BAB IV ANALISIS PENDAPAT SYAFI’I TENTANG HUKUM MENDENGARKAN KHUTBAH JUM'AT
A. Analisis Pendapat Imam Syafi’i Tentang Hukum Mendengarkan Khutbah Jum’at Dalam sejarah pemikiran Hukum Islam, para fuqaha telah mengembangkan karya besar mereka dalam menentukan cara-cara yang ditempuh untuk menetapkan hukum suatu persoalan atau bahkan mengantisipasi berbagai persoalan yang akan muncul dalam kehidupan kaum muslimin. Inilah warisan intelektual yang agung dan kreatif yang merupakan panduan bagi generasi selanjutnya dalam memahami hukum Islam serta aplikasi nya dalam kehidupan sehari-hari. Secara
teoritis,
ulama
hampir
sepakat
bahwa
fiqh
dapat
dikembalikan pada empat sumber pokok, meskipun dengan intensitas yang berbeda. Keempat sumber pokok tersebut adalah al-Qur’an, al-Hadits, Ijma’, dan Qiyas.1 Yang pada perkembangannya membentuk struktur hukum yang khas dalam Islam. Sebagai suatu sistem perundang-undangan agama menunjukkan dengan jelas bahwa ia adalah sistem hukum yang dijabarkan langsung dari al-Qur'an, kedua dari tradisi dan Sunnah Nabi dan terakhir
1
Abdullah Ahmad An-Na'im, Dekonstruksi Syari'ah, Alih Bahasa Ahmad Suaedy dan Amiruddin Ar-Rani, Yogyakarta: LKiS, cet. Ke-1, 1994, hlm. 39.
56
57
dari tindakan individu yang terpercaya dan terbimbing serta dari masyarakat yang hidup sesuai dengan wahyu dan tradisi tadi. Kaitannya dengan hukum mendengarkan Khutbah Jum’at, oleh Imam Syafi’i dipahami sebagai suatu hukum yang sunnah, sehingga perlu kiranya dipahami secara komprehensif dan integral, agar diperoleh pemahaman yang menyeluruh dan lengkap, agar sunahnya mendengarkan khutbah Jum'at bisa diletakkan pada posisi yang benar, sehingga tidak disalahgunakan. Sebelum kami menganalisa pendapat Imam Syafi’i, kiranya penulis perlu kemukakan sedikit tentang latar belakang perubahan ijtihad Imam Syafi’i ketika beliau pindah ke Mesir. Karena ijtihad hukum Imam Syafi’i tersebut dihasilkan setelah beliau pindah ke Mesir. Dalam kitabnya ar-Risalah, Imam Syafi’i menjelaskan kondisi sosial kultur masyarakat di Mesir lebih sedikit dibandingkan dengan ketika beliau berada di Baghdad. Padahal skripsi ini, mengupas tentang latar belakang istinbath hukum yang digunakan, oleh Imam Syafi’i selama berada di Mesir, sebab kesunahan mendengarkan khutbah Jum'at merupakan ijtihadnya selama berada di Mesir yang beliau tuangkan dalam kitabnya al-Umm. Namun begitu, penulis tetap berusaha dengan maksimal untuk menganalisis
kondisi
sosial
kultur
masyarakat
Mesir
yang
sangat
mempengaruhi Imam Syafi’i dalam berijtihad. Adapun pendapat Imam Syafi’i tentang al Qaul-al Qadim dan al Qaul-al Jadid selama di Mesir adalah sebagai berikut:
58
ﻓﻘﺪﳝﻪ ﺑﺎﻟﻌﺮﺍﻕ ﻭﺟﺪﻳﺪﻩ ﲟﺼﺮ ﻭﻗﻠﻨﺎ ﺍﻧﻪ ﻓىﻤﺼﺮﱂ،ﻛﺎﻥ ﻟﻠﺸﺎﻓﻌﻰ ﻗﺪﱘ ﻭﺟﺪﻳﺪ .ﻳﻨﺴﺦ ﻛﻞ ﻗﺪﲟﻪ 2
Artinya : “Imam Syafi’i mempunyai dua qaul yaitu Qadim dan Jadid, adapun qadimnya adalah waktu beliau di Irak dan Jadidnya adalah waktu beliau di Mesir. Adapun ijtihadnya di Mesir tidak menghapus semua ijtihad qadimnya”. Imam Syafi’i adalah pakar yurisprudensi Islam, salah seorang tokoh yang tidak kaku dalam pengambilan hukum dan tanggap terhadap keadaan lingkungan tempat beliau menetapkan hukum, sehingga tidak segan-segan untuk mengubah penetapan yang semula telah ia lakukan untuk menggantikan dengan hukum yang baru, karena berubah lingkungan yang dihadapi. Karena pendirian beliau yang demikian itu, maka muncullah apa yang disebut qaul qadim sebagai hasil ijtihadnya yang pertama dan qaul jadid sebagai pengubah keputusan yang pertama.3 Imam Syafi’i mengungkapkan qaul qadim dan jadidnya dalam bab shalat jum'at yaitu tentang bilangan shalat Jum'at dan berbicara ketika khutbah sedang berlangsung. Pada tanggal 23 Syawal tahun 198 Hijriyah, sampailah Imam Syafi’i di Mesir bersama wali negeri Mesir yang baru, Abbas bin Musa. Sesampainya di Mesir, pada mulanya diminta oleh Abbas bin Musa supaya bertempat tinggal di istana wali negeri, tetapi permintaan ini ditolaknya
2 3
Muhammad Abu Zahrah, Asy-Syafi'i, Dar-Fikr al-Arabi, t.th., hlm. 395.
M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, Jakarta: PT. Raja Grafmdo Persada, cet. Ke-3, 1998, hlm. 213.
59
dengan baik-baik, karena sebagai orang alim ahli hukum dan pemuka umat Islam tidak baik bertempat tinggal di istana bersama wali negeri. Beliau merasa lebih baik bertempat tinggal di rumah salah seorang familinya atau seorang kawannya dan atau tempat salah seorang alim di sana. Akhirnya beliau menginap di rumah salah seorang familinya dari bani al-Azad, kemudian pada hari esoknya beliau datang ke rumah Imam Abdullah bin Abdul Hakam, yang selanjutnya bertempat tinggal di rumah itu juga.4 Imam Abdullah bin Abdul Hakam adalah seorang alim besar di Mesir, dikala itu bekas murid Imam Maliki di Madinah dan kawan lama Imam Syafi’i. Di rumahnya, Imam Syafi’i diterima dengan segala kegembiraan dan penghormatan oleh para ulama terkemuka di Mesir, seperti Iman Asybah, Imam Ibnul Qasim, Imam Ibnul Mawaz, dan lain-lainnya lagi dari bekas murid Imam Maliki.5 Pada malamnya Imam Syafi’i memberi pengajaran secara luas tentang hukum-hukum keagamaan kepada para ulama dan zuama Islam di Mesir, dan tempat tinggal beliau di rumah Imam Abdullah bin Abdul Hakam. Pada waktu itu, di Mesir ada juga dua ulama yang kurang suka terhadap pendirian Imam Syafi’i, tetapi beliau tetap tegak mengembangkan pendiriannya, yang telah dipandangnya dalam kebenaran dan sewaktu-waktu siap sedia untuk menunjukkan kebenaran pendiriannya kepada siapapun juga.
