jakarta: Gema Insani Press, 1995, h1m. 349.
34
menyatukan fiqh ahlu ra'yi dan fiqh ahlu hadits dengan kadar ukuran yang seimbang.4 Dr. Ahmad asy-Syurbasy berpendapat, Imam Syafi’i lebih dekat dengan pendekatan ahlu hadits, namun kemudian beralih kepada pendekatan ahlu ra'yi. Barangkali kedua pendapat tersebut menunjukkan betapa besar andilnya Imam Syafi’i dalam mengembangkan kedua pendekatan itu. Abu Zahrah menilai Imam Syafi’i telah menyatukan dan menempatkan secara setara kedua pendekatan itu, sementara Asy-Syurbasy berpendapat bahwa Imam Syafi’i
telah menyatukan kedua pendekatan itu tetapi dengan
mentarjih salah satunya, atau condong kepada salah satu pendekatan itu. Terlepas dari kesamaan atau perbedaan penilaian dalam hal itu; yang jelas pribadi Imam Syafi’i, ilmu, adab, agama dan tingkah lakunya menunjukkan model tersendiri yang amat langka dalam dunia ilmu dan ulama. Hal inilah yang antara lain yang melatarbelakangi Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat, bahwa Imam Syafi’i
adalah mujtahid abad kedua
hijriyah. Menurut Imam Ahmad, Umar bin Abdul Azis adalah mujaddid kurun seratus tahun pertama, sedangkan pada kurun kedua, ia berharap mujaddid itu adalah Imam Syafi’i.5 Potensi keilmuan Imam Syafi’i telah menonjol sejak ia masih kecil. Kelebihan itu terus berkembang hingga ia wafat pada tahun 204 H di Mesir dalam usia lima puluh empat tahun. Imam Syafi’i
4
Ibid.
5
Ibid., hlm. 350
sendiri pernah
35
mengungkap masa kanak-kanaknya dengan kata-kata aku berada di tempat seorang 'alim yang rnengajarkan tulis-menulis dan membaca al-Qur'an kepada murid-muridnya, kemudian aku menghafalnya.6
2. Pendidikan dan Guru Imam Syafi’i Pendidikan Imam Syafi’i dimulai dari belajar membaca al-Qur'an. Sejak usia dini ia telah memperlihatkan kecerdasan dan daya hafal Yang luar biasa. Dalam usia sembilan tahun, Imam Syafi’i sudah menghafal seluruh isi al-Qur'an, Imam Syafi’i
berangkat ke dusun Badawi, Banu
Huzail, untuk mempelajari bahasa Arab yang asli dan fasih. Di sana, selama bertahun-tahun Imam Syafi’i mendalami bahasa, sastra, dan adat istiadat Arab yang asli. Berkat ketekunan dan kesungguhan Imam Syafi’i kemudian dikenal sangat ahli dalam bahasa Arab dan kekusastraan, mahir dalam membuat Sya'ir, serta mendalami adat istiadat Arab yang asli.7 Kemahiran Imam Syafi’i dalam bersya'ir mendapat pengakuan dari ahli-ahli sya'ir, di antaranya Yunus bin Abdul A'la. Dalam halaqah-halaqah yang ia bina, ia sering mengawalinya dengan membimbing para penuntut ilmu dengan masalah-masalah yang berkenaan dengan al-Qur'an dan diakhiri dengan halaqah yang membahas masalah sya'ir.8
6
Ibid.
7
Dahlan Abdul Azis, op.cit., hlm. 327.
8
Mustofa Muhammad Asy-Syak'ah, op.cit., hlm. 356.
36
Setelah belajar di dusun Baduwi, Imam Syafi’i kembali ke Makkah dan belajar ilmu fiqh pada Imam Muslim bin Khalid al-Zanni, seorang ulama besar dan mufti di kota Makkah, sampai memperoleh ijazah berhak mengajar dan memberi fatwa. Selain itu, Imam Syafi’i juga mempelajari berbagai cabang ilmu agama lainnya seperti ilmu hadits dan ilmu al-Qur'an. Untuk ilmu hadits, ia berguru pada ulama hadits terkenal di zaman itu, Imam Sufyan bin Uyanah, sedangkan untuk ilmu al-Qur'an kepada ulama besar Imam Ismail bin Qastantin. Di samping seorang yang cerdas, Imam Syafi’i juga sangat tekun dan tidak kenal lelah dalam belajar. Pada usia sepuluh tahun, ia sudah membaca seluruh isi kitab al-Muwatta', karangan Imam Malik dan pada usia lima belas tahun telah menduduki kursi mufti di Makkah. Selain menuntut ilmu, Imam Syafi’i Diriwayatkan
karena
hidup serba kekurangan dan penuh penderitaan. kemiskinan
dia
hampir-hampir
tidak
bisa
mempersiapkan peralatan belajar yang diperlukan sehingga dia terpaksa mencari-cari kertas yang tidak terpakai atau telah terbuang, akan tetapi masih dapat dipergunakan untuk menulis.9 Sekalipun Imam Syafi’i telah mempelajari dan menghafal kitab alMuwatta' susunan Imam Malik di bawah gurunya Sufyan bin Uyanah, tetapi ia belum puas jika tidak belajar di bawah penyusunnya sendiri, pada waktu itu ia berumur 21 tahun, dengan surat pengantar dari guru Muslim bin
9
Departemen Agama RI., Pengantar Ilmu Fiqh, Jakarta: Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama, 1981, hlm. 89.
37
Khalid
dengan
maksud
berguru
kepada
Imam
Malik,
sekaligus
memperdalam ilmu fiqh yang amat diminatinya. Diceritakan bahwa dalam perjalanan antara Makkah dan Madinah yang ditempuh selama 8 hari Imam Syafi’i sempat menghafalkan al-Qur'an sebanyak 16 kali. Setibanya di Madinah, ia lalu shalat di Masj id Nabi SAW, baru kemudian menemui Imam Malik. Selama di Madinah, Imam Syafi’i
tinggalnya di rumah
gurunya, Imam Malik, ia sangat dikasihi oleh gurunya dan kepadanya diserahi tugas untuk mendiktekan isi kitab al-Muwatta' kepada murid-murid Imam Malik. Berkaitan dengan kepribadian Imam Syafi’i , Muhammad Syatta alDimyati, dalam kitabnya I'anat al-Talibin Juz I menyebutkan sebagai berikut:
ﻭﻛﺎﻥ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ ﻳﻘﺴﻢ ﺍﻟﻠﻴﻞ ﻋﻠﻰ ﺛﻼﺛﺔ ﺍﻗﺴﺎﻡ ﺛﻠﺚ ﻟﻠﻌﻠﻢ ﻭﺛﻠﺚ ﻟﻠﺼﻼﺓ ﺛﻠﺚ ﻟﻠﻨﻮﻡ ﻭﳜﺘﻢ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻓىﻜﻞ ﻳﻮﻡ ﻣﺮﺓ ﻭﳜﺘﻢ ﻓىﺮﻣﺼﺎﻥ ﺳﺘﲔ ﻣﺮﺓ ﻛﻞ ﺫﻟﻚ .ﻓىﺎﻟﺼﻼﺓ 10
Artinya : “Bahwasanya Imam Syafi’i membagi malam kepada tiga bagian, sepertiga untuk belajar, sepertiga untuk shalat dan sepertiga nya lagi untuk tidur dan beliau setiap harinya menghafalkan al-Qur'an sekali sedangkan pada bulan Ramadhan beliau menghafalkan sampai 60 kali khataman yang kesemuanya itu beliau baca sewaktu dalam shalat.” Setelah belajar kepada Imam Malik, kemudian ia meninggalkan Madinah menuju Iraq untuk berguru pada ulama besar di sana, antara lain Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan. Keduanya adalah 10
hlm. 16.
