BAB III PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG PERNIKAHAN PADA WAKTU IHRAM
A. Biografi Imam Syafi’i 1. Kelahiran dan Keturunan Imam Syafi’i Imam Syafi’i adalah salah seorang ulama yang sangat masyhur. Setiap orang yang memperhatikannya akan tertarik untuk mengetahui lebih dalam pribadinya, perilakunya serta peninggalannya yang telah membuat orang yang memperhatikannya menghormati, memuliakan dan mengagungkannya.1 Ia ulama mujtahid (ahli ijtihad) di bidang Fiqih dan salah seorang dari empat imam madzhab yang terkenal dalam Islam. Ia hidup di masa pemerintahan khalifah Harun al-Rasyid, al-Amin dan alMa’mun dari Dinasti Abbasiyah.2 Ia dilahirkan di Gaza, sebuah kota kecil di Laut Tengah pada tahun 150 H./767 M.3 Menurut suatu riwayat, pada tahun itu juga wafat Imam Abu Hanifah.4 Nama lengkap Imam Syafi’i adalah Abu Abdullah Muhammad ibn Idris al-Syafi’i. Ia sering juga dipanggil dengan nama Abu Abdullah, karena salah seorang putranya bernama Abdullah. Setelah menjadi ulama besar dan mempunyai banyak pengikut, ia lebih dikenal dengan nama
1
Mustofa Muhammad asy-Syak’ah, Islam bi Laa Madzaahib, Terj. A.M. Basamalah “ Islam Tidak Bermadzhab”, Jakarta: Gema Insani Press, 1994, hlm. 349. 2 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993, Cet. 1, hlm. 326. 3 Abdur Rahman I. Doi, Shariah The Islamic Law, Terj. Basri Iba Asyghary “Syari’ah Kodifikasi Hukum Islam”, Jakarta: Rineka Cipta, 1993, hlm. 159. 4 Huzaimah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm. 120.
32
33 Imam Syafi’i dan madzhabnya disebut Madzhab Syafi’i. Kata Syafi’i dinisbatkan kepada nama kakeknya yang ketiga, yaitu Syafi’i ibn al-Saib. Ayahnya bernama Idris ibn Abbas ibn Usman ibn Syafi’i ibn al-Saib ibn Abdul Manaf, sedangkan ibunya bernama Fatimah ibnti Abdullah ibn alHasan ibn Husain ibn Ali ibn Abi Tha>lib. Dari garis keturunan ayahnya, Imam Syafi’i bersatu dengan keturunan Nabi Muhammad saw. Pada Abdul Manaf, kakek Nabi saw. yang ketiga, sedangkan dari pihak ibunya, ia adalah cicit dari Ali ibn Abi Thalib. Dengan demikian, kedua orang tuanya berasal dari bangsawan Arab Quraisy.5 Dengan pertalian tersebut di atas, Imam Syafi’i menganggap dirinya dari orang yang dekat kepada Rasulullah saw. Bahkan beliau dari keturunan Zawil Kubra yang berjuang bersama dengan Rasulullah saw. di zaman Jahiliyah dan Islam. Mereka bersama dengan Rasulullah juga semasa orang Quraisy mengasingkan Rasulullah mereka bersama turut menanggung penderitaan bersama-sama Rasulullah.6 Keluarga Imam Syafi’i adalah dari keluarga Palestina yang miskin yang dihalau dari negerinya, mereka hidup dalam perkampungan yang nyaman.7 Meskipun dibesarkan dalam keadaan yatim dan dalam keluarga yang miskin, tidak menjadikan beliau merasa rendah diri apalagi malas. Sebaliknya, beliau bahkan giat mempelajari hadits dari ulama-ulama
5
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, op. cit., hlm. 327. Ahmad asy-Syurbasi, Al-Aimatul Arba’ah, Terj. Sabil Huda “Sejarah dan Biografi Imam Empat Madzhab”, Jakarta: Bumi Aksara, 1993, hlm. 142. 7 Ibid. 6
34 hadits yang banyak terdapat di Makkah,8 beliau terpaksa mengumpulkan batu-batu yang baik, belulang, pelepah tamar dan tulang unta untuk ditulis di atasnya. Kadangkala beliau pergi ke tempat-tempat perkumpulan orang banyak meminta kertas untuk menulis pelajarannya.9 2. Pendidikan dan Pengalaman Imam Syafi’i Akibat kondisi ekonomi keluarga yang tidak mencukupi, pendidikan Syafi’i tersia-sia. Ia kurang mendapatkan perhatian yang serius dari gurunya. Untungnya anak ini sangat cerdas. Pelajaran yang diberikan gurunya dengan mudah diserap dengan baik. Tidak jarang ia mengajarkan kembali ilmu yang diperolehnya kepada teman-temannya begitu guru mereka meninggalkan kelas. Berkat kepandaian dan kebaikan Syafi’i seperti itu, ia dibebaskan dari biaya sekolahnya. Keadaan ini berlangsung sampai ia hafal al-Qur’an. Waktu itu usianya baru sekitar tujuh atau sembilan tahun.10 Begitu tamat bealjar al-Qur’an, asy-Syafi’i oleh ibunya dimasukkan ke lembaga pendiidkan lain yang berada di dalam Masjid Haram, agar dapat membaca al-Qur’an lebih baik termasuk tajwid dan tafsirnya. Dalam usia 13 tahun, al-Syafi’i sudah mampu membaca alQur’an dengan tartil dan baik, sudah dapat menghafalnya, bahkan
8
Muhammad Jawad Mughniyah, Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah, Terj. Masykur A.B., et.al., “Fiqih Lima Madzhab”, Jakarta: Lentera Basritama, 2000, cet. 7, hlm. xxix. 9 Ahmad asy-Syurbasi, op. cit., hlm. 143. 10 Abdullah Mustofa al-Maraghi, Fath al-Mubin di tabaqat al-Usuliyyin, Terj. Husein Muhammad “Pakar-pakar Fiqh Sepanjang Sejarah”, Yogyakarta: LKPSM, 2001, Cet 1, hlm. 93.
35 memahami apa yang dibacanya sebatas kesanggupan seorang anak yang baru berusia 13 tahun.11 Ia membaca al-Qur’an dengan suara yang merdu dan tartil, ia benar-benar khusu’ dicekam perasaan sedih bercampur perasaan takut kepada Allah SWT. Di saat-saat ia sedang membaca al-Qur’an di Masjid Haram, banyak orang yang menderngarnya duduk bersimpuh di depannya, bahkan ada pula yang meneteskan air mata karena terpukau mendengar suaranya yang merdu. Bila al-Syafi’i melihat kejadian seperti itu, ia berhenti membaca.12 Setelah dapat menghafal seluruh isi al-Qur’an dengan lancar, Syafi’i berangkat ke Dusun Badui, Banu Hudail untuk mempelajari bahasa Arab yang asli dan fasih. Di sana, selama bertahun-tahun Syafi’i mendalami bahasa, kesusastraan dan adat istiadat Arab yang asli. Bahkan ketekunan dan kesanggupannya, Syafi’i kemudian dikenal sangat ahli dalam bahasa Arab dan kesusastraannya, mahir dalam membuat syair, serta mendalami adat istiadat Arab yang asli.13 Setelah itu, Syafi’i kembali ke Mekkah dan belajar ilmu Fiqih pada Imam Muslim ibn Khalid al-Zanni, seorang ulama besar dan mufti di kota Mekkah sampai memperoleh ijazah berhak mengajar dan memberi fatwa. Selain itu, Syafi’i juga mempelajari
11
Abdurrahman asy-Syarkawi, Aimmah al-Fiqh at-Tis’ah, Terj. H.M.H. al-Hamid alHusaini “Riwayat Sembilan Imam Fiqih”, Bandung: Pustaka Hidayah, 2000, hlm. 383. 12 Ibid. 13 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, loc. cit.