4
Moenawar Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, Jakarta: Bulan Bintang, 1995, hlm. 195. 5
Ibid.
60
Namun demikian, akhirnya pendirian beliau bertambah hari bertambah populer serta diakui kebenarannya. Selanjutnya, setelah Imam Syafi’i bertempat tinggal di Mesir banyak mendapat pemandangan baru, pengalaman baru, dan mengetahui adat istiadat bangsa Mesir, serta cara-cara pergaulan mereka, yang selama ini belum beliau ketahui, karena memang kondisi sosial kultur antara masyarakat Hijaz maupun di Baghdad berbeda sekali dengan di Mesir.6 Berhubungan dengan itu, pendapat dan pandangan beliau tentang soal-soal hukum yang mengenai muamalah dan kemasyarakatan maka berubahlah cara mengupasnya, cara membahasnya dan berubah pula cara memutuskan hukumnya, sepanjang ijtihad beliau dikala itu termasuk pendapat beliau mengenai kesunahan mendengarkan khutbah jum’at. Secara geografis, Mesir lebih luas dibanding dengan Irak (Baghdad), dari segi demografis masyarakat Mesir juga lebih maju, terutama dalam bidang ilmu pengetahuan karena sebagai kota metropolis yang menjadi center dunia Islam dalam bidang ilmu, budaya, dan teknologi. Pada dinasti al-Ayyubi, mazhab Syafi’i berkembang pesat, bahkan mazhab beliau diresmikan menjadi mazhab resmi negara. Begitu besar pengaruh Imam Syafi’i di tengah-tengah kota yang banyak mahasiswa dan alim ulamanya, maka segenap qadli (hakim) di Mesir di masa itu dapatlah dikatakan bermazhab Syafi’i semua.7
6
Ibid.
7
Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i, op. cit., hlm. 18.
61
Dari segi dukungan dan jaminan keamanan, Imam Syafi’i mendapatkan sepenuhnya dari pemerintahan dinasti Ayyubi, ini juga sangat mendukung beliau dalam menetapkan ijtihadnya yang baru, yang sesuai dengan kondisi sosial, budaya, dan adat-istiadat Mesir. Adapun dalil yang digunakan oleh Imam Syafi’i tentang hukum mendengarkan khutbah Jum’at adalah sunah, Nabi SAW pernah berbicara dengan orang-orang yang membunuh Ibnu Abil Haqiq ketika Nabi di atas mimbar, dan itu terjadi ketika Nabi sedang khutbah Jum'at. Dalam bab III telah dijelaskan pendapat Imam Syafi’i tentang hukum mendengarkan khutbah Jum'at. Dan di dalamnya juga dijelaskan, bahwa walaupun mendengarkan khutbah itu tidak wajib tetapi Imam Syafi’i tidak menyukai seseorang berbicara ketika khatib sedang khutbah. Adapun mengenai sabda Nabi SAW kepada Laghaut, Allah lah yang lebih mengetahuinya, dan diam untuk mendengarkan khutbah imam adalah pilihan yang baik, dan sabda Nabi SAW engkau telah sia-sia, ialah menunjukkan tentang tempat kesopanan untuk tidak berbicara, kecuali yang penting. Dari perubahan hukum yang dikemukakan oleh Imam Syafi’i yaitu dari hukum wajib menjadi sunah karena telah terjadi perubahan cara pandang Imam Syafi’i dalam memahami suatu hukum yaitu hadits dari Abi Hurairah tentang larangan berbicara kepada orang lain ketika khutbah Jum’at itu berlangsung. Adapun pendapat yang pertama, larangan itu adalah larangan haram sedang pendapat kedua larangan itu adalah makruh.
62
Adapun dalil yang digunakan oleh Imam Syafi’i dan pengikutnya dalam memahami hukum mendengarkan khutbah jum’at itu Sunnah adalah al-Qur’an surat al-A’raf ayat 204.
.ﻮ ﹶﻥ ﺣﻤ ﺮ ﻢ ﺗ ﻌﻠﱠﻜﹸ ﺍ ﹶﻟﺘﻮﺼ ِ ﻧﻭﹶﺍ ﻪ ﺍﹶﻟﻌﻮ ﺘ ِﻤﺳ ﺁ ﹸﻥ ﻓﹶﺎﺉ ﺍﹾﻟ ﹸﻘﺮ ﹶﻓِﺎﺫﹶﺍ ﻗﹸ ِﺮ Artinya: “Apabila dibacakan al-Qur’an, hendaklah kamu dengarkan dan diam lah. Mudah-mudahan kamu mendapat rahmat Tuhan”. (QS. Al-A’raf: 204).8 Ayat tersebut mengandung perintah untuk mendengarkan dan diam ketika al-Qur’an dibaca. Adapun bacaan Nabi saw, maka terkandung merupakan penyampaian dari wahyu yang telah diturunkan kepadanya dan terkadang dalam memberikan nasihat dan bimbingan. Maka tak mungkin bagi seorang Muslim pun yang mendengarkan beliau sedang membaca alQur’an lalu dia berpaling dari mendengarkannya, atau dia bicara sendiri yang mengganggu dirinya atau mengganggu orang lain hingga tak dapat mendengarkannya. Begitu juga orang yang sedang shalat, mendengarkan bacaan imam dan khatib.9 Dalam kitab Fiqh al-Islam wa Adillatuh karya Dr. Wahhab Azzu Haili disebutkan bahwa hadits dari Abu Hurairah itu menunjukkan makruh berbicara. Disebutkan juga tidak adanya haram berbicara di dalam
8
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Semarang : CV. Wicaksana, 1993,
hlm. 689. 9
Ahmad Musthafa al-Maraghy, Terjemah Tafsir al-Maraghy, juz ix, Semarang: CV Toha Putra, cet, ke-1, 1987, hlm. 297-298.
63
khutbah, karena ada kabar yang menunjukkan atas kebolehannya, seperti kabar Sahihain dari Anas.