Muhammad Syatta al-Dimyati, I’anatut Talibin, Juz I, Mesir: Mustafa al-Halabi, 1942,
38
sahabat main Abu Hanifah. Dari kedua Imam itu Imam Syafi’i memperoleh pengetahuan yang lebih luas mengenai cara hakim memeriksa dan memutuskan perkara, cara ini memberi fatwa, cara menjatuhkan hukuman, serta berbagai metode yang diterapkan oleh para mufti di sana yang tidak pernah dilihatnya di Hijaz.11 Sebagai pecinta ilmu, Imam Syafi’i Begitu banyaknya guru Imam Syafi’i
mempunyai banyak guru.
sehingga Imam Ibnu Hajar al-
Asqolani menyusun satu buku khusus yang bernama Tawali al-Ta'sis yang di dalamnya disebut nama-nama ulama yang pernah menjadi guru Imam Syafi’i antara lain: Imam Muslim bin Khalid, Imam Ibrahim bin Said, Imam Sufyan bin Uyainah, Imam Malik bin Anas, Imam Ibrahim bin Muhammad, Imam Yahya bin Hasan, Imam Waqi', Imam Fudail bin Iyad, dan Imam Muhammad bin Syafi’i .12
3. Aktifitas dan Corak Pemikirannya a. Aktivitas Imam Syafi’i Aktivitas Imam Syafi’i
di bidang pendidikan dimulai dengan
mengajar di Madinah dan menjadi asisten Imam Malik. Waktu itu usianya sekitar 29 tahun. Sebagai ulama fiqh namanya mulai dikenal, muridnya pun berdatangan dari berbagai penjuru wilayah Islam. Selain sebagai ulama ahli fiqh ia pun dikenal sebagai ulama ahli hadits, tafsir, bahasa, kesusastraan
11
Dahlan Abdul Azis, op. cit., hlm. 327.
12
Ibid.
39
Arab, ilmu falak, dari ilmu usul. Di samping itu, Imam Syafi’i mempunyai kemampuan khusus dalam melagukan ayat-ayat al-Qur'an. Suaranya yang bagus dan bahasanya yang fasih memukau setiap orang yang mendengarkan bacaannya. Imam Syafi’i kemudian pindah ke Yaman atas undangan Abdullah bin Hasan, wali negeri Yaman. Di sana ia diangkat sebagai penasehat khusus dalam urusan hukum, di samping tetap melanjutkan karirnya sebagai guru. Sama seperti di Madinah, di sini pun Imam Syafi’i
mempunyai
banyak murid. Oleh wali negeri Yaman, Imam Syafi’i dinikahkan dengan seorang putri bangsawan yang bernama Siti Hamidah Binti Nafi', cicit Usman bin Affan. Perkawinannya ini dianugerahi tiga orang anak, yaitu Abdullah, Fatimah dan Zainab. Pada tahun 191 H/797 M. Imam
Syafi’i kembali mengajar ke
Makkah. Selama 17 tahun di Makkah Imam Syafi’i mengajarkan berbagai macam ilmu agama, terutama kepada para jamaah haji yang datang dari berbagai penjuru dunia Islam. Di samping mengajar, ia pun banyak menulis terutama mengenai masalah fiqh. Selanjutnya pada tahun 198 H/831 M, Imam Syafi’i pergi ke Bagdad, yaitu pada masa pemerintahan al-Makmun (195-218 H/813-833 M). Sesampainya di sana Imam Syafi’i disambut oleh ulama dan pemuka Baghdad yang telah lama merindukan kedatangannya. Imam Syafi’i diberi tempat mengajar di dalam Masjid Baghdad. Mulanya, di situ ada 20 halaqah
40
(kelompok belajar), tetapi setelah Imam Syafi’i datang, hanya tinggal tiga halaqah, yang lainnya bergabung dengan halaqah Imam Syafi’i.13 Belum cukup setahun mengajar di Baghdad, Imam Syafi’i diminta oleh wali negeri Mesir, Abbas bin Musa, untuk pindah ke Mesir. Dengan rasa berat Imam Syafi’i meninggalkan murid-muridnya di Baghdad menuju Mesir. Di Mesir, Imam Syafi’i memberi pelajaran di Masjid Amr bin As, dengan jumlah murid yang tidak kalah banyaknya dari tempat lain. la bisa mengajar mulai pagi hari sampai Zuhur. Selesai shalat Zuhur ia pulang ke rumah. Di Mesir, Imam Syafi’i
menyelesaikan beberapa buah buku.
Pikiran-pikiran dan hasil ijtihadnya selama tinggal di Mesir inilah yang kemudian dikenal sebagai pendapat Imam Syafi’i yang baru (al-Qaul alJadid), sedangkan pikiran-pikiran dan hasil ijtihad sebelumnya dikenal dengan sebutan al-Qaul al-Qadim, pendapat Imam Syafi’i yang lama. Imam Syafi’i adalah figur ulama yang zahid. Pakaian dan tempat tinggalnya sederhana. la tidak suka makan banyak dan menurut pengakuannya sejak kecil ia sudah terbiasa tidak makan sampai kenyang, karena kekenyangan membuat tubuh menjadi malas, membuat hati menjadi beku, dan membuat pikiran menjadi tumpul. Orang kenyang enggan berjuang kepada Allah. Walaupun dalam serba kekurangan, Imam Syafi’i memiliki sifat dermawan. Setiap kali menerima hadiah berupa uang dan harta lainnya ia tidak pernah menyimpan di rumahnya, melainkan segera dibagikan kepada fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkannya.