36 berbagai cabang ilmu agama lainnya seperti ilmu hadits, ia berguru pada ulama hadits terkenal di zaman itu Imam Sufyan ibn Uyainah.14 Di samping cerdas, Imam Syafi’i juga sangat tekun dan tidak kenal lelah dalam belajar. Pada usia 10 tahun ia sudah membaca seluruh isi kitab al-Muwatha’ karangan Imam Malik. Pada usia 15 tahun telah menduduki kursi mufti di Mekkah. Setelah menghafal isi kitab al-Muwatha’ Syafi’i sangat berhasrat untuk menemui pengarangnya, Imam Malim, sekaligus memperdalam ilmu Fiqih yang amat diminatinya. Lalu dengan meminta izin kepada gurunya di Mekkah, Syafi’i berangkat ke Madinah, tempat Imam Malik, setibanya di Madinah, ia lalu shalat di Masjid Nabi, menziarahi makam Nabi saw. baru kemudian menemui Imam Malik, ia sangat dikasihi oleh gurunya dan kepadanya diserahi tugas untuk mendiktikan isi kitab al-Muwatha’ kepada murid-murid Imam Malik.15 Di samping mempelajari ilmu pengetahuan beliau mempunyai kesempatan pula mempelajari memanah, sehingga beliau dapat memanah sepuluh batang panah tanpa melakukan satu “kesilapan”. Beliau pernah berkata: cita-citaku adalah dua perkara: panah dan ilmu, aku berdaya mengenakan targer sepuluh dari sepuluh. Mendengar percakapan itu, orang bersamanya berkata: Demi Allah bahwa ilmumu lebih baik dari memanah.16 Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Imam Syafi’i mempunyai pengetahuan sangat luas dalam bidang lughah dan adab, di 14
Ibid. Ibid. 16 Ahmad asy-Syurbasi, op. cit., hlm. 144. 15
37 samping pengetahuan hadits yang ia peroleh dair beberapa negeri. Sedangkan pengetahuannya dalam bidang Fiqih meliputi Fiqih Asha>b alRa’yi di Irak dan Fiqh Ashab al-Hadits di Hijaz. 3. Guru-guru Imam Syafi’i Al-Syafi’i menerima Fiqh dan Hadits dari banyak guru yang masing-masing mempunyai manhaj sendiri dan tinggal di tempat-tempat yang berjauhan satu sama lainnya. Ada di antara gurunya yang mu’tazili yang memperkatakan ilmu kalam yang tidak disukainya. Dia mengambil mana yang perlu diambil dan dia tinggalkan mana yang perlu ditinggalkan. Al-Syafi’i
menerimanya
dari
ulama-ulama
Mekkah,
ulama-ulama
Madinah, ulama-ulama Irak dan ulama-ulama Yaman.17 Ulama-ulama Mekkah yang menjadi gurunya adalah: a. Muslim ibn Khali>d az-Zinji b. Sufyan ibn Uyainah c. Said ibn al-Kudah d. Daud ibn Abdurrahman e. Al-Attar f. Abdul Hami>d ibn Abdul Azi>z ibn Abi Daud.18 Ulama-ulama Madinah yang menjadi gurunya adalah: a. Malik ibn Anas b. Ibrahim ibn Saad al-Ansari c. Abdul Azis ibn Muhammad al-Darawardi 17
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Pegangan Imam Madzhab, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997, hlm. 486. 18 Ahmad asy-Syurbasi, op. cit., hlm. 149.
38 d. Ibrahim ibn Yahya al-Asami e. Muhammad Said ibn Abi Fudaik f. Abdullah ibn Nafi al-Shani.19 Ulama-ulama Irak yang menjadi gurunya adalah: a. Waki ibn Jarrah b. Abu Usamah c. Hammad ibn Usamah d. Ismail ibn Ulaiyah e. Abdul Wahab ibn Ulaiyah f. Muhammad ibn Hasan.20 Ulama-ulama Yaman yang menjadi gurunya adalah: a. Muththarif ibn Miza>n b. Hisya>m ibn Yu>suf c. Haki>m Shan’a (Ibu Kota Republik Yaman) d. Umar ibn Abi Maslamah al-Auza’i e. Yahya Hasan.21
4. Murid-murid Imam al-Syafi’i Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa guru-guru Imam Syafi’i amatlah banyak, maka tidak kurang pula penuntut atau muridmuridnya. Di antara murid-muridnya adalah: a. Abu Bakar al-Humaidi 19
Ahmad asy-Syurbasi, 4 Mutiara Zaman, Jakarta: Pustaka Qalami, 2003, hlm. 135. Hasbi ash-Shiddieqy, op. cit., hlm. 487. 21 Ahmad asy-Syurbasi, loc. cit. 20
39 b. Ibrahim ibn Muhammad al-Abbas c. Abu Bakar Muhammad ibn Idris d. Musa ibn Abi al-Jarud.22 Murid-muridnya yang keluaran Baghdad, yaitu: a. Al-Hasan al-Sabah al-Za’farani b. Al-Husain ibn Ali al-Karabisi c. Abu Thur al-Kulbi d. Ahmad ibn Muhammad al-Asy’ari.23 Murid-muridnya yang keluaran Irak, yaitu: a. Imam Ahmad ibn Hanbal b. Imam Dawud al-Zahiri c. Imam Abu Tsaur al-Baghdadi d. Abu Ja’far at-Thabari.24 Murid-muridnya yang keluaran Mesir, yaitu: a. Al-Rabi’in ibn Sulaiman al-Muradi b. Abdullah ibn Zuber al-Humaidi c. Abu Ya’kub Yusuf Ibnu Yahya al-Buwaithi d. Abu Ibrahim Ismail ibn Yahya al-Muzany e. Al-Rabi’i ibn Sulaiman al-Jizi f. Harmalah ibn Yahya at-Tujibi g. Yunus ibn Abdil A’la h. Muhammad ibn Abdullah ibn Abdul Hakam 22
Ibid., hlm. 151. Ibid. 24 Subhi Mahmassani, Filsafat Hukum dalam Islam, Bandung: al-Ma’arif, 1976, hlm. 68. 23
40 i. Abdurrahman ibn Abdullah ibn Abdul Hakam j. Abu Bakar al-Humaidi k. Abdul Aziz ibn Umar l. Abu Utsman, Muhammad ibn Syafi’i m. Abu Hanifah al-Asnawi.25 Murid-murid Imam Syafi’i dari kalangan perempuan tercatat antara lain saudara perempuan al-Muzani. Mereka adalah para cendekiawan besar dalam bidang pemikiran Islam dengan sejumlah besar bukunya baik dalam Fiqih maupun lainnya.26 Di antara para muridnya yang termasyhur sekali ialah Ahmad ibn Hambal yang mana beliau telah memberi jawaban kepada pertanyaan tentang Imam Syafi’i dengan katanya: Allah Ta’ala telah memberi kesenangan dan kemudahan kepada kami melalui Imam Syafi’i. Kami telah mempelajari pendapat kaum-kaum dan kami telah menyalin kitabkitab mereka tetapi apabila Imam Syafi’i datang kami belajar kepadanya, kami dapati bahwa Imam Syafi’i lebih alim dari orang-orang lain. Kami senantiasa mengikuti Imam Syafi’i malam dan siang apa yang kami dapati darinya adalah kesemuanya baik, mudah-mudahan Allah melimpahkan rahmat-Nya atas beliau.27
5. Karya-karya Imam Syafi’i
25
Sirajuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi’i, Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 2004, hlm. 180-181. 26 Abdullah Mustofa al-Maraghi, op. cit., hlm. 95. 27 Ahmad asy-Syurbasi, op. cit., hlm. 152.