ﻓﻘﺎﻝ، ﻓﻘﺎﻡ ﺍﻋﺮﺍﰉ،ﻋﻦ ﺍﻧﺲ ﺑﻴﻨﻤﺎ ﺍﻧﺒىﺼﻠىﺎﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﳜﻄﺐ ﻳﻮﻡ ﺍﳉﻤﻌﺔ . ﻓﺎﺩﻉ ﺍﷲ ﻟﻨﺎﻓﺮﻓﻊ ﻳﺪﻩ ﻭﺩﻋﺎ، ﻭﺟﺎﻉ ﺍﻟﻌﻴﺎﻝ، ﻫﻠﻚ ﺍﳌﺎﻝ،ﻳﺎﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ 10
Artinya : “Dari Anas, suatu ketika Nabi SAW berkhutbah pada haru Jum'at, lalu orang Arabi berdiri, dia berkata ya Rasulullah, telah rusak harta dan telah lapar beberapa keluarga, maka doakanlah kepada Allah bagi kami. Lalu beliau mengangkat tangannya dan berdoa”. Kemudian dalil yang digunakan Imam Syafi’i lagi adalah hadits dari Jabir:
: ﺟﺎﺀ ﺍﻟىﺎﻟﻨﺒىﺼﻠىﺎﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﻫﻮ ﳜﻄﺐ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻓﻘﺎﻝ:ﻋﻦ ﺟﺎﺑﺮﻗﺎﻝ ﻭﻗﺎﻝ، ﻗﻢ ﻓﺎﺭﻛﻊ ﻭﻓىﺮﻭﺍﻳﺔ ﻓﺼﻞ ﺭﻛﻌﱳ: ﻗﺎﻝ, ﻻ: ﻗﺎﻝ.ﻭﺻﻠﻴﺖ ﻳﺎﻓﻼﻥ . ﻓﻠﻴﺼﻞ ﺭﻛﻌﺘﲔ، ﺍﺫﺍﺟﺎﺀ ﺍﺣﺪﻛﻢ ﻭﺍﻻﻣﺎﻡ ﳜﻄﺐ:ﺻﻠىﺎﷲ ﰱ ﺭﻭﺍﻳﺔ 11
()ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﻴﻪ
Artinya : “Dari Jabir berkata, telah datang seorang laki-laki kepada Nabi SAW dan berkhutbah kepada manusia, lalu Nabi bertanya, apakah kamu sudah shalat hai Fulan? Dia menjawab belum. Nabi bersabda, maka rukuklah. Dalam riwayat lain maka salatlah dua rakaat. Nabi bersabda dalam riwayat lain: Apabila datang salah satu kamu semua dan imam berkhutbah, maka shalatlah dua rakaat”. (HR. Muttafaq Alaih)
Melalui hadits Jabir bin Abdullah menjelaskan larangan seseorang lelaki yang diperintahkan oleh Rasulallah untuk melakukan shalat tahiyatul masjid. Jabir menerangkan, bahwa nama lelaki itu adalah Sulaik
10
Dr. Wahhab al-Zuhaili, al Fiqh al- Islami wa Adillatuh, jus 11, Darul Fikr, t.th.,
hlm. 294. 11
Muhammad bin Ali bin Muhammad As Saukani, Nailul Autor, Beirut: Darul Kutub al-Alamiyah, t.th. hlm. 271.
64
al-Ghatafani. Dalam kitab shahih muslim disebutkan riwayat yang semisal, dengan tambahnya lafal watajawwaza fihima, yang artinya lelaki itu kemudian mengerjakan shalat dua rakaat dengan ringan.12 Hadits ini dan hadits-hadits lain yang senada memberikan pengertian tentang disunahkannya melakukan shalat dua rakaat tahiyatul masjid, sekalipun ditengah-tengah khutbah jum’at. Namun kedua rakaat tersebut disunahkan dikerjakan dengan agak cepat, agar orang yang bersangkutan dapat segera mendengarkan khutbah. Adapun fuqaha yang melarang melakukan shalat dua rakaat tahiyatul masjid ketika berlangsungnya khutbah adalah mereka berhujah pada fatwa sahabat dan perintah diam ketika imam sedang berkhutbah. Fatwa Sahabi memang bisa digunakan sebagai hujah jika tidak diperoleh dalil dari al-Qur’an, as-sunnah dan ijma’. Namun demikian, tidak semua ulama sependapat tentang kapan dan bagaimana fatwa Sahabi bisa digunakan dan fatwa Sahabi siapa saja yang boleh diambil.13 Sehingga penulis lebih cenderung terhadap pendapat yang berpendapat bahwa melakukan shalat tahiyatul masjid itu sunnah karena sesuai dengan perintah
Rasulullah
saw.
Seandainya
Rasul
SAW
tidak
mementingkannya, niscaya beliau tidak memerintahkan lelaki itu untuk shalat ketika beliau sedang khutbah.
12
Ahmad Mudjab Mahalli, Hadis-hadis Ahkam Riwayat Asy Syafi’I, cet. Ke-1, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 350 13
Prof. Dr. Nourouzzaman Shiddiqi, M.A, Fiqih Indonesia Penggagas dan Gagasannya, yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet. Ke-1. 1997,, hlm.. 182.
65
Dari kedua dalil tersebut yaitu hadits dari Anas dan jabir dapat disimpulkan bahwa Nabi SAW pernah berbicara dengan seseorang ketika Nabi SAW sedang berkhutbah sehingga dari kedua dalil itu menurut hemat penulis dapat memperkuat pendapat imam Syafi’i bahwa hukum mendengarkan khutbah adalah makruh sebagaimana hadits dari Abi hurairah.
ﺍﺫﺍ ﺍﻗﻠﺖ ﻟﺼﺎﺣﺒﻚ:ﻋﻦ ﺍﺑىﻬﺮﻳﺮﺓ ﺍﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠىﺎﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ ( )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻯ ﻭﻣﺴﻠﻢ.ﺍﻧﺼﺖ ﻭﺍﻻ ﻣﺎﻡ ﳜﻄﺐ ﻓﻘﺪ ﻟﻐﻮﺕ 14
Artinya: “Dari Abi Hurairah sesungguhnya rasulullah saw bersabda. Apabila engkau berkata kepada teman mu: diamlah dan imam sedang berkhutbah, maka sesungguhnya engkau telah berbuat sia-sia”.(Diriwayatkan Bukhari dan Muslim) Hukum makruh berbicara ketika khutbah jumat tersebut sebagaimana dijelaskan dalam kitab Al-Fiqh al-Islami wa Adilatuh, karya Dr Wahbah Azzuhaili.15 Menurut penulis bahwa semuanya
menunjukkan
haram.
Dalam
larangan itu tidak
al-Qur’an,
nahi
yang
menggunakan kata larang itu mengandung beberapa maksud yaitu, hukum haram, makruh, irsyad, do’a, tahkir (merendahkan), bayanul aqibah (penjelasan akibat) ilyas (keputusasaan).16
14
Abi Zakaria Muhyiddin bin Syaraf an-Nawawi, Al-Majmu’, Juz 4, Darul Fikri, t.th.,
hlm. 525. 15 16
Dr. Wahbah Az-Zuhali, op. cit., hlm. 294.
Prof. Dr. H. Amir Syariyuddin, Ushul Fiqh, jilid II, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, cet. Ke-2, 2001, hlm. 196-197.
66
Dalam hadits ini Abi Hurairah tersebut terdapat seruan untuk meninggalkan pembicaraan yang tidak berguna atau sia-sia karena tidak bicara ketika khutbah berlangsung adalah tempat kesopanan, sehingga khutbah itu berlangsung dengan tenang, khusu’, dan dapat didengar oleh jama’ah Jum’at.