13
Ibid., hlm. 329
41
b. Corak Pemikiran Imam Syafi’i Corak pemikiran Imam Syafi’i dalam mengistinbathkan hukum adalah sebagai berikut : 1.
Dalam mengistinbahtkan (mengambil dan menetapkan) suatu hukum, Imam Syafi’i dalam bukunya al-Risalah menjelaskan bahwa ia memakai lima dasar, yaitu al-Qur'an, Sunnah, Ijma', Qiyas, dan istidlal (penalaran). Kelima dasar inilah yang kemudian dikenal sebagai dasardasar mazhab Imam Syafi’i. Dasar pertama dan utama dalam menetapkan hukum adalah al-Qur'an. Imam Syafi’i terlebih dahulu melihat makna lafdzi (perkataan) al-Qur'an. Kalau suatu masalah tidak menghendaki makna lafdzi barulah ia mengambil makna majazi (kiasan). Kalau di dalam al-Qur'an tidak ditemukan hukumnya, ia beralih kepada sunnah Nabi SAW. Dalam hal sunnah, ia juga memakai hadits ahad (perawinya satu orang) di samping yang mutawatir (perawinya banyak orang), selama syarat-syarat hadits ahad itu mencukupi. Jika di dalam sunnah pun belum dijumpai nasnya, ia mengambil ijma' sahabat. Setelah mencari dan tidak ditemukan ketentuan hukumnya barulah ia melakukan qiyas. Jika ia tidak menjumpai dalil dari ijma' dan qiyas, ia memilih jalan istidlal, yaitu menetapkan hukum berdasarkan kaidah-kaidah umum agama Islam.14
2.
Fiqh Syafi’i merupakan campuran antara Fiqh Ahlu Ra'yi dengan Fiqh Ahlu Hadits. Kedua metode tersebut memiliki cara tersendiri dalam
14
Muhammad bin ldris Asy-Syafi'i, al-Risalah, Beirut Libanon: Darul Fikr, t.th., hlm.512.
42
beristinbath. Ahlu Ra'yi adalah para cendekiawan yang memiliki pandangan luas, tetapi kemampuan mereka untuk menerima Asar dan sunnah-sunnah sangat terbatas. Sementara itu, Ahlu Hadits sangat gigih mengumpulkan hadits, asar dan beberapa hal lainnya yang berkaitan dengan perbuatan para sahabat. Namun mereka bukan ahli munaqasah dan istinbath. Jadi, ahli fiqh hendaknya mampu menggunakan ra'yi dan sekaligus hadits. Imam Syafi’i adalah seorang ahli dalam kedua metode itu. Kecerdasannya yang sangat tinggi menjadikannva Seorang yang sangat mahir dalam ra'yi dan munaqasah. Pada saat yang sama ia juga seorang ulama daiam ilmu hadits yang mampu membangkitkan para ahli hadits lainnya. Sehingga oleh para ulama pada zamannya ia dijuluki penolong sunnah. Lebih dari itu, ia tidak sekedar ahli dalam kedua pendekatan itu, tetapi juga mampu untuk menyatukan keduanya dan membangun fiqh di atasnya serta mencetuskan ilmu ushul fiqh yang merupakan salah satu unsur pokok dalam mazhabnya.15 3.
Dalam pandangan Imam Syafi’i, pendekatan ahli hadits lebih jelas dalam masalah usul. Karenanya, ia menggunakan al-Qur'an sebagai sumber hukum dan pokok-pokok syari'at. Setelah itu la merujuk pada hadits. Jika dengan penggunaan hadits telah dianggap cukup dalam menetapkan hukum, maka ia tidak menggunakan Ra'yi. Prinsip yang digunakan adalah seperti yang diucapkannya, apapun pendapat yang telah aku kemukakan, bila kemudian ternyata ada yang berlawanan
15
Ibid., hlm. 513
43
dengan
pendapat
itu,
maka
pernyataan Rasulullah SAW itu
pendapatku.16 4.
Imam Syafi’i
menolak penggunaan kaidah istihsan, sebagaimana
dinyatakan dalam kitab Ibtadul Istihsan. Metode ini adalah metode yang biasa digunakan Abu Hanifah. Menurut Imam Syafi’i, dalam penerapan metode ini seorang ahli fiqh setelah merujuk kepada alQur'an, sunnah, ijma', qiyas, ia menetapkan hukum yang dipandangnya baik, dan bukan hanya berpegang kepada dalil al-Qur'an dan sunnah. Imam Syafi’i menyatakan, bila ijtihad ditetapkan dengan menggunakan metode istihsan tanpa sepenuhnya bersandar kepada pokok syari'at atau nas al-Qur'an dan sunnah, maka ijtihad tersebut batil.17 5.
Imam Syafi’i berpendapat bahwa bid'ah itu ada dua macam, pertama bid'ah terpuji, kedua bid'ah sesat. Dikatakan terpuji jika bid'ah itu selaras dengan prinsip-prinsip sunnah, sebaliknya jika bertentangan dengannya dikatakan bid'ah sesat. Mengenai taqlid, Imam Syafi’i selalu memberikan perhatian kepada murid-muridnya agar tidak menerima begitu saja pendapat-pendapat dan hasil ijtihadnya. la tidak senang melihat murid-muridnya bertaqlid buta kepada perkataanperkataannya. Sebaliknya ia menyuruh murid-muridnya untuk bersikap kritis dan berhati-hati dalam menerima suatu pendapat.18
16
Dr. Mustafa Muhammad Asy-Syak’ah, op.cit., hlm. 359.
17
Dahlan Abdul Aziz, op.cit., hlm. 329.
18
Ibid.
44
4. Karya-karya Imam Syafi’i Imam Syafi’i menyusun banyak karya tulis yang berkaitan ilmu fiqh dan ilmu hadits. Yaqut al-Hanawi menyatakan bahwa Imam Syafi’i telah menyusun 147 buah karya tulis, tidak termasuk al-Risalah dan alUmm.. Hanya saja kita tidak dapat mengatakan bahwa semua karya tulis Imam Syafi’i berbentuk kitab. Karya tulis itu misalnya, Salatul Khusus, Kariyyul Ibili Wal Rawahil, muzara'ah, al-Musaqah, kitab al-Raza', Kitab Khatabut Tabib, Salat al-Khauf, Salat al-Janaiz, dan Yamin Ma'asy Syahid. Hanya risalah-risalah tipis.19 Adapun kitab-kitab karangan Imam Syafi’i Menurut riwayat yang hingga sekarang ini masih tercatat adalah sebagai berikut. a. Kitab al-Risalah, kitab ini disusun berkaitan dengan kaedah usul fiqh yang di dalamnya, diterangkan mengenai pokok-pokok pegangan Imam Syafi’i di dalam mengistinbahtkan hukum atau kitab ini berisi khusus tentang usul fiqh. b. Kitab al-Umm, kitab ini adalah satu-satunya kitab fiqh yang disusun oleh Imam Syafi’i dan kitab ini adalah kitab fiqh yang penjelasannya tidak ada bandingannya pada masa sekarang ini, di dalam kitab ini terdapat pula kitab-kitab sebagai berikut 1) Kitab Jami'ul Ilmi, yang berisi tentang pembelaan Imam Syafi’i mengenai sunnah Nabi.