41 Menurut Abu Bakar al-Baihaqy dalam kitab Ahka>m al-Qur’a>n, bahwa karya Imam Syafi’i cukup banyak, baik dalam bentuk risalah maupun dalam bentuk kitab. Al-Qadhi Imam Abu Hasan Ibn Muhammad al-Maruzy mengatakan bahwa Imam Syafi’i menyusun 113 buah kitab tentang tafsir, fiqih, adab dan lain-lain.28 Adapun kitab-kitab karangan Imam Syafi’i pada umumnya dibagi kepada dua bagian. Pertama, yang diajarkan dan didiktekan kepada muridmurid beliau selama beliau berada di Makah dan di Baghdad. Kumpulan kitab-kitab ini berisi Qaul alQadim yaitu pendapat Imam Syafi’i sebelum beliau pergi ke Mesir. Kedua, yang diajarkan dan didiktekan kepada murid-murid beliau selama beliau mengajar di Mesir, yaitu disebut Qaul al-Jadid yaitu pendapat-pendapat Imam Syafi’i setelah berada di Mesir.29 Kitab-kitab karya Imam Syafi’i dibagi oleh ahli sejarah menjadi dua bagian: a. Ditulis oleh Imam Syafi’i sendiri, seperti: al-Umm dan al-Risalah (riwayat al-Buwaiti dilanjutkan oleh Rabi Ibn Sulaiman) b. Ditulis oleh murid-muridnya, seperti Mukhtasyar oleh al-Muzanni dan Mukhtasyar oleh al-Buwaiti (keduanya merupakan ikhtisar dari kitab Imam Syafi’i: al-Imla dan al-Amaly).30 Kitab-kitab Imam Syafi’i, baik yang ditulisnya sendiri, didiktekan kepada muridnya, maupun dinisbatkan kepadanya, antara lain sebagai berikut: 28
Huzaemah Tahido, op. cit., hlm. 133. H. Muslim Ibrahim, Pengantar Fiqh Muqaran, Jakarta: Erlangga, 1991, hlm. 94-95. 30 Hasby ash-Shiddieqy, op. cit., hlm. 134. 29
42 a. Kitab al-Risalah, tentang Ushul Fiqih (riwayat Rabi), kitab al-Risalah adalah kitab yang pertama dikarang Imam Syafi’i pada usia muda belia. Kitab ini ditulis atas permintaan Abd. al-Rahman Ibn Mahdy di Makah. b. Kitab al-Umm, sebuah kitab Fiqih yang di dalamnya dihubungkan pula sejumlah kitabnya. 1) Kitab Ikhtilaf Abi Hanifah wa Ibn Abi Laila 2) Kitab Khila Ali wa Ibn Mas’ud, sebuah kitab yang menghimpun permasalahan yang diperselisihkan antara Ali dengan Ibn Mas’ud dan antara Imam Syafi’i dengan Abi Hanifah. 3) Kitab Ikhtilaf Malik wa al-Syafi’i 4) Kitab Jama’i al-Ilmi 5) Kitab al-Rada ‘Ala Muhammad Ibn al-Hasan 6) Kitab Siyar al-Auza’iy 7) Kitab Ikhtilaf al-Hadits 8) Kitab Ibthalu al-Istihsan. c. Kitab al-Musnad, berisi hadits-hadits yang terdapat dalam kitab alUmm yang dilengkapi dengan sanad-sanadnya. d. Al-Imla e. Al-Amaliy f. Harmalah (didiktekan kepada muridnya yang bernama Harmalah Ibn Yahya) g. Mukhtasar al-Muzaniy (dinisbatkan kepada Imam Syafi’i)
43 h. Mukhtasar al-Buwaithiy (dinisbatkan kepada Imam Syafi’i) i. Kitab Ikhtilaf al-Hadits (penjelasan Imam Syafi’i tentang hadits-hadits Nabi saw.).31 Di samping itu juga ada beberapa risalah dan karangan-karangan beliau baik yang dikarang langsung atau tidak langsung, tetapi belum pernah dicetak atau belum diccetak kembali.32 Demikianlah beberapa sumber yang disebutkan di atas yang dapat digunakan untuk mempelajari kembali pokok-pokok pikiran Imam Syafi’i, sebagai salah seorang imam madzhab yang terkemuka di dunia Islam dan sebagai madzhab yang banyak dianut oleh bangsa Indonesia yang beragama Islam.
6. Fiqh Imam Syafi’i Ilmu fiqih yang dibawa oleh Imam Syafi’i adalah merpakan suatu zaman perkembangan fiqih dalam sejarah perundangan Islam. Oleh karena itu, beliau mengumpulkan atau menyatukan ilmu fiqih ahli-ahli akal dan pikir dengan ilmu fiqih ahli-ahli akal dan hadits. Ilmu fiqih Imam Syafi’i merupakan ikatan sunnah dengan qiyas dan pemikiran dengan beberapa cara-cara atau peraturan untuk memahami al-Qur’an dan Hadits. Juga beliau menerapkan kaidah-kaidah pengeluaran hukum dan kesimpulannya,
31 32
Huzaemah Tahido, op. cit., hlm. 135. H. Muslim Ibrahim, op. cit., hlm. 96.