. ﳛﻀﺮﺍﳉﻤﻌﺔ ﺛﻼﺛﺔ ﻧﻔﺮ:ﻋﻦ ﻋﺒﺪﺍﷲ ﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﺍﻥ ﺍﻟﻨﺒىﺼﻠىﺎﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ ﻭﺭﺟﻞ ﺣﻀﺮﻫﺎﻳﺪﻋﻮﻓﻬﻮﺭﺟﻞ ﺩﻋﺎﺍﷲ ﺍﻥ،ﻓﺮﺟﻞ ﺣﻀﺮﻫﺎﻳﻠﻐﻮﻓﻬﻮ ﺣﻈﻪ ﻣﻨﻬﺎ ﺷﺎﺀ ﺍﻋﻄﺎﻩ ﻭﺍﻥ ﺷﺎﺀ ﻣﻨﻌﻪ ﻭﺭﺟﻞ ﺣﻀﺮﻫﺎﺑﺎﻧﺼﺎﺕ ﻭﺳﻜﻮﺕ ﻭﱂ ﻳﺘﺨﻂ ﺭﻗﺒﺔ ﻭﺫﻟﻚ،ﻣﺴﻠﻢ ﻭﱂ ﻳﻮﺀﺫ ﺍﺣﺪﺍ ﻓﻬىﻜﻔﺎﺭﺓ ﺍﱃ ﺍﳉﻤﻌﺔ ﺍﻟﱴ ﺗﻠﻴﻬﺎ ﻭﺯﻳﺎﺩﺓ ﺛﻼﺛﺔ ﺍﻳﺎﻡ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﲪﺪ ﻭﺍﺑﻮﺩﺍﻭﺩ. ﻣﻦ ﺟﺎﺀ ﺑﺎﳊﺴﻨﺔ ﻓﻠﻪ ﻋﺸﺮﺍ ﻣﺜﺎﳍﺎ:ﺍﻥ ﺍﷲ ﻋﺰﻭﺟﻞ ﻳﻘﻮﻝ (ﺑﺎﺳﻨﺎﺩ ﺟﻴﺪ Artinya: “Dari Abdullah bin Umar bahwa Nabi Saw bersabda: yang menghadiri jumat itu ada tiga golongan: a. orang yang menghadirinya dan bercakap-cakap, maka sekedar bercakapcakap itulah hanya bagiannya dari jum’at, b. orang yang menghadirinya dan ia berdoa kepada Allah, maka terseralah kepada Allah apakah akan dikabulkan-Nya ataukah tidak, dan c. orang yang menghadirinya dengan diam tidak pula mengganggu orang lain, maka shalat jumatnya itu menjadi penebus dosanya sampai jumat berikutnya dan di tambah tiga hari lagi, karena Allah azza wajalla telah berfirman: barang siapa melakukan satu kebaikan, ia akan peroleh pahala sepuluh kali lipat”. (diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud dengan isnad yang baik).17 Hadits tersebut mengandung pengertian barang siapa melakukan satu kebaikan ketika ia menghadiri jumat maka ia akan memperoleh beberapa pahala. Jadi hadits tersebut menggambarkan bagaimana sikap
17
Saiyid Sabiq, Fiqh Sunah, Alih Bahasa Muhyiddin Syaf, juz II, Bandung: PT. AlMa’arif, cet. Ke-1, 1976, hlm. 272
67
atau adab ketika seseorang menghadiri jumat. Jika seseorang bersikap baik diantaranya dengan mendengarkan khotbah jumat dengan khusu’ dan penuh perhatian sehingga dengan kekhusukannya ia dapat menghayati nasihat yang disampaikan oleh khatib, maka dengan sikap tersebut diharapan keimanan dan ketaqwaan seseorang dapat bertambah kuat dan mendapatkan pahala yang berlipat-lipat.
،ﺍﻥ ﻋﺜﻤﺎﻥ ﺩﺧﻞ ﻭﻋﻤﺮ ﳜﻄﺐ ﻓﻘﺎﻝ ﻋﻤﺮ ﻣﺎﺑﺎﻝ ﺭﺟﺎﻝ ﻳﺘﺎﺀﺧﺮﻭﻥ ﻋﻦ ﺍﻟﻨﺪﺍﺀ )ﺭﻭﺍﻩ.ﻓﻘﺎﻝ ﻋﺜﻤﺎﻥ ﻳﺎﺍﻣﲑﺍﳌﺆﻣﻨﲔ ﻣﺎﺯﺩﺕ ﺣﲔ ﲰﻌﺖ ﺍﻟﻨﺪﺍﺀ ﺍﻥ ﺗﻮﺿﺎﺀﺕ 18
(ﺍﻟﺸﻴﺨﺎﻥ
Artinya: “Sesungguhnya Usman masuk (masjid) dan Umar sedang berkhotbah lalu Umar berkata bagaimana halnya orang-orang yang melambatkan panggilan (azan) lalu Usman menjawab, hai amirulmukminin ketika saya mendengar panggilan, sesungguhnya saya sedang wudhu tidak lebih dari itu.” (Diriwatkan oleh Saikhoni).
Hadits tersebut menjelaskan bahwa telah terjadi pembicaraan Antara umar dan Usman ketika Umar sedang khutbah dan peristiwa itu menjelaskan bahwa Umar menanyakan tentang kenapa Usman terlambat datang ke Masjid sedangkan azan telah selesai dan khutbah telah berlangsung. Dalil yang mendukung pendapat Imam Syafi’i lagi adalah hadits riwayat al-Baihaqi :
18
hlm. 151.
Taqyu al-Din, Kifayatul Akyar, juz. 1, Indonesia : Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah, t.th.,
68
ﻣﱴ:ﺍﻥ ﺍﻟﻨﺒىﺼﻠىﺎﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺩﺧﻞ ﻋﻠﻴﻪ ﺭﺟﻞ ﻭﻫﻮﳜﻄﺐ ﻳﻮﻡ ﺍﳉﻤﻌﺔ ﻓﻘﺎﻝ ﻓﻘﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ،ﺍﻟﺴﺎﻋﻪ؟ ﻓﺎﻭﻣﺎﺀ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺍﻟﻴﻪ ﺑﺎﻟﺴﻜﻮﺕ ﻓﻠﻢ ﻳﻔﻌﻞ ﻭﺍﻋﺎﺩﺍﻟﻜﻼﻡ ﺣﺐ ﺍﷲ: ﻭﳛﻚ ﻣﺎﺍﻋﺪﺩﺕ ﳍﺎ؟ ﻗﺎﻝ:ﺻﻠىﺎﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻟﻪ ﺑﻌﺪﺍﻟﺜﺎﻧﻴﺔ ( )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻰ ﺑﺎﺳﻨﺎﺩﺻﺤﻴﺢ. ﺍﻧﻚ ﻣﻊ ﻣﻦ ﺍﺣﺒﺒﺖ: ﻓﻘﺎﻝ:ﻭﺭﺳﻮﻟﻪ 19
Artinya: “Bahwa Nabi saw sedang berkhutbah pada hari jum’at, seseorang datang seraya berkata; waktu apakah ini? (kapan waktunya?). orang banyak mengisyaratkan kepadanya agar diam, namun ia tidak berbuat. Orang itu mengulangi lagi pertanyaannya setelah yang kedua kali ini Rasulullah bersabda:” cobalah engkau apakah yang engkau siapkan untuknya?” orang itu menjawab cinta kepada Allah dan Rasulnya. Nabi pun bersabda: “engkau bersama dengan yang engkau cintai” (HR. Al-Baihaqi dengan Isnad Sahih). Diterima dari Ibnu Umar, dari Nabi SAW., sabdanya:
)ﺭﻭﺍﻩ.ﻣﻦ ﺍﺩﺭﻙ ﺭﻛﻌﺔ ﻣﻦ ﺻﻼﺓ ﺍﳉﻤﻌﺔ ﻓﻠﻴﻀﻒ ﺍﻟﻴﻬﺎ ﺍﺧﺮﻱ ﻭﻗﺪ ﲤﺖ ﺻﻼﺗﻪ (ﺍﻟﻨﺴﺎﺋﻰ ﻭﺍﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ ﻭﺍﻟﺪﺍﺭﻗﻄﲎ
Artinya: “Barang siapa mendapatkan serakaat shalat jumat maka hendaklah ia meneruskan serakaat lagi dan dengan demikian sempurnalah shalatnya”. (diriwayatkan oleh Nasa’i Ibn Majah dan Daruquthni)20 Hafizh mengatakan dalam Buluqul Maram bahwa isnad hadits ini shahih, tetapi Abu Halim menguatkan pendapatnya bahwa hadits ini mursal. Juga dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi saw bersabda:
( )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﳉﻤﺎﻋﻪ.ﻣﻦ ﺍﺩﺭﻙ ﻣﻦ ﺍﻟﺼﻼﺓﺭﻛﻌﺔ ﻓﻘﺪ ﺍﺩﺭﻛﻬﺎ ﻛﻠﻬﺎ 19
Ibid.