19
Mustofa Muhammad Asy-Syak’ah, op.cit., hlm. 360.
45
2) Kitab Ibtalul Istihsan, kitab ini berisi tentang tangkisan Imam Syafi’i
kepada para ulama Iraq (Baghdad) yang sebagian dari
mereka suka mengambil hukum dengan cara istihsan. 3) Kitab al-Radda'ala Muhammad bin Hasan, yaitu kitab yang berisi tentang pertahanan imam Syafi’i terhadap Imam Muhammad ibnu Hasan kepada ulama ahli Madinah. 4) Kitab Siraj al-Hadits, yaitu kitab yang berisi mengenai pembelaan Imam Syafi’i terhadap Imam al-Auza'i. c. Kitab Ikhtilaf al-Hadits, yaitu kitab yang berisi di dalamnya mengungkapkan perbedaan-perbedaan ulama dalam persepsi tentang hadits mulai dari sanad sampai kepada rawi yang dapat dipegangi, termasuk analisis beliau tentang hadits yang menuntutnya supaya dapat dijadikan sebagai pegangan hujjah. d. Kitab al-Musnad, kitab ini berisi sandaran (sanad) Imam Syafi’i dalam meriwayatkan hadits Nabi yang beliau himpun dalam kitab al-Umm.20
B. Pendapat Imam Syafi’i Tentang Hukum Mendengarkan Khutbah Jum'at Imam Syafi’i dalam Qaul Jadidnya mempunyai pendapat yang berbeda tentang hukum mendengarkan khutbah jum'at dengan pendapat jumhur ulama, menurutnya
hukum
mendengarkan
khutbah
jum'at
adalah
sunnah.
Sebagaimana yang tertulis dalam karyanya yang mashur yaitu al-Umm.
20
Munawar Khalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, Jakarta: Bulan Bintang, 1954, hlm. 241-243.
46
ﻭﺑﻌﺪﻗﻄﻌﻬﻢ،ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻰ ﻭﻻﺑﺎﺀﺱ ﺍﻥ ﻳﺘﻜﻠﻢ ﻭﺍﻻﻣﺎﻡ ﻋﻠﻰ ﺍﳌﻨﱪ ﻭﺍﳌﺆﺫﻧﻮﻥ ﻳﺆﺫﻧﻮﻥ ﻗﺒﻞ ﻛﻼﻡ ﺍﻻﻣﺎﻡ ﻓﺎﺫﺍ ﺍﺑﺘﺪﺍﺀ ﰱ ﺍﻟﻜﻼﻡ ﱂ ﺍﺣﺐ ﺍﻥ ﻳﺘﻜﻠﻢ ﺣﱴ ﻳﻘﻄﻊ ﺍﻻﻣﺎﻡ ﻭﺍﺣﺴﻦ ﰱ. ﻓﺈﻥ ﻗﻄﻊ ﺍﻻﺧﺮﺓﻓﻼﺑﺎﺀﺱ ﺍﻥ ﻳﺘﻜﻠﻢ ﺣﱴ ﻳﻜﱪ ﺍﻻﻣﺎﻡ،ﺍﳋﻄﺒﺔﺍﻵﺧﺮﺓ ﻭﺍﻥ. ﺣﱴ ﻳﻔﺮﻍ ﻣﻦ ﺍﻟﺼﻼﺓ،ﺍﻻﺩﺏ ﺍﻥ ﻻﻳﺘﻜﻠﻢ ﻣﻦ ﺣﲔ ﻳﺒﺘﺪﻯﺀ ﺍﻻﻣﺎﻡ ﺍﻟﻜﻼﻡ ﺃﻻﺗﺮﻯ. ﻭﱂ ﻳﻜﻦ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻋﺎﺫﺓﺍﻟﺼﻼﺓ، ﱂ ﺃﺣﺐ ﺫﻟﻚ ﻟﻪ. ﻭﺍﻻﻣﺎﻡ ﳜﻄﺐ.ﺗﻜﻠﻢ ﺭﺟﻞ ، ﻭﻛﻠﻤﻮﻩ.ﺍﻥ ﺍﻟﻨﺒىﺼﻠىﺎﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻛﻠﻢ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻗﺘﻠﻮﺍ ﺍﺑﻦ ﺃﰉ ﺍﳊﻘﻴﻖ ﻋﻠﻰ ﺍﳌﻨﱪ ﻭﺍﻥ ﺍﻟﻨﺒىﺼﻠىﺎﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻛﻠﻢ ﺍﻟﺬىﻠﻢ ﻳﺮﻛﻊ ﻭﻛﻠﻤﺔ ﻭﺍﻥ ﻟﻮﻛﺎﻧﺖ.ﻭﺗﺪﻋﻮﺍﻗﺘﻠﻪ ﺍﳋﻄﺒﺔ ﰱ ﺣﺎﻝ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﱂ ﻳﺘﻜﻠﻢ ﻣﻦ ﺣﲔ ﳜﻄﺐ ﻭﻛﺎﻥ ﺍﻻﻣﺎﻡ ﺍﻭﻻﻫﻢ ﺑﺘﺮﻙ ﺍﻟﻜﻼﻡ .ﺍﻟﺬﻯ ﺇﳕﺎﻳﺘﺮﻙ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺍﻟﻜﻼﻡ ﺣﱴ ﻳﺴﻤﻌﻮﺍ ﻛﻼﻣﻪ 21
Artinya : “Tidak mengapa berbicara dan imam di atas mimbar, juru-juru adzan sedang melakukan adzan dan sesudah selesainya mereka dari adzan sebelum imam berbicara, apabila imam telah mulai berbicara, saya tidak menyukai bahwa orang berbicara sebelum imam menyelesaikan khutbah yang penghabisan. Kalau imam sudah menyelesaikannya, maka tiada mengapa berbicara, sebelum imam bertakbir. Yang lebih baik menurut adab kesopanan, bahwa tidak berkata-kata dari semenjak imam memulai berbicara, sehingga ia selesai dari shalat kalau seseorang berbicara dan imam sedang membaca khutbah, niscaya saya tidak menyukainya yang demikian. Dan tidak harus atas orang itu mengulangi shalat. Tidaklah anda melihat, bahwa nabi SAW berbicara dengan mereka yang membunuh Ibnu Abil Haqiq, dimana Nabi SAW di atas mimbar. Mereka berbicara dengan Nabi SAW dan tuduh menuduh tentang pembunuhan itu. Dan Nabi SAW berbicara dengan orang yang belum ruku' dan orang itu berkata-kata dengan beliau. Kalau ada khutbah itu tentang shalat, adalah imam yang lebih utama dari mereka meninggalkan berbicara itu. Sehingga mereka mendengarkan pembicaraan imam.”