44 oleh karena itulah beliau berhak dianggap sebagai penulis ilmu Ushul Fiqih.33 Menurut apa yang terbukti di atas bahwa Imam Syafi’i mulai menyusun madzhab fiqihnya setelah beliau mempelajari ilmu fiqih di Madinah dan fiqih orang-orang Irak.34 Madzhab Syafi’i mulai berkembag di Mesir, yang terkenal dengan qaul jadidnya, yang diajarkan beliau di Masjid ‘Amr ibn Ash. Perkembangan ini semakin bertambah sejak banyaknya
para
ulama
dan
para
cendekiawan
yang
mengikuti
pelajarannya. Seperti Muhammad ibn Abdullah ibn Abdul Hakim, Ismail ibn Yahya al-Buwaithy, ar-Rabi, al-Jizi, Asyhab Ibnu Qasim dan Ibn Mawaz. Oleh karena itu, terdesaklah madzhab yang telah dianut sebelumnya, yaitu mazhab Hanafi dan mazhab Maliki.35 Walaupun pada tahun 197 H beliau telah mengajarkan qaul qadimnya di Baghdad, namun perkembangan madzhab Syafi’i barulah setelah beliau meninggal dunia yang dikembangkan oleh Hasan ibn Muhammad al-Za’farani (wafat 260 H.). dari Irak madzhab ini berkembang sampai ke Syiria, Khurasan, Armenia, Caylon, Tiongkok, Malaysia, Indinesia dan Filipina Selatan.
7. Imam Syafi’i Wafat 33
Ahmad asy-Syurbasi, op. cit., hlm. 155. Ibid. 35 H. Muslim Ibrahim, loc. cit. 34
45 Imam Syafi’i dengan tenang menghembuskan nafasnya yang terakhir sesudah shalat Isya’, malam Jum’at bulan Rajab tahun 204 H./819 M. dengan disaksikan muridnya Rabi al-Jizi.36
B. Metode Istinbath Hukum Imam Syafi’i Dalam mengistinbatkan (mengambil dan menetapkan) suatu hukum, Imam Syafi’i memakai empat dasar yaitu: al-Qur’an, al-sunnah, ijma’ dan qiyas. Hal ini sesuai dengan yang disebutkan dalam kitabnya, al-Risalah sebagai berikut:
ﺣﻞ ﺃﻭ ﺣﺮﻡ ﺍﻻ ﻣﻦ ﺟﻬﺔ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻭﺟﻬﺔ ﺍﳋﱪ:ﻟﻴﺲ ﻷﺣﺪﺍﻥ ﻳﻘﻮﻡ ﺍﺑﺪﺍ ﰲ ﺷﻴﺊ 37
.ﰱ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﺍﻭ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﺍﻭ ﺍﻻﲨﺎﻉ ﺍﻭ ﺍﻟﻘﻴﺎﺱ
Artinya: Tidaklah seseorang mengatakan dalam hukum selamanya ini halal, ini haram kecuali kalau ada pengetahuan tentang itu. Pengetahuan itu adalah kitab suci al-Qur’an, al-sunnah, al-ijma’ dan al-qiyas. Adapun penjelasan dari masing-masing pokok pegangan yang digunakan Imam Syafi’i dalam memibna madzhabnya adalah sebagai berikut: 1. Al-Qur’an Al-Qur’an adalah lafadz Arab yang diturunkan kepada Sayyidina Muhammad saw. untuk direnungkan dan diingat, yang diriwayatkan secara mutawatir. Ia dimulai dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat alNa>s. Bahasa Arab adalah bagian dari keaslian. Oleh karena itu
36 37
hlm. 39.
Abdullah Mustofa al-Maraghi, op. cit., hlm. 97. Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, al-Risalah, Beirut: al-Maktabah al-Ilmiyyah, t.th.,
46 terjemahnya tidak dikatakan al-Qur’an sehingga apabila seseorang membaca terjemahnya dalam sembahyangnya tidaklah sah.38 Seluruh ulama Islam sepakat menetapkan bahwa al-Qur’an adalah sumber pertama segala sumber hukum Islam. Mereka berselisih pendapat, hanya tentang kedudukan al-sunnah, apakah dia dapat mendatangkan hukum-hukum yang tidak ada pokoknya dalam al-Qur’an ataukah tidak, Imam Syafi’i menandaskan bahwa al-sunnah berhak mendatangkan hukum yang tidak ada pokoknya dalam al-Qur’an.39 Imam
Syafi’i
mengkaji
al-Qur’an
secara
mendalam
dan
mengklasifikasikan ayat-ayat al-Qur’an ke dalam bentuk ‘amm dan khas. Beliau juga mengatakan bahwa di dalam al-Qur’an ada pernyataanpernyataan tertentu yang bersifat umum dan dimaksudkan untuk umum. Kemudian ada pernyataan-pernyataan bersifat umum di dalam al-Qur’an yang mengandung sebagai pernyataan ‘amm dan khas.40 Karena kedudukan al-Qur’an itu sebagai sumber utama dan pertama bagi penetapan hukum, maka apabila seseorang ingin menemukan hukum suatu kejadian, tindakan pertama yang harus ia lakukan adalah mencari jawaban penyelesaian dari al-Qur’an. Selama hukumnya dapat disesuaikan dengan al-Qur’an maka ia tidak boleh mencari jawaban lain di luar al-Qur’an.41
38
Syekh Muhammad al-Khudhori Biek, Ushul Fiqh, terj. Zaid H. Al-Hamid, Pekalongan: Raja Murah, 1982, hlm. 50. 39 Hasbi ash-Shiddieqy, op. cit., hlm. 277. 40 Muhammad bin Idris Syafi’i, op. cit., hlm. 25. 41 H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm. 73.
47 2. Sunnah Al-sunnah menurut istilah syara’ adalah “sesuatu yang datang dari Rasulullah saw., baik berupa perkataan, perbuatan, ataupun pengakuan (taqrir)”. Sunnah qauliyah ialah: hadits-hadits Rasulullah saw. yang beliau katakana dalam berbagai tujuan dan konteks, sunnah fi’liyah ialah perbuatan-perbuatan
Rasulullah
saw.
sebagaimana
tindakannya
menunaikan shalat lima waktu dengan cara-caranya dan rukun-rukunnya, perbuatan melaksanakan haji dan lain-lain. Sedangkan sunnah taqririyah ialah: sesuatu yang timbul dari sahabat Rasulullah saw. yang telah diakui oleh Rasulullah baik berupa ucapan maupun perbuatan. Pengakuan tersebut ada kalanya dengan sikap diamnya dan tidak adanya keingkaran beliau, atau dengan adanya persetujuan dan adanya pernyataan penilaian baik terhadap perbuatan itu.42 Sandaran kedua dari madzhab Syafi’i adalah sunnah. Menurutnya orang tidak mungkin berpindah dari sunnah selama sunnah masih ada. Mengenai
hadits
ahad,
Imam
Syafi’i
tidak
mewajibkan
syarat
“kemasyhuran” sebagaimana yang berlaku pada madzhab Hanafi. Tidak pula mewajibkan persyaratan yang ditetapkan oleh Imam Malim, yaitu harus ada perbuatan yang memperkuatnya. Menurut Imam Syafi’i hadits itu sendiri tanpa lainnya sudah dianggap cukup. Baginya, hadits ahad tidak jadi soal untuk dijadikan sandaran, selama yang meriwayatkannya dapat dipercaya, teliti dan selama hadits itu muttasil (sanadnya bersambung)
42
Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama, 1994, hlm. 40-41.