20
Saiyid Sabiq, op. cit., hlm. 274.
69
Artinya: “Barang siapa mendapatkan seraka’at shalat, berarti ia telah mendapatkan shalat seluruhnya (riwayat Jama’ah).”21 Adapun orang yang mendapatkan kurang dari satu rakaat , maka menurut pendapat sebagian besar ulama, ia sudah tidak dianggap mendapatkan jumat. Maka ia harus bersembahyang zhuhur empat rakaat dengan niat sholat jumat. Berkata Ibnu Masud: barang siapa mendapatkan satu rakaat, maka hendaklah meneruskan seraka’at lagi, tetapi orang yang tidak mendapatkan kedua rakaatnya hendaklah ia sholat empat rakaat”.( Riwayat Thabrani dengan sanad yang hasan). Dan berkata pula ibnu Umar jika anda mendapatkan satu rakaat (riwayat Baihaqi). Ini adalah madzhab Syafi’I, Malik, Hambali, dan Muhammad bin Hasan, Abu yusuf dan Abu Hanifah berpendapat bahwa barang siapa mendapatkan imam sedang membaca tasyahud, maka ia berarti masih mendapatkan jumat. Oleh sebab itu hendaklah ia bersembahyang dua rakaat saja setelah imam memberi salam, dan sempurna lah jum’at nya.22 Penulis setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa kalau seseorang terlambat dalam melakukan shalat jum’at dimana ia hanya mendapatkan satu rakaat maka teruskan lah satu rakaat lagi untuk menyempurnakan shalat Jum’at. Dari kedua dalil tersebut bila kita hubungkan dengan permasalahan tentang hukum mendengarkan khutbah jum’at, yaitu jika seseorang terlambat dalam melakukan shalat Jum’at,
21
Ibid., hlm. 275.
22
Ibid.
70
dia tidak dapat mengikuti dan dia hanya mendapatkan satu rakaat jum’at maka menurut hadits tersebut ia cukup menambah satu rakaat, lalu kalau kita hubungkan dengan permasalahan hukum mendengarkan khutbah jumat maka yang sesuai adalah mendengarkan khutbah itu tidak wajib artinya sunnah dan shalatnya orang yang terlambat tersebut tetap sah. Kemudian penulis akan mengemukakan pendapat-pendapat imam mazhab lain sebagai perbandingan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Imam Syafi’i. Adapun pendapat mereka adalah : 1. Hanabilah Mereka berpendapat, tidak boleh bicara ketika berlangsung dua khutbah. Adapun berbicara sebelum atau ketika diamnya khatib diantara dua khutbah itu boleh, begitu pula, boleh bicara ketika khatib berdoa.23 Haram bagi seseorang yang berada dekat dari khatib pada hari jum'at ketika dia dapat mendengarkan khutbah. Sama juga berbicara ketika khutbah tentang dzikir atau tidak walaupun khatib itu tidak adil kecuali bagi khatib sendiri, boleh berbicara dengan orang lain untuk kemaslahatan. Bagi orang yang mendengarkan shalawat boleh menjawab shalawat ketika disebut namanya, tetapi dengan rahasia, boleh juga membaca amin ketika berdoa. Boleh membaca tahmid dengan pelan ketika bersin, dan membaca tasmit terhadap orang yang bersin, menjawab salam dengan ucapan, bukan isyarat. Adapun orang yang jauh dari khatib ketika dia tidak dapat
23
Abdurrahman al-Jazairy, al-Fiqh ala al-Mazahib al-Arba’ah, Juz I, Beirut: Dar alKutub al-Ilmiyah, t.th. hlm. 398.
71
mendengarkan nya, maka boleh bicara dengan menyibukkan membaca alQur'an, dzikir dan lainnya itu lebih baik dari pada diam, dan tidak harus bersuara keras. Boleh bicara sebelum dua khutbah dan sesudahnya, ketika diamnya khatib diantara dua khutbah, dan ketika khatib sedang berdoa karena rukun-rukun khutbah telah selesai. 2. Hanafizah Mereka berpendapat, berbicara ketika khatib berkhutbah adalah makruh tahrim, sama juga berbicara itu jauh dari imam atau dekat, dalam qaul yang sahih. Sama juga berbicara itu masalah dunia, dzikir dan lainnya, menurut qaul yang mashur, sama juga khatib melakukan lagha (hal yang sia-sia) dengan menyebut kezaliman atau tidak. Apabila mendengar nama Nabi SAW maka bacalah shalawat atas Nabi SAW. Boleh
berisyarat
dengan
tangan
atau
kepalanya
ketika
melihat
kemungkaran, karena berbicara ketika ada khutbah itu hukumnya makruh tahrim. Sebagaimana makhruh melakukan shalat, seperti keterangan yang lalu menurut ittifak ahli mazhab. Adapun keluarnya imam dari khalwatnya hukumnya seperti pendapat Abi Hanifah, karena keluarnya Imam ketika itu, dapat memutus shalat dan kalam. Adapun menurut pendapat temantemannya itu dapat memutus shalat, diantara bicara yang dimakruhkan adalah menjawab salam dengan lesan dan hatinya, sama juga sebelum atau sesudah selesainya dari khutbah. Karena sesungguhnya memulai salam itu tidak dibolehkan menurut syara', bahkan orang yang mengerjakannya itu
72
berdosa, maka tidak wajib menjawab salam, begitu juga mendoakan orang yang bersin. Makruh bagi imam memberi salam kepada manusia. Tidak termasuk makruh bicara yaitu mengingatkan dari kala jengking atau ular. Mengundang karena takut terhadap orang yang buta dan lain-lainnya, itu dilakukan untuk menolak bahaya.24 3. Malikiyah Mereka berpendapat haram berbicara ketika ada khutbah dan ketika duduknya imam di atas mimbar diantara dua khutbah, tidak ada perbedaan didalamnya antara orang yang mendengarkan khutbah dan lainnya. Semua haram baginya bicara walaupun berada di halaman masjid atau jalan yang bersambung dengannya. Keharaman berbicara yang telah disebut, selama imam belum menghasilkan laghau (hal yang sia-sia) di dalam khutbah, seperti tidak boleh memuji atau mencacat orang lain karena perbuatan itu dapat menjatuhkan kehormatannya. Boleh bicara ketika imam duduk di atas mimbar sebelum melakukan khutbah dan di akhir khutbah kedua ketika khatib berdoa untuk orang-orang muslim, untuk para sahabat, Rasu1 SAW atau khalifah. Diantara bicara yang diharamkan ketika khutbah adalah memulai salam dan menjawab salam atas orang yang mengucapkan salam. Diantaranya juga mencegah orang yang berbicara ketika khutbah, sebagaimana haram berisyarat terhadap orang yang bicara dan melemparnya dengan tongkat supaya dia diam. Haram juga minum dan mendoakan orang yang bersin,
24
Ibid.