21
hlm. 348.
Muhammad bin Idris As-Syafi'I, al-Umm, Juz I, Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah, t.th.,
47
ﻓﻤﺎﻗﻮﻝ ﺍﻟﻨﺒىﺼﻠىﺎﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ )ﻗﺪ ﻟﻐﻮﺕ؟( ﻗﻴﻞ ﻭﺍﷲ: ﻓﺎﻥ ﻗﻴﻞ:ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻰ ﻭﻛﻼﻡ. ﻓﺄﻣﺎﻣﺎﻳﺪﻝ ﻋﻠﻰ ﻣﺎﻭﺻﻔﺖ ﻣﻦ ﻛﻼﻡ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠىﺎﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ:ﺍﻋﻠﻢ ﻓﻴﺪﻝ ﻋﻠىﻤﺎﻭﺻﻔﺖ ﻭﺍﻥ.ﻣﻦ ﻛﻠﻤﻪ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠىﺎﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺑﻜﻼﻣﻪ ﺗﻜﻠﻢ ﺑﻪ ﰱ ﻣﻮﺿﻊ ﺍﻻﺩﺏ ﻓﻴﻪ ﺍﻥ ﻻ، ﻟﻐﻮﺕ: ﻭﺍﻥ ﻗﻮﻟﻪ،ﺍﻻﻧﺼﺎﺕ ﻟﻼﻣﺎﻡ ﺍﺧﻴﺎﺭ ﻭﲣﻄﻰ ﺭﻗﺎﺏ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻳﻮﻡ، ﻭﺍﻻﺩﺏ ﰱ ﻣﻮﺿﻊ ﺍﻟﻜﻼﻡ ﺍﻥ ﻻ ﻳﺘﻜﻠﻢ ﺍﻻﲟﺎ ﻳﻌﻨﻴﻪ،ﻳﺘﻜﻠﻢ .ﺍﳉﻤﻌﺔ ﰱ ﻣﻌﲎ ﺍﻟﻜﻼﻡ ﻓﻴﻤﺎﻻﻳﻌﲎ ﺍﻟﺮﺟﻞ 22
Artinya : “Kalau ditanyakan, Apakah maksud sabda Nabi SAW: Engkau telah sia-sia (batal)? Dijawab dan Allah yang lebih mengetahui apa yang ditunjukkan dari yang telah saya terangkan, dari ucapan Rasulullah SAW dan ucapan orang, yang Rasulullah SAW berbicara dengan pembicaraan orang tersebut. maka menunjukkan dari yang saya terangkan itu, bahwa diam untuk mendengar khutbah imam adalah pilihan yang baik. Bahwa sabdanya Nabi SAW engkau telah sia-sia (batal) ialah memperkatakan tentang tempat kesopanan untuk tidak berbicara, kecuali yang penting, melangkahi leher manusia pada hari jum'at, adalah pada makna berbicara pada yang tidak penting bagi seseorang.” Jadi pendapat Imam Syafi’i tersebut menunjukkan bahwa hukum mendengarkan khutbah itu sunnah dan berbicara ketika khatib membaca khutbah itu boleh, walaupun berbicara itu boleh tetapi perbuatan itu tidak disukai oleh Imam Syafi’i, karena tidak berbicara itu menunjukkan tempat kesopanan. Kemudian ketika mendengarkan khutbah tidak bersuara dan penuh perhatian, sekalipun khutbah itu tidak terdengar bagi orang yang tidak mendengarkan khutbah hendaklah menyibukkan diri dengan membaca alQur'an atau memperbanyak dzikir dengan pelan-pelan.
22
Ibid.
48
Boleh berbicara sebelum khutbah, walaupun khatib telah duduk di atas mimbar, demikian pula berbicara sesudah selesai khutbah, di antara dua khutbah, ketika mendo'akan raja-raja dan berbicara kepada orang yang baru memasuki masjid, kecuali jika berbicara kepada seseorang yang mencari tempat dan ia tetap di tempat itu.
ﻭﺭﺍﻳﺖ ﺍﻥ، ﻛﺮﻫﺖ ﺫﻟﻚ ﻟﻪ، ﻭﻟﻮ ﺳﻠﻢ ﺭﺟﻞ ﻋﻠﻰ ﺭﺟﻞ ﻳﻮﻡ ﺍﳉﻤﻌﺔ:ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻰ . ﻻﻥ ﺭﺩﺍﻟﺴﻼﻡ ﻓﺮﺽ،ﻳﺮﺩ ﻋﻠﻴﻪ ﺑﻌﻀﻬﻢ 23
Artinya : “Kalau seseorang memberi salam kepada seseorang pada hari jum'at menurut Imam Syafi’i adalah makruh, Imam Syafi’i melihat bahwa sebagian mereka menjawab salam itu, karena menjawab salam itu fardhu.”
ﻭﻳﺮﺩ، ﻻﺑﺎﺀﺱ ﺍﻥ ﻳﺴﻠﻢ: ﻋﻦ ﻫﺸﺎﻡ ﺑﻦ ﺣﺴﺎﻥ ﻗﺎﻝ، ﺍﺧﱪﻧﺎ ﺍﺑﺮﺍﻫﻢ:ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻰ . ﻭﻻﻳﺘﻜﻠﻢ، ﻭﻛﺎﻥ ﺍﺑﻦ ﺳﲑﻳﻦ ﻳﺮﺩﺇﳝﺎﺀ. ﻭﺍﻻﻣﺎﻡ ﳜﻄﺐ ﻳﻮﻡ ﺍﳉﻤﻌﺔ،ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺴﻼﻡ 24
Artinya : “Dikabarkan kepada kami oleh Ibrahim dari Hisyam bin Hasan, yang mengatakan, tidak mengapa memberi salam dan menjawab salam, serta imam itu sedang berkhutbah pada hari jum'at. Adalah Ibnu Sirrin menjawab salam dengan isyarat dan tidak berkata-kata.”