48 kepada Rasulullah. Jadi beliau tidak mengharuskan hanya mengambil hadits mutawatir saja.43 Imam Syafi’i dalam menerima hadits ahad mensyaratkan sebagai berikut: a. Perawinya terpercaya, ia tidak menerima hadits dari orang yang tidak terpercaya. b. Perawinya berakal, memahami apa yang diriwayatkannya. c. Perawinya dhabit (kuat ingatannya) d. Perawinya benar-benar mendengar sendiri hadits itu dari orang yang menyampaikan kepadanya. e. Perawi itu tidak menyalahkan para ahli ilmu yang juga menriwayatkan hadits itu.44 Imam Syafi’i menempatkan as-sunnah sejajar dengan al-Qur’an, karena menurut beliau, sunnah itu menjelaskan al-Qur’an dan hadits mutawatir. Di samping itu, karena al-Qur’an dan sunnah keduanya adalah wahyu, meskipun kekuatan sunnah secara terpisah tidak sekuat seperti alQur’an.45 Mengenai kedudukan as-sunnah as-Syafi’i mengungkapkan bahwa kedudukan sunnah terhadap al-Qur’an adalah sebagai berikut: a. Menerangkan
kemujmalan
al-Qur’an,
seperti
menerangkan
kemujmalan ayat tentang shalat dan puasa.
43
H. Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Jakata: Logos Wacana Ilmu, 1997,
hlm. 116.
44 45
Huzaemah Tahido Yanggo, op. cit., hlm. 129. Ibid., hlm. 128.
49 b. Menerangkan khash al-Qur’an yang dikehendaki ‘amm dan ‘amm yang dikehendaki khash. c. Menerangkan tambahan-tambahan dari fardlu-fardlu yang telah ditetapkan al-Qur’an. d. Menerangkan hukum-hukum yang tidak ada dalam al-Qur’an. e. Menerangkan mana yang nasikh, mana yang mansukh dari ayat-ayat al-Qur’an.46 3. Ijma’ Ta’rif ijma’ menurut fuqaha jumhur adalah:
ﺘﻬﺪﻳﻦ ﻣﻦ ﺍﻷﻣﺔ ﺍﻻﺳﻼﻣﻴﺔ ﰱ ﻋﺼﺮ ﻣﻦ ﺍﻟﻌﺼﻮﺭﺍﻻ ﲨﺎﻉ ﻫﻮ ﺍﺗﻔﺎﻕ ﺍ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻋﻠﻰ ﺣﻜﻢ ﺷﺮﻋﻲ ﰱ ﺍﻣﺮ ﻣﻦ ﺍﻷﻣﻮﺭ 47
.ﺍﻟﻌﻤﻠﻴﺔ
Artinya: Ijma adalah kesepakatan para mujtahid umat Islam atas suatu hukum syara’ dalam sesuatu urusan amaliyah pada suatu masa sesudah Nabi. Jumhur ulama berpendapat, bahwa kedudukan ijma’ menempati salah satu sumber dalil hukum sesudah al-Qur’an dan sunnah. Ini berarti ijma’ dapat menetapkan hukum yang mengikat dan wajib dipatuhi umat Islam bila tidak ada ketetapan hukumnya dalam al-Qur’an maupun sunnah. Untuk menguatkan pendapatnya ini jumhur mengemukakan beberapa ayat al-Qur’an di antaranya adalah surat al-Nisa>’ ayat 115,48 adalah sebagai berikut:
46
Hasbi ash-Shiddieqy, op. cit., hlm. 250—251. Ibid., hlm. 111. 48 Amir Syarifuddin, loc. cit. 47
50
ﲔ ﺆ ِﻣِﻨ ﺳﺒِﻴ ِﻞ ﺍﹾﻟﻤ ﺮ ﻴ ﻊ ﹶﻏ ﺘِﺒﻳﻭ ﻯﻬﺪ ﺍﹾﻟﻦ ﹶﻟﻪ ﻴﺒﺗ ﺎﻌ ِﺪ ﻣ ﺑ ﻦ ﻮ ﹶﻝ ِﻣﺮﺳ ﺎ ِﻗ ِﻖ ﺍﻟﻳﺸ ﻦ ﻣ ﻭ (115 :ﺍ )ﺍﻟﻨﺴﺎﺀﺼﲑ ِ ﻣ ﺕ ﺎ َﺀﻭﺳ ﻢ ﻨﻬ ﺟ ﺼ ِﻠ ِﻪ ﻭﻧ ﻮﻟﱠﻰ ﺗ ﺎﻮﱢﻟ ِﻪ ﻣ ﻧ Artinya: Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS. al-Nis>a’: 115)49 Dalam ayat di atas “jalan-jalan orang mukmin” diartikan sebagai apa-apa yang disepakati untuk dilakukan orang mukmin. Inilah yang disebut ijma’ kaum mukminin.50 Imam Syafi’i mengatakan, bahwa ijma’ adalah hujjah dan ia menempatkan ijma’ ini sesudah al-Qur’an, as-sunnah sebelum qiyas.51 Ijma’ yang dimaksudkannya ialah suatu hasil kesepakatan para sahabat secara integral mengenai hukum suatu masalah. Kesepakatan ini harus diperoleh secara jelas.52 Ijma’ yang dipakai Imam Syafi’i sebagai dalil hukum itu adalah ijma’ yang disandarkan kepada nash atau ada landasan riwayat dari Rasulullah saw. Secara tegas ia mengatakan bahwa ijma’ yang berstatus dalil hukum itu adalah ijma’ sahabat.53 Imam Syafi’i hanya mengambil ijma’ sharih sebagai dalil hukum dan menolak ijma’ sukuti menjadi dalil hukum. Alasannya menerima ijma’ sharih karena kesepakatan itu disandarkan kepada nash dan berasal dari semua mujtahid secara jelas dan tegas sehingga tidak mengandung 49
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Yayasan Penyelenggaran Penterjemah al-Qur’an, 1971, hlm. 140-141. 50 Amir Syarifuddin, op. cit., hlm. 118. 51 Huzaemah Tahido Yanggo, op. cit., hlm. 130. 52 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, op. cit., hlm. 330. 53 Huzaemah Tahido Yanggo, loc. cit..
51 kerugian mujtahid. Diamnya sebagian mujtahid menurutnya belum tentu menunjukkan setuju.54 Adapun ijma’ ditinjau dari segi cara menghasilkannya, ada dua macam, yaitu: a. Ijma’ Sharih, yaitu kesepakatan para mujtahid suatu masa atas hukum suatu kasus, dengan cara masing-masing dari mereka mengemukakan pendapatnya secara jelas melalui fatwa atau putusan hakim. Maksudnya bahwa setiap mujtahid mengeluarkan pernyataan atau tindakan yang mengungkapkan pendapatnya secara jelas. b. Ijma’ Sukuti, yaitu sebagian dari mujtahid suatu masa mengemukakan pendapat mereka dengan jelas mengenai suatu kasus, baik melalui fatwa atau suatu putusan hukum, dan sisa dari mereka tidak memberikan tanggapan terhadap pendapat tersebut, baik merupakan persetujuan
terhadap pendapat yang telah dikemukakan atau
menentang pendapat itu.55 Adapun macam yang pertama, yaitu ijma’ sharih, maka itulah ijma’ haqiqi, dan ini merupakan hujjah syar’iyah dalam madzhab jumhur ulama, sedangkan macam yang kedua yaitu ijma’ sukuti, maka ia adalah ijma’ i’tibar (anggapan) karena sesungguhnya orang yang diam saja tidak ada kepastian bahwa ia setuju. Oleh karena itu, tidak ada kepastian mengenai terwujudnya kesepakatan dan terjadinya ijma’, dan karena inilah, maka ia masih dipertentangkan kehujjahannya. Jumhur ulama 54 55
Ibid. Abdul Wahab Khallaf, op. cit., hlm. 64.