73
tetapi sunnah bagi orang yang bersin dan bagi imam yang berkhutbah memuji allah secara rahasia, seperti halnya apabila khatib menyebut ayat siksa, menyebut neraka umpamanya, maka itu sunnah bagi orang yang hadir untuk membaca ta’awud secara rahasia dan singkat. Apabila khatib berdoa maka disunnahkan bagi orang yang hadir membaca amin, makruh membaca dengan keras, dan haram memperbanyaknya seperti membaca amin, ta’awud, istighfar, dan shalawat atas Nabi. Apabila ditemukan sebab untuk semuanya, maka disunahkan kesemuanya secara rahasia dan singkat.25 Dari Ibnu Wahbin diriwayatkan bahwa ia berkata: Barangsiapa yang bermain-main, maka ia harus shalat zuhur dengan empat rakaat, alasan Jumhur fuqaha tentang kewajiban diam mendengarkan ialah hadits Abu Hurairah r. a. riwayat Bukhari Muslim sebagaimana tersebut di depan. Adapun Ibnu Rusyd tidak mengetahui akan pendapat yang tidak mewajibkan mendengarkan khutbah jum'at. Kecuali kalau berpendapat bahwa perintah diam mendengarkan ditentang oleh dalil kitab yang terdapat dalam firman Tuhan. “Apabila dibacakan al-Qur'an, hendaklah kamu dengarkan, dan diamlah. Mudah-mudahan kamu mendapat rahmat Tuhan”. (QS. A'raf: 204)
25
Ibid., hlm. 398-399.
74
Artinya apa yang selain al-Qur'an tidak wajib didengarkan. Alasan ini lemah, wallahu a’lam.26 Dalam hadits riwayat Abu Hurairah di atas terkandung larangan mengucapkan kata apapun ketika imam sedang khutbah, mengingat orang yang mengatakan: diamlah! Terhadap temannya dilarang, apalagi yang tidak berguna. Lafal laghauta bermakna mengucapkan kata-kata yang tidak berguna, sia-sia dan tidak diterima. Sedang menurut pendapat lain mengatakan, bermakna “Engkau mengatakan sesuatu yang tidak benar”. Pendapat yang lain mengatakan, bahwa laghauta bermakna : Engkau mengatakan sesuatu yang tidak selayaknya diucapkan. “lafal wal imamu yakhthubul” adalah jumlah haliyah berkedudukan menjadi qaid (sifat) bagi hukum yang telah dijelaskan sebelumnya. Dengan kata lain berbicara yang dihukumi haram hanyalah ketika imam sedang menyampaikan rukunrukun khutbah. Sedang ketika imam sedang menyampaikan mau'izhah (nasehat), maka hanya makruh tanzih. Demikian Imam Syafi’i menegaskan yang kemudian diikuti pula oleh Imam Maliki dan para Jumhur
ulama,
sedangkan
mazhab
Hanafi
mengatakan,
bahwa
mendengarkan khutbah adalah wajib sejak imam menyampaikan khutbah hingga selesai.27
26 27
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Juz I, Semarang: CV. Toha Putra, t.th., hlm. 117.
Ahmad Mudjab Manalli, Hadits-hadits Ahkam Riwayat Asy-Syafi'i, cet. 1. Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2003, hlm. 344.
75
Kemudian dalil yang memperkuat pendapat tentang wajib mendengarkan khutbah Jum’at adalah hadits dari Ibnu Abbas :
"ﻣﻦ ﺗﻜﻠﻢ ﻳﻮﻡ: ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ﺍﻥ ﺭﺳﻮ ﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ ﻭﺍﻟﺬﻯ ﻳﻘﻮﻝ ﻟﻪ ﺍﻧﺼﺖ ﻻ,ﺍﳉﻤﻌﺔ ﻭﺍﻹﻣﺎﻡ ﳜﻄﺐ ﻓﻬﻮ ﻛﺎﳊﻤﺎﻡ ﳛﻤﻞ ﺍﺳﻔﺎﺭﺍ ﻗﺎﻝ ﺍﳊﺎﻓﻆ ﰱ ﺑﻠﻮﻍ.(ﲨﻌﺔ ﻟﻪ" )ﺭﻭﺍﻩ ﺃﲪﺪ ﻭﺍﺑﻦ ﺍﰉ ﺷﻴﺒﺔ ﻭﺍﻟﺒﺰﺍﻥ ﻭﺍﻟﻄﱪﺍﱏ .ﺍﳌﺮﺍﻡ ﺍﺳﻨﺎﺩﻩ ﻻ ﺑﺄﺱ ﻟﻪ 28
Artinya : Dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Barang siapa yang berbicara pada hari Jum’at di waktu Imam berkhutbah, maka ia seperti keledai yang memikul kitab, sedang siapa yang mengingatkan orang itu dengan kata-kata “diamlah”, maka tidak sempurnalah Jum’atnya”. (Riwayat Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, Bazzan dan Thabrani, Hafidz mengatakan dalam Bulughul Maram bahwa Isnad hadits ini tidak ada cacatnya)
ﺟﻠﺲ ﺍﻟﻨﱮ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻋﻠﻰ ﺍﳌﻨﱪ ﻭﺧﻄﺐ: ﻋﻦ ﺍﰉ ﺩﺭﺩﺍﺀ ﻗﺎﻝ ﻳﺎ ﺃﰊ ﻣﱴ ﺃﻧﺰﻟﺖ ﻫﺬﻩ: ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻭﺗﻼ ﺍﻳﺔ ﻭﺍﱃ ﺟﻨﱮ ﺃﰊ ﺑﻦ ﻛﻌﺐ ﻓﻘﻠﺖ ﻟﻪ ﺍﻟﺴﺎﻋﺔ ؟ ﻓﺄﰉ ﺍﻥ ﻳﻜﻠﻤﲎ ﰒ ﺳﺄﻟﺘﻪ ﻓﺄﰉ ﺍﻥ ﻳﻜﻠﻤﲎ ﰒ ﺳﺄﻟﺘﻪ ﻓﺄﰉ ﺍﻥ ﻳﻜﻠﻤﲎ ﻣﺎ ﻟﻚ ﻣﻦ ﲨﻌﺘﻚ: ﺣﱴ ﻧﺰﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻘﺎﻝ ﱃ ﺃﰊ ﻓﻠﻤﺎ ﺍﻧﺼﺮﻑ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺟﺌﺘﻪ ﻓﺎﺧﱪﺗﻪ.ﺇﻻ ﻣﺎ ﻟﻐﻮﺕ ﺍﺫﺍ ﲰﻌﺖ ﺍﻣﺎﻣﻚ ﻳﺘﻜﻠﻢ ﻓﺎﻧﺼﺖ ﺣﱴ ﻳﻔﺮﻍ )ﺭﻭﺍﻩ ﺃﲪﺪ, ﺻﺪﻕ ﺃﰊ: ﻓﻘﺎﻝ (ﻭﺍﻟﻄﱪﺍﱏ 29
Artinya : Dari Abi Darda’ berkata : Nabi SAW duduk di atas mimbar, kemudian berkhutbah dan membaca ayat waktu itu didekatku ada Ubai bin Ka’ab, maka saya tanyakan kepadanya : “Kapankah diturunkannya ayat itu, hai Ubai ? “Tapi ia tak hendak menjawab pertanyaanku itu, dan waktu saya tanyakan sekali lagi, ia tetap membisu, sampai Rasulullah SAW turun 28
Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid I, al Fath lil I’lamil Arabi, t.th., hlm. 274.