ﻻﻥ، ﺭﺟﻮﺕ ﺍﻥ ﻳﺴﻌﻪ، ﻓﺸﻤﺘﻪ ﺭﺟﻞ، ﻭﻟﻮ ﻋﻄﺲ ﺭﺟﻞ ﻳﻮﻡ ﺍﳉﻤﻌﺔ:ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻰ .ﺍﻟﺘﺸﻤﻴﺖ ﺳﻨﺔ 25
Artinya : “Kalau seseorang bersin pada hari jum'at, lalu seseorang bertasymit kepadaNya, maka Imam Syafi’i mengharap bahwa diberi keluasan untuk itu karena tasymid itu sunnah.”
23
Ibid.
24
Ibid.
25
Ibid.
49
ﻋﻦ ﺍﳊﺴﻦ ﻋﻦ ﺍﻟﻨﱮ ﺻﻠىﺎﷲ، ﻋﻦ ﻫﺸﺎﻡ،ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻰ ﺍﺧﱪﻧﺎ ﺍﺑﺮﺍﻫﻴﻢ ﺑﻦ ﳏﻤﺪ . ﺍﺫﺍﻋﻄﺲ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﻭﺍﻻﻣﺎﻡ ﳜﻄﺐ ﻳﻮﻡ ﺍﳉﻤﻌﺔ ﻓﺸﻤﺘﻪ:ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ 26
Artinya : “Dikabarkan kepada kami dari Ibrahim bin Muhammad dari Hisyam dari al-Hasan, dari Nabi SAW bersabda: Apabila seseorang bersin dan imam sedang membaca khutbah pada hari Jum’at, maka bertastmidlah kepadanya”.
ﻓﻼ ﺑﺄﺱ ﺃﻥ، ﻓﺄﻭﻣﺄ ﺇﻟﻴﻪ ﻓﻠﻢ ﻳﺄﺗﻪ،ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻰ ﻭﻛﺬﻟﻚ ﺇﺫﺍ ﺃﺭﺍﺩ ﺃﻥ ﻳﺄﺗﻴﻪ ﺭﺟﻞ ﱂ ﺃﺭﺑﺄﺳﺎ ﺍﺫﺍ ﱂ ﻳﻔﻬﻢ ﻋﻨﻬﻢ ﺑﺎﻹﳝﺎﺀ، ﺍﻭ ﲨﺎﻋﺔ، ﻭﻛﺬﻟﻚ ﻟﻮﺧﺎﻑ ﻋﻠﻰ ﺍﺣﺪ.ﻳﺘﻜﻠﻢ .ﺍﻥ ﻳﺘﻜﻠﻢ ﻭﺍﻻﻣﺎﻡ ﳜﻄﺐ 27
Artinya : “Seperti demikian juga, apabila ia berkehendak supaya seseorang datang kepadanya, lalu ia mengisyaratkan kepada orang itu, akan tetapi tidak juga orang itu datang, maka tidak mengapa orang itu berbicara, seperti demikian juga, apabila ia takut akan bahaya atas seseorang atau suatu rombongan, maka Imam Syafi’i melihat tidak mengapa apabila ia tidak dapat memberi pengertian kepada mereka itu dengan isyarat, bahwa ia berbicara dan imam sedang membaca khutbah.”
ﻭﳚﻴﺐ ﺑﻌﺾ ﻣﻦ ﻋﺮﻑ ﺍﻥ ﺳﺄﻝ، ﻭﻻ ﺑﺎﺀﺱ ﺍﻥ ﺧﺎﻑ ﺷﻴﺄ ﻳﺴﺄﻝ ﻋﻨﻪ:ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻰ ﻣﺎﻛﺎﻥ ﳑﺎﻻﻳﻠﺰﻡ، ﻭﻛﻞ ﻣﺎﻛﺎﻥ ﰱ ﻫﺬﺍ ﺍﳌﻌﲎ ﻓﻼﺑﺄﺱ ﺑﺬﻟﻚ ﻟﻼ ﻣﺎﻡ ﻭﻏﲑﻩ.ﻋﻨﻪ ، ﺍﻧﺼﺖ: ﻭﺫﻟﻚ ﺍﻥ ﻳﻘﻮﻝ ﻟﻪ. ﻓﻼ ﺍﺣﺐ ﺍﻟﻜﻼﻡ ﺑﻪ، ﻭﻻ ﻳﻌﻨﻴﻪ ﰱ ﻧﻔﺴﻪ،ﺍﳌﺮﺀﻻﺧﻴﻪ ، ﺍﻭﻣﺎﺍﺷﺒﻪ ﻫﺬﺍ، ﺍﻭﻏﺎﺋﺐ ﻗﺪﻡ، ﺍﻭﳛﺪﺛﻪ ﻋﻦ ﺳﺮﻭﺭﺣﺪﺙ ﻟﻪ،ﺍﻭﻳﺸﻜﻮﺍﻟﻴﻪ ﻣﺼﻴﺒﺔ ﻧﺰﻟﺖ . ﻭﻻﺿﺮﺭﻋﻠﻴﻪ ﰱ ﺗﺮﻙ ﺍﻋﻼﻣﻪ ﺍﻳﺎﻩ،ﻻﻧﻪ ﻻﻓﻮﺕ ﻋﻠﻰ ﻭﺍﺣﺪﻣﻨﻬﻤﺎ ﰱ ﻋﻠﻢ ﻫﺬﺍ 28
Artinya : “Tidak mengapa kalau ia takut akan sesuatu, lalu ditanyakannya dan dijawab oleh sebagian orang yang mengetahui, kalau ia tanyakan itu. Dan seluruh apa yang masuk dalam pengertian ini, maka tidak mengapa dengan demikian, bagi imam dan lainnya. Apa yang 26
Ibid.
27
Ibid
28
Ibid.
50
termasuk tidak harus bagi manusia bagi saudaranya dan tidak penting bagi dirinya sendiri, maka saya tidak menyukai berkata-kata padanya. Yang demikian itu, bahwa orang mengatakan kepadanya. Diamlah atau orang mengadu kepadanya akan musibah yang menimpa atau dibicarakan tentang kegembiraan yang datang kepadanya atau orang pergi jauh yang telah datang atau yang menyerupai tersebut. karena yang demikian itu tiada luput atas seseorang dari pada imam dan ma'mum tentang mengetahuinya. Dan tidak makruh pada meninggalkan memberitahu kepadanya.”