52 berpendapat bahwa ijma’ sukuti bukanlah hujjah. Dan bahwa ijma’ tersebut tidak lebih dari keadaannya sebagai pendapat dari individu para mujtahid.56 Dalam definisi ijma’ telah disebutkan bahw aia adalah kesepakatan para mujtahid dari umat Islam pada suatu masa atas hukum syar’i. Dari definisi ini dapat diambil kesimpulan bahwa rukun ijma’, di mana menurut syara’ ia tidak akan terjadi kecuali dengan keberadaannya adalah empat yaitu: Pertama : Adanya sejumlah mujtahid pada saat terjadinya suatu peristiwa, karena sesungguhnya kesepakatan tidak mungkin dapat tergambar kecuali pada sejumlah pendapat, di mana masingmasing pendapat sesuai dengan pendapat lainnya. Maka kalau sekiranya pada suatu waktu tidak terdapat sejumlah para mujtahid, misalnya tidak ditemukan seorang mujtahid sama sekali, atau hanya ditemukan seorang mujtahid sama sekali, atau hanya ditemukans eorang mujtahid, amka secara syara’ tidak akan terjadi ijma’ pada waktu itu. Dan karena inilah, maka tidak ada ijma’ pada masa Rasulullah saw. karena hanya beliau sendirilah mujtahid waktu itu. Kedua :
Adanya kesepakatan seluruh mujtahid di kalangan umat Islam terhadap suatu kasus/peristiwa pada waktu terjadinya tanpa memandang negeri mereka, kebangsaan mereka ataupun
56
Ibid.
53 kelompok mereka, maka jika seandainya para mujtahid ahli bait atau para mujthid ahli sunnah, bukan mujtahid golongan syi’ah sepakat atas hukum syara’ mengenai suatu peristiwa, maka dengan kesepakatan khusus ini tidaklah sah ijma’ menurut syara’ karena ijma’ itu tidak bisa terjadi, kecuali dengan kesepakatan umum dan semua mujtahid dunia Islam pada suatu kejadian. Selain mujtahid tidak masuk penilaian. Ketiga :
Bahwasanya,
kesepakatan
mereka
adalah
dengan
mengemukakan pendapat masing-masing orang dari para mujtahid itu tentang pendapatnya yang jelas mengenai suatu peristiwa, baik penyampaian pendapat masing-masing mujtahid itu berbentuk ucapan, misalnya ia memberikan fatwa mengenai peristiwa
itu,
atau
berbentuk
perbuatan,
misalnya
ia
memberikan suatu putusan mengenai; baik masing-masing dari mereka
mengemukakan
pendapatnya
sendiri-sendiri
dan
setelah pendapat-pendapat itu dikumpulkan barulah ternyata kesepakatan pendapat mereka, atau mereka mengemukakan pendapat mereka secara kolektif, misalnya para mujtahid di dunia Islam mengadakan suatu kongggres pada suatu masa terjadinya suatu peristiwa, dan peristiwa itu dihadapkan kepada mereka, dan setelah mereka bertukar orientasi pandangan, maka
mereka
mengenainya.
seluruhnya
sepakat
atas
suatu
hukum
54 Keempat : Bahwa kesepakatan dari seluruh mujtahid atas suatu hukum itu terealisir, maka kesepakatan yang terbanyak itu tidak menjadi ijma’, kendatipun amat sedikit jumlah mujtahid yang menentang dan besar sekali jumlah mujtahid yang sepakat, karena sepanjang masih dijumpai suatu perbedaan pendapat, maka masih ditemukan kemungkinan besar pada salah satu pihak dan kekeliruan pada pihak lainnya. Oleh karena itu, maka kesepakatan jumlah terbanyak tidak menjadi hujjah syar’iyyah yang pasti dan mengikat.57 4. Qiyas Dari segi bahasa, qiyas ialah mengukur sesuatu atas lainnya dan mempersamakannya.58 Sedangkan menurut istilah ahli ushul, ialah: 59
.ﺍﳊﺎﻕ ﺍﻣﺮ ﻷﻣﺮ ﺍﺧﺮﰱ ﺍﳊﻜﻢ ﻻ ﲢﺎﺩ ﳘﺎ ﰱ ﺍﻟﻌﻠﺔ ﻓﻴﺤﺪﺍﻥ ﰱ ﺍﳊﻜﻢ
Artinya: “Menghubungkan hukum sesuatu pekerjaan kepada yang lain, karena kedua pekerjaan itu sebabnya sama yang menyebabkan hukumnya juga sama”. Sesuai dengan ta’rif tersebut di atas, apabila ada suatu peristiwa yang hukumnya telah ditetapkan oleh suatu nash dan illat hukumnya telah diketahui menurut satu cara dari cara-cara mengetahui illat-illat hokum, kemudian didapatkan suatu peristiwa lain yang hukumnya tidak ditetapkan oleh suatu nash, tetapi illat hukumnya adalah sama dengan illat hokum dari peristiwa yang sudah mempunyai nash tersebut, maka peristiwa yang
57
Abdul Wahab Khalaf, op. cit., hlm. 56-58. A. Hanafie, Ushul Fiqh, Jakarta: Widjaya, 1989, hlm. 128. 59 Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997, hlm. 200. 58
55 tidak ada nashnya ini disamakan dengan hukum peristiwa yang ada nashnya, lantaran adanya persamaan illat hukum pada kedua peristiwa itu tidak akan ada sekiranya tidak ada illat-illatnya.60 Mereka berpendapat demikian dengan alasan:
(2)ﺎ ِﺭﺑﺼﺎﺃﹸﻭﻟِﻲ ﺍﹾﻟﹶﺄﻭﺍ ﻳﺘِﺒﺮﻋ ﻓﹶﺎ.... Artinya: ... Hendaklah kamu mengambil i’tibar (ibarat: pelajaran) hai orang-orang yang berpikir. (QS. al-Hasyr: 2)61 Pendirian Imam Syafi’i tentang hukum qiyas sangat hati-hati dan sangat keras, karena menurutnya qiyas dalam soal-soal keagamaan itu tidak begitu perlu diadakan kecuali jika memang keadaan memaksa. Di bawah ini beberapa perkataan beliau tentang hukum qiyas. a. Imam Ahmad ibn Hambal pernah berkata: “Saya pernah berkata kepada Imam Syafi’i tentang hal qiyas, maka beliau berkata: “Di kala keadaan darurat”. Artinya, bahwa beliau mengadakan hukum secara qiyas jika memang keadaan memaksa. b. Imam Syafi’i pernah berkata: “Saya tidak akan meninggalkan hadits Rasul karena akan memasukkan hukum qiyas, dan tidak ada tempat bagi qiyas beserta sunnah Rasulullah”. c. Selanjutnya beliau berkata: “Tiap-tiap sesuatu yang menyalahi perintah Rasulullah tentulah jatuh dengan sendirinya dan tidak akan
60
Muchtar Yahya, et.al., Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, Bandung: alMa’arif, 1997, hlm. 66. 61 Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 915.