29
Ibid., hlm. 274 – 275.
76
dari Jum’atmu, kecuali sekedar yang kau bicarakan tadi!” Tatkala Rasulullah SAW selesai dan berpaling dari shalat, saya pun mendatanginya dan menyampaikan peristiwa tadi. Maka sabda beliau : “Benar apa yang dikatakan Ubai itu! Jika engkau mendengar imam berkhutbah, maka hendaklah diam sampai ia selesai !” (Riwayat Ahmad dan Thabrani.
Dalam kitab Sunan Ibnu Majah di situ disebutkan dalam Zuwaid bahwa isnadnya shahih dan rawinya siqoh.30
ﻛﺎﻧﻮﺍ ﻳﺘﺤﺪﺛﻮﻥ ﻳﻮﻡ ﺍﳉﻤﻌﺔ ﻭﻋﻤﺮ ﺟﺎﻟﺲ ﻋﻠﻰ: ﻋﻦ ﺛﻌﻠﺒﺔ ﺑﻦ ﺍﰉ ﻣﺎﻟﻚ ﻗﺎﻝ ﺍﳌﻨﱪ ﻓﺎﺫﺍ ﺳﻜﺖ ﺍﳌﺆﺫﻥ ﻗﺎﻡ ﻋﻤﺮ ﻓﻠﻢ ﻳﺘﻜﻠﻢ ﺍﺣﺪ ﺣﱴ ﻳﻘﻀﻰ ﺍﳋﻄﺒﺘﲔ ( ﻓﺎﺫﺍ ﻗﺎﻣﺖ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﻧﺰﻝ ﻋﻤﺮ ﺗﻜﻠﻤﻮﺍ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻰ ﰱ ﻣﺴﻨﺪﻩ,ﻛﻠﺘﻴﻬﻤﺎ Artinya : “Dari Sa’labah bin Abi Malik berkata : orang-orang bercakapcakap pada hari Jum’at sedang Umar telah duduk di mimbar. Baru bila muadzin telah selesai adzan dan Umar berdiri, maka tidak seorangpun yang berbicara sampai selesai kedua khutbahnya. Dan di waktu Umar turun dari mimbar, orangorangpun bercakap-cakap lagi”. (Diriwayatkan oleh Syafi’i dam musnadnya)31
B. Analisis Istinbaht Imam Syafi’i tentang Hukum Mendengarkan Khutbah Jum’at. Imam Syafi’i dalam dunia pemikir hukum Islam adalah seorang imam mazhab yang berusaha berfikir moderat. Pemikiran Imam Syafi’i adalah merupakan jembatan antara dua kutub pemikiran yang ekstrim yaitu ahli al-ra'yi dan ahlu al hadits. Kelompok pertama yang diwakili
30
Abi Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qozwini, Sunan Ibnu Majah, Darul Fikr, t.th.,
hlm. 353. 31
Sayid Sabiq, op. cit., hlm. 279.
77
oleh imam Abu Hanifah yang sangat mengedepankan aspek rasionalitas dalam pendekatan pemahaman hukumnya, dan kelompok kedua yang dipelopori oleh Imam Malik dimana pendekatan hukumnya lebih mengedepankan aspek yang bersifat normatif (tekstual). Dalam bab III telah penulis uraikan bahwa metode istinbaht hukum yang dilakukan dan dikembangkan oleh Imam Syafi’i, terlihat jelas bahwa beliau dalam menentukan hasil ijtihadnya berlandaskan pada landasan normatif yang terstruktur secara hierarkis yang bersumber dari al-Qur’an, al-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Sehingga kalau terjadi permasalahan maka penyelesaiannya dipecahkan dengan tingkatantingkatan sumber tersebut. Imam
Syafi’i
dalam
mengistinbahtkan
(mengambil
dan
menetapkan) hukum tentang kesunahan mendengarkan khutbah jum’at, beliau menggunakan 3 (tiga) dasar yaitu: 1. Al-Qur’an 2. Al-Hadits (al-Sunnah) 3. Maqasid al-Syar'i.
1. Al-Qur’an Alasan bahwa al-Qur’an adalah hujah atas umat manusia dan hukumnya-hukumnya adalah undang-undang yang harus diikuti (ditaati) oleh nya ialah: bahwa al-Qur'an itu diturunkan dari sisi Allah, dan disampaikannya kepada umat manusia dari Allah SWT dengan
78
jalan yang pasti, tidak ada keraguan mengenai kebenarannya. Sedangkan
alasan
bahwa
ia
adalah
dari
sisi
Allah,
berupa
kemukjizatannya melemahkan umat manusia untuk mendatangkan semisalnya. Kemudian dalil al-Qur'an yang digunakan Imam Syafi’i yang berkenaan dengan kesunahan mendengarkan khutbah jum’at adalah alQur’an surat al-A’raf ayat 204. Artinya : “Apabila dibacakan alQur’an, hendaklah kamu dengarkan dan diam lah, mudah-mudahan kamu mendapat rahmat”. (Al-A'raf: 204) Dari
ayat
tersebut
mengandung
arti
perintah
untuk
mendengarkan Al-Qur’an, dalam tafsir al-Maraghi juga disebutkan, selain
perintah
mendengarkan
al-Qur’an
juga
perintah
untuk
mendengarkan bacaan imam dan khatibnya.32 2. Al-Hadits (al-Sunnah) Para ulama Usul Fiqh dari kalangan ahl al-Sunnah mengartikan sunnah dengan segala sesuatu yang bersumber dari Rasulullah SAW, baik perkataan, perbuatan, maupun taqrir (diamnya Nabi SAW terhadap suatu ucapan atau tindakan) yang berkaitan dengan tasri’ al Ahkam al-Amaliyah. Adapun dalil hadits yang digunakan oleh Imam Syafi’i tentang kebolehan bicara ketika khutbah jum'at, tetapi hal tersebut sesuatu yang tidak disukainya adalah hadits Nabi SAW yang telah disebutkan dalam
32
Ahmad Mustafa al-Maraghi, op.cit., hlm. 298
79
kitab al-Umm, dimana Nabi SAW pernah berbicara dengan seseorang ketika khutbah berlangsung tentang pembunuhan Ibnu Abi al-Haqiq. Menurut al-Baihaqi hadits ini adalah hadits mursal dan kisah ini telah mashur di kalangan al-Maghayi, riwayat lain dari al-Zuhri, Abil Aswad, Urwah bin al-Zubair dan masalah ini akan menjadi terperinci dalam kitab al-Maghayi.33 Begitu juga hadits dari Anas bahwa suatu ketika Nabi SAW sedang khutbah jum'at lalu orang yang tidak dikenal berdiri dan berkata, Ya Rasulullah, telah terjadi kerusakan harta, keluarga yang lapar, maka doakanlah kepada Allah untuk kami, lalu Nabi SAW mengangkat tangan dan berdoa. Hadits tersebut adalah riwayat Muslim.34 Kemudian hadits yang mendukung pendapat imam Syafi’I adalah hadits dari jabir tentang Nabi pernah memerintah seseorang yang masuk masjid untuk shalat tahiyatul masjid sedangkan Nabi saw sedang berkhotbah dan hadits tersebut adalah shahih (diriwatkan oleh Mutafiqun alaih) Sedangkan hadits yang memerintah agar ketika berlangsung khutbah itu terjadi kondisi yang tenang, khusu, dengan memperhatikan khutbah dan melarang seseorang berbicara ketika berkhotbah dan melarang seseorang berbicara ketika khatib berkhutbah satu larangan
33
Abi Bakar Ahmad bin al-Husain bin Ali al Baihaqi, as-Sunnah al-Kubra, juz III, Darul Fikr, hlm. 222. 34
hlm. 525.