ﻓﺎﻥ ﱂ، ﻭﺍﻥ ﻋﻄﺶ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﻓﻼﺑﺄﺱ ﺍﻥ ﻳﺸﺮﺏ ﻭﺍﻻﻣﺎﻡ ﻋﻠﻰ ﺍﳌﻨﱪ:ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻰ . ﻛﺎﻥ ﺍﺣﺐ ﺍﱄ ﺍﻥ ﻳﻜﻒ ﻋﻨﻪ،ﻳﻌﻄﺶ ﻓﻜﺎﻥ ﻳﺘﻠﺬﺫﺑﺎﻟﺸﺮﺍﺏ 29
Artinya : “Kalau seseorang haus, maka tiada mengapa ia minum dan imam di atas mimbar, kalau ia tidak haus lalu ia ingin memperoleh kenikmatan dengan minum, niscaya yang lebih saya sukai, bahwa ia mencegah dirinya dari yang demikian.”
Jadi Imam Syafi’i tidak melarang seseorang untuk menjawab salam, mendo'akan orang yang bersin, membaca shalawat untuk Nabi SAW bila namanya disebut, dan Imam Syafi’i
juga tidak melarang berbicara ketika
dalam keadaan darurat yang mengharuskan seseorang berbicara, misalnya ia takut akan bahaya atas seseorang, begitu juga tidak melarang seseorang yang sangat haus minum air.
C. Istinbath Hukum Imam Syafi’i Tentang Hukum Mendengar Khutbah Imam Syafi’i apabila hendak memutuskan suatu hukum pertama-tama mendahulukan tingkatan yang lebih tinggi, sebagaimana dijelaskan dalam kitab al-Umm sebagai berikut:
29
Ibid.
51
ﰒ ﺍﻟﺜﺎﻧﻴﺔ ﺍﻻ ﲨﺎﻉ ﻓﻤﺎﻟﻴﺲ ﻓﻴﻪ،ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻃﺒﻘﺎﺕ ﺷﱴ ﺍﻻﻭﱃ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﻭﺍﻟﺴﻨﺔ ﺍﺫﺍﺍﺛﺒﺖ ﻭﺍﻟﺜﺎﻟﺜﺔ ﺍﻥ ﻳﻘﻮﻝ ﺑﻌﺾ ﺍﺻﺤﺎﺏ ﺍﻟﻨﱮ ﺻﻠىﺎﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻧﻌﻠﻢ ﻟﻪ،ﻛﺘﺎﺏ ﻭﻻ ﺳﻨﺔ ﻭﺍﻟﺮﺍﺑﻌﺔ ﺍﺧﺘﻼﻕ ﺍﺻﺤﺎﺏ ﺍﻟﻨﱮ ﺻﻠىﺎﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓىﺬﻟﻚ ﺍﳋﺎﻣﺴﺔ،ﳐﺎﻟﻔﺎﻣﻨﻬﻢ ﺍﻟﻘﻴﺎﺱ ﻋﻠﻰ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﻄﺒﻘﺎﺕ ﻭﻻﻳﺼﺎﺭﺍﱃ ﺷﻴﺊ ﻏﲑﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﻭﺍﻟﺴﻨﺔ ﻭﳘﺎﻣﻮﺟﻮﺩﺍﻥ .ﻭﺍﳕﺎﻳﺆﺧﺬﺍﻟﻌﻠﻢ ﻣﻦ ﺃﻋﻠﻰ 30
Artinya : “Ilmu itu ada beberapa tingkatan, yang pertama adalah al-kitab dan al-sunnah, jika dia itu pasti, kemudian yang ke dua al-Ijma' dalam persoalan yang tidak ada penjelasan dari al-Kitab maupun al-Sunnah yang ketiga perkataan sahabat Rasulullah SAW, dan kita tidak mengetahui adanya perkataan sahabat yang bertentangan, yang keempat perbedaan para sahabat Nabi SAW dalam pernyataannya, yang kelima al-Qiyas dan tidak dikembalikan kepada sesuatu selain al-Kitab dan al-Sunnah padahal keduanya ada, ilmu itu hanya diambil dari yang paling tinggi.” Adapun penjelasan dari masing-masing pokok pegangan yang digunakan Imam Syafi’i dalam membina mazhabnya adalah sebagai berikut: l. al-Qur'an Dalam berhujjah dengan al-Qur'an ini, beliau lebih mendahulukan dzahirdzahir nash al-Qur'an, sebagaimana dalam kitab al-Risalah.
ﻭﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻋﻠﻰ ﻇﺎﻫﺮﻩ ﺣﱴ ﺗﺎﺀﺗﻰ ﺩﻻﻟﺔ ﻣﻨﻪ ﺍﻭ ﺳﻨﺔ ﺍﻭﺍﲨﺎﻉ ﻋﻠﻰ ﺑﺎﻃﻦ ﺩﻭﻥ .ﻇﺎﻫﺮﻩ 31
Artinya : “Mengambil pengertian al-Qur'an itu berdasarkan dzahir nash, sehingga ada dalil yang menunjukkan baik di al-Qur'an dan Sunnah atau ijma' karena yang dimaksud batinnya, bukan dzahirnya.”
hlm. 95.
30
Ibid., Juz VII, hlm. 280.
31
Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i, ar-Risalah, Juz II, Mesir: Mushofa al-Halaby, 1969,
52
Lebih lanjut beliau mengemukakan.
ﻻﻳﻘﺎﻝ ﲞﺎﺹ ﰱ ﻛﺘﺎﺏ ﺍﷲ ﻭﻻ ﺳﻨﺔ ﺍﻻﺑﻌﺪ ﺩﻻﻟﺔ ﻓﻴﻬﺎﻭﻻﻓﻴﻬﻤﺎﲞﺎﺹ ﺣﱴ .ﺗﻜﻮﻧﻮﺍﲢﺘﻤﻞ ﻭﺍﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺍﺭﻳﺪﻫﺎﺫﻟﻚ 32
Artinya : “Yang dimaksud bukanlah arti khusus yang ada dalam al-Qur'an dan Sunnah, kecuali adanya dalalah dari al-Qur'an dan Sunnah, dan yang dimaksud bukanlah arti khusus sehingga Risalah ayat itu mengandung arti khusus dan memang makna itu yang dimaksud.”
2. As-Sunnah Beliau mengambil dasar dari a1-Sunnah atau al-Hadits, tidak mengharuskan yang mutawatir saja, melainkan ahad pun diambil dan dipergunakan untuk menjadikan sebagai dalil, asal telah mencukupi syarat-syaratnya, yakni rawinya terpercaya, kuat ingatannya dan bersambung langsung kepada Nabi Muhammad SAW, sebagian yang dikemukakan oleh Imam Syafi’i dalam kitabnya al-Risalah. Imam Syafi’i menempatkan as-Sunnah sejajar dalam thabaqat (tingkatan) pertama setelah al-Qur'an, karena Sunnah adalah sebagai penjelas dari al-Qur'an, akan tetapi beliau tidak mengatakan kalau hadits ahad juga senilai dengan al-Qur'an, sekalipun hadits itu dijadikan sebagai hujjah juga, karena menurut beliau hanya al-Qur'an dan Hadits mutawatir saja yang qath' i tsubutnya. Mengenai kedudukan as-Sunnah Imam Syafi’i berkata: keduakan Sunnah terhadap al-Qur' an adalah sebagai berikut:
32
Ibid. hlm. 96
53
a.