56 dapat berdiri tegak, juga qiyas tidak akan dapat tegak selama ada sunnah”.62 Selain daripada itu hukum qiyas yang terpaksa diadakan adalah hukum-hukum yang tidak mengenai urusan ibadah, yang pada pokoknya tidak dapat dipikirkan sebab-sebabnya seperti: ibadah shalat dan puasa. Oleh karena itu beliau berkata: “Tidak ada qiyas dalam hubungan ibadah karena sesuatu yang berkaitan dengan urusan-urusan ibadah itu telah cukup sempurna dari al-Qur’an dan as-sunnah”.63 Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa cara Imam Syafi’i mengambil atau mendatangkan hukum qiyas itu adalah sebagai berikut: a. Hanya yang mengenai urusan keduniaan atau muamalat saja. b. Hanya yang hukumnya belum atau tidak didapati dengan jelas dari nash al-Qur’an atau dari hadits yang shahih. c. Cara beliau mengqiyas adalah dengan nash-nash yang tertera dalam ayat-ayat al-Qur’an dan dari hadits Nabi.64 Oleh sebab itu Imam Syafi’i tidak sembarangan mendatangkan atau mengambil hukum qiyas dan beliau merencanakan beberapa peraturan yang rapi bagi siapa yang hendak beristidlal (mengambil) dengan cara qiyas. Sebagai dalil penggunaan qiyas, beliau mendasarkan pada firman Allah dalam al-Qur’an surat al-Nisa’ ayat 59.65
62
Ali Hasan, op. cit., hlm. 209. Ibid., hlm. 210. 64 Ibid. 65 Huzaemah Tahido Yanggo, op. cit., hlm. 131. 63
57
ﻢ ﹶﻓِﺈ ﹾﻥ ﻨ ﹸﻜ ﻣ ِﺮ ِﻣ ﻭﺃﹸﻭﻟِﻲ ﺍﹾﻟﹶﺄ ﻮ ﹶﻝﺮﺳ ﻮﺍ ﺍﻟﻭﹶﺃﻃِﻴﻌ ﻪ ﻮﺍ ﺍﻟ ﱠﻠﻮﺍ ﹶﺃﻃِﻴﻌﻣﻨ ﻦ ﺀَﺍ ﺎ ﺍﱠﻟﺬِﻳﻳﻬﺎﹶﺃﻳ ﻮ ِﻡ ﻴﺍﹾﻟﻮ ﹶﻥ ﺑِﺎﻟ ﱠﻠ ِﻪ ﻭﺆ ِﻣﻨ ﺗ ﻢ ﺘﻨ ﻮ ِﻝ ِﺇ ﹾﻥ ﹸﻛﺮﺳ ﺍﻟﻩ ِﺇﻟﹶﻰ ﺍﻟ ﱠﻠ ِﻪ ﻭ ﻭﺮﺩ ﻲ ٍﺀ ﹶﻓ ﺷ ﻢ ﻓِﻲ ﺘﻋ ﺯ ﺎﺗﻨ (59 :ﺗ ﹾﺄﻭِﻳﻠﹰﺎ )ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ ﺴﻦ ﺣ ﻭﹶﺃ ﻴﺮ ﺧ ﻚ ﺍﻟﹾﺂ ِﺧ ِﺮ ﹶﺫِﻟ Artinya: Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. al-Nisa>’: 59)66 Rukun-rukun qiyas adalah sebagai berikut: a. Al-Ashlu, yaitu sesuatu yang ada nash hukumnya, ia disebut juga maqis’alah (yang diqiyaskan kepadanya), mahmul’alaih (yang dijadikan pertanggungan), dan musyabbah bih (yang diserupakan dengannya). b. Al-Far’u, yaitu sesuatu yang tidak ada nash hukumnya, ia juga disebut: al-maqis (yang diqiyaskan), al-mahmul (yang dipertanggungkan), dan al-musyabbah (yang disempurnakan). c. Hukum Ashl, yaitu: hukum syara’ yang ada nashnya pada al-ashl (pokok), dan ia dimaksudkan untuk menjadi hukum pada al-Far’u (cabangnya). d. Al-Illat, yaitu suatu sifat yang dijadikan dasar untuk membentuk hukum pokok, dan berdasarkan adanya kebenaran sifat itu pada cabang (far’u), maka ia disamakan dengan pokoknya dan segi hukumnya.67
66 67
Departemen Agam RI, op. cit., hlm. 128. Abdul Wahhab Khallaf, op. cit., hlm. 80.