Abi Zakaria Muhyiddin bin Ssaraf An-Nawawi, Al-Majmu’, Juz IV, Dar al-Fikr, t.th.,
80
itu menunjukkan larangan makruh adalah hadits dari Abi Hurairah diriwayatkan oleh Bukhori Muslim secara marfu’. Mengenai hadits ini, para ulma berbeda pendapat, sebagian ulama berpendapat bahwa hadits ini menunjukkan larangan haram, sedangkan sebagian ulama yang lain bahwa larangan ini adalah larangan makruh. Adapun Ibnu Rusyd tidak mengetahui pendapat yang tidak mewajibkan mendengarkan khutbah jum’at kecuali kalau perintah diam mendengarkan di tentang oleh dalil kitab yang terdapat dalam firman Tuhan: “Apabila dibacakan AlQur’an hendaklah kamu dengarkan dan diam lah, mudah-mudahan kamu mendapat rahmat dari tuhan”. (QS. Al-A’raf , 204) artinya apa yang selain al-Qur’an tidak wajib di dengarkan. Alasan ini lemah wallahu a’lam .35 Dari dalil yang dikemukakan oleh Imam Syafi’i di atas penulis kuatkan dengan hadits lain yaitu hadits dari Ibnu Umar tentang seseorang yang mendapatkan satu rakaat shalat jumat, supaya menambahkan serakaat lagi, diriwayatkan oleh Nasai, Ibnu Majah dan Darulquthni. Hafizh mengatakan dalam Buluqul Maram bahwa hadits ini shahih, tetapi, Abu Halim menguatkan pendapatnya bahwa hadits ini mursal.36 Juga hadits dari Abu Hurairah riwayat jumat tentang seseorang yang mendapatkan serakaat shalat jumat.
35
Ibnu Rusyd, op. cit. hlm. 117.
36
Sayid Sabiq, op. cit, hlm. 274.
81
3. Pendekatan Melalui Maqasid al-Syari'ah. Kalau pendekatan kebahasan tentang sumber hukum Islam dititik beratkan pada pendalaman sisi kaidah-kaidah kebahasan untuk pendekatan melalui maqashid al-Syari'ah. Kajian lebih dititik beratkan pada melihat nilai-nilai yang berupa kemaslahatan manusia dalam setiap taklif yang diturunkan Allah. Pendekatan ini penting dilakukan, terutama sekali karena ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an terbatas jumlahnya, sementara permasalahan masyarakat senantiasa muncul. Dalam menghadapi berbagai permasalahan yang timbul itu, melalui pengetahuan tentang tujuan hukum, maka pengembangan hukum akan dapat dilakukan.37 Hal demikian dapat dilihat antara lain, pada peristiwa Nabi SAW pernah melarang kaum muslim menyimpan daging korban kecuali dalam batas tertentu, sekedar bekal untuk tiga hari. Akan tetapi beberapa tahun kemudian peraturan yang ditetapkan Nabi SAW itu dilanggar oleh beberapa sahabat. Permasalahan itu disampaikan kepada Nabi SAW, beliau membenarkan tindakan para sahabat itu sambil menerangkan bahwa larangan menyimpan daging korban adalah didasarkan atas kepentingan ad-Daffah (tamu yang terdiri atas orangorang miskin yang datang dari perkampungan sekitar Madinah). Setelah itu, Nabi SAW bersabda sekarang simpan lah daging-daging korban itu, karena tidak ada lagi tamu yang membutuhkan.
37
Dr. Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad al-Syaukani, Jakarta: PT. Logos, 1999, hlm. 41.
82
Dari kasus tersebut terlihat, bahwa sejak masa Nabi SAW, Maqashid al-Syari'ah telah menjadi pertimbangan sebagai landasan dalam menetapkan hukum. Upaya seperti itu, seterusnya dilakukan pula oleh para sahabat. Seperti upaya yang dilakukan oleh Umar bin Khattab, antara lain umar tidak memberikan bagian zakat untuk kelompok non muslim, karena semula pemberian zakat kepada mereka adalah agar mereka memeluk Islam, tetapi setelah Islam kuat dan keadaan telah berubah, maka Umar tidak memberikan bagian zakat untuk mereka. Imam Syafi’i mempertimbangkan maksud dari disyari'atkan nya shalat jum’at yaitu menampakkan syi'ar persatuan dan kesatuan. Begitu juga Imam Syafi’i mempertimbangkan maksud diperintahkannya mendengarkan khutbah sebagai suatu kesunahan yaitu agar shalat jum'at dilakukan dengan suasana yang tenang dan tenteram, disertai dengan kedisiplinan yang tinggi dan kerukunan yang baik. Seseorang berbicara kepada temannya yang duduk di sekitarnya ketika khutbah dilakukan, ia tidak mendapatkan pahala jum'at serta keutamannya, bahkan sebaliknya ia telah melakukan perbuatan yang merusak etika umum dan mengganggu etika kesopanan serta menyia-nyiakan faedah shalat jum'at yaitu: mempelajari hukum-hukum yang terkandung dalam khutbah. Dikatakan demikian karena seandainya ia mengatakan, Diam lah, kemudian orang lain mengatakan yang sama, niscaya tiap-tiap
83
orang akan bertindak mendiamkan orang lain. Sehingga khutbah imam tidak didengar lagi dan lenyaplah ciri khas dari perkumpulan shalat jum'at, yaitu kerukunan dan saling mengenal serta merenungi perkara agama dan hukumnya. Faktor-faktor itulah yang mendorong Rasulullah SAW memutuskan hukum terhadap orang yang berbicara ketika khutbah sedang dilakukan, bahwa dia telah berbuat laghau.