Menerangkan kemujmalan al-Qur'an seperti menerangkan kemujmalan ayat tentang shalat dan tentang siyam.
b.
Menerangkan am al-Qur'an yang dikehendaki khas.
c.
Menerangkan
am
tambahan-tambahan
dari
fardlu-fardlu
yang
ditetapkan al-Qur'an. d.
Mendatangkan hukum-hukum yang tidak ada dalam al-Qur'an.
e.
Menerangkan mana ayat yang nasikh dan mana yang mansukh dari ayat al-Qur' an.33
3. Ijma' Pengertian ijma' menurut Imam Syafi’i adalah sebagai berikut:
.ﺍﻥ ﳚﻤﻊ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﺍﻟﻌﺼﺮ ﻋﻠﻰ ﺍﻣﺮﻓﻴﻜﻮﻥ ﺍﲨﺎﻋﻬﻢ ﺣﺠﺔ ﻓﻴﻬﺎﺍﺟﺘﻤﻌﻮﺍﻋﻠﻴﻪ
34
Artinya : “Kesepakatan para ulama pada sesuatu masa atas sesatu hal maka ijma' mereka adalah sebagai hujjah dalam hal yang telah disepekati.”
Dengan kata lain, beliau menggunakan alasan ijma; itu apabila sudah terang tidak seorang pun yang memberitahunya, oleh karena itu Imam Syafi’i menerima ijma' sukuti, seperti kata beliau. 35
.ﻭﻻﻳﻨﺴﺐ ﺍﱃ ﺳﺎﻛﺖ ﻗﻮﻝ ﻗﺎﺋﻞ ﻭﻻ ﻋﻤﻞ ﻭﺍﳕﺎ ﻳﻨﺴﺐ ﺍﱃ ﻗﻮﻟﻪ ﻭﻋﻤﻠﻪ
Artinya : “Tidaklah dapat dikatakan bahwa diamnya seseorang itu sebagai ijma' (telah berkata), namun sesungguhnya ijma' itu adalah perkataan dan perbuatan seseorang.”
33
Ibid.
34
Ibid., hlm. 204
35
Ibid
54
Ijma' yang terjadi pertama kali adalah ijma' para sahabat, sebagaimana dikemukakan Imam Syafi’i yang dinukil oleh Abdul Halim Jundi sebagai berikut:
ﻢ ﺇﺫﺍﻛﺎﻧﺖ ﺳﻨﻦ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﻻﺗﻐﺮﺏ ﻋﲎ ﻋﺎﻣﺘﻬﻢ ﺗﻌﺮﺏ ﺑﻌﻀﻬﻢ ﻭﻧﻌﻠﻢﻭﻧﻌﻠﻢ ﺍ .ﺍﻥ ﻋﺎﻣﺘﻬﻢ ﻻ ﲡﻤﻊ ﻋﻠﻰ ﺧﻼﻑ ﻟﺴﻨﺔ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﻭﻻﻋﻠﻰ ﺧﻄﺎﺀ 36
Artinya : “Kami mengetahui mereka para sahabat, apabila sunnah Nabi telah terkenal di antara mereka walaupun oleh sebagian masih dianggap asing dan mereka tidak mungkin sepakat menyalahi sunnah Rasulullah SAW dan tidak bersepakat salah.”
Imam Syafi’i menetapkan hukum berdasarkan ijma' manakala tidak ada nash dan beliau mengqiyaskan suatu peristiwa apabila sudah ada ketentuan ijma'. 4. Qiyas Imam Syafi’i mengambil dan mempergunakan hukum berdasarkan qiyas apabila sudah jelas tidak terdapat dalil dari al-Qur'an, as-Sunnah dan Ijma'. Oleh karena itu, beliau tidak terburu-buru menjatuhkan hukum secara qiyas sebelum menyelidiki lebih dalam tentang terdapat atau tidaknya hukum itu menggunakan qiyas. Hal ini sesuai dengan pernyataan beliau:
ﻛﻞ ﻣﺎﻧﺰﻝ ﲟﺴﻠﻢ ﻓﻔﻴﻪ ﺣﻜﻢ ﻻﻥ ﺍﻭﻋﻠﻰ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﳊﻖ ﻓﻴﻪ ﺩﻻﻟﺔ ﻣﻮﺟﻮﺩﺓ ﻭﻋﻠﻴﻪ ﺍﺫﺍ ﻛﺎﻧﺖ ﻓﻴﻪ ﺑﻌﻴﻨﻪ ﻛﺤﻜﻢ ﺍﺗﺒﺎﻋﻪ ﻭﺍﺫﺍ ﱂ ﻳﻜﻦ ﻓﻴﻪ ﺑﻌﻴﻨﻪ ﺍﻟﺪﻻﻟﺔ ﻋﻠﻰ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﳊﻖ ﻓﻴﻪ .ﺑﺎﻻﺟﺘﻬﺎﺩﻭﺍﻻﺟﺘﻬﺎﺩﻗﻴﺎﺱ 37
36
Ibid.
37
Ibid.
55
Artinya : “Semua persoalan yang terjadi pada orang muslim tentu ada hukum yang jelas dan mengikat atau sekurang-kurangnya ada ketentuan umum yang menunjukkan kepadanya. Jika tidak, maka ketentuan hukum itu harus dicari dengan ijtihad dan ijtihad adalah qiyas (analogi).”
Imam Syafi’i
tidak membenarkan ijtihad dengan ra'yu, yakni dengan
istihsan dan seterusnya sebagaimana ditegaskan di atas. Ijtihad menurut Imam Syafi’i adalah qiyas. Cara Imam Syafi’i mengambil atau mendatangkan hukum qiyas itu sebagai berikut: a.
Hanya yang mengenai urusan keduniaan atau muamalat saja.
b.
Hanya yang hukumnya belum atau tidak didapati dengan jelas dari nash al-Qur'an atau Hadits yang shahih.
c.
Cara beliau mengqiyas adalah dengan nash-nash yang tertera dalam ayat-ayat al-Qur'an dan Hadits Nabi.38
38
M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, Jakarta: PT. Raja Grafindo, Persada, 1998, cet. Ke-3, hlm. 210.