58 C. Pendapat Imam Syafi’i tentang Pernikahan pada Waktu Ihram Untuk mengetahui pendapat Imam Syafi’i tentang hukum tidak diperbolehkannya seorang yang sedang ihram (muhrim) melakukan nikah, menikahkan, dalam kitab “Mukhtashar al-Muzani” Imam Syafi’i menjelaskan bahwa seorang muhrim tidak diperbolehkan untuk melakukan nikah maupun menikahkan, sebagaimana dalam kitabnya “Mukhtashar al-Muzani” dia berpendapat sebagai berikut:
وﻻ ﻳﻨﻜﺢ اﻟﻤﺤﺮم وﻻ ﻳﻨﻜﺢ ﻷن اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻞ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ ﻧﻬﻰ ﻋﻦ ذﻟﻚ:ﻗﺎل اﺷﺎﻓﻌﻰ . ﻓﺎن ﻧﻜﺢ او اﻧﻜﺢ ﻓﺎﻟﻨﻜﺎح ﻓﺎﺳﺪ:وﻗﺎل Artinya: “Asy-Syafi’i berkata: Seorang muhrim tidak boleh menikah dan tidak menikahkan karena sesungguhnya Nabi SAW melarang dari hal itu. Dan beliau berkata: Jika menikah dan menikahkan maka pernikahan tersebut menjadi rusak (fasid).” 68 Lebih lanjut dalam kitab “al-Umm” beliau mengungkapkan sebagai berikut:
ﻲ ﺑِﻨ ﻲ ﺐ ﹶﺍ ِﺧ ٍ ﻫ ﻭ ﻦ ﻴ ِﻪ ِﺑ ﻧِﺒ ﻦ ﻋ ,ﺎ ِﻓ ِﻊﻦ ﻧ ﻋ ,ﻚ ِ ﺎِﻟﺎ ﻣﺮﻧ ﺒﺧ ﹶﺍ: ﺍﷲﻤﻪ ﺭ ِﺣ ﻲ ﺎ ِﻓ ِﻌﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﺍﻟﺸ
ﻣِﺌ ٍﺬ ﻮ ﻳ ﺎ ِﻥﻭﹶﺍﺑ ,ﺎ ٍﻥﻋ ﹾﺜﻤ ﻦ ﺑ ﺎ ِﻥﺳ ﹶﻞ ِﺇﻟﹶﻰ ﹶﺍﺑ ﺭ ﷲ ﹶﺍ ِ ﻴ ِﺪ ﺍ ﺒﻦ ﻋ ﺑ ﺮ ﻤ ﹶﺍ ﱠﻥ ﻋ:ﺮﻩ ﺒﺧ ﺍ ِﺭ ﹶﺍ ﺍﻟﺪﺒﺪ ﻋ
ﺔﻴﺒ ﺷ ﺖ ِ ﻨ ﺮ ِﺑ ﻤ ﻋ ﻦ ﺑ ﺤ ﹶﺔ ﺢ ﹶﻃ ﹾﻠ ﻧ ِﻜ ﹶﺍ ﹾﻥ ﺍﹸﺩﺕ ﺭ ﺪ ﹶﺍ ﻰ ﹶﻗ ِﺍﻧ:ﺎ ِﻥﺮﻣ ﺤ ﻣ ﺎﻫﻤ ﻭ ﺝ ﺎ ﺍﹾﻟﺤﻴﺮ ﹶﺍ ِﻣ
ﻋﻔﱠﺎ ِﻥ ﻦ ﺎ ِﻥ ِﺑﻋ ﹾﺜﻤ ﻌﺖ ﺳ ِﻤ :ﻭﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﺎ ﹶﻥﻚ ﹶﺍﺑ ﺮ ﺫِﻟ ﻧ ﹶﻜﺮ ﻓﹶﺎ ﻀ ﺨ ﹶﺍ ﹾﻥ ﺗﺩﺕ ﺭ ﻭﹶﺍ ,ﻴ ِﺮ ﺟِﺒ ﻦ ِﺑ .ﻨ ِﻜﺢ ﻳ ﻭ ﹶﻻ ﺤ ِﺮﻡ ﺍﹾﻟﻤﻨ ِﻜﺢ ﻳ ﹶﻻ:ﻢ ﺳ ﱠﻠ ﻭ ﻴ ِﻪ ﻋ ﹶﻠ ﷲ ُ ﺻﻠﱠﻰ ﺍ ﷲ ِ ﻮﻝﹸ ﺍ ﺭﺳ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ:ﻮﻝﹸ ﻳﻘﹸ Artinya: “Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: Malik memberitakan kepada kami dari Nafi dari Nabih ibn Wahab Saudara Bani Abdiddar, ia memberitakan kepadanya bahwa Umar ibn Ubaidillah mengirimkan utusan kepada Aban ibn Utsman dan Aban itu sebagai Amirul haji 68
Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Mukhtashar al-Muzani, Beirut: Dar al-Kutub alIlmiyyah, t.th., hlm. 75.
59 kedua orang itu sedang ihram. Sesungguhnya saya ingin menikahkan Thalhah ibn Umar dengan anak perempuan Syaibah ibn Jubair dan saya ingin mendatangkan perempuan itu. Aban mengingkari hal itu dan berkata: Saya mendengar Utsman ibn Affan berkata: “Rasulullah saw. bersabda: orang yang ihram itu tidak boleh menikah dan tidak boleh menikahkan”.69 Kemudian dalam halaman yang sama, Imam Syafi’i berpendapat sebagai berikut:
ﻻ َ ﺢ َو ُ ﻻ َﻳ ْﻨ ِﻜ َ ﺤ ِﺮ ُم َو ْ ﺢ ا ْﻟ ُﻤ ُ ﻻ َﻳ ْﻨ ِﻜ َ :ل ُ ن َﻳ ُﻘ ْﻮ َ ﻋ َﻤ ْﺮ آَﺎ ُ ﻦ ُ ن ِا ْﺑ ِا ﱠ,ﻦ ﻧَﺎ ِﻓ ِﻊ ْﻋ َ ﻚ ِ ﺧ َﺒ ْﺮﻧَﺎ ﻣَﺎِﻟ ْ َا:ل اﻟﺸَﺎ ِﻓﻌِﻰ َ ﻗَﺎ 70 .ﻏ ْﻴ ِﺮ ِﻩ َ ﻋﻠَﻰ َ ﻻ َ ﺴ ِﻪ َو ِ ﻋﻠَﻰ َﻧ ْﻔ َ ﺐ ُ ﻄ ُﺨ ْ َﻳ Artinya: “Asy-Syafi’i berkata: Malik memberitakan kepada kami dari Nafi bahwa Ibnu Umar berkata: “Orang yang berihram itu tidak nikah, tidak menikahkan, tidak meminang untuk dirinya dan tidak pula untuk orang lain.” Pendapat Imam Syafi’i tersebut di atas, juga didukung oleh Imam Malik dalam kitabnya Al-Muwatha, dia mengungkapkan bahwa: Yahya menyampaikan kepadaku bahwa ia mendengar Said Ibn al-Musayyab, Salim ibn Abdullah dan Sulaiman Ibn Yasar ditanya tentang apakah seseornag yang sedang ihram dapat menikah, dan mereka berkata: “Seseorang yang sedang berihram tidak boleh menikah atau menikahkan seseorang”.71 Sementara Imam Ja’far ash-Shadiq juga menerangkan bahwa: Kalau orang yang ihram mengadakan (melakukan) akad nikah dan dia tahu bahwa perbuatan itu diharamkan, maka perempuan itu haram bagi lelaki yang ihram itu selama-selamanya dengan semata-mata akad nikah, sekalipun belum
69
Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, Al-Umm, Juz 5, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.,
hlm. 260.
70 71
Ibid. Imam Malik, Al-Muwatha, Beirut: Dar al-Fikr, t.th., hlm. 346.
60 menyetubuhinya. Tapi kalau tidak tahu bahwa hal itu haram, maka perempuan itu tidak haram baginya, sekalipun sudah disetubuhinya.72 Dari keterangan-keterangan di atas dapat disimpulkan, bahwa seorang yang sedang ihram (muhrim) tidak diperbolehkan untuk melakukan nikah, menikahkan maupun melamar (mengkhitbah) baik itu untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain. Demikianlah pendapat Imam Syafi’i dalam kitab al-Ummnya yang mengungkapkan
bahwa
seorang
muhrim
tidak
diperbolehkan
untuk
melakukan nikah, menikahkan maupun melamar, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain yang juga didukung oleh para ulama yang lain yang menjadi controversial dengan Imam Abu Hanifah dalam masalah pernikahan pada waktu ihram, di mana dia membolehkan nikah pada waktu ihram.
72
Muhammad Jawad Mughniyah, “Al-Fiqh ‘ala al-Madzhahib al-Khamsah”, Terj. Masykur A.B., et’al, Fiqih Lima Madzhab, Jakarta: Lentera Basritama, cet ke-5, hlm. 235.